Download - Referat Tetanus
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.. Tetanus disebut juga
dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine,
kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung
bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.
(Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, memiliki 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi.
Sedangkan, tetanospasmin adalah neurotoksin potensial yang menyebabkan penyakit.
Tetanus merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem saraf dan otot sehingga saraf dan
otot menjadi kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi
organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya
dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu
tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme
otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong ,
tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ).
Gambar : Spasme otot akibat masuknya toksin dari kuman Clostridium tetani.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif
anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan
desinfektan. Spora adalah di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran
manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Karakteristik Clostridium tetani
Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan
berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan
antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten
terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan
neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf).
C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari 2
tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah
merah. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan
enzim proteolitik
Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic. Kuman tetanus tumbuh
subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula media
bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasi glukosa.
Patogenesis dan Patofisiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium
tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang
mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang
manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis
dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi
tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan dan pemotonga tali pusat yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam
lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin
akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem
limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf
termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala
klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah
dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak
terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk
3
melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan
glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan
kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai
pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada
dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan
mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini
pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan
gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan
teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks
synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala
: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian
cathecholamine dalam urine.
4
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu
anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam susunan saraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada
voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang dilaporkan telah
menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena meluasnya penggunaan imunisasi
terhadap tetanus (lihat grafik di bawah). Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih, juga di duga
dapat mempengaruhi.
5
(Penurunan kasus tetanus di AS karena ada program imunisasi nasional).
Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka
kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih
sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena
itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering
oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan adanya penyebarluasan program
imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Mortalitas dan morbiditas
Secara keseluruhan, tingkat kematian sekitar 45%. Klinis tetanus bergantung terhadap pernah atau
tidaknya seseorang mendapatkan vaksin tetanus toksoid pada waktu selama hidup mereka. Yang pernah
mendapatkan vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang tidak cukup divaksinasi atau tidak
divaksinasi sama sekali. Angka kematian di AS 6% bagi mereka yang telah menerima 1-2 dosis toksoid
tetanus, dibandingkan dengan 15% bagi mereka yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika
Serikat adalah 18% 1998-2000 dan 11% tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91% dilaporkan pada
tahun 1947. Angka kematian yang tertinggi bagi orang-orang berusia 60 (40%) dibandingkan dengan
mereka yang berusia 20 sampai 59 tahun (8%). Dari tahun 1998 hingga 2000, 75% kematian di Amerika
Serikat adalah di antara pasien yang lebih tua dari 60 tahun.
Manifestasi klinik
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu). Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya. Terdapat hubungan antara
jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan
permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka masa inkubasi makin panjang.
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum), dan
4. Neonatal tetanus.
6
Karakteristik dari tetanus :
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme Otot
masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kuduk kaku ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut
tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi,
lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan
dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
1. Tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang
ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
7
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah
pemberian profilaksis antitoksin.
2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka
dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. Tetanus cephalic dicirikan oleh
lumpuhnya saraf kranial VII paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang
berkembang setelah menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari safar kranial
III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-
sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus chepalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosanya
jelek.
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya
hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
8
4.Neonatal Tetanus.
Biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril,
baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-
obatan untuk pemotongan tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,
merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Biasanya kasus tetanus neonatorum ini, ditolong melalui tenaga persalinan tradisional ( TBA
=Traditional Birth Attedence )
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas:
1. Tetanus ringan : Trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang.
2. Tetanus sedang : Trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.
3. Tetanus berat : Trismus kurang 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :
Grade I: ringan
- Masa inkubasi lebih dari 14 hari.
- Period of onset > 6 hari
- Ttrismus positif tapi tidak berat
- Sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak ada
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi
beberapa jam atau hari.
9
Grade II: sedang
- Masa inkubasi 10-14 hari
- Period of onset 3 hari atau kurang
- Trismus dan disfagi ada
- Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada
Grade III: berat
- Masa inkubasi < 10 hari
- Period of onset < 3 hari
- Trismus dan disfagia berat
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia.
4. Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada
tahun 1981, ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus biasanya ditolong melalui tenaga
persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ). 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan
20 kasus ( 24,39 % ) , dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. Yang
memperlihatkan instrument Untuk memotong tali pusat.
10
Tabel I : BAHAN UNTUK MEMOTONG TALI PUSAT
11
Sedangkan berikut ini pada tabel 2. Memperlihatkan material yang dipergunakan untuk tali
pusat.
TABEL 2. : MATERIAL UNTUK TALI PUSAT
Jadi dari tabel diatas ( Tabel 2 ) terlihat dari 29 kasus ( 35,37 % ) biasanya mereka
mempergunakan alkohol /spiritus untuk perlindungan terhadap tali pusat, sedangkan 26 kasus
( 31,70 %) mereka mempergunakan material yang berbeda berupa herbal origin.
Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1.Gejala klinik
- Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
Diagnosis banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari
pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah 12
rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak
lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
1. Meningitis bacterialis
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan
serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Retropharyngeal abses
Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsillitis berat
Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ektrapiramidal. Adanya
reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.
9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher
dan spondilitis leher.
Berikut ini Tabel 3 yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus :
13
Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
- Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Terapi
Prinsip :
14
1. Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran tetanospasmin lebih
lanjut.
2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum terikat dengan
sistem saraf pusat).
3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan sistem saraf
pusat.
Terapi umum :
1. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang tenang supaya
bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien dengan tetanus tingkat II, III, IV
sebaiknya dirawat di ruang khusus dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat
yang terlatih untuk memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya
pasien berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi stimulus
yang dapat memicu terjadinya spasme.
2. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi.
3. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan benda-benda
asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus didebridement, abses harus
diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya manipulasi terhadap luka yang diduga
menjadi sumber inkubasi tetanus ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga
penting diberikan obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.
Terapi khusus :
1. Human Tetanus Imunoglobulin (hTIG 3000-6000 IU i.m) : untuk menetralisir
tetanospasmin bebas. Antitoksin ini tidak mempuny6ai efek pada toksin yang telah terikat
pada jaringan saraf pada susunan saraf pusat ataupun sistem otonom. Toksin bebas
mungkin terdapat pada sekeliling luka tempat pertumbuhan C. tetani. Diberikan secepat
mungkin setelah diagnosis klinis tetanus ditegakkan. Dosis efektif yang
direkomendasikan adalah 3000-10.000 IT iv/im, dengan kadar puncak dalam darah
dicapai dalam 48-72 jam. Sebagai pengobatan secara aktif 1500-3000 IU diinfiltrasikan
15
pada sekeliling luka. Di Indonesia umumnya masih memakai Anti Tetanus Serum,
termasuk juga di RSHS.
2. Antibiotik : untuk menghilangkan sumber tetanospasmin
DOC : Metronidazole 500 mg p.o tiap 6 jam atau 1gr tiap 12 jam selama 10-14 hari, aktif
menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa.
3. Benzodiazepine : untuk meminimalisasi spasme otot dan rigiditas karena bersifat GABA
enhancer.
DOC : Diazepam karena dapat mengurangi ansietas, menyebabkan sedasi dan relaksasi
otot. Dosis pemberian berdasarkan derajat keparahan spasme otot.
Pada orang dewasa :
Spasme ringan : 5-10 mg p.o tiap 4-6 jam.
Spasme sedang : 5-10 mg i.v
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, infuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam
Bila refrakter terhadap benzodiazepine, berikan neuromuscular blocking agents
(vecuronium)
4. Tetanus Toxoid (Td 0,5 ml i.m) : untuk merangsang dibentuknya antibodi terhadap
eksotoksin bakteri. Td ini merupakan suatu eksotoksin yang telah didetoksikasi dengan
formaldehid dan diabsorbsi ke dalam garam aluminium. Antigen ini akan menginduksi
produksi antibody yang melawan eksotoksin.
5. ß-adrenergik blocking agents (Labetolol 0,25-1 mg/menit melalui infus i.v setelah
dititrasi) untuk mengontrol disfungsi otonom yang didominasi aktivitas simpatis, yakni
menurunkan tekanan darah tanpa memperberat takikardi
6. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi pada tetanus berat (stadium III-IV) untuk atasi
gangguan napas. Hendaknya trakeostomi dilakukan pada pasien yang memerlukan
intubasi lebih dari 10 hari, disamping itu trakeostomi juga direkomendasikan setelah
onset kejang umum yang pertama.
7. Walaupun imunisasi aktif tidak 100% efektif mencegah tetanus, namun imunisasi tetanus
telah memperlihatkan sebagai salah satu yang paling efektif sebagai pencegahan terhadap
16
kejadian tetanus. Pemberian imunisasi dan penanganan luka yang baik diketahui
merupakan komponen yang penting dalam mencegah penyakit ini. Pada pasien dengan
tetanus, imunisasi aktif dengan Tetanus toxsoid harus mulai diberikan atau dilanjutkan
sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil.
B. Obat- obatan
Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan.
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole.
Diberikan terutama bila penderita alergi penisilin.
Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
Anti tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
- Toksin bebas dalam darah
- Toksin bergabung dengan jaringan saraf
17
Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah
bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan. Sebelum
pemberian antitoksin harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan
mata, dan harus sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari
serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaktik.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann (1987) dan Grossman
(1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 u yang diberikan setengah lewat i.v. dan
setengahnya i.m. pemberian lewat i.v.diberikan selama 1-2 jam. Di FKUI , ATS
diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis
i.m, sekali pemberian.
Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan
secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Antikonvulsan
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN
___________________________________________________________
Jenis Obat Dosis Efek Samping
________________________________________________________
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM) Stupor, Koma
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
18
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
________________________________________________________
Obat yang lazim digunakan ialah :
- Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5
mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan
dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.
- Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat di
tingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tenpa
kurarisasi. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, dila ada
gangguan saraf otonom.
- Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan
dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.
- Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.
Komplikasi
- Pada saluran pernapasan
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang
menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar
menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia
aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
- Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
- Pada tulang dan otot
- Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus
19
menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga
dapat miositis ossifikans sirkumskripta.
- Komplikasi yang lain :
1. Laserasi lidah akibat kejang
2. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
3. Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat oengatur suhu.
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi yaitu : bronkopneumonia,
cardiac arrest, septicemia dan pneumothoraks.
Prognosa
Dipengaruhi oleh beberapa factor :
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya, sebaliknya makin
pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi < 7 hari
tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin jelek.
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya jelek.
4. Panas
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosanya jelek.
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekusensi kejang
Semakin sering prognosanya makin jelek.
20
Pencegahan
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya
cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif ( DPT atau DT ).
Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-
anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) Bagi
yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster. Selain itu perawatan luka yang benar dan anti
tetanus serum untu profilaksis.
21
BAB III
KESIMPULAN
Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di Negara maju, namun berbeda
dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat
tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang,
mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan dari otot, terutama otot wajah
dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman Clostridium tetani yang masuk
melalui luka pada tubuh walaupun luka itu kecil. Berat ringannya penyakit ini tergantung dari
masa inkubasi, period of onset, kejang local atau umum dan ada atau tidaknya gangguan
autonomic karena hal ini yang menyebabkan kematian pada tetanus.
Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian
neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan adanya
penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001,
49- 51.
2. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205 -
1207.
3. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders
Company, 1996, 815 -817.
4. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson
5. Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987, 617 -
620.
6. Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th,
Info Acces and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.
7. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230
8. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th, McGrawHill.
Inc,New York, 1994, .577-579.
9. Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in
babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25,
10. Paeditrica Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School University of
lndonesia, Sept-Okt 1985, 167 -174.
11. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of
children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490.
12. Lubis, CP: Management of Tetanus in Children, Paeditricaa Indonesiana, vol.33, Depart.
Of Child Health, Medical School, University of Indonesia, Sept-Okt 1993, 201-208.
23
13. Lubis, CP :Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Peny.
Infeksi, bag II, Balai Penerbit FK USU, Medan, 1989, 21-40.
14. Menkes, JH: Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th, Lea and
Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.
15. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th, American
Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.
16. Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd, New York,
1991, 603 -620.
17. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,1993,1- 13.
18. Simon, Roger.P.MD, et. all : Tetanus in: Clinical Neurology, ed 1989,Appleton and
Lange,USA, 141-142.
19. Wegwood, RJ .Davis, DS. Ray, GC. Kelley, Vc: Infections of Children, 2 nd ed,
Philadelphia, 1982, 626-636.
20. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322.
21.http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
24