STUD I BIOFISIK LABAN DI KOTA TERPADU MANDIRI (KTM)
TRANSMIGRASI TAMPO LORE, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH
UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN
LAND BIOPHYSIC STUDY AT INDEPENDENT INTEGRATED CITY (IIC) OF
TRANSMIGRATION TAMPO LORE, POSO, CENTRAL SULAWESI
TO IMPROVE CASH CROP
Bistok Hasiholan Simanjuntak1
ABSTRACT
Transmigration programs aimed to improving society welfare, increased and equitable regional development, and strengthen national unity. In accordance with these goals, the Ministry of Manpower and Transmigration has made Independent Integrated City (IJC) in the transmigration area in the Tampo Lore on the Napu Plateau. Napu plateau is one area in Central Sulawesi is a region-specific conditions and the potential for the development of superior agricultural crops, particularly food crops. Therefore, for the development businesses in the IIC s leading food crops Lore Tampa an analysis of /and biophysical. Biophysical studies carried out to determine the suitability of food crops and to see a limiting factor in efforts to determine the agricultural development policy.
Land biophysically study is using survey methods for collecting primary and secondary data. Data analysis was used the basic of ALES program. The results of the analysis shows (1) The IIC Tampa Lore in Napu Plateau, Central Sulawesi has soil ordo are Inceptisols and Entisols, with total annual rainfall 1564 mm, the minimum air temperature ranges of 15.4 •c and the maximum air temperature of 31, 5•C. While in the zone Agroclimate region IIC Tampa Lore has a Zone E1 with only suitable for secondary (staple) crop cultivation and it is not suitable for rice cultivation; (2) The IIC Tampo Lore on Napu Plateau, Central Sulawesi has a suitable land class is S2 (moderately suitable) to S3 (based on marginal) for the development of food crops such as maize, soybean, wheat, ipomoea batatas, cassava; (3) The limiting factors for the development of food crops in IIC Lore Tampo is a limitation of oxygen availability, water availability and rooting media.
Keywords: land biophysic, transmigration, cash crop commodities
ABSTRAK
Program transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan tujuan tersebut, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi membuat kebijakan program Kota Terpadu Mandiri (KTM) di wilayah transmigrasi Tampa Lore di dataran tinggi Napu. Dataran tinggi Napu adalah salah satu wilayah di Sulawesi Tengah dengan kondisi wilayah adalah spesifik dan potensial untuk pengembangan tanaman
pertanian unggulan, khususnya tanaman pangan. 0/eh karena itu untuk usaha pengembangan tanaman pangan unggulan di KTM Tampo Lore maka dilakukan kajian biofisik lahan. Kajian biofisik dilakukan untuk menentukan kesesuaian tanaman pangan serta untuk melihat faktor pembatas dalam usaha untuk menentukan kebijakan pengembangan pertanian tanaman pangan.
Kajian biofisik menggunakan metoda survei untuk pengumpulan data primer dan sekunder. Ana/isis data menggunakan dasar program ALES. Hasil ana/isis evaluasi lahan (Program ALES) menunjukkan 1) Wilayah KTM Tampa Lore di dataran tinggi Napu, Sulawesi Tengah memiliki ordo tanah Inceptisol dan Entisol,
1 Laboratorium Tanah dan Air, Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana n. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
9
AGRIC Vol.22, No.1, Juli 2010: 9-19
dengan total curah hujan tahunan 1564 mm, kisaran suhu udara minimum 15,4oC dan suhu udara rata
maksimum 31,5oC. Sedangkan zona Agroklimat di Wilayah KTM Tampo Lore ada/ah Zona El yaitu hanya sesuai untuk budidaya tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman padi; 2) Wi/ayah KTM
Tampo Lore di Dataran tinggi Napu, Sulawesi Tengah memiliki k/as kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai)
hingga S3 (sesuai marjinal) untuk pengembangan tanaman pangan seperti jagung, kedelai gandum, kete/a
rambat, ubi kayu; 3) Faktor pembatas untuk pengembangan tanaman pangan di KTM Tampo Lore adalah
keterbatasan dari ketersediaan oksigen, media perakaran dan ketersediaan air.
Kata kunci:biofisik, transmigrasi, komoditi tanaman pangan
PENDAHULUAN
Program transmigrasi yang diselenggarakan
pemerintah bertuj uan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (masyarakat pendatang
dan masyarakat lokal), peningkatan dan pemerataan
pembangunan daerah serta memperkukuh per
satuan dan kesatuan bangsa. Sejalan dengan
tujuan tersebut, Departemen Tenaga Keija dan
Transmigrasi mencanangkan kebijakan program
Kota Terpadu Mandiri {KTM) di wilayah
transmigrasi. Kota Terpadu Mandiri {KTM)
adalah kawasan transmigrasi yang dikembangkan
sebagai wilayah kota dengan kelengkapan
berbagai sarana dan prasarana secara terpadu
sehingga akan menjadi sebuah kawasan yang
mandiri serta sebagai pusat pertumbuhan
produksi dan ekonomi. Basis perekonomian
masyarakat di daerah KTM adalah sektor
pertanian, sehingga produktivitas lahan yang
tinggi menjadi tumpuan utama dalam pem
bangunan sektor ekonomi di wilayah Kota
Terpadu Mandiri (KTM). Pembangunan per
tanian di sebuah kawasan Kota Terpadu Mandiri
{KTM) diarahkan sebagai aktivitas pertanian
modem yang berfungsi sebagai basis pertum
buhan sektor ekonomi, yang menerapkan agro
teknologi spesiflk lokasi, ramah lingkungan,
eflsien, berdaya saing dan tangguh.
Salah satu kawasan Kota Terpadu Mandiri
{KTM) yang dikembangkan oleh Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah KTM
Tampo Lore yang terletak di wilayah dataran
tinggi Napu di Kabupaten Poso, Propinsi
Sulawesi Tengah. Saat ini dataran tinggi Napu
10
merupakan kawasan transmigrasi sebagai
penyangga produksi hortikultura di Sulawesi
Tengah, akan tetapi berdasarkan agroekologinya
potensial juga untuk produksi tanaman pangan
dan perkebunan. Dataran tinggi N apu memiliki
ketinggian 1100 - 1200 m dpl, suhu udara
berkisar antara 20-30°C, curah hujan 1564 mmJ
tahun sehingga daerah tersebut ideal untuk
pengembangan (1) Tanaman sayuran dataran
tinggi seperti kentang, tomat, wortel, kubis,
bawang putih, daun bawang, (2) Tanaman pangan
seperti gandum, ketela rambat, jagung, ketela
pohon, (3) Tanaman buah-buahan seperti jeruk,
alpokat dan kelengkeng, dan ( 4) Tanaman industri
seperti teh, kopi arabika, dan tebu. Tingkat
pemanfaatan lahan di wilayah dataran tinggi
Napu belum optimal karena lahan yang ada masih
berupa lahan alang-alang.
Peningkatan eflsiensi dalam pengelolaan lahan
menjadi prioritas agar mampu menghasilkan
produk pertanian unggulan yang dapat mem
berikan peningkatan kesejahteraan petani.
Pengembangan produk pertanian unggulan di
suatu wilayah harus didasarkan pada keunggulan
komparatif dan kompetitif wilayah, sehingga
tercermin adanya pengembangan wilayah atas
dasar komoditas unggulan. Pemilihan komoditas
lillJbllP.lan-(t.ammum �'bW.., r.J:.l£&�m..wo., ptt.vr
nakan) dan perikanan harus mengacu pada kai
dah kecocokan wilayah pengembangan dari
aspek teknis budi daya sehingga meningkatkan
efisiensi usaha dan melestarikan lingkungan. Di
dalam sistem pertanian, lahan merupakan alat
produksi yang mempunyai peran sebagai tempat
Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak)
pertumbuhan tanaman, menyediakan unsur hara,
sumber air, tempat peredaran udara, dan tampat
berlangsungnya berbagai macam kegiatan
pengelolaan. Oleh karena itu pengetahuan tentang
sifat-sifat dan karakteristik lahan merupakan dasar
dari usaha pengembangan komoditi unggulan.
Lahan atau land adalah suatu wilayah di
permukaan bumi, mencakup semua komponen
biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat
siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah
tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk,
relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta
segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia di masa lalu dan sekarang; yang
kesemuanya itu be1pengaruh terbadap penggunaan
laban oleh manusia pada saat sekarang dan di masa
mendatang(FAO, 1995). Lahan memilikibanyak
fungsi antara lain fungsi produksi, fungsi
lingkungan biotik, fungsi pengatur iklim, fungsi
hidrologi, fungsi penyimpanan (sumber) bahan
mentah dan mineral, fungsi pengendali sampah
dan polusi, fungsi ruang kehidupan, fungsi
penghubung spasial. Berdasarkan fungsi lahan
sebagai tempat produksi pertanian maka Sys, et
al. (1991) mengemukakan enam kelompok besar
sumberdaya lahan yang paling penting bagi
pertanian, yaitu iklim, relief dan formasi geologis,
tanah, air, vegetasi, dan anasir artifisial (buatan).
Enam faktor terse but hingga batas tertentu mem
pengaruhi potensi dan kemampuan lahan untuk
penggunaan bidang pertanian.
Penggunaan lahan secara optimal dan bij aksana
perlu dilaksanakan agar lahan dapat memberikan
manfaat sebesar-besarnya sesuai dengan daya
dukung lahan dan terj aga produktifitas secara
berkesinambungan. Arahan penggunaan lahan
untuk budidaya tanaman secara berkelanjutan
harus sesuai dengan kemampuan agroeko
sistemnya. Keragaman agroekosistem terdiri
atas biofisik, agroklimat, ekonomi dan sosial
budaya, dimana data terse but digunakan sebagai
dasar pewilayahan komoditas pertanian maupun
arahan pengembangan sistem pertanian yang
tepat dan berkelanjutan. Konsep dasar zona
agroekosistem adalah penyederhanaan dan
pengelompokan agroekosistem yang beragam
tersebut ke dalam bentuk klasifikasi yang lebih
aplikatif. Pembagian wilayah ke dalam zone-zone
berdasarkan kemiripan (similarity) karakteristik
iklim, terrain, dan tanah, akan memberikan
keragaan tanaman yang tidak berbeda secara
nyata (FAO, 1996).
Data potensi sumberdaya lahan yang jelas dan
akurat sangat diperlukan untuk menyusun arahan
pengembangan komoditas pertanian baik oleh
petani, dinas/instansi pemerintah maupun para
investor secara efektif, efisien dan berwawasan
lingkungan. Kesesuaian komoditas maupun
sistem pertanian yang dikembangkan sesuai
dengan kondisi biofisik dan agroklimat akan dapat
meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani. Arahan pewilayahan komoditas
pertanian pada akhirnya dapat dimanfaatkan
untuk menyusun arahan pengembangan sistem
pertanian yang lebih operasional pada tingkat
perencanaan Kabupaten. Berdasarkan dari latar
belakang diatas maka dilakukan kajian biofisik
lahan di KTM Tampo Lore ( dataran tinggi Napu)
dalam rangka arahan untuk pengembangan
tanaman pangan.
METODE PENELITIAN
Dalam pelaksanaan penetapan potensi lahan
untuk pengembangan tanaman pangan digunakan
sejumlah data survey, analisis laboratorium dan
pengumpulan data sekunder untuk biofisik lahan
yang ditujuan untuk evaluasi lahan setiap jenis
komoditas pertanian yang direkomendasikan
untuk dikembangkan. Data biofisik yang dicari
meliputi: (1) data tanah yang terdiri dari data
morfologi tanah; (2) data hasil analisis kimia
tanah; (3) data satuan peta tanah atau Repre
sentative Soil Series; dan ( 4) data iklim yang
meliputi data curah hujan, temperatur, kecepatan
angin, lama penyinaran, dan kelembaban udara.
11
AGRJC Vol.22, No.1, Juli 2010: 9-19
Metoda evaluasi laban dilakukan dengan
menggunakan program ALES (Automated La nd
Evaluation Syste m), sedangkan kelas kesesuaian
1ahan secara fisik dibedakan atas 4 kelas
(Djaenudin eta!, 2001 ), dan secara lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel l . Evaluasi laban adalab
proses dalam menduga kelas kesesuaian laban
dan potensi laban untuk penggunaan tertentu, baik
untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas
kesesuaian laban suatu wilayab untuk suatu
Tabel 1. Kelas Kesesuaian Laban Secara Fisik
Kelas Simbol Nama
pengembangan pertanian pada pada dasarnya
ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik
lingkungan yang mencakup iklim, tanah, dan ter
rain (lereng, topografi/ relief), batuan di per
mukaan dan di dalam penampang tanah serta
singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan
persyaratan penggunaan laban atau persyaratan
tumbuh tanaman.
Pengertian
S1 Sangat Sesuai Tanpa atau sedikit pembatas untuk penggunaannya
2 S2 Cukup Sesuai Tingkat pembatas sedang untuk penggunaanya
3 S3 Sesuai Marjinal Tingkat pembatas berat untuk penggunaanya
4 N Tidak Sesuai Penggunaanya tidak memungkinkan
BASIL DAN PEMBAHASAN
Biofisik Wilayah
Sys, eta!. (1991) mengemukakan enam kelompok
besar sumberdaya laban yang paling penting bagi
pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi
geologis, (iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi)
anasir artifisial (buatan). Enam faktor tersebut
hingga batas tertentu mempengaruhi potensi dan
kemampuan laban untuk penggunaan bidang
pertanian. Hasil kaj ian biofisik laban yang telab
dilakukan adalab sebagai berikut:
a. Terrain dan Topografi
Berdasarkan penelitian Muljady, dkk (2008)
babwa potensi pengembangan pertanian laban
basah dan laban kering di dataran tinggi Napu
hanya sekitar 9.214 ha (25,24 %) yaitu pada
daerab depresi aluvial (1,40%), dataran aluvial
(15,16%) dan koluvial (8,68%). Sisanya
merupakan daerah pegunungan serta lainnya
(74,76%). Daerab depresi aluvial merupakan
daerah dengan kondisi drainase yang jelek
sedangkan daerah pegunungan merupakan
daerah berlereng terjal yang seharusnya untuk
12
penanaman tanaman keras. Luas laban yang ada
di dataran tinggi Napu sekitar 40.932 ha, di mana
laban yang mempunyai kelerengan < 3% (Datar)
seluas 2.664,67 ha (6,51 %), lahan dengan
kelerengan 3-8% (Agak datar atau Landai) seluas
9.598,55 ha (23,45%, laban kelerengan 8-15%
(Berombak atau agak curam) seluas 2.967,57 ha
(7,25%), laban berkelerengan 16-40% (berbukit
atau curam) seluas 1.371,22 ha(3,35%) dan laban
berkelerengan > 40% (bergunung atau sangat
curam) seluas 24.325,89 ha (59,43%).
Berdasarkan kelerengan tersebut maka daerah
yang ideal untuk area tanaman semusim
(hortikultura dan tanaman pangan) berada pada
daerah dengan kelerengan <8% atau seluas
12.263,23 ha, apabila digunakan laban dengan
kemiringan lereng hingga 15% yang disertai
dengan teknik pengolahan tanab konservasi maka
daerab penanaman tanaman semusim yang dapat
digunakan seluas 15.230,80 ha. Sementara itu
lahan dengan kelerengan 16% - 40% (seluas
1.371,22 ha) dapat diusabakan untuk budidaya
tanaman keras yang disertai dengan teknologi
konservasi dan daerab dengan kelerengan > 40%
idealnya untuk area konservasi.
Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak)
b. Tanah
Berdasarkan Peta Tanah Semi Detail 1 :50.000,
Universitas SamRatulangi Manado (1995), maka
tanah di dataran tinggi Napu terdiri atas 2 ordo
tanah, 2 sub ordo tanah dan 16 famili tanah yang
terdapat dalam 20 satuan peta tanah (SPT). Ordo
tanah didominasi oleh Inceptisols dan Entisols
yang menyebar pada relief datar, agak datar,
berombak, berbukit dan bergunung. Bahan induk
pada relief datar, agak datar, dan berombak terdiri
dari aluvium pasir, liat, dan koluvium, sedangkan
pada relief berbukit dan bergunung terdiri dari
andesitik, granitik, dan kuarsit. Untuk lebih
jelasnya mengenai jenis ordo tanah, sub ordo, dan
famili dapat dilihat pada Tabe12
Tabel 2. Ordo, Sub Ordo dan Familia Tanah (Soil Txonomi) di Daerah Dataran Tinggi Napu
Ordo Sub Ordo
Inceptisols Aquepts
Tropepts
Familia
Typic Tropaquepts, berlempung halus diatas berlempung kasar, campuran, tidak masam, isotermik
Typic Tropaquepts, berlempung halus diatas berliat, campuran, tidak masam, isotermik
Typic Tropaquepts, berlempung halus, campuran, tidak masam, isotermik
Aerie Tropaquepts, halus campuran, tidak masam, isotermik
Histic Tropaquepts, halus diatas skeletal berliat, campuran, tidak masam, isotermik
Typic Eutropepts, skeletal berlempung, campuran, isotermik
Typic Eutropepts, berlempung halus diatas berpasir, campuran, isotermik
Typic Eutropepts, skeletal berliat, campuran, isotermik
Seri
Salu, Wuasa, Alitupu
Wanga
Alitupu
Pembala
Kombari
Atuloi, Tontibula
Sena
Pohoria, Bariri, Kie
Typic Dystropepts, berlempung halus campuran, isotermik
Typic Dystropepts, skeletal berlempung, campuran, isotermik
Salunamang, Eha-eha; satu, Mbarana
Maliwuko, Sedoa, Salipa
Typic Dystropepts, sangat halus, halus campuran, isotermik
Typic Dystropepts, skeletal berliat di atas berliat, campuran, isotermik
Typic Dystropepts, berlempung di atas skeletal berliat , campuran, isotermik
Tamungkueha
Maholo, Maholo Satu
Hambu
Entisols Aquents Tropic Fluvaquents, berlempung halus, campuran, Toe masam, isotermik
Orthents Typic Troporthents, berlempung kasar, campuran , Watumaeta isotermik
Typic Troporthents, skeletal berliat, campuran, Dodolo tidak masam, isotermik.
Sumber : Peta Tanah Semi Detaill :50.000, Universitas Sam Ratulangi Manado, 1995
13
AGRIC Vo1.22, No. 1, Juli 2010: 9 - 19
Secara umum Inceptisols adalah tanah permulaan,
belum matang (immature) dengan perkembangan
profil yang lebih lemah dibandingkan dengan
tanah matang dan masih banyak memiliki sifat
bahan induknya. Beberapa Inceptisols terdapat
dalam keseimbangan dengan lingkungan dan
tidak akan matang hila lingkungan tidak berubah.
Proses pembentukan tanah Inceptisols dipengaruhi
adanya bahan induk tanah sangat resisten, posisi
landscape yang ekstrim yaitu daerah lembah
atau dapat juga pada daerah yang curam serta
permukaan geomorfologi yang muda sehingga
pembentukan tanah belum lanjut. P ada
pembentukan tanah ini tidak ada proses pedo
geniklpembentukan tanah yang dominan kecuali
leaching/pencucian meskipun semua proses
pedogenik adalah aktif. Di lembah-lembah yang
selalu tergenang air terjadi proses gleisasi
sehingga terbentuk tanah dengan khroma rendah
sehingga akan terbentuk wama tanah yang pucat
keabu-abuan. Di tempat dengan bahan induk
resistent maka proses pembentukan liat terhambat.
Sementara itu, secara umum Entisols digolongkan
pada tanah barn (berkembang) tanah ini meru
pakan tanah mineral tidak dengan horison
permulaan, regolith (materiallbatuan lepas) yang
tebal, kadang ada satu lapisan bajak karena sudah
mulai diusahakan manusia, tanah ini masih subur
hila merupakan bahan dari alluvium seperti pada
wilayah dataran tinggi Napu, tetapi menjadi tidak
subur hila tanah tersebut gersang. Jadi Entisols
pada umumnya adalah tanah dengan kedalaman
solum dangkal dengan batuan dasar yang jelas
terlihat dan pro:fil tanah yang belum j elas. Entisols
sebagai tanah yang barn berkembang akan tetapi
tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau
bahan induk tanah saja tetapi telah terjadi proses
pedogenesis tanah dan akumulasi garam, besi
oksida dan lainnya mungkin ditemukan pada
kedalaman lebih dari 1 m. Pada Entisols yang
terbentuk dari material endapan subur maka
dapat diusahakan untuk area pertanian. Oleh
karena itu penggunaan Entisols pada daerah
subur umumnya untuk padi sawah, tanaman buah,
eagar alam, hutan (pada daerah berlereng) serta
padang gembalaan temak. Hasil analisis tanah
pada Entisol di Watumaeta menunjukkan
kandungan N, P, K dan BO serta pH sebagai
berikut pada Tabel3. Wilayah Watumaeta adalah
daerah ibu kota Kecamatan Lore Utara dengan
relief datar hingga berombak, sangat potensial
untuk pengembangan tanaman semusim (tanaman
pangan dan hortikultura)
Tabel3. Analisis Kimia Tanah pada Entisol di Watumaeta
Nitrogen Total Fosfat Tersedia Fosfat Total
Kalium J;ersedia Kalium Total
No (N -%) (P20 -ppm) HCI25%
(K20 -ppm) HCI25%
Tanah (P20 mg/100gr) (K20 mg/IOOgr)
Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat
0.23 s 44.43 ST 67.08 ST 21.32 SR 10.08 R
2 0.20 R 31.18 T 63.55 ST 21.06 SR 10.04 R
3 0.26 s 44.10 ST 66.99 ST 32.48 SR 12.08 R
4 0.19 R 39.18 ST 65.68 ST 67.68 R 18.36 R
5 0.19 R 26.46 T 62.29 ST 58.64 R 16.75 R
Keterangan: - SR = Sangat Rendah; - R = Rendah; - S = Sedang; - T = Tinggi; - ST = Sangat Tinggi
14
Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampa Lore Kabupaten Paso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak)
Tabel4. Analisis Kimia Tanah pada Entisol di Watumaeta
No Tanah KTK Bahan Organik (%) pH(H20)
Nilai Harkat Nilai Keterangan
1 20.98 s 6.28 ST 4.89 Mas am
2 20.35 s 5.59 T 4.85 Masam
3 20.52 s 5.77 T 4.82 Masam
4 19.33 s 4 .46 T 4.98 Mas am
5 19.62 s 4.78 T 4.86 Masam
Keterangan: - SR = Sangat Rendah; - R = Rendah; - S = Sedang; - T = Tinggi; - ST = San gat Tinggi
c. Kondisi Iklim
Secara makro bahwa semenanjung utara Sulawesi Tengah dilintasi oleh garis katulistiwa sehingga pengaruh iklim tropis sangat terasa di daerah Sulawesi Tengah. Kondisi demikian menjadikan pola curah hujan di Sulawesi Tengah tidak dipengaruhi pola monsum, jadi umumnya distribusi curah hujan bulanan akan te.tjadi secara maksimum pada 21 Maret dan 23 September yaitu saat kedudukan matahari tepat di atas ekuator. Akan tetapi berdasarkan Tabel 4 yaitu data curah hujan tahun 1984 hingga 2004 dari
stasiun klimatologi Wuasa menunjukan dataran tinggi Napu (Kecamatan Lore Utara) hampir sepanjang tahun te.tjadi hujan dan curah hujan bulanan tertinggi berada pada bulan April dan
Nopember.
Berdasarkan Tabel 4 maka Klas Iklim menurut Schmidth & Ferguson (1951 ), untuk dataran tinggi Napu yang rata-rata memiliki 11 bulan basah (>100 mm) dan 1 bulan lembab (100- 60 mm)
serta tidak memiliki bulan kering ( < 60 mm) maka dataran tinggi Napu memiliki nilai Q ( quotien) 0
sehingga memiliki Tipe IklimA yaitu daerah yang sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Akan tetapi bila didasarkan pada Zona Agroklimat Oldeman (1975) menunjukkan dataran tinggi Napu tidak memiliki bulan basah (>200
mm), hanya memiliki 1 bulan kering (1 00 mm)
dan 11 bulan lembab (200 - 100 mm). Oleh
karena itu menurut Oldeman (1975) maka dataran tinggi Napu memiliki Zona Agroklimat E1
(terdapat kurang dari 3 bulan basah berturutan dalam satu tahun dan kurang dari 2 bulan kering). Menurut Zona Agroklimat E1 oleh Oldeman (1975) maka daerah dataran tinggi Napu hanya sesuai untuk budidaya tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman padi. Kecukupan air aman untuk budidaya tanaman padi (satu kali tanam) bila terjadi secara berturutan minimal 5 bulan basah ( curah hujan bulanan >200 mm) dan apabila bulan basah tersebut secara berturutan lebih dari 9 bulan maka dapat dibudidayakan tanaman padi 2 kali dalam 1 tahun. Oleh karena secara Zona Agroklimat di dataran tinggi Napu kurang sesuai untuk tanaman padi, maka tanaman padi yang diusahakan di daerah dataran tinggi Napu maka produksinya akan rendah, karena umumnya kerapatan fluktuasi radiasi matahari rendah sepanjang tahun. Di samping itu daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl akan terjadi kemunduran saat pan en oleh semua j enis tanaman sebagai akibat tingginya AHU (Acumulation Heat Unit).
15
AGRJC Vo1.22, No.1, Juli 2010: 9-19
Tabel 5. Curah hujan bulanan di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso
Stasiun E1evasi Klimato1ogi (m dp1) Jan
Curah Hujan Rata-rata Bu1anan (mm) Peb Mrt Apr Mei Jun Ju1 Agst Sept
Jum1ah
Okt Nop Des (mm)
Wuasa 1100 136 101 138 195 1 18 146 92 1 14 104 126 165 129 1564
Sumber: data curah hujan 1984-2000, BPP Wuasa Kab. Poso
Muljady dkk (2008) menyatakan dataran tinggi
Napu di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso,
yang memiliki ketinggian tempat 1.100 m dpl,
memiliki suhu rata-rata minimum 15,4"C dan suhu
udara rata maksimum 31 ,soc. Di sisi lain dataran
tinggi Napu hampir sepanjang tahun tezjadi turun
hujan walaupun besarnya curah hujan bulanan <
200 mm, namun kondisi demikian (hujan
sepanjang tahun dan suhu udara rendah) telah
mampu menjadikan kelembaban udara cukup
tinggi, kondisi ini demikian umumnya akan
memacu perkembangan mikroorganisme peng
ganggu tan am an.
Rencana Pengembangan Tanaman Pangan
a. Jenis Tanaman
Masyarakat wilayah KTM Tampo Lore yang
terletak di dataran tinggi Napu telah lama
mengusahakan tanaman hortikultura jenis
sayuran seperti wortel, kubis, tomat, sawi, petsai,
cabe, daun bawang, dan buncis. Sementara itu
untuk tanaman pangan yang umum diusabakan
masyarakat adalah ketela pohon, ubi j alar, talas
serta padi. Berdasarkan dari (1) Data biofisik
seperti tanah, terrain-topografi, iklim dan persya
ratan tumbuh tanaman; (2) Zona Agroklimat
Oldeman (1975) yang menunjukanwilayah dataran
tinggi Napu masuk dalam zona agroklimat E1 yaitu
wilayah yang hanya sesuai untuk budidaya
tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya
tanaman padi; (3) Evaluasi laban dengan program
ALES (Automated Land Evaluation System) dan
kelas kesesuaian laban (Djaenudin et al, 1996 dan
2001), maka komoditas tanaman pangan yang
potensial dikembangkan di KTM Tampo Lore,
dapat dilihat pada Tabe16.
Tanaman pangan yang direkomendasikan pada
Tabel 6 mempunyai peranan strategis dalam
pengembangan pertanian di wilayah KTM Tampo
Lore, hal ini dikarenakan komoditas tersebut
memiliki nilai sosial dan ekonomi yang sanga tinggi,
serta komoditas tersebut mampu untuk
mempertabankan ketabanan pangan untuk lokal
dan nasional
Tabel 6. Jenis Tanaman Pangan yang Potensian Dikembangkan di KTM Tampo Lore
No Jenis Tanaman
1 Jagung (Zea mays)
2 Kedelai (Glycine max)
3 Gandum (Triticum aestivum)
4 Ketela rambat (Ipomoea batatas)
5 Ubi Kayu (Manihot utilisina)
b. Faktor Pembatas dalam Mengusahakao
Tanaman Pangan
Tabel 5 menunjukkan babwa kesesuaian laban
komoditas tanaman pangan untuk jagung,
kedelai, gandum, ketela rambat, dan ubi kayu
(singkong) bervariasi dari Klas S2 (cukup
16
Kesesuaian Laban
S2 ( cukup sesuai)
S2 ( cukup sesuai)
S3 (sesuai mrujinal)
S2 ( cukup sesuai)
S2 ( cukup sesuai)
sesuai), dan S3 (sesuai mazjinal). Adapun faktor
pembatas dari pengembangan komoditas tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Jagung (Zea mays)
Berdasarkan data iklim (suhu dan curah
hujan) dan kondisi tanah yang ada maka
Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak)
dataran tinggi N apu memiliki kesesuaian
lahan 82 (cukup sesuai) dengan faktor
pembatas curab hujan tahunan > 1200 mm.
Berdasarkan dari jenis tanah yang ada
(Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetjadi
keterbatasan media perakaran akibat dari
solum tanab dan perkembanan profil tanab
yang belum berkembang. Untuk mengatasi
faktor pembatas yang ada maka dapat
a'ifalilliCan cfengan pengofa.tian tana.ti <fan
drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008,
Djaenudin dkk. 2001)
2. Kedelai (Glycine max)
Berdasarkan data iklim (suhu dan curab
hujan) dan kondisi tanah yang ada maka
dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian
lahan 82 ( cukup sesuai) dengan faktor
pembatas curab hujan tahunan > 1100 mm.
Berdasarkan dari jenis tanah yang ada
(Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetj adi
keterbatasan media perakaran akibat dari
solum tanab dan perkembanan profil tanab
yang belum berkembang. Untuk mengatasi
faktor pembatas yang ada maka dapat
dilakukan dengan pengolahan tanah dan
drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008,
Djaenudin dkk. 2001)
3. Gandum (Triticum aestivum)
Berdasarkan data iklim (suhu dan curab
hujan) dan kondisi tanab yang ada maka
dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian
laban 83 (sesuai matjinal) dengan faktor
pembatas curab hujan tahunan > 1250 mm.
Berdasarkan dari jenis tanah yang ada
(Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetjadi
keterbatasan media perakaran akibat dari
solum tanah dan perkembanan profil tanab
yang belum berkembang. Untuk mengatasi
faktor pembatas yang ada maka dapat
dilakukan dengan pengolahan tanah dan
drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008,
Dj aenudin dkk. 2001)
4. Ketela rambat (Ipomoea batatas)
Berdasarkan data iklim (suhu dan curah
hujan) dan kondisi tanab yang ada maka
dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian
lahan 82 (cukup sesuai) dengan faktor
pembatas curab hujan tabunan > 1500 mm.
Berdasarkan dari j enis tanah yang ada
(Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetj adi
keterbatasan media perakaran akibat dari
sol urn tanab dan perkembangan profil tanab
yang belum berkembang. Untuk mengatasi
faktor pembatas yang ada maka dapat
dilakukan dengan pengolaban tanah dan
drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008,
Djaenudin dkk. 2001)
5. Ubi Kayu (Manihot esculenta)
Berdasarkan data iklim (suhu dan curab
hujan) dan kondisi tanab yang ada maka
dataran tinggi N apu memiliki kesesuaian
laban 82 dengan faktor pembatas keter
sediaan air, oksigen, dan media perakaran
yang terbatas akibat dari solum tanab dan
perkembanan profil tanah yang belum
berkembang. Untuk mengatasi faktor
pembatas yang ada maka dapat dilakukan
dengan pengolahan tanah dan drainase
diperbaiki (Muljady dkk, 2008, Djaenudin
dkk. 2001)
c. Model Pengelolaan
Memperhatikan arah pembangunan pertanian
disebuah kawasan Kota Terpadu Mandiri (KTM)
adalab sebagai aktivitas pertanian modem yang
berfungsi sebagai basis pertumbuhan sektor
ekonomi, yang menerapkan agroteknologi spesifik
lokasi, ramah lingkungan, efisien, berdaya saing
dan tangguh, maka pengelolaan pengembangan
tanaman pangan di dataran tinggi N apu di
dasarkan pada model Gambar 1.
17
AGRIC Vo1.22, No.1, Juli 2010: 9-19
Pengembangan Tanaman Pangan 1. Teknologl Speslflk Lokasl
2. Sesual daya dukung llngkungan Pengolahan Hasll
Panen
Pemasaran Hasil 1. Lokal
2. Nasional
Unit Pengolahan Llmbah "Pupuk Orgahlk"
(;::====� Limbah Sisa Panen
Pemasaran Hasil 1. Lokal
2. Nasional 3. lntemasional
Gambar 1. Model Pengembangan Tanaman Pangan eli Dataran Tinggi Napu
Berdasarkan Gambar 1 maka pengelolaan
tanaman pangan bersifat tertutup yang artinya
limbah hasil pengembangan tanaman pangan
akan diolah menj adi produk pupuk organik.
Pupuk organik yang dikembangkan akan
digunakan kembali dalam pengembangan
tanaman yang ada serta dipasarkan baik dalam
skala terbatas maupun luas.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian maka dapat disimpulkan
1. Wilayah KTM Tampo Lore di Dataran tinggi
Napu, Sulawesi Tengah memiliki ordo tanah
Inceptisol dan Entisol, dengan total curah
hujan tahunan 1564 mm, kisaran suhu udara
minimum 15,4°C dan suhu udara rata
maksimum 31 ,50C. Adapun ZonaAgroklimat
di Wilayah KTM Tampo Lore masuk dalam
Zona E1 yaitu hanya sesuai untuk buelidaya
tanaman palawija dan tidak sesuai untuk
budidaya tanaman paeli.
2. Wilayah KTM Tampo Lore eli Dataran tinggi
Napu, Sulawesi Tengah memiliki klas
kesesuaian lahan S2 ( cukup sesuai) hingga
S3 (sesuai mru:jinal) untuk pengembangan
tanaman pangan seperti jagung, kedelai
gandum, ketela rambat, ubi kayu.
18
3. Faktor pembatas pada pengembangan
tanaman pangan di KTM Tampo Lore
adalah ketersediaan oksigen, media perakaran
dan ketersediaan air.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, 1., E. Susanti dan E. Alemina. 1992.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dengan Pendekatan Agroekologi Dalam
Prosiding Simposium Meteoro logi Per
tanianm,Malang,20-22Agustus 1991 (Buku
IT, hlm. 493-5110. PERIDMPL Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian.
Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak
Bogor.
Djaenudduin, D., M. Hendrisman, K. Nugroho,
D. G. Rossiter dan E. R. Jordens, 1996.
Evaluasi Lahan Sistem Ot omatisas
Untuk Membantu Pemetaan Tanah,
LREP-II, Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Djaenudin D, Marwan H, H. Subagyo, Anny
Mulyani, dan N. Suharta. 2001. Kriteria
Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengem-
Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak)
bangan Tanah dan Agroklimat.
Dinas Pertanian Pemerintah Kabupaten Poso.
2009. Profil Pertanian Kawasan Lembah
Napu. Dinas Pertanian Kabupaten Poso
FAO, 1989. Guidelines for Land Use Planning,
FAO, Rome, Italy.
FAO, 1995. Planning for Sustainable Use ofLand
Resources. Toward a New Approach.
FAO Land and Water bulletin, FAO,
Rome.
FAO. 1996. Agro-Ecological Zoning Guidelines.
FAO Soil Bulletin 73. Rome.
Herrmann, T. 1993. Crop Rotation Sustainbility
Index, Soil and Water Conservation,
South Aust Dept. Primary Industries.
Muljady D. Mario, Lintje Hutahaean, dan
R.H.Anasiru. 2008. Potensi Pengem
bangan Hortikultura di Dataran Tinggi
Napu, Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. 2001. Petunjuk Teknis
Penyusunan Peta Pewilayahan Komo
ditas Pertanian Berdasarkan Zona
Agroekologi (ZAE) Skala 1:50.000.
Puslittanah.
Oldeman,L.R.l975. AgroclimaticMap ofJava.
Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor.
No.17. CRIA, Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993.
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan, PPTA,
Bogor.
Reddy, S.A. 1983. Agroclimatic Classification
of The Semi-Arid Tropics I, A Method for
Computation of Classificatory Variables.
Agric. Meteorol., 30: 185-200.
Rossiter, D. G., 1994. Land Evaluation, Cornell
University, Ithaca, New York, USA.
Rossiter, D. G. and Van Wambeke, Armand R.,
1997, Automated Land Evaluation System:
ALES version 4.65d User's Manual,
Cornell University, Ithaca, New York, USA
Schmidt, F.H., andJ.H.A Ferguson, 1951. Rain
fall Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New
Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Djakarta.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy,
Slh edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.
Syafrudin, T Rumajar, JG Kindangen, R. Aksono,
A. Negara, D. Bulo dan J. Limbongan.
1999. Ana/isis Zona Agroekologi (Zae)
(Bio-Fisik) Propinsi Sulawesi Tengah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Biromaru. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian
Sys, C, E.Evan Ranst and J. Debaveye. 1993.
Land Evaluation (Part 1 ,2,3). Agriculture
Publication No 7, General Administration
for Development Cooperation. Belgium.
Universitas Sam Ratulangi . 1995. Peta Tanah
Semi Detail Kabupaten Poso, Lembar
Lembah Napu 1 :50.000. Manado
19