data dasar -...

121

Upload: others

Post on 04-Mar-2020

21 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

DATA DASAR ASPEK SOSIAL EKONOMI

TERUMBU KARANG DI SAIBI SAMUKOP DAN SALIGUMA,KECAMATAN SIBERUT SELATAN,

KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI

DALIYO

MASHURI IMRON ARY WAHYONO

COREMAP – LIPI PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PPK – LIPI)

2007

iii

KATA PENGANTAR COREMAP fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun. Selain peningkatan pendapatan per-kapita, juga diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.

Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan.

Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). Baseline studi sosial-ekonomi dilakukan oleh CRITC - COREMAP bekerjasama

iv

dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan Pokmas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi Desa Saliguma dan Desa Saibi Samukop, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Kepulauan Mentawai, CRITC di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, Desember 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc

v

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR xiii BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Penelitian 3 1.3. Metodologi 4 1.3.1. Lokasi Penelitian 4 1.3.2. Pengumpulan Data 4 1.3.3. Pengolahan Data dan Analisis Data 6 1.4. Pembabakan 7 BAB II. PROFIL DESA SAIBI SOMUKAP DAN SALIGUMA 9

2.1. Keadaan Geografi 9 2.2. Keadaan Sumber Daya Alam 11 2.3. Sarana dan Prasarana sosial-ekonomi) 16 BAB III. PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT 21

3.1. Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian Mesyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang. 21 3.2. Pemanfaatan (produksi, pemasaran dan pascapanen) 40 3.3. Wilayah Pengelolaan 41 3.4. Teknologi 41 3.5. Permasalahan dalam Pengelolaan SDL 43 3.6. Program-program COREMAP 48

vi

BAB IV. POTRET PENDUDUK DESA SAIBI SAMUKOP DAN SALIGUMA 57

4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 57 4.1.1. Jumlah penduduk 57 4.1.2. Komposisi penduduk 59 4.2. Pendidikan dan Ketrampilan 57 4.3. Pekerjaan penduduk 65 4.3.1. Pekerjaan utama 65 4.3.2. Pekerjaan tambahan 70 4.4. Kesejahteraan Penduduk (asset rumah tangga produksi dan non produksi, sanitasi dan kondisi lingkungan) 73 4.4.1. Aset produksi rumah tangga 74 4.4.2. Aset rumah tangga non-produksi 75 4.4.3. Kondisi permukiman dan sanitasi Lingkungan 78 BAB V. PENDAPATAN 81

5.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita 81 5.2. Pendapatan Menurut Lapangan Pekerjaan 83 5.3. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan 85 5.4. Strategi Rumah Tangga 88 5.5. Sintesa Pendapatan 91 BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 95

6.1. Kesimpulan 95 6.2. Rekomendasi 98 DAFTAR PUSTAKA 101 LAMPIRAN 103

vii

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 : Pengetahuan bahwa Terumbu Karang Merupakan Makhluk Hidup, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 24

Tabel 3.2 : Pengetahuan Penduduk Tentang Jenis Makhluk Hidup Terumbu Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 28

Tabel 3.3 : Pengetahuan Fungsi Terumbu Karang, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 29

Tabel 3.4 : Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Desa, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 30

Tabel 3.5 : Kondisi Terumbu Karang Saat Ini Perlu Diperbaiki/dilestarikan, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 32

Tabel 3.6 : Pengetahuan Alat Tangkap Merusak Terumbu Karang, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 33

Tabel 3.7 : Pendapat Mengenai Pengambilan Karang, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 34

Tabel 3.8 : Pengetahuan Keberadaan Peraturan Larangan Pengambilan dan Perusakan Terumbu Karang, dan Pendapat Mengenai Peraturan, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 35

viii

Tabel 3.9 : Pengetahuan Adanya Sanksi/Hukuman Bagi Perusak Terumbu Karang, Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 36

Tabel 3.10 : Pengambilan Karang dalam Satu Tahun Terakhir,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 37 Tabel 3.11: Pengetahuan Larangan Pemerintah Menggunakan Peralatan Tertentu untuk Menangkap Ikan, Karang, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 38

Tabel 3.12 : Pendapat Mengenai Larangan Pemerintah Menggunakan Peralatan Tertentu untuk Menangkap Ikan Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007 39

Tabel 4.1 : Komposisi Penduduk Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, 2007 (Persen) 61

Tabel 4.2 : Komposisi Responden Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 62

Tabel 4.3 : Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Ditamatkan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007(Persen) 65

Tabel 4.4 : Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma,

Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007(Persen) 66

ix

Tabel 4.5 : Jenis Pekerjaan Utama Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 69

Tabel 4.6 : Status Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan

Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007(Persen) 69

Tabel 4.7 : Lapangan Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samokop,dan Desa Saliguma,

Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007(Persen) 72

Tabel 4.8 : Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma,

Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007(Persen) 72

Tabel 4.9 : Status Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma,

Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007(Persen) 73

Tabel 4.10 : Jumlah Rumah Tangga Pemilik Aset Produksi dan Aset Non-produksi di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 76

Tabel 4.11 : Distribusi Jumlah Rumah Tangga Menurut Variasi Aset Produksi dan Aset Non-Produksi di Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, Kab. Mentawai, 2007 77

Tabel 5.1 : Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan per Kapita di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 83

x

Tabel 5.2 : Rata-rata Pendapatan Per Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 85

Tabel 5.3 : Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga per Bulan dari Kenelayanan Menurut Musim di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, 2007 87

Tabel 5.4 : Strategi Rumah Tangga di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, 2007 89

xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Peta Lokasi COREMAP II Desa Saliguma & Saibi Samukop Kecamatan Siberut Selatan 10

Gambar 2.2 : Ikan Hasil Tangkapan Penduduk 11

Gambar 2.3 : Jenis Ikan Kerapu Hasil Memancing Penduduk 12

Gambar 2.4 : Rawa Pasang Surut 13

Gambar 2.5 : Hasil Huran Rotan 13

Gambar 2.6 : Kebun Kelapa Rakyat 14

Gambar 2.7 : Kebon Tanaman Cokelat 15

Gambar 2.8 : Perladangan Penduduk 15

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang 17

Gambar 2.10: Sarana mobilitasi ke kota 18

Gambar 2.11: Sarana mobilitas antar rumah/kampung 19

Gambar 2.12 : Kelembagaan Pokmas 20

Gambar 3.1 : Diagram Pengetahuan Resp.TK sbg Makhluk Hidup, Saliguma & S. Samukop, 2007 22

Gambar 3.2 : Diagram Pengetahuan Resp. Jenis Mahluk Hidup Terumbu Karang, Saliguma & S. Samukop, 2007 23

Gambar 3.3 : Diagram Pengetahuan Kondisi TK Sekitar Desa Saliguma & S. Samukop, 2007 25

Gambar 3.4 : Diagram Pendapat TK Saat ini Perlu Diperbaiki/Dilestarikan, Saliguma & S. Samukop, 2007 26 Gambar 3.5 : Diagram Pengetahuan Resp. Adanya Sanksi Bagi Perusak TK, Saliguma & S. Samukop, 2007 31

xii

Gambar 3.6 : Diagram Perlu Peraturan Adat Pengelolaan SDL, Saliguma & S. Samukop, 2007 40

Gambar 3.7 : Alat tangkap kepiting 42

Gambar 3.8 : Teknologi Bididaya Kepiting 42

Gambar 3.9 : Bagan Keramba 43

Gambar 3.10 : Papan Kantor LP-STK 48

Gambar 3.11 : Lokasi Penepatan DPL di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma 49

Gambar 3.12 : Upaya Program Penyelamatan SDL di Saliguma dan Saibi Samukop. 50 Gambar 3.13 : Diagram Pernah Dengar COREMAP, Saliguma & S. Samukop, 2007. 51

Gambar 3.14 : Tujuan COREMAP Menurut Resp.Saliguma & S. Samukop, 2007 52

Gambar 3.15 : Diagram Pengetahuan Program COREMAP Mulai Dilaksanakan, Saliguma & S. Samukop, 2007 53

Gambar 3.16 : Diagram Keterlibatan Resp. Dalam Program COREMAP, Saliguma &S. Samukop, 2007 54

Gambar 3.17 : Diagram Keinginan Resp.Terlibat Program COREMAP, Saliguma dan S. Samukop, 2007 55

Gambar 4.1 : Diagram Komposisi Penduduk Menurut Umur Saibi S & Saliguma 59

Gambar 4.2 : Diagram Pendidikan Penduduk Saibi Samukop dan Saliguma, 2007 63

Gambar 4.3 : Diagram Lapangan Pekerjaan Utama Resp. Desa Saliguma & S. Somukop, 2007 (Persen) 65

xiii

Gambar 4.4 : Diagram Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Saibi Samukop dan Saliguma 71

Gambar 5.1 : Diagram Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Saibi Samukop & Saliguma (dalam ribuan rupiah) 82

Gambar 5.2 : Diagram Distribusi Pendapatan Rumah Tangga/ Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan di Saibi Samukop dan Saliguma (Rupiah) 84

Gambar 5.3 : Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga/ Bulan Menurut Musim (dalam rupiah) 87

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

alam dasawarsa terakhir kondisi terumbu karang di Indonesia telah mengalami penurunan pada tingkat yang mengkhawatirkan karena oleh berbagai hal, baik oleh karena

bencana alam maupun oleh ulah manusia. Studi yang dilakukan P2O-LIPI (2004) di 686 stasiun penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 5,8 persen dalam kondisi sangat baik, sekitar 25,7 persen dalam status baik, sekitar 30,8 persen dalam status cukup dan ternyata telah mencapai sekitar 31,9 persen yang sudah dalam kondisi kurang baik. Di wilayah Indonesia Barat (termasuk di Kepulauan Mentawai) bentangan terumbu karang yang termasuk kurang baik telah mencapai sekitar 36 persen. Sementara bentangan terumbu karang di wilayah Indonesia Barat yang masih dianggap baik hanya tinggal sekitar 5,4 persen.

Rusaknya terumbu karang di wilayah-wilayah tersebut disebabkan oleh ulah manusia, yang antara lain adanya penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara terus-menerus dan dalam kuantitas yang berlebihan (over fishing). Di samping itu, penggunaan bom dan racun untuk menangkap sumber daya di terumbu karang. Kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan pembangunan di daerah pesisir, penebangan hutan bakau, penebangan hutan di sepanjang sungai yang menyebabkan terjadinya endapan sedimentasi di daerah terumbu karang dan mematikan terumbu karang (Widayatun dkk, 2002 dan Hidayati dkk, 2002).

Untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut pada awal tahun 2000-an pemerintah Indonesia telah mencanangkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rahabilitation and Managemet Program). Progam pada fase I tersebut bermaksud untuk menggerakan dan meningkatkan usaha

D

2

pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir Indonesia. Program COREMAP pada prinsipnya mendasarkan pada partisipasi masyarakat atau dapat dikatakan ‘pengelolaan berbasis masyarakat’. Pengelolaan tersebut menggunakan sistem terpadu yang perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Kemudian tujuan COREMAP pada fase II lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola. Dalam hal ini gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah kabupaten dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Indikator yang dapat digunakan untuk melihat tercapainya tujuan COREMAP antara lain adalah melihat aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan tercapai peningkatan tutupan karang paling sedikit 5 persen per tahun sampai tercapai level yang sama dengan daerah yang telah dikelola secara baik atau pristine area (daerah terumbu karang yang masih asli/ belum dimanfaatkan). Selanjutnya indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah : (1) adanya kenaikan pendapatan penduduk per kapita sebesar 2 persen per tahun di lokasi target COREMAP; dan (2) adanya peningkatan taraf hidup bagi sekitar 10.000 rumah tangga di seluruh lokasi target COREMAP pada akhir program (Project Appraisal Document, ADB, 2005).

3

Keberhasilan COREMAP salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan, potensi dan aspirasi masyarakat. Untuk merancang program yang sesuai dengan permasalahan dan potensi daerah serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat diperlukan data dasar sosial–ekonomi yang berkaitan dengan pamanfaatan terumbu karang. Di samping dapat digunakan sebagai masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial - ekonomi terumbu karang juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Data dasar sosial-ekonomi dari hasil baseline ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/ intervensi COREMAP dilakukan.

1.2. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dasar mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khusus terumbu karang. Adapun tujuan secara lebih rinci penelitian adalah :

1. Mendeskripsikan gambaran umum tentang lokasi COREMAP yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam, khususnya sumber daya laut dan pola pemanfaatannya.

2. Mengkaji kondisi sumber daya manusia dilihat dari aspek pendidikan dan kegiatan ekonominya, khususnya kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.

3. Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan antara lain : pemilikan aset rumah tangga (produksi dan non produksi) dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan.

4. Menganalisis tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.

4

5. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.

1.3. Metodologi 1.3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dua desa tersebut dipilih dalam penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang ini sehubungan desa-desa tersebut merupakan daerah kegiatan program COREMAP.

1.3.2. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini telah menggunakan metode kuantitatif, kualitatif, observatif dan penggunaan data sekunder. Masing-masing metode tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Dalam metode kuantitatif kegiatan yang dilakukan adalah survei dengan menggunakan daftar pertanyaan yang didesain secara tertutup dan setengah tertutup. Metode survei digunakan untuk mewawancarai para responden rumah tangga dan individu. Penggunaan survei dalam analisis lebih objektif dibandingkan dengan metode kualitatif, di mana subjektivitas peneliti dapat dihindari. Kelemahan dari metode survei ini adalah data yang dikumpulkan sangat terbatas pada jawaban tertutup yang tersedia di daftar pertanyaan. Metode ini kurang memberikan keleluasaan para peneliti untuk menggali informasi yang lebih dalam lagi dari responden.

Kelemahan metode kuantitatif tersebut dapat diatasi dengan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif lebih menekankan pengumpulan data yang sifatnya kualitatif. Kegiatan yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi lapangan. Metode kualitatif ini memberikan peluang kepada para peneliti untuk menggali data dan informasi yang lebih mendalam dan kontekstual

5

dari para informan sesuai dengan kondisi dan kejadian di lokasi kajian. Kelebihan metode ini data dan informasi yang dikumpulkan lebih kaya dan mendalam dibandingkan metode kuantitatif.

Instrumen dan Responden

Dengan menggunakan metode penelitian tersebut di atas, kajian ini dibekali dengan 2 paket instrumen, yaitu daftar pertanyaan/ kuesioner dan pedoman wawancara.

Daftar pertanyaan

Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daftar Pertanyaan Penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang. Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis daftar pertanyaan, yaitu Daftar Pertanyaan Rumah Tangga dan Daftar Pertanyaan Individu/ Perorangan. Dalam Daftar Pertanyaan Rumah Tangga terdiri 5 bagian, yaitu : (1). Pengenalan Tempat; (2) Keterangan Rumah Tangga; (3). Keterangan Pencacahan; (4). Keterangan Anggota Rumah Tangga; (5). Ekonomi Rumah Tangga (meliputi Pendapatan Rumah Tangga, Strategi Rumah Tangga, dan Pemilikan Aset Rumah Tangga). Sementara Daftar Pertanyaan Individu terdiri dari dua bagian, yaitu : (1). Pengetahuan dan Sikap mengenai Terumbu Karang; (2). Pengambilan Karang; (3). Penggunaan Sianida/Racun/ Potas; (4). Penggunaan Pukat Harimau/ Trawl/ Pukat Ular/ Lampara Dasar; (5). Peraturan Adat; dan (6). COREMAP.

Pedoman wawancara mendalam

Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan dengan para stakeholders dalam masyarakat yang terkait dengan kegiatan kenelayanan. Dalam wawancara mendalam pedoman diperlukan agar wawancara lebih terarah, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian. Pedoman in berupa daftar dari poin-poin penting yang

6

akan diteliti. Poin-poin tersebut oleh para peneliti dikembangkan dan dilakukan cek dan recek di lapangan. Peneliti akan berhenti melakukannya apabila telah mendapatkan pemahaman yang komprehensif, mendalam dan solid dari informan-informan kunci dan narasumber yang mewakili stakeholders dalam masyarakat nelayan.

Pengambilan sampel rumah tangga

Dalam penelitian ini di masing-masing desa dipilih dusun-dusun yang jumlah dan proporsi rumah tangga nelayannya cukup banyak. Masing-masing desa dipilih dua dusun. Jumlah rumah tangga sampel diwawancarai sebanyak 100 rumah tangga, sehingga masing-masing desa mendapat jatah 50 rumah tangga sampel. Karena masing-masing desa diambil sampel dua dusun, maka masing-masing dusun diambil 25 rumah tangga sampel. Pemilihan rumah tangga sampel di masing-masing dusun dilakukan secara random.

1.3.3. Pengolahan data dan analisis data

Dari hasil penelitian ini telah menghasilkan data rumah tangga dan individu dari daerah penelitian diolah secara komputerisasi. Data entry menggunakan program SPSS data entry versi 4. Melalui tahapan cleaning, data tersebut diolah dengan SPSS 11.5 for Windows. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tabel-tabel frekuensi (frequency tabulation) dan tabel-tabel silang (cross tabulation), dan diagram. Tabel dan diagram tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kenelayanan dan kegiatan serta manfaat program COREMAP

1.4. Pembabakan

Bagian awal dari tulisan ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian data dasar sosial ekonomi terumbu karang di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kemudian dilanjutkan

7

dengan tujuan dari penelitian, yang meliputi tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian ini. Metodologi penelitian meliputi pemilihan lokasi dan cara pengumpulan data dan tentang analisis data yang digunakan.

Bagian kedua menyajikan profil daerah penelitian. Dalam sajian ini meliputi tayangan keadaan geografi daerah penelitian, kondisi sumber daya alam dan sarana/ prasarana. Keadaan geografis mendeskripsikan kondisi fisik daerah penelitian. Sementara kondisi sumber daya alam mendeskripsikan sumber daya yang ada di laut maupun sumber daya yang ada di darat. Dalam uraian tentang sarana dan prasarana disajikan tentang pendidikan yang ada, kesehatan yang melayani, ekonomi, transportasi dan kelembagaan sosial yang ada.

Bagian ketiga membahas tentang pengelolaan sumber daya laut di daerah penelitian. Diawali dengan membahas pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang. Kemudian bagaimana pemanfaatan sumber daya laut yang meliputi tentang kondisi produksi, pemasaran dan perlakuan paska panen. Di mana wilayah pengelolaan sumber daya laut dan teknologi yang telah dimiliki dan dikuasai. Dalam bagian ini juga membahas tentang permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumber daya laut. Terakhir bagian ini menyajikan tentang program-program COREMAP yang telah ada, kegiatannya, permasalahan dan hambatan yang dihadapi.

Bagian keempat menyajikan potret kependudukan daerah penelitian. Bagian ini meliputi gambaran kuantiatif dan kualitatif penduduk daerah penelitian. Gambaran kuantitatif antara lain tentang jumlah dan komposisi penduduk di daerah penelitian. Sedangkan gambaran kualitatif meliputi gambaran pendidikan, ketrampilan, pekerjaan dan kesejahteraan penduduk. Dalam pekerjaan menyajikan baik untuk pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan. Sementara kesejahteraan penduduk di sini hanya membatasi tentng pemilikan dan penguasaan aset produksi dan aset yang non produksi berupa barang berharga dan barang kesenangan.

8

Bagian kelima merupakan inti dari penelitian ini menyajikan tentang pendapatan rumah tangga penduduk di daerah penelitian. Pendapatan rumah tangga disajikan dalam bentuk rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan per kapita. Kemudian dilanjutkan mengupas pendapatan menurut lapangan kerjanya, selanjutnya lebih fokus lagi pendapatan khusus kegiatan kenelayanan. Akhir bagian ini mencoba membuat sintesa tentang pendapatan, yang dilihat dari faktor internal, eksternal maupun strukturalnya. Bagian akhir buku laporan ini merupakan kesimpulan dari laporan ini dan membuat beberapa rekomendasi.

9

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN

agian ini mendeskripsikan kondisi umum lokasi Penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia di Sumatera Barat, yakni di Desa Saibi Samukop dan Desa

Saliguma, Kecamatan Seberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Profil lokasi penelitian dideskripsikan dengan beberapa indikator, yang meliputi keadaan geografis desa penelitian, keadaan sumber daya alam, sarana dan prasarana sosial-ekonomi yang ada di desa penelitian. Deskripsi kondisi geografis meliputi antara lain letak, luas, batas-batas wilayah dan kondisi iklim daerah penelitian. Keadaan sumber daya alam meliputi deskripsi sumber daya laut dan sumber daya darat. Sedangkan sarana dan prasarana sosial ekonomi meliputi antara lain fasilitas pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kelembagaan yang ada di daerah penelitian.

2.1. Keadaan Geografis

Desa Saibi Samukop dan Saliguma adalah dua desa di Kecamatan Siberut Selatan yang terletak di sebelah timur Pulau Siberut. Batas-batas wilayah Desa Saliguma sebelah utara berbatasan dengan Desa Saibi Samukop, Desa Maileppet sebelah selatan, Desa Madobak sebelah barat, dan di sebelah timur adalah perairan Samudera Hindia. Desa Saliguma memiliki luas wilayah 96,55 km2, dapat ditempuh perjalanan laut selama kurang lebih 1,5 jam dengan menggunakan perahu motor dari Desa Muara Siberut, pusat pemerintahan Kecamatan Siberut Selatan. Jarak antara Desa Saliguma-Muara Siberut adalah sekitar 35 km.

Letak Desa Saliguma tidak persis di pinggir pantai Pulau Mentawai melainkan berada masuk di Teluk Sabarua, yang penuh ditumbuhi tanaman hutan bakau yang kondisinya masih bagus. Teluk Sabarua adalah pintu masuk menuju Desa Saliguma yang ditandai

B

10

dengan keberadaan Pulau Bulau Bugey atau Pulau Pasir Putih persis terletak di depan teluk yang berbatasan dengan perairan Teluk Mentawai.

Lokasi penelitian lain adalah Desa Saibi Samukop. Desa ini berada di sebelah utara Desa Saliguma. Posisi Desa Saibi Samukop persis seperti Desa Saliguma, yakni berada di kawasan timur Pulau Siberut, yang berbatasan dengan Desa Cempungan pada sisi utara, Desa Saliguma sisi selatan, dan Desa Simatalu pada sisi Barat. Desa Saibi Samukop memiliki luas wilayah 456,72 km2 . Desa Saibi Samukop yang berjarak 42 km dari Muara Siberut, dapat ditempuh dengan perjalanan laut sekitar 2 jam dengan perahu bermotor.

Pada mulanya, Saibi Samukop hanya terdiri dari 5 dusun, yaitu: Dusun Saibi hulu (Sirisurak), Dusun Saibi Muara, Dusun Sibudda Oinan, Dusun Totoet dan Dusun Sua. Tetapi sekarang bertambah lagi 3 dusun baru, yang terdiri dari dusun Samoilalak (pemekaran dusun akibat proyek sosial), Dusun Pangasaat, dan Dusun Masoggunei. Dusun Pangasaat dan Dusun Masoggunei terletak di pusat Desa Saibi. Sementara, Dusun Samoilalak diapit oleh Dusun Sirisurak dengan Saibi Muara.

Gambar 2.1 : Peta Lokasi COREMAP II Desa Saliguma & Saibi Samukop

Kecamatan Siberut Selatan

Sumber : DKP Kab. Kep. Mentawai

11

Gambar 2.2 : Ikan Hasil Tangkapan Penduduk

Saibi Samukop terletak di tengah-tengah, antara wilayah Siberut Selatan dan Siberut Utara. Sebelah selatan berbatasan Desa Saliguma, sebelah utara dengan Desa Malancan, sebelah barat dengan Desa Simatalu, sedangkan sebelah timur adalah lautan bebas. Desa Saibi Samukop dan beberapa desa di sekitarnya direncanakan akan menjadi kecamatan baru dan desa ini akan menjadi pusat kecamatan. Saibi Samukop memiliki iklim subtropis, yaitu suhu dingin dan panas yang sedang (sumber data dari PMDH Koperasi Unand Madani Subelen). Luas wilayah Desa Saibi Samukop adalah 456,72 km2. Desa Saibi Samukop resmi terpilih sebagai salah satu desa lokasi COREMAP II di Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tahun 2005. Dengan pemilihan lokasi tersebut mendasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai No: 52 tanggal 14 Mei 2005.

2.2. Keadaan Sumber Daya Alam

• Sumber Daya Laut

Sumber daya laut di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 78.018,43 km2 dan panjang garis pantai 1.402,7 km, Potensi sumber daya laut sangat besar, namun penduduk di dua desa ini belum mam-pu memanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat di-ketahui bahwa selama ini tidak pernah ada keluhan nelayan lokal terhadap ke-adaan sumber daya ikan;

nelayan lokal tidak pernah risau atau merasa hasil tangkapan menurun akibat kehadiran nelayan luar. Dengan peralatan yang masih sederhana penduduk di dua desa ini mampu mendapatkan ikan untuk

12

Gambar 2.3 : Jenis Ikan Kerapu Hasil Memancing

Penduduk

kebutuhan sehari-hari atau paling tidak dijual ke tetangga di desa. Tidak ada keluhan terhadap kondisi sumber daya kelautan tersebut juga karena kondisi hutan bakau yang masih baik. Hutan bakau merupakan kawasan ekosistem yang berfungsi mempertahankan kelangsungan hidup dari sejumlah biota laut. Sejumlah jenis ikan karang, seperti; kuret (ikan teger lumpur), garapu minyak, jining atau ikan ikan jenihin, bailegget yaitu ikan janang merah dan berbintik kuning, malaimiang atau ikan saway, somay, bulu kalalaipet atau ikan kwaci masih dapat ditangkap di perairan laut Saliguma. Selain jenis ikan karang, terdapat juga ikan hias dengan berbagai jenis.

Jenis ikan karang

merupakan hasil tangka-pan yang telah memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama sejak a-danya penampung ikan karang yang menaruh kerambanya di perairan teluk di dua desa ter-sebut (Pulau Bugey). Se-lain jenis ikan potensi lain adalah kepiting yang mereka tangkap dengan tangguak dan udang je-

nis lopster. Lokasi penangkapan ikan yang dilakukan di Saliguma adalah di sekitar daerah Teluk Sarabua, dan daerah sekitar Pulau Buggey. Namun demikian, adakalanya juga mereka menangkap ikan di luar Teluk Sarabua, yaitu daerah tengah laut, dengan jarak ± 5 Km dari Teluk Sarabua, dengan menggunakan kapal bagan (di Saliguma 1 buah bagan ).

13

Gambar 2.4 : Rawa Ps. Surut

Gambar 2.5 : Hasil Huran Rotan

• Sumber Daya Darat

Topografi wilayah di Metawai terdiri dari dataran rendah dan

perbukitan dengan ketinggian 0-275 meter di atas permukaan laut. Keadaan la-han Mentawai yang paling dekat dengan laut adalah lahan rawa pasang-surut. Lahan rawa pasang surut ini ditumbuhi berbagai tanaman rawa seperti tanaman sagu dan tanaman ba-kau. Hutan bakau, jenis flora yang paling banyak dijumpai di daerah penelitian. Rawa-pasang surut adalah lingkung-an alam yang menghubungkan laut dengan permukiman pen-duduk. Hutan bakau yang kondisinya masih baik terdapat di Desa Saliguma, Katurai dan Saibi Samukop. Kondisi hutan bakau yang masih baik meru-pakan indikator ekosistem pe-sisir masih tetap lestari.

Rawa pasang surut sa-ngat penting bagi kehidupan penduduk, yakni selain untuk lalu-lintas penduduk yang akan pergi ke kota keca-matan atau ke desa-desa sekitar, ju-ga merupakan sumber kehi-dupan penduduk di desa-desa daerah penelitian. Eko-sistem bakau menghasilkan sumber daya ikan dan biota air, seperti kepiting yang dimanfaatkan penduduk. Tanaman Sagu merupakan tanaman pangan yang tumbuh secara alami - tidak perlu dibudidayakan. Tanaman alam lainnya adalah nilam (pogosteman cablin). Tumbuhan yang daunnya berbau harum dimanfaatkan penduduk sebagai sumber

14

Gambar 2.6 : Kebun Kelapa Rakyat

penghasilan. Sumber daya darat lainnya yang berasal dari hutan alam adalah rotan. Rotan adalah sumber daya hutan-non kayu yang dimanfaatkan penduduk. Rotan adalah sumber daya hutan non kayu yang dimanfaatkan penduduk di desa penelitian sebagai sumber mata pendapatan. Sumber daya rotan ini terutama dimanfaatkan penduduk di Desa Saliguma. Desa Saliguma memiliki wilayah desa yang berdekatan dengan Taman Nasional Siberut. Kondisi hutan di sekitar Desa Saliguma yang masih alami memungkinkan jenis pohon hutan ini terdapat di sekitar desa ini.

Sumber daya daratan la-innya adalah sumber daya per-kebunan. Sumber daya perke-bunan adalah salah satu bentuk pemanfaatan lahan sebagai sumber kehidupan. Salah satu sumber daya perkebunan di Mentawai adalah kebun kelapa (cocos nucifera). Kebun ta-naman kelapa hampir dijumpai di daratan di daerah penelitian. Tanaman kelapa adalah tana-

man komoditi bagi penduduk Men-tawai karena menghasil-kan kopra. Kopra adalah salah satu hasil bumi Pulau Menta-wai. Kebun tanaman kelapa juga dimanfaatkan penduduk untuk membuat minyak go-reng. Pemanfaatan buah kelapa untuk bahan baku pembuatan minyak goreng memungkinkan penduduk Mentawai tidak tergantung pada pasokan minyak goreng dari luar.

Sumber daya darat lainnya yang dikembangkan penduduk Mentawai adalah kebun cokelat. Kebun cokelat merupakan tanaman komoditi walaupun po-tensinya tidak sebesar komoditi kopra yang sudah lama diusa-hakan di Mentawai. Tanaman nilam merupakan sumber daya pertanian rakyat yang dapat memberikan penghasilan bagi pen-duduk. Panen tanaman nilam dapat dilakukan 2 -3 kali hingga mencapai 6 kali setiap tahun.

15

Gambar 2.8 : Perladangan Penduduk

Gambar 2.7 : Kebon Cokelat

Di Saliguma terdapat, kawasan hutan yang memiliki potensi yang masih besar. Hutan ini dahulu pernah diusahakan oleh perusahaan kayu, namun saat ini sudah tidak ada perusahaan kayu yang beroperasi di Saliguma. Selain kayu, hutan Saliguma juga memiliki potensi manao dan di sepanjang garis pantai Teluk Sarabua + 3 km ditumbuhi oleh hutan bakau yang lebat dan kondisinya relatif lebih baik. Selain itu, sektor pertanian de-ngan membuka persawahan dan perladangan juga merupakan potensi sumber alam daratan yang dikembangkan di lokasi penelitian. Misalnya tanaman jagung adalah tana-man palawija yang dikem-bangkan penduduk di Saliguma.

2.3. Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi • Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan di lokasi penelitian masih

terbatas pendidikan dasar. Di Desa Saibi Samukop terdapat 5 unit SD, masing-masing dusun satu unit, sementara di Saliguma hanya memiliki satu unit SD (Tabel 2.1 dan 2.2 lampiran 2). Di lokasi penelitian bangunan SD umumnya milik pemerintah, sedangkan TK (Taman Kanak-kanak) dikembangkan oleh yayasan swasta. Lulusan

16

SD jika ingin melanjutkan ke sekolah lanjutan, SLTP dan SLTA harus di kota kecamatan, Muara Siberut, yang tidak mungkin ditempuh setiap hari melalui transportasi laut. Oleh sebab itu, dengan kondisi seperti itu tidak semua lulusan SD dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena memerlukan biaya tambahan, yakni biaya makan dan indekos. Pada umumnya mereka yang dapat melanjutkan ke SLTP atau SLTA penduduk yang mampu atau sekurang-kurangnya mereka yang memiliki famili di Muara Siberut. Ada juga fasilitas indekos yang lebih murah, yakni asrama milik Yayasan Katholik di Muara Siberut, namun tidak semua siswa berkesempatan mendapat fasilitas ini karena keterbatasan kamar.

• Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang terdapat di setiap desa adalah Puskesmas Pembantu (Pustu) (Tabel 2.1.dan 2.2 lampiran 2). Walaupun Pustu tersebut belum memiliki tenaga dokter, namun pemerintah telah menyediakan tenaga bidan dan mantri kesehatan. Mereka telah disediakan rumah dinas. Pelayanan Puskesmas dilakukan setiap saat, sebab tenaga mantri kesehatan dan bidan rumah tinggalnya berdekatan dengan Puskesmas tempat praktek. Tenaga dokter hanya berada di Muara Siberut, ibu kota kecamatan. Sebenarnya sarana kesehatan yang disediakan pemerintah tersebut hanya merupakan salah satu pilihan untuk berobat. Di samping itu, ada pilihan lain, yakni pengobatan tradisional. Di setiap desa ada tenaga kesehatan tradisional yang dipercaya mampu mengobati penyakit. Namun demikian, agak sulit mengetahui kapan warga desa berobat ke puskesmas dan berobat ke tenaga kesehatan tradisional, atau sering disebut sikere/ dukun kampung. Wawancara dengan informan diperoleh informasi bahwa penduduk yang berobat ke sikere biasanya orang yang menderita sakit tidak sembuh-sembuh karena dipercaya kemasukan roh jahat atau dibikin orang. Penyakit yang sering diderita masyarakat adalah diare dan ispa, penyakit ini disebabkan kondisi lingkungan – kekurangan air bersih dan kurang menjaga kebersihan makanan. Penyakit para nelayan umumnya

17

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang

adalah gastritis – penyakit perut yang disebabkan oleh sering terlambat makan; rematik – sering menyelam di laut dalam untuk mencari tripang; asma – bergadang di laut; luka harus dioperasi - terkena mata pancing. Fasilitas yang dikeluhkan oleh tenaga medis di Pustu tersebut adalah belum tersedianya oksigin dan inkubator.

• Sosial-Ekonomi

Prasarana sosial-ekonomi yang dimaksudkan di sini a-dalah infrastruktur yang di-gunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan aktivi-tas sosial-ekonomi, seperti pasar, dermaga, kedai dll. Sedangkan, pengertian sara-na sosial-ekonomi adalah perlengka-pan yang dibutuh-kan untuk memenuhi kebu-tuhan sosial-ekonomi. Ber-dasarkan dari pengertian ter-

sebut, maka prasarana sosial ekonomi di daerah penelitian dapat di-katakan sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat di dua desa lokasi penelitian, tidak ada dermaga (permanen) de-sa yang dibangun pemerintah untuk mobilitas sosial-ekonomi perdesaan. Dermaga yang ada hanya dermaga non-permanen yang tersebar di masing-masing permukiman penduduk. Dermaga perahu di desa pada dasarnya dibangun dari swadaya masyarakat. Masing-masing masyarakat cenderung membangun dermaga - tempat bersandar perahu sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kedekatan dengan tempat tinggal dan kondisi pasang-surut air laut.

18

Gambar 2.11:Sarana mobilitas antar

rumah/kampung

Gambar 2.10: Sarana Transportasi

Prasarana sosial-eko-nomi terpusat di Desa Muara Siberut, yakni ibukota keca-matan Siberut Selatan. Di Mu-ara Siberut terdapat pasar ting-kat kecamatan yang cukup ra-mai terutama pada hari pasar. Prasarana sosial-ekonomi lain-nya adalah pelabuhan yang di-gunakan tempat perahu yang bersandar dari berbagai desa di

Kecamatan Siberut Selatan dan tempat bersandar kapal penumpang yang datang dari Padang dan Tua Pejat. Prasarana dermaga ini juga tempat berlabuh kapal-kapal yang mengang-kut hasil bumi yang dibawa ke kota Padang. Di setiap desa lokasi penelitian tidak terda-pat pasar desa. Prasarana ekonomi yang ada hanya berupa kedai-kedai/warung. Kedai tersebut melayani kebutuhan pokok penduduk, seperti sembako (sembilan bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga lainnya, termasuk menyediakan BBM).

Sarana sosial-ekonomi yang paling banyak digunakan pendu-duk adalah jenis perahu motor ber-ukuran besar-jenis perahu yang dapat menam-pung sekitar 6-7 orang. Jenis perahu motor ini untuk meng-angkut sebagai sarana mobi-litas penduduk desa ke desa lain atau ke Muara Siberut. Jenis pe-rahu motor ini belum dimiliki oleh setiap penduduk. Jenis perahu ini biasanya hanya dimiliki penduduk

yang mengusahakan warung kebutuhan bahan pokok di desa. Jadi perahu motor tersebut selain untuk mengangkut barang dagangan, juga sebagai sarana transportasi penduduk.

19

Gambar 2.12 : Kelembagaan Pokmas

Sarana sosial-ekonomi lainnya adalah jenis perahu sampan yang digunakan untuk memancing ikan di sungai, muara sungai atau tepi pantai. Perahu sampan ini dimiliki hampir setiap rumah tangga penduduk di desa penelitian. Perahu sampan pada umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke rumah atau pergi ke kebun. Perahu sampan juga digunakan para nelayan perempuan untuk mencari ikan di dekat pantai atau dekat hutan bakau. Pada umumnya para nelayan perempuan tersebut menangkap ikan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk rumah tangga sendiri.

• Kelembagaan sosial-ekonomi

Selain kelembagaan sosial - kemasyarakatan yang berkembang di lokasi penelitian, seperti kelompok Ibu-ibu PKK, kelompok Pemuda Karang Taruna, kelompok Pemuda Protestan, dan kelompok Muda-mudi Katholik (Mudika), terdapat pula kelompok

yang merupakan himpunan warga berdasarkan kegiatan mata pencaharian. Dibanding-kan dengan kelembagaan sosial – kemasyarakatan, ke-lembagaan sosial – ekonomi berkembang berhubungan de-ngan program pember-dayaan di desa ini, seperti program COREMAP. Dari program ini telah disiapkan pembentukan kelembagaan pengelolaan te-rumbu karang. Berbentuk

beberapa kelompok masyarakat akan terlibat langsung dalam kegiatan COREMAP di Desa Saliguma. Kelompok-kelompok tersebut, misalnya Kelompok Nelayan Pancing Sikebbukat, Kelompok Nelayan Pancing Simatoiming, Kelompok Nelayan Pancing Suka Maju dan Kelompok Tani Coklat.

20

21

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

agian ini membahas tentang bagaimana pengelolaan sumber daya laut daerah penelitian. Pembahasan meliputi pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat Desa

Saibi Samukop dan Saliguma terhadap terumbu karang. Kemudian bagaimana pemanfaatan dari sumber daya laut tersebut, di mana saja wilayah pengelolaannya, teknologi yang dimiliki dan dikuasai oleh para masyarakat. Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut dan juga membahas program-program COREMAP yang telah masuk di desa-desa penelitian.

3.1. Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Terumbu Karang

Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah pantai atau

sebagai masyarakat pesisir, umumnya masyarakat mengetahui bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup. Jumlah mereka yang mengetahui hal itu secara umum sangat besar, yaitu sekitar 80 persen (Gambar 31). Apabila dilihat di masing-masing desa adalah sebanyak 70 persen di Saliguma dan 89,8 persen di Saibi Samukop (Tabel 3.1 lampiran 2). Meskipun demikian sangat disayangkan masih ada beberapa yang belum mengetahui bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup, karena idealnya mereka yang bermukim di wilayah pesisir mengetahui hal itu.

B

22

Gambar 3.1 : Diagram Pengetahuan Resp.TK sbg Makhluk Hidup,

Saliguma & S. Samukop, 2007

80%

3%

17%

YaTidakTak tahu

Walaupun umumnya masyarakat mengetahui bahwa terumbu

karang itu sebagai makhluk hidup, namun hanya sebagian kecil yang mengetahui bahwa terumbu karang itu merupakan jenis hewan (Gambar 3.2). Di Saibi Samukop yang mengetahui hal itu hanya 17,8 persen, bahkan di Saliguma sama sekali tidak ada yang mengetahuinya. Di Saliguma sebagian besar (42,9 persen) beranggapan bahwa terumbu karang adalah jenis tumbuh-tumbuhan. Sedangkan di Saibi Samukop sebagian besar (60 persen) menganggap jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan. (Tabel 3.2 lampiran 2). Hal itu menunjukkan bahwa ternyata masih ada keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang sumber daya laut yang berupa terumbu karang.

23

Gambar 3.2 : Diagram Pengetahuan Resp. Jenis Mahluk Hidup Terumbu

Karang, Saliguma & S. Samukop, 2007

11%

28%

46%

15%

HewanTumbuh2anHw & Tb anTak tahu

Hampir keseluruhan (99 persen) masyarakat yang diwawancarai mengaku mengetahui kegunaan terumbu karang. Meskipun demikian di Desa Saliguma, tidak semuanya mengetahui berbagai jenis kegunaan terumbu karang, bahwa terumbu karang itu sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan yang mengetahui sebanyak 96 persen. Sementara di Saibi Samukop semua responden mengetahuinya. Begitu pula bahwa terumbu karang itu melindungi keragaman ikan dan biota laut yang lain, walaupun sebagian besar responden di dua desa mengetahuinya, namun masih ada beberapa yang tidak mengetahuinya, yaitu masing-masing 4 persen di Saliguma dan 2 persen di Saibi Samukop. Selain itu, tidak semua responden mengetahui bahwa terumbu karang itu berfungsi untuk melindungi pantai dari ombak dan badai, sebagai sumber bahan baku untuk keperluan sendiri, sumber pendapatan masyarakat dan sebagai tempat wisata.

24

Tabel 3.1 : Pengetahuan Fungsi Terumbu Karang, Desa Saliguma dan Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma

Desa Saibi Samukop

No.

Fungsi Ya

(persen)Tidak

(persen)Jumlah (persen)

Ya (persen)

Tidak (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1

2

3

4

5

6

Tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan

Melindungi keragaman ikan/biota laut

Melindungi pantai dari ombak dan badai

Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri

Sumber pendapatan masyarakat

Tempat wisata

96,0

96,0

88,0

86,0

54,0

20,0

4,0

4,0

12,0

14,0

46,0

80,0

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0

(N=50)

100,0

98,0

100,0

78,0

78,0

74,0

-

2,0 -

22,0

22,0

26,0

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0

(N=50)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Lebih dari separo (53 persen) masyarakat daerah penelitian mengatakan bahwa kondisi terumbu karang di sekitarnya sudah kurang baik. Hanya sekitar 7 persen yang mengatakan bahwa terumbu karang di sekitarnya masih dalam kondisi baik. Dilihat masing-

25

masing desa, persentase masyarakat yang melaporkan kondisi terumbu karang di sekitarnya sudah kurang baik ternyata cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di daerah penelitian memang sudah banyak yang mengalami kerusakan. Hal yang agak aneh adalah masyarakat di Saliguma cukup tinggi proporsi yang tidak mengetahui kondisi terumbu karang di perairan di sekitar desa mereka (46 persen). Proporsi mereka yang mengetahui bahwa kondisi karang kurang baik cukup besar, yaitu 34 persen. Sementara di Saibi Samukop, yang tidak mengetahui kondisi terumbu karang di perairan di sekitar desa mereka persentasenya sangat kecil, yaitu hanya 6 persen. Sedangkan sebagian besar (72 persen) masyarakat berpandangan bahwa kondisi terumbu karang di perairan di sekitar desa mereka tergolong kurang baik. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat di Saibi Samukop terhadap kondisi terumbu karang di perairan sekitar desa mereka cenderung lebih baik dibandingkan dengan masyarakat Desa Saliguma.

Gambar 3.3 :

Diagram Pengetahuan Kondisi TK Sekitar Desa, Saliguma & S. Samukop, 2007

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

BaikKurang baikRusakSangat rusakTak tahu

Baik masyarakat di Saliguma maupun di Saibi Samukop,

sebagian besar berpandangan bahwa terumbu karang yang ada saat ini

26

perlu dilestarikan atau diperbaiki (Gambar 3.4). Jumlah mereka yang berpandangan demikian masing-masing sebesar 64 persen di Saliguma dan 98 persen di Saibi Samukop (Tabel 3.5 lampiran 2). Pandangan itu didasarkan pada kondisi riil terumbu karang yang ada, yang memang sudah banyak mengalami kerusakan.

Gambar 3.4 :

Diagram Pendapat TK Saat ini Perlu Diperbaiki/Dilestarikan, Saliguma & S. Samukop, 2007

81%

1%

18%

YaTidakTak tahu

Beberapa alat tangkap termasuk dalam kategori tidak ramah

lingkungan, dan dilarang oleh pemerintah. Alat tangkap itu antara lain adalah bom, potasium dan trawl. Dari wawancara dengan beberapa nelayan ternyata mereka umumnya mengetahui tentang efek merusak dari ketiga alat tersebut. Bom dikatakan sebagai alat tangkap yang merusak, karena ledakannya dapat menghancurkan terumbu karang yang ada di sekitarnya, dan dapat mematikan segala jenis ikan yang tidak jauh dari tempat pengeboman. Potasium dianggap merusak, karena obat yang digunakan dapat mematikan karang yang ada,

27

sehingga karang memutih. Walaupun bom tingkat kerusakannya sangat tinggi, namun menurut masyarakat penggunaan potasium memiliki efek kerusakan yang lebih meluas. Hal itu karena potasium yang digunakan itu tersebar terbawa arus, sehingga karang yang terlewati oleh arus itu akan memutih dan mati. Hal itu berbeda dengan bom, yang walaupun kerusakannya lebih tinggi, namun hanya bersifat lokal. Adapun trawl dianggap merusak, karena mata jaringnya yang kecil sehingga ikan yang kecil-kecil ikut terangkat. Selain itu, pemberat besi yang terdapat di jaring juga merusak terumbu karang pada saat ditarik, karena karang yang terkena trawl itu menjadi patah dan rusak.

Walaupun ketiga alat tangkap tersebut memiliki efek yang merusak, namun ternyata tidak semua responden mengetahuinya. Di Saliguma, jumlah responden yang mengetahui bahwa bom, sianida dan trawl merupakan alat yang merusak masing-masing sebesar 74 persen, 66 persen dan 70 persen. Di Saibi Samukop kondisinya agak berbeda. Untuk bom dan sianida, seluruh responden (100 persen) mengetahui bahwa kedua alat tangkap tersebut merusak terumbu karang. Namun terkait dengan trawl sebanyak 27,1 persen tidak mengetahuinya. Gambaran selengkapnya tentang pandangan responden apakah suatu jenis alat tangkap dapat merusak terumbu karang, dapat dilihat pada Table 3.2.

28

Tabel 3.2: Pengetahuan Alat Tangkap Merusak Terumbu Karang, Desa Saliguma dan

Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma

Desa Saibi Samukop

No

Fungsi Ya (persen)

Tidak (persen)

Jumlah (persen)

Ya (persen)

Tidak (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1

2

3

4

5

6

7

8

9

Bom Bagan tancap

Bagan apung

Sianida/ racun/ tuba

Bubu/ perang kap

Trawl/ pukat harimau/p.ular/ lampara dasar

Jaring apung Pancing Tombak /panah

74,0

58,0

40,0

66,0

54,0

70,0

30,0

22

22

26,0

42,0

60,0

34,0

46,0

30,0

70,0

78

78

100,0

(N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0

(N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0

(N=50)

100,0

88,0

22,0

100,0

26,0

72,9

10,4

2,1

8,5

-

12,0

78,0 -

74,0

27,1

89,6

97,9

91,5

100,0

(N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

100,0

(N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=48)

100,0 (N=48)

100,0

(N=48)

100,0 (N=47)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

29

Baik di Saliguma maupun di Saibi Samukop, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju terhadap pengambilan karang hidup. Jumlah mereka yang berpendapat demikian masing-masing sebesar 76 persen. Adapun terhadap pengambilan karang mati, sebagian besar responden di Saibi Samukop juga tidak setuju (76 persen). Adapun di Saliguma yang tidak setuju jumlahnya sangat kecil, yaitu hanya 12 persen (Tabel 3.3). Hal itu menunjukkan bahwa bagi masyarakat Saliguma, pengambilan karang itu tidak menjadi masalah, asal yang diambil bukan karang hidup. Menurut beberapa nelayan yang diwawancarai, pengambilan karang hidup akan berakibat pada kerusakan terumbu karang, dan berkurangnya populasi ikan. Hal itu dikhawatirkan akan berdampak pada berkurangnya pendapatan nelayan. Meskipun demikian, diakui oleh banyak nelayan, bahwa sulit mengontrol apakah masyarakat itu mengambil karang hidup atau karang mati.

Tabel 3.3 : Pendapat Mengenai Pengambilan Karang, Desa Saliguma dan Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, 2007

No. Desa Jenis Karang Jawaban Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) Setuju - Tidak setuju 76,0

Karang hidup

Tidak berpendapat 24,0 Jumlah 100,0 (N=50)

Setuju 34,0 Tidak setuju 12,0

Karang mati

Tidak berpendapat 54,0

1 Saliguma

Jumlah 100,0 Setuju - Tidak setuju 76,0

Karang hidup

Tidak berpendapat 24,0 Jumlah 100,0 (N=50)

Setuju 2,0 Tidak setuju 76,0

Karang mati

Tidak berpendapat 22,0

2 Saibi Samukop

Jumlah 100,0 (N=50) Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

30

Sebagian besar penduduk di Saliguma (66 persen) mengetahui bahwa ada larangan pengambilan dan perusakan terumbu karang. Meskipun demikian di Saibi Samukop jumlah yang tidak mengetahuinya lebih besar daripada yang mengetahuinya, yaitu 56 persen (Tabel 3.4). Bagi yang mengetahui keberadaan larangan tersebut, di Saliguma seluruh penduduk menyetujuinya, sedangkan di Saibi Samukop yang setuju terhadap larangan itu hanya sebesar 63,6 persen (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 : Pengetahuan Keberadaan Peraturan Larangan Pengambilan dan Perusakan Terumbu Karang, dan Pendapat Mengenai Peraturan, Desa Saliguma dan

Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma

Desa Saibi Samukop

No

Pengetahuan dan

Persetujuan

Keberadaan Peraturan (persen)

Pendapat mengenai peraturan (persen)

Keberadaan Peraturan (persen)

Pendapat mengenai peraturan (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

I

Mengetahui: 1. Ya 2. Tidak Jumlah:

66,0 34,0 100,0

(N=50)

- - -

44,0 56,0

100,0 (N=50)

- - -

II Persetujuan: 1. Setuju 2. Tak setuju 3. Tak berpe

ndapat Jumlah:

- - - -

100,0 - -

100,0 (N=33)

- - - -

63,6 22,7

13,6 100,0

(N=22) Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel,2007

Tidak semua masyarakat mengetahui adanya larangan pengambilan/ perusakan terumbu karang dan ada sanksi yang menyertainya. Secara umum sebagian besar masyarakat tidak mengetahui adanya sanksi/ hukuman bagi mereka yang mengambil/

31

merusak terumbu karang (Gambar 3.5) . Hal itu tampak pada jumlah yang mengetahui adanya sanksi itu hanya sebesar masing-masing 36,4 persen di Saliguma dan 13,6 persen di Saibi Samukop. Sementara sebagian besar dari masyarakat ternyata tidak mengetahui adanya sanksi bagai mereka yang mengambil/ merusak terumbu karang (Tabel 3.9 lampiran 2). Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa sosialisasi masalah peraturan pelarangan perusakan terumbu karang itu belum berjalan.

Gambar 3.5 :

Diagram Pengetahuan Resp. Adanya Sanksi Bagi Perusak TK, Saliguma & S. Samukop, 2007

27%

57%

16%

Ya

Tidak tahu

Tak jawab

Sebagian besar penduduk, baik di Saliguma maupun di Saibi

Samukop, mengaku bahwa dalam setahun terakhir tidak mengambil karang hidup. Begitu pula yang mengaku mengambil karang mati dalam setahun terkahir, jumlahnya juga kecil, yaitu hanya 6 persen di Saliguma dan 38 persen di Saibi Samukop ( Tabel 3.5). Itu menunjukkan bahwa penggunaan terumbu karang di dua desa tersebut tidak banyak dilakukan oleh masyarakat.

32

Tabel 3.5 : Pengambilan Karang dalam Satu Tahun Terakhir,

Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Jenis Karang

Pengambilan

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

(1) (2) (3) (4) Karang hidup Ya 2,0 2,0 Tidak 98,0 98,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

Karang mati Ya 6,0 38,0 Tidak 94,0 62,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Pada saat ini pemerintah telah melarang penggunaan jenis alat tangkap tertentu, seperti bom, sianida dan trawl, untuk menangkap ikan. Alasannya adalah karena alat-alat tersebut dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Meskipun demikian, tidak semua responden mengetahui bahwa ketiga alat tersebut merupakan alat tangkap yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah. Di Saliguma, larangan yang paling banyak diketahui responden adalah yang terkait dengan penggunaan bom (64 persen), disusul dengan sianida (56 persen) dan trawl (48 persen). Adapun di Saibi Samukop, yang paling banyak diketahui adalah larangan penggunaan sianida (74 persen), disusul dengan penggunaan bom (52 persen) dan trawl (38 persen) (Tabel 3.6).

33

Tabel 3.6 : Pengetahuan Larangan Pemerintah Menggunakan Peralatan Tertentu untuk

Menangkap Ikan, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma

Desa Saibi Samukop

No

Jenis

Peralatan yang

Dilarang

Ya

(persen)

Tidak (pers)

Jumlah (persen)

Ya

(persen

Tidak (pers)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 2 3

Bom Sianida/racun/ potas Pukat harimau/ trawl/ pukat ular

64,0

56,0

48,0

36,0

44,0

52,0

100,0

(N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

52,0

74,0

38,0

48,0

26,0

62,0

100,0

(N=50)

100,0 (N=50)

100,0 (N=50)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007 Catatan : pers = persen

Dengan memperhatikan Tabel 3.6 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah mengetahui adanya larangan penggunaan bom, sianida dan trawl untuk menangkap ikan. Meskipun demikian, patut disayangkan karena jumlah yang belum mengetahui larangan tersebut masih cukup besar juga. Itu menunjukkan bahwa sosialisasi tentang hal itu masih kurang dilakukan.

Penduduk yang mengetahui bahwa bom, sianida dan trawl itu merupakan alat tangkap yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah, tidak semuanya setuju adanya larangan tersebut. Mereka yang tidak setuju larangan penggunaan bom, di Saliguma sebesar 9,4 persen dan di Saibi Samukop 7,4 persen. Begitu pula jumlah mereka yang tidak setuju dengan larangan penggunaan potasium, di Saliguma sebesar 7,1 persen dan di Saibi Samukop 24,3 persen. Adapun

34

larangan penggunaan trawl, jumlah yang tidak setuju cukup besar, yaitu 16,7 persen di Saliguma dan 42,1 persen di Saibi Samukop (Tabel 3.7). Masyarakat yang tidak setuju terhadap larangan penggunaan ketiga alat tangkap tersebut alasannya adalah karena alat tangkap bom dan potasium terutama, merupakan alat yang efektif untuk menangkap ikan. Bagi mereka hal itu tidak perlu dilarang, kecuali ada penggantinya. Adapun yang tidak setuju terhadap larangan penggunaan trawl, karena di wilayah mereka memang tidak ada trawl, sehingga larangan itu dianggap tidak berguna. Argumen yang dikemukakan masyarakat tersebut menunjukkan bahwa mereka masih kurang memahami dampak negatif yang diakibatkan oleh penggunaan ketiga alat tersebut.

Tabel 3.7 : Pendapat Mengenai Larangan Pemerintah Menggunakan Peralatan Tertentu untuk Menangkap Ikan Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa

Saliguma Desa

Saibi Samukop

No.

Jenis

Peralatan yang Dilarang

Setuju (pers)

Tidak Setuju (pers)

Jumlah

(pers)

Setu ju (pers)

Tidak Setuju (pers)

Jumlah

(pers) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1

2

3

Bom Sianida/racun Pukat harimau/ trawl/ pukat ular

90,6

92,9

83,3

9,4

7,1

16,7

100,0 (N=32) 100,0 (N=28) 100,0 (N=24)

92,6

75,7

57,9

7,4

24,3

42,1

100,0 (N=27) 100,0 (N=37) 100,0 (N=19)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007 Catatan : pers = persen

Terkait dengan adanya sanksi terhadap pelanggar larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan untuk menangkap ikan, umumnya responden masih banyak yang tidak mengetahuinya. Larangan penggunaan bom misalnya, mereka yang tidak mengetahui adanya sanksi bagi pelanggarnya cukup besar, yaitu masing-masing sebesar 40,6 persen di Saliguma dan 44,4 persen di

35

Saibi Samukop. Untuk penggunaan sianida dan trawl, di Saliguma jumlah yang tidak mengetahui adanya sanksi juga besar, yaitu masing-masing 35,7 persen dan 54,2 persen. Adapun di Saibi Samukop, jumlah yang tidak mengetahui adanya sanksi untuk pelanggar kedua hal tersebut juga besar, yaitu masing-masing 67,6 persen untuk sianida dan 47,4 persen untuk pukat harimau (Tabel 3.8). Semua itu menunjukkan bahwa walaupun di dua desa tersebut sudah ada program COREMAP, namun sosialisasi tentang hal tersebut masih sangat kurang.

Tabel 3.8 :

Pengetahuan tentang Sanksi Melanggar Larangan Pemerintah Menggunakan Peralatan Tertentu untuk Menangkap Ikan, Desa Saliguma dan Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma

Desa Saibi Samukop

No.

Jenis Peralatan

yang Dilarang

Ya

(per s)

Tidak (per s)

Tidak Jawab (per s)

Juml

(per s)

Ya

(per s)

Tidak (per s)

Tidak Jawab (per s)

Juml

(per s) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (8) (9) 1

2

3

Bom Sianida/ racun/ potas Pukat harimau/ trawl/pu kat ular

56,3

57,1

37,5

40,6

35,7

54,2

3,1

7,1

8,3

100,0

(N=32)

100,0

(N=28)

100,0 (N=24)

48,1

29,7

47,4

44,4

67,6

47,4

7,4

2,7

5,3

100,0

(N=27)

100,0

(N=37)

100,0 (N=19)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007 Catatan : pers = persen

Walaupun umumnya masyarakat mengetahui dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh bom, namun ternyata masih ada yang menggunakannya untuk menangkap ikan. Hal itu tercermin pada jawaban responden di Saliguma, yang menunjukkan bahwa 4 persen mengaku pernah melihat orang lain menggunakan bom untuk

36

menangkap ikan dalam satu tahun terakhir. Bahkan yang mengaku menggunakan sendiri jumlahnya sangat besar, yaitu 98 persen. Kondisi yang sama juga terjadi di Saibi Samukop, jumlah yang mengaku bahwa dalam satu tahun terakhir masih menggunakan bom untuk menangkap ikan juga sangat besar, yaitu 98 persen (Tabel 3.9). Semua itu menunjukkan bahwa tingkat pemakaian bom untuk menangkap ikan masih cukup tinggi di wilayah ini.

Tabel 3.9 : Penggunaan Bom untuk Menangkap Ikan dalam Satu Tahun Terakhir Desa

Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma

Desa Saibi Samukop

No.

Penggunaan Orang lain

(persen)

Dirinya sendiri

(persen)

Orang lain

(persen)

Dirinya sendiri

(persen) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 2 3

Ya Tidak Tidak menjawab

4,0 86,0 10,0

98,0 2,0

-

18,0 80,0

2,0

98,0 -

2,0 Jumlah

(N) 100,0

(50) 100,0

(50) 100,0

(50) 100,0

(50) Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Jika tingkat penggunaan bom untuk menangkap ikan salam satu tahun terakkhir masih cukup tinggi, maka tidak demikian dengan penggunaan sianida. Di Saliguma, seluruhnya mengaku bahwa dalam satu tahun terakhir tidak menggunakan sianida untuk menangkap ikan. Memang mereka pernah melihat orang lain menangkap ikan dengan sianida, namun yang mengaku seperti itu jumlahnya juga kecil, yaitu hanya 12 persen. Adapun di Saibi Samukop, walaupun ada yang mengaku menggunakan sianida untuk menangkap ikan dalam tahun terakhir, namun jumlahnya juga sangat kecil, yaitu hanya 2 persen. Meskipun demikian, yang mengaku pernah melihat orang lain menggunakan sianida tersebut jumlahnya cukup besar, yaitu 38 persen.

37

Tabel 3.10 : Penggunaan Sianida untuk Menangkap Ikan dalam Satu Tahun Terakhir,

Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Desa Saliguma

Desa Desa Saibi Samukop

No Penggunaan Sianida

Orang lain

(persen)

Dirinya sendiri

(persen)

Orang lain

(persen)

Dirinya sendiri

(persen) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 2 3

Ya Tidak Tidak menjawab

12,0 86,0 2,0

- 100,0

-

38,0 56,0 6,0

2,0 98,0

- Jumlah

(N) 100,0

(50) 100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (50)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007 Dalam hal penggunaan pukat harimau, dalam satu tahun

terakhir di Saliguma juga tidak ada yang menggunakannya. Meskipun demikian, yang mengaku pernah melihat orang lain menggunakannya sangat besar, yaitu 98 persen. Adapun di Saibi Samukop, ada 2 persen yang mengaku pernah menggunakannya dalam satu tahun terakhir, dan yang mengaku pernah melihat orang lain menggunakannya juga tidak banyak, yaitu hanya 20 persen.

Tabel 3.11: Penggunaan Pukat Harimau/Trawl untuk Menangkap Ikan dalam Satu Tahun

Terakhir, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

Desa Saliguma Desa Saibi Samukop No.

Penggunaan Pukat

Harimau/ Trawl

Orang lain

(persen)

Dirinya sendiri

(persen)

Orang lain

(persen)

Dirinya sendiri

(persen) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 2 3

Ya Tidak Tidak menjawab

96,0 4,0 -

- 98,0 2,0

20,0 78,0 2,0

2,0 96,0 2,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (50)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

38

Baik di Saliguma maupun di Saibi Samukop, sebagian besar penduduk menyatakan bahwa belum ada peraturan adat tentang pengelolaan sumber daya laut di desa mereka. Jumlah yang menyatakan demikian sangat besar, yaitu masing-masing 44 persen di Saliguma dan 86 persen di Saibi Samukop. Selebihnya, di Saibi Samukop sebanyak 14 persen mengaku tidak tahu, dan di Saliguma yang mengaku tidak tahu sebesar 54 persen. Hal itu sangat sesuai dengan hasil wawancara, yang menunjukkan bahwa di dua desa tersebut memang tidak ada peraturan adat tentang pengelolaan sumber daya laut.

Satu-satunya peraturan adat yang terkait dengan hal itu hanyalah hak ulayat tanah, yang memiliki implikasi terhadap pemanfaatan batu karang di laut. Di dua desa tersebut, setiap suku memiliki hak ulayat tanah. Terkait dengan itu, maka semua sumber daya yang ada di wilayah adat suku itu tidak boleh dimanfaatkan oleh orang dari suku lain, kecuali ada ijin dari suku yang berasangkutan. Oleh karena hak ulayat tanah tersebut juga termasuk kawasan pesisir, maka pasir dan terumbu karang yang berada di pesisir yang merupakan bagian dari hak ulayat tanah yang dimiliki oleh suatu suku juga tidak boleh diambil oleh suku lain. Karena itulah maka pengambilan pasir atau terumbu karang di wilayah laut yang dangkal harus seijin suku pemiliknya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa masyarakat memiliki peraturan adat yang berkaitsan dengan laut.

Tabel 3.12 : Keberadaan Peraturan Adat tentang Pengelolaan Sumber Daya Laut, Desa Saliguma

dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No. Keberadaan Peraturan

Adat

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi Samukop

(persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) 1 2 3

Ada Tidak ada Tidak tahu

2,0 44,0 54,

- 86,0 14,0

1,0 65,0 34,0

Jumlah (N) 100,0 (50) 100,0 (50) 100,0 (100) Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

39

Di Saliguma, sebagian besar responden (72 persen) menganggap perlu adanya peraturan adat untuk pengelolaan sumber daya laut di wilayahnya. Adapun di Saibi Samukop yang berpandangan demikian jumlahnya lebih kecil, yaitu sebesar 44 persen. Adapun yang dimaksud peraturan adat bagi masyarakat adalah peraturan yang berasal dari masyarakat berdasarkan musyawarah antar warga. Adanya pandangan yang demikian, maka pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat akan lebih mudah diterima oleh masyarakat di dua desa tersebut.

Gambar 3.6 : Diagram Perlu Peraturan Adat Pengelolaan SDL,

Saliguma & S. Samukop, 2007

58%3%

19%

YaTidak Tak jawab

3.2. Pemanfaatan

Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya, sebagian besar penduduk di Desa Saibi Samukop dan Saliguma bukan nelayan murni melainkan nelayan sambilan. Oleh sebab itu, kegiatan menangkap ikan bukan sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan bergantian waktunya dengan kegiatan bercocok tanam. Pada umumnya kegiatan mencari ikan dilakukan pada sore hari sedangkan berladang dilakukan pada pagi hari. Jadi

40

dengan demikian, intensitas pemanfaatan sumber daya laut dapat dikatakan masih berorientasi untuk kebutuhan makan. Orientasi pemanfaatan yang masih subsisten ini dikarenakan teknologi pemanfaatan masih sederhana, dan pasar ikan belum berkembang. Di Siberut Selatan tidak terdapat sarana dan prasarana perikanan, seperti Tempat Pelelangan Ikan maupun Pelabuhan Pendaratan Ikan. Sungguhpun demikian, sejak adanya pengusaha ikan karang yang menampung hasil tangkapan banyak nelayan yang tertarik untuk memasok ikan karang walaupun tidak ada ”ikatan dagang” di antara mereka.

3.3. Wilayah Pengelolaan

Wilayah tangkap nelayan di kedua desa ini berada di sekitar Teluk Sabarua. Wilayah pengelolaan tidak sampai di perairan yang jauh karena alat tangkap sebagian besar masih berupa pancing (lihat subbab teknologi). Selain itu, nelayan di kedua desa tidak mempunyai wilayah tangkap yang diakui sebagai hak ulayat laut. Dengan adanya wilayah perairan di sekitar desa yang dijadikan Daerah Perlindungan Laut, maka desa telah diperkenalkan konsep pemilikan wilayah tangkap yang sebelumnya tidak dikenal. Proses memperkenalkan pemilikan wilayah tangkap tidak sekedar mengintroduksi konsep kepemilikan sumber daya laut melainkan pula kelembagaan sosial atau pranata sosial yang melekat pada konsep kepemilikan.

3.4. Teknologi

Teknologi penangkapan yang digunakan pada umumnya adalah jaring, pancing, dan bagan dalam menangkap ikan. Ketiga jenis alat tangkap ini adalah teknologi pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir sebagai bentuka adaptasi terhadap lingkungan. Sebagai contoh adalah jaring kepeting. Alat tangkap ini berkembang karena di daerah ini terdapat ekosistem hutan baka pasang surut. Salah satu sumberdaya yang terdapat di lingkungan seperti ini adalah kepiting.

41

Gambar 3.7: Alat tangkap kepiting

Gambar 3.8: Teknologi Budidaya Kepiting

Belakangan ini terutama sejak adanya program Coremap di desa ini, diperkenalkan teknologi budidaya kepting bakau. Pengembangan

teknologi ini bisa dimengerti karena di lokasi ini banyak dijumpai kepiting. Namun demikian, introduksi teknologi budidaya kepiting ini belum bisa dikatakan gagal karena sekarang budidaya ini belum berjalan.

Jaring adalah jenis teknologi penangkapan yang sebatas untuk menangkap berbagai jenis ikan yang berada di pinggiran sungai, muara sungai ata pantai. Jadi jenis jaring yang berkembang adalah jenis jaring gill-net. Penduduk belum bisa mengembangkan jaring seperti purse seine yang diperasikan di tengah laut, seperti yang dilakukan nelayan dari Sibolga atau Padang. Sedangkan pancing juga termasuk jenis alat tangkap yang dikategorikan sederhana karena untuk mengoperasikannya cukup menggunakan perahu sampan-perahu tanpa motor. Jenis pancing seperti ini dikenal pancing jenis Pull-Line.

Gambaran masih sederhana teknologi pemanfaatan sum-berdaya laut maka aktivitas penangkapan ikan di daerah ini tidak hanya monopoli kaum lekaki melainkan pula kaum perempuan. Kaum pe-rempuan menangkap ikan dengan menggu-nakan alat tangkap pancing dan tangguk yang berukuran besar un-tuk menangkap ikan di daerah tepi Teluk Sarabua.

42

Gambar 3.9 : Bagan Keramba

Bagan adalah termasuk tek-nologi pemanfaatan sumber daya laut yang dikembangkan di daerah ini. Bagan berkem-bang di daerah ini terkait deng-an besarnya potensi jenis-jenis ikan karang yang merupakan komoditi ekspor di bidang per-ikanan laut. Bagan pada umum-nya dikembangkan oleh peda-gang-penampung ikan karang. Namun demikian bagan jenis ini dioperasikan bukan untuk budi-daya pembesaran ikan melainkan senagai tempat penampungaan sementara sebelum diangkut atau dibawa oleh kapal-kapal perikanan besar yang singgah di di Seberut Selatan. Jenis teknologi budidaya bagan-keramba in merupakan salah satu teknologi budidaya yang diperkenalkan kepada penduduk di desa inipada kegiatan program Coremap.

3.5. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

Secara umum ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di dua desa, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah penyebab terjadinya kerusakan yang berasal dari masyarakat itu sendiri, dan faktor eksternal adalah kerusakan yang penyebabnya berasal dari luar masyarakat.

Faktor internal yang berpengaruh terhadap rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah terkait dengan praktik penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, terutama potasium, untuk menangkap kerapu. Penggunaan potasium untuk menangkap kerapu itu dianggap lebih efektif, karena umumnya kerapu bersembunyi di dalam goa yang tidak dapat ditangkap dengan pancing. Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh potasium tergolong tinggi, karena menyebar terbawa arus air. Kerusakan yang

43

terjadi akibat potasium adalah terumbu karang memutih di ujungnya, dan semakin lama akan mati. Beberapa orang diduga sering menggunakan potasium untuk menangkap ikan sebetulnya sudah diketahui identitasnya, namun sulit ditangkap, karena tidak adanya bukti secara langsung.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan itu dimulai sekitar tahun 2003, seiring dengan beroperasinya perusahaan “PT. Hiu Raksa”, yang menampung penjualan ikan hidup (kerapu) dari nelayan. Untuk meningkatkan jumlah ikan kerapu tangkapan nelayan, sehingga jumlah ikan yang diperoleh perusahaan juga semakin banyak, maka perusahaan itu mengajarkan kepada para nelayan cara menangkap kerapu dengan menggunakan potasium. Sejak saat itu hampir semua nelayan menggunakan potasium untuk menangkap kerapu.

Perilaku penangkapan kerapu secara masal menggunakan potasium itu tidak berlangsung lama, karena hal itu berakibat pada menurunnya populasi kerapu secara drastis. Akibatnya saat ini nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan menurunnya populasi kerapu, maka PT. Hiu Raksa juga tidak beroperasi di kawasan itu, karena produksinya tidak banyak lagi. Pada saat ini memang masih ada beberapa penampung ikan hidup, namun jumlah produksinya tidak banyak.

Untuk meminimalkan penangkapan ikan menggunakan potasium, pihak Tripika (Tiga Pimpinan Kecamatan) Kecamatan Siberut Selatan (Pemerintah Kecamatan, Koramil dan Polsek) pada tahun 2003 itu telah berhasil mengumpulkan para nelayan yang berada di wilayahnya. Hasil dari pertemuan itu diperoleh kesepakatan bahwa menangkap ikan menggunakan potasium tidak diperbolehkan. Bagi merela yang melanggar ketentuan tersebut akan diberikan sanksi denda sebesar Rp 500.000,-.. Ketentuan lainnya adalah pelarangan penggunaan peralatan kompresor. Larangan penggunaan kompressor ini karena alat ini disalahgunakan sebagai alat Bantu penyelaman menangkap ikan dengan menggunakan potassium.. Jadi dengan demikian, penggunaan kompresor dianggap sebagai indikasi penangkapan menggunakan potasium.

44

Jika penggunaan potasium untuk menangkap ikan bisa diberlakukan dengan ketat, namun larangan penggunaan kompresor dalam kenyataannya tidak bisa diberlakukan seperti itu. Hal itu karena kompresor juga merupakan alat bantu untuk menangkap teripang, yaitu digunakan sebagai alat bantu menyelam. Karena itu walaupun ada beberapa nelayan yang menggunakan kompresor, namun mereka bisa berkelit dengan menyatakan bahwa itu digunakan untuk menangkap teripang.

Pada saat ini penggunaan potasium untuk menangkap ikan sudah jarang terjadi. Mereka yang menggunakan, umumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal itu karena mereka takut atas ancaman sanksi yang diberlakukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2003. Pada saat itu ada sembilan unit perahu nelayan dari desa lain yang beroperasi di kawasan perairan dekat Desa Saliguma. Mereka kemudian ditangkap dan didenda sebesar Rp 1.250.000,- per unitnya. Sebelum denda itu dibayarkan, perahu dan kompresor yang digunakan ditahan, sampai mereka melunasi pembayarannya. Menurut informasi dari beberapa orang, penahanan perahu dan kompresor saat itu mencapai 12 hari, karena pada hari ke 13 denda itu dibayarkan. Sejak saat itu penggunaan potasium di kawasan ini menurun secara drastis.

Selain penggunaan potasium untuk menangkap ikan, faktor lain yang menjadi penyebab rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah pengambilan karang oleh masyarakat untuk bahan bangunan, terutama untuk pondasi rumah. Akan tetapi, penggunaan terumbu karang untuk pondasi saat ini pengaruhnya tidak banyak bagi kelestarian terumbu karang, karena jumlah warga yang membangun rumah permanen masih belum banyak. Meskipun demikian hal itu tetap perlu diwaspadai, karena dari hasil wawancara diketahui bahwa ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat untuk bias memiliki rumah dengan dinding tembok. Karena untuk membuat dinding tembok dan pondasinya masyarakat menggunakan batu karang, maka jika tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, dikhawatirkan mereka akan beramai-ramai membangun rumah permanen, yang berakibat pada penggunaan batu karang secara besar-besaran.

45

Menurut masyarakat, batu karang yang diambil adalah terumbu karang yang mati. Akan tetapi, hal itu sulit dipercaya, sehingga diperkirakan karang hidup pun banyak yang diambil untuk bahan bangunan. Kasus yang dikemukakan oleh seorang narasumber paling tidak memperkuat dugaan itu. Menurutnya, penggunaan karang mati hanyalah sebagai kamuflase untuk membohongi orang lain. Pada saat pengambilan karang mereka tidak memilih karang yang sudah mati, melainkan semua karang yang mudah diambil. Dengan demikian banyak karang yang sebetulnya masih hidup yang juga ikut diambil. Bahkan menurut sumber itu, persentase antara karang hidup dan karang mati yang diambil lebih besar dari karang hidup. Karang mati hanyalah sebagian kecil, karena jika hanya memilih karang yang mati, selain membutuhkan waktu yang lebih lama juga memilihnya tidak mudah. Masyarakat sebetulnya bukan tidak mengetahui fungsi terumbu karang, terutama untuk perlindungan ikan. Akan tetapi, penggunaan karang untuk bahan bangunan tetap saja dilakukan, karena potensi bahan pengganti tidak tersedia di sekitar desa mereka.

Selain faktor internal, faktor eksternal juga ikut berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan laut Desa Samukop dan Saliguma, yaitu penggunaan trawl dan bom untuk menangkap ikan. Hasil wawancara diketahui bahwa pengguna bom untuk menangkap ikan di kawasan ini umumnya banyak berasal dari luar daerah, terutama dari Sibolga. Hal itu berbeda dengan penangkapan menggunakan potasium, karena penggunaan trawl dan bom itu sama sekali tidak melibatkan nelayan lokal.

Masyarakat sangat memusuhi pengoperasian trawl dan penggunaan bom di kawasan perairan mereka, karena pengoperasian trawl dan bom telah mengakibatkan hancurnya terumbu karang di wilayah ini. Selain itu, walaupun tanpa menggunakan trawl ataupun bom, pengoperasian kapal Sibolga di wilayah mereka juga dianggap merugikan masyarakat, karena perahu Sibolga itu umumnya dilengkapi dengan lampu-lampu yang sangat terang untuk daya tarik ikan. Keberadaan lampu-lampu itulah yang dianggap merugikan nelayan lokal, karena dianggap menyedot ikan sehingga para nelayan sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan.

46

Akibat pengoperasian kapal Sibolga yang menggunakan banyak lampu tersebut, terjadinya konflik dengan nelayan lokal akibatnya tidak bisa dihindari. Kasus yang pernah terjadi adalah pengejaran yang dilakukan oleh sekitar 30 nelayan dari Desa Saibi Saibi Samukop terhadap kapal Sibolga, karena melakukan pengeboman di sekitar desa mereka. Akan tetapi, pengejaran itu tidak berhasil menangkapnya, karena sesudah dekat warga mereka diancam akan ditembak. Kasus yang terjadi pada tahun 2003 itu menurut masyarakat memiliki dampak yang positif, karena sejak saat itu kapal Sibolga tidak ada lagi yang berani merapat ke perairan pantai.

Tuntutan pasar juga merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung ikut berpengaruh terhadap perusakan terumbu karang di kawasan ini. Adanya perusahaan penampung ikan hidup sebagai tempat penjualan hasil tangkapan ikan kerapu dari para nelayan, lebih-lebih jika perusahaan itu mengajarkan cara menangkap kerapu yang lebih efisien dengan menggunakan potasium, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh PT. Hiu Raksa tersebut, jelas sangat berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan Desa Saibi Saibi Samukop dan Saliguma ini.

Pada saat ini PT. Hiu Raksa sudah tidak ada di kawasan ini. Akan tetapi, di kawasan ini masih ada beberapa pedagang yang menampung pembelian ikan hidup, yang dibeli oleh kapal ikan dari Hongkong. Akan tetapi, hal itu tidak banyak berpengaruh bagi perusakan terumbu karang di kawasan ini, karena masyarakat sudah tidak berani lagi menangkap ikan kerapu dengan menggunakan potasium, kecuali secara tersembunyi. Itupun saat ini sudah jarang masyarakat yang mengkhususkan diri menangkap kerapu, karena populasinya tidak banyak. Jadi umumnya saat ini kerapu yang tertangkap adalah terjadi secara kebetulan, bersama dengan penangkapan jenis ikan yang lain.

47

3.6. Program-program COREMAP

Desa Saliguma dan Saibi Samukop merupakan desa lokasi kegiatan program Coremap di Kabupaten Kepulauan Mentawai sejak tahun 2005 yang lalu. Program Coremap di kedua desa ini secara resmi setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai No.: 52 tanggal 14 Mei 2005.

Program Coremap yang cukup menonjol adalah pembentukan kelembagaan yang menjalakan kegiatan-kegiatan yang telah ditetap-kan dalam program Core-map. Kelembagaan itu ada-lah Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Ka-rang atau disingkat LPS-TK. Berbagai program kegiatan dijalankan oleh LPS-TK,

baik kegiatan yang bersifat pemberdayaan ekonomi masyarakat di daratan (perkebunan, pertanian) maupun perikanan (budidaya ikan, penangkapan, dll) maupun kegiatan yang bersifat penyelamatan terumbuh karang (penetapan Daerah Perlindungan Laut/DPL).

Kabupaten Kepulauan Mentawai dipilih sebagai salah satu kabupaten yang mendapat program pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang (COREMAP fase II) karena memiliki ekosistem terumbu karang yang kondisinya sebagian rusak Kepulauan Mentawai dengan luas sumber daya terumbu karang 21.220,62 hektar adalah pemilik + 70 persen dari seluruh terumbu karang yang ada di Sumatera Barat. Namun, karena kondisi terumbu karang di perairan laut Kabupaten Kepulauan Mentawai berada dalam kondisi rusak hingga rusak berat, maka Kabupaten Kepulauan Mentawai dipilih sebagai lokasi COREMAP II di Sumatera Barat. Program COREMAP di Kabupaten Kepulauan Men-tawai ini merupakan kebijakan di

Gambar 3.10 : Kantor LPS-TK

48

bidang lingkungan sumber daya laut yang pertama kali sejak da-erah ini menjadi kabupaten. Oleh karena itu, keberhasilan program COREMAP tersebut akan memi-liki keterkaitan dampak pada ekosistem laut.

Terkait dengan upaya penyelamatan sumber daya laut, sebagian besar (60 persen) ma-syarakat yang diwawancarai me-ngatakan bahwa pernah ada program upaya penyelamatan sumber daya laut di daerah pene-

litian (Gambar 3.7). Ada perbedaan yang mencolok antara Saliguma dan Saibi Samukop, di mana di Saliguma mereka yang melaporkan pernah ada upaya penyelamatan sumber daya laut didaerahnya mencapai 86 persen. Sementara di Saibi Samukop yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu yang menyatakan pernah ada program tersebut hanya 34 persen, bahkan hampir separo (48 persen) justru menyatakan tidak tahu bila ada program tersebut (Tabel 3.21 lampiran 2). Hal itu tentunya sangat ironis, mengingat COREMAP sudah beberapa tahun dilaksanakan di desa ini.

Gambar 3.12 : Upaya Program Penyelamatan SDL di Saliguma dan Saibi Samukop, 2007.

60%16%

24%

PernahTak pernahTak tahu

Gambar 3.11: Lokasi Penepatan DPL

di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma

49

Walaupun COREMAP sudah lama dilaksanakan di Saliguma dan Saibi Samukop, namun ternyata belum semua orang pernah dengar istilah COREMAP. Secara umum ada sekitar 98 persen yang telah mendengar COREMAP dan ada 2 persen yang mengaku belum pernah mendengar (Gambar 3.13). Di Saibi Samukop memang semua responden (100 persen) sudah pernah dengar istilah COREMAP, namun di Saliguma ternyata masih ada 4 persen yang belum pernah mendengarnya. Itu menunjukkan bahwa sosialisasi tentang COREMAP belum dilaksanakan secara merata di Saliguma.

Gambar 3.13 :

Diagram Pernah Dengar COREMAP, Saliguma & S. Samukop, 2007.

98%

2%

Ya,pernahTak pernah

Bagi yang pernah mendengar istilah COREMAP, umumnya

mengetahui bahwa tujuan COREMAP adalah untuk melindungi terumbu karang. Meskipun demikian ternyata masih ada yang belum mengetahui tujuan tersebut (Gambar 3.14). Di Saliguma sebanyak 6,3 persen belum mengetahuinya, dan di Saibi Samukop persentase yang belum mengetahui justru lebih besar, yaitu 22 persen. Sedangkan masyarakat yang mengetahui bahwa program COREMAP untuk

50

melidungi terumbu karang di Saibu Samukop mencapai 78 persen, sementara di Saliguma ternyata lebih tinggi, yakni 93,8 persen (Tabel 3.23 lampiran 2).

Gambar 3.14 :

Diagram Tujuan COREMAP Menurut Resp.Saliguma dan Samukop Samukop, 2007

86%

14%

Lindungi TKTak tahu

Pada saat ditanyakan kepada mereka yang sudah pernah

dengan istilah COREMAP, apakah program COREMAP sudah mulai dilaksanakan di desanya, sebagian besar (88 persen) masyarakat yang diwawancarai, baik di Saliguma maupun di Saibi Samukop menyatakan ‘ya’ sudah mulai dilaksanakan di desa ini (Gambar 3.15). Mereka yang mengatakan ‘ya’ tersebut baik di Saliguma maupun di Saibi Samukop sangat dominan, yaitu masing-masing 93,8 persen dan 82 persen. Meskipun demikian, sangat disayangkan masih ada beberapa yang tidak mengetahui hal tersebut, padahal COREMAP dilaksanakan di dua desa ini sejak tahun 2005.

51

Gambar 3.15 : Diagram Pengetahuan Program COREMAP Mulai

Dilaksanakan, Saliguma & S. Samukop, 2007

88%

1%

11%YaTidakTak tahu

Terkait dengan keterlibatan masyarakat dalam program COREMAP, persentasenya masih termasuk kecil. Secara umum hanya sekitar 34 persen yang mengaku terlibat dalam program COREMAP dan sebagian besar masyarakat (66 persen) mengaku belum terlibat (Gambar 3.16). Di Saliguma jumlah yang mengaku terlibat hanya 44,5 persen, sementara di Saibi Samukop hanya 22 persen. Itupun pada saat wawancara mendalam diketahui bahwa ternyata keterlibatan mereka umumnya hanya bersifat pasif.

Gambar 3.16 : Diagram Keterlibatan Resp. Dalam Program COREMAP, Saliguma & S. Samukop, 2007

34%

66%

Ya,terlibat

Takterlibat

52

Walaupun saat ini tingkat keterlibatan masyarakat sangat kecil, namun pada saat ditanyakan apakah mereka ingin terlibat dalam kegiatan COREMAP, sebagian besar menyatakan keinginannya (Gambar 3.17). Di Saliguma semua responden (100 persen) menyatakan ingin terlibat dalam kegiatan COREMAP, sedangkan di Saibi Samukop sebesar 75,6 persen. Walaupun sebagian besar menyatakan ingin terlibat dalam kegiatan COREMAP, namun dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa hal itu semata-mata hanya karena agar mendapatkan bantuan kredit bergulir dari COREMAP, dan bukan dengan tujuan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam melindungi terumbu karang. Adapun yang tidak ingin terlibat kegiatan COREMAP umumnya beralasan bahwa hal itu dianggap percuma, karena COREMAP yang sudah ada sekarang dianggap tidak berjalan baik.

Gambar 3.17 :

Diagram Keinginan Resp. Terlibat Program COREMAP, Saliguma dan S. Samukop,

2007

85%

15%

Ya inginterlibatTak inginterlibat

53

BAB IV POTRET PENDUDUK DESA/ KAWASAN

SAIBI SAMUKOP DAN SALIGUMA

agian ini membahas tentang potret sumber daya manusia di desa penelitian, yaitu Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma. Dalam pembahasan meliputi tentang kondisi

kependudukan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Secara kuantitatif menyajikan tentang jumlah penyebaran dan komposisi penduduk, sedangkan secara kualitatif menyajikan tentang pendidikan dan ketrampilan, kegiatan ekonomi yang dilakukan dan kesejahteraannya. Sumber data dalam kajian ini menggunakan bahan dari dokumentasi yang telah ada, antara lain dari monografi desa dari Kantor Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma serta dari hasil kajian yang dibuat institusi lain. Sumber data juga berasal dari hasil survei (data primer) dari Survei Data Dasar Sosial Ekonomi Terumbu Karang ini.

4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 4.1.1. Jumlah penduduk

Penduduk Desa Saibi Samukop pada tahun 2006 telah mencapai sebanyak 2.836 orang. Mereka terdiri dari 1.453 orang laki-laki dan 1.383 orang perempuan. Dengan rasio jenis kelamin adalah 105, yang berarti tiap 100 orang perempuan ada sebanyak 105 orang laki-laki. Rasio tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Dalam penelitian lapangan memang tidak terungkap mengapa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan fakta tersebut agak menyimpang dari data secara nasional atau yang terjadi di daerah-daerah lainnya yang biasanya jumlah penduduk perempuan lebih besar dari pada laki-laki. Penjelasan dari fakta tersebut kemungkinan lebih banyak

B

54

penduduk perempuan daerah tersebut yang pindah ke luar. Alasan utamanya adalah karena mereka menikah dengan orang luar desa dan mereka terpaksa harus mengikuti suaminya tinggal di luar desa. Adanya anak-anak muda perempuan yang belajar ke lain daerah (perkotaan) dan setelah selesai belajar tidak kembali ke desa asalnya. Kemungkinan lain adalah adanya migrasi masuk penduduk laki-laki. Alasan yang terakhir tersebut nampaknya kecil kemungkinannya sebab dari hasil wawancara dan observasi jumlah pendatang ke desa ini relatif kecil. Jumlah rumah tangga di Desa Saibi Saliguma tahun 2006 ada sebanyak 590. Dengan demikian rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga adalah 4,8 atau sekitar 5 orang. Rata-rata jumlah anak per rumah tangga dapat diperkirakan sekitar 3 orang anak. Jumlah penduduk dan rumah tangga tersebut tersebar di 8 dusun, yaitu Dusun Saibi Muara, Simasoggunei, Pangasaat, Samoilalak, Saibi Hulu, Sibudda’qinan, Totoet, dan Dusun Sua. Sedangkan kepadatan penduduk secara umum hanya 3 orang/ km2. Tingkat kepadatan penduduk yang masih jarang, sebab masih banyak areal hutan dan perladangan yang cukup luas yang menyebabkan kepadatannya penduduik masih rendah.

Jumlah penduduk di Desa Saliguma jauh lebih sedikit dibandingkan di Desa Saibi Samukop, yaitu hanya 1.821 orang. Mereka terdiri dari 930 orang penduduk laki-laki dan 891 orang penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin adalah 104, berarti setiap 100 orang penduduk perempuan ada sekitar 104 orang penduduk laki-laki.

55

Gambar 4.1: Komposisi Umur Penduduk Desa Saibi Samukop dan Saliguma, 2007

Sama seperti di Desa Saibi Samukop penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Penjelasannya kemungkinan tidak berbeda dengan di Desa Saibi Samukop. Jumlah rumah tangga di Desa Saliguma adalah sebanyak 403. Ini berarti rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,5. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Desa Saliguma sedikit lebih rendah dari pada Desa Saibi Samukop. Kemungkinan tingkat fertilitas di Desa Saliguma lebih rendah dari pada di Desa Saibi Samukop. Jumlah penduduk dan rumah tangga tersebut tersebar di 4 dusun, yaitu Dusun Simatoimiang, Sikebbukat Uma, Malibagbag, dan Limu.

4.1.2. Komposisi Penduduk

Sub bagian ini membahas tentang komposisi penduduk menurut umur, yaitu komposisi penduduk menurut kelompok umur untuk seluruh penduduk sampel (Tabel 4.1) dan komposisi penduduk menurut umur untuk responden (kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga dewasa yang dapat mewakili) (Tabel 4.2).

0 - 4

5--9

10--14

15-1920-24

25-2930-3435-39

40-4445-49

50+0

5

10

15

20

56

Gambar 4.1 dan Tabel 4.1. menunjukkan bahwa secara umum komposisi penduduk di daerah kajian masih termasuk struktur penduduk muda. Proporsi kelompok penduduk usia muda di bawah 15 tahun masih mencapai di atas 40 persen. Di Desa Saliguma kelompok penduduk muda tersebut bahkan masih berada di atas 50 persen. Sedangkan di Desa Saibi Samukop proporsi kelompok penduduk usia muda tersebut berada di bawahnya, namun masih berada pada angka 43,2 persen. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat fertilitas penduduk di desa-desa ini selama 15 tahun terakhir masih cukup tinggi. Di lain pihak proporsi kelompok penduduk usia dewasa atau usia produktif secara umum masih rendah, hanya 52,6 persen. Tingkat rasio beban ketergantungan (dependency ratio) di daerah kajian masih cukup tinggi, yakni sekitar 90 persen. Ini berarti bahwa tiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 90 orang penduduk usia belum produktif, di samping harus menanggung dirinya. Di Desa Saliguma proporsi penduduk usia dewasa/ usia produktif masih sangat rendah, yakni hanya sebesar 48,6 persen. Sehingga rasio ketergantungan penduduk mencapai 106, yang berarti tiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 106 orang penduduk usia belum produktif dan dirinya sendiri. Di Desa Saibi Samukop proporsi penduduk usia produktif adalah 56,8 persen. Tingkat rasio ketergantungan penduduk lebih rendah dari Desa Saliguma, namun masih dalam klasifikasi tinggi, yaitu 76.

57

Tabel 4.1 : Komposisi Penduduk Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan

Saliguma,Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Kelompok

Umur Desa Saibi Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9

10. 11.

0 - 4 5 – 9

10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49

50 +

18,5 15,5

9,2 10,9

6,9 11,2

8,5 9,3 6,1 3,1 0,8

12,0 23,3 16,1

5,2 8,1 8,8 8,4 9,3 4,4 2,4 2,0

15,3 19,4 12,7

8,0 7,5

10,0 8,4 9,3 5,2 2,8 1,4

Jumlah (N)

100,0 (259)

100,0 (249)

100,0 (508)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Komposisi menurut umur bagi responden semuanya adalah

penduduk usia dewasa/ produktif, yaitu umur 20 tahun ke atas. Sekitar 75 persen di antara mereka adalah kelompok penduduk usia 30 – 50 tahun. Kelompok penduduk ini termasuk kelompok penduduk usia produktif penuh. Di Desa Saibi Samukop kelompok penduduk usia 30 – 50 tahun tersebut adalah 86 persen dan Desa Saliguma hanya mencapai 64 persen.

58

Tabel 4.2 Komposisi Responden Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan

Saliguma,Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Kelompok Umur

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49

50 +

2,0 8,0

24,0 28,0 22,0 12,0

4,0

8,0

18,0 14,0 28,0 16,0

6,0 10,0

5,0

13,0 19,0 28,0 19,0

9,0 7,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007

4.2. Pendidikan dan Ketrampilan

Gambaran tentang kualitas sumber daya manusia dapat direfleksikan dari tingkat pendidikan yang dicapai penduduk dan tingkat ketrampilan yang dimiliki penduduk. Peningkatan kualitas sumber daya manusia memudahkan penduduk dalam mengadopsi teknologi yang disosialisasikan atau diperkenalkan untuk peningkatan hasil tangkapan, budidaya, pendapatan dan pelestarian sumber daya laut. Tabel 4.3. menggambarkan tingkat pendidikan penduduk sampel yang berusia 10 tahun ke atas di Desa Saibi Somukap dan Desa Saliguma.

59

Gambar 4.2 : Diagram Pendidikan Penduduk Saibi Samukop dan Saliguma, 2007

Gambar 4.2 dan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di daerah kajian hanya berpendidikan rendah. Secara umum sekitar 78 persen penduduk usia 10 tahun ke atas hanya berpendidikan SD ke bawah dan sekitar 49 persen tidak pernah tamat SD dan tidak pernah duduk di bangku sekolah. Hanya sekitar 22 persen penduduk yang mampu menamatkan SLTP ke atas. Dari dua desa yang dikaji, pendidikan penduduk yang paling parah di Desa Saliguma, di mana 83,4 persen hanya berpendidikan tamat SD ke bawah dan yang terbanyak tidak pernah tamat SD dan tidak pernah sekolah. Sedangkan yang mencapai tamat SLTP ke atas hanya 16,6 persen. Di Desa Saibi Samukop mereka yang berpendidikan rendah tersebut adalah 72,5 persen dan yang berpendidikan tamat SLTP ke atas sebanyak 27,5 persen. Banyaknya penduduk yang berpendidikan rendah ini menghambat dalam peningkatan pendapatan, terutama yang berkaitan dengan mengetrapan teknologi yang baru dan inovasi-inovasi baru dalam pengembangan sumber daya laut, pemanfaatan dan pelestariannya.

Ketrampilan yang dimiliki penduduk di daerah kajian tidak terlepas dari kondisi lingkungan, sumber daya alam yang ada dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan. Kaitan dengan kegiatan

05

1015202530354045

Belum/Tak sekolahTak tamat sekolahSD tamatSLTP tamatSLTA tamat +

60

kenelayanan, ketrampilan yang dimiliki penduduk daerah kajian adalah kemampuan menjalankan armada perahu untuk menangkap ikan. Namun sebagian besar penduduk adalah menjalankan perahu sampan dan hanya sebagian kecil yang memanfaatkan perahu motor. Hal ini berkaitan kemampuan permodalan/ ekonomi untuk membeli mesin perahu. Kemampuan lain yang terkait dengan kenelayanan adalah ada sebagian kecil penduduk yang mampu membuat armada perahu dari kayu untuk berbagai ukuran, yaitu dari sampan yang berukuran kecil 4 x 0,4 m sampai yang ukuran besar 9 x 1m. Ketrampilan membuat perahu ini umumnya dimiliki oleh para tukang kayu, yang jumlah sedikit masing-masing desa masih di bawah 10 orang. Kaitan dengan kenelayanan lagi adalah ketrampilan dalam pengolahan ikan pasca panen, namun di dua desa penelitian pengolahan ikan pasca panen tersebut belum berkembang. Pada umumnya hasil tangkapan ikan langsung dijual ke pengumpul atau pembeli (rumah tangga) dalam bentuk ikan segar, tanpa melalui proses pengolahan. Ketrampilan dalam kaitannya dengan kenelayanan tersebut umumnya diperoleh secara turun-menurun dari orang tua ke anak.

Ketrampilan yang berkaiatan dengan kegiatan bertani adalah menanam ubi-ubian, jagung, mengolah sagu, menanam cokelat, kelapa, cengkeh dsb. Ketrampilan tersebut juga diperoleh secara turun menurun. Oleh karena itu, belum dilakukan cara penanaman dan pemeliharaan dengan teknologi baru yang lebih produktif. Karena dilola secara tradisional, maka jumlah hasil dan kualitas dari usaha pertanian masih cukup rendah. Kemudian ketrampilan untuk pengolahan lebih lanjut hasil pertanian dan perkebunan tersebut juga belum begitu nampak. Hanya untuk hasil pertanian tanaman pangan dari panen langsung dimasak dan dikonsumsi sendiri atau dijual mentah ketetangga terdekat.

61

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Ditamatkan di Desa Saibi

Samukop dan Saliguma, Kecamatan Muara Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No Kelompok Umur

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1.

2.

3. 4. 5.

Belum/tak sekolah Belum tak tamat SD SD tamat SLTP tamat SLTA tamat ke atas

6,6

30,1

35,7 17,3 10,2

6,4

54,0

23,0 9,1 7,5

6,5

42,1

29,3 13,2 8,9

Jumlah (N)

100,0 (259)

100,0 (249)

100,0 (508)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec. Muara Siberut, 2007

4.3. Pekerjaan Penduduk 4.3.1. Pekerjaan Utama

Daerah kajian dipilih wilayah desa pantai diharapkan sebagian besar atau cukup besar proporsi penduduknya yang memanfaatkan atau menggantungkan hidupnya dalam penghasilan dari laut. Dilihat dari lapangan usaha/ pekerjaannya sebagian besar penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma bekerja di sektor perikanan laut (Gambar 4.3. dan Tabel 4.4). Sekitar 42 persen penduduk di desa tersebut bekerja di lapangan usaha pertanian, baik berupa pertanian pangan maupun perkebunan (tanaman keras). Masih cukup besarnya proporsi penduduk yang bekerja di lapangan usaha pertanian sehubungan masih ada potensi lahan pertanian yang berupa perladangan dan kehutanan yang ada di belakang pemukiman mereka. Hanya sayangnya sebagian lahan tersebut berada di daerah

62

perbukitan, yang apabila diolah dengan cara kurang benar akan mengakibatkan penggundulan lahan, munculnya erosi dan menjadi lahan-lahan tandus. Sementara lapangan usaha pengolahan dan jasa di dua desa penelitian masih sangat langka. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja lapangan/ sektor tersebut belum berkembang.

Sementara Tabel 4.5. memberikan gambaran kondisi pekerjaan penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma. Secara umum sekitar 57 persen penduduk di daerah kajian jenis pekerjaan utamanya sebagai nelayan. Mereka terdiri dari nelayan pancing, nelayan jaring/jala dan nelayan pencari kepiting. Sebagian besar dari para nelayan tersebut adalah nelayan pancing. Di Desa Saliguma proporsi penduduk yang bekerja sebagai nelayan tersebut jauh lebih banyak (63,2 persen) dibandingkan dengan di Desa Saibi Samukop yang hanya mencapai 51,5 persen. Namun pada umumnya mereka hanya sebagai nelayan tradisionil dengan peralatan tangkap sederhana (pancing dan jaring) dan perahu tanpa motor/ sampan (lihat Tabel 4.5). Wilayah tangkapannya dilakukan hanya di sekitar Pulau Siberut dan hasil tangkapannya tiap kali melaut jauh lebih sedikit dibandingkan nelayan armada perahu motor. Contoh kasus Thomas nelayan tradisionil Desa Saliguma, alat tangkap yang digunakan pancing, armada perahu yang digunakan perahu tanpa motor (sampan). Dia mengaku wilayah tangkapnya hanya di sekitar Pulau Siberut. Pada musim gelombang kuat berani melaut namunh paling banyak 7 kali per bulan, perolehan yang didapat sekali melaut kurang dari 5 kg ikan teger. Pada musim gelombang tenang berani melaut sekitar 25 kali, sekali melaut mendapatkan hasil tangkapan di atas 5 kg, yang berupa ikan beleget dan ikan teger. Berbeda dengan kasus Ruswadi, nelayan Desa Saliguma juga, dia nelayan jaring dengan armada perahu motor tempel, ukuran 6 x 0,8 m, mereka berani melaut ke laut yang lebih dalam. Dalam musim gelombang kuat mereka berani melaut rata-rata sekitar 19 kali sebulan, hasil tangkapan bisa mencapai sekitar 10 kg ikan teter dan ikan beram. Sementara pada musim gelombang tenang tiap bulan melaut 25 kali, rata-rata sekali melaut mencapai lebih dari 10 kg, berupa ikan gambolo, ikan tamban dan ikan teter. Namun nelayan dengan armada perahu motor ini

63

jumlahnya hanya sedikit, tidak mencapai 10 persen dari seluruh nelayan. Dari dua kasus tersebut menunjukkan bahwa dengan perbedaan alat tangkap dan armada akan berbeda baik jumlah hasil tangkapan maupun variasi jenis ikan tangkapannya.

Kemudian penduduk yang bekerja di lapangan pertanian pangan dan perkebunan justru di Desa Saibi Samukop lebih banyak mencapai 48,5 persen, sedangkan di Desa Saliguma hanya 32,9 persen. Mereka kebanyakan adalah sebagai petani ladang dan kebun, juga sebagai petani pemilik dan petani penggarap. Sementara mereka yang berprofesi sebagai pedagang di Desa Saliguma lebih banyak (2,6 persen) dibandingkan dengan di Desa Saibi Samukop hanya 1,0 persen. Para pedagang tersebut pada umumnya merupakan warungan yang menyediakan bahan kebutuhan rumah tangga (sembako). Di antara para pedagang tersebut ada yang sebagai pengumpul hasil pertanian dan pengumpul hasil perikanan laut.

Gambar 4.3 : Diagram Lapangan Pekerjaan Utama Resp. Desa Saliguma dan Samukop,

2007 (Persen)

0

20

40

60

Perik. Pert. Perdag. Industri

Mengenai status pekerjaan penduduk kebanyakan sebagai usaha sendiri. Dalam usaha sendiri ini dalam pertanian termasuk petani milik sendiri maupun petani penggarap. Petani penggarap adalah petani yang menguasai lahan untuk diolah dan ditanami tanaman tertentu. Apabila mengalami kegagalan panen merupakan resiko sendiri. Sementara petani buruh termasuk berstatus buruh,

64

yaitu mereka yang bekerja untuk orang lain dan mendapatkan upah. Biasanya mendapatkan upah harian.Mereka tidak menanggung resiko apabila mengalami kegagalan panen. Kegagalan panen hanya ditanggung oleh pemberi kerja. Sedangkan penduduk yang status pekerjaannya sebagai pekerja keluarga tanpa upah cukup tinggi (38,2 persen). Mereka adalah para anggota rumah tangga yang membantu pekerjaan di pertanian atau lainnya dan tidak mendapat upah. Tingginya jumlah penduduk dalam status pekerja keluarga tanpa upah ini merefleksikan gambaran ketenagakerjaan di daerah pedesaan dan di sektor informal, utamanya di pertanian, termasuk perikanan dan peternakan. Status usaha dibantu buruh di daerah kajian belum ada dan status buruh juga sangat kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha-usaha yang membutuhkan tenaga buruh, seperti usaha pengolahan, kerajinan dan usaha formal belum berkembang.

Tabel 4.4 : Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop, dan

Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Lapangan Pekerjaan Utama

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (2) (3) (4) 1. 2. 3. 4. 5.

Perikanan Pertanian/ladang Perdagangan Jasa Pengolahan/ industri

50,5 48,5 1,0 - -

63,2 32,9 2,6 -

1,3

56,0 41,7 1,7 -

0,6 Jumlah (N) 100,0 (99) 100,0 (76) 100,0 (175)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

65

Tabel 4.5 : Jenis Pekerjaan Utama Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop

dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No Jenis Pekerjaan Utama

Desa Saibi Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Nelayan pancing Nelayan jaring/ jala Nelayan kepiting Petani ladang Pedagang/warungan Pengrajin

46,5 4,0 1,0

47,5 1,0

-

30,3 31,6

1,3 32,9

2,6 1,3

39,4 16,0

1,1 41,2

1,7 0,6

Jumlah (N)

100,0 (99)

100,0 (76)

100,0 (175)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007

Tabel 4.6 :

Status Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai,

2007 (Persen)

No

Status Pekerjaan utama

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5.

Bekerja/usaha sendiri Usaha dibantu ART Usaha dibantu buruh Buruh/karyawan Pekerja keluarga/ tanpa upah

49,5 4,0 - -

46,5

65,8 5,3 -

1,3

27,6

56,6 4,6 -

0,6

38,2

Jumlah (N) 100,0 (99) 100,0 (76) 100,0 (175) Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan,

2007

66

4.3.2. Pekerjaan Tambahan

Sebagian besar penduduk di daerah kajian memiliki pekerjaan tambahan atau sampingan. Ada sebagian penduduk yang menempatkan kegiatan kenelayanan sebagai jenis pekerjaan pokok/ utama, namun ada juga sebagian penduduk yang menganggap nelayan sebagai pekerjaan tambahan. Sekitar 20 persen penduduk yang menganggap lapangan usaha perikanan atau kegiatan kenelayanan sebagai pekerjaan tambahan. Mereka adalah baik nelayan pancing, nelayan jaring/ jala, nelayan mencari kepiting dan nelayan keramba. Kebanyakan mereka adalah nelayan pancing, hanya sebagian kecil sebagai nelayan pencari kepiting dan nelayan keramba.

Lapangan usaha dan jenis pekerjaan tambahan yang paling banyak dimiliki penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah lapangan pertanian dan sebagai petani ladang, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap maupun sebagai buruh tani. Di Desa Saibi Samukop hampir 90 persen penduduk memiliki lapangan usaha tambahan di sektor pertanian. Di Desa Saibi Samukop tersebut penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan sebagai petani ladang tersebut mencapai 89,8 persen, sedangkan di Desa Saliguma hanya 48,5 persen. Bagi penduduk di dua desa tersebut pertanian ladang merupakan mata pencaharian alternatif setelah kenelayanan, bahkan sebagian mereka menganggap pertanian ladang sebagai pekerjaan utamanya. Ketersediaan jenis pekerjaan pertanian ladang dengan tanaman pangan (ubi, jagung dan sebagian padi) dan tanaman perdagangan (cengkeh, cokelat, pisang, kelapa, kayu manis dsb) in yang menyebabkan daerah ini tidak pernah dilanda kelaparan. Kendatipun mereka kembali makan ubi, jagung, keladi maupun sagu. Jenis-jenis makanan tersebut pada mulanya memang merupakan makanan pokok penduduk di dua desa tersebut. Semenjak adanya program swasembada beras yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru yang lalu pola makanan pokok mereka sebagian penduduk beralih mengkonsumsi beras. Dengan kebiasaan dulu makanan pokoknya ubi-ubian, sagu dan jagung tersebut, meskipun mereka tidak dapat melaut karena gelombang besar/ kuat untuk beberapa bulan bagi

67

penduduk di daerah ini masih dapat tetap mendapatkan bahan makanan dari ladang. Dengan masih besarnya peran lapangan usaha pertanian menyebabkan ekploitasi terhadap sumber daya laut oleh penduduk di dua desa tersebut belum begitu besar. Ekploitasi sumber daya laut yang besar-besaran umumnya dilakukan oleh nelayan dari luar yang peralatan dan armadanya lebih modern dan cenderung merusak biota laut.

Gambar 4.4 : Diagram Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Saibi Samukop dan

Saliguma, 2007

23%

69%

5% 3%

NelayanPetaniPeternakLainnya

Mengenai status pekerjaan tambahan bagi penduduk dua desa tersebut yang masih menonjol adalah bekerja sendiri dan usaha dibantu anggota rumah tangga. Kondisi ini mendukung penjelasan pada jenis pekerjaan utama di atas bahwa peran sektor tradisionil (pertanian dan perikanan) masih cukup dominan. Sementara perkembangan sektor modern seperti jasa, pengolahan dan perdagangan masih belum berkembang.

68

Tabel 4.7 : Lapangan Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samokop

dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Lapangan Pekerjaan Tambahan

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (2) (3) (4)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perikanan Pertanian/ladang Perdagangan Jasa Pengolahan/ industri Bangunan

10,2 89,8

- - - -

36,4 54,5 3,0 3,0 -

3,0

20,7 75,7 1,2 1,2 -

1,2

Jumlah (N)

100,0 (49)

100,0 (33)

100,0 (82)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Tabel 4.8 Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen)

No

Jenis Pekerjaan

Tambahan

Desa Saibi

Samukop

Desa

Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Nelayan pancing Nelayan jaring/ jala Nelayan kepiting Nelayan keramba Petani ladang Peternak Pedagang/warungan Tukang bangunan

6,1 -

4,1 -

89,8 - - -

21,2 12,1

- 3,0

48,5 9,1 3,0 3,0

13,7 6,1 2,0 1,5

69,2 4,5 1,5 1,5

Jumlah (N)

100,0 (49)

100,0 (33)

100,0 (82)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

69

Tabel 4.9 : Status Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan

Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No Status Pekerjaan Tambahan

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5.

Bekerja/usaha sendiri Usaha dibantu ART Usaha dibantu buruh Buruh/karyawan Pekerja keluarga/tanpa upah

30,6 59,2

- -

10,2

75,8 15,2

- 9,1 -

48,8 41,5

- 3,6 6,1

Jumlah (N)

100,0 (49)

100,0 (33)

100,0 (82)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec. Siberut Selatan, 2007

4.4. Kesejahteraan Penduduk

Dalam subbagian tentang kesejahteraan penduduk ini ada dua indikator yang digunakan, yaitu kepemilikan dan penguasaan rumah tangga tentang aset produksi rumah tangga dan aset non-produksi. Aset produksi digunakan sebagai indikator kesejahteraan karena merupakan sarana dan prasarana bagi rumah tangga dalam usahanya untuk memperoleh penghasilan atau pendapatan bagi rumah tangga. Makin modern sarana dan prasaran yang dimiliki dan dikuasai penghasilan/ pendapatannya akan semakin tinggi. Bagi masyarakat pesisir aset tersebut utamanya merupakan pemilikan dan penguasaan rumah tangga untuk kegiatan melaut atau menangkap biota laut. Aset tersebut berupa jenis armada yang dimiliki rumah tangga nelayan dan alat tangkap yang dimiliki untuk menangkap sumber daya laut. Di samping itu, subbagian ini juga membahas tentang aset rumah tangga non-produksi. Aset rumah tangga non-produksi adalah aset yang langsung dapat dinikmati oleh anggota rumah tangga. Tempat untuk

70

berteduh yang berupa rumah dengan pekarangannya, sebagai sarana hiburan berupa televisi seperti alat-alat elektronik untuk hiburan dan pemilikan aset lain yang digunakan sebagai tabungan rumah tangga.

4.4.1. Aset Produksi Milik Rumah Tangga

Tabel 4.10. menunjukkan bahwa hampir semua rumah tangga di daerah kajian memiliki perahu tanpa motor/ sampan. Hal ini mendukung pembahasan dalam bab-bab sebelumnya bahwa sebagian besar para nelayan di daerah kajian merupakan nelayan tradisional. Hanya sekitar 18 persen rumah tangga yang telah memiliki perahu motor tempel dan ada 4 persen yang telah mempunyai perahu motor dalam. Perahu motor dalam tersebut semuanya dimiliki oleh rumah tangga di Desa Saibi Samukop. Sedangkan perahu motor tempel kebanyakan dimiliki oleh para rumah tangga di Desa Saliguma (32 persen).

Pada umumnya (68 persen) para rumah tangga nelayan memiliki alat tangkap pancing rawai. Jumlah rumah tangga yang memiliki alat tangkap pancing tersebut yang paling banyak di Desa Saliguma (78 persen), sedangkan di Desa Saibi Samukop hanya sebanyak 58 persen rumah tangga. Namun sebaliknya jumlah rumah tangga yang memiliki alat tangkap jaring justru di Desa Saibi Samukop yang lebih banyak (66 persen). Sebaliknya di Desa Saliguma hanya mencapai 36 persen. Jumlah rumah tangga yang memiliki keramba dan bubu hanya sedikit. Hanya sekitar 4 persen rumah tangga yang memiliki alat tangkap bubu dan hanya 3 persen yang memiliki keramba. Alat tangkap yang terakhir ini jarang yang memiliki sebab memerlukan modal yang lebih besar untuk membuatnya.

4.4.2. Aset Rumah Tangga Non-Produksi

Aset rumah tangga non-produksi meliputi rumah, TV,VCD player, parabola, perhiasan, kendaraan bemotor dan ternak.

71

Kebanyakan rumah tangga memiliki rumah tinggal, ada sekitar 75 persen rumah tangga yang telah memiliki rumah dan 25 persen rumah tangga lainnya nampaknya masih menumpang di tempat orang tua atau mertua. Meskipun banyak yang telah memiliki rumah sendiri, namun kebanyakan masih merupakan rumah yang non-permanen. Dindinding masih menggunakan kayu dan atapnya masih menggunakan atap rumbia. Mereka yang masih menumpang tersebut yang lebih banyak terjadi di Desa Saibi Samukop (38 persen) dari pada di Desa Saliguma (12 persen). Pemilikan yang lain masih menggambarkan sebagai rumah tangga yang kurang mampu. Hanya sekitar 5 persen rumah tangga yang telah memiliki televisi, sekitar 3 persen memiliki VCD player dan satu persen memiliki parabola. Pemilikan perhiasan dan kendaraan bermotor tidak satupun rumah tangga yang mengaku memilikinya. Sekitar 10 persen rumah tangga mengaku memiliki ternak, antara lain ayam, itik, sapi dan babi. Kebanyakan mereka hanya memiiki ayam. Ternak-ternak tersebut pada umumnya berfungsi sebagai tabungan apabila sewaktu-waktu membutuhkan uang tunai.

72

Tabel 4.10 : Jumlah Rumah Tangga Pemilik Aset Produksi dan Aset Non-produksi di

Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Keterangan

Desa Saibi Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) A Aset Produksi :

1. Perahu motor dalam

2. Perahu motor tempel

3. Perahu tanpa motor

4. Keramba 5. Bubu 6. Jaring/ jala 7. Pancing 8. Alat transportasi

komersial 9. Pemilik lahan

pertanian

8,0

4,0

100,0

2,0 4,0

66,0 58,0 12,0

68,0

-

32,0

94,0

4,0 4,0

36,0 78,0 2,0

42,0

4,0

18,0

97,0

3,0 4,0

51,0 68,0 7,0

55,0

B Aset Non-produksi : 1. Rumah 2. TV 3. VCD player 4. Parabola 5. Perhiasan 6. Kendaraan

bermotor 7. Ternak

62,0 4,0 4,0 2,0 - -

12,0

88,0 6,0 2,0 - - -

8,0

75,0 5,0 3,0 1,0 - -

10,0

(N) (50) (50) (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

73

Tabel 4.11. Distribusi Jumlah Rumah Tangga Menurut Variasi Aset Produksi dan Aset Non-Produksi di Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan Kab. Mentawai, 2007

Jenis Pekerjaan

Nelayan Non-Nelayan

Jumlah

Tingkat Kesejahteraan Absolut Persen Absolut Persen Absulut Persen

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Aset Produksi RT Th 2007

Tidak sejahtera

32 34,0 1 16,7 33 33,0

Kurang Sejahtera

57 60,6 5 85,3 62 62,0

Sejahtera 5 5,4 - - 5 5,0 Sangat Sejahtera

- - - - - -

Jumlah 94 100,0 6 100,0 100 100,0 Aset Non Produksi RT, Th 2007

Tidak sejahtera

88 93,6 5 85,3 93 93,0

Kurang Sejahtera

6 6,4 1 16,7 7 7,0

Sejahtera - - - - - - Sangat Sejahtera

- - - - - -

Jumlah 94 100,0 6 100,0 100 100,0 Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

74

4.4.3. Kondisi Permukiman dan Sanitasi Lingkungan

Kondisi permukiman

Pola pemukiman penduduk Desa Saibi Samukop dan Saliguma hampir sama, yakni mengelompok mengikuti kondisi geografisnya yang merupakan sebagian dataran dan sebagian perbukitan. Wilayah dataran dimanfaatkan sebagai pemukiman penduduk di desa-desa tersebut. Wilayah tersebut luasnya agak terbatas dan pemukiman penduduk cenderung mendekati pantai untuk mendapatkan akses dan memudahkan komunikasi ke luar desa. Tata ruang penggunaan lahan untuk pemukiman dan lahan perladangan terpisah seta berada di perbukitan. Umumnya lahan perladangan penduduk agak jauh dari dari pemukiman penduduk dan terletak di belakang pemukiman..

Kondisi perumahan

Penyebaran perumahan agak tertata cukup baik, jarak antar rumah dan jarak dengan jalan kurang lebih sama. Kondisi perumahan penduduk di Desa Saibi Samukop dan Saliguma sebagian besar berupa rumah tidak permanen dan sebagian kecil semi permanen. Rumah tidak permanen tersebut ditandai dengan dinding pada umumnya masih menggunakan kayu. Sebagian perumahan penduduk masih merupakan rumah panggung. Oleh karena itu, lantai rumah menggunakan kayu. Sebagian kecil yang lain masih berlantai tanah dan ada perkembangan bangunan yang telah menggunakan lantai plesteran (semen). Atap yang digunakan pada umumnya adalah atap rumbia/ daun nipah. Satu-satunya perumahan yang nampak mewah namun masih terbuat dari kayu dan merupakan rumah panggung adalah Pondok Informasi yang dibuat COREMAP. Namun sayang sudah berdiri lebih dari satu tahun bangunan tersebut belum dimanfaatkan. Rumah yang semi permanen merupakan bangunan sekolah, bangunan puskesmas pembantu, masjid dan gereja.

75

Sumber air bersih

Di Desa Saibi Samukop baru tersedia 4 bak penampungan air bersih yang dimanfaatkan untuk sumber air minum dan memasak. Dari jumlah tersebut menurut pengakuan penduduk dirasakan sangat kurang jumlah dan penyebarannya. Sedangkan kebutuhan air untuk mandi dan cuci masih menggunakan sumur di masing-masing rumah tangga. Air sumur tersebut tidak digunakan untuk air minum dan memasak sebab di samping kurang bening, juga rasanya agak payau. Sementara di Desa Saliguma telah tersedia 16 bak penampungan air untuk air minum, memasak, mandi dan cuci. Bak penampungan tersebut merupakan bantuan dari Pemerintah Daerah. Sumber air tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan semua rumah tangga di desa tersebut. Sebagian rumah tangga yang lain masih memanfaatkan air sungai dan air hujan.

Tempat buang air besar

Sebagian besar rumah tangga di Desa Saibi Samukop dan Saliguma masih menggunakan kebun. sungai dan pantai sebagai tempat buang air besar. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang sudah menggunakan WC/ jamban.

76

77

BAB V PENDAPATAN

agian ini membahas tentang pendapatan rumah tangga di daerah penelitian yang meliputi rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan dan rata-rata per kapita/ bulan. Dalam bagian

ini juga dibahas tentang pendapatan menurut lapangan pekerjaan, untuk mendapatkan informasi tentang lapangan pekerjaan mana yang pendapatannya masih cukup tinggi dan lapangan pekerjaan yang masih rendah. Informasi ini penting untuk kebijakan lapangan pekerjaan mana yang yang pendapatannya harus terus ditingkatkan. Pendapatan rumah tangga khusus kenelayanan juga mendapatkan bahasan khusus. Bagaimana pendapatan nelayan pada musim gelombang kuat, musim pancaroba dan musim gelombang tenang. Untuk meningkatkan pendapatan nelayan tersebut program apa yang perlu dilakukan, agar mereka dapat melaut setiap saat tanpa terkendala oleh musim. Armada yang perlu dimiliki dan alat tangkap yang harus digunakan. Strategi rumah tangga di daerah kajian untuk mengatasi kesulitan ekonominya juga dibahas. Bagian akhir merupakan sintesa pembahasan dalam bagian ini dan melihat faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga.

5.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita

Rata-rata pendapatan rumah tangga di daerah kajian tersaji pada Tabel 5.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa ternyata secara umum pendapatan rumah tangga di daerah kajian masih rendah, yakni Rp 682.852,00/ bulan. Di Desa Saibi Samukop rata-rata pendapatan rumah tangganya jauh lebih tinggi dari pada di Desa Saliguma, yaitu Rp 935.026,00 dan Rp 430.678,00. Potensi sumber daya darat dan lautnya nampaknya di Desa Saibi Samukop lebih banyak dari pada di Desa Saliguma. Dilihat dari rata-rata pendapatan per kapita/ bulan di

B

78

Desa Saibi Samukop juga jauh lebih tinggi dari pada Desa Saliguma, yaitu Rp 192.821 dan Rp 97.326.

Gambar 5.1 : Diagram Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Saibi Samukop & Saliguma

(dalam ribuan rupiah)

Bagaimana distribusi pendapatan rumah tangga tersebut? Di

Desa Saibi Samukop pendapatan rumah tangga lebih terdistribusi pada pendapatan di atas Rp 500.000,- dan di atas Rp 1.000.000. Pendapatan tertinggi terletak pada pandapatan Rp 1.500.000 sampai Rp 3.000.000. Sedangkan di Desa Saliguma pendapatan rumah tangga lebih terkonsentrasi pada mereka yang pendapatannya di bawah Rp 500.000,-. Hanya sedikit rumah tangga yang pendapatannya di atas Rp 1.000.000,00. Secara umum pendapatan rumah tangga di daerah kajian dominan (81 persen) pada tingkat pendapatan di bawah satu juta rupiah. Hanya sekitar seperlima jumlah rumah tangga di daerah kajian yang memperoleh pendapatan di atas satu juta rupiah. Pendapatan tersebut diperoleh dari berbagai sumber pendapatan, antara lain dari perikanan tangkap, pertanian/ perladangan, perdagangan dan sumber lainnya.

0

10

20

30

40

50

<500 500-999

1000-1499

1500-1999

2000-2499

2500-2999

3000+

79

Tabel 5.1 Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan per Kapita di Desa Saibi

Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No Kelompok

Pendapatan (ribuan rupiah)

Desa Saibi Samukop

Desa Saliguma Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

< 500

500 – 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999

3.000 + Jumlah

(N)

12,0 54,0 22,0 10,0

- 2,0 -

100,0 (50)

68,0 28,0 2,0 2,0 - - -

100,0 (50)

40,0 41,0 12,0 6,0 -

1,0 -

100,0 (100)

Rata-rata Pendapatan RT/bl

Rata-rata Pendapatan/Kapita

Rp 935.026

Rp 192.821

Rp 430.678

Rp 97.326

Rp. 682.852

Rp 145.073

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

5.2. Pendapatan Menurut Lapangan Pekerjaan

Bagaimana rata-rata pendapatan rumah tangga apabila dilihat dari masing-masing sektor/ lapangan pekerjaannya. Secara umum rata-rata jumlah pendapatan rumah tangga per bulan yang tertinggi ternyata sektor perdagangan (Gambar 5.2 dan Tabel 5.2). Tabel 5.2. menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga dari sektor perdagangan mencapai Rp 508.958,00. Angka rata-rata pendapatan tersebut sebetulnya juga tidak begitu tinggi.

80

Gambar 5.2 : Diagram Distribusi Pendapatan Rumah Tangga/ Bulan Menurut Lapangan

Pekerjaan di Saibi Samukop dan Saliguma, 2007

Urutan rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan berikutnya adalah sektor perikanan, yaitu perikanan tangkap. Rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan ternyata hanya Rp 209.435,00. Hal ini disebabkan tidak setiap bulan dalam satu tahun para nelayan dapat melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang sama. Pada bulan-bulan kuat para nelayan tidak menangkap ikan, sedangkan pendapatan dalam kajian ini dihitung rata-rata pendapatan per bulan selama satu tahun terakhir. Angka tersebut dihitung dari pendapatan dari penangkapan dalam satu tahun dibagi 12 bulan, sehingga pendapatannya cukup kecil.

Tabel 5.2 Rata-rata Pendapatan Per Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan

Mentawai, 2007

No Lapangan Pekerjaan (Sektor)

Desa Saibi Samukop (rupiah)

Desa Saliguma (rupiah)

Jumlah (rupiah)

(1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Perikanan tangkap Perikanan budidaya Pertanian/perkebunan Perdagangan Jasa Pengolahan Lainnya

287.829 93.333 62.610

700.000 - - -

135.703 -

42.179 317.916 166.667 30.333 29.166

209.435 93.333 52.394 508.958 166.667 30.333 29.166

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Rp0

Rp100,000

Rp200,000

Rp300,000

Rp400,000

Rp500,000

Rp600,000

P . t a n g k a p P e r i k . b u d i P e r t a n i a n P e r d a g J a s a P e n g o l a h a n L a i n n y a

81

5.3. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan

Tingkat pendapatan penduduk menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat yang dihasilkan dari proses kegiatan ekonomi (bekerja). Namun demikiaan, pada pekerjaan kenelayanan, tingkat pendapatan sangat dipengaruhi faktor alam. Proses kegiatan ekonomi di kalangan nelayan berhubungan dengan faktor musim ikan. Selain itu, tingkat pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh sifat ikan yang cepat membusuk (fugitive) karena itu memerlukan es untuk mencegah ikan agar tidak busuk

Di lokasi Desa Saibi Samukop dan Saliguma, ekonomi kenelayanan masih taraf subsisten karena itu sumber pendapatan hanya dipengaruhi faktor musim. Pada Tabel 5.3 berikut ini dapat dilihat bahwa pada musim banyak ikan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan per bulan mencapai sekitar Rp 482.700,- (Desa Saibi Samukop) dan Rp. 195.380,- (Desa Saliguma). Sedangkan pada saat musim pancaroba dan kurang ikan pendapatan mengalami penurunan hingga separuhnya terjadi di Desa Saibi Samukop mencapai sekitar Rp 202.720,- dan Rp 164.081,-, sementara di Desa Saliguma tidak begitu besar penurunannya di musim pancaroba, yakni hanya mencapai Rp. 130.210,-, namun pada musim gelombang kuat menurun drastis mencapai Rp. 81.520,- (lihat Gambar 5.3).

Perbedaan tingkat pendapatan ini dapat dipahami karena nelayan di kedua desa adalah nelayan pancing dan jaring gill-net, di mana masing-masing dalam pengoperasiannya membutuhkan kondisi air tenang. Apalagi sebagian besar nelayan di kedua desa tersebut menggunakan jenis perahu sampan-perahu tanpa motor. Jenis perahu sampan tidak mungkin dioperasikan pada musim ombak besar. Sementara itu pengoperasian jaring gill-net dapat berlipat-lipat karena digulung oleh ombak.

Apabila diperhatikan di Tabel 5.3, rata-rata pendapatan di kedua desa itu sangat berbeda jauh. Di Saliguma, rata-rata pendapatan para nelayan yang besarnya Rp. 135.703,-, besarnya separo dari rata-rata pendapatan nelayan di Desa Saibi Samukop,

82

yakni Rp. 283.163.167,- Perbedaan rata-rata pendapatan antara kedua desa ini tentu saja berhubungan dengan intensitas pemanfataan sumber daya laut. Mata pencaharian sebagai nelayan di Desa Saliguma lebih sekedar mendapatkan ikan untuk makan. Oleh karena itu, pada masa kurang ikan dan sulit ikan pada umumnnya beralih ke mata pencaharian di darat.

Gambar 5.3 :

Diagram Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga/ Bulan Menurut Musim

Jadi dengan demikian, pendapatan dari sektor kenelayanan di

kedua desa ini sangat rendah, terutama jika dibandingkan dengan pendapatan pegawai negeri sipil golongan yang paling bawah. Maka, melihat tingkat pendapatan di dua desa ini dapat disimpulkan hasil dari penangkapan ikan bukan sebagai sumber penghasilan rumah tangga satu-satunya dan sumber pendapatan utama. Nelayan di kedua desa ini memiliki sumber pendapatan lain yang berasal dari dari daratan, seperti kebun kelapa, cengkeh, dan sebagainya.

Rp0Rp50,000

Rp100,000Rp150,000Rp200,000Rp250,000Rp300,000Rp350,000

Gel.Kuat Pancaroba Gel.Tenang

83

Tabel 5.3 Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga per Bulan dari Kenelayanan Menurut Musim di Desa

Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

No Musim

Desa Saibi Samukop (Rp)

Desa Saliguma (Rp)

Jumlah (Rp)

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3.

Musim Gel.Kuat Musim Pancaroba Musim Gel. Tenang

164.081 202.720 482.700

81.520 130.210 195.380

122.800 166.465 339.040

Rata-rata Pendapatan RT/bl (N)

283.167

(50)

135.703

(50)

209.435

(100) Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

5.4. Strategi Rumah Tangga

Bagaimana strategi rumah tangga untuk mengatasi kondisi pendapatan rumah tangga yang ada. Dalam kajian ini ditanyakan tentang pemilikan tabungan, bentuk tabungan, pernah mengalami kesulitan keuangan dalam rumah tangga, jenis kesulitan yang sering dirasakan dan cara mengatasi kesulitannya. Hanya sekitar sepertiga jumlah rumah tangga yang dikaji yang mengaku memiliki tabungan. Jumlah rumah tangga yang memiliki tabungan di Desa Saibi Samukop jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Saliguma, masing-masing 44 persen dan 16 persen (Tabel 5.4). Apa bentuk tabungan yang mereka miliki? Di Desa Saibi Samukop bentuk tabungan yang terbanyak adalah berupa ternak (72,7 persen), antara lain berupa ternak sapi, babi dan unggas (ayam, itik, angsa). Sedangkan di Desa Saibi kebanyakan dalam bentuk uang (62,5 persen). Urutan berikutnya adalah berupa ternak (37,5 persen).

Apakah dalam satu terakhir pernah mengalami kesulitan keuangan, ternyata hampir semua rumah tangga menyatakan pernah mengalami kesulitan. Hanya di Desa Saibi Samukop persentasenya sedikit menunjukkan angka lebih rendah, namun masih di atas 90 persen. Kemudian dilanjutkan dengan menanyakan tentang jenis

84

kesulitan keuangan yang paling sering dirasakan oleh rumah tangga. Jenis kesulitan keuangan yang paling sering di rasakan rumah tangga di daerah kajian adalah masalah keuangan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Khusus di Desa Saibi Samukop proporsi jumlah rumah tangga yang terbesar mengaku untuk biaya kesehatan. Sementara di Desa Saliguma berbeda yang paling besar dan paling sering dirasakan adalah untuk biaya pendidikan. Penduduk Saliguma merasakan biaya pendidikan menjadi masalah utama, sebab di desa ini hanya ada fasilitas pendidikan berupa satu Sekolah Dasar saja. Untuk melanjutkan ke tingkat SLTP terpaksa harus ke Ibukota Kecamatan Muara Siberut yang terletak di pulau lain. Oleh karena itu, bagi anak-anak Desa Saliguma terpaksa harus tinggal dan kos di kota Kecamatan Muara Siberut apabila ingin melanjutkan ke SLTP. Kemudian mereka untuk melanjutkan ke SLTA harus ke Ibukota Kabupaten (Kotapejad) atau ke kota Padang. Untuk biaya sekolah, kos dan transpor jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kasus Pak HS meskipun mantan kepala desa merasa tak mampu menyekolahkan anaknya sampai SLTA dan perguruan tinggi. Mereka mengirim anaknya ke Jawa, tepatnya di Kota Bogor. Anaknya diikutkan orang lain yang mampu agar mau membiayai anaknya sampai perguruan tinggi. Anaknya sudah dua tahun ikut orang di Bogor dan sekarang telah masuk perguruan tinggi. Pak HS merasa bangga sekali anaknya bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Menurutnya jangan sampai hanya SD tamat seperti bapaknya dan mayoritas penduduk di Desa Saliguma hanya berpendidikan rendah (tamat SD ke bawah).

85

Tabel 5.4. Strategi Rumah Tangga di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan

Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

No Variabel/ Kategori

Desa Saibi

Samukop (persen)

Desa Saliguma (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) 1.

Setahun terakhir, rumah tangga punya tabungan: 1. Ya 2. Tidak Jumlah

44,0 56,0 100,0

16,0 84,0

100,0

30,0 70,0

100,0 2. Bentuk tabungan rumah tangga:

1. Uang 2. Perhiasan 3. Ternak 4. Lainnya Jumlah

22,7

- 72,7 4,5

100,0

62,5

- 37,5

- 100,0

42,6

- 55,1 2,3

100,0 3. Setahun terakhir pernah kesulitan

keuangan: 1. Pernah 2. Tidak pernah Jumlah

94,0 6,0

100,0

98,0 2,0

100,0

96,0 4,0

100,0 4. Jenis kesulitan keuangan paling

sering dirasakan: 1. Penyediaan saprodi 2. Biaya produksi 3. Bahan makanan 4.Biaya penddkan 5. Biaya kesehatan 6. Lainnya Jumlah

21,3 -

8,5 27,7 42,6

- 100,0

4,1 4,1 22,4 44,9 24,5

- 100,0

12,7 2,0 15,4 36,3 33,6

- 100,0

5. Upaya mengatasi kesulitan keuangan RT: 1. Menjual simpanan 2. Menggadai barang 3. Pinjam bos/taoke 3. Pijam warung/sdr 4. Minta bantuan sdr. cuma2 5. Lainnya Jumlah

4,3 2,1 -

80,9 10,6 2,1

100,0

14,3 2,0 10,2 28,6 36,7 8,2

100,0

9,3 2,1 5,1 54,8 23,6 5,1

100,0 Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

86

5.5. Sintesa Pendapatan

Untuk mengetahui penyebab rendahnya pendapatan masyarakat, dapat dilihat pada empat faktor, yaitu: potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, sistem produksi, pengolahan hasil produksi dan pemasaran. Jika melihat potensi sumber daya alamnya, kedua desa (Saibi Samukop dan Saliguma) memiliki sumber daya yang cukup baik. Itu dapat dilihat pada banyaknya pohon kelapa yang dimiliki penduduk, yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, di dua desa ini juga terdapat tanaman coklat dan cengkih. Akan tetapi, baik coklat maupun cengkih, produksinya masih sedikit, karena usia tanaman yang masih baru. Dengan demikian hasil dari dua jenis tanaman tersebut belum begitu berarti untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

Sebetulnya harga dua jenis komoditi tersebut cukup bagus.

Harga cengkih misalnya, mencapai Rp 20.000,- per kg. Jika satu hektar cengkih bias ditanami 120 batang dengan hasil antara 200 kg sampai 1000 kg, sebagaimana pengakuan beberapa informan, maka dari hasil cengkih seluas satu hektar masyarakat bias diperoleh pendapatan antara Rp 4 juta – Rp 20 juta. Akan tetapi, panen cengkih tersebut hanya bias berlangsung satu tahun, atau bahkan dua tahun sekali. Karena itu hasilnya tidak begitu banyak, apa lagi umumnya penanaman cengkih hanya sedikit-sedikit, karena mereka masih dalam taraf coba-coba, begitu pula hasil coklat. Harga coklat di daerah ini sekitar Rp 10.000,- per kg. Akan tetapi, karena umumnya masyarakat masih dalam taraf coba-coba, jumlah tanaman coklat yang dimiliki juga tidak banyak, sehingga belum begitu berarti untuk meningkatkan pendapatan mereka. Meskipun demikian, bagaimanapun harus diakui, bahwa keberadaan tanaman cengkih dan coklat itu memiliki andil untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dalam satu tahunnya, walaupun tidak begitu besar.

Walaupun di dua desa tersebut terdapat banyak pohon kelapa yang produksinya sangat besar, namun harganya sangat murah, yaitu hanya Rp 500,- per butir. Itupun belum tentu ada yang membeli,

87

karena hamper setiap keluarga memiliki pohon kelapa sendiri-sendiri. Satu-satunya cara untuk meningkatkan nilai buah kelapa adalah dibuat kopra, namun hasilnya juga tidak begitu besar, karena harga kopra per kg hanya Rp 1.500,-. Dari buah kelapa masyarakat juga membuat minyak kelapa, namun tidak juga bias dijual, dan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dengan demikian, hasil dari kebun kelapa walaupun memberi sumbangan bagi pendapatan masyarakat, namun nilainya tidak begitu besar.

Melihat potensi buah kelapa yang cukup besar di daerah ini, mestinya masyarakat bisa diberikan ketrampilan lain, sehingga dapat mengolah buah kelapa menjadi produk lain seperti yang bisa dijual ke pasar yang lebih besar. Akan tetapi, selain ketrampilan tidak dimiliki oleh masyarakat, pemasaran produk itu juga dikhawatirkan akan terhambat oleh terbatasnya akses masyarakat terhadap pasar. Untuk itu, jika pengolahan hasil kelapa itu akan dikembangkan, maka perlu ada investor yang bersedia menampung produk hasil olahan kelapa yang dihasilkan oleh masyarakat. Untuk mendatangkan investor itulah maka diperlukan berbagai insentif yang diperlukan, termasuk kesiapan prasarana yang dibutuhkan, sehingga mereka tertarik untuk berinvestasi di kawasan ini.

Jika potensi sumber daya di darat (terutama cengkih dan coklat) cukup memberi sumbangan bagi pendapatan masyarakat, walaupun tidak besar, maka di laut kondisinya agak berbeda. Jika melihat potensi sumber daya perikanan di wilayah perairan di sekitar dua desa, tampaknya masih sangat menjanjikan. Itu dapat dilihat pada mudahnya nelayan memperoleh ikan hasil tangkapan. Akan tetapi, karena alat tangkap yang digunakan masih sangat tradisional, maka sumber daya ikan yang berhasil ditangkap juga tidak banyak. Keterbatasan yang dimiliki masyarakat untuk mengekspolitasi sumber daya perikanan bukan hanya berupa peralatan tangkap, melainkan juga armada penangkapan, yang umumnya masih berupa perahu dayung. Dengan peralatan tangkap yang demikian, maka hasil tangkapannya juga tidak dapat banyak. Akibat lebih jauh dari itu, nilai penjualannya juga tidak banyak.

88

Masyarakat bukan tidak memiliki kemauan untuk meningkatkan peralatan tangkapnya. Akan tetapi, untuk keperluan itu mereka dihadapkan pada kendala permodalan untuk pengadaan peralatan tangkap yang lebih eksploitatif. Karena ketiadaan modal itulah maka mereka akhirnya pasrah dengan kondisi alat tangkap yang dimiliki, walaupun hasilnya tidak banyak.

Dengan alat tangkap yang ada sekarang pun masyarakat sebetulnya bisa memperoleh ikan tangkapan lebih banyak, asal mereka bekerja lebih keras. Akan tetapi, hal itu tidak mereka lakukan, dan mereka cenderung melaut secara subsisten, yaitu hanya untuk mendapatkan ikan sekedarnya untuk makan. Memang benar bahwa ikan yang diperoleh itu dijual, tetapi penjualan ikan belum menjadi orientasi kerja kenelayanan. Hal itu terjadi karena masalah pemasaran yang sulit mereka lakukan. Masyarakat cenderung memasarkan ikan yang diperoleh di desa mereka, sehingga jumlah yang bias dipasarkan menjadi terbatas. Dengan demikian kalau mereka mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak, maka ikan itu sulit untuk bias terjual semua.

Semua itu terjadi karena keterbatasan akses masyarakat terhadap pasar. Satu-satunya pasar yang tersedia di daerah ini hanya di ibukota Kecamatan Siberut, yang hanya buka satu kali dalam seminggu. Itu berarti bahwa masyarakat hanya dapat menjual hasil bumi atau hasil lautnya satu kali dalam seminggu, itupun dengan biaya transportasi yang cukup mahal. Dari Saliguma, biaya untuk transport ke pasar pulang pergi Rp 30.000,-, dan dari Saibi Samukop lebih besar lagi, yaitu Rp 40.000,-. Dengan biaya transport sebesar itu, maka jika komoditi yang dijual tidak banyak, tentu saja mereka akan rugi. Oleh karena itu tidak ada alternatif lain bagi mereka untuk menjual ikan hasil tangkapan, juga komoditi lainnya, kecuali di desa mereka sendiri. Dengan kondisi seperti itulah maka mereka tidak termotivasi untuk meningkatkan produksi hasil laut, sehingga pendapatannya tetap saja rendah.

Dengan tingkat pendapatan yang rendah, masyarakat masih harus mengalami kenaikan barang-barang konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, akibat kenaikan BBM, sehingga

89

tingkat pengeluaran mereka juga meningkat. Memang benar bahwa akibat kenaikan BBM tersebut pendapatan masyarakat juga ikut meningkat, karena harga jual komoditi yang dihasilkan juga ikut naik, namun peningkatan pendapatan tersebut tidak seimbang dengan laju peningkatan harga kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi seperti itu, akibatnya daya beli masyarakat juga menurun, walaupun di atas kertas pendapatan masyarakat bias saja naik.

90

91

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

enelitian ini dilakukan di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Penelitian data dasar sosial ekonomi terumbu karang

di dua desa tersebut dimaksudkan sebagai data awal program COREMAP sebelum dilaksanakan di desa-desa tersebut atau disebut T0. Data dasar ini akan menjadi masukkan untuk pelaksanaan program COREMAP. Namun ternyata sebelum penelitian yang dilakukan bulan Juli 2007 yang lalu, intervensi program COREMAP telah dilaksanakan di dua desa tersebut.

Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma dipilih sebagai daerah penelitian dan intervensi program COREMAP mendasarkan hasil penelitian fisik terumbu karang yang dilakukan LIPI yang lalu. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang sebagian mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut utamanya sebagai akibat ulah para nelayan yang memanfaatkan sumber daya laut dengan menggunakan alat dan bahan yang tidak ramah lingkungan terumbu karang, antara lain dengan penggunaan bom, racun, pukat harimau serta pengambilan karang. Penggunaan alat dan bahan serta pengambilan batu karang tersebut kecuali merusak terumbu karang juga menguras populasi sumber daya laut. Dampak lebih lanjut akan menurunkan hasil tangkapan para nelayan dan menurunkan pendapatan rumah tangga nelayan.

Sebenarnya perusakan ekosistem terumbu karang masih terus berlangsung dan tidak mudah untuk diadakan pencegahan secara menyeluruh. Hambatan selama ini yang dirasakan oleh masyarakat pesisir adalah kurangnya pengawasan dan penegakan hukum di perairan wilayah tangkap. Nelayan di dua desa yang sebagian besar masih serba miskin, baik miskin pendidikan, pengetahuan, ekonomi

P

92

maupun teknologi yang dimiliki dan dikuasai (alat tangkap dan armada kapalnya) tidak mungkin mampu bersaing, mengawasi dan mencegah para nelayan kaya (kaya modal dan teknologinya) yang kadang cenderung merusak terubu karang dan menguras sumber daya laut.

Kesejahteraan penduduk di dua Saibi Samukop dan Saliguma secara umum masih cukup rendah. Hal ini tercermin dari hasil penelitian rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan di dua desa tersebut hanya Rp 682.852,00 atau rata-rata pendapatan per kapita hanya Rp 145.073,00. Apabila garis kemiskinan 1 $ US per hari, maka rata-rata pendapatan per kapita di daerah penelitian jauh di bawah garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin diperkirakan dapat mencapai sekitar 80 persen. Pendapatan rendah terjadi pada rumah tangga di kenelayanan, yakni rata-rata per bulan hanya Rp 209.435,00. Di mana rata-rata pendapatan rumah tangga dari kenelayanan pada gelombang kuat hanya Rp 122.800,0, sedangkan pada gelombang tenang lebih dua kali lipat meskipun hanya Rp 339.040,00 per bulan. Untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga di daerah penelitian, khususnya rumah tangga kenelayanan perlu peningkatan pengetahuan, ketrampilan, permodalan, kemampuan teknologi dan akses pemasaran. Untuk itu pengembangan kelembagaan ekonomi melalui kelompok-kelompok masyarakat harus terus ditingkatkan. Dalam kaitannya dengan kenelayanan bagi pemerintah daerah harus berperan untuk mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya laut yang berbasis pada kemampuan dan partisipasi masyarakat pesisisr. Mayoritas rumah tangga pernah mengalami kesulitan keuangan yang kebanyakan kesulitan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Jalan keluar yang dilakukan dengan meminjam famili/ tetangga atau menjual simpanan berupa ternak (sapi, ayam, angsa).

Program-program kegiatan COREMAP yang sudah masuk ke desa-desa penelitian yang diharapkan untuk meningkatkan baik langsung maupun tidak langsung kepada penduduk ternyata masih menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat digunakan sebagai pembelajaran untuk perbaikan

93

program-program COREMAP yang akan datang. Pembelajaran yang dapat diambil dari kegiatan COREMAP yang telah masuk di desa-desa penelitian antara lain sebagai berikut :

1. Struktur sosial masyarakat baik di Desa Saibi Samukop maupun di Desa Saliguma bukan merupakan masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya dari kenelayanan, tapi lebih pada kehidupan usaha pertanian perladangan dan perkebunan. Oleh karena itu, dalam memasukkan dan menjalankan program-program COREMAP perlu perlakuan khusus yang berbeda dengan masyarakat desa pesisir lainnya yang sangat menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumber daya laut.

2. Pada umumnya program COREMAP di tingkat desa tergantung pada LPSTK, Pokmas dan Fasilitator Desa (Pendamping). Namun hambatan yang masih dihadapi baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma selama ini adalah masih kurangnya kemampuan teknis dan kepemimpinan mereka dalam bidang-bidang kegiatan yang ditanganinya. Hambatan tersebut berpengaruh pada ketidakmampuan mereka dalam menjalankan program-program COREMAP yang telah direncanakan.

3. Kurangnya kemampuan teknis dan kepemimpinan dalam melaksanakan program COREMAP tersebut menunjukkan kurangnya atau bahkan tidak adanya pelatihan-pelatihan bagi para stakeholders tersebut atau mempelajari program sejenis yang sukses dilakukan di daerah lain, sebelum menjalankan program di daerahnya sendiri.

4. Masih kurangnya sosialisasi dan koordinasi yang sebaik-baiknya mengenai program-program yang akan dijalankan terhadap baik para stakeholders di tingkat kabupaten maupun di tingkat desa.

5. Dalam perencanaan program dan kegiatan COREMAP selama ini masih cenderung bersifat top-down, belum merupakan

94

partisipasi atau masukan yang berasal dari masyarakat yang akan menjadi pelaksana program dan akan menikmati hasil program tersebut.

6.2. Rekomendasi

Dari beberapa kesimpulan yang disajikan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa rekomendasi yang kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk beberapa langkah perbaikan.

1. Sebelum program COREMAP dimasukkan ke lokasi target seharusnya sosialisasi program-program perlu dilakukan. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat mengetahui dan sadar bahwa program tersebut sangat bermanfaat bagi dirinya dan masa depannya. Sehingga kegiatan tersebut membuka dan memotivasi partisipasi masyarakat. Dengan demikian mereka merasa ikut memiliki dan mendukung program-program kegiatan yang akan dilaksanakan bersama. Apalagi mengingat latar belakang sosial ekonomi masyarakat lokasi target (Desa Saibi Samukop dan Saliguma) sebagian besar bukan nelayan yang tidak sangat menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut. Mereka merasa bahwa program-program COREMAP tidak dibutuhkan bagi masyarakat.

2. Sumber daya laut termasuk ekosistem terumbu karang akan lestari apabila mampu membangkitkan partisipasi masyarakat pesisir serta para penegak hukumnya. Untuk mendukung program tersebut sangat diperlukan Peraturan – Peraturan Daerah yang lebih konkrit dan perlu dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaannya. Peraturan dan petunjuk pelaksanaan tersebut sangat dibutuhkan sebagai pegangan bagi para penegak hukum dan masyarakat pesisir untuk mengamankan dan mengawasi apabila ada kegiatan yang merusak sumber daya laut.

95

3. LPSTK sebagai lembaga yang diperkenalkan oleh COREMAP perlu didukung oleh kemampuan para pengurusnya, fasilitator dan para pokmasnya. Untuk meningkatkan kemampuan para pengurus LPSTK perlu diikutkan dalam berbagai pelatihan yang terkait dengan kegiatan program COREMAP yang akan direncanakan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam pelaksanaan program, apabila jenis program yang dilatihkan mirip dengan yang akan direncanakan.

4. Dalam pelaksanaan program COREMAP perlu ditingkatkan koordinasi antar pengurus dan anggota Pokmas. Perlunya keterbukaan dalam semua kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan para pengurus LPSTK agar semua program kegiatan yang akan dilaksanakan bersama akan mendapat dukungan penuh dari para anggota Pokmas tanpa ada rasa curiga. Jangan sampai seperti yang berlangsung selama ini pertemuan koordinasi hanya dilakukan menjelang menerima dana bergilir. Setelah dana ke luar pertemuan-pertemuan secara rutin tidak dilakukan. Pertemuan tersebut sangat penting untuk melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan, menampung permasalahan/ kendala yang muncul di lapangan dan upaya mengatasi permasalahan tersebut.

96

97

DAFTAR PUSTAKA BAPPEDA Pemkab Mentawai (2004)

Laporan Akhir Profil Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.Tuapejat : BAPPEDA Pemkab Mentawai.

BAPPEDA Pemkab Mentawai (2004a) Analisis Pengembangan Profil Ekonomi Kabupaten Kepulauan Mentawai. Tuapejat : BAPPEDA Pemkab Mentawai.

BAPPEDA Pemkab Mentawai (2005) Laporan Akhir Penyusunan Revisi RTRW Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tuapejat : BAPPEDA Pemkab Mentawai.

BAPPEDA Pemkab. Mentawai (2005a) Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2005. Tuapejat

: BAPPEDA, Pemkab Mentawai.

Badan Pusat Statistik (2005) Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Kepualauan Mentawai Tahun 2005. Tuapejat : BPS bekerjasama dengan BAPPEDA Kab. Mentawai

Bandiyono, Suko dkk (2007) Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang di Sikakap, Kabupaten Mentawai. Jakarta : COREMAP-LIPI & PPK-LIPI.

Hidayati, Deny dkk (2002) Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia : Studi Kasus Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara . Jakarta : COREMAP LIPI.

Homer-Dixon, T. (1994). “Enviromental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases”. International Security, 19 (5) Hal. 5-40.

98

Lynch, Owen J. (2002). Whose Resources ? Whose Common Good ?. Toward a new paradigm of Environmental Justice and National Interest in Indonesia. Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Nawawi dan Ari Wahyono (2007) Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia : Desa Katurai, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Jakarta : COREMAP-LIPI dan PPK-LIPI

Nontji, Anugerah (1987) Laut Nusantara. Jakarta : Penerbit PT Jambatan.

Widayatun dkk (2002) Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia : Studi Kasus Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua. Jakarta : COREMAP LIPI.

YKI (2006) Pengelolaan Berbasis Masyarakat – COREMAP II Kab. Kep. Mentawai : Laporan Akhir. Tuapejad : Yayasan Kirekat Indonesia (YKI).

Zerner, C. (1996). Sea Change : The Role of Culture, Community and Property Rights in Managing Indonesia’s Marine Fisherie”. Jakarta: Yayasan Obor.

99

LAMPIRAN Lampiran 1 : ISTILAH LOKAL ayam = gaugou angsa = aso anjing = jojok air = ainan bubu = legeu babi = sakoko bakau = bakat beras = bera bukit = leko cengkeh = sangke desa = pulaggaicjat dukun = kere gosong = padarai gula = gulo hulu = kanlu ikan = kiba ikan gembolo = kanase ikan hiu = simanggu ikan pari = buluk ikan kerapu = kure jaring = jarig jalan = enungan ketela pohon = baelati kebun/ldang = mone kelapa = toitet karang = bukku kerikil = onei kepiting = labug laut = batkoat lampu = alito

100

muara = monga minyak tanah = suat alito minyakgoreng = pakkale mata air = bubuakat nanas = maset pancing = kakabli perahu = abag perahu motor = abag motro pisang = bago pepaya = sakelo pantai = bebetokoat pasir putih = buge/ ngai pinang = loinang pasang = movojo pasang kering = kaiojo pasar = pasakia rumah = lalep rokok = ube sungai = batoinan sagu = sagae sapi = cawi sumur = sumu udang = tutu ubi = gobi warung = jaga

101

Lampiran 2 :

Tabel 2.1 : Sarana dan Prasarana Desa Saliguma,

Kec. Siberut Selatan, Kab.Mentawai, 2007

No Jenis Sarana dan Prasarana

Jumlah Kondisi

(1) (2) (3) (4) 1 Kantor Kepala Desa 1 unit Kurang baik, berfungsi 2 Gedung TK 2 unit Berfungsi 3 Gedung SD 1 unit Baik, berfungsi 4 Gereja 2 unit Baik, berfungsi 5 Mesjid 1 unit Baik, berfungsi 6 Lapangan bola dan volly 1 tempat Baik, berfungsi 7 Puskemas Pembantu 2 unit Baik, berfungsi 8 Posyandu Kurang berfungsi 9 Jalan Desa 4 km Baik, berfungsi

Sumber: Hasil pendataan kondisi umum desa oleh FL YKI, tahun 2005

Tabel 2.2 : Sarana dan Prasarana Desa Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, Kab.Mentawai, 2007

No Jenis Sarana dan Prasarana

Jumlah Kondisi

(1) (2) (3) (4) 1 Kantor Kepala Desa 1 unit Kurang baik, berfungsi 2 Gedung TK 2 unit Berfungsi 3 Gedung SD 5 unit 3 unit rusak 4 Gereja 9 unit Baik, berfungsi 5 Mesjid 1 unit Baik, berfungsi 6 Puskemas Pembantu 1 unit Baik, berfungsi 7 Posyandu 2 unit Kurang berfungsi

8 Jalan desa (di pusat desa/Saibi) 4 km Baik, berfungsi

Sumber: Hasil pendataan kondisi umum desa oleh FL YKI, tahun 2005

102

Tabel 3.1. Pengetahuan bahwa Terumbu Karang Merupakan Makhluk Hidup,

Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Mengetahui

Saliguma (persen)

Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2 3

Ya Tidak Tidak tahu

70,0 6,0

24,0

89,8

- 10,2

79,9 3,0

17,1

Jumlah (N)

100 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Tabel 3.2. Pengetahuan Penduduk Tentang Jenis Makhluk Hidup Terumbu

Karang,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Mengetahui

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2 3 4

Hewan Tumbuh-tumbuhan Hewan& tumbuh2an Tidak tahu

-

42,9 25,7 31,4

17,8 17,8 60,0 4,4

10,6 28,2 45,9 15,3

Jumlah (N)

100 (35)

100,0 (50)

100,0 (85)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

103

Tabel 3.3. Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Desa, Desa Saliguma dan Saibi

Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Mengetahui

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) 1 2 3 4 5

Baik Kurang baik Rusak Sangat rusak Tidaktahu

4,0

34,0 16,0

- 46,0

10,0 72,0 10,0 2,0 6,0

7,0

53,0 13,0 1,0

26,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Tabel 3.4. Kondisi Terumbu Karang Saat Ini Perlu Diperbaiki/dilestarikan, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Mengetahui

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) 1 2 3

Ya Tidak Tidak tahu

64,0 2,0

34,0

98,0

- 2,0

81,0 1,0

18,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

104

Tabel 3.5 Pengetahuan Adanya Sanksi/Hukuman Bagi Perusak Terumbu Karang, Desa Saliguma dan Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Mengetahui

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2 3

Ya Tidak Tidak menjawab

36,4 60,6 3,0

13,6 50,0 36,4

27,3 56,4 16,3

Jumlah (N)

100,0 (33)

100,0 (22)

100,0 (55)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Tabel 3.6. Diperlukannya Peraturan Adat untuk Pengelolaan

Sumber Daya Laut, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Perlu/tidaknya Peraturan

Adat

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2 3

Ya Tidak Tidak menjawab

72,0 16,0 12,0

44,0 30,0 26,0

58,0 23,0 19,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

105

Tabel 3.7. Jenis Alat Tangkap Nelayan Saliguma.

Kec. Siberut Selatan, Kab.Mentawai, 2007

No.

Jenis Alat Tangkap

Persentase

(1) (2) (3)

1 Pancing 65,0 2 Jaring 5,0 3 Bagan 1,0 4 Bubu 15,0 5 Tangguk 5,0 6 Lain-lain (meracun, bom ikan) 9,0

Jumlah 100,0 Sumber : Hasil pendataan kondisi umum desa oleh FL YKI,

tahun 2005

Tabel 3.8. Jenis Alat Tangkap Nelayan Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, Kab.Mentawai, 2007

No

Jenis Alat Tangkap

Persentase

(1) (2) (3) 1 Pancing 55,0 2 Jaring 5,0 3 Panu 10,0 4 Kabat 5,0 5 Lain-lain (meracun, bom ikan) 25,0

Jumlah 100,0 Sumber : Hasil pendataan kondisi umum desa oleh FLYKI

2005

106

Tabel 3.9. Pernah/Tidaknya Dilakukan Upaya Program Penyelamatan

Sumber Daya Laut, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No. Pernah Lakukan Upaya Progam

Penyelamatan SDL

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2 3

Pernah Tidak Pernah Tidak tahu

86,0 14,0

-

34,0 18,0 48,0

60,0 16,0 24,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Tabel 3.10. Pernah dengar Istilah COREMAP, Desa Saliguma dan Saibi Samukop,

Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Pernah Dengar

COREMAP

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2

Pernah Tidak Pernah

96,0 4,0

100,0

-

98,0 2,0

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

107

Tabel 3.11. Tujuan COREMAP jika Pernah Mendengar Istilah COREMAP, Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Tujuan COREMAP Desa

Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) 1 2

Melindungi terumbu karang Tidak tahu

93,8

6,3

78,0

22,0

85,9

14,1

Jumlah (N)

100,0 (50)

100,0 (50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

Tabel 3.12. Program COREMAP sudah Mulai Dilaksanakan,

Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

COREMAP Mulai

Dilaksanakan

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5) 1 2 3

Ya Tidak Tidak tahu

93,8

- 6,3

82,0 2,0

16,0

87,8 1,0

11,2

Jumlah 100,0 (48)

100,0 (50)

100,0 (98)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007

108

Tabel 3.13. Keterlibatan dalam Program COREMAP,

Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Telah

Terlibat

Desa Saliguma (persen)

Desa Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2

Ya Tidak

44,4 55,6

22,0 78,0

33,7 66,3

Jumlah (N)

100,0 (45)

100,0 (41)

100,0 (86)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec. Siberut Selatan, 2007

Tabel 3.14. Keinginan untuk terlibat dalam Program COREMAP,

,Desa Saliguma dan Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, 2007

No.

Ingin

Terlibat

Saliguma (persen)

Saibi

Samukop (persen)

Jumlah (persen)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 2

Ya Tidak

100,0

-

75,6 24,4

85,5 14,5

Jumlah (N)

100,0 (28)

100,0 (41)

100,0 (69)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec. Siberut Selatan, 2007