Download - Abses Peritonsil
Abses Peritonsil
RADITIA KURNIAWAN102011219
D-9
Skenario
Seorang laki-laki berusia 38 th datang ke puskesmas
dengan keluhan sulit menelan, demam, banyak air liur,
leher kiri membengkak, suara ‘hot potato voice’.
TTV:
Suhu 37,50 c
Nadi 85x/menit
RR 100x/menit
Tonsil kanan bengkak. Uvula terdorong ke sisi
kontralateral.
ANAMNESIS Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada kerongkongan
adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses
peritonsil.
Nyeri tenggorok
Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah
nyeri tenggorok ini disertai demam, batuk, serak, dan
tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan
berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu
hari?
Nyeri menelan (Odinofagia)
Nyeri menelan merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu
gerakan menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai
telinga?
Rasa banyak dahak di tenggorokan
Adanya dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul
akibat adanya inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini
berupa lendir saja, nanah, atau bercampur darah? Dahak ini dapat
turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok
Sulit menelan (Disfagia)
Pada pasien dengan keluhan sulit menelan perlu ditanyakan sudah
berapa lama hal tersebut terjadi dan jenis makanan cair atau padat.
Apakah disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat?
Rasa ada yang menyumbat atau mengganjal
Rasa sumbatan ditenggorok dapat ditanyakan sudah berapa lama
menderita hal tersebut dan tempatnya terdapat dimana.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena
jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan.
Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak
setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara
bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih
berat.
Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda
dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/ servikal
adenopati.
Disaat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan
pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-
pilar tonsil atau palatum molle yang terkena.
Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang
membengkak atau tertutup oleh mukopus.
Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya
uvula pada sisi yang berlawanan.
Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di
belakang tonsil, penyebaran pus kearah inferior dapat menimbulkan
pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas.
Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan
gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula
tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil
superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan
kemerahan.
Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle
aspiration). Tempat aspirasi dibius/ dianestesi menggunakan
lidocain dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16-18)
yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi
material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas dan
material dapat dikirim untuk dibiakkan.
Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran
kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur
darah (blood cultures)
Tes Monospot (antibody heterophile) perlu dilakukan pada
pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical
lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita
memerlukan evaluasi/ penilaian hepatosplenomegali. Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan
hepatomegali
“Throat culture” atau “throat swab and culture”:
diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius.
Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang
tepat dan efektif untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotic
Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral
(Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan
oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal
Computerized tomography (CT scan); biasanya tampak
kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi
(the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”
Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonografi.
Diagnosis Kerja
Abses peritonsil
Akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk
sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada
kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal
sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara
kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring.
Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus
piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil.
Karena terdiri dari jaringan ikat longgar, infeksi parah pada
daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi purulen.
Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung
mengenai palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah.4
Abses peritonsil biasanya
merupakan komplikasi dari
tonsilitis akut.
Edema akibat inflamasi dapat
mengakibatkan kesulitan
menelan.
Dehidrasi sekunder sering
terjadi akibat pasien
menghindari menelan
makanan dan cairan.
Perluasan abses dapat
menyebabkan peradangan ke
dalam kompartemen fasia
yang berdekatan dengan
kepala dan leher, sehingga
berpotensi menyebabkan
obstruksi jalan napas.
EtiologiAbses peritonsiler disebabkan oleh organism yang bersifat
aerob maupun yang bersifat anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-
hemolitik streptococcus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza, sedangkan organism anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus
spp.
Kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena
kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik
EpidemiologiAbses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20
sampai 40 tahun.
Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan
penyakit kekebalan tubuh, tetapi pada anak infeksi dapat
menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas.
Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-
laki dan perempuan.
Pada umumnya infeksi dibagian kepala leher terjadi pada
orang dewasa.
Insiden abses peritonsil di AS terjadi 30 per 100.000 orang/
tahun.
PatofisiologiPatofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti.
Namun teori yang paling banyak diterima adalah
perkembangan dari episode tonsillitis eksudatif ke
peritonsilitis dan kemudian terjadi proses pembentukan
abses.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan
jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke
ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), terjadi proses
pembengkakan dan tampak permukaan peritonsil
hiperemis.
Gejala KlinikPasien abses peritonsil biasanya datang ke klinik dengan
keluhan utama nyeri menelan (odinofagia).
Juga mengeluh demam, lemah, lesu serta nyeri kepala.
Pada kasus yang berat, terdapat sulit menelan (disfagia),
nyeri alih ke telinga pada sisi terbentuknya abses peritonsil,
saliva yang meningkat, serta trismus.
Pembengkakan peritonsil mengganggu artikulasi sehingga
pasien sulit berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot
potato voice).
Pasien sulit membuka mulut.
Pemeriksaan mulut dengan menggunakan spatula lidah
menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dan ada rasa
ingin muntah.
Diagnosis sering hampir pasti dapat ditegakkan bila
pemeriksa melihat pembengkakan peritonsil yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema
dari palatum molle.
Tonsil sendiri dapat terlihat bengkak, hiperemis, dan
mungkin banyak detritus. Tonsil juga dapat terdorong ke
arah medial, depan, ataupun bawah.1
Diagnosis BandingEtiologi Gejala Klinis Diagnosis
Abses Retrofaring
Abses Parafaring
ISPA sebabkan menyebabkan limfaadenitis retrofaring
Trauma dinding belakang faring
Infeksi ruang parafaring secara (1) Langsung, tusukan jarum pada tonsilektomi. (2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal. (3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
rasa nyeri dan sukar menelan
pada anak tidak mau makan/minum
demam, leher kaku dan nyeri
sesak napas karena sumbatan jalan napas
dapat mengganggu resonansi suara
Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.
trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol kea rah medial.
adanya riwayat ISPA/trauma
PP Rontgen jaringan lunak leher lateral
tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa.
berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik.dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.
Abses Parafaring
Infeksi ruang parafaring secara (1) Langsung, tusukan jarum pada tonsilektomi. (2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal. (3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol kea rah medial.
berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik.
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.
Penatalaksanaan
Pada 54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan
teknik insisi dan drainase, 32% digunakan jarum aspirasi, dan
14% dilakukan tonsilektomi.
Terapi antibiotika
Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai
obat simptomatik, kumur-kumur dengan cairan hangat dan
kompres hangat pada leher. Penisilin (dosis tinggi) dan
sefalosporin (generasi pertama, kedua, atau ketiga) biasanya
merupakan obat pilihan.
Penisilin = kuman Staphylococcus ; Metronidazol = infeksi
anaerob ; Tetrasiklin = alternatif ; Klindamisin = bakteri yang
memproduksi beta laktamase.
Insisi dan drainase (intraoral drainase)
Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase
abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi
insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di
daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling
berfluktuasi.
Teknik insisi = pada penderita yang memerlukan anastesi
umum, posisi penderita saat tindakan adalah kepala lebih
rendah (trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal
tube). Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi
pada daerah yang paling fluktuatif
Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung
dihisap dengan menggunakan alat penghisap. Tindakan ini
(menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah
aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis.
Setelah cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang
cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur
dengan antiseptic dan diberi terapi antibiotika
Drainase dengan aspirasi
jarum = model terapi abses
peritonsil yang digunakan
sampai saat ini, pertama
insisi dan drainase serta
yang kedua tonsilektomi.
Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan
penanganan yang terbaik
untuk mencegah rekurensi
abses peritonsil.
KomplikasiAbses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru, atau piema
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring,
sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi
penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis
Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial; dapat
mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis,
dan abses otak.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika
diagnosis abses peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi
tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.
Prognosis
Dubia ad bonam
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang
menyebabkan kematian kecuali jika terjadi
komplikasi berupa abses pecah spontan dan
menyebabkan aspirasi ke paru.
KesimpulanAbses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah
(pus) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsilar
yang terbentuk sebagai hasil dari supuratif tonsilitis.
Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat,
biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau, dan kadang-kadang sukar
membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir selalu
berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.