case abses peritonsil engndah

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peritonsillar abscess (PTA) merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan pembentukan nanah pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor pharing dengan tonsil pada fossa tonsilaris, dan dimulai dari fossa supra tonsilaris karena disini tedapat kripta magna. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurgai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di diruang leher dalam yang terlibat. Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa

Upload: engga-ega-demartha

Post on 31-Jul-2015

146 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Abses Peritonsil Engndah

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan

pembentukan nanah pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor pharing dengan tonsil pada

fossa tonsilaris, dan dimulai dari fossa supra tonsilaris karena disini tedapat kripta magna. Nyeri

tenggorok dan demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus

dicurgai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk didalam

ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber,

seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik

biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di diruang leher dalam yang terlibat.

Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada

umur 20-40 tahun. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000

orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Pada anak-anak jarang

terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan

obstruksi jalan napas yang signifikan. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki

dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik yang mengalami eksaserbasi akut

atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi

pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan

salah satu dari abses leher dalam.

Abses peritonsil adalah suatu infeksi leher dalam yang cukup sering terjadi di bagian

leher dan kepala terutama pada orang dewasa. Seringkali pasien datang dengan keluhan yang

berat, namun penatalaksanaannya tidaklah terlalu rumit jika kita sebagai dokter tanggap dan

mengetahui dengan benar anatomi, patofisiologi, dan gejala dari penyakit ini. Diharapkan dari

makalah ini kelak kita sebagai dokter dapat memahami penyakit ini dan memberikan terapi

dengan tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

Page 2: Case Abses Peritonsil Engndah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil Palatina dan Ruang Peritonsil

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsillaris pada

dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari cincin waldeyer. Jaringan

limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von

Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil

pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar

dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium

tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring merupakan

bagian dari faring yang terletak diatas palatum molle, orofaring yaitu bagian yang terletak

diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang

meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga

mulut pada pilar anterior faring. Palatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang

ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya

menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula

Page 3: Case Abses Peritonsil Engndah

Tonsil palatina terdiri dari:

1. Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan limfosit, plasma

sel.

2. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong tonsil &

berhubungan dengan kripta.

Batas-batas tonsil palatina:

1. Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris yang

menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam parenkim tonsil akan

membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf.

2. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan mikrokripta.

3. Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang berjalan dari bagian

bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.

4. Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan dari permukaan

bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.

Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir

pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat

pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai

kedinding atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan

pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung

dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan

lateral dinding faring.

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang menutupi pilar

anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris (supratonsil) adalah lipatan

sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah

yang ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah

atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat

dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah

dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Permukaan lateral-

nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk

saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung

Page 4: Case Abses Peritonsil Engndah

jaringan limfoid dan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara

kelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan

medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil, kebanyakan terjadi

penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas. Secara klinik

kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa

makanan, epitel yang terlepas, kuman.

Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga tertekan setiap

kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio,

tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya

setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung

dari jumlah adanya jaringan limphoid.

Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor faring superior oleh

jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan

ikat longgar ini, untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap

m.konstriktor faring superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna

terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla.

Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang merupakan cabang

dari arteri facialis, cabang – cabang a. lingualis, a. palatina ascendens a. pharyngea ascendens.

Sedangkan inervasinya diperoleh dari n. glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh

limfe masuk dalam nl. cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah

nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.

Ruang Peritonsil

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil palatine,

sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan pilar anterior

dan sebelah posterior dengan pilar posterior.

Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot konstriktor

faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior)

membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

Page 5: Case Abses Peritonsil Engndah
Page 6: Case Abses Peritonsil Engndah
Page 7: Case Abses Peritonsil Engndah

2.2 Definisi

Abses peritonsil merupakan kumpulan / akumulasi nanah (pus) yang terlokalisir/ terbatas

pada jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari supuratif tonsilitis.

2.3 Etiologi

Abses peritonsil bermula dari infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah

tonsil meluas sampai palatum molle. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsil.

Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan onset awal dari tonsillitis atau akhir dari perjalanan

penyakit tonsilitis akut. Biasanya unilateral dan kuman penyebab sama dengan tonsillitis, dapat

ditemukan kuman aerob dan anaerob. Kemungkinan abses peritonsil disebabkan oleh infeksi

pada kripta difusa supra tonsil, dimana ukurannya besar, merupakan suatu kavitas seperti celah

dengan tepi tak teratur dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil.

Abses peritonsil juga terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang

Page 8: Case Abses Peritonsil Engndah

bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil6. Biasanya kuman penyebabnya sama

dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang

lebih tua dan dewasa muda.

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat

anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler

adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus,

dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan

adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus

spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme

aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain

eipsten-barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi abses peritonsiler belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling

banyak diterima adalah kelanjutan episode tonsillitis eksudatif menjadi peritonsillitis dan diikuti

pembentukan abses. Berikut ini adalah tiga teori patogenesa terjadinya abses peritonsiler :

1. Teori Parkinson (1970)

Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam ruang peritonsil

terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior dari kapsul tonsil di pool

atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari tonsil. Bila kelompok ini

terinfeksi mudah terjadi abses di dalam ruangan yang terisi jaringan ikat longgar.

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,

sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di

bagian inferior, namun jarang.

2. Teori Ballenger(1977)

Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte yang besar di pole atas

yang merupakan celah yang berhubungan erat dengan bagian luar tonsil, sehingga infeksi

yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas belakang (superior posterior) dari

ruangan peritonsil.

3. Teori Paparella (1980)

Page 9: Case Abses Peritonsil Engndah

Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari proses akut tonsil dan

menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot konstriktor

faring.

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga

permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan

berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula

bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan

jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga

timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain

itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang

sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran dari infeksi virus Epstein-Barr.

Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya timbul pada hari

ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta yang mengalami

peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil, dimana ukurannya besar, merupakan kavitas

seperti celah dengan tepi tidak teratur, dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian

luar tonsil. Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang

terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul pada tonsil

“bed”. Pus yang berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan menimbulkan penonjolan,

pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga tonsil akan terdorong kearah medial

bawah. Walaupun sangat jarang abses peritonsil dapat terbentuk di inferior.

Abses peritonsiler juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang bersumber dari kelenjar

mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan permukaan atas tonsil lewat duktus dan kelenjar

ini membersihkan area tonsil dari debris dan sisa makanan yang terperangkap di kripta tonsil.

Inflamasi pada kelenjar weber dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus

sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat inflamasi sekitarnya. Hasilnya adalah

nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang menghasilkan tanda dan gejala abses peritonsil.

2.5 Gejala dan Tanda Klinis

Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat

diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle. Terdapat riwayat faringitis

Page 10: Case Abses Peritonsil Engndah

akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin

memburuk. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien

menderita nyeri hebat.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan odinofagia yang

menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan

tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena

hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum

molle (udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem

perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi,

tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi

dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus

tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan

terbatasnya gerakan leher (torticolis).

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai

dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada

pemeriksaan kavum oral terdapat hiperemis, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan

pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi.

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami

kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.

Page 11: Case Abses Peritonsil Engndah

PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa

supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan bahkan seperti bintil – bintil

kecil. Palpasi daerah palatum mole terdapat fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi

fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami gangguan pernafasan.

Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi jarum. Tempat yang akan

dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidokain dan epinephrine dengan

menggunakan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran

10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk

dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.

.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium berupa hitung

darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan kultur darah. Karena pasien dengan abses

peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi

akibat tidak tercukupinya asupan makanan. Usap dan kultur tenggorok (throat swab and culture).

Untuk membantu dalam indentifikasi organisme penyebab infeksi. Hasilnya dapat digunakan

dalam pemilihan antibiotik yang tepat serta efektif, dan untuk mencegah timbulnya resistensi

antibiotik.

Pemeriksaan radiologi dapat membantu pada terapi abses peritonsil yang tidak mengalami

perbaikan setelah dilakukan inspirasi dan drainase atau terdapat perburukan edema pada selulitis

peritonsil yang telah diterapi. Pada kasus tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di tonsil itu

sendiri dan atau sebagian abses tersembunyi pada inferior atau posterior tonsil. Foto polos dapat

berupa pandangan jaringan lunak lateral dari nasofaring dan orofaring dapat membantu dokter

dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan

lunak, tapi tidak begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.

Pada pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat dilakukan dengan CT scan pada

rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena. Ditemukan gambaran kumpulan cairan

hipodens di apex tonsil yang terkena, dengan penyengatan pada perifer. Gambaran lainnya

termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya. Ultrasonography Intraoral

ultrasonography merupakan teknik pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan

selulitis dan abses.

Page 12: Case Abses Peritonsil Engndah

2.7 Komplikasi

Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya rima glotis atau

edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa

menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang pecah secara spontan terutama waktu tidur

dapat mengakibatkan aspirasi pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah

dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi abses

parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila

terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus,

meningitis, dan abses otak. Sekuele poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rhematik)

apabila bakteri penyebab infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian walaupun jarang dapat

terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath. Dapat juga

terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.Komplikasi juga terjadi akibat

tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya

komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan

intervensi sejak dini.

2.8 Diagnosis Banding

Abses peritonsil harus dibedakan infiltrat peritonsil. Untuk membedakannya, pada

stadium infiltrasi belum terdapat trismus, dan kejadiaanya baru berlangsung 1-3 hari. Untuk

membedakannya dilakukan punksi percobaan dan hasil pungsi tidak didapatkan pus.

Page 13: Case Abses Peritonsil Engndah

Karsinoma tonsil dicurigai bila permukaan tonsil tidak rata atau permukaan bunga kubis

dan ada jaringan nekrotik atau ulkus. Diagnosis banding adalah abses leher dalam lainnya yaitu

abses retrofaring dan, abses parafaring .

Gambaran infeksi ruang submaksila juga bisa seperti abses peritonsil. Infeksi ini biasanya

terjadi akibat karies atau infeksi pada gigi molar. Pus dapat mendorong otot-otot dalam ke arah

konstriktor superior sehingga tonsil terdorong ke medial, seperti pada quinsy.

2.9 Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu

kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah

penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin

3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.

Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-1150F) atau glukosa 5% tiap 2-3 jam

dapat memberikan perbaikan simtomatis dari rasa sakit pada abses peritonsiler. Kompres hangat

di leher dan rahang akan mengendurkan ketegangan otot.

Bila telah terjadi fluktuasi dan terapi konservatif tidak menolong, maka tindakan aspirasi

pus cukup memadai, tetapi lebih sering harus diikuti dengan insisi. Drainase terbaik adalah

tonsilektomi ‘quinsy’, yang dilakukan dengan anastesi umum dan perlindungan antibiotika. Yang

mengherankan, tonsil tidak mengalami perdarahan hebat, dan sebenarnya tindakan ini lebih

mudah dibandingkan pengangkatan tonsil beberapa minggu kemudian, sewaktu ruangan

peritonsil yang sebelumnya terisi pus terah terobliterasi dengan jaringan parut dan fibrosis, dan

kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali.

Bila tidak terdapat ahli dan fasilitas untuk melakukan tonsilektomi ‘quinsy’, maka terapi

yang sesuai adalah insisi dan drainase melalui mulut. Drainase di tempat praktek membutuhkan

lampu kepala dan alat penyedot faring yang baik, harus dilakukan di lokasi yang tepat, dan harus

dilakukan tindakan untuk menghindarkan aspirasi pus ke paru. Teknik insisi dan drainase

membutuhkan anastesi lokal. Faring disemprot dengan anastesi topikal. Kemudian 2 cc Xilocain

dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan di regio insisi. Pisau tonsila no. 12 atau no.11 dengan

plester atau dengan kasa di bagian proksimal pisau dan gagang pisau untuk mencegah penetrasi

yang dalam, insisi dibuat melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris.

Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila

Page 14: Case Abses Peritonsil Engndah

sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dilkeluarkan. Pada anak yang lebih

tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat, pembedahan drainase untuk abses peritonsiler

mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion

sfenopalatina pada fosa nasalis untuk mencapai n. palatina descenden. Anak-anak yang lebih

muda membutuhkan anastesi umum. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan

lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas

terakhir. Bila dilakukan dengan tepat, hanya akan terjadi sedikit perlukaan. Kesalahan tersering

karena tidak membuat lubang yang cukup panjang atau cukup dalam. Biasanya evakuasi pus

akan diikuti perbaikan segera gejala-gejala pasien.

Karena abses peritonsil merupakan komplikasi tonsilitis akut yang berulang-ulang, maka

dianjurkan pada penderita abses peritonsil dilakukan tonsilektomi, supaya tidak timbul abses

yang berulang. Dapat dilakukan tindakan operasi tonsilektomi a chaud (immediate tonsilektomi),

yaitu tonsilektomi segera mungkin setelah drainase abses. A tiede, yaitu tonsilektomi dilakukan

3-4 hari setelah drainase abses. A froid (interval tonsilektomi), yaitu tonsilektomi dilakukan 4-6

minggu sesudah drainase abses.

Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah

drainase abses. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini

belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis

menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian karena mengingat kemungkinan terjadi

perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi sesegera mungkin.

Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera pada abses peritonsil, jika terdapat obstruksi jalan

napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses ke leher bagian dalam, riwayat abses

peritonsiler sebelumnya, dan riwayat faringitis eksudatifa berulang.

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek

mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravena dexamethasone pada antibiotik

parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours

hospitalized), nyeri tenggorokan, demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang

hanyadiberi antibiotik parenteral.

Page 15: Case Abses Peritonsil Engndah

2.10 Prognosis

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka

tonsilektomi dilakukan 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda,

biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.