referat abses peritonsil

30
BAB I PENDAHULUAN Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. (1) Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. (2) Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa menyebabkan 1

Upload: nenovita

Post on 04-Aug-2015

824 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Abses Peritonsil

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil,

abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses

submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara

fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,

tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh

perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan

terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri

dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. (1)

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala

dan leher. Gabungan dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa

terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan

palatum superior.(2)

Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi

tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa

menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil,

tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.(3)

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation)

pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang

terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

1

Page 2: Referat Abses Peritonsil

BAB II

ANATOMI TONSIL

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat

dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil

palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin

Waldeyer. (4)

Gambar 1. Anatomi Tonsil (5)

Gambar 2. Cincin Waldeyer (6)

2

Page 3: Referat Abses Peritonsil

2.1 Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil

pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar

posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-

masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak

selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa

supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: (2)

Lateral Muskulus konstriktor faring superior

Anterior Muskulus palatoglosus

Posterior Muskulus palatofaringeus

Superior Palatum mole

Inferior Tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan

tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular

dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan

tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling

menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.(1)

Gambar 3. Tonsilla

Palatina (7)

2.2 Fosa Tonsil

3

Page 4: Referat Abses Peritonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot

palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding

luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis

ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal. (3)

2.3 Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris dan arteri

palatina asenden

2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

4. Arteri faringeal asenden

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian

posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri

tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina

desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus

faringeal. (3)

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil (7)

4

Page 5: Referat Abses Peritonsil

2.4 Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal

profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,

selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya

mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak

ada. (3)

Gambar 5. Aliran limfe kepala dan leher (8) Gambar 6. Persarafan Tonsil (7)

2.5 Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus

glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

2.6 Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B

membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah

40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.(3) Limfosit B berproliferasi di pusat

germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim

dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.(9) Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil

dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel

limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.(3) Tonsil merupakan organ limfatik sekunder

5

Page 6: Referat Abses Peritonsil

yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil

mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan

efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik. (10)

BAB III

FISIOLOGI TONSIL

Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi sekresi

bahan imun dan mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran tonsil mulai aktif

antara umur 4-10 tahun dan akan menurun setelah masa pubertas. Hal ini menjadi alasan

fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak

mengalami perkembangan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8

tahun dan tonsil merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi

imunitas yang luas. (3)

6

Page 7: Referat Abses Peritonsil

Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal

kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke

dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil

mempu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang

menyebabkan jaringan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru

lahir, tonsil secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya

kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid,

yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai

indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi

kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan,

yaitu spesifik dan non spesifik.

3.1 Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan

limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini

sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kman ke

dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini

dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga

menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel

fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke

dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan

bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi

oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2 yang

bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di

sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit

terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan

mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga

digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif. (3)

3.2 Mekanisme Pertahanan Spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap

udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi

7

Page 8: Referat Abses Peritonsil

IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Di

samping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat

sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator

vasoaktif, yaitu histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan IgE,

sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.

Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe 1,

yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan teknik immunoperoksidase, dapat

diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi

permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Mekanisme kerja IgA adalah mencegah

substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infeksi

virus, IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier

untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

BAB IV

ABSES PERITONSIL

4.1 Definisi

8

Page 9: Referat Abses Peritonsil

Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau Quinsy

adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai

hasil dari tonsillitis supuratif.(11)

Gambar 7. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra, Abses peritonsil sinistra (12)

4.2 Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi

yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman

penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis.(4) Abses peritonsil disebabkan oleh

organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling

sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-

hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan

organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan

Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena

kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.(11) Sedangkan virus yang dapat

menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes

simplex, dan parainfluenza.

4.3 Prevalensi

9

Page 10: Referat Abses Peritonsil

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala

dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi

pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem

immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-

anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika

insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan

hampir 45.000 kasus setiap tahun. (1)

4.4 Patologi

Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling

banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsilitis eksudatif pertama

menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank

abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,

sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian

inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan

tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga

daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan

mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra

lateral.(4)

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan

iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,

sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.(4) Selain itu, abses peritonsil terbukti dapat timbul de

novo tanpa ada riwayat tonsilitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. Abses

peritonsil dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-

Barr (mononucleosis).(13)

4.5 Gejala Klinik

Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar

2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan

10

Page 11: Referat Abses Peritonsil

dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat

faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang

semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang

menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter

menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia)

ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),

banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) (4) karena oedem palatum molle yang

terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan

kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya

inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme

muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan

terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat

perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala

sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot,

pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). (14)

4.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil.

Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang

mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis

dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi

terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka

mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan

kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan

11

Page 12: Referat Abses Peritonsil

terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi

kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil

yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan

bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat

pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan

edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. (1) Asimetri palatum

mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum mole teraba

fluktuasi.

3. Pemeriksaan Penunjang (14)

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang

mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan

aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan

menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang

biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan

tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui

organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses

peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit

(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis

dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan

evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada

penderita dengan hepatomegaly.

Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme

yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan

efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue

views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam

menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

12

Page 13: Referat Abses Peritonsil

Gambar 8. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil (15)

Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di

apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena

disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan

ini dapat membantu untuk rencana operasi.

13

Page 14: Referat Abses Peritonsil

Gambar 9. CT Scan dari Abses peritonsil dextra (15)

Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %.

Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %.

merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam

membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias

menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase

secara pasti.

Gambar 10. Ultrasonografi dari abses peritonsil (15)

4.7 Diagnosis Banding

1. Abses retrofaring

2. Abses parafaring

3. Abses submandibula

4. Angina ludovici

14

Page 15: Referat Abses Peritonsil

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher

dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam,

nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang

paling umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya,

diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. (4)

4.8 Terapi

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.

b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.

c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau

peroral.

d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.

e) Pemberian steroid.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga

perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan

antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum.

Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika

dikombinasikan dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV

tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis

awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5

mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.

15

Page 16: Referat Abses Peritonsil

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi

untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,

atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.

Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya

diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan

perbaikan segera gejala- gejala pasien.

Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil (4)

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal

di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud.

Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede,

dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada

umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase

abses. (4)

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil

berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai

kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama

abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan

kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan

tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,

sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. (2)

16

Page 17: Referat Abses Peritonsil

Gambar 12. Tonsilektomi (16)

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek

mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada

antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah

sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan

trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. (1)

4.9 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: (4)

Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia.

Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.

Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.

Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus

kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik apabila

bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.

17

Page 18: Referat Abses Peritonsil

Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke

selubung karotis atau carotid sheath.

Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.

Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil diabaikan.

Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan

penanganan dan intervensi sejak dini.

4.10 Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika

terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu

komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. (14)

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka

ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya

terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

18

Page 19: Referat Abses Peritonsil

BAB V

PENUTUP

5.1 Resume

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian

kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsiler.

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber

dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah

Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan

Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus sp. Penelitian yang dilakukan

merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa

untuk kultur sensitifitas terhadap antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika

dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres

dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian

diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya

adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian

dalam, riwayat abses peritonsil sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.

Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar

antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler

untuk mencegah kekambuhan. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat

faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian

dilakukan tonsilektomi.

5.2 Saran

19

Page 20: Referat Abses Peritonsil

Diagnosis dini sangat penting mengingat dapat terjadi beberapa komplikasi yang

mengancam jiwa. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk

itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional.

Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

2. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.

3. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam

Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby

Inc.; 2005.

4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:

http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm . Accessed

on September 23th, 2012.

6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu

. Accessed on September 23th, 2012.

7. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September

23th, 2012.

8. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at: http://www.anatomyatlases.org .

Accessed on September 23th, 2012.

9. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential

Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill Medical

Publishing Division; 2003.

20

Page 21: Referat Abses Peritonsil

10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.

Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA)

Indonesia; 2004.

11. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga

Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 1998.

12. Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on

September 23th, 2012.

13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi IV. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.

14. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

15. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.revolutionultrasound.com .

Accessed on September 23th, 2012.

16. Kaneshiro, Neil. Tonsillitis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on

September 23th, 2012.

21