dokumen perdata

Upload: erik-sosanto

Post on 19-Jul-2015

183 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MAKALAH HUKUM PERDATA

DOSEN PENGASUH: THEA FARINA, SH.M.Kn

Disusun Oleh: NAMA NIM JURUSAN FAKUTAS : ERIK SOSANTO : EAA 110 039 : ILMU HUKUM : HUKUM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2011

MAKALAH PERBEDAAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DENGAN KUH PERDATA

DOSEN PENGASUH: THEA FARINA, SH.M.Kn

Disusun Oleh: NAMA NIM JURUSAN FAKUTAS : ERIK SOSANTO : EAA 110 039 : ILMU HUKUM : HUKUM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2011

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai hukum perkawinan Indonesia. Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan hukum perkawinan Indonesia. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya. Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini. Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya tentang hukum perkawinan Indonesia.

Palangka Raya, Mei 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI....................................................................................................

i ii iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Asas-asas, pengertian, dan tujuan perkawinan ......................................... 5 1 3 4 4 4

2.2 Perbedaan UU perkawinan dengan KUH perdata ................................... 7

BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 3.2. Saran ....................................................................................................... 14 14

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Ada pun penyesuaiannya adalah sebagai berikut: Sistemmatika menurut kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPerdata) terdiri dari empat bagian, yaitu: Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang

dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.

Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.

Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sedangkan, sistemmatika menurut ilmu pengetahuan terdiri dari empat bagian juga yaitu: Hukum Pribadi diatur di dalam Buku I Bab 1-3 dan Buku III Bab 9. Hukum Keluarga diatur di dalam Buku I Bab 4-18. Hukum Kekayanan diatur di dalam Buku II Bab 1-2,Bab 19-21 dan Buku III. Hukuk Waris diatur didalam Buku II Bab 12-18.

1.2 Perumusan Masalah Merujuk pada sistemmatika tadi, dalam makalah ini akan membahas tentang hukum keluarga. pembahasan ini menekankan pada undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974. Hal ini dilakukan mengingat undang-undang tersebut mencabut berlakunya ketentuan-kententuan mengenai perkawinan dan segala akibat hukumnya yang terdapat dalam buku I KUHpdt. Ketentauan mengenai hukum keluarga sepanjang sudah dicabut oleh undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974,tidak dibicarakan lagi. Namun dalam Pembahasan kali ini kita mencoba menguraikan beberapa hal penting mengenai hukum keluarga khususnya mengenai perkawinan walapun tidak dibicarakan lagi. Dengan berdasarkan sistemmatika KUHperdata dan sistemmatika ilmu pengetahuan. kita dapat membandingkan perbedaan antara undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 dengan kitab undang-undang hukum perdata. Ada pun pokok permasalahan yang akan dibahas selajutnya adalah: 1. Asas-asas,Pengertian,dan tujuan perkawinan.

2. Perbedaan antara undang-undang perkawinaan No.1 tahun 1974 dengan KUHperdata Buku I.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk tiap mahasiwa(i) agar mampu memahami tentang undang-undang perkawinan baik melalui UU No.1 th 1974 maupun menurut KUHperdata Buku I,serta dapat memahami beberapa perbedaan mendasar diantara kedua undang-undang tersebut.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku literature yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan situs internet.

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut : a. Sebagai media untuk menambah wawasan. b. Bahan referensi aktual . c. Bahan bacaan dan pengetahuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 ASAS-ASAS, PENGERTIAN, DAN TUJUAN PERKAWINAN

I. Asas-asas perkawinan.

Beberapa asas perkawinan dalam undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 3 dapat diperinci dan diuraukan dibawah ini. Asas-asas ini mendasari ketentuanketentuan dalam undang-undang perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Perkawinan monogami. Kebebasan kehendak. Pengakuan kelamin secara kodrati. Tujuan perkawinan. Perkawinan kekal. Perkawinan menurut hukum agama. Perkawinan terdaftar. Kedudukan suami-istri seimbang. Poligami sebagai pengecualian. Batas minimal usia kawin. Membuat keluarga sejahtera. Larangan dan pembatalan perkawinan. Tanggung jawab perkawinan dan perceraian. Kebebasan mengadakan janji perkawinan. Pembedaan anak sah dan tidak sah. Perkawinan campuran. Perceraian dipersulit. Hubungan dengan pengadilan.

Didalam KUHperdata juga terdapat Asas perkawinan yang menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri. (KUHPerd. 61-3', 4', 62, 63_21, 65, 83, 87 dst., 95 dst. 901.)

II. Pengertian perkawinan.

Perkawinan menurut kententuan pasal 1 UUP No.1 th 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Yang mengandung makna ikatan lahir batin dalam arti hubungan formal dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak. Antara seorang pria dan wanita yang artinya seorang pria yang berjenis kelamin pria dan seorang wanita yang bejenis kelamin wanita yang menjadi kodrat Tuhan,bukan bentukan manusia. Dan suami istri dalam arti fungsi masing-masing pihak sebagai akibat adanya ikatan lahir batin. Sedangkan pengertian perkawinan menurut pasal 26 KUHperdata, perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama.

III. Tujuan perkawinan.

Menurut ketentuan pasal 1 UUP No.1 th 1974, tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami,istri,dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubangan suami istri dalam satu wadah yang disebut kediaman, bahagia artinya kerukunan atau keharmonisan hubungan suami-istri dan anak-anak dalam rumah tangga. Dan kekal artinya berlangsung-terus menerus seumur hidup serta tidak boleh diputuskan atau dibubarkan begitu saja oleh masing-masing pihak. Namun menurut KUHperdata tujuan perkawinan hanya mengenai menjalankan hubungan keperdataan saja seperti meneruskan keturunaan,memlihara anak-anak,dll.

2.2 PERBEDAAN UU PERKAWINAN DENGAN KUH PERDATA

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia diciptakan laki-laki perempuan dan sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan, apalagi ini juga sejalan dengan pemikiran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia selalu bersama dengan manusia lainya dalam satu kesatuan sosial yang disebut masyarakat, sebab manusia tidak akan mampu hidup tanpa bantuan dan kerja sama dengan manusia lainnya. Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum positif) maupun yang tidak tertulis (hukum adat). Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun di sisi lain, masih terdapat juga Hukum Perdata yang pula memberi warna dan ikatan tentang perkawinan dan hal-hal keperdataan lain yang terkait didalamnya. Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatuperikatan(verbindtenissen). Dalam hal ini marilah kita lihat kembali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-

undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Selain itu Hakikat Perkawinan menurut UU No. 1/1974 pasal 1, disebutkan hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri. Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat. Asas Perkawinan yang termuat dalam UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja), dengan Syarat Sahnya Perkawinan menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda. Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang

yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Dalam pasal 1 UU No. 1/1974, disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal-hal inilah yang perlu kita cermati melalui suatu pengkajian untuk menemukan esensi pemberlakuan hukum perkawinan bagi warga Negara.

I. Syarat- syarat Perkawinan.

Syarat-syarat perkawinan terdiri dari : I. Syarat Materil

.

Syarat Materil adalah syarat yang dihubungkan dengan keadaan pribadi orang

yang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu : Kedua belah pihak masing-masing harus tidak dalam keadaan kawin sehingga tidak terjadi poligami (pasal 27 KUH.Perdata). Persetujuan sukarela antara kedua belah pihak (pasal 28 KUH.Perdata dan UUP pasal 6 ayat 1). Memenuhi ketentuan umur minimum yakni pria 18 tahun dan wanita 15 tahun (pasal 29 KUH.Perdata,berbeda dengan UUP pasal 7 ayat 1 pria 19 th dan wanita 16 th). Bagi wanita yang putus perkawinan harus telah melewati 300 hari sejak putus perkawinan sebelumnya(pasal 34 KUH.Perdata,UUP pasal 11 ayat 1 junto PP No.9 th 1975 kematian 130 hari dan perceraian 90 hari). Izin atau persetujuan pihak ketiga bagi : 1. Orang yang belum dewasa (minderjaring)dari orang tua atau walinya (pasal 35 37 KUH.Perdata,UUP pasal 6 ayat 2,3,dan 4) 2. Orang yang berada dibawah pengampuan (curandus) (pasal 38 dan 151

KUH.Perdata,UUP pasal 6 ayat 2). Perkawinan tidak dilakukan dengan orang-orang yang dilarang oleh undang-undang yaitu : 3. Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan darah atau keluarga.Antara keluarga dalam satu garis lurus keatas dan kebawah dan antara keluarga dalam garis lurus kesamping,misalnya saudara laki-laki dengan saudara perempuan baik sah maupun tidaksah (pasal 30 KUH.Perdata,UUP pasal 8 hurup a dan b) 4. Antara ipar laki-laki dengan ipar perempuan,antara paman dan bibi dengan kemenakan (paal 31 KUH.perdata). 5. Larangan perkawinan antara mereka yang karena putusan hakim terbukti melakukan overspel (pasal 32 KUH.Perata) 6. Larangan kawin karena perkawinan yang dahulu atau sebelumnya,selama belum lewat waktu satu tahun (pasal 33 KUH.Perdata). Syarat Mateil dalam nomor 1,2,3,4,dan 5 disebut syarat Material Mutlak,yaitu syarat yang apabila tidak dipenuhi maka orang tidak berwenang melakukan perkawinan atau perkawinan tidak dapat terjadi atau batal demi hukum. Syarat nomor 6 disebut syarat Material Relatif karena mengandung larangan melakukan perkawinan bagi orang yang tertentu saja.

II.syarat formil

Syarat Formil adalah syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau formalitasformalitas melangsungkan perkawinan, yaitu : Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil (pasal 50 KUH.Perdata.UUP pasal 29). Pengumuman kawin(huwelijks afkondiging) dikantor Catatan Sipil (pasal 28 KUH.Perdata). Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak berdiam di daerah yang sama maka pengumuman dilakukan di Kantor Catatan Sipil tempat pihak-pihak calon suami istri

tersebut masing-masing (pasal 53 KUH.Perdata). Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman kawin tersebut (pasal 75 KUH.Perdata) Jika pengumuman kawin (Huwelijks afkondiging) telah lewat satu tahun, sedang perkawinan belum juga dilangsungkan,maka perkawinan itu menjadi daluarasa dan tidak boleh dilangsungkan kecuali setelah diadakan pemberitahuan dan pengumuman baru (pasal 57 KUH.perdata).

II. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha untuk menghindari adanya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan Undang-undang. Pencegahan (stuiting) ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum suatu catatan sipil dan diputus oleh Pengadilan tersebut (pasal 66 KUH.Perdata). Yang berhak mengadakan pencegahan Perkawinan menurut ketentuan UndangUndang adalah : Suami atau Istri atau anakanak dari salah seorang yang hendak kawin kalau antara mereka masih terikat dalam suatu perkawinan (pasal 60 KUH. Perdata). Ayah atau ibu atau wali dalam hal yang ditentukan oleh pasal 61 KUH Perdata yaitum: 1. Apabila anaknya masih meenderjaring (belum dewasa) dan tidak mendapat izin dari orang tuanya. 2. Apabila anaknya sudah meenderjaring (dewasa) tapi belum berusia 30 tahun dan tidak minta izin dari orang tuanya. 3. Apabila salah satu pihak berada dibawah pengampuan (curatele). 4. Apabila,kedua belah pihak yang hendak kawin tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang(syarat Material dan syarat Formil) 5. Apabila tidak diadakan pengumuman perkawinan (huwelijks afkondiging). 6. Apabila salah satu pihak berada dibawah pengampuan karena boros.

Jika orang tua tidak ada maka kakek, nenek dan wali/wali pengawas berhak mengadakan stuiting dengan alasan nomor 3,4,5,6 diatas (pasal 62 KUH Perdata). Jika kakek,nenek tidak ada maka saudara,paman dan bibi/wali pengawas, pengampu (curator) dapat mengadakan stuiting dengan alasan tidak diberi izin dan alasan-alasan nomor 3,4,5,6 diatas (pasal 63 KUH Perdata). Bekas suami calon pengantin wanita,jika perkawinan itu dilangsungkan belum melewati 300 hari sejak putus perkawinan mereka pasal 64 KUH Perdata). Jaksa wajib mengadakan stuiting bila dilanggar pasal 27 dan 34 KUH.Perdata (tentang azas monogami dan pelaksanaan perkawinan bagi perempuan yang putus perkawinan sebelum melewati 300 hari sejak perceraiannya.(pasal 65 KUH Perdata). Jika ada stuiting tapi perkawinan itu tetap juga dilangsungkan maka perkawinan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) oleh Pengadilan Negeri.

III. Pelaksanaan Perkawinan.

perkawinan dapat dilangsungkan setelah lewat sepuluh hari sesudah pengumuman (afkondiging) di kantor Catatan Sipil, kecuali ada dispensasi (izin) dari kepala Daerah (pasal 75 KUH.Perdata). Menurut pasal 71 KUH.Perdata sebelum perkawinan dilangsungkan, pegawai catatan sipil meminta surat-surat yang merupakan syarat untuk melangsungkan perkawinan. Akta kelahiran kedua pihak. Akta persetujuan pihak ketiga yang diperlukan untuk perkawinan itu (izin orang tua,wali/wali pengawas atau pengampunya). untuk perkawinan kedua kalinya atau berikutnya diperlukan akta : 1. akta kematian suami atau istri yang dahulu 2. akta perceraian. 3. izin Hakim dalam hal ketidakhadiran suami atau istri. akta kematian mereka yang harus memberi izin perkawinan antara kedua belah pihak tersebut. bukti perkawinan telah diumumkan, tanpa ada stuiting atau bukti stuiting telah gugur. dispensasi dari presiden untukmelangsungkan perkawinan dengan seorang wakil yang

telah diberi kuasa untuk itu dengan akta otentik (perkawinan yang diwakilkan/huwelijk met de handschoen).(pasal 79 KUH.Perdata). izin dari komandan militer. Pasal 76 KUH.Perdata mengatakan perkawinan itu harus dilangsungkan : 1. dimuka umum. 2. Digedung tempat akta catatan sipil itu dibuat 3. Dimuka pegawai catatan sipil. 4. Dengan disaksikan oleh dua orang saksi baik kelurga maupun bukan keluarga yang sudah meerderjarig dan bertempat tinggal di Indonesia. 5. Setelah selesai pelaksanaan perkawinan dimuka pegawai catatan sipil baru boleh diadakan menurut upacara agama (pasal 81 KUH.Perdata)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dalam KUH.Perdata/B.W.kita tidak menjumpai sebuah pasal pun yang menyebut tentang pengertian dan tujuan perkawinan. Pasal 26 KUH.Perata /B.W. hanya menyebut bahwa KUH.Perdata/B.W. memandang perkawinan dari sudut hubungannya dengan Hukum Perdata saja. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan menurut hukum agama tidaklah penting selama tidak diatur dalam Hukum Perdata.

Dengan demkian yang ditentukan oleh Hukum Perdata dengan perkawinan adalah persekutuan hidup bersama menurut Hukum Perdata antara seorang pria denngan seorang wanita untuk waktu yang kekal. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh pegawai Kantor Catatan Sipil. Perkawinan menurut agama tidak dilarang tetapi pelaksanaanya hendaklah dilakukan sesudah dilakukan perkawinan menurut Hukum Perdata.Pasal 81 KUH.Perdata menegaskan bahwa tidak boleh melangsungkan upacara keagamaan sebelum perkawinan menurut upacara kantor Catatan Sipil selesai. Oleh karean KUH.Perdata tidak memberikan definisi tentang perkawinan, dibawah ini dikedepankan definisi perkawinan menurut pendapat para sarjana. Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara. Dari definisi diatas kita melihat bahwa perkawinan itu hanya ditinjau dari segi hubungan perdatanya saja,terlepas dari segi tujuannya,agama dan sebagainnya. 3.2 Saran Setelah membahas tentang hukum perkawinan Indonesia tadi baik dari segi UUP No.1 th 1974 dan KUHperdata. diharapkan agar mahasiswa(i) Indonesia mampu memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat khususnya yang menyangkut hukum perkawinan secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yang berlandaskan pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-undang Hukum perdata, Buku 1. Undang-Undang No,1 tahun 1974,PP No.9 tahun 1975. Tentang Perkawinan, Oleh m00y5u5ak blog. Hukum indinesia, Wikipedia Abdulkadir Muhammad, S.H., hukum perdata Indonesia bab 3 hukum keluarga, penerbit PT. CITRA ADITYA BAKTI-Bandung 1990. Prop.soebekti, S.H., PENGANTAR hukum Indonesia bab 5 hukum perdata,PT. RajaGrafindo Persada.