wanprestasi perdata

Upload: kupon-dosa

Post on 13-Jul-2015

676 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia harus hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan satu sama lainya, manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, upaya untuk mencapai tujuan hidupnya antara lain dengan menjalin kerja sama yang baik antara sesama manusia dalam berbagai macam bidang kehidupan, di antara sekian banyak aspek kerja sama dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek ekonomi yang di dalamnya mencakup masalah-masalah perdagangan, jual beli, dan sebagainya. Perdagangan atau jual beli merupakan salah satu cara yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perdagangan atau jual beli juga merupakan bukti bahwa setiap manusia memiliki ketergantungan terhadap sesamanya. Dahulu orang melakukan transaksi jual beli dengan cara bertemu langsung antara penjual dan pembeli, dan bahkan sebelum adanya mata uang sebagai alat pembayaran transaksi jual beli dilakukan dengan cara barter atau pertukaran barang antara orang yang saling membutuhkan barang tersebut satu sama lain. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, telah banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada saat ini, segala macam bidang kegiatan usaha manusia terasa semakin mudah, jika dibandingkan ketika teknologi yang digunakan belum mutakhir seperti sekarang ini. Perkembangan teknologi

1

2

elektronik yang sangat pesat sangat mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia termasuk dalam transaksi jual beli. Terbukanya jaringan informasi global yang serba transparan

memungkinkan adanya transformasi secara cepat keseluruh dunia melalui dunia maya, dengan teknologi internet interaksi antar manusia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Jaringan komunikasi global telah menciptakan tantangantantangan sekaligus permasalahan-permasalahan tersendiri terhadap cara

pengaturan transaksi-transaksi perdagangan. Keberadaan internet mengakibatkan semakin maraknya kegiatan

perekonomian yang memanfaatkan internet sebagai media komunikasi dan transaksi dalam suatu perdagangan. Jual beli barang dan atau jasa secara elektronik melalui internet sering juga disebut dengan istilah e-commerce, jual beli seperti ini menimbulkan dampak tersendiri terhadap perkembangan hukum di Indonesia, termasuk pengaturan mengenai wanprestasi dalam jual beli secara elektronik karena hal tersebut menyangkut kepastian hukum dan kenyamanan bertransaksi melalui media elektronik. Oleh karena itu, perlu adanya aturan yang jelas mengenai transaksi jual beli secara elektronik tersebut, mengingat di

Indonesia belum ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah e-commerce, sedangkan tuntutan harus adanya perlindungan hukum

terhadap pihak yang di rugikan apabila terjadi wanprestasi dalam jual beli secara elektronik sangat mendesak.

3

Berdasarkan kondisi diatas, penulis akan melakukan penelitian yang kemudian dituangkan dalam skripsi yang berjudul, TINJAUAN HUKUM MENGENAI WANPRESTASI DALAM JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA TENTANG PERIKATAN .

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan apa yang telah di uraikan pada latar belakang diatas maka penulis mencoba untuk mengidentifikasikan permasalahan yang timbul, sebagai berikut : 1. Bagaimana terjadinya wanprestasi dalam jual beli secara elektronik? 2. Bagaimana akibat hukumnya, apabila terjadi wanprestasi dalam jual beli secara elektronik? 3. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan para pihak apabila terjadi wanprestasi dalam jual beli secara elektronik?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui terjadinya wanprestasi dalam jual beli secara elektronik. 2. Untuk mengetahui akibat hukum apabila terjadi wanprestasi dalam jual beli secara elektronik.

4

3. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan para pihak apabila terjadi wanprestasi dalam jual beli secara elektronik.

D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Secara Teoritis, ditujukan untuk pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya dalam bidang hukum perikatan, dalam hal ini mengenai hukum jual beli secara elektronik. 2. Secara Praktis, ditujukan agar dapat menjadi masukan kepada para praktisi hukum dan atau para pembuat undang-undang dalam rangka membuat peraturan perundang-undangan mengenai cyber law

khususnya wanprestasi dalam jual beli secara elektronik.

E. Kerangka Pemikiran Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan mengenai definisi perjanjian, bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, sementara itu berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian antara lain : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masingmasing dan mengikatkan dirinya dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.

5

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, cakap untuk dapat melakukan perbuatan hukum yaitu diantaranya harus sudah dewasa, artinya bahwa berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa orang yang sudah dewasa adalah telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah. Kemudian orang yang dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian ialah orang yang sehat akal pikiran, yaitu orang yang tidak dungu atau memiliki keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila, dan juga orangorang yang bukan pemboros (Pasal 433 KUH Perdata). Selain itu orang yang cakap membuat perjanjian adalah orang yang tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan perjanjian utang piutang. 3. Suatu hal tertentu, yaitu sesuatu yang menjadi obyek perjanjian atau disebut juga prestasi. Prestasi menurut Pasal 1234 Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah terdiri dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :1 a. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

1

Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas Asas Hukum Perdata, Cet.VI, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 206.

6

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya. c. Harus mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut

mungkin dilakukan menurut kemampuan manusia pada umumnya dan kemampuan debitur khususnya, misalnya tidaklah mungkin debitur yang seorang tuna wicara diharuskan untuk menyanyi. 4. Suatu sebab yang halal, menurut Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Selain itu didalam Pasal 1337 Kitab UndangUndang Hukum Perdata juga dijelaskan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjain tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif artinya syarat tersebut menyertai para pihak, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya para pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian kepada hakim dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun (Pasal 1454 KUH Perdata), apabila tidak dilakukan permintaan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap berlaku mengikat bagi para pihak. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif yang tidak menyertai para pihak, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum, artinya bahwa

7

perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, oleh karena itu tidak ada dasar bagi para pihak untuk menuntut pemenuhan prestasi. Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas, diantaranya adalah asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang menjelaskan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian sepanjang masih memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan juga tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, serta kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menggambarkan bahwa Buku III KUH Perdata bersifat terbuka. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka perjanjian jual beli yang dibuat secara elektronik melalui media internet dianggap sah dan berlaku mengikat para pihak yang membuatnya. Dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan di dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka jual beli merupakan suatu perjanjian di mana pihak yang satu atau penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak yang lainnya atau pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama. Selanjutnya yang dimaksud jual beli secara

8

elektronik atau sering juga disebut e-commerce menurut Julian Ding dalam bukunya E-commerce: Law and Office yang diadaptasi oleh Haris Faulidi Asnawi yaitu :2 E-commerce merupakan suatu transaksi komersial yang dilakukan penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial ini terdapat di dalam media elektronik yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi, dan keberadaan media ini dalam public network atas sistem yang berlawanan dengan private network. Di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Teknologi Informasi (Draf ketiga) dijelaskan mengenai definisi dari perdagangan secara elektronik dalam pasal 1 poin (3), yaitu : Perdagangan secara elektronik adalah perdagangan barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media elektronik lainya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Teknologi Informasi (Draf ketiga) juga menjelaskan mengenai definisi dari kontrak elektronik dalam pasal 1 poin (5), yaitu : Kontrak elektronik adalah dokumen elektronik yang memuat transaksi dan atau perdagangan elektronik. Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual beli secara elektronik yaitu suatu serangkaian proses2

Haris Faulidi Asnawi, Transaksi Bisnis E-commerce Perspektif Islam, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004, hlm. 16.

9

transaksi jual beli baik barang maupun jasa yang dilakukan antara pihak penjual dan pihak pembeli dengan menggunakan perjanjian yang dibuat secara elektronik melalui media internet di mana para pihak tidak bertemu secara langsung. Transaksi jual beli secara elektronik atau E-commerce memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut :3 1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak; 2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi; 3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut. E-commerce sebagai suatu cara untuk melakukan aktifitas perekonomian seperti jual beli melalui media internet memiliki jangkauan penerapan yang sangat luas, sehingga siapapun, kapanpun, dan dimanapun dapat melakukan jual beli melalui media internet. Secara umum e-commerce saat ini diterapkan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas ekonomi yang meliputi business to business, business to consumer, dan consumer to consumer4. Adapun penjelasan mengenai bidang-bidang aktifitas ekonomi yang diterapkan dalam e-commerce adalah sebagai berikut :5 1. Business to business, merupakan sistem komunikasi bisnis online antar pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi bisnis secara elektronik antar perusahaan dan dalam kapasitas atau volume produk yang relatif besar.

3 4

Ibid., hlm. 17. Panggih P Dwi Atmojo, Internet Untuk Bisnis I, Yogyakarta: Dirkomnet Training, 2002, hlm.6. 5 Haris Faulidi Asnawi, Op. Cit., hlm. 18.

10

2. Business to consumer, merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan para pelaku usaha dengan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dari pihak konsumen dan pada saat tertentu. 3. Consumer to consumer, merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen dengan konsumen lainya untuk memenuhi suatu kebutuhan konsumen satu dengan konsumen lainya pada saat tertentu. Pada penelitian ini penulis akan mecoba membahas mengenai aktifitasaktifitas jual beli secara elektronik yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan pihak konsumen secara langsung guna memenuhi kebutuhannya (business to consumer). Setiap perjanjian maksudnya adalah untuk melaksanakan prestasi, dan perjanjian merupakan undang-undang bagi pembuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata), artinya bahwa siapapun yang mengadakan perjanjian maka ia harus melaksanakan isi dari perjanjian tersebut. Apabila ada pihak yang ingkar janji atau telah lalai dalam melaksanakan isi dari perjanjian tanpa adanya alasan-alasan yang dapat dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka ia dapat diangap telah wanprestasi. Adapun pengertian wanprestasi menurut Riduan Syahrani dalam buku Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata adalah sebagai berikut :6 Dalam perjanjian jual beli secara elektronik harus ada keseimbangan keadaan antara penjual dan pembeli, dalam arti hak yang dimiliki oleh penjual6

Riduan Syahrani,Op. Cit., hlm. 228.

11

atau pembeli harus seimbang dengan kewajiban yang harus dilakukan sehingga tercipta keadilan didalam pelaksanaan perjanjian jual beli secara elektronik tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang tersirat dalam alinea 1 UUD 1945, dimana pada alinea 1 UUD 1945 berbicara tentang perikeadilan. Kemudian, perjanjian jual beli secara elektronik juga harus mendatangkan manfaat bagi para pihak, artinya bahwa perjanjian jual beli secara elektronik tersebut merupakan sarana bagi para pihak untuk memenuhi kebutuhannya, dengan demikian para pihak diuntungkan dengan adanya transaksi jual beli secara elektronik tersebut, hal ini sejalan dengan apa yang tersirat dalam alinea 4 UUD 1945 yang mana berbicara mengenai manfaat. Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi dalam setiap perikatan, prestasi merupakan isi daripada perikatan, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi. Seorang debitur dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila ia :7 1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak melaksanakan isi perjanjian sebagaima mestinya 2. Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian, Artinya bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian saja, sedangkan sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum dilaksanakan.

7

Ibid., hlm. 228.

12

3.

Terlambat memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur tidak memenuhi prestasi pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, walapun ia memenuhi prestasi secara keseluruhan.

4.

Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur memenuhi prestasi dengan barang atau obyek perjanjian yang salah. Dengan kata lain prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian ataupun bukan pula yang diinginkan oleh kreditur. Sedangkan menurut Mariam Darus badrulzaman, dijelaskan bahwa wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi, debitur terlambat memenuhi prestasi, serta debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi8. Apabila wanprestasi tersebut terjadi pada perjanjian yang prestasinya dapat seketika dipenuhi, misalnya barang yang akan dijual sudah ada maka prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi seketika. Akan tetapi apabila prestasi dalam perjanjian itu tidak dapat dipenuhi seketika, misalnya barang yang akan dijual belum datang atau belum ada maka kepada debitur atau penjual diberi waktu untuk memenuhi prestasi tersebut.

Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa kreditur dapat melakukan penuntutan terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi yaitu antara lain : 1. Pemenuhan perikatan8

Mariam Darus Badrulzaman, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 18.

13

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian 3. Ganti kerugian 4. Pembatalan perjanjian 5. Pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, di dalam penelitian ini penulis mencoba menganalisa guna menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang timbul sebagaimana telah di sebutkan dalam identifikasi masalah.

F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian secara deskriptif analitis, yang mana penelitian dilakukan dengan melukiskan dan menggambarkan fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, data sekunder bahan hukum sekuder yaitu pendapat-pendapat atau doktrin para ahli hukum terkemuka, dan data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum dan sebagainya.

2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara yuridis normatif dan pendekatan terhadap bahan hukum non undang-undang. Metode pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara

14

mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, aturan, asas atau dogma-dogma. Pendekatan terhadap bahan hukum non undang-undang yaitu dilakukan terhadap bahan-bahan hukum yang bukan peraturan perundang-undangan, seperti doktrin, kamus hukum, Rancangan Undang-Undang, dan lain-lain. Pendekatan juga dilakukan melalui penafsiran gramatikal di mana penafsiran dilakukan untuk mencari tahu arti dari kata-kata dalam kalimat suatu peraturan perundangundangan ataupun perjanjian, kemudian penafsiran sistematis yang mana dengan mencari suatu peraturan perundang-undangan dan menghubungkan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lain guna menemukan asas hukum umum, selanjutnya pendekatan juga dilakukan dengan konstruksi hukum melalui argumentum a contrario yang mana memberikan pengertian dengan argumentasi kebalikan.

3. Tahap Penelitian a. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data teoritis yang berhubungan dengan teori-teori yang ada kaitannya dengan variabel yang diteliti melalui sumber bacaan yang menunjung terhadap penelitian ini, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. b. Studi Lapangan

15

Studi Lapangan yaitu teknik pengumpulan data dan informasi yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian, yang dilakukan dengan cara observasi non partisipan, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung mengenai transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet.

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan penelaahan data terhadap peraturan perundang-undangan dan atau artikel-artikel lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang diteliti.

5. Metode Analisi Data Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif yuridis.

6. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan dan juga penelitian di lapangan. Dalam studi kepustakaan, penulis melakukan penelitiannya antara lain pada :

16

a. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) di jalan Dipatiukur nomor 112 Bandung, b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) di jalan Imam Bonjol nomor 21 Bandung. c. Perpustakaan Umum Universitas Padjajaran (UNPAD) di jalan dipatiukur Bandung. Adapun penelitian di lapangan dilakukan di website antara lain www.plasa.com, www.gramediaonline.com, www.eoaaa.com,

www.sanur.co.id, dan Selain itu juga penelitian dilakukan di WebStore Kompas Cyber Media pada website www.kompas.com.

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan

17

penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Adapun di dalam metode penelitian dijelaskan pula mengenai, spesifikasi penelitian, metode pendekatan, tahap penelitian, teknik pengumpulan data, metode analisi data, dan juga lokasi penelitian. BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM MENGENAI WANPRESTASI DAN JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK Pada bab ini diuraikan dan dijelaskan mengenai dasar hukum perjanjian jual beli secara elektronik, aspek-aspek hukum wanprestasi dalam jual beli secara elektronik, serta hak dan kewajiban para pihak dalam jual beli secara elektronik. BAB III WANPRESTASI ELEKTRONIK INDONESIA Dalam bab ini menguraikan secara jelas dan lengkap mengenai proses perjanjian jual beli secara elektronik, tanggung jawab para pihak dalam jual beli secara elektronik, dan juga macammacam wanprestasi dalam jual beli secara elektronik. DALAM MELALUI JUAL MEDIA BELI SECARA DI

INTERNET

BAB IV

ANALISIS MENGENAI WANPRESTASI DALAM JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK BERDASARKAN BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

TENTANG PERIKATAN

18

Dalam bab ini diuraikan analisis dan pembahasan dengan menyesuaikan teori-teori yang ada dengan data dan fakta yang ditemui di lapangan untuk menjelaskan keabsahan jual beli secara elektronik, akibat hukum wanprestasi dalam jual beli secara elektronik, dan juga tindakan hukum terhadap

wanprestasi dalam jual beli secara elektronik menurut buku III KUH Perdata tentang perikatan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran, kesimpulan merupakan jawaban dari identifikasi masalah yang menjelaskan secara singkat mengenai keabsahan jual beli secara elektronik, akibat hukum wanprestasi dalam jual beli secara elektronik, dan juga tindakan hukum terhadap wanprestasi dalam jual beli secara elektronik, sedangkan saran berisikan usulan atau tanggapan penulis terhadap masalah jual beli secara elektronik untuk dicarikan jalan keluarnya untuk menuju perbaikan di masa yang akan datang.

Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa

19

Pelaksanaan Akad dan Akibat Hukum Perjanjian : Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa1. Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian[1] dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:[2] 1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. 3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu[3]: 1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

20

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu. Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuahakta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.[4] Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[5] 1) Surat perintah Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut exploit juru Sita 2) Akta sejenis Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. 3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

21

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.2. Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu[6]: 1) Membayar kerugian yang diderita kreditur; 2) Pembatalan perjanjian; 3) Peralihan resiko; 4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.3. Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa kosten, schaden en interessen (pasal 1243 dsl) Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biayabiaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguhsungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).[7]

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:[8] a) Conditio Sine qua Non (Von Buri) Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A

22

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries) Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B). Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan. Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu: a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach); b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai; c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

4.

Keadaan Memaksa (overmach)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:[9] a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi; b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi; c) Resiko tidak beralih kepada debitor; d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.

23

Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif: Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami. Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah. Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.5. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh

Muamalah

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.[10] Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Baybarang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai. Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan,

24

pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti. Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang. Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang. Daftar PustakaHaroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000 Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Purta Abadin, 1999

[1] Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, hal. 2.21 [2] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra

Abadin, 1999), cet. 6, hal.18 [3] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985) [4] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2005), cet. 36,

25

hal. 323 [5]Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22 [6] Ibid, hal. 2.22-2.25 [7] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), cet. 32, hal. 148 [8] Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23 [9] R. Setiawan, Op. Cit. 27-28 [10] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, hal. 120-121