tumor nasofaring

37
BAB I PENDAHULUAN Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring, diikuti dengan orofaring lalu laringofaring. Meskipun jarang, namun akibat adanya faktor prediposisi dan pencetus tertentu, dapat berkembang tumor di daerah ini. Tumor nasofaring dapat dibedakan menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak nasofaring salah satunya adalah Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) hanya menjadi 0,05 hingga 0,5% kasus tumor pada bagian kepala-leher, namun menjadi yang paling umum terjadi di antara tumor jinak nasofaring lainnya. Insidensinya tinggi di India dan Mesir dibandingkan dengan Amerika dan Eropa. Tumor ini sering menjangkit remaja pria dengan rata-rata terdiagnosis di usia 14-15 tahun. Selain itu, terdapat juga tumor nasofaring dalam bentuk ganas yang disebut dengan karsinoma nasofaring. Etiologi dari penyakit ini multifactorial dan meliputi ras/suku, genetik, lingkungan, dan keterlibatan virus Epstein-Barr (EBV). Kanker ini jarang dialami oleh populasi Kaukasia, namun insidensinya tinggi pada ras Cina, dan memiliki kelompok endemic di antara Eskimo Alaska dan Indian. Kanker ini dapat timbul pada usia berapapun namun sering ditemukan pada dewasa berusia 50-60 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki. Untuk dapat mendiagnosis kedua tumor tersebut, dibutuhkan pemeriksaan yang cermat sehingga dapat memberikan intervensi secepatnya. Selain itu, penentuan staging juga dapat membantu pilihan terapi yang akan diberikan untuk penderita. Pada 1

Upload: stanfordreject

Post on 20-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring,

diikuti dengan orofaring lalu laringofaring. Meskipun jarang,

namun akibat adanya faktor prediposisi dan pencetus tertentu,

dapat berkembang tumor di daerah ini. Tumor nasofaring dapat

dibedakan menjadi tumor jinak dan tumor ganas.

Tumor jinak nasofaring salah satunya adalah Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) hanya menjadi 0,05 hingga 0,5%

kasus tumor pada bagian kepala-leher, namun menjadi yang

paling umum terjadi di antara tumor jinak nasofaring lainnya.

Insidensinya tinggi di India dan Mesir dibandingkan dengan

Amerika dan Eropa. Tumor ini sering menjangkit remaja pria

dengan rata-rata terdiagnosis di usia 14-15 tahun.

Selain itu, terdapat juga tumor nasofaring dalam bentuk

ganas yang disebut dengan karsinoma nasofaring. Etiologi dari

penyakit ini multifactorial dan meliputi ras/suku, genetik,

lingkungan, dan keterlibatan virus Epstein-Barr (EBV). Kanker

ini jarang dialami oleh populasi Kaukasia, namun insidensinya

tinggi pada ras Cina, dan memiliki kelompok endemic di antara

Eskimo Alaska dan Indian. Kanker ini dapat timbul pada usia

berapapun namun sering ditemukan pada dewasa berusia 50-60

tahun, dan lebih banyak pada laki-laki.

Untuk dapat mendiagnosis kedua tumor tersebut, dibutuhkan

pemeriksaan yang cermat sehingga dapat memberikan intervensi

secepatnya. Selain itu, penentuan staging juga dapat membantu

pilihan terapi yang akan diberikan untuk penderita. Pada

1

penulisan ini akan dibahas mengenai gambaran klinis,

diagnosis, dan terapi yang tepat untuk kedua bentuk tumor

nasofaring tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring1,2

Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu: nasofaring,

orofaring, dan laringofaring. Nasofaring merupakan bagian

teratas dari faring, sehingga disebut juga sebagai

epifaring. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung

dan meluas dari dasar tengkorak hingga palatum molle atau

tingkat bidang datar yang melewati palatum durum. Batas-

batas dari nasofaring adalah:

Superior = Dasar tengkorak (basisfenoid dan

basioksiput)

2

Posterior = Arkus vertebra. Batas superior dan

posterior dari nasofaring, pada akhirnya

bergabung menjadi satu.

Inferior = Batas bawah dibentuk oleh palatum molle.

Melalui ismus nasofaringeal, nasofaring

berhubungan dengan orofaring.

Lateral = Tuba eustachius terletak 1,25 cm di

belakang ujung posterior dari konka inferior.

Secara fungsional nasofaring merupakan perpanjangan

posterior dari rongga hidung, sehingga memiliki epitel

torak bertingkat bersilia. Organ-organ yang berada di

daerah nasofaring meliputi:

A. Adenoid

3

Gambar 1. Nasofaring sebagai Bagiandari Laring

Merupakan sekumpulan jaringan limfoid subepitel yang

terletak diperbatasan antara dinding posterior dan atap

dari nasofaring. Adenoid mencapai ukuran maksumalnya

hingga 12 tahun, kemudian menjadi atrofi secara

perlahan.

B. Bursa nasofaringeal

Merupakan ceruk berlapis epitel yang berada diantara

adenoid dan meluas dari mukosa faringeal ke periosteum

basioksiput. Apabila terinfeksi, dapat menjadi penyebab

pengeluaran sekret postnasal persisten atau krusta.

Terkadang dalam bursa ini juga dapat terbentuk abses.

C. Rathke’s Pouch

Merupakan cekungan di atas organ adenoid dan berperan

dalam invaginasi mukosa bukal, untuk membentuk lobus

anterior dari kelenjar hipofisis.

D. Tuba Tonsil

Merupakan sekumpulan jaringan limfoid subepitel yang

terletak pada elevasi tuba. Organ ini berhubungan

dengan adenoid dan menjadi bagian dari Waldeyer’s ring.

Ketika organ ini membesar akibat infeksi, menyebabkan

oklusi tuba eustachius.

E. Sinus Morgagni

Merupakan rongga antara dasar tengkorak dan batas atas

dari M. konstriktor superior. Melalui sinus ini, tuba

eustachius masuk otot levator veli palatina, tensor

veli palatine, dan cabang arteri palatine dari arteri

fasialis.

F. Passavant’s Ridge

4

Merupakan undukan mukosa yang melambung oleh serat dari

palatofaringeus. Mengelilingi dinding posterior dan

lateral dari ismus nasofaring. Palatum molle, saat

berkontraksi membuat kontak dengan undukan ini untuk

memisahkan nasofaring dari orofaring selama proses

berbicara.

Sistem limfatik dari nasofaring, termasuk dari

adenoid dan tuba eustachius, bermuara ke nodus servikalis

profunda superior, baik secara langsung maupun tidak

langsung lewat nodus retrofaringeal dan parafaringeal.

Selain itu juga dapat bermuara ke nodus aksesorius

spinalis di segitiga posterior dari leher. Sistem

limfatik nasofaring juga dapat melewati garis tengah dan

bermuara ke nodus limfatik kontralateral.

5

Gambar 2. Organ yang Terletak padaNasofaring

Supply arteri melalui cabang dari A. carotid eksterna: A.

faringeal asendens, lingual, fasial dan maksilaris. Untuk

drainase vena diperankan oleh pleksus vena faringeal yang

bermuara menuju vena jugularis interna.

Lapisan muscular dari nasofaring dibentuk oleh M.

konstriktor faringeal superior. Otot-otot palatina muncul

dari dasar tengkorak pada kedua sisi dari tuba

eustachius. M. levator veli palatina mengiringi tuba

6

Gambar 3. Sistem LimfatikNasofaring

Gambar 4. Perdarahan Nasofaring

eustachius, menembus fascia faringobasilar sebelum masuk

ke bagian posterior dari palatum molle. Sementara itu M.

tensor veli palatina mengelilingi nasofaring dan hamulus

pterygoid sebelum masuk ke bagian membranosa dari palatum

molle. Otot-otot ini, bersama dengan yang terdapat di

lengkung palatofaringeal, mengangkat palatum molle,

menutupkannya melawan passavant’s ridge selama proses

menelan, sehingga memisahkan nasofaring dari orofaring.

Innervasi mayoritas dari faring didapatkan dari

pleksus faringeal, yang terdiri dari cabang N.

Glosofaringeal (N. IX), cabang N. Vagus (N. X), dan

serabut simpatis dari ganglion servikal superior. Untuk

7

Gambar 5. Otot-otot Nasofaring

saraf sensoris, masing-masing bagian faring memiliki

inervasi yang berbeda. Nasofaring diinervasi oleh N.

maksilaris (N. V2), orofaring oleh N. Glosofaringeal (N.

IX), dan laringofaring oleh N. Vagus (N. IX). Untuk saraf

motorik, seluruh otot faring diinervasi oleh N. Vagus (N.

X), kecuali M. stylofaringeus yang diinervasi oleh N.

glosofaringeal (N. IX)

2.2 Fungsi Nasofaring2

8

Gambar 6. Persarafan Nasofaring

Terdapat beberapa fungsi dari nasofaring, yaitu:

1. Berperan sebagai saluran udara, yang telah dihangatkan

dan dilembabkan di hidung, untuk menuju laring dan

trakea.

2. Melalui tuba eustachius, melakukan penyaringan telinga

tengah dan menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi

dari membrane tumpani. Fungsi ini sangat penting untuk

pendengaran.

3. Elevasi dari palatum molle melawan dinding faring

posterior dan Passavant’s ridge memisahkan nasofaring

dari orofaring. Fungsi ini penting untuk proses

menelan, muntah, dan bicara.

4. Berperan sebagai ruang resonansi selama proses produksi

suara.

5. Berfungsi sebagai saluran drainase untuk mukus yang

disekresi oleh kelenjar di hidung dan nasofaringeal.

\

2.3 Tumor Jinak Nasofaring1,2

2.3.1 Fibroma Nasofaring

Fibroma nasofaring dikenal juga sebagai Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma. Meskipun kemunculannya jarang,

namun jenis ini yang paling sering muncul di antara tipe-

tipe tumor jinak nasofaring lainnya.

A. Epidemiologi

JNA adalah suatu kelainan yang jarang ditemui dan

mewakili 0,05 – 0,5% dari seluruh neoplasma kepala

9

dan leher. Rata-rata usia saat diagnosis ditegakkan

adalah 7-19 tahun (tersering 15 tahun). Jarang terjadi

pada pasien-pasien berusia diatas 25 tahun dan

memiliki risiko kematian yang sangat rendah.3

B. Etiologi

Penyebab pastinya tidak diketahui. Karena tumor ini

banyak dijumpai pada remaja laki-laki dengan kisaran

usia 20 tahun, sehingga diperkirakan berhubungan

dengan hormon testosterone. Penderita umumnya memiliki

nidus hamartomatosa dari jaringan vascular di

nasofaring, yang kemudian teraktifasi membentuk

angiofibroma seiring dengan munculnya hormon seks

pria.

C. Lokasi dan Perkembangan

Lokasi awal kemunculan dari tumor ini masih menjadi

perdebatan. Pada mulanya, dianggap timbul dari atap

nasofaring, atau dinding anterior dari tulang sfenoid

namun kini dipercaya kemunculannya berasal dari bagian

posterior dari rongga hidung dekat batas superior

foramen sphenopalatina. Dari tempat tersebut, tumor

berkembang ke dalam rongga hidung, nasofaring, dan ke

dalam fossa pterygopalatina, menuju ke belakang

dinding posterior dari sinus maksilaris yang akhirnya

terdorong ke depan saat tumor membesar. Secara

lateral, tumor tersebut meluas hingga fossa

pterygomaksilaris dan kemudian fossa infratemporalis

dan pipi.

10

D. Patologi

Angiofibroma, sesuai dengan namanya, terbentuk dari

jaringan vaskular dan fibrosa: rasio antara keduanya

bervariasi. Umumnya, pembuluh darahnya hanya berupa

lapisan endotel tanpa otot. Hal ini menyebabkan

kejadian perdarahan yang berat karena pembuluh

darahnya kehilangan kemampuan untuk berkontraksi,

serta tidak dapat dikontrol dengan pemberian

adrenalin.

E. Penyebaran

Fibroma nasofaring merupakan tumor jinak, namun dapat

menginvasi secara lokal dan menghancurkan struktur di

sekitarnya. Penyebarannya dapat menjangkau:

1. Rongga hidung, menyebabkan obstruksi hidung,

epistaksis dan pengeluaran sekret dari hidung.

2. Sinus paranasal, meliputi sinus maksilaris, sfenoid,

dan ethmoid.

3. Rongga mata, menyebabkan timbulnya proptosis dan

‘deformitas wajah katak’. Tumor ini masuk melalui

fissure orbita inferior, dan juga menghancurkan

puncak dari orbita. Dapat juga masuk melalui fissure

orbita superior.

4. Rongga kranial. Fossa kranialis tengah yang paling

sering, disebabkan oleh rute masukannya melalui:

11

- Erosi dari lantai fossa kranialis media, anterior

dari foramen lacerum. Tumor ini berada lateral

dari A. karotid dan sinus kavernosus.

- Sinus sfenoid, ke dalam sella. Tumor berada medial

dari A. karotid.

F. Gambaran Klinis

1. Epistaksis berat dan rekuren, merupakan gejala yang

paling sering ditemui dan pasien sangat berisiko

untuk mengalami anemia karena kehilangan darah yang

signifikan.

2. Obstruksi hidung dan denasal speech. Gejala ini timbul

akibat adanya massa yang mengjalangi rongga

postnasal.

3. Tuli konduksi dan otitis media serosa, akibat

obstruksi dari tuba eustachius.

4. Massa di nasofaring, umumnya memiliki sifat imobil,

berlobus atau dapat juga halus dan menyumbat satu

atau kedua koana. Berwarna pink atau keunguan dengan

konsistensi padat.

5. Dapat juga ditemukan gejala lain seperti perluasan

jembatan hidung, proptosis, pembengkakan daerah pipi

dan fossa infratemporal, atau keterlibatan gangguan

N. II, III, IV, VI tergantung penyebaran dari tumor.

12

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Soft Ttissue Lateral menunjukkan adanya massa jaringan

lunak dalam nasofaring.

2. X-ray dari sinus paranasalis dan basis kranii dapat

menunjukkan perubahan posisi septum nasal, gambaran

opak pada sinus, pembungkukkan anterior dari dinding

posterior sinus maksilaris, erosi dari pelat

13

Gambar 7. Juvenille NasopharyngealAngiofibroma

sphenoid atau pterygoid, dan pelebaran batas lateral

bawah dari fissure orbita superior.

3. CT-scan dari kepala dengan kontras merupakan

pemeriksaan pilihan utama dan telah menggantikan

radiografi konvensional. Dapat menunjukkan

penyebaran tumor, desktruksi tulang atau perubahan

posisi lain. Kemungkinan dijumpai pembungkukkan dari

dinding posterior sinus maksilaris (antral sign)

yang merupakan patognomic dari tumor angiofibroma.

4. MRI, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan CT-scan

apabila penyebaran tumor mencapai intracranial dalam

fossa infratemporal atau ke dalam orbita.

5. Angiografi karotid, dapat memperlihatkan penyebaran

rumor, vaskularisasi dan keadaan pembuluh darahnya.

Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi

agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga

vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah

pengangkatan tumor.

6. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan

sebab biopsi merupakan kontraindikasi karena dapat

mengakibatkan perdarahan yang masif.

H. Klasifikasi

Sistem klasifikasi JNA berdasarkan Radkowski

14

I. Tatalaksana

Sampai saat ini, pembedahan merupakan terapi gold standar

dari JNA. Beberapa pilihan terapi JNA, antara lain

kemoterapi, radioterapi, hormonal terapi, embolisasi.

1. Terapi hormonal

Karena tumor ini muncul pada remaja pria menjelang

pubertas, terapi horman telah digunakan baik sebagai

terapi primer maupun tambahan. Terapi hormonal tersebut

diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan

preparat testosteron reseptor bloker (flutamid).

Berdasarkan hasil penelitian Gates et al, anti-

androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-

3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide) dapat mengurangi

pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil dan

penyusutan tumor hingga 44 %.1,4

Estrogen juga telah terbukti mengurangi ukuran dan

vaskularisasi tumor, namun memiliki efek samping

feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler.

Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg

intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat

15

mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran

tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi

lebih padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron

yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama

sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi

vaskularisasi. Efek samping pemberian dietilstilbestrol

adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat

terjadi atrofi testis.3

2. Radioterapi

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi

JNA yang rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial

yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko

yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan

sekitar apabila dilakukan pembedahan. Biasanya dosis

sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard

untuk mengontrol lesi.

Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti

tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah

radioterapi. Karena itu agar efektif, radioterapi

sebenarnya harus ditunjang dengan terapi pembedahan.

Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk

penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan

oleh UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor

berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien

akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima

tahun. Akan tetapi komplikasi jangka panjang dari

radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu

gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis

16

lobus temporalis, katarak, dan keratopati radiasi.

Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala

dan leher sekunder sebagai efek samping dari

radioterapi terhadap JNA. Prognosis dari radioterapi

sendiri ditentukan oleh stadium tumor, dimana lebih

baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi

hasil pada tumor stadium akhir.

3. Embolisasi

Beberapa ahli menggunakan embolisasi preoperatif

untuk menguragi vaskularisasi tumor. Suplai darah

terutama berasal dari arteri maksilaris interna, dan

lain-lain berasal dari arteri karotis interna, arteri

karotis kommunis, atau arteri faringeal ascenden.

Embolisasi preoperatif terbukti menurunkan kehilangan

darah selama operasi. Para ahli menggunakan partikel

yang dapat diserap dengan waktu ideal antara embolisasi

dan operasi adalah 24-72 jam.

Komplikasi embolisasi preoperatif cukup tinggi (20%)

berupa oklusi arteri retina sentral dan kebutaan

sementara, fistula oronasal, oklusi arteri serebral

media yang diikuti stroke, dan oklusi arteri oftalmika.

4. Terapi pembedahan5,6

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi

banyak situs-situs anatomis di basis kranii, pilihan

metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium

tumor dan berdasarkan pengalaman dari operator. Terapi

17

pembedahan dapat dibedakan menjadi pembedahan terbuka

dan pembedahan endoskopik.

i. Pembedahan Terbuka

Pendekatan pembedahan dapat dibagi menjadi inferior,

anterior, dan lateral. Pendekaran inferior meliputi

transpalatal dan transoral-transpharyngeal dengan

atau tanpa memisahkan palatum molle. Teknik ini

memberikan akses yang baik pada nasaofaring dan

kavum nasi. Pendekatan anterior dasarnya adalah

membuka kavum nasi, meliputi tehnik lateral

rhinotomy dan midfacial degloving dan dapat

diperluas melalui maksila medial untuk mengekspos

antrum, sinus ethmoid, dan fossa pterygopalatine

(metode LeFort I, Denker’s, dan medial

maxillectomy). Pendekatan lateral dilakukan untuk

mencapai fossa infratemporal,melaluirutr

preauricular subtemporal.

Pendekatan Transpalatal

Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor

di nasofaring yang meluas ke sphenoid dan nasal

posterior. Banyak jenis insisi palatum, namun yang

paling sering digunakan adalah insisi bentuk huruf

“U”. insisi tersebut dapat diperluas ke

tuberositas maksila dan bergabung dengan insisi

sublabial, bila ingin mencapai pterigopalatum.

Setelah dilakukan insisi berbentuk huruf “U”,

jabir mukoperiosteal diangkat ke atas, sedangkan

tulang palatum durum posterior dibuang. Bila tumor

18

sudah lengkap terlihat maka tumor dapat diangkat

bersama-sama dengan mukoperiosteum nasofaring.

Pendekatan Rinotomi Lateral

Insisi rinotomi lateral atau Weber-Ferguson

digunakan untuk mencapai rongga hidung dan sinus

maksilaris. Bila ingin mencapai fossa

pterigopalatina, insisi dapat diperluas ke

tuberositas maksila. Kekurangan dari pendekatan

rinotomi lateral adalah terdapatnya jaringan parut

pada wajah dan biasanya dilakukan hanya pada tumor

yang tumbuh unilateral. Oleh karenanya pendekatan

ini perlu dikombinasi dengan pendekatan

transpalatal untuk dapat mengangkat tumor secara

utuh.

19

Gambar 8. Pendekatan Transpalatal

Pendekatan Sublabial (Midfacial Degloving)

Pendekatan ini merupakan perluasan dari insisi

sublabial bilateral dan transversal maksila.

Pendekatan degloving ini tidak menimbulkan parut

di wajah ataupun gangguan fungsi palatum.

Keuntungan lainnya adalah pendekatan ini dapat

mencakup lapang pandang operasi yang cukup luas,

yaitu rongga hidung, nasofaring, dan daerah muka

sepertiga tengah, sinus maksilaris, fossa

pterigomaksila serta fossa infratemporal. Conley

dan Price mengembangkan teknik operasi ini dengan

menggabungkan empat macam insisi yaitu insisi

sublabial bilateral pada sulkus ginggivobukal,

insisi transfiksi yang memisahkan tulang rawan

lateral atas dan jaringan lunak hidung serta

insisi apertura piriformis pada kedua sisi.

Setelah itu keempat insisi dihubungkan, jaringan

muka sepertiga tengah dapat ditarik ke cranial

sampai mencapai sutura nasofontal dan lengkung

infraorbita, serta dapat dilakukan reseksi tulang

untuk mencapai lapangan operasi yang diinginkan.

Komplikasi yang didapat adalah stenosis

vestibulum.

20

Gambar 9. Pendekatan RinotomiLateral

Pendekatan intrakranial

Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke

intrakranial, dapat dilakukan kombinasi pendekatan

intrakranial dan ekstrakranial rinotomi

bilateral. Bila tumor intrakranial cukup kecil dan

mudah digerakkan, maka dapat diangkat bersamaan

dengan tumor ekstrakranial melalui lubang defek

tempat masuknya melalui fossa media. Akan tetapi

bila tumor intracranial agak besar, harus

direseksi tepat pada defek tempat masuknya ke

fossa media.

ii. Pembedahan endoskopi

Perkembangan teknik endoskopi dan pengetahuan akan

anatomi menyebabkan penggunaan nasal endoskopi untuk

operasi JNA adalah hal yang mungkin. Pembedahan

endoskopi dan embolisasi preoperatif meminimalkan

perdarahan.

Keuntungan dari pembedahan endoskopi antara lain

waktu rehabilitasi pasca operasi yang minimal, waktu

inap yang lebih singkat, dan meminimalkan infeksi

nosokomial.

21

Gambar 10. Midfacial Degloving

Mengesampingkan keuntungan-keuntungan diatas,

tingkat rekurensi dilaporkan sekitar 30-50%,

kebanyakan muncul 12 bulan pertama setelah

perawatan. Semakin muda usia pasien dan semakin

lanjut perjalanan penyakit, maka semakin besar

rekurensi akan terjadi.

J. Prognosis

Prognosis untuk JNA sangat baik jika diagnosis tepat

waktu dan jika belum menyebar sampai ke intra kranial.

Persentase kesembuhan setelah operasi mencapai 80-

85%.1,4

2.3.2 Tumor Jinak Lainnya

Tumor jinak lainnya sangat jarang, namun apabila

terjadi biasanya berasal dari atap atau dinding lateral

dari nasofaring. Contoh tumor lainnya adalah teratoma,

adenoma pleomorfik, chordoma, hamartoma, choristoma,

paraganglioma.2

2.4 Tumor Ganas Nasofaring

2.4.1 Karsinoma Nasofaring1,2

A. Epidemiologi

Karsinoma nasofaring merupakan penyakit multifaktorial.

Insidensi dan distribusi geografisnya bergantung dengan

beberapa faktor seperti kerentanan genetik, faktor

22

lingkungan, makanan, dan gaya hidup personal. Karsinoma

nasofaring paling banyak terjadi di Cina dan Taiwan. Ras

Amerika Utara, insidensinya sebesar 0,25% sementara ras

Amerika-Cina, insidensinya mencapai 18%. Ras Cina yang

lahir di Amerika memiliki insidensi yang lebih sedikit

dibandingkan dengan yang lahir di Cina. Faktor-faktor

yang mempengaruhi tingginya kejadian penyakit ini di Cina

adalah, pembakaran dupa atau kayu, penggunaan ikan asin

yang diawetkan, serta defisiensi vitamin C. Sementara

itu, di India dan sekitarnya penyakit ini jarang

ditemukan, kecuali di regio timurlaut yang penduduknya

didominasi oleh ras Mongolia. Masyarakat di Negara Cina

Selatan, Taiwan, dan Indoenesia lebih rentan terhadap

kanker ini.

B. Etiologi

Etiologi yang sebenarnya tidak diketahui, namun faktor

yang diduga berperan meliputi:

1. Genetik. Ras Cina memiliki kerentanan lebih tinggi

terhadap kanker nasofaring. Bahkan setelah migrasi ke

negara lain, ras tersebut masih memiliki insidensi

yang tinggi.

2. Virus. Yang berhubungan dengan kanker ini merupakan

virus Epstein-Barr. Telah dikembangkan marker spesifik

untuk virus ini untuk menyaring penderita di area

dengan insidensi tinggi.

3. Lingkungan. Polisi udara, konsumsi rokok atau opium,

ikan asin yang diawetkan, dan asap dari pembakaran

23

dupa atau kayu diduga memiliki keterlibatan dengan

kanker ini.

C. Patogenesis7,8

Pada mulanya, perkembangan tumor ini disebabkan oleh

kehilangan alel dari kromosom 3p dan 9p pada fungsi tubuh

normal, yang menyebabkan inaktivasi dari gen supresi

tumor (p14m 15, p16) menyebabkan dysplasia ringan. Hal

24

Gambar 11. Patogenesis KarsinomaNasofaring

tersebut saja tidak akan menyebabkan perkembangan tumor.

Dengan adanya infeksi EBV, dysplasia ringan tersebut akan

berkembang menjadi dysplasia berat. Kemudian dengan

penerimaan kromosom 12 dan kehilangan kromosom 11q, 13q,

16q, berujung pada karsinoma yang invasif. Metastase

dapat terjadi karena mutasi dari p53 dan perubahan

ekspresi dari cadherin.

D. Patologi7,8

Secara histologis, sesuai yang terlihat di bawah

mikroskop cahaya, WHO telah mengelompokkan pertumbuhan

epitel menjadi 3 tipe.

Tipe I: Karsinoma sel skuamosa dengan derajat

diferensiasi yang bervariasi.

Tipe II : Karsinoma non-keratin (dengan/tanpa stroma

limfoid).

Tipe III : Karsinoma tidak terdiferensiasi

(dengan/tanpa stroma limfoid).

Tipe I meliputi karsinoma sel skuamosa (KSS)

berkeratin, memiliki karakteristik dari diferensiasi

skuamosa, termasuk jembatan interseluler dan produksi

keratin yang berlebihan. Tipe ini kemudian dikelompokkan

lagi menjadi terdiferensiasi sedang atau berat.

Tipe II yang dimaksud oleh WHO meliputi karsinoma

nonkeratin yang pada dasarnya mewakili semua tumor yang

tidak termasuk tipe I atau tipe III. Tipe III meliputi

karsinoma tidak terdiferensiasi, dahulu disebut

25

limfoepitelioma karena terdiri dari sel epitel tidak

terdiferensiasi dan sel limfoid. Tipe II dan III

menunjukkan derajat pelomorfisme seluler yang lebih luas

dibandingkan dengan tipe berkeratin dan memiliki pola

mikroskopis yang spindle, transisional, sel anaplastik,

limfoepitelioma, atau kombinasi diantaranya. Variasi

tersebut, serta gambaran klinis yang serupa menjadikan

sulit untuk membuat perbedaan histologis yang jelas

sehingga kedua tipe tersebut disarankan untuk

dikelompokkan sebagai satu, yaitu tipe kanker

nasofaringeal tidak terdiferensiasi. Tipe II dan III

umumnya radiosensitive dan memiliki control lokal yang

lebih baik dibandingkan dengan KSS, namun juga

menunjukkan tingkat kejadian metastase jauh yang tinggi.

E. Gambaran Klinis

1. Hidung. Pada hidung umumnya penderita akan mengalami

gejala obstruksi nasal, sekresi nasal, denasal speech,

dan epistaxis.

2. Otologik. Keluhan pada telinga timbul akibat

obstruksi dari tuba eustachius yang membuat tuli

konduktif, atau bahkan berkembang sebagai otitis

media serosa atau supuratif. Tinnitus dan sakit

kepala juga dapat muncul. Adanya otitis media serosa

unilateral harus menimbulkan kecurigaan adanya

perkembangan massa dari ansofaringeal.

3. Opftalmoneurologik. Tanda ini timbul akibat ekstensi

tumor ke region sekitarnya, dapat mempengaruhi

26

seluruh saraf kranialis. Keterlibatan N. VI dapat

menyebabkan penglihatan juling dan diplopia.

Keterlibatan N. III, IV, VI menyebabkan

oftalmoplegia, sementara invasi N. V melalui foramen

laserum menyebabkan nyeri wajah dan pengurangan

reflex kornea. Keterlibatan N. IX, X, dan XI dapat

juga timbul sebagai sindroma foramen jugular yang

umumnya disebabkan karena adanya tekanan pada nodus

limfatikus retrofaringeal lateral di leher. N. XII

juga dapat terlibat akibat penyebaran dari kanalis

hipoglosus. Horner syndrome juga dapat muncul akibat

keterlibatan rantai servikalis simpatis. Kanker

nasofaring juga dapat menyebabkan tuli konduksi

(blockade tuba eustachius), neuralgia

temporoparietal ipsilateral (keterlibatan N. V), dan

paralisis palatal (N. X) yang ketiganya disebut

Trotter’s Triad.

4. Metastase nodus servikalis. Tandalumpl ini dapat

hanya menjadi satu-satunya manifestasi dari

karsinoma nasofaring. Adanya benjolan pada nodus

ditemukan di sudut antara rahang dan mastoid dan

sejalan aksesoris spinalis pada area segitiga

posterior dari leher.

5. Metastase jauh ke tulang, paru, hati, dan tempat

lain.

F. Diagnosis7,8

27

Gejala klinis dari kanker nasofaring (secara berurutan

dari yang paling umum dijumpai) adalah limfadenopati

servikal, menurunnya pendengaran, obstruksi nasal,

epistaksis, gangguan nervus kranialis (biasanya paralisis

N. VI), sakit kepala, sakit telinga, sakit leher,

penurunan berat badan. Diagnosis harus ditunjang oleh

anamnesa yang lengkap dan pemeriksaan klinis, meskipun

gejala klinisnya umum namun kecurigaan harus terbentuk

apabila penderita berada di daerah geografis yang

endemic.

Pemeriksaan dari rongga postnasal dengan menggunakan

nasofaringoskop sangat penting, dapat digunakan endoskopi

yang rigid maupun fleksibel. Endoskopi yang rigid

memberikan gambaran lebih baik, namun karena sifatnya

yang kaku menyebabkan gerakannya terbatas terutama di

dalam nasofaring yang sempit atau terdapat variasi

anatomis. Endoskopi fiberoptik nasofaring yang fleksibel

lebih atraumatic dan dapat digerakan secara leluasa untuk

mendapatkan gambaran lebih ke inferior.

Biopsi dapat dilakukan untuk diagnosis yang lebih pasti

karena memperlihatkan histogis dari keganasan. Lokasi

kemunculan yang paling sering adalah fossa Rosenmüller

dan atap nasofaring. Biopsi umumnya dikerjakan dengan

pasien berada dalam anestesi lokal. Biopsi transnasal

dapat dilakukan melalui nasofaringoskopi indirek.

Terkadang, perlu dilakukan biopsy dengan pasien berada

dalam anestesi umum, baik pada pasien yang dicurigai

dengan rekurensi submukosal yang membutuhkan biopsy dalam

28

atau pasien dengan hasil biopsy negatif yang berulang.

Untuk usaha terakhir dapat dilakukan kuretasi nasofaring

Biopsi umumnya diperlukan dari modus servikalis sebagai

diagnosis. Fine-needle aspiration cytology (FNAC) merupakan

metode diagnosis jaringan yang paling aman dan cepat.

Biopsi terbuka, pada kedua bentuk insisional atau

eksisional harus dihindari karena telah terbukti dapat

berisiko pada keselamatan.

Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan menggunakan MRI

dengan gadolinium dan supresi jaringan lemak sehingga

memperlihatkan gambaran multiplanar serta jaringan lunak

yang lebih naik. Tampak koronal berguna untuk menentukan

apabila tumor telah menyebar melalui fissure petroklinoid

atau foramen laserum ke dalam sinus kavernosus, termasuk

juga ke dalam foramen ovale, rotundum atau spinosum.

Ampak aksial memperlihatkan ekstensi kedalam ruang

retrofaringeal, paranasofaringeal dan pterygomaksilaris,

serta ke dalam fossa infratemporal. Namun dengan CT-scan

dapat terlihat ada tidaknya keterlibatan tulang, terutama

erosi dari basis kranii dan lebih akurat dalam

memperlihatkan keadaan limfadenopati servikal, teratama

apabila terdapat penyebaran intrakapsular. Sehingga,

kedua alat penunjang tersebut saling melengkapi dan dapat

dibutuhkan untuk memberikan informasi maksimal mengenai

penyebaran penyakit. Pemeriksaan radiologi juga

memperikan informasi penting mengenai kondisi dari nodus

faringeal, yang sering menjadi tempat drainase, namun

sulit dinilai melaui pemeriksaan klinis saja.

29

Saat tumor telah meluas melewati nasofaring, penyakit

ini dapat menyebar dengan cara yang beragam. Penyebaran

secara lateral yang paling umum terjadi, melalui fascia

faringobasilar, menyebabkan berpindahnya rongga

parafaringeal ke arah lateral. Apabila terjadi penyebaran

anterolateral, dapat menuju pterygoid yang merupakan otot

pengunyahan dan menyebabkan trismus. Penyebaran secara

posterolateral dapat melibatkan selubung carotid atau

foramen jugularis menyebabkan kelumpuhan sarah karnialis

IX, X, XI, XII.

Penyebaran anterior menuju fossa nasalis dan melalui

foramen sfenopalaitna ke dalam fossa pterygopalatina.

Fossa pterygopalaitina dapat juga terkena akibat invasi

langsung di prosesus pterygoid atau melalui rongga

masticator. Tanda awal dari keterlibatan fossa tersebut

adalah obliterasi dari kandungan lemak normal. Saraf

maksilaris akhirnya dapat ikut terlibat dan menyebabkan

penyebaran menuju sinus kavernosus lewat foramen

rotundum.

Penyebaran superior menyebabkan erosi dari sinus

sfenoid atau basis kranii, dengan atau tanpa ekstensi

intracranial. Ekstensi superolateral meliputi apeks dari

petrosa dan foramen lacerum yang akhirmya mencapai sinus

kavernosus dan menyebabkan kelumpuhan saraf III, IV, V,

dan VI.

Positron emission tomography scans (PET CT-Scan) telah menjadi

alat diagnostic yang esensial dalam penanganan penyakit

yang residual atau rekuran. Penelitian menunjukkan

30

kegunaannya dibandingkan dengan CT pada 36 pasien yang

dievaluasi setelah tatalaksana dan dilaporkan memiliki

100% sensivitas, 96% spesifitas, 97% akurasi dalam

diagnosis.

G. Klasifikasi

Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan American

Joint Committee on Cancer (AJCC)

31

32

H. Tatalaksana

1. Radiasi merupakan pilihan terapi yang utama, karena

2 alasan penting yaitu (1) tumor ini relatif sulit

dijangkau untuk ekstirpasi pembedahan terutama

apabila telah menyebar melewati nasofaring dan (2)

sifat dari tumor ini radiosensitif. Terapi

menggunakan voltase tinggi yang diarahkan ke nodus

servikalis dengan dosis 6000-7000 rads.

2. Kemoterapi digunakan karena meskipun radiasi sendiri

menghasilkan hasil yang optimal pada stage I dan II,

namun untuk stage III dan IV terapi radiasi masih

berisiko untuk menimbulkan rekurensi lokal dan

kegagalan sistemik. Untuk stage III dan IV dapat

digunakan kombinasi kemoterapi dan radioterapi yang

dosisnya dinaikkan dua kali, melebihi 7000 rads.

33

Gambar 12. Staging dan Metastase Karsinoma Nasofaring. Secaraberurutan, dari atas kiri-kanan ke bawah kiri-kanan. Stage 0,Stage I, Stage IIA, Stage IIB, Stage III, Stage IVA, Stage

Kemoterapi dapat diberikan bersamaan dengan atau

setelah radioterapi. Kemoterapi telah ditemukan

berguna untuk mengontrol metastase dari

limfepitelioma dan karsinoma nasofaring tidak

berdiferensiasi. Tujuan akhir dari kemoradioterapi

pada Ca Nasofaring adalah untuk meningkatkan control

lokal dari tumor dan menangani metastase jauh.

3. Pembedahan radikal leher diperlukan apabila

ditemukan nodus yang persisten meskipun primernya

telah teratasi. Residual atau rekuren tumor umumnya

membutuhkan paparan kedua dari radiasi atau

brachytheraphy. Atau dapat juga dilakukand dengan

cyrosurgery melalui fenestrasi palatal atau kauss-

kasus tertentu dengan pembedahan basis kranii.

2.4.2 Karsinoma Nasofaring Lainnya

Karsinoma lainnya jarang, namun terdapat beberapa

bentuk yaitu limfoma, rhabdosarkoma, plasmasitoma,

kordoma, karsinoma sistik adenoid, melanoma.2

34

BAB III

PENUTUP

3.3 Kesimpulan

Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma merupakan neoplasma yang

terletak di bagian posterolateral dari nasofaring, umumnya

terjadi pada remaha laki-laki dan timbul dengan gejala

epistaksis. Pembedahan dan radioterapi merupakan pilihan

terapi yang utama namun mengingat kasus JNA sendiri sangat

langka, sangatlah penting untuk mengevaluasi neoplasma

lainnya yang mungkin juga bermanifestasi pada rongga hidung.

Karsinoma nasofaring

3.4 Saran

Sebagai seorang dokter umum yang bekerja di lini pertama,

penting untuk mengenali tanda-tanda dan gejala yang mengarah

pada kedua tumor nasofaring ini, serta membandingkannya

dengan diagnosis yang lain. Apabila diagnosis dapat

ditegakkan dari dini, maka pengambilan keputusan untuk

tatalaksana yang tepat dapat dilakukan secepatnya.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-

step Learning Guide. New York: Thieme; 2006.

2. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India:

Elsevier; 2013.

3. Tewfik TL. Juvenile Angiofibroma [Accessed on:

http://emedicine.medscape.com/article/872580-

overview#a0199]

4. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring

Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi

EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta. 2007:188-190

5. Snyderman CH, Pant H, Carrau RL, Gardner P. Juvenile

Angiofibromas. In Expert Consult, chapter 6. USA :

Elseiver. 2009

6. Nicolai P, Berlucci M, Tomenzoli D, et al. Endoscopic Surgery

for Juvenille Angiofibroma: When and How. Laryngoscope, 2003

36

7. Lo S, Lee N, et al. 2009. Nasopharynx, Squamous Cell

Carcinoma.

8. Ondrey F. G, Wright S.K. 2003. Ballenger 16th ed; Chap 60:

Neoplasms of The Nasopharynx p.1393-1402. William &

Wilkins: Spain.

37