tumor nasofaring
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring,
diikuti dengan orofaring lalu laringofaring. Meskipun jarang,
namun akibat adanya faktor prediposisi dan pencetus tertentu,
dapat berkembang tumor di daerah ini. Tumor nasofaring dapat
dibedakan menjadi tumor jinak dan tumor ganas.
Tumor jinak nasofaring salah satunya adalah Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) hanya menjadi 0,05 hingga 0,5%
kasus tumor pada bagian kepala-leher, namun menjadi yang
paling umum terjadi di antara tumor jinak nasofaring lainnya.
Insidensinya tinggi di India dan Mesir dibandingkan dengan
Amerika dan Eropa. Tumor ini sering menjangkit remaja pria
dengan rata-rata terdiagnosis di usia 14-15 tahun.
Selain itu, terdapat juga tumor nasofaring dalam bentuk
ganas yang disebut dengan karsinoma nasofaring. Etiologi dari
penyakit ini multifactorial dan meliputi ras/suku, genetik,
lingkungan, dan keterlibatan virus Epstein-Barr (EBV). Kanker
ini jarang dialami oleh populasi Kaukasia, namun insidensinya
tinggi pada ras Cina, dan memiliki kelompok endemic di antara
Eskimo Alaska dan Indian. Kanker ini dapat timbul pada usia
berapapun namun sering ditemukan pada dewasa berusia 50-60
tahun, dan lebih banyak pada laki-laki.
Untuk dapat mendiagnosis kedua tumor tersebut, dibutuhkan
pemeriksaan yang cermat sehingga dapat memberikan intervensi
secepatnya. Selain itu, penentuan staging juga dapat membantu
pilihan terapi yang akan diberikan untuk penderita. Pada
1
penulisan ini akan dibahas mengenai gambaran klinis,
diagnosis, dan terapi yang tepat untuk kedua bentuk tumor
nasofaring tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nasofaring1,2
Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu: nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Nasofaring merupakan bagian
teratas dari faring, sehingga disebut juga sebagai
epifaring. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung
dan meluas dari dasar tengkorak hingga palatum molle atau
tingkat bidang datar yang melewati palatum durum. Batas-
batas dari nasofaring adalah:
Superior = Dasar tengkorak (basisfenoid dan
basioksiput)
2
Posterior = Arkus vertebra. Batas superior dan
posterior dari nasofaring, pada akhirnya
bergabung menjadi satu.
Inferior = Batas bawah dibentuk oleh palatum molle.
Melalui ismus nasofaringeal, nasofaring
berhubungan dengan orofaring.
Lateral = Tuba eustachius terletak 1,25 cm di
belakang ujung posterior dari konka inferior.
Secara fungsional nasofaring merupakan perpanjangan
posterior dari rongga hidung, sehingga memiliki epitel
torak bertingkat bersilia. Organ-organ yang berada di
daerah nasofaring meliputi:
A. Adenoid
3
Gambar 1. Nasofaring sebagai Bagiandari Laring
Merupakan sekumpulan jaringan limfoid subepitel yang
terletak diperbatasan antara dinding posterior dan atap
dari nasofaring. Adenoid mencapai ukuran maksumalnya
hingga 12 tahun, kemudian menjadi atrofi secara
perlahan.
B. Bursa nasofaringeal
Merupakan ceruk berlapis epitel yang berada diantara
adenoid dan meluas dari mukosa faringeal ke periosteum
basioksiput. Apabila terinfeksi, dapat menjadi penyebab
pengeluaran sekret postnasal persisten atau krusta.
Terkadang dalam bursa ini juga dapat terbentuk abses.
C. Rathke’s Pouch
Merupakan cekungan di atas organ adenoid dan berperan
dalam invaginasi mukosa bukal, untuk membentuk lobus
anterior dari kelenjar hipofisis.
D. Tuba Tonsil
Merupakan sekumpulan jaringan limfoid subepitel yang
terletak pada elevasi tuba. Organ ini berhubungan
dengan adenoid dan menjadi bagian dari Waldeyer’s ring.
Ketika organ ini membesar akibat infeksi, menyebabkan
oklusi tuba eustachius.
E. Sinus Morgagni
Merupakan rongga antara dasar tengkorak dan batas atas
dari M. konstriktor superior. Melalui sinus ini, tuba
eustachius masuk otot levator veli palatina, tensor
veli palatine, dan cabang arteri palatine dari arteri
fasialis.
F. Passavant’s Ridge
4
Merupakan undukan mukosa yang melambung oleh serat dari
palatofaringeus. Mengelilingi dinding posterior dan
lateral dari ismus nasofaring. Palatum molle, saat
berkontraksi membuat kontak dengan undukan ini untuk
memisahkan nasofaring dari orofaring selama proses
berbicara.
Sistem limfatik dari nasofaring, termasuk dari
adenoid dan tuba eustachius, bermuara ke nodus servikalis
profunda superior, baik secara langsung maupun tidak
langsung lewat nodus retrofaringeal dan parafaringeal.
Selain itu juga dapat bermuara ke nodus aksesorius
spinalis di segitiga posterior dari leher. Sistem
limfatik nasofaring juga dapat melewati garis tengah dan
bermuara ke nodus limfatik kontralateral.
5
Gambar 2. Organ yang Terletak padaNasofaring
Supply arteri melalui cabang dari A. carotid eksterna: A.
faringeal asendens, lingual, fasial dan maksilaris. Untuk
drainase vena diperankan oleh pleksus vena faringeal yang
bermuara menuju vena jugularis interna.
Lapisan muscular dari nasofaring dibentuk oleh M.
konstriktor faringeal superior. Otot-otot palatina muncul
dari dasar tengkorak pada kedua sisi dari tuba
eustachius. M. levator veli palatina mengiringi tuba
6
Gambar 3. Sistem LimfatikNasofaring
Gambar 4. Perdarahan Nasofaring
eustachius, menembus fascia faringobasilar sebelum masuk
ke bagian posterior dari palatum molle. Sementara itu M.
tensor veli palatina mengelilingi nasofaring dan hamulus
pterygoid sebelum masuk ke bagian membranosa dari palatum
molle. Otot-otot ini, bersama dengan yang terdapat di
lengkung palatofaringeal, mengangkat palatum molle,
menutupkannya melawan passavant’s ridge selama proses
menelan, sehingga memisahkan nasofaring dari orofaring.
Innervasi mayoritas dari faring didapatkan dari
pleksus faringeal, yang terdiri dari cabang N.
Glosofaringeal (N. IX), cabang N. Vagus (N. X), dan
serabut simpatis dari ganglion servikal superior. Untuk
7
Gambar 5. Otot-otot Nasofaring
saraf sensoris, masing-masing bagian faring memiliki
inervasi yang berbeda. Nasofaring diinervasi oleh N.
maksilaris (N. V2), orofaring oleh N. Glosofaringeal (N.
IX), dan laringofaring oleh N. Vagus (N. IX). Untuk saraf
motorik, seluruh otot faring diinervasi oleh N. Vagus (N.
X), kecuali M. stylofaringeus yang diinervasi oleh N.
glosofaringeal (N. IX)
2.2 Fungsi Nasofaring2
8
Gambar 6. Persarafan Nasofaring
Terdapat beberapa fungsi dari nasofaring, yaitu:
1. Berperan sebagai saluran udara, yang telah dihangatkan
dan dilembabkan di hidung, untuk menuju laring dan
trakea.
2. Melalui tuba eustachius, melakukan penyaringan telinga
tengah dan menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
dari membrane tumpani. Fungsi ini sangat penting untuk
pendengaran.
3. Elevasi dari palatum molle melawan dinding faring
posterior dan Passavant’s ridge memisahkan nasofaring
dari orofaring. Fungsi ini penting untuk proses
menelan, muntah, dan bicara.
4. Berperan sebagai ruang resonansi selama proses produksi
suara.
5. Berfungsi sebagai saluran drainase untuk mukus yang
disekresi oleh kelenjar di hidung dan nasofaringeal.
\
2.3 Tumor Jinak Nasofaring1,2
2.3.1 Fibroma Nasofaring
Fibroma nasofaring dikenal juga sebagai Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Meskipun kemunculannya jarang,
namun jenis ini yang paling sering muncul di antara tipe-
tipe tumor jinak nasofaring lainnya.
A. Epidemiologi
JNA adalah suatu kelainan yang jarang ditemui dan
mewakili 0,05 – 0,5% dari seluruh neoplasma kepala
9
dan leher. Rata-rata usia saat diagnosis ditegakkan
adalah 7-19 tahun (tersering 15 tahun). Jarang terjadi
pada pasien-pasien berusia diatas 25 tahun dan
memiliki risiko kematian yang sangat rendah.3
B. Etiologi
Penyebab pastinya tidak diketahui. Karena tumor ini
banyak dijumpai pada remaja laki-laki dengan kisaran
usia 20 tahun, sehingga diperkirakan berhubungan
dengan hormon testosterone. Penderita umumnya memiliki
nidus hamartomatosa dari jaringan vascular di
nasofaring, yang kemudian teraktifasi membentuk
angiofibroma seiring dengan munculnya hormon seks
pria.
C. Lokasi dan Perkembangan
Lokasi awal kemunculan dari tumor ini masih menjadi
perdebatan. Pada mulanya, dianggap timbul dari atap
nasofaring, atau dinding anterior dari tulang sfenoid
namun kini dipercaya kemunculannya berasal dari bagian
posterior dari rongga hidung dekat batas superior
foramen sphenopalatina. Dari tempat tersebut, tumor
berkembang ke dalam rongga hidung, nasofaring, dan ke
dalam fossa pterygopalatina, menuju ke belakang
dinding posterior dari sinus maksilaris yang akhirnya
terdorong ke depan saat tumor membesar. Secara
lateral, tumor tersebut meluas hingga fossa
pterygomaksilaris dan kemudian fossa infratemporalis
dan pipi.
10
D. Patologi
Angiofibroma, sesuai dengan namanya, terbentuk dari
jaringan vaskular dan fibrosa: rasio antara keduanya
bervariasi. Umumnya, pembuluh darahnya hanya berupa
lapisan endotel tanpa otot. Hal ini menyebabkan
kejadian perdarahan yang berat karena pembuluh
darahnya kehilangan kemampuan untuk berkontraksi,
serta tidak dapat dikontrol dengan pemberian
adrenalin.
E. Penyebaran
Fibroma nasofaring merupakan tumor jinak, namun dapat
menginvasi secara lokal dan menghancurkan struktur di
sekitarnya. Penyebarannya dapat menjangkau:
1. Rongga hidung, menyebabkan obstruksi hidung,
epistaksis dan pengeluaran sekret dari hidung.
2. Sinus paranasal, meliputi sinus maksilaris, sfenoid,
dan ethmoid.
3. Rongga mata, menyebabkan timbulnya proptosis dan
‘deformitas wajah katak’. Tumor ini masuk melalui
fissure orbita inferior, dan juga menghancurkan
puncak dari orbita. Dapat juga masuk melalui fissure
orbita superior.
4. Rongga kranial. Fossa kranialis tengah yang paling
sering, disebabkan oleh rute masukannya melalui:
11
- Erosi dari lantai fossa kranialis media, anterior
dari foramen lacerum. Tumor ini berada lateral
dari A. karotid dan sinus kavernosus.
- Sinus sfenoid, ke dalam sella. Tumor berada medial
dari A. karotid.
F. Gambaran Klinis
1. Epistaksis berat dan rekuren, merupakan gejala yang
paling sering ditemui dan pasien sangat berisiko
untuk mengalami anemia karena kehilangan darah yang
signifikan.
2. Obstruksi hidung dan denasal speech. Gejala ini timbul
akibat adanya massa yang mengjalangi rongga
postnasal.
3. Tuli konduksi dan otitis media serosa, akibat
obstruksi dari tuba eustachius.
4. Massa di nasofaring, umumnya memiliki sifat imobil,
berlobus atau dapat juga halus dan menyumbat satu
atau kedua koana. Berwarna pink atau keunguan dengan
konsistensi padat.
5. Dapat juga ditemukan gejala lain seperti perluasan
jembatan hidung, proptosis, pembengkakan daerah pipi
dan fossa infratemporal, atau keterlibatan gangguan
N. II, III, IV, VI tergantung penyebaran dari tumor.
12
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Soft Ttissue Lateral menunjukkan adanya massa jaringan
lunak dalam nasofaring.
2. X-ray dari sinus paranasalis dan basis kranii dapat
menunjukkan perubahan posisi septum nasal, gambaran
opak pada sinus, pembungkukkan anterior dari dinding
posterior sinus maksilaris, erosi dari pelat
13
Gambar 7. Juvenille NasopharyngealAngiofibroma
sphenoid atau pterygoid, dan pelebaran batas lateral
bawah dari fissure orbita superior.
3. CT-scan dari kepala dengan kontras merupakan
pemeriksaan pilihan utama dan telah menggantikan
radiografi konvensional. Dapat menunjukkan
penyebaran tumor, desktruksi tulang atau perubahan
posisi lain. Kemungkinan dijumpai pembungkukkan dari
dinding posterior sinus maksilaris (antral sign)
yang merupakan patognomic dari tumor angiofibroma.
4. MRI, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan CT-scan
apabila penyebaran tumor mencapai intracranial dalam
fossa infratemporal atau ke dalam orbita.
5. Angiografi karotid, dapat memperlihatkan penyebaran
rumor, vaskularisasi dan keadaan pembuluh darahnya.
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi
agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga
vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah
pengangkatan tumor.
6. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan
sebab biopsi merupakan kontraindikasi karena dapat
mengakibatkan perdarahan yang masif.
H. Klasifikasi
Sistem klasifikasi JNA berdasarkan Radkowski
14
I. Tatalaksana
Sampai saat ini, pembedahan merupakan terapi gold standar
dari JNA. Beberapa pilihan terapi JNA, antara lain
kemoterapi, radioterapi, hormonal terapi, embolisasi.
1. Terapi hormonal
Karena tumor ini muncul pada remaja pria menjelang
pubertas, terapi horman telah digunakan baik sebagai
terapi primer maupun tambahan. Terapi hormonal tersebut
diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan
preparat testosteron reseptor bloker (flutamid).
Berdasarkan hasil penelitian Gates et al, anti-
androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-
3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide) dapat mengurangi
pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil dan
penyusutan tumor hingga 44 %.1,4
Estrogen juga telah terbukti mengurangi ukuran dan
vaskularisasi tumor, namun memiliki efek samping
feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler.
Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg
intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat
15
mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran
tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi
lebih padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron
yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama
sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi
vaskularisasi. Efek samping pemberian dietilstilbestrol
adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat
terjadi atrofi testis.3
2. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi
JNA yang rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial
yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko
yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan
sekitar apabila dilakukan pembedahan. Biasanya dosis
sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard
untuk mengontrol lesi.
Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti
tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah
radioterapi. Karena itu agar efektif, radioterapi
sebenarnya harus ditunjang dengan terapi pembedahan.
Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk
penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan
oleh UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor
berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien
akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima
tahun. Akan tetapi komplikasi jangka panjang dari
radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu
gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis
16
lobus temporalis, katarak, dan keratopati radiasi.
Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala
dan leher sekunder sebagai efek samping dari
radioterapi terhadap JNA. Prognosis dari radioterapi
sendiri ditentukan oleh stadium tumor, dimana lebih
baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi
hasil pada tumor stadium akhir.
3. Embolisasi
Beberapa ahli menggunakan embolisasi preoperatif
untuk menguragi vaskularisasi tumor. Suplai darah
terutama berasal dari arteri maksilaris interna, dan
lain-lain berasal dari arteri karotis interna, arteri
karotis kommunis, atau arteri faringeal ascenden.
Embolisasi preoperatif terbukti menurunkan kehilangan
darah selama operasi. Para ahli menggunakan partikel
yang dapat diserap dengan waktu ideal antara embolisasi
dan operasi adalah 24-72 jam.
Komplikasi embolisasi preoperatif cukup tinggi (20%)
berupa oklusi arteri retina sentral dan kebutaan
sementara, fistula oronasal, oklusi arteri serebral
media yang diikuti stroke, dan oklusi arteri oftalmika.
4. Terapi pembedahan5,6
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi
banyak situs-situs anatomis di basis kranii, pilihan
metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium
tumor dan berdasarkan pengalaman dari operator. Terapi
17
pembedahan dapat dibedakan menjadi pembedahan terbuka
dan pembedahan endoskopik.
i. Pembedahan Terbuka
Pendekatan pembedahan dapat dibagi menjadi inferior,
anterior, dan lateral. Pendekaran inferior meliputi
transpalatal dan transoral-transpharyngeal dengan
atau tanpa memisahkan palatum molle. Teknik ini
memberikan akses yang baik pada nasaofaring dan
kavum nasi. Pendekatan anterior dasarnya adalah
membuka kavum nasi, meliputi tehnik lateral
rhinotomy dan midfacial degloving dan dapat
diperluas melalui maksila medial untuk mengekspos
antrum, sinus ethmoid, dan fossa pterygopalatine
(metode LeFort I, Denker’s, dan medial
maxillectomy). Pendekatan lateral dilakukan untuk
mencapai fossa infratemporal,melaluirutr
preauricular subtemporal.
Pendekatan Transpalatal
Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor
di nasofaring yang meluas ke sphenoid dan nasal
posterior. Banyak jenis insisi palatum, namun yang
paling sering digunakan adalah insisi bentuk huruf
“U”. insisi tersebut dapat diperluas ke
tuberositas maksila dan bergabung dengan insisi
sublabial, bila ingin mencapai pterigopalatum.
Setelah dilakukan insisi berbentuk huruf “U”,
jabir mukoperiosteal diangkat ke atas, sedangkan
tulang palatum durum posterior dibuang. Bila tumor
18
sudah lengkap terlihat maka tumor dapat diangkat
bersama-sama dengan mukoperiosteum nasofaring.
Pendekatan Rinotomi Lateral
Insisi rinotomi lateral atau Weber-Ferguson
digunakan untuk mencapai rongga hidung dan sinus
maksilaris. Bila ingin mencapai fossa
pterigopalatina, insisi dapat diperluas ke
tuberositas maksila. Kekurangan dari pendekatan
rinotomi lateral adalah terdapatnya jaringan parut
pada wajah dan biasanya dilakukan hanya pada tumor
yang tumbuh unilateral. Oleh karenanya pendekatan
ini perlu dikombinasi dengan pendekatan
transpalatal untuk dapat mengangkat tumor secara
utuh.
19
Gambar 8. Pendekatan Transpalatal
Pendekatan Sublabial (Midfacial Degloving)
Pendekatan ini merupakan perluasan dari insisi
sublabial bilateral dan transversal maksila.
Pendekatan degloving ini tidak menimbulkan parut
di wajah ataupun gangguan fungsi palatum.
Keuntungan lainnya adalah pendekatan ini dapat
mencakup lapang pandang operasi yang cukup luas,
yaitu rongga hidung, nasofaring, dan daerah muka
sepertiga tengah, sinus maksilaris, fossa
pterigomaksila serta fossa infratemporal. Conley
dan Price mengembangkan teknik operasi ini dengan
menggabungkan empat macam insisi yaitu insisi
sublabial bilateral pada sulkus ginggivobukal,
insisi transfiksi yang memisahkan tulang rawan
lateral atas dan jaringan lunak hidung serta
insisi apertura piriformis pada kedua sisi.
Setelah itu keempat insisi dihubungkan, jaringan
muka sepertiga tengah dapat ditarik ke cranial
sampai mencapai sutura nasofontal dan lengkung
infraorbita, serta dapat dilakukan reseksi tulang
untuk mencapai lapangan operasi yang diinginkan.
Komplikasi yang didapat adalah stenosis
vestibulum.
20
Gambar 9. Pendekatan RinotomiLateral
Pendekatan intrakranial
Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke
intrakranial, dapat dilakukan kombinasi pendekatan
intrakranial dan ekstrakranial rinotomi
bilateral. Bila tumor intrakranial cukup kecil dan
mudah digerakkan, maka dapat diangkat bersamaan
dengan tumor ekstrakranial melalui lubang defek
tempat masuknya melalui fossa media. Akan tetapi
bila tumor intracranial agak besar, harus
direseksi tepat pada defek tempat masuknya ke
fossa media.
ii. Pembedahan endoskopi
Perkembangan teknik endoskopi dan pengetahuan akan
anatomi menyebabkan penggunaan nasal endoskopi untuk
operasi JNA adalah hal yang mungkin. Pembedahan
endoskopi dan embolisasi preoperatif meminimalkan
perdarahan.
Keuntungan dari pembedahan endoskopi antara lain
waktu rehabilitasi pasca operasi yang minimal, waktu
inap yang lebih singkat, dan meminimalkan infeksi
nosokomial.
21
Gambar 10. Midfacial Degloving
Mengesampingkan keuntungan-keuntungan diatas,
tingkat rekurensi dilaporkan sekitar 30-50%,
kebanyakan muncul 12 bulan pertama setelah
perawatan. Semakin muda usia pasien dan semakin
lanjut perjalanan penyakit, maka semakin besar
rekurensi akan terjadi.
J. Prognosis
Prognosis untuk JNA sangat baik jika diagnosis tepat
waktu dan jika belum menyebar sampai ke intra kranial.
Persentase kesembuhan setelah operasi mencapai 80-
85%.1,4
2.3.2 Tumor Jinak Lainnya
Tumor jinak lainnya sangat jarang, namun apabila
terjadi biasanya berasal dari atap atau dinding lateral
dari nasofaring. Contoh tumor lainnya adalah teratoma,
adenoma pleomorfik, chordoma, hamartoma, choristoma,
paraganglioma.2
2.4 Tumor Ganas Nasofaring
2.4.1 Karsinoma Nasofaring1,2
A. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit multifaktorial.
Insidensi dan distribusi geografisnya bergantung dengan
beberapa faktor seperti kerentanan genetik, faktor
22
lingkungan, makanan, dan gaya hidup personal. Karsinoma
nasofaring paling banyak terjadi di Cina dan Taiwan. Ras
Amerika Utara, insidensinya sebesar 0,25% sementara ras
Amerika-Cina, insidensinya mencapai 18%. Ras Cina yang
lahir di Amerika memiliki insidensi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan yang lahir di Cina. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya kejadian penyakit ini di Cina
adalah, pembakaran dupa atau kayu, penggunaan ikan asin
yang diawetkan, serta defisiensi vitamin C. Sementara
itu, di India dan sekitarnya penyakit ini jarang
ditemukan, kecuali di regio timurlaut yang penduduknya
didominasi oleh ras Mongolia. Masyarakat di Negara Cina
Selatan, Taiwan, dan Indoenesia lebih rentan terhadap
kanker ini.
B. Etiologi
Etiologi yang sebenarnya tidak diketahui, namun faktor
yang diduga berperan meliputi:
1. Genetik. Ras Cina memiliki kerentanan lebih tinggi
terhadap kanker nasofaring. Bahkan setelah migrasi ke
negara lain, ras tersebut masih memiliki insidensi
yang tinggi.
2. Virus. Yang berhubungan dengan kanker ini merupakan
virus Epstein-Barr. Telah dikembangkan marker spesifik
untuk virus ini untuk menyaring penderita di area
dengan insidensi tinggi.
3. Lingkungan. Polisi udara, konsumsi rokok atau opium,
ikan asin yang diawetkan, dan asap dari pembakaran
23
dupa atau kayu diduga memiliki keterlibatan dengan
kanker ini.
C. Patogenesis7,8
Pada mulanya, perkembangan tumor ini disebabkan oleh
kehilangan alel dari kromosom 3p dan 9p pada fungsi tubuh
normal, yang menyebabkan inaktivasi dari gen supresi
tumor (p14m 15, p16) menyebabkan dysplasia ringan. Hal
24
Gambar 11. Patogenesis KarsinomaNasofaring
tersebut saja tidak akan menyebabkan perkembangan tumor.
Dengan adanya infeksi EBV, dysplasia ringan tersebut akan
berkembang menjadi dysplasia berat. Kemudian dengan
penerimaan kromosom 12 dan kehilangan kromosom 11q, 13q,
16q, berujung pada karsinoma yang invasif. Metastase
dapat terjadi karena mutasi dari p53 dan perubahan
ekspresi dari cadherin.
D. Patologi7,8
Secara histologis, sesuai yang terlihat di bawah
mikroskop cahaya, WHO telah mengelompokkan pertumbuhan
epitel menjadi 3 tipe.
Tipe I: Karsinoma sel skuamosa dengan derajat
diferensiasi yang bervariasi.
Tipe II : Karsinoma non-keratin (dengan/tanpa stroma
limfoid).
Tipe III : Karsinoma tidak terdiferensiasi
(dengan/tanpa stroma limfoid).
Tipe I meliputi karsinoma sel skuamosa (KSS)
berkeratin, memiliki karakteristik dari diferensiasi
skuamosa, termasuk jembatan interseluler dan produksi
keratin yang berlebihan. Tipe ini kemudian dikelompokkan
lagi menjadi terdiferensiasi sedang atau berat.
Tipe II yang dimaksud oleh WHO meliputi karsinoma
nonkeratin yang pada dasarnya mewakili semua tumor yang
tidak termasuk tipe I atau tipe III. Tipe III meliputi
karsinoma tidak terdiferensiasi, dahulu disebut
25
limfoepitelioma karena terdiri dari sel epitel tidak
terdiferensiasi dan sel limfoid. Tipe II dan III
menunjukkan derajat pelomorfisme seluler yang lebih luas
dibandingkan dengan tipe berkeratin dan memiliki pola
mikroskopis yang spindle, transisional, sel anaplastik,
limfoepitelioma, atau kombinasi diantaranya. Variasi
tersebut, serta gambaran klinis yang serupa menjadikan
sulit untuk membuat perbedaan histologis yang jelas
sehingga kedua tipe tersebut disarankan untuk
dikelompokkan sebagai satu, yaitu tipe kanker
nasofaringeal tidak terdiferensiasi. Tipe II dan III
umumnya radiosensitive dan memiliki control lokal yang
lebih baik dibandingkan dengan KSS, namun juga
menunjukkan tingkat kejadian metastase jauh yang tinggi.
E. Gambaran Klinis
1. Hidung. Pada hidung umumnya penderita akan mengalami
gejala obstruksi nasal, sekresi nasal, denasal speech,
dan epistaxis.
2. Otologik. Keluhan pada telinga timbul akibat
obstruksi dari tuba eustachius yang membuat tuli
konduktif, atau bahkan berkembang sebagai otitis
media serosa atau supuratif. Tinnitus dan sakit
kepala juga dapat muncul. Adanya otitis media serosa
unilateral harus menimbulkan kecurigaan adanya
perkembangan massa dari ansofaringeal.
3. Opftalmoneurologik. Tanda ini timbul akibat ekstensi
tumor ke region sekitarnya, dapat mempengaruhi
26
seluruh saraf kranialis. Keterlibatan N. VI dapat
menyebabkan penglihatan juling dan diplopia.
Keterlibatan N. III, IV, VI menyebabkan
oftalmoplegia, sementara invasi N. V melalui foramen
laserum menyebabkan nyeri wajah dan pengurangan
reflex kornea. Keterlibatan N. IX, X, dan XI dapat
juga timbul sebagai sindroma foramen jugular yang
umumnya disebabkan karena adanya tekanan pada nodus
limfatikus retrofaringeal lateral di leher. N. XII
juga dapat terlibat akibat penyebaran dari kanalis
hipoglosus. Horner syndrome juga dapat muncul akibat
keterlibatan rantai servikalis simpatis. Kanker
nasofaring juga dapat menyebabkan tuli konduksi
(blockade tuba eustachius), neuralgia
temporoparietal ipsilateral (keterlibatan N. V), dan
paralisis palatal (N. X) yang ketiganya disebut
Trotter’s Triad.
4. Metastase nodus servikalis. Tandalumpl ini dapat
hanya menjadi satu-satunya manifestasi dari
karsinoma nasofaring. Adanya benjolan pada nodus
ditemukan di sudut antara rahang dan mastoid dan
sejalan aksesoris spinalis pada area segitiga
posterior dari leher.
5. Metastase jauh ke tulang, paru, hati, dan tempat
lain.
F. Diagnosis7,8
27
Gejala klinis dari kanker nasofaring (secara berurutan
dari yang paling umum dijumpai) adalah limfadenopati
servikal, menurunnya pendengaran, obstruksi nasal,
epistaksis, gangguan nervus kranialis (biasanya paralisis
N. VI), sakit kepala, sakit telinga, sakit leher,
penurunan berat badan. Diagnosis harus ditunjang oleh
anamnesa yang lengkap dan pemeriksaan klinis, meskipun
gejala klinisnya umum namun kecurigaan harus terbentuk
apabila penderita berada di daerah geografis yang
endemic.
Pemeriksaan dari rongga postnasal dengan menggunakan
nasofaringoskop sangat penting, dapat digunakan endoskopi
yang rigid maupun fleksibel. Endoskopi yang rigid
memberikan gambaran lebih baik, namun karena sifatnya
yang kaku menyebabkan gerakannya terbatas terutama di
dalam nasofaring yang sempit atau terdapat variasi
anatomis. Endoskopi fiberoptik nasofaring yang fleksibel
lebih atraumatic dan dapat digerakan secara leluasa untuk
mendapatkan gambaran lebih ke inferior.
Biopsi dapat dilakukan untuk diagnosis yang lebih pasti
karena memperlihatkan histogis dari keganasan. Lokasi
kemunculan yang paling sering adalah fossa Rosenmüller
dan atap nasofaring. Biopsi umumnya dikerjakan dengan
pasien berada dalam anestesi lokal. Biopsi transnasal
dapat dilakukan melalui nasofaringoskopi indirek.
Terkadang, perlu dilakukan biopsy dengan pasien berada
dalam anestesi umum, baik pada pasien yang dicurigai
dengan rekurensi submukosal yang membutuhkan biopsy dalam
28
atau pasien dengan hasil biopsy negatif yang berulang.
Untuk usaha terakhir dapat dilakukan kuretasi nasofaring
Biopsi umumnya diperlukan dari modus servikalis sebagai
diagnosis. Fine-needle aspiration cytology (FNAC) merupakan
metode diagnosis jaringan yang paling aman dan cepat.
Biopsi terbuka, pada kedua bentuk insisional atau
eksisional harus dihindari karena telah terbukti dapat
berisiko pada keselamatan.
Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan menggunakan MRI
dengan gadolinium dan supresi jaringan lemak sehingga
memperlihatkan gambaran multiplanar serta jaringan lunak
yang lebih naik. Tampak koronal berguna untuk menentukan
apabila tumor telah menyebar melalui fissure petroklinoid
atau foramen laserum ke dalam sinus kavernosus, termasuk
juga ke dalam foramen ovale, rotundum atau spinosum.
Ampak aksial memperlihatkan ekstensi kedalam ruang
retrofaringeal, paranasofaringeal dan pterygomaksilaris,
serta ke dalam fossa infratemporal. Namun dengan CT-scan
dapat terlihat ada tidaknya keterlibatan tulang, terutama
erosi dari basis kranii dan lebih akurat dalam
memperlihatkan keadaan limfadenopati servikal, teratama
apabila terdapat penyebaran intrakapsular. Sehingga,
kedua alat penunjang tersebut saling melengkapi dan dapat
dibutuhkan untuk memberikan informasi maksimal mengenai
penyebaran penyakit. Pemeriksaan radiologi juga
memperikan informasi penting mengenai kondisi dari nodus
faringeal, yang sering menjadi tempat drainase, namun
sulit dinilai melaui pemeriksaan klinis saja.
29
Saat tumor telah meluas melewati nasofaring, penyakit
ini dapat menyebar dengan cara yang beragam. Penyebaran
secara lateral yang paling umum terjadi, melalui fascia
faringobasilar, menyebabkan berpindahnya rongga
parafaringeal ke arah lateral. Apabila terjadi penyebaran
anterolateral, dapat menuju pterygoid yang merupakan otot
pengunyahan dan menyebabkan trismus. Penyebaran secara
posterolateral dapat melibatkan selubung carotid atau
foramen jugularis menyebabkan kelumpuhan sarah karnialis
IX, X, XI, XII.
Penyebaran anterior menuju fossa nasalis dan melalui
foramen sfenopalaitna ke dalam fossa pterygopalatina.
Fossa pterygopalaitina dapat juga terkena akibat invasi
langsung di prosesus pterygoid atau melalui rongga
masticator. Tanda awal dari keterlibatan fossa tersebut
adalah obliterasi dari kandungan lemak normal. Saraf
maksilaris akhirnya dapat ikut terlibat dan menyebabkan
penyebaran menuju sinus kavernosus lewat foramen
rotundum.
Penyebaran superior menyebabkan erosi dari sinus
sfenoid atau basis kranii, dengan atau tanpa ekstensi
intracranial. Ekstensi superolateral meliputi apeks dari
petrosa dan foramen lacerum yang akhirmya mencapai sinus
kavernosus dan menyebabkan kelumpuhan saraf III, IV, V,
dan VI.
Positron emission tomography scans (PET CT-Scan) telah menjadi
alat diagnostic yang esensial dalam penanganan penyakit
yang residual atau rekuran. Penelitian menunjukkan
30
kegunaannya dibandingkan dengan CT pada 36 pasien yang
dievaluasi setelah tatalaksana dan dilaporkan memiliki
100% sensivitas, 96% spesifitas, 97% akurasi dalam
diagnosis.
G. Klasifikasi
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan American
Joint Committee on Cancer (AJCC)
31
H. Tatalaksana
1. Radiasi merupakan pilihan terapi yang utama, karena
2 alasan penting yaitu (1) tumor ini relatif sulit
dijangkau untuk ekstirpasi pembedahan terutama
apabila telah menyebar melewati nasofaring dan (2)
sifat dari tumor ini radiosensitif. Terapi
menggunakan voltase tinggi yang diarahkan ke nodus
servikalis dengan dosis 6000-7000 rads.
2. Kemoterapi digunakan karena meskipun radiasi sendiri
menghasilkan hasil yang optimal pada stage I dan II,
namun untuk stage III dan IV terapi radiasi masih
berisiko untuk menimbulkan rekurensi lokal dan
kegagalan sistemik. Untuk stage III dan IV dapat
digunakan kombinasi kemoterapi dan radioterapi yang
dosisnya dinaikkan dua kali, melebihi 7000 rads.
33
Gambar 12. Staging dan Metastase Karsinoma Nasofaring. Secaraberurutan, dari atas kiri-kanan ke bawah kiri-kanan. Stage 0,Stage I, Stage IIA, Stage IIB, Stage III, Stage IVA, Stage
Kemoterapi dapat diberikan bersamaan dengan atau
setelah radioterapi. Kemoterapi telah ditemukan
berguna untuk mengontrol metastase dari
limfepitelioma dan karsinoma nasofaring tidak
berdiferensiasi. Tujuan akhir dari kemoradioterapi
pada Ca Nasofaring adalah untuk meningkatkan control
lokal dari tumor dan menangani metastase jauh.
3. Pembedahan radikal leher diperlukan apabila
ditemukan nodus yang persisten meskipun primernya
telah teratasi. Residual atau rekuren tumor umumnya
membutuhkan paparan kedua dari radiasi atau
brachytheraphy. Atau dapat juga dilakukand dengan
cyrosurgery melalui fenestrasi palatal atau kauss-
kasus tertentu dengan pembedahan basis kranii.
2.4.2 Karsinoma Nasofaring Lainnya
Karsinoma lainnya jarang, namun terdapat beberapa
bentuk yaitu limfoma, rhabdosarkoma, plasmasitoma,
kordoma, karsinoma sistik adenoid, melanoma.2
34
BAB III
PENUTUP
3.3 Kesimpulan
Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma merupakan neoplasma yang
terletak di bagian posterolateral dari nasofaring, umumnya
terjadi pada remaha laki-laki dan timbul dengan gejala
epistaksis. Pembedahan dan radioterapi merupakan pilihan
terapi yang utama namun mengingat kasus JNA sendiri sangat
langka, sangatlah penting untuk mengevaluasi neoplasma
lainnya yang mungkin juga bermanifestasi pada rongga hidung.
Karsinoma nasofaring
3.4 Saran
Sebagai seorang dokter umum yang bekerja di lini pertama,
penting untuk mengenali tanda-tanda dan gejala yang mengarah
pada kedua tumor nasofaring ini, serta membandingkannya
dengan diagnosis yang lain. Apabila diagnosis dapat
ditegakkan dari dini, maka pengambilan keputusan untuk
tatalaksana yang tepat dapat dilakukan secepatnya.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-
step Learning Guide. New York: Thieme; 2006.
2. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India:
Elsevier; 2013.
3. Tewfik TL. Juvenile Angiofibroma [Accessed on:
http://emedicine.medscape.com/article/872580-
overview#a0199]
4. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring
Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi
EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007:188-190
5. Snyderman CH, Pant H, Carrau RL, Gardner P. Juvenile
Angiofibromas. In Expert Consult, chapter 6. USA :
Elseiver. 2009
6. Nicolai P, Berlucci M, Tomenzoli D, et al. Endoscopic Surgery
for Juvenille Angiofibroma: When and How. Laryngoscope, 2003
36