tinjauan yuridis terhadap bantuan keuangan kepada partai politik dari apbn/apbd di indonesia

50
PENELITIAN INTERNAL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DARI APBN/APBD DI INDONESIA BIDANG KEGIATAN: PENELITIAN Diusulkan Oleh: Pandu Dewanata Haidar Naila Syifa Arnita Fauzi Budi W Azizah Nur Hanifah PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015

Upload: unpad

Post on 20-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENELITIAN INTERNAL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DARI APBN/APBD DI INDONESIA

BIDANG KEGIATAN:PENELITIAN

Diusulkan Oleh:Pandu Dewanata

HaidarNaila Syifa Arnita

Fauzi Budi WAzizah Nur Hanifah

PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya

kami dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DARI APBN/APBD DI

INDONESIA”. Meskipun terdapat banyak hambatan dalam proses pengerjaannya, tapi kami

dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu

dalam seluruh proses penyusunan artikel ilmiah ini. Ucapan terima kasih kami haturkan

kepada dosen pembimbing kami Ibu Lailani, S.H., M.H. yang telah memberikan koreksi-

koreksi sehingga penelitian ini lebih baik. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-

teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, senior kami di Padjajaran Law

Research and Debate Society (PLEADS) yang telah memberikan banyak masukan.

Semoga penelitian ini dapat berguna bagi para pihak yang bersangkutan, terutama

para pemerhati hukum. Penelitian ini tentu saja masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

kami mengharapkan saran dan masukan agar penelitian ini bisa menjadi lebih baik lagi.

Bandung, September 2015

Tim Penulis

ABSTRAK

Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemberian bantuan keuangan kepada partai

politik dari APBN/APBD berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Apabila ditelusuri secara historis,

bantuan keuangan kepada partai politik dimulai pada masa Orde Baru. Penelitian ini

bermaksud untuk mengetahui alasan pemberian bantuan keuangan kepada partai politik

dikaitkan dengan paradigma pengaturan partai politik.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis

normatif dengan spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini

membandingkan maksud dari diberikannya bantuan keuangan kepada partai politik dari masa

ke masa dan tetap dipertahankannya bantuan keuangan kepada partai politik pada Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai

Politik.

Kata Kunci : Bantuan Keuangan, Partai Politik

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Abstrak ii

Daftar Isi iii

BAB 1

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Identifikasi Masalah 6

Luaran Penelitian 6

Manfaat 6

BAB 2

Tinjauan Pustaka 7

Jaminan Kebebasan Berserikat 7

Fungsi Partai Politik 10

Partai Politik sebagai Badan Hukum Publik 13

Paradigma Pengaturan Partai Politik 17

BAB 3

Metode Penelitian 22

Pendekatan 22

Spesifikasi Penelitian 22

Tahapan Penelitian 23

Analisis Data 24

Lokasi Penelitian 25

BAB 4

Pembahasan 26

Sejarah Hukum Bantuan Keuangan kepada Partai Politik di Indonesia 26

Pemberian Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dalam Hukum Positif 32

Bantuan Keuangan kepada Partai Politik bukan Bentuk Intervensi 38

BAB 5

Penutup 47

Kesimpulan 47

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 52

BAB 1PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam negara demokrasi partai politik memiliki posisi dan peranan yang sangat

penting untuk menjaga agar sistem demokrasi berjalan dengan baik. Partai politik memainkan

peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga

negara.1 Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau

berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.2 Sehingga partai politik dalam negara

demokrasi berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat.

Partai politik lahir di negara-negara Eropa Barat sejalan dengan meluasnya gagasan

kedaulatan rakyat. Rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan

dalam proses politik, maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi

penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.3 Pada awal

perkembangannya, pada akhir abad ke-18 di negara-negara Eropa Barat, kegiatan politik

dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen.4 Dengan meluasnya hak pilih,

kelompok-kelompok politik di parlemen memerlukan dukungan dari berbagai golongan

masyarakat dan pada akhirnya kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen.

Partai politik merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi

ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan-pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat

demokratis.5 Partai politik sangat berperan dalam memperjuangkan nilai dan kepentingan

(values and interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan negara.

Menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, “a democratic system without political parties or

1 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 52,

2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 397.3 Ibid, hlm. 397-398.4 Ibid, hlm. 398.5 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 53.

with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”.6 Akan sangat sulit

menjalankan sistem demokrasi jika tidak terdapat atau hanya terdapat satu partai politik,

karena aspirasi masyarakat tidak akan tersampaikan kepada pemerintah dan menimbulkan

partisipasi masyarakat yang rendah.

Partai politik tidak lahir dalam sistem demokrasi tanpa fungsi yang melekat. Menurut

Miriam Budiardjo terdapat empat fungsi partai politik, antara lain :7 (i) sarana komunikasi

politik, (ii) sarana sosialisasi politik, (iii) sarana rekrutmen politik, (iv) sarana pengatur

konflik. Keempat fungsi tersebut saling berkaitan satu sama lain dan harus dilaksanakan oleh

partai politik. Untuk menjamin dilaksanakannya keempat fungsi tersebut terdapat pengaturan

mengenai partai politik dari internal dan eksternal. Secara internal partai politik memiliki

AD/ART tersendiri, sementara secara eksternal partai politik diatur dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Partai Politik sendiri mengatur tentang pembentukan partai politik,

keuangan partai politik, pendidikan politik, dan sebagainya.

Apabila melihat fungsi partai politik, maka peran dari partai politik dalam sistem

demokrasi sangat penting, sehingga perlu dikembangkan dalam rangka mendorong penguatan

demokrasi dan penyelenggaraan negara yang lebih baik. Menurut Veri Junaidi, terdapat dua

aspek yang menjadi kunci pengembangan partai politik, yakni pendanaan partai (political

party financing) dan pengadaan SDM partai yang berkualitas (political party recruitment).8

Kondisi partai politik pada saat ini menunjukkan adanya permasalahan pada bidang

pendanaan (financing). Akibat dari permasalahan tersebut partai politik pada saat ini dinilai

terlalu mengambil kebijakan politik yang cenderung pragmatis dan mengejar kekuasaan,

6 Ibid, hlm. 55. 7 Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 407-409.8 Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Jurnal Konstitusi Pusako FH

Universitas Andalas Volume I Nomor I, Jakarta, Sekretariat Jendeal MK RI, 2012, hlm. 52.

partai kemudian meninggalkan proses pengkaderan yang baik dan tertata.9 Hal ini dapat

dilihat dari kecenderungan partai (terutama di daerah) mengusung calon anggota legislatif

maupun calon kepala daerah yang dapat membayar mahar kepada partai politik. Mahar

tersebut digunakan oleh partai politik untuk mendanai biaya operasional partai politik.

Apabila calon kepala daerah atau calon anggota legislatif tidak dapat membayar mahar, dapat

dipastikan tidak dapat bersaing dalam pemilihan umum.

Bulan Juli tahun 2015, masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai persyaratan

mahar politik bagi calon bupati Simalungun, Sumatera Utara dan Manggarai, NTT.10 Calon

tersebut harus mengurungkan niatnya untuk maju dalam pemilu karena tidak sanggup

membayar mahar yang diminta oleh partai yang akan mengusung. Menurut Ray Rangkuti,

peneliti Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), menyatakan bahwa seorang calon kepala

daerah harus memberikan mahar sebesar Rp 500 juta sampai dengan Rp 4 miliar untuk

menjadi diusung oleh sebuah partai politik.11 Fakta-fakta tersebut menjadi cerminan bahwa

partai politik masih mengandalkan mahar politik dari calon kepala daerah untuk membiayai

partai, karena mahar politik berjumlah besar sehingga memberikan dampak yang signifikan

terhadap keuangan partai politik.

Dalam Undang-Undang Partai Politik disebutkan tiga jenis pendapatan partai politik,

yaitu: (1) iuran anggota; (2) sumbangan yang sah menurut hukum ; (3) bantuan keuangan dari

APBN/APBD.12 Artinya partai politik dapat memanfaatkan sumber dana selain mahar politik

yang diberikan oleh calon kepala daerah/legislatif yang termasuk pada sumbangan yang sah

menurut hukum. Partai politik dapat memanfaatkan iuran anggota dan bantuan keuangan dari

APBN/APBD yang diberikan setiap tahun.

9 Ibid.10http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/29/151898/2-calon-kepala-daerah-gagal-maju-

karena-tak-sanggup-bayar-mahar, diakses pada 3 Oktober 2015.11http://news.merahputih.com/politik/2015/08/07/parpol-patok-mahar-rp500-juta-rp4-miliar-pada-

calon-kepala-daerah/22343/, diakses pada 4 Oktober 2015.12 Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.

Bantuan keuangan dari APBN/APBD terhadap partai politik, selanjutnya akan disebut

sebagai bantuan keuangan kepada partai politik, menarik untuk dikaji. Dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, bantuan

keuangan partai politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan

operasional sekretariat partai politik.13 Bantuan Keuangan diberikan berdasarkan perolehan

jumlah suara partai yang memperoleh kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota. Besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari APBN

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 sebesar Rp.108/suara, sedangkan

besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari APBD bergantung pada

kemampuan masing-masing daerah. Penghitungan dari bantuan keuangan kepada partai

politik didapat dari perkalian besaran bantuan keuangan dengan perolehan suara yang didapat

partai politik, hasil dari perkalian tersebut akan diberikan kepada partai politik. Nantinya

partai politik akan membuat laporan pertanggungjawaban mengenai bantuan keuangan

kepada pemerintah.

Bantuan keuangan partai politik dapat dimaknai sebagai usaha untuk mendorong

penguatan demokrasi dan penyelenggaraan negara yang lebih baik, namun tidak sedikit pula

yang memaknai bantuan keuangan partai politik sebagai intervensi negara dalam pengelolaan

partai politik.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis terdorong untuk menganalisis dan

mengkaji lebih dalam mengenai pendidikan politik yang diselenggarakan oleh partai politik

yang hasilnya akan dituangkan ke dalam penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis

terhadap Bantuan Keuangan Partai Politik dari APBN/APBD di Indonesia”.

13 Lihat Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

B. Identifikasi Masalah

Masalah yang diidentifikasi berdasarkan latar belakang di atas antara lain :

1. Bagaimana sejarah hukum mengenai bantuan keuangan kepada partai politik di

Indonesia ?

2. Mengapa pemerintah tetap memberikan bantuan keuangan kepada partai politik

dalam hukum positif ?

3. Apakah bantuan keuangan partai politik merupakan bentuk intervensi pemerintah

terhadap partai politik ?

C. Luaran Penelitian

Luaran dari Penelitian ini adalah artikel ilmiah yang diterbitkan pada jurnal Padjadjaran

Law Review.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis maupun praktikal.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dapat menjadi bahan bacaan spesifik

mengenai hukum ketatanegaraan di Indonesia. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan

menjadi acuan bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat secara umum dalam

mengkaji bantuan keuangan kepada partai politik.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

A. Jaminan Kebebasan Berserikat

Instrumen hak asasi manusia yang secara umum menjadi sumber rujukan standar

kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi ini adalah Universal Declaration of

Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Artikel 20 (1) UDHR menyebutkan, “Everyone has the right to freedom of peaceful assembly

and association.” Lebih lanjut dalam sub-title (2) ditegaskan, “No one may be compelled to

belong to an association.”14 ICCPR mengatur lebih lanjut pengakuan dan perlindungan atas

“the right of peaceful assembly” di dalam artikel 21, sedangkan “freedom of association”

dijamin dalam artikel 22. Artikel 22 (1) ICCPR menentukan :

“Everyone shall have the right to freedom of association with others, including the right

to form and join trade unions for the protection of his interests.”15

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan yang sangat tegas dalam Pasal 28E

ayat (3) bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.” Menurut Jimly Asshiddiqie, ketentuan Pasal 28E ayat (3) sangat

tegas apabila dibandingkan dengan Pasal 28.16 Ketentuan Pasal 28 UUD 1945 bukan rumusan

hak asasi manusia seperti umumnya dipahami, karena jaminan yang terkandung baru akan

ada setelah ditetapkan dengan undang-undang.17 Menurut J.G. Steenbeek, yang kemudian

dikutip oleh Sri Soemantri dalam buku “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi”,

jaminan terhadap hak asasi manusia adalah hal pokok yang ada pada undang-undang dasar.18

14 United Nations, Universal Declaration of Human Rights (UDHR), tahun 1948.15 United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), tahun 1966.16 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,

Op. Cit, hlm. 8.17 Ibid. 18 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 60.

Adanya jaminan konstitusional itu memang tidak menghilangkan keperluan akan

pengaturan lebih lanjut pelaksanaan hak-hak itu dengan undang-undang seperti yang

dimaksud oleh Pasal 28 UUD 1945.19 Harus dilihat juga dalam pelaksanaan adanya rumusan

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi :

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Namun, dalam rangka pengaturan lebih lanjut dan pembatasan dalam undang-undang, harus

diingat bahwa hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul terkait erat dengan hak atas

kemerdekaan pikiran dan hati nurani. Karena kemerdekaan berserikat merupakan salah satu

bentuk ekspresi pendapat dan aspirasi atas ide-ide yang disalurkan dengan cara bekerjasama

dengan orang lain yang juga memiliki aspirasi yang sama.20

Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani diatur dan dijamin dengan tegas dalam

Pasal 28E ayat (2). Ketentuan pasal ini dianggap sangat fundamental, sehingga digolongkan

dalam kelompok hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apaun seperti

yang ditentukan oleh Pasal 28I ayat (1).21 Menurut pasal ini hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Karena itu, menurut Jimly

Asshiddiqie, pengaturan lebih lanjut menurut Pasal 28 dan pembatasan menurut Pasal 28J,

tidak boleh bersifat mengurangi kebebasan atas hak berserikat.22

19 Loc. Cit, hlm. 10.20 Ibid, hlm. 11.21 Ibid, hlm. 12.22 Ibid.

Pengaturan lebih lanjut dan pembatasan yang dimaksudkan harus benar-benar

didasarkan atas suatu reasonable ground (alasan rasional yang masuk akal),23 menurut Sam

Issacharoff, negara demokratis tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas untuk menjamin

dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.24 Hak atas kebebasan berserikat

memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan

keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral,

serta untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain.25 Selain itu, pembatasan juga

dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional, seperti integrasi dan kedaulatan

negara.26 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat yang meliputi; pembatasan harus

diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam

masyarakat demokratis; dan harus memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional

sesuai dengan kebutuhan sosial.27 Sehingga negara dapat melarang atau membubarkan suatu

organisasi massa, partai politik, yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan

konstitusional negara.

B. Fungsi Partai Politik

Menurut Miriam Budiardjo, partai politik memiliki empat fungsi, diantaranya

meliputi28 : (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii)

sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict

management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu

mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap

23 Ibid.24 Ibid.25Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai

Politik dalam Pergulatan Republik, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 300.26 Ibid.27 Ibid.28 Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 407-409.

perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekruitmen politik, dn (iv) sarana elaborasi

pilihan-pilihan kebijakan.29

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan lainnya. Sebagai sarana

komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan

kepentingan atau “political interest”yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi

dalam masyarakat.30 Berbagai kepentingan itu diserap oleh partai politik menjadi ide-ide,

visi, dan kebijakan-kebijakan politik yang bersangkutan. Ide-ide dan kebijakan atau aspirasi

tersebut kemudian diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan

menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.

Terkait dengan komunikasi politik, partai politik juga berperan penting dalam

melakukan sosialisasi politik (political socialization).31 Ide, visi, dan kebijakan strategis yang

menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan

‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas.32 Terkait dengan sosialisasi politik, partai

juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai menjadi struktur antara

atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita

kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.33

Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen partai politik (political

recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk

menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu.34

Tentu tidak semua jabatan dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen

politik. Jabatan-jabatan professional di bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak

29 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah KonstitusiOp. Cit, hlm. 59.

30 Ibid.31 Ibid. hlm 60.32 Ibid.33 Ibid.34 Ibid.

bersifat politik tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam

pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan

pejabatnya melalui prosedur politik.35

Jabatan dibedakan antara jabatan negara dengan jabatan pegawai negeri.36 Yang

menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Untuk pengisian jabatan atau

rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung maupun tidak langsung, partai politik

dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen partai politik

dianggap penting.37 Sedangkan untuk pengisian jabatan pegawai negeri partai sudah

seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri, karena jabatan pegawai negeri

merupakan jenjang karier kepegawaian.

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam

masyarakat. Partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan yang menyalurkan ragam

kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Dalam

kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan dengan

fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam

kepentingan itu dengan cara menyalurkan dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi

kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.38

C. Partai Politik sebagai Badan Hukum Publik

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau

berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.39 Partai politik adalah asosiasi warga negara

dan dapat berstatus sebagai badan hukum. Artinya partai adalah penyandang hak dan

35 Ibid. hlm 61.36 Ibid.37 Ibid. hlm 62.38 Ibid. hlm 63.39 Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 397.

kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Status partai politik sebagai badan hukum

sangat penting dalam hubungan dengan kedudukan partai politik sebagai subjek hukum.40

Setiap badan hukum yang dapat dikatakan bertanggungjawab secara hukum harus

memiliki empat unsur pokok, yaitu :41

1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang lain;

2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan;

3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;

4. Ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri.

Keempat unsur diatas dapat dimaknai sebagai persyaratan materiil dari badan hukum. Dalam

praktik sebuah organisasi belum dapat diakui sah sebagai badan hukum jika belum terdaftar

sebagai badan hukum, walaupun sudah memenuhi persyaratan materiil. Sehingga untuk

diakui sah sebagai badan hukum diperlukan syarat formil, yakni pendaftaran kepada menteri

yang berwenang dan disahkan oleh menteri tersebut.

Secara umum badan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu badan hukum publik dan

badan hukum privat. C.S.T. Kansil mengartikan badan hukum publik sebagai badan hukum

yang didirikan menyangkut kepentingan publik, sementara badan hukum privat didirikan

menyangkut kepentingan pribadi atau sekelompok orang di dalam badan hukum itu.42 Badan

hukum publik merupakan badan-badan negara dan merupakan lembaga yang dibentuk oleh

penguasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh

40 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Op. Cit, hlm. 69.

41 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen danKepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm. 69.

42 C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 10-13.

pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Kansil menyebut Bank

Indonesia, bank-bank negara, dan perusahaan BUMN sebagai contoh badan hukum publik.

Sementara badan hukum privat merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi atau

sekelompok orang untuk tujuan tertentu seperti mencari keutungan, sosial, ilmu

pengetahuan, politik, olahraga, dan lainnya. Oleh karena itu, Kansil menggolongkan partai

politik sebagai badan hukum privat, bukan badan hukum publik.

Namun pandangan tersebut tidak disetujui oleh Jimly Asshiddiqie, yang mengatakan

bahwa letak perbedaan badan hukum publik dan badan hukum privat tidak dapat dilihat dari

segi subjek hukum yang membentuknya saja, tetapi harus melihat pula aspek-aspek lain yang

terkait dengan sifat kegiatan, tujuan yang hendak dicapai dan lain sebagainya.43

Jika kita menggunakan pandangan yang digunakan C.S.T. Kansil maka partai politik

adalah badan hukum privat, karena partai politik didirikan oleh sekelompok warga negara

berdasarkan kesamaan kepentingan dari kelompok tersebut. Namun pandangan tersebut

nampaknya tidak sesuai dengan kondisi partai dalam konstelasi politik pada saat ini. Menurut

Veri Junaidi terdapat tiga aspek yang melandasi peletakkan partai sebagai badan hukum

publik, diantaranya :44

1. Peran publik yang besar dalam pembangunan organisasi partai politik.

2. Dalam pengelolaan organisasi tunduk pada ketentuan hukum publik.

3. Peran partai politik yang besar dalam kehidupan bernegara.

Pertama, publik memiliki peran besar dalam pembangunan organisasi partai politik,

peran itu dapat dilihat dari sumber pemasukan partai yang berasal dari publik baik berupa

iuran anggota, APBN/ APBD, sumbangan individu dan badan hukum. Begitu juga dengan

kader yang direkrut partai, melibatkan elemen warga negara, professional dan banyak

43 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,Op. Cit, hlm. 77-78.

44 Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Op. Cit, hlm. 51.

kelompok masyarakat. Partai juga memperoleh kuasa dalam pemilihan umum yang berupa

suara/ dukungan untuk mengisi jabatan politik tertentu, bahkan dari dukungan itu partai

memperoleh mandat untuk mengurus negara. Kedua, partai dalam pengelolaan organisasi

tunduk pada ketentuanhukumpublik, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik. Bahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik secara tegas mengklasifikasikan partai politik sebagai institusi

publik. Ketiga, paling penting kehadiran partai politik adalah perannya yang begitu besar

dalam setiap lini kehidupan bernegara. Kewenangan penyelenggaraan negara, pengangkatan

pejabat publik, hingga pembuatan kebijakan publik.

Bahkan secara tidak langsung partai telah menempatkan dirinya sebagai badan hukum

publik. Hal ini tercermin dari tujuan dan fungsi partai yang dicantumkan dalam AD/ART

masing-masing partai politik.45 Sebagai contoh dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana

komunikasi politik, secara umum partai-partai di Indonesia dalam AD/ART masing-masing

bertujuan untuk memperjuangkan aspirasi maupun kepentingan rakyat dalam berbagai

bidang. Dengan demikian pendirian partai politik ditujukan untuk mewakili kepentingan-

kepentingan masyarakat/publik dalam berbagai bidang.

Partai politik memang didirikan untuk tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan

politik yang bukan bersifat perdata.46 Walaupun berstatus sebagai badan hukum publik partai

politik dapat terlibat dalam hubungan hukum perdata, misalnya jual beli tanah, sewa

menyewa benda-benda bergerak, dan sebagainya. Dengan demikian kriteria utama yang

menentukan suatu badan hukum publik atau privat terletak pada kepentingan yang diwakili

badan hukum yang bersangkutan yang tercermin dalam tujuan dan kepentingan para pendiri

badan hukum.

45 Diolah dari berbagai AD/ART partai politik di Indonesia.46 Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit, hlm. 84.

D. Paradigma Pengaturan Partai Politik

Pengaturan masalah partai politik merupakan salah satu upaya konstitusionalisasi

demokrasi politik (the constitutionalization of democratic politics) dan menjadi obyek kajian

hukum tata negara yang relatif baru.47 Persily dan Cain mengemukakan beberapa paradigma

yang mempengaruhi bagaimana pengaturan partai politik dilakukan. Paradigma tersebut

adalah managerial, libertarian, progressive, political markets, dan pluralist.48

Paradigma managerial menempatkan partai politik sebagai instrumen negara guna

menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik.49 Kekuasaan sepenuhnya untuk

mengatur partai politik baik dalam bentuk mengintervensi struktur internal partai ataupun

memberikan otonomi berada di tangan negara. Kebebasan berserikat dalam partai politik

hanya sedikit mendapatkan perhatian. Terdapat dua kelemahan dari paradigma managerial,50

pertama, pendekatan managerial berpotensi mengutamakan elemen pejabat yang dipilih dari

suatu partai dari pada elemen lain partai tersebut. Kedua, pendekatan ini menimbulkan

kemungkinan partai yang memerintah akan menghalangi partai kompetitor untuk

mengorganisasikan diri dan memperoleh kekuasaan. Dari penjelasan tersebut paradigma

managerial berpotensi menimbulkan pemerintahan yang otoriter.

Paradigma yang bertolak-belakang dengan managerial adalah paradigma libertarian.

Bagi paradigma ini, partai politik adalah suatu spesies dari organisasi privat kelompok

kepentingan yang harus diberikan hak berserikat, privasi, kebebasan berpendapat, dan bebas

dari diskriminasi negara.51 Peran dan kekuasaan publik partai politik adalah efek tidak

terencana dari aktivitas privatnya sehingga tidak tepat untuk tunduk pada aturan negara.52

47 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 77.

48 Ibid.49 Ibid.50 Ibid, hlm. 78.51 Ibid.52 Ibid.

Kelemahan utama dari paradigma ini adalah tidak mempertimbangkan tingkat heterogenitas

partai politik.53 Demi mencapai kompetisi yang berimbang, tentu tidak dapat disamakan

perlakuan terhadap partai yang sedang memerintah dengan partai yang tidak berkuasa, antara

partai besar dan partai kecil.54

Paradigma progressive melihat partai sebagai kekuatan yang merusak (obstructive

forces) bagi realisasi kehendak umum (general will) para pemilih.55 Paradigma ini cenderung

menggunakan peraturan negara untuk menghilangkan otonomi partai dan membuat partai

tidak relevan dalam proses pemilihan umum. Sebagai contoh pada masa Orde Lama partai

politik dianggap sebagai penyebab konflik horizontal di dalam masyarakat, bahkan Presiden

Soekarno dalam pidatonya mengemukakan gagasan untuk mengubur partai politik.56 Partai

dapat menghalangi demokrasi dengan mengalihkan pemilihan menjadi kompetisi semu di

mana the true kingmaker memutuskan pemenangnya di balik pintu yang tertutup. Paradigma

ini tidak mengakui peran esensial partai politik dalam demokrasi. Paradigma ini tidak

mengakui bahwa walaupun dalam kondisi yang lemah, partai politik masih berfungsi sebagai

alat identifikasi pemilih atas calon-calon yang akan dipilih, sebagai perumusan tujuan dan

kebijakan, serta menciptakan pertanggungjawaban kolektif pejabat-pejabat yang dipilih.57

Bagi penganut paradigma political markets, tujuan utama partai politik adalah

memberikan pilihan kepada konsumen dalam pemilihan umum.58 Hal itu dilakukan dengan

menghilangkan kompetisi partisan di mana terdapat invisible hand. Pasar politik tersebut

akan rusak jika pejabat yang sedang berkuasa (incumbent officeholder) menggunakan posisi

dominannya untuk menempatkan hambatan hukum guna menghilangkan kelompok yang

53 Ibid, hlm. 79.54 Ibid.55 Ibid.56 Lihat Ibid, hlm. 141.57 Ibid, hlm. 80.58 Ibid.

akan menggantikan posisinya.59 Demi terciptanya kompetisi, maka semakin banyak partai

semakin baik bagi pasar politik. Titik tekan political markets adalah pada partai sebagai suatu

sistem yang berujung pada para pemilih sebagai konsumen.60 Suksesnya suatu sistem politik

ditentukan oleh kemampuannya untuk memuaskan sebanyak mungkin pemilih dengan cara

memberikan pilihan-pilihan yang paling sesuai dengan masing-masing konsumsi suara

politik.61 Kepentingan negara dan peran pengadilan dalam sistem kepartaian adalah untuk

mengkonstruksikan aturan yang memaksimalisasi kompetisi di antara partai-partai.62 Hal itu

akan tercapai apabila aktor-aktor yang relevan saling berkompetisi dengan membuat

produknya (yaitu platform, janji kebijakan, dan calon) lebih efisien dan populer.

Bertitik tolak dari pentingnya kelompok-kelompok yang terorganisasi dalam proses

politik, muncul paradigma pluralis yang memandang bahwa dunia politik adalah kompetisi

kelompok-kelompok, bargaining, pembentukan koalisi, dan bahkan jual beli suara.63

Menurut pandangan ini, demokrasi bukan merupakan “pemerintahan oleh rakyat” dan bahkan

bukan “pemerintahan oleh mayoritas”, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan

minoritas (minority rule) baik dalam bentuk kelompok rasial ataupun regional.64

Oleh karena itu, partai politik menurut pandangan pluralis harus lebih luas dan

merupakan koalisi kelompok kepentingan yang terdesentralisasi dari pada sesuatu yang

bersifat ideologis dan mapan.65 Hal itu merupakan acuan bagi partai politik untuk dapat

mengagregasikan dan menggabungkan kecenderungan kelompok-kelompok baik secara

politik, ekonomi, maupun etnis dari seluruh wilayah negara.66 Partai yang terlalu ideologis

akan gagal memenuhi kecenderungan pemilih yang luas. Jika wakil rakyat tidak dapat

59 Ibid.60 Ibid, hlm. 80-81.61 Ibid.62 Ibid.63 Ibid.64 Ibid.65 Ibid.66 Ibid, hlm. 81-82.

menyesuaikan dengan kebutuhan konstituennya dan harus mengikuti garis partai, maka partai

tersebut akan gagal mendapatkan suara pemilih.67

Muchamad Ali Safa’at menyatakan bahwa lima paradigma tersebut dapat

mengklasifikasikan ketentuan terkait dengan partai politik.68 Kategori pertama adalah

hubungan antara negara dengan partai politik dalam hubungannya dengan rakyat sebagai

pemilih, yaitu bagaimanakah negara memposisikan organisasi partai politik apakah lebih

sebagai instrumen negara, atau sebaliknya sebagai instrumen rakyat. Kedua adalah

pengakuan dan pemberian peran terhadap partai politik. Ketiga adalah sifat organisasi partai

politik, apakah lebih merupakan organisasi publik atau organisasi privat. Keempat, adalah

arah sistem kepartaian. Sedangkan kelima adalah tingkat kemandirian partai politik dari

intervensi negara.

67 Ibid.68 Ibid.

BAB 3METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan

Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis

normatif, yakni yang dilakukan dengan cara mangkaji berbagai literatur yang sifatnya tidak

terbatas oleh waktu dan tempat, dan dilakukan dengan cara mengkaji berbagai literatur baik yang

berupa buku-buku, hasil penelitian sebelumnya maupun peraturan perundang-undangan baik

cetak maupun online yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.69 Penelitian dilakukan

untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap bantuan keuangan kepada partai politik dari

APBN/APBD.

3.2 Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang

bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta mengenai keadaan objek yang

diteliti secara sistematis, faktual, dan akurat dengan teori-teori hukum positif yang

menyangkut permasalahan yang diteliti.70 Dalam penelitian ini penulis akan menggambarkan

permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan politik oleh partai politik. Kemudian,

permasalahan tersebut dianalisis berdasarkan kerangka Hukum Tata Negara, khususnya

hubungan suprastruktur politik-infrastruktur politik.

3.3 Tahapan Penelitian

Proses penelitian sendiri akan dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu:

1. Tahap Persiapan

69 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.5270 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta,

1989, hlm. 6.

Rapat tim, pencarian data awal dan penyusunan proposal. Dari tahap persiapan ini akan

diperoleh luaran berupa proposal penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan (library research).

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data yang berupa:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang

akan diteliti berupa peraturan perundang-undangan,71 yaitu Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-

Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik; Peraturan Pemerintah No.5 Tahun

2009 jo Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada

Partai Politik; Dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang diperoleh dari buku-buku mengenai

ketentuan hukum yang erat kaitannya dengan sumber hukum primer dan dapat

menunjang dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer,72 seperti

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya hukum dan

seterusnya;73 serta pendapat para ahli, khususnya mengenai pendanaan partai politik

(non-hukum) yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer di

atas.

71 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 24-25.72 Ibid, hlm.25.73 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali

Pers, Jakarta, 2006, hlm. 13.

3) bahan hukum tersier seperti ensiklopedia dan kamus yang berkaitan dengan

masalah-masalah yang akan dibahas.74 Dan memberikan penjelasan terhadap istilah-

istilah dalam bahan hukum primer dan sekunder.

3. Tahap Akhir

Tahap akhir penelitian ini berupa penyusunan laporan. Dengan luaran Artikel Ilmiah yang

akan dimuat dalam Padjadjaran Law Review.

3.4 Analisis Data

Data penelitian akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis kualitatif dilakukan

terhadap data-data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan cara mendeskripsikan data

yang terkait dengan objek penelitian, menganalisis data objek penelitian dan menafsirkan

data untuk penarikan kesimpulan dan perumusan saran.

3.5. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan, khususnya di :

a) Perpustakaan Hukum Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran,Bandung

b) Dan tempat lain yang memungkinkan.

74 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 119.

BAB 4PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Bantuan Keuangan kepada Partai Politik di Indonesia

Partai politik lahir di Indonesia bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan

yang menandai era kebangkitan nasional. Walaupun pada awalnya tidak secara tegas

menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas

politik. Partai-partai yang ada dan berkembang sebelum kemerdekaan tersebut pada

umumnya dapat dikategorikan sebagai partai yang bersifat ideologis (weltanschauungs

partie).75 Partai-partai tersebut memiliki fungsi dan program utama untuk mewujudkan

kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan, tidak terdapat ketentuan konstitusi yang secara khusus mengatur

partai politik. Ketentuan yang terkait adalah Pasal 28 yang menyatakan “Kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan undang-undang.”76 Ketentuan tersebut memberikan jaminan kepada

warga negara untuk berserikat dan berkumpul, artinya warga negara dijamin oleh negara

untuk membentuk partai politik. Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut

belum memberikan jaminan konstitusional, karena jaminan tersebut akan ada setelah

ditetapkan dengan undang-undang.77 Jaminan untuk mendirikan partai politik baru ada

setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Pembentukan partai politik

berdasarkan Maklumat 3 Nopember 1945 adalah untuk “memperkoeat perdjoeangan kita

mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat”. Dari ketentuan

tersebut, partai politik diletakkan sebagai instrumen negara untuk mempertahankan

kemerdekaan.78 Maklumat tersebut tidak mengatur secara rinci pengaturan mengenai

75 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 119.76 Lihat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.77 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu

Populer, Jakarta, 2007, hlm. 769-777.78 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 129.

pendanaan partai politik, karena maklumat tersebut hanya berisi jaminan dari pemerintah

kepada warga negara untuk mendirikan partai politik.

Partai-partai yang berkembang pada awal kemerdekaan hingga masa Demokrasi

Terpimpin pada umumnya merupakan kelanjutan dari partai yang telah ada sebelum

kemerdekaan. Hingga akhir dari masa Demokrasi Terpimpin sendiri tidak terdapat undang-

undang yang secara khusus mengatur partai politik dan pendanaannya. Pendanaan partai

politik pada masa itu bertumpu pada iuran anggota partai politik. Karena partai-partai yang

berkembang pada umumnya adalah partai massa, meskipun terdapat partai yang dapat

dikategorikan sebagai partai kader dengan orientasi utamanya adalah mempengaruhi

kebijakan (policy-seeking party), dan menduduki jabatan dalam pemerintahan (office-seeking

party).79 Partai massa adalah partai yang mengutamakan jumlah anggota dengan ikatan yang

longgar.80 Menurut Maurice Duverger, partai massa terbentuk secara eksternal dan

memobilisasi segmen pemilih yang luas.81 Dengan merekrut sebanyak-banyaknya anggota,

partai politik pada masa itu dapat mendanai secara mandiri.

Undang-Undang yang mengatur partai politik secara spesifik baru ada pada Era Orde

Baru, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan

Karya. Undang-Undang Partai & Golongan Karya dibentuk berdasarkan TAP MPR Nomor

XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan, tujuan dibentuknya

undang-undang kepartaian adalah untuk menyederhanakan partai politik.82 Selain itu di

dalam konsiderans disebutkan perlunya mengatur penggolongan masyarakat dalam partai

politik, ormas, dan golongan karya agar dapat menjadi alat demokrasi yang sehat.83

79 Ibid, hlm. 136.80 Ibid, hlm. 60.81 Andre Krouwel, Model-Model Partai, dalam Richard Katz dan William Crotty, Handbook Partai

Politik, Nusamedia, Bandung, 2014, hlm. 409-441.82 Lihat Pasal 1 TAP MPR Nomor XXII/MPRS/1996.83 Lihat bagian menimbang pada huruf d.

Undang-Undang Partai & Golongan Karya mengatur partai politik mulai dari

keanggotaan dan kepengurusan, larangan dan pengawasan, sampai dengan keuangan. Pada

Pasal 11 Undang-Undang Partai & Golongan Karya, sumber dana partai politik diperoleh dari

iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, usaha lain yang sah, dan bantuan dari

negara/pemerintah.84 Partai politik pada era Orde Baru mendapatkan bantuan keuangan dari

pemerintah, agar partai-partai politik dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan

bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan. Paradigma yang

digunakan pada masa Orde Baru adalah paradigma managerial. Paradigma managerial

menempatkan partai politik sebagai instrumen negara guna menjaga stabilitas politik dan

merajut partisipasi politik.85 Partai politik bukan institusi yang independen, karena negara

memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur partai politik baik dalam bentuk

mengintervensi struktur internal partai ataupun memberikan otonomi.

Bantuan keuangan dari pemerintah pada masa itu dapat dimaknai sebagai pembenar

bagi pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap partai politik. Karena pemerintah pada

masa Orde Baru menempatkan partai politik sebagai instrumen negara untuk menjaga

stabilitas politik dan merajut partisipasi politik, sehingga tidak dikenal istilah partai oposisi

pada masa Orde Baru. Selain itu partai politik hanya diperbolehkan untuk menerima

sumbangan tidak mengikat, yang berarti pemberi sumbangan tidak boleh memiliki

kepentingan terhadap partai politik. Kepentingan politik yang ada dalam sebuah partai politik

pada masa itu adalah kepentingan negara dan kepentingan kader partai politik yang tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan negara.

Undang-Undang Partai Politik yang berlaku pada masa Orde Baru dicabut pada masa

pemerintahan Presiden Habibie, karena penempatan partai sebagai instrumen negara dan

84 Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya85 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 77.

penyederhanaan partai tidak dapat mengikuti perkembangan demokrasi di Indonesia pada

masa Reformasi. Untuk menjawab tuntutan masyarakat, pemerintah dan DPR membuat

undang-undang partai politik yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai

politik tetap mendapat bantuan keuangan dari negara dari APBN berdasarkan perolehan suara

dalam pemilu sebelumnya.86 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2001 tentang

Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, disebutkan bahwa jumlah bantuan keuangan yang

diberikan disesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah dan pemerintah daerah.87 Dengan

demikian bantuan keuangan kepada partai politik tidak terdapat besaran yang tetap dan

berubah-ubah setiap tahun.

Paradigma yang menguat pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1999 adalah political markets. Partai politik lebih ditempatkan sebagai bentuk kebebasan

berserikat yang diakui dan diperlukan di alam demokrasi. Kebebasan tersebut menempatkan

partai politik pada awalnya sebagai organisasi privat individu walaupun aktivitas dan

tujuannya bersifat publik.88 Adanya kebebasan tersebut juga mengarah pada sistem multi

partai serta pengakuan kemandirian partai politik sesuai dengan tujuan dan aspirasi politik

yang berbeda-beda agar dapat menawarkan pilihan politik kepada masyarakat.89

Karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan

ketatanegaraan,90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dicabut dan digantikan dengan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Partai politik tetap mendapat bantuan keuangan dari

negara dari APBN berdasarkan perolehan kursi dalam pemilu sebelumnya.91 Besaran bantuan

keuangan kepada partai politik di tingkat pusat untuk setiap kursi ditetapkan sebesar Rp.

86 Lihat Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.87 Lihat Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2001.88 Lihat bagian menimbang pada huruf c.89 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 299.90 Lihat bagian menimbang pada huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.91 Lihat Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.

21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah) per tahun.92 Sedangkan besaran bantuan keuangan

kepada partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak melebihi besaran bantuan

keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat.93

Paradigma yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah

paradigma libertarian, political markets, managerial, dan progressive. Paradigma libertarian

dalam perkembangannya diimbangi dengan paradigma managerial, yang memberikan

persyaratan lebih ketat untuk pendirian partai politik yang diarahkan untuk membentuk

sistem multi partai sederhana. Namun demikian kebebasan pembentukan partai politik tetap

dijamin, bahkan dapat dibentuk partai politik lokal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 200194 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 200695, sehingga unsur paradigma

political markets masih tetap ada. Di sisi lain pada periode tersebut juga mulai terlihat unsur-

unsur paradigma progressive berupa pengaturan yang lebih komprehensif untuk memastikan

berjalannya demokrasi hingga pada tataran internal partai politik.96 Unsur paradigma

progressive juga dapat dilihat dari reformasi demokrasi dengan menerapkan pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemilihan anggota DPD dari calon

perseorangan, dan dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan untuk mengikuti

pemilihan kepala daerah.97

Penggunaan lebih dari satu macam paradigma pengaturan partai politik dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, terdapat kelebihan-kelebihan dari setiap paradigma

pengaturan partai politik yang pada akhirnya membuat kekurangan-kekurangan dari setiap

paradigma akan diminimalisasi.

92 Lihat Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005.93 Lihat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005.94 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.95 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.96 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 300.97 Ibid.

Berdasarkan penjelasan di atas, pemberian bantuan keuangan kepada partai politik

dapat ditelusuri bagaimanakah negara memposisikan organisasi partai politik, pengakuan dan

pemberian peran terhadap partai politik, sifat organisasi partai politik, arah sistem kepartaian,

dan tingkat kemandirian partai politik dari intervensi negara. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pemberian bantuan keuangan kepada partai politik tidak dapat dilepaskan dari

paradigma yang dianut oleh pemerintah maupun masyarakat terhadap partai politik.

B. Pemberian Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dalam Hukum Positif

Saat ini undang-undang yang berlaku untuk mengatur partai politik adalah Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Undang-undang

tersebut menggantikan Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 2002. Dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 pemberian bantuan

keuangan kepada partai politik tetap dilakukan oleh pemerintah.

Pembuatan Undang-Undang Partai Politik tersebut diarahkan sebagai upaya

penguatan sistem dan kelembagaan partai politik yang menyangkut demokratisasi internal

partai politik, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, peningkatan kesetaraan

gender, dan kepemimpinan partai politik. Selain itu terdapat beberapa materi muatan baru

yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo UU Nomor 2 Tahun 2011 yakni

adanya ketentuan tentang Pengambilan Keputusan, Rekrutmen Politik, Peraturan dan

Keputusan Partai Politik, dan Pendidikan Politik.

Pengaturan tentang bantuan keuangan kepada partai politik pada Undang Nomor 2

Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dinilai jauh lebih lengkap daripada

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Bantuan keuangan diberikan kepada partai politik

yang memperoleh kursi DPR maupun DPRD, dan didasarkan atas perolehan suara pada

pemilu sebelumnya. Besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari

APBN sebesar Rp.108/suara, sedangkan besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang

diberikan dari APBD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah. Selain itu bantuan

keuangan yang diberikan kepada partai politik wajib diprioritaskan untuk pendidikan politik.

Alasan tetap dipertahankannya pemberian bantuan keuangan kepada partai politik

tidak dapat dilepaskan dari paradigma pengaturan partai politik. Apabila menganalisis dengan

paradigma pengaturan partai politik akan diketahui bagaimanakah negara memposisikan

organisasi partai politik, pengakuan dan pemberian peran terhadap partai politik, sifat

organisasi partai politik, arah sistem kepartaian, dan tingkat kemandirian partai politik dari

intervensi negara. Partai politik diposisikan sebagai badan hukum publik, sebagaimana yang

telah disebutkan oleh Veri Junaidi bahwa partai politik diletakkan sebagai badan hukum

publik karena peran publik yang besar dalam pembangunan organisasi partai politik;

pengelolaan organisasi tunduk pada ketentuan hukum publik; dan peran partai politik yang

besar dalam kehidupan bernegara.98

Sebagai badan hukum publik, partai politik diharapkan mengusung kepentingan

publik dan bertujuan untuk memenuhi keinginan publik. Partai politik menjadi perantara

antara masyarakat dan pemerintah, partai politik harus menyerap, merumuskan, dan

mengagregasi kepentingan masyarakat.99 Untuk menjadikan partai politik pengusung

kepentingan publik dan memenuhi keinginan publik, perlu untuk dikembangkan pendanaan

partai (party financing). Dengan pendanaan yang baik, partai politik dapat memposisikan diri

sebagai badan hukum publik. Pada abad ke-20 model mass party (partai massa) menjadi

model partai politik yang dominan di Eropa Barat. Model mass party lahir dan besar dari

gerakan-gerakan buruh dipusat-pusat industri Eropa Barat dengan mengusung motor

98 Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Op. Cit, hlm. 51.99 Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, Bantuan Keuangan Partai Politik : Metode Penetapan Besaran,

Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan, Yayasan Perludem, Jakarta, 2012, hlm. 1.

perubahan masyarakat dengan ide-ide negara kesejahteraan (welfare state).100 Dampaknya

partai yang menganut model mass party memiliki anggota maupun simpatisan yang banyak.

Model mass party bagi sebagian kalangan dianggap sebagai model ideal partai politik.

Dua alasan menjadikan mass party sebagai model ideal. Pertama, partai dengan model

organisasi yang massif dengan struktur hierarkhis dari pusat hingga daerah yang menjangkau

seluruh wilayah, dapat menyediakan sukarelawan dalam jumlah besar.101 Keunggulan ini

memudahkan dalam proses mobilisasi pemilih dan pendukung. Model organisasi partai ini

bersifat padat karya (labor-intensive). Keuntungan kedua, pendanaan oleh mass party

bertumpu pada iuran anggota yang bersifat massif.102 Posisi ini, logistik partai politik dikelola

secara mandiri. Partai politik bisa melakukan kampanye dan mobilisasi pemilih yang

bersandar pada kekuatan internal.

Seiring perkembangan zaman, ternyata model mass party semakin memudar yang

salah satunya disebabkan perubahan di tingkat pemilih yang tidak lagi berkutat pada

persoalan ekonomi.103 Dari sisi ideologis, militansi pendukung partai ini semakin pudar dan

berubah menjadi pemilih mengambang yang tak secara eksklusif setia pada satu partai.

Implikasinya partai politik tidak dapat lagi mengandalkan iuran anggota sebagai sumber

pendanaan utama. Sebagai contoh, Partai Buruh di Inggris kontribusi dari iuran anggota

kepada partai secara keseluruhan sebagai pemasukan tahunan menurun dari 50% pada 1992

menjadi sekitar 25% di tahun 1997.104 Hal ini disebabkan karena Partai Buruh mengalami

penurunan jumlah anggota, sehingga menyebabkan penurunan pemasukan dari kontribusi

keanggotaan secara absolut dan relatif.

100 Loc. Cit, hlm. 56.101 Ibid, hlm. 55.102 Ibid.103 Ibid, hlm. 57.104 Ibid.

Ketika iuran anggota tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan utama,

membuat partai politik mencari sumber dana lain sebagai sumber dana utama. Sumbangan

dari perorangan non anggota maupun badan usaha menjadi pilihan partai politik, umumnya

partai politik memilih sumbangan tersebut karena jumlah sumbangan yang besar. Sumber

pendanaan tersebut dapat mengandung resiko terbangunnya hubungan yang dapat

mempengaruhi kebijakan politik tertentu dengan sumbangan yang diberikan.105 Konteks ini,

meski sekedar kesan seperti penyalahgunaan, hal ini dapat mengikis kepercayaan publik

kepada sistem politik dan aktor-aktor politik bahkan dapat juga melemahkan legitimasi

demokrasi.

Adanya bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN/APBD dapat mengurangi

potensi pengaruh dari sumbangan perorangan non anggota atau badan usaha. Kekurangannya,

ini dapat meningkatkan ketergantungan partai politik kepada negara. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa partai politik tidak dapat bergantung pada satu jenis pendanaan saja.

Perkembangan penting dari sumber-sumber pemasukan bagi partai politik seperti bantuan

keuangan dari negara, bantuan dari badan usaha dan perorangan non anggota, menjadi

tantangan bagi legitimasi keuangan partai. Namun, hal ini juga dapat dilihat dari segi

positifnya dimana membuka kesempatan bagi sumber yang bermacam-macam bagi

pemasukan keuangan partai akan menciptakan suatu mekanisme check & balances yang lebih

baik.

Undang-Undang Partai Politik yang berlaku menentukan jumlah maksimal dari

sumbangan perorangan non anggota dan badan usaha. Jumlah maksimal dari sumbangan

perseorangan non anggota adalah Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam

waktu satu tahun anggaran.106 Sedangkan jumlah maksimal dari sumbangan badan usaha

105 Ibid, hlm. 58.106 Lihat Pasal 35 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.

adalah Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus rupiah) dalam waktu satu tahun

anggaran.107 Ditambah dengan besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang

diberikan dari APBN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 sebesar

Rp.108/suara, sedangkan besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari

APBD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah.

Pengaturan pendanaan partai politik apabila dilihat dari Undang-Undang Partai Politik

ditandai dengan adanya diversifikasi atau penganekaragaman sumber pendanaan.

Diversifikasi pendanaan dapat meminimalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada setiap

jenis pendanaan partai politik. Seperti yang telah disebutkan, kekurangan yang ada pada pada

sumbangan individu non anggota dan badan usaha adalah individu non anggota atau badan

usaha dapat mempengaruhi kebijakan partai dalam praktek ketatanegaraan, dengan adanya

bantuan keuangan dari APBN/APBD partai politik dapat meminimalkan pengaruh dari

individu non anggota atau badan usaha. Apabila partai politik tidak mendapat sumbangan

dari individu non anggota atau badan usaha karena perbedaan kepentingan, maka partai tetap

mendapatkan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sehingga dapat disimpulkan bantuan

keuangan kepada partai politik dari APBN/APBD akan meningkatkan kemandirian partai

politik dalam menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah, partai politik harus

menyerap, merumuskan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat.

C. Bantuan Keuangan kepada Partai Politik bukan Bentuk Intervensi

Dalam pembahasan sebelumnya telah diketahui maksud pemberian bantuan dana

partai politik oleh pemerintah. Bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN/APBD

dimaksudkan demi tercapainya kemandirian partai politik dalam rangka menjalankan

peranannya sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah. Pemberian bantuan

keuangan kepada partai politik bukan merupakan intervensi dari pemerintah.

107 Lihat Pasal 35 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.

Intervensi pemeritah dapat dimaknai sebagai suatu bentuk campur tangan pemerintah

terhadap suatu urusan yang bukan merupakan kewenangannya. Pemerintah dapat dikatakan

melakukan intevensi terhadap partai politik apabila pemerintah melakukan suatu tindakan

yang mencampuri urusan atau permasalahan partai politik yang bukan ranahnya, sebagai

contoh ikut andil dalam menentukan ketua partai politik. Penentuan ketua partai politik

merupakan urusan internal partai politik sehingga yang berhak menentukan adalah partai

politik sendiri menurut tata cara yang telah ditetapkan dalam AD/ART.

Pada era Orde Baru, partai politik mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah.

Pengaturan partai politik pada era Orde Baru yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975

tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Namun paradigma yang digunakan pada era ini

adalah paradigma managerial yang menempatkan partai politik sebagai instrumen negara

guna menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik.108 Bagi pemerintah Orde Baru

bantuan keuangan merupakan alasan pembenar untuk melakukan kontrol terhadap partai

politik. Selain itu partai politik hanya diperbolehkan untuk menerima sumbangan tidak

mengikat, yang berarti pemberi sumbangan tidak boleh memiliki kepentingan terhadap partai

politik. Kepentingan politik yang ada dalam sebuah partai politik pada masa itu adalah

kepentingan negara dan kepentingan kader partai politik yang tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan negara.

Berbeda dengan kondisi yang terjadi pada era Reformasi, mulai berlakunya Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1999 membuat paradigma political markets menguat.109 Latar

belakang undang-undang ini dibentuk karena penempatan partai sebagai instrumen negara

dan penyederhanaan partai tidak dapat mengikuti perkembangan demokrasi di Indonesia pada

masa Reformasi. Partai politik lebih ditempatkan sebagai bentuk kebebasan berserikat yang

108 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 77.109 Lihat Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.

diakui dan diperlukan di alam demokrasi. Kebebasan tersebut menempatkan partai politik

pada awalnya sebagai organisasi privat individu walaupun aktivitas dan tujuannya bersifat

publik.110

Berdasarkan undang-undang ini pada masa reformasi bantuan keuangan bukanlah

merupakan intervensi negara terhadap partai politik. Justru sebaliknya, undang-undang ini

membuat batas-batas agar partai politik dapat menghindari jebakan kepentingan perorangan

maupun kelompok akibat pengaruh sumbangan keuangan. Undang-undang tidak hanya

membatasi besarnya jumlah sumbangan perorangan dan perusahaan, tetapi juga menerima

bantuan keuangan dari negara agar partai politik terhindar dari politik uang demi

memperjuangkan kepentingan rakyat.111

Begitupula dengan undang-undang partai politik beberapa kali telah diubah hingga

yang berlaku saat ini yakni Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011. Partai politik pada masa ini merupakan institusi yang independen.Tujuan

pemberian bantuan keuangan partai politik pada saat ini merupakan upaya pemerintah untuk

menjaga partai politik dari pengaruh-pengaruh kepentingan pihak tertentu. Menurut Prof

Ramlan Subakti, bantuan keuangan dari pemerintah diberikan kepada partai politik tidak saja

karena partai melaksanakan tugas publik sesuai dengan amanah konstitusi tetapi juga untuk

mencegah unsur swasta ‘membeli’ kebijakan publik yang dibuat oleh kader partai yang

duduk dalam pemerintahan.112

Namun, kenyataan yang mengkhawatirkan ialah bahwa sebagian besar partai politik

tersangkut dengan dugaan politik uang pada masa pemilihan umum. Sebagai negara

demokrasi yang masih muda, masalah pendanaan politik di Indonesia belum diatur dengan

110 Lihat pada bagian menimbang pada huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.111 Lihat Penjelasan UU No. 2 tahun 1999112 Ramlan Surbakti, Roadmap Pengendalian Keuangan Partai Politik Peserta Pemilu, Kemitraan

Partnership, Jakarta, 2015, hlm 5.

begitu jelas. Tidak seperti di negara-negara maju, hampir semua partai politik sebenarnya

masih tergantung kepada dana dari pemerintah. Yang dimaksud dalam hal ini ialah bahwa

secara formal maupun informal pemerintah sebenarnya menyediakan subsidi kepada setiap

partai politik. Untuk Pemilu tahun 2004, Kementerian Dalam Negeri menetapkan bahwa

semua partai politik yang terdaftar berhak memperoleh subsidi sebesar Rp 1 milyar. Lalu

dalam Pemilu 2009 terdapat PP No.5/2009 mengenai Bantuan Keuangan kepada Partai

Politik yang mengatakan bahwa semua Parpol yang memperoleh kursi di DPR akan disubsidi

melalui anggaran pemerintah. Selain itu, tentu masih banyak cara bagi partai politik yang

kebetulan kadernya menduduki jabatan sebagai kepala daerah akan bisa memanfaatkan

APBD secara langsung maupun tidak langsung kepada partai politik tersebut.

Dengan demikian, tujuan pemberian bantuan keuangan dari pemerintah kepada partai

politik ialah untuk melindungi partai politik dari intervensi pihak-pihak yang memiliki

kepentingan lain. Bantuan keuangan kepada partai politik bukan merupakan suatu intervensi

negara terhadap partai politik sebagaimana yang terjadi pada era Orde Baru. Bantuan

keuangan kepada partai politik tidak bermakna sebagai pembenar bagi pemerintah untuk

mengatur internal partai politik.

Sejak warga negara dibebaskan mendirikan partai politik, menjelang Pemilu 1999

hingga Pemilu 2014, belum ada satu pun partai yang berhasil mengumpulkan iuran

anggota.113 Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik penyumbang perseorangan

maupun badan usaha. Namun jika daftar penyumbang partai politik dan daftar penyumbang

dana kampanye (yang sempat dilaporkan KPU) ditelusuri, maka jumlah dana yang dilaporkan

tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan perkiraan biaya riil partai politik per

tahun.114

113 Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, Op. Cit, hlm. iv.114 Ibid.

Pengaturan lebih lanjut, iuran anggota tidak mendapatkan porsi pengaturan yang

memadai. AD/ ART sembilan partai yang duduk di DPR hanya menyebutkan iuran anggota

sebagai salah satu sumber pendanaan partai. Namun terkait mekanisme penarikan, besaran,

pengelolaan dan pertanggungjawaban tidak diatur lebih lanjut.115 Wajar jika dalam praktik,

iuran anggota tidak mendapatkan perhatian sebagai salah satu bentuk pendanaan partai. Iuran

anggota dalam praktiknya tidak tergali secara maksimal.116 Hal itu terlihat tidak hanya di

tingkat DPP Partai Politik.117 Temuan sama terlihat di DPD/ DPW Partai Politik di daerah

Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Bali.118 Disemua tingkatan baik DPP maupun DPD/ DPW

menunjukkan tidak berjalannya iuran anggota.119 Kecuali PKS yang terlihat menjalankan

iuran anggota dengan besaran beragam tergantung pada tingkatannya.120

Tabel 1.1. Pelaksanaan Iuran Anggota

Partai Politik DPP

Demokrat ---

Golkar Tidak berjalan

PDIP Tidak berjalan

PAN ---

PPP Tidak berjalan

PKS Berjalan

PKB Tidak berjalan

Hanura Belum memberlakukan

Gerindra Tidak berjalan

Disamping itu, untuk memperkuat derajat pelembagaan partai politik, disiplin internal

partai perlu ditingkatkan, yaitu; (a) sistem hukum dan etika internal perlu dibudayakan

dengan memperkuat infra struktur Dewan Kehormatan yang dapat menjaga agar AD/ART

115 Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Op. Cit, hlm. 71.116 Ibid.117 Ibid.118 Ibid.119 Ibid.120 Ibid.

serta kode etik partai politik ditegakkan dengan sebaik-baiknya; (b) perlunya mekanisme

yang menjamin agar anggota partai politik yang melanggar disiplin partai dapat ditindak oleh

pemimpinan partai yang bersangkutan yang dapat berakibat pada pemberhentian status yang

bersangkutan sebagai anggota parlemen (DPR); (c) setiap partai politik harus didorong untuk

mentradisikan penyelenggaraan aktivitas rutin ke dalam, baik kegiatan penguatan

kelembagaan dan kultur demokrasi internal, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat

pendidikan politik dan pemberdayaan anggota.

Selanjutnya, diperlukan sejumlah prinsip untuk mengatur keuangan partai politik.

Sejumlah prinsip berikut perlu dipertimbangkan dalam mengatur keuangan partai politik :121

1. Uang merupakan kebutuhan mutlak untuk proses politik demokratis dan partai

politik harus memiliki akses terhadap dana untuk dapat berperan dalam proses

politik. Regulasi keuangan partai tidak boleh menghalangi kompetisi politik yang

sehat.

2. Uang selalu merupakan masalah dalam sistem politik demokrasi. Yang terjadi di

Indonesia dewasa ini bukan saja “uang digunakan sebagai sarana mendapatkan

jabatandan kekuasaan dan sarana untuk membeli kebijakan publik”, tetapi juga

“kewenangan politik digunakan untuk mencari dana”, baik bagi kepentingan

partai maupun kepentingan pribadi. Karena itu regulasi keuangan partai politik

sangat diperlukan.

3. Konteks dan budaya politik wajib dijadikan pertimbangan penting ketika

menyusun strategi mengendalikan uang dalam politik.

121 Magnus Ohman dan Hani Zainulbhai, Political Finance Regulation: The Global Experience,International Foundation for Electoral Systems, Washington DC, 2009, hlm. 21.

4. Regulasi tentang keharusan tranparansi laporan keuangan (disclosure) akan dapat

membantu pengendalian pengaruh negatif uang dalam politik, tetapi hanya apabila

regulasi dipersiapkan dan diimplementasikan dengan baik.

5. Pengawasan yang efektif terhadap regulasi keuangan partai politik tidak hanya

tergantung pada aktivitas interaksi antar pemangku kepentingan (stakeholders),

seperti regulator, instansi penegak regulasi keuangan partai, organisasi masyarakat

sipil, dan media massa, tetapi juga pelaksanaan prinsip transparansi.

6. Untuk memelihara kepercayaan publik kepada partai politik pada khususnya dan

kepada sistem politik demokrasi pada umumnya, regulasi keuangan partai politik

dan penegakannya secara konsisten merupakan keharusan.

Magnus Ohman dan Hani Zainulbhai juga berpendapat bahwa “raising public

awareness on the issues of prevention and fight against corruption in the field of funding of

political parties is essential to the good functioning of democratic institutions.”122 Pengaturan

bantuan keuangan kepada partai politik yang baik akan menjadi sarana pencegahan maupun

penindakan korupsi yang terjadi dalam partai politik.

Dapat disimpulkan bahwa bantuan keuangan kepada partai politik bukan merupakan

intervensi dari pemerintah. Bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN/APBD akan

meningkatkan kemandirian partai politik dan menegaskan posisi partai politik sebagai badan

hukum publik. Alasan yang pertama, karena paradigma pengaturan partai politik yang

digunakan pada Undang-Undang Partai Politik tidak hanya paradigma managerial. Ditambah

dengan fakta yang ada bahwa partai politik di Indonesia tidak dapat mengandalkan iuran

anggota, sebagai akibatnya partai politik akan mencari sumber dana lain, yakni sumbangan

individu non anggota maupun sumbangan badan usaha. Ketika partai politik tergantung pada

sumbangan tersebut maka dapat dipastikan kepentingan yang diusung adalah kepentingan

122 Ibid.

penyumbang. Hal tersebut tentu tidak mencerminkan partai politik sebagai badan hukum

publik. Bantuan keuangan partai politik akan meminimalisasi dampak negatif dari

sumbangan individu non anggota maupun badan usaha.

BAB 5PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengkajian mengenai bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN/APBD tidak

dapat dilepaskan dari sejarah hukum mengenai bantuan keuangan kepada partai politik.

Dari undang-undang partai politik yang pernah berlaku dapat terlihat kaitan antara

pemberian bantuan keuangan kepada partai politik dengan paradigma pengaturan yang

digunakan.

Kebebasan untuk membentuk partai politik di Indonesia pada awal kemerdekaan dijamin

melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Pembentukan partai politik berdasarkan

Maklumat 3 Nopember 1945 adalah untuk “memperkoeat perdjoeangan kita

mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat”. Dari ketentuan

tersebut, partai politik diletakkan sebagai instrumen negara untuk mempertahankan

kemerdekaan. Sehingga paradigma managerial digunakan oleh pemerintah. Hingga akhir

dari masa Orde Lama sendiri tidak terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur

partai politik dan pendanaannya. Pendanaan partai politik pada masa itu bertumpu pada

iuran anggota partai politik. Karena partai-partai yang berkembang pada umumnya adalah

partai massa

Undang-undang yang secara khusus mengatur partai politik beserta pendanaannya adalah

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,

undang-undang tersebut tetap mempergunakan paradigma managerial. Terbuktik dengan

difungsikannya partai politik sebagai instrumen negara guna menjaga stabilitas politik dan

merajut partisipasi politik. Bantuan keuangan dari APBN/APBD pada masa itu dapat

dimaknai sebagai pembenar bagi pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap partai

politik. Partai politik pada era Orde Baru mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah,

agar partai-partai politik dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa,

stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan.

Undang-undang partai politik yang selanjutnya, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1999 tetap memberikan bantuan keuangan kepada partai politi berdasarkan perolehan

suara dalam pemilu sebelumnya. Paradigma yang menguat pada masa berlakunya Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah political markets. Partai politik lebih ditempatkan

sebagai bentuk kebebasan berserikat yang diakui dan diperlukan di alam demokrasi.

Sehingga bantuan keuangan dari pemerintah tidak dapat menjadi pembenar bagi

pemerintah untuk mencampuri urusan internal partai politik.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 paradigma yang digunakan

semakin beragam, yakni paradigma libertarian, political markets, managerial, dan

progressive. Penggunaan lebih dari satu macam paradigma pengaturan partai politik dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, terdapat kelebihan-kelebihan dari setiap

paradigma pengaturan partai politik yang pada akhirnya membuat kekurangan-

kekurangan dari setiap paradigma akan diminimalisasi. Besaran bantuan keuangan kepada

partai politik di tingkat pusat untuk setiap kursi ditetapkan sebesar Rp. 21.000.000,- (dua

puluh satu juta rupiah) per tahun.123 Sedangkan besaran bantuan keuangan kepada partai

politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak melebihi besaran bantuan keuangan

yang diberikan oleh pemerintah pusat.

123 Lihat Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005.

2. Bantuan keuangan diberikan kepada partai politik yang memperoleh kursi DPR maupun

DPRD, dan didasarkan atas perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Besaran bantuan

keuangan kepada partai politik yang diberikan dari APBN sebesar Rp.108/suara,

sedangkan besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari APBD

bergantung pada kemampuan masing-masing daerah. Selain itu bantuan keuangan yang

diberikan kepada partai politik wajib diprioritaskan untuk pendidikan politik.

Pembuatan Undang-Undang Partai Politik tersebut diarahkan sebagai upaya penguatan

sistem dan kelembagaan partai politik yang menyangkut demokratisasi internal partai

politik, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, peningkatan kesetaraan

gender, dan kepemimpinan partai politik.

Alasan tetap dipertahankannya pemberian bantuan keuangan kepada partai politik tidak

dapat dilepaskan dari paradigma pengaturan partai politik. Pertama, partai politik

diposisikan sebagai badan hukum publik, partai politik diharapkan mengusung

kepentingan publik dan bertujuan untuk memenuhi keinginan publik. Kedua, memudarnya

model mass party, sebagai akibatnya partai politik tidak dapat mengandalkan iuran

anggota dan mengandalkan sumbangan individu non anggota dan badan usaha. Sehingga

kepentingan yang diusung oleh partai politik adalah kepentingan individu non anggota

maupun badan usaha. Ketiga, diversifikasi atau penganekaragaman sumber pendanaan,

Undang-Undang Partai Politik memberikan kebebasan bagi partai politik untuk

menggunakan setiap jenis dari sumber dana.

3. Bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN/APBD dimaksudkan demi tercapainya

kemandirian partai politik dalam rangka menjalankan peranannya sebagai perantara antara

masyarakat dan pemerintah. Pemberian bantuan keuangan kepada partai politik bukan

merupakan intervensi dari pemerintah.

Alasan yang pertama, karena paradigma pengaturan partai politik yang digunakan pada

Undang-Undang Partai Politik tidak hanya paradigma managerial. Ditambah dengan fakta

yang ada bahwa partai politik di Indonesia tidak dapat mengandalkan iuran anggota,

sebagai akibatnya partai politik akan mencari sumber dana lain, yakni sumbangan individu

non anggota maupun sumbangan badan usaha. Ketika partai politik tergantung pada

sumbangan tersebut maka dapat dipastikan kepentingan yang diusung adalah kepentingan

penyumbang. Hal tersebut tentu tidak mencerminkan partai politik sebagai badan hukum

publik. Bantuan keuangan partai politik akan meminimalisasi dampak negatif dari

sumbangan individu non anggota maupun badan usaha.

B. Saran

1. Partai politik seharusnya memperhatikan iuran anggota sebagai sumber pendanaan,

walaupun jumlahnya tidak sebesar sumbangan individu non anggota, sumbangan badan

usaha, maupun bantuan keuangan dari APBN/APBD, namun iuran anggota dapat

meningkatkan derajat pelembagaan partai politik dan disiplin internal partai politik.

Dimaksimalkannya iuran anggota juga semakin menganekaragamkan sumber pendanaan

partai politik, sehingga kelebihan-kelebihan dari iuran anggota dapat memberikan manfaat

bagi partai politik.

2. Besaran bantuan keuangan partai politik perlu dikaji ulang pada tahun berikutnya. Karena

besaran tersebut masih minim untuk mendanai kebutuhan-kebutuhan partai politik.

Terbukti dari penarikan ‘uang mahar’ oleh partai politik bagi calon kepala daerah apabila

ingin diusung oleh partai politik. Dengan ditambahnya bantuan keuangan dari partai

politik maka akan menghapus praktek dari ‘uang mahar’. Apabila besaran bantuan

keuangan partai politik ditambah dampak negatif dari sumbangan individu non anggota

dan sumbangan badan usaha akan semakin kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2004.

C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

2002.

Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, Bantuan Keuangan Partai Politik : Metode Penetapan Besaran,

Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan, Yayasan Perludem, Jakarta, 2012.

Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,

Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan

Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu

Populer, Jakarta, 2007.

Magnus Ohman dan Hani Zainulbhai, Political Finance Regulation: The Global Experience,

International Foundation for Electoral Systems, Washington DC, 2009.

Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum UGM,

Yogyakarta, 1989

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai

Politik dalam Pergulatan Republik, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.

Ramlan Surbakti, Roadmap Pengendalian Keuangan Partai Politik Peserta Pemilu, Kemitraan

Partnership, Jakarta, 2015.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983.

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali

Pers, Jakarta, 2006.

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006.

Artikel, Jurnal, dan Kumpulan Tulisan

Andre Krouwel, Model-Model Partai, dalam Richard Katz dan William Crotty, Handbook Partai

Politik, Nusamedia, Bandung, 2014.

Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Jurnal Konstitusi Pusako FH

Universitas Andalas Volume I Nomor I, Jakarta, Sekretariat Jendeal MK RI, 2012.

Disertasi

Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik

Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Internet

http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/29/151898/2-calon-kepala-daerah-gagal-maju-

karena-tak-sanggup-bayar-mahar, diakses pada 3 Oktober 2015.

http://news.merahputih.com/politik/2015/08/07/parpol-patok-mahar-rp500-juta-rp4-miliar-

pada-calon-kepala-daerah/22343/, diakses pada 4 Oktober 2015.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik jo Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

Ketatapan MPR Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan.

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik

jo Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai

Politik.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai

Politik.

Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

International Covenant on Civil and Political Rights