terapi hbo pada fraktur
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Oksigen diperlukan untuk mempertahankan integritas
sel, fungsi metabolisme sel dan perbaikan pada jaringan
yang luka. Oksigen tidak hanya diperlukan sebagai
energi pada proses metabolisme tapi juga sangat
diperlukan oleh sel polimorfonuklear, proliferasi
fibroblas, dan deposisi kolagen.1 Pada proses
penyembuhan luka suplai oksigen yang cukup sangat
diperlukan untuk sintesis kolagen dan perbaikan
jaringan.
Terapi hiperbarik oksigen (HBO) merupakan bentuk
pengobatan dimana penderita harus berada dalam ruangan
bertekanan dan bernafas dengan oksigen murni (100%)
pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfer
normal, yaitu sebesar 1 atm (760 mmHg). Keadaan ini
dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau
berada dalam ruangan udara bertekanan tinggi (hyperbaric
chamber) yaitu suatu ruang kedap udara terbuat dari
perangkat keras yang mampu diberikan tekanan lebih
besar dari 1 atm (ruang kompresi) beserta sumber
oksigen dan sistem penyalurannya ke dalam ruang
rekompresi tersebut.1,2
Terapi oksigen hiperbarik untuk pertama kalinya
digunakan pada penyakit dekompresi (Decompression Illness),
1
yaitu suatu penyakit yang dialami oleh penyelam dan
pekerja tambang bawah tanah akibat penurunan tekanan
saat naik ke permukaan secara mendadak. Dari berbagai
penelitian terungkap bahwa oksigen hiperbarik mempunyai
manfaat lebih, tidak terbatas pada kasus-kasus
penyelaman saja. Salah satu contoh terapi oksigen
hiperbarik yang berhasil yang akan dibahas dalam
referat ini ialah kegunaannya sebagai terapi
penunjang / adjuvant therapy dalam kasus fraktur tulang.
2
BAB II
FRAKTUR
2.1. Definisi10,11
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Trauma
yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung,
apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur.
2.2. Klasifikasi Fraktur 10,11,12,13,14
Fraktur dibedakan atas beberapa klasifikasi, antara
lain:
1. Klasifikasi Etiologis
Fraktur traumatik : Terjadi karena trauma
yang tiba-tiba.
Fraktur patologis : Terjadi karena
kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang.
3
2. Klasifikasi Klinis
Fraktur tertutup (simple fracture)
Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan
dengan dunia luar.
Fraktur terbuka (compound fracture)
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia
luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam)
atau from without (dari luar)
Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur yang disertai dengan komplikasi
misalnya malunion, delayed union, infeksi tulang.
5
3. Klasifikasi Radiologis
Klasifikasi ini berdasarkan atas:
A. Lokalisasi
Diafisis
Metafisis
Intra-artikuler
Fraktur dengan dislokasi
B. Konfigurasi
Fraktur transversal, garis patah tulang
melintang sumbu tulang (80-100o dari sumbu
tulang)
Fraktur obliq, garis patah tulang
melintang sumbu tulang (<80o atau >100o
dari sumbu tulang)
Fraktur spiral, garis patah tulang berada
di dua bidang atau lebih
Fraktur segmental
Fraktur kominutif (comminuted), fraktur
lebih dari dua fragmen
Fraktur kompresi, biasanya pada vertebrae
karena trauma kompresi
Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik
oleh otot atau tendo, misalnya fraktur
7
epikondilus humeri, fraktur trokanter
mayor, fraktur patella
Fraktur depresi, karena trauma langsung,
misalnya pada cranium
Fraktur impaksi
Fraktur pecah (burst), dimana terjadi
fragmen kecil yang berpisah, misalnya pada
fraktur vertebrae, patella, tallus,
kalkaneus
Fraktur epifisis
C. Menurut Existensi
Fraktur complete
Fraktur torus
Fraktur green stick
8
Gambar II.2. Jenis-jenis bentuk fraktur.
D. Menurut hubungan antara fragmen satu dengan
fragmen lainnya16
Tidak bergeser (undisplaced)
Fragmen tulang fraktur masih terdapat pada
tempat anatomisnya.
Bergeser (displaced)
Fragmen tulang fraktur tidak pada tempat
anatomisnya.
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara:
9
o Shifted Sideways: menggeser ke samping
tetapi dekat
o Angulated : membentuk sudut
tertentu
o Rotated : memutar
o Distracted : saling menjauh karena
ada interposisi
o Overriding : garis fraktur tumpang
tindih
o Impacted : satu fragmen masuk ke
fragmen yang lain
Gambar II.3. Jenis fraktur overriding dan distraction.
2.3. Bone Healing
Healing dari fraktur dibagi menjadi 2 tipe:8
Direct healing atau primer oleh remodeling internal
10
Yaitu hanya terjadi dengan stabilitas mutlak dan
merupakan proses biologis remodeling tulang osteonal.
Indirect healing atau sekunder oleh formasi kalus
Yaitu terjadi dengan stabilitas relatif (metode
fiksasi fleksibel). Hal ini sangat mirip dengan
proses pembentukan tulang embriologis dan meliputi
baik pembentukan tulang intramembraneous dan
endochondral. Pada fraktur diaphyseal, akan ditandai
dengan pembentukan kalus.
Bone healing dibagi menjadi 4 tahap menurut AO, yakni
1. Inflamasi
Setelah fraktur terjadi, proses inflamasi akan
terjadi secara cepat dan bertahan hingga jaringan
fibrosa, kartilago, atau formasi tulang dimulai
(1-7 hari post fraktur). Pada awalnya, terjadi
pembentukan hematom dan eksudat inflamatorik dari
pembuluh darah yang ruptur. Nekrosis tulang
terlihat pada ujung fragmen fraktur. Cedera pada
jaringan lunak dan degranulasi dari trombosit akan
mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin yang
memungkinkan terjadinya respon inflamasi seperti
vasodilatasi dan hyperemia, migrasi dan
proliferasi dari neutrofil polimorfonuklear,
makrofag, dan lain-lain. Di dalam hematom,
terdapat jaringan fibrin, retikulin, serta
11
kolagen. Hematom dari fraktur akan digantikan oleh
jaringan granulasi secara gradual. Osteoklas akan
melakukan removal jaringan tulang nekrotik pada
ujung fragmen.
Gambar III.1 Fase Inflamasi.8
2. Soft callus formation
Akhirnya, edema dan nyeri akan berkurang dan
saat itulah terbentuk soft callus. Hal ini terjadi
saat fragmen tulang tidak lagi dapat bergerak
secara bebas, yakni 2–3 minggu post fraktur.
12
Gambar III.2. Fase Pembentukan soft callus. Terjadi penggantian
jaringan granulasi dalam kalus oleh jaringan fibrosa dan tulang
rawan, serta jaringan vaskuler yang baru ke dalam kalus
kalsifikasi. Proses ini dimulai di perifer dan bergerak menuju ke
pusat. 8
Di akhir tahap pembentukan soft callus, akan
terjadi stabilitas yang cukup untuk mencegah
shortening, meskipun angulasi pada tempat fraktur
masih dapat terjadi. Tahap ini ditandai oleh
tumbuhnya kalus. Sel – sel progenitor pada cambial
layer dari periosteum dan endosteum distimulasi
untuk membentuk osteoblast.
Pertumbuhan tulang intramembranosa terjadi
jauh daripada fracture gap, membentuk woven bone di
periosteal, dan memenuhi kanal intramedulla.
Pertumbuhan dari kapiler-kapiler pembuluh darah ke
dalam kalus akan meningkatkan vaskularitas. Di
dekat fracture gap, sel-sel progenitor mesenkimal
akan berproliferasi dan bermigrasi melalui kalus,
13
kemudian berdiferensiasi membentuk fibroblast dan
kondrosit, yang masing-masing memiliki matriks
ekstraseluler yang berbeda dan secara perlahan
menggantikan hematom. 8
3. Pembentukan Hard callus
Saat ujung-ujung fraktur disatukan kembali
oleh soft callus, maka pembentukan hard callus dimulai
dan bertahan hingga fragmen-fragmen tersebut
akhirnya disatukan oleh tulang yang baru (3–4
bulan).
Jaringan lunak yang terletak di dalam fracture
gap kemudian mengalami osifikasi endochondral dan
kalus kemudian dikonversi menjadi jaringan rigid
yang mengalami kalsifikasi (woven bone). Pertumbuhan
kalus tulang terjadi pada bagian perifer dari
tempat fraktur, yakni tempat tegangan minimal.
Sehingga pembentukan hard callus dimulai dari
perfier menuju ke sentral dari fraktur dan fracture
gap.
14
Gambar III.4. Fase hard callus. Konversi lengkap dari kalus menjadi
jaringan yang terkalsifikasi melalui osifikasi intramembranosa dan
endochondral.8
16
4. Remodeling
Fase remodeling dimulai saat fraktur telah
menyatu oleh woven bone. Woven bone secara perlahan
akan digantikan oleh lamellar bone melalui proses
surface erosion dan osteonal remodeling. Proses ini dapat
berlangsung beberapa bulan hingga beberapa tahun.
Hal ini berlangsung sampai tulang telah benar-
benar kembali ke morfologi aslinya.
Gambar III.5 Fase remodeling. Konversi woven bone menjadi lamellar
bone melalui proses surface erosion dan osteonal remodeling. 8
Proses penyembuhan tulang bersifat multifaktorial
(lihat tabel 3.1).10
Tabel 3.1Faktor yang Menghambat proses penyembuhan
Tulang
Umur >40 tahun
Faktor komorbiditas (hipertensi, diabetes mellitus)
Penggunaan obat-obatan (Obat anti inflamasi non-
17
steroid/NSAID, kortikosteroid)
Perokok
Nutrisi yang buruk
Fraktur terbuka dengan suplai darah yang buruk
Trauma multipel
Disertai Infeksi lokal
18
2.4. Diagnosis Fraktur15,16,17
2.4.1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu
trauma (traumatik, fraktur), baik yang
hebat maupun trauma ringan dan diikuti
dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan
dengan cermat, karena fraktur tidak
selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Penderita biasanya datang karena adanya
nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi
anggota gerak, krepitasi atau datang dengan
gejala-gejala lain.
2.4.2. Pemeriksaan fisik,18
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu
diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan.
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya
otak, sumsum tulang belakang atau organ-
organ dalam rongga thoraks, panggul dan
abdomen.
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada
fraktur patologis.
19
2.4.3. Pemeriksaan lokal18,19,20,21
1. Inspeksi (Look)
Apakah terdapat luka pada kulit dan
jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau fraktur
terbuka, dasar luka, dan warna kulit
Bandingkan dengan bagian yang sehat
Perhatikan posisi anggota gerak
Perhatikan adanya deformitas berupa
angulasi, rotasi dan perpendekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh
apakah ada trauma pada organ-organ
lain
2. Palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh
karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri.
Temperatur kulit
Nyeri tekan: nyeri tekan yang
bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan
20
lunak yang dalam akibat fraktur pada
tulang
Krepitasi: ditemukan secara “tidak
sengaja” saat gerak aktif maupun
pasif
Pemeriksaan vaskuler pada daerah
distal trauma sesuai dengan anggota
gerak yang terkena
Capillary Refill (pengisian) pada kuku,
warna kulit pada bagian distal daerah
trauma
Pemeriksaan neurologis berupa
pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan
neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis.
Pengukuran tungkai terutama pada
tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Movement)
Dengan cara mengajak penderita untuk
menggerakkan secara aktif dan pasif sendi
21
proximal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Pada penderita dengan
fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak
boleh dilakukan secara kasar, disamping
itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menentukan keadaan, lokasi serta extensi
fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta
kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka
sebaliknya kita mempergunakan bidai yang
bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
Untuk mempelajari gambaran normal
tulang dan sendi
Untuk konfirmasi adanya fraktur
Untuk melihat sejauh mana pergerakan
dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
22
Untuk menentukan teknik pengobatan
Untuk menentukan fraktur itu baru
atau tidak
Untuk menentukan apakah fraktur
intra-artikuler atau ekstra-artikuler
Untuk melihat adanya keadaan
patologis lain pada tulang
Untuk melihat adanya benda asing,
misalnya peluru
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan
beberapa prinsip dua:17
Two views: proyeksi AP/AnteroPosterior
dan Lateral, karena proyeksi yang
salah akan dapat memberikan informasi
yang salah, maka pemeriksaan
radiologis harus benar-benar AP dan
lateral.
Two joints: terlihat dua sendi, pada
bagian proksimal dan distal fraktur.
Two limbs: dua anggota gerak sisi kanan
dan kiri, terutama pada fraktur
epifisis.
Two injuries: biasanya pada multiple
trauma yang bisa melibatkan trauma di
tempat lain dalam tubuh.
23
Two times: Pada fraktur tertentu
misalnya fraktur tulang skafoid, foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga
biasanya diperlukan foto berikutnya
10-14 hari kemudian.
24
2.5. Penatalaksanaan Fraktur16,18,22,23,24
2.5.1. Penatalaksanaan secara Umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk
itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway),
proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi
(circulation), apakah terjadi syok atau tidak.
Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah
lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan
untuk mengetahui berapa lama sampai di RS,
mengingat golden period 4-6 jam. Bila lebih
dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara cepat, singkat dan lengkap.
Kemudian lakukan foto radiologis.
Anamnesis menurut pedoman ATLS mengikuti
akronim AMPLE, yakni:25
A : Alergi
M : Medikasi yang dikonsumsi
sebelum kecelakaan
P : Past History / riwayat penyakit
yang relevan
25
L : Last meal /makanan yang
dikonsumsi sebelum kecelakaan
E : Events related to the accident/
kejadian terkait kecelakaan,
termasuk keadaan alam, kecepatan
saat terjadinya kecelakaan, apa
yang sebenarnya terjadi?
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi
rasa sakit dan mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih berat pada jaringan
lunak selain memudahkan proses pembuatan
foto.
2.6. Penatalaksanaan Kedaruratan 25,26,27
Segera setelah cedera, biasanya pasien berada
dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya
fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah. Maka bila dicurigai adanya fraktur, penting
untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum
pasien dipindahkan.
Bila pasien yang mengalami cedera harus
dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan
pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan
dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi
maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang
26
dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak
dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat
dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang baik sangat penting untuk mencegah
kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang
bidai sementara dengan bantalan yang baik, yang
kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi
tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama,
dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai
bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera
ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada,
atau lengan bawah yang cedera digantung pada
sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji
untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan
perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan
pembalut bersih (steril) untuk mencegah
kontaminasi ke jaringan yang lebih dalam. Jangan
sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila
ada fragmen tulang yang keluar melalui luka.
Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi
dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut,
27
pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari
sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong
pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan
sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut.
2.7. Prinsip Penanganan Fraktur
Prinsip 4R (Chairudin Rasjad):
1. Recognition : diagnosis dan penilaian fraktur
2. Reduction : reduksi
3. Retention : immobilisasi
4. Rehabilitation : mengembalikan aktivitas
fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi
dan imobilisasi fraktur. Status neurologis dan
vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi.
Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya
dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang
setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan
penatalaksanaan definitif fraktur adalah
imobilisasi dengan menggunakan gips atau terapi
operatif dengan Open Reduction and Internal
Fixation (ORIF) maupun Open Reduction and External
Fixation (OREF).
28
Enam prinsip umum dalam penatalaksanaan fraktur
antara lain:18
1. Jangan perberat kondisi penderita/Do no
harm
Tidak jarang kasus yang berkaitan dengan
fraktur serta komplikasinya berkaitan
dengan tatalaksana dari fraktur itu
sendiri(iatrogenik). Pencegahan terjadinya
kasus-kasus iatrogenik ini ialah dengan
mengikuti prosedur dan prinsip penanganan
fraktur secara tepat, antara lain:
Tidak mengakibatkan cedera lebih
lanjut terhadap jaringan lunak pada
saat pertolongan pertama atau saat
transportasi pasien ke rumah sakit
Tidak memberi cedera pada pembuluh
darah, saraf, dan kulit akibat
pemasangan gips yang tidak tepat atau
pemasangan traksi yang berlebihan
Tidak membuka port d’ entrée infeksi pada
lokasi fraktur atau pada aplikasi
ORIF atau tindakan debridemen yang
tidak adekuat
2. Tatalaksana berdasarkan diagnosis yang
akurat dan prognosis/ Base treatment on an
accurate diagnosis and prognosis
29
Dalam memperoleh diagnosis yang tepat,
informasi-informasi penting berkaitan
dengan pasien harus diperoleh sehingga
dengan demikian dapat diambil kesimpulan
prognosis dari cedera yang terjadi. Selain
itu, pemilihan metode yang spesifik dari
penanganan fraktur juga harus berdasarkan
prognosis yang telah diputuskan. Berikut
ini faktor-faktor yang penting dalam
menilai prognosis:
Usia pasien
Lokasi dan konfigurasi fraktur
Jumlah initial displacement
Suplai darah pada fragmen fraktur
Pada umumnya apabila kalus external
(periosteal) dapat diharapkan, seperti
pada fraktur shaft tanpa disrupsi
periosteal yang berlebihan, atau pada
keadaan dimana kombinasi kalus periosteal
dan endosteal dapat diharapkan, seperti
pada fraktur metaphyseal yang mengalami
impaksi, maka reduksi yang sempurna serta
fiksasi yang rigid tidak diperlukan.
Sebaliknya pada keadaan dimana penyembuhan
dapat terjadi dari kalus endosteal saja,
seperti pada fraktur neck of femur, dimana
30
periosteum tipis atau pada fraktur intra
artikular dari tulang-tulang yang kecil,
seperti fraktur carpal scaphoid, maka reduksi
sempurna dan fiksasi rigid diperlukan.
Penentuan awal harus ditujukan kepada,
apakah fraktur tersebut memerlukan reduksi
atau tidak, kemudian apabila diperlukan,
tipe apa yang terbaik, apakah open atau
closed. Kemudian penentuan kedua harus
dipilih tipe imobilisasi yang tepat,
apakah eksternal atau internal.
3. Select treatment with specific aims
Tujuan yang spesifik dari tatalaksana
fraktur secara umum ialah :
Untuk menghilangkan nyeri
Tulang bukanlah komponen yang relatif
sensitif. Nyeri yang muncul justru
berasal dari komponen jaringan lunak,
termasuk periosteum dan endosteum.
Nyeri akan diperburuk dengan
pergerakan dari fragmen-fragmen
fraktur, spasme otot, serta edema
progresif pada ruang tertutup. Oleh
karena itu, untuk mengurangi nyeri
tentunya pergerakan fragmen harus
dicegah dengan imobilisasi dan
31
menghindari pemasangan cast atau
encircling bandage yang terlalu ketat.
Pada hari-hari pertama post fraktur
dapat diberikan analgesik
Untuk memperoleh posisi yang tepat
dari fragmen-fragmen fraktur dan
mempertahankannya
Beberapa fraktur tidak terjadi
displacement atau displacement yang sangat
minimal, sehingga tidak dibutuhkan
reduksi. Reduksi dibutuhkan untuk
memperoleh fungsi yang optimal,
mencegah timbulnya arthritis sendi,
serta untuk memperoleh bentuk klinis
yang baik dari tempat terjadinya
cedera. Bentuk yang sempurna secara
radiologis tidak diperlukan, oleh
karena bukan tampilan radiologisnya
lah yang diterapi, melainkan pasien
itu sendiri. Maintenans dari fragmen
fraktur yang sudah direduksi
memerlukan adanya imobilisasi, yang
dapat diperoleh dari berbagai macam
metode, antara lain continous traction,
plaster-of Paris, fiksasi eksternal, dan
fiksasi internal, tergantung dari
32
derajat stabilitas dan instabilitas
dari reduksi yang dilakukan.
Untuk memungkinkan terjadinya union
Pada sebagian besar fraktur, union
merupakan proses alamiah yang akan
terjadi seiring proses penyembuhan,
namun pada beberapa kasus fraktur
dimana terjadi robekan masif dari
periosteum dan jaringan lunak
sekitarnya, atau pada kasus nekrosis
avaskular dari satu atau beberapa
fragmen fraktur, union harus
difasilitasi dengan menggunakan
autogenous bone grafts pada awal proses
penyembuhan awal atau kemudian.
Untuk mengembalikan fungsi optimal
dari bagian tubuh yang mengalami
cedera
Saat periode imobilisasi dari fraktur
yang sedang mengalami proses
penyembuhan, atrofi otot harus
dicegah dengan latihan aktif statik
(isometrik) dari otot yang mengontrol
lokasi cedera yang diimobilisasi dan
latihan aktif dinamik (isotonik) dari
otot-otot tubuh dan anggota gerak
33
lainnya. Hal ini untuk meningkatkan
sirkulasi darah lokal, dan
memfasilitasi gerakan sendi yang
normal dan fungsi yang optimal dari
anggota gerak yang cedera dan anggota
tubuh lainnya yang tidak cedera.
4. Cooperate with “Laws of Nature”
Terapi dari fraktur harus bersifat
kooperatif terhadap proses penyembuhan
alamiah. Sebagai contoh proteksi yang
inadekuat dan imobilisasi, traksi yang
berlebihan, destruksi pembuluh darah
intraoperatif, serta infeksi post operatif
dapat mengakibatkan terhambat bahkan
gagalnya proses penyembuhan.
5. Make treatment realistic and practical
Ada 3 pertanyaan utama sehubungan dalam
memilih metode terapi yang tepat, antara
lain:
Tujuan spesifik apakah yang ingin
dicapai dari metode yang dipilih?
Apakah metode yang dipilih dapat
menunjang tujuan/target terapi
spesifik yang telah dibuat?
Apakah metode dan tujuan terapi yang
hendak dicapai sebanding dengan hal
34
lain yang harus pasien tanggung,
seperti resiko, biaya, serta waktu
yang harus ia habiskan di rumah
sakit. Sebagai contoh, pada fraktur
intertrokanter femur pada orang
lanjut usia akan selalu terjadi union
apabila diterapi baik dengan continous
traction dan prolonged immobilization (bed rest)
atau dengan ORIF dan early mobilization.
Untuk kasus seperti ini , bed rest dalam
jangka panjang di rumah sakit untuk
orang lanjut usia dianggap terlalu
beresiko oleh karena dapat
mengakibatkan kejadian patologis
serial yang mengarah kepada penurunan
kondisi pasien secara umum, oleh
karena itu, keputusan untuk dilakukan
operasi memiliki resiko yang lebih
minimal dibanding pilihan bed rest
jangka panjang.
6. Select treatment as an Individual
Masing-masing kasus fraktur dapat menjadi
permasalahan yang sangat berbeda antar
individu, sehubungan dengan usia, jenis
kelamin, pekerjaan, dan riwayat kesehatan
pasien. Sebagai contoh, adanya malunion
fraktur klavikula yang terjadi pada
35
seorang anak kecil bukanlah masalah yang
besar oleh karena tulang klavikula
tersebut akan mengalami remodeling seiring
pertumbuhannya, atau pada seorang buruh
(karena penampilan fisik bukanlah hal
utama), namun dapat menjadi masalah besar
jika individu yang terkena berprofesi
sebagai seorang model atau aktris.
Reduksi Tertutup diindikasikan untuk
keadaan berikut:
a. Fraktur tanpa pergeseran,
b. Fraktur yang stabil setelah
reposisi/reduksi,
c. Fraktur pada anak-anak,
d. Cedera jaringan luka minimal,
e. Trauma berenergi rendah
Reduksi Terbuka diindikasikan untuk keadaan
berikut:
a. Kegagalan dalam penanganan secara reduksi
tertutup,
b. Fraktur yang tidak stabil,
c. Fraktur intraartikuler yang mengalami
pergeseran dan
d. Fraktur yang mengalami pemendekan.
36
Tujuan pengobatan fraktur : 29,30
1. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen ke
posisi anatomis
Tertutup : fiksasi eksterna, Traksi
(kulit, sekeletal)
Terbuka:
Indikasi:
o Reposisi tertutup gagal
o Fragmen bergeser dari apa yang
diharapkan
o Mobilisasi dini
o Fraktur multiple
o Fraktur Patologis
2. IMOBILISASI / FIKSASI31
Tujuan mempertahankan posisi fragmen post
reposisi sampai union.
Jenis Fiksasi :
Exernal
o Gips ( plester cast) imobilisasi
relatif, diindikasikan pada fraktur
yang tidak terjadi displacement namun
tidak stabil. Contohnya pada fraktur
tulang panjang yang mengalami shifting
sideways, namun tidak ada angulasi dan
37
rotasi yang signifikan dari fragmen
fraktur.
o Traksi
1) Traksi Gravitasi (misalnya U- Slab
pada fraktur humerus)
2) Traksi Kulit, bertujuan menarik
otot dari jaringan sekitar fraktur
sehingga fragmen akan kembali ke
posisi semula. Beban maksimal 4-5
kg karena bila berlebihan kulit
akan lepas.
3) Traksi Skeletal, contohnya K-wire,
Steinmann pin atau Denham pin.
Gambar II.3 Kirschner wires ("K" wires) untuk
menstabilisasi fraktur distal radius
Komplikasi Traksi:
38
1. Gangguan sirkulasi darah Umumnya
pada penggunaan beban > 12 kg
2. Nerve palsy
3. Sindrom kompartemen
4. infeksi, contohnya:Pin track infection
Indikasi Open Reduction and External Fixation /
OREF :
1. Fraktur terbuka derajat III
2. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak
yang luas
3. Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
4. Fraktur kominutif
5. Fraktur pelvis
6. Fraktur infeksi yang kontraindikasi
dengan ORIF
7. Non union
8. Trauma multiple
39
Gambar II.4. Fiksator eksternal pada unstable distal radial fracture
Gambar II.5 . Fiksator eksternal
40
Internal / ORIF : K-wire, plating, screw,
K-nail
Gambar II.6 . ORIF(Open Reduction Intenal Fixation)
41
Gambar II.7 . Fiksator internal – Plate and Screw dan
Intramedullary rod
Gambar II.8 Fraktur patella yang distabilisasi dengan circalage
wire dan screws
42
3. UNION
Pada dewasa union dari kortikal ialah 3 bulan,
cancellous 6 minggu, sedangkan pada anak-anak
ialah separuh dari orang dewasa 32
4. REHABILITASI
Intinya bertujuan mengembalikan aktivitas
fungsional semaksimal mungkin
2.6. Komplikasi Fraktur
a. Komplikasi segera
1. Komplikasi lokal – dapat berupa kerusakan
kulit, pembuluh darah (hematom, spasme
arteri, dan kontusio), kerusakan saraf,
kerusakan otot, dan kerusakan organ
dalam.28
2. Komplikasi sistemik – syok.
b. Komplikasi awal
1. Komplikasi lokal
Yaitu sekuele dari komplikasi segera,
berupa nekrosis kulit, gangren, trombosis
vena, komplikasi pada persendian
(arthritis), dan pada tulang
(infeksi/osteomyelitis).
2. Komplikasi sistemik
43
Misalnya emboli lemak, emboli paru,
pneumonia, tetanus, delirium tremens.
c. Komplikasi Lanjut
1. Komplikasi pada persendian
Antara lain dapat terjadi kontraktur dan
kekakuan sendi persisten, penyakit sendi
degeneratif pasca trauma.
2. Komplikasi tulang
Yakni penyembuhan tulang abnormal
(malunion, delayed union dan non union).
Mal union adalah keadaan dimana
tulang menyambung dalam posisi tidak
anatomis, bisa sembuh dengan
pemendekan, sembuh dengan angulasi,
atau sembuh dengan rotasi.
44
a)
b)
Gambar II.9 a) Metacarpal shaft malunion
dengan angulasi dorsal b) Gambaran X Ray pada
pasien yang sama (angulasi dorsal)
Delayed union adalah proses penyembuhan
patah tulang yang melebihi waktu yang
45
diharapkan, hal ini berarti bahwa
proses terjadi lebih lama dari batas
waktu yaitu umumnya 3-5 bulan.
Gambar II. 10 Delayed union pada fraktur scaphoid.
Gambaran radiograf (A) menunjukkan fraktur dan
resorpsi pada waktu 5 bulan. T1-weighted (B) and fat-
suppressed T2-weighted (C) MRI menunjukkan fraktur
tanpa adanya gambaran cairan synovial di antara
fragmen.
Non union menurut Birnbaum adalah
tidak adanya proses penyembuhan
setelah 6 bulan 32
46
3. Komplikasi pada otot, misalnya miositis
pasca trauma, ruptur tendon lanjut.
4. Komplikasi saraf, misalnya Tardy nerve palsy.
47
Gambar II. 11
Nonunion pada tibia
pada radiografi
anteroposterior44
BAB III
TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
3.1 PENDAHULUAN
Terapi hiperbarik oksigen (HBO) merupakan aplikasi
dari pemberian tekanan absolut >1 atmosfer pada
oksigen murni (oksigen 100%).46 Hal ini akan
mengakibatkan tekanan oksigen (PO2) meningkat
dalam perbandingannya dengan tekanan lingkungan
sekitar. Terapi hiperbarik oksigen yang sebenarnya
ialah terapi pemberian oksigen secara sistemik
lewat paru, bukannya topikal. 47
Terapi HBO dilakukan dalam hyperbaric chamber, yang
terdiri dari multiplace chambers yang dapat memuat
lebih dari 1 pasien secara bersamaan, serta
monoplace chambers yang memuat hanya1 pasien dalam
sesi terapi. 47
Gambar 3.1 Monoplace Chambers
Berikut ini keuntungan dan kerugian dari monoplace
chambers:
48
KEUNTUNGAN KERUGIAN
Penanganan pasien
individu privat & pada
kasus infeksi.
Balk untuk perawatan
intensif
Masker muka tidak
dibutuhkan, lebih
nyaman.
Ideal untuk membatasi
perawatan pasien dalam
masa akut dari
penyakitnya atau luka-
luka, kelumpuhan.
Mudah untuk
mengobservasi pasien.
Dapat mudah
dioperasikan dan
ditempatkan dimana
saja di rumah sakit
Membutuhkan sedikit
tenaga operator
Sangat mudah terbakar
dalam lingkungan
oksigen
Hubungan langsung
dengan pasien
terbatas, kecuali
pada chamber yang
mempunyai ruangan
tambahan disisinya
Terapi fisik tidak
nyaman karena
keterbatasan tempat
Sedangkan keuntungan dari Multiplace chambers antara lain:48
49
Memberikan terapi dalam jumlah banyak .
Bahaya kebakaran kurang.
Terapi fisik dapat dilaksanakan dalam chamber
Tekanan dapat dinaikan sampal 6 ATA untuk
situasi khusus, seperti dalam emboli udara dan
penyakit dekompresi.
Prosedur bedah minor dapat dikerjakan di
Multiplace Hyperbaric Chamber,
Gambar 3.2 Multiplace chambers 70
3.2 Prinsip Dasar Terapi Oksigen Hiperbarik 49,50,51
Tekanan atmosfer diukur menggunakan beberapa
satuan unit yang setara, seperti 1 atm = 760
mmHg , atau Torr 760. Satu atmosfer sama dengan
50
tekanan yang diberikan dalam 10 meter air laut.
Dalam kedalaman 10 meter atau 33 kaki, seorang
penyelam terekspos 2 ATA (yakni 1 atmosfer dari
atas permukaan laut dan 1 dari tekanan 10 meter
air laut). Kebanyakan terapi hiperbarik
menggunakan tekanan 2.0 sampai dengan 3.0 ATA (1
atmosfer dari atmosfer bumi ditambah 1 atau 2
atmosfer dari tekanan hyperbaric chamber).
Prinsip fisika dibalik terapi HBO ialah hukum
gas ideal. Hukum Dalton mengemukakan bahwa
tekanan total dari berbagai macam campuran gas
sama dengan total tekanan parsial dari masing-
masing gas.
Udara yang kita hirup berasal dari campuran
gas, yang terdiri dari 21% oksigen dan 78%
nitrogen, dan 1 % ialah campuran gas-gas
lainnya. Oleh karena total tekanan udara
lingkungan ialah 760 mm Hg, maka tekanan parsial
nitrogen sama dengan 0.78 x 760 atau 593 mm Hg,
dan PO2 = 0.21 x 760 atau 160 mm Hg. Seiring
tekanan total campuran gas meningkat, tekanan
parsial masing-masing gas juga ikut meningkat.
Hukum Henry menyatakan bahwa tekanan parsial
gas yang bercampur dalam cairan setara dengan
tekanan yang dikeluarkan oleh gas. Terapi HBO
meningkatkan PO2 lingkungan dan mengakibatkan
peningkatan yang signifikan dari jumlah oksigen
51
yang larut dalam darah. Pasien yang berada pada
hyperbaric chamber yang diberi tekanan 2 ATA akan
menghirup 21% oksigen dua kali lebih banyak
molekul oksigen dalam setiap napas. Hal ini akan
ekuivalen dengan menghirup 42% oksigen pada 1
ATA.
Kadar Oksigen dalam darah ialah total oksigen
yang dibawa oleh hemoglobin dan oksigen yang
larut dalam plasma. Hemoglobin akan tersaturasi
dalam PO2 sekitar 100 mm Hg. Dalam kondisi
normobarik, oksigen yang larut hanya 0.3 mL
oxygen per 100 mL darah (vol%), dibandingkan
dengan 20% vol yang dibawa oleh hemoglobin.
Pada tekanan 3 ATA di hyperbaric chamber,
PaO2 mendekati 2200 mmHg. Tekanan ini cukup
tinggi untuk meningkatkan oksigen yang larut
hingga 5.4 vol%. Sehingga dengan kata lain,
terapi HBO dapat menyediakan oksigen yang cukup
untuk mempertahankan fungsi metabolik basal
tanpa adanya hemoglobin.
Hukum Boyle menyatakan bahwa, gas-gas yang
disimpan dalam temperatur yang konstan,
volumenya berbanding terbalik terhadap tekanan
yang diberikan padanya. Dengan kata lain,
seiring peningkatan tekanan, maka volume gas
akan menurun, dan sebaliknya. Prinsip inilah
52
yang digunakan dalam terapi Decompression sickness
dan emboli gas-udara.
Kondisi Normobarik
Jumlah oksigen = oksigen yang dibawa oleh hemoglobin
+ oksigen yang larut dalam plasma
Jumlah oksigen arterial = 1.34 (hemoglobin)(%saturasi) + 0.003
(PaO2)
= 1.34 (15)(100%) + 0.003 (100)
= 20.1 + 0.3 = 20.4 vol%
Jumlah oksigen vena = 1.34 (15)(70%)
= 14 vol%
Kondisi Hiperbarik—3 atmosfir absolut
Jumlah oksigen arterial = 1.34 (15)(100%) + 0.003 (2200)
= 20.1 + 6.6 vol%
= 26.7 %
Tabel 3.1 Konten oksigen arterial pada kondisi normobarik VS kondisi hiperbarik46
53
3.3 EFEK FISIOLOGIS DARI TERAPI HIPERBARIK
OKSIGEN 46,51,52
Terdapat 2 efek mendasar yang terjadi pada
jaringan yang diterapi HBO, yakni efek yang
berhubungan dangan peningkatan PO2 serta efek yang
terkait dengan daya mekanik tekanan itu sendiri.
1. Efek dari peningkatan tekanan oksigen:
a. Hiperoksigenasi
Kondisi hiperbarik memungkinkan oksigen
dalam jumlah yang signifikan larut dalam
darah. Plasma yang ter-hiperoksigenasi
akan mentranspor oksigen pada area yang
kekurangan akses dari sel darah merah
atau jaringan yang hipoksik. Oksigen
terlarut dalam plasma dapat dikirim ke
jaringan pada jarak sedikitnya tiga
sampai empat kali yang dapat dihantarkan
oleh hemoglobin. Selain itu, sel darah
merah menjadi lebih lentur dan dapat
masuk ke sirkulasi mikrovaskuler secara
lebih efisien. Sehingga dapat lebih
memungkinkan peningkatan pengantaran
oksigen.
b. Vasokonstriksi
54
Pada keadaan hiperbarik, terjadi
vasokonstriksi, yang membatasi aliran
oksigen dan transportasi oksigen. Hal
ini terjadi hanya pada jaringan yang
normoksik dan bukan pada jaringan yang
sebelumnya hipoksik.
c. Peningkatan kecepatan proses
penyembuhan pada luka yang hipoksik
Terapi HBO memfasilitasi proses
pembunuhan bakteri, resistansi
terhadap infeksi, sintesis kolagen,
dan proses epitelialisasi. Namun pada
jaringan yang cukup vaskularisasinya
dan normoksik, terapi HBO memiliki
efek yang minimal terhadap penutupan
lukanya.sebaliknya pada jaringan yang
iskemik dan vaskularisasi yang buruk,
terapi HBO secara signifikan
mempercepat penutupan luka.
d. Efek sinergis terhadap penggunaan
antimikrobial
Lingkungan yang hiperoksik pada terapi
HBO memfasilitasi perubahan fisiologis
dan biokimiawi yang berkontribusi
55
AKSI KETERANGAN
Menurunkan
produksi toksin
clostridial alpha pada
kasus gas
gangren
—
Meningkatkan
efisiensi kerja
dari leukosit
dan mensupresi
bakteri
Granulosit bersifat oxygen-independent
dan oxygen-dependent.. Leukosit
kehilangan efektifitasnya dalam
mengeradikasi kuman gram-positif dan
gram-negatif manakala tekanan oksigen
turun di bawah 30 - 40 mm Hg.
Turunnya efektifitas granulosit di
bawah kondisi hipoksik ini
mengakibatkan mekanisme pertahanan
tubuh menurun karena hanya leukosit
yang bersifat oxygen-independent saja
yang tersisa untuk mengeradikasi
bakteri pathogen. Pada lingkungan
yang kaya akan oksigen, proses
fagositosis bakteri pathogen
menghasilkan sebuah “ledakan
oksidatif” atau "oxidative burst"
yang terdiri dari radikal oksigen
(hydroxyl radical, peroxides, and superoxide).
Produksi radikal O2 ini berbanding
57
lurus terhadap jumlah O2.
Peningkatan
efektifitas
antibiotik
efektifitas dari beberapa antibiotik,
termasuk aminoglikosida dan
antimetabolit trimethoprim,
sulfamethoxazole, dan sulfasoxazole,
meningkat pada lingkungan yang
hipoksik. Namun antibiotik golongan
lain seperti vancomycin dan
fluorokuinolon menjadi lebih lemah
pada kondisi hipoksik.
Saat tekanan oksigen turun di bawah
30 mm Hg, bakteri dengan cepat
membunuh jaringan. Berbagai
penelitian mendukung adanya
efektifitas dan sinergisme antara
hiperoksigenasi dengan pemberian
antibiotik
Stimulasi
produksi
granulosit dari
antimikrobial
endogen yang
dihasilkan tubuh
(cth:radikal
Bakteri anaerob memiliki tahanan yang
lemah terhadap radikal oksigen bebas.
58
oksigen bebas)
Tabel 3.1 Perubahan fisiologis dan kimiawis dalam penggunaan
terapi HBO dengan pemberian antimikroba (aksi sinergistik).46
e. Supresi Radikal Oksigen yang Toksik
Terapi HBO melindungi jaringan terhadap
efek yang membahayakan dari radikal
oksigen yang toksik. Efek yang
menguntungkan ini dikatakan dapat
terjadi dalam beberapa mekanisme.
Pertama, terapi HBO bersifat
antagonis terhadap lipid
peroksidase dari membran sel
dengan cara mencegah konversi
dari endothelial xanthine dehydrogenase
menjadi xanthine oxidase, tahap yang
paling penting dalam produksi
lipid peroksidase.
Kedua, terapi HBO menghambat
inisiasi dari reperfusion injury karena
mencegah sekuestrasi neutrofil ke
jaringan yang cedera. Reperfusion
injury mengacu pada kerusakan
jaringan oleh karena ketika
suplai darah kembali ke jaringan
setelah masa iskemia, pemulihan
aliran darah sebenarnya mengarah
59
ke kerusakan vaskular progresif
dan memperluas area dengan aliran
darah yang buruk.
Ketiga, terapi HBO memungkinkan
oksigen yang cukup untuk
reperfusi jaringan
2. Efek Mekanis dari Tekanan Oksigen yang
Meningkat
Terapi hiperbarik menurunkan ukuran gelembung
udara sesuai peningkatan tekanan atmosfer
dari chamber (Hukum Boyle). Pada peningkatan
tekanan, oksigen akan berdifusi ke dalam
gelembung dan menggantikan nitrogen ke dalam
larutan. Hal ini memungkinkan resolusi dari
gelembung nitrogen yang terbentuk pada
Decompression Sickness dan gelembung udara pada
emboli gas vena atau arteri. Pada kasus gas
gangrene, terapi HBO menurunkan ukuran
gelembung sehingga memungkinkan perfusi yang
lebih baik dan mengurangi rasa nyeri.
60
3.4 TEKNIK OKSIGENASI HIPERBARIK 48,52
Berikut ini tabel klasifikasi penggunaan tekanan
sesuai kegunaannya:
Sampai 1,5 ATA Gangguan iskemi
serebral, kardiak,
gangguan vaskular
perifer, terapi adjuvant
dalam kedokteran
olahraga, trauma
akustik, skin fl aps.
2 – 3 ATA Gas gangrene, luka
bakar, fraktur
terbuka,crush
injury¸penanganan darurat
pada penyakit dekompresi
Sampai 6 ATA Emboli udara, penyakit
dekompresi
Teknisi hiperbarik mengikuti instruksi-
instruksi dari dokter hiperbarik mengenai tekanan,
waktu, dan frekwensi terapi. Kebanyakan pengobatan
di pusat hiperbarik diberi tekanan antara 1,5
sampai 2,5 ATA dan waktunya biasanya 45 menit.
Sebagai contoh pada tekanan 1,5 ATA diperlukan 10
menit untuk kompresi dan 5 menit dekompresi. Jadi
maksimum oksigen saturasi (jenuh) dipertahankan
61
selama 30 menit. Jika ada infeksi waktu terapi
dilipat dua kali. Untuk kondisi kronis, terapi
dilakukan setiap hari, termasuk Sabtu/Minggu.
Pada chamber multiple pasien dikelompokan sesuai
indikasinya. Misalnya, semua pasien stroke
dikelompokan pada sesi yang sama dan disertai
fisioterapis atau dokter jika dilakukan
penelitian. Teknisi membuat catatan lengkap
mengenai sesi tersebut, datanya dicatat dan dapat
ditampilkan oleh komputer.
Kompresi dan dekompresi berlangsung mulus dan jika
pasien mengeluh misalnya sakit kuping, prosedurnya
dapat dihentikan. Jika ada masalah, pasien
tersebut dapat dipindahkan ke ruang lain
dilanjutkan bagi pasien-pasien lain.
Pada chamber Monoplace, dipakai masker oksigen dan
menghirup oksigen dimulai bila chamber sudah
diberi tekanan tertentu. Tekanan partial oksigen
tidak dicatat secara rutin, hanya jika diperlukan
bagi riset. Umumnya nilai Pa02 adalah sekitar
1000mmHg pada 1,5 ATA.
PERALATAN TAMBAHAN UNTUK HYPERBARIC CHAMBER48
1. Masker oksigen.
2. Respirator dan ventilator
3. Peralatan untuk terapi.
62
a. Alat resusitasi kardiopulmonal
b. Tabung Endotrakeal
c. Alat penyedot ( penghisap)
d. Infus intra venus.
4. Peralatan untuk diagnostik
a. Baki untuk pemeriksaan medis.
b. Alat monitor transkutan oksigen
c. EEG
d. ECG
e. Alat monitor tekanan intra kranial dan
tekanan intra kranial dan tegangan oksigen
CSF.
5. Alat neurologis
a. Optalmoskop
b. Dynamometer untuk mengukur spastisitas.
6. Alat latihan : Treadmill.
7. Alat terapi seperti traksi cervical untuk cedera
servikal
MASKER OKSIGEN
Masker oksigen hanya diperlukan dalam multiplace
chamber. Masker Angkatan Udara USA (Gambar 3.3)
bila dipakai secara tepat, memberikan kadar
63
oksigen sebesar 96,9% - 99% dan Pa02 sebesar 1640
mmHg tercapai pada 2,4 ATA
Gambar 3.3 Masker Angkatan Udara USA
ALAT DIAGNOSTIK
Alat dasar medikal diagnostik seperti Reflek
Hammers, stetoskop, opthalmoskop, harus ada dalam
chamber.
PENGAWASAN PASIEN DALAM HYPERBARIC CHAMBER
Pasien dan pengawas didalam hyperbaric chamber dapat
dimonitor dengan mengikuti cara (Deauphince et al.
1985):
Penglihatan CCTV didalam Multiplace Chamber.
64
Komunikasi Untuk Monoplace dan Multiplace
Chamber menggunakan sistem komunikasi satu
arah.
Tingkat pengawasan atas keparahan dan tipe
penyakit. Dengan pasien gawat, pengawasan ICU
dapat berlangsung dalam chamber.
3.5 KONTRAINDIKASI TERAPI HBO 46,47,48,51
HBO hanya mempunyai satu kontraindikasi
absolut yaitu Pneumothorax yang tidak
diobati. Diusahakan pengobatan
pneumothorax dengan operasi sebelum
pemberian terapi HBO.
Daftar di bawah ini merupakan kontraindikasi
relatif yang harus dipertimbangkan manfaat
dan kerugiannya terhadap kondisi pasien:
Infeksi respirasi Atas.
Kejang-kejang.
Empisema dengan retensi CO2.
Pasien dengan keadaan ini dapat
mengembangkan pneumothoraks oleh
karena rupturnya bula empisema selama
HBO. DIlakukannya foto rontgen thoraks
sebelum terapi dapat menghindarkan kejadian
tersebut.
65
Lesi pulmo simptomatik pada foto rontgen
thorax.
Riwayat bedah thoraks atau bedah telinga.
Demam tinggi yang tidak terkontrol.
Demam merupakan predisposisi dari
kejang. Jika terapi OHB merupakan
indikasi pada infeksi dengan demam,
suhu tubuh harus diturunkan dulu sebelum
terapi dilaksanakan.
Penyakit keganasan.
Ada beberapa kontroversi berkenaan dengan
efek dari HBO, pada pertumbuhan tumor.
Eltorai et al (1987) melaporkan 3 kasus
karsinoma yang tersembunyi, timbul secara
klinis setelah dimulainya HBO dan dianggap
memicu proliferasi dari tumor pada 3 kasus
tersebut. Hingga kini mekanismenya masih
belum jelas, namun HBO umumnya
dipertimbangkan sebagai kontraindikasi pada
keganasan, meskipun dalam beberapa literatur,
terapi HBO justru menjadi terapi adjuvant
dalam radioterapi atau kemoterapi.
Kehamilan
Ada bukti eksperimental, bahwa hewan yang
terekspos HBO selama kehamilan muda
meningkatkan insiden malformasi kongenital.
66
Terapi HBO pada kehamilan tua tidak
menimbulkan efek merugikan. Pertanyaan
mengenai keselamatan terapi hiperbarik pada
kehamilan di diskusikan oleh Jennings (1987).
Jika keselamatan ibunya yang diperlukan,
contohnya keracunan CO, ibunya harus
menerima prioritas terapi OHB dibandingkan
fetusnya. Banyak terapi-terapi HBO berhasil
dilaksanakan dengan baik selama kehamilan
di Amerika tanpa membahayakan fetus .
3.6 KOMPLIKASI TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN 46,47,48,51
Meskipun komplikasi dari terapi hiperbarik oksigen
sangat jarang ditemui, namun harus diketahui dan
dipertimbangkan. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain:
Toksisitas Oksigen pada Paru-paru
Oksigen tambahan dengan fraksi oksigen
inspirasi> 50% yang diberikan pada
pasien dalam jangka waktu yang lama
dapat menghasilkan cedera paru yang
progresif, termasuk penurunan kecepatan
absorpsi mukus, penurunan lung compliance,
kapasitas vital, dan kapasitas difusi.
Akan tetapi kadar oksigen tinggi yang
67
diberikan untuk jangka waktu yang pendek
(90 sampai 120 menit) dalam kondisi
hiperbarik (pada 2,0-2,4 ATA) dan bahkan
setiap hari sampai 6 minggu, belum
terbukti berbahaya bagi paru-paru.
Toksisitas oksigen pada sistem saraf
pusat dan sistem saraf perifer
Keracunan sistem saraf pusat dapat
terjadi ketika pasien menghirup oksigen
100% pada tekanan> 2.0 ATA. Kejadian
kejang tonik-klonik selama pengobatan
HBO diperkirakan sebesar 0,3% pada 2,4
ATA dan sampai dengan 2,5% pada 3,0 ATA.
Faktor yang terkait dengan kejadian
kejang selama terapi HBO termasuk
hipertermia [> 37,8 ° C (100 ° F)],
hipertiroidisme, PaCO2 tinggi, asidosis,
trauma otak atau iskemia, riwayat kejang
yang ada sebelumnya, hipoglikemia,
kekurangan vitamin E, dan obat-obatan
tertentu (vasodilator, insulin,
inhibitor karbonat anhydrase, mafenide
asetat (Sulfamylon), epinefrin /
norepinefrin, steroid, dan aspirin).
Beberapa pusat pelayanan terapi HBO
menggunakan profilaksis benzodiazepin
untuk mencegah kejang pada pasien
68
berisiko tinggi. Tidak ada efek sisa
dari kejang akibat keracunan oksigen
yang telah dilaporkan.
Keracunan sistem saraf perifer
bermanifestasi sebagai parestesia yang
muncul setelah sesi perawatan dalam
jangka panjang.
Masalah penglihatan
Myopia progresif dan reversibel dapat
terjadi setelah terapi yang panjang.
Akan tetapi kondisi ini akan pulih
seperti semula dalam kurang lebih 6
minggu. Katarak idiosinkrasi juga dapat
terjadi namun merupakan komplikasi dari
pemakaian yang kronis.
Barotrauma
Barotrauma dapat terjadi pada telinga
tengah, telinga bagian luar, telinga
bagian dalam, sinus, gigi, saluran
gastrointestinal dan sistem paru.
Barotrauma pada telinga tengah terjadi
pada 2% dari pasien yang menerima HBO.
Gambaran klinis termasuk edema,
perdarahan, kongesti mukosa, bulging atau
penonjolan dari membran timpani, dan
yang jarang terjadi, ialah pecahnya
69
membran timpani. Masalah biasanya
menghilang secara spontan dalam 1-2
minggu. Pencegahan dan atau pengobatan
bagi barotraumas di telinga tengah
meliputi penentuan patensi tuba
estachius sebelum terapi, pengajaran
teknik autoinflasi yang benar,
myringotomy dengan jarum, serta
penggunaan pressure equalization tubes.
Klaustrofobia
Oleh karena kecilnya ukuran monoplace
chamber, pasien seringkali mengalami
ansietas. Akan tetapi efek ini biasanya
dapat membaik dengan pemberian
anxiolitik.
BAB IV
KASUS
Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Alamat : Surabaya
Tanggal Pemeriksaan : 28 Januari 2015
70
Keluhan Utama
Patah tulang kering kaki kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Patah tulang kering kaki kiri karena kecelakaan
pada hari Kamis tanggal 22 Januari 2015. Kecelaan
tunggal, berkendara dengan sepeda motor dan terjatuh ke
kiri. Setelah kecelakaan tersebut tidak bisa berjalan
dengan baik dan terasa sakit sekali. Saat itu Penderita
tidak mengetahui jika patah tulang karena yang tampak
hanya bengkak saja di kaki kiri nya. Langsung dibawa ke
UGD Rsal dr. Ramelan Surabaya dan kemudian di rontgen
kaki kiri didapatkan patah tulang tertutup pada tibia
kiri. Saat ini penderita telah melakukan terapi HBO
selama 7 kali. Penderita berkata bahwa bengkak tersebut
berangsur-angsur mengecil setelah 4 kali terapi HBO.
Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes mellitus disangkal
Hipertensi disangkal
Asma disangkal
Hiperkolesterol disangkal
Trauma disangkal
71
Status Pasien
Obyektif
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 4-5-6
TB : 167 cm ; BB : 70 kg ;
PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala : A/I/C/D = -/-/-/- dbn
Leher : Deviasi trakea (-) , pembesaran KGB (-),
bendungan vena (-)
Thoraks :
Jantung :
Inspeksi Normochest, Ictus cordis tak
tampak
Palpasi Ictus cordis tak teraba
Perkusi Batas Jantung jelas, tidak ada
pelebaran
Auskultasi S1S2 Tunggal, murmur (-),
gallop (-)
Paru :
Inspeksi Gerak nafas normal
Palpasi Fremitus Raba Normal
Perkusi Sonor/sonor
72
Auskultasi Wheezing (-/-), Rhonki
(-/-)
Abdomen
Inspeksi Cembung, Simetris
Palpasi Hepar dan Lien tak teraba
Perkusi Tymphani
Auskultasi Bising Usus Normal
Ekstremitas
Oedema - - Akral Hangat + +
- + + +
Terdapat luka dan bengkak yang dibungkus gips dan
ditutup dengan perban di cruris sinistra.
ASSESSMENT
Diagnosa = Fraktur tertutup os. Tibia sinistra
PLANNING
Immobilisasi menggunakan traksi terus menerus,
pembebatan dengan gips, pemakaian penahan
fungsional, fiksasi internal maupun fiksasi
eksternal
73
BAB V
TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN PADA
FRAKTUR46,51,52,53,54,55,56,57
Saat ini terapi HBO digunakan sebagai Adjuvant
Therapy pada kasus fraktur tulang setelah seluruh
terapi definitive dikerjakan dengan baik. Pada fraktur
akan menyebabkan hipoksia lokal yang diikuti dengan
iskemia jaringan, lesi vaskuler, nekrosis ujung fragmen
tulang yang patah dan gangguan proses metabolic seluler
dengan akibat akan terjadi gangguan perfusi serta
oksigenasi jaringan lunak dan tulang.
Terapi oksigen hiperbarik mempunyai efek langsung pada
fraktur tulang, yaitu :
- Meningkatkan kandungan oksigen pada tingkat
jaringan
- Meningkatkan distribusi oksigen per unit aliran
darah
- Reduksi edema
Efek jangka panjangnya adalah :
- Meningkatkan penyembuhan luka setelah fasciotomy
- Mengurangi angka infeksi
- Meningkatkan hasil skin graft
75
Penanganan dari bentuk paling parah dari
kondisi ini hampir selalu memerlukan pembedahan.
Oksigen hiperbarik merupakan intervensi efektif
yang melawan peristiwa patofisiologi yang
terjadi dengan kondisi ini. Studi menunjukkan
penurunan secara statistik dan signifikan pada
hilangnya fungsi otot, metabolit terkait dengan
cedera otot, edema, dan nekrosis otot ketika HBO
digunakan dalam crush injury dan kompartemen
sindrom.
Terapi oksigen hiperbarik pada kasus fraktur harus
dimulai sedini mungkin, idealnya dalam waktu 4-6 jam
setelah cedera. Setelah intervensi pembedahan darurat,
pasien diberikan terapi oksigen hiperbarik dengan
tekanan 2 – 2,4 atm selama 60 – 90 menit. Untuk 2 – 3
hari berikutnya, terapi oksigen hiperbarik dilakukan
sehari setiap harinya kemudian dua kali sehari setiap
harinya selama 2 -3 hari, lalu setiap hari selama 2 – 3
hari berikutnya.
Ancaman langsung ke jaringan yang hidup
setelah fraktur terbuka dengan crush injury maupun
sindrom kompartemen adalah apakah perfusi sudah
cukup atau tidak untuk mempertahankan
kelangsungan hidup jaringan tersebut. Edema
vasogenik pasca-trauma berkembang sebagai akibat
dari cedera dan diperbesar oleh edema sitogenik,
dimana sel yang hipoksia tersebut kehilangan
76
kemampuan untuk mempertahankan cairan
intraseluler. Rintangan untuk proses difusi
oksigen meningkat oleh karena adanya edema dan
runtuhnya mikrosirkulasi sekunder karena tekanan
dari cairan edema (seperti terjadi pada sindrom
kompartemen), sehingga akan semakin mengurangi
ketersediaan oksigen ke jaringan yang cedera.
Ketika tekanan oksigen jaringan turun di bawah
30 mmHg, respon host terhadap infeksi dan
iskemia akan menumpul. Dalam lingkungan
hipoksia, neutrofil yang oxygen-dependent menjadi
rusak atau tidak ada, dan proses perbaikan host
seperti migrasi fibroblas, proliferasi, dan
sekresi kolagen berkurang. Oleh karena itu,
neovaskularisasi terganggu karena kurangnya
kolagen matriks yang diperlukan sebagai substrat
untuk angiogenesis kapiler.
Alasan utama untuk menggunakan terapi HBO
pada fraktur terbuka dan luka-luka crush injury dan
sindrom kompartemen ialah pertama, pasokan
oksigen ke jaringan lain yang mungkin mati dari
hipoksia selama periode awal pasca-cedera
kemungkinan besar tidak memadai sebagai akibat
langsung dari cedera. Kedua, terapi HBO
meningkatkan tekanan oksigen jaringan ke tingkat
yang memungkinkan respon host yang disebutkan di
atas berfungsi. Dengan terapi HBO sebesar
77
tekanan 2 atmosfer absolut, kandungan oksigen
darah (yaitu kombinasi hemoglobin dan plasma
yang mengandung oksigen) meningkat sebesar 125%.
Tekanan oksigen dalam plasma, serta cairan
jaringan, meningkat 10 kali lipat (yaitu 1000%).
Efeknya adalah peningkatan 3 kali lipat dalam
difusi oksigen melalui cairan jaringan. Hal ini
membantu untuk mengkompensasi efek edema yang
merugikan pada penurunan ketersediaan oksigen ke
sel. Oksigen yang cukup akan terlarut dalam
plasma untuk menjaga jaringan hidup tanpa
bantuan hemoglobin.
Pengurangan edema adalah efek sekunder dari
hyperoksigenasi jaringan. Oksigen hiperbarik
menginduksi vasokonstriksi yang mengurangi
aliran darah sebesar 20% (12). Pengurangan edema
terjadi karena penurunan filtrasi cairan dari
kapiler ke ruang ekstraseluler sebagai
konsekuensi dari vasokonstriksi sementara
resorpsi cairan ekstraselular pada tingkat
kapiler dipertahankan. Hiperoksigenasi
mempertahankan pengiriman oksigen pada
vasokonstriksi yang diinduksi oleh terapi HBO
tersebut. Selain itu, aliran darah di
mikrosirkulasi ditingkatkan melalui penurunan
tekanan cairan interstisial dari pengurangan
edema.
78
Oksigen hiperbarik melawan interaksi antara
oksigen radikal beracun dan mencegah peroksidasi
lipid dari membran sel. Oksigen hiperbarik
secara khusus melawan sistem beta2 integrin
(cluster-designation-11) yang menginisiasi respon
perlengketan neutrofil pada endotelium kapiler
venul.
Dengan mengurangi anion superoksida yang
dihasilkan, reaksinya dengan molekul nitrit oksida
untuk membentuk radikal peroksinitrit yang reaktif
juga dikurangi. Mekanisme lain dari terapi HBO
terhadap cedera reperfusi ialah adanya oksigen
tambahan untuk mereperfusi jaringan sehingga
menghasilkan scavengers. Scavengers yang dimaksud ialah
superoxide dismutase, catalase, peroxidase dan
glutathione yang akan mendetoksifikasi radikal
oksigen yang destruktif sebelum mereka menghancurkan
jaringan.
Pada tahun 1980-an pengaruh terapi HBO pada
sindrom kompartemen otot-rangka dilaporkan dalam
serangkaian artikel dengan menggunakan model
anjing. Terapi HBO secara signifikan mengurangi
jumlah otot rangka yang nekrosis dibandingkan
dengan kontrol. Bowersox et al menunjukkan
tingkat penyembuhan 90% ketika terapi HBO
digunakan untuk mengelola kulit yang dilakukan
flap dan atau cangkok yang sebelumnya gagal.
79
Pada tahun 1987 Shupak dilaporkan menyelamatkan
anggota tubuh dari 75% dari pasien yang berisiko
amputasi setelah trauma dengan cedera iskemik
yang bersamaan.
Penyembuhan fraktur pada pasien lebih dari 40
tahun secara signifikan diperbaiki dengan terapi
HBO (p value <0,05). Para peneliti juga
mempelajari pengukuran oksigen transkutan dan
menemukan oksigen transkutan lebih ditingkatkan
dalam kelompok yang diperlakukan terapi HBO
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain
itu, pasien yang telah sembuh dari patah tulang
memiliki hasil pembacaan oksigen transkutan
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
mereka yang bahkan tidak mengalami patah tulang.
Melalui data yang diperoleh dari Hyperbaric Oxygen
Therapy Facilitates Surgery in Complex Open Elbow Injuries dalam
Journal of Shoulder and Elbow Surgery (2007), ditemukan bahwa
menambahkan terapi HBO untuk fiksasi internal dan flap
jaringan lunak setelah debridemen radikal kompleks
cedera siku terbuka dapat menjadi alternatif pengobatan
yang sangat baik.
Dari jurnal ini diperoleh 12 kasus patah tulang
terbuka pada siku, sembilan kasus ialah patah tulang
terbuka jenis IIIA, enam adalah jenis IIIB, satu tipe
IIIC. Delapan pasien mengalami cedera nervus perifer,
termasuk delapan cedera nervus radial, dua cedera
80
nervus median, dan dua cedera nervus ulnar. Satu pasien
juga memiliki laserasi dari arteri brakialis. Semua
operasi untuk pengobatan fraktur dimulai dalam waktu 30
menit sampai 2 jam tiba di unit gawat darurat. Protokol
pengobatan bedah terdiri dari irigasi, fasiotomi, dan
debridemen luas, diikuti oleh fiksasi internal dengan
atau tanpa dukungan eksternal. Semua pasien menjalani 2
sesi terapi HBO (2,5 bar, oksigen 100%, 120 menit)
dalam 48 jam setelah operasi. Fraktur terbuka kompleks
pada siku biasanya berhubungan dengan cedera jaringan
lunak yang berat, yang diperberat dengan nekrosis
jaringan, edema jaringan progresif, hipoksia,
kontaminasi bakteri yang tidak terelakkan. Karena
terapi HBO yang bersifat adjuvan dapat meningkatkan
konsentrasi oksigen secara signifikan di semua
jaringan tubuh oleh karena hiperoksigenasi, penurunan
edema pada jaringan melalui vasokonstriksi, dan
penurunan insidens infeksi oleh karena adanya
peningkatan fagositosis sel darah putih dan sinergisme
antibiotik seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
pada subbab ini. Terapi HBO sebagai adjuvan ini
dilakukan pada kasus dengan fiksasi internal dan
terbukti dapat memperbaiki hasil klinis pasien.
Hasilnya, 12 pasien (75% kasus) mencapai hasil
memuaskan yakni secara fungsional baik, 3 (18,75%)
mencapai hasil fungsional yang cukup, dan 1 (6,25%)
hasil fungsional yang buruk. Lima puluh pasien tidak
81
mengalami nyeri siku, sedangkan sisanya hanya sakit
ringan. Empat pasien tidak memiliki pembatasan
kegiatan sehari-hari, 11 pasien keterbatasan ringan
sampai sedang. Tidak ada infeksi dalam yang terjadi
pada semua kasus. Infeksi superfisial terjadi pada 3
pasien, namun bersifat ringan dan berhasil diterapi
dengan local dressing dan antibiotik. Osteomyelitis kronis
tidak terjadi.
Coulson et al di tahun 1966 sudah menuliskan pula
manfaat dari terapi HBO pada komplikasi fraktur berupa
delayed union maupun non union. Pada studi yang dilakukan
pada binatang juga didapatkan bahwa terapi HBO dapat
mempercepat pertumbuhan tulang dan mempercepat removal
sel-sel mati atau sel-sel yang abnormal. Kerwin et al
(2000) pada uji eksperimental pada kucing yang sengaja
dibuat non union membuktikan adanya peningkatan
pembentukan tulang secara radiologis maupun histologis
pada penggunaan terapi HBO, namun vaskularisasi tidak
ditingkatkan.
82
REFERENSI
1. Latham E, et al. Hyperbaric Oxygen Therapy. E medicine
[online]. 2010 [cited 2011 Jan 20]. Available
from:URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1464149-overview
2. Atlantic Hyperbaric Associates. Hyperbaric Oxygen
Therapy and Crush Injury, Compartment Syndrome and
Other Acute Traumatic Ischemias.1999[cited 2011 Jan
20]. Available from:URL:
http://www.atlantichyperbaric.com/health/crush-
injuries.htm
3. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-
20.Jakarta: EGC.2003. Bab 21.Hal 325-70
4. Anonym. Bone Structure. 2011[cited 2011 Jan 20].
Available from:URL:
http://www.cliffsnotes.com/study_guide/topicArticleId-
22032,articleId-21902.html
5. Nather A, Ong HJ. Bone Grafts and Bone Substitutes -
Basic Science and Clinical Applications. Available
from:URL:
http://www.worldscibooks.com/etextbook/5695/5695_chap0
1.pdf
6. Ito K dan Parren SM. Biology of fracture healing.
Available from:URL http://www.aopublishing.org/"><img
src="./ao bone heal_files/MyPortalFiles"
83
7. Ott S. Bone Growth and Remodelling. 2008. Available
from:URL:
depts.washington.edu/bonebio/ASBMRed/growth.html
8. Buckley R dan Panaro CD. General Principles of
Fracture Care.2010 [cited 2011 Jan 22] Available
from:URL
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview
9. Sjamsuhidayat R dan Jong W D. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. EGC:Jakarta. 2004. Bab 40,hal.841-89.
10. Greenspan A. Imaging Modalities in Orthopedics in
Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd ed Vol 1. 2001.
Lippincott Williams & Wilkins.Ch.4,185-96
11. Otto C dan Touquet E. General Principles: How to
Interpret Radiograph. Available from:URL:
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/
Content_store/Sample_chapter/
9780727915283/9780727915283_4_001.pdf
12. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of
Musculoskeletal System 3rd ed.1999. Ch.3,p.416-27
13. American Academy of Orthopaedic
Surgeons .Fractures.Available from:[URL]:
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00097
14. McRae R. Practical Fracture Treatment, 3rd ed,
Churcill Livingstone. London: 1999. p. 285-290.
15. Ludwig O, Bisschop P, Veer TJ. A System of
Orthopaedic Medicine Vol. 1. Elsevier Health
Sciences.p.68-72
84
16. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. Apley's Concise
System of Orthopaedics and Fractures 3rd ed.
2005.USA:Oxford University Press.
17. Tintinalli JE. Stapczynski S, et al. Tintinalli's
Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide, 7th
ed.2004. Philadelphia:McGraw Hill Company.
18. Wade R, Juan F, et al. Immediate Management of
Musculoskeletal Trauma in CURRENT Diagnosis &
Treatment in Orthopedics. 2011. Philadelphia:McGraw
Hill Company.
19. Ramesh C, Tolhurst S, et al. Orthopedic Surgery
in CURRENT Diagnosis and Treatment: Surgery 13th ed.
2011. Philadelphia:McGraw Hill Company.
20. Canale, S. Terry, and James H. Beatty, eds.
"Fractures and Dislocation, Part XV." Campbell's Operative
Orthopaedics. 11th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier,
2007.
21. Braddom, Randolph L. Physical Medicine and
Rehabilitation. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 2006.
22. Anonym. Reduction of Fracture or Dislocation.
Available from:
[URL]:http://www.mdguidelines.com/reduction-of-
fracture-or-dislocation
23. Lakatos R dan Herbenick MA. General Principles of
Internal Fixation. 2009[cited 2011 Feb 2]. Available
from:URL:http://emedicine.medscape.com/article/1269987
-overview
24. American Academy of Orthopaedic Surgeons.
Internal Fixation and External Fixations for
85
Fractures. Available from:URL:
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00196
25. Kaleidoscope Executive Advisory Group. Traction.
2008. Available from:URL:
http://www.kaleidoscope.org.au/docs/GL/Traction_Kal.pd
f
26. Bennet MH. Hyperbaric Oxygen Therapy for
Promoting Fracture Healing and Treating Nonunion
Fracture.Available
from:URL:http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/rehabil
itacion/hyperbaric_oxygen_therapy_for_promoting_fractu
re_healing_a%85.pdf
27. Brien PJO dan Mosheiff R.Open Fractures-
Principles. Available From:[URL]:
http://www.aopublishing.org/
28. Fraktur Terbuka. Browsed:
http://bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fraktur-
Terbuka.html
29. Court-Brown CM, Brewster N (1996) Epidemiology
of open fractures. Court-Brown CM, McQueen MM, Quaba AA
(eds), Management of open fractures. London: Martin Dunitz,
25-35.
30. Patel M dan Herzenberg J.Open Tibial
Fractures.2009[cited 2011 Feb 3]. Available from:
[URL]:http://emedicine.medscape.com/article/1249761-
overview
31. Norvell JG dan Steele M.Fracture Tibia and
Fibula. 2009[cited 2011 Feb 3]. Available from:
86
[URL]:http://emedicine.medscape.com/article/826304-
overview
32. Gustilo RB, Merkow RL, Templeman D. The
management of open fractures. J Bone Joint Surg Am.
Feb 1990;72(2):299-304.
33. Tscherne H, Oestern HJ. A new classification of
soft-tissue damage in open and closed
fractures. 1982;85(3):111-5
34. Rotondo N. Approach to the Trauma Patient in
Merck Manual Online. 2009. Available from:[URL]:
http://www.merckmanuals.com/professional/sec21/ch307/c
h307a.html
35. Basar C, Sadik G, et al. The effectiveness of
analgesics in traumatic injuries of the ex tremities.
ADVANCES IN THERAPY; 22(5), 462-6
36. Zalavras CG, Patzakis MJ . Open Fractures:
evaluation and management. 2003. J Am Acad Orthop Surg;
11(3):212-219.
37. Hoff WS, Bonadies JA, Cachecho R, et al. East
Practice Management Guidelines Work Group:Update to
Practice Management Guidelines for Prophylactic
Antibiotic Use in Open Fractures.2008. Eastern
Association for the Surgery of Trauma.
38. Chapman MW. Open Fractures in in Chapman’s
Orthopaedic Surgery 3rd ed Vol 1. 2001[online
database]. Lippincott Williams & Wilkins.
87
39. Paley, Dean C, et al. Ilizarov Bone Transport
Treatment for Tibial Defects. 2000.JOT; 14(2);pp 76-
85
40. Khandelwal S, Kaide CG. Hyperbaric Oxygen Therapy
in Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM,et al:
Tintinalli's Emergency Medicine: A Comprehensive Study
Guide 7th ed(online database). Available from:[URL]:
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=6349284.
41. Latham E, Hare MA, Neumeister M. Hyperbaric
Oxygen Therapy.2010 [cited 2011 Feb 3]. Available
from:[URL]:
http://emedicine.medscape.com/article/1464149-overview
42. Sutarno, Riyono A, dkk. Kedokteran Hiperbarik
Edisi I. 2000. Jakarta:RS AL Mintohardjo Hiperbarik
Senter.
43. Setiawan HW. Pengantar Ilmu Kesehatan Penyelaman.
2000. Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia.
Ch.3,p.11-31.
44. Bennet P and Elliot D. The Physiology and
Medicine of Diving 4th ed.
45. Feldmeier JJ. Hyperbaric Oxygen: Indication and
Results. 2003. The Hyperbaric Oxygen Therapy Committee
Report.
46. Manaf, E.Understanding Challenges through HBO
Therapy-From Pathology to Clinical Implication. On
symposium “Update on Hyperbaric Oxygen Therapy”. 2005,
October 1-2nd . Jakarta.
88
47. Huang KC , Tsai YT, Wei RW. Hyperbaric oxygen
therapy facilitates surgery on complex open elbow
injuries: Preliminary results. 2007. Journal of
Shoulder and Elbow Surgery;16(4);454-60.
48. Buettner MF, Wolkenhauer D. Hyperbaric Oxygen
Therapy in the Treatment of Open Fractures and Crush
Injuries. 2007. Radiology source;25(1);p.177-88
49. Strauss M. Crush injury, compartment syndrome and
other acute traumatic peripheral ischemias. In:
Hyperbaric Medicine Practice. Kindwall EP and Whelan
HT, eds. Best Publishing, Flagstaff, AZ 1999;753-778.
50. Strauss MB. Crush injury and Skeletal Muscle
Compartment Syndromes. 2003. The Hyperbaric Oxygen
Therapy Committee Report.
51. Jain KK.Hyperbaric Oxygenation in Traumatology
and Orthopedics in Textbook of Hyperbaric Medicine 2nd
ed. 1996. Kirkland: Hogrefe & Huber Publisher.
89