teori kritis dalam eksplanasi dan pembelajaran sejarah

23
Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembelajaran Sejarah Mu’ammar Ali Pradana Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang Abstrak Teori kritis merupakan sebuah teori yang berdasarkan pada kritik terhadap sebuah hubungan-hubungan sosial yang nyata. Teori kritis lahir dari para pemikir-pemikir dari Universitas Frankfrut, Jerman sehingga banyak menyebut merupakan sebuah madzhab Frankfrut. Ide besar yang melatar belakangi dari sekolah Frankfrut ini merupakan dari pemikiran Karl Marx. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Teori kritis mendorong seorang peneliti yang melakukan eksplanasi sejarah untuk dapat berfikir kritis, rasional, dan menjadi emansipatoris. Pembelajaran sejarah secara kritis diidentifikasi berorientasi kepada masalah, bercirikan egaliter, hasil dialogis antara guru dengan siswa dan dokumen kurikulum. Pembelajaran Sejarah secara kritis adalah melalui penerapan model-model pembelajaran yang berdasarkan pada permasalahan. Kata Kunci : teori, kritis, eksplanasi, pembelajaran, sejarah A. Teori Kritis Salah satu dari sekian banyak teori sosial yang ada salah satunya adalah teori kritis. Sesuai dengan namanya, teori kritis merupakan sebuah teori yang berdasarkan pada kritik terhadap sebuah hubungan- hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis

Upload: universitasnegerimalang

Post on 03-Apr-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembelajaran Sejarah

Mu’ammar Ali Pradana

Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang

AbstrakTeori kritis merupakan sebuah teori yangberdasarkan pada kritik terhadap sebuahhubungan-hubungan sosial yang nyata. Teorikritis lahir dari para pemikir-pemikir dariUniversitas Frankfrut, Jerman sehinggabanyak menyebut merupakan sebuah madzhabFrankfrut. Ide besar yang melatar belakangidari sekolah Frankfrut ini merupakan daripemikiran Karl Marx. Teori ini berusahamemberikan kesadaran untuk membebaskanmanusia dari irasionalisme. Dengan demikianfungsi teori ini adalah emansipatoris. Teorikritis mendorong seorang peneliti yangmelakukan eksplanasi sejarah untuk dapatberfikir kritis, rasional, dan menjadiemansipatoris. Pembelajaran sejarah secarakritis diidentifikasi berorientasi kepadamasalah, bercirikan egaliter, hasil dialogisantara guru dengan siswa dan dokumenkurikulum. Pembelajaran Sejarah secarakritis adalah melalui penerapan model-modelpembelajaran yang berdasarkan padapermasalahan.Kata Kunci : teori, kritis, eksplanasi,pembelajaran, sejarah

A. Teori Kritis

Salah satu dari sekian banyak teori sosial yang

ada salah satunya adalah teori kritis. Sesuai dengan

namanya, teori kritis merupakan sebuah teori yang

berdasarkan pada kritik terhadap sebuah hubungan-

hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis

merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam

konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan

emansipasi. Filsafat ini tidak mengisolasikan diri

dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis

merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial

yang nyata (Magnis, 1992:176).

Teori kritis lahir dari para pemikir-pemikir dari

Universitas Frankfrut, Jerman sehingga banyak menyebut

merupakan sebuah madzhab Frankfrut. Madzhab Frankfurt

(Frankfurt School) pertama kali muncul pada tahun 1923,

tetapi baru pada sekitar tahun 1930 aliran ini dikenal

di Jerman. Frankfurt School sering disebut dengan

banyak nama, diantaranya Teori Kritis, Madzhab

Frankfurt (Die Frankfuter Schule), atau Teori Kritik

Masyarakat (Kartono dkk., 2004:3). Sejak awal

kemunculannya, teori ini berkaitan dengan Sekolah

Frankfurt (Frankfurt School). Aliran Frankfurt atau sering

dikenal sebagai Madzhab Frankfurt (die Frankfurter Schule)

merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari

lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt.

Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi

sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan

konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan

mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.

Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada

tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata,

ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer

dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli

Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H.

Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm

(psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter

Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya (Sindhunata,

1990:20). Sedangkan Adorno, seperti dinyatakan William

Outhwaite, merupakan the most important thinker of the

Frankfurt School (Outhwaite, 1998: 2).

Selain mereka, dalam Lembaga Penelitian di

Frankfurt juga ada Frederich Polock (seorang ekonom),

Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (ilmu

kesusasteraan), Eric Fromm (psikolog), dan Karl August

Wittfogel. Keberadaan sarjana-sarjana dari belbagai

bidang keahlian dalam lembaga ini sejak semula

bertujuan agar persoalan-persoalan yang menyangkut

masyarakat dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang

ilmiah (Bertens, 1990: 176-177).

Untuk memahami gagasan teori kritis Aliran

Frankfurt kita perlu memahami perkembangan aliran itu.

Ada beberapa fase penting perkembangan aliran tersebut.

Pertama, fase pembentukan aliran, yaitu sekitar tahun

1923-1933 ketika penelitian-penelitian pertama

dilakukan di lembaga penelitian Frankfurt. Direktur

pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli

ekonomi, sejarahwan sosial. Grunberg berhasil

mengarahkan kajian-kajian teoritis Aliran Frankfurt

lebih berorintasi empiris dan menekankan pentingnya

pendekatan ekonomi maupun dalam mengkaji fenomena-

fenomena sosial.

Fase kedua, fase pengungsian anggota Aliran

Frankfurt ke Amerika Utara pada tahun 1933-1950. Dimasa

pengungsian ini, gagasan-gagasan teori kritis Neo

Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran kegiatan

berbagai lembaga Frankfurt. Horkhemeir menjadi direktur

pada fase ini. Dialah yang melakukan reorientasi

teoritis dan pendekatan yang kemudian menjadikan

kajian-kajian teoritis para pendahulunya. Pada fase

kepemimpinan Mark Horkheimer, Aliran Frankfurt mengubah

orientasi aliran dari yang bersifat ekonomis historis

versinya Grunberg menjadi orientasi filosofis. Hal

tersebut mengagasi atau menjadi dasar teori kritis

aliran Frankfurt yang mulai terbentuk secara jelas

ketika tokohnya kembali ke Jerman pada tahun 1950-an.

Fase ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai

pada awal 1950 sampai 1973. Pada fase ini, pengaruh

aliran ini mulai memudar dengan meninggalnya Adorno

tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973. Dengan kematian

dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt terhenti.

Aliran itu tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran

sosial. Pamornya sebagai avant garde intelektual nyaris

berahkir. Aliran ini mulai menapaki masa-masa jayanya

kembali dengan munculnya Jurgen Habermas, seorang

teoritisi terkemuka yang tetap melestarikan dan

mengembangkan teori dan metodologi para pendahulunya

(Musthofa, 2008:2).

Ide besar yang melatar belakangi dari sekolah

Frankfrut ini merupakan dari pemikiran Karl Marx. Sejak

semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai

sebagai titik tolak pemikirannya. Namun sekolah

Frankfurt juga meletakan dirinya dalam perspektif

idealisme Jerman, yang dirintis oleh Immanuel Kant

(kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel

(dialektika). Dan ketika Horkheimer menjabat direktur,

ia memasukan ajaran Freud ke dalam pemikiran sekolah

Frankfurt (Sindhunata, 1990:29). Sehingga dalam

perkembangannya tidak hanya pemikiran Marx yang menjadi

dasar dari pengembangan yang dilakukan oleh Sekolah

Frankfrut namun juga meliputi pemikiran krtitsisme

Kant, dialektika Hegel hingga Sigmund Freud.

Sebagai sebuah aliran pemikiran kontemporer,

madzhab Frankfurt telah memberikan sumbangsih yang tak

kalah pentingnya dengan pemikiran–pemikiran kontemporer

lainnya. Dimulai dari konteks historis berkembangnya

aliran tesebut, yang berkembang di Eropa Barat akibat

situasi perang dunia ke II memaksa orang-orang yang

tergabung di dalam madzhab tersebut untuk merevisi

ulang alur pemikiran Marx untuk menjelaskan situasi

yang mereka alami. Perjalanan tersebut mengakibatkan

mereka untuk mensintesiskan pemikiran Marx dengan teori

psikoanalisinya Sigmund Freud. Akan tetapi walaupun

demikian mereka tetap berpedoman kepada alur pemikiran

filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran

kritisi ideal Immanuel Kant sampai pada puncak

pemikiran kritis historis dialektisnya Hegel. Imbas

dari kolaborasi tersebut melahirkan teori kritis yang

mengedepankan pencerahan yang menyadarkan orang

terhadap proses penindasan dan ekploitasi manusia dalam

tatanan sosial (Musthofa, 2008:6).

Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor

utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor

ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti

politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga

mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu.

Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial

modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan

demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada

konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep

rasio manusia modern justru sangat bersifat

instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia

dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang

paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena

psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika

kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup

untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang

semakin kompleks.

Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak

berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk

sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran

untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan

demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Menurut

Horkheimer, teori kritis tidak lagi berpusing dengan

prinsip-prinsip umum, membangun pengetahuan yang kukuh

dan tertutup pada dirinya sendiri, seperti yang

dilakukan teori tradisional. Dari semuula Horkheimer

sudah menetapkan tujuan teori kritisnya yakni

memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari

masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan

pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional

tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan

kemampuannya (Sindhunata, 79-80).

Teori kritis mendorong manusia untuk selalu

menggunakan rasional mereka untuk melihat segala

sesuatu di sekitar mereka. Horkheimer menekankan pada

kekritisan individu dalam sebuah sistem sosial

masyarakat. Dengan sikap kritis dan rasionailas yang

dimiliki oleh seseorang akan menjadikannya menjadi

manusia yang emansipatoris. Hal ini berarti bahwa

manusia memiliki kebebasan untuk menggunakan

menggunakan sifat rasional mereka sehingga dapat

mendorong manusia dari sifat yang irasional.

Berdasarkan hal tersebut, Ciri teori kritis adalah

sebagai berikut :

1. Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis

mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan

penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.

Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.

2. Teori kritis berpikir secara historis, artinya

berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan

kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi

pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya

material-ekonomis.

3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan

jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang

dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang

terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut

Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah

menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memiliki

kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik

dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk

menjadi ideologi.

4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek,

pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari

rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio

praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio

instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau

sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa

teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori

kritis harus selalu melayani transformasi praktis

masyarakat (Musthofa, 2008:3).

Horkheimer mengajukan tiga syarat agar teori dapat

menjadi emansipatoris. Pertama, ia harus curiga dan

kritis terhadap masyarakat. Kedua, ia harus berfpikir

secara historis. Ketiga, ia harus tidak memisahkan

teori dan praksis. Horkheimer telah memperlihatkan

bahwa teori kritisnya yang memenuh tiga syarat

tersebut. Maka ia yakin bahwa teori kritisnya dapat

memberi kesadaran untuk menjebol keadaan masyarakat

yang irasional (Sindhunata, 1990:93). Sehingga untuk

mencipatakan yang emansipatoris yang berarti dalam hal

ini merupakan masyarakat yang bebas dalam menggunakan

sikap kritis dan sifat rasional tersebut haruslah

memenuhi ketiga syarat tersebut.

Teori kritis aliran Frankfurt ingin memperjelas

struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri

serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam

kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional. Teori

kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan

bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori

kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur

dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari

suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.

Secara garis besar, pokok-pokok pikiran Teori Kritis

dapat dicirikan sebagai berikut: pertama, bahwa

filsafat bukan hanya kontemplasi, yakni perenungan

tentang sesuatu yang tidak menyentuh realitas

kehidupan. Kedua, filsafat seharusnya dapat mengubah

masyarakat berupa pembebasan manusia dari hegemoni yang

timbul sebagai akibat dari pekerjaannya. Ketiga, objek

analisisnya adalah masyarakat masa kini, bukan

masyarakat ketika Marx masih hidup. Keempat, suatu

pencerahan sebagai upaya menyadarkan manusia tentang

kemajuan semu masyarakat industri yang dehumanis.

Kelima, menolak perubahan dengan cara revolusioner,

karena terbukti revolusi telah mengakibatkan hal-hal

yang lebih mengerikan dan suasana represi yang lebih

jahat (Kartono dkk., 2004:10)

Secara umum teori kritis dalam konteks ilmu sosial

dapat didefinisikan sebagai suatu proses kritis untuk

mendorong penyadaran orang agar memiliki kemampuan

untuk “menghadapi” kondisi struktural yang mendominasi,

menekan bahkan mengeksploitasi. Tampak jelas, bahwa

pendekatan teori kritis mempunyai komitmen yang tinggi

pada terbangunnya tata kehidupan sosial yang setara

(equal), berkeadilan dalam arti terbebas (misi

pembebasan) dari suatu sistem yang

mendominasi/diskriminatif, represif dan eksploitatif.

Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa ilmu sosial

mestinya bukan hanya sekadar memberi pemahaman atas

ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi

resources, melainkan seharusnya berusaha untuk ikut

membantu menciptakan kesetaraan dan kemajuan

(emansipasi) dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain

itu, teori kritis tampaknya juga memiliki keterikatan

moral untuk mengkritik status quo dan membangun

kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkeadilan

(Subekti, 2012:7).

Jadi, Teori Kritis berbeda dengan teori filsafat

tradisional yang hanya bersifat kontemplatif ataupun

‘lamunan’ yang jauh dari kehidupan manusia dalam

masyarakat yang nyata. Teori Kritis dipahami sebagai

teori pewaris Karl Marx, sebagai teori yang bersifat

materialis emansipatoris. Teori Kritis berusaha menjadi

praktis untuk melakukan perubahan terhadap segala

realitas yang dianggap menindas atau mengalienasi

manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat

emansipatoris bebas dari penindasan (Rozi, 2005:6).

B. Teori Kritis dalam Ekspalanasi Sejarah

Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam

teori kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang

menjadi proyek utama teori kritis pada seluruh bangunan

teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin

memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh

masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat

struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam

kebudayaan. Teori kritis ingin menjelaskan hubungan

manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio

instrumental. Teori kritis ingin membangun teori yang

mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual

sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang

rasionalitas (Musthofa, 2008:6).

Teori Kritis menolak pernyataan bahwa teori harus

objektif, hanya menggambarkan apa adanya mengenai

dunia, lepas dari subjektivitas manusia (Kartono dkk.,

2004: 84). Sehingga teori yang mengklaim dirinya

objektif justru sebenarnya tidak objektif karena fakta-

fakta sosial dibuat oleh manusia.

Dalam penulisan sejarah, subjektifitas memang

tidak pisah dipisahkan. Secara metodologis, sebuah

penelitian sejarah memiliki langkah-langkah yang harus

dilakukan. Penelitian sejarah, terdapat lima tahapan

diantaranya, pemilihan topik, pengumpulan data

(heuristik), verifikasi/kritik (kritik intern dan

ekstern), intepretasi dan historiografi (Kuntowijoyo,

1994: 90). Dalam langkah-langkah sebuah penelitian

sejarah tersebut salah satunya adalah mencakup

interpretasi. Tahap ini adalah proses peneliti untuk

menafsirkan sumber-sumber yang telah melalui proses

verifikasi baik secara ekstern maupun secara intern.

Tahapan ini bergantung bagaimana sejauh mana

intepretasi peneliti terhadap sumber tersebut.

Subjektifitas dan subjektifisme peneliti sangat

berpengaruh pada proses ini.

Penafsiran dalam sebuah penelitian sejarah memang

menjadi hal yang penting mrengingat dalam proses ini

dibutuhkan sebuah sikap kritis dari seorang peneliti

sejarah untuk melihat dan menelaah sumber-sumber

sejarah yang telah ia dapatkan sebelumnya. Teori yang

mendorong individu untuk menggunakan sikap kritisnya

dalam melihat dan menafsirkan segala fenomena-fenomena

dalam lingkungan mereka dapat menjadi acuan bagi

seorang peneliti sejarah untuk menangkap fenomena apa

yang dapat mereka lihat dari data-data historis dalam

penelitian yang mereka lakukan. Mereka tidak dapat

menerima begitu saja hal-hal yang mereka dapatkan tanpa

terlebih dahulu melakukan kritik didalamnya. Kritik

yang mereka lakukan dapat berupa kritik intern maupun

kritik ekstern. Dengan melakukan kritik tersebut dapat

membantu seorang peneliti untuk menentukan keabsahan

sumber, kebenaran sumber, dan apakah sumber tersebut

dapat dipercaya atau tidak.

Rasionalitas seorang peneliti juga diuji dalam

proses ini. Hal ini penting karena penafsiran yang

mereka haruslah masuk akal dan tidak bersifat

irasional. Maka dalam tahapan ini teori kritis

memberikan sumbangannya dalam hal membebaskan seseorang

individu untuk melihat segala sesuatunya secara

rasional dan mendorong mereka untuk lepas dari

irasionalitas. Eksplanasi sejarah yang dilakukan oleh

seorang peneliti yang akhirnya akan menciptakan sebuah

historiografi tentunya harus mempunyai dasar yang kuat

dan dapat diterima akal. Selain menggunakan sumber

sejarah baik berupa dokumen, prasasti, candi, lisan,

dan lain sebagainya yang dapat dipertanggungjawabkan

tentunya seorang peneliti dalam melakukan penafsiran

sumber tersebut tidak bisa melakukannya dengan

sesukanya. Dalam menafsirkan hal tersebut tentunya

peneliti harus menggunakan pemikiran yang diakronis

dimana hal tersebut berkaitan dengan kronologis yang

merupakan salah satu unsur penting dalam eksplanasi

sejarah. Disamping itu seorang peneliti sejarah dalam

menafsirkan sumber yang mereka dapatkan hruslah logis

dan sesuai dengan apa yang mereka teliti. Sifat

rasionalitas yang ditekankan oleh teori kritis dapat

menjadi acuan seorang peneliti sejarah dalam melakukan

eksplanasi historis.

Prinsip-prinsip teori kritis yaitu yang menekankan

pada kebebasan individu baik untuk mengkritisi hal-hal

apa saja yang mereka lihat dan rasakan serta bebas

untuk menggunakan pemikiran logis mereka dapat sehingga

dapat menjadikan mereka seorang emansipatoris juga

membantu seorang peneliti sejarah. Emansipatoris yang

ada dalam teori kritis dapat menjadi sebuah motivasi

seorang peneliti sejarah yang bebas, bebas untuk

berfikir, bebas untuk menuliskan penafsiran yang mereka

lakukan, dan bebas dari segala bentuk kepentingan.

Secara normatif, salah satu tujuan dari penulisan

sejarah memang berkaitan dengan hal-hal yang demikian.

Namun hal ini juga menjadi kelemahan dalam penelitian

sejarah. Kebebasan yang ditekankan dalam teori kritis

juga dapat menjadi permasalahan baru dalam penelitian

sejarah. Kebebasan seorang individu dalam melakukan

penulisan sejarah dapat menyebabkan terjadinya

kesimpangsiuran.

Dalam penulisan sejarah Indonesia misalnya menjadi

sebuah fakta tatkala penulisan sejarah terhadap sebuah

peristiwa tertentu mempunyai banyak versi yang dalam

konteksnya saling bertentangan. Perbedaan dalam

penulisan sejarah ini seringkali menimbulkan

pertentangan diantara para penulis sejarah Indonesia

itu sendiri. Mereka saling menyangkal dan menganggap

penulisan yang dilakukan oleh dirinya merupakan sebuah

kebenaran. Subjektifitas penulis memang menjadi

penyebab perbedaan penulisan sejarah Indonesia.

Peristiwa-peristiwa penting dan berdampak pada

masyarakat luas mulai dari politik, sosial, ekonomi,

dan budaya yang seringkali menjadi pertentangan dalam

penulisan sejarah.

Memang dalam penulisan dan pembelajaran sejarah

hal-hal yang demikian tidak dapat dihindari karena

pennulisan sejarah tidak pernah lepas dari

subjektifitas. Terkadang subjektifitas penulis dapat

menjadi bias tatkala opini yang mereka sampaikan

bertentangan dengan fakta-fakta dari objek penelitian

mereka sendiri. Memang subjektifitas penulis tak bisa

lepas dari penulisan sejarah karena dengan

subjektifitasnya itu sendiri fakta-fakta sejarah itu

mereka tafsirkan. Sebagai ilmu, tentunya sejarah

mempunyai sebuah etika dan disiplinnya yang secara

langsung maunpun tidak langsung mengikat mereka saat

melakukan penulisan sejarah. Etika dan disiplin itu

sendiri yang akan menjaga kualitas sebuah tulisan

apakah menjadi tulisan yang ilmiah atau tidak ilmiah.

Sejarah memang dapat digunakan sebagai sarana doktrin,

pembelaan, pembenaran, menuding kesalahan, dan

menyudutkan lawan namun dengan disiplin itu sendiri

sejarah harusnya menjadi sebuah pencerahan bagi

pembacanya tentang sebuah kajian yang seobjektif

mungkin.

C. Teori Kritis dalam Pembelajaran Sejarah

Secara historis, pedagogy kritis (critical pedagogy)

dipersepsi sebagai realisasi dari teori kritis (critical

theory) dari para pemikir Frankfurt School yang

diaplikasikan di sekolah (Supriatna, 2007:1).

Pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkait

secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial di

mana pendidikan itu diselenggarakan. Dalam hal

pendidikan sebagai proses pembebasan, konteks sosial

sebagai penyebab yang juga menyebabkan dehumanisasi dan

keterasingan saat penyelenggaraan pendidikan, menjadi

tidak terlepas sangat menentukan. Untuk mendorong

proses belajar menjadi peka terhadap persoalan

ketidakadilan sosial pada era global ini, diperlukan

perumusan visi dan misi yang sesuai dengan perkembang

formasi sosial serta menentukan bagaimana keberpihakan

terhadap proses ketidakadilan sosial dan

menerjemahkannya sehingga dapat diaplikasikan dalam

metodologi, dalam penyelenggaraan proses belajar

mengajar. Dalam perspektif kritis, melakukan refleksi

kritis merupakan tugas pendidikan. Pendidikan tidak

mungkin dan tidak bisa netral, objektif maupun

“detachment” dari kondisi masyarakat. Untuk itu,

diperlukan kemampuan menciptakan ruang agar muncul

sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan

sosial serta pengdekonstruksian terhadap diskursus yang

dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih

adil. Visi kritis pendidikan yang dominan sebagai

pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas

untuk sistem sosial baru dan lebih adil menjadi agenda

pendidikan (Rozi, 2005:8).

Pembelajaran sejarah secara kritis diidentifikasi

berorientasi kepada masalah, bercirikan egaliter, hasil

dialogis antara guru dengan siswa dan dokumen kurikulum

(Supriatna, 2007:5). Teori kritis dapat membantu

pembelajaran sejarah dengan konsep-konsep yang mereka

usung yaitu kritis terhadap kondisi, menngunakan

pemikiran yang rasional, dan dialektis. Pembelajaran

sejarah apabila diterapkan dengan menggunakan konsep-

konsep tersebut maka siswa tidak lagi dilihat sebagai

objek melainkan subjek dalam pembelajaran. Guru dapat

mendorong siswa untuk kritis terhadap pembelajaran yang

mereka dapatkan dan mereka lakukan. Guru tidak menjadi

kunci dalam pembelajaran yang dapat menyebabkan sikap

kritis siswa tidak muncul. Dalam pembelajaran guru

memiliki peran untuk memandu siswa dalam menentukan

arah pembelajaran yang akan mereka lakukan. Setelah

merangsang siswa untuk dapat bersikap kritis maka guru

harus menumbuhkan pemikiran yang rasional dalam diri

siswa sehingga sikap kritis tersebut mengarah pada

pemikiran rasional mereka.

Memang dalam perjalanannya, kurikulum yang

diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak

selamanya dapat menunjang hal-hal yang disebutkan di

atas. Sejak kurikulum pendidikan mulai diterapkan

pembelajaran sejarah di sekolah mengalami pembatasan.

Hal ini terjadi karena pemerintah mengeluarkan sebuah

buku induk pembelajaran sehingga hal-hal yang

bertentangan dengan buku tersebut dianggap menyimpang

dan bertentangan. Namun dewasa ini hal-hal tersebut

mulai bergeser. Dalam beberapa dekade pasca

kemerdekaan, pembelajaran sejarah di Indonesia,

dituntun oleh dokumen kurikulum yang terpusat (lihat

dokumen kurikulum 1975, 1984, 1994) dengan bercirikan

pengembangan disiplin ilmu yang menekankan pada materi

(bahan ajar) sehingga berkesan mementingkan sisi

esensialisme, yang fokus pada kebesaran masa lalu

bangsa (positivisme), dan sistem evaluasi pada

penekanan ranah kognitif (positivisme). Baru pada

dokumen kurikulum 2004 yang kemudian diperbaiki menjadi

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), paradigma

tersebut mulai bergeser paling tidak by design, dengan

otonomi yang diberikan kepada pihak sekolah dan guru

untuk mengaplikasikan kurikulum yang berorientasi

kepada siswa dan masyarakat lingkungannya (Supriatna,

2007:13).

Alternatif yang dapat dipilih dalam pembelajaran

Sejarah secara kritis adalah melalui penerapan model-

model pembelajaran yang berdasarkan pada permasalahan.

Kemudian, pengajaran dan pembelajaran kontekstual

melalui pembelajaran sejarah secara kritis, diharapkan

para peserta didik adalah mereka yang unggul dalam

sisi kreativitas, kapabilitas dan tangguh dalam

menghadapi permasalahan kontemporer, melalui dialog

dengan masa lalunya, sehingga memperoleh pemahaman

yang holistik tentang keberadaannya sebagai anak jaman

yang tidak terputus dari memori kolektif bangsa ini.

Hal ini dimungkinkan mengingat pembelajaran Sejarah

kritis berdasar kepada pengakuan kedudukan guru-murid

yang egaliter, komunikasi yang dialogis dan kajian

sejarah berdasar kepada permasalahan (problem oriented)

(Yulifiar, tanpa tahun:5). Dengan meninggalkan model

dan metode pmbelajaran yang kuno dan lebih memilih

model dan metode pembelajaran yang inovatif serta dapat

mendorong siswa untuk dapat berpikir kritis dan

rasional dapat dipilih oleh seorang guru dalam

pembelajaran sejarah di sekolah.

Menggunakan alternatif pembelajaran dapat dipilih

oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah. Seorang

siswa yang dapat berfikir kritis dan juga memiliki

pemikiran yang rasional dapat menjadi sebuah fondasi

awal dalam menciptakan generasi yang lebih unggul.

Apabila sejak awal seseorang diajarkan untuk dapat

berpikir logis dan kritis maka kedepan mereka dapat

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari setelah

mereka lepas dari dunia pendidikan formal. Pendidikan

inovatif yang tidak monoton dan tertutup dapat

menciptakan sebuah individu yang dapat mengaplikasi

ilmu dan konsep yang mereka dapat dalam pendidikan

formal untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemikiran-pemikiran Teori Kritis tersebut bila

diterapkan dalam dunia pendidikan akan memberikan

beberapa ciri pokok. Pertama, karena manusia dipandang

sebagai subjek yang mempunyai kehendak yang mampu

mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah, ini dapat

membawa pada orientasi bahwa dalam pendidikan, manusia

akan mendapat perhatian besar. Kedua, dengan

menumbuhkan kesadaran melalui rasio, Teori Kritis

mempunyai sifat membebaskan masyarakat dari penindasan

yang sifatnya semu. Ketiga, cara berpikir dialektika

dalam Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem

pendidikan akan menekankan pada orientasi bahwa subjek

didik mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu

kesadaran yang tidak abstrak belaka (Rozi, 2005:7).

D. Kesimpulan

Secara umum teori kritis dalam konteks ilmu sosial

dapat didefinisikan sebagai suatu proses kritis untuk

mendorong penyadaran orang agar memiliki kemampuan

untuk “menghadapi” kondisi struktural yang mendominasi,

menekan bahkan mengeksploitasi. Teori Kritis menyatakan

bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak

terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-

faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan

yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat

dan individu. Teori Kritis berusaha menjadi praktis

untuk melakukan perubahan terhadap segala realitas yang

dianggap menindas atau mengalienasi manusia, dengan

tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas

dari penindasan.

Teori Kritis berusaha menjadi praktis untuk

melakukan perubahan terhadap segala realitas yang

dianggap menindas atau mengalienasi manusia, dengan

tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas

dari penindasan. Teori kritis mendorong individu untuk

menggunakan sikap kritisnya dalam melihat dan

menafsirkan segala fenomena-fenomena dalam lingkungan

mereka dapat menjadi acuan bagi seorang peneliti

sejarah untuk menangkap fenomena apa yang dapat mereka

lihat dari data-data historis dalam penelitian yang

mereka lakukan. Sifat rasionalitas yang ditekankan oleh

teori kritis dapat menjadi acuan seorang peneliti

sejarah dalam melakukan eksplanasi historis.

Dengan meninggalkan model dan metode pmbelajaran

yang kuno dan lebih memilih model dan metode

pembelajaran yang inovatif serta dapat mendorong siswa

untuk dapat berpikir kritis dan rasional dapat dipilih

oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah di

sekolah. Menggunakan alternatif pembelajaran dapat

dipilih oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah.

Seorang siswa yang dapat berfikir kritis dan juga

memiliki pemikiran yang rasional dapat menjadi sebuah

fondasi awal dalam menciptakan generasi yang lebih

unggul. Apabila sejak awal seseorang diajarkan untuk

dapat berpikir logis dan kritis maka kedepan mereka

dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari setelah

mereka lepas dari dunia pendidikan formal.

Daftar Rujukan

Bertens, K. 1990. Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman.

Jakarta: Gramedia.

Kartono, D. T. & Jaya, Fajar H.I. 2004. Lubang Kecil

Menuju Teori Kritis. Surakarta: Pustaka Cakra.

Kuntowijoyo. 1994. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya.

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis.

Yogyakarta: Kanisius

Musthofa, Chatib. 2008. Teori Kritis Madzhab Frankfurt.

Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Outhwaite, W.. 1998. “Adorno, Theodor Wiesengrund” dalam

Stuart Brown dkk. (ed.), One Hundred Twentieth-Century

Philosophers. London & New York: Routledge.

Rozi, Achmad Bachrur. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Teori

Kritis (ke Arah Kontekstualisasi Pendidikan yang Membebaskan).

Sindhunata. 1990. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik

Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer dalam Rangka Sekolah

Frankfurt. Jakarta: Gramedia.

Subekti, Slamet. 2012. Tinjauan Kritis terhadap Kecenderungan

Historiografi Indonesia Masa Kini. Semarang: Universitas

Diponegoro

Supriatna, Nana. 2007. Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis.

Bandung: Historia Utama Press.

Yulifiar, Leli. Tanpa Tahun. Reinterpretating Pembelajaran

Sejarah Kritis dalam Rekonstruksi Strategi Pendidikan Sejarah.

Jakarta: FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.