s1 2015 282433 chapter

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, studi-studi akademis mengenai fenomena LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender telah semakin ramai. Hal tersebut dipicu oleh banyaknya fenomena pemberitaan maupun aktivitas dari anggota LGBT sendiri. Kemudian diangkatnya wacana atau sosok LGBT dalam media populer sehingga masyarakat semakin familiar. Hal tersebut turut meramaikan pembahasan LGBT sekarang ini. Dalam disiplin ilmu Antropologi sendiri ada banyak karya berkaitan tentang gender dan seksualitas. Salah satu karya paling mengemuka tentang Gay, terutama di Indonesia, adalah Tom Boellstorff dengan Gay Archipelago (2005). Studi-studi tentang seksualitas yang ada berarti penting dengan memperkenalkan tiga terminologi penting menyangkut seksualitas manusia yaitu; identitas gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual (Mulia, 2010). Namun nampaknya, studi akademis tadi kurang bisa merasuk ke masyarakat luas guna memberi mereka pemahaman permasalahan gender atau tiga terminologi tersebut. Hingga masyarakat luas kurang mengerti tentang pemahaman seperti apa itu lesbian, gay 1 , biseksual dan transgender. Sehingga mereka kerap mencampur adukkan istilah tersebut dengan pemahaman yang salah. Yang terjadi kemudian, masyarakat luas 1 Gay adalah istilah lain dari Homoseksual dan populer di negara barat dan lantas diserap secara utuh di Indonesia. Periksa kembali Boelstorff, Tom. 2005. Gay Archipelago. Priceton and Oxford, USA.

Upload: independent

Post on 26-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, studi-studi akademis mengenai fenomena LGBT atau Lesbian,

Gay, Biseksual dan Transgender telah semakin ramai. Hal tersebut dipicu oleh

banyaknya fenomena pemberitaan maupun aktivitas dari anggota LGBT sendiri.

Kemudian diangkatnya wacana atau sosok LGBT dalam media populer sehingga

masyarakat semakin familiar. Hal tersebut turut meramaikan pembahasan LGBT

sekarang ini.

Dalam disiplin ilmu Antropologi sendiri ada banyak karya berkaitan

tentang gender dan seksualitas. Salah satu karya paling mengemuka tentang Gay,

terutama di Indonesia, adalah Tom Boellstorff dengan Gay Archipelago (2005).

Studi-studi tentang seksualitas yang ada berarti penting dengan memperkenalkan

tiga terminologi penting menyangkut seksualitas manusia yaitu; identitas gender,

orientasi seksual, dan perilaku seksual (Mulia, 2010). Namun nampaknya, studi

akademis tadi kurang bisa merasuk ke masyarakat luas guna memberi mereka

pemahaman permasalahan gender atau tiga terminologi tersebut. Hingga

masyarakat luas kurang mengerti tentang pemahaman seperti apa itu lesbian, gay1,

biseksual dan transgender. Sehingga mereka kerap mencampur adukkan istilah

tersebut dengan pemahaman yang salah. Yang terjadi kemudian, masyarakat luas

1 Gay adalah istilah lain dari Homoseksual dan populer di negara barat dan lantas diserap secara utuh di Indonesia. Periksa kembali Boelstorff, Tom. 2005. Gay Archipelago. Priceton and Oxford, USA.

2

bahkan mahasiswa sebagai kalangan akademisi masih melahirkan stigma

pandangan buruk terhadap anggota komunitas LGBT.

LGBT tidak mengenal batasan usia, jenis kelamin, status sosial maupun

pekerjaan bahkan agama. Dua tahun lalu atau tahun 2012 adalah masa

dipertemukannya saya dengan isu LGBT terutama gay. Alasan kala itu tak lain

karena ingin mengetahui seperti apa dinamika permasalahan LGBT khususnya

gay secara langsung. Isu tersebut dipilih setelah mengamati masih adanya

tindakan pemberian stigma pada kalangan LGBT. Di kesempatan magang itulah

saya dipertemukan secara khusus dengan komunitas gay. Sebuah kesempatan

yang cukup mengejutkan. Sebab apa yang dibayangkan tentang gay melalui cerita

dan pandangan masyarakat sungguh berbeda. Penampilan luar mereka tidak ada

beda dengan saya. Mereka tidak kemayu rese’ menggoda seperti dalam sinetron

atau program komedi. Tidak pula memakai baju dengan warna mencolok mata.

Sangat berbeda dari gambaran gay yang kerap muncul di layar kaca.

Komunitas ini bernama HIMAG atau Himpunan Mahasiswa Gay.

Selanjutnya diketahui berbasis universitas tempat anggotanya menimba ilmu.

Bayangkan menjadi mahasiswa dengan kehidupan kampus yang menuntut waktu,

fikiran dan tenaga. Diluar itu, masih dihadapkan pada persoalan status atau

identitas gay-nya. Maka muncul rasa penasaran, bagaimana kehidupan para

mahasiswa ini?

Berdasarkan kesamaan status kemahasiswaan, seketika memori mengenai

isu homoseksual di sekitar penulis muncul. Terkadang saat beberapa kawan

bercerita mengenai hal tersebut sering kali disertai opini sinis tentang keberadaan

3

mereka. Dan tak jarang mucul olokan yang ditujukan pada anggota LGBT

khususnya gay. Hal-hal seperti ini, opini pribadi akan ketidaksukaan pada gay

atau LGBT secara umum, kemudian bergulir menjadi opini publik melahirkan

pandangan gay itu mengganggu dan membahayakan apalagi jika ia dalam

lingkungan kampus. Dengan anggapan utama gay dapat menular, serta dengan

sengaja menularkan. Artinya, masih ada mispersepsi publik terhadap persoalan

LGBT.

Masih adanya pandangan buruk masyarakat membuat mahasiswa gay mesti

sedikit mlipir alias menyingkir atau menepi. Mereka kemudian tidak bebas

memilih kawan, juga tidak leluasa berekspresi sebagai bagian masyarakat

kampus. Akibatnya mahasiswa gay ini harus berhati-hati jika ingin berekspresi.

Bahkan dalam dalam mencari teman cerita, tidak sembarang orang dapat

dijadikan tempat curhat yang baik. Maka dicarilah solusi paling baik menurut

mereka, bahwa mereka harus mencari dan mendapatkan teman sesama gay di

kampus.

Dimulailah masa mencari teman sesama gay dalam lingkungan kampus

mereka. Mencari teman sesama gay dilakukan dengan berbagai cara, umumnya

menggunakan jejaring sosial internet atau melalui kolega-kolega yang ada. Bukan

dengan mendatangi seseorang secara acak lantas menodong pertanyaan, bukan

pula asal mengubah seseorang menjadi gay. Keberadaan teman sesama gay

didasari butuhnya dukungan kawan senasib sependeritaan, agar ada teman berbagi

sekaligus tempat mengadu. Setelah mendapatkan teman sesama gay, pertemuan-

pertemuan pun terjadi. Individu yang awalnya tidak saling mengenal dapat

4

bertemu kawan baru, bahkan tidak menutup kemungkinan mendapatkan kekasih

dari pertemuan ini. Atas dasar itu muncul wacana membuat perkumpulan khusus

mereka dalam lingkup universitas. Hingga muncul lah HIMAG atau “Himpunan

Mahasiswa Gay”. HIMAG pertama muncul di universitas negeri terbesar di

Yogyakarta pada tahun 2011. Disusul setahun kemudian muncul di universitas

negeri lain di Yogyakarta tahun 2012.

HIMAG telah berdiri dan memiliki anggota. Anggotanya pun tersebar di

berbagai fakultas dan jurusan. Lantas dimana mereka bertemu? Untuk mengatur

pertemuan, apalagi membuat pertemuan di dalam kampus, masih menjadi

tantangan bagi mereka. Kembali lagi pada persoalan stigma. Mereka ragu dan

mungkin sedikit takut untuk langsung terbuka. Sarana alternatif yang dianggap

baik adalah melalui media jejaring sosial alias internet2. HIMAG memiliki grup

khusus anggotanya di situs Facebook yang tidak semua orang gampang temukan.

Pun berusaha maksimal, Facebook ini tidak selalu mengakomodir kebutuhan

komunikasi bersama. Tidak semua anggota merasa dapat dengan cepat mengakses

informasi terkait HIMAG. Maka dibutuhkan alternatif lain agar informasi sampai

lebih cepat. Aplikasi chatting atau obrolan digital bernama Line Mesengger

kemudian dipilih sebagai ruang interaksi dan komunikasi. Dunia maya dianggap

mampu menghadirkan sedikit rasa aman bagi mereka berkomunikasi. HIMAG

kini hadir dengan bentuk samar-samar, tersembunyi apik dalam jejaring sosial,

pertemuan terbatas dan jauh dari tempat-tempat ramai kampus. Kesamaran ini

2 Periksa kembali tulisan Andini, Maria. 2003. Deskriptif Penggunaan Internet Sebagai Media Komunikasi Komunitas Gay di Yogyakarta. (Skripsi) Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta.

5

yang membuat HIMAG kembang kempis dalam pembentukan dirinya, anggota

yang tidak menentu hingga masih sulitnya menunjukan jati diri ditengah stigma

masayarakat kampus.

Selain itu, posisi sebagai mahasiswa memberikan tekanan tersendiri.

Mahasiswa memiliki status sosial yang cukup tinggi di tengah masyarakat. Sebab

identitas mahasiswa yang melekat diharapkan mampu menjadi 1) Iron Stock,

diartikan sebagai stok generasi penerus bangsa yang tangguh, bermoral dan

berintelektual. Karena itulah mahasiswa wajib menggali ilmu sebanyak-

banyaknya juga memiliki kepekaan sosial. 2) Guardian of Values, mahasiswa

sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat seperti kejujuran, integritas, adil,

berempati, tentu dengan pemikiran-pemikiran ilmiahnya. 3) Agent of Change,

mahasiswa sebagai penggerak agar masyarakat bergerak ke arah yang lebih baik

melalui aplikasi keilmuan, gagasan dan pengetahuan yang dimiliki. 4) Moral

Force, diharapkan dengan tingkat intelektual dan pemikiran ilmiah serta

pengetahuan yang dimiliki sebanding pula dengan moralnya. Agar dapat dijadikan

contoh kebaikan bagi lainnya. Terakhir, 5) Social Control, melalui kemampuan

intelektual, kepekaan sosial dan sikap kritisnya, mahasiswa diharapakan mampu

berperan dalam kontrol sosial lewat kritik, saran serta solusi dalam berbagai

permasalahan sosial3.

3 Sumber : http://bem.stan.ac.id/news/peran-fungsi-mahasiswa/ Diakses kembali pada 12 Oktober 2014.

6

B. Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai gender, seksualitas maupun LGBT bukan sesuatu hal

“langka” dalam ilmu Antropologi. Telah banyak ahli Antropologi yang

melakukan penelitian mengenai LGBT atau Gay secara khusus. Maka dapat

dibilang saya hanya pengekor jejak tulisan mereka. Namun dalam lingkup

mahasiswa Antropologi Budaya UGM sendiri, masih sedikit yang menyinggung

permasalahan gay. Penelitian skripsi terakhir yang mengangkat tema

Homoseksualitas yakni “Homoseksualitas, Masyarakat dan Negara” ditulis oleh

Fitria Dyah Anggraeni, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Gadjah Mada tahun 2005. Penelitian ini menilik kembali posisi

anggota komunitas LGBT dalam hal ini pola relasi gay dalam masyarakat dan

negara, terkait dengan perundang-undangan yang tidak menguntungkan posisi

mereka dalam masyarakat. Penelitian tersebut dilaksanakan dengan

memperhatikan kembali apa saja undang-undang serta kebijakan negara yang

sekiranya merugikan kelompok gay.

Sedangkan penelitian lain terkait LGBT adalah “Dari Waria Untuk Waria”

ditulis oleh Pattar Febriandi, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Gadjah Mada tahun 2012. Meskipun terkait dengan isu LGBT namun

tulisan ini menitik beratkan pada persoalan waria antara lain langkanya akses

pekerjaan sektor formal, hak kesetaraan di mata hukum dan negara. Tulisan ini

menjelaskan peran dan fungsi LSM Kebaya terkait masalah-masalah yang

merundung anggotanya. Masih adanya ruang untuk mendiskusikan lebih dalam

persoalan Gay ini kemudian menggerakkan sekaligus meyakinkan saya untuk

mengangkat tema LGBT guna penulisan skripsi.

7

Mengenai apa itu gay atau homoseksual saya menggunakan penjelasan

Suryakusma4, yakni adalah sebuah orientasi seksual, yang mengacu pada

ketertarikan secara emosional dan seksual kepada sesama jenis baik untuk laki-

laki dan perempuan. Orientasi seks ini termasuk dalam bahasan mengenai

seksualitas, dimana seksualitas itu mencakup seluruh kepribadian, dan sikap atau

watak sosial berkaitan dengan perilaku seks dan orientasi seksual (Suryakusuma,

1991)

Sedangkan gay adalah istilah yang diberikan kepada laki-laki homoseksual.

Istilah ini diberikan sebagai pembedaan fenomena homoseksual bagi laki-laki dan

perempuan homoseksual. Pemberian istilah terkait pula dengan peran serta

identitas gender dan seksual biologis. Identitas gender berupa kesadaran mengenai

konsep gender dirinya lantas diwujudkan dengan cara ia memperlakukan diri

sendiri . Kesadaran identitas seksual biologis adalah berdasarkan perbedaan jenis

kelamin, penis menunjukan laki-laki dan vagina menunjukan perempuan.

Sedangkan identitas gender berimbas pada ekspresi gender. Ekspresi gender

adalah pengalaman panjang yang dialami seseorang lewat pikiran dan tubuh,

kemudian lanjutkan dengan caranya berlaku, berpakaian dan berinteraksi5.

Ketidakpahaman masyarakat akan pembagian istilah dalam gender dan

seksualitas melahirkan tindak kekerasan baik verbal maupun fisik. Kekerasan

bukan hanya diterima oleh anggota komunitas LGBT, namun dapat pula menimpa

orang yang peduli akan permasalahan tersebut. Pada bulan Mei tahun 2012 terjadi

tindak kekerasan berupa perusakan dan pengusiran oleh sejumlah organisasi

4 Suryakusuma. 1991. Dalam Prisma 7, hal: 5-6 5 Majalah Gaya Nusantara vol.07 Tahun 2007

8

masyarakat atau ormas pada peserta diskusi buku “Allah, Liberty and Love”

tulisan Irshad Manji di Yogyakarta6. Buku ini mencoba mengkritisi kembali posisi

konsep religiusitas guna mengakomodir anggota LGBT. Sontak diskusi yang

bahkan belum berjalan terpaksa batal. Diskusi serupa di Universitas Gadjah Mada

pun dibatalkan oleh rektor saat itu atas alasan keamanan7. Tindakan penyerangan

oleh sejumlah ormas serta pelarangan diskusi oleh Rektor UGM kala itu

menunjukan pemahaman yang masih kurang akan gender dan seksualitas di

masyarakat. Sehingga sedikit saja menyinggung permasalahan LGBT mampu

menimbulkan reaksi berlebih. Tak lain karena masyarakat menciptakan kembali

konsep baik dan buruk dalam pola perilaku dengan berpegangan pada nilai-nilai

agama. Dalam hal ini, masyarakat luas beranggapan homoseks dan gay adalah

sebuah dosa. Kejadian semacam ini bukanlah yang pertama, dahulu sebuah

seminar yang mengangkat isu-isu LGBT di Kaliurang pada tahun 2000 mendapat

serangan dari kelompok keagamaan yang mengatakan pertemuan seminar tersebut

sebagai sebuah perbuatan maksiat. Sebab munculnya tindakan represif dipahami

sebagai bentuk pemahaman masyarakat yang telah lama menerima heteroseksual

sebagai suatu kebenaran alami dan normal. Didukung pula oleh negara yang

secara publik menghubungkan agama yang diakui dengan penerimaan secara

nasional (Bowen, 2003; dalam Boellstorff, 2005). Juga kebijakan keluarga

berencana yang dahulu sempat menyebar luas, makin menegaskan bahwa bangsa

ini tersusun dari keluarga inti heteroseksual (Suryakusuma, 1996; dalam

6http://regional.kompas.com/read/2012/05/09/21341758/Ormas.Bubarkan.Diskusi.Irshad.Manji.di.Yogyakarta | Diakses kembali pada 26 Desember 2013 7 http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402606/Rektor-UGM-Larang-Diskusi-Irshad-Manji | Diakses kembali pada 26 Desember 2013

9

Boellstorff, 2005).Hal tersebut membuat homoseksual bukan bagian identitas

nasional (Dwyer, 2000). Akibatnya tentu saja diluar bentuk-bentuk tersebut

dianggap sebagai penyakit, mengakibatkan masyarakat terbiasa melanggengkan

sikap dan nilai homofobia (Mulia, 2010). Kuatnya pemahaman dan sikap

homofobia juga terbentuk sebagai gagasan budaya (Davis, 1991). Disadari atau

tidak perlakuan diskriminatif dalam masyarakat akan menimbulkan penderitaan

para gay dan membuatnya semakin terasing atau termarjinalkan (Maunah, 2004).

Serangkaian stigma, diskriminasi, penolakan bahkan penyerangan oleh

oknum tertentu terkait gerakan LGBT semakin memperbesar tekanan yang

dihadapi oleh anggota komunitas itu sendiri. Keadaan ini mengakibatkan

ketidaknyamanan dalam bermasyarakat. Bukan hanya mereka yang terbuka

tergabung dalam komunitas pergerakan, namun juga para gay yang masih in the

closet8 akan makin takut jika harus berterus terang. Namun mengapa anggota

komunitas LGBT masih saja menolak perlakuan tersebut? Berikut gambaran alam

hirarki kebutuhan menurut Abraham Maslow:

1.Fisik : udara, air, makanan, pakaian, seks, dan biologis lainnya

2.Keselamatan, kemanan, rasa bebas ancaman dan ketakutan

3.Kebutuhan bermasyarakat, berkelompok sebagai anggota masyarakat

4.Kebutuhan penghormatan pribadi

8 In The Closet ini adalah istilah populer merujuk pada gay yang masih bersembunyi dari masyarakat karena orientasi seksualnya. In The Closet, atau “di dalam lemari” mengartikan para gay ini sembunyi, merasakan ketakutan, sekaligus mencari perlindungan diri dari dunia luar yang menolaknya.

10

5.Kebutuhan penghormatan atas pribadi dan kecukupan

(Maslow,1943 dalam Gibson dkk, 1996. Hal.189-190)

Diskriminasi yang tak jarang disertai tindakan kekerasan, pelabelan dosa

dengan membawa dalil agama, membuat mereka tidak mempunyai rasa aman

dalam hidup bermasyarakat. Padahal rasa aman adalah hak asasi paling dasar bagi

manusia jika melihat dalam tabel Maslow diatas. Artinya, isu utama bagi posisi

eksistensi gay sebagai anggota masyarakat adalah pengakuan dan rasa aman

dalam bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Weeks dalam Sex, Politics

and Society, dari semua variasi perilaku seksual yang ada, homoseksualitas

memiliki tekanan sosial paling jelas, juga catatan sosial paling jelas. Hal ini,

seperti juga banyak ahli seksologi dari Haverlock Ellis sampai Alfred Kinsey

telah dicatat, dari bentuk paling tertutup pada norma heteroseksual di kebudayaan

kita, dan sebagian karena hal tersebut sering menjadi target dari dominasi sosial

yang berlanjutan (Weeks, 1989 : 96).

C. Rumusan Permasalahan

Uraian di atas telah menunjukan bagaimana posisi gay sebagai bagian

masyarakat yang termarjinalkan. Termarjinalkan berdasarkan pilihan orientasi

seksual mereka. Terkait persoalan stigma dan diskriminasi, dan belum ada

pengakuan resmi masyarakat luas menyulitkan perjalanan mereka dalam

menyuarakan identitas. Dalam lingkup kampus pengalaman tersebut terulang

kembali, namun mahasiswa gay kini telah membentuk HIMAG sebagai wadah

11

berkumpul dengan berbagai kegiatannya. Maka muncul pertanyaan “Bagaimana

cara HIMAG mewujudkan eksistensi identitas gay mereka di kampus?”.

Pertanyaan besar ini akan dijawab dengan pertanyaan pula, yaitu:

1. Mengapa para anggota ingin bergabung dengan HIMAG?

2. Bagaimana bentuk interaksi dan komunikasi dalam HIMAG?

3. Apa manfaat bergabung dengan HIMAG?

D. Kerangka Pemikiran

Studi pembahasan gender dan seksualitas makin marak kalangan akademisi

maupun masyarakat luas. Artinya perhatian masyarakat mengenai isu gender dan

seksualitas tengah meningkat. Hal ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk

sama-sama berdiskusi dan membahas permasalahan terkait gender dan seksualitas

lebih luas lagi.

Homoseksual adalah ketertarikan secara emosional juga seksual kepada

sesama jenis (baik untuk laki-laki maupun perempuan) dimana ketertarikan

tersebut tidak selalu diwujudkan dalam berhubungan seksual penis-anus (Oetomo,

1996). Hubungan seksual penis-anus bukan eksklusif milik pasangan gay, ini

berupa satu dari banyak variasi perilaku seksual yang dapat juga ditemukan pada

kalangan heteroseksual9. Artinya selama seseorang memiliki keterarikan

emosional terhadap sesama jenis maka ia punya sikap atau perilaku homoseksual

9 Dalam kesempatan wawancara pribadi dengan Mbak Feri, Kord. Div. Gay PKBI DIY (2012) dan

Mbak Renata PLUSH (2014).

12

dalam dirinya10. Sedangkan heteroseksual adalah kebalikan dari homosesksual,

atau ketertarikan seksual terhadap lawan jenis. Laki-laki pada perempuan dan pula

sebaliknya. Sedangkan biseksual hadir diantara homoseksual dan heteroseksual,

maka posisi biseksual bila digambarkan akan menjadi seperti ini; “heteroseksual –

hiseksual – homoseksual” (Oetomo, 2003). Biseksual menjadi diskursus tersendiri

bagi kalangan LGBT akibat posisinya yang berada di tengah-tengah. Tidak

Heteroseksual namun tidak pula Homoseksual sepenuhnya. Ini disebabkan sifat

ketertarikan pada dua jenis kelamin yang sama kuat pada Biseksual.

Seperti yang telah diuraikan diatas, gay adalah istilah yang merujuk pada

lelaki homoseksual, sedangkan lesbian untuk perempuan homoseksual. Pemberian

istilah ini mengacu pada persoalan identitas gender serta orientasi seksual yang

meliputi emosional, pola pikir dan perilaku dari laki-laki atau perempuan

homoseksual. Pada perkembangannya istilah gay diartikan bersifat meriah, riang,

cerah dan penuh kehebohan dalam kamus Merriam Webster11. Sikap meriah,

riang, dan cerah yang melekat gay diartikan juga sebagai bentuk keberanian

mereka untuk memunculkan diri di masyarakat, dan memposisikan diri dalam tren

budaya populer (Gauntlett, 2002). Sayangnya sikap riang, meriah, cerah serta

keterbukaan kebanyakan gay ini membangun persepsi yang salah dalam

masyarakat, yakni disamakan dengan waria (Oetomo, 2003). Penyamarataan gay

dengan waria lantaran masyarakat tidak bisa menerima keberadaan lelaki, yang

kadang kemayu atau bertingkah feminin (Budiman, 2000) sebab dianggap tidak

10 Lihat skala Kinsey. 11 http://www.merriam-webster.com/dictionary/gay?show=0&t=1398688588 | Diakses pada 27

April 2014

13

memenuhi standart maskulin pada laki-laki dalam budaya masyarakat

heteroseksual yang patriarki (Abdullah, 2001). Oleh sebab mereka berada diluar

kebiasaan masyarakat Heteroseksual, maka lahirlah stigma dan diskriminasi.

Undang-undang HAM 39/1999 pasal 1 ayat 3 mencatat definisi

diskriminasi, adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung

ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,

suku, ras, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau

penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak azasi manusia dan

kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang

politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Meskipun

begitu, agama sering kali menjadi tameng bagi para penentang hak LGBT, dalam

wilayah Indonesia terutama agama Islam. Oleh karena kajian komprehensif

mengenai islam Indonesia sangat jarang menyinggung homoseksual, hal ini

mencerminkan homoseksual atau gay menjadi sesuatu yang tidak dapat

dibandingkan dengan Islam sebagai wacana publik di Indonesia (Boellstorff,

2005)

Stigma dan diskriminasi telah merebut hak-hak para gay, antaranya hak

mendapat perlindungan, rasa aman serta berkumpul sebagai sarana aktualisasi diri

sebagai kebutuhan mendasar setiap manusia (Maslow,1943 dalam Gibson dkk,

1996). Hilangnya hak-hak dalam hidup seperti disebut oleh Maslow, ditanggapi

Gibson dkk dengan lahirnya motivasi pada atau dalam diri individu masing-

masing. Proses mendapatkan kembali hak mendasar ini, diwujudkan dengan

merangkul individu berdasarkan kesamaan latar belakang, kesamaan motivasi dan

14

tujuan, lantas membangun perkumpulan atau komunitas. Komunitas yang

dijadikan sebagai ruang membangun identitas mereka guna merespon proses

kehidupan yang terus berlangsung (Friedman, 1994). Ruang yang dimaksud

adalah HIMAG sebagai suatu bagian dari masyarakat dalam bentuk perkumpulan

dimana mereka memiliki sistem interaksi antar anggota, adat-isitiadat, dan sistem

norma yang mengatur interaksi, adanya kesinambungan, juga rasa identitas yang

mempersatukan mereka, ditambah keorganisasian dan sistem kepemimpinan

(Koentjaraningrat, 1983).

Gibson dkk juga menjelaskan dalam mendapatkan tujuan dipengaruhi oleh

internalisasi nilai atau konstelasi nilai dalam suatu organisasi. Dalam hal ini

HIMAG setara dengan organisasi atau perkumpulan yang secara struktur terdapat

unsur individu, kelompok dan tataran manajerial. Juga memiliki peraturan

maupun nilai norma bagi anggota. Sehingga HIMAG bukan communitas yang

disebutkan oleh Turner (1969) sebagai bebas struktur dengan kedudukan anggota

seimbang tanpa ada aturan mengikat. Sebagai perkumpulan dengan unsur

keorganisasian dan sistem kepemimpinan, maka peran pemimpin menjadi sangat

penting. Pemimpin dianggap menjadi titik sentral juga kunci sebuah organisasi

atau perkumpulan berproses (Knippenberg dan Hogg, 2003). Lebih lanjut,

internalisasi nilai lambat laun dan sadar tidak sadar menjadi patokan anggotanya

dalam bersikap berkaitan dengan peraturan serta tujuan kelompok.

Identitas juga menjadi persoalan bagi HIMAG, tentang bagaimana mereka

mewujudkan eksistensinya di kampus. Identitas terbagi menjadi dua ranah,

pribadi dan sosial. Ranah pribadi, atau identitas diri adalah sebagai hasil dari

15

bagaimana seseorang melihat dirinya, bagaimana pemikiran atau pendapatnya

tentang dirinya sendiri, dan bagaimana sikap terhadap diri sendiri (Noesjirwan,

1979). Sedangkan identitas sosial merupakan hasil dari adaptasi proses sosial

budaya dengan lingkungan yang mengakibatkan adanya perubahan ekspresi

kultural (Abdullah, 2010; Appadurai, 1994; Ingold, 1995). Sejalan dengan hal

tersebut identitas juga berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, proses kultural

diikuti konteks-konteks tersendiri sebagai faktor berpengaruh, misal konteks

tempat tinggal, latar belakang sosial, dan latar belakang budaya turut memberikan

warna dalam hal proses identitas kelompok (Abdullah, 2001; Anderson, 1991;

Barth, 1998). Oleh karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, konteks-

konteks dimana ia berada, maka manusia sebenarnya multi identitas dengan

banyak peran dalam masyarakat yang sebenarnya ditentukan oleh kebutuhan

(Buttler, 1991).

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana langkah HIMAG

berproses dalam membentuk identitas mereka di tengah berbagai persoalan yang

ada. Mengetahui apa alasan anggota hingga tertarik bergabung dengan HIMAG.

Menggali pengalaman anggota dalam menjalani kehidupan homoseksual.

Mengerti seperti apa bentuk interaksi dan komunikasi di dalam HIMAG.

Meninjau apa saja kontribusi dari HIMAG ke anggota dan sebaliknya, juga

hubungan dalam konteks bermasyarakat yang lebih luas. Selanjutnya guna

menambah wawasan, pemahaman, dan dinamika pembahasan isu LGBT dalam

16

ranah akademis, khususnya Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Gadjah Mada.

F. Metode Penelitian

F.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta. Fokus penelitian pada HIMAG di

universitas negeri terbesar di kota ini. Penelitian pertama diadakan pada bulan

Desember 2012, kala mengikuti mata kuliah Praktek Profesi Antropologi selama

dua bulan. Penelitian baru dapat dilanjutkan pada bulan November hingga

Desember 2013 sebagai sesi kedua disebabkan kegiatan perkuliahan penulis.

Penelitian dengan observasi dan wawancara tetap berlangsung selama proses

penulisan skripsi. Dengan harapan didapat data-data terbaru terkait dinamika

pandangan anggota terhadap HIMAG.

F.2. Penentuan Informan

Awal bertemu dengan informan saat penulis mengikuti mata kuliah Praktek

Profesi Antropologi, yakni kerja magang di PKBI DIY Youth Centre. Dari sana

didapatkan informasi mengenai keberadaan HIMAG. Selanjutnya dalam

mendapatkan informan penulis dibantu oleh salah satu rekan di PKBI DIY Youth

Centre, dan anggota HIMAG yang telah penulis kenal sebelumnya. Dalam

menentukan informan, penulis menimbang kedudukan yang dimiliki dalam

HIMAG, apakah ia anggota reguler atau masuk kedalam susunan pengurus yang

17

biasa disebut “Admin”, keaktifan mengikuti kegiatan internal, keikutsertaan di

komunitas selain HIMAG. Syarat tambahan, informan diharuskan masih terdaftar

sebagai mahasiswa aktif di universitas yang bersangkutan.

Informan yang terpilih berjumlah lima orang, sesuai dengan kriteria yang

dibutuhkan. Antara lain :

1. Koko, 22 tahun, salah satu pendiri HIMAG dan Admin akun sosial

media HIMAG

2. Tyan, 22 tahun, mantan Admin akun sosial media HIMAG

3. Nono, 22 tahun, aktif berkomunitas di luar HIMAG

4. Wawan, 21 tahun, anggota reguler

5. Amar, 21 tahun, anggota dan aktif berkomunitas di luar HIMAG

Selain itu saya melibatkan informan pihak eksternal HIMAG untuk

kebutuhan informasi terkait stigma dan diskriminasi dari penggiat isu LGBT di

Yogya, yakni Mbak Renata, pengurus harian PLUSH (People Like Us Satu Hati).

Keterkaitan beliau yakni untuk mengetahui gambaran organisasi LGBT di

Indonesia dan Yogya, juga sebagai jembatan antara PLUSH dan HIMAG.

F.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan informasi dan data, digunakan metode wawancara

mendalam bagi para informan. Selain wawancara, diskusi informal atau lewat

obrolan lepas dengan informan juga dijadikan ajang mengumpulkan informasi.

Observasi partisipan turut digunakan dalam penelitian ini, dengan mengikuti

kegiatan bersama HIMAG. Salah satunya saat acara “Hari Peringatan Kehamilan

18

Remaja”, sebuah kegiatan kampanye kesehatan seksual remaja yang disponsori

oleh BKKBN, PLU Satu Hati, UNFPA dan KPA di akhir tahun 2013. Dalam

kesempatan itu HIMAG membantu PLU Satu Hati dalam mengedukasi tentang

gender dan seksualitas dengan peserta para remaja. Kegiatan lain berupa

pertemuan rutin anggota HIMAG atau disebut dengan “gathering”. Pertemuan

tersebut bisa hanya berupa nongkrong di suatu café atau tempat sejenis di seputar

Yogyakarta, sehingga memungkinkan penulis untuk mengobrol secara cair dan

mengalir agar narasumber merasa terbuka dan nyaman dengan kehadiran peneliti.

Dari sana diharapkan mereka mampu mengungkapkan ide, pandangan, dan

perasaan mereka.

Sayang, status vakumnya HIMAG di masa penelitian membuat gathering

atau kumpul-kumpul anggota jarang terlaksana. Sebagai gantinya, penulis telah

bergabung dan selalu mengikuti perkembangan yang ada dalam grup jejaring

sosial Facebook HIMAG, dan turut serta dalam ruang obrolan maya bersama, atau

group chatting Line Mesengger HIMAG. Dimana dengan layanan group chatting

ini penulis dapat mengetahui dan mengikuti perkembangan terkini dari HIMAG

secara cepat. Secara umum penelitian ini menggunakan pengalaman empiris

peneliti bersama komunitas gay HIMAG. Hasil wawancara dan observasi

partisipan yang dicatat digunakan sebagai data primer, serta studi pustaka dan

referensi internet digunakan sebagai data sekunder.

Bergabungnya peneliti dalam grup Facebook dan Line Messenger atas

seizin Koko ketua HIMAG, setelah sebelumnya menemui Nono dan Tyan terlebih

dahulu. Dalam kesempatan berbeda peneliti juga meminta izin untuk bergabung

19

serta meneliti HIMAG pada saat rapat yang dihadiri perwakilan anggota.

Penelitian ini berlangsung dengan nota kesepahaman bahwa peneliti tidak akan

menyantumkan nama asli informan HIMAG.

Adapun hambatan selama penelitian ini dilaksanakan adalah gathering yang

jarang terlaksana dikarenakan vakumnya HIMAG, sehingga informasi terkait

interaksi dan komunikasi kala gathering lebih banyak didapat lewat wawancara.

Batalnya gathering seringkali digantikan dengan nongkrong atau ngumpul

beberapa anggota. Faktor dukungan berasal dari anggota HIMAG yang dengan

terbuka menerima diwawancara terkait HIMAG ataupun hal pribadi mereka.

F.4. Teknik Analisis Data

Informasi yang didapat lewat wawancara dan observasi partisipan lantas

diolah menjadi data, kemudian dianalisa menggunakan analisis deskriptif . Dalam

menganalisa penulis akan turut menyertakan informasi terkini terkait

permasalahan yang dibahas, agar mendapat gambaran aktual yang kemudian

saling terhubung untuk menjelaskan fenomena komunitas gay HIMAG.

G. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan terbagi menjadi lima pokok bahasan atau terbagi dalam

lima bab. Masing masing bab-nya akan mencoba menjelaskan fenomena terkait

homoseksual dan HIMAG sendiri. BAB I akan membahas mengenai latar

20

belakang mengapa topik ini dipilih, tinjauan pustaka, rumusan masalah, kerangka

pemikiran, tujuan penelitian serta metode penelitian.

BAB II memberikan gambaran tentang gay sekarang ini. Antara lain gay di

Indonesia, gay di Yogyakarta, dan komunitas dukungan gay atau organisasi

LGBT di Yogya. Ditambah penjelasan mengenai apa dan bagaimana HIMAG

terbentuk.

BAB III akan mengulas HIMAG sebagai wadah para gay. Melalui

penyajian data perjalanan anggota sebelum dan setelah bergabung HIMAG,

komunikasi para anggota, dan hubungan dengan komunitas luar.

BAB IV mencoba mengulas kembali pandangan para anggota akan

HIMAG, terkait refleksi selama bergabung, pencapaian atau manfaat dan harapan

bagi HIMAG.

BAB V akan mengurai hasil penelitian, analisis dan kesimpulan.