ruang terbuka hijau

356
Kern. PU RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA DIREK!ORAT }ENDERAL PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Upload: khangminh22

Post on 19-Nov-2023

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kern. PU

RUANG TERBUKA HIJAU

SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA

DIREK!ORAT }ENDERAL PENATAAN RUANG

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

RUANG TERBUKA HIJAU

SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA

DIREKTORAT jENDERAL PENATAAN RUANG OEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Jalan Pattimura No. 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 1211 0

RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA

© Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2006

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa ijin tertulis dari penerbit

lsi di luar tanggung jawab percetakan

ISBN: 979-15540-0-5

Sanksi Pelanggaran Pasal 44:

Tim Pengarah:

• DR. lr. A. Hermanto Dardak, MSc

• lr. Setia Budhy Algamar, MURP

Penulis Utama:

DR. lr. Ning Purnomohadi, MS

Kontributor:

• lr. lman Soedradjat, MPM

• lr. Maman Djumantri, MSi

• DR. lr. Doni J. Widiantono, MSc

• lr. Firmansam Bastaman, IALI

Tim Teknis:

• Ora. Lina Marlia, CES

• lr. Sita lndrayani, MT

• lr. Benny Hermawan, MSc

• Galuh Aji Niracanti, ST

Layout & Design Gratis:

Tri Prasetyaningtyas, SSn

Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah

oleh Undang-undang No.7 Tahun 1987:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan atau tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi ijin untuk itu, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp .1 00.000.000,- (Seratus juta rupiah).

·2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil

pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Oima) tahun danlatau denda

paling banyak Rp 50.000.000,- (Uma puluh juta rupiah).

MENTER! PEKERJMN UMUM REPUBLIK INDONESIA

KATA SAMBUTAN

Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa, saya menyambut baik penerbitan buku yang

berjudul "Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Utama

Tata Ruang Kota" oleh Direktorat Jenderal Penataan

Ruang. Menurut hemat saya, buku bertema ruang

terbuka hijau (RTH) ini hadir pada saat yang tepat, yakni

di tengah kecenderungan berkurangnya luasan RTH

di kota-kota besar di Indonesia akibat telah dikonversi

menjadi infrastruktur perkotaan lainnya, seperti pusat

perbelanjaan dan sarana komersial, kawasan permukim­

an termasuk apartemen, maupun infrastruktur jalan.

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini, proporsi luasan

RTH di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,

dan Medan, telah berkurang dari 35% awal tahun 1970-

an menjadi kurang dari 1 0% terhadap luas kota secara

keseluruhan. Kondisi ini tentunya masih di luar standar

ideal luasan minimal ruang terbuka hijau pada suatu kota

sebagaimana disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi

(KTT) Bumi di Rio De Janeiro (1992) dan ditegaskan

kembali di Johannesburg (2002), yakni minimal 30 % dari

total luas kota.

Sementara, berbagai kota besar di dunia, seperti New

York, Manchester, Singapura, Beijing, Shanghai, dan

Melbourne, telah menerapkan konsep 'green cities'

dengan meningkatkan proporsi luasan RTH hingga

mencapai lebih 20% dari totalluas kota, demi kesehatan,

kenyamanan dan kesegaran warga kotanya. Penerapan

konsep tersebut secara konsisten dan didukung persepsi

serta ke~asama semua pemangku kepentingan di kota­

kota tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat

ekonomi sebagai akibat meningkatnya citra kota yang

ramah lingkungan, dan ruang visual yang indah sehingga

memiliki 'nilai jual' tersendiri bagi pengembangan

pariwisata.

RTH sebagai unsur utama pembentuk kota yang dirancang

dengan baik dan benar sesuai dengan rencana tata

ruang kotanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat akan ruang terbuka, meningkatkan kualitas

kehidupan, membentuk identitas komunitas, melindungi

kualitas lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomi

bangunan-bangunan atau properti-properti pada lokasi

yang berdekatan dengan RTH tersebut. Di samping itu,

RTH juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi fungsi

lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian

pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta

membentuk "image" suatu kota.

Dalam konteks itu, saya mendorong agar dalam

Rancangan Undang-Undang pengganti Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang memuat

pengaturan tentang standar minimal bentuk dan ukuran

Daftar lsi iii

RTH yang wajib disediakan oleh suatu kota. Melalui

pengaturan ini, pemerintah daerah memiliki kewajiban

untuk mengalokasikan ruang terbuka hijau secara tegas

dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota yang

dijabarkan secara lebih rinci dalam ketentuan tentang

aturan intensitas kegiatan-kegiatan di sekitar RTH

tersebut. Selain itu, pengaturan yang tegas ini juga

memberikan peluang bagi masyarakat dan pemangku

kepentingan lainnya untuk turut berperan secara lebih

aktif dalam mengendalikan pencapaian standar minimal

tersebut.

Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini

tidak sebatas memperkaya khasanah pengetahuan kita,

namun juga dapat menjadi sumber inspirasi dan pedoman

bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya

dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif

dan berkelanjutan. Untuk itu, saya mengucapkan terima

kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada tim

penyusun dan -penyunting, terutama kepada saudara

DR. lr. Ning Purnomohadi, MS yang telah mencurahkan

tenaga dan pikirannya, serta kepada seluruh pihak yang

telah mendukung penerbitan buku ini.

Jakarta, 3 Desember 2006

Menteri Pekerjaan Umum

Republik Indonesia

DJOKO KIRMANTO

DAFTAR lSI

Sambutan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia

Daftar lsi

Daftar Gambar

Daftar Tabel

PENGANTAR 1 Pendahuluan

iii

v X

xvi

2 RTH Sebagai lnfrastruktur Hijau 2

3 Peran RTH dalam Penataan Ruang Perkotaan 4

4 Model Pembangunan Kota Taman 9

5 Tantangan 11

6 Arah Kebijakan dalam Pengaturan RTH 12

BAB I PENDAHULUAN 15

1 .1 Latar Belakang 16

1.2 Pentingnya Penghijauan Kembali Lingkungan Perkotaan 24

1.2.1 Keadaan sekarang: Penghijauan Kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH} 28

1.2.2 Pentingnya Pembangunan RTH-Kota di Negara Kepulauan R.I. 30

1.2.3 Pembangunan Kota versus Penghijauan Kota 33

1 .3 RTH sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota 34

1.3.1 Kecenderungan dan Prediksi di Masa Depan Tentang Penghijauan (RTH)-Kota. 38

1.3.2 Dampak Kurangnya Kehijauan dalam Kota Terhadap Kesehatan 42

1.3.3 Contoh Penyelenggaraan yang Baik tentang RTH-(Penghijauan)-Kota 45

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) 51

2.1 Pengertian RTH dan Kota Taman 52

2.1.1 Pengertian RTH 52

2.1.2 Pengertian Kota Taman 55

2.1.3 'Sabuk Hijau' (the greenbelt) sebagai Bagian Sebuah Kota Taman 59

Daftar lsi v

2.2 Peran dan Fungsi RTH

2.3 Manfaat RTH

2.3.1 Manfaat Bagi Kesehatan

2.3.2 Ameliorasi lklim

2.3.3 Manfaat Terkait Fungsi Ekonomi (Produktif)

2.3.4 Manfaat Terkait Arsitektur (Kenyamanan)

2.4 Tipologi RTH Berdasar pada Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunannya

2.5 Bentuk-bentuk RTH

2.5.1 Taman Lingkungan Perumahan

2.5.2 Taman Kota

2.5.3 Taman Rekreasi

2.5.4 RTH Pendukung Sarana/Prasarana Kota

2.5.4.1 Jalur Hijau

2.5.4.2 Jalur Biru

2.5.4.3 Perancangan Retention Basin

2.5.4.4 Sistem Koridor Lingkungan

BAB III KEDUDUKAN RTH DALAM PERENCANAAN TATA RUANG 3.1 Kedudukan RTH dalam Ruang Lingkup RTRW Nasional, Provinsi, dan Kabupaten

3.1.1 Kedudukan RTH dalam RTRW Nasional

3.1.2 Kedudukan RTH dalam RTRW Provinsi

3.1.3 Kedudukan RTH dalam RTRW Kabupaten

3.2 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah Perkotaan

3.2.1 Kedudukan RTH di dalam RTRW Kota

3.2.2 Kedudukan RTH di dalam Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota

3.3 Model-model RTH sesuai dengan Arahan Peraturan yang Berlaku

3.3.1 Model Taman Kota dan Taman Lingkungan dan Pemakaman

3.3.2 Taman Rukun Warga (2.500 penduduk)

3.3.3 Taman Kelurahan (30.000 penduduk)

3.3.4 Taman Kecamatan (120.000 penduduk)

3.3.5 Taman Kota (480.000 penduduk)

3.3.6 RTH Pemakaman

vi Daftar lsi

60

61

62

62

71

82

84

85

87

89 89 90

92

97

97

99

105

106

109

110

112

113

114

119

124

124

124

125

126

127

128

3.3. 7 RTH Lingkungan Peru mahan Kecil

3.3.8 RTH Jalan Lingkungan yang Sempit

3.3.9 RTH Sempadan Sungai

3.3.1 0 Hutan Kota

BAB IV RTH DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP PERKOTAAN 4.1 Masalah-masalah Utama dan Konservasi di Bidang Lingkungan Hidup

4.2 RTH untuk Mengatasi Pencemaran Udara

4.3 RTH untuk Mengatasi Banjir dan Pencemaran Air dan Tanah

BAB V PERAN RTH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PERKOTAAN 5.1 Pembangunan Kota Berkelanjutan

5.1.1 Konservasi Lingkungan Hidup Kota

5.1.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman, Nyaman, dan Sehat

5.1.3 RTH Kota sebagai Penunjang Pembangunan Berkelanjutan

5.1.4 Model Kabupaten dan Kota Sehat

5.2 RTH dan Perencanaan Kota

5.3 Peran Penataan Ruang Perkotaan dalam Pembangunan Berkelanjutan

BAB VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK MEWUJUDKAN KOTA TAMAN 6.1 Kebijakan dan Strategi Penyelenggaraan RTH

6.1.1 lsu dan Tantangan dalam Penyelenggaraan RTH

6.1 .1 .1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota

6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan Budaya RTH-Kota

6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang Kota

6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH

6.2 Program dan Pentahapan Pengadaan RTH

6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek

6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang

6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota

6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH

6.2.5 Perkembangan dan Pembangunan RTH

128

129

130

132

133

134

138

141

151

152

156

160

163

164

167

170

179

180

181

184

186

187

188

191

191

191

193

194

194

Daftar lsi vii

6.3 Standar dan Kebutuhan RTH Kota 197

6.3.1 Standar RTH Kota 198

6.3.2 Penentuan Luas RTH 199

6.4 Pembangunan RTH Kota 201

6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfigurasi RTH (Arsitektur Lansekap) 201

6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman 202

BAB VII PENGELOLAAN RTH 213

7.1 SDM dalam Pengelolaan RTH 215

7.1 .1 Latar Belakang 215

7.1.2 Maksud dan Tujuan 216

7.1.3 Ruang Lingkup 216

7.2 Permasalahan Kebijakan, Strategi, dan Prospek Pembangunan dan Pengelolaan RTH 218

7.3 Penetapan Strategi, Fokus Strategi dan Ukuran Kinerja Pembangunan

dan Pengelolaan RTH di Wilayah Perkotaan 220

7 .3.1 Perubahan Paradigma Pemerintah dan Pengaruhnya pad a Manajemen Pembangunan Perkotaan:

Pembangunan dan Pengelolaan RTH 220

7.3.2 Strategi Pembangunan Perkotaan 221

7 .. 3.3 Fokus Strategi Pembangunan Perkotaan 224

7 .3.4 Tujuan Strategi/Kra > Ukuran Keberhasilan/KPI : Fokus Strategi Sarpras Kota > RTH 228

7 .3.5 Perspektif Pelanggan Sasaran & Uraian Kegiatan Pembangunan & Pengelolaan Sarpras Kota > RTH 236

7.4 Contoh Penyelenggaraan RTH 238

7 .4.1 Provinsi DKI Jakarta 239

7 .4.2 Surabaya 242

7.4.3 Osaka: 'Osaka Bussiness Park' (OBP) 248

7 .4.4 Singapura 252

VIII PERAN ARSITEKTUR LANSEKAP DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN YANG RAMAH LINGKUNGAN 257

8.1 Pendahuluan 258

8.2 Penataan Ruang dan Permasalahannya 262

8.3 Kedudukan Bidang Arsitektur Lansekap 263

viii Daftar lsi

8.4 Tantangan Bagi Arsitektur Lansekap

8.5 Azaz-Azaz Arsitektur Lansekap

8.5.1 Keindahan

8.5.2 Kagunan (Kegunaan/Manfaat)

8.5.3 Pengaturan Lansekap

8.5.4 Pengembangan Wajah Lansekap Alami

8.6 Aspek Kreatif dari Perencanaan

8. 7 Pengembangan Kawasan

8. 7.1 Sejarah Perencanaan

8. 7.2 Permasalahan Pengembangan Kawasan

8. 7.3 Perencanaan Pengembangan Kawasan

BAB IX PENUTUP 9.1 Langkah-langkah Penataan RTH Kota ke Depan

9.1.1 Penghijauan Kota yang Lalu

9.1.2 Penetapan Tanah Hak sebagai RTH Kota

9.1.3 Pengelolaan RTH Kota

9.2 Pengembangan Kelembagaan dalam Pengelolaan RTH Kota

9.2.1 Koordinasi Kelembagaan untuk Mendukung Upaya Pengembangan RTH Kota

9.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat dalam Upaya Pengembangan RTH Kota

9.2.3 Keperlulan Peraturan Daerah untuk Pengembangan RTH Kota

9.2.4 Peran Legislatif dalam Pengembangan RTH Kota

DAFTAR PUSTAKA

LAMPI RAN 1 Kompilasi Dasar Hukum (Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH sebagai

Penyusun RTH

2 Beberapa Acuan untuk Penentuan Luas RTH-Kota

3 Jenis-jenis Tanaman yang dapat difungsikan sebagai penyusun RTH

INDEKS

264

266

266

267

267

268

271

271

271

274

275

279

280

280

281

282

284

284

284

285

285

292

302

302

306

311

xix

Daftar lsi ix

DAFTAR GAMBAR

Perkembangan Penduduk Kota. 1

2 Luas RTH di Beberapa Kota Dunia. 2

3 Ruang Terbuka Publik (Open Space). 3

4 Tipologi Ruang Terbuka Hijau (landmark). 3

5 Tanaman Endemik sebagai Tetenger. 4

6 Struktur RTH Perkotaan. 4

7 Sistem Tajuk dan Perakaran Pohon. 5

8 Sistem Perencanaan Tata Ruang. 5

9 lnteraksi Tata Ruang dan Sistem Transportasi. 6

10 RTH Publik dalam Tata Ruang Kota. 6

11 Konsep Penataan Ruang Kota Curitiba. 8

12 Pengembangan RTH pada Areal Kepadatan Rendah. 10

13 Contoh Penataan TPA Sanitary Land-fill. 12

1.1 Sempadan Sungai Pesanggrahan, Jakarta. 17

1.2 Karet Kebo (Ficus elastica) di halaman lstana Bogor. 18

1.3 Alam mempunyai keterbatasan. 18

1.4 Rumah Suku Ume, Timor. 21

1.5 Karikatur. 23

1.6 Penataan RTH perkotaan di Suzhou, Gina. 25

1.7 Taman air di sekeliling lstana Kaisar di Tokyo 25

1.8 Wringin Kurung (Ficus benyamina). 27

1.9 Sungai Code, Yogyakarta. 28

1.10 Sempadan sungai Negara di Amuntai. 28

1.11 Proyek rehabilitasi hutan mangrove di Daerah Suwung, Denpasar, Bali. 29

1.12 Ekosistem pantai dengan formasi Ipomoea pescaprae di Propinsi Bengkulu. 30

1.13 Hutan Bakau (mangrove). 30

1.14 lnteraksi antara tiga habitat utama di kawasan pesisir dan laut tropis. 31

1.15 Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia. 32

1.16 Ekosistem terumbu karang yang rusak akibat terpaan angin topan. 32

X Daftar lsi

1.17 Hubungan antara ekosistem darat dan laut. 34

1.18 Pemilihan jenis tanaman sebagai penyaring zat pencemar udara. 44

1.19 Contoh beberapa Taman Nasional 'sea-scape'. 50

2.1 Taman Pribadi di Jeddah, Saudi Arabia. 52 2.2 Jalur jalan masuk ke L.A. Airport. 53 2.3 'Woonerf' di negeri Belanda. 56 2.4 Contoh denah perencanaan taman bagian koridor kota. 60 2.5 Kepedulian pada lingkungan hidup yang sehat. 61 2.6 Vinca rosea. 61 2.7 Peavy Plaza di Minneapolis, Amerika Serikat. 62 2.8 lntensitas penyinaran matahari pada kemiringan lahan berbeda. 63 2.9 Penataan pepohonan untuk membentuk iklim mikro setempat. 63 2.10 Tapak tidak dibangun untuk keperluan pembentukan iklim mikro. 63 2.11 Kubah debu. 64 2.12 Pencuci udara. 64 2.13 Perbandingan jalur jalan. 64 2.14 Penataan pepohonan untuk oksigenasi dan sirkulasi angin. 65 2.15 Zona nyaman. 65 2.16 Taman Tezozomoc, Mexico City. 66 2.17 Siklus karbon. 67 2.18 Siklus nitrogen. 67 2.19 Siklus fosfor. 67 2.20 Siklus nutrient. 68 2.21 Pertukaran nitrat dengan bikarbonat. 68 2.22 Pertukaran gas CO-O dengan tanaman. 68 2.23 Difusi C02 ke daun dari: udara <->tanaman. 68 2.24 Taman IBM federal systems division facilities {NASA) 69 2.25 Manfaat terkait di dalam seni arsitektur. 70 2.26 Rumah panggung Toraja. 70 2.27 Rumah adat Timor {Lopo). 74 2.28 Bagian kolong di bawah panggung rumah. 74

Daftar lsi xi

2.29 Keluarga penghuni Rumah Ume.

2.30 Rumah adat tradisional Sumba UMA MBATANGU

2.31 Pekuburan dari batu yang ditempatkan di depan rumah di Sumba.

2.32 Rumah Adat Timor LOPO, bangunan untuk laki-laki.

2.33 Rumah Adat Tradisional Sumba dalam deretan UMA MBATANGU.

2.34 Beberapa rekaman foto tim kerja ke Bali, Mei 2006.

2.35 Kota Bandar Lampung.

2.36 Roman house at Pompeii, ltalia.

2.37 Vaux-le-Vicomte.

2.38 Plan of Versailles (1662-1665).

2.39 Cluster development.

2.40 Macam-macam jalur hijau jalan (JHJ).

2.41 Macam-macam jalur hijau sungai.

2.42 Sungai di Suzhou, China.

2.43 Sistem pompa yang menjaga kualitas air dibuat dalam struktur yang menjorok ke danau.

2.44 Sungai di Kuching, Sarawak, Malaysia.

2.45 Bunga sakura.

2.46 Riverway Boston, sebelum dan sesudah konstruksi.

2.47 Ragam rona sempadan sungai.

2.48 Taman hutan kota Tidar, Magelang.

2.49 Hutan kota Gumuk Lintang, Temanggung.

3.1 Perspektif dan Perancangan Lansekap Taman Madan Merdeka.

3.2 Plaza selatan dengan koridor menuju dan dari Stadion Utama.

3.3 Lapangan Golf.

3.4 Pintu Gerbang Kompleks Gelora Bung Karno.

3.5 Stadion Utama.

3.6 Rencana Lintasan Monorel di Depan Plaza Senayan.

3. 7 Sarana olahraga berupa Stadion Madya.

3.8 Taman untuk pertemuan berupa ARENA.

3.9 Taman kota di Kuala Lumpur, 1994.

3.1 0 Pemandangan di sekitar Kawasan Gelora Bung Karno.

xii Daftar lsi

74

74

74

75

75

78

81

85

85

87

88

91

92

94

94

95

96

99

100

102

102

107

108

108

108

109

111

111

113

115

117

3.11 Taman Kota. 117

3.12 Jogging Track yang ringan dan nyaman. 118

3.13 RTH kota untuk pelestarian plasma nutfah. 121

3.14 Taman kota di Kuala Lumpur, 1994. 123

3.15 Contoh taman kota dan taman lingkungan yang teduh. 124

3.16 Model Taman RW. 124

3.17 Model Taman Kelurahan. 125

3.18 Model Taman Kelurahan. 126

3.19 Model Taman Kecamatan. 127

3.20 Model Taman Pemakaman sebagai RTH kota. 128

3.21 Model pemanfaatan efisien Halaman Sempit. 128

3.22 Model RTH pada Perumahan Sempit. 129

3.23 Permukiman padat. 129

3.24 Contoh-contoh vertical planting. 129

3.25 Bangunan arsitektur Pan-Chakki, Auran gabad. 130

3.26 Makam akbar, Sikandra. 130

3.27 Chasma Shahi, di danau Dal, Kashmir. 130

3.28 Model RTH sempadan sungai. 130

3.29 Bentuk-bentuk alur sungai. 131

3.30 The Amsterdam Bos. 132

3.31 Hutan kota di Florence, ltalia. 132

4.1 Piramida Makanan. 134

4.2 Kota Berserjarah Barcelona. 135

4.3 The Shrinking Forest. 137

4.4 Asupan maksimum rata-rata orang dewasa. 138

4.5 Beberapa jenis tumbuhan peteduh. 140

4.6 Taman dengan air mengalir (cascade). 143

4.7 Pandangan dari tempat yang tinggi dari RTH kota dengan jalur-jalur jalannya yang tetap hijau. 145

4.8 Kanopi tanaman di jalur hijau jalan yang dipakai bagi pejalan kaki. 145

4.9 Kerangka Berpikir RTH-Kota dan Upaya Pengendalian Banjir: Peran Serta Masyarakat 146 4.1 0 Peru mahan kumuh. 147

Daftar lsi xiii

5.1 Siklus hidrologi.

5.2 Rona sungai-sungai di Bali.

5.3 Alun-alun kota Blitar.

5.4 Waste into Wealth.

5.5 Bio-gass store digester.

5.6 Village bio-gass plant.

5. 7 Suasana museum Kertagosa sesudah renovasi.

5.8 Tanaman peteduh memakai palem.

5.9 Tanaman pinggir jalan di kota Hokkaido.

5.10 Redesign di jalur jalan Thamrin.

5.11 'Sound system' di taman Suozhu, China.

5.12 Contoh retention basin.

5.13 Kantor yang dikelilingi tanaman pekarangan pertanian.

152

153

154

157

158

158

160

163

164

171

172

176

176

6.1 Pertanian kota memanfaatkan halaman RPH (Rumah Pemotongan Hewan/Abatoir) di Jakarta. 181

6.2 Taman umum di antara permukiman bertingkat di Singapura. 182

6.3 Pemandangan teduh di pulau Lombok. 185

6.4 Sungai sebagai alternatif moda transportasi. 188

6.5 Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata sederhana. 193

6.6 Central Park New York, 1858. 199

6. 7 Jalur sepeda khusus dibangun pada jalur ROW. 207

6.8 Beberapa jenis tanaman yang dapat difungsikan sebagai pengisi RTH. 210

6.9 Beberapa jenis tanaman yang dapat difungsikan sebagai pengisi RTH 211

7.1 Sebuah rumah di luar benteng Jakarta berada di sebuah lingkungan kampung yang teduh. 218

7.2 A self sufficient commune. 219

7.3 Kondisi dan situasi kota Jakarta yang sebelumnya terletak di lahan basah sehingga sejak dahulu

memang rawan banjir. 241

7.4 Taman Tugu Pahlawan, sebelum dipagar dan dilengkapi. 242

7.5 Beberapa gambaran RTH di kota Surabaya. 243

7.6 Beberapa bentukan jalur hijau jalan di Surabaya. 244

xiv Daftar lsi

7.7 Penataan tepian kali di Surabaya. 245

7.8 Beberapa bentukan peteduh pada jalur sungai dan jalan. 247

7.9 New City-Core Osaka, Twin office tower dan taman bunganya. 248

7.10 Matsushita IMP Building. 249

7.11 The pedestrian deck Osaka-jo Kyobashi. 249

7.12 Taman kota Kobe yang indah. 250

7.13 Rikyu Koen Park, Kobe. 250

7.14 Takao Thorough Fare. 250

7.15 Masyarakat sukarela merawat taman di Jepang. 251

7.16 Bunga Hydrangea dan pohon Sasanqua. 251

7.17 Jalur lalu-lintas, jalur pedestrian, dan jalur penghijauan taman kota. 252

7.18 Pemanfaatan sungai intensif. 253

7.19a Kondisi sungai Singapore tahun 1977. 254

7.19b Potongan sungai San Antonio, Texas. 255

7.20 Pembersihan sungai di Singapore. 255

8.1 Stones of Sacrifice. 258

8.2 Stonehenge. 258

8.3 Teras-teras Kebun Anggur. 259

8.4 Central Park. 261

8.5 Dua alternatif penggunaan lahan di kiri-kanan jalan raya. 265

8.6 Dua alternatif penggunaan lahan di kiri-kanan jalan raya. 265

8.7 Prospect Park. 265

8.8 Riverside Estate. 265

8.9 Perobahan wajah lansekap abad XVII di China. 267

8.10 Tapak di 'hutan bambu'. 269

8.11 Perancangan bak-bak bunga (flower beds). 269

8.12 Pekerjaan 'Seni Batu' di Taman Ryoan-ji. 270

8.13 Diagram Dasar Pertumbuhan Kota-Perdesaan yang benar. 272

8.14 Organisasi Wilayah di DKI Jakarta. 272

Daftar lsi xv

DAFTAR TABEL

Struktur Tata Ruang Kota dan RTH

2 Perbedaan Suhu Udara Pada Berbagai Kategori Lahan

1.1 Konsep dasar pengelolaan lahan

1 .2 Program Bank pohon KLH tahun 2004, dimulai di akhir tahun 2002

2.1 Topologi RTH berdasar pada fungsi, jenis, dan tujuan pembangunannya

2.2 Beberapa jenis RTH Rancangan Pola Dasar Pertamanan DKI Jakarta tahun 2005

2.3 Rancangan Pola Dasar Jenis dan Klasifikasi (Pertamanan DKI, 2005)

4.1 Kriteria jenis tanaman untuk RTH

4.2 Luas keteduhan beberapa jenis tumbuhan hasil penelitian

5.1 Logam dan sifat racunnya

5.2 Parameter air limbah

6.1 Standar RTH kota, kriteria unit-unit lingkungan

6.2 Kebutuhan akan RTH

7.1 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal

xvi Daftar lsi

7

8

39 40

72

76

86

141

142

167

168

196

196

245

PENGANTAR ARAH PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN

Oleh: A. Hermanto Dardak (Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum)

Open space is a fundamental element in any decent

and desirable living environment. No other single land­

use feature is more important in establishing the setting,

character, and form of an urban area. (Merwin W. Parker,

1966)

'There is little in the architecture of a city that is more

beautifully designed than a tree,' (Jaime Lerner-Mayor of

Curitiba 1971).

1 Pendahuluan Pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung

mengalami tantangan yang cukup berat akibat tinggi­

nya arus urbanisasi. Sementara di sisi lain, daya dukung

lingkungan dan sosial yang ada mengalami penurunan,

sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat

tekanan kependudukan.

Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat

konversi atau alih guna lahan terutama dari lahan pertani­

an maupun terbuka hijau menjadi daerah terbangun yang

menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas ling­

kungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat

konversi lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai

150 ribu hektar setiap tahunnya (BPS, 2003).

Hal tersebut diperburuk lemahnya penegakan hukum

dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan

ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permuki­

man kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan

masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping

di ruas-ruas jalan tertentu.

Data tentang kependudukan yang ada menunjuk­

kan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia

menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada

1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8

juta jiwa atau 22,3% dari total penduduk nasional. Pada

tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta

jiwa atau 30,9%, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44% pada

~ ~ ~

-"' :> "0 :> "0 c Q)

Cl. c Q)

~ Q)

Cl.

Urbanisasi di Indonesia

80% ~

70%

60%

50%

40%

30%

20%

-~ ./

~ - r-

/ - r- - r-~

~ r- - ~ ~ -

- r- , -..... .. --: r- - r- i---

10% - r- - r- ~ r- f------'

0% 1960 1970 1980 1990 2000 2005 2015 2025

Tahun

- Pertumbuhan

- Penduduk Kota

Gambar 1: Perkembangan Penduduk Kota

Pengantar

3.5%

3.0% ~ ;f.

2.5% -; ~

2.0% .3 E

1.5% € Q)

1.0% Cl.

0.5%

0.0%

Gambar 2: Luas RTH di Beberapa Kota Dunia

tahun 2002. Terakhir berdasarkan perhitungan BPS dan

Bappenas persentasi penduduk perkotaan pada 2005

telah mencapai 48,3%. Angka tersebut diperkirakan akan

mencapai 150 juta atau 60% dari penduduk Indonesia

pada tahun 2015.

Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat

dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi

pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang

kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu

mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait den­

gan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan so­

sial serta ruang-ruang terbuka publik di perkotaan.

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka

publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka

hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengaki­

batkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan se­

perti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi

udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas

dan krisis sosial), menurunnya produktivitas masyarakat

2 Pengantar

akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang terse­

dia untuk interaksi sosial.

Kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang

terbuka publik, t"1rut~ma ruang terbuka hijau (RTH) pada

30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar

seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan

RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an

menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada

sebagian besar telah dikonver5i menjadi infrastruktur

perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung per­

kantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman

baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9%, saat memiliki

rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih

rendah dari kota-kota lain di dunia.

Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman,

produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya diberi­

kan perhatian yang cukup terhadap keberadaan ruang

terbuka publik, khususnya RTH. Untuk itu, Pemerintah,

dalam hal ini Direktorat Jenderal Penataan Ruang, De­

partemen PU, telah merencanakan untuk memasukkan

klausul pengaturan tentang RTH ini di dalam revisi UU

24/ 1992 tentang Penataan Ruang yang saat ini sedang

dalam proses pembahasan.

2 RTH Sebagai lnfrastruktur Hijau

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di

perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang ter­

buka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai infra­

struktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang

terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi

oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun

introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-

Gambar 3: Ruang Terbuka Publik (Open Space)

budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat

ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya

RTH, 30 November 2005).

Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa

ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang ter­

buka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau,

maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai kawasan

genangan (retention basin) . Sedangkan secara fisik RTH

dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat

liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional,

maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman,

lapangan olah raga, dan kebun bunga.

Sedangkan dari segi fungsi RTH dapat berfungsi

secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan eko­

nomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas

air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara,

dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH

Gambar 4: Tipologi Ruang Terbuka Hijau

perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain sabuk hi­

jau kota, hutan kota, taman botani, maupun sempadan

sungai. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat

memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sara­

na rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya.

Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain ta­

man-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, mau­

pun TPU.

Sedangkan secara arsitektural RTH dapat mening­

katkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui ke­

beradaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan

jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga

dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung

seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan

pertanian/perkebunan dan pengembangan sarana wisata

hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan

Pengantar 3

Gambar 5: Tanaman Endemik sebagai Tetenger

(landmark)

RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfi­

gurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis

merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, ka­

wasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan

danau, maupun pesisir. Sedangkan RTH dengan konfigu­

rasi pll:\nologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk

mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan,

RTH kelurahan, RTH k.ecamatan, RTH kota maupun ta­

man-taman regional/nasional.

Sedangkan dari segi kepemilikan RTH dapat berupa

RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi

masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa

taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Secara anatomi, tumbuhan (pohon) terdiri dari sistem

perakaran dan sistem tajuk yang dapat berfungsi gan­

da, baik sebagai pengatur sistem tata air tanah mau­

pun memberikan kontribusi terhadap produksi oksigen

4 Pengantar

Struktur RTH di Perkotaan

GANDA

EKOLOGIS

EKOLOGIS

GANDA

SOSIAL EKONOMI

SOSIAL

• -• • •

1\1 \ II f- 11\lf-

Kawasan/Areal Jalur/koridor

Gambar 6: Struktur RTH Perkotaan

(Sumber: ARLIPB, 2006)

di udara, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan

manusia dan makhluk lainnya. Untuk itu secara ekologi,

keberadan tumbuhan ini menjadi sangat penting dalam

menciptakan keseimbangan dan kelestarian lingkungan

di kawasan perkotaan (Gam bar 7, hal 5).

3 Peran RTH dalam Penataan Ruang Perkotaan

Secara umum penataan ruang ditujukan untuk meng­

hasilkan suatu perencanaan tata ruang yang kita inginkan

di masa yang akan dating. Rencana tersebut lalu diwu­

judkan dalam bentuk pemanfaatan ruang yang sesuai

dengan rencana yang ditetapkan. Dalam pelaksanaannya

hal tersebut harus diikuti dengan proses pengendalian

terhadap pemanfaatan ruang yang ada agar pada akhir­

nya tata ruang yang kita inginkan dapat terwujud. Proses

perwujudan rencana tata ruang dari tingkat nasional,

provinsi, dan dijabarkan ke dalam rencana tata ruang ka-

Gambar 7: Sistem Tajuk dan Perakaran Pohon

Aegulasi Zonasi

sebagal plranti

pengendallan)

Gambar 8: Sistem Perencanaan Tata Ruang

bupaten atau kota, serta rencana tata ruang yang lebih

rinci adalah sebagaimana tergambar pada Gambar 8.

Pada dasarnya perencanaan tata ruang perkotaan

seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan­

kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan

lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan,

dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terha­

dap bencana (prone to natural hazards) seperti gempa,

longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan­

kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai

ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Dengan

demikian keberadaan RTH dalam perencanaan tata ru­

ang menjadi sangat penting mengingat perencanaan tata

ruang harus dimulai dengan pertanyaan di mana kita ti­

dak boleh membangun? bukan sebaliknya.

Dalam konsep perencanaan pembangunan yang

berkelanjutan, secara nyata ditegaskan bahwa upaya

pembangunan yang kita lakukan saat ini, sebaiknya ti ­

dak dilakukan dengan mengabaikan hak-hak generasi

mendatang dalam ikut menikmati sumber-sumber daya

yang ada, terutama sumber daya alam dan lingkungan.

Dengan demikian perencanaan tata ruang di perkotaan

seyogyanya harus dapat mengakomodasi kepentingan­

kepentingan ekonomi untuk menjamin produktivitas kota,

kepentingan-kepentingan sosial untuk mewadahi aktivi­

tas masyarakat, serta kepentingan-kepentingan lingkun­

gan untuk menjamin keberlanjutan.

Untuk itu penyediaan jaringan infrastruktur transpor­

tasi harus dioptimalkan untuk dapat melayani kebutuhan

kegiatan ekonomi, sementara penyediaan sarana angkut­

an yang nyaman dan murah diarahkan untuk memfasili­

tasi kebutuhan sosial masyarakat. Sedangkan interaksi

Pengantar 5

antara jaringan transportasi dan prasarana yang efisien

dan efektif pada akhirnya dapat mengurangi dampak­

dampak lingkungan yang tidak kita inginkan.

Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi

secara 'efektif baik secara ekologis maupun secara pla­

nologis, pengembangan RTH tersebut sebaiknya di­

lakukan secara hirarkhis dan terpadu dengan sistem

struktur ruang yang ada di perkotaan. Dengan demikian

keberadaan RTH bukan sekedar menjadi elemen peleng­

kap dalam perencanaan suatu kota semata, melainkan

lebih merupakan (sebagai) pembentuk struktur ruang

kota. Sehingga kita dapat mengidentifikasi hierarki struk­

tur ruang kota melalui keberadaan komponen pembentuk

RTH yang ada.

Sebagai contoh, secara hirarkhis dari mulai unit

perumahan terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan,

wilayah kota, hingga ke tingkat kota/kota besar, perlu

dikembangkan elemen-elemen RTH yang sesuai deng;,m

tingkat pelayanannya sebagaimana tertera pada Gambar

9. Pada setiap tingkatan dalam struktur kota, melekat

fungsi pelayanan yang diharapkan, fasilitas yang tersedia

serta elemen RTH yang ada sebagaimana diuraikan pada

Tabel1 .

Dari segi kenyamanan, keberadaan RTH di perkota­

an sangat diperlukan untuk menurunkan rata-rata suhu

udara di suatu kawasan. Bagian kota yang berupa RTH

umumnya suhunya 2-5 derajat lebih rendah dari bagian

lain seperti perumahan, perdagangan atau industri. Per­

bedaan suhu antara bagian kota ini, juga menyebabkan

terjadinya pengaliran udara dari bagian yang bertekanan

tinggi ke tekanan yang lebih rendah sehingga mencip­

takan pergerakan angin yang dapat menurunkan rata-

6 Pengantar

Gambar9: lnteraksi Tata Ruang dan Sistem Transportasi

KOlA IJl·SAH/ l"t:T ROPOliii\N

Gambar 10: RTH Publik dalam Tata Ruang Kota

label 1: Struktur Tata Ruang Kota dan RTH

Hirarki Kawasan Fungsi pelayanan Fasilitas Umum & Sosial

Pusat Kota • Melayani fungsi-fungsi • Pusat perdagangan

dan bisnis

Sub-pusat

(Kecamatan)

Lokal

(Kelurahan)

Sub-lokal

{RT/RW)

regional kawasan.

• Pemenuhan kebutuhan

insidentil seperti RS

besar, pendidikan tinggi,

jasa perbankan, dan

koneksi terhadap jarin-

• Perkantoran

• Perdagangan dan

jasa skala besar

• Rumah sakit pusat, sarana

pendidikan lanjutan

gan transportasi regional/ • Sarana hiburan dan rekreasi

antar kota. kota

• Melayani kegiatan • SMA, sekolah tinggi,

ekonomi-sosial di tingkat perpustakaan wilayah .

kecamatan • Pasar Kecamatan

• Pemenuhan kebutuhan • Fasilitas perbankan,

bulanan (pusat perbe- pos dan giro

lanjaan, pasar tradisional • Sarana rekreasi

dan jasa perbankan) {bioskop, arena hiburan dll.)

• Pusat kegiatan lokal

• Pemenuhan kebutuhan

mingguan (belanja, bank,

rekreasi)

• Kawasan hunian

(dormitory area)

• Pemenuhan kebutuhan

sehari-hari (pendidikan

• Pendidikan menengah SMP,

sekolah kejuruan, kursus

ketrampilan.

• Sarana ibadah:

Masjid besar, gereja.

• Taman kanak-kanak,

sekolah dasar

• Sarana ibadah

• Pertokoan kecil ,

dasar, ibadah, interaksi warung serba ada.

social, belanja harian dll.) • Sarana transportasi ojek,

becak dll.

Ruang Terbuka Hijau

• Taman kota, green belt , hutan

kota, taman botani dll

• Fasilitas olah raga: stadion

sepakbola skala regional/nasional

• Jalur-jalur hijau pada koridor

jalan utama

• Danau dan area retensi

pengendali banjir.

• Taman kecamatan, jogging track. I • Fasilitas olah raga, stadion mini ,

kolam renang

• Sempadan sungai , situ dan

kolam-kolam retensi

• Urban agriculture, kebon bibit,

taman bunga dll.

• Taman kelurahan, taman bunga.

• Sarana olah raga lapangan bola,

lapangan basket.

• TPU

• Taman bermain (playground)

• Lapangan olah raga

(volley, tennis, badminton dll)

• Taman-taman privat,

roof garden dll.

------ ------------------

Pengantar 7

Tabel 2: Perbedaan Suhu Udara Pada Berbagai Kategori Lahan di Daeju, Korea

Kategori Lahan Suhu (OC) z-acore

Perumahan terpisah 18.28 0.98

Apartemen 17.33 0.63

Perdagangan 19.12 I 1.30

Manufaktur/industri 20.52 1.84

Ruang Terbuka Hijau 14.93 -0.30

MODEL PENGEMBANGAN LINIER KORIDOR UTAMA PERKOTAAN

.Jalan Lok8l .Jalan Kolektor .Jalan Arterl .Jalan Kolektor .Jalan Lokal

8 Pengantar

"-• ·- "- 118ft ........_. ....... lkwwl "-··­ceo "- ·- "-• ( n ............ ........_.

Gambar 11: Konsep Penataan Ruang Kota Curitiba

rata suhu udara di perkotaan. Perbedaan suhu udara

yang terjadi antar berbagai jenis peruntukan lahan adalah

sebagaimana tercantum pada Tabel2.

4 Model Pembangunan Kota Taman

Konsep kota taman (garden city) telah mulai dikem­

bangkan di kota-kota Eropa dan Amerika sejak akhir abad

ke 19 ketika gerakan kembali ke alam (back to nature)

mulai marak dan tuntutan terhadap kebutuhan taman­

taman yang terbuka bagi masyarakat luas makin mening­

kat. Di Indonesia, beberapa kota taman yang pernah di

kembangkan pada masa kolonial antara lain seperti kota

Menteng dan Kebayoran Baru di Jakarta, Kawasan Dago

di Bandung serta Kawasan Darmo di Surabaya, dan Can­

di di Semarang. Namun, dalam perkembangannya kota­

kota tersebut saat ini mulai mengalami peralihan fungsi

lahan menjadi kawasan-kawasan komersial.

Dewasa ini, beberapa kota besar di berbagai belahan

dunia seperti New York, Singapura, Beijing, Melbourne

dan Curitiba telah menerapkan konsep green city atau

kota hijau dengan meningkatkan proporsi luasan RTH

hingga lebih dari 20 persen luas kotanya.

Curitiba adalah ibukota Propinsi Parana di Brazil,

yang sering dijadikan contoh tentang keberhasilan pe­

ngelolaan perkotaan dan pengembangan ruang terbuka

publik di Negara berkembang. Curitiba merupakan kota

yang penduduknya tumbuh sangat pesat dari 150.000

pada tahun 1950-an menjadi kota dengan 1 ,6 juta jiwa

pada saat ini.

Tidak ubahnya seperti kota-kota lain di Amerika Latin,

pada awal 1970-an Curitiba mengalami banyak masalah

tipikal seperti permukiman kumuh, kemacetan lalulintas

yang sangat buruk, pedagang kaki lima di segala penjuru,

penduduk miskin dengan literasi kurang dari 50 persen,

ruang kota yang sumpek, banjir dan ruang terbuka yang

sangat terbatas (hanya 1 m2 per kapita).

Lalu Jaime Lerner, seorang arsitek yang terpilih men­

jadi walikota Curitiba pada tahun 1971, mencoba melaku­

kan langkah-langkah perbaikan melalui penataan kembali

dan reorientasi kota. Beberapa hal utama yang dilakukan

antara lain adalah:

• Mendorong pembangunan dengan kepadatan tinggi di

sepanjang lima jalur arteri utama yang menyebar secara

radial dari pusat kota ke arah luar. Dengan demikian

pusat perdagangan yang ada tersebar ke segala dan

beban lalulintas di pusat kota menjadi lebih ringan

• Membangun jaringan transportasi umum dari pinggiran

kota ke arah pusat dan jalur-jalur sirkuler yang mengeli­

lingi kota, dengan sistem busway yang memiliki frekuen­

si operasi dan daya angkut yang tinggi.

• Meningkatkan penghijauan kota dengan membagikan

1 ,5 juta bibit tanaman kepada para penduduk di seluruh

kawasan permukiman untuk ditanam dan dipelihara.

• Mengembangkan danau-danau buatan di taman-taman

kota yang baru untuk mengatasi masalah banjir.

• Merekrut para remaja dan anak-anak jalanan untuk

menjaga kebersihan taman-taman, dan meminta para

pengusaha untuk mengadopsi mereka dengan imbalan

sekedarnya untuk pemeliharaan taman dan kebersihan

gedung-gedung perkantoran.

• Menyalurkan PKL dengan mengadakan bazaar keliling

pada setiap perumahan yang ada di kota Curitiba.

• Mengembangkan zona-zona pejalan kaki di pusat kota

yang mencakup kurang lebih 50 blok.

Pengantar 9

Gambar 12: Pengembangan RTH

pada Areal Kepadatan Rendah

• Membangun jaringan jalur sepeda sepanjang 150 km

yang dapat menjangkau seluruh penjuru kota; dan

• Memberikan keringanan pajak dan insentif lainnya ke­

pada para pengembang jika mereka membangun ru­

ang terbuka hijau.

Walaupun awalnya rencana-rencana tersebut banyak

ditentang oleh para pengusaha di pusat kota, namun akhir­

nya mereka mengakui bahwa dengan lebih banyaknya

ruang publik yang tersedia bagi pejalan kaki, lingkungan

belanja menjadi jauh lebih nyaman, dan orang memiliki

waktu lebih banyak untuk berbelanja karena tidak harus

mengemudi dan memarkir kendaraannya sendiri. Di ka­

wasan pusat perdagangan (CBD) Curitiba, saat ini jauh

lebih banyak pejalan kaki daripada kendaraan yang lalu

lalang.

1 0 Pengantar

Saat ini Curitiba berkembang menjadi kota yang nya­

man dengan 17 taman-taman baru, dimana tingkat ruang

terbuka hijaunya meningkat dari 1m2 per kapita (1970)

menjadi 55 m2 per kapita (2002), yang merupakan ukuran

yang sangat tinggi untuk suatu kota. Tingkat pendapatan

penduduknya pun saat ini telah meningkat menjadi dua

kali lipat pendapatan rata-rata penduduk Brazil.

Dalam hal persampahan, saat ini Curitiba mendaur

ulang dua per tiga sampah yang ada di kotanya. Angka

tersebut merupakan tingkat daur ulang sampah tertinggi,

bahkan dibanding negara maju sekalipun. Hal-hal yang

dilakukan Curitiba dalam hal penanganan sampah ini an­

tara lain:

• Masyarakat Curitiba membuang sampah organik dan

anorganik secara terpisah yang dikumpulkan oleh 2 je­

nis truk sampah;

• Orang-orang miskin yang tinggal di gang-gang sempit

yang tidak dilalui truk sampah, dapat membawa kan­

tong sampahnya ke pusat pengumpulan dengan im­

balan berupa tiket bus, telur, susu, jeruk atau kentang

yang dibeli pemerintah dari kebun-kebun petani di

, pinggir kota.

• Sampah-sampah yang ada didaur ulang di pusat peng­

olahan sampah yang mempekerjakan para penyandang

cacat, imigran, dan pecandu alkohol.

• Program penanganan sampah tersebut tidak lebih rna­

hal dari model sanitary landfill, tapi kota yang ada men­

jadi lebih bersih, lapangan pekerjaan bertambah, petani

terbantu, dan penduduk miskin memperoleh makanan

dan tiket transportasi.

5 Tantangan

Terkait ruang terbuka publik atau ruang terbuka hi­

jau secara umum dihadapi beberapa tantangan tipikal

perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan

hidup perkotaan, bencana banjir/longsor dan perubah­

an perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra­

produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandal­

isme.

Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya

kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan

di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung

maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH

secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi ben­

cana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini

juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air

karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya

volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara

ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas,

dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan

hidup masyarakat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi

udara yang berlebihan dan terus-menerus dapat menye­

babkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecer­

dasan anak-anak di masa mendatang.

Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik

horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se­

cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya

ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan in­

teraksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh

masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan

perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik, secara

psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas

sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan.

Sementara itu secara teknis, issue yang berkaitan

dengan penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain

menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan

RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya

kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stake­

holders dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya

ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai

RTH.

Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan

kenyataan masih dari kurang memadainya proporsi

wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun

rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang

tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenya­

manan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyara­

kat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya

nilai-nilai budaya lokal (pusaka alami dan sejarah) akibat

tergusur oleh kepentingan ekonomi pragmatis.

Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga

terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang

memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam

penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH ma­

sih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang

tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat memelihara

dan mengelola RTh secara lebih professional. Di sisi lain,

keterlibatan swasta dan masyarakat masih sangat ren­

dah dalam penyelenggaraan RTH. Potensi pihak swasta

dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak di­

manfaatkan, sehingga pemerintah selalu terbentur pada

masalah keterbatasan biaya dan anggaran.

Di sisi lain, walaupun secara teoritis ruang perkota­

an yang tersedia makin terbatas, dalam kenyataannya

banyak lahan-lahan tidur di perkotaan yang cenderung

Pengantar 11

ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan. Sementara

ruang-ruang terbuka yang memang secara legal diperun­

tukkan sebagai RTH, kondisinya kurang terawat dan tidak

dikelola secara optimal.

6 Arah Kebijakan dalam Pengaturan RTH

Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu­

susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal

terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat

hukum, NSPM, dan mendorong peran masyarakat dan

dunia usaha. Pertama, secara konsisten saat ini peme­

rintah berusaha untuk mendorong pengembangan ruang

terbuka hijau, khususnya di perkotaan salah satunya me­

lalui penerbitan buku dan pedoman pembangunan RTH

di perkotaan.

Kedua, dalam hal peraturan dan perundangan yang

dikembangkan, pemerintah juga mendorong agar pro­

porsi RTH di perkotaan ini terus ditingkatkan secara

bertahap hingga mencapai minimal 30 persen dari luas

wilayah yang ada sesuai dengan kesepakatan yang in­

gin dicapai dalam pertemuan Bumi di Johanesburg. Hal

tersebut telah secara eksplisit dicantumkan dalam RUU

Penataan Ruang yang baru, sehingga diharapkan kota­

kota kita di masa yang akan datang dapat lebih ramah

lingkungan.

Dengan menetapkan kebutuhan luas minimum RTH

sesuai karakteristik kota, dan menetapkan indikator ke­

berhasilan pengembangan RTH suatu kota, diharapkan

kota-kota yang ada dapat terpacu untuk memenuhi ke­

butuhan RTH bagi penduduknya. Sebagai contoh peme­

rintah DKI Jakarta telah menetapkan untuk meningkatkan

RTH dari 9 persen menjadi 14 persen sebagai sarana Ren-

12 Pengantar

Gambar 13: Contoh Penataan TPA Sanitary Land-fill

cana Tata Ruang, dan pada saat ini sedang proses revisi

dan demikian pula dengan kawasan metropolitan Makas­

sar (Maminasata) yang merencanakan untuk meningkat­

kan ketersedian RTH menjadi lebih dari 30 persen.

Ketiga, di samping itu dalam konsep peraturan pe­

rundangan yang sedang disiapkan, juga akan diatur

mengenai mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat

lebih meningkatkan peran swasta dan masyarakat me­

lalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguntung­

kan untuk pengembangan RTH seperti misalnya mem­

beri ijin bangunan lebih tinggi yang masih dalam batas

persyaratan apabila dapat menyediakan RTH lebih luas

atau bersedia membebaskan lahan untuk dijadikan RTH.

Untuk itu akan dikembangkan proyek-proyek percontoh­

an RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di be­

berapa wilayah kota dengan melibatkan para pemangku

kepentingan perkotaan. Dalam hal ini pemerintah dapat

bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang menetap-

kan mekanisme dan prosedur serta pengawasan terha- swasta dan masyarakat luas tentang pentingnya RTH dap pelaksanaannya. juga diharapkan mampu merubah paradigma para peren-

Keempat, dalam hal upaya pengendalian peman- cana dalam menempatkan fungsi RTH dalam pembentuk faatan ruang, terutama yang berkaitan dengan peman- struktur ruang di perkotaan. Dengan demikian, cita-cita faatan ruang publik, akan dikembangkan instrumen kita untuk mewujudkan ruang nusantara yang nyaman, penegakan hukum yang dibutuhkan seperti peraturan produktif dan berkelanjutan secara bertahap dapat kita

mintakat (zoning regulation) maupun peraturan tentang capai.

pemberian sanksi, baik secara administratif maupun

pidana. Dengan adanya instrumen pengendalian terse­

but, diharapkan penegakan hukum dalam penyelengga­

raan RTH kota dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Pada akhirnya, terbitnya buku RTH sebagai elemen

utama pembentuk kota taman ini, diharapkan selain

dapat membangkitkan kesadaran pemerintah daerah,

Bibliography: Dardak, A. Hermanto, 2005. Profil Curitiba dan Hasil kunjungan ke Curitiba, Brazil.

Jakarta, 3 Desember 2006

Direktur Jenderal Penataan Ruang

Departemen Pekerjaan Umum

vu~,U~vtkf·~+----Dr. lr. A. Hermanto Dardak, M.Sc.

Kim, Jae lk. et. a/. 2005. The Economic and Environmental Effects of Green Area Loss in as Urban Areas. Paper presented in The Eastern Regional Organization for Planning and Housing (EAROPH), by: Jae lk Kim, Chang Hwan Yoo, Anna Seo, Jin Hwi Kim, Sun Hyung Park, Department of Urban Planning, GRAD School of Environment, Keirn Yung University, Korea.

Nurisyah, Siti. et. a/, 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Maka/ah oleh Tim IPB (Siti Nurisyah, Qodarian, Alinda Medial Zain, dan Setia Hadi). Makalah ketiga pada buku Rangkuman Seminar dan Lokakarya RTH da/am rangka Hari Bhakti Pekerjaan Umum ke-60, 3 Desember 2005, dise/enggarakan o/eh Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, di Jakarta.

Pengantar 13

I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Pada jaman pra-sejarah, konsepsi hijau belum nam­

pak nyata, mungkin disebabkan karena cara hidup dan berpikir yang masih sangat sederhana. Kehidupan ma­sih sangat tergantung pada alam sehingga muncul ke­

biasaan bertahan untuk sekedar hidup. Alam merupakan suatu misteri yang ditakuti, maka mereka tinggal di dalam gua-gua atau di pohon agar aman.

Kemudian manusia mulai menyadari kemampuan

berpikirnya untuk dapat menguasai alam, kebudayaan pertanian dan peternakan mulai berkembang, pemujaan berganti kepada dewa-dewi di lang it yang dianggap telah memberi kehidupan. 'Rumah' mulai dikenal, turun dari atas pohon dan keluar dari gua-gua. Dalam kehidupan

berkelompok mulai timbul persaingan dan permusuhan antar kelompok, sehingga bahaya timbul dari manusia lain. Pada situasi seperti ini, diperlukan perlindungan

bagi kelompok. Konsepsi hijau, lebih dari sekadar hanya tanaman pagar berduri di sekeliling permukiman, tetapi

permukiman sudah merupakan benteng berparit, yang tertutup dari alam bebas.

Dengan ditemukannya bubuk mesiu, senjata kimiawi,

nuklir dan toksin biologis, maka cara perlindungan men­jadi lebih terbuka, demikian terus menerus merobah kon­

sep kehidupan manusia di dunia ini.

Manusia mulai membuka diri dari 'dunia' mistik de­ngan pemikiran rohaniah dan pengaruh kuat agama,

menjadi lebih memikirkan keduniawian dan status hidup

16 Pendahuluan

sebagai pribadi. Konsep tata hijau berkembang menjadi ilmu arsitektur baru, ingin menguasai alam (antropo­sentris), meneruskan garis-garis arsitektur alam sekitar, sedemikian rupa hingga hubungan antara hijau dengan manusia menjadi lebih harmonis.

Kini fungsi hijau menjadi lebih kompleks akibat pencemaran dan perusakan lingkungan, hasil penerap­an teknologi dan industri secara serampangan, telah merusak hubungan timbal-balik antara manusia dengan

lingkungan. Perusakan dan pencemaran semakin parah, sehingga tak ada lagi kemampuan regeneratif alam un­tuk merehabilitasi diri sendiri, karena daya dukung lingku­

ngan telah terlampaui atau telah melebihi ambang batas. Sementara itu penduduk dunia terus bertambah, sedang­kan sumber daya alam (SDA) terbatas terutama yang tak bisa diperbaharui. Di negara-negara maju pencemaran

disebabkan oleh teknologi tinggi, sedangkan di negara sedang berkembang, sebagian besar adalah akibat ke­terbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.

Konsepsi hijau lebih berkembang, selaras keinginan

penguasaan akan alam dan menjadikan tata hijau sebagai penerus gaya arsitektur, dengan meningkatkan hubungan antar bangsa. Kemudian pemikiran Dunia Timur masuk,

yaitu timbul adanya penghargaan terhadap fungsi hijau sebagai sesuatu yang diperlukan (integrated landscape).

Bidang arsitektur lansekap sendiri mulai berkembang

di benua Eropa, sesuai dengan kebutuhan sekitar 200 tahun lalu, dimulai dari keperluan manusia akan suatu

ruang 'rekreatif' di sekitar tempat tinggal, seperti Taman

lnggris (English Garden). Pengaruh ini menyebar ke be­

nua Amerika dan mencapai puncak dengan dibangunnya

Central Park (1858) di New York, karya Frederick Law Ol­

msted dan Calvert Vaux.

Fungsi hijau dalam ruang terbuka hijau (RTH) kota

sebagai 'paru-paru' kota, sebenarnya hanya merupa­

kan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang,

antara gas karbondioksida (C02) dan oksigen (0

2), hasil

fotosintesis khususnya pada dedaunan. Sistem tata hi­

jau ini berfungsi sebagai semacam ventilasi udara dalam

rumah (bangunan). Lebih dari itu, masih banyak fungsi

RTH termasuk fungsi estetika yang bermanfaat sebagai

sumber rekreasi publik, secara aktif maupun pasif, yang

diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat pe­

ngendali tata ruang/lahan dalam suatu sistem RTH kota

(urban green open space system). RTH juga berfungsi se­

bagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis

yang terik dan lembab.

Perkembangan teknologi yang amat pesat tanpa

mengindahkan kelestarian fungsi lingkungan, memper­

buruk kualitas hidup kota-kota metropolitan, bahkan se­

bagian besar kota-kota pun telah mengalami krisis ling­

kungan. Para arsitek lansekap diharapkan dapat berlaku

dan bertindak secara (lebih) bijaksana dalam ikut serta

mengembangkan dan menjaga fungsf lingkungan secara

lestari untuk mencapai keseimbangan lingkungan, yang

tidak hanya sekedar indah.

Pemahaman tentang profesi arsitektur lansekap itu

mungkin lebih tepat bila disebut "arsitektur lingkungan" .

Arsitek lansekap dapat berperan menjadi 'polisi' terha­

dap pembangunan fisik, yang harus menguasai masalah

Gam bar 1.1: Sempadan Sungai Pesanggrahan, Jakarta

Sungai menjadi keranjang sampah, sebuah potret tentang bagaimana

sikap kita memperlakukan lingkungan.

(Dokumen Yayasan Kirai, 2006)

Pendahuluan 17

ekosistem secara cermat dan bertanggungjawab dalam

upaya mengembalikan dan melestarikan kembali fungsi

lingkungan, seperti kawasan budidaya, termasuk ling­

kungan perkotaan pada ekosistem pesisir pantai yang

penting diperhatikan, sebagaimana layaknya suatu nega­

ra kepulauan terbesar di dunia.

Arsitek lansekap mampu bekerjasama dalam suatu

perencanaan dan perancangan kota yang akan mero­

bah wajah lingkungan lansekap kota secara terintegrasi

dengan profesi lain terkait. Pembangunan kota yang

berkelanjutan tidak sekedar berorientasi pada keuntungan

ekonomis jangka pendek dan mengorbankan kebutuhan

warga akan RTH, sehingga fenomena krisis lingkungan

udara-air-tanah, bencana banjir, tanah longsor, amblas­

an tanah, intrusi air laut, penebangan pohon secara se­

rampangan, dan penggusuran RTH dapat diminimalkan.

Banyak orang lupa, bahwa manusia adalah bagian dari

alam itu sendiri, kalau alam rusak maka dapat dipastikan

manusia akan rusak pula.

Konsep lingkungan yang dinamis, selalu berada

18 Pendahuluan

Gambar 1.2 (paling kiri):

Karet kebo (Ficus elastica), dengan tajuk

Iebar dipandang efektif menjadi pengisi RTH

luas (lokasi : lstana Boger).

(Ook. Yayasan Kirai, 2006)

Gambar 1.3 (kiri): Alam mempunyai

keterbatasan. Dibutuhkan pengetahuan dan

kepekaan dalam melakukan perancangan,

sehingga tidak perlu terjadi bencana seperti

toto di samping ini terjadi di lereng bukit

Pacific Palisades, CA, Amerika Serikat.

(Cunningham & Saigo, 1997, halaman 358

dalam M. Amin, 2005)

dalam proses perobahan yang mendukung kehidupan

manusia, flora dan fauna secara selaras, seimbang, dan

dalam hubungan yang lestari antar sesama, alam dan

Tuhan. Pemahaman proses pembentukan muka bumi

secara alami, harus berdasar pada kesadaran, bahwa

karya perencanaan maupun perancangan harus berpi­

jak pada ekotipe dasar karakteristik fisik bentang alam,

apakah pada ekosistem tropis kepulauan yang terik dan

basah (lembab), ekosistem pegunungan, atau pada eko­

tipe lain, serta sadar akan pengaruh perubahan iklim.

Hasilnya adalah karya arsitektur lansekap berkelanjutan

(sustainable landscape) , yang tetap mempertimbangkan

etika atau norma-norma lingkungan yang bersifat dinamis

tersebut.

Para perencana dan perancang, lambat atau cepat

menyadari bahwa alat perencanaan dan perancangan itu

tidak hanya terbatas pada adanya tanah, ruang, bahan­

bahan, naluri dan perasaan saja, tetapi yang lebih penting

adalah adanya pengertian dan imajinasi dari perencana

itu sendiri, karena para perencana itu bukan saja turut

serta mengatur sebagian kecil bentuk rupa dari alam,

tetapi juga kegiatan manusia di dalamnya. Jadi alamlah

yang menjadi landasan, dan manusia adalah tujuannya

(Wirasondjaya, 1975).

Tetapi untuk menarik garis batas antara alam berikut

kegaiban dan kekuasaannya dengan manusia sangatlah

sukar. Alam, adalah ibarat suatu alat yang sangat peka,

di mana kita bisa dengan mudah menarik kegunaan­

nya. Jika demikian, maka manusia itu sendiri harus tahu

akan kedudukannya serta tata cara yang benar dalam

mengambil bagiannya serta kedudukannya dalam alam.

Seandainya si perencana dengan cerdas mampu menye­

suaikan dirinya dengan alam, maka masyarakat umumlah

yang akan merasakan manfaatnya, tetapi sebaliknya jika

melawan alam, maka kesukaran-kesukaran dan masalah

yang akan terjadi harus dirasakan oleh masyarakat umum

pula.

Perobahan bentuk alam adalah cermin dari perobahan

pandangan manusia terhadap keadaan sekelilingnya dan

dari pertumbuhan penguasaan alam yang memudahkan

manusia untuk memanfaatkannya dalam keadaan ekono­

mi dan sosial baru. Caranya pun berbeda-beda dan ter­

gantung dari pandangan manusia masing-masing terha­

dap alam, tergantung pula dari besarnya persoalan dan

watak, serta kecenderungan sosial dan ekonomi yang

bersangkutan. Karenanya tiap-tiap tahap perkembangan

kemajuan manusia terhadap keadaan sekelilingnya akan

disertai oleh rangsangan jiwa dan semangat. Perasaan

pertama pada manusia adalah kehadiran skala-skala

baru, sesudah itu mulai mengerti, dan kemudian imajinasi

diterapkan dan disempurnakan.

Dalam proses pembentukan ini, manusia dan alam

tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan penjelmaan

yang terus-menerus dalam pikiran manusia, jelas sekali

digambarkan dalam alam yang terus tumbuh, yang bisa

dipandang sebagai catatan sejarah yang terus merekam

perobahan-perobahan dalam menaikkan derajat kebu­

dayaan. Karenanya bukan hanya seni sastra, seni musik,

seni pahat, seni lukis, dan seni bangunan saja yang dapat

mengabadikan perobahan-perobahan aliran dan kekuat­

an dari hasil kerja manusia dengan kecerdikan, dan ke­

pandaiannya, tetapi juga dari sikap pandangan manusia

terhadap alam.

Alam merupakan sesuatu yang abadi, tetapi hidup,

yang mempunyai dasar-dasar kefaedahan dan sumber

ilham, merupakan landasan bagi setiap perencana. Alam

merupakan suatu obyek yang belum ditentukan, tempat

di mana kebebasan terbuka seluas-luasnya dalam pemilih­

an, penegasan, dan penyatuan unsur-unsur, karenanya

merangsang perasaan untuk mengatur agar setiap orang

dapat melihat apa yang ia lihat, turut merasakan apa yang

ia rasa.

Di alam, kita menggubah bidang datar, menempatkan

massa, mengadakan penutupan maupun pembukaan,

manusia ada dalam pusat perencanaan. Dalam seni lu­

kis, manusia ada di luar bidang lukisannya dan memper­

hatikan lukisan tersebut di mana ruang-ruang digubah

dalam bidang datar yang terjadi dari sesuatu yang asal­

nya kosong. Dalam seni patung, manusia melihat obyek

tiga dimensional, berhadapan dengan patung tersebut

dan mengelilinginya. Tetapi dalam taman, manusia ada di

dalamnya, bergerak dan menikmati ruang, yang terbentuk

karena obyek di dalamnya. Ruang dan waktu membentuk

suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Pemikir-

Pendahuluan 19

an ini berjalan terus melalui seluruh perkembangan ilmu­

ilmu modern. lni berarti, bahwa tak ada bentuk alam yang

tetap atau tahan terhadap pengaruh sekitarnya. Penak­

lukan sukses terhadap ruang dan waktu dengan jalan

penyatuan terhadap keperluan man usia adalah karya dari

tiap zaman, dasar kekuatan utama yang diperlukan un­

tuk membentuk lingkungan dengan peradabannya (Wira­

sondjaya, 1975).

llmu pengetahuan tentang ruang sama juga persoal­

annya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain, yakni secara

sadar menyelidiki baik-tidaknya sesuatu yang bersang­

kutan dengan kebutuhan manusia, mendapatkan ciri-ciri

yang kurang baik, dan kemudian dengan sadar pula men­

cari jalan untuk mengatasi dan memperbaiki, bahwa yang

dijalankan tidak sekedar kebetulan saja.

Pengertian ruang tidak begitu saja bisa dilukiskan

dengan kata-kata, karena ruang bukan perkara akal

tetapi perkara perasaan. Sulit sekali untuk menetapkan

sebab-sebab dari perasaan itu, tapi kita harus mempu­

nyai angan-angan mengenai hal itu dan jeli mengenali,

supaya kita sendiri bisa menciptakan ruang dalam suasa­

na yang diinginkan. Terwujudnya ruang yang diraih oleh

tangan man usia, di mana dia bisa bergerak bebas dengan

leluasa adalah salah satu karya manusia guna mencapai

keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani.

Salah satu cara untuk dapat mengerti lebih baik ten­

tang ruang adalah dengan mempelajari ruang-ruang

yang sudah terwujud, hasil warisan nenek moyang. Ke­

sabaran mempelajari segala keindahan alam agar bisa

diterjemahkan dalam pengertian ruang buatan manusia,

akan menjadi pegangan bagi setiap perencana, di mana

angan-angan yang diilhami dari batasan-batasan organik

20 Pendahuluan

tidak akan menyesatkannya. Bentuk benar itu adalah or­

ganik dalam wataknya dan merupakan pola dari alam

atau ekologi lansekap.

Kadangkala alam tak selalu cocok untuk dinikmati se­

bagai panorama, tetapi para perencana perlu menyadari

bahwa belajar dari alam dengan sendirinya akan diilhami

oleh imajinasi yang tak pernah padam. Tujuan peren­

canaan adalah meringankan cara-cara berencana, dan

bukan mencari atau 'meminjam' bentuk-bentuk baru.

Membuat falsafah baru bukanlah pekerjaan yang mudah,

sebab nilai keberhasilan suatu perencanaan ditentukan

oleh daya tahannya.

Orang Yunani dan Romawi tak mempedulikan masa

yang akan datang, dengan mencoba membuat surga di

atas dunia. Kemudian pada abad pertengahan, manusia

membuat dirinya surga di atas awan, dan membalikkan

dunia ini menjadi dunia yang fana baik bagi si kaya mau­

pun si miskin. Di zaman Renaisans, suatu jaman yang

lahir bukan karena suatu gerakan politik atau agama,

tetapi dari pernyataan pikiran, orang tidak lagi memu­

satkan pikiran dan kegiatannya namun menunggu keha­

diran surga. Mereka mencoba membangun surga di sini,

di atas tanah, dan ternyata dalam pencarian kebenaran

pada derajat tertentu, mereka berhasil.

Nilai Kebudayaan Timur yang sudah tinggi dan tua

adalah hasil suatu falsafah yang dinamis dan tradisi yang

tidak hilang selama berabad-abad. Seni dan ilmu peng­

gunaan tanah, dengan tata letak dan tata ruang telah

berkembang mencapai derajat yang sangat tinggi, yang

jarang didapatkan dan sukar dipahami oleh orang-orang

Barat. Falsafah ditekankan pada caranya, melalui apa ke­

sempurnaan yang dicari. Seni hidupnya, terletak dalam

Gambar 1.4: Rumah Suku Ume

Tempat berlindung pada iklim setempat, memanfaatkan bahan dari

lingkungan setempat (lokasi: Timor/NTl).

Foto: Kanwil Sosia/ Provinsi NIT, 22 Juli 1989

kelanggengan dan selalu belajar beradaptasi dengan

alam sekitar, suatu seni menyadarkan diri, seni bagaima­

na hid up di dunia ini. Hal ini dapat ditemui pada kebudaya­

an Gina, Jepang, dan Indonesia seperti Suku Bali , Suku

Badui, dan Suku Dani. Mereka tahu dan mengerti alam.

Kini dunia Barat mulai sadar, bahkan akhir-akhir ini sudah

berhasil merintisnya dalam perkembangan kemajuan ling­

kungan global setelah menyadari kesalahan terdahulu.

Prof. Sumitro (1971) mensinyalir akan adanya bahaya

lingkungan perkotaan di Indonesia. Sinyalemen sektor

kependudukan Indonesia dari 120 juta jiwa diperkirakan

berkembang menjadi 250 juta jiwa (2000-an), dim ana 146

juta jiwa di antaranya menetap di Pulau Jawa dan Madura

dengan tingkat kepadatan penduduk 1105 jiwa/km2• Na­

mun untuk mencegah ledakan jumlah penduduk terse­

but, antara lain diupayakan melalui pendekatan Program

Keluarga Berencana (KB) dianggap telah cukup berhasil.

Bila angka ini bisa 'agak' ditekan, maka penduduk Indo­

nesia "hanya" mencapai kurang dari 200 juta jiwa (2002).

Perencanaan ruang yang efektif sangat panting dilakukan

melalui Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang menga­

tur keseimbangan lingkungan antara berbagai ruang dise­

diakan untuk menampung aneka kegiatan penduduknya.

Perkembangan pembangunan perkotaan di Indone­

sia sebagaimana terjadi di kota-kota lain dunia, sangat

dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (manusia) aki­

bat urbanisasi. Sejak tahun 1970-an, khususnya pada

dekade pertama, sampai tahun 1980-an, 35% dari per­

tumbuhan total di semua sektor pembangunan lingkun­

gan perkotaan, adalah akibat gelombang urbanisasi yang

dipacu oleh pembangunan fisik sarana dan prasarana

kota yang merupakan daya tarik sekaligus daya dorong

bagi para warga yang ingin memperoleh peluang kehidup­

an lebih baik, termasuk sarana pendidikan dari daerah

asalnya. Laju pembangunan itu pula yang menyebabkan

perkembangan kota seolah tanpa arah (urban sprawl).

Akibat lanjut pembangunan yang tak terkontrol ini, telah

membentuk 'kantong-kantong' permukiman yang selalu

nampak kumuh-padat, dan kumuh-miskin (kupat, kumis)

di seluruh bagian kota.

Hasil analisis dari berbagai sumber, menunjukkan ka­

wasan perkotaan (terutama Jakarta) yang mau tak mau

harus menampung sekitar 2,2 juta pemukim pendatang

'baru' setiap tahun. Sepanjang 20 tahun (1980-2000),

terjadi dua kali lipat pertumbuhan absolut dibanding ke­

mampuan adaptif kota dalam menyerap pertambahan

penduduk dibanding antara tahun 1960-1980. Perhitung­

an berdasar kenyataan tentang pertumbuhan populasi

Pendahuluan 21

penduduk perkotaan di Indonesia tersebut angka pe­

ningkatan dari 33 juta (22% dari jumlah penduduk) tahun

1980 meningkat menjadi sekitar 76 juta (36%) atau lebih

pada tahun 2000 lalu.

Jumlah penduduk di Indonesia tahun 2005 lalu, sudah

mencapai lebih dari 200 juta jiwa, di mana sekitar 60%­

nya, adalah penduduk perkotaan. Penduduk ibukota

Jakarta yang beraktivitas pada siang hari di dalam kota

telah mencapai sekitar 12 juta, belum lagi di kota-kota

besar lain di seluruh Indonesia, yang tentu jumlah pen­

duduk di masing-masing kotanya telah mencapai lebih

dari satu-dua juta orang.

Kondisi pertumbuhan penduduk dengan segala

macam kebutuhan hidupnya, memaksa para pengelola

kota untuk beberapa kali merevisi pengaturan dan pe­

nataan ruang kota, namun selalu tak pernah bisa tuntas,

seolah-olah berkejaran dengan ketersediaan waktu yang

cukup untuk mengejar 'ketertinggalan pelayanan publik'.

Walau standar pelayanan minimal (SPM) sudah ditetap­

kan, namun warga terus bertambah dengan cepat, baik

secara alami (melalui kelahiran) maupun dari pendatang.

Peraturan perundang-undangan (PUU) pun terus

disesuaikan agar lingkungan perkotaan tetap layak huni

(manusiawi), namun tentu saja antara lain akibat urbanisa­

si tak terkendali tersebut tak akan mampu mengejar tun­

tutan kebutuhan, bukan saja karena jumlah yang dilayani

terus meningkat, juga karena perilaku hidup yang seolah

apa adanya, bahkan cenderung sekenanya (semau gue?)

saja, seolah tanpa menghiraukan peraturan yang ada.

Latar belakang pendatang yang beraneka ragam pun

cukup menyulitkan pemahaman akan perlunya menerap­

kan tata cara hid up sehat, karena keterpaksaan menghuni

22 Pendahuluan

dan okupansi pada lahan-lahan 'kosong' yang ada seperti

pada jalur jalan kereta api, bantaran sungai, atau di seki­

tar dan di antara struktur bangunan yang ada tentu saja

'melawan hukum'. Mungkin dalam pikiran mereka, yang

penting adalah sudah 'mendapatkan' ruang untuk hidup

walau pasti tidak memenuhi syarat hunian yang layak,

apalagi bila sebagian mereka menyatakan bahwa 'squat­

ter' itu (selalu) hanya sebagai tempat tinggal sementara.

Pola pembangunan perkotaan menetapkan tugas

pengelola kota untuk melayani kebutuhan warganya akan

ruang tinggal, energi, air bersih, transportasi umum, fasili­

tas ruang terbuka dan rekreasi, dan seterusnya. Namun

keterbatasan ruang dan waktu pulalah yang tak mampu

menampung dan mendukung penduduk yang terus

mengalir masuk kota. Tentu diperlukan pendekatan khu­

sus seperti prinsip pembangunan struktural bagi sarana

hunian ke arah vertikal, didukung oleh penerapan pelak­

sanaan hukum yang rasional dan perlu pengertian warga

kota yang bermodal seadanya, dibantu pula oleh kerja

sama dari mereka-mereka yang istilahnya sudah 'mapan'

untuk mau membantu dengan segala kemampuan yang

ada, demi mencapai lingkungan kota yang aman, sehat,

nyaman dan produktif.

Dalam kondisi urbanisasi yang terus berlangsung

cepat ini, maka pemerintahan kota mana pun tak akan

mampu menyediakan prasarana dan sarana meski yang

paling minimal pun, tanpa kerja sama dan pengertian dari

seluruh warga kotanya. Pemerintah kota pun wajib terus

mengawasi dan membenahi pertumbuhan kotanya di se­

gala sudut (lokasi) maupun di segala sektor pelayanan

publik yang memadai dengan menjalankan PUU secara

tegas dan konsisten.

Gambar 1.5:

Karikatur tentang kecenderungan

umum yang menomor duakan

ruang terbuka - termasuk sarana

RTH - dan mengutamakan

pembangunan fasil itas usaha.

Sumber: Harian Kompas, 3

Oesember 2005, dari karikatur

Hosb/ock di Washington Port,

1999

Dalam jangka panjang, karena SDA dan SD-buatan

(manusia) di lingkungan perkotaan pasti amat terbatas,

maka 'kesemrawutan' (catastrophy) mudah timbul seperti

yang kita rasakan saat ini. Rentannya kondisi kota ter­

hadap bahaya berbagai penyakit akibat degradasi fungsi

lingkungan dan akibat ketidak-seimbangan/'imbalanced

spatial implementation ' ini, akan langsung diikuti oleh

terus menurunnya mutu kehidupan secara fisik, ekonomi

dan sosial budayanya yang biasa disebut dengan 'urban

disaster'.

Kondisi perekonomian dunia saat ini , berpengaruh

besar pada perkembangan negatif perkotaan akibat

konsentrasi pembangunan penataan di sektor usaha (ke­

giatan industri), juga terkait dengan upaya menampung

arus urbanisasi melalui sebanyak mungkin penyediaan

barang dan jasa perkotaan. Mekanisme pemenuhan ke­

butuhan warga kota ini selalu dimaksudkan agar dapat

memenuhi target pelayanan masyarakat akan sarana

dasar, yaitu: pangan, sandang dan papan, termasuk la­

yanan kesehatan, pendidikan, kebersihan dan kenya­

menan lingkungan perkotaan.

Pembangunan berbagai sektor tersebut relatif mu-

dah menekan ruang-ruang 'terbuka' yang ada, karena

penilaian keuntungan sesaat, sedang keuntungan dari

segi lain tidak mendapat penghargaan yang layak. Se­

bagian besar akibat ketidak-sadaran, bahwa ruang-ruang

terbuka (termasuk RTH) ini justru bernilai ekonomis dan

s.ekaligus ekologis tinggi yang sangat vital bagi keberlan­

jutan kehidupan warga penghuni lingkungan perkotaan.

Perhitungan ekonomi dari transfer biaya atas hilangnya

produktivitas manusia yang sakit akibat tekanan kondisi

negatif pencemaran dan atau kerusakan lingkungan ini

terutama meningkatnya vektor pembawa penyakit, cukup

tinggi. Belum lagi akibat pencemaran dan kerusakan ling­

kungan itu terhadap benda-benda lain yang ada di ling­

kungan kota.

Pembangunan di berbagai tingkat dan sektor hen­

daknya selalu menyadari kemungkinan akan timbulnya

dampak negatif. Pertimbangan pada konsep dasar un­

tuk menghindar dari fenomena perusakan atau turun­

nya fungsi pelestarian lingkungan perkotaan yang selalu

terjadi , hanya bisa ditempuh melalui penjagaan atau

pemeliharaan keseimbangan fungsi antara wilayah (zona)

terbangun dan alami (tidak terbangun) yang rasional

sedemikian rupa, sehingga proses asimilasi alami masih

bisa berlangsung.

Konflik a11tar kegiatan penduduk kota dalam meman­

faatkan ruang yang terbatas dapat diatasi dengan pemba­

gian alokasi ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata

Ruang Kota (RTRK) yang disahkan dalam UU. Di dalam

RTRK tersebut juga tertuang dengan jelas alokasi ruang

yang diperuntukkan bagi perlindungan dan konservasi.

Peruntukan ruang untuk perl indungan dan konservasi

merupakan upaya pengamanan bagi nilai alami suatu

Pendahuluan 23

bentang alam di wilayah kota. Penting dan tingginya nilai

lansekap alami semacam ini dalam jangka panjang telah

diakui sebagai suatu harta yang harganya justru tak terni­

lai bagi suatu kota. Banyak manfaat dihasilkan dari ruang

lansekap alami kota semacam ini (seperti diuraikan pada

bab-bab selanjutnya) bagi warga kota, maupun bagi

pemerintahan kotanya sendiri, karena sebagian besar

urusan pelayanan publik dapat berlangsung sebagaima­

na mestinya.

Pemahaman akan pentingnya pengamanan bentang

alam (lansekap) perlu dituangkan dalam perencanaan

pembangunan jangka panjang dan dijabarkan lebih lan­

jut dalam pembangunan jangka menengah dan pendek.

Selanjutnya, dalam berbagai proyek-proyek pembangun,

selalu didahului oleh semacam Kerangka Acuan Kerja

(Term of Reference) yang didalamnya perlu mengandung

prinsip-prinsip keseimbangan fungsi lingkungan.

Semua pihak terkait hendaknya menyadari, bahwa

'sejak saat ini' aspek-aspek ekologis dalam suatu ke­

giatan pembangunan, adalah sama pentingnya dengan

pertimbangan-pertimbangan lain baik teknis, ekonomis

maupun sosial-budaya.

Di dalam siklus pembangunan dikenal tahapan evaluasi

manfaat hasil pembangunan (Project Benefit Monitoring

and Evaluation - PBME) yang di dalamnya menetapkan

indikator-indikator pencapaian hasil pembangunan seka­

ligus mencegah dampak negatif yang mungkin timbul.

Dengan indikator tersebut setiap tahapan pembangunan

perlu dievaluasi.

Pendekatan apapun dalam rangka mempertanggung­

jawabkan pembangunan umumnya berdasar pada in­

strumen PUU sebagai upaya pengamanan bagi wilayah

24 Pendahuluan

alami kota. Pada bagian tertentu wilayah kota, mestinya

dapat disisihkan suatu ruang untuk tetap pada kondisi

sebagaimana awalnya (present state), dimana secara pe­

riodik dan menyeluruh, maka pada zona-zona alami ini

perlu dilakukan pula pengukuran, pelaksanaan dan pen­

gawasan pembangunan. Harapannya adalah agar setiap

tahapan pembangunan sesuai dengan perkembangan

kebutuhan warga (berdasar kebutuhan fisik, ekonomi,

sosial dan budaya), dengan memanfaatkan perkemban­

gan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetap berpijak

pada latar belakang sejarah serta kekhasan lokasi (local

genius). Di sisi lain, kondisi bio-geografi lingkungan dan

kondisi lingkungan wilayah kota diusahakan agar tetap

berada dalam keseimbangan rasional tersebut.

1.2 PENTINGNYA PENGHIJAUAN KEMBALI LINGKUNGAN PERKOTAAN

Kecenderungan yang terjadi pada kota-kota dunia

sampai saat ini adalah menata kern bali kotanya agar lebih

menuju ke arah keseimbangan antara daerah 'hijau' de­

ngan 'non hijau', sehingga tercapai lingkungan perkotaan

yang 'layak huni', yaitu kondisi kehidupan yang sehat,

nyaman dan terus berkelanjutan. Kota Beijing misalnya,

dengan ambisi pemerintahan yang telah ditunjuk oleh In­

ternational Olympic Committee (IOC) sebagai penyeleng­

gara Olympiade 2008, ingin meningkatkan jatidirinya se­

bagai sebuah kota yang tidak kotor atau semrawut lagi,

tetapi menjadi kota hijau yang 'bergengsi'.

Sebagai kota tuan rumah pertemuan olahraga (OR)

akbar dunia tertinggi, maka pemerintah tak hanya mem­

bangun kompleks OR yang megah, mewah dan asri,

tetapi seluruh sarana dan prasarana kota ditata kembali

Gambar 1.6: Penataan RTH Perkotaan

di Suzhou, Cina

Keberadaan zona hijau dipakai sebagai

pertimbangan dalam pengembangan

kawasan perkotaan.

{lokasi Suzhuo, Cina 2004)

Gambar 1.7: Taman air di

sekeliling lstana Kaisar

Tokyo dengan dominasi 'sakura'

di musim semi di antara gedung

pencakar langit. Upaya untuk tetap

mempertahankan penciri negeri

"bunga sakura" di tengah-tengah

lajunya perkembangan kota.

(Ook. Taka-san, Fukiage, 2006)

Pendahuluan 25

berdasar pad a Urban Park Metropolitan System. Selain

membenahi taman-taman tradisional yang mengandung

nilai sejarah tinggi, ruang kota secara keseluruhan ditata

kembali berdasar teknologi sistem perkotaan yang cang­

gih. Di segala sudut kota, taman-taman yang ada ditata

kembali dan ditambah dengan taman 'modern'. Penghi­

jauan di sepanjang jalur jalan utama dengan sistem bou­

levard yang amat Iebar menciptakan ruang dengan arsi­

tektur lanskap yang hijau, teduh, dan asri.

Sebagian kota-kota besar dunia berusaha terus mem­

benahi lingkungan kotanya, termasuk ibukota Negara Re­

publik Indonesia, 'Jakarta Metropolitan City'. Sebelumnya,

lebih dari tiga dekade lalu, Jakarta dibangun condong

ke arah industrialisasi, antara lain untuk menyediakan

lapangan kerja bagi para buruh atau tenaga kerja yang

seiring dengan perkembangan pembangunan, berbon­

dong-bondong ber-urbanisasi datang dari segala arah,

tak hanya dari pulau Jawa tetapi juga dari seluruh pulau

nusantara. Peningkatan urbanisasi yang semakin cepat

ini, tidak mampu diimbangi oleh penyediaan sarana dan

prasarana dasar, agar penduduk kota bisa hidup layak.

Kebutuhan akan ruang menjadi tidak seimbang dengan

jumlah penduduk yang terus bertambah tersebut.

Disayangkan, bahwa secara langsung maupun tidak,

ruang yang semula berupa 'zona hijau' paling banyak

dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan ruang hidup

dengan segala isinya di kota metropolitan ini. Hal itu

adalah sebagai akibat penilaian sebagian besar masyara­

kat termasuk para pengelola kota bahwa ruang terbuka

(hijau maupun tidak) semacam ini 'tidaklah ada atau

kurang bermanfaat' atau hanya sebagai tempat hidup

vektor penyakit, tempat dimana para pengemis dan ge-

26 Pendahuluan

landangan hidup, dan seterusnya. Hukum pun menjadi

sulit diterapkan, pada ruang-ruang terbuka yang cukup

bisa membahayakan, seperti bantaran sungai dan pan­

tai, jalur kereta api bahkan di bawah saluran listrik atau

saluran utama tegangan ekstra tinggi (SUTET) pun penuh

bangunan permukiman dari yang mewah hingga kumuh.

Rencana lata Ruang Kota (RTRK) sudah berkali-kali di­

revisi, sebab selalu tidak bisa 'mengejar' ketertinggalan

penyediaan sarana dan prasarana (sarpras) kota.

Akibat langsung dari ketidakseimbangan antara ling­

kungan terbangun (binaan) dengan lingkungan perlin­

dungan (alam) menyebabkan penurunan mutu lingkungan

kota (environmental degradation). Tentu saja kesehatan

lingkungan juga tidak bisa dijaga seoptimal mungkin,

berbagai penyakit akibat bakteri e-coli (utamanya berasal

dari buangan manusia), seperti tipus, disentri dan diare

sudah biasa terjadi sehari-hari, demikian pula penyakit

yang penularannya berasal dari media air (sungai) tanah

maupun udara, telah banyak diuraikan di berbagai media

(cetak maupun elektronik). Penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk aedes agepti serta

malaria dan polio sudah merebak ke mana-mana. Masih

banyak lagi jenis penyakit yang kemudian timbul beran­

tai akibat degradasi lingkungan semacam ini, termasuk

akibat kongesti (menumpuknya) kendaraan bermotor di

jalanan umum.

Untuk mencapai lingkungan perkotaan yang aman,

nyaman, produktif, dan berkelanjutan, diperlukan Pena­

taan Ruang Wilayah (Kota dan Kabupaten) di seluruh In­

donesia yang sejauh mungkin harus disesuaikan dengan

kondisi bio-geografi lingkungan alaminya.

Keadaan alam tersebut menuntut Penataan Ruang

Gambar 1.8: Wring in Kurung (Ficus benyamina)

Menjadi penciri 'alun-alun' di setiap halaman kantor kabupaten di

Jawa. Tajuknya yang Iebar mampu membentuk 'ruang ' di bawahnya,

sehingga jenis ini banyak ditanam di tempat-tempat umum lain seperti

pasar tradisional dan tempat lain.

(----- 2003. Wee!Zien met lndie, No. 21. Bouwen en Wonen)

Kota untuk 'disesuaikan' dengan alam sekitar, apabila

tidak ingin menuai bencana. Penataan Ruang Wilayah

perlu tetap memperhatikan peningkatan bidang ekonomi

(economical advantage), menyediakan ruang-ruang ter­

buka hijau di segala penjuru kota secara merata, yang

dijalin dalam suatu sistem perkotaan sehingga Tropical

Park System dan dapat 'mencapai' seluruh sudut kota.

Dalam kebijakan penataan ruang perlu ditegaskan pula

tentang pentingnya RTH pada skala nasional, provinsi,

dan kabupaten/kota, serta pada kawasan permukiman.

Singapura dan Kuala Lumpur adalah dua kota tropis

yang terus membenahi tata ruang lingkungan kotanya,

antara lain dengan penataan kembali permukiman dan

dengan cara membangun struktur sedapat mungkin ke

arah vertikal dilengkapi 'sarpras' kota yang mendasar,

seperti: berbagai moda transportasi umum yang 'aksesi­

bel' dan relatif murah, taman-taman rekreasi tersebar di

seluruh bagian kota sebagian besar gratis sebagai wu-

jud pelayanan bagi penduduknya. Dalam suasana kota

yang bersih dan teduh dengan banyak memakai pohon

pelindung bertajuk Iebar, khususnya trembesi atau ki hu­

jan (Samanea saman), ketapang (Terminalia catappa), dan

bolingan (Jawa) atau Cannon Ball: (Courupita gaevensi) .

Profil demografi sebagian besar kota-kota di Indonesia

mengikuti pula pola bio-geografi alami lingkungan kepu­

lauan tropis, berkembang dari muara-muara sungai dan

rawan banjir di musim penghujan, sebab letaknya relatif

rendah, bahkan beberapa berada di bawah permukaan air

laut pasang (seperti : Semarang, Jakarta, Surabaya), dan

panas akibat teriknya sinar matahari sepanjang tahun.

Pengaturan yang lebih operasional diperlukan untuk

kota-kota di Indonesia, khususnya yang terletak di tepian

badan air untuk dapat menata secara komprehensif per­

mukiman dan peruntukan di sepanjang badan air terse­

but, antara lain melalui restorasi tepian badan air dan re­

lokasi pemukim.

Kreativitas dalam menata kawasan permukiman dapat

diarahkan dalam pengaturan pemintakatan (Zoning Re­

gulation) melalui pembangunan 'ke atas', memanfaatkan

sungai dalam kota sebagai salah satu moda transportasi

untuk mengurangi kepadatan lalu-lintas di darat (teres­

trial), memanfaatkan sempadan sungai untuk green belt

yang secara langsung merupakan upaya pembersihan

badan air dari berbagai sedimen dan zat pencemar, serta

penyediaan RTH di kawasan permukiman.

Banyaknya kejadian kebakaran , akibat amat padat­

nya permukiman mengharuskan pengaturan yang lebih

operasional bidang penataan ruang seperti peraturan pe­

mintakatan dimaksud di atas. Penataan kembali kawasan

pemukiman padat dapat dilakukan antara lain dengan

Pendahuluan 27

membuat kawasan penyangga, berupa jajaran tanaman

tahan kebakaran ('ilalar api'), atau ruang kosong (dikenal

dengan 'brand gang) di antara struktur bangunan ter­

tentu.

1.2.1 Keadaan sekarang: Penghijauan kota

dan ruang terbuka hijau {RTH)

Secara umum, penghijauan kota (urban greeneries)

bisa didekati melalui dua pendekatan, dan dipilah-pilah

yang disesuaikan dengan penetapan pada UU No. 24 ta­

hun 1992, tentang Penataan Ruang, sebagai berikut;

• Pendekatan pertama: RTH-kota yang dibangun pada

lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini RTH­

kota merupakan bagian pemanfaatan lahan suatu kota

(urban land use). Penentuan fungsi dan luasannya dulu

didasarkan RTRK yang berlaku tak hanya untuk sek­

tor/dinas Pertamanan dan atau Keindahan Kota, tetapi

28 Pendahuluan

Gambar kiri 1.9: Sungai Code, Yogyakarta

Rona pemukiman di penggal sempadan kali.

(Dok. KLH, 2004)

Gambar atas 1.10: Sempadan Sungai

Negara di Amuntai. Sungai sebagai media

transportasi dan niaga yang penting.

(Dok. Adipura, KLH, 2003)

juga bagi unit-unit lain terkait, seperti Pertanian dan

Perhutanan Kota, Kebersihan Kota, Taman Permakam­

an Umum dan Khusus (Taman Makam Pahlawan), Unit

Pekerjaan Umum (untuk Sarana dan Prasarana Kota),

Lapangan Olahraga dan Rekreasi (aktif dan pasit), dan

seterusnya. Pengelolaannya didasarkan pada tiga (3)

kawasan, yaitu: (1) Kawasan Konservasi, (2) Kawasan

Budidaya, dan (3) Kawasan Khusus. Misalnya: agar

dapat memenuhi persyaratan keseimbangan propor­

sional antara ruang terbangun dan ruang terbuka pada

suatu kawasan lingkungan kota, maka untuk menghi­

tung luas RTH-kota dapat dihitung berdasar tujuan pe­

menuhan kebutuhan akan udara bersih (oksigen), air,

dan kebutuhan lain, seperti . nilai produktivitas dari ke­

peri-adaan (eksistensi) RTH-Kota tersebut.

• Pendekatan kedua: Semua areal penghijauan yang

ada dan yang akan ada (direncanakan) di dalam suatu

kota pada dasarnya adalah areal untuk RTH-kota.

Pada pendekatan ini komponen (zonation) yang ada

dalam kota seperti zona-zona: permukiman baik indi­

vidu maupun kompleks, kantor dan perkantoran, in­

dustri serta kawasan industri, dipandang sebagai suatu

bagian (enclave) yang ada dalam kawasan penghijauan

suatu kota yang amat luas.

RTH, dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota

atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk mem­

bulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur di mana

dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada

dasarnya tanpa bangunan (lnstruksi Menteri Dalam Nege­

ri No. 14 tahun 1988). Pelaksanaan pengembangan RTH

dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alami

ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman

komoditi usaha pertanian dalam arti luas (dalam hal ini

penekanan pada nilai produktivitasnya, termasuk perke­

bunan, perhutanan/Hutan Kota, maupun peternakan dan

usaha perikanan), hijau pertamanan dan olahraga (bia­

sanya lebih ditekankan pada nilai rekreatifnya baik pasif

maupun aktif, serta keindahannya), dan seterusnya.

Namun demikian ditinjau dari kondisi ekosistem pada

umumnya, maka apa pun sebutan bagian-bagian RTH­

kota tersebut, hendaknya semua selalu mengandung tiga

(3) fungsi pokok RTH, yaitu: (1) Fisik-ekologis (termasuk

perkayaan jenis dan plasma nutfahnya); (2) Ekonomis (ni­

lai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan

lingkungan); dan (3) Sosiai-Budaya (termasuk pendidik­

an, dan nilai budaya dan psikologisnya). Di samping

fungsi-fungsi umum tersebut, maka RTH, khususnya dari

berbagai jenis tanaman pengisi, secara rinci mempunyai

Gambar 1.11: Proyek Rehabilitasi Hutan Mangrove,

di Daerah Suwung, Denpasar, Bali.

Jalur hijau tepian air sangat diperlukan sebagai penahan angin,

gelombang, dan kikisan air, di samping sebagai habitat satwa dan

pengatur iklim mikro bagi pemukiman di belakangnya.

multi-fungsi antara lain, sebagai: penghasil oksigen, ba­

han baku pangan, sandang, papan, bahan baku industri,

atau disebut sebagai: fungsi ekologis, melalui pemilihan

jenis dan sistem pengelolaannya (rencana, pelaksanaan,

pemeliharaan dan pengawasan/pengaturan) yang tepat

dan baik, maka tanaman atau kumpulannya secara rinci

maka dapat berfungsi pula sebagai: Pengatur iklim mi­

kro, penyerap dan penjerap polusi media udara, air dan

tanah, jalur pergerakan satwa, penciri (maskot) daerah,

pengontrol suara, pandangan dan lain-lain (uraian rinci

pada sub-bab 1.3.3)

Pendahuluan 29

Gambar 1.12

Ekosistem pantai dengan formasi pescaprae di Provinsi Bengkulu.

(Arifin dalam Dahuri, 2003, hal 85)

Gambar 1.13 Hutan Bakau (mangrove)

Kaya akan bahan organik berperan memasok detritus untuk

mendukung "detrital food web" dan kesuburan di daerah pantai .

(Dahuri, 2003, halaman 59. Foto koleksi PKSPL/IPB)

30 Pendahuluan

1.2.2 Pentingnya Pembangunan RTH-Kota di

Negara Kepulauan R.I.

Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara

kepulauan terbesar di dunia dengan panjang pantai seki­

tar 81 .000 km, dan jumlah pulau lebih dari 17.500, yang

sudah bernama maupun yang belum (1992, Gazetteer

Nama-nama Kepulauan di Indonesia).

Habitat mangrove, terumbu karang, padang lamun

yang sangat penting bagi pelestarian kota pesisir dengan

ekosistem unik karena mencakup tiga kawasan sekaligus

daratan, pantai, dan laut, yang masing-masing memiliki

fungsi dan ekosistem berbeda, serta keanekaragaman

hayati beragam.

Sehubungan dengan relatif seringnya kejadian ben­

cana (tanah longsor, gempa bumi yang kebetulan ter­

jadi di perairan laut sehingga menimbulkan gelombang

pasang/tsunami ke arah pantai di mana sebagian besar

menjadi pusat-pusat pertumbuhan penduduk, terutama

pada negara kepulauan Republik Indonesia ini, maka

pemerintahan (pusat dan daerah) perlu segera menyiap­

kan berbagai sarana dan prasarana baik untuk menganti­

sipasi terjadinya musibah (alam maupun buatan manusia)

maupun menyiapkan seperangkat pedoman pasca ben­

cana tentang tata-cara penanggulangan masing-masing

jenis bencana tersebut. Indonesia disebut sebagai nega­

ra yang termasuk banyak memiliki gunung berapi atau

terletak pada lingkaran api dunia 'ring of fire' dan berada

pada 'tubir' palung lautan Hindia dan Pacific, sehingga

bencana meletusnya gunung api ataupun gempa bumi

tercatat dengan kekuatan (skala richter) yang tinggi sering

sekali terjadi.

Dengan kondisi geografis semacam itu maka, Joga

(2006) dalam artikel di harian Kompas (31 Mei 2006) me­

nulis tentang pentingnya menyiapkan kota-kota yang le­

bih waspada terhadap gempa, mengingat panjangnya

daftar kota-kota yang rawan gempa. Kejadian alam terse­

but nampaknya juga telah sering dialami dan difahami

oleh nenek moyang kita khususnya yang rawan gempa

dan derasnya air bah. Karena itu secara tradisional mere­

ka membangun permukimannya di atas tiang dan terdiri

dari bahan yang lentur (fleksibel). Rentetan bencana yang

terjadi kembali memberikan pelajaran berharga bagi kita

untuk merefleksi diri, seberapa serius kota kita dibangun

dalam mengantisipasi dan memitigasi terutama korban

akibat bencana alam. Selanjutnya disampaikan perlunya

'membudayakan' warga kota agar selalu waspada sebab

bencana bisa terjadi kapan pun dan menimpa siapa pun.

Bahwa kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan

pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi.

Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan dija­

dikan bahan penyusunan rencana strategis dan program

kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran un­

tuk rencana mitigasi bencana. Kota dibangun kembali de­

ngan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau

(RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, seba­

gai ruang untuk evakuasi, atau pertahanan hidup atas

bencana. lni sama halnya dengan membangun sistem

peringatan dini secara alami untuk mengantisipasi ben­

cana alam yang penting bagi kota dan paling murah un­

tuk dibangun.

Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan

perencanaan rasional, aplikatif, dan berorientasi pada

hasil (feasible, implementable, and achievable). Sistem

peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh

..._.Fisik

..._. Nutrisi Terlarut

..._. Partikel Organik ¢:==::;:> Migrasi Satwa ..._. Dampak Kegiatan

Manus1a

Gambar 1.14

lnteraksi antara tiga habitat utama di kawasan pesisir dan laut tropis.

(UNESCO, 1983 da/am Dahuri 2003, ha/316)

di bidang fisik kota ·(pembangunan peralatan mutakhir

pendeteksi dini, bangunan antigempa), dan psikis kota

(pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi ben­

cana). Kepada warga kota ditumbuhkan budaya ramah

dan peduli lingkungan, serta tanggap .bencana sebagai

bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari melalui ke­

sadaran dan pemahaman dalam kondisi bio-geografinya.

Membangun Kota "waspada bencana" berarti memba­

ngun jejaring RTH-kota taman menyatu tak terputus,

mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga

(ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal),

jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai Oalur evakuasi),

hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh ta­

man-taman penghubung (connector parks) dengan domi­

nasi pepohonan besar dan hamparan padang dan/atau

bukit rumput (Joga, 2006 dimodifikasi).

Kini setelah 1 0 tahun pascagempa, Kota Kobe (1995,

Pendahuluan 31

32 Pendahuluan

Gambar 1.15 (peta): Gambar menunjukkan

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas

terbentang di antara dua samudera Pasifik dan

Hindia, serta berada pada 'ujung' benua yang

pada jaman es mungkin berupa bagian daratan

benua tersebut. (Gray, 1993, halaman 154)

PACIFIC OCEAN

Gambar 1.16 (kin): Selama te~ad i angin topan yang merusak, terumbu

karang kemungkinan besar akan rusak, seperti nampak dalam gambar

ini gelombang kuat yang disebabkan oleh angin topan yang amat kuat.

Meskipun demikian bila dibiarkan saja akibat bencana alam tersebut

suatu saat terumbu karang muda akan bisa tumbuh kembali.

(Gray, 1993, ha/aman 39)

7,2 skala Richter) dan kota-kota lain di Jepang telah ber- RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-alun, taman kota,

hasil membangun kota taman waspada bencana. lnstruk- lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan se-

sinya jelas, jika terjadi bencana warga diperintahkan lari dang (taman makam, jalur hijau bantaran sungai), tidak

ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan sebagai dipelihara atau dibiarkan tumbuh alami (hutan kota, hutan

ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi lindung, hutan mangrove).

tangki air minum, toilet portabel, papan petunjuk, alat

komunikasi, dan bungker gudang makanan serta obat­

obatan (untuk pertahanan mini.mal selama 1 0 hari). Taman

dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan

air bersih atau cadangan untuk pemadaman kebakaran

di musim kemarau. Pohon-pohon terpilih Genis tertentu)

ditaflam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute pe­

nyelamatan yang harus bebas hambatan) menuju taman

atau bangunan penyelamatan lain.

Kota pantai dilengkapi RTH pesisir pantai berupa 'sa­

buk hijau' atau hutan lindung (mangrove bila memung­

kinkan atau vegetasi alam jenis lain biasa tumbuh endemik

di daerah tertentu), bahkan gumuk pasir (sand dunes).

Tegakan pepohonan yang memagari tepian pantai hing­

ga menyusup ke jantung kota juga berfungsi mencegah

intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan angin

dan gelombang besar dari lautan lepas (tsunami), me­

nyerap limpahan air dari daratan, termasuk di saat banjir,

dan menetralisasi pencemaran air laut. RTH-kota berupa

alun-alun dan lapangan bola, misalnya sangat ideal bagi

ruang evaluasi korban bencana. Membangun kota taman

waspada bencana tentu butuh waktu puluhan tahun, RTH

dan pemilihan tanaman yang lentur bencana, untuk ba­

ngunan hidup (tumbuh, kembang) membutuhkan peme­

liharaan rutin yang harus direncanakan dengan matang

dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi

biaya, prioritas pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi

1.2.3 Pembangunan Kota Versus Penghijauan Kota

Peningkatan upaya 'penghijauan kota-kota' Indonesia

umumnya sering dikalahkan karen a beratnya pertimbang­

an ke arah pada lebih pentingnya peningkatan pemba­

ngunan fisik berbagai sarana dan prasarana perkotaan

lain, seperti pembangunan jalan dalam sistem transpor­

tasi, perindustrian, bangunan permukiman (tunggal mau­

pun perumahan seperti 'real estates') dan kegiatan pem­

bangunan fisik lain, seringkali mengakibatkan luasan RTH

semakin menurun, yang disadari atau pun tidak sering di­

sertai oleh semakin menurunnya mutu lingkungan hidup.

Hal ini akan mengakibatkan kota menjadi "sakit", kotor,

tercemar dan "rusak" yang sering dikemukakan oleh

Budihardjo (1993) dalam berbagai kesempatan sebagai:

"kota yang sakit" atau "bunuh diri ekologis". Dalam ke­

adaan yang menyedihkan seperti ini, para pejabat peme­

rintah mungkin tidak lagi dapat berpikir tenang, tajam dan

terarah, sehingga kemampuannya dalam memecahkan

masalah yang kompleks dan perlu lebih memandang ke

depan (bersifat futuristik), akan menurun.

Penduduk kota berkemungkinan besar terpapar dan

keracunan gas CO, C02

, NOx, SOx, 03

, CH, partikel Pb

dan TSP (total suspended particulate dan/atau debu),

berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri. Aki­

batnya, tingkat kesehatan menurun, bahkan pada tingkat

yang lebih parah lagi, dapat memamatikan. Kemungkinan

Pendahuluan 33

Gambar 1.17: Hubungan antara ekosistem darat dan !aut.

(Bengen, 2006, halaman 77)

besar terjadinya bencana seperti telah ditulis dalam "The

Silent Spring" oleh Rachel Carson (1962) Purnomohadi

(2002) secara garis besar menggambarkan betapa sepin­

ya musim semi yang lazimnya ramai-meriah dengan ane­

ka-warna tanaman serta hewan-hewan terutama burung,

tidak terjadi lagi karena lingkungan sudah demikian rusak

dan tercemar, sehingga tak ada lagi kehidupan di musim

semi yang biasanya 'ceria' itu. Gejala seperti ini mung­

kin sudah mulai merambah dan menghantui kota besar

seperti Jakarta, antara lain ditandai oleh udara kota yang

semakin panas serta udara yang terasa menyesakkan

dada dan memedihkan mata di sekitar terminal-terminal

kendaraan umum, dan seterusnya. Untuk menghindari

34 Pendahuluan

keadaan tersebut, maka pada waktu-waktu tertentu,

penduduk kota yang mampu merasa perlu untuk sesekali

bepergian ke luar kota yang sejuk, bersih dan tidak bis­

ing, seperti: Puncak, Cipanas, Cisarua, Gadog dan Ciawi

sampai ke luar negeri, atau rekreasi dan pertemuan bila

kegiatan tersebut dilakukan di Jakarta pada ruangan

yang ber-Air Condition .

Pada keadaan "kota yang sakit" tersebut, maka unjuk

tampil (performance) dan unjuk kerja (productivity) dari

subjek penting perkotaan, seperti yang telah disebutkan

di atas menjadi buruk, akhirnya kekuatan dan masa de­

pan bangsa dan negara pun akan menjadi semakin lemah

dan suram. Lain halnya dengan kota yang kualitas ling­

kungannya yang dikelola dan ditata dengan baik, mem­

pertimbangkan perlunya pembangunan RTH-Kota yang

akan mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,

membersihkan lingkungan dari pencemaran, meredam

kebisingan, menjadi lebih alami dan beberapa keuntung­

an lainnya yang akan dijabarkan secara rinci pada bab

selanjutnya, sehingga semua warga kota dan tamu kota

dan negara akan betah, karena lingkungannya yang ber­

sih, nyaman dan indah. Mereka hidup dalam kesehatan,

keceriaan dan kecerahan dengan unjuk tampil dan unjuk

kerja yang tinggi. Dengan demikian negara akan menjadi

kuat dengan masa depan yang baik dan cerah.

1.3 RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA

Buku ini disusun untuk siapa saja yang memerlukan

informasi umum tentang RTH Kota. Di dalamnya dijelas­

kan pengertian umum, peran dan fungsi serta manfaat

RTH ditinjau dari berbagai segi pengamatan berdasar

pada data dan informasi primer berupa hasil-hasil pene­

litian, maupun dari data dan informasi sekunder, umum­

nya merupakan kompilasi dari berbagai makalah yang

disusun penulis-penulis sebelumnya, sebagai materi ajar

atau sekedar informasi umum yang telah dimuat dalam

berbagai media komunikasi, termasuk jurnal dalam dan

luar negeri, surat kabar, majalah dan seterusnya. Sejak

diterbitkannya lnstruksi Menteri Dalam Negeri No. 14,

tahun 1988 tentang Pengelolaan RTH Kota, sampai kini

tak kunjung diikuti oleh semacam pedoman teknis dan

atau pedoman pelaksanaan yang lebih rinci dalam me­

nyambut dan mendukung pola swadaya kepemerintahan

di daerah sebagaimana diharapkan

Pada awalnya (sejak tahun 1965-an) melalui berbagai

upaya sosialisasi dan peningkatan kesadaran masyara­

kat akan pentingnya eksistensi RTH, mengingat fungsi

pokoknya sebagai pendukung utama keberlanjutan peri­

kehidupan warga kota, maka berbagai program peles­

tarian fungsi lingkungan perkotaan (program-program

penghargaan kebersihan lingkungan kota, pentingnya

penataan RTH, semacam taman lingkungan atau taman

kota) sebenarnya adalah demi kemaslahatan hidup warga

kota itu sendiri.

Berbagai media sosialisasi RTH kota telah lama dilak­

sanakan, 'resmi' oleh pemerintah, maupun oleh lembaga

swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai Yayasan terkait,

sadar ataupun tidak telah semakin mampu meningkatkan

kepedulian pengelola dan warga kota untuk mendorong

dan mendukung eksistensi (keberadaan) RTH berapa­

pun luasannya. Semakin disadari, bahwa RTH perlu ada

di antara struktur bangunan (hutan) beton sebagai pelu­

nak dan penyejuk lingkungan. Bahkan pemerintah kota

propinsi DKI Jakarta, telah menetapkan beberapa Per­

aturan Daerah (Perda) sejak tahun 1970-an untuk men­

dukung eksistensi RTH ini demi penyeimbang kondisi

lingkungan terbangun di perkotaan yang kemudian diikuti

pula oleh kota-kota besar lain di seluruh Indonesia.

Permasalahan degradasi lingkungan hidup perkota­

an digambarkan dari semakin mewabahnya penyakit­

penyakit akibat kualitas lingkungan yang semakin mem­

buruk bahkan sulit diatasi, sebagai akibat tidak adanya

ruang bagi penampung buangan kegiatan manusia

berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin

menumpuk dan mengalir tidak terkendali yang menjadi

wadah yang subur bagi media pertumbuhan penyakit.

Pencemaran berbagai media lingkungan, apakah itu

badan air, tanah ataupun udara telah terjadi secara nyata,

sedangkan Undang-undang No. 24, Tahun 1992 tentang

Penataan Ruang, telah mengatur bahwa pada hakekat­

nya ruang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kawasan

budidaya atau terbangun, dan kawasan lindung (alami,

konservasi). Walau telah ada peraturannya, namun pada

kenyataannya telah terjadi degradasi kualitas lingkungan

air, udara dan tanah di hampir seluruh wilayah kota, kare­

na lemahnya penegakan hukum.

Berbagai kondisi lingkungan yang negatif tersebut,

memacu kejadian kerusakan lingkungan kota menjadi

berantai dan kait mengkait. Pada kawasan permukim­

an kota tepi air misalnya, masalah klasik adalah ben­

cana banjir, pada kawasan pesisir terjadi kerusakan dan

pencemaran pantai. Adanya 'ROB' atau genangan air laut

ke arah darat, seperti di muara kali Semarang misalnya,

tentunya membawa kerusakan akibat pengaruh air asin,

atau intrusi air laut yang mengisi kantong-kantong air ta-

Pendahuluan 35

nah (aquifer). Pada kota-kota di daerah lereng pegunung­

an terjadi tanah longsor dan juga banjir (lumpur) antara

lain akibat kurang atau tidak adanya tanaman yang bisa

mengikat atau menahan air hujan yang terakumulasi, ter­

utama bila terjadi curah air hujan tinggi.

Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dengan

menyisihkan sebagian ruang kota, terutama di wilayah­

wilayah yang rawan bencana, harus segera dilaksanakan.

Artinya ruang-ruang yang rawan tersebut bukan diproyek­

sikan untuk permukiman, seperti tepian badan air (sungai,

danau/dam atau laut), atau mendirikan bangunan pada

lereng yang relatif curam. Ruang untuk menampung keg­

iatan konservasi lingkungan kota harus dikaitkan dengan

RTRWK dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR).

Perlu adanya pengertian dari seluruh warga penghuni

kota, bahwa terdapat hubungan sangat strategis an­

tara Pembangunan Kota dan RTRWK (yang di dalamnya

mengandung rencana RTH) merupakan rencana pem­

bangunan kota-kota layak huni (Eco-cities). Rencana

pembangunan kota yang layak huni tersebut harus terus

disebar-luaskan sehingga sebab akibat dari perkembang­

an kota yang baik atau yang buruk dapat diketahui selu­

ruh warga kota.

Pola konsepsi hijau, di mana sebaiknya jenis atau tipe

RTH itu harus ditempatkan, serta ketergantungan pada

pentingnya pemilihan jenis tanaman pembentuknya di­

uraikan dalam pemilihan beberapa jenis tanaman _con­

toh serta fungsi-fungsi khusus berbagai jenis tanaman

pembentuk RTH. Perkembangan pengelolaan RTH, serta

hubungannya satu sama lain diterangkan ke dalam bab­

bab 'anatomi' kota, seperti sesosok tubuh manusia, yang

juga terdiri dari berbagai anggota badan seperti kaki, ta-

36 Pendahuluan

ngan, dan yang penting menjaga agar 'tetap bisa hidup'.

Kota juga mempunyai alat bernapas seperti paru-paru

dan jantung, kemudian alat pencernaan dengan bagian­

bagiannya, sebagai instrumen metabolisme kota yang

layak huni itu (liveable city).

Berbagai skala kebutuhan RTH hendaknya disesuai­

kan dengan standar-standar pengelolaan RTH kota, yang

sesuai pula dengan fungsinya, serta pendekatan partisi­

patif harus pula dilakukan secara terus-menerus.

Secara umum diinformasikan pula beberapa peng­

alaman, baik dalam pengelolaan RTH di dalam negeri

maupun di negara lain, khususnya di kota-kota negara

tropis, seperti di Propinsi DKI Jakarta sendiri, di Suraba­

ya, sedikit disinggung penataan sampah dan pengelolaan

air limbah di Kuala Lumpur, Malaysia, dan 'Negara Kota

Taman' Singapura. Untuk negara maju telah dipilih kota

Osaka yang terletak di negara empat musim, dimana

tiap-tiap musim mempunyai nilai fungsi lingkungan dan

panorama lansekap kota yang khas, dengan bunga na­

sionalnya 'sakura', serta secara konsisten mempertah­

ankan kekayaan budaya lokal.

Membangun dan mengelola Kota Taman Tropis ter­

masuk persebaran serta sifat dan tipologinya, hendaknya

mengikuti kaidah-kaidah dasar pengelolaan lingkungan

hidup (PLH) dalam sistem jaringan perencanaan arsitek­

tur lansekap bagi RTH kota umumnya, termasuk juga apa

yang disebut taman kota metropolitan (A Metropolitan

Park System).

Dalam membangun dan mengelola taman tropis se­

layaknya disesuaikan pula dengan iklim setempat dan

kekayaan SDA-tropis Indonesia yang sangat beragam

dari barat, kota Sabang di propinsi Nangroe Aceh Darus-

salam sampai kota Merauke di ujung timur Irian Barat ba­

gian timur, masing-masing kota tersebut perlu berusaha

untuk mempertahankan nilai-nilai ethno-bio-geografi

lingkungan lokalnya, misalnya melalui pengkayaan jenis

tanaman dalam RTH serta kegiatan-kegiatan yang sesuai

dengan peruntukkannya.

Pembentukan kota taman di Indonesia bertujuan

untuk mencapai "Lingkungan Kota Taman Tropis" yang

aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, dengan ber­

bagai kebhinekaan namun menyatu dalam Negara Kepu­

lauan Republik Indonesia.

Gray dan Cullen (1981), dalam makalahnya: "Res­

ponding to Change in A Park System", mengatakan bah­

wa sistem ruang terbuka (RT) di Kota Canberra, ibukota

Australia sengaja direncanakan dan dirancang sedemiki­

an rupa sehingga memberi peluang yang fleksibel apabila

suatu saat dibutuhkan perubahan pemanfaatan ruang.

Melalui sistem perencanaan dan perancangan dalam

20 tahun, Pemerintah Kota Canberra dianggap berhasil

karena mengikuti beberapa prinsip:

(1) Dipeliharanya sistem RT melalui hubungan kuat dan

saling dukung dalam diskusi yang matang di antara

para perencana, perancang dan pengelola kota, se­

belum ada keputusan bersama antar ketiga kelompok

disiplin tersebut ;

(2) Perencanaan RT didasarkan pada pelayanan sesuai

jumlah penduduk, melalui pertimbangan bahwa yang

penting bukan luasnya, tetapi arti dan kreasi sebuah

RT yang efisien dalam segala hal, antara lain dari segi

biaya pemeliharaan;

(3) Sistem RT dapat lebih berhasil bila ada korelasinya

antar satu RT dengan lain RT yang berdekatan, sebab

dapat dimulti-fungsikan;

(4) Dalam perencanaan, perancangan dan pengelolaan RT

dibutuhkan konsep pendekatan 'spektrum', artinya

berbagai variabel fungsi dan standar lokal untuk peme­

liharaan, misalnya dapat diadopsi sebagai bagian dari

sistem yang komprehensif.

Adanya kolaborasi dalam sistem pengelolaan lim­

bah padat atau sampah (organik dan an-organik) skala

lingkungan perumahan dengan RTH, misalnya dengan

meletakkan TPS (Tempat Pembuangan Sementara) pada

suatu sudut Taman Hutan Kota atau jalur hijau (green belt)

kota yang cukup luas dengan jarak tertentu dari permu­

kiman sedemikian rupa sehingga tidak mencemari atau

menimbulkan bau serta pemandangan yang tidak sedap

namun dapat dijangkau oleh warga setempat. Sistem ini

telah diterapkan di kota-kota Provinsi Wurtenberg, di Jer­

man Selatan.

Penulisan buku bertujuan agar setiap perencanaan,

perancangan dan pengelolaan RTH kota, dapat selalu

didasarkan pertama-tama pada pertimbangan perlunya

menyisihkan sebagian 'ruang hidup' sebagaimana aslinya

agar apabila terjadi perubahan 'alam' yang merugikan,

apakah akibat perilaku manusia ataupun akibat proses

alam yang terus bergerak dinamis, masih ada "sepenggal

ruang asli tinggalan masa lalu" dimana kita semua dapat

belajar dari padanya.

Sambutan Emil Salim dalam Gunadi (2005)1, diberi

judul 'Aiam Terkembang Jadi Guru', adalah pepatah suku

Minangkabau yang menasehati agar kita semua patut

berguru kepada alam lingkungan yang terkembang luas

di sekeliling kita. Alam adalah ciptaan Tuhan dan memberi

kehidupan kepada semua makhluk. Apabila dapat kita

Pendahuluan 37

kembangkan pola hidup 'di mana pun' manusia berada,

berdasar pada kearifan alam, maka akan langgenglah ke­

hidupan di dunia.

Selanjutnya dikatakan, bahwa manusia yang semula

hidup selaras bersama alam, maka dengan mengandal­

kan kemampuan berpikir dan inovasi serta kreativitasnya,

manusia mengembangkan ciptaan hasil pemikirannya

berupa kota dengan segala perangkat 'buatan manusia'

yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti per­

mukiman, energi (listrik, makanan), alat transportasi agar

bisa bergerak, berpindah-pindah (mobile), fasilitas air mi­

num, dan seterusnya. Makin lama manusia menjadikan

alam berjarak semakin 'jauh' dengan dirinya karena lebih

mengejar pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, ma­

nusia lupa bahwa sebagai salah satu biota akan hidup

tergantung pada biota lain, seperti tanaman dan hewan

misalnya.

Karena kodrat alaminya yang sedemikian rupa itulah

maka pada suatu saat seperti pada saat ini, manusia

yang hidup dalam lingkungan perkotaan yang serba buat­

an ini, tetap akan merindukan suasana kehidupan yang

'kembali ke alam' (back to nature) yang sudah tentu jauh

lebih sehat.

Gunadi (2005) selanjutnya mengutip gurunya itu pula,

dengan menuliskan uraian kata-kata dalam kalimat seba­

gai berikut: "Yang cocok (suitable) akan menjadi sehat

(fit), yang sehat akan menjadi subur, yang sehat dan subur

akan menjadi kreatif, yang kreatif akan produktif, yang

produktif akan menjamin kelangsungan hidup". Selanjut­

nya, kata McHarg : "Lingkungan akan memberikan segala

apa yang diinginkan dan dibutuhkan manusia, apabila

manusia mengerti, menghormati dan menyayanginya ".

38 Pendahuluan

Ditutup oleh kata-kata Gunadi sendiri: "Hanya di tangan

orang-orang yang arif, bijak dan peduli, lingkungan ini

akan selamat dan hidup ini akan berlanjut".

RTH baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan

adalah "sepenggal alam" yang masih tersisa atau sengaja

disisakan guna mengimbangi lingkungan buatan (kota)

baik yang sengaja dirancang dan direncanakan melalui

kreativitas arsitektur lansekap maupun karena 'warisan'

wajah alami yang sengaja dibiarkan sedemikian agar kita

semua suatu saat masih memperoleh kesempatan untuk

dapat menikmatinya, langsung maupun tidak.

1.3.1 Kecenderungan dan Prediksi di Masa Depan

Tentang Penghijauan (RTH)-Kota.

Penghijauan (RTH)-kota masih menjadi hal yang perlu

diperhatikan secara serius terutama di kota-kota besar.

Di wilayah Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, misal­

nya dengan pertambahan penduduk yang tidak pernah

turun, hingga saat ini sekitar 21,84 persen dari seluruh

luas wilayah (48, 19 km2) ternyata masih tergolong lahan

kritis, kenyataannya, yang berhasil dihijaukan baru men­

capai 8,16 persen dari luas wilayah (Purnomohadi, 1994).

ldealnya, 30 persen dari luas wilayah seharusnya berupa

lahan (ruang) alami atau terbuka hijau. Untuk Jakarta dan

kota-kota besar lain yang pembangunan fisiknya sudah

amat pesat, disadari bahwa angka sebesar itu sungguh

tidak mungkin dicapai, atau harus ada upaya khusus un­

tuk pembebasan lahan yang tentu biayanya akan sangat

mahal.

Upaya penghijauan pernah dilakukan, antara lain

melalui program penanaman sejuta pohon atau kampa­

nye penghijauan yang gerakannya masih sporadis dan

sewaktu-waktu, misalnya hanya pada Hari Lingkungan

HidupSedunia, atau Hari Cinta Puspa dan Satwa, Hari

Habitat, dan hari-hari peringatan lain yang sebagain be­

sar masih bersifat seremonial. Selama rentang waktu

lima tahun (1994-1997) pelaksanaan gerakan penanaman

sejuta pohon di kodya Bogor, misalnya, menghabiskan

swadaya murni dari masyarakat sebesar Rp 243.834.000

ditambah dana APBD (Tingkat II) Kodya Bogor untuk

gerakan yang sama dalam kurun waktu 1993-1997 sebe­

sar Rp 226.703.000 tentu saja dirasakan masih sang at

kurang.

Berdasar toto-toto satelit yang ada diketahui bahwa,

luas hutan di Jawa pada waktu itu (termasuk hutan-hutan

jatinya) hanya mencapai 12 persen dari seluruh pulau.

Sebelum perang dunia kedua luas hutan tersebut adalah

kurang lebih 30 persen, berarti eksploitasi hutan di pulau

Jawa telah banyak mengikis keseimbangan ekologis di

Pulau Jawa itu sendiri. Akibat yang nampak adalah erosi

atau tanah longsor yang berkepanjaangan dan terjadi di

mana-mana di Pulau Jawa ini (di Jember, Banjarnegara/

Batu Raden, dan lain-lain), polusi udara, kenaikkan suhu

udara dan masih banyak lagi dampak negatif yang tim­

bul. Dan yang menonjol akhir-akhir ini adalah timbul dan

semakin tumbuh-suburnya vektor penyakit (nyamuk,

lalat, unggas) yang sangat merugikan. Dengan semakin

tipisnya RTH sebagai "paru-paru" kota di seluruh dunia

secara akumulatif, tentu akan berakibat fatal, dicirikan

dengan naiknya suhu bumi dan perobahan cuaca karena

kenaikan suhu bumi tidak hanya dialami oleh satu pulau

saja, tetapi akan terus merembet kepulau-pulau lain bah­

kan ke manca negara melampaui batas administratifnya

masing-masing.

Sekarang banyak pohon-pohon di daerah perkotaan

yang dipotong habis oleh Pemerintah Kota dengan alasan

mengganggu lalu lintas jalan dan instalasi listrik atau me­

nambah Iebar jalur lalu lintas kendaraan bermotor. Bila

diamati lebih cermat, penebangan pohon-pohon tersebut

tidak diikuti dengan konservasi/upaya penanaman kern­

bali dengan pohon yang baru. Kepekaan para penentu

kebijakkan pembangunan kota termasuk masyarakat

umumnya sudah sangat kurang atau bahkan sama sekali ·

tidak ada akibat terbatasnya ruang gerak manusia kota,

namun terhadap pentingnya keberadaan pepohonan di

dalam kota tetap belum menjadi bahan pertimbangan

utama. Betapa ironisnya jika pepohonan itu justru diganti

dengan pohon buatan yang dihiasi dengan lampu ber­

warna-warni, ataupun terus ditebang dan dipindahkannya

pepohonan yang telah tumbuh sehat optimal ke tempat

lain, hanya dengan alasan untuk memperlebar jaringan

jalur jalan tertentu karena kemacetan yang semakin men-

Tabel 1.1 Konsep Dasar Pengelolaan Lahan

Tipe-tipe Pengelolaan Lahan

Konsep

Dasar

Konservasi

AI ami

Konservasi

Lansekap

Sistem

'Ruang Hijau'

Kewilayahan Daerah (wilayah)

terbuka

Karakteristik Konservatif

Daerah

Permukiman

Konstruktif

Lansekap, BENTANG ALAM (landscape), adalah suatu keadaan 'ruang'

di 'atas' lahan, yang karena budi daya manusia kemudian dirobah

menjadi kawasan terbangun atau dibiarkan saja sebagai kawasan

lindung, dapat dikelompokkan pada tipe-tipe pengelolaan lahan.

(Takahashi, 1989)

Pendahuluan 39

jadi-jadi, bukan penyelesaian pada akar masalahnya,

misalnya peningkatan kuantitas dan kualitas serta moda

transportasi umum. Penataan ruang kota yang lebih bi­

jaksana melalui kebijakan kepemilikan kendaraan, pemba­

ngunan sarana dan prasarana yang menyebar ke seluruh

penjuru kota, termasuk dibangunnya area transit dari satu

moda ke moda transportasi lain. Dengan demikian maka

penduduk kota pun pasti mempertimbangkan kalau tidak

perlu benar, t idak perlu pergi dengan berkendaraan motor

(terutama pribadi) ke pinggiran kota untuk suatu keper-

luan dan sebaliknya. Commuter, bisa dikurangi melalui

pembangunan sarana dan prasarana kota (complex city)

yang memadai dan tersebar di seluruh wilayah Program

Bank Pohon. (Tabel 1.2)

Dalam upaya mempercepat terjadinya pemulihan

kerusakan ekologis seperti perbaikan siklus hidrologis,

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Program

Bank Pohon membuat terobosan dan inovasi dalam

merehabilitasi lahan kritis, baik di wilayah perdesaan

maupun perkotaan wilayah di antaranya, mengingat se-

Tabel1.2: Program Bank Pohon KLH tahun 2004, dimulai di akhir tahun 2002, menghasilkan:

Initial Lokasi Donatur Jumlah Luas Jumlah Para pihak Planting penanaman bibit Ia han masyarakat

ter1ibat

19-3-2004 Kabupaten PT. lndah Kiat Pulp 40.000 160 ha 387 - PEMDA Kab.

Temanggung and Paper - Temanggung

- Kel. Tani & penduduk 1

10-6-2004 DAS Kali PT. Astra Agro 500 1.5 ha 200 Kel. Tani Sangga-buana

Pesanggrahan Jakarta Lestari

--j 14-7-2004 Kabupaten PT. Riau Andalan 200.000 2.000 ha 1.771 - PEMDATmg

Temanggung Pulp & Paper - Penduduk

-UGM

27-7-2004 Banjaran Wetan Kab. PT. Kaltim Prima 30.000 55 ha 1 03 - WPL Bojong

I Ban dung Coal - PEMDA Kab. Banduog l

27-9-2004 Kec. Mundu Kab. PT. lndocement . 35.000 36 ha 91 - PEMDA Kab. Cirebon

Cirebon - Yayasan Buruh & LH

Total* 305.829 2.215 2.552

' laporan Program bank Pohon, 2003

40 Pendahuluan

makin banyaknya perobahan tata guna lahan yang tidak

sesuai peruntukannya, maraknya penebangan hutan se­

cara liar serta menyusutnya RTH khususnya di lingkungan

perkotaan (KLH, 2003).

Program BANK POHON KLH merupakan program

penghijauan di lahan kritis dengan melibatkan kemi­

traan antara donatur (swasta), Pemerintah Daerah serta

masyarakat setempat. Program ini berbeda dengan pro­

gram-program penghijauan pemerintah yang pernah ada,

sehingga diharapkan tidak mengulang kekeliruan yang

telah dilakukan sebelumnya.

Tujuan dibentuknya program Bank Pohon adalah: (1)

menggalang aliansi, kemitraan dan kerjasama untuk me­

ningkatkan kegiatan penanaman pohon secara swadana

dan swadaya; (2) Menyediakan bibit pohon dan dana

untuk menggerakan penghijauan pada lahan kritis dan

daerah perkotaan (sementara ini) di pulau Jawa, Madura

dan Bali; (3) Mendukung pelaksanaan gerakan penghi­

jauan untuk memperbaiki lingkungan pada 16 Daerah

Aliran Sungai (DAS) dan atau beberapa Wilayah Sungai

dan perkotaan di Pulau Jawa, Madura dan Bali, yang di­

lakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Lokasi

pelaksanaan penghijauan program Bank Pohon di luar

wilayah penanaman Program Gerakan Nasional Rehabili­

tasi Hutan dan Lahan (GNRHL).

Masyarakat yang diharapkan berpartisipasi menjadi

'nasabah' Program Bank Pohon adalah: Dunia usaha,

Asosiasi Profesi dan Bisnis, Organisasi Sosial, Perkum­

pulan Pencinta Tanaman (PPT), Lembaga Swadaya Ma­

syarakat (LSM), Lembaga Donor, serta perorangan yang

peduli lingkungan. Dengan demikian, kepedulian pihak

swasta dalam upaya merehabilitasi lahan kritis melalui

pemberdayaan masyarakat setempat dapat terfasilitasi

dalam program ini.

Penanaman perdana atau Initial Planting merupakan

tanda bahwa pada lokasi tersebut akan dilaksanakan

gerakan penghijauan oleh masyarakat yang tinggal pada

lahan kritis atas bantuan pihak swasta selaku donatur.

Keterlibatan para pemuka masyarakat peduli lingkungan

pada Initial Planting diharapkan dapat memberikan pu­

blikasi yang baik bagi masyarakat dan calon donatur lain

sebagai upaya sosialisasi pentingnya rehabilitasi lahan

kritis.

Pada tahap awal, kegiatan survei lokasi, kesediaan

masyarakat memelihara pohon, serta bimbingan pihak

PEMDA atau LSM setempat menjadi hal penting dalam

tahap persiapan sebelum penanaman. Penyesuaian pe­

nyumbangan donasi dengan kondisi tertentu menjadi

hal penting lain. Kesiapan masyarakat akseptor, menjadi

penentu kesuksesan penghijauan, dan perlu disampai­

kan kepada donatur sehingga dapat menjaga keperca­

yaan yang diberikan kepada Program Bank Pohon kantor

KLH.

Tahap penanaman diserahkan sepenuhnya kepada

masyarakat setempat dengan bimbingan LSM atau Pem­

da setempat menyesuaikan waktu tanam terbaik. Dana

terbatas untuk penanaman dan pemeliharaan awal dialo­

kasikan dari donasi penyumbang. Pada tahap ini, KLH

dan Pemda setempat memantau perkembangan pertum­

buhannya. Tahap evaluasi merupakan tahap akhir yang

penting dalam upaya pencatatan angka keberhasilan

maupun presentasi kegagalan penanaman. Hal ini diper­

lukan, mengingat KLH mempunyai kewajiban untuk me­

laporkan hasil kegiatan yang menuntut transparansi dan

Pendahuluan 41

akuntabilitas penggunaan dana dari donatur.

Program Bank Pohon KLH bukan satu-satunya upaya

penghijauan oleh dan untuk masyarakat, dalam Program

Warga Madani, Program Sejuta Pohon, dan program­

program lain terkait, seperti Adipura, Langit Bersih (Biru),

Prokasih, KLH juga selalu mengajak masyarakat untuk

menanam pohon. Selain itu bentuk kemitraan seperti

dalam program Bank Pohon KLH sudah diinisiasi juga

oleh beberapa stasiun radio dan harian berita, serta be­

berapa lembaga pemerintahan daerah (2004).

1.3. 2 Dampak Kurangnya Kehijauan dalam Kota

Terhadap Kesehatan

(1) Tidak terserap dan terjerapnya partikel timbal:

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal

yang mencemari udara di daerah perkotaan) (Goldmisth

dan Hexter, 1967; Krishnaya dan Bedi, 1986 dalam

Purnomohadi, 2002), diperkirakan sekitar 60-70%

partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kenda­

raan bermotor. Hasil penelitian oleh: Dahlan(1989),

kemudian oleh Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan,

Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) dalam Purnomo­

hadi 2002: dinyatakan, bahwa: damar (Agathis alba),

mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus

imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam Iandi

(Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempu­

nyai kemampuan yang sedang dan tinggi dalam menu­

runkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa

tanaman berikut ini: glodogan (Polyalthea longifolia),

keben (Barringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops

elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap

timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka

42 Pendahuluan

terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman

daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba

(Bixa ore/lana) mempunyai kemampuan yang sangat

rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar

yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.

(2) Tidak terserap dan terjerapnya debu semen:

Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya

bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit

sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat

di udara bebas harus diturunkan kadarnya. Ketahanan

dan kemampuan dari jenis-jenis tanaman, antara lain:

mahoni (Swietenia macrophyl/a), bisbul (Diospyrosdis­

color), tanjung (Mimusops e/engij, kenari (Canarium

commune), meranti merah (Shorealeprosu/a), kirai pa­

yung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros c/ebica),

duwet (Eugenia cuminiij, medang lilin (Utsea roxburghii)

dan sempur (Dillenia ovata) akan berbeda-beda pula.

(Studi lrawati 1990 dalam Purnomohadi, 2002). Ha­

sil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang baik

dan dapat dipergunakan dalam program pengemban­

gan RTH-(taman hutan) kota di kawasan pabrik semen,

karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pence­

maran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam ·

menjerap (adsorbsi) dan menyerap (absorbsij debu se­

men adalah: mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti

merah, kere payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet,

medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai

tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik

semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka ter­

hadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang

rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen.

(3) Tidak ternetralisirnya bahaya hujan asam:

Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu dalam

mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses

fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses

gutasi akan memberikan beberapa unsur di antaranya

ialah: Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glu­

matin dan gula (Smith, 1985). Menurut Henderson et.

AI, 1977 (dalam Purnomohadi 2002), bahan an-organik

yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui pro­

ses throughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik un­

tuk tajuk dari tegakan daun Iebar maupun dari daun

jarum. Hujan yang mengandung H2S0

4 atau HN0

3

apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reak­

si. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka

asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang

terdapat pada daun membentuk garam CaSO 4

yang

bersifat netral. Dengan demikian pH air dari pada pH

air hujan asam itu sendiri. Dengan demikian adanya

proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun

akan sangat membantu dalam menaikkan pH, se­

hingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi

bagi lingkungan. Hasil penelitian Hoffman et al., 1980

(dalam Purnomohadi 2002), menunjukkan bahwa pH

air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi,

jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak me­

lewati tajuk pohon.

(4) Tidak terserapnya Karbon-monoksida (CO)

Bidwell dan Fraserdalam Smith (1985) mengemukakan,

kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas

ini sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikro organisme serta

tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik

dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975 dalam

Purnomohadi 2002). Tanah dengan mikro-organisme­

nya (Inman et.al dalam Smith, 1981) dapat menyerap

gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar

120 ppm (13,8x1 04 ug/m3) menjadi hampir mendekati

nol hanya dalam waktu 3 jam saja.

(5) Tidak terserapnya karbon-dioksida (C02):

Hutan merupakan penyerap gas C02 yang cukup pen­

ting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput

laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan

hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menu­

runnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan

dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH-(hutan)­

kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi

hutan tersebut. Cahaya matahari akan dimanfaatkan

oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami,

tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosin­

tesis yang berfungsi untuk mengubah gas C02

dan air

menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian

proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena

dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya mening­

kat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan

mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses

ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan

oleh manusia dan hewan. Tanaman yang baik seba­

gai penyerap gas C02

dan penghasil oksigen adalah:

damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia pur­

purea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia

(Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benyamina)

(Widyastama, 1991 dalam Purnomohadi, 2002).

Pendahuluan 43

(6) Tidak teredamnya kebisingan:

Pohon dapat meredam suara melalui absorpsi gelom­

bang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tum­

buhan paling efektif sebagai peredam suara ialah yang

mempunyai karakteristik tertentu, seperti yang bertajuk

(kanopi) yang tebal, susunan cabang dan ranting yang

bertingkat-tingkat, serta dengan susunan daun yang

lebat dan rindang (Grey dan Deneke, 1978). Dengan

menanam berbagai jenis tanaman dalam berbagai

strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengu­

rangi kebisingan, khususnya sumber suara bising yang

berasal dari bawah, dedaunan tanaman dapat menye­

rap kebisingan sampai 95%.

(7) Tidak tertahannya hembusan angin:

Panfilov dalam Robinette (1983) mengemukakan, angin

kencang dapat dikurangi sampai sebesar 75-80% oleh

suatu penahan angin berupa struktur suatu RTH-(hu­

tan) kota. Dalam merancang RTH-kota untuk menahan

angin, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:

1. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang

memiliki dahan yang kuat.

2. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin (ke­

cepatan sedang).

3. Akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah. Jenis

ini lebih tahan terhadap hembusan angin yang besar

daripada tanaman yang akarnya bertebaran hanya di

sekitar permukaan tanah.

4. Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%).

5. Tinggi dan Iebar jalur RTH-(hutan) kota relatif cukup

besar, sehingga dapat melindungi wilayah sebaik mung­

kin sesuai yang diinginkan (Grey dan Deneke, 1978).

44 Pendahuluan

HARDY LARGE HAIRY SPECIES CIRCUMFERENCE LEAVES

SELECTING PLANT SPECIES TO REDUCE PARTICULATES

LARGE SURFACE DENSE AREA TWIGS

rM HE GROUP MIXED LAYERED GROUND

PLANTING SPECIES STRUCTURE COVER

Gambar 1.18: Menggunakan tanaman untuk mengurangi zat pencemar

udara, jenis tanaman dengan karakteristik fisik tertentu yang diatur

dengan cara tertentu pula, akan lebih efektif sebagai "penyaring" zat

pencemar udara. (Spirn, 1947, ha/72)

(8) Tidak terserap dan tertapisnya bau:

Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah

sementara (TPS) atau permanen (TPA), akan menge­

luarkan bau yang tidak sedap. Selain perlu upaya

untuk mengurangi timbulan (volume) sampah dari

sumbernya, maka tanaman tertentu dapat digunakan

untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau

secara langsung, atau tanaman pun dapat menahan

gerakan angin yang berasal dari sumber bau (Grey dan

Deneke, 1978). Hasilnya akan lebih baik lagi jika tana­

man yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum

yang dapat menetralisir bau busuk baik dari bunga,

daun maupun tanaman secara keseluruhan tanaman

yang dapat menghasilkan bau harum antara lain tana­

man: bunga cempaka (Michelia champaka), tanjung

(Mimusops e/engi), melati (Jasminum sambac), dan

masih banyak lagi jenis-jenis tanaman yang mampu

menahan atau menetralisir bau busuk.

1.3.3 Contoh Penyelenggaraan yang Baik tentang

RTH-(Penghijauan)-Kota

Penyelenggaraan RTH-kota bertujuan untuk menjaga

kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem

perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial

dan budaya, sehingga diharapkan bahwa RTH-kota dapat

berfungsi untuk mencapai:

(1) ldentitas Kota

Jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol

atau lambang suatu kota dapat dikoleksi pada areal

RTH-kota. Propinsi Sumatera Barat misalnya, flora

yang dipertimbangkan untuk tujuan tersebut di atas

adalah enau (Arenga pinnata) dengan alasan pohon

ini serba guna. Serta istilah pagar-ruyung menyiratkan

makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu

manis (Cinnamomum burmanii), karena potensinya be­

sar dan banyak diekspor dari daerah ini (PKBSI, 1989).

Sedangkan untuk fauna yang diusulkan adalah: Trulek

kayu, pelatuk jambul jingga dan kambing gunung (Cap­

ricornis sumatranensis). Pilihan ini berdasar pada per­

timbangan-pertimbangan khas dan sedapat mungkin

berasal dari lingkungan lokal (endemik, PKBSI, 1989).

(2) Upaya Pelestari Plasma Nutfah

Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting

untuk pembangunan di masa depan, terutama di bi­

dang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan in­

dustri. Penguasaannya merupakan keuntungan kom­

paratif yang besar bagi Indonesia di masa depan.

Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan

dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan

keanekaragaman hayati. RTH-kota dapat dijadikan

sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang

tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan

RTH-kota dapat dipandang sebagai areal pelestari­

an di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini

dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Salah

satu tanaman langka yang dapat disebutkan adalah

nam-nam (Cynometra cauliflora), namun sudah dita­

nam kembali di kawasan "Kebun Botani" Puspiptek

Serpong, serta telah tumbuh dengan baik (optimal).

(3) Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik

yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan

manusia. Dengan adanya RTH-kota, partikel padat yang

tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat diber­

sihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan sera­

pan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang

melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang

melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan

terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya

daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan

yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam

ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel

pada kulit pohon, cabang dan ranting. Daun yang berbu­

lu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan

Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam men­

jerap partikel dari pada daun dengan permukaan yang

halus (Wedding et.al dalam Smith, 1981). Manfaat dari

adanya tajuk pada RTH-kota ini adalah menjadikan udara

yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan

kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk di RTH-kota.

Pendahuluan 45

(4) Mengatasi genangan air

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami

jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapo­

transpirasi tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kri­

teria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun

yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut

daun) yang banyak pula. Menurut Manan (1976) tana­

man penguap yang sedang tinggi diantaranya adalah:

nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes

fa/cataria), Acacia vi/osa, lndigofera galegoides, Dal­

bergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona gran­

dis), ki hujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea

glauca).

(5) Produksi Terbatas

Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji

atau buah dapat dipergunakan untuk berbagai macam

keperluan warga masyarakat dapat pula meningkatkan

tarat gizi/kesehatan dan penambah penghasilan ma­

syarakat. Buah kenari untuk kerajinan tangan. lana­

man tanjung diambil bunganya. Buah sawo, kawista,

pala, lengkeng, duku, asem, menteng dan lain-lain

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkat­

kan gizi dan kesehatan warga kota.

(6) Ameliorasi lklim

Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan

penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa ke­

nyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di

perkotaan. RTH-kota dapat dibangun untuk mengelola

lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak

terlalu panas, sebagai akibat banyaknya permukaan

46 Pendahuluan

yang diperkeras, misal: jalan (beraspal maupun dari

beton), gedung bertingkat, jembatan layang, papan

reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan

lain-lain. Sebaliknya pada malam hari dapat lebih ha­

ngat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi

balik (re-radiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan

Robinette, 1983). Robinette (1983) lebih jauh menjelas­

kan, bahwa jumlah pantulan radiasi surya suatu RTH

sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis

tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya,

keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada

daerah hijau lebih nyaman dari pada daerah tidak di­

tumbuhi oleh tan am an. Wenda (1991) telah melakukan

pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan

yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi

dan luasan dari RTH-kota di Bogor yang dibandingkan

dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tem­

bok dan jalan aspal, hasilnya yaitu bahwa:

1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-

31,0° C dengan kelembaban 66-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi

oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-

33,1° C dengan kelembaban 62-78%.

3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1 o C

dengan kelembaban 62-78%. Bahkan pada musim

panas tahun 2006 ini (bulan September-Oktober) be­

berapa hari suhu di perkotaan telah mencapai antara

36-17 derajat Celsius.

Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di bebe­

rapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wana­

bakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, RTH berupa

Taman Hutan Kota di kawasan tersebut, terjadi suhu

udara paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu

udara di taman parkir, padang rumput dan beton di ka­

wasan lain.

(7) Pengelolaan Sampah

RTH-kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sam­

pah, yaitu dapat berfungsi sebagai: (1) penyekat bau;

(2) penyerap bau; (3) pelindung tanah hasil bentukan

dekomposisi dari sampah, dan (4) penyerap zat yang

berbahaya (dan beracun/B3) yang mungkin terkan­

dung dalam sampah seperti logam berat, pestisida

serta B3 lain.

(8) Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berobah

menjadi humus akan memperbesar jumlah pori-pori ta­

nah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan

kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky,

1978). Maka kadar air tanah hutan akan meningkat.

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah re­

sapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang

mempunyai daya evapotranspirasi rendah. Di samping

itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memper­

besar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang

meresap masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi

dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan (surface

run off). Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan

turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih

dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah (aquifer). De­

ngan demikian RTH-kota yang dibangun pada daerah

resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat

membantu mengatasi masalah kekurangan air baku

(air dengan kualitas yang baik). Menurut Manan (1976)

tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang

rendah antara lain: cemara laut (Casuarina equisetifo­

lia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis

(Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia specio­

sa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos nucifera).

(9) Penapis Cahaya Silau

Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang

dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium,

baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus

dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya dari

depan, akan terasa sangat menyilaukan, dan akan

mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab

itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi bahkan

kalau mungkin dapat sama sekali dihilangkan. Keefek­

tifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya

tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya.

Pohon dapat dipilih berdasar ketinggian optimal mau­

pun kerimbunan tajuknya.

(1 0) Meningkatkan Keindahan

Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan

tersedianya makanan, minuman, udara bersih dan

sejuk, namun juga membutuhkan keindahan. Keindah­

an merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda­

benda di sekeliling man usia dapat ditata dengan indah

menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya

(Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh

suatu bentuk komposisi yang menarik. Benda-benda

buatan manusia, walaupun mefnpunyai bentuk, war­

na dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian

Pendahuluan 47

rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak

alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di

depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan po­

hon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang

telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat

alami yang baik sadar maupun tidak sangat disukai

setiap manusia. Tanaman dalam bentuk, warna dan

tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda

buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk

mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan

pemilihan jenis tanaman harus sedemikian rupa, se­

hingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan

sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Warna daun,

bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen

yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang

bernuansa (bergradasi) lembut. Komposisi tanaman

dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga

pemandangan yang kurang enak dilihat seperti: tern­

pat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah

susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan

warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit

ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, ma­

nusiawi dan akrab dengan hadirnya RTH-kota di sana

sebagai tabir penyekat.

(11) Sebagai Habitat Burung

Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam

(back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan

atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat meng­

halau kejenuhan dan stress yang banyak dialami pen­

duduk perkotaan. Salah satu jenis satwa liar yang

dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Bu-

48 Pendahuluan

rung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai man­

faat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara

lain (Hernowo dan Prasetyo, 1989) :

• Membantu mengendalikan serangga hama,

• Membantu proses penyerbukan bunga,

• Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi,

• Burung memiliki suara yang khas yang dapat me­

nimbulkan suasana yang menyenangkan,

• Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi

rekreasi,

• Sebagai sumber plasma nutfah,

• Objek untuk pendidikan dan penelitian.

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon

sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tern­

pat bersarang dan bertelur. Pohon Kaliandra di anta­

ranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis

lain disenangi oleh burung, adalah juga karena berulat

yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya. Namun

demikian, akibat negatif yang timbul dengan berlang­

sung ketidakseimbangan antara daerah terbangun dan

tidak terbangun ini antara lain, burung akhirnya bisa

menjadi salah satu pembawa (vektor) penyakit 'avian

flu' yang cukup mengkhawafirkan dan telah menimbul­

kan kematian akibat virus H5N1 yang dibawanya.

Menurut Ballen (1989), beberapa jenis tumbuhan yang

banyak didatangi burung antara lain :

• Kiara, caringin dan loa (Ficus spp.) F. benjamina, F.

variegata, dan F. glaberrima buahnya banyak dimak­

an oleh burung seperti punai (Treron sp.).

• Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasil­

kan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak di-

jumpai pada tanaman dadap yang tengah berbunga

antara lain: betet (Psittacula alexandri), serindit (Lo­

riculus pusil/us), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis

burung madu.

• Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya

yang berwarna merah menarik burung ungkut-ung­

kut dan srigunting.

• Aren (Arenga pinnata). ljuk dari batangnya sering di­

manfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pem­

buatan sarangnya.

• Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeo/a spe-

. ciosa) dan manyar (Pioceus sp.) bersarang di pucuk

bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti:

burung cacing (Cyornis banyumas), celepuk (Otus

bakkamoena), sikatan (Rhipidura javanica), kepala

tebal bakau (Pachycepha/a cinerea) dan perenjak

kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pad a pang­

kal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam

batangnya.

(12) Mengurangi Stress (tekanan mental)

Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas,

mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pi­

hak Lingkungan Hidup-kota mempunyai kemungkinan

yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendara­

an bermotor, industri maupun permukiman yang tidak

"berwawasan lingkungan". Petugas lalu lintas sering

bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan

lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi

diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monok­

sida (Soemarwoto, 1975). Oleh sebab itu gejala stress

(tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat

mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang

tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya

bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.

Program pembangunan dan pengembangan RTH-kota

dapat membantu mengurangi sifat yang negatif terse­

but. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan

menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran

timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh

tajuk dan lantai RTH-kota. Kicauan dan tarian burung

akan menghilangkan kejemuan. RTH-kota juga dapat

mengurangi kekakuan dan monotonitas .

(13) Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi

RTH-kota berupa formasi tanaman (hutan) mangrove

dapat beke~a meredam gempuran ombak dan dapat

membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Den­

gan demikian hutan kota selain dapat mengurangi ba­

haya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses

pembentukan daratan. Dalam antisipasi te~adinya ba­

haya gelombang pasang (tsunami, misalnya) tak hanya

tegakan mangrove saja yang mampu menahan terjangan

tenaga gelombang pasang yang kuat itu, namun hutan

mangrove di perairan pesisir sebaiknya dikombinasi den­

gan tanaman pantai lain, seperti: keben (Barringtonia asi­

atica), Nyamplung (Callophyllum innophyllum), Ketapang

(Terminalia catappa), cemara Angin (Cassuarina equiseti­

folia), kelapa (Cocos nucifera), waru (Hibiscus tiliaceus)

dan berbagai jenis-jenis semak dan rumput, seperti ka­

tang-katang Kangkung laut (Ipomoea pescaprae), Rum­

put lari-lari (Spinifex litoralis) dan Tumafortea argentea,

dan masih banyak lagi, saling bertautan dan membentuk

daerah penyangga (pelindung dari hantaman ombak).

Pendahuluan 49

50 Pendahuluan

~'· ... , ..t lf "! ' \ ' ·~ -~~- , , I 1•

~~-~

. . ,_A::::':

Gambar 1.19: Contoh-contoh beberapa Taman

Nasional "Sea-scape" atau pemandangan

lingkungan pesisir dan laut yang menyatu dan

dekat menempel dengan lingkungan daratan.

Foto-foto dari: TNL Bunaken, TNL Wakarabi,

TNL Takabonerate

{14) Meningkatkan lndustri Pariwisata

Bunga bangkai (Amorphophal/us titanum) di Kebun

Raya Bogor yang berbunga .setiap 2-3 tahun dan

tingginya dapat mencapai 1 ,6 m, dan bunga Raflesia

Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik

bagi turis domestik maupun manca-negara. Tamu­

tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika

berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dileng­

kapi dengan RTH-kota yang unik, indah dan menawan,

baik itu di kawasan pantai, bukit atau pegunungan

maupun daerah di antaranya.

II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)

2.1 PENGERTIAN RTH DAN KOTA TAMAN Sebagai salah satu unsur kota yang penting khusus­

nya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit atau

keci lnya ukuran RTH Kota (Urban Green Open Space)

yang ada, termasuk halaman rumah/bangunan pribadi,

seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau

yang ditanami tetumbuhan secara multifungsi.

2.1.1 Pengertian RTH

Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksis­

tensi nyata sehari-hari, maka RTH adalah: (1) suatu la­

pangan yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada

berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu

dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) "Sebentang la­

han terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran,

bentuk dan batas geografis tertentu dengan status pe-

52 Ruang Terbuka Hijau

nguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuh­

an hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants),

dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama

dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan

tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan

pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai

pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkut­

an" (Purnomohadi, 1995).

Sedang Ruang Terbuka (RT), tak harus ditanami te­

tumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan,

namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, se­

perti plaza dan alun-alun. Tanpa RT, apalagi RTH, maka

lingkungan kota akan menjadi 'Hutan Beton' yang ger­

sang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang

tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, dan tak layak

huni.

Gam bar 2.1: Taman Pribadi di Jeddah, Saudi Arabia

Dibangun antara tahun 1985-1988, gambar perspektif ini menunjukkan

wujud jalan masuk di bagian tengah area. Lahan taman seluas 7.000

m' ini terdiri dari bagian-bagian yang dengan jelas terpisah, termasuk

teras ornamental dengan tata hijau tanaman yang diatur sedemikian

rupa sehingga menghasilkan efek maksimum yang nyaman termasuk

di dalamnya adalah area-area piknik dan bermain. (Perancang: Fansto

Allegranza, arsitek lansekap dari Milan, ltalia).

(Reldhouse, 1992, halaman 17)

Secara hukum, hak atas tanah RTH bisa berstatus

sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan

usaha (lingkungan skala permukiman/neighborhood),

seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, bangunan

peribadatan, tempat rekreasi, lahan pertanian kota, dan

sebagainya), maupun milik umum, seperti: Taman-taman

Kota, Kebun Raja (RTH yang sengaja dibangun di dekat

istana pada jaman kerajaan untuk rekreasi yang menjadi

milik raja, namun secara terbatas bisa dimanfaatkan oleh

rakyatnya. Di kota Blitar (Jawa Timur) masih terdapat,

misalnya, Kebun Botani, Kebun Binatang, Taman Hutan

Kota/Urban Forest Park, Lapangan Olahraga (umum),

Jalur-jalur Hijau (green belts dan/atau koridor hijau): lalu­

lintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai, jaring­

an tenaga listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/

SUTET, Taman Pemakaman Umum (TPU), dan daerah

cadangan perkembangan kota (bila ada).

Lebih jelasnya, maka bila berdasar pada status pe­

nguasaan lahan, RTH kota dapat terletak di:

• Lahan Kawasan Kehutanan, jurisdiksinya diatur oleh UU

Nomor: 5/1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kehutanan dan PP No. 63/2002, tentang Pengelolaan

Hutan Kota. Berdasarkan fungsi hutannya, RTH Ka­

wasan Hutan Kota dapat berupa: Taman Hutan Kota,

Hutan Lindung, Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun

Bibit Kehutanan, yang terletak di kawasan perkotaan;

• Lahan Non-Kawasan Hutan, yurisdiksinya diatur oleh UU

No.5/1960, tentang Peraturan-peraturan Pokok Agraria.

Menurut kewenangan pengelolaannya berada di bawah

unit-unit tertentu, seperti: Dinas Pertamanan, Dinas

Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Di­

nas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,

Gambar 2.2: Jalur jalan masuk ke L.A. Airport merupakan 'road-scape '

sebuah highway yang berbentuk melingkar melalui jajaran pepohonan

(coral trees) dan tanaman Palmae.

(Landscape Architecture Magazine, May, 1989, halaman 74)

dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain yang

dimiliki atau dikelola penduduk.

Menu rut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota

(townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space),

yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkota­

an. RT berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space),

yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan

ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi

ruang luar adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang

secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan

secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olah­

raga, termasuk plaza (piazza) atau square.

Sedang: 'zona hijau' bisa berbentuk jalur (path), se­

perti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan

bantaran sungai, bantaran rei kereta api, saluran/jejaring

listrik tegangan tinggi (biasa disebut koridor 'hijau'), dan

simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman

lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman per-

Ruang Terbuka Hijau 53

tanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka

(Hijau).

Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang

berada di luar atau di antara beberapa bangunan di ling­

kungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai

halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang

menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau {RTH) kota, karena

umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami

pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permu­

kaan tanah di kawasan perkotaan. Tanaman produktif

berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini

hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian

kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi

pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.

Berdasar batasan umum, maupun kewenangan pe­

ngelolaan, meskipun sudah ada beberapa peraturan

daerah khusus RTH kota dan peraturan lain terkait, na­

mun tetap masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, yang

dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang

lain, seperti: UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan

menjadi UU No. 23/1997 tentang Pokok-pokok Penge­

lolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Kon­

servasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU

No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU No.

5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992

tentang Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa

Konstruksi, dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan

Daerah, termasuk Peraturan-Peraturan Daerah (Perda)

yang terkait pengelolaan RTH-kota.

Keterbatasan lahan hijau dan masih kuatnya egoisme

sektoral, menuntut perlunya peraturan daerah tersendiri

yang mengatur kebijakan, seperti perlunya penggantian

54 Ruang Terbuka Hijau

tembok pembatas antar gedung bertingkat yang masif

dengan pepohonan dan taman berfungsi peneduh khu­

susnya pada iklim tropis seperti kota-kota di Indone­

sia, hingga dapat rflenyatu dengan trotoar yang berada

di tepian badan jalan. Untuk menjaga ketertiban, maka

peraturan tersebut antara lain juga akan menyangkut

pembayaran biaya parkir di halaman gedung, pengaturan

atau pengelolaan pembuangan sampah domestiknya,

dan seterusnya.

Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi {KTT) Bumi di

Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pad a KTI

Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002,

Rio + 1 0), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota

idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total

luas kota. Tentu saja 'angka' ini bukan merupakan patokan

mati. Penetapan luas RTH kota harus berdasar pula pada

studi eksistensi sumberdaya alam dan man usia penghuni­

nya, tidak hanya pada kuantitas luasannya saja.

Penetapan besaran luas RTH ini bisa juga disebut

sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Disa­

yangkan, bahwa dalam hal pengelolaan RTH Kota perlu

konsistensi penerapan sesuai dengan RIK yang telah dise­

pakati bersama agar RTH-nya tetap bisa eksis, bahkan

kualitas maupun kuantitasnya bisa terus meningkat.

Kota-kota di Indonesia nampaknya memiliki kesulitan

untuk meningkatkan RTH kota meskipun belum mantap,

tapi hanya sekedar mempertahankan luasannya. Sebagai

salah satu contoh adalah Pemerintah Daerah DKI-Jakar­

ta, dapat dilihat dari pengamatan sebagai berikut: jika tar­

get luas RTH dalam Rencana lnduk Djakarta 1965-1985

adalah 37,2 persen (sangat ideal), maka dalam Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, target

tersebut turun menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal).

Namun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ja­

karta 2000-2010, target luas RTH menyusut hanya sebe­

sar 13,94 persen (9.545 hektar, tidak ideal). Sementara

luas RTH di lapangan, hanya berkisar 9.04 persen (6.190

hektar, atau 'kritis') dari total luas kota Jakarta yang

66.152 hektar tersebut.

Target yang 'semakin menyempit' itu pun, konon sulit

direalisasikan, akibat terus adanya tekanan pertumbuhan

dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struk­

tur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin

meningkat yang sejalan pula dengan peningkatan jumlah

penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang di­

hargainya eksistensi RTH yang sering di'korbankan' pa­

dahal sebenarnya bernilai ekologis dan ekonomis tinggi,

bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat, secara

fisik maupun psikologis.

Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas

RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang

'berkelanjutan' ini, masih bersifat kuantitatif dan tergan­

tung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis,

iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebu­

tuhan akan oksigen, rekreasi. Dapat disimpulkan, bahwa

sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya

jumlah penduduk dengan segala aktivitas.dan keperluan,

seperti cukup tersedianya 'ruang rekreasi' gratis, maka

sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan

kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang me­

menuhi persyaratan terutama kualitas keseimbangan

pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya

pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta kon­

sistensi penegakan hukumnya.

2.1.2 Pengertian Kota Taman

Sejarah lansekap kota, dimulai sekitar 300 tahun lalu,

sebab sebelumnya man usia tinggal di rumah-rumah yang

satu sama lain sangat berdekatan, karena kebutuhan saat

itu akan perlindungan termasuk terhadap iklim yang se­

cara alami selalu berubah. Ruang terbuka bisa dikatakan

hanya merupakan bagian kecil ruang kota, sebab hanya

dipakai saat pemukim memerlukan ruang terbuka yang

bisa menampung kebutuhan untuk bersosialisasi atau

bertemu, berdiskusi dalam skala lingkungan terbatas,

juga untuk saling barter barang (pasar atau plaza). Pada

jaman itu bila seseorang ingin berekreasi (berolahraga)

ke tempat-tempat bersuasana 'hijau' mereka hanya perlu

sedikit saja keluar dari ruang binaan yang padat dan rela­

tif sempit, menuju apa yang disebut 'country side' yang

amat sangat luas yang langsung mengelilingi atau bah­

kan 'menempel' pada lingkungan binaan yang ada.

Kemudian berkembanglah kebutuhan akan lapang­

an terbuka, khususnya pada jaman kerajaan yang

mulai membangun istana yang luas yang membutuh­

kan taman-taman yang luas pula di sekitar bangunan

istana raja. Masa feodalisme sangat berpengaruh pada

perkembangan lansekap kota pula, akhirnya terbentuk

pula 'public park' yang diekspresikan dan diperlukan

bagi pengejawantahan identitas tertentu suatu komuni­

tas, misalnya di kota-kota yang bersifat perindustrian di­

mana dirasa perlu adanya suatu perimbangan pada iden­

titas tertentu kota tersebut. Kemudian muncullah konsep

"Garden City" atau Kota Taman dengan dominasi deretan

atau kelompok pepohonan, dan lapangan rumput sepan­

jang jalur lalu lintas, dan juga ruang-ruang berupa taman­

taman di sekitar lahan-privat terutama para konglomerat

Ruang Terbuka Hijau 55

yang akhirnya membentuk komunitasnya tersendiri.

Ruang hijau di kawasan perkotaan kemudian berkem­

bang melalui perancangan dan perencanaan lansekap

dalam suatu sistem lingkungan perkotaan. Kawasan

dengan sistem permukiman padat diimbangi dengan

ruang-ruang terbuka, taman-taman yang relatif luas un­

tuk pemenuhan kebutuhan warganya. Akhirnya muncul

pula apa yang dinamakan 'Taman Parkir' yang akibat

perkembangan teknologi dan motorisasi kendaraan ber­

motor pun berkembang pesat, akibat kebutuhan trans­

portasi yang mudah dan murah. Lebih dari itu, sebenar­

nya cita-cita para perancang dan perencana lansekap

adalah menyediakan suatu ruang khusus untuk interaksi

sosial , yang juga akan meningkatkan perilaku sosiologis

yang saling mendukung di antara warga (penduduk) kota­

nya, sehingga "kenyamanan hidup dekat dengan alam" di

kawasan perkotaan dapat dicapai.

Di Negeri Belanda, meskipun wilayah negaranya amat

sempit, hampir semua kotanya nampak menyatu dengan

alamnya. Hal ini dicirikan dengan selalu terdapatnya ka­

wasan penyangga hijau antar kota, sehingga secara ke­

seluruhan terasa bahwa kemana pun kita pergi unsur hi­

jau selalu ada. Sebut saja misalnya Delft, Hilversum, di

mana terdapat gedung pusat radio nasional, terletak di

tengah-tengah 'hutan' , demikian pula 'kotanya'. Meski­

pun demikian di dalam gedung yang dikelilingi penghijau­

an yang padat, masih didekorasi oleh tanaman-tanaman

sol iter sebagai elemen keindahan ruang dalamnya (indoor

plants).

Hidup di dalam Kota Taman (green landscape) berarti

hidup di antara vegetasi yang sekaligus juga tergantung

akan eksistensinya. Manfaat langsung maupun tidak me-

56 Ruang Terbuka Hijau

Gambar 2.3: "Woonerf" di negeri Belanda

"Kota Taman" selain relatif banyak dan tersebar RTH-nya, biasanya,

mengatur tiap-tiap blok (khususnya kawasan permukiman) lalu lintas

(transportasi) diatur sedemikian nupa, sehingga 'manusiawi' .

(Spirn, 1947, ha/69)

mang diperlukan oleh manusia sebagai makhluk hidup

yang secara simptomatis memerlukan vegetasi seba­

gai pendukung kehidupannya, baik untuk produksi pa­

ngan, oksigen, energi maupun secara umum pembentuk

iklim mikro yang nyaman, khususnya di kawasan tropis.

Meskipun demikian, masih diperlukan studi yang cukup

mendalam tentang manfaat sosiologis, bahwa bila war­

ga kota hidup lebih dekat dengan 'penghijauan' sepan­

jang waktu dan generasi, apakah memang akan selalu

menghasilkan manfaat sosial? Tetapi paling tidak sudah

menjadi kenyataan, bahwa semakin banyaknya tekanan

yang diterima oleh penduduk kota jarang terjadi pada

penduduk perdesaan atau kota kecil. Karena itu timbul

pemikiran pada skala internasional, dalam 30 tahun ter­

akhir ini untuk semakin memikirkan bahkan sudah diimp-

lementasikannya konsep pembangunan Taman Hutan

Kota dan Kawasan Pertanian Kota, untuk mengimbangi

taman-taman yang sebagian besar ditekankan pada

manfaat rekreatif dan estetika saja, menjadi lebih bersifat

sosial psikologis, ekonomi-produktif dan secara keselu­

ruhan menjadi bermanfaat secara ekologis.

Menurut van Rooden1 (1983), berdasar pengalaman

penelitiannya untuk upaya pencegahan deteriorasi LH

kota lebih lanjut khususnya di Kota Rotterdam, Belanda

dan kota-kota besar Eropa umumnya, perlu segera diban­

gun "Rencana lnduk Ruang Hijau". Konsep Pola RTH ini

telah dikembangkan lebih dulu oleh Stanley B. Tankel

(Rooden, '983) yang menjabarkan perbedaan RTH ke

dalam: green belts, green wedges atau fingers, lattices,

webs, mats dan rugs. Menurut Roode, nilai khusus pem­

bedaan ini adalah pendekatan khusus ilmiah-teoritis un­

tuk mengatasi permasalahan perkotaan. Tetapi masih

tetap berdasar pada abstraksi geometrik, dimana pada

situasi nyata hanya bisa diaplikasikan secara terbatas.

Karena itu aplikasi ini masih terlalu besar waktu kota-kota

baru dirancang pad a kawasan landscape polder di negeri

Belanda, atau di kawasan padang pasir antara Kairo dan

Alexandria, di Mesir. Meskipun demikian, pemanfaatan­

nya masih terbatas pula bila seseorang harus merancang

Rencana lnduk Ruang Hijau untuk kota-kota yang sudah

eksis, yang lebih dari seribu tahun atau lebih telah melalui

proses pertumbuhan alami.

Selanjutnya, Rooden menyampaikan alasan bahwa

rancangan induk ruang hijau untuk Kota Rotterdam tak

ada gunanya membangun green belts tetapi dimulai dari

titik awal struktur kota yang ada, diupayakan untuk me­

ningkatkan akses pada ruang hijau kota yang ada, lalu

memperbaikinya (urban renewal) di mana dimungkinkan

perlu adanya ruang hijau atau eksistensinya dianggap

kurang. Rancangan lnduk RTH Kota Rotterdam telah

menerapkan standard yang berlaku pada saat tertentu,

dimana diperkenalkannya empat tingkat (hierarchi) sa­

rana RTH yang satu sama lain saling terkait dalam suatu

sistem RTH Kota meskipun berbeda dalam dimensinya,

jarak pencapaian dari rilasing-masing rumah tinggal, ser­

ta kemungkinan pemanfaatannya secara alami.

Empat hierarkhi dari skala terkecil, yaitu:

(1) RTH dalam Blok di kawasan peru mahan berupa:

'ruang hijau' berukuran 50-5000 m2 dengan jarak

pencapaian terpanjang sekitar 250 meter dari rumah

masing-masing dan terletak dalam bagian kota (living

quatter). Taman ini langsung dimanfaatkan setiap hari

oleh penghuni di blok lingkungan perumahan, terdiri

dari antara lain: Taman komunal, lapangan (squares)

yang relatif sempit, kawasan pedestrian (pejalan kaki),

taman bermain anak, dan taman umum kecil. Sedang

standard untuk 'house block green space' ini adalah

dari 2.8-3.7 m2/penduduk;

(2) Sarana ruang hijau di bagian (quarter) kota, berupa

kawasan hijau sekitar 5000 m2 (sampai maksimum 4

ha), dimanfaatkan oleh penghuni dalam jarak penca­

paian (radius) 300-500 meter, bisa terdiri atas: taman

'bagian' kota, lapangan OR untuk umum, dan taman

umum yang lebih luas dibanding RTH pada kawasan

permukiman, dimanfaatkan oleh semua tingkat usia

di mana manusia bisa berinteraksi, tempat anak-anak

bermain, berolahraga atau sekedar beristirahat dalam

perjalan pulang dari bekerja, sekolah, belanja, dan

sebagainya. Dalam kategori ini perancang diharap-

Ruang Terbuka Hijau 57

kan dapat sebanyak mungkin menyediakan sarana

multi-fungsi, meskipun tetap terbatas. Letak idealnya

adalah di tengah-tengah bagian kota, tidak terpisah

dengan perumahan oleh jalur lalu-lintas. Standarnya

adalah antara 3.6-4.5 m2/kapita. Bila jarak rata-rata

400 m menuju taman bagian kota ini, artinya kawasan

taman bagian kota ini bisa mencapai luasan sekitar 50

ha, mencakup sekitar 80 rumah/ha (luas satu rumah

rata-rata sekitar 250 m2) dengan anggota keluarga

rata-rata 2,5, maka sebuah taman bagian kota seluas

4 ha dapat melayani sekitar 1 0.000 penduduk;

(3) Sarana ruang hijau setingkat kota kecil (district),

lebih luas dari quarter, taman distrik jarang dikunjungi

karena letaknya yang relatif jauh (paling tidak saki­

tar 800 m), maka waktu kunjungan yang diperlukan

adalah mencapai beberapa jam. Luasan taman ini

bisa memenuhi kebutuhan yang lebih beraneka, kare­

na itu ukuran minimalnya adalah sekitar 8 ha. Jadi,

taman distrik ini bisa melayani penghuni dari bebe­

rapa quarters. Tetap multifungsi dalam skala lebih luas

untuk rekreasi biasa, taman bermain anak, lapangan

OR (tenis, sepak bola, mini-golf, tennis meja/ping­

pong, catur dan permainan kartu lain), taman bunga,

kolam, dan sebuah restoran atau cafe. Standarnya,

sekitar 3. 7-4.8 m2/penduduk, Luas ideal taman distrik

sekitar 8 ha dengan jarak capai sekitar 800 mini, ber­

arti sebuah taman distrik mampu melayani 2 atau 3

quarters;

(4) Fasilitas ruang hijau (RTH) kota: Taman Kota ini

kemungkinannya dikunjungi oleh seluruh penduduk

kota, bahkan dari daerah pendukung (hinterlands,

bisa perdesaan atau kota lain) di sekitar kota tersebut.

58 Ruang Terbuka Hijau

Taman Kota ini adalah hierarchi yang 'terakhir" dalam

skala/ukuran kawasan perkotaan. Luasan RTH-Kota

ini mencapai sekitar 20-200 ha (bahkan sudah men­

jadi semacam aturan di beberapa negara) yang di

dalamnya terdapat berbagai macam sarana rekreasi,

dimana diperlukan sekitar setengah sampai sehari

penuh untuk bisa menikmati taman yang cukup luas

ini. Bagi kota berpenduduk 600.000 jiwa, standardnya

bervariasi dari 9-0-12.8 m2/kapita.

Penataan RTH Kota semacam di Rotterdam ini me­

mang cukup serius karena dimungkinkannya penataan

ruang kota yang tahun 1983 tersebut 'hanya' berpen­

duduk sekitar 579.200 dalam kawasan seluas 25.000 ha.

Kebanggaan penduduk kota ini adalah kenyataan (sam­

pai saat ini pun), sebagai Kota Pelabuhan yang terbesar

di dunia. Penjabaran tentang hierarkhi RTH tersebut ha­

nya merupakan studi yang kemudian diaplikasikan pada

rekonstruksi dan rehabilitasi kota yang sempat hampir

rata akibat Perang Dunia ke II. Karenanya semacam 'to­

tal 'renewal' bisa dilakukan secara komprehensif dan

mengikuti konsep Kota Taman se.bagaimana persyaratan

(standard) yang telah diuraikan di atas.

Pembangunan RTH kota-kota di Indonesia, tidaklah

perlu mengikuti persyaratan secara utuh pembangunan

kota-kota lain di dunia, apalagi di kawasan benua (teres­

trial), dan bukan merupakan negara kepulauan semacam

NKRI dengan pengaruh iklim (letak geografi; tropis) dan

karakteristik fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik

yang tentunya sangat berbeda. Dernikian pula standar

pelayanan sosial perlu disesuaikan dengan seluruh kon­

disi di NKRI. Konsep Kota Taman, memang sangat baik

bila bisa diterapkan, namun hendaknya tetap mengikuti (berfungsi lindung). Sabuk hijau sebagai daerah penyang-

kaidah (terutama alami) dan standard alami yang propor- ga atau perbatasan antar dua kota memang bisa disebut

sional dan 'membumi'. sebagai bagian dari RTH kedua kota (atau lebih) tersebut,

dimaksudkan sebagai kawasan lindung 'hijau' dengan

2.1.3 'Sabuk Hijau' (the greenbelt) sebagai Bagian pemanfaatan terbatas sebab fungsi utamanya adalah se-

Sebuah Kota Taman bagai "penyaring" atau filter alami bagi kota-kota yang

Ide 'Kota Taman' dikembangkan pertama kali oleh berbatasan tersebut.

Ebenezer Howard, tahun 1930-an, yaitu dimulainya ke­

butuhan untuk membangun 'Kota Baru' dengan semakin

meluasnya kota-kota industri secara tidak beraturan dan

menyesakkan, dirasakan tidak sehat lagi sebagai hunian.

Gersangnya kota-kota tersebut terjadi, dimulai di lnggris

terutama setelah terjadinya revolusi industri, kota-kota

menjadi kumuh akibat pembangunan berbagai jenis in­

dustri secara tak beraturan.

Definisi Kota Taman (Garden City) yang waktu itu

diterima oleh semua pihak, adalah: 'A garden city is a

town planned for industry and healthy living, of a size that

makes possible a full measure of social life, but no larger,

surrounded by a permanent rural belt, the whole of the

land being in public-ownership, or held in trust for the

community'. Kemungkinan pengertian ini terus berkem­

bang, tetapi pada intinya adalah perencanaan atau per­

ancangan kembali sebuah kota menjadi lingkungan per­

mukiman yang sehat dan manusiawi.

Semua Kota Taman secara eksklusif telah diren­

canakan (atau dirancang kembali) sebaik-mungkin agar

hidup sehat, artinya dapat terpenuhinya persyaratan

kehidupan manusiawi tetapi dengan biaya yang wajar,

sedemikian rupa karena ada pembatasan jumlah peng­

huni secara rasional sesuai perbandingan harmonis an­

tara kawasan terbangun (binaan) dengan kawasan alami

Tentu saja akhirnya perlu ada pembatasan­

pembatasan, baik adminsitratif-demografis, maupun

sosial-ekologis sesuai dengan daya dukung dan daya

tampung yang sudah ditetapkan bagi kota-kota taman

tersebut, yang tentunya akan mempunyai kriteria yang

meskipun mirip tetapi mungkin tidak persis sama, se­

bab disesuaikan dengan kondisi bio-geografis masing­

masing. Secara keseluruhan, bisa pula dimengerti bah­

wa sebuah kota dengan kawasan RTH maksimal, tentu

saja bisa disebut sebagai Kota Taman (seperti Canberra,

Singapore, Kyoto, dan masih banyak lagi).

Pada awalnya, maraknya pembangunan kota perin­

dustrian sejak tahun 1930-an tersebut, belum dipikirkan

tentang suatu kawasan industri (trans-boundary indus­

trial town) yang bisa menjadi tujuan dua atau lebih kota

dalam jangkauan jarak tempuh rasional yang dimanfaat­

kan secara bersama. Seperti greenbelt yang dibangun

berukuran sekitar 2.500 kaki di antara Baltimore dan Jalur

KA Ohio, Amerika Serikat, sampai ke perbatasan sebelah

baratnya tidak memerlukan terlalu banyak merobah wa­

jah alam (seperti 'cut and fill') untuk disesuaikan dengan

zonasinya.

Sebaliknya Washington DC, seperti juga Canberra

bukan direncanakan sebagai wilayah atau kota industri

sebagaimana layaknya, meskipun George Washington

Ruang Terbuka Hijau 59

waktu mengalokasikan ibukota USA tersebut, seharus­

nya termasuk juga industri. Namun fungsi dominan yang

ada adalah kepemerintahan, begitu juga pekerjaan yang

menyangkut pengelolaan jalur hijau (greenbelt) hendak­

nya menjadi kewenangan Pengaturan Tata Ruang Nasio­

nal dalam koordinasi pemerintah nasional. Namun yang

panting adalah bukan pertimbangan zonasi saja tetapi

bagaimana mengatur agar jarak atau pencapaian tempat

kerja tidak terlalu jauh dari permukiman 'pekerja'.

2.2 PERAN DAN FUNGSI RTH Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian

atau salah satu sub-sistem dari sistem kota secara kese­

luruhan. RTH sengaja dibangun secara merata di selu­

ruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar,

yang secara umum dibedakan menjadi:

• Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan peng­

adaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara

('paru-paru kota'), pengatur iklim mikro, agar sistem sirku­

lasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar,

sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan,

penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan me­

dia udara, air dan tanah, serta penahan angin;

• Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang

mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH

merupakan media komunikasi warga kota, tempat

rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian;

• Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman ber­

bunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa menjadi

bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;

• Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memper­

indah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman

60 Ruang Terbuka Hijau

Gambar 2.4: Denah perencanaan taman bagian kawasan koridor

kota dimana penggunaan jalan dan sarana penunjang lain disusun

sedemikian rupa sehingga akses ke berbagai arah untuk pengamanan

sudah dilakukan. (Christiansen, 1977, ha/192)

rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lan­

sekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi

kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa

berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain,

berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekali­

gus menghasilkan 'keseimbangan kehidupan fisik dan

psikis'. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang

antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan

dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota

pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau ja­

lan, bantaran rei kereta api, serta jalur biru bantaran kali.

,~ . • J '

.;-.. ..,_· . ". ~;' ' ~r,-~ . ) ·.)1,1' ~· ··· •. · ¥-,.,

Gambar 2.5 (atas kirl): Kepedulian pada lingkungan hidup yang sehat. Di negeri Belanda penggunaan sepeda dilakukan penduduknya.

(Papanek, 1999, ha/194)

Gambar 2.6 (atas kanan): Vinca rosea. 'The Rosy Periwinkle ' bisa dipakai sebagai obat penyakit kanker tertentu.

(Papanek, 1999, ha/27)

2.3 MANFAAT RTH Manfaat RTH kota, baik secara langsung maupun

tidak, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekolo­

gis. Penyeimbang antara lingkungan alam dengan ling­

kungan buatan, yaitu sebagai 'penjaja' fungsi kelestarian

lingkungan pada media air, tanah dan udara serta konser­

vasi sumber daya hayati flora dan fauna. Kondisi 'alami'

ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai

faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam ling­

kungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan

membentuk kota yang sehat dan manusiawi.

Manfaat tan am an adalah sebagai komponen sekaligus

sumber kehidupan (biotik) dan produsen primer dalam

rantai makanan bagi lingkungan dan dapat menjadi sum­

bar pendapatan. Proses fotosintesis telah diajarkan sejak

sekolah dasar, dimana zat hijau (khlorofil) yang banyak

terdapat dalam daun dengan bantuan energi matahari

dan air, menghasilkan makanan, berupa karbohidrat, pro­

tein, lemak juga vitamin dan mineral, sangat berguna bagi

kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Tanaman adalah pabrik tanpa butuh bahan bakar

fosil, bahkan dia adalah sumber karbon, tidak membu­

tuhkan energi listrik atau api untuk memasak makanan­

nya agar bisa terus tumbuh. Pabrik ini tidak mencemari

media lingkungan, bahkan membantu 'membersihkan'

media udara yang kotor serta 'menyegarkan' udara. Akar

pohon berfungsi untuk menarik bahan baku dari dalam

media tanah, antara lain berbagai macam mineral yang

larut dalam air. Zat-zat tersebut 'dimasak' dalam 'pabrik'

berupa daun, menghasilkan karbohidrat (tepung, gula,

selulosa/serat), oksigen, yang seringkali disimpan dalam

gudang berbentuk buah dan biji sebagai agen pertumbuh­

an selanjutnya.

Ruang Terbuka Hijau 61

2.3.1 Manfaat bagi Kesehatan

Tanaman sebagai penghasil oksigen (02) terbesar dan

penyerap karbon dioksida (CO) dan zat pencemar udara

lain, khusus di siang hari, merupakan pembersih udara

yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (ab­

sorbsi) dan penjerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis,

yang terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuh­

an (batang, bunga, dan buah).

Pembuktian bahwa tumbuhan dapat efektif memben­

tuk udara bersih dapat dicermati dari hasil studi penelitian

Bernatzky (1978: 21-24) yang menunjukkan bahwa setiap

satu ha RTH yang ditanami pepohonan, perdu, semak

dan penutup tanah, dengan jumlah permukaan daun se­

luas lima ha, maka sekitar 900 Kg C02

akan dihisap dari

udara dan melepaskan sekitar 600 Kg 02

dalam waktu

12jam.

Hasil penelitian Hennebo (1955) menyimpulkan, ter­

jadinya pengendapan debu (aerosol) pada lahan terbuka,

khusus pada hutan kota. Pengendapan debu dipengaruhi

oleh jarak RTH terhadap sumber debu, jenis dan konsen­

trasi debu, kondisi iklim, topografi, jenis, dan kelompok

tanaman, serta struktur arsitektural RTH.

2.3.2 Ameliorasi lklim

Dengan adanya RTH sebagai 'paru-paru' kota, dengan

sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman.

Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkait­

an antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara,

cahaya, dan pergerakan angin.

Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu

di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), diban­

ding dengan suhu di 'luar'nya, bisa mencapai perbedaan

62 Ruang Terbuka Hijau

Gambar 2.7: Peavy Plaza di Minneapolis, Amerika Serikat

Merupakan 'unsur penyejuk' suasana kota. Kolam 'air terjun' ini

dirancang oleh M. Paul Friedberg, seorang arsitek lansekap yang

merupakan salah satu karyanya yang terkenal.

(Maja/ah Landscape Architecture, May 1989, ha/90)

angka sampai 2-4 derajat celcius (Purnomohadi, 1995).

RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari, de­

ngan adanya RTH maka secara alami udara panas akan

terdorong ke atas dan sebaliknya pada malam hari uda­

ra dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon

adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar ma­

tahari di samping sebagai penahan angin kencang, pare­

dam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi

tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di 'atas' kota

Gambar2.8:

Orientasi kemiringan dan besaran cahaya matahari adalah dua kali

lebih besar pada permukaan tanah yang tegak lurus dari arah cahaya

matahari dibandingkan dengan permukaan tanah dengan sudut (slope)

30 derajat terhadap arah cahaya matahari.

(Austin, 1985, hal 35)

Gambar2.9:

lklim mikro dan suhu lokal yang terbentuk oleh deretan pepohonan

menunjukkan aliran udara masuk ke bagian bawah di antara batang­

batang pohon tersebut, dapat menurunkan suhu antara 10-20%,

antara lain akibat te~adinya proses pernafasan dan penguapan dari

pepohonan tersebut yang mampu mengeliminasi radiasi cahaya

matahari.

(Austin, et. a/ (Eds), 1985, hal 37)

~ -------------------------------------- ~MM~

Gambar 2.10: ~

Sebuah studi analisis tapak pada daerah yang sengaja tidak dibangun

berdasar tujuan agar dapat dihasilkannya IKLIM MIKRO yang nyaman,

terutama di musim panas.

(Austin, et. a/ (Eds), 1985, ha/41)

Ruang Terbuka Hijau 63

r . . "-,~~ ··.···z··.·:··J·· ... ·.· . . •' . . ..

'?- .

Gam bar 2.11: Kubah Debu. Kubah debu terbentuk secara berkala di atas kota besar karena

partikel-partikel debu dan asap masuk ke dalam udara sebagai akibat

dari aktivitas dalam kota.

Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 ha/aman 112

. .. . . . f FILTRAsiJPENcucl uoAiiA·l · .. ,

Gambar 2.12: Pencucl Udara. Partikel-partikel debu yang beterbangan ditahan oleh pepohonan.

Kegunaan pepohonan sangat penting untuk membersihkan udara.

Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 115

64 Ruang Terbuka Hijau

Jalur jalan tanpa pepohonan

Gambar 2.13: Perbandlngan Jalur Jalan. Kegunaan pepohonan dalam mengurangi pencemaran udara,

khususnya partikel debu (TSP) melalui penangkapan (menyerapkan

dan menjerap) partikel-partikel debu yang melayang dalam media

udara hasil emisi kendaraan bermotor, industri dan sarnpah. Nampak

perebedaan nyata (dramatis). Satu pohon dewasa dapat menyerap

beberapa ratus kali bobot debu pada dedaunannya dan yang secara

periodik dihapus oleh adanya hujan lebat.

Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 116

·, : ,.. . Pengendapan kotoran

Gamber 2.14: Oksigenisasi dan sirkulasi angin untuk 'perbaikan udara.

Pepohonan mampu secara nyata 'membersihkan' media udara dari

zat-zat pencemar yang melayang melalui proses oksigenasi berdasar

dari tatanan struktur tegakan (tanaman) bila kombinasi struktur

dedaunan berlapis-lapis secara vertikal maupun horizontal relatif akan

lebih efektif 'menangkap' zat pencemar udara. Namun perlu diingat

pula bahwa bila terlalu lebat udara pengapakan sulit diencerkan

kecuali ada tiupan angin dengan kekuatan memadai. Melalui konversi

C02 (siang hari) menjadi kayu (carbon sink) dan menghasilkan 02

kuantitatif secara massal. Sesuai tinggi dan keadaan dedaunan yang berlapis-lapis diperkirakan bahwa dari satu hektar ruang hijau

berpohon menyediakan setara dengan luas area dedaunan sekitar lima

hektar (5x lipat). Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 117

Panas kering

Butuh keteduhan di atas garis ini

Kelembaban Relatif (%)

Gambar 2.15: Zona Nyaman.

Di sini ruang luar dan penggunaan tanaman mempunyai peran

nyata dalam memperbaiki iklim yang ekstrim dan tidak nyaman.

Penggambaran berbagai hubungan antara suhu dan kelembaban

nampak nyata dilihat dari grafik indeks bio-iklim. Kondisi yang

berlangsung dipetakan untuk bisa menunjukkan bagaimana ukuran­

ukuran korektif diperlukan untuk menjaga zona yang sesuai dengan

kenyamanan tubuh. Grafik ini diaplikasikan pada zona iklim sedang di

Amerika pada elevasi tidak lebih dari 1 00 kaki dan untuk manusia yang

berpakaian yang biasa dipakai di dalam rumah dan sedang duduk

santai mengerjakan pekerjaan ringan. Perencanaan ruang luar dan

penggunaan pohon-pohon memainkan peran yang sangat penting

pada iklim ekstrim dan tidak nyaman.

Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 119

Catatan: Sangat diperlukan penelltian dalam iklim tropls yang mirip atau bahkan lebih maju dari penelltlan dalam lklim sedang yang sudah banyak dilakukan di Negara Barat. apalagi bila dllngat sebaran sangat luas dari kepulauan NKRI ini dari Barat ke nmur dan U1ara ke Selatan. yang mesklpun berada peda garis ekuator yang tertetak hampir tepet di tengah-tengah Negara

AI ini. kondisl biogeografinya bisa jauh berbeda.

Ruang Terbuka Hijau 65

Gambar 2.16: Taman Tezozomoc

Memenangkan penghargaan Iomba perancangan arsitektur lansekap oleh American Society of Landscape Architecs (ASLA), Taman Rekreasi di Mexico 'Parque Tezozomoc' (toto oleh Gabriel Figueroa-Flores) memanfaatkan perbedaan topografi lahan dan laguna yang sudah ada. Taman ini dibangun pada salah satu lokasi yang termasuk termiskin di bagian Mexico City, saat itu saja (1989) sudah dikunjungi sekitar 5.000- 20.000 pengunjung tiap minggu. Taman tersebut dimanfaatkan untuk olahraga senam bersama (semacam Taman Madan Merdeka/Monas di Jakarta).

(Trulove, 1989, hal 50 dan 51)

tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih

luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.

Namun demikian, cara penanaman tetumbuhan yang

terlalu rapat pun, bisa menyebabkan daya perlindungan­

nya menjadi kurang efektif. Angin berputar di 'belakang'

kelompok tanaman, justru dapat meningkatkan polusi di

wilayah ini. Penanaman sekelompok tumbuhan dengan

berbagai karakteristik fisik, di mana perletakkan dan ke­

tinggiannya pun bervariasi merupakan faktor perlindung­

an yang lebih efektif.

Carpenter (1975), mengatakan bahwa RTH Kota de­

ngan ukuran ideal (0,4 Ha), mampu meredam 25-80%

kebisingan. Ukuran seluas 2.500 m2 ini kemudian diambil

sebagai patokan luas minimal sebuah RTH Kota. Besar-

66 Ruang Terbuka Hijau

an daya peredaman yang merupakan proses fisika dan

kimiawi yang dinamis tersebut, tentu saja sangat ter­

gantung pula pada besaran daya serap, daya jerap dan

daya akumulatif tetumbuhan yang dapat diatur sehingga

terjadi beberapa strata ketinggian dimaksud misal: be­

saran daya peredaman tergantung dari beberapa faktor,

sebagai berikut:

(1) Tipe tingkat intensitas kekuatan asal suara,

(2) Tipe tinggi, kerapatan dan jarak RTH dari

sumber suara,

(3) Kecepatan dan arah angin,

(4) Suhu dan kelembaban udara.

Ciri-ciri jenis tanaman yang secara efektif dapat mere­

dam suara (kebisingan), ialah yang mempunyai karakter-

CARBON DIOXIDE

Water 1 photooyothe•sj •,.,.~~poca:~ocotooc

' eoteo ~ Plants ----- -----~ Animals ! 2+

combinofionr ~~2+ ~~h ~y)· L1tter

I Bico .. nates

Carbonates

precipitation~ t Carbonate rocks

decoy l / .... Fossil fuels~------- Decomposers

Gambar 2.17: Siklus Karbon

(Vickery, 1944, hal 6)

Soluble phosphates / f1xed as

I OXIdeS by

, lightning

/ ox~d1zmg . . _ ox1d1Z1ng . loss by Amm~~a orgam~ N1tntes orgomsin~ N1trates leaching

- Plant- ~ · · __ '!J,croarga .. . absorbed -·---. ___ n,sm Ossa by roots

-- -. _ ~IOI1ans

decomposer~ ------_ Plants death ____ ,

---------- :eaten L1tter ~=-~--- deotn T

-------------Animals

Plants

Animals

I

~ Litter

(insoluble organic phosphorus compounds and phosphates l Gambar 2.18 (atas): Siklus Nitrogen

(Vickery, 1944, hal 6) Insoluble phosphates ~oorgonisms

Gambar 2.19 (kanan): Siklus Fosfor

(Vickery, 1944, hal 7) t· Rocks

Ruang Terbuka Hijau 67

Carbon dio~tide

! I

DAY

Oxygen

~I I

68 Ruang Terbuka Hijau

7

Tanaman berakar ) dangkal (semak,

~ /% rumput, perdu)

7

- Konsentrasi nutrient (pada area yang air

hujannya rendah)

NIGHT

Carbon Oxygen dio~tide

.! I

Gambar 2.20 (kirl): Siklus Nutrient

(Vickery, 1944, hal27)

Gambar 2.21 (atas): Pertukaran nitrat dengan bikarbonat

(Vickery, 1944, hal 29)

Gambar 2.22 (klri): Pertukaran gas CO-O dalam tanaman

(Vickery, 1944, hal 80)

Gambar 2.23 (atas): Difusi C02 ke daun dari: udara <-> tanaman

(Vickery, 1944, hal 81)

Gambar 2.24: Taman IBM federal Systems Division Facilities (NASA)

Taman ini juga memenangkan penghargaan Iomba perancangan

arsitektur iansekap oleh American Society of Landscape Architecs (ASLA),

khususnya sebagai taman yang mampu menjadi "pengikat" antara

bangunan (terbangun) dengan wilayah di sekelilingnya yang relatif

tak ada bangunan arsitektur yang menonjol. Taman dengan elemen

tanaman air (bunga Teratai) diatur dalam kolam-kolam, dimaksudkan

sebagai refleksi dari langit serta merupakan seni rancang berlanjut dan

terkait dengan seni bangunan (arsitektur) jalur-jalur jalan (parterre) ini

menghubungkan bangunan dengan Taman Hutan Kota di depannya, di

Indonesia RTH-semacam ini di Indonesia masih langka.

(Trulove, 1989, ha/ 64 dan 65)

istik fisik umum yaitu di antara ciri-ciri kombinasi bertajuk

rapat dan tebal, berdaun ringan serta mempunyai tang­

kai-tangkai daun.

RTH sebagai pemelihara akan kelangsungan perse­

diaan air tanah. Akar-akar tanaman yang bersifat peng­

hisap, dapat menyerap dan mempertahankan air dalam

tanah di sekitarnya, serta berfungsi sebagai filter biologis

limbah cair maupun sampah organik. Salah satu referensi

menyebutkan, bahwa untuk setiap 1.000.000 penduduk

yang menghasilkan sekitar 4,5 juta liter limbah per hari

diperlukan RTH seluas 522 hektar.

RTH sebagai penjamin terjadinya keseimbangan

alami, secara ekologis dapat menampung kebutuhan

hidup manusia itu sendiri , termasuk sebagai habitat alami

flora, fauna, dan mikroba yang diperlukan dalam siklus

hidup manusia.

RTH sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektural.

Tanaman mempunyai daya tarik bagi mahluk hid up melalui

bunga, buah maupun bentuk fisik tegakan pepohonan­

nya secara menyeluruh. Kelompok tetumbuhan yang ada

di antara struktur bangunan kota, apabila diamati akan

membentuk perspektif dan efek visual yang indah dan

teduh menyegarkan (khususnya di kota beriklim tropis).

RTH sebagai wadah dan obyek pendidikan, penelitian,

dan pelatihan dalam mempelajari alam. Keanekaragaman

hayati flora dan fauna dalam RTH kota, menyumbangkan

apresiasi warga kota terhadap lingkungan alam, melalui

pendidikan lingkungan yang bisa dibaca dari tanda-tanda

Ruang Terbuka Hijau 69

Gambar 2.25 (atas): Manfaat terkait di dalam seni Arsitektur.

Gaya bangunan tertentu nampak eksotik bagi orang Barat seperti di

sebuah Desa Batak, Sumatera ini.

(Papanek, 1999, hal 116)

Gambar 2.26 (kanan): Rumah Panggung.

Nampak arsitektur tradisional masyarakat Toraja.

(Papanek, 1999, hal 145)

(signage, keterangan) bertuliskan nama yang ditempelkan

pada masing-masing tanaman yang dapat dilihat se­

hari-hari, serta informasi lain terkait. Dengan demikian,

pengelolaan RTH kota akan lebih dimengerti kepenting­

annya secara apresiatif, sehingga menjadi tertib. RTH

sekaligus juga merupakan fasilitas rekreasi yang lokasi­

nya merata di seluruh bagian kota, dan amat penting bagi

perkembangan kejiwaan penduduknya.

RTH sebagai jalur pembatas yang memisahkan antara

suatu zona dengan zona lainnya, misal antara zona per­

mukiman dengan zona industri atau zona lainnya dimana

RTH digunakan sebagai lahan cadangan.

Dalam Rencana lnduk Kota dan atau Rencana Tata

70 Ruang Terbuka Hijau

Ruang Kota pengembangan daerah yang belum terba­

ngun bisa dimanfaatkan untuk sementara sebagai RTH

(lahan cadangan) dengan tetap dilandasi kesadaran bah­

wa lahan cadangan ini suatu saat akan dikembangkan

sesuai kebutuhan.

Manfaat eksistensi RTH secara langsung membentuk

keindahan dan kenyamanan, maka bila ditinjau dari segi­

segi sosial-politik dan ekonomi, dapat berfungsi penting

bagi perkembangan pariwisata yang pada saatnya juga

akan kembali berpengaruh terhadap kesehatan perkem­

bangan sosial, politik dan ekonomi suatu hubungan an­

tara wilayah perdesaan-perkotaan tertentu.

2.3.3 Manfaat Terkait Fungsi Ekonomi (Produktif)

Penelitian terperinci akan manfaat ekonomi RTH se­

cara rinci, terutama dari sisi produktivitas sejauh ini be­

lum terdengar. Selama ini telah ada beberapa penelitian

empiris tentang pertanian perkotaan atau taman hutan

kota, itupun masih terpisah-pisah dan menyebar sesuai

kebutuhan pada ruang dan waktu tertentu. Jadi, bebe­

rapa penelitian mandiri dan terpisah telah dilakukan oleh

para peneliti menyangkut eksistensi RTH dengan bobot

ekonomi yang sebagian besar dilakukan di Jakarta. Lo­

kasi-lokasi studi biasanya menyangkut kawasan perta­

nian dan perhutanan kota yang ditransformasikan dari

produktivitas hasil penanaman tanaman. budidaya, se­

perti sayur mayur maupun sentra produksi sayur, seperti

di daerah Sunter, dan produksi buah (dulu) di Kawasan

Pasarminggu, dan daerah konservasi budaya Condet.

Semua orang tahu, bahwa tanaman sebagai salah satu

komponen hidup (biotik) di dunia sangat diperlukan ma­

nusia dan makhluk hidup lain. Tanpa tanaman tidak akan

ada kehidupan lain di dunia karena tanaman merupakan

'pabrik makanan' (produsen primer) dalam siklus rantai

makanan, sedang yang lain adalah konsumen. 'Pabrik

makanan' tersebut dibagi dalam tiga tingkat (trophic

level), primer, sekunder dan tarsier, artinya hanya tumbuh­

an hijau (tanaman) yang dapat membuat makanannya

sendiri melalui proses fotosintesis yang terjadi pada ba­

gian tanaman yang mempunyai zat hijau daun (khlorofil),

dengan bantuan pusat energi (sinar matahari). Manusia

masuk ke dalam kelompok 'omnivora' karena dapat lang­

sung memanfaatkan hasil produksi tanaman atau tidak

langsung, misal kebutuhan akan daging dari hewan yang

sengaja dibudidayakan (ternak atau pun beberapa jenis

makanan yang diawetkan (diasap, diasin, disimpan dalam

'container), dan seterusnya.

Manusia membutuhkan karbohidrat, protein dan le­

mak sebagai makanan utama, juga vitamin dan mineral

yang sebagian besar diperoleh dari tanaman, seperti: (1)

beras dan gandum serta umbi dari tanaman padi, gan­

dum, kasava, dan sebagainya; (2) Gula, dari tanaman

tebu, biet, enau/aren, kelapa, dan seterusnya, (3) minyak

goreng, mentega, margarine, lemak, dihasilkan dari kela­

pa, kelapa sawit, jagung, kedelai, biji kapuk/kapas, dedak

padi, biji bunga matahari, dan sebagainya, (4) vitamin dan

mineral, didapat dari bebagai macam tumbuhan sayur,

bebuahan, dan seterusnya.

'Pabrik-pabrik' ini tidak memerlukan bahan bakar fo­

sil, atau tenaga listrik maupun api untuk menjalankannya,

tetapi memerlukan energi dari matahari, serta dapat di­

usahakan secara terus-menerus, setiap kali dapat diper­

baharui atau diremajakan, diperbanyak atau dikurangi,

bahkan dikembangkan sekehendak manusia untuk me­

menuhi keanekaragaman kebutuhan yang sejalan dengan

bertambahnya waktu akan terus meningkat. "Pabrik ba­

han makanan alam" ini, bahkan tidak mencemari udara,

tanah dan air, sebagai media lingkungan, bahkan mem­

bantu mencuci bersih media tersebut serta menyegarkan

udara.

Akar yang 'membengkak' pun diperlukan manusia

sebagai pilihan (alternatif) makanan, seperti ketela po­

hon, ubi, biet, kacang tanah, kentang, dan sebagainya.

Akhir-akhir ini tanaman obat atau jamu (herb medicines)

semakin berkembang dan meluas di seluruh dunia. yang

juga dapat berfungsi sebagai anti-racun, anti-oksidan,

dan sebagainya, telah menjadi komoditas penting dan

Ruang Terbuka Hijau 71

Tabel2.1: Tipologi RTH berdasar pada Fungsi, Jenis dan

Fungsi-fungsi Umum RTH

I. Ekologis (Konservasi)

Klasifikasl RTH dan Manfaatnya

• RTHWilayah

Tujuan Pembangunannya Semua bentuk RTH dalam batas administratif (Antar Propinsi, Antar Kota/Kabupaten)

72 Ruang Terbuka Hijau

pada skala: lokal, regional maupun nasional, • RTH berupa Koridor Sepanjang pada satuan administratif Kabupaten & (bantaran) Sungai, Danau/Waduk &

Kota/Perkotaan, khususnya fungsi konservasi Jalur Pesisir Pantai (perlindungan & pelestarian).

II. Sosiai-Ekonomi-Budaya (Produktif-budidaya)

Ill. Pengaman Sarana dan Prasarana

Taman Hutan Kota Kawasan Hijau Pertanian (Budidaya

Pertanian dalam artian luas, termasuk

kegiatan Perikanan & Peternakan)

• Taman Sejarah (Historic Parks: Etnis-Arkeologis)

• Rekreatif, pada RTH yang umumnya dapat

dimanfaatkan sebagai 'arena rekreatif',

baik secara aktif maupun pasif

• Edukatif, di mana fungsi utamanya adalah untuk

pelestarian fungsi lingkungan beserta

segala isi flora dan fauna yang ada.

• Jalur Hijau (green belt) Transportasi • Jalur Hijau di Jalur Listrik

Tegangan Tinggi

• Hijau Pengaman Fasilitas Hijau lain (buffer zone atau koridor kota, dan

pengaman dari erosi air dan tanah)

Sebutan Jenls-Jenls RTH

• RTH (Taman) Kota, taman-taman rekreasi

• Roof Top Garden/Taman Atap

atau Tanaman pada teras-teras bangunan bertingkat dan di samping bangunan

• Tanaman-tanaman (hias) dalam pot (efisiensi ruang),

berupa: tanaman pot buah, bunga, sayur, dan obat yg diatur dalam susunan/bentuk vertikal

• Taman Hutan Rakyat (TAHURA)

• Hutan Wisata

• Taman Wisata (pada situs sejarah, seperti: Borobudur, Prambanan, dan Taman Peninggalan Kerajaan; seperti

halaman keraton, istana (banyak terdapat di Indonesia)

• Aktif: - l;lijau Olah Raga,

-Taman Bermain Anak (TBA),

- Taman khusus lANSIA (Lanjut Usia)

• Pasif: - Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS),

- Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA)

- Hijau Pekarangan atau Halaman, bagian dari kawasan dengan peruntukkan tertentu, seperti:

- Permukiman, tunggal maupun 'real estate'

- Sekolah/Perguruan Tinggi

- Perkantoran

- Perindustrian (pabrik) , termasuk perhotelan (resort wisata, dll.).

- Kebun Raya, Kebun Raja, Arboretum,

- Kebun Binatang, DLL.

- Kebun Bibit, untuk berbagai fungsi (dekoratif, bunga, buah, sayuran, obat-herb medicines, dsb.)

• Jalur Hijau Lalu Lintas (dalam kota, antar kota, jalan bebas hambatan, dst.)

• Jalur Hijau Rei KA

• Jalur SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi)

• Tempat Pemakaman Umum (TPU)

• Jalur 'Pengaman' di kawasan curam' (lereng, bukit)

• Tempat Pembuangan Sampah Sementara/Akhir (TPS I TPA)

Ruang Terbuka Hijau 73

Gambar 2.27 (kiri): Bagian atas dari Lopo yang berbentuk loteng tempat menyimpan bahan pangan atau lumbung keluarga.

Gambar 2.28 (kanan atas): Bagian kolong di bawah panggung rumah Ume.

Gambar 2.29 (kanan bawah): Tampak sebuah keluarga penghuni Rumah Ume yang terdiri dari ayah; ibu dan anak.

(Kanwil Dep Sos, NTB, 1989)

Gambar 2.30 (kiri): Rumah adat tradisional Sumba dalam satu deretan perkampungan di Pulau Sumba; disebut Uma Mbatangu.

74 Ruang Terbuka Hijau

Gambar 2.31 (kanan): Pekuburan dari batu yang diletakkan di depan rumah.

(Kanwil Dep Sos, NTB, 1989)

menguntungkan. Beberapa tanaman obat (asli) Indonesia

jenis tertentu, termasuk rumput laut, ganggang, dan ma­

sih banyak lagi, bahkan telah dipatenkan oleh beberapa

perusahaan besar di negara lain, tentu demi keuntungan

ekonomis juga. Manusia tidak atau kurang produktif bila

jatuh sakit, akibat kekurangan gizi, terpapar pada ber­

bagai bentuk pencemaran dan kerusakan lingkungan

yang semakin meningkat akibat tidak atau belum adanya

pengelolaan lingkungan yang menyeluruh dengan baik.

Manfaat RTH ditinjau dari transformasi nilai kehilang­

an produktivitas penduduk kota akibat terkena penya­

kit karena memburuknya kualitas lingkungan, dampak

pencemaran media udara, air dan tanah pun telah ada,

namun sekali lagi studi-studi ini jangkauannya masih

sangat terbatas. Karena itu memang diperlukan segera

Gambar 2.32 (paling kiri):

Rumah Adat Timor (LOPO),

bangunan untuk laki-laki.

(Kawil Dep Sos, NIT, 1989)

Gambar 2.33 (kiri): Rumah

Adat Tradisional Sumba dalam

satu deretan perkampungan

di Pulau Sumba disebut UMA

MBATANGU artinya 'Rumah

)3ermenara' . Posisi rumah dilihat

dari depan.

(Kanwil Dep Sos, NIT, 1989)

adanya upaya koordinatif untuk mengkompilasi data dan

hasil penelitian yang telah dilakukan, bahkan bila me­

mungkinkan segera disusun suatu proposal pengajuan

fenomena turunnya kualitas lingkungan yang berdampak

baik pada kesehatan warga kota semua strata, maupun

kerugian finansial akibat kerusakan dan pencemaran ling­

kungan yang nyata terjadi pada benda-benda yang ada.

Tumbangnya beberapa pohon peneduh di sepanjang

jalur jalan akibat angin puyuh, yang akhir-akhir ini sering

terjadi di ibukota Jakarta sudah mengakibatkan hilang­

nya nyawa beberapa orang. Kemungkinan disebabkan

kurangnya pemeliharaan setiap jenis pohon besar sehing­

ga tidak membahayakan. Tentu saja kerugian secara ma­

teri pun relatif amat besar. Demikian pula akibat musibah

kebakaran yang termasuk dampak dihilangkannya sistem

Ruang Terbuka Hijau 75

Tabel2.2: Beberapa Jenis RTH Rancangan Pola Dasar Pertamanan DKI Jakarta Tahun 2005

76 Ruang Terbuka Hijau

I

JENISRTH

TAMAN KOTA

termasuk : Taman Bermain

Anak/ Balita), Taman Bunga,

(Lansia)

JALUR (tepian) SEMPADAN

SUNGAI dan PANTAI

TAMAN - OLAHRAGA,

BERMAIN, RELAKSASI

TAMAN PEMAKAMAN

(UMUM)

PERTANIAN KOTA

TAMAN (HUTAN) KOTA I PERHUTANAN

TAMAN SITU, DANAU,

WADUK, EMPANG

KEBUN RAYA, KEBUN

BINATANG, (NURSERY)

TAMAN PURBAKALA

JALUR HIJAU

PENGAMANAN

TAMAN RUMAH sekitar

bangunan Gedung - tingkat

'PEKARANGAN'

FUNGSI LAHAN

Ekologis,

Re-kreatif,

Estetis,

Olahraga (terbatas)

Konservasi, Pencegah erosi,

Penelitian

Kesehatan,

Rekreasi

Pelayanan Publik (umum),

Keindahan

Produksi, Estetika,

Pelayanan publik (umum)

Konservasi,

Pendidikan,

Produksi

Konservasi, Keamanan

Konservasi, Pendidikan,

Penelitian

Konservasi, Preservasi,

Rekreasi

Keamanan

Keindahan, Produksi

TWUAN

Keindahan (tajuk, tegakan pengarah, pengaman, pengisi

dan pengalas), kurangi cemaran, meredam bising, perbaiki

iklim mikro, daerah resapan, penyangga sistem kehidupan,

kenyamanan

Perlindungan, mencegah okupansi penduduk-mudah

menyebabkan erosi, iklim mikro, penahan 'badai'

Kenikmatan, pendidikan, kesenangan, kesehatan, interaksi,

kenyamanan

Pelindung, pendukung ekosistem makro, 'ventilasi' dan

'pemersatu' ruang kota

Kenyamanan spasial, visual , audial dan thermal, ekonomi

Pelayanan masyarakat dan penyangga lingkungan kota,

wisata alam, rekreasi , produksi hasil 'hutan ': iklim mikro,

oksigen, ekonomi

Keseimbangan ekosistem, rekreasi (pemancingan)

Keseimbangan ekosistem, rekreasi (ekonomi)

Reservasi , perlindungan situs, sejarah­

national character building

Penunjang iklim mikro, thermal , estetika

Penunjang iklilm mikro, 'pertanian subsisten ' : TOGA

(tanaman obat keluarga) I Apotik Hidup, Karangkitri

(sayur dan buah-buahan)

KETERANGAN

Mutlak dibutuhkan bagi kota, keserasian, rekreasi aktif

dan pasif, nuansa rekreatif, terjadinya keseimbangan

mental (psikologis) dan fisik manusia, habitat,

keseimbangan ekosistem

Perlindungan total tepi kiri-kanan bantaran sungai

(+1- 25-50 meter) rawan erosi. Taman laut.

Rekreasi aktif, sosialisasi , mencapai prestasi ,

menumbuhkan kepercayaan diri .

Dibutuhkan seluruh anggota masyarakat, menghilangkan

rasa 'angker'

Peningkatan produktivitas budidaya tanaman pertanian

Pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan plasma

nutfah, keanekaragaman hayati , pendidikan penelitian

Pelestarian SD-air, flora & fauna (budidaya ikan air tawar)

Pelestarian plasma nutfah, elemen khusus Kota Besar,

Kota Madya

'Bangunan' sebagai elemen taman

Pengaman: Jalur lalu-lintas, rei KA, jalur listrik tegangan

t inggi, kawasam industri dan ' lokasi berbahaya' lain.

Pemenuhan kebutuhan pribadi (privacy). Penyaluran

'hobby' pada lahan terbatas. Mampu memenuhi

kebutuhan keluarga secara berkala dan 'subsistent'

------------ --

Ruang Terbuka Hijau 77

2

3

Gambar 2.34: Beberapa Rekaman Foto Tim Kerja ke Bali, Mei 2006

Pada sebagian besar lokasi dapat dirasakan suasana hijau, teduh dan

nyaman. Hanya disayangkan kurangnya pemanfaatan tanaman lokal

(endemik) seperti pohon Majegau (Oysoxylum densiflorum [81] Miq},

Nagasari (Mesua ferrea L.) dan Buah Leci (Lancium sp., khususnya di

daerah pegunungan)

4

78 Ruang Terbuka Hijau

(1) Di Pulau Bali selalu ditemukan

Pohon Beringin (Ficus, sp.) di

kawasan perkotaan maupun

perdesaan, (2) Suasana khas Bali,

(3) Jalur hijau jalan menggunakan

Tanaman Glodogan (Po/yaltea

longifolia) merupakan trend baru

kota-kota di Indonesia (lokasi Kota

Gianyar), (4) Suasana teduh di Jalan

Renon, Denpasar, (5) Jalan menuju

TPA Suwung, Denpasar, (6) Suasana

perdesaan nampak lapangan

terbuka untuk upacara (misal:

Ngaben), (7) Peremajaan Taman

Museum Kertagosa, Karangasem,

memakai tanaman Kamboja Jepang

5

8

9

(8) Taman Budaya, Denpasar, (9) Pura keluarga dan lingkungannya, Pemandangan Umum

ada di mana-mana di seluruh Pulau Bali, (1 0) 'Sunset' di pinggiran Kota Denpasar,

(11) Perempatan dekat Museum Kertagosa, Karangasem, (12) Sudut Alun-alun Kota Gianyar.

Ruang Terbuka Hijau 79

2

(1) Kota Bandar Lampung, sebenarnya mempunyai potensi bio-geografi yang menarik

karena lahan tidak merata. Disayangkan banyak 'view' yang tertutup oleh bangunan

sehingga mengurangi nilai keindahan alam dari kota dengan lahan berlembah dan

berbukit ini, (2) Kantor Bapedalda Provinsi Lampung juga berpotensi memiliki sudut

pandang ke luar alam yang indah. (3) Pohon Ki Hujan (Trembesi: Samanea saman) yang

dipertahankan dan sangat baik bila digunakan sebagai peneduh lingkungan kota, (4)

'Street Picture' di luar Kantor Bapedalda Provinsi Lampung sudah mulai tertata baik.

80 Ruang Terbuka Hijau

4

5

6

(5) Kola Bandar Lampung conloh lagi belapa pohon peneduh Trembesi

(Samanea saman) yang lerus dipertahankan perlu mendapalkan penghargaan,

(6) Upaya penghijauan jalur jalan hampir dilakukan di seluruh bagian kola.

Hanya sedikil diperlukan perapian jalur lepi (misal unluk pejalan kaki, orang

bersepeda, dan lain-lain), (7) Upaya unluk menekankan karakler budaya

lokal pada jalan dengan lepian berbukil, nampak menggambarkan Kerajinan

Tenun Tapis Lampung yang lerkenal indah, (8) Pemandangan ke arah lepi laul

(pelabuhan), (9) Salu lagi upaya penghijauan jalur lalu linlas di Kola Bandar

Lampung hanya perlu sedikil diperkaya dengan lanaman peneduh.

7

8

9

Gambar 2.35: Kota Lampung

Folo-folo Taman Kola dan jalur lransportasi (street pictures)

di Kola Bandar Lampung.

Ruang Terbuka Hijau 81

penataan ruang-ruang sebagai 'ilalar' (penyangga/pem­

batas) api (brandgang) juga di antara struktur bangunan

(permukiman, perkantoran/perdagangan), tentu secara

finansial maupun kemanusiaan sudah sangat merugikan.

Biaya ekonomi akibat degradasi lingkungan su­

dah nyata terjadi, hanya saja sebagian penduduk tidak

menyadari, bahkan mereka hidup di lingkungan lokasi

buangan sampah, mandi, mencuci, dan buang hajat di

sungai, ataupun di 'alam bebas' merupakan kebiasaan

buruk yang sulit diperbaiki. Di dalam RTH dimana siklus­

siklus kehidupan dapat dikatakan berlangsung dengan

karakter alami, dimana fungsi pokoknya adalah menjadi

unsur penyeimbang dalam lingkungan binaan yang se­

hat, seharusnya ada tersebar merata di antara dominasi

struktur fisik bangunan dalam kawasan binaan secara

proporsional. Sedang bentuk RTH itu sendiri bisa me­

manjang, membulat, persegi empat maupun bulat atau

bentuk-bentuk geografis arsitektural, bahkan bentuknya

bisa dikatakan tak perlu beraturan (alami) sesuai dengan

tujuan dan kondisi geografisnya.

Kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, pemeliharaan dan evaluasi) RTH, harus

tetap dan agar selalu secara konsisten, memperhatikan

berbagai faktor, yaitu:

• Fisik (dasar eksistensi lingkungan), bentuknya bisa me­

manjang, bulat maupun persegi empat atau panjang,

atau bentuk-bentuk geografis lain sesuai geo-topo­

grafinya.

• Sosial, RTH merupakan ruang untuk manusia agar bisa

bersosialisasi.

• Ekonomi, RTH merupakan sumber produk yang bisa di­

jual (misal: bahan makanan berupa: bunga, buah,

82 Ruang Terbuka Hijau

dedaunan/sayur mayur, bahkan untuk dipanen umbi

dan atau akarnya).

• Budaya, ruang untuk mengekspresikan seni-budaya ma­

syarakat, serta

• Kebutuhan akan terlayaninya hak-hak manusia (pendu­

duk) untuk mendapatkan lingkungan yang aman (ter­

masuk dari segi pentingnya kesehatan), nyaman, indah

dan lestari (UUPLH No. 23/1997), yaitu fungsional dan

estetis.

RTH merupakan bagian Sistem Tata Ruang Kota, yai­

tu ruang terbuka (open space), di mana berbagai fungsi

dapat berlangsung sesuai dengan tujuan perencanaan

maupun perancangannya, yaitu, seperti: untuk Taman

Kota (Urban Parks), konservasi lahan (tanah, air dan sum­

berdaya alam lain) seperti Taman Hutan-Kota, serta tu­

juan untuk mempertahankan estetika sesuai nilai budaya

dalam sejarahnya. Dalam kelompok ini termasuk pula Ta­

man Pemakaman Umum (TPU), serta Ruang Terbuka un­

tuk pengaman fasilitas yang ada, seperti sarana penam­

pung sampah padat sementara maupun akhir (TPAITPS),

dan sebagainya.

2.3.4 Manfaat Terkait Arsitektur (Kenyamanan)

Pertimbangan dari berbagai aspek, maka hubungan

antara arsitektur dan arsitektur lansekap secara alami

bersifat sangat 'komplementer' dan saling mendukung

pada skala yang luas, sebab pada hakekatnya kedua

disiplin ini mempunyai dasar tujuan sama yaitu berfikir,

berkreasi dan berkarya untuk memenuhi kebutuhan ma­

nusia akan habitat hidup yang sehat, serasi, produktif

dan indah, sesuai dengan akar budaya bahkan falsafah

kehidupan serta pandangan masing-masing kelompok

manusia pada era dan lokasi tertentu.

Dalam pertemuan berkalanya 'Council of Educators

in Landscape Architecture' (CELA) di School of Design,

Department of Landscape Architecture University, Rhode

Island USA (1987), Margaret McAvin, dalam introduksinya

mengemukakan bahwa sebagaimana implikasi sesuai

namanya, maka aritektur dan arsitektur lansekap, tentu

mempunyai kesamaan tradisional dan sejarahnya, baik

dalam fungsi, bentuk maupun arti, dalam media mau­

pun teknik-teknik pelaksanaannya. Meski sebenarnya

mudah dimengerti bahwa arsitektur lansekap tak selalu

harus ada struktur bangunannya. Yang jelas kedua pro­

fesi ini mempunyai landasan berfikir yang sama (common

ground), yaitu 'menggubah ruang yang mempunyai lantai

dasar, atap dan 'dinding' bagi kenyamanan hidup manu­

sia'. Keduanya bisa saling bersintesa maupun berintegra­

si. Karena itu tidaklah mengherankan bila profesi arsitek­

tur sering melakukan pekerjaan arsitektur lansekap, dan

sebaliknya hanya tentu saja penekanan terutama pada

struktur bangunan dan alamnya berbeda-beda.

Pada abad ke 19 dan awal abad ke 20, disiplin ar­

sitektur lansekap lebih membedakan dengan arsitektur

sesuai dengan berkembang-luasnya arah perkembangan

keduanya yang memerlukan konsentrasi terpisah yang

semakin memerlukan pertanggung-jawaban profesional­

nya yang semakin mengerucut. "Perbedaan' perkembang­

an ini terutama bila dilihat dari skala perancangan (luas vs

sempit), fungsi (ruang terbuka vs ruang terbangun), ma­

teri (tanaman vs struktur). lntegrasi perancangan dari ba­

ngunan dan lansekap tak bisa lagi begitu saja dicampur­

adukkan, sebab kedua-duanya memerlukan pendalaman

secara teoritis maupun praktis. Karena itu bila menyang­

kut kedua disiplin ilmu tersebut, hendaknya dibahas atau

dinegosiasikan terlebih dulu wadah profesi perencanaan

dan perancangan secara berhati-hati sebab masing­

masing punya ruang tersendiri, meskipun tetap dalam

satu khususnya dalam perancangan bangunan rumah

dan taman perumahan, yang bersifat terbatas maka mau

tak mau kedua profesi tersebut memang harus saling

berintegrasi.

Jadi dalam skala tertentu seperti pembangunan rumah

dan perumahan tersebut, perlu ada 'diskusi' agar hasil

perancangannya bisa saling mendukung, menyatu ber­

integrasi sebagai sebuah karya optimal, dipandang baik

dari segi arsitektur (bangunannya) maupun arsitektur lan­

skapnya (taman halaman rumah dan tapak di lingkungan

luarnya). Beberapa langkah untuk membedakan kedua

profesi ini, nampak dalam publikasi berupa buku atau­

pun makalah biasa, terutama menyangkut "Perancang­

an Taman" dalam skala relatif sempit, namun juga bila

menyangkut suatu perancangan dan perencanaan yang

khas, semacam Kebon Bibit (nursery), bahkan suatu Ke­

bun Botani, Kebun Binatang, maupun perancangan Ta­

man Nasional, seperti apa yang disebut 'visitors centre'

dalam sistem perencanaan Taman Nasional di beberapa

negara.

Pada beberapa kesempatan memang di mana diperlu­

kan pemikiran yang lebih mendalam yaitu tentang di mana

kedudukan arsitek lansekap selaku profesi, program aka­

demik atau sebagai disiplin dalam visi integratif, memang

perlu berbagi tempat dengan disiplin arsitektur atas apa

yang disebut 'common ground' tersebut dalam kaitannya

dengan sejarah dan teori perkembangan keduanya. Yang

Ruang Terbuka Hijau 83

terpenting adalah terbentuknya saling pengertian antar

kedua disiplin, khususnya bila menyangkut suatu pelak­

sanaan yang menyangkut adanya kemungkinan untuk

kebersamaan. Modernisasi berkembang dalam interaksi

antar "bangunan-lansekap" atau transformasinya secara

nyata bisa dilihat dalam hubungan keduanya secara kon­

septual, fisik, dan hubungan sosialnya.

Dalam buku RTH ini, maka konteks yang panting

adalah selama kedua displin tersebut sadar bahwa apa

pun yang akan dikerjakan, tetap berdasar pada sudut

pandang ekologis yang berkembang antara tahun 1960-

70-an. Dimana orientasi pandangan arsitektur lansekap

sangat mendukung pandangan ekologis tersebut, bahkan

dapat dikatakan bahwa perencanaan dan perancangan

lansekap mau tak mau haruslah pertama-tama berdasar

pada kondisi ekosistem lokal. Orientasi antara "Manusia

dan Alam, hubungan antara bangunan dan/menuju lan­

sekap, lansekap kontemporer dan sejarah alami dan bu­

daya" dimana arsitektur lansekap dan arsitektur lansekap

individual, merupakan peran yang panting bagi profesi

arsitektur lansekap.

2.4 TIPOLOGI RTH BERDASAR PADA JENIS, FUNGSI, DAN TUJUAN PEMBANGUNANNYA

Evaluasi pengelolaan RTH sebagai salah satu unsur

dari empat k~teria penilaian dalam program penghargaan

Kota 'Bersih, Hijau, dan Produktif', yang disebut pro­

gram 'Adipura'. Sebagai Kota dengan kriteria penilaian

yang meliputi syarat-syarat sehatlbersih, nyaman, aman,

produktif dan indah diharapkan dapat berdampak posi­

tif menuju kota sehat berwawasan lingkungan. Sedang

84 Ruang Terbuka Hijau

kategori kota dibedakan menjadi empat tingkatan kota

berdasar pad a besaran jumlah penduduk, yaitu: (1) Kota

Metropolitan (> 1 juta jiwa), (2) Kota Besar (500.001 s/d

1 juta jiwa). (3) Kota Sedang (1 00.001 s/d 500.000 jiwa,

serta (4) Kota kecil (20.001 s/d 1 00.000 jiwa). (Purnomo­

hadi, 2005)

Tipologi RTH kota bisa didasarkan pada beberapa

variabel mendasar: jenis, fungsi dan tujuan pembangun­

an RTH itu sendiri. Tipologi RTH ini tentu saja didasarkan

terutama pada letak atau lokasi dan pemenuhan kebutuh­

an yang berdasar pula dari peruntukan dalam kawasan

perkotaan yang hendaknya disesuaikan pula dengan

kondisi geografis alaminya.

Sejarah peradaban manusia ditentukan pula oleh

eksistensi tanaman di sekitarnya, bahwa manusia tidak

bisa hid up tanpa tanaman, sampai saat ini sudah kita ya­

kini. Man usia bermukim di kawasan perkotaan dan perde­

saan, disebut 'lingkungan binaan', dimana kompleksitas

kegiatannya tergantung pada jumlah populasi manusia

dalam ruang-ruang dan waktu tertentu. Menyadari, bah­

wa secara alami manusia sangat membutuhkan eksis­

tensi tanaman seumur hidupnya, maka dari dalam dan

di antara kawasan binaan tersebut tetap diperlukan 'ka­

wasan alami' untuk menjaga agar keseimbangan fungsi

lingkungan dalam struktur lingkungan binaan dan sumber

kehidupan sebagai 'kota yang sehat' tetap eksis.

Lingkungan binaan baik di lingkungan perdesaan

maupun di perkotaan menggambarkan pula tak hanya

karakteristik atau latar belakang kondisi alam lingku­

ngannya, namun juga didasarkan pada sejarah budaya

dan religi penduduknya. Dalam mempelajari sejarah ke­

budayaan lebih dari 300 suku bangsa di nusantara In-

donesia ini, nampak adanya perbedaan baik hanya tipis

atau mirip maupun sangat tajam, misalnya antara Suku

Jawa dengan suku di luar pulau Jawa. Akibat iklim dan

kondisi alamnya, maka semula hampir semua arsitek­

tur bangunan rumah suku-suku bangsa di Indonesia ini

hampir mirip, yaitu memakai bahan-bahan dari SD-hayati

atau hutan di sekitar/dekat permukimannya, terutama

pemanfaatan akan kayu, bambu dan rerumputan serta

dasar bangunan yang 'diangkat' dari permukaan tanah.

Hal ini dimaksudkan agar (1) tidak mudah rusak akibat

tanah dan udara tropis yang lembab dan panas, serta

serangga dan hewan-hewan mikroba perusak (rayap,

semut dan lain-lain); (2) menghindari serangan langsung

binatang buas, dan (3) menghindari banjir {khususnya

pada permukiman tepi air).

Di antara sekian banyak suku, yang mudah dibedakan

atau dikenali adalah budaya suku bangsa Bali, dengan

agama Hindunya yang telah merasuk dalam jiwa dan

raga serta dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Me­

reka sangat menghargai akan makhluk hidup lain sebagai

bagian dari alam semesta ini yang tidak boleh rusak {diru­

sak) oleh manusia. Semuanya tergambar pada penataan

ruang terbukanya seperti dapat diamati dalam beberapa

ilustrasi di halaman berikut.

2.5. BENTUK-BENTUK RTH Penamaan bentuk-bentuk RTH disesuaikan dengan

peruntukan dalam zona pemanfaatan lahan (land use

zone) yang tertera dalam Rencana lnduk Kota/Rencana

Tata Ruang Kota yang telah disepakati antar para pihak

terkait dan kemudian disahkan sebagai peraturan daerah.

Kegiatan pengelolaan (sejak perancangan/perencanaan

Gambar paling atas 2.36: Roman house at Pompeii, ltalia.

"Ruang Terbuka" berada di dalam halaman dikelilingi tembok tinggi.

(Laurie, 1975)

Gambar atas 2.37: Vaux-le-Vicomte

Perancangan arsitektur Lansekap formal dengan

sumbu yang tegas/kuat. (Laurie, 1975)

Ruang Terbuka Hijau 85

Tabel 2.3: Rancangan Pola Dasar Dinas Jenis dan klasifikasi

(Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI, 2005)

No KlasifikasV Jml penduduk LuasTamanl JenisTaman pendukung penduduk

Olwa) (rn2)

I TAMAN UMUM

1. Taman Bermain 250 1

2. Taman Lingkungan 3000-30.000 0,5

3. Taman Kota 30-120.000 0,2-0,4

4. Taman Spesial (khusus) Min 1 jt

II TAMAN SEMI UMUM

1. Taman Rekreasi: Min 1 juta 0,5-0,8

-Aneka Loka 1 juta 0,5-0,8

-Tirta Loka 2 juta 0,5-0,8

-Taman Margasatwa 2 juta 0,5-0,8

-Taman Aneka buah Min 2 jt 0.3-0,5

2. Taman Pendidikan 2 juta 0.3-0.1

-Taman Botani

- Taman Penelitian

- Bumi Perkemahan

3. Kebun Bibit 1 juta 0.5-0,5

4. Taman Terpadu Min 30.000 0,5-0,10 c---

Ill TAMAN PRIVATI Min 10% dari

TAMAN HALAMAN luas lahan

86 Ruang Terbuka Hijau

Luas Taman : Alt8l nattr Radlua Pelayanan seluruhnya ,........,

(m2) I II

250 73 RT/RW

1,500 252 Beberapa RW/

12-42,ribu 798~ 1 .596 Kel Kecamatan

Min 200.ribu 4,607 Wilayah Kota

Min 500. rb 4.607 Wil Kota Prov

500 rb 4.607 (kota metro

Min 1 jt 6.516 DKI Jakarta)

Mi 1 jt 6.516

Min 600, rb 6.516

Min 200.rb 6.516 Prov (kota metro

DKI Jkt) Wil Kota

Min 200.rb 4.607

50.rb 4.607 Wil kota

15 rb 798 Kec/Wil Kota

pelaksanaan, pemeliharaan sampai kepada pengawasan

berkesinambungan), maka fungsi RTH sesuai dengan

bentuk-bentuknya harus tetap mampu secara konsisten

tetap memperhatikan faktor dasar eksistensi dan kondisi

lingkungannya, baik secara fisik, ekonomi, sosial, buda­

ya, maupun secara umum dapat melayani manusia untuk

memperoleh hak-hak manusiawinya, untuk memperoleh

lingkungan yang aman (khususnya ditinjau dari aspek ke­

sehatan), namun tetap indah dan fungsinya tetap lestari.

Taman Lingkungan Perumahan tentu merupakan bagian

RTH pembentuk kota dalam Sistem Tata Ruang Kota.

Bentuk-bentuk ruang terbuka (RTH adalah bagian dari­

padanya) dan pengelompokan bentuk menuju ke ukuran

yang semakin luas dapat ditelusuri melalui penjelasan

dalam uraian selanjutnya

Beberapa jenis RTH di bawah ini dikutip dari Konsep

Laporan Akhir, Maret 2005 DKI Jakarta: "Rancangan Pola

Dasar Pertamanan DKI, Jakarta, Tahun 2005", menggam­

barkan klasifikasi/jenis taman berdasar kebutuhan jumlah

penduduk pendukungnya disesuaikan dengan luas ta­

man per penduduk maupun kelompok penduduk, serta

radius pelayanannya.

2.5.1 Taman Lingkungan Perumahan

Menurut sejarah di negeri barat, rumah atau tempat

tinggal yang kemudian disebut perumahan bila berkum­

pul menjadi kelompok dari rumah-rumah adalah tidak

merupakan rangkaian suatu kelompok yang terdiri dari

lahan perumahan individual, atau jajaran perumahan,

kondominium atau kompleks apartemen. Hubungan an­

tara ruang terbuka (RT), baik untuk kepentingan pribadi­

pribadi (dalam masing-masing unit rumah) atau untuk

Gambar 2.38: Plan of Versailles (1662-1665).

Citra RTH kota tropis tentunya berbeda antara negara-negara tropis

maupun sub tropis, apalagi dengan negara beriklim dingin.

(Laurie, 1975)

Ruang Terbuka Hijau 87

0 SO 100 2$0F ·~·~···~ .. ~--~--.£3· .... .-t:::::-. .... ~~ T

0 ~ ~ ~M -~--··===----===~--,~~--.£==~1~

Gam bar 2.39: Cluster development.

Kompleks permukiman di mana Ruang Terbukanya "keluar" dari

rumah-rumah individu, berupa suatu lingkungan tertutup "cut de sac".

(Laurie, 1975)

88 Ruang Terbuka Hijau

kepentingan umum (publik). Namun bila tertata (diren­

canakan) disebut sebagai suatu sistem permukiman

dengan berbagai sarana penunjang, bentuk arsitekturnya

bisa beranekaragam, dimana masing-masing bisa mem­

punyai ciri khas tertentu.

Sejarah transformasi adanya bentuk dan letak RT

menunjukkan bahwa RT tersebut semula berada di

dalam kawasan terbatas yang dipagari tembok tinggi di

sekeliling unit kelompok rumah tersebut menjadi suatu

komplek permukiman berbentuk 'cluster' di mana RT

dibangun bersama. Kemudian RT ini bisa menjadi lebih

luas dan 'dikeluarkan' dari rumah-rumah individual yang

berada dalam suatu lingkaran tertutup menjadi RT Hijau

(RTH) permukiman untuk keperluan pemanfaatan secara

kolektif pula. Dua konsep ini dalam implementasinya

mempunyai ciri khas yang berbeda, yaitu RTH yang terle­

tak pada rumah-rumah pribadi (privacy) dijaga ketat, se­

mentara yang terletak di ruang publik menjadi 'terbuka'

sebagai milik umum. Hal ini tentu .akan mempengaruhi,

atau menggambarkan pula hubungan sosial antar peng­

huninya maupun konsep pandangan dasar, dilihat dari

segi ekologi (lingkungan) binaan.

Perkembangan pola pertumbuhan kota yang lebih

terbuka di kemudian hari akan mengikuti berbagai pola

kota: berbentuk jalur (panjang), terkotak-kotak (grid iron),

ataupun berbentuk lingkaran-lingkaran "tertutup" (cui

de sac), dimana 'kantong-kantong' perumahan tersebut

'dihubungkan' satu sama lain dengan jalan-jalan kolek-

. tor yang menuju jalan-jalan utama yang relatif lebih besar

(highway, freeway, to/way, dan seterusnya).

Pemelihara Taman Lingkungan Perumahan ini se­

benarnya lebih diharapkan dilakukan oleh para penghuni

atau masyarakat setempat. Sedang kegiatan pemeli­

haraan yang perlu, meliputi: penyiraman, pemangkasan,

pembersihan, dan pemeliharaan hortikultural lain seperti

penggantian tanaman yang rusak atau mati, 'penyulam­

an', dan penananam kembali. Pada ruang terbatas, perlu

perletakan wadah (pot) tanaman secara baik dan artistik,

perlunya perbandingan proporsional antara tanaman pe­

lindung dan tanaman perdu, semak dan penutup tanah

dari unsur peteduh, hias, dan produktivitasnya. Pemba­

ngunan jalan setapak dan unit Taman Bermain, peleng­

kap pendukung bisa dengan sistem kerjasama antar

lingkungan permukiman atau mencari dukungan swasta

tertentu.

2.5.2 Taman Kota (Urban Park)

Perkembangan RT(H) kota di Indonesia, sedikit banyak

sang at dipengaruhi oleh pol a perencanaan kota jam an ko­

lonial, seperti "Kebon Raja" yang sampai saat ini terdapat

di Blitar. Namun demikian menurut sejarahnya alun-alun

yang hampir selalu terdapat di kota-kota, khususnya di

pulau Jawa, merupakan gambaran akan demokrasi pada

era Kerajaan Jawa yang memerlukan sebuah area terbu­

ka tempat raja berdialog dengan rakyatnya, sehingga AT

semacam alun-alun tersebut sangat diperlukan.

Dalam perkembangan kemanusiaan selanjutnya maka

kota pada Abad Pertengahan lahan pertanian terbuka

melingkari 'organisme kota' di dalamnya terdapat AT ber­

sama (courtyard), jalan umum, dan 'alun-alun' (squares),

yang sangat berdekatan satu sama lain, sehingga ter­

kesan keakraban antar penghuninya. Pada abad ke-17

(dimulai di Perancis), diketahui adanya pemikiran secara

sadar akan perlunya mengatur (perencanaan dan per-

ancangan) secara khusus suatu perumahan ma~uk

atau permukiman dalam skala yang luas, yang akhirnya

akan mempengaruhi perkembangan bentuk-bentuk kota

seperti yang kita saksikan sekarang ini. Di Kota Paris,

biasanya di perumahan-perumahan kelas menengah

(dianggap sudah mempunyai aspirasi khusus) dianggap

perlu membangun suatu RTH dari suatu 'halaman' istana

yang megah terletak di lokasi yang relatif lebih tinggi se­

bagai 'simbol kekuasaan feodal', dimana Taman lstana

tersebut merupakan suatu poros menerus menuju ke

bawah menembus kota (Versailles).

2.5.3 Taman Rekreasi

Taman rekreasi seperti disebutkan di atas khusus di­

rancang untuk menampung kegiatan rekreatif penduduk

kota yang mungkin bisa mencapai skala lebih luas dari

batas kota. Taman-taman rekreasi semacam ini umumnya

terletak di pinggiran atau perbatasan wilayah antar kota

atau kabupaten, dimana diperlukan ruang yang relatif cu­

kup luas untuk berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan

rekreasi sesuai target yang terkandung dari namanya.

Karakteristik pemilihan tanaman penghijauan un­

tuk Taman Rekreasi ini pun disesuaikan ~engan tujuan

pembangunannya, kecuali Taman Botani (Kebun Raya

atau Arboretum) tentu dipilih karaketer tanaman yang ti­

dak membahayakan pengunjung ataupun penghuninya,

misalnya tidak bergetah atau beracun, dahan tak mudah

patah, perakaran yang tak mengganggu pondasi atau

struktur bangunan taman, pengaturan tingkat pertumbuh­

an optimal masing-masing tanaman yang merupakan

kombinasi tanaman, dan seterusnya. Sedang persentase

lahan yang dihijaukan, sebaiknya tidak kurang atau me-

Ruang Terbuka Hijau 89

lebihi sebaran antara 40-60% luas keseluruhan tapak.

Taman-taman lingkungan di Kota Taman Melbourne,

Australia, seperti Albert Park yang menjadi taman rekrea­

si kota disediakan fasilitas yang tidak sekedar memenuhi

unsur hijau, teduh dan asri, tetapi disediakan pula tempat

khusus untuk berolahraga, seperti 'logging track' selebar

1-1 ,5 meter, mengelilingi kolam yang khusus dibangun

untuk menambah unsur kesejukan alami. Bahkan pada

taman rekreasi yang tersebar hampir di seluruh bagian

kota, karena luasannya cukup sebagian khusus dipakai

warga kota untuk melakukan olahraga dari jalan kaki bi­

asa, lari-lari kecil atau jogging, sepakbola, bahkan sam­

pai disediakan fasilitas untuk bermain golf.

Taman-taman rekreasi ini, selain untuk kegiatan fisik

yang menyehatkan adalah amat bermanfaat bagi pendi­

dikan anak-anak maupun generasi muda untuk mencintai

dan menghargai lingkungan hijau, karena secara nyata

mereka dapat memperoleh manfaat langsung dari eksis­

tensi Taman Rekreasi ini. Pendidikan di usia dini, seperti

pendidikan dan pelatihan untuk menjaga kebersihan ling­

kungan, memang merupakan satu syarat penting dalam

membentuk orang dewasa yang bertanggung jawab

dengan kondisi kejiwaan dan raga yang sehat. Modul­

modul pentahapan kategori kegiatan pada pendidikan

LH bagi kelompok usia balita sampai usia remaja (sekitar

18 tahun) sudah disiapkan oleh kantor KLH dan juga oleh

Departemen Pendidikan.

2.5.4 RTH Pendukung Sarana/Prasarana Kota

Undang-undang No. 24/1992 tentang Penataan Ru­

ang menetapkan bahwa ruang dibagi ke dalam 2 (dua)

kawasan yaitu (1) Kawasan Lindung dan (2) Kawasan Bu-

90 Ruang Terbuka Hijau

didaya. RTH dapat terletak pula pada kawasan budidaya

selain di kawasan lindung. Secara administratif, RTH

dapat terletak pula pada wilayah kota selain di wilayah

kabupaten. Di kawasan perkotaan maupun di kawasan

perdesan. Di kawasan perkotaan, RTH dapat berupa hu­

tan kota.

Di lingkungan perkotaan dunia, telah dikenal istilah

'hutan kota' (urban forest), di mana tentu saja kondisi

dan fungsinya tidak tepat benar dengan hutan konser­

vasi 'asli' atau 'alami' yang letaknya di daerah 'remote

areas', seperti: hutan tropis dataran rendah atau hutan

hujan pegunungan, dan seterusnya. lstilah kawasan un­

tuk proteksi atau perlindungan, seperti: Taman Nasional,

Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Bakau/Lahan

Basah, dan semacamnya lebih dimaksudkan bagi ka­

wasan hutan-hutan yang fungsi pokoknya dipertahankan

sebagaimana adanya secara alami. Termasuk juga di

kawasan perairan, seperti Taman Nasional Laut, dan se­

bagainya. Namun, Taman Hutan Raya seperti yang ter­

dapat di Bandung (Tahura Juanda) dan yang terdapat di

ranah Minangkabau, Tahura Moh. Hatta misalnya, menurut

penataan ekosistemnya bisa disebut sebagai salah satu

tipe "Hutan Kota". Fungsi perlindungan pad a hutan kota

memang merupakan bobot nilai tertinggi di dalam kese­

pakatan asosiasi hutan kota dunia dibanding dengan ba­

gian ruang terbuka kota tipe lain.

Kawasan hijau buatan manusia yang dibangun di

wilayah perkotaan, seperti: Taman Umum (Park), Kebun

Binatang, Kebun Raya Botani, dan sebagainya namun

bobot fungsi lain tetap sam a dan sebangun, sebagaimana

diuraikan secara rinci pada bab dan sub-bab sebelumnya

seperti fungsi perlindungan terhadap sistem tata air, ca-

Gambar 2.40: Macam-macam

Jalur Hijau Jalan (JHJ)

Kiri atas: Suwung, Denpasar,

Bali (TPA dari lokasi rehabilitasi

Hutan Mangrove, JICA)

Jalur Hijau Jalan (JHJ), menuju ke

arah lokasi Pembuangan Sampah

Akhir (TPA) dengan sentuhan

pemangkasan berkala, sehingga

tajuk terbentuk seragam.

Atas: Pulau Batam

Banyak memanfaatkan Pule

(Alstonia scholaris) sebagai

penyusun utama. Pemilihan yang

baik, sebagai pohon peneduh

apalagi bila dilengkapi dengan

jalur yang khusus bagi pemakai

jalan kecepatan rendah (sepeda

dan semacamnya).

Kiri bawah: Bali

Memanfaatkan Palem Raja

(Roystonia elata) sebagai penyusun

JH median jalan yang bermanfaat

sebagai pengarah, namun tidak

cukup berfungsi peneduh.

Ruang Terbuka Hijau 91

Gambar 2.41: Macam-macam

Jalur Hijau Sungai

Kiri paling atas: Sempadan Sungai dl Tengah Kota Magetan.

Perpaduan periindungan sempadan secara fisik dengan penutup tanah

rendah dan tinggi dari jenis tanaman hias dan tanaman buah yang

nampak bersih dan rapi (KLH, 2004).

Kanan paling atas: Sempadan Sungai

Lok Ulo Kebumen.

Dari peruntukan lahan setempat, JH yang terbentuk oleh berbagai

jenis-jenis tanaman budidaya dengan dominasi bambu (KLH, 2004).

Atas: Sempadan sungai Belimbing Banjarnegara.

Perlidungan fisik bantaran sungai dipadu dengan bentukan JH

tanaman budidaya (KLH, 2004).

92 Ruang Terbuka Hijau

haya (terik) matahari, udara bersih, dan sebagainya.

Pada hakekatnya selama daya dukung lingkungan

alam tidak terlampaui, maka semua sistem ekologis yang

seharusnya tetap bisa berlangsung secara alami tidak

akan menimbulkan bencana. Daya dukung lingkungan

alami ini adalah suatu kemampuan alam untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi makhluk hidup (termasuk manusia)

pada suatu wilayah tertentu, sedemikian rupa sehingga

alam masih bisa melakukan proses asimilasi (pencernaan

kembali), misalnya mencerna limbah hasil kegiatan semua

makhluk hidup yang ada pada wilayah tertentu tersebut

hingga bisa dimanfaatkan kembali.

2.5.4.1 Jalur Hijau

Urbanisasi yang terus terjadi bahkan meningkat di

hampir semua wilayah lingkungan perkotaan akibat daya

tarik kegiatan pembangunan yang memikat, ditambah

pula dengan terjadinya kemiskinan di perdesaan akibat

semakin terbatasnya lahan usaha, 'memaksa' pendatang

membangun permukiman sekenanya, yaitu mencari ru­

ang atau lahan-lahan, yang menurut mereka nampaknya

masih memungkinkan untuk lokasi hunian sementara,

bahkan di sekitar lokasi pembuangan sampah. Umum­

nya, tujuan pokok mereka adalah untuk tinggal semen­

tara dalam keperluan mencari uang, yang secara periodik

dibawa pulang ke kampung halaman mereka masing­

masing, sebagai modal usaha atau biaya pendidikan

anak-anak mereka dan penunjang kehidupan keluarga di

kampung.

Maka 'lahan-lahan terbuka' (hijau) seperti jalur hijau

lalu lintas, bantaran sungai, danau atau pantai, bantaran

jalur rei KA, lahan 'kosong' dan semacamnya, menjadi

sasaran empuk yang akhirnya menjadi daerah permuki­

man liar yang terdapat di seluruh bagian kota. Semakin

lama lahan-lahan yang dimaksudkan sebagai sarana

pengaman atau pelindung berbagai prasarana fisik kota

tersebut tertutup oleh permukiman liar.

Pengawasan rutin aparat pemerintahan kota yang

berkewajiban menjaga ketertiban dan kelestarian fungsi

lingkungan prasarana dan sarana kota yang sebenar­

nya berbahaya bagi permukiman tersebut, tak mampu

diterapkan secara menyeluruh bahkan mengakibatkan

permukiman liar semacam itu semakin meluas dan men­

jamur di seluruh 'sudut' kota tanpa mampu dicegah. Upa­

ya pengelolaan dengan pendekatan 'manusiawi' maupun

melalui tindakan hukum yang bahkan terkesan kasar

telah sering dilakukan, namun upaya tersebut tak mampu

melawan kenekatan para pendatang untuk terus berta­

han hid up di lokasi permukiman darurat yang sebenarnya

terlarang tersebut.

Luas RTH khusus bagi upaya pengamanan sarana dan

prasarana kota tersebut menjadi amat kurang, dan kuali­

tasnya untuk fungsi lingkungan pun sulit dipertahankan.

Bahkan, menurut perkiraan (Dinas Museum dan Sejarah

DKI, 1997) di Majalah Properti Juni 1995, permukiman

kumuh diproyeksi dari data yang ada, telah menyebar ke

seluruh wilayah kota dengan luas sekitar 2,700 hektar.

Permukiman kumuh (dan liar) ini tentu saja tidak mendu­

kung suatu konsep penataan lingkungan hijau kota, yang

disebut sebagai: "Metropolitan Park System" dan yang

sudah dicanangkan sejak tahun 1967.

Pada prinsipnya setiap jengkal lahan di' wilayah

perkotaan, dapat dikatakan amat sangat berharga di

samping juga selalu mempunyai masalah yang kompleks.

Pemerintahan kota dimanapun telah berusaha mengatasi

dengan berbagai cara, meskipun selalu terbentur pada

'masalah kemanusiaan' yaitu kebutuhan penduduk akan

permukiman yang terus meningkat. Maka, satu-satunya

jalan rasional, bila pemerintahan kota sudah mampu,

ditinjau dari berbagai segi baik kelayakan finansial, so­

sial, dan terpenting adalah kemampuan para SDM aparat

pengelola kota, antara lain untuk menerapkan pemba­

ngunan sarana permukiman vertikal (bersusun) beserta

kelengkapannya, yang harus ditunjang oleh penegakan

peraturan dan pengawasan yang ketat.

Sosialisasi penataan ruang kembali perlu dimu­

syawarahkan dengan penduduk kota, agar rasa tang­

gungjawab dalam ikut membentuk suasana lingkungan

kota yang sehat dan produktif dapat dimulai dari 'bawah'

tanpa dipaksakan dan dilaksanakan secara sinergis dan

total di suatu atau beberapa lokasi percontohan secara

tuntas, sampai mencapai hasil nyata yang optimal, ber­

dasar pada kebutuhan dan tanggungjawab bersama, dan

secara legal mendapat dukungan pemerintahan kota.

Sarana RTH (atau ruang terbuka) untuk menampung ber­

bagai kegiatan warga pun bisa dibangun dan dipelihara

bersama dalam kantong-kantong hijau 'milik' bersama

pula, termasuk pemanfaatan ruang terbuka pada lahan

atau jalur-jalur (koridor hijau) pengaman prasarana kota

secara terbatas, dengan mengutamakan keamanan bagi

penggunanya, seperti yang disebutkan di atas.

Sistem perencanaan taman wilayah (Regional Park

System) harus memenuhi persyaratan minimum dengan

maksud agar seoptimal mungkin tetap mampu melayani

kebutuhan penduduk yang terus menerus meningkat,

karena itu bila akan ada perobahan perencanaan apa-

Ruang Terbuka Hijau 93

Gambar 2.42 (atas kiri): Sungai Suzhou, Cina. Jalur hijau sempadan pantai, merupakan rehabilitasi pantai dan terbuka untuk umum.

Perlindungan pantai secara fisik diikuti perlindungan vegetatif.

Gambar 2.43 (atas kanan): Sistem pampa yang menjaga kualitas air dibuat dalam struktur yang menjorok ke danau.

(Breen, 1996, ha/103)

lagi pelaksanaannya sesuai skalanya, maka perlu terus

menerus disosialisasikan pada masyarakat ·penghuni,

khususnya yang tinggal di sekitar taman wilayah terse­

but. Oleh karena itu dalam sistem perencanaan kota se­

cara keseluruhan, harus ditetapkan pula batasan wilayah

perkotaan dengan luasan tertentu, sehingga jangan

sampai karena urbanisasi yang terus meningkat, pertum­

buhan kota menjadi tidak terkontrol. Untuk itulah perlu

ditetapkan adanya semacam daerah penyangga yang di­

proyeksikan di sekeliling batas (administratif) kota, yang

lazim disebut 'sabuk/jalur hijau' atau green belts.

Sabuk hijau penyangga ini yang jelas pasti bentuknya

memanjang, bahkan bisa mencapai puluhan kilometer,

namun jarak Iebar jalur hijau ini relatif pendek, dimana

ukuran pendek tidaknya itu tergantung pada kebutuhan

yang disesuaikan kembali kepada kondisi alam serta je­

nis kegiatan penduduk yang akan dilakukan di dalamnya.

94 Ruang Terbuka Hijau

Seperti untuk: daerah pengaman jalur sungai, jalur pen­

gendali terhadap sumber pencemaran, jalur rei KA, serta

satuan sarana lain, seperti jalur jalan dan jalur SUTET,

punggung dan atau lembah perbukitan, dan seterusnya.

Dari bentuk luarnya saja, green belts ini mungkin diarti­

kan atau sama fungsinya dengan apa yang disebut kori­

dor hijau. Hanya, bentuk koridor hijau ini tak perlu harus

memanjang dan mungkin bisa terletak di antara zonasi,

dan berfungsi pula sebagai 'pembatas' antar ruang-ru­

ang pemanfaatan dalam wilayah kota, misalnya sebagai

pelindung areal permukiman dengan jalur jalan bebas

hambatan, dan seterusnya.

'Sabuk' hijau ini biasanya berukuran relatif luas, karena

terletak di wilayah (region) sebab fungsi pokoknya adalah

guna melindungi sebagian dari sistem kehidupan seperti

daerah lindung (konservasi) yang biasanya mempunyai

daya ketertarikan khusus 'pemandangan alami' untuk

Gambar 2.44 (dua gambar di atas): Sungai di Kuching, Serawak, Malaysia. Penataan kembali tepi sungai, sebagai lokasi rekreasi

(promenance) bagi penduduk kota. (Breen, 1996, ha/1149 & 150)

Ruang Terbuka Hijau 95

Gambar 2.45: Bunga Sakura Sedang mekar penuh (blooming) di sekeliling lstana Kaisar di Tokyo. Jalur biru ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk rekreasi air di musim semi.

Ragam pemanfatan RTH sebagai taman wisata, konservasi air.

Foto: Taka-san, Fuf<jage, 2006

96 Ruang Terbuka Hijau

pariwisata, dan bisa melayani kota-kota yang terletak

dekat dengan jalur hijau ini, atau bahkan beberapa kota

yang berbatasan dengannya, sehingga Taman Umum

Regional ini mampu melayani lebih dari dua kota saja.

Jadi, pembangunan jalur hijau tersebut, umumnya paling

tidak untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu: (1) melindungi

seluruh atau sebagian lansekap alami, (2) menyediakan

fasilitas rekreasi bagi kota-kota di perbatasan, dan yang

terpenting adalah (3) sebagai "sabuk hijau" yang mem­

batasi ekspansi kota-kota ke daerah pinggiran (urban

sprawl) dari kota-kota yang sangat cepat berkembang

dan yang terletak di sepanjang/berbatasan dengan jalur

hijau tersebut.

2.5.4.2 Jalur Biru

Peradaban manusia biasanya dimulai dan ditemukan

pada sepanjang sungai atau di muaranya yaitu dekat dae­

rah pantai. Sekitar 80% dari kota-kota metropolitan dunia

berlokasi di pantai, seperti Shanghai, Hong Kong, Tokyo,

Manila, Jakarta, Sidney, Singapura, Bombay, Calcutta,

Kairo, Rio de Janeiro, Buenos Aires, New York, Los An­

geles, dan lain-lain. Negeri Belanda (Nederland) di mana

kota-kota besarnya seperti Amsterdam, Rotterdam, dan

banyak kota-kota negeri itu yang terletak di tepi perairan

(sungai, danau dan laut), sehingga saking kecilnya negeri

itu, maka bisa kita sebut dengan "Negara Kota Pantai",

menjadi sejajar dengan kota-kota metropolitan yang telah

disebutkan sebelumnya. Luas seluruh wilayah Nederland

hanya 41.500 km2• Bandingkan dengan luas Indonesia

yang 5,2 juta km2 (luas daratan 2 juta km2 dan luas lautan

3,2 juta km2). Posisi geografis Jakarta semacam kota-kota

lain seperti disebutkan di atas, menjadikan Jakarta ter­

masuk salah satu kota pantai yang harus terus menerus

berjuang melawan air (Hagen, dan Lim, 2005 Departemen

Transportasi dan Perairan, Belanda).

Putra Mahkota Nederland, Pangeran William Alexan­

der, seorang ahli Water Management, berujar: "Problem

air cuma ada tiga, yaitu "TERLALU BANYAK, TERLALU

SEDIKIT, dan/atau TERLALU KOTOR". Namun Neder­

land sudah berhasil menjinakkan air. Semua teknik yang

menyangkut air sudah dikuasai oleh Nederland, seperti

membendung laut, mengatur ketinggian air tanah, men­

jernihkan air untuk minum, menetralisir air limbah, mem­

buat perairan untuk irigasi, mengeringkan rawa-rawa dan

menjadikannya tempat pemukiman. Air di dalam tanah

adalah musuh sekaligus ternan, bisa sebagai reserve air

minum, namun apabila terlalu deras alirannya akan me­

nyebabkan tanah longsor di sana-sini. Maka pemerintah

Nederland telah membangun sistim drainage dan rioler­

ing di bawah tanah, sedemikian rupa sehingga gerak­

gerik air tanah dapat diatur sesukanya. Bila kekeringan

akan dipompakan air ke dalam tanah, bila kebasahan

akan disedot air tanahnya (Hagen, dan Lim, 2005).

Lalu bagaimana dengan pengelolaan kota-kota yang

terletak di pesisir pantai, terutama kota-kota besar se­

perti Jakarta dan Semarang yang sampai saat ini masih

'berkutat' dengan air banjir atau 'air genangan'? Peme­

rintah harus berani mengambil kebijakan berupa perubah­

an sistem pengelolaan DAS, terutama di lingkungan

perkotaan, secara drastis termasuk sistem Pengelolaan

Lingkungan Hidup (PLH) di kota-kota rawan banjir dan

genanganini.

Ruang Terbuka Hijau 97

2.5.4.3 Perancangan Retention Basin

Meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan me­

ningkatnya volume air permukaan ditambah pula dengan

semakin menurunnya sumberdaya dan kualitas air bersih,

menimbulkan pemikiran akan perlunya sebanyak mung­

kin 'menahan' air permukaan khususnya pada musim

penghujan pada suatu atau beberapa lokasi yang terse­

bar merata di seluruh wilayah kota, dalam suatu wadah

salah satunya adalah yang populer disebut 'wet retention

basin' (WRB).

WRB (atau istilah lain yang sering digunakan adalah

daerah 'jebakan air') ini telah ada di wilayah Jakarta, na­

mun belum berfungsi sebagaimana maksud pengadaan­

nya. Contoh nyata adalah WRB di 'pulau lalu-lintas' Taman

Ayodya di sekitar Jalan Barito, Jakarta Selatan, dimana di

sekelilingnya sudah dipenuhi oleh para pedagang bunga

potong, ikan hias, burung dan segala kelengkapannya.

Tapak tersebut semula direncanakan untuk menampung

limpasan air hujan dari wilayah dan jalan di sekeliling­

nya yang memang letaknya lebih tinggi. Demikian pula

'Taman Lembang' yang terletak di Jalan Lembang yang

sudah dikelola sesuai fungsinya, yaitu untuk memenuhi

kebutuhan penghuni di sekitarnya, atau disebut pula se­

bagai "Taman Lingkungan". Fasilitas di Taman Lembang

ini sudah memadai, bila digunakan untuk rekreasi terba­

tas, apalagi dengan dibangunnya air mancur penambah

daya tarik dan mampu pula berfungsi untuk menyejukkan

lingkungan.

WRB ini, hendaknya dikelola dengan "sistem en­

gineering" khususnya untuk mengakomodasi debit air

permukaan terbesar dan perlu ditingkatkan kualitas air

simpanannya tersebut, sehingga dapat menghasilkan

98 Ruang Terbuka Hijau

nilai tambah khusus. Penggunaan tanaman tertentu se­

bagai penyaring zat-zat polutan (terutama nitrogen dan

fosfor) dan sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan,

termasuk garam-garam tanah, pestisida, logam berat,

bakteri dan virus. Tanaman tidak hanya berfungsi untuk

penambah keindahan dan peningkatan kualitas keaneka­

ragaman hayati, namun juga bisa menjadi habitat satwa

kota, dan yang terpenting adalah memperbesar fungsinya

sebagai simpanan SO-Air berkualitas.

Besar kemungkinan, bahwa apabila WRB ini dise­

diakan di seluruh wilayah kota yang menjadi langganan

genangan air, terutama di lokasi berelevasi rendah akan

menjadi 'penangkal banjir alami' yang sangat berguna.

Kembali lagi kita semua diingatkan, bahwa penataan

ruang yang 'seimbang' dilanjutkan perancangan arsitek­

tur lansekap dimana diterapkan pula sistem engineering

lansekap yang sesuai sekaligus akan 'membersihkan'

media udara, air dan tanah. Bentuk kolam retensi yang

bulat telor (ellips), ternyata paling sesuai, karena rekayasa

teknik sirkulasi air yang tidak terhambat oleh sudut-sudut

atau hambatan yang tidak perlu. Oksigenasi juga meru­

pakan hal panting, apabila kualitas air memang amat

rendah. Demikian pula 'dinding' kolam yang tidak terlalu

curam akan mampu menahan 'fluktuasi' gelombang yang

timbul akibat aliran ataupun angin kencang yang mungkin

timbul, sehingga mengeliminasi erosi tepian kolam.

Menurut Emmerling-Dinovo (1988), ukuran ideal suatu

WRB adalah kolam retensi dengan perbandingan pan­

jang/lebar lebih besar dari 2:1. Sedang dua kutub aliran

masuk (inlet) dan keluar (outlet) terletak kira-kira di ujung

kolam berbentuk bulat telor itulah terdapat kedua "mu­

lut" masuk dan keluarnya (aliran) air. Keuntungan yang

Gambar 2.46 Riverway, Boston sebelum dan sesudah

Kiri: The Riverway Boston, nampak bentukan (grading) tepian sungai, disiapkan untuk ditanami. Nampak jelas pembagian jalur peruntukan lahan.

Kanan: Sungai yang sama, sekitar 30 tahun setelah konstruksi, telah dicapai suatu 'penampakan' menyeluruh yang alami. Jalur sungai dan jalan

telah tertutup tanaman. (Spirn, 1984, ha/149)

. diperoleh adalah bahwa dengan bentuk kolam yang

memanjang semacam itu, ternyata sedimen relatif lebih

cepat mengendap dan interaksi antar kehidupan (proses

aktivitas biologis) di dalamnya juga menjadi lebih ak­

tif karena terbentuknya air yang 'terus bergerak, namun

tetap dalam kondisi tenang, pada saatnya tanaman dapat

pula menstabilkan dinding kolam dan mendapat makan­

an (nutrient) yang larut dalam air. Persyaratan pemilihan

tanaman adalah yang secara fisiologis spesifik tanaman

air, mampu menyerap dan menjerap polutan, dan mena­

han erosi, penting dipertimbangkan. Diperlukan peneli­

tian dan beberapa percobaan dalam pemilihan tanaman

yang memenuhi berbagai persyaratan ini.

2.5.4.4 Sistem Koridor Lingkungan Definisi Sistem Koridor Lingkungan (Environmental

Corridor System): "A connected and integrated system

of mostly linear, near-natural areas which, for various rea-

sons, have remained as almost undeveloped green belts

passing through the man-altered landscape, and which

have a prime value to man and/or nature by remaining in

their closest to natural state." Mempertimbangkan akan

adanya unsur-unsur koridor kota yang umumnya selalu

berasosiasi dengan 'nilai-nilai alami lingkungan', biasa

disebut dengan 'koridor lingkungan', yang pertama kali

sering terpikir adalah adanya saluran air kota.

Terdapatnya berbagai unsur penunjang yang sangat

bermanfaat sebagai suatu keanekaan, sesuai tujuan pe­

rencanaan semula bagi suatu wilayah rekreasi, yaitu

adanya perencanaan beberapa aktivitas yang satu sama

lain sangat tergantung pada adanya media air, seperti ke­

giatan olahraga, semacam renang, pancing, kano, dan

berperahu. Di samping itu termasuk pemenuhan kebutuh­

an lain yang tak kalah pentingnya, yaitu sebagai sumber

air bersih, air minum, maupun untuk penunjang penting

kegiatan industri.

Ruang Terbuka Hijau 99

Gambar 2.46 (a) Ragam Rona Sempadan Sungai

Gam bar kiri suasana pagi hari dan gambar kanan suasana sore hari. Efek kontras pada pemandangan yang sama (mirip).

(Repton 's Observation 1805, dalam Thomas, 1983, hal 54)

Gambar 2.46 (b) Ragam Rona Sempadan Sungai

Pengelolaan lansekap pada daerah 'Pentose' dan 'Loepool', Cornwall. Pemandangan sangat

indah dibangun oleh manusia mengikuti topografi lahan. Property ini milik The National Trust

Slope, sungai 'diikuti ' perancangan lansekap bennanfaat agar dibentuk suatu batas antar

lapangan namun tetap menyatu.

(Thomas, 1983, hal 55)

100 Ruang Terbuka Hijau

Sebenarnya, setiap orang baik sadar maupun tidak,

telah mendapat pengalaman kehidupan alami dari ling­

kungan sekitar, berupa panorama pegunungan yang

menjulang ke langit, kumpulan pepohonan yang rindang,

maupun pemandangan tepi laut yang seolah tanpa batas.

Semuanya merupakan bagian integral dari serangkaian

nilai-nilai alami yang seringkali menjadi sumber inspirasi

manusia dalam menjalankan hidupnya.

Demikian pula, kehidupan bebas (liar) yang meru­

pakan bagian lingkungan alami, bukan saja sangat ber­

manfaat bagi kehidupan manusia kini dan masa datang,

tetapi mengandung juga nilai-nilai rekreasional yang sa­

ngat dibutuhkan dalam siklus kehidupan makhluk hidup

di dunia. Seringkali kondisi lingkungan alami beserta sa­

gala isinya ini mampu menghadirkan suasana misterius,

terutama bila posisi manusia itu sudah jauh dari alam.

Kreasi seorang arsitek lansekap sangat diperlukan untuk

mengembalikan kedekatan alami antara manusia dengan

lingkungannya.

Bila diamati, maka berbagai bentuk peninggalan se­

jarah yang ada di sudut mana pun di dunia akan memberi

perasaan tertentu dan pengetahuan akan asal-usul ke­

budayaan manusia yang tak pernah lepas dari nilai-nilai

lingkungan, baik hubungan dengan Tuhan, sesama ma­

nusia, maupun dengan makhluk hidup lain (bio-geografis

lingkungan flora, fauna), serta wadah fisik berupa media

air, tanah, dan udara. Semuanya merupakan kondisi ling­

kungan alami maupun buatan yang dapat terus meno­

pang kehidupan manusia.

Bila keberadaan lingkungan beserta seluruh isinya

ditelusuri dengan cermat, maka akan ditemukan banyak

sekali kebetulan-kebetulan kondisi eksisting yang mem-

punyai nilai khusus. Suatu aliran air misalnya, mengan­

dung air sebagai salah satu dasar sumber daya yang

sangat vital bagi kehidupan.

Selain itu, bila pada suatu saat ali ran air bertemu suatu

patahan permukaan tanah atau yang berbeda keting­

gian, maka aliran air tersebut akan berubah menjadi air

terjun ataupun sebuah 'tangga air' (cascade), yang indah

dipandang. Sedangkan pada daratan yang rata, maka

dataran genangan air akan mendukung hamparan hutan

yang penuh dengan tegakan pokok kayu yang sekaligus

berperan sebagai habitat kehidupan flora dan fauna air

(ecotone zones for wildlife and fisheries).

Karakter kehidupan bebas lebih banyak terdapat

pada wilayah-wilayah yang secara relatif tidak sesuai un­

tuk penggunaan intensif oleh manusia, sebab agar ma­

nusia dapat hidup dengan aman dan nyaman, dia harus

mampu merubah alam asli pada tingkat sedemikian rupa

(man made) sehingga dapat dihuni.

Manusia akan menghindar untuk terlalu dekat hidup

di wilayah/daratan banjir atau terlalu dekat dengan garis

pantai, karena bahaya alam yang relatif mudah terjadi,

seperti banjir, badai, atau tsunami, juga pada wilayah

yang kondisi geografisnya terlalu terjal. Namun demikian

di lain pihak, ternyata karena unsur bahaya itulah maka

tapak-tapak peninggalan arkeologi justru banyak terdapat

di daerah bahaya semacam ini, sebab akan menambah

nilai mistik untuk menghormati alam yang sengaja dicip­

takan.

Dari berbagai ilustrasi dan kenyataan bahwa ling­

kungan alami sangat diperlukan bagi kemaslahatan ke­

hidupan manusia itulah, maka di mana pun manusia ber­

mukim, perlu dipikirkan adanya koridor alami yang akan

Ruang Terbuka Hijau 1 01

Gambar 2.48: Taman Hutan Kota Tidar Magelang Penyangga dan

kawasan khusus di kawasan Akademi Militer. (KLH, 2004).

selalu mampu menyediakan berbagai kebutuhan manu­

sia, misalnya akan udara dan air bersih, bahan makanan

nabati maupun hewani, serta kebutuhan psikologis akan

rekreasi alami, agar manusia dapat tetap hidup sehat.

Koridor alami ini harus ada di sekitar atau masuk ke

dalam di sela-sela antara lingkungan padat manusia,

seperti permukiman kota, yang satu sama lain saling ber­

hubungan dalam sistem koridor alami.

Perencanaan makro maupun mikro dari koridor alami

ini mutlak atau harus ada dalam pembangunan kota,

maupun dalam upaya perbaikan (rehabilitasi) lingkungan

kota secara umum. Koridor alami merupakan bagian RTH

kota yang mempunyai fungsi pokok perlindungan dengan

karakter memanjang, seperti di sepanjang jalur hijau jalan,

bantaran sungai, rei kereta api, saluran tegangan tinggi

(SUTET). Sedang fungsi pengaman berupa hutan ·. kota

adalah sesuai dengan karakterisitik fisiknya (fisiografi).

Pada suatu lingkungan kota yang sehat, mutlak di-

102 Ruang Terbuka Hijau

Gambar 2.49: Hutan kota Gumuk Lintang Temanggung

Penyangga kehidupan daerah sekitarnya. (KLH, 2004)

perlukan suatu 'Peta Hijau' yang memuat aliran air (wa­

terways), bantaran banjir, peta topografi pembatas hutan

lindung pegunungan dengan pembangunan fisik intensif,

dan daerah-daerah kritis (tanah labil, mudah tererosi).

Kombinasi dari karakteristik fisik lingkungan yang rapuh

ini harus benar-benar dikenali baik letak maupun kon­

disinya sebagai daerah-daerah tidak dibangun (kawasan

lindung) yang sangat bernilai bagi keseimbangan lingku­

ngan kota secara menyeluruh.

Sistem koridor lingkungan semacam ini dapat dite­

rapkan di kota-kota yang sudah terbangun, maupun yang

belum, bahkan mendekati kota-kota 'alami' seperti Kota

Palangkaraya, Kuala Kencana atau Pekanbaru, agar kota

tidak semrawut. Melalui pengetahuan akan kondisi fisik

dan karakterisitk aliran air serta topografi suatu wilayah

kota dapat direncanakan secara bijak kota ramah ling­

kungan, aman dan nyaman bagi penduduk kota.

Pola koridor hijau yang berbentuk linear (memanjang)

semacam ini akan meningkatkan nilai kualitas lingkungan

ke seluruh wilayah kota, sebagai penyeimbang lingku­

ngan kota yang telah terbangun padat di bagian kota

yang lain. Pertemuan antara lahan dengan laut, misalnya

dapat membentuk 'garis tulang belakang' sebagai ka­

wasan lindung pantai, dengan berbagai kehidupan liar

yang lengkap, sekaligus menjadi identitas lokasi.

Dalam koridor lingkungan diharapkan terbentuk habitat

flora dan fauna yang sesuai, sehingga dapat berkembang

dengan baik (tangible and intangible values). Kawasan ini

dapat menjadi area untuk kepentingan pendidikan, pene­

litian, dan pelatihan di lingkungan alami bagi warga kota.

Koridor hijau juga berfungsi sebagai pengatur keseim­

bangan neraca air, yang bisa menyediakan ketersediaan

air di musim kemarau, meresapkan air, dan menampung

air di musim hujan.

Koridor lingkungan mampu memenuhi kebutuhan,

alami manusia yaitu kedekatannya dengan alam, sebab

wujud dan fungsi sistem alami yang terbentuk, baik di

wilayah perdesaan maupun perkotaan, sebagai konglo­

merasi permukiman manusia dalam skala mikro maupun

makro.

Demikian pula demi esensi dan eksistensi kehidupan

maka manusia harus memelihara lingkungan alami me­

lalui cara-cara fisik, biologis maupun ps!kologis. Zona

alami yang penting ini juga potensial sebagai area rekrea­

si dan pariwisata pemandangan serta sejarah tanpa perlu

melakukan upaya khusus.

Artinya, biaya pemeliharaan relatif tidak tinggi, se­

bab tidak memerlukan upaya khusus, kecuali bila ling­

kar alami yang telah terjalin di dalam sistem koridor yang

telah terbentuk dengan baik ini akan dirobah, sudah pasti

diperlukan biaya yang tinggi bila kerusakan lingkungan

yang timbul akan diperbaiki. Bila lingkungan alami yang

terbentuk dan memerlukan waktu relatif lama sampai ke

tingkat suksesinya ini tidak diperbaiki atau bahkan di­

manfaatkan menjadi daerah 'permukiman baru' misalnya: ' 'Real Estate' yang tidak direncanakan dengan baik maka

akan terjadi ketimpangan dan degradasi mutu lingkungan

hidup, akhirnya aka!l-berdampak kepada kesehatan ma­

nusianya sendiri.

Sistem koridor lingkungan ini berfungsi pula sebagai

penyeimbang wilayah terbangun kawasan pertanian, in­

dustri, dan pembangunan wilayah perkotaan. Bagi negara

tropis kepulauan seperti Indonesia koridor lingkungan

alami ini sangat diperlukan eksistensinya di sepanjang

garis pantai dengan bukaan-bukaan berupa area-area

terbangun, pada lokasi-lokasi yang disesuaikan dengan

kebutuhan dan kegiatan penduduk, sarana dan prasa­

rana permukiman.

Ruang Terbuka Hijau 1 03

BAB III KEDUDUKAN RTH

DA~PERENCANAAN

TATARUANG

III KEDUDUKAN RTH DALAM PERENCANAAN TATA RUANG

3.1 KEDUDUKAN RTH DALAM RUANG LINGKUP RTRW NASIONAL, PROVINSI DAN KABUPATEN

Untuk mengatur kegiatan masyarakat di dalam ruang

atau wilayah yang ada, diperlukan upaya pengaturan agar

tercapai keadaan yang saling menguntungkan baik antara

masyarakat pemakainya maupun lingkungan hidupnya.

Upaya tersebut dinamakan penataan ruang.

Penataan ruang merupakan pengaturan pemanfaatan

alam bagi tercapainya kelangsungan, kesejahteraan dan

kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat. Ke­

adaan ini dapat tercapai jika seluruh aktivitasnya didasar­

kan atas kesesuaian, keselarasan, dan keseimbangan,

baik dalam pengaturan penghidupan sosial dan ekonomi

maupun pemanfaatan alam yang berazaskan berkelanjut­

an dan berkesinambungan.

Undang- undang No. 24 tahun 1992 maupun revisi ran­

cangan tentang Penataan Ruang mengisyaratkan bahwa

penataan ruang dilakukan dalam berbagai tingkatan yang

berpijak pada luasan wilayah dan karakteristik alam, serta

tatanan administratif dan tingkatan pertumbuhan. Lebih

jelas Rancangan Undang-undang Penataan Ruang yang

merupakan revisi dari UU No. 24 tahun 1992 tersebut di

atas, menyebutkan di tingkat daerah dilakukan upaya pe­

nataan ruang dengan mengacu pada dokumen Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/Kabupaten khususnya

pada kawasan strategis tertentu. Di tingkat provinsi, pe­

nataan ruang mengacu kepada dokumen RTRW Provinsi

1 06 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi,

dan di tingkat nasional dipakai dokumen RTRW Nasional

dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional,

dimana dalam pelaksanaannya dapat berupa Rencana

Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang

Kawasan Strategis Nasional.

Adanya hirarki penataan ruang dalam berbagai tingkat­

an wilayah seperti diuraikan di atas, mengundang per­

tanyaan; sejauh mana RTH dalam tiap tingkatan rencana

tersebut. Hal ini perlu diperjelas mengingat RTH meru­

pakan bagian dari alam dan lingkungan yang berperan

besar dalam menciptakan keseimbangan dan keserasian

antara lahan terbangun dan tidak terbangun, hingga la­

han budidaya dan kawasan lindung. Keseimbangan dan

keserasian dari kedua aspek tersebut adalah "nafas" dari

maksud dan tujuan penataan ruang.

RTH Kota di Jakarta, seperti yang terdapat di Kawasan

Monumen Nasional (Monas} dan Kompleks Gelanggang

Olahraga Bung Karno (GBK} sampai saat ini masih meru­

pakan dua lokasi RTH-Kota yang menjadi tetenger Kota

Jakarta-Metropolitan sekaligus simbol lbu Kota Negara

Republik Indonesia. Taman Monas ini bisa dinamakan se­

bagai sebuah alun-alun dalam skala besar, sebagaimana

alun-alun di banyak kota (terutama di Pulau Jawa} dalam

ukuran yang lebih kecil di mana dipusatnya ditanam po­

hon beringin (tunggal atau pun kembar}. Sedang di Taman

Medan Merdeka (TMM} di tengah-tengah RTH ini didirikan

Tugu Nasional yang sangat megah. Maksud dibangunnya

Gambar3.1:

Perspektif dan Perancangan Lansekap

Taman Medan Merdeka.

(Taman Medan Merdeka, 1994)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 107

Gambar3.4

Gambar 3.2: Plaza Selatan dengan Koridor

Menuju dan dari Stadion Utama.

Nampak jelas gerbang masuk ke lapangan

untuk memudahkan pengunjung atau sebagai

pengarah pejalan kaki. Demikian pula

perancangan area silang utara.

(Pour, 2004, hal 141)

Gambar 3.3: Lapangan Golf

Taman Kota untuk olahraga.

(Pour, 2004, ha/210)

TMM ini adalah " .. . menjadikan Jakarta sebagai ibukota

negara yang setaraf dengan ibukota negara lain yang di­

huni masyarakat yang sejahtera .... "

Pintu Gerbang Kompleks Gelora Bung Karno.

(Pour, 2004, hal 73)

Sedang semboyan yang sering diucapkan dalam

membangun kompleks olahraga bertaraf internasional

pada tahun 1962 dalam menghadapi ASEAN Games ke

.. . ini adalah " ... mengolahragakan masyarakat dan mema­

syarakatkan olahraga ... ". Artinya, bahwa sebagai bangsa

yang besar negara memerlukan sebuah kompleks olah­

raga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan

RTH yang memadai. Buktinya kompleks olahraga ini

sampai saat ini pun setiap hari, terutama di pagi dan sore

hari dipenuhi oleh pengunjung terutama untuk berolah­

raga, maupun hanya sekedar berekreasi mencari udara

segar, sama seperti di Taman Medan Merdeka.

1 08 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

Gambar 3.5: Stadion Utama

(Pour. 2004, ha/147)

3.1.1 Kedudukan RTH dalam RTRW Nasional

RTRW Nasional bertujuan mewujudkan ruang/wilayah

nasional yang mengakomodasikan keterkaitan antar

wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota, Pulau maupun ka­

wasan strategis nasional.

Sasarannya adalah terkendalinya pembangunan nasio­

nal, tercapainya keserasian antara kawasan lindung dan

kawasan budidaya, berperan sebagai arahan pengem­

bangan kawasan andalan dan sistem pusat-pusat per­

mukiman perkotaan dan perdesaan, tersusunnya arahan

pengembangan sistem prasarana wilayah nasional serta

terkoordinasinya pembangunan wilayah dan antar sektor

pembangunan.

Fungsi RTRW Nasional adalah:

• Sebagai matra keruangan dari pembangunan provinsi

dan daerah.

• Sebagai dasar kebijakan pokok pemanfaatan ruang di

wilayah nasional.

• Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkem­

bangan antar wilayah nasional dan antar provinsi/ka­

wasan/kabupaten/kota serta keserasian antar sektor.

• Sebagai salah satu bentuk rumusan kesepakatan an­

tara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/

kota tentang struktur dan pola pemanfaatan ruang

wilayah dan kesepakatan Pemerintah Rl dengan nega­

ra-negara tetangga.

• Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang.

• Sebagai pedoman penetapan lokasi investasi.

Mengacu pada tujuan, sasaran serta fungsi RTRW Na­

sional, terlihat bahwa pada tingkatan tata ruang nasional,

RTH diwujudkan dalam bentuk kawasan lindung.

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 109

Dalam hierarki rencana ini, kawasan lindung adalah

kawasan yang harus dipertahankan keberadaannya de­

ngan maksud melindungi kelestarian lingkungan, mening­

katkan dan mempertahankan daya dukung dan daya

tampung lingkungan, perlindungan terhadap sumber­

sumber daya alam dan buatan, termasuk di dalamnya

kelestarian udara, tanah dan air serta kondisi iklim yang

kondusif bagi kehidupan manusia.

Melihat fungsi ini tidak diragukan lagi bahwa kawasan

lindung memiliki peranan yang sama dengan fungsi yang

diemban oleh RTH. Dengan demikian kedudukan RTH

dalam RTRW Nasional adalah peranan ekologisnya.

Dalam lingkup RDTR Nasional yang meliputi rencana

tata ruang pulau atau kawasan strategis, kedudukan RTH

adalah sebagai pengaman dari kemungkinan gangguan

dari luar atau membatasi perkembangan ke arah yang ti­

dak diinginkan.

Kendal a yang dihadapi dalam penerapan dan pengem­

bangan RTH dalam lingkup RTRW Nasional adalah pe­

ranan RTH lebih bersifat fisik, sedangkan RTRW lebih

banyak menerapkan kebijakan ekonomi dan sosial dalam

skala makro, yang belum menyentuh aspek-aspek fisik.

Pada pelaksanaannya keanekaragaman budaya nasional

beserta kepentingannya, menghasilkan beragam perilaku

dan persepsi terhadap fungsi dan peranan RTH, baik di

kawasan budidaya maupun di kawasan lindung. Sering

tergesernya fungsi ekologis oleh kepentingan sosial khu­

susnya ekonomi seperti ilegal logging, HPH dan pembu­

kaan lahan pertambangan dalam berbagai skala, adalah

merupakan contoh yang kerap terjadi di wilayah nasional

kita.

Untuk mencegah terjadi degradasi lingkungan seba-

11 0 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

gai akibat ketidak sesuaian antara RTRW Nasional de­

ngan pelaksanaannya, maka perlu diterbitkan peraturan

pemerintah pendukung yang dengan tegas memberikan

sanksi hukum pada pelanggarnya.

3.1.2 Kedudukan RTH dalam RTRW Provinsi

RTRW Provinsi bertujuan mewujudkan ruang wilayah

provinsi yang mengakomodasikan keterkaitan antar ka­

wasan kabupaten/kota.

Sasaran yang ingin dicapai adalah terkendalinya pem­

bangunan wilayah provinsi, keserasian kawasan lindung

dan kawasan budidaya, tersusunnya arahan pengem­

bangan sistem pusat-pusat permukiman perkotaan dan

perdesaan serta terkoordinasinya pembangunan wilayah

dan antar sektor pembangunan.

Taman Provinsi sudah memerlukan pembangunan

jalur jalan skala kota besar, seperti pembangunan jalur

hijau jalan seperti boulevard di jalan protokol, Sudirman

Thamrin, misalnya. Demikian juga moda transportasi ra­

mah lingkungan seperti Monorel. Seperti gambar peran­

cangan di halaman berikut.

Fungsi RTRW Provinsi antara lain adalah :

• Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah

• Sebagai dasar kebijakan pokok pemanfaatan ruang di

wilayah provinsi

• Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkem­

bangan antar wilayah provinsi dan antar kawasan/

kabupaten/kota serta keserasian antar sektor.

• Sebagai salah satu bentuk rumusan kesepakatan an­

tara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/

kota tentang struktur dan pola pemanfaatan ruang

wilayah.

• Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang.

• Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana detail

kawasan strategis provinsi.

• Pedoman dalam penetapan lokasi investasi.

Sesuai tujuan, sasaran dan fungsi RTRW Provinsi

maka kedudukan RTH dalam RTRW Provinsi adalah, ka­

wasan yang turut serta memberikan sumbangsih ekologis

dan atau produktif, untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Kawasan ini dapat berupa kawasan lindung, kawasan

budidaya pertanian serta kawasan konservasi tertentu,

yang pada prinsipnya menciptakan keserasian dan ke­

seimbangan, agar tercipta suatu lingkungan hidup yang

dapat menyediakan sumberdaya bagi kelangsungan hi­

·dup penghuninya secara berkesinambungan.

Kendala yang dihadapi dalam pengembangan RTH

dalam tingkat RTRW Provinsi adalah adanya perbedaan

kepentingan antar pemerintah kabupaten, yang seringkali

kontra produktif terhadap fungsi RTH. Salah satu contoh

kasus penanganan kawasan konservasi Bandung Utara,

antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, yang

hingga saat ini selalu menjadi polemik. Disatu sisi Kota

Bandung sangat bergantung pada kelestarian Kawasan

Bandung Utara sebagai daerah tangkap air, di sisi lain

masyarakat Kabupaten Bandung yang bermukim berba­

tasan dengan wilayah Kota Bandung bagian Utara ingin

mengembangkan wilayahnya. Kepentingan yang secara

ekologis bertentangan ini, merupakan hal yang dilematis

bagi kedua belah pihak.

Sementara itu hutan di tiap kabupaten semakin lama

semakin menurun jumlahnya. Demikian pula lahan budi­

daya pertanian produktif semakin lama semakin menyu-

Gambar 3.6: Rencana Llntasan Monorel di Depan Plaza Senayan.

Hendaknya janis tanaman yang dipilih adalah yang pertumbuhan

optimalnya tidak lebih dari 6 (enam) meter dan lebih rimbun, misalnya

Bunga Mentega (Nerium oleander).

(Pour. 2004, hal 140)

Gambar 3.7: Sarana Olahraga berupa Stadion Madya.

Stadion atletik yang dimanfaatkan untuk pelatihan atlit nasional dan

masyarakat umum.

(Pour. 2004, hal 160)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 111

sut karena terjadi perubahan fungsi menjadi pemukim­

an, industri atau menjadi lahan kritis. Kalaupun terjadi

pertambahan luas, lahan pertanian telah bergeser pada

lahan-lahan marjinal di lereng-lereng gunung yang sangat

beresiko menimbulkan kerusakan lingkungan. Apabila

pad a tingkatan RTRW Provinsi, fungsi ekologis RTH meng­

andalkan kedua jenis peruntukan di atas, jelas pengem­

bangan RTH telah m~ngalami penurunan.

Untuk itu diperlukan aspek legalitas yang mempunyai

kekuatan hukum serta aspek sanksi yang tegas tehadap

upaya-upaya gagalnya penerapan RTRW Provinsi. As­

pek legalitas dimaksud dalam bentuk Keputusan Menteri

yang diperkuat dengan Keputusan Gubernur.

3.1.3 Kedudukan RTH dalam RTRW Kabupaten

RTRW Kabupaten bertujuan mewujudkan ruang

wilayah kabupaten yang memenuhi kebutuhan pemba­

ngunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan,

efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dija­

dikan acuan dalam penyusunan program pembangunan.

Sedangkan sasarannya adalah terkendalinya pemba­

ngunan wilayah kabupaten, terciptanya keserasian ka­

wasan lindung dan budidaya, tersusunnya rencana dan

keterpaduan program-program pembangunan di wilayah

kabupaten, terdorongnya minat investasi masyarakat

di dunia usaha di wilayah kabupaten, serta terkoordi­

nasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor

pembangunan. Fungsi RTRW Kabupaten antara lain

adalah sebagai berikut :

• Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah.

• Sebagai dasar kebijakan pokok pemanfaatan ruang di

wilayah kabupaten.

112 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

• Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkem­

bangan antar wilayah kabupaten dan antar kawasan

serta keserasian antar sektor.

• Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dila­

kukan pemerintah, masyarakat dan swasta.

• Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang.

• Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana detail ka­

wasan strategis kabupaten.

• Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan dan

administrasi pertanahan.

Mengingat RTRW Kabupaten sudah menjadi dasar

dalam pemberian izin lokasi pembangunan dan admi­

nistrasi pertanahan, maka aspek-aspek fisik seperti

batas-batas wilayah atau kawasan sudah relatif jelas.

Dengan demikian kedudukan RTH yang pada tingkatan

RTRW ini berperan sebagai batas-batas perkembangan,

pengamanan sumber daya alam maupun buatan atau ka­

wasan konservasi sudah relatif jelas terpetakan. Jenis je­

nis RTH yang perlu diarahkan dalam rencana ini meliputi:

• Kawasan konservasi yang bisa terdiri dari hutan lindung

dan pengamanan sumber-sumber mata air.

• Kawasan budidaya pertanian dan pengamanan lingku­

ngan meliputi kawasan hutan penyangga, hutan

produksi, hutan kota, pengamanan jaringan primer me­

liputi jaringan. jalan, sungai dan listrik tegangan tinggi,

dengan maksud untuk membatasi perkembangan ke

arah yang tidak diharapkan.

• Kawasan khusus yang membutuhkan pengamanan RTH

misalnya kawasan rekreasi alam dan budaya, kilang

minyak, TPA sampah, serta kawasan lainnya yang perlu

pengamanan dalam bentuk RTH mengingat peranan­

nya yang strategis.

Pengawasan dan pengendalian agar rencana dilak­

sanakan sebagai pedoman pemanfaatan ruang sangat

diperlukan. Tingginya angka tekanan penduduk terhadap

lahan, mendesaknya kebutuhan perumahan khususnya

pada wilayah yang berbatasan dengan kota menjadi fak­

tor penyebab yang khas, bergesernya peruntukan yang

sudah terencana dengan baik, menjadi sesuatu yang

seringkali bertentangan. Menghadapi keadaan seperti ini

yang sering dikorbankan adalah peruntukan-peruntukan

lahan RTH. lnilah salah satu sebab kenapa penyediaan

RTH selalu tertinggal jauh dari penyediaan prasarana

lainnya. Apalagi pada wilayah kabupaten dimana lahan

tidak terbangun masih tersedia dimana-mana, sehingga

dianggap peranan ekologis RTH dianggap tidak telalu

penting. Padahal RTH tidak hanya mempunyai fungsi

ekologis tetapi juga memiliki fungsi sosial untuk me­

di tingkat kecamatan. Perlu juga diingat, bahwa wilayah

kabupaten khususnya yang berbatasan derigan kota atau

kota kecamatan, secara bertahap akan berubah menjadi

kawasan terbangun. Agar kota-kota tersebut tidak tum­

buh melebar diperlukan "green belt" sebagai pembatas

perkembangan. Waktu telah membuktikan bahwa meng­

andalkan lahan budidaya pertanian sebagai pembatas

perkembangan kota, tidaklah efektif. Diperlukan kebera­

nian untuk merekomendasikan RTH dalam bentuk hutan

kota atau area yang dikonservasikan sebagai pembatas

perkembangan. Tidak mudah memang, karena terbentur

pada faktor kepemilikan lahan. Namun demikian, RTRW

Kabupaten adalah Peraturan Daerah yang punya otori­

tas untuk mengatur peruntukan lahan dengan perangkat

sanksi menyertainya.

menuhi kebutuhan masyarakat, misalnya lapangan ber- 3.2 KEDUDUKAN RTH DALAM main anak, lapangan sepak bola yang sangat diperlukan PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH

PERKOTAAN

Gambar3.8:

Taman untuk pertemuan berupa ARENA untuk bersosialisasi di antara

pengunjung taman. Tribun dibangun sealami mungkin dan sarana

pendukung lain yang rindang dan cocok dibangun di negara tropis

(Vitellozzi, 1991, ha/50)

Dalam beberapa tahun terakhir ini , dimana masalah

lingkungan khususnya di perkotaan semakin memperli­

hatkan tanda-tanda mengancam keberlangsungan ke­

hidupan masyarakatnya, keberadaan RTH terasa lebih

sering dibicarakan.

Tengoklah, ketika banjir bandang melanda kota, orang

ramai mempermasalahkan penebangan dan pembangu­

nan di wilayah hulunya. Ketika kadar logam berat melebihi

ambang batas, orang ramai pula membicarakan pertam­

bahan jumlah kendaraan, sementara semakin langkanya

pohon yang mampu mereduksi polutan.

Tengok pula, ketika air bersih sulit didapat, berteriak­

lah orang mempermasalahkan ekploitasi air yang berlebih-

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 113

an dengan tidak memperhatikan daerah resapannya.

Ada dua hal yang memungkinkan ancaman lingku­

ngan tersebut di atas terjadi. Pertama, tidak ada rencana

tata ruang yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan

lahan. Kedua, terjadi pelanggaran terhadap rencana tata

ruang yang ada, atau adanya upaya-upaya penyesuaian

antara rencana tata ruang kota dengan kepentingan se­

pihak. Hal yang pertama, kecil kemungkinannya. Karena

di wilayah perkotaan umumnya telah memiliki rencana

tata ruang kota. Kemungkinan kedua adalah yang paling

sering terjadi, yaitu pelanggaran terhadap rencana kota,

untuk berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu.

Melihat peranan RTH demikian besar di perkotaan,

maka tidak heran muncul keinginan untuk dengan te­

gas menentukan keharusan setiap kota menyediakan

RTH dalam satuan luas tertentu. UU No. 24 tahun 1992

tentang Penataan Ruang, walaupun tidak dengan tegas

menyatakan luas RTH yang harus disediakan, tapi telah

mempersyaratkan perlunya penyediaan ruang terbuka,

sebagai fasilitas sosial masyarakat. Di dalam lnmendagri

No. 14 tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah

Perkotaan lebih jelas mempersyaratkan jenis-jenis RTH

yang harus disediakan di wilayah perkotaan. Sedangkan

Kepmen PU 378/KPTS/1987, terdapat arahan tata cara

penyediaan taman lingkungan dan taman kota berdasar­

kan jumlah penduduk.

Dari uraian di atas, perangkat payung dalam penyedia­

an RTH di perkotaan telah tersedia. Untuk itu seyogyanya

penyediaan RTH dalam RTRW di wilayah perkotaan perlu

di perjelas keberadaannya. Untuk itu dalam tulisan beri­

kut ini akan di uraikan kedudukan RTH dalam RTRW Kota

dan RDTRW Kota.

114 Kedudukan RTH dalam Perencanaan lata Ruang

3.2.1 Kedudukan RTH di dalam RTRW Kota

RTRW Kota adalah kebijakan yang menetapkan lokasi

dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan,

serta diprioritaskan pengembangannya dalam jangka

waktu perencanaan.

Kota adalah 1) suatu areal dim ana terdapat atau ter­

jadi pemusatan penduduk dengan kegiatannya dan meru­

pakan tempat konsentrasi penduduk dan pusat aktifitas

perekonomian (seperti industri, perdagangan dan jasa);

2) merupakan sebuah sistem, baik secara fisik maupun

sosial ekonomi, bersifat tidak statis yang sewaktu-waktu

dapat menjadi tidak beraturan dan susah untuk dikontrol;

3) mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti

iklim dan sejauhmana pengaruh itu sangat tergantung ke­

pada perencanaannya.

Sebagai pusat pertumbuhan, kota menampilkan hal­

hal yang khas. Seperti di sampaikan oleh Djamal (1997)

menyatakan; pertumbuhan perkotaan yang cepat dalam

beberapa dekade yang lalu merupakan fenomena pan­

ting di negara sedang berkembang. ~~~onesJap~daperio­

de 1971-1980 untuk seluruh ukuran:~kota besar t~catat . " . ,.'":~ .. -·:·. ~ :- - • ' J ~ . . ..: :·~ 1 •

memiliki pertumbuhfi9:P.~ndud4l',:'J~jh .. besar dari 3~5%.

Periods 198D-1990· · tata~rata perf.u.mbuhan : penduduk . ·:· ,·_ . :' ·:···· . ., . . .f•r

perkotaan sebesar 5,36~~per fatiur1p· Uotuk kota-kota.b~-

sar, sebagian pertumbuhlhn~~~mel~bar -ke kawasan ping­

giran di dalam maupun di Juar · batas administrasi' kota.

Biasanya pertumbuhan ini diiringi ,dengan pertumbuhan

kawasan pusat yang menurun. Kota Bandung misalnya

mulai mengalami pertumbuhan kawasan pinggiran saki­

tar pertengahan 1970-an. Pertumbuhan di kawasan pusat

menurun 5-0% pada periode 192D-1961, menjadi sekitar

1,5-2% per tahun pada periode 1961-1990. Kawasan

Gambar 3.9: Taman Kota dl Kuala Lumpur 1994 Taman yang multi fungsi untuk penghijauan jalur sungai, lapangan olah raga dan taman pengisi ruang antara jalur lalu-lintas (traffic islands).

Di bawah lapangan hijau (cricket) terdapat ruang parkir bawah tanah (nampak gerbang masuk di sudut kanan ke arah bawah)

merupakan efesiensi ruang kola. (--- 1994, City Hall, K.L.)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tala Ruang 115

pinggiran sebaliknya mengalami pertumbuhan rata-rata

4-7% per tahun pada periode 1971-1980. Pertumbuhan

penduduk perkotaan dari tahun 1920 s/d tahun 1985 me­

ningkat menjadi 22 kali lipat. Jika dibandingkan sampai

tahun 1980 maka perubahan penduduk perkotaan me­

ningkat hanya 16 kali lipat. Perdesaan 3 kali lipat. Kondisi

ini telah menimbulkan berbagai masalah penting yaitu:

1 . Lahan pertanian produktif menjadi berkurang.

2. Persoalan pengembangan dan pengelolaan pertum­

buhan lahan perkotaan.

3. Perm?salahan pengelolaan pertumbuhan fisik menyang­

kut lemahnya kapasitas pengendalian kedua pemerin­

tahan yang terkait.

Lebih jauh Djamal (1997) dalam buku yang sama me­

nyebutkan bahwa, banyak masalah yang terdapat di kota­

kota antara lain masalah yang berkaitan dengan:

• Pengrusakan alam, meliputi pencemaran sungai di

dalam kota. Misalnya di kota Jakarta, sungai menjadi

saluran pembuangan limbah, reklamasi pantai dan laut,

penurunan dan pengecilan ruang hijau.

• Pengrusakan nilai historis kota (sejarah).

• Prioritas diberikan pada kendaraan bermotor bukan

pejalan kaki.

• Kosentrasi di kota-kota; pertumbuhan cepat di ping­

giran kota, pembangunan yang tidak beraturan dan

menyebar serta memperpanjang jarak tempuh.

llustrasi di atas sekedar memberikan gambaran

bagaimana pesatnya pertumbuhan di perkotaan yang

menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan.

Dengan demikian dapat dimengerti apabila arah dari

116 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

RTRW Kota adalah menetapkan lokasi dari kawasan

yang harus dilindungi dan dibudidayakan. Di sinilah RTH

mengambil peranan besar, yaitu sebagai alat atau wa­

hana untuk memberikan perlindungan terhadap sumber

daya alam maupun buatan di perkotaan.

Rancangan Undang-undang Penataan Ruang yang

dipersiapkan menjadi pengganti UU No. 24 tahun

1992, dengan tegas telah mengarahkan 30% dari lahan

perkotaan adalah RTH baik lahan privat maupun publik.

Adanya peluang ini maka dalam RTRW Kota, RTH dapat

diwujudkan antara lain:

• Merupakan kawasan konservasi untuk kelestarian hidro­

orologis.

• Merupakan area pengembangan keanekaragaman

hayati.

• Merupakan area penciptaan iklim mikro dan reduktor

polutan di kawasan perkotaan.

• Sebagai tempat rekreasi masyarakat.

• Sebagai tempat pemakaman umum.

• Merupakan pembatas perkembangan kota ke arah

yang tidak diharapkan.

• Merupakan pengamanan sumber daya. baik alam,

buatan maupun aspek-aspek historis.

Walaupun secara jelas tergambar fungsi dan peranan

RTH di perkotaan adalah untuk kemaslahatan dan kese­

jahteraan masyarakatnya, tetapi tetap saja terjadi upaya­

upaya kontradiktif terhadap keberadaannya. Kebutuhan

lahan perumahan yang terus meningkat telah mengkon­

versi berbagai kepentingan memenuhi kebutuhan ini.

Perumahan besar cenderung berkembang ke arah lahan

marjinal di bukit-bukit yang seharusnya menjadi kawasan

yang di konservasi, sedangkan perumahan kecil (sering­

kali liar) cenderung memanfaatkan RTH pada bantaran/

sempadan sungai atau sempadan jalur KA. Di sisi lain

harga lahan yang mahal sangat menghambat pemerintah

untuk memperluas dan menyediakan RTH bagi kepenting­

an masyarakat.

Orientasi keberhasilan pemerintah kota yang diukur

hanya dari peningkatan PAD, juga menjadi salah satu pe­

nyebab terhambatnya perkembangan RTH di perkotaan.

Penyediaan RTH seperti taman-taman publik, dianggap

tidak produktif karena dianggap tidak memiliki nilai re­turn of investment atau bahasa populernya tidak men-

Gam bar 3.10: Pemandangan di sekitar Kawasan Gelora Bung Karno

Taman Kota menyajikan pemandangan ·dan suasana hijau di kawasan

GBK. Nampak adanya perbedaan di mana terdapat bangunan untuk

hiburan (bangunan gedung untuk restoran , sarana permainan yang

terlalu dominan) pada luas lahan yang sangat terbatas, sehingga

nampak terlalu menonjol karena dibangun tanpa konsep perancangan

tapak sebagaimana seharusnya. Apalagi bila dibandingkan dengan

taman-taman kota di seberangnya yang sudah berusaha memenuhi

kaidah perancangan dan perencanaan arsitektur lansekap.

(Pour. 2004, ha/153)

Gambar 3.11: Taman Kota

Suatu contoh Taman Kota yang fungsinya tidak sesuai dengan

rancangan semula, sebagai kawasan hijau penyerasi dan sarana

penampung air pendingin (AC) dari Gedung MPRIDPR, yang

dipaksakan menjadi suatu pusat lokasi hiburan (Taman Entertainment),

sehingga menjadi semrawut, menjadi preseden buruk pengalihan

fungsi RTH Kota, yang seharusnya tidak terulang lagi di tempat

lain, hanya karena ada atau butuh investor untuk misalnya koleksi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan semacamnya. Kebutuhan

masyarakat umum (penduduk kota) akan Taman Kota yang 'tenang

dan nyaman' jadi dikalahkan, dan tidak sesuai rancangan arsitektur

lansekap semula sebagai taman rekreasi pasif.

(Pour. 2004, hal 94)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 117

Gambar 3.12: Jogging Track yang Ringan dan Nyaman Suasana pad a Taman Prasasti, GBK, menerapkan semboyan " ... Sejuta Pohon Sejuta Prestasi. .. " dan deretan pohon-pohon peneduh yang

sebagian besar sudah tumbuh optimal, sehingga didatangi berbagai jenis hewan (kota) seperti berbagai jenis burung dan tupai. Nampak areal

khusus untuk 'logging' atau jalan cepat di bawah rindangnya pepohonan buah maupun bunga yang indah, beberapa di antaranya adalah jenis­

jenis langka, misalnya Kepel, Burahol, Matoa (Pometia pinnata), Sawo Kecik (Manilkara kauki, yang sudah tidak langka lagi), Cempaka (Michelia

campaca), Jambu Darsono (Eugenia malaccensis Linn.), Belimbing Buah (Averrhoa carambola), dan lain-lain masih banyak lagi.

(Pour, 2004, hal 68 dan 169)

118 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

datangkan PAD bagi kocek pemerintah kota. Pada level

pengelola kota, nampaknya besarnya biaya yang ditang­

gung oleh masyarakat sebagai akibat lingkungan yang

buruk, atau biaya untuk penyediaan air bersih sebagai

pengganti air sumur yang tidak layak pakai, masih meru­

pakan hal yang 'ajaib' untuk diperhitungkan.

Demikian pula partisipasi masyarakat dalam penyedia­

an RTH masih sangat kurang. Malahan masyarakat cen­

derung menjadi aktor utama penurunan kuantitas RTH,

dengan cara merubah area hijau halaman menjadi area

terbangun atau area parkir.

Dari gambaran di atas telah jelas kedudukan RTH

dalam RTRW Kota. Untuk itu dibutuhkan kesadaran

semua pihak untuk mengikuti arahan dalam RTRW Kota.

Setiap pelanggaran terhadap Peraturan Daerah khusus­

nya RTRW Kota seyogyanya dikenakan sanksi yang se­

berat -beratnya.

3.2.2 Kedudukan RTH di dalam Rencana Detail Tata

Ruang Wilayah Kota

RDTRW Kota menurut UU No. 24 tahun 1992 serta

rancangan undang-undang penggantinya, yang saat

tulisan ini disusun sedang dalam proses pembahasan

adalah merupakan bagian dari RTRW Kota untuk ka­

wasan tertentu yang dianggap strategis dan prioritas

dalam pengembangannya.

Lebih jelasnya RDTRW Kota adalah merupakan peng­

aturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok

penggunaan kawasan dan atau kawasan strategis terten­

tu, untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan

manajemen transportasi kota dan pelayanan utilitas kota.

Mengingat RDTR sudah menjamah pada keserasian

pemanfaatan ruang pada blok atau kawasan tertentu,

maka dengan demikian kepadatan tiap blok dapat mun­

cul secara rinci dan terukur. Dengan kedalaman ini maka

kedudukan RTH disamping sebagai penyeimbang antara

lahan terbangun dengan tidak terbangun, juga menjadi

arahan dalam penentuan presentase ruang hijau dari se­

tiap peruntukan, tipologi dari masing-masing RTH, alter­

natif vegetasi pengisi ruang, alternatif elemen pelengkap

dalam RTH, hingga konsep-konsep rencana RTH sebagai

arahan untuk pengembangan desain selanjutnya.

Dengan kedudukan dalam RDTRW Kota seperti itu,

maka secara rinci bentuk RTH yang harus diakomodasi

di dalam RDTRW adalah:

• Merupakan penyeimbang antara area terbangun dengan

area tidak terbangun pada setiap blok (publik dan

privat).

• Merupakan area bermain, berolahraga, bersosialisasi

dan aktivitas lainnya bagi seluruh masyarakat (RTH

publik).

• Merupakan area yang memiliki berbagai fungsi seperti

edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, protektif, hi­

gienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis.

• Merupakan pembatas dan pengaman kawasan strategis.

• Tempat penyediaan sarana, prasarana dan fasilitas ling­

kungan ,

• ldentitas/ciri lingkungan.

Agar dapat memberikan gambaran lebih rinci dari

arahan RTH seperti tersebut di atas berikut ini kita urai­

kan pemahaman masing-masing:

RTH sebagai peyeimbang antara area terbangun de­

ngan tidak terbangun; adalah perlunya menyertakan area

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 119

yang tidak terbangun diantara area yang dibangun. Ben­

tuk dari area ini disesuaikan dengan fungsi dari lingkungan

terbangun di sekitarnya, dapat berupa ruang-ruang ter­

buka yang diisi berbagai jenis vegetasi menarik dan indah

seperti layaknya taman, atau berupa kumpulan vegetasi

tahunan atau pohon-pohon besar sehingga menyerupai

hutan. Atau dapat pula berupa lapangan olahraga yang

secara umum berupa lahan berumput.

Pada prinsipnya RTH ini dimaksudkan agar dapat

menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan ter­

bangun di perkotaan, seperti peningkatan temperatur

udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban

udara, polusi dan lain sebagainya.

RTH sebagai area bermain, berolahraga, bersosiali­

sasi dan aktivitas lainnya ; RTH ini berbentuk taman atau

lapangan olahraga, yang memiliki tingkat pelayanan ber­

tingkat sesuai jumlah penduduk yang dilayaninya. Sesuai

dengan Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan

Kota Ditjen Ciptakarya Dep PU (1987) yang ditegaskan

lagi oleh lnmendagri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan

RTH di Wilayah Perkotaan, mempersyaratkan tersedianya

taman lingkungan dan taman kota sebagai berikut:

• Setiap 250 penduduk tersedia satu taman seluas 250m2,

taman ini merupakan taman lingkungan perumahan

untuk melayani aktivitas balita, manula dan ibu rumah

tangga, sehingga menjadi sarana sosialisasi penduduk

di sekitarnya.

•Setiap250ppenduduktersediasatutamanseluas1.250m2,

taman ini untuk menampung kegiatan remaja seperti

berolah raga atau kegiatan kemasyarakatan lainnya.

• Setiap 30.000 penduduk tersedia satu taman seluas

9.000 m2, taman ini untuk melayani kegiatan masyarakat

120 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

seperti pertunjukan musik atau kegiatan olahraga pada

minggu pagi, seperti jogging atau sepak bola, Shalat

ldul Fitri, pameran pembangunan dan atau kampanye

di musim Pemilu atau Pilkada. RTH ini dapat pula beru­

pa area kegiatan pasif, sehingga fasilitas utama yang

disediakan hanya berupa kursi-kursi taman, jalur sirku­

lasi serta pohon-pohon besar sebagai peneduhnya.

• Setiap 120.000 penduduk tersedia satu taman seluas

24.000 m2• RTH ini sudah dapat dikatagorikan sebagai

taman kota, untuk menampung berbagai kegiatan baik

skala kota maupun skala bagian wilayah kota. Dari

mulai kegiatan olahraga masyarakat hingga pertun­

jukan musik skala besar dapat ditampung pada RTH

ini. Seperti halnya taman 30. 000, taman ini dapat juga

berupa RTH yang didominasi pohon tahunan sehing­

ga kegiatan di dalamnya lebih banyak kegiatan pasif,

atau hanya jogging mengikuti jalur sirkulasi yang ada,

dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti MCK,

parkir dan sebagainya.

• Setiap 480.000 penduduk tersedia taman seluas

144.000 m2• Taman ini berupa kompleks olahraga ma­

syarakat dilengkapi dengan fasilitas olahraga seperti

lapangan atletik, lapangan volley dan basket, lapangan

softball, ruang hijau sebagai leisure area serta fasilitas

pendukung lainnya.

RTH yang memiliki berbagai fungsi seperti edaphis,

orologis, hidrologis, klimatologis, protektif, higienis, edu­

katif, estetis dan sosial ekonomis; Fungsi tersebut dapat

dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan,

dengan pengertian sebagai berikut:

• Fungsi edhapis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan

Gambar3.13

RTH-Kota untuk pelestarian plasma nutfah di Singapura. Tanaman: Cannon Ball.

(Dahlan, 1992, ha/45)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 121

jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman • Fungsi sosial ekonomi adalah RTH sebagai tempat ber-

pohon yang sesuai, misalnya memilih pohon yang buah bagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan

atau bijinya atau serangga yang hidup di daun-daun- memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias

nya, digemari oleh burung. atau pedagang musiman seperti terjadi di lapangan

• Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap ke- Gasibu pada hari Minggu pagi.

lestarian tanah dan air, dapat diwujudkan dengan tidak

membiarkan lahan terbuka tanpa tanaman penutup

sehingga menimbulkan erosi, serta meningkatkan infil­

trasi air ke dalam tanah melalui mekanisme perakaran

pohon dan daya serap air dari humus.

• Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro seba­

gai efek dari proses fotosintesa dan respirasi tanaman.

Untuk memiliki fungsi ini secara baik seyogyanya RTH

memiliki cukup banyak pohon tahunan.

• Fungsi protektif adalah melindungi dari gangguan angin,

bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerin­

dangan pohon perdu dan semak.

• Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mere­

duksi polutan baik di udara maupun di air, dengan cara

memilih tanaman yang memiliki kemampuan menyerap

Sox, Nox dan atau logam berat lainnya. Penelitian ten­

tang itu telah banyak dilakukan oleh para praktisinya.

• Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber penge­

tahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya

macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmi­

ahnya, manfaat serta khasiatnya. Untuk itu pada tana­

man tertentu dapat diberikan papan informasi yang

cfclpat memberikan pengetahuan baru yang menarik.

• Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyum­

bangkan keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik

melalui keindahan wama, bentuk, kombinasi tekstur, bau­

bauan ataupun bunyi dari satwa liar yang menghuninya.

122 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

RTH sebagai pembatas dan pengaman kawasan strate­

gis, tingginya kebutuhan lahan di perkotaan menyebabkan

adanya upaya untuk menguasai lahan dengan berbagai

cara. Tidak jarang upaya ini dapat mengganggu wilayah

atau kawasan yang memiliki nilai strategis tertentu. {Kasus

perkembangan permukiman di seputar observatorium Bos­

ch a Lembang Bandung, harus menjadi pelajaran berharga).

Untuk itu dapat dikembangkan RTH misalnya dalam ben­

tuk hutan kota, yang mampu membatasi perkembangan

lahan terbangun ke arah yang tidak diinginkan. Dengan

terpetakan secara akurat areal hutan kota dalam RDTRW

yang juga merupakan perda yang berkekuatan hukum,

dapat diharapkan RTH ini benar-benar mampu menjadi

pengaman kawasan strategis tertentu dari perkembangan

pemanfaatan lahan yang mengganggu.

RTH sebagai tempat penyediaan sarana, prasarana

dan fasilitas lingkungan, RTH sebagai area publik menjadi

sangat memungkinkan menjadi tempat penyediaan fasili­

tas umum, selama tidak mengganggu fungsi utamanya.

Shelter, telephone box, bis surat, kios-kios kecil yang

menjajakan rokok, makanan kecil dan lain sebagainya

sangat dibutuhkan dan memberikan banyak kemudahan

bagi masyarakat.

RTH sebagai identitas/ciri lingkungan, pemilihan vege­

tasi dengan bentuk yang khas, penempatan sculpture

dan keberadaan bangunan historis, memungkinkan se-

buah RTH menjadi tempat yang mudah dikenali , sehingga

menjadi orientasi arah dan pengenal lingkungan. Taman

Patung Pak Tani di Kwitang Jakarta Pusat, Jalan Pasteur

(dahulu) dan Taman Kotapraja di Bandung telah mem­

buktikan peranan RTH sebagai identitas /ciri lingkungan.

Dari uraian di atas menjadi lebih jelas kedudukan

RTH dalam RDTRW Kota. Melihat besarnya fungsi dan

peranan RTH dalam level rencana kota ini , mungkin tidak

salah jika RTH dapat dikatagorikan sebagai sesuatu yang

cukup strategis pada lingkup RTRW Kota.

Gambar 3.14: Taman Kota di Kuala Lumpur 1994

Taman Kota sebagai unsur dekorasi kota penyeimbang struktur bangunan kuno bernilai sejarah dan arsitektur yang khas.

(··--- 1994, City Hall K.L.)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 123

3.3 MODEL-MODEL RTH SESUAI ARAHAN PERATURAN YANG BERLAKU

3.3.1 Model Taman Kota dan Taman Lingkungan 3.3.2 Taman Rukun Warga (2500 penduduk)

Taman ini melayani penduduk satu Rukun Tetangga Taman ini melayani penduduk satu Rukun Warga khu-

khususnya balita, ibu rumah tangga dan atau manula. susnya menampung aktifitas remaja, seperti berolahraga

ldealnya taman ini berada pada radius 1 OQ-200 meter dan kegiatan sosial penduduk lainnya. Standar luas ta-

dengan standar luas 1 m2 per penduduk. man ini adalah 0,5 m2 per penduduk. ldealnya taman ini

berada pada radius 200 sampai 300 m.

Gambar 3.15:

Contoh Taman Kota dan Taman Lingkungan yang teduh

(bernuansa tropis). Lokasi : Olympic Park di kompleks Sekolah

Nasional Olahraga di Formia, ltalia

(Vitellozzi, 1991, ha/56 dan 57)

124 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

Gambar 3.16: Model Taman RW

Taman olah raga lingkungan perumahan.

(Bravetti, 1993, ha/33)

3.3.3 Taman Kelurahan (30 000 penduduk)

Taman ini melayani penduduk satu kelurahan, untuk

menampung berbagai kegiatan sosial masyarakat seperti

pertunjukan seni, pameran pembangunan, perayaan hari

besar nasional dan keagamaan serta kegiatan olahraga.

Standar luas taman ini adalah 0,3 m2 per penduduk.

Gambar 3.17: Madel Taman Kelurahan

Stadion olah raga skala wilayah kota.

(Bravetti, 1993, ha/32,38 dan 39)

LEG£ND

JJ ~t'HWH/, ! J ,\ftd/..iJI lN'o'W"If'UI rtlo.IIJU,. )J 1/~1/s / •: ) • .JI LiMill)

JJ ltniUoiiAI.nl (IJ }f,o(IM~. :') Afk).(-/t·lt~ n .. ~._.

,'(, G\._utt-J t&n!MIII · Vu//("6..ll/f Ill S.~~~tiO · IJ"fil~IW\Jd~ 1111 o.v,._u ... ~ ,.,_ 111 ~, ... , N>.10t~ 1:; r;,_._.,_

PL.f.N 8 1992 s-:iwt urn• <I (Q,{)(W) <q ,.

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 125

3.3.4 Taman Kecamatan {120.000 penduduk)

Taman ini melayani penduduk satu kecamatan, untuk

menampung berbagai kegiatan sosial masyarakat seperti

pertunjukan seni, pameran pembangunan, perayaan hari

besar nasional dan keagamaan serta kegiatan olahraga.

Standar luas taman ini adalah 0.2 m2 per penduduk.

Gambar 3.18: Model Taman Kelurahan

(Bravetti, 1993, hal 60 dan 61)

126 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

3.3.5 Taman Kota (480.000 peduduk) Taman ini melayani penduduk kota atau bagian

wilayah kota, untuk berbagai kegiatan masyarakat baik

aktif maupun pasif. Taman ini dapat dilengkapi dengan

stadion mini serta beberapa fasilitas olahraga. Standar

luas taman ini adalah 0,3 m2 per penduduk.

Gambar 3.19: Model Taman Kecamatan

Sarana olah raga di antara jalur (koridor) hijau antar permukiman tepi laut dan daerah pertanian.

(Bravetti, 1993, ha/5)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 127

3.3.6 RTH Pemakaman

Pada umumnya pemakaman di kota-kota besar

menggunakan berbagai elemen perkerasan sebagai ba­

ngunan taman. Sehingga persentase building coverage

ratio (BCR) menjadi sangat tinggi , beberapa di antaranya

telah mendekati 1 00%. Dengan kondisi ini maka akan su­

lit menjadikan pemakaman sebagai RTH. Berikut model

pemakaman yang dapat dikatagorikan sebagai RTH.

Gambar 3.20: Model Taman Pemakaman sebagai RTH Kota

Foto atas: Pemakaman di Indonesia

Foto bawah: Pemakaman di Korea Selatan (-----, 1991, Kyongju, ha/ 23)

128 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

3.3.7 RTH Lingkungan Perumahan Kecil

Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan

yang sempit, tidak menutup kemungkinan mewujudkan

RTH.

Gambar 3.21: Model Pemanfaatan Efisien Halaman Sempit/

Terbatas sebagai RTH.

3.3.8 RTH Pada Jalan Lingkungan yang Sempit

Pada lingkungan lingkungan perumahan kecil, dapat

memanfaatkan sisa-sisa ruang untuk mewujudkan RTH.

Gambar 3.22 (paling atas): Model RTH pada Ungkungan Perumahan

sempit. (2005, Kampung Banjarsari, Jakarla)

Gambar 3.23 (atas): Permukiman padat.

(Nazaruddin, 1994, hal33)

lxora Superking & Pandanus pygmeus

Livistona _ .. palms •

Bougainvillea

Pandanus pygmeus & Hymenocallis

Philodendrons

,-Philodendrons ,-Eugenia

' /;Bougainvillea

~.

. / ··Eugenia grandis

· ··. -Hymenocallis (tropical shrub)

Gambar-gambar 3.24 (atas):

Contoh-contoh Vertical Planting. (Yeang, 1994)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 129

3.3.9 RTH pada Sempadan Sungai

Mewujudkan RTH pada sempadan sungai, disamping

akan mewujudkan koridor hijau di sebuah kota, juga me­

lindungi sungai di perkotaan dari kemungkinan gangguan

terhadap kelestariannya.

130 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

Gambar 3.25 (kiri atas):

Bangunan arsitektur Pan-Chakki, Auran gabad.

Gambar 3.26 (kiri bawah): Makam Akbar, Sikandra

Pandangan ke arah dataran di depannya menuju Sungai Jumna.

Gambar 3.27 (paling atas): Chasma Shahi, di Danau Dal, Kashmir,

Gerbang taman narnpak dari bangunan Pavillion utarna.

(Crowe, 1972, hal 141 dan 143)

Gambar 3.28 (atas): Model RTH sempadan sungai Indonesia.

(KLH, 2004)

Ac:QUifl.£ 'mE fULL \AIIDnl Clf Til£ V AU£'( qt. fi..COPf'LA!I'i

~lURE T&£ 'ST~A~ ~I"'Tif "'Til-E; PAS51:1U S'{

Gambar 3.29: Bentuk-bentuk Jalur Sungai

Jalur sungai yang linear dalam sistem gerakan yang terpadu ~ntegrated) .

(Simonds, 1978, hal 24, 53 dan 227)

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 131

3.3.10 Hutan Kota Hutan Kota berstrata banyak adalah hutan kota yang

Hutan kota idealnya memiliki luas dalam satu ham- memiliki beberapa tingkatan tanaman, mulai dari po-

paran minimal2500 m2• Hutan kota dapat berbentuk jalur, hon, perdu semak, Iiana, dan penutup tanah. Hutan Kota

mengelompok dan menyebar. Sedangkan strukturnya semacam ini memiliki kemampuan yang sangat baik

dapat berupa hutan kota berstrata dua dan hutan kota dalam melindungi tanah dari erosi, penyerapan air serta

berstrata banyak. Hutan Kota berstrata dua adalah hutan mereduksi polusi serta menyeimbangkan kelembaban

kota yang memiliki dua tingkat tanaman, yaitu pohon dan udara serta menurunkan suhu udara di perkotaan.

rumput (penutup tanah).

132 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

Gambar 3.30 (atas kanan dan kiri): The Amsterdam 8os (Hutan

Amsterdam). Di negeri Belanda suatu contoh Taman Hutan Kota

yang bagus memadu-sesuaikan antara hutan, Ruang Terbuka dan air.

Terdapat pula daya tarik berupa tanaman bunga sebagai aksen untuk

memperindah lingkungan.

(Konijnendijk, 2004, hal 16 dan 17)

Gambar 3.31 (kiri): Hutan Kota di Florence, ltalia

Taman Hutan Kota yang cukup luas dan di daerah yang lebih tinggi

sehingga pemandangan (vision) ke arah kota nampak jelas.

(Konijnendijk, 2004, ha/9)

BABIV RTH DAN PERMASALAHAN

LINGKUNGAN HIDUP PERKOTAAN

IV RTH DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP PERKOTMN

4.1 MASALAH-MASALAH UTAMA DAN KONSERVASI Dl BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

Sejak dimulainya era reformasi pad a akhir tahun 1997,

pelaksanaan UU No. 22/1999, yang telah diubah men­

jadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata

makin memperberat pembangunan bidang lingkungan

hidup. Perobahan kewenangan kepemerintahan yang

mensyaratkan kesiapan berbagai pihak untuk dapat lebih

meningkatkan kepemerintahan yang lebih baik, transpar­

an dan demokratis tidak berjalan mulus.

Permasalahan pengelolaan lingkungan hidup (PLH),

justru semakin banyak menghadapi kendala, sehubungan

dengan semakin meningkatnya persepsi sebagian besar

penentu kebijakan yang menganggap bahwa sudah tiba

saatnya bagi semua orang untuk bisa mengeksplorasi

SDA seluas-luasnya demi mendapatkan keuntungan dan

manfaat melalui eksploitasi besar-besaran (pendapatan

asli daerah/PAD) yang lebih besar dalam waktu singkat,

tanpa memperhitungkan keberlanjutan eksistensi SDA

tersebut. Man usia sering lupa bahwa di dalam lingkungan

(binaan maupun alam) terus berlangsung proses metabo­

limisme alami, sesuai siklus makanan yang misalnya bagi

hewan dan tumbuhan, digambarkan sbagai ilustrasi beri­

kut ini (Myers, 1985).

Dalam lingkungan alam terdapat empat komponen

besar dalam jaringan kehidupan alamnya, yang saling

mempengaruhi, yaitu:

134 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

Gam bar 4.1: Pi ram ida Makanan

(Myers, 1985, ha/141)

(1) Udara (atmosfir): isi udara ini terpengaruh oleh

pembangunan, misalnya akibat terjadinya pencemar­

an udara yang pada akhirnya kembali mempengaruhi

kualitas pembangunan itu sendiri. Udara sebagai wa­

hana penyallir energi matahari, gelombang elektro­

magnetik suara, zat-zat polutan, dan sebagainya;

(2) Air (hidrosfir): merupakan komponen yang sangat

penting bagi kehidupan, dimana putaran tata air (si­

klus hidrologi), sangat berpengaruh terhadap alam;

(3) Tanah dan mineral (geosfir): yang terdiri dari berba­

gai macam bahan hasil proses alamiah, termasuk ber­

bagai macam mineral dan batuan sebagai media tum­

buh dan habitat alami berbagai tumbuhan/tanaman;

(4) Flora, Fauna dan mikroba (biomassa): sumber

kehidupan biomassa, isinya beraneka-ragam, maka

sistem lingkungan alam dalam keanekaragaman hayati

(biodiversity) ini akan semakin stabil karena kekayaan

keanekaragamannya (heterogenitas).

Namun demikian, teori tentang menjaga keseimbang­

an antara unsur alam dengan unsur binaan, tidak sungguh­

sungguh diterapkan, sehingga beberapa permasalahan

klasik masih ada, bahkan semakin meluas dan kompleks,

antara lain sebagai berikut:

(1) Sebagai negara agraris dan sebagai penghasil utama

beras, lingkungan perkotaan mengalami alih guna,

khususnya lahan subur di 'pinggiran/perbatasan'

kota, untuk kegiatan non pertanian. Tekanan tersebut

terutama muncul dari sektor industri yang dianggap

lebih penting bagi perekonomian dan penyerapan

tenaga kerja. Selain itu akibat tekanan penduduk,

wilayah perkotaan juga membutuhkan areal permuki-

Gambar 4.2: Kota Bersejarah Barcelona

Pandangan dari udara (aerial view) jalur jalan pada musim dingin di

daerah Rambla. Nampak jalur hijau bagian tengah badan jalan, yang

dimanfaatkan sebagai lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) atau 'Pasar

Murah' dengan deretan pepohonan yang mestinya cukup rindang

bila musim panas. Cara lain pemanfaatan ruang yang efektif dengan

memanfaatkan damija (daerah milik jalan).

(----- 1991, Barcelona, hal19)

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 135

man yang semakin luas pula, akibatnya keberadaan

pertanian perkotaan (urban agriculture) sebagai kom­

ponen utama RTH kota juga semakin tergusur.

(2) Eksploitasi kawasan hutan untuk dijadikan bahan

baku industri mampu pula untuk mendukung kepen­

tingan ekonomi lain yang juga semakin meninggi,

sehingga mengancam kelestarian kawasan hutan, ter­

utama dengan semakin maraknya penebangan kayu

ilegal, dan terjadinya kebakaran hutan.

(3) Se.~or industri dan jasa modern di perkotaan membu­

tuhkan energi yang umumnya bersumber pada ener­

gi fosil yang tidak terbarukan dalam jumlah sangat

besar. Untuk itu konsep pembangunan hemat energi,

yang lebih berdasar pada pemakaian energi terbaru­

kan, dan ramah lingkungan, harus segera dilakukan di

segala lini.

Permasalahan lingkungan perkotaan antara lain juga

terkait dengan:

(1) Meningkatnya urbanisasi dan konsentrasi penduduk

di . perkotaan yang kurang terkendali akibat proses

industrialisasi yang melahirkan kota-kota baru yang

cenderung kurang terkendali dan terencana. Pada­

hal perkembangan perkotaan seharusnya seirama

dengan kebutuhan dan pertumbuhan yang harus

direncanakan secara tepat demi tercapainya kenya­

manan hidup dalam lingkungan yang sehat secara

terus-menerus, misalnya terbentuknya keseimbangan

antara ruang terbangun dan RTH secara proporsional,

baik di wilayah perkotaan, perdesaan maupun pada

daerah pendukungnya. Demi efisiensi ruang, pem­

bangunan permukiman dan prasarana fisik sebaiknya

136 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

diarahkan secara vertikal seperti rumah susun, jalan

layang, dan transportasi umum yang terpadu antar

berbagai moda;

(2) Kurangnya pemanfaatan wilayah perairan di mana tiga

per em pat wilayah Indonesia berupa perairan, di mana

potensinya cukup besar. Sudah saatnya bila sumber

daya kelautan/sungai dijajaki sebagai sumber kehidup­

an alternatif, terutama didasarkan pada pertimbangan

akan terbatasnya lahan (ruang) daratan, dengan tetap

mempertimbangkan dan menerapkan sistem peman­

faatan rasional dan bertanggung jawab;

(3) Tingginya tekanan berbagai kegiatan pembangunan

terhadap lingkungan sehingga fungsi media lingkungan

(tanah, air, dan udara) pendukung kelangsungan ke­

hidupan man usia itu sendiri kualitasnya semakin menu­

run. Tentunya hal ini akibat dari sangat cepatnya proses

pemanfaatan SDA yang tidak/belum mempertimbang­

kan pemeliharaan dan kelestarian ekosistemnya.

Pembangunan wilayah perkotaan akan mempenga­

ruhi kualitas lingkungan yang ada, oleh karena itu, pelak­

sanaannya pun harus selalu memperhitungkan dampak

positif (ditingkatkan), atau dampak negatifnya (dikenda­

likan). Dampak dapat diukur dan dikendalikan, antara lain

menggunakan standar ambang batas, sebagai alat ukur,

baik untuk baku mutu lingkungan binaan, maupun baku

mutu lingkungan alam. Sebagai contoh, pencemaran

yang terjadi dalam lingkungan binaan (dampak negatif),

misalnya dalam pencemaran terhadap badan sungai, da­

ratan, lautan ataupun udara, akan berakibat pada perge­

seran tata nilai perobahan budaya dan komponen ling­

kungan sosialnya.

SDA mendapat tekanan dari pertambahan penduduk

dan tingkat pendapatan yang selalu diusahakan semakin

tinggi. Hal ini berakibat semakin luas dan besarnya ling­

kungan binaan yang ditentukan oleh kendala teknologi

dan budaya dengan kemampuan substitusi fungsi alam

melalui hukum buatan manusia. Apabila teknologi dan bu­

daya man usia tidak sanggup lagi mensubtitusikan hukum

alam, maka ruang lingkup alam akan semakin menciut.

Oleh karena itu, perlu pelestarian fungsi lingkungan

alam, sebab teknologi dan budaya belum sepenuhnya

mampu menggantikan fungsi lingkungan alam dalam

lingkungan binaannya harus diusahakan keseimbangan

terus-menerus antara perkembangan lingkungan alam

dan lingkungan binaan. Perkembangan konsumsi be­

sar-besaran dan relatif cepat ini, sebagian dilaksanakan

tanpa mempertimbangkan adanya etika terhadap SDA,

etika kehidupan guna menopang pola hidup agar selaras

antara kemajuan material dan spiritual sebagai cerminan

hubungan man usia dengan Sang Pencipta, menjadi tidak

tercapai.

Kita semua mengetahui bahwa, hutan (alam) yang

menjadi salah satu sumber panting kehidupan manusia

sudah semakin menyempit, RTH. kota secara rasional se­

benarnya mampu 'sedikit' mengimbangi berkurangnya

eksistensi hutan alami antara lain dengan membangun

hutan (buatan) dalam kota, sehingga fungsi-fungsi alami

di lokasi yang relatif dekat dengan permukiman manusia

tetap ada bahkan berkualitas baik. Erosi genetika akibat

pembangunan tanpa memperhatikan pentingnya proses

metabolisme biomasa menyebabkan semakin berkurang­

nya habitat flora dan fauna, dapat sedikit diimbangi den­

gan 'menghijaukan' lingkungan buatan seoptimal mung-

Gambar 4.3: "The Shrinking Forest"

Seperlima hutan tropis di Brasilia telah lenyap, di Thailand

yang 2/5 hutannya sekitar tahun 1975 masih ada, tahun

1985 hampir tak ada yang tersisia lagi, tinggal petak-petak

lahan hutan yang relatif sempit dan tersebar di seluruh

wilayah negaranya yang sudah tak bisa pula bertahan

sampai tahun 2005-an kini. Penutupan tanah menjadi hijau

kembali (reforestasi atau reboisasi) perlu dilakukan pula

di wilayah perkotaan. Hutan di berbagai pulau-

pulau terutama yang besar-besar seperti Sumatra,

Kalimantan dan Papua Indonesia juga telah banyak

rusak akibat pemanfaatan yang tak bertanggung­

jawab, baik untuk HPH atau usaha penambangan,

bahkan lahan yang dibuka

untuk usaha pertanian.

(Myers, 1985, ha/141)

__ ....... _ ..,,....QI .. (I-~ twa .. ......,...,

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 137

kin sekaligus sebagai habitat makhluk hidup termasuk

manusia di dalamnya.

Orientasi pembangunan seharusnya menyelaraskan

kemajuan lingkungan sosial dengan lingkungan alam,

kemajuan material dan spiritual, tanpa merusak pola

pembangunan berwawasan lingkungan dan pertimbang­

an kependudukan. Pola pengelolaan kependudukan dan

lingkungan ini yang perlu disadari, diketahui, dan dilak­

sanakan oleh kita semua.

4.2 RTH UNTUK MENGATASI PENCEMARAN UDARA

Manusia diperkirakan membutuhkan 0,5 kg oksigen/

hari, bila ditinjau dari kondisi lingkungan hidup alami yang

masih relatif baik atau dalam keadaan keseimbangan an­

tara daerah terbangun dan tidak terbangun. Salah satu

pemasok utama ketersediaan udara bersih adalah pepo­

honan di RTH kota sebagai 'paru-paru' kota yang meru­

pakan produsen oksigen (0), penyerap karbondioksida

(C02) dan gas polutan lain.

Distribusi RTH kota seringkali tidak merata, di mana

kawasan yang seharusnya memiliki RTH cukup, justru

tidak memiliki RTH yang memadai, seperti di kawasan

permukiman padat, industri, terminal atau tempat pem­

buangan sampah. RTH untuk ruang bermain anak-anak,

ruang bersosialisasi dan berolahraga sudah lama kurang

diperhatikan.

Purnomohadi (1994) mengidentifikasi korelasi yang

nyata antara eksistensi RTH kota dengan potensi redam­

an dan jerapan terhadap tujuh zat pencemar udara, yaitu

karbonmonoksida (CO), karbondioksida (C02), nitrogen

(N), sulfur (SJ, timbal (Pb), hidrokarbon (CH), dan unsur

138 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

pencemar udara lain (TSP: total suspended particulate).

Sebagai contoh, menurut Myers (1985) dari timah hi­

tam (Piumbum/Pb/lead) saja, setiap tahun di dunia sekitar

450,000 tonnes dilepaskan oleh manusia dibanding Pb

sekitar 3,500 tonnes hasil proses alami dari sumberdaya

alam. Lebih dari setengahnya dilepaskan oleh kenda­

raan bermotor. Pb dimasukkan ke dalam mesin sebagai

penambah tenaga dan dari proses pembakaran Pb akan

dilepaskan ke udara berupa partikel halus. Pada tahun

1983 sebuah survai bahan bakar kendaraan bermotor di

Amerika, menunjukkan keadaan pencemaran akibat Pb

di negara sedang berkembang yang masih menggunakan

Pb dalam BBM-nya ternyata dua kali lipat lebih besar.

llustrasi berikut: "Maximum Lead Intake" (Asupan maksi­

mum Pb) menunjukkan berbagai perbedaan masuknya

zat pencemar ini ke dalam tubuh manusia dewasa mau­

pun anak-anak.

Blood lead levels •-;- r 1---r- .. ~­--""' -.. '""'• Average daily lead ·.,._ ..

intake per urban i•II'AI 2-year-old child

15-1-·+--+--+--+-__.'V--'1 Leaded petrol sales Water 7%

Year Food 39%

Gambar 4.4: Asupan maksimum rata-rata orang dewasa seberat

70 kg adalah sekitar 6 ug/kg berat badanlhari. Anak-anak lebih

mudah menyerap (absorb) Pb, mencapai maksimum sekitar

1,2 ug/kg/hari. Terdapat korelasi kuat yang ditunjukkan dalam

diagram antara penjualan BBM ber-Pb dengan kandungan Pb

dalam darah anak-anak di kota New York. (Myers, 1985, ha/119)

Fungsi RTH kota yang ditata secara estetis fungsional

dapat digolongkan pula sebagai alat pembatas/peng­

aman; pada kawasan konservasi antara dua wilayah

jalur lalu lintas dan kereta api, sempadan sungai, ruang

di bawah jaringan listrik tegangan tinggi, dan hutan kota;

kawasan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga atau ta­

man bermain; kawasan rekreasi pasif seperti taman relak­

sasi dan kawasan produktif seperti taman hutan kota dan

pertanian kota, pekarangan/halaman rumah; dan lahan

yang sengaja disisihkan untuk kegunaan khusus atau la­

han cadangan.

Sifat alami organisme tanaman dalam RTH melalui

mekanisme rekayasa lingkungan, mampu memperbaiki

dan meningkatkan kualitas lingkungan. Demikian juga pe­

milihan jenis-jenis tanaman yang sesuai habitatnya dapat

mempengaruhi efektivitas fungsi RTH, misalnya dalam

kemampuannya untuk menekan pencemaran udara, me­

nyerap dan menjerap debu, mengurangi bau, meredam

kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan

hujan secara menyeluruh.

Fungsi bagian-bagian tanaman antara lain sebagai

berikut:

• Dedaunan berair dapat lebih meredam suara.

• Cabang-cabang tanaman yang bergerak dan bergetar

dapat menyerap dan menyelubungi suara, demikian

pula daun yang tebal menghalangi suara dan daun

yang tipis dapat mengurangi suara.

• Trikoma daun dapat menyerap butir-butir debu, melalui

gerakan elektrostatik dan elektromagnetik.

• Pertukaran gas terjadi melalui mulut daun.

• Percabangan (dan ranting) beserta dedaunannya

dapat menahan angin yang terlalu keras dan curah hu­

jan yang terlalu deras.

• Penyebaran akar dapat mengikat tanah dari bahaya

erosi.

• Cabang yang melilit dan berduri menghalangi gangguan

• Bentuk dan tekstur daun berpengaruh terhadap daya

serap sinar/hujan, dan daya ikat cemaran.

• Bentuk kanopi tajuk pohon berpengaruh terhadap arus

dan arah angin turbulensi lokal dan peredaman bunyi.

Kemampuan tanaman menyerap dan menyerap (in­

tersepsi) debu dan unsur pencemar udara lain (TSP: total

suspended particulate), dipengaruhi oleh:

(1) Jenis tanaman

• Kekasaran permukaan daun memiliki potensi peng­

endapan lebih besar, sebab kemampuan meng­

akumulasi timbal (Pb) dan seng (Zn) pada daun ber­

struktur kasar, semakin tinggi dibanding yang licin

terutama untuk zarah timbal (Pb) bisa tujuh kali lebih

banyak.

• Permukaan ranting dan batang yang berbulu akan

lebih banyak menjerap dan mengintersepsi zarah

timbal (Pb) dan seng (Zn) dibanding ranting/batang

yang berkulit licin atau berlilin.

• Arsitektur dan morfologi pohon (Halle dan Oldeman,

1975 dalam Purnomohadi, 1994), mempengaruhi

kemampuan tanaman untuk mengintersepsi ber-

bagai zarah dan unsur cemaran udara.

• Aroma bunga dan daun tertentu dapat mengurangi (2) Perancangan dan perencanaan arsitektur lansekap

bau. yang sesuai dengan kondisi lokal akan mampu mere-

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 139

dam berbagai zarah dan unsur cemaran udara secara

lebih efektif, yaitu dengan menggunakan berbagai

jenis tanaman yang mempunyai sifat dan kemam­

puan berbeda dalam meredam pencemaran dengan

menerapkan pola multi tajuk dan dengan penyusunan

tanaman yang berlapis-lapis.

(3) Sebaran komunitas tumbuhan dalam berbagai

fungsi dan bentuk RTH kota yang menyebar merata

di seluruh bag ian kota, akan lebih efektif dalam mere­

dam pencemaran lingkungan dibandingkan dengan

RTH yang luas tetapi hanya pada lokasi tertentu.

Pepohonan mampu menurunkan konsentrasi partikel

timbal (Pb) yang melayang di udara, karena kemampuan­

nya untuk dapat meningkatkan turbulensi dan mengurangi

kecepatan angin melalui celah stomata/mulut daun berkisar

antara 2-4 ~m hingga 10 ~m dengan Iebar 2-7 ~m. Sedan­

gkan ukuran partikel timbal yang demikian kecil, rata-rata

2 ~m. akan dapat masuk ke dalam daun dengan mudah,

serta akan menetap dalam jaringan daun, menumpuk

di antara sel jaringan pagar (palisade), dan atau jaringan

bunga karang (spongious tissue). Sedang zarah yang lebih

besar ukurannya akan terakumulasi pada permukaan ku­

lit luar tanaman. Cemaran yang terakumulasi ini sebagian

kecil dapat terjerap secara kimiawi (chemically adsorbed)

dan akhirnya terserap (absorbed) oleh jaringan hijau, dan

sebagian lagi akan tersapu oleh angin atau air hujan, yang

Gambar 4.5 Searah jarum jam, dari kiri atas: Daun dan buah Pohon Beringin (Ficus benyamina), Bunga Cempaka

(Michelia campaca), Buah Pohon Taniung (Mimusops elengij, Buah dan

daun Pohon Saga (Adenanthera pavonina).

Menurut Dahlan (dalam Purnomohadi, 1994), keta­

hanan tanaman terhadap cemaran udara dari kendaraan

bermotor, berdasar kemampuan dan kepekaan tanaman

(khususnya terhadap unsur timbai/Pb), dapat dibedakan

menjadi lima kategori dengan beberapa contoh jenis

tanamannya, yaitu:

• Sangat peka: Kesumba (Bixa Orellana), Cempaka

(Michelia champaka), Glodogan (Polyalthea longifolia).

• Kurang peka, kemampuan menyerap timbal rendah:

Tanjung (Mimusops elengii).

• Kurang peka,

Johar (Casia

macrophylla).

kemampuan menyerap timbal tinggi:

siamea) dan Mahoni (Swietenia

kemudian dibawa ali ran angin/air dan atau diendapkan ke • Tidak peka dengan kemampuan tinggi menyerap timbal: atas tanah. Partikel berukuran submikron akan terdifusi Kirai payung (Filicium decipiens), Keben (Barringtonia

ke dalam jaringan tanaman melalui stomata dan akhirnya asiatica), Asam Landi (Pithecel/obium dulce), tanaman terbawa ke dalam sistem metabolisme tanaman. berdaun jarum serta bambu.

140 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

• Tidakpekadengan kemampuan rendah menyeraptimbal: oksigenasi serta mampu menghilangkan partikel gas

Jamuju (Podocarpus imbricatus)~ dan bau di atmosfir. Manfaat cahaya matahari langsung

lnstruksi Menteri Dalam Negeri {lnmendagri) No.

14/1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan,

memuat kriteria jenis tanaman yang disesuaikan perun­

tukan lahan, perlu perhatian pada kepekaan pengaruh

berbagai zat cemaran tersebut. Pemilihan jenis tanaman

pelindung bagi RTH kota tentu akan berlainan antara

satu kota dengan kota lainnya di Indonesia, tergantung

pada ekosistem setempat. Masih banyak fungsi ekolo­

gis RTH terhadap kualitas udara kota yang perlu diteliti

dan dikembangkan lebih jauh lagi. Bagaimanapun juga

keberadaan pohon dan RTH sangat menentukan kualitas

dan ketersediaan udara bersih bagi kelangsungan hidup

kota dan warga kotanya {Tabel 4.1 ).

Tanaman dengan berbagai ukuran dapat berfungsi

sebagai pembersih atau penyaring udara melalui proses

Tabel4.1

Kriteria Jenis Tanaman untuk RTH

(Purnomohadi, 1994)

Status

Vegetasi

Kriteria Tumbuhan

A.RTH

PERTAMANAN

Taman ---+

Jalur Hijau Jalan

+

1, 2, 3,4, 7, 8

1, 2, 3, 6, 7 - 4- ~

Jalur Hijau Kota 1, 2, 3, 5, 7, 8

r lB. RTH-LAIN _ _l__ 7, 8 I

II

1' 2, 3

2

3

Ill IV V

1' 2 1' 2 1

2 2 2, 3

2 2 2 t-

1 1,2~2 3

diketahui dari mekanisme proses fotosintesis. Klorofil

yang sebagian besar ada di dalam daun membutuhkan

karbondioksida {C02) dan menghasilkan oksigen {0

2) un­

tuk bernafas. Demikian pula kemampuan tanaman yaitu

pada beberapa jenis tanaman pelindung yang lazim dite­

mukan dalam RTH kota dengan berbagai ukuran daun

mempunyai besaran luas area teduh yang berbeda pula

{Tabel 4.2) .

4.3. RTH UNTUK MENGATASI BANJIR DAN PENCEMARAN AIR DAN TANAH

Pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan

pengelolaan lingkungan secara komprehensif telah ter­

bukti mengancam kelangsungan hidup kota dan warga

kota. Fenomena hubungan antara manfaat RTH kota ter­

hadap pengendalian banjir dan kekeringan merupakan

Notasi:

I. Karakteristik Umum

1. Tidak bergetahlberacun

2. Dahan tidak mudah patah

3. Perakaran tidak

mengganggu fondasi

4. Struktur daun setengah rapat

hingga rapat

5. Struktur daun setengah rapat

6. Struktur daun rapat

7. Ketinggian tumbuhan

bervariasi

8. Warna dominan hijau,

warna lain seimbang

II. Kecepatan Tumbuh

1. Sedang

2. Cepat

3. Bervariasi

Ill. Habitat

1. Tumbuhan hijau lokal

2. Tumbuhan hijau budidaya

IV. Tipe Tumbuhan

1. Musiman

2. Tahunan

V. Kerapatan Tanam

1. Setengah rapat

2. Rapat

3. Setengah rapat hingga rapat

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 141

Tabel4.2 salah satu upaya pengendalian kerusakan dan pencemar-

Luas Keteduhan Beberapa Jenis Tumbuhan an dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup kota.

hasil penelit ian, Kuswata dalam Purnomohadi, 1994 Banjir adalah suatu fenomena alam yang terjadi bila

curah hujan melampaui kapasitas daya tampung ling-Jenis Tumbuhan Ukuran Keteduhan kungan alami maupun buatan, seperti saluran drainase,

Nama Lokal Nama Latin Daun (m2) dan bentuk penampungan badan air lain, seperti sungai,

Ki Hujan Samanea Kecil 1224,36 kana!, danau, situ, rawa, daerah resapan air. Sebaliknya

saman kekeringan akan terjadi jika tak ada atau kurangnya pa-

Bering in Ficus benjamina Kecil 940,37 sokan (recharge) air secara berkala sebagai bagian alami

Saga Adenanthera Kecil 53,07 siklus hidrologi yang seharusnya dapat tetap berlang-

pavovina sung.

Soga Peltophorum Kecil 301,75 Pada jenis tanah dengan permeabilitas rendah, hanya

pterocarpus sebagian keci l air saja yang meresap, sebagian besar

Gelam Melaleuca Kecil 18,06 merupakan air limpasan (surface runoff) . Faktor geomor-

leucadendron fologi sangat berkaitan dengan keadaan lansekap kota.

Sengon Paraserianthes Kecil 945,81 Pad a badan air. dikenal morfologi yang terdiri dari badan

fa/cataria air itu sendiri, tanggul alam (buatan), bantaran sempadan

Bintaro Cerbera Sedang 23,34 air, dan meluas ke luar disebut bantaran banjir, yang

odollam seringkali dipenuhi oleh perumahan liar.

Tembesu Fragraea Sedang 207,17 Hutan diketahui hanya mempunyai koefisien limpasan

fragrans relatif keci l (0,01-0, 1 ), jadi hutan tidak mencegah banjir,

Cempaka Michelia Sedang 34,22 namun hanya dapat mengurangi resiko terhadap banjir

champaca banding dan penyaring zat pencemar udara.

Angsana Pterocarpus Sedang 361,08 Faktor perilaku negatif dalam pembangunan wilayah

indicus banjir seringkali menganggap sungai, pantai , danau,

Tanjung Mimusops Sedang 102,8 waduk atau badan air lain sebagai tempat pembuangan

elingii sampah sehingga sangat berpengaruh terhadap pening-

Randu Ceiba petandra Sedang 402,62 katan bencana banjir. Badan air menyempit akibat tum-

Jambu Laut Eugenia grandis Besar 264,21 pukan limbah padat yang sul it terurai. Daerah hulu se-

Mangium Acacia Besar 302,37 harusnya merupakan wilayah konservasi , karena sangat

mangium potensial meningkatkan sedimentasi atau pendangkalan

sungai dan badan air lain. RTH termasuk wilayah yang

142 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

Gambar 4.6: Tama~ dengan air mengalir (cascade)

Cara menyimpan sumber daya air, selain untuk persediaan di musim

kemarau, dapat pula ditampung dalam suatu wadah, semacam kolam

hias berbentuk 'cascade' (mengalir bertingkat-tingkat dari atas ke

bawah) yang bisa dimanfaatkan sebagai pendingin udara juga sebagai

atraksi tersendiri. Perancangan lansekap kolam bisa dilakukan meniru

keadaan SDA-di alam. (----- 1991, Barcelona, ha/39)

positif meresapkan air hujan dengan toleransi tertentu,

khususnya di wilayah perkotaan. Fungsi RTH sebagai

daerah resapan air nampaknya belum tergantikan.

Di lnggris, masyarakat menganggap air begitu penting

Wells (Jellicoe, 1971) mengatakan, bahwa kita pun, ma­

nusia dan juga semua unsur yang hidup termasuk flora

dan fauna, asal mulanya adalah 'benda cair'. Anggapan

ini beralasan sebab semua makhluk hidup akan mati

dalam beberapa hari tanpa air.

Sebagai negara kepulauan terbesar panjang garis

pantai wilayah pesisir nusantara diperkirakan menca-

pai 81.000 km atau kedua terpanjang di dunia setelah

Canada maka semestinya pemerintah lebih serius dalam

pengelolaan apa pun yang menyangkut SDA. PP No.

47/1987 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

(RTRW) yang memuat usulan 516 kota-kota strategis

di Indonesia, di mana telah dibangun 22 buah lbukota

Propinsi (kota besar) dari 216 kota yang terletak di tepian

perairan, termasuk tepian sungai dan danau yang umum

disebut Waterfront City merupakan salah satu peraturan

perundang-undangan untuk mengantisipasi pesatnya

pembangunan khususnya di sepanjang tepian sungai

(Purnomohadi, 1999).

Bencana banjir di Jakarta diketahui sejak dulu sudah

terjadi dan disadari akan selalu terjadi, terlebih dengan

pengelolaan ruang di Jakarta yang tidak mengikuti pola

geografis lingkungan alami. Empat puluh persen di an­

taranya atau sekitar 26.000 hektar, khususnya di wilayah

Jakarta Utara, bahkan berada di bawah permukaan air

laut. Jakarta merupakan muara dari 13 sungai besar.

Banyak kota-kota di Indonesia dan dunia mengarah­

kan pembangunan dari hilir (pelabuhan) menuju ke hulu

(terrestrialj, seperti Semarang, Surabaya, Manado, atau

Bangkok di Thailand dan kota-kota sungai dekat pantai

di Bangladesh.

Menyadari kondisi geografi Jakarta, pemerintah

kolonial Belanda telah membangun beberapa kanal

dalam Kota Batavia yang tegak lurus garis pantai, untuk

menanggulangi naiknya permukaan air pada saat pasang,

dan sebagai sarana transportasi air dan rekreasi, seperti

di Kota Amsterdam atau Venice. Pada awalnya, perenca­

naan Kota Jakarta bisa dikatakan meniru pembangunan

Kota Amsterdam, dengan kanalnya yang hingga kini ma-

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 143

sih aman dari bencana banjir dan justru digunakan untuk

kegiatan pariwisata yang sangat menguntungkan.

Sebaliknya yang terjadi di Jakarta, akibat urbanisasi

penduduk, lemahnya penegakan hukum dan ketidak­

konsistenan pemerintah daerah terhadap Rencana lata

Ruang Wilayah telah megakibatkan RTH kota terus tergu­

sur. Pendapat umum (warga kota) seringkali ditinggalkan

dalam pengambilan keputusan yang lebih mementing­

kan para pengembang dalam mengurug rawa, situ, da­

nau, dan lembah, atau membangun di sepanjang aliran

sungai.

RTH sebagai salah satu komponen penting dalam

mempertahankan kualitas fungsi alami lingkungan dapat

menjamin tetap berlangsungnya siklus air, udara dan

mineral yang amat dibutuhkan oleh warga kota. Sadar

atau tidak Jakarta sebenarnya tengah mengalami bunuh

diri ekologis (ecological suicide) dan ironisnya sudah di­

peringatkan sejak tahun 1960an berdasar pada kecende­

rungan pesatnya urbanisasi yang terjadi.

RTH penting dalam memelihara keseimbangan fisik,

sosiologis, ekonomi dan budaya suatu lingkungan kota.

Bagi Jakarta, banjir memang terjadi tiap tahun, tetapi

frekuensi dan kuantitasnya ternyata semakin meningkat.

Banjir terjadi pula hampir di seluruh Indonesia, terutama

di Pulau Jawa. Pemerintah melalui Kantor KLH telah

mengajukan beberapa prinsip pemikiran yang harus di­

penuhi, agar pemerintah daerah berpenduduk padat

dapat secara efektif mengatasi permasalahan mendasar,

yang realistis dapat dilaksanakan melalui pertimbangan

fisik teknologis, ekonomis, sosial budaya dan adminis­

trasi kepemerintahan secara konsisten, agar tidak me­

nimbulkan dampak lain yang lebih besar dan meluas.

144 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

Dampak negatif banjir sangat berpengaruh bagi ke­

maslahatan hidup orang banyak, termasuk penurunan

tingkat kesehatan, perekonomian dan produktivitas war­

ga kota. Kerugian akibat bencana banjir di Jakarta (2002)

diperkirakan mencapai satu trilyun, akibat terendamnya

wilayah pertanian, sawah, empang dan rumah, kerusakan

70 persen sarana dan prasarana fisik kota dan krisis en~r­

gi listrik dan bahan bakar minyak.

Secara global, perobahan lingkungan diindikasikan

dengan penyimpangan cuaca awal tahun 2002. Hasil

pemantauan pengembangan atmosfir bumi sejak akhir

tahun 2001 , terlihat kecenderungan penyimpangan kon­

disi atmosfir, seperti turunnya salju di Kawasan Arab

Saudi, badai tropis yang biasa terjadi di Filipina malah

berkurang dalam 30 tahun terakhir, sedang di Australia

Utara dari timur hingga barat yang biasanya terjadi an­

tara Desember-Maret, baru muncul awal Januari dengan

waktu yang lebih pendek. Selain itu terjadi pula perubah­

an jumlah dan kualitas curah hujan di berbagai tempat,

penyimpangan kondisi awan termasuk pasang naik yang

tinggi (catatan Dishidros-TNI-AL).

Secara regional, berkurangnya wilayah hutan di dae­

rah hulu dan berbagai tegakan di dalamnya, dalam 20

tahun terakhir ini, di mana luas hutan Kawasan Puncak,

tinggal 1 0 persen dan tinggi erosi mencapai 400 ton/hal

tahun Gauh di atas toleransi 39 ton/ha/tahun). Secara

lokal, pemanfaatan liar bantaran sungai, badan air atau

daerah resapan air yang lain, pembuangan limbah padat

dan cair ke dalam badan air, pengurugan rawa-rawa dan

situ untuk perumahan atau infrastruktur jalan.

Dari berbagai kenyataan di atas, maka upaya pe­

ngelolaan lingkungan hidup (PLH) seharusnya mencakup

~am bar paling kiri 4. 7: Pandangan dari

tempat yang tinggi terhadap RTH-Kota

dengan jalur-jalur jalannya yang tetap

hijau (bukan pohon atau tanaman yang

ditebang, tetapi sistem pengelolaan

transportasi kota yang diperbaiki).

Nampak Plaza de Catalunya pada latar

depan dalam sistem RTH (hubungan

antara plaza dengan jalur jalan).

Gambar kiri 4.8: Kanopi tanaman di jalur

hijau jalan yang dipakai bagi pejalan kaki

(tortoir yang cukup Iebar) dipandang dari

tempat tinggi (The Passeig de Gracia).

(- ---- 1991, Barcelona, hal114 dan 116)

pula upaya rehabilitasi dan antisipasi, serta mengurangi rehabilitasi agar kembali berfungsi sebagai penyangga

bencana secara bertahap. kehidupan dan memberi manfaat bagi kesejahteraan

Alasan pemerintah daerah tentang sulitnya membe- masyarakat. Pembinaan dan penegakkan hukum terus

baskan tanah untuk pembangunan RTH baru terasa naif, ditingkatkan terhadap kegiatan pencemaran dan keru-

karena pada saat bersamaan pemerintah daerah justru sakan lingkungan. Penggunaan teknologi canggih dan

mempelopori penggusuran RTH berupa makam, hutan ramah lingkungan untuk pengendalian pencemaran dan

kota, hutan lindung, waduk, situ, kawasan olah raga, pengelolaan limbah padat, cair dan gas, perlu dilakukan

serta jalur jalan. secara komprehensif dan terus-menerus. Pola pengelo-

Restrukturisasi institusi kepemerintahan di pusat dan laan tata ruang yang serasi dalam konsep pembangunan

daerah, yang terkait dalam koordinasi RTH yaitu melalui RTH berbasis masyarakat melalui peningkatan upaya ke-

mengefektifkan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, mitraan dengan semua pihak (stakeholders) yang ada di

penetapan rencana pembangunan yang berdasar pada masyarakat.

keseimbangan antara ruang terbangun dan tidak terban- Berbagai masalah lingkungan kota timbul akibat

gun, dan mensyaratkan kajian analisis dampak lingkun- pencemaran dan kerusakan yang meningkat, tekanan

gan dan sosial, terhadap setiap proyek pembangunan kepadatan penduduk, berkurangnya daerah resapan

kota secara ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. air, ketidakkonsistenan penataan ruang, daya tampung

Lingkungan hidup yang rusak atau yang tidak berada badan air mengecil, pendangkalan dan penyempitan alur

dalam keseimbangan sebagaimana mestinya, perlu di- sungai dan prasarana drainase kota, kesadaran hukum

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 145

Gam bar 4.9: Kerangka Berpikir RTH-Kota dan Upaya Pengendalian Banjir: Peran Serta Masyarakat

KERANGKA BERPIKIR

PERTAMANAN

- Rencana

- Rancangan

- Pembangunan

- Pemeliharaan

PENGELOLA

PEMERINTAH

SWASTA

- Pengusaha

- Karyawan

I

I _____.._..

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

uu Peraturan

Kebijakan

RUTR&RBWK

Bidang usaha

Pendidikan

Status

Umur

Kesejahteraan

MASYARAKAT Pekerjaan I

- lndividu · ---.--. Pendidil<an

- Kelompok Umur

Lama bermukim

BiayaRumah Tangga

146 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

RESPON DAN PERSEPSI

Keinginan karyawan bayar retribusi

Dukungan pengelolaan taman

Kerja bakti bersih taman

Bantuan yang diinginkan

Taman perlu dibangun

Dukungan pembangunan taman

Pembangunan fungsi taman

Lomba penghijauan

Dukungan terhadap program sejuta pohon

I -.--.

PERAN SERTA

Mengajak masyarakat melakukan penghijauan

Kesediaan karyawan melakukan retribusi

Ke~asama melakukan penghijauan

Bentuk ke~asama pertamanan

Keikutsertaan dalam kegiatan pertamanan

Upaya penghijauan di lingkungan sendiri

Upaya penyampaian informasi lingkungan

Gotong royong membangun taman

Bentuk peran serta membangun taman

Keikutsertaan dalam penyuluhan tentang taman

lkut menyumbang untuk pemeliharaan taman

Bantuan yang ingin diberikan

lntensitas mengikuti penyuluhan

nndakan terfladap perusak taman

Ke~a bakti membersihkan taman

lkut menyumbang untuk pemeliharaan taman

Besamya retribusi yang ingin dibayarkan

Besamya sumbangan pembeli pot tanaman

Besamya jumlah bibit yang ingin ditanam

dan tingkat pemberdayaan masyarakat rendah, serta

perlunya perencanaan ruang kehidupan yang seimbang

dan merata di seluruh wilayah kota.

Kota harus tetap mempunyai ruang-ruang terbu­

ka yang cukup memadai, meskipun kota (tua) itu terus

berkembang secara evolusioner tapi tanpa henti, se­

bagaimana ditetapkan oleh pemerintahan Kota Barce­

lona, seperti dipaparkan dalam dua buah gambar di atas

(Gambar 4.7 dan 4.8).

Untuk mengatasi masalah banjir rutin, Kantor KLH,

Departemen Pekerjaan Umum, dan DPR telah meng­

usulkan suatu konsep kebijakan nasional pengendalian

bencana banjir, berdasar empat hal pokok, yakni: (1) pe­

nataan ruang terkait pengembangan wilayah keseimbang­

an antara kawasan lindung dan kawasan budidaya; (2)

pengelolaan sumber daya air secara komprehensif dan

menyeluruh dengan konsep satu sungai, satu rencana

dan satu pengelolaan terpadu; (3) pengembangan sarana

dan prasarana perkotaan khususnya menyangkut siner­

gisitas pengelolaan fungsi lingkungan, termasuk sistem

jaringan jalan, drainase, RTH, pengelolaan sampah dan

lim bah cair perkotaan; serta (4) pengendalian pembangun­

an perumahan, khususnya di wilayah bantaran sungai

dan daerah resapan air.

Kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara kom­

prehensif, tidak parsial, didukung oleh penerapan dan

pelaksanaan hukum yang kuat dan kebijakan pengambil­

an keputusan yang konsisten, serta melibatkan seluruh

unsur terkait, sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga

pengendalian dan pengawasannya secara tuntas dan

berkelanjutan.

Pengendalian bencana banjir dan antisipasi berbagai

Gam bar 4.10:

Perumahan Kumuh

Para penduduk pendatang

yang tidak mempunyai ruang

tinggal selalu berusaha

menempati ruang-ruang

semacam tepian kali, dan

akhirnya lingkungannya

menjadi kumuh.

(M. Amin, 2004)

masalah lingkungan hidup tidak terlepas dari derasnya

arus urbanisasi, karena ketidakberimbangan pemba­

ngunan dan kegiatan ekonomi. Untuk itu pembangunan

pusat-pusat kegiatan ekonomi harus disebar merata di

berbagai kota, daerah dan pulau lain.

Penanggung-jawab pengelolaan lingkungan hidup

harus melibatkan unsur terkait sesuai dengan pemba­

ngunan RTH berbasis masyarakat demi kelangsungan

fungsi ekosistem perkotaan. Perencanaan, pelaksanaan

dan pemeliharaan RTH kota harus dikelola dengan lebih

kreatif dan efisien.

Pembahasan teknis paradigma baru sistem pengelo­

laan sampah bersama masyarakat, pengelolaan RTH, dan

pengendalian pencemaran air merupakan langkah awal

menuju sistem pembangunan kota yang berkelanjutan.

Para pengelola RTH kota harus lebih memperhatikan

dan mempertimbangkan eksistensi fisik geografis ling­

kungan. Perlu disadari bahwa sebagian besar permukim­

an penduduk perkotaan, terutama ibukota propinsi, terle­

tak di tepian badan air. Penerapan praktek pembangunan

kota di wilayah tepian air (waterfront city) memerlukan

kajian khusus yang lebih mendalam.

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 147

Pembangunan kota tepi air, merupakan bagian dari

pembangunan perkotaan menyeluruh, sebenarnya tidak

berbeda jauh dengan pembangunan kota umumnya,

hanya pada kota tepian air, harus lebih mempertimbang­

kan tiga faktor utama, yaitu:

(1) Rekayasa teknik (engineering), berkaitan dengan situa­

si dataran rendah atau pesisir pantai, sedang peme­

cahan masalah pada pesisir pantai yang lebih tinggi,

curam, tepian sungai, danau juga sebenarnya tak ber­

beda jauh dengan pembangunan perkotaan di daerah

perbukitan umumnya;

(2) Perancangan (design), cakupannya lebih luas, terma­

suk daerah tepian air yang lebih tinggi tersebut;

(3) Lingkungan (environment), lagi-lagi perlu konsentrasi

khusus pada lingkungan dataran rendah, karena sifat

rentan daerah ini, apalagi bila dikaitkan dengan skema

upaya 'reklamasi lahan' (Buijs, 1998).

Permasalahan rekayasa teknis bagi pembangunan

perkotaan tepian air memang khas, di mana sebagian

masalah adalah akibat proses geologi yang terjadi, seba­

gian juga akibat kegiatan manusia itu sendiri. Tentu saja

proses geologis tidak bisa dikontrol, sedangkan kontrol

kegiatan manusia juga tidak mudah.

Terjadinya amblasan lapisan tanah (dalam), dan naik­

nya arus laut adalah karena proses geologis akibat ge­

rakan tektonik dan akibat perobahan cuaca alami yang

berkepanjangan. Pada situasi di mana tidak ada inter­

vensi manusia, maka kombinasi antar kedua kejadian

tersebut bisa dikompensasi oleh sedimentasi, di mana

masih terdapat hutan bakau (mangroves) dan adanya

pertumbuhan lapisan gambut pada lahan basah di dae-

148 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan

rah rawa darat (marshes) di 'belakang' garis pantai,

Yang biasanya terjadi adalah manusia membuka per­

mukiman di tepian air tersebut, sehingga mekanisme

kompensasi alami tersebut tidak bisa berlangsung, aki­

bat pembabatan hutan bakau serta rawa-rawa yang telah

'terpaksa' berubah fungsi tersebut. Demikian pula yang

terjadi di daerah permukiman kota, dimana aras (permu­

kaan) air tanah menjadi semakin turun akibat rekayasa

agar lahan hunian cukup kering, padahal di lain pihak

para pemukim perlu air baku (air minum).

Proses perubahan lapisan permukaan di atas lahan

permukiman, akan mempercepat pula proses turunnya

lahan (amblasan) karena tekanan dan oksidasi yang ter­

jadi pada permukaan, sehingga menyebabkan masuknya

air laut (intrusi) ke dalam rongga-rongga di dalam tanah,

bekas lokasi air tanah tersebut. Akibat akselerasi ke­

giatan manusia ditambah dengan meningkatnya aras air

I aut, kadang tak hanya akibat permukiman tepian air saja,

namun pada skala global, dampak emisi gas-gas rumah

kaca juga membentuk pemanasan udara secara alami.

Bersamaan dengan proses 'alami' yang saling berkait

tersebut, dan akibat kurang atau bahkan tidak adanya

jalinan alami dari tanaman-tanaman pelindung pantai,

maka terjadi penggerusan tepian akibat gerakan arus air

tanpa penghalang tersebut. Masuknya air asin ke dalam

lapisan tanah tentu saja akan mencemari struktur tanah

asli. Terjadinya genangan akibat pasang yang berkombi­

nasi dengan terjadinya curah hujan, bahkan aliran permu­

kaan berupa air bah dari arah hulu, yang membawa ben­

da apa saja yang dilaluinya, pasti menimbulkan berbagai

pencemaran air tanah, menambah kerusakan lingkungan

tanah tersebut di atas.

Pada akhirnya, kembali diperlukan energi khusus un­

tuk merehabilitasi lingkungan, seperti pembuatan peme­

cah ombak, penguat tanggul pesisir atau tepian (bantaran)

sungai, membangun 'polder' (tempat parkir air sementara),

dan pengelolaan wilayah aliran sungai yang baik.

Di negara kepulauan Indonesia, seperti juga di negara­

negara yang acapkali mempunyai kemungkinan kejadian

gempa, relatif punya masalah khusus, yaitu kejadian ge­

lombang pasang (tsunami), yang terbesar terjadi pada

tanggal 26 Desember 2004, kemudian disusul oleh gem­

pa yang terjadi pada 28 Maret 2005, telah memporak­

porandakan hampir seluruh wilayah pesisir di Provinsi

Nanggro Aceh Darussalam, dan sebagian wilayah Su­

matera, terutama di Pulau Nias dan Kabupaten Sibolga.

Demikian pula tsunami di daerah pantai lain, seperti di

Ende dan sekitarnya (Provinsi NTD, beberapa tahun lalu,

meskipun akibatnya relatif kecil. Karena itu, pada dae­

rah-daerah rawan gempa, hendaknya kota-kota tidak

dibangun dekat atau langung pada bibir pantai, tapi agar

dibangun pad a lokasi dengan jarak aman yang cukup me­

madai, berdasar hasil-hasil penelitian dan pengamatan

komprehensif. Jarak aman ini memang sulit diprediksi

mengingat pola kejadian gempa yang tidak teratur pula.

Tetapi paling tidak bisa disusun metoda untuk mengatasi

akibat gempa bumi yang terjadinya tidak dapat diduga

ini, dibanding dengan kasus curah hujan dan induksi

angin di atas permukaan laut yang dapat menyebabkan

gelombang pasang yang amat tinggi, dan yang kejadian­

nya lebih dapat diduga (seperti dampak badai "EI Nino"

dan "La Nina").

RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 149

-, /

BABY GKA1:KAN -RKQTAAN

V PERAN RTH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PERKOTAAN

5.1 PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN

Tuhan menciptakan dunia ini tak ada yang kekal, ke­

cuali proses alami yang mendukung siklus kehidupan

makhluk hidup itu sendiri. Semua berputar datang silih

berganti atau berubah wujud, seperti air, dari cair menjadi

gas (uap air) atau padat (es). Demikian pula proses_ alami

lain, perlu dijaganya kondisi lingkungan yang bisa tetap

menampung berbagai proses tersebut sedemikian rupa,

supaya proses alami tetap berlangsung dan tetap mampu

mendukung kehidupan secara lokal, nasional, regional,

dan global. Salah satu bentuk komitmen itu adalah pem­

bangunan lingkungan kota secara berkelanjutan.

Bumi, planet tempat man usia berdiam kini telah meng­

alami perobahan menuju krisis lingkungan yang telah

mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia,

demikian pula di Indonesia ini. lronisnya hampir semua

kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut adalah

akibat kegiatan manusia yang mengabaikan fungsi lestari

lingkungan. Kebangkitan kesadaran manusia untuk me­

nyelamatkan bumi dilakukan dengan berbagai cara, kata­

kata Lingkungan Hidup (LH) dan Hijau menjadi kata-kata

sakti. Maka menjamurlah istilah kota berwawasan ling­

kungan, kota ramah lingkungan, kota berkelanjutan, kota

hijau, kota taman, kota sehat, dan seterusnya.

Bagaimana seharusnya manusia mampu menyesuai­

kan diri dengan alam sekitar sebagai bag ian dari kehidup­

an budaya manusia? Konsep Tri Hita Karana di Bali

merupakan contoh bagaimana manusia mengedepankan

hubungan keselarasan antara manusia dengan Tuhan,

Gambar 5.1: Sebagian besar bumi terdiri dari air atau perairan. Dari seluruh air bumi,

97% lebih merupakan air asin (lautan), sedang air tawar terdapat hanya kurang dari

3%, karena sebagian berupa es atau salju abadi. Armosfir bumi, sungai-sungai,

danau dan perairan bawah tanah (aquifer) menyimpan hanya kurang dari satu (1)%

saja. Siklus air te~adi akibat adanya matahari, mengangkat air murni dari tanah

dan permukaan laut, kemudian jatuh lagi sebagai hujan dan salju. Setiap tahun

sekitar 10% air diuapkan dari laut dihembus angin menuju daratan. Sekitar 10%

(sekitar 40,000 cu km) pula dikembalikan ke laut sebagai aliran (permukaan). Hal ini

152 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

merupakan "hasil proses (alami)" di mana manusia semua

tergantung. Modal air tanah mungkin lebih besar, tapi upaya

ekstraksi sangatlah mahal biayanya, dan butuh waktu

cukup agar bisa dimanfaatkan kembali.

(Myers, 1985, ha/108)

2

Gambar 5.2: Sebagian besar sungai-sungai di Bali,

masih dalam keadaan 'utuh' sebagaimana adanya

akibat kepercayaan bahwa SDA alam (perairan,

khususnya sungai untuk mengairi sawah), adalah

sumber kehidupan yang penting, sehingga tidak

boleh dirusak, karena itu kondisinya tetap hijau dan

kualitas maupun kuantitas (debit) air masih dalam

keadaan baik, teduh dan hijau.

Keterangan:

(1) Bunga Teratai yang dibudidayakan di lahan

sawah di Bali, (2,3,4) Adalah bantaran sungai di Bali

yang selalu hijau dan teduh, alami.

3

4

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 153

dengan sesama makhluk hidup dan dengan lingkungan.

Sikap ini melahirkan persepsi, bahwa segala sesuatu di

bumi ini bernyawa, sehingga manusia tak boleh semena­

mena mematikan atau merusaknya. Dengan demikian,

mereka akan sangat berhati-hati menggubah alam ini, itu

pun hanya bila betul-betul diperlukan, yaitu untuk men­

dukung keberlanjutan kehidupan.

Para pengelola lingkungan perkotaan sudah seharus­

nya menetapkan kebijakan dan strategi penataan ruang

kotanya masing-masing secara menyeluruh, sehingga

dapat dicapai suatu keadaan lingkungan sebagaimana

diharapkan, dan di mana antara satu dengan lain kota,

(terutama yang relatif berdekatan) bisa saling menjaga

pemekaran wilayah kotanya serta mendukung wilayah

perlindungan masing-masing secara sinergis.

Sebuah kota adalah sebuah area dimana 'garis perba-

154 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

tasannya' selalu tumbuh, suatu tempat dimana manusia

berkerumun (berkongregasi) dan mengerjakan aktivitas

yang terpusat di sekitar wilayah Pt;Oduksi. Kota adalah

sebuah tempat dimana manusia hidup, menikmati waktu

luang, dan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan ma­

nusia lain, baik secara material maupun spiritual.

Batasan kota juga termasuk komuniti perkampungan

pertanian dan nelayan (perikanan) khususnya bagi kota­

kota yang terletak di tepi pesisir pantai. Pada tempat

yang benar-benar kota, tidak terdapat produksi makanan

primer, namun sebuah tempat di mana terdapat produksi

sekunder, tersier serta distribusinya, yang menyediakan

sumber kehidupan bagi masyarakat kota. Pada masa

modern, pembangunan kota-kota meningkat menjadi

lebih kompleks, sementara itu pada setiap langkah

pembangunan, permasalahan yang harus diatasi telah

Gambar5.3:

Adanya alun-alun dengan atau tanpa

pohon besar (biasanya beringin)

merupakan konsep pengadaan

RTH-kota dengan sarana kantor

administrasi pemerintahan (eksekutif,

judikatif dan legislatif) termasuk istana,

kantor pemerintahan (Gubernuran,

Kabupaten, dan seterusnya) sudah

tidak lagi dihargai, sehingga RTH

tersebut sangat mudah berubah

fungsi, yang sering terjadi misalnya

menjadi pusat perbelanjaan (mall) ,

bahkan lokasi pembuangan sampah

sementara, dan lain-lain.

(KLH, 2004)

berubah dan terus meningkat, sesuai berjalannya waktu,

sehingga permasalahan seolah-olah berkejaran dengan

waktu dan menjadi semakin menumpuk.

Menurut Kuswartojo1 (2006), "konsep kota berke­

lanjutan hanya ada dalam dunia pikiran atau imajinasi, di

mana keduanya mempunyai sifat dan kedudukan berbe­

da, konsep kemudian digunakan kembali oleh akal untuk

memahami, menerangkan atau bahkan melakukan suatu

tindak terhadap realita atau fenomena tersebut. Konsep

kota berkelanjutan adalah konstruksi dalam pikiran yang

didasarkan pada suatu keyakinan tentang wujud dan

proses yang terjadi dalam kota. Keyakinan yang dianut

inilah yang dimaksud sebagai azas yang menjadi dasar

dan panduan segala tindak. Kesadaran dan keyakinan,

bahwa kehidupan manusia di dunia harus terus berlan­

jut menghasilkan konsep pembangunan berkelanjutan".

Pada Sidang Umum PBS, 1987 konsep ini disepakati se­

bagai azas antara generasi secara bersama-sama, yang

intinya pemenuhan kebutuhan sekarang haruslah tidak

menghalangi kebutuhan generasi yang akan datang.

Melalui KTT Bumi di Rio de Janiero, 1992, konsep dan

azas ini dituangkan ke dalam program dunia yang dise­

but; Agenda 21. Dan konsep tersebut terus berkembang

untuk menarik makna pembangunan berkelanjutan.

Konsep berkelanjutan ini kemudian menjadi azas

bagi tindakan apa saja, sehingga timbul beberapa istilah

yang semuanya serba berkelanjutan yang sering terde­

ngar, seperti: ekonomi, bisnis, pertanian, permukiman,

arsitektur, arsitektur lansekap, dan seterusnya, menjadi

sedemikian meluasnya, sehingga terlepas dari azasnya

sendiri. Mengapa kota? Karena kota adalah tempat hidup

dan konsentrasinya banyak manusia. Penduduk dunia

yang tinggal di kota terus meningkat mencapai 70-80%

sampai mendekati kejenuhan, terutama di negara-negara

industri maju. Di negara-negara sedang berkembang,

penduduk kota yang semula 'hanya' sekitar 20-30%

dengan cepat juga bertambah menuju 50%yang akan

menyamai penduduk kota di negara maju. Ada upaya

menekan pertumbuhan kota, tetapi tidak berhasil meng­

hentikan proses kecepatan urbanisasi ini, seperti di RRC

zaman Mao Zedong, de-urbanisasi secara kejam oleh

rezim Pol Pot di Kamboja (Kuswartojo, 2006).

Penyebab utama urbanisasi, tentu saja adanya fak­

tor penarik sekaligus pendorong (pull and push factors)

orang berbondong-bondong pindah ke kota karena di

kota 'harapan hidup senang' lebih menjanjikan, misal:

tersedianya banyak lapangan kerja akibat 'moderisasi',

termasuk di bidang pertanian (pola intensif). Kota lalu

menjadi 'mesin pembangkit' pertumbuhan ekonomi,

penentu pola konsumsi dan produksi. Kota menjadi agen

kapital global yang agresif dan eksploitatif. Termasuk

mode dan kebiasaan hidup kota yang mutakhir, menye­

bar dengan cepat dan merata ke seluruh negeri. Dam­

pak negatif yang paling memprihatinkan pada ujungnya,

adalah perkembangan kota ini menjadi penyebab keru­

sakan dan pencemaran lingkungan akibat eksploitasi tak

terkendali terhadap SDA dan lingkungan. Kota membu­

tuhkan air bersih, sehingga eksploitasi SO-air menjadi

berlebihan dan menjadi awal konflik pemanfaatan den­

gan kegiatan lain (pertanian, perindustrian, an seterusnya)

yang semuanya membutuhkan air dalam jumlah relatif

banyak. Kebutuhan akan pasir dan batu untuk pemba­

ngunan kota, telah merusak wajah dan kualitas lansekap di

kawasan pinggiran kota. Kasus longsornya tanah akibat

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 155

penambangan itu sudah sering mengorbankan jiwa pula.

Demikian pula kebutuhan akan kayu yang berlebih­

lebihan akan SDA, sudah jelas merusak SD-hutan (tropis)

kita yang semula kaya akan keanekaragaman jenis itu.

Proses metabolisms dan aktivitas penduduk kota yang

sangat meningkat tersebut, telah menghasilkan limbah

padat dan cair, telah menjadi masalah besar terutama di

kota-kota besar (Jakarta dan Bandung) serta telah menel­

an korban jiwa pula (Kasus TPA Bantargebang, Leuwigajah

khususnya pada tahun 2005-2006), tentu menjadi penye­

bab menurunnya kualitas kesehatan manusia dan ling­

kungan kota, serta ketidaknyamanan visual dan aroma

bagi siapa saja. Karena itulah makna perkembangan ling­

kungan kota ini mendapat perhatian khusus dalam kon­

sep dan penerapan azas pembangunan berkelajutan.

5.1.1 Konservasi Lingkungan Hidup Kota

Pada tahun 1980-an, tujuan pembangunan jangka

panjang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),

adalah ditetapkan tercapainya hasil pembangunan yang

merata bagi seluruh rakyat Indonesia dan terbentuk

manusia Indonesia seutuhnya. Melihat dan merasakan

keadaan negara di era reformasi yang masih mencari

bentuk, rasanya cita-cita mulia tersebut belum terca­

pai, kalau tak bisa dikatakan gagal. Pembentukan ma­

nusia Indonesia seutuhnya, memiliki ciri-ciri keselarasan

manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dalam

sistem kemasyarakatannya, dan lingkungan alam. Tujuan

pembangunan berkelanjutan seyogyanya menjadi tujuan

kepemerintahan pad a era apa pun, yaitu pad a setiap

pentahapan pembangunan menuju kepada peningkatan

nilai-nilai kehidupan dan hendaknya dapat:

156 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

(1) Meningkatkan taraf hid up dan kesejahteraan seluruh

rakyat;

(2) Mendorong tercapainya cita-cita hidup sejahtera di

dunia dan mengejar kebahagiaan hidup di akhirat;

(3) Mencapai keselarasan hubungan Bangsa Indonesia

dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan;

(4) Menjadi landasan kuat untuk pembangunan berikutnya.

Dalam cara membangun, terutama sejak berdirinya

Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan

Lingkungan Hidup (PPLH, 1978 kini KLH), maka sifat

kelingkungan-hidupannya dengan sendirinya tersurat

maupun tersirat dalam penetapan kebijakan-kebijakan

kepemerintahan yang dijabarkan dalam suatu sistem si­

nergitas dengan sektor-sektor pembangunan lain, sejalan

dengan tuntutan pembangunan demi pemenuhan kebu­

tuhan yang disesuaikan dengan ruang dan waktu.

Prinsip utama upaya pembangunan berkelanjutan

adalah mengusahakan agar kegiatan apapun harus se­

lalu didasarkan atas prinsip landasan pelestarian fungsi

SDA, agar bisa menopang pembangunan jangka pan­

jang. Semula diharapkan, bahwa melalui Rencana Pem­

bangunan Lima Tahun (REPELITA), diharapkan pelaksa­

naan pembangunan berwawasan lingkungan atau ramah

lingkungan sosial maupun alam dapat terlaksana, namun

disadari pula sejak awal pembangunan, bahwa peman­

faatan sumber daya di masa depan diperkirakan akan

menjadi semakin langka, terutama disebabkan oleh per­

tambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat.

Konservasi dan pengelolaan lingkungan hidup

perkotaan perlu dikembangkan melalui:

• Rasionalisasi penggunaan SDA, melalui upaya

--

/ A world of waste. We produce about a billion tonnes of waste a year worldwide. The rate at which we do so is closely linked with Gross National Product (GNP). The map, above, plots regional variations in GNP with per-capita waste output for 10 cities. In many countries, waste is seen as a problem, not a resource; as something to be dumped rather than converted into useful products. But as the ftow diagram below shows,

· to close the circle by recyc ling materials.

Gambar 5.4: "Waste into Wealth". Pemanfaatan kembali sampah. (Myers, 1985, ha/1 36)

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 157

minimalisasi kerusakan ekosistem, misalnya upaya

perlindungan ekosistem, penggalakan pemanfaatan

ulang dari sumber daya, yang biasa disebut: 7 -RE,

yaitu: memanfaatkan ulang (reuse), mengurangi (re­

duce), mengganti (replace), mendesain ulang (rede­

sign), memfabrikasi kembali (refactory), memperbaiki

(recovery), dan mendaur ulang sumber daya (recycle)

yang tersedia di lingkungan sekitar;

• Peningkatan produksi pangan dengan pola intensi­

fikasi pertanian yang memungkinkan, penghematan

ruang (lahan) dan SDA (air, lahan, dan hutan beserta

isinya), peningkatan kualitas dan kuantitas keaneka­

ragaman pangan;

• Penggunaan alternatif sumber energi terbarukan,

misal briket arang dari sampah, tenaga matahari,

tenaga angin dan bio-fuel.

Untuk memastikan diperhatikannya aspek konservasi

lingkungan dalam pembangunan perkotaan perencanaan

ruang hendaknya dikembangkan dengan memperhati­

kan sistem variabel lingkungan, melalui identifikasi po­

tensi, analisis kesesuaian lahan yang mempertimbang­

kan variabel lingkungan dalam rencana pemanfaatan,

dan memperkirakan dampak positif maupun negatif yang

mungkin timbul.

Sebenarnya, struktur perekonomian tahun 1980-an

dan sebelumnya, telah menitikberatkan pada penting­

nya pembangunan pertanian, khususnya pangan. Namun

sehubungan dengan keyakinan akan ampuhnya sektor

perindustrian, yang diterapkan tanpa mempertimbangkan

keseimbangan pembangunan dengan sektor pendukung

lain, maka pada akhir tahun 1997 lawai tahun 1998, ter-

158 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

jadilah krisis perekonomian yang memperburuk kondisi

lingkungan Indonesia, dan yang hingga kini masih belum

sepenuhnya teratasi.

Pemanfaatan SDA dan ruang secara rasional, lalu

menerapkan kebijakan dan perimbangan pembangunan

lebih ke arah sektor industri dan jasa yang seharusnya

tetap berdasar pada pemilihan teknologi ramah ling­

kungan. Kebijakan pembangunan berkelanjutan yang

menekan dampak negatif pencemaran sekecil mungkin,

dan pertimbangan pada konsistensi perencanaan, pene­

rapan dan evaluasi 'Tata Ruang Terpadu' antara pemerin­

tahan pusat dan daerah, serta antar pemangku kepenting­

an hendaknya terus diterapkan.

Setelah apa yang dikenal dengan 'Club of Rome' yang

menandai kepedulian Negara-negara Eropa tentang kuali­

tas kehidupan manusia di berbagai aspek telah semakin

menurun, lalu berkaitan dengan kesadaran akan perlu­

nya kehati-hatian dalam pengelolaan LH-dunia, ditandai

oleh KTI Dunia tentang LH di Stockholm 1972 meluas,

maka tahun 1987 muncul pula "The World Comission on

Environment and Development" (WCED, dikenal dengan

laporan Brundtland) dimana Indonesia pun pernah men­

jadi 'tuan rumah' dalam salah satu rangkaian diskusinya,

menyebutkan, bahwa KOTA YANG BERKELANJUTAN

adalah kota yang dapat menjalankan fungsi dan peranan

dalam pembangunan berkelanjutan. Kota harus mampu

melindungi dan memelihara SDA di kota dan wilayah

sekitarnya, sehingga pemanfaatannya pun dapat terus di­

lakukan secara berkelanjutan. Artinya, bukan hanya fung­

si lingkungan kota yang terus berlanjut tetapi juga daerah

'hinterland' di sekelilingnya, bahkan meluas sampai ke

kawasan regional melampaui batas administrasi daerah

dan negara sebab lingkungan tak mengenal batas-batas

yang dibuat oleh manusia.

The World Resources Institute (WRI, 1997) dalam

terbitan berkalanya, menyoroti secara khusus masalah

perkotaan, dinyatakan bahwa, kota berkelanjutan adalah

kota yang mampu memenuhi kebutuhan kaum miskin

kota, artinya kemampuan penanggulangan kemiskinan

kota merupakan kunci keberhasilan pembangunan kota

berkelanjutan, Seregaldin (1995 dalam Kuswartojo, 2006)

memandang bahwa kota berkelanjutan adalah kota yang

mampu melindungi kesehatan penduduknya, menye­

diakan lindungan (shelter), menyediakan lapangan kerja

serta tempat di mana manusia dapat mengekspresikan

budidayanya, menurut Badshah (1996) agar kota dapat

terus berlanjut, perlu pengambilan keputusan (misalnya

tentang program perumahan) yang berdasar pada kon­

sensus, sebab akan menjamin pelayanan yang menerus

pula.

Dimanfaatkannya kembali sampah (padat

maupun cair) terutama untuk mengurangi

volume (penumpukan) di perkotaan

merupakan suatu kegiatan yang harus

dilakukan oleh penduduk kota sejak dari

sumber sampah. Sebuah komunitas

di Peral River, China (dan di Madras,

Calcuta, India) sejak tahun 1980-an,

bahwa setiap 90.000 penduduk (sekitar 89

keluarga) merupakan sebuah komunitas

produktif yang melakukan "rural/urban

agro-ecosystem". Dalam pelaksanaannya,

tiap-tiap unit mengkombinasikan kegiatan

pertanian (budidaya tanaman, peternakan

'dikembalikan' menjadi energi (bio-gas)

yang terus-menerus terbarukan dan

dimanfaatkan untuk generator listrik.

Akhirnya mampu memasok hasil-hasil

pertanian untuk penduduk (lokal di sekitar

maupun kota-kota di dekatnya).

dan perikanan) untuk mengumpulkan energi

dari sisa hasil kegiatan (sampah) untuk

Gambar 5.5: "Bio-gas Stove Digester"

A garden landscape di Daerah Hu, China Timur, lukisan petani saat musim gugur.

(Myers, 1985, hal63)

Gambar 5.6: "Village Bio-gas Plantn

(Myers, 1985, hal 62)

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 159

lbarat tubuh man usia, dimana setiap saat memerlukan

pemeliharaan fungsi-fungsi metabolismenya sehingga

tetap 'hidup' sehat lahir dan batin, maka dalam konsep

'metabolisme permukiman kota' demikian pula. Newman

(1999 dalam Kuswartoyo, 2005) menempatkan transpor­

tasi sebagai faktor terpenting dalam mewujudkan kota

berkelanjutan. Ketergantungan hanya ada kendaraan

bermotor (mobil} menjadi penyebab ketidakberlanjutan

kota. Dalam dinamika permukiman ini kehidupan yang

layak dan nyaman dapat dicapai melalui pengelolaan

SDA & lingkungan yang dinamis dan bertanggung jawab

dalam proses pembangunan berkelanjutan.

Deklarasi Aalborg (1994) 'azas sustainable city bagi

kota-kota di Eropa, diungkapkan perlunya pencapaian

keadilan, sosial-ekonomi dan lingkungan yang berkelan­

jutan pula, sebab satu sama lain tak terpisahkan. Kon­

sumsi akan SO-air dan energi, misalnya sebaiknya lebih

diarahkan pada SDA yang dapat diperbarui, namun tetap

tidak melampau daya dukung dan daya tampung dalam

sistem alaminya, artinya tak melampaui kapasitas asimi­

lasi alaminya. Jadi yang terpenting adalah komitmen agar

manusia mampu hidup taat azas.

Organisasi ICLEI, UNEP dan EPA negara bagian Victo­

ria, mendeklarasikan azas Melbourne di Australia (2002).

Azas ini menyediakan seperangkat pernyataan sederha­

na tentang bagaimana kota yang berkelanjutan itu ber­

fungsi, azas ini diniatkan untuk memandu pemikiran dan

penyediaaan suatu kerangka strategis untuk bertindak,

membolehkan kota mengembangkan solusinya sendiri,

disesuaikan dengan kondisi masing-masing, membantu

warga kota agar mampu mengambil keputusan dan bisa

bekerjasama untuk menetapkan hal-hal penting agar kota

160 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

Gambar 5.7: Suasana Taman Museum Kertagosa sesudah renovasi.

Tanaman jenis Palmae mungkin terlalu dominan namun nampak asri .

mampu hidup berkelanjutan (Kuswartojo, 2006), menurut

azas ini adalah kota yang mampu:

• Merumuskan visi jangka panjang kota berdasar keber­

tanjutan; berkeadilan sosial , ekonomi dan politik serta

ciri khasnya;

• Mencapai keamanan sosial dan ekonomi jangka pan­

jang;

• Mengenali nilai hakiki keanekaragaman hayati dan ekso­

sistem alami, melindungi dan memulihkan kembali;

• Memampukan komunitas agar dapat memperkecil

'tapak ekologisnya';

• Membangun karakteristik ekosistem d;;~lam pengem­

bangan dan memelihara kesehatan da~ _ keberlanjtrtan kota;

• Mengenali dan membangun karakteristik khas kota ter­

masuk nilai-nilai kemanusiaan dan budayanya, sejarah

dan sistem alaminya;

• Memberdayakan masyarakat dan mempercepat peran

sertanya;

• Memperluas dan memampukan jaringan kerjasama un­

tuk mencapai masa depan bersama yang berkelanjutan;

• Meningkatkan konsumsi dan produksi yang mendu­

kung keberkelanjutan, melalui penggunaan teknologi

berwawasan lingkungan dan manajemen permintaan

yang efektif;

• Meningkatkan kemampuan untuk melakukan perbaikan

secara terus-menerus berdasar pertanggungjawaban,

keterbukaan dan penyelenggaraan yang baik.

. 5.1.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman,

Nyaman, dan Sehat

Apa arti kota itu sendiri bagi Indonesia, penting untuk

disepakati lebih dulu, terutama bila ingin mengembang­

kan dan menerapkan azas kota berkelanjutan itu. Menu­

rut istilah yang ada, kota di artikan yang disebut city,

town, urban atau bahkan municipal. Kerancuan semacam

ini belum dibahas secara tuntas dan belum ada peraturan

perundang-undangan khusus. Dalam RUTR No. 42/1992

belum diuraikan arti kota secara khusus, sedang PUU

tentang Tata Ruang pun masih dalam proses pemba­

hasan (RPP). Perkotaan dipergunakan untuk istilah urban,

kawasan perkotaan untuk urban area, kebudayaan kota

untuk urban culture, ekonomi kota untuk urban economic,

bukan kebudayaan perkotaan dan ekonomi perkotaan,

dan seterusnya.

Kerancuan ini juga tak pernah dipersoalkan, semua

yang terlibat nampaknya maklum saja, sebab memang

perbedaan wujud fisik antara desa dan kota umumnya

bisa dipahami semua orang, atau bisa menafsirkan sen-

diri apa yang dimaksud. Kuswartojo (2006) menggunakan

istilah urban untuk perkotaan, kota/kota kecil untuk city,

atau town, dan kota/kota besar untuk municipal. Urban

bahkan, secara khusus ditujukan untuk menandai si­

fat-sifat sosiokultural kekotaan. Namun karena istilah

perkotaan telah meluas dan secara formal digunakan

dalam PUU yang sudah ada, dimana istilah kota/kota kecil

dimengerti sebagai suatu entitas atau satuan permukim­

an yang mempunyai sifat perkotaan, sedang kota/kota

besar merupakan satuan wilayah administrasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menggolong­

kan suatu wilayah desa atau kelurahan sebagai wilayah

perkotaan, bila kepadatan penduduknya mencapai 500

orang/km2, dimana kurang dari 25%-nya hidup dari per­

tanian serta, sekurang-kurangnya mempunyai delapan

fasilitas umum (pasar, sekolah, pusat kesehatan, dan

seterusnya). Berdasar definisi ini suatu satuan wilayah

desa dinyatakan tergolong kawasan perkotaan dan pen­

duduknya disebut penduduk perkotaan. Secara domes­

tik sosiokultural perkotaan, penggolongan semacam ini

tidak dikenali. Hal ini menyebabkan analisis perkembang­

an perkotaan yang hanya berdasar pada pertumbuhan

penduduk, hanya bersifat semu. Banyak kota yang meski

jumlah dan kepadatan penduduknya memenuhi kriteria

untuk disebut perkotaan (urban), tetapi karakteristik ke­

hidupan dan pengelolaan penduduknya belum dapat di­

golongkari sebagai perkotaan (Kuswartojo, 2005).

Jadi, yang dimaksud dengan keberlanjutan suatu kota

bukanlah eksistensi wujudnya secara fisik, namun lebih

kepada konsep bagaimana membuat kota tetap layak

huni, artinya bersih, aman, nyaman dan sehat meskipun

jumlah penduduk semakin bertambah. Kerangka pikir

Peran ATH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 161

yang dikembangkan dari konsep dan azas kota berkelan­

jutan (Kuswartojo, 2006) adalah bahwa :

• Kota yang secara berkelanjutan dapat menjamin me­

ningkatkan kualitas hidup warga kotanya dan kenya­

manan pengguna kota lain,

• Untuk menjamin kondisi demikian, kota harus dapat

secara terus menerus menyediakan, memelihara dan

mengembangkan berbagai fasilitas yang memadai dan

sumberdaya (SO) yang cukup untuk semua;

• Penyediaan, pemeliharaan dan pengembangan fasilitas

serta SO lain dilakukan seoptimal mungkin secara

berkelanjutan, melalui kerjasama antar berbagai pihak

terkait dan yang dilakukan bersama-sama dalam kepe­

merintahan yang baik pula.

Selanjutnya Kuswartoyo (2005) menambahkan, bah­

wa kerangka pikir seperti di atas, masih memerlukan ke­

jelasan tentang banyak hal, misalnya tentang ukuran apa

yang disebut nyaman dan untuk siapa kenyamanan itu,

dan seterusnya oleh karena warga dan pengguna kota

pun sangat beraneka-ragam. Lalu berkaitan dengan kon­

sumsi, seberapa besar dan jenis SO serta fasiilitas apa

saja yang harus disediakan, sebab tentu saja tidak akan

tersedia begitu saja apalagi secara terus-menerus, ter­

masuk ruang yang ada. Para pengelola "Kota Berkelan­

jutan" juga harus mampu menghemat SOA dan ruang.

Konsumsi bidang tanah atau ruang inilah yang disebut

tapak ekologis (ecological footprint), yang di berbagai

kota di Eropa telah digunakan sebagai ukuran keberlan­

jutan kota. Konsumsi akan ruang ini tidak hanya untuk

pembangunan konstruksi, tapi dibutuhkan pula untuk

menampung sarana pelayanan kota yang lain, seperti

162 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

moda transportasi, pembangunan RTH (untuk konservasi

SO-air, tanah dan udara dan ruang untuk pengelolaan

limbah) serta untuk produksi.

Tata penyelenggaraan kota yang baik dapat terwujud

bila ada warga pengguna kota dan pemerintahan kota

yang baik, sayangnya apa yang saat ini kita lihat bersama,

adalah bahwa pengelolaan lingkungan perkotaan yang

baik di Indonesia, masih jauh dari harapan kalau tidak bo­

leh dikatakan bahkan semakin mundur akibat terus ber­

langsungnya degradasi lingkungan. Upaya mendorong

ke arah perbaikan memang telah ada, namun sebagian

besar masih bersifat wacana, simbolik atau formal, sebut

saja antara lain: "Gerakan Sejuta Pohon", "Gerakan Kota

Bersih" dan berbagai kampanye menuju lingkungan kota

seperti yang dikehendaki.

Pembangunan Kabupaten dan Kota yang sehat meru­

pakan upaya strategik di era desentralisasi atau otonomi

daerah. Pendekatan ini dilaksanakan untuk mendorong

masyarakat sebagai pelaku utama dalam mewujudkan

peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan fisik,

sosial dan budaya secara berkesinambungan, sehing­

ga mampu mengatasi berbagai masalah lingkungan

dan memberikan dampak positif terhadap kesehatan

masyarakat.

Sesuai pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan

UU No. 33 Tahun 2004, tiap-tiap wilayah mempunyai ke­

sempatan yang sangat luas untuk mengembangkan kuali­

tas lingkungan fisik, sosial dan budaya sesuai dengan

masalah dan potensi yang ada di kabupaten dan kota,

sehingga tercipta keseimbangan pembangunan baik di

kota maupun kabupaten, sehingga sekaligus akan dapat

mengurangi arus urbanisasi.

Setiap warga negara berhak mendapat kesehatan

dan kesejahteraan sosial, dan hidup dalam lingkungan

fisik, sosial dan budaya yang sehat, serta mendapatkan

kesempatan untuk meningkatkan ekonominya, di mana

mereka bertempat tinggal dan mencari kehidupan.

Perilaku masyarakat telah proaktif untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadi­

nya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit,

serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan ma­

syarakat. Perwujudan kesehatan dan kesejahteraan ma­

syarakat merupakan resultan dari berbagai upaya yang

dilakukan oleh masyarakat, swasta, sektor pembangun­

an, dan pemerintah daerah. Sektor kesehatan tidak akan

dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa

keterlibatan berbagai sektor pembangunan dan masyara-

kat itu sendiri.

Agar dapat tercipta kota yang bersih, aman, nyaman,

dan sehat, diperlukan usaha dari setiap individu anggota

masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders) dalam

mewujudkannya. Pencapaian Kabupaten/Kota Sehat

merupakan suatu proses yang berjalan terus-menerus

untuk menciptakan dan meningkatkan kualitas lingku­

ngan, baik fisik, sosial dan budaya, mengembangkan

ekonomi masyarakat dengan cara memberdayakan mere­

ka agar saling mendukung dalam menerapkan fungsi­

fungsi kehidupan untuk membangun potensi maksimal

Gambar5.8:

Tanaman Peteduh memakai Palm.

adalah hak untuk menikmati kenyamanan lingkungan

hidup tropis perkotaan yang sejuk, nyaman, teduh, dan

sehat. Agar dapat terwujud, diperlukan perencanaan tata

ruang kota yang baik, sehingga terdapat keseimbangan

antara ruang terbangun dan tidak terbangun. Ruang tidak

terbangun (RTH} merupakan wilayah yang amat potensial

dan dapat dikembangkan sebagai kawasan hijau kota,

juga sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat

akan sarana rekreatif dan estetika lingkungan, selain seba­

gai kawasan penyangga ekosistem perkotaan.

suatu kota. 5.1.3 RTH Kota sebagai

Untuk mencapai 'Kota Sehat', keseimbangan untuk Penunjang Pembangunan Berkelanjutan

mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap Kabu- Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah

paten/Kota perlu dijaga. Setiap warga mempunyai hak dan sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, kesela-

sekaligus kewajiban dalam pemenuhan kebutuhannya, rasan, dan keseimbangan sumberdaya alam, yang pada

secara jasmani mapun rohani, di mana salah satunya giliran selanjutnya akan menciptakan lingkungan kota

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 163

Gambar5.9:

Tanaman pinggir jalan di Kota Hokkaido.

164 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

yang kondusif berupa kenyamanan, kesegaran, terbe­

basnya kota dari polusi dan kebisingan, serta sehat dan

cerdasnya warga kota.

Tujuan penyelenggaraan RTH kota, khususnya hutan

kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseim­

bangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur ling­

kungan sosial dan budaya. Fungsi RTH kota adalah untuk

memperbaiki, menjaga iklim mikro, nilai estetika, mere­

sapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian

lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian ke­

anekaragaman hayati Indonesia (PP No. 63 Tahun 2002).

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka pada

setiap wilayah perkotaan perlu ditetapkan kawasan RTH

sesuai dengan tata guna lahan dan sektor tertentu, untuk

menciptakan penyelenggaraan RTH kota secara menye­

luruh (Metropolitan Park System). Pengelolaan RTH kota

sejak awal, yaitu dari proses penunjukan, pembangunan,

penetapan, pemeliharaan merupakan pengelolaan menye­

luruh (integratif) yang disesuaikan dengan fungsi pokok

RTH kota tersebut yaitu antara lain untuk perlindungan

lingkungan kota.

RTH kota, khususnya pada salah satu unsur konser­

vasi penting dalam LH kota, yaitu RTH berupa hutan kota

yang dibangun sebagai daerah penyangga (buffer zone)

kebutuhan akan air bersih, lingkungan alami, serta pe­

lindung flora dan fauna di perkotaan. Kota sebagai pusat

aktivitas manusia termasuk permukimannya telah ter­

ganggu kestabilan ekologisnya, di lain pihak kebutuhan

masyarakat akan lingkungan yang bersih, indah, dan nya­

man serta terbebas dari polusi semakin mendesak.

Pada kenyataannya pertumbuhan kota-kota di Indo­

nesia mengesankan kurang terakomodasikannya dan

terintegrasinya perencanaan. Kota seakan-akan berkem­

bang tanpa kendalL Gedung perkantoran, perumahan,

pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, bahkan

pabrik, 'berebut ruang'. Masing-masing berusaha men­

cari lokasi yang paling strategis. Akibatnya semua jenis

bangunan berbaur dengan fungsinya sendiri-sendiri dan

menyebabkan berbagai benturan kepentingan.

Dengan semangat otonomi daerah, pembangunan

kota menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, terma­

suk pembangunan hutan kota sebagai salah satu upaya

menciptakan wilayah perkotaan yang sehat, indah, dan

nyaman. Dengan pembangunan kota yang berwawasan

kesehatan maka akan tercipta masyarakat yang sehat,

produktif, serta bahagia lahir dan batin.

Pencemaran udara merupakan salah satu perma­

salahan kompleks yang timbul di lingkungan perkotaan

terutama pada kota-kota metropolitan. Tingginya tingkat

pencemaran udara juga semakin dipicu oleh peningkatan

jumlah kendaraan bermotor dan industri yang menghasil­

kan asap, partikel padat dan gas berbahaya lainnya.

Studi tentang pengendalian kualitas udara telah ba­

nyak dilakukan tetapi penerapan hasil pengkajian secara

sistematis tentang hubungan fungsional antara data hasil

pemantauan dengan faktor-faktor yang berperan dalam

transformasi emisi cemaran udara dari sumbernya, belum

terlaksana sebagaimana mestinya (Purnomohadi, 1995).

5.1.4 Model Kabupaten dan Kota Sehat

Menyongsong terwujudnya Indonesia Sehat 2010,

penerapan pembangunan berwawasan kesehatan per­

lu diintegrasikan dan disinkronkan dengan berbagai

program pemerintah (sektor) dan masyarakat, melalui

pendekatan Kabupaten/ Kota Sehat.

Kabupaten Sehat adalah suatu kondisi dari suatu

wilayah yang aman, nyaman, bersih dan sehat untuk di­

huni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi so­

sial ekonomi masyarakat desa yang saling mendukung,

melalui koordinasi forum kecamatan dan difasilitasi oleh

sektor terkait, serta sinkron dengan perencanaan masing­

masing desa.

Kota Sehat adalah suatu kondisi dari suatu kota yang

aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni pen­

duduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekono­

mi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat,

difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan peren­

canaan kota.

Model Kabupaten/Kota Sehat dapat dikelompokan

atas beberapa tatanan, sebagai Kawasan Permukiman

Sehat, Kawasan lndustri dan Perkantoran Sehat, Ka­

wasan Pariwisata Sehat, Kawasan Pertambangan Se­

hat, Kawasan Kehutanan yang Sehat, Prasarana Umum

Perkotaan Sehat, Budaya dan Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat, Kehidupan Sosial yang Sehat, dan Ketersedian

Pangan dan Gizi.

Sebagai contoh, salah satu bidang kegiatan dalam

prasarana umum Kota Sehat adalah pengelolaan RTH di

bidang pertamanan dan hutan kota yang dicirikan oleh

beberapa indikator, yaitu tersedianya taman-taman kota,

adanya pengaturan pemeliharaan hutan kota, penanaman

pohon, dan pengendalian hutan yang tidak menimbulkan

dampak negatif terhadap kesehatan, dan lain-lain.

Pemilihan kawasan kegiatan sebaiknya dikaitkan de­

ngan potensi ekonomi sesuai dengan semangat otonomi

daerah, terutama di dalam peningkatan pendapatan asli

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 165

daerah (PAD) dan peningkatan pendapatan stakeholder,

seperti kawasan pariwisata, industri dan perkantoran,

pertanian dan kehutanan, pertambangan, lingkungan

permukiman, serta lingkungan pesisir pantai.

Kawasan yang menjadi pilihan masyarakat tersebut

merupakan titik masuk (entry point) masuknya program

kesehatan dan sektor lain. Salah satu contohnya adalah

sektor Ruang Terbuka Hijau dan Lingkungan Hidup.

Keberadaan hutan kota sebagai salah satu bagian

RTH di kawasan perkotaan, menjadi semakin penting

akibat tekanan kebutuhan lahan komersial di perkotaan,

meningkatnya suhu udara, dan semakin tumbuhnya ke­

sadaran masyarakat akan lingkungan serta ruang-ruang

publik di perkotaan. Paradigma kota sehat dapat men-·

jadi pilihan kontekstual untuk pembangunan hutan kota

di Indonesia. Dengan semakin luasnya permukaan lahan

dan ruang kota yang berupa perkerasan, maka udara kota

tersebut menjadi semakin tidak nyaman, panas, buruk,

kotor, dan tidak menarik lagi, sehingga ekologi perkotaan

harus didasarkan terutama pada tujuan kesehatan dan

kesejahteraan penduduk kota.

Pada kawasan pinggiran kota, dengan jarak 15-20 kilo­

meter dari pusat kota, daerah yang umumnya sering di­

jadikan pengembangan pembangunan kota baru. Tetapi

pada tahun 1960-an, lalu-lintas kendaraan pada area di

tengah-tengah kota telah meningkat sedemikian rupa se­

hingga telah menimbulkan berbagai permasalahan kota

seperti kemacetan dan pencemaran udara. Maka dilaku­

kanlah rehabilitasi jalan dan sarana lain yang kemudian

berkembang bagai 'lingkaran setan', dan menjadi meru­

pakan permasalahan yang tak ada putus-putusnya.

Hal ini menyebabkan kota-kota tetap selalu tertinggal

166 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

dalam menyelesaikan masalah, yang juga selalu mening­

kat. Pada area pantai, dibangun industri-industri baru.

Kemudian timbul masalah pencemaran lingkungan yang

terkenal, antara lain dengan kasus Minimata dan ltai-itai,

akibat akumulasi air raksa pada tubuh manusia, yang

merusak sistem syaraf.

Seperti telah diketahui, ekspansi dan pembangunan

kota serta permasalahan yang melekat, selalu teralihkan

(tertutup) oleh permasalahan perumahan, lingkungan,

lalu-lintas, dan lain-lain yang harus segera diatasi. Se­

hingga seolah-olah masalah perencanaan, pelaksanaan,

dan pemeliharaan RTH tidak atau kurang mendapat per­

hatian, bahkan terjadi pengalihan fungsi RTH. Meski se­

benarnya masyarakat kota tidak menolak perlunya RTH,

tapi seolah-olah tak berdaya menghadapi tekanan lain­

nya. Hal semacam inilah yang sedang terjadi di sebagian

kota-kota besar di Indonesia masih berlangsung hingga

saat ini, seperti di Kota Jakarta.

Alurterjadinya limbah, akibat adanya proses pembuat­

an suatu barang (industri) tertentu yang menggunakan

bahan baku tertentu ditambah bahan penolong tertentu

yang dengan melalui teknologi tertentu menghasilkan

produk sekaligus limbah, yang bentuknya bisa berupa

gas, cairan, dan padatan ke lingkungan di sekitarnya.

Jenis-jenis industri tersebut ditetapkan pada suatu

mintakat (zona) tertentu yang mungkin merupakan bagian

dari lingkungan perkotaan, di mana perletakkannya bisa di

tengah atau (biasanya) di pinggiran kota demi kemudahan

transportasi. Berbagai jenis industri tersebut mungkin pula

terletak relatif jauh dari kota, namun biasanya tak jauh dari

sarana transportasi seperti jalur jalan maupun badan air (ter­

utama sungai), sebab SD-air adalah bahan baku utamanya.

Kegiatan perumahan, industri dan berbagai kegiatan

pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, pasar, penginapan

dan sebagainya, umumnya terletak di dalam atau dekat

wilayah perkotaan, akan menghasilkan limbah, misalnya:

limbah rumahtangga (domestic) dan pabrik-pabrik susu

dan makanan (tahu, tempe, bakso, dan masih banyak

lagi), pabrik tekstil, farmasi, pabrik kendaraan, dan masih

banyaklagi.

Fahmi (1990), menyampaikan tentang adanya 'teori

simpul', di mana dampak terhadap kesehatan (man usia)

tergantung dari keterkaitan hubungan antara simpul­

simpul: sumber dampak (source), media lingkungan

(transmission), lingkungan beresiko (high risk), dan dam­

pak (impact) itu sendiri. Bila terjadi 'outbreak' (wabah) pe­

Myakit, upaya pengatasan pertama hendaknya mempela­

jari dan meneliti keterkaitan dari keempat simpul-simpul

gan pencemaran yang terjadi pada media tanah. Secara

umum pencemaran media tanah maupun air tersebut

adalah akibat akumulasi dari buangan (faekal) manusia,

sampah (padat dan cair maupun udara), pupuk dan lim­

bah industri. Zat-zat pencemar tersebut masuk ke dalam

tubuh manusia melalui mata rantai makanan atau bahkan

juga terpapar secara langsung, menyebabkan gangguan

metabolisme yang secara akumulatif menimbulkan pe­

nyakit serius.

Akibat kepadatan penduduk, seringkali kita temukan

letak lobang-lobang pembuangan 0/VC) sangat berdeka­

tan dengan sumber air (misal: sumur), yang tentu saja

tak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan bagi

masyarakat penghuninya. Beberapa penelitian membuk­

tikan banyaknya kandungan bakteri E-coli yang berasal

tersebut, agar pengatasan permasalahan dapat segera Tabel 5.1: Logam dan Sifat Racunnya

dilakukan.

Penyakit-penyakit menular yang terjadi pada komuni­

tas manusia dan periode (masa) inkubasinya pun berbe­

da-beda, tergantung pada penyebab kasus dan tergan­

tung pula pada lokasi (tempat), waktu dan kondisi atau

daya tahan tubuh orang per orang. Achmadi, 2004 menga­

takan bahwa agen-agen (pembawa) penyakit tersebut

dalam ilmu kesehatan masyarakat, digolongkan, pada:

arboviroses (A), bacteria (B), ectoparasites (C), entero­

viruses (E), fungi (F), helminthes (H) but not nematodes,

nematodes (N), protozoa (P), rickettsiae (R), spirochaetes

(S), toxins (T), dan berbagai macam virus M lain, seperti

kita jumpai akhir-akhir ini pada penyakit avian-flu.

Di kota-kota besar, diketahui bahwa pencemaran

pada badan air, sebagian besar juga berkaitan erat den-

Sifat Racun Jenis Logam Keterangan

Kuat Pb, Hg, Cd, Kematian,

Cr, As, Sb, Ti , gangguan kesehatan,

U,Be lama pulih

Sedang Ba, Bo, Cu, Gangguan kesehatan,

Au, Li, Mn, dapat pulih/tidak

Mn, Se, Te, dalam waktu lama

Va, Go, Rb

Ringan Bi , Co, Fe, Dalam jumlah besar

I Ga, Mg, Ni, K, menyebabkan gang-

Ag, Ti , Zvn guan kesehatan

Tak beracun AI , Na, Sr, Ca Tak menimbulkan j L gangguan ~----

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 167

label 5.2: Parameter Air Limbah dari kotoran manusia telah mencemari badan air (teru­

tama permukaan) dan media tanah, penyebab pokok

penyakit-penyakit amoebiasis. Parameter

Suhu

I Zat terendap

Aluminium/ AI

Arsen/As

Barium/Sa

1

Besi/Fe

Chroom/Cr

1 Cadmium/Cd

Nikei/Ni

Perak/Ag

I Merkuri/Hg

Seng/Zn I Tembaga/Cu

I Timbai/Pb

Amenia

Chlor

Fluorida/F

Cuprium/Cu

Nitrit/N02

Phospat/PO 4

I Sulfida/S

BOD

,coo ! PH

Minyak &

lemak

Phenal

~anida/Cn

BML

30 c 1.0 mg/1

10 mg/1

1 mg/1

1 mg/1

1 mg/1

0.1 mg/1

1 mg/1

2 mg/1

0.1 mg/1

0.1 mg/1

1 mg/1

1 mg/1

1 mg/1

0.05 mg/1

0.05 mg/1

2 mg/1

0.1 mg/1

1 mg/1

2 mg/1

0.1 mg/1

30 mg/1

80 mg/1

6.5-8.5

10 mg/1

0.1 mg/1

0.1 mg/1

Pengaruh/Dampak

Reviasi alami

Bakteri 30-80%

Bau & warna

Kanker hati, kulit

Syaraf, hati , diare

Warna air

Karsinogen, nafas, kulit

Hati, ginjal, tulang

Kanker

Mata

Syaraf, ginjal, IQ menurun

Rasa tak enak, diare

Hati

Akumulasi, syaraf keracunan

Bau tak sedap

lritasi, bau, biota air

Kerusakan gigi

Kejang, muntah, diare

Methaemoglobin

Gangguan tulang

Penataan ruang dengan menyisihkan ruang terbuka

maupun RTH untuk kepentingan proses asimilasi ling­

kungan inilah yang sering kali kurang diperhatikan oleh

para pengambil kebijakan yang seharusnya didasarkan

hanya pada pentingnya terjaganya keseimbangan ling­

kungan. Di berbagai kota, seperti Kuala Lumpur dan

Singapore, sudah diterapkan sistem pengelolaan air

limbah khusus (sewerage system), yang tentu berbeda

pengelolaan dengan penyediaan air bersih.

Data lama (1997 -1998) hasil penelitian Kantor

Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan (KP2L),

menunjukkan tingginya biaya kesehatan akibat air ter­

cemar di DKI Jakarta, yang mencapai sekitar US$ 302

juta/tahun.

Pemerintah menetapkan Baku Mutu Air Limbah

(BMAL) dengan berbagai parameternya (Hasyim, 2005

& Fahmi, 1990) sebagaimana tercantum pada Tabel

5.1 dan 5.2.

5.2 RTH DAN PERENCANAAN KOTA

Korosif, rasa & bau tak enak 1

Sakit perut, mikroba meningkat

Krisis ekonomi yang berdampak besar terhadap

lingkungan hidup di perkotaan telah merambah ke

seluruh wilayah kota tanpa terkecuali, mulai dari ka­

wasan padat penduduk sampai kawasan elite. Dam-Sakit perut

Kehidupan air, korosif

Rasa & bau tutupi air

permukaan

pak tersebut antara lain berupa masalah sanitasi kota

di wilayah marjinal tradisional, seperti daerah perkam-

Rasa, bau, racun J Racun

-----

1 pungan kumuh, permukiman nelayan tradisional, krisis

air bersih dan udara bersih, serta wilayah banjir yang

semakin meluas. Timbulnya penyakit (epidemi) serem-

168 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

pak, semacam tifus, demam berdarah, lepterospirosis,

antara lain adalah akibat buruknya sanitasi kota.

Ketidakpedulian terhadap fungsi penyeimbang ling­

kungan dari RTH kota secara nasional, termasuk di dae­

rah lansekap alami seperti taman nasional, wisata alam,

hutan lindung, hutan produksi, dan lain-lain), hingga ke

daerah lansekap binaan, seperti perkebunan, pertanian,

taman kota, kebun raya, hutan kota dan jalur hijau, telah

terbukti mengakibatkan krisis lingkungan yang meng­

ancam kelangsungan hidup warga kota dan kota itu

sendiri.

Faktor-faktor dasar pengelolaan lingkungan hidup

di wilayah perkotaan perlu mempertimbangkan keter­

aturan, efisiensi, keindahan, stimulasi, kesenangan, dan

pembangunan fisik lingkungan, serta pengembangan

sumberdaya manusia, sesuai daya tampung dan daya

dukung lingkungan.

Hal ini dapat digambarkan melalui suatu diagram kota

yang kohesif dan komprehensif, jalur pejalan kaki dan

sepeda yang manusiawi, harus terpisah dari jalur sirkulasi

kendaraan bermotor, dan lokasi tujuan yang mudah dica­

pai guna pemenuhan kebutuhan sosialisasi masyarakat.

Klasifikasi dan optimalisasi penggunaan fasilitas

umum, seperti penghijauan jalur lalu-lintas dan peman­

faatan kolong jembatan jalan layang membentuk suatu

tatanan organisasi komprehensif dan bersifat menyebar.

Sehingga dimungkinkan adanya stimulan tanpa ketegang­

an dan memuaskan, dengan terciptanya keserasian an­

tara ruang dan bentuk. Suasana alami harus diciptakan

tersebar merata di seluruh kawasan kota.

Sistem perencanaan dan perancangan RTH kota per­

lu didasarkan pertimbangan berbagai segi, sesuai tujuan

dan karakter lansekap lokal, maka akan tercipta lingku­

ngan kota yang sehat, nyaman, aman, dan lestari. Faktor­

faktor dasar lingkungan alami kota harus memperhatikan

antara lain:

• Pengelolaan kualitas udara yang dipengaruhi oleh ja­

ringan transportasi lalu-lintas kota dan RTH yang optimal

dengan pel)~naman pohon besar-besaran, sehinggame­

mungkinkan terjadinya sirkulasi udara segar di antara se­

tiap kelompok bangunan dan ketersediaan udara bersih.

• Pengelolaan dan konservasi kuantitas dan kualitas sum­

ber daya air sungai, kanal, waduk, rawa atau kolam

buatan, diatur dalam suatu sistem pengelolaan sumber

air bersih, serta disediakan penampungan khusus air

limbah yang dapat diproses melalui sistem pemurnian.

• Pengelolaan sampah padat, sedapat mungkin dijadikan

sumber bahan mentah untuk proses produksi selanjut­

nya dengan konsep tiga R, daur ulang (recycle), pakai

lagi (reuse), dan kurangi pemakaian (reduce), serta

sebagai bahan organik penyubur tanah. Kawasan pe­

nyangga di tempat penampungan akhir sampah seba­

gai upaya konservasi RTH dan peredam pencemaran

udara, bau, dan limbah cair.

• Meredam kebisingan serendah mungkin, melalui ka­

wasan peyangga (buffer zone), dan membangun taman

kota, jalur hijau dan taman rumah, sehingga tersedia

ruang optimal untuk meredam suara dan pencemar

udara.

• Menjamin ketersediaan RTH yang optimal, sehingga

kehidupan yang selalu mengikuti siklus alami masih

tetap dapat berlangsung dan krisis lingkungan dapat

diminimalkan.

• Pengembangan dan konservasi RTH sebagai fasilitas

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 169

umum, menjamin peningkatan keselamatan umum jalur

pedestrian dan sepeda, penataan lokasi pedagang kaki

lima (K-5) disertai upaya penegakkan hukum yang kon­

sisten.

Estetika bisa dihitung dengan nilai kuantitatif, seperti

pemandangan alam berupa daerah perbukitan, aliran air,

sisa-sisa hutan alam maupun perkebunan. Kota Sema­

rang, Jambi, Balikpapan, Jayapura, Ambon, dan masih

banyak lagi, seyogyanya tidak meniru begitu saja konsep

perencanaan pembangunan RTH kota Jakarta, namun

akan lebih sesuai bila yang dipakai adalah tanaman atau

jenis yang sesuai dengan habitat lokal.

Para perencana kota harus mampu menyelesaikan

permasalahan perkotaan secara komprehensif. Pemerin­

tah daerah harus memiliki komitmen yang jelas dan kon­

sisten terhadap kebijakan tata ruang yang telah ditetap­

kan bersama dalam peraturan daerah.

Di negara dengan kesadaran hukum yang relatif su­

dah tinggi, seperti Amerika dan Jepang, perencanaan

kota secara menyeluruh tak langsung diterapkan melalui

perangkat hukum, yang dipakai sebagai penunjang, na­

mun tiap distriknya diputuskan melalui pendekatan, so­

sialisasi, dan peran masyarakat, sejak awal perencanaan

sampai dengan monitoring maupun evaluasi, melalui

dengar pendapat publik (public hearing).

Bahkan, dalam perencanaan beberapa kota telah

dilakukan penyesuaian dan pemilikan lahan (land re­

adjustment), sehingga ada area yang berada di bawah

pengawasan ketat, misalnya karena sering terjadi ben­

cana alam, di mana secara administratif akan diberlaku­

kan aturan tersendiri sebagai kawasan lindung.

170 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

5.3 PERAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Untuk mengerti tentang pembangunan berkelanjut­

an (sustainable development), dikutip pernyataan Hamm

& Muttagi (1998) dalam Pinderhughes (2004) sebagai

berikut:

The emergence of the concept of sustainable deve­

lopment marks the end of the industrial civilization of ford­

ist production, of the logics of economies of scale. But it

also signals that societies based on a vulgar Darwin-istic

principle of survival of the fittest, of ruthless egoism of the

few who mercilessly and thoughtlessly exploit their fellow

human beings as they exploit nature, will not survive. Ei­

ther humanity will eventually succeed in establishing the

truly humane principles or it will vanish from Planet.

Earth ... Sustainability indicates the end of the afflu­

ent industrial society and points, at the same time, to a

future which is not yet clear. It is, however, clear the basic

problem lies in social organizations, in social institutions

in the way and how decisions are made, to whose profit

and at whose cost.. .. The bottom line is that humanity can

not and will not survive beyond the limits set by the pro­

ductive abilities of nature, above all, humanity will have to

reduce is total consumption of natural resources.

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya

komitmen (keterlibatan) dalam penyediaan berbagai

macam barang dan jasa yang sangat panting agar ma­

nusia dapat hidup sehat dan produktif, memakai ber­

bagai proses dan teknologi dalam memanfaatkan SDA

seminimal mungkin, serta membatasi dampak negatif

lingkungan dan kehidupan sosial yang timbul akibat ber-

1 .........

PROP£RTT UNE POTONGAN PRINSIP BATU BASAtT

;::":!.u POOON E>CSTSnNC

JL. THAMRI N

~ JALAN I IH. THAMRI N

~

rar 1-- ! -_,.,~ ~~~~ _,.,~ ~~~

0:: +JI! :; +JI!

r-~~:., r'" -\~ r,:,,~ "\~ ':> £

~

~

I ~

ri>o> .,, ~ BAlAS KAvl.ING BAlAS KAIUNG

"+" DENAH SEGMEN SITE PLAN

Gam bar 5.10: Redesign pedestrian di jalur jalan Thamrin. (PT. POW, 2006)

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 171

bagai kegiatan manusia tersebut. Sementara itu para­

digma pembangun·an justru didasarkan pada degradasi

kualitas SDA dunia dan eksploitasi tenaga kerja manusia,

mengandalkan pada daya dukung bumi dan kesehatan

manusia serta spesies lain. Paradigma pembangunan

berkelanjutan menolak kebijakan dan praktek yang men­

dukung standar hid up seperti saat ini yang berakibat pada

meningkatnya kesenjangan sosial dan merusak prinsip

dasar pengelolaan SDA, sehingga mewariskan resiko

lebih besar dan masa depan suram bagi generasi yang

akan datang (Repetto,1986 dalam Pinderhughes, 2004).

Sambi! bergerak menuju pembangunan berkelan­

jutan maka secara pragmatis dibutuhkan inisiatif kebi­

jaksanaan dalam perencanaan dan perancangan untuk

mengeliminasi kesenjangan serta perbedaan di dan antar

bangsa-bangsa itu sendiri dalam menghadapi degradasi

SDA dan ekosistem yang makin cepat, di mana manusia

dan spesies lain sebaliknya, justru sangat menggantung­

kan diri pada SDA dan ekosistem tersebut (Mbeki, 2002

dalam Pinderhughes, 2004). Bangsa yang sudah makmur

sejahtera perlu mengurangi penggunaan SDA yang tidak

efisien/sia-sia, merobah pola produksi dan konsumsi

yang tak berkelanjutan, membantu bangsa yang butuh

tambahan sumber daya (SD) untuk melawan kemiskinan

dan memperkuat kapasitas mereka dalam memperoleh

pelayanan jasa infrastruktur utama yang berhubungan

dengan air, sampah, energi , transportasi , pangan, rumah

yang layak, fasilitas kesehatan dan pendid ikan, termasuk

transfer teknologi tepat guna yang sesuai bagi negara­

negara berkembang, sehingga kebutuhan dasar miliaran

orang di seluruh dunia dapat terpenuhi.

Demi pencapaian pembangunan berkelanjutan, butuh

172 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

perubahan pola pikir radikal terhadap kegiatan pereko­

nomian dalam proses produksi-konsumsi terkait. Pemba­

ngunan berkelanjutan "hanya akan terjadi bila pembangun­

an, yang merusak alam dan mengancam kelangsurigan

hidup manusia, diyanti oleh kepemerintahan progresif

yang menitikberatkan pada proses demokrasi, serta me­

nyertakan masyarakat dalam proses pembuatan kepu­

tusan" (Henrique Cardoso 2002,6 dalam Pinderhughes,

2004). Kita harus menolak apa yang disebut 'hypermar­

ket ' Kelompok Balaton, yang menitikberatkan pada kom­

petisi , globalisasi, individualisme, dan perkembangan

teknologi sebagai jalan keluar dari kelangkaan, paso­

kan (input) tinggi , dan informasi yang dianggap panting.

Kepemilikan maupun kekuasaan, mengacu pada 'regional

stewardship ', yang menitikberatkan pada keutuhan, ke­

mitraan, kepemerintahan yang demokratis, desentralisa­

si, daya dukung ekologis, informasi yang transparan, dan

kerjasama (Hollantai,1999 dalam Pinderhughes, 2004).

Gambar5.11

"Sound system" di taman Suozhu, China

(Kelompok Balaton adalah suatu asosiasi informal dari

orang-orang tertentu yang bekerja di negaranya masing­

masing di sekeliling dunia menuju pada suatu masyara­

kat berkelanjutan. Nama tersebut berasal dari kenyataan,

bahwa mereka bertemu setiap tahun selama lima hari di

tepian Oanau Balaton di Csopak, Hongaria. (Hollantai,

1999 dalam Pinderhughes, 2004))

Sebagai anggota komunitas global, konsumsi SO

perlu dikurangi, tidak terus tergantung hanya pada bahan

bakar fosil, tapi tingkatkan ketergantungan pada SO-ener­

gi terbarukan. Upaya kurangi produksi sampah karena

sebagian besar didaur-ulang antara lain dapat menjadi

energi yang murah. Perlu perbedaan pengukuran pada

kegiatan ekonomi, subsidi pemerintah serta sistem per­

pajakan yang harus ditata ulang, sehingga mendukung

kegiatan pembangunan berkelanjutan dan tidak men­

dukung (disinsentif) pada kegiatan ekonomi yang tak

berkelanjutan. Merancang lebih baik penanaman modal.

Pengelolaan infrastruktur pembangunan perkotaan yang

teratur, baik dan "lengkap" (compact and livable city) akan

memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi,

mengurangi pertentangan lokal, regional, dan dampak

lingkungan global, menuju peningkatan kesehatan umum

dan dasar SOA, akan meningkatkan kualitas hidup pen­

duduk kota (Choguill 1996 dalam Pinderhughes, 2004).

Pengelolaan dan penggunaan air perkotaan di dae­

rah kaya dan negara-negara industri yang tak efisien

dan secara berlebih-lebihan harus segera ditangani.

Negara-negara industri harus mengurangi terus menu­

runnya persediaan SO-air melalui pengurangan konsumsi

SO-air untuk pertanian dan lansekap, menggunakan

sistem 'gray water' yang mengumpulkan dan medaur-

ulangkan penggunaan SO-air, merekayasa air buangan

agar dapat dimanfaatkan kembali, menggunakan lahan

basah memakai mesin konstruksi, dan mengintegrasikan

teknologi tepat guna, seperti toilet yang tidak bocor se­

hingga sedikit menggunakan air, aerated shower heads,

dan menyediakan mesin cuci yang baik bagi tiap rumah

tangga. Oi seluruh dunia, lebih dari satu milyar orang ti­

dak bisa mendapatkan air minum yang aman dan lebih

dari tiga juta orang meninggal tiap tahunnya karena pe­

nyakit (water-borne diseases) yang disebabkan oleh air

yang tidak aman (Moosa Valli 2002 dalam Pinderhughes,

2004). Negara yang sedang berkembang harus dibantu

untuk mengembangkan suatu infrastruktur yang menye­

diakan air bersih untuk seluruh penduduk kota, maka

dari itu dibutuhkan strategi pengelolaan SO-air secara

berkelanjutan agar SO-air yang layak dan aman dapat

terus disediakan.

Pada lokasi pengelolaan sampah kota, konsumsi

yang menghasilkan sampah berlebihan di negara mak­

mur harus dikurangi secara nyata (significantly). Kegiatan

perekonomian harus ditata ulang melalui pendekatan

'pengenalan SO', yaitu promosi pengurangan produksi

sampah dan proses distribusinya, serta peningkatan

manfaat sampah melalui proses pemanfaatan kembali

(daur ulang). Oorongan untuk bergerak menuju pengenal­

an SO, termasuk sistem keuntungan dan penyimpanan

finansial dari adanya peluang produk sampingan ini, me­

nyebabkan lebih banyak tanah (ruang) yang tersedia bagi

lain keperluan, mengurangi terbentuknya gas rumah kaca

dan dampaknya, meningkatkan efisiensi dan mengurangi

biaya yang berhubungan dengan pembuangan racun,

bahan beracun berbahaya (B3), serta meningkatkan ke-

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 173

sehatan publik dan kualitas lingkungan hidup.

Berbagai kebijakan yang mendukung pertukaran ma­

terial (proses ulang) dan strategi pencegahan polusi harus

dipromosikan dalam rangka memfasilitasi institusi baik

besar maupun kecil dan bisnis perdagangan, penjualan,

dengan/atau satu sama lain saling memberikan material

yang tidak diinginkan untuk digunakan sebagai bahan

dasar dalam pabrik atau penggunaan ulang bahan dasar

tersebut dalam bentuk sebagaimana adanya. Penggu­

naan ulang logam, kertas, kaca, plastik, tekstil, sampah

organik, dan air akan menghasilkan pengurangan per­

mintaan akan energi, bahan mentah, pupuk, saling-tukar

dengan institusi asing, dan akan SO-air bersih. Pada

waktu bersamaan, saatnya pun sudah sangat mendesak

dan penting untuk segera mencegah negara-negara kaya

mengirim sampah 83-nya kepada negara-negara miskin

dengan "dalih" daur ulang.

Dalam upaya pengelolaan energi kota, pergerakan

harus menuju ke sebuah sistem energi yang fleksibel

(luwes), yang bisa disesuaikan pada wilayah-wilayah

yang kebutuhannya berbeda, sedikit demi sedikit me­

ningkatkan ketergantungan lebih kepada sumber energi

yang dapat diperbarui, menekankan efisiensi energi, dan

secara konsisten memastikan ketersediaan pada akses

yang tetap dapat terjangkau pada sumber energi modern

untuk seluruh rumah tangga. Penekanan tersebut ha­

rus pada penggunaan efisien seluruh sektor baik pada

energi yang terbarukan maupun pada persediaan energi

konvensional.

Kota-kota harus mulai menggunakan keraneka­

ragaman SD-energi yang disediakan oleh berbagai kom­

binasi dari tenaga listrik air, sumber tenaga terbarukan

17 4 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

yang dipakai berkala (angin, tenaga listrik dari panas­

matahari, dan tenaga photovoltaic), tenaga bio-massa,

dan tenaga geothermal. Kapasitas penghasil energi

dalam jumlah banyak dapat disediakan melalui penggu­

naan teknologi matahari dan angin. Sumber energi ter­

barukan yang dipakai secara berkala tersebut ternyata

mampu menyediakan sepertiga dari keseluruhan kebutuh­

an listrik dengan biaya efektif di sebagian besar wilayah,

tanpa teknologi penyimpanan listrik baru. Jika ada pena­

naman modal dapat segera disediakan secara efisein un­

tuk penelitian, pengembangan dan pengambilan energi

dari tetumbuhan (sumber bio-massa), maka penggunaan

metoda peternakan berkelanjutan pun kemudian dapat

diproses menjadi energi, dialihkan menjadi bahan bakar

listrik yang berasal dari cairan dan gas dengan menggu­

nakan teknologi yang sesuai. Listrik hasil produksi SD­

terbarukan dapat dengan mudah ditampung ke dalam

tiang listrik besar dan dipasarkan melalui peralatan ke­

listrikan.

Dicapainya keberhasilan sesuai tujuan dengan

efisiensi energi dan perluasan pasar untuk teknologi

energi terbarukan, perlu terobosan berupa kepeloporan

dari suatu kebijakan baru, yang khusus dikembangkan

guna mendorong inovasi dan investasi ke arah teknologi

energi terbarukan adalah sangat penting untuk mengu­

rangi subsidi yang akan mengurangi sumber bahan ba­

kar (fosil, nuklir, dan air) pula, sebab harga nyata menjadi

tersamar, menetapkan pajak bah an bakar fosil dan mem­

perkenalkan pajak, peraturan, dan alat-alat kebijakan lain

yang memastikan bahwa keputusan konsumen adalah

berdasar pada keseluruhan biaya energi, termasuk biaya

lingkungan dan biaya eksternal lain yang tak ter-refleksi

dalam harga pasar.

Di negara-negara sedang berkembang, sepertiga jum­

lah total populasi dunia (dua milyar orang) tidak mempu­

nyai akses kepada SD-energi modern. Menurut negara-J

negara GB Renewable Energy Tq.sk Force, membawa

energi terb~ruka~ ke berbagai rum~ tangga di negrra­

negara sedang berkelnbang ·bisa jadi merupakar{ s~atu sumber utama tenaga kerja dan mampu menciptakan

bisnis pada tingkat lokal dan nasional (Moody-Stuart

2002 dalam Pinderhughes, 2004).

Dukungan pengembangan energi terbarukan harus

datang dari semua sektor-pemerintah, swasta, institusi

penelitian, dan lembaga keuangan internasional. Seluruh

SD-energi konvensional telah mendapat keuntungan dari

subsidi sangat besar untuk penelitian, pengembangan,

dan peningkatan kapasitas infrastruktur, dan sampai saat

ini pun masih tetap terus mendapat subsidi yang sangat

besar. Perlu dukungan atas kombinasi SD-energi fleksibel

yang perlu pengurangan subsidi dari bahan bakar fosil,

sebaliknya tingkatkan subsidi bagi promosi untuk pene­

litian, pengembangan, pembangunan kapasitas, dan

upaya untuk semakin meningkatkan kemampuan serta

keperi-adaan dari SD-energi terbarukan tersebut.

Dari sektor transportasi dan pemanfaatan lahan kota,

membangun kebijaksanaan perencanaan penggunaan la­

han (land use planning) yang secara eksplisit akan mem­

bentuk lingkungan kota yang bertanggung jawab secara

sosial dan ekologi, sangatlah penting. Para perencana

dan pembuat kebijakan harus mendukung penggunaan

lahan dengan dampak negatif serendah mungkin pada

keseluruhan (integritas) ekosistem. Mereka harus mem­

promosikan moda-moda transportasi yang mengguna-

kan SD-energi terbarukan atau yang tak mudah jenuh dan

tidak menghasilkan emisi dan sampah lebih banyak, dan

yang masih dapat diakomodasi oleh kemampuan planet

bumi untuk terus-menerus memperbaharui.

Peningkatan jumlah SD-energi terbarukan dan ba­

han-daur-ulang seharusnya dapat digunakan guna men­

dukung infrastruktur yang ada dan penting untuk kenda­

raan bermotor. Seharusnya rencana penggunaan lahan

dipusatkan pada dukungan pembangunan kota pada

skala manusia dan menyediakan permukiman kota dalam

jarak dan biaya transportasi yang terjangkau, transpor­

tasi berkualitas tinggi yang mampu bersaing menjadi al­

ternatif pilihan dibanding semakin bertambahnya jumlah

kendaraan pribadi, yang selalu menyebabkan kemacetan,

akibat sarana jalan yang tidak seimbang. Penggunaan

kendaraan pribadi secara hati-hati dan bertahap harus

dikurangi, antara lain melalui kebijakan umum dan inisi­

atif perencanaan yang mendukung penggunaan 'mass

transit' serta pembangunan sarana jalur sepeda guna me­

ngurangi penggunaan mobil pribadi.

Membangun infrastruktur secara khusus pendukung

para pengguna sepeda dan pejalan kaki sangatlah pen­

ting dan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia dan

sekaligus lingkungan sekitarnya. Semakin populernya

mobil (pribadi) sehingga jumlahnya terus meningkat,

menjadi penting pula membangun infrastruktur yang

sesuai guna mendukung sumber bahan bakar alternatif

untuk kendaraan bermotor ringan (contoh: bio-diesell

methanol, ethanol, hydrogen, dan methane [biogas] yang

berasal dari bio-massa), begitu juga penggantian struktur

mekanik dari kendaraan itu sendiri yang menyesuaikan

dengan bahan bakar alternatif tersebut.

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 175

Gambar 5.12 (kiri): Contoh 'Retention Basin '.

Gambar 5.13 (kanan): Kantor yang dikelilingi tanaman pekarangan pertanian.

Para perencana kota hampir tidak atau kurang mem­

perhatikan pentingnya sektor sistem pengadaan "SD­

makanan" kota khususnya perencanaan untuk memenuhi

kebutuhan pangan masyarakat umumnya, atau pada

peran pertanian kota yang dapat berfungsi penting dalam

mengurangi permasalahan sosial ekonomi dan lingku­

ngan di perkotaan. Kurangnya sistem analisis kebutuh­

an pangan berarti bahwa para perencana dan pembuat

kebijakan melewatkan kesempatan untuk membangun

perencanaan pemenuhan kebutuhan bersifat kemasyara­

katan dalam arti luas, antara lain perencanaan untuk

memanfaatkan sampah sisa makanan menjadi kompos,

sekaligus sebagai penyumbang bagi perbaikan struktur

(media) tanah menjadi lebih sehat/subur, meningkatkan

keamanan ketersediaan pangan, dan mengembangkan

sistem pangan kota (Pothukuchi & Kaufman 2000 dalam

Pinderhughes, 2004).

Diabaikannya keperi-adaan sektor pertanian perkota-

176 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

an (urban agriculture, agropolitan, allotment park, atau

apapun namanya) mudah menggiring ke arah kesalah­

pahaman para perencana terhadap arti pangan sebagai

salah satu masalah (issue) penting dalam kemasyarakat­

an seperti juga pada adanya hubungan antara produksi

pangan serta penggunaan SD-energi dan SD-air, trans­

portasi , pengelolaan sampah, dan seterusnya. Pertanian

kota merepresentasikan pemanfaataan lahan yang unik

dan menyediakan kesempatan bagi para perencana un­

tuk mengintegrasikan 'keprihatinan' kebutuhan primer

akan pangan ke dalam fokus bagi upaya peningkatan

kemampuan hidup para pemukim (di wilayah perkotaan)

secara manusiawi.

Pertanian kota dapat menambah keuangan (mencip­

takan penghasilan) untuk belanja rumah tangga, mening­

katkan keamanan pangan rumah tangga dan masyarakat

umumnya, memperbaiki kesehatan melalui peningkatkan

akses pada ketersediaan makanan segar, peluang peker-

jaan, dan kesempatan pelatihan kerja bagi penghuni kota.

Pada terminologi perlindungan lingkungan, pertanian kota

memberi keuntungan nyata bagi lingkungan hidup antara

lain yang berasal dari daur ulang sampah, mengurangi

pemasukan yang berhubungan dengan produksi pangan,

transportasi, penyimpanan, dan pengemasan. Pengukur­

an perencanaan dan kebijakan dirancang untuk mencip­

takan sebuah infrastruktur yang mendukung produksi

pangan kota yang seharusnya diletakkan pada berbagai

tempat yang memungkinkan dalam kawasan perkotaan.

Banyak lagi informasi yang perlu dimengerti para

perencana kota, misalnya tentang bagaimana cara me­

nyediakan jasa utama kota (penyediaan air yang aman,

sistem kebersihan/sanitasi (sewerage system), energi, pe­

rumahan/permukiman, transportasi, persediaan pangan,

dan lain-lain), sedemikian rupa sehingga dapat mengu­

rangi terus terjadinya degradasi lingkungan serta mampu

membalikkan dampak sosial negatif lebih lanjut.

Pelaksanaan alternatif pembangunan agar bisa

berkelanjutan mensyaratkan para perencana untuk dapat

bertindak lebih dari sekedar penerapan proses alterna­

tif teknologi. Agar pembangunan berkelanjutan berhasil,

para perencana harus menolak asumsi keliru tentang

teori "modern neoclassical economic", suatu kerangka

kerja teoritis yang tidak berdasar pada prinsip-prinsip

ekologi. Pengertian ekonomi hanya merupakan suatu alat

mekanistis belaka, dibanding dengan dasar biologi dan

ekologi. "Neoclassical economic" mengembangkan teori

ideologi bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu

"kendaraan" prinsip bagi pembangunan karena akan me­

ningkatkan pembangunan ekonomi yang akan mengun­

tungkan orang miskin dan dengan menggerakkan SD-

sisa secara surplus (berlebih-lebihan) bagi perlindungan

ekosistem.

ldeologi salah yang diterima oleh para perencana

akhirnya mendukung dan menerapkan kebijakan yang

berdasar pada keberlanjutan eksploitasi SD-manusia dan

SDA, daripada membangun dan menerapkan kebijakan

yang (1) melawan kemiskinan melalui distribusi ulang dan

pembagian SD secara adil; (2) melawan degradasi ling­

ku_ngan melalui pengurangan eksploitasi SDA di negara­

negara kaya. Para perencana tidak akan mampu menca­

pai pembangunan berkelanjutan tanpa mengidentifikasi

dan menganalisis akar permasalahan kemiskinan, kesen­

jangan sosial, dan kemerosotan ekologi. Pada dasarnya

para perencana harus mengenali bahwa pemecahan

masalah dari krisis ekologi global terdapat dalam struk­

tur sosial dan ekonomi yang sama, yang sejak awal telah

menimbulkan permasalahan tersebut juga terbentuk dari

sumber permasalahan yang sama (Rees 1998 dalam Pin­

derhughes, 2004).

Para perencana harus mengetahui bahwa aktivitas

manusia tidak terjadi tanpa mempengaruhi alam dan

bahwa lingkungan bukanlah sekedar latar belakang yang

statis terhadap aktivitas ekonomi dan sosial (Herfindahl &

Kneese 1965 dalam Pinderhughes, 2004). Perencanaan

kota harus berpusat pada adopsi pendekatan-pendekat­

an baru dan merancang teknologi tepat guna yang sesuai

untuk mengantar dan mengelola jasa infrastruktur kota

yang dapat meminimalisasi dampak negatif perkem­

bangan kota terhadap lingkungan. Untungnya, berbagai

paradigma, proses, dan teknologi yang perlu dilanjutkan,

semua telah dibangun. Sekarang tinggal masalah komit­

men untuk berubah bekerjasama antar bangsa, dan

Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 177

penerapan perencanaan dan perancangan untuk pem­

bangunan berkelanjutan bagi kota-kota seluruh dunia.

Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan ber­

peran sangat panting dalam pembentukan ruang-ruang

publik terutama RTH di perkotaan. Rencana tata ruang

perkotaan secara ekologis dan planologis terlebih dahulu

mempertimbangkan komponen-komponen RTH maupun

ruang terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ru­

ang kota. Secara hirarkis, struktur pelayanan tipikal kota

dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang terbuka

publik dalam perencanaan tata ruang di perkotaan.

Upaya merumuskan azas kota berkelanjutan tentu

sangat erat hubungannya dengan peran penataan ru­

ang perkotaan. Rasanya belum ada kota di Indonesia

yang sudah pantas disebut sebagai kota berkelanjutan,

mungkin karena belum ditemukannya konsep dan azas

yang telah disepakati bersama tentang kota berkelan­

jutan ini. Lembaga Pembanguan Kota dan Wilayah (Ur­

ban and Regional Development lnstitute/URDI) bekerja

sama dengan "Indonesia Decentralized Environment and

Resource Management" pada United Nations Develop­

ment Program (UNDP), telah melaksanakan suatu serial

lokakarya guna merumuskan azas "Kota Berkelanjutan

Indonesia", yang hasilnya adalah sebagai berikut (Kus­

wartoyo, 2006):

1. Memiliki visi, misi dan strategi jangka panjang (secara

partisipatif) yang diupayakan keterwujudannya secara

terus menerus dan konsisten melalui rencana, ang­

garan, program dan pelaksanaan yang bersifat jangka

178 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan

pendek dan menengah disertai mekanisme insentif-di­

insentif;

2. Mengintegrasikan upaya pertumbuhan ekonomi de­

ngan upaya perwujudan keadilan sosial, kelestarian,

kelestarian lingkungan, partisipasi masyarakat serta

keragaman budaya;

3. Mengembangkan dan mempererat kerjasama/kemitra­

an (dan konsumsi) antara pemangku kepentingan, an­

tar sektor dan antar-daerah;

4. Memelihara, mengembangkan dan menggunakan se­

cara bijak SD-Iokal serta mengurangi secara bertahap

ketergantungan akan SD dari luar (global) maupun SO­

yang tak tergantikan;

5. Meminimalkan 'tapak ekologis' yang ditimbulkan oleh

kota dan kegiatan/kehidupan di dalamnya serta meme­

lihara dan bahkan meningkatkan 'daya dukung ekolo­

gis' lokal;

6. Menerapkan manajemen kependudukan yang berke­

adilan sosial disertai dengan pengembangan kesada­

ran masyarakat akan pola konsumsi/gaya hidup yang

ramah lingkungan serta memperhatikan kepentingan

generasi yang akan datang;

7. Memberikan rasa aman bagi warganya sekaligus mem­

berikan perlindungan terhadap hak-hak publik;

8. Pentaatan hukum yang berkeadilan dan didukung oleh

komitmen dan konsistensi dari aparat penegak hukum;

9. Mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi

terciptanya masyarakat belajar yang dicirikan dengan

adanya perbaikan yang menerus.

VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK MEWUJUDKAN KOTA TAMAN

6.1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYELENGGARAAN RTH

Selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU)

No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, komit­

men untuk mewujudkan pembangunan kota secara

berkelanjutan, antara lain telah mensyaratkan pemba­

ngunan dan pengelolaan RTH secara konsisten dan

profesional. Otonomi Daerah harus bermuara pada pe­

ningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya menerus

untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat.

Sistem, mekanisme, prosedur penyelenggaraan otonomi

daerah (baik UU maupun Peraturan Pemerintah/PP-nya)

harus jelas dan aplikatif untuk menghindarkan distorsi

kontra produktif. Otonomi Daerah dalam jangka panjang

harus mampu mewujudkan kemandirian daerah, dilak­

sanakan dalam wadah NKRI dan harus mampu meman­

tapkan demokrasi dalam semangat persatuan dan kes­

atuan.

Demikian pula Undang-Undang NO. 24 Tahun 1992

tentang Penataan Ruang di dalam revisinya telah men­

syaratkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

RTH, antara lain bahwa rencana pengelolaan RTH ha­

rus merupakan bagian integral dari rencana tata ruang

wilayah sesuai dengan tingkatan dan skala perencanaan

(RTRWN, RTRWP, RTRWK, RDTR, RTR).

Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi

pembangunan kota berkelanjutan, mensyaratkan pelak­

sanaan transparansi semua kegiatan, baik oleh pemerin-

180 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

tah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara­

kat umum). Kesadaran akan hak dan tanggung jawab

pembangunan dan pengelolaan RTH tidak hanya meru­

pakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat,

dan penyesuaian program-program pembangunan yang

inovatif, kreatif, dan mutakhir. Sampai saat ini kebijakan

dan strategi penyelenggaraan RTH masih berdasarkan

pendekatan sektoral dan partial, yang selanjutnya di­

jabarkan ke dalam program-program sektoral secara

sendiri-sendiri. Di lingkungan Kementrian Lingkungan

Hidup misalnya, Program Bangun Praja, Super Prokasih,

Langit Biru, sampai kini masih dianggap sebagai gerakan

parsial lingkungan perkotaan saja.

Pembangunan lingkungan berkelanjutan sangat mem­

butuhkan peran sentral para arsitek lansekap yang san gat

berpengaruh dalam menggubah wajah alam, menjadi

suatu lingkungan kota yang layak huni, aman, nyaman,

sehat dan indah bagi manusia. Apalagi di era otonomi

daerah, dimana ternyata pembangunan daerah memer­

lukan bantuan, yaitu dalam mengarahkan pembangunan

kota berkelanjutan.

Perlunya pengelolaan RTH secara khusus diindikasi

oleh Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1980-an ter­

indikasi dengan dikeluarkannya lnstruksi Menteri Dalam

Negeri (lnmendagri) No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan, yang

kemudian dijabarkan ke dalam konsep kebijakan dan

strategi pembangunan serta pengelolaan RTH secara

Gambar 6.1 RPH (Rumah Pemotongan Hewan/Abatoir)

Pertanian Kotat memanfaatkan halaman 'abatoir' di Jakarta.

umum. lnmendagri No. 14 Tahun 1988 hingga kini belum

didukung oleh perangkat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)

maupun Petunjuk Teknis (Juknis), menyangkut pengelo­

laan RTH yang sesuai kebutuhan masing-masing daerah,

utamanya Pemerintahan Kota dan Kabupaten.

Keterpurukan keadaan ekonomi, sosial dan politik,

telah menyita perhatian semua pihak agar bisa bertahan

hidup dan berusaha bangun untuk mengatasinya. lronis­

nya pembangunan kota berkelanjutan, menjadi terabai­

kan dan krisis lingkungan semakin bertambah parah.

Untuk itu, perlu desakan segera mengkonsolidasikan diri

dengan masing-masing pihak terkait, agar lebih memper­

hatikan pembangunan lingkungan kota melalui pengelo­

laan RTH yang juga berkelanjutan.

Di era reformasi, hampir di semua sektor pemerin­

tah melakukan pembenahan struktur manajemen kerja

kembali sesuai tuntutan perkembangan kebijakan poli-

tik kepemerintahan. Sebagai contoh, Kementerian Ling­

kungan Hidup (KLH), mengalami perubahan struktural,

dengan demikian bahwa pengelolaan lingkungan hidup,

termasuk di wilayah perkotaan, dapat lebih mempertim­

bangkan keselarasan dan kesimbangan dengan alam

sekitar dan keseimbangan antar sektor.

Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan pe­

rundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dari

'pucuk' gunung sampai ke 'ujung' laut. Tak hanya Kantor

KLH saja yang memang langsung diberi wewenang men­

gatur pengelolaan lingkungan hidup ini, berdasar pada

kemampuan dan tanggung jawab. Dalam pengelolaan

lingkungan hidup, yang penting adalah adanya kesadar­

an dan keterpaduan kerja untuk bersama-sama meles­

tarikan fungsi lingkungan dengan berbagai pihak, seperti

kerjasama antar sektor terkait, antara lain Departemen

Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Ke­

mentrian Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Per­

tanian dan Kehutanan, akademisi, praktisi profesional,

dan masyarakat umum.

Kantor KLH telah mencanangkan beberapa program

dan proyek, yang sebagian besar mencoba kembali mere­

habilitasi atau menata kembali lingkungan, khususnya

lingkungan perkotaan, dan membantu mempertahankan

lingkungan yang masih baik. Salah satunya adalah Pro­

gram Tata Praja Lingkungan (Good Environmental Govern­

ance/GEG), yang terdiri dari dua sub program, yaitu Pro­

gram Bangun Praja dan Program Masyarakat Madani.

6.1.1 Issue dan Tantangan dalam

Penyelenggaraan RTH

lsu yang berkaitan dengan ruang terbuka publik an-

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 181

Gambar6.2

Taman Umum (Public Park) di antara Gedung Permukiman Bertingkat

(apartment) di Singapura.

tara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa

tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas

lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir, longsor dan

perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung

kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan

vandalisme.

Dari aspek kondisi lingkungan hidup (LH), rendahnya

kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan

di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung

maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH

secara ekologis. Tingginya frekuensi bencana banjir dan

tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan

karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya

daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan

(run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat

menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan

tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyara-

182 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

kat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang ber­

lebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan

genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak

di masa mendatang.

Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik

horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se­

cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurang­

nya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuh­

an interaksi sosial untuk pelepas ketegangan (stress)

yang relatif banyak dialami oleh masyarakat perkotaan.

Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penye­

diaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah me­

nyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat

yang semakin memburuk dan menekan.

Secara teknis, isu yang berkaitan dengan keperi­

adaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadi­

nya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuanti­

tatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM,

kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan

RTH, serta 'selalu ' terbatasnya ruang/lahan di perkotaan

yang dapat digunakan sebagai RTH.

Pada kenyataannya, sub-optimalisasi ketersediaan

RTH terkait dengan kenyataan pada masih . dari kurang

memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk

ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang ter­

buka per kapita yang tersedia. Mengakibatkan semakin

rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat

kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung

menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak

alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan

ekonomi yang pragmatis.

Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh

belum adanya peraturan perundang-undangan yang

memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksa­

naan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTH

masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM

yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat se­

cara optimal dan lebih profesional mampu memelihara

dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan

masyarakat umumnya masih sangat rendah. Potensi pi­

hak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum

banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah sering dan

bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan bia­

ya dan anggaran.

Walaupun secara teoritis dikatakan, bahwa ruang

perkotaan yang tersedia makin terbatas, namun dalam .- '

kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan

yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan.

Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara

legal diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang te­

rawat dan tidak dikelola secara optimal.

Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu­

susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal

terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hu­

kum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan

para pemangku kepentingan dalam pengembangan ru­

ang kota.

Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerin­

tah ke depan antara lain adalah:

• Melakukan revisi UU 24/1992 tentang Penataan Ruang

untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan

pengembangan RTH;

• Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM)

untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;

• Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai de­

ngan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan

pengembangan RTH suatu kota;

• Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentang pen­

pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green

cities);

• Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif

yang dapat lebih meningkatkan peran swasta dan ma­

syarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling

menguntungkan;

• Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH un­

tuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa

wilayah kota.

RTH merupakan kebutuhan pokok kota, demi man­

faat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan

kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan

penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (ur­

ban landscape planning) adalah bagian perencanaan la­

han yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota

pad a hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya

dan semua pada tempatnya.

Guna menampung keinginan-keinginan semacam

itu, secara garis besar telah tertuang dalam rencana tata

ruang dari yang bersifat umum (RTRWN, RTRW Pulau,

RTRW Propinsi, Kabupaten dan RTRW Kota) hingga ren­

cana tata ruang yang bersifat detail dan rinci (RDTR Ka­

wasan dan RTR Kawasan). Besaran dan jenis RTH-nya

sendiri berdasarkan skala perencanaan dan tingkat ke­

pentingan/kebutuhannya.

Selanjutnya, peran, fungsi dan manfaat RTH tersebut

di atas diuraikan secara rinci, sebagai berikut:

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 183

• Terjaminnya ketersediaan oksigen dalam jumlah

yang cukup dan menerus;

• Terciptanya iklim yang sehat, udara bersih bebas

polusi;

• Terciptanya suasana teduh, nyaman, bersih dan

indah;

• Terkendalinya sistem tata-air (hidrologi) secara opti­

mal dan memungkinkan adanya hasil sampingan

berasal dari tanaman produktif yang sengaja dita­

nam di lokasi yang aman dari polusi pada media

tanah, air dan udara;

• Tersedianya sarana rekreasi dan wisata kota, yang

sekaligus berfungsi sebagai habitat satwa;

• Sebagai lokasi cadangan untuk keperluan sanitasi

kota dan pemekaran kota;

• Sebagai sarana penunjang pendidikan dan pene­

litian, serta jalur pengaman dalam penataan ruang

kota.

6.1.1.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota

Menurut Dahlan (1992) dan Purnomohadi (1995), de­

gradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indo­

nesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin mening­

katnya suhu udara di atas kawasan perkotaan, penurunan

muka air tanah, pencemaran air tanah, udara, dan suara

(bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abra­

si pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan

terjadinya tekanan psikologis penghuninya.

Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkon­

sistensi kebijakan dan strategi lata Ruang Kota yang

sudah ditetapkan dalam Rencana lnduk Kota, serta le­

mahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam pelaksanaan

184 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

pembangunan kota, menyebabkan kuantitas dan kuali­

tas RTH semakin menurun. Hal ini lebih diperberat lagi

dengan adanya: pertentangan kepentingan antara nilai

ekonomi dengan nilai ekologis; keterbatasan luas lahan

akibat benturan kepentingan dalam fenomena pemba­

ngunan perkotaan, lebih ditekankan pada pentingnya

pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan

yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja

(atau demi kepentingan ekonomi jangka pendek).

Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap sebagai

akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, peme­

liharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan jenis

tanaman yang tidak sesuai persyaratan ekologis bagi

masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pem­

bibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan dana pem­

bangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan

pengembangan pola kemitraan hijau.

RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna,

tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor ber­

bagai penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat

akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih sangat

kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok

usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain

anak, maupun taman lansia, apalagi taman khusus bagi

penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman

umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum

(Haryoso, 2003). Dalam penataan lansekap kota, etika,

dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame

belum ditata menurut kaidah penataan ruang yang lebih

sesuai.

Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif un­

tuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan

Dua gambar 6.3

Pemandangan teduh di Pulau Lombok, terletak pelabuhan transit

menuju Tiga Gili yang terkenal dengan wisata baharinya.

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kola Taman 185

(dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi

ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tum­

pang tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan

karen a tugas pokok dan fungsi yang hampir sam a, seperti

Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Di­

nas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidik­

an dan Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwi­

sata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Kebersihan. Rencana

penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata

Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam

satu atap agar mampu meningkatkan pelayanan pemban­

gunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu dikaji

ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan

Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan

dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata pemerin­

tahan yang baik (good governance).

6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan

Budaya RTH-Kota

RTH merupakan komponen utama lingkungan hidup

kota sehat, yaitu terhadap keberlanjutan hidup kota dan

warga kotanya, yang sampai saat ini tak tergantikan

fungsi dan manfaatnya, sekalipun dengan pendekatan

teknologi canggih. lronisnya, Jakarta sebagai ibukota

Negara, justru banyak memberikan contoh buruk dalam

pengelolaan lingkungan hidup, terutama RTH kota, se­

bagai akibat penataan ruang yang selalu terlalu mudah

berubah sesuai kepentingan pengambil kebijakan, serta

penerapan rencana sektor tanpa berkonsultasi dengan

pihak lain, terutama warga kota.

Di Jakarta dan sekitarnya telah banyak berdiri pabrik-

186 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

pabrik yang dibangun di sepanjang aliran sungai, se­

hingga terjadi deteriorasi lingkungan. Para nelayan dan

pembudidaya kerang hijau, maupun rumput laut di Teluk

Jakarta melaporkan kepada Menteri Penerangan dalam

pencanangan Kelompencapir Bahari (8/6/1996) bahwa

budidaya kedua komoditi pertanian tersebut sudah ter­

ancam tutup. Dugaan keras adalah akibat konsentrasi

pencemaran air di muara-muara sungai dari hulunya (land

based pollution). Kejadian ini mengingatkan kita pada pe­

nyakit 'ltai-itai' dan kasus 'Minamata' di Jepang akibat

akumulasi air raksa (merkuri) pada tubuh manusia yang

merusak sistem susunan syaraf ..

Belum lagi, bila diperhitungkan nilai ameliorasi iklim,

angin dan suara dari RTH kota, yaitu kenyamanan iklim

mikro yang sejuk dan bersih, yang sekaligus dapat

mencegah penyakit fisik dan psikis. lmplikasi ekonomis

untuk mengetahui besar biaya yang sebenarnya, akibat

dari peningkatan jumlah orang sakit, misalnya penyakit

infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan semacamnya,

perlu memperhitungkan biaya eksternalitas lingkungan,

sehingga pernyataan tentang perlu adanya RTH sebagai

penyeimbang lingkungan binaan tak hanya dinilai meng­

ada-ada, namun berdasar pada perhitungan budaya­

sosial-ekonomi yang nyata, seperti besaran kualitatif nilai

tukar uang bila seseorang jatuh sakit, dan bila produk­

tivitas SDM menjadi hilang atau berkurang, khususnya

semakin rentannya tubuh anak di wilayah perkotaan aki­

bat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi tingkat

kecerdasan anak.

Sebagai negara yang 'dulu' berbasis sektor agraris,

akan sulit bagi penduduk kota yang sebagian besar me­

mang para pendatang dari perdesaan atau kota-kota

kecil. Kebijakan pemerintah dalam mendukung konsep

pembangunan industri berbasis pertanian, di mana bu­

daya agraris dengan lahan ekstensif ini bisa diintensifkan,

· namun tetap produktif. Teknologi yang menunjang sudah

banyak kita kenai, di samping teknologi kultur jaringan

dan hidroponik, ada pula yang disebut vertikultur, dan

permikultur. Pemanfaatan ruang-ruang sisa, seperti teras

dan atap rumah pun sudah lama dikenal dengan taman

gantung (roof top garden).

Teknologi penghitungan 'indeks luas daun' (Leaf Area

lndeks=LAI), sudah biasa dipakai untuk menghitung

besaran cemaran air dan udara (gas dan partikel) yang

bisa diserap dan dijerap oleh permukaan daun. Berbagai

penelitian tentang bagaimana tanda-tanda biologis tana­

man, apabila terjadi ketidak-seimbangan fisiologis, aki­

bat pekatnya gradasi pencemaran juga telah dilakukan.

(Lampiran 2: Penentuan luas RTH-Kota)

Masyarakat sekitar lokasi pembangunan seringkali

tidak pernah diberi informasi tentang rencana pemba­

ngunan fisik bangunan. Padahal masyarakat tersebut

akan merasakan langsung dampak konstruksi pemba­

ngunan, terlebih dampak negatif berupa debu, lumpur,

kekeringan sumber air tanah, keamanan dan kenyaman

hunian. Jadi, masih adakah yang memandang RTH kota

tidak bernilai ekonomis, dibandingkan bangunan hotel,

mal atau hipermarket?

6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam

Perencanaan Tata Ruang Kota

Kebijakan pembangunan harus diterapkan melalui

peraturan pengelolaan yang konsisten mengacu pada

tata ruang aplikatif dan operasional dengan pengendalian

peruntukan sesuai dengan daya dukung lingkungan me­

lalui tertib administrasi pertanahan, mengurangi kesen­

jangan kesejahteraan (poverty alleviation), konflik sosial,

dan kriminalitas. Adanya sarana transportasi multi-moda

yang terpadu, termasuk ruang untuk para pejalan kaki

dan sepeda, dan peningkatan jenis dan kualitas angkutan

publik secara massal.

RTH kota merupakan sub-ordinat ruang terbuka yang

ada dalam konstelasi perencanaan ruang kota secara

keseluruhan. Ditinjau dari sudut manusia, maka kon­

sepsi pengelolaan LH menjadi kompleks. Di satu pihak,

dengan berbagai pandangan dan latar belakang, manu­

sia itu berbudaya (cultural contemplation), berperilaku so­

sial (social behaviour), pertimbangan ekonomi (economic

considerations), dan bersikap politik (political attitudes),

semua terpadu sebagai salah satu komponen pendu­

kung pengembangan lingkungan hidup (Haeruman, et.al.

1980).

Manusia akan selalu memandang, bahwa sumber

daya itu akan menghasilkan barang dan jasa berupa

materi, informasi dan energi, dalam siklusnya masing­

masing, termasuk perhitungan antara daya dukung atau

kemampuan asimilasi serta dampak negatif lingkungan.

Sekarang, tergantung pada diri kita masing-masing,

bagaimana menyadari eksistensi sumberdaya itu dan

pemanfaatannya, terutama di lingkungan perkotaan, se­

hingga dapat bermanfaat bagi kehidupan warga kota se­

cara berkelanjutan. Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil

yaitu keluarga, maka ruang luar yang ada sebenarnya

dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tanaman pot

bunga, buah, sayuran, apotik hidup minimal untuk kebu­

tuhan keluarga.

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 187

Gambar6.4

Sungai sebagai alternatif moda transportasi di samping untuk rekreasi.

Sepeda umum digunakan, sangat bermanfaat guna mengurangi

pencemaran udara kota.

Kota akan selalu menghadapi perubahanakibat akse­

lerasi pembangunan secara menyeluruh, sehingga terjadi

degradasi kualitas fungsi alami lingkungan. Kemacetan

lalu-lintas yang semakin parah di seluruh bagian kota,

pencemaran udara, air, tanah dan suara, banjir, keba­

karan, dan krisis air bersih, berakibat penurunan kualitas

kesehatan, produktivitas, dan kinerja warga kota.

Perencanaan tata ruang kota selalu tertinggal dengan

laju kebutuhan fisik dan psikis penduduk yang semakin

meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitas. Ekspansi

ruang kota ke segala penjuru tanpa terkendali. Penangan­

an masalah lingkungan hidup kota, termasuk eksistensi

RTH, masih bersifat parsial dan temporal.

Berdasarkan beberapa fenomena sebagaimana

diutarakan di atas, maka seyogyanya dalam merumus­

kan kebijakan penyelenggaraan RTH dalam perencanaan

188 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

tata ruang kota perlu dipahami betul latar belakang ar­

gumentatif mengenai kebutuhan RTH dalam konteks

pengembangan wilayah/kawasan dalam kaitannya de­

ngan pemanfaatan/penggunaan (utility) ruang dan sum­

ber daya alam, J.Jrociutifitas (productivity), dan kelestarian

(conservation) lingkungan dan sumber daya alam, sehing­

ga rumusan-rumusan kebijakan tersebut tidak terdeviasi

(bias) dari visi, misi dan tujuan semula dari pengemban­

gan wilayah/kawasan yang telah ditetapkan.

6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH

Akibat negatif pembangunan struktur bertingkat dan

meningkatnya intensitas transportasi tak beraturan tanpa

pertimbangan pengelolaan lingkungan yang bijaksana

akan berpengaruh pada pengurangan kapasitas kemam­

puan RTH.

Dari beberapa penelitian kota-kota di luar negeri dike­

tahui, bahwa setiap satu hektar RTH efektif mampu me­

netralisir 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355

penduduk, dan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen

guna dikonsumsi 1.500 penduduk/hari. RTH mampu me­

nyimpan 900 m3 air tanah/tahun, mentransfer air 4.000

liter/hari, setara dengan pengurangan suhu 5-8° Celcius,

setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin uda­

ra berkapasitas 2,500 Kcal/20 jam, meredam kebisingan

25-80 persen dan mengurangi kekuatan angin sebanyak

75-80 persen, tergantung pada jenis tanaman, iklim dan

jenis tanah. Sebatang pohon dapat mendinginkan udara

setara dengan kapasitas lima buah mesin pendingin uda­

ra yang dioperasikan selama 20 jam/hari terus-menerus.

Pada kawasan industri, jalur hijau pengaman selebar

50 meter yang dibangun di sekelilingnya, akan mampu

menurunkan pencemaran akibat meningkatnya konsen­

trasi S02

sebesar 70 persen, dan N02 sebesar 67 persen

(Konstruksi, 1995). Bila angka-angka tersebut ditransfer

ke dalam hitungan biaya lingkungan tanpa RTH, jumlah­

nya pasti akan melebihi biaya ekonomi jangka pendek,

sebagaimana selalu dilansir para pengembang kota, se­

perti hotel, plaza, mal, hipermarket dan semacamnya.

Hasil penelitian dari luar negeri tersebut hanya bisa

menjadi referensi saja, di mana sebaiknya dilakukan

penelitian, senada sesuai dengan keadaan ekosistem

kota tropis di Indonesia.

Pencemaran udara di Jakarta sudah melampaui am­

bang batas. Penelitian hubungan antara RTH terhadap

pengelolaan kualitas udara di Jakarta membuktikan,

bahwa dalam jangka waktu 10 tahun (1981-1991) terjadi

peningkatan tujuh zat pencemar utama CO, C02, NOx,

SOx, TSP/zarah, HC, dan Pb secara signifikan. Meski ter­

dapat angka peningkatan yang berbeda di antara ketu­

juhnya, ternyata beberapa zat tersebut secara variatif

sudah melampai standar baku mutu. Sedang sumber

pencemar diteliti dari empat kegiatan utama, yaitu dari

kegiatan industri, transportasi, rumah tangga, dan pe­

musnahan sampah (Purnomohadi, 1994).

Keberadaan air tanah yang semakin dalam dan terce­

mar pun menyebabkan intrusi air laut, amblasan tanah dan

krisis air bersih. Sementara biaya penjernihan sumberdaya

air melalui intake langsung dari alam sumur atau sungai

meningkat tajam, akibatnya selain menjadi semakin lang­

ka, harga air PAM pun semakin meningkat mahal dengan

kualitas air yang belum tentu terjamin bersih dan sehat.

Upaya untuk mengatasi masalah kelangkaan keterse­

diaan RTH kota dapat dilakukan melalui pemanfaatan

sisa-sisa lahan yang ada secara optimal. Penanaman

ruang luar halaman pekarangan rumah atau di atas ba­

ngunan bertingkat secara efektif memanfaatkan teras

atau puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman

aerofonik atau hidrofonik, dan semacamnya.

Akibat keterbatasan lahan, pengembangan RTH di­

mungkinkan mengarah ke atas. Lansekap vertikal (verti­

cal landscape) tengah dikembangkan di kota Singapura,

New York, Chicago, dan kota-kota berpenduduk padat

di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pengem­

bangan lansekap vertikal berupa taman atap (roof deck

gardens), taman gantung (sky terraces greenery), taman

balkoni (landscape balconies), lapangan golf mini, atau

taman kate, ibarat oase di atas langit. Kehadirannya akan

meningkatkan keindahan gedung dan melindungi bangun­

an dari sengatan matahari yang berlebihan. Untuk mem­

buktikan keseriusan komitmen tersebut, pemerintah dae­

rah harus memelopori pembangunan lansekap vertikal di

gedung-gedung pemerintah dan rumah susun.

Konsep kembali ke alam merupakan upaya menuju

ke hidupan alam asli ke dalam lingkungan kehidupan

kota dan menyatukan dengan sumber-sumber kehidup­

an alaminya. Pemahaman akan pentingnya upaya men­

jaga fungsi lingkungan melalui keseimbangan antara

RTH dengan ruang kota lain, akan sangat menentukan

keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan. Penge­

lolaan lingkungan perkotaan, khususnya RTH tak lepas

dari kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup

terpadu seperti program Tata Praja Lingkungan, yang

difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu per­

masalahan sampah, RTH, kualitas air, dan fasilitas umum

lain yang terkait erat.

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 189

Pengembangan perancangan keempat aspek terse­

but seyogyanya dirancang agar masing-masing bagian

infrastruktur dapat berfungsi optimal, tanpa menimbulkan

masalah dan bisa saling mendukung bagi masing-masing

kota maupun dalam hubungan kemitraan antar berbagai

pihak secara menyeluruh. Teknik-teknik pemecahan di­

pelajari, direncanakan dan disesuaikan secara terbuka

melalui pembangunan berbasis masyarakat, sehingga

dapat menghindari kesalahan serupa dan hasilnya sema­

kin sempurna.

Niat baik mewujudkan kepemerintahan yang baik

dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti program

Bangun Praja (good environmental governance, GEG) se­

benarnya bukan barang baru, dulu dikenal dengan pro­

gram Adipura yang dilaksanakan secara terpusat. Selaras

dengan semangat otonomi daerah untuk mendorong dan

meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup

pemerintahan di daerah, perlu disadari bersama akan

perlunya peninjauan berbagai kebijakan dan strategi pe­

ngelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan tuntutan

zaman.

Sesuai dengan laju pembangunannya, maka kota­

kota selalu menghadapi masalah. Terutama pada ta­

hun terakhir ini telah terjadi suksesi permasalahan yang

segera membutuhkan penyelesaian, sedangkan perma­

salahan yang baru sudah mulai, dan timbullagi. Masalah

yang terjadi dimana-mana adalah akibat berlebihannya

konsentrasi penduduk dan aktivitas di kota-kota besar.

Permasalahan ini diperbesar oleh karakteristik sosial,

akibat internasionalisasi, pentingnya pertumbuhan infor­

masi dan teknologi tinggi yang harus dipertimbangkan.

190 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Pemerintah harus mengambillangkah-langkah untuk siap

menghadapi perkembangan masalah masyarakat yang

semakin menua ini. Meningkatnya kondisi lingkungan

dan keindahan, serta memastikan bahwa pengukuran­

pengukuran perlu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan

akan rekreasi di ruang terbuka. Jadi perlu disadari, bahwa

kota selalu menghadapi masalah-masalah penting baru.

Untuk mengatasi hal seperti ini, pemerintahan kota

harus melihat bahwa permasalahan tidak hanya dari segi

perangkat keras (fisik) saja, tetapi juga pada masalah

perangkat lunak, seperti ekonomi, sosial dan budaya.

Dengan demikian, strategi pembangunan menyeluruh ini

akan meningkat.

Di Jepang, perencanaan kota harus mampu meme­

rankan diri sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan

masalah secara menyeluruh, melalui pedoman untuk

kota yang bersangkutan, seiring dan melalui konsultasi

dengan Perencanaan Nasional Pembangunan Menye­

luruh, dan Rencana lnduk Pembangunan Wilayah, serta

Strategi Rehabilitasi Lahan.

Selanjutnya, perencanaan Kota Menyeluruh di Je­

pang, tidak langsung diterapkan melalui hukum, karena

kedisiplinan dan kesadaran hukum penduduk yang su­

dah relatif tinggi. Perencanaan kota tetap dikombinasikan

dengan peraturan hukum sebagai petunjuk yang kuat dan

dapat dipertimbangkan, serta menyadari akan keterba­

tasan aspek-aspek lain, seperti penatagunaan tanah dan

pembangunan prasarana perkotaan, serta proyek-proyek

pembangunan kota. Jadi, tetap ada semacam kekuatan

hukum sebagai penunjangnya.

6.2 PROGRAM DAN PENTAHAPAN PENGADAAN RTH

Pengadaan RTH bagi kota yang sudah terbangun

tentu membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dapat di­

pertanggung-jawabkan di kemudian hari. Relatif masih

rendahnya kepedulian dan kesadaran perlunya eksistensi

RTH, bahwa RTH Kota tak hanya berfungsi sebagai peng­

isi ruang-ruang di antara bangunan saja, namun adalah

lebih luas dari itu. Dalam pembangunan kota berkelan­

jutan mutlak dipertimbangkan ada pembangunan RTH

secara khusus, berdasar pada serangkaian fungsi pen­

ting RTH dalam Rencana lnduk Kota baik dalam jangka

pendek maupun panjang.

6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek

Kegiatan pengembangan Kota Jangka Pendek, an­

tara lain:

• Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau

alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol,

bawah jalan layang (fly-over), bantaran kali, saluran

teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rei kereta api,

jalur SUTET, tempat pemakaman umum (TPU), dan

lapangan olahraga, dari okupasi permukiman liar.

• Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah

ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi

pokok RTH (identifikasi dan keindahan) masing-masing

lokasi.

• Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat stra­

tegis, seperti batas-batas kota dan alun-alun kota.

• Memotivasi dan memberikan insentif secara material

(subsidi) dan moral terhadap peran serta masyarakat

dalam pengembangan dan pemeliharaan RTH secara

optimal, baik melalui proses perencanaan kota, mau­

pun gerakan-gerakan penghijauan.

• Prasarana penunjang dalam pengembangan RTH yang

dibutuhkan, adalah tenaga-tenaga teknisi yang bisa me­

nyampaikan konsep, ide serta pengalamannya dalam

mengelola RTH, misal pada acara penyelenggaraan

pelatihan dan pendidikan pada Pusat Pendidikan dan

Pelatihan (Pusdiklat). Dibutuhkan sosialisasi dan pe­

nyuluhan secara berkala kepada pihak-pihak yang

berkepentingan, maupun masyarakat umum secara

luas.

6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang

Penyuluhan pengembangan RTH dapat dilakukan

melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi

ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota,

mulai dari tingkat kota/kabupaten, camat, lurah/kepala

desa, hingga lingkungan RT/RW, dewan legislasi, or­

ganisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah, pramuka,

rumah sakit, perkantoran, dan berbagai bentuk media

massa cetak (surat kabar, majalah, buletin) serta media

elektronik (radio, televisi, internet). Program pengemba­

ngan RTH, seperti umumnya pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan, bukan hanya merupakan tanggung

jawab pemerintah saja, tetapi seluruh unsur kemasyara­

katan bersama dengan pemerintah hendaknya dapat

mengelola RTH dalam sistem kepemerintahan yang baik

(good governance) demi kepentingan bersama pula.

Pendapat beberapa pakar, antara lain Pope (2003),

mengatakan bahwa, bila ingin mengetahui beraneka­

ragam budaya dapat 'mengerti' dunia alami, pergilah ke

kota-kota mereka, amati konstruksi terbaru dengan baik,

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 191

lakukan observasi transformasi stratejik yang ada, maka

tanpa pertimbangan proses urbanisasinya, kenyataan

yang terjadi adalah bahwa pergerakan dari alam ke ling­

kungan kota ini tak bisa diprediksi, sebab horizon perkota­

an yang bagaimana pun adalah dimana keberadaan alam

dan kotanya selalu berhubungan, artinya eksistensi kota

tak akan ada tanpa unsur alam. Dengan melihat kota,

maka dapat difikirkan bagaimana dunia alaminya.

Sistem transformasi yang terjadi dari tahun 1950-an,

dimana masih banyak dianut sistem kota berbentuk 'grid­

iron' sampai abad ke 19, menuju kepada sistem 'cui de

sac' abad ke 20, dan seterusnya, merupakan gambaran

kejadian fragmentasi kerja yang radikal pada baik kota

maupun lingkungan alami, menjabarkan keberlanjutan

tunggal, atau dunia dalam perobahan kota-kota yang

terus meluas, menduduki (ekspansi) suatu kota.

Dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, apa

yang kita saksikan saat ini (tahun 2005-2006) merupakan

dampak dari terjadinya krisis multi dimensional sejak ta­

hun 1997-1998 yang sampai kini ternyata belum dapat

diselesaikan secaa tuntas. Penyebab utamanya adalah

tidak konsistennya pengelolaan kota pada umumnya un­

tuk secara hati-hati mengikuti Rencana lnduk kota (RTH

di dalamnya) agar fungsi RTH betul-betul dapat dirasakan

manfaatnya secara menerus (continuity).

Moda Ekspansi: untuk dapat mengerti 'batas' antar

kawasan kota dan alam, perlu diketahui sesuatu tentang

mekanisme ekspansi kota. Pola kota yang berbentuk ko­

tak (grid), maupun pola 'radial', berkembang sampai akhir

abad ke 19, yang menerus dan kemudian tumbuh pola

'cui de sac' yang terputus-putus, ketiganya terus tum­

buh berkembang pada jalan yang berbeda. Tiap moda

192 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

ekspansi merupakan kepastian yang juga telah memper­

timbangkan bagaimana lingkungan kota dan lingkungan

alam itu saling eksis dan bagaimana keduanya berhasil

atau tidak membentuk suatu batas luar suatu kota (urban

frontiers). Dapat dilihat dari melebarnya kota-kota secara

horisontal dan ke semua arah dari waktu ke waktu.

Karena itu diperlukan suatu rencana pengembangan

kota jangka panjang, termasuk perteletakan dan penge­

lolaan RTH-nya, yang kemudian implementasinya pun ha­

rus diikuti secara konsisten. Walau ada perubahan dalam

letak atau luas kawasan karena tuntutan waktu Qaman),

namun sedapat mungkin RTRK yang telah direncana dan

ditetapkan untuk paling tidak 25. tahun mendatang bisa

tetap dijadikan pedoman, karena hal tersebut merupakan

hasil pemikiran komprehensif, holistik secara koordinatif

dari unsur-unsur perencanaan pembangunan kota yang

tentu sudah mempertimbangkan segala aspek pertum­

buhan berbagai bidang (kependudukan, IPTEK, kese­

imbangan fungsi lingkungan, dan seterusnya).

Ide pola pengembangan kota berbentuk kotak ini

abad ke 19 ini, karena keinginan untuk 'membuka ru­

ang kota' dengan meletakkan jalur lalu-lintas semacam

urat nadi dalam tubuh. Contoh-contoh kota berpola grid

terse but: The Cerda Plan of Barcelona, The By-law Street

of London, The Massive Kreuzberg District of Berlin, The

Comissioner's Plan Manhattan. Semua berkembang

menjadi kota-kota besar tetap berdasar pola kotak-kotak

tersebut. Bentuk RTH nya pun lalu mengikuti jalur, um­

umnya berbentuk persegi empat, termasuk lahan yang

khusus diperuntukkan bagi 'agricultural allotments' atau

mengikuti bentuk topografi yang ada.

Mengingat pertumbuhan RTH di kota-kota Indonesia

dapat dikatakan 'baru ' disadari sekitar tahun 1965-an di

Jakarta, dimulai oleh perlu adanya pendidikan SDM bi­

dang profesi arsitektur lansekap tahun 1963 oleh Pemda

DCI Djakarta, maka pola pengembangan RTH-nya pun

sudah berkembang meski pun relatif lambat. Kota-kota

terutama di pulau Jawa, sebagian besar direncanakan

kembali oleh pemerintah kolonial Belanda berdasar pada

pola tata ruang kerajaan di mana di pusat kota disediakan

ruang terbuka yang disebut alun-alun, atau di negara

barat biasa disebut square. Dike empat sisi terletak kan­

tor-kantor pusat pemerintahan. Mulai dari istana (Balai­

kota), kemudian rumahsakit, lembaga pemasyarakatan,

pengadilan, kejaksaan dan lembaga pelayanan masyara­

kat lain. Pola semacam ini diaplikasikan juga pada be­

berapa kota lain di luar pulau Jawa.

Yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan RTH

jangka panjang, adalah agar kawasan pinggiran kota (hin­

terland) tidak sampai semakin terlalu melebar sehingga

'memakan' daerah luar kota, sehingga jarak pelayanan

menjadi terlalu panjang, sehingga sulit pelaksanaannya.

Selain itu tanah-tanah yang biasanya relatif lebih subur di

luar kawasan kota, berubah fungsi menjadi kawasan ter­

bangun yang tak beraturan (urban sprawl), seolah tanpa

perencanaan matang. Dapat dikatakan bahwa kejadian

semacam ini disebut kegagalan perencanaan ruang se­

cara total.

Gambar6.5

Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata secara sederhana.

sosial dan ekonomi, meliputi pendataan keadaan iklim

(curah hujan, arah angin, suhu dan kelembaban udara);

data topografi dan konfigurasi kondisi alam adalah untuk

menentukan tipe RTH kota; kemudian geologi, jenis ta­

nah dan erodibi!itas untuk penentuan jenis RTH; jaringan

sungai, potensi dan pelestarian jenis, jumlah, dan kondisi

fauna dan flora lokal. Umumnya keberadaan dan jenis

fauna sangat berkaitan erat pula dengan jenis flora yang

ada (existing, biota endemic).

Penggunaan lahan (land use) dan keadaan yang mem­

pengaruhinya perlu dikompilasi melalui pengumpulan data

mengenai kedua hal tersebut, yaitu: meliputi penggunaan

6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota tanah serta penyebaran bangunan, daerah permukiman,

lnventarisasi potensi alam merupakan dasar kela- perdagangan, industri , pusat pemerintahan, pusat per-

yakan pembangunan RTH, khususnya sebagai dasar un- belanjaan, tempat rekreasi, dan jaringan transportasi.

tuk menentukan letak dan jenis tanaman. lnventarisasi ini Keadaan yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah

sangat diperlukan berdasar pada keterkaitan kondisi fisik, demografi jumlah dan persebaran penduduk, prosentase

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 193

pertambahan jumlah, komposisi penduduk, dan keadaan

sosial ekonomi. Kedua data ini dipergunakan untuk me­

nentukan tipe, lokasi, dan jumlah RTH.

lnventarisasi aktivitas dan permasalahannya meliputi

data aktivitas yang dikumpulkan, terutama kegiatan­

kegiatan yang . bisa menimbulkan dampak negatif ter­

hadap lingkungan. Tingkat atau besaran aktivitas akan

menentukan luas RTH yang dibutuhkan dalam upaya

menetralisir pengaruh negatif yang ditimbulkannya terse­

but. Pengumpulan data fisik (utama), meliputi:

• Jumlah dan laju pertambahan kebutuhan air dan

oksigen;

• Jumlah dan tingkat pertambahan penggunaan bahan

bakar;

• Jumlah dan laju pertambahan kendaraan bermotor;

• Jumlah dan laju pembuangan limbah industri/rumah

tangga;

• Nilai kualitatif: dan kuant1tatif dari permasalahan lain

yang sering timbul, seperti banjir, intrusi air laut, abrasi,

erosi amblasan tanah, dan tingkat pencemaran lain.

Kemudian, perlu disusun Rencana Kerja Berkala, me­

liputi Rencana Jangka Pendek, (Menegah), dan Panjang.

Kebijakan umum pengembangan RTH, yang dilengkapi

langkah-langkah pelaksanaan menurut waktu dan skala

prioritas.

Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan terus

menerus, guna mendapat data akurat yang dapat diper­

gunakan sebagai dasar perbaikan dan pengembangan di

masa datang.

194 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH

Pelaksanaan pembangunan RTH sebaiknya dapat di­

lakukan sendiri oleh unit instansi pemerintah daerah yang

ditunjuk sebagai pengelola RTH, berdasar tugas pokok

dan fungsi serta bentuk dan kriteria unit tersebut, atau,

mungkin karena ada berbagai keterbatasan, mungkin

pula untuk dikontrakkan sebagian atau seluruh peker­

jaannya kepada pihak lain yang tentu harus bisa menge­

lola secara bertanggung jawab sampai dengan monitor­

ing dan evaluasinya.

Selaras dengan semangat otonomi daerah yang ber­

dasar azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas per­

bantuan, maka organisasi penge.lolaan dan pengembang­

an RTH kota dapat disusun sebagai berikut:

Penanggungjawab: Kepala Wilayah (Bupati/Walikota).

Perencana & Pengendali: Bappeda/~Bapedalda/ BLH/

Unit PLH.

Pelaksana: Dinas-dinas Tata Kota, Pertamanan, Pe­

makaman, Pertanian, Kehutanan, dan pemilik lahan

(ind ivid u/swasta).

6.2.5 Perkembangan d~n Pembangunan RTH

Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan,

luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh

dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara

umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara

ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH,

2001):

(1) lnkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang

kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan ur­

gensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah/kawasan

perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH

di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai

ruang publik (common property) yang secara ekonomis

tidak menguntungkan sehingga saling melepas tang­

gungjawab;

(2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin.

RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug

liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cen­

derung lebih menjadi 'masalah' dibanding 'manfaat';

(3) Kurangnya pemahaman (butir 1 ), berakibat tidak ter­

sedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi

peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja,

wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat,

untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang ke­

hidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olah

raga, berekreasi dan bermain;

(4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media

tanah, air dan udara semakin meningkat dan menim­

bulkan penyakit fisik dan psikis yang serius.

Pernyataan 'hidup sehat itu mahal' telah dibuktikan

oleh para pakar kesehatan maupun para penderita pe­

nyakit. Hubungan antara pencemaran pada media ling­

kungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat

terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara ter­

cemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan men­

tah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif

sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa

atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar.

Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat

jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu

dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota,

mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur

sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan se­

bagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar.

Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu krite­

ria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya

dapat hidup sehat pula.

Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebu­

tuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen

PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH

kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa,

sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau)

15 m2/jiwa.

Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan

RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa. RTH tersebut harus

dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konser­

vasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sa­

rana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis),

pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap

kota (estetis).

Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi

estetis, karena secara alami manusia membutuhkan

hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat,

sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi eko­

sistem alam.

Kota identik dengan deretan beranekaragam bangun­

an-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan pe­

rumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau

pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya,

tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan

manusia (Nazarudin, 1996).

Sebagian besar wilayah/kawasan perkotaan di In­

donesia mengalami kemunduran secara ekologis yang

diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 195

Tabel 6.1: Standar RTH Kota, Kriteria Unit-unit Lingkungan

UNIT LINGKUNGAN UNIT LINGKUNGAN JUMLAH PENDUDUK

PERENCANAAN ADMINISTRASI YANG MENDUKUNG

Lingkungan I Rukun Tetangga 250 jiwa

I Lingkungan II Rukun Warga 3.000 jiwa

Lingkungan Ill Kelurahan 30.000 jiwa I LingkunganiV Kecamatan 200.000 jiwa

1 Lingkungan V Wilayah Kota 1 juta jiwa j

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)

Tabel 6.2: Kebutuhan akan RTH

Unit Lingkungan

L-1

(250 jiwa)

L-11

(3000 jiwa)

L-111

(30.000 jiwa)

I L-IV -I I (200.000 jiwa)

L-V

(1 juta jiwa)

Jenis Ruang Terbuka

yang Dibutuhkan

Tempat bermain

anak-anak

Taman+

Lapangan Olahraga

Taman+

Lapangan Olahraga

Taman+

Stadion Kecil

Taman Kota +

Kompleks Stadion

Pemakaman

Jumlah

Luas/Unit (m2)

250

1.500

10.000

40.000

150.000

Standar/

Kapita

(I'Tf/kapita)

1,0

0,5

0,33

0,2

1,5

0,58

Lokasi

.,

Di tengah kelompok pemukiman

Di pusat kegiatan RW

Dikelompokkan dengan sekolah

Dikelompokkan dengan sekolah

Di puast wilayah/tersendiri

Di luar pusat wilayah (pinggir kota)

Penyempurnaan Hutan Kota 6,0 Di gabung dalam kesatuan yang kompak

Jalur Hijau 15,0 Tersebar

Sumber: Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)

196 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan mening­

katnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah,

banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, il')trusi air

laut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur

logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, ka­

dar karbon monoksida (CO), ozon (OJ, karbon-dioksida

(C02), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta sua­

sana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Dahlan,

1992).

Menimbang hal tersebut, maka pembangunan RTH

berupa hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecah­

an permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks,

sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikem­

bangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan

keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran

dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa

keuntungan lain.

Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang

Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota me­

miliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar

pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan

hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga

kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa

potensi masyarakat merupakan hal utama dalam mem­

bentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu,

peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangun­

an dan pengembangan hutan kota.

Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan po­

hon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah

perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,

yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang

berwenang (PP No. 63 Tahun 2002).

Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan

adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi ter­

wujudnya lingkungan yang bebas polusi, tersedianya air

bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan

dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang

berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan

dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling

tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap meme­

lihara nilai-nilai budaya bangsa.

Salah satu metode paling efektif dalam mengenda­

likan pencemaran udara adalah pengendalian pada sum­

bernya, tetapi metode ini belum menjamin 1 00 persen

efektif dan efisien, karena keterbatasan teknologi serta

dukungan finansial. Salah satu alternatifnya adalah peng­

gunaan metode pengendalian pencemaran udara bukan

pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan

mempertimbangkan peran RTH.

6.3 STANDAR DAN KEBUTUHAN RTH KOTA Secara selintas standar dan kebutuhan kota telah se­

dikit diuraikan pada Bab II, namun standar itu mengacu

pada pembangunan kembali (renovasi) kota Rotterdam

di negeri Belanda, yang hampir rata tanah akibat Perang

Dunia ke II. Standar semacam itu memang sangat ideal

apalagi bila jumlah pendudukya relatif tetap.

Bagaimana untuk kota-kota di Indonesia? Banyak

pertimbangan perlu didiskusikan sebab Negara Kepulau­

an terbesar di dunia ini, mempunyai ciri-ciri khusus, baik

dari lingkungan terestrial apalagi lingkungan kelautannya.

Dari segi kondisi iklim (tropis) saja, sebarannya pun sa­

ngat luas dan beragam, dari iklim tropis basah, sedang

sampai kering. lklim tropis pegunungan dataran tinggi,

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 197

sampai ke kawasan perairan dari hulu samai hilir (sungai,

danau, lahan basah) sampai ke kawasan pesisir dengan

sumberdaya hayati yang juga beranekaragam, berupa

kawasan mangrove, terumbu karang dan padang lamun

yang tersebar di seluruh kawasan NKRI.

Menyadari akan keanekaragaman di berbagai lokasi

di seluruh penjuru tanah air ini, maka menjadi tugas kita,

terutama arsitek lansekap untuk sedapat mungkin beru­

saha menjaga keanekaragaman tipe ekosistem yang ada,

sebab sesuai prinsip 'hetereogenitas dalam stabilitas'

fungsi lingkungan pendukung kehidupan manusia dan

makhluk hidup lain.

Standar RTH Kota telah diterbitkan oleh Departe­

men Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya,

disesuaikan dengan hierarkhi unit lingkungan adminsitra­

tif sesuai dengan jumlah penduduknya (tabel). Sedangkan

tabel selanjutnya, adalah tentang kebutuhan akan jenis

RTH kota, dari masing-masing unit lingkungan dari sum­

ber yang sama, memperlihatkan perkiraan luasan RTH

yang dibutuhkan mencakup jenis pelayanan RTH dan

luasan per unit lingkungan. Kedua tabel tersebut, tentu

dapat berubah secara dinamis karena kondisi lingkungan

pun tak pernah tetap. Jadi bukan merupakan pedoman

yang mati, namun disesuaikan dengan tuntutan pemenu­

han kebutuhan masyarakat sesuai kondisi geografisnya.

6.3.1 Standar RTH Kota

Sebagaimana telah disebutkan, beberapa pakar meng­

acu pada para peneliti negara lain yang telah dituangkan

dalam berbagai literatur, yang mengemukakan bahwa

luas RTH Kota yang akan dibangun ditetapkan menurut

persentase dari luas kota. Ada yang menyatakan 1 0, 20,

198 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

25, 30, 40, 50, hingga 60 persen dari totalluas kota.

Dalam lnstruksi Menteri Dalam Negeri (lnmendagri)

No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan RTH di Wilayah

Perkotaan, setiap kota dianjurkan untuk menyediakan

area sebagai kawasan RTH; sebesar 40-60 persen dari

total luas wilayah kota, hal ini didasarkan pada pertim­

bangan keamanan khusus yang ditinjau dari segi kese­

imbangan alami lingkungan hidup perkotaan.

Penentuan luas lahan RTH kota umumnya dihitung

berdasar pada jumlah penduduk. Luasan RTH kota di

Malaysia ditetapkan sebesar 1 ,9 m2/penduduk, sedang­

kan di Jepang 5,0 m2/penduduk (Tong Yiew, 1991 ). De­

wan kota Lancashire, lnggris menentukan 11 ,5 m2/pen­

duduk, dan Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan di DKI

Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan

1 ,5 m2/penduduk (Rifai, 1991 ).

Standar penentuan RTH berdasarkan jumlah pen­

duduk juga telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Cip­

ta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DPU, 1987) ber­

dasar pada kriteria unit-unit lingkungan sebagai berikut:

Di dalam total peredaman cemaran udara oleh ling­

kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara

vegetasi hijau, termasuk hutan kota. Kemampuan hu­

tan kota dalam memberikan sumbangan kepada proses

peredaman cemaran didekati dengan menggunakan

peubah-peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja

kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota, mencakup

sifat-sifat fisik dan sifat-sifat fisiologis serta metabolistik

tumbuhan yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai

berikut:

• Luas hutan kota (dalam satuan hektar), yang menca­

kup luas liputan lahan hutan kota dan prakiraan luas

efektif penutupan tajuk hutan kota, untuk setiap jenis

hutan kota.

• lndeks Luas Daun (Leaf Area /ndex/LAI)-(dalam satuan

ha/ha), berdasar prapendugaan untuk semua kelom­

pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota. Peubah

penciri hutan kota ini dinyatakan dalam satuan rata­

rata tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing

kelompok tumbuhan setiap jenis hutan kota.

• Biomassa (8 satuan ton), untuk semua kelompok tum­

buhan di dalam setiap jenis hutan kota, diduga berdasar­

kan peredaman C02 oleh hutan kota, yang pad a hakekat­

nya merupakan penggunaan konsumtif C02 oleh ve­

getasi pembentuk hutan kota dalam proses fotosintesis.

• lndeks kesempurnaan Arsitektur Lansekap (dimension­

less), yang merupakan gabungan (komposit) dari ln­

deks Kesempurnaan Disain Pertamanan dan lndeks

Kesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.

6.3.2 Penentuan Luas RTH

Wilayah Kota (kawasan perkotaan) adalah kawasan

yang sengaja dibangun sebagai pusat-pusat permukim­

an, beserta segala sarana umumnya (perkantoran, pasar,

sekolah, rumah sakit, industri terbatas, tempat-tempat

rekreasi), yang berkembang secara dinamis dan meru­

pakan simpul-simpul jasa pelayanan, serta mempunyai

ciri khusus kehidupan perkotaan. Kegiatan utamanya

~O------~~~--~~----~~----~ ...... _._. .................. .J2MIUS 0 SOO M I ltM ~ 3 ...,

~~-~~~~~~~.-------~~------------~2----------------a;~~~

w.JLE]

Gambar 6.6: Central Park New York 1858.

Michael Laurie, An Introduction to Landscape Architecture

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 199

sesuai dengan susunan fungsi kawasan perkotaan terse­

but, adalah sebagai pemusatan dan distribusi berbagai

pelayanan, seperti jasa kepemerintahan, pelayanan sosial

(sarana pendidikan, rumah sakit), dan kegiatan ekonomi

(perdagangan, pasar, industri terbatas).

Nazaruddin (1996), mengatakan bahwa kota identik

dengan bangunan-bangunan yang dibangun oleh manu­

sia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti perumahan,

perkantoran, sarana umum (pasar, rumah sakit, terminal,

jalan raya, tempat hiburan, termasuk juga sarana RTH

kota. Akibat krisis moneter berkepanjangan, yang diikuti

oleh krisis m,a~ajemen_kepemerintahan, maka sebagian

besar wlfayah perkotaan Indonesia, semakin mengalami

degradasi lingkungan (kemunduran secara ekologis) di­

tandai oleh ketidakharmonisan hubungan antara manu­

sia dengan lingkungan hidupnya, seperti meningkatnya

suhu udara, terbentuk pulau panas (heat island) di atas

media udara kawasan perkotaan; peningkatan pencema­

ran udara, seperti karbon monoksida (CO), ozon (OJ, kar­

bon-dioksida (C02), oksida nitrogen (NO), belerang (SO)

dan debu; penurunan muka air tanah, pencemaran air ta­

nah dan air permukaan, sehingga air baku air minum pun

menjadi kotor, berbau, mengandung logam berat; terjadi

pula amblasan tanah, intrusi air laut, dan abrasi pantai.

Akhirnya, terbentuklah suasana yang gersang, moncton,

bising dan kotor, sebagaimana dirasakan saat ini (Purno­

mohadi, 1995, Dahl an, 1992).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengelolaan

RTH kota secara menyeluruh (rehabilitasi, rekonstruksi,

dan peningkatan upaya penieliharaannya), merupakan

hal mutlak yang harus segera dilakukan, sebagai alter­

natif penting dalam pemecahan permasalah lingkungan

200 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

perkotaan yang sudah amat kompleks dan tidak seim­

bangini.

Melalui pembangunan sistem RTH kota (Urban Park

System) sebagai penyeimbang kondisi lingkungan, akan

mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,

membersihkan lingkungan, meredam kebisingan, peng­

hasil produksi tetumbuhan, intangible maupun tangible,

bagi kemaslahatan hidup warga kota.

Saat ini, di kota-kota besar terutama yang sudah

bersifat 'metropolis', akibat kurangnya apresiasi akan

pentingnya eksistensi RTH iJli telah ~enyebabkan lua.:-'

san RTH semakin berkurang. RTH adalah salah satu milik

umum (common property) yang mungkin keberadaannya

tak terlalu dipentingkan, sehingga pemerintahan kota

mengikuti kebutuhan dasar para 'urban is' yang terus me­

ningkat, serta tak sebanding dengan ruang yang ada. Hal

itu menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

• lnkonsistensi kebijakan dan strategi penataan RTH

dalam tata ruang kota yang sudah ditetapkan, dan

yang sudah diakomodasi secara menyeluruh dalam

Rencana lnduk Kota atau Rencana Umum Tata Ruang

(RUTR).

• Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin,

menyangkut pula pemilihan jenis tanaman yang tidak

sesuai secara ekologis kondisi bio-geografisnya pada

masing-masing lokasi.

• RTH sering dianggap sebagai tempat sampah dan

sarang vector berbagai penyakit.

• Pemahaman masyarakat pada umumnya sangat

kurang, khususnya amat terbatasnya pendidikan prak­

tis yang langsung berhubungan dengan alam sekitar.

• Minimnya fasilitas RTH, berupa lapangan olahraga

dan tempat bermain anak, maupun taman rekreasi

untuk para lansia, padahal telah diketahui amat pan­

ting dalam mendukung perkembangan (proses) moto­

rik pada anak-anak serta keseimbangan mental bagi

orang dewasa.

• Pencemaran media lingkungan (tanah, air, dan uda­

ra) secara fisik pasti menimbulkan masalah kesehatan

yang serius, khususnya bagi manusia yang rentan ter­

hadap penyakit, para lansia dan balita (Purnomohadi,

2003).

6.4 PEMBANGUNAN RTH KOTA Manusia, dalam 'membangun' kota telah mengubah

tapak alami secara drastis. Awal teknik pembangunan

memang mengajarkan 'land clearing' terutama bersih

dari berbagai macam vegetasi, apalagi pepohonan, pa­

dahal dengan hilangnya vegetasi, maka hilang pula biota

lain yang hidup tergantung padanya. Vegetasi, kecuali

'yang produknya bisa dimakan' dianggap sebagai suatu

"barang" tak panting. Air hujan yang mampu mengalir

dengan perlahan melalui daun dan batang menguatkan

akar dan tetumbuhan lain menjadi akuifer, lalu terpaksa

mengalir langsung menuju tempat/lokasi yang lebih ren­

dah (dengan membawa sedimen) menuju selokan atau

pipa sewerage, lebih cepat menuju perairan akhirnya ke

laut. Tanah menjadi keras (kompak) dan miskin hara (aki­

bat erosi).

Pembangunan RTH sebagai unsur alam di kota mam­

pu menjadi pusat, dan mengalirkan energi bagi kehidup­

an penghuni kotanya, serta menimbulkan rasa tenang,

nyaman dan sejuk. Bentuknya pun bermacam-macam

dari skala besar, seperti taman-taman rekreasi berskala

nasional, provinsi maupun taman formal di depan gedung

resmi atau perkantoran, taman dan kolam yang diren­

canakan mengikuti karakter geografis, sampai ke taman­

taman lingkungan yang berukuran relatif kecil, termasuk

halaman rumah, 'taman atap, balkon dan teras bangu­

nan', taman dalam rumah (indoor), sampai sekedar tana­

man rumput di sekitar kita, semuanya merupakan unsur

alam.

Central Park di Kota New York, berukuran sekitar 341

ha terbukti mampu mengencerkan konsentrasi gas-gas

polutan. Dengan ukuran yang sama, maka satu garis jaja­

ran dedaunan, kemampuan penjerapan/penyerapan debu

bisa menjadi tiga sampai empat kali dibanding alat beru­

pa bahan berpermukaan halus dengan ukuran sama dan

dipasang di lokasi yang sama. Studi di Hyde Park (295 ha)

di London membuktikan 25% reduksi konsentrasi asap

yang kebetulan dihembuskan angin melalui Taman terse­

but. Banyak lagi hasil-hasil penelitian kota-kota dunia

yang kira-kira membuktikan pentingnya eksistensi RTH

dalam Kota. Karena itu RTH-kota mutlak ada sebagai

komponen panting syarat pembangunan lingkungan kota

yang nyaman (Hal 150, Modul pelatihan UNESCO-UNEP

seri ke-4, 1987).

6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfigurasi RTH

(Arsitektur Lansekap)

Pembangunan bidang pertamanan (landscape archi­

tecture) di kota metropolitan, atau biasa disebut "Metro­

politan Park System" sebaiknya berorientasi pula kepada

sumber yang telah ditetapkan pemerintah sebagai dasar

kebijakan pembangunan atau RTRK.

Umumnya pembangunan 'lingkungan' perkotaan se-

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 201

bagian besar 'hanya' merupakan perbaikan atau penam­

bahan sarana dan prasarana kota yang semula 'sudah'

ada (urban renewal, revitalisasi), namun tetap harus di­

lakukan secara berencana, dengan lebih memperhatikan

keserasian hubungan antara kota terbangun dengan ling­

kungan alaminya, dan antara kota dengan daerah perde­

saan sekitar atau kota pendukung (hinterland), serta ke­

serasian dalam pertumbuhan kota itu sendiri.

Kota sebagai konsentrasi permukiman dan kegiatan

manusia, telah berkembang sangat pesat berikut dam­

paknya pada banyak kota di Indonesia. Kota dalam keter­

batasan kemampuan, tetap menuntut adanya suatu kon­

disi fisik dan lingkungan yang sehat bagi warga kotanya.

Pertambahan penduduk yang pesat senantiasa di­

iringi tuntutan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas

pelayanan bagi kehidupan dan kegiatannya. Keterba­

tasan dana dan teknologi, penanganan dan pengelolaan

kota yang kurang tepat, serta pertambahan penduduk

kota yang pesat sebagai akibat kelahiran maupun ur­

banisasi, telah menimbulkan banyak masalah perkotaan

yang seringkali menjadi berlarut-larut.

Pengembangan dan pembangunan kota sangat ber­

gantung pada faktor kuantitas dan kualitas penduduk,

keluasan dan daya dukung lahan, serta keterbatasan ke­

mampuan itu sendiri. Gejala pembangunan, perkembang­

an dan pemekaran kota untuk memenuhi tuntutan dan

pelayanan terhadap penduduk kota yang jumlahnya terus

membengkak tersebut, seringkali menimbulkan kecende­

rungan menuju pembangunan maksimal struktur kota,

ruang terbuka kota, dengan mudah menghilangkan atau

mengorbankan eksistensi dan wajah alam.

Lahan kota semakin tertutup oleh struktur (perkerasan/

202 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

hard materials), dan permukaan air (sungai, rawa, pantai,

dan lain-lain) yang berubah fungsi dan kualitasnya. Anda­

lan kemampuan teknologi modern, telah mengembang­

kan pemikiran membangun kota yang seringkali meng­

abaikan sistem ekologi kota, bahkan berusaha merobah

seluas mung kin eskosistem alam menjadi ekosistem buat­

an (artificial ecosystem). Maka, muncul dampak negatif

pembangunan akibat perlakuan kurang wajar terhadap

norma-norma dan kaidah-kaidah alam tersebut, seperti

perubahan suhu kota, krisis air bersih, penurunan air ta­

nah, 'amblasan tanah, banjir, intrusi air laut, abrasi pantai,

kualitas udara memburuk, sungai mengering, dan ber­

bagai polusi terhadap media lingkungan.

Perencanaan RTH kota yang matang, dapat menjaga

keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terba­

ngun dan ruang terbuka. Keselarasan antara struktur kota

dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi berbagai

dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan

menjaga keseimbangan, kelestarian, kesehatan, kenya­

manan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kota.

6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman

Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khu­

sus dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada

suatu lokasi. Namun demikian, kondisi bio-geografi ling­

kungan secara alami telah menunjukkan habitat berbagai

jenis-jenis tanaman (keaneka-ragaman hayati endemic/

existing) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan tana­

man untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian

barulah pertimbangan berdasar pada pengalaman akan

kesesuaian bentuk dan fungsi (form follows function) wu­

jud arsitektural tanaman-tanaman tersebut, hendaknya

dijadikan dasar pemilihan selanjutnya.

Tanaman sebagai salah satu elemen alam yang diper­

gunakan dalam penataan lansekap kota tidak henti-henti­

nya mengalami perubahan. Di samping itu tanaman juga

membutuhkan iklim tertentu, teknik penanaman dan pe­

rawatan, mempunyai bentuk arsitektural dan kesan visual

yang berbeda.

Tanaman juga membantu mengendalikan radiasi ca­

haya matahari, kekuatan angin dan mengurangi pantulan

cahaya, membersihkan udara melalui proses fotosintesa,

menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahan

dan menyimpan air tanah, mengurangi erosi, dan mem­

perbaiki kesuburan tanah.

Dalam konsepsi arsitektural dan penggunaan kein­

dahan visual, tanaman dapat memberikan rasa akrab,

keteduhan, mengendalikan pandangan, dan keleluasaan

bagi setiap individu untuk melaksanakan kegiatannya.

Pohon dan perdu memberikan kesan lansekap dalam

berbagai bentuk, struktur, tekstur, warna, dan pola. Ke­

san ini akan selalu berubah sesuai dengan iklim atau

musim. Hal ini sangat nyata terlihat pada negara-negara

yang mempunyai empat musim.

Berbagai jenis tumbuhan dapat hidup di hutan kota,

dari stratifikasi atas (pepohonan), tengah (perdu) dan ren­

dah (penutup tanah), sehingga membentuk satu komuni­

tas yang berfungsi menahan erosi. Sebagaimana fung­

sinya pada hutan alam, maka pemilihan jenis tanaman

diarahkan pada upaya:

• Meningkatkan fungsi tanaman untuk penyelamatan

tanah dan air, mencegah terjadinya banjir dan erosi;

• Memperbaiki dan memelihara agar kondisi hidrologis

daerah aliran sungai tetap terjaga, sehingga menjamin

sistem tata air yang mantap sepanjang masa;

• Memperbaiki dan mempertahankan kelangsungan pro­

duktivitas lahan, serta;

• Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masya­

rakat, berarti prospek ekonomis dari tanaman terpilih

sudah dapat dijamin cepat berproduksi dan disukai

oleh masyarakat setempat.

Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan

tersebut di atas, antara lain: Sengon (Aibizzia fa/cataria),

Kern in (Aieurites moluccana), Rasamala (Aitingia excelsa),

Keluwih (Artocarpus altilis), Benda (Artocarpus elasticus),

Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kemang (Mangifera

caesia), Limus (Mangifera foetida), Kweni (Mangifera ado­

rata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Petai (Parkia

speciosa), Alpokat (Persea amaricana), Pinus (Pinus

merkusii), dan Kesambi (Schleicera o/eosa) (Sulistami,

1995).

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan,

bahwa pengelolaan RTH kota, terutama hutan kota ha­

rus terintegrasi dan berdasar pada pemikiran serta per­

timbangan keseimbangan antara daerah terbangun dan

tidak terbangun, sehingga nyaman ditinjau dari segi kese­

hatan, aman, dan dapat dipakai sebagai tempat rekreasi

untuk meningkatkan produktivitas manusia warga kota,

dan dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara

adil dan merata.

Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purno­

mohadi 1995, 2002) yang sebagian besar didasarkan

pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang disesuaikan

dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman

yang sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai:

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 203

• Pengidentitas (mascot/landmark) Kota

Berbagai jenis flora dan fauna dapat dijadikan maskot

kota, antara lain: Pohon Pinang (Arenga pinnata) yang

menjadi mascot Kota 'Pagar Ruyung', Kayu Manis (Cin­

namomum burmanii) sebagai maskot Provinsi NTI, dan

seterusnya.

• Upaya untuk Melestarikan Plasma Nutfah

Secara ex-situ dari berbagai tanaman langka bernilai

tinggi, seperti Nam-nam (Cynometra cau/if/ora), Kepel

(Stelechocarpus burahol), Majegau (Dysoxylum den­

siflorum), Jati (Tecona grandis), dan seterusnya masih

banyaklagi.

• Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara

Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang

kasar, secara mekanistis-fungsional sangat baik dalam

menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah stomata

daun yang relatif banyak akan mudah menyerap dan

menjerap partikel padat yang melayang-layang di uda­

ra bebas.

• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal

(Dahlan et.al., 1990)

a. Tanaman yang mempunyai kemampuan sedang­

tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara,

seperti Damar (Agathis alba), ~v'lahoni (Swietenia mi­

crophylla dan S. macrophyl/a), Jamuju (Podocarpus

imbricatus), Pala (Myristica fragrans), Asam Landi

(Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea).

b. Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glo­

dogan (Polyalthea longifolia), Keben (Baringtonia asia-

204 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

tica), dan Tanjung (Mimusops elengi).

c. Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan

terhadap zat pencemar dari kendaraan bermotor,

antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia pur­

purea), dan Kesumba (Bixa ore/lana).

• Penyerap (absorbsi) dan Penjerap (adsorbsi) Debu

Semen (lrawati, 1990 da/am Dahlan, 1992)

Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan seka­

ligus sebagai penjerap (adsorbsi) dan penyerap (ab­

sorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalah

Mahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros dis­

color), Tanjung (Mimusops elengi), Kenari (Canarium

commune), Meranti Merah (Shorea leprosula), Kirai Pa­

yung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros cele­

bica), Duwet!Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin

(Litsea roxburghii), dan Sempur (Dillenia ovata).

• Peredam Kebisingan

Tanaman dapat meredam suara dengan cara mengab­

sorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ran­

ting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling

efektif meredam suara ialah yang bertajuk tebal, karena

dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sam­

pai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).

• Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam

Melalui proses fisiologis tanaman yang disebut 'pro­

ses gutasi', akan menghasilkan beberapa unsur Ca,

Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine dan

gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-or­

ganik yang diturunkan ke lantai hutan dan tajuk melalui

proses throughfa/1 dengan urutan K>Ca>Mg>Na, baik

untuk tajuk dari tegakan daun Iebar maupun dari daun

jarum (Henderson et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Hu­

jan yang mengandung H2S0

4 atau HN0

3, bila sampai

di permukaan daun akan mengalami reaksi, antara lain

H2SO

4 dengan Ca, membentuk garam Ca

2SO 4 yang

bersifat netral, dibanding kadar asam dari air hujan itu

sendiri. Karena itu dengan adanya proses intersepsi

dan gutasi oleh permukaan daun, akan sangat mem­

bantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi

tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Penelitian

Hoffman et.al, (1980) menunjukkan bahwa pH air hu­

jan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika

dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati

tajuk pohon.

• Penyerap Karbon monoksida (CO)

Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap

gas karbon monoksida (CO) sebesar 12-120 kg/km2/

hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik,

dalam menyerap gas ini dari udara dari yang semula

konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8X1 04 ug/m3)

menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga

jam saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith,

1981 dalam Dahlan, 1992).

• Penyerap Karbon dioksida (C02) dan Penghasil Ok-

sigen (02)

Tanaman pad a ekosistem daratan, termasuk hutan alam,

tanaman pertanian, termasuk mangrove dan tanaman

pada ekosistem lahan basah lain, selain fitoplankton,

ganggang dan rumput laut, dan tumbuhan lain dalam

perairan laut, seperti padang lamun, mampu menyerap

karbondioksida dan penghasil oksigen dalam proses

fotosintesis, menggunakan cahaya matahari. Dalam

ekosistem daratan jumlah luasan hutan sudah sangat

jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan

hutan kota sebagai bagian RTH kota, sudah sangat

mendesak. Salah satu dampak negatif bertambahnya

gas karbon monoksida (CO) ini adalah meningkatkan

efek gas rumah kaca, sedang di lain pihak proses asimi­

lasi terseb~;~t akan menghasilkan oksigen yang panting

bagi kehidupan biota di dunia, terutama bagi manusia.

Tanaman yang baik dalam menyerap gas karbon diok­

sida (C02) dan menghasilkan oksigen (02), antara lain:

Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea),

Lamtoro Gung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia

auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).

• Penahan Angin

Panfilov dalam Robinette (1983), mengemukakan,

bahwa angin kencang dapat dikurangi sampai 75-80

desibel oleh suatu penahan angin yang berupa RTH

(hutan) Kota. Faktor-faktor yang harus diperhatikan

dalam merancang suatu hutan kota, khususnya untuk

menahan angin, (Grey & Deneke, 1978) dengan mem­

perhatikan jenis tanaman yang ditanam harus memiliki

dahan yang kuat, daun tak mudah gugur oleh terpaan

angin yang berkecepatan sedang, akar pohon yang

dapat menghujam ke dalam tanah sehingga lebih tahan

terhadap hembusan angin yang cukup kuat ketimbang

tanaman barakar menyebar di sekitar atau dekat de­

ngan permukaan tanah, memiliki kerapatan cukup (50-

60 persen), serta tinggi dan Iebar jalur hutan kota yang

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 205

cukup luas, sehingga dengan baik dapat melindungi

wilayah sesuai dengan yang diinginkan.

• Penyerap dan Penapis Bau

Tanaman dapat menyerap bat:J- secara langsung atau

menahan gerak angin dari sumber bau (Grey & Deneke,

1978) seperti dari tempat pembuangan sampah yang

terbuka (open dumping), apakah itu TPS atau pun TPA.

Akan lebih efektif bila tanaman tersebut berbunga atau

berdaun harum, seperti Cempaka (Miche/ia champaka),

Pandan (Pandanus sp.), kemuning (Murraya paniculata)

atau Tanjung (Mimusops elengi).

• Mengatasi Penggenangan

Daerah yang topografinya relatif rendah sering menjadi

genangan air, karena itu perlu ditanami dengan jenis

tanaman dengan kemampuan evapotranspirasi tinggi.

Kriteria tanaman ini biasanya berdaun lebat, sehingga

jumlah permukaan daunnya relatif luas dan jumlah sto­

matanya pun banyak. Jenis tanaman dengan penguap­

an relatif besar ini, antara lain Nangka (Artocarpus in­

tegra), Albazia (Paraserianthes fa/cataria), Acacia vilosa,

lndigofera galegoides, Dalbergia sp., Mahoni (Swiete­

nia mahagoni), Jati (Tectona grandis), Ki Hujanffrem­

besi (Samanea saman), dan Lamtoro Gung (Leucena

glauca).

• Mengatasi lntrusi Air Laut

Kasus ini terjadi terutama pada kota-kota yang terletak

di jalur pantai, sehingga rawan terhadap intrusi air laut.

Pemilihan tanaman harus benar-benar diperhatikan,

sebab penanaman tanaman yang kurang tahan terha-

206 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

dap kandungan garam yang sedang agak tinggi, akan

mengakibatkan tanaman tak dapat tumbuh baik, bah­

kan mungkin sampai mati. Penanaman tanaman yang

mempunyai daya evapotranspirasi tinggi akan mengu­

ras air dalam tanah, sehingga konsentrasi garam dalam

tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan

semacam ini justru akan mendatangkan masalah bukan

mengatasi intrusi air asin, karena itu diperlukan peng­

hijauan kota di kawasan semacam ini, namun dengan

memakai jenis tanaman dengan daya evapotranspirasi

rendah. Berbagai jenis tanaman bakau (mangrove), ter­

masuk tegakan Nipah (Nypha fruticaus), dan asosiasi

dalam ekosistem mang~ove lain akan sangat sesuai un­

tuk daerah pesisir pantai ini. Jenis-jenis tanaman Keta­

pang (Terminalia catappa), Nyamplung (Cal/ophyllum

innophyllum), dan Keben (Barringtonia asiatica) sangat

sesuai terutama sebagai pohon peneduh dan pelin­

dung di sepanjang pantai yang umumnya mendapat

sengatan sinar matahari paling tinggi.

• Produksi Terbatas

Sudah dapat dibuktikan, secara ekonomis bahwa fungsi

produksi hutan kota sangat signifikan. Hasil pokok kayu

maupun hasil sampingan lain bisa dimanfaatkan untuk

berbagai keperluan, tentu saja tidak sebanyak jumlah

dari hutan alam maupun hutan produksi. Dahlan (1992)

menyebutkan bahwa 7 40 pohon mahoni di kota Suka­

bumi, dilelang seharga Rp. 74.000.000,00 juta saja. Pa­

dahal tanaman tersebut secara nominal harusnya lebih

berharga dari nilai tangible tersebut, apabila ditinjau dari

nilai intangib/e-nya, misalnya dari bentukan iklim mi­

kro yang nyaman dengan adanya pohon-pohon terse-

but. Manfaat lain, masih banyak lagi, dari bunga dan

buah yang melengkapi susunan gizi warga masyarakat

sekitar, buah dan biji kenari yang bisa digunakan un­

tuk makanan dan kerajinan tangan, dan tanaman lain,

seperti Pala, Kawista, Sawo, Kelengkeng, Menteng,

Kersen, Duku (Lancium domesticum) , Asem (Tamarin­

dus indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Buni (Antidenua

bunius), atau Mangga (Mangifera indica). Buah mangga

madu yang ditanam di sepanjang jalur hijau jalan, pada

musimnya warga dapat memetik buah cuma-cuma, un­

tuk dimakan di tempat atau diolah menjadi sari buah

ljuice) atau buah kalengan yang berorientasi ekspor,

contoh di Kota Chandigarh, India tersebut.

• Ameliorasi lklim

Gambar6.7

Jalur sepeda khusus

dibangun pada dua

jalur ROW (right of way) ,

disamping jalur pedestrian

bagi pejalan kaki.

Meningkatnya suhu dan debu di wilayah perkotaan dan

kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, terutama di

musim kemarau, sangat berpengaruh terhadap kese­

hatan warga kota. Kondisi ini sangat memprihatinkan

dan mengancam kesehatan anak kecil dan balita yang

sangat rentan terhadap penyakit sesak nafas, batuk,

dan infeksi saluran pernapasan atas (I SPA). Kota Singa­

pura dan Kuala Lumpur dengan iklim relatif sama, telah

berhasil membangun hutan kota dengan memelihara

pepohonan besar yang dapat menahan sinar matahari

dan pada malam hari sebaliknya dapat menahan radiasi

cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada

siang hari, sehingga udara tetap nyaman dan hangat.

Penelitian Wenda (Dahlan, 1992) tentang pengukuran

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 207

suhu dan kelembaban udara wilayah yang bervegetasi

dengan berbagai kerapatan, lebih tinggi dibandingan

dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan

(aspal), dan bangunan (tembok), yang menghasilkan be­

berapa angka perbandingan wilayah bervegetasi suhu:

25,5-31 ,0° celcius, kelembaban 66-92 persen; yang

kurang bervegetasi: suhu 27,7-33,1, kelembaban 62-

78 persen, dan areal padang rumput, mencapai suhu:

27,3-32,1, kelembaban 62-78 persen. Demikian pula

penelitian Koto (Dahlan, 1992), di dalam komplek Mang­

gala Wana Bhakti, Jakarta, ditemukan pula, bahwa suhu

di dalam 'hutan buatan' lebih nyaman (terendah) diban­

dingkan dengan areal parkir maupun padang rumput

dan di sekitar bangunan di perkantoran yang sama.

• Pengelolaan Sampah

RTH sudah seringkali dinyatakan mampu sebagai pere­

dam kebisingan, bau, silau, dan pelindung struktur ta­

nah. Di Provinsi Wurtenberg di Jerman Selatan, di mana

pada setiap kota hanya dihuni maksimal dua juta jiwa,

mewajibkan adanya hutan kota pada lokasi tempat

pembuangan sampah, sebagai peredam buangan sam­

pah warga kota, baik berupa sampah padat maupun

limbah cair. Kedua jenis sampah itu ditampung dalam

kontainer khusus yang secara berkala di semprotkan

atau diletakkan ke dalam hutan kota tersebut di mana

telah 'ditanam' sejenis mikroba tertentu yang kembali

mengasimilasi sampah dan limbah tersebut, sehingga

bisa keluar sebagai material padat (humus) dan cair

yang bersih atau netral yang dapat dimanfaatkan kern­

bali (Purnomohadi, 2002).

208 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

• Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran dan serasah yang berubah menjadi

humus akan memperbesar pori-pori tanah, karena

bersifat higroskopis, maka jumlah air tanah akan me­

ningkat. Daerah hulu harus dilindungi dan ditetapkan

sebagai daerah resapan air, sebagai penahan air hujan

agar mengurangi larian air permukaan. Menurut Manan

(Dahlan, 1992) tanaman dengan evapotranspirasi ren­

dah adalah jenis Cemara Laut (Casuarina equisetifolia),

Karet (Ficus elastica), Hevea brasiliensis, Manggis (Gar­

cinia mangostana), Bungur (Lagerstroemia speciosa),

Fragraea fragans, dan Kelapa (Cocos nucifera).

• Sebagai Habitat B_urung Di wilayah perkotaan dikenal berbagai 'hewan kota'

seperti burung, tupai, dan berbagai serangga yang

menjadi bagian dari keanekaragaman hayati dan sum­

ber plasma nutfah untuk keseimbangan ekosistem

perkotaan. Burung sangat diperlukan sebagai pengen­

dali serangga hama, membantu proses penyerbukan,

bernilai ekonomi tinggi, fauna penghibur (warna-warni

bulu, suara merdu), dan obyek penelitian. Sedangkan

berbagai tanaman yang disukai untuk habitat burung

adalah Kiara, Caringin, dan Loa (Ficus, spp), Beringin

(Ficus benjamina), Jejawi (Ficus microcarpa), Gondang

(Ficus variegata), Ficus glaberrima yang buahnya disu­

kai burung, Dadap (Erythrina variegate) yang bunganya

menghasilkan nectar, Betet (Psittacula akexandri), Serin­

dit (Loriculus pussilus), Jalak (Sturnidae), dan beberapa

jenis burung madu. Bunga Dangduer (Gossampinus

heptaphyl/a) yang berwarna merah menarik Burung Ung­

kut-ungkut dan Srigunting, Aren (Arenga pinnata) (ijuk

batang aren sering dimanfaatkan burung untuk mem­

buat sarang), Pucuk Bambu (Bambusa spp) sering di­

gunakan sebagai tempat bersarang Burung Blekok (Ar­

deola speciosa), dan Manyar (Pioceus sp.). Sedang jenis

lain, seperti Burung Cacing (Cyornis banyumas), Celepuk

(Otus bakkamoena), Sikatan (Rhipidura javanica), Kepala

Tebal Bakau (Pachycephala cinerea), dan Prenjak Kun­

ing (Abroscopus superci/iaris) bertelur pada pangkal ca­

bang antara dedaunan dan di dalam batangnya.

• Meningkatkan Keindahan

Mengurangi tekanan kejiwaan. Dalam suasana sejuk,

tenang, dan indah karena ada tetumbuhan di taman

rumah, taman lingkungan, dan taman kota, sudah pasti

akan menyejukkan perasaan secara psikologis maupun

fisik. Oleh karena itu, kini rumah sakit dilengkapi Taman

Terapi, untuk penyembuhan rohani dan jasmani pasien.

Tidak ada orang yang tidak menyukai suasana alami yang

diciptakan RTH kota, terrnasuk kehadiran hutan kota. Dari

berbagai referensi diketahui, bahwa sikap negatif warga

kota, seperti stres, depresi, hingga bunuh diri, diketahui

sebagian besar akibat pengaruh beberapa zat kimia yang

masuk ke dalam peredaran darah dan sistem pencernaan

manusia, seperti Pb, SOx, NOx, dan CO.

• Mengamankan Pantai terhadap Abrasi

Berbagai jenis tegakan hutan bakau atau mangrove,

dari Avicinnea di tepi pantai sampai Bruguiera dan

Nipah di sebelah darat, sangat bermanfaat mencegah

erosi pantai (abrasi). Sudah relatif banyak penelitian

yang menyatakan bahwa hutan bakau sangat pen­

ting sebagai ruaya (spawning ground) tempat bertelur

dan membesarkan juveniles berbagai jenis ikan, udang

dan moluska. Pengelolaan daerah pesisir dan laut ter­

integrasi (Integrated Coastal and Marine Environmental

Management) di kota pesisir mendesak dilaksanakan,

bersama seluruh stakeholders masyarakat pesisir,

sebab ternyata 60 persen lebih permukiman terletak

di wilayah pesisir Indonesia yang terpanjang kedua

setelah pantai Canada yang terpanjang di dunia.

• Meningkatkan lndustri Pariwisata

Taman-taman rekreasi, mulai dari taman kota hingga

hutan kota, berbagai skala di wilayah perkotaan, su­

dah pasti menjadi area rekreasi dan hiburan bagi warga

kota. Berbagai jenis flora dan fauna, terutama yang

langka, sangat menarik perhatian bagi pengunjung ta­

man dan hutan kota, selain sebagai obyek pendidikan

dan penelitian.

• Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Halaman pekarangan pribadi dan taman lingkungan

perumahan, serta lahan cadangan untuk rencana pem­

bangunan selanjutnya, merupakan komponen RTH,

yang menjadikan kota indah dan sejuk, di mana aspek

kelestarian, keserasian, keselarasan, dan keseimbang­

an sumberdaya alam, akan menciptakan lingkungan

kota yang kondusif, nyaman, segar, meredam pence­

maran dan kebisingan, sehingga warga dan kota men­

jadi sehat.

Beberapa foto di bawah dan di dua halaman berikut

ini, adalah tanaman (pepohonan) yang disebutkan di atas,

sebagai berikut:

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 209

210 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Gambar6.8.

Paling atas kiri: Ketapang (Terminalia catappa), paling atas

kanan: Buni (Antidesma bunius), paling kiri atas: Tanjung

(Memusops e/engij , paling kiri tengah: Kemuning (Muraya

paniculata), paling kiri bawah: Jejawi (Reus microcarpa), kiri:

Gondang (Ficus variegata), atas: Jamblang (Syzygium cumini).

Gambar6.9

Paling atas: Melinjo (Gnetum gnemon), atas kiri: Sukun (Artocarpus

altilis), atas kanan: Limus/bacang (Mangifera caesia).

Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 211

BAB VII PENGELOLAAN RTH

VII PENGELOLAAN RTH

Belajardari contoh-contoh pengelolaan RTH, terutama

kota-kota tropis yang baik, memang menguntungkan asal­

kan tidak meniru mentah-mentah, sehingga menimbulkan

keseragaman yang membosankan dan menurunkan nilai

tinggi kelangkaan sebuah wujud lansekap kota.

Dalam berbagai Lomba Taman Tingkat Nasional (LTTN)

yang pernah dilaksanakan beberapa tahun antara 1985-

1995, pada berbagai kategori dan dari berbagai ukuran

RTH, sejak halaman rumah tinggal, halaman bangunan

umum, seperti: perkantoran, komplek hotel, rumah sakit,

dan halaman pendidikan termasuk kampus perguruan

tinggi, serta taman kota, nampak bahwa seni arsitektur

lansekap Kota Jakarta telah dijiplak mentah-mentah oleh

daerah-daerah penilaian.

Dari segi kepeloporan dan usaha peningkatan mutu

lingkungan memang ada nilainya, tetapi ditinjau dari

ciri kedaerahan sama sekali hampir tak nampak. Pa­

dahal perbedaan alam yang kasat mata masih nampak

jelas, seperti warna tanah yang berbeda karena jenisnya

berbeda, atau jenis tanaman asli yang masih tersisa di

sana-sini. Sedangkan nilai-nilai kebudayaan asli daerah

harus tetap dipertahankan. Jangan sampai Kebun Raja

(bukan Kebun Raya) yang mirip alun-alun berukuran lebih

kecil, yang masih ada di Kota Blitar, misalnya akan di­

ubah fungsinya menjadi bangunan masif (seperti mal dan

semacamnya).

Pergeseran makna dan fungsi alun-alun sebagai

tengeran (landmark) taman pusat kota, dan masih ba-

214 Pengelolaan RTH

nyak sekali fungsi lain yang sangat mendukung keber­

lanjutan lingkungan hidup kota, merupakan alasan kuat

untuk mempertahankan salah satu RTH tropis khas Pulau

Jawa, misalnya yang diakui pula sebagian merupakan

karya pemerintahan kolonial Belanda yang telah menye­

suaikan perancangan kota dengan kondisi iklim tropis.

Tanaman tertentu yang mempunyai tajuk Iebar, berben­

tuk payung atau pun hampir merata ke seluruh batang,

seperti Ki Hujan, Trembesi (Samanea saman), Flamboyan

(De/onix regia), Ketapang (rerminalia catapa), Johar (Cas­

sia multijuga Rich, Cassia siamea Lmk), Mahoni (Swi­

etenia mahagoni sp. macrophyl/a dan microphyl/a), dan

Asam (ramarindus indica).

Pohon Matoa (Pometia pinnata Forst) di Papua Barat

dan Majegau (Dysoxylum densif/orum) yang menjadi mas­

kat Provinsi Bali misalnya, rasanya sudah mulai meng­

hilang? Atau sudah tidak banyak terlihat lagi? Pohon Leci

di daerah lereng pegunungan daerah Ubud, atau sekitar

Pura Besakih di Bali, yang indah dilihat pada waktu ber­

bunga dan berbuah pun sudah jarang terlihat. Di Kabu­

paten Belu, Nusa Tenggara Timur juga sudah sulit ditemui

Pohon Cendana (Santa/urn album). Sebenarnya masih

banyak lagi sumber daya plasma nutfah flora maupun

fauna, yang bisa dikembangkan dan diangkat menjadi

ciri khas suatu daerah.

Akan kemanakah pengelolaan RTH kota di Indonesia,

seperti Singapura, Kuala Lumpur, kota-kota besar lainnya

yang telah terkotak-kotak dalam blok-blok, atau dalam

lingkaran siput seperti kota-kota di Benua Amerika, atau

seperti kota-kota di Eropa? Pada akhirnya, pelestarian

fungsi penting unsur-unsur pembentuk lingkungan, akan

sangat menentukan keberlanjutan kualitas dan kuantitas

sumber daya alam dan lingkungan hidup kota dan warga

kota.

Terjadinya krisis ekonomi dan peningkatan pengang­

guran yang melanda Indonesia telah menimbulkan oku­

pasi besar-besaran terhadap RTH kota, baik untuk tern­

pat berdagang atau bercocok tanam pada 'lahan tidur'.

Dari pengamatan pertanian perkotaan tak terstruktur

terhadap kegiatan ini, diketahui bahwa secara langsung

kegiatan ini dapat menyelamatkan kebidupan beberapa

petani kota dadakan, dengan bentuk organisasi penge­

lola khusus sejak pembibitan, penanaman, pemanenan,

sampai pencarian pasar dan seluk beluk bisnis perda­

gangan. Namun demikian, tetap diperlukan perangkat

hukum yang mengatur kegiatan ini.

7.1 SDM DALAM PENGELOLAAN RTH Agar perencanaan pembangunan perkotaan dapat

mencapai hasil dimana mampu dipertahankannya fungsi

lingkungan kota yang berkelanjutan, sebagaimana di­

harapkan dalam prinsip "good environmental gover­

nance", diperlukan minimal tiga modal dasar pembangun­

an, yaitu:

(1) tersedianya pengelola kota yang handal, berupa sum­

berdaya manusia (SDM) baik pejabat pemerintah mau­

pun masyarakat umum pada skala nasional dan lokal

yang mampu bersama-sama memelihara fungsi dan

kondisi lingkungan perkotaan, sesuai kaidah pelestari­

an fungsi lingkungan hidup yang ada.

(2) tersedianya dukungan sumber daya finansial yang

berkelanjutan pula untuk mendukung kegiatan pemeli­

haraan dan pengawasan RTH-kota, dan

(3) tersedianya Rencana lnduk Kota yang komprehensif

dan dinamis, yang artinya terus berkembang sejalan

dengan proses kehidupan lingkungan perkotaan yang

dinamis.

Konsep kebijakan dan strategi pembangunan dan

pengelolaan RTH, sebagaimana diuraikan oleh Sasong­

ko, 2005, diselarasakan dengan UU No. 22/1999 tentang

Otonomi Daerah (sudah direvisi menjadi Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), di­

mana komitmen untuk mewujudukan pembangunan

berkelanjutan mensyaratkan pembangunan dan penge­

lolaan RTH secara konsisten dan profesional. Otonomi

daerah harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan

masyatakat dan mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan

kepada masyarakat.

Penyesuaian pengembangan paradigma reformasi

pembangunan kota berkelanjutan mensyaratkan pelak­

sanaan transparansi kegiatan, baik oleh pemerintah mau­

pun swasta (pengusaha dan lembaga masyarakat umum).

Kesadaran akan hak dan tanggung jawab pembangunan

dan pengelolaan RTH tidak hanya merupakan dominasi

pemerintah, tetapi jugamasyarakat melalui penyesuaian

program-program pembangunan yang inovatif, kreatif

dan mutakhir.

7 .1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan misi pokok paradigma reformasi saat

ini, yaitu agar pengelolaan kepemerintahan di daerah dapat

Pengelolaan RTH 215

semakin mandiri dalam memenuhi tujuan sebagaimana

dimaksud dalam pelaksanaan Undang-Undang (UU) No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Diharapkan

agar pembangunan kota berkelanjutan dapat segera ter­

wujud, dan telah merupakan komitmen seluruh pelaku­

nya, yaitu segenap unsur pemerintahan yang mutlak me­

merlukan dukungan dan peranserta masyarakat, baik di

tingkat nasional maupun di tingkat wilayah atau daerah.

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dan meng­

upayakan kerjasama antar, para 'pemangku kepentingan'

(stakeholders) agar tetap terbentuknya lingkungan (kota)

yang selaras, serasi dan seimbang. Dalam menata keter­

paduan antar berbagai pihak tersebut, selayaknya disu­

sun lebih dahulu suatu pedoman penataan ruang RTH,

dengan mengacu kepada pedoman penyusunan RTRK

yang merupakan turunan dari penyusunan rencana tata

ruangnya atau, Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

merupakan salah satu faktor utama sebuah, Rencana ln­

duk Kota', yaitu agar proses alami guna menopang ke­

berlangsungan seluruh kehidupan lingkungan kota, dapat

terus berlangsung. Karena itu RTH harus dikelola secara

profesional dan konsisten dari waktu ke waktu.

Otonomi Daerah harus bermuara pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan fungsi­

fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Sistem, me­

kanisme dan prosedur penyelenggaraan otonomi daerah

(UU dan Peraturan Pelaksanaan) harus jelas dan aplika­

tif untuk menghindarkan distorsi yang kontra produktif.

Otonomi Daerah Jangka Panjang harus mampu mewu­

judkan kemandirian daerah, dilaksanakan dalam wadah

NKRI dan harus mampu memantapkan demokrasi dalam

semangat Persatuan dan Kesatuan.

216 Pengelolaan RTH

Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi

pembangunan kota yang berkelanjutan mensyaratkan

pula, pelaksanaan transparansi kegiatan, baik oleh pemer­

intah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara­

kat umum), kesadaran akan hak dan tanggung jawab

pembangunan serta pengelolaan RTH, misalnya tak hanya

merupakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat

kota, dan melalui penyesuaian program-program pem­

bangunan yang inovatif, kreatif, dan mutakhir. Program­

program untuk peningkatan fungsi lingkungan hidup (LH),

seperti Bangun Praja, Super Prokasih atau Langit Biru,

masih 'dirasakan' sebagai "gerakan parsial" lingkungan

perkotaan yang masih belum sepenuhnya menopang

suatu sistem pengelolaan lingkungan hidup (PLH) kota.

Berbagai program tersebut, hendaknya merupakan suatu

kesatuan progam yang saling mendukung sebagai suatu

sistem PLH (media air, udara dan tanah).

7 .1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud: Adanya kebijakan dan strategi dalam pem­

bangunan dan pengelolaan RTH di wilayah perkotaan.

Tujuan: Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan

RTH Di Wilayah Perkotaan.

7 .1.3 Ruang Lingkup

Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pembangunan

Perkotaan dalam Bidang Pembangunan dan Pengelolaan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan pada lnmendagri

Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah

Perkotaan. Kebijakan dan Strategi Pembangunan

Perkotaan Bidang Pembangunan dan Pengelolaan RTH

ini dalam pelaksanaannya kelak, diharapkan tetap meru-

pakan suatu sinergitas PLH, yang disesuaikan dengan

sistem bio-geografi lingkungan NKRI. Sebagaimana

diketahui, negara kita merupakan Negara Kepulauan di

daerah tropis, dengan karakteristik alam sangat beraneka­

ragam, ditandai oleh iklim yang panas (cahaya matahari

penuh), kelembaban tinggi dengan keanekaragaman

hayati flora dan fauna yang tinggi namun sangat rentan

terhadap adanya gangguan kerusakan dan pencemaran

lingkungan.

Kondisi lingkungan khas negara kita ini pun sangat

dipengaruhi oleh keanekaragaman ekosistem dataran

tinggi, pegunungan (bergunung-api/vulkano yang seba­

gian besar masih aktit), jajaran perbukitan serta dataran

rendah serta perairan yang juga merupakan habitat flora

dan fauna perairan yang khas pula. Apabila diamati lebih

rinci, maka kondisi fisik lingkungan maupun sosial dan bu­

dayanya pun amat sangat beragam. Telah banyak peneli­

tian menunjukkan keanekaragaman yang tinggi tersebut,

terutama khasanah budaya yang timbul dari lebih 300

suku bangsa pendukungnya, dari propinsi Nangroe Aceh

Darussalam (NAD) sampai ke Papua Barat.

Didasari oleh kenyataan akan luas dan beragamnya

kondisi lingkungan baik yang alami, lingkungan perde­

saan, lingkungan perkotaan, baik daratan dan lautan,

maka ruang lingkup pembahasan Kebijakan dan Strategi

ini pun dibatasi hanya untuk diterapkan di lingkungan

perkotaan. Pokok-pokok pemikiran yang akan mempen­

garuhi hasil pembahasannya kemudian adalah bahwa:

1. NKRI adalah negara kepulauan di mana sebagian be­

sar permukiman terletak di sepanjang wilayah pesisir/

pantai;

2. Terjadi kecenderungan aglomerasi penduduk dari wi-

layah perdesaan ke wilayah perkotaan (urbanisasi) se­

makin meningkat, terutama akibat kebutuhan akan la­

pangan pekerjaan;

3. Bertambahnyajumlah penduduk, secara langsung mau­

pun tidak akan mempengaruhi meningkatnya penetrasi

terhadap alam lingkungannya, terutama di lingkungan

perkotaan, sehingga daya dukung lingkungannya se­

bagian sudah terlampaui. Kondisi lingkungan semacam

ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan lingkungan

bagi manusia yang hidup di dalamnya;

4. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah di bidang

Perkotaan, khususnya untuk pengelolaan RTH ini pun

akan disusun bersama-sama dengan para pihak terkait,

dan sedapat mungkin mewakili berbagai macam eko­

sistem seperti disebut sebelumnya. Hasilnya diperki­

rakan semacam model Pengelolaan Pembangunan RTH

Lingkungan Perkotaan, paling tidak diharapkan bisa

mewakili beberapa (tiga) tipe ekosistem (ekotipe) khas

dari ekosistem pegunungan dan daratan yang relatif

jauh dari wilayah pesisir, kemudian ekotipe lingkungan

perkotaan di sepanjang pantai (dataran rendah), serta

ekotipe wilayah di antara kedua ekotipe sebelumnya

(lingkungan dengan ketinggian 'sedang');

5. Ketiga ekotipe-ekotipe 'khas' tersebut, tentu mensya­

ratkan jenis (species) biota (khususnya dalam hal ini

jenis vegetasi atau tetumbuhan), sesuai dengan habi­

tusnya tsb., apakah tipe tanaman tropis dataran tinggi,

sedang atau pun rendah;

6. Dari pertimbangan-pertimbangan lain, seperti kemam­

puan dan kondisi daerah masing-masing, khususnya

dukungan finansial (ekonomi) serta kesiapan SDM un­

tuk kebijakan pembangunan di daerah masing-masing

Pengelolaan RTH 217

Gambar7.1

Sebuah rumah tradisional di luar benteng 'Jakarta' berada di

sebuah lingkungan kampung yang teduh. Rumah ini biasa disebut

'Makassaarch huis'.

Sumber: Oud Batavia, gambar 8 34.

218 Pengelolaan RTH

juga perlu dipertimbangkan masak-masak;

7. Perlu dipertimbangkan adanya: subsidi silang antara

satu daerah dengan daerah lain, yang paling tidak me­

nyangkut tiga hal, yaitu pertimbangan-pertimbangan:

kelembagaan, fisik, ekonomi dan sosial budaya ma­

syarakat lokal.

7.2 PERMASALAHAN KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROSPEK PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH

Perlu dipertimbangkan suatu sistem penerapan (ino­

vasi) pelaksanaan pengelolaan RTH dikaitkan dengan

kegiatan-kegiatan PLH di wilayah perkotaan. Seba­

gaimana telah dilakukan di negara-negara lain dan telah

menunjukkan keberhasilan dari hasil sinergitas penerap­

an PLH di kota-kota tersebut. Sebagai contoh, dikutip­

kan beberapa keberhasilan PLH di wilayah perkotaan di

negara-negara:

1. Jerman, khususnya di Provinsi Wurtenberg, Jerman

Selatan: di mana sampah domestik, baik padat (khu­

susnya sampah organik) maupun cair (sewerage), di­

integrasikan dalam sistem 'Zwartwald' atau 'Hutan Hi­

tam', di mana di antara dua atau lebih bag ian kota yang

berbatasan (misalnya antara Kebayoran Baru dan Pon­

dok lndah) yang berpenduduk dengan jumlah tak lebih

dari dua juta jiwa, dibangun semacam, hutan kota' (se­

bagian bentuk RTH-Kota) yang fungsinya 'hanya' untuk

'penyaring' atau filter dari sampah padat dan limbah

cair tersebut. Kedua produk sampingan hasil kegiatan

man usia kota berjumlah sekitar dua juta, secara berkala

di tampung (dibuang) ke dalam Hutan Kota. Teknologi

sederhana diterapkan sedemikian rupa sehingga mi­

kroba yang sengaja 'ditanam' di dalam "Zwartwald"

tersebut. mengurai ('memakan') sampah dan limbah

organik tersebut, sehingga suatu saat air limbah yang

keluar menjadi bersih kembali. Demikian pula 'lantai

hutan' akan menghasilkan berlapis-lapis pupuk buatan

(kompos) tanpa zat kimiawi yang dapat dimanfaatkan

kembali oleh warga masing-masing kota tsb.

2. India, di suatu bagian Kota Madras menerapkan sis­

tern energi biogas dari hasil buangan kegiatan mereka

sendiri (diterapkan juga di beberapa kota lain khusus­

nya yang berpenduduk padat). Dengan hanya memakai

suatu sistem permukiman yang kompleks, di mana

masing-masing kelompok permukiman yang sengaja

~ibentuk melingkar, mempunyai suatu unit sistem pem­

buangan lim bah cair dan padat, dan biogas yang keluar

dari unit pembuangan tersebut dipakai kembali seba­

gai sumber energi dikembalikan ke perumahan yang

melingkarinya. Demikian pula di daerah 'Pearl River'

delta 'a self-sufficient commune', China yang sudah

lama memanfaatkan biogas sebagai sumber energi un­

tuk melakukan berbagai kegiatan, yang pada akhirnya

mampu memasok berbagai hasil produksi pertanian ke

provinsi tetangga.

Di India pula, yaitu daerah pertanian kota di pinggiran

Kota Calcutta, yang kebetulan hidup di daerah lahan

basah (wetland), sampah padat organik dibuang ke

dalam lahan tersebut, kemudian setelah agak/mulai

padat lahan tersebut mulai ditanami berbagai jenis

tanaman sayur-mayur dan buah-buahan, hasilnya pun

kembali untuk suplai penduduk di sekitarnya.

3. China, di Beijing (mungkin di kota-kota/permukiman

Gambar 7.2: A Self Sufficient Commune.

(Myers, 1985)

lain?), sistem daur ulang dari kotoran manusia dan he­

wan (termasuk urin) sengaja 'ditambang' (dikumpul­

kan) kemudian diproses menjadi pupuk organik untuk

kawasan pertanian di sekitarnya. Hasilnya memang

mengagumkan, hasil bebuahan Oeruk, anggur, dan lain­

lain) China memang terkenal kualitasnya bahkan meru­

pakan komoditi eskport yang penting.

Demikian beberapa contoh yang juga banyak dilaku­

kan di negera-negara di Benua Afrika dan Amerika Latin

yang konon masih dijalankan sampai saat ini, dari pada

di kota-kota kita yang sebagian besar masih membuang

sampah dan limbah langsung ke 'alam', tanpa melalui

proses daur-ulang sederhana seperti telah dipraktekkan

sampai kini.

Pengelolaan RTH 219

7.3 PENETAPAN STRATEGI, FOKUS STRATEGI DAN UKURAN KINERJA PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH Dl WILAYAH PERKOTAAN (Modifikasi dari Sasongko, 2005)

7 .3.1 Perubahan Paradigma Pemerintah dan Pengaruhnya Pada Manajc:T!CI• Pembangunan Perkotaan:

Pembangunan dan Pengelolaan RTH

PERU BAHAN PARADIGMA

Bupati!Wali Kota

dan stat inti sebaga

Pemberdaya Pelaya

Pelaksana yang

transparan dan

akuntabel

i:

n

220 Pengelolaan RTH

...

.....

MISI Ukuran utama sektor r Pommiotahao adalah ,

• keberhasilan mencapai misi

KEUANGAN PELANGGAN

memenuhi harapan memenuhi harapan

pemberi dana penerima manfaat

_j ~ ~

PROSES INTERNAL melakukan proses yang

baik dan benar

t PENGEMBANGAN SDM

pengembangan organisasi

dan SDM yang tepat

STRATEGI

.... Tujuan Srategis

..... Program Proritas

Ukuran Strategis

Perkotaan

T Terfasilitasinya

Pengembangan

Perkotaan yang layak

huni, inovatif/ dinamis,

kompetitif dan

terciptanya pelayana n jasa perkotaan prima

T Tertatanya ruang kot a

yang menyediakan

fungsi kawasan

lindung, hutan kota,

hijau rekreasi kota,

hijau kegiatan olahrag a, hijau pemakaman, hija u

pertanian, hijau jalur

hijau, hijau pekaranga n

7.3.2 Strategi Pembangunan Perkotaan

PERSPEKTIF PELANGGAN * I Meningkatkan Kemandirian Perkotaan J• Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Meningkatkan kapabilitas

melalui pelayanan kelembagaan perkotaan

PERSPEKTIF KEUANGAN

Meningkatkan Memperluas Sumber I Efisiensi Anggaran Pendanaan

1 ... ... • • PERSPEKTIF PROSES INTERNAL

Memahami siapa Memberi Meningkatkan I Meminimalkan masalah Memberikan tanggapan

'pelanggan' masukan/advis koordinasi 1

di daerah (fasilitasi) dengan cepat

+ PERSPEKTIF PEMBELAJARAN

.... I Meningkatkan Produktifitas SDM l+ Memberikan tanggapan ,.. dengan cepat

I Meningkatkan kompetensi SDM I PEMBANGUNAN PERKOTAAN I Memelihara suasana positif I

Pengelolaan RTH 221

TEMA STRATEGIK

Kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan,

berkualitas serta menunjang nilai-nilai budaya ... ... ... .... ... A B c D E

Tertatanya Tersedianya Sarana Berkembangnya Potensi Terciptanya keserasian Terselenggaranya

Kawasan dan prasarana dan Pertumbuhan kerjasama Pembangunan Pelayanan jasa

(kumuh) perkotaan perkotaan Perkotaan perkotaan _... A_ ..._ A_ _... PERSPEKTIF PELANGGAN Lihat halaman 222 dan 236

PERSPEKTIF FINANSIAL Lihat halaman 223 dan 233

PERSPEKTIF PROSES INTERNAL Lihat halaman 223 dan 231

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN Lihat halaman 224 dan 235

PERSPEKTIF PELANGGAN B Tersedianya Sarana dan

prasarana perkotaan

• • __. • I I I

I Sistem transportasi ! I Air bersih J I Air limbah I l Persampahan I I Pasar I I Drainase I 1 perkotaan j

Ruang Terbuka Hijau Aman,

A ~ ~ nyaman, sehat dan bermanfaat t • • A I Perhu~ungan I •••• Kimpraswil/ • • 1 • 1 • i • • • • • • • .... I Pemanfaatan I • . Pekerjaan Umum ; t_ • •

T Lingkungan Analisa Dampak Lingkungan

[ Pengembangan I ~· Hid up Lingkungan Hid up

222 Pengelolaan RTH

PERSPEKTIF FINANSIAL

__.. PENINGKATAN ... .... KEUANGAN ....

I Jl Efesiensi dan Efektivitas

I APBN I I BLN I I Kemitraan I Pengelolaan Keuangan/anggaran

• • • t t • • • • • •

I Ang:~." I I BAP; ENAS I 1 Aso: i .. i 1 Input vs Tertib

Output Administrasi

PERSPEKTIF PROSES

INTERNAL ' ~ ~ ~

Peningkatan kualitas Peningkatan kepuasan

layanan "pelanggan" pengguna dan donor melalui

t efisiensi Proses/biaya

' ~ ~ ,. Cepat E Up to Date/

tanggap I mutakhir ~ Komunikasi dan

I .... Koordinasi

t 8 t Fasilitas Tertib

lnfrastruktur Administrasi

Pengelolaan RTH 223

p ERSPEKTIF PEMBELAJARAN t PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

DAN KOMITMEN SDM

.. ~

I I I I SIM dan Pengembangan Kompetensi Program Kemitraan dan Diklat dan

Teknologi lnformasi SDM lnovasi Nara sumber seminar

.. ~ ~~ • • • • • • . I Di~lat I Reward& Asosiasi Profesi/ - Punishment

~ Perguruan Tinggi/

Konsultan

7.3.3 Fokus Strategi Pembangunan Perkotaan

FOKUS/ Pelanggan: Finansial Proses Internal Pembelajaran

PERSPEKTIF • Meningkatkan • Meningkatkan • Memahami • Meningkatkan

kemandirian efesiensi peng- pelanggan Produktivitas

Perkotaan gunaan anggaran • Memberi SDM

•Meningkat- • Memperluas sum- masukan/advis • Meningkatkan

kan kepuasan berpendanaan • Memberikan Kompetensi SDM

'pelanggan' melalui koordinasi • Memelihara sua-

pelayanan • Meminimalisasi sana kerja positif

• Meningkatkan masalah di dae-

kapabilitas kelem- rah/fasilitasi

bagaan perkotaan • Memberikan tang-

gapan dengan

cepat

224 Pengelolaan RTH

Penataan Kawasan • Peningkatan Mempercepat • Kompetensi SDM

{kumuh): SumberAPBN proses interaksi •Reward &

• Interior dan arsi- • Bantuan Luar dgn masyarakat, punishment

tektur kota Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan &

• Pemeliharaan • Kemitraan Promosi pemecah- nara sumber

kota dan bangun- • Tertib Administrasi an masalah berba- • Program lnovasi

an bersejarah dan Keuangan sis masyarakat • Diklat & seminar

• RTH dan taman •lingkatkan produk- • Sarana & prasa-

kota tivitas rana pembela-

• Kebersihan Kota •lingkatkan kontak jaran

•TPU positif

• Pengembangan •lingkatkan fasilitas

Perumahan dan infrastuktur

Permukiman • Tertib administrasi

SIM dan Tl

Sistem Transpor- • Peningkatan Sum- Mempercepat • Kompetensi SDM

tasi Perkotaan: berAPBN proses interaksi •Reward &

• Transportasi • Bantuan Luar dgn masyarakat, punishment

umum (trayek) Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan &

• Jalan dan • Kemitraan (Tata Ruang, PU, nara sumber

jembatan • Tertib Administrasi KLH, LSM, dsb.) • Program lnovasi

•Terminal dan Keuangan • Promosi solusi • Diklat & seminar

•Air Bersih masalah berbasis • Saran a & prasa-

• Sumur dan PAM masyarakat rana pembela-

•Air limbah •lingkatkan jaran

• Persampahan produktivitas

• Pasar •lingkatlan kontak

• Rumah Sakit positif

• Sekolah • lingkatkan fasi-

• Drainase litas infrastuktur

•RTH

Pengelolaan RTH 225

• Tertib administrasi I • SIM dan Tl

POTENSIDAN Kemitraan • Peningkatan Sum- Mempercepat • Kompetensi SDM

PERTUMBUHAN • Pemerintah ber APBN

I proses interaksi • Reward&

BUMN/BUMD • Bantuan Luar degan masyarakat, punishment

• Dunia Usaha/ Negeri

I

Pemda dan sektor • Kemiteraan &

swasta • Kemitraan • Promosi solusi nara sumber

• LSM • Tertib Administrasi masalah berbasis • Program lnovasi

• Sektor Informal dan Keuangan I masyarakat • Diklat & seminar

* Urbanisasi terk- I • Tingkatkan • Sarana & prasa-

end ali produktivitas rana pembelajaran

*Kemiskinan Kota • Tingkatlan kontak

Sistem Kota posit if

• Sehat ' • Tingkatkan fasili-

• Aman tas infrastuktur

• Nyaman • Tertib administrasi

Tipologi Kota • SIM dan Tl I

Kota Baru I t-- --

1 Mempercepat 1

• Kompetensi SDM KESERASIAN Dampak Ketimpang- • Peningkatan Sum-

DAN KERJASAMA an Desa dan Kota: ber APBN proses interaksi • Reward &

PEMBANGUNAN • Eksistensi kota- • Bantuan Luar dgn masyarakat, I punishment

desa (rural-urban Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan &

linkages) I

• Kemitraan • Promosi solusi I nara sumber

• Keserasian bangu-1

• Tertib Administrasi masalah berbasis • Program lnovasi

nan sepanjang kota- dan Keuangan masyarakat , • Diklat & seminar

desa (conurbation) I

• Tingkatkan • Sarana & prasa-

produktivitas rana pembelajaran

Sister/Twinning • Tingkatlan kontak

cities posit if

• Dalam Negeri I • Tingkatkan • Luar Negeri fasilitas infrastuktur

226 Pengelolaan RTH

• Tertib administrasi I • SIM dan Tl --·

• Kompetensi SDM 1 PELAYANAN JASA Pelayanan Satu Atap: • Peningkatan Sum- Mempercepat

• Fasilitas sosial ber APBN proses interaksi • Reward&

• Fasilitas umum • Bantuan Luar dgn masyarakat, punishment I • Sistem Jasa

I Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan & I

Pelayanan • Kemitraan • Promosi solusi nara sumber

• Fasilitas jasa ka- I • Tertib Administrasi i masalah berbasis • Program lnovasi

wasan tertentu dan Keuangan masyarakat • Diklat & seminar I • Pengendalian • Tingkatkan • Sarana & prasa-

mutu pelayanan produktivitas rana pembelajaran

(pengembangan dari ' • Tingkatlan kontak

I inisiasi sarana dan positif

prasarana • Tingkatkan

' fasilitas infrastuktur

• Tertib administrasi

• SIM dan Tl

Pengelolaan RTH 227

7.3.4 Tujuan Strategi!Kra > Ukuran Keberhasilan/KPI: Fokus Strategi Sarpras Kota > RTH

Pelanggan

• Meningkatkan

kemandirian

perkotaan

• Meningkatkan

kepuasan

pelanggan

• Meningkatkan

kapabilitas

kelembagaan

perkotaan

228 Pengelolaan RTH

Sistem transportasi perkotaan

• Transportasi umum

• Jalan & Jembatan

• Terminal

Air bersih

• Sumur& PAM

• Air limbah

• Persampahan

• Pasar

• Rumah Sakit

• Sekolah

• Drainase

Ruang Terbuka Hijau

Tertatanya ruang kota yang menyediakan

fungsi kawasan lindung (hijau alami-sekeliling

situ/danau/waduk, sepanjang tepian pantai/

pesisir), hutan kota, hijau rekreasi kota, hijau

kegiatan olahraga, hijau pemakaman, hijau

pertanian, hijau jalur hijau (green belt) , hijau

pengaman sar-pras (sutet, jalur KA, lalu­

lintas, dsb), hijau pekarangan

• Konsep kebijakan RTH yang dipergunakan

sebagai referensi dalam pembangunan dan

pengelolaan RTH

• Jumlah, luas dan kualitas fasilitas RTH yang

digunakan secara efefktif

• Tingkat kepuasan masyarakat

• Jumlah keluhan (complaint) masyarakat

terhadap kondisi RTH dan lingkungan minimal

• Perolehan penghargaan (program Bangun

Praja/Adipura, Kalpataru, dsb.)

URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-

TARGET PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

terkait

Penyusunan Konsep dan pemecahannya

Kebijakan (Bangda) & bagi daerah

unit terkait

Perencanaan sosia­

lisasi (Bangda)

& unit terkait

Sosialisasi (Bangda)

& unit terkait

Kebijakan pemba­

ngunan dan pengelo­

laan RTH

Tersosialisasinya

Kebijakan Pemban­

gunan dan Pengelo­

laan RTH

1 Workshop dengan Tersusunnya stan-

'

para pakar lansekap dar/ukuran RTH dan lingkungan untuk

1 penyusunan standard/

ukuran RTH (Bangda) 1 & unit terkait

Workshop dengan

para pakar lansekap 1 Tersusunnya Kriteria

dan lingkungan untuk Pembangunan RTH:

Penetapan Kriteria . Letak dan Jenis Pembangunan RTH:

Vegetasi Letak lokasi dan jenis

vegetasi (Bangda) & unit terkait

Kepmen, lnmen,

Ditandatangani

Waktu/hari dan

jumlah daerah

Kepmen, lnmen

Ditandatangani

Kepmen, lnmen

Ditandatangani

AkhirTahun

AkhirTahun Berikutnya

90% Kawasan

perkotaan

AkhirTahun

AkhirTahun Berikutnya

Pengelolaan RTH 229

TUJUAN STRATEGI/KRA > UKURAN KEBERHASILAN/KPI FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH

PERSPEKTIF PROSES

• Memahami

Pelanggan

• Memberi

masukan/advis

• Meningkatkan

koordinasi

• Meminimalkan 1

masalah di daerah/

fasilitasi

• Memberikan tang­

gapan dengan cepat

TUJUAN STRATEGI (KEY RESULT AREA)

• Mempercepat proses interaksi dengan

masyarakat, Pemda dan Sektor (Tata Ru-

ang, Kimpraswil, KLH, BAPPENAS, LSM,

I dsb.)

• Mempromosikan solusi masalah berba­

sis masyarakat

I • Meningkatkan produktivitas

I • Meningkatkan Kontak Positif

1 • Tertib Adminstrasi

I

UKURAN KEBERHASILAN (KEY PERFORMANCE INDICATORS)

• Jumlah dan frekuensi interaksi dengan

Pemda, sektor, dan masyarakat,

• Tersebarnya referensi solusi atau inovasi

pembangunan dan pengelolaan RTH dari

keberhasilan daerah

• Jumlah permasalahan pembangunan dan

pengelolaan RTH daerah yang dikonsultasi­

kan berhasil diselesaikan

• Kontak positif dan data based dengan

Pemda, asosiasi profesi (arsitek lansekap,

perencana, perancang, akhli lingkungan),

LSM/pemerhati lingkungan flora dan fauna

1 (kota)

• Dokumentasi pelaporan _L ------------ _..___ ________________ __,

230 Pengelolaan RTH

PERSPEKTIF PROSES SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN

& PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

• Jumlah dan frekuensi • Bulanan • Koordinasi dgn Departemen

interaksi dengan sektoral (Kimpraswil, KLH,

Pemda, Sektor dan BAPPENAS, Kehutanan,

masyarakat Pertanian, dsb)

• Kontak positif dan • Terus menerus • Penyusunan data based

data based dengan dan komunikasi, serta

Pemda, asosiasi profesi informasi

(arsitek lansekap,

perencana, perancang,

akhli lingkungan), LSM/

pemerhati lingkungan

flora dan fauna (kota)

• Tersebarnya referensi • Terus menerus • Sosialisasi

solusi atau inovasi pem-

bangunan dan penge-

lolaan RTH dari keber-

hasilan daerah

• Jumlah permasalahan • Setiap masalah • Konsultasi , asistensi, atau

pembangunan dan pe- yang dikonsultasikan fasilitasi

ngelolaan RTH daerah ditanggapi segera >

yang dikonsultasikan respon tidak lebih dari

berhasil diselesaikan 1 minggu

URAIAN KEGIATAN

• Rapat Koordinasi bula-

nan atau Triwulanan

• Pertemuan dan Komu-

nikasi rutin, pencatatan

data {data based), insti-

tusi, atau pejabat yang

relevan (terkait) dengan

pengelolaan RTH

• Sosialisasi inovasi

pembangunan dan pe-

ngelolaan RTH melalui

media informasi ke

daerah-daerah

• Menanggapi

konsultasi/asistensi atau

fasilitasi permasalahan

RTH

Pengelolaan RTH 231

URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-TARGET PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN INDIKATOR KEGIATAN KERJA --• Rapat Koordi- • Terbentuknya

nasi bulanan atau

Triwulanan

forum komunikasi

• Pertemuan dan • Jumlah data

Komunikasi rutin, terhimpun

pencatatan data

(data based), insti-

tusi, atau pejabat

yang relevan

(terkait) dengan

pengelolaan RTH

• Sosialisasi ino­

vasi pembangunan

dan pengelolaan

RTH melalui media

informasi ke

daerah-daerah

• Menanggapi

konsultasi/asis­

tensi atau fasilitasi

~rmasalahan RTH

232 Pengelolaan RTH

• Jumlah inovasi

pembangunan dan

pengelolaan RTH

daerah yang terdata

dan tersosialisikan

• Jumlah konsultasi

SATUAN

• Jumlah pertemuan • Setiap bulan atau

dan frekuensinya

• Jumlah dan bulan

• Jumlah dan bulan

serta sebaran sosia­

lisasi

• Jumlah dan waktu

tanggap

triwulanan

• Seluruh nama dan

data pakar yang

relevan dengan RTH

terhimpun dalam 3

(tiga) bulan

• Setiap 3 bulanan

me masukkan artikel

ten tang inovasi

pembangunan dan

pengelolaan RTH

• Setiap permasalah­

an masuk langsung

ditanggapi (tidak

lebih dari 1 minggu)

TUJUAN STRATEGI/KRA > UKURAN KEBERHASILAN/KPI

FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH

1'UJUAN STRATEGI fKEY RESULT AREA)

Finansial • Peningkatan sumber APBN

• Meningkatkan efisiensi • Bantuan Luar Negeri

peggunaan anggaran • Kemiteraan/Kontak Positif

• Memperluas sumber pendanaan • Tertib Adminstrasi dan

keuangan

PERSPEKTIF FINANSIAL

UKURAN KEBERHASILAN

(KEY PERFORMANCE INDICATORS)

• Jumlah dana dari APBN meningkat

• Jumlah dana bantuan luar negeri

meningkat, misalnya melalui proyek-

1 proyek kerjasama LN)

• Jumlah partisipasi sponsorship

meningkat

• Laporan administrasi akuntabel

SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UINRAN TARGET PROGRAM URAIAN

KE8ERHASILAN ' (RENCANA CAPAIAN) KEGIATAN I

• Jumlah dana dari APBN • Anggaran pembinaan pem- • Efektivitas I

• Pemanfaatan

meningkat bangunan dan pengelolaan RTH anggaran

I anggaran

meningkat 00%

• Jumlah dana bantuan dari • Anggaran proyek bantuan LN • Proyek bantuan • Pengelolaan

luarnegeri meningkat (misal- untuk tema RTH meningkat 00% LH untuk RTH Proyek bantuan LN

nya melalui proyek-proyek

kerjasama luar negeri

• Jumlah partisipasi/ • Jumlah partisipasi meingkat 00% • Kemiteraan/ • Kegiatan

sponsorship masyarakat sponsorship kemiteraan/

meningkat sponsorship

• Laporan administrasi • Laporan administrasi akuntabel/ • Transparansi • Transparansi

akuntabel tidak terdapat temuan BPKP administrasi

Pengelolaan RTH 233

URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-TARGET PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN KEGIATAN

• Pemanfaatan • Tepat guna • Jumlah Rp

anggaran

• Pengelolaan • Tepat waktu dan • Jumlah Rp dan

proyek Bantuan LN biaya waktu

• Kegiatan • Tepat guna • Jumlah Rp

kemiteraan/

sponsorship

• Transparanasi • Tidak ada temuan • 0 temuan

administrasi BPKP

TUJUAN STRATEGI/KRA > UKURAN KEBERHASILAN/KPI FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH

Pembelajaran • Kompetensi SDM

• Peningkatan produktivitas SDM • Kemiteraan dan narasumber

• Meningkatkan kompetensi SDM • Diklat dan seminar

• Memelihara suasana kerja positif • Sarana dan prasarana

pembelajaran

234 Pengelolaan RTH

• Rp

• Rp ..... .... .. .. untuk

.. .. .. .. . bulan

• Rp

• Tidak ada temuan

(0)

• Jumlah SDM Bangda yang

memahami RTH

• Banyaknya back up pakar RTH

• Jumlah dan frekuensi seminar RTH

yang dihadiri oleh SDM Bangda

• Jumlah buku, artikel dan referensi

tentang RTH

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN

• Jumlah SDM Bangda

yang memahami RTH

• Banyaknya 'back up'

' pakar RTH

1 • Jumlah dan frekuensi

Pertemuan llmiah

(seminar) RTH yang

~ dihadiri oleh SDM Bangda

• Jumlah buku, artikel dan

refererisi tentang RTH .-

dan Prasarana Kota

I • Minimal tiga orang pakar

j Tetap untuk s

I• Seluruh Subarr: arana

dan Prasarana Kota

I • Tersedianya buku-buku,

I, dan referensi tentang RTH

diBangda \

PROGRAM

• Pelatihan

• Konsultasi Nara Sumber

I • Pertemuan llmiah

, (Seminar, Loka Karya,

I Semi Loka), tentang RTH

I

URAIAN KEGIATAN

• Peningkatan penge­

tahuan dan kompetensi

SDM Bangda

• Konsultasi dengan

Nara Sumber tetap

1 • Pertemuan llmiah di

1 dalam maupun di luar

negeri

~ • Tersedianya buku-buku, 1 • Perpustakaan

I dan referensi tentang RTH ~ ~ di Bangda l

Pengelolaan RTH 235

7.3.5 Perspektif Pelanggan Sasaran & Uraian Kegiatan Pembangunan & Pengelolaan Sarpras Kota > RTH

UKURAN KEBERHASILAN

1. Konsep Kebijakan

RTH yang dipergunakan

sebagai referensi

dalam pembangunan

pengelolaan RTH

2. Jumlah dan kualitas

fasilitas RTH yang diper­

gunakan dengan efektif

236 Pengelolaan RTH

TARGET (RENCANA PENCAPAIAN)

Konsep selesai akhir 2004

dan selesai disosialisasi­

kan kepada Pemda/

Pemkot pada Juni 2005

(BANGO A)

• Diterapkannya standard

RTH-Kota sesuai dengan

DPU (BANGDA)

• Terjaganya vegetasi

• Tersedianya taman

rekreasi aktif: Kebon

Raya, Kebon Binatang ,

Arboretum, Olah-raga,

Taman Bermain Anak, dan

Taman Lansia

• RTH untuk pengaman

fasi-litas kota: koridor

hijau, sepanjang badan

perairan, jalur PLN

(SUTET), jalur lalu-lintas,

PROGRAM

• Penyusunan Konsep

Kebijakan (BANGDA)

• Sosialisasi kebijakan

(BANGO A)

• Penetapan standard/

ukuran RTH (BANGDA)

• Penetapan kriteria

pembangunan RTH-Ietak

lokasi & jenis vegetasi

(BANGO A)

• Kampanye RTH

• Persuasi kemiteraan

dengan pihak terkait

URAIAN KEGIATAN

• Workshop RTH

• Pembentukan Team

Penyusun Konsep

Kebijakan

• Perencanaan sosialisasi

• Sosialisasi

• Workshop dengan

para pakar lansekap dan

lingkungan

• Workshop dengan

para pakar lansekap dan

lingkungan

• Kerjasama dalam

kampanye tentang RTH

dengan pengembang

dan pemerhati bidang

arsitektur lansekap dan

taman, akhli fasilitas

dan kesehatan olahraga,

anak-anak dan lansia

• Kerjasama dalam

pemanfaatan RTH dengan

LSM lingkungan, PLN,

DLLAJR,PJKA,Pengem­

bang (Developer), dst.

r--3. Tingkat Kepuasan

Masyarakat

t-

I

I I

I

jalur KA, dst.

• RTH-Permukiman: pada

halaman dan Kompleks

• RTH-Pertanian

• RTH-Hutan Kota

• RTH-Fasilitas Umum

• Jumlah pengguna/

penikmat taman kota

meningkat 00%

• Kepedulian masyarakat

terhadap penghijauan

meningkat ........ .... ..

kegiatan

• Kepedulian masyarakat

terhadap pemeliharaan

taman/ hutan kota

meningkat, dengan

indikator taman/hutan

kota yang tertata, sesuai

fungsinya, subur, indah/

estetis, bersih, habitat

satwa/pelindung

• Perencanaan &

Pengawasan

• Sosialisasi Pertanian

Kota

• Sosialisasi Hutan Kota

• Penghijauan, Perindang,

Tanaman pelindung

• Sosialisasi pemanfaatan

taman/hutan kota

• Penghijauan kota

• Pemeliharaan taman

dan hutan kota serta

lingkungan flora/fauna

• Kerjasama dengan

masyarakat dan

pengembang

• Kerjasama dengan

masyarakat penggarap

• Kerjasama dengan PT

• Kerjasama dengan

masyarakat, LSM,

tokoh-tokoh, pelajar,

pengembang dan

pertokoan

• Kerjasama dengan

pemakaman umum

untuk pembenahan TPU

• Olahraga/bermain

bersama di taman kota

• Pembibitan gratis atau

murah

• Multi fungsi tanaman

(manfaat untuk pangan,

obat-obatan, industri , dll)

• Sosialisasi hijau dan

bersih kota

-

Pengelolaan RTH 237

f4. Jumlah pengaduan

(complaint) masyarakat

terhadap RTH dan

lingkungan minimal

5. Perolehan

penghargaan (Bangun

Praja/Adipura, Kalpataru,

Prokasih, Langit Biru, dll)

• Taman kota 'bersih ' dari

PKL

• Taman kota 'bersih' dari

kegiatan asusila (PSK, judi,

dsb.)

Memperoleh penghargaan

....... apa saja .. kapan ... , dst.

(prestasi)

• Sosialisasi dan relokasi

PKL

• Penerangan taman dan

patroli

Pembangunan lingkungan

dan RTH

• Kerjasama dengan

tramtib dan masyarakat

tentang PKL -· -- --

• Kerjasama dengan

Tamtib dan Poi/PP,

pemeliharaan penerangan

Pembangunan kesadaran

lingkungan dan RTH

--------- ----- -------------------L------------------~ Catalan: Selanjutnya masing-masing kegiatan akan diuraikan lebih rinci, sekaligus dengan mencantumkan lndikator Kine~a. Satuan Rencana,

Tingkat Capaian (Target), dan keterangan yang menyertainya.

7.4 CONTOH PENYELENGGARAAN RTH Masalah klasik yang akan terus mengancam pemba­

ngunan kota berkelanjutan adalah tantangan yang harus

dihadapi agar pemerintah daerah, pengusaha, dan ma­

syarakat umum, mau menghargai sebidang lahan hijau

terbuka sebagai komponen utama RTH kota terhadap

tekanan ekonomi dan tingginya spekulasi nilai tanah.

Dalam arsitektur lansekap kota, yang terpenting

adalah bagaimana menjaga agar dalam memenuhi ke­

butuhan penduduk kota akan RTH yang aman, nyaman,

sehat, indah, dan asri, RTH kota dapat berfungsi optimal,

yaitu bila fungsi-tupgsi alami LH dapat terus berlangsung,

dan keseimbangan harmonis antara lingkungan buatan

dan lingkungan alami dapat terus terbentuk.

Peraturan perundang-undangan di bidang pengelo­

laan RTH dirasakan telah mencukupi, baik di bidang LH

maupun dari sektor lain, seperti kesehatan, pekerjaan

umum, kehutanan, pertanian, perikanan, perkebunan,

238 Pengelolaan RTH

dan perindustrian. Salah satunya adalah lnmendagri No.

14/1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan,

yang sayangnya belum didukung petunjuk pelaksanaan

Ouklak) dan petunjuk teknis Ouknis). Akibatnya adalah

kiblatisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota Ja­

karta, tanpa mempertimbangkan potensi dan identitas

daerah, terutama dalam pemilihan materi tanaman yang

belum tentu sesuai dengan kondisi geografis dan eko­

tipe masing-masing kota atau lokasi tertentu.

Kota (metropolitan) Jakarta bisa dijadikan panutan, di

bidang pengelolaan RTH, tetapi hanyalah terbatas pada

semangat perintisan dan usaha keras pengelola kotanya

sejak 1963, yaitu dalam mewujudkan RTH menjadi nyata,

sehingga nampak hasil upaya penghijauan dimana-mana.

Perlu pula peningkatan kesadaran warga kota untuk

mempertahankan atau mau menyisihkan sebagian hala­

man rumah untuk dialokasikan sebagai halaman hijau pe­

karangan dalam bentuk: taman rumah, taman sari, kebun

buah-buahan, apotik hidup atau sayuran. Jika tak terse­

dia ruang lagi, masih dapat diupayakan sistem tanaman

bunga/buah dalam pot (tabulampot), atau sistem tanam

bertingkat (vertikultur), sehingga tercipta suasana alami.

Pelaksanaan aturan secara konsisten, seperti per­

syaratan pada Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan

Koefisien Dasar Hijau (KDH) secara ketat, akan sangat

membantu tetap tersedianya lahan hijau di perkotaan.

7.4.1 Provinsi DKI Jakarta

Persentase dan bentuk RTH di berbagai kota di

Jawa sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pola wari­

san kolonial. Alun-alun berfungsi sebagai tempat perte­

muan Raja dengan rakyat, karena itu terletak di pusat

kota dan dikelilingi oleh bangunan pusat pemerintahan.

Kebun Raja atau Taman Sari sebagai tempat para Raja

atau Gubernur Jenderal bertemu atau berekreasi, mirip

dengan karakter kota-kota tua di Eropa abad XIX. Pola

grid dengan kombinasi kurva linier di tempat tertentu, se­

perti sepanjang sungai, dan di pusat kota terdapat square

(Gunadi, 1995). Contoh RTH warisan kolonial di Jakarta

adalah Taman Fatahillah, Taman Lapangan Banteng (Pa­

rade Plaats/Water/ooplein,' 1799), Taman Silang Monas

(Koningsplein, 1809), Taman Surapati (Bisschoplein, 1926)

dan Taman Situ Lembang (1926), serta eks Makam Ke­

bon Jahe yang telah dipugar menjadi Museum Prasasti.

Untuk Kota Jakarta yang fungsi utamanya adalah

sebagai lbukota Negara, mau tak mau harus berusaha

mensejajarkan diri dengan kota-kota besar dunia yang

secara terus-menerus meningkatkan kualitas lingkungan

kotanya, yang tidak saja bersih tetapi juga secara fisik

dan sosial dapat berfungsi optimal. Proyeksi kebutuhan

RTH hendaknya diarahkan pada:

• Preservasi pada zona pesisir (coastal zone) di Jakarta

Utara sebagai wilayah tepian air terbuka (waterfront)

yang dilindungi, karena tanah yang labil sebagai hasil

sedimentasi sungai-sungai, tanah rendah dan langga­

nan banjir.

• Preservasi daerah aquifer recharge area perlu memeli­

hara daerah selatan Jakarta sebagai wilayah RTH untuk

peresapan air.

• Ali ran sungai-sungai yang mengalir dari selatan ke utara

Jakarta perlu dijadikan koridor preservasi hijau.

• Program banjir kanal dengan waduk-waduknya perlu

ditunjang dengan program penghijauan dan rekreasi

air.

• Koridor hijau di bawah SUTET sesuai peraturan yang

ada sebagai daerah pengaman.

• Koridor jalur hijau jalan raya dan bantaran kereta api.

• Area-area rekreasi lingkungan dapat diintegrasikan pada

jalur-jalur preservasi hijau seperti tepi sungai, waduk,

aquifer recharge area, pantai, dan lain-lain, serta diusa­

hakan perencanaan penyebaran secara merata.

• Adanya peraturan perundangan yang menunjang pro­

gram RTH, baik makro maupun mikro.

• Adanya pendanaan yang memadai untuk program RTH

dan rekreasi.

Selain banyak kerjasama telah dilakukan dengan pi­

hak swasta (pengusaha), maka Pemda DKI Jakarta me­

lalui Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, pada akhir

Desember 2005 lebih meningkatkan upaya pembangun­

an penghijauan dan keindahan kota bersama masyarakat

mulai dari tingkat kelurahan.

Pengelolaan RTH 239

240 Pengelolaan RTH

Gambar 7.3 (halaman sebelum dan halaman ini: Menunjukkan kondisi dan situasi Kota Jakarta

yang sebenamya terletak di lahan basah (rawa)

sehingga sejak dulu memang rawan banjir. Banyak

tanaman peneduh guna mengatasi iklim tropis

yang lembab dan panas.

(----, de Haan "Oud Batavia Platen Album•

dan Maja/ah 'lndieJ

Pengelolaan RTH 241

Ke~asama dalam mengelola RTH di tingkat kelurahan

masing-masing, diharapkan agar (Dinas Pertamanan,

2005):

• Sesuai dengan kebutuhan warga secara nyata di tingkat

yang paling dasar, yaitu pentingnya hidup sehat. RTH

diyakini merupakan salah satu faktor penting memper­

tahankan fungsi lestari LH.

• Tertaksananya penghijauan memakai tanaman yang le­

bih berkualitas di seluruh ruang terbuka Kota Jakarta

bersama masyarakat.

• Meningkatkan keindahan kota melalui penataan elemen

sarana dan ornamen kota.

• Peran aktif masyarakat kota termasuk generasi muda di

bidang pertamanan dan keindahan paling tidak di saki­

tar rumah dan kelurahan masing-masing, dapat lebih

tergalang.

• Tumbuhnya rasa memiliki yang panting demi menjaga

keutuhan areal penghijauan karena semakin mening­

katnya kesadaran untuk tidak merusak miliknya sendiri

didasarkan pada kebutuhan hakiki untuk hidup sehat

dan sejahtera.

Dinas Pertamanan DKI Jakarta mengingatkan bahwa

bila bagian rumah kita ada yang rusak, misalnya akan

mudah mengganti dengan yang baru, tetapi bila sebuah

pohon hilang, rusak atau mati, maka butuh waktu tahunan

agar tanaman tersebut dapat hidup tumbuh dan dapat

berfungsi kembali yang justru adalah untuk kepentingan

manusia itu sendiri.

Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2/2005 tentang Pe­

ngendalian Pencemaran Udara, merupakan salah satu cara

penting PLH bagi Kota Jakarta, khususnya untuk pemuli­

han kualitas udara yang sudah lama ditunggu-tunggu.

242 Pengelolaan RTH

Gambar 7.4: Taman Tugu Pahlawan, sebelum dipagar dan dllengkapi

Museum. (Rishadi, 1990)

7.4.2 Kota Surabaya

Data Dinas Pertamanan Kota Surabaya, (1990), kon- .

disi topografi wilayah kota pantai Surabaya relatif da­

tar, dengan sebaran ketinggian antara 3-6 meter dpl, di

sepanjang dataran pesisir dari Utara ke arah Timur, sam­

pai 25-30 meter dpl di bagian Barat Daya yang membujur

dari Timur ke Barat. Luas wilayah Kota Surabaya, saki­

tar 290,44 km2 terbagi ke dalam tiga wilayah Pembantu

Kota: Surabaya Utara, Timur, dan Selatan.

Luas pusat kota yang padat berada dalam adminis­

trasi 11 (sebelas) kecamatan yang luasnya sekitar 67,20

km2 sedang 8 (delapan) kecamatan tersebar di pinggiran

kota, sekitar 224,58 km2• Jumlah penduduk 1990 adalah

Gam bar 7.5: (1) Bangunan rumah dalam kompleks peru mahan mewah menyediakan halaman untuk hijau dan teduh menambah prosentase

luasan RTH Kota Surabaya, (2) Halaman perkantoran yang cukup luas, mungkin lebih nyaman bila lebih banyak ditanami pohon peneduh yang

rindang untuk udara kota Surabaya yang cukup terik, (3) Taman Sure ing Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya. (Rishadi, 1990)

sekitar 2,6 juta jiwa yang sebagian besar terkonsentra­

si di wilayah pusat kota, sehingga tingkat kenyamanan

penghuninyapun tidak memadai. Pencemaran udara su­

dah nyata telah meningkatkan perbedaan suhu kota amat

tajam antara daerah terbangun dan tidak terbangun, yaitu

mencapai 1 0°C. Disinilah kemudian timbul peningkatan

kesadaran akan pentingnya eksistensi dan fungsi RTH

kota, sehingga sudah perlu dibentuk suatu unit khusus

yang berdiri sendiri.

Cikal-bakal terbentuknya Dinas Pertamanan Kota

Surabaya, dimulai sebagai salah satu seksi Dinas Peker­

jaan Umum (SK Walikotamadya Kepala daerah Kotama­

dya Dati II , No. 476/K, tanggal 5 April 1972), kemudian

susunan organisasi dan tata kerja Dinas PU ditingkat­

kan dan diperbaharui kembali dengan SK No. 290/1985,

dimana Seksi Pertamanan dan Makam (P&M) masih

berada dalam lingkup Dinas PU. Sehubungan dengan

peningkatan kebutuhan pengelolaan yang lebih khusus,

status Seksi P&M ini ditingkatkan menjadi Dinas Teknis

yang berdiri sendiri, disebut: "Dinas Pertamanan Kota"

(SK Pemerintah Kodya Daerah Tk II No. 22/1987).

Pelaksanaan pengelolaan RTH yang dikelola Peme­

rintah kota (cq. Dinas Pertamanan) tahun 1987, meliputi

sekitar 388 hektar, berupa: Taman (1 07 Ha), Lapangan

Olahraga (32 Ha) dan Makam (250 Ha), diharapkan pada

tahun 2005 akan terjadi penambahan luas RTH sebesar

Pengelolaan RTH 243

2

3

2

3% dari totalluas yang 388 Ha tersebut.

Pemerintah Kota Surabaya, telah melaksanakan pem­

bahasan (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

dengan proyeksi penggunaan, sebagai berikut:

• 17,6 Ha untuk perumahan (54%)

• 0.1 Ha untuk perniagaan (3%)

• 4 Ha untuk industri dan pergudangan (12,5%)

• 0.9 Ha untuk sarana RTH (3%: OR, Makam, Taman)

• 4 Ha untuk jalur hijau sekitar 12,5% (RTH, tambak dan

konservasi)

• 5,5 Ha untuk fasum dan jasa (15%)

Rancangan tersebut berdasar pada asumsi jumlah

penduduk Kota Surabaya tahun 2000 sekitar 2,6 jiwa, di

pusat kota seluas sekitar 32,650 Ha. Dengan perkiraan

pertumbuhan per tahun sekitar 1%, maka pada tahun

2005 jumlah penduduk akan mencapai sekitar 2,7 jiwa.

Pemerintah kota kembali menerbitkan Perda No.

7/2002 Tentang Pengelolaan RTH yang dimaksudkan un­

tuk meningkatkan mutu kehidupan bagi generasi masa

kini dan yang akan datang. Mengingat pula bahwa PLH

itu amat penting, termasuk peningkatan kesadaran bah­

wa tanggung jawab akan upaya pelestarian fungsi LH,

merupakan tanggung jawab bersama antar Pemda dan

masyarakat Kota Surabaya.

Pelaksanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian RTH,

diatur sebagai berikut: (a) Pemda berwenang meman­

faatkan RTH milik daerah; (b) Setiap orang/badan dapat

melakukan pengelolaan dan pemanfaatan RTH atas ijin

Kepala Daerah; (c) Sebaliknya terhadap RTH milik per-

3 orangan/badan, Pemda berwenang mengatur peman-

Gambar 7.6: (1) Jalur lalu lintas, (2) Taman untuk lapangan upacara, (3) faatannya dengan Perda; (d) Pengelolaan RTH oleh setiap Pengaturan kembali tepian sungai. (Kota Surabaya, 1990) badan/perorangan dapat dilaksanakan secara terpadu

244 Pengelolaan RTH

oleh instansi Pemda, masyarakat dan pelaku pembangun­

an lain sesuai bidang tugas dan tanggung jawab masing­

masing atas ijin Kepala Daerah, dan (e) Setiap penghuni

atau pihak yang bertanggung jawab atas rumah/bangun­

an atau persil yang terbangun, wajib menghijaukan hala­

man/pekarangan dimaksud dengan menanam pohon pe­

lindung, perdu, semak hias, penutup tanah/rumput, serta

memeliharanya dengan baik.

Sedang di luar rumah tinggal pribadi atau tunggal, di­

perlukan pula peran para:

• Pengembang perumahan wajib mewujudkan pertaman­

an/penghijauan pada lokasi jalur hijau sesuai rencana

tapak yang disahkan.

• Bangunan kantor, hotel, industri, pabrik, bangunan per­

dagangan, dan bangunan lain, diberlakukan persyaratan

penanaman mirip Tabel 8 di atas, namun untuk kavling

>240 m2 wajib ditanami tiga pohon pelindung.

• Tiap jalur jalan hijau di seluruh bag ian kota sedapat mung­

kin diusahakan untuk ditanami tanaman peneduh.

• Tiap pemilik atau yang bertanggung jawab atas lahan

terbuka berupa lereng dengan kemiringan > 15° wajib

ditanami dengan satu pohon penghijauan pada se­

tiap 15 m2 dan penutup tanah/rumput dalam jumlah

memadai.

• Pemanfaatan RTH perlu dikendalikan sesuai fungsi­

nya, melalui ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang

ditunjuk, serta sanksi hukum yang mengikat.

• Diterapkan pula persyaratan (tarit) retribusi pemotongan

pohon (Perda No. 2/1978 dan No. 8/1993), dimana ter­

cantum berbagai tarif untuk pemotongan berbagai ukur­

an pohon serta persyaratan penggantian (peremajaan)

dengan tanaman baru secara seimbang.

Gambar 7.7: Penataan tepian kali (Surabaya) sangat memberi

pengaruh pada kualitas kebersihan lingkungan kota. (KLH, 2004)

Tabel 7.1 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal

UKURAN SYARAT/ KOMPOSISI JENIS KEWAJIBAN JENISYANG

KAVLING PENANAMAN CUKUP MINIMAL DENGAN

>120m2 satu pohon I penutup tanah/

pelindung rum put

120-140 m2 satu pohon penutup tanah/

pelindung, perdu rum put

& semak hias

240-500 m2 dua pohon penutup tanah/

pelindung, perdu rum put

& semak hias

500m2 tiga pohon penutup tanah/

pelindung, perdu rum put

& semak hias

Relatif sempit pakai sistem pot manfaatkan

dan tanaman ruang di atas

gantung lain saluran got

Pengelolaan RTH 245

Semboyan "Kota Pahlawan Surabaya" dengan motto

(2000), sebagai kota INDAMARDI (industri, perdagan­

gan, maritim, pendidikan), maka umumnya "Taman kota"

Surabaya digolongkan pula menurut fungsi dan kegiatan­

nya sebagai berikut (1990):

(1) Taman Monumen, dimana terdapat patung-patung

perjuangan yang akhirnya nampak menonjol diantara

taman kota yang ada, misalnya: Taman Monumen Tugu

Pahlawan dengan patung setinggi 45 meter, dibangun

tahun 1952 sebagai peringatan pertempuran tang­

gal 1 0 November 1945. Sejarah dibangunnya "Taman

Wira Surya Agung" di ujung Jembatan Wonokromo, Ta­

man-taman Monumen lain adalah TM Mayangkara, TM

Ronggolawe dan TM Bahari;

(2) Taman Lingkungan, meliputi RTH yang umumnya di­

kelilingi oleh jalan lingkungan dalam bentuk persegi,

bundar dan oval. Taman ini sering dimanfaatkan untuk

menampung aktivitas warga kota, seperti: bersantai,

bermain bagi anak-anak dan berolahraga, yang sering­

kali menjadi rusak karena minimnya sarana lapangan

olahraga yang memadai;

(3) Taman Jalur Hijau Jalan, biasanya terletak pada me­

dian jalan yang cukup Iebar, bersifat pasif, namun kare­

na kadang cukup luas sesekali bisa dimanfaatkan pula

untuk olahraga terbatas, namun tentu saja tidak dian­

jurkan karena pasti membahayakan;

(4) Taman 'Rotonde', yang bersifat pasif pula dan letak­

nya biasa ada di persimpangan jalur lalu lintas, atau Ta­

man 'traffic islands';

(5) Taman Bermain, dimana lokasi maupun bentuknya

amat mirip dengan Taman Lingkungan namun dibangun

elemen khusus sebagai sarana bermain anak-anak;

246 Pengelolaan RTH

(6) Taman Kantor, biasanya merupakan 'halaman' kantor

pemerintahan yang sangat luas, dimana masyarakat

umumpun bisa memanfaatkan, seperti Taman Kantor

Balai Kota;

(7) Taman Tepi Jalan, Viaduct, bersifat pasif untuk peng­

amanan prasarana;

(8) Taman Stren (bantaran sungai), juga bisa merupakan

ruang yang cukup luas dan panjang, bahkan dipakai

sebagai Taman Rekreasi, seperti Taman Kayun yang

dimanfaatkan sebagai 'food court' khas Jawa Timur.

Pemanfaatan Kali Mas atau kali Surabaya, dulu dikenal

sebagai salah satu atraksi rekreatif penelusuran sungai

bagi warga Surabaya khususnya.

Dari berbagai 'jenis' RTH tersebut, diakui bahwa pe­

ngelolaannya belum maksimal karena berbagai kendala

klasik, misalnya keterbatasan biaya dan SDM yang han­

dal sebagai sarana pokok peningkatan kualitas RTH kota

Surabaya, karena itu sampai tulisan ini disusun, pening­

katan kualitas pengelolaannya masih terus dilaksanakan.

Materi tanaman penghijauan, sedapat mungkin meng­

gunakan tanaman 'lokal' melalui seleksi dengan kriteria

tanaman yang relatif kuat, cepat tumbuh sehingga cepat

mengesankan kehijauan dan keteduhan terutama di pu­

sat kota. Tanaman terpilih dan telah disiapkan dalam ke­

bun pembibitan kota, untuk program jangka panjang ini,

misalnya (Dinas Pertamanan Surabaya, 2000):

(1) Sembirit (8/ighia sapida), tak terlalu cepat tumbuh, hijau

sepanjang tahun, tajuk dapat diatur. Ciri khas: buah

mirip buah jambu monyet, namun tak dapat dimakan,

perbanyakan generatif melalui biji;

Gambar 7.8: (1) Pohon Peteduh yang terletak di sepanjang bantaran kali bisa membentuk iklim mikro yang 1-2 derajad lebih rendah dari

lingkungan di luarnya, (2) Taman Lalu-lintas sebagai unsur 'pelemah' bangunan gedung di sepanjang jalur jalan, (3) Penataan bantaran sungai

meskipun cukup baik, tapi pemilihan jenis tanaman mungkin bisa lebih baik lagi. Jenis pohon flamboyan (Delonix regia) bunganya indah tapi

sering menggugurkan daun.

(2) Tabebuya (Tabebuia rosea), bentuk bunga seperti te­

rompet, pertumbuhan tak terlalu cepat, bentuk tajuk

dapat diatur, rekomendasi untuk penghijauan di bawah

kawat listrik penghantar udara. Warna daun hijau

sepanjang daun dan mengkilat. Perbanyakan generatif

melalui serpihan-serpihan biji;

(3) Sono Banyu (Milethia sp), bentuk tajuk membulat,

hijau sepanjang tahun, mampu tumbuh di daerah relatif

kering atau kurang subur;

(4) Maja (Cresencia cujeta/Aegle marmeos), tanaman ber­

nilai historis pada jaman kerajaan Majapahit, ciri khas:

buah bulat mengkilat dan keras, sebesar jeruk Bali. Baik

untuk peneduh, sebab karakter batangnya yang men-

jurai dengan ukuran daun relatif besar dan Iebar, serta

tak mudah rontok. Perbanyakan bisa secara vegetatif

(cangkok), maupun generatif melalui biji, serta mampu

tumbuh baik pada lahan basah, atau pada daerah yang

relatif sering terendam;

(5) Tanjung (Mimusops e/engi), bentuk pohon priamidal

dan menarik, berbunga harum, warna buah merah

mencolok (seperti buah melinjo, Gnetum gnemon), baik

untuk peneduh di sepanjang pedestrian (trotoir), dima­

na media (ruang)-nya relatif terbatas;

(6) Jambu air (Eugenia aquea L.), tidak dianjurkan dita­

nam pada jalur lalu lintas yang pencemaran udaranya

tinggi, namun lebih sesuai untuk lingkungan permukim-

Pengelolaan RTH 247

3

Gambar 7.9: New City-Core

Osaka Twin office Tower dan

Taman bunganya.

(----- 1989, Osaka Business

Park/OBP, hal 7)

an/kampung karena buah segarnya (di musim

kemarau).

Selain tanaman khas di atas, dibudidayakan pula ma­

terial 'soft landscape' yang lazim digunakan di lingkungan

perkotaan, seperti: Asam Jawa (Tamarindus indica), Glo­

dokan (Polyalthea longifolia), Bungur (Lagerstroemia spe­

ciosa) , Dadap Merah (Erythrina cristagalli), Sawo Kecik

(Manilkara kauki) , dan lain-lain.

Kota dirancang baik untuk bekerja maupun untuk tern­

pat tinggal, telah digunakan pula pendekatan menyeluruh

di dalam lingkungan terbangun. Di Kairo, Mesir, telah

dibangun pula sebuah wilayah yang disebut dengan Kota

Taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari pusat kota.

Bagian kota ini memang hijau, dan di beberapa tempat

hanya terletak titik-titik bangunan, diantara keteduhan

pohon hijau yang pekat.

Meskipun tidak seperti di Kairo, Osaka juga terdiri

dari bangunan-bangunan tinggi. Perencanaannya semula

dimaksudkan agar cahaya matahari dan pen~hijauan

adalah sebagai dasar pelayanan dan menjadi bagi'an dari

Osaka Castle Park. Tempat-tempat tersebut dirancang

sebagai pusat baru bagian kota yang dilengkapi dengan

fungsi yang berbeda-beda.

Pemilik lahan pribadi, mewakili empat badan hukum

(tahun 1989, sudah ada sembilan yang terkait), telah

mengorganisasikan sebuah Dewan Pembangunan, di

bawah pengarahan dari Pemerintahan Kota Osaka. De­

wan ini telah melaksanakan proyek persesuaian lahan

dan telah mempersiapkan lembaganya.

Karakteristik proyek persesuaian lahan adalah:

7.4.3 Osaka: 'Osaka Business Park' (OBP) • Sepanjang pinggiran perairan di sekeliling area, sebu-

Bila ingin melihat 'kota masa depan', maka dapat ah tempat untuk berjalan-jalan dibangun, dimana

dilihat perencanaan kota Osaka yang sedang gencar- penghijauan diatur sedemikian rupa sehingga saling

gencarnya membangun, antara lain lapangan terbang sinambung, misal: di antara jalur-jalur sungai, dimana

termodern di dunia yang dibangun di atas permukaan pada musim panas atau musim lain sering digunakan

laut. Belum lagi alat transportasi kota yang semakin lama untuk festival. Janis pohon khas Osaka adalah Ginko

semakin canggih demi kenyamanan hid up man usia kota. biloba, namun di sepanjang jalur transportasi (termasuk

Orang tidak lagi kehujanan atau kepanasan, meski dia sungai tersebut) ditanam pula Pohon Sakura.

memakai kendaraan umum, tetapi merasa aman dan • Pada sumbu utara-selatan dibangun garis jalan selebar

nyaman. 7.5 meter yang ditanami Pohon Zelkova Jepang.

248 Pengelolaan RTH

• Kemudian di wilayah kota, dibagi-bagi ke dalam kotak­

kotak berukuran besar untuk meyakinkan agar terdapat

ruang terbuka yang mencukupi bagi tiap blok tersebut.

Gambar 7.10 (paling kiri):

Matsushita IMP Building.

(----- 1989, Osaka Business Park, ha/13)

Gam bar 7.11 (atas dan kiri):

The Pedestrian Deck Osaka-jo Kyobashi

promenade.(----- 1989, Osaka Business Park,

hal 17dan 18)

sarana; dan pemeliharaan lahan hijau (sebuah perjanjian

terpisah yang disisihkan khusus untuk promosi RTH).

Osaka, sebagai kota terbesar kedua setelah Tokyo di

Jepang juga telah menghadapi berbagai tekanan pen-

Untuk mempromosikan formasi unsur-unsur pemben- duduk akibat segala aktivitas yang ditimbulkannya, mau-

tuk suasana harmon is dalam ruang kota dan untuk mem- pun akibat urbanisasi dari daerah perdesaan di sekitar

bentuk lingkungan yang baik, semua pemilik lahan telah pinggiran Kota Osaka. Dengan kesadaran sebagian pen-

menandatangani peraturan bangunan. Perancangan dari duduk, terutama para pemilik lahan pribadi, telah diben-garis permukaan pagar yang berupa dinding tembok tuk suatu lembaga untuk mengatasi keterbatasan lahan,

merupakan peletakan bangunan yang letaknya lebih ke dengan meningkatkan daya dukung lingkungan kota belakang dari batas jalan; mengawasi agar terdapat Ia- melalui pengaturan bangunan (bertingkat), khususnya di

han kosong cukup, dan terintegrasi pemanfaatan/peng- pusat kota.

gunaannya; mengkoordinasikan pemanfaatan bangun- Dengan garis besar petunjuk dan pengarahan Peme-

an, bentuk, dan warnanya; perimbangan perancangan rintahan Kota Osaka, secara bersama-sama mereka

Pengelolaan RTH 249

mengatur kembali ruang kota melalui perbandingan ra­

sional antara ruang terbangun dan RTH. Dengan penang­

gulangan biaya bersama-sama, maka rehabilitasi bangun­

an yang ada dapat ditanggulangi melalui insentif yang

diberikan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Osaka telah

memberikan bonus berupa pengurangan dari persentase

persyaratan ruang terbuka bagi bangunan dengan melalui

pengelompokan dan perancangan kembali RTH bersama

yang menjadi milik umum.

Kasus di wilayah Kota Osaka dan sekitarnya ternyata

bahwa sebagian besar pembangunan dan perubahan

terjadi pada daerah perkotaan. Pada separuh bagian

akhir abad ke-19, orang Jepang berada dalam apa yang

dikenal sebagai Periode Meiji, yaitu pada waktu Jepang

mulai dengan seperangkat usaha 'modernisasi', dimana

sebagian besar area terbangun berupa kota perdaga-

250 Pengelolaan RTH

Gambar 7.12 (paling kinl:

Taman Kola Kobe yang indah.

(----- 1985, The Greening of

Kobe)

Gambar kiri atas 7.13:

Rikyu Koen Park, Kobe.

(----- 1985, The Greening of

Kobe)

Gambar kiri bawah 7.14:

Takao Thorough Fare

Jalur lalu lintas lamban,

dipenuhi oleh pohon

peteduh yang sudah bertaut

membentuk lorong yang

nyaman. (----- 1985, The

Greening of Kobe)

ngan dan pabrik-pabrik. Tempat kerja dan permukiman

tidak terpisah. Tak lama kemudian, pabrik-pabrik modern

mulai dibangun di sepanjang jalur sungai di bagian ping­

giran wilayah kota.

Akibatnya, para pekerja kota mulai bergerak pindah di

sekitar pabrik-pabrik tersebut, yang pada akhirnya me­

nyebabkan penurunan (deteriorisasi) lingkungan. Pada

tahap ini, para pedagang yang mampu dan berkelimpah­

an dapat pindah dan memisahkan tempat-tempat kerja

dari tempat tinggal, pindah ke tempat yang relatif lebih

tenang, jauh dari kota.

Kemajuan modernisasi merupakan awal pengem­

bangan perusahaan-perusahaan skala nasional maupun

internasional. Pembangunan ini memungkinkan para pe­

kerja berdasi atau kelas menengah mampu memisahkan

tempat kerja dengan kediaman, kemudian mereka mulai

membangun permukiman di daerah pinggir kota (sub­

urb). Pada tahap ini, jaringan kereta api ke daerah pinggir­

an kota akan dibangun dan area permukiman sepanjang

jalur kereta juga berkembang.

Wilayah kota yang ada menjadi penerima dari mening­

katnya aliran manusia yang masuk dari daerah (urbanisa­

si), menjadikan wilayah kota melebar menuju area-area

di luarnya. Pada tahap ini (sejak tahun 1920-an), sama

seperti juga kota-kota lain, pemerintahan Kota Osaka

telah menerapkan sebuah program modern perencanaan

kota.

Proyek persesuaian lahan dilakukan simultan dengan

pengembangan wilayah-wilayah pinggiran. Kemudian ta­

hun 1940-an, beberapa perluasan taman direncanakan

pada area-area pinggiran tidak terlalu jauh dari wilayah

kota. Tsurumi Park, salah satu diantaranya, semula adalah

Dua gambar 7.15 (paling kiri): Masyarakat (orang

tua dan anak-anak) bersukarela merawat taman

Gambar 7.16 (kiri dan atas): Bunga Hydrangea

masyarakat sebagai lambang kota dan pohon

Sasanqua ditanam oleh masyarakat.

(----- 1985, The Greening of Kobe)

merupakan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota

yang dikelola dengan metode konsolidasi lahan melalui

sistem 'sanitary landfill'. Jadi sudah sejak lama diproyek­

sikan menjadi semacam taman kota dan ternyata berhasil

dilaksanakan pada tahun 1990 (setelah sekitar 50 tahun

'pematangan lahan' TPA), awalnya sebagai tapak untuk

kegiatan International Garden and Greenery Exposition

(IGGE-1990) tingkat dunia yang sekarang sudah menjadi

lokasi atraksi wisata lokal, nasional maupun internasional,

kebanggaan Kota Osaka.

Taman yang dibangun dari bekas lokasi TPA, dan lain­

lain, semacam yang ada di Tsurumi ini, menjadi sangat

terkenal dan kemudian banyak ditiru oleh kota-kota lain

karena mendatangkan banyak uang, misal dari segi pari­

wisata. Kini taman Tsurumi di Osaka tersebut telah men­

jadi semacam 'Museum Taman' yang banyak dikunjungi

Pengelolaan RTH 251

Gambar 7.17: Jalur lalu lintas, jalur pedestrian dan jalur penghijauan

Taman Kota (-- --- 1985, Green Kobe)

wisatawan dalam dan luar negeri , serta tentu saja men­

jadi andalan pendapatan asli daerah setempat.

lnvestasi yang ditanamkan untuk membangun taman

tersebut, tidak saja sudah kembali, bahkan sudah dapat

mensubsidi silang pembangunan taman-taman kota baru

yang bisa dipakai secara cuma-cuma bagi penduduk Kota

Osaka. Sistem pengelolaannya pun berada di bawah satu

instansi, bahkan dengan modal swasta. Pemerintah Dae­

rah hanya mengawasi secara administratif atau bila ada

masalah-masalah yang prinsip saja.

Kasus lain seperti kota-kota besar di Jepang yang

perlu diperhatikan, misalnya mengapa sawah-sawah dan

daerah pertanian lahan kering masih relatif banyak ter­

dapat di tengah-tengah kepadatan dan kesibukan kota?

Kawasan hijau tersebut dapat tetap bertahan, disamping

atas permintaan pemerintah kota melalui sistem insen­

tif pembebasan pajak atau subsidi , mereka sendiri juga

dapat menikmati sebidang lahan pertanian tersebut,

karena pada dasarnya pemilik lahan adalah petani tra­

disional yang kotanya sudah berkembang menjadi lebih

252 Pengelolaan RTH

luas. Ada suatu kebanggaan tersendiri baginya, meski­

pun hanya mendapatkan sedikit dari hasil pertanian, na­

mun petani merasa cukup mendapatkan kompensasi dari

pemerintah kota untuk tetap mengelola lahan pertanian

kota (urban agriculture) yang menjadi haknya.

Serangan udara yang melanda Kota Osaka selama

Perang Dunia ·u, merusak sebagian besar pembangunan

wilayah kota. Setelah perang, kota mulai dengan proyek

persesuaian lahan. Meskipun demikian, untuk dapat me­

menuhi kebutuhan akan perumahan dari manusia yang

berbondong-bondong masuk dari luar kota, pemerintah

kota membangun kelompok-kelompok unit perumahan

yang sempit dan berdesakan pada daerah pinggiran.

Kasus Kota Osaka dapat diterapkan di Indonesia,

melalui sistem insentif, di kota-kota Jakarta, Bandung,

Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan,

Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Melalui pe­

nyesuaian keadaan sosio-budaya masyarakat Indone­

sia, masih dimungkinkan adanya pendekatan yang mirip

pendekatan di atas, didasarkan pada kebutuhan ekonomi

warga kota, sekaligus melestarikan karakteristik fisik dan '

budayalokal.

7 .4.4 Singapura Pemerintahan Negara Kota Singapura sejak semula

(1980-an) telah bertekad untuk menata tata ruang kota­

nya sebagai kota tropis yang bersih dan teduh. Rehabili­

tasi dan revitalisasi melalui pembangunan kota Singapura

ini, merupakan contoh baik penataan RTH kota tropis.

Kebijakan pemerintah yang bertekad membenahi pena­

taan kota tropis sejalan dengan fungsi ekologis alami,

sehingga tercipta lingkungan kota yang sehat, nyaman,

Gambar 7.18: Pemanfaatan sungai intensif Letak Kota San Antonio yang bagaikan oasis di tengah padang

pasir di daerah Texas, sehingga sangat menghargai Sumber Daya Air, yaitu melalui upaya pemeliharaan yang benar-benar ketal, yang akhirnya menyejukkan kola dan dapat dimanfaatkan untuk rekreasi.

(-···· 1992, Urban Development Authority, Singapore)

Pengelolaan RTH 253

aman dan indah bagi penduduknya.

Luas negara kota Singapura hanya 625 km2, berpen­

duduk 2.7 jutajiwa (1991) dan perkiraan 4 jutajiwa (2001),

dengan kepadatan 4.300 orang/km2 (1991 ), menjadi 5.500

orang/km2 (2001). Dalam perencanaan kota, daerah pa­

dat hanya terbatas sampai 53 persen saja dari total luas

kota, sementara Kota Jakarta yang berpenduduk antara

1 0 juta jiwa (2003), daerah perkotaannya telah lebih dari

90 persen dari totalluas kota 6~0 km2• Kombinasi peran­

cangan kotanya, kelak akan mi:lnyediakan 2,4 hektar RT

untuk 1 ,000 orang (1991: 0, 7 hektar).

Pemerintah Singapura menetapkan 6 (enam) kategori

RTH, didasarkan pada hierarki ruang terbuka yang saling

berkaitan (interwoven) , sebagai berikut:

1. Ruang terbuka alami (natural open space) berupa hutan

bakau, daerah hutan kota dan daerah lindung.

2. Taman kota dan halaman yang relatif besar dan luas,

seperti taman wilayah dan taman lingkungan.

3. Lapangan olahraga dan rekreasi, seperti stadion, la­

pangan golf, bumi perkemahan dan kebun binatang.

4. Jalur hijau (green belts) pembatas dan penghubung

taman-taman luas, dan pengaman prasarana.

5. Jalur hijau (greenways) penghubung antar permukim­

an dengan batas penduduk antara 200-300 ribu orang

saja, bisa alami, dengan rancangan informal, atau beru­

pa 'pedestrian malls and plaza'.

6. Area pelatihan militer, lahan pertanian, dana lain-lain.

Originalitas sungai Singapura di masa lalu hampir ti­

dak nampak, sebab fisik sungai sebagian besar sudah

direhabilitasi. Legenda bahwa Sang Nila Utama mendarat

di Kuala Temasek yang adalah sungai Singapura seka-

254 Pengelolaan RTH

Gambar-gambar 7.19 a:

Kondisi sungai Singapore sekitar tahun 1977. Dengan pencanangan

'Singapore Clean and Green ' oleh pemerintah (Urban Redevelopment

Authority) maka dalam waktu 1 0 tahun kemudian (1987) Kota

Singapura telah menjadi bersih, indah dan nyaman.

(----· 1992, URA)

SEINE PARIS

-----· --~ ---SINGAPORE RIVER

SIHGAPORE

PASEO DEL RIO SAN ANTONIO

Gambar 7.19 b (atas): Potongan dari sungai San Antonio, Texas, yang 'ditiru' oleh

pemerintah Kota Negara pulau Singapura. (- ---- 1992, URA)

Dua gambar 7.20 (kanan): Pembersihan Sungai di Singapore Diilhami antara lain oleh kota Ran Antonio yang dilalui oleh sungai Paseo (del Rio),

maka muncul tekad untuk membersihkan sungai Singapore 'hanya' dalam waktu

1 0 tahun, dua gam bar kanan ternyata berhasil, tentu dengan kemauan sungguh-

sungguh para pengelola kotanya dan juga penerapan penegakan hukun yang tanpa

pilih bulu. (----- 1992, URA)

Pengelolaan RTH 255

rang. Tahun 1819 Sir Stamford Raffles dan anak buah­

nya mulai masuk ke arah hulu dan permukiman pertama

dibangun di sepanjang tepian sungai. Perdagangan lalu

berkembang di atas sungai dan Singapore dinyatakan

sebagai pelabuhan bebas, sungai menjadi titik utama (fo­

cal point). Banyak gudang dibangun berdekatan dengan

rumah toko (ruko) di sepanjang sungai termasuk bengkel

kapal dan pabrik pembuatan kapal. Pabrik pengalengan

makan bercampur dengan parik sagu, pabrik penggiling­

an beras, dan masih banyak lagi.

Semua kegiatan tersebut telah mengotori sungai sela­

ma beratus-ratus tahun, pencemaranpun nyata dirasakan

256 Pengelolaan RTH

telah membunuh kehidupan perairan sungai, muara (dan

laut), sedang di pihak lain penduduk yang terus ber­

tambah mendambakan pula air bersih berkualitas tinggi.

Maka pad a tang gal 27 Februari 1977, pad a acara pem­

bukaan reservoir di daerah hulu, Perdana Menteri Lee

Kuan Yew menantang Singapura untuk bersama-sama

membersihkan sungai, dalam 1 0 tahun diharapkan orang

bisa memancing ikan kembali di Sungai Singapore dan

Sungai Kallang. Pada bulan September 1987, Menteri LH

Singapore mencanangkan keberhasilan 1 0 tahun proyek

kegiatan membersihkan sungai-sungai tersebut.

. ' BAB VIII

VIII PERAN ARSITEKTUR LANSEKAP DALAM PENGEMBANGAN

KAWASAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

8.1 PENDAHULUAN Selama empat dasawarsa (sejak 1963) terakhir ini,

bidang arsitektur lansekap (Landscape Architecture/LA)

berkembang pesat di Indonesia. Di samping banyak yang

menyambut gembira, banyak pula yang skeptik, terutama

pada awal diperkenalkannya, yaitu sekitar 1960-an. Mere­

ka berpendapat bahwa kegiatan bidang ini hanya dapat

dinikmati sekelompok masyarakat tertentu dan hanya

merupakan kemewahan/pemborosan. Hal ini mudah di­

mengerti bila diingat perwujudan hasilnya berupa taman­

taman indah di hotel-hotel megah dan rumah-rumah

mewah serta pusat rekreasi dan taman di kota-kota

besar yang penggunaannya untuk umum sering terlalu

terbatas.

Menurut sejarah perkembangan arsitektur lansekap

memang telah ada sebelum direncanakan kemudian

dibangunnya Central Park (1880-an) di kota New York,

kemudian Prospect Park, di Brooklyn, dan perancangan­

perancangan arsitektur lansekap sebagai (RTH)-kota se­

terusnya. Apa yang disebut 'modern landscape' mulai

berkembang pada abad ke sembilan belas itu, kemudian

diakui sebagai awal kebangkitan disiplin ilmu arsitektur

lansekap, sekaligus suatu karya seni di mana sebagian

besar RTH (Taman) yang dibangun semula hanya di seki­

tar istana raja-raja dan, bersifat feodalistik, dimaksudkan

sebagai bagian yang menyatu dengan bangunan istana.

Karena itu taman lebih merupakan unsur dekoratif sangat

terbatas untuk kalangan tertentu, seperti untuk kesenang-

an para Raja dan anggota keluarga dekat kerajaan se­

tempat saja.

Jellicoe, Geoffrey dan Susan (1975, dalam buku mere­

ka "The Landscape of Man') dijelaskan hubungan an­

tara peradaban manusia (civilization) dengan lansekap

(landscape) sejak jaman pra-sejarah di mana bumi dibagi

dalam beberapa tahap, sejak awal terbentuknya, Ja­

man Batu (antara lain, adanya 'tetenger' peninggalan

berupa barisan dan tumpukan batu 'Stone of Sacrifice

dan Stonehenge' di Whiltshire, lnggris), sampai ke tahap

kebudayaan kemanusiaan: mulai dari bagian "Tengah

Gambar 8.1 atas: Stones of Sacrifice

Gambar 8.2 bawah: Stonehenge

(Jellicoe, 1975, ha/16 & 17)

258 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Bumi" (Asia Barat sampai ke Wilayah Ur-Babylon-Perse­

polis-Ctesiphon), Islam di Asia Barat (Baghdad-Samar­

ra-Bursa-Constantinople-isfahan), Wilayah Ekspansi

Islam ke arah Barat (Spanyol, Cordova, Granada), dan

ke Timur (Moghul, lndia-Delhi-Kashmir-Agra). Dilanjut­

kan ke Kebudayaan Timur: lndia-Kuno (Sanchi-Barabu­

dur-EIIura-Mamallapuram-Angkor), China (Soochow/

Suzhou-Hangcho-Beijing-The Great Wall), Jepang (Gu­

nung Fuji-Nara dan Kyoto), dan Pre-Columbian America

(feotihuacan-Copan-Palenque-Machu Picchu). Kemu­

dian ke kebudayaan Barat dari Mesir sampai ke Ren­

naisance: meliputi Mesir (Gizeh-Karnak-Luxor), Yunani

(Mycenae-Delos-Delphi-Oiympia-Athena), Kerajaan Ro­

mawi (Roman Empire: Tivoli-Pont Du Gard-Pompeii-Per­

gamurn-Jerash-Baalbek), Abad Pertengahan Eropa (St

Gaii-Rievaulx-Assisi-Vezelay-Bruges-Cambridge), Italy:

Mannerism dan Baroque (Bomarzo-Capponi-Gaberaia­

lsola Bella-Garzoni), Perancis: Abad ke Enambelas dan

Tujuhbelas (Chenonceau-Vaux-Le-Vicomte-Chantilly­

Versailles), Spanyol, Jerman, lnggris, Belanda, Abad ke

Enambelas dan tujuhbelas (Seville-Hellbrunn-Heidel­

berg-Hampton Court-Greenwich.

Bagian kedua buku tersebut meliputi uraian perkem-

Gambar 8.3: Teras-teras Kebun Anggur

AI iran arsitektur Sans-Souci (17 44) karya

arsitek G.W. von Knobelsdorff yang khas

pada aliran Barat Klasik dan merupakan titik

awal ke masa depan.

(Jellicoe, 1975, ha/218)

bangan (evolusi) yang disebut def")gan lansekap modern.

Dimulai pada abad ke Delapanbelas, yang disebut 'Ke­

budayaan Barat' (Western Civilization: Vienna-Karisruhe­

Wilhelmshohe-St. Petresburg-Postdam-Washington).

The Chinese School (fhe Summer palace-Beijing-Ver­

sailles-Drottiningholrn-Tsarkoe Selo), The English School

(Castle Howard-Chriswick-Rousharn-Stowe-Stour­

head-Painshiii-Bath). Abad ke Sembilanbelas: The Eu­

ropean Mainland (Puckler-Muskau-Neushwanstein-Vi­

enna-Paris), The British Isles (Regent's Park-Isles of

Scilly-5cotney-Biddulph Grange-Holland Park-Mun­

stead Wood-Bodnani), America (USA): Central Park,

New York-Prospect Park, Chicago Worlds's Fair. Abad

ke Duapuluh Pertama (1900-1945): Eropa (Marshcourt­

Barcelona-Stockholrn-Welwyn-Aarhus-Bos Park), The

Americas (Washington-Westchester Park System-Falling

Water Tennessee Valley-Everglades). Abad ke Duapuluh

Kedua (1945-1986): The Western Hemisphere-1975: The

New World (Rio de Janiero-Brasilia-kota Mexico-At­

lanta-Boston-Los Angeles-Buffalo). The Eastern Hemi­

sphere-1975: The Old World (Harlow-Tapiola-Chandi­

garh-Brondsby Strand Urbino-Giostrup-Rinchamps).

Kecenderungan Dunia dalam Perancangan Lansekap:

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 259

Sultan Qaboos University-store-On-Trend; La Villette

Milton Keynes-Guggenheim Museum, Lisbon-Victoria

Park-Toronto Zoo-Luuganga-Brion-Earthworks-Can­

berra Sutton Place-Modena-Brescia-Calveston.

Dari 'perjalanan kebudayaan manusia' yang dikait­

kan dengan perkembangan lansekap baik alami maupun

binaan, di mana nampak jelas nama-nama tempat yang

menunjukkan masing-masing perkembangan kebudaya­

an lokal namun bersifat universal ini memang ditulis oleh

'Orang Barat', karena itu tentu saja lebih condong kepa­

da penulisan sejarah perkembangan lansekap yang lebih

banyak mengupas di bagian barat. Namun demikian,

meraka mengakui pula nilai kekayaan Kebudayaan Timur

yang ditilik dari waktunya sebagian besar justru sudah

berkembang relatif lebih lama dari perkembangan Kebu­

dayaan Barat.Menjadi tantangan bagi kita di Indonesia

ini, khususnya para arsitek lansekap yang terkenal de­

ngan kekayaan keanekaragaman baik budaya lokal mau­

pun keanekaragaman kekayaan sumber daya lamnya di

seluruh nusantara, untuk mampu menggali dan merekam

peninggalan sejarah arsitektur lansekap (landscape heri­

tage) yang masih bisa dipelajari sebelum akhirnya punah

antara lain akibat tidak adanya penghargaan terhadap

nilai-nilai budaya lokal yang merupakan puncak-puncak

kebudayaan dalam kesatuan negara Republik Indonesia

(NKRI) "Bhinneka Tunggal lka" bersatu dalam kekayaan

keanekaragaman budaya dan sumberdaya alami.

Selanjutnya Jellicoe, menguraikan dengan jelas se­

jarah perkembangan arsitektur lansekap menjadi dua

bagian besar, yaitu: pertama: From Pre-history to The

End of The Seventeenth Century, dan bag ian kedua: The

Evolution of Modern Landscape. Adanya perancangan

'ruang lansekap' diawali oleh seorang arsitek F.L Olm­

sted bekerjasama dengan aristek lnggris, Calver Vaux,

berkembang dalam lima tingkatan (di halaman 281), se­

jak bentuk umumnya yang biasanya 'hanya' berupa kotak

karena mengikuii perencanaan kota-kota di negeri barat

yang saat itu umumnya juga berbentuk kotak-kotak (grid­

iron), sampai ke bentuk bulat atau lebih mengikuti pro­

til alam sebagaimana kondisi geografis lingkungannya,

yaitu dalam tingkatan:

Pertama: Central Park, New York (1857);

Kedua: Porspect Park, Brooklyn (1866)

Ketiga: Riverside Estate, Chicago (1869)

Keempat: The Parkway, Boston (1880)

Kelima: The World's Columbian Exposition,

Chicago (1893)

Olmsted dan kawan-kawan (dalam Jellicoe, 1975)

memulai konsep 'baru' perancangan arsitektur lansekap

(1857) yang waktu itu memperkenalkan lansekap ruang

terbuka perkotaan yang sebenarnya masih 'melihat ke

dalam', yaitu meskipun luas-luas ukurannya secara ke­

seluruhan, namun sengaja dibagi-bagi ke dalam banyak

ruang-ruang dengan ukuran yang kecil-kecil namun pada

tiap-tiap bagian tersebut arsitektur lansekapnya diran­

cang secara rinci sehingga menjadi kaya akan keaneka­

ragaman unsur-unsur untuk bisa memenuhi kebutuhuan

rekreatif masyarakat penggunanya, yaitu melalui pem­

bangunan sarana dan prasarana berbagai kegiatan seba­

gaimana layaknya sebuah taman kota.

Teknik-teknik perencanaan arsitektur lansekap yang

baru termasuk jalur-jalur jalan panting yang berpotongan

(underpasses), sebagian karena adanya rintangan-rintang-

260 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

an pada tapak, seperti sarana penyimpanan air (reservoir,

retention basin atau 'jebakan pasokan air' untuk mengum­

pulkan dan menyimpan sumberdaya air) dan sarana taman

lain yang diperlukan, sebenarnya teknik perancangan arsi­

tektur lansekapnya secara rinci belumlah semantap (ma­

ture) seperti perencanaan RTH-kota berikutnya, misalnya

seperti Prospect Park yang lebih menyatu dalam sebuah

konsep tunggal dan bersifat klasik akademik. Sedangkan

perencanaan Riverside Estate adalah merupakan perkem­

bangan teori suatu perancangan taman (park) yang san­

gat mempertimbangkan kebutuhan kehidupan domestik

warganya, satu dari pemikiran paling awal yang berusaha

mematahkan konsep gridiron {bentuk kotak) yang kaku

pada sebagian besar perencanaan kota di Amerika.

' Upaya untuk lebih mengikuti alur alami, dapat dibaca

ringkasan laporan arsiteknya, sebagai berikut: "In the

highways, celerity will be of less importance than comfort

and convinience of movement; and as ordinary directness

of lines in town-streets, with it's resultant regularity of

plan, would suggest eagerness to press forward, without

looking to the right or the left, we shuld recommend the

general adoption, in the design of your roads, of grace­

fully curved lines, generous spaces, and the absence of

sharp corners, the ideabeing to suggest and imply leisure,

contemplativeness, and happy tranquillity".

Jika pembangunan ditujukan untuk bangsa Indonesia

maka seyogyanya mengikutsertakan juga masyarakat

berpenghasilan rendah.

Tulisan dalam bab ini bertujuan untuk menyoroti se­

jauh mana peran bidang/disiplin Landscape Architecture

{LA) ini dalam perencanaan pengembangan kawasan

yang ramah lingkungan sebagai pendekatan dalam pena-

Gambar 8.4: Central Park

(Je/licoe, 1975, ha/280)

taan ruang kawasan, yakni bagaimana LA dapat dijadikan

suatu pendekatan ekologis-estetis dalam penatan ruang

kawasan.

Diharapkan mereka yang semula skeptik dapat lebih

mudah menerima dan mendukungnya. Sebaliknya, yang

telah berkecimpung dalam dunia ini akan memahami lebih

jauh tugas yang diembannya untuk menciptakan ling­

kungan yang sesuai bagi semua lapisan masyarakat In­

donesia agar berprestasi lebih dan menjalankan hakekat

kemanusiaannya. Agar bidang ini jangan merupakan ke­

mewahan/pemborosan saja, bahkan bisa membantu pele­

starian lingkungan serta penghematan ruang dan sumber

daya alam di hari esok, untuk menyelamatkan perenca­

naan yang keliru tersebut, diperlukan perencanaan sehat.

Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan

kawasan adalah peningkatan kesejahteraan masyara­

kat di kawasan yang bersangkutan; karena itu, seluruh

kom•ponen kehidupan dan penghidupan masyarakat

tersebut di atas harus dibina sesuai dengan fungsinya

masing-masing, dan salah satu pembinaannya adalah

melalui penataan ruang.

Dalam pengertian umum, ruang (space) adalah seluruh

permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera: tempat

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 261

hidup tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut regional

geography, ruang dapat merupakan suatu kawasan (area)

atau wilayah (region) yang mempunyai batasan geografis

yaitu batas menurut fisik, sosial, atau pemerintahan, yang

terjadi dari sebagian permukaan bumi serta lapisan ta­

nah (soil) di bawahnya (sampai kedalaman tertentu) dan

lapisan udara (atmosphere) di atasnya (sampai ketinggian

tertentu). Jadi penggunaan lahan (land use) dapat berarti

pula pemanfaatan ruang di daratan. Menurut UU No. 4

tahun 1982, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

sudah direvisi menjadi UU No. 23/1997 dan pada saat

sekarang pun sedang dalam taraf revisi kembali, penger­

tian ruang di sini belum termasuk isinya yang berupa

benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup. Sedangkan

menurut UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, ruang

adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan

dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat

manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan ke­

giatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Kawasan/wilayah sendiri merupakan kesatuan alam

yang serba-sama (homogen) atau seragam (uniform) dan

kesatuan manusia yang mempunyai ciri yang khas se­

hingga kawasan/wilayah tersebut dapat dibedakan dari

yang lainnya. Kita dapat mengelompokkan kawasan/

wilayah berdasarkan titik pandang tertentu misalnya: ge­

ologi (geological region), tubuh tanah (soil region), tum­

buh-tumbuhan (vegetatic region), kegiatan ekonomi (eco­

nomic region), sejarah (historical region), dan sebagainya;

sedangkan berdasarkan lokasi, luas dan struktur menurut

batasan ruang-lingkup peninjauan tertentu, dapat pula

dibedakan menjadi kawasan perkotaan, kawasan perde­

saan, kawasan tertentu/kawasan khusus.

8.2 PENATAAN RUANG DAN PERMASALAHANNYA

Penataan ruang sudah menjadi sine-qua-non di

dalam pengembangan kawasan karena adanya penga­

ruh timbal-balik antara ruang dan semua kegiatan ma­

nusia. Ruang mempunyai arti tertentu bagi kehidupan

dan penghidupan karena adanya suatu bentuk kegiatan

manusia. Misalnya bagi masyarakat perkotaan, ruang da­

ratan (baca: lahan) di pusat kota (central-bussines-distric)

dianggap sebagai sarana kegiatan ekonomi. Sedangkan

di kawasan perdesaan, lahan lebih utama dipandang se­

bagai faktor produksi yang tak pernah habis. Juga semua

kegiatan manusia membutuhkan ruang terkait kepada

pengembangan kawasan melalui lokasi dan besaran ke­

giatan tersebut.

Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini antara lain

adalah terjadinya tingkat ketidakseimbangan yang meng­

khawatirkan dalam pemanfaatan ruang. Misalnya, per­

mukiman di area-area jarang penduduk semakin sulit

berkembang meski mempunyai sumber daya alam yang

besar, 67% penduduk Indonesia berdiam hanya pada 7%

ruang wilayah daratan Indonesia, kecepatan perkembang­

an kegiatan masyarakat cenderung semakin meningkat,

sedangkan ketersediaan ruang itu sendiri terbatas, baik

dalam pengertian mutlak maupun nisbi. Hal lain yang dih­

adapi dalam masalah penataan ruang adalah adanya ke­

nyataan bahwa suatu ruang tertentu dapat dimanfaatkan

untuk berbagai alternatif kegiatan, sebaliknya kegiatan

tertentu dapat berlokasi pada berbagai alternatif ruang.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam usaha pe­

nataan ruang harus mempertimbangkan keseimbangan

antara: kemampuan ruang (batas toleransi terhadap

262 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

pollutant, carrying-capacity, land-capability, dsb), dan

kegiatan manusia dalam memanfaatkan ruang dengan

meningkatnya kebutuhan ruang tersebut (pengembang­

an masyarakat, modal, sumber daya alam, lingkungan

kehidupan dan sebagainya). Keseimbangan, kelestarian

dan keserasian pemanfaatan diantara kawasan satu dan

lainnya di dalam suatu wilayah juga perlu diperhitung­

kan. Dapat disimpulkan bahwa penataan ruang melalui

pengembangan berbagai kawasan: perkotaan, perde­

saan, tertentu/khusus, lindung, dan budi daya, bertujuan

meningkatkan kesejahteran sosial-ekonomi masyarakat

melalui pengoptimalan penggunaan ruang (lahan) dalam

hubungannya dengan pemanfaatan (u_tility) peningkat­

an produksi (productivity) dan konservasi (conservation)

bagi kelestarian lingkungan. Karena itu proses/kegiatan

penataan ruang menyangkut berbagai aspek; karenanya

melibatkan berbagai disiplin yang saling berkaitan, dian­

taranya: para perencana kota, wilayah, fisik, sosial dan

ekonomi regional, ahli teknik, arsitek, arsitek landscape,

pengambil kebijakan, ahli hukum, kelembagaan, admi­

nistrasi publik, politicians, dan sebagainya.

8.3 KEDUDUKAN BIDANG ARSITEKTUR LANSEKAP

Malthus membuat teori perbandingan antara perlipat­

gandaan kelahiran manusia dengan pertambahan pangan

sebenarnya bukan untuk menakut-nakuti manusia, tetapi

sebagai peringatan untuk menghadapi hari esok sebijak­

sana mungkin. Kemudian berbagai inspirasi muncul aki­

bat teori tersebut, diantaranya teori untuk menghubung­

kan pertambahan kelahiran dengan keadaan gizi, dengan

pengelolaan sumber daya alam, carrying-capacity, family­

planning, dan berbagai inspirasi lain. Berkaitan dengan

hal ini, pada tahun 1983 WCED (World Commision on

Enviroment and Development) telah menghasilkan suatu

kesimpulan tentang perlu dikembangkannya pola pem­

bangunan berkelanjutan (sustainable development). Se­

lanjutnya, memasuki tahap Repelita V, sidang kabinet

terbatas Ekuin menerima konsep tersebut dan sebagai

implikasinya antara lain diperlukan: pengembangan in­

stitusional bagi pola pembangunan berkelanjutan, usaha

peningkatan pembangunan dan kualitasnya untuk meng­

halau kemiskinan, terpenuhinya kebutuhan pokok (basic­

needs), segi ekonomi dalam pemantapan tingkat kepen­

dudukan yang tertopangkan kehidupannya, orientasi

teknologi dengan resiko terkendali, serta perpaduan segi

lingkungan dan segi ekonomi dalam pengambilan kepu­

tusan.

Penataan ruang yang bercirikan comprehensive and

integrated planning, sang at relevan dengan pol a pem­

bangunan berkelanjutan (sustainable development) yang

mencakup penggunaan lahan, hutan, laut, daerah aliran

sungai, dan sumber daya alam lainnya, untuk optimasi

penggunaan sumber daya alam bagi pembangunan

tanpa merusak. Pada skala regional/wilayah (provinsi,

metropolitan area, kabupaten atau kota) penataan ruang

berada pada tingkat rencana tata ruang wilayah (RTRW)

dimana analisis ekonomi-regional selayaknya lebih me­

nonjol. Pada skala mandala (kecamatan atau bagian

dari kota) berada pada tingkat rencana detail tata ruang

(RDTR) dimana analisis sosial dan fisik sudah memegang

peranan dalam perencanaan. Dan pada skala lokal-terba­

tas berada pada tingkat recana teknik ruang (RTR), yang

lebih tertokus pada aspek fisik dan lingkungan.

Penataan ruang adalah upaya terpadu dalam rangka

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 263

memanfaatkan ruang. Perencanaan tata ruang (bag ian dari

penataan ruang) akan menghasilkan rencana tata ruang

berupa pengaturan/alokasi pemanfaatan ruang, lokasi ke­

giatan dan keterkaitan fungsi antar kegiatan. Sedangkan

perencanaan pengembangan wilayah/kawasan adalah

suatu perencanaan melalui pendekatan terpadu-tidak

sektoral dan tidak partial terhadap segenap unsur yang

terkait dalam batasan wilayah/kawasan yang kita amati.

Batasan wilayah/kawasan itu bisa terbatas pada fungsi

kota (pusat pelayanan) dan burilokanya (hinterland).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penu­

lis berpendapat bahwa perencanaan (pengembangan)

wilayah/kawasan digunakan sebagai pendekatan dalam

penataan ruang wilayah/kawasan. Analog dengan uraian

di atas, Landscape Architecture (LA) juga merupakan di­

siplin/pendekatan terpadu untuk mencapai keselarasan

unsur-unsur landscape agar dapat tercapai hasil optimum.

RTRW, ROTA, dan RTR satuan permukiman (sebagai ba­

gian dari penataan ruang) seyogyanya dapat memanfaat­

kan disiplin/pendekatan Landscape Architecture (LA) ini,

agar dapat mencapai tujuan penataan ruang (terpadu,

serasi, efisien, optimal, dan sebagainya).

Menunjuk adanya kenyataan bahwa ruang tertentu

dapat dimanfaatkan untuk berbagai alternatif kegiatan

dan kegiatan tertentu dapat berlokasi pada berbagai al­

ternatif ruang, maka bidang landscape architecture mem­

punyai tugas untuk menentukan alternatif terbaik, paling

optimal dari segi pemanfaatan, produktivitas dan konser­

vasi sesuai dengan azas-azas landscaping. Oiharapkan

bidang ini lebih banyak berperan pada tingkat RTR dan

ROTA.

8.4 TANTANGAN BAG I PARA ARSITEK LANSEKAP Mahalnya bidang arsitektur lansekap dimulai dengan

m~lhalnya sebidang lahan yang harus dikelolanya untuk

menciptakan ruang gerak yang serasi dengan kegiatan

atau kebutuhan manusia· Indonesia masa kini. Kalau

dalam perkembangan kawasan, lahan biasanya menjadi

langka, maka pengorbanan finansial yang diberikan men­

jadi sangat besar. Sampai saat ini makin banyak kota­

kota memadat dan melebar. Sementara di burilokanya

(hinterland) banyak t;>angunan villa-type, rumah mewah

bergaya spanyol, ancient greek, renaisance, dan seb­

againya bermunculan di antara sawah-sawah subsisten

dan gubuk/rumah sedekala (tradisional) yang asli. Oua

situasi kontras ini perlu segera ditangani secara serius

dan akan sangat mahal bila terlambat.

Hasil pembangunan (fisik) sampai saat ini mudah kita

lihat dengan bertambah banyaknya jalan-jalan besar, li­

cin, hotmix, bertambah pesatnya kendaraan, bertambah

banyaknya kawasan industrial estate, real estate, aparte­

men, hotel, dan restoran di kiri-kanan jalan. Oi balik

bangunan-bangunan tersebut umumnya keadaan lam­

batlkurang banyak perubahan. Perkembangan dengan

pola memanjang (corridor pattern) ini sebetulnya tidak

cocok untuk sekitar jalan bypass dan freeway. Gambar

8.5 & 8.6 memperlihatkan dua alternatif penggunaan

lahan. Oikhawatirkan bahwa pola koridorlah yang akan

dominan, sehingga persoalan lalu-lintas akan tidak ada

habis-habisnya dari masa ke masa.

Sementara itu kita lihat meningkatnya jumlah restoran

yang muncul dimana-mana, tetapi tidak banyak dibangun

taman-taman untuk piknik atau murak tim bel (makan di luar

264 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Dua Alternatif Penggunaan Lahan

di Kiri-Kanan Jalan Raya

Gambar 8.5 (paling kiri): Jalan raya

dan penggunaan lahan di dekatnya.

Paling umum dijumpai di mana­

mana: 50 jalan simpang permil, tak

terencana, tidak disonansi, tidak

inteligent, suatu studi dalam geseran,

kebingungan, ketidakefisienan dan

chaos.

Gambar 8.6 (kiri): Penggunaan

lahan di kiri-kanan jalan raya yang

terencana, disonansi dan inteligent,

lalu-lintas jalan raya lancar dan bebas:

fungsi dikelompokkan: rumah-rumah

mengarah ke taman: sekolah, gereja

dan area perbelanjaan mempunyai

pintu keluar.

(Simonds, 1969, dalam Djumantri,

2006, hal 2. 1.2)

Gambar 8.7: Prospect Park

Gambar 8.8: Riverside Estate

(Jel/icoe, 1975, ha/281)

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 265

dengan bawa makanan dari rumah) dan tempat-tempat 8.5 AZAS-AZAS ARSITEKTUR LANSEKAP camping. Oleh karena situasi ini dapat mencerminkan pola

konsumsi, mung kin dapat diterima adanya pendapat orang

yang mengatakan bahwa kita bertabiat boros.

Kita lihat juga pembangunan kompleks perumahan

instansi yang cukup mewah tetapi tidak dihuni seluruh

keluarga karena alasan masalah sekolah anak-anak, se­

mentara beberapa keluarga berpenghasilan rendah kare­

na alasan ekonomi berdesak-desakan mendiami ruangan

sempit dibatasi batako yang mereka sebut rumah-murah,

rumah-efisien, dan sebutan lainnya yang memikat.

Di kawasan perdesaan/kawasan pertanian masih ba­

nyak dijumpai penggunaan lahan seperti pada gambar

2a: rumah yang salah letak, fasilitas sosial-ekonomi yang

terlampau jauh, petak-petak sa wah yang terpecah-pecah,

tidak teratur bentuknya, tidak terlayani seluruhnya oleh

jaringan jalan dan jaringan irigasi, merupakan pemanda­

ngan yang lumrah. lni mengakibatkan produktivitas yang

rendah karena input-input pertanian sulit diefisienkan.

Keadaan seperti ini juga perlu mendapat perhatian seri­

us, bila tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak

negatif berupa penurunan gairah kerja petani yang men-

dorong urbanisasi ke kota.

Beberapa kepincangan seperti telah diuraikan di atas

mungkin dapat dihindari, kalau kita memahami perenca­

naan wilayah dan kota (urban and regional planning) yang

sempurna.

Berikut ini hanya akan dibahas perencanaan wilayah

dan kota yang didasarkan azas-azas landscaping yaitu

8.5.1 Keindahan

Dalam pemandangan alam (panoramic landscape)

sering kita temui sifat-sifat landscape alami yang nyata

mewujudkan kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony)

diantara seluruh unsur-unsur alaminya (bangun-tanah/

morphology, bentukan batuan/lithology dan bahkan ke­

hidupan hewan-tumbuhannya/wildlife). Makin sempurna

kesatuan dan keselarasan ini, makin sempurna pula ke­

nikmatan yang diperoleh si pemirsa. Derajat keselarasan

dan kesatuan yang menimbulkan kesenangan pada kita

ini disebut keindahan. Lawannya adalah kejelekan yang

menunjukkan kurangnya kesatuan antara unsur-unsur

atau adanya satu/lebih dari satu unsur yang tidak serasi.

Keselarasan visual dari semua unsur-unsur landscape

sangatlah diinginkan. Karena itu dengan mengingat as­

pek visual saja dari sifat-sifat tempat, rupanya dalam

mengembangkan kawasan alami kita harus sudah ber­

usaha untuk memelihara atau mengintensifkan sifat-sifat

landscape aslinya. Juga harus menyingkirkan semua

obyek lain untuk menambah atau menekankan sifatnya.

Sebagai contoh kalau kita melihat bunga-bunga Zinnia di

tepian Danau Telagawarna mudah kita menganggap itu

kurang tepat, karena menurut pengalaman kita bunga­

bunga Zinnia itu selalu ditanam di bedeng bunga. Sebaik­

nya dalam alam semacam itu, tanaman bunga Tephrosia

ungu atau bunga Impatiens liar yang ditanam.

azas kesatuan dan keselarasan (unity and harmony) se- 8.5.2 Kagunan (Kegunaan/Manfaat)

hingga dapat memberikan manfaat maksimum pada rna- Umumnya bila kita berbicara mengenai lahan dan

nusia yang menggunakan ruang tersebut. tanah, selalu menyangkut kegunaannya. Jadi apa guna

266 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

semua pembicaraan mengenai keindahan tadi? lebih baik

dihentikan saja dan kita bersikap praktis dan melupakan

seluk-beluk sifat-sifat landscape. Lebih baik diperbin­

cangkan bagaimanakah lahan dan tanah itu dapat diper­

gunakan/dimanfaatkan.

Sesungguhnya, kalau kita mengerti semua sifat-sifat

landscape secara luas, yaitu pertama memahami ciri-ciri

fisiknya dan tabiat dari tempatnya, sebelum salah letak/

canggung/jelek, akan lebih baik untuk:

(1) Mengenal kegunaan terbaik dari tempat tersebut, un­

tuk dapat mengeksploit sepenuh daya;

(2) Menggunakan dan mengembangkan kegunaan seca­

ra inteligent dalam hubungannya dengan ciri-ciri land­

scape yang telah dipelajari;

(3) Penggunaan terintegrasi untuk menghasilkan land­

scape yang telah diubah, yang secara visual dan fung­

sional tampak indah. Dalam hal ini berlaku pernyataan:

"It looks good, It works well, /like it".

8.5.3 Pengaturan Lansekap

Jika kegiatan manusia di suatu kawasan bertambah,

landscape menjadi semakin sulit diatur. Pengaturan yang

baik bila menunjukkan hubungan yang serasi/cocok di­

antara unsur-unsur landscape, pengaturan yang jelek

bila tampak hubungan yang kacau atau tidak logis di an­

tara unsur-unsur landscape. Dalam pengaturan ini perlu

diletakkan prinsip-prinsip design yang mencakup: tema

(theme), gradasi (gradation), kejutan (contrast) dan pe­

ngendali diri (control, restrain).

Tema (theme) merupakan unsur penyatu, pengikat,

pengenal (unifying factor). Misalnya suasana serba san­

tai, suasana serba halus, serba bulat, serba hijau, dan se-

bagainya. Gradation sebagai unsur pentahap/penjenjang,

pemberi ketenangan dalam variasi, bernilai variasi lem­

but. Misalnya berbagai nuansa warna merah, berbagai

corak bulat dan kehalusan. Contrast sebagai unsur pe­

nyegar, bumbu yang memberikan nilai variasi tertinggi.

Misalnya munculnya secerGah warna merah di tengah­

tengah suasana serba hijau, atau bentuk segi-empat di

tengah-tengah suasana serba bulat, atau tekstur kasar

di tengah-tengah suasana serba halus. Control/restrain

sebagai unsur pengendali diri pemelihara keseimbangan.

Theme, gradation maupun contrast diperlukan dalam se­

tiap kreasi, namun agar jangan berlebihan, perlu pengen­

dalian (Rachman, 1977).

Gambar 8.9: Perobahan wajah lansekap abad XVII di China

Salah satu istana dalam kompleks 'Summer Palace', yaitu : Fang Hu

Sheng Ching. Merupakan perancangan geometris yang secara total

merupakan bagian (sub-ordinal) dari lansekap alami.

(Jellicoe, 1975, ha/224)

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 267

Secara umum keindahan dapat dicapai dengan

menerapkan ke empat prinsip design tersebut di atas

yang diekspresikan ke segenap unsur-unsur design an­

tara lain: garis, bentuk, ukuran, tekstur, warna, rasa, bau,

bunyi, ruang dan waktu. Unsur-unsur landscape sendiri

dapat dikelompokkan ke dalam unsur landscape yang

major dan yang minor. Unsur landscape yang major

merupakan bentuk-bentuk landscape, roman dan gaya

yang dapat diubah sedikit saja, yakni bentuk-bentuk

batas pegunungan, lembah sungai, dataran pantai, per­

mukaan air, aliran air, pasang, laut, gaya, gravitasi, angin,

hujan, halilintar, cahaya matahari, sinar bulan, dan erosi.

Unsur landscape minor (dapat diubah) antara lain bukit,

hutan, aliran sungai, rawa, hewan, tanaman, sinar lampu,

dan sebagainya.

8.5.4 Pengembangan Wajah Lansekap Alami

Dapat dilihat pada ilustrasi gambar/foto berikut usaha

pengubahan wajah landscape yaitu: (1) Pemeliharaan dari

bentuk alamnya (lansekap di China) tak hanya perkemban­

gan permukiman perkotaan tetapi juga di wilayah alami,

seperti misalnya: eagar-eagar alam, park, hutan-pelind­

ung; (2) Penekanan bentuk alamnya misalnya sebuah

bukit kecillebih dipertegas menjadi menggunung; (3) Pe­

rubahan bentuk alamnya. Misalnya perataan, pengambi­

lan pohon-pohon penutup yang alami, penanaman dan

pembuatan teras-teras. Perubahan begini dapat memba­

hayakan (penggundulan, erosi, longsor) atau dapat meru­

pakan suatu perbaikan (sawah-sawah pegunungan di Bali,

Parahyangan, dan lain lain); (4) Perusakan bentuk alamnya.

Misalnya sebuah bukit dapat dimusnahkan, dipindahkan,

dikubur untuk dikonstruksi, digenangi air, dan sebagainya.

Hasil dari usaha-usaha yang serasi dapat kita nikmati

misalnya kalau kita berlayar sepanjang sungai Rhein: ke­

bun anggur, kebun desa, pabrik-pabrik kecil, klab perahu,

semuanya berorientasi dan direncanakan pada jiwa yang

sesuai dengan mengalirnya sungai. Juga hal yang indah

ini dapat disaksikan di desa-desa di Swiss, yang cocok

dengan sisi gunungnya, padangnya, dan jalannya yang

sederhana.

Keindahan tidak harus berisi struktur landscape yang

mahal. Sebagai contoh menjulangnya rumah-rumah me­

wah dengan tamannya yang serasi di sekelilingnya, ka­

lau terletak di antara gubug-gubug di pedalaman di alam

luas sangat mengganggu. Dapat dikemukakan seperti

tampak dalam gambar 8.4, aksioma yang biasa dianut

golc)ngan besar dalam pembangunan di Amerika Serikat

dan tampak juga gambar yang seharusnya merupakan

impian arsitek landscape. Sesedikit mungkin mengubah

landscape, tetapi didapatkan hasil yang optimum. Hal

itu tampak juga dalam gambar 8.9. Jadi jelaslah analisis

tapak (site analysis) sangat memegang peranan, untuk

membangun secara serasi.

Sari landscape yang indah sebenarnya bukan pada

mahalnya biaya yang diberikan atau banyaknya perubah­

an yang ditimbulkan. Menurut Eckbo (1964) yang selalu

dicari di setiap landscape adalah dua nilai: yang satu peng­

ungkapan mutu landscape yang asli, yang lain pengembang­

an maksimum dari kehidupan manusia. Juga dikemukakan

bahwa esensi (sari) fisik karakter landscape terletak dalam

hubungan-hubungan yang telah ada atau yang didirikan

antara struktur Galan, bangunan, utilitas, engineering, arsi­

tektur) dengan alam (ruang terbuRa hijau, atmosfera, iklim,

topografi, tumbuhan, air, hewan, batu dan karang).

268 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Gambar 8.10: Tapak di 'hutan bambu' Bambu sebagai tanaman endemik (lokal) banyak dimanfaatkan dalam

kehidupan keseharian bangsa China, yang di jaman sebelum politik

membuka diri, Negara China disebut "Negeri Tirai Bambu'

(Zhu, 1992, ha/62)

Gambar 8.11: Perancangan bak-bak bunga (flower beds)

Terutama di musim semi dan musim panas, negeri China merupakan

'kesenian' khas di RTH rekreasi (taman-taman kota) di China yang juga

terdapat saling pengaruh dengan seni perancangan taman di Negara

Barat. Di dominasi oleh merah, warna bendera kebangsaan China.

(Zhu, 1992, ha/134 & 135)

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 269

~~~"~,, ........ ~'···

··~~

Gambar 8.12: Pekerjaan 'Seni Batu' di Taman Ryoan-ji

Merupakan simbol penganut Buddha di mana wujud Maya dari Sang Buddha dipercaya tetap hadir dan dihormati. Taman ini merupakan suatu

tempat yang sangat mistis. Digambarkan dengan memakai batu berbagai bentuk dan ukuran serta pasir sebagai dasar {lantai)-nya. Dibangun

pada abad ke XVII di Kyoto dengan luas sekitar 9.000 m'. Dan gambar Taman Batu Jepang Sampo-in, Daikako-ji , Kyoto.

(Fukuda, 1970, ha/41 & 105)

2_70 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

8.6 ASPEK KREATIF DARI PERENCANAAN Dalam landscaping yang utama adalah keahlian bagai­

mana mengorganisasikan ruang dan massa yang tersedia

agar diperoleh suatu lingkungan hidup yang ideal, yakni

lingkungan hidup dimana seluruh individu yang berada

di dalamnya dapat mengkreasikan seluruh aktivitas ke­

hidupannya baik jasmani maupun rokhani secara maksi­

mum. Kehidupan ideal tidak saja diukur dari tambahan

pendapatan dan perabotan ataupun kenikmatan lahiriah/

fisik; yang lebih penting yaitu hal-hal yang dapat memberi

semangat dan pemupukan jiwa. Karena itu, memberi jalan

teduh berpohon di sekitar menara Eiffel bagi penduduk

miskin kota Paris jauh lebih penting daripada perbaikan

satu persen rumah-rumahnya (kampong improvement)

yang di bawah standar itu. Seperti halnya Jakarta, hanya

memberi kelap-kelip lampu hias di jalan-jalan protokol

telah memberi kesempatan penduduk miskin di daerah

kumuh menikmati panorama indah Jakarta, hanya den­

gan empat ribu lima ratus rupiah naik bis-kota/busway

dari suatu ujung kota ke ujung kota lainnya.

Dalam pembangunan kota, perlu dipelajari seni me­

letakkan bangunan-bangunan untuk menciptakan ruang

yang berbeda-beda: ruang yang tenang, teduh, penuh

daya hidup, ruang yang luas, megah dan mewah, hebat,

ruang yang hiruk-pikuk, ruang yang misterius, ruang-ru­

ang transisi yang membatasi, memisahkan ruang-ruang

yang memiliki sifat kontras ini, tetapi masih saling meng­

hubungkannya. Dapat dikemukakan masyhurnya taman

Ryoan-Ji, taman untuk merenung karena kesederhanaan­

nya, kesempurnaan detailnya, sugesti yang diberikan

mengenai ruang yang luas dan daya kekuatannya untuk

membebaskan pikiran dan jiwa manusia. Karena dalam

landscape architecture aspek sirkulasi (lalu-lintas) harus

dipikirkan baik-baik, maka dalam pengaturan kembali el­

emen-elemen secara visual, kita harus dapat menerima

bukannya benda-benda terisolir dalam ruang, melainkan

struktur, tatanan dan kait-mengaitnya peristiwa dan ke­

jadian dalam ruang dan waktu. Perencanaan yang tulen

menurut Simonds (1969) adalah suatu usaha, tidak hanya

mengganti realita, tetapi untuk mempertegasnya, dan

untuk memahami dengan kuat semua unsur-unsur pen­

ting untuk membawa fakta geografis dan fakta ekonomi

dalam keadaan serasi dengan tujuan manusia.

Menu rut Mumford, pengujian terakhir dari sistem eko­

nomi bukanlah pada jumlah ton besi, jumlah tangki min­

yaknya, atau jumlah meter kain yang diproduksinya. Ujian

terakhir terletak pada hasil akhirnya: jenis manusia yang

diasuhnya dan tatanan serta keindahan dan kesehatan

jasmani-rohani dari masyarakatnya. Suatu rencana mulai

dengan pengetahuan mengenai keadaan sekarang (ex­

isting condition) dan kesempatannya; untuk membangun

secara inteligent hari ini adalah untuk meletakkan dasar

bagi kebudayaan baru yang akan datang.

8.7 PENGEMBANGAN KAWASAN

8. 7.1 Sejarah Perencanaan

Lahirnya bidang arsitektur lansekap dilatarbelakangi

oleh munculnya konsep kota-baru (new-town) yang di­

cetuskan oleh para "pemikir ke arah perbaikan hidup"

sebagai reaksi dari proses degradasi mutu lingkungan

hidup dan kehidupan di kalangan penduduk kota yang

sedang mengalami revolusi industri. Perry (1929) misalnya

mengembangkan konsep ini ke dalam sistem satuan ling-

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 271

Gambar 8.13 (kiri)

Diagram Dasar yang benar menurut Ebenezer Howard untuk

Pertumbuhan Kota-Perdesaan disertai lalu-lintas yang baik.

(Howard, Ebenezer, 1964)

Gambar 8.14 (bawah)

Organisasi Wilayah di DKI Jakarta. Mengikuti Konsep Satuan

Ungkungan (Neighborhood Unit Concept).

(Simonds, 1964, dalam Djumantri, 2006)

Pusat Neighbourhood

Community

Pubot wllayah iu>c.a - - P«tcantoran

- PuAt pe<1Dkoan - Pasarfgardu - Akademi/SMA - PuAt olah raga

fstadion)

Termlnat

'---------------1~ Wllayah Kota

"---------------• Pusat Community

272 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

kungan, ia merencanakan kota menjadi unit lingkungan

pusat kota dan beberapa unit lingkungan permukiman

lainnya yang masing-masing dilengkapi prasarana sosial­

ekonomi. Tiap unit lingkungan dibatasi oleh pola-hijau

(green-pattern) yang terdiri atas taman, lapangan olah-raga

dan sebagainya. Seluruh kota dibatasi jalur hijau (green

belt) yang tidak boleh digunakan untuk permukiman tetapi

harus merupakan hutan atau dapat juga perkebunan be­

sar, bendungan, situ/embung dan sebagainya, yang tidak

menyebabkan tumbuhnya perkampungan yang meluas.

lni adalah suatu pencetusan ke arah usaha memperbaiki

kehidupan kota yang semakin menurun tersebut, yang se­

lanjutnya diikuti di negara-negara lainnya.

Pengembangan konsep tersebut di antaranya di lng­

gris yakni impian tentang kota-taman (garden-city) dari

Howard E. 1964 (diikuti Geddes, Unwin, dkk) seperti ter­

lihat pada gambar 8.13. Garden-city direncanakan untuk

sebuah kota yang kawasan perumahannya dibangun

rapat dan dikelilingi zona lahan-usaha tani milik pen­

duduk perdesaan. Garden-city dapat diartikan, kota di

dalam taman yang penduduknya dibatasi supaya jarang.

Dengan pertumbuhan kota taman, di luar lahan usaha

tani di sekelilingnya terbentuk beberapa kota kecil (yang

juga dikelilingi lahan usaha tani). Dengan demikian kota

mendapat keuntungan berupa kesegaran/kesehatan dari

kawasan perdesaan dan desa mendapat keuntungan

berupa kegiatan kota, pengetahuan dan efisiensi kota.

Berdasarkan pengaruh konsep tersebut, seorang arsi­

tek Belanda bernama Thomas Karsten (1938) mengecam

beberapa kotapraja yang dirancang pemerintah Hindia

Belanda seperti Batavia di Sunda Kelapa (dibentuk tahun

1890 oleh Jan Pieterzoen Coen), Samarang, Bandoeng,

Soerabaya dan Medan (antara 1895 s/d 1915). Kota-kota

tersebut hanyalah fotokopi Holland-style yang disesuai­

kan dengan budaya western. Bangunan-bangunan rumah

berpilar berskala luas dikelilingi kanal dan jalur hijau; ba­

tas kota dipertegas dengan tembok-benteng (citadel)

dilengkapi meriam di pintu gerbang dimana di dalamnya

terdapat rumah-rumah gubemur jenderal, burgemeester,

anggota volksraad dan gemeente raad. Kemudian pada

tahun 1938 Karsten menerapkan konsep tuinstad (gar­

den-city) untuk kota-kota Bandoeng, Buitenzorg (Bogor),

dan Malang. (Contoh Gambar 8.14, Organisasi Wilayah)

Sayangnya, tuinstad Karsten hanya terbatas di kota

saja, masih terdapat garis pemisah antara kawasan

perdesaan yang umumnya tempat hidup Inlander (boe­

miputra) dan kawasan perkotaan yang umumnya tern­

pat kehidupan bangsa Eropa, bangsa Asia non-pribumi

(Arab, Gina, India, dsb) dan para Dalem. Kalaupun ada

perhatian pada kawasan perdesaan, hanya terbatas

pada kawasan perkebunan (plantation-estate) untuk ke­

pentingan ekonomi-kolonial, misalnya di Lampung dan

Sumatera Selatan dimana para pekerjanya diambil dari

penduduk Jawa melalui program transmigrasi paksaan.

Dan untuk memperbaiki kehidupan penduduk pribumi di

kawasan pinggiran kota dilakukan Kampoong Verbeeter­

ing (Kampoong Improvement), itupun hasil perjuangan

gigih dari Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota

Gemeenteraad (dewan-kota).

Baru sekitar tahun empat puluhan terjadi penyempur­

naan peraturan/perundang-undangan dan kelembagaan

menuju ke sistem perencanaan yang lebih matang. Di

sinilah lahir Stadsvorming Ordonantie (SVO), Staatblad

1948 no. 1681 dan Stadsvormlng Verordenlng (SVV),

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 273

Staatblad 1949 no. 40. Kemudian dengan metoda pe­

rencanaan kota yang lebih modern tahun enam puluhan

Kenneth Watts membuat Master Plan Djakarta dan diikuti

dengan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Tahun tujuh-puluhan teori-teori/pendekatan dalam

pengembangan wilayah semakin berkembang pesat di

antaranya: teori ketergantungan sepihak (dependency

theory), sistem pusat-pinggiran (centre-periphery-system),

teori saling ketergantungan (interdependency theory).

Setelah itu, timbul suatu perkembangan yang memusat­

kan perhatian pada persoalan yang urgen seperti kebu­

tuhan pokok bagi manusia (basic-needs), kepentingan

lokal bagi tiap masyarakat, pengembangan lingkungan

(ecodevelopment) dan teknologi kecil (small-technology),

pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up-approach),

dan dari atas ke bawah (top down approach), pendekat­

an sektoral dan regional, dan sebagainya, dan terakhir

standar pelayanan minimum. Berbagai teori/pendekatan

di atas dicoba diterapkan di Indonesia.

Beberapa tahun setelah diundangkannya SVO-SW,

Pemerintah Indonesia berupaya untuk menggantinya

dengan menyusun RUU Bina Kota yang dalam proses

perkembangannya diganti menjadi RUU Tata Ruang Kota.

Selama lebih-kurang 40 tahun memperjuangkan RUU ini di

depan DPR, telah mengalami perluasan substansi sejalan

dengan berkembangnya teori/pendekatan wilayah dan ke­

sadaran akan kelestarian lingkungan hidup. Akhirnya pada

tahun 1992 disahkanlah UU No. 24/1992 tentang Pena­

taan Ruang (tidak terbatas hanya pada lingkup kota).

8. 7.2 Permasalahan Pengembangan Kawasan

Dari pengalamannya, Simonds (1983) menyadari ma­

sih ada kebiasaan pandangan para perencana dalam

mempertentangkan kota lawan desa, urban lawan sub­

urban, urban versus rural. Karenanya banyak tegangan

dan gesekan berulang-kali yang sesungguhnya tidak

perlu terjadi. Barangkali ini timbul karena kurangnya in­

tegrasi dan koordinasi antar sektor, kurangnya koordinasi

perkembangan yang direncanakan mengenai satuan­

satuan wilayah. Banyak tampak duplikasi biaya adminis­

trasi dan fasilitas-fasilitasnya.

Dalam menghadapi situasi ini, muncul kecenderungan

yang bijaksana di antara para perencana untuk meman­

dang kota dan burilokanya (hinterland) dalam pengertian

wilayah ekonomi dan wilayah sosial-budaya. Keuntungan

pengkajian dan perencanaan wilayah/regionalisasi ini san­

gat nyata dilihat secara ekonomik dan keefektifannya.

Keinginan manusia yang Iaten dalam suatu kehidupan

yang saling menghargai dan saling menolong, harus di­

upayakan agar terus bersemi dan berkembang dengan

edukasi, tetapi kondisi luar yang dituntut untuk menca­

pai itu haruslah diciptakan. Arsitek-arsitek harus diberi

tugas untuk membangun tempat kontak antara manusia

dengan manusia, membangun lingkungan yang mengun­

dang pertemuan-pertemuan dan pusat-pusat yang mem­

berikan pertemuan-pertemuan semacam ini sesuatu yang

berarti dan membuatnya produktif (Gutkind).

Simonds (1983) dan ahli-ahli arsitektur landscape

mengecam keadaan kota-kota besar di Amerika Serikat

sekarang dan menganggapnya sebagai gurun pasir. lni

karena dulu dipakai prinsip asal menumpuk sebanyak­

banyaknya struktur atau sebanyak-banyaknya kota-kota

27 4 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

dalam satu tempat. Kota yang biasa ditunjuk secara

bangga hanya yang paling tinggi, paling luas dan paling

padat, dengan hasil-hasil karya arsitekturnya. Belum di­

pastikan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya teril­

hami, terangsang oleh lingkungan kotanya. Bagaimana

dengan Jakarta sekarang?

Masalah yang dihadapi arsitek-arsiteklandscape seka­

rang dan meningkat di masa mendatang adalah pengem­

bangan cara-cara dan jalan untuk menjembatani jurang

pemisah (gap) antara kota dan desa, antara growth pole

(pusat-pertumbuhan/pelayanan) dan burilokanya (hinter­

land). Suatu antitesis antara perkotaan (urban) dan perde­

saan (rural); dan lebih khusus, antara gedung bertingkat,

aspalt-hotmix, fly-over Galan-layang) dan konstruksi kota

yang ribut dan bising, dengan hijaunya palawija yang te­

nang, gemulainya padi yang menguning, gemerciknya air

sungai, romantisnya hutan dan pantai. Bagaimana untuk

membuka kota ke desa, membawa budaya positif kota

ke desa, akan merupakan permasalahan utama. lni akan

diungkapkan dalam jumlah, jenis dan mutu vegetasi yang

ada.

Selama kegiatan manusia masih dalam hubungan

simpati dengan alam, atau hanya sedemikian kecil ska­

lanya sehingga tidak mengganggu siklus proses-proses

alami, landscape akan survive, baik dalam bentuk alam­

nya yang menonjol atau dalam hasil yang seimbang dari

kerja sama manusia-alam. Akan tetapi, segera setelah

pertumbuhan populasi atau kegiatan kotanya meng­

ganggu keseimbangan alam, lansekap akan menderita,

dan obat satu-satunya hanyalah bila manusia mengambil

bagian dalam evolusi lansekap.

Dalam hal ini perlu diingat bahwa dalam kota yang

baru, ruang sama pentingnya dengan gedung-gedung.

Dapatlah dilihat bila orang kota/pusat dipindah ke dae­

rah, walau dalam lingkungan yang indah dan mewah,

merasa tidak kerasan. Ada yang dikangeni dan dibutuh­

kannya: ingin hiruk-pikuknya kota, bau keringat dalam

bis kota, robekan poster, boneka etalase, toko buku, kios

serba ada, warung tenda, berjajamya pedagang kaki lima

dengan seribu-satu propaganda, dan sebagainya. Sebe­

tulnya, yang sesungguhnya menjadi keperluannya adalah

kompresi, minat, keanekaragaman dan kejutan-kejutan.

Manusia membutuhkan dan harus memilikinya sekali

lagi dalam kotanya ruang-ruang yang kaya variasi, mas­

ing-masing direncanakan dengan kehalusan dan dapat

memperlengkapi fungsinya: ruang dimana mereka dapat

bergerak dengan aman, dan kesenangan dimana dapat

berkumpul dan bermasyarakat. Mereka benar-benar perlu

memiliki kesehatan dan kenikmatan, dan harus mempu­

nyai tatanan. Dalam kotanya manusia memerlukan sum­

bar ilham, rangsangan, penyegaran, keindahan dan kesu­

kaan. Singkatnya mereka harus memiliki lingkungan kota

yang mengarahkannya ke segenap hidup yang utuh.

8. 7.3 Perencanaan Pengembangan Kawasan

Dapat dikemukakan tempat-tempat yang tidak cocok

untuk tujuannya, sebelum kita melangkah pada perenca­

naan kawasan yang baik:

• Pusat perbelanjaan tanpa tempat parkir yang cukup;

• Farm (daerah pertanian) tanpa cukup air;

• Losmen dekat gereja, atau dekat mesjid, atau dekat

pura;

• Pabrik baru tanpa ruang cukup untuk gudang dan per­

luasan;

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 275

• Sekolah menghadap ke pangkalan lalu-lintas utama;

• Restoran di tepi jalan yang hanya dapat dilihat dari

dekat;

• Sebuah rumah baru di dekat bandar-udara;

• Pabrik yang menimbulkan asap/bau di atas aliran

angin.

Di Amerika Serikat sejalan dengan kecenderungan

untuk memperluas bidang perencanaan dari dasar urban

ke dasar wilayah, adalah kecenderungan untuk mengu­

rangi tekanan pada perencanaan kota sebagai satu-sa­

tunya yang utuh dan segala-galanya dan lebih memu­

satkan perhatian pada perencanaan suatu lingkungan

(neighborhood) yang berswadaya. Suatu lingkungan

dengan populasi 1 000 sampai 1500 keluarga, suatu jum­

lah yang kira-kira membutuhkan dan dapat mendukung

sekolah-dasarnya, toko lingkungan dan bengkelnya, pu­

sat sosialnya, tempat bermain dan taman lingkungannya.

Kemudian menghidupkan dan merencanakan kembali

lingkungan-lingkungan tersebut, mengelilinginya dengan

jalur-hijau dan menghubungkannya dengan jalan-jalan

raya ke kompleks-kompleks industri, pusat kerja, atau

inti kota. Kawasan begini memberikan harapan untuk ter­

ciptanya suatu ibu-kota baru yang lebih berperikemanu­

siaan, lebih organik.

Suatu komunitas yang dapat dibedakan dari suatu

lingkungan (neighborhood) tadi, akan terdiri dari dua atau

di batas kota, tetapi cukup untuk melancarkan tekanan

lalu lintas, lebih baik dipisah dalam kawasan yang menge­

lilinginya sebagai komunitas-komunitas satelit kira-kira

terdiri dari 30.000 sampai dengan 40.000 orang dengan

kompleks industrinya, dengan sarana-sarana bisnisnya,

pertokoan dan sarana bermasyarakat termasuk seko­

lah-sekolah, lapangan bermain, gereja-gereja, gedung

hiburan dan rumah sakit komunitas.

Kota pusat, dengan intinya, akan melayani kota-kota

satelitnya yang demikian lebih atas dasar regional, se­

bagai pusat yang dominan perdagangan, keuangan,

pemerintahan, budaya dan pendidikan tinggi. Di sinilah

tempat kantor-kantor pusat negara-bagian dan wilayah,

kantor koperasi dan perusahaan-perusahaan, gedung­

gedung bank dan dewan perdagangan. Di sinilah letak

gereja-gereja besar, universitas dan rumah-sakit wilayah.

Di sinilah letak auditorium, stadium, park untuk menari,

perpustakaan, kebun-binatang, akuarium, oseanori­

um, planetarium dan kebun umum. Di sinilah rest~ran­

restoran, gedung untuk simponi dan pertunjukan balet

dan toko-toko kota yang semuanya akan menarik dan

melayani lebih baik pada wilayah.

Di dalam menetapkan kebijakan perlahanan, dalam

kaitannya dengan pembangunan kota, dulu pemerintah

daerah DKI Jakarta telah mengikuti konsep seperti dike­

mukakan di atas dengan beberapa modifikasi. Demikian

pula dalam sistem panca wilayah (Five Division System)

lebih lingkungan terpisah oleh suatu jalur-hijau atau ruang dalam perencanaan PIA (perkebunan inti rakyat) atau

terbuka hijau tetapi dihubungkan dengan jalan sekuncter ~S (nucleus estate and smallholding) adalah modifikasi

mengarah ke unsur vital untuk interest kelompok (commu- dari konsep tersebut di atas.

nal interest), biasanya kelompok sekolah lanjutan dan sa- Dapatkah perencanaan yang pernah populer itu diper-

rana-sarananya. Komunitas demikian tidak perlu terletak luas penerapannya di kawasan lain di Indonesia? Dengan

276 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

melihat bentuk-bentuk keluarga, RT, RW, lingkungan/ke­

lurahan, kecamatan dan seterusnya meningkat ke pusat

administrasi atau melihat kawasan-kawasan seperti tern­

pat satuan kegiatan? Di bidang pertanian lebih dimulai

membina wilayah unit desa (Wilud), unit daerah kerja

pembangunan (UDKP), yang lepas dari daerah adminis­

trasi. Mungkinkah ini diikuti bidang kegiatan lain, seperti

pembangunan kompleks baru misalnya perumahan in­

stansi, Perumnas, kampus, balai penelitian, pemukiman

kembali (resettlement), real estate, lokasi transmigrasi,

pemugaran kota (urban renewal), program perbaikan

kampung (kampoong improvement), pemekaran desa/

kecamatan/kota/kabupaten dan sebagainya. Kekurangan

kehidupan kawasan, karena tidak memikirkan kebutuhan

lengkap lingkungan hidup yang utuh (pendidikan anak­

anak, rekreasi, pertolongan kesehatan, dan sebagainya).

Suatu perencanaan yang baik menurut Gropious

haruslah mencakup dua segi yakni ilmiah dan seni. Se­

bagai ilmu, akan menganalisis hubungan kemanusiaan;

sebagai seni akan mengkoordinasikan kegiatan manusia

ke dalam sintesa budaya. Mulai diakui adanya pengertian

bahwa merencanakan lingkungan fisik tidak hanya berarti

memberikan suatu gugus keindahan tetapi lebih berwu­

jud suatu pertumbuhan dari dalam yang kontinu, suatu

pengakuan yang menciptakan kebenaran terus menerus

dalam melayani kemanusiaan.

Yang panting adalah seperti yang dikemukakan Mum­

ford, yaitu untuk melihat saling ketergantungan antara kota

dan buriloka, untuk menyadari bahwa pertumbuhan dan

konsentrasi pada salah satunya berkaitan dengan kemun­

duran dan pemiskinan yang lainnya. Untuk menghargai

adanya keseimbangan yang selaras dan adil antara kota

dan buriloka, sesuatu yang menurut Munford kurang di­

sadari sebelumnya oleh banyak orang/pihak. Menurutnya,

sangatlah diperlukan untuk mengembangkan suatu seni

regional planning, suatu seni yang akan menghubungkan

kota dan buriloka, urban dan rural, dalam pola baru yang

berbeda dengan pola yang lama; yang merupakan pencip­

taan membabibuta kawasan industri dan kawasan ping­

giran. Tidak memandang lagi daerah pedalaman sebagai

sesuatu yang akan binasa ke dalam lindasan arus buldozer

metropolitan. Kita dan generasi mendatang harus meren­

canakan untuk memelihara dan mengembangkan semua

sumber daya alam sampai batasnya.

Akhirnya tulisan ini ditutup dengan sebuah kalimat:

Perencanaan adalah kecakapan mengangan-angankan

yang harus menyarankan cara dan usaha untuk memin­

dahkan kemungkinan dan kemokalan hari ini ke dalam

kenyataan hari esok.

Semoga tulisan ini berguna bagi para arsitek lansekap

dan perencana pengembangan kawasan sebagai salah

satu pendekatan dalam penataan ruang kawasan.

Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 277

IX PENUTUP

RTH sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari

rencana pengembangan kota, sehingga diperlukan ke­

sungguhan para pihak yang terlibat dan berwenang untuk

mengiring penataan RTH pada aras terapan. Dukungan

perangkat peraturan perundangan-undangan, keberanian

pengambilan keputusan, dan konsisten dalam penerap­

annya, semuanya itu dipandang sebagai kunci keber­

hasilan penataan RTH ke depan. Didukung oleh sema­

kin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat

umum karena telah faham akan fungsi penting eksistensi

RTH, maka keinginan untuk pengelolaan RTH yang se­

makin baik sudah merata ke seluruh wilayah perkotaan

di Indonesia.

Yang masih perlu terus disosialisaikan adalah perlu­

nya membangun RTH-Kota oleh masing-masing kepe­

merintahan di daerah atau wilayah tersebut hendaknya

juga mau membangun lingkungannya berdasar pada ciri

budaya khasnya, agar keanekaragaman kekayaan bu­

daya dan keanekaragaman hayati flora dan fauna dapat

terus terpelihara.

9.1 LANGKAH-LANGKAH PENATAAN RTH KOTA KE DEPAN

9.1.1 Penghijauan Kota yang Lalu

Pada masa lalu, pada waktu jumlah penduduk kota

banyak, di mana urbanisasi juga belum terlalu 'marak' di

semua kota-kota RTH-Kota terutama taman-taman kota-

280 Penutup

nya hanya nampak dibangun apa adanya, artinya, pem­

bangunan RTH-kota (dalam hal ini ruang terbuka) hanya

penting dilakukan pada halaman istana saja. Salah satu

buktinya adalah pembangunan alun-alun atau Kebon Raja

yang dimaksudkan hanya bagi kenyamanan para pejabat

pemerintah. Pola kota yang ada hampir semuanya wari­

san jaman kolonial yang juga mementingkan kenyamanan

hanya bagi para pejabat pemerintahan kolonial saja.

Namun demikian, mereka sudah menerapkan peran­

cangan 'lansekap kota' berdasar pada kondisi iklim tropis

panas dan lembab yang nampaknya amat mengganggu

kenyamanan mereka yang biasa hidup di negara beriklim

sedang oleh karena itu mereka pun banyak menanam

pepohonan peteduh, jarang atau sedikit menanam tana­

man hias berupa tanaman-tanaman bunga yang relatif

pendek serta relatif sulit pemeliharaannya.

Kondisi demikian tetap bertahan, sampai akhirnya di­

awali oleh pemerintahan lbu Kota "Djakarta" yang sem­

pat berkunjung pada kota-kota besar dunia yang telah

maju pesat setelah masa Revolusi lndustri, ingin pula

membangun kota (Jakarta) seindah dan senyaman kota­

kota besar di luar negeri. Namun 'kesadaran' itu juga

baru muncul pada tahun 60-an, sekitar 1 0 tahun sebelum

dimulainya gerakan penataan lingkungan hidup dunia

(pertemuan dimulai di Stockholm, Swedia, tahun 1972).

Pemda DKI Jakarta kemudian secara cepat dan ber­

tahap menyusun pola perencanaan dan perancangan

penataan kota, agar 'pantas' kedudukannya sebagai ibu-

kota negara. Sekolah kt'lusus agar mahir dalam mange­

lola RTH-Kota pun didirikan demikian juga kursus-kursus

penataan halaman rumah. Secara tradisional sebenarnya

para orang tua (nenek moyang) kita sebenarnya sudah

mempunyai pengetahuan yang holistik (menyeluruh) dan

komprehensif (lengkap) tentang upaya penghijauan, pa­

ling tidak disekeliling rumah masing-masing. Namun se­

hubungan dengan semakin banyaknya penduduk kota

dampak (negatif) dari urbanisasi (mulai pesat sejak tahun

1960-an). Menanam juga menjadi satu persoalan tersen­

diri akibat semakin kurangnya ruang kota.

Perkembangan RTH-Kota dan lingkungan pada be­

berapa kota yang lain, sebagian dibiarkan tumbuh alami,

namun sebagian (besar) mengikuti pola perkembangan

ibukota, sehingga terjadi keanekaragaman kota, yang se­

benarnya baik saja sebab akan memperkaya khasanah

lingkungan kota. Sekali lagi disayangkan bahwa seba­

gian besar kota, justru memilih tanaman seperti apa yang

banyak ditanam di ibukota dari jenis akasia, palem raja

dan akhir-akhir ini ashoka, serta masih banyak lagi.

Penunjukan RTH kota meliputi tindakan penunjukan

lokasi dan penetapan luasan. Penunjukan lokasi dan

penetapan luas RTH kota dilakukan oleh Walikota atau

Bupati yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Perkotaan. Untuk Daerah Khusus lbu­

kota Jakarta, penunjukan lokasi dan penetapan luas RTH

kota dilakukan oleh Gubernur, yang dituangkan dalam

RTRW Propinsi DKI Jakarta.

Penunjukan lokasi dan penetapan luas RTH kota di­

dasarkan pada pertimbangan kota setempat, sehingga

dijumpai jumlah dan luas RTH beragam untuk kota ber­

beda. Batasan umum yang dapat dijadikan pertimbang-

an adalah: i) luas wilayah, ii) jumlah penduduk, iii) tingkat

pencemaran, dan iv) kondisi fisik kota. Rinci cara penetap­

an luas RTH kota dengan berbagai pertimbangan kondisi

lingkungan kota setempat dapat dilihat pada Lampiran.

9.1.2 Penetapan Tanah Hak sebagai RTH Kota

Tanah hak yang karena keberadaannya, dapat di­

mintakan peruntukannya menjadi RTH oleh pemegang

hak tanpa pelepasan hak atas tanah, selanjutnya pe­

megang hak memperoleh insentif atas tanah hak yang

ditetapkan sebagai RTH-kota dalam jangka waktu paling

sedikit 15 tahun antara lain dengan dasar pertimbangan

cukupnya waktu bagi sebagian tanaman untuk tumbuh

optimal.

Penetapan tanah hak ini dapat dilakukan tanpa me­

lalui proses penunjukan dan pembangunan. Untuk dapat

ditetapkan, tanah hak tersebut harus memenuhi kriteria

antara lain:

• Terletak di wilayah perkotaan dari satu kota, kabupaten,

atau provinsi,

• Merupakan RTH yang didominasi pepohonan,

• Mempunyai luas sedikitnya 0,25 ha dan mampu mem­

perbaiki iklim mikro, meningkatkan keindahan lingku­

ngan (estetika), dan berfungsi sebagai daerah resapan

air,

• Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak seba­

gai RTH kota dilakukan dengan Keputusan Bupati/Wa­

likota,

• Untuk DKI Jakarta, penetapan dan perobahan perun­

tukan tanah hak sebagai RTH kota dilakukan melalui

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus lbukota

Jakarta,

Penutup 281

• Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak di­

lakukan berdasarkan permohonan dari pemegang hak.

• Perubahan peruntukan RTH kota yang berada di atas

tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Perkotaan, karena itu harus ditetapkan

dengan Peraturan Daerah.

9.1.3 Pengelolaan RTH Kota

Dijumpai beberapa contoh pengelolaan RTH kota di

Indonesia yang dapat dipakai sebagai acuan dalam pe­

ngelolaan RTH, seperti pada Program Penghijauan Kota

'Penghematan air serta menabung air Kota Bandung' di­

lakukan melalui:

• Pendekatan aspek peraturan perundang-undanganan

• Pendekatan insentif dan disinsentif yang dikembangkan

• Penggunaan alat-alat pasar

• Penegakan sanksi-sanksi

• Pengembangan keterlibatan masyarakat

Program penghijauan Kota Pagar Ruyung di Sumatera

Barat misalnya, juga dilakukan melalui butir-butir penge­

lolaan seperti berlaku di Kota Bandung tersebut.

Berdasar kesesuaian tipe dan bentuk maka pengelo­

laan RTH kota dapat ditempuh melalui beberapa tahap

kegiatan berikut:

(1) Penyusunan Rencana Pengelolaan

Dalam proses perencanaan beberapa aspek awal

perlu diteliti yaitu meliputi: lokasi, fungsi dan peman­

faatan, aspek tehnik silvikultur dan arboriculture, ar­

sitektur lansekap, sarana dan prasarana, dan teknik­

teknik dasar pengelolaan lingkungan umumnya. Bahan

282 Penutup

informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: data

fisik (letak, wilayah, tanah, iklim dan lain-lain); sosial

ekonomi (aktifitas di wilayah bersangkutan dan kon­

disinya); keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya);

rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTRW, RDTR),

dan bahan-bahan penunjang lain.

Hasil prosesnya berupa Rencana Pembangunan

RTH-Kota yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

• Rencanajangka panjang, memuat gambaran tentang

RTH-kota yang dibangun, serta target dan tahapan

pelaksanaannya,

• Rencana rinci yang memuat rancangan fisik atau ran­

cang bangun untuk masing-masing komponen

fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata

letaknya,

• Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana

fisik dan biaya.

(2) Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dalam rangka menjaga

dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat RTH kota,

melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tana­

man dan peningkatan kualitas tempat tumbuh.

(3) Perlindungan dan Pengamanan

Perlindungan dan pengamanan RTH kota bertu­

juan untuk menjaga keberadaan dan kondisi RTH kota

agar tetap mampu berfungsi optimal, melalui upaya­

upaya:

• Pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan,

• Pencegahan dan penanggulangan pencurian keka­

yaan 'plasma nutfah' fauna dan flora,

• Pencegahan dan penanggulangan kebakaran,

• Pengendalian dan penanggulangan hama penyakit.

Oleh karena itu, setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang bisa berakibat pada perubahan dan

atau penurunan fungsi RTH-kota, yaitu:

• Membakar tanaman di dalam RTH kota,

• Merambah kawasan RTH kota,

• Menebang, memotong, mengambil, apalagi memus­

nahkan tanaman dalam RTH kota, tanpa izin dari

pejabat yang berwenang

• Membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan

kebakaran atau membuang limbah cair dan sam­

pah padat yang juga membahayakan kelangsungan

fungsi RTH kota,

• Mengerjakan, menggunakan, atau menduduki

RTH kota secara tidak sah.

(4) Pemanfaatan

RTH kota antara lain dapat dimanfaatkan untuk

kegiatan pariwisata alami, rekreasi dan atau olah raga,

penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelestari­

an plasma nutfah; dan budidaya hasil tanaman bukan

kayu.

(5) Pemilihan Jenis Tanaman

Jenis tanaman dalam program pembangunan dan

pengembangan RTH kota hendaknya dipilih berdasar­

kan kriteria tertentu, sehingga tanaman dapat tumbuh

baik dan dapat berperan memperbaiki kondisi ling­

kungan setempat.

Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta

manfaat RTH kota optimal, beberapa informasi perlu

diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:

• Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, keting­

gian dari muka tanah (altitude),kondisi salinitas dan

lain-lain,

• Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara,

kecepatan angin, radiasi matahari,

• Persyaratan silvikultur; kemudahan dalam hal penye­

diaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat

pemeliharaan,

• Persyaratan umum tanaman: tahan terhadap hama

dan penyakit, cepat tumbuh, kelengkapan jenis

dan penyebaran jenis, berumur relatif panjang, ber­

bentuk indah, dan ketika dewasa (tumbuh optimal)

dapat sesuai dengan ruang yang ada, serasi dengan

tanaman lain, serbuk sarinya tidak bersifat alergis,

atau daun dan akarnya tidak bersifat alelopatis (me­

matikan tanaman lain di sekitarnya, seperti misalnya

tanaman jambu air terhadap rerumputan di bawah­

nya) dan lain-lain.

• Persyaratan pemanfaatan khusus. Pertimbangan ini

harus disesuaikan dengan tujuannya, sehingga me­

menuhi salah satu criteria seperti: tahan terhadap

kadar garam yang relatif tinggi, tahan terhadap zat

pencemar dari industri dan kendaraan bermotor,

berkemampuan tinggi dalam menyerap gas, ber­

ketahanan tinggi terhadap hujan asam, berkemam­

puan tinggi dalam pengelolaan tata air, dan biasanya

dapat menjadi habitat satwa (burung, dan lain-lain),

• Persyaratan untuk pohon peteduh jalan: mudah

tumbuh pada tanah yang padat, tidak mempunyai

akar yang tumbuh besar di permukaan tanah, tahan

Penutup 283

terhadap hembusan angin kuat, dahan dan ranting

tidak mudah patah, pohon tidak mudah tumbang,

buah tidak terlalu besar, daun tak mudah rontok dan

lain-lain,

• Persyaratan estetis: mempunyai tajuk dan bentuk

percabangan yang indah, bunga dan buahnya me­

miliki warna dan bentuk yang indah, dan lain-lain.

• Dua kotak berikut adalah data tanaman yang perlu

diketahui ciri-cirinya yang sesuai sebagai materi

tanaman untuk lingkungan perkotaan serta tata cara

praktis pengelolaannya

9.2 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN RTH KOTA

9.2.1 Koordinasi Kelembagaan untuk Mendukung

Upaya Pengembangan RTH Kota

Organisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota

sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan

keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah

mungkin saja akan berbeda dengan daerah lain. Salah

satu bentuk pengorganisasian pembangunan dan penge­

lolaan RTH kota adalah:

• Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah yang ber­

tanggung jawab atas pembangunan dan pengembang­

an RTH kota di wilayahnya. Bidang perencanaan dan

pengendalian dilaksanakan oleh Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda), dibantu oleh tim

pembina yang terdiri dari sektor terkait, seperti: Ling­

kungan Hidup, Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan,

Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, Kesehatan,

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional

284 Penutup

dan Daerah (Bapedalda), dan lain-lain menurut kebu­

tuhan berdasar kondisi dan situasi sesuai ruang dan

waktu pada masing-masing kota atau daerah. Sedang

pelaksanaannya dapat dikoordinasi oleh dinas terkait

secara mandiri atau bekerjasama dengan suatu atau

beberapa kelompok pengelola RTH Kota secara profe­

sional (kelompok swasta dan masyarakat umum),

• Pengelolaan RTH kota pada areal yang dibebani hak

milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam

pelaksanaannya harus memperhatikan rambu-rambu

pengelolaan dalam Rencana induk Kota (RIK) misal­

nya yang sudah ditetapkan dan disetujui sebelumnya

dalam peraturan-peraturan tertentu, dan dipandu oleh

lembaga yang berwenang dalam bidang perencanaan

dan pengendalian. Agar pelaksanaan di lapangan

dapat berlangsung lancar, perlu dipikirkan juga adanya

jasa atau imbalan untuk merangsang para pelaku dan

penanggungjawab pengelolaan RTH Kota.

9.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat dalam Upaya

Pengembangan RTH Kota

Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

seharusnya mendorong peran masyarakat dalam penye­

lenggaraan RTH kota pada keseluruhan tahap; sejak

penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan,

pembinaan dan pengawasan.

Peningkatan peran masyarakat dilakukan antara lain

melalui;

• Pendidikan dan pelatihan

• Penyuluhan

• Bantuan teknis dan insentif.

Peran masyarakat dalam penyelenggaraan RTH-kota • lnsentif disinsentif

tersebut dapat berbentuk: • Penetapan sanksi.

• Penyediaan lahan untuk penyelenggaraan RTH-kota

• Penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan

RTH-kota

• Pemberian masukan dalam penentuan lokasi RTH-kota

• Pemberian bantuan dalam mengidentifikasi. berbagai

potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota

• Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan

• Pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pen­

dapat dalam penyelenggaraan RTH-kota

• Pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perun-

dang-undangan yang berlaku

• Bantuan pelaksanaan pembangunan

• Bantuan keahlian dalam penyelenggaraan RTH-kota

• Bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan

pengelolaan

• Menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi RTH­

kota.

9.2.3 Keperluan Peraturan Daerah untuk

Pengembangan RTH Kota

Diperlukan Peraturan Daerah yang secara khusus

mengatur tentang pengelolaan menyeluruh dari RTH

kota, ini di mana didalamnya antara lain mencakup;

• Tata cara penunjukkan lokasi dan luas lahan;

• Penentuan tipe RTH kota

• Tata cara pembangunan RTH kota

• Pemberian insentif bagi pemegang hak tanah hak yang

ditetapkan sebagai RTH kota;

• Pengelolaan RTH kota

• Perlibatan masyarakat

Di dalam sebuah "Surat Keputusan Walikota" dapat

diterapkan misalnya;

• Penetapan dan perubahan hak peruntukan tanah seba­

gai RTH kota.

• Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta maka penetapan

dan perobahan peruntukan hak pengelolaan atas tanah

sebagai RTH kota dilakukan dengan keputusan Guber­

nur Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta.

9.2.4 Peran Legislatif dalam Pengembangan

RTH Kota

Fungsi legislasi menempatkan DPRD untuk memenuhi

harapan masyarakat yang diwakilinya sebagai pelaku

utama pembangunan sehingga tata pemerintahan dapat

terpenuhi. DPRD dapat berinisiatif dalam penyusunan

peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan RTH

kota, misalnya tentang penyelenggaraan RTH Kota telah

banyak dilaksanakan oleh hampir semua pemerintahan

kota di daerah-daerah. Dalam program nasional penghi­

jauan kota yang dikaitkan dengan pelaksanaan program

penghargaan kota bersih sehat dan teduh, seperti pro­

gram Adipura, Kalpataru dan Iomba-Iomba perencanaan

dan perancangan RTH Kota khususnya pada taman­

taman umum kota dan kegiatan-kegiatan peingkatan

kualitas fungsi lingkungan semacam, dapat dijadikan

contoh-contoh aktivitas positif yang dimaksudkan bagi

kemaslahatan orang banyak.

Penyelenggaraan hutan kota khususnya telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2003 tentang

Penutup 285

Hutan Kota. Maka, peraturan daerah secara minimal khu­

susnya yang menyangkut pengaturan hutan-kota terse­

but, secara minimal dapat meliputi antara lain hal-hal se­

bagai berikut:

• Tata cara penunjukkan lokasi dan luas lahan,

• Penentuan fungsi, tipe, dan bentuk hutan kota,

• Tata cara pembangunan hutan kota,

• Pem~berian intensif bagi pemegang hak atas tanah, ya-

itu hak yang ditetapkan sebagai hutan kota,

• Pengelolaan hutan kota,

• Penanggung jawab dan keterkaitan antar sektor

• Perlibatan masyarakat; dan

• Penetapan sanksi.

Dalam proses penyusunan peraturan daerah, terdapat

tiga kelemahan umum yang dirasakan oleh DPRD Kota

(Djojosoekarto, 2004 dalam Seri Buku Panduan DPRD,

2005) yaitu analisis kebijakan, advokasi kebijakan dan

dukungan Sekretariat. Oleh karena itu perlu diperhatikan

beberapa pertanyaan (issues) dalam proses penyusun­

an dan penetapan Peraturan Daerah (Perda), sebagai

berikut:

• Bagaimana tata cara penunjukkan lokasi dan luas RTH­

kota?,

• Apakah penunjukan lokasi dan luas RTH-kota berdasar­

kan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan?,

• Apakah penunjukan lokasi dan luas Hutan Kota se­

bagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH} Wilayah

Perkotaan?,

,• Apakah sudah tersedia komponen-komponen pendu­

kung penyelenggaraan RTH-kota yang meliputi: terse­

dianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bi-

2b1 Penutup

bit secara massal?; ilmu dan teknologi yang memadai?;

pelayanan jasa konsultasi untuk umum?; dukungan dari

para penentu kebijakan?; serta dukungan masyarakat,

tenaga ahli, dan para pihak terkait lain,

• Bagaimana status lokasi yang ditunjuk sebagai RTH­

kota? Pad a tanah negara atau tanah hak?,

• Sejauh apakah luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat

pencemaran, dan kondisi fisik kota menjadi pertimbang­

an dalam penunjukkan lokasi dan luas lahan RTH­

kota?,

• Bagaimana tata-cara pengelolaan RTH-kota direncana­

kan? (meliputi: penyusunan rencana pengelolaan,

pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan, peman­

faatan, pemantauan dan evaluasi),

• Bagaimana peran dan keterlibatan masyarakat dalam

setiap proses penyelenggaraan RTH-kota?,

• Bagaimana tata-cara bila akan diberikan kompensasi

(sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang­

an yang berlaku)?,

• Bagaimana koordinasi secara horisontal dan vertikal

akan dikembangkan?,

• Bagaimana konsistensi dan sinkronisasi dalam Raperda

tentang penyelenggaraan RTH ini terhadap Perda yang

lain?,

• Selain perda, dalam penyelenggaraan RTH kota juga

dibutuhkan Surat Keputusan Walikota mengenai:

- Penetapan dan perobahan peruntukan tanah hak se­

bagai RTH kota,

- Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta, penetapan dan

perobahan peruntukan tanah hak sebagai RTH kota

dilakukan dengan keputusan Gubernur Propinsi Dae­

rah Khusus lbukota Jakarta.

Barbagai fungsi panting dalam pangalolaan RTH

sabagai unsur utama tata ruang parkotaan, mau tidak

mau harus manjadi bahan partimbangan panting bagi

kapamarintahan lingkungan parkotaan, artinya bagi sa­

luruh panduduk kota, yang tardiri dari lambaga-lambaga

pamarintahan yang rasmi (aksakutif, judikatif dan lagisla­

tm namun tanpa paran aktif masyarakat umum maupun

swasta, parwujudan lingkungan kota yang barsih, hijau,

asri dan produktif pasti akan amat sulit tarwujud. Apabila

lingkungan parkotaan dapat tartata dangan baik, maka

produktivitas manusia panduduknya pun akan manin­

gkat, sabab panyakit-panyakit akibat dagradasi lingku­

ngan akan sangat jarang tarjadi, damikian juga panyakit

akibat tidak adanya pangalolaan sacara manyaluruh yang

sakali lagi manjadi tanggung jawab kita samua.

Penutup 287

Kotak 1 Data Tanaman

Setiap jenis tanaman yang akan ditanam harus diketahui informasi awalnya, meliputi:

• Nama lokal dan nama botani

• Bentuk tajuk: oval/vase/roundlirregular/fastigiatelpyramidal

• Tanah: kisaran pH, tekstur, jenis tanah, elevasi (di atas permukaan laut).

• Kebutuhan akan naungan: butuh/tidak

• Kerindangan tajuk: sangat rindang/sedang/kurang rindang

• Ketahanan terhadap pangkasan: kuat/sedang/tidak tahan

• Kelas Tinggi: pendek (<3m), sedang (3-7m), tinggi (> 7 m)

• Kelas diameter Iebar naungan: sempit (< 3 m),sedang (3-6 m),tinggi (> 6 m)

• Kecepatan Tumbuh: rendah/menengah/cepat

• Kekuatan terhadap angin (dilihat dari kekuatan kayunya): kuat/sedang/rapuh

• Ketahanan terhadap robohan oleh angin (dilihat dari sistem perakarannya)

• Sifat pengguguran daun: Deciduous/evergreen

• Ketahanan terhadap gas (NOx, SOx, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain-lain): tinggi/sedang/rendah

• Kemampuan dalam menyerap gas (NOx, SOx, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain-lain): tinggVsedang/rendah

• Ketahanan terhadap partikel padat (debu tanah, silikat, semen, asbes dan lain-lain): tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap genangan air: tinggi/sedang/rendah

• Kemampuan dalam menguapkan air: tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap cahaya buatan: tinggi/sedang/rendah

• Fungsi lansekap: hiasan rumah dan kantor/peteduh jalan/kebun/hutan

288 Penutup

Kotak 2 Pemeliharaan Pohon

Penanaman

Pohon-pohon yang kecil mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap gangguan pemindahan dibandingkan

dengan pepohonan besar. Oleh sebab itu untuk menan am pepohonan yang besar perlu para akhli yang berpeng­

alaman, alat-alat, kendaraan dan biaya yang relatif mahal. Ukuran pohon optimum agar dapat dipindah sangat

bervariasi tegantung pada jenis. Walau demikian ukuran pohon yang banyak ditanam adalah yang mempunyai

ukuran diameter batang antara 5-10 mm dengan tinggi antara 30-1 00 em.

Perawatan Luka pada Satang

Pohon redwood di Piercy, California, mempunyai tinggi 76 m berumur 2000 tahun masih hidup dan terus tum­

buh walaupun mempunyai luka bekas kebakaran lebih dari seratus tahun yang lalu (Haller, 1986), karena luka

pada pohon tersebut secara terus menerus telah dirawat dengan baik. Pohon yang sempurna memiliki per­

mukaan kulit yang mulus mulai dari akar sampai ujung batang. Namun jika pohon tersebut dikuliti, terpotong,

dipukul atau dibakar, maka akan dapat terbentuk luka yang kemudian akan berobah menjadi lubang.

Pemangkasan

Pemangkasan dimaksudkan untuk membuang bagian dahan/ranting tertentu agar didapat bentuk-bentuk ter­

tentu (topiary, apakah ingin bentuk seperti binatang atau bentuk lain), mengendalikan pertumbuhan tinggi po­

hon, membuang bagian yang terkena penyakit, untuk keselamatan Gika patah dapat mengancam keselamatan

pemakai jalan raya dan terbukti telah terjadi baik di Jakarta maupun di Bogor pada saat ada angina kencang,

atau karena dahan dapat mengganggu kabel listrik dan telepon), untuk memberi kesempatan pohon lain agar

mampu tumbuh lebih baik, atau misalnya untuk mempercepat munculnya bunga, dan seterusnya. , Beberapa

jenis pohon buah yang daunnya terlalu lebat akhirnya sulit menghasilkan buah sebagaimana diharapkan (ram­

butan, mangga, dan sebagainya)

Penebangan

Pohon-pohon yang harus dihilangkan adalah pohon-pohon yang dengan beberapa kriteria yang perlu dipertim­

bangkan, yaitu: sudah mati, membahayakan, saling berhimpitan, pohon terkena penyakit dan dapat mengan­

cam pohon-pohon lain, pepohonan pada jalur jalan dan bangunan, mengganggu jalur listrik dan telepon.

Penutup 289

DAFTAR PUSTAKA &LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi, 2004. Masalah dan Upaya Peme­

cahan Masalah Kesehatan Lingkungan di Indone­

sia. Makalah disampaikan dalam rangka Pertemu­

an Nasional Pengembangan Program Kabupaten/

Kota Sehat di Indonesia. Dirjen PPM & PL, Depar­

temen Kesehatan R.I. Atma Jaya.

Austin, Richard L, et.al (Eds), 1985. The Yearbook of Land­

scape Architecture, The Issues of Energy. Van Nos­

trand Reinhold Company Inc, 135 West 50 street,

New York, New York, 10020. ISBN: 0747-9581

Bengen, DietrichGdanAiexS.W. Retraubun,2006. Mengu­

ak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis

Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Diterbitkan

oleh Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pe­

sisir dan Laut (P4L). ISBN: 979-98867-2-4.

Bravetti, S. E. Mountuori, L. Calini, 1993. II Centro Nazio­

nale Addestramento Di Tirrenia (The National Train­

ing centre ofTirrenia). Edizione CONI- Roma, Foro

ltalico. Contra Studi lmpianti Sportivi. Prima ed­

izione: Aprile 1993.

Breen, Ann and Dick Rigby. 1996. The New Waterfront.

A Worldwide Urban Success Story. Printed and

bound in Singapore by C.S. Graphics Pte Ltd.

ISBN: 500-34145-1.

Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo, 1993. Kota

Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni/1993/

292 Dattar Pustaka & Lampiran

Bandung Kotak Pas 1282. ISBN: 979-414-486-X.

Buijs, Steef. 1998. Engineering, Design and Environmental

Aspects of Urban Waterfronts. Makalah presentasi

Menteri Perumahan, Penataan Ruang dan Lingku­

ngan Negeri Belanda pada Seminar Penataan

Ruang Kawasan Perkotaan Tepi Air di Indonesia

(tidak dipublikasikan).

Carpenter, Philip L., et.al. 1975. Plants in The Landscape.

W.H Foreman & Company, San Francisco.

Charles Suryadi, 2004. Program Kota Sehat di Indonesia

sebagai Bagian dari Pembangunan Kota yang

Berkelanjutan. Pusat Penelitian Kesehatan UNIKA

ATMAJAYA, Staf Bagian Kesehatan Masyarakat,

FK Unika.

Chiara, Joseph De & Lee Koppelman, 1982. Urban Plan­

ning and Design Criteria. Van Nostrand Reinhold

Company, NY.

Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1978. Site Planning

Standard. McGraw-Hill Book Company, NY.

Christiansen, Monty L., 1977. Park Planning Handbook.

John Wiley & Sons Inc. ISBN: 0-471-15619-1 ----....

Crowe, Sylvia and Sheila Haywood:""t972. The Gardens

of Moghul India, a history and a guide. Photo­

graphs and Research by Susan Jellicoe. Plans and

Map by Gordon Patterson. Thames and Hudson,

London. Printed by Westerham Press Limited,

Westerham, Kent.

Dahlan, Endes N, 1989. Dampak Pencemaran Udara Ter­

hadap Manusia dan Beberapa Komponen Sum­

berdaya Alam. Media Konservasi Vol II (2): 39-44.

Dahlan, Endes Nurfilmarasa. 1992. Hutan Kota. Untuk Pe­

ngelolaan dan Peningkatan kualitas Lingkungan

Hidup. Jakarta. Asosiasi Pengusaha Hutan Indo­

nesia (APHI), diedarkan dalam lingkungan terbatas

tidak diperjual belikan. Layout dan Design oleh: PT

Mercurindo Citamurni, Percetakan PT Enka Parah­

yangan. ISBN: 979-8381-00-9.

Dahuri, Rokhmin, 2003. Keanekaragaman Hayati Laut,

Asset Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.

Kata Sambutan Megawati Soekarnopuetri, Presi­

den R.I. GM 212 03 002. Penerbit PT Gramedia

Pustaka Utama, Jl Pal Merah Barat 33-37 lantai 2-

3. Anggota IKAPI, Jakarta 2003.

DeHaan, F. .... ? Oud Batavia Planten Album. Bandoeng

-A.C.Nix & Co-XXV.

Djamal, Zoer'aini, 1997. Tantangan Lingkungan Hidup

dan Lansekap Hutan Kota. Cides, Jakarta.

Djojosoekarto Agung, et.al (penyunting), 2005. Pemba­

ngunan Kota yang Berkelanjutan, Buku Seri Pan­

duan (1 sampai dengan 6, meliputi: Peran DPRD,

lata Ruang, Transportasi Kota, Air Perkotaan,

Udara Perkotaan, dan kesehatan Lingkungan).

Kerjasama antara: Asosiasi DPRD Kota Seluruh

Indonesia (ADEKSI), Konrad Adenauer Stiftung

(KAS), Deutsche Gesselschaft fur Technische Zu-

sammenarbeit (GTZ)/ Program LingkunganHidup

(Pro-LH) lndonesia-Jerman.

Din as Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1997. Pemukim

dan Pemukiman di Wilayah DKI Jakarta

Emmerling-Dinovo, Carol, 1988. "Retention Basin design:

An Alternative Approach Based on Ecological Prin­

ciples". Conference Proceedings. Paper presented

at: Council of Educators in Landscape Architec­

ture' (CELA) Yearly Conference in 1988, with the

theme 'Sustainable Landscape' in California State

Polytechnic University, Pomona, USA.

Fieldhouse, Ken, 1992. Landscape Architecture Europe.

Landscape Design Trust (majalah). 13a West Street,

Reigate, Surrey, United Kingdom. RH2 9BL. ISBN:

0966-2081

Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno. 1998. Dasar­

Dasar Ako-Arsitektur, Konsep Arsitektur Ber­

wawasan Lingkungan serta Kualitas Konstruksi

dan Bahan Bangunan untuk Rumah Sehat dan

Dampaknya Atas Kesehatan Manusia Penerbit

Kanisius, Soegijapranata University Press. ISBN

979-672-127-9, cetakan ke-5.

Fukuda, Kazuhiko, 1970. Japanese Stone Gardens, how

to make and enjoy them. Charles E. Tuttle Com­

pany. Rutland. Vermont. Tokyo, Japan. ISBN: 0-

8048-0318-8

Gray, William. 1993 Coral Reefs & Islands, The Natural

Histroy of A Threatened Paradise. Foreword by

Daftar Pustaka & Lampiran 293

Professor David Bellamy. ISBN: 0 7153 0077 6.

Typeset by Goodfellow & Egan Ltd, Cambridge

and printed inSingapore by CS Graphics Pte, Ltd

for David and Charles, Brunei house Newton Ab­

bot Devon

Grey, John E. and Peter Cullen, 1976. Guidelines for

Management of Urban Park System. Management

Aid No. 1 . August 1976. Published by The Austra­

lian Institute of Parks & Recreation. PO BOX 18,

Northcote, 3070 National Library of Australia Cord

Number ISBN 0-959-8775-5X.

Grey, 1981. Responding to Change in Park System.

Grey, Jane W. & Frederick C. Deneke: 1978. Urban Forestry.

John Wiley & Sons Book Company, Inc., ISBN: 0-

471-01515-6.

Grove, A.B. and R,W, Cresswell (eds), 1983. City Land­

scape, A Contribution to The Council of Europe's

Campaign for Urban renaissance. With A Foreword

by HRH The Duke of Glowcester. Communication

Industry Conference Centre, PO Box 31, Welwyn,

AL6 OXA, UK, and the several contributions named

in the list of contents. ISBN: 0-408-01165-3.

Gunadi, Sugeng. 1995. Arti RTH Bagi Sebuah Kota Maka­

lah pad a Buku: "Pemanfaatan RTH di Surabaya",

bahan bacaan bagi masyarakat serta para pen­

gambil keputusan Pemerintahan Kota.

Haeruman, Herman dan Ning Purnomohadi, 1980. Penge­

lolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hi-

294 Daftar Pustaka & Lampiran

dup dalam Kerangka Strategi Pengembangan

Wilayah. Bahan Kuliah FPS-IPB, Bogor. (Tidak

dipublikasikan).

Haeruman, Herman. 1995. Pembangunan Kota yang Ber­

wawasan Lingkungan. Bahan dipersiapkan untuk

artikel di majalah SERASI, diterbitkan sebagai ma­

jalah berkala oleh kantor KLH.

Hajen & Kim, 2005. (makalah) Departemen Transportasi

dan Perairan Belanda.

Halle, F. & R.A.A. Oldeman. 1975. An Essay on the Archi­

tecture and Dynamics of Growth of Tropical Trees.

Translated from the French by Benjamin c. Stone,

1970. Reader in Botany. School of Biological Sci­

ence, University of Malaya. Penerbit Unioversiti

Malaya, Kuala Lumpur, 22-11 , Malaysia.

Howard, Ebenezer, 1964. Garden City of Tomorrow. Faber

and Faber, London.

Jellicoe, Geoffrey and Susan. 1971. WATER, The Use of

Water in Landscape Architecture. Published by:

Adams & Charles Black, London.

Jellicoe, Geoffrey and Susan. 1975. The Landscape of

Man, Shapping The Environment From Prehistory

to The Present Day. Revised an enlarged edition

(1987). Thames and Hudson. Printed and bound in

the German Democratic Republic.

Junzhen, Zhu (compilator) 1992. Chinese Landscape

Gardening, Foreign languages Press, 24 Baiwan-

zhuang Road, Beijing 100037, Printed in The Peo- MeHarg, lan L., 1992. Design With Nature (Merancang

pie Republic of China, China. Bersama Alam). Penerjemah Sugeng Gunadi 2005.

Konijnendijk, Cecil & Jasper Schipperijn (Eds). 2004.

Neighbourwoods for Better Cities-Tools for De­

veloping Multifunctional Community Woodland

in Europe. Publisher: Danish Centre for Forest,

landscape and Planning + KVL. Rolighedjvej

23. DK1958. Fredericksberg. Denmark. Tel: +45

35281500 www.sl.kvl.dk. ISBN: 87-7903-171-4.

Kuswartojo, Tjuk. 2006. Azas Kota Berkelanjutan dan

Penerapannya di Indonesia. Makalah pada Semi­

nar Penataan Ruang Berbasis Aspek Ekologis un­

tuk Mewujudkan Kota Berkelanjutan, oleh Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ja­

karta 17 Januari 2006.

Laura, Guillermo D., 1979. The Green Belt CEAMSE/1

Airlangga University Press, Surabaya.

Myers, Norman (Gen, Ed), 1985. The GAIA Atlas of Planet

Management, for today's caretakers of tomorrow's

world. Forword by David Bellamy PAN BOOKS.

M. Amin, Jusna. 2005. Melindungi Ruang Terbuka Hijau

Sebagai Antisipasi Bencana dan Ekspresi Ma­

syarakat yang Bermartabat. Makalah (tidak dipu­

blikasikan) pada Seminar "Percepatan Perwujud­

an Ruang Nusantara Yang Nyaman, Produktif dan

Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang. Penye­

lenggara: Departemen Pekerjaan Umum beker­

jasama dengan Lspeu Indonesia, Jakarta 6 De­

sember 2005. Ruang Mutiara I, Hotel Gran Melia,

Jakarta.

Edition Avda, Amancio Alcorta 3000, Buenos Murdiyarso, Daniel. 1988. Hubungan Air-Tanaman, bahan

Aires. kuliah di Jurusan Geofisika dan Meteorologi, lnsti­

tut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Joga, Nirwono, 2006. Menyiapkan Kota Waspada Ben­

cana. Artikel Harian Kompas, Rabu, 31 Mei 2006.

Laurie, Michael. 1975. An Introduction to Landscape

Architecture, Department of Landscape Architec­

ture University of California. Berkeley, American

Elsevier Publishing Company, Inc. Vanderbilt Av­

enue, New York 1 0017.

Lynch, Kevin. 1967. Site Planning. Houghton Mifflin Com­

pany, Boston.

Nazaruddin, 1994. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya,

Anggota IKAPI. Jl. Gunung Sahari 111/7. Tel: (021)

420 4402 dan 421 4884 (5 saluran); Fax: (021) 420

8412. Tromol Pos 1456, Jakarta 10610 (cetakan

kedua, 1996). ISBN: 979-489-212-2.

Nishikawa, Yashiteru. 2004. "Parks and Green Space

Administration in Japan". Director, Green Space

Environment Enhancement Office Parks and green

Space Dicision, City and Regional Development

Daftar Pustaka & Lampiran 295

Bureau. Minsitry of Land, Infrastructure and Trans­

port, Japan. Presented in Suzhou & Beijing at The

ASEM Symposium on Urban Forestry, Fall 2004.

Papanek, Victor.1995. The Green Imperative, Natural De­

sign for The Real World. Thames and Hudson Inc.

500 Fifth Avenue, New York, New York 1 011 0.

Printed and bound in Singapore. ISBN: 0-500-

27846-6.

Pinderhughes, Raquel, 2004. Alternative Urban Futures,

Planning for Sustainable Development in Cities

Throughout the World. Rowman & Littlefield Pub­

lishers, Inc. PO BOX 317, Oxford OX2 9RU, UK.

ISBN 0-7 425-2366-7 (hard copies) ISBN 0-7 425-

2367-5 (paperback)

Pour, Julius. 2004. 2004. Dari Gelora Bung Karno ke

GELORA BUNG KARNO (GBK). Edisi Pertama

2004 (Ketua Panitia Pelaksana: Purnomohadi).

Hak Cipta Direksi Pelaksana GBK. ISBN: 979-732-

444-3.

Purnomohadi, Ning. 2002. Pengendalian Bencana Banjir

di Jakarta Makalah untuk Memperingati Hari Air

Sedunia, 22 Maret 2002. Artikel untuk Jurnal Arsi­

tektur Lansekap Indonesia (JALI).

Purnomohadi, Ning. 2002. Pengelolaan RTH Kota dalam

Tatanan Program BANGUN PRAJA Lingkungan

Perkotaan yang Lestari di NKRI. Widyaiswara LH,

Bidang Manajemen SDA dan Lingkungan. KLH.

Purnomohadi, Ning. 1999. Pembangunan yang Berwa-

296 Daftar Pustaka & Lampiran

wasan Lingkungan Jangka Panjang bagi Kota­

kota Pantai dan Kehidupan Lingkungan Perairan di

Depannya (Kasus Jakarta dan Perairan Kepulauan

Seribu). Makalah dipresentasikan Diskusi Panel

Pengelolaan Dampak Kota Besar Terhadap Perair­

an di Depannya, Jakarta, 7-8 April 1999.

Purnomohadi, Srihartiningsih. 1994. Ruang Terbuka Hijau

dan Pengelolaan Kualitas Udara di Metropolitan

Jakarta. Disertasi (tidak dipublikasikan), Program

Pasca Sarjana IPB, Jurusan Pengelolaan Sumber­

daya Alam dan Lingkungan (PSL). Bogor.

Purnomohadi, Ning. 1984. Sistem Koridor Lingkungan

Dalam Konservasi Wilayah (Kasus Pulau Jawa).

Fakultas Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB-Bogor.

(Makalah-tidak dipublikasikan).

Rabinovitch, Jonas with Josef Leitmann, 1993. Environ­

mental Innovation and Management in Curitiba,

Brazil. UMP, Working Series No. 1. UNDP/UNCHS

(Habitat)/World Bank June, 1993. Working Paper

No. 1: 1818 H St. N.W., Washington, DC 20433,

USA.

Rahman, Zain, 1977. Mutiara dalam Halaman Pekarang­

an. Materi Kursus Pertamanan Forum Arsip Perta­

manan Indonesia, Bogor.

Rishadi, Haryoso. 1990, Pengembangan Ruang Terbuka

Hijau Pemerintahan Kota Surabaya Pemaparan

Dinas Pertamanan, dalam rangka Rakor Fasilitasi

Perkembangan Perkotaan. PemKot Surabaya. Jl.

Menur 31-C, Surabaya.

Salfifi, Atje Dimjati. 1980. Sebuah Studi Menuju Konsepsi

Perencanaan Landscape untuk Perumusan Ren­

cana lnduk Jakarta 1985-2005, Fakultas Arsitektur

Lansekap Trisakti, Jakarta.

450. John Willey & Sons, Ltd. Chichester, New

York, USA.

Spirn, Anne Whiston, 1947. The Granite Garden, Urban

Nature and Human Design. Basic Book Publishers

New York. ISBN: 0-465-02698-2 (paperback).

Soemarwoto, 0., 1975. Sistem Pekarangan: Suatu Pan-

Salim, Emil, 1982. Membangun Tanpa Kerusakan Ling- dangan Ekologi Terhadap Pendekatan Terintegrasi

kungan. Makalah pada Pembukaan Penataran Pecegahan dan Pemulihan Tanah Kritis. Makalah

Analisis Dampak Lingkungan, PSL IPB dan Ul, Seminar Pemulihan Lahan Kritis di Jakarta.

Jakarta. Steele, James. 2005. "Ecological Architecture, a Critical

Sasongko, Haryo. 2005. Kebijakan dan Strategi Pemba- History" Thames and Hudson Ltd, London, UK.

ngunan dan Pengelolaan RTH. Suatu tulisan be­

rupa pemikiran dan analisis pribadi (tidak dipubli­

kasikan).

Simonds, John 0., 1978. Earthscape. A Manual of Environ­

mental Planning. McGraw-Hill Book Company,

New York. ISBN 0-07-057395-6. Printed and

bound by Halliday Lithograph

Simonds, J.O., 1969. Landscape Architecture. Me Graw

Hill Book Company, New York.

Smith, Mat John Whitelegg and Nick Williams, 1998. Green­

ing The Built Environment. Published in association

with WWF UK Earthscape Publication Ltd. 120 Pen­

tonville Road, London N1 9JN, UK. ISBN 185383

403-3 (paperback).

Smith, LWH, 1984. Pollutant Up Take by Plants in M. Tre­

show (Ed). Air Pollution and Plant Life. pp. 417-

Sujarto, Joko, 1981. Suatu Tinjauan Tentang Aspek Urban

Design dengan Sorotan ke Beberapa Keadaan

Perkembangan Kota di Indonesia. Materi kuliah

PL292. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

FTSP, lnstitut Teknologi Bandung.

Takahashi, Rikio. 1989. Parks and Open Space Planning.

Makalah diskusi persiapan 'International Garden

and Greenery Exposition, 2000', Osaka Interna­

tional Training Centre, Japan International Co­

operation Acengy (JICA). Urban Redevelopment

Authority, 1992. Towards A tropical City of Excel­

lence. Singapore River Development Guuide Plan,

Draft-Augus 1992.

Thomas, Graham Stuart. 1983 Trees in The Landscape.

Foreword by Lady Emma Tennant, Introduction by

Douglas Chambers Published by John Murray, Al­

bemarle Street, London. Production co-ordinated

Daftar Pustaka & Lampiran 297

by Carol Lewis. Printed in Hong Kong. ISBN: 0-

7195-5724-0.

Trulove, James G (Ed in Chief). 1989. Landscape Archi­

tecture Magazine. May 1989. Publisher: American

Society of Landscape Architects (ASLA)

Van der Hagen Harrie and lr Danny Lim, 2005. Perjuangan

Melawan Air, Departemen Transport dan Perairan,

Harrie van der Hagen dan lr. Danny Lim/Prima

Score, 28 November 2005.

Vale, Brenda and Robert. 1991. Green Architecture: De­

sign for A Sustainable Future. Thames & Hudson

Ltd, London. Printed and bound in Singapore by

Tappan.

Van Rooden, 1983. The Importance of Open Space in The

Urban Pattern.

Van Stenis, Dr.C.G.G.J. 1875. Flora. PT Pradnya Paramita,

Jakarta Pusat

Vickery, Margaret L, 1984. Ecology of Tropical Plants, with

a chapter by Dr. John Hall, University of Dar Es

Sa/dam. John Willey & Sons, ISBN 0-471-90107,

0-471-90200 (paperback).

Vitellozzi, Annibale, Giovanni Brandizzi. 1991.La Scuo/a

Naziona/e Di Atletica Leggera A Formia. (Formia's

National school of Athletics) Edizione CONI-Roma,

Foro ltalico. Contra Studi lmpianti Sportivi. Prima

edizione: Febbraio 1991.

298 Daftar Pustaka & Lampiran

Wiliam, Eduard A., et.al, 1969. The Urban Metropolitan

Open Space Study, Diablo Press, San Francicso,

1969.

Wirasonjaya, Slamet, 1982. Prospek Tata Ruang DKI Ja­

karta. Makalah pada Simposium Penyusunan Ren­

cana lnduk Pembangunan DKI 1985-2005, Jakarta

1982.

Wirakusumah, Sambas. 1987. Suatu Pemikiran Program

Hutan Kota untuk Jakarta. Makalah untuk Seminar

Hutan Kota DKI Jakarta.

Yeang, Ken. 1999. The Green Skyscraper, The Basic for

Designing Sustainable Intensive Buildings. Prestei­

Verlag, Mandlstrasse 26. D-80802, Munich, Ger­

man. ISBN: 3-7913-1993-0

Zhu, Junchen, 1992. Chinese Landscape Gardening. Fo­

reign Language Press 24 Bai Wan Zhuang Road,

Beijing 1 00037, China. Printed in the People Re­

public of China. ISBN 0-8351-2416-9, 7-119-

01252-5.

----------, 1976. Guideline Management of Urban Park

System Management Aid No 1. August 1976. Pu­

blished by The Australian Institute of Parks and

Recreation. PO Box. 10, Northcote, 3070. Natio­

nal Library of Australia Card Number, ISBN: 0 959

8775.

----------,1976. Environmental Corridor Study. Prepared

by The Georgia Department of Natural Resources

Comissioner: Joe D. Tanner, et.al Consultant. Ark-

horra Associates, Inc. Architecture and Planning

1412 West Peachtree Street, N.W., Atlanta, Geor­

gia 30309 July 4, 1976.

----------, 1979. Landscape Towards 2000, Conservation

----------, 1988. lnstruksi Menteri Dalam Negeri (ln­

mendagri) No. 14, Tahun 1988, tentang Penataan

RTH di Wilayah Perkotaan. Departemen Dalam

Negeri

or Desolation, The Landscape Institute, London, ----------, 1988. Major Projects in Kobe. Publisher: Kobe 1979. City Government. Photographs: Masahiro Kuzu­

kawa & others. Mishaha Printing Co. Ltd, Japan. ----------, 1981. Perencanaan Landscape dalam Pena-

taan Bentuk dan Ruang Kota. Makalah pada Sim- -----------, 1989. Osaka Business Park (OBP), New City-posium lkatan Arsitek Indonesia (IAI), Jakarta. Core in Osaka, A Major Step Forward in Creative

Urban Development. ----------, 1982. Laporan Sektor Ruang Terbuka Hijau dan

Rekreasi, Team Penyusunan Rencana lnduk DKI

Jakarta 1985-2005, 1982.

----------, 1983. Perencanaan Landscape dalam Tata Ru­

ang Kota, Makalah pada Temu Wicara HIPEL, Ja­

karta, 1983.

-----------, 1985. Dampak Estetika pada Bentang Alam.

Makalah pada kursus Dasar-Dasar Analisis Dam­

pak Lingkungan. Universitas Indonesia, Jakarta

1985.

----------, 1985. The Greening of Kobe. Green Kobe Pro­

ject Activities. With message from the Mayor. Mr.

Tatsuo Miyasaki

----------, Departemen Dalam Negeri, 1987. lnstruksi

Menteri Dalam Negeri (lnmendagri) No. 14, Ta­

hun 1987, tentang Penataan RTH di Wilayah

Perkotaan.

--------, 1989. Landscape Architecture Magazine, Ameri­

can Society of Landscape Architects (ASLA). May,

1989. ISSN 0023-8031.

----------, 1990. Proceeding Seminar. "Pembinaan dan

Aktualisasi Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkota­

an", dalam rangkaian acara Pekan Seni Flora,

Fauna dan Lingkungan, Ruang Pola Bappeda DKI

Jakarta, bali Kota Blok G lantai 2, Jakarta 1990.

----------, 1990. Proceeding Seminar. "Pembinaan dan

Aktualisasi Ruang Terbuka Hljau di Wilayah Per­

kotaan", dalam rangkaian acara Pekan Seni Flora,

Fauna dan Lingkungan, Ruang Pola Bappeda DKI

Jakarta, Bali Kota Blok G lantai 2, Jakarta 1990.

---------, 1991. Kyongju, A Thousand Capitol. 15 Januari

1991. Publisher: Keun Woo Lee, by Korea Text­

book Co., Ltd.# 62-7. 1-ka. Manri-dong. Chung­

gu. Seoul, Korea. Tel: 392-0996

Daftar Pustaka & Lampiran 299

---------, 1991. BARCELONA. The Technical department Edisi Pertama, Malang 1997; dan Validasi dari

of Editorial. Escudo De Oro, SA, 4th Edition, April BAPEDAL, Direktorat Pengembangan Kelem-

1991.Palaudarias 26. Barcelona (Spain). bagaan/SDM. Percetakan offset, Surabaya.

---------, 1992. Singapore River, Development Guide Plan ---------, 1997. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

(Draft, August 1992)~ Urban Re-Development Pemukiman dan Pemukiman di Wilayah DKI

Authority URA, Towards A tropical City of Excel- Jakarta.

lence.

----------, 1992. Gazetteer Nama-nama Pulau & Kepu­

lauan di Indonesia. Dok. No.: 26/1992. ISSN:0216-

4982. Kerjasama BAKOSUR-TANAL dengan

Fakultas Matematika llmu Pasti Alam, Jurusan

Geografi, Universitas Indonesia.

---------, 1994. Taman Medan Merdeka di Jakarta- Indo­

nesia. Pemerintah Daerah Khusus lbukota

Jakarta.

----------, 1994. Administration & Public Affairs Division,

-----------, 1999. Pengembangan Kawasan Perkotaan,

kawasan Perdesaan dan kawasan Tertentu menuju

Indonesia Baru. Ditjen Cipta Kaya, Departemen

Pekerjaan Umum. Gedung Cipta Karya, Jl Raden

Patah 1/1 , lantai 11 Wing 3. Kebayoran Baru, Ja­

karta Selatan 12110.

----------,2001. Pedoman Kebijakan dan Strategi Pengem­

bangan RTH dan Penghijauan Kota (Draft 3). 15

November 2001. (Tidak dipublikasikan). Kantor

Kementerian Lingkungan Hidup.

secretariat City Hall, City Hall. Kuala Lumpur. Ma- ----------, 2001. Gerakan Sejuta Pohon 2001, 2002. Kan-

laysia. 1994. 100 Tahun Kuala Lumpur (1890-1990). tor Kementerian Lingkungan Hidup.

Kuala Lumpur, Garden city of lights and national

sports & cultural centre.

----------, 1995. RTH Kota- Majalah Konstruksi, Jakarta,

Maret 1995, Rubrik Lingkungan.

----------, 1997. Buku Panduan: Wall Chart Hubungan

Timbai-Balik Antara Manusia dan Lingkungan.

Penerbit: PPPGT NEDC, Jl. Teluk Mandar, Arjo­

sari. Tromol Pos 5, Malang 651 02. Bekerja sama

dengan Swisscontact, atas dukungan biaya Swiss

Agency for Development and' Cooperation (SOC),

300 Daftar Pustaka & Lampiran

----------, 2003. Weerzien met lndie, Majalah 52 seri ter­

bitan Tropan Museum, Amsterdam, Belanda.

----------, 2006. Dokumen Foto-foto dari Asdep Pengen­

daalian Kerusakan dan Pencemaran Pesisir dan

Laut, Deputi Pengelolaan SDA dan Lignkungan,

Kantor KLH.

-------------, 2006. Pengendalian Pencemaran Air. Kemen­

terian Lingkungan Hidup. Jl, Dl Panjaitan Kav

24 Kebon Nanas, Jakarta Timur 13410, Tel (021)

8580081, 8580104 Fax: (021) 8580081. Email:

[email protected]. Website: http//www.menlh.

go.id

-------------, 2006. Balai Taman Nasional Taka Bonerate,

Jl. S. Parman No. 40 Benteng-Kab. Selayar (92812),

Propinsi Sulawesi Selatan-lndonesia. Telp/Fax:

+62-411-21565 email: [email protected]

-------------, Weerzien met lndie, Waanders Uitgevers in

Samen Werking met het Tropen Museum (1596-

1950). Media Expresse. Antwoord Nummer 50-

300, 2000 VK Haarlem.

Daftar Pustaka & Lampiran 301

LAMPI RAN

I. Kompilasi Dasar Hukum {Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH:

UNDANG-UNDANG DASAR (UUO): UUD 1945, terutama Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal

18A tentang wewenang dan pemanfaatan SDA, Bab XA

HAM Pasal 28A, 288 (2), 28C (1 ), 28H (1 ), tentang hak

mendapatkan lingkungan hid up yang baik dan sehat, Bab

XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Pasal 33 (3) tentang pengelolaan bumi dan air dan keka­

yaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

UNDANG-UNDANG (UU): 1. UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung.

2. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

3. UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi.

4. UU No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional.

5. UU No. 6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka

Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Peruba­

han lklim.

6. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perseri­

katan Bangsa-Barigsa Mengenai Keanekaragaman

Hayati.

7. UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang.

8. UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya.

9. UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

1 0. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya.

11. UU No. 11/1990 tentang Susunan Pemerintahan Dae­

rah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia yang

302 Dattar Pustaka & Lampiran

disempurnakan dalam UU No. 34/1999 tentang Pemer­

intahan Khusus lbu Kota Negara Jakarta.

12. UU No. 4/1982 yang disempurnakan dalam UU No. 23/

1997 tentang Ketentutan-ketenutan Pokok Pengelo­

laan Lingkungan Hidup.

13. UU No.168Staatsblad 1948tentang Pembentukan Kota

(UU Zaman Kolonial Belanda)

PERATURAN PEMERINTAH (PP): 1. PP No. 62 Tahun 2003/2002 tentang Hutan Kota.

2. PP No. 63/2002 tentang Hutan Kota.

3. PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air.

4. PP No. 4/2000 tentang Pengendalian Kerusakan dan/

atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan

dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

5. PP No. 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat

Jasa Konstruksi.

6. PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kon­

struksi.

7. PP No. 30/2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi.

8. PP No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara.

9. PP No. 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan

Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah.

1 0. PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewa­

jiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Ma­

syarakat dalam Penataan Ruang.

11. PP No.18/1953 tentang Pelaksanaan Penyerahan seba­

gian Urusan Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan

Umum kepada Provinsi-provinsi serta Penegasan Tu­

gas Mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonom

Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil di Jawa.

KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES): 1 . Keppres No 23/1992 tentang Pengesahan Konvensi Vi­

ena dan Protokol Motreal tentang Lapisan Ozon (Vienna

Convention for the Ozone Layer, dan Montreal Protocol

on Substances That Deplete The Ozone Layer As Ad­

justed and Amanded by The Second Meeting of Parties

London, 27-29 June 1990).

2. Keppres No. 1/1987 tentang Pengesahan Amandemen

1979 atas Konvensi Perdagangan lnternasional Flora

Fauna Langka (Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Flora and Fauna, 1973).

3. Keppres AI No. 23/1979 tentang Peningkatan Peran Ser-

33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, khusus­

nya pada Iampi ran 22 mengenai Petunjuk Perencanaan

Kawasan Perumahan Kota. Dengan Permen PU No.

41/PRT/89 maka Standar Konstruksi ini telah disahkan

menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1733-1989-

F (Kebijaksanaan Teknis Menyangkut Ruang Terbuka

Hijau, seperti Standar Perencanaan Sarana Olahraga

dan Daerah Terbuka).

6. Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan

Tata Ruang Kota.

7. Kepmendagri No. 363/1977 tentang Pedoman Pemben­

tukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas

Daerah.

ta Generasi Muda dalam Pelestarian Sumber Daya PERATURAN MENTERI (PERMEN): Alam. 1. Permendagri No. 2/1987 tentang Rencana Tata Ruang

KEPUTUSAN MENTERI (KEPMEN): 1. Kep. Meneg. LH No. 37/1995 tentang: Pedoman Pelak­

sanaan Kebersihan Kota dan Pemberian Penghargaan

Adipura.

2. Kepmendagri No. 80/1994 tentang Pedoman Organi­

sasi dan tata Kerja Dinas Lingkup Pekerjaan Umum

Daerah.

3. Kepmendagri No. 39/1992 tentang Organisasi Dinas

Daerah.

4. SKB Menhut dan Mendikbud No. 967A/Menhut-V/90

dan No. 0387 /U/1990 tentang Peningkatan Peran

Serta Pelajar, Mahasiswa dan Generasi Muda dalam

Melestarikan Hutan, Tanah dan Air serta Lingkungan

Hidup melalui Pendidikan Nasional.

5. Kepmen PU No. 378/KPTS/1987 tentang Pengesahan

Kota.

2. Permendagri No. 4/1996 tentang Pedoman Perubahan

Pemanfaatan Lahan Perkotaan.

INSTRUKSI MENTERI (INMEN): 1. In men PU No. 31 /IN/N/1991 tentang Penghijauan dan

Penanaman Pohon di Sepanjang Jalan di Seluruh In­

donesia.

2. lnmendagri No. 14/1988 tentang Penataan Ruang Ter­

buka Hijau di Wilayah Perkotaan.

PERATURAN DAERAH (PEROA): 1 . Perda DKI Jakarta No. 9/1999 tentang Pelestarian dan

Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar

Budaya.

2. Perda DKI Jakarta No. 9/1985 tentang Retribusi yang

Daftar Pustaka & Lampiran 303

dipungut oleh dinas-dinas daerah, dimana Dinas Per­

tamanan DKI Jakarta adalah instansi pelaksana dae­

rah pemungut retribusi di bidang pertamanan sesuai

dengan Pasal 45. Perda ini diganti Perda No. 11/1996

tentang Retribusi Daerah Bidang Pembangunan DKI

Jakarta.

3. Perda DKI Jakarta No. 9/1982 tentang Pembentukan

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan

DKI Jakarta, dimana Dinas Pertamanan DKI Jakarta

adalah instansi pelaksana daerah dalam mengemban

tugas pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta.

Perda DKI Jakarta No. 7/1997 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI

Jakarta, yang diperbaharui dengan Perda No. 3/2001

tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perta­

manan DKI Jakarta.

4. Perda DKI Jakarta No.3/1972 yang diperbaharui dengan

Perda DKI Jakarta No. 11 /1988 tentang Ketertiban

Umum di WilayahDKI Jakarta, termasuk di dalamnya

ketertiban umum di Ruang Terbuka Kota.

5. Keputusan DPR Gotong Royong DKI Jakarta No. 9/P/

DPR-GR/1967 tentang Rencana lnduk Djakarta 1965-

1985, Perda DKI Jakarta No. 5/1984 tentang Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, dan

Perda DKI Jakarta No. 6/1999 tentang Rencana Tata

Ruang wilayah (RTRW) Jakarta 2000-201 0.

KEPUTUSAN GUBERNUR (SK GUB): 1. SK Gub. KDKI Jakarta No. 757/1993 tentang Juklak Pe­

mungutan Retribusi Daerah di wilayah DKI Jakarta dan

SK Gub KDKI Jakarta No. 1561/1997 tentang Juknis

Pelayanan Pertamanan di DKI Jakarta.

304 Daftar Pustaka & Lampiran

2. SK Gub. KDKI Jakarta No. 941/1993 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Renstra.

3. SK Gub. KDKI Jakarta No. 811/1993 tentang Rencana

Strategis (Renstra) Pemda DKI Jakarta 1992-1997,

yang diperbaharui Perda No .... ./2002 tentang Renstra

Pemprov DKI Jakarta 2002-2007, yang diikuti penyu­

sunan Renstra Dinas Pertamanan DKI Jakarta 2003-

2007.

4. SK Gub. KDKI Jakarta No. 606/1993 tentang Pember­

lakuan Tim Pelaksanaan Gerakan Penghijauan Sejuta

Pohon di DKI Jakarta.

5. SK Gub. KDKI Jakarta No. 71/1993 tentang Pelimpah­

an Wewenang kepada Pemerintah Kotamadya di DKI

Jakarta untuk melaksanakan sebagian tugas di bidang

Pertamanan.

6. SK Gub. KDKI Jakarta No. 522/1991 tentang pengguna­

an Bidang tanah (eks Taman Ria Monas) seluas + 3,5

ha untuk taman parkir yang sifatnya sementara.

7. SK Gub. KDKI Jakarta No. 1554/1989 tentang Gerakan

Penghijauan Sepanjang Tahun.

8. SK Gub. KDKI Jakarta No. 884/1989 tentang Penetap­

an Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang ta­

nah seluas + 87.51 0 m2 untuk pembangunan bangunan

kepentingan umum (sebagai kebun bibit pertamanan

dan fasilitasnya) Dinas Pertamanan DKI Jakarta, yang

terletak di Jl. Pas Pengumben, Kelurahan Srengseng,

Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta barat.

9. SK Gub. KDKI Jakarta No. 1885/1987 tentang Penyem­

purnaan SK Gub KDKI Jakarta No. 3498/1984 tentang

Perluasan Penguasaan Peruntukan di bidang Tanah

Proyek Nasional TMII di wilayah Jakarta Timur.

10. SK Gub. KDKI Jakarta No. 651/1979 tentang Kewa-

jiban Para Pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan

untuk Membiakkan Tanaman dan Menghijaukan Ling­

kungan Sekolah pada Sekolah-sekolah di Wilayah DKI

Jakarta.

INSTRUKSI GUBERNUR (INGUB): 1. lngub KDKI Jakarta No. 11 0/1989 tentang Penertiban

Taman-taman di Wilayah DKI Jakarta.

2.1ngub KDKI Jakarta No. D.IV-104/c/1/76 tentang Peng­

aturan Pemanfaatan Lahan yang Ditelantarkan oleh

Para Pemiliknya.

3. lngub KDKI Jakarta No. 1952/A/Inst/BKD/1975 tentang

Masalah Koordinasi Antar lnstansi yang Berkaitan de­

ngan Penghijauan.

LAIN-LAIN: Surat Kanwil Dep. PU No. Ap.01.02.w1 0/220 tanggal

26 Agustus 1991 perihal Pengelolaan Taman pada La­

han di Lokasi-lokasi Proyek Sektoral Nasional Peker­

jaan Umum di DKI Jakarta.

Daftar Pustaka & Lampiran 305

II. Beberapa Acuan Untuk Penentuan Luas Ruang

Terbuka Hijau Kota

Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari

wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan ber­

bagai pertimbangan. Diketahui pertimbangan umum

penentuan luas RTH, bahwa RTH kota dalam satu ham­

paran kompak setidaknya mempunyai luasan 0,25 hek­

tar, sedang proporsi luas RTH minimal adalah 1 0% dari

wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi se­

tempat. Berikut pendapat beberapa pakar tentang luasan

RTH yang harus disediakan oleh sebuah kota, berdasar­

kan ragam pertimbangan.

Dalam Dahlan (1992 dimodifikasi) penetapan luasan

RTH (termasuk di dalamnya Taman Hutan) Kota yang ha­

rus dibangun ditetapkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menu­

rut perkiraan kasar (begitu saja mengikuti ap~ yang

telah ada) diharapkan mencapai luasan 10%, 20%,

25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang mene­

tapkan 60%, seperti kota Canberra, lbukota Australia.

2. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di be­

berapa negara ditentukan sebagai berikut: di Malay­

sia 1 ,9 m2 per penduduk dan Jepang 5 m2 per pen­

duduk (Tong Yiew, 1991 dalam dahlan 1992). Dewan

kota Lancashire, lnggris menetapkan 11,5 m2, Amerika

60m2, Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan

berolahraga 1 ,5 m2/penduduk (Rifai, 1981 dalam Dah­

lan, 1992).

3. Berdasarkan issue-issue penting, luas RTH yang ha­

rus disediakan sebuah kota yang kekurangan air bersih,

ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan

air, Sutisna et.al (1987 dalam Dahlan, 1992) membuat

306 Daftar Pustaka & Lampiran

rum us:

La = Po.K (1 + r-c) t- PAM -Pa

z

Keterangan:

La Luas hutan yang diperlukan untuk mencukupi ke-

butuhan air (ha)

Po Jumlah penduduk kota pada tahun ke 0

K Konsumsi air per kapita (liter/hari)

R Laju kebutuhan air bersih (biasanya seiring de­

ngan laju pertambahan penduduk kota

set em pat)

Tahun

c Faktor koreksi (besarnya bergantung pada upaya

pemerintah dalam menekan laju pertambahan

penduduk)

PAM Kapasitas suplai air PAM (dalam M3/tahun)

Z Kemampuan RTH kota menyimpan air M3/ha/

tahun)

4. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH

kota yang harus disediakan mengacu pada jumlah

penduduk dan jumlah kendaraan bermotor serta indus­

tri yang tinggi, dapat dihitung dengan rumus: (Kunto,

1986 dalam Dahlan, 1992):

Keterangan:

L = a.V + b.W

20

Keterangan:

L Luas RTH kota (m2)

a Kebutuhan oksigen per orang (kg/jam)

b

v

Rerataan kebutuhan oksigen per kendaraan ber

motor (kg/jam)

Jumlah penduduk

W Jumlah kendaraan bermotor

20 Tetapan (kg/jam/ha).

Rumus di atas dimodifikasi oleh Dahlan (2003), sebagai

berikut:

L = I.A.i. Vi+ 83 L· Bi.Wi + I.Ci.Zi

20

Keterangan:

L Luas RTH-kota (Ha)

Ai Kebutuhan 02

per orang (ug/jam)

Bi Kebutuhan 02

per satuan kendaraan bermotor

(kg/jam)

Cii Kebutuhan 02

per satuan industri (kg/jam)

V\i Jumlah penduduk

Wi Jumlah kendaraan bermotor dari berbagai jenis

Zi Jumlah industri dari berbagai jenis

20 Konstanta (rerataan oksigen/)2) yang dihasilkan

(20kg/jam/Ha)

Selain menggunakan pendekatan Kunto, penentuan

luasan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen, juga dapat

dilakukan dengan Metode Gerakis (197 4 yang dimodifi­

kasi dalam Wisesa (1988):

Pt + Kt + Tt

Lt = --------------------------

(54} (0,9375)

Lt Luas RTH Kota pada Tahun ke-t (m2)

Pt Jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk

pada tahun ke-1

Kt Jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan

bermotor pada tahun ke-1

Tt Jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak

pada tahun ke-1

54 Tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m2 luas

lahan menghasilkan 54 gram berat kering

tanaman per hari

0,9375 = Tetapan yang menunjukkan bahwa 1 gram

berat kering tanaman adalah setara dengan

produksi oksigen 0,9375

Catatan:

• Penentuan luas RTH kota berdasarkan perhitungan

dengan cara pertama dan kedua sangat memang mu­

dah dan sederhana, tetapi kedua-duanya tidak memiliki

alasan uustifikasi) kuat. Karena itu kemungkinan akan

terjadinya 'over atau under estimate' sangat mungkin

terjadi, karena bisa saja hasil perhitungannya melebihi

luasan bagian kota itu sendiri.

• Penentuan luas RTH dengan memasukkan unsur jum­

lah manusia dapat diterima akal sebab semakin besar

populasi manusia, RTH-kota yang harus disediakan

akan semakin luas.

• Yang harus diperhatikan apabila menggunakan pertim­

bangan jumlah penduduk adalah, luasan RTH yang

disediakan sebuah kota harus meningkat mengikuti

peningkatan jumlah· penduduk. Tuntutan peningkatan

luasan RTH tersebut akan meningkat pula pada pening­

katan kebutuhan sarana transportasi, industri, dan sa­

rana lain yang akan memakai ruang kota yang dengan

Daftar Pustaka & Lampiran 307

sendirinya semakin terbatas dengan terus bertambah­

nya jumlah penduduk.

ldealnya, kebutuhan akan RTH-kota dapat diperki­

rakan secara kasar, sebesar 3-6m2 per orang atau satu

hektar per 100 orang penghuni, namun akibat semakin

terbatasnya ruang/lahan perkotaan di pihak lain pen­

duduk terus meningkat kenaikan RTH sejajar dengan ke­

naikan penduduk terpaksa semakin berkurang menjadi

minimal, yaitu sekitar 2-3m2/orang saja. Oleh karena itu,

apabila di daerah-daerah (khususnya di luar pulau Jawa

dan Sumatra di mana lahan perkotaannya relatif 'masih

luas'), tak ada salahnya, bila alami maupun buatan yang

diproyeksikan dalam Rencana lnduk, misalnya Palangka­

raya dan Banjarmasin di kalimantan, maupun berbagai

kota di Papua bagian Barat

Namun demikian perlu segera ditetapkannya suatu

ketentuan atau mungkin hanya berupa suatu pedoman

tentang pentingnya menyisihkan lahan pada pulau-pulau

besar, sedang maupun yang relatif kecil (kurang dari >I=

10.000 km2 dengan jumlah penduduk= 200.000 orang:

Bengen, 2006): SK Menteri Kelautan dan Perikanan/DKP

No. 41/2001), untuk mengimbangi kepadatan pemban­

gunan struktur di Jawa dan Sumatra

Demikian diharapkan bahwa secara nasional dan

merata, terdapat fasilitas-fasilitas pelayanan umum yang

mendasar dan dibutuhkan oleh warga kota.

Di mana pun mnereka berada, termasuk pembangu­

nan sentra-sentra perindustrian, perdagangan dan per­

mukiman beserta segala pelayanan sosialnya di berbagai

pulau tersebut. Tetap dipeliharanya perbandingan antara

ruang terbangun agar fungsi ekologis untuk menunjang

308 Daftar Pustaka & Lampiran

kehidupan dapat terus berlangsung.

Dalam perhitungan total pencemaran udara oleh ling­

kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara

oleh vegetasi hijau, termasuk taman hutan kota yang ke­

mampuannya dalam menyumbang kemampuan meredam

dalam proses metabolisme alaminya. Pendekatan yang

dilakukan perlu didekati dengan menggunakan peubah­

peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja kelom­

pok tumbuhan pembentuk RTH-kota tersebut, mencakup

sifa-sifat fisik, sifat-sifat fisiologis serta metabolistik tum­

buhan yang ringkasnya adalah sebagai berikut:

• Luas RTH dalam satuan (hektar) mencakup luas liputan

lahan RTH-kota dan prakiraan luas efektif penutupan

luas tajuk RTH-kota untuk setiap jenisnya, dan

• lndeks Luas Daun (Leaf Area lndex/LAI) dalam satuan

ha/ha, berdasar pra-pendugaan untuk semua kelom­

pok tumbuhan dalam setiap jenis RTH kota. Peubah

penciri RTH-kota ini dinyatakan dalam satuan rata-rata

tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing ke­

lompok tumbuhan setiap jenis hutan kota,

• Biomassa (8 dalam satuan ton), untuk semua kelom­

pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota diduga

berdasarkan peredaman C02 oleh RTH-kota, yang pada

halelatnya merupakan penggunaan konsumtif C02 oleh

tumbuhan pembentuk RTH kota dalam proses fotosin­

tesis, atau 'asimilasi Carbon',

• lndeks kesempurnaan arsitektur lansekap (dimension­

less) yang merupakan gabungan (komposit) dan lndeks

Kesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.

Nilai LAI, dapat dihitung melalui perkiraan dengan ru­

mus:

LAI=CT{Ls-0,27xEXP[0,035 CS 0, 15/n(CS/1 ,25)2]}

Keterangan:

LS Koefisien Bentuk Daun Rata-Rata (Mean Leaf­

Shape Coefficient) untuk masing-masing kelom­

pok tumbuhan pembentuk RTH-kota yang

merupakan nisbah antara Iebar daun dan

panjang daun rata-rata;

CS Koefisien Bentuk Tajuk Rata-Rata (Mean Crown­

Shape Coefficient) untuk masing-masing

kelompok tumbuhan pembentuk RTH-kota yang

merupakan nisbah antara Iebar tajuk dan tinggi

tajuk rata-rata;

CT Koefisien Model Arsitektur Tumbuhan (Plant

Architectural Mode Coefficient) yang diperhi­

tungkan berkisar antara 1 0-25, dengan rata­

rata sebesar 19, 72. LS, CS dan CT tidak diukur

secara langsung di lapangan melainkan

dianalisis (risalah) berdasar Model Arsitektur

Pohon yang diperkenalkan pada tahun 1975

oleh Halle & Oldeman (Purnomohadi, 1994)

Pada kenyataannya, dengan semakin padat dan se­

makin meningkatnya kegiatan manusia, maka kemudian

dinilai wajar apabila harga lahanakan semakin tinggi

dan juga jenis peruntukan semakin beragam, mengikuti

perkembangan jaman. Relatif makin banyaknya pen­

duduk kota (khususnya kaum muda) yang merasa 'cukup

dan berbahagia' untuk pergi dan berjalan-jalan di 'mal'

yang sudah tersebar merata, bahkan jumlahnya sudah

berlebihan.

Ruang-ruang buatan (artificial spaces) semacam ini

nampaknya yang dipilih angkatan muda, entah karena

terpaksa atau karena 'trend' anak muda, semakin mem­

beratkan penghargaan terhadap RTH yang sehat dan

alami. Maka pelaksanaan pembangunan RTH pun men­

jadi semakin sering mengalami hambatan, padahal pada

sistem perhitungan kedua, RTH yang justru harus dise­

diakan juga cenderung bergerak naik, sesuai dengan se­

makin meningkatnya jumlah penduduk tersebut.

Dalam analisis keruangan (Purnomohadi, 1994) ba­

gian-bagian kota selalu terdapat "area sensitif" (melebihi

batas ambien yang diperbolehkan) atau area dengan

akumulasi zat pencemar yang relatif lebih tinggi dari seke­

lilingnya. Analisis data kualitatif maupun kuantitatif, infor­

masi penunjang lain yang tak kalah pentingnya sangat

penting untuk mendukung dan mempertajam kajian serta

bahasan mengenai misalnya berapa ukuran luas total

RTH-kota secara ideal memerlukan kajian (penelitian) ter­

tentu. Jumlah, jenis dan sumber data dan informasi pun

sangat beragam, namun tentu dapat dipilah-pilah men­

jadi memakai sistem klasifikasi tertentu serta harusnya

disesuaikan dengan kebutuhan dan peruntukan suatu

kawasan. Jalur pedestrian atau jalur bersepeda, terutama

di daerah tropis misalnya harus ditanami dengan pepo­

honan dengan kanopi yang cukup rindang, namun tetap

'transparant' (lebih baik berdaun relatif kecil-kecil tetapi

rimbun), artinya sinar matahari masih bisa dengan llem­

but masih mampu mencapai 'dasar' pepohonan.

Data dan informasi penunjang itu, antara lain adalah:

(Purnomohadi, 1994):

(1) Peraturan perundang-undangan (dari Undang-undang

sampai SK Gubernur, Bupati/walikota bahkan sampai

Daftar Pustaka & Lampiran 309

ke ujung hierarkhi kepamerintahan yang paling dasar

seperti kelompok RW dan AT, namun secara efektif

dan adil bisa diterapkan untuk mengatur pergerakan

peghuni kota dengan nyaman dan tenang;

(2) Data dan informasi tentang keragaan sosial-eko­

nomi regional termasuk rencana-rencana investasi

sektor industri, rencana pembangunan dan pengem­

bangan sistem transportasi kota, rencana pengem­

bangan sistem energi listrik, dan sebagainya;

(3) Rencana dan hasil-hasil implementasi tata-ruang di

wilayah-wilayah pengembangan seperti metropolitan

310 Daftar Pustaka & Lampiran

atau agropolitan, dan seterusnya sebab di dalamnya

pun mau tak mau harus menyediakan sarana RTH se­

bagai penyeimbang agar fungsi lingkungan terus dapat

berlangsung;

(4) Hasil pengamatan lapangan tentang keragaan dan

kualitas RTH di beberapa bagian kota yang dinilai

cukup mewakili keadaan, antara lain sehubungan de­

ngan interaksi antara keragaan tanaman/tumbuhan

pembentuk RTH dengan kualitas media udara, air dan

tanah di sekitarnya.

Ill. Jenis-Jenis Tanaman Yang Dapat Difungsikan Sebagai Penyusun Ruang Terbuka Hijau

No. Nama Suku dan Jenis ~ Nama Lokal Perawakan Pemanfaatan Catatan

dalam RTH*)

ANACARDIACEAE ! i i i i

1 Anacardium occidentale L. · Jambu monyet Pohon sedang 3,5

2 8ouea macrophylla Griff. Gandaria Pohon sedang 3,4,5 8uah dan pupus dimakan

3 . 8uchanania arborescens i Renghas burung Pohon sedang 2,3,4,5 8uah dimakan

(81.)81.

4 Dracontomelon dao (81an- Rau Pohon sedang ' 3,4,5 8uah makanan burung

cho) Merr. & Rolfe

5 Mangifera foetida Lour. 8acang Pohon sedang 2,3,5

6 Mangifera indica L. Mangga Pohon sedang 2,3,5 8uah dimakan

7 Mangifera kemanga 81. Kemang Pohon sedang 3,5 8uah dimakan

8 Mangifera odorata Griff. . Kuweni Pohon sedang 2,3,5 8uah dan pupus dimakan

9 Spondias pinnata (L.f.) Kedondong Pohon sedang 2,3,5 8uah dimakan

Kurz. 8uah dimakan 1·-

ANNONACEAE

1 Cananga odorata (Lmk.) Kenanga Pohon kecil 3,5 8erbunga, aromatik

Hook.f. & Thoms.

2 Polyalthia longifolia (Son- Glodogan Pohon kecil 3,4, 5 nerat) Thwait.

3 Stelechocarpus burahol Kepel Pohon sedang 3,4,5 8uah dimakan

Hook. f. & Th. I-

APOCYNACEAE

1 Alstonia scholaris (L.) R. 8r. Pulai Pohon besar 3,4,5 2 Cerbera odollam Gaertn. 8intaro Pohon kecil 2,3,4,5 ' 3 Kopsia arborea . Jambu lot Pohon sedang 2,3,4,5 I

4 Nerium oleander L. Oleander Semak 4,5 : 8erbunga

5 • Plumeria acuminata W.T. · Kamboja Semak 4,5 I 8erbunga, aromatik A it.

! i ! '

Daftar Pustaka & Lampiran 311

6 Plumeria alba L. ! Kamboja 1 Semak I 4, 5 ! Berbunga, aromatik

7 Thevetia peruviana (Pers.) Ginje 1 Semak ! 2,3,4,5 i Berbunga

K. Schum . I ..--ARAUCARIACEAE

Agathis dammara (Lam- Damar Pohon besar 4, 5 Penghasil kopal

bert) L.G. Rich.

2 Araucaria cuninghamii Ait. Damar laki-laki Pohon besar 4, 5 ex D. Don ......

ARECACEAE

1 Areca catechu L. Jam be Palma kecil 3,4,5 2 Actinorhytis calapparia Jambe sinagar i Palma sedang

I 3, 4,5

: (BI.) Wend!. Et Drude ex

Scheffer

3 Caryota mitis Lour. Sarai raja ; Palma sedang 4, 5 4 Chrysadilocarpus lutescens Palem kuning 1 Palma kecil 4, 5

H.A.

5 Cyrtostachys renda Blume Pinang merah : Palma kecil 4, 5 6 Licuala grandis L. Palem kobis Palma kecil 4, 5 7 , Livistona chinensis (N .J . Palma besar 4, 5

. Jacq) R. Brown ex Martius

8 Livistona rotundifolia Serdang · Palma besar 4, 5 (Lamk.) Mart.

9 Nypa fruticans Wurmb Nipah Palma 1' 3 10 Pigafetta filaris (Giseke) Wang a

1 Palma besar 4,5

Becc.

11 Ptychospermum macarthu- Palem Irian ! Palma kecil 4, 5 ; rii (H.A. Wendland) Nich-

olson

12 : Roystonia elata (Bart.) Palem raja ' Palma besar 4,5 Harpen

I 312 Daftar Pustaka & Lampiran

>.'

AVICENNIACEAE

1 Avicennia marina Blume Api-api Pohon kecil 1 Buah dimakan

:BIGNONIACEAE

1 :crescentia cujete L. 1 Berenuk Pohon kecil 3,5 ' 2 :Jaccaranda filicifolia (An- Jambul merak Pohon kecil I 4, 5 Berbunga

I ! iders) D.Don. I

: 3 Kigelia africana (Lam.) Pohon sosis Pohon sedang 4, 5

Be nth.

4 Spatodhea campanulata Tulip afrika Pohon sedang 4,5 Berbunga

Beauv. ,.._

~

BIXACEAE

1 Bixa orellana L. Kesumba Pohon kecil 4,5 ·~-

'BURSERACEAE

~ ,Canarium vulgare Leenh. Kanari Pohon besar 3, 4,5 ~

CASUARINACEAE

1 Casuarina equisetifolia L. Camara laut Pohon sedang 2,4,5 ex Forst.

~- : ·-CLUSIACEAE

1 Calophyllum inophyllum L. Nyamplung Pohon besar 2,3,4,5 Buah makanan kelelawar

2 Calophyllum soulatri Sulatri Pohon besar 2,3,4,5 Burm. f.

3 Garcinia mangostana L. Manggis Pohon sedang 3,5 Buah dimakan 4 Messua ferrea L. Nagasari Pohon sedang 4,5

COMBRETACEAE ..,-

1 Terrninalia catappa L. Ketapang Pohon besar 2,3,4,5 Buah makanan kelelawar 2 Lumnitzera racemosa Willd. Teruntum Pohon kecil 1

DILLENIACEAE

1 Dillenia indica L. Sempur Pohon sedang 3,4,5

I I l I

Daftar Pustaka & Lampiran 313

DIPTEROCARPACEAE

1 Dryobalanops aromathica Kayu kapur Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan

Gaert

2 Dryobalanops oblongifolia Kayu kapur Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan

Dyer.

3 Hopea odorata Roxb. Cengal pasir Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan

4 Shorea sumatrana (Sioot. Meranti Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan

Ex Thorreman) Sym.

EBENACEAE i 1 Diospyros philippensis DC. Bisbul Pohon besar 4,5 Buah dimakan

2 Diospyros celebica L. Eboni Pohon besar 4,5

ELAEOCARPACEAE

1 Elaeocarpus grandiflorus Ganitri Pohon sedang 4,5 Smith.

-ERYTHROXYLACEA

1 Erythroxylon cuneatum - Pohon kecil 4, 5 (Miq.) Kurz. :

I ,.... EUPHORBIACEAE

1 Aleurites moluccana Wild. Kemiri Pohon sedang 3,4,5 Buah untuk rempah

2 Antidesma bunius (L.) Buni Pohon sedang 3,4,5 Buah makanan burung

Spreng.

3 Antidesma montanum 81. Buni hutan Pohon kecil 3, 4,5 Buah makanan burung

4 Baccaurea dulcis (Jack.) Cupa-cupa Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan

Muell. Arg.

5 Baccaurea racemosa Muell. Menteng Pohon sedang 3, 4, 5 Buah dimakan

Arg.

6 Bridelia tomentosa Blume Kandri Pohon kecil 3,4,5 Buah makanan burung

7 Elateriospermum tapos 81. Tapos Pohon sedang 4,5 8 Hura crepitans L. Ki semir Pohon sedang 4,5 9 Phyllanthus emblica L. Kemlaka Pohon sedang 4,5 Buah untuk manisan

314 Daftar Pustaka & Lampiran

FABACEAE

Adenanthera microsperma Saga Pohon sedang 2,3,4,5 T.&B.

2 Adenanthera pavonina L. Saga Pohon sedang 2,3,4,5 Buah dimakan

3 Albizia procera (Roxb.) Bth. Weru Pohon sedang 2,3,4,5 4 Bauhinia purpurea L. Bunga kupu- Pohon kecil 4,5 Berbunga

kupu

5 Cassia fistula L. Trengguli Pohon sedang 4,5 Berbunga

6 Cassia multijuga Rich. Johar Pohon kecil 4,5 Berbunga

7 Cassia siamea Lmk. Johar Pohon kecil 4,5 Berbunga

8 Cassia surattensis Burm. f. Kembang kuning Semak 4,5 Berbunga

~ Dalbergia latifolia Roxb. Sonokeling Pohon sedang 3,4,5 Kayu pertukangan

10 Delonix regia (Boyer. ex Flamboyant Pohon sedang 4,5 Berbunga

Hook.) Raffin

11 Dialium indum L. Asem Kranji Pohon sedang 2,3,4,5 Buah dimakan

12 Hymenea courbaril L. Pohon belalang Pohon besar 4,5 13 lnocarpus fagiferus (Park.) Gay am Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan

Fosb.

14 lntsia bijuga (Colebr.) O.K. Merbau pantai Pohon besar 2,3,4,5 Kayu pertukangan

15 Manioltoa grandiflora Saputangan Pohon besar 4,5 Sceff.

16 Peltophorum pterocarpum Soga Pohon sedang 3,4,5 Pepagan pewarna batik

(DC.) Back.

17 Pilostigma malabaricum Kendayakan Pohon sedang 3,4,5 (Roxb.) Bth.

18 Pithecelobium dulce Asam belanda Pohon kecil 4,5 (Roxb.) Benth.

19 Pongamia pinnata (L.) Keprik Pohon sedang 3,4,5 20 Pierre Angsana Pohon besar 2,3,4,5 21 Pterocarpus indicus Willd. Trembesi Pohon besar 2,3,4,5

Samanea saman (Jack.)

22 Merr. Tembesu Pohon kecil 3,4,5 Berbunga

Daftar Pustaka & Lampiran 315

23 Saraca indica L. Asamjawa Pohon besar 2,3, 4,5 Buah dan pupus dimakan

Tamarindus indica L. 1

. GNETACEAE Melinjo , Pohon sedang 1 2, 3, 4, 5 1 Buah dimakan

Gnetum gnemon L.

LAURACEAE Kayu manis Pohon kecil 3,4,5 i Pepagan untuk rempah

Cinnamomum burmanii ! i

Nees. Ex Bl. Masoi , Pohon sedang 3,4,5 ! Pepagan untuk rempah

2 Cryptocaria massoy (Oken) i

Kosterm. Pohon sedang 4, 5 3 Litsea glutinosa (Lour.) C.

Roxb.

LECYTHIDACEAE

Barringtonia asiatica (L.) Kebeh Pohon sedang 2,3,' 4,5 Kurz.

2 Planchonia valida (81.) Bl. Putat Pohon sedang 3,4,5

LOGANACEAE

Fagraea fragrans Roxb. Tembesu paya Pohon besar 3, 4,5 Kayu pertukangan

LYTHRACEAE

Lagerstroemia flos-reginae Bungur Pohon sedang 3,4,5 Berbunga

Retz.

2 Lagerstroemia loudonii Bungur Pohon sedang 3,4,5 1 Berbunga

Teijs.

3 Lagerstroemia speciosa (L.) Bungur besar Pohon sedang 3,4,5 1

Berbunga

Pers.

MAGNOLIACEAE

Michelia alba DC. Kantil Pohon sedang 4,5 Berbunga, aromatic

2 Michelia champaca L. Cempaka Pohon sedang 4, 5 Berbunga, aromatic

MALVACEAE

Hibiscus tiliaceus L. Waru laut 1

Pohon sedang 2,3,4,5 I

316 Daftar Pustaka & Lampiran

2 Thespesia populnea (L.) Waru lot Pohon sedang 2,3,4,5 Soland. ex Correa

~ -

MELIACEAE

1 , Aglaia odorata Lour. Pacar cina Pohon kecil 4,5 Berbunga, aromatik

2 Azedirachta indica A. Juss. . Mimba Pohon sedang 2,3,4,5 3 Khaya antotheca Kay a Pohon besar 3,4,5 4 . Melia azedarach L. Mindi Pohon sedang 2,3,4,5 5 Swietenia macrophylla Mahoni Pohon besar 3,4,5 Kayu pertukangan, gugur daun

6 Swietenia mahagoni Mahoni Pohon besar 3,4,5 Kayu pertukangan, gugur daun

7 Toona sureni (81.) Merr. Suren Pohon besar 3,4,5 Kayu pertukangan

8 Xylocarpus granatum Koen Nyirih Pohon kecil -

MORACEAE

Artocarpus altilis (Park.) Keluwih Pohon besar 3 Buah dimakan

Fosberg.

2 Artocarpus communis Sukun Pohon sedang 2,3 Buah dimakan

Forst.

3 Artocarpus heterophyllus Nangka Pohon sedang 3 Buah dimakan

Lmk.

4 Artocarpus integer (Thunb.) Cempedak Pohon sedang 3 Buah dimakan Merr.

5 Ficus benyamina L. Bering in Pohon besar 3,4,5 Tahan pangkas

6 Ficus callosa Willd. llat-ilatan Pohon sedang 3,4,5 Gugurdaun

7 Ficus elastica Nois ex 81. Ki karat Pohon besar 3,4,5 8 Ficus glomerata Burrn. f. Low a Pohon sedang 3 9 Ficus lyrata Warb. Biola cantik Pohon sedang 4,5 10 Ficus microcarpa L.f. Jejawi Pohon besar 3,4,5 11 Ficus retusa L. Seprih Pohon besar 3,4,5 Tahan pangkas

12 Ficus superba Miq. Gerasak Pohon besar 3,4,5 13 Ficus variegata 81. Gondang Pohon sedangf 3,4,5 14 Streblus asper Lour. Serut Pohon kecil 3,4,5 Tahan pangkas

_] .I j

Daftar Pustaka & Lampiran 317

MYRISTICACEAE

Myristica fragrans Houtt. Pal a Pohon kecil 4, 5 Buah dimakan

MYRTACEAE

1 Syzygium cumini (L.) Skells. Jamblang Pohon sedang 3,4,5 , Buah dimakan 2 Syzygium paucipuncatum Pohon sedang 3,4,5

(K. & V.) Merr. & Perry

3 Syzygium polyanthum Salam Pohon sedang 3,4,5 Daun untuk rempah (Wight.) Walt.

4 Syzygium polycephalum Gowok Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan (Miq.) Merr. & Perry

NYCTAGINACEAE

Pisonia grandis R. Br. Wijayakusuma Pohon kecil 2,4, 5 Pupus dimakan

RIZOPHORACEAE

Bruguiera gymnorrhiza (L.) Tancang Pohon kecil 1

Lam.

2 Caralia brachiata (Laur.) Pohon kecil 4,5 Merr.

3 Ceriops decandra (Griff) Tingi Pohon kecil 1

Ding Hou

4 Ceriops tagal C. B. Rob Tingi Pohon kecil 1

5 Rhizophora apiculata Bakau Pohon kecil

Blume

6 Rhizophora mucronata Bakau Pohon kecil

Lam.

7 Rhizophora stylosa Griff. Bakau Pohon kecil

RUTACEAE

Muraya paniculata (L.) Jack. Kemuning Pohon kecil 4,5 Berbunga, aromatik

SAPINDACEAE

1 Arytera littoralis Bl. Pancal kidang Pohon sedang 4,5 2 Erioglosum rubiginosum Katilayu Pohonsedang 3,4,5

318 Daftar Pustaka & Lampiran

(Roxb.) 81.

3 Euphoria Iongan Steud. Lengkeng Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan

4 Filicium decipiens N'J. & A.) Kipayung Pohon sedang 4,5 Thw.

5 Nephelium lappaceum L. Rambutan Pohon sedang 3,5 Buah dimakan

6 Nephelium mutabile 81. Kapulasan Pohon sedang 3,5 Buah dimakan 7 Pometia pinnata J.R. & G. Matoa Pohon sedang 3,5 Buah dimakan

Forst.

8 Scleichera oleosa (Lour.) Kesambi Pohon sedang 2,3,4,5 Oken.

SAPOTACEM

1 Chrysophyllum cainito L. · Sawo duren Pohon sedang 4,5 Buah dimakan

2 Manilkara kauki (L.) Dubard. Sawo kecik Pohon sedang 2, 3, 4,5 Buah dimakan

3 Mimusops elengi L. Tanjung Pohon kecil 4, 5 4 Palaquium amboinense Siki batu Pohon besar 3,4,5

Burck.

5 Planchonella obovata Nyatoh Pohon sedang 3,4, 5 (R.Br.) Pierreia

6 Pouteria camphechiana Alkesah Pohon kecil 4,5 Buah dimakan

(Kunth.) Boehni

SONNERATIACEAE

1 Sonneratia alba J.Sm. Pedada Pohon sedang

2 Sonneratia caseolaris (L.) Pedada Pohonsedang Engl.

STERCULIACEAE

Sterculia foetida L. Kepuh Pohon bedar 2, 4,5 2 Heritiera littoralis Dryand. Dungun Pohon sedang 1, 2

STYRACACEAE

Styrax benzoin Dryand. Kemenyan Pohon sedang 4,5 Penghasil kopal

Daftar Pustaka & Lampiran 319

THEACEAE

Schima wallichii (DC.) Puspa Pohon besar 4, 5 Kayu pertukangan

Korth.

THYMELEACEAE I

Aquilaria malaccensis Gaharu Pohon sedang 4,5 Penghasil gaharu

Lamk.

2 Gyrinops versteeghii Ding Ketimunan Pohon sedang 4,5

Hou

VERBENACEAE

Gmelina elliptica J.E. Bulang Pohon sedang 3, 4, 5

Smith.

2 Vitex pubescens Vahl. Laban Pohon kecil 3

320 Daftar Pustaka & Lampiran

DAFTAR ISTILAH DAN AKRONIM city- 160 kota kecil

club of Rome - 158 kelompok Roma

cluster- 88 sistem pengelompokan

A co - 33, 43, 49, 68, 138, 189, karbon monoksida

abatoir- 181 rumah pemotongan hewan 197,200,205,209

(RPH) C02

- 17, 33, 43, 62, 65, 68, karbon dioksida

absorbsi - 42, 62 penyerapan 138,141,189,197,199,200

adsorbsi - 42, 62 penjerapan coastal zone - 239 zona pesisir

aerosol- 62 pengendapan debu common ground- 83 landasan berfikir

agricultural allotment - 192 pertanian kota common property- 195, 200 milik umum

aquifer- 35, 47, 152, 239 kantong air tanah communal interest - 275 ketertarikan kelompok

arboretum - 73, 89 kebun botani corridor pattern - 264 pola memanjang

artificial ecosystem - 202 ekosistem buatan courtyard- 89 ruang terbuka bersama

cui de sac - 88, 192 lingkaran tertutup

cultural contemplation - 187 manusia berbudaya

B cut and fill - 59 merobah wajah alam

back to nature - 8, 38, 48 gerakan kembali ke alam (gali dan timbun)

BAPPENAS- 21 Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional

biodiversity - 135 keanekaragaman hayati D biota endemic - 193 biota endemik DBD- 26 Demam Berdarah Dengue

BMAL -167 baku mutu air limbah dependency theory - 27 4 teori ketergantungan sepihak

bottom up approach -272 pendekatan dari bawah ke design - 148, 267 perancangan

at as dimensionless - 199 tidak berdimensi

BPS -1, 2, 161 Badan Pusat Statistik district- 58 kota kecil

brand gang - 28, 75 ruang kosong antar bangunan

untuk pencegah perambatan

a pi E buffer zone - 163, 169 zona penyangga eco-cities - 36 kota layak huni

ecodevelopment - 27 4 pembangunan berkelanjutan

lingkungan

c ecologycal footprint tapak ekologi

camping - 265 berkemah -161

cascade - 1 01 tangga air ecologycal suicide - 144 bunuhdiri ekologi

CBD -10 Central Business Disrict economic considerations pertimbangan ekonomi

CELA- 83 Council of Educations in -187

Landsecape Architecture economic region - 262 wilayah kegiatan ekonomi

centre periphery system - 272 sistem pusat pinggiran ecotone - 1 01 ekoton-daerah tepi

CH- 33, 138, 189 hidrokarbon el nino- 149 badai el nino

chemically adsorbed - 140 terjerap secara kimiawi ellips- 98 bulat telur

Index xvii

engineering - 98, 148, 271 teknik H English garden - 17 taman lnggris hard materials - 202 materi perkerasan entry point - 165 titik masuk heat island - 52, 200 pulau panas environment - 148 lingkungan herb medicine- 71, 73 tanaman obat atau jamu environmental degradation penurunan mutu lingkungan hierarchi - 57 tingkat pemerintahan -26 high risk - 166 resiko tinggi EPA- 159 Environmental Protection hinterland- 58, 159, 193, 202, kawasan pinggiran (kota)

Agency 264,274 exposure pollution - 111 pendedahan polusi historical region - 262 wilayah kesamaan sejarah exterior space - 53 ruang luar

F ICLEI- 159 International Council for Local fingers- 57 pengarah Environmental Initiatives fly over - 191, 275 jalan layang impact- 166 dampak focal point - 256 titik utama indoor- 201 di dalam ruangan food court - 246 kedai aneka makanan indoor plants - 56 tumbuhan dalam ruang form follows function - 202 bentuk mengikuti fungsi industrial estate - 264 kawasan industri freeway - 88, 264 jalan raya lintas inmendagri - 114, 141, 180, instruksi menteri dalam negeri

198 integrated landscape - 16 lansekap terpadu

G interdependency theory - 27 4 teori saling ketergantungan gap- 273 jurang pemisah interior space - 53 ruang dalam garden city- 8, 55, 59, 273 kota taman International Olympic komite olahraga internasional GBHN -156 Garis-garis Besar Haluan Committee-ICC - 24

Negara interwoven - 254 saling berkaitan GBK -106 Gelora Bung Karno IPTEK- 102 llmu Pengetahuan dan geological region - 262 wilayah geologi Teknologi good environmental program tata praja lingkungan ISPA - 186, 207 infeksi saluran pernafasan governance-GEG - 181, 190, atas 215 good governance - 186, 191 kepemerintahan yang baik gradation - 267, 268 gradasi J green belt- 27, 37, 53, 59, 60, sabuk hijau Jakarta metropolitan city - 26 kota metropolitan Jakarta 72,113,254,273 jogging track - 90 lintasan lari green city - 81 kota hijau juklak- 181 petunjuk pelaksanaan green landscape - 56 kota taman juknis- 181 petunjuk teknis greenways - 254 jalur hijau grid iron - 88, 192, 261 bentuk terkotak-kotak growth pole - 275 kutub pertumbuhan

xviii Index

K modern landscape - 258 lansekap moderen

KA- 59, 73, 77, 94, 117 KeretaApi Monorel - 111 sarana transportasi rei tunggal KB- 21 Keluarga Berencana municipal - 160 perkotaan (wilayah) KDB- 239 Koefisien Dasar Bangunan

KDH- 239 Koefisien Dasar Hijau

KLH- 40, 41 I 89, 92, 156, 181 Kementerian Lingkungan N Hid up N2-138 nitrogen

KP2L- 167 Kantor Pengedalian dan NAD- 217 Nangroe Aceh Darussalam Pengelolaan Lingkungan NKRI- 58, 59, 180, 198,216, Negara Kesatuan Republik

KTI- 54, 155, 158 Konferensi Tingkat Tinggi 217,260 Indonesia node- 53 simpul NOX - 33, 49, 189, 209 nitrogen oksida

L NSPM -12, 183 Norma Standar Pelayanan Ia nina- 149 badai Ia nina Minimal land clearing - 201 pembersihan lahan nursery- 83 kebun bibit land use zone - 85 zona pemanfaatan lahan nutrient - 99, 195 makanan landscape aechitecture-LA arsitektur lansekap -201,258,261,264,271 landscape balconies - 189 taman balkoni/teras 0 landscape heritage - 260 warisan lansekap 02-17,62,65,68,138,141, oksigen lattices- 57 kisi-kisi 205 leaf area indeks-LAI- 187, 199 indeks luas daun 03- 33, 197, 200 ozon living quarter - 57 ba§ian (kota) yang dihuni omnivora - 71 pemakan segala local genius - 24 kekhasan lokal open spaces- 2, 53, 82 ruang-ruang terbuka lopo -74,75 rumah adat Timor OR- 24 olahraga LSM- 35,41 lembaga swadaya outbreak - 166 wabah

masyarakat

LTIN- 214 Lomba Taman Tingkat p Nasional PAD - 119, 134, 165 Pendapatan Asli Daerah

PAM -189 Perusahaan Air Minum park - 54, 90, 261, 268, 276 taman

M path- 53 jalur Maminasata - 12 kota Makassar, Kab. Maros. Pb- 33, 138, 139, 140, 189 timbal

Kota Sungguminasa (Kab. PBB- 155 Perserikatan Bangsa Bangsa Gowa) Kab. Takalar pedestrian- 57, 254 jalur pejalan kaki

mangrove- 30, 31, 33, 49, hutan bakau pemda - 40, 41 pemerintah daerah 148,198,205,209 Perda - 35, 286 peraturan daerah marshes - 148 raw a perennial woody plants - 52 tumbuh-tumbuhan mengkayu maximum lead intake - 138 asupan Pb maksimum (menahun) MCK -120 mandi cuci kakus PKL- 135 Pedagang Kaki Lima

Index xix

PLH- 36, 97, 134, 145, 216, Pengelolaan Lingkungan reuse- 157, 169 memanfaatkan ulang 217,218,244 Hid up RIK - 21, 23, 26, 28, 192, 201, Rencana lnduk Kota polder -149 area penampungan air 216 pollutant - 263 polutan, zat pencemar rob- 35 pasang naik pp- 163, 180 Peraturan Pemerintah roof deck gardens - 189 taman atap PPLH- 156 Pengawasan Pembangunan roof top garden - 73, 187, 189 taman di atas atap

dan Lingkungan Hidup AT- 37, 53, 87, 88 Ruang Terbuka privacy - 77, 88 privat RT/RW- 191 Rukun Tetangga/Rukun Warga productivity - 188, 263 produktivitas RTR - 23, 180, 264 Rencana Tata Ruang prone to natural hazards - 51 kawasan rawan bencana RTRK - 23, 26, 28 Rencana Tata Ruang Kota

a lam RTRW- 55, 106,109, 110, Rencana Tata Ruang Wilayah poverty alleviation - 187 pengentasan kemiskinan 111, 112, 113, 114, 116, 119,

public hearing - 169 dengar pendapat publik 123,143,180,214,263,264, PUU - 22, 24, 160 Peraturan Perundang- 281,282

undangan RTRWN - 180, 183 Rencana Tata Ruang Wilayah Negara

RTRWP -180 Rencana Tata Ruang Wilayah

R Provinsi ROTA - 26, 11 0, 119, 180, Rencana Oetil Tata Ruang rugs- 57 permadani hijau 183,263,264 run off - 111, 182 air limpasan ROTRW- 114, 119, 122, 123 Rencana Oetil Tata Ruang rural- 274 perdesaan

Wilayah

re-adjusment land - 169 persesuaian lahan kembali

real estate - 33, 73, 1 03, 264, permukiman homogen s 277 sanitary landfill - 10, 251 cara penanganan sampah di

recharge area - 239 daerah resapan TPA recovery - 15 7 memperbaiki, mengatasi SOA- 16, 36, 134, 136, 137, sumberdaya alam

recycle - 157, 169 mendaur ulang 153, 156, 157, 159, 161, 170,

redesign - 157 mendesain (rancang) ulang 172, 176

reduce- 157, 169 mengurangi SO-air- 98, 159, 161, 166, sumberdaya air

refactory- 157 memfabrikasi kembali 172, 173 region - 94, 262 wilayah SO-buatan - 23 sumberdaya buatan

regional geography - 262 wilayah geografi SO-hutan - 156 sumberdaya hutan

regional park system - 93 sistem taman wilayah SOM -11,12,182,183,184, sumberdaya manusia

remote areas - 90 daerah terpencil 186,193,215,217,246

REPELITA - 156 Rencana Pembangunan Lima sewerage- 201, 218 limbah cair

Tahun sewerage system - 167, 175 sistem pengelolaan air limbah

replace - 157 mengganti shelter - 122, 159 tempat berlindung

retention basin- 97, 261 kawasan genangan sky terraces greenery - 189 taman gantung (teras)

return of invesment - 119 pengembalian modal social behaviour - 187 berperilaku sosial

XX Index

soft landscape - 248 material lunak lansekap traffic island - 246 pulau jalan (tan am an) trans-boundary industrial kota industri antar batas

SOX-33,449, 122,189,209 sulfur oksida town -59 space- 262 ruang tri hita karana - 152 konsep hubungan manusia spawning ground - 209 tempat memijah dengan Tuhan, manusia, SPM- 22 standar pelayanan minimum dan sesama makhluk dalam spongious tissue - 140 jaringan bunga karang agama Hindu square - 53, 193 lapangan trophic level - 71 tingkat trofik squares- 57, 89 alun-alun tropical park system - 27 sistem taman tropis stakeholder - 145, 162, 165 pemangku kepentingan surface runoff - 4 7, 142 limpasan permukaan survive - 27 4 bertahan hidup u sustainable city - 159 kota berkelanjutan UDKP- 275 Unit Daerah Kerja

(berwawasan lingkungan) Pembangunan sustainable development pembangunan berkelanjutan uma mbatangu - 7 4, 75 rumah bermenara di Sumba -170,263 underpasses- 261 jalur jalan berpotongan sustainable landscape - 18 lansekap berkelanjutan UNDP-177 United Nations Development SUTET- 26, 53, 94, 191, 239 saluran utama tegangan Program

ekstra tinggi UNEP - 159, 201 United Nations Environmental Programme

UNESCO- 201 United Nations Educational T and Sosial Cultural tangible and intangible values nilai-nilai terukur dan tidak Organization - 103 terukur unifying factor - 267 faktor pemersatu terestrial- 27, 58, 143 daratan unity and harmony - 266 kesatuan dan keselarasan theme - 267, 268 tema urban - 160, 161, 273 perkotaan TM- 246 Taman Monumen urban agriculture - 4, 136, pertanian kota TMM -106, 108 Taman Medan Merdeka 175,252 tolway- 88 jalan tol urban and regional planning perencanaan wilayah dan kota top down approach - 27 4 pendekatan dari atas ke -265

bawah urban culture - 160 budaya perkotaan total suspended particulate- total partikel tersuspensi urban economic - 160 ekomomi perkotaan TSP - 33, 64, 138, 139, 189 urban forest - 89 hutan kota town- 160 kota kecil urban forest park- 53, 82 taman hutan kota townscapes - 53 ruang kota urban frontiers - 192 batas luar suatu kota TPA- 44, 73, 82, 91, 112, 156, Tempat Pembuangan Akhir urban green open space - 52 RTH kota 206,251 sampah urban green open space sistem RTH kota TPS- 37, 44, 73, 82, 206 Tempat Penampungan system- 17

sampah Sementara urban renewal- 57, 202, 277 pembaharuan kota kembali TPU - 53, 73, 82, 191 Taman Pemakaman Umum

Index xxi

urban sprawl - 21, 97, 193 perkembangan kota tidak w terarah water management - 97 pengelolaan air

URDI- 177 Urban and Regional waterfront - 239 wilayah tepian air Development Institute waterfront city- 143, 147 tepian air

utility - 188 penggunaan we -167 jam ban uu- 23, 54, 162, 180, 215, Undang-Undang webs- 57 jaringan 216,262,274 wet retention basin-WRB- 98 kawasan genangan

wetland - 219 lahan basah WILUD- 275 Wilayah Unit Desa v

vegetatic region - 262 wilayah sebaran tumbuh-tumbuhan z

visitors centre - 83 pusat kunjungan Zn- 139 seng zoning regulation - 13, 27 pengaturan permintakatan zwartwald - 218 'hutan hitam'

BtOGR.AFI

PENULIS UTAMA

Srihartiningsih (Ning) Purnomohadi, lahir di Banyuwangi

1 0 Januari 1945, menyelesaikan pendidikan SR, SMP

dan SMA di Kudus, dan Lumajang. 1968 lulus Sarjana

Muda Arsitektur Pertamanan (BAP), Akademi Arsitektur

Pertamanan Pemda DCI Djakarta Raya (AKAP Djaya)

di Jakarta; S1 (1978) Arsitektur Lansekap Fakultas

Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan

Universitas Trisakti Jakarta; S2 (1985) dan S3 (1995)

Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,

Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan PSL, lnstitut Pertanian

Bogor. Menikah 1969 dengan Purnomohadi , dikaruniai

t iga anak dan empat cucu. Kursus-kursus Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan A, 8 dan C di dalam

negeri (Universitas Pajajaran, lnstitut Pertanian Bogar)

dan di luar negeri (penyelenggara GTZ/DSE, di Berliln

dan Magdeburg) Jerman, dan pelatihan di bidang SDA

& LH 1988; Anggota Tim (nara sumber~ Penyusun

Kriteria dan Evaluasi Program Penghargaan Adipura dan

Bangun Praja, KLH.

Tenaga Pengajar Tetap (Asisten Dosen) mata ajaran

Tata Hijau, Merancang dan Merencana Arsitektur

Pertamanan (1966-1970), Dosen Tetap di Sekolah

Tinggi Arsitektur Pertamanan Indonesia (STAPI),

menjadi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi

Lingkungan, Universitas Trisakti (1975-1978) Dosen

Luar Biasa (1978-2003). PTI di FPS-FMIPA-UI, Jurusan

llmu Kelautan. Pegawai Negeri Sipil (Calon 1978 & PNS

struktural), pada Kantor Menteri Negara Pengawasan

Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH)/Kantor

Kependudukan dan LH/Kantor Kementerian LH (KLH);

pensiun (2005) sampai sekarang menjadi Widyaiswara

(nara sumber) pada Diklat peningkatan SDM-KLH,

Serpong, Tangerang; Pengelolaan SDA & Lingkungan,

Pengelolaan RTH & Taman Nasional, Etika (moral)

Lingkungan, Pengelolaan SD-Pesisir dan Laut Wisata

Bahari.

Melakukan penelitian di bidang perancangan dan

perencanaan arsitektur lansekap, antara lain: Regional

Landscape Planning Pulau Jawa, Jakarta Kota Pantai

(Waterfront City), Perancangan Arsitektur Lansekap

Jakarta Country Club ; Perancangan Arsitektur

Lansekap dalam Kawasan Konservasi SDA, khususnya

kompleks Visitor Center kasus Taman Nasional Ujung

Kulon, Banten. Sistem lnteraksi Sosiai-Ekonomi dan

Pengelolaan SDA dan Lingkungan Masyarakat Badui,

Desa Kanekes, Banten Selatan. Peran Ruang Terbuka

Hijau (RTH) dalam Pengendalian Kualitas Udara di

Lingkungan Perkotaan, kasus Kota DKI Jakarta.

Sebagai arsitek lansekap (sejak 1968) menjadi PTI di

Proyek Gedung MPRIDPR, bidang arsitektur lansekap:

Pembangunan Taman Ria Remaja dan Penghijauan

Kompleks Gedung MPRIDPR, Senayan, Jakarta. Council

of Educators in Landscape Architecture, CELA 1988.

California State Polytechnic University, Pomona, USA.

Mengikuti berbagai diskusi dan presentasi tentang

arsitektur lansekap, lingkungan pesisir dan laut dan

pengelolaan RTH di dalam dan luar negeri (1979-

sekarang} sebagai anggota lkatan Profesi IALI (lkatan

Arsitek Lansekap Indonesia} dan MALl (Majelis IALI},

anggota Committee on Endangered Landscape,

International Federation of Landscape Architect (1979-

1993}. Pengelolaan SDA & Lingkungan di Wilayah

Konservasi (Cagar Alam, Cagar Budaya dan Taman

Nasional} antara lain di Amerika Utara (Department

of Parks Canada, Department of Interior, Amerika

Serikat} tahun 1985. International Garden and Greenery

Exposition, Tokyo & Osaka (1989: 3 bulan}, Indonesian

Design Pavilion di Tsurumi Ryokuchi International Park.

Pertanian Perkotaan dan Hutan Kota (Urban Agriculture

Forestry) antara lain pada ASEM & COST Meetings di

China (2004}, Swedia dan Denmark (2006}. 1998-2001:

Anggota Tim Coral Reef Rehabilitation Management

Programme (COREMAP}, LIPI: Deputy Public Awareness

& Community Based ~anagement. Urban Agricultture

International Meetings di Washington DC, Calcutta

India, Stockholm: Urban Allotments. Beberapa tulisan

sebagian besar tentang Perencanaan dan Perancangan

arsitektur lansekap, dan Pedoman RTH-Kota, diterbitkan

oleh kantor KLH; Anggota Tim Penyusun lnmendagri

No. 14/1988, tentang Pengelolaan RTH-Kota dimuat

pada beberapa media cetak (harian, majalah} dalam dan

luar negeri, seperti tulisan tentang 'Urban Green Open

Space' salah satu majalah lingkungan internasional

EKISTICS diterbitkan di Athena, Yunani.

BIOGR.AFI PENULIS

A. Hermanto Dardak lahir di Trenggalek

pada tanggal9 Januari 1957. Ia

menyelesaikan pendidikan S-1 Teknik Sipil,

ITB tahun 1980. Pendidikan S-2 Teknik

Sipil dan S-3 bidang Transportasi Ekonomi

diselesaikan di University of New South Wales, Sydney,

Australia tahun 1985-1990.

Perjalanan kariernya diawali di Departemen Pekerjaan

Umum pada tahun 1980. Penulis sempat menjabat

sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar

Negeri, Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Marga,

Kakanwil PU di Kalimantan Selatan dan Kepala Pusat I

Kajian Kebijakan tahun 1995-2003 serta Stat Ahli Menteri

Bidang Otonomi & Keterpaduan Pembangunan Daerah

tahun 2003-2005 di Departemen Permukiman dan

Prasarana Wilayah. Kemudian mulai tahun 2005 hingga

sekarang, penulis menjabat sebagai Direktur Jenderal

Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.

Dalam bidang organisasi , saat ini penulis sebagai Ketua

Umum lkatan Alumni Australia (I KAMA) dan Ketua Badan

Kejuruan Sipil - Persatuan lnsinyur Indonesia (BKS-PII),

serta anggota Dewan Riset Nasional. Penulis sempat

mendapat berbagai penugasan antara lain sebagai

delegasi Rl pada Forum lntrastruktur Asia Pasifik (ASPAC)

di India tahun 1995 dan Ketua delegasi Rl dalam Expert

Meeting Infrastructure AS PAC di Malaysia tahun 2004.

Dalam buku ini Hermanto Dardak, selaku Direktur

Jenderal Penataan Ruang, memberikan tulisan

pengantar berjudul Arah Pengembangan Ruang Terbuka

Hi]au di Kawasan Perkotaan.

Doni Janarto Widiantono lahir di

Bandung pada tanggal 28 Januari 1964.

Ia menyelesaikan pendidikan SD dan

SMP di Pontianak, SMA di Jakarta, dan

S1 di Teknik SipiiiTB lulus tahun 19S8.

Sedangkan pendidikan S2 dan S3 bidang Teknik

Transportasi diselesaikan tahun 1995 dan 2002 dari

University of New South Wales, Sydney, Australia.

Yang bersangkutan mengawali karier sebagai stat

di Puslitbang Jalan Departemen Pekerjaan Umum

pada tahun 1991 . Sejak tahun 1999 sebagai pejabat

tungsional Peneliti di Pusat Litbang Prasarana

Transportasi di Badan Litbang PU. Pada tahun

2005 hingga sekarang memperoleh penugasan di

SubDirektorat Pedoman Penataan Ruang, Direktorat

Jenderal Penataan Ruang.

Di bidang organisasi ia aktit sebagai sekretaris

Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jawa Barat

dan sebagai salah satu anggota pengurus di Badan

Kejuruan Sipil- Persatuarj lnsinyur Indonesia (BKS-PII).

Dalam buku ini yang bersangkutan

berkontribusi dalam penulisan,

penyusunan sistematika serta proses

penyuntingan pada bagian yang terkait

dengan kebijakan penataan ruang.

lman Soedradjat lahir di Cirebon pada tanggal 9

Desember 1953. Ia menyelesaikan pendidikan SO, SMP,

SL TA di Cirebon, pendidikan S-1 dari jurusan Planologi

di ITS tahun 1981 . Pendidikan S-2 Public Management

diselesaikan di Carnegie Melon University, Pittsburgh,

USA pada tahun 1992. Selain itu, yang bersangkutan

juga pernah mengikuti beberapa seminar dan training,

antara lain seminar-seminar yang terkait dengan

kebijakan perkotaan dan planning and housing baik di

dalam maupun di luar negeri (Tokyo, Malaysia, Brunei ,

Thailand, New Zealand, dan Taiwan) baik sebagai

peserta maupun narasumber.

Perjalanan kariernya berawal sebagai staf di Subdit

Tata Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya' Departemen

Pekerjaan Umum pada tahun 1984. Pada tahun 1998-

2005, pernah menjadi Kasubdit di Direktorat Jenderal

Penataan Ruang, sejak Juni 2005 hingga sekarang

menjabat sebagai Direktur Penataan Ruang Wilayah

I, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen

Pekerjaan Umum. Dalam bidang organisasi, yang

bersangkutan aktif di lkatan Ahli Perencana (lAP) dan

menjabat sebagai Ketua Bidang Info dan Publikasi

tahun 1988-2003. Dalam buku ini lman Soedradjat,

selaku praktisi bidang Penataan Ruang, berkontribusi

dalam penulisan dan proses penyuntingan pada tulisan

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang dan

bagian yang terkait dengan kebijakan penataan ruang.

Firmansam Bastaman, lahir di Bandung

tanggal4 Oktober 1957. Menyelesaikan

pendidikan sekolah dasar dan menengah

pertama di Kota Banjar, Ciamis.

Tahun 1978 Lulus SMAN di Bandung,

melanjutkan ke Akademi Pertanian Nasion a I pada

Jurusan Arsitektur Pertamanan dan menyelesaikan

program S1 di Universitas Bandung Raya pada Jurusan

Arsitektur Lansekap. Selain sebagai dosen tetap di

almamaternya , juga sebagai staf pengajar luar biasa

di Jurusan Planologi Universitas Pasundan. Menjabat

sebagai Ketua Jurusan Arsitektur lansekap dari Tahun

1992-2000 dan saat ini menjabat sebagai Dekan di

Fakultas Pertanian Universitas Bandung Raya. Kegiatan

profesional di luar aktivitasnya sebagai akademisi adalah

tenaga ahli bidang Arsitektur lansekap dan lingkungan,

di beberapa perusahaan konsultan nasional. Terlibat

aktif dalam berbagai proyek dan studi bidang arsitektur

lansekap. Pada tahun 2006 tergabung dalam Tim

Penyusun Pedoman Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan, Departemen Pekerjaan umum. Dalam rangka

meningkatkan profesionalisme di bidang arsitektur

lansekap, ia merupakan salah satu yang membidani

lahirnya Bad an Sertifikasi Keterampilan lkatan Arsitek

Lansekap Indonesia (BSK IALI) tahun 2006, dan kini

menjabat sebagai Ketua. Aktivitas sosial yang saat ini

ia geluti ialah, Ketua Pengurus YPAC Bandung periode

tahun 2004-2009, sebuah organisasi nirlaba berdiri sejak

tahun 1955, khusus melakukan aktivitas rehabilitasi bagi

anak-anak penyandang cacat di Indonesia. Dalam buku

ini Firmansam Bastaman, berkontribusi dalam penulisan

Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang.

Maman Djumantri lahir di Cirebon, tanggal

21 Agustus 1954. Ia menyelesaikan

pendidikan SO, SMP dan SMA di Cirebon.

Selanjutnya menempuh pendidikan S1

Pertanian lnstitut Pertanian Boger (IPB)

lulus tahun 1978. Pada tahun 1983-1984 mengikuti

Program Pasca Sarjana Urban and Regional Planning

University College London in association with Bandung

Institute of Technology, Tahun 2003-2005 mengikuti

program Pasca Sarjana Magister llmu Administrasi di

Sekolah Tinggi llmu Administrasi Mandala Indonesia,

~akarta.

Mengawali karier sebagai stat di Departemen Pekerjaan

Umum pada tahun 1980. Pada tabu~ 2005 hingga

sekarang menjabat sebagai Kasubdit Pedoman

Pengembangan Kawasan, di Direktorat P·enataan Ruang

Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruarig.

Di samping senang mengajar, ia mempunyai hobby

menulis artikel, tulisan ilmiah populer, menggambar

kartun dan karikatur yang berisi opini, kritik sosial,

lingkungan, dan tata ruang.

Beberapa tulisan-tulisannya antara lain berjudul

Mengenal Taman Lebih Dekat, Merjnanfa~tkan : ' ' : ' "

Pekarangan Rumah Perdesaan dengan Taman Bergizi

pernah dimuat di Harian Kompas. Menggali Mutiara di

Pekarangan Rumah dan Membuat Pagar Hid up yang

Serbaguna, dimuat di Majalah Trubus pada tahun

1980. Dalam buku ini yang bersang~utan berkontribusi

dalam Bab VIII: Peran Arsitektur Lan~ekap r;Jalam

Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan.

TIM PENGARAH

Nama : Dr. lr. Hermanto Dardak, MSc

Jabatan : Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Peke~aan Umum

TIM TEKNIS

Nama : Ora. Lina Mar1ia, CES

Jabatan : Kasubdit Pedoman Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Nama : DR. lr. Doni Janarto Widiantono, M.Eng.Sc

Jabatan : Kasi Pedoman Penataan Ruang Provinsi Subdit Pedoman Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Nama : lr. Setia Budhy Algamar, MURP

Jabatan : Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Peke~aan Umum

Nama : lr. Sita lndrayani, MT

Jabatan: Kasi Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan Subdit Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan dan Metropolitan Direktorat Penataan Ruang Wilayah I Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Nama : lr. Benny Hermawan, MSc

Jabatan : Kasi Penyerasian Penataan Ruang Lintas Sektor Subdit Ke~a sama Lintas Sektor Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Nama : Galuh Aji Niracanti, ST

Jabatan : Stat Subdit Pedoman Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang

ISBN 979-15540-0-5

JI~IJI~tl~tlll~~~ti~IJII>

ISBN: 979-15540-0-5