ruang terbuka hijau
TRANSCRIPT
Kern. PU
RUANG TERBUKA HIJAU
SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA
DIREK!ORAT }ENDERAL PENATAAN RUANG
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
RUANG TERBUKA HIJAU
SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA
DIREKTORAT jENDERAL PENATAAN RUANG OEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
Jalan Pattimura No. 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 1211 0
RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA
© Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2006
Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa ijin tertulis dari penerbit
lsi di luar tanggung jawab percetakan
ISBN: 979-15540-0-5
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Tim Pengarah:
• DR. lr. A. Hermanto Dardak, MSc
• lr. Setia Budhy Algamar, MURP
Penulis Utama:
DR. lr. Ning Purnomohadi, MS
Kontributor:
• lr. lman Soedradjat, MPM
• lr. Maman Djumantri, MSi
• DR. lr. Doni J. Widiantono, MSc
• lr. Firmansam Bastaman, IALI
Tim Teknis:
• Ora. Lina Marlia, CES
• lr. Sita lndrayani, MT
• lr. Benny Hermawan, MSc
• Galuh Aji Niracanti, ST
Layout & Design Gratis:
Tri Prasetyaningtyas, SSn
Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah
oleh Undang-undang No.7 Tahun 1987:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan atau tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi ijin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp .1 00.000.000,- (Seratus juta rupiah).
·2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Oima) tahun danlatau denda
paling banyak Rp 50.000.000,- (Uma puluh juta rupiah).
MENTER! PEKERJMN UMUM REPUBLIK INDONESIA
KATA SAMBUTAN
Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, saya menyambut baik penerbitan buku yang
berjudul "Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Utama
Tata Ruang Kota" oleh Direktorat Jenderal Penataan
Ruang. Menurut hemat saya, buku bertema ruang
terbuka hijau (RTH) ini hadir pada saat yang tepat, yakni
di tengah kecenderungan berkurangnya luasan RTH
di kota-kota besar di Indonesia akibat telah dikonversi
menjadi infrastruktur perkotaan lainnya, seperti pusat
perbelanjaan dan sarana komersial, kawasan permukim
an termasuk apartemen, maupun infrastruktur jalan.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini, proporsi luasan
RTH di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,
dan Medan, telah berkurang dari 35% awal tahun 1970-
an menjadi kurang dari 1 0% terhadap luas kota secara
keseluruhan. Kondisi ini tentunya masih di luar standar
ideal luasan minimal ruang terbuka hijau pada suatu kota
sebagaimana disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi di Rio De Janeiro (1992) dan ditegaskan
kembali di Johannesburg (2002), yakni minimal 30 % dari
total luas kota.
Sementara, berbagai kota besar di dunia, seperti New
York, Manchester, Singapura, Beijing, Shanghai, dan
Melbourne, telah menerapkan konsep 'green cities'
dengan meningkatkan proporsi luasan RTH hingga
mencapai lebih 20% dari totalluas kota, demi kesehatan,
kenyamanan dan kesegaran warga kotanya. Penerapan
konsep tersebut secara konsisten dan didukung persepsi
serta ke~asama semua pemangku kepentingan di kota
kota tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat
ekonomi sebagai akibat meningkatnya citra kota yang
ramah lingkungan, dan ruang visual yang indah sehingga
memiliki 'nilai jual' tersendiri bagi pengembangan
pariwisata.
RTH sebagai unsur utama pembentuk kota yang dirancang
dengan baik dan benar sesuai dengan rencana tata
ruang kotanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan ruang terbuka, meningkatkan kualitas
kehidupan, membentuk identitas komunitas, melindungi
kualitas lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomi
bangunan-bangunan atau properti-properti pada lokasi
yang berdekatan dengan RTH tersebut. Di samping itu,
RTH juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi fungsi
lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian
pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta
membentuk "image" suatu kota.
Dalam konteks itu, saya mendorong agar dalam
Rancangan Undang-Undang pengganti Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang memuat
pengaturan tentang standar minimal bentuk dan ukuran
Daftar lsi iii
RTH yang wajib disediakan oleh suatu kota. Melalui
pengaturan ini, pemerintah daerah memiliki kewajiban
untuk mengalokasikan ruang terbuka hijau secara tegas
dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota yang
dijabarkan secara lebih rinci dalam ketentuan tentang
aturan intensitas kegiatan-kegiatan di sekitar RTH
tersebut. Selain itu, pengaturan yang tegas ini juga
memberikan peluang bagi masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya untuk turut berperan secara lebih
aktif dalam mengendalikan pencapaian standar minimal
tersebut.
Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini
tidak sebatas memperkaya khasanah pengetahuan kita,
namun juga dapat menjadi sumber inspirasi dan pedoman
bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya
dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan. Untuk itu, saya mengucapkan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada tim
penyusun dan -penyunting, terutama kepada saudara
DR. lr. Ning Purnomohadi, MS yang telah mencurahkan
tenaga dan pikirannya, serta kepada seluruh pihak yang
telah mendukung penerbitan buku ini.
Jakarta, 3 Desember 2006
Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia
DJOKO KIRMANTO
DAFTAR lSI
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia
Daftar lsi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
PENGANTAR 1 Pendahuluan
iii
v X
xvi
2 RTH Sebagai lnfrastruktur Hijau 2
3 Peran RTH dalam Penataan Ruang Perkotaan 4
4 Model Pembangunan Kota Taman 9
5 Tantangan 11
6 Arah Kebijakan dalam Pengaturan RTH 12
BAB I PENDAHULUAN 15
1 .1 Latar Belakang 16
1.2 Pentingnya Penghijauan Kembali Lingkungan Perkotaan 24
1.2.1 Keadaan sekarang: Penghijauan Kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH} 28
1.2.2 Pentingnya Pembangunan RTH-Kota di Negara Kepulauan R.I. 30
1.2.3 Pembangunan Kota versus Penghijauan Kota 33
1 .3 RTH sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota 34
1.3.1 Kecenderungan dan Prediksi di Masa Depan Tentang Penghijauan (RTH)-Kota. 38
1.3.2 Dampak Kurangnya Kehijauan dalam Kota Terhadap Kesehatan 42
1.3.3 Contoh Penyelenggaraan yang Baik tentang RTH-(Penghijauan)-Kota 45
BAB II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) 51
2.1 Pengertian RTH dan Kota Taman 52
2.1.1 Pengertian RTH 52
2.1.2 Pengertian Kota Taman 55
2.1.3 'Sabuk Hijau' (the greenbelt) sebagai Bagian Sebuah Kota Taman 59
Daftar lsi v
2.2 Peran dan Fungsi RTH
2.3 Manfaat RTH
2.3.1 Manfaat Bagi Kesehatan
2.3.2 Ameliorasi lklim
2.3.3 Manfaat Terkait Fungsi Ekonomi (Produktif)
2.3.4 Manfaat Terkait Arsitektur (Kenyamanan)
2.4 Tipologi RTH Berdasar pada Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunannya
2.5 Bentuk-bentuk RTH
2.5.1 Taman Lingkungan Perumahan
2.5.2 Taman Kota
2.5.3 Taman Rekreasi
2.5.4 RTH Pendukung Sarana/Prasarana Kota
2.5.4.1 Jalur Hijau
2.5.4.2 Jalur Biru
2.5.4.3 Perancangan Retention Basin
2.5.4.4 Sistem Koridor Lingkungan
BAB III KEDUDUKAN RTH DALAM PERENCANAAN TATA RUANG 3.1 Kedudukan RTH dalam Ruang Lingkup RTRW Nasional, Provinsi, dan Kabupaten
3.1.1 Kedudukan RTH dalam RTRW Nasional
3.1.2 Kedudukan RTH dalam RTRW Provinsi
3.1.3 Kedudukan RTH dalam RTRW Kabupaten
3.2 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah Perkotaan
3.2.1 Kedudukan RTH di dalam RTRW Kota
3.2.2 Kedudukan RTH di dalam Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota
3.3 Model-model RTH sesuai dengan Arahan Peraturan yang Berlaku
3.3.1 Model Taman Kota dan Taman Lingkungan dan Pemakaman
3.3.2 Taman Rukun Warga (2.500 penduduk)
3.3.3 Taman Kelurahan (30.000 penduduk)
3.3.4 Taman Kecamatan (120.000 penduduk)
3.3.5 Taman Kota (480.000 penduduk)
3.3.6 RTH Pemakaman
vi Daftar lsi
60
61
62
62
71
82
84
85
87
89 89 90
92
97
97
99
105
106
109
110
112
113
114
119
124
124
124
125
126
127
128
3.3. 7 RTH Lingkungan Peru mahan Kecil
3.3.8 RTH Jalan Lingkungan yang Sempit
3.3.9 RTH Sempadan Sungai
3.3.1 0 Hutan Kota
BAB IV RTH DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP PERKOTAAN 4.1 Masalah-masalah Utama dan Konservasi di Bidang Lingkungan Hidup
4.2 RTH untuk Mengatasi Pencemaran Udara
4.3 RTH untuk Mengatasi Banjir dan Pencemaran Air dan Tanah
BAB V PERAN RTH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PERKOTAAN 5.1 Pembangunan Kota Berkelanjutan
5.1.1 Konservasi Lingkungan Hidup Kota
5.1.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman, Nyaman, dan Sehat
5.1.3 RTH Kota sebagai Penunjang Pembangunan Berkelanjutan
5.1.4 Model Kabupaten dan Kota Sehat
5.2 RTH dan Perencanaan Kota
5.3 Peran Penataan Ruang Perkotaan dalam Pembangunan Berkelanjutan
BAB VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK MEWUJUDKAN KOTA TAMAN 6.1 Kebijakan dan Strategi Penyelenggaraan RTH
6.1.1 lsu dan Tantangan dalam Penyelenggaraan RTH
6.1 .1 .1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota
6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan Budaya RTH-Kota
6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang Kota
6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH
6.2 Program dan Pentahapan Pengadaan RTH
6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek
6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang
6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota
6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH
6.2.5 Perkembangan dan Pembangunan RTH
128
129
130
132
133
134
138
141
151
152
156
160
163
164
167
170
179
180
181
184
186
187
188
191
191
191
193
194
194
Daftar lsi vii
6.3 Standar dan Kebutuhan RTH Kota 197
6.3.1 Standar RTH Kota 198
6.3.2 Penentuan Luas RTH 199
6.4 Pembangunan RTH Kota 201
6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfigurasi RTH (Arsitektur Lansekap) 201
6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman 202
BAB VII PENGELOLAAN RTH 213
7.1 SDM dalam Pengelolaan RTH 215
7.1 .1 Latar Belakang 215
7.1.2 Maksud dan Tujuan 216
7.1.3 Ruang Lingkup 216
7.2 Permasalahan Kebijakan, Strategi, dan Prospek Pembangunan dan Pengelolaan RTH 218
7.3 Penetapan Strategi, Fokus Strategi dan Ukuran Kinerja Pembangunan
dan Pengelolaan RTH di Wilayah Perkotaan 220
7 .3.1 Perubahan Paradigma Pemerintah dan Pengaruhnya pad a Manajemen Pembangunan Perkotaan:
Pembangunan dan Pengelolaan RTH 220
7.3.2 Strategi Pembangunan Perkotaan 221
7 .. 3.3 Fokus Strategi Pembangunan Perkotaan 224
7 .3.4 Tujuan Strategi/Kra > Ukuran Keberhasilan/KPI : Fokus Strategi Sarpras Kota > RTH 228
7 .3.5 Perspektif Pelanggan Sasaran & Uraian Kegiatan Pembangunan & Pengelolaan Sarpras Kota > RTH 236
7.4 Contoh Penyelenggaraan RTH 238
7 .4.1 Provinsi DKI Jakarta 239
7 .4.2 Surabaya 242
7.4.3 Osaka: 'Osaka Bussiness Park' (OBP) 248
7 .4.4 Singapura 252
VIII PERAN ARSITEKTUR LANSEKAP DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN YANG RAMAH LINGKUNGAN 257
8.1 Pendahuluan 258
8.2 Penataan Ruang dan Permasalahannya 262
8.3 Kedudukan Bidang Arsitektur Lansekap 263
viii Daftar lsi
8.4 Tantangan Bagi Arsitektur Lansekap
8.5 Azaz-Azaz Arsitektur Lansekap
8.5.1 Keindahan
8.5.2 Kagunan (Kegunaan/Manfaat)
8.5.3 Pengaturan Lansekap
8.5.4 Pengembangan Wajah Lansekap Alami
8.6 Aspek Kreatif dari Perencanaan
8. 7 Pengembangan Kawasan
8. 7.1 Sejarah Perencanaan
8. 7.2 Permasalahan Pengembangan Kawasan
8. 7.3 Perencanaan Pengembangan Kawasan
BAB IX PENUTUP 9.1 Langkah-langkah Penataan RTH Kota ke Depan
9.1.1 Penghijauan Kota yang Lalu
9.1.2 Penetapan Tanah Hak sebagai RTH Kota
9.1.3 Pengelolaan RTH Kota
9.2 Pengembangan Kelembagaan dalam Pengelolaan RTH Kota
9.2.1 Koordinasi Kelembagaan untuk Mendukung Upaya Pengembangan RTH Kota
9.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat dalam Upaya Pengembangan RTH Kota
9.2.3 Keperlulan Peraturan Daerah untuk Pengembangan RTH Kota
9.2.4 Peran Legislatif dalam Pengembangan RTH Kota
DAFTAR PUSTAKA
LAMPI RAN 1 Kompilasi Dasar Hukum (Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH sebagai
Penyusun RTH
2 Beberapa Acuan untuk Penentuan Luas RTH-Kota
3 Jenis-jenis Tanaman yang dapat difungsikan sebagai penyusun RTH
INDEKS
264
266
266
267
267
268
271
271
271
274
275
279
280
280
281
282
284
284
284
285
285
292
302
302
306
311
xix
Daftar lsi ix
DAFTAR GAMBAR
Perkembangan Penduduk Kota. 1
2 Luas RTH di Beberapa Kota Dunia. 2
3 Ruang Terbuka Publik (Open Space). 3
4 Tipologi Ruang Terbuka Hijau (landmark). 3
5 Tanaman Endemik sebagai Tetenger. 4
6 Struktur RTH Perkotaan. 4
7 Sistem Tajuk dan Perakaran Pohon. 5
8 Sistem Perencanaan Tata Ruang. 5
9 lnteraksi Tata Ruang dan Sistem Transportasi. 6
10 RTH Publik dalam Tata Ruang Kota. 6
11 Konsep Penataan Ruang Kota Curitiba. 8
12 Pengembangan RTH pada Areal Kepadatan Rendah. 10
13 Contoh Penataan TPA Sanitary Land-fill. 12
1.1 Sempadan Sungai Pesanggrahan, Jakarta. 17
1.2 Karet Kebo (Ficus elastica) di halaman lstana Bogor. 18
1.3 Alam mempunyai keterbatasan. 18
1.4 Rumah Suku Ume, Timor. 21
1.5 Karikatur. 23
1.6 Penataan RTH perkotaan di Suzhou, Gina. 25
1.7 Taman air di sekeliling lstana Kaisar di Tokyo 25
1.8 Wringin Kurung (Ficus benyamina). 27
1.9 Sungai Code, Yogyakarta. 28
1.10 Sempadan sungai Negara di Amuntai. 28
1.11 Proyek rehabilitasi hutan mangrove di Daerah Suwung, Denpasar, Bali. 29
1.12 Ekosistem pantai dengan formasi Ipomoea pescaprae di Propinsi Bengkulu. 30
1.13 Hutan Bakau (mangrove). 30
1.14 lnteraksi antara tiga habitat utama di kawasan pesisir dan laut tropis. 31
1.15 Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia. 32
1.16 Ekosistem terumbu karang yang rusak akibat terpaan angin topan. 32
X Daftar lsi
1.17 Hubungan antara ekosistem darat dan laut. 34
1.18 Pemilihan jenis tanaman sebagai penyaring zat pencemar udara. 44
1.19 Contoh beberapa Taman Nasional 'sea-scape'. 50
2.1 Taman Pribadi di Jeddah, Saudi Arabia. 52 2.2 Jalur jalan masuk ke L.A. Airport. 53 2.3 'Woonerf' di negeri Belanda. 56 2.4 Contoh denah perencanaan taman bagian koridor kota. 60 2.5 Kepedulian pada lingkungan hidup yang sehat. 61 2.6 Vinca rosea. 61 2.7 Peavy Plaza di Minneapolis, Amerika Serikat. 62 2.8 lntensitas penyinaran matahari pada kemiringan lahan berbeda. 63 2.9 Penataan pepohonan untuk membentuk iklim mikro setempat. 63 2.10 Tapak tidak dibangun untuk keperluan pembentukan iklim mikro. 63 2.11 Kubah debu. 64 2.12 Pencuci udara. 64 2.13 Perbandingan jalur jalan. 64 2.14 Penataan pepohonan untuk oksigenasi dan sirkulasi angin. 65 2.15 Zona nyaman. 65 2.16 Taman Tezozomoc, Mexico City. 66 2.17 Siklus karbon. 67 2.18 Siklus nitrogen. 67 2.19 Siklus fosfor. 67 2.20 Siklus nutrient. 68 2.21 Pertukaran nitrat dengan bikarbonat. 68 2.22 Pertukaran gas CO-O dengan tanaman. 68 2.23 Difusi C02 ke daun dari: udara <->tanaman. 68 2.24 Taman IBM federal systems division facilities {NASA) 69 2.25 Manfaat terkait di dalam seni arsitektur. 70 2.26 Rumah panggung Toraja. 70 2.27 Rumah adat Timor {Lopo). 74 2.28 Bagian kolong di bawah panggung rumah. 74
Daftar lsi xi
2.29 Keluarga penghuni Rumah Ume.
2.30 Rumah adat tradisional Sumba UMA MBATANGU
2.31 Pekuburan dari batu yang ditempatkan di depan rumah di Sumba.
2.32 Rumah Adat Timor LOPO, bangunan untuk laki-laki.
2.33 Rumah Adat Tradisional Sumba dalam deretan UMA MBATANGU.
2.34 Beberapa rekaman foto tim kerja ke Bali, Mei 2006.
2.35 Kota Bandar Lampung.
2.36 Roman house at Pompeii, ltalia.
2.37 Vaux-le-Vicomte.
2.38 Plan of Versailles (1662-1665).
2.39 Cluster development.
2.40 Macam-macam jalur hijau jalan (JHJ).
2.41 Macam-macam jalur hijau sungai.
2.42 Sungai di Suzhou, China.
2.43 Sistem pompa yang menjaga kualitas air dibuat dalam struktur yang menjorok ke danau.
2.44 Sungai di Kuching, Sarawak, Malaysia.
2.45 Bunga sakura.
2.46 Riverway Boston, sebelum dan sesudah konstruksi.
2.47 Ragam rona sempadan sungai.
2.48 Taman hutan kota Tidar, Magelang.
2.49 Hutan kota Gumuk Lintang, Temanggung.
3.1 Perspektif dan Perancangan Lansekap Taman Madan Merdeka.
3.2 Plaza selatan dengan koridor menuju dan dari Stadion Utama.
3.3 Lapangan Golf.
3.4 Pintu Gerbang Kompleks Gelora Bung Karno.
3.5 Stadion Utama.
3.6 Rencana Lintasan Monorel di Depan Plaza Senayan.
3. 7 Sarana olahraga berupa Stadion Madya.
3.8 Taman untuk pertemuan berupa ARENA.
3.9 Taman kota di Kuala Lumpur, 1994.
3.1 0 Pemandangan di sekitar Kawasan Gelora Bung Karno.
xii Daftar lsi
74
74
74
75
75
78
81
85
85
87
88
91
92
94
94
95
96
99
100
102
102
107
108
108
108
109
111
111
113
115
117
3.11 Taman Kota. 117
3.12 Jogging Track yang ringan dan nyaman. 118
3.13 RTH kota untuk pelestarian plasma nutfah. 121
3.14 Taman kota di Kuala Lumpur, 1994. 123
3.15 Contoh taman kota dan taman lingkungan yang teduh. 124
3.16 Model Taman RW. 124
3.17 Model Taman Kelurahan. 125
3.18 Model Taman Kelurahan. 126
3.19 Model Taman Kecamatan. 127
3.20 Model Taman Pemakaman sebagai RTH kota. 128
3.21 Model pemanfaatan efisien Halaman Sempit. 128
3.22 Model RTH pada Perumahan Sempit. 129
3.23 Permukiman padat. 129
3.24 Contoh-contoh vertical planting. 129
3.25 Bangunan arsitektur Pan-Chakki, Auran gabad. 130
3.26 Makam akbar, Sikandra. 130
3.27 Chasma Shahi, di danau Dal, Kashmir. 130
3.28 Model RTH sempadan sungai. 130
3.29 Bentuk-bentuk alur sungai. 131
3.30 The Amsterdam Bos. 132
3.31 Hutan kota di Florence, ltalia. 132
4.1 Piramida Makanan. 134
4.2 Kota Berserjarah Barcelona. 135
4.3 The Shrinking Forest. 137
4.4 Asupan maksimum rata-rata orang dewasa. 138
4.5 Beberapa jenis tumbuhan peteduh. 140
4.6 Taman dengan air mengalir (cascade). 143
4.7 Pandangan dari tempat yang tinggi dari RTH kota dengan jalur-jalur jalannya yang tetap hijau. 145
4.8 Kanopi tanaman di jalur hijau jalan yang dipakai bagi pejalan kaki. 145
4.9 Kerangka Berpikir RTH-Kota dan Upaya Pengendalian Banjir: Peran Serta Masyarakat 146 4.1 0 Peru mahan kumuh. 147
Daftar lsi xiii
5.1 Siklus hidrologi.
5.2 Rona sungai-sungai di Bali.
5.3 Alun-alun kota Blitar.
5.4 Waste into Wealth.
5.5 Bio-gass store digester.
5.6 Village bio-gass plant.
5. 7 Suasana museum Kertagosa sesudah renovasi.
5.8 Tanaman peteduh memakai palem.
5.9 Tanaman pinggir jalan di kota Hokkaido.
5.10 Redesign di jalur jalan Thamrin.
5.11 'Sound system' di taman Suozhu, China.
5.12 Contoh retention basin.
5.13 Kantor yang dikelilingi tanaman pekarangan pertanian.
152
153
154
157
158
158
160
163
164
171
172
176
176
6.1 Pertanian kota memanfaatkan halaman RPH (Rumah Pemotongan Hewan/Abatoir) di Jakarta. 181
6.2 Taman umum di antara permukiman bertingkat di Singapura. 182
6.3 Pemandangan teduh di pulau Lombok. 185
6.4 Sungai sebagai alternatif moda transportasi. 188
6.5 Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata sederhana. 193
6.6 Central Park New York, 1858. 199
6. 7 Jalur sepeda khusus dibangun pada jalur ROW. 207
6.8 Beberapa jenis tanaman yang dapat difungsikan sebagai pengisi RTH. 210
6.9 Beberapa jenis tanaman yang dapat difungsikan sebagai pengisi RTH 211
7.1 Sebuah rumah di luar benteng Jakarta berada di sebuah lingkungan kampung yang teduh. 218
7.2 A self sufficient commune. 219
7.3 Kondisi dan situasi kota Jakarta yang sebelumnya terletak di lahan basah sehingga sejak dahulu
memang rawan banjir. 241
7.4 Taman Tugu Pahlawan, sebelum dipagar dan dilengkapi. 242
7.5 Beberapa gambaran RTH di kota Surabaya. 243
7.6 Beberapa bentukan jalur hijau jalan di Surabaya. 244
xiv Daftar lsi
7.7 Penataan tepian kali di Surabaya. 245
7.8 Beberapa bentukan peteduh pada jalur sungai dan jalan. 247
7.9 New City-Core Osaka, Twin office tower dan taman bunganya. 248
7.10 Matsushita IMP Building. 249
7.11 The pedestrian deck Osaka-jo Kyobashi. 249
7.12 Taman kota Kobe yang indah. 250
7.13 Rikyu Koen Park, Kobe. 250
7.14 Takao Thorough Fare. 250
7.15 Masyarakat sukarela merawat taman di Jepang. 251
7.16 Bunga Hydrangea dan pohon Sasanqua. 251
7.17 Jalur lalu-lintas, jalur pedestrian, dan jalur penghijauan taman kota. 252
7.18 Pemanfaatan sungai intensif. 253
7.19a Kondisi sungai Singapore tahun 1977. 254
7.19b Potongan sungai San Antonio, Texas. 255
7.20 Pembersihan sungai di Singapore. 255
8.1 Stones of Sacrifice. 258
8.2 Stonehenge. 258
8.3 Teras-teras Kebun Anggur. 259
8.4 Central Park. 261
8.5 Dua alternatif penggunaan lahan di kiri-kanan jalan raya. 265
8.6 Dua alternatif penggunaan lahan di kiri-kanan jalan raya. 265
8.7 Prospect Park. 265
8.8 Riverside Estate. 265
8.9 Perobahan wajah lansekap abad XVII di China. 267
8.10 Tapak di 'hutan bambu'. 269
8.11 Perancangan bak-bak bunga (flower beds). 269
8.12 Pekerjaan 'Seni Batu' di Taman Ryoan-ji. 270
8.13 Diagram Dasar Pertumbuhan Kota-Perdesaan yang benar. 272
8.14 Organisasi Wilayah di DKI Jakarta. 272
Daftar lsi xv
DAFTAR TABEL
Struktur Tata Ruang Kota dan RTH
2 Perbedaan Suhu Udara Pada Berbagai Kategori Lahan
1.1 Konsep dasar pengelolaan lahan
1 .2 Program Bank pohon KLH tahun 2004, dimulai di akhir tahun 2002
2.1 Topologi RTH berdasar pada fungsi, jenis, dan tujuan pembangunannya
2.2 Beberapa jenis RTH Rancangan Pola Dasar Pertamanan DKI Jakarta tahun 2005
2.3 Rancangan Pola Dasar Jenis dan Klasifikasi (Pertamanan DKI, 2005)
4.1 Kriteria jenis tanaman untuk RTH
4.2 Luas keteduhan beberapa jenis tumbuhan hasil penelitian
5.1 Logam dan sifat racunnya
5.2 Parameter air limbah
6.1 Standar RTH kota, kriteria unit-unit lingkungan
6.2 Kebutuhan akan RTH
7.1 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal
xvi Daftar lsi
7
8
39 40
72
76
86
141
142
167
168
196
196
245
PENGANTAR ARAH PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN
Oleh: A. Hermanto Dardak (Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum)
Open space is a fundamental element in any decent
and desirable living environment. No other single land
use feature is more important in establishing the setting,
character, and form of an urban area. (Merwin W. Parker,
1966)
'There is little in the architecture of a city that is more
beautifully designed than a tree,' (Jaime Lerner-Mayor of
Curitiba 1971).
1 Pendahuluan Pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung
mengalami tantangan yang cukup berat akibat tinggi
nya arus urbanisasi. Sementara di sisi lain, daya dukung
lingkungan dan sosial yang ada mengalami penurunan,
sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat
tekanan kependudukan.
Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat
konversi atau alih guna lahan terutama dari lahan pertani
an maupun terbuka hijau menjadi daerah terbangun yang
menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas ling
kungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat
konversi lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai
150 ribu hektar setiap tahunnya (BPS, 2003).
Hal tersebut diperburuk lemahnya penegakan hukum
dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan
ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permuki
man kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan
masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping
di ruas-ruas jalan tertentu.
Data tentang kependudukan yang ada menunjuk
kan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada
1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8
juta jiwa atau 22,3% dari total penduduk nasional. Pada
tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta
jiwa atau 30,9%, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44% pada
~ ~ ~
-"' :> "0 :> "0 c Q)
Cl. c Q)
~ Q)
Cl.
Urbanisasi di Indonesia
80% ~
70%
60%
50%
40%
30%
20%
-~ ./
~ - r-
/ - r- - r-~
~ r- - ~ ~ -
- r- , -..... .. --: r- - r- i---
10% - r- - r- ~ r- f------'
0% 1960 1970 1980 1990 2000 2005 2015 2025
Tahun
- Pertumbuhan
- Penduduk Kota
Gambar 1: Perkembangan Penduduk Kota
Pengantar
3.5%
3.0% ~ ;f.
2.5% -; ~
2.0% .3 E
1.5% € Q)
1.0% Cl.
0.5%
0.0%
Gambar 2: Luas RTH di Beberapa Kota Dunia
tahun 2002. Terakhir berdasarkan perhitungan BPS dan
Bappenas persentasi penduduk perkotaan pada 2005
telah mencapai 48,3%. Angka tersebut diperkirakan akan
mencapai 150 juta atau 60% dari penduduk Indonesia
pada tahun 2015.
Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat
dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi
pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang
kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu
mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait den
gan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan so
sial serta ruang-ruang terbuka publik di perkotaan.
Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka
publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka
hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengaki
batkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan se
perti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi
udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas
dan krisis sosial), menurunnya produktivitas masyarakat
2 Pengantar
akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang terse
dia untuk interaksi sosial.
Kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang
terbuka publik, t"1rut~ma ruang terbuka hijau (RTH) pada
30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan
RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an
menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada
sebagian besar telah dikonver5i menjadi infrastruktur
perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung per
kantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman
baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9%, saat memiliki
rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih
rendah dari kota-kota lain di dunia.
Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman,
produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya diberi
kan perhatian yang cukup terhadap keberadaan ruang
terbuka publik, khususnya RTH. Untuk itu, Pemerintah,
dalam hal ini Direktorat Jenderal Penataan Ruang, De
partemen PU, telah merencanakan untuk memasukkan
klausul pengaturan tentang RTH ini di dalam revisi UU
24/ 1992 tentang Penataan Ruang yang saat ini sedang
dalam proses pembahasan.
2 RTH Sebagai lnfrastruktur Hijau
Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di
perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang ter
buka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai infra
struktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang
terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi
oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun
introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-
Gambar 3: Ruang Terbuka Publik (Open Space)
budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat
ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya
RTH, 30 November 2005).
Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa
ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang ter
buka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau,
maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai kawasan
genangan (retention basin) . Sedangkan secara fisik RTH
dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat
liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional,
maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman,
lapangan olah raga, dan kebun bunga.
Sedangkan dari segi fungsi RTH dapat berfungsi
secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan eko
nomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas
air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara,
dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH
Gambar 4: Tipologi Ruang Terbuka Hijau
perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain sabuk hi
jau kota, hutan kota, taman botani, maupun sempadan
sungai. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat
memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sara
na rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya.
Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain ta
man-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, mau
pun TPU.
Sedangkan secara arsitektural RTH dapat mening
katkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui ke
beradaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan
jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga
dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung
seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan
pertanian/perkebunan dan pengembangan sarana wisata
hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan
Pengantar 3
Gambar 5: Tanaman Endemik sebagai Tetenger
(landmark)
RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfi
gurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis
merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, ka
wasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan
danau, maupun pesisir. Sedangkan RTH dengan konfigu
rasi pll:\nologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk
mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan,
RTH kelurahan, RTH k.ecamatan, RTH kota maupun ta
man-taman regional/nasional.
Sedangkan dari segi kepemilikan RTH dapat berupa
RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi
masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa
taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
Secara anatomi, tumbuhan (pohon) terdiri dari sistem
perakaran dan sistem tajuk yang dapat berfungsi gan
da, baik sebagai pengatur sistem tata air tanah mau
pun memberikan kontribusi terhadap produksi oksigen
4 Pengantar
Struktur RTH di Perkotaan
GANDA
EKOLOGIS
EKOLOGIS
GANDA
SOSIAL EKONOMI
SOSIAL
• -• • •
1\1 \ II f- 11\lf-
Kawasan/Areal Jalur/koridor
Gambar 6: Struktur RTH Perkotaan
(Sumber: ARLIPB, 2006)
di udara, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan
manusia dan makhluk lainnya. Untuk itu secara ekologi,
keberadan tumbuhan ini menjadi sangat penting dalam
menciptakan keseimbangan dan kelestarian lingkungan
di kawasan perkotaan (Gam bar 7, hal 5).
3 Peran RTH dalam Penataan Ruang Perkotaan
Secara umum penataan ruang ditujukan untuk meng
hasilkan suatu perencanaan tata ruang yang kita inginkan
di masa yang akan dating. Rencana tersebut lalu diwu
judkan dalam bentuk pemanfaatan ruang yang sesuai
dengan rencana yang ditetapkan. Dalam pelaksanaannya
hal tersebut harus diikuti dengan proses pengendalian
terhadap pemanfaatan ruang yang ada agar pada akhir
nya tata ruang yang kita inginkan dapat terwujud. Proses
perwujudan rencana tata ruang dari tingkat nasional,
provinsi, dan dijabarkan ke dalam rencana tata ruang ka-
Gambar 7: Sistem Tajuk dan Perakaran Pohon
Aegulasi Zonasi
sebagal plranti
pengendallan)
Gambar 8: Sistem Perencanaan Tata Ruang
bupaten atau kota, serta rencana tata ruang yang lebih
rinci adalah sebagaimana tergambar pada Gambar 8.
Pada dasarnya perencanaan tata ruang perkotaan
seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan
kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan
lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan,
dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terha
dap bencana (prone to natural hazards) seperti gempa,
longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan
kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai
ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Dengan
demikian keberadaan RTH dalam perencanaan tata ru
ang menjadi sangat penting mengingat perencanaan tata
ruang harus dimulai dengan pertanyaan di mana kita ti
dak boleh membangun? bukan sebaliknya.
Dalam konsep perencanaan pembangunan yang
berkelanjutan, secara nyata ditegaskan bahwa upaya
pembangunan yang kita lakukan saat ini, sebaiknya ti
dak dilakukan dengan mengabaikan hak-hak generasi
mendatang dalam ikut menikmati sumber-sumber daya
yang ada, terutama sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan demikian perencanaan tata ruang di perkotaan
seyogyanya harus dapat mengakomodasi kepentingan
kepentingan ekonomi untuk menjamin produktivitas kota,
kepentingan-kepentingan sosial untuk mewadahi aktivi
tas masyarakat, serta kepentingan-kepentingan lingkun
gan untuk menjamin keberlanjutan.
Untuk itu penyediaan jaringan infrastruktur transpor
tasi harus dioptimalkan untuk dapat melayani kebutuhan
kegiatan ekonomi, sementara penyediaan sarana angkut
an yang nyaman dan murah diarahkan untuk memfasili
tasi kebutuhan sosial masyarakat. Sedangkan interaksi
Pengantar 5
antara jaringan transportasi dan prasarana yang efisien
dan efektif pada akhirnya dapat mengurangi dampak
dampak lingkungan yang tidak kita inginkan.
Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi
secara 'efektif baik secara ekologis maupun secara pla
nologis, pengembangan RTH tersebut sebaiknya di
lakukan secara hirarkhis dan terpadu dengan sistem
struktur ruang yang ada di perkotaan. Dengan demikian
keberadaan RTH bukan sekedar menjadi elemen peleng
kap dalam perencanaan suatu kota semata, melainkan
lebih merupakan (sebagai) pembentuk struktur ruang
kota. Sehingga kita dapat mengidentifikasi hierarki struk
tur ruang kota melalui keberadaan komponen pembentuk
RTH yang ada.
Sebagai contoh, secara hirarkhis dari mulai unit
perumahan terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan,
wilayah kota, hingga ke tingkat kota/kota besar, perlu
dikembangkan elemen-elemen RTH yang sesuai deng;,m
tingkat pelayanannya sebagaimana tertera pada Gambar
9. Pada setiap tingkatan dalam struktur kota, melekat
fungsi pelayanan yang diharapkan, fasilitas yang tersedia
serta elemen RTH yang ada sebagaimana diuraikan pada
Tabel1 .
Dari segi kenyamanan, keberadaan RTH di perkota
an sangat diperlukan untuk menurunkan rata-rata suhu
udara di suatu kawasan. Bagian kota yang berupa RTH
umumnya suhunya 2-5 derajat lebih rendah dari bagian
lain seperti perumahan, perdagangan atau industri. Per
bedaan suhu antara bagian kota ini, juga menyebabkan
terjadinya pengaliran udara dari bagian yang bertekanan
tinggi ke tekanan yang lebih rendah sehingga mencip
takan pergerakan angin yang dapat menurunkan rata-
6 Pengantar
Gambar9: lnteraksi Tata Ruang dan Sistem Transportasi
KOlA IJl·SAH/ l"t:T ROPOliii\N
Gambar 10: RTH Publik dalam Tata Ruang Kota
label 1: Struktur Tata Ruang Kota dan RTH
Hirarki Kawasan Fungsi pelayanan Fasilitas Umum & Sosial
Pusat Kota • Melayani fungsi-fungsi • Pusat perdagangan
dan bisnis
Sub-pusat
(Kecamatan)
Lokal
(Kelurahan)
Sub-lokal
{RT/RW)
regional kawasan.
• Pemenuhan kebutuhan
insidentil seperti RS
besar, pendidikan tinggi,
jasa perbankan, dan
koneksi terhadap jarin-
• Perkantoran
• Perdagangan dan
jasa skala besar
• Rumah sakit pusat, sarana
pendidikan lanjutan
gan transportasi regional/ • Sarana hiburan dan rekreasi
antar kota. kota
• Melayani kegiatan • SMA, sekolah tinggi,
ekonomi-sosial di tingkat perpustakaan wilayah .
kecamatan • Pasar Kecamatan
• Pemenuhan kebutuhan • Fasilitas perbankan,
bulanan (pusat perbe- pos dan giro
lanjaan, pasar tradisional • Sarana rekreasi
dan jasa perbankan) {bioskop, arena hiburan dll.)
• Pusat kegiatan lokal
• Pemenuhan kebutuhan
mingguan (belanja, bank,
rekreasi)
• Kawasan hunian
(dormitory area)
• Pemenuhan kebutuhan
sehari-hari (pendidikan
• Pendidikan menengah SMP,
sekolah kejuruan, kursus
ketrampilan.
• Sarana ibadah:
Masjid besar, gereja.
• Taman kanak-kanak,
sekolah dasar
• Sarana ibadah
• Pertokoan kecil ,
dasar, ibadah, interaksi warung serba ada.
social, belanja harian dll.) • Sarana transportasi ojek,
becak dll.
Ruang Terbuka Hijau
• Taman kota, green belt , hutan
kota, taman botani dll
• Fasilitas olah raga: stadion
sepakbola skala regional/nasional
• Jalur-jalur hijau pada koridor
jalan utama
• Danau dan area retensi
pengendali banjir.
• Taman kecamatan, jogging track. I • Fasilitas olah raga, stadion mini ,
kolam renang
• Sempadan sungai , situ dan
kolam-kolam retensi
• Urban agriculture, kebon bibit,
taman bunga dll.
• Taman kelurahan, taman bunga.
• Sarana olah raga lapangan bola,
lapangan basket.
• TPU
• Taman bermain (playground)
• Lapangan olah raga
(volley, tennis, badminton dll)
• Taman-taman privat,
roof garden dll.
------ ------------------
Pengantar 7
Tabel 2: Perbedaan Suhu Udara Pada Berbagai Kategori Lahan di Daeju, Korea
Kategori Lahan Suhu (OC) z-acore
Perumahan terpisah 18.28 0.98
Apartemen 17.33 0.63
Perdagangan 19.12 I 1.30
Manufaktur/industri 20.52 1.84
Ruang Terbuka Hijau 14.93 -0.30
MODEL PENGEMBANGAN LINIER KORIDOR UTAMA PERKOTAAN
.Jalan Lok8l .Jalan Kolektor .Jalan Arterl .Jalan Kolektor .Jalan Lokal
8 Pengantar
"-• ·- "- 118ft ........_. ....... lkwwl "-··ceo "- ·- "-• ( n ............ ........_.
Gambar 11: Konsep Penataan Ruang Kota Curitiba
rata suhu udara di perkotaan. Perbedaan suhu udara
yang terjadi antar berbagai jenis peruntukan lahan adalah
sebagaimana tercantum pada Tabel2.
4 Model Pembangunan Kota Taman
Konsep kota taman (garden city) telah mulai dikem
bangkan di kota-kota Eropa dan Amerika sejak akhir abad
ke 19 ketika gerakan kembali ke alam (back to nature)
mulai marak dan tuntutan terhadap kebutuhan taman
taman yang terbuka bagi masyarakat luas makin mening
kat. Di Indonesia, beberapa kota taman yang pernah di
kembangkan pada masa kolonial antara lain seperti kota
Menteng dan Kebayoran Baru di Jakarta, Kawasan Dago
di Bandung serta Kawasan Darmo di Surabaya, dan Can
di di Semarang. Namun, dalam perkembangannya kota
kota tersebut saat ini mulai mengalami peralihan fungsi
lahan menjadi kawasan-kawasan komersial.
Dewasa ini, beberapa kota besar di berbagai belahan
dunia seperti New York, Singapura, Beijing, Melbourne
dan Curitiba telah menerapkan konsep green city atau
kota hijau dengan meningkatkan proporsi luasan RTH
hingga lebih dari 20 persen luas kotanya.
Curitiba adalah ibukota Propinsi Parana di Brazil,
yang sering dijadikan contoh tentang keberhasilan pe
ngelolaan perkotaan dan pengembangan ruang terbuka
publik di Negara berkembang. Curitiba merupakan kota
yang penduduknya tumbuh sangat pesat dari 150.000
pada tahun 1950-an menjadi kota dengan 1 ,6 juta jiwa
pada saat ini.
Tidak ubahnya seperti kota-kota lain di Amerika Latin,
pada awal 1970-an Curitiba mengalami banyak masalah
tipikal seperti permukiman kumuh, kemacetan lalulintas
yang sangat buruk, pedagang kaki lima di segala penjuru,
penduduk miskin dengan literasi kurang dari 50 persen,
ruang kota yang sumpek, banjir dan ruang terbuka yang
sangat terbatas (hanya 1 m2 per kapita).
Lalu Jaime Lerner, seorang arsitek yang terpilih men
jadi walikota Curitiba pada tahun 1971, mencoba melaku
kan langkah-langkah perbaikan melalui penataan kembali
dan reorientasi kota. Beberapa hal utama yang dilakukan
antara lain adalah:
• Mendorong pembangunan dengan kepadatan tinggi di
sepanjang lima jalur arteri utama yang menyebar secara
radial dari pusat kota ke arah luar. Dengan demikian
pusat perdagangan yang ada tersebar ke segala dan
beban lalulintas di pusat kota menjadi lebih ringan
• Membangun jaringan transportasi umum dari pinggiran
kota ke arah pusat dan jalur-jalur sirkuler yang mengeli
lingi kota, dengan sistem busway yang memiliki frekuen
si operasi dan daya angkut yang tinggi.
• Meningkatkan penghijauan kota dengan membagikan
1 ,5 juta bibit tanaman kepada para penduduk di seluruh
kawasan permukiman untuk ditanam dan dipelihara.
• Mengembangkan danau-danau buatan di taman-taman
kota yang baru untuk mengatasi masalah banjir.
• Merekrut para remaja dan anak-anak jalanan untuk
menjaga kebersihan taman-taman, dan meminta para
pengusaha untuk mengadopsi mereka dengan imbalan
sekedarnya untuk pemeliharaan taman dan kebersihan
gedung-gedung perkantoran.
• Menyalurkan PKL dengan mengadakan bazaar keliling
pada setiap perumahan yang ada di kota Curitiba.
• Mengembangkan zona-zona pejalan kaki di pusat kota
yang mencakup kurang lebih 50 blok.
Pengantar 9
Gambar 12: Pengembangan RTH
pada Areal Kepadatan Rendah
• Membangun jaringan jalur sepeda sepanjang 150 km
yang dapat menjangkau seluruh penjuru kota; dan
• Memberikan keringanan pajak dan insentif lainnya ke
pada para pengembang jika mereka membangun ru
ang terbuka hijau.
Walaupun awalnya rencana-rencana tersebut banyak
ditentang oleh para pengusaha di pusat kota, namun akhir
nya mereka mengakui bahwa dengan lebih banyaknya
ruang publik yang tersedia bagi pejalan kaki, lingkungan
belanja menjadi jauh lebih nyaman, dan orang memiliki
waktu lebih banyak untuk berbelanja karena tidak harus
mengemudi dan memarkir kendaraannya sendiri. Di ka
wasan pusat perdagangan (CBD) Curitiba, saat ini jauh
lebih banyak pejalan kaki daripada kendaraan yang lalu
lalang.
1 0 Pengantar
Saat ini Curitiba berkembang menjadi kota yang nya
man dengan 17 taman-taman baru, dimana tingkat ruang
terbuka hijaunya meningkat dari 1m2 per kapita (1970)
menjadi 55 m2 per kapita (2002), yang merupakan ukuran
yang sangat tinggi untuk suatu kota. Tingkat pendapatan
penduduknya pun saat ini telah meningkat menjadi dua
kali lipat pendapatan rata-rata penduduk Brazil.
Dalam hal persampahan, saat ini Curitiba mendaur
ulang dua per tiga sampah yang ada di kotanya. Angka
tersebut merupakan tingkat daur ulang sampah tertinggi,
bahkan dibanding negara maju sekalipun. Hal-hal yang
dilakukan Curitiba dalam hal penanganan sampah ini an
tara lain:
• Masyarakat Curitiba membuang sampah organik dan
anorganik secara terpisah yang dikumpulkan oleh 2 je
nis truk sampah;
• Orang-orang miskin yang tinggal di gang-gang sempit
yang tidak dilalui truk sampah, dapat membawa kan
tong sampahnya ke pusat pengumpulan dengan im
balan berupa tiket bus, telur, susu, jeruk atau kentang
yang dibeli pemerintah dari kebun-kebun petani di
, pinggir kota.
• Sampah-sampah yang ada didaur ulang di pusat peng
olahan sampah yang mempekerjakan para penyandang
cacat, imigran, dan pecandu alkohol.
• Program penanganan sampah tersebut tidak lebih rna
hal dari model sanitary landfill, tapi kota yang ada men
jadi lebih bersih, lapangan pekerjaan bertambah, petani
terbantu, dan penduduk miskin memperoleh makanan
dan tiket transportasi.
5 Tantangan
Terkait ruang terbuka publik atau ruang terbuka hi
jau secara umum dihadapi beberapa tantangan tipikal
perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan
hidup perkotaan, bencana banjir/longsor dan perubah
an perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra
produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandal
isme.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya
kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan
di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung
maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH
secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi ben
cana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini
juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air
karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya
volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara
ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas,
dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan
hidup masyarakat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi
udara yang berlebihan dan terus-menerus dapat menye
babkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecer
dasan anak-anak di masa mendatang.
Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik
horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se
cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya
ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan in
teraksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh
masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan
perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik, secara
psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas
sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan.
Sementara itu secara teknis, issue yang berkaitan
dengan penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain
menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan
RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya
kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stake
holders dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya
ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai
RTH.
Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan
kenyataan masih dari kurang memadainya proporsi
wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun
rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang
tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenya
manan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyara
kat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya
nilai-nilai budaya lokal (pusaka alami dan sejarah) akibat
tergusur oleh kepentingan ekonomi pragmatis.
Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga
terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang
memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam
penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH ma
sih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang
tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat memelihara
dan mengelola RTh secara lebih professional. Di sisi lain,
keterlibatan swasta dan masyarakat masih sangat ren
dah dalam penyelenggaraan RTH. Potensi pihak swasta
dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak di
manfaatkan, sehingga pemerintah selalu terbentur pada
masalah keterbatasan biaya dan anggaran.
Di sisi lain, walaupun secara teoritis ruang perkota
an yang tersedia makin terbatas, dalam kenyataannya
banyak lahan-lahan tidur di perkotaan yang cenderung
Pengantar 11
ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan. Sementara
ruang-ruang terbuka yang memang secara legal diperun
tukkan sebagai RTH, kondisinya kurang terawat dan tidak
dikelola secara optimal.
6 Arah Kebijakan dalam Pengaturan RTH
Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu
susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal
terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat
hukum, NSPM, dan mendorong peran masyarakat dan
dunia usaha. Pertama, secara konsisten saat ini peme
rintah berusaha untuk mendorong pengembangan ruang
terbuka hijau, khususnya di perkotaan salah satunya me
lalui penerbitan buku dan pedoman pembangunan RTH
di perkotaan.
Kedua, dalam hal peraturan dan perundangan yang
dikembangkan, pemerintah juga mendorong agar pro
porsi RTH di perkotaan ini terus ditingkatkan secara
bertahap hingga mencapai minimal 30 persen dari luas
wilayah yang ada sesuai dengan kesepakatan yang in
gin dicapai dalam pertemuan Bumi di Johanesburg. Hal
tersebut telah secara eksplisit dicantumkan dalam RUU
Penataan Ruang yang baru, sehingga diharapkan kota
kota kita di masa yang akan datang dapat lebih ramah
lingkungan.
Dengan menetapkan kebutuhan luas minimum RTH
sesuai karakteristik kota, dan menetapkan indikator ke
berhasilan pengembangan RTH suatu kota, diharapkan
kota-kota yang ada dapat terpacu untuk memenuhi ke
butuhan RTH bagi penduduknya. Sebagai contoh peme
rintah DKI Jakarta telah menetapkan untuk meningkatkan
RTH dari 9 persen menjadi 14 persen sebagai sarana Ren-
12 Pengantar
Gambar 13: Contoh Penataan TPA Sanitary Land-fill
cana Tata Ruang, dan pada saat ini sedang proses revisi
dan demikian pula dengan kawasan metropolitan Makas
sar (Maminasata) yang merencanakan untuk meningkat
kan ketersedian RTH menjadi lebih dari 30 persen.
Ketiga, di samping itu dalam konsep peraturan pe
rundangan yang sedang disiapkan, juga akan diatur
mengenai mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat
lebih meningkatkan peran swasta dan masyarakat me
lalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguntung
kan untuk pengembangan RTH seperti misalnya mem
beri ijin bangunan lebih tinggi yang masih dalam batas
persyaratan apabila dapat menyediakan RTH lebih luas
atau bersedia membebaskan lahan untuk dijadikan RTH.
Untuk itu akan dikembangkan proyek-proyek percontoh
an RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di be
berapa wilayah kota dengan melibatkan para pemangku
kepentingan perkotaan. Dalam hal ini pemerintah dapat
bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang menetap-
kan mekanisme dan prosedur serta pengawasan terha- swasta dan masyarakat luas tentang pentingnya RTH dap pelaksanaannya. juga diharapkan mampu merubah paradigma para peren-
Keempat, dalam hal upaya pengendalian peman- cana dalam menempatkan fungsi RTH dalam pembentuk faatan ruang, terutama yang berkaitan dengan peman- struktur ruang di perkotaan. Dengan demikian, cita-cita faatan ruang publik, akan dikembangkan instrumen kita untuk mewujudkan ruang nusantara yang nyaman, penegakan hukum yang dibutuhkan seperti peraturan produktif dan berkelanjutan secara bertahap dapat kita
mintakat (zoning regulation) maupun peraturan tentang capai.
pemberian sanksi, baik secara administratif maupun
pidana. Dengan adanya instrumen pengendalian terse
but, diharapkan penegakan hukum dalam penyelengga
raan RTH kota dapat dilakukan dengan lebih efektif.
Pada akhirnya, terbitnya buku RTH sebagai elemen
utama pembentuk kota taman ini, diharapkan selain
dapat membangkitkan kesadaran pemerintah daerah,
Bibliography: Dardak, A. Hermanto, 2005. Profil Curitiba dan Hasil kunjungan ke Curitiba, Brazil.
Jakarta, 3 Desember 2006
Direktur Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum
vu~,U~vtkf·~+----Dr. lr. A. Hermanto Dardak, M.Sc.
Kim, Jae lk. et. a/. 2005. The Economic and Environmental Effects of Green Area Loss in as Urban Areas. Paper presented in The Eastern Regional Organization for Planning and Housing (EAROPH), by: Jae lk Kim, Chang Hwan Yoo, Anna Seo, Jin Hwi Kim, Sun Hyung Park, Department of Urban Planning, GRAD School of Environment, Keirn Yung University, Korea.
Nurisyah, Siti. et. a/, 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Maka/ah oleh Tim IPB (Siti Nurisyah, Qodarian, Alinda Medial Zain, dan Setia Hadi). Makalah ketiga pada buku Rangkuman Seminar dan Lokakarya RTH da/am rangka Hari Bhakti Pekerjaan Umum ke-60, 3 Desember 2005, dise/enggarakan o/eh Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, di Jakarta.
Pengantar 13
I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Pada jaman pra-sejarah, konsepsi hijau belum nam
pak nyata, mungkin disebabkan karena cara hidup dan berpikir yang masih sangat sederhana. Kehidupan masih sangat tergantung pada alam sehingga muncul ke
biasaan bertahan untuk sekedar hidup. Alam merupakan suatu misteri yang ditakuti, maka mereka tinggal di dalam gua-gua atau di pohon agar aman.
Kemudian manusia mulai menyadari kemampuan
berpikirnya untuk dapat menguasai alam, kebudayaan pertanian dan peternakan mulai berkembang, pemujaan berganti kepada dewa-dewi di lang it yang dianggap telah memberi kehidupan. 'Rumah' mulai dikenal, turun dari atas pohon dan keluar dari gua-gua. Dalam kehidupan
berkelompok mulai timbul persaingan dan permusuhan antar kelompok, sehingga bahaya timbul dari manusia lain. Pada situasi seperti ini, diperlukan perlindungan
bagi kelompok. Konsepsi hijau, lebih dari sekadar hanya tanaman pagar berduri di sekeliling permukiman, tetapi
permukiman sudah merupakan benteng berparit, yang tertutup dari alam bebas.
Dengan ditemukannya bubuk mesiu, senjata kimiawi,
nuklir dan toksin biologis, maka cara perlindungan menjadi lebih terbuka, demikian terus menerus merobah kon
sep kehidupan manusia di dunia ini.
Manusia mulai membuka diri dari 'dunia' mistik dengan pemikiran rohaniah dan pengaruh kuat agama,
menjadi lebih memikirkan keduniawian dan status hidup
16 Pendahuluan
sebagai pribadi. Konsep tata hijau berkembang menjadi ilmu arsitektur baru, ingin menguasai alam (antroposentris), meneruskan garis-garis arsitektur alam sekitar, sedemikian rupa hingga hubungan antara hijau dengan manusia menjadi lebih harmonis.
Kini fungsi hijau menjadi lebih kompleks akibat pencemaran dan perusakan lingkungan, hasil penerapan teknologi dan industri secara serampangan, telah merusak hubungan timbal-balik antara manusia dengan
lingkungan. Perusakan dan pencemaran semakin parah, sehingga tak ada lagi kemampuan regeneratif alam untuk merehabilitasi diri sendiri, karena daya dukung lingku
ngan telah terlampaui atau telah melebihi ambang batas. Sementara itu penduduk dunia terus bertambah, sedangkan sumber daya alam (SDA) terbatas terutama yang tak bisa diperbaharui. Di negara-negara maju pencemaran
disebabkan oleh teknologi tinggi, sedangkan di negara sedang berkembang, sebagian besar adalah akibat keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.
Konsepsi hijau lebih berkembang, selaras keinginan
penguasaan akan alam dan menjadikan tata hijau sebagai penerus gaya arsitektur, dengan meningkatkan hubungan antar bangsa. Kemudian pemikiran Dunia Timur masuk,
yaitu timbul adanya penghargaan terhadap fungsi hijau sebagai sesuatu yang diperlukan (integrated landscape).
Bidang arsitektur lansekap sendiri mulai berkembang
di benua Eropa, sesuai dengan kebutuhan sekitar 200 tahun lalu, dimulai dari keperluan manusia akan suatu
ruang 'rekreatif' di sekitar tempat tinggal, seperti Taman
lnggris (English Garden). Pengaruh ini menyebar ke be
nua Amerika dan mencapai puncak dengan dibangunnya
Central Park (1858) di New York, karya Frederick Law Ol
msted dan Calvert Vaux.
Fungsi hijau dalam ruang terbuka hijau (RTH) kota
sebagai 'paru-paru' kota, sebenarnya hanya merupa
kan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang,
antara gas karbondioksida (C02) dan oksigen (0
2), hasil
fotosintesis khususnya pada dedaunan. Sistem tata hi
jau ini berfungsi sebagai semacam ventilasi udara dalam
rumah (bangunan). Lebih dari itu, masih banyak fungsi
RTH termasuk fungsi estetika yang bermanfaat sebagai
sumber rekreasi publik, secara aktif maupun pasif, yang
diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat pe
ngendali tata ruang/lahan dalam suatu sistem RTH kota
(urban green open space system). RTH juga berfungsi se
bagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis
yang terik dan lembab.
Perkembangan teknologi yang amat pesat tanpa
mengindahkan kelestarian fungsi lingkungan, memper
buruk kualitas hidup kota-kota metropolitan, bahkan se
bagian besar kota-kota pun telah mengalami krisis ling
kungan. Para arsitek lansekap diharapkan dapat berlaku
dan bertindak secara (lebih) bijaksana dalam ikut serta
mengembangkan dan menjaga fungsf lingkungan secara
lestari untuk mencapai keseimbangan lingkungan, yang
tidak hanya sekedar indah.
Pemahaman tentang profesi arsitektur lansekap itu
mungkin lebih tepat bila disebut "arsitektur lingkungan" .
Arsitek lansekap dapat berperan menjadi 'polisi' terha
dap pembangunan fisik, yang harus menguasai masalah
Gam bar 1.1: Sempadan Sungai Pesanggrahan, Jakarta
Sungai menjadi keranjang sampah, sebuah potret tentang bagaimana
sikap kita memperlakukan lingkungan.
(Dokumen Yayasan Kirai, 2006)
Pendahuluan 17
ekosistem secara cermat dan bertanggungjawab dalam
upaya mengembalikan dan melestarikan kembali fungsi
lingkungan, seperti kawasan budidaya, termasuk ling
kungan perkotaan pada ekosistem pesisir pantai yang
penting diperhatikan, sebagaimana layaknya suatu nega
ra kepulauan terbesar di dunia.
Arsitek lansekap mampu bekerjasama dalam suatu
perencanaan dan perancangan kota yang akan mero
bah wajah lingkungan lansekap kota secara terintegrasi
dengan profesi lain terkait. Pembangunan kota yang
berkelanjutan tidak sekedar berorientasi pada keuntungan
ekonomis jangka pendek dan mengorbankan kebutuhan
warga akan RTH, sehingga fenomena krisis lingkungan
udara-air-tanah, bencana banjir, tanah longsor, amblas
an tanah, intrusi air laut, penebangan pohon secara se
rampangan, dan penggusuran RTH dapat diminimalkan.
Banyak orang lupa, bahwa manusia adalah bagian dari
alam itu sendiri, kalau alam rusak maka dapat dipastikan
manusia akan rusak pula.
Konsep lingkungan yang dinamis, selalu berada
18 Pendahuluan
Gambar 1.2 (paling kiri):
Karet kebo (Ficus elastica), dengan tajuk
Iebar dipandang efektif menjadi pengisi RTH
luas (lokasi : lstana Boger).
(Ook. Yayasan Kirai, 2006)
Gambar 1.3 (kiri): Alam mempunyai
keterbatasan. Dibutuhkan pengetahuan dan
kepekaan dalam melakukan perancangan,
sehingga tidak perlu terjadi bencana seperti
toto di samping ini terjadi di lereng bukit
Pacific Palisades, CA, Amerika Serikat.
(Cunningham & Saigo, 1997, halaman 358
dalam M. Amin, 2005)
dalam proses perobahan yang mendukung kehidupan
manusia, flora dan fauna secara selaras, seimbang, dan
dalam hubungan yang lestari antar sesama, alam dan
Tuhan. Pemahaman proses pembentukan muka bumi
secara alami, harus berdasar pada kesadaran, bahwa
karya perencanaan maupun perancangan harus berpi
jak pada ekotipe dasar karakteristik fisik bentang alam,
apakah pada ekosistem tropis kepulauan yang terik dan
basah (lembab), ekosistem pegunungan, atau pada eko
tipe lain, serta sadar akan pengaruh perubahan iklim.
Hasilnya adalah karya arsitektur lansekap berkelanjutan
(sustainable landscape) , yang tetap mempertimbangkan
etika atau norma-norma lingkungan yang bersifat dinamis
tersebut.
Para perencana dan perancang, lambat atau cepat
menyadari bahwa alat perencanaan dan perancangan itu
tidak hanya terbatas pada adanya tanah, ruang, bahan
bahan, naluri dan perasaan saja, tetapi yang lebih penting
adalah adanya pengertian dan imajinasi dari perencana
itu sendiri, karena para perencana itu bukan saja turut
serta mengatur sebagian kecil bentuk rupa dari alam,
tetapi juga kegiatan manusia di dalamnya. Jadi alamlah
yang menjadi landasan, dan manusia adalah tujuannya
(Wirasondjaya, 1975).
Tetapi untuk menarik garis batas antara alam berikut
kegaiban dan kekuasaannya dengan manusia sangatlah
sukar. Alam, adalah ibarat suatu alat yang sangat peka,
di mana kita bisa dengan mudah menarik kegunaan
nya. Jika demikian, maka manusia itu sendiri harus tahu
akan kedudukannya serta tata cara yang benar dalam
mengambil bagiannya serta kedudukannya dalam alam.
Seandainya si perencana dengan cerdas mampu menye
suaikan dirinya dengan alam, maka masyarakat umumlah
yang akan merasakan manfaatnya, tetapi sebaliknya jika
melawan alam, maka kesukaran-kesukaran dan masalah
yang akan terjadi harus dirasakan oleh masyarakat umum
pula.
Perobahan bentuk alam adalah cermin dari perobahan
pandangan manusia terhadap keadaan sekelilingnya dan
dari pertumbuhan penguasaan alam yang memudahkan
manusia untuk memanfaatkannya dalam keadaan ekono
mi dan sosial baru. Caranya pun berbeda-beda dan ter
gantung dari pandangan manusia masing-masing terha
dap alam, tergantung pula dari besarnya persoalan dan
watak, serta kecenderungan sosial dan ekonomi yang
bersangkutan. Karenanya tiap-tiap tahap perkembangan
kemajuan manusia terhadap keadaan sekelilingnya akan
disertai oleh rangsangan jiwa dan semangat. Perasaan
pertama pada manusia adalah kehadiran skala-skala
baru, sesudah itu mulai mengerti, dan kemudian imajinasi
diterapkan dan disempurnakan.
Dalam proses pembentukan ini, manusia dan alam
tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan penjelmaan
yang terus-menerus dalam pikiran manusia, jelas sekali
digambarkan dalam alam yang terus tumbuh, yang bisa
dipandang sebagai catatan sejarah yang terus merekam
perobahan-perobahan dalam menaikkan derajat kebu
dayaan. Karenanya bukan hanya seni sastra, seni musik,
seni pahat, seni lukis, dan seni bangunan saja yang dapat
mengabadikan perobahan-perobahan aliran dan kekuat
an dari hasil kerja manusia dengan kecerdikan, dan ke
pandaiannya, tetapi juga dari sikap pandangan manusia
terhadap alam.
Alam merupakan sesuatu yang abadi, tetapi hidup,
yang mempunyai dasar-dasar kefaedahan dan sumber
ilham, merupakan landasan bagi setiap perencana. Alam
merupakan suatu obyek yang belum ditentukan, tempat
di mana kebebasan terbuka seluas-luasnya dalam pemilih
an, penegasan, dan penyatuan unsur-unsur, karenanya
merangsang perasaan untuk mengatur agar setiap orang
dapat melihat apa yang ia lihat, turut merasakan apa yang
ia rasa.
Di alam, kita menggubah bidang datar, menempatkan
massa, mengadakan penutupan maupun pembukaan,
manusia ada dalam pusat perencanaan. Dalam seni lu
kis, manusia ada di luar bidang lukisannya dan memper
hatikan lukisan tersebut di mana ruang-ruang digubah
dalam bidang datar yang terjadi dari sesuatu yang asal
nya kosong. Dalam seni patung, manusia melihat obyek
tiga dimensional, berhadapan dengan patung tersebut
dan mengelilinginya. Tetapi dalam taman, manusia ada di
dalamnya, bergerak dan menikmati ruang, yang terbentuk
karena obyek di dalamnya. Ruang dan waktu membentuk
suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Pemikir-
Pendahuluan 19
an ini berjalan terus melalui seluruh perkembangan ilmu
ilmu modern. lni berarti, bahwa tak ada bentuk alam yang
tetap atau tahan terhadap pengaruh sekitarnya. Penak
lukan sukses terhadap ruang dan waktu dengan jalan
penyatuan terhadap keperluan man usia adalah karya dari
tiap zaman, dasar kekuatan utama yang diperlukan un
tuk membentuk lingkungan dengan peradabannya (Wira
sondjaya, 1975).
llmu pengetahuan tentang ruang sama juga persoal
annya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain, yakni secara
sadar menyelidiki baik-tidaknya sesuatu yang bersang
kutan dengan kebutuhan manusia, mendapatkan ciri-ciri
yang kurang baik, dan kemudian dengan sadar pula men
cari jalan untuk mengatasi dan memperbaiki, bahwa yang
dijalankan tidak sekedar kebetulan saja.
Pengertian ruang tidak begitu saja bisa dilukiskan
dengan kata-kata, karena ruang bukan perkara akal
tetapi perkara perasaan. Sulit sekali untuk menetapkan
sebab-sebab dari perasaan itu, tapi kita harus mempu
nyai angan-angan mengenai hal itu dan jeli mengenali,
supaya kita sendiri bisa menciptakan ruang dalam suasa
na yang diinginkan. Terwujudnya ruang yang diraih oleh
tangan man usia, di mana dia bisa bergerak bebas dengan
leluasa adalah salah satu karya manusia guna mencapai
keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani.
Salah satu cara untuk dapat mengerti lebih baik ten
tang ruang adalah dengan mempelajari ruang-ruang
yang sudah terwujud, hasil warisan nenek moyang. Ke
sabaran mempelajari segala keindahan alam agar bisa
diterjemahkan dalam pengertian ruang buatan manusia,
akan menjadi pegangan bagi setiap perencana, di mana
angan-angan yang diilhami dari batasan-batasan organik
20 Pendahuluan
tidak akan menyesatkannya. Bentuk benar itu adalah or
ganik dalam wataknya dan merupakan pola dari alam
atau ekologi lansekap.
Kadangkala alam tak selalu cocok untuk dinikmati se
bagai panorama, tetapi para perencana perlu menyadari
bahwa belajar dari alam dengan sendirinya akan diilhami
oleh imajinasi yang tak pernah padam. Tujuan peren
canaan adalah meringankan cara-cara berencana, dan
bukan mencari atau 'meminjam' bentuk-bentuk baru.
Membuat falsafah baru bukanlah pekerjaan yang mudah,
sebab nilai keberhasilan suatu perencanaan ditentukan
oleh daya tahannya.
Orang Yunani dan Romawi tak mempedulikan masa
yang akan datang, dengan mencoba membuat surga di
atas dunia. Kemudian pada abad pertengahan, manusia
membuat dirinya surga di atas awan, dan membalikkan
dunia ini menjadi dunia yang fana baik bagi si kaya mau
pun si miskin. Di zaman Renaisans, suatu jaman yang
lahir bukan karena suatu gerakan politik atau agama,
tetapi dari pernyataan pikiran, orang tidak lagi memu
satkan pikiran dan kegiatannya namun menunggu keha
diran surga. Mereka mencoba membangun surga di sini,
di atas tanah, dan ternyata dalam pencarian kebenaran
pada derajat tertentu, mereka berhasil.
Nilai Kebudayaan Timur yang sudah tinggi dan tua
adalah hasil suatu falsafah yang dinamis dan tradisi yang
tidak hilang selama berabad-abad. Seni dan ilmu peng
gunaan tanah, dengan tata letak dan tata ruang telah
berkembang mencapai derajat yang sangat tinggi, yang
jarang didapatkan dan sukar dipahami oleh orang-orang
Barat. Falsafah ditekankan pada caranya, melalui apa ke
sempurnaan yang dicari. Seni hidupnya, terletak dalam
Gambar 1.4: Rumah Suku Ume
Tempat berlindung pada iklim setempat, memanfaatkan bahan dari
lingkungan setempat (lokasi: Timor/NTl).
Foto: Kanwil Sosia/ Provinsi NIT, 22 Juli 1989
kelanggengan dan selalu belajar beradaptasi dengan
alam sekitar, suatu seni menyadarkan diri, seni bagaima
na hid up di dunia ini. Hal ini dapat ditemui pada kebudaya
an Gina, Jepang, dan Indonesia seperti Suku Bali , Suku
Badui, dan Suku Dani. Mereka tahu dan mengerti alam.
Kini dunia Barat mulai sadar, bahkan akhir-akhir ini sudah
berhasil merintisnya dalam perkembangan kemajuan ling
kungan global setelah menyadari kesalahan terdahulu.
Prof. Sumitro (1971) mensinyalir akan adanya bahaya
lingkungan perkotaan di Indonesia. Sinyalemen sektor
kependudukan Indonesia dari 120 juta jiwa diperkirakan
berkembang menjadi 250 juta jiwa (2000-an), dim ana 146
juta jiwa di antaranya menetap di Pulau Jawa dan Madura
dengan tingkat kepadatan penduduk 1105 jiwa/km2• Na
mun untuk mencegah ledakan jumlah penduduk terse
but, antara lain diupayakan melalui pendekatan Program
Keluarga Berencana (KB) dianggap telah cukup berhasil.
Bila angka ini bisa 'agak' ditekan, maka penduduk Indo
nesia "hanya" mencapai kurang dari 200 juta jiwa (2002).
Perencanaan ruang yang efektif sangat panting dilakukan
melalui Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang menga
tur keseimbangan lingkungan antara berbagai ruang dise
diakan untuk menampung aneka kegiatan penduduknya.
Perkembangan pembangunan perkotaan di Indone
sia sebagaimana terjadi di kota-kota lain dunia, sangat
dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (manusia) aki
bat urbanisasi. Sejak tahun 1970-an, khususnya pada
dekade pertama, sampai tahun 1980-an, 35% dari per
tumbuhan total di semua sektor pembangunan lingkun
gan perkotaan, adalah akibat gelombang urbanisasi yang
dipacu oleh pembangunan fisik sarana dan prasarana
kota yang merupakan daya tarik sekaligus daya dorong
bagi para warga yang ingin memperoleh peluang kehidup
an lebih baik, termasuk sarana pendidikan dari daerah
asalnya. Laju pembangunan itu pula yang menyebabkan
perkembangan kota seolah tanpa arah (urban sprawl).
Akibat lanjut pembangunan yang tak terkontrol ini, telah
membentuk 'kantong-kantong' permukiman yang selalu
nampak kumuh-padat, dan kumuh-miskin (kupat, kumis)
di seluruh bagian kota.
Hasil analisis dari berbagai sumber, menunjukkan ka
wasan perkotaan (terutama Jakarta) yang mau tak mau
harus menampung sekitar 2,2 juta pemukim pendatang
'baru' setiap tahun. Sepanjang 20 tahun (1980-2000),
terjadi dua kali lipat pertumbuhan absolut dibanding ke
mampuan adaptif kota dalam menyerap pertambahan
penduduk dibanding antara tahun 1960-1980. Perhitung
an berdasar kenyataan tentang pertumbuhan populasi
Pendahuluan 21
penduduk perkotaan di Indonesia tersebut angka pe
ningkatan dari 33 juta (22% dari jumlah penduduk) tahun
1980 meningkat menjadi sekitar 76 juta (36%) atau lebih
pada tahun 2000 lalu.
Jumlah penduduk di Indonesia tahun 2005 lalu, sudah
mencapai lebih dari 200 juta jiwa, di mana sekitar 60%
nya, adalah penduduk perkotaan. Penduduk ibukota
Jakarta yang beraktivitas pada siang hari di dalam kota
telah mencapai sekitar 12 juta, belum lagi di kota-kota
besar lain di seluruh Indonesia, yang tentu jumlah pen
duduk di masing-masing kotanya telah mencapai lebih
dari satu-dua juta orang.
Kondisi pertumbuhan penduduk dengan segala
macam kebutuhan hidupnya, memaksa para pengelola
kota untuk beberapa kali merevisi pengaturan dan pe
nataan ruang kota, namun selalu tak pernah bisa tuntas,
seolah-olah berkejaran dengan ketersediaan waktu yang
cukup untuk mengejar 'ketertinggalan pelayanan publik'.
Walau standar pelayanan minimal (SPM) sudah ditetap
kan, namun warga terus bertambah dengan cepat, baik
secara alami (melalui kelahiran) maupun dari pendatang.
Peraturan perundang-undangan (PUU) pun terus
disesuaikan agar lingkungan perkotaan tetap layak huni
(manusiawi), namun tentu saja antara lain akibat urbanisa
si tak terkendali tersebut tak akan mampu mengejar tun
tutan kebutuhan, bukan saja karena jumlah yang dilayani
terus meningkat, juga karena perilaku hidup yang seolah
apa adanya, bahkan cenderung sekenanya (semau gue?)
saja, seolah tanpa menghiraukan peraturan yang ada.
Latar belakang pendatang yang beraneka ragam pun
cukup menyulitkan pemahaman akan perlunya menerap
kan tata cara hid up sehat, karena keterpaksaan menghuni
22 Pendahuluan
dan okupansi pada lahan-lahan 'kosong' yang ada seperti
pada jalur jalan kereta api, bantaran sungai, atau di seki
tar dan di antara struktur bangunan yang ada tentu saja
'melawan hukum'. Mungkin dalam pikiran mereka, yang
penting adalah sudah 'mendapatkan' ruang untuk hidup
walau pasti tidak memenuhi syarat hunian yang layak,
apalagi bila sebagian mereka menyatakan bahwa 'squat
ter' itu (selalu) hanya sebagai tempat tinggal sementara.
Pola pembangunan perkotaan menetapkan tugas
pengelola kota untuk melayani kebutuhan warganya akan
ruang tinggal, energi, air bersih, transportasi umum, fasili
tas ruang terbuka dan rekreasi, dan seterusnya. Namun
keterbatasan ruang dan waktu pulalah yang tak mampu
menampung dan mendukung penduduk yang terus
mengalir masuk kota. Tentu diperlukan pendekatan khu
sus seperti prinsip pembangunan struktural bagi sarana
hunian ke arah vertikal, didukung oleh penerapan pelak
sanaan hukum yang rasional dan perlu pengertian warga
kota yang bermodal seadanya, dibantu pula oleh kerja
sama dari mereka-mereka yang istilahnya sudah 'mapan'
untuk mau membantu dengan segala kemampuan yang
ada, demi mencapai lingkungan kota yang aman, sehat,
nyaman dan produktif.
Dalam kondisi urbanisasi yang terus berlangsung
cepat ini, maka pemerintahan kota mana pun tak akan
mampu menyediakan prasarana dan sarana meski yang
paling minimal pun, tanpa kerja sama dan pengertian dari
seluruh warga kotanya. Pemerintah kota pun wajib terus
mengawasi dan membenahi pertumbuhan kotanya di se
gala sudut (lokasi) maupun di segala sektor pelayanan
publik yang memadai dengan menjalankan PUU secara
tegas dan konsisten.
Gambar 1.5:
Karikatur tentang kecenderungan
umum yang menomor duakan
ruang terbuka - termasuk sarana
RTH - dan mengutamakan
pembangunan fasil itas usaha.
Sumber: Harian Kompas, 3
Oesember 2005, dari karikatur
Hosb/ock di Washington Port,
1999
Dalam jangka panjang, karena SDA dan SD-buatan
(manusia) di lingkungan perkotaan pasti amat terbatas,
maka 'kesemrawutan' (catastrophy) mudah timbul seperti
yang kita rasakan saat ini. Rentannya kondisi kota ter
hadap bahaya berbagai penyakit akibat degradasi fungsi
lingkungan dan akibat ketidak-seimbangan/'imbalanced
spatial implementation ' ini, akan langsung diikuti oleh
terus menurunnya mutu kehidupan secara fisik, ekonomi
dan sosial budayanya yang biasa disebut dengan 'urban
disaster'.
Kondisi perekonomian dunia saat ini , berpengaruh
besar pada perkembangan negatif perkotaan akibat
konsentrasi pembangunan penataan di sektor usaha (ke
giatan industri), juga terkait dengan upaya menampung
arus urbanisasi melalui sebanyak mungkin penyediaan
barang dan jasa perkotaan. Mekanisme pemenuhan ke
butuhan warga kota ini selalu dimaksudkan agar dapat
memenuhi target pelayanan masyarakat akan sarana
dasar, yaitu: pangan, sandang dan papan, termasuk la
yanan kesehatan, pendidikan, kebersihan dan kenya
menan lingkungan perkotaan.
Pembangunan berbagai sektor tersebut relatif mu-
dah menekan ruang-ruang 'terbuka' yang ada, karena
penilaian keuntungan sesaat, sedang keuntungan dari
segi lain tidak mendapat penghargaan yang layak. Se
bagian besar akibat ketidak-sadaran, bahwa ruang-ruang
terbuka (termasuk RTH) ini justru bernilai ekonomis dan
s.ekaligus ekologis tinggi yang sangat vital bagi keberlan
jutan kehidupan warga penghuni lingkungan perkotaan.
Perhitungan ekonomi dari transfer biaya atas hilangnya
produktivitas manusia yang sakit akibat tekanan kondisi
negatif pencemaran dan atau kerusakan lingkungan ini
terutama meningkatnya vektor pembawa penyakit, cukup
tinggi. Belum lagi akibat pencemaran dan kerusakan ling
kungan itu terhadap benda-benda lain yang ada di ling
kungan kota.
Pembangunan di berbagai tingkat dan sektor hen
daknya selalu menyadari kemungkinan akan timbulnya
dampak negatif. Pertimbangan pada konsep dasar un
tuk menghindar dari fenomena perusakan atau turun
nya fungsi pelestarian lingkungan perkotaan yang selalu
terjadi , hanya bisa ditempuh melalui penjagaan atau
pemeliharaan keseimbangan fungsi antara wilayah (zona)
terbangun dan alami (tidak terbangun) yang rasional
sedemikian rupa, sehingga proses asimilasi alami masih
bisa berlangsung.
Konflik a11tar kegiatan penduduk kota dalam meman
faatkan ruang yang terbatas dapat diatasi dengan pemba
gian alokasi ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata
Ruang Kota (RTRK) yang disahkan dalam UU. Di dalam
RTRK tersebut juga tertuang dengan jelas alokasi ruang
yang diperuntukkan bagi perlindungan dan konservasi.
Peruntukan ruang untuk perl indungan dan konservasi
merupakan upaya pengamanan bagi nilai alami suatu
Pendahuluan 23
bentang alam di wilayah kota. Penting dan tingginya nilai
lansekap alami semacam ini dalam jangka panjang telah
diakui sebagai suatu harta yang harganya justru tak terni
lai bagi suatu kota. Banyak manfaat dihasilkan dari ruang
lansekap alami kota semacam ini (seperti diuraikan pada
bab-bab selanjutnya) bagi warga kota, maupun bagi
pemerintahan kotanya sendiri, karena sebagian besar
urusan pelayanan publik dapat berlangsung sebagaima
na mestinya.
Pemahaman akan pentingnya pengamanan bentang
alam (lansekap) perlu dituangkan dalam perencanaan
pembangunan jangka panjang dan dijabarkan lebih lan
jut dalam pembangunan jangka menengah dan pendek.
Selanjutnya, dalam berbagai proyek-proyek pembangun,
selalu didahului oleh semacam Kerangka Acuan Kerja
(Term of Reference) yang didalamnya perlu mengandung
prinsip-prinsip keseimbangan fungsi lingkungan.
Semua pihak terkait hendaknya menyadari, bahwa
'sejak saat ini' aspek-aspek ekologis dalam suatu ke
giatan pembangunan, adalah sama pentingnya dengan
pertimbangan-pertimbangan lain baik teknis, ekonomis
maupun sosial-budaya.
Di dalam siklus pembangunan dikenal tahapan evaluasi
manfaat hasil pembangunan (Project Benefit Monitoring
and Evaluation - PBME) yang di dalamnya menetapkan
indikator-indikator pencapaian hasil pembangunan seka
ligus mencegah dampak negatif yang mungkin timbul.
Dengan indikator tersebut setiap tahapan pembangunan
perlu dievaluasi.
Pendekatan apapun dalam rangka mempertanggung
jawabkan pembangunan umumnya berdasar pada in
strumen PUU sebagai upaya pengamanan bagi wilayah
24 Pendahuluan
alami kota. Pada bagian tertentu wilayah kota, mestinya
dapat disisihkan suatu ruang untuk tetap pada kondisi
sebagaimana awalnya (present state), dimana secara pe
riodik dan menyeluruh, maka pada zona-zona alami ini
perlu dilakukan pula pengukuran, pelaksanaan dan pen
gawasan pembangunan. Harapannya adalah agar setiap
tahapan pembangunan sesuai dengan perkembangan
kebutuhan warga (berdasar kebutuhan fisik, ekonomi,
sosial dan budaya), dengan memanfaatkan perkemban
gan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetap berpijak
pada latar belakang sejarah serta kekhasan lokasi (local
genius). Di sisi lain, kondisi bio-geografi lingkungan dan
kondisi lingkungan wilayah kota diusahakan agar tetap
berada dalam keseimbangan rasional tersebut.
1.2 PENTINGNYA PENGHIJAUAN KEMBALI LINGKUNGAN PERKOTAAN
Kecenderungan yang terjadi pada kota-kota dunia
sampai saat ini adalah menata kern bali kotanya agar lebih
menuju ke arah keseimbangan antara daerah 'hijau' de
ngan 'non hijau', sehingga tercapai lingkungan perkotaan
yang 'layak huni', yaitu kondisi kehidupan yang sehat,
nyaman dan terus berkelanjutan. Kota Beijing misalnya,
dengan ambisi pemerintahan yang telah ditunjuk oleh In
ternational Olympic Committee (IOC) sebagai penyeleng
gara Olympiade 2008, ingin meningkatkan jatidirinya se
bagai sebuah kota yang tidak kotor atau semrawut lagi,
tetapi menjadi kota hijau yang 'bergengsi'.
Sebagai kota tuan rumah pertemuan olahraga (OR)
akbar dunia tertinggi, maka pemerintah tak hanya mem
bangun kompleks OR yang megah, mewah dan asri,
tetapi seluruh sarana dan prasarana kota ditata kembali
Gambar 1.6: Penataan RTH Perkotaan
di Suzhou, Cina
Keberadaan zona hijau dipakai sebagai
pertimbangan dalam pengembangan
kawasan perkotaan.
{lokasi Suzhuo, Cina 2004)
Gambar 1.7: Taman air di
sekeliling lstana Kaisar
Tokyo dengan dominasi 'sakura'
di musim semi di antara gedung
pencakar langit. Upaya untuk tetap
mempertahankan penciri negeri
"bunga sakura" di tengah-tengah
lajunya perkembangan kota.
(Ook. Taka-san, Fukiage, 2006)
Pendahuluan 25
berdasar pad a Urban Park Metropolitan System. Selain
membenahi taman-taman tradisional yang mengandung
nilai sejarah tinggi, ruang kota secara keseluruhan ditata
kembali berdasar teknologi sistem perkotaan yang cang
gih. Di segala sudut kota, taman-taman yang ada ditata
kembali dan ditambah dengan taman 'modern'. Penghi
jauan di sepanjang jalur jalan utama dengan sistem bou
levard yang amat Iebar menciptakan ruang dengan arsi
tektur lanskap yang hijau, teduh, dan asri.
Sebagian kota-kota besar dunia berusaha terus mem
benahi lingkungan kotanya, termasuk ibukota Negara Re
publik Indonesia, 'Jakarta Metropolitan City'. Sebelumnya,
lebih dari tiga dekade lalu, Jakarta dibangun condong
ke arah industrialisasi, antara lain untuk menyediakan
lapangan kerja bagi para buruh atau tenaga kerja yang
seiring dengan perkembangan pembangunan, berbon
dong-bondong ber-urbanisasi datang dari segala arah,
tak hanya dari pulau Jawa tetapi juga dari seluruh pulau
nusantara. Peningkatan urbanisasi yang semakin cepat
ini, tidak mampu diimbangi oleh penyediaan sarana dan
prasarana dasar, agar penduduk kota bisa hidup layak.
Kebutuhan akan ruang menjadi tidak seimbang dengan
jumlah penduduk yang terus bertambah tersebut.
Disayangkan, bahwa secara langsung maupun tidak,
ruang yang semula berupa 'zona hijau' paling banyak
dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan ruang hidup
dengan segala isinya di kota metropolitan ini. Hal itu
adalah sebagai akibat penilaian sebagian besar masyara
kat termasuk para pengelola kota bahwa ruang terbuka
(hijau maupun tidak) semacam ini 'tidaklah ada atau
kurang bermanfaat' atau hanya sebagai tempat hidup
vektor penyakit, tempat dimana para pengemis dan ge-
26 Pendahuluan
landangan hidup, dan seterusnya. Hukum pun menjadi
sulit diterapkan, pada ruang-ruang terbuka yang cukup
bisa membahayakan, seperti bantaran sungai dan pan
tai, jalur kereta api bahkan di bawah saluran listrik atau
saluran utama tegangan ekstra tinggi (SUTET) pun penuh
bangunan permukiman dari yang mewah hingga kumuh.
Rencana lata Ruang Kota (RTRK) sudah berkali-kali di
revisi, sebab selalu tidak bisa 'mengejar' ketertinggalan
penyediaan sarana dan prasarana (sarpras) kota.
Akibat langsung dari ketidakseimbangan antara ling
kungan terbangun (binaan) dengan lingkungan perlin
dungan (alam) menyebabkan penurunan mutu lingkungan
kota (environmental degradation). Tentu saja kesehatan
lingkungan juga tidak bisa dijaga seoptimal mungkin,
berbagai penyakit akibat bakteri e-coli (utamanya berasal
dari buangan manusia), seperti tipus, disentri dan diare
sudah biasa terjadi sehari-hari, demikian pula penyakit
yang penularannya berasal dari media air (sungai) tanah
maupun udara, telah banyak diuraikan di berbagai media
(cetak maupun elektronik). Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk aedes agepti serta
malaria dan polio sudah merebak ke mana-mana. Masih
banyak lagi jenis penyakit yang kemudian timbul beran
tai akibat degradasi lingkungan semacam ini, termasuk
akibat kongesti (menumpuknya) kendaraan bermotor di
jalanan umum.
Untuk mencapai lingkungan perkotaan yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan, diperlukan Pena
taan Ruang Wilayah (Kota dan Kabupaten) di seluruh In
donesia yang sejauh mungkin harus disesuaikan dengan
kondisi bio-geografi lingkungan alaminya.
Keadaan alam tersebut menuntut Penataan Ruang
Gambar 1.8: Wring in Kurung (Ficus benyamina)
Menjadi penciri 'alun-alun' di setiap halaman kantor kabupaten di
Jawa. Tajuknya yang Iebar mampu membentuk 'ruang ' di bawahnya,
sehingga jenis ini banyak ditanam di tempat-tempat umum lain seperti
pasar tradisional dan tempat lain.
(----- 2003. Wee!Zien met lndie, No. 21. Bouwen en Wonen)
Kota untuk 'disesuaikan' dengan alam sekitar, apabila
tidak ingin menuai bencana. Penataan Ruang Wilayah
perlu tetap memperhatikan peningkatan bidang ekonomi
(economical advantage), menyediakan ruang-ruang ter
buka hijau di segala penjuru kota secara merata, yang
dijalin dalam suatu sistem perkotaan sehingga Tropical
Park System dan dapat 'mencapai' seluruh sudut kota.
Dalam kebijakan penataan ruang perlu ditegaskan pula
tentang pentingnya RTH pada skala nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota, serta pada kawasan permukiman.
Singapura dan Kuala Lumpur adalah dua kota tropis
yang terus membenahi tata ruang lingkungan kotanya,
antara lain dengan penataan kembali permukiman dan
dengan cara membangun struktur sedapat mungkin ke
arah vertikal dilengkapi 'sarpras' kota yang mendasar,
seperti: berbagai moda transportasi umum yang 'aksesi
bel' dan relatif murah, taman-taman rekreasi tersebar di
seluruh bagian kota sebagian besar gratis sebagai wu-
jud pelayanan bagi penduduknya. Dalam suasana kota
yang bersih dan teduh dengan banyak memakai pohon
pelindung bertajuk Iebar, khususnya trembesi atau ki hu
jan (Samanea saman), ketapang (Terminalia catappa), dan
bolingan (Jawa) atau Cannon Ball: (Courupita gaevensi) .
Profil demografi sebagian besar kota-kota di Indonesia
mengikuti pula pola bio-geografi alami lingkungan kepu
lauan tropis, berkembang dari muara-muara sungai dan
rawan banjir di musim penghujan, sebab letaknya relatif
rendah, bahkan beberapa berada di bawah permukaan air
laut pasang (seperti : Semarang, Jakarta, Surabaya), dan
panas akibat teriknya sinar matahari sepanjang tahun.
Pengaturan yang lebih operasional diperlukan untuk
kota-kota di Indonesia, khususnya yang terletak di tepian
badan air untuk dapat menata secara komprehensif per
mukiman dan peruntukan di sepanjang badan air terse
but, antara lain melalui restorasi tepian badan air dan re
lokasi pemukim.
Kreativitas dalam menata kawasan permukiman dapat
diarahkan dalam pengaturan pemintakatan (Zoning Re
gulation) melalui pembangunan 'ke atas', memanfaatkan
sungai dalam kota sebagai salah satu moda transportasi
untuk mengurangi kepadatan lalu-lintas di darat (teres
trial), memanfaatkan sempadan sungai untuk green belt
yang secara langsung merupakan upaya pembersihan
badan air dari berbagai sedimen dan zat pencemar, serta
penyediaan RTH di kawasan permukiman.
Banyaknya kejadian kebakaran , akibat amat padat
nya permukiman mengharuskan pengaturan yang lebih
operasional bidang penataan ruang seperti peraturan pe
mintakatan dimaksud di atas. Penataan kembali kawasan
pemukiman padat dapat dilakukan antara lain dengan
Pendahuluan 27
membuat kawasan penyangga, berupa jajaran tanaman
tahan kebakaran ('ilalar api'), atau ruang kosong (dikenal
dengan 'brand gang) di antara struktur bangunan ter
tentu.
1.2.1 Keadaan sekarang: Penghijauan kota
dan ruang terbuka hijau {RTH)
Secara umum, penghijauan kota (urban greeneries)
bisa didekati melalui dua pendekatan, dan dipilah-pilah
yang disesuaikan dengan penetapan pada UU No. 24 ta
hun 1992, tentang Penataan Ruang, sebagai berikut;
• Pendekatan pertama: RTH-kota yang dibangun pada
lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini RTH
kota merupakan bagian pemanfaatan lahan suatu kota
(urban land use). Penentuan fungsi dan luasannya dulu
didasarkan RTRK yang berlaku tak hanya untuk sek
tor/dinas Pertamanan dan atau Keindahan Kota, tetapi
28 Pendahuluan
Gambar kiri 1.9: Sungai Code, Yogyakarta
Rona pemukiman di penggal sempadan kali.
(Dok. KLH, 2004)
Gambar atas 1.10: Sempadan Sungai
Negara di Amuntai. Sungai sebagai media
transportasi dan niaga yang penting.
(Dok. Adipura, KLH, 2003)
juga bagi unit-unit lain terkait, seperti Pertanian dan
Perhutanan Kota, Kebersihan Kota, Taman Permakam
an Umum dan Khusus (Taman Makam Pahlawan), Unit
Pekerjaan Umum (untuk Sarana dan Prasarana Kota),
Lapangan Olahraga dan Rekreasi (aktif dan pasit), dan
seterusnya. Pengelolaannya didasarkan pada tiga (3)
kawasan, yaitu: (1) Kawasan Konservasi, (2) Kawasan
Budidaya, dan (3) Kawasan Khusus. Misalnya: agar
dapat memenuhi persyaratan keseimbangan propor
sional antara ruang terbangun dan ruang terbuka pada
suatu kawasan lingkungan kota, maka untuk menghi
tung luas RTH-kota dapat dihitung berdasar tujuan pe
menuhan kebutuhan akan udara bersih (oksigen), air,
dan kebutuhan lain, seperti . nilai produktivitas dari ke
peri-adaan (eksistensi) RTH-Kota tersebut.
• Pendekatan kedua: Semua areal penghijauan yang
ada dan yang akan ada (direncanakan) di dalam suatu
kota pada dasarnya adalah areal untuk RTH-kota.
Pada pendekatan ini komponen (zonation) yang ada
dalam kota seperti zona-zona: permukiman baik indi
vidu maupun kompleks, kantor dan perkantoran, in
dustri serta kawasan industri, dipandang sebagai suatu
bagian (enclave) yang ada dalam kawasan penghijauan
suatu kota yang amat luas.
RTH, dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota
atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk mem
bulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur di mana
dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada
dasarnya tanpa bangunan (lnstruksi Menteri Dalam Nege
ri No. 14 tahun 1988). Pelaksanaan pengembangan RTH
dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alami
ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman
komoditi usaha pertanian dalam arti luas (dalam hal ini
penekanan pada nilai produktivitasnya, termasuk perke
bunan, perhutanan/Hutan Kota, maupun peternakan dan
usaha perikanan), hijau pertamanan dan olahraga (bia
sanya lebih ditekankan pada nilai rekreatifnya baik pasif
maupun aktif, serta keindahannya), dan seterusnya.
Namun demikian ditinjau dari kondisi ekosistem pada
umumnya, maka apa pun sebutan bagian-bagian RTH
kota tersebut, hendaknya semua selalu mengandung tiga
(3) fungsi pokok RTH, yaitu: (1) Fisik-ekologis (termasuk
perkayaan jenis dan plasma nutfahnya); (2) Ekonomis (ni
lai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan
lingkungan); dan (3) Sosiai-Budaya (termasuk pendidik
an, dan nilai budaya dan psikologisnya). Di samping
fungsi-fungsi umum tersebut, maka RTH, khususnya dari
berbagai jenis tanaman pengisi, secara rinci mempunyai
Gambar 1.11: Proyek Rehabilitasi Hutan Mangrove,
di Daerah Suwung, Denpasar, Bali.
Jalur hijau tepian air sangat diperlukan sebagai penahan angin,
gelombang, dan kikisan air, di samping sebagai habitat satwa dan
pengatur iklim mikro bagi pemukiman di belakangnya.
multi-fungsi antara lain, sebagai: penghasil oksigen, ba
han baku pangan, sandang, papan, bahan baku industri,
atau disebut sebagai: fungsi ekologis, melalui pemilihan
jenis dan sistem pengelolaannya (rencana, pelaksanaan,
pemeliharaan dan pengawasan/pengaturan) yang tepat
dan baik, maka tanaman atau kumpulannya secara rinci
maka dapat berfungsi pula sebagai: Pengatur iklim mi
kro, penyerap dan penjerap polusi media udara, air dan
tanah, jalur pergerakan satwa, penciri (maskot) daerah,
pengontrol suara, pandangan dan lain-lain (uraian rinci
pada sub-bab 1.3.3)
Pendahuluan 29
Gambar 1.12
Ekosistem pantai dengan formasi pescaprae di Provinsi Bengkulu.
(Arifin dalam Dahuri, 2003, hal 85)
Gambar 1.13 Hutan Bakau (mangrove)
Kaya akan bahan organik berperan memasok detritus untuk
mendukung "detrital food web" dan kesuburan di daerah pantai .
(Dahuri, 2003, halaman 59. Foto koleksi PKSPL/IPB)
30 Pendahuluan
1.2.2 Pentingnya Pembangunan RTH-Kota di
Negara Kepulauan R.I.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara
kepulauan terbesar di dunia dengan panjang pantai seki
tar 81 .000 km, dan jumlah pulau lebih dari 17.500, yang
sudah bernama maupun yang belum (1992, Gazetteer
Nama-nama Kepulauan di Indonesia).
Habitat mangrove, terumbu karang, padang lamun
yang sangat penting bagi pelestarian kota pesisir dengan
ekosistem unik karena mencakup tiga kawasan sekaligus
daratan, pantai, dan laut, yang masing-masing memiliki
fungsi dan ekosistem berbeda, serta keanekaragaman
hayati beragam.
Sehubungan dengan relatif seringnya kejadian ben
cana (tanah longsor, gempa bumi yang kebetulan ter
jadi di perairan laut sehingga menimbulkan gelombang
pasang/tsunami ke arah pantai di mana sebagian besar
menjadi pusat-pusat pertumbuhan penduduk, terutama
pada negara kepulauan Republik Indonesia ini, maka
pemerintahan (pusat dan daerah) perlu segera menyiap
kan berbagai sarana dan prasarana baik untuk menganti
sipasi terjadinya musibah (alam maupun buatan manusia)
maupun menyiapkan seperangkat pedoman pasca ben
cana tentang tata-cara penanggulangan masing-masing
jenis bencana tersebut. Indonesia disebut sebagai nega
ra yang termasuk banyak memiliki gunung berapi atau
terletak pada lingkaran api dunia 'ring of fire' dan berada
pada 'tubir' palung lautan Hindia dan Pacific, sehingga
bencana meletusnya gunung api ataupun gempa bumi
tercatat dengan kekuatan (skala richter) yang tinggi sering
sekali terjadi.
Dengan kondisi geografis semacam itu maka, Joga
(2006) dalam artikel di harian Kompas (31 Mei 2006) me
nulis tentang pentingnya menyiapkan kota-kota yang le
bih waspada terhadap gempa, mengingat panjangnya
daftar kota-kota yang rawan gempa. Kejadian alam terse
but nampaknya juga telah sering dialami dan difahami
oleh nenek moyang kita khususnya yang rawan gempa
dan derasnya air bah. Karena itu secara tradisional mere
ka membangun permukimannya di atas tiang dan terdiri
dari bahan yang lentur (fleksibel). Rentetan bencana yang
terjadi kembali memberikan pelajaran berharga bagi kita
untuk merefleksi diri, seberapa serius kota kita dibangun
dalam mengantisipasi dan memitigasi terutama korban
akibat bencana alam. Selanjutnya disampaikan perlunya
'membudayakan' warga kota agar selalu waspada sebab
bencana bisa terjadi kapan pun dan menimpa siapa pun.
Bahwa kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan
pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi.
Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan dija
dikan bahan penyusunan rencana strategis dan program
kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran un
tuk rencana mitigasi bencana. Kota dibangun kembali de
ngan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau
(RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, seba
gai ruang untuk evakuasi, atau pertahanan hidup atas
bencana. lni sama halnya dengan membangun sistem
peringatan dini secara alami untuk mengantisipasi ben
cana alam yang penting bagi kota dan paling murah un
tuk dibangun.
Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan
perencanaan rasional, aplikatif, dan berorientasi pada
hasil (feasible, implementable, and achievable). Sistem
peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh
..._.Fisik
..._. Nutrisi Terlarut
..._. Partikel Organik ¢:==::;:> Migrasi Satwa ..._. Dampak Kegiatan
Manus1a
Gambar 1.14
lnteraksi antara tiga habitat utama di kawasan pesisir dan laut tropis.
(UNESCO, 1983 da/am Dahuri 2003, ha/316)
di bidang fisik kota ·(pembangunan peralatan mutakhir
pendeteksi dini, bangunan antigempa), dan psikis kota
(pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi ben
cana). Kepada warga kota ditumbuhkan budaya ramah
dan peduli lingkungan, serta tanggap .bencana sebagai
bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari melalui ke
sadaran dan pemahaman dalam kondisi bio-geografinya.
Membangun Kota "waspada bencana" berarti memba
ngun jejaring RTH-kota taman menyatu tak terputus,
mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga
(ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal),
jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai Oalur evakuasi),
hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh ta
man-taman penghubung (connector parks) dengan domi
nasi pepohonan besar dan hamparan padang dan/atau
bukit rumput (Joga, 2006 dimodifikasi).
Kini setelah 1 0 tahun pascagempa, Kota Kobe (1995,
Pendahuluan 31
32 Pendahuluan
Gambar 1.15 (peta): Gambar menunjukkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas
terbentang di antara dua samudera Pasifik dan
Hindia, serta berada pada 'ujung' benua yang
pada jaman es mungkin berupa bagian daratan
benua tersebut. (Gray, 1993, halaman 154)
PACIFIC OCEAN
Gambar 1.16 (kin): Selama te~ad i angin topan yang merusak, terumbu
karang kemungkinan besar akan rusak, seperti nampak dalam gambar
ini gelombang kuat yang disebabkan oleh angin topan yang amat kuat.
Meskipun demikian bila dibiarkan saja akibat bencana alam tersebut
suatu saat terumbu karang muda akan bisa tumbuh kembali.
(Gray, 1993, ha/aman 39)
7,2 skala Richter) dan kota-kota lain di Jepang telah ber- RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-alun, taman kota,
hasil membangun kota taman waspada bencana. lnstruk- lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan se-
sinya jelas, jika terjadi bencana warga diperintahkan lari dang (taman makam, jalur hijau bantaran sungai), tidak
ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan sebagai dipelihara atau dibiarkan tumbuh alami (hutan kota, hutan
ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi lindung, hutan mangrove).
tangki air minum, toilet portabel, papan petunjuk, alat
komunikasi, dan bungker gudang makanan serta obat
obatan (untuk pertahanan mini.mal selama 1 0 hari). Taman
dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan
air bersih atau cadangan untuk pemadaman kebakaran
di musim kemarau. Pohon-pohon terpilih Genis tertentu)
ditaflam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute pe
nyelamatan yang harus bebas hambatan) menuju taman
atau bangunan penyelamatan lain.
Kota pantai dilengkapi RTH pesisir pantai berupa 'sa
buk hijau' atau hutan lindung (mangrove bila memung
kinkan atau vegetasi alam jenis lain biasa tumbuh endemik
di daerah tertentu), bahkan gumuk pasir (sand dunes).
Tegakan pepohonan yang memagari tepian pantai hing
ga menyusup ke jantung kota juga berfungsi mencegah
intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan angin
dan gelombang besar dari lautan lepas (tsunami), me
nyerap limpahan air dari daratan, termasuk di saat banjir,
dan menetralisasi pencemaran air laut. RTH-kota berupa
alun-alun dan lapangan bola, misalnya sangat ideal bagi
ruang evaluasi korban bencana. Membangun kota taman
waspada bencana tentu butuh waktu puluhan tahun, RTH
dan pemilihan tanaman yang lentur bencana, untuk ba
ngunan hidup (tumbuh, kembang) membutuhkan peme
liharaan rutin yang harus direncanakan dengan matang
dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi
biaya, prioritas pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi
1.2.3 Pembangunan Kota Versus Penghijauan Kota
Peningkatan upaya 'penghijauan kota-kota' Indonesia
umumnya sering dikalahkan karen a beratnya pertimbang
an ke arah pada lebih pentingnya peningkatan pemba
ngunan fisik berbagai sarana dan prasarana perkotaan
lain, seperti pembangunan jalan dalam sistem transpor
tasi, perindustrian, bangunan permukiman (tunggal mau
pun perumahan seperti 'real estates') dan kegiatan pem
bangunan fisik lain, seringkali mengakibatkan luasan RTH
semakin menurun, yang disadari atau pun tidak sering di
sertai oleh semakin menurunnya mutu lingkungan hidup.
Hal ini akan mengakibatkan kota menjadi "sakit", kotor,
tercemar dan "rusak" yang sering dikemukakan oleh
Budihardjo (1993) dalam berbagai kesempatan sebagai:
"kota yang sakit" atau "bunuh diri ekologis". Dalam ke
adaan yang menyedihkan seperti ini, para pejabat peme
rintah mungkin tidak lagi dapat berpikir tenang, tajam dan
terarah, sehingga kemampuannya dalam memecahkan
masalah yang kompleks dan perlu lebih memandang ke
depan (bersifat futuristik), akan menurun.
Penduduk kota berkemungkinan besar terpapar dan
keracunan gas CO, C02
, NOx, SOx, 03
, CH, partikel Pb
dan TSP (total suspended particulate dan/atau debu),
berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri. Aki
batnya, tingkat kesehatan menurun, bahkan pada tingkat
yang lebih parah lagi, dapat memamatikan. Kemungkinan
Pendahuluan 33
Gambar 1.17: Hubungan antara ekosistem darat dan !aut.
(Bengen, 2006, halaman 77)
besar terjadinya bencana seperti telah ditulis dalam "The
Silent Spring" oleh Rachel Carson (1962) Purnomohadi
(2002) secara garis besar menggambarkan betapa sepin
ya musim semi yang lazimnya ramai-meriah dengan ane
ka-warna tanaman serta hewan-hewan terutama burung,
tidak terjadi lagi karena lingkungan sudah demikian rusak
dan tercemar, sehingga tak ada lagi kehidupan di musim
semi yang biasanya 'ceria' itu. Gejala seperti ini mung
kin sudah mulai merambah dan menghantui kota besar
seperti Jakarta, antara lain ditandai oleh udara kota yang
semakin panas serta udara yang terasa menyesakkan
dada dan memedihkan mata di sekitar terminal-terminal
kendaraan umum, dan seterusnya. Untuk menghindari
34 Pendahuluan
keadaan tersebut, maka pada waktu-waktu tertentu,
penduduk kota yang mampu merasa perlu untuk sesekali
bepergian ke luar kota yang sejuk, bersih dan tidak bis
ing, seperti: Puncak, Cipanas, Cisarua, Gadog dan Ciawi
sampai ke luar negeri, atau rekreasi dan pertemuan bila
kegiatan tersebut dilakukan di Jakarta pada ruangan
yang ber-Air Condition .
Pada keadaan "kota yang sakit" tersebut, maka unjuk
tampil (performance) dan unjuk kerja (productivity) dari
subjek penting perkotaan, seperti yang telah disebutkan
di atas menjadi buruk, akhirnya kekuatan dan masa de
pan bangsa dan negara pun akan menjadi semakin lemah
dan suram. Lain halnya dengan kota yang kualitas ling
kungannya yang dikelola dan ditata dengan baik, mem
pertimbangkan perlunya pembangunan RTH-Kota yang
akan mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,
membersihkan lingkungan dari pencemaran, meredam
kebisingan, menjadi lebih alami dan beberapa keuntung
an lainnya yang akan dijabarkan secara rinci pada bab
selanjutnya, sehingga semua warga kota dan tamu kota
dan negara akan betah, karena lingkungannya yang ber
sih, nyaman dan indah. Mereka hidup dalam kesehatan,
keceriaan dan kecerahan dengan unjuk tampil dan unjuk
kerja yang tinggi. Dengan demikian negara akan menjadi
kuat dengan masa depan yang baik dan cerah.
1.3 RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA
Buku ini disusun untuk siapa saja yang memerlukan
informasi umum tentang RTH Kota. Di dalamnya dijelas
kan pengertian umum, peran dan fungsi serta manfaat
RTH ditinjau dari berbagai segi pengamatan berdasar
pada data dan informasi primer berupa hasil-hasil pene
litian, maupun dari data dan informasi sekunder, umum
nya merupakan kompilasi dari berbagai makalah yang
disusun penulis-penulis sebelumnya, sebagai materi ajar
atau sekedar informasi umum yang telah dimuat dalam
berbagai media komunikasi, termasuk jurnal dalam dan
luar negeri, surat kabar, majalah dan seterusnya. Sejak
diterbitkannya lnstruksi Menteri Dalam Negeri No. 14,
tahun 1988 tentang Pengelolaan RTH Kota, sampai kini
tak kunjung diikuti oleh semacam pedoman teknis dan
atau pedoman pelaksanaan yang lebih rinci dalam me
nyambut dan mendukung pola swadaya kepemerintahan
di daerah sebagaimana diharapkan
Pada awalnya (sejak tahun 1965-an) melalui berbagai
upaya sosialisasi dan peningkatan kesadaran masyara
kat akan pentingnya eksistensi RTH, mengingat fungsi
pokoknya sebagai pendukung utama keberlanjutan peri
kehidupan warga kota, maka berbagai program peles
tarian fungsi lingkungan perkotaan (program-program
penghargaan kebersihan lingkungan kota, pentingnya
penataan RTH, semacam taman lingkungan atau taman
kota) sebenarnya adalah demi kemaslahatan hidup warga
kota itu sendiri.
Berbagai media sosialisasi RTH kota telah lama dilak
sanakan, 'resmi' oleh pemerintah, maupun oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai Yayasan terkait,
sadar ataupun tidak telah semakin mampu meningkatkan
kepedulian pengelola dan warga kota untuk mendorong
dan mendukung eksistensi (keberadaan) RTH berapa
pun luasannya. Semakin disadari, bahwa RTH perlu ada
di antara struktur bangunan (hutan) beton sebagai pelu
nak dan penyejuk lingkungan. Bahkan pemerintah kota
propinsi DKI Jakarta, telah menetapkan beberapa Per
aturan Daerah (Perda) sejak tahun 1970-an untuk men
dukung eksistensi RTH ini demi penyeimbang kondisi
lingkungan terbangun di perkotaan yang kemudian diikuti
pula oleh kota-kota besar lain di seluruh Indonesia.
Permasalahan degradasi lingkungan hidup perkota
an digambarkan dari semakin mewabahnya penyakit
penyakit akibat kualitas lingkungan yang semakin mem
buruk bahkan sulit diatasi, sebagai akibat tidak adanya
ruang bagi penampung buangan kegiatan manusia
berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin
menumpuk dan mengalir tidak terkendali yang menjadi
wadah yang subur bagi media pertumbuhan penyakit.
Pencemaran berbagai media lingkungan, apakah itu
badan air, tanah ataupun udara telah terjadi secara nyata,
sedangkan Undang-undang No. 24, Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, telah mengatur bahwa pada hakekat
nya ruang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kawasan
budidaya atau terbangun, dan kawasan lindung (alami,
konservasi). Walau telah ada peraturannya, namun pada
kenyataannya telah terjadi degradasi kualitas lingkungan
air, udara dan tanah di hampir seluruh wilayah kota, kare
na lemahnya penegakan hukum.
Berbagai kondisi lingkungan yang negatif tersebut,
memacu kejadian kerusakan lingkungan kota menjadi
berantai dan kait mengkait. Pada kawasan permukim
an kota tepi air misalnya, masalah klasik adalah ben
cana banjir, pada kawasan pesisir terjadi kerusakan dan
pencemaran pantai. Adanya 'ROB' atau genangan air laut
ke arah darat, seperti di muara kali Semarang misalnya,
tentunya membawa kerusakan akibat pengaruh air asin,
atau intrusi air laut yang mengisi kantong-kantong air ta-
Pendahuluan 35
nah (aquifer). Pada kota-kota di daerah lereng pegunung
an terjadi tanah longsor dan juga banjir (lumpur) antara
lain akibat kurang atau tidak adanya tanaman yang bisa
mengikat atau menahan air hujan yang terakumulasi, ter
utama bila terjadi curah air hujan tinggi.
Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dengan
menyisihkan sebagian ruang kota, terutama di wilayah
wilayah yang rawan bencana, harus segera dilaksanakan.
Artinya ruang-ruang yang rawan tersebut bukan diproyek
sikan untuk permukiman, seperti tepian badan air (sungai,
danau/dam atau laut), atau mendirikan bangunan pada
lereng yang relatif curam. Ruang untuk menampung keg
iatan konservasi lingkungan kota harus dikaitkan dengan
RTRWK dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR).
Perlu adanya pengertian dari seluruh warga penghuni
kota, bahwa terdapat hubungan sangat strategis an
tara Pembangunan Kota dan RTRWK (yang di dalamnya
mengandung rencana RTH) merupakan rencana pem
bangunan kota-kota layak huni (Eco-cities). Rencana
pembangunan kota yang layak huni tersebut harus terus
disebar-luaskan sehingga sebab akibat dari perkembang
an kota yang baik atau yang buruk dapat diketahui selu
ruh warga kota.
Pola konsepsi hijau, di mana sebaiknya jenis atau tipe
RTH itu harus ditempatkan, serta ketergantungan pada
pentingnya pemilihan jenis tanaman pembentuknya di
uraikan dalam pemilihan beberapa jenis tanaman _con
toh serta fungsi-fungsi khusus berbagai jenis tanaman
pembentuk RTH. Perkembangan pengelolaan RTH, serta
hubungannya satu sama lain diterangkan ke dalam bab
bab 'anatomi' kota, seperti sesosok tubuh manusia, yang
juga terdiri dari berbagai anggota badan seperti kaki, ta-
36 Pendahuluan
ngan, dan yang penting menjaga agar 'tetap bisa hidup'.
Kota juga mempunyai alat bernapas seperti paru-paru
dan jantung, kemudian alat pencernaan dengan bagian
bagiannya, sebagai instrumen metabolisme kota yang
layak huni itu (liveable city).
Berbagai skala kebutuhan RTH hendaknya disesuai
kan dengan standar-standar pengelolaan RTH kota, yang
sesuai pula dengan fungsinya, serta pendekatan partisi
patif harus pula dilakukan secara terus-menerus.
Secara umum diinformasikan pula beberapa peng
alaman, baik dalam pengelolaan RTH di dalam negeri
maupun di negara lain, khususnya di kota-kota negara
tropis, seperti di Propinsi DKI Jakarta sendiri, di Suraba
ya, sedikit disinggung penataan sampah dan pengelolaan
air limbah di Kuala Lumpur, Malaysia, dan 'Negara Kota
Taman' Singapura. Untuk negara maju telah dipilih kota
Osaka yang terletak di negara empat musim, dimana
tiap-tiap musim mempunyai nilai fungsi lingkungan dan
panorama lansekap kota yang khas, dengan bunga na
sionalnya 'sakura', serta secara konsisten mempertah
ankan kekayaan budaya lokal.
Membangun dan mengelola Kota Taman Tropis ter
masuk persebaran serta sifat dan tipologinya, hendaknya
mengikuti kaidah-kaidah dasar pengelolaan lingkungan
hidup (PLH) dalam sistem jaringan perencanaan arsitek
tur lansekap bagi RTH kota umumnya, termasuk juga apa
yang disebut taman kota metropolitan (A Metropolitan
Park System).
Dalam membangun dan mengelola taman tropis se
layaknya disesuaikan pula dengan iklim setempat dan
kekayaan SDA-tropis Indonesia yang sangat beragam
dari barat, kota Sabang di propinsi Nangroe Aceh Darus-
salam sampai kota Merauke di ujung timur Irian Barat ba
gian timur, masing-masing kota tersebut perlu berusaha
untuk mempertahankan nilai-nilai ethno-bio-geografi
lingkungan lokalnya, misalnya melalui pengkayaan jenis
tanaman dalam RTH serta kegiatan-kegiatan yang sesuai
dengan peruntukkannya.
Pembentukan kota taman di Indonesia bertujuan
untuk mencapai "Lingkungan Kota Taman Tropis" yang
aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, dengan ber
bagai kebhinekaan namun menyatu dalam Negara Kepu
lauan Republik Indonesia.
Gray dan Cullen (1981), dalam makalahnya: "Res
ponding to Change in A Park System", mengatakan bah
wa sistem ruang terbuka (RT) di Kota Canberra, ibukota
Australia sengaja direncanakan dan dirancang sedemiki
an rupa sehingga memberi peluang yang fleksibel apabila
suatu saat dibutuhkan perubahan pemanfaatan ruang.
Melalui sistem perencanaan dan perancangan dalam
20 tahun, Pemerintah Kota Canberra dianggap berhasil
karena mengikuti beberapa prinsip:
(1) Dipeliharanya sistem RT melalui hubungan kuat dan
saling dukung dalam diskusi yang matang di antara
para perencana, perancang dan pengelola kota, se
belum ada keputusan bersama antar ketiga kelompok
disiplin tersebut ;
(2) Perencanaan RT didasarkan pada pelayanan sesuai
jumlah penduduk, melalui pertimbangan bahwa yang
penting bukan luasnya, tetapi arti dan kreasi sebuah
RT yang efisien dalam segala hal, antara lain dari segi
biaya pemeliharaan;
(3) Sistem RT dapat lebih berhasil bila ada korelasinya
antar satu RT dengan lain RT yang berdekatan, sebab
dapat dimulti-fungsikan;
(4) Dalam perencanaan, perancangan dan pengelolaan RT
dibutuhkan konsep pendekatan 'spektrum', artinya
berbagai variabel fungsi dan standar lokal untuk peme
liharaan, misalnya dapat diadopsi sebagai bagian dari
sistem yang komprehensif.
Adanya kolaborasi dalam sistem pengelolaan lim
bah padat atau sampah (organik dan an-organik) skala
lingkungan perumahan dengan RTH, misalnya dengan
meletakkan TPS (Tempat Pembuangan Sementara) pada
suatu sudut Taman Hutan Kota atau jalur hijau (green belt)
kota yang cukup luas dengan jarak tertentu dari permu
kiman sedemikian rupa sehingga tidak mencemari atau
menimbulkan bau serta pemandangan yang tidak sedap
namun dapat dijangkau oleh warga setempat. Sistem ini
telah diterapkan di kota-kota Provinsi Wurtenberg, di Jer
man Selatan.
Penulisan buku bertujuan agar setiap perencanaan,
perancangan dan pengelolaan RTH kota, dapat selalu
didasarkan pertama-tama pada pertimbangan perlunya
menyisihkan sebagian 'ruang hidup' sebagaimana aslinya
agar apabila terjadi perubahan 'alam' yang merugikan,
apakah akibat perilaku manusia ataupun akibat proses
alam yang terus bergerak dinamis, masih ada "sepenggal
ruang asli tinggalan masa lalu" dimana kita semua dapat
belajar dari padanya.
Sambutan Emil Salim dalam Gunadi (2005)1, diberi
judul 'Aiam Terkembang Jadi Guru', adalah pepatah suku
Minangkabau yang menasehati agar kita semua patut
berguru kepada alam lingkungan yang terkembang luas
di sekeliling kita. Alam adalah ciptaan Tuhan dan memberi
kehidupan kepada semua makhluk. Apabila dapat kita
Pendahuluan 37
kembangkan pola hidup 'di mana pun' manusia berada,
berdasar pada kearifan alam, maka akan langgenglah ke
hidupan di dunia.
Selanjutnya dikatakan, bahwa manusia yang semula
hidup selaras bersama alam, maka dengan mengandal
kan kemampuan berpikir dan inovasi serta kreativitasnya,
manusia mengembangkan ciptaan hasil pemikirannya
berupa kota dengan segala perangkat 'buatan manusia'
yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti per
mukiman, energi (listrik, makanan), alat transportasi agar
bisa bergerak, berpindah-pindah (mobile), fasilitas air mi
num, dan seterusnya. Makin lama manusia menjadikan
alam berjarak semakin 'jauh' dengan dirinya karena lebih
mengejar pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, ma
nusia lupa bahwa sebagai salah satu biota akan hidup
tergantung pada biota lain, seperti tanaman dan hewan
misalnya.
Karena kodrat alaminya yang sedemikian rupa itulah
maka pada suatu saat seperti pada saat ini, manusia
yang hidup dalam lingkungan perkotaan yang serba buat
an ini, tetap akan merindukan suasana kehidupan yang
'kembali ke alam' (back to nature) yang sudah tentu jauh
lebih sehat.
Gunadi (2005) selanjutnya mengutip gurunya itu pula,
dengan menuliskan uraian kata-kata dalam kalimat seba
gai berikut: "Yang cocok (suitable) akan menjadi sehat
(fit), yang sehat akan menjadi subur, yang sehat dan subur
akan menjadi kreatif, yang kreatif akan produktif, yang
produktif akan menjamin kelangsungan hidup". Selanjut
nya, kata McHarg : "Lingkungan akan memberikan segala
apa yang diinginkan dan dibutuhkan manusia, apabila
manusia mengerti, menghormati dan menyayanginya ".
38 Pendahuluan
Ditutup oleh kata-kata Gunadi sendiri: "Hanya di tangan
orang-orang yang arif, bijak dan peduli, lingkungan ini
akan selamat dan hidup ini akan berlanjut".
RTH baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan
adalah "sepenggal alam" yang masih tersisa atau sengaja
disisakan guna mengimbangi lingkungan buatan (kota)
baik yang sengaja dirancang dan direncanakan melalui
kreativitas arsitektur lansekap maupun karena 'warisan'
wajah alami yang sengaja dibiarkan sedemikian agar kita
semua suatu saat masih memperoleh kesempatan untuk
dapat menikmatinya, langsung maupun tidak.
1.3.1 Kecenderungan dan Prediksi di Masa Depan
Tentang Penghijauan (RTH)-Kota.
Penghijauan (RTH)-kota masih menjadi hal yang perlu
diperhatikan secara serius terutama di kota-kota besar.
Di wilayah Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, misal
nya dengan pertambahan penduduk yang tidak pernah
turun, hingga saat ini sekitar 21,84 persen dari seluruh
luas wilayah (48, 19 km2) ternyata masih tergolong lahan
kritis, kenyataannya, yang berhasil dihijaukan baru men
capai 8,16 persen dari luas wilayah (Purnomohadi, 1994).
ldealnya, 30 persen dari luas wilayah seharusnya berupa
lahan (ruang) alami atau terbuka hijau. Untuk Jakarta dan
kota-kota besar lain yang pembangunan fisiknya sudah
amat pesat, disadari bahwa angka sebesar itu sungguh
tidak mungkin dicapai, atau harus ada upaya khusus un
tuk pembebasan lahan yang tentu biayanya akan sangat
mahal.
Upaya penghijauan pernah dilakukan, antara lain
melalui program penanaman sejuta pohon atau kampa
nye penghijauan yang gerakannya masih sporadis dan
sewaktu-waktu, misalnya hanya pada Hari Lingkungan
HidupSedunia, atau Hari Cinta Puspa dan Satwa, Hari
Habitat, dan hari-hari peringatan lain yang sebagain be
sar masih bersifat seremonial. Selama rentang waktu
lima tahun (1994-1997) pelaksanaan gerakan penanaman
sejuta pohon di kodya Bogor, misalnya, menghabiskan
swadaya murni dari masyarakat sebesar Rp 243.834.000
ditambah dana APBD (Tingkat II) Kodya Bogor untuk
gerakan yang sama dalam kurun waktu 1993-1997 sebe
sar Rp 226.703.000 tentu saja dirasakan masih sang at
kurang.
Berdasar toto-toto satelit yang ada diketahui bahwa,
luas hutan di Jawa pada waktu itu (termasuk hutan-hutan
jatinya) hanya mencapai 12 persen dari seluruh pulau.
Sebelum perang dunia kedua luas hutan tersebut adalah
kurang lebih 30 persen, berarti eksploitasi hutan di pulau
Jawa telah banyak mengikis keseimbangan ekologis di
Pulau Jawa itu sendiri. Akibat yang nampak adalah erosi
atau tanah longsor yang berkepanjaangan dan terjadi di
mana-mana di Pulau Jawa ini (di Jember, Banjarnegara/
Batu Raden, dan lain-lain), polusi udara, kenaikkan suhu
udara dan masih banyak lagi dampak negatif yang tim
bul. Dan yang menonjol akhir-akhir ini adalah timbul dan
semakin tumbuh-suburnya vektor penyakit (nyamuk,
lalat, unggas) yang sangat merugikan. Dengan semakin
tipisnya RTH sebagai "paru-paru" kota di seluruh dunia
secara akumulatif, tentu akan berakibat fatal, dicirikan
dengan naiknya suhu bumi dan perobahan cuaca karena
kenaikan suhu bumi tidak hanya dialami oleh satu pulau
saja, tetapi akan terus merembet kepulau-pulau lain bah
kan ke manca negara melampaui batas administratifnya
masing-masing.
Sekarang banyak pohon-pohon di daerah perkotaan
yang dipotong habis oleh Pemerintah Kota dengan alasan
mengganggu lalu lintas jalan dan instalasi listrik atau me
nambah Iebar jalur lalu lintas kendaraan bermotor. Bila
diamati lebih cermat, penebangan pohon-pohon tersebut
tidak diikuti dengan konservasi/upaya penanaman kern
bali dengan pohon yang baru. Kepekaan para penentu
kebijakkan pembangunan kota termasuk masyarakat
umumnya sudah sangat kurang atau bahkan sama sekali ·
tidak ada akibat terbatasnya ruang gerak manusia kota,
namun terhadap pentingnya keberadaan pepohonan di
dalam kota tetap belum menjadi bahan pertimbangan
utama. Betapa ironisnya jika pepohonan itu justru diganti
dengan pohon buatan yang dihiasi dengan lampu ber
warna-warni, ataupun terus ditebang dan dipindahkannya
pepohonan yang telah tumbuh sehat optimal ke tempat
lain, hanya dengan alasan untuk memperlebar jaringan
jalur jalan tertentu karena kemacetan yang semakin men-
Tabel 1.1 Konsep Dasar Pengelolaan Lahan
Tipe-tipe Pengelolaan Lahan
Konsep
Dasar
Konservasi
AI ami
Konservasi
Lansekap
Sistem
'Ruang Hijau'
Kewilayahan Daerah (wilayah)
terbuka
Karakteristik Konservatif
Daerah
Permukiman
Konstruktif
Lansekap, BENTANG ALAM (landscape), adalah suatu keadaan 'ruang'
di 'atas' lahan, yang karena budi daya manusia kemudian dirobah
menjadi kawasan terbangun atau dibiarkan saja sebagai kawasan
lindung, dapat dikelompokkan pada tipe-tipe pengelolaan lahan.
(Takahashi, 1989)
Pendahuluan 39
jadi-jadi, bukan penyelesaian pada akar masalahnya,
misalnya peningkatan kuantitas dan kualitas serta moda
transportasi umum. Penataan ruang kota yang lebih bi
jaksana melalui kebijakan kepemilikan kendaraan, pemba
ngunan sarana dan prasarana yang menyebar ke seluruh
penjuru kota, termasuk dibangunnya area transit dari satu
moda ke moda transportasi lain. Dengan demikian maka
penduduk kota pun pasti mempertimbangkan kalau tidak
perlu benar, t idak perlu pergi dengan berkendaraan motor
(terutama pribadi) ke pinggiran kota untuk suatu keper-
luan dan sebaliknya. Commuter, bisa dikurangi melalui
pembangunan sarana dan prasarana kota (complex city)
yang memadai dan tersebar di seluruh wilayah Program
Bank Pohon. (Tabel 1.2)
Dalam upaya mempercepat terjadinya pemulihan
kerusakan ekologis seperti perbaikan siklus hidrologis,
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Program
Bank Pohon membuat terobosan dan inovasi dalam
merehabilitasi lahan kritis, baik di wilayah perdesaan
maupun perkotaan wilayah di antaranya, mengingat se-
Tabel1.2: Program Bank Pohon KLH tahun 2004, dimulai di akhir tahun 2002, menghasilkan:
Initial Lokasi Donatur Jumlah Luas Jumlah Para pihak Planting penanaman bibit Ia han masyarakat
ter1ibat
19-3-2004 Kabupaten PT. lndah Kiat Pulp 40.000 160 ha 387 - PEMDA Kab.
Temanggung and Paper - Temanggung
- Kel. Tani & penduduk 1
10-6-2004 DAS Kali PT. Astra Agro 500 1.5 ha 200 Kel. Tani Sangga-buana
Pesanggrahan Jakarta Lestari
--j 14-7-2004 Kabupaten PT. Riau Andalan 200.000 2.000 ha 1.771 - PEMDATmg
Temanggung Pulp & Paper - Penduduk
-UGM
27-7-2004 Banjaran Wetan Kab. PT. Kaltim Prima 30.000 55 ha 1 03 - WPL Bojong
I Ban dung Coal - PEMDA Kab. Banduog l
27-9-2004 Kec. Mundu Kab. PT. lndocement . 35.000 36 ha 91 - PEMDA Kab. Cirebon
Cirebon - Yayasan Buruh & LH
Total* 305.829 2.215 2.552
' laporan Program bank Pohon, 2003
40 Pendahuluan
makin banyaknya perobahan tata guna lahan yang tidak
sesuai peruntukannya, maraknya penebangan hutan se
cara liar serta menyusutnya RTH khususnya di lingkungan
perkotaan (KLH, 2003).
Program BANK POHON KLH merupakan program
penghijauan di lahan kritis dengan melibatkan kemi
traan antara donatur (swasta), Pemerintah Daerah serta
masyarakat setempat. Program ini berbeda dengan pro
gram-program penghijauan pemerintah yang pernah ada,
sehingga diharapkan tidak mengulang kekeliruan yang
telah dilakukan sebelumnya.
Tujuan dibentuknya program Bank Pohon adalah: (1)
menggalang aliansi, kemitraan dan kerjasama untuk me
ningkatkan kegiatan penanaman pohon secara swadana
dan swadaya; (2) Menyediakan bibit pohon dan dana
untuk menggerakan penghijauan pada lahan kritis dan
daerah perkotaan (sementara ini) di pulau Jawa, Madura
dan Bali; (3) Mendukung pelaksanaan gerakan penghi
jauan untuk memperbaiki lingkungan pada 16 Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan atau beberapa Wilayah Sungai
dan perkotaan di Pulau Jawa, Madura dan Bali, yang di
lakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Lokasi
pelaksanaan penghijauan program Bank Pohon di luar
wilayah penanaman Program Gerakan Nasional Rehabili
tasi Hutan dan Lahan (GNRHL).
Masyarakat yang diharapkan berpartisipasi menjadi
'nasabah' Program Bank Pohon adalah: Dunia usaha,
Asosiasi Profesi dan Bisnis, Organisasi Sosial, Perkum
pulan Pencinta Tanaman (PPT), Lembaga Swadaya Ma
syarakat (LSM), Lembaga Donor, serta perorangan yang
peduli lingkungan. Dengan demikian, kepedulian pihak
swasta dalam upaya merehabilitasi lahan kritis melalui
pemberdayaan masyarakat setempat dapat terfasilitasi
dalam program ini.
Penanaman perdana atau Initial Planting merupakan
tanda bahwa pada lokasi tersebut akan dilaksanakan
gerakan penghijauan oleh masyarakat yang tinggal pada
lahan kritis atas bantuan pihak swasta selaku donatur.
Keterlibatan para pemuka masyarakat peduli lingkungan
pada Initial Planting diharapkan dapat memberikan pu
blikasi yang baik bagi masyarakat dan calon donatur lain
sebagai upaya sosialisasi pentingnya rehabilitasi lahan
kritis.
Pada tahap awal, kegiatan survei lokasi, kesediaan
masyarakat memelihara pohon, serta bimbingan pihak
PEMDA atau LSM setempat menjadi hal penting dalam
tahap persiapan sebelum penanaman. Penyesuaian pe
nyumbangan donasi dengan kondisi tertentu menjadi
hal penting lain. Kesiapan masyarakat akseptor, menjadi
penentu kesuksesan penghijauan, dan perlu disampai
kan kepada donatur sehingga dapat menjaga keperca
yaan yang diberikan kepada Program Bank Pohon kantor
KLH.
Tahap penanaman diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat setempat dengan bimbingan LSM atau Pem
da setempat menyesuaikan waktu tanam terbaik. Dana
terbatas untuk penanaman dan pemeliharaan awal dialo
kasikan dari donasi penyumbang. Pada tahap ini, KLH
dan Pemda setempat memantau perkembangan pertum
buhannya. Tahap evaluasi merupakan tahap akhir yang
penting dalam upaya pencatatan angka keberhasilan
maupun presentasi kegagalan penanaman. Hal ini diper
lukan, mengingat KLH mempunyai kewajiban untuk me
laporkan hasil kegiatan yang menuntut transparansi dan
Pendahuluan 41
akuntabilitas penggunaan dana dari donatur.
Program Bank Pohon KLH bukan satu-satunya upaya
penghijauan oleh dan untuk masyarakat, dalam Program
Warga Madani, Program Sejuta Pohon, dan program
program lain terkait, seperti Adipura, Langit Bersih (Biru),
Prokasih, KLH juga selalu mengajak masyarakat untuk
menanam pohon. Selain itu bentuk kemitraan seperti
dalam program Bank Pohon KLH sudah diinisiasi juga
oleh beberapa stasiun radio dan harian berita, serta be
berapa lembaga pemerintahan daerah (2004).
1.3. 2 Dampak Kurangnya Kehijauan dalam Kota
Terhadap Kesehatan
(1) Tidak terserap dan terjerapnya partikel timbal:
Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal
yang mencemari udara di daerah perkotaan) (Goldmisth
dan Hexter, 1967; Krishnaya dan Bedi, 1986 dalam
Purnomohadi, 2002), diperkirakan sekitar 60-70%
partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kenda
raan bermotor. Hasil penelitian oleh: Dahlan(1989),
kemudian oleh Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan,
Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) dalam Purnomo
hadi 2002: dinyatakan, bahwa: damar (Agathis alba),
mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus
imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam Iandi
(Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempu
nyai kemampuan yang sedang dan tinggi dalam menu
runkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa
tanaman berikut ini: glodogan (Polyalthea longifolia),
keben (Barringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops
elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap
timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka
42 Pendahuluan
terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman
daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba
(Bixa ore/lana) mempunyai kemampuan yang sangat
rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar
yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.
(2) Tidak terserap dan terjerapnya debu semen:
Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya
bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit
sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat
di udara bebas harus diturunkan kadarnya. Ketahanan
dan kemampuan dari jenis-jenis tanaman, antara lain:
mahoni (Swietenia macrophyl/a), bisbul (Diospyrosdis
color), tanjung (Mimusops e/engij, kenari (Canarium
commune), meranti merah (Shorealeprosu/a), kirai pa
yung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros c/ebica),
duwet (Eugenia cuminiij, medang lilin (Utsea roxburghii)
dan sempur (Dillenia ovata) akan berbeda-beda pula.
(Studi lrawati 1990 dalam Purnomohadi, 2002). Ha
sil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang baik
dan dapat dipergunakan dalam program pengemban
gan RTH-(taman hutan) kota di kawasan pabrik semen,
karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pence
maran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam ·
menjerap (adsorbsi) dan menyerap (absorbsij debu se
men adalah: mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti
merah, kere payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet,
medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai
tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik
semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka ter
hadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang
rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen.
(3) Tidak ternetralisirnya bahaya hujan asam:
Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu dalam
mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses
fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses
gutasi akan memberikan beberapa unsur di antaranya
ialah: Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glu
matin dan gula (Smith, 1985). Menurut Henderson et.
AI, 1977 (dalam Purnomohadi 2002), bahan an-organik
yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui pro
ses throughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik un
tuk tajuk dari tegakan daun Iebar maupun dari daun
jarum. Hujan yang mengandung H2S0
4 atau HN0
3
apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reak
si. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka
asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang
terdapat pada daun membentuk garam CaSO 4
yang
bersifat netral. Dengan demikian pH air dari pada pH
air hujan asam itu sendiri. Dengan demikian adanya
proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun
akan sangat membantu dalam menaikkan pH, se
hingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi
bagi lingkungan. Hasil penelitian Hoffman et al., 1980
(dalam Purnomohadi 2002), menunjukkan bahwa pH
air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi,
jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak me
lewati tajuk pohon.
(4) Tidak terserapnya Karbon-monoksida (CO)
Bidwell dan Fraserdalam Smith (1985) mengemukakan,
kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas
ini sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikro organisme serta
tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik
dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975 dalam
Purnomohadi 2002). Tanah dengan mikro-organisme
nya (Inman et.al dalam Smith, 1981) dapat menyerap
gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar
120 ppm (13,8x1 04 ug/m3) menjadi hampir mendekati
nol hanya dalam waktu 3 jam saja.
(5) Tidak terserapnya karbon-dioksida (C02):
Hutan merupakan penyerap gas C02 yang cukup pen
ting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput
laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan
hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menu
runnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan
dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH-(hutan)
kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi
hutan tersebut. Cahaya matahari akan dimanfaatkan
oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami,
tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosin
tesis yang berfungsi untuk mengubah gas C02
dan air
menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian
proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena
dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya mening
kat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan
mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses
ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan
oleh manusia dan hewan. Tanaman yang baik seba
gai penyerap gas C02
dan penghasil oksigen adalah:
damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia pur
purea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia
(Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benyamina)
(Widyastama, 1991 dalam Purnomohadi, 2002).
Pendahuluan 43
(6) Tidak teredamnya kebisingan:
Pohon dapat meredam suara melalui absorpsi gelom
bang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tum
buhan paling efektif sebagai peredam suara ialah yang
mempunyai karakteristik tertentu, seperti yang bertajuk
(kanopi) yang tebal, susunan cabang dan ranting yang
bertingkat-tingkat, serta dengan susunan daun yang
lebat dan rindang (Grey dan Deneke, 1978). Dengan
menanam berbagai jenis tanaman dalam berbagai
strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengu
rangi kebisingan, khususnya sumber suara bising yang
berasal dari bawah, dedaunan tanaman dapat menye
rap kebisingan sampai 95%.
(7) Tidak tertahannya hembusan angin:
Panfilov dalam Robinette (1983) mengemukakan, angin
kencang dapat dikurangi sampai sebesar 75-80% oleh
suatu penahan angin berupa struktur suatu RTH-(hu
tan) kota. Dalam merancang RTH-kota untuk menahan
angin, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:
1. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang
memiliki dahan yang kuat.
2. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin (ke
cepatan sedang).
3. Akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah. Jenis
ini lebih tahan terhadap hembusan angin yang besar
daripada tanaman yang akarnya bertebaran hanya di
sekitar permukaan tanah.
4. Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%).
5. Tinggi dan Iebar jalur RTH-(hutan) kota relatif cukup
besar, sehingga dapat melindungi wilayah sebaik mung
kin sesuai yang diinginkan (Grey dan Deneke, 1978).
44 Pendahuluan
HARDY LARGE HAIRY SPECIES CIRCUMFERENCE LEAVES
SELECTING PLANT SPECIES TO REDUCE PARTICULATES
LARGE SURFACE DENSE AREA TWIGS
rM HE GROUP MIXED LAYERED GROUND
PLANTING SPECIES STRUCTURE COVER
Gambar 1.18: Menggunakan tanaman untuk mengurangi zat pencemar
udara, jenis tanaman dengan karakteristik fisik tertentu yang diatur
dengan cara tertentu pula, akan lebih efektif sebagai "penyaring" zat
pencemar udara. (Spirn, 1947, ha/72)
(8) Tidak terserap dan tertapisnya bau:
Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah
sementara (TPS) atau permanen (TPA), akan menge
luarkan bau yang tidak sedap. Selain perlu upaya
untuk mengurangi timbulan (volume) sampah dari
sumbernya, maka tanaman tertentu dapat digunakan
untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau
secara langsung, atau tanaman pun dapat menahan
gerakan angin yang berasal dari sumber bau (Grey dan
Deneke, 1978). Hasilnya akan lebih baik lagi jika tana
man yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum
yang dapat menetralisir bau busuk baik dari bunga,
daun maupun tanaman secara keseluruhan tanaman
yang dapat menghasilkan bau harum antara lain tana
man: bunga cempaka (Michelia champaka), tanjung
(Mimusops e/engi), melati (Jasminum sambac), dan
masih banyak lagi jenis-jenis tanaman yang mampu
menahan atau menetralisir bau busuk.
1.3.3 Contoh Penyelenggaraan yang Baik tentang
RTH-(Penghijauan)-Kota
Penyelenggaraan RTH-kota bertujuan untuk menjaga
kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem
perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial
dan budaya, sehingga diharapkan bahwa RTH-kota dapat
berfungsi untuk mencapai:
(1) ldentitas Kota
Jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol
atau lambang suatu kota dapat dikoleksi pada areal
RTH-kota. Propinsi Sumatera Barat misalnya, flora
yang dipertimbangkan untuk tujuan tersebut di atas
adalah enau (Arenga pinnata) dengan alasan pohon
ini serba guna. Serta istilah pagar-ruyung menyiratkan
makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu
manis (Cinnamomum burmanii), karena potensinya be
sar dan banyak diekspor dari daerah ini (PKBSI, 1989).
Sedangkan untuk fauna yang diusulkan adalah: Trulek
kayu, pelatuk jambul jingga dan kambing gunung (Cap
ricornis sumatranensis). Pilihan ini berdasar pada per
timbangan-pertimbangan khas dan sedapat mungkin
berasal dari lingkungan lokal (endemik, PKBSI, 1989).
(2) Upaya Pelestari Plasma Nutfah
Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting
untuk pembangunan di masa depan, terutama di bi
dang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan in
dustri. Penguasaannya merupakan keuntungan kom
paratif yang besar bagi Indonesia di masa depan.
Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan
dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan
keanekaragaman hayati. RTH-kota dapat dijadikan
sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang
tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan
RTH-kota dapat dipandang sebagai areal pelestari
an di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini
dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Salah
satu tanaman langka yang dapat disebutkan adalah
nam-nam (Cynometra cauliflora), namun sudah dita
nam kembali di kawasan "Kebun Botani" Puspiptek
Serpong, serta telah tumbuh dengan baik (optimal).
(3) Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik
yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan
manusia. Dengan adanya RTH-kota, partikel padat yang
tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat diber
sihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan sera
pan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang
melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang
melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan
terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya
daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan
yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam
ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel
pada kulit pohon, cabang dan ranting. Daun yang berbu
lu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan
Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam men
jerap partikel dari pada daun dengan permukaan yang
halus (Wedding et.al dalam Smith, 1981). Manfaat dari
adanya tajuk pada RTH-kota ini adalah menjadikan udara
yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan
kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk di RTH-kota.
Pendahuluan 45
(4) Mengatasi genangan air
Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami
jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapo
transpirasi tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kri
teria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun
yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut
daun) yang banyak pula. Menurut Manan (1976) tana
man penguap yang sedang tinggi diantaranya adalah:
nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes
fa/cataria), Acacia vi/osa, lndigofera galegoides, Dal
bergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona gran
dis), ki hujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea
glauca).
(5) Produksi Terbatas
Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji
atau buah dapat dipergunakan untuk berbagai macam
keperluan warga masyarakat dapat pula meningkatkan
tarat gizi/kesehatan dan penambah penghasilan ma
syarakat. Buah kenari untuk kerajinan tangan. lana
man tanjung diambil bunganya. Buah sawo, kawista,
pala, lengkeng, duku, asem, menteng dan lain-lain
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkat
kan gizi dan kesehatan warga kota.
(6) Ameliorasi lklim
Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan
penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa ke
nyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di
perkotaan. RTH-kota dapat dibangun untuk mengelola
lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak
terlalu panas, sebagai akibat banyaknya permukaan
46 Pendahuluan
yang diperkeras, misal: jalan (beraspal maupun dari
beton), gedung bertingkat, jembatan layang, papan
reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan
lain-lain. Sebaliknya pada malam hari dapat lebih ha
ngat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi
balik (re-radiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan
Robinette, 1983). Robinette (1983) lebih jauh menjelas
kan, bahwa jumlah pantulan radiasi surya suatu RTH
sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis
tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya,
keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada
daerah hijau lebih nyaman dari pada daerah tidak di
tumbuhi oleh tan am an. Wenda (1991) telah melakukan
pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan
yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi
dan luasan dari RTH-kota di Bogor yang dibandingkan
dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tem
bok dan jalan aspal, hasilnya yaitu bahwa:
1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-
31,0° C dengan kelembaban 66-92%.
2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi
oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-
33,1° C dengan kelembaban 62-78%.
3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1 o C
dengan kelembaban 62-78%. Bahkan pada musim
panas tahun 2006 ini (bulan September-Oktober) be
berapa hari suhu di perkotaan telah mencapai antara
36-17 derajat Celsius.
Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di bebe
rapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wana
bakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, RTH berupa
Taman Hutan Kota di kawasan tersebut, terjadi suhu
udara paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu
udara di taman parkir, padang rumput dan beton di ka
wasan lain.
(7) Pengelolaan Sampah
RTH-kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sam
pah, yaitu dapat berfungsi sebagai: (1) penyekat bau;
(2) penyerap bau; (3) pelindung tanah hasil bentukan
dekomposisi dari sampah, dan (4) penyerap zat yang
berbahaya (dan beracun/B3) yang mungkin terkan
dung dalam sampah seperti logam berat, pestisida
serta B3 lain.
(8) Pelestarian Air Tanah
Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berobah
menjadi humus akan memperbesar jumlah pori-pori ta
nah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan
kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky,
1978). Maka kadar air tanah hutan akan meningkat.
Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah re
sapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang
mempunyai daya evapotranspirasi rendah. Di samping
itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memper
besar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang
meresap masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi
dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan (surface
run off). Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan
turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih
dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah (aquifer). De
ngan demikian RTH-kota yang dibangun pada daerah
resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat
membantu mengatasi masalah kekurangan air baku
(air dengan kualitas yang baik). Menurut Manan (1976)
tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang
rendah antara lain: cemara laut (Casuarina equisetifo
lia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis
(Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia specio
sa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos nucifera).
(9) Penapis Cahaya Silau
Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang
dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium,
baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus
dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya dari
depan, akan terasa sangat menyilaukan, dan akan
mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab
itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi bahkan
kalau mungkin dapat sama sekali dihilangkan. Keefek
tifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya
tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya.
Pohon dapat dipilih berdasar ketinggian optimal mau
pun kerimbunan tajuknya.
(1 0) Meningkatkan Keindahan
Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan
tersedianya makanan, minuman, udara bersih dan
sejuk, namun juga membutuhkan keindahan. Keindah
an merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda
benda di sekeliling man usia dapat ditata dengan indah
menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya
(Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh
suatu bentuk komposisi yang menarik. Benda-benda
buatan manusia, walaupun mefnpunyai bentuk, war
na dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian
Pendahuluan 47
rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak
alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di
depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan po
hon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang
telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat
alami yang baik sadar maupun tidak sangat disukai
setiap manusia. Tanaman dalam bentuk, warna dan
tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda
buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk
mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan
pemilihan jenis tanaman harus sedemikian rupa, se
hingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan
sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Warna daun,
bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen
yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang
bernuansa (bergradasi) lembut. Komposisi tanaman
dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga
pemandangan yang kurang enak dilihat seperti: tern
pat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah
susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan
warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit
ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, ma
nusiawi dan akrab dengan hadirnya RTH-kota di sana
sebagai tabir penyekat.
(11) Sebagai Habitat Burung
Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam
(back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan
atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat meng
halau kejenuhan dan stress yang banyak dialami pen
duduk perkotaan. Salah satu jenis satwa liar yang
dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Bu-
48 Pendahuluan
rung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai man
faat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara
lain (Hernowo dan Prasetyo, 1989) :
• Membantu mengendalikan serangga hama,
• Membantu proses penyerbukan bunga,
• Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi,
• Burung memiliki suara yang khas yang dapat me
nimbulkan suasana yang menyenangkan,
• Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi
rekreasi,
• Sebagai sumber plasma nutfah,
• Objek untuk pendidikan dan penelitian.
Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon
sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tern
pat bersarang dan bertelur. Pohon Kaliandra di anta
ranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis
lain disenangi oleh burung, adalah juga karena berulat
yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya. Namun
demikian, akibat negatif yang timbul dengan berlang
sung ketidakseimbangan antara daerah terbangun dan
tidak terbangun ini antara lain, burung akhirnya bisa
menjadi salah satu pembawa (vektor) penyakit 'avian
flu' yang cukup mengkhawafirkan dan telah menimbul
kan kematian akibat virus H5N1 yang dibawanya.
Menurut Ballen (1989), beberapa jenis tumbuhan yang
banyak didatangi burung antara lain :
• Kiara, caringin dan loa (Ficus spp.) F. benjamina, F.
variegata, dan F. glaberrima buahnya banyak dimak
an oleh burung seperti punai (Treron sp.).
• Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasil
kan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak di-
jumpai pada tanaman dadap yang tengah berbunga
antara lain: betet (Psittacula alexandri), serindit (Lo
riculus pusil/us), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis
burung madu.
• Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya
yang berwarna merah menarik burung ungkut-ung
kut dan srigunting.
• Aren (Arenga pinnata). ljuk dari batangnya sering di
manfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pem
buatan sarangnya.
• Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeo/a spe-
. ciosa) dan manyar (Pioceus sp.) bersarang di pucuk
bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti:
burung cacing (Cyornis banyumas), celepuk (Otus
bakkamoena), sikatan (Rhipidura javanica), kepala
tebal bakau (Pachycepha/a cinerea) dan perenjak
kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pad a pang
kal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam
batangnya.
(12) Mengurangi Stress (tekanan mental)
Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas,
mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pi
hak Lingkungan Hidup-kota mempunyai kemungkinan
yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendara
an bermotor, industri maupun permukiman yang tidak
"berwawasan lingkungan". Petugas lalu lintas sering
bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan
lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi
diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monok
sida (Soemarwoto, 1975). Oleh sebab itu gejala stress
(tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat
mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang
tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya
bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.
Program pembangunan dan pengembangan RTH-kota
dapat membantu mengurangi sifat yang negatif terse
but. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan
menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran
timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh
tajuk dan lantai RTH-kota. Kicauan dan tarian burung
akan menghilangkan kejemuan. RTH-kota juga dapat
mengurangi kekakuan dan monotonitas .
(13) Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi
RTH-kota berupa formasi tanaman (hutan) mangrove
dapat beke~a meredam gempuran ombak dan dapat
membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Den
gan demikian hutan kota selain dapat mengurangi ba
haya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses
pembentukan daratan. Dalam antisipasi te~adinya ba
haya gelombang pasang (tsunami, misalnya) tak hanya
tegakan mangrove saja yang mampu menahan terjangan
tenaga gelombang pasang yang kuat itu, namun hutan
mangrove di perairan pesisir sebaiknya dikombinasi den
gan tanaman pantai lain, seperti: keben (Barringtonia asi
atica), Nyamplung (Callophyllum innophyllum), Ketapang
(Terminalia catappa), cemara Angin (Cassuarina equiseti
folia), kelapa (Cocos nucifera), waru (Hibiscus tiliaceus)
dan berbagai jenis-jenis semak dan rumput, seperti ka
tang-katang Kangkung laut (Ipomoea pescaprae), Rum
put lari-lari (Spinifex litoralis) dan Tumafortea argentea,
dan masih banyak lagi, saling bertautan dan membentuk
daerah penyangga (pelindung dari hantaman ombak).
Pendahuluan 49
50 Pendahuluan
~'· ... , ..t lf "! ' \ ' ·~ -~~- , , I 1•
~~-~
. . ,_A::::':
Gambar 1.19: Contoh-contoh beberapa Taman
Nasional "Sea-scape" atau pemandangan
lingkungan pesisir dan laut yang menyatu dan
dekat menempel dengan lingkungan daratan.
Foto-foto dari: TNL Bunaken, TNL Wakarabi,
TNL Takabonerate
{14) Meningkatkan lndustri Pariwisata
Bunga bangkai (Amorphophal/us titanum) di Kebun
Raya Bogor yang berbunga .setiap 2-3 tahun dan
tingginya dapat mencapai 1 ,6 m, dan bunga Raflesia
Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik
bagi turis domestik maupun manca-negara. Tamu
tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika
berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dileng
kapi dengan RTH-kota yang unik, indah dan menawan,
baik itu di kawasan pantai, bukit atau pegunungan
maupun daerah di antaranya.
II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
2.1 PENGERTIAN RTH DAN KOTA TAMAN Sebagai salah satu unsur kota yang penting khusus
nya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit atau
keci lnya ukuran RTH Kota (Urban Green Open Space)
yang ada, termasuk halaman rumah/bangunan pribadi,
seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau
yang ditanami tetumbuhan secara multifungsi.
2.1.1 Pengertian RTH
Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksis
tensi nyata sehari-hari, maka RTH adalah: (1) suatu la
pangan yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada
berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu
dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) "Sebentang la
han terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran,
bentuk dan batas geografis tertentu dengan status pe-
52 Ruang Terbuka Hijau
nguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuh
an hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants),
dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama
dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan
tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan
pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai
pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkut
an" (Purnomohadi, 1995).
Sedang Ruang Terbuka (RT), tak harus ditanami te
tumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan,
namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, se
perti plaza dan alun-alun. Tanpa RT, apalagi RTH, maka
lingkungan kota akan menjadi 'Hutan Beton' yang ger
sang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang
tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, dan tak layak
huni.
Gam bar 2.1: Taman Pribadi di Jeddah, Saudi Arabia
Dibangun antara tahun 1985-1988, gambar perspektif ini menunjukkan
wujud jalan masuk di bagian tengah area. Lahan taman seluas 7.000
m' ini terdiri dari bagian-bagian yang dengan jelas terpisah, termasuk
teras ornamental dengan tata hijau tanaman yang diatur sedemikian
rupa sehingga menghasilkan efek maksimum yang nyaman termasuk
di dalamnya adalah area-area piknik dan bermain. (Perancang: Fansto
Allegranza, arsitek lansekap dari Milan, ltalia).
(Reldhouse, 1992, halaman 17)
Secara hukum, hak atas tanah RTH bisa berstatus
sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan
usaha (lingkungan skala permukiman/neighborhood),
seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, bangunan
peribadatan, tempat rekreasi, lahan pertanian kota, dan
sebagainya), maupun milik umum, seperti: Taman-taman
Kota, Kebun Raja (RTH yang sengaja dibangun di dekat
istana pada jaman kerajaan untuk rekreasi yang menjadi
milik raja, namun secara terbatas bisa dimanfaatkan oleh
rakyatnya. Di kota Blitar (Jawa Timur) masih terdapat,
misalnya, Kebun Botani, Kebun Binatang, Taman Hutan
Kota/Urban Forest Park, Lapangan Olahraga (umum),
Jalur-jalur Hijau (green belts dan/atau koridor hijau): lalu
lintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai, jaring
an tenaga listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/
SUTET, Taman Pemakaman Umum (TPU), dan daerah
cadangan perkembangan kota (bila ada).
Lebih jelasnya, maka bila berdasar pada status pe
nguasaan lahan, RTH kota dapat terletak di:
• Lahan Kawasan Kehutanan, jurisdiksinya diatur oleh UU
Nomor: 5/1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan dan PP No. 63/2002, tentang Pengelolaan
Hutan Kota. Berdasarkan fungsi hutannya, RTH Ka
wasan Hutan Kota dapat berupa: Taman Hutan Kota,
Hutan Lindung, Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun
Bibit Kehutanan, yang terletak di kawasan perkotaan;
• Lahan Non-Kawasan Hutan, yurisdiksinya diatur oleh UU
No.5/1960, tentang Peraturan-peraturan Pokok Agraria.
Menurut kewenangan pengelolaannya berada di bawah
unit-unit tertentu, seperti: Dinas Pertamanan, Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Di
nas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,
Gambar 2.2: Jalur jalan masuk ke L.A. Airport merupakan 'road-scape '
sebuah highway yang berbentuk melingkar melalui jajaran pepohonan
(coral trees) dan tanaman Palmae.
(Landscape Architecture Magazine, May, 1989, halaman 74)
dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain yang
dimiliki atau dikelola penduduk.
Menu rut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota
(townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space),
yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkota
an. RT berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space),
yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan
ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi
ruang luar adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang
secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan
secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olah
raga, termasuk plaza (piazza) atau square.
Sedang: 'zona hijau' bisa berbentuk jalur (path), se
perti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan
bantaran sungai, bantaran rei kereta api, saluran/jejaring
listrik tegangan tinggi (biasa disebut koridor 'hijau'), dan
simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman
lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman per-
Ruang Terbuka Hijau 53
tanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka
(Hijau).
Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang
berada di luar atau di antara beberapa bangunan di ling
kungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai
halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang
menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau {RTH) kota, karena
umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami
pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permu
kaan tanah di kawasan perkotaan. Tanaman produktif
berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini
hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian
kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi
pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.
Berdasar batasan umum, maupun kewenangan pe
ngelolaan, meskipun sudah ada beberapa peraturan
daerah khusus RTH kota dan peraturan lain terkait, na
mun tetap masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, yang
dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang
lain, seperti: UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan
menjadi UU No. 23/1997 tentang Pokok-pokok Penge
lolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Kon
servasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU
No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU No.
5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992
tentang Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa
Konstruksi, dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, termasuk Peraturan-Peraturan Daerah (Perda)
yang terkait pengelolaan RTH-kota.
Keterbatasan lahan hijau dan masih kuatnya egoisme
sektoral, menuntut perlunya peraturan daerah tersendiri
yang mengatur kebijakan, seperti perlunya penggantian
54 Ruang Terbuka Hijau
tembok pembatas antar gedung bertingkat yang masif
dengan pepohonan dan taman berfungsi peneduh khu
susnya pada iklim tropis seperti kota-kota di Indone
sia, hingga dapat rflenyatu dengan trotoar yang berada
di tepian badan jalan. Untuk menjaga ketertiban, maka
peraturan tersebut antara lain juga akan menyangkut
pembayaran biaya parkir di halaman gedung, pengaturan
atau pengelolaan pembuangan sampah domestiknya,
dan seterusnya.
Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi {KTT) Bumi di
Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pad a KTI
Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002,
Rio + 1 0), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota
idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total
luas kota. Tentu saja 'angka' ini bukan merupakan patokan
mati. Penetapan luas RTH kota harus berdasar pula pada
studi eksistensi sumberdaya alam dan man usia penghuni
nya, tidak hanya pada kuantitas luasannya saja.
Penetapan besaran luas RTH ini bisa juga disebut
sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Disa
yangkan, bahwa dalam hal pengelolaan RTH Kota perlu
konsistensi penerapan sesuai dengan RIK yang telah dise
pakati bersama agar RTH-nya tetap bisa eksis, bahkan
kualitas maupun kuantitasnya bisa terus meningkat.
Kota-kota di Indonesia nampaknya memiliki kesulitan
untuk meningkatkan RTH kota meskipun belum mantap,
tapi hanya sekedar mempertahankan luasannya. Sebagai
salah satu contoh adalah Pemerintah Daerah DKI-Jakar
ta, dapat dilihat dari pengamatan sebagai berikut: jika tar
get luas RTH dalam Rencana lnduk Djakarta 1965-1985
adalah 37,2 persen (sangat ideal), maka dalam Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, target
tersebut turun menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal).
Namun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ja
karta 2000-2010, target luas RTH menyusut hanya sebe
sar 13,94 persen (9.545 hektar, tidak ideal). Sementara
luas RTH di lapangan, hanya berkisar 9.04 persen (6.190
hektar, atau 'kritis') dari total luas kota Jakarta yang
66.152 hektar tersebut.
Target yang 'semakin menyempit' itu pun, konon sulit
direalisasikan, akibat terus adanya tekanan pertumbuhan
dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struk
tur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin
meningkat yang sejalan pula dengan peningkatan jumlah
penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang di
hargainya eksistensi RTH yang sering di'korbankan' pa
dahal sebenarnya bernilai ekologis dan ekonomis tinggi,
bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat, secara
fisik maupun psikologis.
Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas
RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang
'berkelanjutan' ini, masih bersifat kuantitatif dan tergan
tung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis,
iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebu
tuhan akan oksigen, rekreasi. Dapat disimpulkan, bahwa
sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya
jumlah penduduk dengan segala aktivitas.dan keperluan,
seperti cukup tersedianya 'ruang rekreasi' gratis, maka
sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan
kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang me
menuhi persyaratan terutama kualitas keseimbangan
pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya
pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta kon
sistensi penegakan hukumnya.
2.1.2 Pengertian Kota Taman
Sejarah lansekap kota, dimulai sekitar 300 tahun lalu,
sebab sebelumnya man usia tinggal di rumah-rumah yang
satu sama lain sangat berdekatan, karena kebutuhan saat
itu akan perlindungan termasuk terhadap iklim yang se
cara alami selalu berubah. Ruang terbuka bisa dikatakan
hanya merupakan bagian kecil ruang kota, sebab hanya
dipakai saat pemukim memerlukan ruang terbuka yang
bisa menampung kebutuhan untuk bersosialisasi atau
bertemu, berdiskusi dalam skala lingkungan terbatas,
juga untuk saling barter barang (pasar atau plaza). Pada
jaman itu bila seseorang ingin berekreasi (berolahraga)
ke tempat-tempat bersuasana 'hijau' mereka hanya perlu
sedikit saja keluar dari ruang binaan yang padat dan rela
tif sempit, menuju apa yang disebut 'country side' yang
amat sangat luas yang langsung mengelilingi atau bah
kan 'menempel' pada lingkungan binaan yang ada.
Kemudian berkembanglah kebutuhan akan lapang
an terbuka, khususnya pada jaman kerajaan yang
mulai membangun istana yang luas yang membutuh
kan taman-taman yang luas pula di sekitar bangunan
istana raja. Masa feodalisme sangat berpengaruh pada
perkembangan lansekap kota pula, akhirnya terbentuk
pula 'public park' yang diekspresikan dan diperlukan
bagi pengejawantahan identitas tertentu suatu komuni
tas, misalnya di kota-kota yang bersifat perindustrian di
mana dirasa perlu adanya suatu perimbangan pada iden
titas tertentu kota tersebut. Kemudian muncullah konsep
"Garden City" atau Kota Taman dengan dominasi deretan
atau kelompok pepohonan, dan lapangan rumput sepan
jang jalur lalu lintas, dan juga ruang-ruang berupa taman
taman di sekitar lahan-privat terutama para konglomerat
Ruang Terbuka Hijau 55
yang akhirnya membentuk komunitasnya tersendiri.
Ruang hijau di kawasan perkotaan kemudian berkem
bang melalui perancangan dan perencanaan lansekap
dalam suatu sistem lingkungan perkotaan. Kawasan
dengan sistem permukiman padat diimbangi dengan
ruang-ruang terbuka, taman-taman yang relatif luas un
tuk pemenuhan kebutuhan warganya. Akhirnya muncul
pula apa yang dinamakan 'Taman Parkir' yang akibat
perkembangan teknologi dan motorisasi kendaraan ber
motor pun berkembang pesat, akibat kebutuhan trans
portasi yang mudah dan murah. Lebih dari itu, sebenar
nya cita-cita para perancang dan perencana lansekap
adalah menyediakan suatu ruang khusus untuk interaksi
sosial , yang juga akan meningkatkan perilaku sosiologis
yang saling mendukung di antara warga (penduduk) kota
nya, sehingga "kenyamanan hidup dekat dengan alam" di
kawasan perkotaan dapat dicapai.
Di Negeri Belanda, meskipun wilayah negaranya amat
sempit, hampir semua kotanya nampak menyatu dengan
alamnya. Hal ini dicirikan dengan selalu terdapatnya ka
wasan penyangga hijau antar kota, sehingga secara ke
seluruhan terasa bahwa kemana pun kita pergi unsur hi
jau selalu ada. Sebut saja misalnya Delft, Hilversum, di
mana terdapat gedung pusat radio nasional, terletak di
tengah-tengah 'hutan' , demikian pula 'kotanya'. Meski
pun demikian di dalam gedung yang dikelilingi penghijau
an yang padat, masih didekorasi oleh tanaman-tanaman
sol iter sebagai elemen keindahan ruang dalamnya (indoor
plants).
Hidup di dalam Kota Taman (green landscape) berarti
hidup di antara vegetasi yang sekaligus juga tergantung
akan eksistensinya. Manfaat langsung maupun tidak me-
56 Ruang Terbuka Hijau
Gambar 2.3: "Woonerf" di negeri Belanda
"Kota Taman" selain relatif banyak dan tersebar RTH-nya, biasanya,
mengatur tiap-tiap blok (khususnya kawasan permukiman) lalu lintas
(transportasi) diatur sedemikian nupa, sehingga 'manusiawi' .
(Spirn, 1947, ha/69)
mang diperlukan oleh manusia sebagai makhluk hidup
yang secara simptomatis memerlukan vegetasi seba
gai pendukung kehidupannya, baik untuk produksi pa
ngan, oksigen, energi maupun secara umum pembentuk
iklim mikro yang nyaman, khususnya di kawasan tropis.
Meskipun demikian, masih diperlukan studi yang cukup
mendalam tentang manfaat sosiologis, bahwa bila war
ga kota hidup lebih dekat dengan 'penghijauan' sepan
jang waktu dan generasi, apakah memang akan selalu
menghasilkan manfaat sosial? Tetapi paling tidak sudah
menjadi kenyataan, bahwa semakin banyaknya tekanan
yang diterima oleh penduduk kota jarang terjadi pada
penduduk perdesaan atau kota kecil. Karena itu timbul
pemikiran pada skala internasional, dalam 30 tahun ter
akhir ini untuk semakin memikirkan bahkan sudah diimp-
lementasikannya konsep pembangunan Taman Hutan
Kota dan Kawasan Pertanian Kota, untuk mengimbangi
taman-taman yang sebagian besar ditekankan pada
manfaat rekreatif dan estetika saja, menjadi lebih bersifat
sosial psikologis, ekonomi-produktif dan secara keselu
ruhan menjadi bermanfaat secara ekologis.
Menurut van Rooden1 (1983), berdasar pengalaman
penelitiannya untuk upaya pencegahan deteriorasi LH
kota lebih lanjut khususnya di Kota Rotterdam, Belanda
dan kota-kota besar Eropa umumnya, perlu segera diban
gun "Rencana lnduk Ruang Hijau". Konsep Pola RTH ini
telah dikembangkan lebih dulu oleh Stanley B. Tankel
(Rooden, '983) yang menjabarkan perbedaan RTH ke
dalam: green belts, green wedges atau fingers, lattices,
webs, mats dan rugs. Menurut Roode, nilai khusus pem
bedaan ini adalah pendekatan khusus ilmiah-teoritis un
tuk mengatasi permasalahan perkotaan. Tetapi masih
tetap berdasar pada abstraksi geometrik, dimana pada
situasi nyata hanya bisa diaplikasikan secara terbatas.
Karena itu aplikasi ini masih terlalu besar waktu kota-kota
baru dirancang pad a kawasan landscape polder di negeri
Belanda, atau di kawasan padang pasir antara Kairo dan
Alexandria, di Mesir. Meskipun demikian, pemanfaatan
nya masih terbatas pula bila seseorang harus merancang
Rencana lnduk Ruang Hijau untuk kota-kota yang sudah
eksis, yang lebih dari seribu tahun atau lebih telah melalui
proses pertumbuhan alami.
Selanjutnya, Rooden menyampaikan alasan bahwa
rancangan induk ruang hijau untuk Kota Rotterdam tak
ada gunanya membangun green belts tetapi dimulai dari
titik awal struktur kota yang ada, diupayakan untuk me
ningkatkan akses pada ruang hijau kota yang ada, lalu
memperbaikinya (urban renewal) di mana dimungkinkan
perlu adanya ruang hijau atau eksistensinya dianggap
kurang. Rancangan lnduk RTH Kota Rotterdam telah
menerapkan standard yang berlaku pada saat tertentu,
dimana diperkenalkannya empat tingkat (hierarchi) sa
rana RTH yang satu sama lain saling terkait dalam suatu
sistem RTH Kota meskipun berbeda dalam dimensinya,
jarak pencapaian dari rilasing-masing rumah tinggal, ser
ta kemungkinan pemanfaatannya secara alami.
Empat hierarkhi dari skala terkecil, yaitu:
(1) RTH dalam Blok di kawasan peru mahan berupa:
'ruang hijau' berukuran 50-5000 m2 dengan jarak
pencapaian terpanjang sekitar 250 meter dari rumah
masing-masing dan terletak dalam bagian kota (living
quatter). Taman ini langsung dimanfaatkan setiap hari
oleh penghuni di blok lingkungan perumahan, terdiri
dari antara lain: Taman komunal, lapangan (squares)
yang relatif sempit, kawasan pedestrian (pejalan kaki),
taman bermain anak, dan taman umum kecil. Sedang
standard untuk 'house block green space' ini adalah
dari 2.8-3.7 m2/penduduk;
(2) Sarana ruang hijau di bagian (quarter) kota, berupa
kawasan hijau sekitar 5000 m2 (sampai maksimum 4
ha), dimanfaatkan oleh penghuni dalam jarak penca
paian (radius) 300-500 meter, bisa terdiri atas: taman
'bagian' kota, lapangan OR untuk umum, dan taman
umum yang lebih luas dibanding RTH pada kawasan
permukiman, dimanfaatkan oleh semua tingkat usia
di mana manusia bisa berinteraksi, tempat anak-anak
bermain, berolahraga atau sekedar beristirahat dalam
perjalan pulang dari bekerja, sekolah, belanja, dan
sebagainya. Dalam kategori ini perancang diharap-
Ruang Terbuka Hijau 57
kan dapat sebanyak mungkin menyediakan sarana
multi-fungsi, meskipun tetap terbatas. Letak idealnya
adalah di tengah-tengah bagian kota, tidak terpisah
dengan perumahan oleh jalur lalu-lintas. Standarnya
adalah antara 3.6-4.5 m2/kapita. Bila jarak rata-rata
400 m menuju taman bagian kota ini, artinya kawasan
taman bagian kota ini bisa mencapai luasan sekitar 50
ha, mencakup sekitar 80 rumah/ha (luas satu rumah
rata-rata sekitar 250 m2) dengan anggota keluarga
rata-rata 2,5, maka sebuah taman bagian kota seluas
4 ha dapat melayani sekitar 1 0.000 penduduk;
(3) Sarana ruang hijau setingkat kota kecil (district),
lebih luas dari quarter, taman distrik jarang dikunjungi
karena letaknya yang relatif jauh (paling tidak saki
tar 800 m), maka waktu kunjungan yang diperlukan
adalah mencapai beberapa jam. Luasan taman ini
bisa memenuhi kebutuhan yang lebih beraneka, kare
na itu ukuran minimalnya adalah sekitar 8 ha. Jadi,
taman distrik ini bisa melayani penghuni dari bebe
rapa quarters. Tetap multifungsi dalam skala lebih luas
untuk rekreasi biasa, taman bermain anak, lapangan
OR (tenis, sepak bola, mini-golf, tennis meja/ping
pong, catur dan permainan kartu lain), taman bunga,
kolam, dan sebuah restoran atau cafe. Standarnya,
sekitar 3. 7-4.8 m2/penduduk, Luas ideal taman distrik
sekitar 8 ha dengan jarak capai sekitar 800 mini, ber
arti sebuah taman distrik mampu melayani 2 atau 3
quarters;
(4) Fasilitas ruang hijau (RTH) kota: Taman Kota ini
kemungkinannya dikunjungi oleh seluruh penduduk
kota, bahkan dari daerah pendukung (hinterlands,
bisa perdesaan atau kota lain) di sekitar kota tersebut.
58 Ruang Terbuka Hijau
Taman Kota ini adalah hierarchi yang 'terakhir" dalam
skala/ukuran kawasan perkotaan. Luasan RTH-Kota
ini mencapai sekitar 20-200 ha (bahkan sudah men
jadi semacam aturan di beberapa negara) yang di
dalamnya terdapat berbagai macam sarana rekreasi,
dimana diperlukan sekitar setengah sampai sehari
penuh untuk bisa menikmati taman yang cukup luas
ini. Bagi kota berpenduduk 600.000 jiwa, standardnya
bervariasi dari 9-0-12.8 m2/kapita.
Penataan RTH Kota semacam di Rotterdam ini me
mang cukup serius karena dimungkinkannya penataan
ruang kota yang tahun 1983 tersebut 'hanya' berpen
duduk sekitar 579.200 dalam kawasan seluas 25.000 ha.
Kebanggaan penduduk kota ini adalah kenyataan (sam
pai saat ini pun), sebagai Kota Pelabuhan yang terbesar
di dunia. Penjabaran tentang hierarkhi RTH tersebut ha
nya merupakan studi yang kemudian diaplikasikan pada
rekonstruksi dan rehabilitasi kota yang sempat hampir
rata akibat Perang Dunia ke II. Karenanya semacam 'to
tal 'renewal' bisa dilakukan secara komprehensif dan
mengikuti konsep Kota Taman se.bagaimana persyaratan
(standard) yang telah diuraikan di atas.
Pembangunan RTH kota-kota di Indonesia, tidaklah
perlu mengikuti persyaratan secara utuh pembangunan
kota-kota lain di dunia, apalagi di kawasan benua (teres
trial), dan bukan merupakan negara kepulauan semacam
NKRI dengan pengaruh iklim (letak geografi; tropis) dan
karakteristik fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik
yang tentunya sangat berbeda. Dernikian pula standar
pelayanan sosial perlu disesuaikan dengan seluruh kon
disi di NKRI. Konsep Kota Taman, memang sangat baik
bila bisa diterapkan, namun hendaknya tetap mengikuti (berfungsi lindung). Sabuk hijau sebagai daerah penyang-
kaidah (terutama alami) dan standard alami yang propor- ga atau perbatasan antar dua kota memang bisa disebut
sional dan 'membumi'. sebagai bagian dari RTH kedua kota (atau lebih) tersebut,
dimaksudkan sebagai kawasan lindung 'hijau' dengan
2.1.3 'Sabuk Hijau' (the greenbelt) sebagai Bagian pemanfaatan terbatas sebab fungsi utamanya adalah se-
Sebuah Kota Taman bagai "penyaring" atau filter alami bagi kota-kota yang
Ide 'Kota Taman' dikembangkan pertama kali oleh berbatasan tersebut.
Ebenezer Howard, tahun 1930-an, yaitu dimulainya ke
butuhan untuk membangun 'Kota Baru' dengan semakin
meluasnya kota-kota industri secara tidak beraturan dan
menyesakkan, dirasakan tidak sehat lagi sebagai hunian.
Gersangnya kota-kota tersebut terjadi, dimulai di lnggris
terutama setelah terjadinya revolusi industri, kota-kota
menjadi kumuh akibat pembangunan berbagai jenis in
dustri secara tak beraturan.
Definisi Kota Taman (Garden City) yang waktu itu
diterima oleh semua pihak, adalah: 'A garden city is a
town planned for industry and healthy living, of a size that
makes possible a full measure of social life, but no larger,
surrounded by a permanent rural belt, the whole of the
land being in public-ownership, or held in trust for the
community'. Kemungkinan pengertian ini terus berkem
bang, tetapi pada intinya adalah perencanaan atau per
ancangan kembali sebuah kota menjadi lingkungan per
mukiman yang sehat dan manusiawi.
Semua Kota Taman secara eksklusif telah diren
canakan (atau dirancang kembali) sebaik-mungkin agar
hidup sehat, artinya dapat terpenuhinya persyaratan
kehidupan manusiawi tetapi dengan biaya yang wajar,
sedemikian rupa karena ada pembatasan jumlah peng
huni secara rasional sesuai perbandingan harmonis an
tara kawasan terbangun (binaan) dengan kawasan alami
Tentu saja akhirnya perlu ada pembatasan
pembatasan, baik adminsitratif-demografis, maupun
sosial-ekologis sesuai dengan daya dukung dan daya
tampung yang sudah ditetapkan bagi kota-kota taman
tersebut, yang tentunya akan mempunyai kriteria yang
meskipun mirip tetapi mungkin tidak persis sama, se
bab disesuaikan dengan kondisi bio-geografis masing
masing. Secara keseluruhan, bisa pula dimengerti bah
wa sebuah kota dengan kawasan RTH maksimal, tentu
saja bisa disebut sebagai Kota Taman (seperti Canberra,
Singapore, Kyoto, dan masih banyak lagi).
Pada awalnya, maraknya pembangunan kota perin
dustrian sejak tahun 1930-an tersebut, belum dipikirkan
tentang suatu kawasan industri (trans-boundary indus
trial town) yang bisa menjadi tujuan dua atau lebih kota
dalam jangkauan jarak tempuh rasional yang dimanfaat
kan secara bersama. Seperti greenbelt yang dibangun
berukuran sekitar 2.500 kaki di antara Baltimore dan Jalur
KA Ohio, Amerika Serikat, sampai ke perbatasan sebelah
baratnya tidak memerlukan terlalu banyak merobah wa
jah alam (seperti 'cut and fill') untuk disesuaikan dengan
zonasinya.
Sebaliknya Washington DC, seperti juga Canberra
bukan direncanakan sebagai wilayah atau kota industri
sebagaimana layaknya, meskipun George Washington
Ruang Terbuka Hijau 59
waktu mengalokasikan ibukota USA tersebut, seharus
nya termasuk juga industri. Namun fungsi dominan yang
ada adalah kepemerintahan, begitu juga pekerjaan yang
menyangkut pengelolaan jalur hijau (greenbelt) hendak
nya menjadi kewenangan Pengaturan Tata Ruang Nasio
nal dalam koordinasi pemerintah nasional. Namun yang
panting adalah bukan pertimbangan zonasi saja tetapi
bagaimana mengatur agar jarak atau pencapaian tempat
kerja tidak terlalu jauh dari permukiman 'pekerja'.
2.2 PERAN DAN FUNGSI RTH Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian
atau salah satu sub-sistem dari sistem kota secara kese
luruhan. RTH sengaja dibangun secara merata di selu
ruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar,
yang secara umum dibedakan menjadi:
• Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan peng
adaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara
('paru-paru kota'), pengatur iklim mikro, agar sistem sirku
lasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar,
sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan,
penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan me
dia udara, air dan tanah, serta penahan angin;
• Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang
mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH
merupakan media komunikasi warga kota, tempat
rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian;
• Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman ber
bunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa menjadi
bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;
• Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memper
indah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman
60 Ruang Terbuka Hijau
Gambar 2.4: Denah perencanaan taman bagian kawasan koridor
kota dimana penggunaan jalan dan sarana penunjang lain disusun
sedemikian rupa sehingga akses ke berbagai arah untuk pengamanan
sudah dilakukan. (Christiansen, 1977, ha/192)
rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lan
sekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi
kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa
berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain,
berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekali
gus menghasilkan 'keseimbangan kehidupan fisik dan
psikis'. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang
antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan
dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota
pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau ja
lan, bantaran rei kereta api, serta jalur biru bantaran kali.
,~ . • J '
.;-.. ..,_· . ". ~;' ' ~r,-~ . ) ·.)1,1' ~· ··· •. · ¥-,.,
Gambar 2.5 (atas kirl): Kepedulian pada lingkungan hidup yang sehat. Di negeri Belanda penggunaan sepeda dilakukan penduduknya.
(Papanek, 1999, ha/194)
Gambar 2.6 (atas kanan): Vinca rosea. 'The Rosy Periwinkle ' bisa dipakai sebagai obat penyakit kanker tertentu.
(Papanek, 1999, ha/27)
2.3 MANFAAT RTH Manfaat RTH kota, baik secara langsung maupun
tidak, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekolo
gis. Penyeimbang antara lingkungan alam dengan ling
kungan buatan, yaitu sebagai 'penjaja' fungsi kelestarian
lingkungan pada media air, tanah dan udara serta konser
vasi sumber daya hayati flora dan fauna. Kondisi 'alami'
ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai
faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam ling
kungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan
membentuk kota yang sehat dan manusiawi.
Manfaat tan am an adalah sebagai komponen sekaligus
sumber kehidupan (biotik) dan produsen primer dalam
rantai makanan bagi lingkungan dan dapat menjadi sum
bar pendapatan. Proses fotosintesis telah diajarkan sejak
sekolah dasar, dimana zat hijau (khlorofil) yang banyak
terdapat dalam daun dengan bantuan energi matahari
dan air, menghasilkan makanan, berupa karbohidrat, pro
tein, lemak juga vitamin dan mineral, sangat berguna bagi
kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Tanaman adalah pabrik tanpa butuh bahan bakar
fosil, bahkan dia adalah sumber karbon, tidak membu
tuhkan energi listrik atau api untuk memasak makanan
nya agar bisa terus tumbuh. Pabrik ini tidak mencemari
media lingkungan, bahkan membantu 'membersihkan'
media udara yang kotor serta 'menyegarkan' udara. Akar
pohon berfungsi untuk menarik bahan baku dari dalam
media tanah, antara lain berbagai macam mineral yang
larut dalam air. Zat-zat tersebut 'dimasak' dalam 'pabrik'
berupa daun, menghasilkan karbohidrat (tepung, gula,
selulosa/serat), oksigen, yang seringkali disimpan dalam
gudang berbentuk buah dan biji sebagai agen pertumbuh
an selanjutnya.
Ruang Terbuka Hijau 61
2.3.1 Manfaat bagi Kesehatan
Tanaman sebagai penghasil oksigen (02) terbesar dan
penyerap karbon dioksida (CO) dan zat pencemar udara
lain, khusus di siang hari, merupakan pembersih udara
yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (ab
sorbsi) dan penjerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis,
yang terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuh
an (batang, bunga, dan buah).
Pembuktian bahwa tumbuhan dapat efektif memben
tuk udara bersih dapat dicermati dari hasil studi penelitian
Bernatzky (1978: 21-24) yang menunjukkan bahwa setiap
satu ha RTH yang ditanami pepohonan, perdu, semak
dan penutup tanah, dengan jumlah permukaan daun se
luas lima ha, maka sekitar 900 Kg C02
akan dihisap dari
udara dan melepaskan sekitar 600 Kg 02
dalam waktu
12jam.
Hasil penelitian Hennebo (1955) menyimpulkan, ter
jadinya pengendapan debu (aerosol) pada lahan terbuka,
khusus pada hutan kota. Pengendapan debu dipengaruhi
oleh jarak RTH terhadap sumber debu, jenis dan konsen
trasi debu, kondisi iklim, topografi, jenis, dan kelompok
tanaman, serta struktur arsitektural RTH.
2.3.2 Ameliorasi lklim
Dengan adanya RTH sebagai 'paru-paru' kota, dengan
sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman.
Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkait
an antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara,
cahaya, dan pergerakan angin.
Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu
di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), diban
ding dengan suhu di 'luar'nya, bisa mencapai perbedaan
62 Ruang Terbuka Hijau
Gambar 2.7: Peavy Plaza di Minneapolis, Amerika Serikat
Merupakan 'unsur penyejuk' suasana kota. Kolam 'air terjun' ini
dirancang oleh M. Paul Friedberg, seorang arsitek lansekap yang
merupakan salah satu karyanya yang terkenal.
(Maja/ah Landscape Architecture, May 1989, ha/90)
angka sampai 2-4 derajat celcius (Purnomohadi, 1995).
RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari, de
ngan adanya RTH maka secara alami udara panas akan
terdorong ke atas dan sebaliknya pada malam hari uda
ra dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon
adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar ma
tahari di samping sebagai penahan angin kencang, pare
dam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi
tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di 'atas' kota
Gambar2.8:
Orientasi kemiringan dan besaran cahaya matahari adalah dua kali
lebih besar pada permukaan tanah yang tegak lurus dari arah cahaya
matahari dibandingkan dengan permukaan tanah dengan sudut (slope)
30 derajat terhadap arah cahaya matahari.
(Austin, 1985, hal 35)
Gambar2.9:
lklim mikro dan suhu lokal yang terbentuk oleh deretan pepohonan
menunjukkan aliran udara masuk ke bagian bawah di antara batang
batang pohon tersebut, dapat menurunkan suhu antara 10-20%,
antara lain akibat te~adinya proses pernafasan dan penguapan dari
pepohonan tersebut yang mampu mengeliminasi radiasi cahaya
matahari.
(Austin, et. a/ (Eds), 1985, hal 37)
~ -------------------------------------- ~MM~
Gambar 2.10: ~
Sebuah studi analisis tapak pada daerah yang sengaja tidak dibangun
berdasar tujuan agar dapat dihasilkannya IKLIM MIKRO yang nyaman,
terutama di musim panas.
(Austin, et. a/ (Eds), 1985, ha/41)
Ruang Terbuka Hijau 63
r . . "-,~~ ··.···z··.·:··J·· ... ·.· . . •' . . ..
'?- .
Gam bar 2.11: Kubah Debu. Kubah debu terbentuk secara berkala di atas kota besar karena
partikel-partikel debu dan asap masuk ke dalam udara sebagai akibat
dari aktivitas dalam kota.
Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 ha/aman 112
. .. . . . f FILTRAsiJPENcucl uoAiiA·l · .. ,
Gambar 2.12: Pencucl Udara. Partikel-partikel debu yang beterbangan ditahan oleh pepohonan.
Kegunaan pepohonan sangat penting untuk membersihkan udara.
Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 115
64 Ruang Terbuka Hijau
Jalur jalan tanpa pepohonan
Gambar 2.13: Perbandlngan Jalur Jalan. Kegunaan pepohonan dalam mengurangi pencemaran udara,
khususnya partikel debu (TSP) melalui penangkapan (menyerapkan
dan menjerap) partikel-partikel debu yang melayang dalam media
udara hasil emisi kendaraan bermotor, industri dan sarnpah. Nampak
perebedaan nyata (dramatis). Satu pohon dewasa dapat menyerap
beberapa ratus kali bobot debu pada dedaunannya dan yang secara
periodik dihapus oleh adanya hujan lebat.
Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 116
·, : ,.. . Pengendapan kotoran
Gamber 2.14: Oksigenisasi dan sirkulasi angin untuk 'perbaikan udara.
Pepohonan mampu secara nyata 'membersihkan' media udara dari
zat-zat pencemar yang melayang melalui proses oksigenasi berdasar
dari tatanan struktur tegakan (tanaman) bila kombinasi struktur
dedaunan berlapis-lapis secara vertikal maupun horizontal relatif akan
lebih efektif 'menangkap' zat pencemar udara. Namun perlu diingat
pula bahwa bila terlalu lebat udara pengapakan sulit diencerkan
kecuali ada tiupan angin dengan kekuatan memadai. Melalui konversi
C02 (siang hari) menjadi kayu (carbon sink) dan menghasilkan 02
kuantitatif secara massal. Sesuai tinggi dan keadaan dedaunan yang berlapis-lapis diperkirakan bahwa dari satu hektar ruang hijau
berpohon menyediakan setara dengan luas area dedaunan sekitar lima
hektar (5x lipat). Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 117
Panas kering
Butuh keteduhan di atas garis ini
Kelembaban Relatif (%)
Gambar 2.15: Zona Nyaman.
Di sini ruang luar dan penggunaan tanaman mempunyai peran
nyata dalam memperbaiki iklim yang ekstrim dan tidak nyaman.
Penggambaran berbagai hubungan antara suhu dan kelembaban
nampak nyata dilihat dari grafik indeks bio-iklim. Kondisi yang
berlangsung dipetakan untuk bisa menunjukkan bagaimana ukuran
ukuran korektif diperlukan untuk menjaga zona yang sesuai dengan
kenyamanan tubuh. Grafik ini diaplikasikan pada zona iklim sedang di
Amerika pada elevasi tidak lebih dari 1 00 kaki dan untuk manusia yang
berpakaian yang biasa dipakai di dalam rumah dan sedang duduk
santai mengerjakan pekerjaan ringan. Perencanaan ruang luar dan
penggunaan pohon-pohon memainkan peran yang sangat penting
pada iklim ekstrim dan tidak nyaman.
Dikutip dari: Grove & Cresswell, 1983 halaman 119
Catatan: Sangat diperlukan penelltian dalam iklim tropls yang mirip atau bahkan lebih maju dari penelltlan dalam lklim sedang yang sudah banyak dilakukan di Negara Barat. apalagi bila dllngat sebaran sangat luas dari kepulauan NKRI ini dari Barat ke nmur dan U1ara ke Selatan. yang mesklpun berada peda garis ekuator yang tertetak hampir tepet di tengah-tengah Negara
AI ini. kondisl biogeografinya bisa jauh berbeda.
Ruang Terbuka Hijau 65
Gambar 2.16: Taman Tezozomoc
Memenangkan penghargaan Iomba perancangan arsitektur lansekap oleh American Society of Landscape Architecs (ASLA), Taman Rekreasi di Mexico 'Parque Tezozomoc' (toto oleh Gabriel Figueroa-Flores) memanfaatkan perbedaan topografi lahan dan laguna yang sudah ada. Taman ini dibangun pada salah satu lokasi yang termasuk termiskin di bagian Mexico City, saat itu saja (1989) sudah dikunjungi sekitar 5.000- 20.000 pengunjung tiap minggu. Taman tersebut dimanfaatkan untuk olahraga senam bersama (semacam Taman Madan Merdeka/Monas di Jakarta).
(Trulove, 1989, hal 50 dan 51)
tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih
luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.
Namun demikian, cara penanaman tetumbuhan yang
terlalu rapat pun, bisa menyebabkan daya perlindungan
nya menjadi kurang efektif. Angin berputar di 'belakang'
kelompok tanaman, justru dapat meningkatkan polusi di
wilayah ini. Penanaman sekelompok tumbuhan dengan
berbagai karakteristik fisik, di mana perletakkan dan ke
tinggiannya pun bervariasi merupakan faktor perlindung
an yang lebih efektif.
Carpenter (1975), mengatakan bahwa RTH Kota de
ngan ukuran ideal (0,4 Ha), mampu meredam 25-80%
kebisingan. Ukuran seluas 2.500 m2 ini kemudian diambil
sebagai patokan luas minimal sebuah RTH Kota. Besar-
66 Ruang Terbuka Hijau
an daya peredaman yang merupakan proses fisika dan
kimiawi yang dinamis tersebut, tentu saja sangat ter
gantung pula pada besaran daya serap, daya jerap dan
daya akumulatif tetumbuhan yang dapat diatur sehingga
terjadi beberapa strata ketinggian dimaksud misal: be
saran daya peredaman tergantung dari beberapa faktor,
sebagai berikut:
(1) Tipe tingkat intensitas kekuatan asal suara,
(2) Tipe tinggi, kerapatan dan jarak RTH dari
sumber suara,
(3) Kecepatan dan arah angin,
(4) Suhu dan kelembaban udara.
Ciri-ciri jenis tanaman yang secara efektif dapat mere
dam suara (kebisingan), ialah yang mempunyai karakter-
CARBON DIOXIDE
Water 1 photooyothe•sj •,.,.~~poca:~ocotooc
' eoteo ~ Plants ----- -----~ Animals ! 2+
combinofionr ~~2+ ~~h ~y)· L1tter
I Bico .. nates
Carbonates
precipitation~ t Carbonate rocks
decoy l / .... Fossil fuels~------- Decomposers
Gambar 2.17: Siklus Karbon
(Vickery, 1944, hal 6)
Soluble phosphates / f1xed as
I OXIdeS by
, lightning
/ ox~d1zmg . . _ ox1d1Z1ng . loss by Amm~~a orgam~ N1tntes orgomsin~ N1trates leaching
- Plant- ~ · · __ '!J,croarga .. . absorbed -·---. ___ n,sm Ossa by roots
-- -. _ ~IOI1ans
decomposer~ ------_ Plants death ____ ,
---------- :eaten L1tter ~=-~--- deotn T
-------------Animals
Plants
Animals
I
~ Litter
(insoluble organic phosphorus compounds and phosphates l Gambar 2.18 (atas): Siklus Nitrogen
(Vickery, 1944, hal 6) Insoluble phosphates ~oorgonisms
Gambar 2.19 (kanan): Siklus Fosfor
(Vickery, 1944, hal 7) t· Rocks
Ruang Terbuka Hijau 67
Carbon dio~tide
! I
DAY
Oxygen
~I I
68 Ruang Terbuka Hijau
7
Tanaman berakar ) dangkal (semak,
~ /% rumput, perdu)
7
- Konsentrasi nutrient (pada area yang air
hujannya rendah)
NIGHT
Carbon Oxygen dio~tide
.! I
Gambar 2.20 (kirl): Siklus Nutrient
(Vickery, 1944, hal27)
Gambar 2.21 (atas): Pertukaran nitrat dengan bikarbonat
(Vickery, 1944, hal 29)
Gambar 2.22 (klri): Pertukaran gas CO-O dalam tanaman
(Vickery, 1944, hal 80)
Gambar 2.23 (atas): Difusi C02 ke daun dari: udara <-> tanaman
(Vickery, 1944, hal 81)
Gambar 2.24: Taman IBM federal Systems Division Facilities (NASA)
Taman ini juga memenangkan penghargaan Iomba perancangan
arsitektur iansekap oleh American Society of Landscape Architecs (ASLA),
khususnya sebagai taman yang mampu menjadi "pengikat" antara
bangunan (terbangun) dengan wilayah di sekelilingnya yang relatif
tak ada bangunan arsitektur yang menonjol. Taman dengan elemen
tanaman air (bunga Teratai) diatur dalam kolam-kolam, dimaksudkan
sebagai refleksi dari langit serta merupakan seni rancang berlanjut dan
terkait dengan seni bangunan (arsitektur) jalur-jalur jalan (parterre) ini
menghubungkan bangunan dengan Taman Hutan Kota di depannya, di
Indonesia RTH-semacam ini di Indonesia masih langka.
(Trulove, 1989, ha/ 64 dan 65)
istik fisik umum yaitu di antara ciri-ciri kombinasi bertajuk
rapat dan tebal, berdaun ringan serta mempunyai tang
kai-tangkai daun.
RTH sebagai pemelihara akan kelangsungan perse
diaan air tanah. Akar-akar tanaman yang bersifat peng
hisap, dapat menyerap dan mempertahankan air dalam
tanah di sekitarnya, serta berfungsi sebagai filter biologis
limbah cair maupun sampah organik. Salah satu referensi
menyebutkan, bahwa untuk setiap 1.000.000 penduduk
yang menghasilkan sekitar 4,5 juta liter limbah per hari
diperlukan RTH seluas 522 hektar.
RTH sebagai penjamin terjadinya keseimbangan
alami, secara ekologis dapat menampung kebutuhan
hidup manusia itu sendiri , termasuk sebagai habitat alami
flora, fauna, dan mikroba yang diperlukan dalam siklus
hidup manusia.
RTH sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektural.
Tanaman mempunyai daya tarik bagi mahluk hid up melalui
bunga, buah maupun bentuk fisik tegakan pepohonan
nya secara menyeluruh. Kelompok tetumbuhan yang ada
di antara struktur bangunan kota, apabila diamati akan
membentuk perspektif dan efek visual yang indah dan
teduh menyegarkan (khususnya di kota beriklim tropis).
RTH sebagai wadah dan obyek pendidikan, penelitian,
dan pelatihan dalam mempelajari alam. Keanekaragaman
hayati flora dan fauna dalam RTH kota, menyumbangkan
apresiasi warga kota terhadap lingkungan alam, melalui
pendidikan lingkungan yang bisa dibaca dari tanda-tanda
Ruang Terbuka Hijau 69
Gambar 2.25 (atas): Manfaat terkait di dalam seni Arsitektur.
Gaya bangunan tertentu nampak eksotik bagi orang Barat seperti di
sebuah Desa Batak, Sumatera ini.
(Papanek, 1999, hal 116)
Gambar 2.26 (kanan): Rumah Panggung.
Nampak arsitektur tradisional masyarakat Toraja.
(Papanek, 1999, hal 145)
(signage, keterangan) bertuliskan nama yang ditempelkan
pada masing-masing tanaman yang dapat dilihat se
hari-hari, serta informasi lain terkait. Dengan demikian,
pengelolaan RTH kota akan lebih dimengerti kepenting
annya secara apresiatif, sehingga menjadi tertib. RTH
sekaligus juga merupakan fasilitas rekreasi yang lokasi
nya merata di seluruh bagian kota, dan amat penting bagi
perkembangan kejiwaan penduduknya.
RTH sebagai jalur pembatas yang memisahkan antara
suatu zona dengan zona lainnya, misal antara zona per
mukiman dengan zona industri atau zona lainnya dimana
RTH digunakan sebagai lahan cadangan.
Dalam Rencana lnduk Kota dan atau Rencana Tata
70 Ruang Terbuka Hijau
Ruang Kota pengembangan daerah yang belum terba
ngun bisa dimanfaatkan untuk sementara sebagai RTH
(lahan cadangan) dengan tetap dilandasi kesadaran bah
wa lahan cadangan ini suatu saat akan dikembangkan
sesuai kebutuhan.
Manfaat eksistensi RTH secara langsung membentuk
keindahan dan kenyamanan, maka bila ditinjau dari segi
segi sosial-politik dan ekonomi, dapat berfungsi penting
bagi perkembangan pariwisata yang pada saatnya juga
akan kembali berpengaruh terhadap kesehatan perkem
bangan sosial, politik dan ekonomi suatu hubungan an
tara wilayah perdesaan-perkotaan tertentu.
2.3.3 Manfaat Terkait Fungsi Ekonomi (Produktif)
Penelitian terperinci akan manfaat ekonomi RTH se
cara rinci, terutama dari sisi produktivitas sejauh ini be
lum terdengar. Selama ini telah ada beberapa penelitian
empiris tentang pertanian perkotaan atau taman hutan
kota, itupun masih terpisah-pisah dan menyebar sesuai
kebutuhan pada ruang dan waktu tertentu. Jadi, bebe
rapa penelitian mandiri dan terpisah telah dilakukan oleh
para peneliti menyangkut eksistensi RTH dengan bobot
ekonomi yang sebagian besar dilakukan di Jakarta. Lo
kasi-lokasi studi biasanya menyangkut kawasan perta
nian dan perhutanan kota yang ditransformasikan dari
produktivitas hasil penanaman tanaman. budidaya, se
perti sayur mayur maupun sentra produksi sayur, seperti
di daerah Sunter, dan produksi buah (dulu) di Kawasan
Pasarminggu, dan daerah konservasi budaya Condet.
Semua orang tahu, bahwa tanaman sebagai salah satu
komponen hidup (biotik) di dunia sangat diperlukan ma
nusia dan makhluk hidup lain. Tanpa tanaman tidak akan
ada kehidupan lain di dunia karena tanaman merupakan
'pabrik makanan' (produsen primer) dalam siklus rantai
makanan, sedang yang lain adalah konsumen. 'Pabrik
makanan' tersebut dibagi dalam tiga tingkat (trophic
level), primer, sekunder dan tarsier, artinya hanya tumbuh
an hijau (tanaman) yang dapat membuat makanannya
sendiri melalui proses fotosintesis yang terjadi pada ba
gian tanaman yang mempunyai zat hijau daun (khlorofil),
dengan bantuan pusat energi (sinar matahari). Manusia
masuk ke dalam kelompok 'omnivora' karena dapat lang
sung memanfaatkan hasil produksi tanaman atau tidak
langsung, misal kebutuhan akan daging dari hewan yang
sengaja dibudidayakan (ternak atau pun beberapa jenis
makanan yang diawetkan (diasap, diasin, disimpan dalam
'container), dan seterusnya.
Manusia membutuhkan karbohidrat, protein dan le
mak sebagai makanan utama, juga vitamin dan mineral
yang sebagian besar diperoleh dari tanaman, seperti: (1)
beras dan gandum serta umbi dari tanaman padi, gan
dum, kasava, dan sebagainya; (2) Gula, dari tanaman
tebu, biet, enau/aren, kelapa, dan seterusnya, (3) minyak
goreng, mentega, margarine, lemak, dihasilkan dari kela
pa, kelapa sawit, jagung, kedelai, biji kapuk/kapas, dedak
padi, biji bunga matahari, dan sebagainya, (4) vitamin dan
mineral, didapat dari bebagai macam tumbuhan sayur,
bebuahan, dan seterusnya.
'Pabrik-pabrik' ini tidak memerlukan bahan bakar fo
sil, atau tenaga listrik maupun api untuk menjalankannya,
tetapi memerlukan energi dari matahari, serta dapat di
usahakan secara terus-menerus, setiap kali dapat diper
baharui atau diremajakan, diperbanyak atau dikurangi,
bahkan dikembangkan sekehendak manusia untuk me
menuhi keanekaragaman kebutuhan yang sejalan dengan
bertambahnya waktu akan terus meningkat. "Pabrik ba
han makanan alam" ini, bahkan tidak mencemari udara,
tanah dan air, sebagai media lingkungan, bahkan mem
bantu mencuci bersih media tersebut serta menyegarkan
udara.
Akar yang 'membengkak' pun diperlukan manusia
sebagai pilihan (alternatif) makanan, seperti ketela po
hon, ubi, biet, kacang tanah, kentang, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini tanaman obat atau jamu (herb medicines)
semakin berkembang dan meluas di seluruh dunia. yang
juga dapat berfungsi sebagai anti-racun, anti-oksidan,
dan sebagainya, telah menjadi komoditas penting dan
Ruang Terbuka Hijau 71
Tabel2.1: Tipologi RTH berdasar pada Fungsi, Jenis dan
Fungsi-fungsi Umum RTH
I. Ekologis (Konservasi)
Klasifikasl RTH dan Manfaatnya
• RTHWilayah
Tujuan Pembangunannya Semua bentuk RTH dalam batas administratif (Antar Propinsi, Antar Kota/Kabupaten)
72 Ruang Terbuka Hijau
pada skala: lokal, regional maupun nasional, • RTH berupa Koridor Sepanjang pada satuan administratif Kabupaten & (bantaran) Sungai, Danau/Waduk &
Kota/Perkotaan, khususnya fungsi konservasi Jalur Pesisir Pantai (perlindungan & pelestarian).
II. Sosiai-Ekonomi-Budaya (Produktif-budidaya)
Ill. Pengaman Sarana dan Prasarana
Taman Hutan Kota Kawasan Hijau Pertanian (Budidaya
Pertanian dalam artian luas, termasuk
kegiatan Perikanan & Peternakan)
• Taman Sejarah (Historic Parks: Etnis-Arkeologis)
• Rekreatif, pada RTH yang umumnya dapat
dimanfaatkan sebagai 'arena rekreatif',
baik secara aktif maupun pasif
• Edukatif, di mana fungsi utamanya adalah untuk
pelestarian fungsi lingkungan beserta
segala isi flora dan fauna yang ada.
• Jalur Hijau (green belt) Transportasi • Jalur Hijau di Jalur Listrik
Tegangan Tinggi
• Hijau Pengaman Fasilitas Hijau lain (buffer zone atau koridor kota, dan
pengaman dari erosi air dan tanah)
Sebutan Jenls-Jenls RTH
• RTH (Taman) Kota, taman-taman rekreasi
• Roof Top Garden/Taman Atap
atau Tanaman pada teras-teras bangunan bertingkat dan di samping bangunan
• Tanaman-tanaman (hias) dalam pot (efisiensi ruang),
berupa: tanaman pot buah, bunga, sayur, dan obat yg diatur dalam susunan/bentuk vertikal
• Taman Hutan Rakyat (TAHURA)
• Hutan Wisata
• Taman Wisata (pada situs sejarah, seperti: Borobudur, Prambanan, dan Taman Peninggalan Kerajaan; seperti
halaman keraton, istana (banyak terdapat di Indonesia)
• Aktif: - l;lijau Olah Raga,
-Taman Bermain Anak (TBA),
- Taman khusus lANSIA (Lanjut Usia)
• Pasif: - Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS),
- Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA)
- Hijau Pekarangan atau Halaman, bagian dari kawasan dengan peruntukkan tertentu, seperti:
- Permukiman, tunggal maupun 'real estate'
- Sekolah/Perguruan Tinggi
- Perkantoran
- Perindustrian (pabrik) , termasuk perhotelan (resort wisata, dll.).
- Kebun Raya, Kebun Raja, Arboretum,
- Kebun Binatang, DLL.
- Kebun Bibit, untuk berbagai fungsi (dekoratif, bunga, buah, sayuran, obat-herb medicines, dsb.)
• Jalur Hijau Lalu Lintas (dalam kota, antar kota, jalan bebas hambatan, dst.)
• Jalur Hijau Rei KA
• Jalur SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi)
• Tempat Pemakaman Umum (TPU)
• Jalur 'Pengaman' di kawasan curam' (lereng, bukit)
• Tempat Pembuangan Sampah Sementara/Akhir (TPS I TPA)
Ruang Terbuka Hijau 73
Gambar 2.27 (kiri): Bagian atas dari Lopo yang berbentuk loteng tempat menyimpan bahan pangan atau lumbung keluarga.
Gambar 2.28 (kanan atas): Bagian kolong di bawah panggung rumah Ume.
Gambar 2.29 (kanan bawah): Tampak sebuah keluarga penghuni Rumah Ume yang terdiri dari ayah; ibu dan anak.
(Kanwil Dep Sos, NTB, 1989)
Gambar 2.30 (kiri): Rumah adat tradisional Sumba dalam satu deretan perkampungan di Pulau Sumba; disebut Uma Mbatangu.
74 Ruang Terbuka Hijau
Gambar 2.31 (kanan): Pekuburan dari batu yang diletakkan di depan rumah.
(Kanwil Dep Sos, NTB, 1989)
menguntungkan. Beberapa tanaman obat (asli) Indonesia
jenis tertentu, termasuk rumput laut, ganggang, dan ma
sih banyak lagi, bahkan telah dipatenkan oleh beberapa
perusahaan besar di negara lain, tentu demi keuntungan
ekonomis juga. Manusia tidak atau kurang produktif bila
jatuh sakit, akibat kekurangan gizi, terpapar pada ber
bagai bentuk pencemaran dan kerusakan lingkungan
yang semakin meningkat akibat tidak atau belum adanya
pengelolaan lingkungan yang menyeluruh dengan baik.
Manfaat RTH ditinjau dari transformasi nilai kehilang
an produktivitas penduduk kota akibat terkena penya
kit karena memburuknya kualitas lingkungan, dampak
pencemaran media udara, air dan tanah pun telah ada,
namun sekali lagi studi-studi ini jangkauannya masih
sangat terbatas. Karena itu memang diperlukan segera
Gambar 2.32 (paling kiri):
Rumah Adat Timor (LOPO),
bangunan untuk laki-laki.
(Kawil Dep Sos, NIT, 1989)
Gambar 2.33 (kiri): Rumah
Adat Tradisional Sumba dalam
satu deretan perkampungan
di Pulau Sumba disebut UMA
MBATANGU artinya 'Rumah
)3ermenara' . Posisi rumah dilihat
dari depan.
(Kanwil Dep Sos, NIT, 1989)
adanya upaya koordinatif untuk mengkompilasi data dan
hasil penelitian yang telah dilakukan, bahkan bila me
mungkinkan segera disusun suatu proposal pengajuan
fenomena turunnya kualitas lingkungan yang berdampak
baik pada kesehatan warga kota semua strata, maupun
kerugian finansial akibat kerusakan dan pencemaran ling
kungan yang nyata terjadi pada benda-benda yang ada.
Tumbangnya beberapa pohon peneduh di sepanjang
jalur jalan akibat angin puyuh, yang akhir-akhir ini sering
terjadi di ibukota Jakarta sudah mengakibatkan hilang
nya nyawa beberapa orang. Kemungkinan disebabkan
kurangnya pemeliharaan setiap jenis pohon besar sehing
ga tidak membahayakan. Tentu saja kerugian secara ma
teri pun relatif amat besar. Demikian pula akibat musibah
kebakaran yang termasuk dampak dihilangkannya sistem
Ruang Terbuka Hijau 75
Tabel2.2: Beberapa Jenis RTH Rancangan Pola Dasar Pertamanan DKI Jakarta Tahun 2005
76 Ruang Terbuka Hijau
I
JENISRTH
TAMAN KOTA
termasuk : Taman Bermain
Anak/ Balita), Taman Bunga,
(Lansia)
JALUR (tepian) SEMPADAN
SUNGAI dan PANTAI
TAMAN - OLAHRAGA,
BERMAIN, RELAKSASI
TAMAN PEMAKAMAN
(UMUM)
PERTANIAN KOTA
TAMAN (HUTAN) KOTA I PERHUTANAN
TAMAN SITU, DANAU,
WADUK, EMPANG
KEBUN RAYA, KEBUN
BINATANG, (NURSERY)
TAMAN PURBAKALA
JALUR HIJAU
PENGAMANAN
TAMAN RUMAH sekitar
bangunan Gedung - tingkat
'PEKARANGAN'
FUNGSI LAHAN
Ekologis,
Re-kreatif,
Estetis,
Olahraga (terbatas)
Konservasi, Pencegah erosi,
Penelitian
Kesehatan,
Rekreasi
Pelayanan Publik (umum),
Keindahan
Produksi, Estetika,
Pelayanan publik (umum)
Konservasi,
Pendidikan,
Produksi
Konservasi, Keamanan
Konservasi, Pendidikan,
Penelitian
Konservasi, Preservasi,
Rekreasi
Keamanan
Keindahan, Produksi
TWUAN
Keindahan (tajuk, tegakan pengarah, pengaman, pengisi
dan pengalas), kurangi cemaran, meredam bising, perbaiki
iklim mikro, daerah resapan, penyangga sistem kehidupan,
kenyamanan
Perlindungan, mencegah okupansi penduduk-mudah
menyebabkan erosi, iklim mikro, penahan 'badai'
Kenikmatan, pendidikan, kesenangan, kesehatan, interaksi,
kenyamanan
Pelindung, pendukung ekosistem makro, 'ventilasi' dan
'pemersatu' ruang kota
Kenyamanan spasial, visual , audial dan thermal, ekonomi
Pelayanan masyarakat dan penyangga lingkungan kota,
wisata alam, rekreasi , produksi hasil 'hutan ': iklim mikro,
oksigen, ekonomi
Keseimbangan ekosistem, rekreasi (pemancingan)
Keseimbangan ekosistem, rekreasi (ekonomi)
Reservasi , perlindungan situs, sejarah
national character building
Penunjang iklim mikro, thermal , estetika
Penunjang iklilm mikro, 'pertanian subsisten ' : TOGA
(tanaman obat keluarga) I Apotik Hidup, Karangkitri
(sayur dan buah-buahan)
KETERANGAN
Mutlak dibutuhkan bagi kota, keserasian, rekreasi aktif
dan pasif, nuansa rekreatif, terjadinya keseimbangan
mental (psikologis) dan fisik manusia, habitat,
keseimbangan ekosistem
Perlindungan total tepi kiri-kanan bantaran sungai
(+1- 25-50 meter) rawan erosi. Taman laut.
Rekreasi aktif, sosialisasi , mencapai prestasi ,
menumbuhkan kepercayaan diri .
Dibutuhkan seluruh anggota masyarakat, menghilangkan
rasa 'angker'
Peningkatan produktivitas budidaya tanaman pertanian
Pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan plasma
nutfah, keanekaragaman hayati , pendidikan penelitian
Pelestarian SD-air, flora & fauna (budidaya ikan air tawar)
Pelestarian plasma nutfah, elemen khusus Kota Besar,
Kota Madya
'Bangunan' sebagai elemen taman
Pengaman: Jalur lalu-lintas, rei KA, jalur listrik tegangan
t inggi, kawasam industri dan ' lokasi berbahaya' lain.
Pemenuhan kebutuhan pribadi (privacy). Penyaluran
'hobby' pada lahan terbatas. Mampu memenuhi
kebutuhan keluarga secara berkala dan 'subsistent'
------------ --
Ruang Terbuka Hijau 77
2
3
Gambar 2.34: Beberapa Rekaman Foto Tim Kerja ke Bali, Mei 2006
Pada sebagian besar lokasi dapat dirasakan suasana hijau, teduh dan
nyaman. Hanya disayangkan kurangnya pemanfaatan tanaman lokal
(endemik) seperti pohon Majegau (Oysoxylum densiflorum [81] Miq},
Nagasari (Mesua ferrea L.) dan Buah Leci (Lancium sp., khususnya di
daerah pegunungan)
4
78 Ruang Terbuka Hijau
(1) Di Pulau Bali selalu ditemukan
Pohon Beringin (Ficus, sp.) di
kawasan perkotaan maupun
perdesaan, (2) Suasana khas Bali,
(3) Jalur hijau jalan menggunakan
Tanaman Glodogan (Po/yaltea
longifolia) merupakan trend baru
kota-kota di Indonesia (lokasi Kota
Gianyar), (4) Suasana teduh di Jalan
Renon, Denpasar, (5) Jalan menuju
TPA Suwung, Denpasar, (6) Suasana
perdesaan nampak lapangan
terbuka untuk upacara (misal:
Ngaben), (7) Peremajaan Taman
Museum Kertagosa, Karangasem,
memakai tanaman Kamboja Jepang
5
8
9
(8) Taman Budaya, Denpasar, (9) Pura keluarga dan lingkungannya, Pemandangan Umum
ada di mana-mana di seluruh Pulau Bali, (1 0) 'Sunset' di pinggiran Kota Denpasar,
(11) Perempatan dekat Museum Kertagosa, Karangasem, (12) Sudut Alun-alun Kota Gianyar.
Ruang Terbuka Hijau 79
2
(1) Kota Bandar Lampung, sebenarnya mempunyai potensi bio-geografi yang menarik
karena lahan tidak merata. Disayangkan banyak 'view' yang tertutup oleh bangunan
sehingga mengurangi nilai keindahan alam dari kota dengan lahan berlembah dan
berbukit ini, (2) Kantor Bapedalda Provinsi Lampung juga berpotensi memiliki sudut
pandang ke luar alam yang indah. (3) Pohon Ki Hujan (Trembesi: Samanea saman) yang
dipertahankan dan sangat baik bila digunakan sebagai peneduh lingkungan kota, (4)
'Street Picture' di luar Kantor Bapedalda Provinsi Lampung sudah mulai tertata baik.
80 Ruang Terbuka Hijau
4
5
6
(5) Kola Bandar Lampung conloh lagi belapa pohon peneduh Trembesi
(Samanea saman) yang lerus dipertahankan perlu mendapalkan penghargaan,
(6) Upaya penghijauan jalur jalan hampir dilakukan di seluruh bagian kola.
Hanya sedikil diperlukan perapian jalur lepi (misal unluk pejalan kaki, orang
bersepeda, dan lain-lain), (7) Upaya unluk menekankan karakler budaya
lokal pada jalan dengan lepian berbukil, nampak menggambarkan Kerajinan
Tenun Tapis Lampung yang lerkenal indah, (8) Pemandangan ke arah lepi laul
(pelabuhan), (9) Salu lagi upaya penghijauan jalur lalu linlas di Kola Bandar
Lampung hanya perlu sedikil diperkaya dengan lanaman peneduh.
7
8
9
Gambar 2.35: Kota Lampung
Folo-folo Taman Kola dan jalur lransportasi (street pictures)
di Kola Bandar Lampung.
Ruang Terbuka Hijau 81
penataan ruang-ruang sebagai 'ilalar' (penyangga/pem
batas) api (brandgang) juga di antara struktur bangunan
(permukiman, perkantoran/perdagangan), tentu secara
finansial maupun kemanusiaan sudah sangat merugikan.
Biaya ekonomi akibat degradasi lingkungan su
dah nyata terjadi, hanya saja sebagian penduduk tidak
menyadari, bahkan mereka hidup di lingkungan lokasi
buangan sampah, mandi, mencuci, dan buang hajat di
sungai, ataupun di 'alam bebas' merupakan kebiasaan
buruk yang sulit diperbaiki. Di dalam RTH dimana siklus
siklus kehidupan dapat dikatakan berlangsung dengan
karakter alami, dimana fungsi pokoknya adalah menjadi
unsur penyeimbang dalam lingkungan binaan yang se
hat, seharusnya ada tersebar merata di antara dominasi
struktur fisik bangunan dalam kawasan binaan secara
proporsional. Sedang bentuk RTH itu sendiri bisa me
manjang, membulat, persegi empat maupun bulat atau
bentuk-bentuk geografis arsitektural, bahkan bentuknya
bisa dikatakan tak perlu beraturan (alami) sesuai dengan
tujuan dan kondisi geografisnya.
Kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pemeliharaan dan evaluasi) RTH, harus
tetap dan agar selalu secara konsisten, memperhatikan
berbagai faktor, yaitu:
• Fisik (dasar eksistensi lingkungan), bentuknya bisa me
manjang, bulat maupun persegi empat atau panjang,
atau bentuk-bentuk geografis lain sesuai geo-topo
grafinya.
• Sosial, RTH merupakan ruang untuk manusia agar bisa
bersosialisasi.
• Ekonomi, RTH merupakan sumber produk yang bisa di
jual (misal: bahan makanan berupa: bunga, buah,
82 Ruang Terbuka Hijau
dedaunan/sayur mayur, bahkan untuk dipanen umbi
dan atau akarnya).
• Budaya, ruang untuk mengekspresikan seni-budaya ma
syarakat, serta
• Kebutuhan akan terlayaninya hak-hak manusia (pendu
duk) untuk mendapatkan lingkungan yang aman (ter
masuk dari segi pentingnya kesehatan), nyaman, indah
dan lestari (UUPLH No. 23/1997), yaitu fungsional dan
estetis.
RTH merupakan bagian Sistem Tata Ruang Kota, yai
tu ruang terbuka (open space), di mana berbagai fungsi
dapat berlangsung sesuai dengan tujuan perencanaan
maupun perancangannya, yaitu, seperti: untuk Taman
Kota (Urban Parks), konservasi lahan (tanah, air dan sum
berdaya alam lain) seperti Taman Hutan-Kota, serta tu
juan untuk mempertahankan estetika sesuai nilai budaya
dalam sejarahnya. Dalam kelompok ini termasuk pula Ta
man Pemakaman Umum (TPU), serta Ruang Terbuka un
tuk pengaman fasilitas yang ada, seperti sarana penam
pung sampah padat sementara maupun akhir (TPAITPS),
dan sebagainya.
2.3.4 Manfaat Terkait Arsitektur (Kenyamanan)
Pertimbangan dari berbagai aspek, maka hubungan
antara arsitektur dan arsitektur lansekap secara alami
bersifat sangat 'komplementer' dan saling mendukung
pada skala yang luas, sebab pada hakekatnya kedua
disiplin ini mempunyai dasar tujuan sama yaitu berfikir,
berkreasi dan berkarya untuk memenuhi kebutuhan ma
nusia akan habitat hidup yang sehat, serasi, produktif
dan indah, sesuai dengan akar budaya bahkan falsafah
kehidupan serta pandangan masing-masing kelompok
manusia pada era dan lokasi tertentu.
Dalam pertemuan berkalanya 'Council of Educators
in Landscape Architecture' (CELA) di School of Design,
Department of Landscape Architecture University, Rhode
Island USA (1987), Margaret McAvin, dalam introduksinya
mengemukakan bahwa sebagaimana implikasi sesuai
namanya, maka aritektur dan arsitektur lansekap, tentu
mempunyai kesamaan tradisional dan sejarahnya, baik
dalam fungsi, bentuk maupun arti, dalam media mau
pun teknik-teknik pelaksanaannya. Meski sebenarnya
mudah dimengerti bahwa arsitektur lansekap tak selalu
harus ada struktur bangunannya. Yang jelas kedua pro
fesi ini mempunyai landasan berfikir yang sama (common
ground), yaitu 'menggubah ruang yang mempunyai lantai
dasar, atap dan 'dinding' bagi kenyamanan hidup manu
sia'. Keduanya bisa saling bersintesa maupun berintegra
si. Karena itu tidaklah mengherankan bila profesi arsitek
tur sering melakukan pekerjaan arsitektur lansekap, dan
sebaliknya hanya tentu saja penekanan terutama pada
struktur bangunan dan alamnya berbeda-beda.
Pada abad ke 19 dan awal abad ke 20, disiplin ar
sitektur lansekap lebih membedakan dengan arsitektur
sesuai dengan berkembang-luasnya arah perkembangan
keduanya yang memerlukan konsentrasi terpisah yang
semakin memerlukan pertanggung-jawaban profesional
nya yang semakin mengerucut. "Perbedaan' perkembang
an ini terutama bila dilihat dari skala perancangan (luas vs
sempit), fungsi (ruang terbuka vs ruang terbangun), ma
teri (tanaman vs struktur). lntegrasi perancangan dari ba
ngunan dan lansekap tak bisa lagi begitu saja dicampur
adukkan, sebab kedua-duanya memerlukan pendalaman
secara teoritis maupun praktis. Karena itu bila menyang
kut kedua disiplin ilmu tersebut, hendaknya dibahas atau
dinegosiasikan terlebih dulu wadah profesi perencanaan
dan perancangan secara berhati-hati sebab masing
masing punya ruang tersendiri, meskipun tetap dalam
satu khususnya dalam perancangan bangunan rumah
dan taman perumahan, yang bersifat terbatas maka mau
tak mau kedua profesi tersebut memang harus saling
berintegrasi.
Jadi dalam skala tertentu seperti pembangunan rumah
dan perumahan tersebut, perlu ada 'diskusi' agar hasil
perancangannya bisa saling mendukung, menyatu ber
integrasi sebagai sebuah karya optimal, dipandang baik
dari segi arsitektur (bangunannya) maupun arsitektur lan
skapnya (taman halaman rumah dan tapak di lingkungan
luarnya). Beberapa langkah untuk membedakan kedua
profesi ini, nampak dalam publikasi berupa buku atau
pun makalah biasa, terutama menyangkut "Perancang
an Taman" dalam skala relatif sempit, namun juga bila
menyangkut suatu perancangan dan perencanaan yang
khas, semacam Kebon Bibit (nursery), bahkan suatu Ke
bun Botani, Kebun Binatang, maupun perancangan Ta
man Nasional, seperti apa yang disebut 'visitors centre'
dalam sistem perencanaan Taman Nasional di beberapa
negara.
Pada beberapa kesempatan memang di mana diperlu
kan pemikiran yang lebih mendalam yaitu tentang di mana
kedudukan arsitek lansekap selaku profesi, program aka
demik atau sebagai disiplin dalam visi integratif, memang
perlu berbagi tempat dengan disiplin arsitektur atas apa
yang disebut 'common ground' tersebut dalam kaitannya
dengan sejarah dan teori perkembangan keduanya. Yang
Ruang Terbuka Hijau 83
terpenting adalah terbentuknya saling pengertian antar
kedua disiplin, khususnya bila menyangkut suatu pelak
sanaan yang menyangkut adanya kemungkinan untuk
kebersamaan. Modernisasi berkembang dalam interaksi
antar "bangunan-lansekap" atau transformasinya secara
nyata bisa dilihat dalam hubungan keduanya secara kon
septual, fisik, dan hubungan sosialnya.
Dalam buku RTH ini, maka konteks yang panting
adalah selama kedua displin tersebut sadar bahwa apa
pun yang akan dikerjakan, tetap berdasar pada sudut
pandang ekologis yang berkembang antara tahun 1960-
70-an. Dimana orientasi pandangan arsitektur lansekap
sangat mendukung pandangan ekologis tersebut, bahkan
dapat dikatakan bahwa perencanaan dan perancangan
lansekap mau tak mau haruslah pertama-tama berdasar
pada kondisi ekosistem lokal. Orientasi antara "Manusia
dan Alam, hubungan antara bangunan dan/menuju lan
sekap, lansekap kontemporer dan sejarah alami dan bu
daya" dimana arsitektur lansekap dan arsitektur lansekap
individual, merupakan peran yang panting bagi profesi
arsitektur lansekap.
2.4 TIPOLOGI RTH BERDASAR PADA JENIS, FUNGSI, DAN TUJUAN PEMBANGUNANNYA
Evaluasi pengelolaan RTH sebagai salah satu unsur
dari empat k~teria penilaian dalam program penghargaan
Kota 'Bersih, Hijau, dan Produktif', yang disebut pro
gram 'Adipura'. Sebagai Kota dengan kriteria penilaian
yang meliputi syarat-syarat sehatlbersih, nyaman, aman,
produktif dan indah diharapkan dapat berdampak posi
tif menuju kota sehat berwawasan lingkungan. Sedang
84 Ruang Terbuka Hijau
kategori kota dibedakan menjadi empat tingkatan kota
berdasar pad a besaran jumlah penduduk, yaitu: (1) Kota
Metropolitan (> 1 juta jiwa), (2) Kota Besar (500.001 s/d
1 juta jiwa). (3) Kota Sedang (1 00.001 s/d 500.000 jiwa,
serta (4) Kota kecil (20.001 s/d 1 00.000 jiwa). (Purnomo
hadi, 2005)
Tipologi RTH kota bisa didasarkan pada beberapa
variabel mendasar: jenis, fungsi dan tujuan pembangun
an RTH itu sendiri. Tipologi RTH ini tentu saja didasarkan
terutama pada letak atau lokasi dan pemenuhan kebutuh
an yang berdasar pula dari peruntukan dalam kawasan
perkotaan yang hendaknya disesuaikan pula dengan
kondisi geografis alaminya.
Sejarah peradaban manusia ditentukan pula oleh
eksistensi tanaman di sekitarnya, bahwa manusia tidak
bisa hid up tanpa tanaman, sampai saat ini sudah kita ya
kini. Man usia bermukim di kawasan perkotaan dan perde
saan, disebut 'lingkungan binaan', dimana kompleksitas
kegiatannya tergantung pada jumlah populasi manusia
dalam ruang-ruang dan waktu tertentu. Menyadari, bah
wa secara alami manusia sangat membutuhkan eksis
tensi tanaman seumur hidupnya, maka dari dalam dan
di antara kawasan binaan tersebut tetap diperlukan 'ka
wasan alami' untuk menjaga agar keseimbangan fungsi
lingkungan dalam struktur lingkungan binaan dan sumber
kehidupan sebagai 'kota yang sehat' tetap eksis.
Lingkungan binaan baik di lingkungan perdesaan
maupun di perkotaan menggambarkan pula tak hanya
karakteristik atau latar belakang kondisi alam lingku
ngannya, namun juga didasarkan pada sejarah budaya
dan religi penduduknya. Dalam mempelajari sejarah ke
budayaan lebih dari 300 suku bangsa di nusantara In-
donesia ini, nampak adanya perbedaan baik hanya tipis
atau mirip maupun sangat tajam, misalnya antara Suku
Jawa dengan suku di luar pulau Jawa. Akibat iklim dan
kondisi alamnya, maka semula hampir semua arsitek
tur bangunan rumah suku-suku bangsa di Indonesia ini
hampir mirip, yaitu memakai bahan-bahan dari SD-hayati
atau hutan di sekitar/dekat permukimannya, terutama
pemanfaatan akan kayu, bambu dan rerumputan serta
dasar bangunan yang 'diangkat' dari permukaan tanah.
Hal ini dimaksudkan agar (1) tidak mudah rusak akibat
tanah dan udara tropis yang lembab dan panas, serta
serangga dan hewan-hewan mikroba perusak (rayap,
semut dan lain-lain); (2) menghindari serangan langsung
binatang buas, dan (3) menghindari banjir {khususnya
pada permukiman tepi air).
Di antara sekian banyak suku, yang mudah dibedakan
atau dikenali adalah budaya suku bangsa Bali, dengan
agama Hindunya yang telah merasuk dalam jiwa dan
raga serta dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Me
reka sangat menghargai akan makhluk hidup lain sebagai
bagian dari alam semesta ini yang tidak boleh rusak {diru
sak) oleh manusia. Semuanya tergambar pada penataan
ruang terbukanya seperti dapat diamati dalam beberapa
ilustrasi di halaman berikut.
2.5. BENTUK-BENTUK RTH Penamaan bentuk-bentuk RTH disesuaikan dengan
peruntukan dalam zona pemanfaatan lahan (land use
zone) yang tertera dalam Rencana lnduk Kota/Rencana
Tata Ruang Kota yang telah disepakati antar para pihak
terkait dan kemudian disahkan sebagai peraturan daerah.
Kegiatan pengelolaan (sejak perancangan/perencanaan
Gambar paling atas 2.36: Roman house at Pompeii, ltalia.
"Ruang Terbuka" berada di dalam halaman dikelilingi tembok tinggi.
(Laurie, 1975)
Gambar atas 2.37: Vaux-le-Vicomte
Perancangan arsitektur Lansekap formal dengan
sumbu yang tegas/kuat. (Laurie, 1975)
Ruang Terbuka Hijau 85
Tabel 2.3: Rancangan Pola Dasar Dinas Jenis dan klasifikasi
(Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI, 2005)
No KlasifikasV Jml penduduk LuasTamanl JenisTaman pendukung penduduk
Olwa) (rn2)
I TAMAN UMUM
1. Taman Bermain 250 1
2. Taman Lingkungan 3000-30.000 0,5
3. Taman Kota 30-120.000 0,2-0,4
4. Taman Spesial (khusus) Min 1 jt
II TAMAN SEMI UMUM
1. Taman Rekreasi: Min 1 juta 0,5-0,8
-Aneka Loka 1 juta 0,5-0,8
-Tirta Loka 2 juta 0,5-0,8
-Taman Margasatwa 2 juta 0,5-0,8
-Taman Aneka buah Min 2 jt 0.3-0,5
2. Taman Pendidikan 2 juta 0.3-0.1
-Taman Botani
- Taman Penelitian
- Bumi Perkemahan
3. Kebun Bibit 1 juta 0.5-0,5
4. Taman Terpadu Min 30.000 0,5-0,10 c---
Ill TAMAN PRIVATI Min 10% dari
TAMAN HALAMAN luas lahan
86 Ruang Terbuka Hijau
Luas Taman : Alt8l nattr Radlua Pelayanan seluruhnya ,........,
(m2) I II
250 73 RT/RW
1,500 252 Beberapa RW/
12-42,ribu 798~ 1 .596 Kel Kecamatan
Min 200.ribu 4,607 Wilayah Kota
Min 500. rb 4.607 Wil Kota Prov
500 rb 4.607 (kota metro
Min 1 jt 6.516 DKI Jakarta)
Mi 1 jt 6.516
Min 600, rb 6.516
Min 200.rb 6.516 Prov (kota metro
DKI Jkt) Wil Kota
Min 200.rb 4.607
50.rb 4.607 Wil kota
15 rb 798 Kec/Wil Kota
pelaksanaan, pemeliharaan sampai kepada pengawasan
berkesinambungan), maka fungsi RTH sesuai dengan
bentuk-bentuknya harus tetap mampu secara konsisten
tetap memperhatikan faktor dasar eksistensi dan kondisi
lingkungannya, baik secara fisik, ekonomi, sosial, buda
ya, maupun secara umum dapat melayani manusia untuk
memperoleh hak-hak manusiawinya, untuk memperoleh
lingkungan yang aman (khususnya ditinjau dari aspek ke
sehatan), namun tetap indah dan fungsinya tetap lestari.
Taman Lingkungan Perumahan tentu merupakan bagian
RTH pembentuk kota dalam Sistem Tata Ruang Kota.
Bentuk-bentuk ruang terbuka (RTH adalah bagian dari
padanya) dan pengelompokan bentuk menuju ke ukuran
yang semakin luas dapat ditelusuri melalui penjelasan
dalam uraian selanjutnya
Beberapa jenis RTH di bawah ini dikutip dari Konsep
Laporan Akhir, Maret 2005 DKI Jakarta: "Rancangan Pola
Dasar Pertamanan DKI, Jakarta, Tahun 2005", menggam
barkan klasifikasi/jenis taman berdasar kebutuhan jumlah
penduduk pendukungnya disesuaikan dengan luas ta
man per penduduk maupun kelompok penduduk, serta
radius pelayanannya.
2.5.1 Taman Lingkungan Perumahan
Menurut sejarah di negeri barat, rumah atau tempat
tinggal yang kemudian disebut perumahan bila berkum
pul menjadi kelompok dari rumah-rumah adalah tidak
merupakan rangkaian suatu kelompok yang terdiri dari
lahan perumahan individual, atau jajaran perumahan,
kondominium atau kompleks apartemen. Hubungan an
tara ruang terbuka (RT), baik untuk kepentingan pribadi
pribadi (dalam masing-masing unit rumah) atau untuk
Gambar 2.38: Plan of Versailles (1662-1665).
Citra RTH kota tropis tentunya berbeda antara negara-negara tropis
maupun sub tropis, apalagi dengan negara beriklim dingin.
(Laurie, 1975)
Ruang Terbuka Hijau 87
0 SO 100 2$0F ·~·~···~ .. ~--~--.£3· .... .-t:::::-. .... ~~ T
0 ~ ~ ~M -~--··===----===~--,~~--.£==~1~
Gam bar 2.39: Cluster development.
Kompleks permukiman di mana Ruang Terbukanya "keluar" dari
rumah-rumah individu, berupa suatu lingkungan tertutup "cut de sac".
(Laurie, 1975)
88 Ruang Terbuka Hijau
kepentingan umum (publik). Namun bila tertata (diren
canakan) disebut sebagai suatu sistem permukiman
dengan berbagai sarana penunjang, bentuk arsitekturnya
bisa beranekaragam, dimana masing-masing bisa mem
punyai ciri khas tertentu.
Sejarah transformasi adanya bentuk dan letak RT
menunjukkan bahwa RT tersebut semula berada di
dalam kawasan terbatas yang dipagari tembok tinggi di
sekeliling unit kelompok rumah tersebut menjadi suatu
komplek permukiman berbentuk 'cluster' di mana RT
dibangun bersama. Kemudian RT ini bisa menjadi lebih
luas dan 'dikeluarkan' dari rumah-rumah individual yang
berada dalam suatu lingkaran tertutup menjadi RT Hijau
(RTH) permukiman untuk keperluan pemanfaatan secara
kolektif pula. Dua konsep ini dalam implementasinya
mempunyai ciri khas yang berbeda, yaitu RTH yang terle
tak pada rumah-rumah pribadi (privacy) dijaga ketat, se
mentara yang terletak di ruang publik menjadi 'terbuka'
sebagai milik umum. Hal ini tentu .akan mempengaruhi,
atau menggambarkan pula hubungan sosial antar peng
huninya maupun konsep pandangan dasar, dilihat dari
segi ekologi (lingkungan) binaan.
Perkembangan pola pertumbuhan kota yang lebih
terbuka di kemudian hari akan mengikuti berbagai pola
kota: berbentuk jalur (panjang), terkotak-kotak (grid iron),
ataupun berbentuk lingkaran-lingkaran "tertutup" (cui
de sac), dimana 'kantong-kantong' perumahan tersebut
'dihubungkan' satu sama lain dengan jalan-jalan kolek-
. tor yang menuju jalan-jalan utama yang relatif lebih besar
(highway, freeway, to/way, dan seterusnya).
Pemelihara Taman Lingkungan Perumahan ini se
benarnya lebih diharapkan dilakukan oleh para penghuni
atau masyarakat setempat. Sedang kegiatan pemeli
haraan yang perlu, meliputi: penyiraman, pemangkasan,
pembersihan, dan pemeliharaan hortikultural lain seperti
penggantian tanaman yang rusak atau mati, 'penyulam
an', dan penananam kembali. Pada ruang terbatas, perlu
perletakan wadah (pot) tanaman secara baik dan artistik,
perlunya perbandingan proporsional antara tanaman pe
lindung dan tanaman perdu, semak dan penutup tanah
dari unsur peteduh, hias, dan produktivitasnya. Pemba
ngunan jalan setapak dan unit Taman Bermain, peleng
kap pendukung bisa dengan sistem kerjasama antar
lingkungan permukiman atau mencari dukungan swasta
tertentu.
2.5.2 Taman Kota (Urban Park)
Perkembangan RT(H) kota di Indonesia, sedikit banyak
sang at dipengaruhi oleh pol a perencanaan kota jam an ko
lonial, seperti "Kebon Raja" yang sampai saat ini terdapat
di Blitar. Namun demikian menurut sejarahnya alun-alun
yang hampir selalu terdapat di kota-kota, khususnya di
pulau Jawa, merupakan gambaran akan demokrasi pada
era Kerajaan Jawa yang memerlukan sebuah area terbu
ka tempat raja berdialog dengan rakyatnya, sehingga AT
semacam alun-alun tersebut sangat diperlukan.
Dalam perkembangan kemanusiaan selanjutnya maka
kota pada Abad Pertengahan lahan pertanian terbuka
melingkari 'organisme kota' di dalamnya terdapat AT ber
sama (courtyard), jalan umum, dan 'alun-alun' (squares),
yang sangat berdekatan satu sama lain, sehingga ter
kesan keakraban antar penghuninya. Pada abad ke-17
(dimulai di Perancis), diketahui adanya pemikiran secara
sadar akan perlunya mengatur (perencanaan dan per-
ancangan) secara khusus suatu perumahan ma~uk
atau permukiman dalam skala yang luas, yang akhirnya
akan mempengaruhi perkembangan bentuk-bentuk kota
seperti yang kita saksikan sekarang ini. Di Kota Paris,
biasanya di perumahan-perumahan kelas menengah
(dianggap sudah mempunyai aspirasi khusus) dianggap
perlu membangun suatu RTH dari suatu 'halaman' istana
yang megah terletak di lokasi yang relatif lebih tinggi se
bagai 'simbol kekuasaan feodal', dimana Taman lstana
tersebut merupakan suatu poros menerus menuju ke
bawah menembus kota (Versailles).
2.5.3 Taman Rekreasi
Taman rekreasi seperti disebutkan di atas khusus di
rancang untuk menampung kegiatan rekreatif penduduk
kota yang mungkin bisa mencapai skala lebih luas dari
batas kota. Taman-taman rekreasi semacam ini umumnya
terletak di pinggiran atau perbatasan wilayah antar kota
atau kabupaten, dimana diperlukan ruang yang relatif cu
kup luas untuk berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan
rekreasi sesuai target yang terkandung dari namanya.
Karakteristik pemilihan tanaman penghijauan un
tuk Taman Rekreasi ini pun disesuaikan ~engan tujuan
pembangunannya, kecuali Taman Botani (Kebun Raya
atau Arboretum) tentu dipilih karaketer tanaman yang ti
dak membahayakan pengunjung ataupun penghuninya,
misalnya tidak bergetah atau beracun, dahan tak mudah
patah, perakaran yang tak mengganggu pondasi atau
struktur bangunan taman, pengaturan tingkat pertumbuh
an optimal masing-masing tanaman yang merupakan
kombinasi tanaman, dan seterusnya. Sedang persentase
lahan yang dihijaukan, sebaiknya tidak kurang atau me-
Ruang Terbuka Hijau 89
lebihi sebaran antara 40-60% luas keseluruhan tapak.
Taman-taman lingkungan di Kota Taman Melbourne,
Australia, seperti Albert Park yang menjadi taman rekrea
si kota disediakan fasilitas yang tidak sekedar memenuhi
unsur hijau, teduh dan asri, tetapi disediakan pula tempat
khusus untuk berolahraga, seperti 'logging track' selebar
1-1 ,5 meter, mengelilingi kolam yang khusus dibangun
untuk menambah unsur kesejukan alami. Bahkan pada
taman rekreasi yang tersebar hampir di seluruh bagian
kota, karena luasannya cukup sebagian khusus dipakai
warga kota untuk melakukan olahraga dari jalan kaki bi
asa, lari-lari kecil atau jogging, sepakbola, bahkan sam
pai disediakan fasilitas untuk bermain golf.
Taman-taman rekreasi ini, selain untuk kegiatan fisik
yang menyehatkan adalah amat bermanfaat bagi pendi
dikan anak-anak maupun generasi muda untuk mencintai
dan menghargai lingkungan hijau, karena secara nyata
mereka dapat memperoleh manfaat langsung dari eksis
tensi Taman Rekreasi ini. Pendidikan di usia dini, seperti
pendidikan dan pelatihan untuk menjaga kebersihan ling
kungan, memang merupakan satu syarat penting dalam
membentuk orang dewasa yang bertanggung jawab
dengan kondisi kejiwaan dan raga yang sehat. Modul
modul pentahapan kategori kegiatan pada pendidikan
LH bagi kelompok usia balita sampai usia remaja (sekitar
18 tahun) sudah disiapkan oleh kantor KLH dan juga oleh
Departemen Pendidikan.
2.5.4 RTH Pendukung Sarana/Prasarana Kota
Undang-undang No. 24/1992 tentang Penataan Ru
ang menetapkan bahwa ruang dibagi ke dalam 2 (dua)
kawasan yaitu (1) Kawasan Lindung dan (2) Kawasan Bu-
90 Ruang Terbuka Hijau
didaya. RTH dapat terletak pula pada kawasan budidaya
selain di kawasan lindung. Secara administratif, RTH
dapat terletak pula pada wilayah kota selain di wilayah
kabupaten. Di kawasan perkotaan maupun di kawasan
perdesan. Di kawasan perkotaan, RTH dapat berupa hu
tan kota.
Di lingkungan perkotaan dunia, telah dikenal istilah
'hutan kota' (urban forest), di mana tentu saja kondisi
dan fungsinya tidak tepat benar dengan hutan konser
vasi 'asli' atau 'alami' yang letaknya di daerah 'remote
areas', seperti: hutan tropis dataran rendah atau hutan
hujan pegunungan, dan seterusnya. lstilah kawasan un
tuk proteksi atau perlindungan, seperti: Taman Nasional,
Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Bakau/Lahan
Basah, dan semacamnya lebih dimaksudkan bagi ka
wasan hutan-hutan yang fungsi pokoknya dipertahankan
sebagaimana adanya secara alami. Termasuk juga di
kawasan perairan, seperti Taman Nasional Laut, dan se
bagainya. Namun, Taman Hutan Raya seperti yang ter
dapat di Bandung (Tahura Juanda) dan yang terdapat di
ranah Minangkabau, Tahura Moh. Hatta misalnya, menurut
penataan ekosistemnya bisa disebut sebagai salah satu
tipe "Hutan Kota". Fungsi perlindungan pad a hutan kota
memang merupakan bobot nilai tertinggi di dalam kese
pakatan asosiasi hutan kota dunia dibanding dengan ba
gian ruang terbuka kota tipe lain.
Kawasan hijau buatan manusia yang dibangun di
wilayah perkotaan, seperti: Taman Umum (Park), Kebun
Binatang, Kebun Raya Botani, dan sebagainya namun
bobot fungsi lain tetap sam a dan sebangun, sebagaimana
diuraikan secara rinci pada bab dan sub-bab sebelumnya
seperti fungsi perlindungan terhadap sistem tata air, ca-
Gambar 2.40: Macam-macam
Jalur Hijau Jalan (JHJ)
Kiri atas: Suwung, Denpasar,
Bali (TPA dari lokasi rehabilitasi
Hutan Mangrove, JICA)
Jalur Hijau Jalan (JHJ), menuju ke
arah lokasi Pembuangan Sampah
Akhir (TPA) dengan sentuhan
pemangkasan berkala, sehingga
tajuk terbentuk seragam.
Atas: Pulau Batam
Banyak memanfaatkan Pule
(Alstonia scholaris) sebagai
penyusun utama. Pemilihan yang
baik, sebagai pohon peneduh
apalagi bila dilengkapi dengan
jalur yang khusus bagi pemakai
jalan kecepatan rendah (sepeda
dan semacamnya).
Kiri bawah: Bali
Memanfaatkan Palem Raja
(Roystonia elata) sebagai penyusun
JH median jalan yang bermanfaat
sebagai pengarah, namun tidak
cukup berfungsi peneduh.
Ruang Terbuka Hijau 91
Gambar 2.41: Macam-macam
Jalur Hijau Sungai
Kiri paling atas: Sempadan Sungai dl Tengah Kota Magetan.
Perpaduan periindungan sempadan secara fisik dengan penutup tanah
rendah dan tinggi dari jenis tanaman hias dan tanaman buah yang
nampak bersih dan rapi (KLH, 2004).
Kanan paling atas: Sempadan Sungai
Lok Ulo Kebumen.
Dari peruntukan lahan setempat, JH yang terbentuk oleh berbagai
jenis-jenis tanaman budidaya dengan dominasi bambu (KLH, 2004).
Atas: Sempadan sungai Belimbing Banjarnegara.
Perlidungan fisik bantaran sungai dipadu dengan bentukan JH
tanaman budidaya (KLH, 2004).
92 Ruang Terbuka Hijau
haya (terik) matahari, udara bersih, dan sebagainya.
Pada hakekatnya selama daya dukung lingkungan
alam tidak terlampaui, maka semua sistem ekologis yang
seharusnya tetap bisa berlangsung secara alami tidak
akan menimbulkan bencana. Daya dukung lingkungan
alami ini adalah suatu kemampuan alam untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi makhluk hidup (termasuk manusia)
pada suatu wilayah tertentu, sedemikian rupa sehingga
alam masih bisa melakukan proses asimilasi (pencernaan
kembali), misalnya mencerna limbah hasil kegiatan semua
makhluk hidup yang ada pada wilayah tertentu tersebut
hingga bisa dimanfaatkan kembali.
2.5.4.1 Jalur Hijau
Urbanisasi yang terus terjadi bahkan meningkat di
hampir semua wilayah lingkungan perkotaan akibat daya
tarik kegiatan pembangunan yang memikat, ditambah
pula dengan terjadinya kemiskinan di perdesaan akibat
semakin terbatasnya lahan usaha, 'memaksa' pendatang
membangun permukiman sekenanya, yaitu mencari ru
ang atau lahan-lahan, yang menurut mereka nampaknya
masih memungkinkan untuk lokasi hunian sementara,
bahkan di sekitar lokasi pembuangan sampah. Umum
nya, tujuan pokok mereka adalah untuk tinggal semen
tara dalam keperluan mencari uang, yang secara periodik
dibawa pulang ke kampung halaman mereka masing
masing, sebagai modal usaha atau biaya pendidikan
anak-anak mereka dan penunjang kehidupan keluarga di
kampung.
Maka 'lahan-lahan terbuka' (hijau) seperti jalur hijau
lalu lintas, bantaran sungai, danau atau pantai, bantaran
jalur rei KA, lahan 'kosong' dan semacamnya, menjadi
sasaran empuk yang akhirnya menjadi daerah permuki
man liar yang terdapat di seluruh bagian kota. Semakin
lama lahan-lahan yang dimaksudkan sebagai sarana
pengaman atau pelindung berbagai prasarana fisik kota
tersebut tertutup oleh permukiman liar.
Pengawasan rutin aparat pemerintahan kota yang
berkewajiban menjaga ketertiban dan kelestarian fungsi
lingkungan prasarana dan sarana kota yang sebenar
nya berbahaya bagi permukiman tersebut, tak mampu
diterapkan secara menyeluruh bahkan mengakibatkan
permukiman liar semacam itu semakin meluas dan men
jamur di seluruh 'sudut' kota tanpa mampu dicegah. Upa
ya pengelolaan dengan pendekatan 'manusiawi' maupun
melalui tindakan hukum yang bahkan terkesan kasar
telah sering dilakukan, namun upaya tersebut tak mampu
melawan kenekatan para pendatang untuk terus berta
han hid up di lokasi permukiman darurat yang sebenarnya
terlarang tersebut.
Luas RTH khusus bagi upaya pengamanan sarana dan
prasarana kota tersebut menjadi amat kurang, dan kuali
tasnya untuk fungsi lingkungan pun sulit dipertahankan.
Bahkan, menurut perkiraan (Dinas Museum dan Sejarah
DKI, 1997) di Majalah Properti Juni 1995, permukiman
kumuh diproyeksi dari data yang ada, telah menyebar ke
seluruh wilayah kota dengan luas sekitar 2,700 hektar.
Permukiman kumuh (dan liar) ini tentu saja tidak mendu
kung suatu konsep penataan lingkungan hijau kota, yang
disebut sebagai: "Metropolitan Park System" dan yang
sudah dicanangkan sejak tahun 1967.
Pada prinsipnya setiap jengkal lahan di' wilayah
perkotaan, dapat dikatakan amat sangat berharga di
samping juga selalu mempunyai masalah yang kompleks.
Pemerintahan kota dimanapun telah berusaha mengatasi
dengan berbagai cara, meskipun selalu terbentur pada
'masalah kemanusiaan' yaitu kebutuhan penduduk akan
permukiman yang terus meningkat. Maka, satu-satunya
jalan rasional, bila pemerintahan kota sudah mampu,
ditinjau dari berbagai segi baik kelayakan finansial, so
sial, dan terpenting adalah kemampuan para SDM aparat
pengelola kota, antara lain untuk menerapkan pemba
ngunan sarana permukiman vertikal (bersusun) beserta
kelengkapannya, yang harus ditunjang oleh penegakan
peraturan dan pengawasan yang ketat.
Sosialisasi penataan ruang kembali perlu dimu
syawarahkan dengan penduduk kota, agar rasa tang
gungjawab dalam ikut membentuk suasana lingkungan
kota yang sehat dan produktif dapat dimulai dari 'bawah'
tanpa dipaksakan dan dilaksanakan secara sinergis dan
total di suatu atau beberapa lokasi percontohan secara
tuntas, sampai mencapai hasil nyata yang optimal, ber
dasar pada kebutuhan dan tanggungjawab bersama, dan
secara legal mendapat dukungan pemerintahan kota.
Sarana RTH (atau ruang terbuka) untuk menampung ber
bagai kegiatan warga pun bisa dibangun dan dipelihara
bersama dalam kantong-kantong hijau 'milik' bersama
pula, termasuk pemanfaatan ruang terbuka pada lahan
atau jalur-jalur (koridor hijau) pengaman prasarana kota
secara terbatas, dengan mengutamakan keamanan bagi
penggunanya, seperti yang disebutkan di atas.
Sistem perencanaan taman wilayah (Regional Park
System) harus memenuhi persyaratan minimum dengan
maksud agar seoptimal mungkin tetap mampu melayani
kebutuhan penduduk yang terus menerus meningkat,
karena itu bila akan ada perobahan perencanaan apa-
Ruang Terbuka Hijau 93
Gambar 2.42 (atas kiri): Sungai Suzhou, Cina. Jalur hijau sempadan pantai, merupakan rehabilitasi pantai dan terbuka untuk umum.
Perlindungan pantai secara fisik diikuti perlindungan vegetatif.
Gambar 2.43 (atas kanan): Sistem pampa yang menjaga kualitas air dibuat dalam struktur yang menjorok ke danau.
(Breen, 1996, ha/103)
lagi pelaksanaannya sesuai skalanya, maka perlu terus
menerus disosialisasikan pada masyarakat ·penghuni,
khususnya yang tinggal di sekitar taman wilayah terse
but. Oleh karena itu dalam sistem perencanaan kota se
cara keseluruhan, harus ditetapkan pula batasan wilayah
perkotaan dengan luasan tertentu, sehingga jangan
sampai karena urbanisasi yang terus meningkat, pertum
buhan kota menjadi tidak terkontrol. Untuk itulah perlu
ditetapkan adanya semacam daerah penyangga yang di
proyeksikan di sekeliling batas (administratif) kota, yang
lazim disebut 'sabuk/jalur hijau' atau green belts.
Sabuk hijau penyangga ini yang jelas pasti bentuknya
memanjang, bahkan bisa mencapai puluhan kilometer,
namun jarak Iebar jalur hijau ini relatif pendek, dimana
ukuran pendek tidaknya itu tergantung pada kebutuhan
yang disesuaikan kembali kepada kondisi alam serta je
nis kegiatan penduduk yang akan dilakukan di dalamnya.
94 Ruang Terbuka Hijau
Seperti untuk: daerah pengaman jalur sungai, jalur pen
gendali terhadap sumber pencemaran, jalur rei KA, serta
satuan sarana lain, seperti jalur jalan dan jalur SUTET,
punggung dan atau lembah perbukitan, dan seterusnya.
Dari bentuk luarnya saja, green belts ini mungkin diarti
kan atau sama fungsinya dengan apa yang disebut kori
dor hijau. Hanya, bentuk koridor hijau ini tak perlu harus
memanjang dan mungkin bisa terletak di antara zonasi,
dan berfungsi pula sebagai 'pembatas' antar ruang-ru
ang pemanfaatan dalam wilayah kota, misalnya sebagai
pelindung areal permukiman dengan jalur jalan bebas
hambatan, dan seterusnya.
'Sabuk' hijau ini biasanya berukuran relatif luas, karena
terletak di wilayah (region) sebab fungsi pokoknya adalah
guna melindungi sebagian dari sistem kehidupan seperti
daerah lindung (konservasi) yang biasanya mempunyai
daya ketertarikan khusus 'pemandangan alami' untuk
Gambar 2.44 (dua gambar di atas): Sungai di Kuching, Serawak, Malaysia. Penataan kembali tepi sungai, sebagai lokasi rekreasi
(promenance) bagi penduduk kota. (Breen, 1996, ha/1149 & 150)
Ruang Terbuka Hijau 95
Gambar 2.45: Bunga Sakura Sedang mekar penuh (blooming) di sekeliling lstana Kaisar di Tokyo. Jalur biru ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk rekreasi air di musim semi.
Ragam pemanfatan RTH sebagai taman wisata, konservasi air.
Foto: Taka-san, Fuf<jage, 2006
96 Ruang Terbuka Hijau
pariwisata, dan bisa melayani kota-kota yang terletak
dekat dengan jalur hijau ini, atau bahkan beberapa kota
yang berbatasan dengannya, sehingga Taman Umum
Regional ini mampu melayani lebih dari dua kota saja.
Jadi, pembangunan jalur hijau tersebut, umumnya paling
tidak untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu: (1) melindungi
seluruh atau sebagian lansekap alami, (2) menyediakan
fasilitas rekreasi bagi kota-kota di perbatasan, dan yang
terpenting adalah (3) sebagai "sabuk hijau" yang mem
batasi ekspansi kota-kota ke daerah pinggiran (urban
sprawl) dari kota-kota yang sangat cepat berkembang
dan yang terletak di sepanjang/berbatasan dengan jalur
hijau tersebut.
2.5.4.2 Jalur Biru
Peradaban manusia biasanya dimulai dan ditemukan
pada sepanjang sungai atau di muaranya yaitu dekat dae
rah pantai. Sekitar 80% dari kota-kota metropolitan dunia
berlokasi di pantai, seperti Shanghai, Hong Kong, Tokyo,
Manila, Jakarta, Sidney, Singapura, Bombay, Calcutta,
Kairo, Rio de Janeiro, Buenos Aires, New York, Los An
geles, dan lain-lain. Negeri Belanda (Nederland) di mana
kota-kota besarnya seperti Amsterdam, Rotterdam, dan
banyak kota-kota negeri itu yang terletak di tepi perairan
(sungai, danau dan laut), sehingga saking kecilnya negeri
itu, maka bisa kita sebut dengan "Negara Kota Pantai",
menjadi sejajar dengan kota-kota metropolitan yang telah
disebutkan sebelumnya. Luas seluruh wilayah Nederland
hanya 41.500 km2• Bandingkan dengan luas Indonesia
yang 5,2 juta km2 (luas daratan 2 juta km2 dan luas lautan
3,2 juta km2). Posisi geografis Jakarta semacam kota-kota
lain seperti disebutkan di atas, menjadikan Jakarta ter
masuk salah satu kota pantai yang harus terus menerus
berjuang melawan air (Hagen, dan Lim, 2005 Departemen
Transportasi dan Perairan, Belanda).
Putra Mahkota Nederland, Pangeran William Alexan
der, seorang ahli Water Management, berujar: "Problem
air cuma ada tiga, yaitu "TERLALU BANYAK, TERLALU
SEDIKIT, dan/atau TERLALU KOTOR". Namun Neder
land sudah berhasil menjinakkan air. Semua teknik yang
menyangkut air sudah dikuasai oleh Nederland, seperti
membendung laut, mengatur ketinggian air tanah, men
jernihkan air untuk minum, menetralisir air limbah, mem
buat perairan untuk irigasi, mengeringkan rawa-rawa dan
menjadikannya tempat pemukiman. Air di dalam tanah
adalah musuh sekaligus ternan, bisa sebagai reserve air
minum, namun apabila terlalu deras alirannya akan me
nyebabkan tanah longsor di sana-sini. Maka pemerintah
Nederland telah membangun sistim drainage dan rioler
ing di bawah tanah, sedemikian rupa sehingga gerak
gerik air tanah dapat diatur sesukanya. Bila kekeringan
akan dipompakan air ke dalam tanah, bila kebasahan
akan disedot air tanahnya (Hagen, dan Lim, 2005).
Lalu bagaimana dengan pengelolaan kota-kota yang
terletak di pesisir pantai, terutama kota-kota besar se
perti Jakarta dan Semarang yang sampai saat ini masih
'berkutat' dengan air banjir atau 'air genangan'? Peme
rintah harus berani mengambil kebijakan berupa perubah
an sistem pengelolaan DAS, terutama di lingkungan
perkotaan, secara drastis termasuk sistem Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PLH) di kota-kota rawan banjir dan
genanganini.
Ruang Terbuka Hijau 97
2.5.4.3 Perancangan Retention Basin
Meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan me
ningkatnya volume air permukaan ditambah pula dengan
semakin menurunnya sumberdaya dan kualitas air bersih,
menimbulkan pemikiran akan perlunya sebanyak mung
kin 'menahan' air permukaan khususnya pada musim
penghujan pada suatu atau beberapa lokasi yang terse
bar merata di seluruh wilayah kota, dalam suatu wadah
salah satunya adalah yang populer disebut 'wet retention
basin' (WRB).
WRB (atau istilah lain yang sering digunakan adalah
daerah 'jebakan air') ini telah ada di wilayah Jakarta, na
mun belum berfungsi sebagaimana maksud pengadaan
nya. Contoh nyata adalah WRB di 'pulau lalu-lintas' Taman
Ayodya di sekitar Jalan Barito, Jakarta Selatan, dimana di
sekelilingnya sudah dipenuhi oleh para pedagang bunga
potong, ikan hias, burung dan segala kelengkapannya.
Tapak tersebut semula direncanakan untuk menampung
limpasan air hujan dari wilayah dan jalan di sekeliling
nya yang memang letaknya lebih tinggi. Demikian pula
'Taman Lembang' yang terletak di Jalan Lembang yang
sudah dikelola sesuai fungsinya, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan penghuni di sekitarnya, atau disebut pula se
bagai "Taman Lingkungan". Fasilitas di Taman Lembang
ini sudah memadai, bila digunakan untuk rekreasi terba
tas, apalagi dengan dibangunnya air mancur penambah
daya tarik dan mampu pula berfungsi untuk menyejukkan
lingkungan.
WRB ini, hendaknya dikelola dengan "sistem en
gineering" khususnya untuk mengakomodasi debit air
permukaan terbesar dan perlu ditingkatkan kualitas air
simpanannya tersebut, sehingga dapat menghasilkan
98 Ruang Terbuka Hijau
nilai tambah khusus. Penggunaan tanaman tertentu se
bagai penyaring zat-zat polutan (terutama nitrogen dan
fosfor) dan sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan,
termasuk garam-garam tanah, pestisida, logam berat,
bakteri dan virus. Tanaman tidak hanya berfungsi untuk
penambah keindahan dan peningkatan kualitas keaneka
ragaman hayati, namun juga bisa menjadi habitat satwa
kota, dan yang terpenting adalah memperbesar fungsinya
sebagai simpanan SO-Air berkualitas.
Besar kemungkinan, bahwa apabila WRB ini dise
diakan di seluruh wilayah kota yang menjadi langganan
genangan air, terutama di lokasi berelevasi rendah akan
menjadi 'penangkal banjir alami' yang sangat berguna.
Kembali lagi kita semua diingatkan, bahwa penataan
ruang yang 'seimbang' dilanjutkan perancangan arsitek
tur lansekap dimana diterapkan pula sistem engineering
lansekap yang sesuai sekaligus akan 'membersihkan'
media udara, air dan tanah. Bentuk kolam retensi yang
bulat telor (ellips), ternyata paling sesuai, karena rekayasa
teknik sirkulasi air yang tidak terhambat oleh sudut-sudut
atau hambatan yang tidak perlu. Oksigenasi juga meru
pakan hal panting, apabila kualitas air memang amat
rendah. Demikian pula 'dinding' kolam yang tidak terlalu
curam akan mampu menahan 'fluktuasi' gelombang yang
timbul akibat aliran ataupun angin kencang yang mungkin
timbul, sehingga mengeliminasi erosi tepian kolam.
Menurut Emmerling-Dinovo (1988), ukuran ideal suatu
WRB adalah kolam retensi dengan perbandingan pan
jang/lebar lebih besar dari 2:1. Sedang dua kutub aliran
masuk (inlet) dan keluar (outlet) terletak kira-kira di ujung
kolam berbentuk bulat telor itulah terdapat kedua "mu
lut" masuk dan keluarnya (aliran) air. Keuntungan yang
Gambar 2.46 Riverway, Boston sebelum dan sesudah
Kiri: The Riverway Boston, nampak bentukan (grading) tepian sungai, disiapkan untuk ditanami. Nampak jelas pembagian jalur peruntukan lahan.
Kanan: Sungai yang sama, sekitar 30 tahun setelah konstruksi, telah dicapai suatu 'penampakan' menyeluruh yang alami. Jalur sungai dan jalan
telah tertutup tanaman. (Spirn, 1984, ha/149)
. diperoleh adalah bahwa dengan bentuk kolam yang
memanjang semacam itu, ternyata sedimen relatif lebih
cepat mengendap dan interaksi antar kehidupan (proses
aktivitas biologis) di dalamnya juga menjadi lebih ak
tif karena terbentuknya air yang 'terus bergerak, namun
tetap dalam kondisi tenang, pada saatnya tanaman dapat
pula menstabilkan dinding kolam dan mendapat makan
an (nutrient) yang larut dalam air. Persyaratan pemilihan
tanaman adalah yang secara fisiologis spesifik tanaman
air, mampu menyerap dan menjerap polutan, dan mena
han erosi, penting dipertimbangkan. Diperlukan peneli
tian dan beberapa percobaan dalam pemilihan tanaman
yang memenuhi berbagai persyaratan ini.
2.5.4.4 Sistem Koridor Lingkungan Definisi Sistem Koridor Lingkungan (Environmental
Corridor System): "A connected and integrated system
of mostly linear, near-natural areas which, for various rea-
sons, have remained as almost undeveloped green belts
passing through the man-altered landscape, and which
have a prime value to man and/or nature by remaining in
their closest to natural state." Mempertimbangkan akan
adanya unsur-unsur koridor kota yang umumnya selalu
berasosiasi dengan 'nilai-nilai alami lingkungan', biasa
disebut dengan 'koridor lingkungan', yang pertama kali
sering terpikir adalah adanya saluran air kota.
Terdapatnya berbagai unsur penunjang yang sangat
bermanfaat sebagai suatu keanekaan, sesuai tujuan pe
rencanaan semula bagi suatu wilayah rekreasi, yaitu
adanya perencanaan beberapa aktivitas yang satu sama
lain sangat tergantung pada adanya media air, seperti ke
giatan olahraga, semacam renang, pancing, kano, dan
berperahu. Di samping itu termasuk pemenuhan kebutuh
an lain yang tak kalah pentingnya, yaitu sebagai sumber
air bersih, air minum, maupun untuk penunjang penting
kegiatan industri.
Ruang Terbuka Hijau 99
Gambar 2.46 (a) Ragam Rona Sempadan Sungai
Gam bar kiri suasana pagi hari dan gambar kanan suasana sore hari. Efek kontras pada pemandangan yang sama (mirip).
(Repton 's Observation 1805, dalam Thomas, 1983, hal 54)
Gambar 2.46 (b) Ragam Rona Sempadan Sungai
Pengelolaan lansekap pada daerah 'Pentose' dan 'Loepool', Cornwall. Pemandangan sangat
indah dibangun oleh manusia mengikuti topografi lahan. Property ini milik The National Trust
Slope, sungai 'diikuti ' perancangan lansekap bennanfaat agar dibentuk suatu batas antar
lapangan namun tetap menyatu.
(Thomas, 1983, hal 55)
100 Ruang Terbuka Hijau
Sebenarnya, setiap orang baik sadar maupun tidak,
telah mendapat pengalaman kehidupan alami dari ling
kungan sekitar, berupa panorama pegunungan yang
menjulang ke langit, kumpulan pepohonan yang rindang,
maupun pemandangan tepi laut yang seolah tanpa batas.
Semuanya merupakan bagian integral dari serangkaian
nilai-nilai alami yang seringkali menjadi sumber inspirasi
manusia dalam menjalankan hidupnya.
Demikian pula, kehidupan bebas (liar) yang meru
pakan bagian lingkungan alami, bukan saja sangat ber
manfaat bagi kehidupan manusia kini dan masa datang,
tetapi mengandung juga nilai-nilai rekreasional yang sa
ngat dibutuhkan dalam siklus kehidupan makhluk hidup
di dunia. Seringkali kondisi lingkungan alami beserta sa
gala isinya ini mampu menghadirkan suasana misterius,
terutama bila posisi manusia itu sudah jauh dari alam.
Kreasi seorang arsitek lansekap sangat diperlukan untuk
mengembalikan kedekatan alami antara manusia dengan
lingkungannya.
Bila diamati, maka berbagai bentuk peninggalan se
jarah yang ada di sudut mana pun di dunia akan memberi
perasaan tertentu dan pengetahuan akan asal-usul ke
budayaan manusia yang tak pernah lepas dari nilai-nilai
lingkungan, baik hubungan dengan Tuhan, sesama ma
nusia, maupun dengan makhluk hidup lain (bio-geografis
lingkungan flora, fauna), serta wadah fisik berupa media
air, tanah, dan udara. Semuanya merupakan kondisi ling
kungan alami maupun buatan yang dapat terus meno
pang kehidupan manusia.
Bila keberadaan lingkungan beserta seluruh isinya
ditelusuri dengan cermat, maka akan ditemukan banyak
sekali kebetulan-kebetulan kondisi eksisting yang mem-
punyai nilai khusus. Suatu aliran air misalnya, mengan
dung air sebagai salah satu dasar sumber daya yang
sangat vital bagi kehidupan.
Selain itu, bila pada suatu saat ali ran air bertemu suatu
patahan permukaan tanah atau yang berbeda keting
gian, maka aliran air tersebut akan berubah menjadi air
terjun ataupun sebuah 'tangga air' (cascade), yang indah
dipandang. Sedangkan pada daratan yang rata, maka
dataran genangan air akan mendukung hamparan hutan
yang penuh dengan tegakan pokok kayu yang sekaligus
berperan sebagai habitat kehidupan flora dan fauna air
(ecotone zones for wildlife and fisheries).
Karakter kehidupan bebas lebih banyak terdapat
pada wilayah-wilayah yang secara relatif tidak sesuai un
tuk penggunaan intensif oleh manusia, sebab agar ma
nusia dapat hidup dengan aman dan nyaman, dia harus
mampu merubah alam asli pada tingkat sedemikian rupa
(man made) sehingga dapat dihuni.
Manusia akan menghindar untuk terlalu dekat hidup
di wilayah/daratan banjir atau terlalu dekat dengan garis
pantai, karena bahaya alam yang relatif mudah terjadi,
seperti banjir, badai, atau tsunami, juga pada wilayah
yang kondisi geografisnya terlalu terjal. Namun demikian
di lain pihak, ternyata karena unsur bahaya itulah maka
tapak-tapak peninggalan arkeologi justru banyak terdapat
di daerah bahaya semacam ini, sebab akan menambah
nilai mistik untuk menghormati alam yang sengaja dicip
takan.
Dari berbagai ilustrasi dan kenyataan bahwa ling
kungan alami sangat diperlukan bagi kemaslahatan ke
hidupan manusia itulah, maka di mana pun manusia ber
mukim, perlu dipikirkan adanya koridor alami yang akan
Ruang Terbuka Hijau 1 01
Gambar 2.48: Taman Hutan Kota Tidar Magelang Penyangga dan
kawasan khusus di kawasan Akademi Militer. (KLH, 2004).
selalu mampu menyediakan berbagai kebutuhan manu
sia, misalnya akan udara dan air bersih, bahan makanan
nabati maupun hewani, serta kebutuhan psikologis akan
rekreasi alami, agar manusia dapat tetap hidup sehat.
Koridor alami ini harus ada di sekitar atau masuk ke
dalam di sela-sela antara lingkungan padat manusia,
seperti permukiman kota, yang satu sama lain saling ber
hubungan dalam sistem koridor alami.
Perencanaan makro maupun mikro dari koridor alami
ini mutlak atau harus ada dalam pembangunan kota,
maupun dalam upaya perbaikan (rehabilitasi) lingkungan
kota secara umum. Koridor alami merupakan bagian RTH
kota yang mempunyai fungsi pokok perlindungan dengan
karakter memanjang, seperti di sepanjang jalur hijau jalan,
bantaran sungai, rei kereta api, saluran tegangan tinggi
(SUTET). Sedang fungsi pengaman berupa hutan ·. kota
adalah sesuai dengan karakterisitik fisiknya (fisiografi).
Pada suatu lingkungan kota yang sehat, mutlak di-
102 Ruang Terbuka Hijau
Gambar 2.49: Hutan kota Gumuk Lintang Temanggung
Penyangga kehidupan daerah sekitarnya. (KLH, 2004)
perlukan suatu 'Peta Hijau' yang memuat aliran air (wa
terways), bantaran banjir, peta topografi pembatas hutan
lindung pegunungan dengan pembangunan fisik intensif,
dan daerah-daerah kritis (tanah labil, mudah tererosi).
Kombinasi dari karakteristik fisik lingkungan yang rapuh
ini harus benar-benar dikenali baik letak maupun kon
disinya sebagai daerah-daerah tidak dibangun (kawasan
lindung) yang sangat bernilai bagi keseimbangan lingku
ngan kota secara menyeluruh.
Sistem koridor lingkungan semacam ini dapat dite
rapkan di kota-kota yang sudah terbangun, maupun yang
belum, bahkan mendekati kota-kota 'alami' seperti Kota
Palangkaraya, Kuala Kencana atau Pekanbaru, agar kota
tidak semrawut. Melalui pengetahuan akan kondisi fisik
dan karakterisitk aliran air serta topografi suatu wilayah
kota dapat direncanakan secara bijak kota ramah ling
kungan, aman dan nyaman bagi penduduk kota.
Pola koridor hijau yang berbentuk linear (memanjang)
semacam ini akan meningkatkan nilai kualitas lingkungan
ke seluruh wilayah kota, sebagai penyeimbang lingku
ngan kota yang telah terbangun padat di bagian kota
yang lain. Pertemuan antara lahan dengan laut, misalnya
dapat membentuk 'garis tulang belakang' sebagai ka
wasan lindung pantai, dengan berbagai kehidupan liar
yang lengkap, sekaligus menjadi identitas lokasi.
Dalam koridor lingkungan diharapkan terbentuk habitat
flora dan fauna yang sesuai, sehingga dapat berkembang
dengan baik (tangible and intangible values). Kawasan ini
dapat menjadi area untuk kepentingan pendidikan, pene
litian, dan pelatihan di lingkungan alami bagi warga kota.
Koridor hijau juga berfungsi sebagai pengatur keseim
bangan neraca air, yang bisa menyediakan ketersediaan
air di musim kemarau, meresapkan air, dan menampung
air di musim hujan.
Koridor lingkungan mampu memenuhi kebutuhan,
alami manusia yaitu kedekatannya dengan alam, sebab
wujud dan fungsi sistem alami yang terbentuk, baik di
wilayah perdesaan maupun perkotaan, sebagai konglo
merasi permukiman manusia dalam skala mikro maupun
makro.
Demikian pula demi esensi dan eksistensi kehidupan
maka manusia harus memelihara lingkungan alami me
lalui cara-cara fisik, biologis maupun ps!kologis. Zona
alami yang penting ini juga potensial sebagai area rekrea
si dan pariwisata pemandangan serta sejarah tanpa perlu
melakukan upaya khusus.
Artinya, biaya pemeliharaan relatif tidak tinggi, se
bab tidak memerlukan upaya khusus, kecuali bila ling
kar alami yang telah terjalin di dalam sistem koridor yang
telah terbentuk dengan baik ini akan dirobah, sudah pasti
diperlukan biaya yang tinggi bila kerusakan lingkungan
yang timbul akan diperbaiki. Bila lingkungan alami yang
terbentuk dan memerlukan waktu relatif lama sampai ke
tingkat suksesinya ini tidak diperbaiki atau bahkan di
manfaatkan menjadi daerah 'permukiman baru' misalnya: ' 'Real Estate' yang tidak direncanakan dengan baik maka
akan terjadi ketimpangan dan degradasi mutu lingkungan
hidup, akhirnya aka!l-berdampak kepada kesehatan ma
nusianya sendiri.
Sistem koridor lingkungan ini berfungsi pula sebagai
penyeimbang wilayah terbangun kawasan pertanian, in
dustri, dan pembangunan wilayah perkotaan. Bagi negara
tropis kepulauan seperti Indonesia koridor lingkungan
alami ini sangat diperlukan eksistensinya di sepanjang
garis pantai dengan bukaan-bukaan berupa area-area
terbangun, pada lokasi-lokasi yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan kegiatan penduduk, sarana dan prasa
rana permukiman.
Ruang Terbuka Hijau 1 03
III KEDUDUKAN RTH DALAM PERENCANAAN TATA RUANG
3.1 KEDUDUKAN RTH DALAM RUANG LINGKUP RTRW NASIONAL, PROVINSI DAN KABUPATEN
Untuk mengatur kegiatan masyarakat di dalam ruang
atau wilayah yang ada, diperlukan upaya pengaturan agar
tercapai keadaan yang saling menguntungkan baik antara
masyarakat pemakainya maupun lingkungan hidupnya.
Upaya tersebut dinamakan penataan ruang.
Penataan ruang merupakan pengaturan pemanfaatan
alam bagi tercapainya kelangsungan, kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat. Ke
adaan ini dapat tercapai jika seluruh aktivitasnya didasar
kan atas kesesuaian, keselarasan, dan keseimbangan,
baik dalam pengaturan penghidupan sosial dan ekonomi
maupun pemanfaatan alam yang berazaskan berkelanjut
an dan berkesinambungan.
Undang- undang No. 24 tahun 1992 maupun revisi ran
cangan tentang Penataan Ruang mengisyaratkan bahwa
penataan ruang dilakukan dalam berbagai tingkatan yang
berpijak pada luasan wilayah dan karakteristik alam, serta
tatanan administratif dan tingkatan pertumbuhan. Lebih
jelas Rancangan Undang-undang Penataan Ruang yang
merupakan revisi dari UU No. 24 tahun 1992 tersebut di
atas, menyebutkan di tingkat daerah dilakukan upaya pe
nataan ruang dengan mengacu pada dokumen Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/Kabupaten khususnya
pada kawasan strategis tertentu. Di tingkat provinsi, pe
nataan ruang mengacu kepada dokumen RTRW Provinsi
1 06 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi,
dan di tingkat nasional dipakai dokumen RTRW Nasional
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional,
dimana dalam pelaksanaannya dapat berupa Rencana
Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional.
Adanya hirarki penataan ruang dalam berbagai tingkat
an wilayah seperti diuraikan di atas, mengundang per
tanyaan; sejauh mana RTH dalam tiap tingkatan rencana
tersebut. Hal ini perlu diperjelas mengingat RTH meru
pakan bagian dari alam dan lingkungan yang berperan
besar dalam menciptakan keseimbangan dan keserasian
antara lahan terbangun dan tidak terbangun, hingga la
han budidaya dan kawasan lindung. Keseimbangan dan
keserasian dari kedua aspek tersebut adalah "nafas" dari
maksud dan tujuan penataan ruang.
RTH Kota di Jakarta, seperti yang terdapat di Kawasan
Monumen Nasional (Monas} dan Kompleks Gelanggang
Olahraga Bung Karno (GBK} sampai saat ini masih meru
pakan dua lokasi RTH-Kota yang menjadi tetenger Kota
Jakarta-Metropolitan sekaligus simbol lbu Kota Negara
Republik Indonesia. Taman Monas ini bisa dinamakan se
bagai sebuah alun-alun dalam skala besar, sebagaimana
alun-alun di banyak kota (terutama di Pulau Jawa} dalam
ukuran yang lebih kecil di mana dipusatnya ditanam po
hon beringin (tunggal atau pun kembar}. Sedang di Taman
Medan Merdeka (TMM} di tengah-tengah RTH ini didirikan
Tugu Nasional yang sangat megah. Maksud dibangunnya
Gambar3.1:
Perspektif dan Perancangan Lansekap
Taman Medan Merdeka.
(Taman Medan Merdeka, 1994)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 107
Gambar3.4
Gambar 3.2: Plaza Selatan dengan Koridor
Menuju dan dari Stadion Utama.
Nampak jelas gerbang masuk ke lapangan
untuk memudahkan pengunjung atau sebagai
pengarah pejalan kaki. Demikian pula
perancangan area silang utara.
(Pour, 2004, hal 141)
Gambar 3.3: Lapangan Golf
Taman Kota untuk olahraga.
(Pour, 2004, ha/210)
TMM ini adalah " .. . menjadikan Jakarta sebagai ibukota
negara yang setaraf dengan ibukota negara lain yang di
huni masyarakat yang sejahtera .... "
Pintu Gerbang Kompleks Gelora Bung Karno.
(Pour, 2004, hal 73)
Sedang semboyan yang sering diucapkan dalam
membangun kompleks olahraga bertaraf internasional
pada tahun 1962 dalam menghadapi ASEAN Games ke
.. . ini adalah " ... mengolahragakan masyarakat dan mema
syarakatkan olahraga ... ". Artinya, bahwa sebagai bangsa
yang besar negara memerlukan sebuah kompleks olah
raga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan
RTH yang memadai. Buktinya kompleks olahraga ini
sampai saat ini pun setiap hari, terutama di pagi dan sore
hari dipenuhi oleh pengunjung terutama untuk berolah
raga, maupun hanya sekedar berekreasi mencari udara
segar, sama seperti di Taman Medan Merdeka.
1 08 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
Gambar 3.5: Stadion Utama
(Pour. 2004, ha/147)
3.1.1 Kedudukan RTH dalam RTRW Nasional
RTRW Nasional bertujuan mewujudkan ruang/wilayah
nasional yang mengakomodasikan keterkaitan antar
wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota, Pulau maupun ka
wasan strategis nasional.
Sasarannya adalah terkendalinya pembangunan nasio
nal, tercapainya keserasian antara kawasan lindung dan
kawasan budidaya, berperan sebagai arahan pengem
bangan kawasan andalan dan sistem pusat-pusat per
mukiman perkotaan dan perdesaan, tersusunnya arahan
pengembangan sistem prasarana wilayah nasional serta
terkoordinasinya pembangunan wilayah dan antar sektor
pembangunan.
Fungsi RTRW Nasional adalah:
• Sebagai matra keruangan dari pembangunan provinsi
dan daerah.
• Sebagai dasar kebijakan pokok pemanfaatan ruang di
wilayah nasional.
• Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkem
bangan antar wilayah nasional dan antar provinsi/ka
wasan/kabupaten/kota serta keserasian antar sektor.
• Sebagai salah satu bentuk rumusan kesepakatan an
tara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota tentang struktur dan pola pemanfaatan ruang
wilayah dan kesepakatan Pemerintah Rl dengan nega
ra-negara tetangga.
• Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang.
• Sebagai pedoman penetapan lokasi investasi.
Mengacu pada tujuan, sasaran serta fungsi RTRW Na
sional, terlihat bahwa pada tingkatan tata ruang nasional,
RTH diwujudkan dalam bentuk kawasan lindung.
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 109
Dalam hierarki rencana ini, kawasan lindung adalah
kawasan yang harus dipertahankan keberadaannya de
ngan maksud melindungi kelestarian lingkungan, mening
katkan dan mempertahankan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, perlindungan terhadap sumber
sumber daya alam dan buatan, termasuk di dalamnya
kelestarian udara, tanah dan air serta kondisi iklim yang
kondusif bagi kehidupan manusia.
Melihat fungsi ini tidak diragukan lagi bahwa kawasan
lindung memiliki peranan yang sama dengan fungsi yang
diemban oleh RTH. Dengan demikian kedudukan RTH
dalam RTRW Nasional adalah peranan ekologisnya.
Dalam lingkup RDTR Nasional yang meliputi rencana
tata ruang pulau atau kawasan strategis, kedudukan RTH
adalah sebagai pengaman dari kemungkinan gangguan
dari luar atau membatasi perkembangan ke arah yang ti
dak diinginkan.
Kendal a yang dihadapi dalam penerapan dan pengem
bangan RTH dalam lingkup RTRW Nasional adalah pe
ranan RTH lebih bersifat fisik, sedangkan RTRW lebih
banyak menerapkan kebijakan ekonomi dan sosial dalam
skala makro, yang belum menyentuh aspek-aspek fisik.
Pada pelaksanaannya keanekaragaman budaya nasional
beserta kepentingannya, menghasilkan beragam perilaku
dan persepsi terhadap fungsi dan peranan RTH, baik di
kawasan budidaya maupun di kawasan lindung. Sering
tergesernya fungsi ekologis oleh kepentingan sosial khu
susnya ekonomi seperti ilegal logging, HPH dan pembu
kaan lahan pertambangan dalam berbagai skala, adalah
merupakan contoh yang kerap terjadi di wilayah nasional
kita.
Untuk mencegah terjadi degradasi lingkungan seba-
11 0 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
gai akibat ketidak sesuaian antara RTRW Nasional de
ngan pelaksanaannya, maka perlu diterbitkan peraturan
pemerintah pendukung yang dengan tegas memberikan
sanksi hukum pada pelanggarnya.
3.1.2 Kedudukan RTH dalam RTRW Provinsi
RTRW Provinsi bertujuan mewujudkan ruang wilayah
provinsi yang mengakomodasikan keterkaitan antar ka
wasan kabupaten/kota.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terkendalinya pem
bangunan wilayah provinsi, keserasian kawasan lindung
dan kawasan budidaya, tersusunnya arahan pengem
bangan sistem pusat-pusat permukiman perkotaan dan
perdesaan serta terkoordinasinya pembangunan wilayah
dan antar sektor pembangunan.
Taman Provinsi sudah memerlukan pembangunan
jalur jalan skala kota besar, seperti pembangunan jalur
hijau jalan seperti boulevard di jalan protokol, Sudirman
Thamrin, misalnya. Demikian juga moda transportasi ra
mah lingkungan seperti Monorel. Seperti gambar peran
cangan di halaman berikut.
Fungsi RTRW Provinsi antara lain adalah :
• Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah
• Sebagai dasar kebijakan pokok pemanfaatan ruang di
wilayah provinsi
• Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkem
bangan antar wilayah provinsi dan antar kawasan/
kabupaten/kota serta keserasian antar sektor.
• Sebagai salah satu bentuk rumusan kesepakatan an
tara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota tentang struktur dan pola pemanfaatan ruang
wilayah.
• Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang.
• Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana detail
kawasan strategis provinsi.
• Pedoman dalam penetapan lokasi investasi.
Sesuai tujuan, sasaran dan fungsi RTRW Provinsi
maka kedudukan RTH dalam RTRW Provinsi adalah, ka
wasan yang turut serta memberikan sumbangsih ekologis
dan atau produktif, untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Kawasan ini dapat berupa kawasan lindung, kawasan
budidaya pertanian serta kawasan konservasi tertentu,
yang pada prinsipnya menciptakan keserasian dan ke
seimbangan, agar tercipta suatu lingkungan hidup yang
dapat menyediakan sumberdaya bagi kelangsungan hi
·dup penghuninya secara berkesinambungan.
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan RTH
dalam tingkat RTRW Provinsi adalah adanya perbedaan
kepentingan antar pemerintah kabupaten, yang seringkali
kontra produktif terhadap fungsi RTH. Salah satu contoh
kasus penanganan kawasan konservasi Bandung Utara,
antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, yang
hingga saat ini selalu menjadi polemik. Disatu sisi Kota
Bandung sangat bergantung pada kelestarian Kawasan
Bandung Utara sebagai daerah tangkap air, di sisi lain
masyarakat Kabupaten Bandung yang bermukim berba
tasan dengan wilayah Kota Bandung bagian Utara ingin
mengembangkan wilayahnya. Kepentingan yang secara
ekologis bertentangan ini, merupakan hal yang dilematis
bagi kedua belah pihak.
Sementara itu hutan di tiap kabupaten semakin lama
semakin menurun jumlahnya. Demikian pula lahan budi
daya pertanian produktif semakin lama semakin menyu-
Gambar 3.6: Rencana Llntasan Monorel di Depan Plaza Senayan.
Hendaknya janis tanaman yang dipilih adalah yang pertumbuhan
optimalnya tidak lebih dari 6 (enam) meter dan lebih rimbun, misalnya
Bunga Mentega (Nerium oleander).
(Pour. 2004, hal 140)
Gambar 3.7: Sarana Olahraga berupa Stadion Madya.
Stadion atletik yang dimanfaatkan untuk pelatihan atlit nasional dan
masyarakat umum.
(Pour. 2004, hal 160)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 111
sut karena terjadi perubahan fungsi menjadi pemukim
an, industri atau menjadi lahan kritis. Kalaupun terjadi
pertambahan luas, lahan pertanian telah bergeser pada
lahan-lahan marjinal di lereng-lereng gunung yang sangat
beresiko menimbulkan kerusakan lingkungan. Apabila
pad a tingkatan RTRW Provinsi, fungsi ekologis RTH meng
andalkan kedua jenis peruntukan di atas, jelas pengem
bangan RTH telah m~ngalami penurunan.
Untuk itu diperlukan aspek legalitas yang mempunyai
kekuatan hukum serta aspek sanksi yang tegas tehadap
upaya-upaya gagalnya penerapan RTRW Provinsi. As
pek legalitas dimaksud dalam bentuk Keputusan Menteri
yang diperkuat dengan Keputusan Gubernur.
3.1.3 Kedudukan RTH dalam RTRW Kabupaten
RTRW Kabupaten bertujuan mewujudkan ruang
wilayah kabupaten yang memenuhi kebutuhan pemba
ngunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan,
efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dija
dikan acuan dalam penyusunan program pembangunan.
Sedangkan sasarannya adalah terkendalinya pemba
ngunan wilayah kabupaten, terciptanya keserasian ka
wasan lindung dan budidaya, tersusunnya rencana dan
keterpaduan program-program pembangunan di wilayah
kabupaten, terdorongnya minat investasi masyarakat
di dunia usaha di wilayah kabupaten, serta terkoordi
nasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor
pembangunan. Fungsi RTRW Kabupaten antara lain
adalah sebagai berikut :
• Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah.
• Sebagai dasar kebijakan pokok pemanfaatan ruang di
wilayah kabupaten.
112 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
• Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkem
bangan antar wilayah kabupaten dan antar kawasan
serta keserasian antar sektor.
• Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dila
kukan pemerintah, masyarakat dan swasta.
• Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang.
• Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana detail ka
wasan strategis kabupaten.
• Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan dan
administrasi pertanahan.
Mengingat RTRW Kabupaten sudah menjadi dasar
dalam pemberian izin lokasi pembangunan dan admi
nistrasi pertanahan, maka aspek-aspek fisik seperti
batas-batas wilayah atau kawasan sudah relatif jelas.
Dengan demikian kedudukan RTH yang pada tingkatan
RTRW ini berperan sebagai batas-batas perkembangan,
pengamanan sumber daya alam maupun buatan atau ka
wasan konservasi sudah relatif jelas terpetakan. Jenis je
nis RTH yang perlu diarahkan dalam rencana ini meliputi:
• Kawasan konservasi yang bisa terdiri dari hutan lindung
dan pengamanan sumber-sumber mata air.
• Kawasan budidaya pertanian dan pengamanan lingku
ngan meliputi kawasan hutan penyangga, hutan
produksi, hutan kota, pengamanan jaringan primer me
liputi jaringan. jalan, sungai dan listrik tegangan tinggi,
dengan maksud untuk membatasi perkembangan ke
arah yang tidak diharapkan.
• Kawasan khusus yang membutuhkan pengamanan RTH
misalnya kawasan rekreasi alam dan budaya, kilang
minyak, TPA sampah, serta kawasan lainnya yang perlu
pengamanan dalam bentuk RTH mengingat peranan
nya yang strategis.
Pengawasan dan pengendalian agar rencana dilak
sanakan sebagai pedoman pemanfaatan ruang sangat
diperlukan. Tingginya angka tekanan penduduk terhadap
lahan, mendesaknya kebutuhan perumahan khususnya
pada wilayah yang berbatasan dengan kota menjadi fak
tor penyebab yang khas, bergesernya peruntukan yang
sudah terencana dengan baik, menjadi sesuatu yang
seringkali bertentangan. Menghadapi keadaan seperti ini
yang sering dikorbankan adalah peruntukan-peruntukan
lahan RTH. lnilah salah satu sebab kenapa penyediaan
RTH selalu tertinggal jauh dari penyediaan prasarana
lainnya. Apalagi pada wilayah kabupaten dimana lahan
tidak terbangun masih tersedia dimana-mana, sehingga
dianggap peranan ekologis RTH dianggap tidak telalu
penting. Padahal RTH tidak hanya mempunyai fungsi
ekologis tetapi juga memiliki fungsi sosial untuk me
di tingkat kecamatan. Perlu juga diingat, bahwa wilayah
kabupaten khususnya yang berbatasan derigan kota atau
kota kecamatan, secara bertahap akan berubah menjadi
kawasan terbangun. Agar kota-kota tersebut tidak tum
buh melebar diperlukan "green belt" sebagai pembatas
perkembangan. Waktu telah membuktikan bahwa meng
andalkan lahan budidaya pertanian sebagai pembatas
perkembangan kota, tidaklah efektif. Diperlukan kebera
nian untuk merekomendasikan RTH dalam bentuk hutan
kota atau area yang dikonservasikan sebagai pembatas
perkembangan. Tidak mudah memang, karena terbentur
pada faktor kepemilikan lahan. Namun demikian, RTRW
Kabupaten adalah Peraturan Daerah yang punya otori
tas untuk mengatur peruntukan lahan dengan perangkat
sanksi menyertainya.
menuhi kebutuhan masyarakat, misalnya lapangan ber- 3.2 KEDUDUKAN RTH DALAM main anak, lapangan sepak bola yang sangat diperlukan PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH
PERKOTAAN
Gambar3.8:
Taman untuk pertemuan berupa ARENA untuk bersosialisasi di antara
pengunjung taman. Tribun dibangun sealami mungkin dan sarana
pendukung lain yang rindang dan cocok dibangun di negara tropis
(Vitellozzi, 1991, ha/50)
Dalam beberapa tahun terakhir ini , dimana masalah
lingkungan khususnya di perkotaan semakin memperli
hatkan tanda-tanda mengancam keberlangsungan ke
hidupan masyarakatnya, keberadaan RTH terasa lebih
sering dibicarakan.
Tengoklah, ketika banjir bandang melanda kota, orang
ramai mempermasalahkan penebangan dan pembangu
nan di wilayah hulunya. Ketika kadar logam berat melebihi
ambang batas, orang ramai pula membicarakan pertam
bahan jumlah kendaraan, sementara semakin langkanya
pohon yang mampu mereduksi polutan.
Tengok pula, ketika air bersih sulit didapat, berteriak
lah orang mempermasalahkan ekploitasi air yang berlebih-
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 113
an dengan tidak memperhatikan daerah resapannya.
Ada dua hal yang memungkinkan ancaman lingku
ngan tersebut di atas terjadi. Pertama, tidak ada rencana
tata ruang yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan
lahan. Kedua, terjadi pelanggaran terhadap rencana tata
ruang yang ada, atau adanya upaya-upaya penyesuaian
antara rencana tata ruang kota dengan kepentingan se
pihak. Hal yang pertama, kecil kemungkinannya. Karena
di wilayah perkotaan umumnya telah memiliki rencana
tata ruang kota. Kemungkinan kedua adalah yang paling
sering terjadi, yaitu pelanggaran terhadap rencana kota,
untuk berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu.
Melihat peranan RTH demikian besar di perkotaan,
maka tidak heran muncul keinginan untuk dengan te
gas menentukan keharusan setiap kota menyediakan
RTH dalam satuan luas tertentu. UU No. 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang, walaupun tidak dengan tegas
menyatakan luas RTH yang harus disediakan, tapi telah
mempersyaratkan perlunya penyediaan ruang terbuka,
sebagai fasilitas sosial masyarakat. Di dalam lnmendagri
No. 14 tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah
Perkotaan lebih jelas mempersyaratkan jenis-jenis RTH
yang harus disediakan di wilayah perkotaan. Sedangkan
Kepmen PU 378/KPTS/1987, terdapat arahan tata cara
penyediaan taman lingkungan dan taman kota berdasar
kan jumlah penduduk.
Dari uraian di atas, perangkat payung dalam penyedia
an RTH di perkotaan telah tersedia. Untuk itu seyogyanya
penyediaan RTH dalam RTRW di wilayah perkotaan perlu
di perjelas keberadaannya. Untuk itu dalam tulisan beri
kut ini akan di uraikan kedudukan RTH dalam RTRW Kota
dan RDTRW Kota.
114 Kedudukan RTH dalam Perencanaan lata Ruang
3.2.1 Kedudukan RTH di dalam RTRW Kota
RTRW Kota adalah kebijakan yang menetapkan lokasi
dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan,
serta diprioritaskan pengembangannya dalam jangka
waktu perencanaan.
Kota adalah 1) suatu areal dim ana terdapat atau ter
jadi pemusatan penduduk dengan kegiatannya dan meru
pakan tempat konsentrasi penduduk dan pusat aktifitas
perekonomian (seperti industri, perdagangan dan jasa);
2) merupakan sebuah sistem, baik secara fisik maupun
sosial ekonomi, bersifat tidak statis yang sewaktu-waktu
dapat menjadi tidak beraturan dan susah untuk dikontrol;
3) mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti
iklim dan sejauhmana pengaruh itu sangat tergantung ke
pada perencanaannya.
Sebagai pusat pertumbuhan, kota menampilkan hal
hal yang khas. Seperti di sampaikan oleh Djamal (1997)
menyatakan; pertumbuhan perkotaan yang cepat dalam
beberapa dekade yang lalu merupakan fenomena pan
ting di negara sedang berkembang. ~~~onesJap~daperio
de 1971-1980 untuk seluruh ukuran:~kota besar t~catat . " . ,.'":~ .. -·:·. ~ :- - • ' J ~ . . ..: :·~ 1 •
memiliki pertumbuhfi9:P.~ndud4l',:'J~jh .. besar dari 3~5%.
Periods 198D-1990· · tata~rata perf.u.mbuhan : penduduk . ·:· ,·_ . :' ·:···· . ., . . .f•r
perkotaan sebesar 5,36~~per fatiur1p· Uotuk kota-kota.b~-
sar, sebagian pertumbuhlhn~~~mel~bar -ke kawasan ping
giran di dalam maupun di Juar · batas administrasi' kota.
Biasanya pertumbuhan ini diiringi ,dengan pertumbuhan
kawasan pusat yang menurun. Kota Bandung misalnya
mulai mengalami pertumbuhan kawasan pinggiran saki
tar pertengahan 1970-an. Pertumbuhan di kawasan pusat
menurun 5-0% pada periode 192D-1961, menjadi sekitar
1,5-2% per tahun pada periode 1961-1990. Kawasan
Gambar 3.9: Taman Kota dl Kuala Lumpur 1994 Taman yang multi fungsi untuk penghijauan jalur sungai, lapangan olah raga dan taman pengisi ruang antara jalur lalu-lintas (traffic islands).
Di bawah lapangan hijau (cricket) terdapat ruang parkir bawah tanah (nampak gerbang masuk di sudut kanan ke arah bawah)
merupakan efesiensi ruang kola. (--- 1994, City Hall, K.L.)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tala Ruang 115
pinggiran sebaliknya mengalami pertumbuhan rata-rata
4-7% per tahun pada periode 1971-1980. Pertumbuhan
penduduk perkotaan dari tahun 1920 s/d tahun 1985 me
ningkat menjadi 22 kali lipat. Jika dibandingkan sampai
tahun 1980 maka perubahan penduduk perkotaan me
ningkat hanya 16 kali lipat. Perdesaan 3 kali lipat. Kondisi
ini telah menimbulkan berbagai masalah penting yaitu:
1 . Lahan pertanian produktif menjadi berkurang.
2. Persoalan pengembangan dan pengelolaan pertum
buhan lahan perkotaan.
3. Perm?salahan pengelolaan pertumbuhan fisik menyang
kut lemahnya kapasitas pengendalian kedua pemerin
tahan yang terkait.
Lebih jauh Djamal (1997) dalam buku yang sama me
nyebutkan bahwa, banyak masalah yang terdapat di kota
kota antara lain masalah yang berkaitan dengan:
• Pengrusakan alam, meliputi pencemaran sungai di
dalam kota. Misalnya di kota Jakarta, sungai menjadi
saluran pembuangan limbah, reklamasi pantai dan laut,
penurunan dan pengecilan ruang hijau.
• Pengrusakan nilai historis kota (sejarah).
• Prioritas diberikan pada kendaraan bermotor bukan
pejalan kaki.
• Kosentrasi di kota-kota; pertumbuhan cepat di ping
giran kota, pembangunan yang tidak beraturan dan
menyebar serta memperpanjang jarak tempuh.
llustrasi di atas sekedar memberikan gambaran
bagaimana pesatnya pertumbuhan di perkotaan yang
menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila arah dari
116 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
RTRW Kota adalah menetapkan lokasi dari kawasan
yang harus dilindungi dan dibudidayakan. Di sinilah RTH
mengambil peranan besar, yaitu sebagai alat atau wa
hana untuk memberikan perlindungan terhadap sumber
daya alam maupun buatan di perkotaan.
Rancangan Undang-undang Penataan Ruang yang
dipersiapkan menjadi pengganti UU No. 24 tahun
1992, dengan tegas telah mengarahkan 30% dari lahan
perkotaan adalah RTH baik lahan privat maupun publik.
Adanya peluang ini maka dalam RTRW Kota, RTH dapat
diwujudkan antara lain:
• Merupakan kawasan konservasi untuk kelestarian hidro
orologis.
• Merupakan area pengembangan keanekaragaman
hayati.
• Merupakan area penciptaan iklim mikro dan reduktor
polutan di kawasan perkotaan.
• Sebagai tempat rekreasi masyarakat.
• Sebagai tempat pemakaman umum.
• Merupakan pembatas perkembangan kota ke arah
yang tidak diharapkan.
• Merupakan pengamanan sumber daya. baik alam,
buatan maupun aspek-aspek historis.
Walaupun secara jelas tergambar fungsi dan peranan
RTH di perkotaan adalah untuk kemaslahatan dan kese
jahteraan masyarakatnya, tetapi tetap saja terjadi upaya
upaya kontradiktif terhadap keberadaannya. Kebutuhan
lahan perumahan yang terus meningkat telah mengkon
versi berbagai kepentingan memenuhi kebutuhan ini.
Perumahan besar cenderung berkembang ke arah lahan
marjinal di bukit-bukit yang seharusnya menjadi kawasan
yang di konservasi, sedangkan perumahan kecil (sering
kali liar) cenderung memanfaatkan RTH pada bantaran/
sempadan sungai atau sempadan jalur KA. Di sisi lain
harga lahan yang mahal sangat menghambat pemerintah
untuk memperluas dan menyediakan RTH bagi kepenting
an masyarakat.
Orientasi keberhasilan pemerintah kota yang diukur
hanya dari peningkatan PAD, juga menjadi salah satu pe
nyebab terhambatnya perkembangan RTH di perkotaan.
Penyediaan RTH seperti taman-taman publik, dianggap
tidak produktif karena dianggap tidak memiliki nilai return of investment atau bahasa populernya tidak men-
Gam bar 3.10: Pemandangan di sekitar Kawasan Gelora Bung Karno
Taman Kota menyajikan pemandangan ·dan suasana hijau di kawasan
GBK. Nampak adanya perbedaan di mana terdapat bangunan untuk
hiburan (bangunan gedung untuk restoran , sarana permainan yang
terlalu dominan) pada luas lahan yang sangat terbatas, sehingga
nampak terlalu menonjol karena dibangun tanpa konsep perancangan
tapak sebagaimana seharusnya. Apalagi bila dibandingkan dengan
taman-taman kota di seberangnya yang sudah berusaha memenuhi
kaidah perancangan dan perencanaan arsitektur lansekap.
(Pour. 2004, ha/153)
Gambar 3.11: Taman Kota
Suatu contoh Taman Kota yang fungsinya tidak sesuai dengan
rancangan semula, sebagai kawasan hijau penyerasi dan sarana
penampung air pendingin (AC) dari Gedung MPRIDPR, yang
dipaksakan menjadi suatu pusat lokasi hiburan (Taman Entertainment),
sehingga menjadi semrawut, menjadi preseden buruk pengalihan
fungsi RTH Kota, yang seharusnya tidak terulang lagi di tempat
lain, hanya karena ada atau butuh investor untuk misalnya koleksi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan semacamnya. Kebutuhan
masyarakat umum (penduduk kota) akan Taman Kota yang 'tenang
dan nyaman' jadi dikalahkan, dan tidak sesuai rancangan arsitektur
lansekap semula sebagai taman rekreasi pasif.
(Pour. 2004, hal 94)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 117
Gambar 3.12: Jogging Track yang Ringan dan Nyaman Suasana pad a Taman Prasasti, GBK, menerapkan semboyan " ... Sejuta Pohon Sejuta Prestasi. .. " dan deretan pohon-pohon peneduh yang
sebagian besar sudah tumbuh optimal, sehingga didatangi berbagai jenis hewan (kota) seperti berbagai jenis burung dan tupai. Nampak areal
khusus untuk 'logging' atau jalan cepat di bawah rindangnya pepohonan buah maupun bunga yang indah, beberapa di antaranya adalah jenis
jenis langka, misalnya Kepel, Burahol, Matoa (Pometia pinnata), Sawo Kecik (Manilkara kauki, yang sudah tidak langka lagi), Cempaka (Michelia
campaca), Jambu Darsono (Eugenia malaccensis Linn.), Belimbing Buah (Averrhoa carambola), dan lain-lain masih banyak lagi.
(Pour, 2004, hal 68 dan 169)
118 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
datangkan PAD bagi kocek pemerintah kota. Pada level
pengelola kota, nampaknya besarnya biaya yang ditang
gung oleh masyarakat sebagai akibat lingkungan yang
buruk, atau biaya untuk penyediaan air bersih sebagai
pengganti air sumur yang tidak layak pakai, masih meru
pakan hal yang 'ajaib' untuk diperhitungkan.
Demikian pula partisipasi masyarakat dalam penyedia
an RTH masih sangat kurang. Malahan masyarakat cen
derung menjadi aktor utama penurunan kuantitas RTH,
dengan cara merubah area hijau halaman menjadi area
terbangun atau area parkir.
Dari gambaran di atas telah jelas kedudukan RTH
dalam RTRW Kota. Untuk itu dibutuhkan kesadaran
semua pihak untuk mengikuti arahan dalam RTRW Kota.
Setiap pelanggaran terhadap Peraturan Daerah khusus
nya RTRW Kota seyogyanya dikenakan sanksi yang se
berat -beratnya.
3.2.2 Kedudukan RTH di dalam Rencana Detail Tata
Ruang Wilayah Kota
RDTRW Kota menurut UU No. 24 tahun 1992 serta
rancangan undang-undang penggantinya, yang saat
tulisan ini disusun sedang dalam proses pembahasan
adalah merupakan bagian dari RTRW Kota untuk ka
wasan tertentu yang dianggap strategis dan prioritas
dalam pengembangannya.
Lebih jelasnya RDTRW Kota adalah merupakan peng
aturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok
penggunaan kawasan dan atau kawasan strategis terten
tu, untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan
manajemen transportasi kota dan pelayanan utilitas kota.
Mengingat RDTR sudah menjamah pada keserasian
pemanfaatan ruang pada blok atau kawasan tertentu,
maka dengan demikian kepadatan tiap blok dapat mun
cul secara rinci dan terukur. Dengan kedalaman ini maka
kedudukan RTH disamping sebagai penyeimbang antara
lahan terbangun dengan tidak terbangun, juga menjadi
arahan dalam penentuan presentase ruang hijau dari se
tiap peruntukan, tipologi dari masing-masing RTH, alter
natif vegetasi pengisi ruang, alternatif elemen pelengkap
dalam RTH, hingga konsep-konsep rencana RTH sebagai
arahan untuk pengembangan desain selanjutnya.
Dengan kedudukan dalam RDTRW Kota seperti itu,
maka secara rinci bentuk RTH yang harus diakomodasi
di dalam RDTRW adalah:
• Merupakan penyeimbang antara area terbangun dengan
area tidak terbangun pada setiap blok (publik dan
privat).
• Merupakan area bermain, berolahraga, bersosialisasi
dan aktivitas lainnya bagi seluruh masyarakat (RTH
publik).
• Merupakan area yang memiliki berbagai fungsi seperti
edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, protektif, hi
gienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis.
• Merupakan pembatas dan pengaman kawasan strategis.
• Tempat penyediaan sarana, prasarana dan fasilitas ling
kungan ,
• ldentitas/ciri lingkungan.
Agar dapat memberikan gambaran lebih rinci dari
arahan RTH seperti tersebut di atas berikut ini kita urai
kan pemahaman masing-masing:
RTH sebagai peyeimbang antara area terbangun de
ngan tidak terbangun; adalah perlunya menyertakan area
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 119
yang tidak terbangun diantara area yang dibangun. Ben
tuk dari area ini disesuaikan dengan fungsi dari lingkungan
terbangun di sekitarnya, dapat berupa ruang-ruang ter
buka yang diisi berbagai jenis vegetasi menarik dan indah
seperti layaknya taman, atau berupa kumpulan vegetasi
tahunan atau pohon-pohon besar sehingga menyerupai
hutan. Atau dapat pula berupa lapangan olahraga yang
secara umum berupa lahan berumput.
Pada prinsipnya RTH ini dimaksudkan agar dapat
menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan ter
bangun di perkotaan, seperti peningkatan temperatur
udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban
udara, polusi dan lain sebagainya.
RTH sebagai area bermain, berolahraga, bersosiali
sasi dan aktivitas lainnya ; RTH ini berbentuk taman atau
lapangan olahraga, yang memiliki tingkat pelayanan ber
tingkat sesuai jumlah penduduk yang dilayaninya. Sesuai
dengan Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan
Kota Ditjen Ciptakarya Dep PU (1987) yang ditegaskan
lagi oleh lnmendagri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan
RTH di Wilayah Perkotaan, mempersyaratkan tersedianya
taman lingkungan dan taman kota sebagai berikut:
• Setiap 250 penduduk tersedia satu taman seluas 250m2,
taman ini merupakan taman lingkungan perumahan
untuk melayani aktivitas balita, manula dan ibu rumah
tangga, sehingga menjadi sarana sosialisasi penduduk
di sekitarnya.
•Setiap250ppenduduktersediasatutamanseluas1.250m2,
taman ini untuk menampung kegiatan remaja seperti
berolah raga atau kegiatan kemasyarakatan lainnya.
• Setiap 30.000 penduduk tersedia satu taman seluas
9.000 m2, taman ini untuk melayani kegiatan masyarakat
120 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
seperti pertunjukan musik atau kegiatan olahraga pada
minggu pagi, seperti jogging atau sepak bola, Shalat
ldul Fitri, pameran pembangunan dan atau kampanye
di musim Pemilu atau Pilkada. RTH ini dapat pula beru
pa area kegiatan pasif, sehingga fasilitas utama yang
disediakan hanya berupa kursi-kursi taman, jalur sirku
lasi serta pohon-pohon besar sebagai peneduhnya.
• Setiap 120.000 penduduk tersedia satu taman seluas
24.000 m2• RTH ini sudah dapat dikatagorikan sebagai
taman kota, untuk menampung berbagai kegiatan baik
skala kota maupun skala bagian wilayah kota. Dari
mulai kegiatan olahraga masyarakat hingga pertun
jukan musik skala besar dapat ditampung pada RTH
ini. Seperti halnya taman 30. 000, taman ini dapat juga
berupa RTH yang didominasi pohon tahunan sehing
ga kegiatan di dalamnya lebih banyak kegiatan pasif,
atau hanya jogging mengikuti jalur sirkulasi yang ada,
dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti MCK,
parkir dan sebagainya.
• Setiap 480.000 penduduk tersedia taman seluas
144.000 m2• Taman ini berupa kompleks olahraga ma
syarakat dilengkapi dengan fasilitas olahraga seperti
lapangan atletik, lapangan volley dan basket, lapangan
softball, ruang hijau sebagai leisure area serta fasilitas
pendukung lainnya.
RTH yang memiliki berbagai fungsi seperti edaphis,
orologis, hidrologis, klimatologis, protektif, higienis, edu
katif, estetis dan sosial ekonomis; Fungsi tersebut dapat
dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan,
dengan pengertian sebagai berikut:
• Fungsi edhapis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan
Gambar3.13
RTH-Kota untuk pelestarian plasma nutfah di Singapura. Tanaman: Cannon Ball.
(Dahlan, 1992, ha/45)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 121
jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman • Fungsi sosial ekonomi adalah RTH sebagai tempat ber-
pohon yang sesuai, misalnya memilih pohon yang buah bagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan
atau bijinya atau serangga yang hidup di daun-daun- memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias
nya, digemari oleh burung. atau pedagang musiman seperti terjadi di lapangan
• Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap ke- Gasibu pada hari Minggu pagi.
lestarian tanah dan air, dapat diwujudkan dengan tidak
membiarkan lahan terbuka tanpa tanaman penutup
sehingga menimbulkan erosi, serta meningkatkan infil
trasi air ke dalam tanah melalui mekanisme perakaran
pohon dan daya serap air dari humus.
• Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro seba
gai efek dari proses fotosintesa dan respirasi tanaman.
Untuk memiliki fungsi ini secara baik seyogyanya RTH
memiliki cukup banyak pohon tahunan.
• Fungsi protektif adalah melindungi dari gangguan angin,
bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerin
dangan pohon perdu dan semak.
• Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mere
duksi polutan baik di udara maupun di air, dengan cara
memilih tanaman yang memiliki kemampuan menyerap
Sox, Nox dan atau logam berat lainnya. Penelitian ten
tang itu telah banyak dilakukan oleh para praktisinya.
• Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber penge
tahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya
macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmi
ahnya, manfaat serta khasiatnya. Untuk itu pada tana
man tertentu dapat diberikan papan informasi yang
cfclpat memberikan pengetahuan baru yang menarik.
• Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyum
bangkan keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik
melalui keindahan wama, bentuk, kombinasi tekstur, bau
bauan ataupun bunyi dari satwa liar yang menghuninya.
122 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
RTH sebagai pembatas dan pengaman kawasan strate
gis, tingginya kebutuhan lahan di perkotaan menyebabkan
adanya upaya untuk menguasai lahan dengan berbagai
cara. Tidak jarang upaya ini dapat mengganggu wilayah
atau kawasan yang memiliki nilai strategis tertentu. {Kasus
perkembangan permukiman di seputar observatorium Bos
ch a Lembang Bandung, harus menjadi pelajaran berharga).
Untuk itu dapat dikembangkan RTH misalnya dalam ben
tuk hutan kota, yang mampu membatasi perkembangan
lahan terbangun ke arah yang tidak diinginkan. Dengan
terpetakan secara akurat areal hutan kota dalam RDTRW
yang juga merupakan perda yang berkekuatan hukum,
dapat diharapkan RTH ini benar-benar mampu menjadi
pengaman kawasan strategis tertentu dari perkembangan
pemanfaatan lahan yang mengganggu.
RTH sebagai tempat penyediaan sarana, prasarana
dan fasilitas lingkungan, RTH sebagai area publik menjadi
sangat memungkinkan menjadi tempat penyediaan fasili
tas umum, selama tidak mengganggu fungsi utamanya.
Shelter, telephone box, bis surat, kios-kios kecil yang
menjajakan rokok, makanan kecil dan lain sebagainya
sangat dibutuhkan dan memberikan banyak kemudahan
bagi masyarakat.
RTH sebagai identitas/ciri lingkungan, pemilihan vege
tasi dengan bentuk yang khas, penempatan sculpture
dan keberadaan bangunan historis, memungkinkan se-
buah RTH menjadi tempat yang mudah dikenali , sehingga
menjadi orientasi arah dan pengenal lingkungan. Taman
Patung Pak Tani di Kwitang Jakarta Pusat, Jalan Pasteur
(dahulu) dan Taman Kotapraja di Bandung telah mem
buktikan peranan RTH sebagai identitas /ciri lingkungan.
Dari uraian di atas menjadi lebih jelas kedudukan
RTH dalam RDTRW Kota. Melihat besarnya fungsi dan
peranan RTH dalam level rencana kota ini , mungkin tidak
salah jika RTH dapat dikatagorikan sebagai sesuatu yang
cukup strategis pada lingkup RTRW Kota.
Gambar 3.14: Taman Kota di Kuala Lumpur 1994
Taman Kota sebagai unsur dekorasi kota penyeimbang struktur bangunan kuno bernilai sejarah dan arsitektur yang khas.
(··--- 1994, City Hall K.L.)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 123
3.3 MODEL-MODEL RTH SESUAI ARAHAN PERATURAN YANG BERLAKU
3.3.1 Model Taman Kota dan Taman Lingkungan 3.3.2 Taman Rukun Warga (2500 penduduk)
Taman ini melayani penduduk satu Rukun Tetangga Taman ini melayani penduduk satu Rukun Warga khu-
khususnya balita, ibu rumah tangga dan atau manula. susnya menampung aktifitas remaja, seperti berolahraga
ldealnya taman ini berada pada radius 1 OQ-200 meter dan kegiatan sosial penduduk lainnya. Standar luas ta-
dengan standar luas 1 m2 per penduduk. man ini adalah 0,5 m2 per penduduk. ldealnya taman ini
berada pada radius 200 sampai 300 m.
Gambar 3.15:
Contoh Taman Kota dan Taman Lingkungan yang teduh
(bernuansa tropis). Lokasi : Olympic Park di kompleks Sekolah
Nasional Olahraga di Formia, ltalia
(Vitellozzi, 1991, ha/56 dan 57)
124 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
Gambar 3.16: Model Taman RW
Taman olah raga lingkungan perumahan.
(Bravetti, 1993, ha/33)
3.3.3 Taman Kelurahan (30 000 penduduk)
Taman ini melayani penduduk satu kelurahan, untuk
menampung berbagai kegiatan sosial masyarakat seperti
pertunjukan seni, pameran pembangunan, perayaan hari
besar nasional dan keagamaan serta kegiatan olahraga.
Standar luas taman ini adalah 0,3 m2 per penduduk.
Gambar 3.17: Madel Taman Kelurahan
Stadion olah raga skala wilayah kota.
(Bravetti, 1993, ha/32,38 dan 39)
LEG£ND
JJ ~t'HWH/, ! J ,\ftd/..iJI lN'o'W"If'UI rtlo.IIJU,. )J 1/~1/s / •: ) • .JI LiMill)
JJ ltniUoiiAI.nl (IJ }f,o(IM~. :') Afk).(-/t·lt~ n .. ~._.
,'(, G\._utt-J t&n!MIII · Vu//("6..ll/f Ill S.~~~tiO · IJ"fil~IW\Jd~ 1111 o.v,._u ... ~ ,.,_ 111 ~, ... , N>.10t~ 1:; r;,_._.,_
PL.f.N 8 1992 s-:iwt urn• <I (Q,{)(W) <q ,.
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 125
3.3.4 Taman Kecamatan {120.000 penduduk)
Taman ini melayani penduduk satu kecamatan, untuk
menampung berbagai kegiatan sosial masyarakat seperti
pertunjukan seni, pameran pembangunan, perayaan hari
besar nasional dan keagamaan serta kegiatan olahraga.
Standar luas taman ini adalah 0.2 m2 per penduduk.
Gambar 3.18: Model Taman Kelurahan
(Bravetti, 1993, hal 60 dan 61)
126 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
3.3.5 Taman Kota (480.000 peduduk) Taman ini melayani penduduk kota atau bagian
wilayah kota, untuk berbagai kegiatan masyarakat baik
aktif maupun pasif. Taman ini dapat dilengkapi dengan
stadion mini serta beberapa fasilitas olahraga. Standar
luas taman ini adalah 0,3 m2 per penduduk.
Gambar 3.19: Model Taman Kecamatan
Sarana olah raga di antara jalur (koridor) hijau antar permukiman tepi laut dan daerah pertanian.
(Bravetti, 1993, ha/5)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 127
3.3.6 RTH Pemakaman
Pada umumnya pemakaman di kota-kota besar
menggunakan berbagai elemen perkerasan sebagai ba
ngunan taman. Sehingga persentase building coverage
ratio (BCR) menjadi sangat tinggi , beberapa di antaranya
telah mendekati 1 00%. Dengan kondisi ini maka akan su
lit menjadikan pemakaman sebagai RTH. Berikut model
pemakaman yang dapat dikatagorikan sebagai RTH.
Gambar 3.20: Model Taman Pemakaman sebagai RTH Kota
Foto atas: Pemakaman di Indonesia
Foto bawah: Pemakaman di Korea Selatan (-----, 1991, Kyongju, ha/ 23)
128 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
3.3.7 RTH Lingkungan Perumahan Kecil
Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan
yang sempit, tidak menutup kemungkinan mewujudkan
RTH.
Gambar 3.21: Model Pemanfaatan Efisien Halaman Sempit/
Terbatas sebagai RTH.
3.3.8 RTH Pada Jalan Lingkungan yang Sempit
Pada lingkungan lingkungan perumahan kecil, dapat
memanfaatkan sisa-sisa ruang untuk mewujudkan RTH.
Gambar 3.22 (paling atas): Model RTH pada Ungkungan Perumahan
sempit. (2005, Kampung Banjarsari, Jakarla)
Gambar 3.23 (atas): Permukiman padat.
(Nazaruddin, 1994, hal33)
lxora Superking & Pandanus pygmeus
Livistona _ .. palms •
Bougainvillea
Pandanus pygmeus & Hymenocallis
Philodendrons
,-Philodendrons ,-Eugenia
' /;Bougainvillea
~.
. / ··Eugenia grandis
· ··. -Hymenocallis (tropical shrub)
Gambar-gambar 3.24 (atas):
Contoh-contoh Vertical Planting. (Yeang, 1994)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 129
3.3.9 RTH pada Sempadan Sungai
Mewujudkan RTH pada sempadan sungai, disamping
akan mewujudkan koridor hijau di sebuah kota, juga me
lindungi sungai di perkotaan dari kemungkinan gangguan
terhadap kelestariannya.
130 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
Gambar 3.25 (kiri atas):
Bangunan arsitektur Pan-Chakki, Auran gabad.
Gambar 3.26 (kiri bawah): Makam Akbar, Sikandra
Pandangan ke arah dataran di depannya menuju Sungai Jumna.
Gambar 3.27 (paling atas): Chasma Shahi, di Danau Dal, Kashmir,
Gerbang taman narnpak dari bangunan Pavillion utarna.
(Crowe, 1972, hal 141 dan 143)
Gambar 3.28 (atas): Model RTH sempadan sungai Indonesia.
(KLH, 2004)
Ac:QUifl.£ 'mE fULL \AIIDnl Clf Til£ V AU£'( qt. fi..COPf'LA!I'i
~lURE T&£ 'ST~A~ ~I"'Tif "'Til-E; PAS51:1U S'{
Gambar 3.29: Bentuk-bentuk Jalur Sungai
Jalur sungai yang linear dalam sistem gerakan yang terpadu ~ntegrated) .
(Simonds, 1978, hal 24, 53 dan 227)
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang 131
3.3.10 Hutan Kota Hutan Kota berstrata banyak adalah hutan kota yang
Hutan kota idealnya memiliki luas dalam satu ham- memiliki beberapa tingkatan tanaman, mulai dari po-
paran minimal2500 m2• Hutan kota dapat berbentuk jalur, hon, perdu semak, Iiana, dan penutup tanah. Hutan Kota
mengelompok dan menyebar. Sedangkan strukturnya semacam ini memiliki kemampuan yang sangat baik
dapat berupa hutan kota berstrata dua dan hutan kota dalam melindungi tanah dari erosi, penyerapan air serta
berstrata banyak. Hutan Kota berstrata dua adalah hutan mereduksi polusi serta menyeimbangkan kelembaban
kota yang memiliki dua tingkat tanaman, yaitu pohon dan udara serta menurunkan suhu udara di perkotaan.
rumput (penutup tanah).
132 Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang
Gambar 3.30 (atas kanan dan kiri): The Amsterdam 8os (Hutan
Amsterdam). Di negeri Belanda suatu contoh Taman Hutan Kota
yang bagus memadu-sesuaikan antara hutan, Ruang Terbuka dan air.
Terdapat pula daya tarik berupa tanaman bunga sebagai aksen untuk
memperindah lingkungan.
(Konijnendijk, 2004, hal 16 dan 17)
Gambar 3.31 (kiri): Hutan Kota di Florence, ltalia
Taman Hutan Kota yang cukup luas dan di daerah yang lebih tinggi
sehingga pemandangan (vision) ke arah kota nampak jelas.
(Konijnendijk, 2004, ha/9)
IV RTH DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP PERKOTMN
4.1 MASALAH-MASALAH UTAMA DAN KONSERVASI Dl BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
Sejak dimulainya era reformasi pad a akhir tahun 1997,
pelaksanaan UU No. 22/1999, yang telah diubah men
jadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata
makin memperberat pembangunan bidang lingkungan
hidup. Perobahan kewenangan kepemerintahan yang
mensyaratkan kesiapan berbagai pihak untuk dapat lebih
meningkatkan kepemerintahan yang lebih baik, transpar
an dan demokratis tidak berjalan mulus.
Permasalahan pengelolaan lingkungan hidup (PLH),
justru semakin banyak menghadapi kendala, sehubungan
dengan semakin meningkatnya persepsi sebagian besar
penentu kebijakan yang menganggap bahwa sudah tiba
saatnya bagi semua orang untuk bisa mengeksplorasi
SDA seluas-luasnya demi mendapatkan keuntungan dan
manfaat melalui eksploitasi besar-besaran (pendapatan
asli daerah/PAD) yang lebih besar dalam waktu singkat,
tanpa memperhitungkan keberlanjutan eksistensi SDA
tersebut. Man usia sering lupa bahwa di dalam lingkungan
(binaan maupun alam) terus berlangsung proses metabo
limisme alami, sesuai siklus makanan yang misalnya bagi
hewan dan tumbuhan, digambarkan sbagai ilustrasi beri
kut ini (Myers, 1985).
Dalam lingkungan alam terdapat empat komponen
besar dalam jaringan kehidupan alamnya, yang saling
mempengaruhi, yaitu:
134 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
Gam bar 4.1: Pi ram ida Makanan
(Myers, 1985, ha/141)
(1) Udara (atmosfir): isi udara ini terpengaruh oleh
pembangunan, misalnya akibat terjadinya pencemar
an udara yang pada akhirnya kembali mempengaruhi
kualitas pembangunan itu sendiri. Udara sebagai wa
hana penyallir energi matahari, gelombang elektro
magnetik suara, zat-zat polutan, dan sebagainya;
(2) Air (hidrosfir): merupakan komponen yang sangat
penting bagi kehidupan, dimana putaran tata air (si
klus hidrologi), sangat berpengaruh terhadap alam;
(3) Tanah dan mineral (geosfir): yang terdiri dari berba
gai macam bahan hasil proses alamiah, termasuk ber
bagai macam mineral dan batuan sebagai media tum
buh dan habitat alami berbagai tumbuhan/tanaman;
(4) Flora, Fauna dan mikroba (biomassa): sumber
kehidupan biomassa, isinya beraneka-ragam, maka
sistem lingkungan alam dalam keanekaragaman hayati
(biodiversity) ini akan semakin stabil karena kekayaan
keanekaragamannya (heterogenitas).
Namun demikian, teori tentang menjaga keseimbang
an antara unsur alam dengan unsur binaan, tidak sungguh
sungguh diterapkan, sehingga beberapa permasalahan
klasik masih ada, bahkan semakin meluas dan kompleks,
antara lain sebagai berikut:
(1) Sebagai negara agraris dan sebagai penghasil utama
beras, lingkungan perkotaan mengalami alih guna,
khususnya lahan subur di 'pinggiran/perbatasan'
kota, untuk kegiatan non pertanian. Tekanan tersebut
terutama muncul dari sektor industri yang dianggap
lebih penting bagi perekonomian dan penyerapan
tenaga kerja. Selain itu akibat tekanan penduduk,
wilayah perkotaan juga membutuhkan areal permuki-
Gambar 4.2: Kota Bersejarah Barcelona
Pandangan dari udara (aerial view) jalur jalan pada musim dingin di
daerah Rambla. Nampak jalur hijau bagian tengah badan jalan, yang
dimanfaatkan sebagai lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) atau 'Pasar
Murah' dengan deretan pepohonan yang mestinya cukup rindang
bila musim panas. Cara lain pemanfaatan ruang yang efektif dengan
memanfaatkan damija (daerah milik jalan).
(----- 1991, Barcelona, hal19)
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 135
man yang semakin luas pula, akibatnya keberadaan
pertanian perkotaan (urban agriculture) sebagai kom
ponen utama RTH kota juga semakin tergusur.
(2) Eksploitasi kawasan hutan untuk dijadikan bahan
baku industri mampu pula untuk mendukung kepen
tingan ekonomi lain yang juga semakin meninggi,
sehingga mengancam kelestarian kawasan hutan, ter
utama dengan semakin maraknya penebangan kayu
ilegal, dan terjadinya kebakaran hutan.
(3) Se.~or industri dan jasa modern di perkotaan membu
tuhkan energi yang umumnya bersumber pada ener
gi fosil yang tidak terbarukan dalam jumlah sangat
besar. Untuk itu konsep pembangunan hemat energi,
yang lebih berdasar pada pemakaian energi terbaru
kan, dan ramah lingkungan, harus segera dilakukan di
segala lini.
Permasalahan lingkungan perkotaan antara lain juga
terkait dengan:
(1) Meningkatnya urbanisasi dan konsentrasi penduduk
di . perkotaan yang kurang terkendali akibat proses
industrialisasi yang melahirkan kota-kota baru yang
cenderung kurang terkendali dan terencana. Pada
hal perkembangan perkotaan seharusnya seirama
dengan kebutuhan dan pertumbuhan yang harus
direncanakan secara tepat demi tercapainya kenya
manan hidup dalam lingkungan yang sehat secara
terus-menerus, misalnya terbentuknya keseimbangan
antara ruang terbangun dan RTH secara proporsional,
baik di wilayah perkotaan, perdesaan maupun pada
daerah pendukungnya. Demi efisiensi ruang, pem
bangunan permukiman dan prasarana fisik sebaiknya
136 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
diarahkan secara vertikal seperti rumah susun, jalan
layang, dan transportasi umum yang terpadu antar
berbagai moda;
(2) Kurangnya pemanfaatan wilayah perairan di mana tiga
per em pat wilayah Indonesia berupa perairan, di mana
potensinya cukup besar. Sudah saatnya bila sumber
daya kelautan/sungai dijajaki sebagai sumber kehidup
an alternatif, terutama didasarkan pada pertimbangan
akan terbatasnya lahan (ruang) daratan, dengan tetap
mempertimbangkan dan menerapkan sistem peman
faatan rasional dan bertanggung jawab;
(3) Tingginya tekanan berbagai kegiatan pembangunan
terhadap lingkungan sehingga fungsi media lingkungan
(tanah, air, dan udara) pendukung kelangsungan ke
hidupan man usia itu sendiri kualitasnya semakin menu
run. Tentunya hal ini akibat dari sangat cepatnya proses
pemanfaatan SDA yang tidak/belum mempertimbang
kan pemeliharaan dan kelestarian ekosistemnya.
Pembangunan wilayah perkotaan akan mempenga
ruhi kualitas lingkungan yang ada, oleh karena itu, pelak
sanaannya pun harus selalu memperhitungkan dampak
positif (ditingkatkan), atau dampak negatifnya (dikenda
likan). Dampak dapat diukur dan dikendalikan, antara lain
menggunakan standar ambang batas, sebagai alat ukur,
baik untuk baku mutu lingkungan binaan, maupun baku
mutu lingkungan alam. Sebagai contoh, pencemaran
yang terjadi dalam lingkungan binaan (dampak negatif),
misalnya dalam pencemaran terhadap badan sungai, da
ratan, lautan ataupun udara, akan berakibat pada perge
seran tata nilai perobahan budaya dan komponen ling
kungan sosialnya.
SDA mendapat tekanan dari pertambahan penduduk
dan tingkat pendapatan yang selalu diusahakan semakin
tinggi. Hal ini berakibat semakin luas dan besarnya ling
kungan binaan yang ditentukan oleh kendala teknologi
dan budaya dengan kemampuan substitusi fungsi alam
melalui hukum buatan manusia. Apabila teknologi dan bu
daya man usia tidak sanggup lagi mensubtitusikan hukum
alam, maka ruang lingkup alam akan semakin menciut.
Oleh karena itu, perlu pelestarian fungsi lingkungan
alam, sebab teknologi dan budaya belum sepenuhnya
mampu menggantikan fungsi lingkungan alam dalam
lingkungan binaannya harus diusahakan keseimbangan
terus-menerus antara perkembangan lingkungan alam
dan lingkungan binaan. Perkembangan konsumsi be
sar-besaran dan relatif cepat ini, sebagian dilaksanakan
tanpa mempertimbangkan adanya etika terhadap SDA,
etika kehidupan guna menopang pola hidup agar selaras
antara kemajuan material dan spiritual sebagai cerminan
hubungan man usia dengan Sang Pencipta, menjadi tidak
tercapai.
Kita semua mengetahui bahwa, hutan (alam) yang
menjadi salah satu sumber panting kehidupan manusia
sudah semakin menyempit, RTH. kota secara rasional se
benarnya mampu 'sedikit' mengimbangi berkurangnya
eksistensi hutan alami antara lain dengan membangun
hutan (buatan) dalam kota, sehingga fungsi-fungsi alami
di lokasi yang relatif dekat dengan permukiman manusia
tetap ada bahkan berkualitas baik. Erosi genetika akibat
pembangunan tanpa memperhatikan pentingnya proses
metabolisme biomasa menyebabkan semakin berkurang
nya habitat flora dan fauna, dapat sedikit diimbangi den
gan 'menghijaukan' lingkungan buatan seoptimal mung-
Gambar 4.3: "The Shrinking Forest"
Seperlima hutan tropis di Brasilia telah lenyap, di Thailand
yang 2/5 hutannya sekitar tahun 1975 masih ada, tahun
1985 hampir tak ada yang tersisia lagi, tinggal petak-petak
lahan hutan yang relatif sempit dan tersebar di seluruh
wilayah negaranya yang sudah tak bisa pula bertahan
sampai tahun 2005-an kini. Penutupan tanah menjadi hijau
kembali (reforestasi atau reboisasi) perlu dilakukan pula
di wilayah perkotaan. Hutan di berbagai pulau-
pulau terutama yang besar-besar seperti Sumatra,
Kalimantan dan Papua Indonesia juga telah banyak
rusak akibat pemanfaatan yang tak bertanggung
jawab, baik untuk HPH atau usaha penambangan,
bahkan lahan yang dibuka
untuk usaha pertanian.
(Myers, 1985, ha/141)
__ ....... _ ..,,....QI .. (I-~ twa .. ......,...,
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 137
kin sekaligus sebagai habitat makhluk hidup termasuk
manusia di dalamnya.
Orientasi pembangunan seharusnya menyelaraskan
kemajuan lingkungan sosial dengan lingkungan alam,
kemajuan material dan spiritual, tanpa merusak pola
pembangunan berwawasan lingkungan dan pertimbang
an kependudukan. Pola pengelolaan kependudukan dan
lingkungan ini yang perlu disadari, diketahui, dan dilak
sanakan oleh kita semua.
4.2 RTH UNTUK MENGATASI PENCEMARAN UDARA
Manusia diperkirakan membutuhkan 0,5 kg oksigen/
hari, bila ditinjau dari kondisi lingkungan hidup alami yang
masih relatif baik atau dalam keadaan keseimbangan an
tara daerah terbangun dan tidak terbangun. Salah satu
pemasok utama ketersediaan udara bersih adalah pepo
honan di RTH kota sebagai 'paru-paru' kota yang meru
pakan produsen oksigen (0), penyerap karbondioksida
(C02) dan gas polutan lain.
Distribusi RTH kota seringkali tidak merata, di mana
kawasan yang seharusnya memiliki RTH cukup, justru
tidak memiliki RTH yang memadai, seperti di kawasan
permukiman padat, industri, terminal atau tempat pem
buangan sampah. RTH untuk ruang bermain anak-anak,
ruang bersosialisasi dan berolahraga sudah lama kurang
diperhatikan.
Purnomohadi (1994) mengidentifikasi korelasi yang
nyata antara eksistensi RTH kota dengan potensi redam
an dan jerapan terhadap tujuh zat pencemar udara, yaitu
karbonmonoksida (CO), karbondioksida (C02), nitrogen
(N), sulfur (SJ, timbal (Pb), hidrokarbon (CH), dan unsur
138 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
pencemar udara lain (TSP: total suspended particulate).
Sebagai contoh, menurut Myers (1985) dari timah hi
tam (Piumbum/Pb/lead) saja, setiap tahun di dunia sekitar
450,000 tonnes dilepaskan oleh manusia dibanding Pb
sekitar 3,500 tonnes hasil proses alami dari sumberdaya
alam. Lebih dari setengahnya dilepaskan oleh kenda
raan bermotor. Pb dimasukkan ke dalam mesin sebagai
penambah tenaga dan dari proses pembakaran Pb akan
dilepaskan ke udara berupa partikel halus. Pada tahun
1983 sebuah survai bahan bakar kendaraan bermotor di
Amerika, menunjukkan keadaan pencemaran akibat Pb
di negara sedang berkembang yang masih menggunakan
Pb dalam BBM-nya ternyata dua kali lipat lebih besar.
llustrasi berikut: "Maximum Lead Intake" (Asupan maksi
mum Pb) menunjukkan berbagai perbedaan masuknya
zat pencemar ini ke dalam tubuh manusia dewasa mau
pun anak-anak.
Blood lead levels •-;- r 1---r- .. ~--""' -.. '""'• Average daily lead ·.,._ ..
intake per urban i•II'AI 2-year-old child
15-1-·+--+--+--+-__.'V--'1 Leaded petrol sales Water 7%
Year Food 39%
Gambar 4.4: Asupan maksimum rata-rata orang dewasa seberat
70 kg adalah sekitar 6 ug/kg berat badanlhari. Anak-anak lebih
mudah menyerap (absorb) Pb, mencapai maksimum sekitar
1,2 ug/kg/hari. Terdapat korelasi kuat yang ditunjukkan dalam
diagram antara penjualan BBM ber-Pb dengan kandungan Pb
dalam darah anak-anak di kota New York. (Myers, 1985, ha/119)
Fungsi RTH kota yang ditata secara estetis fungsional
dapat digolongkan pula sebagai alat pembatas/peng
aman; pada kawasan konservasi antara dua wilayah
jalur lalu lintas dan kereta api, sempadan sungai, ruang
di bawah jaringan listrik tegangan tinggi, dan hutan kota;
kawasan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga atau ta
man bermain; kawasan rekreasi pasif seperti taman relak
sasi dan kawasan produktif seperti taman hutan kota dan
pertanian kota, pekarangan/halaman rumah; dan lahan
yang sengaja disisihkan untuk kegunaan khusus atau la
han cadangan.
Sifat alami organisme tanaman dalam RTH melalui
mekanisme rekayasa lingkungan, mampu memperbaiki
dan meningkatkan kualitas lingkungan. Demikian juga pe
milihan jenis-jenis tanaman yang sesuai habitatnya dapat
mempengaruhi efektivitas fungsi RTH, misalnya dalam
kemampuannya untuk menekan pencemaran udara, me
nyerap dan menjerap debu, mengurangi bau, meredam
kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan
hujan secara menyeluruh.
Fungsi bagian-bagian tanaman antara lain sebagai
berikut:
• Dedaunan berair dapat lebih meredam suara.
• Cabang-cabang tanaman yang bergerak dan bergetar
dapat menyerap dan menyelubungi suara, demikian
pula daun yang tebal menghalangi suara dan daun
yang tipis dapat mengurangi suara.
• Trikoma daun dapat menyerap butir-butir debu, melalui
gerakan elektrostatik dan elektromagnetik.
• Pertukaran gas terjadi melalui mulut daun.
• Percabangan (dan ranting) beserta dedaunannya
dapat menahan angin yang terlalu keras dan curah hu
jan yang terlalu deras.
• Penyebaran akar dapat mengikat tanah dari bahaya
erosi.
• Cabang yang melilit dan berduri menghalangi gangguan
• Bentuk dan tekstur daun berpengaruh terhadap daya
serap sinar/hujan, dan daya ikat cemaran.
• Bentuk kanopi tajuk pohon berpengaruh terhadap arus
dan arah angin turbulensi lokal dan peredaman bunyi.
Kemampuan tanaman menyerap dan menyerap (in
tersepsi) debu dan unsur pencemar udara lain (TSP: total
suspended particulate), dipengaruhi oleh:
(1) Jenis tanaman
• Kekasaran permukaan daun memiliki potensi peng
endapan lebih besar, sebab kemampuan meng
akumulasi timbal (Pb) dan seng (Zn) pada daun ber
struktur kasar, semakin tinggi dibanding yang licin
terutama untuk zarah timbal (Pb) bisa tujuh kali lebih
banyak.
• Permukaan ranting dan batang yang berbulu akan
lebih banyak menjerap dan mengintersepsi zarah
timbal (Pb) dan seng (Zn) dibanding ranting/batang
yang berkulit licin atau berlilin.
• Arsitektur dan morfologi pohon (Halle dan Oldeman,
1975 dalam Purnomohadi, 1994), mempengaruhi
kemampuan tanaman untuk mengintersepsi ber-
bagai zarah dan unsur cemaran udara.
• Aroma bunga dan daun tertentu dapat mengurangi (2) Perancangan dan perencanaan arsitektur lansekap
bau. yang sesuai dengan kondisi lokal akan mampu mere-
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 139
dam berbagai zarah dan unsur cemaran udara secara
lebih efektif, yaitu dengan menggunakan berbagai
jenis tanaman yang mempunyai sifat dan kemam
puan berbeda dalam meredam pencemaran dengan
menerapkan pola multi tajuk dan dengan penyusunan
tanaman yang berlapis-lapis.
(3) Sebaran komunitas tumbuhan dalam berbagai
fungsi dan bentuk RTH kota yang menyebar merata
di seluruh bag ian kota, akan lebih efektif dalam mere
dam pencemaran lingkungan dibandingkan dengan
RTH yang luas tetapi hanya pada lokasi tertentu.
Pepohonan mampu menurunkan konsentrasi partikel
timbal (Pb) yang melayang di udara, karena kemampuan
nya untuk dapat meningkatkan turbulensi dan mengurangi
kecepatan angin melalui celah stomata/mulut daun berkisar
antara 2-4 ~m hingga 10 ~m dengan Iebar 2-7 ~m. Sedan
gkan ukuran partikel timbal yang demikian kecil, rata-rata
2 ~m. akan dapat masuk ke dalam daun dengan mudah,
serta akan menetap dalam jaringan daun, menumpuk
di antara sel jaringan pagar (palisade), dan atau jaringan
bunga karang (spongious tissue). Sedang zarah yang lebih
besar ukurannya akan terakumulasi pada permukaan ku
lit luar tanaman. Cemaran yang terakumulasi ini sebagian
kecil dapat terjerap secara kimiawi (chemically adsorbed)
dan akhirnya terserap (absorbed) oleh jaringan hijau, dan
sebagian lagi akan tersapu oleh angin atau air hujan, yang
Gambar 4.5 Searah jarum jam, dari kiri atas: Daun dan buah Pohon Beringin (Ficus benyamina), Bunga Cempaka
(Michelia campaca), Buah Pohon Taniung (Mimusops elengij, Buah dan
daun Pohon Saga (Adenanthera pavonina).
Menurut Dahlan (dalam Purnomohadi, 1994), keta
hanan tanaman terhadap cemaran udara dari kendaraan
bermotor, berdasar kemampuan dan kepekaan tanaman
(khususnya terhadap unsur timbai/Pb), dapat dibedakan
menjadi lima kategori dengan beberapa contoh jenis
tanamannya, yaitu:
• Sangat peka: Kesumba (Bixa Orellana), Cempaka
(Michelia champaka), Glodogan (Polyalthea longifolia).
• Kurang peka, kemampuan menyerap timbal rendah:
Tanjung (Mimusops elengii).
• Kurang peka,
Johar (Casia
macrophylla).
kemampuan menyerap timbal tinggi:
siamea) dan Mahoni (Swietenia
kemudian dibawa ali ran angin/air dan atau diendapkan ke • Tidak peka dengan kemampuan tinggi menyerap timbal: atas tanah. Partikel berukuran submikron akan terdifusi Kirai payung (Filicium decipiens), Keben (Barringtonia
ke dalam jaringan tanaman melalui stomata dan akhirnya asiatica), Asam Landi (Pithecel/obium dulce), tanaman terbawa ke dalam sistem metabolisme tanaman. berdaun jarum serta bambu.
140 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
• Tidakpekadengan kemampuan rendah menyeraptimbal: oksigenasi serta mampu menghilangkan partikel gas
Jamuju (Podocarpus imbricatus)~ dan bau di atmosfir. Manfaat cahaya matahari langsung
lnstruksi Menteri Dalam Negeri {lnmendagri) No.
14/1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan,
memuat kriteria jenis tanaman yang disesuaikan perun
tukan lahan, perlu perhatian pada kepekaan pengaruh
berbagai zat cemaran tersebut. Pemilihan jenis tanaman
pelindung bagi RTH kota tentu akan berlainan antara
satu kota dengan kota lainnya di Indonesia, tergantung
pada ekosistem setempat. Masih banyak fungsi ekolo
gis RTH terhadap kualitas udara kota yang perlu diteliti
dan dikembangkan lebih jauh lagi. Bagaimanapun juga
keberadaan pohon dan RTH sangat menentukan kualitas
dan ketersediaan udara bersih bagi kelangsungan hidup
kota dan warga kotanya {Tabel 4.1 ).
Tanaman dengan berbagai ukuran dapat berfungsi
sebagai pembersih atau penyaring udara melalui proses
Tabel4.1
Kriteria Jenis Tanaman untuk RTH
(Purnomohadi, 1994)
Status
Vegetasi
Kriteria Tumbuhan
A.RTH
PERTAMANAN
Taman ---+
Jalur Hijau Jalan
+
1, 2, 3,4, 7, 8
1, 2, 3, 6, 7 - 4- ~
Jalur Hijau Kota 1, 2, 3, 5, 7, 8
r lB. RTH-LAIN _ _l__ 7, 8 I
II
1' 2, 3
2
3
Ill IV V
1' 2 1' 2 1
2 2 2, 3
2 2 2 t-
1 1,2~2 3
diketahui dari mekanisme proses fotosintesis. Klorofil
yang sebagian besar ada di dalam daun membutuhkan
karbondioksida {C02) dan menghasilkan oksigen {0
2) un
tuk bernafas. Demikian pula kemampuan tanaman yaitu
pada beberapa jenis tanaman pelindung yang lazim dite
mukan dalam RTH kota dengan berbagai ukuran daun
mempunyai besaran luas area teduh yang berbeda pula
{Tabel 4.2) .
4.3. RTH UNTUK MENGATASI BANJIR DAN PENCEMARAN AIR DAN TANAH
Pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan
pengelolaan lingkungan secara komprehensif telah ter
bukti mengancam kelangsungan hidup kota dan warga
kota. Fenomena hubungan antara manfaat RTH kota ter
hadap pengendalian banjir dan kekeringan merupakan
Notasi:
I. Karakteristik Umum
1. Tidak bergetahlberacun
2. Dahan tidak mudah patah
3. Perakaran tidak
mengganggu fondasi
4. Struktur daun setengah rapat
hingga rapat
5. Struktur daun setengah rapat
6. Struktur daun rapat
7. Ketinggian tumbuhan
bervariasi
8. Warna dominan hijau,
warna lain seimbang
II. Kecepatan Tumbuh
1. Sedang
2. Cepat
3. Bervariasi
Ill. Habitat
1. Tumbuhan hijau lokal
2. Tumbuhan hijau budidaya
IV. Tipe Tumbuhan
1. Musiman
2. Tahunan
V. Kerapatan Tanam
1. Setengah rapat
2. Rapat
3. Setengah rapat hingga rapat
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 141
Tabel4.2 salah satu upaya pengendalian kerusakan dan pencemar-
Luas Keteduhan Beberapa Jenis Tumbuhan an dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup kota.
hasil penelit ian, Kuswata dalam Purnomohadi, 1994 Banjir adalah suatu fenomena alam yang terjadi bila
curah hujan melampaui kapasitas daya tampung ling-Jenis Tumbuhan Ukuran Keteduhan kungan alami maupun buatan, seperti saluran drainase,
Nama Lokal Nama Latin Daun (m2) dan bentuk penampungan badan air lain, seperti sungai,
Ki Hujan Samanea Kecil 1224,36 kana!, danau, situ, rawa, daerah resapan air. Sebaliknya
saman kekeringan akan terjadi jika tak ada atau kurangnya pa-
Bering in Ficus benjamina Kecil 940,37 sokan (recharge) air secara berkala sebagai bagian alami
Saga Adenanthera Kecil 53,07 siklus hidrologi yang seharusnya dapat tetap berlang-
pavovina sung.
Soga Peltophorum Kecil 301,75 Pada jenis tanah dengan permeabilitas rendah, hanya
pterocarpus sebagian keci l air saja yang meresap, sebagian besar
Gelam Melaleuca Kecil 18,06 merupakan air limpasan (surface runoff) . Faktor geomor-
leucadendron fologi sangat berkaitan dengan keadaan lansekap kota.
Sengon Paraserianthes Kecil 945,81 Pad a badan air. dikenal morfologi yang terdiri dari badan
fa/cataria air itu sendiri, tanggul alam (buatan), bantaran sempadan
Bintaro Cerbera Sedang 23,34 air, dan meluas ke luar disebut bantaran banjir, yang
odollam seringkali dipenuhi oleh perumahan liar.
Tembesu Fragraea Sedang 207,17 Hutan diketahui hanya mempunyai koefisien limpasan
fragrans relatif keci l (0,01-0, 1 ), jadi hutan tidak mencegah banjir,
Cempaka Michelia Sedang 34,22 namun hanya dapat mengurangi resiko terhadap banjir
champaca banding dan penyaring zat pencemar udara.
Angsana Pterocarpus Sedang 361,08 Faktor perilaku negatif dalam pembangunan wilayah
indicus banjir seringkali menganggap sungai, pantai , danau,
Tanjung Mimusops Sedang 102,8 waduk atau badan air lain sebagai tempat pembuangan
elingii sampah sehingga sangat berpengaruh terhadap pening-
Randu Ceiba petandra Sedang 402,62 katan bencana banjir. Badan air menyempit akibat tum-
Jambu Laut Eugenia grandis Besar 264,21 pukan limbah padat yang sul it terurai. Daerah hulu se-
Mangium Acacia Besar 302,37 harusnya merupakan wilayah konservasi , karena sangat
mangium potensial meningkatkan sedimentasi atau pendangkalan
sungai dan badan air lain. RTH termasuk wilayah yang
142 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
Gambar 4.6: Tama~ dengan air mengalir (cascade)
Cara menyimpan sumber daya air, selain untuk persediaan di musim
kemarau, dapat pula ditampung dalam suatu wadah, semacam kolam
hias berbentuk 'cascade' (mengalir bertingkat-tingkat dari atas ke
bawah) yang bisa dimanfaatkan sebagai pendingin udara juga sebagai
atraksi tersendiri. Perancangan lansekap kolam bisa dilakukan meniru
keadaan SDA-di alam. (----- 1991, Barcelona, ha/39)
positif meresapkan air hujan dengan toleransi tertentu,
khususnya di wilayah perkotaan. Fungsi RTH sebagai
daerah resapan air nampaknya belum tergantikan.
Di lnggris, masyarakat menganggap air begitu penting
Wells (Jellicoe, 1971) mengatakan, bahwa kita pun, ma
nusia dan juga semua unsur yang hidup termasuk flora
dan fauna, asal mulanya adalah 'benda cair'. Anggapan
ini beralasan sebab semua makhluk hidup akan mati
dalam beberapa hari tanpa air.
Sebagai negara kepulauan terbesar panjang garis
pantai wilayah pesisir nusantara diperkirakan menca-
pai 81.000 km atau kedua terpanjang di dunia setelah
Canada maka semestinya pemerintah lebih serius dalam
pengelolaan apa pun yang menyangkut SDA. PP No.
47/1987 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRW) yang memuat usulan 516 kota-kota strategis
di Indonesia, di mana telah dibangun 22 buah lbukota
Propinsi (kota besar) dari 216 kota yang terletak di tepian
perairan, termasuk tepian sungai dan danau yang umum
disebut Waterfront City merupakan salah satu peraturan
perundang-undangan untuk mengantisipasi pesatnya
pembangunan khususnya di sepanjang tepian sungai
(Purnomohadi, 1999).
Bencana banjir di Jakarta diketahui sejak dulu sudah
terjadi dan disadari akan selalu terjadi, terlebih dengan
pengelolaan ruang di Jakarta yang tidak mengikuti pola
geografis lingkungan alami. Empat puluh persen di an
taranya atau sekitar 26.000 hektar, khususnya di wilayah
Jakarta Utara, bahkan berada di bawah permukaan air
laut. Jakarta merupakan muara dari 13 sungai besar.
Banyak kota-kota di Indonesia dan dunia mengarah
kan pembangunan dari hilir (pelabuhan) menuju ke hulu
(terrestrialj, seperti Semarang, Surabaya, Manado, atau
Bangkok di Thailand dan kota-kota sungai dekat pantai
di Bangladesh.
Menyadari kondisi geografi Jakarta, pemerintah
kolonial Belanda telah membangun beberapa kanal
dalam Kota Batavia yang tegak lurus garis pantai, untuk
menanggulangi naiknya permukaan air pada saat pasang,
dan sebagai sarana transportasi air dan rekreasi, seperti
di Kota Amsterdam atau Venice. Pada awalnya, perenca
naan Kota Jakarta bisa dikatakan meniru pembangunan
Kota Amsterdam, dengan kanalnya yang hingga kini ma-
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 143
sih aman dari bencana banjir dan justru digunakan untuk
kegiatan pariwisata yang sangat menguntungkan.
Sebaliknya yang terjadi di Jakarta, akibat urbanisasi
penduduk, lemahnya penegakan hukum dan ketidak
konsistenan pemerintah daerah terhadap Rencana lata
Ruang Wilayah telah megakibatkan RTH kota terus tergu
sur. Pendapat umum (warga kota) seringkali ditinggalkan
dalam pengambilan keputusan yang lebih mementing
kan para pengembang dalam mengurug rawa, situ, da
nau, dan lembah, atau membangun di sepanjang aliran
sungai.
RTH sebagai salah satu komponen penting dalam
mempertahankan kualitas fungsi alami lingkungan dapat
menjamin tetap berlangsungnya siklus air, udara dan
mineral yang amat dibutuhkan oleh warga kota. Sadar
atau tidak Jakarta sebenarnya tengah mengalami bunuh
diri ekologis (ecological suicide) dan ironisnya sudah di
peringatkan sejak tahun 1960an berdasar pada kecende
rungan pesatnya urbanisasi yang terjadi.
RTH penting dalam memelihara keseimbangan fisik,
sosiologis, ekonomi dan budaya suatu lingkungan kota.
Bagi Jakarta, banjir memang terjadi tiap tahun, tetapi
frekuensi dan kuantitasnya ternyata semakin meningkat.
Banjir terjadi pula hampir di seluruh Indonesia, terutama
di Pulau Jawa. Pemerintah melalui Kantor KLH telah
mengajukan beberapa prinsip pemikiran yang harus di
penuhi, agar pemerintah daerah berpenduduk padat
dapat secara efektif mengatasi permasalahan mendasar,
yang realistis dapat dilaksanakan melalui pertimbangan
fisik teknologis, ekonomis, sosial budaya dan adminis
trasi kepemerintahan secara konsisten, agar tidak me
nimbulkan dampak lain yang lebih besar dan meluas.
144 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
Dampak negatif banjir sangat berpengaruh bagi ke
maslahatan hidup orang banyak, termasuk penurunan
tingkat kesehatan, perekonomian dan produktivitas war
ga kota. Kerugian akibat bencana banjir di Jakarta (2002)
diperkirakan mencapai satu trilyun, akibat terendamnya
wilayah pertanian, sawah, empang dan rumah, kerusakan
70 persen sarana dan prasarana fisik kota dan krisis en~r
gi listrik dan bahan bakar minyak.
Secara global, perobahan lingkungan diindikasikan
dengan penyimpangan cuaca awal tahun 2002. Hasil
pemantauan pengembangan atmosfir bumi sejak akhir
tahun 2001 , terlihat kecenderungan penyimpangan kon
disi atmosfir, seperti turunnya salju di Kawasan Arab
Saudi, badai tropis yang biasa terjadi di Filipina malah
berkurang dalam 30 tahun terakhir, sedang di Australia
Utara dari timur hingga barat yang biasanya terjadi an
tara Desember-Maret, baru muncul awal Januari dengan
waktu yang lebih pendek. Selain itu terjadi pula perubah
an jumlah dan kualitas curah hujan di berbagai tempat,
penyimpangan kondisi awan termasuk pasang naik yang
tinggi (catatan Dishidros-TNI-AL).
Secara regional, berkurangnya wilayah hutan di dae
rah hulu dan berbagai tegakan di dalamnya, dalam 20
tahun terakhir ini, di mana luas hutan Kawasan Puncak,
tinggal 1 0 persen dan tinggi erosi mencapai 400 ton/hal
tahun Gauh di atas toleransi 39 ton/ha/tahun). Secara
lokal, pemanfaatan liar bantaran sungai, badan air atau
daerah resapan air yang lain, pembuangan limbah padat
dan cair ke dalam badan air, pengurugan rawa-rawa dan
situ untuk perumahan atau infrastruktur jalan.
Dari berbagai kenyataan di atas, maka upaya pe
ngelolaan lingkungan hidup (PLH) seharusnya mencakup
~am bar paling kiri 4. 7: Pandangan dari
tempat yang tinggi terhadap RTH-Kota
dengan jalur-jalur jalannya yang tetap
hijau (bukan pohon atau tanaman yang
ditebang, tetapi sistem pengelolaan
transportasi kota yang diperbaiki).
Nampak Plaza de Catalunya pada latar
depan dalam sistem RTH (hubungan
antara plaza dengan jalur jalan).
Gambar kiri 4.8: Kanopi tanaman di jalur
hijau jalan yang dipakai bagi pejalan kaki
(tortoir yang cukup Iebar) dipandang dari
tempat tinggi (The Passeig de Gracia).
(- ---- 1991, Barcelona, hal114 dan 116)
pula upaya rehabilitasi dan antisipasi, serta mengurangi rehabilitasi agar kembali berfungsi sebagai penyangga
bencana secara bertahap. kehidupan dan memberi manfaat bagi kesejahteraan
Alasan pemerintah daerah tentang sulitnya membe- masyarakat. Pembinaan dan penegakkan hukum terus
baskan tanah untuk pembangunan RTH baru terasa naif, ditingkatkan terhadap kegiatan pencemaran dan keru-
karena pada saat bersamaan pemerintah daerah justru sakan lingkungan. Penggunaan teknologi canggih dan
mempelopori penggusuran RTH berupa makam, hutan ramah lingkungan untuk pengendalian pencemaran dan
kota, hutan lindung, waduk, situ, kawasan olah raga, pengelolaan limbah padat, cair dan gas, perlu dilakukan
serta jalur jalan. secara komprehensif dan terus-menerus. Pola pengelo-
Restrukturisasi institusi kepemerintahan di pusat dan laan tata ruang yang serasi dalam konsep pembangunan
daerah, yang terkait dalam koordinasi RTH yaitu melalui RTH berbasis masyarakat melalui peningkatan upaya ke-
mengefektifkan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, mitraan dengan semua pihak (stakeholders) yang ada di
penetapan rencana pembangunan yang berdasar pada masyarakat.
keseimbangan antara ruang terbangun dan tidak terban- Berbagai masalah lingkungan kota timbul akibat
gun, dan mensyaratkan kajian analisis dampak lingkun- pencemaran dan kerusakan yang meningkat, tekanan
gan dan sosial, terhadap setiap proyek pembangunan kepadatan penduduk, berkurangnya daerah resapan
kota secara ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. air, ketidakkonsistenan penataan ruang, daya tampung
Lingkungan hidup yang rusak atau yang tidak berada badan air mengecil, pendangkalan dan penyempitan alur
dalam keseimbangan sebagaimana mestinya, perlu di- sungai dan prasarana drainase kota, kesadaran hukum
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 145
Gam bar 4.9: Kerangka Berpikir RTH-Kota dan Upaya Pengendalian Banjir: Peran Serta Masyarakat
KERANGKA BERPIKIR
PERTAMANAN
- Rencana
- Rancangan
- Pembangunan
- Pemeliharaan
PENGELOLA
PEMERINTAH
SWASTA
- Pengusaha
- Karyawan
I
I _____.._..
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
uu Peraturan
Kebijakan
RUTR&RBWK
Bidang usaha
Pendidikan
Status
Umur
Kesejahteraan
MASYARAKAT Pekerjaan I
- lndividu · ---.--. Pendidil<an
- Kelompok Umur
Lama bermukim
BiayaRumah Tangga
146 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
RESPON DAN PERSEPSI
Keinginan karyawan bayar retribusi
Dukungan pengelolaan taman
Kerja bakti bersih taman
Bantuan yang diinginkan
Taman perlu dibangun
Dukungan pembangunan taman
Pembangunan fungsi taman
Lomba penghijauan
Dukungan terhadap program sejuta pohon
I -.--.
PERAN SERTA
Mengajak masyarakat melakukan penghijauan
Kesediaan karyawan melakukan retribusi
Ke~asama melakukan penghijauan
Bentuk ke~asama pertamanan
Keikutsertaan dalam kegiatan pertamanan
Upaya penghijauan di lingkungan sendiri
Upaya penyampaian informasi lingkungan
Gotong royong membangun taman
Bentuk peran serta membangun taman
Keikutsertaan dalam penyuluhan tentang taman
lkut menyumbang untuk pemeliharaan taman
Bantuan yang ingin diberikan
lntensitas mengikuti penyuluhan
nndakan terfladap perusak taman
Ke~a bakti membersihkan taman
lkut menyumbang untuk pemeliharaan taman
Besamya retribusi yang ingin dibayarkan
Besamya sumbangan pembeli pot tanaman
Besamya jumlah bibit yang ingin ditanam
dan tingkat pemberdayaan masyarakat rendah, serta
perlunya perencanaan ruang kehidupan yang seimbang
dan merata di seluruh wilayah kota.
Kota harus tetap mempunyai ruang-ruang terbu
ka yang cukup memadai, meskipun kota (tua) itu terus
berkembang secara evolusioner tapi tanpa henti, se
bagaimana ditetapkan oleh pemerintahan Kota Barce
lona, seperti dipaparkan dalam dua buah gambar di atas
(Gambar 4.7 dan 4.8).
Untuk mengatasi masalah banjir rutin, Kantor KLH,
Departemen Pekerjaan Umum, dan DPR telah meng
usulkan suatu konsep kebijakan nasional pengendalian
bencana banjir, berdasar empat hal pokok, yakni: (1) pe
nataan ruang terkait pengembangan wilayah keseimbang
an antara kawasan lindung dan kawasan budidaya; (2)
pengelolaan sumber daya air secara komprehensif dan
menyeluruh dengan konsep satu sungai, satu rencana
dan satu pengelolaan terpadu; (3) pengembangan sarana
dan prasarana perkotaan khususnya menyangkut siner
gisitas pengelolaan fungsi lingkungan, termasuk sistem
jaringan jalan, drainase, RTH, pengelolaan sampah dan
lim bah cair perkotaan; serta (4) pengendalian pembangun
an perumahan, khususnya di wilayah bantaran sungai
dan daerah resapan air.
Kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara kom
prehensif, tidak parsial, didukung oleh penerapan dan
pelaksanaan hukum yang kuat dan kebijakan pengambil
an keputusan yang konsisten, serta melibatkan seluruh
unsur terkait, sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga
pengendalian dan pengawasannya secara tuntas dan
berkelanjutan.
Pengendalian bencana banjir dan antisipasi berbagai
Gam bar 4.10:
Perumahan Kumuh
Para penduduk pendatang
yang tidak mempunyai ruang
tinggal selalu berusaha
menempati ruang-ruang
semacam tepian kali, dan
akhirnya lingkungannya
menjadi kumuh.
(M. Amin, 2004)
masalah lingkungan hidup tidak terlepas dari derasnya
arus urbanisasi, karena ketidakberimbangan pemba
ngunan dan kegiatan ekonomi. Untuk itu pembangunan
pusat-pusat kegiatan ekonomi harus disebar merata di
berbagai kota, daerah dan pulau lain.
Penanggung-jawab pengelolaan lingkungan hidup
harus melibatkan unsur terkait sesuai dengan pemba
ngunan RTH berbasis masyarakat demi kelangsungan
fungsi ekosistem perkotaan. Perencanaan, pelaksanaan
dan pemeliharaan RTH kota harus dikelola dengan lebih
kreatif dan efisien.
Pembahasan teknis paradigma baru sistem pengelo
laan sampah bersama masyarakat, pengelolaan RTH, dan
pengendalian pencemaran air merupakan langkah awal
menuju sistem pembangunan kota yang berkelanjutan.
Para pengelola RTH kota harus lebih memperhatikan
dan mempertimbangkan eksistensi fisik geografis ling
kungan. Perlu disadari bahwa sebagian besar permukim
an penduduk perkotaan, terutama ibukota propinsi, terle
tak di tepian badan air. Penerapan praktek pembangunan
kota di wilayah tepian air (waterfront city) memerlukan
kajian khusus yang lebih mendalam.
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 147
Pembangunan kota tepi air, merupakan bagian dari
pembangunan perkotaan menyeluruh, sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan pembangunan kota umumnya,
hanya pada kota tepian air, harus lebih mempertimbang
kan tiga faktor utama, yaitu:
(1) Rekayasa teknik (engineering), berkaitan dengan situa
si dataran rendah atau pesisir pantai, sedang peme
cahan masalah pada pesisir pantai yang lebih tinggi,
curam, tepian sungai, danau juga sebenarnya tak ber
beda jauh dengan pembangunan perkotaan di daerah
perbukitan umumnya;
(2) Perancangan (design), cakupannya lebih luas, terma
suk daerah tepian air yang lebih tinggi tersebut;
(3) Lingkungan (environment), lagi-lagi perlu konsentrasi
khusus pada lingkungan dataran rendah, karena sifat
rentan daerah ini, apalagi bila dikaitkan dengan skema
upaya 'reklamasi lahan' (Buijs, 1998).
Permasalahan rekayasa teknis bagi pembangunan
perkotaan tepian air memang khas, di mana sebagian
masalah adalah akibat proses geologi yang terjadi, seba
gian juga akibat kegiatan manusia itu sendiri. Tentu saja
proses geologis tidak bisa dikontrol, sedangkan kontrol
kegiatan manusia juga tidak mudah.
Terjadinya amblasan lapisan tanah (dalam), dan naik
nya arus laut adalah karena proses geologis akibat ge
rakan tektonik dan akibat perobahan cuaca alami yang
berkepanjangan. Pada situasi di mana tidak ada inter
vensi manusia, maka kombinasi antar kedua kejadian
tersebut bisa dikompensasi oleh sedimentasi, di mana
masih terdapat hutan bakau (mangroves) dan adanya
pertumbuhan lapisan gambut pada lahan basah di dae-
148 RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan
rah rawa darat (marshes) di 'belakang' garis pantai,
Yang biasanya terjadi adalah manusia membuka per
mukiman di tepian air tersebut, sehingga mekanisme
kompensasi alami tersebut tidak bisa berlangsung, aki
bat pembabatan hutan bakau serta rawa-rawa yang telah
'terpaksa' berubah fungsi tersebut. Demikian pula yang
terjadi di daerah permukiman kota, dimana aras (permu
kaan) air tanah menjadi semakin turun akibat rekayasa
agar lahan hunian cukup kering, padahal di lain pihak
para pemukim perlu air baku (air minum).
Proses perubahan lapisan permukaan di atas lahan
permukiman, akan mempercepat pula proses turunnya
lahan (amblasan) karena tekanan dan oksidasi yang ter
jadi pada permukaan, sehingga menyebabkan masuknya
air laut (intrusi) ke dalam rongga-rongga di dalam tanah,
bekas lokasi air tanah tersebut. Akibat akselerasi ke
giatan manusia ditambah dengan meningkatnya aras air
I aut, kadang tak hanya akibat permukiman tepian air saja,
namun pada skala global, dampak emisi gas-gas rumah
kaca juga membentuk pemanasan udara secara alami.
Bersamaan dengan proses 'alami' yang saling berkait
tersebut, dan akibat kurang atau bahkan tidak adanya
jalinan alami dari tanaman-tanaman pelindung pantai,
maka terjadi penggerusan tepian akibat gerakan arus air
tanpa penghalang tersebut. Masuknya air asin ke dalam
lapisan tanah tentu saja akan mencemari struktur tanah
asli. Terjadinya genangan akibat pasang yang berkombi
nasi dengan terjadinya curah hujan, bahkan aliran permu
kaan berupa air bah dari arah hulu, yang membawa ben
da apa saja yang dilaluinya, pasti menimbulkan berbagai
pencemaran air tanah, menambah kerusakan lingkungan
tanah tersebut di atas.
Pada akhirnya, kembali diperlukan energi khusus un
tuk merehabilitasi lingkungan, seperti pembuatan peme
cah ombak, penguat tanggul pesisir atau tepian (bantaran)
sungai, membangun 'polder' (tempat parkir air sementara),
dan pengelolaan wilayah aliran sungai yang baik.
Di negara kepulauan Indonesia, seperti juga di negara
negara yang acapkali mempunyai kemungkinan kejadian
gempa, relatif punya masalah khusus, yaitu kejadian ge
lombang pasang (tsunami), yang terbesar terjadi pada
tanggal 26 Desember 2004, kemudian disusul oleh gem
pa yang terjadi pada 28 Maret 2005, telah memporak
porandakan hampir seluruh wilayah pesisir di Provinsi
Nanggro Aceh Darussalam, dan sebagian wilayah Su
matera, terutama di Pulau Nias dan Kabupaten Sibolga.
Demikian pula tsunami di daerah pantai lain, seperti di
Ende dan sekitarnya (Provinsi NTD, beberapa tahun lalu,
meskipun akibatnya relatif kecil. Karena itu, pada dae
rah-daerah rawan gempa, hendaknya kota-kota tidak
dibangun dekat atau langung pada bibir pantai, tapi agar
dibangun pad a lokasi dengan jarak aman yang cukup me
madai, berdasar hasil-hasil penelitian dan pengamatan
komprehensif. Jarak aman ini memang sulit diprediksi
mengingat pola kejadian gempa yang tidak teratur pula.
Tetapi paling tidak bisa disusun metoda untuk mengatasi
akibat gempa bumi yang terjadinya tidak dapat diduga
ini, dibanding dengan kasus curah hujan dan induksi
angin di atas permukaan laut yang dapat menyebabkan
gelombang pasang yang amat tinggi, dan yang kejadian
nya lebih dapat diduga (seperti dampak badai "EI Nino"
dan "La Nina").
RTH dan Permasalahan Lingkungan Hidup Perkotaan 149
V PERAN RTH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PERKOTAAN
5.1 PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN
Tuhan menciptakan dunia ini tak ada yang kekal, ke
cuali proses alami yang mendukung siklus kehidupan
makhluk hidup itu sendiri. Semua berputar datang silih
berganti atau berubah wujud, seperti air, dari cair menjadi
gas (uap air) atau padat (es). Demikian pula proses_ alami
lain, perlu dijaganya kondisi lingkungan yang bisa tetap
menampung berbagai proses tersebut sedemikian rupa,
supaya proses alami tetap berlangsung dan tetap mampu
mendukung kehidupan secara lokal, nasional, regional,
dan global. Salah satu bentuk komitmen itu adalah pem
bangunan lingkungan kota secara berkelanjutan.
Bumi, planet tempat man usia berdiam kini telah meng
alami perobahan menuju krisis lingkungan yang telah
mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia,
demikian pula di Indonesia ini. lronisnya hampir semua
kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut adalah
akibat kegiatan manusia yang mengabaikan fungsi lestari
lingkungan. Kebangkitan kesadaran manusia untuk me
nyelamatkan bumi dilakukan dengan berbagai cara, kata
kata Lingkungan Hidup (LH) dan Hijau menjadi kata-kata
sakti. Maka menjamurlah istilah kota berwawasan ling
kungan, kota ramah lingkungan, kota berkelanjutan, kota
hijau, kota taman, kota sehat, dan seterusnya.
Bagaimana seharusnya manusia mampu menyesuai
kan diri dengan alam sekitar sebagai bag ian dari kehidup
an budaya manusia? Konsep Tri Hita Karana di Bali
merupakan contoh bagaimana manusia mengedepankan
hubungan keselarasan antara manusia dengan Tuhan,
Gambar 5.1: Sebagian besar bumi terdiri dari air atau perairan. Dari seluruh air bumi,
97% lebih merupakan air asin (lautan), sedang air tawar terdapat hanya kurang dari
3%, karena sebagian berupa es atau salju abadi. Armosfir bumi, sungai-sungai,
danau dan perairan bawah tanah (aquifer) menyimpan hanya kurang dari satu (1)%
saja. Siklus air te~adi akibat adanya matahari, mengangkat air murni dari tanah
dan permukaan laut, kemudian jatuh lagi sebagai hujan dan salju. Setiap tahun
sekitar 10% air diuapkan dari laut dihembus angin menuju daratan. Sekitar 10%
(sekitar 40,000 cu km) pula dikembalikan ke laut sebagai aliran (permukaan). Hal ini
152 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
merupakan "hasil proses (alami)" di mana manusia semua
tergantung. Modal air tanah mungkin lebih besar, tapi upaya
ekstraksi sangatlah mahal biayanya, dan butuh waktu
cukup agar bisa dimanfaatkan kembali.
(Myers, 1985, ha/108)
2
Gambar 5.2: Sebagian besar sungai-sungai di Bali,
masih dalam keadaan 'utuh' sebagaimana adanya
akibat kepercayaan bahwa SDA alam (perairan,
khususnya sungai untuk mengairi sawah), adalah
sumber kehidupan yang penting, sehingga tidak
boleh dirusak, karena itu kondisinya tetap hijau dan
kualitas maupun kuantitas (debit) air masih dalam
keadaan baik, teduh dan hijau.
Keterangan:
(1) Bunga Teratai yang dibudidayakan di lahan
sawah di Bali, (2,3,4) Adalah bantaran sungai di Bali
yang selalu hijau dan teduh, alami.
3
4
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 153
dengan sesama makhluk hidup dan dengan lingkungan.
Sikap ini melahirkan persepsi, bahwa segala sesuatu di
bumi ini bernyawa, sehingga manusia tak boleh semena
mena mematikan atau merusaknya. Dengan demikian,
mereka akan sangat berhati-hati menggubah alam ini, itu
pun hanya bila betul-betul diperlukan, yaitu untuk men
dukung keberlanjutan kehidupan.
Para pengelola lingkungan perkotaan sudah seharus
nya menetapkan kebijakan dan strategi penataan ruang
kotanya masing-masing secara menyeluruh, sehingga
dapat dicapai suatu keadaan lingkungan sebagaimana
diharapkan, dan di mana antara satu dengan lain kota,
(terutama yang relatif berdekatan) bisa saling menjaga
pemekaran wilayah kotanya serta mendukung wilayah
perlindungan masing-masing secara sinergis.
Sebuah kota adalah sebuah area dimana 'garis perba-
154 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
tasannya' selalu tumbuh, suatu tempat dimana manusia
berkerumun (berkongregasi) dan mengerjakan aktivitas
yang terpusat di sekitar wilayah Pt;Oduksi. Kota adalah
sebuah tempat dimana manusia hidup, menikmati waktu
luang, dan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan ma
nusia lain, baik secara material maupun spiritual.
Batasan kota juga termasuk komuniti perkampungan
pertanian dan nelayan (perikanan) khususnya bagi kota
kota yang terletak di tepi pesisir pantai. Pada tempat
yang benar-benar kota, tidak terdapat produksi makanan
primer, namun sebuah tempat di mana terdapat produksi
sekunder, tersier serta distribusinya, yang menyediakan
sumber kehidupan bagi masyarakat kota. Pada masa
modern, pembangunan kota-kota meningkat menjadi
lebih kompleks, sementara itu pada setiap langkah
pembangunan, permasalahan yang harus diatasi telah
Gambar5.3:
Adanya alun-alun dengan atau tanpa
pohon besar (biasanya beringin)
merupakan konsep pengadaan
RTH-kota dengan sarana kantor
administrasi pemerintahan (eksekutif,
judikatif dan legislatif) termasuk istana,
kantor pemerintahan (Gubernuran,
Kabupaten, dan seterusnya) sudah
tidak lagi dihargai, sehingga RTH
tersebut sangat mudah berubah
fungsi, yang sering terjadi misalnya
menjadi pusat perbelanjaan (mall) ,
bahkan lokasi pembuangan sampah
sementara, dan lain-lain.
(KLH, 2004)
berubah dan terus meningkat, sesuai berjalannya waktu,
sehingga permasalahan seolah-olah berkejaran dengan
waktu dan menjadi semakin menumpuk.
Menurut Kuswartojo1 (2006), "konsep kota berke
lanjutan hanya ada dalam dunia pikiran atau imajinasi, di
mana keduanya mempunyai sifat dan kedudukan berbe
da, konsep kemudian digunakan kembali oleh akal untuk
memahami, menerangkan atau bahkan melakukan suatu
tindak terhadap realita atau fenomena tersebut. Konsep
kota berkelanjutan adalah konstruksi dalam pikiran yang
didasarkan pada suatu keyakinan tentang wujud dan
proses yang terjadi dalam kota. Keyakinan yang dianut
inilah yang dimaksud sebagai azas yang menjadi dasar
dan panduan segala tindak. Kesadaran dan keyakinan,
bahwa kehidupan manusia di dunia harus terus berlan
jut menghasilkan konsep pembangunan berkelanjutan".
Pada Sidang Umum PBS, 1987 konsep ini disepakati se
bagai azas antara generasi secara bersama-sama, yang
intinya pemenuhan kebutuhan sekarang haruslah tidak
menghalangi kebutuhan generasi yang akan datang.
Melalui KTT Bumi di Rio de Janiero, 1992, konsep dan
azas ini dituangkan ke dalam program dunia yang dise
but; Agenda 21. Dan konsep tersebut terus berkembang
untuk menarik makna pembangunan berkelanjutan.
Konsep berkelanjutan ini kemudian menjadi azas
bagi tindakan apa saja, sehingga timbul beberapa istilah
yang semuanya serba berkelanjutan yang sering terde
ngar, seperti: ekonomi, bisnis, pertanian, permukiman,
arsitektur, arsitektur lansekap, dan seterusnya, menjadi
sedemikian meluasnya, sehingga terlepas dari azasnya
sendiri. Mengapa kota? Karena kota adalah tempat hidup
dan konsentrasinya banyak manusia. Penduduk dunia
yang tinggal di kota terus meningkat mencapai 70-80%
sampai mendekati kejenuhan, terutama di negara-negara
industri maju. Di negara-negara sedang berkembang,
penduduk kota yang semula 'hanya' sekitar 20-30%
dengan cepat juga bertambah menuju 50%yang akan
menyamai penduduk kota di negara maju. Ada upaya
menekan pertumbuhan kota, tetapi tidak berhasil meng
hentikan proses kecepatan urbanisasi ini, seperti di RRC
zaman Mao Zedong, de-urbanisasi secara kejam oleh
rezim Pol Pot di Kamboja (Kuswartojo, 2006).
Penyebab utama urbanisasi, tentu saja adanya fak
tor penarik sekaligus pendorong (pull and push factors)
orang berbondong-bondong pindah ke kota karena di
kota 'harapan hidup senang' lebih menjanjikan, misal:
tersedianya banyak lapangan kerja akibat 'moderisasi',
termasuk di bidang pertanian (pola intensif). Kota lalu
menjadi 'mesin pembangkit' pertumbuhan ekonomi,
penentu pola konsumsi dan produksi. Kota menjadi agen
kapital global yang agresif dan eksploitatif. Termasuk
mode dan kebiasaan hidup kota yang mutakhir, menye
bar dengan cepat dan merata ke seluruh negeri. Dam
pak negatif yang paling memprihatinkan pada ujungnya,
adalah perkembangan kota ini menjadi penyebab keru
sakan dan pencemaran lingkungan akibat eksploitasi tak
terkendali terhadap SDA dan lingkungan. Kota membu
tuhkan air bersih, sehingga eksploitasi SO-air menjadi
berlebihan dan menjadi awal konflik pemanfaatan den
gan kegiatan lain (pertanian, perindustrian, an seterusnya)
yang semuanya membutuhkan air dalam jumlah relatif
banyak. Kebutuhan akan pasir dan batu untuk pemba
ngunan kota, telah merusak wajah dan kualitas lansekap di
kawasan pinggiran kota. Kasus longsornya tanah akibat
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 155
penambangan itu sudah sering mengorbankan jiwa pula.
Demikian pula kebutuhan akan kayu yang berlebih
lebihan akan SDA, sudah jelas merusak SD-hutan (tropis)
kita yang semula kaya akan keanekaragaman jenis itu.
Proses metabolisms dan aktivitas penduduk kota yang
sangat meningkat tersebut, telah menghasilkan limbah
padat dan cair, telah menjadi masalah besar terutama di
kota-kota besar (Jakarta dan Bandung) serta telah menel
an korban jiwa pula (Kasus TPA Bantargebang, Leuwigajah
khususnya pada tahun 2005-2006), tentu menjadi penye
bab menurunnya kualitas kesehatan manusia dan ling
kungan kota, serta ketidaknyamanan visual dan aroma
bagi siapa saja. Karena itulah makna perkembangan ling
kungan kota ini mendapat perhatian khusus dalam kon
sep dan penerapan azas pembangunan berkelajutan.
5.1.1 Konservasi Lingkungan Hidup Kota
Pada tahun 1980-an, tujuan pembangunan jangka
panjang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),
adalah ditetapkan tercapainya hasil pembangunan yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia dan terbentuk
manusia Indonesia seutuhnya. Melihat dan merasakan
keadaan negara di era reformasi yang masih mencari
bentuk, rasanya cita-cita mulia tersebut belum terca
pai, kalau tak bisa dikatakan gagal. Pembentukan ma
nusia Indonesia seutuhnya, memiliki ciri-ciri keselarasan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dalam
sistem kemasyarakatannya, dan lingkungan alam. Tujuan
pembangunan berkelanjutan seyogyanya menjadi tujuan
kepemerintahan pad a era apa pun, yaitu pad a setiap
pentahapan pembangunan menuju kepada peningkatan
nilai-nilai kehidupan dan hendaknya dapat:
156 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
(1) Meningkatkan taraf hid up dan kesejahteraan seluruh
rakyat;
(2) Mendorong tercapainya cita-cita hidup sejahtera di
dunia dan mengejar kebahagiaan hidup di akhirat;
(3) Mencapai keselarasan hubungan Bangsa Indonesia
dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan;
(4) Menjadi landasan kuat untuk pembangunan berikutnya.
Dalam cara membangun, terutama sejak berdirinya
Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup (PPLH, 1978 kini KLH), maka sifat
kelingkungan-hidupannya dengan sendirinya tersurat
maupun tersirat dalam penetapan kebijakan-kebijakan
kepemerintahan yang dijabarkan dalam suatu sistem si
nergitas dengan sektor-sektor pembangunan lain, sejalan
dengan tuntutan pembangunan demi pemenuhan kebu
tuhan yang disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Prinsip utama upaya pembangunan berkelanjutan
adalah mengusahakan agar kegiatan apapun harus se
lalu didasarkan atas prinsip landasan pelestarian fungsi
SDA, agar bisa menopang pembangunan jangka pan
jang. Semula diharapkan, bahwa melalui Rencana Pem
bangunan Lima Tahun (REPELITA), diharapkan pelaksa
naan pembangunan berwawasan lingkungan atau ramah
lingkungan sosial maupun alam dapat terlaksana, namun
disadari pula sejak awal pembangunan, bahwa peman
faatan sumber daya di masa depan diperkirakan akan
menjadi semakin langka, terutama disebabkan oleh per
tambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat.
Konservasi dan pengelolaan lingkungan hidup
perkotaan perlu dikembangkan melalui:
• Rasionalisasi penggunaan SDA, melalui upaya
--
/ A world of waste. We produce about a billion tonnes of waste a year worldwide. The rate at which we do so is closely linked with Gross National Product (GNP). The map, above, plots regional variations in GNP with per-capita waste output for 10 cities. In many countries, waste is seen as a problem, not a resource; as something to be dumped rather than converted into useful products. But as the ftow diagram below shows,
· to close the circle by recyc ling materials.
Gambar 5.4: "Waste into Wealth". Pemanfaatan kembali sampah. (Myers, 1985, ha/1 36)
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 157
minimalisasi kerusakan ekosistem, misalnya upaya
perlindungan ekosistem, penggalakan pemanfaatan
ulang dari sumber daya, yang biasa disebut: 7 -RE,
yaitu: memanfaatkan ulang (reuse), mengurangi (re
duce), mengganti (replace), mendesain ulang (rede
sign), memfabrikasi kembali (refactory), memperbaiki
(recovery), dan mendaur ulang sumber daya (recycle)
yang tersedia di lingkungan sekitar;
• Peningkatan produksi pangan dengan pola intensi
fikasi pertanian yang memungkinkan, penghematan
ruang (lahan) dan SDA (air, lahan, dan hutan beserta
isinya), peningkatan kualitas dan kuantitas keaneka
ragaman pangan;
• Penggunaan alternatif sumber energi terbarukan,
misal briket arang dari sampah, tenaga matahari,
tenaga angin dan bio-fuel.
Untuk memastikan diperhatikannya aspek konservasi
lingkungan dalam pembangunan perkotaan perencanaan
ruang hendaknya dikembangkan dengan memperhati
kan sistem variabel lingkungan, melalui identifikasi po
tensi, analisis kesesuaian lahan yang mempertimbang
kan variabel lingkungan dalam rencana pemanfaatan,
dan memperkirakan dampak positif maupun negatif yang
mungkin timbul.
Sebenarnya, struktur perekonomian tahun 1980-an
dan sebelumnya, telah menitikberatkan pada penting
nya pembangunan pertanian, khususnya pangan. Namun
sehubungan dengan keyakinan akan ampuhnya sektor
perindustrian, yang diterapkan tanpa mempertimbangkan
keseimbangan pembangunan dengan sektor pendukung
lain, maka pada akhir tahun 1997 lawai tahun 1998, ter-
158 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
jadilah krisis perekonomian yang memperburuk kondisi
lingkungan Indonesia, dan yang hingga kini masih belum
sepenuhnya teratasi.
Pemanfaatan SDA dan ruang secara rasional, lalu
menerapkan kebijakan dan perimbangan pembangunan
lebih ke arah sektor industri dan jasa yang seharusnya
tetap berdasar pada pemilihan teknologi ramah ling
kungan. Kebijakan pembangunan berkelanjutan yang
menekan dampak negatif pencemaran sekecil mungkin,
dan pertimbangan pada konsistensi perencanaan, pene
rapan dan evaluasi 'Tata Ruang Terpadu' antara pemerin
tahan pusat dan daerah, serta antar pemangku kepenting
an hendaknya terus diterapkan.
Setelah apa yang dikenal dengan 'Club of Rome' yang
menandai kepedulian Negara-negara Eropa tentang kuali
tas kehidupan manusia di berbagai aspek telah semakin
menurun, lalu berkaitan dengan kesadaran akan perlu
nya kehati-hatian dalam pengelolaan LH-dunia, ditandai
oleh KTI Dunia tentang LH di Stockholm 1972 meluas,
maka tahun 1987 muncul pula "The World Comission on
Environment and Development" (WCED, dikenal dengan
laporan Brundtland) dimana Indonesia pun pernah men
jadi 'tuan rumah' dalam salah satu rangkaian diskusinya,
menyebutkan, bahwa KOTA YANG BERKELANJUTAN
adalah kota yang dapat menjalankan fungsi dan peranan
dalam pembangunan berkelanjutan. Kota harus mampu
melindungi dan memelihara SDA di kota dan wilayah
sekitarnya, sehingga pemanfaatannya pun dapat terus di
lakukan secara berkelanjutan. Artinya, bukan hanya fung
si lingkungan kota yang terus berlanjut tetapi juga daerah
'hinterland' di sekelilingnya, bahkan meluas sampai ke
kawasan regional melampaui batas administrasi daerah
dan negara sebab lingkungan tak mengenal batas-batas
yang dibuat oleh manusia.
The World Resources Institute (WRI, 1997) dalam
terbitan berkalanya, menyoroti secara khusus masalah
perkotaan, dinyatakan bahwa, kota berkelanjutan adalah
kota yang mampu memenuhi kebutuhan kaum miskin
kota, artinya kemampuan penanggulangan kemiskinan
kota merupakan kunci keberhasilan pembangunan kota
berkelanjutan, Seregaldin (1995 dalam Kuswartojo, 2006)
memandang bahwa kota berkelanjutan adalah kota yang
mampu melindungi kesehatan penduduknya, menye
diakan lindungan (shelter), menyediakan lapangan kerja
serta tempat di mana manusia dapat mengekspresikan
budidayanya, menurut Badshah (1996) agar kota dapat
terus berlanjut, perlu pengambilan keputusan (misalnya
tentang program perumahan) yang berdasar pada kon
sensus, sebab akan menjamin pelayanan yang menerus
pula.
Dimanfaatkannya kembali sampah (padat
maupun cair) terutama untuk mengurangi
volume (penumpukan) di perkotaan
merupakan suatu kegiatan yang harus
dilakukan oleh penduduk kota sejak dari
sumber sampah. Sebuah komunitas
di Peral River, China (dan di Madras,
Calcuta, India) sejak tahun 1980-an,
bahwa setiap 90.000 penduduk (sekitar 89
keluarga) merupakan sebuah komunitas
produktif yang melakukan "rural/urban
agro-ecosystem". Dalam pelaksanaannya,
tiap-tiap unit mengkombinasikan kegiatan
pertanian (budidaya tanaman, peternakan
'dikembalikan' menjadi energi (bio-gas)
yang terus-menerus terbarukan dan
dimanfaatkan untuk generator listrik.
Akhirnya mampu memasok hasil-hasil
pertanian untuk penduduk (lokal di sekitar
maupun kota-kota di dekatnya).
dan perikanan) untuk mengumpulkan energi
dari sisa hasil kegiatan (sampah) untuk
Gambar 5.5: "Bio-gas Stove Digester"
A garden landscape di Daerah Hu, China Timur, lukisan petani saat musim gugur.
(Myers, 1985, hal63)
Gambar 5.6: "Village Bio-gas Plantn
(Myers, 1985, hal 62)
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 159
lbarat tubuh man usia, dimana setiap saat memerlukan
pemeliharaan fungsi-fungsi metabolismenya sehingga
tetap 'hidup' sehat lahir dan batin, maka dalam konsep
'metabolisme permukiman kota' demikian pula. Newman
(1999 dalam Kuswartoyo, 2005) menempatkan transpor
tasi sebagai faktor terpenting dalam mewujudkan kota
berkelanjutan. Ketergantungan hanya ada kendaraan
bermotor (mobil} menjadi penyebab ketidakberlanjutan
kota. Dalam dinamika permukiman ini kehidupan yang
layak dan nyaman dapat dicapai melalui pengelolaan
SDA & lingkungan yang dinamis dan bertanggung jawab
dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Deklarasi Aalborg (1994) 'azas sustainable city bagi
kota-kota di Eropa, diungkapkan perlunya pencapaian
keadilan, sosial-ekonomi dan lingkungan yang berkelan
jutan pula, sebab satu sama lain tak terpisahkan. Kon
sumsi akan SO-air dan energi, misalnya sebaiknya lebih
diarahkan pada SDA yang dapat diperbarui, namun tetap
tidak melampau daya dukung dan daya tampung dalam
sistem alaminya, artinya tak melampaui kapasitas asimi
lasi alaminya. Jadi yang terpenting adalah komitmen agar
manusia mampu hidup taat azas.
Organisasi ICLEI, UNEP dan EPA negara bagian Victo
ria, mendeklarasikan azas Melbourne di Australia (2002).
Azas ini menyediakan seperangkat pernyataan sederha
na tentang bagaimana kota yang berkelanjutan itu ber
fungsi, azas ini diniatkan untuk memandu pemikiran dan
penyediaaan suatu kerangka strategis untuk bertindak,
membolehkan kota mengembangkan solusinya sendiri,
disesuaikan dengan kondisi masing-masing, membantu
warga kota agar mampu mengambil keputusan dan bisa
bekerjasama untuk menetapkan hal-hal penting agar kota
160 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
Gambar 5.7: Suasana Taman Museum Kertagosa sesudah renovasi.
Tanaman jenis Palmae mungkin terlalu dominan namun nampak asri .
mampu hidup berkelanjutan (Kuswartojo, 2006), menurut
azas ini adalah kota yang mampu:
• Merumuskan visi jangka panjang kota berdasar keber
tanjutan; berkeadilan sosial , ekonomi dan politik serta
ciri khasnya;
• Mencapai keamanan sosial dan ekonomi jangka pan
jang;
• Mengenali nilai hakiki keanekaragaman hayati dan ekso
sistem alami, melindungi dan memulihkan kembali;
• Memampukan komunitas agar dapat memperkecil
'tapak ekologisnya';
• Membangun karakteristik ekosistem d;;~lam pengem
bangan dan memelihara kesehatan da~ _ keberlanjtrtan kota;
• Mengenali dan membangun karakteristik khas kota ter
masuk nilai-nilai kemanusiaan dan budayanya, sejarah
dan sistem alaminya;
• Memberdayakan masyarakat dan mempercepat peran
sertanya;
• Memperluas dan memampukan jaringan kerjasama un
tuk mencapai masa depan bersama yang berkelanjutan;
• Meningkatkan konsumsi dan produksi yang mendu
kung keberkelanjutan, melalui penggunaan teknologi
berwawasan lingkungan dan manajemen permintaan
yang efektif;
• Meningkatkan kemampuan untuk melakukan perbaikan
secara terus-menerus berdasar pertanggungjawaban,
keterbukaan dan penyelenggaraan yang baik.
. 5.1.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman,
Nyaman, dan Sehat
Apa arti kota itu sendiri bagi Indonesia, penting untuk
disepakati lebih dulu, terutama bila ingin mengembang
kan dan menerapkan azas kota berkelanjutan itu. Menu
rut istilah yang ada, kota di artikan yang disebut city,
town, urban atau bahkan municipal. Kerancuan semacam
ini belum dibahas secara tuntas dan belum ada peraturan
perundang-undangan khusus. Dalam RUTR No. 42/1992
belum diuraikan arti kota secara khusus, sedang PUU
tentang Tata Ruang pun masih dalam proses pemba
hasan (RPP). Perkotaan dipergunakan untuk istilah urban,
kawasan perkotaan untuk urban area, kebudayaan kota
untuk urban culture, ekonomi kota untuk urban economic,
bukan kebudayaan perkotaan dan ekonomi perkotaan,
dan seterusnya.
Kerancuan ini juga tak pernah dipersoalkan, semua
yang terlibat nampaknya maklum saja, sebab memang
perbedaan wujud fisik antara desa dan kota umumnya
bisa dipahami semua orang, atau bisa menafsirkan sen-
diri apa yang dimaksud. Kuswartojo (2006) menggunakan
istilah urban untuk perkotaan, kota/kota kecil untuk city,
atau town, dan kota/kota besar untuk municipal. Urban
bahkan, secara khusus ditujukan untuk menandai si
fat-sifat sosiokultural kekotaan. Namun karena istilah
perkotaan telah meluas dan secara formal digunakan
dalam PUU yang sudah ada, dimana istilah kota/kota kecil
dimengerti sebagai suatu entitas atau satuan permukim
an yang mempunyai sifat perkotaan, sedang kota/kota
besar merupakan satuan wilayah administrasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menggolong
kan suatu wilayah desa atau kelurahan sebagai wilayah
perkotaan, bila kepadatan penduduknya mencapai 500
orang/km2, dimana kurang dari 25%-nya hidup dari per
tanian serta, sekurang-kurangnya mempunyai delapan
fasilitas umum (pasar, sekolah, pusat kesehatan, dan
seterusnya). Berdasar definisi ini suatu satuan wilayah
desa dinyatakan tergolong kawasan perkotaan dan pen
duduknya disebut penduduk perkotaan. Secara domes
tik sosiokultural perkotaan, penggolongan semacam ini
tidak dikenali. Hal ini menyebabkan analisis perkembang
an perkotaan yang hanya berdasar pada pertumbuhan
penduduk, hanya bersifat semu. Banyak kota yang meski
jumlah dan kepadatan penduduknya memenuhi kriteria
untuk disebut perkotaan (urban), tetapi karakteristik ke
hidupan dan pengelolaan penduduknya belum dapat di
golongkari sebagai perkotaan (Kuswartojo, 2005).
Jadi, yang dimaksud dengan keberlanjutan suatu kota
bukanlah eksistensi wujudnya secara fisik, namun lebih
kepada konsep bagaimana membuat kota tetap layak
huni, artinya bersih, aman, nyaman dan sehat meskipun
jumlah penduduk semakin bertambah. Kerangka pikir
Peran ATH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 161
yang dikembangkan dari konsep dan azas kota berkelan
jutan (Kuswartojo, 2006) adalah bahwa :
• Kota yang secara berkelanjutan dapat menjamin me
ningkatkan kualitas hidup warga kotanya dan kenya
manan pengguna kota lain,
• Untuk menjamin kondisi demikian, kota harus dapat
secara terus menerus menyediakan, memelihara dan
mengembangkan berbagai fasilitas yang memadai dan
sumberdaya (SO) yang cukup untuk semua;
• Penyediaan, pemeliharaan dan pengembangan fasilitas
serta SO lain dilakukan seoptimal mungkin secara
berkelanjutan, melalui kerjasama antar berbagai pihak
terkait dan yang dilakukan bersama-sama dalam kepe
merintahan yang baik pula.
Selanjutnya Kuswartoyo (2005) menambahkan, bah
wa kerangka pikir seperti di atas, masih memerlukan ke
jelasan tentang banyak hal, misalnya tentang ukuran apa
yang disebut nyaman dan untuk siapa kenyamanan itu,
dan seterusnya oleh karena warga dan pengguna kota
pun sangat beraneka-ragam. Lalu berkaitan dengan kon
sumsi, seberapa besar dan jenis SO serta fasiilitas apa
saja yang harus disediakan, sebab tentu saja tidak akan
tersedia begitu saja apalagi secara terus-menerus, ter
masuk ruang yang ada. Para pengelola "Kota Berkelan
jutan" juga harus mampu menghemat SOA dan ruang.
Konsumsi bidang tanah atau ruang inilah yang disebut
tapak ekologis (ecological footprint), yang di berbagai
kota di Eropa telah digunakan sebagai ukuran keberlan
jutan kota. Konsumsi akan ruang ini tidak hanya untuk
pembangunan konstruksi, tapi dibutuhkan pula untuk
menampung sarana pelayanan kota yang lain, seperti
162 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
moda transportasi, pembangunan RTH (untuk konservasi
SO-air, tanah dan udara dan ruang untuk pengelolaan
limbah) serta untuk produksi.
Tata penyelenggaraan kota yang baik dapat terwujud
bila ada warga pengguna kota dan pemerintahan kota
yang baik, sayangnya apa yang saat ini kita lihat bersama,
adalah bahwa pengelolaan lingkungan perkotaan yang
baik di Indonesia, masih jauh dari harapan kalau tidak bo
leh dikatakan bahkan semakin mundur akibat terus ber
langsungnya degradasi lingkungan. Upaya mendorong
ke arah perbaikan memang telah ada, namun sebagian
besar masih bersifat wacana, simbolik atau formal, sebut
saja antara lain: "Gerakan Sejuta Pohon", "Gerakan Kota
Bersih" dan berbagai kampanye menuju lingkungan kota
seperti yang dikehendaki.
Pembangunan Kabupaten dan Kota yang sehat meru
pakan upaya strategik di era desentralisasi atau otonomi
daerah. Pendekatan ini dilaksanakan untuk mendorong
masyarakat sebagai pelaku utama dalam mewujudkan
peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan fisik,
sosial dan budaya secara berkesinambungan, sehing
ga mampu mengatasi berbagai masalah lingkungan
dan memberikan dampak positif terhadap kesehatan
masyarakat.
Sesuai pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan
UU No. 33 Tahun 2004, tiap-tiap wilayah mempunyai ke
sempatan yang sangat luas untuk mengembangkan kuali
tas lingkungan fisik, sosial dan budaya sesuai dengan
masalah dan potensi yang ada di kabupaten dan kota,
sehingga tercipta keseimbangan pembangunan baik di
kota maupun kabupaten, sehingga sekaligus akan dapat
mengurangi arus urbanisasi.
Setiap warga negara berhak mendapat kesehatan
dan kesejahteraan sosial, dan hidup dalam lingkungan
fisik, sosial dan budaya yang sehat, serta mendapatkan
kesempatan untuk meningkatkan ekonominya, di mana
mereka bertempat tinggal dan mencari kehidupan.
Perilaku masyarakat telah proaktif untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadi
nya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit,
serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan ma
syarakat. Perwujudan kesehatan dan kesejahteraan ma
syarakat merupakan resultan dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh masyarakat, swasta, sektor pembangun
an, dan pemerintah daerah. Sektor kesehatan tidak akan
dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa
keterlibatan berbagai sektor pembangunan dan masyara-
kat itu sendiri.
Agar dapat tercipta kota yang bersih, aman, nyaman,
dan sehat, diperlukan usaha dari setiap individu anggota
masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders) dalam
mewujudkannya. Pencapaian Kabupaten/Kota Sehat
merupakan suatu proses yang berjalan terus-menerus
untuk menciptakan dan meningkatkan kualitas lingku
ngan, baik fisik, sosial dan budaya, mengembangkan
ekonomi masyarakat dengan cara memberdayakan mere
ka agar saling mendukung dalam menerapkan fungsi
fungsi kehidupan untuk membangun potensi maksimal
Gambar5.8:
Tanaman Peteduh memakai Palm.
adalah hak untuk menikmati kenyamanan lingkungan
hidup tropis perkotaan yang sejuk, nyaman, teduh, dan
sehat. Agar dapat terwujud, diperlukan perencanaan tata
ruang kota yang baik, sehingga terdapat keseimbangan
antara ruang terbangun dan tidak terbangun. Ruang tidak
terbangun (RTH} merupakan wilayah yang amat potensial
dan dapat dikembangkan sebagai kawasan hijau kota,
juga sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat
akan sarana rekreatif dan estetika lingkungan, selain seba
gai kawasan penyangga ekosistem perkotaan.
suatu kota. 5.1.3 RTH Kota sebagai
Untuk mencapai 'Kota Sehat', keseimbangan untuk Penunjang Pembangunan Berkelanjutan
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap Kabu- Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah
paten/Kota perlu dijaga. Setiap warga mempunyai hak dan sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, kesela-
sekaligus kewajiban dalam pemenuhan kebutuhannya, rasan, dan keseimbangan sumberdaya alam, yang pada
secara jasmani mapun rohani, di mana salah satunya giliran selanjutnya akan menciptakan lingkungan kota
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 163
Gambar5.9:
Tanaman pinggir jalan di Kota Hokkaido.
164 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
yang kondusif berupa kenyamanan, kesegaran, terbe
basnya kota dari polusi dan kebisingan, serta sehat dan
cerdasnya warga kota.
Tujuan penyelenggaraan RTH kota, khususnya hutan
kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseim
bangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur ling
kungan sosial dan budaya. Fungsi RTH kota adalah untuk
memperbaiki, menjaga iklim mikro, nilai estetika, mere
sapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian
lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian ke
anekaragaman hayati Indonesia (PP No. 63 Tahun 2002).
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka pada
setiap wilayah perkotaan perlu ditetapkan kawasan RTH
sesuai dengan tata guna lahan dan sektor tertentu, untuk
menciptakan penyelenggaraan RTH kota secara menye
luruh (Metropolitan Park System). Pengelolaan RTH kota
sejak awal, yaitu dari proses penunjukan, pembangunan,
penetapan, pemeliharaan merupakan pengelolaan menye
luruh (integratif) yang disesuaikan dengan fungsi pokok
RTH kota tersebut yaitu antara lain untuk perlindungan
lingkungan kota.
RTH kota, khususnya pada salah satu unsur konser
vasi penting dalam LH kota, yaitu RTH berupa hutan kota
yang dibangun sebagai daerah penyangga (buffer zone)
kebutuhan akan air bersih, lingkungan alami, serta pe
lindung flora dan fauna di perkotaan. Kota sebagai pusat
aktivitas manusia termasuk permukimannya telah ter
ganggu kestabilan ekologisnya, di lain pihak kebutuhan
masyarakat akan lingkungan yang bersih, indah, dan nya
man serta terbebas dari polusi semakin mendesak.
Pada kenyataannya pertumbuhan kota-kota di Indo
nesia mengesankan kurang terakomodasikannya dan
terintegrasinya perencanaan. Kota seakan-akan berkem
bang tanpa kendalL Gedung perkantoran, perumahan,
pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, bahkan
pabrik, 'berebut ruang'. Masing-masing berusaha men
cari lokasi yang paling strategis. Akibatnya semua jenis
bangunan berbaur dengan fungsinya sendiri-sendiri dan
menyebabkan berbagai benturan kepentingan.
Dengan semangat otonomi daerah, pembangunan
kota menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, terma
suk pembangunan hutan kota sebagai salah satu upaya
menciptakan wilayah perkotaan yang sehat, indah, dan
nyaman. Dengan pembangunan kota yang berwawasan
kesehatan maka akan tercipta masyarakat yang sehat,
produktif, serta bahagia lahir dan batin.
Pencemaran udara merupakan salah satu perma
salahan kompleks yang timbul di lingkungan perkotaan
terutama pada kota-kota metropolitan. Tingginya tingkat
pencemaran udara juga semakin dipicu oleh peningkatan
jumlah kendaraan bermotor dan industri yang menghasil
kan asap, partikel padat dan gas berbahaya lainnya.
Studi tentang pengendalian kualitas udara telah ba
nyak dilakukan tetapi penerapan hasil pengkajian secara
sistematis tentang hubungan fungsional antara data hasil
pemantauan dengan faktor-faktor yang berperan dalam
transformasi emisi cemaran udara dari sumbernya, belum
terlaksana sebagaimana mestinya (Purnomohadi, 1995).
5.1.4 Model Kabupaten dan Kota Sehat
Menyongsong terwujudnya Indonesia Sehat 2010,
penerapan pembangunan berwawasan kesehatan per
lu diintegrasikan dan disinkronkan dengan berbagai
program pemerintah (sektor) dan masyarakat, melalui
pendekatan Kabupaten/ Kota Sehat.
Kabupaten Sehat adalah suatu kondisi dari suatu
wilayah yang aman, nyaman, bersih dan sehat untuk di
huni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi so
sial ekonomi masyarakat desa yang saling mendukung,
melalui koordinasi forum kecamatan dan difasilitasi oleh
sektor terkait, serta sinkron dengan perencanaan masing
masing desa.
Kota Sehat adalah suatu kondisi dari suatu kota yang
aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni pen
duduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekono
mi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat,
difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan peren
canaan kota.
Model Kabupaten/Kota Sehat dapat dikelompokan
atas beberapa tatanan, sebagai Kawasan Permukiman
Sehat, Kawasan lndustri dan Perkantoran Sehat, Ka
wasan Pariwisata Sehat, Kawasan Pertambangan Se
hat, Kawasan Kehutanan yang Sehat, Prasarana Umum
Perkotaan Sehat, Budaya dan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat, Kehidupan Sosial yang Sehat, dan Ketersedian
Pangan dan Gizi.
Sebagai contoh, salah satu bidang kegiatan dalam
prasarana umum Kota Sehat adalah pengelolaan RTH di
bidang pertamanan dan hutan kota yang dicirikan oleh
beberapa indikator, yaitu tersedianya taman-taman kota,
adanya pengaturan pemeliharaan hutan kota, penanaman
pohon, dan pengendalian hutan yang tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan, dan lain-lain.
Pemilihan kawasan kegiatan sebaiknya dikaitkan de
ngan potensi ekonomi sesuai dengan semangat otonomi
daerah, terutama di dalam peningkatan pendapatan asli
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 165
daerah (PAD) dan peningkatan pendapatan stakeholder,
seperti kawasan pariwisata, industri dan perkantoran,
pertanian dan kehutanan, pertambangan, lingkungan
permukiman, serta lingkungan pesisir pantai.
Kawasan yang menjadi pilihan masyarakat tersebut
merupakan titik masuk (entry point) masuknya program
kesehatan dan sektor lain. Salah satu contohnya adalah
sektor Ruang Terbuka Hijau dan Lingkungan Hidup.
Keberadaan hutan kota sebagai salah satu bagian
RTH di kawasan perkotaan, menjadi semakin penting
akibat tekanan kebutuhan lahan komersial di perkotaan,
meningkatnya suhu udara, dan semakin tumbuhnya ke
sadaran masyarakat akan lingkungan serta ruang-ruang
publik di perkotaan. Paradigma kota sehat dapat men-·
jadi pilihan kontekstual untuk pembangunan hutan kota
di Indonesia. Dengan semakin luasnya permukaan lahan
dan ruang kota yang berupa perkerasan, maka udara kota
tersebut menjadi semakin tidak nyaman, panas, buruk,
kotor, dan tidak menarik lagi, sehingga ekologi perkotaan
harus didasarkan terutama pada tujuan kesehatan dan
kesejahteraan penduduk kota.
Pada kawasan pinggiran kota, dengan jarak 15-20 kilo
meter dari pusat kota, daerah yang umumnya sering di
jadikan pengembangan pembangunan kota baru. Tetapi
pada tahun 1960-an, lalu-lintas kendaraan pada area di
tengah-tengah kota telah meningkat sedemikian rupa se
hingga telah menimbulkan berbagai permasalahan kota
seperti kemacetan dan pencemaran udara. Maka dilaku
kanlah rehabilitasi jalan dan sarana lain yang kemudian
berkembang bagai 'lingkaran setan', dan menjadi meru
pakan permasalahan yang tak ada putus-putusnya.
Hal ini menyebabkan kota-kota tetap selalu tertinggal
166 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
dalam menyelesaikan masalah, yang juga selalu mening
kat. Pada area pantai, dibangun industri-industri baru.
Kemudian timbul masalah pencemaran lingkungan yang
terkenal, antara lain dengan kasus Minimata dan ltai-itai,
akibat akumulasi air raksa pada tubuh manusia, yang
merusak sistem syaraf.
Seperti telah diketahui, ekspansi dan pembangunan
kota serta permasalahan yang melekat, selalu teralihkan
(tertutup) oleh permasalahan perumahan, lingkungan,
lalu-lintas, dan lain-lain yang harus segera diatasi. Se
hingga seolah-olah masalah perencanaan, pelaksanaan,
dan pemeliharaan RTH tidak atau kurang mendapat per
hatian, bahkan terjadi pengalihan fungsi RTH. Meski se
benarnya masyarakat kota tidak menolak perlunya RTH,
tapi seolah-olah tak berdaya menghadapi tekanan lain
nya. Hal semacam inilah yang sedang terjadi di sebagian
kota-kota besar di Indonesia masih berlangsung hingga
saat ini, seperti di Kota Jakarta.
Alurterjadinya limbah, akibat adanya proses pembuat
an suatu barang (industri) tertentu yang menggunakan
bahan baku tertentu ditambah bahan penolong tertentu
yang dengan melalui teknologi tertentu menghasilkan
produk sekaligus limbah, yang bentuknya bisa berupa
gas, cairan, dan padatan ke lingkungan di sekitarnya.
Jenis-jenis industri tersebut ditetapkan pada suatu
mintakat (zona) tertentu yang mungkin merupakan bagian
dari lingkungan perkotaan, di mana perletakkannya bisa di
tengah atau (biasanya) di pinggiran kota demi kemudahan
transportasi. Berbagai jenis industri tersebut mungkin pula
terletak relatif jauh dari kota, namun biasanya tak jauh dari
sarana transportasi seperti jalur jalan maupun badan air (ter
utama sungai), sebab SD-air adalah bahan baku utamanya.
Kegiatan perumahan, industri dan berbagai kegiatan
pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, pasar, penginapan
dan sebagainya, umumnya terletak di dalam atau dekat
wilayah perkotaan, akan menghasilkan limbah, misalnya:
limbah rumahtangga (domestic) dan pabrik-pabrik susu
dan makanan (tahu, tempe, bakso, dan masih banyak
lagi), pabrik tekstil, farmasi, pabrik kendaraan, dan masih
banyaklagi.
Fahmi (1990), menyampaikan tentang adanya 'teori
simpul', di mana dampak terhadap kesehatan (man usia)
tergantung dari keterkaitan hubungan antara simpul
simpul: sumber dampak (source), media lingkungan
(transmission), lingkungan beresiko (high risk), dan dam
pak (impact) itu sendiri. Bila terjadi 'outbreak' (wabah) pe
Myakit, upaya pengatasan pertama hendaknya mempela
jari dan meneliti keterkaitan dari keempat simpul-simpul
gan pencemaran yang terjadi pada media tanah. Secara
umum pencemaran media tanah maupun air tersebut
adalah akibat akumulasi dari buangan (faekal) manusia,
sampah (padat dan cair maupun udara), pupuk dan lim
bah industri. Zat-zat pencemar tersebut masuk ke dalam
tubuh manusia melalui mata rantai makanan atau bahkan
juga terpapar secara langsung, menyebabkan gangguan
metabolisme yang secara akumulatif menimbulkan pe
nyakit serius.
Akibat kepadatan penduduk, seringkali kita temukan
letak lobang-lobang pembuangan 0/VC) sangat berdeka
tan dengan sumber air (misal: sumur), yang tentu saja
tak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan bagi
masyarakat penghuninya. Beberapa penelitian membuk
tikan banyaknya kandungan bakteri E-coli yang berasal
tersebut, agar pengatasan permasalahan dapat segera Tabel 5.1: Logam dan Sifat Racunnya
dilakukan.
Penyakit-penyakit menular yang terjadi pada komuni
tas manusia dan periode (masa) inkubasinya pun berbe
da-beda, tergantung pada penyebab kasus dan tergan
tung pula pada lokasi (tempat), waktu dan kondisi atau
daya tahan tubuh orang per orang. Achmadi, 2004 menga
takan bahwa agen-agen (pembawa) penyakit tersebut
dalam ilmu kesehatan masyarakat, digolongkan, pada:
arboviroses (A), bacteria (B), ectoparasites (C), entero
viruses (E), fungi (F), helminthes (H) but not nematodes,
nematodes (N), protozoa (P), rickettsiae (R), spirochaetes
(S), toxins (T), dan berbagai macam virus M lain, seperti
kita jumpai akhir-akhir ini pada penyakit avian-flu.
Di kota-kota besar, diketahui bahwa pencemaran
pada badan air, sebagian besar juga berkaitan erat den-
Sifat Racun Jenis Logam Keterangan
Kuat Pb, Hg, Cd, Kematian,
Cr, As, Sb, Ti , gangguan kesehatan,
U,Be lama pulih
Sedang Ba, Bo, Cu, Gangguan kesehatan,
Au, Li, Mn, dapat pulih/tidak
Mn, Se, Te, dalam waktu lama
Va, Go, Rb
Ringan Bi , Co, Fe, Dalam jumlah besar
I Ga, Mg, Ni, K, menyebabkan gang-
Ag, Ti , Zvn guan kesehatan
Tak beracun AI , Na, Sr, Ca Tak menimbulkan j L gangguan ~----
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 167
label 5.2: Parameter Air Limbah dari kotoran manusia telah mencemari badan air (teru
tama permukaan) dan media tanah, penyebab pokok
penyakit-penyakit amoebiasis. Parameter
Suhu
I Zat terendap
Aluminium/ AI
Arsen/As
Barium/Sa
1
Besi/Fe
Chroom/Cr
1 Cadmium/Cd
Nikei/Ni
Perak/Ag
I Merkuri/Hg
Seng/Zn I Tembaga/Cu
I Timbai/Pb
Amenia
Chlor
Fluorida/F
Cuprium/Cu
Nitrit/N02
Phospat/PO 4
I Sulfida/S
BOD
,coo ! PH
Minyak &
lemak
Phenal
~anida/Cn
BML
30 c 1.0 mg/1
10 mg/1
1 mg/1
1 mg/1
1 mg/1
0.1 mg/1
1 mg/1
2 mg/1
0.1 mg/1
0.1 mg/1
1 mg/1
1 mg/1
1 mg/1
0.05 mg/1
0.05 mg/1
2 mg/1
0.1 mg/1
1 mg/1
2 mg/1
0.1 mg/1
30 mg/1
80 mg/1
6.5-8.5
10 mg/1
0.1 mg/1
0.1 mg/1
Pengaruh/Dampak
Reviasi alami
Bakteri 30-80%
Bau & warna
Kanker hati, kulit
Syaraf, hati , diare
Warna air
Karsinogen, nafas, kulit
Hati, ginjal, tulang
Kanker
Mata
Syaraf, ginjal, IQ menurun
Rasa tak enak, diare
Hati
Akumulasi, syaraf keracunan
Bau tak sedap
lritasi, bau, biota air
Kerusakan gigi
Kejang, muntah, diare
Methaemoglobin
Gangguan tulang
Penataan ruang dengan menyisihkan ruang terbuka
maupun RTH untuk kepentingan proses asimilasi ling
kungan inilah yang sering kali kurang diperhatikan oleh
para pengambil kebijakan yang seharusnya didasarkan
hanya pada pentingnya terjaganya keseimbangan ling
kungan. Di berbagai kota, seperti Kuala Lumpur dan
Singapore, sudah diterapkan sistem pengelolaan air
limbah khusus (sewerage system), yang tentu berbeda
pengelolaan dengan penyediaan air bersih.
Data lama (1997 -1998) hasil penelitian Kantor
Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan (KP2L),
menunjukkan tingginya biaya kesehatan akibat air ter
cemar di DKI Jakarta, yang mencapai sekitar US$ 302
juta/tahun.
Pemerintah menetapkan Baku Mutu Air Limbah
(BMAL) dengan berbagai parameternya (Hasyim, 2005
& Fahmi, 1990) sebagaimana tercantum pada Tabel
5.1 dan 5.2.
5.2 RTH DAN PERENCANAAN KOTA
Korosif, rasa & bau tak enak 1
Sakit perut, mikroba meningkat
Krisis ekonomi yang berdampak besar terhadap
lingkungan hidup di perkotaan telah merambah ke
seluruh wilayah kota tanpa terkecuali, mulai dari ka
wasan padat penduduk sampai kawasan elite. Dam-Sakit perut
Kehidupan air, korosif
Rasa & bau tutupi air
permukaan
pak tersebut antara lain berupa masalah sanitasi kota
di wilayah marjinal tradisional, seperti daerah perkam-
Rasa, bau, racun J Racun
-----
1 pungan kumuh, permukiman nelayan tradisional, krisis
air bersih dan udara bersih, serta wilayah banjir yang
semakin meluas. Timbulnya penyakit (epidemi) serem-
168 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
pak, semacam tifus, demam berdarah, lepterospirosis,
antara lain adalah akibat buruknya sanitasi kota.
Ketidakpedulian terhadap fungsi penyeimbang ling
kungan dari RTH kota secara nasional, termasuk di dae
rah lansekap alami seperti taman nasional, wisata alam,
hutan lindung, hutan produksi, dan lain-lain), hingga ke
daerah lansekap binaan, seperti perkebunan, pertanian,
taman kota, kebun raya, hutan kota dan jalur hijau, telah
terbukti mengakibatkan krisis lingkungan yang meng
ancam kelangsungan hidup warga kota dan kota itu
sendiri.
Faktor-faktor dasar pengelolaan lingkungan hidup
di wilayah perkotaan perlu mempertimbangkan keter
aturan, efisiensi, keindahan, stimulasi, kesenangan, dan
pembangunan fisik lingkungan, serta pengembangan
sumberdaya manusia, sesuai daya tampung dan daya
dukung lingkungan.
Hal ini dapat digambarkan melalui suatu diagram kota
yang kohesif dan komprehensif, jalur pejalan kaki dan
sepeda yang manusiawi, harus terpisah dari jalur sirkulasi
kendaraan bermotor, dan lokasi tujuan yang mudah dica
pai guna pemenuhan kebutuhan sosialisasi masyarakat.
Klasifikasi dan optimalisasi penggunaan fasilitas
umum, seperti penghijauan jalur lalu-lintas dan peman
faatan kolong jembatan jalan layang membentuk suatu
tatanan organisasi komprehensif dan bersifat menyebar.
Sehingga dimungkinkan adanya stimulan tanpa ketegang
an dan memuaskan, dengan terciptanya keserasian an
tara ruang dan bentuk. Suasana alami harus diciptakan
tersebar merata di seluruh kawasan kota.
Sistem perencanaan dan perancangan RTH kota per
lu didasarkan pertimbangan berbagai segi, sesuai tujuan
dan karakter lansekap lokal, maka akan tercipta lingku
ngan kota yang sehat, nyaman, aman, dan lestari. Faktor
faktor dasar lingkungan alami kota harus memperhatikan
antara lain:
• Pengelolaan kualitas udara yang dipengaruhi oleh ja
ringan transportasi lalu-lintas kota dan RTH yang optimal
dengan pel)~naman pohon besar-besaran, sehinggame
mungkinkan terjadinya sirkulasi udara segar di antara se
tiap kelompok bangunan dan ketersediaan udara bersih.
• Pengelolaan dan konservasi kuantitas dan kualitas sum
ber daya air sungai, kanal, waduk, rawa atau kolam
buatan, diatur dalam suatu sistem pengelolaan sumber
air bersih, serta disediakan penampungan khusus air
limbah yang dapat diproses melalui sistem pemurnian.
• Pengelolaan sampah padat, sedapat mungkin dijadikan
sumber bahan mentah untuk proses produksi selanjut
nya dengan konsep tiga R, daur ulang (recycle), pakai
lagi (reuse), dan kurangi pemakaian (reduce), serta
sebagai bahan organik penyubur tanah. Kawasan pe
nyangga di tempat penampungan akhir sampah seba
gai upaya konservasi RTH dan peredam pencemaran
udara, bau, dan limbah cair.
• Meredam kebisingan serendah mungkin, melalui ka
wasan peyangga (buffer zone), dan membangun taman
kota, jalur hijau dan taman rumah, sehingga tersedia
ruang optimal untuk meredam suara dan pencemar
udara.
• Menjamin ketersediaan RTH yang optimal, sehingga
kehidupan yang selalu mengikuti siklus alami masih
tetap dapat berlangsung dan krisis lingkungan dapat
diminimalkan.
• Pengembangan dan konservasi RTH sebagai fasilitas
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 169
umum, menjamin peningkatan keselamatan umum jalur
pedestrian dan sepeda, penataan lokasi pedagang kaki
lima (K-5) disertai upaya penegakkan hukum yang kon
sisten.
Estetika bisa dihitung dengan nilai kuantitatif, seperti
pemandangan alam berupa daerah perbukitan, aliran air,
sisa-sisa hutan alam maupun perkebunan. Kota Sema
rang, Jambi, Balikpapan, Jayapura, Ambon, dan masih
banyak lagi, seyogyanya tidak meniru begitu saja konsep
perencanaan pembangunan RTH kota Jakarta, namun
akan lebih sesuai bila yang dipakai adalah tanaman atau
jenis yang sesuai dengan habitat lokal.
Para perencana kota harus mampu menyelesaikan
permasalahan perkotaan secara komprehensif. Pemerin
tah daerah harus memiliki komitmen yang jelas dan kon
sisten terhadap kebijakan tata ruang yang telah ditetap
kan bersama dalam peraturan daerah.
Di negara dengan kesadaran hukum yang relatif su
dah tinggi, seperti Amerika dan Jepang, perencanaan
kota secara menyeluruh tak langsung diterapkan melalui
perangkat hukum, yang dipakai sebagai penunjang, na
mun tiap distriknya diputuskan melalui pendekatan, so
sialisasi, dan peran masyarakat, sejak awal perencanaan
sampai dengan monitoring maupun evaluasi, melalui
dengar pendapat publik (public hearing).
Bahkan, dalam perencanaan beberapa kota telah
dilakukan penyesuaian dan pemilikan lahan (land re
adjustment), sehingga ada area yang berada di bawah
pengawasan ketat, misalnya karena sering terjadi ben
cana alam, di mana secara administratif akan diberlaku
kan aturan tersendiri sebagai kawasan lindung.
170 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
5.3 PERAN PENATAAN RUANG PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Untuk mengerti tentang pembangunan berkelanjut
an (sustainable development), dikutip pernyataan Hamm
& Muttagi (1998) dalam Pinderhughes (2004) sebagai
berikut:
The emergence of the concept of sustainable deve
lopment marks the end of the industrial civilization of ford
ist production, of the logics of economies of scale. But it
also signals that societies based on a vulgar Darwin-istic
principle of survival of the fittest, of ruthless egoism of the
few who mercilessly and thoughtlessly exploit their fellow
human beings as they exploit nature, will not survive. Ei
ther humanity will eventually succeed in establishing the
truly humane principles or it will vanish from Planet.
Earth ... Sustainability indicates the end of the afflu
ent industrial society and points, at the same time, to a
future which is not yet clear. It is, however, clear the basic
problem lies in social organizations, in social institutions
in the way and how decisions are made, to whose profit
and at whose cost.. .. The bottom line is that humanity can
not and will not survive beyond the limits set by the pro
ductive abilities of nature, above all, humanity will have to
reduce is total consumption of natural resources.
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya
komitmen (keterlibatan) dalam penyediaan berbagai
macam barang dan jasa yang sangat panting agar ma
nusia dapat hidup sehat dan produktif, memakai ber
bagai proses dan teknologi dalam memanfaatkan SDA
seminimal mungkin, serta membatasi dampak negatif
lingkungan dan kehidupan sosial yang timbul akibat ber-
1 .........
PROP£RTT UNE POTONGAN PRINSIP BATU BASAtT
;::":!.u POOON E>CSTSnNC
JL. THAMRI N
~ JALAN I IH. THAMRI N
~
rar 1-- ! -_,.,~ ~~~~ _,.,~ ~~~
0:: +JI! :; +JI!
r-~~:., r'" -\~ r,:,,~ "\~ ':> £
~
~
I ~
ri>o> .,, ~ BAlAS KAvl.ING BAlAS KAIUNG
"+" DENAH SEGMEN SITE PLAN
Gam bar 5.10: Redesign pedestrian di jalur jalan Thamrin. (PT. POW, 2006)
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 171
bagai kegiatan manusia tersebut. Sementara itu para
digma pembangun·an justru didasarkan pada degradasi
kualitas SDA dunia dan eksploitasi tenaga kerja manusia,
mengandalkan pada daya dukung bumi dan kesehatan
manusia serta spesies lain. Paradigma pembangunan
berkelanjutan menolak kebijakan dan praktek yang men
dukung standar hid up seperti saat ini yang berakibat pada
meningkatnya kesenjangan sosial dan merusak prinsip
dasar pengelolaan SDA, sehingga mewariskan resiko
lebih besar dan masa depan suram bagi generasi yang
akan datang (Repetto,1986 dalam Pinderhughes, 2004).
Sambi! bergerak menuju pembangunan berkelan
jutan maka secara pragmatis dibutuhkan inisiatif kebi
jaksanaan dalam perencanaan dan perancangan untuk
mengeliminasi kesenjangan serta perbedaan di dan antar
bangsa-bangsa itu sendiri dalam menghadapi degradasi
SDA dan ekosistem yang makin cepat, di mana manusia
dan spesies lain sebaliknya, justru sangat menggantung
kan diri pada SDA dan ekosistem tersebut (Mbeki, 2002
dalam Pinderhughes, 2004). Bangsa yang sudah makmur
sejahtera perlu mengurangi penggunaan SDA yang tidak
efisien/sia-sia, merobah pola produksi dan konsumsi
yang tak berkelanjutan, membantu bangsa yang butuh
tambahan sumber daya (SD) untuk melawan kemiskinan
dan memperkuat kapasitas mereka dalam memperoleh
pelayanan jasa infrastruktur utama yang berhubungan
dengan air, sampah, energi , transportasi , pangan, rumah
yang layak, fasilitas kesehatan dan pendid ikan, termasuk
transfer teknologi tepat guna yang sesuai bagi negara
negara berkembang, sehingga kebutuhan dasar miliaran
orang di seluruh dunia dapat terpenuhi.
Demi pencapaian pembangunan berkelanjutan, butuh
172 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
perubahan pola pikir radikal terhadap kegiatan pereko
nomian dalam proses produksi-konsumsi terkait. Pemba
ngunan berkelanjutan "hanya akan terjadi bila pembangun
an, yang merusak alam dan mengancam kelangsurigan
hidup manusia, diyanti oleh kepemerintahan progresif
yang menitikberatkan pada proses demokrasi, serta me
nyertakan masyarakat dalam proses pembuatan kepu
tusan" (Henrique Cardoso 2002,6 dalam Pinderhughes,
2004). Kita harus menolak apa yang disebut 'hypermar
ket ' Kelompok Balaton, yang menitikberatkan pada kom
petisi , globalisasi, individualisme, dan perkembangan
teknologi sebagai jalan keluar dari kelangkaan, paso
kan (input) tinggi , dan informasi yang dianggap panting.
Kepemilikan maupun kekuasaan, mengacu pada 'regional
stewardship ', yang menitikberatkan pada keutuhan, ke
mitraan, kepemerintahan yang demokratis, desentralisa
si, daya dukung ekologis, informasi yang transparan, dan
kerjasama (Hollantai,1999 dalam Pinderhughes, 2004).
Gambar5.11
"Sound system" di taman Suozhu, China
(Kelompok Balaton adalah suatu asosiasi informal dari
orang-orang tertentu yang bekerja di negaranya masing
masing di sekeliling dunia menuju pada suatu masyara
kat berkelanjutan. Nama tersebut berasal dari kenyataan,
bahwa mereka bertemu setiap tahun selama lima hari di
tepian Oanau Balaton di Csopak, Hongaria. (Hollantai,
1999 dalam Pinderhughes, 2004))
Sebagai anggota komunitas global, konsumsi SO
perlu dikurangi, tidak terus tergantung hanya pada bahan
bakar fosil, tapi tingkatkan ketergantungan pada SO-ener
gi terbarukan. Upaya kurangi produksi sampah karena
sebagian besar didaur-ulang antara lain dapat menjadi
energi yang murah. Perlu perbedaan pengukuran pada
kegiatan ekonomi, subsidi pemerintah serta sistem per
pajakan yang harus ditata ulang, sehingga mendukung
kegiatan pembangunan berkelanjutan dan tidak men
dukung (disinsentif) pada kegiatan ekonomi yang tak
berkelanjutan. Merancang lebih baik penanaman modal.
Pengelolaan infrastruktur pembangunan perkotaan yang
teratur, baik dan "lengkap" (compact and livable city) akan
memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi,
mengurangi pertentangan lokal, regional, dan dampak
lingkungan global, menuju peningkatan kesehatan umum
dan dasar SOA, akan meningkatkan kualitas hidup pen
duduk kota (Choguill 1996 dalam Pinderhughes, 2004).
Pengelolaan dan penggunaan air perkotaan di dae
rah kaya dan negara-negara industri yang tak efisien
dan secara berlebih-lebihan harus segera ditangani.
Negara-negara industri harus mengurangi terus menu
runnya persediaan SO-air melalui pengurangan konsumsi
SO-air untuk pertanian dan lansekap, menggunakan
sistem 'gray water' yang mengumpulkan dan medaur-
ulangkan penggunaan SO-air, merekayasa air buangan
agar dapat dimanfaatkan kembali, menggunakan lahan
basah memakai mesin konstruksi, dan mengintegrasikan
teknologi tepat guna, seperti toilet yang tidak bocor se
hingga sedikit menggunakan air, aerated shower heads,
dan menyediakan mesin cuci yang baik bagi tiap rumah
tangga. Oi seluruh dunia, lebih dari satu milyar orang ti
dak bisa mendapatkan air minum yang aman dan lebih
dari tiga juta orang meninggal tiap tahunnya karena pe
nyakit (water-borne diseases) yang disebabkan oleh air
yang tidak aman (Moosa Valli 2002 dalam Pinderhughes,
2004). Negara yang sedang berkembang harus dibantu
untuk mengembangkan suatu infrastruktur yang menye
diakan air bersih untuk seluruh penduduk kota, maka
dari itu dibutuhkan strategi pengelolaan SO-air secara
berkelanjutan agar SO-air yang layak dan aman dapat
terus disediakan.
Pada lokasi pengelolaan sampah kota, konsumsi
yang menghasilkan sampah berlebihan di negara mak
mur harus dikurangi secara nyata (significantly). Kegiatan
perekonomian harus ditata ulang melalui pendekatan
'pengenalan SO', yaitu promosi pengurangan produksi
sampah dan proses distribusinya, serta peningkatan
manfaat sampah melalui proses pemanfaatan kembali
(daur ulang). Oorongan untuk bergerak menuju pengenal
an SO, termasuk sistem keuntungan dan penyimpanan
finansial dari adanya peluang produk sampingan ini, me
nyebabkan lebih banyak tanah (ruang) yang tersedia bagi
lain keperluan, mengurangi terbentuknya gas rumah kaca
dan dampaknya, meningkatkan efisiensi dan mengurangi
biaya yang berhubungan dengan pembuangan racun,
bahan beracun berbahaya (B3), serta meningkatkan ke-
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 173
sehatan publik dan kualitas lingkungan hidup.
Berbagai kebijakan yang mendukung pertukaran ma
terial (proses ulang) dan strategi pencegahan polusi harus
dipromosikan dalam rangka memfasilitasi institusi baik
besar maupun kecil dan bisnis perdagangan, penjualan,
dengan/atau satu sama lain saling memberikan material
yang tidak diinginkan untuk digunakan sebagai bahan
dasar dalam pabrik atau penggunaan ulang bahan dasar
tersebut dalam bentuk sebagaimana adanya. Penggu
naan ulang logam, kertas, kaca, plastik, tekstil, sampah
organik, dan air akan menghasilkan pengurangan per
mintaan akan energi, bahan mentah, pupuk, saling-tukar
dengan institusi asing, dan akan SO-air bersih. Pada
waktu bersamaan, saatnya pun sudah sangat mendesak
dan penting untuk segera mencegah negara-negara kaya
mengirim sampah 83-nya kepada negara-negara miskin
dengan "dalih" daur ulang.
Dalam upaya pengelolaan energi kota, pergerakan
harus menuju ke sebuah sistem energi yang fleksibel
(luwes), yang bisa disesuaikan pada wilayah-wilayah
yang kebutuhannya berbeda, sedikit demi sedikit me
ningkatkan ketergantungan lebih kepada sumber energi
yang dapat diperbarui, menekankan efisiensi energi, dan
secara konsisten memastikan ketersediaan pada akses
yang tetap dapat terjangkau pada sumber energi modern
untuk seluruh rumah tangga. Penekanan tersebut ha
rus pada penggunaan efisien seluruh sektor baik pada
energi yang terbarukan maupun pada persediaan energi
konvensional.
Kota-kota harus mulai menggunakan keraneka
ragaman SD-energi yang disediakan oleh berbagai kom
binasi dari tenaga listrik air, sumber tenaga terbarukan
17 4 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
yang dipakai berkala (angin, tenaga listrik dari panas
matahari, dan tenaga photovoltaic), tenaga bio-massa,
dan tenaga geothermal. Kapasitas penghasil energi
dalam jumlah banyak dapat disediakan melalui penggu
naan teknologi matahari dan angin. Sumber energi ter
barukan yang dipakai secara berkala tersebut ternyata
mampu menyediakan sepertiga dari keseluruhan kebutuh
an listrik dengan biaya efektif di sebagian besar wilayah,
tanpa teknologi penyimpanan listrik baru. Jika ada pena
naman modal dapat segera disediakan secara efisein un
tuk penelitian, pengembangan dan pengambilan energi
dari tetumbuhan (sumber bio-massa), maka penggunaan
metoda peternakan berkelanjutan pun kemudian dapat
diproses menjadi energi, dialihkan menjadi bahan bakar
listrik yang berasal dari cairan dan gas dengan menggu
nakan teknologi yang sesuai. Listrik hasil produksi SD
terbarukan dapat dengan mudah ditampung ke dalam
tiang listrik besar dan dipasarkan melalui peralatan ke
listrikan.
Dicapainya keberhasilan sesuai tujuan dengan
efisiensi energi dan perluasan pasar untuk teknologi
energi terbarukan, perlu terobosan berupa kepeloporan
dari suatu kebijakan baru, yang khusus dikembangkan
guna mendorong inovasi dan investasi ke arah teknologi
energi terbarukan adalah sangat penting untuk mengu
rangi subsidi yang akan mengurangi sumber bahan ba
kar (fosil, nuklir, dan air) pula, sebab harga nyata menjadi
tersamar, menetapkan pajak bah an bakar fosil dan mem
perkenalkan pajak, peraturan, dan alat-alat kebijakan lain
yang memastikan bahwa keputusan konsumen adalah
berdasar pada keseluruhan biaya energi, termasuk biaya
lingkungan dan biaya eksternal lain yang tak ter-refleksi
dalam harga pasar.
Di negara-negara sedang berkembang, sepertiga jum
lah total populasi dunia (dua milyar orang) tidak mempu
nyai akses kepada SD-energi modern. Menurut negara-J
negara GB Renewable Energy Tq.sk Force, membawa
energi terb~ruka~ ke berbagai rum~ tangga di negrra
negara sedang berkelnbang ·bisa jadi merupakar{ s~atu sumber utama tenaga kerja dan mampu menciptakan
bisnis pada tingkat lokal dan nasional (Moody-Stuart
2002 dalam Pinderhughes, 2004).
Dukungan pengembangan energi terbarukan harus
datang dari semua sektor-pemerintah, swasta, institusi
penelitian, dan lembaga keuangan internasional. Seluruh
SD-energi konvensional telah mendapat keuntungan dari
subsidi sangat besar untuk penelitian, pengembangan,
dan peningkatan kapasitas infrastruktur, dan sampai saat
ini pun masih tetap terus mendapat subsidi yang sangat
besar. Perlu dukungan atas kombinasi SD-energi fleksibel
yang perlu pengurangan subsidi dari bahan bakar fosil,
sebaliknya tingkatkan subsidi bagi promosi untuk pene
litian, pengembangan, pembangunan kapasitas, dan
upaya untuk semakin meningkatkan kemampuan serta
keperi-adaan dari SD-energi terbarukan tersebut.
Dari sektor transportasi dan pemanfaatan lahan kota,
membangun kebijaksanaan perencanaan penggunaan la
han (land use planning) yang secara eksplisit akan mem
bentuk lingkungan kota yang bertanggung jawab secara
sosial dan ekologi, sangatlah penting. Para perencana
dan pembuat kebijakan harus mendukung penggunaan
lahan dengan dampak negatif serendah mungkin pada
keseluruhan (integritas) ekosistem. Mereka harus mem
promosikan moda-moda transportasi yang mengguna-
kan SD-energi terbarukan atau yang tak mudah jenuh dan
tidak menghasilkan emisi dan sampah lebih banyak, dan
yang masih dapat diakomodasi oleh kemampuan planet
bumi untuk terus-menerus memperbaharui.
Peningkatan jumlah SD-energi terbarukan dan ba
han-daur-ulang seharusnya dapat digunakan guna men
dukung infrastruktur yang ada dan penting untuk kenda
raan bermotor. Seharusnya rencana penggunaan lahan
dipusatkan pada dukungan pembangunan kota pada
skala manusia dan menyediakan permukiman kota dalam
jarak dan biaya transportasi yang terjangkau, transpor
tasi berkualitas tinggi yang mampu bersaing menjadi al
ternatif pilihan dibanding semakin bertambahnya jumlah
kendaraan pribadi, yang selalu menyebabkan kemacetan,
akibat sarana jalan yang tidak seimbang. Penggunaan
kendaraan pribadi secara hati-hati dan bertahap harus
dikurangi, antara lain melalui kebijakan umum dan inisi
atif perencanaan yang mendukung penggunaan 'mass
transit' serta pembangunan sarana jalur sepeda guna me
ngurangi penggunaan mobil pribadi.
Membangun infrastruktur secara khusus pendukung
para pengguna sepeda dan pejalan kaki sangatlah pen
ting dan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia dan
sekaligus lingkungan sekitarnya. Semakin populernya
mobil (pribadi) sehingga jumlahnya terus meningkat,
menjadi penting pula membangun infrastruktur yang
sesuai guna mendukung sumber bahan bakar alternatif
untuk kendaraan bermotor ringan (contoh: bio-diesell
methanol, ethanol, hydrogen, dan methane [biogas] yang
berasal dari bio-massa), begitu juga penggantian struktur
mekanik dari kendaraan itu sendiri yang menyesuaikan
dengan bahan bakar alternatif tersebut.
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 175
Gambar 5.12 (kiri): Contoh 'Retention Basin '.
Gambar 5.13 (kanan): Kantor yang dikelilingi tanaman pekarangan pertanian.
Para perencana kota hampir tidak atau kurang mem
perhatikan pentingnya sektor sistem pengadaan "SD
makanan" kota khususnya perencanaan untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat umumnya, atau pada
peran pertanian kota yang dapat berfungsi penting dalam
mengurangi permasalahan sosial ekonomi dan lingku
ngan di perkotaan. Kurangnya sistem analisis kebutuh
an pangan berarti bahwa para perencana dan pembuat
kebijakan melewatkan kesempatan untuk membangun
perencanaan pemenuhan kebutuhan bersifat kemasyara
katan dalam arti luas, antara lain perencanaan untuk
memanfaatkan sampah sisa makanan menjadi kompos,
sekaligus sebagai penyumbang bagi perbaikan struktur
(media) tanah menjadi lebih sehat/subur, meningkatkan
keamanan ketersediaan pangan, dan mengembangkan
sistem pangan kota (Pothukuchi & Kaufman 2000 dalam
Pinderhughes, 2004).
Diabaikannya keperi-adaan sektor pertanian perkota-
176 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
an (urban agriculture, agropolitan, allotment park, atau
apapun namanya) mudah menggiring ke arah kesalah
pahaman para perencana terhadap arti pangan sebagai
salah satu masalah (issue) penting dalam kemasyarakat
an seperti juga pada adanya hubungan antara produksi
pangan serta penggunaan SD-energi dan SD-air, trans
portasi , pengelolaan sampah, dan seterusnya. Pertanian
kota merepresentasikan pemanfaataan lahan yang unik
dan menyediakan kesempatan bagi para perencana un
tuk mengintegrasikan 'keprihatinan' kebutuhan primer
akan pangan ke dalam fokus bagi upaya peningkatan
kemampuan hidup para pemukim (di wilayah perkotaan)
secara manusiawi.
Pertanian kota dapat menambah keuangan (mencip
takan penghasilan) untuk belanja rumah tangga, mening
katkan keamanan pangan rumah tangga dan masyarakat
umumnya, memperbaiki kesehatan melalui peningkatkan
akses pada ketersediaan makanan segar, peluang peker-
jaan, dan kesempatan pelatihan kerja bagi penghuni kota.
Pada terminologi perlindungan lingkungan, pertanian kota
memberi keuntungan nyata bagi lingkungan hidup antara
lain yang berasal dari daur ulang sampah, mengurangi
pemasukan yang berhubungan dengan produksi pangan,
transportasi, penyimpanan, dan pengemasan. Pengukur
an perencanaan dan kebijakan dirancang untuk mencip
takan sebuah infrastruktur yang mendukung produksi
pangan kota yang seharusnya diletakkan pada berbagai
tempat yang memungkinkan dalam kawasan perkotaan.
Banyak lagi informasi yang perlu dimengerti para
perencana kota, misalnya tentang bagaimana cara me
nyediakan jasa utama kota (penyediaan air yang aman,
sistem kebersihan/sanitasi (sewerage system), energi, pe
rumahan/permukiman, transportasi, persediaan pangan,
dan lain-lain), sedemikian rupa sehingga dapat mengu
rangi terus terjadinya degradasi lingkungan serta mampu
membalikkan dampak sosial negatif lebih lanjut.
Pelaksanaan alternatif pembangunan agar bisa
berkelanjutan mensyaratkan para perencana untuk dapat
bertindak lebih dari sekedar penerapan proses alterna
tif teknologi. Agar pembangunan berkelanjutan berhasil,
para perencana harus menolak asumsi keliru tentang
teori "modern neoclassical economic", suatu kerangka
kerja teoritis yang tidak berdasar pada prinsip-prinsip
ekologi. Pengertian ekonomi hanya merupakan suatu alat
mekanistis belaka, dibanding dengan dasar biologi dan
ekologi. "Neoclassical economic" mengembangkan teori
ideologi bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
"kendaraan" prinsip bagi pembangunan karena akan me
ningkatkan pembangunan ekonomi yang akan mengun
tungkan orang miskin dan dengan menggerakkan SD-
sisa secara surplus (berlebih-lebihan) bagi perlindungan
ekosistem.
ldeologi salah yang diterima oleh para perencana
akhirnya mendukung dan menerapkan kebijakan yang
berdasar pada keberlanjutan eksploitasi SD-manusia dan
SDA, daripada membangun dan menerapkan kebijakan
yang (1) melawan kemiskinan melalui distribusi ulang dan
pembagian SD secara adil; (2) melawan degradasi ling
ku_ngan melalui pengurangan eksploitasi SDA di negara
negara kaya. Para perencana tidak akan mampu menca
pai pembangunan berkelanjutan tanpa mengidentifikasi
dan menganalisis akar permasalahan kemiskinan, kesen
jangan sosial, dan kemerosotan ekologi. Pada dasarnya
para perencana harus mengenali bahwa pemecahan
masalah dari krisis ekologi global terdapat dalam struk
tur sosial dan ekonomi yang sama, yang sejak awal telah
menimbulkan permasalahan tersebut juga terbentuk dari
sumber permasalahan yang sama (Rees 1998 dalam Pin
derhughes, 2004).
Para perencana harus mengetahui bahwa aktivitas
manusia tidak terjadi tanpa mempengaruhi alam dan
bahwa lingkungan bukanlah sekedar latar belakang yang
statis terhadap aktivitas ekonomi dan sosial (Herfindahl &
Kneese 1965 dalam Pinderhughes, 2004). Perencanaan
kota harus berpusat pada adopsi pendekatan-pendekat
an baru dan merancang teknologi tepat guna yang sesuai
untuk mengantar dan mengelola jasa infrastruktur kota
yang dapat meminimalisasi dampak negatif perkem
bangan kota terhadap lingkungan. Untungnya, berbagai
paradigma, proses, dan teknologi yang perlu dilanjutkan,
semua telah dibangun. Sekarang tinggal masalah komit
men untuk berubah bekerjasama antar bangsa, dan
Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan 177
penerapan perencanaan dan perancangan untuk pem
bangunan berkelanjutan bagi kota-kota seluruh dunia.
Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan ber
peran sangat panting dalam pembentukan ruang-ruang
publik terutama RTH di perkotaan. Rencana tata ruang
perkotaan secara ekologis dan planologis terlebih dahulu
mempertimbangkan komponen-komponen RTH maupun
ruang terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ru
ang kota. Secara hirarkis, struktur pelayanan tipikal kota
dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang terbuka
publik dalam perencanaan tata ruang di perkotaan.
Upaya merumuskan azas kota berkelanjutan tentu
sangat erat hubungannya dengan peran penataan ru
ang perkotaan. Rasanya belum ada kota di Indonesia
yang sudah pantas disebut sebagai kota berkelanjutan,
mungkin karena belum ditemukannya konsep dan azas
yang telah disepakati bersama tentang kota berkelan
jutan ini. Lembaga Pembanguan Kota dan Wilayah (Ur
ban and Regional Development lnstitute/URDI) bekerja
sama dengan "Indonesia Decentralized Environment and
Resource Management" pada United Nations Develop
ment Program (UNDP), telah melaksanakan suatu serial
lokakarya guna merumuskan azas "Kota Berkelanjutan
Indonesia", yang hasilnya adalah sebagai berikut (Kus
wartoyo, 2006):
1. Memiliki visi, misi dan strategi jangka panjang (secara
partisipatif) yang diupayakan keterwujudannya secara
terus menerus dan konsisten melalui rencana, ang
garan, program dan pelaksanaan yang bersifat jangka
178 Peran RTH Dalam Meningkatkan Kualitas Perkotaan
pendek dan menengah disertai mekanisme insentif-di
insentif;
2. Mengintegrasikan upaya pertumbuhan ekonomi de
ngan upaya perwujudan keadilan sosial, kelestarian,
kelestarian lingkungan, partisipasi masyarakat serta
keragaman budaya;
3. Mengembangkan dan mempererat kerjasama/kemitra
an (dan konsumsi) antara pemangku kepentingan, an
tar sektor dan antar-daerah;
4. Memelihara, mengembangkan dan menggunakan se
cara bijak SD-Iokal serta mengurangi secara bertahap
ketergantungan akan SD dari luar (global) maupun SO
yang tak tergantikan;
5. Meminimalkan 'tapak ekologis' yang ditimbulkan oleh
kota dan kegiatan/kehidupan di dalamnya serta meme
lihara dan bahkan meningkatkan 'daya dukung ekolo
gis' lokal;
6. Menerapkan manajemen kependudukan yang berke
adilan sosial disertai dengan pengembangan kesada
ran masyarakat akan pola konsumsi/gaya hidup yang
ramah lingkungan serta memperhatikan kepentingan
generasi yang akan datang;
7. Memberikan rasa aman bagi warganya sekaligus mem
berikan perlindungan terhadap hak-hak publik;
8. Pentaatan hukum yang berkeadilan dan didukung oleh
komitmen dan konsistensi dari aparat penegak hukum;
9. Mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi
terciptanya masyarakat belajar yang dicirikan dengan
adanya perbaikan yang menerus.
VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK MEWUJUDKAN KOTA TAMAN
6.1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYELENGGARAAN RTH
Selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU)
No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, komit
men untuk mewujudkan pembangunan kota secara
berkelanjutan, antara lain telah mensyaratkan pemba
ngunan dan pengelolaan RTH secara konsisten dan
profesional. Otonomi Daerah harus bermuara pada pe
ningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya menerus
untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat.
Sistem, mekanisme, prosedur penyelenggaraan otonomi
daerah (baik UU maupun Peraturan Pemerintah/PP-nya)
harus jelas dan aplikatif untuk menghindarkan distorsi
kontra produktif. Otonomi Daerah dalam jangka panjang
harus mampu mewujudkan kemandirian daerah, dilak
sanakan dalam wadah NKRI dan harus mampu meman
tapkan demokrasi dalam semangat persatuan dan kes
atuan.
Demikian pula Undang-Undang NO. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang di dalam revisinya telah men
syaratkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
RTH, antara lain bahwa rencana pengelolaan RTH ha
rus merupakan bagian integral dari rencana tata ruang
wilayah sesuai dengan tingkatan dan skala perencanaan
(RTRWN, RTRWP, RTRWK, RDTR, RTR).
Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi
pembangunan kota berkelanjutan, mensyaratkan pelak
sanaan transparansi semua kegiatan, baik oleh pemerin-
180 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
tah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara
kat umum). Kesadaran akan hak dan tanggung jawab
pembangunan dan pengelolaan RTH tidak hanya meru
pakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat,
dan penyesuaian program-program pembangunan yang
inovatif, kreatif, dan mutakhir. Sampai saat ini kebijakan
dan strategi penyelenggaraan RTH masih berdasarkan
pendekatan sektoral dan partial, yang selanjutnya di
jabarkan ke dalam program-program sektoral secara
sendiri-sendiri. Di lingkungan Kementrian Lingkungan
Hidup misalnya, Program Bangun Praja, Super Prokasih,
Langit Biru, sampai kini masih dianggap sebagai gerakan
parsial lingkungan perkotaan saja.
Pembangunan lingkungan berkelanjutan sangat mem
butuhkan peran sentral para arsitek lansekap yang san gat
berpengaruh dalam menggubah wajah alam, menjadi
suatu lingkungan kota yang layak huni, aman, nyaman,
sehat dan indah bagi manusia. Apalagi di era otonomi
daerah, dimana ternyata pembangunan daerah memer
lukan bantuan, yaitu dalam mengarahkan pembangunan
kota berkelanjutan.
Perlunya pengelolaan RTH secara khusus diindikasi
oleh Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1980-an ter
indikasi dengan dikeluarkannya lnstruksi Menteri Dalam
Negeri (lnmendagri) No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan, yang
kemudian dijabarkan ke dalam konsep kebijakan dan
strategi pembangunan serta pengelolaan RTH secara
Gambar 6.1 RPH (Rumah Pemotongan Hewan/Abatoir)
Pertanian Kotat memanfaatkan halaman 'abatoir' di Jakarta.
umum. lnmendagri No. 14 Tahun 1988 hingga kini belum
didukung oleh perangkat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
maupun Petunjuk Teknis (Juknis), menyangkut pengelo
laan RTH yang sesuai kebutuhan masing-masing daerah,
utamanya Pemerintahan Kota dan Kabupaten.
Keterpurukan keadaan ekonomi, sosial dan politik,
telah menyita perhatian semua pihak agar bisa bertahan
hidup dan berusaha bangun untuk mengatasinya. lronis
nya pembangunan kota berkelanjutan, menjadi terabai
kan dan krisis lingkungan semakin bertambah parah.
Untuk itu, perlu desakan segera mengkonsolidasikan diri
dengan masing-masing pihak terkait, agar lebih memper
hatikan pembangunan lingkungan kota melalui pengelo
laan RTH yang juga berkelanjutan.
Di era reformasi, hampir di semua sektor pemerin
tah melakukan pembenahan struktur manajemen kerja
kembali sesuai tuntutan perkembangan kebijakan poli-
tik kepemerintahan. Sebagai contoh, Kementerian Ling
kungan Hidup (KLH), mengalami perubahan struktural,
dengan demikian bahwa pengelolaan lingkungan hidup,
termasuk di wilayah perkotaan, dapat lebih mempertim
bangkan keselarasan dan kesimbangan dengan alam
sekitar dan keseimbangan antar sektor.
Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan pe
rundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dari
'pucuk' gunung sampai ke 'ujung' laut. Tak hanya Kantor
KLH saja yang memang langsung diberi wewenang men
gatur pengelolaan lingkungan hidup ini, berdasar pada
kemampuan dan tanggung jawab. Dalam pengelolaan
lingkungan hidup, yang penting adalah adanya kesadar
an dan keterpaduan kerja untuk bersama-sama meles
tarikan fungsi lingkungan dengan berbagai pihak, seperti
kerjasama antar sektor terkait, antara lain Departemen
Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Ke
mentrian Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Per
tanian dan Kehutanan, akademisi, praktisi profesional,
dan masyarakat umum.
Kantor KLH telah mencanangkan beberapa program
dan proyek, yang sebagian besar mencoba kembali mere
habilitasi atau menata kembali lingkungan, khususnya
lingkungan perkotaan, dan membantu mempertahankan
lingkungan yang masih baik. Salah satunya adalah Pro
gram Tata Praja Lingkungan (Good Environmental Govern
ance/GEG), yang terdiri dari dua sub program, yaitu Pro
gram Bangun Praja dan Program Masyarakat Madani.
6.1.1 Issue dan Tantangan dalam
Penyelenggaraan RTH
lsu yang berkaitan dengan ruang terbuka publik an-
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 181
Gambar6.2
Taman Umum (Public Park) di antara Gedung Permukiman Bertingkat
(apartment) di Singapura.
tara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa
tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas
lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir, longsor dan
perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung
kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan
vandalisme.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup (LH), rendahnya
kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan
di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung
maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH
secara ekologis. Tingginya frekuensi bencana banjir dan
tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan
karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya
daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan
(run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat
menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan
tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyara-
182 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
kat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang ber
lebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan
genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak
di masa mendatang.
Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik
horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se
cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurang
nya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuh
an interaksi sosial untuk pelepas ketegangan (stress)
yang relatif banyak dialami oleh masyarakat perkotaan.
Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penye
diaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah me
nyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat
yang semakin memburuk dan menekan.
Secara teknis, isu yang berkaitan dengan keperi
adaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadi
nya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuanti
tatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM,
kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan
RTH, serta 'selalu ' terbatasnya ruang/lahan di perkotaan
yang dapat digunakan sebagai RTH.
Pada kenyataannya, sub-optimalisasi ketersediaan
RTH terkait dengan kenyataan pada masih . dari kurang
memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk
ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang ter
buka per kapita yang tersedia. Mengakibatkan semakin
rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat
kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung
menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak
alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan
ekonomi yang pragmatis.
Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh
belum adanya peraturan perundang-undangan yang
memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksa
naan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTH
masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM
yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat se
cara optimal dan lebih profesional mampu memelihara
dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan
masyarakat umumnya masih sangat rendah. Potensi pi
hak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum
banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah sering dan
bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan bia
ya dan anggaran.
Walaupun secara teoritis dikatakan, bahwa ruang
perkotaan yang tersedia makin terbatas, namun dalam .- '
kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan
yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan.
Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara
legal diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang te
rawat dan tidak dikelola secara optimal.
Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu
susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal
terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hu
kum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan
para pemangku kepentingan dalam pengembangan ru
ang kota.
Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerin
tah ke depan antara lain adalah:
• Melakukan revisi UU 24/1992 tentang Penataan Ruang
untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan
pengembangan RTH;
• Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM)
untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
• Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai de
ngan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan
pengembangan RTH suatu kota;
• Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentang pen
pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green
cities);
• Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif
yang dapat lebih meningkatkan peran swasta dan ma
syarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling
menguntungkan;
• Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH un
tuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa
wilayah kota.
RTH merupakan kebutuhan pokok kota, demi man
faat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan
kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan
penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (ur
ban landscape planning) adalah bagian perencanaan la
han yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota
pad a hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya
dan semua pada tempatnya.
Guna menampung keinginan-keinginan semacam
itu, secara garis besar telah tertuang dalam rencana tata
ruang dari yang bersifat umum (RTRWN, RTRW Pulau,
RTRW Propinsi, Kabupaten dan RTRW Kota) hingga ren
cana tata ruang yang bersifat detail dan rinci (RDTR Ka
wasan dan RTR Kawasan). Besaran dan jenis RTH-nya
sendiri berdasarkan skala perencanaan dan tingkat ke
pentingan/kebutuhannya.
Selanjutnya, peran, fungsi dan manfaat RTH tersebut
di atas diuraikan secara rinci, sebagai berikut:
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 183
• Terjaminnya ketersediaan oksigen dalam jumlah
yang cukup dan menerus;
• Terciptanya iklim yang sehat, udara bersih bebas
polusi;
• Terciptanya suasana teduh, nyaman, bersih dan
indah;
• Terkendalinya sistem tata-air (hidrologi) secara opti
mal dan memungkinkan adanya hasil sampingan
berasal dari tanaman produktif yang sengaja dita
nam di lokasi yang aman dari polusi pada media
tanah, air dan udara;
• Tersedianya sarana rekreasi dan wisata kota, yang
sekaligus berfungsi sebagai habitat satwa;
• Sebagai lokasi cadangan untuk keperluan sanitasi
kota dan pemekaran kota;
• Sebagai sarana penunjang pendidikan dan pene
litian, serta jalur pengaman dalam penataan ruang
kota.
6.1.1.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota
Menurut Dahlan (1992) dan Purnomohadi (1995), de
gradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indo
nesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin mening
katnya suhu udara di atas kawasan perkotaan, penurunan
muka air tanah, pencemaran air tanah, udara, dan suara
(bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abra
si pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan
terjadinya tekanan psikologis penghuninya.
Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkon
sistensi kebijakan dan strategi lata Ruang Kota yang
sudah ditetapkan dalam Rencana lnduk Kota, serta le
mahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam pelaksanaan
184 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
pembangunan kota, menyebabkan kuantitas dan kuali
tas RTH semakin menurun. Hal ini lebih diperberat lagi
dengan adanya: pertentangan kepentingan antara nilai
ekonomi dengan nilai ekologis; keterbatasan luas lahan
akibat benturan kepentingan dalam fenomena pemba
ngunan perkotaan, lebih ditekankan pada pentingnya
pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan
yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja
(atau demi kepentingan ekonomi jangka pendek).
Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap sebagai
akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, peme
liharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan jenis
tanaman yang tidak sesuai persyaratan ekologis bagi
masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pem
bibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan dana pem
bangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan
pengembangan pola kemitraan hijau.
RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna,
tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor ber
bagai penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat
akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih sangat
kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok
usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain
anak, maupun taman lansia, apalagi taman khusus bagi
penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman
umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum
(Haryoso, 2003). Dalam penataan lansekap kota, etika,
dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame
belum ditata menurut kaidah penataan ruang yang lebih
sesuai.
Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif un
tuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan
Dua gambar 6.3
Pemandangan teduh di Pulau Lombok, terletak pelabuhan transit
menuju Tiga Gili yang terkenal dengan wisata baharinya.
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kola Taman 185
(dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi
ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tum
pang tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan
karen a tugas pokok dan fungsi yang hampir sam a, seperti
Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Di
nas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidik
an dan Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwi
sata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Kebersihan. Rencana
penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata
Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam
satu atap agar mampu meningkatkan pelayanan pemban
gunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu dikaji
ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan
Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan
dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata pemerin
tahan yang baik (good governance).
6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan
Budaya RTH-Kota
RTH merupakan komponen utama lingkungan hidup
kota sehat, yaitu terhadap keberlanjutan hidup kota dan
warga kotanya, yang sampai saat ini tak tergantikan
fungsi dan manfaatnya, sekalipun dengan pendekatan
teknologi canggih. lronisnya, Jakarta sebagai ibukota
Negara, justru banyak memberikan contoh buruk dalam
pengelolaan lingkungan hidup, terutama RTH kota, se
bagai akibat penataan ruang yang selalu terlalu mudah
berubah sesuai kepentingan pengambil kebijakan, serta
penerapan rencana sektor tanpa berkonsultasi dengan
pihak lain, terutama warga kota.
Di Jakarta dan sekitarnya telah banyak berdiri pabrik-
186 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
pabrik yang dibangun di sepanjang aliran sungai, se
hingga terjadi deteriorasi lingkungan. Para nelayan dan
pembudidaya kerang hijau, maupun rumput laut di Teluk
Jakarta melaporkan kepada Menteri Penerangan dalam
pencanangan Kelompencapir Bahari (8/6/1996) bahwa
budidaya kedua komoditi pertanian tersebut sudah ter
ancam tutup. Dugaan keras adalah akibat konsentrasi
pencemaran air di muara-muara sungai dari hulunya (land
based pollution). Kejadian ini mengingatkan kita pada pe
nyakit 'ltai-itai' dan kasus 'Minamata' di Jepang akibat
akumulasi air raksa (merkuri) pada tubuh manusia yang
merusak sistem susunan syaraf ..
Belum lagi, bila diperhitungkan nilai ameliorasi iklim,
angin dan suara dari RTH kota, yaitu kenyamanan iklim
mikro yang sejuk dan bersih, yang sekaligus dapat
mencegah penyakit fisik dan psikis. lmplikasi ekonomis
untuk mengetahui besar biaya yang sebenarnya, akibat
dari peningkatan jumlah orang sakit, misalnya penyakit
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan semacamnya,
perlu memperhitungkan biaya eksternalitas lingkungan,
sehingga pernyataan tentang perlu adanya RTH sebagai
penyeimbang lingkungan binaan tak hanya dinilai meng
ada-ada, namun berdasar pada perhitungan budaya
sosial-ekonomi yang nyata, seperti besaran kualitatif nilai
tukar uang bila seseorang jatuh sakit, dan bila produk
tivitas SDM menjadi hilang atau berkurang, khususnya
semakin rentannya tubuh anak di wilayah perkotaan aki
bat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak.
Sebagai negara yang 'dulu' berbasis sektor agraris,
akan sulit bagi penduduk kota yang sebagian besar me
mang para pendatang dari perdesaan atau kota-kota
kecil. Kebijakan pemerintah dalam mendukung konsep
pembangunan industri berbasis pertanian, di mana bu
daya agraris dengan lahan ekstensif ini bisa diintensifkan,
· namun tetap produktif. Teknologi yang menunjang sudah
banyak kita kenai, di samping teknologi kultur jaringan
dan hidroponik, ada pula yang disebut vertikultur, dan
permikultur. Pemanfaatan ruang-ruang sisa, seperti teras
dan atap rumah pun sudah lama dikenal dengan taman
gantung (roof top garden).
Teknologi penghitungan 'indeks luas daun' (Leaf Area
lndeks=LAI), sudah biasa dipakai untuk menghitung
besaran cemaran air dan udara (gas dan partikel) yang
bisa diserap dan dijerap oleh permukaan daun. Berbagai
penelitian tentang bagaimana tanda-tanda biologis tana
man, apabila terjadi ketidak-seimbangan fisiologis, aki
bat pekatnya gradasi pencemaran juga telah dilakukan.
(Lampiran 2: Penentuan luas RTH-Kota)
Masyarakat sekitar lokasi pembangunan seringkali
tidak pernah diberi informasi tentang rencana pemba
ngunan fisik bangunan. Padahal masyarakat tersebut
akan merasakan langsung dampak konstruksi pemba
ngunan, terlebih dampak negatif berupa debu, lumpur,
kekeringan sumber air tanah, keamanan dan kenyaman
hunian. Jadi, masih adakah yang memandang RTH kota
tidak bernilai ekonomis, dibandingkan bangunan hotel,
mal atau hipermarket?
6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam
Perencanaan Tata Ruang Kota
Kebijakan pembangunan harus diterapkan melalui
peraturan pengelolaan yang konsisten mengacu pada
tata ruang aplikatif dan operasional dengan pengendalian
peruntukan sesuai dengan daya dukung lingkungan me
lalui tertib administrasi pertanahan, mengurangi kesen
jangan kesejahteraan (poverty alleviation), konflik sosial,
dan kriminalitas. Adanya sarana transportasi multi-moda
yang terpadu, termasuk ruang untuk para pejalan kaki
dan sepeda, dan peningkatan jenis dan kualitas angkutan
publik secara massal.
RTH kota merupakan sub-ordinat ruang terbuka yang
ada dalam konstelasi perencanaan ruang kota secara
keseluruhan. Ditinjau dari sudut manusia, maka kon
sepsi pengelolaan LH menjadi kompleks. Di satu pihak,
dengan berbagai pandangan dan latar belakang, manu
sia itu berbudaya (cultural contemplation), berperilaku so
sial (social behaviour), pertimbangan ekonomi (economic
considerations), dan bersikap politik (political attitudes),
semua terpadu sebagai salah satu komponen pendu
kung pengembangan lingkungan hidup (Haeruman, et.al.
1980).
Manusia akan selalu memandang, bahwa sumber
daya itu akan menghasilkan barang dan jasa berupa
materi, informasi dan energi, dalam siklusnya masing
masing, termasuk perhitungan antara daya dukung atau
kemampuan asimilasi serta dampak negatif lingkungan.
Sekarang, tergantung pada diri kita masing-masing,
bagaimana menyadari eksistensi sumberdaya itu dan
pemanfaatannya, terutama di lingkungan perkotaan, se
hingga dapat bermanfaat bagi kehidupan warga kota se
cara berkelanjutan. Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil
yaitu keluarga, maka ruang luar yang ada sebenarnya
dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tanaman pot
bunga, buah, sayuran, apotik hidup minimal untuk kebu
tuhan keluarga.
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 187
Gambar6.4
Sungai sebagai alternatif moda transportasi di samping untuk rekreasi.
Sepeda umum digunakan, sangat bermanfaat guna mengurangi
pencemaran udara kota.
Kota akan selalu menghadapi perubahanakibat akse
lerasi pembangunan secara menyeluruh, sehingga terjadi
degradasi kualitas fungsi alami lingkungan. Kemacetan
lalu-lintas yang semakin parah di seluruh bagian kota,
pencemaran udara, air, tanah dan suara, banjir, keba
karan, dan krisis air bersih, berakibat penurunan kualitas
kesehatan, produktivitas, dan kinerja warga kota.
Perencanaan tata ruang kota selalu tertinggal dengan
laju kebutuhan fisik dan psikis penduduk yang semakin
meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitas. Ekspansi
ruang kota ke segala penjuru tanpa terkendali. Penangan
an masalah lingkungan hidup kota, termasuk eksistensi
RTH, masih bersifat parsial dan temporal.
Berdasarkan beberapa fenomena sebagaimana
diutarakan di atas, maka seyogyanya dalam merumus
kan kebijakan penyelenggaraan RTH dalam perencanaan
188 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
tata ruang kota perlu dipahami betul latar belakang ar
gumentatif mengenai kebutuhan RTH dalam konteks
pengembangan wilayah/kawasan dalam kaitannya de
ngan pemanfaatan/penggunaan (utility) ruang dan sum
ber daya alam, J.Jrociutifitas (productivity), dan kelestarian
(conservation) lingkungan dan sumber daya alam, sehing
ga rumusan-rumusan kebijakan tersebut tidak terdeviasi
(bias) dari visi, misi dan tujuan semula dari pengemban
gan wilayah/kawasan yang telah ditetapkan.
6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH
Akibat negatif pembangunan struktur bertingkat dan
meningkatnya intensitas transportasi tak beraturan tanpa
pertimbangan pengelolaan lingkungan yang bijaksana
akan berpengaruh pada pengurangan kapasitas kemam
puan RTH.
Dari beberapa penelitian kota-kota di luar negeri dike
tahui, bahwa setiap satu hektar RTH efektif mampu me
netralisir 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355
penduduk, dan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen
guna dikonsumsi 1.500 penduduk/hari. RTH mampu me
nyimpan 900 m3 air tanah/tahun, mentransfer air 4.000
liter/hari, setara dengan pengurangan suhu 5-8° Celcius,
setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin uda
ra berkapasitas 2,500 Kcal/20 jam, meredam kebisingan
25-80 persen dan mengurangi kekuatan angin sebanyak
75-80 persen, tergantung pada jenis tanaman, iklim dan
jenis tanah. Sebatang pohon dapat mendinginkan udara
setara dengan kapasitas lima buah mesin pendingin uda
ra yang dioperasikan selama 20 jam/hari terus-menerus.
Pada kawasan industri, jalur hijau pengaman selebar
50 meter yang dibangun di sekelilingnya, akan mampu
menurunkan pencemaran akibat meningkatnya konsen
trasi S02
sebesar 70 persen, dan N02 sebesar 67 persen
(Konstruksi, 1995). Bila angka-angka tersebut ditransfer
ke dalam hitungan biaya lingkungan tanpa RTH, jumlah
nya pasti akan melebihi biaya ekonomi jangka pendek,
sebagaimana selalu dilansir para pengembang kota, se
perti hotel, plaza, mal, hipermarket dan semacamnya.
Hasil penelitian dari luar negeri tersebut hanya bisa
menjadi referensi saja, di mana sebaiknya dilakukan
penelitian, senada sesuai dengan keadaan ekosistem
kota tropis di Indonesia.
Pencemaran udara di Jakarta sudah melampaui am
bang batas. Penelitian hubungan antara RTH terhadap
pengelolaan kualitas udara di Jakarta membuktikan,
bahwa dalam jangka waktu 10 tahun (1981-1991) terjadi
peningkatan tujuh zat pencemar utama CO, C02, NOx,
SOx, TSP/zarah, HC, dan Pb secara signifikan. Meski ter
dapat angka peningkatan yang berbeda di antara ketu
juhnya, ternyata beberapa zat tersebut secara variatif
sudah melampai standar baku mutu. Sedang sumber
pencemar diteliti dari empat kegiatan utama, yaitu dari
kegiatan industri, transportasi, rumah tangga, dan pe
musnahan sampah (Purnomohadi, 1994).
Keberadaan air tanah yang semakin dalam dan terce
mar pun menyebabkan intrusi air laut, amblasan tanah dan
krisis air bersih. Sementara biaya penjernihan sumberdaya
air melalui intake langsung dari alam sumur atau sungai
meningkat tajam, akibatnya selain menjadi semakin lang
ka, harga air PAM pun semakin meningkat mahal dengan
kualitas air yang belum tentu terjamin bersih dan sehat.
Upaya untuk mengatasi masalah kelangkaan keterse
diaan RTH kota dapat dilakukan melalui pemanfaatan
sisa-sisa lahan yang ada secara optimal. Penanaman
ruang luar halaman pekarangan rumah atau di atas ba
ngunan bertingkat secara efektif memanfaatkan teras
atau puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman
aerofonik atau hidrofonik, dan semacamnya.
Akibat keterbatasan lahan, pengembangan RTH di
mungkinkan mengarah ke atas. Lansekap vertikal (verti
cal landscape) tengah dikembangkan di kota Singapura,
New York, Chicago, dan kota-kota berpenduduk padat
di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pengem
bangan lansekap vertikal berupa taman atap (roof deck
gardens), taman gantung (sky terraces greenery), taman
balkoni (landscape balconies), lapangan golf mini, atau
taman kate, ibarat oase di atas langit. Kehadirannya akan
meningkatkan keindahan gedung dan melindungi bangun
an dari sengatan matahari yang berlebihan. Untuk mem
buktikan keseriusan komitmen tersebut, pemerintah dae
rah harus memelopori pembangunan lansekap vertikal di
gedung-gedung pemerintah dan rumah susun.
Konsep kembali ke alam merupakan upaya menuju
ke hidupan alam asli ke dalam lingkungan kehidupan
kota dan menyatukan dengan sumber-sumber kehidup
an alaminya. Pemahaman akan pentingnya upaya men
jaga fungsi lingkungan melalui keseimbangan antara
RTH dengan ruang kota lain, akan sangat menentukan
keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan. Penge
lolaan lingkungan perkotaan, khususnya RTH tak lepas
dari kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup
terpadu seperti program Tata Praja Lingkungan, yang
difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu per
masalahan sampah, RTH, kualitas air, dan fasilitas umum
lain yang terkait erat.
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 189
Pengembangan perancangan keempat aspek terse
but seyogyanya dirancang agar masing-masing bagian
infrastruktur dapat berfungsi optimal, tanpa menimbulkan
masalah dan bisa saling mendukung bagi masing-masing
kota maupun dalam hubungan kemitraan antar berbagai
pihak secara menyeluruh. Teknik-teknik pemecahan di
pelajari, direncanakan dan disesuaikan secara terbuka
melalui pembangunan berbasis masyarakat, sehingga
dapat menghindari kesalahan serupa dan hasilnya sema
kin sempurna.
Niat baik mewujudkan kepemerintahan yang baik
dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti program
Bangun Praja (good environmental governance, GEG) se
benarnya bukan barang baru, dulu dikenal dengan pro
gram Adipura yang dilaksanakan secara terpusat. Selaras
dengan semangat otonomi daerah untuk mendorong dan
meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup
pemerintahan di daerah, perlu disadari bersama akan
perlunya peninjauan berbagai kebijakan dan strategi pe
ngelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan tuntutan
zaman.
Sesuai dengan laju pembangunannya, maka kota
kota selalu menghadapi masalah. Terutama pada ta
hun terakhir ini telah terjadi suksesi permasalahan yang
segera membutuhkan penyelesaian, sedangkan perma
salahan yang baru sudah mulai, dan timbullagi. Masalah
yang terjadi dimana-mana adalah akibat berlebihannya
konsentrasi penduduk dan aktivitas di kota-kota besar.
Permasalahan ini diperbesar oleh karakteristik sosial,
akibat internasionalisasi, pentingnya pertumbuhan infor
masi dan teknologi tinggi yang harus dipertimbangkan.
190 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Pemerintah harus mengambillangkah-langkah untuk siap
menghadapi perkembangan masalah masyarakat yang
semakin menua ini. Meningkatnya kondisi lingkungan
dan keindahan, serta memastikan bahwa pengukuran
pengukuran perlu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan
akan rekreasi di ruang terbuka. Jadi perlu disadari, bahwa
kota selalu menghadapi masalah-masalah penting baru.
Untuk mengatasi hal seperti ini, pemerintahan kota
harus melihat bahwa permasalahan tidak hanya dari segi
perangkat keras (fisik) saja, tetapi juga pada masalah
perangkat lunak, seperti ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan demikian, strategi pembangunan menyeluruh ini
akan meningkat.
Di Jepang, perencanaan kota harus mampu meme
rankan diri sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan
masalah secara menyeluruh, melalui pedoman untuk
kota yang bersangkutan, seiring dan melalui konsultasi
dengan Perencanaan Nasional Pembangunan Menye
luruh, dan Rencana lnduk Pembangunan Wilayah, serta
Strategi Rehabilitasi Lahan.
Selanjutnya, perencanaan Kota Menyeluruh di Je
pang, tidak langsung diterapkan melalui hukum, karena
kedisiplinan dan kesadaran hukum penduduk yang su
dah relatif tinggi. Perencanaan kota tetap dikombinasikan
dengan peraturan hukum sebagai petunjuk yang kuat dan
dapat dipertimbangkan, serta menyadari akan keterba
tasan aspek-aspek lain, seperti penatagunaan tanah dan
pembangunan prasarana perkotaan, serta proyek-proyek
pembangunan kota. Jadi, tetap ada semacam kekuatan
hukum sebagai penunjangnya.
6.2 PROGRAM DAN PENTAHAPAN PENGADAAN RTH
Pengadaan RTH bagi kota yang sudah terbangun
tentu membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dapat di
pertanggung-jawabkan di kemudian hari. Relatif masih
rendahnya kepedulian dan kesadaran perlunya eksistensi
RTH, bahwa RTH Kota tak hanya berfungsi sebagai peng
isi ruang-ruang di antara bangunan saja, namun adalah
lebih luas dari itu. Dalam pembangunan kota berkelan
jutan mutlak dipertimbangkan ada pembangunan RTH
secara khusus, berdasar pada serangkaian fungsi pen
ting RTH dalam Rencana lnduk Kota baik dalam jangka
pendek maupun panjang.
6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek
Kegiatan pengembangan Kota Jangka Pendek, an
tara lain:
• Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau
alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol,
bawah jalan layang (fly-over), bantaran kali, saluran
teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rei kereta api,
jalur SUTET, tempat pemakaman umum (TPU), dan
lapangan olahraga, dari okupasi permukiman liar.
• Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah
ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi
pokok RTH (identifikasi dan keindahan) masing-masing
lokasi.
• Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat stra
tegis, seperti batas-batas kota dan alun-alun kota.
• Memotivasi dan memberikan insentif secara material
(subsidi) dan moral terhadap peran serta masyarakat
dalam pengembangan dan pemeliharaan RTH secara
optimal, baik melalui proses perencanaan kota, mau
pun gerakan-gerakan penghijauan.
• Prasarana penunjang dalam pengembangan RTH yang
dibutuhkan, adalah tenaga-tenaga teknisi yang bisa me
nyampaikan konsep, ide serta pengalamannya dalam
mengelola RTH, misal pada acara penyelenggaraan
pelatihan dan pendidikan pada Pusat Pendidikan dan
Pelatihan (Pusdiklat). Dibutuhkan sosialisasi dan pe
nyuluhan secara berkala kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, maupun masyarakat umum secara
luas.
6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang
Penyuluhan pengembangan RTH dapat dilakukan
melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi
ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota,
mulai dari tingkat kota/kabupaten, camat, lurah/kepala
desa, hingga lingkungan RT/RW, dewan legislasi, or
ganisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah, pramuka,
rumah sakit, perkantoran, dan berbagai bentuk media
massa cetak (surat kabar, majalah, buletin) serta media
elektronik (radio, televisi, internet). Program pengemba
ngan RTH, seperti umumnya pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan, bukan hanya merupakan tanggung
jawab pemerintah saja, tetapi seluruh unsur kemasyara
katan bersama dengan pemerintah hendaknya dapat
mengelola RTH dalam sistem kepemerintahan yang baik
(good governance) demi kepentingan bersama pula.
Pendapat beberapa pakar, antara lain Pope (2003),
mengatakan bahwa, bila ingin mengetahui beraneka
ragam budaya dapat 'mengerti' dunia alami, pergilah ke
kota-kota mereka, amati konstruksi terbaru dengan baik,
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 191
lakukan observasi transformasi stratejik yang ada, maka
tanpa pertimbangan proses urbanisasinya, kenyataan
yang terjadi adalah bahwa pergerakan dari alam ke ling
kungan kota ini tak bisa diprediksi, sebab horizon perkota
an yang bagaimana pun adalah dimana keberadaan alam
dan kotanya selalu berhubungan, artinya eksistensi kota
tak akan ada tanpa unsur alam. Dengan melihat kota,
maka dapat difikirkan bagaimana dunia alaminya.
Sistem transformasi yang terjadi dari tahun 1950-an,
dimana masih banyak dianut sistem kota berbentuk 'grid
iron' sampai abad ke 19, menuju kepada sistem 'cui de
sac' abad ke 20, dan seterusnya, merupakan gambaran
kejadian fragmentasi kerja yang radikal pada baik kota
maupun lingkungan alami, menjabarkan keberlanjutan
tunggal, atau dunia dalam perobahan kota-kota yang
terus meluas, menduduki (ekspansi) suatu kota.
Dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, apa
yang kita saksikan saat ini (tahun 2005-2006) merupakan
dampak dari terjadinya krisis multi dimensional sejak ta
hun 1997-1998 yang sampai kini ternyata belum dapat
diselesaikan secaa tuntas. Penyebab utamanya adalah
tidak konsistennya pengelolaan kota pada umumnya un
tuk secara hati-hati mengikuti Rencana lnduk kota (RTH
di dalamnya) agar fungsi RTH betul-betul dapat dirasakan
manfaatnya secara menerus (continuity).
Moda Ekspansi: untuk dapat mengerti 'batas' antar
kawasan kota dan alam, perlu diketahui sesuatu tentang
mekanisme ekspansi kota. Pola kota yang berbentuk ko
tak (grid), maupun pola 'radial', berkembang sampai akhir
abad ke 19, yang menerus dan kemudian tumbuh pola
'cui de sac' yang terputus-putus, ketiganya terus tum
buh berkembang pada jalan yang berbeda. Tiap moda
192 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
ekspansi merupakan kepastian yang juga telah memper
timbangkan bagaimana lingkungan kota dan lingkungan
alam itu saling eksis dan bagaimana keduanya berhasil
atau tidak membentuk suatu batas luar suatu kota (urban
frontiers). Dapat dilihat dari melebarnya kota-kota secara
horisontal dan ke semua arah dari waktu ke waktu.
Karena itu diperlukan suatu rencana pengembangan
kota jangka panjang, termasuk perteletakan dan penge
lolaan RTH-nya, yang kemudian implementasinya pun ha
rus diikuti secara konsisten. Walau ada perubahan dalam
letak atau luas kawasan karena tuntutan waktu Qaman),
namun sedapat mungkin RTRK yang telah direncana dan
ditetapkan untuk paling tidak 25. tahun mendatang bisa
tetap dijadikan pedoman, karena hal tersebut merupakan
hasil pemikiran komprehensif, holistik secara koordinatif
dari unsur-unsur perencanaan pembangunan kota yang
tentu sudah mempertimbangkan segala aspek pertum
buhan berbagai bidang (kependudukan, IPTEK, kese
imbangan fungsi lingkungan, dan seterusnya).
Ide pola pengembangan kota berbentuk kotak ini
abad ke 19 ini, karena keinginan untuk 'membuka ru
ang kota' dengan meletakkan jalur lalu-lintas semacam
urat nadi dalam tubuh. Contoh-contoh kota berpola grid
terse but: The Cerda Plan of Barcelona, The By-law Street
of London, The Massive Kreuzberg District of Berlin, The
Comissioner's Plan Manhattan. Semua berkembang
menjadi kota-kota besar tetap berdasar pola kotak-kotak
tersebut. Bentuk RTH nya pun lalu mengikuti jalur, um
umnya berbentuk persegi empat, termasuk lahan yang
khusus diperuntukkan bagi 'agricultural allotments' atau
mengikuti bentuk topografi yang ada.
Mengingat pertumbuhan RTH di kota-kota Indonesia
dapat dikatakan 'baru ' disadari sekitar tahun 1965-an di
Jakarta, dimulai oleh perlu adanya pendidikan SDM bi
dang profesi arsitektur lansekap tahun 1963 oleh Pemda
DCI Djakarta, maka pola pengembangan RTH-nya pun
sudah berkembang meski pun relatif lambat. Kota-kota
terutama di pulau Jawa, sebagian besar direncanakan
kembali oleh pemerintah kolonial Belanda berdasar pada
pola tata ruang kerajaan di mana di pusat kota disediakan
ruang terbuka yang disebut alun-alun, atau di negara
barat biasa disebut square. Dike empat sisi terletak kan
tor-kantor pusat pemerintahan. Mulai dari istana (Balai
kota), kemudian rumahsakit, lembaga pemasyarakatan,
pengadilan, kejaksaan dan lembaga pelayanan masyara
kat lain. Pola semacam ini diaplikasikan juga pada be
berapa kota lain di luar pulau Jawa.
Yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan RTH
jangka panjang, adalah agar kawasan pinggiran kota (hin
terland) tidak sampai semakin terlalu melebar sehingga
'memakan' daerah luar kota, sehingga jarak pelayanan
menjadi terlalu panjang, sehingga sulit pelaksanaannya.
Selain itu tanah-tanah yang biasanya relatif lebih subur di
luar kawasan kota, berubah fungsi menjadi kawasan ter
bangun yang tak beraturan (urban sprawl), seolah tanpa
perencanaan matang. Dapat dikatakan bahwa kejadian
semacam ini disebut kegagalan perencanaan ruang se
cara total.
Gambar6.5
Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata secara sederhana.
sosial dan ekonomi, meliputi pendataan keadaan iklim
(curah hujan, arah angin, suhu dan kelembaban udara);
data topografi dan konfigurasi kondisi alam adalah untuk
menentukan tipe RTH kota; kemudian geologi, jenis ta
nah dan erodibi!itas untuk penentuan jenis RTH; jaringan
sungai, potensi dan pelestarian jenis, jumlah, dan kondisi
fauna dan flora lokal. Umumnya keberadaan dan jenis
fauna sangat berkaitan erat pula dengan jenis flora yang
ada (existing, biota endemic).
Penggunaan lahan (land use) dan keadaan yang mem
pengaruhinya perlu dikompilasi melalui pengumpulan data
mengenai kedua hal tersebut, yaitu: meliputi penggunaan
6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota tanah serta penyebaran bangunan, daerah permukiman,
lnventarisasi potensi alam merupakan dasar kela- perdagangan, industri , pusat pemerintahan, pusat per-
yakan pembangunan RTH, khususnya sebagai dasar un- belanjaan, tempat rekreasi, dan jaringan transportasi.
tuk menentukan letak dan jenis tanaman. lnventarisasi ini Keadaan yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah
sangat diperlukan berdasar pada keterkaitan kondisi fisik, demografi jumlah dan persebaran penduduk, prosentase
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 193
pertambahan jumlah, komposisi penduduk, dan keadaan
sosial ekonomi. Kedua data ini dipergunakan untuk me
nentukan tipe, lokasi, dan jumlah RTH.
lnventarisasi aktivitas dan permasalahannya meliputi
data aktivitas yang dikumpulkan, terutama kegiatan
kegiatan yang . bisa menimbulkan dampak negatif ter
hadap lingkungan. Tingkat atau besaran aktivitas akan
menentukan luas RTH yang dibutuhkan dalam upaya
menetralisir pengaruh negatif yang ditimbulkannya terse
but. Pengumpulan data fisik (utama), meliputi:
• Jumlah dan laju pertambahan kebutuhan air dan
oksigen;
• Jumlah dan tingkat pertambahan penggunaan bahan
bakar;
• Jumlah dan laju pertambahan kendaraan bermotor;
• Jumlah dan laju pembuangan limbah industri/rumah
tangga;
• Nilai kualitatif: dan kuant1tatif dari permasalahan lain
yang sering timbul, seperti banjir, intrusi air laut, abrasi,
erosi amblasan tanah, dan tingkat pencemaran lain.
Kemudian, perlu disusun Rencana Kerja Berkala, me
liputi Rencana Jangka Pendek, (Menegah), dan Panjang.
Kebijakan umum pengembangan RTH, yang dilengkapi
langkah-langkah pelaksanaan menurut waktu dan skala
prioritas.
Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan terus
menerus, guna mendapat data akurat yang dapat diper
gunakan sebagai dasar perbaikan dan pengembangan di
masa datang.
194 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH
Pelaksanaan pembangunan RTH sebaiknya dapat di
lakukan sendiri oleh unit instansi pemerintah daerah yang
ditunjuk sebagai pengelola RTH, berdasar tugas pokok
dan fungsi serta bentuk dan kriteria unit tersebut, atau,
mungkin karena ada berbagai keterbatasan, mungkin
pula untuk dikontrakkan sebagian atau seluruh peker
jaannya kepada pihak lain yang tentu harus bisa menge
lola secara bertanggung jawab sampai dengan monitor
ing dan evaluasinya.
Selaras dengan semangat otonomi daerah yang ber
dasar azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas per
bantuan, maka organisasi penge.lolaan dan pengembang
an RTH kota dapat disusun sebagai berikut:
Penanggungjawab: Kepala Wilayah (Bupati/Walikota).
Perencana & Pengendali: Bappeda/~Bapedalda/ BLH/
Unit PLH.
Pelaksana: Dinas-dinas Tata Kota, Pertamanan, Pe
makaman, Pertanian, Kehutanan, dan pemilik lahan
(ind ivid u/swasta).
6.2.5 Perkembangan d~n Pembangunan RTH
Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan,
luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh
dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara
umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara
ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH,
2001):
(1) lnkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang
kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan ur
gensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah/kawasan
perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH
di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai
ruang publik (common property) yang secara ekonomis
tidak menguntungkan sehingga saling melepas tang
gungjawab;
(2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin.
RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug
liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cen
derung lebih menjadi 'masalah' dibanding 'manfaat';
(3) Kurangnya pemahaman (butir 1 ), berakibat tidak ter
sedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi
peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja,
wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat,
untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang ke
hidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olah
raga, berekreasi dan bermain;
(4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media
tanah, air dan udara semakin meningkat dan menim
bulkan penyakit fisik dan psikis yang serius.
Pernyataan 'hidup sehat itu mahal' telah dibuktikan
oleh para pakar kesehatan maupun para penderita pe
nyakit. Hubungan antara pencemaran pada media ling
kungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat
terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara ter
cemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan men
tah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif
sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa
atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar.
Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat
jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu
dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota,
mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur
sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan se
bagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar.
Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu krite
ria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya
dapat hidup sehat pula.
Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebu
tuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen
PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH
kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa,
sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau)
15 m2/jiwa.
Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan
RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa. RTH tersebut harus
dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konser
vasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sa
rana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis),
pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap
kota (estetis).
Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi
estetis, karena secara alami manusia membutuhkan
hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat,
sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi eko
sistem alam.
Kota identik dengan deretan beranekaragam bangun
an-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan pe
rumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau
pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya,
tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan
manusia (Nazarudin, 1996).
Sebagian besar wilayah/kawasan perkotaan di In
donesia mengalami kemunduran secara ekologis yang
diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 195
Tabel 6.1: Standar RTH Kota, Kriteria Unit-unit Lingkungan
UNIT LINGKUNGAN UNIT LINGKUNGAN JUMLAH PENDUDUK
PERENCANAAN ADMINISTRASI YANG MENDUKUNG
Lingkungan I Rukun Tetangga 250 jiwa
I Lingkungan II Rukun Warga 3.000 jiwa
Lingkungan Ill Kelurahan 30.000 jiwa I LingkunganiV Kecamatan 200.000 jiwa
1 Lingkungan V Wilayah Kota 1 juta jiwa j
Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)
Tabel 6.2: Kebutuhan akan RTH
Unit Lingkungan
L-1
(250 jiwa)
L-11
(3000 jiwa)
L-111
(30.000 jiwa)
I L-IV -I I (200.000 jiwa)
L-V
(1 juta jiwa)
Jenis Ruang Terbuka
yang Dibutuhkan
Tempat bermain
anak-anak
Taman+
Lapangan Olahraga
Taman+
Lapangan Olahraga
Taman+
Stadion Kecil
Taman Kota +
Kompleks Stadion
Pemakaman
Jumlah
Luas/Unit (m2)
250
1.500
10.000
40.000
150.000
Standar/
Kapita
(I'Tf/kapita)
1,0
0,5
0,33
0,2
1,5
0,58
Lokasi
.,
Di tengah kelompok pemukiman
Di pusat kegiatan RW
Dikelompokkan dengan sekolah
Dikelompokkan dengan sekolah
Di puast wilayah/tersendiri
Di luar pusat wilayah (pinggir kota)
Penyempurnaan Hutan Kota 6,0 Di gabung dalam kesatuan yang kompak
Jalur Hijau 15,0 Tersebar
Sumber: Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)
196 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan mening
katnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah,
banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, il')trusi air
laut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur
logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, ka
dar karbon monoksida (CO), ozon (OJ, karbon-dioksida
(C02), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta sua
sana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Dahlan,
1992).
Menimbang hal tersebut, maka pembangunan RTH
berupa hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecah
an permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks,
sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikem
bangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan
keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran
dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa
keuntungan lain.
Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang
Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota me
miliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar
pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan
hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga
kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa
potensi masyarakat merupakan hal utama dalam mem
bentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu,
peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangun
an dan pengembangan hutan kota.
Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan po
hon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah
perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang
berwenang (PP No. 63 Tahun 2002).
Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan
adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi ter
wujudnya lingkungan yang bebas polusi, tersedianya air
bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan
dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang
berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan
dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling
tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap meme
lihara nilai-nilai budaya bangsa.
Salah satu metode paling efektif dalam mengenda
likan pencemaran udara adalah pengendalian pada sum
bernya, tetapi metode ini belum menjamin 1 00 persen
efektif dan efisien, karena keterbatasan teknologi serta
dukungan finansial. Salah satu alternatifnya adalah peng
gunaan metode pengendalian pencemaran udara bukan
pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan
mempertimbangkan peran RTH.
6.3 STANDAR DAN KEBUTUHAN RTH KOTA Secara selintas standar dan kebutuhan kota telah se
dikit diuraikan pada Bab II, namun standar itu mengacu
pada pembangunan kembali (renovasi) kota Rotterdam
di negeri Belanda, yang hampir rata tanah akibat Perang
Dunia ke II. Standar semacam itu memang sangat ideal
apalagi bila jumlah pendudukya relatif tetap.
Bagaimana untuk kota-kota di Indonesia? Banyak
pertimbangan perlu didiskusikan sebab Negara Kepulau
an terbesar di dunia ini, mempunyai ciri-ciri khusus, baik
dari lingkungan terestrial apalagi lingkungan kelautannya.
Dari segi kondisi iklim (tropis) saja, sebarannya pun sa
ngat luas dan beragam, dari iklim tropis basah, sedang
sampai kering. lklim tropis pegunungan dataran tinggi,
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 197
sampai ke kawasan perairan dari hulu samai hilir (sungai,
danau, lahan basah) sampai ke kawasan pesisir dengan
sumberdaya hayati yang juga beranekaragam, berupa
kawasan mangrove, terumbu karang dan padang lamun
yang tersebar di seluruh kawasan NKRI.
Menyadari akan keanekaragaman di berbagai lokasi
di seluruh penjuru tanah air ini, maka menjadi tugas kita,
terutama arsitek lansekap untuk sedapat mungkin beru
saha menjaga keanekaragaman tipe ekosistem yang ada,
sebab sesuai prinsip 'hetereogenitas dalam stabilitas'
fungsi lingkungan pendukung kehidupan manusia dan
makhluk hidup lain.
Standar RTH Kota telah diterbitkan oleh Departe
men Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya,
disesuaikan dengan hierarkhi unit lingkungan adminsitra
tif sesuai dengan jumlah penduduknya (tabel). Sedangkan
tabel selanjutnya, adalah tentang kebutuhan akan jenis
RTH kota, dari masing-masing unit lingkungan dari sum
ber yang sama, memperlihatkan perkiraan luasan RTH
yang dibutuhkan mencakup jenis pelayanan RTH dan
luasan per unit lingkungan. Kedua tabel tersebut, tentu
dapat berubah secara dinamis karena kondisi lingkungan
pun tak pernah tetap. Jadi bukan merupakan pedoman
yang mati, namun disesuaikan dengan tuntutan pemenu
han kebutuhan masyarakat sesuai kondisi geografisnya.
6.3.1 Standar RTH Kota
Sebagaimana telah disebutkan, beberapa pakar meng
acu pada para peneliti negara lain yang telah dituangkan
dalam berbagai literatur, yang mengemukakan bahwa
luas RTH Kota yang akan dibangun ditetapkan menurut
persentase dari luas kota. Ada yang menyatakan 1 0, 20,
198 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
25, 30, 40, 50, hingga 60 persen dari totalluas kota.
Dalam lnstruksi Menteri Dalam Negeri (lnmendagri)
No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan RTH di Wilayah
Perkotaan, setiap kota dianjurkan untuk menyediakan
area sebagai kawasan RTH; sebesar 40-60 persen dari
total luas wilayah kota, hal ini didasarkan pada pertim
bangan keamanan khusus yang ditinjau dari segi kese
imbangan alami lingkungan hidup perkotaan.
Penentuan luas lahan RTH kota umumnya dihitung
berdasar pada jumlah penduduk. Luasan RTH kota di
Malaysia ditetapkan sebesar 1 ,9 m2/penduduk, sedang
kan di Jepang 5,0 m2/penduduk (Tong Yiew, 1991 ). De
wan kota Lancashire, lnggris menentukan 11 ,5 m2/pen
duduk, dan Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan di DKI
Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan
1 ,5 m2/penduduk (Rifai, 1991 ).
Standar penentuan RTH berdasarkan jumlah pen
duduk juga telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Cip
ta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DPU, 1987) ber
dasar pada kriteria unit-unit lingkungan sebagai berikut:
Di dalam total peredaman cemaran udara oleh ling
kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara
vegetasi hijau, termasuk hutan kota. Kemampuan hu
tan kota dalam memberikan sumbangan kepada proses
peredaman cemaran didekati dengan menggunakan
peubah-peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja
kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota, mencakup
sifat-sifat fisik dan sifat-sifat fisiologis serta metabolistik
tumbuhan yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai
berikut:
• Luas hutan kota (dalam satuan hektar), yang menca
kup luas liputan lahan hutan kota dan prakiraan luas
efektif penutupan tajuk hutan kota, untuk setiap jenis
hutan kota.
• lndeks Luas Daun (Leaf Area /ndex/LAI)-(dalam satuan
ha/ha), berdasar prapendugaan untuk semua kelom
pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota. Peubah
penciri hutan kota ini dinyatakan dalam satuan rata
rata tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing
kelompok tumbuhan setiap jenis hutan kota.
• Biomassa (8 satuan ton), untuk semua kelompok tum
buhan di dalam setiap jenis hutan kota, diduga berdasar
kan peredaman C02 oleh hutan kota, yang pad a hakekat
nya merupakan penggunaan konsumtif C02 oleh ve
getasi pembentuk hutan kota dalam proses fotosintesis.
• lndeks kesempurnaan Arsitektur Lansekap (dimension
less), yang merupakan gabungan (komposit) dari ln
deks Kesempurnaan Disain Pertamanan dan lndeks
Kesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.
6.3.2 Penentuan Luas RTH
Wilayah Kota (kawasan perkotaan) adalah kawasan
yang sengaja dibangun sebagai pusat-pusat permukim
an, beserta segala sarana umumnya (perkantoran, pasar,
sekolah, rumah sakit, industri terbatas, tempat-tempat
rekreasi), yang berkembang secara dinamis dan meru
pakan simpul-simpul jasa pelayanan, serta mempunyai
ciri khusus kehidupan perkotaan. Kegiatan utamanya
~O------~~~--~~----~~----~ ...... _._. .................. .J2MIUS 0 SOO M I ltM ~ 3 ...,
~~-~~~~~~~.-------~~------------~2----------------a;~~~
w.JLE]
Gambar 6.6: Central Park New York 1858.
Michael Laurie, An Introduction to Landscape Architecture
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 199
sesuai dengan susunan fungsi kawasan perkotaan terse
but, adalah sebagai pemusatan dan distribusi berbagai
pelayanan, seperti jasa kepemerintahan, pelayanan sosial
(sarana pendidikan, rumah sakit), dan kegiatan ekonomi
(perdagangan, pasar, industri terbatas).
Nazaruddin (1996), mengatakan bahwa kota identik
dengan bangunan-bangunan yang dibangun oleh manu
sia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti perumahan,
perkantoran, sarana umum (pasar, rumah sakit, terminal,
jalan raya, tempat hiburan, termasuk juga sarana RTH
kota. Akibat krisis moneter berkepanjangan, yang diikuti
oleh krisis m,a~ajemen_kepemerintahan, maka sebagian
besar wlfayah perkotaan Indonesia, semakin mengalami
degradasi lingkungan (kemunduran secara ekologis) di
tandai oleh ketidakharmonisan hubungan antara manu
sia dengan lingkungan hidupnya, seperti meningkatnya
suhu udara, terbentuk pulau panas (heat island) di atas
media udara kawasan perkotaan; peningkatan pencema
ran udara, seperti karbon monoksida (CO), ozon (OJ, kar
bon-dioksida (C02), oksida nitrogen (NO), belerang (SO)
dan debu; penurunan muka air tanah, pencemaran air ta
nah dan air permukaan, sehingga air baku air minum pun
menjadi kotor, berbau, mengandung logam berat; terjadi
pula amblasan tanah, intrusi air laut, dan abrasi pantai.
Akhirnya, terbentuklah suasana yang gersang, moncton,
bising dan kotor, sebagaimana dirasakan saat ini (Purno
mohadi, 1995, Dahl an, 1992).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengelolaan
RTH kota secara menyeluruh (rehabilitasi, rekonstruksi,
dan peningkatan upaya penieliharaannya), merupakan
hal mutlak yang harus segera dilakukan, sebagai alter
natif penting dalam pemecahan permasalah lingkungan
200 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
perkotaan yang sudah amat kompleks dan tidak seim
bangini.
Melalui pembangunan sistem RTH kota (Urban Park
System) sebagai penyeimbang kondisi lingkungan, akan
mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,
membersihkan lingkungan, meredam kebisingan, peng
hasil produksi tetumbuhan, intangible maupun tangible,
bagi kemaslahatan hidup warga kota.
Saat ini, di kota-kota besar terutama yang sudah
bersifat 'metropolis', akibat kurangnya apresiasi akan
pentingnya eksistensi RTH iJli telah ~enyebabkan lua.:-'
san RTH semakin berkurang. RTH adalah salah satu milik
umum (common property) yang mungkin keberadaannya
tak terlalu dipentingkan, sehingga pemerintahan kota
mengikuti kebutuhan dasar para 'urban is' yang terus me
ningkat, serta tak sebanding dengan ruang yang ada. Hal
itu menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
• lnkonsistensi kebijakan dan strategi penataan RTH
dalam tata ruang kota yang sudah ditetapkan, dan
yang sudah diakomodasi secara menyeluruh dalam
Rencana lnduk Kota atau Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR).
• Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin,
menyangkut pula pemilihan jenis tanaman yang tidak
sesuai secara ekologis kondisi bio-geografisnya pada
masing-masing lokasi.
• RTH sering dianggap sebagai tempat sampah dan
sarang vector berbagai penyakit.
• Pemahaman masyarakat pada umumnya sangat
kurang, khususnya amat terbatasnya pendidikan prak
tis yang langsung berhubungan dengan alam sekitar.
• Minimnya fasilitas RTH, berupa lapangan olahraga
dan tempat bermain anak, maupun taman rekreasi
untuk para lansia, padahal telah diketahui amat pan
ting dalam mendukung perkembangan (proses) moto
rik pada anak-anak serta keseimbangan mental bagi
orang dewasa.
• Pencemaran media lingkungan (tanah, air, dan uda
ra) secara fisik pasti menimbulkan masalah kesehatan
yang serius, khususnya bagi manusia yang rentan ter
hadap penyakit, para lansia dan balita (Purnomohadi,
2003).
6.4 PEMBANGUNAN RTH KOTA Manusia, dalam 'membangun' kota telah mengubah
tapak alami secara drastis. Awal teknik pembangunan
memang mengajarkan 'land clearing' terutama bersih
dari berbagai macam vegetasi, apalagi pepohonan, pa
dahal dengan hilangnya vegetasi, maka hilang pula biota
lain yang hidup tergantung padanya. Vegetasi, kecuali
'yang produknya bisa dimakan' dianggap sebagai suatu
"barang" tak panting. Air hujan yang mampu mengalir
dengan perlahan melalui daun dan batang menguatkan
akar dan tetumbuhan lain menjadi akuifer, lalu terpaksa
mengalir langsung menuju tempat/lokasi yang lebih ren
dah (dengan membawa sedimen) menuju selokan atau
pipa sewerage, lebih cepat menuju perairan akhirnya ke
laut. Tanah menjadi keras (kompak) dan miskin hara (aki
bat erosi).
Pembangunan RTH sebagai unsur alam di kota mam
pu menjadi pusat, dan mengalirkan energi bagi kehidup
an penghuni kotanya, serta menimbulkan rasa tenang,
nyaman dan sejuk. Bentuknya pun bermacam-macam
dari skala besar, seperti taman-taman rekreasi berskala
nasional, provinsi maupun taman formal di depan gedung
resmi atau perkantoran, taman dan kolam yang diren
canakan mengikuti karakter geografis, sampai ke taman
taman lingkungan yang berukuran relatif kecil, termasuk
halaman rumah, 'taman atap, balkon dan teras bangu
nan', taman dalam rumah (indoor), sampai sekedar tana
man rumput di sekitar kita, semuanya merupakan unsur
alam.
Central Park di Kota New York, berukuran sekitar 341
ha terbukti mampu mengencerkan konsentrasi gas-gas
polutan. Dengan ukuran yang sama, maka satu garis jaja
ran dedaunan, kemampuan penjerapan/penyerapan debu
bisa menjadi tiga sampai empat kali dibanding alat beru
pa bahan berpermukaan halus dengan ukuran sama dan
dipasang di lokasi yang sama. Studi di Hyde Park (295 ha)
di London membuktikan 25% reduksi konsentrasi asap
yang kebetulan dihembuskan angin melalui Taman terse
but. Banyak lagi hasil-hasil penelitian kota-kota dunia
yang kira-kira membuktikan pentingnya eksistensi RTH
dalam Kota. Karena itu RTH-kota mutlak ada sebagai
komponen panting syarat pembangunan lingkungan kota
yang nyaman (Hal 150, Modul pelatihan UNESCO-UNEP
seri ke-4, 1987).
6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfigurasi RTH
(Arsitektur Lansekap)
Pembangunan bidang pertamanan (landscape archi
tecture) di kota metropolitan, atau biasa disebut "Metro
politan Park System" sebaiknya berorientasi pula kepada
sumber yang telah ditetapkan pemerintah sebagai dasar
kebijakan pembangunan atau RTRK.
Umumnya pembangunan 'lingkungan' perkotaan se-
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 201
bagian besar 'hanya' merupakan perbaikan atau penam
bahan sarana dan prasarana kota yang semula 'sudah'
ada (urban renewal, revitalisasi), namun tetap harus di
lakukan secara berencana, dengan lebih memperhatikan
keserasian hubungan antara kota terbangun dengan ling
kungan alaminya, dan antara kota dengan daerah perde
saan sekitar atau kota pendukung (hinterland), serta ke
serasian dalam pertumbuhan kota itu sendiri.
Kota sebagai konsentrasi permukiman dan kegiatan
manusia, telah berkembang sangat pesat berikut dam
paknya pada banyak kota di Indonesia. Kota dalam keter
batasan kemampuan, tetap menuntut adanya suatu kon
disi fisik dan lingkungan yang sehat bagi warga kotanya.
Pertambahan penduduk yang pesat senantiasa di
iringi tuntutan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas
pelayanan bagi kehidupan dan kegiatannya. Keterba
tasan dana dan teknologi, penanganan dan pengelolaan
kota yang kurang tepat, serta pertambahan penduduk
kota yang pesat sebagai akibat kelahiran maupun ur
banisasi, telah menimbulkan banyak masalah perkotaan
yang seringkali menjadi berlarut-larut.
Pengembangan dan pembangunan kota sangat ber
gantung pada faktor kuantitas dan kualitas penduduk,
keluasan dan daya dukung lahan, serta keterbatasan ke
mampuan itu sendiri. Gejala pembangunan, perkembang
an dan pemekaran kota untuk memenuhi tuntutan dan
pelayanan terhadap penduduk kota yang jumlahnya terus
membengkak tersebut, seringkali menimbulkan kecende
rungan menuju pembangunan maksimal struktur kota,
ruang terbuka kota, dengan mudah menghilangkan atau
mengorbankan eksistensi dan wajah alam.
Lahan kota semakin tertutup oleh struktur (perkerasan/
202 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
hard materials), dan permukaan air (sungai, rawa, pantai,
dan lain-lain) yang berubah fungsi dan kualitasnya. Anda
lan kemampuan teknologi modern, telah mengembang
kan pemikiran membangun kota yang seringkali meng
abaikan sistem ekologi kota, bahkan berusaha merobah
seluas mung kin eskosistem alam menjadi ekosistem buat
an (artificial ecosystem). Maka, muncul dampak negatif
pembangunan akibat perlakuan kurang wajar terhadap
norma-norma dan kaidah-kaidah alam tersebut, seperti
perubahan suhu kota, krisis air bersih, penurunan air ta
nah, 'amblasan tanah, banjir, intrusi air laut, abrasi pantai,
kualitas udara memburuk, sungai mengering, dan ber
bagai polusi terhadap media lingkungan.
Perencanaan RTH kota yang matang, dapat menjaga
keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terba
ngun dan ruang terbuka. Keselarasan antara struktur kota
dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi berbagai
dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan
menjaga keseimbangan, kelestarian, kesehatan, kenya
manan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kota.
6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman
Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khu
sus dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada
suatu lokasi. Namun demikian, kondisi bio-geografi ling
kungan secara alami telah menunjukkan habitat berbagai
jenis-jenis tanaman (keaneka-ragaman hayati endemic/
existing) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan tana
man untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian
barulah pertimbangan berdasar pada pengalaman akan
kesesuaian bentuk dan fungsi (form follows function) wu
jud arsitektural tanaman-tanaman tersebut, hendaknya
dijadikan dasar pemilihan selanjutnya.
Tanaman sebagai salah satu elemen alam yang diper
gunakan dalam penataan lansekap kota tidak henti-henti
nya mengalami perubahan. Di samping itu tanaman juga
membutuhkan iklim tertentu, teknik penanaman dan pe
rawatan, mempunyai bentuk arsitektural dan kesan visual
yang berbeda.
Tanaman juga membantu mengendalikan radiasi ca
haya matahari, kekuatan angin dan mengurangi pantulan
cahaya, membersihkan udara melalui proses fotosintesa,
menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahan
dan menyimpan air tanah, mengurangi erosi, dan mem
perbaiki kesuburan tanah.
Dalam konsepsi arsitektural dan penggunaan kein
dahan visual, tanaman dapat memberikan rasa akrab,
keteduhan, mengendalikan pandangan, dan keleluasaan
bagi setiap individu untuk melaksanakan kegiatannya.
Pohon dan perdu memberikan kesan lansekap dalam
berbagai bentuk, struktur, tekstur, warna, dan pola. Ke
san ini akan selalu berubah sesuai dengan iklim atau
musim. Hal ini sangat nyata terlihat pada negara-negara
yang mempunyai empat musim.
Berbagai jenis tumbuhan dapat hidup di hutan kota,
dari stratifikasi atas (pepohonan), tengah (perdu) dan ren
dah (penutup tanah), sehingga membentuk satu komuni
tas yang berfungsi menahan erosi. Sebagaimana fung
sinya pada hutan alam, maka pemilihan jenis tanaman
diarahkan pada upaya:
• Meningkatkan fungsi tanaman untuk penyelamatan
tanah dan air, mencegah terjadinya banjir dan erosi;
• Memperbaiki dan memelihara agar kondisi hidrologis
daerah aliran sungai tetap terjaga, sehingga menjamin
sistem tata air yang mantap sepanjang masa;
• Memperbaiki dan mempertahankan kelangsungan pro
duktivitas lahan, serta;
• Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masya
rakat, berarti prospek ekonomis dari tanaman terpilih
sudah dapat dijamin cepat berproduksi dan disukai
oleh masyarakat setempat.
Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan
tersebut di atas, antara lain: Sengon (Aibizzia fa/cataria),
Kern in (Aieurites moluccana), Rasamala (Aitingia excelsa),
Keluwih (Artocarpus altilis), Benda (Artocarpus elasticus),
Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kemang (Mangifera
caesia), Limus (Mangifera foetida), Kweni (Mangifera ado
rata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Petai (Parkia
speciosa), Alpokat (Persea amaricana), Pinus (Pinus
merkusii), dan Kesambi (Schleicera o/eosa) (Sulistami,
1995).
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan,
bahwa pengelolaan RTH kota, terutama hutan kota ha
rus terintegrasi dan berdasar pada pemikiran serta per
timbangan keseimbangan antara daerah terbangun dan
tidak terbangun, sehingga nyaman ditinjau dari segi kese
hatan, aman, dan dapat dipakai sebagai tempat rekreasi
untuk meningkatkan produktivitas manusia warga kota,
dan dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara
adil dan merata.
Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purno
mohadi 1995, 2002) yang sebagian besar didasarkan
pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang disesuaikan
dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman
yang sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai:
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 203
• Pengidentitas (mascot/landmark) Kota
Berbagai jenis flora dan fauna dapat dijadikan maskot
kota, antara lain: Pohon Pinang (Arenga pinnata) yang
menjadi mascot Kota 'Pagar Ruyung', Kayu Manis (Cin
namomum burmanii) sebagai maskot Provinsi NTI, dan
seterusnya.
• Upaya untuk Melestarikan Plasma Nutfah
Secara ex-situ dari berbagai tanaman langka bernilai
tinggi, seperti Nam-nam (Cynometra cau/if/ora), Kepel
(Stelechocarpus burahol), Majegau (Dysoxylum den
siflorum), Jati (Tecona grandis), dan seterusnya masih
banyaklagi.
• Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara
Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang
kasar, secara mekanistis-fungsional sangat baik dalam
menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah stomata
daun yang relatif banyak akan mudah menyerap dan
menjerap partikel padat yang melayang-layang di uda
ra bebas.
• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
(Dahlan et.al., 1990)
a. Tanaman yang mempunyai kemampuan sedang
tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara,
seperti Damar (Agathis alba), ~v'lahoni (Swietenia mi
crophylla dan S. macrophyl/a), Jamuju (Podocarpus
imbricatus), Pala (Myristica fragrans), Asam Landi
(Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea).
b. Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glo
dogan (Polyalthea longifolia), Keben (Baringtonia asia-
204 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
tica), dan Tanjung (Mimusops elengi).
c. Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan
terhadap zat pencemar dari kendaraan bermotor,
antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia pur
purea), dan Kesumba (Bixa ore/lana).
• Penyerap (absorbsi) dan Penjerap (adsorbsi) Debu
Semen (lrawati, 1990 da/am Dahlan, 1992)
Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan seka
ligus sebagai penjerap (adsorbsi) dan penyerap (ab
sorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalah
Mahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros dis
color), Tanjung (Mimusops elengi), Kenari (Canarium
commune), Meranti Merah (Shorea leprosula), Kirai Pa
yung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros cele
bica), Duwet!Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin
(Litsea roxburghii), dan Sempur (Dillenia ovata).
• Peredam Kebisingan
Tanaman dapat meredam suara dengan cara mengab
sorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ran
ting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling
efektif meredam suara ialah yang bertajuk tebal, karena
dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sam
pai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).
• Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam
Melalui proses fisiologis tanaman yang disebut 'pro
ses gutasi', akan menghasilkan beberapa unsur Ca,
Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine dan
gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-or
ganik yang diturunkan ke lantai hutan dan tajuk melalui
proses throughfa/1 dengan urutan K>Ca>Mg>Na, baik
untuk tajuk dari tegakan daun Iebar maupun dari daun
jarum (Henderson et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Hu
jan yang mengandung H2S0
4 atau HN0
3, bila sampai
di permukaan daun akan mengalami reaksi, antara lain
H2SO
4 dengan Ca, membentuk garam Ca
2SO 4 yang
bersifat netral, dibanding kadar asam dari air hujan itu
sendiri. Karena itu dengan adanya proses intersepsi
dan gutasi oleh permukaan daun, akan sangat mem
bantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi
tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Penelitian
Hoffman et.al, (1980) menunjukkan bahwa pH air hu
jan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati
tajuk pohon.
• Penyerap Karbon monoksida (CO)
Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap
gas karbon monoksida (CO) sebesar 12-120 kg/km2/
hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik,
dalam menyerap gas ini dari udara dari yang semula
konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8X1 04 ug/m3)
menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga
jam saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith,
1981 dalam Dahlan, 1992).
• Penyerap Karbon dioksida (C02) dan Penghasil Ok-
sigen (02)
Tanaman pad a ekosistem daratan, termasuk hutan alam,
tanaman pertanian, termasuk mangrove dan tanaman
pada ekosistem lahan basah lain, selain fitoplankton,
ganggang dan rumput laut, dan tumbuhan lain dalam
perairan laut, seperti padang lamun, mampu menyerap
karbondioksida dan penghasil oksigen dalam proses
fotosintesis, menggunakan cahaya matahari. Dalam
ekosistem daratan jumlah luasan hutan sudah sangat
jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan
hutan kota sebagai bagian RTH kota, sudah sangat
mendesak. Salah satu dampak negatif bertambahnya
gas karbon monoksida (CO) ini adalah meningkatkan
efek gas rumah kaca, sedang di lain pihak proses asimi
lasi terseb~;~t akan menghasilkan oksigen yang panting
bagi kehidupan biota di dunia, terutama bagi manusia.
Tanaman yang baik dalam menyerap gas karbon diok
sida (C02) dan menghasilkan oksigen (02), antara lain:
Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea),
Lamtoro Gung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia
auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).
• Penahan Angin
Panfilov dalam Robinette (1983), mengemukakan,
bahwa angin kencang dapat dikurangi sampai 75-80
desibel oleh suatu penahan angin yang berupa RTH
(hutan) Kota. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam merancang suatu hutan kota, khususnya untuk
menahan angin, (Grey & Deneke, 1978) dengan mem
perhatikan jenis tanaman yang ditanam harus memiliki
dahan yang kuat, daun tak mudah gugur oleh terpaan
angin yang berkecepatan sedang, akar pohon yang
dapat menghujam ke dalam tanah sehingga lebih tahan
terhadap hembusan angin yang cukup kuat ketimbang
tanaman barakar menyebar di sekitar atau dekat de
ngan permukaan tanah, memiliki kerapatan cukup (50-
60 persen), serta tinggi dan Iebar jalur hutan kota yang
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 205
cukup luas, sehingga dengan baik dapat melindungi
wilayah sesuai dengan yang diinginkan.
• Penyerap dan Penapis Bau
Tanaman dapat menyerap bat:J- secara langsung atau
menahan gerak angin dari sumber bau (Grey & Deneke,
1978) seperti dari tempat pembuangan sampah yang
terbuka (open dumping), apakah itu TPS atau pun TPA.
Akan lebih efektif bila tanaman tersebut berbunga atau
berdaun harum, seperti Cempaka (Miche/ia champaka),
Pandan (Pandanus sp.), kemuning (Murraya paniculata)
atau Tanjung (Mimusops elengi).
• Mengatasi Penggenangan
Daerah yang topografinya relatif rendah sering menjadi
genangan air, karena itu perlu ditanami dengan jenis
tanaman dengan kemampuan evapotranspirasi tinggi.
Kriteria tanaman ini biasanya berdaun lebat, sehingga
jumlah permukaan daunnya relatif luas dan jumlah sto
matanya pun banyak. Jenis tanaman dengan penguap
an relatif besar ini, antara lain Nangka (Artocarpus in
tegra), Albazia (Paraserianthes fa/cataria), Acacia vilosa,
lndigofera galegoides, Dalbergia sp., Mahoni (Swiete
nia mahagoni), Jati (Tectona grandis), Ki Hujanffrem
besi (Samanea saman), dan Lamtoro Gung (Leucena
glauca).
• Mengatasi lntrusi Air Laut
Kasus ini terjadi terutama pada kota-kota yang terletak
di jalur pantai, sehingga rawan terhadap intrusi air laut.
Pemilihan tanaman harus benar-benar diperhatikan,
sebab penanaman tanaman yang kurang tahan terha-
206 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
dap kandungan garam yang sedang agak tinggi, akan
mengakibatkan tanaman tak dapat tumbuh baik, bah
kan mungkin sampai mati. Penanaman tanaman yang
mempunyai daya evapotranspirasi tinggi akan mengu
ras air dalam tanah, sehingga konsentrasi garam dalam
tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan
semacam ini justru akan mendatangkan masalah bukan
mengatasi intrusi air asin, karena itu diperlukan peng
hijauan kota di kawasan semacam ini, namun dengan
memakai jenis tanaman dengan daya evapotranspirasi
rendah. Berbagai jenis tanaman bakau (mangrove), ter
masuk tegakan Nipah (Nypha fruticaus), dan asosiasi
dalam ekosistem mang~ove lain akan sangat sesuai un
tuk daerah pesisir pantai ini. Jenis-jenis tanaman Keta
pang (Terminalia catappa), Nyamplung (Cal/ophyllum
innophyllum), dan Keben (Barringtonia asiatica) sangat
sesuai terutama sebagai pohon peneduh dan pelin
dung di sepanjang pantai yang umumnya mendapat
sengatan sinar matahari paling tinggi.
• Produksi Terbatas
Sudah dapat dibuktikan, secara ekonomis bahwa fungsi
produksi hutan kota sangat signifikan. Hasil pokok kayu
maupun hasil sampingan lain bisa dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, tentu saja tidak sebanyak jumlah
dari hutan alam maupun hutan produksi. Dahlan (1992)
menyebutkan bahwa 7 40 pohon mahoni di kota Suka
bumi, dilelang seharga Rp. 74.000.000,00 juta saja. Pa
dahal tanaman tersebut secara nominal harusnya lebih
berharga dari nilai tangible tersebut, apabila ditinjau dari
nilai intangib/e-nya, misalnya dari bentukan iklim mi
kro yang nyaman dengan adanya pohon-pohon terse-
but. Manfaat lain, masih banyak lagi, dari bunga dan
buah yang melengkapi susunan gizi warga masyarakat
sekitar, buah dan biji kenari yang bisa digunakan un
tuk makanan dan kerajinan tangan, dan tanaman lain,
seperti Pala, Kawista, Sawo, Kelengkeng, Menteng,
Kersen, Duku (Lancium domesticum) , Asem (Tamarin
dus indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Buni (Antidenua
bunius), atau Mangga (Mangifera indica). Buah mangga
madu yang ditanam di sepanjang jalur hijau jalan, pada
musimnya warga dapat memetik buah cuma-cuma, un
tuk dimakan di tempat atau diolah menjadi sari buah
ljuice) atau buah kalengan yang berorientasi ekspor,
contoh di Kota Chandigarh, India tersebut.
• Ameliorasi lklim
Gambar6.7
Jalur sepeda khusus
dibangun pada dua
jalur ROW (right of way) ,
disamping jalur pedestrian
bagi pejalan kaki.
Meningkatnya suhu dan debu di wilayah perkotaan dan
kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, terutama di
musim kemarau, sangat berpengaruh terhadap kese
hatan warga kota. Kondisi ini sangat memprihatinkan
dan mengancam kesehatan anak kecil dan balita yang
sangat rentan terhadap penyakit sesak nafas, batuk,
dan infeksi saluran pernapasan atas (I SPA). Kota Singa
pura dan Kuala Lumpur dengan iklim relatif sama, telah
berhasil membangun hutan kota dengan memelihara
pepohonan besar yang dapat menahan sinar matahari
dan pada malam hari sebaliknya dapat menahan radiasi
cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada
siang hari, sehingga udara tetap nyaman dan hangat.
Penelitian Wenda (Dahlan, 1992) tentang pengukuran
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 207
suhu dan kelembaban udara wilayah yang bervegetasi
dengan berbagai kerapatan, lebih tinggi dibandingan
dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan
(aspal), dan bangunan (tembok), yang menghasilkan be
berapa angka perbandingan wilayah bervegetasi suhu:
25,5-31 ,0° celcius, kelembaban 66-92 persen; yang
kurang bervegetasi: suhu 27,7-33,1, kelembaban 62-
78 persen, dan areal padang rumput, mencapai suhu:
27,3-32,1, kelembaban 62-78 persen. Demikian pula
penelitian Koto (Dahlan, 1992), di dalam komplek Mang
gala Wana Bhakti, Jakarta, ditemukan pula, bahwa suhu
di dalam 'hutan buatan' lebih nyaman (terendah) diban
dingkan dengan areal parkir maupun padang rumput
dan di sekitar bangunan di perkantoran yang sama.
• Pengelolaan Sampah
RTH sudah seringkali dinyatakan mampu sebagai pere
dam kebisingan, bau, silau, dan pelindung struktur ta
nah. Di Provinsi Wurtenberg di Jerman Selatan, di mana
pada setiap kota hanya dihuni maksimal dua juta jiwa,
mewajibkan adanya hutan kota pada lokasi tempat
pembuangan sampah, sebagai peredam buangan sam
pah warga kota, baik berupa sampah padat maupun
limbah cair. Kedua jenis sampah itu ditampung dalam
kontainer khusus yang secara berkala di semprotkan
atau diletakkan ke dalam hutan kota tersebut di mana
telah 'ditanam' sejenis mikroba tertentu yang kembali
mengasimilasi sampah dan limbah tersebut, sehingga
bisa keluar sebagai material padat (humus) dan cair
yang bersih atau netral yang dapat dimanfaatkan kern
bali (Purnomohadi, 2002).
208 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
• Pelestarian Air Tanah
Sistem perakaran dan serasah yang berubah menjadi
humus akan memperbesar pori-pori tanah, karena
bersifat higroskopis, maka jumlah air tanah akan me
ningkat. Daerah hulu harus dilindungi dan ditetapkan
sebagai daerah resapan air, sebagai penahan air hujan
agar mengurangi larian air permukaan. Menurut Manan
(Dahlan, 1992) tanaman dengan evapotranspirasi ren
dah adalah jenis Cemara Laut (Casuarina equisetifolia),
Karet (Ficus elastica), Hevea brasiliensis, Manggis (Gar
cinia mangostana), Bungur (Lagerstroemia speciosa),
Fragraea fragans, dan Kelapa (Cocos nucifera).
• Sebagai Habitat B_urung Di wilayah perkotaan dikenal berbagai 'hewan kota'
seperti burung, tupai, dan berbagai serangga yang
menjadi bagian dari keanekaragaman hayati dan sum
ber plasma nutfah untuk keseimbangan ekosistem
perkotaan. Burung sangat diperlukan sebagai pengen
dali serangga hama, membantu proses penyerbukan,
bernilai ekonomi tinggi, fauna penghibur (warna-warni
bulu, suara merdu), dan obyek penelitian. Sedangkan
berbagai tanaman yang disukai untuk habitat burung
adalah Kiara, Caringin, dan Loa (Ficus, spp), Beringin
(Ficus benjamina), Jejawi (Ficus microcarpa), Gondang
(Ficus variegata), Ficus glaberrima yang buahnya disu
kai burung, Dadap (Erythrina variegate) yang bunganya
menghasilkan nectar, Betet (Psittacula akexandri), Serin
dit (Loriculus pussilus), Jalak (Sturnidae), dan beberapa
jenis burung madu. Bunga Dangduer (Gossampinus
heptaphyl/a) yang berwarna merah menarik Burung Ung
kut-ungkut dan Srigunting, Aren (Arenga pinnata) (ijuk
batang aren sering dimanfaatkan burung untuk mem
buat sarang), Pucuk Bambu (Bambusa spp) sering di
gunakan sebagai tempat bersarang Burung Blekok (Ar
deola speciosa), dan Manyar (Pioceus sp.). Sedang jenis
lain, seperti Burung Cacing (Cyornis banyumas), Celepuk
(Otus bakkamoena), Sikatan (Rhipidura javanica), Kepala
Tebal Bakau (Pachycephala cinerea), dan Prenjak Kun
ing (Abroscopus superci/iaris) bertelur pada pangkal ca
bang antara dedaunan dan di dalam batangnya.
• Meningkatkan Keindahan
Mengurangi tekanan kejiwaan. Dalam suasana sejuk,
tenang, dan indah karena ada tetumbuhan di taman
rumah, taman lingkungan, dan taman kota, sudah pasti
akan menyejukkan perasaan secara psikologis maupun
fisik. Oleh karena itu, kini rumah sakit dilengkapi Taman
Terapi, untuk penyembuhan rohani dan jasmani pasien.
Tidak ada orang yang tidak menyukai suasana alami yang
diciptakan RTH kota, terrnasuk kehadiran hutan kota. Dari
berbagai referensi diketahui, bahwa sikap negatif warga
kota, seperti stres, depresi, hingga bunuh diri, diketahui
sebagian besar akibat pengaruh beberapa zat kimia yang
masuk ke dalam peredaran darah dan sistem pencernaan
manusia, seperti Pb, SOx, NOx, dan CO.
• Mengamankan Pantai terhadap Abrasi
Berbagai jenis tegakan hutan bakau atau mangrove,
dari Avicinnea di tepi pantai sampai Bruguiera dan
Nipah di sebelah darat, sangat bermanfaat mencegah
erosi pantai (abrasi). Sudah relatif banyak penelitian
yang menyatakan bahwa hutan bakau sangat pen
ting sebagai ruaya (spawning ground) tempat bertelur
dan membesarkan juveniles berbagai jenis ikan, udang
dan moluska. Pengelolaan daerah pesisir dan laut ter
integrasi (Integrated Coastal and Marine Environmental
Management) di kota pesisir mendesak dilaksanakan,
bersama seluruh stakeholders masyarakat pesisir,
sebab ternyata 60 persen lebih permukiman terletak
di wilayah pesisir Indonesia yang terpanjang kedua
setelah pantai Canada yang terpanjang di dunia.
• Meningkatkan lndustri Pariwisata
Taman-taman rekreasi, mulai dari taman kota hingga
hutan kota, berbagai skala di wilayah perkotaan, su
dah pasti menjadi area rekreasi dan hiburan bagi warga
kota. Berbagai jenis flora dan fauna, terutama yang
langka, sangat menarik perhatian bagi pengunjung ta
man dan hutan kota, selain sebagai obyek pendidikan
dan penelitian.
• Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang
Halaman pekarangan pribadi dan taman lingkungan
perumahan, serta lahan cadangan untuk rencana pem
bangunan selanjutnya, merupakan komponen RTH,
yang menjadikan kota indah dan sejuk, di mana aspek
kelestarian, keserasian, keselarasan, dan keseimbang
an sumberdaya alam, akan menciptakan lingkungan
kota yang kondusif, nyaman, segar, meredam pence
maran dan kebisingan, sehingga warga dan kota men
jadi sehat.
Beberapa foto di bawah dan di dua halaman berikut
ini, adalah tanaman (pepohonan) yang disebutkan di atas,
sebagai berikut:
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 209
210 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Gambar6.8.
Paling atas kiri: Ketapang (Terminalia catappa), paling atas
kanan: Buni (Antidesma bunius), paling kiri atas: Tanjung
(Memusops e/engij , paling kiri tengah: Kemuning (Muraya
paniculata), paling kiri bawah: Jejawi (Reus microcarpa), kiri:
Gondang (Ficus variegata), atas: Jamblang (Syzygium cumini).
Gambar6.9
Paling atas: Melinjo (Gnetum gnemon), atas kiri: Sukun (Artocarpus
altilis), atas kanan: Limus/bacang (Mangifera caesia).
Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman 211
VII PENGELOLAAN RTH
Belajardari contoh-contoh pengelolaan RTH, terutama
kota-kota tropis yang baik, memang menguntungkan asal
kan tidak meniru mentah-mentah, sehingga menimbulkan
keseragaman yang membosankan dan menurunkan nilai
tinggi kelangkaan sebuah wujud lansekap kota.
Dalam berbagai Lomba Taman Tingkat Nasional (LTTN)
yang pernah dilaksanakan beberapa tahun antara 1985-
1995, pada berbagai kategori dan dari berbagai ukuran
RTH, sejak halaman rumah tinggal, halaman bangunan
umum, seperti: perkantoran, komplek hotel, rumah sakit,
dan halaman pendidikan termasuk kampus perguruan
tinggi, serta taman kota, nampak bahwa seni arsitektur
lansekap Kota Jakarta telah dijiplak mentah-mentah oleh
daerah-daerah penilaian.
Dari segi kepeloporan dan usaha peningkatan mutu
lingkungan memang ada nilainya, tetapi ditinjau dari
ciri kedaerahan sama sekali hampir tak nampak. Pa
dahal perbedaan alam yang kasat mata masih nampak
jelas, seperti warna tanah yang berbeda karena jenisnya
berbeda, atau jenis tanaman asli yang masih tersisa di
sana-sini. Sedangkan nilai-nilai kebudayaan asli daerah
harus tetap dipertahankan. Jangan sampai Kebun Raja
(bukan Kebun Raya) yang mirip alun-alun berukuran lebih
kecil, yang masih ada di Kota Blitar, misalnya akan di
ubah fungsinya menjadi bangunan masif (seperti mal dan
semacamnya).
Pergeseran makna dan fungsi alun-alun sebagai
tengeran (landmark) taman pusat kota, dan masih ba-
214 Pengelolaan RTH
nyak sekali fungsi lain yang sangat mendukung keber
lanjutan lingkungan hidup kota, merupakan alasan kuat
untuk mempertahankan salah satu RTH tropis khas Pulau
Jawa, misalnya yang diakui pula sebagian merupakan
karya pemerintahan kolonial Belanda yang telah menye
suaikan perancangan kota dengan kondisi iklim tropis.
Tanaman tertentu yang mempunyai tajuk Iebar, berben
tuk payung atau pun hampir merata ke seluruh batang,
seperti Ki Hujan, Trembesi (Samanea saman), Flamboyan
(De/onix regia), Ketapang (rerminalia catapa), Johar (Cas
sia multijuga Rich, Cassia siamea Lmk), Mahoni (Swi
etenia mahagoni sp. macrophyl/a dan microphyl/a), dan
Asam (ramarindus indica).
Pohon Matoa (Pometia pinnata Forst) di Papua Barat
dan Majegau (Dysoxylum densif/orum) yang menjadi mas
kat Provinsi Bali misalnya, rasanya sudah mulai meng
hilang? Atau sudah tidak banyak terlihat lagi? Pohon Leci
di daerah lereng pegunungan daerah Ubud, atau sekitar
Pura Besakih di Bali, yang indah dilihat pada waktu ber
bunga dan berbuah pun sudah jarang terlihat. Di Kabu
paten Belu, Nusa Tenggara Timur juga sudah sulit ditemui
Pohon Cendana (Santa/urn album). Sebenarnya masih
banyak lagi sumber daya plasma nutfah flora maupun
fauna, yang bisa dikembangkan dan diangkat menjadi
ciri khas suatu daerah.
Akan kemanakah pengelolaan RTH kota di Indonesia,
seperti Singapura, Kuala Lumpur, kota-kota besar lainnya
yang telah terkotak-kotak dalam blok-blok, atau dalam
lingkaran siput seperti kota-kota di Benua Amerika, atau
seperti kota-kota di Eropa? Pada akhirnya, pelestarian
fungsi penting unsur-unsur pembentuk lingkungan, akan
sangat menentukan keberlanjutan kualitas dan kuantitas
sumber daya alam dan lingkungan hidup kota dan warga
kota.
Terjadinya krisis ekonomi dan peningkatan pengang
guran yang melanda Indonesia telah menimbulkan oku
pasi besar-besaran terhadap RTH kota, baik untuk tern
pat berdagang atau bercocok tanam pada 'lahan tidur'.
Dari pengamatan pertanian perkotaan tak terstruktur
terhadap kegiatan ini, diketahui bahwa secara langsung
kegiatan ini dapat menyelamatkan kebidupan beberapa
petani kota dadakan, dengan bentuk organisasi penge
lola khusus sejak pembibitan, penanaman, pemanenan,
sampai pencarian pasar dan seluk beluk bisnis perda
gangan. Namun demikian, tetap diperlukan perangkat
hukum yang mengatur kegiatan ini.
7.1 SDM DALAM PENGELOLAAN RTH Agar perencanaan pembangunan perkotaan dapat
mencapai hasil dimana mampu dipertahankannya fungsi
lingkungan kota yang berkelanjutan, sebagaimana di
harapkan dalam prinsip "good environmental gover
nance", diperlukan minimal tiga modal dasar pembangun
an, yaitu:
(1) tersedianya pengelola kota yang handal, berupa sum
berdaya manusia (SDM) baik pejabat pemerintah mau
pun masyarakat umum pada skala nasional dan lokal
yang mampu bersama-sama memelihara fungsi dan
kondisi lingkungan perkotaan, sesuai kaidah pelestari
an fungsi lingkungan hidup yang ada.
(2) tersedianya dukungan sumber daya finansial yang
berkelanjutan pula untuk mendukung kegiatan pemeli
haraan dan pengawasan RTH-kota, dan
(3) tersedianya Rencana lnduk Kota yang komprehensif
dan dinamis, yang artinya terus berkembang sejalan
dengan proses kehidupan lingkungan perkotaan yang
dinamis.
Konsep kebijakan dan strategi pembangunan dan
pengelolaan RTH, sebagaimana diuraikan oleh Sasong
ko, 2005, diselarasakan dengan UU No. 22/1999 tentang
Otonomi Daerah (sudah direvisi menjadi Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), di
mana komitmen untuk mewujudukan pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan pembangunan dan penge
lolaan RTH secara konsisten dan profesional. Otonomi
daerah harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan
masyatakat dan mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan
kepada masyarakat.
Penyesuaian pengembangan paradigma reformasi
pembangunan kota berkelanjutan mensyaratkan pelak
sanaan transparansi kegiatan, baik oleh pemerintah mau
pun swasta (pengusaha dan lembaga masyarakat umum).
Kesadaran akan hak dan tanggung jawab pembangunan
dan pengelolaan RTH tidak hanya merupakan dominasi
pemerintah, tetapi jugamasyarakat melalui penyesuaian
program-program pembangunan yang inovatif, kreatif
dan mutakhir.
7 .1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan misi pokok paradigma reformasi saat
ini, yaitu agar pengelolaan kepemerintahan di daerah dapat
Pengelolaan RTH 215
semakin mandiri dalam memenuhi tujuan sebagaimana
dimaksud dalam pelaksanaan Undang-Undang (UU) No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Diharapkan
agar pembangunan kota berkelanjutan dapat segera ter
wujud, dan telah merupakan komitmen seluruh pelaku
nya, yaitu segenap unsur pemerintahan yang mutlak me
merlukan dukungan dan peranserta masyarakat, baik di
tingkat nasional maupun di tingkat wilayah atau daerah.
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dan meng
upayakan kerjasama antar, para 'pemangku kepentingan'
(stakeholders) agar tetap terbentuknya lingkungan (kota)
yang selaras, serasi dan seimbang. Dalam menata keter
paduan antar berbagai pihak tersebut, selayaknya disu
sun lebih dahulu suatu pedoman penataan ruang RTH,
dengan mengacu kepada pedoman penyusunan RTRK
yang merupakan turunan dari penyusunan rencana tata
ruangnya atau, Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
merupakan salah satu faktor utama sebuah, Rencana ln
duk Kota', yaitu agar proses alami guna menopang ke
berlangsungan seluruh kehidupan lingkungan kota, dapat
terus berlangsung. Karena itu RTH harus dikelola secara
profesional dan konsisten dari waktu ke waktu.
Otonomi Daerah harus bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan fungsi
fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Sistem, me
kanisme dan prosedur penyelenggaraan otonomi daerah
(UU dan Peraturan Pelaksanaan) harus jelas dan aplika
tif untuk menghindarkan distorsi yang kontra produktif.
Otonomi Daerah Jangka Panjang harus mampu mewu
judkan kemandirian daerah, dilaksanakan dalam wadah
NKRI dan harus mampu memantapkan demokrasi dalam
semangat Persatuan dan Kesatuan.
216 Pengelolaan RTH
Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi
pembangunan kota yang berkelanjutan mensyaratkan
pula, pelaksanaan transparansi kegiatan, baik oleh pemer
intah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara
kat umum), kesadaran akan hak dan tanggung jawab
pembangunan serta pengelolaan RTH, misalnya tak hanya
merupakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat
kota, dan melalui penyesuaian program-program pem
bangunan yang inovatif, kreatif, dan mutakhir. Program
program untuk peningkatan fungsi lingkungan hidup (LH),
seperti Bangun Praja, Super Prokasih atau Langit Biru,
masih 'dirasakan' sebagai "gerakan parsial" lingkungan
perkotaan yang masih belum sepenuhnya menopang
suatu sistem pengelolaan lingkungan hidup (PLH) kota.
Berbagai program tersebut, hendaknya merupakan suatu
kesatuan progam yang saling mendukung sebagai suatu
sistem PLH (media air, udara dan tanah).
7 .1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud: Adanya kebijakan dan strategi dalam pem
bangunan dan pengelolaan RTH di wilayah perkotaan.
Tujuan: Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan
RTH Di Wilayah Perkotaan.
7 .1.3 Ruang Lingkup
Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Perkotaan dalam Bidang Pembangunan dan Pengelolaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan pada lnmendagri
Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah
Perkotaan. Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Perkotaan Bidang Pembangunan dan Pengelolaan RTH
ini dalam pelaksanaannya kelak, diharapkan tetap meru-
pakan suatu sinergitas PLH, yang disesuaikan dengan
sistem bio-geografi lingkungan NKRI. Sebagaimana
diketahui, negara kita merupakan Negara Kepulauan di
daerah tropis, dengan karakteristik alam sangat beraneka
ragam, ditandai oleh iklim yang panas (cahaya matahari
penuh), kelembaban tinggi dengan keanekaragaman
hayati flora dan fauna yang tinggi namun sangat rentan
terhadap adanya gangguan kerusakan dan pencemaran
lingkungan.
Kondisi lingkungan khas negara kita ini pun sangat
dipengaruhi oleh keanekaragaman ekosistem dataran
tinggi, pegunungan (bergunung-api/vulkano yang seba
gian besar masih aktit), jajaran perbukitan serta dataran
rendah serta perairan yang juga merupakan habitat flora
dan fauna perairan yang khas pula. Apabila diamati lebih
rinci, maka kondisi fisik lingkungan maupun sosial dan bu
dayanya pun amat sangat beragam. Telah banyak peneli
tian menunjukkan keanekaragaman yang tinggi tersebut,
terutama khasanah budaya yang timbul dari lebih 300
suku bangsa pendukungnya, dari propinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) sampai ke Papua Barat.
Didasari oleh kenyataan akan luas dan beragamnya
kondisi lingkungan baik yang alami, lingkungan perde
saan, lingkungan perkotaan, baik daratan dan lautan,
maka ruang lingkup pembahasan Kebijakan dan Strategi
ini pun dibatasi hanya untuk diterapkan di lingkungan
perkotaan. Pokok-pokok pemikiran yang akan mempen
garuhi hasil pembahasannya kemudian adalah bahwa:
1. NKRI adalah negara kepulauan di mana sebagian be
sar permukiman terletak di sepanjang wilayah pesisir/
pantai;
2. Terjadi kecenderungan aglomerasi penduduk dari wi-
layah perdesaan ke wilayah perkotaan (urbanisasi) se
makin meningkat, terutama akibat kebutuhan akan la
pangan pekerjaan;
3. Bertambahnyajumlah penduduk, secara langsung mau
pun tidak akan mempengaruhi meningkatnya penetrasi
terhadap alam lingkungannya, terutama di lingkungan
perkotaan, sehingga daya dukung lingkungannya se
bagian sudah terlampaui. Kondisi lingkungan semacam
ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan lingkungan
bagi manusia yang hidup di dalamnya;
4. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah di bidang
Perkotaan, khususnya untuk pengelolaan RTH ini pun
akan disusun bersama-sama dengan para pihak terkait,
dan sedapat mungkin mewakili berbagai macam eko
sistem seperti disebut sebelumnya. Hasilnya diperki
rakan semacam model Pengelolaan Pembangunan RTH
Lingkungan Perkotaan, paling tidak diharapkan bisa
mewakili beberapa (tiga) tipe ekosistem (ekotipe) khas
dari ekosistem pegunungan dan daratan yang relatif
jauh dari wilayah pesisir, kemudian ekotipe lingkungan
perkotaan di sepanjang pantai (dataran rendah), serta
ekotipe wilayah di antara kedua ekotipe sebelumnya
(lingkungan dengan ketinggian 'sedang');
5. Ketiga ekotipe-ekotipe 'khas' tersebut, tentu mensya
ratkan jenis (species) biota (khususnya dalam hal ini
jenis vegetasi atau tetumbuhan), sesuai dengan habi
tusnya tsb., apakah tipe tanaman tropis dataran tinggi,
sedang atau pun rendah;
6. Dari pertimbangan-pertimbangan lain, seperti kemam
puan dan kondisi daerah masing-masing, khususnya
dukungan finansial (ekonomi) serta kesiapan SDM un
tuk kebijakan pembangunan di daerah masing-masing
Pengelolaan RTH 217
Gambar7.1
Sebuah rumah tradisional di luar benteng 'Jakarta' berada di
sebuah lingkungan kampung yang teduh. Rumah ini biasa disebut
'Makassaarch huis'.
Sumber: Oud Batavia, gambar 8 34.
218 Pengelolaan RTH
juga perlu dipertimbangkan masak-masak;
7. Perlu dipertimbangkan adanya: subsidi silang antara
satu daerah dengan daerah lain, yang paling tidak me
nyangkut tiga hal, yaitu pertimbangan-pertimbangan:
kelembagaan, fisik, ekonomi dan sosial budaya ma
syarakat lokal.
7.2 PERMASALAHAN KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROSPEK PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH
Perlu dipertimbangkan suatu sistem penerapan (ino
vasi) pelaksanaan pengelolaan RTH dikaitkan dengan
kegiatan-kegiatan PLH di wilayah perkotaan. Seba
gaimana telah dilakukan di negara-negara lain dan telah
menunjukkan keberhasilan dari hasil sinergitas penerap
an PLH di kota-kota tersebut. Sebagai contoh, dikutip
kan beberapa keberhasilan PLH di wilayah perkotaan di
negara-negara:
1. Jerman, khususnya di Provinsi Wurtenberg, Jerman
Selatan: di mana sampah domestik, baik padat (khu
susnya sampah organik) maupun cair (sewerage), di
integrasikan dalam sistem 'Zwartwald' atau 'Hutan Hi
tam', di mana di antara dua atau lebih bag ian kota yang
berbatasan (misalnya antara Kebayoran Baru dan Pon
dok lndah) yang berpenduduk dengan jumlah tak lebih
dari dua juta jiwa, dibangun semacam, hutan kota' (se
bagian bentuk RTH-Kota) yang fungsinya 'hanya' untuk
'penyaring' atau filter dari sampah padat dan limbah
cair tersebut. Kedua produk sampingan hasil kegiatan
man usia kota berjumlah sekitar dua juta, secara berkala
di tampung (dibuang) ke dalam Hutan Kota. Teknologi
sederhana diterapkan sedemikian rupa sehingga mi
kroba yang sengaja 'ditanam' di dalam "Zwartwald"
tersebut. mengurai ('memakan') sampah dan limbah
organik tersebut, sehingga suatu saat air limbah yang
keluar menjadi bersih kembali. Demikian pula 'lantai
hutan' akan menghasilkan berlapis-lapis pupuk buatan
(kompos) tanpa zat kimiawi yang dapat dimanfaatkan
kembali oleh warga masing-masing kota tsb.
2. India, di suatu bagian Kota Madras menerapkan sis
tern energi biogas dari hasil buangan kegiatan mereka
sendiri (diterapkan juga di beberapa kota lain khusus
nya yang berpenduduk padat). Dengan hanya memakai
suatu sistem permukiman yang kompleks, di mana
masing-masing kelompok permukiman yang sengaja
~ibentuk melingkar, mempunyai suatu unit sistem pem
buangan lim bah cair dan padat, dan biogas yang keluar
dari unit pembuangan tersebut dipakai kembali seba
gai sumber energi dikembalikan ke perumahan yang
melingkarinya. Demikian pula di daerah 'Pearl River'
delta 'a self-sufficient commune', China yang sudah
lama memanfaatkan biogas sebagai sumber energi un
tuk melakukan berbagai kegiatan, yang pada akhirnya
mampu memasok berbagai hasil produksi pertanian ke
provinsi tetangga.
Di India pula, yaitu daerah pertanian kota di pinggiran
Kota Calcutta, yang kebetulan hidup di daerah lahan
basah (wetland), sampah padat organik dibuang ke
dalam lahan tersebut, kemudian setelah agak/mulai
padat lahan tersebut mulai ditanami berbagai jenis
tanaman sayur-mayur dan buah-buahan, hasilnya pun
kembali untuk suplai penduduk di sekitarnya.
3. China, di Beijing (mungkin di kota-kota/permukiman
Gambar 7.2: A Self Sufficient Commune.
(Myers, 1985)
lain?), sistem daur ulang dari kotoran manusia dan he
wan (termasuk urin) sengaja 'ditambang' (dikumpul
kan) kemudian diproses menjadi pupuk organik untuk
kawasan pertanian di sekitarnya. Hasilnya memang
mengagumkan, hasil bebuahan Oeruk, anggur, dan lain
lain) China memang terkenal kualitasnya bahkan meru
pakan komoditi eskport yang penting.
Demikian beberapa contoh yang juga banyak dilaku
kan di negera-negara di Benua Afrika dan Amerika Latin
yang konon masih dijalankan sampai saat ini, dari pada
di kota-kota kita yang sebagian besar masih membuang
sampah dan limbah langsung ke 'alam', tanpa melalui
proses daur-ulang sederhana seperti telah dipraktekkan
sampai kini.
Pengelolaan RTH 219
7.3 PENETAPAN STRATEGI, FOKUS STRATEGI DAN UKURAN KINERJA PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH Dl WILAYAH PERKOTAAN (Modifikasi dari Sasongko, 2005)
7 .3.1 Perubahan Paradigma Pemerintah dan Pengaruhnya Pada Manajc:T!CI• Pembangunan Perkotaan:
Pembangunan dan Pengelolaan RTH
PERU BAHAN PARADIGMA
Bupati!Wali Kota
dan stat inti sebaga
Pemberdaya Pelaya
Pelaksana yang
transparan dan
akuntabel
i:
n
220 Pengelolaan RTH
...
.....
MISI Ukuran utama sektor r Pommiotahao adalah ,
• keberhasilan mencapai misi
KEUANGAN PELANGGAN
memenuhi harapan memenuhi harapan
pemberi dana penerima manfaat
_j ~ ~
PROSES INTERNAL melakukan proses yang
baik dan benar
t PENGEMBANGAN SDM
pengembangan organisasi
dan SDM yang tepat
STRATEGI
.... Tujuan Srategis
..... Program Proritas
Ukuran Strategis
Perkotaan
T Terfasilitasinya
Pengembangan
Perkotaan yang layak
huni, inovatif/ dinamis,
kompetitif dan
terciptanya pelayana n jasa perkotaan prima
T Tertatanya ruang kot a
yang menyediakan
fungsi kawasan
lindung, hutan kota,
hijau rekreasi kota,
hijau kegiatan olahrag a, hijau pemakaman, hija u
pertanian, hijau jalur
hijau, hijau pekaranga n
7.3.2 Strategi Pembangunan Perkotaan
PERSPEKTIF PELANGGAN * I Meningkatkan Kemandirian Perkotaan J• Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Meningkatkan kapabilitas
melalui pelayanan kelembagaan perkotaan
PERSPEKTIF KEUANGAN
Meningkatkan Memperluas Sumber I Efisiensi Anggaran Pendanaan
1 ... ... • • PERSPEKTIF PROSES INTERNAL
Memahami siapa Memberi Meningkatkan I Meminimalkan masalah Memberikan tanggapan
'pelanggan' masukan/advis koordinasi 1
di daerah (fasilitasi) dengan cepat
+ PERSPEKTIF PEMBELAJARAN
.... I Meningkatkan Produktifitas SDM l+ Memberikan tanggapan ,.. dengan cepat
I Meningkatkan kompetensi SDM I PEMBANGUNAN PERKOTAAN I Memelihara suasana positif I
Pengelolaan RTH 221
TEMA STRATEGIK
Kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan,
berkualitas serta menunjang nilai-nilai budaya ... ... ... .... ... A B c D E
Tertatanya Tersedianya Sarana Berkembangnya Potensi Terciptanya keserasian Terselenggaranya
Kawasan dan prasarana dan Pertumbuhan kerjasama Pembangunan Pelayanan jasa
(kumuh) perkotaan perkotaan Perkotaan perkotaan _... A_ ..._ A_ _... PERSPEKTIF PELANGGAN Lihat halaman 222 dan 236
PERSPEKTIF FINANSIAL Lihat halaman 223 dan 233
PERSPEKTIF PROSES INTERNAL Lihat halaman 223 dan 231
PERSPEKTIF PEMBELAJARAN Lihat halaman 224 dan 235
PERSPEKTIF PELANGGAN B Tersedianya Sarana dan
prasarana perkotaan
• • __. • I I I
I Sistem transportasi ! I Air bersih J I Air limbah I l Persampahan I I Pasar I I Drainase I 1 perkotaan j
Ruang Terbuka Hijau Aman,
A ~ ~ nyaman, sehat dan bermanfaat t • • A I Perhu~ungan I •••• Kimpraswil/ • • 1 • 1 • i • • • • • • • .... I Pemanfaatan I • . Pekerjaan Umum ; t_ • •
T Lingkungan Analisa Dampak Lingkungan
[ Pengembangan I ~· Hid up Lingkungan Hid up
222 Pengelolaan RTH
PERSPEKTIF FINANSIAL
__.. PENINGKATAN ... .... KEUANGAN ....
I Jl Efesiensi dan Efektivitas
I APBN I I BLN I I Kemitraan I Pengelolaan Keuangan/anggaran
• • • t t • • • • • •
I Ang:~." I I BAP; ENAS I 1 Aso: i .. i 1 Input vs Tertib
Output Administrasi
PERSPEKTIF PROSES
INTERNAL ' ~ ~ ~
Peningkatan kualitas Peningkatan kepuasan
layanan "pelanggan" pengguna dan donor melalui
t efisiensi Proses/biaya
' ~ ~ ,. Cepat E Up to Date/
tanggap I mutakhir ~ Komunikasi dan
I .... Koordinasi
t 8 t Fasilitas Tertib
lnfrastruktur Administrasi
Pengelolaan RTH 223
p ERSPEKTIF PEMBELAJARAN t PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
DAN KOMITMEN SDM
.. ~
I I I I SIM dan Pengembangan Kompetensi Program Kemitraan dan Diklat dan
Teknologi lnformasi SDM lnovasi Nara sumber seminar
.. ~ ~~ • • • • • • . I Di~lat I Reward& Asosiasi Profesi/ - Punishment
~ Perguruan Tinggi/
Konsultan
7.3.3 Fokus Strategi Pembangunan Perkotaan
FOKUS/ Pelanggan: Finansial Proses Internal Pembelajaran
PERSPEKTIF • Meningkatkan • Meningkatkan • Memahami • Meningkatkan
kemandirian efesiensi peng- pelanggan Produktivitas
Perkotaan gunaan anggaran • Memberi SDM
•Meningkat- • Memperluas sum- masukan/advis • Meningkatkan
kan kepuasan berpendanaan • Memberikan Kompetensi SDM
'pelanggan' melalui koordinasi • Memelihara sua-
pelayanan • Meminimalisasi sana kerja positif
• Meningkatkan masalah di dae-
kapabilitas kelem- rah/fasilitasi
bagaan perkotaan • Memberikan tang-
gapan dengan
cepat
224 Pengelolaan RTH
Penataan Kawasan • Peningkatan Mempercepat • Kompetensi SDM
{kumuh): SumberAPBN proses interaksi •Reward &
• Interior dan arsi- • Bantuan Luar dgn masyarakat, punishment
tektur kota Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan &
• Pemeliharaan • Kemitraan Promosi pemecah- nara sumber
kota dan bangun- • Tertib Administrasi an masalah berba- • Program lnovasi
an bersejarah dan Keuangan sis masyarakat • Diklat & seminar
• RTH dan taman •lingkatkan produk- • Sarana & prasa-
kota tivitas rana pembela-
• Kebersihan Kota •lingkatkan kontak jaran
•TPU positif
• Pengembangan •lingkatkan fasilitas
Perumahan dan infrastuktur
Permukiman • Tertib administrasi
SIM dan Tl
Sistem Transpor- • Peningkatan Sum- Mempercepat • Kompetensi SDM
tasi Perkotaan: berAPBN proses interaksi •Reward &
• Transportasi • Bantuan Luar dgn masyarakat, punishment
umum (trayek) Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan &
• Jalan dan • Kemitraan (Tata Ruang, PU, nara sumber
jembatan • Tertib Administrasi KLH, LSM, dsb.) • Program lnovasi
•Terminal dan Keuangan • Promosi solusi • Diklat & seminar
•Air Bersih masalah berbasis • Saran a & prasa-
• Sumur dan PAM masyarakat rana pembela-
•Air limbah •lingkatkan jaran
• Persampahan produktivitas
• Pasar •lingkatlan kontak
• Rumah Sakit positif
• Sekolah • lingkatkan fasi-
• Drainase litas infrastuktur
•RTH
Pengelolaan RTH 225
• Tertib administrasi I • SIM dan Tl
POTENSIDAN Kemitraan • Peningkatan Sum- Mempercepat • Kompetensi SDM
PERTUMBUHAN • Pemerintah ber APBN
I proses interaksi • Reward&
BUMN/BUMD • Bantuan Luar degan masyarakat, punishment
• Dunia Usaha/ Negeri
I
Pemda dan sektor • Kemiteraan &
swasta • Kemitraan • Promosi solusi nara sumber
• LSM • Tertib Administrasi masalah berbasis • Program lnovasi
• Sektor Informal dan Keuangan I masyarakat • Diklat & seminar
* Urbanisasi terk- I • Tingkatkan • Sarana & prasa-
end ali produktivitas rana pembelajaran
*Kemiskinan Kota • Tingkatlan kontak
Sistem Kota posit if
• Sehat ' • Tingkatkan fasili-
• Aman tas infrastuktur
• Nyaman • Tertib administrasi
Tipologi Kota • SIM dan Tl I
Kota Baru I t-- --
1 Mempercepat 1
• Kompetensi SDM KESERASIAN Dampak Ketimpang- • Peningkatan Sum-
DAN KERJASAMA an Desa dan Kota: ber APBN proses interaksi • Reward &
PEMBANGUNAN • Eksistensi kota- • Bantuan Luar dgn masyarakat, I punishment
desa (rural-urban Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan &
linkages) I
• Kemitraan • Promosi solusi I nara sumber
• Keserasian bangu-1
• Tertib Administrasi masalah berbasis • Program lnovasi
nan sepanjang kota- dan Keuangan masyarakat , • Diklat & seminar
desa (conurbation) I
• Tingkatkan • Sarana & prasa-
produktivitas rana pembelajaran
Sister/Twinning • Tingkatlan kontak
cities posit if
• Dalam Negeri I • Tingkatkan • Luar Negeri fasilitas infrastuktur
226 Pengelolaan RTH
• Tertib administrasi I • SIM dan Tl --·
• Kompetensi SDM 1 PELAYANAN JASA Pelayanan Satu Atap: • Peningkatan Sum- Mempercepat
• Fasilitas sosial ber APBN proses interaksi • Reward&
• Fasilitas umum • Bantuan Luar dgn masyarakat, punishment I • Sistem Jasa
I Negeri Pemda dan sektor • Kemiteraan & I
Pelayanan • Kemitraan • Promosi solusi nara sumber
• Fasilitas jasa ka- I • Tertib Administrasi i masalah berbasis • Program lnovasi
wasan tertentu dan Keuangan masyarakat • Diklat & seminar I • Pengendalian • Tingkatkan • Sarana & prasa-
mutu pelayanan produktivitas rana pembelajaran
(pengembangan dari ' • Tingkatlan kontak
I inisiasi sarana dan positif
prasarana • Tingkatkan
' fasilitas infrastuktur
• Tertib administrasi
• SIM dan Tl
Pengelolaan RTH 227
7.3.4 Tujuan Strategi!Kra > Ukuran Keberhasilan/KPI: Fokus Strategi Sarpras Kota > RTH
Pelanggan
• Meningkatkan
kemandirian
perkotaan
• Meningkatkan
kepuasan
pelanggan
• Meningkatkan
kapabilitas
kelembagaan
perkotaan
228 Pengelolaan RTH
Sistem transportasi perkotaan
• Transportasi umum
• Jalan & Jembatan
• Terminal
Air bersih
• Sumur& PAM
• Air limbah
• Persampahan
• Pasar
• Rumah Sakit
• Sekolah
• Drainase
Ruang Terbuka Hijau
Tertatanya ruang kota yang menyediakan
fungsi kawasan lindung (hijau alami-sekeliling
situ/danau/waduk, sepanjang tepian pantai/
pesisir), hutan kota, hijau rekreasi kota, hijau
kegiatan olahraga, hijau pemakaman, hijau
pertanian, hijau jalur hijau (green belt) , hijau
pengaman sar-pras (sutet, jalur KA, lalu
lintas, dsb), hijau pekarangan
• Konsep kebijakan RTH yang dipergunakan
sebagai referensi dalam pembangunan dan
pengelolaan RTH
• Jumlah, luas dan kualitas fasilitas RTH yang
digunakan secara efefktif
• Tingkat kepuasan masyarakat
• Jumlah keluhan (complaint) masyarakat
terhadap kondisi RTH dan lingkungan minimal
• Perolehan penghargaan (program Bangun
Praja/Adipura, Kalpataru, dsb.)
URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-
TARGET PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH
terkait
Penyusunan Konsep dan pemecahannya
Kebijakan (Bangda) & bagi daerah
unit terkait
Perencanaan sosia
lisasi (Bangda)
& unit terkait
Sosialisasi (Bangda)
& unit terkait
Kebijakan pemba
ngunan dan pengelo
laan RTH
Tersosialisasinya
Kebijakan Pemban
gunan dan Pengelo
laan RTH
1 Workshop dengan Tersusunnya stan-
'
para pakar lansekap dar/ukuran RTH dan lingkungan untuk
1 penyusunan standard/
ukuran RTH (Bangda) 1 & unit terkait
Workshop dengan
para pakar lansekap 1 Tersusunnya Kriteria
dan lingkungan untuk Pembangunan RTH:
Penetapan Kriteria . Letak dan Jenis Pembangunan RTH:
Vegetasi Letak lokasi dan jenis
vegetasi (Bangda) & unit terkait
Kepmen, lnmen,
Ditandatangani
Waktu/hari dan
jumlah daerah
Kepmen, lnmen
Ditandatangani
Kepmen, lnmen
Ditandatangani
AkhirTahun
AkhirTahun Berikutnya
90% Kawasan
perkotaan
AkhirTahun
AkhirTahun Berikutnya
Pengelolaan RTH 229
TUJUAN STRATEGI/KRA > UKURAN KEBERHASILAN/KPI FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH
PERSPEKTIF PROSES
• Memahami
Pelanggan
• Memberi
masukan/advis
• Meningkatkan
koordinasi
• Meminimalkan 1
masalah di daerah/
fasilitasi
• Memberikan tang
gapan dengan cepat
TUJUAN STRATEGI (KEY RESULT AREA)
• Mempercepat proses interaksi dengan
masyarakat, Pemda dan Sektor (Tata Ru-
ang, Kimpraswil, KLH, BAPPENAS, LSM,
I dsb.)
• Mempromosikan solusi masalah berba
sis masyarakat
I • Meningkatkan produktivitas
I • Meningkatkan Kontak Positif
1 • Tertib Adminstrasi
I
UKURAN KEBERHASILAN (KEY PERFORMANCE INDICATORS)
• Jumlah dan frekuensi interaksi dengan
Pemda, sektor, dan masyarakat,
• Tersebarnya referensi solusi atau inovasi
pembangunan dan pengelolaan RTH dari
keberhasilan daerah
• Jumlah permasalahan pembangunan dan
pengelolaan RTH daerah yang dikonsultasi
kan berhasil diselesaikan
• Kontak positif dan data based dengan
Pemda, asosiasi profesi (arsitek lansekap,
perencana, perancang, akhli lingkungan),
LSM/pemerhati lingkungan flora dan fauna
1 (kota)
• Dokumentasi pelaporan _L ------------ _..___ ________________ __,
230 Pengelolaan RTH
PERSPEKTIF PROSES SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN
& PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH
• Jumlah dan frekuensi • Bulanan • Koordinasi dgn Departemen
interaksi dengan sektoral (Kimpraswil, KLH,
Pemda, Sektor dan BAPPENAS, Kehutanan,
masyarakat Pertanian, dsb)
• Kontak positif dan • Terus menerus • Penyusunan data based
data based dengan dan komunikasi, serta
Pemda, asosiasi profesi informasi
(arsitek lansekap,
perencana, perancang,
akhli lingkungan), LSM/
pemerhati lingkungan
flora dan fauna (kota)
• Tersebarnya referensi • Terus menerus • Sosialisasi
solusi atau inovasi pem-
bangunan dan penge-
lolaan RTH dari keber-
hasilan daerah
• Jumlah permasalahan • Setiap masalah • Konsultasi , asistensi, atau
pembangunan dan pe- yang dikonsultasikan fasilitasi
ngelolaan RTH daerah ditanggapi segera >
yang dikonsultasikan respon tidak lebih dari
berhasil diselesaikan 1 minggu
URAIAN KEGIATAN
• Rapat Koordinasi bula-
nan atau Triwulanan
• Pertemuan dan Komu-
nikasi rutin, pencatatan
data {data based), insti-
tusi, atau pejabat yang
relevan (terkait) dengan
pengelolaan RTH
• Sosialisasi inovasi
pembangunan dan pe-
ngelolaan RTH melalui
media informasi ke
daerah-daerah
• Menanggapi
konsultasi/asistensi atau
fasilitasi permasalahan
RTH
Pengelolaan RTH 231
URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-TARGET PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH
UKURAN INDIKATOR KEGIATAN KERJA --• Rapat Koordi- • Terbentuknya
nasi bulanan atau
Triwulanan
forum komunikasi
• Pertemuan dan • Jumlah data
Komunikasi rutin, terhimpun
pencatatan data
(data based), insti-
tusi, atau pejabat
yang relevan
(terkait) dengan
pengelolaan RTH
• Sosialisasi ino
vasi pembangunan
dan pengelolaan
RTH melalui media
informasi ke
daerah-daerah
• Menanggapi
konsultasi/asis
tensi atau fasilitasi
~rmasalahan RTH
232 Pengelolaan RTH
• Jumlah inovasi
pembangunan dan
pengelolaan RTH
daerah yang terdata
dan tersosialisikan
• Jumlah konsultasi
SATUAN
• Jumlah pertemuan • Setiap bulan atau
dan frekuensinya
• Jumlah dan bulan
• Jumlah dan bulan
serta sebaran sosia
lisasi
• Jumlah dan waktu
tanggap
triwulanan
• Seluruh nama dan
data pakar yang
relevan dengan RTH
terhimpun dalam 3
(tiga) bulan
• Setiap 3 bulanan
me masukkan artikel
ten tang inovasi
pembangunan dan
pengelolaan RTH
• Setiap permasalah
an masuk langsung
ditanggapi (tidak
lebih dari 1 minggu)
TUJUAN STRATEGI/KRA > UKURAN KEBERHASILAN/KPI
FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH
1'UJUAN STRATEGI fKEY RESULT AREA)
Finansial • Peningkatan sumber APBN
• Meningkatkan efisiensi • Bantuan Luar Negeri
peggunaan anggaran • Kemiteraan/Kontak Positif
• Memperluas sumber pendanaan • Tertib Adminstrasi dan
keuangan
PERSPEKTIF FINANSIAL
UKURAN KEBERHASILAN
(KEY PERFORMANCE INDICATORS)
• Jumlah dana dari APBN meningkat
• Jumlah dana bantuan luar negeri
meningkat, misalnya melalui proyek-
1 proyek kerjasama LN)
• Jumlah partisipasi sponsorship
meningkat
• Laporan administrasi akuntabel
SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH
UINRAN TARGET PROGRAM URAIAN
KE8ERHASILAN ' (RENCANA CAPAIAN) KEGIATAN I
• Jumlah dana dari APBN • Anggaran pembinaan pem- • Efektivitas I
• Pemanfaatan
meningkat bangunan dan pengelolaan RTH anggaran
I anggaran
meningkat 00%
• Jumlah dana bantuan dari • Anggaran proyek bantuan LN • Proyek bantuan • Pengelolaan
luarnegeri meningkat (misal- untuk tema RTH meningkat 00% LH untuk RTH Proyek bantuan LN
nya melalui proyek-proyek
kerjasama luar negeri
• Jumlah partisipasi/ • Jumlah partisipasi meingkat 00% • Kemiteraan/ • Kegiatan
sponsorship masyarakat sponsorship kemiteraan/
meningkat sponsorship
• Laporan administrasi • Laporan administrasi akuntabel/ • Transparansi • Transparansi
akuntabel tidak terdapat temuan BPKP administrasi
Pengelolaan RTH 233
URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-TARGET PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH
UKURAN KEGIATAN
• Pemanfaatan • Tepat guna • Jumlah Rp
anggaran
• Pengelolaan • Tepat waktu dan • Jumlah Rp dan
proyek Bantuan LN biaya waktu
• Kegiatan • Tepat guna • Jumlah Rp
kemiteraan/
sponsorship
• Transparanasi • Tidak ada temuan • 0 temuan
administrasi BPKP
TUJUAN STRATEGI/KRA > UKURAN KEBERHASILAN/KPI FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH
Pembelajaran • Kompetensi SDM
• Peningkatan produktivitas SDM • Kemiteraan dan narasumber
• Meningkatkan kompetensi SDM • Diklat dan seminar
• Memelihara suasana kerja positif • Sarana dan prasarana
pembelajaran
234 Pengelolaan RTH
• Rp
• Rp ..... .... .. .. untuk
.. .. .. .. . bulan
• Rp
• Tidak ada temuan
(0)
• Jumlah SDM Bangda yang
memahami RTH
• Banyaknya back up pakar RTH
• Jumlah dan frekuensi seminar RTH
yang dihadiri oleh SDM Bangda
• Jumlah buku, artikel dan referensi
tentang RTH
PERSPEKTIF PEMBELAJARAN SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH
UKURAN
• Jumlah SDM Bangda
yang memahami RTH
• Banyaknya 'back up'
' pakar RTH
1 • Jumlah dan frekuensi
Pertemuan llmiah
(seminar) RTH yang
~ dihadiri oleh SDM Bangda
• Jumlah buku, artikel dan
refererisi tentang RTH .-
dan Prasarana Kota
I • Minimal tiga orang pakar
j Tetap untuk s
I• Seluruh Subarr: arana
dan Prasarana Kota
I • Tersedianya buku-buku,
I, dan referensi tentang RTH
diBangda \
PROGRAM
• Pelatihan
• Konsultasi Nara Sumber
I • Pertemuan llmiah
, (Seminar, Loka Karya,
I Semi Loka), tentang RTH
I
URAIAN KEGIATAN
• Peningkatan penge
tahuan dan kompetensi
SDM Bangda
• Konsultasi dengan
Nara Sumber tetap
1 • Pertemuan llmiah di
1 dalam maupun di luar
negeri
~ • Tersedianya buku-buku, 1 • Perpustakaan
I dan referensi tentang RTH ~ ~ di Bangda l
Pengelolaan RTH 235
7.3.5 Perspektif Pelanggan Sasaran & Uraian Kegiatan Pembangunan & Pengelolaan Sarpras Kota > RTH
UKURAN KEBERHASILAN
1. Konsep Kebijakan
RTH yang dipergunakan
sebagai referensi
dalam pembangunan
pengelolaan RTH
2. Jumlah dan kualitas
fasilitas RTH yang diper
gunakan dengan efektif
236 Pengelolaan RTH
TARGET (RENCANA PENCAPAIAN)
Konsep selesai akhir 2004
dan selesai disosialisasi
kan kepada Pemda/
Pemkot pada Juni 2005
(BANGO A)
• Diterapkannya standard
RTH-Kota sesuai dengan
DPU (BANGDA)
• Terjaganya vegetasi
• Tersedianya taman
rekreasi aktif: Kebon
Raya, Kebon Binatang ,
Arboretum, Olah-raga,
Taman Bermain Anak, dan
Taman Lansia
• RTH untuk pengaman
fasi-litas kota: koridor
hijau, sepanjang badan
perairan, jalur PLN
(SUTET), jalur lalu-lintas,
PROGRAM
• Penyusunan Konsep
Kebijakan (BANGDA)
• Sosialisasi kebijakan
(BANGO A)
• Penetapan standard/
ukuran RTH (BANGDA)
• Penetapan kriteria
pembangunan RTH-Ietak
lokasi & jenis vegetasi
(BANGO A)
• Kampanye RTH
• Persuasi kemiteraan
dengan pihak terkait
URAIAN KEGIATAN
• Workshop RTH
• Pembentukan Team
Penyusun Konsep
Kebijakan
• Perencanaan sosialisasi
• Sosialisasi
• Workshop dengan
para pakar lansekap dan
lingkungan
• Workshop dengan
para pakar lansekap dan
lingkungan
• Kerjasama dalam
kampanye tentang RTH
dengan pengembang
dan pemerhati bidang
arsitektur lansekap dan
taman, akhli fasilitas
dan kesehatan olahraga,
anak-anak dan lansia
• Kerjasama dalam
pemanfaatan RTH dengan
LSM lingkungan, PLN,
DLLAJR,PJKA,Pengem
bang (Developer), dst.
r--3. Tingkat Kepuasan
Masyarakat
t-
I
I I
I
jalur KA, dst.
• RTH-Permukiman: pada
halaman dan Kompleks
• RTH-Pertanian
• RTH-Hutan Kota
• RTH-Fasilitas Umum
• Jumlah pengguna/
penikmat taman kota
meningkat 00%
• Kepedulian masyarakat
terhadap penghijauan
meningkat ........ .... ..
kegiatan
• Kepedulian masyarakat
terhadap pemeliharaan
taman/ hutan kota
meningkat, dengan
indikator taman/hutan
kota yang tertata, sesuai
fungsinya, subur, indah/
estetis, bersih, habitat
satwa/pelindung
• Perencanaan &
Pengawasan
• Sosialisasi Pertanian
Kota
• Sosialisasi Hutan Kota
• Penghijauan, Perindang,
Tanaman pelindung
• Sosialisasi pemanfaatan
taman/hutan kota
• Penghijauan kota
• Pemeliharaan taman
dan hutan kota serta
lingkungan flora/fauna
• Kerjasama dengan
masyarakat dan
pengembang
• Kerjasama dengan
masyarakat penggarap
• Kerjasama dengan PT
• Kerjasama dengan
masyarakat, LSM,
tokoh-tokoh, pelajar,
pengembang dan
pertokoan
• Kerjasama dengan
pemakaman umum
untuk pembenahan TPU
• Olahraga/bermain
bersama di taman kota
• Pembibitan gratis atau
murah
• Multi fungsi tanaman
(manfaat untuk pangan,
obat-obatan, industri , dll)
• Sosialisasi hijau dan
bersih kota
-
Pengelolaan RTH 237
f4. Jumlah pengaduan
(complaint) masyarakat
terhadap RTH dan
lingkungan minimal
5. Perolehan
penghargaan (Bangun
Praja/Adipura, Kalpataru,
Prokasih, Langit Biru, dll)
• Taman kota 'bersih ' dari
PKL
• Taman kota 'bersih' dari
kegiatan asusila (PSK, judi,
dsb.)
Memperoleh penghargaan
....... apa saja .. kapan ... , dst.
(prestasi)
• Sosialisasi dan relokasi
PKL
• Penerangan taman dan
patroli
Pembangunan lingkungan
dan RTH
• Kerjasama dengan
tramtib dan masyarakat
tentang PKL -· -- --
• Kerjasama dengan
Tamtib dan Poi/PP,
pemeliharaan penerangan
Pembangunan kesadaran
lingkungan dan RTH
--------- ----- -------------------L------------------~ Catalan: Selanjutnya masing-masing kegiatan akan diuraikan lebih rinci, sekaligus dengan mencantumkan lndikator Kine~a. Satuan Rencana,
Tingkat Capaian (Target), dan keterangan yang menyertainya.
7.4 CONTOH PENYELENGGARAAN RTH Masalah klasik yang akan terus mengancam pemba
ngunan kota berkelanjutan adalah tantangan yang harus
dihadapi agar pemerintah daerah, pengusaha, dan ma
syarakat umum, mau menghargai sebidang lahan hijau
terbuka sebagai komponen utama RTH kota terhadap
tekanan ekonomi dan tingginya spekulasi nilai tanah.
Dalam arsitektur lansekap kota, yang terpenting
adalah bagaimana menjaga agar dalam memenuhi ke
butuhan penduduk kota akan RTH yang aman, nyaman,
sehat, indah, dan asri, RTH kota dapat berfungsi optimal,
yaitu bila fungsi-tupgsi alami LH dapat terus berlangsung,
dan keseimbangan harmonis antara lingkungan buatan
dan lingkungan alami dapat terus terbentuk.
Peraturan perundang-undangan di bidang pengelo
laan RTH dirasakan telah mencukupi, baik di bidang LH
maupun dari sektor lain, seperti kesehatan, pekerjaan
umum, kehutanan, pertanian, perikanan, perkebunan,
238 Pengelolaan RTH
dan perindustrian. Salah satunya adalah lnmendagri No.
14/1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan,
yang sayangnya belum didukung petunjuk pelaksanaan
Ouklak) dan petunjuk teknis Ouknis). Akibatnya adalah
kiblatisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota Ja
karta, tanpa mempertimbangkan potensi dan identitas
daerah, terutama dalam pemilihan materi tanaman yang
belum tentu sesuai dengan kondisi geografis dan eko
tipe masing-masing kota atau lokasi tertentu.
Kota (metropolitan) Jakarta bisa dijadikan panutan, di
bidang pengelolaan RTH, tetapi hanyalah terbatas pada
semangat perintisan dan usaha keras pengelola kotanya
sejak 1963, yaitu dalam mewujudkan RTH menjadi nyata,
sehingga nampak hasil upaya penghijauan dimana-mana.
Perlu pula peningkatan kesadaran warga kota untuk
mempertahankan atau mau menyisihkan sebagian hala
man rumah untuk dialokasikan sebagai halaman hijau pe
karangan dalam bentuk: taman rumah, taman sari, kebun
buah-buahan, apotik hidup atau sayuran. Jika tak terse
dia ruang lagi, masih dapat diupayakan sistem tanaman
bunga/buah dalam pot (tabulampot), atau sistem tanam
bertingkat (vertikultur), sehingga tercipta suasana alami.
Pelaksanaan aturan secara konsisten, seperti per
syaratan pada Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan
Koefisien Dasar Hijau (KDH) secara ketat, akan sangat
membantu tetap tersedianya lahan hijau di perkotaan.
7.4.1 Provinsi DKI Jakarta
Persentase dan bentuk RTH di berbagai kota di
Jawa sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pola wari
san kolonial. Alun-alun berfungsi sebagai tempat perte
muan Raja dengan rakyat, karena itu terletak di pusat
kota dan dikelilingi oleh bangunan pusat pemerintahan.
Kebun Raja atau Taman Sari sebagai tempat para Raja
atau Gubernur Jenderal bertemu atau berekreasi, mirip
dengan karakter kota-kota tua di Eropa abad XIX. Pola
grid dengan kombinasi kurva linier di tempat tertentu, se
perti sepanjang sungai, dan di pusat kota terdapat square
(Gunadi, 1995). Contoh RTH warisan kolonial di Jakarta
adalah Taman Fatahillah, Taman Lapangan Banteng (Pa
rade Plaats/Water/ooplein,' 1799), Taman Silang Monas
(Koningsplein, 1809), Taman Surapati (Bisschoplein, 1926)
dan Taman Situ Lembang (1926), serta eks Makam Ke
bon Jahe yang telah dipugar menjadi Museum Prasasti.
Untuk Kota Jakarta yang fungsi utamanya adalah
sebagai lbukota Negara, mau tak mau harus berusaha
mensejajarkan diri dengan kota-kota besar dunia yang
secara terus-menerus meningkatkan kualitas lingkungan
kotanya, yang tidak saja bersih tetapi juga secara fisik
dan sosial dapat berfungsi optimal. Proyeksi kebutuhan
RTH hendaknya diarahkan pada:
• Preservasi pada zona pesisir (coastal zone) di Jakarta
Utara sebagai wilayah tepian air terbuka (waterfront)
yang dilindungi, karena tanah yang labil sebagai hasil
sedimentasi sungai-sungai, tanah rendah dan langga
nan banjir.
• Preservasi daerah aquifer recharge area perlu memeli
hara daerah selatan Jakarta sebagai wilayah RTH untuk
peresapan air.
• Ali ran sungai-sungai yang mengalir dari selatan ke utara
Jakarta perlu dijadikan koridor preservasi hijau.
• Program banjir kanal dengan waduk-waduknya perlu
ditunjang dengan program penghijauan dan rekreasi
air.
• Koridor hijau di bawah SUTET sesuai peraturan yang
ada sebagai daerah pengaman.
• Koridor jalur hijau jalan raya dan bantaran kereta api.
• Area-area rekreasi lingkungan dapat diintegrasikan pada
jalur-jalur preservasi hijau seperti tepi sungai, waduk,
aquifer recharge area, pantai, dan lain-lain, serta diusa
hakan perencanaan penyebaran secara merata.
• Adanya peraturan perundangan yang menunjang pro
gram RTH, baik makro maupun mikro.
• Adanya pendanaan yang memadai untuk program RTH
dan rekreasi.
Selain banyak kerjasama telah dilakukan dengan pi
hak swasta (pengusaha), maka Pemda DKI Jakarta me
lalui Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, pada akhir
Desember 2005 lebih meningkatkan upaya pembangun
an penghijauan dan keindahan kota bersama masyarakat
mulai dari tingkat kelurahan.
Pengelolaan RTH 239
Gambar 7.3 (halaman sebelum dan halaman ini: Menunjukkan kondisi dan situasi Kota Jakarta
yang sebenamya terletak di lahan basah (rawa)
sehingga sejak dulu memang rawan banjir. Banyak
tanaman peneduh guna mengatasi iklim tropis
yang lembab dan panas.
(----, de Haan "Oud Batavia Platen Album•
dan Maja/ah 'lndieJ
Pengelolaan RTH 241
Ke~asama dalam mengelola RTH di tingkat kelurahan
masing-masing, diharapkan agar (Dinas Pertamanan,
2005):
• Sesuai dengan kebutuhan warga secara nyata di tingkat
yang paling dasar, yaitu pentingnya hidup sehat. RTH
diyakini merupakan salah satu faktor penting memper
tahankan fungsi lestari LH.
• Tertaksananya penghijauan memakai tanaman yang le
bih berkualitas di seluruh ruang terbuka Kota Jakarta
bersama masyarakat.
• Meningkatkan keindahan kota melalui penataan elemen
sarana dan ornamen kota.
• Peran aktif masyarakat kota termasuk generasi muda di
bidang pertamanan dan keindahan paling tidak di saki
tar rumah dan kelurahan masing-masing, dapat lebih
tergalang.
• Tumbuhnya rasa memiliki yang panting demi menjaga
keutuhan areal penghijauan karena semakin mening
katnya kesadaran untuk tidak merusak miliknya sendiri
didasarkan pada kebutuhan hakiki untuk hidup sehat
dan sejahtera.
Dinas Pertamanan DKI Jakarta mengingatkan bahwa
bila bagian rumah kita ada yang rusak, misalnya akan
mudah mengganti dengan yang baru, tetapi bila sebuah
pohon hilang, rusak atau mati, maka butuh waktu tahunan
agar tanaman tersebut dapat hidup tumbuh dan dapat
berfungsi kembali yang justru adalah untuk kepentingan
manusia itu sendiri.
Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2/2005 tentang Pe
ngendalian Pencemaran Udara, merupakan salah satu cara
penting PLH bagi Kota Jakarta, khususnya untuk pemuli
han kualitas udara yang sudah lama ditunggu-tunggu.
242 Pengelolaan RTH
Gambar 7.4: Taman Tugu Pahlawan, sebelum dipagar dan dllengkapi
Museum. (Rishadi, 1990)
7.4.2 Kota Surabaya
Data Dinas Pertamanan Kota Surabaya, (1990), kon- .
disi topografi wilayah kota pantai Surabaya relatif da
tar, dengan sebaran ketinggian antara 3-6 meter dpl, di
sepanjang dataran pesisir dari Utara ke arah Timur, sam
pai 25-30 meter dpl di bagian Barat Daya yang membujur
dari Timur ke Barat. Luas wilayah Kota Surabaya, saki
tar 290,44 km2 terbagi ke dalam tiga wilayah Pembantu
Kota: Surabaya Utara, Timur, dan Selatan.
Luas pusat kota yang padat berada dalam adminis
trasi 11 (sebelas) kecamatan yang luasnya sekitar 67,20
km2 sedang 8 (delapan) kecamatan tersebar di pinggiran
kota, sekitar 224,58 km2• Jumlah penduduk 1990 adalah
Gam bar 7.5: (1) Bangunan rumah dalam kompleks peru mahan mewah menyediakan halaman untuk hijau dan teduh menambah prosentase
luasan RTH Kota Surabaya, (2) Halaman perkantoran yang cukup luas, mungkin lebih nyaman bila lebih banyak ditanami pohon peneduh yang
rindang untuk udara kota Surabaya yang cukup terik, (3) Taman Sure ing Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya. (Rishadi, 1990)
sekitar 2,6 juta jiwa yang sebagian besar terkonsentra
si di wilayah pusat kota, sehingga tingkat kenyamanan
penghuninyapun tidak memadai. Pencemaran udara su
dah nyata telah meningkatkan perbedaan suhu kota amat
tajam antara daerah terbangun dan tidak terbangun, yaitu
mencapai 1 0°C. Disinilah kemudian timbul peningkatan
kesadaran akan pentingnya eksistensi dan fungsi RTH
kota, sehingga sudah perlu dibentuk suatu unit khusus
yang berdiri sendiri.
Cikal-bakal terbentuknya Dinas Pertamanan Kota
Surabaya, dimulai sebagai salah satu seksi Dinas Peker
jaan Umum (SK Walikotamadya Kepala daerah Kotama
dya Dati II , No. 476/K, tanggal 5 April 1972), kemudian
susunan organisasi dan tata kerja Dinas PU ditingkat
kan dan diperbaharui kembali dengan SK No. 290/1985,
dimana Seksi Pertamanan dan Makam (P&M) masih
berada dalam lingkup Dinas PU. Sehubungan dengan
peningkatan kebutuhan pengelolaan yang lebih khusus,
status Seksi P&M ini ditingkatkan menjadi Dinas Teknis
yang berdiri sendiri, disebut: "Dinas Pertamanan Kota"
(SK Pemerintah Kodya Daerah Tk II No. 22/1987).
Pelaksanaan pengelolaan RTH yang dikelola Peme
rintah kota (cq. Dinas Pertamanan) tahun 1987, meliputi
sekitar 388 hektar, berupa: Taman (1 07 Ha), Lapangan
Olahraga (32 Ha) dan Makam (250 Ha), diharapkan pada
tahun 2005 akan terjadi penambahan luas RTH sebesar
Pengelolaan RTH 243
2
3
2
3% dari totalluas yang 388 Ha tersebut.
Pemerintah Kota Surabaya, telah melaksanakan pem
bahasan (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
dengan proyeksi penggunaan, sebagai berikut:
• 17,6 Ha untuk perumahan (54%)
• 0.1 Ha untuk perniagaan (3%)
• 4 Ha untuk industri dan pergudangan (12,5%)
• 0.9 Ha untuk sarana RTH (3%: OR, Makam, Taman)
• 4 Ha untuk jalur hijau sekitar 12,5% (RTH, tambak dan
konservasi)
• 5,5 Ha untuk fasum dan jasa (15%)
Rancangan tersebut berdasar pada asumsi jumlah
penduduk Kota Surabaya tahun 2000 sekitar 2,6 jiwa, di
pusat kota seluas sekitar 32,650 Ha. Dengan perkiraan
pertumbuhan per tahun sekitar 1%, maka pada tahun
2005 jumlah penduduk akan mencapai sekitar 2,7 jiwa.
Pemerintah kota kembali menerbitkan Perda No.
7/2002 Tentang Pengelolaan RTH yang dimaksudkan un
tuk meningkatkan mutu kehidupan bagi generasi masa
kini dan yang akan datang. Mengingat pula bahwa PLH
itu amat penting, termasuk peningkatan kesadaran bah
wa tanggung jawab akan upaya pelestarian fungsi LH,
merupakan tanggung jawab bersama antar Pemda dan
masyarakat Kota Surabaya.
Pelaksanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian RTH,
diatur sebagai berikut: (a) Pemda berwenang meman
faatkan RTH milik daerah; (b) Setiap orang/badan dapat
melakukan pengelolaan dan pemanfaatan RTH atas ijin
Kepala Daerah; (c) Sebaliknya terhadap RTH milik per-
3 orangan/badan, Pemda berwenang mengatur peman-
Gambar 7.6: (1) Jalur lalu lintas, (2) Taman untuk lapangan upacara, (3) faatannya dengan Perda; (d) Pengelolaan RTH oleh setiap Pengaturan kembali tepian sungai. (Kota Surabaya, 1990) badan/perorangan dapat dilaksanakan secara terpadu
244 Pengelolaan RTH
oleh instansi Pemda, masyarakat dan pelaku pembangun
an lain sesuai bidang tugas dan tanggung jawab masing
masing atas ijin Kepala Daerah, dan (e) Setiap penghuni
atau pihak yang bertanggung jawab atas rumah/bangun
an atau persil yang terbangun, wajib menghijaukan hala
man/pekarangan dimaksud dengan menanam pohon pe
lindung, perdu, semak hias, penutup tanah/rumput, serta
memeliharanya dengan baik.
Sedang di luar rumah tinggal pribadi atau tunggal, di
perlukan pula peran para:
• Pengembang perumahan wajib mewujudkan pertaman
an/penghijauan pada lokasi jalur hijau sesuai rencana
tapak yang disahkan.
• Bangunan kantor, hotel, industri, pabrik, bangunan per
dagangan, dan bangunan lain, diberlakukan persyaratan
penanaman mirip Tabel 8 di atas, namun untuk kavling
>240 m2 wajib ditanami tiga pohon pelindung.
• Tiap jalur jalan hijau di seluruh bag ian kota sedapat mung
kin diusahakan untuk ditanami tanaman peneduh.
• Tiap pemilik atau yang bertanggung jawab atas lahan
terbuka berupa lereng dengan kemiringan > 15° wajib
ditanami dengan satu pohon penghijauan pada se
tiap 15 m2 dan penutup tanah/rumput dalam jumlah
memadai.
• Pemanfaatan RTH perlu dikendalikan sesuai fungsi
nya, melalui ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang
ditunjuk, serta sanksi hukum yang mengikat.
• Diterapkan pula persyaratan (tarit) retribusi pemotongan
pohon (Perda No. 2/1978 dan No. 8/1993), dimana ter
cantum berbagai tarif untuk pemotongan berbagai ukur
an pohon serta persyaratan penggantian (peremajaan)
dengan tanaman baru secara seimbang.
Gambar 7.7: Penataan tepian kali (Surabaya) sangat memberi
pengaruh pada kualitas kebersihan lingkungan kota. (KLH, 2004)
Tabel 7.1 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal
UKURAN SYARAT/ KOMPOSISI JENIS KEWAJIBAN JENISYANG
KAVLING PENANAMAN CUKUP MINIMAL DENGAN
>120m2 satu pohon I penutup tanah/
pelindung rum put
120-140 m2 satu pohon penutup tanah/
pelindung, perdu rum put
& semak hias
240-500 m2 dua pohon penutup tanah/
pelindung, perdu rum put
& semak hias
500m2 tiga pohon penutup tanah/
pelindung, perdu rum put
& semak hias
Relatif sempit pakai sistem pot manfaatkan
dan tanaman ruang di atas
gantung lain saluran got
Pengelolaan RTH 245
Semboyan "Kota Pahlawan Surabaya" dengan motto
(2000), sebagai kota INDAMARDI (industri, perdagan
gan, maritim, pendidikan), maka umumnya "Taman kota"
Surabaya digolongkan pula menurut fungsi dan kegiatan
nya sebagai berikut (1990):
(1) Taman Monumen, dimana terdapat patung-patung
perjuangan yang akhirnya nampak menonjol diantara
taman kota yang ada, misalnya: Taman Monumen Tugu
Pahlawan dengan patung setinggi 45 meter, dibangun
tahun 1952 sebagai peringatan pertempuran tang
gal 1 0 November 1945. Sejarah dibangunnya "Taman
Wira Surya Agung" di ujung Jembatan Wonokromo, Ta
man-taman Monumen lain adalah TM Mayangkara, TM
Ronggolawe dan TM Bahari;
(2) Taman Lingkungan, meliputi RTH yang umumnya di
kelilingi oleh jalan lingkungan dalam bentuk persegi,
bundar dan oval. Taman ini sering dimanfaatkan untuk
menampung aktivitas warga kota, seperti: bersantai,
bermain bagi anak-anak dan berolahraga, yang sering
kali menjadi rusak karena minimnya sarana lapangan
olahraga yang memadai;
(3) Taman Jalur Hijau Jalan, biasanya terletak pada me
dian jalan yang cukup Iebar, bersifat pasif, namun kare
na kadang cukup luas sesekali bisa dimanfaatkan pula
untuk olahraga terbatas, namun tentu saja tidak dian
jurkan karena pasti membahayakan;
(4) Taman 'Rotonde', yang bersifat pasif pula dan letak
nya biasa ada di persimpangan jalur lalu lintas, atau Ta
man 'traffic islands';
(5) Taman Bermain, dimana lokasi maupun bentuknya
amat mirip dengan Taman Lingkungan namun dibangun
elemen khusus sebagai sarana bermain anak-anak;
246 Pengelolaan RTH
(6) Taman Kantor, biasanya merupakan 'halaman' kantor
pemerintahan yang sangat luas, dimana masyarakat
umumpun bisa memanfaatkan, seperti Taman Kantor
Balai Kota;
(7) Taman Tepi Jalan, Viaduct, bersifat pasif untuk peng
amanan prasarana;
(8) Taman Stren (bantaran sungai), juga bisa merupakan
ruang yang cukup luas dan panjang, bahkan dipakai
sebagai Taman Rekreasi, seperti Taman Kayun yang
dimanfaatkan sebagai 'food court' khas Jawa Timur.
Pemanfaatan Kali Mas atau kali Surabaya, dulu dikenal
sebagai salah satu atraksi rekreatif penelusuran sungai
bagi warga Surabaya khususnya.
Dari berbagai 'jenis' RTH tersebut, diakui bahwa pe
ngelolaannya belum maksimal karena berbagai kendala
klasik, misalnya keterbatasan biaya dan SDM yang han
dal sebagai sarana pokok peningkatan kualitas RTH kota
Surabaya, karena itu sampai tulisan ini disusun, pening
katan kualitas pengelolaannya masih terus dilaksanakan.
Materi tanaman penghijauan, sedapat mungkin meng
gunakan tanaman 'lokal' melalui seleksi dengan kriteria
tanaman yang relatif kuat, cepat tumbuh sehingga cepat
mengesankan kehijauan dan keteduhan terutama di pu
sat kota. Tanaman terpilih dan telah disiapkan dalam ke
bun pembibitan kota, untuk program jangka panjang ini,
misalnya (Dinas Pertamanan Surabaya, 2000):
(1) Sembirit (8/ighia sapida), tak terlalu cepat tumbuh, hijau
sepanjang tahun, tajuk dapat diatur. Ciri khas: buah
mirip buah jambu monyet, namun tak dapat dimakan,
perbanyakan generatif melalui biji;
Gambar 7.8: (1) Pohon Peteduh yang terletak di sepanjang bantaran kali bisa membentuk iklim mikro yang 1-2 derajad lebih rendah dari
lingkungan di luarnya, (2) Taman Lalu-lintas sebagai unsur 'pelemah' bangunan gedung di sepanjang jalur jalan, (3) Penataan bantaran sungai
meskipun cukup baik, tapi pemilihan jenis tanaman mungkin bisa lebih baik lagi. Jenis pohon flamboyan (Delonix regia) bunganya indah tapi
sering menggugurkan daun.
(2) Tabebuya (Tabebuia rosea), bentuk bunga seperti te
rompet, pertumbuhan tak terlalu cepat, bentuk tajuk
dapat diatur, rekomendasi untuk penghijauan di bawah
kawat listrik penghantar udara. Warna daun hijau
sepanjang daun dan mengkilat. Perbanyakan generatif
melalui serpihan-serpihan biji;
(3) Sono Banyu (Milethia sp), bentuk tajuk membulat,
hijau sepanjang tahun, mampu tumbuh di daerah relatif
kering atau kurang subur;
(4) Maja (Cresencia cujeta/Aegle marmeos), tanaman ber
nilai historis pada jaman kerajaan Majapahit, ciri khas:
buah bulat mengkilat dan keras, sebesar jeruk Bali. Baik
untuk peneduh, sebab karakter batangnya yang men-
jurai dengan ukuran daun relatif besar dan Iebar, serta
tak mudah rontok. Perbanyakan bisa secara vegetatif
(cangkok), maupun generatif melalui biji, serta mampu
tumbuh baik pada lahan basah, atau pada daerah yang
relatif sering terendam;
(5) Tanjung (Mimusops e/engi), bentuk pohon priamidal
dan menarik, berbunga harum, warna buah merah
mencolok (seperti buah melinjo, Gnetum gnemon), baik
untuk peneduh di sepanjang pedestrian (trotoir), dima
na media (ruang)-nya relatif terbatas;
(6) Jambu air (Eugenia aquea L.), tidak dianjurkan dita
nam pada jalur lalu lintas yang pencemaran udaranya
tinggi, namun lebih sesuai untuk lingkungan permukim-
Pengelolaan RTH 247
3
Gambar 7.9: New City-Core
Osaka Twin office Tower dan
Taman bunganya.
(----- 1989, Osaka Business
Park/OBP, hal 7)
an/kampung karena buah segarnya (di musim
kemarau).
Selain tanaman khas di atas, dibudidayakan pula ma
terial 'soft landscape' yang lazim digunakan di lingkungan
perkotaan, seperti: Asam Jawa (Tamarindus indica), Glo
dokan (Polyalthea longifolia), Bungur (Lagerstroemia spe
ciosa) , Dadap Merah (Erythrina cristagalli), Sawo Kecik
(Manilkara kauki) , dan lain-lain.
Kota dirancang baik untuk bekerja maupun untuk tern
pat tinggal, telah digunakan pula pendekatan menyeluruh
di dalam lingkungan terbangun. Di Kairo, Mesir, telah
dibangun pula sebuah wilayah yang disebut dengan Kota
Taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Bagian kota ini memang hijau, dan di beberapa tempat
hanya terletak titik-titik bangunan, diantara keteduhan
pohon hijau yang pekat.
Meskipun tidak seperti di Kairo, Osaka juga terdiri
dari bangunan-bangunan tinggi. Perencanaannya semula
dimaksudkan agar cahaya matahari dan pen~hijauan
adalah sebagai dasar pelayanan dan menjadi bagi'an dari
Osaka Castle Park. Tempat-tempat tersebut dirancang
sebagai pusat baru bagian kota yang dilengkapi dengan
fungsi yang berbeda-beda.
Pemilik lahan pribadi, mewakili empat badan hukum
(tahun 1989, sudah ada sembilan yang terkait), telah
mengorganisasikan sebuah Dewan Pembangunan, di
bawah pengarahan dari Pemerintahan Kota Osaka. De
wan ini telah melaksanakan proyek persesuaian lahan
dan telah mempersiapkan lembaganya.
Karakteristik proyek persesuaian lahan adalah:
7.4.3 Osaka: 'Osaka Business Park' (OBP) • Sepanjang pinggiran perairan di sekeliling area, sebu-
Bila ingin melihat 'kota masa depan', maka dapat ah tempat untuk berjalan-jalan dibangun, dimana
dilihat perencanaan kota Osaka yang sedang gencar- penghijauan diatur sedemikian rupa sehingga saling
gencarnya membangun, antara lain lapangan terbang sinambung, misal: di antara jalur-jalur sungai, dimana
termodern di dunia yang dibangun di atas permukaan pada musim panas atau musim lain sering digunakan
laut. Belum lagi alat transportasi kota yang semakin lama untuk festival. Janis pohon khas Osaka adalah Ginko
semakin canggih demi kenyamanan hid up man usia kota. biloba, namun di sepanjang jalur transportasi (termasuk
Orang tidak lagi kehujanan atau kepanasan, meski dia sungai tersebut) ditanam pula Pohon Sakura.
memakai kendaraan umum, tetapi merasa aman dan • Pada sumbu utara-selatan dibangun garis jalan selebar
nyaman. 7.5 meter yang ditanami Pohon Zelkova Jepang.
248 Pengelolaan RTH
• Kemudian di wilayah kota, dibagi-bagi ke dalam kotak
kotak berukuran besar untuk meyakinkan agar terdapat
ruang terbuka yang mencukupi bagi tiap blok tersebut.
Gambar 7.10 (paling kiri):
Matsushita IMP Building.
(----- 1989, Osaka Business Park, ha/13)
Gam bar 7.11 (atas dan kiri):
The Pedestrian Deck Osaka-jo Kyobashi
promenade.(----- 1989, Osaka Business Park,
hal 17dan 18)
sarana; dan pemeliharaan lahan hijau (sebuah perjanjian
terpisah yang disisihkan khusus untuk promosi RTH).
Osaka, sebagai kota terbesar kedua setelah Tokyo di
Jepang juga telah menghadapi berbagai tekanan pen-
Untuk mempromosikan formasi unsur-unsur pemben- duduk akibat segala aktivitas yang ditimbulkannya, mau-
tuk suasana harmon is dalam ruang kota dan untuk mem- pun akibat urbanisasi dari daerah perdesaan di sekitar
bentuk lingkungan yang baik, semua pemilik lahan telah pinggiran Kota Osaka. Dengan kesadaran sebagian pen-
menandatangani peraturan bangunan. Perancangan dari duduk, terutama para pemilik lahan pribadi, telah diben-garis permukaan pagar yang berupa dinding tembok tuk suatu lembaga untuk mengatasi keterbatasan lahan,
merupakan peletakan bangunan yang letaknya lebih ke dengan meningkatkan daya dukung lingkungan kota belakang dari batas jalan; mengawasi agar terdapat Ia- melalui pengaturan bangunan (bertingkat), khususnya di
han kosong cukup, dan terintegrasi pemanfaatan/peng- pusat kota.
gunaannya; mengkoordinasikan pemanfaatan bangun- Dengan garis besar petunjuk dan pengarahan Peme-
an, bentuk, dan warnanya; perimbangan perancangan rintahan Kota Osaka, secara bersama-sama mereka
Pengelolaan RTH 249
mengatur kembali ruang kota melalui perbandingan ra
sional antara ruang terbangun dan RTH. Dengan penang
gulangan biaya bersama-sama, maka rehabilitasi bangun
an yang ada dapat ditanggulangi melalui insentif yang
diberikan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Osaka telah
memberikan bonus berupa pengurangan dari persentase
persyaratan ruang terbuka bagi bangunan dengan melalui
pengelompokan dan perancangan kembali RTH bersama
yang menjadi milik umum.
Kasus di wilayah Kota Osaka dan sekitarnya ternyata
bahwa sebagian besar pembangunan dan perubahan
terjadi pada daerah perkotaan. Pada separuh bagian
akhir abad ke-19, orang Jepang berada dalam apa yang
dikenal sebagai Periode Meiji, yaitu pada waktu Jepang
mulai dengan seperangkat usaha 'modernisasi', dimana
sebagian besar area terbangun berupa kota perdaga-
250 Pengelolaan RTH
Gambar 7.12 (paling kinl:
Taman Kola Kobe yang indah.
(----- 1985, The Greening of
Kobe)
Gambar kiri atas 7.13:
Rikyu Koen Park, Kobe.
(----- 1985, The Greening of
Kobe)
Gambar kiri bawah 7.14:
Takao Thorough Fare
Jalur lalu lintas lamban,
dipenuhi oleh pohon
peteduh yang sudah bertaut
membentuk lorong yang
nyaman. (----- 1985, The
Greening of Kobe)
ngan dan pabrik-pabrik. Tempat kerja dan permukiman
tidak terpisah. Tak lama kemudian, pabrik-pabrik modern
mulai dibangun di sepanjang jalur sungai di bagian ping
giran wilayah kota.
Akibatnya, para pekerja kota mulai bergerak pindah di
sekitar pabrik-pabrik tersebut, yang pada akhirnya me
nyebabkan penurunan (deteriorisasi) lingkungan. Pada
tahap ini, para pedagang yang mampu dan berkelimpah
an dapat pindah dan memisahkan tempat-tempat kerja
dari tempat tinggal, pindah ke tempat yang relatif lebih
tenang, jauh dari kota.
Kemajuan modernisasi merupakan awal pengem
bangan perusahaan-perusahaan skala nasional maupun
internasional. Pembangunan ini memungkinkan para pe
kerja berdasi atau kelas menengah mampu memisahkan
tempat kerja dengan kediaman, kemudian mereka mulai
membangun permukiman di daerah pinggir kota (sub
urb). Pada tahap ini, jaringan kereta api ke daerah pinggir
an kota akan dibangun dan area permukiman sepanjang
jalur kereta juga berkembang.
Wilayah kota yang ada menjadi penerima dari mening
katnya aliran manusia yang masuk dari daerah (urbanisa
si), menjadikan wilayah kota melebar menuju area-area
di luarnya. Pada tahap ini (sejak tahun 1920-an), sama
seperti juga kota-kota lain, pemerintahan Kota Osaka
telah menerapkan sebuah program modern perencanaan
kota.
Proyek persesuaian lahan dilakukan simultan dengan
pengembangan wilayah-wilayah pinggiran. Kemudian ta
hun 1940-an, beberapa perluasan taman direncanakan
pada area-area pinggiran tidak terlalu jauh dari wilayah
kota. Tsurumi Park, salah satu diantaranya, semula adalah
Dua gambar 7.15 (paling kiri): Masyarakat (orang
tua dan anak-anak) bersukarela merawat taman
Gambar 7.16 (kiri dan atas): Bunga Hydrangea
masyarakat sebagai lambang kota dan pohon
Sasanqua ditanam oleh masyarakat.
(----- 1985, The Greening of Kobe)
merupakan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota
yang dikelola dengan metode konsolidasi lahan melalui
sistem 'sanitary landfill'. Jadi sudah sejak lama diproyek
sikan menjadi semacam taman kota dan ternyata berhasil
dilaksanakan pada tahun 1990 (setelah sekitar 50 tahun
'pematangan lahan' TPA), awalnya sebagai tapak untuk
kegiatan International Garden and Greenery Exposition
(IGGE-1990) tingkat dunia yang sekarang sudah menjadi
lokasi atraksi wisata lokal, nasional maupun internasional,
kebanggaan Kota Osaka.
Taman yang dibangun dari bekas lokasi TPA, dan lain
lain, semacam yang ada di Tsurumi ini, menjadi sangat
terkenal dan kemudian banyak ditiru oleh kota-kota lain
karena mendatangkan banyak uang, misal dari segi pari
wisata. Kini taman Tsurumi di Osaka tersebut telah men
jadi semacam 'Museum Taman' yang banyak dikunjungi
Pengelolaan RTH 251
Gambar 7.17: Jalur lalu lintas, jalur pedestrian dan jalur penghijauan
Taman Kota (-- --- 1985, Green Kobe)
wisatawan dalam dan luar negeri , serta tentu saja men
jadi andalan pendapatan asli daerah setempat.
lnvestasi yang ditanamkan untuk membangun taman
tersebut, tidak saja sudah kembali, bahkan sudah dapat
mensubsidi silang pembangunan taman-taman kota baru
yang bisa dipakai secara cuma-cuma bagi penduduk Kota
Osaka. Sistem pengelolaannya pun berada di bawah satu
instansi, bahkan dengan modal swasta. Pemerintah Dae
rah hanya mengawasi secara administratif atau bila ada
masalah-masalah yang prinsip saja.
Kasus lain seperti kota-kota besar di Jepang yang
perlu diperhatikan, misalnya mengapa sawah-sawah dan
daerah pertanian lahan kering masih relatif banyak ter
dapat di tengah-tengah kepadatan dan kesibukan kota?
Kawasan hijau tersebut dapat tetap bertahan, disamping
atas permintaan pemerintah kota melalui sistem insen
tif pembebasan pajak atau subsidi , mereka sendiri juga
dapat menikmati sebidang lahan pertanian tersebut,
karena pada dasarnya pemilik lahan adalah petani tra
disional yang kotanya sudah berkembang menjadi lebih
252 Pengelolaan RTH
luas. Ada suatu kebanggaan tersendiri baginya, meski
pun hanya mendapatkan sedikit dari hasil pertanian, na
mun petani merasa cukup mendapatkan kompensasi dari
pemerintah kota untuk tetap mengelola lahan pertanian
kota (urban agriculture) yang menjadi haknya.
Serangan udara yang melanda Kota Osaka selama
Perang Dunia ·u, merusak sebagian besar pembangunan
wilayah kota. Setelah perang, kota mulai dengan proyek
persesuaian lahan. Meskipun demikian, untuk dapat me
menuhi kebutuhan akan perumahan dari manusia yang
berbondong-bondong masuk dari luar kota, pemerintah
kota membangun kelompok-kelompok unit perumahan
yang sempit dan berdesakan pada daerah pinggiran.
Kasus Kota Osaka dapat diterapkan di Indonesia,
melalui sistem insentif, di kota-kota Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan,
Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Melalui pe
nyesuaian keadaan sosio-budaya masyarakat Indone
sia, masih dimungkinkan adanya pendekatan yang mirip
pendekatan di atas, didasarkan pada kebutuhan ekonomi
warga kota, sekaligus melestarikan karakteristik fisik dan '
budayalokal.
7 .4.4 Singapura Pemerintahan Negara Kota Singapura sejak semula
(1980-an) telah bertekad untuk menata tata ruang kota
nya sebagai kota tropis yang bersih dan teduh. Rehabili
tasi dan revitalisasi melalui pembangunan kota Singapura
ini, merupakan contoh baik penataan RTH kota tropis.
Kebijakan pemerintah yang bertekad membenahi pena
taan kota tropis sejalan dengan fungsi ekologis alami,
sehingga tercipta lingkungan kota yang sehat, nyaman,
Gambar 7.18: Pemanfaatan sungai intensif Letak Kota San Antonio yang bagaikan oasis di tengah padang
pasir di daerah Texas, sehingga sangat menghargai Sumber Daya Air, yaitu melalui upaya pemeliharaan yang benar-benar ketal, yang akhirnya menyejukkan kola dan dapat dimanfaatkan untuk rekreasi.
(-···· 1992, Urban Development Authority, Singapore)
Pengelolaan RTH 253
aman dan indah bagi penduduknya.
Luas negara kota Singapura hanya 625 km2, berpen
duduk 2.7 jutajiwa (1991) dan perkiraan 4 jutajiwa (2001),
dengan kepadatan 4.300 orang/km2 (1991 ), menjadi 5.500
orang/km2 (2001). Dalam perencanaan kota, daerah pa
dat hanya terbatas sampai 53 persen saja dari total luas
kota, sementara Kota Jakarta yang berpenduduk antara
1 0 juta jiwa (2003), daerah perkotaannya telah lebih dari
90 persen dari totalluas kota 6~0 km2• Kombinasi peran
cangan kotanya, kelak akan mi:lnyediakan 2,4 hektar RT
untuk 1 ,000 orang (1991: 0, 7 hektar).
Pemerintah Singapura menetapkan 6 (enam) kategori
RTH, didasarkan pada hierarki ruang terbuka yang saling
berkaitan (interwoven) , sebagai berikut:
1. Ruang terbuka alami (natural open space) berupa hutan
bakau, daerah hutan kota dan daerah lindung.
2. Taman kota dan halaman yang relatif besar dan luas,
seperti taman wilayah dan taman lingkungan.
3. Lapangan olahraga dan rekreasi, seperti stadion, la
pangan golf, bumi perkemahan dan kebun binatang.
4. Jalur hijau (green belts) pembatas dan penghubung
taman-taman luas, dan pengaman prasarana.
5. Jalur hijau (greenways) penghubung antar permukim
an dengan batas penduduk antara 200-300 ribu orang
saja, bisa alami, dengan rancangan informal, atau beru
pa 'pedestrian malls and plaza'.
6. Area pelatihan militer, lahan pertanian, dana lain-lain.
Originalitas sungai Singapura di masa lalu hampir ti
dak nampak, sebab fisik sungai sebagian besar sudah
direhabilitasi. Legenda bahwa Sang Nila Utama mendarat
di Kuala Temasek yang adalah sungai Singapura seka-
254 Pengelolaan RTH
Gambar-gambar 7.19 a:
Kondisi sungai Singapore sekitar tahun 1977. Dengan pencanangan
'Singapore Clean and Green ' oleh pemerintah (Urban Redevelopment
Authority) maka dalam waktu 1 0 tahun kemudian (1987) Kota
Singapura telah menjadi bersih, indah dan nyaman.
(----· 1992, URA)
SEINE PARIS
-----· --~ ---SINGAPORE RIVER
SIHGAPORE
PASEO DEL RIO SAN ANTONIO
Gambar 7.19 b (atas): Potongan dari sungai San Antonio, Texas, yang 'ditiru' oleh
pemerintah Kota Negara pulau Singapura. (- ---- 1992, URA)
Dua gambar 7.20 (kanan): Pembersihan Sungai di Singapore Diilhami antara lain oleh kota Ran Antonio yang dilalui oleh sungai Paseo (del Rio),
maka muncul tekad untuk membersihkan sungai Singapore 'hanya' dalam waktu
1 0 tahun, dua gam bar kanan ternyata berhasil, tentu dengan kemauan sungguh-
sungguh para pengelola kotanya dan juga penerapan penegakan hukun yang tanpa
pilih bulu. (----- 1992, URA)
Pengelolaan RTH 255
rang. Tahun 1819 Sir Stamford Raffles dan anak buah
nya mulai masuk ke arah hulu dan permukiman pertama
dibangun di sepanjang tepian sungai. Perdagangan lalu
berkembang di atas sungai dan Singapore dinyatakan
sebagai pelabuhan bebas, sungai menjadi titik utama (fo
cal point). Banyak gudang dibangun berdekatan dengan
rumah toko (ruko) di sepanjang sungai termasuk bengkel
kapal dan pabrik pembuatan kapal. Pabrik pengalengan
makan bercampur dengan parik sagu, pabrik penggiling
an beras, dan masih banyak lagi.
Semua kegiatan tersebut telah mengotori sungai sela
ma beratus-ratus tahun, pencemaranpun nyata dirasakan
256 Pengelolaan RTH
telah membunuh kehidupan perairan sungai, muara (dan
laut), sedang di pihak lain penduduk yang terus ber
tambah mendambakan pula air bersih berkualitas tinggi.
Maka pad a tang gal 27 Februari 1977, pad a acara pem
bukaan reservoir di daerah hulu, Perdana Menteri Lee
Kuan Yew menantang Singapura untuk bersama-sama
membersihkan sungai, dalam 1 0 tahun diharapkan orang
bisa memancing ikan kembali di Sungai Singapore dan
Sungai Kallang. Pada bulan September 1987, Menteri LH
Singapore mencanangkan keberhasilan 1 0 tahun proyek
kegiatan membersihkan sungai-sungai tersebut.
VIII PERAN ARSITEKTUR LANSEKAP DALAM PENGEMBANGAN
KAWASAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
8.1 PENDAHULUAN Selama empat dasawarsa (sejak 1963) terakhir ini,
bidang arsitektur lansekap (Landscape Architecture/LA)
berkembang pesat di Indonesia. Di samping banyak yang
menyambut gembira, banyak pula yang skeptik, terutama
pada awal diperkenalkannya, yaitu sekitar 1960-an. Mere
ka berpendapat bahwa kegiatan bidang ini hanya dapat
dinikmati sekelompok masyarakat tertentu dan hanya
merupakan kemewahan/pemborosan. Hal ini mudah di
mengerti bila diingat perwujudan hasilnya berupa taman
taman indah di hotel-hotel megah dan rumah-rumah
mewah serta pusat rekreasi dan taman di kota-kota
besar yang penggunaannya untuk umum sering terlalu
terbatas.
Menurut sejarah perkembangan arsitektur lansekap
memang telah ada sebelum direncanakan kemudian
dibangunnya Central Park (1880-an) di kota New York,
kemudian Prospect Park, di Brooklyn, dan perancangan
perancangan arsitektur lansekap sebagai (RTH)-kota se
terusnya. Apa yang disebut 'modern landscape' mulai
berkembang pada abad ke sembilan belas itu, kemudian
diakui sebagai awal kebangkitan disiplin ilmu arsitektur
lansekap, sekaligus suatu karya seni di mana sebagian
besar RTH (Taman) yang dibangun semula hanya di seki
tar istana raja-raja dan, bersifat feodalistik, dimaksudkan
sebagai bagian yang menyatu dengan bangunan istana.
Karena itu taman lebih merupakan unsur dekoratif sangat
terbatas untuk kalangan tertentu, seperti untuk kesenang-
an para Raja dan anggota keluarga dekat kerajaan se
tempat saja.
Jellicoe, Geoffrey dan Susan (1975, dalam buku mere
ka "The Landscape of Man') dijelaskan hubungan an
tara peradaban manusia (civilization) dengan lansekap
(landscape) sejak jaman pra-sejarah di mana bumi dibagi
dalam beberapa tahap, sejak awal terbentuknya, Ja
man Batu (antara lain, adanya 'tetenger' peninggalan
berupa barisan dan tumpukan batu 'Stone of Sacrifice
dan Stonehenge' di Whiltshire, lnggris), sampai ke tahap
kebudayaan kemanusiaan: mulai dari bagian "Tengah
Gambar 8.1 atas: Stones of Sacrifice
Gambar 8.2 bawah: Stonehenge
(Jellicoe, 1975, ha/16 & 17)
258 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
Bumi" (Asia Barat sampai ke Wilayah Ur-Babylon-Perse
polis-Ctesiphon), Islam di Asia Barat (Baghdad-Samar
ra-Bursa-Constantinople-isfahan), Wilayah Ekspansi
Islam ke arah Barat (Spanyol, Cordova, Granada), dan
ke Timur (Moghul, lndia-Delhi-Kashmir-Agra). Dilanjut
kan ke Kebudayaan Timur: lndia-Kuno (Sanchi-Barabu
dur-EIIura-Mamallapuram-Angkor), China (Soochow/
Suzhou-Hangcho-Beijing-The Great Wall), Jepang (Gu
nung Fuji-Nara dan Kyoto), dan Pre-Columbian America
(feotihuacan-Copan-Palenque-Machu Picchu). Kemu
dian ke kebudayaan Barat dari Mesir sampai ke Ren
naisance: meliputi Mesir (Gizeh-Karnak-Luxor), Yunani
(Mycenae-Delos-Delphi-Oiympia-Athena), Kerajaan Ro
mawi (Roman Empire: Tivoli-Pont Du Gard-Pompeii-Per
gamurn-Jerash-Baalbek), Abad Pertengahan Eropa (St
Gaii-Rievaulx-Assisi-Vezelay-Bruges-Cambridge), Italy:
Mannerism dan Baroque (Bomarzo-Capponi-Gaberaia
lsola Bella-Garzoni), Perancis: Abad ke Enambelas dan
Tujuhbelas (Chenonceau-Vaux-Le-Vicomte-Chantilly
Versailles), Spanyol, Jerman, lnggris, Belanda, Abad ke
Enambelas dan tujuhbelas (Seville-Hellbrunn-Heidel
berg-Hampton Court-Greenwich.
Bagian kedua buku tersebut meliputi uraian perkem-
Gambar 8.3: Teras-teras Kebun Anggur
AI iran arsitektur Sans-Souci (17 44) karya
arsitek G.W. von Knobelsdorff yang khas
pada aliran Barat Klasik dan merupakan titik
awal ke masa depan.
(Jellicoe, 1975, ha/218)
bangan (evolusi) yang disebut def")gan lansekap modern.
Dimulai pada abad ke Delapanbelas, yang disebut 'Ke
budayaan Barat' (Western Civilization: Vienna-Karisruhe
Wilhelmshohe-St. Petresburg-Postdam-Washington).
The Chinese School (fhe Summer palace-Beijing-Ver
sailles-Drottiningholrn-Tsarkoe Selo), The English School
(Castle Howard-Chriswick-Rousharn-Stowe-Stour
head-Painshiii-Bath). Abad ke Sembilanbelas: The Eu
ropean Mainland (Puckler-Muskau-Neushwanstein-Vi
enna-Paris), The British Isles (Regent's Park-Isles of
Scilly-5cotney-Biddulph Grange-Holland Park-Mun
stead Wood-Bodnani), America (USA): Central Park,
New York-Prospect Park, Chicago Worlds's Fair. Abad
ke Duapuluh Pertama (1900-1945): Eropa (Marshcourt
Barcelona-Stockholrn-Welwyn-Aarhus-Bos Park), The
Americas (Washington-Westchester Park System-Falling
Water Tennessee Valley-Everglades). Abad ke Duapuluh
Kedua (1945-1986): The Western Hemisphere-1975: The
New World (Rio de Janiero-Brasilia-kota Mexico-At
lanta-Boston-Los Angeles-Buffalo). The Eastern Hemi
sphere-1975: The Old World (Harlow-Tapiola-Chandi
garh-Brondsby Strand Urbino-Giostrup-Rinchamps).
Kecenderungan Dunia dalam Perancangan Lansekap:
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 259
Sultan Qaboos University-store-On-Trend; La Villette
Milton Keynes-Guggenheim Museum, Lisbon-Victoria
Park-Toronto Zoo-Luuganga-Brion-Earthworks-Can
berra Sutton Place-Modena-Brescia-Calveston.
Dari 'perjalanan kebudayaan manusia' yang dikait
kan dengan perkembangan lansekap baik alami maupun
binaan, di mana nampak jelas nama-nama tempat yang
menunjukkan masing-masing perkembangan kebudaya
an lokal namun bersifat universal ini memang ditulis oleh
'Orang Barat', karena itu tentu saja lebih condong kepa
da penulisan sejarah perkembangan lansekap yang lebih
banyak mengupas di bagian barat. Namun demikian,
meraka mengakui pula nilai kekayaan Kebudayaan Timur
yang ditilik dari waktunya sebagian besar justru sudah
berkembang relatif lebih lama dari perkembangan Kebu
dayaan Barat.Menjadi tantangan bagi kita di Indonesia
ini, khususnya para arsitek lansekap yang terkenal de
ngan kekayaan keanekaragaman baik budaya lokal mau
pun keanekaragaman kekayaan sumber daya lamnya di
seluruh nusantara, untuk mampu menggali dan merekam
peninggalan sejarah arsitektur lansekap (landscape heri
tage) yang masih bisa dipelajari sebelum akhirnya punah
antara lain akibat tidak adanya penghargaan terhadap
nilai-nilai budaya lokal yang merupakan puncak-puncak
kebudayaan dalam kesatuan negara Republik Indonesia
(NKRI) "Bhinneka Tunggal lka" bersatu dalam kekayaan
keanekaragaman budaya dan sumberdaya alami.
Selanjutnya Jellicoe, menguraikan dengan jelas se
jarah perkembangan arsitektur lansekap menjadi dua
bagian besar, yaitu: pertama: From Pre-history to The
End of The Seventeenth Century, dan bag ian kedua: The
Evolution of Modern Landscape. Adanya perancangan
'ruang lansekap' diawali oleh seorang arsitek F.L Olm
sted bekerjasama dengan aristek lnggris, Calver Vaux,
berkembang dalam lima tingkatan (di halaman 281), se
jak bentuk umumnya yang biasanya 'hanya' berupa kotak
karena mengikuii perencanaan kota-kota di negeri barat
yang saat itu umumnya juga berbentuk kotak-kotak (grid
iron), sampai ke bentuk bulat atau lebih mengikuti pro
til alam sebagaimana kondisi geografis lingkungannya,
yaitu dalam tingkatan:
Pertama: Central Park, New York (1857);
Kedua: Porspect Park, Brooklyn (1866)
Ketiga: Riverside Estate, Chicago (1869)
Keempat: The Parkway, Boston (1880)
Kelima: The World's Columbian Exposition,
Chicago (1893)
Olmsted dan kawan-kawan (dalam Jellicoe, 1975)
memulai konsep 'baru' perancangan arsitektur lansekap
(1857) yang waktu itu memperkenalkan lansekap ruang
terbuka perkotaan yang sebenarnya masih 'melihat ke
dalam', yaitu meskipun luas-luas ukurannya secara ke
seluruhan, namun sengaja dibagi-bagi ke dalam banyak
ruang-ruang dengan ukuran yang kecil-kecil namun pada
tiap-tiap bagian tersebut arsitektur lansekapnya diran
cang secara rinci sehingga menjadi kaya akan keaneka
ragaman unsur-unsur untuk bisa memenuhi kebutuhuan
rekreatif masyarakat penggunanya, yaitu melalui pem
bangunan sarana dan prasarana berbagai kegiatan seba
gaimana layaknya sebuah taman kota.
Teknik-teknik perencanaan arsitektur lansekap yang
baru termasuk jalur-jalur jalan panting yang berpotongan
(underpasses), sebagian karena adanya rintangan-rintang-
260 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
an pada tapak, seperti sarana penyimpanan air (reservoir,
retention basin atau 'jebakan pasokan air' untuk mengum
pulkan dan menyimpan sumberdaya air) dan sarana taman
lain yang diperlukan, sebenarnya teknik perancangan arsi
tektur lansekapnya secara rinci belumlah semantap (ma
ture) seperti perencanaan RTH-kota berikutnya, misalnya
seperti Prospect Park yang lebih menyatu dalam sebuah
konsep tunggal dan bersifat klasik akademik. Sedangkan
perencanaan Riverside Estate adalah merupakan perkem
bangan teori suatu perancangan taman (park) yang san
gat mempertimbangkan kebutuhan kehidupan domestik
warganya, satu dari pemikiran paling awal yang berusaha
mematahkan konsep gridiron {bentuk kotak) yang kaku
pada sebagian besar perencanaan kota di Amerika.
' Upaya untuk lebih mengikuti alur alami, dapat dibaca
ringkasan laporan arsiteknya, sebagai berikut: "In the
highways, celerity will be of less importance than comfort
and convinience of movement; and as ordinary directness
of lines in town-streets, with it's resultant regularity of
plan, would suggest eagerness to press forward, without
looking to the right or the left, we shuld recommend the
general adoption, in the design of your roads, of grace
fully curved lines, generous spaces, and the absence of
sharp corners, the ideabeing to suggest and imply leisure,
contemplativeness, and happy tranquillity".
Jika pembangunan ditujukan untuk bangsa Indonesia
maka seyogyanya mengikutsertakan juga masyarakat
berpenghasilan rendah.
Tulisan dalam bab ini bertujuan untuk menyoroti se
jauh mana peran bidang/disiplin Landscape Architecture
{LA) ini dalam perencanaan pengembangan kawasan
yang ramah lingkungan sebagai pendekatan dalam pena-
Gambar 8.4: Central Park
(Je/licoe, 1975, ha/280)
taan ruang kawasan, yakni bagaimana LA dapat dijadikan
suatu pendekatan ekologis-estetis dalam penatan ruang
kawasan.
Diharapkan mereka yang semula skeptik dapat lebih
mudah menerima dan mendukungnya. Sebaliknya, yang
telah berkecimpung dalam dunia ini akan memahami lebih
jauh tugas yang diembannya untuk menciptakan ling
kungan yang sesuai bagi semua lapisan masyarakat In
donesia agar berprestasi lebih dan menjalankan hakekat
kemanusiaannya. Agar bidang ini jangan merupakan ke
mewahan/pemborosan saja, bahkan bisa membantu pele
starian lingkungan serta penghematan ruang dan sumber
daya alam di hari esok, untuk menyelamatkan perenca
naan yang keliru tersebut, diperlukan perencanaan sehat.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan
kawasan adalah peningkatan kesejahteraan masyara
kat di kawasan yang bersangkutan; karena itu, seluruh
kom•ponen kehidupan dan penghidupan masyarakat
tersebut di atas harus dibina sesuai dengan fungsinya
masing-masing, dan salah satu pembinaannya adalah
melalui penataan ruang.
Dalam pengertian umum, ruang (space) adalah seluruh
permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera: tempat
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 261
hidup tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut regional
geography, ruang dapat merupakan suatu kawasan (area)
atau wilayah (region) yang mempunyai batasan geografis
yaitu batas menurut fisik, sosial, atau pemerintahan, yang
terjadi dari sebagian permukaan bumi serta lapisan ta
nah (soil) di bawahnya (sampai kedalaman tertentu) dan
lapisan udara (atmosphere) di atasnya (sampai ketinggian
tertentu). Jadi penggunaan lahan (land use) dapat berarti
pula pemanfaatan ruang di daratan. Menurut UU No. 4
tahun 1982, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
sudah direvisi menjadi UU No. 23/1997 dan pada saat
sekarang pun sedang dalam taraf revisi kembali, penger
tian ruang di sini belum termasuk isinya yang berupa
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup. Sedangkan
menurut UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, ruang
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan
dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan ke
giatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Kawasan/wilayah sendiri merupakan kesatuan alam
yang serba-sama (homogen) atau seragam (uniform) dan
kesatuan manusia yang mempunyai ciri yang khas se
hingga kawasan/wilayah tersebut dapat dibedakan dari
yang lainnya. Kita dapat mengelompokkan kawasan/
wilayah berdasarkan titik pandang tertentu misalnya: ge
ologi (geological region), tubuh tanah (soil region), tum
buh-tumbuhan (vegetatic region), kegiatan ekonomi (eco
nomic region), sejarah (historical region), dan sebagainya;
sedangkan berdasarkan lokasi, luas dan struktur menurut
batasan ruang-lingkup peninjauan tertentu, dapat pula
dibedakan menjadi kawasan perkotaan, kawasan perde
saan, kawasan tertentu/kawasan khusus.
8.2 PENATAAN RUANG DAN PERMASALAHANNYA
Penataan ruang sudah menjadi sine-qua-non di
dalam pengembangan kawasan karena adanya penga
ruh timbal-balik antara ruang dan semua kegiatan ma
nusia. Ruang mempunyai arti tertentu bagi kehidupan
dan penghidupan karena adanya suatu bentuk kegiatan
manusia. Misalnya bagi masyarakat perkotaan, ruang da
ratan (baca: lahan) di pusat kota (central-bussines-distric)
dianggap sebagai sarana kegiatan ekonomi. Sedangkan
di kawasan perdesaan, lahan lebih utama dipandang se
bagai faktor produksi yang tak pernah habis. Juga semua
kegiatan manusia membutuhkan ruang terkait kepada
pengembangan kawasan melalui lokasi dan besaran ke
giatan tersebut.
Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini antara lain
adalah terjadinya tingkat ketidakseimbangan yang meng
khawatirkan dalam pemanfaatan ruang. Misalnya, per
mukiman di area-area jarang penduduk semakin sulit
berkembang meski mempunyai sumber daya alam yang
besar, 67% penduduk Indonesia berdiam hanya pada 7%
ruang wilayah daratan Indonesia, kecepatan perkembang
an kegiatan masyarakat cenderung semakin meningkat,
sedangkan ketersediaan ruang itu sendiri terbatas, baik
dalam pengertian mutlak maupun nisbi. Hal lain yang dih
adapi dalam masalah penataan ruang adalah adanya ke
nyataan bahwa suatu ruang tertentu dapat dimanfaatkan
untuk berbagai alternatif kegiatan, sebaliknya kegiatan
tertentu dapat berlokasi pada berbagai alternatif ruang.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam usaha pe
nataan ruang harus mempertimbangkan keseimbangan
antara: kemampuan ruang (batas toleransi terhadap
262 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
pollutant, carrying-capacity, land-capability, dsb), dan
kegiatan manusia dalam memanfaatkan ruang dengan
meningkatnya kebutuhan ruang tersebut (pengembang
an masyarakat, modal, sumber daya alam, lingkungan
kehidupan dan sebagainya). Keseimbangan, kelestarian
dan keserasian pemanfaatan diantara kawasan satu dan
lainnya di dalam suatu wilayah juga perlu diperhitung
kan. Dapat disimpulkan bahwa penataan ruang melalui
pengembangan berbagai kawasan: perkotaan, perde
saan, tertentu/khusus, lindung, dan budi daya, bertujuan
meningkatkan kesejahteran sosial-ekonomi masyarakat
melalui pengoptimalan penggunaan ruang (lahan) dalam
hubungannya dengan pemanfaatan (u_tility) peningkat
an produksi (productivity) dan konservasi (conservation)
bagi kelestarian lingkungan. Karena itu proses/kegiatan
penataan ruang menyangkut berbagai aspek; karenanya
melibatkan berbagai disiplin yang saling berkaitan, dian
taranya: para perencana kota, wilayah, fisik, sosial dan
ekonomi regional, ahli teknik, arsitek, arsitek landscape,
pengambil kebijakan, ahli hukum, kelembagaan, admi
nistrasi publik, politicians, dan sebagainya.
8.3 KEDUDUKAN BIDANG ARSITEKTUR LANSEKAP
Malthus membuat teori perbandingan antara perlipat
gandaan kelahiran manusia dengan pertambahan pangan
sebenarnya bukan untuk menakut-nakuti manusia, tetapi
sebagai peringatan untuk menghadapi hari esok sebijak
sana mungkin. Kemudian berbagai inspirasi muncul aki
bat teori tersebut, diantaranya teori untuk menghubung
kan pertambahan kelahiran dengan keadaan gizi, dengan
pengelolaan sumber daya alam, carrying-capacity, family
planning, dan berbagai inspirasi lain. Berkaitan dengan
hal ini, pada tahun 1983 WCED (World Commision on
Enviroment and Development) telah menghasilkan suatu
kesimpulan tentang perlu dikembangkannya pola pem
bangunan berkelanjutan (sustainable development). Se
lanjutnya, memasuki tahap Repelita V, sidang kabinet
terbatas Ekuin menerima konsep tersebut dan sebagai
implikasinya antara lain diperlukan: pengembangan in
stitusional bagi pola pembangunan berkelanjutan, usaha
peningkatan pembangunan dan kualitasnya untuk meng
halau kemiskinan, terpenuhinya kebutuhan pokok (basic
needs), segi ekonomi dalam pemantapan tingkat kepen
dudukan yang tertopangkan kehidupannya, orientasi
teknologi dengan resiko terkendali, serta perpaduan segi
lingkungan dan segi ekonomi dalam pengambilan kepu
tusan.
Penataan ruang yang bercirikan comprehensive and
integrated planning, sang at relevan dengan pol a pem
bangunan berkelanjutan (sustainable development) yang
mencakup penggunaan lahan, hutan, laut, daerah aliran
sungai, dan sumber daya alam lainnya, untuk optimasi
penggunaan sumber daya alam bagi pembangunan
tanpa merusak. Pada skala regional/wilayah (provinsi,
metropolitan area, kabupaten atau kota) penataan ruang
berada pada tingkat rencana tata ruang wilayah (RTRW)
dimana analisis ekonomi-regional selayaknya lebih me
nonjol. Pada skala mandala (kecamatan atau bagian
dari kota) berada pada tingkat rencana detail tata ruang
(RDTR) dimana analisis sosial dan fisik sudah memegang
peranan dalam perencanaan. Dan pada skala lokal-terba
tas berada pada tingkat recana teknik ruang (RTR), yang
lebih tertokus pada aspek fisik dan lingkungan.
Penataan ruang adalah upaya terpadu dalam rangka
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 263
memanfaatkan ruang. Perencanaan tata ruang (bag ian dari
penataan ruang) akan menghasilkan rencana tata ruang
berupa pengaturan/alokasi pemanfaatan ruang, lokasi ke
giatan dan keterkaitan fungsi antar kegiatan. Sedangkan
perencanaan pengembangan wilayah/kawasan adalah
suatu perencanaan melalui pendekatan terpadu-tidak
sektoral dan tidak partial terhadap segenap unsur yang
terkait dalam batasan wilayah/kawasan yang kita amati.
Batasan wilayah/kawasan itu bisa terbatas pada fungsi
kota (pusat pelayanan) dan burilokanya (hinterland).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penu
lis berpendapat bahwa perencanaan (pengembangan)
wilayah/kawasan digunakan sebagai pendekatan dalam
penataan ruang wilayah/kawasan. Analog dengan uraian
di atas, Landscape Architecture (LA) juga merupakan di
siplin/pendekatan terpadu untuk mencapai keselarasan
unsur-unsur landscape agar dapat tercapai hasil optimum.
RTRW, ROTA, dan RTR satuan permukiman (sebagai ba
gian dari penataan ruang) seyogyanya dapat memanfaat
kan disiplin/pendekatan Landscape Architecture (LA) ini,
agar dapat mencapai tujuan penataan ruang (terpadu,
serasi, efisien, optimal, dan sebagainya).
Menunjuk adanya kenyataan bahwa ruang tertentu
dapat dimanfaatkan untuk berbagai alternatif kegiatan
dan kegiatan tertentu dapat berlokasi pada berbagai al
ternatif ruang, maka bidang landscape architecture mem
punyai tugas untuk menentukan alternatif terbaik, paling
optimal dari segi pemanfaatan, produktivitas dan konser
vasi sesuai dengan azas-azas landscaping. Oiharapkan
bidang ini lebih banyak berperan pada tingkat RTR dan
ROTA.
8.4 TANTANGAN BAG I PARA ARSITEK LANSEKAP Mahalnya bidang arsitektur lansekap dimulai dengan
m~lhalnya sebidang lahan yang harus dikelolanya untuk
menciptakan ruang gerak yang serasi dengan kegiatan
atau kebutuhan manusia· Indonesia masa kini. Kalau
dalam perkembangan kawasan, lahan biasanya menjadi
langka, maka pengorbanan finansial yang diberikan men
jadi sangat besar. Sampai saat ini makin banyak kota
kota memadat dan melebar. Sementara di burilokanya
(hinterland) banyak t;>angunan villa-type, rumah mewah
bergaya spanyol, ancient greek, renaisance, dan seb
againya bermunculan di antara sawah-sawah subsisten
dan gubuk/rumah sedekala (tradisional) yang asli. Oua
situasi kontras ini perlu segera ditangani secara serius
dan akan sangat mahal bila terlambat.
Hasil pembangunan (fisik) sampai saat ini mudah kita
lihat dengan bertambah banyaknya jalan-jalan besar, li
cin, hotmix, bertambah pesatnya kendaraan, bertambah
banyaknya kawasan industrial estate, real estate, aparte
men, hotel, dan restoran di kiri-kanan jalan. Oi balik
bangunan-bangunan tersebut umumnya keadaan lam
batlkurang banyak perubahan. Perkembangan dengan
pola memanjang (corridor pattern) ini sebetulnya tidak
cocok untuk sekitar jalan bypass dan freeway. Gambar
8.5 & 8.6 memperlihatkan dua alternatif penggunaan
lahan. Oikhawatirkan bahwa pola koridorlah yang akan
dominan, sehingga persoalan lalu-lintas akan tidak ada
habis-habisnya dari masa ke masa.
Sementara itu kita lihat meningkatnya jumlah restoran
yang muncul dimana-mana, tetapi tidak banyak dibangun
taman-taman untuk piknik atau murak tim bel (makan di luar
264 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
Dua Alternatif Penggunaan Lahan
di Kiri-Kanan Jalan Raya
Gambar 8.5 (paling kiri): Jalan raya
dan penggunaan lahan di dekatnya.
Paling umum dijumpai di mana
mana: 50 jalan simpang permil, tak
terencana, tidak disonansi, tidak
inteligent, suatu studi dalam geseran,
kebingungan, ketidakefisienan dan
chaos.
Gambar 8.6 (kiri): Penggunaan
lahan di kiri-kanan jalan raya yang
terencana, disonansi dan inteligent,
lalu-lintas jalan raya lancar dan bebas:
fungsi dikelompokkan: rumah-rumah
mengarah ke taman: sekolah, gereja
dan area perbelanjaan mempunyai
pintu keluar.
(Simonds, 1969, dalam Djumantri,
2006, hal 2. 1.2)
Gambar 8.7: Prospect Park
Gambar 8.8: Riverside Estate
(Jel/icoe, 1975, ha/281)
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 265
dengan bawa makanan dari rumah) dan tempat-tempat 8.5 AZAS-AZAS ARSITEKTUR LANSEKAP camping. Oleh karena situasi ini dapat mencerminkan pola
konsumsi, mung kin dapat diterima adanya pendapat orang
yang mengatakan bahwa kita bertabiat boros.
Kita lihat juga pembangunan kompleks perumahan
instansi yang cukup mewah tetapi tidak dihuni seluruh
keluarga karena alasan masalah sekolah anak-anak, se
mentara beberapa keluarga berpenghasilan rendah kare
na alasan ekonomi berdesak-desakan mendiami ruangan
sempit dibatasi batako yang mereka sebut rumah-murah,
rumah-efisien, dan sebutan lainnya yang memikat.
Di kawasan perdesaan/kawasan pertanian masih ba
nyak dijumpai penggunaan lahan seperti pada gambar
2a: rumah yang salah letak, fasilitas sosial-ekonomi yang
terlampau jauh, petak-petak sa wah yang terpecah-pecah,
tidak teratur bentuknya, tidak terlayani seluruhnya oleh
jaringan jalan dan jaringan irigasi, merupakan pemanda
ngan yang lumrah. lni mengakibatkan produktivitas yang
rendah karena input-input pertanian sulit diefisienkan.
Keadaan seperti ini juga perlu mendapat perhatian seri
us, bila tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak
negatif berupa penurunan gairah kerja petani yang men-
dorong urbanisasi ke kota.
Beberapa kepincangan seperti telah diuraikan di atas
mungkin dapat dihindari, kalau kita memahami perenca
naan wilayah dan kota (urban and regional planning) yang
sempurna.
Berikut ini hanya akan dibahas perencanaan wilayah
dan kota yang didasarkan azas-azas landscaping yaitu
8.5.1 Keindahan
Dalam pemandangan alam (panoramic landscape)
sering kita temui sifat-sifat landscape alami yang nyata
mewujudkan kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony)
diantara seluruh unsur-unsur alaminya (bangun-tanah/
morphology, bentukan batuan/lithology dan bahkan ke
hidupan hewan-tumbuhannya/wildlife). Makin sempurna
kesatuan dan keselarasan ini, makin sempurna pula ke
nikmatan yang diperoleh si pemirsa. Derajat keselarasan
dan kesatuan yang menimbulkan kesenangan pada kita
ini disebut keindahan. Lawannya adalah kejelekan yang
menunjukkan kurangnya kesatuan antara unsur-unsur
atau adanya satu/lebih dari satu unsur yang tidak serasi.
Keselarasan visual dari semua unsur-unsur landscape
sangatlah diinginkan. Karena itu dengan mengingat as
pek visual saja dari sifat-sifat tempat, rupanya dalam
mengembangkan kawasan alami kita harus sudah ber
usaha untuk memelihara atau mengintensifkan sifat-sifat
landscape aslinya. Juga harus menyingkirkan semua
obyek lain untuk menambah atau menekankan sifatnya.
Sebagai contoh kalau kita melihat bunga-bunga Zinnia di
tepian Danau Telagawarna mudah kita menganggap itu
kurang tepat, karena menurut pengalaman kita bunga
bunga Zinnia itu selalu ditanam di bedeng bunga. Sebaik
nya dalam alam semacam itu, tanaman bunga Tephrosia
ungu atau bunga Impatiens liar yang ditanam.
azas kesatuan dan keselarasan (unity and harmony) se- 8.5.2 Kagunan (Kegunaan/Manfaat)
hingga dapat memberikan manfaat maksimum pada rna- Umumnya bila kita berbicara mengenai lahan dan
nusia yang menggunakan ruang tersebut. tanah, selalu menyangkut kegunaannya. Jadi apa guna
266 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
semua pembicaraan mengenai keindahan tadi? lebih baik
dihentikan saja dan kita bersikap praktis dan melupakan
seluk-beluk sifat-sifat landscape. Lebih baik diperbin
cangkan bagaimanakah lahan dan tanah itu dapat diper
gunakan/dimanfaatkan.
Sesungguhnya, kalau kita mengerti semua sifat-sifat
landscape secara luas, yaitu pertama memahami ciri-ciri
fisiknya dan tabiat dari tempatnya, sebelum salah letak/
canggung/jelek, akan lebih baik untuk:
(1) Mengenal kegunaan terbaik dari tempat tersebut, un
tuk dapat mengeksploit sepenuh daya;
(2) Menggunakan dan mengembangkan kegunaan seca
ra inteligent dalam hubungannya dengan ciri-ciri land
scape yang telah dipelajari;
(3) Penggunaan terintegrasi untuk menghasilkan land
scape yang telah diubah, yang secara visual dan fung
sional tampak indah. Dalam hal ini berlaku pernyataan:
"It looks good, It works well, /like it".
8.5.3 Pengaturan Lansekap
Jika kegiatan manusia di suatu kawasan bertambah,
landscape menjadi semakin sulit diatur. Pengaturan yang
baik bila menunjukkan hubungan yang serasi/cocok di
antara unsur-unsur landscape, pengaturan yang jelek
bila tampak hubungan yang kacau atau tidak logis di an
tara unsur-unsur landscape. Dalam pengaturan ini perlu
diletakkan prinsip-prinsip design yang mencakup: tema
(theme), gradasi (gradation), kejutan (contrast) dan pe
ngendali diri (control, restrain).
Tema (theme) merupakan unsur penyatu, pengikat,
pengenal (unifying factor). Misalnya suasana serba san
tai, suasana serba halus, serba bulat, serba hijau, dan se-
bagainya. Gradation sebagai unsur pentahap/penjenjang,
pemberi ketenangan dalam variasi, bernilai variasi lem
but. Misalnya berbagai nuansa warna merah, berbagai
corak bulat dan kehalusan. Contrast sebagai unsur pe
nyegar, bumbu yang memberikan nilai variasi tertinggi.
Misalnya munculnya secerGah warna merah di tengah
tengah suasana serba hijau, atau bentuk segi-empat di
tengah-tengah suasana serba bulat, atau tekstur kasar
di tengah-tengah suasana serba halus. Control/restrain
sebagai unsur pengendali diri pemelihara keseimbangan.
Theme, gradation maupun contrast diperlukan dalam se
tiap kreasi, namun agar jangan berlebihan, perlu pengen
dalian (Rachman, 1977).
Gambar 8.9: Perobahan wajah lansekap abad XVII di China
Salah satu istana dalam kompleks 'Summer Palace', yaitu : Fang Hu
Sheng Ching. Merupakan perancangan geometris yang secara total
merupakan bagian (sub-ordinal) dari lansekap alami.
(Jellicoe, 1975, ha/224)
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 267
Secara umum keindahan dapat dicapai dengan
menerapkan ke empat prinsip design tersebut di atas
yang diekspresikan ke segenap unsur-unsur design an
tara lain: garis, bentuk, ukuran, tekstur, warna, rasa, bau,
bunyi, ruang dan waktu. Unsur-unsur landscape sendiri
dapat dikelompokkan ke dalam unsur landscape yang
major dan yang minor. Unsur landscape yang major
merupakan bentuk-bentuk landscape, roman dan gaya
yang dapat diubah sedikit saja, yakni bentuk-bentuk
batas pegunungan, lembah sungai, dataran pantai, per
mukaan air, aliran air, pasang, laut, gaya, gravitasi, angin,
hujan, halilintar, cahaya matahari, sinar bulan, dan erosi.
Unsur landscape minor (dapat diubah) antara lain bukit,
hutan, aliran sungai, rawa, hewan, tanaman, sinar lampu,
dan sebagainya.
8.5.4 Pengembangan Wajah Lansekap Alami
Dapat dilihat pada ilustrasi gambar/foto berikut usaha
pengubahan wajah landscape yaitu: (1) Pemeliharaan dari
bentuk alamnya (lansekap di China) tak hanya perkemban
gan permukiman perkotaan tetapi juga di wilayah alami,
seperti misalnya: eagar-eagar alam, park, hutan-pelind
ung; (2) Penekanan bentuk alamnya misalnya sebuah
bukit kecillebih dipertegas menjadi menggunung; (3) Pe
rubahan bentuk alamnya. Misalnya perataan, pengambi
lan pohon-pohon penutup yang alami, penanaman dan
pembuatan teras-teras. Perubahan begini dapat memba
hayakan (penggundulan, erosi, longsor) atau dapat meru
pakan suatu perbaikan (sawah-sawah pegunungan di Bali,
Parahyangan, dan lain lain); (4) Perusakan bentuk alamnya.
Misalnya sebuah bukit dapat dimusnahkan, dipindahkan,
dikubur untuk dikonstruksi, digenangi air, dan sebagainya.
Hasil dari usaha-usaha yang serasi dapat kita nikmati
misalnya kalau kita berlayar sepanjang sungai Rhein: ke
bun anggur, kebun desa, pabrik-pabrik kecil, klab perahu,
semuanya berorientasi dan direncanakan pada jiwa yang
sesuai dengan mengalirnya sungai. Juga hal yang indah
ini dapat disaksikan di desa-desa di Swiss, yang cocok
dengan sisi gunungnya, padangnya, dan jalannya yang
sederhana.
Keindahan tidak harus berisi struktur landscape yang
mahal. Sebagai contoh menjulangnya rumah-rumah me
wah dengan tamannya yang serasi di sekelilingnya, ka
lau terletak di antara gubug-gubug di pedalaman di alam
luas sangat mengganggu. Dapat dikemukakan seperti
tampak dalam gambar 8.4, aksioma yang biasa dianut
golc)ngan besar dalam pembangunan di Amerika Serikat
dan tampak juga gambar yang seharusnya merupakan
impian arsitek landscape. Sesedikit mungkin mengubah
landscape, tetapi didapatkan hasil yang optimum. Hal
itu tampak juga dalam gambar 8.9. Jadi jelaslah analisis
tapak (site analysis) sangat memegang peranan, untuk
membangun secara serasi.
Sari landscape yang indah sebenarnya bukan pada
mahalnya biaya yang diberikan atau banyaknya perubah
an yang ditimbulkan. Menurut Eckbo (1964) yang selalu
dicari di setiap landscape adalah dua nilai: yang satu peng
ungkapan mutu landscape yang asli, yang lain pengembang
an maksimum dari kehidupan manusia. Juga dikemukakan
bahwa esensi (sari) fisik karakter landscape terletak dalam
hubungan-hubungan yang telah ada atau yang didirikan
antara struktur Galan, bangunan, utilitas, engineering, arsi
tektur) dengan alam (ruang terbuRa hijau, atmosfera, iklim,
topografi, tumbuhan, air, hewan, batu dan karang).
268 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
Gambar 8.10: Tapak di 'hutan bambu' Bambu sebagai tanaman endemik (lokal) banyak dimanfaatkan dalam
kehidupan keseharian bangsa China, yang di jaman sebelum politik
membuka diri, Negara China disebut "Negeri Tirai Bambu'
(Zhu, 1992, ha/62)
Gambar 8.11: Perancangan bak-bak bunga (flower beds)
Terutama di musim semi dan musim panas, negeri China merupakan
'kesenian' khas di RTH rekreasi (taman-taman kota) di China yang juga
terdapat saling pengaruh dengan seni perancangan taman di Negara
Barat. Di dominasi oleh merah, warna bendera kebangsaan China.
(Zhu, 1992, ha/134 & 135)
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 269
~~~"~,, ........ ~'···
··~~
Gambar 8.12: Pekerjaan 'Seni Batu' di Taman Ryoan-ji
Merupakan simbol penganut Buddha di mana wujud Maya dari Sang Buddha dipercaya tetap hadir dan dihormati. Taman ini merupakan suatu
tempat yang sangat mistis. Digambarkan dengan memakai batu berbagai bentuk dan ukuran serta pasir sebagai dasar {lantai)-nya. Dibangun
pada abad ke XVII di Kyoto dengan luas sekitar 9.000 m'. Dan gambar Taman Batu Jepang Sampo-in, Daikako-ji , Kyoto.
(Fukuda, 1970, ha/41 & 105)
2_70 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
8.6 ASPEK KREATIF DARI PERENCANAAN Dalam landscaping yang utama adalah keahlian bagai
mana mengorganisasikan ruang dan massa yang tersedia
agar diperoleh suatu lingkungan hidup yang ideal, yakni
lingkungan hidup dimana seluruh individu yang berada
di dalamnya dapat mengkreasikan seluruh aktivitas ke
hidupannya baik jasmani maupun rokhani secara maksi
mum. Kehidupan ideal tidak saja diukur dari tambahan
pendapatan dan perabotan ataupun kenikmatan lahiriah/
fisik; yang lebih penting yaitu hal-hal yang dapat memberi
semangat dan pemupukan jiwa. Karena itu, memberi jalan
teduh berpohon di sekitar menara Eiffel bagi penduduk
miskin kota Paris jauh lebih penting daripada perbaikan
satu persen rumah-rumahnya (kampong improvement)
yang di bawah standar itu. Seperti halnya Jakarta, hanya
memberi kelap-kelip lampu hias di jalan-jalan protokol
telah memberi kesempatan penduduk miskin di daerah
kumuh menikmati panorama indah Jakarta, hanya den
gan empat ribu lima ratus rupiah naik bis-kota/busway
dari suatu ujung kota ke ujung kota lainnya.
Dalam pembangunan kota, perlu dipelajari seni me
letakkan bangunan-bangunan untuk menciptakan ruang
yang berbeda-beda: ruang yang tenang, teduh, penuh
daya hidup, ruang yang luas, megah dan mewah, hebat,
ruang yang hiruk-pikuk, ruang yang misterius, ruang-ru
ang transisi yang membatasi, memisahkan ruang-ruang
yang memiliki sifat kontras ini, tetapi masih saling meng
hubungkannya. Dapat dikemukakan masyhurnya taman
Ryoan-Ji, taman untuk merenung karena kesederhanaan
nya, kesempurnaan detailnya, sugesti yang diberikan
mengenai ruang yang luas dan daya kekuatannya untuk
membebaskan pikiran dan jiwa manusia. Karena dalam
landscape architecture aspek sirkulasi (lalu-lintas) harus
dipikirkan baik-baik, maka dalam pengaturan kembali el
emen-elemen secara visual, kita harus dapat menerima
bukannya benda-benda terisolir dalam ruang, melainkan
struktur, tatanan dan kait-mengaitnya peristiwa dan ke
jadian dalam ruang dan waktu. Perencanaan yang tulen
menurut Simonds (1969) adalah suatu usaha, tidak hanya
mengganti realita, tetapi untuk mempertegasnya, dan
untuk memahami dengan kuat semua unsur-unsur pen
ting untuk membawa fakta geografis dan fakta ekonomi
dalam keadaan serasi dengan tujuan manusia.
Menu rut Mumford, pengujian terakhir dari sistem eko
nomi bukanlah pada jumlah ton besi, jumlah tangki min
yaknya, atau jumlah meter kain yang diproduksinya. Ujian
terakhir terletak pada hasil akhirnya: jenis manusia yang
diasuhnya dan tatanan serta keindahan dan kesehatan
jasmani-rohani dari masyarakatnya. Suatu rencana mulai
dengan pengetahuan mengenai keadaan sekarang (ex
isting condition) dan kesempatannya; untuk membangun
secara inteligent hari ini adalah untuk meletakkan dasar
bagi kebudayaan baru yang akan datang.
8.7 PENGEMBANGAN KAWASAN
8. 7.1 Sejarah Perencanaan
Lahirnya bidang arsitektur lansekap dilatarbelakangi
oleh munculnya konsep kota-baru (new-town) yang di
cetuskan oleh para "pemikir ke arah perbaikan hidup"
sebagai reaksi dari proses degradasi mutu lingkungan
hidup dan kehidupan di kalangan penduduk kota yang
sedang mengalami revolusi industri. Perry (1929) misalnya
mengembangkan konsep ini ke dalam sistem satuan ling-
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 271
Gambar 8.13 (kiri)
Diagram Dasar yang benar menurut Ebenezer Howard untuk
Pertumbuhan Kota-Perdesaan disertai lalu-lintas yang baik.
(Howard, Ebenezer, 1964)
Gambar 8.14 (bawah)
Organisasi Wilayah di DKI Jakarta. Mengikuti Konsep Satuan
Ungkungan (Neighborhood Unit Concept).
(Simonds, 1964, dalam Djumantri, 2006)
Pusat Neighbourhood
Community
Pubot wllayah iu>c.a - - P«tcantoran
- PuAt pe<1Dkoan - Pasarfgardu - Akademi/SMA - PuAt olah raga
fstadion)
Termlnat
'---------------1~ Wllayah Kota
"---------------• Pusat Community
272 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
kungan, ia merencanakan kota menjadi unit lingkungan
pusat kota dan beberapa unit lingkungan permukiman
lainnya yang masing-masing dilengkapi prasarana sosial
ekonomi. Tiap unit lingkungan dibatasi oleh pola-hijau
(green-pattern) yang terdiri atas taman, lapangan olah-raga
dan sebagainya. Seluruh kota dibatasi jalur hijau (green
belt) yang tidak boleh digunakan untuk permukiman tetapi
harus merupakan hutan atau dapat juga perkebunan be
sar, bendungan, situ/embung dan sebagainya, yang tidak
menyebabkan tumbuhnya perkampungan yang meluas.
lni adalah suatu pencetusan ke arah usaha memperbaiki
kehidupan kota yang semakin menurun tersebut, yang se
lanjutnya diikuti di negara-negara lainnya.
Pengembangan konsep tersebut di antaranya di lng
gris yakni impian tentang kota-taman (garden-city) dari
Howard E. 1964 (diikuti Geddes, Unwin, dkk) seperti ter
lihat pada gambar 8.13. Garden-city direncanakan untuk
sebuah kota yang kawasan perumahannya dibangun
rapat dan dikelilingi zona lahan-usaha tani milik pen
duduk perdesaan. Garden-city dapat diartikan, kota di
dalam taman yang penduduknya dibatasi supaya jarang.
Dengan pertumbuhan kota taman, di luar lahan usaha
tani di sekelilingnya terbentuk beberapa kota kecil (yang
juga dikelilingi lahan usaha tani). Dengan demikian kota
mendapat keuntungan berupa kesegaran/kesehatan dari
kawasan perdesaan dan desa mendapat keuntungan
berupa kegiatan kota, pengetahuan dan efisiensi kota.
Berdasarkan pengaruh konsep tersebut, seorang arsi
tek Belanda bernama Thomas Karsten (1938) mengecam
beberapa kotapraja yang dirancang pemerintah Hindia
Belanda seperti Batavia di Sunda Kelapa (dibentuk tahun
1890 oleh Jan Pieterzoen Coen), Samarang, Bandoeng,
Soerabaya dan Medan (antara 1895 s/d 1915). Kota-kota
tersebut hanyalah fotokopi Holland-style yang disesuai
kan dengan budaya western. Bangunan-bangunan rumah
berpilar berskala luas dikelilingi kanal dan jalur hijau; ba
tas kota dipertegas dengan tembok-benteng (citadel)
dilengkapi meriam di pintu gerbang dimana di dalamnya
terdapat rumah-rumah gubemur jenderal, burgemeester,
anggota volksraad dan gemeente raad. Kemudian pada
tahun 1938 Karsten menerapkan konsep tuinstad (gar
den-city) untuk kota-kota Bandoeng, Buitenzorg (Bogor),
dan Malang. (Contoh Gambar 8.14, Organisasi Wilayah)
Sayangnya, tuinstad Karsten hanya terbatas di kota
saja, masih terdapat garis pemisah antara kawasan
perdesaan yang umumnya tempat hidup Inlander (boe
miputra) dan kawasan perkotaan yang umumnya tern
pat kehidupan bangsa Eropa, bangsa Asia non-pribumi
(Arab, Gina, India, dsb) dan para Dalem. Kalaupun ada
perhatian pada kawasan perdesaan, hanya terbatas
pada kawasan perkebunan (plantation-estate) untuk ke
pentingan ekonomi-kolonial, misalnya di Lampung dan
Sumatera Selatan dimana para pekerjanya diambil dari
penduduk Jawa melalui program transmigrasi paksaan.
Dan untuk memperbaiki kehidupan penduduk pribumi di
kawasan pinggiran kota dilakukan Kampoong Verbeeter
ing (Kampoong Improvement), itupun hasil perjuangan
gigih dari Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota
Gemeenteraad (dewan-kota).
Baru sekitar tahun empat puluhan terjadi penyempur
naan peraturan/perundang-undangan dan kelembagaan
menuju ke sistem perencanaan yang lebih matang. Di
sinilah lahir Stadsvorming Ordonantie (SVO), Staatblad
1948 no. 1681 dan Stadsvormlng Verordenlng (SVV),
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 273
Staatblad 1949 no. 40. Kemudian dengan metoda pe
rencanaan kota yang lebih modern tahun enam puluhan
Kenneth Watts membuat Master Plan Djakarta dan diikuti
dengan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.
Tahun tujuh-puluhan teori-teori/pendekatan dalam
pengembangan wilayah semakin berkembang pesat di
antaranya: teori ketergantungan sepihak (dependency
theory), sistem pusat-pinggiran (centre-periphery-system),
teori saling ketergantungan (interdependency theory).
Setelah itu, timbul suatu perkembangan yang memusat
kan perhatian pada persoalan yang urgen seperti kebu
tuhan pokok bagi manusia (basic-needs), kepentingan
lokal bagi tiap masyarakat, pengembangan lingkungan
(ecodevelopment) dan teknologi kecil (small-technology),
pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up-approach),
dan dari atas ke bawah (top down approach), pendekat
an sektoral dan regional, dan sebagainya, dan terakhir
standar pelayanan minimum. Berbagai teori/pendekatan
di atas dicoba diterapkan di Indonesia.
Beberapa tahun setelah diundangkannya SVO-SW,
Pemerintah Indonesia berupaya untuk menggantinya
dengan menyusun RUU Bina Kota yang dalam proses
perkembangannya diganti menjadi RUU Tata Ruang Kota.
Selama lebih-kurang 40 tahun memperjuangkan RUU ini di
depan DPR, telah mengalami perluasan substansi sejalan
dengan berkembangnya teori/pendekatan wilayah dan ke
sadaran akan kelestarian lingkungan hidup. Akhirnya pada
tahun 1992 disahkanlah UU No. 24/1992 tentang Pena
taan Ruang (tidak terbatas hanya pada lingkup kota).
8. 7.2 Permasalahan Pengembangan Kawasan
Dari pengalamannya, Simonds (1983) menyadari ma
sih ada kebiasaan pandangan para perencana dalam
mempertentangkan kota lawan desa, urban lawan sub
urban, urban versus rural. Karenanya banyak tegangan
dan gesekan berulang-kali yang sesungguhnya tidak
perlu terjadi. Barangkali ini timbul karena kurangnya in
tegrasi dan koordinasi antar sektor, kurangnya koordinasi
perkembangan yang direncanakan mengenai satuan
satuan wilayah. Banyak tampak duplikasi biaya adminis
trasi dan fasilitas-fasilitasnya.
Dalam menghadapi situasi ini, muncul kecenderungan
yang bijaksana di antara para perencana untuk meman
dang kota dan burilokanya (hinterland) dalam pengertian
wilayah ekonomi dan wilayah sosial-budaya. Keuntungan
pengkajian dan perencanaan wilayah/regionalisasi ini san
gat nyata dilihat secara ekonomik dan keefektifannya.
Keinginan manusia yang Iaten dalam suatu kehidupan
yang saling menghargai dan saling menolong, harus di
upayakan agar terus bersemi dan berkembang dengan
edukasi, tetapi kondisi luar yang dituntut untuk menca
pai itu haruslah diciptakan. Arsitek-arsitek harus diberi
tugas untuk membangun tempat kontak antara manusia
dengan manusia, membangun lingkungan yang mengun
dang pertemuan-pertemuan dan pusat-pusat yang mem
berikan pertemuan-pertemuan semacam ini sesuatu yang
berarti dan membuatnya produktif (Gutkind).
Simonds (1983) dan ahli-ahli arsitektur landscape
mengecam keadaan kota-kota besar di Amerika Serikat
sekarang dan menganggapnya sebagai gurun pasir. lni
karena dulu dipakai prinsip asal menumpuk sebanyak
banyaknya struktur atau sebanyak-banyaknya kota-kota
27 4 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
dalam satu tempat. Kota yang biasa ditunjuk secara
bangga hanya yang paling tinggi, paling luas dan paling
padat, dengan hasil-hasil karya arsitekturnya. Belum di
pastikan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya teril
hami, terangsang oleh lingkungan kotanya. Bagaimana
dengan Jakarta sekarang?
Masalah yang dihadapi arsitek-arsiteklandscape seka
rang dan meningkat di masa mendatang adalah pengem
bangan cara-cara dan jalan untuk menjembatani jurang
pemisah (gap) antara kota dan desa, antara growth pole
(pusat-pertumbuhan/pelayanan) dan burilokanya (hinter
land). Suatu antitesis antara perkotaan (urban) dan perde
saan (rural); dan lebih khusus, antara gedung bertingkat,
aspalt-hotmix, fly-over Galan-layang) dan konstruksi kota
yang ribut dan bising, dengan hijaunya palawija yang te
nang, gemulainya padi yang menguning, gemerciknya air
sungai, romantisnya hutan dan pantai. Bagaimana untuk
membuka kota ke desa, membawa budaya positif kota
ke desa, akan merupakan permasalahan utama. lni akan
diungkapkan dalam jumlah, jenis dan mutu vegetasi yang
ada.
Selama kegiatan manusia masih dalam hubungan
simpati dengan alam, atau hanya sedemikian kecil ska
lanya sehingga tidak mengganggu siklus proses-proses
alami, landscape akan survive, baik dalam bentuk alam
nya yang menonjol atau dalam hasil yang seimbang dari
kerja sama manusia-alam. Akan tetapi, segera setelah
pertumbuhan populasi atau kegiatan kotanya meng
ganggu keseimbangan alam, lansekap akan menderita,
dan obat satu-satunya hanyalah bila manusia mengambil
bagian dalam evolusi lansekap.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa dalam kota yang
baru, ruang sama pentingnya dengan gedung-gedung.
Dapatlah dilihat bila orang kota/pusat dipindah ke dae
rah, walau dalam lingkungan yang indah dan mewah,
merasa tidak kerasan. Ada yang dikangeni dan dibutuh
kannya: ingin hiruk-pikuknya kota, bau keringat dalam
bis kota, robekan poster, boneka etalase, toko buku, kios
serba ada, warung tenda, berjajamya pedagang kaki lima
dengan seribu-satu propaganda, dan sebagainya. Sebe
tulnya, yang sesungguhnya menjadi keperluannya adalah
kompresi, minat, keanekaragaman dan kejutan-kejutan.
Manusia membutuhkan dan harus memilikinya sekali
lagi dalam kotanya ruang-ruang yang kaya variasi, mas
ing-masing direncanakan dengan kehalusan dan dapat
memperlengkapi fungsinya: ruang dimana mereka dapat
bergerak dengan aman, dan kesenangan dimana dapat
berkumpul dan bermasyarakat. Mereka benar-benar perlu
memiliki kesehatan dan kenikmatan, dan harus mempu
nyai tatanan. Dalam kotanya manusia memerlukan sum
bar ilham, rangsangan, penyegaran, keindahan dan kesu
kaan. Singkatnya mereka harus memiliki lingkungan kota
yang mengarahkannya ke segenap hidup yang utuh.
8. 7.3 Perencanaan Pengembangan Kawasan
Dapat dikemukakan tempat-tempat yang tidak cocok
untuk tujuannya, sebelum kita melangkah pada perenca
naan kawasan yang baik:
• Pusat perbelanjaan tanpa tempat parkir yang cukup;
• Farm (daerah pertanian) tanpa cukup air;
• Losmen dekat gereja, atau dekat mesjid, atau dekat
pura;
• Pabrik baru tanpa ruang cukup untuk gudang dan per
luasan;
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 275
• Sekolah menghadap ke pangkalan lalu-lintas utama;
• Restoran di tepi jalan yang hanya dapat dilihat dari
dekat;
• Sebuah rumah baru di dekat bandar-udara;
• Pabrik yang menimbulkan asap/bau di atas aliran
angin.
Di Amerika Serikat sejalan dengan kecenderungan
untuk memperluas bidang perencanaan dari dasar urban
ke dasar wilayah, adalah kecenderungan untuk mengu
rangi tekanan pada perencanaan kota sebagai satu-sa
tunya yang utuh dan segala-galanya dan lebih memu
satkan perhatian pada perencanaan suatu lingkungan
(neighborhood) yang berswadaya. Suatu lingkungan
dengan populasi 1 000 sampai 1500 keluarga, suatu jum
lah yang kira-kira membutuhkan dan dapat mendukung
sekolah-dasarnya, toko lingkungan dan bengkelnya, pu
sat sosialnya, tempat bermain dan taman lingkungannya.
Kemudian menghidupkan dan merencanakan kembali
lingkungan-lingkungan tersebut, mengelilinginya dengan
jalur-hijau dan menghubungkannya dengan jalan-jalan
raya ke kompleks-kompleks industri, pusat kerja, atau
inti kota. Kawasan begini memberikan harapan untuk ter
ciptanya suatu ibu-kota baru yang lebih berperikemanu
siaan, lebih organik.
Suatu komunitas yang dapat dibedakan dari suatu
lingkungan (neighborhood) tadi, akan terdiri dari dua atau
di batas kota, tetapi cukup untuk melancarkan tekanan
lalu lintas, lebih baik dipisah dalam kawasan yang menge
lilinginya sebagai komunitas-komunitas satelit kira-kira
terdiri dari 30.000 sampai dengan 40.000 orang dengan
kompleks industrinya, dengan sarana-sarana bisnisnya,
pertokoan dan sarana bermasyarakat termasuk seko
lah-sekolah, lapangan bermain, gereja-gereja, gedung
hiburan dan rumah sakit komunitas.
Kota pusat, dengan intinya, akan melayani kota-kota
satelitnya yang demikian lebih atas dasar regional, se
bagai pusat yang dominan perdagangan, keuangan,
pemerintahan, budaya dan pendidikan tinggi. Di sinilah
tempat kantor-kantor pusat negara-bagian dan wilayah,
kantor koperasi dan perusahaan-perusahaan, gedung
gedung bank dan dewan perdagangan. Di sinilah letak
gereja-gereja besar, universitas dan rumah-sakit wilayah.
Di sinilah letak auditorium, stadium, park untuk menari,
perpustakaan, kebun-binatang, akuarium, oseanori
um, planetarium dan kebun umum. Di sinilah rest~ran
restoran, gedung untuk simponi dan pertunjukan balet
dan toko-toko kota yang semuanya akan menarik dan
melayani lebih baik pada wilayah.
Di dalam menetapkan kebijakan perlahanan, dalam
kaitannya dengan pembangunan kota, dulu pemerintah
daerah DKI Jakarta telah mengikuti konsep seperti dike
mukakan di atas dengan beberapa modifikasi. Demikian
pula dalam sistem panca wilayah (Five Division System)
lebih lingkungan terpisah oleh suatu jalur-hijau atau ruang dalam perencanaan PIA (perkebunan inti rakyat) atau
terbuka hijau tetapi dihubungkan dengan jalan sekuncter ~S (nucleus estate and smallholding) adalah modifikasi
mengarah ke unsur vital untuk interest kelompok (commu- dari konsep tersebut di atas.
nal interest), biasanya kelompok sekolah lanjutan dan sa- Dapatkah perencanaan yang pernah populer itu diper-
rana-sarananya. Komunitas demikian tidak perlu terletak luas penerapannya di kawasan lain di Indonesia? Dengan
276 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan
melihat bentuk-bentuk keluarga, RT, RW, lingkungan/ke
lurahan, kecamatan dan seterusnya meningkat ke pusat
administrasi atau melihat kawasan-kawasan seperti tern
pat satuan kegiatan? Di bidang pertanian lebih dimulai
membina wilayah unit desa (Wilud), unit daerah kerja
pembangunan (UDKP), yang lepas dari daerah adminis
trasi. Mungkinkah ini diikuti bidang kegiatan lain, seperti
pembangunan kompleks baru misalnya perumahan in
stansi, Perumnas, kampus, balai penelitian, pemukiman
kembali (resettlement), real estate, lokasi transmigrasi,
pemugaran kota (urban renewal), program perbaikan
kampung (kampoong improvement), pemekaran desa/
kecamatan/kota/kabupaten dan sebagainya. Kekurangan
kehidupan kawasan, karena tidak memikirkan kebutuhan
lengkap lingkungan hidup yang utuh (pendidikan anak
anak, rekreasi, pertolongan kesehatan, dan sebagainya).
Suatu perencanaan yang baik menurut Gropious
haruslah mencakup dua segi yakni ilmiah dan seni. Se
bagai ilmu, akan menganalisis hubungan kemanusiaan;
sebagai seni akan mengkoordinasikan kegiatan manusia
ke dalam sintesa budaya. Mulai diakui adanya pengertian
bahwa merencanakan lingkungan fisik tidak hanya berarti
memberikan suatu gugus keindahan tetapi lebih berwu
jud suatu pertumbuhan dari dalam yang kontinu, suatu
pengakuan yang menciptakan kebenaran terus menerus
dalam melayani kemanusiaan.
Yang panting adalah seperti yang dikemukakan Mum
ford, yaitu untuk melihat saling ketergantungan antara kota
dan buriloka, untuk menyadari bahwa pertumbuhan dan
konsentrasi pada salah satunya berkaitan dengan kemun
duran dan pemiskinan yang lainnya. Untuk menghargai
adanya keseimbangan yang selaras dan adil antara kota
dan buriloka, sesuatu yang menurut Munford kurang di
sadari sebelumnya oleh banyak orang/pihak. Menurutnya,
sangatlah diperlukan untuk mengembangkan suatu seni
regional planning, suatu seni yang akan menghubungkan
kota dan buriloka, urban dan rural, dalam pola baru yang
berbeda dengan pola yang lama; yang merupakan pencip
taan membabibuta kawasan industri dan kawasan ping
giran. Tidak memandang lagi daerah pedalaman sebagai
sesuatu yang akan binasa ke dalam lindasan arus buldozer
metropolitan. Kita dan generasi mendatang harus meren
canakan untuk memelihara dan mengembangkan semua
sumber daya alam sampai batasnya.
Akhirnya tulisan ini ditutup dengan sebuah kalimat:
Perencanaan adalah kecakapan mengangan-angankan
yang harus menyarankan cara dan usaha untuk memin
dahkan kemungkinan dan kemokalan hari ini ke dalam
kenyataan hari esok.
Semoga tulisan ini berguna bagi para arsitek lansekap
dan perencana pengembangan kawasan sebagai salah
satu pendekatan dalam penataan ruang kawasan.
Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan 277
IX PENUTUP
RTH sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
rencana pengembangan kota, sehingga diperlukan ke
sungguhan para pihak yang terlibat dan berwenang untuk
mengiring penataan RTH pada aras terapan. Dukungan
perangkat peraturan perundangan-undangan, keberanian
pengambilan keputusan, dan konsisten dalam penerap
annya, semuanya itu dipandang sebagai kunci keber
hasilan penataan RTH ke depan. Didukung oleh sema
kin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat
umum karena telah faham akan fungsi penting eksistensi
RTH, maka keinginan untuk pengelolaan RTH yang se
makin baik sudah merata ke seluruh wilayah perkotaan
di Indonesia.
Yang masih perlu terus disosialisaikan adalah perlu
nya membangun RTH-Kota oleh masing-masing kepe
merintahan di daerah atau wilayah tersebut hendaknya
juga mau membangun lingkungannya berdasar pada ciri
budaya khasnya, agar keanekaragaman kekayaan bu
daya dan keanekaragaman hayati flora dan fauna dapat
terus terpelihara.
9.1 LANGKAH-LANGKAH PENATAAN RTH KOTA KE DEPAN
9.1.1 Penghijauan Kota yang Lalu
Pada masa lalu, pada waktu jumlah penduduk kota
banyak, di mana urbanisasi juga belum terlalu 'marak' di
semua kota-kota RTH-Kota terutama taman-taman kota-
280 Penutup
nya hanya nampak dibangun apa adanya, artinya, pem
bangunan RTH-kota (dalam hal ini ruang terbuka) hanya
penting dilakukan pada halaman istana saja. Salah satu
buktinya adalah pembangunan alun-alun atau Kebon Raja
yang dimaksudkan hanya bagi kenyamanan para pejabat
pemerintah. Pola kota yang ada hampir semuanya wari
san jaman kolonial yang juga mementingkan kenyamanan
hanya bagi para pejabat pemerintahan kolonial saja.
Namun demikian, mereka sudah menerapkan peran
cangan 'lansekap kota' berdasar pada kondisi iklim tropis
panas dan lembab yang nampaknya amat mengganggu
kenyamanan mereka yang biasa hidup di negara beriklim
sedang oleh karena itu mereka pun banyak menanam
pepohonan peteduh, jarang atau sedikit menanam tana
man hias berupa tanaman-tanaman bunga yang relatif
pendek serta relatif sulit pemeliharaannya.
Kondisi demikian tetap bertahan, sampai akhirnya di
awali oleh pemerintahan lbu Kota "Djakarta" yang sem
pat berkunjung pada kota-kota besar dunia yang telah
maju pesat setelah masa Revolusi lndustri, ingin pula
membangun kota (Jakarta) seindah dan senyaman kota
kota besar di luar negeri. Namun 'kesadaran' itu juga
baru muncul pada tahun 60-an, sekitar 1 0 tahun sebelum
dimulainya gerakan penataan lingkungan hidup dunia
(pertemuan dimulai di Stockholm, Swedia, tahun 1972).
Pemda DKI Jakarta kemudian secara cepat dan ber
tahap menyusun pola perencanaan dan perancangan
penataan kota, agar 'pantas' kedudukannya sebagai ibu-
kota negara. Sekolah kt'lusus agar mahir dalam mange
lola RTH-Kota pun didirikan demikian juga kursus-kursus
penataan halaman rumah. Secara tradisional sebenarnya
para orang tua (nenek moyang) kita sebenarnya sudah
mempunyai pengetahuan yang holistik (menyeluruh) dan
komprehensif (lengkap) tentang upaya penghijauan, pa
ling tidak disekeliling rumah masing-masing. Namun se
hubungan dengan semakin banyaknya penduduk kota
dampak (negatif) dari urbanisasi (mulai pesat sejak tahun
1960-an). Menanam juga menjadi satu persoalan tersen
diri akibat semakin kurangnya ruang kota.
Perkembangan RTH-Kota dan lingkungan pada be
berapa kota yang lain, sebagian dibiarkan tumbuh alami,
namun sebagian (besar) mengikuti pola perkembangan
ibukota, sehingga terjadi keanekaragaman kota, yang se
benarnya baik saja sebab akan memperkaya khasanah
lingkungan kota. Sekali lagi disayangkan bahwa seba
gian besar kota, justru memilih tanaman seperti apa yang
banyak ditanam di ibukota dari jenis akasia, palem raja
dan akhir-akhir ini ashoka, serta masih banyak lagi.
Penunjukan RTH kota meliputi tindakan penunjukan
lokasi dan penetapan luasan. Penunjukan lokasi dan
penetapan luas RTH kota dilakukan oleh Walikota atau
Bupati yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Perkotaan. Untuk Daerah Khusus lbu
kota Jakarta, penunjukan lokasi dan penetapan luas RTH
kota dilakukan oleh Gubernur, yang dituangkan dalam
RTRW Propinsi DKI Jakarta.
Penunjukan lokasi dan penetapan luas RTH kota di
dasarkan pada pertimbangan kota setempat, sehingga
dijumpai jumlah dan luas RTH beragam untuk kota ber
beda. Batasan umum yang dapat dijadikan pertimbang-
an adalah: i) luas wilayah, ii) jumlah penduduk, iii) tingkat
pencemaran, dan iv) kondisi fisik kota. Rinci cara penetap
an luas RTH kota dengan berbagai pertimbangan kondisi
lingkungan kota setempat dapat dilihat pada Lampiran.
9.1.2 Penetapan Tanah Hak sebagai RTH Kota
Tanah hak yang karena keberadaannya, dapat di
mintakan peruntukannya menjadi RTH oleh pemegang
hak tanpa pelepasan hak atas tanah, selanjutnya pe
megang hak memperoleh insentif atas tanah hak yang
ditetapkan sebagai RTH-kota dalam jangka waktu paling
sedikit 15 tahun antara lain dengan dasar pertimbangan
cukupnya waktu bagi sebagian tanaman untuk tumbuh
optimal.
Penetapan tanah hak ini dapat dilakukan tanpa me
lalui proses penunjukan dan pembangunan. Untuk dapat
ditetapkan, tanah hak tersebut harus memenuhi kriteria
antara lain:
• Terletak di wilayah perkotaan dari satu kota, kabupaten,
atau provinsi,
• Merupakan RTH yang didominasi pepohonan,
• Mempunyai luas sedikitnya 0,25 ha dan mampu mem
perbaiki iklim mikro, meningkatkan keindahan lingku
ngan (estetika), dan berfungsi sebagai daerah resapan
air,
• Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak seba
gai RTH kota dilakukan dengan Keputusan Bupati/Wa
likota,
• Untuk DKI Jakarta, penetapan dan perobahan perun
tukan tanah hak sebagai RTH kota dilakukan melalui
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus lbukota
Jakarta,
Penutup 281
• Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak di
lakukan berdasarkan permohonan dari pemegang hak.
• Perubahan peruntukan RTH kota yang berada di atas
tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Perkotaan, karena itu harus ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
9.1.3 Pengelolaan RTH Kota
Dijumpai beberapa contoh pengelolaan RTH kota di
Indonesia yang dapat dipakai sebagai acuan dalam pe
ngelolaan RTH, seperti pada Program Penghijauan Kota
'Penghematan air serta menabung air Kota Bandung' di
lakukan melalui:
• Pendekatan aspek peraturan perundang-undanganan
• Pendekatan insentif dan disinsentif yang dikembangkan
• Penggunaan alat-alat pasar
• Penegakan sanksi-sanksi
• Pengembangan keterlibatan masyarakat
Program penghijauan Kota Pagar Ruyung di Sumatera
Barat misalnya, juga dilakukan melalui butir-butir penge
lolaan seperti berlaku di Kota Bandung tersebut.
Berdasar kesesuaian tipe dan bentuk maka pengelo
laan RTH kota dapat ditempuh melalui beberapa tahap
kegiatan berikut:
(1) Penyusunan Rencana Pengelolaan
Dalam proses perencanaan beberapa aspek awal
perlu diteliti yaitu meliputi: lokasi, fungsi dan peman
faatan, aspek tehnik silvikultur dan arboriculture, ar
sitektur lansekap, sarana dan prasarana, dan teknik
teknik dasar pengelolaan lingkungan umumnya. Bahan
282 Penutup
informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: data
fisik (letak, wilayah, tanah, iklim dan lain-lain); sosial
ekonomi (aktifitas di wilayah bersangkutan dan kon
disinya); keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya);
rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTRW, RDTR),
dan bahan-bahan penunjang lain.
Hasil prosesnya berupa Rencana Pembangunan
RTH-Kota yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
• Rencanajangka panjang, memuat gambaran tentang
RTH-kota yang dibangun, serta target dan tahapan
pelaksanaannya,
• Rencana rinci yang memuat rancangan fisik atau ran
cang bangun untuk masing-masing komponen
fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata
letaknya,
• Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana
fisik dan biaya.
(2) Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dalam rangka menjaga
dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat RTH kota,
melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tana
man dan peningkatan kualitas tempat tumbuh.
(3) Perlindungan dan Pengamanan
Perlindungan dan pengamanan RTH kota bertu
juan untuk menjaga keberadaan dan kondisi RTH kota
agar tetap mampu berfungsi optimal, melalui upaya
upaya:
• Pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan,
• Pencegahan dan penanggulangan pencurian keka
yaan 'plasma nutfah' fauna dan flora,
• Pencegahan dan penanggulangan kebakaran,
• Pengendalian dan penanggulangan hama penyakit.
Oleh karena itu, setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang bisa berakibat pada perubahan dan
atau penurunan fungsi RTH-kota, yaitu:
• Membakar tanaman di dalam RTH kota,
• Merambah kawasan RTH kota,
• Menebang, memotong, mengambil, apalagi memus
nahkan tanaman dalam RTH kota, tanpa izin dari
pejabat yang berwenang
• Membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan
kebakaran atau membuang limbah cair dan sam
pah padat yang juga membahayakan kelangsungan
fungsi RTH kota,
• Mengerjakan, menggunakan, atau menduduki
RTH kota secara tidak sah.
(4) Pemanfaatan
RTH kota antara lain dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan pariwisata alami, rekreasi dan atau olah raga,
penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelestari
an plasma nutfah; dan budidaya hasil tanaman bukan
kayu.
(5) Pemilihan Jenis Tanaman
Jenis tanaman dalam program pembangunan dan
pengembangan RTH kota hendaknya dipilih berdasar
kan kriteria tertentu, sehingga tanaman dapat tumbuh
baik dan dapat berperan memperbaiki kondisi ling
kungan setempat.
Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta
manfaat RTH kota optimal, beberapa informasi perlu
diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:
• Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, keting
gian dari muka tanah (altitude),kondisi salinitas dan
lain-lain,
• Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara,
kecepatan angin, radiasi matahari,
• Persyaratan silvikultur; kemudahan dalam hal penye
diaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat
pemeliharaan,
• Persyaratan umum tanaman: tahan terhadap hama
dan penyakit, cepat tumbuh, kelengkapan jenis
dan penyebaran jenis, berumur relatif panjang, ber
bentuk indah, dan ketika dewasa (tumbuh optimal)
dapat sesuai dengan ruang yang ada, serasi dengan
tanaman lain, serbuk sarinya tidak bersifat alergis,
atau daun dan akarnya tidak bersifat alelopatis (me
matikan tanaman lain di sekitarnya, seperti misalnya
tanaman jambu air terhadap rerumputan di bawah
nya) dan lain-lain.
• Persyaratan pemanfaatan khusus. Pertimbangan ini
harus disesuaikan dengan tujuannya, sehingga me
menuhi salah satu criteria seperti: tahan terhadap
kadar garam yang relatif tinggi, tahan terhadap zat
pencemar dari industri dan kendaraan bermotor,
berkemampuan tinggi dalam menyerap gas, ber
ketahanan tinggi terhadap hujan asam, berkemam
puan tinggi dalam pengelolaan tata air, dan biasanya
dapat menjadi habitat satwa (burung, dan lain-lain),
• Persyaratan untuk pohon peteduh jalan: mudah
tumbuh pada tanah yang padat, tidak mempunyai
akar yang tumbuh besar di permukaan tanah, tahan
Penutup 283
terhadap hembusan angin kuat, dahan dan ranting
tidak mudah patah, pohon tidak mudah tumbang,
buah tidak terlalu besar, daun tak mudah rontok dan
lain-lain,
• Persyaratan estetis: mempunyai tajuk dan bentuk
percabangan yang indah, bunga dan buahnya me
miliki warna dan bentuk yang indah, dan lain-lain.
• Dua kotak berikut adalah data tanaman yang perlu
diketahui ciri-cirinya yang sesuai sebagai materi
tanaman untuk lingkungan perkotaan serta tata cara
praktis pengelolaannya
9.2 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN RTH KOTA
9.2.1 Koordinasi Kelembagaan untuk Mendukung
Upaya Pengembangan RTH Kota
Organisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota
sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan
keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah
mungkin saja akan berbeda dengan daerah lain. Salah
satu bentuk pengorganisasian pembangunan dan penge
lolaan RTH kota adalah:
• Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah yang ber
tanggung jawab atas pembangunan dan pengembang
an RTH kota di wilayahnya. Bidang perencanaan dan
pengendalian dilaksanakan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), dibantu oleh tim
pembina yang terdiri dari sektor terkait, seperti: Ling
kungan Hidup, Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan,
Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, Kesehatan,
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional
284 Penutup
dan Daerah (Bapedalda), dan lain-lain menurut kebu
tuhan berdasar kondisi dan situasi sesuai ruang dan
waktu pada masing-masing kota atau daerah. Sedang
pelaksanaannya dapat dikoordinasi oleh dinas terkait
secara mandiri atau bekerjasama dengan suatu atau
beberapa kelompok pengelola RTH Kota secara profe
sional (kelompok swasta dan masyarakat umum),
• Pengelolaan RTH kota pada areal yang dibebani hak
milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan rambu-rambu
pengelolaan dalam Rencana induk Kota (RIK) misal
nya yang sudah ditetapkan dan disetujui sebelumnya
dalam peraturan-peraturan tertentu, dan dipandu oleh
lembaga yang berwenang dalam bidang perencanaan
dan pengendalian. Agar pelaksanaan di lapangan
dapat berlangsung lancar, perlu dipikirkan juga adanya
jasa atau imbalan untuk merangsang para pelaku dan
penanggungjawab pengelolaan RTH Kota.
9.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat dalam Upaya
Pengembangan RTH Kota
Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
seharusnya mendorong peran masyarakat dalam penye
lenggaraan RTH kota pada keseluruhan tahap; sejak
penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan,
pembinaan dan pengawasan.
Peningkatan peran masyarakat dilakukan antara lain
melalui;
• Pendidikan dan pelatihan
• Penyuluhan
• Bantuan teknis dan insentif.
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan RTH-kota • lnsentif disinsentif
tersebut dapat berbentuk: • Penetapan sanksi.
• Penyediaan lahan untuk penyelenggaraan RTH-kota
• Penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan
RTH-kota
• Pemberian masukan dalam penentuan lokasi RTH-kota
• Pemberian bantuan dalam mengidentifikasi. berbagai
potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota
• Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan
• Pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pen
dapat dalam penyelenggaraan RTH-kota
• Pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku
• Bantuan pelaksanaan pembangunan
• Bantuan keahlian dalam penyelenggaraan RTH-kota
• Bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan
pengelolaan
• Menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi RTH
kota.
9.2.3 Keperluan Peraturan Daerah untuk
Pengembangan RTH Kota
Diperlukan Peraturan Daerah yang secara khusus
mengatur tentang pengelolaan menyeluruh dari RTH
kota, ini di mana didalamnya antara lain mencakup;
• Tata cara penunjukkan lokasi dan luas lahan;
• Penentuan tipe RTH kota
• Tata cara pembangunan RTH kota
• Pemberian insentif bagi pemegang hak tanah hak yang
ditetapkan sebagai RTH kota;
• Pengelolaan RTH kota
• Perlibatan masyarakat
Di dalam sebuah "Surat Keputusan Walikota" dapat
diterapkan misalnya;
• Penetapan dan perubahan hak peruntukan tanah seba
gai RTH kota.
• Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta maka penetapan
dan perobahan peruntukan hak pengelolaan atas tanah
sebagai RTH kota dilakukan dengan keputusan Guber
nur Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta.
9.2.4 Peran Legislatif dalam Pengembangan
RTH Kota
Fungsi legislasi menempatkan DPRD untuk memenuhi
harapan masyarakat yang diwakilinya sebagai pelaku
utama pembangunan sehingga tata pemerintahan dapat
terpenuhi. DPRD dapat berinisiatif dalam penyusunan
peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan RTH
kota, misalnya tentang penyelenggaraan RTH Kota telah
banyak dilaksanakan oleh hampir semua pemerintahan
kota di daerah-daerah. Dalam program nasional penghi
jauan kota yang dikaitkan dengan pelaksanaan program
penghargaan kota bersih sehat dan teduh, seperti pro
gram Adipura, Kalpataru dan Iomba-Iomba perencanaan
dan perancangan RTH Kota khususnya pada taman
taman umum kota dan kegiatan-kegiatan peingkatan
kualitas fungsi lingkungan semacam, dapat dijadikan
contoh-contoh aktivitas positif yang dimaksudkan bagi
kemaslahatan orang banyak.
Penyelenggaraan hutan kota khususnya telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2003 tentang
Penutup 285
Hutan Kota. Maka, peraturan daerah secara minimal khu
susnya yang menyangkut pengaturan hutan-kota terse
but, secara minimal dapat meliputi antara lain hal-hal se
bagai berikut:
• Tata cara penunjukkan lokasi dan luas lahan,
• Penentuan fungsi, tipe, dan bentuk hutan kota,
• Tata cara pembangunan hutan kota,
• Pem~berian intensif bagi pemegang hak atas tanah, ya-
itu hak yang ditetapkan sebagai hutan kota,
• Pengelolaan hutan kota,
• Penanggung jawab dan keterkaitan antar sektor
• Perlibatan masyarakat; dan
• Penetapan sanksi.
Dalam proses penyusunan peraturan daerah, terdapat
tiga kelemahan umum yang dirasakan oleh DPRD Kota
(Djojosoekarto, 2004 dalam Seri Buku Panduan DPRD,
2005) yaitu analisis kebijakan, advokasi kebijakan dan
dukungan Sekretariat. Oleh karena itu perlu diperhatikan
beberapa pertanyaan (issues) dalam proses penyusun
an dan penetapan Peraturan Daerah (Perda), sebagai
berikut:
• Bagaimana tata cara penunjukkan lokasi dan luas RTH
kota?,
• Apakah penunjukan lokasi dan luas RTH-kota berdasar
kan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan?,
• Apakah penunjukan lokasi dan luas Hutan Kota se
bagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH} Wilayah
Perkotaan?,
,• Apakah sudah tersedia komponen-komponen pendu
kung penyelenggaraan RTH-kota yang meliputi: terse
dianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bi-
2b1 Penutup
bit secara massal?; ilmu dan teknologi yang memadai?;
pelayanan jasa konsultasi untuk umum?; dukungan dari
para penentu kebijakan?; serta dukungan masyarakat,
tenaga ahli, dan para pihak terkait lain,
• Bagaimana status lokasi yang ditunjuk sebagai RTH
kota? Pad a tanah negara atau tanah hak?,
• Sejauh apakah luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat
pencemaran, dan kondisi fisik kota menjadi pertimbang
an dalam penunjukkan lokasi dan luas lahan RTH
kota?,
• Bagaimana tata-cara pengelolaan RTH-kota direncana
kan? (meliputi: penyusunan rencana pengelolaan,
pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan, peman
faatan, pemantauan dan evaluasi),
• Bagaimana peran dan keterlibatan masyarakat dalam
setiap proses penyelenggaraan RTH-kota?,
• Bagaimana tata-cara bila akan diberikan kompensasi
(sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang
an yang berlaku)?,
• Bagaimana koordinasi secara horisontal dan vertikal
akan dikembangkan?,
• Bagaimana konsistensi dan sinkronisasi dalam Raperda
tentang penyelenggaraan RTH ini terhadap Perda yang
lain?,
• Selain perda, dalam penyelenggaraan RTH kota juga
dibutuhkan Surat Keputusan Walikota mengenai:
- Penetapan dan perobahan peruntukan tanah hak se
bagai RTH kota,
- Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta, penetapan dan
perobahan peruntukan tanah hak sebagai RTH kota
dilakukan dengan keputusan Gubernur Propinsi Dae
rah Khusus lbukota Jakarta.
Barbagai fungsi panting dalam pangalolaan RTH
sabagai unsur utama tata ruang parkotaan, mau tidak
mau harus manjadi bahan partimbangan panting bagi
kapamarintahan lingkungan parkotaan, artinya bagi sa
luruh panduduk kota, yang tardiri dari lambaga-lambaga
pamarintahan yang rasmi (aksakutif, judikatif dan lagisla
tm namun tanpa paran aktif masyarakat umum maupun
swasta, parwujudan lingkungan kota yang barsih, hijau,
asri dan produktif pasti akan amat sulit tarwujud. Apabila
lingkungan parkotaan dapat tartata dangan baik, maka
produktivitas manusia panduduknya pun akan manin
gkat, sabab panyakit-panyakit akibat dagradasi lingku
ngan akan sangat jarang tarjadi, damikian juga panyakit
akibat tidak adanya pangalolaan sacara manyaluruh yang
sakali lagi manjadi tanggung jawab kita samua.
Penutup 287
Kotak 1 Data Tanaman
Setiap jenis tanaman yang akan ditanam harus diketahui informasi awalnya, meliputi:
• Nama lokal dan nama botani
• Bentuk tajuk: oval/vase/roundlirregular/fastigiatelpyramidal
• Tanah: kisaran pH, tekstur, jenis tanah, elevasi (di atas permukaan laut).
• Kebutuhan akan naungan: butuh/tidak
• Kerindangan tajuk: sangat rindang/sedang/kurang rindang
• Ketahanan terhadap pangkasan: kuat/sedang/tidak tahan
• Kelas Tinggi: pendek (<3m), sedang (3-7m), tinggi (> 7 m)
• Kelas diameter Iebar naungan: sempit (< 3 m),sedang (3-6 m),tinggi (> 6 m)
• Kecepatan Tumbuh: rendah/menengah/cepat
• Kekuatan terhadap angin (dilihat dari kekuatan kayunya): kuat/sedang/rapuh
• Ketahanan terhadap robohan oleh angin (dilihat dari sistem perakarannya)
• Sifat pengguguran daun: Deciduous/evergreen
• Ketahanan terhadap gas (NOx, SOx, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain-lain): tinggi/sedang/rendah
• Kemampuan dalam menyerap gas (NOx, SOx, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain-lain): tinggVsedang/rendah
• Ketahanan terhadap partikel padat (debu tanah, silikat, semen, asbes dan lain-lain): tinggi/sedang/rendah
• Ketahanan terhadap genangan air: tinggi/sedang/rendah
• Kemampuan dalam menguapkan air: tinggi/sedang/rendah
• Ketahanan terhadap cahaya buatan: tinggi/sedang/rendah
• Fungsi lansekap: hiasan rumah dan kantor/peteduh jalan/kebun/hutan
288 Penutup
Kotak 2 Pemeliharaan Pohon
Penanaman
Pohon-pohon yang kecil mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap gangguan pemindahan dibandingkan
dengan pepohonan besar. Oleh sebab itu untuk menan am pepohonan yang besar perlu para akhli yang berpeng
alaman, alat-alat, kendaraan dan biaya yang relatif mahal. Ukuran pohon optimum agar dapat dipindah sangat
bervariasi tegantung pada jenis. Walau demikian ukuran pohon yang banyak ditanam adalah yang mempunyai
ukuran diameter batang antara 5-10 mm dengan tinggi antara 30-1 00 em.
Perawatan Luka pada Satang
Pohon redwood di Piercy, California, mempunyai tinggi 76 m berumur 2000 tahun masih hidup dan terus tum
buh walaupun mempunyai luka bekas kebakaran lebih dari seratus tahun yang lalu (Haller, 1986), karena luka
pada pohon tersebut secara terus menerus telah dirawat dengan baik. Pohon yang sempurna memiliki per
mukaan kulit yang mulus mulai dari akar sampai ujung batang. Namun jika pohon tersebut dikuliti, terpotong,
dipukul atau dibakar, maka akan dapat terbentuk luka yang kemudian akan berobah menjadi lubang.
Pemangkasan
Pemangkasan dimaksudkan untuk membuang bagian dahan/ranting tertentu agar didapat bentuk-bentuk ter
tentu (topiary, apakah ingin bentuk seperti binatang atau bentuk lain), mengendalikan pertumbuhan tinggi po
hon, membuang bagian yang terkena penyakit, untuk keselamatan Gika patah dapat mengancam keselamatan
pemakai jalan raya dan terbukti telah terjadi baik di Jakarta maupun di Bogor pada saat ada angina kencang,
atau karena dahan dapat mengganggu kabel listrik dan telepon), untuk memberi kesempatan pohon lain agar
mampu tumbuh lebih baik, atau misalnya untuk mempercepat munculnya bunga, dan seterusnya. , Beberapa
jenis pohon buah yang daunnya terlalu lebat akhirnya sulit menghasilkan buah sebagaimana diharapkan (ram
butan, mangga, dan sebagainya)
Penebangan
Pohon-pohon yang harus dihilangkan adalah pohon-pohon yang dengan beberapa kriteria yang perlu dipertim
bangkan, yaitu: sudah mati, membahayakan, saling berhimpitan, pohon terkena penyakit dan dapat mengan
cam pohon-pohon lain, pepohonan pada jalur jalan dan bangunan, mengganggu jalur listrik dan telepon.
Penutup 289
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi, 2004. Masalah dan Upaya Peme
cahan Masalah Kesehatan Lingkungan di Indone
sia. Makalah disampaikan dalam rangka Pertemu
an Nasional Pengembangan Program Kabupaten/
Kota Sehat di Indonesia. Dirjen PPM & PL, Depar
temen Kesehatan R.I. Atma Jaya.
Austin, Richard L, et.al (Eds), 1985. The Yearbook of Land
scape Architecture, The Issues of Energy. Van Nos
trand Reinhold Company Inc, 135 West 50 street,
New York, New York, 10020. ISBN: 0747-9581
Bengen, DietrichGdanAiexS.W. Retraubun,2006. Mengu
ak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis
Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Diterbitkan
oleh Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pe
sisir dan Laut (P4L). ISBN: 979-98867-2-4.
Bravetti, S. E. Mountuori, L. Calini, 1993. II Centro Nazio
nale Addestramento Di Tirrenia (The National Train
ing centre ofTirrenia). Edizione CONI- Roma, Foro
ltalico. Contra Studi lmpianti Sportivi. Prima ed
izione: Aprile 1993.
Breen, Ann and Dick Rigby. 1996. The New Waterfront.
A Worldwide Urban Success Story. Printed and
bound in Singapore by C.S. Graphics Pte Ltd.
ISBN: 500-34145-1.
Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo, 1993. Kota
Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni/1993/
292 Dattar Pustaka & Lampiran
Bandung Kotak Pas 1282. ISBN: 979-414-486-X.
Buijs, Steef. 1998. Engineering, Design and Environmental
Aspects of Urban Waterfronts. Makalah presentasi
Menteri Perumahan, Penataan Ruang dan Lingku
ngan Negeri Belanda pada Seminar Penataan
Ruang Kawasan Perkotaan Tepi Air di Indonesia
(tidak dipublikasikan).
Carpenter, Philip L., et.al. 1975. Plants in The Landscape.
W.H Foreman & Company, San Francisco.
Charles Suryadi, 2004. Program Kota Sehat di Indonesia
sebagai Bagian dari Pembangunan Kota yang
Berkelanjutan. Pusat Penelitian Kesehatan UNIKA
ATMAJAYA, Staf Bagian Kesehatan Masyarakat,
FK Unika.
Chiara, Joseph De & Lee Koppelman, 1982. Urban Plan
ning and Design Criteria. Van Nostrand Reinhold
Company, NY.
Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1978. Site Planning
Standard. McGraw-Hill Book Company, NY.
Christiansen, Monty L., 1977. Park Planning Handbook.
John Wiley & Sons Inc. ISBN: 0-471-15619-1 ----....
Crowe, Sylvia and Sheila Haywood:""t972. The Gardens
of Moghul India, a history and a guide. Photo
graphs and Research by Susan Jellicoe. Plans and
Map by Gordon Patterson. Thames and Hudson,
London. Printed by Westerham Press Limited,
Westerham, Kent.
Dahlan, Endes N, 1989. Dampak Pencemaran Udara Ter
hadap Manusia dan Beberapa Komponen Sum
berdaya Alam. Media Konservasi Vol II (2): 39-44.
Dahlan, Endes Nurfilmarasa. 1992. Hutan Kota. Untuk Pe
ngelolaan dan Peningkatan kualitas Lingkungan
Hidup. Jakarta. Asosiasi Pengusaha Hutan Indo
nesia (APHI), diedarkan dalam lingkungan terbatas
tidak diperjual belikan. Layout dan Design oleh: PT
Mercurindo Citamurni, Percetakan PT Enka Parah
yangan. ISBN: 979-8381-00-9.
Dahuri, Rokhmin, 2003. Keanekaragaman Hayati Laut,
Asset Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Kata Sambutan Megawati Soekarnopuetri, Presi
den R.I. GM 212 03 002. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jl Pal Merah Barat 33-37 lantai 2-
3. Anggota IKAPI, Jakarta 2003.
DeHaan, F. .... ? Oud Batavia Planten Album. Bandoeng
-A.C.Nix & Co-XXV.
Djamal, Zoer'aini, 1997. Tantangan Lingkungan Hidup
dan Lansekap Hutan Kota. Cides, Jakarta.
Djojosoekarto Agung, et.al (penyunting), 2005. Pemba
ngunan Kota yang Berkelanjutan, Buku Seri Pan
duan (1 sampai dengan 6, meliputi: Peran DPRD,
lata Ruang, Transportasi Kota, Air Perkotaan,
Udara Perkotaan, dan kesehatan Lingkungan).
Kerjasama antara: Asosiasi DPRD Kota Seluruh
Indonesia (ADEKSI), Konrad Adenauer Stiftung
(KAS), Deutsche Gesselschaft fur Technische Zu-
sammenarbeit (GTZ)/ Program LingkunganHidup
(Pro-LH) lndonesia-Jerman.
Din as Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1997. Pemukim
dan Pemukiman di Wilayah DKI Jakarta
Emmerling-Dinovo, Carol, 1988. "Retention Basin design:
An Alternative Approach Based on Ecological Prin
ciples". Conference Proceedings. Paper presented
at: Council of Educators in Landscape Architec
ture' (CELA) Yearly Conference in 1988, with the
theme 'Sustainable Landscape' in California State
Polytechnic University, Pomona, USA.
Fieldhouse, Ken, 1992. Landscape Architecture Europe.
Landscape Design Trust (majalah). 13a West Street,
Reigate, Surrey, United Kingdom. RH2 9BL. ISBN:
0966-2081
Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno. 1998. Dasar
Dasar Ako-Arsitektur, Konsep Arsitektur Ber
wawasan Lingkungan serta Kualitas Konstruksi
dan Bahan Bangunan untuk Rumah Sehat dan
Dampaknya Atas Kesehatan Manusia Penerbit
Kanisius, Soegijapranata University Press. ISBN
979-672-127-9, cetakan ke-5.
Fukuda, Kazuhiko, 1970. Japanese Stone Gardens, how
to make and enjoy them. Charles E. Tuttle Com
pany. Rutland. Vermont. Tokyo, Japan. ISBN: 0-
8048-0318-8
Gray, William. 1993 Coral Reefs & Islands, The Natural
Histroy of A Threatened Paradise. Foreword by
Daftar Pustaka & Lampiran 293
Professor David Bellamy. ISBN: 0 7153 0077 6.
Typeset by Goodfellow & Egan Ltd, Cambridge
and printed inSingapore by CS Graphics Pte, Ltd
for David and Charles, Brunei house Newton Ab
bot Devon
Grey, John E. and Peter Cullen, 1976. Guidelines for
Management of Urban Park System. Management
Aid No. 1 . August 1976. Published by The Austra
lian Institute of Parks & Recreation. PO BOX 18,
Northcote, 3070 National Library of Australia Cord
Number ISBN 0-959-8775-5X.
Grey, 1981. Responding to Change in Park System.
Grey, Jane W. & Frederick C. Deneke: 1978. Urban Forestry.
John Wiley & Sons Book Company, Inc., ISBN: 0-
471-01515-6.
Grove, A.B. and R,W, Cresswell (eds), 1983. City Land
scape, A Contribution to The Council of Europe's
Campaign for Urban renaissance. With A Foreword
by HRH The Duke of Glowcester. Communication
Industry Conference Centre, PO Box 31, Welwyn,
AL6 OXA, UK, and the several contributions named
in the list of contents. ISBN: 0-408-01165-3.
Gunadi, Sugeng. 1995. Arti RTH Bagi Sebuah Kota Maka
lah pad a Buku: "Pemanfaatan RTH di Surabaya",
bahan bacaan bagi masyarakat serta para pen
gambil keputusan Pemerintahan Kota.
Haeruman, Herman dan Ning Purnomohadi, 1980. Penge
lolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hi-
294 Daftar Pustaka & Lampiran
dup dalam Kerangka Strategi Pengembangan
Wilayah. Bahan Kuliah FPS-IPB, Bogor. (Tidak
dipublikasikan).
Haeruman, Herman. 1995. Pembangunan Kota yang Ber
wawasan Lingkungan. Bahan dipersiapkan untuk
artikel di majalah SERASI, diterbitkan sebagai ma
jalah berkala oleh kantor KLH.
Hajen & Kim, 2005. (makalah) Departemen Transportasi
dan Perairan Belanda.
Halle, F. & R.A.A. Oldeman. 1975. An Essay on the Archi
tecture and Dynamics of Growth of Tropical Trees.
Translated from the French by Benjamin c. Stone,
1970. Reader in Botany. School of Biological Sci
ence, University of Malaya. Penerbit Unioversiti
Malaya, Kuala Lumpur, 22-11 , Malaysia.
Howard, Ebenezer, 1964. Garden City of Tomorrow. Faber
and Faber, London.
Jellicoe, Geoffrey and Susan. 1971. WATER, The Use of
Water in Landscape Architecture. Published by:
Adams & Charles Black, London.
Jellicoe, Geoffrey and Susan. 1975. The Landscape of
Man, Shapping The Environment From Prehistory
to The Present Day. Revised an enlarged edition
(1987). Thames and Hudson. Printed and bound in
the German Democratic Republic.
Junzhen, Zhu (compilator) 1992. Chinese Landscape
Gardening, Foreign languages Press, 24 Baiwan-
zhuang Road, Beijing 100037, Printed in The Peo- MeHarg, lan L., 1992. Design With Nature (Merancang
pie Republic of China, China. Bersama Alam). Penerjemah Sugeng Gunadi 2005.
Konijnendijk, Cecil & Jasper Schipperijn (Eds). 2004.
Neighbourwoods for Better Cities-Tools for De
veloping Multifunctional Community Woodland
in Europe. Publisher: Danish Centre for Forest,
landscape and Planning + KVL. Rolighedjvej
23. DK1958. Fredericksberg. Denmark. Tel: +45
35281500 www.sl.kvl.dk. ISBN: 87-7903-171-4.
Kuswartojo, Tjuk. 2006. Azas Kota Berkelanjutan dan
Penerapannya di Indonesia. Makalah pada Semi
nar Penataan Ruang Berbasis Aspek Ekologis un
tuk Mewujudkan Kota Berkelanjutan, oleh Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ja
karta 17 Januari 2006.
Laura, Guillermo D., 1979. The Green Belt CEAMSE/1
Airlangga University Press, Surabaya.
Myers, Norman (Gen, Ed), 1985. The GAIA Atlas of Planet
Management, for today's caretakers of tomorrow's
world. Forword by David Bellamy PAN BOOKS.
M. Amin, Jusna. 2005. Melindungi Ruang Terbuka Hijau
Sebagai Antisipasi Bencana dan Ekspresi Ma
syarakat yang Bermartabat. Makalah (tidak dipu
blikasikan) pada Seminar "Percepatan Perwujud
an Ruang Nusantara Yang Nyaman, Produktif dan
Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang. Penye
lenggara: Departemen Pekerjaan Umum beker
jasama dengan Lspeu Indonesia, Jakarta 6 De
sember 2005. Ruang Mutiara I, Hotel Gran Melia,
Jakarta.
Edition Avda, Amancio Alcorta 3000, Buenos Murdiyarso, Daniel. 1988. Hubungan Air-Tanaman, bahan
Aires. kuliah di Jurusan Geofisika dan Meteorologi, lnsti
tut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Joga, Nirwono, 2006. Menyiapkan Kota Waspada Ben
cana. Artikel Harian Kompas, Rabu, 31 Mei 2006.
Laurie, Michael. 1975. An Introduction to Landscape
Architecture, Department of Landscape Architec
ture University of California. Berkeley, American
Elsevier Publishing Company, Inc. Vanderbilt Av
enue, New York 1 0017.
Lynch, Kevin. 1967. Site Planning. Houghton Mifflin Com
pany, Boston.
Nazaruddin, 1994. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya,
Anggota IKAPI. Jl. Gunung Sahari 111/7. Tel: (021)
420 4402 dan 421 4884 (5 saluran); Fax: (021) 420
8412. Tromol Pos 1456, Jakarta 10610 (cetakan
kedua, 1996). ISBN: 979-489-212-2.
Nishikawa, Yashiteru. 2004. "Parks and Green Space
Administration in Japan". Director, Green Space
Environment Enhancement Office Parks and green
Space Dicision, City and Regional Development
Daftar Pustaka & Lampiran 295
Bureau. Minsitry of Land, Infrastructure and Trans
port, Japan. Presented in Suzhou & Beijing at The
ASEM Symposium on Urban Forestry, Fall 2004.
Papanek, Victor.1995. The Green Imperative, Natural De
sign for The Real World. Thames and Hudson Inc.
500 Fifth Avenue, New York, New York 1 011 0.
Printed and bound in Singapore. ISBN: 0-500-
27846-6.
Pinderhughes, Raquel, 2004. Alternative Urban Futures,
Planning for Sustainable Development in Cities
Throughout the World. Rowman & Littlefield Pub
lishers, Inc. PO BOX 317, Oxford OX2 9RU, UK.
ISBN 0-7 425-2366-7 (hard copies) ISBN 0-7 425-
2367-5 (paperback)
Pour, Julius. 2004. 2004. Dari Gelora Bung Karno ke
GELORA BUNG KARNO (GBK). Edisi Pertama
2004 (Ketua Panitia Pelaksana: Purnomohadi).
Hak Cipta Direksi Pelaksana GBK. ISBN: 979-732-
444-3.
Purnomohadi, Ning. 2002. Pengendalian Bencana Banjir
di Jakarta Makalah untuk Memperingati Hari Air
Sedunia, 22 Maret 2002. Artikel untuk Jurnal Arsi
tektur Lansekap Indonesia (JALI).
Purnomohadi, Ning. 2002. Pengelolaan RTH Kota dalam
Tatanan Program BANGUN PRAJA Lingkungan
Perkotaan yang Lestari di NKRI. Widyaiswara LH,
Bidang Manajemen SDA dan Lingkungan. KLH.
Purnomohadi, Ning. 1999. Pembangunan yang Berwa-
296 Daftar Pustaka & Lampiran
wasan Lingkungan Jangka Panjang bagi Kota
kota Pantai dan Kehidupan Lingkungan Perairan di
Depannya (Kasus Jakarta dan Perairan Kepulauan
Seribu). Makalah dipresentasikan Diskusi Panel
Pengelolaan Dampak Kota Besar Terhadap Perair
an di Depannya, Jakarta, 7-8 April 1999.
Purnomohadi, Srihartiningsih. 1994. Ruang Terbuka Hijau
dan Pengelolaan Kualitas Udara di Metropolitan
Jakarta. Disertasi (tidak dipublikasikan), Program
Pasca Sarjana IPB, Jurusan Pengelolaan Sumber
daya Alam dan Lingkungan (PSL). Bogor.
Purnomohadi, Ning. 1984. Sistem Koridor Lingkungan
Dalam Konservasi Wilayah (Kasus Pulau Jawa).
Fakultas Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB-Bogor.
(Makalah-tidak dipublikasikan).
Rabinovitch, Jonas with Josef Leitmann, 1993. Environ
mental Innovation and Management in Curitiba,
Brazil. UMP, Working Series No. 1. UNDP/UNCHS
(Habitat)/World Bank June, 1993. Working Paper
No. 1: 1818 H St. N.W., Washington, DC 20433,
USA.
Rahman, Zain, 1977. Mutiara dalam Halaman Pekarang
an. Materi Kursus Pertamanan Forum Arsip Perta
manan Indonesia, Bogor.
Rishadi, Haryoso. 1990, Pengembangan Ruang Terbuka
Hijau Pemerintahan Kota Surabaya Pemaparan
Dinas Pertamanan, dalam rangka Rakor Fasilitasi
Perkembangan Perkotaan. PemKot Surabaya. Jl.
Menur 31-C, Surabaya.
Salfifi, Atje Dimjati. 1980. Sebuah Studi Menuju Konsepsi
Perencanaan Landscape untuk Perumusan Ren
cana lnduk Jakarta 1985-2005, Fakultas Arsitektur
Lansekap Trisakti, Jakarta.
450. John Willey & Sons, Ltd. Chichester, New
York, USA.
Spirn, Anne Whiston, 1947. The Granite Garden, Urban
Nature and Human Design. Basic Book Publishers
New York. ISBN: 0-465-02698-2 (paperback).
Soemarwoto, 0., 1975. Sistem Pekarangan: Suatu Pan-
Salim, Emil, 1982. Membangun Tanpa Kerusakan Ling- dangan Ekologi Terhadap Pendekatan Terintegrasi
kungan. Makalah pada Pembukaan Penataran Pecegahan dan Pemulihan Tanah Kritis. Makalah
Analisis Dampak Lingkungan, PSL IPB dan Ul, Seminar Pemulihan Lahan Kritis di Jakarta.
Jakarta. Steele, James. 2005. "Ecological Architecture, a Critical
Sasongko, Haryo. 2005. Kebijakan dan Strategi Pemba- History" Thames and Hudson Ltd, London, UK.
ngunan dan Pengelolaan RTH. Suatu tulisan be
rupa pemikiran dan analisis pribadi (tidak dipubli
kasikan).
Simonds, John 0., 1978. Earthscape. A Manual of Environ
mental Planning. McGraw-Hill Book Company,
New York. ISBN 0-07-057395-6. Printed and
bound by Halliday Lithograph
Simonds, J.O., 1969. Landscape Architecture. Me Graw
Hill Book Company, New York.
Smith, Mat John Whitelegg and Nick Williams, 1998. Green
ing The Built Environment. Published in association
with WWF UK Earthscape Publication Ltd. 120 Pen
tonville Road, London N1 9JN, UK. ISBN 185383
403-3 (paperback).
Smith, LWH, 1984. Pollutant Up Take by Plants in M. Tre
show (Ed). Air Pollution and Plant Life. pp. 417-
Sujarto, Joko, 1981. Suatu Tinjauan Tentang Aspek Urban
Design dengan Sorotan ke Beberapa Keadaan
Perkembangan Kota di Indonesia. Materi kuliah
PL292. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
FTSP, lnstitut Teknologi Bandung.
Takahashi, Rikio. 1989. Parks and Open Space Planning.
Makalah diskusi persiapan 'International Garden
and Greenery Exposition, 2000', Osaka Interna
tional Training Centre, Japan International Co
operation Acengy (JICA). Urban Redevelopment
Authority, 1992. Towards A tropical City of Excel
lence. Singapore River Development Guuide Plan,
Draft-Augus 1992.
Thomas, Graham Stuart. 1983 Trees in The Landscape.
Foreword by Lady Emma Tennant, Introduction by
Douglas Chambers Published by John Murray, Al
bemarle Street, London. Production co-ordinated
Daftar Pustaka & Lampiran 297
by Carol Lewis. Printed in Hong Kong. ISBN: 0-
7195-5724-0.
Trulove, James G (Ed in Chief). 1989. Landscape Archi
tecture Magazine. May 1989. Publisher: American
Society of Landscape Architects (ASLA)
Van der Hagen Harrie and lr Danny Lim, 2005. Perjuangan
Melawan Air, Departemen Transport dan Perairan,
Harrie van der Hagen dan lr. Danny Lim/Prima
Score, 28 November 2005.
Vale, Brenda and Robert. 1991. Green Architecture: De
sign for A Sustainable Future. Thames & Hudson
Ltd, London. Printed and bound in Singapore by
Tappan.
Van Rooden, 1983. The Importance of Open Space in The
Urban Pattern.
Van Stenis, Dr.C.G.G.J. 1875. Flora. PT Pradnya Paramita,
Jakarta Pusat
Vickery, Margaret L, 1984. Ecology of Tropical Plants, with
a chapter by Dr. John Hall, University of Dar Es
Sa/dam. John Willey & Sons, ISBN 0-471-90107,
0-471-90200 (paperback).
Vitellozzi, Annibale, Giovanni Brandizzi. 1991.La Scuo/a
Naziona/e Di Atletica Leggera A Formia. (Formia's
National school of Athletics) Edizione CONI-Roma,
Foro ltalico. Contra Studi lmpianti Sportivi. Prima
edizione: Febbraio 1991.
298 Daftar Pustaka & Lampiran
Wiliam, Eduard A., et.al, 1969. The Urban Metropolitan
Open Space Study, Diablo Press, San Francicso,
1969.
Wirasonjaya, Slamet, 1982. Prospek Tata Ruang DKI Ja
karta. Makalah pada Simposium Penyusunan Ren
cana lnduk Pembangunan DKI 1985-2005, Jakarta
1982.
Wirakusumah, Sambas. 1987. Suatu Pemikiran Program
Hutan Kota untuk Jakarta. Makalah untuk Seminar
Hutan Kota DKI Jakarta.
Yeang, Ken. 1999. The Green Skyscraper, The Basic for
Designing Sustainable Intensive Buildings. Prestei
Verlag, Mandlstrasse 26. D-80802, Munich, Ger
man. ISBN: 3-7913-1993-0
Zhu, Junchen, 1992. Chinese Landscape Gardening. Fo
reign Language Press 24 Bai Wan Zhuang Road,
Beijing 1 00037, China. Printed in the People Re
public of China. ISBN 0-8351-2416-9, 7-119-
01252-5.
----------, 1976. Guideline Management of Urban Park
System Management Aid No 1. August 1976. Pu
blished by The Australian Institute of Parks and
Recreation. PO Box. 10, Northcote, 3070. Natio
nal Library of Australia Card Number, ISBN: 0 959
8775.
----------,1976. Environmental Corridor Study. Prepared
by The Georgia Department of Natural Resources
Comissioner: Joe D. Tanner, et.al Consultant. Ark-
horra Associates, Inc. Architecture and Planning
1412 West Peachtree Street, N.W., Atlanta, Geor
gia 30309 July 4, 1976.
----------, 1979. Landscape Towards 2000, Conservation
----------, 1988. lnstruksi Menteri Dalam Negeri (ln
mendagri) No. 14, Tahun 1988, tentang Penataan
RTH di Wilayah Perkotaan. Departemen Dalam
Negeri
or Desolation, The Landscape Institute, London, ----------, 1988. Major Projects in Kobe. Publisher: Kobe 1979. City Government. Photographs: Masahiro Kuzu
kawa & others. Mishaha Printing Co. Ltd, Japan. ----------, 1981. Perencanaan Landscape dalam Pena-
taan Bentuk dan Ruang Kota. Makalah pada Sim- -----------, 1989. Osaka Business Park (OBP), New City-posium lkatan Arsitek Indonesia (IAI), Jakarta. Core in Osaka, A Major Step Forward in Creative
Urban Development. ----------, 1982. Laporan Sektor Ruang Terbuka Hijau dan
Rekreasi, Team Penyusunan Rencana lnduk DKI
Jakarta 1985-2005, 1982.
----------, 1983. Perencanaan Landscape dalam Tata Ru
ang Kota, Makalah pada Temu Wicara HIPEL, Ja
karta, 1983.
-----------, 1985. Dampak Estetika pada Bentang Alam.
Makalah pada kursus Dasar-Dasar Analisis Dam
pak Lingkungan. Universitas Indonesia, Jakarta
1985.
----------, 1985. The Greening of Kobe. Green Kobe Pro
ject Activities. With message from the Mayor. Mr.
Tatsuo Miyasaki
----------, Departemen Dalam Negeri, 1987. lnstruksi
Menteri Dalam Negeri (lnmendagri) No. 14, Ta
hun 1987, tentang Penataan RTH di Wilayah
Perkotaan.
--------, 1989. Landscape Architecture Magazine, Ameri
can Society of Landscape Architects (ASLA). May,
1989. ISSN 0023-8031.
----------, 1990. Proceeding Seminar. "Pembinaan dan
Aktualisasi Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkota
an", dalam rangkaian acara Pekan Seni Flora,
Fauna dan Lingkungan, Ruang Pola Bappeda DKI
Jakarta, bali Kota Blok G lantai 2, Jakarta 1990.
----------, 1990. Proceeding Seminar. "Pembinaan dan
Aktualisasi Ruang Terbuka Hljau di Wilayah Per
kotaan", dalam rangkaian acara Pekan Seni Flora,
Fauna dan Lingkungan, Ruang Pola Bappeda DKI
Jakarta, Bali Kota Blok G lantai 2, Jakarta 1990.
---------, 1991. Kyongju, A Thousand Capitol. 15 Januari
1991. Publisher: Keun Woo Lee, by Korea Text
book Co., Ltd.# 62-7. 1-ka. Manri-dong. Chung
gu. Seoul, Korea. Tel: 392-0996
Daftar Pustaka & Lampiran 299
---------, 1991. BARCELONA. The Technical department Edisi Pertama, Malang 1997; dan Validasi dari
of Editorial. Escudo De Oro, SA, 4th Edition, April BAPEDAL, Direktorat Pengembangan Kelem-
1991.Palaudarias 26. Barcelona (Spain). bagaan/SDM. Percetakan offset, Surabaya.
---------, 1992. Singapore River, Development Guide Plan ---------, 1997. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
(Draft, August 1992)~ Urban Re-Development Pemukiman dan Pemukiman di Wilayah DKI
Authority URA, Towards A tropical City of Excel- Jakarta.
lence.
----------, 1992. Gazetteer Nama-nama Pulau & Kepu
lauan di Indonesia. Dok. No.: 26/1992. ISSN:0216-
4982. Kerjasama BAKOSUR-TANAL dengan
Fakultas Matematika llmu Pasti Alam, Jurusan
Geografi, Universitas Indonesia.
---------, 1994. Taman Medan Merdeka di Jakarta- Indo
nesia. Pemerintah Daerah Khusus lbukota
Jakarta.
----------, 1994. Administration & Public Affairs Division,
-----------, 1999. Pengembangan Kawasan Perkotaan,
kawasan Perdesaan dan kawasan Tertentu menuju
Indonesia Baru. Ditjen Cipta Kaya, Departemen
Pekerjaan Umum. Gedung Cipta Karya, Jl Raden
Patah 1/1 , lantai 11 Wing 3. Kebayoran Baru, Ja
karta Selatan 12110.
----------,2001. Pedoman Kebijakan dan Strategi Pengem
bangan RTH dan Penghijauan Kota (Draft 3). 15
November 2001. (Tidak dipublikasikan). Kantor
Kementerian Lingkungan Hidup.
secretariat City Hall, City Hall. Kuala Lumpur. Ma- ----------, 2001. Gerakan Sejuta Pohon 2001, 2002. Kan-
laysia. 1994. 100 Tahun Kuala Lumpur (1890-1990). tor Kementerian Lingkungan Hidup.
Kuala Lumpur, Garden city of lights and national
sports & cultural centre.
----------, 1995. RTH Kota- Majalah Konstruksi, Jakarta,
Maret 1995, Rubrik Lingkungan.
----------, 1997. Buku Panduan: Wall Chart Hubungan
Timbai-Balik Antara Manusia dan Lingkungan.
Penerbit: PPPGT NEDC, Jl. Teluk Mandar, Arjo
sari. Tromol Pos 5, Malang 651 02. Bekerja sama
dengan Swisscontact, atas dukungan biaya Swiss
Agency for Development and' Cooperation (SOC),
300 Daftar Pustaka & Lampiran
----------, 2003. Weerzien met lndie, Majalah 52 seri ter
bitan Tropan Museum, Amsterdam, Belanda.
----------, 2006. Dokumen Foto-foto dari Asdep Pengen
daalian Kerusakan dan Pencemaran Pesisir dan
Laut, Deputi Pengelolaan SDA dan Lignkungan,
Kantor KLH.
-------------, 2006. Pengendalian Pencemaran Air. Kemen
terian Lingkungan Hidup. Jl, Dl Panjaitan Kav
24 Kebon Nanas, Jakarta Timur 13410, Tel (021)
8580081, 8580104 Fax: (021) 8580081. Email:
[email protected]. Website: http//www.menlh.
go.id
-------------, 2006. Balai Taman Nasional Taka Bonerate,
Jl. S. Parman No. 40 Benteng-Kab. Selayar (92812),
Propinsi Sulawesi Selatan-lndonesia. Telp/Fax:
+62-411-21565 email: [email protected]
-------------, Weerzien met lndie, Waanders Uitgevers in
Samen Werking met het Tropen Museum (1596-
1950). Media Expresse. Antwoord Nummer 50-
300, 2000 VK Haarlem.
Daftar Pustaka & Lampiran 301
LAMPI RAN
I. Kompilasi Dasar Hukum {Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH:
UNDANG-UNDANG DASAR (UUO): UUD 1945, terutama Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal
18A tentang wewenang dan pemanfaatan SDA, Bab XA
HAM Pasal 28A, 288 (2), 28C (1 ), 28H (1 ), tentang hak
mendapatkan lingkungan hid up yang baik dan sehat, Bab
XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Pasal 33 (3) tentang pengelolaan bumi dan air dan keka
yaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
UNDANG-UNDANG (UU): 1. UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
2. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
3. UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi.
4. UU No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
5. UU No. 6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Peruba
han lklim.
6. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perseri
katan Bangsa-Barigsa Mengenai Keanekaragaman
Hayati.
7. UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang.
8. UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya.
9. UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
1 0. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
11. UU No. 11/1990 tentang Susunan Pemerintahan Dae
rah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia yang
302 Dattar Pustaka & Lampiran
disempurnakan dalam UU No. 34/1999 tentang Pemer
intahan Khusus lbu Kota Negara Jakarta.
12. UU No. 4/1982 yang disempurnakan dalam UU No. 23/
1997 tentang Ketentutan-ketenutan Pokok Pengelo
laan Lingkungan Hidup.
13. UU No.168Staatsblad 1948tentang Pembentukan Kota
(UU Zaman Kolonial Belanda)
PERATURAN PEMERINTAH (PP): 1. PP No. 62 Tahun 2003/2002 tentang Hutan Kota.
2. PP No. 63/2002 tentang Hutan Kota.
3. PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
4. PP No. 4/2000 tentang Pengendalian Kerusakan dan/
atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
5. PP No. 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat
Jasa Konstruksi.
6. PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kon
struksi.
7. PP No. 30/2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi.
8. PP No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara.
9. PP No. 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah.
1 0. PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewa
jiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Ma
syarakat dalam Penataan Ruang.
11. PP No.18/1953 tentang Pelaksanaan Penyerahan seba
gian Urusan Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan
Umum kepada Provinsi-provinsi serta Penegasan Tu
gas Mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonom
Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil di Jawa.
KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES): 1 . Keppres No 23/1992 tentang Pengesahan Konvensi Vi
ena dan Protokol Motreal tentang Lapisan Ozon (Vienna
Convention for the Ozone Layer, dan Montreal Protocol
on Substances That Deplete The Ozone Layer As Ad
justed and Amanded by The Second Meeting of Parties
London, 27-29 June 1990).
2. Keppres No. 1/1987 tentang Pengesahan Amandemen
1979 atas Konvensi Perdagangan lnternasional Flora
Fauna Langka (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Flora and Fauna, 1973).
3. Keppres AI No. 23/1979 tentang Peningkatan Peran Ser-
33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, khusus
nya pada Iampi ran 22 mengenai Petunjuk Perencanaan
Kawasan Perumahan Kota. Dengan Permen PU No.
41/PRT/89 maka Standar Konstruksi ini telah disahkan
menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1733-1989-
F (Kebijaksanaan Teknis Menyangkut Ruang Terbuka
Hijau, seperti Standar Perencanaan Sarana Olahraga
dan Daerah Terbuka).
6. Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan
Tata Ruang Kota.
7. Kepmendagri No. 363/1977 tentang Pedoman Pemben
tukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah.
ta Generasi Muda dalam Pelestarian Sumber Daya PERATURAN MENTERI (PERMEN): Alam. 1. Permendagri No. 2/1987 tentang Rencana Tata Ruang
KEPUTUSAN MENTERI (KEPMEN): 1. Kep. Meneg. LH No. 37/1995 tentang: Pedoman Pelak
sanaan Kebersihan Kota dan Pemberian Penghargaan
Adipura.
2. Kepmendagri No. 80/1994 tentang Pedoman Organi
sasi dan tata Kerja Dinas Lingkup Pekerjaan Umum
Daerah.
3. Kepmendagri No. 39/1992 tentang Organisasi Dinas
Daerah.
4. SKB Menhut dan Mendikbud No. 967A/Menhut-V/90
dan No. 0387 /U/1990 tentang Peningkatan Peran
Serta Pelajar, Mahasiswa dan Generasi Muda dalam
Melestarikan Hutan, Tanah dan Air serta Lingkungan
Hidup melalui Pendidikan Nasional.
5. Kepmen PU No. 378/KPTS/1987 tentang Pengesahan
Kota.
2. Permendagri No. 4/1996 tentang Pedoman Perubahan
Pemanfaatan Lahan Perkotaan.
INSTRUKSI MENTERI (INMEN): 1. In men PU No. 31 /IN/N/1991 tentang Penghijauan dan
Penanaman Pohon di Sepanjang Jalan di Seluruh In
donesia.
2. lnmendagri No. 14/1988 tentang Penataan Ruang Ter
buka Hijau di Wilayah Perkotaan.
PERATURAN DAERAH (PEROA): 1 . Perda DKI Jakarta No. 9/1999 tentang Pelestarian dan
Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar
Budaya.
2. Perda DKI Jakarta No. 9/1985 tentang Retribusi yang
Daftar Pustaka & Lampiran 303
dipungut oleh dinas-dinas daerah, dimana Dinas Per
tamanan DKI Jakarta adalah instansi pelaksana dae
rah pemungut retribusi di bidang pertamanan sesuai
dengan Pasal 45. Perda ini diganti Perda No. 11/1996
tentang Retribusi Daerah Bidang Pembangunan DKI
Jakarta.
3. Perda DKI Jakarta No. 9/1982 tentang Pembentukan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan
DKI Jakarta, dimana Dinas Pertamanan DKI Jakarta
adalah instansi pelaksana daerah dalam mengemban
tugas pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta.
Perda DKI Jakarta No. 7/1997 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI
Jakarta, yang diperbaharui dengan Perda No. 3/2001
tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perta
manan DKI Jakarta.
4. Perda DKI Jakarta No.3/1972 yang diperbaharui dengan
Perda DKI Jakarta No. 11 /1988 tentang Ketertiban
Umum di WilayahDKI Jakarta, termasuk di dalamnya
ketertiban umum di Ruang Terbuka Kota.
5. Keputusan DPR Gotong Royong DKI Jakarta No. 9/P/
DPR-GR/1967 tentang Rencana lnduk Djakarta 1965-
1985, Perda DKI Jakarta No. 5/1984 tentang Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, dan
Perda DKI Jakarta No. 6/1999 tentang Rencana Tata
Ruang wilayah (RTRW) Jakarta 2000-201 0.
KEPUTUSAN GUBERNUR (SK GUB): 1. SK Gub. KDKI Jakarta No. 757/1993 tentang Juklak Pe
mungutan Retribusi Daerah di wilayah DKI Jakarta dan
SK Gub KDKI Jakarta No. 1561/1997 tentang Juknis
Pelayanan Pertamanan di DKI Jakarta.
304 Daftar Pustaka & Lampiran
2. SK Gub. KDKI Jakarta No. 941/1993 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Renstra.
3. SK Gub. KDKI Jakarta No. 811/1993 tentang Rencana
Strategis (Renstra) Pemda DKI Jakarta 1992-1997,
yang diperbaharui Perda No .... ./2002 tentang Renstra
Pemprov DKI Jakarta 2002-2007, yang diikuti penyu
sunan Renstra Dinas Pertamanan DKI Jakarta 2003-
2007.
4. SK Gub. KDKI Jakarta No. 606/1993 tentang Pember
lakuan Tim Pelaksanaan Gerakan Penghijauan Sejuta
Pohon di DKI Jakarta.
5. SK Gub. KDKI Jakarta No. 71/1993 tentang Pelimpah
an Wewenang kepada Pemerintah Kotamadya di DKI
Jakarta untuk melaksanakan sebagian tugas di bidang
Pertamanan.
6. SK Gub. KDKI Jakarta No. 522/1991 tentang pengguna
an Bidang tanah (eks Taman Ria Monas) seluas + 3,5
ha untuk taman parkir yang sifatnya sementara.
7. SK Gub. KDKI Jakarta No. 1554/1989 tentang Gerakan
Penghijauan Sepanjang Tahun.
8. SK Gub. KDKI Jakarta No. 884/1989 tentang Penetap
an Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang ta
nah seluas + 87.51 0 m2 untuk pembangunan bangunan
kepentingan umum (sebagai kebun bibit pertamanan
dan fasilitasnya) Dinas Pertamanan DKI Jakarta, yang
terletak di Jl. Pas Pengumben, Kelurahan Srengseng,
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta barat.
9. SK Gub. KDKI Jakarta No. 1885/1987 tentang Penyem
purnaan SK Gub KDKI Jakarta No. 3498/1984 tentang
Perluasan Penguasaan Peruntukan di bidang Tanah
Proyek Nasional TMII di wilayah Jakarta Timur.
10. SK Gub. KDKI Jakarta No. 651/1979 tentang Kewa-
jiban Para Pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan
untuk Membiakkan Tanaman dan Menghijaukan Ling
kungan Sekolah pada Sekolah-sekolah di Wilayah DKI
Jakarta.
INSTRUKSI GUBERNUR (INGUB): 1. lngub KDKI Jakarta No. 11 0/1989 tentang Penertiban
Taman-taman di Wilayah DKI Jakarta.
2.1ngub KDKI Jakarta No. D.IV-104/c/1/76 tentang Peng
aturan Pemanfaatan Lahan yang Ditelantarkan oleh
Para Pemiliknya.
3. lngub KDKI Jakarta No. 1952/A/Inst/BKD/1975 tentang
Masalah Koordinasi Antar lnstansi yang Berkaitan de
ngan Penghijauan.
LAIN-LAIN: Surat Kanwil Dep. PU No. Ap.01.02.w1 0/220 tanggal
26 Agustus 1991 perihal Pengelolaan Taman pada La
han di Lokasi-lokasi Proyek Sektoral Nasional Peker
jaan Umum di DKI Jakarta.
Daftar Pustaka & Lampiran 305
II. Beberapa Acuan Untuk Penentuan Luas Ruang
Terbuka Hijau Kota
Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari
wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan ber
bagai pertimbangan. Diketahui pertimbangan umum
penentuan luas RTH, bahwa RTH kota dalam satu ham
paran kompak setidaknya mempunyai luasan 0,25 hek
tar, sedang proporsi luas RTH minimal adalah 1 0% dari
wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi se
tempat. Berikut pendapat beberapa pakar tentang luasan
RTH yang harus disediakan oleh sebuah kota, berdasar
kan ragam pertimbangan.
Dalam Dahlan (1992 dimodifikasi) penetapan luasan
RTH (termasuk di dalamnya Taman Hutan) Kota yang ha
rus dibangun ditetapkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menu
rut perkiraan kasar (begitu saja mengikuti ap~ yang
telah ada) diharapkan mencapai luasan 10%, 20%,
25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang mene
tapkan 60%, seperti kota Canberra, lbukota Australia.
2. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di be
berapa negara ditentukan sebagai berikut: di Malay
sia 1 ,9 m2 per penduduk dan Jepang 5 m2 per pen
duduk (Tong Yiew, 1991 dalam dahlan 1992). Dewan
kota Lancashire, lnggris menetapkan 11,5 m2, Amerika
60m2, Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan
berolahraga 1 ,5 m2/penduduk (Rifai, 1981 dalam Dah
lan, 1992).
3. Berdasarkan issue-issue penting, luas RTH yang ha
rus disediakan sebuah kota yang kekurangan air bersih,
ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan
air, Sutisna et.al (1987 dalam Dahlan, 1992) membuat
306 Daftar Pustaka & Lampiran
rum us:
La = Po.K (1 + r-c) t- PAM -Pa
z
Keterangan:
La Luas hutan yang diperlukan untuk mencukupi ke-
butuhan air (ha)
Po Jumlah penduduk kota pada tahun ke 0
K Konsumsi air per kapita (liter/hari)
R Laju kebutuhan air bersih (biasanya seiring de
ngan laju pertambahan penduduk kota
set em pat)
Tahun
c Faktor koreksi (besarnya bergantung pada upaya
pemerintah dalam menekan laju pertambahan
penduduk)
PAM Kapasitas suplai air PAM (dalam M3/tahun)
Z Kemampuan RTH kota menyimpan air M3/ha/
tahun)
4. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH
kota yang harus disediakan mengacu pada jumlah
penduduk dan jumlah kendaraan bermotor serta indus
tri yang tinggi, dapat dihitung dengan rumus: (Kunto,
1986 dalam Dahlan, 1992):
Keterangan:
L = a.V + b.W
20
Keterangan:
L Luas RTH kota (m2)
a Kebutuhan oksigen per orang (kg/jam)
b
v
Rerataan kebutuhan oksigen per kendaraan ber
motor (kg/jam)
Jumlah penduduk
W Jumlah kendaraan bermotor
20 Tetapan (kg/jam/ha).
Rumus di atas dimodifikasi oleh Dahlan (2003), sebagai
berikut:
L = I.A.i. Vi+ 83 L· Bi.Wi + I.Ci.Zi
20
Keterangan:
L Luas RTH-kota (Ha)
Ai Kebutuhan 02
per orang (ug/jam)
Bi Kebutuhan 02
per satuan kendaraan bermotor
(kg/jam)
Cii Kebutuhan 02
per satuan industri (kg/jam)
V\i Jumlah penduduk
Wi Jumlah kendaraan bermotor dari berbagai jenis
Zi Jumlah industri dari berbagai jenis
20 Konstanta (rerataan oksigen/)2) yang dihasilkan
(20kg/jam/Ha)
Selain menggunakan pendekatan Kunto, penentuan
luasan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen, juga dapat
dilakukan dengan Metode Gerakis (197 4 yang dimodifi
kasi dalam Wisesa (1988):
Pt + Kt + Tt
Lt = --------------------------
(54} (0,9375)
Lt Luas RTH Kota pada Tahun ke-t (m2)
Pt Jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk
pada tahun ke-1
Kt Jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan
bermotor pada tahun ke-1
Tt Jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak
pada tahun ke-1
54 Tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m2 luas
lahan menghasilkan 54 gram berat kering
tanaman per hari
0,9375 = Tetapan yang menunjukkan bahwa 1 gram
berat kering tanaman adalah setara dengan
produksi oksigen 0,9375
Catatan:
• Penentuan luas RTH kota berdasarkan perhitungan
dengan cara pertama dan kedua sangat memang mu
dah dan sederhana, tetapi kedua-duanya tidak memiliki
alasan uustifikasi) kuat. Karena itu kemungkinan akan
terjadinya 'over atau under estimate' sangat mungkin
terjadi, karena bisa saja hasil perhitungannya melebihi
luasan bagian kota itu sendiri.
• Penentuan luas RTH dengan memasukkan unsur jum
lah manusia dapat diterima akal sebab semakin besar
populasi manusia, RTH-kota yang harus disediakan
akan semakin luas.
• Yang harus diperhatikan apabila menggunakan pertim
bangan jumlah penduduk adalah, luasan RTH yang
disediakan sebuah kota harus meningkat mengikuti
peningkatan jumlah· penduduk. Tuntutan peningkatan
luasan RTH tersebut akan meningkat pula pada pening
katan kebutuhan sarana transportasi, industri, dan sa
rana lain yang akan memakai ruang kota yang dengan
Daftar Pustaka & Lampiran 307
sendirinya semakin terbatas dengan terus bertambah
nya jumlah penduduk.
ldealnya, kebutuhan akan RTH-kota dapat diperki
rakan secara kasar, sebesar 3-6m2 per orang atau satu
hektar per 100 orang penghuni, namun akibat semakin
terbatasnya ruang/lahan perkotaan di pihak lain pen
duduk terus meningkat kenaikan RTH sejajar dengan ke
naikan penduduk terpaksa semakin berkurang menjadi
minimal, yaitu sekitar 2-3m2/orang saja. Oleh karena itu,
apabila di daerah-daerah (khususnya di luar pulau Jawa
dan Sumatra di mana lahan perkotaannya relatif 'masih
luas'), tak ada salahnya, bila alami maupun buatan yang
diproyeksikan dalam Rencana lnduk, misalnya Palangka
raya dan Banjarmasin di kalimantan, maupun berbagai
kota di Papua bagian Barat
Namun demikian perlu segera ditetapkannya suatu
ketentuan atau mungkin hanya berupa suatu pedoman
tentang pentingnya menyisihkan lahan pada pulau-pulau
besar, sedang maupun yang relatif kecil (kurang dari >I=
10.000 km2 dengan jumlah penduduk= 200.000 orang:
Bengen, 2006): SK Menteri Kelautan dan Perikanan/DKP
No. 41/2001), untuk mengimbangi kepadatan pemban
gunan struktur di Jawa dan Sumatra
Demikian diharapkan bahwa secara nasional dan
merata, terdapat fasilitas-fasilitas pelayanan umum yang
mendasar dan dibutuhkan oleh warga kota.
Di mana pun mnereka berada, termasuk pembangu
nan sentra-sentra perindustrian, perdagangan dan per
mukiman beserta segala pelayanan sosialnya di berbagai
pulau tersebut. Tetap dipeliharanya perbandingan antara
ruang terbangun agar fungsi ekologis untuk menunjang
308 Daftar Pustaka & Lampiran
kehidupan dapat terus berlangsung.
Dalam perhitungan total pencemaran udara oleh ling
kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara
oleh vegetasi hijau, termasuk taman hutan kota yang ke
mampuannya dalam menyumbang kemampuan meredam
dalam proses metabolisme alaminya. Pendekatan yang
dilakukan perlu didekati dengan menggunakan peubah
peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja kelom
pok tumbuhan pembentuk RTH-kota tersebut, mencakup
sifa-sifat fisik, sifat-sifat fisiologis serta metabolistik tum
buhan yang ringkasnya adalah sebagai berikut:
• Luas RTH dalam satuan (hektar) mencakup luas liputan
lahan RTH-kota dan prakiraan luas efektif penutupan
luas tajuk RTH-kota untuk setiap jenisnya, dan
• lndeks Luas Daun (Leaf Area lndex/LAI) dalam satuan
ha/ha, berdasar pra-pendugaan untuk semua kelom
pok tumbuhan dalam setiap jenis RTH kota. Peubah
penciri RTH-kota ini dinyatakan dalam satuan rata-rata
tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing ke
lompok tumbuhan setiap jenis hutan kota,
• Biomassa (8 dalam satuan ton), untuk semua kelom
pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota diduga
berdasarkan peredaman C02 oleh RTH-kota, yang pada
halelatnya merupakan penggunaan konsumtif C02 oleh
tumbuhan pembentuk RTH kota dalam proses fotosin
tesis, atau 'asimilasi Carbon',
• lndeks kesempurnaan arsitektur lansekap (dimension
less) yang merupakan gabungan (komposit) dan lndeks
Kesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.
Nilai LAI, dapat dihitung melalui perkiraan dengan ru
mus:
LAI=CT{Ls-0,27xEXP[0,035 CS 0, 15/n(CS/1 ,25)2]}
Keterangan:
LS Koefisien Bentuk Daun Rata-Rata (Mean Leaf
Shape Coefficient) untuk masing-masing kelom
pok tumbuhan pembentuk RTH-kota yang
merupakan nisbah antara Iebar daun dan
panjang daun rata-rata;
CS Koefisien Bentuk Tajuk Rata-Rata (Mean Crown
Shape Coefficient) untuk masing-masing
kelompok tumbuhan pembentuk RTH-kota yang
merupakan nisbah antara Iebar tajuk dan tinggi
tajuk rata-rata;
CT Koefisien Model Arsitektur Tumbuhan (Plant
Architectural Mode Coefficient) yang diperhi
tungkan berkisar antara 1 0-25, dengan rata
rata sebesar 19, 72. LS, CS dan CT tidak diukur
secara langsung di lapangan melainkan
dianalisis (risalah) berdasar Model Arsitektur
Pohon yang diperkenalkan pada tahun 1975
oleh Halle & Oldeman (Purnomohadi, 1994)
Pada kenyataannya, dengan semakin padat dan se
makin meningkatnya kegiatan manusia, maka kemudian
dinilai wajar apabila harga lahanakan semakin tinggi
dan juga jenis peruntukan semakin beragam, mengikuti
perkembangan jaman. Relatif makin banyaknya pen
duduk kota (khususnya kaum muda) yang merasa 'cukup
dan berbahagia' untuk pergi dan berjalan-jalan di 'mal'
yang sudah tersebar merata, bahkan jumlahnya sudah
berlebihan.
Ruang-ruang buatan (artificial spaces) semacam ini
nampaknya yang dipilih angkatan muda, entah karena
terpaksa atau karena 'trend' anak muda, semakin mem
beratkan penghargaan terhadap RTH yang sehat dan
alami. Maka pelaksanaan pembangunan RTH pun men
jadi semakin sering mengalami hambatan, padahal pada
sistem perhitungan kedua, RTH yang justru harus dise
diakan juga cenderung bergerak naik, sesuai dengan se
makin meningkatnya jumlah penduduk tersebut.
Dalam analisis keruangan (Purnomohadi, 1994) ba
gian-bagian kota selalu terdapat "area sensitif" (melebihi
batas ambien yang diperbolehkan) atau area dengan
akumulasi zat pencemar yang relatif lebih tinggi dari seke
lilingnya. Analisis data kualitatif maupun kuantitatif, infor
masi penunjang lain yang tak kalah pentingnya sangat
penting untuk mendukung dan mempertajam kajian serta
bahasan mengenai misalnya berapa ukuran luas total
RTH-kota secara ideal memerlukan kajian (penelitian) ter
tentu. Jumlah, jenis dan sumber data dan informasi pun
sangat beragam, namun tentu dapat dipilah-pilah men
jadi memakai sistem klasifikasi tertentu serta harusnya
disesuaikan dengan kebutuhan dan peruntukan suatu
kawasan. Jalur pedestrian atau jalur bersepeda, terutama
di daerah tropis misalnya harus ditanami dengan pepo
honan dengan kanopi yang cukup rindang, namun tetap
'transparant' (lebih baik berdaun relatif kecil-kecil tetapi
rimbun), artinya sinar matahari masih bisa dengan llem
but masih mampu mencapai 'dasar' pepohonan.
Data dan informasi penunjang itu, antara lain adalah:
(Purnomohadi, 1994):
(1) Peraturan perundang-undangan (dari Undang-undang
sampai SK Gubernur, Bupati/walikota bahkan sampai
Daftar Pustaka & Lampiran 309
ke ujung hierarkhi kepamerintahan yang paling dasar
seperti kelompok RW dan AT, namun secara efektif
dan adil bisa diterapkan untuk mengatur pergerakan
peghuni kota dengan nyaman dan tenang;
(2) Data dan informasi tentang keragaan sosial-eko
nomi regional termasuk rencana-rencana investasi
sektor industri, rencana pembangunan dan pengem
bangan sistem transportasi kota, rencana pengem
bangan sistem energi listrik, dan sebagainya;
(3) Rencana dan hasil-hasil implementasi tata-ruang di
wilayah-wilayah pengembangan seperti metropolitan
310 Daftar Pustaka & Lampiran
atau agropolitan, dan seterusnya sebab di dalamnya
pun mau tak mau harus menyediakan sarana RTH se
bagai penyeimbang agar fungsi lingkungan terus dapat
berlangsung;
(4) Hasil pengamatan lapangan tentang keragaan dan
kualitas RTH di beberapa bagian kota yang dinilai
cukup mewakili keadaan, antara lain sehubungan de
ngan interaksi antara keragaan tanaman/tumbuhan
pembentuk RTH dengan kualitas media udara, air dan
tanah di sekitarnya.
Ill. Jenis-Jenis Tanaman Yang Dapat Difungsikan Sebagai Penyusun Ruang Terbuka Hijau
No. Nama Suku dan Jenis ~ Nama Lokal Perawakan Pemanfaatan Catatan
dalam RTH*)
ANACARDIACEAE ! i i i i
1 Anacardium occidentale L. · Jambu monyet Pohon sedang 3,5
2 8ouea macrophylla Griff. Gandaria Pohon sedang 3,4,5 8uah dan pupus dimakan
3 . 8uchanania arborescens i Renghas burung Pohon sedang 2,3,4,5 8uah dimakan
(81.)81.
4 Dracontomelon dao (81an- Rau Pohon sedang ' 3,4,5 8uah makanan burung
cho) Merr. & Rolfe
5 Mangifera foetida Lour. 8acang Pohon sedang 2,3,5
6 Mangifera indica L. Mangga Pohon sedang 2,3,5 8uah dimakan
7 Mangifera kemanga 81. Kemang Pohon sedang 3,5 8uah dimakan
8 Mangifera odorata Griff. . Kuweni Pohon sedang 2,3,5 8uah dan pupus dimakan
9 Spondias pinnata (L.f.) Kedondong Pohon sedang 2,3,5 8uah dimakan
Kurz. 8uah dimakan 1·-
ANNONACEAE
1 Cananga odorata (Lmk.) Kenanga Pohon kecil 3,5 8erbunga, aromatik
Hook.f. & Thoms.
2 Polyalthia longifolia (Son- Glodogan Pohon kecil 3,4, 5 nerat) Thwait.
3 Stelechocarpus burahol Kepel Pohon sedang 3,4,5 8uah dimakan
Hook. f. & Th. I-
APOCYNACEAE
1 Alstonia scholaris (L.) R. 8r. Pulai Pohon besar 3,4,5 2 Cerbera odollam Gaertn. 8intaro Pohon kecil 2,3,4,5 ' 3 Kopsia arborea . Jambu lot Pohon sedang 2,3,4,5 I
4 Nerium oleander L. Oleander Semak 4,5 : 8erbunga
5 • Plumeria acuminata W.T. · Kamboja Semak 4,5 I 8erbunga, aromatik A it.
! i ! '
Daftar Pustaka & Lampiran 311
6 Plumeria alba L. ! Kamboja 1 Semak I 4, 5 ! Berbunga, aromatik
7 Thevetia peruviana (Pers.) Ginje 1 Semak ! 2,3,4,5 i Berbunga
K. Schum . I ..--ARAUCARIACEAE
Agathis dammara (Lam- Damar Pohon besar 4, 5 Penghasil kopal
bert) L.G. Rich.
2 Araucaria cuninghamii Ait. Damar laki-laki Pohon besar 4, 5 ex D. Don ......
ARECACEAE
1 Areca catechu L. Jam be Palma kecil 3,4,5 2 Actinorhytis calapparia Jambe sinagar i Palma sedang
I 3, 4,5
: (BI.) Wend!. Et Drude ex
Scheffer
3 Caryota mitis Lour. Sarai raja ; Palma sedang 4, 5 4 Chrysadilocarpus lutescens Palem kuning 1 Palma kecil 4, 5
H.A.
5 Cyrtostachys renda Blume Pinang merah : Palma kecil 4, 5 6 Licuala grandis L. Palem kobis Palma kecil 4, 5 7 , Livistona chinensis (N .J . Palma besar 4, 5
. Jacq) R. Brown ex Martius
8 Livistona rotundifolia Serdang · Palma besar 4, 5 (Lamk.) Mart.
9 Nypa fruticans Wurmb Nipah Palma 1' 3 10 Pigafetta filaris (Giseke) Wang a
1 Palma besar 4,5
Becc.
11 Ptychospermum macarthu- Palem Irian ! Palma kecil 4, 5 ; rii (H.A. Wendland) Nich-
olson
12 : Roystonia elata (Bart.) Palem raja ' Palma besar 4,5 Harpen
I 312 Daftar Pustaka & Lampiran
>.'
AVICENNIACEAE
1 Avicennia marina Blume Api-api Pohon kecil 1 Buah dimakan
:BIGNONIACEAE
1 :crescentia cujete L. 1 Berenuk Pohon kecil 3,5 ' 2 :Jaccaranda filicifolia (An- Jambul merak Pohon kecil I 4, 5 Berbunga
I ! iders) D.Don. I
: 3 Kigelia africana (Lam.) Pohon sosis Pohon sedang 4, 5
Be nth.
4 Spatodhea campanulata Tulip afrika Pohon sedang 4,5 Berbunga
Beauv. ,.._
~
BIXACEAE
1 Bixa orellana L. Kesumba Pohon kecil 4,5 ·~-
'BURSERACEAE
~ ,Canarium vulgare Leenh. Kanari Pohon besar 3, 4,5 ~
CASUARINACEAE
1 Casuarina equisetifolia L. Camara laut Pohon sedang 2,4,5 ex Forst.
~- : ·-CLUSIACEAE
1 Calophyllum inophyllum L. Nyamplung Pohon besar 2,3,4,5 Buah makanan kelelawar
2 Calophyllum soulatri Sulatri Pohon besar 2,3,4,5 Burm. f.
3 Garcinia mangostana L. Manggis Pohon sedang 3,5 Buah dimakan 4 Messua ferrea L. Nagasari Pohon sedang 4,5
COMBRETACEAE ..,-
1 Terrninalia catappa L. Ketapang Pohon besar 2,3,4,5 Buah makanan kelelawar 2 Lumnitzera racemosa Willd. Teruntum Pohon kecil 1
DILLENIACEAE
1 Dillenia indica L. Sempur Pohon sedang 3,4,5
I I l I
Daftar Pustaka & Lampiran 313
DIPTEROCARPACEAE
1 Dryobalanops aromathica Kayu kapur Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan
Gaert
2 Dryobalanops oblongifolia Kayu kapur Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan
Dyer.
3 Hopea odorata Roxb. Cengal pasir Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan
4 Shorea sumatrana (Sioot. Meranti Pohon besar 4,5 Kayu pertukangan
Ex Thorreman) Sym.
EBENACEAE i 1 Diospyros philippensis DC. Bisbul Pohon besar 4,5 Buah dimakan
2 Diospyros celebica L. Eboni Pohon besar 4,5
ELAEOCARPACEAE
1 Elaeocarpus grandiflorus Ganitri Pohon sedang 4,5 Smith.
-ERYTHROXYLACEA
1 Erythroxylon cuneatum - Pohon kecil 4, 5 (Miq.) Kurz. :
I ,.... EUPHORBIACEAE
1 Aleurites moluccana Wild. Kemiri Pohon sedang 3,4,5 Buah untuk rempah
2 Antidesma bunius (L.) Buni Pohon sedang 3,4,5 Buah makanan burung
Spreng.
3 Antidesma montanum 81. Buni hutan Pohon kecil 3, 4,5 Buah makanan burung
4 Baccaurea dulcis (Jack.) Cupa-cupa Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan
Muell. Arg.
5 Baccaurea racemosa Muell. Menteng Pohon sedang 3, 4, 5 Buah dimakan
Arg.
6 Bridelia tomentosa Blume Kandri Pohon kecil 3,4,5 Buah makanan burung
7 Elateriospermum tapos 81. Tapos Pohon sedang 4,5 8 Hura crepitans L. Ki semir Pohon sedang 4,5 9 Phyllanthus emblica L. Kemlaka Pohon sedang 4,5 Buah untuk manisan
314 Daftar Pustaka & Lampiran
FABACEAE
Adenanthera microsperma Saga Pohon sedang 2,3,4,5 T.&B.
2 Adenanthera pavonina L. Saga Pohon sedang 2,3,4,5 Buah dimakan
3 Albizia procera (Roxb.) Bth. Weru Pohon sedang 2,3,4,5 4 Bauhinia purpurea L. Bunga kupu- Pohon kecil 4,5 Berbunga
kupu
5 Cassia fistula L. Trengguli Pohon sedang 4,5 Berbunga
6 Cassia multijuga Rich. Johar Pohon kecil 4,5 Berbunga
7 Cassia siamea Lmk. Johar Pohon kecil 4,5 Berbunga
8 Cassia surattensis Burm. f. Kembang kuning Semak 4,5 Berbunga
~ Dalbergia latifolia Roxb. Sonokeling Pohon sedang 3,4,5 Kayu pertukangan
10 Delonix regia (Boyer. ex Flamboyant Pohon sedang 4,5 Berbunga
Hook.) Raffin
11 Dialium indum L. Asem Kranji Pohon sedang 2,3,4,5 Buah dimakan
12 Hymenea courbaril L. Pohon belalang Pohon besar 4,5 13 lnocarpus fagiferus (Park.) Gay am Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan
Fosb.
14 lntsia bijuga (Colebr.) O.K. Merbau pantai Pohon besar 2,3,4,5 Kayu pertukangan
15 Manioltoa grandiflora Saputangan Pohon besar 4,5 Sceff.
16 Peltophorum pterocarpum Soga Pohon sedang 3,4,5 Pepagan pewarna batik
(DC.) Back.
17 Pilostigma malabaricum Kendayakan Pohon sedang 3,4,5 (Roxb.) Bth.
18 Pithecelobium dulce Asam belanda Pohon kecil 4,5 (Roxb.) Benth.
19 Pongamia pinnata (L.) Keprik Pohon sedang 3,4,5 20 Pierre Angsana Pohon besar 2,3,4,5 21 Pterocarpus indicus Willd. Trembesi Pohon besar 2,3,4,5
Samanea saman (Jack.)
22 Merr. Tembesu Pohon kecil 3,4,5 Berbunga
Daftar Pustaka & Lampiran 315
23 Saraca indica L. Asamjawa Pohon besar 2,3, 4,5 Buah dan pupus dimakan
Tamarindus indica L. 1
. GNETACEAE Melinjo , Pohon sedang 1 2, 3, 4, 5 1 Buah dimakan
Gnetum gnemon L.
LAURACEAE Kayu manis Pohon kecil 3,4,5 i Pepagan untuk rempah
Cinnamomum burmanii ! i
Nees. Ex Bl. Masoi , Pohon sedang 3,4,5 ! Pepagan untuk rempah
2 Cryptocaria massoy (Oken) i
Kosterm. Pohon sedang 4, 5 3 Litsea glutinosa (Lour.) C.
Roxb.
LECYTHIDACEAE
Barringtonia asiatica (L.) Kebeh Pohon sedang 2,3,' 4,5 Kurz.
2 Planchonia valida (81.) Bl. Putat Pohon sedang 3,4,5
LOGANACEAE
Fagraea fragrans Roxb. Tembesu paya Pohon besar 3, 4,5 Kayu pertukangan
LYTHRACEAE
Lagerstroemia flos-reginae Bungur Pohon sedang 3,4,5 Berbunga
Retz.
2 Lagerstroemia loudonii Bungur Pohon sedang 3,4,5 1 Berbunga
Teijs.
3 Lagerstroemia speciosa (L.) Bungur besar Pohon sedang 3,4,5 1
Berbunga
Pers.
MAGNOLIACEAE
Michelia alba DC. Kantil Pohon sedang 4,5 Berbunga, aromatic
2 Michelia champaca L. Cempaka Pohon sedang 4, 5 Berbunga, aromatic
MALVACEAE
Hibiscus tiliaceus L. Waru laut 1
Pohon sedang 2,3,4,5 I
316 Daftar Pustaka & Lampiran
2 Thespesia populnea (L.) Waru lot Pohon sedang 2,3,4,5 Soland. ex Correa
~ -
MELIACEAE
1 , Aglaia odorata Lour. Pacar cina Pohon kecil 4,5 Berbunga, aromatik
2 Azedirachta indica A. Juss. . Mimba Pohon sedang 2,3,4,5 3 Khaya antotheca Kay a Pohon besar 3,4,5 4 . Melia azedarach L. Mindi Pohon sedang 2,3,4,5 5 Swietenia macrophylla Mahoni Pohon besar 3,4,5 Kayu pertukangan, gugur daun
6 Swietenia mahagoni Mahoni Pohon besar 3,4,5 Kayu pertukangan, gugur daun
7 Toona sureni (81.) Merr. Suren Pohon besar 3,4,5 Kayu pertukangan
8 Xylocarpus granatum Koen Nyirih Pohon kecil -
MORACEAE
Artocarpus altilis (Park.) Keluwih Pohon besar 3 Buah dimakan
Fosberg.
2 Artocarpus communis Sukun Pohon sedang 2,3 Buah dimakan
Forst.
3 Artocarpus heterophyllus Nangka Pohon sedang 3 Buah dimakan
Lmk.
4 Artocarpus integer (Thunb.) Cempedak Pohon sedang 3 Buah dimakan Merr.
5 Ficus benyamina L. Bering in Pohon besar 3,4,5 Tahan pangkas
6 Ficus callosa Willd. llat-ilatan Pohon sedang 3,4,5 Gugurdaun
7 Ficus elastica Nois ex 81. Ki karat Pohon besar 3,4,5 8 Ficus glomerata Burrn. f. Low a Pohon sedang 3 9 Ficus lyrata Warb. Biola cantik Pohon sedang 4,5 10 Ficus microcarpa L.f. Jejawi Pohon besar 3,4,5 11 Ficus retusa L. Seprih Pohon besar 3,4,5 Tahan pangkas
12 Ficus superba Miq. Gerasak Pohon besar 3,4,5 13 Ficus variegata 81. Gondang Pohon sedangf 3,4,5 14 Streblus asper Lour. Serut Pohon kecil 3,4,5 Tahan pangkas
_] .I j
Daftar Pustaka & Lampiran 317
MYRISTICACEAE
Myristica fragrans Houtt. Pal a Pohon kecil 4, 5 Buah dimakan
MYRTACEAE
1 Syzygium cumini (L.) Skells. Jamblang Pohon sedang 3,4,5 , Buah dimakan 2 Syzygium paucipuncatum Pohon sedang 3,4,5
(K. & V.) Merr. & Perry
3 Syzygium polyanthum Salam Pohon sedang 3,4,5 Daun untuk rempah (Wight.) Walt.
4 Syzygium polycephalum Gowok Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan (Miq.) Merr. & Perry
NYCTAGINACEAE
Pisonia grandis R. Br. Wijayakusuma Pohon kecil 2,4, 5 Pupus dimakan
RIZOPHORACEAE
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Tancang Pohon kecil 1
Lam.
2 Caralia brachiata (Laur.) Pohon kecil 4,5 Merr.
3 Ceriops decandra (Griff) Tingi Pohon kecil 1
Ding Hou
4 Ceriops tagal C. B. Rob Tingi Pohon kecil 1
5 Rhizophora apiculata Bakau Pohon kecil
Blume
6 Rhizophora mucronata Bakau Pohon kecil
Lam.
7 Rhizophora stylosa Griff. Bakau Pohon kecil
RUTACEAE
Muraya paniculata (L.) Jack. Kemuning Pohon kecil 4,5 Berbunga, aromatik
SAPINDACEAE
1 Arytera littoralis Bl. Pancal kidang Pohon sedang 4,5 2 Erioglosum rubiginosum Katilayu Pohonsedang 3,4,5
318 Daftar Pustaka & Lampiran
(Roxb.) 81.
3 Euphoria Iongan Steud. Lengkeng Pohon sedang 3,4,5 Buah dimakan
4 Filicium decipiens N'J. & A.) Kipayung Pohon sedang 4,5 Thw.
5 Nephelium lappaceum L. Rambutan Pohon sedang 3,5 Buah dimakan
6 Nephelium mutabile 81. Kapulasan Pohon sedang 3,5 Buah dimakan 7 Pometia pinnata J.R. & G. Matoa Pohon sedang 3,5 Buah dimakan
Forst.
8 Scleichera oleosa (Lour.) Kesambi Pohon sedang 2,3,4,5 Oken.
SAPOTACEM
1 Chrysophyllum cainito L. · Sawo duren Pohon sedang 4,5 Buah dimakan
2 Manilkara kauki (L.) Dubard. Sawo kecik Pohon sedang 2, 3, 4,5 Buah dimakan
3 Mimusops elengi L. Tanjung Pohon kecil 4, 5 4 Palaquium amboinense Siki batu Pohon besar 3,4,5
Burck.
5 Planchonella obovata Nyatoh Pohon sedang 3,4, 5 (R.Br.) Pierreia
6 Pouteria camphechiana Alkesah Pohon kecil 4,5 Buah dimakan
(Kunth.) Boehni
SONNERATIACEAE
1 Sonneratia alba J.Sm. Pedada Pohon sedang
2 Sonneratia caseolaris (L.) Pedada Pohonsedang Engl.
STERCULIACEAE
Sterculia foetida L. Kepuh Pohon bedar 2, 4,5 2 Heritiera littoralis Dryand. Dungun Pohon sedang 1, 2
STYRACACEAE
Styrax benzoin Dryand. Kemenyan Pohon sedang 4,5 Penghasil kopal
Daftar Pustaka & Lampiran 319
THEACEAE
Schima wallichii (DC.) Puspa Pohon besar 4, 5 Kayu pertukangan
Korth.
THYMELEACEAE I
Aquilaria malaccensis Gaharu Pohon sedang 4,5 Penghasil gaharu
Lamk.
2 Gyrinops versteeghii Ding Ketimunan Pohon sedang 4,5
Hou
VERBENACEAE
Gmelina elliptica J.E. Bulang Pohon sedang 3, 4, 5
Smith.
2 Vitex pubescens Vahl. Laban Pohon kecil 3
320 Daftar Pustaka & Lampiran
DAFTAR ISTILAH DAN AKRONIM city- 160 kota kecil
club of Rome - 158 kelompok Roma
cluster- 88 sistem pengelompokan
A co - 33, 43, 49, 68, 138, 189, karbon monoksida
abatoir- 181 rumah pemotongan hewan 197,200,205,209
(RPH) C02
- 17, 33, 43, 62, 65, 68, karbon dioksida
absorbsi - 42, 62 penyerapan 138,141,189,197,199,200
adsorbsi - 42, 62 penjerapan coastal zone - 239 zona pesisir
aerosol- 62 pengendapan debu common ground- 83 landasan berfikir
agricultural allotment - 192 pertanian kota common property- 195, 200 milik umum
aquifer- 35, 47, 152, 239 kantong air tanah communal interest - 275 ketertarikan kelompok
arboretum - 73, 89 kebun botani corridor pattern - 264 pola memanjang
artificial ecosystem - 202 ekosistem buatan courtyard- 89 ruang terbuka bersama
cui de sac - 88, 192 lingkaran tertutup
cultural contemplation - 187 manusia berbudaya
B cut and fill - 59 merobah wajah alam
back to nature - 8, 38, 48 gerakan kembali ke alam (gali dan timbun)
BAPPENAS- 21 Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
biodiversity - 135 keanekaragaman hayati D biota endemic - 193 biota endemik DBD- 26 Demam Berdarah Dengue
BMAL -167 baku mutu air limbah dependency theory - 27 4 teori ketergantungan sepihak
bottom up approach -272 pendekatan dari bawah ke design - 148, 267 perancangan
at as dimensionless - 199 tidak berdimensi
BPS -1, 2, 161 Badan Pusat Statistik district- 58 kota kecil
brand gang - 28, 75 ruang kosong antar bangunan
untuk pencegah perambatan
a pi E buffer zone - 163, 169 zona penyangga eco-cities - 36 kota layak huni
ecodevelopment - 27 4 pembangunan berkelanjutan
lingkungan
c ecologycal footprint tapak ekologi
camping - 265 berkemah -161
cascade - 1 01 tangga air ecologycal suicide - 144 bunuhdiri ekologi
CBD -10 Central Business Disrict economic considerations pertimbangan ekonomi
CELA- 83 Council of Educations in -187
Landsecape Architecture economic region - 262 wilayah kegiatan ekonomi
centre periphery system - 272 sistem pusat pinggiran ecotone - 1 01 ekoton-daerah tepi
CH- 33, 138, 189 hidrokarbon el nino- 149 badai el nino
chemically adsorbed - 140 terjerap secara kimiawi ellips- 98 bulat telur
Index xvii
engineering - 98, 148, 271 teknik H English garden - 17 taman lnggris hard materials - 202 materi perkerasan entry point - 165 titik masuk heat island - 52, 200 pulau panas environment - 148 lingkungan herb medicine- 71, 73 tanaman obat atau jamu environmental degradation penurunan mutu lingkungan hierarchi - 57 tingkat pemerintahan -26 high risk - 166 resiko tinggi EPA- 159 Environmental Protection hinterland- 58, 159, 193, 202, kawasan pinggiran (kota)
Agency 264,274 exposure pollution - 111 pendedahan polusi historical region - 262 wilayah kesamaan sejarah exterior space - 53 ruang luar
F ICLEI- 159 International Council for Local fingers- 57 pengarah Environmental Initiatives fly over - 191, 275 jalan layang impact- 166 dampak focal point - 256 titik utama indoor- 201 di dalam ruangan food court - 246 kedai aneka makanan indoor plants - 56 tumbuhan dalam ruang form follows function - 202 bentuk mengikuti fungsi industrial estate - 264 kawasan industri freeway - 88, 264 jalan raya lintas inmendagri - 114, 141, 180, instruksi menteri dalam negeri
198 integrated landscape - 16 lansekap terpadu
G interdependency theory - 27 4 teori saling ketergantungan gap- 273 jurang pemisah interior space - 53 ruang dalam garden city- 8, 55, 59, 273 kota taman International Olympic komite olahraga internasional GBHN -156 Garis-garis Besar Haluan Committee-ICC - 24
Negara interwoven - 254 saling berkaitan GBK -106 Gelora Bung Karno IPTEK- 102 llmu Pengetahuan dan geological region - 262 wilayah geologi Teknologi good environmental program tata praja lingkungan ISPA - 186, 207 infeksi saluran pernafasan governance-GEG - 181, 190, atas 215 good governance - 186, 191 kepemerintahan yang baik gradation - 267, 268 gradasi J green belt- 27, 37, 53, 59, 60, sabuk hijau Jakarta metropolitan city - 26 kota metropolitan Jakarta 72,113,254,273 jogging track - 90 lintasan lari green city - 81 kota hijau juklak- 181 petunjuk pelaksanaan green landscape - 56 kota taman juknis- 181 petunjuk teknis greenways - 254 jalur hijau grid iron - 88, 192, 261 bentuk terkotak-kotak growth pole - 275 kutub pertumbuhan
xviii Index
K modern landscape - 258 lansekap moderen
KA- 59, 73, 77, 94, 117 KeretaApi Monorel - 111 sarana transportasi rei tunggal KB- 21 Keluarga Berencana municipal - 160 perkotaan (wilayah) KDB- 239 Koefisien Dasar Bangunan
KDH- 239 Koefisien Dasar Hijau
KLH- 40, 41 I 89, 92, 156, 181 Kementerian Lingkungan N Hid up N2-138 nitrogen
KP2L- 167 Kantor Pengedalian dan NAD- 217 Nangroe Aceh Darussalam Pengelolaan Lingkungan NKRI- 58, 59, 180, 198,216, Negara Kesatuan Republik
KTI- 54, 155, 158 Konferensi Tingkat Tinggi 217,260 Indonesia node- 53 simpul NOX - 33, 49, 189, 209 nitrogen oksida
L NSPM -12, 183 Norma Standar Pelayanan Ia nina- 149 badai Ia nina Minimal land clearing - 201 pembersihan lahan nursery- 83 kebun bibit land use zone - 85 zona pemanfaatan lahan nutrient - 99, 195 makanan landscape aechitecture-LA arsitektur lansekap -201,258,261,264,271 landscape balconies - 189 taman balkoni/teras 0 landscape heritage - 260 warisan lansekap 02-17,62,65,68,138,141, oksigen lattices- 57 kisi-kisi 205 leaf area indeks-LAI- 187, 199 indeks luas daun 03- 33, 197, 200 ozon living quarter - 57 ba§ian (kota) yang dihuni omnivora - 71 pemakan segala local genius - 24 kekhasan lokal open spaces- 2, 53, 82 ruang-ruang terbuka lopo -74,75 rumah adat Timor OR- 24 olahraga LSM- 35,41 lembaga swadaya outbreak - 166 wabah
masyarakat
LTIN- 214 Lomba Taman Tingkat p Nasional PAD - 119, 134, 165 Pendapatan Asli Daerah
PAM -189 Perusahaan Air Minum park - 54, 90, 261, 268, 276 taman
M path- 53 jalur Maminasata - 12 kota Makassar, Kab. Maros. Pb- 33, 138, 139, 140, 189 timbal
Kota Sungguminasa (Kab. PBB- 155 Perserikatan Bangsa Bangsa Gowa) Kab. Takalar pedestrian- 57, 254 jalur pejalan kaki
mangrove- 30, 31, 33, 49, hutan bakau pemda - 40, 41 pemerintah daerah 148,198,205,209 Perda - 35, 286 peraturan daerah marshes - 148 raw a perennial woody plants - 52 tumbuh-tumbuhan mengkayu maximum lead intake - 138 asupan Pb maksimum (menahun) MCK -120 mandi cuci kakus PKL- 135 Pedagang Kaki Lima
Index xix
PLH- 36, 97, 134, 145, 216, Pengelolaan Lingkungan reuse- 157, 169 memanfaatkan ulang 217,218,244 Hid up RIK - 21, 23, 26, 28, 192, 201, Rencana lnduk Kota polder -149 area penampungan air 216 pollutant - 263 polutan, zat pencemar rob- 35 pasang naik pp- 163, 180 Peraturan Pemerintah roof deck gardens - 189 taman atap PPLH- 156 Pengawasan Pembangunan roof top garden - 73, 187, 189 taman di atas atap
dan Lingkungan Hidup AT- 37, 53, 87, 88 Ruang Terbuka privacy - 77, 88 privat RT/RW- 191 Rukun Tetangga/Rukun Warga productivity - 188, 263 produktivitas RTR - 23, 180, 264 Rencana Tata Ruang prone to natural hazards - 51 kawasan rawan bencana RTRK - 23, 26, 28 Rencana Tata Ruang Kota
a lam RTRW- 55, 106,109, 110, Rencana Tata Ruang Wilayah poverty alleviation - 187 pengentasan kemiskinan 111, 112, 113, 114, 116, 119,
public hearing - 169 dengar pendapat publik 123,143,180,214,263,264, PUU - 22, 24, 160 Peraturan Perundang- 281,282
undangan RTRWN - 180, 183 Rencana Tata Ruang Wilayah Negara
RTRWP -180 Rencana Tata Ruang Wilayah
R Provinsi ROTA - 26, 11 0, 119, 180, Rencana Oetil Tata Ruang rugs- 57 permadani hijau 183,263,264 run off - 111, 182 air limpasan ROTRW- 114, 119, 122, 123 Rencana Oetil Tata Ruang rural- 274 perdesaan
Wilayah
re-adjusment land - 169 persesuaian lahan kembali
real estate - 33, 73, 1 03, 264, permukiman homogen s 277 sanitary landfill - 10, 251 cara penanganan sampah di
recharge area - 239 daerah resapan TPA recovery - 15 7 memperbaiki, mengatasi SOA- 16, 36, 134, 136, 137, sumberdaya alam
recycle - 157, 169 mendaur ulang 153, 156, 157, 159, 161, 170,
redesign - 157 mendesain (rancang) ulang 172, 176
reduce- 157, 169 mengurangi SO-air- 98, 159, 161, 166, sumberdaya air
refactory- 157 memfabrikasi kembali 172, 173 region - 94, 262 wilayah SO-buatan - 23 sumberdaya buatan
regional geography - 262 wilayah geografi SO-hutan - 156 sumberdaya hutan
regional park system - 93 sistem taman wilayah SOM -11,12,182,183,184, sumberdaya manusia
remote areas - 90 daerah terpencil 186,193,215,217,246
REPELITA - 156 Rencana Pembangunan Lima sewerage- 201, 218 limbah cair
Tahun sewerage system - 167, 175 sistem pengelolaan air limbah
replace - 157 mengganti shelter - 122, 159 tempat berlindung
retention basin- 97, 261 kawasan genangan sky terraces greenery - 189 taman gantung (teras)
return of invesment - 119 pengembalian modal social behaviour - 187 berperilaku sosial
XX Index
soft landscape - 248 material lunak lansekap traffic island - 246 pulau jalan (tan am an) trans-boundary industrial kota industri antar batas
SOX-33,449, 122,189,209 sulfur oksida town -59 space- 262 ruang tri hita karana - 152 konsep hubungan manusia spawning ground - 209 tempat memijah dengan Tuhan, manusia, SPM- 22 standar pelayanan minimum dan sesama makhluk dalam spongious tissue - 140 jaringan bunga karang agama Hindu square - 53, 193 lapangan trophic level - 71 tingkat trofik squares- 57, 89 alun-alun tropical park system - 27 sistem taman tropis stakeholder - 145, 162, 165 pemangku kepentingan surface runoff - 4 7, 142 limpasan permukaan survive - 27 4 bertahan hidup u sustainable city - 159 kota berkelanjutan UDKP- 275 Unit Daerah Kerja
(berwawasan lingkungan) Pembangunan sustainable development pembangunan berkelanjutan uma mbatangu - 7 4, 75 rumah bermenara di Sumba -170,263 underpasses- 261 jalur jalan berpotongan sustainable landscape - 18 lansekap berkelanjutan UNDP-177 United Nations Development SUTET- 26, 53, 94, 191, 239 saluran utama tegangan Program
ekstra tinggi UNEP - 159, 201 United Nations Environmental Programme
UNESCO- 201 United Nations Educational T and Sosial Cultural tangible and intangible values nilai-nilai terukur dan tidak Organization - 103 terukur unifying factor - 267 faktor pemersatu terestrial- 27, 58, 143 daratan unity and harmony - 266 kesatuan dan keselarasan theme - 267, 268 tema urban - 160, 161, 273 perkotaan TM- 246 Taman Monumen urban agriculture - 4, 136, pertanian kota TMM -106, 108 Taman Medan Merdeka 175,252 tolway- 88 jalan tol urban and regional planning perencanaan wilayah dan kota top down approach - 27 4 pendekatan dari atas ke -265
bawah urban culture - 160 budaya perkotaan total suspended particulate- total partikel tersuspensi urban economic - 160 ekomomi perkotaan TSP - 33, 64, 138, 139, 189 urban forest - 89 hutan kota town- 160 kota kecil urban forest park- 53, 82 taman hutan kota townscapes - 53 ruang kota urban frontiers - 192 batas luar suatu kota TPA- 44, 73, 82, 91, 112, 156, Tempat Pembuangan Akhir urban green open space - 52 RTH kota 206,251 sampah urban green open space sistem RTH kota TPS- 37, 44, 73, 82, 206 Tempat Penampungan system- 17
sampah Sementara urban renewal- 57, 202, 277 pembaharuan kota kembali TPU - 53, 73, 82, 191 Taman Pemakaman Umum
Index xxi
urban sprawl - 21, 97, 193 perkembangan kota tidak w terarah water management - 97 pengelolaan air
URDI- 177 Urban and Regional waterfront - 239 wilayah tepian air Development Institute waterfront city- 143, 147 tepian air
utility - 188 penggunaan we -167 jam ban uu- 23, 54, 162, 180, 215, Undang-Undang webs- 57 jaringan 216,262,274 wet retention basin-WRB- 98 kawasan genangan
wetland - 219 lahan basah WILUD- 275 Wilayah Unit Desa v
vegetatic region - 262 wilayah sebaran tumbuh-tumbuhan z
visitors centre - 83 pusat kunjungan Zn- 139 seng zoning regulation - 13, 27 pengaturan permintakatan zwartwald - 218 'hutan hitam'
BtOGR.AFI
PENULIS UTAMA
Srihartiningsih (Ning) Purnomohadi, lahir di Banyuwangi
1 0 Januari 1945, menyelesaikan pendidikan SR, SMP
dan SMA di Kudus, dan Lumajang. 1968 lulus Sarjana
Muda Arsitektur Pertamanan (BAP), Akademi Arsitektur
Pertamanan Pemda DCI Djakarta Raya (AKAP Djaya)
di Jakarta; S1 (1978) Arsitektur Lansekap Fakultas
Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan
Universitas Trisakti Jakarta; S2 (1985) dan S3 (1995)
Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan PSL, lnstitut Pertanian
Bogor. Menikah 1969 dengan Purnomohadi , dikaruniai
t iga anak dan empat cucu. Kursus-kursus Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan A, 8 dan C di dalam
negeri (Universitas Pajajaran, lnstitut Pertanian Bogar)
dan di luar negeri (penyelenggara GTZ/DSE, di Berliln
dan Magdeburg) Jerman, dan pelatihan di bidang SDA
& LH 1988; Anggota Tim (nara sumber~ Penyusun
Kriteria dan Evaluasi Program Penghargaan Adipura dan
Bangun Praja, KLH.
Tenaga Pengajar Tetap (Asisten Dosen) mata ajaran
Tata Hijau, Merancang dan Merencana Arsitektur
Pertamanan (1966-1970), Dosen Tetap di Sekolah
Tinggi Arsitektur Pertamanan Indonesia (STAPI),
menjadi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi
Lingkungan, Universitas Trisakti (1975-1978) Dosen
Luar Biasa (1978-2003). PTI di FPS-FMIPA-UI, Jurusan
llmu Kelautan. Pegawai Negeri Sipil (Calon 1978 & PNS
struktural), pada Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH)/Kantor
Kependudukan dan LH/Kantor Kementerian LH (KLH);
pensiun (2005) sampai sekarang menjadi Widyaiswara
(nara sumber) pada Diklat peningkatan SDM-KLH,
Serpong, Tangerang; Pengelolaan SDA & Lingkungan,
Pengelolaan RTH & Taman Nasional, Etika (moral)
Lingkungan, Pengelolaan SD-Pesisir dan Laut Wisata
Bahari.
Melakukan penelitian di bidang perancangan dan
perencanaan arsitektur lansekap, antara lain: Regional
Landscape Planning Pulau Jawa, Jakarta Kota Pantai
(Waterfront City), Perancangan Arsitektur Lansekap
Jakarta Country Club ; Perancangan Arsitektur
Lansekap dalam Kawasan Konservasi SDA, khususnya
kompleks Visitor Center kasus Taman Nasional Ujung
Kulon, Banten. Sistem lnteraksi Sosiai-Ekonomi dan
Pengelolaan SDA dan Lingkungan Masyarakat Badui,
Desa Kanekes, Banten Selatan. Peran Ruang Terbuka
Hijau (RTH) dalam Pengendalian Kualitas Udara di
Lingkungan Perkotaan, kasus Kota DKI Jakarta.
Sebagai arsitek lansekap (sejak 1968) menjadi PTI di
Proyek Gedung MPRIDPR, bidang arsitektur lansekap:
Pembangunan Taman Ria Remaja dan Penghijauan
Kompleks Gedung MPRIDPR, Senayan, Jakarta. Council
of Educators in Landscape Architecture, CELA 1988.
California State Polytechnic University, Pomona, USA.
Mengikuti berbagai diskusi dan presentasi tentang
arsitektur lansekap, lingkungan pesisir dan laut dan
pengelolaan RTH di dalam dan luar negeri (1979-
sekarang} sebagai anggota lkatan Profesi IALI (lkatan
Arsitek Lansekap Indonesia} dan MALl (Majelis IALI},
anggota Committee on Endangered Landscape,
International Federation of Landscape Architect (1979-
1993}. Pengelolaan SDA & Lingkungan di Wilayah
Konservasi (Cagar Alam, Cagar Budaya dan Taman
Nasional} antara lain di Amerika Utara (Department
of Parks Canada, Department of Interior, Amerika
Serikat} tahun 1985. International Garden and Greenery
Exposition, Tokyo & Osaka (1989: 3 bulan}, Indonesian
Design Pavilion di Tsurumi Ryokuchi International Park.
Pertanian Perkotaan dan Hutan Kota (Urban Agriculture
Forestry) antara lain pada ASEM & COST Meetings di
China (2004}, Swedia dan Denmark (2006}. 1998-2001:
Anggota Tim Coral Reef Rehabilitation Management
Programme (COREMAP}, LIPI: Deputy Public Awareness
& Community Based ~anagement. Urban Agricultture
International Meetings di Washington DC, Calcutta
India, Stockholm: Urban Allotments. Beberapa tulisan
sebagian besar tentang Perencanaan dan Perancangan
arsitektur lansekap, dan Pedoman RTH-Kota, diterbitkan
oleh kantor KLH; Anggota Tim Penyusun lnmendagri
No. 14/1988, tentang Pengelolaan RTH-Kota dimuat
pada beberapa media cetak (harian, majalah} dalam dan
luar negeri, seperti tulisan tentang 'Urban Green Open
Space' salah satu majalah lingkungan internasional
EKISTICS diterbitkan di Athena, Yunani.
BIOGR.AFI PENULIS
A. Hermanto Dardak lahir di Trenggalek
pada tanggal9 Januari 1957. Ia
menyelesaikan pendidikan S-1 Teknik Sipil,
ITB tahun 1980. Pendidikan S-2 Teknik
Sipil dan S-3 bidang Transportasi Ekonomi
diselesaikan di University of New South Wales, Sydney,
Australia tahun 1985-1990.
Perjalanan kariernya diawali di Departemen Pekerjaan
Umum pada tahun 1980. Penulis sempat menjabat
sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar
Negeri, Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Marga,
Kakanwil PU di Kalimantan Selatan dan Kepala Pusat I
Kajian Kebijakan tahun 1995-2003 serta Stat Ahli Menteri
Bidang Otonomi & Keterpaduan Pembangunan Daerah
tahun 2003-2005 di Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah. Kemudian mulai tahun 2005 hingga
sekarang, penulis menjabat sebagai Direktur Jenderal
Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.
Dalam bidang organisasi , saat ini penulis sebagai Ketua
Umum lkatan Alumni Australia (I KAMA) dan Ketua Badan
Kejuruan Sipil - Persatuan lnsinyur Indonesia (BKS-PII),
serta anggota Dewan Riset Nasional. Penulis sempat
mendapat berbagai penugasan antara lain sebagai
delegasi Rl pada Forum lntrastruktur Asia Pasifik (ASPAC)
di India tahun 1995 dan Ketua delegasi Rl dalam Expert
Meeting Infrastructure AS PAC di Malaysia tahun 2004.
Dalam buku ini Hermanto Dardak, selaku Direktur
Jenderal Penataan Ruang, memberikan tulisan
pengantar berjudul Arah Pengembangan Ruang Terbuka
Hi]au di Kawasan Perkotaan.
Doni Janarto Widiantono lahir di
Bandung pada tanggal 28 Januari 1964.
Ia menyelesaikan pendidikan SD dan
SMP di Pontianak, SMA di Jakarta, dan
S1 di Teknik SipiiiTB lulus tahun 19S8.
Sedangkan pendidikan S2 dan S3 bidang Teknik
Transportasi diselesaikan tahun 1995 dan 2002 dari
University of New South Wales, Sydney, Australia.
Yang bersangkutan mengawali karier sebagai stat
di Puslitbang Jalan Departemen Pekerjaan Umum
pada tahun 1991 . Sejak tahun 1999 sebagai pejabat
tungsional Peneliti di Pusat Litbang Prasarana
Transportasi di Badan Litbang PU. Pada tahun
2005 hingga sekarang memperoleh penugasan di
SubDirektorat Pedoman Penataan Ruang, Direktorat
Jenderal Penataan Ruang.
Di bidang organisasi ia aktit sebagai sekretaris
Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jawa Barat
dan sebagai salah satu anggota pengurus di Badan
Kejuruan Sipil- Persatuarj lnsinyur Indonesia (BKS-PII).
Dalam buku ini yang bersangkutan
berkontribusi dalam penulisan,
penyusunan sistematika serta proses
penyuntingan pada bagian yang terkait
dengan kebijakan penataan ruang.
lman Soedradjat lahir di Cirebon pada tanggal 9
Desember 1953. Ia menyelesaikan pendidikan SO, SMP,
SL TA di Cirebon, pendidikan S-1 dari jurusan Planologi
di ITS tahun 1981 . Pendidikan S-2 Public Management
diselesaikan di Carnegie Melon University, Pittsburgh,
USA pada tahun 1992. Selain itu, yang bersangkutan
juga pernah mengikuti beberapa seminar dan training,
antara lain seminar-seminar yang terkait dengan
kebijakan perkotaan dan planning and housing baik di
dalam maupun di luar negeri (Tokyo, Malaysia, Brunei ,
Thailand, New Zealand, dan Taiwan) baik sebagai
peserta maupun narasumber.
Perjalanan kariernya berawal sebagai staf di Subdit
Tata Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya' Departemen
Pekerjaan Umum pada tahun 1984. Pada tahun 1998-
2005, pernah menjadi Kasubdit di Direktorat Jenderal
Penataan Ruang, sejak Juni 2005 hingga sekarang
menjabat sebagai Direktur Penataan Ruang Wilayah
I, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen
Pekerjaan Umum. Dalam bidang organisasi, yang
bersangkutan aktif di lkatan Ahli Perencana (lAP) dan
menjabat sebagai Ketua Bidang Info dan Publikasi
tahun 1988-2003. Dalam buku ini lman Soedradjat,
selaku praktisi bidang Penataan Ruang, berkontribusi
dalam penulisan dan proses penyuntingan pada tulisan
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang dan
bagian yang terkait dengan kebijakan penataan ruang.
Firmansam Bastaman, lahir di Bandung
tanggal4 Oktober 1957. Menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar dan menengah
pertama di Kota Banjar, Ciamis.
Tahun 1978 Lulus SMAN di Bandung,
melanjutkan ke Akademi Pertanian Nasion a I pada
Jurusan Arsitektur Pertamanan dan menyelesaikan
program S1 di Universitas Bandung Raya pada Jurusan
Arsitektur Lansekap. Selain sebagai dosen tetap di
almamaternya , juga sebagai staf pengajar luar biasa
di Jurusan Planologi Universitas Pasundan. Menjabat
sebagai Ketua Jurusan Arsitektur lansekap dari Tahun
1992-2000 dan saat ini menjabat sebagai Dekan di
Fakultas Pertanian Universitas Bandung Raya. Kegiatan
profesional di luar aktivitasnya sebagai akademisi adalah
tenaga ahli bidang Arsitektur lansekap dan lingkungan,
di beberapa perusahaan konsultan nasional. Terlibat
aktif dalam berbagai proyek dan studi bidang arsitektur
lansekap. Pada tahun 2006 tergabung dalam Tim
Penyusun Pedoman Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan, Departemen Pekerjaan umum. Dalam rangka
meningkatkan profesionalisme di bidang arsitektur
lansekap, ia merupakan salah satu yang membidani
lahirnya Bad an Sertifikasi Keterampilan lkatan Arsitek
Lansekap Indonesia (BSK IALI) tahun 2006, dan kini
menjabat sebagai Ketua. Aktivitas sosial yang saat ini
ia geluti ialah, Ketua Pengurus YPAC Bandung periode
tahun 2004-2009, sebuah organisasi nirlaba berdiri sejak
tahun 1955, khusus melakukan aktivitas rehabilitasi bagi
anak-anak penyandang cacat di Indonesia. Dalam buku
ini Firmansam Bastaman, berkontribusi dalam penulisan
Kedudukan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang.
Maman Djumantri lahir di Cirebon, tanggal
21 Agustus 1954. Ia menyelesaikan
pendidikan SO, SMP dan SMA di Cirebon.
Selanjutnya menempuh pendidikan S1
Pertanian lnstitut Pertanian Boger (IPB)
lulus tahun 1978. Pada tahun 1983-1984 mengikuti
Program Pasca Sarjana Urban and Regional Planning
University College London in association with Bandung
Institute of Technology, Tahun 2003-2005 mengikuti
program Pasca Sarjana Magister llmu Administrasi di
Sekolah Tinggi llmu Administrasi Mandala Indonesia,
~akarta.
Mengawali karier sebagai stat di Departemen Pekerjaan
Umum pada tahun 1980. Pada tabu~ 2005 hingga
sekarang menjabat sebagai Kasubdit Pedoman
Pengembangan Kawasan, di Direktorat P·enataan Ruang
Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruarig.
Di samping senang mengajar, ia mempunyai hobby
menulis artikel, tulisan ilmiah populer, menggambar
kartun dan karikatur yang berisi opini, kritik sosial,
lingkungan, dan tata ruang.
Beberapa tulisan-tulisannya antara lain berjudul
Mengenal Taman Lebih Dekat, Merjnanfa~tkan : ' ' : ' "
Pekarangan Rumah Perdesaan dengan Taman Bergizi
pernah dimuat di Harian Kompas. Menggali Mutiara di
Pekarangan Rumah dan Membuat Pagar Hid up yang
Serbaguna, dimuat di Majalah Trubus pada tahun
1980. Dalam buku ini yang bersang~utan berkontribusi
dalam Bab VIII: Peran Arsitektur Lan~ekap r;Jalam
Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan.
TIM PENGARAH
Nama : Dr. lr. Hermanto Dardak, MSc
Jabatan : Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Peke~aan Umum
TIM TEKNIS
Nama : Ora. Lina Mar1ia, CES
Jabatan : Kasubdit Pedoman Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Nama : DR. lr. Doni Janarto Widiantono, M.Eng.Sc
Jabatan : Kasi Pedoman Penataan Ruang Provinsi Subdit Pedoman Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Nama : lr. Setia Budhy Algamar, MURP
Jabatan : Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Peke~aan Umum
Nama : lr. Sita lndrayani, MT
Jabatan: Kasi Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan Subdit Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan dan Metropolitan Direktorat Penataan Ruang Wilayah I Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Nama : lr. Benny Hermawan, MSc
Jabatan : Kasi Penyerasian Penataan Ruang Lintas Sektor Subdit Ke~a sama Lintas Sektor Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Nama : Galuh Aji Niracanti, ST
Jabatan : Stat Subdit Pedoman Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional Direktorat Jenderal Penataan Ruang