ras water treatment (pengolahan air resirkulasi)

20
PENGOLAHAN LIMBAH PADA SISTEM RESIRKULASI AKUAKULTUR Oleh: Jaap Van Rijn Department of Animal Sciences, The Robert H. Smith Faculty of Agriculture, Food and Environment, The Hebrew University of Jerusalem, Israel. dalam: Aquaculture Engineering Journal, Vol. 53. 2013. Halaman 49-56 Penerjemah: Muhammad Fuadi ABSTRAK Sistem resirkulasi akuakultur (RAS, recirculating aquaculture system) dapat dioperasikan sebagai sistem outdoor atau indoor. Dikarenakan budidaya ikan intensif banyak yang menggunakan sistem ini, maka pengolahan limbah serta buangan dari dan dalam sistem tersebut akan menjadi perhatian utama. Proses pada RAS outdoor (di luar ruangan) sering ditemukan dalam bentuk rangkaian resirkulasi. Dalam sistem ini, organisme ekstraktif seperti organisme fototrofik dan detritivor tumbuh pada kompartemen perlakuan yang relatif besar dimana sebagian limbah yang dihasilkan oleh organisme utama diubah dalam bentuk biomassa. Pada RAS indoor (di dalam ruangan), pengikatan limbah padatan dan konversi amoniak menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi umumnya merupakan tahapan utama dalam rangkaian resirkulasi. Penghilangan limbah dapat dicapai pada beberapa RAS indoor budidaya ikan air tawar dan air laut dengan menggabungkan proses denitrifikasi dan pengolahan lumpur. Pada banyak RAS, baik dioperasikan sebagai sistem indoor maupun outdoor, limbah sering diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang. Pengolahan limbah tersebut terdiri dari perangkat pengumpulan/penebalan lumpur dan perangkat pengolahan lumpur untuk menghilangkan fosfat organik dan nitrogen. Limbah yang dibuang dari RAS air tawar dapat diolah pada fasilitas pengolahan limbah daerah atau dapat digunakan untuk tujuan pertanian dalam bentuk pupuk atau kompos, sedangkan upaya pengolahan buangan limbah pada RAS air laut masih terbatas. Dalam makalah ini disajikan estimasi produksi limbah dan metode penghilangan/pengurangan limbah pada rangkaian RAS air tawar dan air laut. Makalah ini lebih memfokuskan pada penggunaan RAS untuk proses-proses yang mengacu pada pengurangan limbah daripada proses-proses pengikatan limbah/padatan dan pengkonversian. Kata Kunci: Sistem Resirkulasi Akuakultur, Pengolahan Limbah, Produksi Limbah, Pembuangan Air. 1. PENDAHULUAN Dampak berbahaya yang berhubungan dengan kegiatan akuakultur (terutama pada industri akuakultur) merupakan satu hal yang perlu diketahui untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (Sapkota et al., 2008; Subasinghe et al., 2009). Seringkali dampak berbahaya dari kegiatan akuakultur ini sangat erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan, seperti: 1) perusakan situs alam seperti lahan basah dan bakau, 2) penyebaran penyakit, 3) penurunan keanekaragaman hayati populasi akibat hilangnya spesies ikan asal, dan 4) pencemaran air tanah dan air permukaan akibat limbah yang dibuang (Boyd, 2003). Sistem resirkulasi akuakultur (RAS) dimana air disirkulasikan antara proses budidaya dan proses pengolahan limbah, merupakan sebuah jawaban untuk beberapa masalah yang dikemukakan di atas karena sistem ini dapat memelihara ikan pada lingkungan yang relatif terisolasi (terpisah dari lingkungan sekitar). Namun, keuntungan ini tentunya mengeluarkan biaya karena banyak tantangan yang dihadapi

Upload: bogoragriculturaluniversity

Post on 27-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGOLAHAN LIMBAH PADA SISTEM RESIRKULASI AKUAKULTUR Oleh: Jaap Van Rijn

Department of Animal Sciences, The Robert H. Smith Faculty of Agriculture, Food and Environment, The Hebrew University of Jerusalem, Israel.

dalam: Aquaculture Engineering Journal, Vol. 53. 2013. Halaman 49-56 Penerjemah: Muhammad Fuadi

ABSTRAK Sistem resirkulasi akuakultur (RAS, recirculating aquaculture system) dapat dioperasikan sebagai sistem outdoor atau indoor. Dikarenakan budidaya ikan intensif banyak yang menggunakan sistem ini, maka pengolahan limbah serta buangan dari dan dalam sistem tersebut akan menjadi perhatian utama. Proses pada RAS outdoor (di luar ruangan) sering ditemukan dalam bentuk rangkaian resirkulasi. Dalam sistem ini, organisme ekstraktif seperti organisme fototrofik dan detritivor tumbuh pada kompartemen perlakuan yang relatif besar dimana sebagian limbah yang dihasilkan oleh organisme utama diubah dalam bentuk biomassa. Pada RAS indoor (di dalam ruangan), pengikatan limbah padatan dan konversi amoniak menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi umumnya merupakan tahapan utama dalam rangkaian resirkulasi. Penghilangan limbah dapat dicapai pada beberapa RAS indoor budidaya ikan air tawar dan air laut dengan menggabungkan proses denitrifikasi dan pengolahan lumpur. Pada banyak RAS, baik dioperasikan sebagai sistem indoor maupun outdoor, limbah sering diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang. Pengolahan limbah tersebut terdiri dari perangkat pengumpulan/penebalan lumpur dan perangkat pengolahan lumpur untuk menghilangkan fosfat organik dan nitrogen. Limbah yang dibuang dari RAS air tawar dapat diolah pada fasilitas pengolahan limbah daerah atau dapat digunakan untuk tujuan pertanian dalam bentuk pupuk atau kompos, sedangkan upaya pengolahan buangan limbah pada RAS air laut masih terbatas. Dalam makalah ini disajikan estimasi produksi limbah dan metode penghilangan/pengurangan limbah pada rangkaian RAS air tawar dan air laut. Makalah ini lebih memfokuskan pada penggunaan RAS untuk proses-proses yang mengacu pada pengurangan limbah daripada proses-proses pengikatan limbah/padatan dan pengkonversian. Kata Kunci: Sistem Resirkulasi Akuakultur, Pengolahan Limbah, Produksi Limbah, Pembuangan Air. 1. PENDAHULUAN

Dampak berbahaya yang berhubungan dengan kegiatan akuakultur (terutama pada industri

akuakultur) merupakan satu hal yang perlu diketahui untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

(Sapkota et al., 2008; Subasinghe et al., 2009). Seringkali dampak berbahaya dari kegiatan akuakultur

ini sangat erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan, seperti: 1) perusakan situs alam seperti lahan

basah dan bakau, 2) penyebaran penyakit, 3) penurunan keanekaragaman hayati populasi akibat

hilangnya spesies ikan asal, dan 4) pencemaran air tanah dan air permukaan akibat limbah yang dibuang

(Boyd, 2003).

Sistem resirkulasi akuakultur (RAS) dimana air disirkulasikan antara proses budidaya dan proses

pengolahan limbah, merupakan sebuah jawaban untuk beberapa masalah yang dikemukakan di atas

karena sistem ini dapat memelihara ikan pada lingkungan yang relatif terisolasi (terpisah dari lingkungan

sekitar). Namun, keuntungan ini tentunya mengeluarkan biaya karena banyak tantangan yang dihadapi

saat budidaya ikan dalam sistem dengan muatan yang besar. Pengontrolan kualitas air dan pengelolaan

limbah adalah hal yang paling penting diperhatikan dari tantangan tersebut.

Desain dan manajemen RAS yang cermat dan teliti merupakan dasar keberhasilan produksi dan

pengolahan limbah. Pengoperasian RAS dengan pengontrolan kondisi budidaya yang baik berkontribusi

secara signifikan pada efisiensi pemanfaatan pakan sehingga limbah yang dihasilkan akan sangat

rendah. Selanjutnya, penggabungan prosedur pengolahan air yang tepat dalam rangkaian resirkulasi

atau pada aliran limbah dapat berkontribusi lebih untuk mengurangi produksi limbah secara siginifikan.

Pada sebagian besar RAS indoor, limbah yang dihasilkan oleh ikan akan dikumpulkan dan dibuang dalam

bentuk aliran limbah terkonsentrasi yang dapat diolah terlebih dahulu sebelum pembuangan akhir.

Pengolahan limbah tersebut umumnya melibatkan proses penebalan/pemadatan lumpur dan proses

stabilisasi aliran yang dirancang agar memungkinkan bakteri menguraikan limbah padatan tersebut.

RAS outdoor, sebagian besar terletak pada iklim yang hangat, sering dioperasikan melalui pengurangan

sebagian limbah dalam rangkaian resirkulasi. Pada bagian sistem RAS outdoor yang terakhir, organisme

fototrofik seperti tumbuhan air dan ganggang sering terlibat dalam pengolahan air sistem resirkulasi

tersebut.

Penelitian ini merangkum beberapa masalah yang berkaitan dengan manajemen limbah pada

RAS. Penelitian ini menyajikan estimasi jumlah limbah yang dihasilkan dan metode untuk mengurangi

limbah dalam rangkaian dan aliran resirkulasi pada RAS air tawar dan air laut. Penelitian ini lebih

memfokuskan pada penggunaan RAS untuk proses-proses yang mengacu pada pengurangan limbah

daripada proses-proses pengikatan limbah/padatan dan pengkonversian.

2. PERATURAN PEMBUANGAN LIMBAH

Peraturan terkait limbah dapat berbeda antarnegara. Di beberapa wilayah hukum terdapat

standar/baku mutu limbah yang secara tidak langsung dapat membatasi jumlah pakan dan air yang

digunakan oleh pelaku usaha akuakultur perseorangan. Namun, kecenderungan pada banyak negara

adalah bahwa dibandingkan dengan mengadakan standar/baku mutu limbah, akan lebih baik jika

diberikan sebuah pedoman tentang manajemen praktis yang baik atau kode etik yang disusun bersama-

sama dengan memastikan kepatuhan terhadap pedoman tersebut (misalnya, Badan Perlindungan

Lingkungan, 2004; Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia/FAO, 1995). Rasional dari pendekatan ini

adalah didasarkan pada kenyataan bahwa pedoman umum untuk standar/baku mutu limbah sulit untuk

dirumuskan karena perbedaan hidro-geografik, iklim, dan kondisi lingkungan pada negara atau daerah

tertentu. Salah satu pendekatan umum adalah perkiraan siklus hidup (life cycle assessment, LCA).

Metode ini telah menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi instrumen

yang diakui dalam menilai dampak lingkungan pertanian serta proses produksi lainnya. Baru baru ini

juga telah diterapkan untuk mengevaluasi dampak lingkungan pada beberapa sistem akuakultur,

termasuk RAS (Martins et al., 2010). Tidak hanya badan legislatif tetapi juga organisasi produsen

menganjurkan kebijakan terkait aturan pemantauan produksi. Kualitas produk, transparansi produksi,

dan produk baru dengan nilai tambah “ramah lingkungan” merupakan faktor utama dalam hal promosi

kebijakan tersebut (Boyd, 2003).

Barkaitan dengan RAS, diharapkan bahwa penyelenggara dari sistem pengelolaan ini mampu

memantau dan melaporkan aturan-aturannya. Faktor-faktor yang berkontribusi dalam hal transparansi

dalam pelaporan proses dan sistem produksi ini antara lain: banyaknya ikan yang dipelihara, metode

produksi sepanjang tahun, penggunakan sistem monitoring, dan kemungkinan adanya pengolahan

limbah terkonsentrasi.

3. PRODUKSI LIMBAH

3.1 Konversi Pakan pada RAS

Meskipun besar kemungkinan adanya perbedaan pada parameter operasional produksi, dapat

disimpulkan bahwa pemanfaatan pakan oleh ikan yang dibudidayakan pada RAS sering terlihat lebih

baik dibandingkan dengan ikan yang dipelihara dengan sistem budidaya lainnya (Tabel 1). Produksi

limbah pada RAS, seperti halnya pada sistem akuakultur yang lain, tergantung pada beberapa faktor

penting, diantaranya: (a) jenis dan umur ikan, (b) kompisisi pakan, (c) metode pemberian pakan, dan

(d) kondisi umum kualitas air yang ada pada sistem.

Tabel 1. Rasio konversi pakan (FCR) pada sistem budidaya yang berbeda

Spesies Flow Through

RAS Kolam Tanah

Jaring Referensi

Rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) Kakap putih (Lates calcarifer) Tilapia (Oreochromis spp.) Gilthead seabream (Sparus aurata) Cobia (Rachycentron canadum)

0.8-1.2 - - - -

0.8-1.1

0.8-1.1

1.0-2.2

0.9-1.9

1.0

-

1.5-2.2

0.8-3.5 -

1.5

1.1-1.3

1.6-2.0

>1.5

1.4-2.2

1.5-2.0

Bureau et al (2003), Roque d’Orbcastel et al (2009a,b,c) FAO (2012), Peet (2006), Schipp et al (2007) El-Sayed (2006), Leenhouwers et al. (2007) Little et al (2008). Martins et al (2009), Perschbacher (2007), Shnel et al (2002) Cromey dan White (2004), Zohar et al., (2008) Kaiser dan Holt (2005)

Pada RAS, efisiensi pemanfaatan paka yang tinggi dapat dicapai dengan mengendalikan

beberapa faktor. Misalnya, pemberian pakan pada RAS (apakah secara manual atau otomatis)

sebaiknya dimonitor. Oleh karena itu, kesalahan dari banyaknya pakan yang terbuang akan dengan

mudah diidentifikasi sehingga meminimalkan pakan yang berlebih overfeeding) dan akumulasi masalah

yang dapat ditimbulkan oleh pakan yang tidak termakan dalam sistem tersebut. Selain itu, pemisahan

ikan berdasarkan ukuran yang seragam akan berkontribusi pada efisiensi pemanfaatan pakan pada RAS

(Karipoglou dan Nathanalides, 2009). Faktor lain yang berkontribusi dalam hal pengurangan limbah

pakan pada RAS adalah pengontrolan kualitas air. Sistem pengolahan pada RAS dirancang untuk

mengontrol suhu air dan parameter kritis kualitas air berada dalam kisaran yang dapat diterima

sehingga terhindar dari kondisi kualitas air buruk yang selanjutnya akan berkurangnya efisiensi

pemanfaatan pakan oleh ikan. Akhirnya, dalam sistem budidaya yang relatif terkontrol dengan baik,

respons cepat dalam mengatur kondisi kualitas air dapat juga berperan dalam peningkatan efisiensi

pemanfaatan pakan oleh ikan (Martins et al., 2010).

3.2 Pengukuran Produksi Limbah

Produksi limbah dalam sistem akuakultur diukur baik dengan pendekatan nutrisi melalui

penentuan kecernaan pakan oleh ikan maupun dianalisis langsung dengan mengukur produk ekskresi

dalam media budidaya (Cho et al., 1991). Nilai yang dihitung sering berasal dari uji coba pakan dengan

kondisi percobaan yang terkontrol dengan baik tetapi tidak selalu menunjukkan tingkat kecernaan

pakan oleh ikan pada kondisi budidaya yang sebenarnya. Selain itu, dikarenakan adanya kerusakan

parsial limbah yang dapat berubah bentuk menjadi gas di dalam sistem budidaya, maka tidak semua

limbah ikan yang dihasilkan dibuang melalui aliran air. Meskipun memiliki kekurangan, pendekatan

nutrisi sering digunakan sebagai metode alternatif dimana limbah diukur secara langsung dalam sistem

budidaya. Pengukuran produksi limbah dengan metode ini, bahkan dalam sistem percobaan yang

sederhana sekalipun, merupakan metode yang rumit karena kesulitan menyesuaikan antara teknik

pengambilan sampel (sampling) dengan estimasi akurat fluktuasi produksi limbah ikan. Selanjutnya,

faktor-faktor seperti teknik pembersihan pada sistem budidaya, frekuensi dan durasi pergantian air

pada sistem budidaya, serta kesalahan analisis produksi limbah (sebagai contoh penyiapan sampel,

ketidakakuratan analisis) akan berkontribusi pada ketidaktepatan pengukuran dengan metode tersebut

(Roque d’Orbcastel et al., 2008).

Pemanfaatan bahan organik, nitrogen, dan fosfor oleh ikan merupakan indikator utama untuk

menentukan efisiensi penggunaan pakan. Seringkali paramater ini juga digunakan untuk mengukur

dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah akuakultur. Selain limbah yang terkonsentrasi tinggi,

kandungan yang berpotensi merusak lingkungan pada limbah akuakultur lainnya, seperti bahan

anorganik, logam berat, obat-obatan dan bibit penyakit, dipantau pada kondisi minimal. Singkatnya,

produksi bahan organik, nitrogen, dan fosfor secara langsung berkaitan dengan rasio konversi pakan

dan metode pemberian pakan yang berbeda, suhu, spesies dan ukuran ikan serta sistem budidaya

(Tabel 2). Metode pengukuran secara langsung, sebagian nitrogen dan fosfor dalam limbah padat dan

cair telah diteliti pada banyak spesies ikan konsumsi (seperti Azevedo et al., 2011; Lupatsch dan Kissil,

1998; Piedrahita, 2003; Roque d’Orbcastel et al., 2008). Meskipun memiliki variabilitas yang besar

antara spesies ikan dan sistem budidaya, dapa disimpulkan dari penelitian-penelitian tersebut bahwa –

secara umum- sebagian besar limbah nitrogen (60-90%) ditentukan dalam bentuk terlarut (terutama

amonia), sedangkan proporsi fosfor yang lebih besar diekskresikan sebagai limbah feses (25-85%)

Tabel 2. Produksi limbah beberapa spesies ikan yang ditentukan melalui pendekatan nutrisi

Spesies Ikan

Total

Padatan Total N Total P

Referensi

(kg per ton ikan)

Rainbow trout

(Oncorhyncus

mykiss)

Brown trouta

(Salmo trutta)

Lake Trout

(Salvelinus

namaycush)

Kakap putih

(Lates calcarifer)

Gilthead

seabream (Sparus

aurata)

Tilapia

(Oreochromis

spp.)

Tilapia (O.

niloticus)

Salmon atlantik

(Salmo solar)

148-338

438 (589)

564 (562)

29.0-302.3

447.5

520-650

192-268.8

224

41-71

49.2 (45.8)

65.3 (59)

21.8-101.7

102.9

72.4

48-72.7

32

7.5-15.2

6.2 (10.5)

6.8 (6.8)

4.2-15.4

17.8

23-29

0.6-8.9

1.1

Azevedo et al (20110,

Bureau et al (2003), Roque

d’Orbcastel et al (2008)

Cho et al. (1994)

Cho et al. (1994)

Bermudes et al (2010)

Lupatsch dan Kissil (1998)

Beveridge (1984)

Beveridge da Philles (1993)

Schneider et al (2003),

Reid (2007) a angka dalam kurung ‘()’ menunjukkan nilai yang ditentukan dengan pengukuran secara

langsung limbah dalam media budidaya.

Pada sistem budidaya intensif seperti sistem flow-through dan sistem jaring, produksi limbah

yang didasarkan pada pendekatan nutrisi (kecernaan) dapat memberikan estimasi yang cukup akurat

untuk limbah yang dibuang karena sebagian besar limbah ikan pada sistem ini dibuang melalui

pergantian air. Namun, dalam RAS dengan level resirkulasi yang tinggi, limbah yang dicerna secara

pasif ataupun aktif (Chen et al., 1993; Van Rijn et al., 2006) dan limbah produksi dari sistem tersebut

lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan pendekatan nutrisi. Dikarenakan perbedaan susunan dan

manajemen RAS, nilai kehilangan nitrogen dan karbon dalam sistem juga dapat berbeda (Chen et al.,

1997; Piedrahita, 2003). Pengukuran produksi limbah yang benar pada sistem tersebut didapatkan

dengan melakukan pengukuran secara langsung dari aliran limbah.

4. PENGOLAHAN LIMBAH

4.1 Penghilangan Limbah dalam RAS

Pada kebanyakan RAS dalam ruangan (indoor), penghilangan amonia dan pengikatan padatan

merupakan proses pengolahan utama dalam rangkaian sistem resirkulasi. Meskipun dimaksudkan

untuk mengumpulkan atau mengkonversi limbah ikan, proses pengolahan ini dapat menyebabkan

penghilangan limbah yang cukup banyak melalui produksi gas karbon dan senyawa nitrogen oleh proses

pembusukan biologis. Tingkat pembusukan ini terutama dikarenakan mikroorganisme heterotrofik

yang sangat tergantung pada susunan sistem yang spesifik. Secara khusus, faktor utama yang mendasari

aktivitas bakteri heterotrofik antara lain, waktu retensi air dan padatan pada sistem, serta metode yang

digunakan untuk pengolahan air di dalam rangkaian resirkulasi. Akumulasi lumpur sebanyak 14% dari

penambahan pakan, jauh lebih rendah dari produksi lumpur yang dihitung (38-46%) pada sistem

resirkulasi yang tidak dilengkapi dengan langkah pengolahan khusus untuk menghancurkan lumpur

(Chen et al., 1993, 1997). Selain itu, Suzuki et al. (2003) menemukan nilai produksi lumpur yang sama

rendahnya yaitu 18% dari penambahan pakan dalam RAS yang tidak dilengkapi dengan

pengolahan/pembuangan lumpur. Tidak hanya karbon organik tetapi juga nitrogen akan hilang dari

RAS. Hilangnya nitrogen terutama dikarenakan proses denitrifikasi pada zona tidak beroksigen dalam

sistem dan dapat menghilangkan sebesar 21% nitrogen pada beberapa RAS (ditinjau oleh Van Rijn et al,

2006).

Proses khusus yang utama untuk menghilangkan limbah dalam rangkaian resirkulasi terdapat

pada RAS air laut dan air tawar di luar ruangan (outdoor). Dalam proses ini, nutrisi dari media budidaya

dihilangkan dengan mengkombinasikan antara proses asimilasi dan disimilatori, yang dimediasi oleh

organisme hetetrofik dan fototrofik. Pada sistem polikultur yang modern, produksi ikan konsumsi

(seperti ikan, udang) diintegrasikan dengan spesies ekstraktif tersebut. Sebagian besar dari sistem ini

disebut sebagai sistem akuakultur multi-trofik terpadu (IMTA) dimana dihasilkan spesies ekstraktif yang

terdiri dari organisme fototrofik (tanaman, beberapa mikroalga), organisme penyaring, detritivor, dan

bakteri heterotrof. Contoh beberapa sistem IMTA yaitu sistem terintegrasi air laut (Neori et al., 2004),

kolam alga dengan kepadatan tinggi (Maxeta et al., 2006; Pagand et al., 2000), sistem akuaponik

(Racocy, 2007), sistem akuakultur terpartisi (Brune et al., 2003), kolam dengan suspensi aktif

berdasarkan teknologi bioflok (Avnimelech, 2006; Cram et al., 2007), sistem perifiton (Schneider et al.,

2005; Verdegem et al., 2005), dan lahan basah terkonstruksi (Lin et al., 2005; Tilley et al., 2002; Zachritz

et al., 2008; Zhong et al., 2011). Pada berbagai sistem IMTA tersebut, produksi spesies hewan air yang

utama dikombinasikan dengan pertumbuhan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi seperti tumbuhan

air, ikan pengurai dan detritivor (misalnya kerang dan tiram). Jika komponen ini diadakan, maka solusi

terbaik untuk meningkatkan produktivitas sistem akan dapat diperoleh seiring berkurangnya

pengeluaran limbah (Nobre et al., 2010). Bergantung pada desain dan operasi tertentu, sistem IMTA

dioperasikan tanpa pembuangan limbah (misalnya sistem budidaya terpartisi, kolam dengan suspensi

aktif), dengan pembuangan padatan (misalnya sistem akuaponik, kolam alga berkepadatan tinggi), atau

–yang umum pada sistem air laut- dengan padatan dan pembuangan sebagian air. Sebagian besar

sistem tersebut di atas (dimana pengolahan yang dilakukan dalam rangkaian resirkulasi dan sebagian

bergantung pada organisme fototrofik) merupakan sistem yang dioperasikan di luar ruangan (outdoor)

dengan area pengolahan yang relatif besar dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Oleh karena itu,

sistem ini merupakan sistem yang bergantung pada lokasi dibandingkan dengan RAS yang tersusun

‘rapat dan padat’ di dalam ruangan (indoor).

Beberapa RAS indoor, dimana amonia diubah menjadi nitrit dan nitrit diubah menjadi nitrat,

memiliki reaktor khusus untuk menumbuhkan bakteri pengurai nitrat menjadi gas nitrogen dalam

kondisi tidak ada oksigen (anoksik). Sebagian besar reaktor ini dilengkapi dengan sumber karbon

eksternal sebagai bahan bakar denitrifikasi heterotrofik. Terdapat juga rancangan lainnya yang

memungkinkan terjadinya denitrifikasi dengan menggunakan sumber karbon internal yang dihasilkan

di dalam RAS (Van Rijn et al., 2006).

Proses fermentasi oleh bakteri memegang peranan penting dalam menyediakan senyawa

karbon untuk denitrifikasi dimana sebagian besar karbon organik akhirnya teroksidasi menjadi CO2.

Oleh karena itu, tidak hanya nitrogen tetapi juga karbon organik yang dihilangkan melalui kombinasi

pengolahan ini (Eding et al., 2003; Van Rijn et al., 1995). Eding et al. (2009) menghitung bahwa

dengan menggunakan penghancuran limbah dan penghilangan nitrat dalam aliran resirkulasi, maka

pembuangan limbah nitrogen dan padatan organik dapat direduksi masing-masing sebesar 81% dan

60%. Sebuah metode pengolahan alternatif yang didasarkan pada penghancuran lumpur dan

penghilangan bakteri nitrogen dalam rangkaian resirkulasi telah dikemukakan oleh Tal et al. (2009).

Dalam sistem resirkulasi air laut tersebut, penghancuran lumpur dalam wadah khusus diproses

dalam kondisi nilai potensial reduksi dan oksidasi yang rendah untuk menghasilkan sulfida yang

kemudian digunakan untuk energi/bahan bakar denitrifikasi autrofik dalam reaktor tambahan. RAS

yang menggunakan gabungan penghancur lumpur dan proses denitrifikasi dapat dioperasikan dengan

sedikit atau tidak ada pembuangan limbah karena sebagian besar limbah dikonversi menjadi gas.

Komponen tersebut dioperasikan dengan volume perlakuan yang relatif kecil dibandingkan dengan RAS

outdoor (Tabel 3). Pada RAS outdoor, sebagian besar pelepasan fosfor terjadi karena adanya proses

asimilasi oleh organisme ekstraktif. Pada RAS indoor, fosfor tidak hilang dalam sistem tetapi dibuang

melalui aliran pembuangan. Namun, dalam sistem kombinasi penghancur lumpur dan denitrifikasi pada

rangkaian resirkulasi, sebagian besar ortofosfat terlarut dihentikan produksinya selama perlakuan

berlangsung.

Tabel 3. Beberapa karakteristik RAS indoor dan outdoor dengan komponen perlakuan dalam rangkaian resirkulasi

Spesies Budidaya Jenis

Perlakuan

Biomassa Maksimum

(kg)

Volume dan Luas Area Pengolahan Referensi

Total Per kg Biomassa

RAS Outdoor Seabass (Dicentrachus labrax) Gilthead seabream (Sparus aurata) Tilapia (Oreochromis mossambicus x O. aureus) Udang putih (Litopenaeus vannamei) Tilapia (O. niloticus) RAS Indoor Tilapia (O. niloticus x O. aureus) Gilthead seabream (Sparus aurata) Gilthead seabream (Sparus aurata)

Kolam dengan alga denstitas tinggi Kolam dengan alga denstitas tinggi Lahan basah Lahan basah Akuaponik Denitrifikasi/ penghancuran lumpur Denitrifikasi/ penghancuran lumpur Denitrifikasi/ annamox/ penghancuran lumpur

320

520

1230

924

2184

4800

106

1752

14.0 m3 26.0 m2

12.0 m3 43.7 m2

50.0 m3 55.0 m2

21.0 m3 32.0 m2

80.0 m3 232.0 m2

40.0 m3 23.0 m2

1.55 m3 2.75 m2

14.4 m3 11.1 m2

0.044 m3 0.081 m2

0.023 m3 0.084 m2

0.041 m3 0.045 m2

0.023 m3 0.035 m2

0.037 m3 0.106 m2

0.008 m3 0.005 m2

0.015 m3 0.026 m2

0.008 m3 0.006 m2

Metaxa et al. (2009)

Schuenhoff et al. (2003)

Zachritz et al. (2008)

Lin et al. (2005)

Rakocy et al. (2004)

Shnel et al. (2002)

Gelfand et al. (2003)

Tal et al. (2009)

a sistem perlakuan dilengkapi perangkat penghilangan padatan dan nitrifikasi b sistem perlakuan dilengkapi perangkat penghilangan padatan c sistem perlakuan dilengkapi perangkat nitrifikasi

Saat ini, pengolahan air tambahan (dalam bentuk desinfeksi melalui ozonisasi dan paparan sinar

UV) pada media budidaya dan air limbah banyak digunakan pada pengoperasian RAS indoor (Goncalves

dan Gagnon, 2011; Summerfelt et al, 2009). Selebihnya, metode adsorpsi untuk menghilangkan

senyawa obat-obatan juga digunakan dalam sistem tersebut (Aitcheson et al., 2000). Dalam kondisi ini,

sistem indoor juga berpotensi untuk dikombinasikan dengan teknologi pengolahan air yang

dikembangkan akhir-akhir ini seperti metode elektrokimi dan bioelektrokimia untuk menghilangkan

bahan organik dan anorganik (Mook et al., 2012; Virdis et al., 2008).

4.2 Pengolahan Aliran Limbah

4.2.1 Penebalan Padatan/Lumpur (Sludge)

Umumnya, limbah RASS ditandai dengan kandungan padatan yang rendah (<2%) dan

volumenya berfluktuasi sebagai akibat adanya metode pemberian pakan yang diatur dan teknik

pembersihan dan pemeliharaan sistem. Dikarenakan pembuangan langsung limbah ini berbiaya mahal,

maka penebalan padatan dan stabilisasi aliran limbah merupakan metode yang sering diperlukan

sebelum proses pembuangan akhir. Penebalan lumpur pada RAS dapat dilakukan pada wadah atau

kolam pengendapan khusus (Bergheim et al., 1993), melalui penangkapan/pengikatan padatan dengan

kantong geotekstil (Schwartz et al., 2004, 20050, atau, baru-baru ini, dengan penyaringan (Timmons

dan Ebeling, 2007), serta melalui reaktor membran (Sharrer et al., 2007). Berbagai metode tersebut

sering dikombinasikan penggunaannya dengan proses koagulasi/flokulasi untuk menyempurnakan

penghilangan padatan terlarut serta fosfor dari aliran air RAS (Danaher et al., 2011b; Ebeling et al.,

2003, 2006; Sharrer et al., 2009). Pengkombinasian dengan metode penghilangan/penyusutan air

(dewatering), berbagai metode yang digunakan untuk penebalan lumpur dapat menghasilkan lumpur

dengan kandungan padatan antara 5% dan 22% (Sharrer et al., 2009).

4.2.2 Penghancuran Lumpur (Sludge Disgestion)

Selain metode penebalan lumpur, metode untuk meningkatkan degradasi biologis lumpur juga

digunakan dalam pengolahan limbah RAS. Kolam stabilisasi limbah seperti danau aerob dan anaerob

dan penghancur lumpur dapat digunakan untuk tujuan degradasi biologis ini (Chen et al., 1997). Pada

berbagai kolam/reaktor yang digunakan untuk penghancuran lumpur, waktu tinggal lumpur (umur

lumpur) merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat degradasi lumpur. Terlepas dari lamanya

waktu lumpur terekspos pembusukan mikroba, waktu tinggal juga mempengaruhi jenis akseptor

elektron yang terlibat dalam degradasi lumpur. Pada saat retensi relatif rendah (misalnya wadah

pengendapan) oksigen akan berfungsi sebagai akseptor elektron utama sedangkan pada waktu retensi

yang lebih tinggi (misalnya danau anaerob), dikarenakan oksigen menipis, akseptor elektron lain seperti

nitrat, sulfat (dalam sistem air laut) dan karbon dioksida akan dilepaskan. Pembusukan lumpur yang

cepat dalam kondisi terdapat oksigen juga bersamaan dengan cepatnya pertumbuhan biomassa

heterotrofik dari mikroorganisme yang berperan dalam pembususkan lumpur. Konstanta degradasi

aerob dari lumpur ‘segar’ ditentukan dalam kisaran 0.07 hingga 0.04 per hari (Boyd, 1973; Chen et al.,

1997). Pada area/wadah pengendapan dioperasikan pada waktu retensi yang relatif panjang, kerusakan

lumpur yang cepat bersamaan dengan produksi gas dapat menyebabkan komponen lumpur

mengendap dengan tidak sempurna (Timmons dan Ebeling, 2007). Pada reaktor yang dioperasikan

dengan waktu retensi yang lebih lama dimana akseptor elektron dilepaskan (selain oksigen),

pembusukan lumpur berada pada tingkat yang lebih rendah dan jauh dari kondisi aerob serta

menghasilkan biomassa bakteri eutrofik yang sedikit. Konstanta pembusukan lumpur berkisar antara

0.024-0.006 per hari dalam reaktor yang dioperasikan dengan lumpur yang sudah lama dan nitrat

sebagai akseptor elektron utama (Van Rijn et al., 1995). Meskipun pembusukan terlihat lambat, jenis

reaktor ini, dengan ukuran yang baik/sesuai, dapat dioperasikan untuk jangka waktu yang lama tanpa

membuang lumpur dan dapat digunakan pada tahap pengolahan dalam rangkaian perlakuan. Degradasi

lumpur sebesar 30-40% terjadi pada reaktor denitrifikasi dengan limbah RAS air laut dan dioperasikan

pada waktu retensi yang lebih pendek yaitu 11 hari (Klas et al., 2006).

Reaktor sekuensing skala laboratorium dioperasikan di bawah kondisi aerob dan anoksik untuk

menghilangkan bahan organik dan nitrogen dari konsentrat lumpur pada fasilitas pemeliharaan udang

yang dilakukan oleh Boopathy et al. (2007) dan Fontenot et al. (2007). Mereka menunjukkan bahwa

pada waktu retensi hidrolik 8 hari, reduksi bahan organik berkurang sebesar 74% dn pengurangan total

nitrogen dapat dicapai dengan skema perlakuan ini. Anaerob sempurna, penghancuran metanogen dari

lumpur akuakultur telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (ditinjau dari Mirzoyan et al., 2010).

Meskipun kondisi operasional sangat berbeda di anatra beberapa penelitian yang dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa degradasi dan stabilisasi yang cukup besar dari lumpur akuakultur dapat dicapai

melalui penghancuran metanogenik. Masalah-masalah seperti penghambatan aktivitas metanogenik

oleh konsentrasi amonia yang tidak terionisasi dikarenakan rendahnya rasio C/N dari lumpur tersebut,

bobot kering kandungan lumpur optimal, dan waktu retensi hidrolik optimal dalam reaktor

metanogenik, masih memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum menggunakan sistem tersebut dalam

skala yang utuh.

4.2.3 Transformasi Nutrien Anorganik

Konsentrasi nutrien anorganik dalam wadah pengendapan dan penghancuran ditentukan oleh

keseimbangan antara proses kimia, fisika, dan biologi. Waktu tinggal lumpur memiliki pengaruh besar

dalam proses ini. Berkaitan dengan nitrogen, konsentrasi amonia sering ditemukan meningkat karena

amonifikasi dari bahan organik yang mengandung nitrogen (Conroy dan Couturier, 2010; Stewart et al.,

2006). Berbagai proses dapat menghindari akumulasi amonia tersebut. Asimilasi amonia dalam reaktor

dioperasikan pada kondisi potensial redoks yang tinggi karena biomassa bakteri selama nitrifikasi

amonia relatif meningkat tajam dan dapat mengganggu proses aerob dalam reaktor tersebut (Cytryn

et al., 2005; Klas et al., 2006). Tidak hanya dalam kondisi aerob tetapi juga pada kondisi anaerob,

penghilangan amonia dapat terjadi. Dalam kondisi seperti itu, nitrat yang selalu terukur dalam aliran

limbah RAS, tidak hanya akan terdenitrifikasi menjadi unsur nitrogen pada waktu retensi hidrolik yang

sesuai, tetapi juga dapat secara tidak langsung (melalui pengurangannya menjadi nitrit), berfungsi

sebagai akseptor elektron untuk bakteri anammox dimana amonia dan nitrit dikonversi menjadi gas

nitrogen (Lahav et al., 2009; Tal et al., 2003).

Selain melepaskan amonia, hidrolisis lumpur dalam reaktor penghancur dan reaktor

penampung juga akan memicu pelepasan ortofosfat. Dalam penelitian Conroy dan Couturier (2010)

tentang hidrolisis lumpur akuakultur dalam kondisi statis, menunjukkan bahwa ortofosfat terlepas dari

lumpur sangat erat kaitannya denan kelarutan kalsium ortofosfat pada pH rendah. Para penulis yang

sama tidak mengamati pelepasan ortofosfat pada pH di atas 7.0. Penurunan nilai ortofosfat dalam

kolom air reaktor yang digunakan untuk menghancurkan lumpur akuakultur telah diamati dalam banyak

studi (Barak et al., 2003; Barak dan Van Rijn, 2000a; Klas et al., 2006; Neori et al., 2007; Sharrer et al.,

2007; Tal et al., 2009). Selain pengendapan kimia terutama dengan ion kalsium dan besi, proses yang

mungkin penting selama penghancuran lumpur akuakultur adalah proses biologi yang memanfaatkan

fosfat. Dalam wadah penghancur yang kaya akan nitrat pada RAS air tawar dan air laut ditemukan

bahwa organisme denitrifikasi mengakumulasi ortofosfat sebagai polifosfat intraseluler sebagai syarat

proses metabolik (Barak et al., 2003; Barak dan Van Rijn, 2000a). Dalam RAS ini, lumpur dari area

denitrifikasi intensif ditemukan mengandung hingga 19% fosfor bobot kering sementara denitrifikasi

yang terisolasi dari sistem tersebut ditemukan mengandung 9% fosfor dalam bentuk bobot sel kering

(Barak dan Van Rijn, 2000b).

Pelepasan unsur sulfur anorganik selama penebalan/penghancuran lumpur dapat

menimbulkan potensi masalah yang berkaitan dengan limbah buangan. Hal ini terutama berlaku untuk

RAS air laut dimana sulfida (dalam kondisi anaerob) diproduksi sebagai hasil mineralisasi bahan organik

dan penurunan kadar sulfat (Cytryn et al., 2003; Scwermer et al., 2010; Sher et al., 2008). Pada sistem

air laut tersebut ditemukan bahwa keberadaan nitrat selama penghancuran lumpur dapat mencegah

pembentukan sulfida selain oleh bakteri pengurai sulfida (Schwermer et al., 2010) serta dengan oksidasi

sulfat oleh organisme denitirfikasi aututrof (Sher et al., 2008; Tal et al., 2009).

Bergantung pada akumulasi bahan organik dan nutrien terlarut dalam reaktor pengumpulan

atau penghancuran lumpur, perlakuan lebih lanjut pada cairan yang dihasilkan pada reaktor tersebut

harus dilakukan sebelum akhirnya dibuang. Brazil dan Summerfelt (2006) menguji pengaruh perlakuan

aerob dari luapan cairan pada wadah pengumpulan lumpur akuakultur. Reaktor aerob yang

dioperasikan pada lama waktu retensi hidrolik hingga 6 hari, menunjukkan penghilangan bahan organik

dan total amonia nitrogen sebesar 87% dan penghilangan ortofosfat sebesar 65%. Selain itu, sistem

perlakuan outdoor, seperti yang digunakan dalam rangkaian resirkulasi (misalnya lahan basah, kolam

dengan alga kepadatan tinggi) dapat juga digunakan untuk mengolah limbah cair sebelum pembuangan

akhir.

5. PEMBUANGAN LIMBAH

Ciri dan jumlah limbah yang dibuang dari RAS sangat tergantung pada fasilitas perlakuan yang

digunakan. Banyak alternatif yang tersedia untuk pengolahan limbah RAS air tawar, tetapi pada RAS air

laut, pengolahan limbahnya terbatas pada metode tertentu. Limbah cair dan padat dari RAS air tawar

dapat diolah pada fasilitas terpusat seperti pengolahan limbah milik umum (POWT) yang digunakan

untuk mengolah limbah ternak lainnya serta limbah domestik dan industri. Jika ketersediaan lahan dan

biaya terbatas, maka pengolahan pada fasilitas terpusat tersebut dapat dilakukan dengan kolam

stabilisasi dan lahan basah. Alternatif lainnya, pengolahan limbah RAS dapat juga dilakukan dengan

menggunakan fasilitas pengolahan limbah cair domestik dan industri yang memiliki tahapan primer,

sekunder, dan tersier. Namun, pengolahan limbah akuakultur dalam sistem ini terkesan boros karena

konsentrasi bahan toksik dan bahan-bahan lain yang membahayakan kesehatan dalam limbah

akuakultur sangat rendah dibandingkan limbah domestik dan industri. Oleh karena itu, penggunaan

limbah akuakultur sebagai pupuk dapat secara langsung diaplikasikan (Bergheim et al., 1993; Yeo et al.,

2004) atau digunakan sebagai bahan produksi kompos (Adler dan Sikora, 2004; Danaher et al., 2011a)

dapat menjadi alternatif yang berkelanjutan. Produksi kompos mungkin memerlukan penyesuaian rasio

C/N dan penurunan kadar air dengan penambahan bahan karbon pemadat sehingga dekomposisi aerob

menjadi optimal (Adler dan Sikora, 2004). Sama halnya dengan lumpur, fraksi cair dari limbah RAS dapat

digunakan untuk irigasi tanaman pertanian. Penggunaan limbah padat dan cair untuk tujuan pupuk

sangat tergantung pada lokasi. Tidak tepatnya aplikasi limbah RAS dapat menjadi masalah (Yeo et al.,

2004).

Kebanyakan RAS air laut terletak berdekatan dengan laut, pembuangan limbah langsung ke laut

masih merupakan cara umum. Sementara, limbah RAS air laut yang diolah sebelum dibuang akan

memperkecil dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pada kondisinya, jumlah limbah yang dihasilkan RAS

tidak jauh berbeda dengan sistem budidaya pada jaring. Pada daerah pesisir, lahan basah dibangun

dapat menjadi metode yang menjanjikan untuk mengolah limbah akuakultur (Gregory et al., 2010; Su

et al., 2011).

6. KESIMPULAN

Tekonologi pengolahan air telah mengalami perkembangan yang dinamis beberapa tahun

terakhir, dengan metode pengolahan baru yang muncul dengan cepat. Pada RAS, banyak pilihan dari

berbagai metode pengolahan yang berbeda. Pemilihan metode pengolahan yang tepat bergantung

pada analisis biaya/kemanfaatan dan lokasi sistem resirkulasi, kondisi iklim, ketersediaan air, peraturan

pembuangan dan pengolahan limbah, dan ketersediaan lahan. Faktor-faktor ini merupakan penentu

utama untuk jenis metode yang akan digunakan. Jika dikaitkan dengan nilai pasar spesies budidaya,

penggunaan metode yang canggih dapat dibenarkan. Namun untuk mencapai keuntungan yang

optimal, penggunaan metode pengolahan air yang relatif sederhana dengan penghematan air dan

intensitas produksi dapat menjadi pertimbangan.

Pada kebanyakan RAS outdoor, pengurangan/penghilangan limbah umumnya tercapai dalam

rangkaian resirkulasi dengan pendekatan integratif dimana karbon organik dan nutrien anorganik

diasimilasi oleh organisme fototrofik dan heterotrofik. Karena faktor pembatas lahan dan iklim, RAS

indoor biasanya dioperasikan sesuai dengan protokol pengolahan yang berbeda dimana fokusnya

terletak pada penangkapan/pengikatan padatan dan transformasi amonia menjadi nitrat.

Diharapkan dengan meningkatnya permintaan ikan serta kesadaran masyarakat terkait dengan

masalah penangkapan ikan berlebih (overfishing), penghematan air, polusi, kesejahteraan hewan dan

etika pertenakan, maka penelitian tentang RAS serta pengembangan komersil akan menghasilkan

pertumbuhan yang stabil dalam waktu dekat. Peningkatan efisiensi biaya dan metode pengolahan

limbah yang berkelanjutan akan menjadi aspek penting dan berperan pada penggunaan sistem yang

lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Adler, P.R., Sikora, R.J., 2004. Composting fish manure from aquaculture operations. Biocycle 45, 62–66. Aitcheson, S.J., Arnet, J., Murray, K.R., Zhang, J., 2000. Removal of aquaculture therapeutants by carbon adsorption: 1. Equilibrium adsorption behaviour of single components. Aquaculture 183, 269–284. Avnimelech, Y., 2006. Biofilters: the need for a comprehensive approach. Aquacultural Engineering 34, 172–178. Azevedo, P.A., Podemski, C.L., Hesslein, R.H., Kasian, S.E.M., Findlay, D.L., Bureau, D.P., 2011. Estimation of waste outputs by a rainbow trout cage farm using a nutritional approach and monitoring of lake water quality. Aquaculture 311, 175–186. Barak, Y., van Rijn, J., 2000a. Biological phosphate removal in a prototype recirculating aquaculture treatment system. Aquacultural Engineering 22, 121–136. Barak, Y., van Rijn, J., 2000b. Atypical polyphosphate accumulation by the denitrifying bacterium Paracoccus denitrificans. Applied and Environmental Microbiology 66, 1209–1212. Barak, Y., Cytryn, E., Gelfand, I., Krom, M., van Rijn, J., 2003. Phosphate removal in a marine prototype recirculating aquaculture system. Aquaculture 220, 313–326.

Benetti, D.D., Orhun, M.R., Sardenberg, B., O’Hanlon, B., Welch, A., Hoenig, R., Zink, I., Rivera, J.A., Denlinger, B., Bacoat, D., Palmer, K., Cavalin, F., 2008. Advances in hatchery and grow-out technology of cobia Rachycentron canadum (Linnaeus). Aquaculture Research 39, 701–711. Bergheim, A., Kristansen, R., Kelly, L., 1993. Treatment and utilization of sludge from land based farms for salmon. In: Wang, J.K. (Ed.), Techniques for Modern Aquaculture. American Society for Agricultural Engineers, St. Joseph, MI, pp. 486–495. Bermudes, M., Glencross, B., Austen, K., Hawkins, W., 2010. The effects of temperature and size on the growth, energy budget and waste outputs of barramundi (Lates calcarifer). Aquaculture 306, 160–166. Beveridge, M.C.M., 2012. Cage and Pen fish Farming. Carrying Capacity Models and Environmental Impact. FAO Fish. Tech. Pap. 255. Blue Ocean Institute, Barramundi, 131pp. www.blueocean.org/seafood/seafood-view?spc id=161/. Beveridge, M.C.M., Phillips, M.J., 1993. Environmental impact of tropical inland aquaculture. In: Pullin, R.S.V., Rosenthal, H., Maclean, J.M. (Eds.), Environment and Aquaculture in Developing Countries. ICLARM Conference Proceedings, vol. 31. , pp. 213–236, 359pp. Boopathy, R., Bonvillain, C., Fontenot, Q., Kilgen, M., 2007. Biological treatment of low-salinity shrimp aquaculture wastewater using sequencing batch reactor. International Biodeterioration and Biodegradation 59, 16–19. Boyd, C.E., 1973. The chemical oxygen demand of waters and biological materials from ponds. Transactions of the American Fisheries Society 103, 606–611. Boyd, C.E., 2003. Guidelines for aquaculture effluent management at the farm-level. Aquaculture 226, 101–112. Brazil, B.L., Summerfelt, S.T., 2006. Aerobic treatment of gravity thickening tank supernatant. Aquacultural Engineering 34, 92–102. Brune, D.E., Schwartz, G., Eversole, A.G., Collier, J.A., Schwedler, T.E., 2003. Intensification of pond aquaculture and high rate photosynthetic systems. Aquacultural Engineering 28, 65–86. Bureau, D.P., Gunther, S.J., Cho, C.Y., 2003. Chemical composition and preliminary theoretical estimates of waste outputs of rainbow trout reared in commercial cage culture operations in Ontario. North American Journal of Aquaculture 65, 33–38. Chen, S., Coffin, D.E., Malone, R.F., 1993. Production, characteristics, and modeling of aquacultural sludge from a recirculating aquacultural system using a granular media biofilter. In: Wang, J.-K. (Ed.), Techniques for Modern Aquaculture. ASAE, St. Joseph, Michigan, pp. 16–25. Chen, S., Coffin, D., Malone, R., 1997. Sludge production and management for recirculating aquacultural systems. Journal of the World Aquaculture Society 28, 303–315. Cho, C.Y., Hynes, J.D., Wood, K.R., Yoshida, H.K., 1991. Quantitation of fish culture wastes by biological (nutritional) and chemical (limnological) methods; the development of high-nutrient dense (HND) diets. In: Cowey, C.B., Cho, C.Y. (Eds.), Nutritional Strategies and Aquaculture Waste. Proceedings, 1st International Symposium on Nutritional Strategies in Management of Aquaculture Waste. University of Guelph, Guelph, Ont., 1990, pp. 37–50.

Cho, C.Y., Hynes, J.D., Wood, K.R., Yoshida, H.K., 1994. Development of high-nutrientdense, low pollution diets and prediction of aquaculture waste using biological approaches. Aquaculture 124, 293–305. Cohen, I., Neori, A., 1991. Ulva lactuca biofilters for marine fishpond effluents. I. Ammonia uptake kinetics and nitrogen content. Botanica Marina 34, 475–482. Conroy, J., Couturier, M., 2010. Dissolution of minerals during hydrolysis of fish waste solids. Aquaculture 298, 220–225. Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., Verstraete, W., 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270, 1–14. Cromey, C.J., White, P., 2004. Potential farm management practices for the reduction of aquaculture impact. In: The Meramed Project: Development of Monitoring Guidelines and Modeling Tools for Environmental Effects from Mediterranean Aquaculture, meramed.akvaplan.com/. Cytryn, E., Barak, Y., Gelfand, I., van Rijn, J., Mintz, D., 2003. Diversity of microbial communities correlated to physiochemical parameters in a digestion basin of a zero-discharge mariculture system. Environmental Microbiology 5, 55–63. Cytryn, E., van Rijn, J., Schramm, A., Gieseke, A., de Beer, D., Mintz, D., 2005. Identification of bacterial communities potentially responsible for oxic and anoxic sulfide oxidation in biofilters of a recirculating mariculture system. Applied and Environmental Microbiology 71, 6134–6141. Danaher, J.J., Shultz, R.C., Rakocy, J.E., 2011a. Evaluation of two textiles with or without polymer addition for dewatering effluent from an intensive biofloc production system. Journal of the World Aquaculture Society 42, 66–72. Danaher, J.J., Rakocy, J.E., Shultz, R.C., Bailey, D.S., Pantanella, E., 2011b. Dewatering and composting aquaculture waste as a growing medium in the nursery production of tomato plants. Acta Horticulturae 89, 223–230. Ebeling, J.M., Welsh, C.F., Rishel, K.L., 2006. Performance evaluation of the Hydrotech belt filter using coagulation/flocculation aids (alum/polymers) for the removal of suspended solids and phosphorus from intensive recirculating aquaculture microscreen backwash effluent. Aquacultural Engineering 35, 61–77. Ebeling, J.M., Sibrell, P.L., Ogden, S., Summerfelt, S.T., 2003. Evaluation of chemical coagulation–flocculation aids for the removal of phosphorus from recirculating aquaculture effluent. Aquacultural Engineering 29, 23–42. Eding, E.H., Klapwijk, A., Verreth, J.A.J., 2003. Design and performance of an upflow sludge blanket reactor in a zero discharge recirculating system. Abstracts and Extended Communications of Contributions Presented at the International Conference Aquaculture Europe “Beyond Monoculture”, Trondheim. Norway. EAS Spec. Publ. No. 33, pp. 172–174. Eding, E., Verdegem, M., Martins, C., Schlaman, G., Heinsbroek, L., Laarhoven, B., Ende, S., Verreth, J., Aartsen, F., Bierbooms, V., 2009. Tilapia farming using Recirculating Aquaculture Systems (RAS) – case study in the Netherlands, in a handbook for sustainable Aquaculture, Project N◦: COLL-CT-2006-030384. http://www.sustainaqua.org/.

El-Sayed, A.F.M., 2006. Tilapia Culture. CABI Publ., Wallingford, UK, 277pp. Environmental Protection Agency (EPA), 2004. Effluent Guidelines: Aquatic Animal Production Industry. www.epa.gov/ost/guide/ aquaculture/. Fontenot, Q., Bonvillain, C., Kilgen, M., Boopathy, R., 2007. Effects of temperature, salinity, and carbon: nitrogen ratio on sequencing batch reactor treating shrimp aquaculture wastewater. Bioresource Technology 98, 1700–1703. Food and Agricultural Organization (FAO), 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome, 41pp. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/005/v9878e/v9878e00.pdf. Food and Agricultural Organization (FAO), 2012. Cultured Aquatic Species Information Programme. Lates calcarifer. Cultured Aquatic Species Information Programme. http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Lates calcarifer/en. Gelfand, I., Barak, Y., Even-Chen, Z., Cytryn, E., Krom, M., Neori, A., van Rijn, J., 2003. A novel zero-discharge intensive seawater recirculating system for culture of marine fish. Journal of the World Aquaculture Society 34, 344–358. Goncalves, A.A., Gagnon, G.A., 2011. Ozone application in recirculating aquaculture systems: an overview. Ozone Science and Engineering 33, 345–367. Gregory, S.P., Shields, R.J., Fletcher, D.J., Gatland, P., Dyson, P.J., 2010. Bacterial community responses to increasing ammonia concentrations in model recirculating vertical flow saline biofilters. Ecological Engineering 36, 1485–1491. Kaiser, J.B., Holt, G.J., 2005. Species profile Cobia. Southern Regional Aquaculture Center Publication No. 7202. www.scribd.com/doc/16595767/Cobia-SRAC7202. Karipoglou, C., Nathanailides, C., 2009. Growth rate and feed conversion efficiency of intensively cultivated European eel (Anguilla anguilla L.). International Journal of Fisheries and Aquaculture 1, 11–13. Klas, S., Mozes, N., Lahav, O., 2006. Development of a single-sludge denitrification method for nitrate removal from RAS effluents: lab-scale results vs. model prediction. Aquaculture 259, 342–353. Lahav, O., Bar Massada, I., Yackoubov, D., Zelikson, R., Mozes, N., Tal, Y., Tarre, S., 2009. Quantification of anammox activity in a denitrification reactor for a recirculating aquaculture system. Aquaculture 288, 76–82. Leenhouwers, J.I., Ortega, R.C., Verreth, J.A.J., Schrama, J.W., 2007. Digesta characteristics in relation to nutrient digestibility and mineral absorption in Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.) fed cereal grains of increasing viscosity. Aquaculture 273, 556–565. Lin, Y.F., Jing, S.R., Lee, D.Y., Chang, Y.F., Chen, Y.M., Shih, K.C., 2005. Performance of a constructed wetland treating intensive shrimp aquaculture wastewater under high hydraulic loading rate. Environmental Pollution 134, 411–442. Little, D.C., Murraya, F.J., Azima, E., Leschena, W., Boyd, K., Watterson, A., Young, J.A., 2008. Options for producing a warmwater fish in the UK: limits to “Green Growth”? Trends in Food Science and Technology 19, 255–264.

Lupatsch, I., Kissil, G.W., 1998. Predicting aquaculture waste from gilthead seabream (Sparus aurata) culture using a nutritional approach. Aquatic Living Resources 11, 265–268. Martins, C.I.M., Ochola, D., Ende, S.S.W., Eding, E.H., Verreth, J.A.J., 2009. Is growthretardation present in Nile tilapia Oreochromis niloticus cultured in low water exchange recirculating aquaculture systems? Aquaculture 298, 43–50. Martins, C.I.M., Eding, E.H., Verdegem, M.C.J., Heinsbroek, L.T.N., Schneider, O., Blancheton, J., Roque d’Orbcasteld, E., Verreth, J.A.J., 2010. New developments in recirculating aquaculture systems in Europe: a perspective on environmental sustainability. Aquacultural Engineering 43, 83–93. Metaxa, E., Deviller, G., Pagand, P., Alliaume, C., Casellas, C., Blancheton, J.P., 2006. High rate algal pond treatment for water reuse in a marine fish recirculation system: water purification and fish health. Aquaculture 252, 92–101. Mirzoyan, N., Tal, Y., Gross, A., 2010. Anaerobic digestion of sludge from intensive recirculating aquaculture systems: review. Aquaculture 306, 1–6. Mook, W.T., Chakrabarti, M.H., Aroua, M.K., Khan, G.M.A., Ali, B.S., Islam, M.S., Abu Hassan, M.A., 2012. Removal of total ammonia nitrogen (TAN), nitrate and total organic carbon (TOC) from aquaculture wastewater using electrochemical technology: a review. Desalination 285, 1–13. Neori, A., Cohen, I., Gordin, H., 1991. Ulva lactuca biofilters for marine fishpond effluents: II. Growth rate, yield and C:N ratio. Botanica Marina 34, 483–489. Neori, A., Krom, M.D., van Rijn, J., 2007. Biochemical processes in intensive zeroeffluent marine fish culture with recirculating aerobic and anaerobic biofilters. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 349, 235–247. Neori, A., Chopin, T., Troell, M., Buschmann, A.H., Kraemer, G.P., Halling, C., Shpigel, M., Yarish, C., 2004. Integrated aquaculture: rationale, evolution and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in modern mariculture. Aquaculture 231, 361–391. Nobre, A.M., Robertson-Andersson, D., Neori, A., Sankar, K., 2010. Ecological–economic assessment of aquaculture options: comparison between abalone monoculture and integrated multi-trophic aquaculture of abalone and seaweeds. Aquaculture 306, 116–126. Pagand, P., Blancheton, J.P., Lemoalle, J., Casellas, C., 2000. The use of high rate algal ponds for the treatment of marine effluent from a recirculating fish rearing system. Aquaculture Research 31, 729–736. Peet, C., 2006. Farmed barramundi. Seafood report, Monterey Bay Aquarium. www.montereybayaquarium.org/MBASeafoodWatch/. Perschbacher, P.W., 2007. Growth rates of GMT and mixed-sex Nile tilapia Oreochromis niloticus on natural and supplemental feeds. Asian Fisheries Science 20, 425–431. Piedrahita, R.H., 2003. Reducing the potential environmental impact of tank aquaculture effluents through intensification and recirculation. Aquaculture 226, 35–44.

Racocy, J.E., 2007. Aquaponics: integrated fish and plant culture. In: Timmons, M.B, Ebeling, J.M. (Eds.), Recirculating Aquaculture. NRAC Publ. no. 01-007. Cayuga Aqua Ventures, Ithaca, NY, pp. 767–822, 975pp. Rakocy, J.E., Bailey, D.S., Shultz, R.C., Thoman, E.S., 2004. Update on tilapia and vegetable production in the UVI aquaponic system. In: New Dimensions on Farmed Tilapia: Proceedings of the Sixth International Symposium on Tilapia in Aquaculture, Manila, Philippines, pp. 676–690. Reid, K.R., 2007. Nutrient release form salmon culture. In: Nutrient impacts of farmed Atlantic salmon (Salmo salar) on pelagic ecosystems and implications for carrying capacity. Report of the Technical Working Group (World Wildlife Fund) on nutrients and carrying capacity of salmon aquaculture dialogue. www.worldwildlife.org/../WWFBinaryitem11788.pdf. Roque d’Orbcastel, E., Blancheton, J.P., Aubin, J., 2009a. Towards environmentally sustainable aquaculture: comparison between two trout farming systems using life cycle assessment. Aquacultural Engineering 40, 113–119. Roque d’Orbcastel, E., Blancheton, J.P., Belaud, A., 2009b. Water quality and rainbow trout performance in a Danish Model Farm recirculating system: comparison with a flow through system. Aquacultural Engineering 40, 135–143. Roque d’Orbcastel, E., Person-Le-Ruyet, J., Le Bayon, N., Blancheton, J.P., 2009c. Comparative growth and welfare in rainbow trout reared in re-circulating and flow through rearing systems. Aquacultural Engineering 40, 79–86. Roque d’Orbcastel, E., Blancheton, J.P., Boujard, T., Aubin, J., Moutounet, Y., Przybyla, C., Belaud, A., 2008. Comparison of two methods for evaluating waste of a flow through trout farm. Aquaculture 274, 72–79. Sapkota, A., Sapkota, A.R., Kucharski, M., Burke, J., McKenzie, S., Walker, P., Lawrence, R., 2008. Aquaculture practices and potential human health risks: current knowledge and future priorities. Environment International 34, 1215–1226. Schipp, G., Bosmans, J., Humphrey, J., 2007. Northern Territory Barramundi Farming Handbook. Department of Primary Industry, Fisheries and Mines, Australia, 71pp. www.nt.gov.au//NTBarra-Farming-Handbook-Online/. Schneider, O., Sereti, V., Eding, E.H., Verreth, J.A.J., 2005. Analysis of nutrientflows in integrated intensive aquaculture systems. Aquacultural Engineering 32, 379–401. Schneider, O., Amirkolaie, A.K., Vera-Cartas, J., Eding, E.H., Schrama, J.W., Verreth, J.A.J., 2004. Digestibility, feces recovery, and related C, N, and P balances of five feed ingredients evaluated as fishmeal alternatives in Oreochromis niloticus L. Aquaculture Research 35, 1370–1379. Shnel, N., Barak, Y., Ezer, T., Dafni, Z., van Rijn, J., 2002. Design and performance of a zero-discharge tilapia recirculating system. Aquacultural Engineering 26, 191–203. Schuenhoff, A., Shpigel, M., Lupatsch, I., Ashkenazi, A., Msuya, F.E., Neori, A., 2003. A semi-recirculating, integrated system for the culture of fish and seaweed. Aquaculture 221, 167–181.

Schwartz, M.F., Ebeling, J., Summerfelt, S.,2004. Geotextile tubes for aquaculture waste management. In: Proceedings of the Fifth International Conference on Recirculating Aquaculture. Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, VA. Schwartz, M.F., Ebeling, J.M., Rishel, K.L., Summerfelt, S.T., 2005. Dewatering aquaculture biosolids with geotextile bags. In: Aquaculture America 2005, New Orleans, LA. World Aquaculture Society, Baton Rouge, LA, p. 118. Schwermer, C.U., Ferdelman, T.G., Stief, P., Gieseke, A., Rezakhani, N., van Rijn, J., de Beer, D., Schramm, A., 2010. Effect of nitrate on sulfur transformations in sulfidogenic sludge of a marine aquaculture biofilter. FEMS Microbiology Ecology 72, 476–484. Sindilariu, P.D., Brinker, A., Reiter, R., 2009. Waste and particle management in a commercial, partially recirculating trout farm. Aquacultural Engineering 41, 127–135. Sharrer, M.J., Rashel, K.L., Summerfelt, S.T., 2009. Evaluation of geotextile filtration applying coagulant and flocculant amendments for aquaculture biosolids dewatering and phosphorus removal. Aquacultural Engineering 40, 1–10. Sharrer, M.J., Tal, Y., Ferrier, D., Hankins, J.A., Summerfelt, S.T., 2007. Membran biological reactor treatment of a saline backwash flow from a recirculating aquaculture system. Aquacultural Engineering 36, 159–176. Sher, Y., Schneider, K., Schwermer, C.U., van Rijn, J., 2008. Sulfide induced nitrate reduction in the sludge of an anaerobic treatment stage of a zero-discharge recirculating mariculture system. Water Research 42, 4386–4392. Stewart, N.T., Boardman, G.D., Helfrich, L.A., 2006. Characterization of nutrient leaching rates from settled rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) sludge. Aquacultural Engineering 35, 191–198. Su, Y.-M., Lin, Y.-F., Jing, S.-R., Lucy Hou, P.C., 2011. Plant growth and the performance of mangrove wetland microcosms for mariculture effluent depuration. Marine Pollution Bulletin 62, 1455–1463. Subasinghe, R., Soto, D., Jia, J., 2009. Global aquaculture and its role in sustainable development. Reviews in Aquaculture 1, 2–9. Summerfelt, S.T., Sharrer, M.J., Tsukuda, S.M., Gearheart, M., 2009. Process requirements for achieving full-flow disinfection of recirculating water using ozonation and UV irradiation. Aquacultural Engineering 40, 17–27. Suzuki, Y., Maruyama, T., Numata, H., Sato, H., Asakawa, M., 2003. Performance of a closed recirculating system with foam separation, nitrification and denitrification units for intensive culture of eel: towards zero emission. Aquacultural Engineering 29, 165–182. Tal, Y., Watts, J.E.M., Schreier, S.B., Sowers, K.R., Schreier, H.J., 2003. Characterization of the microbial community and nitrogen transformation processes associated with moving bed bioreactors in a closed recirculated mariculture system. Aquaculture 215, 187–202. Tal, Y., Schreier, H.J., Sowers, K.R., Stubblefield, J.D., Place, A.R., Zohar, Y., 2009. Environmentally sustainable land-based marine aquaculture. Aquaculture 286, 28–35.

Tilley, D.R., Badrinarayanan, H., Rosati, R., Son, J., 2002. Constructed wetlands as recirculation filters in large-scale shrimp aquaculture. Aquacultural Engineering 26, 81–109. Timmons, M.B., Ebeling, J.M., 2007. Recirculating Aquaculture. NRAC Publ. No. 01-007. Cayuga Aqua Ventures, Ithaca, NY, 975pp. van Rijn, J., Fonarev, N., Berkowitz, B., 1995. Anaerobic treatment of fish culture effluents: digestion of fish feed and release of volatile fatty acids. Aquaculture 133, 9–20. van Rijn, J., Tal, Y., Schreier, H.J., 2006. Denitrification in recirculating systems: theory and applications. Aquacultural Engineering 34, 364–376. Verdegem, M.C.J., Eding, E.H., Sereti, V., Munubi, R.N., Santacruz-Reyes, R.N., van Dam, A.A., 2005. Similarities between microbial and periphytic biofilms in aquaculture systems. In: Azim, M.E., Verdegem, M.C.J., van Dam, A.A., Beveridge, M.C.M. (Eds.), Periphyton, Ecology, Exploitation and Management. CABI Publishing, Cambridge, MA, USA, pp. 191–206, 325pp. Virdis, B., Rabaey, K., Yuan, Z., Keller, J., 2008. Microbial fuel cells for simultaneous carbon and nitrogen removal. Water Research 42, 3013–3024. Yeo, S.E., Binkowski, F.P., Morris, J.E., 2004. Aquaculture Effluents and Waste byproducts. Characteristics, Potential Recovery, and Beneficial Reuse. NCRAC Publications Office, North Central Regional Aquaculture Center, Iowa State University, 45pp. Zachritz I.I., W.A., Hanson, A.T., Sauceda, J.A., Fitzsimmons, K.M., 2008. Evaluation of submerged surface flow (SSF) constructed wetlands for recirculating tilapia production systems. Aquacultural Engineering 39, 16–23. Zhong, F., Liang, W., Yu, T., Cheng, S.P., He, F., Wu, Z.B., 2011. Removal efficiency and balance of nitrogen in a recirculating aquaculture system integrated with constructed wetlands. Journal of Environmental Science and Health, Part A: Toxic/Hazardous Substances and Environmental Engineering 46, 789–794. Zohar, Y., Tal, Y., Schreier, H., Steven, C., Stubblefield, J., Place, A.R., 2005. commerciallyfeasible urban recirculated aquaculture: addressing the marine sector. In: Costa-Pierce, B., DesBonnet, A., Edwards, P., Baker, D. (Eds.), Urban Aquaculture. CABI Publishing, Wallingford, UK, pp. 159–171.

***