pengolahan tapioka
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN
TEPUNG TAPIOKA
DITREKTORAT PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASILPERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGOLAHAN DANPEMASARAN HASIL PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN-JAKARTA2005
Pendahuluan - PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau
ketela pohon. Singkong merupakan bahan baku berbagai produk
industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan
lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup beragam
mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus,
keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang
memerlukan proses lebih lanjut. Dalam industri makanan,
pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu
hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang
dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka
Foto 1.1: Singkong
Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images
1
Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama; tradisional yaitu
industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar
matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim,
kedua; semi modern yaitu industri pengolahan tapioka yang
menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses
pengeringan dan yang ketiga; full otomate yaitu industri
pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal
sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan
peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena
proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu
lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas.
Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga
menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
Limbah padat seperti kulit singkong dapat dimanfaatkan untuk
pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas) dapat
digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri pembuatan
saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak.
Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan
ladang, selain itu limbah cair pengolahan tapioka dapat
diolah menjadi minuman nata de cassava.
Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama
berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya,
2
Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal
dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.
Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi
yaitu Assosiasi Tepung Tapioka Indonesia (ATTI) yang
berpusat di Jakarta. Keberadaan asosiasi ini belum begitu
dirasakan oleh pihak-pihak terkait terutama petani yang
tidak dapat menikmati harga singkong sesuai dengan
kesepakatan antara pemda, petani dan pengusaha. Sementara
pengusaha tidak dapat memperoleh bahan baku secara langsung
dari petani. Asosiasi ini diharapkan dapat berperan dalam
pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga bahan baku
serta akses permodalan bagi pengusaha, sehingga industri
tapioka dapat berkembang dalam rangka memenuhi permintaan
pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.
Industri tapioka mulai marak tahun 1980-an. Dalam melakukan
usaha selama ini, industri pengolahan tapioka menggunakan
modal sendiri dan sebagian menggunakan modal dari perbankan
dan bantuan dari BUMN serta kemitraan. Di kabupaten Lampung
Timur usaha ini cukup berkembang dan pemerintah telah
mempermudah perizinan dan aktif melakukan pembinaan,
disamping itu hampir seluruh perbankan di Lampung Timur
membiayai usaha ini.
Industri tapioka yang terdapat di Propinsi Lampung, terutama
yang berada di Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah
survei dalam penyusunan buku ini, pada tahun 2003 memiliki
3
38.964 hektar lahan untuk penanaman singkong yang
menghasilkan 592.358 ton singkong dan memiliki 31 perusahaan
menengah besar yang terdaftar di Dinas Pertanian, disamping
puluhan perusahaan menengah kecil yang merupakan industri
tapioka rakyat (Dinas Pertanian Lampung Timur, 2004).
Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
4
Profil Usaha
Ubi kayu atau singkong merupakan bahan baku utama industri
tapioka. Di Propinsi Lampung, pabrik tapioka dapat mengolah
sekitar 4000-5000 ton perhari. Kabupaten Lampung Timur
merupakan salah satu wilayah penghasil utama singkong. Tabel
berikut ini menyajikan perkembangan luas areal dan jumlah
produksi pada tahun 2003.
Tabel 2.1: Luas Areal dan Jumlah Produksi Singkong
Kecamatan Luas(hektar)
Produksi(ton)
Metro Kibang
512
9,417
Batanghari
344
11,325
Sekampung
710
9,375
Marga Tiga
2,755
30,488
Sekampung Udik
1,468
28,207
Jabung
1,433
13,978
Pasir Sakti
98
1,140
Waway Karya
919
11,450
Labuhan Maringgai
563
5,003
Mataram baru
325
4,973
Bandar SriBawono
616
10,792 Melinting
5
578 9,042
Gunung Pelindung
55
1,838
Way Jepara
485
6,350
Braja Selebah
515
8,025
Labuhan Ratu
3,789
54,145
Sukadana
9,810 147,838
Bumi Agung
1,740
31,924
Batanghari Nuban
8,269 135,992
Pekalongan
936
8,858
Raman Utara
2,261
37,745
Purbolinggo
144
3,310
Way Bungur
639
11,183
Jumlah 38,964
592,398
Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur
Jumlah perusahaan tepung tapioka yang tercatat pada Dinas
Pertanian Lampung Timur saat ini sebanyak 31 perusahaan
dengan kapasitas 56.927,08 ton. Tabel 2.2. menyajikan
perusahaan tapioka di Kabupaten Lampung Timur dengan
kapasitas produksinya.
Tabel 2.2.: Perusahaan, Kapasitas Produksi, dan Sumber Dana
Kecamatan Nama Perusahaan Kapasitas(ton)
SumberDana
Batanghari PT Wira Kencana Adi Perdana
6,500.00 Swasta PT Eka Inti Tapioka Swasta
6
6,000.00
PT Sumber Agung
1,600.00 Swasta
Hendra Sumardi
1,350.00 Swasta
Sumber Maju
547.20 Swasta
Anugrah Jaya
547.20 Swasta
Sejahtera Mandiri
820.80 Swasta
Tohalo
410.40 Swasta
Kopastara n.a n.a
Pekalongan Ngudi Makmur
820.00 Swasta
Wahyu Utama
382.04 Swasta
Surya Perdana
383.04 Swasta
Warga Sehati I
339.00 Swasta
Warga Sukabumi
n.a Swasta
Warga Sehati II
665.00 Swasta
Sinar Metro
1,440.00 Swasta
Wonosari
630.00 Swasta
Mini Surya Pudana
1,200.00 Pembanguna
n
Sukadana Muara jaya n.a Swasta
Sido Rukun
638.40 Swasta
Rukun Santosa
912.00 Swasta
Sido Rukun
1,200.00 Pembanguna
n
Bumi Agung Harapan Sejahtera
684.00 SwastaLabuhan Ratu Surya Perdana Swasta
7
450.00
Lestari Jaya n.a-
Pembangunan
Way Jepara PT Bumi Acid 12,500.00 Swasta
Sekampung Udik PT Umas Jaya 15,084.00 Swasta
Raman Utara Sentral Intan n.a Swasta
Way Raman n.a Swasta
Waliyem
912.00 Swasta
Way Bungur Subur Jaya
912.00 SwastaJumlah 31 perusahaan 56,927.08
Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur
Dari tabel tersebut diketahui sebagian besar sumber
pendanaan usaha berasal dari swasta. Sumber pendanaan yang
berasal dari pembangunan merupakan dana pemerintah yang
disalurkan melalui dinas pertanian.
Sementara industri tapioka yang disurvei belum tercatat di
Dinas Pertanian Lampung Timur. Industri tapioka tersebut
tergabung pada asosiasi industri tapioka rakyat yaitu
Industri Tapioka Rakyat atau ITTARA Mandiri. Sumber
pendanaan industri tapioka yang tergabung pada ITTARA
Mandiri dari perbankan yaitu BRI, Bank Mandiri, kemitraan
dan Pertamina.
Pola Pembiayaan Pengolahan Tapioka
8
Dalam menjalankan usaha pengolahan tapioka, sumber modal
pengusaha terdiri dari modal sendiri, kredit perbankan dan
Pertamina. Pembiayaan yang berasal dari perbankan meliputi
kredit modal kerja dan investasi. Untuk modal investasi,
pengusaha wajib memiliki 30% modal investasi dan pihak bank
membiayai 70% modal investasi. Tingkat bunga kredit yang
disalurkan perbankan di Wilayah Lampung Timur adalah 13%
(Bank Mandiri) dan 22% (BRI) per tahun dengan sistem
angsuran bulanan, dengan jangka waktu 12 bulan dengan
pembayaran efektif menurun. Tingkat bunga kredit yang
diperoleh dari BUMN sebesar 6% per tahun dengan jangka waktu
12 bulan, angsuran per bulan dengan pinjaman maksimal 50
juta.
Usaha pengolahan singkong di wilayah Lampung Timur telah
banyak dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, Dinas
Pertanian Lampung Timur telah mengeluarkan kebijakan tentang
harga beli bahan baku di tingkat petani, namun Dinas
Industri dan Perdagangan Lampung Timur belum memiliki
peraturan khusus yang mengatur perdagangan tapioka terutama
kebijakan mengenai harga jual, standar produk serta
pemasaran tepung tapioka
9
Aspek Pemasaran
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
Permintaan dan Penawaran Tepung Tapioka
(1). Pasar Dalam Negeri
Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat
karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan
bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar hasil
produksi tapioka hanya mampu memenuhi kebutuhan beberapa
wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu
dan Tasikmalaya.
Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata
15 sampai 16 juta ton tapioka dari industri tapioka yang
berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi
tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta
ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10%
per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat
memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat
10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi
dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan
produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. (foodmarketexchange.com).
Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan
permintaan tapioka di Indonesia.
10
Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih
pasar Asia dan Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan baku
serta tenaga yang murah menyebabkan produk Indonesia mampu
bersaing dalam harga.
(2). Pasar Ekspor
Ekspor tapioka Indonesia telah menjangkau berbagai negara di
Asia dan Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea (54%) dan
Cina (30%) dari total ekspor (Tabel 3.1). Luasnya negara
tujuan ekspor di beberapa negara Asia dan Eropa menunjukkan
bahwa ekspor komoditi ini sangat potensial.
Tabel 3.1. Ekspor Tapioka Indonesia Tahun 1997
Negara Tujuan Total Ekspor (DariBerbagai Bentuk) (kg)
Nilai Ekspor(FOB) (US$)
Korea 120.797.083 12.125.792Cina 67.502.292 5.473.891Belanda 20.400.000 1.371.550Malaysia 2.342.962 436.884Jerman 4.500.000 328.000Swiss 3.000.000 165.000Jepang 762.000 154.570Pilipina 558.000 107.884Taiwan 570.000 85.500Inggris 26.600 57.399Singapura 247.000 53.106Vietnam 697.920 41.875
Sumber: Biro Pusat Statistik 1997
(3). Penawaran
Seperti dikemukakan pada bab sebelumnya, produksi tepung
tapioka di Lampung Timur pada tahun 2003 mencapai 56 927,08
11
ton (yang tercatat pada Dinas Pertanian) di mana produksi
tersebut belum mampu memenuhi pasar dalam negeri.
Selain Kabupaten Lampung Timur terdapat beberapa daerah
produksi tapioka lainnya seperti Lampung Tengah, Jawa barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Sulawesi. Wilayah nusantara
yang subur dan tanaman singkong yang mudah tumbuh
menyebabkan potensi pengolahan tepung tapioka semakin
terbuka lebar.
Persaingan dan Peluang Pasar
Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah
Thailand. Produksi rata-rata tapioka Indonesia mencapai 15-
16 ton, sedangkan Thailand 30 juta ton tapioka pertahun dan
Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta ton tapioka
per tahun.
Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang
akan memberikan dampak positif terhadap produk pertanian
Indonesia, termasuk industri tapioka. Ditinjau dari segi
harga dan kualitas, tapioka Indonesia dapat bersaing dengan
Thailand. Sebagaimana diungkapkan foodmarketexchange.com,
bahwa tapioka Indonesia merupakan salah satu ancaman bagi
pasar tapioka Thailand.
Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka
terutama pasar Eropa seperti Spanyol, Belanda, Jerman,
12
Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar dalam negeri yang
sampai saat ini belum dapat terpenuhi.
Harga
Harga tepung tapioka ditentukan oleh kualitas tepung tapioka
dan harga bahan baku, yakni singkong. Kualitas tepung yang
baik adalah tepung tapioka yang berwarna putih dan empuk. Di
Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah survei regulasi
yang mengatur perdagangan singkong dan tepung tapioka belum
ada sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan harga yang
lebar pada tingkat produsen dan petani.
Harga singkong di tingkat petani Rp 80,- per kilogram,
sementara industri tepung tapioka mampu membeli singkong
dengan harga antara Rp 165 hingga Rp 225 per kilogram.
Regulasi tersebut dimaksudkan agar petani sebagai produsen
bahan baku dapat membiayai dan tetap melangsungkan usahanya.
Sementara regulasi perdagangan tapioka dimaksudkan agar
terjadi kestabilan harga. Penurunan harga tapioka ditingkat
produsen di Kabupaten Lampung Timur tersebut disebabkan oleh
tidak adanya regulasi perdagangan tapioka. Pedagang
perantara memiliki peran yang signifikan terhadap penentuan
harga tersebut.
13
Tabel 3.2. menunjukkan perkembangan harga tepung tapioka ditingkat produsen dengan kualitas baik mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhirini.
Tabel 3.2 Perkembangan Harga Tapioka
Tahun Harga (Rp/kg)2004
525 – 1.3002003 800 – 1.6002002 1.350 – 1.7002001 1.700 – 1.800
Sumber: Data primer, diolah
Harga tepung tapioka Rp 525 sampai Rp 1.300 per kilogram di
tingkat pengusaha, sedangkan harga rata-rata Rp 800 sampai
Rp 900 per kg, dan harga pada tingkat konsumen akhir
mencapai Rp 2.300,- per kilogram.
Jalur Pemasaran Produk
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil survei,
jalur pemasaran produk tapioka di Lampung Timur masih
sederhana. Alur pemasaran tapioka tersebut dapat dilihat
pada bagan berikut ini:
Bagan 3.1: Alur Pemasaran Produk
Sumber: Data Primer
Dalam memasarkan tapioka, pengusaha menjual ke pedagang
perantara yang kemudian dijual ke pengepul. Dari pengepul
14
tersebut, tapioka didistribusikan ke pasar di Jawa, industri
pengolahan yang menggunakan bahan baku tapioka dan pedagang
pengecer di pasar.
Kendala Pemasaran
Salah satu kendala pemasaran tapioka terletak pada minimnya
informasi mengenai harga dan jumlah permintaan pasar yang
dapat diperoleh pengusaha. Selain tidak memiliki informasi
pasar yang sempurna, belum adanya regulasi mengenai
perdagangan seperti standar produk dan pemasaran juga
menjadi kendala usaha ini.
Disamping itu, mutu bahan baku juga menentukan kualitas
tapioka. Kualitas bahan baku sering tidak selalu baik,
karena masih banyak petani yang menerapkan pola panen
singkong yang tidak optimal, di mana petani sering kali
memanen singkong lebih dini dari usia panen yang seharusnya
yakni singkong belum berumur 7 bulan. Padahal singkong yang
menghasilkan mutu tapioka yang baik berumur lebih dari 7
bulan. Menurunnya kualitas tapioka tersebut menyebabkan
rendahnya harga jual tapioka dan tepung tidak bertahan lama.
Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan pembinaan dari
peyediaan bahan baku sampai pada pemasaran produk. Dalam
peyediaan bahan baku diperlukan kemitraan antara petani dan
pengusaha agar ketersediaan dan kualitas bahan baku tetap
15
terjaga. Dalam hal pemasaran produk diperlukan regulasi dan
pembinaan akses pasar bagi pengusaha industri tapioka.
Aspek Produksi
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
Lokasi Usaha
Lokasi pengolahan tapioka sebaiknya dipilih wilayah yang
memiliki sumber air dan akses yang baik terhadap panas
matahari. Panas matahari merupakan faktor produksi yang
penting bagi industri pengolahan tapioka, dengan demikian,
lokasi usaha yang memiliki akses yang baik terhadap panas
matahari akan mendukung keberhasilan usaha pengolahan
tapioka, karena umumnya pengusaha kecil pada bidang
pengolahan tapioka belum mampu menyediakan teknologi
16
pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga sangat penting,
terutama untuk pencucian dan penyaringan tepung.
Fasilitas Produksi dan Peralatan
Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 30 ton singkong
per hari dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi
sebagaimana disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel. 4.1 Fasilitas dan Peralatan Produksi
No Asumsi Satuan Jumlah/nilai
1MesinPenggerak/Generator buah 2
2 Mesin Parut buah 23 Mesin Pompa buah 24 Mesin Ayakan buah 105 Bak Kaca M2 256 Bak Penampung buah 47 Alat Semprot buah 18 Saringan buah 109 Bambu buah 100010 Pipa set 111 Rak M2 1612 Tambir buah 10.00013 Mesin Induk buah 114 Timbangan buah 2
Sumber: Data Primer, diolah
Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan
peralatan produksi yang digunakan. Masing-masing peralatan
memiliki fungsi yang bebeda. Mesin induk merupakan mesin
yang menjadi pusat dari seluruh proses produksi.
Bahan Baku
17
Bahan baku tepung tapioka adalah singkong yang diperoleh
melalui pemasok. Singkong yang dipanen setelah berumur 7
sampai 10 bulan akan menghasilkan tapioka berkualitas baik.
Tenaga Kerja
Tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian
khusus. Jumlah tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas
produksi dan teknologi yang digunakan. Besarnya penyerapan
tenaga kerja pada industri pengolahan tapioka ditentukan
oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi semakin
besar jumlah tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang
dibutuhkan meliputi seluruh proses produksi dari pengupasan
sampai pada pengeringan produk.
Teknologi
Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi.
Tingkatan teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik
sederhana, semi modern, dan full otomate. Perbedaan
teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 4.2
berikut ini
Tabel 4.2 : Perbedaan Tekonologi Pengolahan Tapioka
Proses Tradisional Semi Modern FullOtomate
Pengupasan Manual Manual MesinPencucian Manual Manual MesinPemarutan Mesin Mesin MesinPemerasan Mesin Mesin Mesin
18
Pengendapan Manual Manual MesinPengeringan Sinar Matahari Oven Mesin
Sumber: Data Primer
Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan
teknologi mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian
proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan
pemarutan dan pengepresan, sedangkan pengeringan masih
mengandalkan bantuan sinar matahari.
Proses Produksi Tepung Tapioka
1. Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan
untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama
pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih
singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya.
Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi
tapioka dan dijadikan pakan ternak.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan
meremas-remas singkong di dalam bak yang berisi air,
yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong.
Foto 4.1 : Pencucian Singkong
19
3. Pemarutan
Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan
memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya.
b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator
4. Pemerasan/Ekstraksi
Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan
cara manual menggunakan kain saring, kemudian
diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang
diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam
ember.
b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang
(sintrik). Bubur singkong diletakkan di atas
saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat
saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan
20
air melalui pipa berlubang. Pati yang dihasilkan
ditampung dalam bak pengendapan.
Foto 4.2: Pemerasan/Pengepresan
5. Pengendapan
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan
selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan
dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.
Foto 4.3: Tepung hasil endapan yang siap dikeringkan
21
6. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan
dengan cara menjemur tapioka dalam nampan atau widig
atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak bambu
selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka
yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19%.
Foto 4.4: Pengeringan tapioka dengan sinar matahari
Jenis dan Mutu Produksi
22
Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas,
dibutuhkan singkong yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu
singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan.
Foto 4.5: Tepung Tapioka
Produksi Optimal
Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas
bahan baku. Dengan kualitas bahan baku yang baik, satu ton
singkong dapat menghasilkan 400 kilogram tapioka dan 160
kilogram onggok.
Kendala Produksi
Kendala dalam industri pengolahan singkong ini adalah
ketersediaan bahan baku. Ketersediaan bahan baku sangat
penting karena apabila terjadi kelangkaan bahan baku maka
produksi akan macet. Untuk itu, kemitraan dengan petani
sebagai pemasok bahan baku sangat diperlukan. Disamping
23
untuk menjamin ketersediaan bahan baku, kemitraan ini juga
untuk menjamin kualitas bahan baku.
Aspek Keuangan
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
Pemilihan Usaha
Usaha pengolahan tapioka harus memperhatikan ketersediaan
bahan baku, musim dan modal. Untuk usaha yang menggunakan
mesin pengering, faktor alam seperti sinar matahari dan
musim tidak menjadi kendala yang berarti, namun baik
teknologi sederhana, semi modern maupun full otomate faktor
ketersediaan air harus tetap diperhatikan. Usaha pengolahan
tepung tapioka di Indonesia masih potensial untuk
dilaksanakan karena Indonesia masih memiliki lahan yang
potensial untuk penanaman singkong, sehingga ketersediaan
bahan baku untuk industri tapioka dapat terjamin. Disamping
itu, industri pengolahan tapioka dapat dilakukan dengan
teknologi yang sederhana dan tidak membutuhkan tenaga kerja
yang memiliki keahlian khusus.
Asumsi
24
Analisis keuangan suatu proyek terdiri dari proyeksi
penerimaan dan pengeluaran selama periode proyek. Analisis
keuangan perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai
pendapatan dan biaya, kemampuan melunasi kredit dan
kelayakan proyek.
Penyusunan analisa keuangan dalam buku ini menggunakan
beberapa asumsi yang didasarkan pada hasil pengamatan
lapangan serta masukan dari instansi terkait seperti Dinas
Pertanian dan Dinas Perdagangan serta referensi yang
mendukung dalam penentuan parameter yang digunakan. Tabel
5.1. menyajikan asumsi dan parameter yang digunakan dalam
analisis keuangan.
Tenaga kerja tetap, termasuk di dalamnya tenaga kerja
manajerial, berjumlah 6 orang dengan upah Rp 750.000 per
orang per bulan. Dari hasil survai, pemilik usaha kecil
pengolahan tapioka sekaligus bertindak sebagai tenaga
manajerial yang gajinya sama dengan tenaga kerja tetap.
Tabel 5.1 : Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan
No Asumsi Satuan Jumlah/Nilai1 Periode proyek tahun 52 Luas tanah hektar 33 Hari kerja per bulan hari 25
- Bulan kerja per tahun bulan 12 - Hari kerja tenaga borongan hari 3004 Produksi dan Harga
- Kapasitas maksimum per hari ton 30
25
- Produksi per bulan ton 195 - Produksi per tahun ton 2.340 - Harga tapioka per ton Rp 900.000 - Produksi Onggok per bulan ton 62 - Harga onggok Rp/ton 300.0005 Rendemen per ton bahan baku
- Tapioka % 25% - Onggok % 8%6 Penggunaan tenaga kerja
- Tenaga Manajerial orang - Tenaga kerja tetap orang 6 - Tenaga kerja borongan orang 207 Upah tenaga kerja per hari
- Tenaga Manajerial Rp/org - Tenaga kerja tetap Rp/org 25.000 - Tenaga kerja borongan Rp/org 15.0008 Bahan baku per bulan ton 7809 Harga bahan baku Rp/ton 195.00010 Discount factor/suku bunga % 13%
Sumber : Lampiran 1
Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional
a. Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya tetap (fixed cost) untuk
melakukan pengolahan tepung tapioka. Biaya investasi
industri pengolahan tapioka meliputi perizinan, sewa tanah
dan bangunan, mesin dan peralatan.
Jumlah biaya investasi yang dibutuhkan pada tahun ke-0
sebesar Rp 265.000.000. Selama periode proyek, terdapat
26
beberapa komponen biaya investasi yang harus melakukan
reinvestasi pada tahun-tahun berikutnya, antara lain sewa
tanah dan bangunan serta peralatan lain seperti kain
saringan, bambu, dan tambir.
Tabel 5.2: Komponen Biaya Investasi Pengolahan tapioka
No Jenis Biaya Nilai Penyusutan
1 Perijinan
- 0
2 Sewa tanah dan bangunan
30.000.000 03 Mesin/Peralatan 235.000.000 40.369.048
Jumlah 265.000.000 40.369.0484 Sumber dana investasi dari % Rp
Kredit 70% 185.500.000 Dana sendiri 30% 79.500.000
Sumber : Lampiran 2
b. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya tidak tetap (variable
cost) yang besarnya tergantung pada jumlah produk. Komponen
biaya operasional dalam pengolahan tapioka ini meliputi
biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead. Tabel
5.3. menunjukkan biaya operasional yang dibutuhkan untuk
industri pengolahan tapioka ini.
Tabel 5.3: Biaya Operasional Pengolahan Tapioka
No Input Satuan Jumlah Harga (persatuan)
Nilai perbulan Nilai per th
1 Tenaga Kerja
27
a. tetaporang/bln 6 750.000 4.500.000 54.000.000
b. tidak tetap orang/
bln20 15.000 7.500.000 90.000.000
Sub Jumlah 12.000.000 144.000.0002 Bahan Baku a. Singkong ton 780 195.000 152.100.000 1.825.200.000 Sub Jumlah 152.100.000 1.825.200.0003 Biaya Overhead
a. solar liter/
hari25 1.850 1.156.250 13.875.000
b. Listrik bulan 1 400.000 400.000 4.800.000 c. Telpon Bulan 1 2.000.000 2.000.000 24.000.000 Sub Jumlah 3.556.250 42.675.0004 Transportasi 5 Penjualan output ton/
bulan195 10.000 1.950.000 23.400.000
Perbaikan dan Pemeliharaan alat
bulan 1 250.000 250.000 3.000.000
Jumlah Total Biaya 169.856.250 2.038.275.000
Sumber : Lampiran 3
Total biaya operasional yang dibutuhkan pada tahun pertama
sejumlah Rp 2.038.275.000. Biaya variabel pada tahun
selanjutnya diasumsikan konstan karena kapasitas mesin yang
tetap, biaya bahan baku merupakan harga yang telah
disepakati antara petani, Pemerintah Daerah dan pengusaha.
Jumlah tenaga kerja tidak tetap yang terlibat dalam usaha
ini tergantung pada kapasitas mesin dan jumlah produksi
sedangkan upah tenaga kerja tetap tidak mengalami kenaikan
karena menyesuaikan dengan upah minimum propinsi.
Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja
28
Dana yang dibutuhkan untuk usaha pengolahan tapioka terdiri
dari modal investasi dan modal kerja, komposisi dana
tersebut seperti disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Kebutuhan Modal Kerja dan Investasi
No Rincian Biaya Proyek Total Biaya1 Dana investasi yang bersumber dari
a. Kredit 185.500.000 b. Dana sendiri 79.500.000 Jumlah dana investasi 265.000.000
2 Dana modal kerja yang bersumber dari a. Kredit 76.435.313 b. Dana sendiri 178.349.063 Jumlah dana modal kerja 254.784.375
3 Total dana proyek yang bersumber dari a. Kredit 261.935.313 b. Dana sendiri 257.849.063
Jumlah dana proyek 519.784.375
Sumber : Lampiran 5
Pada tabel 5.4 menunjukkan rincian kebutuhan dana untuk
investasi dan modal kerja dalam setahun. Untuk investasi
dibutuhkan dana sebesar Rp 265.000.000. Untuk kredit
investasi bank mensyaratkan perbandingan: 70% persen kredit
bank dan 30% persen dana sendiri. Dengan perbandingan
tersebut, kredit investasi yang dibutuhkan adalah Rp
185.500.000 sedangkan dana sendiri untuk investasi sebesar
Rp 79.500.000.
Untuk modal kerja dibutuhkan dana sebesar Rp 254.784.375
dengan perbandingan 30% kredit bank dan 70% dana sendiri.
29
Dengan perbandingan tersebut, kredit modal kerja yang
dibutuhkan adalah sebesar Rp 76.435.313 sedangkan dana
sendiri untuk modal kerja sebesar Rp 178.349.063.
Berikut ini adalah asumsi yang digunakan untuk penghitungan
angsuran kredit untuk usaha ini, baik angsuran pokok maupun
angsuran bunga.
Jangka waktu pinjaman selama 4 tahun
Bunga 13%, per tahun dengan sistem perhitungan efektif
menurun
Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan
Tabel 5.5 Angsuran Pokok dan Angsuran Bunga
Tahun Kredit Angsuran Angsuran Total Saldo SaldoPokok Bunga Angsuran Awal Akhir
0 261.935.31
3 261.935.313 261.935.313
1 122.810.31
3 26.734.143 149.544.455 261.935.313 139.125.0002 46.375.000 15.323.073 61.698.073 139.125.000 92.750.0003 46.375.000 9.294.323 55.669.323 92.750.000 46.375.0004 46.375.000 3.265.573 49.640.573 46.375.000 0
Sumber : Lampiran 6
Produksi dan Pendapatan
Output usaha pengolahan tapioka adalah onggok dan tepung
tapioka. Dari penjualan output tersebut diperoleh pendapatan
sebesar Rp 2.330.640.000 yang diperoleh dari produksi tepung
tapioka sebanyak 2.340 ton per tahun dengan harga jual Rp
30
900/kg dan 749 ton per tahun onggok dengan harga jual Rp
300/kg. Proyeksi pendapatan dan biaya selengkapnya bisa
dilihat di lampiran 4 dan 7.
Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point
Proyeksi laba rugi menunjukkan bahwa pada tahun pertama
usaha pengolahan tapioka mampu memperoleh laba sebesar Rp
87.083.772 dengan rata-rata profit margin tiap tahun sebesar
6,88% per tahun dan BEP rata-rata Rp 826.499.976 atau BEP
produksi rata-rata 918 ton. Tabel 5.6. menyajikan proyeksi
laba/rugi per tahun dari usaha pengolahan tapioka.
31
Tabel 5.6 : Proyeksi Rugi/Laba Per Tahun
No Uraian T A H U N1 2 3 4 5 Jumlah
1 Pendapatan2.330.640.0
002.330.640.
0002.330.640.0
002.330.640.
0002.330.640.
00011.653.200.
000 2 Pengeluaran
a. Biaya operasional
2.038.275.000
2.038.275.000
2.038.275.000
2.038.275.000
2.038.275.000
10.191.375.000
b. Penyusutan 40.369.048 40.369.048 40.369.048 40.369.048 40.369.048 201.845.238
c.Angsuran pokok 122.810.313 46.375.000 46.375.000 46.375.000 261.935.313
d.Bunga bank 26.734.143 15.323.073 9.294.323 3.265.573 54.617.112
Jumlah2.228.188.5
032.140.342.
1212.134.313.3
712.128.284.
6212.078.644.
04810.709.772.
662
Laba sebelum pajak 102.451.497
190.297.879 196.326.629
202.355.379
251.995.952 943.427.338
e. Pajak % 15.367.725 28.544.682 29.448.994 30.353.307 37.799.393 141.514.101
3 Laba rugi 87.083.772161.753.19
8 166.877.635172.002.07
3214.196.56
0 801.913.237
4Profit margin 15% 3.74% 6.94% 7.16% 7.38% 9.19% 6.88%
BEP (nilai penjualan)
1.513.929.528
813.646.346 765.587.084
717.527.823
321.809.099
4.132.499.8
80
32
BEP (produksi ) 1.682 904 851 797 358
4.592
BEP Rp/ton berdasarkan
- Biaya operasional 871.058 871.058 871.058 871.058 871.058 871.058
- Total biaya 952.217 914.676 912.100 909.523 888.309 915.365 BEP rata-rata
- Nilai penjualan (Rp) 826.499.976
- Produksi (ton) 918
Sumber : Lampiran 8
33
Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek
Arus kas usaha pengolahan tapioka ini dapat dilihat pada
lampiran 9. Dalam analisis kas dilakukan perhitungan Net
Benefit/Cost Ratio (Net B/C Ratio), Net Present Value (NPV),
Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Period (PBP).
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengolahan tapioka
merupakan usaha yang menguntungkan karena pada tingkat bunga
13% per tahun, net B/C ratio 1,81 dan NPV Rp 373.307.965,-
dan IRR sebesar 39,63% artinya proyek ini layak dilaksanakan
sampai tingkat bunga pinjaman sebesar 39,63%.
Tabel 5.7 Kelayakan Pengolahan Tapioka
No Kriteria Kelayakan Nilai
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,722 NPV pada DF 13% (Rp) 373.307.9653 IRR (%) 39,634 PBP (usaha) 3 tahun 3
bulan5 PBP (kredit) 1 tahun 9
bulan
Sumber : Lampiran 9
Dari hasil analisis kelayakan keuangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa semua biaya investasi yang ditanamkan pada
usaha ini akan kembali pada tahun ke-3, pendapatan tahun ke-
4 dan selanjutnya merupakan pendapatan bersih. Sementara,
berdasarkan jumlah kredit usaha tersebut, investasi yang
ditanam akan kembali pada tahun kedua
Analisis Sensitivitas Kelayakan Proyek
Proyeksi penerimaan dan biaya didasarkan pada asumsi dan
proyeksi yang memiliki ketidakpastian. Untuk itu diperlukan
analisis sensitivitas untuk menguji seberapa jauh proyek
yang dilaksanakan sensitif terhadap perubahan harga input
maupun output, kesalahan dalam pembangunan sarana fisik dan
operasional ataupun kelemahan estimasi produksi.
Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan menggunakan 3
skenario yaitu:
1. Skenario I
Pendapatan mengalami penurunan sebesar 3% dan 4%,
sedangkan biaya investasi dan biaya operasional tetap.
Penurunan pendapatan dapat terjadi karena harga jual
tepung tapioka mengalami penurunan atau jumlah produksi
tidak tercapai.
2. Skenario II
Biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 4% dan 5%,
sedangkan biaya investasi dan pendapatan dianggap
tetap. Kenaikan biaya operasional dapat terjadi apabila
harga input meningkat. Dalam hal ini komponen terbesar
adalah bahan baku, maka biaya operasional sensitif
terhadap kenaikan bahan baku singkong.
35
3. Skenario III
Skenario ini merupakan gabungan dari skenario I dan II
yaitu diasumsikan pendapatan menurun sebesar 2% dan 3%
dan pada saat yang sama biaya operasional mengalami
kenaikan sebesar 2% dan 3%, sedangkan biaya investasi
dianggap tetap.
Hasil analisis terhadap ketiga skenario di atas diringkas
pada tabel berikut ini.
Tabel 5.8 Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario I
No Kriteria Kelayakan Penerimaan Turun3% 4%
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,25 1,09
2 NPV pada DF 13% (Rp) 127.385.969 45.411.9713 IRR (%) 22,56 16,484 PBP (usaha) 4 tahun 3
bulan6 tahun 1bulan
5 PBP (kredit) 2 tahun 11bulan
3 tahun 11bulan
Sumber : Lampiran 10 dan Lampiran 11
Tabel 5.9 Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario II
No Kriteria Kelayakan Biaya Operasional Naik4% 5%
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,17 1,03
2 NPV pada DF 13% (Rp) 86.544.583 14.853.7383 IRR (%) 19,56 14,154 PBP (usaha) 4 tahun 9
bulan6 tahun 2bulan
5 PBP (kredit) 3 tahun 4bulan
3 tahun 8bulan
36
Sumber : Lampiran 12 dan Lampiran 13
Tabel 5.10 Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario III
No Kriteria KelayakanPenerimaan Turun dan biaya
naik2% 3%
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,13 0,83
2 NPV pada DF 13% (Rp) 65.978.277 (87.686.567)3 IRR (%) 18,03 5,994 PBP (usaha) 4 tahun 11
bulan6 tahun 9bulan
5 PBP (kredit)3 tahun 7 bulan
5 tahun 3bulan
Sumber : Lampiran 14 dan Lampiran 15
Pada skenario I, pada saat pendapatan turun sebesar 3%
dengan tingkat bunga 13%, diperoleh Net B/C Ratio lebih
besar dari satu, NPV positif dan IRR mencapai 22,56%. Dapat
disimpulkan bahwa pada penurunan pendapatan sebesar 3%
proyek tersebut layak dilaksanakan. Pada penurunan
pendapatan sebesar 4%, diperoleh Net B/C Ratio sebesar 1,09,
NPV Rp 45.411.971,-, IRR 16,48%. Jika dilihat dari kriteria
investasi, penurunan pendapatan sebesar 4% ini usaha
pengolahan tapioka masih layak dilaksanakan. Tetapi jika
dilihat dari jangka waktu pengembalian investasi, usaha ini
tidak layak dilaksanakan karena payback periodnya melebihi
periode proyek yang hanya 5 tahun.
Pada skenario II, biaya operasional mengalami kenaikan
dengan asumsi biaya investasi dan pendapatan tetap. Pada
kenaikan biaya operasional sebesar 4%, diperoleh Net B/C
37
Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan IRR mencapai
19,56%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan suku
bunga 13%, pada kenaikan biaya operasional sebesar 4% proyek
ini masih layak dilaksanakan. Pada kenaikan biaya mencapai
5% proyek ini tidak layak dilaksanakan karena Payback period
melebihi umur proyek dengan jangka waktu pengembalian
investasi selama 6 tahun 2 bulan.
Pada skenario III, diasumsikan terjadi penurunan pendapatan
dan kenaikan biaya operasional. Pada penurunan dan kenaikan
biaya operasional masing-masing sebesar 2%, proyek tersebut
masih layak dilaksanakan, karena pada saat suku bunga 13%
Net B/C ratio lebih dari satu dan NPV positif serta IRR
mencapai 18,03%. Namun bila penerimaan dan biaya naik
sebesar 3%, maka proyek ini tidak layak dilaksanakan karena
IRR lebih kecil dari suku bunga yaitu 5,99% dan PBP melebihi
umur proyek.
Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa
pengolahan tapioka merupakan proyek yang menguntungkan,
karena banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari proyek
ini, antara lain petani, masyarakat dan pengusaha. Di
samping memiliki manfaat sosial, usaha pengolahan tapioka
ini juga memiliki manfaat ekonomi yang cerah di masa
mendatang sehingga usaha ini layak mendapatkan pembiayaan
dari perbankan.
38
Aspek Sosial Ekonomi
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
Dilihat dari aspek ekonomi dan sosial, usaha pengolahan
tapioka memiliki dampak yang positif. Banyak pihak yang
memperoleh manfaat dari usaha ini, diantaranya adalah petani
singkong, masyarakat, dan pengusaha itu sendiri. Pihak-pihak
yang terkait tersebut dapat memperoleh kenaikan penghasilan
dari usaha tersebut. Dampak lain selain kenaikan pendapatan
adalah bahwa usaha pengolahan tapioka mampu menyerap tenaga
kerja. Tenaga kerja pengolahan tapioka diperoleh dari
masyarakat sekitar sehingga secara tidak langsung mengurangi
jumlah pengangguran.
39
Aspek Dampak Lingkungan
Usaha pengolahan tepung tapioka ini menghasilkan limbah
padat, cair dan udara. Sebagian limbah ini ada yang dapat
dimanfaatkan lagi secara ekonomis. Limbah padat atau sering
disebut onggok merupakan bahan baku pembuat saus dan obat
nyamuk bakar. Limbah padat yang lain adalah kulit singkong
yang banyak dimanfaat untuk pupuk dan pakan ternak. Limbah
40
cair dari usaha ini digunakan untuk mengairi sawah sekitar
lokasi pabrik sehingga keberadaan industri tepung tapioka
ini sangat bermanfaat bagi petani. Polusi udara yang
dihasilkan tidak mengganggu masyarakat karena terletak jauh
dari pemukiman masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak ada limbah dari usaha pengolahan tapioka ini
yang merugikan baik makhluk hidup maupun lingkungan yang
tinggal di sekitarnya.
Kesimpulan - PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA
41
Kesimpulan
1. Peluang pasar komoditi tepung tapioka baik untuk ekspor maupun
pemenuhan dalam negeri masih terbuka dan berpotensi memberikan
peluang bagi pengembangan dan peningkatan produksi tapioka di
Indonesia. Dilihat dari potensinya, sumber daya lahan dan sumber
daya manusia untuk pengembangan produksi tapioka di Indonesia
masih banyak tersedia di berbagai daerah.
2. Kendala yang dihadapi oleh pengusaha dalam pengembangan usaha
tapioka antara lain masalah bahan baku dan pemasaran tapioka.
Masalah bahan baku disebabkan oleh harga jual singkong dari petani
yang rendah sehingga petani tidak dapat membiayai usaha penanaman
singkong, sedangkan masalah pemasaran tapioka disebabkan oleh
minimnya informasi yang diperoleh pengusaha mengenai harga dan
jumlah permintaan pasar.
3. Kredit usaha yang dibutuhkan meliputi kredit modal kerja dan
kredit investasi. Jumlah kredit modal kerja sebesar Rp 76.435.313,
dan kredit investasi sebesar Rp 185.500.000.
4. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan menunjukkan
bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan penerimaan sampai
dengan 4%, dengan asumsi biaya investasi dan operasional adalah
tetap. Pada tingkat penurunan penerimaan tersebut proyek ini tidak
layak untuk dilaksanakan.
5. Analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya operasional
menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap kenaikan biaya
operasional sampai dengan 5%, dengan asumsi biaya investasi dan
penerimaan adalah tetap. Pada tingkat kenaikan biaya operasional
tersebut proyek ini tidak layak untuk dilaksanakan.
6. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan sekaligus
kenaikan biaya operasional menunjukkan bahwa proyek ini sensitif
terhadap penurunan penerimaan dan kenaikan biaya operasional
sampai dengan 3%, dengan asumsi biaya investasi tetap. Pada
42
tingkat penurunan penerimaan sekaligus kenaikan biaya operasional
sebesar 3%, proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
7. Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan
tapioka merupakan proyek yang menguntungkan, karena banyak pihak
yang mendapatkan manfaat dari proyek ini, antara lain petani,
masyarakat dan pengusaha. Disamping secara sosial memiliki
manfaat, secara ekonomi usaha ini juga memiliki masa depan yang
cerah dan layak dibiayai perbankan.
Saran
1. Untuk menjaga kestabilan harga baik harga bahan baku dan harga
tapioka pengusaha harus mengoptimalkan fungsi asosiasi atau
perkumpulan pengusaha tepung tapioka.
2. Untuk menjaga ketersediaan bahan baku dan keberlangsungan usaha,
setiap pengusaha diharapkan bermitra dengan petani, dengan
memberikan perhatian terhadap masalah penanaman ubi yang
menentukan kualitas tapioka dengan menyertakan pemberian pupuk
organik di samping pupuk anorganik (seperti urea) dan
mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah serta memperhatikan
umur tanam ubi.
3. Meskipun usaha ini layak dibiayai oleh bank, namun bank perlu
untuk melakukan analisis kredit yang lebih komprehensif
berdasarkan prinsip kehati-hatian bank.
43