prosiding seminar nasional mipa 2017

594

Upload: khangminh22

Post on 14-Mar-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 ii

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL MIPA 2017

“Menguatkan Fundamental Research dan Pembelajaran MIPA

untuk Kemanusiaan dan Peradaban”

Auditorium II Kampus III UIN Walisongo Semarang, 21 Oktober 2017

ISBN : 978-602-51531-0-5

Diselenggarakan oleh: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Telp. (024)76433366, Fax.76433366 http://semnasmipa2017.walisongo.ac.id/ , email: [email protected]

iii Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PROSIDING SEMINAR NASIONAL MIPA 2017

“Menguatkan Fundamental Research dan Pembelajaran MIPA untuk Kemanusiaan dan Peradaban”

Panitia Pelaksana: Dr. Ruswan, MA Dr. Lianah, M.Pd. Ismail, M.Ag. Dr. Hamdani Mu’in, M.Ag. Dr. Hamdan Hadi Kusuma, M.Sc. R. Arizal Firmansyah, S.Pd., M.Si. Mujiasih, S.Pd.,M.Pd. Wenty Dwi Yuniarti, S.Pd., M.Kom. M. Ardhi Khalif, M.Sc. Mulyatun, M.Si. Emy Siswanah, S.Pd., M.Si. Agus Sudarmanto, M.Si. Teguh Wibowo, M.Pd. Aini Fitriyah, M.Sc. Rusmadi, M.Si. M. Izzatul Faqih, S.Pd. M.Pd. Ulya Lathifa, S.Pd.,M.Pd. Ulliya Fitriani, S.Pd., M.Pd. Reviewer: Ardhi Prabowo, S.Pd., M.Pd. Budi Cahyono, S.Pd.,M.Si. Atik Rahmawati, S.Pd., M.Si. Andi Fadllan, S.Si., M. Sc. Siti Mukhlishoh Setyawati, M. Si

Editor: Widyastuti, Hamdan Hadi K., Hesti Khuzaimah N.Y., Qisthi Fariyani, Saifullah Hidayat, Biaunik Niski K., Anita Fibonacci Diterbitkan oleh: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Telp. (024)76433366, Fax.76433366 http://semnasmipa2017.walisongo.ac.id/ , email: [email protected]

DAFTAR ISI

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 iv

PENDIDIKAN FISIKA PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Ahmad Fatih Musyarrof, Agus Yulianto, Budi Astuti

Analisis Kemampuan Representasi Gambar pada Pokok Bahasan Gerak Parabola

2-7

Ana Sofiana, Agus Yulianto, Budi Astuti

Analisis Kemampuan Representasi Mahasiswa Pendidikan Fisika dalam Menyelesaikan Materi Perkembangan Teori Atom

8-11

Ani Rusilowati, Edy Cahyono, Hartono

Penyiapan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Calon Guru Melalui Kegiatan Lesson Study dan Penerapan Konferensi 3-2-1

12-22

Arik Pujiyanti, Arsini, Sheilla Rully Anggita

Pengaruh Modul Fisika Berbasis Kearifan Lokal Materi Usaha dan Energi Terhadap Hasil Belajar Siswa

23-28

Cintia Agtasia Putri, Miftakhul Arzak, Agus Yulianto, Budi Astuti

Game Tebak Kartu Besaran Fisika Berbasis Android untuk Memotivasi Siswa Belajar Mandiri

29-34

Damar Sapta Jatmika, Agus Yulianto, Budi Astuti

Perbandingan Model Evaluasi Paper Based Test (PBT) dan Computer Based Test (CBT) di SMK Palapa Semarang

35-39

Farida Yuliani, Arsini, Dan Qisthi Fariyani

Integrasi Sains Islam dengan Pendekatan Saintifik untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP

40-44

Herwidhi Tri Prabowo, Agus Yulianto, Budi Astuti

Identifikasi Pemahaman Mahasiswa Tentang Konsep Teori Atom Bohr

45-50

Ika Desianna, Agus Yulianto, Budi Astuti

Analisis Kemampuan Literasi Sains Siswa Melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

51-56

Joko Budi Poernomo, Nathan Hindarto, Wiyanto, Supartono

Persepsi Pengampu Perkuliahan IPA Terhadap Pelaksanaan Evaluasi dan Hasil Belajar IPA Terintegrasi

57-62

Nihla Nurul Laili, Agus Yulianto, Dan Budi Astuti

Peningkatan Motivasi Belajar Siswa SMK Melalui Model Project Based Learning (PjBL)

63-66

PROSIDING SEMINAR NASIONAL MIPA 2017

DAFTAR ISI

v Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Noor Hidayah, Agus Yulianto, Budi Astuti

Pemahaman Fisika Kuantum Terhadap Visualisasi Foton dan Elektron

67-71

Qisthi Fariyani, Dewi Khariroh, Arsini

Instrumen Pilihan Ganda Empat Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Suhu dan Kalor

72-78

Raden Rohadi, Agus Yulianto, Budi Astuti

Pemahaman Mahasiswa Tentang Mekanika Kuantum dilihat dari Pemahaman Tentang Prinsip Ketidakpastian Heisenberg

79-82

Asriyadin, Siswanto, Yusiran

Melatihkan Keterampilan Berargumentasi melalui Kombinasi Pembelajaran Inkuiri dengan Kegiatan Argumentasi

83-88

Widi Astutik, Qisthi Fariyani, Hamdan Hadi Kusuma

Three-Tier Diagnostic Test untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Siswa SMA Materi Gerak Melingkar Beraturan

89-97

Aninditya Dwi Perwitasari

Pengembangan Tes Diagnostik Berbasis Web Pada Materi Termodinamika untuk Mengidentifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Siswa

98-104

Anisa Aulia Marantika, Agus Yulianto, Ian Yulianti

Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Penemuan Berbantuan CD Interaktif

105-110

Hasri Arlin Wuriyudani

Lintasan Belajar Siswa Dalam Permasalahan Suhu dan Kalor

111-118

Nenik Yuniarti, Agus Yulianto, Ian Yulianti

Pengembangan Metode Praktikum Berbantuan Analisis Video Tracker untuk Menentukan Nilai Viskositas Fluida

119-123

Susi Agung Purwaningtyas

Identifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Siswa SMP dengan Tes Diagostik Berbasis Web

124-127

Tina Anggraini, Agus Yulianto, Ian Yulianti

Model Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Video Pembelajaran pada Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah

128-133

Tuti Alawiyah, Agus Yulianto, Budi Astuti

Identifikasi Pemahaman Konsep Perkembangan Teori Atom pada Mahasiswa Pendidikan Fisika

134-138

DAFTAR ISI

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 vi

Vetti Nurkhabibah, Nadhifah, Edi Daenuri Anwar

Pengembangan Modul Fisika Kelas XI MA Bercirikan Integrasi Sains dan Islam pada Materi Usaha dan Energi, Hukum Kekekalan Energi Momentum, Impuls, dan Tumbukan

139-146

Budi Astuti, Candra Dewi, Sunyoto Eko Nugroho

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui Pembelajaran Discovery Learning Berbantuan Bahan Ajar Fisika Berbasis Pendekatan Saintifik

147-156

Restianingsih, Andi Fadllan

Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation (GI) Dan Literasi Sains Terhadap Penguasaan Konsep Materi Gerak Lurus (GL) SMP IT Robbani Kendal

157-164

Rini Prihestiyani Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta Didik Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournament) dalam Pembelajaran IPA Kelas IX MTS Negeri Penawangan

165-175

BIOLOGI PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Irma Rohmawati, Diah Aprilia, Nadya Fitriani, Roie Megeron

Pemaknaan Masyarakat Desa Karangmanggis Terhadap Upaya Konservasi Air di Desa Karangmanggis Boja Kendal

177-181

Amin Suyitno, Lianah, Kusrinah

Keanekaragaman Spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal

182-190

Mochamad Hadi, Rully Rahadian, Udi Tarwotjo

Rasio Serangga OPT dan Musuh Alaminya di Sawah Organik dan Sawah Anorganik

191-196

Dr. Sri Utami, M.S, Karyadi Baskoro

Komunitas Tumbuhan Penutup Tanah di Hutan Wisata Nglimut Gonoharjo Kendal

197-201

PENDIDIKAN BIOLOGI PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Nur Khoiri Pola Peningkatan Mutu Pembelajaran

Biologi Berbasis Manajemen Kurikulum di Madrasah Aliyah

341 - 358

DAFTAR ISI

vii Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Rochmayatun, Bunga Ihda Norra,

Miswari

Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) Berbasis Media Tebak Gambar Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI Materi Sistem Ekskresi di MAN Kendal Tahun Pelajaran 2016/2017

212-215

Yulistiana, Mashudi A, Giry Marhento

Pengaruh Pemanfaatan Website sebagai Sumber Belajar Terhadap Motivasi Belajar Mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

216-223

Ana Maulidatul Hasanah, Ismail, Siti Mukhlishoh S.

Pengembangan Modul Biologi Bernilai Islam Materi Sistem Reproduksi pada Manusia untuk SMA/MA Kelas XI Semester Genap

224-230

Saiful Ridlo, Retno Sri Iswari, Ibnul Mubarok

Pengembangan Applikasi Android Biotracerstudy Berbasis Borang Akreditasi Institusi Program Studi BAN-PT

231-238

Rinto

Penerapan Self Assesment untuk Mengungkap Kemampuan Inquiry Siswa pada Praktikum Sel Tumbuhan

239-250

Nur Khasanah

Implementasi Pembelajaran Bioteknologi Berbasis Unity Of Sciences

251-261

Atsni Wahyu Lestar, Dr. Lianah, M.Pd Saifullah Hidayat

Pengembangan Modul Pembelajaran Biologi Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Wisata Goa Kreo Pada Materi Ekosistem Kelas X SMA Negeri 16 Semarang

262-266

Rukayah, Maria Ulfah

Biodeversitas Lokal Hewan dan Tumbuhan : Sebuah Kajian Implementasi Pembelajaran IPA SD Berbasis Etnosains

267-272

Dewi Masfufah, Siti Mukhlishoh Setyawati, Dian Ayuning Tyas

Pengembangan Booklet Efek Boraks Terhadap Organ Pencernaan sebagai Sumber Belajar Histologi

273-281

Dewi Kharisah, Ruswan, Rusmadi

Studi Korelasi Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Peduli Lingkungan Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang

282-288

MATEMATIKA PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Linda Indiyarti Putri Etnomatematika Dalam Konteks Sosial

Budaya (Studi Kasus di Pasar Tradisional Gang Baru Semarang)

290-300

DAFTAR ISI

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 viii

PENDIDIKAN MATEMATIKA PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Alfin Ni’mah, Emy Siswanah, Ahmad Aunur Rohman

Efektivitas Model Pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan Pendekatan Saintifik Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Peserta Didik Materi Segiempat MTS Tarbiyatul Islamiyah Batangan Tahun Pelajaran 2016/2017

302-308

Dita Ayu Nurjanah, Emy Siswanah, Ahmad Aunur Rohman

Efektivitas Model Brain Based Learning (BBL) Berbantu LKPD Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik Materi Segiempat Kelas VII MTS Miftahul Huda Maguan Tahun 2016/2017

309-315

Muhammad Fadhilah ‘Ammar, Yulia Romadiastri, Ulliya Fitiani

Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Peserta Didik pada Materi Bangun Ruang

316-324

Sayyidatul Karimah, Rini Utami, Nurina Hidayah

Pembelajaran Mata Kuliah Pemrograman Komputer Berbasis Edmodo

325-330

Yuli Arfan, Siti Maslihah, Ahmad Aunur Rohman

Rancang Bangun dan Implementasi Media Pembelajaran Matematika Berbasis Google Sketchup pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII

331-343

Anilta Rosikhatul Ulum, Emy Siswanah

Efektivitas Strategi Pembelajaran Relating, Experiencing, Applying, Cooperating And Transferring (REACT) Terhadap Motivasi Dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa pada Materi Pokok Lingkaran Kelas VIII MTS Husnul Khatimah 01 Rowosari Tahun Pelajaran 2016/2017

344-352

Moch. Asyroful Minan, Budi Cahyono, Nadhifah

Pengembangan Modul Matematika Bernuansa Islami dengan Pendekatan Saintifik Pada Materi Pokok Aritmetika Sosial Peserta Didik Kelas VII MTS N Brangsong Kendal

353-365

Sofi Ulfamayanti, Yulia Romadiastri, Sri Isnani Setiyaningsih

Analisis Kesulitan Belajar pada Materi Dimensi Tiga

366-376

DAFTAR ISI

ix Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Yusrina Wardani Model Pembelajaran Search, Solve, Create, And Share (SSCS) Untuk Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis

377-383

M.Asikin, R.Rahman, A.Agoestanto

The Analysis Of Mathematical Reasoning Ability Reviewed By Creative Mathematically Founded Reasoning (CMR) And Imitative Reasoning (IR) On Function

384-390

Lulu Choirunnisa, Eva Khoirun Nisa

Analisis Kesulitan Mahasiswa Dalam Ujian Komprehensif

391-394

KIMIA PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Willy Tirza Eden, Sri Nurhayati, Eko Budi Susatyo, Harjito, Ella Kusumastuti

Pelatihan dan Pendampingan Instrumen HPLC untuk Praktikum Analisis Sediaan Farmasi bagi Guru Kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri Se-Kota Semarang

399-404

N. Wijayati Produksi Alfa Pinena dari Minyak Terpentin

405-410

PENDIDIKAN KIMIA PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Atik Rahmawati Pendidikan Karakter Peduli Lingkungan

Melalui Perkuliahan Kimia Lingkungan Terintegrasi Nilai-Nilai Islam

412-418

Murbangun Nuswowati, Sri Wahyu Oktaviana, Endang Susilaningsih

Desain Lembar Kerja Siswa Berbasis Pembelajaran Kontekstual untuk Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa

419-427

Sri Haryani, Endah Fitriani, Deko Budi Susatya, Dan Sri Wardani

Pembekalan Merancang Lembar Kerja Peserta Didik Konstruktivis Dalam Meningkatkan Pedagogical Content Knowledge dan Metakognisi Calon Guru

428-436

Fina Fastaqima, Achmad Hasmi Hashona, Teguh Wibowo

Pengembangan Media Pembelajaran Kimia dengan Materi Pokok Larutan Penyangga Berbasis Website Sebagai Sumber Belajar Peserta Didik

437-443

Muhammad Zammi, Endang Susilaningsih,

Pengembangan Instrumen Self-Assessment untuk Meningkatkan Keterampilan Laboratorium Calon Guru Kimia

444-450

DAFTAR ISI

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 x

Kasmadi Imam Supardi

Ulfah Fatkhuroh, Mufidah, Anita Fibonacci

Development Learning Material Integrated With Unity Of Sciences And Multilevel Representation In Topic Solubility Equilibria And Solubility Product Constant

451-456

Ummi Azizah, R. Rizal Firmansyah, Ulya Lathifa

Pengembangan Buku Petunjuk Praktikum Bernuansa Green Chemistry pada Materi Asam Basa, Larutan Penyangga, Dan Hidrolisis Garam Kelas XI IPA di SMA Institut Indonesia Semarang

457-463

Fachri Hakim, Endang Susilaningsih, Edy Cahyono

Efektivitas Penerapan Modul Kimia Terintegrasi Karakter Islami pada Materi Reaksi Redoks

464-470

Mulyatun, Emilia Tanjung, R. Rizal Firmansyah

Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Materi Hukum Dasar dan Stokiometri

471-477

Teguh Wibowo

Efektivitas Penerapan Modul Berpendekatan Inkuiri Terpadu Pendidikan Karakter untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Termokimia

478-481

Woro Sumarni Hubungan Penguasaan Konsep dengan Keterampilan Generik Sains Mahasiswa Pada Pembelajaran Kimia Terintegrasi Etnosains

482-488

UMUM PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM. Endang Sugiharti, Riza Arifudin, Alamsyah, Dan Anggy Trisnawan Putra

Analisis Perancangan Sistem Informasi Tracer Study pada Jurusan Ilmu Komputer

490-498

Liyana Sunanto, Nur Asyiah

Pengaruh Strategi Metakognitif Terhadap Kemandirian Belajar Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar

497-501

Miswari Perlunya Manajemen Pengelolaan Well Being Bagi Pendidik

502-509

Muhammad Izzatul Faqih, Insih Wilujeng

Pengembangan Instrumen Penilaian untuk Mengukur Keterampilan Proses Sains Siswa SMP Kelas VII

510-518

DAFTAR ISI

xi Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Nur Novianti, Maria Ulfah

Studi Penerapan Entrepreneurship Education pada Pembelajaran Tematik

519-523

Ummu Jauharin Farda

Bahan Ajar Sets Untuk Sekolah Dasar

524-532

Bagus Nurul Iman, Hanikah

Pengaruh Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Budi Pekerti Terhadap Karakter Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon

533-542

Muhamad Taufiq, Parmin, Stephani Diah Pamelasari

Pengembangan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan Certainty of Response Index (CRI)

543-549

Susilawati, Widia Nur Jannah, Dianasari

Motivasi Belajar Mahasiswa PGSD Dalam Menyusun Bahan Ajar IPA Melalui Model Project Based Learning (PjBL)

550-556

Anggun Zuhaida Implementasi Pembelajaran Sains Berkarakter untuk Menumbuhkan Keterampilan Metakognisi

557-568

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 x

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur selayaknya tercurah kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala

(SWT) yang tanpa henti memberikan rahmat dan karuniaNya, baik karunia sehat, rejeki,

kecerdasan, kemauan dan lain-lain, bahkan juga karunia dalam bentuk kesadaran dan

kemampuan bersyukur kepadaNya, dan dengan ijinNya Prosiding Seminar Nasional MIPA

2017 ini dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan dan Sains

yang diselenggarakan oleh Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Islam Negeri (UIN)

Walisongo Semarang ini mengambil tema “Menguatkan Fundamental Research dan

Pembelajaran MIPA untuk Kemanusiaan dan Peradaban” dan bertempat Auditorium II

Kampus III UIN Walisongo Semarang pada tanggal 21 Oktober 2017. Seminar ini diikuti oleh

peneliti-peneliti dari berbagai bidang ilmu dari seluruh Indonesia, yang telah membahas

berbagai bidang kajian studi pendidikan MIPA, Sains, dan Teknologi.

Prosiding ini dibuat dengan tujuan memberikan pengetahuan bagi khalayak luas terkait

penelitian dan perkembangan pendidikan dan Sains. Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

FST UIN Walisongo ini berisi pemakalah dari universitas-universitas di Indonesia, yang pada

saat acara, pemakalah dibagi menjadi 2 yaitu presentasi oral dan presentasi poster. Sesi

diskusi pada sesi oral maupun poster diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pemakalah

untuk terus berinovasi sekaligus menjadi koreksi diri untuk perbaikan dikemudian hari.

Prosiding ini berisi 76 makalah, khususnya dalam bidang Studi Pendidikan MIPA, Sains

dan Teknologi. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan M. Abdulkadir Matoprawiro,

Ph.D. (FMIPA, Institut Teknologi Bandung), Prof. Dr. Ani Rusilowati, M.Pd. (Pendidikan Fisika,

UNNES) dan Prof. Dr. Ibnu Hadjar, M.Ed. (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo

Semarang), para tamu undangan, dan para peserta Seminar Nasional MIPA 2017, yang telah

menghadiri pembukaan dan memberikan sambutan pada seminar ini.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada panitia pelaksana, dan Pimpinan

Dekan FST UIN Walisongo Semarang yang telah menyediakan fasilitas untuk persiapan-

persiapan, serta pihak-pihak lain yang belum kami sebut, tetapi banyak membantu atas

terselenggaranya seminar ini serta terwujudnya prosiding ini. Semoga Allah SWT meridhai

semua langkah dan perjuangan kita, serta berkenan mencatatnya sebagai amal ibadah.

Aamiin.

Semarang, 01 Februari 2018

Dr. Hamdan Hadi Kusuma, M.Sc.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 1

PENDIDIKAN

FISIKA

PENDIDIKAN FISIKA…

2 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI GAMBAR PADA POKOK BAHASAN GERAK PARABOLA

Ahmad Fatih Musyarrof, Agus Yulianto, Budi Astuti

Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Jl. Kelud Utara III, Semarang, 50237

Email: [email protected]

Abstrak Dalam mempelajari pokok bahasan gerak parabola, siswa diharapkan mampu untuk merepresentasi kembali data yang diberikan kedalam gambar grafik gerak parabola. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan siswa dalam merepresentasi data kedalam bentuk gambar. Metode analisis yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Sejumlah siswa diberikan pertanyaan terkait dengan pesawat yang menjatuhkan bom dari ketinggian tertentu. Siswa diminta merepresentasikan kembali data yang diperoleh kedalam bentuk gambar grafik gerak parabola. Hasil yang diperoleh adalah representasi gambar yang sesuai dengan bagaimana pemahaman siswa. Kemungkinan-kemungkinan penyebab kesalahan yang muncul pada hasil representasi gambar dibahas. Diperoleh hasil bahwa siswa kurang mampu merepresentasi kembali data yang diberikan kedalam gambar grafik gerak parabola. Kata kunci: representasi gambar, gerak parabola

PENDAHULUAN Fisika adalah cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari fenomena alam beserta segala interaksinya. Hadi dan Dwijananti (2015) berpendapat bahwa fisika merupakan ilmu yang mempelajari fenomena atau gejala yang terjadi di alam dan membahas bagaimana gejala tersebut terjadi. Menurut Murtono dan Miskiyah (2014), ciri khas materi fisika yang berupa fenomena yang teramati membuat pembelajaran fisika banyak melibatkan pengamatan dan pemahaman terhadap fenomena tersebut. Dengan kata lain, belajar tentang fenomena membutuhkan pengam7atan guna memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya, kelengkapan pengetahuan sebagai bentuk penguasaan konsep penting dimiliki oleh siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Silaban (2014) bahwa penguasaan konsep adalah usaha yang harus dilakukan oleh siswa dalam merekam dan mentransfer kembali sejumlah informasi dari suatu materi pelajaran tertentu yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah, menganalisa, dan menginterpretasikan pada suatu keadaan tertentu. Artinya, informasi sebagai bentuk pengetahuan haruslah lengkap agar konsep dapat dipahami dengan baik. Hal ini sejalan dengan kurikulum 2013 yang menuntut penguasaan siswa terhadap keterampilan abstrak yang merupakan kemampuan belajar yaitu keterampilan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar dan mengomunikasikan (permendikbud no. 104, 2014). Menurut Rahmawati et al (2012), materi fisika yang bersifat abstrak sulit untuk divisualisasikan, membuat siswa kesulitan dalam menelaah konsep-konsep fisika yang bersifat abstrak. Sedangkan Wahyuningsih et al (2013) berpendapat bahwa kesalahan pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan mempengaruhi efektivitas proses belajar selanjutnya oleh siswa yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemampuan memvisualisasikan konsep serta permasalahan menjadi penting untuk dimiliki siswa dalam belajar fisika agar siswa dapat menguasai konsep. Menurut Mulyani (2014), visualisasi merupakan salah satu cara dalam mengkonversi data atau informasi kedalam bentuk visual. Visualisasi konsep dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya melalui representasi. Murtono et al (2014) menyatakan bahwa representasi merupakan proses pembentukan, abstraksi dan pendemonstrasian. Merepresentasikan kembali data kepada sesuatu penyajian yang lain

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 3

memberikan gambaran baru bagi siswa terkait masalah yang diberikan. Merepresentasi kembali sebuah permasalahan membantu siswa dalam menguraikan kembali informasi yang dimiliki sehingga meningkatkan ketepatan pengambilan keputusan kemampuan representasi diperlukan dalam pemecahan masalah. Oleh karena itu, kemampuan representasi siswa perlu mendapatkan perhatian. Gerak parabola merupakan pokok bahasan yang membutuhkan penggambaran atau visualisasi untuk dapat dipahami siswa. Gambar grafik lintasan gerak parabola merupakan salah satu bentuk representasi yang dapat mempermudah siswa dalam mempelajari dan menyelesaikan permasalahan gerak parabola. Menurut Bunawan et al (2015), penggunaan grafik dalam proses penyelesaian masalah membutuhkan beberapa kemampuan seperti mampu memvisualisasikan solusi suatu masalah, merigkas data, menginterpretasi hubungan antar berbagai variabel, membuat prediksi, dan menarik kesimpulan. Dengan membuat grafik parabola, siswa dapat memvisualisasikan bagaimana lintasan, vektor kecepatan, posisi, serta jarak partikel pada saat tertentu. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mampu merepresentasikan kembali data pada suatu permasalahan gerak parabola kedalam bentuk gambar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan siswa dalam merepresentasi kembali data kedalam gambar grafik gerak parabola. METODE PENELITIAN Dilakukan penelitian terhadap kemampuan siswa dalam merepresentasikan soal kedalam gambar grafik pada pokok bahasan gerak parabola. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Temanggung dengan sampel penelitian sejumlah 33 siswa kelas XII. Siswa sebelumnya telah memperoleh materi gerak parabola yang diberikan pada pembelajaran di kelas XI. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal uraian yang terkait dengan materi gerak parabola. Pertanyaan yang diberikan adalah “Sebuah pesawat yang terbang mendatar dengan kecepatan 100 m/s menjatuhkan bom pada ketinggian 500 m dari permukaan tanah. Gambarkan grafik lintasan bom. Berapakah jarak yang ditempuh pesawat dihitung dari saat pesawat menjatuhkan bom hingga bom menyentuh tanah? (g = 10 m/s2)”. Hasil yang diperoleh adalah jawaban siswa yakni representasi grafik lintasan gerak parabola yang sesuai dengan pemahaman siswa terhadap konsep gerak parabola. Kesalahan siswa dalam merepresentasikan serta kemungkinan-kemungkinan penyebab kesalahan yang muncul pada hasil representasi gambar dibahas secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam merepresentasikan data gerak parabola kedalam grafik, diperlukan kemampuan bernalar yang tinggi. Kelengkapan informasi yang dimiliki oleh siswa terkait gerak parabola dapat terlihat dari bagaimana siswa merepresentasi data yang diperoleh dari soal yang diberikan menjadi grafik gerak parabola serta bagaimana siswa menguraikan dan melengkapi data yang diperoleh. Dari 33 siswa subjek penelitian 11 siswa tidak mampu memberikan visualisasi grafik lintasan gerak parabola, 20 siswa memberikan visualisasi yang tidak sesuai dengan konsep gerak parabola, dan hanya 2 orang yang mampu merepresentasi data berupa visualisasi grafik lintasan gerak parabola disertai informasi minimal yakni data yang ada pada permasalahan. Berikut disajikan beberapa hasil representasi siswa berupa visualisasi lintasan gerak parabola dalam bentuk gambar serta analisis kesalahan siswa dalam merepresentasi.

PENDIDIKAN FISIKA…

4 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 1 Jawaban siswa A

Siswa A menggambarkan lintasan gerak bom dengan garis lurus searah dengan lintasan pesawat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Dapat dikatakan siswa belum memahami konsep dasar dari gerak parabola. Pengetahuan yang dimiliki siswa terkait gerak parabola sangat kurang. Visualisasi terhadap gerak parabola dapat digolongkan rendah. Siswa juga tidak memahami permasalahan yang diberikan. Dalam merepresentasikan kedalam grafik, siswa hanya terfokus pada visualisasi lintasan pesawat, sedangkan permasalahan yang diberikan berhubungan dengan visualisasi lintasan gerak parabola. Siswa B seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2, menggambarkan lintasan bom searah dengan laju pesawat kemudian pada jarak tertentu bom menuju ke dasar.

Gambar 2 Jawaban siswa B

Visualisasi lintasan gerak yang diberikan melalui representasi dalam bentuk grafik belum menunjukkan bahwa siswa B memahami konsep gerak parabola. Diperoleh temuan bahwa siswa mengerti permasalahan yang diberikan serta memahami bahwa bom yang dijatuhkan bebas arahnya akan menuju ke bawah. Namun dalam pemahamannya terhadap bentuk lintasan bom, siswa belum memahami bahwa lintasan yang dilewati oleh bom adalah lintasan dengan bentuk setengah parabola.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 5

Gambar 3 Jawaban siswa C

Siswa C menggambarkan lintasan gerak bom berlawanan arah dengan arah laju pesawat. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3. Siswa C dimungkinkan memiliki pandangan bahwa laju pesawat tidak mempengaruhi bom sehingga ketika bom dijatuhkan, pesawat akan tetap melaju dan bom tertinggal jatuh ke belakang. Hasil representasi grafik lintasan gerak parabola siswa D diberikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Jawaban siswa D

Hasil visualisasi menunjukkan adanya kesesuaian dengan konsep gerak parabola. Siswa mampu memberikan gambaran bahwa lintasan gerak bom berbentuk setengah parabola searah gerak pesawat. Siswa D memahami bahwa laju pesawat akan mempengaruhi lintasan bom yang terbentuk. Seorang siswa yang dapat memvisualisasikan grafik lintasan gerak parabola dengan baik akan dapat menyajikan informasi meskipun hanya disesuaikan dengan data pada soal. Informasi minimal yang dibutuhkan dalam memberikan visualisasi grafik gerak parabola adalah adanya visualisasi garis semu lintasan serta kelengkapan data yang sesuai dengan permasalahan yang diberikan. Siswa yang mampu merepresentasikan data dengan baik akan dapat memberikan Informasi tambahan dalam grafik sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki serta kemampuan dalam menguraikan data. Banyaknya informasi yang disajikan dengan baik dalam grafik memberikan kesempatan kepada siswa membuat kemungkinan-kemungkinan dalam menjawab sehingga dapat menyelesaikan permasalahan dengan tepat. Dari pemaparan beberapa temuan, dapat diperoleh gambaran rendahnya kemampuan visualisasi siswa kelas XII SMA Negeri 1 Temanggung khususnya pada pokok bahasan gerak parabola Secara umum siswa belum memahami bahwa terdapat pengaruh yang diberikan oleh laju pesawat terhadap lintasan suatu objek ketika terdapat objek yang dijatuhkan bebas dari pesawat. Objek secara vertikal yakni searah sumbu-y akan

PENDIDIKAN FISIKA…

6 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dipandang sebagai benda yang jatuh bebas namun ada laju pesawat pada arah horisontal (sumbu-x) yang mempengaruhi pergerakan bom sehingga jalur lintasan gerak bom berupa kurva setengah parabola dengan arah bom menuju ke tanah searah gerak pesawat. Kelengkapan informasi yang diberikan siswa dalam merepresentasikan lintasan gerak juga rendah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bagaimana siswa tidak mampu dalam menguraikan data kecepatan menurut arahnya. Sebagian besar siswa kesulitan memahami bahwa kecepatan gerak pesawat searah sumbu-x sama dengan kecepatan awal bom searah sumbu-x. Siswa juga tidak memahami jika kecepatan gerak dapat diuraikan secara vektor sesuai dengan arah sumbu-x dan sumbu-y. Konsep vektor yang diperoleh siswa dimungkinkan kurang matang sehingga menghambat siswa dalam merepresentasi grafik lintasan parabola dan menguraikan data yang ada didalamnya. Secara umum, dapat terlihat dari hasil visualisasi yang dibuat oleh siswa bahwa siswa belum memahami permasalahan yang diberikan. Selain itu, siswa belum mampu merepresentasikan kembali data kedalam bentuk gambar grafik parabola dengan baik. Kebergantungan siswa akan hapalan rumus dalam menyelesaikan permasalahan gerak parabola menjadikan siswa tidak mampu merepresentasi dengan baik. Ketidakmampuan siswa dalam merepresentasikan kembali data permasalahan yang diperoleh terlihat dari ketidaksesuaian konsep serta tidak banyaknya informasi yang diberikan dalam grafik lintasasn gerak parabola. Perlu adanya perbaikan konsep dasar pada pokok bahasan gerak baik gerak lurus maupun parabola, konsep vektor, serta konsep lain yang berhubungan sehingga siswa memiliki pengetahuan yang utuh terkait konsep-konsep tersebut. Kemampuan representasi memudahkan siswa dalam memahami konsep. Representasi memberikan peluang siswa berpikir dengan cara yang lain. Rasa percaya diri dalam menyelesaikan permasalahan akan tumbuh ketika seorang siswa paham konsep. Ketepatan dalam pemilihan strategi pemecahan masalah akan semakin tinggi dengan banyaknya pengetahuan yang dikuasai. Dengan mengamati, pandangan siswa akan suatu permasalahan menjadi lebih luas. Diperlukan perhatian yang lebih terhadap kemampuan siswa dalam merepresentasikan kembali data khususnya pada pokok bahasan gerak parabola. SIMPULAN Diperoleh temuan kesulitan siswa dalam merepresentasikan data gerak parabola kedalam grafik lintasan gerak diantaranya belum mampu membayangkan lintasan gerak parabola, belum memahami konsep vektor, serta belum mampu menguraikan informasi yang dimiliki secara baik. Kesalahan yang muncul dari hasil visualisasi gerak parabola berhubungan dengan kurangnya penguasaan konsep gerak parabola serta konsep-konsep lainnya yang berhubungan.. Dapat dikatakan bahwa secara umum siswa kelas XII SMA Negeri 1 Temanggung belum mampu merepresentasikan data kedalam bentuk gambar pada pokok bahasan gerak parabola dengan baik. REFERENSI Bunawan W., Agus S., Aloysius R. & Nahadi. (2015). Penilaian Pemahaman Representasi

Grafik Materi Optika Geometri Menggunakan Tes Diagnostik. Cakrawala Pendidikan, 34(2), 257-267.

Hadi, W. S. & P. Dwijananti. (2015). Pengembangan Komik Fisika Berbasis Android Sebagai Suplemen Pokok Bahasan Radioaktivitas untuk Sekolah Menengah Atas. Unnes Physics Education Journal, 4(2), 15-24.

Mulyani, A. (2014). Representasi Visual buku Biologi SMA Pada Materi Kingdom Plantae. Scientiae Educatia, 3(1), 35-47.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 7

Murtono & Evi M. (2014). Pengembangan Instrumen Evaluasi dengan Teknik Simulasi sebagai Asesmen Alternatif dalam Pembelajaran Fisika Materi Mekanika Fluida SMA Kelas XI. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika, 1(1), 1-12.

Murtono, A. Setiawan. & D. Rusdiana (2014). Fungsi Representasi dalam Mengakses Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa. Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Fisika UAD, 1(2), 80-84.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Permendikbud.

Rahmawati, F., Indrawati & Rif’ati D. H. (2012). Penerapan Model Teaching With Analogies (TWA) dalam Pembelajaran Fisika di MA. Jurnal Pendidikan Fisika, 1(2), 192.

Silaban, B. (2014). Hubungan Antara Penguasaan Konsep Fisika dan Kreatifitas dengan Kemampuan Memecahkan Masalah Pada Materi Pokok Listrik Statis. Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan, 20(1), 65-75.

Wahyuningsih, T., T. Raharjo, & D. F. Mashitoh. (2013). Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA Kelas XI. Jurnal Pendidikan Fisika, 1(1), 111-117.

PENDIDIKAN FISIKA…

8 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA DALAM MENYELESAIKAN MATERI PERKEMBANGAN TEORI

ATOM

Ana Sofiana1,2,*, Agus Yulianto1, Budi Astuti1

1Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Jl. Kelud Utara III, Semarang 50237

2SMK Pelayaran Semarang, Jl Kendeng I No.3 Bendan Ngisor, Semarang 50233 *Email:[email protected]

Abstrak

Kemampuan dalam mengungkapkan konsep fisika dapat dilakukan melalui berbagai representasi. Mahasiswa yang memahami suatu konsep, tidak akan mendapat kesulitan untuk menyatakan pemahamannya dalam berbagai bentuk representasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan representasi mahasiswa penidikan Fisika dalam menyelesaikan materi perkembangan teori atom. Penelitian ini difokuskan pada kemampuan representasi gambar dan visual. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif. Data penelitian diambil melalui tes essai yang diberikan pada mahasiswa Pendidikan Fisika Semester VI. Hasil data dianalisis dengan analisis menurut Miles dan Huberman melalui tahap reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dari hasil analisis data, dapat diketahui bahwa kemampuan representasi verbal mahasiswa sangat baik dan kemampuan representasi gambar mahasiswa baik. Kata kunci: representasi, gambar, verbal, perkembangan teori atom

PENDAHULUAN

Keberhasilan siswa dalam pembelajaran dapat ditentukan melalui beberapa hal diantaranya adalah metode, strategi, dan bagaimana cara mengevaluasi yang tepat. Dengan metode dan strategi yang tepat maka materi akan mudah diterima dan dipahami secara tepat dan benar. Evaluasi yang tepat akan mengukur kemampuan peserta didik yang sebenarnya, sehingga dapat memberikan feed back yang tepat terhadap pembelajaran maupun evaluasi selanjutnya.

Tes merupakan alat evaluasi untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami materi yang telah diterimanaya. Namun ada berbagai macam bentuk test yang telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan. Tes pilihan ganda pemahaman konsep telah dikembangkan untuk menguji pemahaman siswa terhadap gaya, grafik kinematika, termal, rangkaian listrik, dan listrik dan magnet (Singh & Rosengrant, 2003). Force Cocept Inventory (FCI) adalah tes yang berhubungan dengan gaya dalam bentuk pilihan ganda, sedangkan yang berkaitan dengan dengan grafik kenematika adalah Test of Understanding Graphs in Kinematics (TUG-K) (Beichner,1994), yang berkaitan dengan termal adalah Thermal Concept Evaluation (TCE) (Yeo dan Zadnik, 2001). sedangkan untuk rangkaian listrik adalah Determining and Interpretation Resistive Electric Circuits Concepts (DIRECT ) (Engelhardt dan Beichner, 2004) dan untuk listrik magnet adalah Conceptual Survey of Electricity and Magnetism (CSEM)

Soal-soal ujian Fisika lebih banyak berupa soal-soal yang mengutamakan perhitungan matematis. Hanya sedikit yang mempersoalkan kemampuan siswa menyatakan definisi, menganalisis makna suatu hukum atau teori, dan tidak menuntut kemampuan menyelesaikan soal secara bersistem. Werdhiana mengungkapkan bahwa kemampuan peserta didik untuk memahami arti fisis biasanya diukur dengan soal-soal yang umumnya bersifat kuantitatif. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan tes terhadap beberapa mahasiswa menggunakan berbagai representasi yaitu verbal dan gambar. Hal ini untuk melihat pemahaman

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 9

konsep mahasiswa secara utuh dari berbagai representasi dan bagaimana kecenderungan mahasiswa dalam menjawab soal tes berbagai representasi. Representasi adalah merupakan sesuatu yang mewakili, menggambarkan atau menyimbulkan obyek dan atau proses (Rosengrat, Etkina, & Heuvelen, 2006). Multipel representasi dapat diartikan merepresentasikan suatu konsep yang sama.

Dalam penelitian ini menggunakan dua representasi, yaitu representasi verbal dan representasi gambar. Kemampuan verbal (verbal linguistic) adalah kemampuan seseorang yang berkaitan bagaimana seseorang menggunakan kata-kata/kalimat dengan sebaik-baiknya sehingga kata-kata itu dapat ditangkap oleh orang dengan benar sesuai dengan maksud dari yang mengucapkan kalimat. Kemampuan mengamti suatu bentuk gambar atau grafik merupakan kemampuan untuk mengapresiasi suatu bentuk gambar atau grafik sesuai dengan pesan yang membuat gamabar atau grafik. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan terhadap 37 mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah materi perkembangan teori atom. Untuk menjawab permasalahan penelitian digunakan teknik tes. Osborne & Freyberg menyatakan bahwa untuk mengetahui konsepsi siswa tentang suatu konsep dapat dilakukan dengan menggunakan tes. Teknik tes digunakan untuk memperoleh informasi secara tertulis tentang pemahaman mahasiswa dalam memaknai konsep-konsep yang termuat dalam perkembangan teori atom. Setelah tes dilakukan dan hasilnya dianalisis

Perkembangan teori atom dimulai dari konsep materi yang dikemukakan oleh Demokritus bahwa ‘materi dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil, sampai diperoleh bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi’ yang kemudian dikenal sebagai atom. Kemudian dilanjutkan penemuan- penemuan mengenai konsep atom mulai dari tahun 1803 yang dikemukakan oleh John Dalton hingga sekarang, penelitian terus berlanjut mengenai teori atom sebagai penyempurnaan teori sebelumnya.

Secara singkat perkembangan teori atom diuraikan sebagai berikut. Menurut John Dalton, atom merupakan partikel terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Teori atom Thompson merupakan penyempurnaan dari teori atom Dalton dengan diutarakannya partikel dasar penyusun atom yaitu elektron. Rutherford membuat hipotesa bahwa atom tersusun dari inti atom dan elektron yang mengelilingi inti.

Niels Bohr membuat empat postulat yaitu 1. Dalam mengelilingi inti atom, elektron berada pada kulit (lintasan) tertentu; 2. Selama elektron berada pada lintasan stasioner tertentu, energi elektron tetap sehingga tidak ada energi yang diemisikan atau diserap; 3. Elektron dapat beralih dari satu kulit ke kulit lain; 4. Lintasan stasioner elektron memiliki momentum sudut. Penelitian ini hanya menggunakan empat tokoh ahli dalam mendeskripsikan atom. Melalui deskripsi atom tersebut dapat diketahui bahwa materi tersebut memerlukan representasi verbal dan gambar yang bagus untuk kemudian dapat menunjukkan pemahaman konsep pada materi perkembangan teori atom. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian terhadap 37 mahasiswa pendidikan Fisika diperoleh data seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

PENDIDIKAN FISIKA…

10 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

TABEL 1. Kemampuan jumlah siswa yang memahami representasi dan mendeskripsikan materi perkembangan teori atom dengan representasi

Berdasarkan Tabel 1 terlihat prosentase kemampuan mahasiswa satu kelas dalam

memahami representasi dan mendeskripsikan materi dengan multirepresentsi, yaitu representasi verbal dan representasi gambar.

Dari ke 37 mahasiswa pendidikan Fisika yang menjadi subyek penelitian mendapatkan skor 134 yang menjawab dengan menggunakan representasi verbal dalam mendeskripsikan materi perkembangan teori atom yang diberikan oleh mahasiswa yang bersangkutan atau 90,54 % dari keseluruhan siswa.

Berikutnya penyelesaian soal menggunakan representasi gambar bias mendapatkan skor sebanyak 107 atau hanya 72,30 % dari keseluruhan siswa yang mampu mendeskripsikan materi perkembangan teori atom dari total keseluruhan siswa.

Secara umum perolehan prosentase kemampuan didapat dari kenyataan bahwa tingkat keseringan yang didapat oleh siswa saat belajar representasi fisika pada materi perkembangan teori atom adalah dengan urutan representasi verbal, baru kemudian representasi gambar.

Kemampuan representasi mahasiswa tergantung dari tingkat keseringan mahasiswa belajar dan berlatih dalam menggunakan representasi ketika mendeskripsikan materi perkembangan teori atom yang dihadapi oleh mahasiswa. SIMPULAN DAN SARAN

Setelah melaksanakan penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan diantaranya Prosentase keseluruhan siswa yang memahami multirepresentasi ataupun mampu membuat penyelesaian atau mendeskripsikan materi eprkembangan teori atom sangat maksimal (di atas 50 %). Pada bagian ini dapat diberikan beberapa saran agar penelitian selanjutnya dengan topic yang sama dapat lebih baik. Adapun sarannya adalah: 1. Mahasiswa yang diteliti dapat berasal dari populasi yang lebih besar 2. Representasi yang diukur bias ditambahi untuk representasi grafik dan

representasi numerik UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkenan membantu menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih kepada Bapak Diro Atmanto, Bapak Teguh Purnomo, dan Bapak Subiyanto selaku ketua yayasan dan Kepala SMK Pelayaran Semarang yang telah mengizinkan saya menempuh pendidikan pascasarjana. REFERENSI Saputri, Mentari Dwi. (2017). Skripsi. Analisis Kemampuan Representasi Matematis

dalam Menyelesaikan Soal Materi Himpunan pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Baki. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Harun, Mochamad, Sutopo, dan Sentot Kusairi. (2016). Analisis Kemampuan Representasi Siswa pada Pokok Bahasan Fluida. Pros. Semnas Pend.IPA Pascasarjana UM Vol.1. 2016, ISBN:978-60.

No Kemampuan

Representasi

Skor

mahasiswa

Prosentase

1 Verbal 134 90,54 %

2 Gambar 107 72,30 %

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 11

Murtono, (2015). Analisis Representasi Gabar dalam Menyelesaikan Permasalahan Pemantulan dan Pembiasan Bagi Mahasiswa Program StdiPendidikan Fisika. Jurnal Inovasi dan Pembealajaran Fisika, Volume 2, Nomor 1.

Lestari, Puji. (2016). Analisis Kemampuan Representasi Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika yang Mendapatkan Model Aktivitas Investigasi Autentik. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY.

Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP.Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. 13 No. 2.

Lasiani dan Ani Rusilowati. (2017). Pola Pemecahan Masalah Berdasarkan Representasi Siswa dalam Membangun Pemahaman Konsep Fisika. Phys. Comm. 1 (1).

Theasy, Yoan, Wiyanyo, dan Sujarwata. (2017). Identifikasi Kesulitan Belajar Berdasarkan Kemampuan Multirepresentasi. Phys. Comm. 1 (2) 1-5.

Lasiani, Ani Rusilowati. Dan Mahardika Prasetya Aji (2016). Pola Pemecahan Masalah Berdasarkan Representasi Siswa dalam Membangun Pemahaman Konsep Fisik Model. JISE 5 (2)

Ismet. (2013). Dampak Program Perkuliahan Mekanika Berbasis Multiple Representasi terhadap Kecerdasa Spasial Mahasiswa Calon guru. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 132-143.

Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode, Penenmuan Terbimbing untuk meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pe mecahan Maselah Matematis siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 13 No.2

PENDIDIKAN FISIKA…

12 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENYIAPAN KOMPETENSI MENGAJAR MAHASISWA CALON GURU MELALUI KEGIATAN LESSON STUDY DAN PENERAPAN KONFERENSI

3-2-1

Rusilowati, A., Cahyono, E., Hartono FMIPA Universitas Negeri Semarang

[email protected]

Abstrak Upaya dosen untuk memperbaiki proses pembelajaran yang membekali keterampilan mahasiswa dalam mengajar harus dilakukan secara berkelanjutan, agar mahasiswa memiliki kompetensi yang memadai. Keterampilan dosen dalam mengelola perkuliahan yang terkait dengan keterampilan mengajar juga perlu mendapat perhatian. Peningkatan keterampilan dosen dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study, yang merupakan kegiatan kolaborasi antardosen sebidang. Keterampilan dosen dapat diobservasi melalui aktivitas dan keterampilan mahasiswa yang diajarnya. Observasi oleh dosen sebidang dapat mendeteksi kekurangan yang dimiliki dosen, sehingga dapat segera diperbaiki. Kegiatan lesson study ini mampu meningkatkan keprofesionalan dosen dalam mengajar Dasar-dasar Proses Pembelajaran. Keterampilan mengajar bagi mahasiswa calon guru dapat dikondisikan melalui penerapan Konferensi 3-2-1 yang mampu meningkatkan keterampilan mengajar bagi mahasiswa calon guru, dan tentunya menjadi lebih siap untuk melaksanakan kegiatan PPL di sekolah. Kata kunci: kompetensi, lesson study, Konferensi 3-2-1

PENDAHULUAN Kualitas lulusan pendidikan di Indonesia masih membutuhkan perhatian serius

dari kalangan akademisi di perguruan tinggi. Salah satu indikator kualitas pendidikan tercermin dari mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika kualitas SDM rendah, berarti kualitas pendidikannya rendah. Penciptaan SDM berkualitas, serta guru dan dosen yang profesional, diperlukan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Penyelenggaraan pendidikan bermutu, mengandung makna memenuhi standar minimal yang ditetapkan dan memuaskan bagi masyarakat pengguna (stakeholder). Untuk mencapai profesionalitas dalam bidangnya dan memenuhi standar sebagai tenaga pendidik yang profesional, diperlukan tenaga pendidik yang kompeten dalam bidangnya.

Upaya yang dapat dilakukan oleh dosen sebagai pendidik, untuk perbaikan proses pembelajaran yang ditujukan pada pemahaman mahasiswa terhadap materi pembelajaran, masih membutuhkan usaha perbaikan secara berkelanjutan. Walaupun seringkali kita mengetahui bahwa banyak mahasiswa yang mungkin mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami atau tidak mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hapalan tersebut. Mahasiswa masih membutuhkan bimbingan untuk menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam kehidupan. Proses pembelajaran sudah semestinya tidak didominasi oleh aktivitas dosen, karena dosen bukan sebagai sumber utama pengetahuan dan proses pembelajaran tidak hanya berpegang pada buku paket, modul atau diktat tetapi menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat, sesuai dengan kompetensi mahasiswa yang akan dicapai. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berinteraksi dengan benda-benda konkrit dalam situasi yang nyata, ataupun dengan visualisasi menggunakan media maya. Proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas tidak ada yang tahu kecuali dosen itu sendiri. Hal ini dikarenakan masih lemahnya fungsi pengawasan proses

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 13

pembelajaran di kelas. Pengawasan yang sudah berjalan masih sebatas kelengkapan administrasi, belum diarahkan pada kinerja dosen dalam proses pembelajaran. Akibatnya, dosen tidak tertantang melakukan persiapan mengajar dengan baik, dan memikirkan metoda mengajar yang bervariasi. Kekurangan proses pembelajaram di Perguruan Tinggi, di antaranya adalah:

1. Proses perkuliahan kurang menekankan pada aspek kognitif yang tinggi, seperti ketajaman daya analisis dan evaluasi, berkembangnya kreativitas, kemandirian belajar, dan berkembangannya aspek-aspek afektif.

2. Materi perkuliahan kurang berorientasi pada hasil penelitian dan kebutuhan jangka panjang. Dosen menggunakan pola pembelajaran yang cenderung sama dari tahun ke tahun. Perubahan kurikulum tidak memberikan dampak pada perubahan materi ajar, metode, dan strategi pembelajaran.

3. Kompetensi/tujuan perkuliahan untuk ranah kognitif, psikomotor tingkat tinggi dan ranah afektif masih perlu ditingkatkan.

4. Kemandirian belajar mahasiswa belum tumbuh maksimal. Mereka cenderung menggantungkan pada perkuliahan yang disampaikan dosen. Untuk mengatasi kelemahan perkuliahan di perguruan tinggi, maka direncanakan model in-service training yang lebih berfokus pada upaya pemberdayaan dosen sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi. Model tersebut adalah lesson study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan demikian, lesson study bukan metoda atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan lesson study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi dosen. Kinerja mahasiswa dalam pembelajaran menjadi bagian terpenting yang perlu diupayakan peningkatannya dalam proses pembelajaran. Melalui pelaksanaan pembelajaran dengan mengimplementasikan lesson study, kinerja mahasiswa dalam bentuk interaksi mahasiswa-mahasiswa, mahasiswa-dosen, mahasiswa-bahan ajar dan mahasiswa-lingkungan, merupakan hal-hal yang menjadi perhatian. Pada tahapan refleksi (see) dosen akan mendapatkan masukan-masukan dari berbagai pihak yang kompeten, tentang pembelajaran yang diarahkan pada bagaimana mahasiswa belajar. Kondisi ini memungkinkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

Dosen model saat mengajar akan diamati oleh observer yang terdiri atas dosen sebidang studi. Idealnya, ketua program studi dan para pakar strategi pembelajaran juga dapat dilbatkan. Perencanaan dan pelaksanaan perkuliahan melalui lesson study ini, dapat dilakukan pengembangan rencana pembelajaran secara kolaboratif antara tim dosen pengembang, untuk melakukan perbaikan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan hasil refleksi atau masukan-masukan yang diperoleh dari para observer dengan memfokuskan pada bagaimana mahasiswa belajar. Tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan pelaksanaan pembelajaran berbasis lesson study ini adalah untuk: (1) meningkatkan keprofesionalan dosen Pendidikan di FMIPA Universitas Negeri Semarang dalam menerapkan model pembelajaran pada matakuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran, (2) mendeskripsikan model pembelajaran yang diterapkan untuk mengondisikan kompetensi mengajar mahasiswa calon guru, dan (3) menyelidiki keberhasilan penerapan model pembelajaran dalam mengondisikan mahasiswa siap melaksanakan paraktik mengajar di sekolah secara kompeten.

Kompetensi/keterampilan mengajar merupakan suatu kebulatan dari beberapa keterampilan yang tersusun dari unsur-unsur pembentuknya. Untuk dapat terampil dalam mengajar, keterampilan dasar harus dimuliki oleh seorang guru. Keterampilan dasar merupakan tolok ukur kemenarikan suatu proses pembelajaran. Keterampilan

PENDIDIKAN FISIKA…

14 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dasar meliputi variasi stimulus, membuka pelajaran, dan menutup pelajaran. Untuk mewujudkan mahasiswa yang kompeten, tentunya diperlukan strategi yang dapat memotivasi mahasiswa untuk mencapainya. Salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah pembimbingan dalam bentuk konferensi antara dosen, mahasiswa, dan observer.

Konferensi merupakan salah satu strategi pembimbingan PPL yang biasa dilakukan di negara-negara maju, seperti di Amerika (Michigan State University), Finlandia, dan negara-negara lain. Konferensi dapat diterapkan dalam perkuliahan Dasar Proses Pembelajaran, yang melatih mahasiswa calon guru untuk terampil mengajar. Konferensi ini merupakan kegiatan bertemunya dosen (pembimbing), observer, dan mahasiswa yang praktik secara bersama-sama untuk melihat progress yang dicapai dalam kegiatan peer teachingnya. Pertemuan menekankan kepada capaian dan kesulitan praktikan serta bantuan yang dapat diberikan oleh dosen dan observer terhadap praktikan. Tema-tema yang dibahas ditentukan berdasarkan diskusi antara dosen, observer dan mahasiswa, misalnya: (1) kompetensi sosial dan kepribadian, (2) kompetensi membuka pembelajaran, (3) kompetensi menfasilitasi kegiatan inti pembelajaran, (4) penggunaan strategi/pendekatan pembelajaran, (5) pemanfaatan sumber belajar/media pembelajaran, dan (6) pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa.

Setidaknya ada empat fokus/tema diskusi reflektif yang dapat dipilih, yakni (1) Kompetensi Kepribadian, (2) Kompetensi Sosial, (3) Kompetensi pedagogik, dan (4) Kompetensi Profesional. Konferensi ke-1 dan ke-2 lebih bersifat sebagai refleksi untuk perbaikan kompetensi praktikan. Kalaupun ada kegiatan penilaian pada konferensi ke-1 dan ke-2, hasil penilaian tersebut boleh tidak digunakan untuk menentukan nilai akhir. Konferensi ke-1 fokus pada diskusi reflektif mengenai kompetensi sosial dan kepibadian praktikan. Konferensi ke-2 fokus diskusi pada merefleksikan kompetensi profesional dan pedagogik praktikan. Konferensi ke-3 untuk penentuan nilai akhir matakuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran.

METODE PENELITIAN A. Subyek dan Lokasi

Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika yang sedang mengambil mata kuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran. Penelitian dilakukan di FMIPA Universitas Negeri Semarang. B. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 4 kali pelaksanaan open lesson untuk pokok bahasan keterampilan dasar mengajar, membuka dan menutup pelajaran, kegiatan inti, serta micro teaching. Desain penelitian dinyatakan dalam bentuk bagan pada Gambar 2.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 15

Setiap open lesson dalam penelitian diawali dengan tahap plan. Kegiatan pada tahap plan adalah: (1) membentuk group lesson study, (2) menentukan fokus kajian dari lesson study, (3) merencanakan research lesson. Dalam membentuk group lesson study, langkah yang dilakukan adalah merekrut anggota (yang terdiri atas dosen mata kuliah yang serumpun), menyusun komitmen bersama, menyusun jadwal pertemuan, dan menyepakati aturan group. Dalam menentukan fokus kajian dari lesson study, dosen mata kuliah serumpun dapat berkolaborasi menyusun perangkat pembelajaran serta menentukan siapa yang akan menjadi dosen model. Untuk mengoptimalkan dosen berkolaborasi, hal yang perlu ditekankan adalah penyusunan research lesson.

Menurut Ridwan (2007) daftar pertanyaan dalam research lesson adalah sebagai berikut : a. Apa yang saat ini dipahami mahasiswa tentang topik perkuliahan? b. Apa yang diharapkan dikuasai mahasiswa pada akhir pembelajaran? c. Apa saja rangkaian pertanyaan dan atau pengalaman yang akan mendorong

mahasiswa memperoleh pengetahuan lebih lanjut? d. Kegiatan apa yang mampu memotivasi dan bermakna bagi mahasiswa? e. Apa bukti tentang hasil belajar, motivasi mahasiswa, perilaku mahasiswa yang harus

dikumpulkan untuk data diskusi pada saat refleksi dan bagaimana instrumen pengumpulannya?

Dari tahap plan diperoleh RPP, media atau alat peraga pembelajaran, instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran, lembar observasi pembelajaran dan soal evaluasi. Penyusunan perangkat diupayakan dapat mengoptimalkan terjadinya kolaborasi antarmahasiswa. Hal ini sesuai dengan pandangan Vigotsky dalam pembelajaran bahwa siswa dapat mencapai kepakaran setelah berinteraksi dengan sebayanya.

Tahap selanjutnya adalah tahap do. Pada tahap do, dosen model melaksanakan open class. Para observer dengan posisi mengelilingi kelas tapi tidak mengganggu pandangan mahasiswa. Observasi di kelas dengan dipandu lembar observasi, yaitu: a. Kapan mahasiswa mulai berkonsentrasi untuk mengikuti kuliah, b. Kapan mahasiswa berhenti berkonsentrasi dalam mengikuti kuliah c. Apa kelebihan yang dimiliki dosen saat proses pembelajaran untuk kita tiru d. Pelajaran berharga apa yang dapat dipetik dari pengamatan tadi. Fokus pengamatan adalah bagaimana setiap mahasiswa mengikuti kuliah, dalam konteks apa yang dipikirkan mahasiswa, hal apa saja sekiranya yang membuat mahasiswa berkonsentrasi atau tidak berkonsentrasi pada pembelajaran.

Setelah proses pembelajaran dilaksanakan sesuai rencana, selanjutnya diadakan kegiatan refleksi (see) yang antara lain meliputi diskusi tentang aktivitas pembelajaran mahasiswa serta kejadian-kejadian penting selama pembelajaran berlangsung. Setiap observer menyampaikan hasil observasinya. Pada saat diskusi refleksi difokuskan pada bagaimana setiap mahasiswa mengikuti kuliah. Jadi bukan mengkritik atau menyerang bagaimana dosen mengajar. Observasi disampaikan dengan bahasa yang sangat santun, sehingga tidak menyinggung perasaan dosen model. Hal ini berbeda dengan supervisi kelas yang biasa dilakukan. Hal yang dibahas adalah mahasiswa yang tidak konsentrasi, mengapa hal ini sampai terjadi dan dicarikan solusinya. Setelah selesai tahap see, dengan mengacu pada hasil yang didapatkan pada tahap see, kemudian dilanjutkan ke siklus dua dengan kembali ke tahap plan, tahap do,dan tahap see, begitu juga dengan siklus tiga dan empat.

Pada saat melakukan pengamatan, para observer melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mengisi lembar instrumen observasi kinerja mahasiswa dan dosen b. Membuat catatan tentang komentar atau diskusi yang dilakukan mahasiswa

PENDIDIKAN FISIKA…

16 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

c. Membuat catatan tentang variasi metode yang digunakan termasuk keefektifan penggunaan metode yang digunakan.

d. Membuat catatan tentang interaksi mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan bahan ajar dan interaksi mahasiswa dengan dosen.

C. Data dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini mengukur peningkatan kualitas pembelajaran, dengan data-data yang akan dikumpulkan terdiri atas: (a) bahan ajar pembelajaran yang digunakan oleh dosen, (b) proses pembelajaran meliputi interaksi mahasiswa-mahasiswa, mahasiswa-dosen, dan mahasiswa-bahan ajar, dan (c) nilai akhir mahasiswa.

Data dalam penelitian ini, diperoleh berdasarkan hasil analisis bahan ajar, proses pembelajaran melalui pengamatan kegiatan pembelajaran (pengisian instrumen pengamatan Lesson Study) dan nilai mahasiswa di akhir semester. Adapun rincian pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Lembar observasi kinerja mahasiswa dan dosen, dalam proses pembelajaran, dengan

skala penilaian (tidak kompeten sampai dengan sangat kompeten) b. Angket sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran, dengan skala

penilaian (sangat kurang sampai dengan amat baik) c. Dalam penelitian ini, juga dilakukan dokumentasi komentar para pengamat tentang

pelaksanaan Lesson Study, sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peningkatan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi.

D. Teknik Analisis Data

Pemilihan teknik analisis data disesuaikan dengan permasalahan yang akan diselesaikan. Untuk mengetahui pengaruh kegiatan lesson study terhadap keprofesionalan dosen dalam melaksanakan perkuliahan, dan membangun kolegialitas dianalisis dengan teknik statistik deskriptif.

Kinerja dosen secara keseluruhan ditentukan berdasarkan skor terendah (17) dan skor tertinggi (68), dengan kriteria sebagai berikut:

Sangat baik, jika perolehan skor ≥ 58 Baik, jika perolehan skor antara >47 sampai ≤ 57 Sedang, jika perolehan skor > 37 sampai ≤ 47 Kurang, jika perolehan skor > 27 sampai ≤ 37 Sangat kurang jika perolehan skor ≤ 27

Kriteria kinerja dosen untuk setiap tahapan pembelajaran mengikuti ketentuan berikut: a. Pendahuluan dan Penutup: skor tertinggi 12, skor terendah 3, kriterianya

Sangat baik, jika perolehan skor ≥ 11 Baik, jika perolehan skor antara >8 sampai ≤10 Sedang, jika perolehan skor antara >6 sampai ≤ 8 Kurang, jika perolehan skor antara >5 sampai ≤ 6 Sangat kurang jika perolehan skor ≤ 5

b. Kegiatan Inti: skor tertinggi 44, skor terendah 11, kriterianya Sangat baik, jika perolehan skor ≥ 39 Baik, jika perolehan skor antara >31 sampai ≤38 Sedang, jika perolehan skor antara >24 sampai ≤31 Kurang, jika perolehan skor antara >17 sampai ≤24 Sangat kurang jika perolehan skor ≤ 17

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peningkatan Keprofesionalan Dosen Dalam Menerapkan Konferensi 3-2-1

Melalui Lesson Study

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 17

Pengolahan data hasil observasi dan pemberian angket tentang kinerja dosen pada setiap open lesson diperoleh data hasil seperti yang tertera pada Tabel 1. Skor kinerja dosen untuk setiap tahap kegiatan pembelajaran tiap open lesson dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kinerja Dosen Model Setiap Open Lesson

*) Skor maksimum 68 Secara keseluruhan kinerja dosen meningkat bahkan pada akhir siklus sudah

menunjukkan kinerja yang amat baik. Kinerja dosen di awal siklus menunjukkan hasil yang masih rendah, meskip[un sudah pada kategori baik. Hal ini disebabkan karena dosen belum memberikan motivasi dan menggali pengetahuan awal mahasiswa, serta kurang membimbing interaksi antarmahasiswa. Dosen sudah memberikan pertanyaan kepada mahasiswa dan menjawab dengan tepat pertanyaan mahasiswa, serta sudah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mencatat hal-hal penting, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan konferensi, menyampaikan 3 hal positif yang telah dilakukan, 2 kekurangan, dan 1 rencana tindak lanjut.

Tabel 2. Kinerja Dosen Model dalam Setiap Tahap Pembelajaran Tahap

Pembelajaran yang diamati

Skor open lesson ke 1 2 3 4

Pendahuluan *) 7 (S)

11 (SB)

11 (SB)

12 (SB)

Kegiatan Inti **) 29 (S)

37 (B)

41 (SB)

43 (SB)

Penutup *) 3 (SK)

9 (B)

10 (B)

10 (B)

Keterangan: *) skor maksimum 12 **) skor maksimum 44 SB = Sangat baik, B = Baik, S = Sedang, K = Kurang, SK = Sangat Kurang

Pada akhir perkuliahan dosen kurang menegaskan materi dan menyimpulkan materi dan tidak menyampaikan materi yang dibahas pada pertemuan yang akan datang. Pada siklus ke dua, kinerja dosen tergolong baik, kekurangan pada siklus pertama telah diperbaiki. Kinerja dosen terus meningkat, dari open lesson ke open lesson berikutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lesson study mendukung keprofesionalan dosen dalam mengajar matakuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran dengan menerapkan Konferensi 3-2-1.

Aspek yang diamati Skor setiap open lesson 1 2 3 4

Kesesuaian dengan perangkat pembelajaran

Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai

Proses Pembelajaran di kelas*) 39 (baik)

57 (baik)

62 (s.baik)

64 (s.baik)

Penguasaan materi sangat baik

sangat baik

baik Baik

Sikap terhadap inovasi Sangat positip

PENDIDIKAN FISIKA…

18 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

B. Deskripsi Penerapan Konferensi 3-2-1 untuk Mengondisikan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Calon Guru

Sebelum melaksanakan perkuliahan dilakukan Lesson Study bersama dosen sebidang yang mengampi matakuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran. Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu Plan (merencanakan), Do (melaksanakan) dan See (merefleksi) yang berkelanjutan (Hendayana, 2006). Dengan kata lain, Lesson Study merupakan suatu cara peningkatan kualitas pembelajaran yang tidak pernah berakhir (continous improvement).

Tahap merencanakan (Plan), bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan mahasiswa dan berpusat pada mahasiswa, bagaimana supaya mahasiswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan yang baik tidak dilakukan sendirian oleh dosen, tetapi dilakukan secara bersama oleh beberapa dosen secara berkolaborasi. Tahap pelaksanaan (Do), merupakan penerapan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam perencanaan. Konferensi 3-2-1 diimplementasikan ketika mahasiswa selesai mempraktikan keterampilan mengajar, dan dilanjutkan dengan kegiatan refleksi (See). Setelah selesai pembelajaran langsung dilakukan diskusi antara dosen dan pengamat, dipandu oleh personalia yang ditunjuk. Lesson Study bukan untuk mengevaluasi kinerja dosen ketika memberi materi pembelajaran, tetapi diarahkan pada bagaimana mahasiswa belajar (Sumardi, 2006). Hasil penelitian Supriatna (2005) menunjukkan bahwa hadirnya observer dari berbagai kalangan memungkinkan diperolehnya informasi tentang pembelajaran atau aktivitas belajar mengajar yang beraneka ragam, sehingga dosen model mendapatkan wawasan yang luas dari masukan berbagai kalangan untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Widianti (2006) berpendapat bahwa melalui implementasi Lesson Study, kualitas pembelajaran dan rasa kepercayaan diri pendidik dapat meningkat. Rusilowati, dkk. (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa peningkatan profesionalitas dosen terjadi ketika lesson study diterapkan dalam perkuliahan Fisika Dasar.

Langkah-langkah pelaksanaan pembimbingan melalui kegiatan konferensi adalah sebagai berikut : a. Dosen pembimbing mempersilakan praktikan untuk menyampaikan

kemampuan apa yang sudah dicapai dan kemampuan apa yang masih belum dikuasai (self assesment). Atau dengan kata lain, praktikan diminta untuk menyampaikan kelebihan dan kekurangannya pada aspek kompetensi yang sedang menjadi tema/fokus bimbingan.

b. Dosen pembimbing meminta pandangan dari teman sejawat mengenai kemampuan yang sudah dan belum dikuasai oleh praktikan.

c. Berdasarkan pengakuan praktikan dan pandangan teman sejawat, dosen memberi penegasan mengenai apa yang sudah dan apa yang belum dikuasai oleh praktikan.

d. Dosen pembimbing, teman sejawat dan praktikan bersama-sama menyepakati apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan praktikan.

e. Dosen menawarkan dukungan apa yang dapat membantu praktikan untuk memperbaiki kelemahan.

Hasil konferensi dapat ditulis sebagai jurnal reflektif dan digunakan sebagai dasar penyusunan rencana pembelajaran berikutnya. Jurnal reflektif yang telah dibahas dalam konferensi ditandatangani oleh praktikan, dosen pembimbing. Setiap hasil konferensi dan rencana kegiatan yang telah disepakati pada saat bimbingan, dapat dikompilasi menjadi portofolio praktikan. Dengan demikian, progres praktikan dapat diketahui.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 19

Pada saat berlangsung konferensi tentunya banyak balikan yang diberikan oleh dosen pembimbing dan teman sejawat demi perbaikan performen praktikan di praktik mengajar berikutnya. Balikan dari guru pamong dan dosen pembimbing sebaiknya senantiasa mendapatkan perhatian baik dari segi cara maupun waktu yang tepat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa balikan seorang pengajar dapat mempengaruhi semangat belajar, perbaikan pemahaman, hingga perbaikan kualitas tingkah laku pebelajar (Akalin& Sucuoglu, 2015; Seevers et al., 2014; McLaren, 2012; Auld et al., 2010; Vojdanoska et al., 2010; Conroy et al., 2009; Brosvic& Epstein, 2007; Brosvic et al., 2005).

Balikan dapat diberikan berdasarkan rekaman kegiatan praktik yang telah dilakukan. Lutovac et al. (2005) menyatakan rekaman video praktik mengajar merupakan sarana penting untuk membantu calon guru dan pembimbing agar lebih fokus dalam diskusi pasca-mengajar, sehingga calon guru dapat mengeksplorasi metode dan melihat dirinya dengan yang berbeda. Model konferensi 3-2-1 juga dapat diterapkan untuk diskusi tentang rekaman video ini.

C. Keberhasilan Penerapan Model Pembelajaran dalam Mengondisikan

Mahasiswa Siap Melaksanakan Paraktik Mengajar di Sekolah Secara Kompeten.

Penerapan Konferensi 3-2-1 dapat mengondisikan kesiapan mahasiswa dalam mengajar. Keterampilan mengajar diajarkan secara bertahap, mulai keterampilan dasar, keterampilan membuka pelajaran, kegiatan inti dan menutup pelajaran hingga praktik mengajar di hadapan teman-temannya (peer teaching). Variasi stimulus merupakan suatu kegiatan guru dalam proses interaksi belajar mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan murid, sehingga dalam situasi proses belajar mengajar murid senantiasa menunjukkan ketekunan, antusias serta penuh partisipasi. Aspek-aspek yang harus dikuasai dalam variasi stimulus adalah : (1) gerak guru (teacher movement), (2) isyarat/sasmita guru (teacher gesture), (3) suara guru, (4) kebisuan guru, (5) gaya interaksi, (6) kontak pandang dan gerak, (7) pemusatan perhatian murid, (8) pengalihan penggunaan indera .

Keterampilan lain yang dipraktikkan adalah membuka pelajaran. Siasat membuka pelajaran merupakan usaha atau kegiatan guru dalam setting kegiatan belajar mengajar yang beretujuan untuk menciptakan pra kondisi belajar. Perhatian serta sikap mental siswa dapat diarahkan untuk siap mengikuti kegiatan dalam proses belajar mengajar. Keterampilan membuka pelajaran yang dilatihkan adalah: a. menyiapkan mental murid agar siap memasuki persoalan yang dibicarakan; b. menimbulkan minat serta pemusatan perhatian murid terhadap apa yang

dibicarakan dalam proses kegiatan belajar mengajar; c. memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang akan dibahas; d. menyampaikan manfaat dari materi yang akan dipelajarai dalam kehidupannya;

Keterampilan menutup pelajaran (closure)merupakan usaha guru untuk mengakhiri kegiatan belajar mengajar. Keterampilan yang dilatihkan pada kegiatan ini adalah: a. merangkum atau membuat garis-garis besar persoalan yang baru saja dibahas

atau dipelajari sehinga murid mempunyai gambaran yang tentang apa yang baru saja dibicarakan;

b. mengkonsolidasi perhatian murid terhadap hal-hal pokok yang sudah dipelajari; c. mengorganisasikan semua kegiatan maupun pembicaraan yang telah dipelajari.

Pada tahap Do (open lesson) setiap siklus Lesson Study mahasiswa diminta untuk mempraktikkan aspek keterampilan, kemudian diberi kesempatan untuk menyapaikan hal positif yang telah dilakukan, 2 hal yang masih kurang, dan 1 tindak

PENDIDIKAN FISIKA…

20 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

lanjut. Dosen dan observer juga melakukan hal yang sama, menyampaikan 3 hal positif yang telah dilakukan praktikan, 2 hal yang masih kurang dan 1 saran perbaikan.

Keterampilan mahasiswa terus meningkat dari open lesson satu ke open lesson berikutnya. Pada open lesson pertama mahasiswa masih malu-malu menyampaikan 3 hal positif yang telah dia lakukan. Pada open lesson berikutnya mahasiswa mulai terbiasa, berani mengemukakan hal-hal terbaik yang telah dikuasai. Puncaknya adalah pada saat mahasiswa melakukan peer teaching. Pada kegiatan ini seluruh keterampilan mengajar dipraktikkan secara holistik.

Contoh hasil kegiatan konferensi 3-2-1 pada saat salah seorang mahasiswa (berinisial A) selesai melakukan peer teaching dapat dilihat pada Tabel 3. Pencatatn hasil kegiatan konferensi 3-2-1 dilakukan bagi seluruh mahasiswa untuk empat open lesson. Dengan demikian, dapat ditentukan trend atau peningkatan keterampilan mengajar mahasiswa calon guru. Harapannya, mahasiswa sudah menguasai keterampilan mengajar dengan baik ketika mereka melakukan praktik pengalaman lapangan di sekolah.

Tabel 3. Hasil Kegiatan Konferensi 3-2-1 terhadap Mahasiswa Berinisial A Konferensi 3-

2-1 Hasil Penilaian

Refleksi Mahasiswa

Dosen Observer

Tiga hal terbaik yang sudah dilakukan

- Percaya diri - Mengaktifkan

siswa - Sistematis

- Penampilan tenang

- Menggunakan alat untuk kegiatan praktikum

- Memberikan pesan-pesan yang menarik

- Melakukan kegiatan praktikum

- Menguasai materi

- Memicu anak untuk bertanya

Dua hal yang masih kurang

- Bahasa kadang-kadang masih menggunakan bahasa Jawa

- Pengelolaan waktu

- Pengelolaan kelas

- Membuat simpulan belum melibatkan siswa

- Belum melakukan evaluasi

- Penggunaan papan tulis

Satu Saran/Tindak lanjut

- Memperbaiki penggunaan bahasa dan memperhatikan penggunaan

- Menggunakan gelas yang lebih besar agar dapat mengaduk garam dengan baik

- Manfaatkan papan tulis untuk menjelaskan konsep

Secra umum, keterampilan mengajar mahasiswa telah meningkat, semakin

membaik dari open lesson satu ke open lesson berikutnya. Hal ini tentunya merupakan dampak dari penerapan konferensi 3-2-1 pada setiap perkuliahan.

SIMPULAN

Keterampilan mahasiswa calon guru perlu dipersiapkan, agar mereka percaya diri ketika melaksanakan PPL di sekolah. Upaya yang dapat dilakukan oleh dosen untuk

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 21

perbaikan proses pembelajaran yang membekali keterampilan mahasiswa dalam mengajar harus dilakukan secara berkelanjutan.

Keterampilan dosen dalam mengelola perkuliahan yang terkait dengan keterampilan mengajar juga perlu mendapat perhatian. Peningkatan keterampilan dosen dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study, yang merupakan kegiatan kolaborasi antardosen sebidang. Melalui kegiatan ini, keterampilan dosen dapat diobservasi melalui aktivitas dan keterampilan mahasiswa yang diajarnya. Dengan demikian, kekurangan yang dimiliki dosen dapat terdeteksi dapat dapat diperbaiki. Kegiatan lesson study ini mampu meningkatkan keprofesionalan dosen dalam mengajar Dasar-dasar Proses Pembelajaran.

Keterampilan mengajar bagi mahasiswa calon guru dapat dikondisikan melalui penerapan Konferensi 3-2-1. Kegiatan ini merefleksi kegiatan praktik mengajar yang telah dilakukan oleh mahasiswa bersama dosen dan observer. Refleksi yang pertama dilakukan oleh mahasiswa, dilanjutkan oleh dosen dan observer. Hal yang disampaikan adalah 3 hal terbaik yang telah dilakukan, 2 hal yang masih kurang, dan 1 saran atau tindak lanjut yang akan dilakukan. Hal yang baik digali lebih banyak dibanding kekurangannya agar mahasiswa menjadi termotivasi untuk melakukan praktik mengajar. Konferensi 3-2-1 ini mampu meningkatkan keterampilan mengajar bagi mahasiswa calon guru, dan tentunya menjadi lebih siap untuk melaksanakan kegiatan PPL di sekolah. REFERENSI Akalin, S., & Sucuoglu, B. (2015). Effects of Classroom Management Intervention Based

on Teacher Training and Performance Feedback on Outcomes of Teacher-Student Dyads in Inclusive Classrooms. Educational Sciences: Theory and Practice, 15(3), 739-758.

Auld, R. G., Belfiore, P. J., & Scheeler, M. C. (2010). Increasing pre-service teachers’ use of differential reinforcement: Effects of performance feedback on consequences for student behavior.Journal of Behavioral Education, 19(2), 169-183.

Brosvic, G. M., & Epstein, M. L. (2007). Enhancing learning in the introductory course. The Psychological Record, 57(3), 391- 405

Brosvic, G. M., Epstein, M. L., Cook, M. J., & Dihoff, R. E. (2005). Efficacy of error for the correction of initially incorrect assumptions and of feedback for the affirmation of correct responding: Learning in the classroom. The Psychological Record, 55(3), 401-415.

Conroy, M. A., Sutherland, K. S., Snyder, A., Al-Hendawi, M., & Vo, A. (2009). Creating a Positive Classroom Atmosphere: Teachers' Use of Effective Praise and Feedback. Beyond Behavior,18(2), 18-26.

Hendayana S.. 2006. Lesson Study Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press.

Lutovac, S., Kaasila, R., & Juuso, H. (2005). Video-Stimulated Recall as a Facilitator of a Pre-Service Teacher’s Reflection on Teaching and Post-Teaching Supervision Discussion - A Case Study from Finland. Journal of Education and Learning, 4(3), 14-24.

McLaren, S. V. (2012). Assessment is for learning: supporting feedback. International Journal of Technology and Design Education, 22(2), 227-245.

Rusilowati, A., Khanafiyah, S.,& Marwoto, P.. 2010. Evaluasi Keterlaksanaan Perkuliahan Fisika Dasar Berbasis Lesson Study . Laporan Penelitian. Semarang: LP2M

Saito H., Hendayana S., & Harun H. 2006. Development of School - Based in - Service Training Under an Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Project. Bandung UPI Press.

PENDIDIKAN FISIKA…

22 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Seevers, M. T., Rowe, W. J., & Skinner, S. J. (2014). Praise in public, criticize in private? An assessment of performance feedback transparency in a classroom setting. Marketing Education Review, 24(2), 85-100.

Sumardi Y. 2006. Monitoring dan Evaluasi Lesson Study. Makalah Semiloka. Lesson Study di LPMP Jawa Tengah, 2 Juni 2006.

Supriatna, A. 2008. Peningkatan Keprofesionalan Guru Melalui Implementasi Lesson Study. Makalah Seminar Nasional Lesson Study. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah, 23 Februari 2008.

Vojdanoska, M., Cranney, J., & Newell, B. R. (2010). The testing effect: The role of feedback and collaboration in a tertiary classroom setting.Applied Cognitive Psychology, 24(8), 1183-1195.

Widianti, T, dkk. (2006). Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Lesson Study. Laporan Pengabdian Masyarakat. FMIPA Universitas Negeri Semarang.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 23

PENGARUH MODUL FISIKA BERBASIS KEARIFAN LOKAL MATERI USAHA DAN ENERGI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

Arik Pujiyanti1, Arsini2, Sheilla Rully Anggita3

Pendidikan Fisika UIN Walisongo Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas VIII di SMP N 3 Kendal menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal pada materi usaha dan energi. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan pendekatan penelitian eksperimen dengan desain penelitian nonequivalent control group design yang hampir sama dengan desain pretest-posstest control group design. Sampel pada penelitian ini adalah kelas VIII B sebagai kelas kontrol dan kelas VIII C sebagai kelas eksperimen. Rata-rata nilai siswa setelah diberi perlakuan menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal lebih tinggi yaitu 87.59 dibandingkan nilai rata-rata kelas kontrol yang tidak diberi perlakuan yaitu 79.33. Uji perbedaan dua rata-rata diperoleh thitung = 4.130 dan ttabel = 2.002 karena thitung > ttabel, maka hipotesis pengaruh penggunaan modul fisika berbasis kearifan lokal pada materi usaha dan energi terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMP N 3 Kendal yang diajukan dapat diterima. Rata-rata N-Gain tingkat pengaruh kelas eksperimen memperoleh 0.52 memiliki pengaruh berada pada kategori sedang dan kelas kontrol memperoleh 0.27 memiliki pengaruh berada pada kategori rendah. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal memberikan pengaruh yang baik ditunjukkan dengan meningkatnya hasil belajar siswa. Kata Kunci: Hasil Belajar, Kearifan Lokal

PENDAHULUAN

Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Tujuan pembelajaran pada hakikatnya yaitu diperolehnya perubahan tingkah laku individu [1]. Adanya pembelajaran tentunya membutuhkan sumber belajar. Sumber belajar (learning resources) adalah segala macam sumber belajar yang ada di luar diri siswa dan memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses belajar. Sumber belajar sangat bermanfaat dalam proses belajar mengajar diantaranya yaitu [2]: a) Memberikan pengalaman belajar secara langsung dan konkret terhadap siswa, b) Memberi motivasi yang positif, apabila diatur dan direncanakan pemanfaatannya secara tepat, dan c) Merangsang untuk berpikir, bersikap dan berkembang lebih lanjut.

Adanya proses belajar dan sumber belajar, dapat mempengaruhi hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai hasil dari kegiatan belajar[3].

Keberhasilan proses pembelajaran selain untuk memperoleh kemampuan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) yang tinggi, juga diperlukan proses pembelajaran yang dikemas secara baik dengan peran serta dari guru dan siswa. Keberhasilan proses pembelajaran juga bergantung pada media pembelajaran.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di SMP N 3 Kendal, selama proses pembelajaran di kelas, baik guru maupun siswa memiliki beberapa permasalahan, salah satu diantaranya yaitu penggunaan buku pegangan yang bermacam-macam dan konten materi yang terkandung dalam buku pegangan belum mencakup materi secara detail, sehingga siswa kurang memahami materi fisika lebih mendalam. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar siswa yang nilainya mendekati batas KKM yaitu 75. Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi setiap guru agar mampu

PENDIDIKAN FISIKA…

24 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

menyiapkan dan membuat bahan ajar yang inovatif. Salah satunya adalah dengan membuat modul yang dapat menjadikan siswa aktif belajar secara mandiri.

Modul merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Modul yang baik, hendaknya mengacu kepada tujuan yang telah digariskan dalam kurikulum [4]. Selain itu, modul yang baik harus dapat menyesuaikan kondisi lingkungan setempat, agar modul mudah dipahami oleh siswa, sehingga pembuatan modul dapat dikaitkan dengan lingkungan setempat yang berkaitan dengan kearifan lokal.

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya lingkungan setempat. Kearifan lokal adalah produk budaya masa lalu secara terus menerus dijadikan pegangan hidup[5]. Kearifan lokal dapat dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah satu usaha untuk melestarikan budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah. Kearifan lokal yang dimasukkan dalam pendidikan merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat. Tujuan dari pendidikan berbasis masyarakat biasanya mengarahkan pada isu-isu masyarakat seperti lingkungan sosial, budaya dan adat istiadat pada suatu deerah tertentu [6].

Penelitian yang dilakukan oleh Wiraguna dkk dengan judul “Pengaruh Pendekatan CTL Berbasis Kearifan Lokal Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V di SD Gugus IV Kecataman Buleleng”. Bahwa dengan pendekatan CTL berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang diperkuat dengan rata-rata skor hasil belajar IPA siswa kelas eksperimen adalah 22.98 berada pada kategori sangat tinggi sedangkan rata-rata skor hasil belajar siswa kelas kontrol adalah 20.00 berada pada kategori tinggi[7]. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Wiraguna dkk, bahwa kearifan lokal dapat meningkatkan hasil belajar siswa, maka peneliti mengintegrasikan kearifan lokal dalam suatu modul. Hal ini agar dapat memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa.

Modul fisika berbasis kearifan lokal yang dikembangkan oleh peneliti merupakan modul yang mengaitkan budaya, permainan tradisional, dan aktivitas sehari-hari yang sering dijumpai oleh siswa dalam materi fisika usaha dan energi. Penggunaan modul fisika berbasis kearifan lokal dapat membuat siswa lebih paham yang ditunjukkan dengan hasil belajar yang meningkat.

Melalui penggunaan modul fisika berbasis kearifan lokal diharapkan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam memahami materi fisika usaha dan energi.

METODE

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif deskriptif. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan eksperimen dan jenis metode yang digunakan adalah quasy experiment (pengembangan dari desain penelitian true experimental). Desain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nonequivalent control group design [8]. Adapun desain penelitian digambarkan seperti pada tabel 1. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII. Penenentuan sampel penelitian dikakukan dengan teknik memilih 2 kelas dari 8 kelas yang ada. Pengambilan sampel penelitian pada populasi kelas VIII dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu [9]. Berdasarkan teknik tersebut telah menghasilkan kelas VIII B terdiri dari 30 siswa yang dijadikan sebagai kelas kontrol dan VIII C terdiri dari 29 siswa yang dijadikan sebagai kelas eksperimen.

Tabel 1. Desain Nonequivalent Control Group Design

Kelas Pretest Perlakuan Posttest

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O3 - O4

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 25

Keterangan: O1 = Test pemahaman awal (pretest) kelas eksperimen. O2 = Test pemahaman akhir (posttest) kelas eksperimen. O3 = Test pemahaman awal (pretest) kelas kontrol. O4 = Test pemahaman akhir (posttest) kelas kontrol. X = Pembelajaran di kelas eksperimen diberi perlakuan menggunakan modul fisika

berbasis kearifan lokal. Pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan instrumen tes. Tes yang

digunakan berupa pretest-posstest dengan tipe soal pilihan ganda dan uraian. Sebelum instrumen tes digunakan, uji coba instrumen dilakukan dengan skala

terbatas di kelas IX dengan jumlah siswa 30, kemudian dianalisis menggunakan uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Setelah dianalisis, instrumen yang valid digunakan untuk pretest dan posttest. Instrumen tes diuji dengan skala besar yaitu pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk melihat hasil belajar siswa dengan menghitung rata-rata, standar deviasi dan varian. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk mengambil keputusan berdasarkan analisis data. Sebelum pengambilan keputusan diperlukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogentias, kemudian pengajuan hipotesis diuji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis soal uji coba tersebut, didapatkan 17 soal pilihan ganda yang valid dari 30 soal dan 7 soal uraian yang valid dari 10 soal. Hasil reliabilitas soal pilihan ganda diperoleh 𝑟11 = 0.536 dengan taraf signifikansi 5% dan N=30, hasil perhitungan 𝑟11 lebih besar dari 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 (0.361) maka soal pilihan ganda tersebut disimpulkan reliabel memiliki kategori sedang. Sedangkan hasil perhitungan soal uraian diperoleh 𝑟11 = 0.731 dan 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0.361 maka soal uraian tersebut disimpulkan reliabel memiliki kategori tinggi.

Kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum diberi perlakuan memiliki kemampuan yang sama. Peneliti untuk mengetahui kemampuan awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, peneliti mengadakan pretest pada kedua kelas tersebut. Rata-rata pretest ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Analisis Data Pretest (Data Awal) Group Statistics

Kelas N Mean Std.Dev Std. Eror Mean

Eks 29 72.759 9.553 1.77396 Kont 30 69.033 13.109 2.39323

Dari data hasil pretest diperoleh rata-rata pada kelas kontrol sebesar 69.033 pada

kelas eksperimen 72.759 dengan standar deviasi 9.553. Berdasarkan analisis data pretest tersebut, disimpulkan bahwa rata-rata pretest hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol sebelum diberi perlakuan, sehingga diperlukan hasil uji beda rata-rata menggunakan uji t independent ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Uji T Independent Pretest (Data Awal) Kelas T Sig.

(2-tailed)

Mean Dif

Std. Error Dif

Ket

Eks 1.244 0.219 3.725 2.9947

Ho

diterima Kont

PENDIDIKAN FISIKA…

26 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Berdasarkan tabel 3 ditunjukkan bahwa 0.219 > 0.05, sehingga dikatakan HO

diterima. Disimpulkan, tidak terdapat perbedaan pada kemampuan awal siswa atau tidak terdapat pengaruh dari faktor lain terkait dengan kemampuan awal siswa.

Penelitian ini, pada kelas eksperimen diajar menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal sedangkan kelas kontrol diajar menggunakan buku pegangan dari guru IPA di SMP N 3 Kendal. Perbedaan hasil belajar antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat dari hasil posttest yang ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 4. Analisis Data Posttest (Data Akhir)

Group Statistics Kelas N Mean Std.Dev Std. Eror

Mean Eks 29 87.5862 7.45231 1.38386 Kont 30 79.333 7.87984 1.43866

Analisis dari hasil pengolahan data posttest yang telah diperoleh ditunjukkan

pada tabel 4, bahwa rata-rata posttest kelas eksperimen yaitu 87.5862 dengan standar deviasi 7.45231. Sedangkan rata-rata posttest kelas kontrol yaitu 79.333 dengan standar deviasi 7.87984. Dengan demikian, rata-rata posttest pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol.

Hasil posttest yang terdistribusi normal, kemudian peneliti melakukan uji t independent untuk menguji hipotesis penelitian yang telah dilakukan. Hasil uji hipotesis ditunjukkan pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Uji T Independent Posttest Kelas T Sig. (2-

tailed) Mean Dif

Std. Error Dif

ket

Eks 4.130

0.000 8.25287

1.99812 Ho

ditolak Kont

Hasil analisis uji t independent ditunjukkan pada tabel 5, dapat diidentifikasikan, bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat perbedaan hasil belajar. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai probabilitas = 0.000 < 0.05, sehingga Ho ditolak dan dapat disimpulkan terdapat pengaruh modul fisika berbasis kearifan lokal materi usaha dan energi terhadap hasil belajar siswa.

Setelah peneliti mengetahui bahwa modul fisika berbasis kearifan lokal sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, kemudian peneliti menentukan N-gain rata-rata antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol yang ditunjukkan pada tabel 6.

Tabel 6. N-gain Rata-rata Kriteria Kelas

Ekperimen Kontrol Rendah 7 12

Sedang 13 18

Tinggi 9 0

Rata-rata N-Gain 0.52 0.27

Berdasarkan hasil N-gain rata-rata, maka dapat disimpulkan, bahwa kelas eksperimen mengalami peningkatan hasil belajar dengan kategori memiliki pengaruh sedang dan kelas kontrol mengalami peningkatan hasil belajar dengan kategori memiliki pengaruh rendah. Hasil dari perhitungan N-gain rata-rata, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 27

Lebih tingginya hasil belajar siswa kelas eksperimen daripada kelas kontrol dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologi dan psikologi. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan sosial sekolah, lingkungan masyarakat dan lain-lain [10]. Media pembelajaran juga memiliki andil dalam faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa[11].

Salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah modul. Hal ini, terlihat dari hasil penelitian kelas eksperimen yang diajar menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal mengalami peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan kelas kontrol yang diajar menggunakan media pembelajaran berupa buku ajar dari guru di SMP N 3 Kendal.

Kearifan lokal juga termasuk salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Kearifan lokal dapat berupa lingkungan sekolah, lingkungan sosial keluarga, lingkungan sosial masyarakat atau sosial masyarakat yang berkaitan dengan kearifan lokal, karena lingkungan tersebut dapat menjadikan siswa mendapatkan sebuah pengalaman yang berkaitan dengan interaksi antar manusia [12].

Munculnya modul kearifan lokal membuat siswa tertarik untuk belajar fisika. Kearifan lokal yang terdapat dalam modul ini berupa permainan tradisional dan aktivitas yang sering dijumpai oleh siswa. Adanya modul fisika berbasis kearifan lokal bertujuan agar mempermudah siswa untuk memahami materi usaha dan energi. Berdasarkan penjelasan dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa pada tingkat kategori sedang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa hasil uji t pada penelitian dengan jumlah responden (N) = 59, derajat kebebasan (dk) 57 pada taraf signifikan 5% diperoleh nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙= 2.002 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 4.130. Hal ini menunjukkan bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka dapat disimpulkan

bahwa hipotesis pengaruh penggunaan modul fisika berbasis kearifan lokal pada materi usaha dan energi siswa kelas VIII di SMP N 3 Kendal yang telah diajukan dapat diterima. Pengaruh modul terhadap siswa kelas eksperimen berada pada kategori sedang sebesar 0.52.

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah, taufik, dan rahmat-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaiakan penelitian ini dengan baik. Ucapan terimakasih peneliti haturkan kepada Ibu Arsin, M.Sc. selaku pembimbing I dan Ibu Sheilla Rully Anggita, S.Pd., M.Si. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama penelitian. Ucapan terimakasih juga peneliti haturkan kepada seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-satu yang telah membantu untuk kelancaran penelitian ini.

REFERENSI I. SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM. Semarang: RaSAIL Media

Group, 2011. A. Rohani, Media Intruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Prastowo, Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Divapress, 2012. Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung, 2009.

PENDIDIKAN FISIKA…

28 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Wagiran, “PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEARIFAN LOKAL DALAM MENDUKUNG VISI PEMBANGUNAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2020 (Tahun Kedua),” J. Penelit. Dan Pengemb. N, vol. 3, no. 5, pp. 1–29, 2011.

W. Wuryandani, “Integrasi nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran untuk menanamkan nasionalisme di sekolah dasar,” Proceding Semin. Nas. Lemb. Penelit. UNY, pp. 1–10, 2010.

Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2015. A. Susanto, Teori belajar pembelajaran. Jakarta, 2013. Baharuddin&Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta, 2007. N. W. Dewi, B. S. Kristiantari, M. G. R. Negara, and I. G. A. Oka, “Model Tematik Bernuansa

Kearifan Lokal Berbantuan Media Animasi Berpengaruh terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas III SD Negeri Gugus Kapten Japa,” Mimb. Pgsd Univ. Ganesha, vol. 2, no. 1, 2014.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 29

GAME TEBAK KARTU BESARAN FISIKA BERBASIS ANDROID UNTUK MEMOTIVASI SISWA BELAJAR MANDIRI

Cintia Agtasia Putri1,2*, Miftakhul Arzak, Agus Yulianto1, Budi Astuti1

1Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Jalan Kelud Utara III, Semarang, 50237

Universitas Negeri Semarang 2SMK Ngesti Widhi Husada Kendal

Jalan Laut No.31 RT 01/ RW 03 Kelurahan Ngilir, 51311 *Email: [email protected]

Abstrak

Media edukasi inovatif berupa game tebak kartu besaran fisika, dapat menambah pengalaman baru bagi siswa. Tujuan penelitian ini untuk memotivasi siswa belajar mandiri melalui game berbasis aplikasi android. Game ini berisi materi besaran, dimensi dan alat ukur fisika. Subjek penelitian sebanyak 35 siswa kelas X MIPA 4 di SMA Negeri 1 Kendal. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui observasi, angket respon dan wawancara. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan data yang diperoleh melalui angket respon, sebesar 91% siswa menyatakan bahwa game berbasis android dapat memotivasi belajar mandiri siswa. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara. Jadi, dapat disimpulkan penggunaan game merupakan sarana inovatif yang memotivasi belajar mandiri siswa pada mata pelajaran fisika. Kata kunci: permainan, motivasi, belajar mandiri

PENDAHULUAN

Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih, alat yang digunakan untuk belajar bukan hanya buku dan alat peraga manual. Buku pelajaran cenderung bersifat textbook membuat siswa bosan. Didukung dengan penelitian Yusro (2016) menyatakan bahwa keberadaan modul saat ini masih bersifat verbal atau tekstual sehingga siswa merasa kurang tertarik membaca.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa siswa SMA N 1 Kendal sebelum penelitian menunjukkan bahwa mereka cenderung lebih lama membuka smartphone saat di rumah dibandingkan membuka buku pelajaran. Smartphone menjadi barang yang wajib dimiliki semua orang tidak terkecuali siswa sekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada siswa SMA Muhammadiyah Sewon Bantul, ditemukan sebanyak 90% siswa mempunyai smartphone berbasis Android (Fristiatuti: 2016).

Smartphone selain digunakan sebagai media untuk berkomunikasi, juga dapat membantu siswa dalam belajar mandiri sehingga hasil belajar siswa menjadi baik. Fazar (2016) menyebutkan aplikasi berbantuan android yang dikembangkan memiliki efek terhadap peningkatan kemampuan pemahaman siswa, dan bahan ajar yang dihasilkan telah dinyatakan valid, praktis, dan mempunyai efek potensial terhadap pemaham konsep.

Pengaruh yang kuat dari handphone terhadap siswa itu tergantung dari individunya. Rahma (2014), dalam penelitiannya menyebutkan jika siswa lebih mementingkan bermain handphone daripada yang lainnya, seperti belajar dan bermain, hal ini akan membawa dampak yang tidak baik. Sesuai dengan penelitian Manumpil (2015), melalui wawancara dengan 10 siswa, didapatkan bahwa 8 siswa menggunakan gadget lebih dari 3 jam dalam sehari, dan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis di SMA Negeri 9 Manado dari jam 10.00-14.00, terlihat siswa sering menggunakan gadget secara diam-diam pada saat jam pelajaran berlangsung. Maka dari itu, perlu adanya aplikasi smartphone agar siswa dapat memanfaatkannya dengan baik.

Model pembelajaran mandiri menyebabkan siswa memiliki inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri,

PENDIDIKAN FISIKA…

30 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

merumuskan tujuan belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber-sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai serta mengevaluasi prestasi belajarnya sendiri. Hasil ini sesuai dengan penelitian Astawan (2010), salah satu model yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemandirian dan prestasi belajar IPA yaitu penerapan model pembelajaran mandiri. Ada atau tidaknya keinginan siswa untuk mencari tahu tentang besaran fisika terterapada kegiatan belajar mandiri.

Kemandirian belajar biasanya diterapkan pada mahasiswa. Namun, penerapan kesiapan belajar, latihan belajar mandiri dan belajar aktif kurang dirasakan oleh mahasiswa sehingga hasilnya belum seperti yang diharapkan (Abdjul, 2013).

Belajar dipengaruhi berbagai komponen. Komponen-komponen tersebut juga menentukan hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (2009:11), memaparkan bahwa pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu ada dua yaitu faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri) dan faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri). Faktor eksternal adalah guru sebagai pembina proses belajar, sarana dan prasarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan sosial di sekolah dan kurikulum sekolah. Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar fisika yaitu faktor fisik dan psikis. Faktor psikis mencakup aspek intelektual dan non intelektual. Aspek intelektual seseorang dapat berupa intelektual potensial ataupun intelektual nyata. Sikap ilmiah, motivasi dan kemandirian belajar memiliki kontribusi yang positif dan signifikan terhadap prestasi belajar (Wahyudi, 2014).

Guru fisika menghadapi tantangan besar di kelas, mereka harus menjadikan siswa mencapai tujuan hasil belajar di kelas. Oleh karena itu, guru harus memotivasi siswa agar mereka belajar dan mengikuti kelas (Coca, 2013).

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, sangat memungkinkan bahwa pembelajaran fisika dengan menggunakan smartphone berbasis android pada materi besaran dan satuan dapat memotivasi siswa untuk belajar mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk memotivasi kemandirian belajar siswa, melalui Game berbasis android yang dibuat dengan program unity.

Unity merupakan sebuah perangkat lunak yang berfungsi untuk membangun game atau aplikasi (Praharsana, 2015). Unity juga merupakan suatu aplikasi yang digunakan untuk mengembangkan game multiplatform yang didesain untuk mudah digunakan. Kim (2014) menyatakan bahwa game ini dapat dijalankan pada program operasi Windows, maupun Mac OS X, sehingga game ini dapat dimainkan pada platform Windows, Mac, Wii, iPad, maupun iPhone. Game ini dapat direvisi sesuai keperluan pengguna. Editor pada Unity dibuat dengan user interface yang sederhana (Purnamasari, 2014).

Maka dari itu, peneliti mengambil penelitian dengan judul game tebak kartu besaran fisika berbasis android untuk memotivasi siswa belajar mandiri. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui observasi, angket respon dan wawancara. Subjek penelitian ini adalah 35 siswa kelas X MIPA 4 SMA Negeri 1 Kendal tahun ajaran 2017/2018. Games Tebak kartu hanya berisi materi besaran dan satuan. Siswa memainkan games tebak gambar melalui smartphone yang telah diinstal dengan games tersebut.

Setelah memainkan game, siswa mengisi lembar angket kemandirian belajar. Angket berbentuk skala Likert yang terdiri atas 15 pernyataan. Angket disusun berdasarkan indikator yang dikembangkan oleh Hidayati, K., & Listyani, E. (2010).

Hasil angket dianalisis secara deskriptif. Angka persentase angket siswa dapat diketahui menggunakan rumus deskriptif persentase menurut Arikunto (2013:235):

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 31

% = 𝑛

𝑁 𝑋 100%

Interval Angket Kriteria 81,26% ≤ 𝑥 ≤

100% Sangat Tinggi

62,51% ≤ 𝑥 ≤81,25%

Tinggi

43,76 ≤ 𝑥 ≤62,50%

Sedang

25% ≤ 𝑥 ≤43,75%

Rendah

Wawancara dilakukan pada siswa untuk mendapatkan data berupa pendapat siswa yang akan memperkuat hasil angket.

PEMBAHASAN

Game tebak kartu besaran fisika merupakan permainan edukatif berbasis android. Pada game tebak kartu besaran fisika terdapat alat ukur besaran pokok dan alat ukur besaran turunan. Siswa harus mengingat lokasi kartu dan mengetahui besaran, satuan, dimensi, dan atau nama alat ukurnya. Pada sub materi satu dan dua, siswa diminta untuk mencocokkan gambar alat ukur dan satuannya untuk besaran pokok dan besaran turunan. Pada sub materi tiga dan empat, siswa mencocokkan gambar alat ukur dan dimensi besaran pokok dan besaran turunan

Game tebak kartu terdiri dari beberapa level permainan, dari level rendah ke level tinggi. Setiap levelnya, siswa diharuskan mendapatkan point yang lebih tinggi dari level sebelumnya, sehingga siswa dapat menyelesaikan permainan sampai level terakhir. Setiap kenaikan level, jumlah pasangan kartu semakin banyak dan waktu permainan yang semakin cepat.

. Game tebak kartu besaran fisika dapat melatih otak untuk dapat berpikir cepat dan memotivasi belajar fisika mandiri. Pada interface game, siswa disuguhi kontras warna yang menarik dan tidak membosankan. Selain dilengkapi menu, gambar yang menarik, dan tambahan animasi, permainan ini juga dilengkapi dengan musik yang mengiringi saat dimainkan.

Setelah Games tebak kartu dimainkan oleh siswa, selanjutnya siswa mengisi angket tentang karakteristik games tersebut dalam menggali kemandirian belajar siswa. Hasil analisis angket kemandirian belajar siswa ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Angket Kemandirian Belajar Siswa No Aspek Persentase

(%) Kriteria

1 Ketidaktergantungan dengan orang lain

86 ST

2 Percaya diri 84 ST 3 Disiplin 83 ST 4 Tanggung jawab 84 ST 5 Berperilaku

berdasarkan inisiatif sendiri

75 T

6 Kontrol diri 88 ST

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa aspek ketidaktergantungan dengan orang lain sebesar 86% yang masuk dalam kriteria sangat tinggi. Hal tersebut mengindikasikan

PENDIDIKAN FISIKA…

32 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

bahwa games tebak kartu dapat digunakan sebagai media pembelajaran mandiri siswa. Aspek ketidakbergantungan siswa terhadap orang lain ketika memainkan games tebak kartu dikarenakan games dibuat mudah dalam mengoperasikan. Selain itu, dalam games tebak kartu juga dilengkapi denga menu bertanya, sehingga siswa dapat memperoleh informasi tentang materi. Game edukasi digunakan untuk menyampaikan suatu pesan pendidikan kepada pemain segala usia berbentuk permainan yang menghibur (Martono, 2011).

Aspek berikutnya adalah memiliki kepercayaan diri sebesar 84% termasuk kriteria sangat tinggi. Artinya bahwa siswa melalui games tebak kartu dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri siswa dalam memahami materi besaran dan satuan. Kepercayaan diri siswa muncul disebabkan siswa mampu dengan mudah memadankan gambar alat ukur dengan satuan maupun dimensinya. Hal ini sesuai dengan variabel motivasi belajar confidence (kepercayaan) yang diperoleh nilai keyakinan terhadap materi pelajaran sebesar 85,4%. Pemerolehan ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pada pembelajaran yang dilakukan dengan peningkatan kepercayaan diri siswa untuk belajar (Chotimah, 2015).

Aspek berperilaku disiplin pada penelitian ini memiliki nilai sebesar 83% termasuk kriteria sangat tinggi. Perilaku disiplin siswa terbentuk ketika siswa memainkan game tebak kartu, dimana siswa tidak dapat meloncat ke level berikutnya sebelum menyelesaikan level tertentu. Aspek disiplin pada penelitian ini sesuai dengan Rejeki (2015) yang menemukan jika 90% siswa memiliki sikap disiplin tinggi setelah mengikuti pembelajaran.

Pada aspek memiliki rasa tanggung jawab mendapatkan nilai sebesar 84% termasuk kriteria sangat tinggi. Siswa diarahkan untuk berusaha menyelesaikan tantangan-tantangan dalam game. Rasa menyesal saat gagal menyelesaikan tantangan dalam game. Selanjutnya, ketika siswa gagal menyelesaikan permainan, adanya keinginan untuk mencari besaran, dimensi, dan alat ukur fisika yang tepat sehingga siswa merasa puas atas apa yang diperoleh. Sesuai penelitian Herawati (2014) Aspek satisfaction (kepuasan) yang dimiliki siswa mengalami peningkatan 2,72 atau 8,5%.

Aspek berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri mengarahkan siswa untuk mengisi pernyataan setuju atau tidak setuju mengenai. Siswa dapat memainkannya kapan saja dan dimana saja. Hasil yang didapat 75% dengan kriteria tinggi. Sesuai dengan penelitian Fletcher (2014) bahwa aspek inisiatif sendiri, pada pembelajaran kolaboratif memungkinkan untuk mengembangkan wawasan.

Pada keseluruhan aspek yang harus diisi siswa, melakukan kontrol diri memiliki hasil paling besar yaitu 88% dengan kriteria sangat tinggi, karena pada aspek ini siswa diarahkan untuk mampu dan bisa memberikan informasi mengenai kemampuan penguasaan besaran fisika saat memainkan game, karena salah satu faktor penyebab meningkatnya agresivitas (memberikan informasi) pada remaja yaitu kemampuan kontrol diri (Praptiani, 2013).

Setiap siswa yang sudah memiliki smartphone berbasis android, dapat memainkannya kapan dan dimana saja. Siswa bisa lebih mengenal dan termotivasi untuk belajar fisika secara mandiri. Hal ini adalah salah satu solusi untuk membantu siswa dalam mengingat besaran, satuan, dimensi serta alat ukurnya.

Hasil dari keseluruhan penilaian angket menunjukkan bahwa game ini berhasil memotivasi siswa untuk belajar mandiri. Sesuai penelitian Shurygin (2016) fokus pendidikan tidak hanya pada penyampaian pengetahuan kepada siswa, tapi juga pada pemberian informasi yang kontinu, dan kebutuhan belajar yang dilakukan secara mandiri untuk mendapatkan pengetahuan sepanjang hidup.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 33

Siswa yangtidak setuju dengan pernyataan bahwa game ini dapat memotivasi belajar dengan gameini karena siswa tersebut lebih menyukai tipe permainan yang berbeda seperti Role Play Game, FPS, AR, VR dan beberapa game kompleks lainnya.

Kehadiran game ini mampu membuat pengalaman baru dalam belajar fisika melalui media permainan berbasis android. Hal ini didukung pula dengan hasil observasi pada siswa. Data yang diperoleh, siswa yang mampu mencapai level tertinggi sebanyak 83%. Ini membuktikan jika tingkat keingintahuan siswa tinggi sehingga siswa berusaha untuk mencapai level puncak untuk mengasah pengetahuannya.

Ketika wawancara sebagian besar siswa memberikan komentar yang positif. Diantaranya seperti desain tampilan yang bagus, dan dapat memotivasi belajar mandiri siswa, namun beberapa siswa juga merasa bosan dengan game tersebut dan menyarankan ditambahkan beberapa fitur baru serta menambah jumlah level dalam game. Ketika bermain, siswa dapat merasakan suasana latar yang disajikan dalam permainan, siswa juga diberikan kebebasan dalam memilih pasangan kartu sehingga memberikan hiburan yang positif.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka game ini cocok dimainkan oleh siswa. Game ini lebih memudahkan siswa untuk belajar fisika tanpa dibatasi waktu dan tempat, sehingga game ini aman dan menarik dimainkan oleh siapa saja. Penggunaan Game sebagai media pembelajaran sangat efektif karena mendapatkan informasi dan wawasan yang luas mengenai materi besaran dan satuan.

KESIMPULAN

Dari uraian yang disajikan pada Hasil dan Pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Sebanyak 90% siswa menyatakan bahwa penggunaan Game Tebak Kartu Besaran

Fisika sebagai media pembelajaran sangat memotivasi siswa untuk belajar mandiri. 2. Game ini dapat digunakan siswa dengan efisien kapan saja dan dimana saja. REFERENSI Abdjul, Tirtawaty. 2013. Peningkatan Motivasi Mahasiswa PGBI Kelas Fisika Dasar II

pada Penyelenggaraan Lesson Study. Jurnal Entropi, Volume VIII, Nomor 1. Astawan, I Gede. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Singaraja: Universitas

Pendidikan Ganesha. Chotimah, Husnul.2015. Penerapan Strategi Pembelajaran Think Pair Share Untuk

Meningkatkan Motivasi Belajar Biologi Siswa Kelas X-KPR-2 SMKN 13 Kota Malang. Jurnal Biology Science & Education 2015. vol 4 no 1. Page 17.

Coca, David Méndez. 2013. Software Socrative and Smartphones as Tools For Implementation of Basic Processes of Active Physics Learning in Classroom: An Initial Feasibility Study With Prospective Teachers, European Journal of Physics Education Vol. 4 Issue 2.

Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Fazar, Ibnu. 2016. Pengembangan Bahan Ajar Program Linear Menggunakan Aplikasi

Geogebra Berbantuan Android Di Sekolah Menengah Atas. JPPM Vol. 9 No. 1. Fletcher, Tim and Ashley Casey.2014. The Challenges of Models-Based Practice in

Physical Education Teacher Education: A Collaborative Self-Study. Journal of Teaching in Physical Education, Vol 33, p. 403-421.

Herawati, Dera Dwi. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) Dengan Media Komik Pada Materi Pengelolaan Lingkungan Guna Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar (Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1 Semboro Jember). Pancaran, Vol. 3, No.3, hal 73.

PENDIDIKAN FISIKA…

34 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hidayati, K., & Listyani, E. 2010. Pengembangan Intrumen Kemandirian Belajar Mahasiswa. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 14(1) 84-99.

Kim, Ae Hyun dan Jae Hwan Bae. 2014. Development of Mobile Game Using Multiplatform (Unity 3D) Game Engine, International Journal of Intelligent Information Processing (IJIIP), Vol. 5 No.1, Hal. 29-36.

Kustijono, R., Elok Wiwin HM. 2014. Pandangan Guru Terhadap Pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran Fisika Smk Di Kota Surabaya. Jurnal Pendidikan Fisika dan Aplikasinya (JPFA) . Vol 4 No 1.

Manumpil, B., Y. Ismanto, dan F. Onibala. 2015. Hubungan Penggunaan Gadget dengan Tingkat Prestasi Siswa Di SMA Negeri 9 Manado. ejoural Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2.

Martono, Kurniawan Teguh. 2011. Perancangan Game Edukasi “Fish Identity” Dengan Menggunakan Java. Jurnal Sistem Komputer, Vol. 1 No.1, Hal. 49-53.

Praharsana, A., D. Herumurti, & R.R. Hariadi. 2015. Penerapan Teknologi Virtual Reality Pada Perangkat BergerakBerbasisAndroid Untuk Mendukung Terapi Fobia Laba-Laba (Arachnophobia). Jurnal Teknik ITS. 4(1): 129-132.

Praptiani, S. (2013). Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Agresivitas Remaja Dalam Menghadapi Konflik Sebaya dan Pemaknaan Gender.Jurnal Sains dan Praktik Psikologi. Jurnal Sains dan Praktik Psiklogi Vol 1, No 1.

Purnamasari, Yuli.2014. Aplikasi Game Edukasi Sistem Tata Surya Dengan Menggunakan Metode Line Renderer Berbasis Unity 3D. Jurnal MDP Online.

Rahma, Afifah. 2014. Pengaruh Penggunaan smartphone Terhadap Aktifitas Kehidupan Siswa (Studi Kasus MAN 1 Rengat Barat). Jom Fisip, Vol. 2 No. 2.

Rejeki, Dwi P. dkk.2015.Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 5E Pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Sikap Peserta Didik SMAN 1 Krueng Barona Jaya. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia, Vol. 03, No.01, hlm 19-26.

Shurygin, Viktor Y. dan Lyubov A. Krasnova. 2016. Electronic Learning Courses as A Means to Activate Students’ Independent Work in Studying Physics. International Journal of Environmental & Science Education, 11(8), 1743-1751.

Wahyudi. 2014. Analisis Kontribusi Sikap Ilmiah, Motivasi Belajar dan Kemandirian Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Stkip PGRI Pontianak. Jurnal Edukasi Matematika dan Sains, Vol. 1 No.2.

Yusro, Andista Candra. Penggunaan Modul Ilustratif Berbasis Inkuiri Terbimbing Pokok Bahasan Kinematika Gerak Lurus Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Dan Kemandirian Siswa Kelas VII SMPN 14 Madiun. Jurnal Pendidikan Fisika dan Keilmuan (JPFK). Vol 2, No 1.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 35

PERBANDINGAN MODEL EVALUASI PAPER BASED TEST (PBT) DAN COMPUTER BASED TEST (CBT) DI SMK PALAPA SEMARANG

Damar Sapta Jatmika1,2* , Agus Yulianto1 dan Budi Astuti1

1Pendidikan Fisika Program Pascasarjana UNNES, Jalan Kelud Utara III, 50237, Semarang, Indonesia 1,2SMK Palapa Semarang, Jl. Untung Suropati, Mijen, Semarang

* Email: [email protected]

Abstrak

Evaluasi dalam dunia pendidikan sangat penting guna mengukur ketercapaian kompetensi siswa. Ada 2 model evaluasi yang lazim digunakan yakni model tes berbasis kertas (paper based test / pbt) dan model tes berbasis komputer (computer based test/cbt). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbandingan penerapan model evaluasi pbt dan cbt di smk palapa semarang. Metode yang digunakan adalah penelitian evaluasi yang mencakup survey dan studi literatur. Subjek penelitian adalah nilai siswa kelas xii tahun pelajaran 2016/2017. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar yang tidak signifikan antara pbt dan cbt. Model cbt mempunyai kelebihan yakni lebih efektif. Model cbt memberikan kenaikan nilai sebesar 67% yakni pada 8 mata pelajaran yang diujikan dari 12 mata pelajaran. Model pbt sebaiknya diterapkan pada mata pelajaran exact sedangkan model cbt sebaiknya diterapkan pada pelajaran non exact. Kata kunci: CBT, Evaluasi, PBT

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi komunikasi dibidang internet memiliki dampak luas pada semua aspek manusia. Perkembangan teknologi tersebut membawa manusia pada era moderinasi dan cara hidup yang baru. Perkembangan teknologi tersebut juga mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Munir (2012) berpendapat bahwa multimedia memiliki potensi untuk menawarkan kesempatan belajar dengan cara-cara yang baru. Penggunaan media komputer dan fasilitas internet dalam dunia pendidikan dapat pada saat persiapan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada persiapan pembelajaran bisa dilihat dari pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selain itu, juga pembuatan media belajar banyak yang menggunakan fasilitas teknologi yang berkembang. Pada pelaksanaan pembelajaran, TIK mempunyai peran sebagai media pembelajaran yang interaktif dan mampu memberikan makna baru dalam pembelajaran (Sumintono, 2012). Pendapat lain juga memberikan penekanan tentang penggunaan TIK dalam pelaksanaan pembelajaran bahwa pembelajar abad 21 sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam menggunakan berbagai variasi media TIK. Selanjutnya, pemanfaatan TIK pada evaluasi pembelajaran dapat dilihat dari model tes evaluasi mulai dari yang diselenggarakan pemerintah maupun tingkat satuan pendidikan. Mulai tahun 2015, pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) mulai menggagas Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Terobosan pemerintah tersebut mengisyaratkan bahwa setiap pembelajar harus bisa dan mampu dalam menggunakan TIK sebagai model evaluasi.

Model evaluasi yang lazim digunakan yakni model tes berbasis kertas (papper based test / PBT) dan model tes berbasis komputer (computer based test /CBT). Model tes PBT telah lama digunakan sebagai model evaluasi pembelajaran. Model PBT merupakan jenis penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan peserta didik pada satuan pendidikan dengan menggunakan kertas dan alat tulis sebagai media utama. Sedangkan model tes CBT jenis penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan peserta didik pada satuan pendidikan dengan menggunakan komputer sebagai media.

PENDIDIKAN FISIKA…

36 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Salah satu sekolah yang sudah menerapkan model tes PBT dan CBT adalah sekolah menengah kejuruan (SMK) Palapa Semarang. Pada tahun 2016 SMK Palapa Semarang menyelenggarakan model tes PBT yang terakhir untuk menilai hasil belajar peserta didik kelas XII mulai tes ujian nasional (UN) dan ujian sekolah (US). Kemudian mulai tahun 2017 SMK Palapa menggelar ujian nasional berbasis komputer (UNBK) dan ujian sekolah berbasi komputer (USBK) dengan model tes CBT. Perkembangan teknologi tersebut menuntut disetiap lini penyelenggara pendidikan harus siap mengahadapi era TIK.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana perbedaan penerapan model evaluasi PBT dan CBT di SMK Palapa Semarang?. Tujuan dari penelitian yaitu mengetahui perbandingan penerapan model evaluasi PBT dan CBT di SMK Palapa Semarang. METODE

Metode penelitian ini adalah penelitian evaluasi (evaluation research) pembandingan yang mencakup survey dan kajian literatur pelaksanaan evaluasi nilai akhir semester kelas XII di SMK Palapa tahun pelajaran 2016 dan 2017. Subjek penelitian adalah nilai akhir semester gasal dan genap kelas XII tahun pelajaran 2016/2017. Lokasi penelitian dipilih SMK Palapa Semarang dikarenakan pada tahun pelajaran 2016/2017 penilaian akhir semester gasal menggunakan PBT sedangkan disemester genap menggunakan CBT.

Langkah penelitian yang dilakukan adalah menganalisis homogenitas siswa dalam penelitian. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui distribusi kemampuan siswa merata pada setiap kelas. Langkah berikutnya adalah studi literatur pelaksanaan model PBT dan CBT di SMK Palapa Semarang. Studi literatur hasil belajar siswa setelah menggunakan PBT dan CBT. Langkah selanjutnya menganalisis data hasil belajar siswa setelah menggunakan PBT dan CBT. Hasil analisis data kemudian dibandingkan antara rata-rata penggunaan model PBT dan CBT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil tes menggunakan model PBT di SMK Palapa Semarang tahun pelajaran 2016/2017 yang diikuti 256 siswa kelas XII disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rekap Nilai Tes Model PBT kelas XII di SMK Palapa Semarang Tahun Pelajaran 2016/2017

Kategori Nilai

MAT IPA FISIKA KIMIA PAI PKN PJOK KKPI KWU BSI BING BJAWA

Minimum 0 70 52 0 75 0 70 0 20 50 0 20 Maksimum 85 88 97 92 93 92 84 92 90 80 92 90 Rata-rata 74,93 79,82 80,59 74,41 79,31 74,24 79,09 74,41 78,61 75,80 74,54 74,04

Data pada tabel 1 menunjukkan ada 6 mata pelajaran yang mempunyai nilai rata-rata di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yakni 75. Mata pelajaran tersebut adalah Matematika, Kimia, Pendidikan Kewarganegaraan, KKPI, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan ada 50% mata pelajaran yang tidak mencapai rata-rata KKM dengan model PBT. Hasil tersebut sependapat dengan wawancara panitia penyelenggara tes PBT bahwa ke enam mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik jawaban yang relatif panjang pada soal uraian. Jawaban soal uraian yang terlalu panjang mengakibatkan siswa terjebak dalam menejemen waktu saat mengerjakan soal. Hasil tes menggunakan model CBT di SMK Palapa Semarang tahun pelajaran 2016/2017 yang diikuti 256 siswa kelas XII disajikan pada tabel 2.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 37

Tabel 2. Rekap Nilai Tes Model CBT kelas XII di SMK Palapa Semarang Tahun Pelajaran 2016/2017

Kategori Nilai

MAT IPA FISIKA KIMIA PAI PKN PJOK KKPI KWU BSI BING BJAWA

Minimum 75 75 75 75 75 75 75 76 75 75 75 75 Maksimum 84 97 93 95 89 87 95 87 90 84 94 94 Rata-rata 77,17 77,77 77,64 77,71 79,60 80,22 78,43 80,71 78,08 79,11 79,63 79,03

Pada tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata semua mata pelajaran sudah diatas KKM. Data tersebut menunjukkan bahwa sudah 100% mata pelajaran memiliki kriteria rata-rata diatas KKM pada model tes CBT. Hasil tersebut sependapat dengan wawancara panitia penyelenggara tes CBT bahwa semua mata pelajaran yang menggunakan model tes CBT dikembangkan dengan sistem multiple choise / pilihan ganda. Model CBT ini diharapkan mampu memberikan efektifitas dalam meningkatkan nilai hasil belajar dan lebih efisien dalam penyelenggaraan tes akhir semester. Sedangkan perbandingan rata-rata nilai hasil tes model PBT dan CBT pada mata pelajaran exact ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Nilai Model PBT dan CBT Mata Pelajaran Exact Gambar 1 menunjukkan adanya mata pelajaran exact yang mengalami kenaikan nilai rata yaitu Matematika dan Kimia. Kenaikan kedua mata pelajaran tersebut secara berurutan sejumlah 2,24 dan 3,30. Sedangkan mata pelajaran IPA dan Fisika mengalami penurunan nilai rata secara berurutan yakni sebesar 2,05 dan 2,95. Penyebab penurunan nilai rata-rata pelajaran IPA dan Fisika oleh beberapa faktor antara lain: human eror dan sistem eror. Faktor human eror disebabkan siswa tidak terbiasa dalam mengerjakan soal fisika maupun soal ipa secara komputerisasi. Sedangkan sistem eror sering terjadi soal yang muncul memerlukan loading yang relatif lama. Perbandingan rata-rata nilai hasil tes model PBT dan CBT pada mata pelajaran non exact disajikan dalam gambar 2.

Gambar 2. Perbandingan Rata-rata Nilai Model PBT dan CBT Mata Pelajaran Non-exact Gambar 2 menunjukkan dari 8 mata pelajaran non exact ada 2 mata pelajaran yang tidak mengalami kenaikan rata-rata nilai. Kedua mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) dan Kewirausahaan (KWU). Kedua

Ren

tang

Nil

ai

Mata Pelajaran Exact

Mata Pelajaran

Ren

tang N

ilai

PENDIDIKAN FISIKA…

38 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

mata pelajaran tersebut secara berturut-turut mengalami penurunan nilai rata-rata sebesar 0,66 dan 0,53. Faktor yang menyebabkan menurunnya nilai rata-rata tersebut disebabkan karena pada mata pelajaran PJOK tidak pernah menggunakan media komputer sehingga anak mengalami kecanggungan dalam mengerjakan soal teorinya. Selain 2 mata pelajaran yang mengalami penurunan nilai, ada 6 mata pelajaran non exact lainnya yang mengalami kenaikan. Ke enam mata pelajaran tersebut yaitu pendidikan agama islam, pendidikan kewarganegaraan, KKPI, bahasa dan sastra indonesia, bahasa inggris, dan bahasa jawa. Kategori kenaikan atau penurunan nilai rata-rata hasil tes menggunakan model PBT dan CBT dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Mata pelajaran yang mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata nilai hasil evaluasi model PBT dan CBT

No Mata Pelajaran Kategori Jumlah

1 Matematika Naik 2,24

2 Ilmu Pengetahuan Alam Turun 2,05 3 FISIKA Turun 2,95 4 KIMIA Naik 3,3 5 Pendidikan Agama Islam Naik 0,28 6 Pendidikan Kewarganegaraan Naik 5,98 7 Pendidikan Jasmani, Olahraga,

dan Kes Turun 0,66

8 KKPI Naik 6,3 9 Kewirausahaan Turun 0,53

10 Bahasa Indonesia Naik 3,32 11 Bahasa Inggris Naik 5,09 12 Bahasa Jawa Naik 4,99

Persentase Mata Pelajaran mengalami kenaikan rata-rata nilai

67%

Persentase Mata Pelajaran mengalami penurunan rata-rata nilai

33 %

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 12 mata pelajaran ada 8 mata pelajaran yang mengalami kenaikan rata-rata nilai model tes PBT dan CBT. Secara persentase ada 67% yang mengalami kenaikan. Sedangkan ada 4 mata pelajaran yang mengalami penurunan rata-rata nilai model tes PBT dan CBT. Secara persentase ada 33% yang mengalami penurunan. Berdasarkan uraian data tersebut, maka ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi model tes CBT. Faktor tersebut diantaranya: 1. Kemudahan dalam menggunakan teknologi komputer dalam mengerjakan soal.

Sependapat dengan Saputri (2015) menyatakan bahwa tes mengunakan komputer dibandingkan dengan menggunakan kertas tidak memberikan pengaruh yang kesulitan yang berarti dalam mengerjakan soal. Kemajuan teknologi secara simultan mengantarkan siswa dalam menghadapi persoalan didunia digital. Sebagai contoh adalah peralihan model tes dari PBT ke CBT.

2. Model CBT menghasilkan pensekoran lebih reliabel. Novrianti (2015) menyatakan perbedaan antara pensekoran yang dilakukan oleh manusia dengan yang dilakukan oleh komputer memperlihatkan hasil yang akurat dan reliabel.

3. Merupakan model inovasi dalam evaluasi pendidikan. Sejalan dengan program kemendikbud yang mengharuskan ujian nasional wajib menggunakan komputerisasi maka sekolah berlomba-lomba menyukseskan program tersebut.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 39

Program kemendikbud tersebut membawa dampak positif bagi siswa. Dampak yang langsung bisa dirasakan adalah siswa mulai gemar berlatih menggunakan komputer. Mulai dari latihan mengerjakan soal sampai mencari belajar mencari materi sendiri dari komputer.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, model PBT lebih efektif dari pada model CBT. Model CBT memberikan kenaikan nilai sebesar 67% yakni pada 8 mata pelajaran yang diujikan dari 12 mata pelajaran. Model PBT sebaiknya diterapkan pada mata pelajaran exact sedangkan model CBT sebaiknya diterapkan pada pelajaran non exact. Saran bagi peneliti selanjutnya, diharapkan model CBT bisa disosialisasikan dan dilatihkan terlebih dahulu supaya siswa terbiasa dengan model CBT. Disamping itu, model CBT layak direkomendaikan untuk model tes mata pelajaran non exact. UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada bapak Agus Yulianto dan Ibu Budi Astuti selaku dosen pembimbing mata kuliah komunikasi Ilmiah. Keluarga besar SMK Palapa Semarang terutama Kepala Sekolah Bapak Soedjatmoko, S.Pd yang memberikan dukungan terlaksananya penelitian ini. Rekan-rekan mahasiswa program studi fisika PPS UNNES angkatan 2016 serta semua pihak yang telah membantu keterlaksanaan penelitian dan penulisan artikel ini. REFERENSI A.T. Alabi, A.O. Issa, R.A. Oyekunle. 2012. The Use of Computer Based Testing Method for

the Conduct of Examinations at the University of Ilorin. International Journal of Learning & Development, Vol. 2, No. 3, 2012: 68-80. Diunduh: www.macrothink.org/ijld

Bagus, H. C. 2012. Administrasi Ujian Nasional (UN) Dengan Menggunakan model Camputerized Adaptive Testing (CAT). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 18(1), hlm. 45-53.

Bennet, R. E. & Gitomer, D.H. 2009. Transforming K-12 Assessment: Integrating Accountability Testing, Formative Assessment and Profesional Support n C. Wyat-Smith & J.J. Cumming (Eds). Educational Assessment in the 1st Century: Connecting Theory and Practice. London: Springer.

Dian Saputri, Ashari, Eko. A.S. 2015. Pengembangan Computer Based Tes (CBT) dengan Software Hot Potatoes pada Pembelajaran Fisika Dasar 2 di Universitas Muhammadiyah PurworejoTahun Akademik 2014/2015. Jurnal Radiasi, Vol. 7, No. 2, September 2015: 7-13

Luecht, R. M., & Sireci, S. G. 2011. A Review of Models for Computer-Based Testing. College Board.

Munir. (2012). Multimedia Konsep & Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung : alfabeta Novrianti. 2014. Pengembangan Computer Based Testing (CBT) Sebagai Alternatif

Teknik Penilaian Hasil Belajar. Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 17, No. 1, Juni 2014: 34-42

Nitko, A. J. & Susan, M. B. 2011. Educational Assessment of Students (Sixth Edition). Boston, M.A: Pearson Education Inc., publishing as Allyn & Bacon.

Sumintono, Bambang, dkk. 2012. Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pengajaran : Survey Pada Guru-Guru Sains SMP di Indonesia. Johor Bahru: Fakulti Pendidikan,Universiti Teknologi Malaysia

PENDIDIKAN FISIKA…

40 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

INTEGRASI SAINS ISLAM DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMP

Farida Yuliani1*, Arsini2, dan Qisthi Fariyani1

1Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang, Indonesia 2Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang, Indonesia

* Email: [email protected]

Abstrak

Integrasi sains dan Islam dengan pendekatan saintifik merupakan pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan metode ilmiah atau kegiatan penelitian dengan menyatupadukan ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain penelitian Posttest-Only Control Design. Populasi penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Al Fattah Semarang semester genap tahun ajaran 2016/2017. Sampel yang diambil adalah siswa kelas VIII A dan VIII B. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah tes, dokumentasi, dan wawancara. Data yang diambil adalah nilai hasil belajar siswa yang diperoleh melalui tes. Hasil analisis data penelitian dengan uji t menunjukkan thitung > ttabel yang artinya hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih baik dibanding kelas kontrol. Berdasarkan analisis peningkatan hasil belajar siswa diperoleh nilai gain sebesar 0,34, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kata Kunci: Pendekatan Saintifik dan Integrasi Sains Islam

PENDAHULUAN

Integrasi agama dan sains sangat diperlukan dalam pembelajaran, oleh karena itu perlu dikembangkan sebuah model pembelajaran integratif yang memadukan antara mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lainnya. Perpaduan yang dimaksud bukan sekedar proses pencampuran biasa (Islamisasi), tetapi sebagai proses pelarutan. Paradigma ini bukan hanya menyatukan ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Islam (dengan al-Qur’an dan Sunnah) menjadi sumber rujukan bagi setiap kerja suatu bidang keilmuan. Islam tidak hanya menjadi pelengkap kajian ilmiah yang ada, justru harus menjadi pengawal dari setiap kerja para guru mata pelajaran (Purwaningrum, 2015).

Permendikbud No. 65 (2013) tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengisyaratkan perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik atau ilmiah. Model pembelajaran pendekatan saintifik dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran yang memandu siswa untuk memecahkan masalah melalui kegiatan perencanaan yang matang, pengumpulan data yang cermat, dan analisis data yang yang teliti untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Siswa harus dibina kepekaannya terhadap fenomena, ditingkatkan kemampuannya dalam mengajukan pertanyaan, dilatih ketelitiannya dalam mengumpulkan data, dikembangkan kecermatannya dalam mengolah data, serta dipandu dalam membuat kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan (Abidin, 2014).

Penelitian Marjan (2014) menyebutkan bahwa pembelajaran pendekatan saintifik merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah dan inkuiri, siswa berperan langsung baik secara individu maupun kelompok untuk menggali konsep dan prinsip selama kegiatan pembelajaran, sedangkan tugas guru adalah mengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap konsep dan prinsip yang didapatkan siswa.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 41

Menurut Suratman selaku Kepala Sekolah SMP Al Fattah Semarang (Wawancara, 29 November 2016), pembelajaran IPA yang berlangsung di SMP Al Fattah pada umumnya menggunakan metode konvensional dengan metode ceramah yang berpusat pada guru. Siswa hanya mendengarkan materi dan mencatat hal-hal yang penting dari materi. Sesekali guru menggunakan metode diskusi, namun masih terkendala dalam mengelola kelas, keterbatasan waktu, serta target materi yang harus diselesaikan. Saat diskusi, siswa yang aktif hanya satu atau dua orang saja, sedangkan yang lain sibuk sendiri bahkan bermain-main dengan teman yang lain. Selain itu, pembelajaran yang dikembangkan bersifat tekstual dengan buku sebagai sumber pembelajaran yang utama dan kurang optimalnya penggunaan sumber belajar maupun media pembelajaran. Sistem kegiatan belajar mengajar di SMP Al Fattah belum mengintegrasikan sains dan Islam. Kegiatan belajar mengajar IPA berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan nilai-nilai keislaman. Begitu pula pada mata pelajaran agama (Fiqh, Akidah Akhlak, dan al Quran Hadist) guru hanya fokus pada materi agama tanpa diintegrasikan dengan nilai-nilai sains.

Cahaya merupakan salah satu materi IPA di SMP yang sulit dipahami siswa karena sifatnya yang abstrak. Metode eksperimen akan membuat pembelajaran lebih efektif karena disertai dengan percobaan-percobaan untuk menemukan bukti kebenaran dari teori dan konsep yang dipelajari, sehingga siswa akan lebih mudah untuk memahami materi dan tujuan pembelajaran akan tercapai. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji efektivitas pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Al Fattah Semarang. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode Quasi Experiment (Eksperimen Semu). Penelitian dilakukan di SMP Al Fattah Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Al Fattah Semarang dengan jumlah 102 orang siswa dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII A dan kelas VIII B dengan jumlah 50 orang siswa. Desain penelitian ini adalah Posttest-Only Control Design, dengan menggunakan dua kelas yang masing-masing dipilih secara random. Kelas eksperimen diberi perlakuan dan kelas kontrol tidak diberi perlakuan. Analisis data bersifat kuantitatif/statistik untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012).

Teknik pengumpulan data melalui metode tes, wawancara, dan dokumentasi. Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir (posttest) yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan tes berupa pilihan ganda sebanyak 21 soal. Wawancara dan dokumentasi digunakan untuk memperkuat hasil penelitian yang telah dilakukan dan sebagai studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti.

Teknik analisis data dalam penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu analisis uji coba intrumen, analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis uji coba instrumen tes berupa uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda (Arikunto, 2012). Analisis data awal dalam penelitian adalah uji homogenitas sampel dengan menggunakan uji F. Analisis data akhir meliputi uji normalitas kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan rumus Chi-Kuadrat, uji signifikansi hasil belajar dengan menggunakan rumus uji t, dan uji peningkatan hasil belajar menggunakan uji gain (Hake, 2002).

PENDIDIKAN FISIKA…

42 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui seberapa efektif penggunaan pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Al Fattah Semarang materi Cahaya.

Integrasi sains dan Islam pada pembelajaran IPA di SMP al Fattah masih tergolong minim, baik model, metode maupun pendekatan pembelajaran. Integrasi pembelajaran IPA yang diisyaratkan dalam QS. Ali Imran ayat 191 adalah integrasi antara berdzikir dan berfikir sehingga menjadikan pembelajaran tersebut kaya akan penanaman nilai-nilai religi dalam afektif siswa. Keberhasilan siswa dalam belajar yang bisa meningkatkan Imtak dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal siswa. Salah satu faktor eksternal yang ikut berpengaruh atas keberhasilan siswa dalam memahami suatu topik pembelajaran yang berasal dari guru adalah kemampuan guru dalam memilih metode dan pendekatan pembelajaran yang tepat sehingga nilai-nilai Imtak bisa mewarnai dalam pembelajaran tersebut (Muspiroh, 2014).

Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah nilai ulangan harian materi Getaran dan Gelombang dan nilai posttest materi Cahaya. Sebelum digunakan sebagai soal posttest, soal pilihan ganda yang berjumlah 35 butir diujicobakan di kelas IX. Hasil tes uji coba tersebut dianalisis validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembedanya. Dari 35 soal pilihan ganda yang diujicobakan diperoleh 21 soal pilihan ganda valid dan reliabel yang siap digunakan untuk posttest.

Nilai ulangan harian kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh dari nilai ulangan harian materi Getaran dan Gelombang. Nilai ini akan digunakan untuk menguji homogenitas sampel sebelum diberikan perlakuan. Hasil nilai ulangan harian kelas eksperimen dan kelas kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi Nilai Ulangan Harian Kelas Eksperimen dan Kontrol

Data Kelas

Eksperimen Kelas

Kontrol N 25 25

Rata-rata 74,6 72,36 Standar deviasi

6,44 7,93

Setelah menggunakan pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam

dengan metode eksperimen dan pendekatan saintifik dengan metode eksperimen, siswa diberi posttest untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa setelah dilakukan pembelajaran. Hasil posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi Nilai Posttest Kelas Eksperimen dan Kontrol

Data Kelas

Eksperimen Kelas

Kontrol N 25 25

Rata-rata 78,2 66,92 Standar deviasi

8,53 11,51

Analisis data awal dalam penelitian adalah uji homogenitas kelas eksperimen dan

kelas kontrol. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data nilai hasil belajar siswa materi Getaran dan Gelombang pada kelas kontrol dan kelas eksperimen.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 43

Kedua kelas mempunyai varians yang sama (homogen) apabila Fhitung>Ftabel dengan α = 5% dan dk= K-1. Analisis data menunjukkan S12 = 41,5 dan S22 = 62,99 sehingga diperoleh Fhitung = 1,51. Selanjutnya dengan dk pembilang = 25 – 1 =24 dan dk penyebut = 25 – 1 = 24 diperoleh Ftabel = 1,98 sehingga Fhitung > Ftabel yang menunjukkan bahwa data homogen.

Analisis data akhir didasarkan pada nilai posttest yang diberikan pada siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Analisis akhir ini meliputi uji normalitas, uji signifikansi dan uji peningkatan hasil belajar siswa dengan pendekatan saintifik terintegrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen.

Uji normalitas menggunakan data nilai posttest siswa setelah melaksanakan proses pembelajaran. Terdapat 25 siswa pada masing-masing kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil uji normalitas nilai posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh X2hitung berturut-turut sebesar 3,27 dan 6,43 sedangkan X2tabel =11,070 yang menunjukkan bahwa X2hitung < X2tabel, sehingga data berdistribusi normal.

Uji signifikansi hasil belajar siswa digunakan untuk menguji hipotesis penelitian, yaitu hipotesis diterima atau ditolak. Hasil perhitungan data dengan menggunakan uji-t diperoleh thitung = 4,89, sedangkan dengan = 5 % dan dk = 25 + 25 - 2 = 48 diperoleh ttabel = 2,021 menunjukkan bahwa thitung > ttabel, sehingga H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti hasil belajar siswa pada materi Cahaya dengan pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen lebih baik dibanding hasil belajar siswa dengan pendekatan saintifik metode eksperimen tanpa menggunakan integrasi sains dan Islam. Hal ini sesuai dengan penelitian Wiratma (2014) yang menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan pendekatan saintifik melalui metode eksperimen lebih baik dibanding siswa yang diajar tanpa menggunakan pendekatan saintifik melalui metode eksperimen. Melalui pendekatan saintifik, siswa dapat mengembangkan karakternya dan melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek yang menyebabkan perubahan hasil belajar.

Salah satu faktor yang mendukung hasil belajar kelas eksperimen lebih baik dibanding kelas kontrol adalah keterlibatan siswa selama proses pembelajaran. Siswa lebih aktif untuk menemukan konsep melalui praktikum pada kelas eksperimen dan tanggap dengan penjelasan guru mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena-fenomena mengenai cahaya. Siswa terlihat antusias dan aktif selama kegiatan praktikum berlangsung, misalnya ketika mencari pembentukan bayangan pada cermin cekung dan lensa cembung. Siswa saling bekerja sama untuk menemukan bayangan yang paling jelas. Sebagian siswa mengamati dan mengukur jarak bayangan, sebagian yang lain menghitung dan menganalisis data. Setelah menyampaikan hasil percobaan, siswa pada kelas eksperimen juga terlihat antusias dan tanggap dengan penjelasan guru mengenai ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan cahaya, misalnya sifat-sifat bayangan dan peristiwa pembiasan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang mereka berikan pada kelas kontrol, sehingga siswa lebih mampu dan paham dalam mengerjakan soal posttest yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai keislaman. Lain halnya dengan pembelajaran pada kelas kontrol yang hanya menggunakan pendekatan saintifik dengan metode eksperimen tanpa menggunakan integrasi sains dan Islam, siswa terlihat lebih pasif dibanding siswa pada kelas eksperimen.

Penerapan pendekatan Saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen membuat proses pembelajaran Fisika menjadi lebih menarik dan membuat siswa menjadi lebih antusias, hal ini secara langsung memberikan dampak pada hasil belajar Fisika yang diperoleh siswa. Rata-rata kelas eksperimen diperoleh 78,2 dan rata-rata kelas kontrol 66,92, sehingga diperoleh gain 0,34. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa peningkatan hasil belajar materi Cahaya kelas eksperimen yang menggunakan pendekatan saintifik berbasis integrasi Sains dan Islam dengan metode

PENDIDIKAN FISIKA…

44 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

eksperimen mengalami peningkatan dengan kriteria sedang dibanding dengan hasil belajar kelas kontrol.

Penerapan pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen dalam proses pembelajaran dapat membantu siswa untuk meningkatkan hasil belajarnya. Penelitian Marjan (2014) menunjukkan bahwa dengan menerapkan pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran dapat memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa, karena melalui pendekatan saintifik siswa menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari. Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nafiah (2016) menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA khususnya pokok bahasan Cahaya. Metode eksperimen diperlukan sebagai penguat dalam penerapan pendekatan saintifik agar siswa dapat mengkontruksikan pengetahuannya dalam proses pembelajaran. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang diajar hanya dengan pendekatan saintifik dengan metode eksperimen. Pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Al- Fattah Semarang pada materi Cahaya dengan hasil uji gain sebesar 0,34 yang berkriteria peningkatan sedang. REFERENSI Abidin, Yunus. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013.

Bandung: Refika Aditama. Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi 2. Jakarta: Bumi

Aksara. Hake, R. Richard. 2002. Analyzing Change/Gain Scores. 1. Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan

Kurikulum 2013). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Marjan, Johari. 2014. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Saintifik terhadap Hasil

Belajar Biologi dan Keterampilan Proses Sains Siswa MA Mu’allimat NW Pancor Selong Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. 4.

Mendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Mendikbud.

Muspiroh, Novianti. 2014. Integrasi Nilai-Nilai Islam dalam Pembelajaran IPA di Sekolah. Jurnal IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 3 (2): 177.

Nafi’ah, Ulin. 2016. Efektivitas Penggunaan Metode Eksperimen terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa (Psikomotorik dan Kognitif) pada Pokok Bahasan Cahaya Kelas VIII SMP N 4 Juwana Tahun Pelajaran 2015/2016. Skripsi. Semarang: UIN Walisongo.

Purwaningrum, Septiana. 2015. Elaborasi Ayat-Ayat Sains dalam Al-Quran: Langkah Menuju Integrasi Agama dan Sains dalam Pendidikan. 1 (1): 125.

Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Wiratma, G. 2014. Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Metode Eksperimen pada

Pembelajaran Fisika Siswa Kelas X MIA 3 SMA Negeri 1 Tenggarong (Materi Suhu dan Kalor). Jurnal.unej. 6 (2) : 26-27.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 45

IDENTIFIKASI PEMAHAMAN MAHASISWA TENTANG KONSEP TEORI ATOM BOHR

Herwidhi Tri Prabowo1,2*, Agus Yulianto1, Budi Astuti1

1)Program Pascasarjana Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Semarang Jalan Kelud Utara III, Semarang, 50237

2)SMK NU Ma’arif 2 Kudus, Jalan Siliwangi Gg. 1 No.99, Kudus, 59382 email: [email protected]

Abstrak

Teori atom Bohr menjadi pijakan peralihan teori atom dalam tinjauan klasik ke tinjauan kuantum. Pemahaman teori Bohr ini menjadi penting untuk memahami bagaimana perkembangan teori atom dari pandangan klasik menjadi kuantum yang masih berkembang sampai saat sekarang ini. Penelitian pada mahasiswa Jurusan Fisika Universitas Negeri Semarang sebanyak 37 mahasiswa dilakukan untuk mengetahui konsep pemahaman mahasiswa terkait keberadaan teori Bohr. Subjek penelitian mendapatkan materi teori atom pada mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Modern, Fisika Inti, dan Fisika Kuantum. Instrumen yang digunakan berupa pertanyaan terbuka. Analisis data dilakukan dengan teknik triangulasi terhadap jawaban mahasiswa. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemahaman mahasiswa secara keseluruhan tidak menyimpang dari konsep teori Bohr, hanya saja pada tataran pemahaman yang berbeda. Sebanyak 16 mahasiswa menjawab pertanyaan hanya pada kisaran teori atom Bohr saja, sementara 21 mahasiswa lain menjawab dengan membandingkan teori atom Bohr dengan teori sebelumnya, yaitu teori atom Rutherford. Kata Kunci : pemahaman konsep, teori atom klasik, teori atom modern, teori Bohr.

PENDAHULUAN

Struktur atom merupakan konsep penting dalam pendidikan sains (Adams, 2012). Teori atom senantiasa berkembang dari waktu ke waktu hingga saat ini (Budde et al., 2002). Para ilmuan selalu mengkaji dan menemukan hal baru dari atom. Kajian ini dimulai dari zaman peradaban manusia yang masih sederhana; dari masa Yunani Kuno yang menganggap atom sebagai bagian terkecil dari suatu materi sampai pada massa mekanika kuantum yang mengkaji bagian atom, energi, hingga sifat dan karakteristik bagian atom tersebut yang dijelaskan secara detail dan lebih kompleks. Perkembangan teori atom oleh para ilmuan dibagi dalam dua tinjauan, yaitu tinjauan klasik dan tinjauan kuantum. Teori atom Bohr menjadi pijakan peralihan tinjauan klasik ke tinjauan kuantum.

Pemahaman tentang teori atom menjadi dasar keilmuan yang sangat penting. Materi ini menjadi pijakan dalam perkembangan fisika dan kimia. Özmen (2004) dan Nahum et al., (2004) dalam jurnalnya menyatakan bahwa untuk memahami konsep-konsep teori atom diperlukan pengetahuan dasar mengenai konsep struktur atom. Hasil penelitian yang dilakukan Taber (2001) dan Nakiboglu (2003) menunjukkan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep struktur atom, yang mengakibatkan pemahaman mereka pada konsep ini tergolong rendah. Wardhani (2016) menyatakan bahwa dasar dari pembelajaran teori atom adalah membuat siswa memahami dan mampu menerapkan konsep mengenai atom, struktur, dan perkembangan teorinya.

Dinamika pembahasan teori atom yang terjadi hingga saat ini menimbulkan permasalahan bagi mahasiswa dalam mempelajarinya. Mahasiswa cenderung mengalami miskonsepsi bahkan salah konsep terkait teori atom dikarenakan adanya perkembangan model-model atom yang variatif (Petri dan Hans, 2012). Wahyuningrum (2013) menyatakan bahwa mahasiswa yang mengalami miskonsepsi memiliki keyakinan yang tinggi terhadap pemahaman konsep yang dimiliki. Keyakinan yang tinggi disebabkan oleh ketidakmampuan mahasiswa dalam memahami konsep atom

PENDIDIKAN FISIKA…

46 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

secara utuh. Miskonsepsi dapat disebabkan antara lain oleh pengetahuan awal siswa, karakteristik materi yang dipelajari, dan kegiatan pembelajaran (Horton, 2004). Salah satu sumber miskonsepsi dalam kegiatan pembelajaran adalah guru (Nahum et.al., 2004). Terkadang guru dapat menjadi sumber utama dari miskonsepsi yang dialami oleh siswa (Chiu, 2005).

Mahasiswa program studi pendidikan fisika Universitas Negeri Semarang merupakan calon guru fisika, yang pada semester 7 akan melakukan praktik mengajar di sekolah. Dalam artikel ini dipaparkan hasil penelitian identifikasi pemahaman mahasiswa tentang konsep teori atom Bohr sebagai jembatan peralihan pandangan atom klasik ke fisika kuantum yang sangat penting untuk diketahui. Sebelum mahasiswa memulai praktik mengajar, perlu untuk memahami konsep yang akan diajarkan, yang dalam hal ini mengenai topik struktur atom. Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk menggali pemahaman konsep, salah satunya adalah dengan soal terbuka. Dengan tipe soal ini, mahasiswa dapat memberikan jawaban seluas - luasnya dan jawaban sebebas - bebasnya sesuai pemahamannya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian dengan tujuan memperoleh informasi dan mengidentifikasi pemahaman konsep mahasiswa fisika pada topik teori atom Bohr. METODE PENELITIAN

Tes pemahaman konsep yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sebuah pertanyaan uraian. Tes ini menggali pemahaman mahasiswa terkait teori atom Bohr sebagai pijakan peralihan dari tinjauan klasik ke tinjauan kuantum. Tes berisi pertanyaan dimana mahasiswa menanggapi dengan memberikan jawaban bebas atau terbuka. Pernyataan jawaban siswa dikelompokkan sesuai tingkat kedalaman pemahaman. Dilakukan konfirmasi terhadap jawaban mahasiswa dengan pemahaman dalam dan dangkal melalui wawancara. Tingkat pemahaman mahasiswa dilihat dari persentase jawaban mahasiswa menggunakan persamaan menurut Sudijono (2008: 43) yakni:

𝑃 =𝑓

𝑛𝑥100%

dengan P adalah persentase jawaban mahasiswa; f adalah jumlah mahasiswa yang menjawab; n adalah jumlah mahasiswa. Kriteria tingkat pemahaman mahasiswa disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Kriteria Tingkat Pemahaman Mahasiswa Rentang Persentase Kriteria 85% < skor ≤ 100% 70% < skor ≤ 85% 50% < skor ≤ 70% 01% < skor ≤ 50%

Sangat baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik

Subjek penelitian adalah mahasiswa tahun ketiga Universitas Negeri Semarang

Jurusan Pendidikan Fisika pada tahun ajaran 2016/2017 sebanyak 37 mahasiswa. Subjek penelitian telah mendapatkan materi teori atom pada mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Modern, Fisika Inti, dan Fisika Kuantum. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tes pemahaman konsep bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa calon guru fisika terhadap teori atom. Mahasiswa diminta untuk mengidentifikasikan perkembangan teori atom berdasarkan tinjauan fisika klasik dan fisika kuantum. Salah satu model teori atom yang dianggap penting sebagai sebuah langkah peralihan pembahasan teori atom dari tinjauan klasik menjadi tinjauan

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 47

kuantum adalah model atom bohr. Bohr mampu menjelaskan kegagalan model atom Rutherford tentang kestabilan atom dan terjadinya spektrum garis atom hidrogen. Menurut Bohr, elektron berotasi mengelilingi inti pada lintasan-lintasan yang tentu. Selain itu, Bohr juga menjelaskan bahwa elektron dapat berpindah ke lintasan lain dengan cara memancarkan atau menyerap energi.

Tes pemahaman konsep yang dilakukan oleh mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa mampu menjelaskan model atom Bohr sebagai model peralihan pembahasan teori atom. Penjelasan yang diberikan oleh mahasiswa memiliki tingkat pendalaman yang berbeda-beda. Akan tetapi, mahasiswa mampu menjelaskan postulat yang dikemukakan oleh Bohr dengan kalimat yang lebih sederhana dan mudah untuk dipahami. Berdasarkan jawaban yang dikemukakan oleh mahasiswa, jawaban-jawaban tesebut dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Isi Pernyataan Jawaban Mahasiswa Menyatakan Teori

Atom Bohr saja Membandingkan Teori Bohr dengan Teori Atom

Sebelumnya Pernyataan I Pernyataan II Pernyataan

III Pernyataan

IV Elektron terletak pada orbit stasioner yang memiliki tingkat energi tertentu dan dapat berpindah kulit jika ada energi dari luar

Mengungkapkan kelemahan Rutherford bahwa untuk dapat terus bergerak, elektron membutuhkan energi karena jika tidak maka elektron akan terjatuh ke inti. teori atom Bohr bahwa masing-masing kulit memiliki tingkat energi tertentu (diskrit) dan lintasannya bersifat stasioner

Persamaan energi 𝑬 = 𝒉𝝊

= −𝟏𝟑, 𝟔

𝒏𝟐

dan momentum anguler

Perpindahan elektron disebabkan adanya energi luar

Tabel 2 menyajikan kelompok kategori jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Jawaban mahasiswa pada tes pemahaman dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar. Terdapat kelompok mahasiswa yang hanya mampu menjelaskan teori bohr saja, sedang lainnya mampu menjelaskan teori bohr dan membandingkannya dengan teori rutherford. Jumlah mahasiswa yang memberikan jawaban sesuai pernyataan pada Tabel 2 disajikan dalam bentuk persentase pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Jumlah Mahasiswa Berdasarkan Jawaban yang diberikan

Jawaban Jumlah Mahasiswa

Persentase

Pernyataan I 10 27.1% Pernyataan I dan Pernyataan III

1 2.7%

Pernyataan I dan IV 3 8.1% Pernyataan II 13 35.1% Pernyataan II dan III 3 8.1% Pernyataan II dan IV 2 5.4% Pernyataan II, III, dan IV Lain-lain (jawaban salah)

3 2

8.1% 5.4%

PENDIDIKAN FISIKA…

48 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa mampu menjelaskan teori atom bohr. Mahasiswa menjelaskan dengan pernyataan dan tingkat kedalaman yang variatif. Sebanyak 94.6% mahasiswa mampu menjelaskan teori atom bohr dengan baik. 67.5% diantaranya mampu menjelaskan teori atom bohr dengan membandingkannya terhadap teori atom rutherford. Kemampuan dalam mengkomparasikan perkembangan teori atom ini dipengaruhi oleh pre-konsepsi yang dimiliki oleh mahasiswa (Wardhani, 2016).

Jawaban yang dinyatakan oleh mahasiswa sudah sesuai dengan konsep dasar teori atom Bohr, tidak terdapat jawaban yang menyimpang dari konsep. 94.6% jawaban yang dinyatakan mahasiswa semuanya benar, hanya saja pada tingkat pendalaman konsep yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa dengan tingkat pendalaman paling dasar akan menjawab konsep teori Bohr pada ranah posisi dan energi elektron setiap saat. Pemahaman yang lebih tinggi memberikan jawaban dengan membandingkan teori atom Bohr dengan teori atom yang telah ada sebelumnya. Jawaban ini mendapat penilaian yang lebih tinggi karena mampu menjelaskan bagaimana teori atom Bohr dapat dilihat sebagai peralihan teori atom klasik ke kuantum. Untuk dapat mengetahui peralihannya, maka harus diungkap dua teori berbeda yang mendasari peralihan tersebut. Pada jawaban ini tentunya yang menjadi perbandingan adalah teori atom Rutherford dan teori atom Bohr itu sendiri (Mansoor dan Coştub, 2009). Jawaban lain yang saling melengkapi menunjukkan tingkat pemahaman mahasiswa yang lebih baik. Jawaban mahasiswa dengan tingkat pendalaman konsep yang cukup baik ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Jawaban Responden A06

Jawaban responden dengan kode A06 pada Gambar 1 menjelaskan dengan kronologi yang runtut terkait dengan perkembangan model teori atom Bohr sebagai penyempurnaan model teori atom sebelumnya,yaitu model teori atom Rutherford. Responden A06 memberikan jawaban yang tepat sesuai teori. Di sisi lain, terdapat beberapa mahasiswa yang masih mengalami kesulitan dalam menjelaskan perkembangan model teori atom. Kesulitan mahasiswa dalam memahami perkembangan teori atom dari tinjauan klasik hingga tinjauan kuantum disebabkan adanya tumpang tindih dalam konsep yang diterima oleh mahasiswa (Kalkanis et al.,

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 49

2003). Jawaban mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menjelaskan perkembangan model teori atom ditunjukkan pada Gambar 2 berikut

Gambar 2 Jawaban Responden A26

Responden A26 menjelaskan model teori atom Bohr dengan mengambil sedikit bagian dari postulat yang dikemukakan oleh Bohr, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesulitan dalam menjelaskan perkembangan teori atom disebabkan oleh pemahaman mahasiswa yang cenderung terkunci pada pandangan teori atom secara klasik (Olsen, 2001). Konsep teori atom yang popular diajarkan pada jenjang pendidikan formal pada umumnya terhenti pada model atom Bohr. Hal ini mengakibatkan adanya konsep yang hilang yaitu terkait teori atom pada tinjauan kuantum. SIMPULAN

Pengidentifikasian kemampuan mahasiswa dalam memahami teori atom telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tentang teori atom Bohr sangat baik meskipun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Sebanyak 27.1% mahasiswa memberikan penjelasan dalam taraf teori atom bohr saja, sedangkan 67.5% mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan teori atom bohr dengan teori atom rutherford. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemahaman mahasiswa tentang teori bohr tergolong sangat baik. REFERENSI Adams, K. 2012. Beginning Chemistry Teachers Use of the Triplet Relationship During

their First Three Years in the Classroom. Disertasi. Arizona: Arizona State University.

Budde, M., H. Niedderer, P. Scott, dan J. Leach. 2002. ‘Electronium’: A Quantum Atomic Teaching Model. Physics Education 37 (3): 197-203.

Chiu, M.H. 2005. A National Survey of Students’ Conceptions in Chemistry in Taiwan. Chemical Education International 6 (1): 1-7.

Horton, C. 2004. Student Preconceptions and Misconceptions in Chemistry. Arizona: Arizona State University.

Kalkanis, G., P. Hadzidaki, D. Stavrou. 2003. An Instructional Model for a Radical Conceptual Change Towards Quantum Mechanics Concepts. International Journal of Sciences Education 87 (1): 257-280.

Mansoor, N. dan B. Coştub. 2009. Presentation of Atomic Structure in Turkish General Chemistry Textbooks. Chemistry Education: Research and Practice 10 (1): 233–240.

Nahum, T.L., A. Hofstein, dan M. Naaman. 2004. Can Final Examination Amplify Student’s Misconception in Chemistry?. Chemistry Education: Research and Practice 5 (3): 301-325.

Nakiboglu, C. 2003. Instructional Misconception of Turkish Propective Chemistry Teachers about Atomic Orbital and Hybridization. Chemistry Education: Research and Practice 4 (2): 171-188.

PENDIDIKAN FISIKA…

50 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Olsen. 2001. A Study of Norwegian Upper Secondary Physics Specialists’ Conception of Atomic Models and the Wave Particle Duality. Presented at ESERA: Thessaloniki.

Özmen, H. 2004. Some Student Misconceptions in Chemistry: A Literature Review of Chemical Bonding. Journal of Science Education and Technology 13 (2): 147-159.

Petri, J. dan N. Hans. 2012. A Learning Pathway in High-School Level Quantum Atomic Physics. International Journal of Science Education 20 (9): 1075-1088.

Sudijono, A. 2008. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Taber, K.S. 2001. Building the Structural Concepts of Chemistry: Some Considerations

from Educational Research. Chemistry Education: Research and Practice in Europe 2 (2): 123-158.

Wahyuningrum, S. dan Suyono. 2013. Pola Pergeseran Konsepsi Siswa pada Struktur Atom Setelah Pembelajaran dengan Strategi Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL). UNESA Journal of Chemistry Education 2 (1): 43-50.

Wardhani, N.K., Prayitno, dan F. Fajaroh. 2016. Studi Pemahaman Konsep dan Miskonsepsi Calon Guru Kimia pada Topik Struktur Atom Menggunakan Instrumen Diagnostik Two-Tier. Jurnal Pembelajaran Kimia (J-PEK) 1(2): 38-41.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 51

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS SISWA MELALUI GERAKAN

LITERASI SEKOLAH (GLS)

Ika Desianna*, Agus Yulianto, Budi Astuti Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana

Universitas Negeri Semarang Jl. Kelud Utara III, Semarang, 50237

Email: *[email protected]

Abstrak Kemajuan pendidikan menuntut siswa untuk memiliki kemampuan literasi di berbagai bidang yang diawali dengan adanya minat baca. Minat baca siswa sekolah menengah masih tergolong rendah, sehingga perlu terobosan dalam membangun minat dan kebiasaan membaca. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menumbuhkan minat baca di kalangan siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan literasi sains siswa melalui penerapan GLS. Pengumpulan data dilakukan pada 30 siswa kelas X di SMK Pelayaran Semarang. Teknik pengumpulan data berupa instrumen tes literasi sains, angket respon siswa, dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui kemampuan literasi siswa pada aspek kompetensi sains pada tiga indikator mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. Kategori ketercapaian kompetensi sains siswa menunjukkan bahwa penerapan GLS berperan pada kemampuan literasi sains siswa. Kata kunci: literasi, kemampuan literasi sains, gerakan literasi sekolah

PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang semakin pesat sehingga dibutuhkan sumber daya manusia berkualitas tinggi agar mampu berkompetisi dengan bangsa lain. Kualitas sumber daya manusia dapat terwujud seiring dengan kemajuan pendidikan. [1] Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi salah satu jalur pendidikan yang membentuk keterampilan dan keahlian sesuai tuntutan globalisasi. SMK mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) terutama pada lulusan yang dihasilkan. Siswa lulusan SMK merupakan tenaga siap pakai dengan tuntutan ilmu pengetahuan yang memadai untuk mendukung spesialisasi bidang keahlian dari SMK yang bersangkutan. [2] Literasi sains menjadi penting dikembangkan untuk siswa SMK guna menghadapi tantangan global di dunia usaha dan industri sebagai salah satu wujud aspek konteks dimensi literasi sains. Literasi sains dapat menjadi modal dasar bagi siswa SMK untuk menghadapi tantangan global tersebut. [3] Literasi sains menurut Programme for International Student Assessment (PISA) merupakan kapasitas seseorang untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti dan data yang ada agar memahami alam semesta dan membantu membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena interaksi manusia dengan alam[4]. Pengetahuan siswa menurut kerangka PISA harus konsisten pada dunia siswa yang meliputi pribadi, sosial, dan global yang mencakup lima bidang aplikasi yaitu kesehatan, sumber daya alam, lingkungan, bahaya, dan batas-batas ilmu pengetahuan dan teknologi. (PISA, 2015).[5] Cakupan pengetahuan pada konteks PISA sesuai dengan standar kompetensi yang harus dimiliki siswa SMK sebagaimana tercantum pada Permendiknas No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) siswa SMK. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pada kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi siswa SMK yaitu mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis siswa. [6]

PENDIDIKAN FISIKA…

52 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kemampuan siswa diduga berpengaruh terhadap literasi sains. Jika siswa memiliki kemampuan akademik rendah dapat dikatakan bahwa literasi sains siswa juga masih rendah. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa siswa yang berkemampuan awal tinggi akan lebih cepat menyerap materi daripada siswa yang berkemampuan awal rendah [7] Kemampuan literasi sains siswa yang masih rendah dikarenakan rendahnya minat baca di kalangan siswa, sehingga perlu terobosan dalam membangun minat dan kebiasaan membaca di kalangan para siswa. [8] Salah satu upaya pemerintah untuk menumbuhkan minat baca di kalangan siswa sekolah adalah program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 [9] Gerakan Literasi Sekolah merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah, akademisi, penerbit, media massa, dan masyarakat. Salah satu gerakan ini adalah melakukan kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan siswa dengan kemampuan literasi tinggi serta meningkatkan kemampuan akademik siswa [10] Penelitian Heather Thomas tahun 2013 pada evaluasi literasi menunjukkan bahwa program literasi memiliki dampak positif terhadap praktik instruksional guru dan kinerja siswa dalam membaca serta memiliki kontribusi dalam meningkatkan prestasi siswa [11]. Penelitian ini mengkaji cakupan bidang literasi yang cukup luas sehingga belum difokuskan pada kemampuan siswa yang mengalami peningkatan melalui penerapan GLS. Suciati Purwo dalam laporannya menyatakan gerakan literasi di Sekolah Dasar mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang sangat diperlukan dalam penerapan pembelajaran kreatif-produktif. [12] Hal ini sejalan dengan kemampuan yang harus dimiliki siswa SMK sehingga perlu diketahui sejauh mana peran GLS dalam menunjang kemampuan literasi sains siswa SMK. Hasil-hasil penelitian tersebut mendorong dilakukannya kajian sejenis yang bertujuan untuk menganalisis kemampuan literasi siswa melalui penerapan Gerakan Literasi Sekolah. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk menentukan kegiatan pembelajaran yang tepat dan efisien guna meningkatkan kemampuan literasi siswa sehingga menjadi bekal penunjang keterampilan di bidang kejuruan masing-masing. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang diarahkan untuk menggali data dari keadaan yang sebenarnya. Pengumpulan data dilakukan pada 30 siswa kelas X jurusan Teknika dan Nautika di SMK Pelayaran Semarang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa instrumen tes kemampuan literasi sains yang berpedoman pada soal literasi sains PISA, angket respon siswa, dan wawancara. Penelitian ini diawali dengan melakukan tes kemampuan literasi sains dan pemberian angket respon kepada siswa kelas X mengenai gambaran pelaksanaan GLS. Data hasil tes kemampuan literasi dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui kemampuan literasi siswa pada aspek kompetensi sains pada tiga sub domain literasi sains yaitu mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. Sebaran sub domain literasi sains seperti disajikan pada Tabel 1 berikut.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 53

Tabel 1. Sebaran Sub Domain Literasi Sains

Indikator Nomor Butir Soal Jumla

h Mengidentifikasi isu ilmiah

2.2; 2.3; 3.1; 4.3; 5.1 5

Menjelaskan fenomena ilmiah

1.2; 2.1; 2.4; 3.2; 5.3 5

Menggunakan bukti ilmiah

1.1; 4.1; 4.2; 5.2 4

Jumlah pertanyaan 14

Kemampuan literasi sains siswa ditunjukkan dalam bentuk persentase penguasaan literasi sains melalui perhitungan skor total jawaban siswa. Kategori penguasaan literasi sains dijabarkan pada Tabel 2. [13]

Tabel 2. Interval Kemampuan Literasi Sains Interval Kategori

66,6 % < % ≤ 100% 33,3 % < % ≤ 66,6 % 0 % < % ≤ 33,3 %

Tinggi Sedang Rendah

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tes Literasi Sains Secara Keseluruhan Penelitian ini dilakukan dengan meninjau kemampuan literasi sains siswa berdasarkan aspek kompetensi. Hasil literasi sains siswa secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Grafik Persentase Kemampuan Literasi Sains Siswa

Gambar 1 menunjukkan hasil kemampuan literasi sains siswa SMK kelas X berada pada kategori tinggi yaitu dengan nilai rata-rata 40%, kategori sedang 60%, dan kategori rendah 0%. Hal ini menunjukkan siswa di SMK Pelayaran Semarang sudah memiliki kemampuan literasi yang cukup baik guna menunjang keterampilan siswa pada bidang teknika dan nautika. Kemampuan literasi sains siswa dengan kategori sedang menunjukkan siswa sudah bisa disiapkan untuk mengikuti pembelajaran sains yang didalamnya terdapat proses pemecahan masalah serta interaksi sains dengan kemajuan teknologi dan masyarakat. [14] Kemampuan literasi sains siswa dapat digunakan sebagai dasar pembelajaran di kelas guna meningkatkan kemampuan menggali informasi di bidang pelayaran. Persentase siswa dominan berada pada kategori sedang terjadi karena siswa tidak teliti dalam membaca dan mengerjakan soal. Hal ini terlihat pada jawaban siswa yang masih banyak dikosongkan atau tidak memberikan jawaban pada soal literasi sains.

40%

60%

0%0%

10%20%30%40%50%60%70%

Tinggi Sedang Rendah

Per

senta

se (

%)

Kategori

PENDIDIKAN FISIKA…

54 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa masih tergolong rendah. Hasil pencapaian siswa tersebut menunjukkan bahwa literasi sains siswa SMK perlu ditingkatkan. Penelitian Odja dan Payu (2014) memperoleh hasil yang sama dengan sekitar 4% sampai 9 % siswa yang memenuhi kriteria literasi sains.[15] Hasil Tes Literasi Sains pada Aspek Kompetensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman literasi sains siswa dalam mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah ditampilkan pada Gambar 2 sebagai berikut.

Gambar 2. Capaian Kemampuan Literasi Sains

Gambar 2 menunjukkan bahwa capaian literasi sains untuk indikator mengidentifikasi isu ilmiah sebesar 56,90%, menjelaskan fenomena ilmiah sebesar 59,40%, dan menggunakan bukti ilmiah sebesar 62,32%. Ketiga indikator tersebut termasuk dalam kategori sedang. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa sub domain kompetensi yang paling banyak dikuasai oleh siswa adalah menggunakan bukti ilmiah. Hal ini terkait dengan proses penerapan gerakan literasi di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara kepada pustakawan menunjukkan bahwa siswa lebih memilih membaca buku fiksi daripada buku yag masih selaras dengan pelajaran terutama yang mendukung keahlian di bidang pelayaran. Respon Siswa terhadap Gerakan Literasi Sains dan Pengaruhnya dalam Pembelajaran Kemampuan literasi siswa berhubungan dengan penerapan GLS oleh warga sekolah. Siswa memberikan respon positif terhadap gerakan literasi namun pelaksanaannya belum rutin dilakukan di awal pembelajaran khususnya pada pelajaran yang berhubungan dengan sains. Gerakan literasi sains menarik minat siswa untuk mengetahui lebih banyak mengenai informasi baru. Namun, siswa kebanyakan memilih bacaan fiksi saat program GLS berlangsung. Hasil wawancara degan pustakawan membenarkan bahwa siswa lebih memilih bacaan fiksi saat berlangsungnya GLS. Hal ini juga terjadi karena kurangnya arahan dari guru dalam memilih bacaan yang dapat menunjang keahlian di bidang pelayaran. Adapaun respon siswa terhadap penerapan GLS sebagai berikut: a. Siswa mendapat banyak informasi yang berhubungan dengan keahlian bidang

pelayaran melalui gerakan literasi. b. Siswa merasa lebih puas terhadap hasil yang diperoleh dengan pembelajaran secara

berkelompok melalui gerakan literasi.

56.90% 59.40% 62.32%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

70.00%

1 2 3

1. Mengidentifikasi isu ilmiah

2. Menjelaskan fenomena ilmiah 3. Menggunakan bukti ilmiah

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 55

c. Siswa merasakan dampak positif GLS terhadap pembelajaran d. Kemandirian siswa dalam belajar mengalami peningkatan melalui gerakan literasi. e. Siswa menemukan berbagai pengetahuan dan isu-isu global melalui penerapan

gerakan literasi sains Berdasarkan respon yang diberikan siswa terhadap penerapan Gerakan Literasi Sekolah menunjukkan korelasi yang sesuai dengan kemampuan literasi sains siswa yang dominan berada pada kategori sedang. Pengadaan buku-buku yang berkaitan dengan bidang keahlian dapat membantu siswa menambah referensi bacaan sehingga mengurangi pemilihan bacaan fiksi. Peningkatan dalam pengarahan pelaksanaan GLS diharapkan akan meningkatkan minat baca, keterampilan membaca serta kemampuan literasi sains siswa guna sebagai bekal penunjang keahlian pada bidang pelayaran. SIMPULAN Kemampuan literasi sains siswa dengan kategori sedang. Capaian literasi sains untuk indikator mengidentifikasi isu ilmiah sebesar 56,90%, menjelaskan fenomena ilmiah sebesar 59,40%, dan menggunakan bukti ilmiah sebesar 62,32%. Ketiga indikator tersebut termasuk dalam kategori sedang. Sub domain kompetensi yang paling banyak dikuasai oleh siswa adalah menggunakan bukti ilmiah. Respon yang diberikan siswa terhadap penerapan Gerakan Literasi Sekolah menunjukkan korelasi yang sesuai dengan kemampuan literasi sains siswa yang dominan berada pada kategori sedang. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada SMK Pelayaran Semarang dan seluruh pihak yang telah berkenan membantu menyelesaikan penelitian ini. REFERENSI Jaya, Sang Putu Sri. 2012 Contextual Physics Module Development to IMPROVE

Students’ Achievement in Studying Physics for Class X in Semester 2 Of SMK Negeri 3 Singaraja. Universitas Ganesha. Tidak diterbitkan

Solikha, Dian Farkhatus. 2016. Bahan Ajar Asam-Basa Menggunakan Konteks Bahan Pengawet Makanan untuk Mengembangkan Literasi Sains SMK Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP). Hal.59-66.

Setiawati, Dwi Murni. 2013. Analisis Literasi Sains Guru Biologi SMA dan Penerapannya dalam Proses Mengembangkan LKS Inkuiri. Tesis Magister pada Pascasarjana UPI Bandung : Tidak Diterbitkan.

OECD. 2013. PISA 2012 Results. PISA. 2012. Assessment Framework Key Competencies In Reading, Mathematics and

Science. OECD. BSNP. (2006). Permendiknas No.23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan

untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta : Depdiknas. Astuti, P. 2015. Skripsi Pengaruh Kemampuan Awal dan Minat Belajar terhadap

Prestasi Belajar Siswa. Program Studi Teknik Informasi , Fakultas Teknik, Matematika dan IPA. Universitas Indraprasta PGRI.

Diana, S. (2015). Penerapan Strategi Peer Assisted Learning (PAL) untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Mahasiswa dalam Perkuliahan Fisiologi Tumbuhan. Unpublished Laporan Penelitian Pendidikan Biologi Departemen Pendidikan Biologi UPI. Bandung.

Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

PENDIDIKAN FISIKA…

56 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Rohand, Tine Silvana Rachmawati, dan Yunus Winoto. Apresiasi Orangtua Siswa Terhadap Program Gerakan Literasi Sekolah. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hal. 21-31. 2016

Heather Thomas. 2013. An evaluation of the literacy program at GaribaldiGrade School. Disertasi. Doctor of Education. George Fox University.

Purwo, Suciati. Peran Gerakan Literasi Sekolah dalam Pembelajaran Kreatif-Produktif di Sekolah Dasar. Dewantara. Vol 3 No 4 Maret 2017

Diana, Sariwulan et al. 2015. High School Students’ Scientific Literacy Profile Based on Scientific Literacy Assessments (SLA) Instruments. Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS. Tidak diterbitkan.

Saeful Rohman, Ani Rusilowati, dan Sulhadi. Analisis Pembelajaran Fisika Kelas X SMA Negeri di Kota Cirebon Berdasarkan Literasi Sains. Physics Communication. Vol 1 No. 2 Hal.12-18. 2017

Abdul Haris Odja dan Citron S.Pay. 2014. Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Siswa pada Konsep IPA. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. Tidak diterbitkan

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 57

PERSEPSI PENGAMPU PERKULIAHAN IPA TERHADAP PELAKSANAAN EVALUASI DAN HASIL BELAJAR IPA TERINTEGRASI

Joko Budi Poernomo1,2*, Nathan Hindarto3, Wiyanto4, Supartono5

1. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang 2. Jurusan Pendidikan Fisika UIN Walisongo Semarang 3. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang 4. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang 5. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang

* Email : [email protected]

Abstrak Kegiatan evaluasi pembelajaran menjadi bagian terpenting dalam mengukur keberhasilan pembelajaran. Kebutuhan mengembangkan alat ukur belajar menjadi sebuah tantangan besar dalam mengungkap performa peserta didik serta menjadi umpan balik yang berguna bagi para pendidik. Hasil penelitian ini dijadikan sebagai masukan bagi dosen dan mahasiswa dalam mengembangkan alat ukur pembelajaran IPA yang sesuai kebutuhan pembelajaran, khususnya mata kuliah IPA di perguruan tinggi Agama Islam. Tujuan Penelitian ini untuk mengungkapkan persepsi dosen mengenai keterlaksanaan proses evaluasi pada mata perkuliahan IPA, manfaat dan relevansinya dalam mengungkap capaian integrasi antara IPA dan religius. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan metode deskriptif melalui survei berbantukan quesioner(angket), studi literatur, dokumentasi. Proses tabulasi data dan analisis terhadap informasi berguna dalam memberikan kesimpulan. Kata Kunci : Persepsi, evaluasi, hasil belajar IPA, terintegrasi

PENDAHULUAN

Kemajuan peradaban suatu negara tercermin dari mutu dan kualitas pendidikannya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan tumpuan dan tonggak perkembangan masyarakat dan teknologi. Pendidikan memiliki peran sebagai sistem yang terorganisir secara baik harus mampu membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang lebih baik. Input dari proses pendidikan tersebut seyogyanya mampu ditransformasi menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya agar kelak menghasilkan output yang berkualitas. Salah satu pendukung utama adalah peranan pendidik agar hasil yang diharapkan peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran dan menghasilkan output yang berkualitas agar tercapai.

Keberlangsungan pelaksanaan pembelajaran di perguruan tinggi tidak terlepas dengan tujuan kurikulum yang digunakannya. Pendidik sebagai ujung tombak impelementasi kurikulum berkewajiban memahami kurikulum dengan baik. Kebutuhan kondisi ini menjadi fenomena baru khususnya di beberapa perguruan tinggi Islam yang melakukan tranformasi intitusi atau kelambagaan serta mengembangkan kebutuhan perkuliahan dengan memadukan visi dan misi insituti secara beriringan. Wujud perpaduan tersebut terungkap dengan banyaknya institusi perguruan tinggi Islam berlomba-lomba memunculkan gagasan yang mewujudkan integrasi antara ilmu-ilmu dasar dengan kerohanian yang diwujudkan dalam visi dan misi perguruan tinggi tersebut.

Ketercapaian implementasi kurikulum di perguruan tinggi dapat diukur dengan berbagai faktor pendukung, salah satunya adalah pemahaman pendidik di dalam melaksanakan tuntunan tersebut dalam pembelajaran di kelas. Kualitas ketercapaian pelaksanaan kurikulum integrasi dapat diketahui dengan melakukan proses evaluasi pembelajarannya. Pendidik/dosen diharapkan dapat menentukan teknik yang tepat dalam melakukan evaluasi perkuliahan agar sesuai dengan tuntutan kurikulum perguruan tinggi dan standar visi misi insitusi.

PENDIDIKAN FISIKA…

58 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Komponen penilaian perkuliahan IPA di perguruan tinggi mengisyaratkan tiga komponen penilaian yang meliputi penilaian kognitif, psikomotorik dan afektif secara berkelanjutan. Ketiga kompetensi yang diukur dalam perkuliahan IPA disesuaikan dengan setiap materi perkuliahan konsep IPA dan sebisa mungkin ketiga kompetensi tersebut dapat diukur dari materi yang diajarkan. Peranan pendidik dimaksimalkan untuk mencari cara yang tepat, baik dengan menggunakan metode, model, media, dan lain sebagainya agar ketiga kompetensi tersebut dapat diukur sesuai kebutuhan dan tuntutan institusi perguruan tinggi.

Kegiatan evaluasi pembelajaran merupakan proses untuk mengetahui ketercapaian keefektifan pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan evaluasi dipergunakan sebagai balikan atau masukan bagi pendidik dalam mengembangkan, menelaah, memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran. Dalam perkuliahan IPA seyogyanya dosen berkewajiban melakukan evaluasi yang meliputi komponen pengetahuan, sikap, dan keterampilan di dalam setiap proses pebelajaran agar menjadi lebih baik lagi. Implementasi kegiatan proses evaluasi di dalam kelas melibatkan dosen dan mahasiswa. Dalam proses evaluasi dosen dan mahasiswa pastinya memiliki persepsi, baik yang bersifat lebih mengupayakan perbaikan maupun mengurangi esensi dari evaluasi itu sendiri. Persepsi yang tercipta dan diungkap dosen maupun mahasiswa memiliki peranan yang sama pentingya yang merupakan proses pemahaman terhadap evaluasi yang dilakukan.

Pandangan beberapa ahli tentang persepsi diantaranya Drever(1990) dan Triatna C (2015), persepsi adalah suatu proses untuk mengingat atau mengidentifikasikan sesuatu, persepsi juga merupakan proses yang terjadi dalam diri individu ketika menanggapi lingkungannya melalui proses pemikiran dan perasaan yang kemudian menjadi dasar pertimbangan perilakunya. Pendapat lain menyatakan bahwa persepsi adalah proses penginderaan seseorang menjadi sadar segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya, pengetahuan yang diperoleh melalui interpretasi data indera (Bimo, 2010). Sedangkan menurut Akbar S (2013), persepsi adalah pengalaman tentang obyek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Atas dasar pendapat tersebut persepsi merupakan pengalaman dan kesan yang diperoleh seseorang setelah yang bersangkutan melihat atau menghayati serta menginter-pretasikan suatu obyek.

Persepsi dosen dalam evaluasi perkuliahan IPA dapat difokuskan dalam beberapa materi diantaranya pengembangan silabus atau RPS, pendalaman materi, penggunaan metode pembelajaran, pengembangan media, pengembangan instrumen penilaian pembelajaran, strategi dan gaya mengajar, karakter dan kepribadian dosen, interaksi belajar mengajar, evaluasi serta pembelajaran IPA sendiri. Sedangkan dalam penelitian ini difokuskan pada persepsi dosen terhadap evaluasi perkuliahan dan hasil belajar IPA. Hasil telaah penelitian ini bertujuan; (1) mengungkap dan mendiskripsikan persepsi dosen perkuliahan IPA terhadap evaluasi dan pelaksanaan penilaian hasil belajar IPA (2) mendeskripsikan persepsi dosen terhadap manfaat evaluasi pembelajaran dan hasil belajar IPA terhadap perbaikan pembelajaran, dan (3) mengungkap harapan dan kebutuhan dosen perkuliahan IPA dalam pengembangan intrumen hasil belajar IPA yang berintegrasi. METODE PENELITIAN

Kegiatan riset ini dilaksanakan di perguruan tinggi Agama Islam yang memiliki Program PGMI yang ada di kota Semarang dan sekitarnya, terutama pada dosen yang mengampu mata perkuliahan Konsep dasar IPA. Beberapa tahapan dalam penelitian ini meliputi kegiatan persiapan yang terdiri dari kegiatan observasi, pembuatan instrumen, pelaksanaan penjaringan data melalui questionnaire (angket). Data yang diperoleh

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 59

ditabulasi, diolah/ dianalisis, dan dibahas untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Penggunaan metode dalam penelitian ini menggunakan teknik survei dengan

metode deskriptif. Tahapan pertama dimulai dengan memperoleh data- data yang akan diperoleh melalui angket tentang persepsi dosen pengampu perkuliahan IPA dalam melakukan evaluasi perkuliahan dan hasil belajar IPA. Metode angket dipandang yang paling tepat dalam mengungkap perspesi ini dikarenakan alasan perpepsi dosen perkuliahan IPA akan dapat berubah setiap saat sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi, untuk itu perlu intrumen yang baku agar informasi persepsi tersebut dapat bersifat tetap. Kemudian, dalam upaya memecahkan masalah penelitian ini, ada tiga tahapan yang dilakukan, yaitu; (1) penyediaan data, (2) penganalisaan data, (3) penyajian hasil analisa data (Arikunto, 2009).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah 22 dosen adalah dosen PGMI yang mengampu mata perkuliahan IPA di beberapa perguruan tinggi islam di Kota Semarang dan sekitarnya yang diambil sampel secara acak(random). Sedangkan dosen yang dipilih dengan beberapa pertimbangan diantaranya; (1) Dosen pengampu pembelajaran perkuliahan IPA, (2) Dosen yang aktif dalam tugas pembelajaran IPA.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan angket. Informasi yang akan dijaring adalah persepsi donsen pengampu perkuliahan IPA melalui angket gabungan antara tertutup dan terbuka. Jumlah angket yang disebarkan kepada dosen pengampu perkuliahan IPA sebanyak 22 eksamplar disesuai dengan jumlah sampel yang telah ditetapkan.

Analisis data bertujuan untuk mengolah data yang diperoleh sehingga dapat memberi suatu fakta empirik. Data yang diperoleh pada penelitian ini dalam bentuk nominal dan dianalisis ke dalam bentuk persentase (nonparametrik) yang selanjutnya untuk dideskripsikan sebagai hasil penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh melalui analisis data diperoleh informasi berupa tanggapan dari sejumlah dosen. Pola evaluasi yang diungkap dalam penelitian ini berupa proses penilaian hasil belajar perkuliahan IPA diujikan kepada mahasiswa, serta kesesuaian dengan standar yang penilaian yang baku.

Tanggapan dosen terhadap kesesuaian alat evaluasi hasil belajar IPA dengan tujuan perkuliahan IPA untuk mencapai kompetensi tertulis dalam silabus atau RPS, hampir keseluruhan dosen mengungkapkan bahwa silabus/RPS dijadikan pijakan dalam mengembangkan alat ukur hasil belajar perkuliahan IPA. Tanggapan yang seragam juga diungkapkan terhadap kuesioner yang diberikan kepada dosen dengan mengungkap bahwa pembelajaran seyogyanya dilaksanakan dengan berbagai teknik dan jenis penilaian yang mengungkap pemahaman terhadap materi perkuliahan yang telah dan akan dipelajari.

Dosen melakukan analisis hasil penilaian untuk mengindetifikasi topik/kompetensi dasar yang sulit sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan mahasiswa dalam merespon materi perkuliahan. Kondisi proses analisis ini menunjukkan bahwa 27,2% dosen melaksanakan hal tersebut dan digunakan untuk program remidial, sedangkan sisanya 72,8 % hanya melaksanakan koreksi tanpa melakukan analisis secara jeli terhadap pemahaman mahasiswa.

Informasi terhadap pemanfaatan masukan dari mahasiswa dan merefleksian untuk meningkatkan pembelajaran berikutnya melalui informasi berupa catatan perkuliahan, jurnal perkuliahan, dan materi penugasan mendapatkan respon relatif sedikit. Sebanyak 13,6% dosen secara periodik mendapatkan masukan setelah proses perkuliahan berakhir dan sisanya 86,4% mendapatkan respon balikan diakhir semester.

Pengembangan intrumen yang bervariasi untuk menilai hasil belajar perkuliahan

PENDIDIKAN FISIKA…

60 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

IPA mendapatkan porsi paling besar 90,9% dari tanggapan dosen. Sedangkan sisanya 9,1% masih berpedoman pada intrumen soal ujian tengah semester, ujian akhir semester dan penugasan. Keselurahn dosen mengungkapkan bahwa alat ukur tes tertulis masih relevan dipergunakan untuk mengungkap kompetensi mahasiswa. Sedangkan 81,8% dosen menggunakan intrumen non tes lainya berupa penugasan, portofolio, penilaian proyek dan produk sebagai alternatif dalam mengukur hasil belajar IPA mahasiswa.

Ukuran tranparansi hasil belajar IPA mendapatkan tanggapan sebesar 18,1% bahwa dosen sepakat untuk secara terbuka memberikan informasi perolehan hasil belajar IPA, baik penugasan, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Sisanya 81,9% sepakat untuk menyimpan sebagai dokumen hasil belajar IPA tersebut sebagai dokumen pribadi. Hal ini terlihat dengan banyaknya informasi dari mahasiswa bahwa hasil penilaian dan penugasan baik yang berupa lembar jawaban tertulis maupun tugas-tugas pendukung lainnya tidak kembali ke tangan mahasiswa. Dengan kondisi seperti ini menunjukkan bahwa dosen tidak memberikan peluang kepada mahasiswa untuk melakukan konfirmasi nilai kepada dosen yang bersangkutan.

Berpijak pada informasi di atas, sudah tentu bawah tanggapan terhadap objektifitas dalam melakukan proses penilaian masih jauh dari harapan. Demikian halnya dosen belum memberikan keadilan dalam berbagi peran sebagai pendidik secara terbuka menginformasikan bentuk penilaian kepada mahasiswa. Idealnya proses penilaian yang diberikan kepada mahasiswa memberikan stimulan agar semangat mahasiswa berusaha untuk mampu meningkatkan hasil belajar. Bukan sebaliknya menurunkan gairah belajar mahasiswa.

Tahapan perencanaan pelaksanaan penilaian sesuai jadwal yang tertuang dalam RPS ataupun silabus dilaksanakan sesuai tepat waktu, sesuai dengan seluruh dosen. Demikian halnya dengan alokasi waktu, semua dosen mengungkapkan bahwa waktu pengerjaan soal ujian telah ditelaah sesuai dengan jumlah soal, bobot soal, tingkat kesukaran walaupun tidak menggunakan analisis yang jelas.

Mengenai ranah penilain yang diberikan dosen mengungkapkan bahwa bentuk soal yang dibuat oleh dosen apakah telah mencakup ranah kognitif dan psikomotorik, hal ini juga diungkap oleh mahasiswa bahwa 95,4% mahasiswa menyatakan bahawa evaluasi yang dibuat dosen telah mencakup semua ranah, baik kognitif, psikomotorik, sedangkan ranah afektif belum tersentuh. Kondisi ini berbeda dengan melihat RPS atau silabus yang mengungkapkan bahwa penilaian yang digunakan memiliki kesetaraan pada ranah kogntif, ranah psikomotorik dan ranah afektif. Kondisi ini berkebalikan dengan tanggapan dosen yang mengungkapkan bahwa 85% dosen memberikan penilaian terhadap aktivitas belajar siswa melalui pengalaman belajar mahasiswa, sedangkan sisanya 15% tidak bisa melaksanakan secara baik dikarenakan keterbatasan alokasi waktu.

Tanggapan personal dosen pengampu perkuliahan IPA dalam mengembangkan penilaian hasil belajar IPA tercermin dari kesiapan dosen dalam membuat kisi-kisi soal-soal ujian, tanggapan dosen diperoleh bahwa 72,7% mengembangkan kisi-kisi kognitif, 40,9% mengembangkan kisi-kisi psikomotorik dan 18,1% yang mengembangkan kisi-kisi penilaian ranah afektif. Hal ini tentunya berkebalikan dengan kondisi yang diharapakan. Dosen harus memetakan tujuan dan indikator perkuliahan IPA yang kemudian dijadikan rujukan untuk mengembangkan kisi-kisi penilaian sesuai ranah kognitif, psikomotorik dan afektif.

Penjabarkan materi perkuliahan pada silabus ataupun RPS seyogyanya harus bersesuaian dengan perancangan penilaian hasil belajar. Demikian halnya peran dan fungsi visi serta misi institusi sejalan dikembangkan dengan silabus atau RPS serta proses penilaian hasil belajarnya. Perkembangan institusi perguruan tinggi Agama Islam

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 61

diharapkan mampu memadukan tuntutan kompetensi sains dan kompetensi religius secara beriringan. Tanggapan dosen terhadap pengembangan penilaian hasil belajar sejalan tuntutan integrasi kedua displin ilmu ditanggapi secara beragam. Sebanyak 95,4% dosen memberikan tanggapan bentuk integrasi dua displin ilmu tersebut harus dijabarkan dalam silabus atau RPS dan diimplementasikan dalam proses penilaian hasil belajar. Sedangkan 4,6% dosen berencana menggunakan alaternatif penilaian hasil belajar lain untuk mencoba memadukan kedua diplin ilmu tersebut dengan tahapan sesuai kebutuhan institusi.

Besarnya tanggapan responden terhadap kesetujuan integrasi dalam pembelajaran dan penilaian hasil belajar dua displin ilmu tersebut hanya tertuang pada silabus dan RPS saja. Sedangkan pada penilaian hasil belajar khususnya mata perkulihan IPA kondisi ini tidak ditemukan dalam soal-soal maupun tugas dan pendukung penilainnya lainnya. Tanggapan responden sebesar 86,4% dosen tidak mengintegrasikan antara kompetensi IPA dan kompetensi religius ke dalam alat penilaian hasil belajar. Sedangkan siasanya 13,6% mencoba memasukkan perpaduan dipslin ilmu tersebut dalam ranah kognitif dalam mengembangkan alat penilaian hasil belajar IPA, itupun masih relatif kecil. Kondisi ini disebabkan keterbatasan kompetensi dosen yang memiliki perpaduan kompetensi di kedua displin ilmu tersebut, juga karena kekurangan informasi dan literatur dalam mengembangkan penilaian tersebut. Sudah seyogyanya perpaduan pengembangan perangkat perkuliahan dan penilaian harus sejalan dengan tuntutan institusi, untuk itu diperlukan alternatif solusi untuk menjembatani kekurangharmonisan antara sains dan religius.

Dari tanggapan persepsi dosen ini menunjukkan bahwa belum sepenuhnya dosen mengembangkan alat evaluasi hasil pembelajaran IPA yang mengintegrasikan antara IPA dan religius sesuai kebutuhan intitusi. Karena penilaian hasil belajar dan evaluasi menjadi umpan balik akan keterlaksanaan perkuliahan, maka sudah menjadi tuntuan bersama bahwa pekerjaan rumah berikutnya adalah berusaha mengembangkan alat evaluasi sesuai dengan kebutuhan insititusi yang mampu mengintegrasikan antara sains dan agama. Karena tanggapan persepsi secara umum alat penilaian hasil belajar oleh dosen sudah terlaksana secara baik.

SIMPULAN 1. Secara umum persepsi dosen terhadap penyusunan alat penilaian hasil belajar IPA

sudah berjalan dengan baik meskipun terdapat kekurang-kekurangan yang perlu segera diperbaiki berkaitan dengan tujuan institusi dan karakteristik mata kuliah IPA.

2. Kekurangan yang terlihat pada pengembangan alat penilaian hasil belajar yang mampu mengintergasikan antara kompetensi IPA dan religius yang menjadi kesatuan dengan perangkat perkuliahan berupa silabus atau RPS.

3. Kebanyakan dosen tidak mengembangkan kisi-kisi penilaian perkuliahan IPA secara benar dan masih bertumpu kepada ranah konitif dan psikomotorik sedangkan ranah afektif masih jauh dari harapan. Ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi tidak bersesuai kegiatan pembelajaran.

4. Dosen berharap mendapatkan literatur dan informasi pendukung agar dapat mengembangkan alat penilaian IPA yang mengintegrasikan antara IPA dan Agama secara baik sesuai tuntuan institusi.

SARAN 1. Semua dosen IPA dan dosen keagamaan yang memiliki displin ilmu yang berbeda

hendaknya bersama-sama membangun dan meningkatkan kualitas diri serta berkolaborasi sehingga memiliki kemampuan yang lebih dalam mengembangkan

PENDIDIKAN FISIKA…

62 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

perangkat perkuliahan dan penilaian hasil belajar yang berintegrasi sains dan agama.

2. Penilaian hasil belajar IPA seyogyanya dikembangkan secara kolaborasi yang mampu mengukur ranah kogntif, psikomotorik dan afektif mahasiswa.

3. Dosen sebaiknya menggunakan perangkat perkuliahan dan penilaian hasil IPA yang terintgerasi agar sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan institusi dengan mengutamakan integrasi antara sains dan agama berjalan beriringan.

REFERENSI Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosda Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:

Bumi Aksara. Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur).Bandung:

Remaja Rosdakarya Offset. Cepi Triatna, 2015. Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. Bimo Walgito, 2010. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Penerbit Andi. Drever, J. 1990. Kamus Psikologi. Diterjemahkan oleh Nancy. Jakarta: Binja Aksara.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 63

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SMK MELALUI MODEL PROJECT BASED LEARNING (PJBL)

Nihla Nurul Laili1,2*, Agus Yulianto1, dan Budi Astuti1

1Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Jl. Kelud Utara III, Kota Semarang, 50237

2SMK Muhammadiyah Kajen Jl. Pahlawan Kajen, Kab. Pekalongan, 51161

* Email: [email protected]

Abstrak Fisika menjadi fondasi pada kompetensi kejuruan SMK bidang teknologi dan rekayasa. Pentingnya fisika tidak diiringi dengan tingginya motivasi siswa SMK belajar fisika. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji efektifitas model Project Based Learning (PjBL) dalam meningkatkan motivasi siswa SMK untuk belajar fisika. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian adalah siswa kelas XI TKR 1 (Teknik Kendaraan Ringan). Instrumen penelitian berupa angket motivasi belajar dan lembar wawancara. Angket motivasi belajar diberikan sebelum dan setelah pembelajaran menggunakan model PjBL. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai persentase setiap aspek motivasi setelah pembelajaran model PjBL mengalami peningkatan. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa siswa menjadi termotivasi untuk belajar fisika setelah mengikuti pembelajaran model PjBL. Oleh karena itu, model PjBL dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk meningkatkan motivasi belajar siswa SMK. Kata kunci: Project Based Learning, motivasi, SMK.

PENDAHULUAN

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bertujuan untuk menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja profesional dan mampu menghadapi tantangan masa depan yang diselaraskan dengan perkembangan teknologi [1]. Pada SMK yang berbasis teknologi dan rekayasa, fisika merupakan salah satu fondasi pada kompetensi kejuruan yang mendasari perkembangan teknologi [2]. Agar dapat mengikuti perkembangan teknologi bekal hard skill siswa SMK harus dibangun berdasarkan pemahaman konsep fisika yang baik [3].

Terdapat keunggulan khusus pada siswa SMK, yaitu hard skill siswa dapat dimanfaatkan untuk membuat alat bantu pembelajaran melalui tugas berbasis proyek [4]. Alat bantu pembelajaran yang dihasilkan oleh siswa dapat dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan pembelajaran yang berbasis proyek.

Model Project Based Learning (PjBL) membutuhkan suatu pendekatan pengajaran yang komprehensif. Lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah yang autentik. Dengan model PjBL ini siswa juga dapat melakukan pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan berbagai tugas yang bersifat kontekstual [5].

Model PjBL memuat tugas-tugas yang kompleks berdasarkan permasalahan (problem) yang diberikan kepada siswa. Kegiatan yang dilaksanakan dalam model PjBL meliputi brainstorming terhadap bidang kajian, merumukan fokus masalah, merancang produk yang akan diibuat, membuat jadwal, melaksanakan pembuatan produk, diskusi dan bimbingan, penyelesaian produk, dan presentasi produk [6].

Pembelajaran berbasis proyek untuk mata pelajaran fisika juga telah banyak dilakukan oleh para peneliti, di antaranya oleh Yance dkk di tahun 2013. Dalam tulisannya dia melaporkan bahwa model PjBL mampu meningkatkan kemandirian siswa [7]. Tekait dengan peningkatan motivasi belajar, penelitian model PjBL pada siswa SMA juga sudah dilakukan oleh Rahmini dkk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

PENDIDIKAN FISIKA…

64 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

model PjBL dapat meningkatkan motivasi belajar siswa meski hanya sampai pada tingkatan sedang [8].

Hasil-hasil tersebut di atas semuanya dengan subyek penelitian siswa sekolah umum. Hal ini mendorong dilakukannya kajian sejenis dengan subjek siswa SMK yang memiliki keterampilan untuk menghasilkan karya-karya yang kreatif [9]. Secara umum siswa SMK sebagian besar memiliki motivasi akademik yang tidak terlalu besar karena orientasi mereka menempuh pendidikan adalah untuk memperoleh keterampilan yang berguna secara langsung untuk bekerja. Beberapa pelajaran yang bersifat akademik formal seperti fisika cenderung tidak diminati [10]. Oleh karena itu, penelitian tentang peningkatan motivasi belajar siswa SMK dengan PjBL menjadi sangat penting.

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji efektifitas model Project Based Learning (PjBL) dalam meningkatkan motivasi siswa SMK untuk belajar fisika.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada siswa SMK Muhammadiyah Kajen kelas XI TKR 1 (Teknik Kendaraan Ringan) yang berjumlah 36 siswa. Teknik penelitian dengan memberikan perlakuan berupa pembelajaran model Project Based Learning (PjBL) pada materi induksi elektomagnetik. Pembelajaran PjBL tersebut dilakukan selama 3 kali pertemuan. Pertemuan pertama, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan setiap kelompok mengajukan rencana proyek yang akan dibuat. Pertemuan kedua, setiap kelompok membuat proyek sesuai dengan rencana. Pertemuan ketiga, setiap kelompok mengumpulkan laporan proyek dan mempresentasikan hasil proyek.

Teknik pengumpulan data diperoleh melalui angket motivasi dan lembar wawancara. Angket motivasi diberikan sebelum dan setelah pembelajaran materi induksi elektomagnetik. Angket motivasi dan lembar wawancara menggunakan model motivasi ARCS yang diadaptasi dari Keller [11]. Aspek motivasi ARCS meliputi perhatian (attention), keterkaitan (relevance), percaya diri (convidance), dan kepuasan (satisfaction).

Angket motivasi berupa angket skala likert yang terdiri dari 25 item pernyataan positif dan negatif. Setiap item pernyataan memiliki rentang skor antara 1 sampai 5. Pernyataan positif memiliki skor maksimal 5 sedangkan pernyataan negatif memiliki skor maksimal 1. Hasil angket dilakukan analisis persentase untuk setiap aspek motivasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan dekriptif kualitatif. HASIL DAN DISKUSI

Data hasil analisis angket motivasi sebelum dan setelah menggunakan model pembelajaran Project Based Learning disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Aspek Motivasi

No. Aspek Motivasi Pertemuan

Awal (%)

Petemuan Akhir (%)

1 Perhatian (Attention) 63,56 85,56 2 Keterkaitan (Relevance) 66,13 79,33 3 Percaya diri (Confidence) 56,56 82,78 4 Kepuasan (Satisfaction) 68,89 75,33

Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa hasil angket motivasi siswa setelah pembelajaran menggunakan Project Based Learning menunjukkan peningkatan pada semua aspek motivasi. Model PjBL dapat meningkatkan motivasi aspek perhatian (attention) karena pada model ini siswa dituntut aktif dalam menentukan topik proyek yang akan dibuat. Eksplorasi topik dapat melalui brainstorming, mindmapping, dan

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 65

daftar pertanyaan. Tahap penentuan topik tersebut menimbulkan rasa ingin tahu sehingga menghasilkan perhatian siswa untuk belajar fisika.

Rasa ingin tahu yang muncul, ternyata memotivasi secara intrinsik untuk memperhatikan pada proyek kelompok lainnya, sehingga mereka saling bertukar pengalaman dalam pembelajaran secara langsung untuk memperoleh informasi. Pembelajaran yang memunculkan rasa ingin tahu membuat siswa merasa perlu belajar tanpa disuruh belajar [12].

Pada saat proses wawancara siswa menjelaskan bahwa mereka merasa tertantang dengan proyek yang harus dikerjakan. Dengan antusias mereka yakin akan keberhasilan menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Adanya perhatian siswa terhadap pembelajaran menunjukkan bahwa mereka mempunyai minat untuk belajar. Minat merupakan sumber motivasi yang kuat untuk belajar [13].

Peningkatan pada aspek keterkaitan (relevance) terjadi karena model PjBL mengharuskan siswa untuk membuat proyek yang merupakan aplikasi fisika dalam kehidupan sehari-hari. Saat wawancara mereka menjelaskan bahwa baru menyadari ternyata fisika erat kaitannya dengan dunia nyata. Pembelajaran PjBL mendorong siswa melakukan penyelidikan terkait masalah dunia nyata, memberikan mereka semangat belajar dan pengajaran menjadi efektif [7].

Model PjBL dapat meningkatkan aspek percaya diri (convidance). Rasa percaya diri siswa meningkat saat mereka mulai merancang proyek. Tahap ini membuat siswa merasa sebagai ilmuwan yang menggunakan ilmunya untuk menghasilkan sebuah proyek.

Keberhasilan proyek yang dihasilkan dapat menumbuhkan percaya diri pada siswa. Pada saat presentasi, terlihat siswa yang awalnya rendah diri karena memiliki kemampuan matematis yang lemah dapat menjelaskan konsep dari produk yang dihasilkan dengan penuh rasa percaya diri. Pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengkonstruksi pemikiran dan temuan secara mandiri akan meningkatkan percaya diri [14].

Peningkatan pada aspek kepuasan (satisfaction) terlihat dari mereka berusaha menyelesaikan setiap masalah produk yang mereka temui. Sampai pada akhirnya mereka memiliki kepuasan ilmiah melihat produk yang mereka hasilkan sesuai dengan rencana. Proyek yang dikerjakan dapat dianggap puzzle yang dapat membangkitkan motivasi pada saat mengontrol, mengevaluasi, dan mengoperasikan proyek mereka sehingga membangkitkan kepuasan siswa dalam pembelajaran [7].

Aspek kepuasan (satisfaction) mengalami peningkatan yang lebih rendah dibandingkan aspek yang lain. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar siswa merasa belum mendapatkan hasil proyek yang maksimal karena terkendala kurangnya waktu pengerjaan. Tugas proyek lebih dekat dengan kenyataan sehingga secara profesional membutuhkan waktu yang lebih lama dari pembelajaran yang lain karena proyek lebih diarahkan untuk penerapan pengetahuan [15].

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Project Based Learning pada pelajaran fisika dapat meningkatkan empat aspek motivasi ARCS yang meliputi perhatian (attention), keterkaitan (relevance), percaya diri (convidance), dan kepuasan (satisfaction). Model pembelajaran Project Based Learning dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan motivasi siswa SMK belajar fisika.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih, penulis sampaikan kepada SMK Muhammadiyah Kajen yang telah memfasilitasi sarana dan prasarana dalam pelaksanaan penelitian ini.

PENDIDIKAN FISIKA…

66 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

REFERENSI Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standa Nasional

Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti. Maknun, J, dkk. 2013. Analisis Kemahiran Generik yang dikembangkan Pelajaran Fisika

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Topik Kinematika Partikel. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 1 (1): 1-14.

Doyan, A. & I. K. Y. Sukmantara. 2014. Pengembangan Web Intranet Fisika untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMK. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 10 (2): 117-127.

Luthvitasari, N., N.M. D. Putra, S. Linuwih. 2013. Implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek pada Keterampilan Berpikir dan Kemahiran Generik Sains. Innovative Journal of Curriculum and Educational Technology, 2 (1): 159-164.

Kubiatko, M. & I. Vaculová. 2011. Project-Based Learning: Characteristic and The Experiences with Application in The Science Subjects. Energy Education Science and Technology Part B: Social and Educational Studies, 3 (1) : 65-74

S. Mihardi, M.B. Harahap, R.A. Sani. 2013. The Effect of Project Based Learning Model with KWL Worksheet on Student Creative Thinking Process in Physics Problems. Journal of Education and Practice, 4 (25): 188-198.

Bagheri, M., dkk. 2013. Effect of Project Based Learning Strategy on Self-Directed Learning Skills of Educational Technology Students. Contemporary Educational Technology, 4 (1): 15-19.

Rahmini, Muris, B. D. Amin. 2015. Pengaruh Pembelajaran Berbasisis Proyek terhadap Motivasi Belajar Fisika Peserta Didik Kelas I MIPA SMA Negeri Sengkang. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika, 11 (2): 161-168.

Kisti, H. H. & N. A. Fardana. 2012. Hubungan antara Self Efficacy dengan Kreativitas pada Siswa SMK. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1 (2): 52:58.

Junaedi, A. & C. Huda. 2010. Peningkatan Hasil Belaja Fisika Teknologi Melalui Pembelajaan Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization di Kelas I-AV Semester Genap SMK Futuhiyyah Mranggen Demak. JP2F, 1 (2): 141-148.

Keller. 2010. Motivational Design for Learning and Performance. New York: Springer. Febriastuti, Y.D., S. Linuwih, Hartono. 2013. Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa

SMP Negeri 2 Geyer Melalui Pembelajaran Inkuiri Berbasis Proyek. Unnes Physics Education Journal, 2 (1): 27-33.

Yulianti, D & Fianti. 2010. Penerapan Model Bermain Berbasis Kontekstual untuk meningkatkan Minat Sains Siswa Sekolah Dasar. Lembaran Ilmu Kependidikan, 1 (1): 48-53.

Yuliati, D.I., D. Yulianti, S. Khanafiyah. 2011. Pembelajaran Fisika Berbasis Hands on Activities untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7 (1): 23-27.

Kubiatko, M. & I. Vaculová. 2011. Project-Based Learning : Characteristic and The Experiences with Application in The Science Subjects. Energy Education Science and Technology Part B : Social and Educational Studies, 3 (1) : 65-74

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 67

PEMAHAMAN FISIKA KUANTUM TERHADAP VISUALISASI FOTON DAN ELEKTRON

Noor Hidayah*, Agus Yulianto, Budi Astuti

Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Jalan Kelud Utara III Semarang 50237

Email : a)[email protected]

Abstrak Fenomena fisika dapat memunculkan pemahaman klasik dan kuantum. Pemahaman tersebut dapat digunakan untuk memvisualisasikan konsep fisika diantaranya foton dan elektron beserta pengukurannya secara matematis. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman klasik dan kuantum terhadap visualisasi foton dan elektron selama kuliah satu semeter. Metode penelitian ini dengan menggunakan tes uraian yang diberikan kepada mahasiswa semester 6 pendidikan fisika Universitas Negeri Semarang. Hasil jawaban mahasiswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan pemahaman kuantum tentang visualisasi foton dan elektron serta pengukurannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman kunatum yang bersifat partikel dan dualisme berturut-turut adalah 62,2% dan 21,6% pada visualisasi foton, serta 91,9% dan 2,7% pada visualisasi elektron. Pengukuran foton dan elektron secara matematisnya adalah 40,5% dengan bersifat partikel dan 51,4% dengan bersifat dualisme.

Kata Kunci : pemahaman fisika kuantum, foton, elektron, partikel, dualisme

PENDAHULUAN

Awal mulanya fisika hanya dipandang secara Newtonian atau secara klasik. Fisika klasik menjadi pola pikir bagi mahasiswa yang telah menerima materi fisika selama SMA. Perkembangan fisika secara klasik menjelaskan permasalahan atau fenomena yang sederhana. Banyak fenomena fisika yang tidak dapat dijelaskan dengan klasik diantaranya radiasi benda hitam, efek fotolistrik dan hamburan Compton (Sutopo, 2003). Gagalnya fisika klasik menyebabkan terjadinya loncatan pemikiran dari klasik menuju kuantum. (Kural & Kucakulah, 2010).

Perkembangan fisika klasik menuju ke kuantum dibutuhkan suatu pemahaman yang baik (Kizilcik and Yavas, 2017). Menurut Bloom (Winkel, 2004: 274) pemahaman merupakan kemampuan untuk menangkap makna dari apa yang dipelajari. Kemampuan memahami disebut dengan istilah “mengerti” mengenai konsep yang ada. Konsep dapat dijelaskan secara verbal yaitu dengan teks atau kalimat yang dapat menjelaskan konsep sehingga sebuah konsep dapat dipahami dan dikuasai oleh seseorang. Selain gambar dan persamaan matematis, hubungan antar variabel fisis juga dapat dijelaskan dengan sebuah grafik (Murtono, 2014).

Pemahaman dalam fisika kuantum digunakan untuk mempelajari partikel pada level konstanta planck yang sangat penting untuk kemajuan teknologi. Berdasarkan penelitian Saputra (2009) tentang komputer kuantum yang memanfaatkan fenomena kuantum untuk mengganti komputer konvensional. Fisika kuantum digunakan sebagai dasar dalam terciptanya komputer kuantum, sehingga teknologi yang ada saat ini tidak terlepas dari perkembangan fisika kuantum.

Fisika kuantum merupakan salah satu matakuliah yang wajib dipelajari oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru. Tentunya konsep fisika kuantum yang diterima oleh mahasiswa diharapkan dapat mengubah pola pikir mahasiswa menjadi pemahaman fisika kuantum. Konsep yangg diterima mahasiswa dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengajar fisika kuantum. Menurut Koponen dan Heikkinen (2005) mengajar fisika kuantum merupakan pekerjaan yang sulit. Selain metode pebelajaran yang bagus tentunya konsep fisika kuantum yang diterima mahasiswa harus benar.

PENDIDIKAN FISIKA…

68 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Pemahaman fisika klasik memberikan pengaruh dalam mempelajari fisika kuantum, sehingga terjadi salah tafsir dalam mendefinisikan konsep yang ada (Lewerissa, 2017). Visualisais foton dan elektron merupakan pendahuluan dalam mempelajari fisika kuantum. Oleh karena itu, penelitian tentang visualisasi foton dan elektron penting untuk dilakukan.

Berdasarkan permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman kuantum yang bersifat partikel dan dualisme terhadap visualisasi foton dan elektron beserta pengukurannya pada mahasiswa.

METODE

Metode yang digunakan untuk memvisualisasikan foton dan elektron beserta pengukuran matematisnya dengan menggunakan tes uraian. Subjek yang digunakan adalah mahasiswa pendidikan fisika semester 6 fakultas MIPA Unnes dengan jumlah 37 mahasiswa. Jawaban mahasiswa kemudian dianalisis secara kuantitatif sederhana dengan menggunakan analisis deskriptif presentase. Menurut Sudijono (2008) analisis deskriptif presentase dapat diukur dengan persamaan di bawah ini.

𝐷𝑃 =𝑛

𝑁× 100%

Keterangan: DP = Deskriptif Persentase (%) n = Jumlah mahasiswa yang menjawab N = Jumlah mahasiswa total.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertanyaan yang diajukan dalam instrumen penelitian adalah “Apa yang kamu

ketahui tentang foton dan elektron? Bagaimana pengukuran pada sistem kuantum (foton atau elektron) dilakukan? Jelaskan dengan ungkapan matematika!”.

Berdasarkan pertanyaan tersebut dibagi ke dalam tiga bagian yaitu visualisasi tentang foton, visualisasi tentang elektron dan pengukuran keduanya secara kuantum yang disertai dengan ungkapan matematika.

Visualisasi tentang foton Jawaban 31 mahasiswa tentang visualisasi foton dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Visualisasi Mahasiswa tentang Foton

Kode Jawaban Jumlah a Foton adalah kuantisasi energi pada cahaya 3 b Foton adalah paket-paket energi cahaya 18 c Foton adalah partikel gelombang yang tergantung pada

frekuensi gelombang dalam bentuk paket energi 1

d Foton adalah partikel elementer dalam fenomena elektromagnetik

4

e Foton adalah partikel elementer dalam fenomena elektromagnetik, foton tidak memiliki massa, mempunyai sifat dualisme gelombang, paket kuenta energi

3

f Foton merupakan paket-paket energi dari radiasi sinar, di mana tidak bermassa dan memiliki momentum

1

g Energi yang merambat, foton dapat bersifat baik sebagai partikel maupun gelombang (sifat dualisme)

1

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 69

Berdasarkan Tabel 1. mahasiswa dapat memvisualisasikan tentang foton. Hasil jawaban mahasiswa tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama, mahasiswa memvisualisasikan foton dengan sifat partikel yaitu ada 62,2% yang ditunjukkan pada jawaban a, b, c, dan f. Mahasiswa menganggap foton sebagai partikel. Jawaban-jawaban foton yang bersifat partikel tersebut didapatkan dari pengertian pertama yang mereka pahami, sehingga pengertian tersebut bermakna dalam pola pikir mahasiswa.

Kelompok kedua, visualisasi foton dengan sifat dualismenya yaitu ada 21,6% yang ditunjukkan pada jawaban d, e, dan g. Mahasiswa menjelaskan foton memiliki sifat sebagai gelombang dan partikel (sifat dualisme). Hasil penelitian ini sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Mashhadi & Woolnough (1999) tentang foton dan elektron bahwa visualisasi foton dominan menunjukkan visualisasi bersifat partikel.

Pada visualisasi foton beberapa mahasiswa mengalami kebingungan dalam mendefinisikan foton. Salah satunya adalah foton dainggap sebagai “atom yang bermuatan positif”. Mahasiswa masih kebingungan dalam membedakan atom dan partikel. Kata “foton” dan “proton” dianggap sama, karena memiliki pelafalan yang hampir sama.

Visualisasi tentang elektron Jawaban 35 mahasiswa tentang visualisasi elektron dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Visualisasi Mahasiswa tentang Elektron Kode Jawaban Jumlah

a Salah satu penyusun dari sebuah atom yang bermuatan negatif

12

b Partikel yang bermuatan negatif 10 c Bagian dari atom bukan dari inti atom 3 d Partikel bermuatan negatif yang mengelilingi inti atom suatu

benda 6

e Sebuah partikel yang dapat digambarkan secara mikrokopis 1 f Pembawa radiasi elektromagnetik seperti cahaya,

gelombang radio dan sinar X 1

g Partkel bermassa dan mempunyai energi 2 Berdasarkan Tabel 2. mahasiswa lebih banyak mengenal elektron dari pada foton,

dikarenakan elektron lebih dahulu dipelajari ketika masih SMA. Hasil jawaban mahasiswa menunjukkan bahwa visualisasi elektron bersifat partikel diperoleh 91,9% yang ditunjukkan pada jawaban a, b, c, d, e, dan g. Visualisasi elektron yang bersifat dualisme ada 2,7% yang ditunjukkan pada jawaban f. Menurut Caliskan et. al (2009) pada dasarnya mahasiswa mengetahui elektron memiliki sifat gelombang dan partikel, namun mereka masih memvisualisaikan bola kecil yang kaku. Hal tersebut memberikan informasi tentang pembelajaran fisika kuantum belum bisa mengubah pemahaman mahasiswa dari sifat partikel menjadi pemikiran sifat dualisme.

Pengukuran secara kuantum dengan ungkapan matematika Jawaban 33 mahasiswa tentang pengukuran secara kuantum dengan ungkapan

matematika dilihat pada Tabel 3.

PENDIDIKAN FISIKA…

70 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 3. Pengukuran Secara Kuantum dengan Ungkapan Matematika Kode Jawaban Jumlah

a atau atau dalam peristiwa efek

fotolistrik

11

b Menggunakan operator dan fungsi keadaan. Digunakan persamaan eigen

8

c Menggunakan persamaan schrodinger 8

d Menggunakan fungsi keadaan/fungsi gelmbang 3

e Menggunakan persamaan efek compton

4

f Pembawa radiasi elektromagnetik seperti cahaya, gelombang radio dan sinar X

1

G Partkel bermassa dan mempunyai energi 2 Berdasakan Tabel 3. mahasiswa menjawab pengukuran foton dan elektron masih

menggunakan sifat partikel ada 40,5% dan sifat dualisme ada 51,4%. Foton atau elektron dianggap sebagai partikel sehingga diketahui nilai energi pastinya. Namun foton dan elektron memiliki sifat dualisme pada fisika kuantum. Menurut Sutopo (2003) pengukuran dalam kuantum yaitu mengerjakan operator pada fungsi gelombang untuk mendeskripsikan keadaan sistem saat pengukuran. Tentunya, nilai foton dan elektron secara kuantum hanya dapat menghitung probabilitas (kemungkinan) bukan keadaan yang ditempati sebenarnya. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka yang dapat disimpulkan konsep foton dan elektron beserta pengukurannya secara kuantum adalah sifat partikel dan dualisme pada visualisasi foton adalah 62,2% dan 21,6%. Sifat partikel dan dualisme pada visualisasi elektron adalah 91,9% dan 2,7%. Sifat partikel dan dualisme pada pengukuran foton dan elektron secara kuantum dengan ungkapan matematisnya adalah 40,5% dan 51,4%. REFERENSI Caliskan, S., Selcuk, G. S., & Erol, M. 2009. Student Understanding of Some Quantum

Physical Concepts. Lat. Am. J. Phys. Educ. 3(2): 202-206. Kizilcik, H. S. & Yavas, P. U. 2017. Pre-service Physics Teachers’ Opinions about the

Difficulties in Understanding Introductory Quantum Physics Topics. Journal of Education and Training Studies. 5(1): 102-109.

Koponen, I. T. & Heikkinen, M. H. 2005. Understanding the photon concept and the quantum nature of light: a case study of learning during an instructional unit designed for student teachers. Journal of Baltic Science Education, 2 (8): 46-53.

Kural, M. & Kocakulah, M. S. 2010. Teaching fot hot conceptual change: toward a new model, beyond the cold and warm ones. European Journal of Education Studies, 2(8): 1-40.

Lewerissa, K. K. et al. 2017. Insights into teaching quantum mechanics in secondary and lower undergraduate education. Physical Review Physics Education Research. 13(1): 1-21.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 71

Mashhadi, A. & Woolnough, B. 1999. Insights into students’ understanding of quantum physics: visualizing quantum entities. Eur. J. Phys. 20: 511-516.

Murtono, Agus. S., & Dadi, R. 2014. Fungsi Representasi dalam Mengakses Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa. Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Fisika UAD. 1(2): 80-84.

Saputra, H. 2009. Kajian Tentang Komputer Kuantum sebagai Pengganti Komputer Konvensional di Masa Depan. Jurnal Generic. 4(2): 15-18.

Sudijono. 2008. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Grafindo persada. Sutopo. 2003. Pengantar Fisika Kuantum. Universitas Negeri Malang. Winkel. 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

PENDIDIKAN FISIKA…

72 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

INSTRUMEN PILIHAN GANDA EMPAT TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SUHU DAN KALOR

Qisthi Fariyani1*,Dewi Khariroh2, Arsini3

1,3Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang, Indonesia 2Jurusan Pendidikan Fisika, UIN Walisongo Semarang, Indonesia

* Email: [email protected]

Abstrak Penelitian ini mengembangkan instrumen pilihan ganda empat tingkat pada materi Suhu dan Kalor. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan karakteristik instrumen dan mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada materi Suhu dan Kalor. Jenis penelitian ini termasuk Research and Development (R&D). Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA MA Negeri Kendal tahun ajaran 2016/2017. Metode pengambilan data meliputi tes, angket, wawancara, dan dokumentasi. Soal tes pilihan ganda yang dikembangkan terdiri atas empat tingkatan, yaitu soal dengan pilihan jawaban, pilihan tingkat keyakinan jawaban, pilihan alasan, dan pilihan tingkat keyakinan alasan. Berdasarkan validasi ahli, instrumen termasuk valid. Reliabilitas instrumen juga tergolong tinggi, yaitu dengan koefisien Alpha 0,934. Produk akhir soal tes yang dihasilkan berjumlah 50 butir soal. Dua butir soal termasuk kategori mudah, 29 soal sedang, dan 19 soal sulit. Terdapat 31 butir soal dengan indeks daya pembeda kurang dari 0,200 dan 19 butir soal berada pada kisaran 0,200 sampai 0,643. Sebanyak 16 miskonsepsi Suhu dan Kalor ditemukan dari hasil tes menggunakan instrumen pilihan ganda yang telah dikembangkan.

Kata Kunci : Multiple-choice Test; Miskonsepsi; Suhu & Kalor.

PENDAHULUAN Banyak siswa menganggap fisika merupakan mata pelajaran yang sulit dan dapat

disamakan dengan matematika, yang banyak menggunakan angka dan rumus untuk menyelesaikan soal [1]. Sebenarnya, dalam mempelajari fisika tidak hanya tentang rumus dan angka, namun juga konsep. Konsep fisika banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. ‘Pemahaman awam’ siswa dan orang dewasa tentang peristiwa fisika sehari-hari cenderung sulit diubah [2] dan penggunaan istilah fisika yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada siswa.

Miskonsepsi merupakan pemaha-man konsep yang tidak benar namun disertai dengan data atau fakta yang terjadi [3]. Apabila tidak diperbaiki, miskonsepsi siswa akan semakin menyebar luas dan sulit diluruskan.

Materi Suhu dan Kalor banyak berkenaan dengan konsep ilmiah. Selain itu, materi tersebut juga penting dalam pembelajaran fisika karena banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada bidang kimia dan teknologi [4]. Sayangnya, secara konsep, banyak siswa yang mengalami miskonsepsi pada materi Suhu dan Kalor [5]. Oleh karena itu, diperlukan instrumen khusus untuk dapat mengidentifikasi miskonsepsi secara lebih akurat. Beberapa metode dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa yaitu dengan metode wawancara, tes open-ended (terbuka), dan tes pilihan ganda [6]. Instrumen pilihan ganda empat tingkat lebih dipilih karena dapat membedakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban dan memilih alasan, sehingga dapat mengetahui tingkat pemahaman dan menggali miskonsepsi siswa secara lebih detail [10].

Instrumen pilihan ganda empat tingkat merupakan pengembangan dari tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat, dengan penambahan Confidence Rating (tingkat keyakinan) pada masing-masing jawaban dan alasan, sehingga penggunaan instrumen tersebut lebih akurat dalam mengetahui tingkat keyakinan jawaban dan alasan yang dipilih siswa [7]. Instrumen pilihan ganda empat tingkat tersusun atas empat tingkatan. Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 73

jawaban yang harus dipilih siswa. Tingkat ke dua adalah tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban. Tingkat ke tiga berupa alasan siswa menjawab pertanyaan, meliputi tiga pilihan alasan dan satu alasan terbuka. Tingkat ke empat berupa tingkat keyakinan siswa dalam memilih alasan [8]. METODE

Penelitian ini termasuk Research and Development (R&D). Prosedur penelitian yang digunakan menganut prosedur Borg & Gall. Terdapat 10 langkah dalam prosedur pengembangan Borg & Gall, yaitu analisis kebutuhan dan pengumpulan informasi, penetapan tujuan penelitian, pengembangan produk, uji coba skala kecil, revisi produk, uji coba skala luas, revisi produk, uji lapangan, revisi produk akhir, diseminasi dan implementasi [9]. Penelitian dilakukan hanya sampai pada tahap ke tujuh.

Uji coba soal yang dikembangkan dilakukan di MA Negeri Kendal. Sebanyak 29 siswa di kelas XI IPA 4 menjadi subjek untuk uji skala kecil, sedangkan untuk uji skala besar dilakukan di kelas XI IPA 3 & XI IPA 6 yang berjumlah 57 siswa.

Teknik pengumpulan data melalui kegiatan tes, wawancara, pengisian angket, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap guru untuk mendapatkan respons guru terhadap soal yang dikembangkan, sedangkan wawancara terhadap siswa dilakukan untuk mendalami miskonsepsi yang ditemukan dari hasil tes. Pengisian angket penilaian oleh siswa dilakukan setelah uji coba skala kecil, dan angket respons dilakukan setelah uji skala besar. Apabila dari hasil angket penilaian instrumen tergolong cukup baik, baik, atau sangat baik, maka instrumen dapat langsung digunakan untuk uji skala besar tanpa revisi.

Analisis data penelitian meliputi analisis validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda, keberfungsian pengecoh, analisis angket, dan analisis miskonsepsi. Pengujian validitas soal dilakukan oleh 2 dosen ahli di bidang evaluasi dan materi soal. Analisis reliabilitas menggunakan persamaan Alpha Cronbach, sedangkan analisis miskonsepsi menggunakan persamaan CDQ = (CFC- CFW)/S. CFC merupakan rata-rata tingkat keyakinan siswa yang menjawab dengan benar, CFW merupakan rata-rata tingkat keyakinan siswa yang menjawab dengan salah, dan S merupakan standar deviasi tingkat keyakinan [10]. CDQ akan mengindikasikan apakah siswa dapat membedakan antara apa yang mereka pahami dengan apa yang tidak mereka pahami. Apabila CDQ bernilai negatif, berarti tingkat keyakinan siswa lebih tinggi saat memilih jawaban yang salah, dibanding saat memilih jawaban yang benar. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Prototipe Produk

Produk yang dikembangkan meliputi soal tes pilihan ganda empat tingkat materi Suhu dan Kalor, kisi-kisi soal, petunjuk pengerjaan soal, kunci jawaban, lembar jawab, dan pedoman penskoran. Struktur soal terdiri atas empat tingkatan. Tingkat pertama berupa soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban, tingkat ke dua berupa tingkat keyakinan jawaban, tingkat ke tiga berupa pilihan alasan, tingkat ke empat berupa tingkat keyakinan alasan siswa. Produk soal tes pilihan ganda empat tingkat ini berjumlah 50 butir. Soal-soal tersebut dikembangkan berdasarkan indikator yang telah dijabarkan dari Kompetensi Dasar (KD) untuk materi Suhu dan Kalor. Terdapat 6 sub pokok bahasan dari materi Suhu dan Kalor yang dijadikan acuan untuk mengembangkan soal tes diagnostik pilihan ganda empat tingkat, yaitu: konsep kalor, suhu, Azas Black, pengaruh kalor terhadap suatu benda, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perpindahan kalor (tekanan udara, kapasitas kalor, kalor jenis, massa), dan cara perpindahan kalor.

Contoh soal yang dikembangkan adalah sebagai berikut:

PENDIDIKAN FISIKA…

74 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Karena bingung untuk menjawab suatu soal, Setya bertanya pada teman-temannya, “Jika dituangkan 100 gram es bersuhu 0oC dan 100 gram air bersuhu 0oC ke dalam sebuah bejana, manakah antara es dan air yang kehilangan lebih banyak kalor karena adanya transfer kalor?”. Bagaimana jawaban Anda untuk membantu Setya? a. 100 gram air lebih banyak kehilangan kalor dibanding 100 gram es. b. 100 gram es lebih banyak kehilangan kalor dibanding 100 gram air. c. 100 gram air maupun 100 gram es tidak mengalami transfer kalor. d. 100 gram air maupun 100 gram es tidak mengalami kehilangan kalor namun

mengalami penyerapan kalor. Apakah Anda yakin dengan jawaban Anda?

1 2 3 4 5 6

Hanya menebak

Sangat tidak yakin

Tidak Yakin

Yakin Sangat Yakin

Amat Sangat Yakin

Alasan: a. Suhu air dan es sama, sehingga tidak ada kehilangan kalor atau penyerapan kalor. b. Kalor air lebih banyak dibanding kalor es, sehingga air kehilangan lebih banyak

kalor. c. Es tidak mengandung kalor, sehingga air akan lebih banyak kehilangan kalor. d. Kalor es lebih banyak dibanding kalor air, sehingga es kehilangan lebih banyak

kalor. e. ...................................................................................................................................................... Apakah Anda yakin dengan alasan Anda?

1 2 3 4 5 6

Hanya menebak

Sangat tidak yakin

Tidak Yakin

Yakin Sangat Yakin

Amat Sangat Yakin

Validitas Instrumen

Penilaian validitas dilakukan oleh dua orang ahli bidang materi dan evaluasi. Masing-masing validator memberikan penilaian pada 20 kriteria, yang meliputi aspek bahasa, materi, dan konstruksi soal. Penilaian dilakukan pada masing-masing butir soal. Hasil penilaian validator menunjukkan 50 butir soal termasuk dalam kategori valid dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendeteksi miskonsepsi pada materi Suhu dan Kalor. Uji Skala Kecil

Uji skala kecil bertujuan untuk menentukan waktu yang dibutuhkan siswa untuk mengerjakan soal tes. Hasil uji skala kecil menunjukkan bahwa siswa dapat menyelesaikan 50 butir soal pilihan ganda empat tingkat dalam waktu 90 menit. Siswa diminta untuk mengisi angket penilaian setelah mengerjakan soal tes. Tujuan angket penilaian ini untuk mengetahui penilaian siswa terhadap instrumen soal yang dikembangkan. Hasil penilaian siswa terhadap instrumen tes dapat dilihat pada Gambar 1.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 75

Gambar 1 Hasil Angket Penilaian Siswa pada Uji Skala Kecil

Berdasarkan analisis angket penilaian, kesesuaian jumlah soal dan keberfungsian pengecoh mendapat persentase skor paling sedikit. Hal ini terjadi karena siswa merasa jumlah soal terlalu banyak untuk dikerjakan dalam sekali waktu. Siswa terlalu jenuh dalam membaca soal yang dilengkapi pilihan jawaban dan alasan sehingga soal tersebut terkesan terlalu panjang. Siswa juga tidak memahami maksud pengecoh yang ditanyakan dalam angket sehingga mereka memberi skor rendah pada aspek keberfungsian pengecoh. Uji Skala Besar

Hasil angket penilaian siswa menunjukkan instrumen berada pada kategori baik; oleh karena itu tidak diperlukan revisi untuk digunakan pada uji skala besar. Selain tes, siswa juga diminta mengisi angket respons pada tahap uji skala besar. Angket respons siswa digunakan untuk mendapatkan data respons siswa terhadap instrumen pilihan ganda empat tingkat yang telah dikembangkan. Hasil tes pada uji skala besar digunakan untuk analisis butir soal yang meliputi reliabilitas instrumen, tingkat kesukaran, daya pembeda, keberfungsian pengecoh, dan analisis miskonsepsi. a. Reliabilitas

Hasil perhitungan menunjukkan nilai koefisien Alpha 0,934 yang termasuk dalam kategori sangat reliabel. Fariyani dkk. mengembangkan four-tier multiple choice diagnostic test dengan koefisien Alpha 0,983 [6]. Tes diagnostik empat tingkat yang dikembangkan oleh Caleon & Subramaniam juga memiliki nilai Alpha tinggi, yaitu 0,92 [10]. Hasil penelitian tersebut memperkuat bahwa soal tes diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa harus memiliki koefisien reliabilitas yang tinggi. Soal yang tidak reliabel tidak akan memberikan hasil yang konsisten pada hasil pengujiannya.

b. Tingkat Kesukaran Hasil analisis 50 butir soal yang diujikan pada skala besar menunjukkan

terdapat 2 butir soal mudah, 19 butir soal sedang, dan 29 butir soal sulit. Banyaknya soal yang tergolong sulit karena siswa kurang terbiasa menghadapi soal fisika yang berbentuk pertanyaan konsep. Berdasarkan wawancara terhadap guru mata pelajaran fisika, siswa masih awam terhadap soal fisika yang berkenaan dengan konsep. Siswa hanya terbiasa mengerjakan soal-soal perhitungan dengan memasukkan angka ke dalam rumus yang telah diajarkan oleh guru, tanpa memahami konsep fisika secara mendalam.

c. Daya Pembeda Hasil analisis data menunjukkan 31 soal memiliki indeks daya pembeda

kurang dari 0,200 dan 19 soal memiliki daya pembeda dengan indeks 0,200 sampai 0,643. Khusus untuk soal tes diagnostik, daya pembeda soal yang jelek masih dapat digunakan [11]. Tujuan soal tes diagnostik bukan untuk membedakan siswa pandai

PENDIDIKAN FISIKA…

76 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dan kurang pandai, akan tetapi untuk menggali sejauh mana kemampuan siswa dan kesulitan belajar yang dialami siswa.

d. Keberfungsian Pengecoh Pengecoh yang berfungsi dengan baik merupakan pengecoh yang dipilih

minimal 5 % dari jumlah seluruh subjek [12]. Berdasarkan analisis, terdapat 10 soal dari 50 soal yang diujikan pada uji skala besar memiliki distraktor yang tidak berfungsi. Pengecoh yang baik akan dipilih oleh siswa yang kurang pandai dan tidak dipilih oleh siswa pandai. Apabila pengecoh dipilih oleh sebagian besar siswa pandai, maka pengecoh tersebut juga dapat dikatakan tidak berfungsi.

e. Analisis Miskonsepsi Analisis miskonsepsi menunjukkan nilai CDQ berada pada rentang -6,15

sampai 1,77. Terdapat 47 butir soal yang memiliki nilai CDQ negatif pada analisis miskonsepsi jawaban, 18 butir pada alasan, serta 18 butir pada jawaban dan alasan. Siswa memilih jawaban salah pada 94% dari soal yang diujikan dengan tingkat keyakinan tinggi. Hal ini mengindikasikan siswa mengalami miskonsepsi pada hampir seluruh jawaban. Siswa merasa tidak yakin dalam memilih alasan sehingga banyak siswa termasuk kategori tidak paham pada pilihan alasan. Keterbatasan pengetahuan tentang konsep fisika membuat siswa tidak memahami alasan dalam Hasil analisis CDQ dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rekapitulasi Analisis CDQ

f. Hasil Analisis Angket Respons Siswa Hasil analisis angket respons secara keseluruhan menunjukkan instrumen tes

diagnostik pilihan ganda empat memiliki persentase rata-rata 60,2%. Aspek kesesuaian waktu mengerjakan dengan jumlah soal mendapat skor paling rendah, sebesar 44,83%. Hal ini disebabkan siswa merasa jumlah soal terlalu banyak dan harus dikerjakan dalam sekali waktu, sehingga banyak siswa merasa jenuh dalam mengerjakan soal, terutama soal berbentuk konsep. Siswa terbiasa dengan soal berbentuk perhitungan dan kurang familiar dengan soal yang mempertanyakan konsep. Banyak siswa cenderung merasa kesulitan ketika mengerjakan soal yang menggali tentang konsep fisika dibanding penerapan soal hitungan. Perbedaan karakteristik, suasana belajar, dan motivasi siswa saat mengerjakan soal menjadi faktor siswa merasa kurang waktu untuk mengerjakan soal. Rekapitulasi analisis angket respons siswa terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Angket Respons Siswa

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 77

Temuan Miskonsepsi

Temuan miskonsepsi yang teridentifikasi dari hasil analisis CDQ dikonfirmasi melalui wawancara terhadap siswa. Berdasarkan hasil wawancara, 16 miskonsepsi terkonfirmasi dialami oleh siswa pada materi Suhu dan Kalor. Hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa menganggap setiap benda mempunyai suhu yang berbeda-beda, meskipun berada di suatu ruangan yang sama. Siswa berpendapat bahan yang menyusun benda adalah penentu suhu benda. Siswa juga menganggap antara suhu uap air dari air yang baru mendidih dengan air yang mendidih tidak sama. Selain itu, menurut siswa, suhu wadah logam dan plastik yang tidak dapat mencapai suhu 0 oC.

Miskonsepsi pada konsep suhu juga ditemukan. Siswa menganggap suhu dapat ditransfer, dan tidak ada suhu minimum yang dapat dicapai benda-benda di alam. Menurut siswa, kalor dan panas adalah sama, dan kalor dapat mengalir karena perbedaan panas. Selain itu, siswa juga mengalami miskonsepsi pada faktor-faktor yang mempengaruhi aliran kalor. Siswa beranggapan bahwa kalor jenis dan kapasitas kalor merupakan hal yang sama, serta tekanan udara setempat dianggap tidak mempengaruhi titik didih air.

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa miskonsepsi siswa bersumber dari pengalaman sehari-hari, dan diri sendiri. Salah satu faktor munculnya miskonsepsi siswa adalah pengalaman sehari-hari yang selanjutnya dikonstruksi siswa menjadi pemahaman yang keliru dari pemahaman ilmiah [13]. Selain dari pengalaman sehari-hari, miskonsepsi bisa muncul karena pengetahuan yang dibangun oleh siswa sendiri (menurut teori konstruktivisme) [14]. Miskonsepsi hendaknya menjadi perhatian guru, karena miskonsepsi akan semakin menyebar dan semakin sulit diperbaiki. Miskonsepsi yang tidak terdeteksi akan semakin tertanam kuat pada diri siswa yang pada akhirnya akan menghambat siswa dalam menerima pengetahuan baru pada jenjang berikutnya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki miskonsepsi siswa, salah satu cara yang dapat dilakukan guru adalah dengan mengajarkan konsep Suhu dan Kalor dengan pendekatan kontekstual, serta membantu siswa untuk mengkonstruksi ulang dan mendalami pengetahuan siswa berdasarkan konsep sains [15]. KESIMPULAN

Produk yang dikembangkan berupa instrumen tes pilihan ganda empat tingkat, dengan materi Suhu dan Kalor. Setiap butir soal tersusun atas empat tingkatan yaitu soal dengan pilihan jawaban, pilihan tingkat keyakinan jawaban, pilihan alasan, dan pilihan tingkat keyakinan alasan. Instrumen tes yang dikembangkan mendapat penilaian sangat baik oleh validator. Reliabilitas instrumen tes pilihan ganda empat tingkat yang dikembangkan termasuk dalam kategori tinggi. Produk akhir berjumlah 50 buah butir soal, dengan 2 soal tergolong mudah, 29 soal sedang, dan 19 soal sukar. 31 butir soal memiliki indeks daya pembeda kurang dari 0,200 dan 19 butir berada pada rentang 0,200 hingga 0,643. Terdapat 16 temuan miskonsepsi siswa pada materi Suhu dan Kalor yang teridentifikasi dan terkonfirmasi melalui tes dan wawancara terhadap siswa. REFERENSI Samudra, G.B., I.W. Suastra & K. Suma. 2014. Permasalahan-Permasalahan yang

Dihadapi Siswa SMA di Kota Singaraja dalam Mempelajari Fisika. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 4, pp.1–7. Available at: http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_ipa/articles.

Chu, H., K. Chwee, D. Tan, L. L. Choon and D. F. Treagust. 2009. Fundamental Thermal Concepts: An Evaluation of Year 11 students’ Conceptual Understanding in

PENDIDIKAN FISIKA…

78 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Everyday Context. In International Science Education Conference, Singapore, 24-26 November 2009. pp. 497–514.

Alfiani. 2015. Analisis Profil Miskonsepsi dan Konsistensi Konsep Siswa SMA pada Topik Suhu dan Kalor. In Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF. Jakarta, pp. 29–32.

Kruatong, T., S. Sung-ong, , P. Singh, and A. Jones. 2006. Thai High School Students Understanding of Heat and Thermodynamics. Social Science Journal, 27, pp.321–330.

Pathare, S.R. & H.C. Pradhan. 2010. Students’ Misconceptions about Heat Transfer Mechanisms and Elementary Kinetic Theory. Physics Education, 45(6), pp.629–634.

Gurel, D.K., A. Eryilmaz, & L.C. McDermott. 2015. A Review And Comparison Of Diagnostic Instruments to Identify Students’ Misconceptions in Science. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 11(5), pp.989–1008.

Ismail, I.I., A. Samsudin, E. Suhendi, & I. Kaniawati. 2015. Diagnostik Miskonsepsi Melalui Listrik Dinamis Four Tier Test. In Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains. pp. 381–384.

Fariyani, Q., A. Rusilowati, & Sugianto. 2015. Pengembangan Four-Tier Diagnostic Test untuk Mengungkap Miskonsepsi Fisika Siswa SMA Kelas X. Journal of Innovative Science Education, 4(2), pp.41–49.

Gall, M., W. Borg, & J. Gall, 2003. Educational Research: An introduction. USA: Pearson Education Inc. pp.236–252. Available at: http://psycnet.apa.org/psycinfo/1996-97171-000.

Caleon, I.S. & R. Subramaniam. 2010. Do Students Know What They Know And What They Don’t Know? Using A Four-Tier Diagnostic Test to Assess The Nature of Students’ Alternative Conceptions. Research in Science Education, 40(3), pp.313–337.

Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik. Jurnal Pendidikan, 22(1), pp.187–202. Jaedun, A. 2017. Pengembangan dan Analisis Tes. pp: 1-17. Available at:

www.staff.uny.ac.id/ . Stein, M., T.G. Larrabee, & C.R. Barman,. 2008. A Study of Common Beliefs and

Misconceptions in Physical Science. Journal of Elementary Science Education, 20(2), pp.1–11.

Suparno, P. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, Jakarta: PT. Grasindo.

Kaur, G. 2013. A Review of Selected Literature on Causative Agents and Identification Strategies of Students ’ Misconceptions. Educationia Confab, 2(11), pp.79–94.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 79

PEMAHAMAN MAHASISWA TENTANG MEKANIKA KUANTUM DILIHAT DARI PEMAHAMAN TENTANG PRINSIP KETIDAKPASTIAN HEISENBERG

Raden Rohadi, Agus Yulianto, Budi Astuti

Pascasarjana Pendidikan Fisika Universitas Negeri Semarang [email protected]

Abstrak

Mekanika klasik dan mekanika kuantum memiliki banyak perbedaan mendasar. Kecepatan dan momentum dalam skala atomik dan subatomik misalnya, tidak bisa diukur bersamaan dengan tepat, hal tersebut berbeda dengan kecepatan dan momentum benda berskala makroskopis. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kesulitan mahasiswa dalam memahami konsep dasar mekanika kuantum khususnya prinsip ketidakpastian Heisenberg. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi. Objek penelitian adalah 35 mahasiswa (usia mahasiswa berkisar 20an tahun) di jurusan pendidikan fisika UNNES. Pengambilan data dilakukan dengan soal tes. Soal berbentuk tes uraian dan telah divalidasi oleh Ajudgement Advisor. Jawaban soal tes kemudian kelompokkan dalam kategori- kategori yang menggambarkan pendekatan mahasiswa dalam memahami mekanika kuantum. Dari semua jawaban mahasiswa dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga kategori pemahaman mahasiswa. Mahasiswa kategori pertama sudah memahami mekanika kuantum. Mahasiswa kategori kedua masih mencampur adukan konsep-konsep kuantum dengan konsep-konsep mekanika klasik (quasi quantum). Mahasiswa kategori ketiga memahami mekanika kuantum dengan pola berfikir mekanika klasik. Kata kunci : prinsip ketidakpastian Heisenberg, quasi quantum, mekanika kuantum

PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dalam mempelajari konsep fisika kuantum. Hasil penelitian ini dapat digunakan juga untuk membantu para pendidik memperbaiki pemahaman siswa tentang konsep tersebut.

Teori kuantum adalah teori fisika yang menjelaskan, menghubungkan dan memprediksi perilaku sistem atom. Mekanika kuantum berbeda dengan mekanika klasik. Mekanika kuantum mempelajari objek subatomik dam atomik yang tidak kasat mata [2]

Mekanika klasik bersifat deterministik karena posisi dan momentum partikel pada saat tertentu sepenuhnya ditentukan oleh posisi dan momentum partikel pada saat sebelumnya [2]. Mekanika klasik memiliki struktur matematika komutatif karena dalam Mekanika klasik dimungkinkan untuk mengukur posisi dan momentum partikel secara simultan [3]. Struktur matematika mekanika kuantum adalah aljabar komutatif karena tidak ada asumsi tepat yang dapat dibuat mengenai kemungkinan mengukur atau menentukan secara tepat posisi dan momentum partikel pada saat bersamaan [2].

Mekanika kuantum pada tingkat universitas mempelajari eksperimen dan latar belakang teori matematika, operator Hermitian, persamaan Schrödinger sesuai dengan fungsi potensial yang berbeda, masalah potensial dan lain lain. Konsep mekanika kuantum berbeda dengan konsep mekanika klasik. Konsep mekanika kuantum relatif abstrak dibanding konsep mekanika klasik sehingga mahasiswa memiliki banyak kesulitan mempelajari konsep mekanika kuantum. Menurut Styer [5] siswa memiliki beberapa kesalahpahaman tentang keadaan kuantum, pengukuran, partikel identik, dimensi fungsi gelombang dan beberapa konsep lainnya. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan mahasiswa memiliki kesulitan mempelajari konsep dualitas partikel gelombang [6] atom [7], probabilitas [8].

Dalam penelitian ini digunakan metodologi fenomenografi [8, 9, 10]. Tujuan penggunaan metode ini dalam penelitian pendidikan adalah untuk memahami mengapa beberapa siswa dapat menjadi pembelajar yang lebih baik daripada yang lain. Menurut

PENDIDIKAN FISIKA…

80 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pendekatan fenomenografi orang yang berbeda dapat mengalami fenomena yang sama, namun orang yang berbeda tidak akan mengalami fenomena tertentu dengan cara yang sama [11, 12, 13].

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi. Objek penelitian adalah 35 mahasiswa (usia mahasiswa berkisar 20an tahun) di jurusan pendidikan fisika UNNES. Pengambilan data dilakukan dengan soal tes. Soal berbentuk tes uraian dan telah divalidasi oleh Ajudgement Advisor. Jawaban soal tes kemudian kelompokkan dalam kategori- kategori yang menggambarkan pendekatan mahasiswa dalam memahami mekanika kuantum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertanyaan terbuka yang diberikan kepada mahasiswa adalah : "Mungkinkah pada pengukuran tingkat kuantum, prinsip ketidakpastian Heisenberg ditiadakan? Jelaskan jawaban anda??" Untuk pertanyaan “Mungkinkah pada pengukuran tingkat kuantum, prinsip ketidakpastian Heisenberg ditiadakan?”, sebagian mahasiswa menjawab “mungkin” dan sebagian yang lain menjawab “ tidak mungkin” seperti pada table di bawah ini: Tabel. Pengelompokan Respon Mahasiswa Tentang Prinsip Ketidakpastian Heisenberg

No Kategori Alasan Jawaban Mahasiswa Jumlah Mahasiswa Berdasarkan Alasan

Jawaban 1.

Prinsip Ketidakpastian Heisenberg tidak mungkin untuk ditiadakan

1.1 Pengukuran suatu besaran pada partikel subatomik mengganggu besaran lain pada partikel tersebut

12

1.2 Pengukuran suatu besaran pada partikel subatomik mengganggu besaran lain pada partikel tersebut dan mahasiswa menjabarkan makna fisis dari posisi dan momentum persamaan Heisenberg:

6

1.3 Menyamakan prinsip ketidakpastian Heisenberg dengan pemahaman ketidakpastian hasil pengukuran yang selalu memiliki ralat

3

2.

Prinsip ketidakpastian Heisenberg dapat untuk ditiadakan

2.1 Ketidakpastian Heisenberg bisa ditiadakan dengan alasan bahwa pada keadaan subatomik juga berlaku hukum Newton, persamaan impuls dan momentum mekanika klasik.

8

2.2 Ketidakpastian tersebut bisa dihilangkan jika sudah ada alat ukur yang mampu melakukan pengukuran tanpa mengganggu partikel yang diukur.

4

2.3 Mahasiswa tidak memberikan alasan 2

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 81

Mahasiswa kategori 1.1 menjelaskan prinsip ketidakpastian tersebut secara QM. Contoh jawaban mahasiswa yang termasuk dalam kategori 1.1 adalah :

“Pengukuran dalam dunia mikro berpengaruh besar terhadap objek yang diamati.“ “Pengukuran skala mikroskopis akan mengganggu objek yang akan diukur.” Mereka menyimpulkan bahwa ketika melakukan pengamatan terhadap posisi atau

kecepatan suatu objek subatomik, mustahil untuk mengukur kedua-duanya bersamaan secara akurat. Beberapa mahasiswa menjelaskan seperti gambar berikut :

Misalkan akan dilakukan pengukuran kecepatan elektron menggunakan sinar

gamma atau sinar X. Energi dari sinar X atau sinar gamma lebih besar daripada energi elektron (karena panjang gelombang kedua partikel tersebut lebih pendek). Ketika kedua partikel ini menumbuk elektron, elektron tersebut akan terpental dan kecepatannya menjadi berubah. Dengan cara ini, memang kita dapat menentukan posisi dimana elektron berada, namun kecepatannya sudah berubah karena tertumbuk oleh partikel sinar X atau sinar gamma.

Mahasiswa kategori 1.2 memiliki pendapat yang sama dengan kategori 1.1 namum mereka lebih mengkaji secara matematis persamaan :

, tidaklah mungkin menentukan posisi dan momentum elektron secara bersamaan dengan ketelitian tinggi. Jika suatu eksperimen dirancang untuk menentukan posisi elektron, maka ketidakpastian momentum elektron akan semakin besar maka penentuan momentum menjadi tidak akurat. Jika suatu eksperimen dirancang untuk menentukan momentum elektron, maka ketidakpastian posisi elektron akan semakin besar sehingga penentuan posisi menjadi tidak akurat.

Mahasiswa kategori 1.3 menganggap prinsip ketidakpastian Heisenberg disamakan dengan prinsip ketidakpastian hasil pengukuran pada alat ukur (jangka sorong, stopwatch dll) Mahasiswa kategori 1.3 berasumsi ketidakpastian Heisenberg terjadi dalam konteks pengukuran. Bagaimanapun telitinya suatu pengukuran dilakukan, pasti terdapat ketidakakuratan dalam skala tertentu. Sumber ralat berasal dari ketidaksempurnaan alat, metode atau cara, dan manusia sebagai pelaku pengukuran.

Kategori 2.1 mencakup mahasiswa yang belum memahami mekanika kuantum. Mahasiswa kategori ini masih menggunakan persamaan-persamaan mekanika tentang gerak lurus beraturan dan momentum untuk keadaan subatomik. Contoh jawaban mereka antara lain: “Momentum dan posisi dapat ditentukan bersamaan dengan akurat. Menentukan posisi dan momentum suatu mobil pada saat yang sama dapat dilakukan tanpa saling mengganggu.”. “Kecepatan partikel dapat ditentukan jika perubahan posisi pada saat tertentu dapat diukur”.

PENDIDIKAN FISIKA…

82 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kategori 2.2 mencakup mahasiswa yang belum memahami mekanika kuantum. Mereka menganggap bahwa ketidakpastian bisa di hilangkan jika sudah ada alat ukur yang dapat bekerja tanpa mengganggu partikel terukur.

Kategori 2.3 mencakup mahasiswa yang belum memahami mekanika kuantum. Mahasiswa kategori menganggap ketidakpastian Heisenberg bisa dihilangkan namun mereka tidak memberikan alasan jawaban. SIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kedalaman pemahaman mahasiswa pendidikan fisika Universitas Negeri Semarang tentang mekanika kuantum sangat beragam. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa memiliki beberapa kesulitan untuk mengidentifikasi perbedaan antara mekanika klasik dan mekanika kuantum.

Penulis menyarankan perlunya pendidik menggunakan media pembelajaran animasi untuk menjadikan mekanika kuantum lebih mudah dipahami. Mengajar mekanika kuantum juga harus bertujuan untuk memberi siswa pemahaman tentang perbedaan mendasar antara mekanika klasik dan mekanika kuantum. REFERENSI Merzbacher, E., Quantum mechanics, (John Wiley & Sons, New York, 1998). Tang, C., L., Fundamental of Quantum Mechanics, (Cambridge University Press, 2005). Cohen-Tannoudji, C., Diu, B. and Laloe, F., Quantum Mecahanics, (Wiley, New York,

1977). Feynman, R., The Feynman Lectures on Physics, 2nd ed. (Addison-Wesley, California,

1965). Styer, D. F., Common misconceptions regarding quantum mechanics, Am. J. Phys. 64, 31-

34 (1996). Mannila, K., Koponen, I. T. and Niskanen, J., Building a picture of students’ conceptions of

wave- and particlelike properties of quantum entities, Eur. J. Phys. 23, 45-53, (2002).

Müller, R. and Wiesner, H., Students’ conceptions of quantum physics. In D. Zollman (Ed.), NARST 1999: Research on Teaching and Learning Quantum Mechanics, Bao, L., Dynamics of students modeling: A theory, Algorithms, and Applications to Quantum Mechanics, Ph.D. dissertation, University of Maryland, 1999.

Marton, F., Phenomenography, in the International Encyclopedia of Education, 2nd edition, T. Husen & T. N. Postelthwaite (Eds), Pergamon, Oxford 8, 4424–4429 (1994).

Marton, F., and Booth, S., Learning and Awareness, (Lawerence Erlbaum Associates, New Jersey, 1997).

Entwistle, N., Introduction: Phenomenography in higher education, Higher Education Research & Development 16, 127-134 (1997).

Prosser, M. and Trigwell, K., Understanding Learning and Teaching. The Experience in Higher Education Open, (University Press, Buckingham, U. K., 1999).

Wihlborg, M., Student nurses’ conceptions of internationalism in general and as an essential part of Swedish nurses’ education, Higher Education Research & Development 23, 433 453 (2004).

Özcan Ö., How do the Students Describe the Quantum Mechanics and Classical Mechanics?. Department of Physics Education, Hacettepe University, 2010

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 83

MELATIHKAN KETERAMPILAN BERARGUMENTASI MELALUI KOMBINASI PEMBELAJARAN INKUIRI DENGAN KEGIATAN

ARGUMENTASI

Asriyadin1*, Siswanto2, Yusiran1 1Program Studi Pendidikan Fisika, STKIP Taman Siswa Bima, Bima, Indonesia

2Program Studi Pendidikan IPA, Universitas Tidar, Magelang, Indonesia *email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran efektifitas pembelajaran inkuiri yang diinovasi dengan kegiatan argumentasi dalam melatihkan keterampilan berargumentasi kepada siswa SMA. Keterampilan berargumentasi berperan penting dalam membangun konsep yang dipelajari oleh siswa, sehingga perlu dilatihkan kepada siswa dalam pembelajaran. Untuk mengukur efektifitas kegiatan pembelajaran, dilakukan pretest dan posttest. Kegiatan pembelajaran dilakukan selama tiga kali pertemuan, dengan subjek penelitian sebanyak 23 siswa pada salah satu SMA di kabupaten Bima. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes essay menggunakan rubrik penilaian untuk mengukur keterampilan berargumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan efektif dalam melatihkan keterampilan berargumentasi. Terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara pretest dan posttest berdasarkan uji wilcoxon (z = -4,199 p= 0,0001). Berdasarkan hasil analisis gain yang dinormalisasi, pembelajaran yang dilakukan efektif dalam meningkatkan keterampilan berargumentasi pada kategori sedang (<g> = 0,51). Kata Kunci: Pembelajaran Inkuiri, Kegiatan Argumentasi, Keterampilan Berargumentasi.

PENDAHULUAN

Keterampilan berargumentasi penting dibekalkan kepada siswa dalam pembelajaran fisika. Siswa yang memiliki keterampilan berargumentasi yang baik, cenderung akan mudah untuk menguasai konsep yang diajarkan (Kaniwati et al, 2014; Yusiran & Siswanto, 2016; Karsilah et al, 2017). Selain itu, dengan melatihkan keterampilan berargumentasi kepada siswa, maka secara langsung siswa dilatih untuk membangun suatu penjelasan, model, dan teori dari sebuah konsep yang dipelajari. Oleh sebab itu, idealnya, setiap kegiatan pembelajaran fisika harus memfasilitasi siswa untuk mampu melakukan kegiatan argumentasi (Kuhn, 2010).

Melatihkan keterampilan berargumentasi juga secara langsung melatihkan kemampuan kognitif dan afektif kepada siswa (Sampson, 2010; Erduran, 2008). Dalam mengajukan argumentasinya, siswa harus menyertakan satu kesatuan konsep yang utuh dan tepat. Selain itu, kegiatan pembelajaran yang dirancang untuk melatihkan kegiatan argumentasi, juga menuntut siswa untuk memiliki kemampuan afektif yang baik. Sehingga, kegiatan pembelajaran yang didalamnya memfasilitasi siswa untuk melatihkan kegiatan argumentasi, juga secara langsung melatihkan kemampuan kognitif dan afektifnya.

Pada penelitian ini, digunakan pembelajaran inkuiri untuk melatihkan keterampilan berargumentasi. Tahapan-tahapan kegiatan inkuiri yang dilakukan dalam pembelajaran dikombinasikan dengan kegiatan argumentasi. Kegiatan argumentasi yang dilakukan mengacu pada tahapan kegiatan argumentasi yang dirumuskan oleh Toulmin (2003), yang meliputi tahap pengajuan klaim (claim), bukti (data), pembenaran (warrant), dan dukungan (backing). Klaim merupakan sebuah dugaan, penjelasan, kesimpulan, atau prinsip yang digeneralisasikan. Data merupakan komponen-komponen yang dapat dijadikan sebagai bukti yang telah dikumpulkan dan dianalisa. Pembenaran merupakan pernyataan yang menjelaskan bagaimana data yang ditampilkan dapat

PENDIDIKAN FISIKA…

84 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

mendukung klaim yang diajukan. Dukungan merupakan ungkapan tambahan yang perlu dibuat untuk mendukung pembenaran yang berupa teori-teori atau fakta-fakta yang berlaku.

Pembelajaran inkuiri dipilih dengan inovasi kegiatan argumentasi agar lebih efektif dalam melatihkan keterampilan berargumentasi. Pembelajaran inkuiri sendiri mampu memfasilitasi siswa untuk membangun keterampilan berpikir tingkat tinggi (Wenning, 2011; Harlen, 2014). Proses pembelajaran yang menerapkan tahapan-tahapan kegiatan inkuiri dapat membantu siswa untuk belajar bagaimana berpikir dan bertindak seperti seorang ilmuan (Wenning, 2011). Tahapan kegiatan pada pembelajaran inkuiri meliputi (1) identifikasi masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3) melakukan eksperimen, (4) melakukan analisis data, (5) mengkomunikasikan hasil analisis data. Kegiatan argumentasi dikombinasikan pada kegiatan inkuiri pada tahap ke 2 sampai 5.

Oleh sebab itu, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran efektifitas pembelajaran inkuiri yang diinovasikan dengan kegiatan argumentasi dalam meningkatkan keterampilan berargumentasi. METODE

Penelitian ini melibatkan 23 siswa pada salah satu SMA di kabupaten Bima, Nusa Tenggara barat, Indonesia. Seluruh siswa yang terlibat dalam kegiatan penelitian, sebelumnya belum pernah mendapatkan pembelajaran mengenai materi yang diajarkan, yaitu materi suhu dan kalor. Seluruh siswa juga berasal dari kelas yang sama, sehingga setiap harinya mendapat perlakuan kegiatan pembelajaran yang sama. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan selama tiga kali pertemuan, dimana setiap pertemuan 90 menit. Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran, diberikan tes terlebih dahulu (pretest), kemudian setelah kegiatan pembelajaran selesai juga dilakukan tes (posttest). Hal ini dilakukan untuk mengukur capaian peningkatan keterampilan berargumentasi siswa pada materi suhu dan kalor sebagai dampak setelah dilakukannya proses pembelajaran menggunakan pembelajaran inkuiri yang diinovasikan dengan kegiatan argumentasi. Instrumen tes yang digunakan dalam bentuk tes essay menggunakan rubrik penilaian untuk mengikur keterampilan berargumentasi siswa. Sebelum digunakan, sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen tes.

Analisis data dilakukan dengan tahapan: (1) melakukan uji normalitas data; (2) menghitung rata-rata skor pretest dan posttest; (3) melakukan uji beda rata-rata antara pretest dan posttest; (4) menghitung nilai rata-rata peningkatan keterampilan berargumentasi secara keseluruhan; (5) menghitung nilai rata-rata peningkatan untuk setiap indikator keterampilan berargumentasi. Peningkatan keterampilan berargumentasi dianalisis menggunakan skor gain yang dinormalisasi (Hake, R.R., 1999). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

<g>=(Skor Posttest)-(Skor Pretest)(Skor Ideal)-(Skor Pretest)

Klasifikasi peningkatan ditandai oleh besarnya <g>, yakni kriteria tinggi jika <g> ≥0,7; kriteria sedang jika 0,7< <g> ≤0,3; kriteria rendah jika <g> < 0,3.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 85

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji normalitas dan uji beda rata-rata data pretest dan posttest dapat dilihat

pada tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, maka dapat disimpulkan bahwa data pretest dan posttest berdistribusi normal. Tabel 1. Hasil Uji Normalitas dan Uji Beda Rata-rata Uji Normalitas (Shapiro-Wilk) Uji Beda Rata-rata (Wilcoxon) df Sig Rata-rata df Z Sig Pretest 23 0,024 50,4 31

-4,861 0,0001 Posttest 23 0,012 68,04 31

Hasil uji beda rata-rata data pretest dan posttest menunjukkan bahwa rata-rata

data pretest dan posttest berbeda secara signifikan (sig. < 0,05). Dengan melihat nilai rata-rata posttest yang lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata pretest, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan menggunakan tahapan pembelajaran inkuiri yang dikombinasikan dengan kegiatan berargumentasi, mampu meningkatkan keterampilan berargumentasi siswa. Besarnya peningkatan keterampilan berargumentasi siswa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Besar Peningkatan Keterampilan Berargumentasi

Berdasarkan Gambar 1, peningkatan keterampilan berargumentasi siswa secara keseluruhan berdasarkan analisis data gain yang dinormalisasi sebesar 0,51 dengan kriteria peningkatan sedang. Peningkatan untuk setiap indikator keterampilan berargumentasi juga berada pada kriteria sedang. Peningkatan terbesar terjadi pada indikator mengajukan bukti. Menurut analisa peneliti, hal ini terjadi karena selama kegiatan pembelajaran, siswa dilatih untuk memberikan bukti-bukti yang akurat mengenai dugaan jawab yang diberikan oleh siswa.

Terjadinya peningkatan keterampilan berargumentasi merupakan efek dari kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Pembelajaran dilakukan dengan menerapkan tahapan pembelajaran inkuiri yang dikombinasikan dengan kegiatan berargumentasi. Menurut Harlen (2014), pembelajaran inkuiri tidak hanya menitikberatkan pada proses pembelajaran yang hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu membelajarkan bagaimana sains dibangun dari proses dan produk. Selain itu, pembelajaran inkuiri dapat mengembangkan keterampilan intelektual siswa, salah satunya adalah keterampilan berargumentasi (Kai Wu, 2006). Selama proses pembelajaran berlangsung, siswa dilatih melakukan investigasi untuk menyelesaikan

PENDIDIKAN FISIKA…

86 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

permasalahan, dan membuat sebuah model argumentasi yang dapat memperkuat gagasan atas solusi yang dibuatnya.

Kegiatan argumentasi yang dikombinasikan dalam tahapan kegiatan inkuiri berperan untuk lebih meningkatkan keterampilan berargumentasi siswa. Kegiatan pembelajaran yang didalamnya memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan argumentasi sangat efektif dalam meningkatkan keterampilan berargumentasi (Kaniwati et al, 2014; Yusiran & Siswanto, 2016). Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dapat di lihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Tahap pembelajaran Kegiatan yang Dilakukan Mengidentifikasi masalah Merumusakan hipotesis menggunakan kegiatan argumentasi Melakukan eksperimen dengan model eksperimen inkuiri yang dipadukan dengan setting argumentasi

Guru memberikan permasalahan kepada setiap kelompok dengan permasalahan yang sama (ada pada LKS), secara umum, permasalahan yang diberikan sebagai berikut: 1. Setujukah kalian bahwa tidak ada perbedaan jumlah

kalor yang dibutuhkan untuk mencairkan balok es yang massanya kecil dengan mencairkan balok es yang massanya besar jika suhu mula-mula balok es sama?

2. Perhatikan gambar balok es dan mentega di bawah ini!

Dari kedua benda tersebut, manakah yang membutuhkan lebih banyak kalor untuk mencair jika masing-masing memiliki massa yang sama?

Siswa diminta untuk mengidentifikasi masalah yang disajikan oleh guru dan membuat pertanyaan dari masalah tersebut (membuat rumusan masalah) dengan dipandu LKS

Siswa mengkaji literatur melalui bahan ajar yang dibagikan

oleh guru Berdasarkan hasil kajian, siswa diminta untuk membuat

hipotesis mengenai permasalahan tersebut, dan menuliskan argumen sementara yang mendukung hipotesis yang dibuat dengan dipandu LKS

Siswa menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk

melakukan kegiatan eksperimen seperti pada LKS Siswa merancang dan melakukan eksperimen untuk

menjawab permasalahan dan membuktikan kebenaran dari hipotesis yang sudah dibuat sesuai dengan LKS

Siswa mengisi data-data hasil eksperimen yang sudah dilakukan sesuai Lembar Kerja Siswa (LKS)

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 87

Melakukan analisis data dengan panduan lembar kerja siswa (LKS) berbasis inkuiri yang di setting argumentasi Mengkomunikasikan hasil analisis menggunakan kegiatan argumentasi

Siswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada pada Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk mendapatkan penguasaan konsep mengenai materi yang dipelajari sesuai dengan LKS kegiatan 4

Berdasarkan hasil analisis data mengenai beberapa pertanyaan penguasaan konsep pada Lembar Kerja Siswa (LKS), siswa melakukan evaluasi terhadap argumen dan hipotesis yang sudah dibuat

Siswa membuat dan menuliskan kembali hipotesis dan argumentasi berdasarkan hasil evaluasi dengan dipandu pada LKS

Siswa melakukan presentasi di depan kelas untuk

menyampaikan hipotesis, argumen, dan hasil analisa data eksperimen yang sudah dilakukan

Siswa mendiskusikan secara bersama-sama jawaban yang tepat beserta argumentasinya mengenai permasalahan yang diajukan oleh guru

Berdasarkan Tabel 2 tersebut, secara umum tahapan kegiatan pembelajaran

melatihkan siswa untuk menggali pengetahuan secara aktif dan mandiri. Kegiatan pembelajaran melatih siswa untuk bertindak seperti seorang ilmuwan, dimana siswa melakukan kroscek pengetahuan melalui kegiatan eksperimen dan membuat sebuah model pembenaran dari apa yang diselidiki. Tahapan kegiatan pembelajaran yang paling sulit dilakukan oleh siswa adalah melakukan identifikasi masalah. Kegiatan ini dilakukan di awal pembelajaran. Tahapan ini melatih siswa untuk kritis dalam mempetakan permasalahan yang diberikan. Jika tahapan ini gagal dilakukan oleh siswa, maka siswa akan cenderung mengalami kesulitan dalam melaksanakan tahapan berikutnya, terutama dalam merumuskan hipotesis. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisa data, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri yang kegiatannya dikombinasikan dengan kegiatan argumentasi secara efektif mampu meningkatkan keterampilan berargumentasi siswa SMA. Berdasarkan temuan peneliti selama melakukan kegiatan penelitian, maka peneliti menyarankan pada tahapan identifikasi masalah, perlu dibuatkan sebuah rumusan peta berpikir yang mengarahkan siswa untuk mampu mengidentifikasi masalah dengan tepat. Penelitian yang dilakukan belum membuat rumusan peta berpikir bagi siswa, sehingga hampir setiap siswa kesulitan dalam melakukan identifikasi masalah. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tingga yang telah memberikan dana untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. Selain itu, peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada Ketua STKIP Taman Siswa Bima yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian.

PENDIDIKAN FISIKA…

88 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

REFERENSI Erduran, S., & Maria, P. (2008). Argumentation in Science Education. London: Spinger

Science. Hake, R.R. (1999). Interactive-engagement vs traditional methods: A six thousand

student survey of mechanic test data for introductory physics courses. Journal of Physics. 66 (1): 64-74.

Harlen, W. (2014). Helping children’s development of inkuiri skills. Inkuiri in primary science education (IPSE), 1: 5-19.

Kai Wu, H. (2006). Developing Sixth Graders’ Inkuiri Skills to Construct Explanations in Inkuiri‐based Learning Environments. International Journal of Science Education, 28 (11): 1289–1313.

Karsilah, K., Febriastuti, Y. D., & Siswanto, S. Inovasi Model Pembelajaran Guided Inquiry untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Siswa SMP. Indonesian Journal of Science and Education, 1(1).

Kuhn. (2010). Teaching and Learning Science as Argument. Wiley Periodicals, Inc. Sci Ed, v (94) :810-824.

Sampson, V., & Gerbino, F. (2010). Two Instructional Models That Teacher Can Use to Promote & Support Scientific Argumentation In the Biology Classroom. The American Biology Teacher, 72 (7): 427-431.

Kaniawati, I., & Suhandi, A. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Pembangkit Argumen Menggunakan Metode Saintifik Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Dan Keterampilan Berargumentasi Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 10(2), 104-116. doi:http://dx.doi.org/10.15294/jpfi.v10i2.3347

Toulmin, S. (2003). The Uses of Argument. New York: Cambridge University Press. Wenning, C., J. (2011). Experimental inkuiri in introductory physics courses. Journal of

Physics Teacher Education, 6 (2): 2-8. Yusiran, Y., & Siswanto, S. (2016). Implementasi Metode Saintifik Menggunakan Setting

Argumentasi pada Mata Kuliah Mekanika untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Mahasiswa Calon Guru Fisika. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika, 2(1), 15-22. doi:10.21009/1.02103

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 89

THREE-TIER DIAGNOSTIC TEST UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA SMA MATERI GERAK MELINGKAR BERATURAN

Widi Astutik*, Qisthi Fariyani, Hamdan Hadi Kusuma

Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang, Indonesia * Email: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan three-tier diagnostic test untuk menentukan kevalidan, reliabilitas, karakteristik butir soal three-tier diagnostic test, dan mendiskripsikan profil miskonsepsi pada materi Gerak Melingkar Beraturan. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian Research and Development (R&D). Metode yang digunakan adalah tes, angket, wawancara, dan dokumentasi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X IPA SMA N 1 Karangtengah. Tes diagnostik yang dikembangkan terdiri atas tiga tingkatan, yakni soal pilihan ganda, pilihan alasan, dan pilihan tingkat keyakinan. Instrumen yang dihasilkan terdiri atas: kisi-kisi soal, petunjuk pengerjaan soal, soal-soal three-tier diagnostic test, kunci jawaban, lembar jawab, pedoman penskoran, dan pedoman interpretasi hasil. Hasil validasi menunjukkan instrumen yang dikembangkan valid. Reliabilitas soal tes yang dikembangkan sebesar 0,89. Karakteristik 40 butir soal yang dikembangkan antara lain: 1) taraf kesukaran soal, terdiri atas tiga soal berkategori mudah, 32 soal berkategori sedang, dan lima soal berkategori sukar; 2) daya pembeda, terdiri atas satu soal diperbaiki, 10 soal diterima dengan perbaikan, dan 29 soal diterima; 3) sebanyak 83,3% pengecoh pada pilihan jawaban berfungsi dengan baik dan sebanyak 91,25% pengecoh pada pilihan alasan berfungsi dengan baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi tertinggi pada indikator kecepatan linier, sedangkan miskonsepsi terendah pada indikator kecepatan sudut. Kata kunci : Gerak Melingkar Beraturan; Miskonsepsi; Three-Tier Diagnostic Test

PENDAHULUAN

Siswa sudah memiliki konsep-konsep yang berkaitan dengan fisika melalui pengalaman sehari-hari, karena ilmu fisika sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bergantinya siang dan malam karena rotasi bumi dan bentuk lintasan yang dilalui bumi merupakan salah satu contoh dari konsep fisika yang didapat siswa melalui pengalaman sehari-hari. Siswa menganggap mengenai konsep matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat merupakan akibat dari perputaran matahari mengelilingi bumi, sehingga yang mengalami gerak revolusi adalah matahari. Sudut pandang konsep fisika yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tersebut tidak sesuai dengan konsep yang diterapkan oleh fisikawan. Ketidaksesuaian ini dinamakan miskonsepsi (Suparno, 2013 ; Kirbulut, 2014).

Banyak miskonsepsi yang ditemukan pada pembelajaran fisika, salah satunya pada materi Gerak Melingkar Beraturan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru fisika di SMA N 1 Karangtengah diperoleh keterangan bahwa salah satu miskonsepsi yang paling banyak dialami siswa adalah konsep gaya sentripetal. Siswa menganggap ketika motor atau mobil yang melintas pada alun-alun yang berbentuk lingkaran, gaya sentripetal selalu menuju ke luar lingkaran, dan yang menuju ke pusat lingkaran itu adalah jari-jari bukan gaya sentripetal. Konsep yang sebenarnya mengenai gaya sentripetal adalah gaya yang arahnya menuju ke pusat lingkaran.

Terjadinya miskonsepsi yang dialami siswa membuat semakin rendahnya prestasi hasil belajar siswa (Suparno, 2013), sehingga mereka memerlukan suatu bantuan secara tepat. Langkah tepat untuk mendeteksi adanya miskonsepsi salah satunya dengan menggunakan instrumen khusus yaitu tes diagnostik yang dapat mengungkap adanya miskonsepsi dari masing-masing siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengembangan tes diagnostik tiga tingkat untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa SMA materi Gerak Melingkar Beraturan.

PENDIDIKAN FISIKA…

90 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Menurut Depdiknas (2007), tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengungkap kelemahan-kelemahan siswa sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan tindakan atau perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kelemahan yang dimiliki siswa. Tes diagnostik yang dikembangkan adalah tes diagnostik bentuk pilihan ganda dengan tiga tingkat pertanyaan. Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci jawaban. Tingkat ke dua merupakan alasan siswa menjawab pertanyaan, berupa tiga alasan yang telah disediakan dengan dua pengecoh dan satu kunci jawaban serta satu alasan terbuka yang dapat diisi sendiri oleh siswa. Tingkat ke tiga merupakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban dan alasan. Three-tier diagnostic test memiliki keunggulan, yakni tidak diperlukan wawancara dengan siswa untuk menentukan validitas dari tes (Pesman & Eryilmaz, 2010). METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di SMA N 1 Karangtengah. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA N 1 Karangtengah. Uji produk skala kecil dilakukan pada siswa kelas X sebanyak 15 siswa, dengan 20% siswa berkategori pandai, 60% siswa sedang, dan 20% siswa kurang pandai. Uji skala luas sebanyak 62 siswa.

Penelitian ini merupakan penelitian Research and Development (R&D). Menurut Sugiyono (2015), Research and Development (R&D) adalah sebuah metode melakukan penelitian untuk menghasilkan sebuah produk, dan menguji keefektifan produk tersebut. Prosedur penelitian ini menggunakan prosedur penelitian Gall, et al. (2013). Pengembangan produk meliputi: penyusunan kisi-kisi soal tes, petunjuk pengerjaan, penulisan butir soal, kunci jawaban dan lembar jawaban, pedoman penskoran dan pedoman interpretasi hasil.

Teknik pengumpulan data melalui kegiatan wawancara, dokumentasi, tes, dan pengisian kuesioner atau angket. Wawancara dilakukan dua kali. Pertama untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pelajaran fisika yang dilakukan sebelum penelitian dan ke dua mengetahui pendapat siswa serta guru mengenai three-tier diagnostic test yang dilakukan setelah penelitian. Terdapat dua angket, yakni angket penilaian siswa yang diberikan pada uji skala kecil dan angket respons siswa yang diberikan pada uji skala luas.

Penskoran diberikan dengan memberikan skor 1 untuk pilihan jawaban maupun pilihan alasan yang benar dan skor 0 diberikan untuk pilihan jawaban maupun pilihan alasan yang salah. Tingkat keyakinan tergolong tinggi apabila dipilih dengan skala 4 atau 5 atau 6 dan tingkat keyakinan tergolong rendah apabila dipilih dengan skala 1 atau 2 atau 3.

Tabel 1. Interpretasi Hasil Three-Tier Diagnostic Test No. Kategori Tipe Respons

Jawaban

Alasan

Keyakinan

1. Memahami Benar Benar Tinggi 2. Tidak

Memahami Benar Benar Rendah Benar Salah Rendah Salah Benar Rendah Salah Salah Rendah

3. Miskonsepsi Benar Salah Tinggi Salah Benar Tinggi Salah Salah Tinggi

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 91

Analisis data yang dilakukan meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda, keberfungsian pengecoh pada pilihan jawaban dan alasan, analisis angket, analisis miskonsepsi siswa, dan interpretasi hasil three-tier diagnostic test. Validasi dilakukan oleh ahli materi dan evaluasi. Pengujian reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Analisis miskonsepsi siswa menggunakan interpretasi hasil yang diadaptasikan oleh Pesman (2010) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prototipe Produk Three-Tier Diagnostic Test Tabel 2. Rangkuman Produk Three-Tier Diagnostic Test

Produk yang Dikembangkan

Isi

Kisi-kisi soal three-tier diagnostic test

Nomor urut, indikator soal, kategori tingkatan soal, jumlah soal

Petunjuk pengerjaan soal

Petunjuk untuk siswa dalam mengerjakan soal

Soal three-tier diagnostic test

Judul, mata pelajaran, materi, kelas, waktu pengerjaan, soal-soal tes, pilihan jawaban, pilihan alasan jawaban dan pilihan tingkat keyakinan memilih jawaban dan alasan

Kunci jawaban

Nomor soal, pilihan jawaban soal dan pilihan alasan jawaban yang benar

Lembar jawab

Judul, nama, nomor absen, kelas, mata pelajaran, nomor soal, kolom pilihan jawaban, nomor alasan, kolom pilihan alasan, nomor tingkat keyakinan, kolom pilihan tingkat keyakinan

Pedoman penskoran

Pedoman dalam memberikan skor dan menentukan hasil tes

Pedoman interpretasi hasil

Pedoman untuk mengklasifikasi jawaban yang diberikan siswa

Three-tier diagnostik test atau tes diagnostik tiga tingkat yang dikembangkan

merupakan sebuah instrumen tes yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Materi yang digunakan adalah Gerak Melingkar Beraturan. Rangkuman produk tes diagnostik tiga tingkat dapat dilihat pada Tabel 2.

Soal tes akhir yang digunakan sebanyak 40 butir soal, terdiri atas delapan indikator, yaitu konsep gerak melingkar beraturan, periode, frekuensi, kecepatan linier, kecepatan sudut, percepatan sentripetal, gaya sentripetal, dan hubungan antara roda yang terhubung dengan tali. Hasil tes yang telah dikerjakan oleh siswa dianalisis dan diinterpretasikan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa. Validitas Three-Tier Diagnostic Test

Sebuah tes yang memiliki validitas tinggi akan mampu mengungkap hasil belajar siswa secara valid (Kunandar, 2013). Oleh karena itu, validasi instrumen ini harus

PENDIDIKAN FISIKA…

92 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidang evaluasi dan materi Gerak Melingkar Beraturan.

Validitas dilakukan pada setiap butir soal three-tier diagnostic tes. Menurut Fariyani (2015), tujuan dilakukan validitas tiap butir soal adalah untuk mengetahui soal tes yang digunakan benar-benar layak dan dapat mengukur apa yang hendak diukur, yaitu miskonsepsi siswa. Apabila penilaian dilakukan secara keseluruhan maka tidak akan diketahui butir soal mana yang memiliki kelemahan dan letak kelemahan soal tersebut. Penilaian tiap butir soal secara detail juga akan mempermudah dalam mengidentifikasi bagian yang memerlukan perbaikan, baik kalimat soal, pilihan jawaban, maupun pilihan alasan.

Hasil validasi menunjukkan bahwa 40 butir soal dinyatakan valid. Soal tes yang dinyatakan valid, kemudian diujikan pada skala kecil dan skala luas. Hasil uji skala kecil digunakan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan siswa dalam mengerjakan soal dan mengetahui penilaian siswa terhadap three-tier diagnostic test. Hasil uji coba skala luas digunakan untuk mengetahui reliabilitas, daya pembeda, tingkat kesukaran soal, keberfungsian pengecoh dan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa. Reliabilitas Three-Tier Diagnostic Test

Data yang didapatkan pada uji coba skala luas dianalisis untuk mengetahui reliabilitas butir soal three-tier diagnostic test. Tujuan dilakukan analisis reliabilitas adalah untuk mengetahui tingkat keajegan soal. Suatu tes yang dapat dengan ajeg memberikan data yang sesuai dengan kenyataan, maka tes tersebut dinyatakan baik (Arikunto, 2013).

Persamaan Alfa Cronbach adalah rumus yang digunakan untuk mengetahui tingkat reliabilitas soal. Hasil perhitungan reliabilitas menghasilkan 𝑟11 sebesar 0,89. Harga 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 untuk jumlah sampel 62 dengan signifikansi 5% adalah 0,25, sehingga dapat disimpulkan bahwa soal three-tier diagnostic test yang dikembangkan reliabel. Karakteristik Butir Soal Three-Tier Diagnostic Test

Suatu tes dikatakan baik, apabila tes tersebut valid dan reliabel (Arikunto, 2013). Soal tes juga harus memiliki tingkat kesukaran dan daya pembeda yang baik. Tingkat kesukaran tiap butir soal three-tier diagnostic test dapat dilihat pada Tabel 3. Daya pembeda soal three-tier diagnostic test dapat dilihat pada Tabel 4.

Sebanyak 80% dari seluruh soal three-tier diagnostic test tingkat kesukaran sedang. Penelitian yang dilakukan Wahyuningsih, et al (2013), Handayani (2014), dan Fariyani (2015), rata-rata menggunakan soal berkategori sedang dalam mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa. Menurut Fariyani, et al. (2015) soal tes diagnostik yang baik adalah soal tes yang berkategori sedang. Hal ini dikarenakan apabila soal berkategori sedang dikerjakan oleh siswa yang pandai, siswa tersebut tidak akan merasa terlalu mudah dan apabila dikerjakan oleh siswa yang kurang pandai, siswa tersebut tidak akan merasa terlalu sulit. Oleh karena itu, soal berkategori sedang dipilih agar dapat menjangkau kemampuan dari seluruh siswa.

Tabel 3. Tingkat Kesukaran Soal Three-Tier Diagnostic Test No. Kategori

Tingkat Kesukaran

Nomor Soal Jumlah

1 Mudah 2, 30, 33 3 2 Sedang 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

15, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 34, 35, 36, 37, 39, 40

32

3 Sukar 14, 19, 21, 32, 38 5 Jumlah Total 40

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 93

Tabel 4. Daya Pembeda Three-Tier Diagnostic Test

No. Kategori Daya

Pembeda

Nomor Soal Jumlah

1 Buang - - 2 Perbaiki 38 1 3 Terima

dengan Perbaikan

2, 17, 18, 26, 29, 31, 32, 34, 37, 39

10

4 Terima 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 33, 35, 36, 40

29

Jumlah Total 40 Daya pembeda soal three-tier diagnostic test yang dikembangkan sebagian besar

berkategori terima. Soal berkategori diperbaiki telah direvisi sesuai kebutuhan perbaikan sebelum menjadi sebuah produk instrumen three-tier diagnostic test untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Soal yang memiliki daya pembeda baik dapat membedakan antara siswa yang pandai dan kurang pandai dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraeni, et al. (2013) yang menyatakan bahwa butir soal yang baik adalah butir soal yang dapat membedakan antara siswa yang pandai dan kurang pandai. Oleh karena itu, soal yang memiliki daya pembeda jelek tidak dapat digunakan karena tidak dapat membedakan antara siswa yang pandai dan kurang pandai. Keberfungsian Pengecoh

Sebuah distraktor (pengecoh) dapat dikatakan baik apabila distraktor tersebut mempunyai daya tarik yang besar terhadap peserta tes yang kurang memahami konsep (Arikunto, 2013) dan minimal dipilih oleh 5% peserta didik (Depdiknas, 2008). Sebuah soal bisa memiliki 3-5 distraktor (Arifin, 2012). Terdapat tiga distraktor pilihan jawaban dan dua distraktor pilihan alasan pada three-tier diagnostic test yang dikembangkan. Jumlah pengecoh dalam pilihan jawaban sebanyak 120 butir dan 83,3% butir pengecoh berfungsi dengan baik. Pengecoh dalam pilihan alasan sebanyak 80 butir dan 91,25% pengecoh berfungsi dengan baik.

Meskipun sebagian besar pengecoh berfungsi dengan baik, namun terdapat 5,8% pengecoh pilihan jawaban dan 2,5% pilihan alasan tidak berfungsi sama sekali. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kalimat pada pengecoh menggunakan bahasa yang tidak dikenal siswa, seperti pengecoh nomor 1 pada pilihan “d”. Bahasa yang digunakan adalah gerak translasi. Siswa tidak memahami arti translasi, sehingga tidak satupun siswa memilih pengecoh tersebut. Pengecoh nomor 26 pada pilihan “a” dan “d” juga menggunakan bahasa yang tidak biasa didengar oleh siswa. Bahasa yang digunakan pada pengecoh “a” adalah percepatan angular dan pengecoh “d” adalah percepatan tangensial, sehingga pengecoh tersebut dipilih kurang dari tiga siswa dari seluruh siswa yang mengikuti tes pada uji coba skala luas. Temuan Miskonsepsi Siswa

Hasil data yang diperoleh dari uji coba skala luas, kemudian diinterpretasikan untuk menggolongkan siswa ke dalam kriteria paham, tidak paham, dan miskonsepsi. Tabel 5 merupakan rekapitulasi hasil analisis kategori paham, tidak paham, dan miskonsepsi.

PENDIDIKAN FISIKA…

94 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 5. Rekapitulasi analisis kategori paham, tidak paham, dan miskonsepsi No Indikator Persentase (%)

P TP M 1. Konsep gerak melingkar

beraturan

41,4 20,4 38,6

2. Periode

24,3 32,2 43,7

3. Frekuensi

22,5 45,5 38,25

4. Kecepatan linier

7 43,25 50

5. Kecepatan sudut

25 40,5 34,5

6. Percepatan sentripetal

10 48 42,3

7. Gaya sentripetal

17,5 45,7 37

8. Hubungan antar roda yang terhubung dengan tali

13,7 37,8 48,8

Keterangan: P = Paham

TP = Tidak Paham M = Miskonsepsi

Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi pada setiap butir soal dapat dilihat pada Gambar 1. Miskonsepsi tinggi ditemukan pada soal nomor 26, yaitu pada indikator menentukan percepatan sentripetal pada gerak melingkar beraturan. Siswa menganggap bahwa arah percepatan sentripetal selalu mengikuti arah kecepatan sudut. Hal ini hampir sama dengan temuan miskonsepsi oleh Yolenta (2014), siswa menganggap bahwa arah percepatan sentripetal searah dengan kecepatan linier dan penelitian Puspitasari (2012), siswa menganggap bahwa percepatan selalu memiliki arah yang sama dengan arah pergerakan benda. Siswa juga menganggap bahwa arah percepatan sentripetal selalu sejajar dengan jari-jari lingkaran.

Gambar 1. Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi pada setiap butir soal

Suwarna (2013) mengkategorikan tingkat miskonsepsi sebagai berikut:

0% ≤ P ˂ 30% : rendah 30% ≤ P ˂ 60% : sedang 60% ≤ P ≤ 100% : tinggi

Miskonsepsi tinggi ditemukan pada indikator menentukan kecepatan linier pada gerak melingkar beraturan. Siswa menganggap bahwa kelajuan linier berbanding lurus dengan π dan jari-jari, serta berbanding terbalik dengan periode. Berdasarkan Giancoli

Per

sen

tase

Nomor Soal

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 95

(1998) menjelaskan bahwa kelajuan linier berbanding lurus dengan 2π dan jari-jari lingkaran dan berbanding terbalik dengan periode ( v = 2 𝜋 𝑅

𝑇 ).

Miskonsepsi tinggi ditemukan pada indikator menentukan gaya sentripetal pada gerak melingkar beraturan. Menurut siswa gaya sentripetal berbanding lurus dengan kuadrat kelajuan linier dan berbanding terbalik dengan massa dan jari-jari lingkaran. Giancoli (1998) menjelaskan bahwa gaya sentripetal berbanding lurus dengan kuadrat kelajuan linier dan massa tetapi berbanding terbalik dengan jari-jari lingkaran.

Selain itu, miskonsepsi tinggi juga ditemukan pada indikator hubungan roda-roda pada gerak melingkar beraturan. Siswa beranggapan bahwa roda yang terhubung dengan tali memiliki kecepatan sudut sama, namun konsep menurut Giancoli (1998) kecepatan sudut pada roda yang terhubung dengan tali berbeda.

Miskonsepsi ditemukan berdasarkan hasil jawaban siswa dan dikonfirmasi dengan hasil wawancara siswa. Siswa menganggap suatu benda ketika mengalami gerak melingkar pasti selalu mengalami gerak melingkar beraturan. Sebuah benda ketika berputar sebesar 2πR, besar kecepatan linier sama dengan kecepatan sudut. Menurut siswa benda yang bergerak dengan laju tetap dalam selang waktu yang sama, panjang lintasan yang ditempuh berbeda. Sebaliknya benda bergerak dengan laju tetap dalam selang waktu yang berbeda, panjang lintasan yang ditempuh sama. Tidak hanya itu saja, siswa juga menganggap bahwa pukul 04.00 WIB - 04.00 WIB sama dengan pukul 04.00 WIB - 16.00 WIB merupakan contoh lintasan gerak melingkar pada jam.

Anggapan siswa mengenai periode adalah berbeda dengan waktu, sehingga nilai periode berbanding terbalik dengan waktu atau T=n/t (periode adalah jumlah putaran per satuan waktu). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yolenta (2014) yakni terdapat 32,26% siswa menganggap bahwa periode berbanding lurus dengan jumlah putaran yang ditempuh benda. Giancoli (1998) menjelaskan bahwa periode adalah waktu yang diperlukan dalam satu putaran, sehingga periode berbanding lurus dengan waktu dan berbanding terbalik dengan jumlah putaran.

Anggapan awal siswa periode berbeda dengan waktu mengakibatkan salahnya pemahaman mengenai frekuensi. Apabila T= n/t, maka f = t/n (frekuensi adalah waktu yang dibutuhkan suatu benda untuk berputar sebanyak n). Giancoli (1998) menjelaskan bahwa frekuensi sebagai jumlah putaran per sekon, sehingga frekuensi berbanding lurus dengan jumlah putaran dan berbanding terbalik dengan waktu.

Menurut siswa kecepatan linier berbanding lurus dengan jari-jari lingkaran dan berbanding terbalik dengan kecepatan sudut. Ada juga yang berpendapat bahwa kecepatan linier sama dengan kecepatan sudut sehingga kecepatan linier berbanding lurus dengan kecepatan sudut dan berbanding terbalik dengan jari-jari lingkaran. Menurut Freedman dan Young (2000) kecepatan linier berbanding lurus dengan kecepatan sudut dan jari-jari.

Anggapan awal siswa bahwa kecepatan sudut sama dengan kecepatan linier mengakibatkan kesalahan konsep mengenai kecepatan sudut berbanding lurus dengan kecepatan linier dan jari-jari. Ada juga siswa yang beranggapan bahwa kecepatan sudut sebanding dengan kuadrat kecepatan linier dan jari-jari.

Berdasarkan penuturan siswa, suatu benda yang mengalami gerak melingkar beraturan selalu memiliki percepatan sentripetal yang mengikuti arah geraknya dan mengikuti arah kecepatan sudutnya sehingga percepatan sentripetal tidak menuju ke pusat lingkaran. Berdasarkan Freedman dan Young (2000) dan Giancoli (1998) arah percepatan sentripetal adalah menuju ke pusat lingkaran. Menurut siswa gaya sentripetal berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan linier dan berbanding terbalik dengan massa dan jari-jari lingkaran. Siswa juga menganggap gaya sentripetal berbanding terbalik dengan kuadrat kecepatan linier dan berbanding lurus dengan massa dan jari-jari lingkaran. Giancoli (1998) menjelaskan bahwa gaya sentripetal

PENDIDIKAN FISIKA…

96 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan linier dan massa, namun berbanding terbalik dengan jari-jari.

Siswa menganggap bahwa roda yang terhubung dengan tali dan bersinggungan memiliki kecepatan sudut sama sedangkan benda yang sepusat memiliki kecepatan sudut yang berbeda. Temuan miskonsepsi ini sama dengan temuan miskonsepsi yang ditemukan oleh Yolenta (2014). Menurut Taranggono dan Subagyo (2007) menjelakan bahwa roda yang terhubung dengan tali dan bersinggungan memiliki kecepatan sudut berbeda sedangkan roda yang sepusat memiliki kecepatan sudut sama.

Berdasarkan hasil wawancara siswa, ditemukan sumber miskonsepsi antara lain: siswa, guru, teman, dan buku. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan bagi guru untuk melakukan perbaikan dalam pembelajaran, khususnya pada materi Gerak Melingkar Beraturan. Guru dapat mengetahui bagian mana saja yang teridentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa. Oleh karena itu, guru dapat merencanakan pembelajaran lebih baik untuk menanggulangi miskonsepsi yang dialami siswa. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa karakteristik instrument three-tier diagnostic test meliputi: Setiap butir soal terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat pertama berupa pertanyaan dengan empat pilihan jawaban yang ditentukan, tiga ssebagai pengecoh dan satu jawaban benar. Tingkat ke dua berupa empat pilihan alasan, tiga pilihan tertutup dengan dua sebagai pengecoh, satu jawaban benar dan satu pilihan alasan terbuka. Terdapat delapan indikator dan jumlah soal three-tier diagnostic test yang dikembangkan sebanyak 40 butir soal. Reliabilitas three-tier diagnostic test yang dikembangkan sebesar 0,89 yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Butir soal three-tier diagnostic test memiliki karakteristik di antaranya: 1) tingkat kesukaran 40 butir soal terdiri atas tiga soal berkategori mudah, 32 soal berkategori sedang, dan lima soal berkategori sukar; 2) daya pembeda 40 butir soal terdiri atas satu soal berkategori soal diperbaiki, sepuluh soal berkategori diterima tapi perlu diperbaiki, dan 29 soal berkategori diterima. Sebanyak 83,3% pengecoh pada pilihan jawaban berfungsi dengan baik dan sebanyak 91,25% pengecoh pilihan alasan sudah berfungsi dengan baik. Terdapat 41,6% siswa mengalami miskonsepsi pada materi Gerak Melingkar Beraturan. Miskonsepsi tertinggi terdapat pada konsep kecepatan linier sebesar 50% dan miskonsepsi terendah terdapat pada konsep kecepatan sudut sebesar 34,5%. REFERENSI Arifin, Z. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian

Agama. Arikunto, S. 2013. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi 2). Jakarta: Bumi Aksara. Caleon, I. S. & Subramaniam, R. 2010. Development and Application of a Three-Tier Diag-

nostic Test to Assess Secondary Students’ Understanding of waves. International Journal of Science Education. 32(7): 939-961.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Tes Diagnostik. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Analisis Butir Soal. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Fariyani, Q., A. Rusilowati & Sugianto. 2015. Pengembangan Four-Tier Diagnostic Test Untuk Mengungkap Miskonsepsi Fisika Siswa SMA Kelas X. Journal of Innovative Science Education. 4 (2): 41-49.

Gall, M.D., J. P. Gall & W. R. Borg. 2013. Educational Research: An Introduction (7th ed). USA: Person Education Inc.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 97

Handayani, T. L., A. Rusilowati & Sugianto. 2014. Mengembangkan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Tiga Tingkat Sebagai Alat Evaluasi Miskonsepsi Materi Optik. Jurnal Seminar Nasional Evaluasi Pendidikan (SNEP) II Tahun 2014. Semarang: UNNES: 121-128.

Kirbulut. D. Y. 2014. Using Three-Tier Diagnostic Test to Assess Student’s Misconceptions of States of Matter. Eurasia Journal of Matematics , Science & Tecnology Education. 10 (5): 509-521.

Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nugraeni, D., Jamzuri & Sarwanto. 2013. Penyusunan Tes Diagnostik Fisika Materi Listrik Dinamis. Jurnal Pendidikan Fisika. 1 (2): 12

Pesman, H., & A. Eryilmaz. 2010. Development of a Three-tier Test to Assess Misconceptions about Simple Electric Circuits. The Journal of Educational Research.103 (1): 208–222.

Puspitasari, I. P. 2012. Analisis Miskonsepsi Gerak pada Siswa Kelas X SMA N 1 Surakarta Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suparno, P. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta:

PT. Grasindo. Suwarno, I. P. 2013. Analisis Miskonsepsi Siswa SMA Kelas X pada Mata Pelajaran Fisika

Melalui CRI (Certain Respons Indeks) Termodifikasi. Jurnal Laporan Penelitian. UIN Syarif Hidayatullah.

Wahyuningsih, T., T. Raharjo & D. F. Masithoh. 2013. Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA Kelas IX. Jurnal Pendidikan Fisika. 1 (1): 111.

Yolenta, D. 2014. Deskripsi Miskonsepsi Siswa SMA Sekecamatan Kapuas Tentang Gerak Melingkar Beraturan Menggunakan Three-Tier Test. Jurnal Laporan Penelitian. Pontianak: Universitas Tanjungpura Pontianak.

PENDIDIKAN FISIKA…

98 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK BERBASIS WEB PADA MATERI TERMODINAMIKA UNTUK MENGIDENTIFIKASI TINGKAT PEMAHAMAN

KONSEP SISWA

Aninditya Dwi Perwitasari

Prodi Pendidikan Fisika, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan tes diagnostik berbasis web yang layak

digunakan dalam mengidentifikasi pemahaman konsep siswa pada materi Termodinamika.

Tes diagnostik dikembangkan berbasis web sehingga lebih efisien dibandingkan tes

diagnostik manual. Rata–rata persentase hasil validasi pakar instrumen tes dan pakar media

mencapai 97,92% dan 91,67% atau termasuk dalam kriteria sangat baik. Hasil tes diagnostik

berbasis web pada tahap implementasi menunjukkan profil pemahaman konsep siswa pada

materi suhu dan kalor sebagai berikut: 80,68% siswa telah memahami penerapan kalor

dalam kehidupan sehari-hari; 33,33% siswa telah memahami hubungan kalor dengan massa,

suhu, dan kalor jenis benda; 59,09% siswa telah memahami prinsip azas black; 70,45%

siswa telah memahami prinsip kapasitas kalor dan hubungan kapasitas kalor dengan suhu;

72,73% siswa telah memahami hubungan kalor jenis dengan perubahan wujud dan suhu;

62,12% siswa telah memahami proses perubahan wujud zat; 71,82% siswa telah memahami

prinsip kalor jenis. Berdasarkan hasil penelitian, produk tes diagnostik berbasis web telah

layak digunakan untuk mendiagnosis tingkat pemahaman konsep siswa.

Kata kunci: Web-based diagnostic tests, Concept understanding,Thermodynamics.

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan merupakan kumpulan dari pengalaman-pengalaman serta pengetahuan-pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dimana masing-masing dari bagian tersebut bergantung satu sama lain (Syafiie, 2010). Ilmu pengetahuan dalam pendidikan dapat diukur dengan sebuah tes. Menurut Djaali dan Muljono (2008:7), tes merupakan salah satu prosedur evaluasi yang komprehensif, sistematik, dan objektif yang hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam proses pengajaran yang dilakukan oleh guru.

Hasil observasi menyatakan perolehan hasil belajar dari ujian semester, mid semester, serta nilai tugas dan ulangan harian kelas X di SMA Negeri 1 Ungaran, tema Suhu dan Kalor memiliki rata-rata nilai yang paling rendah yakni 63,5. Nilai ini jauh dari kriteria ketuntasan minimum, yaitu sebesar 75. Guru memiliki permasalahan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi, dibutuhkan informasi lebih lanjut mengenai konsep dasar dalam materi Suhu dan Kalor yang belum dikuasai siswa sehingga menyebabkan rendahnya perolehan hasil belajar siswa di SMA tersebut. Kelemahan siswa dapat diidentifikasi dengan tes diagnostik. Tes diagnostik berfungsi untuk mengidentifikasi masalah atau kesulitan siswa, serta merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesulitan yang teridentifikasi (Depdiknas, 2007: 4).

Website merupakan suatu koleksi dokumen HTML pribadi atau perusahaan yang memuat informasi dalam Web Server (suatu unit komputer yang berfungsi untuk menyimpan informasi dan mengelola jaringan komputer), dan dapat diakses oleh seluruh pemakai internet (Basuki, 2009 : 4). Tes berbasis web memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan tes manual. Tes diagnostik berbasis web dapat menilai hasil pengerjaan soal secara otomatis, sehingga hasil tes dapat keluar lebih cepat. Hal ini dapat membantu pendidik dalam melakukan tes diagnostik. Pendidik lebih mudah dalam melakukan persiapan, pengolahan dan pengambilan kebijakan akademik bagi

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 99

siswa yang nilainya masih dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Tes diagnostik berbasis web menghasilkan profil pemahaman konsep sehingga kelemahan konsep siswa teridentifikasi dan pendidik dapat melakukan kebijakan akademik lanjutan. Tindakan perbaikan yang dilakukan oleh pendidik diharapkan dapat mengarahkan siswa untuk memperkuat konsep yang belum dikuasai dan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya, maka dapat diasumsikan bahwa tes diagnostik dapat mengidentifikasi permasalahan belajar yang dialami oleh siswa terkait permasalahan yang berhubungan dengan pemahaman konsep. Menurut uraian di atas, maka dipilih judul “Pengembangan Tes Diagnostik Berbasis Web pada Materi Termodinamika untuk Mengidentifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Siswa”.

METODE Penelitian pengembangan tes diagnostik berbasis web dilakukan di SMA Negeri 1 Ungaran berlokasi di Jalan Diponegoro 197, Ungaran, Kabupaten Semarang, pada bulan April 2015. Subjek penelitian siswa kelas X, 8 siswa kelas X MIA 2 untuk uji coba skala terbatas dan 22 siswa kelas X MIA 3 untuk uji coba skala luas, serta 22 siswa kelas X MIA 4 untuk uji pemakaian. Kelas X MIA 2, X MIA 3, dan X MIA 4 dipilih secara purposive. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian dan Pengembangan atau Research and Development (R&D), dengan fokus pengembangan pada pengembangan tes diagnostik berbasis web untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman konsep siswa pada materi Termodinamika. Langkah-langkah penelitian dan pengembangan diadaptasi dari Sugiyono (2013). Proses validasi desain melibatkan dua pakar, yakni pakar instrumen tes dan media, masing-masing terdiri dari dua orang dosen ahli dan guru. Hasil validasi menentukan kelayakan tes diagnostik berbasis web untuk digunakan dalam penelitian. Uji coba skala terbatas yang melibatkan 8 siswa kelas X MIA 2 dilakukan setelah tes diagnostik berbasis web dinyatakan layak oleh pakar. Siswa memberi tanggapan untuk selanjutnya dijadikan bahan perbaikan sebelum memasuki uji coba skala luas (22 siswa kelas X MIA 3) pada uji coba skala terbatas. Demikian seterusnya hingga memasuki tahap implementasi (22 siswa kelas X MIA 4), sehingga dihasilkan tes diagnostik berbasis web yang layak digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian meliputi kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh pakar, kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh responden, dan tingkat pemahaman siswa pada materi Suhu dan Kalor. A. Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web

Web merupakan ruang informasi yang memiliki sumber daya yang diidentifikasi oleh pengenal global Uniform Resource Identifier (Effendi & Zhuang, 2005). Kriteria kelayakan tes diagnostik berbasis web berpedoman pada kuesioner penilaian kelayakan buku teks pelajaran SMA oleh BSNP yang telah dimodifikasi oleh Wahono (2006). Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden (Suharsimi, 2006: 151). Aspek yang dinilai antara lain, aspek kelayakan isi, konstruk, rekayasa perangkat lunak, dan komunikasi visual.

Hasil pengujian kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh pakar instrumen tes disajikan pada Tabel 1.

PENDIDIKAN FISIKA…

100 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 1 Hasil Uji Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web oleh Pakar Instrumen Tes

No Penilai % Perolehan Skor Kelayakan Isi Konstruk

1 Validator 1 100 100 2 Validator 2 100 100 3 4

Validator 3 Validator 4

91,67 100

100 91,67

Rata-rata 97,92 98,33 Kriteria sangat layak sangat layak

Hasil penilaian kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh pakar instrumen media disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil Uji Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web oleh Pakar Instrumen Media

No Penilai % Perolehan Skor Rekayasa Perangkat

Komunikasi Visual

1 Validator 1 100 100 2 Validator 2 100 91,67 3 4

Validator 3 Validator 4

91,67 91,67

75,00 83,33

Rata-rata 95,83 87,50

Kriteria sangat layak sangat layak Hasil penilaian kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh responden disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Uji Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web oleh Responden

Tahap

% Perolehan Skor Tampil-an

Tata bahasa

Isi Pengope-rasian

Fungsi

Uji Skala Terbatas 76 81 89 80 75 Uji Skala Luas 81 77 87 81 78 Implementasi 91 87 87 83 83 Rata-rata 83 82 88 82 79 Kriteria Sangat

layak Sangat layak

Sangat layak

Sangat layak

Layak

B. Pemahaman Konsep

Pemahaman materi siswa dalam penelitian ini diketahui dari kombinasi jawaban siswa dengan alasan yang dipilih dalam mengerjakan soal tes diagnostik berbasis web. Tabel 4 menunjukkan kriteria penilaian tes diagnostik, dengan tingkatan pemahaman konsep yang telah dikemukakan oleh Skemp (1976).

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 101

Tabel 4 Kriteria Penilaian Tes Diagnostik Berbasis Web No Kondisi Tipe Respons Skor 1 Misunderstanding Jawaban salah dan alasan salah 0 2 Instrumental

Understanding Jawaban benar dan alasan salah Jawaban salah dan alasan benar

1 1

3 Relational Understanding

Jawaban benar dan alasan benar

2

Profil Indikator 1 Penerapan Kalor dalam Kehidupan Sehari-hari Terdapat 4 butir soal tentang penerapan kalor dalam kehidupan sehari-hari

pada profil indikator pertama ini. Data lebih lengkap terinci pada Tabel 5. Tabel 5 Profil Pemahaman Indikator 1

Soal No

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

4 20 90.91 1 4.55 1 4.55 6 18 81.82 4 18.18 0 0.00 17 17 77.27 3 13.64 2 9.09 20 16 72.73 4 18.18 2 9.09

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa butir soal nomor 4 adalah butir soal

dengan tingkat relational understanding yang tinggi atau banyak siswa menjawab dengan benar, sementara pada nomor yang lain, cukup banyak siswa yang dapat menjawab dengan benar walaupun masih terdapat beberapa instrumenal understanding. Profil Indikator 2 Menjelaskan Hubungan Kalor dengan Massa, Suhu, dan Kalor Jenis Benda

Terdapat 3 butir soal tentang hubungan kalor dengan massa, suhu, dan kalor jenis benda pada profil indikator kedua ini. Data lebih lengkap terinci pada Tabel 6.

Tabel 6 Profil Pemahaman Indikator 2 Soal No

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

jml sis-wa

Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa

Persen-tase (%)

10 1 4.55 19 86.36 2 9.09 13 14 63.64 8 36.36 0 0.00 19 7 31.82 2 9.09 13 59.09

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa butir soal nomor 10 merupakan soal dengan tingkat instrumenal understanding tertinggi atau banyak siswa yang masih rancu dalam memilih jawaban yang benar. Soal nomor 13 sebagian besar anak telah memahami soal dengan persentase relational understanding 63,64%, sementara pada soal nomor 19 justru tingkat misunderstanding yang mencapai persentase tinggi yaitu sebanyak 59,09%.

PENDIDIKAN FISIKA…

102 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Profil Indikator 3 Menjelaskan Prinsip Azas Black Terdapat 2 butir soal tentang prinsip azas black pada profil indikator ketiga

ini. Soal nomor 7 mengenai faktor yang memengaruhi perubahan kalor, dan soal nomor 8 mengenai suhu campuran benda cair. Data lebih lengkap terinci pada Tabel 7.

Tabel 7 Profil Pemahaman Indikator 3

Soal No

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

7 19 86.36 1 4.55 2 9.09 8 7 31.82 14 63.64 1 4.55

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa butir soal nomor 7 merupakan soal yang telah dipahami siswa, terbukti dengan tingkat relational understanding yang tinggi. Sementara itu, pada soal nomor 8 persentase instrumenal understanding siswa relatif tinggi.

Profil Indikator 4 Menjelaskan Prinsip Kapasitas Kalor dan Hubungan Kapasitas Kalor dengan Suhu

Terdapat 2 butir soal tentang prinsip kapasitas kalor pada profil indikator keempat ini. Soal nomor 11 mengenai rumusan kapasitas panas, dan soal nomor 15 mengenai perbandingan kapasitas panas benda dengan massa dan kalor jenis. Data lebih lengkap terinci pada Tabel 8.

Tabel 8 Profil Pemahaman Indikator 4

Soal No

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa Persentase (%)

11 19 86.36 1 4.55 2 9.09 15 12 54.55 5 22.73 5 22.73

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar siswa telah memahami soal nomor 11 dan 15 dengan baik. Profil Indikator 5 Menjelaskan Hubungan Kalor Jenis dengan Suhu

Terdapat data lebih terinci pada profil indikator kelima dalam Tabel 9. Tabel 9 Profil Pemahaman Indikator 5

Soal No

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

jml siswa

Persen-tase (%)

jml siswa

Persen-tase (%)

jml siswa

Persen-tase (%)

11 19 86.36 1 4.55 2 9.09 15 12 54.55 5 22.73 5 22.73

Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sebagian besar siswa telah memahami soal nomor 11 dan 15 dengan baik, dibuktikan dengan hasil persentase relational understanding 86,36% dan 54,55%.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 103

Profil Indikator 6 Menjelaskan Proses Perubahan Wujud Zat Terdapat 1 butir soal pada profil indikator keenam ini. Data lebih lengkap terinci

pada Tabel 10. Tabel 10 Profil Pemahaman Indikator 6

Soal no

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

jml siswa

Persentase (%)

14 16 72.73 3 13.64 3 13.64

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa sebagian besar siswa telah memahami soal nomor 14 dengan baik, dibuktikan dengan hasil persentase relational understanding sebesar 72,73%. Profil Indikator 7 Menjelaskan Prinsip Kalor Jenis

Terdapat 3 butir soal tentang hubungan kalor jenis dengan perubahan wujud dan suhu pada profil indikator keenam ini. Data lebih lengkap terinci pada Tabel 11.

Tabel 11 Profil Pemahaman Indikator 7 Soal No

Relational Understanding

Instrumenal Understanding

Misunderstanding

Jml Siswa

Persentase (%)

Jml Siswa

Persentase (%)

Jml Siswa

Persentase (%)

9 12 54.55 6 27.27 4 18.18 16 16 72.73 6 27.27 0 0.00 18 13 59.09 1 4.55 8 36.36

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa sebagian besar siswa telah memahami seluruh soal pada indikator ini dengan baik, dibuktikan dengan perolehan persentase relational understanding yang relatif tinggi. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tes diagnostik berbasis web pada materi materi Termodinamika untuk siswa SMA kelas X dinyatakan layak digunakan sebagai alat tes diagnostik. Hal ini dikarenakan tes diagnostik berbasis web telah memenuhi aspek kelayakan isi, konstruk, perangkat lunak, serta komunikasi visual sesuai dengan standar kelayakan oleh BSNP. Rata–rata persentase hasil validasi pakar instrumen tes tahap 1 dan tahap 2 mencapai 87,5% dan 97,92%. Sementara rata-rata hasil validasi pakar media tahap 1 dan tahap 2 mencapai 85,96% dan 91,67%. Baik hasil validasi pakar instrumen tes maupun validasi pakar media, keduanya termasuk dalam kriteria sangat baik. Hasil profil pemahaman konsep siswa pada materi Suhu dan Kalor sebagai berikut: 80,68% siswa telah memahami penerapan kalor dalam kehidupan sehari-hari; 33,33% siswa telah memahami hubungan kalor dengan massa, suhu, dan kalor jenis benda; 59,09% siswa telah memahami prinsip azas black; 70,45% siswa telah memahami prinsip kapasitas kalor dan hubungan kapasitas kalor dengan suhu; 72,73% siswa telah memahami hubungan kalor jenis dengan perubahan wujud dan suhu;

PENDIDIKAN FISIKA…

104 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

62,12% siswa telah memahami proses perubahan wujud zat; 71,82% siswa telah memahami prinsip kalor jenis. REFERENSI Basuki, Murya Arief. 2009. Analisa WebsitE Universitas Muria Kudus. Jurnal Sains Vol. 2

No.2 Desember 2009. Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus. Djaali dan Muljono. 2008. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo. Depdiknas. 2007. Pedoman Pengembangan Tes Diagnostik Mata Pelajaran IPA SMP/MTs.

Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdiknas. 2007. Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah Terhadap Pembelajaran

(LIRP). Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Effendi, E. & H. Zhuang. 2005. E-learning, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset. Skemp, R. R. 1976. Relational Understanding and Instrumenal Understanding.

Department of Education: University of Warwick. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

RnD. Bandung: Alfabeta. Suharsimi, A. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi

Rupa Aksara. Syafiie, Inu K. 2010. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT Refika Aditama. Wahono, R. S. 2006. Aspek dan Kriteria Penilaian Media Pembelajaran. Tersedia di

http://romisatriawahono.net/2006/06/21/aspek-dan-kriteria-penilaian-media-pembelajaran/ [diakses 27 September 2015]

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 105

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN BERBANTUAN CD INTERAKTIF

Anisa Aulia Marantika, Agus Yulianto, Ian Yulianti

Program Studi Magister Pendidikan Fisika, Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang,

Jl. Kelud Utara III, Kota Semarang 50237 Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif terhadap peningkatan kemampuan memecahkan masalah Fisika. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen pre-test post-test control group design. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji gain dan uji t. Analisis uji gain memberikan hasil peningkatan tinggi sebesar 0,71 untuk kelas eksperimen dan kategori sedang sebesar 0,43 untuk kelas kontrol. Hasil uji t diperoleh thitung > ttabel, yaitu 6,41 > 1,67 maka terdapat pengaruh penggunaan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif terhadap kemampuan memecahkan masalah Fisika. Kata Kunci: pembelajaran penemuan, CD interaktif dan kemampuan memecahkan masalah.

PENDAHULUAN

Kemampuan berpikir perlu dikembangkan sejak dini, karena diharapkan dapat menjadi bekal dalam menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari - hari (Rohim, Susanto, & Ellianawati, 2012). Kemampuan berpikir yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran saat ini adalah high order of thinking (kemampuan berfikir tingkat tinggi). Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah (Sujarwoto, Hidayat, & Wartono, 2014).

Kemampuan memecahkan masalah perlu dilatihkan dalam pembelajaran Fisika agar siswa mampu menghubungkan konsep yang dipelajari dengan bagaimana konsep tersebut digunakan dalam kehidupan nyata (Khanifah & Susanto, 2014). Pembelajaran Fisika di sekolah hendaknya menyiapkan anak didik untuk mampu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep-konsep sains yang telah mereka pelajari. Tujuan lain dari pembelajaran Fisika pertama adalah mampu mengambil keputusan yang tepat dengan menggunakan konsep-konsep ilmiah. Kedua adalah mempunyai sikap ilmiah dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga memungkinkan mereka untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah (Purwanto, Nugroho, & Wiyanto, 2012).

Pembelajaran Fisika saat ini masih menekankan kemampuan low order thinking (kemampuan berpikir tingkat rendah). Pembelajaran sering kali hanya menekankan pada aktivitas mengingat, memahami, dan mengaplikasikan (Rohim, Susanto, & Ellianawati, 2012). Pembelajaran di kelas cenderung menekankan pada penguasaan konsep dan mengesampingkan kemampuan pemecahan masalah fisika siswa. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks masih kurang, mereka hanya mampu menyelesaikan permasalahan kuantitatif yang sederhana (Sujarwoto, Hidayat, & Wartono, 2014).

Peran guru penting dalam mengatasi masalah tersebut. Seorang guru bukan hanya memberikan pengetahuan pada siswa, namun guru mampu menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pembelajaran berlangsung secara aktif. Guru diharapkan dapat mendorong siswa bekerja kelompok untuk menumbuhkan daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, kreatif, cerdas, dan terbuka (Taufik, Sukmadinata, Abdulhak, & Tumbelaka, 2010).

PENDIDIKAN FISIKA…

106 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Menciptakan pembelajaran yang melibatkan peran aktif siswa agar proses pembelajaran dapat lebih bermakna dan suasana di kelas menjadi hidup diperlukan model pembelajaran yang sesuai. Salah satu model pembelajaran yang dikembangkan saat ini adalah pembelajaran penemuan. Model penemuan adalah pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran siswa aktif dalam menemukan konsep sendiri (I. W, I. W, & I. W, 2014).

Model pembelajaran penemuan merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran tersebut adalah mencari dan menemukan sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuanya dengan penuh percaya diri (Purwanto, Nugroho, & Wiyanto, 2012). Pembelajaran penemuan merupakan model pembelajaran aktif. Kelebihan pembelajaran penemuan adalah penemuan sendiri dan interaksi siswa dengan temannya saat diskusi atau percobaan akan lebih lama diingat siswa daripada ceramah dari guru.

Upaya yang dapat dilakukan selain dengan penggunaan model yang tepat adalah penggunaan media pembelajaran sebagai alat bantu guru untuk berkomunikasi dengan siswa (Khanifah & Susanto, 2014). Media pembelajaran yang menarik juga dapat menciptakan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Berdasarkan hasil observasi penggunaan media pembelajaran berbasis IT masih kurang optimal (Ambarwati, Widiyatmoko, & Pamelasari, 2014). Pengoptimalan penggunaan media pembelajaran berbasis IT perlu dilakukan untuk mewujudkan suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.

Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah CD interaktif. CD interaktif dianggap sangat membantu karena menggabungkan beberapa media seperti suara, gambar, animasi, dan simulasi, sehingga mempermudah pemahaman siswa (Ambarwati, Widiyatmoko, & Pamelasari, 2014). Berdasakan uraian yang disampaikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kemampuan memecahkan masalah Fisika melalui penerapan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif. METODE PENELITIAN

Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah siswa kelas X SMA N 1 Andong Boyolali tahun 2014/2015 yang terdiri atas 3 kelas yaitu X MIA-1, X MIA-2, dan X MIA-3. Populasi berjumlah 96 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling dengan kelas X MIA-3 sebagai kelas eksperimen dan X MIA-2 sebagai kelas kontrol.

Desain eksperimen yang digunakan adalah quasi experimental design. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan dokumentasi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes uraian untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah Fisika siswa. Instrumen penelitian ini dianalisis validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda.

Analisis data terdiri atas analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis data awal adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dihitung menggunakan uji Lilliefors dan uji homogenitas menggunakan uji Bartlett. Analisis data akhir menggunakan uji gain dan uji t satu pihak kanan. Uji gain dilakukan untuk mengetahui besar peningkatan kemampuan memecahkan masalah Fisika siswa sebelum diberi perlakuan dan setelah mendapat perlakuan. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik antara dua kelompok kelas dilihat melalui uji t.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 107

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Analisis data awal yaitu uji normalitas dan homogenitas. Data awal adalah nilai UTS Fisika kelas X MIA-1, X MIA-2, dan X MIA-3 tahun pelajaran 2014/2015. Uji normalitas menggunakan uji Lilliefors dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil analisis dari ketiga kelas didapatkan Lo < Ltabel. Oleh karena itu, pada taraf signifikan 5%, Lo < Ltabel maka baik kelas X MIA-1, X MIA-2, dan X MIA-3 berdistribusi normal. Selanjutnya berdasarkan perhitungan uji homogenitas kelas menggunakan uji Bartlett pada taraf signifikan 5% dan dk= 2 didapat 2 hitung = 1,01 dimana 2 tabel = 5,99

sehingga 2 hitung < 2 table, disimpulkan bahwa Ho diterima dan data homogen.

Analisis data akhir dilakukan menggunakan uji gain dan uji t. Analisis uji gain digunakan untuk mengetaui peningkatan kemampuan memecahkan masalah sebelum dan sesudah perlakuan. Data hasil penelitian untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol mengalami peningkatan nilai rata-rata. Nilai gain kelas eksperimen diperoleh hasil 0,71 termasuk dalam kategori tinggi sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh hasil 0,43 termasuk dalam kategori sedang. Lebih jelasnya hasil kemampuan memecahkan masalah Fisika siswa sebelum dan sesudah dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Nilai Rata-rata Pretest, Posttest dan Nilai Gain Analisis selanjutnya dengan uji t untuk mengetahui rata-rata kemampuan

pemecahan masalah yang lebih baik antara dua kelompok kelas. Tabel distribusi t, untuk nilai α = 0,05 dan nilai dk = (32– 1) + (32-1) = 31 + 31 = 62, diperoleh ttabel = 1,67. Hasil analisis yang diperoleh thitung > ttabel yaitu 6,41 > 1,67, maka hipotesis diterima (H0

ditolak). Berdasarkan hasil posttest dapat diketahui presentase ketercapaian tiap indikator kemampuan memecahkan masalah kelas eksperimen dan kelas kontrol didapatkan hasil pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Indikator

Indikator Persentase Ketercapaian Indikator

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

1 90,23 77,34 2 85,28 60,54 3 91,27 74,21 4 59,17 54,68

PENDIDIKAN FISIKA…

108 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hasil analisis indikator didapatkan bahwa persentase tiap indikator yang mendapatkan perlakuan dengan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif lebih tinggi dari siswa yang mendapat perlakuan menggunakan metode diskusi. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah Fisika yang signifikan antara kelas yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif dengan pembelajaran menggunakan metode diskusi. PEMBAHASAN

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan memecahkan masalah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol mengalami peningkatan. Peningkatan kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Hal tersebut dikarenakan proses pembelajaran dalam kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif. Model pembelajaran penemuan ini dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, efikasi diri dan memotivasi pembelajaran (Chambers, Thiekotter, & Chambers, 2013).

Berdasarkan perhitungan persentase pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk indikator 1 yaitu memahami masalah pada kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Aktivitas dalam model pembelajaran penemuan siswa diberikan permasalahan oleh guru dan siswa terbiasa dalam menganalisis permasalahan. Hal tersebut menyebabkan kemampuan dalam memahami masalah siswa lebih baik. Perhitungan peningkatan persentase pada indikator 2 yaitu merencanakan penyelesaian masalah pada kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Sesuai dengan model pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen yaitu model pembelajaran penemuan dengan berbantuan CD interaktif dimana siswa mempunyai kemampuan dalam memahami masalah, sehingga siswa mampu untuk menganalisis soal dan menentukan tahapan penyelesaian masalah.

Peningkatan persentase indikator 3 yaitu menyelesaikan masalah kelas eksperimen juga lebih baik dari kelas kontrol, hal ini disebabkan karena kelompok eksperimen lebih terbiasa dalam memecahkan permasalahan secara sistematis. Siswa lebih terbiasa dalam menyelesaikan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru sehingga siswa lebih mampu memilih langkah penyelesaian masalah. Lain halnya dengan pembelajaran kelompok kontrol dimana pembelajaran cenderung kurang mampu melibatkan dan mengajak siswa untuk dapat memecahkan masalah secara sistematis (Rahman & Maarif, 2014). Selanjutnya, perhitungan peningkatan persen pada indikator 4 yaitu melakukan pengecekan/ evaluasi pada kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol, hal ini disebabkan siswa kelompok eksperimen dalam pembelajaran lebih terbiasa dalam menarik kesimpulan dimana dalam setiap pertemuan siswa dibimbing oleh guru untuk dapat menyimpulkan hasil pemecahan masalah. Penerapan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah Fisika pokok bahasan Optika Geometris, dikarenakan karakteristik dari model pembelajaran penemuan yang menuntut siswa untuk melakukan sebuah penemuan terhadap suatu konsep. Siswa yang menemukan dan mengalaminya sendiri akan lebih baik pemahamannya, dengan pemahaman konsep yang baik inilah membuat mereka mampu memecahkan masalah. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan siswa terlibat lebih aktif atau di dalam model ini terdapat aktivitas siswa langsung. Kegiatan pembelajan yang berpusat kepada siswa membuat lebih paham konsep yang sedang dipelajari, pada akhirnya mampu memecahkan masalah Fisika dengan baik. Selain itu, siswa diajak membangun pengetahuannya sendiri melalui serangkaian tugas baik tugas individu

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 109

maupun tugas kelompok. Melalui pembangunan pengetahuan oleh siswa dengan sendirinya, pengetahuan tersebut akan lebih lama berada dalam memorinya.

Penelitian lain yang mendukung, menyatakan bahwa model pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap pemahaman konsep siswa. Pemahaman konsep siswa menggunakan model pembelajaran penemuan lebih baik daripada model pembelajaran langsung (I. W, I. W, & I. W, 2014). Penelitian yang dilaksanakan Rahman dan Maarif (2014) menyatakan bahwa metode penemuan dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Siswa mengaitkan kesamaan konsep yang telah mereka pelajari guna menemukan konsep baru tentang materi yang sedang dipelajari. Sejak awal siswa belajar dengan model pembelajaran penemuan terlatih menemukan konsep baru untuk menyelesaikan masalah. Pemahaman konsep siswa yang baik ini akan membuat mereka mampu menyelesaikan masalah. Hasil penelitian lain dalam penemuan murni belajar menjadi efektif, menghadirkan faktor kognitif dan emosional (DeDonno, 2016).

Penggunaan media CD interaktif membuat siswa termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Media ini dapat digunakan sebagai panduan belajar baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun mandiri. Kelebihan dari CD interaktif adalah siswa dapat belajar kapan saja dan dimana saja tanpa bantuan dari guru. Media pembelajaran berbasis IT dapat mewujudkan suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah Fisika siswa. Peningkatan tersebut ditunjukkan dari uji gain yang didapatkan hasil sebesar 0,71 kategori tinggi pada siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif. Dilihat dari perhitungan uji t satu pihak kanan, diperoleh thitung > ttabel maka terdapat

pengaruh penggunaan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif terhadap kemampuan memecahkan masalah Fisika. REFERENSI Ambarwati, N., Widiyatmoko, A., & Pamelasari, S. D. (2014). Pengembangan CD Interaktif

IPA Terpadu Tema Kalor Berbasis Scient Edutainment untuk Siswa SMP. Unnes Scient Education Journal, 632.

Chambers, D., Thiekotter, A., & Chambers, L. (2013). Preparing student nurse for contemporary practice: The case for pembelajaran penemuan. Journal of Nursing Education and Practice.

DeDonno, M. A. (2016). The influence of IQ on pure discovery and guided pembelajaran penemuan of a complex real-world task. journal learning and individual differences.

I. W, W., I. W, S., & I. W, S. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran penemuan terhadap Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa SMP. e Jurnal Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

Khanifah, & Susanto, H. (2014). Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Instruction Berbantuan Media Audio Visual dalam Meningkatkan Kemampuan Menganalisis dan Memecahkan Masalah Fisika. Unnes Physics Education Journal, 49.

Purwanto, C. E., Nugroho, S. E., & Wiyanto. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery pada Materi Pemantulan Cahaya untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. Unnes Physics Education Journal, 27.

Rahman, R., & Maarif, S. (2014). Pengaruh Penggunaan Metode Discovery terhadap Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan Pamarican Kabupaten

PENDIDIKAN FISIKA…

110 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Ciamis Jawa Barat . Jurnal Ilmiah Proram Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung.

Rohim, F., Susanto, H., & Ellianawati. (2012). Penerapan Model Discovery Terbimbing pada Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Unnes Physics Education Journal, 2.

Sujarwoto, E., Hidayat, A., & Wartono. (2014). Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika pada Modeling Instruction pada Siswa SMA Kelas XI . Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 66.

Taufik, M., Sukmadinata, N., Abdulhak, I., & Tumbelaka, B. Y. (2010). Desain Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah dalam Pembelajaran IPA (Fisika) Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung. Berkala Fisika, 33.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 111

LINTASAN BELAJAR SISWA DALAM PERMASALAHAN SUHU DAN KALOR

Hasri Arlin Wuriyudani1,2,a)

1Program Studi Magister Pendidikan Fisika, Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Jl. Kelud Utara III, Kota Semarang 50237

2SMP Negeri 1 Margoyoso Jl. Kiai Cebolang 17 Margoyoso Pati 59154

Email : a)[email protected],

Abstrak Lintasan berpikir siswa SMA dalam memecahkan permasalahan materi suhu dan kalor telah diperoleh melalui perumusan strategi pembelajaran berbasis Hypothetical Learning Trajectory (HLT) . Tujuan pendeskripsian lintasan berpikir siswa adalah mengetahui letak kelemahan siswa dalam sub materi suhu dan kalor sehingga guru dapat merumuskan kembali metode yang tepat untuk kegiatan pembelajaran pada tahun berikutnya. Sampel yang diambil berjumlah 72 siswa SMA dengan menggunakan metode test dan non-test (wawancara). Hasil penelitian menunjukkan jumlah dari jenis lintasan berpikir siswa yang paling banyak adalah untuk sub materi suhu dan pemuaian dengan kelemahan siswa belum mengetahui aturan kesebandingan senilai. Jumlah dari jenis lintasan berpikir siswa paling sedikit adalah pada materi Azas Black dengan kelemahan siswa belum mampu mengilustrasikan permasalahan ke dalam grafik suhu terhadap kalor, belum memahami fungsi kalor untuk menaikkan suhu, dan fungsi kalor untuk merubah wujud. Kata Kunci : Lintasan belajar, HLT, suhu dan kalor

PENDAHULUAN

Objek utama sistem pendidikan nasional adalah anak dengan segala jenis kemampuan dan kebutuhan yang dimiliki. Anak dengan usia yang relatif sama akan memiliki perbedaan pola berpikir dalam memecahkan permasalahan. Perbedaan pola berpikir dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: inteligensi, motivasi, minat, dan perhatian, sedangkan faktor eksternal meliputi: cara orang tua mendidik, pengertian orang tua, dan relasi antar anggota keluarga (Slamet, 2010).

Pola berpikir setiap anak berkaitan dengan kemampuan kognitif yang dimiliki. Proses ini merupakan penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. (Khodijah, 2014). Perkembangan kognitif anak dimulai dari hal yang konkrit menuju tahap yang lebih abstrak. Beberapa anak melalui tahap tersebut secara cepat namun ada pula yang lambat. Anak dengan kemampuan kognitif tinggi tidak memerlukan banyak tahapan dalam memecahkan masalah, namun bagi anak dengan kemampuan kognitif rendah akan memerlukan banyak tahapan sebelum memperoleh hasil dari proses pemecahan masalah (Soedjadi, 2007).

Belajar tidak sama dengan berpikir. Berpikir merupakan aktivitas psikis apabila seseorang menjumpai masalah yang harus dipecahkan, sedangkan belajar merupakan aktivitas individu dalam rangka mengembangkan potensi, baik dalam aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap, keyainan, kebiasaan), konatif (motif, minat, cita-cita), dan psikomotorik (keterampilan) atau di dalam aktivitas ini berlangsung proses berpikir (Yusuf, 2006).

Setiap anak dalam proses memecahkan masalah akan menghasilkan beberapa lintasan belajar. Lintasan belajar (learning trajectory) dapat dijadikan acuan guru untuk mengetahui keadaan siswa dalam suatu materi pembelajaran tertentu. Lintasan belajar juga mampu menggambarkan alur atau proses siswa dalam berpikir sehingga guru mampu merumuskan dan memperbaiki kembali kegiatan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa (Wuriyudani, 2015).

PENDIDIKAN FISIKA…

112 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Istilah lintasan belajar pertama kali digunakan oleh Simon yaitu Lintasan Belajar Hipotetik atau Hypothetical Learning Trajectory (HLT) (Simon, 1995). Menurutnya, alur belajar hipotetik terdiri atas tiga komponen utama yaitu: tujuan belajar, sekumpulan tugas, dan hipotesis proses anak berpikir. Rancangan HLT yang telah disusun akan menjadi lintasan belajar anak dalam memecahkan masalah setelah diaplikasikan dan diperbarui dalam suatu pembelajaran. Pada prakteknya HLT yang disusun guru tidak selalu sesuai dengan lintasan belajar anak. Oleh karena itu identifikasi lintasan belajar masing-masing anak menjadi bagian penting yang perlu dikaji.

Pada penelitian dikaji kesesuaian antara HLT dengan lintasan belajar anak berdasarkan hasil lapangan dan tidak berupa hipotesis. Lintasan belajar tersebut yang dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan proses pembelajaran. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pati. Sampel penelitian adalah siswa kelas X-MIA 6 dengan jumlah 36 orang dan siswa kelas X-MIA 8 dengan jumlah 36 orang. Tujuan ditetapkannya sampel sejumlah 72 orang adalah untuk memperbesar kemungkinan ditemukannya beberapa lintasan belajar siswa dalam memecahkan suatu masalah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif dengan menggunakan teknik penelitian Sampling Purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (saran guru mata pelajaran fisika SMA Negeri 1 Pati) (Sugiyono, 2012).

Metode pengumpulan data penelitian terdiri dari dua jenis, yakni metode test (tes tertulis materi suhu dan kalor) dan non-test yaitu wawancara. Metode test digunakan untuk mengetahi proses siswa dalam menyelesaikan permasalahan materi suhu dan kalor, sedangkan metode wawancara digunakan untuk melakukan klarifikasi terhadap jawaban tertulis siswa.

Penentuan jumlah sampel dalam metode wawancara didasarkan pada jumlah seluruh siswa dalam kelompok eksperimen yaitu 72 orang. Jumlah sampel minimum dalam metode wawancara adalah 10% dari sampel penelitian (Gay & Diehl, 1992). Jumlah sampel metode wawancara penelitian berjumlah 7 siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini memperoleh beberapa lintasan berpikir siswa untuk materi suhu dan kalor. Kegiatan penelitian diawali dengan melakukan kegiatan pembelajaran sesuai proporsi di silabus mata pelajaran fisika kelas X Kurikulum 2013, dan dilanjutkan dengan pengambilan data melalui metode tes. Lintasan berpikir siswa diperoleh dari jawaban melalui tes tertulis dengan bentuk soal essay (S.E) berjumlah 3 buah. Lintasan berpikir terhadap siswa terpilih diklarifikasi melalui metode wawancara.

Tabel 1 Lintasan berpikir materi silabus: Suhu dan Pemuaian

S.E 1 Lintasan Belajar

ke- Lintasan Berpikir

Kode Lintasan

Nino membuat sebuah termometer yang disebut dengan termometer X dan memberikan titik air menguap 180oX titik, titik air mendidih 150oX, dan titik air membeku 20oX. Ketika Nino mengukur suhu air panas menggunakan termometer Celsius, maka suhu

I 1. Menggambar skala A 2. Merumuskan skala

dalam bentuk persamaan matematis menggunakan prinsip kesebandingan.

B

3. Melakukan operasi bilangan antar ruas persamaan.

C

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 113

air panas tersebut menunjukkan angka 50℃. Berapa suhu air panas tersebut jika diukur menggunakan termometer X.

4. Jawaban tepat. TRUE

5. Jawaban tidak tepat(*) FALSE

II 1. Menggunakan rumus titik tetap atas dan titik tetap bawah.

D

2. Melakukan operasi bilangan antar ruas persamaan.

C

3. Jawaban tepat. TRUE

4. Jawaban tidak tepat(*) FALSE

III 1. Menghitung selisih antar termometer

E

2. Melakukan perbandingan senilai

F

3. Jawaban tidak tepat. FALSE

IV 1. Menggambar skala A 2. Membuat skala

berdasarkan prinsip kesebandingan senilai

B

3. Melakukan perbandingan senilai.

F

4. Jawaban tidak tepat FALSE

Tabel 2 Lintasan berpikir materi silabus: Hubungan Kalor Dengan Suhu Benda Dan

Wujud

S.E 2

Lintasan

Belajar

ke-

Lintasan Berpikir

Kode Lintas

an

Berapa banyak kalor harus dilepas dari 0,5 kg air bersuhu 30℃ untuk mengubahnya menjadi es bersuhu 0℃? Lukislah diagram suhu kalor untuk proses tersebut. Diketahui jika kalor lebur es= 3,36× 105J/kg,

I 1. Menggambar grafik suhu terhadap jumlah kalor

A

2. Tidak menggambar grafik(*) B 3. Melakukan perhitungan nilai kalor

dengan rumus. C

4. Menjumlahkan nilai kalor D 5. Jawaban tepat TRUE

II 1. Menggambar grafik suhu terhadap jumlah kalor

A

2. Tidak menggambar grafik(*) B

3. Melakukan perhitungan nilai kalor dengan rumus.

C

4. Menjumlahkan nilai kalor D

5. Jawaban tidak tepat FALSE

PENDIDIKAN FISIKA…

114 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

kalor jenis air= 4,2× 103 J/kg

III 1. Menggambar grafik suhu terhadap jumlah kalor

B

2. Melakukan perhitungan nilai kalor dengan rumus

C

3. Jawaban tidak tepat FALSE

Tabel 3 Lintasan berpikir materi silabus: Azas Black

S.E 3

Lintasan

Belajar ke-

Lintasan Berpikir

Kode Lintas

an

Sebuah balok es 30 g pada 0℃ dicelupkan ke dalam bejana berisi 200 g air pada 30℃. Jika bejana dianggap tidak menyerap kalor, berapakah suhu akhir campuran? kalor lebur es = 336 ×103 J/kg, kalor jenis air = 4,2 ×103 J/kg K.

I 1. Melukis grafik suhu terhadap kalor

A

2. Menulis persamaan Azas Black B 3. Menghitung suhu akhir dengan

menggunakan Azas Black C

4. Jawaban tepat TRUE II 1. Menulis persamaan Azas Black B

2. Menghitung suhu akhir dengan menggunakan Azas Black

C

3. Jawaban tepat TRUE III 1. Menulis persamaan Azas Black B

2. Menghitung suhu akhir dengan menggunakan Azas Black

C

3. Jawaban tidak tepat FALSE IV 1. Menulis persamaan Azas Black B

2. Menghitung suhu akhir dengan menggunakan Azas Black

C

3. Jawaban tidak tepat FALSE V 1. Menulis persamaan Azas Black B

2. Menghitung suhu akhir dengan menggunakan Azas Black

C

3. Jawaban tidak tepat FALSE Data lintasan berpikir siswa telah diperoleh melalui metode test dan non-test

(wawancara). Berdasarkan data tersebut ditemukan perbedaan lintasan berpikir siswa dalam menyelesaikan permasalahan bab suhu dan kalor. Siswa cenderung memiliki banyak cara untuk menyelesaikan permasalahan sesuai analogi berpikir dan tidak selalu mengikuti langkah penyelesaian yang dibuat oleh guru.

Sub materi suhu dan pemuaian diwakili oleh soal S.E 1. Soal ini bertujuan untuk mengetahui lintasan berpikir siswa dalam mengkalibrasi termometer. Soal S.E 1 mengharuskan siswa untuk: mengetahui syarat penentuan titik tetap atas (berdasarkan air mendidih) dan titik tetap bawah (berdasarkan air membeku) termometer X; memahami titik tetap atas dan titik tetap bawah termometer Celcius, dan melakukan kalibrasi termometer Celcius dan termometer X secara matematis

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 115

Gambar 1 Lintasan belajar S.E 1

Lintasan berpikir siswa untuk S.E 1 secara umum terdiri dari empat jenis sesuai

Gambar 1. Lintasan pertama, siswa terlebih dahulu menggambar skala sebagai alat untuk mempermudah perhitungan. Proses berpikir siswa dilanjutkan dengan mengubah skala bantuan tersebut ke dalam persamaan matematis. Persamaan matematis yang dikemukakan siswa juga memiliki beberapa jenis. Pertama, siswa mengurangi poin atas dengan poin tengah kemudian dibagi dengan pengurangan titik atas dengan titik bawah. Kedua, siswa mengurangi titik atas dengan titik tengah, kemudian mengurangi titik tengah dengan titik bawah.

Berdasarkan proses wawancara yang dilakukan, siswa memiliki kemampuan berpikir tersebut karena proses menemukan sendiri yaitu dengan mengaitkan prinsip kesebandingan dalam matematika. Menurut teori Polya, penyelesaian masalah tersebut disebut Heuristik. Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi suatu permasalahan (Syaban, 2008). Kemampuan berpikir siswa lain yang mengaitkan prinsip kesebandingan dalam matematika untuk menyelesaikan soal kalibrasi termometer diperoleh dari guru bimbingan belajar (kursus di luar sekolah).

Lintasan berpikir kedua untuk S.E 1 adalah siswa cenderung menghafalkan rumus matematis yang diajarkan guru di kelas. Pola ini cenderung banyak diminati siswa, namun memiliki resiko yaitu siswa lebih mudah lupa terhadap rumus matematis yang dihafalkan. Hal tersebut dibuktikan melalui proses wawancara yang dilakukan satu minggu setelah siswa melakukan tes. Siswa kelompok ini sebagian besar lupa terhadap rumus matematis yang telah dituliskan.

Lintasan berpikir ketiga untuk S.E 1 adalah dengan membuat perbandingan senilai, namun tanpa menyertakan titik tetap bawah. Cara berpikir siswa ini hampir sama dengan lintasan berpikir keempat, namun siswa kelompok ini melakukan perbandingan senilai dengan menggambar skala terlebih dahulu. Kesalahan siswa terletak pada proses perumusan perbandingan yang hanya menyertakan satu sisi titik atas dengan titik bawah, sedangkan sisi yang lain hanya titik tetap atas.

Sub materi hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya diwakili oleh S.E 2. Soal ini bertujuan untuk mengetahui lintasan belajar siswa untuk grafik suhu terhadap kalor. Soal S.E 2 mengharuskan siswa untuk: melukiskan grafik suhu terhadap kalor; mengetahui fungsi kalor dalam grafik suhu terhadap kalor; dan mengetahui persamaan matematis dalam grafik suhu terhadap kalor.

PENDIDIKAN FISIKA…

116 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 2 Lintasan belajar S.E 2

Gambar 2 menunjukkan tidak terdapat banyak lintasan berpikir siswa untuk persoalan ini. Lintasan berpikir pertama, siswa telah memahami pelukisan grafik suhu terhadap kalor dan menempatkan rumus matematis yang tepat untuk setiap proses. Hasil berbeda ditemui dalam proses wawancara. Ketika siswa diberikan pertanyaan mengapa perubahan suhu dari 30℃ menuju 0℃ berharga positif, hanya beberapa siswa saja yang mampu menjawab jika seharusnya nilai Q1 dan Q2 bertanda negatif yang berarti air melepas kalor.

Lintasan berpikir kedua soal S.E 2 adalah siswa telah memahami grafik suhu terhadap kalor, namun mengalami kesalahan dalam menjumlahkan kalor total. Nilai kalor untuk menurunkan suhu benda sudah tepat dengan nilai kalor negatif, namun untuk nilai kalor merubah wujud memiliki nilai kalor positif. Jawaban tersebut kurang tepat karena proses membeku memiliki nilai kalor merubah wujud bernilai negatif.

Lintasan berpikir ketiga, siswa memiliki kelemahan dalam menganalisis soal. Siswa hanya menyelesaikan permasalahan dengan menghitung nilai kalor untuk menurunkan suhu benda tanpa menghitung kalor untuk merubah wujud air menjadi es.

Berdasarkan ketiga lintasan berpikir soal S.E 2, sebagian siswa telah mampu melukiskan grafik suhu terhadap kalor dengan tepat sesuai permasalahan. Sebagian siswa lain tidak mampu melukis grafik dengan tepat. Hal ini menunjukkan siswa masih mengalami kesulitan dalam menganalisis dan mewujudkan pertanyaan ke dalam grafik.

Sub materi hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya diwakili oleh S.E 3. Soal ini bertujuan untuk mengetahui lintasan berpikir siswa untuk persamaan Azas Black. Soal S.E 3 mengharuskan siswa untuk: mewujudkan permasalahan ke dalam grafik suhu terhadap kalor; menganalisis permasalahan ke dalam persamaan Azas Black; dan melakukan operasi matematis

Lintasan berpikir siswa secara umum terbagi menjadi lima jenis seperti ditunjukkan Gambar 3. Lintasan berpikir pertama, kedua, dan ketiga hampir serupa. Pada lintasan berpikir pertama, siswa melukiskan permasalahan ke dalam bentuk grafik.

Gambar 3 Lintasan belajar S.E 3

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 117

Setiap alur dari grafik ditulis persamaan matematis yang menyertai proses tersebut. Lintasan berpikir kedua dan ketiga tidak menyertakan grafik, dan siswa langsung mensubstitusikan rumus kalor ke dalam persamaan Azas Black. Sebagian besar siswa menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat, namun sebagian yang lain masih salah. Lintasan berpikir kedua dan ketiga memiliki satu kesalahan yang sama, yaitu siswa salah menafsirkan antara massa air dan massa es untuk setiap proses dari grafik. Siswa berpendapat jika massa zat dan kalor jenis zat akan berubah sesuai wujudnya.

Lintasan berpikir keempat dan kelima memiliki karakteristik yang sama. Siswa dalam kelompok ini masih belum mampu menafsirkan permasalahan. Siswa pada lintasan berpikir keempat menganggap jika persamaan Azas Black hanya untuk proses dengan wujud cair sehingga hanya tertulis persamaan kalor untuk menaikkan suhu. Siswa dengan alur berpikir kelima cenderung tidak memiliki argumen yang kuat dalam memecahkan permasalahan. Siswa hanya mengetahui jika benda berawal dari es dan melebur menjadi air sehingga persamaan kalor yang digunakan adalah kalor untuk menaikkan suhu sama dengan kalor untuk merubah wujud.

Berdasarkan lintasan belajar siswa, maka diperoleh hubungan antara lintasan berpikir dan kelemahan yang dihadapi siswa. Hasil tersebut dapat dilengkapi dengan bantuan guru (teacher support) sehingga tujuan pembelajaran materi suhu dan kalor pada kegiatan pembelajaran tahun depan dapat dicapai dengan maksimal.

Tabel 4 Hubungan Lintasan Berpikir, Kelemahan, dan Bantuan Guru

No Sub Materi

Lintasan Belajar

Kelemahan Bantuan Guru

1. Suhu dan pemuaian

Membuat skala sebagai alat bantu

Menggunakan rumus

Membuat perbandingan senilai

Tidak menyertakan nilai titik tetap bawah

Mempertegas kembali penggunaan skala sebagai alat bantu

Mengingatkan aturan perbandingan senilai

2. Hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya

Melukiskan grafik suhu terhadap kalor

Mensubstitusikan rumus kalor untuk menaikkan suhu dan mengubah wujud

Belum memahami nilai perubahan suhu kapan bernilai negatif dan kapan bernilai positif

Belum memahami pelukisan grafik dan nilai kalor yang menyertai

Mengingatkan jika perubahan suhu adalah suhu akhir dikurangi suhu awal

Nilai Q positif berarti menyerap kalor, nilai Q negatif berarti melepas kalor

Mengharuskan siswa memahami dan mampu melukiskan grafik suhu terhadap kalor

3.

Azas Black

Membuat diagram suhu terhadap kalor

Merumuskan persamaan Azas Black

Belum memahami diagram pencampuran dua zat

Belum

Mengharuskan siswa memahami soal terlebih dahulu

Memberikan saran agar proses dilukiskan dalam

PENDIDIKAN FISIKA…

118 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

memahami rumus kalor untuk menaikkan suhu dengan wujud yang berbeda

grafik atau diagram suhu terhadap kalor

Mengingatkan jika nilai massa adalah sama untuk satu proses pelepasan atau penerimaan kalor, dan nilai kalor jenis bergantung wujud zat.

SIMPULAN

Materi suhu dan kalor terdiri dari beberapa sub bab, diantaranya: suhu dan pemuaian; hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya; serta Azas Black. Pembentukan lintasan berpikir setiap sub materi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: cara guru menyampaikan materi, hasil belajar anak dengan sumber belajar lain seperti guru les atau buku teks, mengaitkan dengan mata pelajaran lain seperti matematika, dan teknik heuristik atau mencoba-coba.

Sub materi suhu dan pemuaian memberikan banyak pengembangan lintasan berpikir siswa. Kelemahan yang dihadapi siswa pada sub materi ini adalah kesalahan siswa yang tidak menyertakan titik tetap bawah dalam perbandingan senilai. Sub materi hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya memberikan lintasan berpikir siswa yang tidak terlalu banyak. Kelemahan siswa pada sub materi ini adalah kurangnya pemahaman membedakan nilai kalor yang dilepas dan diterima. Sub materi dengan pemahaman siswa paling rendah berada pada materi Azas Black. Siswa masih belum memahami grafik suhu terhadap kalor untuk dua benda berwujud berbeda yang dicampurkan. REFERENSI Gay, L. R. & P. L. Diehl. 1992. Research Methods for Business and. Management. New York:

MacMillan Publishing Company. Khodijah, Nyanyu. 2014. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. Simon, Martin A. 1995. Reconstructing mathematics pedagogy from a constructivist

perspective. Journal for Research in Mathematics Education, 1(26): 114-145. Slamet. 2010. Belajar Dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta. Rineka Cipta. Soedjadi, R. 2007. Masalah Konstekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah.

Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA. Sugiyono .2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta. Syaban, M. 2006. Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah

Menengah Atas melalui Pembelajaran Investigasi, Educationist, 3(2), 129-136. [Online] Tersedia di:http://file.upi.edu/direktori/Jurnal/educationist/vol.IIIno.2juli2009/2008. [diakses 13-09-2017.

Wuriyudani, Hasri Arlin. 2015. Implementasi Strategi Pembelajaran Fisika Berbasis Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Ilmiah Siswa. Skripsi lib.unnes.ac.id/ 22124/1/4201411142-S.

Yusuf, Syamsu. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 119

PENGEMBANGAN METODE PRAKTIKUM BERBANTUAN ANALISIS

VIDEO TRACKER UNTUK MENENTUKAN NILAI VISKOSITAS FLUIDA

Nenik Yuniarti1, Agus Yulianto2, Ian Yulianti2

1SMA Negeri 2 Pekalongan, Jl. Kusuma Bangsa Pekalongan 51141 2)Program Studi Magister Pendidikan Fisika Universitas Negeri Semarang,

Jl. Kelud Utara III Semarang 50237 Email : 1)[email protected]

Abstrak

Beberapa kendala yang dialami peserta didik pada saat praktikum Viskositas antara lain tabung viskositas yang kurang tinggi dan pengamatan gerak bola yang jatuh pada fluida. Gerakan jatuhnya bola ke dalam fluida tidak bisa teramati dengan jelas karena bola bergerak terlalu cepat. Tujuan penelitian ini untuk mempermudah peserta didik dalam menentukan nilai koefisien viskositas pada praktikum viskositas Fluida. Penelitian ini mengembangkan metode praktikum Viskositas dengan aplikasi video tracker. Pengembangan praktikum Viskositas dapat mempermudah untuk merekam jejak jatuhnya benda ke dalam fluida. Data grafik dan data pada table dapat digunakan siswa untuk menentukan kecepatan terminal dan pada akhirnya bisa menentukan nilai koefisien viskositas. Hasil percobaan praktikum viskositas memiliki nilai koefisien viskositas oli 20W-50W adalah 1,49 dan oli 15W-40W adalah 1,22. Berdasarkan hasil penelitian nilai viskositas fluida cukup konsisten dan signifikan sehingga metode ini dapat digunakan untuk pembelajaran praktikum Viskositas SMA kelas XI. Kata kunci : alat peraga viskositas, Kamera Handphone, aplikasi tracker

PENDAHULUAN

Viskositas menyatakan kekentalan suatu fluida yang menyatakan besar kecilnya gesekan dalam fluida. Semakin besar viskositas fluida, maka semakin sulit suatu fluida untuk mengalir dan juga menunjukkan semakin sulit suatu benda bergerak dalam fluida tersebut (Ariyanti,E.S. dan Agus ,M, 2010). Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat mengalir dengan cepat namun ada yang mengalir secara lambat. Fluida yang mengalir lambat seperti gliserin, madu dan minyak, ini dikarenakan mempunyai viskositas besar. Jadi viskositas menentukan kecepatan mengalirnya cairan (Halliday dan Resnick, 1985).

Praktikum viskositas fluida yang dilaksanakan secara manual dengan menggunakan bola jatuh atau tabung kapiler biasanya menggunakan pengukur waktu stopwatch. Pengukuran dengan cara ini sering memberikan hasil kurang tepat yang disebabkan oleh kesalahan teknis praktikan. Oleh karena itu diperlukan cara agar praktikum menghasilkan data-data yang lebih akurat, slah satunya dengan menggunakan batuan software computer (Fitri Marliani, 2015).

Seiring dengan meluasnya pemakaian teknologi informasi, banyak software yang ditawarkan secara online serta dapat diunduh secara gratis. Salah satu program yang dapat diunduh tersebut adalah software Video Tracker. Software ini dapat digunakan untuk menganalisis pengamatan posisi benda bergerak melalui analisis video (Hantoro, B dan Suharno, 2014). Format video itu familiar bagi siswa, mengandung banyak data spasial dan temporal, dan menyediakan jembatan antara observasi langsung dan representasi abstrak fenomena fisik. Hal ini membuat analisis video menjadi menarik bagi banyak eksperimen gerak 2D (dan kadang-kadang 3D) termasuk proyektil, osilasi, kolom, rotasi, dan bahkan gerak Brown (A. Page, P. Candelas, and F. Belmar, 2006).

Software Video Tracker di atas dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan praktikum untuk menentukan nilai viskositas fluida. Selama ini metode yang digunakan

PENDIDIKAN FISIKA…

120 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

untuk menentukan koefisien viskositas fluida adalah metode bola jatuh dengan mengandaikan berlakunya hukum Stokes, serta metode aliran fluida dalam tabung kapiler dengan mengandaikan berlakunya hukum Newton tentang gesekan fluida (Nelkom dan Parker, 1995). Software ini melalui metode analisis video dapat merekam kejadian- kejadian alam terutama yang berhubungan dengan kelajuan, kecepatan, percepatan, gaya, medan gravitasi, konversi dan konservasi energi (Habibullah & Maladzim, 2014).

Pemanfaatan teknologi komputer berbantuan kamera rekaman video berbantuan tracker merupakan pencitraan dalam praktikum yang mempunyai biaya murah. Rekaman video juga dapat merekam jejak benda yang jatuh pada kekentalan zat cair. Shamim & Wasif Zia & Anwar,2011). Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji efektifitas penggunakan software video tracker dalam praktikum pengukuran viskositas fluida agar diperoleh hasil yang lebih akurat dibanding dengan hasil secara manual. Permasalahan umum praktikum viskositas di SMA adalah pengamatan gerak bola yang jatuh pada fluida. Gerakan bola yang jatuh pada fluida tidak bias teramati dengan jelas karena bola bergerak terlalu cepat. Penelitian ini telah mengembangkan metode praktikum Viskositas dengan aplikasi video tracker. Pengembangan praktikum Viskositas ini dapat mempermudah untuk merekan jejak jatuhnya benda pada fluida. Jejak benda tersebut akan direkam dan ditansfer dalam bentuk grafik. Dari rekaman grafik dan data pada tabel, siswa dapat menentukan kecepatan terminal dan pada akhirnya bisa menentukan nilai koefisien viskositas. METODE PENELITIAN

Praktikum penentuan koefisien viskositas (η) berbantuan video tracker diawali dengan pengukuran diameter bola dengan jangka sorong dan massa bola neraca lengan. Pipa yang digunakan untuk percobaan viskositas mempunyai ketinggian 49 cm dan diameter 6,9 cm. Sedangkan fluida yang digunakan adalah oli 20W-50 dan oli 15W-40.

Bola yang dijatuhkan ke dalam fluida direkam dengan kamera handphone, kemudian video yang tersimpan pada memori kamera diimpor ke dilakukan analisis deng aplikasi video tracker untuk mengetahui besar kecepatan terminal kelereng yang dimasukkan kedalam fluida tersebut.

Pengambilan data dimulai dengan cara merekam gerak bola yang dijatuhkan ke dalam oli dengan kamera. Percobaan dilakukan berulang yaitu sebanyak 3 kali pada masing-masing oli, dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Praktikum Viskositas dengan perekaman kamera Rekaman video tracker akan terlihat dalam monitor laptop, kemudian gerakan bola

tersebut di track dari permukaan fluida sampai dasar tabung. Gerak bola yang telah di-track tersebut akan tampak gerak benda berupa grafik seperti pada gambar 2.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 121

Gambar 2. Tampilan Gerak benda Aplikasi Tracker

Gambar 3 Grafik x, y, t pada analisis video tracker Gambar 3 merupakan tampian grafik yang menggambarkan nilai x,y dan t. Grafik

yang dipilih yaitu grafik y terhadap t untuk mendapatkan nilai kecepatan terminal yaitu melalui kemiringan grafik tersebut seperti pada gambar 4. Kecepatan terminal dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 4 tampilan nilai x dan y pada analisis video tracker

PENDIDIKAN FISIKA…

122 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 5 hasil kecepatan terminal benda HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan persamaan grafik tersebut diperoleh persamaan grafik y=at+b, dengan parameter a menunjukkan nilai kecepatan dan parameter b merupakan posisi awal. Dari percobaan ini dapat ditentukan nilai kecepatan terminal yaitu nilai a pada persamaan grafik. Hasil perhitungan nilai koefisien viskositas oli 20W-50 dan oli 15W-40 seperti tabel 1

No. Fluida Kecepatan terminal

Koefisien viskositas

1. Oli 20W-50W

0,57 m/s 1,44

0,53 m/s 1,55 0,56 m/s 1,47

2. Oli 15W-40W 0,695 m/s 1,18

0,666 m/s 1,23

0,664 m/s 1,24

Tabel 1 Hasil perhitungan nilai viskositas Hasil nilai koefisien viskositas yang diperoleh relatif konstan, perbedaan nilai

yang muncul tidak terlalu bervariatif. Ini menunjukan bahwa penggunaan aplikasi Tracker sesuai dan konsisten. Faktor-faktor yang diprediksi menyebabkan perbedaan nilai diatas diantaranya karena gerak objek yang terekam dalam video tracker tidak begitu jelas sehingga menyulitkan dalam menentukan titik pusat massa gerak objek. Untuk mengantisipasi hal ini, disarankan untuk kegiatan praktikum serupa digunakan bola dengan warna yang cukup kontras dengan warna fluida yang akan ditentukan viskositasnya. Faktor lain yang diprediksi mempengaruhi hasil penelitian ialah kualitas video rekaman. (Fitri Marliani, 2015)

Selain faktor-faktor di atas, adapula faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi hasil percobaan, yaitu gerak bola dalam fluida yang tidak lurus (sedikit miring), serta bisa jadi gerak bola dalam fluida juga tak hanya bergerak translasi (lurus) saja, melainkan juga bola bergerak rotasi. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, walaupun terdapat perbedaan nilai viskositas, akan tetapi jika diperhatikan perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan atau dengan kata lain nilai yang diperoleh relatif konstan sehingga percobaan viskositas untuk menentukan nilai koefisien dengan bantuan kamera Handphone dan aplikasi tracker dapat dijadikan metode alternatif untuk memperoleh nilai koefisien viskositas pada pembelajaran materi viskositas. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 123

REFERENSI Ariyanti,E.S. dan Agus ,M, 2010 , Otomasasi Pengukuran Koefisien Viskositas Zat Cair

Menggunakan Gelombang Ultrasonik, Jurnal Neutrino,vol 2, No 2 Halliday dan Resnick, 1985, Fisika, Erlangga: Jakarta

Hantoro, B dan Suharno. (2014). Menyelidiki Hubungan Kecepatan Terminal dan Viskositas Zat Cair dengan Video Analisis Tracker. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY (ISSN:0853-0823). Yogyakarta.

A. Page, P. Candelas, and F. Belmar, 2006 “Application of video photogrammetry to analyse mechanical systems in the undergraduate physics laboratory,” Eur. J. Phys. 27, 647–655

(Douglas Brown&Anne J. Cox, 2009) Innovative uses of video analysis, The Physics Teacher, Vol. 47. March 2009, DOI : 10. 1119/1. 3081296DOI: 10.1119/1.3081296

Habibullah & Maladzim. 2014. Penerapan Metode Analisis Video Software Tracker Dalam Pembelajaran Fisika Konsep Gerak Jatuh Bebas Untuk Menentukan Ketrampilan Proses Siswa Kelas X SMAN 1 Sooko Mojokerto.

Nelkom, M dan P., Parker, 1995, “Advanced Level Physics” 3rd Edition, London: Heinemann Educational Books.

Shamim & Wasif Zia & Anwar,2011, Investigating viscous damping using a webcam, arXiv [physics.ed.ph], 09 Juni 2011

D.Brown dan W.Christian.2012. “Tracker”. diunduh dari http://www.opensourcephysics. org /

Hantoro, B dan Suharno. (2014). Menyelidiki hubungan kecepatan terminal dan viskositas zat cair dengan video Analisis Tracker. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng dan DIY (ISSN:0853-0823) Yogyakarta

Raden Oktovadan Sirtumiati. 2013. Pemanfaatan Tracker Dalam Eksperimen Ayunan Bandul Teredam Untuk Penentuan Koefisien Viskositas Udara Dengan Hukum Landau-Lifshitz. Berkala Fisika Indonesia. Universitas Ahmad Dahlan

Fitri Marliani. 2015. Penerapan Analisis Video Tracker dalam Pembelajaran Fisika SMA Untuk Menentukan Nilai Koefisien Viskositas Fluida. Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS 2015) 8 dan 9 Juni 2015, Bandung, Indonesia

PENDIDIKAN FISIKA…

124 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

IDENTIFIKASI TINGKAT PEMAHAMAN KONSEP SISWA SMP DENGAN TES DIAGOSTIK BERBASIS WEB

Susi Agung Purwaningtyas

Prodi Pendidikan Fisika, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman konsep siswa SMP pada materi Suhu dan Kalor menggunakan tes diagnostik tingkat 2 berbasis web. Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VII SMPN 2 Kendal tahun ajaran 2014/2015. Uji coba dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap yakni uji coba skala terbatas, uji coba skala luas, dan implementasi. Hasil identifikasi tingkat pemahaman konsep siswa dengan tes diagnotik tingkat 2 didapatkan hasil 36% siswa berada pada tingkat pemahaman relational understanding, 38% siswa berada pada tingkat pemahaman instrumental understanding, dan 26% siswa berada pada tingkat pemahaman misunderstanding. Kata kunci : tes diagnostik berbasis web, pemahaman konsep, suhu dan kalor

PENDAHULUAN IPA terpadu merupakan salah satu bentuk pembelajaran model implementasi

kurikulum untuk diaplikasikan ke jenjang SMP. Fisika merupakan bagian dari pembelajaran IPA terpadu yang mempelajari fenomena alam. IPA Fisika merupakan mata pelajaran yang tidak mengabaikan hakikat IPA Fisika sebagai Sains (Taufik, 2010). Pengetahuan Fisika diperoleh dari penalaran yang secara teoritis berasal dari pengamatan dan eksperimen terhadap gejala alam (Ribkahwati, 2012). Dasar dari ilmu Fisika adalah pengamatan dan eksperimen sehingga dalam mempelajarinya membutuhkan kecermatan dan ketepatan serta akan menjumpai hal yang tidak terduga sebelumnya. Kenyataan yang sering dijumpai di lapangan adalah keadaan dimana siswa hanya hafal rumus tanpa memahami konsepnya.

Data yang didapat dari hasil observasi awal yang dilakukan di SMPN 2 Kendal adalah pencapaian belajar siswa. Materi suhu dan kalor paling rendah jika dibanding dengan materi lainnya. Hanya sekitar 16% siswa dari 3 kelas yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Berdasarkan hasil tersebut dibutuhkan informasi lebih lanjut mengenai faktor yang menyebabkan rendahnya perolehan hasil belajar siswa. Tes diagnostik dapat mengidentifikasi permasalahan belajar yang dialami siswa.

Tes diagnostik adalah tes yang dilakukan untuk mendiagnosis masalah belajar yang dialami siswa misalnya masalah yang terkait dengan pemahaman konsep. Selain berfungsi untuk mendiagnosis masalah belajar siswa tes ini juga bermanfaat bagi pendidik salah satunya pendidik dapat merencanakan tindakan berupa upaya pemecahan sesuai masalah yang telah teridentifikasi. Media atau alat tes diagnostik pada penelitian ini menggunakan tes diagnostik yang dikemas dalam sebuah web. Proses pengerjaan tes diagnostik berbasis web dapat dikerjakan secara online sehingga memudahkan siswa untuk mengerjakan dan guru dalam pengoreksian.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memilih judul“Identifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Siswa SMP dengan Tes Diagostik Berbasis Web”. METODE

Penelitian dilaksanakan di SMP 2 Kendal pada semester genap dan diujikan pada siswa kelas VII. Tahap awal penelitian ini adalah dilakukan pengumpulan data dengan cara observasi dan studi pustaka untuk mengidentifikasi potensi dan masalah yang ada di lapangan. Penelitian ini dilakukan uji coba dalam 3 tahap, uji coba skala terbatas yang melibatkan 8 siswa, uji coba skala luas yang melibatkan 22 siswa, dan implementasi yang melibatkan 22 siswa.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 125

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat pemahaman konsep siswa pada materi Suhu dan Kalor dapat diketahui

dari jawaban dan alasan yang diberikan siswa dalam tes diagnostik berbasis web. Jawaban salah dari siswa dapat digunakan untuk menganalisis sulitnya pembelajaran (Rusilowati, 2006). Kriteria penilian dari tes diagnostik tingkat 2 disajikan pada Tabel 1

Tabel 1 Kriteria Penilaian Tes Diagnostik Tingkat 2 No Kondisi Tipe Respons Skor 1 Misunderstand

ing Jawaban salah dan alasan salah

0

2 Instrumental Understanding

Jawaban benar dan alasan salah Jawaban salah dan alasan benar

1 1

3 Relational Understanding

Jawaban benar dan alasan benar

2

Profil Indikator 1 (Mengetahui Definisi Suhu dan Termometer) Indikator 1 terdiri dari 4 butir soal. Butir soal no 1 menyajikan perubahan suhu, soal no 2 definisi suhu, soal no 3 mikroskopis suhu, soal no 4 zat cair pengisi termometer. Data selengkapnya mengenai indikator 1 disajikan pada Tabel 2

Tabel 2 Profil Pemahaman Indikator 1 soal no

A B C

jumlah siswa

jumlah siswa

jumlah siswa

1 4 2 16 2 14 5 3 3 2 12 8 4 15 4 3

Keterangan : A = Relational Understanding B = Instrumental Understanding C = Misunderstanding

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada butir soal nomor 4 banyak siswa menjawab dengan benar dan butir soal nomor 3 hanya sebagian kecil siswa yang dapat menjawab benar. Hasil analisis yang dilakukan pada indikator 1 menunjukkan bahwa siswa sudah memahami zat cair yang baik untuk pengisi termometer serta mampu menjelaskan alasannya. Butir soal nomor 3 hanya sebagian kecil siswa yang dapat menjawab dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum memahami konsep mengenai kondisi atom dan molekul suatu zat apabila suhunya dinaikkan.

Butir soal no 4 banyak siswa yang menjawab benar karena soal yang disajikan adalah soal yang berkaitan dengan hal yang sering ditemui dalam kehidupan. Mudjiono (2006) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu itu sendiri sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Termometer adalah benda yang tidak asing lagi bagi siswa SMP karena mayoritas telah memiliki pengalaman berinteraksi dengan termometer. Profil Indikator 2 (Memahami Skala Suhu pada Termometer)

Indikator 2 terdiri dari 2 butirsoal. Soal no 5 mengenai titik tetap termometer, soal no 7 tentang daerah ukur termometer. Data selengkapnya mengenai indikator 2 disajikan padaTabel 3

PENDIDIKAN FISIKA…

126 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 3 Profil Pemahaman Indikator 2 soal no A B C jumlah

siswa jumlah siswa

jumlah siswa

5 3 14 5 7 11 8 3

Keterangan : A = Relational Understanding B = Instrumental Understanding C = Misunderstanding

Berdasarkan Tabel 3 butir soal nomor 7 sebanyak 50% siswa telah menjawab dengan tepat dan butir soal no 5 hanya 3 siswa yang menjawab dengan tepat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa siswa memiliki pemahaman yang baik mengenai termometer klinis yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh. Profil Indikator 3 (Memahami dan Menjelaskan Peristiwa Pemuaian)

Indikator 3 terdiri dari 4 butir soal. Soal no 6 menyajikan titik peristiwa pemuaian, soal no 8 pemuaian pada gelas, soal no 9 dan 10 pemuaian pada bimetal. Data selengkapnya mengenai indikator 3 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Profil Pemahaman Indikator 3 soal no A B C jumlah

siswa jumlah siswa

jumlah siswa

6 6 4 12 8 7 10 5 9 9 7 6 10 11 8 3

Keterangan : A = Relational Understanding B = Instrumental Understanding C = Misunderstanding

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada soal nomor 6-10 persentase rata-rata siswa relatif sama pada relational understanding dan instrumental understanding pada soal nomor 8, 9, dan 10 relatif sama.

Butir soal nomor 6-10 persentase rata-rata siswa relatif sama pada relational understanding. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa siswa sudah memahami butir soal no 6-10. Profil Indikator 4 (Memahami Kalor dan perubahan Suhu serta Perpindahan Kalor)

Indikator 4 terdiri dari 11 butir soal yang menyajikan soal mengenai perpindahan kalor. Data selengkapnya mengenai indikator 4 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Profil Pemahaman Indikator 4 soal no A B C jumlah

siswa jumlah siswa

jumlah siswa

11 12 6 4 12 5 11 6 13 13 2 7 14 10 10 2 15 12 6 4 16 4 11 7 17 7 11 4

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 127

18 1 14 7 19 9 9 4 20 7 13 2 21 10 9 3

Tabel 5 menunjukkan bahwa soal nomor 11, 13, dan 15, banyak siswa yang menjawab dengan benar. Hal ini disebabkan karena pada nomor tersebut menyajikan petistiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa sudah terbiasa maka dari itu penjelasan untuk menjawab soal juga lebih baik. Hal ini sesuai dengan penjelasan menurut Rifa’I dan Anni (2011) bahwa hasil belajar peserta didik diperoleh peserta didik setelah mengalami kegiatan belajar dan tergantung pada apa yang dipelajari oleh peserta didik. SIMPULAN Hasil analisis pada indikator 1 sampai 4 didapatkan persentase rata-rata tingkat pemahaman konsep siswa dengan tes diagnostik tingkat 2 yakni 36% siswa berada pada tingkat pemahaman relational understanding, 38% siswa berada pada tingkat pemahaman instrumental understanding, dan 26% siswa berada pada tingkat pemahaman misunderstanding. REFERENSI Astuti, Rahayu Budi. 2012. Pengembangan Tes Diagnostik Berbasis Komputer. Jurnal

Pendidikan Matematika.1(1) Anastasi, Anne & S. Urbina. 1961. Psychological Testing. Seventh Edition. London:

Prentice-Hall Bloom, Samuel Benjamin.1954. Taxonomy of Educational Objectives: Longmans, Green Chandrasegaran, A; D. Treagust; & M. Mocerino. 2007. The Development of a Two-Tier

Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School Students’ Ability to Describe and Explain Chemical Reaction Using Multiple Level of Representation. Chemical Education Research and Practice, 8(3). 293-30

Dimyati, Mujiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Asdi Mahastya. Jamil, M., R. Tariq., & P. Shami. 2012. Computer-Based vs Paper-Based Examinations.

Journal of Educational Technologi, 11(4): 371-381. Ribkahwati. 2012. Ilmu Kalaman Dasar. Yogyakarta: Graha Ilmu Rifa'i, Achmad dan Catharina Tri Anni. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: UPT

UNNES Press. Rusilowati, A. 2006. Profil Kesulitan Belajar Fisika Pokok Bahasan Kelistrikan Siswa

SMA di Kota Semarang. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 4(2):100-101. Semarang: FMIPA Unnes.

Taufik, M., Sukmadinata, Abdulhak, I., Tumbelaka, B. Y. (2010). Desain model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran IPA (fisika) sekolah menengah pertama di kota bandung. Berkala Fisika, Vol 13, No 2 (2010): Edisi Khusus, E31-E44

PENDIDIKAN FISIKA…

128 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERBANTUAN VIDEO PEMBELAJARAN PADA PEMAHAMAN KONSEP DAN KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH

Tina Anggraini, Agus Yulianto, Ian Yulianti Program Studi Magister Pendidikan Fisika, Pascasarjana,

Universitas Negeri Semarang, Jl. Kelud Utara III, Kota Semarang 50237

Email: [email protected]

Abstrak Tujuan dari penelitian adalah mengetahui pengaruh pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran dan model pembelajaran berbasis masalah tanpa menggunakan video. Penelitian menggunakan quasi experimental design dengan posttest-only control design. Populasi dari penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Andong Boyolali tahun pelajaran 2015/ 2016. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik cluster random sampling dengan hasil adalah kelas XI MIPA-1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI MIPA-2 sebagai kelas kontrol. Hasil posttest dianalisis dengan menggunakan uji t satu pihak. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (thitung4,44 >ttabel1,67 maka Ha diterima). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran. Kata kunci: Pembelajaran berbasis masalah, video pembelajaran, pemahaman konsep, dan kemampuan pemecahan masalah.

PENDAHULUAN

Kemampuan siswa saat ini masih kurang dalam pemahaman konsep Fisika (Arif, Dwi, & Sentot, 2013). Hal ini berawal dari pengalaman belajar mereka yang sulit menemukan kenyataan bahwa pelajaran Fisika adalah pelajaran yang tidak jauh dari masalah konsep, pemahaman konsep, dan penyelesaian soal secara matematis (Yuliono, Sarwanto, & Wahyuningsih, 2014).

Selama ini, proses pembelajaran masih didominasi oleh penyampaian informasi, bukan ditekankan pada pemrosesan informasi. Kegiatan tersebut masih berpusat pada kegiatan menghafal dan mendengarkan, bukan interpretasi dan makna apa yang dipelajari, serta membangun pengetahuan (Suardani, Jelantik S., & Putu M.W., 2014). Begitu juga dengan kemampuan pemecahan masalah, siswa mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan permasalahan yang kompleks. Padahal salah satu tujuan pembelajaran Fisika adalah menciptakan manusia yang dapat memecahkan masalah kompleks dengan cara menerapkan pengetahuan dan pemahaman mereka pada situasi sehari-hari (Sujarwanto, Hidayat, & Wartono, 2014). Tuntutan era globalisasi, pendidikan abad 21 juga bertujuan untuk membangun salah satunya adalah kemampuan memecahkan masalah (Dewi, Sadia, & Suma, 2014).

Potensi peserta didik dapat berkembang dengan model pembelajaran yang menarik, kreatif, dan inovatif (Yuliono, Sarwanto, & Wahyuningsih, 2014). Penggunaan model pembelajaran sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pembelajaran (Khanifah & Susanto, 2014). Model pembelajaran adalah model yang konstruktivistik yang dapat meningkatkan kompetensi dan kecakapan berpikir siswa yaitu salah satunya model pembelajaran berbasis masalah (PBM).

PBM adalah model pembelajaran yang berangkat dari pemahaman siswa tentang suatu masalah, menemukan alternatif, solusi atas masalah, kemudian memilih solusi

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 129

yang tepat untuk digunakan dalam memecahkan masalah tersebut (Sutirman, 2013). Model pembelajaran ini dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa saja yang dipelajari selama pembelajaran terutama dalam hal pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah. Selain itu, siswa dapat menerapkan yang diketahui dalam kehidupan sehari-hari. PBM adalah satu bagian dari pembelajaran yang berpusat pada siswa atau pembelajaran aktif.

Penerapan PBM mengakibatkan penyimpanan lebih lama terhadap informasi yang diperoleh siswa dan dapat memberikan pengaruh terhadap daya serap siswa dalam hal pemahaman konsep (Santyasa, Kartika, & Warpala, 2014). PBM juga dapat digunakan untuk pencapaian kemampuan pemecahan masalah (Dewi, Sadia, & Suma, 2014)

Pembelajaran di kelas selain menggunakan model pembelajaran yang tepat juga membutuhkan media pembelajaran. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat membuat peserta didik menjadi aktif. Media pembelajaran yang bisa digunakan adalah video pembelajaan. Video merupakan bahan ajar non cetak yang kaya informasi dan tuntas karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung. Video dapat menyajikan gambar bergerak dan suara kepada siswa. Video pembelajaran menampilkan permasalahan yang dapat digunakan sebagai bahan diskusi siswa sehingga dari proses pembelajaran tersebut siswa dapat memahami dan menyelesaikan masalah dengan tepat.

Pembelajaran dengan video menjadikan tingkat retensi (daya serap dan daya ingat) siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat secara signifikan (Daryanto, 2013). Berdasakan uraian yang disampaikan, maka penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran terhadap pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di SMA N 1 Andong Boyolali, beralamat di Jl. Solo-Karanggede Km. 30 Andong Boyolali 57384. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2015/ 2016. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan quasi experimental design. Populasi penelitian adalah siswa kelas XI yang terdiri atas 3 kelas yaitu XI MIPA-1, XI MIPA-2, dan XI MIPA-3. Populasi berjumlah 95 siswa. Sampel penelitian adalah siswa kelas XI MIPA-1 sebagai kelas eksperimen dan XI MIPA-2 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes. Instrumen penelitian ini dianalisis validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Instrumen tes untuk mengukur pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah fisika siswa.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah cluster random sampling yang dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri relatif yang dimiliki. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan dokumentasi.

Analisis data terdiri atas analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis data awal adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Analisis data awal menggunakan nilai UAS siswa kelas X MIPA SMA N 1 Andong tahun pelajaran 2014/ 2015. Uji normalitas dihitung menggunakan uji Lilliefors dan Uji homogenitas menggunakan uji Bartlett. Sedangkan analisis data akhir menggunakan uji t satu pihak kanan. Data penelitian didapatkan dari hasil posttest siswa. Indikator yang diteliti adalah pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika materi Usaha.

PENDIDIKAN FISIKA…

130 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Saat melakukan penelitian terlebih dahulu menentukan kelas yang akan dilakukan penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelas yang digunakan sebagai penelitian berdistribusi normal dan homogen. Analisis data awal yaitu uji normalitas dan homogenitas yang memerlukan data awal. Data awal adalah nilai UAS Fisika kelas X-MIPA tahun pelajaran 2014/ 2015. Uji normalitas menggunakan uji Lilliefors dengan taraf signifikan 5%. Populasi dikatakan berdistribusi normal jika Lo<Ltabel dan berdistribusi tidak normal jika Lo ≥ Ltabel. Berdasarkan hasil analisis dari ketiga kelas dapat dilihat bahwa kelas X MIPA-1, kelas X MIPA-2, dan kelas X MIPA-3 didapatkan Lo<Ltabel. Oleh karena itu pada taraf signifikan 5%, Lo < Ltabel maka baik kelas X MIPA-1, X MIPA-2, dan X MIPA-3 berdistribusi normal. Selanjutnya yaitu uji homogenitas. Uji yang digunakan untuk uji homogenitas sampel adalah uji Bartlett. Berdasarkan perhitungan uji homogenitas kelas menggunakan uji Bartlett pada taraf signifikan 5%

dan dk=2 didapat 2 hitung = 0,824 dimana 2 tabel=5,99 sehingga 2 hitung< 2 tabel. Hasil

didapatkan 2 hitung< 2 table, maka Ho diterima dan data homogen.

Analisis data akhir dilakukan menggunakan uji t. Analisis akhir menggunakan uji t yaitu uji t satu pihak. Uji t ini untuk menguji hipotesis penelitian. Uji t menggunakan data akhir siswa yaitu nilai postest siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data akhir uji t seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Analisis Akhir

Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa pada taraf signifikan 5% diperoleh thitung = 4,44 dengan ttabel = 1,67 sehingga thitung 4,44 >ttabel1,67 dan H0 ditolak.

Hasil posttest dapat mengetahui pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis indikator, didapatkan bahwa siswa yang mendapatkan perlakuan dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran lebih tinggi dari siswa yang mendapat perlakuan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika yang signifikan di kelas yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran dan pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah tanpa berbantuan video pembelajaran.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran lebih tinggi dari siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah. Hasil analisis tahap akhir seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Kelas N Taraf signifikan

Nilai rata-rata

Thitung ttabel

Eksperimen

32

5% 80,84

4,44

1,67

Kontrol 32

5% 72,25

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 131

Gambar 1 Grafik analisis tahap akhir

Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah ini juga pernah digunakan

untuk penelitian oleh Santyasa dkk (2014) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pemahaman konsep Fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar dengan model konvensional. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diperlukan bimbingan guru dalam memilih fitur yang relevan dan pemberian permasalahan yang nyata berkaitan dengan dunia pebelajar serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk tahu dan terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari ide-ide mereka berdasarkan fakta-fakta yang dilihat dari lingkungan.

Model pembelajaran berbasis masalah juga terbukti meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Fisika seperti pada penelitian Dewi dkk (2014). Sintaks PBM merupakan alasan yang mendasari keunggulan dalam pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa. Tahapan PBM membuat siswa berperan aktif selama proses pembelajaran.

Proses pembelajaran dengan PBM berbantuan video pembelajaran membuat siswa terbiasa untuk memahami setiap permasalahan dengan baik. Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran ini membuat siswa menjadi ingin tahu setiap masalah kemudian mencari konsep yang sesuai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Model pembelajaran berbasis masalah yang menyajikan contoh-contoh dalam kehidupan nyata dan disertai dengan video pembelajaran memfasilitasi pemahaman siswa akan konsep yang kompleks.

Hal ini seperti yang dijelaskan pada penelitian Krishna dkk (2015) bahwa media video pembelajaran adalah media yang menyajikan audio dan visual yang berisi pesan-pesan pembelajaran baik berisi konsep, prinsip, prosedur, teori aplikasi pengetahuan untuk membantu pemahaman terhadap suatu materi pembelajaran. Video pembelajaran dapat memudahkan guru dan membuat siswa lebih fokus untuk memperhatikan pembelajaran. Oleh karena itu, pemahaman konsep siswa di kelas yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran lebih tinggi dari kelas yang tanpa menggunakan video pembelajaran.

Penyajian masalah kepada siswa menjadikan siswa terbiasa untuk menyelesaikan permasalahan. Penggunaan video pembelajaran juga membantu siswa untuk melihat masalah secara langsung, sehingga siswa dengan mudah dapat memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah, dan membuat kesimpulan atau mengevaluasi solusi penyelesaian masalah.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Arif dkk (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah yang signifikan antara siswa yang dibelajarkan dengan

PENDIDIKAN FISIKA…

132 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

menggunakan model PBM berbasis ICT dan yang menggunakan strategi PBM tanpa berbasis ICT. Model PBM berbasis ICT memberikan rerata nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran dengan model PBM tanpa berbasis ICT. Penelitian Suardani dkk (2014) juga menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah memberikan hasil yang optimal dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.

Sesuai dengan hasil penelitian, model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah pada materi Fisika dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran lebih baik dari penggunaan model pembelajaran berbasis masalah. Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran lebih menarik perhatian siswa. Penyajian masalah dalam bentuk video pembelajaran dapat membuat siswa memahami konsep Fisika dan mampu memecahkan masalah Fisika lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa, terdapat pengaruh pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika dengan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa saran, yaitu: 1. Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah berbantuan media pembelajaran

dapat digunakan sebagai salah satu upaya yang efektif dalam meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika. Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dengan bantuan video pembelajaran dalam mengajarkan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah Fisika sangat disarankan.

2. Pembuatan video pembelajaran berdasarkan masalah sehari-hari untuk materi Fisika yang lain.

REFERENSI Arif, H., Dwi, I. M., & Sentot, K. (2013). Pengaruh Strategi Pembelajaran berbasis masalah

Berbasis ICT terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 14.

Daryanto. (2013). Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.

Dewi, Sadia, & Suma. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran berbasis masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Melalui Pengendalian Bakat Numerik Siswa SMP. E-Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 1.

Khanifah, & Susanto, H. (2014). Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Instruction Berbantuan Media Audio Visual Dalam Meningkatkan Kemampuan Menganalisis Dan Memecahkan Masalah Fisika. Unnes Physics Eucation Journal, 49.

Krishna, I. D., Sudhita, I. R., & Mahadewi, L. P. (2015). Pengembangan Media Video Pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA Siswa Kelas VIII Semester Genap. e-Journal Edutech Universitas Pendidikan Ganesha, 6.

Santyasa, W., Kartika, D. M., & Warpala, W. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Pemahaman Konsep Fisika dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. e-Jornal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 133

Suardani, N. N., Jelantik S., I. B., & Putu M.W., N. L. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Keterampilan Proses Sains Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

Sujarwanto, E., Hidayat, A., & Wartono. (2014). Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika pada Modeling Instruction pada Siswa SMA Kelas XI. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 66.

Sutirman. (2013). Media dan Model-Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yuliono, S. N., Sarwanto, & Wahyuningsih, D. (2014). Video Pembelajaran Berbasis Masalah pada Materi Kalor untuk Siswa Kelas VII. Jurnal Pendidikan Fisika, 21.

PENDIDIKAN FISIKA…

134 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

IDENTIFIKASI PEMAHAMAN KONSEP PERKEMBANGAN TEORI ATOM PADA MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA

Tuti Alawiyah *, Agus Yulianto , Budi Astuti

Program Studi Magister Pendidikan Fisika Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Jl. Kelud Utara III, Semarang, 50237 * Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman konsep perkembangan teori atom pada mahasiswa pendidikan fisika. Pengumpulan data diperoleh dengan memberikan tes uraian pada mahasiswa pendidikan fisika semester VI yang jumlahnya sebanyak 37 mahasiswa. Tes yang diberikan berisi pertanyaan yang terkait dengan perkembangan teori atom yang meliputi cara menggambarkan dan mendeskripsikan teori atom Dalton, JJ. Thomson, Rutherford dan teori atom Niels Bohr. Jawaban dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa kurang baik pada konsep perkembangan teori atom. Mahasiswa mampu menggambarkan dan mendeskripsikan konsep perkembangan teori atom yang terdiri teori atom Dalton, JJ. Thomson, Rutherford dan teori atom Niels Bohr. Kata kunci: pemahaman, konsep teori atom, mahasiswa pendidikan fisika

PENDAHULUAN

Pemahaman menurut bloom yang direvisi oleh kratwosthl didefinisikan sebagai kemampuan kognitif untuk menentukan arti pesan pembelajaran baiksecara lisan, tulisan, maupun grafik atau gambar. pemahaman meliputi kemampuan menginterprestasikan, memberi contoh, mengelompokkan, meringkas, membandingkan dan menjelaska[1]

Pemahaman dan penguasaan suatu materi atau konsep merupakan prasyarat untuk menguasai materi atau konsep berikutnya, sehingga jika pemahaman terhadap suatu konsep prasyarat salah maka akan mengalami kesulitan bahkan terjadi miskonsepsi dalam mempelajari konsep berikutnya Rendahnya pemahaman terhadap konsep fisika dan pemahaman konsep sebelumnya yang salah dapat menimbulkan kontradiksi dengan konsep ilmiah sehingga menimbulkan miskonsepsi. Konsep perkembangan teori atom tidak hanya dipelajari ketika memasuki perguruan tinggi tetapi telah dipelajari di jenjang SMA. konsep perkembangan teori ataom menjadi materi pengantar ketika mempelajari fisika kuantum. Rolf melakukan sebuah studi untuk mendeskripsikan pemahaman siswa mengenai perkembangan teori atom menunjukkan bahwa 40% siswa mampu menggambarkan model atom sesuai dengan konteks dan situasi.[2] Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian mengenai pemahaman perkembangan teori atom pada mahasiswa pendiidkan fisika. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman konsep perkembangan teori atom ada mahasiwa pendidikan fisika. Penelitian juga memberikan informasi awal gambaran pemahaman konsep siswa sehinggga dapat digunakan untuk mendiagnosa konsepsi yang dimiliki mahasiswa pendidikan Fisika mengenai perkembangan teori atom. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif Sukmadinata (2007) menyatakan bahwa penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan atau penguban pada variabel bebas tetapi memberikan uraian mengenai gejala atau fakta yang diteliti dengan

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 135

mendeskripsikan tentang variabel tanpa bermaksud menghubungan atau membandingkan [3]. Subjek penelitian berjumlah 37 mahasiswa pendidikan fisika yang sedang mengikuti perkuliahan fisika kuantum Universitas Negeri Semarang tahun pelajaran 2016/2017. Subjek penelitian telah mendapatkan materi perkembangan teori model atom di kelas XII SMA. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan tes uraian yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait dengan pemahaman konsep perkembangan teori atom yang telah dipelajari di jenjang SMA yaitu model atom Dalton, model atom JJ Thomson, model atom Rutherford dan model atom Niels Bohr. Kempat model atom tersebut dijabarkan dalam empat poin pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui cara responden menggambarkan model-model atom dan deskripsi mengenai model-model atom tersebut. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif sederhana dengan menggunakan bantuan excel. Analisis dilakukan menggunakan rumus

𝑃𝑏 =𝑋𝑏

𝑁× 100%

Keterangan, Pb =persentase yang menjawab benar, N = skor siswa setiap butir pertanyaantotal sampel, dikelompokkan berdasarkan kategori kemampuan persentase yang dperoleh ditafsirkan dengan menggunakan kategori pengelompokan seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Kualifikasi skala pemahaman konsep Pemahaman kualifikasi Tinggi 76% -100% Sedang 60% - 75% Rendah 0% - 59%

Tabel 1 digunakan untuk melihat kualifikasi pemahaman konsep mahasiswa fisika dalam menggambarkan dan mendeskripsikan perkembangan teori atom.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan dalam penelitian ini berdasarkan analisis dari jawaban responden mengenai cara menggambarkan dan mendeskripsikan keempat model atom yang dijabarkan menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen penelitian. 1. Pertanyaan mengenai teori Atom Dalton

Hasi analisis jawaban 37 responden mengenai teori atom Dalton diperoleh persentase 35,14% responden dapat menggambarkan dan mendeskripsikan teori atom dengan benar. Sisanya 64,86% responden belum mampu menjawab dengan benar.

Ada 19 responden yang memiliki kesalahan sama dalam menjawab pertanyaan mengenai teori atom Dalton yakni belum mampu menggambarkan teori atom Dalton.

Gambar 1. contoh jawaban responden dalam menggambarkan teori atom Dalton

PENDIDIKAN FISIKA…

136 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 1 menunjukkan bahwa selama ini responden hanya memahami bahwa konsep model atom secara teoritis namun tidak pernah mempelajari model atom Dalton itu secara visualisasi. Visualisasi ini perlu diupayakan dalam mengajarkan perkembangan teori atom sebagai upaya inovatif untuk membuat konsep perkembangan teori atom lebih mudah dipahami.

Pembelajaran perkembangan teori atom pada mahasiswa calon guru sekolah menengah dengan menggunakan software sebagai alat untuk visualisasi cukup menujukkan keberhasilan. Selain itu pemahaman mahasiswa yang kurang dalam perkembangan teori atom juga dapat disebabkan kurangnya kemampuan mahasiswa dalam menerapkan multilevel representasi untuk menjelaskan fenomena-fenomena pada level submikroskopik sehingga sebuah simulasi menggunakan visualisasi komputer mengenai suatu konsep akan dapat membantu mengeksplorasi pemahaman mengenai suatu konsep dalam suatu proses pembelajaran [4,5,6]

2. Pertanyaan mengenai Teori Atom JJ. Thomson

Pada pertanyaan mengenai model atom JJ thomson diperoleh 18,92% responden mampu memberikan jawaban dengan benar. Selanjutnya 81,08% responden memberikan jawaban yang kurang tepat.

Sebagian besar responden tidak memberikan deskrispsi yang baik mengenai teori atom JJ Thomson. Salah satu contoh deskripsi yang kurang tepat seperti terlihat pada gambar 2

Gambar 2. contoh deskripsi teori atom jj. thomson yang diberikan responden Gambar 2 menunjukkan bahwa responden pemahaman yang rendah pada konsep

teori atom JJ. Thomson. responden hanya memahami teori atom secara visuaalisasi tetapi belum mampu mendeskripsikan dari visualiasi yang dberikan.

Pengajaran konsep perkembangan teori atom sebagai konsep yang abstrak memang memerlukan model atau visualisasi karena ketika mengajarkan atau mengkomunikasikan perkembangan teori atom secara bahasa atau konseptual perlu menggunakan model mekanik[2].

3. Pertanyaan mengenai Teori Atom Rutherford Ada 54,05% responden yang memberikan gambaran dan deskripsi dengan benar,

sedangkan 45,95% responden kurang tepat dalam memberikan jawaban pada pertanyaan teori atom Rutherford. contoh jawaban dari pertanyaan teori atom Rutherford dari responden terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Contoh jawaban responden mengenai teori atom Rutherford

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 137

Gambar 3 menujukkan jawaban yang benar dari responden dalam menggambarkan dan mendeskripsikan teori atom JJ menunjukkan adanya pemahaman yang baik.

Besar persentase responden yang meberikan jawaban dengan benar menunjukkan bahwa responden telah memahami model atom Rutherford karena pada dasarnya konsep model-model atom ini telah diterima responden ketika jenjang SMA. responden telah membawa konsepsi ketika memasuki perguruan tinggi. Konsepsi ini sebagai representasi mental individu yang dikembangkan siswa dari beberapa faktor misalnya pengalaman indera atau pengajaran formal [7].

4. Pertanyaan mengenai teori Atom Niels Bohr

72,97% dari responden mampu memberikan jawaban yang benar pada pertanyaan ini dan 27,03% responden masih kurang memahami teori model atom ini. Salah conoh jawaban yang diberikan responden pada pertanyaan mengenai teori atom Niels Bohr seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Contoh jawaban reponden megenai teori atom Niels Bohr

Gambar 4 menunjukkan bahwa mampu menggambarkan dan mendeskripsikan teori atom Rutherford. Pemahaman responden terhadap model atom bohr tergolong baik yang ditunjukkan dari persentase siswa yang menjawab benar pada pertanyaan ini sebesar 72,97%. Responden memiliki pemahaman yang baik Teori atom Niels Bohr. Teori model atom Bohr merupakan perbaikan atas model Rutherford sehingga responden yang sudah memahami konsep model atom rutherford akan lebih mudah dalam memahami model atom pengembangannnya. Karaktekteristik materi juga menjadi penyebab kesulitan pemahaman konsep yang dipelajari mahasiswa[8]. Secara keseluruhan pesentase rata-rata responden yang dapat menggambarkan dan mendeskripsikan perkembangan teori atom sebesar 45,27%. Persentase tersebut, menunjukkan pemahaman yang kurang baik mengenai konsep teori atom.

KESIMPULAN Secara keseluruhan hasil analisis pertnyaan yang diberikan kepada responden menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa fisika mengenai konsep model-model atom kurang baik. untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik perlu suatu upaya pengembangan pembelajaran yang dapat membantu siswa. Strategi pembelajaran yang tepat dari guru juga menjadi penentu keberhasilann suatu proses pembelajaran. Dengan demikian membekali mahasiswa calon guru fisika dalam pengusaaan konsep perkembangan teori atom dan bagaimana cara mengajarkannya merupakan hal sangat penting untuk ditindak lanjuti sebagai implikasi dari penelitian ini.

PENDIDIKAN FISIKA…

138 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkenan membantu menyelesaikan penelitian ini. REFERENSI Krathwohl, D. R., 2002, „A revision of bloom's taxonomy: an overview‟, Theory Into

Practice, vol. 41, no. 4 Olsen, V.Rolf,. “ A study of Norwegia Upper secondary physics specialists concepts

atomic models and wave particle duality’. 2001 Sukmadinata,N.S,. 2007, metode penelitian pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung. Zollman,D.A., Rebello,N. S & Hogg, K.,.” Quantum Mechanics For Everyone:Hands On

Activity Integrated With Technology”, Pp 252-259, 2002 Robble, K.M., Garik, P & Abegg, G,. “Using computer visualization to teach quantum

science on pedadgogical content knowledge”, 1999. Abdurrahman, et al., “implementasi pembelajaran berbasis multirepresentasi untuk

peningkatan penguasaan konsep fisika kuantum’. Februari, 2011. Fadiawati, N. Lilisari.,.“ konsepsi mahasiswa pendidikan kimia tahun pertana tentang

struktur atom”, 2009 Retno. Dwi Suyanti.., “efektivitas pratikum multimedia struktur atom dalam mengatasi

miskonsepsi kimia anorganik mahasiswa”., jurnal pendidikan dan kebudayaan vol.17, no. 5, september 2011

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 139

PENGEMBANGAN MODUL FISIKA KELAS XI MA BERCIRIKAN INTEGRASI SAINS DAN ISLAM PADA MATERI USAHA DAN ENERGI, HUKUM KEKEKALAN ENERGI MOMENTUM, IMPULS, DAN TUMBUKAN

Vetti Nurkhabibah1, Nadhifah,S.Th.I.,M.S.I2, Edi Daenuri Anwar,M.Si3

Program Saejana S1 Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email:[email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum adanya modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi, momentum, impuls, dan tumbukan baik di toko buku maupun sekolah di daerah Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk: Menghasilkan modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi, momentum impuls dan tumbukan dan mengetahui kualitas modul fisika tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (R&D) dengan prosedur penelitian pengembangan menurut Borg dan Gall yang batasi sampai dengan tahap validasi ahli. Instrumen yang digunakan berupa skala penilaian untuk mengetahui kualitas bahan ajar fisika yaitu menggunakan skala Likert dengan lima kategori disusun dalam bentuk checklist. Analisis data yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data kualitatif dari ahli materi, ahli media, dan ahli integrasi sains dan Islam. kemudian mengubah hasil penilaian ahli dari bentuk data kualitatif ke data kuantitatif (huruf ke skor dan persentase). Hasil penilaian menunjukkan bahwa bahan ajar fisika ini layak digunakan dengan kategori baik (B). Hal ini didasarkan pada jumlah rerata skor dan persentase kelayakan modul untuk ahli materi skor 3,9 persentase kelayakan 79%, untuk ahli media skor 3,8 persentase kelayakan 75%, dan untuk ahli integrasi sains dan Islama skor 4,0 persentase kelayakan 80%. Kata Kunci: Modul Fisika,Integrasi Sains dan Islam

PENDAHULUAN

Pendidikan dan pembelajaran bertujuan untuk penanaman dan membentuk nilai serta watak yang baik. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 pasal 1 mengamanatkan agar peserta didik memiliki kekuatan spritual keagamaan (Winarti, 2015). Selain mempelajari pendidikan agama, Islam juga mewajibkan setiap manusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan lain, salah satunya adalah ilmu pengetahuan sains (fisika). Karena pembelajaran fisika merupakan salah satu proses pembelajaran yang memiliki peranan penting dalam menunjang ilmu pengetahuan dan teknologi (Fitri, Kurniawan, dan Ngazizah, 2013).

Fisika sebagai ilmu dasar dan memiliki karakteristik yang mencakup bangunan ilmu, terdiri atas fakta, konsep, prinsip, hukum, postulat, dan teori serta metodologi keilmuan. Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam yang disajikan dalam bentuk yang sederhana dan diterjemahkan dalam bahasa matematika dan dapat dipahami serta diperoleh dari hasil penelitian percobaan, pengukuran, penyajian, secara matematis (septa pratama dan istiyono, 2015). Jika dilihat dari segi pengertian fisika merupaka ilmu yang mempelajari dan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an (Zainuddin,2013). Akan tetapi karena masih adanya dikotomi antara sains (fisika) dan Islam didalam model pendidikan, maka pendidikan fisika diindonesia yang diajar dalam sekolah-sekolah SMA/MA mayoritas hanya sekilas praktik dan ilmiah saja. Padahal banyak sekali sekolah-sekolah yang berlabel Islam seperti sekolah yang berdiri dikalangan pesantern. Berdasarkan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilakukan di SMK Ma’arif 01 Mijen-Semarang, pada pembelajaran fisika belum dipadukan dengan Islam. Bahkan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti di MA/SMA maupun SMK Darul Amanah Sukorejo-Kendal yang berlabelkan pesantren dalam pembelajan fisika belum mengkaitkan antara fisika dengan Islam. Setelah

PENDIDIKAN FISIKA…

140 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dicermati hal ini terjadi karena dikalangan pendidikan belum adanya modul atau bahan ajar yang bercirikan Islam.

Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti termotivasi untuk melakukan upaya pengembangan modul bercirikan integrasi sains dan Islam. Materi yang dikembangkan dalam pembelajaran fisika pada penelitian meliputi usaha dan energi, hukum kelestarian energi, momentum, impuls dan tumbukan kelas XI MA/SMA. Karena pada materi tersebut merupakan materi semester I awal pada kelas XI SMA/MA yang menjadi dasar dari materi-materi selanjutnya. Harapan penanaman nilai–nilai keislaman pada materi ini dapat memberikan dampak positif pada pembelajaran fisika selanjutnya. METODE PENELITIAN

Penelitian yang digunakan merupakan penelitian (Research and Development). Penelitian pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk mengembangkan atau menvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan dan pembelajaran (Sugiyono, 2013). Sedangkan menurut Borg & Gall (1983) pengertian penelitian pengembangan adalah suatu proses yang dipakai untuk pengembangan dan menvalidari produk penelitian (Zuhdan, 2012).

Menurut Sukmadinata, Borg & Gall secara lengkap mengemukakan sepuluh langkah desain penelitian dan pengembangan, yaitu :1) Penelitan dan pengumpulan data (research and information collecting). Pengukuran kebutuhan, studi literature, penelitian dalam sekala kecil, dan pertimbangan-pertimbangan dari segi lain, 2) Perencanaan (planning). Menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan – kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut, desain dan langkah – langkah penelitian, kemudian pengujian dalam lingkup terbatas, 3) Pengembangan produk awal (develop preliminary from of product). Pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran dan instrument eveluasi, 4) Validasi produk (product validation). Melakukan penelitian produk kepada tim ahli mengenai kelayakan bahan ajar sebelum diuji cobakan kelapangan dan memvalidasi produk tersebut serta instrument penelitian, 5) Melakukan revisi (main product revision). Memperbaiki atau menyempurnakan produk sebelum diuji cobakan, 6) Uji coba lapangan (main field testing). Dilakukan uji coba yang lebih luas pada 5 sampai dengan 15 sekolah dengan 30 sampai 100 orang subjek uji coba, 7) Penyempurnaan produk hasil uji coba lapangan (operational produc revision), menyempurnakan produk hasil uji coba lapangan, 8) Uji pelaksanaan lapangan (operasional field testing), dilaksanakan pada 10 sampai 30 sekolah melibatkan 40 sampai 200 subjek. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, observasi dan analisis hasilnya, 9) Penyempurnaan produk akhir (final product revision), penyempurnaan didasarkan pada masukan dari uji pelaksanaan lapangan, 10) Diseminasi dan implementasi (dissemination and implementation), melaporkan hasilnya dalam pertemuan professional dan jurnal. Bekerjasama dengan penerbit untuk penerbitan, memonitor penyebaran untuk pengontrolan kualitas (Sukmadinata, 2013).

Prosedur penelitian pengembangan menurut Borg & Gall yang telah dikemukakan tersebut, disederhanakan menjadi beberapa langkah penelitian saja sehingga tidak sepenuhnya menggunakan kesepuluh langkah penelitian dan pengembangan. Secara garis besar penelitian pengembangan dalam penelitian ini sebagai berikut: a) Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan yang dilakukan adalah studi kepustakaan dengan mencari literatur maupun referensi serta mengumpulkan berbagai informasi penunjang produk yang akan dikembangkan, seperti melakukan wawancara dengan guru fisika

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 141

MA Darul Amanah, baik dari segi materi fisika maupun beberapa tafsiran Al–Qur’an yang terkait dengan materi yang akan dikembangkan.

b) Melakukan perencanaan produk Perencanaan produk merupakan langkah yang dilakukan setelah didapatkan

hasil dari studi pendahuluan yang menunjukkan adanya masalah. c) Pengembangan produk

Pembuatan produk berupa bahan ajar fisika untuk siswa kelas XI SMA/MA materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi mekanik, momentum impuls dan tumbukan. Selain itu, membuat instrumen penilaian bahan ajar, yang selanjutnya di validasi oleh dosen pembimbing.

d) Melakukan Validasi Tahapan–tahapan yang dilakukan dalam melakukan validasi adalah sebagai

berikut: 1) Modul yang telah dihasilkan selanjutnya divalidasi oleh dua orang validator

untuk mendapatkan validasi produk. 2) Setelah modul divalidasi oleh validator lanjut ke tahap penilaian oleh tim ahli

penilai yang terdiri dari 2 ahli materi integrasi sains dan Islam, 2 ahli materi fisika, 2 ahli media.

e) Melakukan Revisi 1) Penilaian Produk

Bahan ajar yang telah dihasilkan dan divalidasi beserta instrumennya selanjutnya dinilai oleh tim penilai untuk mendapatkan kualitas bahan ajar yang telah dikembangkan. Selain memberikan penilaian, tim penilai juga memberikan masukan dan saran yang dijadikan sebagai pedoman revisi selanjutnya.

2) Revisi Produk dan Produk Akhir Setelah mendapatkan hasil penilaian dari tim penilai, langkah yang

selanjutnya adalah melakukan revisi produk bahan ajar yang dikembangkan sesuai kritik dan saran yang diberikan oleh tim penilai. kemudian dihasilkan produk akhir yang berupa modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi mekanik, momentum impuls dan tumbukan.

TEKNIK ANALISIS DATA

Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah data berupa kritik dan saran dan skor yang didapatkan dari angket. Data tersebut didapatkan dari ahli materi dan guru fisika. Data skor didapatkan dari penelitian kualitas buku berupa angket oleh ahli materi dan guru fisika. Angket penelitian produk bahan ajar ini menggunakan skala likert dengan skor 5 = sangat baik atau sangat sesuai, 4 = baik atau sesuai, 3 = cukup, 2 = kurang baik atau kurang sesuai, dan 1 = sangat tidak baik atau sangat tidak sesuai. Data yang telah didapatkan kemudian dianalisis guna untuk mengetahui kualitas bahan ajar fisika bercirikan integrasi sains dan Islam dengan langkah sebagai berikut: 1) Menghitung skor rata – rata dari setiap aspek yang dinilai dengan persamaan

�� =∑ 𝑋

𝑁

Dengan : �� = Skor rata-rata penilaian oleh ahli ∑ 𝑋 = Jumlah skor yang diperoleh ahli N = Jumlah skor total

2) Mengubah skor rata – rata yang diperoleh menjadi data kualitatif.

PENDIDIKAN FISIKA…

142 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kategori kualitatif ditentukan terlebih dahulu dengan mencari interval jarak antara jenjang kategori sangat baik (SB) hingga sangat kurang (SK) (Widoyoko, 2012). Dari kategori tersebut dapat ditentukan menggunakan persamaan berikut:

𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 (𝑖) =𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙

=5 − 1

5

= 0,8 Sehingga diperoleh kategori penilaian buku fisika berbasis integrasi sains dan

Islam sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Interval Kelas

3) Menghitung persentase kelayakan dengan persamaan (Riduwan dan sunarto,2013).

𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 =𝑠𝑘𝑜𝑟 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑙𝑖𝑡𝑖𝑎𝑛

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙× 100%

Jika dari analisis data penilaian para ahli yang terdiri dari ahli materi, dan guru

fisika kelas XI SMA/MA didapatkan hasil dengan kategori Sangat Baik atau sangat sesuai dan Baik atau sesuai, maka modul fisika kelas XI SMA/MA bercirikan integrasi sains dan Islam siap untuk digunakan (Sa’dun Akbar, 2013). Adapun kriteria bahan ajar fisika bercirikan integrasi sains dan Islam ditampilkan dalam table berikut:

Tabel 2. Kriteria Validitas PEMBAHASAN a) Ahli Materi

Penilaian modul fisika menurut ahli materi untuk mengetahui kualitas dari modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam yang telah

No. Kriteria Tingkat Validitas

1. 85,01% - 100,00% Sangat valid, dapat dipergunakan tanpa revisi

2. 70,01% - 85.00% Baik atau valid, dapat digunakan dengan revisi kecil

3. 55,01% - 70,00% Cukup valid, dapat di pergunakan namun dengan revisi kecil

4. 40,01% - 55.00% Kurang valid, disarankan tidak dipergunaan karena revisi terlalu besar

5. 01,00% - 40,00% Tidak valid, tidak boleh dipergunakan

Skor rata-rata (��) Kategori ahli materi dan

guru fisika 4.20 < �� ≤ 5.00 Sangat Baik atau sangat sesuai. 3.40 < �� ≤ 4.20 Baik atau sesuai 2.60 < �� ≤ 3.40 Cukup 1.80 < �� ≤ 2.60 Kurang baik atau kurang sesuai

1.00 < �� ≤ 1.80 Sangat tidak baik atau sanagat tidak sesuai

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 143

dikembangakan. Ahli materi memberikan penilaian, kritik dan saran yang sesuai pada modul fisika. Kritik dan saran yang diberikan ahli materi dalam modul fisika sebagai acuan atau pandangan dalam melakukan suatu revisi modul sampai mendapatkan kualitas bahan modul yang baik dari segi materi dan layak untuk diterapkan dalam suatu pembelajaran. Validasi ahli materi ini terdiri dari 2 ahli yaitu 1 dosen ahli dan 1 guru fisika sebagai perbandingan kualitas materi modul yang kemudian diambil rata-rata dari keduanya. Kedua ahli materi yaitu Agus Sudarmanto, M,Si (dosen fisika UIN Walisongo) dan Ellya Susanti, S.Pd (guru fisika MA Darul Amanah). Berikut adalah data hasil penilaian modul oleh ahli materi.

Tabel 3. Data Hasil Penilaian Modul Fisika oleh ahli materi Validasi modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam

berdasarkan aspek kelayakan isi atau keakuratan materi didapatkan skor sebesar 4,3 dan presentase kelayakan 85% dengan kategori sangat baik, aspek kebahasaan didapatkan skor 3,8 dan presentase kelayakan 76% dengan kategori Baik, pada aspek teknik penyajian didapatkan skor 4,0 dan hasil dari presentase kelayakan 80% dengan ketegori Baik, dan aspek kegrafisan didapatkan skor sebesar 3,6 dan hasil presentase kalayakan 73% dengan karegori Baik. Berdasarkan hasil perhitungan, modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam mendapatkan skor rata-rata dari semua aspek yaitu 3,9 dengan hasil presentase 79% menurut kedua ahli materi modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam yang dikembangkan oleh peneliti dikategorikan Baik atau Sesuai.

b) Validasi Ahli Media Validasi alhi media dilakukan untuk mengetahi kualitas pada produk bahan ajar

modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam. Selain memberikan penilaian ahli media memberikan kritik dan saran yang membangun sebagai bahan revisi untuk mendapatkan kualitas modul yang baik dan layak untuk digunakan dalam pembelajaran.

Penilaian pada ahli materi dilakuan oleh 2 dosen ahli yaitu Qisthi Fariyani, M.Pd (dosen fisika UIN Walisongo) dan Hesti Khuzaimah Nurul Yusufiyah, M.Sc (Dosen fisika UIN Walisongo). Pada penilaian medul bercirikan integrasi sains dan Islam yaitu pada aspek desain media modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam yang telah dibuat meliputi beberapa point diantaranya keterbacaaan tulisan, Penyajian modul, kalayakan kegrafisan, warna, kemenarikan cover, layout, gambar. Berikut adalah data hasil penelitian modul fisika oleh ahli media.

PENDIDIKAN FISIKA…

144 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 4. Data Hasil Penilaian Modul Fisika oleh Ahli Media Penilaian bahan modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam

berdasarkan aspek desai modul didapatkan skor rata-rata 3,8 dengan hasil presentase kelayakan 75% maka dikategorikan Baik. Dengan hasil yang didapatkan maka modul fisika yang dikembangkan layak untuk digunakan dengan revisi kecil.

c) Validasi Ahli Integrasi Sains dan Islam Pengembangan modul Fisika MA kelas XI Bercirikan Integrasi Sains dan Islam

pada materi Usaha dan Energi, Hukum Kekekalan Energi, Momentum, Impuls dan Tumbukan. Sangatlah perlu untuk mendapatkan kritik dan masukan dari para ahli integrasi sains dan Islam sebagai ilmu dan bahan revisi tambahan bagi peneliti.

Validasi ahli integrasi sains dan Islam ini dilakukan oleh 2 dosen UIN Walisongo dengan dosen yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing. Kedua dosen penilai yaitu Drs. H. Jasuri, M.SI dan Biaunik Niski Kumila,.S.Si.,M.S kedua dosen tersebut adalah dosen fisika. Berikut adalah hasil validasi modul fisika oleh ahli media.

Tabel 5. Data Hasil Validasi Modul oleh Ahli Integrasi Sains dan Islam

Validasi pada modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam berdasarkan

aspek integrasi sains dan Islam didapatkan skor rata-rata 4,0 dengan hasil presentase yang didapat 80% dan mendapatkan kategori Baik. Hasil perhitungan modul yang didapatkan menyatakan bahwa modul fisika dapat digunakan atau baik digunakan dengan sedikit revisi.

SIMPULAN Berdasarkan penelitian dan pengembangan yang dilakukan peneliti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1) Desain yang digunakan peneliti dalam pengembangan modul fisika bercirikan

integrasi sains dan Islam menggunakan desain model Borg & Gall yang terdiri dari

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 145

beberapa langkah diantaranya: studi pendahuluan, perencanaan produk, pengembangan produk, validasi ahli. Pengembangan modul ini dikembangkan menggunakan pendekatan integrasi sains dan Islam, dengan Model Sains Islam dibandingkan dengan dua model yang lain yaitu Model Islamisasi Sains dan Model Sentifikasi Islam.

2) Kualitas modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi, momentum, impuls dan tumbukan, berdasarkan validasi ahli materi mendapatkan skor 4,3 dengan presentase kelayakan 85% dengan kategori Sangat Baik (SB) pada aspek Kualitas Materi, skor 3,8 dengan presentase kelayakan 76% dengan kategori Baik (B) pada aspek Kebahasaan, skor 4,0 dengan presentase kelayakan 80% dengan kategori Baik (B) pada aspek Teknik Penyajian, dan skor 3,6 dengan presentase kelayakan 73% dengan kategori Baik (B) pada aspek kegrafisan. Hasil penilaian yang telah didapat oleh ahli materi mendapatkan skor rata-rata 3,9 dengan hpresentase kelayakan 79% maka materi yang disajikan dalam modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam diketegorikan Baik (B), penilaian menurut ahli media pada aspek Desain Modul mandapatkan skor 3,8 dengan presentase kelayakan 75% mendapatkan kualitas dengan kategori Baik (B), dan penialan menurut ahli integrasi sains dan Islam pada aspek Integrasi Sains Islam mendapatkan skor 4,0 dengan presentase kelayakan 80% dengan kategori modul Baik (B). Penilaian yang dilakukan para ahli menggunakan angket 5 sekala likert , dengan skor 5 = Sangat Baik atau Sangat Sesuai, 4 = Baik atau Sesuai, 3 = Cukup, 2 = Kurang Baik atau Kurang Sesuai, 1 = Sangat Tidak Baik atau Sangat Tidak Sesuai.Berdasarkan hasil skor penialian yang didapatkan maka modul bercirikan integrasi sains dan Islam yang dikempangkan oleh peneliti layak untuk digunakan dengan sedikit revisi.

SARAN 1) Produk yang dihasilkan dalam penelitian berupa modul fisika kelas XI MA bercirikan

integrasi sains dan Islam usaha dan energi, hukum kekekalan energi, momentum, impuls dan tumbukan disarankan supaya diuji cobakan dalam kelas kecil maupun kelas besar, supaya lebih mengetahui kekurangan dan kelebihan bahan ajar tersebut.

2) Peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian pengembangan modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam untuk materi fisika yang berbeda, sehingga dapat memperkaya bahan ajar (modul) fisika yang bercirikan integrasi sains dan Islam.

REFERENSI Lidy Alimah Fitri, Eko Setyadi Kurniawan , dan Nur Ngazizah. 2013. Pengembangan

Modul Fisika pada Pokok Bahasan Listrik Dimanis Berbasis Domain Pengetahuan Sains untuk Mengoptimalkan Minds-On Siswa SMA Negri 2 Purworejo Kelas X Tahun Pelajaran 2012-2013. Radiasi 3(1): 19

Nuriris Septa Pratama dan Edi Istiyono, 2015. Studi Pelaksanaan Pembelajaran Fisika Berbasisi Higher Order Thinking (HOTS) pada Kelas X di SMA Negeri Kota Yogyakarta. (SNFPF) Ke-6 2015. 6(1): 104

Riduwan dan sunarto, 2013. Pengantar Statistik untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Ekonomi, Komunikasi, dan Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), Bandung: Alfabeta, 2012.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penulisan Pendidikan, cet-V, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.

PENDIDIKAN FISIKA…

146 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Widyoko, Eko Putro, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Winarti, 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika Bermuatan Integrasi Sains-Islam untuk Menanamkan Nilai-Nilai Spritual Siswa Madrasah Aliyah. JPKF 1(2):54

Zainuddin, 2013. Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan genarasi ulul albab. Malang: UIN-Maliki Press.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 147

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING BERBANTUAN BAHAN AJAR FISIKA BERBASIS

PENDEKATAN SAINTIFIK

Budi Astuti*, Candra Dewi, Sunyoto Eko Nugroho Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Negeri Semarang, Gedung D7 Lt. 2, Kampus Sekaran, Gunungpati Semarang, 50229 Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa setelah menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik pada materi fluida dinamis melalui pembelajaran discovery learning. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 6 Semarang tahun ajaran 2016/2017. Sampel penelitian ini diambil melalui teknik simple random sampling, didapatkan kelas XI MIPA 6 sebagai kelas kontrol dan XI MIPA 7 sebagai kelas eksperimen. Tahapan dalam penelitian ini meliputi (1) Potensi dan Masalah, (2) Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4) Validasi Desain, (5) Revisi Desain, (6) Pengembangan Produk, (7) Uji Coba Produk Awal, (8) Revisi Produk, (9) Uji Coba Produk Akhir, (10) Revisi Produk, (11) Produk Akhir. Bahan ajar yang telah dikembangkan telah dinyatakan layak untuk digunakan sebagai buku pendamping dalam pembelajaran fisika. Hasil penelitian berupa aspek kemampuan berpikir kritis dan keterampilan saintifik yang dianalisis melalui uji gain dan uji hipotesis. Hasil uji gain menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen sebesar 0,52 lebih besar dari nilai gain kelas kontrol yang hanya 0,33. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran discovery learning dengan menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik Hasil analisis selanjutnya adalah presentase keterampilan saintifik kelas eksperimen sebesar 78,15% yakni lebih besar dari kelas kontrol yang hanya 68,9%. Kata kunci: Kemampuan Berpikir Kritis, Discovery Learning, Bahan Ajar, Pendekatan Saintifik, Keterampilan Saintifik, Fluida Dinamis.

PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan global. Tantangan global yang dimaksud meliputi masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, dan sebagainya. Sesuai pernyataan yang dikemukakan oleh Wieman (2007: 9) bahwa masyarakat yang terpelajar secara ilmiah lebih dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global. Hal ini karena pembelajaran ilmiah lebih efektif dan relevan untuk diterapkan dibandingkan dengan pembelajaran secara tradisional.

Pembelajaran ilmiah yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran berbasis pendekatan saintifik. Pendekatan ini menerapkan sistem pembelajaran dengan metode ilmiah agar siswa mampu bekerja ilmiah. Kerja ilmiah yang dimaksud meliputi: (1) merumuskan masalah, (2) mengajukan dan menguji hipotesis, (3) menentukan vaiabel, (4) merancang dan melakukan percobaan, (5) mengumpulkan dan mengolah data, (6) menarik simpulan, serta (7) berkomunikasi secara lisan dan tertulis (Kemendikbud, 2016).

Pada proses pembelajaran fisika berbasis pendekatan saintifik dapat dilakukan dengan menggunakan suatu media pembelajaran yang juga berbasis saintifik. Media pembelajaran yang dimaksud berupa bahan ajar, yakni bahan ajar berbasis pendekatan saintifik. Adanya bahan ajar berbasis pendekatan saintifik diharapkan dapat membantu merealisasikan penerapan pembelajaran berbasis pendekatan saintifik. Hal ini sesuai dengan pendapat Prastowo (2012: 17) bahwa bahan ajar menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Menurut

PENDIDIKAN FISIKA…

148 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kemendikbud (2014) buku atau bahan ajar siswa lebih ditekankan pada activity base dan bukan merupakan bahan bacaan, serta pada setiap buku atau bahan ajar memuat suatu model pembelajaran dan project yang akan dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, bahan ajar berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan lebih ditekankan pada aktivitas yang mendorong siswa untuk dapat menemukan konsep.

Pendekatan saintifik adalah cara pandang atau tolok ukur dari pelaksanaan pembelajaran dengan mengembangkan aspek kerja ilmiah melalui metode ilmiah. Hal ini sesuai dengan pendapat McPherson (2001: 242) bahwa penggunaan dan pengajaran dengan metode ilmiah akan membantu pemikiran tentang proses ilmiah. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Menurut Majid & Rochman (2014: 70) proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik diharapkan dapat melatih berpikir analitis (peserta didik diajarkan bagaimana mengambil keputusan) bukan berpikir mekanistis (rutin dengan hanya mendengarkan dan menghafal semata).

Salah satu tujuan adanya pembelajaran berbasis pendekatan saintifik adalah untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Kemendikbud, 2013). Berpikir kritis merupakan cara berpikir yang masuk akal dan juga merupakan salah satu bentuk pemikiran yang lebih tinggi. Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembatasan keputusan tentang apa yang harus di percayai (Hassoubah, 2002: 85).

Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk dikembangkan agar siswa terampil dalam melihat, mencermati dan menyelesaikan berbagai persoalan. Berpikir kritis yang dikemukakan oleh Johnson (2002: 183) adalah sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Seseorang yang berpikir kritis memiliki karakter khusus dalam menyikapi suatu masalah. Kriteria seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis menurut Watson & Glaser (2002) yaitu: (1) membuat simpulan awal, (2) menentukan hipotesis, (3) menginterpretasi, (4) membuat deduksi, dan (5) mengevaluasi pendapat.

Pada pembelajaran berbasis pendekatan saintifik, kemampuan berpikir kritis dapat dicapai melalui model pembelajaran berbasis penemuan atau discovery learning. Pada pembelajaran ini, siswa diberikan kesempatan untuk menemukan masalah, mengajukan hipotesis, melakukan percobaan, hingga menyimpulkan hasil percobaan untuk menemukan suatu konsep. Oleh karena itu, siswa terlatih untuk mampu bekerja ilmiah.

Pembelajaran discovery learning merupakan pembelajaran yang mendorong siswa untuk dapat menemukan sendiri suatu konsep. Hal ini sesuai dengan pendapat Hosnan (2014: 282) bahwa model discovery learning mengembangkan cara belajar aktif dengan menemukan sendiri dan menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan. Illahi (2012) juga menjelaskan bahwa discovery learning adalah salah satu model yang memungkinkan para siswa terlibat langsung dalam kegiatan belajar-mengajar, sehingga mampu menggunakan proses mentalnya untuk menemukan suatu konsep atau teori yang sedang dipelajari. Selanjutnya, Kemendikbud (2013) juga mengemukakan bahwa pada model discovery learning proses pembelajaran terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan dapat mengorganisasi sendiri pelajaran tersebut.

Hasil observasi yang telah dilakukan di SMA Negeri 6 Semarang menunjukkan bahwa buku yang digunakan oleh siswa untuk belajar fisika di rumah maupun di sekolah adalah buku yang disusun oleh tim MGMP Fisika, sedangkan Bapak/Ibu guru menggunakan buku penunjang karangan Marthin Kanginan yang sesuai dengan

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 149

kurikulum 2013. Isi buku yang disusun oleh tim MGMP fisika ini kurang mendorong siswa untuk melakukan kegiatan diskusi dan praktikum. Buku ini hanya berisi tentang pengertian hukum/konsep yang dipelajari, persamaan matematis yang terkait, contoh soal, dan latihan soal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa buku yang biasa digunakan cenderung menjadikan siswa pasif dalam pembelajaran. Hasil lain juga menunjukkan bahwa kegiatan praktikum masih jarang dilakukan dan soal-soal ulangan yang dibuat guru masih menekankan pada perhitungan matematis/penerapan rumus bukan soal analisis, sehingga kemampuan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa cenderung masih rendah. Oleh karena dilakukan penelitian dan pengembangan bahan ajar berbasis pendekatan saintifik pada pembelajaran fisika dengan model discovery learning untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida dinamis. METODE PENELITIAN

Penelitian ini diadopsi dari pendekatan Research and Development (R & D) yang merupakan hasil modifikasi dari model R & D menurut Sugiyono (2014: 298). Dalam dunia pendidikan, penelitian dan pengembangan meliputi 11 langkah, yaitu: (1) Potensi dan Masalah, (2) Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4) Validasi Desain, (5) Revisi Desain, (6) Pengembangan Produk, (7) Uji Coba Produk Awal, (8) Revisi Produk, (9) Uji Coba Produk Akhir, (10) Revisi Produk, (11) Produk Akhir.

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 6 Semarang. Populasi dari penelitian ini adalah kelas XI MIPA tahun ajaran 2016/2017, sedangkan sampel penelitian diambil secara acak dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain Pretest-Posttest Control Group. Desain penelitian ini membutuhkan dua kelas penelitian yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas kontrol dalam penelitian ini adalah XI MIPA 6 dan kelas eksperimen adalah XI MIPA 7. Jumlah siswa dalam kelas penelitian adalah 37 orang.

Metode pengumpulan data menggunakan metode tes dan non tes. Metode tes dilakukan untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahan ajar dan kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah perlakuan, sedangkan metode non tes dilakukan melalui observasi untuk mengetahui keterampilan saintifik dan angket untuk validasi bahan ajar. Instrumen dalam penelitian ini berupa angket validasi, lembar soal tes rumpang, lembar soal kemampuan berpikir kritis siswa, dan lembar pengamatan keterampilan saintifik siswa. Soal kemampuan berpikir kritis yang diujikan berupa soal benar-salah dan soal uraian. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji keterbacaan, uji kelayakan, uji normalitas, uji gain, serta uji hipotesis kompratif dua sampel tidak berkorelasi.

Uji keterbacaan dengan menggunakan tes rumpang, sedangkan uji kelayakan bahan ajar dengan menggunakan lembar validasi. Tingkat keterbacaan dan kelayakan bahan ajar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

P=fN×100% dengan P adalah presentasi kelayakan, f adalah jumlah skor yang diperoleh, N adalah jumlah skor maksimal.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Kevalidan menurut Akbar (2013: 41) Nilai Kategori

85,00%<P≤100,00% Sangat layak (dapat digunakan tanpa revisi) 70,00%<P≤85,00% Cukup layak (dapat digunakan namun dengan revisi)

50,00%<P≤70,00% Kurang layak (disarankan tidak dipergunakan karena perlu

revisi besar) 01,00%<P≤50,00% Tidak layak

PENDIDIKAN FISIKA…

150 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 2. Kriteria Penilaian Tingkat Keterbacaan Nilai Kategori

P<37% Bahan ajar sukar dipahami 37%≤P≤57% Bahan ajar telah memenuhi syarat keterbacaan

P>57% Bahan ajar mudah dipahami

Uji normalitas pada nilai pretest-posttest dan dilakukan dengan bantuan software IBM SPSS Statistics 22 melalui teknik P-P Plots dan Kolmogorov-Smirnov. Teknik P-P Plots digunakan untuk mengetahui persebaran data melalui grafik, sedangkan teknik Kolmogorov-Smirnov untuk membuktikan kebenaran grafik tersebut melalui angka signifikansi. Uji normalitas akan menghasilkan apakah data hasil penelitian menyerupai kurva normal atau tidak (Sufren & Natanael, 2014: 65).

Uji gain digunakan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida dinamis sebelum dan sesudah adanya perlakukan yang berbeda. Menurut Hake (1999) untuk menganalisis peningkatan aspek pengetahuan melalui uji gain, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

⟨g⟩=⟨Spost⟩-⟨Spre⟩100-⟨Spre⟩ Dengan ⟨g⟩ adalah besarnya faktor g, ⟨Spre⟩ adalah skor rata-rata pretest, serta ⟨Spost⟩ adalah skor rata-rata posttest. Kriteria nilai ⟨g⟩ adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Kriteria Penilaian Faktor ⟨g⟩ menurut Hake (1999) Nilai Kategori

⟨g⟩>0,7 Tinggi 0,3≤⟨g⟩≤0,7 Sedang

⟨g⟩<0,3 Rendah

Menurut Kemendikbud (2013), penilaian keterampilan saintifik dapat dikategorikan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Kriteria Penilaian Aspek Keterampilan Saintifik menurut Kemendikbud (2013)

Nilai Kategori 76-100 Sangat baik 51-75 Baik 26-50 Cukup <25 Kurang

Uji hipotesis komparatif dua sampel yang tidak berkorelasi dilakukan untuk

membandingkan hasil nilai kemampuan berpikir kritis siswa dan membandingkan nilai aspek keterampilan pada dua sampel setelah adanya dua perlakuan yang berbeda. Kedua sampel ini merupakan sampel yang tidak berkolerasi karena antara kelas kontrol dan eksperimen tidak saling berkaitan satu sama lain.

Pengujian hipotesis komparatif dilakukan dengan bantuan software IBM SPSS Statistics 22. Pengujian ini harus didahului dengan uji normalitas untuk menentukan teknik yang tepat dalam melakukan uji hipotesis. Oleh karena hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik Independent Samples T-Test. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan ajar berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan mempunyai karakteristik tertentu yang dapat diketahui melalui beberapa fitur dan didukung oleh hasil uji kelayakan dan keterbacaan melalui validasi ahli. Fitur-fitur dalam bahan ajar

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 151

disusun untuk melatih siswa dalam merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel, merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan mengolah data, menarik simpulan, serta mengomunikasikan. Beberapa fitur dalam bahan ajar tersebut adalah fitur “Amati & Cermati”, “Aktivitas”, “Sulap Bernoulli”, “Tahukah Kamu?”, “Temukan Solusi”, serta “Ayo Praktikum”.

Karakteristik bahan ajar ini juga mencakup aspek kelayakan dan keterbacaan. Aspek kelayakan bahan ajar dinilai oleh validator melalui angket validasi. Validasi angket dilakukan oleh 3 (validator) yakni guru fisika, dosen pembimbing 1, serta dosen pembimbing 2. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa rata-rata hasil uji kelayakan melalui lembar validasi memperoleh skor sebesar 86,56% dengan kriteria sangat layak. Artinya bahwa bahan ajar yang telah dikembangkan layak untuk digunakan sebagai buku pendamping dalam pembelajaran fisika.

Tabel 5. Hasil Uji Kelayakan Bahan Ajar Fisika Berbasis Pendekatan Saintifik

No Aspek Penilaian Prosentasi Penilaian

Validator I Validator II Validator III

1 Kelayakan Isi 90,63% 78,13% 87,50% 2 Kelayakan Penyajian 88,16% 88,16% 89,47% 3 Kelayakan Bahasa 84,62% 86,54% 92,31% 4 Kelayakan Grafis 90,91% 81,82% 81,82% 5 Pendekatan Saintifik 91,67% 83,33% 83,33%

Skor Rata-Rata Validator (%) 89,19% 83,59% 86,89% Skor Rata-Rata Penilaian (%) 86,56%

Kriteria Sangat Layak

Setelah dinyatakan layak untuk digunakan dalam pembelajaran, maka dilakukan uji keterbacaan bahan ajar dengan menggunakan tes rumpang. Hasil analisis tes rumpang menunjukkan bahwa rata-rata presentasi keterbacaan adalah sebesar 92% dengan kriteria mudah dipahami. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan memiliki tingkat keterbacaan yang baik dan tidak ada kata-kata yang tidak dapat terbaca, sehingga siswa mudah dalam memahami konsep fluida dinamis.

Selanjutnya, bahan ajar berbasis pendekatan saintifik yang telah divalidasi diterapkan dalam pembelajaran fisika pada materi fluida dinamis untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis dan keterampilan saintifik siswa. Pada proses pembelajaran dengan model discovery learning menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan saintifik, siswa kelas eksperimen telah mampu menunjukkan minatnya melalui penemuan konsep hukum Kontinuitas saat melakukan Aktivitas. Selain itu siswa juga terlihat antusias saat melakukan sulap Bernoulli, dan praktikum Torricelli. Oleh karena itu siswa kelas eksperimen memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Paul (1990: 4) bahwa berpikir kritis dinyatakan sebagai suatu proses berpikir tingkat tinggi seseorang. Jika proses berpikir tersebut dapat mempersiapkan seseorang untuk mampu menunjukkan minatnya secara individu maupun kelompok dikatakan seseorang atau kelompok tersebut memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi. Sebaliknya, jika individu maupun kelompok tidak dapat menunjukkan minatnya, maka dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis rendah.

Kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen dapat dilihat dari hasil uji gain pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa rata-rata nilai posttest kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nilai posttest kelas kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir

PENDIDIKAN FISIKA…

152 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

kritis siswa pada kelas eksperimen setelah menggunakan bahan ajar. Peningkatan ini juga ditunjukkan oleh nilai gain. Nilai gain untuk kelas eksperimen lebih besar dibandingkan dengan nilai gain kelas kontrol. Kedua kelas mempunyai kriteria gain yang sama yaitu sedang. Artinya bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol dan eksperimen berada dalam tingkat sedang.

Tabel 6. Hasil Uji Gain Kelas Kontrol Dan Eksperimen

Kelas Rata-rata

Nilai Gain Kriteria Pretest Posttest

Kontrol 57,00 71,6 0,33 Sedang Eksperimen 58,60 79,98 0,52 Sedang

Hasil uji gain semakin diperkuat oleh hasil uji hipotesis. Berdasarkan analisis yang

telah dilakukan, didapatkan bahwa nilai thitung adalah 3,634, sedangkan untuk taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan 36 didapatkan nilai ttabel adalah 1,688. Oleh karena nilai thitung>ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida dinamis yang menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan bahan ajar fisika yang biasa digunakan. Dengan kata lain, kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan bahan ajar yang dikembangkan mengalami peningkatan.

Peningkatan kemampuan berpikir kritis juga ditunjukkan pada Gambar 1. Terlihat bahwa terdapat peningkatan kemampuan merumuskan masalah, menentukan hipotesis, dan menginterpretasi dari kelas kontrol ke kelas eksperimen untuk nilai pretest dan posttest. Lain halnya dengan kemampuan membuat deduksi dan mengevaluasi pendapat, yakni terjadi penurunan nilai pretest pada kelas eksperimen. Akan tetapi, tetap terjadi peningkatan nilai posttest pada kelas eksperimen. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pretest, siswa kelas kontrol lebih fokus dalam mengerjakan soal dengan indikator membuat deduksi dan mengevaluasi pendapat. Oleh karena itu, nilai pretestt pada indikator ini lebih tinggi dibandingkan kelas eksperimen.

Gambar 1. Hasil Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Hasil analisis pada aspek berpikir kritis secara keseluruhan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan model pembelajaran dan media pembelajaran. Proses pembelajaran di kelas kontrol menggunakan bahan ajar yang hanya menyajikan subbab yang akan dibahas, uraian definisi, persamaan matematis, serta contoh dan latihan soal tentang perhitungan matematis. Berbeda dengan kelas eksperimen yang menggunakan model discovery learning dengan bantuan bahan ajar berbasis pendekatan

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 153

saintifik. Bahan ajar ini memuat beberapa fitur untuk melatih keterampilan ilmiah dalam beberapa percobaan sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Proses berpikir kritis dapat digunakan oleh siswa dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Kemendikbud (2013) bahwa salah satu syarat suatu pembelajaran dikatakan saintifik adalah apabila suatu pembelajaran yang berlangsung dapat mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis dan analistis. Wuri (2014) juga mengemukakan bahwa penerapan pembelajaran fisika berbasis pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Pemikiran kritis merupakan kepentingan mendasar dalam menciptakan nilai-nilai baru. Orang yang tidak memiliki pengetahuan yang luas, maka akan gagal dalam pengambilan keputusan atau ketidakakuratan dalam pengambilan simpulan (Exnar et al., 2015). Pengetahuan yang luas dapat diperoleh dengan adanya keterlibatan siswa secara langsung dalam pembelajaran melalui kegiatan diskusi dan praktikum. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep melalui diskusi dan praktikum secara berkelompok. Pembelajaran berbasis penyelidikan dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Miri et al (2007) yang menyebutkan bahwa jika guru dengan sengaja dan terus-menerus mempraktikkan strategi berpikir tingkat tinggi yakni mendorong diskusi kelas secara terbuka dan mendorong eksperimen yang berorientasi pada penyelidikan, maka akan terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa.

Bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik mengandung fitur-fitur saintifik yang dapat mendorong siswa untuk menemukan suatu konsep pada materi fluida dinamis. Fitur-fitur tersebut adalah fitur Amati & Cermati, Aktivitas, Sulap Bernoulli, dan Ayo Praktikum. Fitur-fitur ini juga dapat melatih siswa untuk menjadi orang yang mempunyai pemikiran kritis. Kim et al., (2012) menyebutkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilakukan melalui penerapan modul pembelajaran aktif. Pada pembelajaran aktif siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep dengan melakukan percobaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwato (2012) yang mengemukakan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis penemuan (guided discovery) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Orang yang berpikir kritis akan mengevaluasi dan kemudian menyimpulkan suatu hal berdasarkan fakta untuk membuat keputusan (Dwijananti & Yulianti, 2010). Model pembelajaran discovery learning yang diterapkan dengan bantuan bahan ajar berbasis pendekatan saintifik telah mampu mendorong siswa menjadi orang yang dapat berpikir kritis. Hal ini dibuktikan dengan adanya kegiatan percobaan untuk menguji kebenaran hipotesis yang telah diajukan, sehingga siswa mempunyai pengalaman dan dapat membuat simpulan berdasarkan fakta percobaan hingga akhirnya dapat menemukan sendiri konsepnya.

Penerapan model pembelajaran discovery learning dengan menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan saintifik juga dapat meningkatkan keterampilan saintifik siswa. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 2.

PENDIDIKAN FISIKA…

154 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 2. Grafik Keterampilan Saintifik Siswa

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa terdapat peningkatan keterampilan saintifik tiap indikator pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Peningkatan paling besar ditunjukkan pada keterampilan membuat simpulan. Peningkatan yang besar selanjutnya adalah pada keterampilan merumuskan masalah dan membuat hipotesis. Pada indikator keterampilan saintifik lainnya juga terdapat peningkatan.

Hal ini menunjukkan bahwa bahan ajar berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan dapat melatih keterampilan ilmiah siswa untuk bekerja secara ilmiah. Artinya, keterampilan ilmiah siswa kelas eksperimen dalam membuat rumusan masalah, menyusun hipotesis, menentukan variabel, melakukan percobaan, membuat simpulan, dan mengomunikasikan hasil percobaan lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol.

Adanya peningkatan keterampilan saintifik ini juga diperkuat dengan hasil uji hipotesis. Berdasarkan analisis didapatkan nilai thitung adalah 5,020. Jika ditetapkan taraf signifikansi sebesar 5% pada penelitian ini dengan derajat kebebasan 36, maka didapatkan nilai ttabel adalah 1,688. Oleh karena nilai thitung>ttabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti terdapat perbedaan nilai pada aspek keterampilan saintifik antara kelas yang menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik dengan kelas yang menggunakan bahan ajar fisika yang biasa digunakan. Dengan kata lain, bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik yang dikembangkan dapat digunakan sebagai buku pendamping fisika dalam proses pembelajaran.

Peningkatan nilai keterampilan saintifik pada kelas eksperimen dapat terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen menggunakan bahan ajar berbasis pendekatan saintifik, sedangkan kelas kontrol menggunakan bahan ajar biasa. Siswa pada kelas eksperimen terlibat secara langsung untuk aktif dalam pembelajaran yaitu melalui diskusi dan percobaan sederhana. Lain halnya dengan kelas kontrol, karena di dalam bahan ajar biasa tidak terdapat kegiatan diskusi dan percobaan sederhana maka siswa cenderung pasif dalam pembelajaran. Agar keterampilan saintifik pada kelas kontrol dapat diamati, maka diadakan kegiatan praktikum yang sama dengan kelas eksperimen.

Pembelajaran saintifik yang dilakukan dengan bantuan bahan ajar berbasis pendekatan saintifik dapat meningkatkan keterampilan saintifik siswa. Hal ini karena siswa secara langsung terlibat dalam kegiatan percobaan. Pengamalan secara langsung dan pembiasaan kerja ilmiah inilah yang membawa perubahan keterampilan saintifik ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai pendapat Dahniar (2006) bahwa pembelajaran yang melibatkan siswa akan berpengaruh pada pertumbuhan psikomotoriknya.

Wieman (2015) menjelaskan bahwa pada pembelajaran berbasis pendekatan saintifik, dibutuhkan guru yang memiliki keahlian konten untuk melaksanakan pembelajaran kontekstual daripada pengajaran tradisional melalui ceramah. Menurut Etkina et al (2013) pembelajaran siswa yang terjadi di laboratorium dapat membangun

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 155

keterampilan melalui suatu penyelidikan seperti pendekatan yang digunakan oleh fisikawan, yaitu pendekatan saintifik.

Keterampilan adalah berkaitan dengan kebiasaan latihan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wieman (2015) yang menyebutkan bahwa setiap orang membutuhkan ribuan jam latihan intensif untuk mencapai tingkat keahlian yang tinggi. Artinya bahwa keterampilan lahir dari proses latihan. Untuk mencapai keterampilan saintifik, maka siswa harus dilatih melakukan kegiatan saintifik (ilmiah). Siswa kelas eksperimen telah dilatih keterampilan saintifiknya melalui kegiatan aktivitas, sulap bernoulli, dan praktikum. Oleh karena itu, kelas eksperimen memiliki keterampilan saintifik yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. PENUTUP Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa karakteristik bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan adalah terdapat fitur-fitur yang dapat melatih siswa untuk bekerja ilmiah. Fitur-fitur tersebut adalah Amati & Cermati, Aktivitas, Sulap Bernoulli, Tahukah Kamu?, Temukan Solusi, dan Ayo Praktikum. Semua fitur dalam bahan ajar telah memenuhi aspek kelayakan dan keterbacaan. Oleh karena itu, bahan ajar berbasis pendekatan saintifik dapat diterapkan dalam proses pembelajaran fisika pada materi fluida dinamis.

Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah menerapkan model pembelajaran discovery learning dengan menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik. Kemampuan berpikir kritis ini ditandai dengan adanya kemampuan siswa dalam membuat simpulan awal, menentukan hipotesis, menginterpretasi, membuat deduksi, dan mengevaluasi.

Bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan juga dapat meningkatkan keterampilan saintifik siswa pada materi fluida dinamis. Keterampilan saintifik ini ditunjukkan oleh adanya kemampuan siswa dalam merumuskan masalah, membuat hipotesis, menentukan variabel, melakukan percobaan, mengolah data, membuat simpulan, dan mengomunikasikan. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Ibu Dra. Hj. Srinatun, M.Pd. selaku Kepala SMA N 6 Semarang yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian. Terima kasih juga kepada Bapak Drs. Nur Cholis selaku guru mata pelajaran fisika kelas XI MIPA 6 dan XI MIPA 7 di SMA N 6 Semarang yang telah membantu dalam mengajar kelas XI MIPA 6 sebagai kelas kontrol. Selain itu, juga saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah membantu melaksanakan penelitian dan menyelesaikan artikel ini. Semoga artikel ini dapat bermanfaat. REFERENSI Dahniar, N. 2006. Science Project sebagai Salah Satu Alternatif dalam Meningkatkan

Keterampilan Proses di SMP. Dwijananti, P. & D. Yulianti. 2010. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis

Mahasiswa melalui Pembelajaran Problem Based Instruction pada Mata Kuliah Fisika Lingkungan. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika (JIPF), 6: 108-114.

Etkina, E., A. Karelina, M. R. Villasenor, D. Rosengrant, R. Jordan, & C. E. H. Silver. 2013. Design and reflection Help Students Develop Scientific Abilities: Learning in Introductory Physics Laboratories. Journal of the Learning Sciences, 19 (1): 54-98.

Exnar, Z. & M. Palusova. 2015. Importance of Knowledge for Critical Thinking. Elektrotechnicka Fakulta, Institut Aurela Stodolu.

PENDIDIKAN FISIKA…

156 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hake, R. R. 1999. Analyzing Change/ Gain Scores. Dept. of Physics Indiana University. Hassoubah, Z.I. 2002. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis. Jakarta: Nuansa. Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.

Bogor: Ghalia Indonesia. Illahi, M. T. 2012. Pembelajaran Discovery Strategi & Mental

Vocational Skill. Jogjakarta: DIVA Press. Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar-

Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC. Kemendikbud. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Jakarta:

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemendikbud. 2013. Modul Diklat Guru Dalam Rangka Implementasi Kurikulum 2013.

Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemendikbud. 2016. Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah

Mata Pelajaran Fisika. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kim, K., P. Sharma, S. M. Land, & K. P. Furlong. 2012. Effects of Active Learning on

Enchancing Student Critical Thinking in an Undergraduate General Science Course. Innov High Educ Spinger Science, 38: 223-235.

Majid, A. & C. Rochman. 2014. Pendekatan Ilmiah Dalam Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Miri, B., B. C. David, & Z. Url. 2007. Purposely Teaching for the Promotion of Higher-order Thinking Skills: A Case of Critical Thinking. Res Sci Educ, 37: 353-369.

Paul, R. 1990. Critical Thingking: What Every Person Needs to Survive in a Rapidly Changing World. Rohnert Park: Sonoma State University.

Prastowo, A. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: DIVA Press.

Purwanto, C. E., S. E. Nugroho, & Wiyanto. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery pada Materi Pemantulan Cahaya untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. Unnes Physical Education Journal, 1 (1).

Sufren & Y. Natanael. 2014. Belajar Otodidak SPSS Pasti Bisa. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Watson, G. & E. Glaser. 2002. Watson–Glaser Critical Thinking Apprasial UK Edition. London: Pearson.

Wieman, C. 2007. Why Not Try A Scientific Approach to Science Education?. Tersedia di http://www.cwsei.ubc.ca/SEI_research/files/Wieman-Change_Sept-Oct_2007.pdf.

Wieman, C. & S. Gilbert. 2015. Taking a Scientific Approach to Science Education, Part I-Ressearch. Microbe, 10 (4): 152- 156.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 157

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION (GI) DAN LITERASI SAINS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP MATERI GERAK

LURUS (GL) SMP IT ROBBANI KENDAL

Restianingsih1, Andi Fadllan M.Sc2, Jasuri M.SI3

Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Walisosngo Semarang Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Group Investigation (GI) dan Literasi Sains terhadap penguasaan konsep materi Gerak Lurus SMP IT Robbani Kendal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen, yang dilaksanakan di SMP IT Robbani Kendal. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas VII dimana kelas VII A sebagai kelas kontrol dan kelas VII B sebagai kelas eksperimen. Masing-masing kelas memiliki jumlah 20 peserta didik. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 3 metode yaitu, metode dokumentasi, metode tes (multiple choice tes), dan metode kuesioner. Kedua kelas sebelum diberi perlakuan diuji terlebih dahulu dengan uji normalitas dan homogenitas, kemudian kedua kelas diberi perlakuan yang berbeda. Kelas eksperimen diberi pembelajaran dengan model GI dan literasi sains sedangkan kelas kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Hipotesis diuji menggunakan korelasi Pearson product momen dan regresi sederhana linier untuk mengetahui pengaruhnya pada uji hipotesis 1 dan 2. Sedangkan uji hipotesis 3 menggunakan uji korelasi parsial dan regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruhnya. Hasil uji hipotesis 1 adalah diperoleh korelasi antara GI terhadap penguasaan konsep diperoleh 0,136 dengan pengaruh sebesar 1,9% (tidak signifikan) . Hasil Uji hipotesis 2 didapat korelasi antara literasi sains dan penguasaan konsep sebesar 0,200 dengan besar pengaruhnya 4%. Sedangkan untuk korelasi dari GI dan literasi sains terhadap penguasaan konsep adalah 0,136 dan 0,200 dan pengaruhnya 5,4 %. Dari hasil tersebut bahwa ada pengaruh antara variabel dependent dan independent namun tidak signifikan. Kata kunci : model, group investigation, literasi sains

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara [1]. Proses belajar mengajar akan berhasil bila hasilnya dapat membawa perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai-nilai dalam diri peserta didik [2].

SMP IT Robbani Kendal merupakan sekolah berbasis Islam Terpadu (IT). Sekolah tersebut selain mengajarkan Ilmu umum kepada peserta didiknya juga mendalami Ilmu Agama, seperti diwajibkan untuk menghafal Al-Qur’an. Kegiatan spiritual lain yang dilakukan sebelum pembelajaran yaitu melakukan sholat duha, dan muroja’ah sebelum proses pembelajaran dimulai. Kegiatan muroja’ah tersebut selalu dilakukan sebelum dan sesudah solat. Sekolah tersebut juga menerapkan sistem full day school . Sekolah tersebut juga mendidik peserta didiknya untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan terhadap guru SMP IT Robbani Kendal Dian Ariyati Putri, S.Pd dan Ahmad Syaifudin, S.Si menjelaskan bahwa peserta didik masih kurang berminat dalam belajar dan memahami materi pelajaran hitungan terutama fisika. Selain wawancara dengan guru, penulis juga melakukan wawancara kepada peserta didik kelas VII. Dari enam sampel peserta didik yang diwawancarai menjelaskan kurang tertarik dengan mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) terutama fisika. Masing-masing peserta didik menjelaskan ketidak tertarikannya dengan

PENDIDIKAN FISIKA…

158 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

fisika karena pembelajaran dan materi yang disampaikan biasa saja tidak ada variasi. Faktor lain yang menyebabkan materi IPA kurang diminati oleh peserta didik yaitu, karena saat dijelaskan materi tidak ada relevansi atau praktik nyata dalam pembelajarannya. Sehingga peserta didik kurang memahami konsep dasar yang menjadi pondasi awal untuk memahami materi selanjutnya, contohnya peserta didik tidak dapat membedakan perbedaan GLB dan GLBB, peserta didik tidak dapat membaca grafik hubungan antara kelajuan (v) terhadap waktu (t) pada GLB dan GLBB, peserta didik tidak dapat menjelaskan pengertian GLB dan GLBB, dan sukar untuk menerima materi pembelajaran dari guru.

Sekolah belum menyediakan laboratorium khusus IPA untuk melakukan eksperimen. Eksperimen dilakukan di Aula Sekolah, ada kalanya peserta didik membawa alat dan bahan yang tidak sediakan sekolah. Selain itu peserta didik kurang didorong untuk menganalisis hasil praktikum dan informasi yang telah didapat untuk memperkuat konsep dasar yang telah dijelaskan guru. Peserta didik belum diajak untuk berperan aktif dalam kegiatan diskusi pada topik pembelajaran. Faktor-faktor tersebut semakin membuat peserta didik kurang tertarik dan memahami konsep dasar materi pembelajaran. Oleh karena itu untuk memberikan pemahaman konsep peserta didik, dapat digunakan model pembelajaran GI (Group Investigation) dan Literasi Sains.

Meninjau pentingnya penguasaan konsep yang menjadi dasar untuk kelanjutan dalam memahami materi pelajaran, sehingga tidak terjadi kesalahan konsep. Maka diperlukan pemilihan model pembelajaran yang tepat. Literasi sains mendorong siswa agar dapat mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah [3]. Pada penelitian ini penulis mengombinasikan model GI (Group Investigation), dalam model ini siswa diberi kontrol dan pilihan penuh untuk merencanakan apa yang ingin dipelajari dan diinvestigasi [4]. Model ini sesuai dengan karakteristik peserta didik yang beragam dan digunakan untuk mengembangkan pola pikir dalam berdiskusi, menemukan masalah, melakukan eksperimen, dan memperkuat konsep dasar. Sedangkan literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari [5]. Dari berbagai informasi yang telah didapat kemampuan literasi sains ini dibutuhkan untuk menganalisis dan megidentifikasi masalah yang diberikan. Sehingga dari pemilihan model tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika tentang materi gerak lurus. METODE

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang langsung dilakukan di lapangan dan bersifat kuantitatif. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model eksperimen. Model eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya control [6]. Metode ini menggunakan desain post test only control design yakni menempatkan subyek penelitian kedalam dua kelompok (kelas) yang dibedakan menjadi kategori kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Pada penelitian ini kelas eksperimen diberi perlakuan yaitu pembelajaran menggunakan model group investigation (gi) dan literasi sains. Sedangkan kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional.

Dari penjelasan di atas dapat digambarkan dalam skema di bawah ini.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 159

Keterangan : R1 : kelompok eksperimen R2 : kelompok kontrol X : treatment O1 : hasil pengukuran pada kelompok eksperimen O2 : hasil pengukuran pada kelompok kontrol

Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi dan regresi untuk mengetahui ada atau tidaknya Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation (GI) dan Literasi Sains terhadap Penguasaan Konsep. Uji F digunakan untuk mengetahui signifikansi seberapa besar pengaruh model pembelajaran group investigation (gi) dan literasi sains terhadap penguasaan konsep pada materi gerak lurus SMPIT Robbani Kendal. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP IT Robbani Kendal, masing-masing berjumlah 20 peserta didik. Penelitian ini dilakukan pada kurang lebih dalam kurun waktu 1 bulan dimulai tanggal 15 Mei 2017.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, di antaranya : 1. Metode Dokumentasi

Metode pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen, gambar, atau karya yang ada sesuai dengan apa yang dibutuhkan peneliti [7].

2. Metode Tes Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau

mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Tes dilakukan untuk memperoleh data tentang Penguasaan konsep pada materi GLB [8]. Tes yang digunakan adalah pilihan ganda (multiple choice test) terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian kemungkinan jawaban atau alternatif (option). Dalam penelitian ini penulis membuat 25 soal pilihan ganda untuk mengukur penguasaan konsep dengan variabel Y. Pelaksanaan tes setelah perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3. Metode Kuesioner (Angket) Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya [9]. Untuk Group investigation penulis menggunakan kuesioner kepada peserta didik berkaitan dengan pembelajaran yang telah guru lakukan selama di kelas, sedangkan untuk literasi sains menggunakan kuesioner kepada peserta didik terhadap penilaian kemampuan peserta didik dalam mencari informasi dan menganalisis. Kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya ini digunakan untuk mendapatkan data awal dan data akhir. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh data kuantitatif dan hasilnya diolah untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. Analisis data awal yang digunakan adalah dengan uji normalitas, homogenitas, tingkat kesukaran, daya pembeda dan reliabilitas. Kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan regresi linier sederhana dan berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

R1 X

O1

R2

O2

PENDIDIKAN FISIKA…

160 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Berdasarkan data tahap awal, peneliti menggunakan nilai awal peserta didik di SMP IT Robbani Kendal untuk dijadikan sebagai dasar awal melaksanakan penelitian. Dari data tersebut kemampuan awal kelas yang dijadikan sebagai objek penelitian apakah sama atau tidak.

Berdasarkan uji normalitas untuk kelas VII A dan VII B. Disajikan sebagaimana pada Tabel 1:

Tabel 1 Data Hasil Uji Normalitas Tahap Awal

Untuk hasil uji normalitas pada kelas eksperimen (VII B) untuk taraf signifikansi α=5% dengan dk = 6-1, diperoleh χ2hitung = 8,524 dan χ2tabel = 11,07. Karena χ2hitung < χ2tabel

, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Sedangkan, uji normalitas nilai awal pada kelas kontrol (VII A) untuk taraf signifikansi α=5% dengan dk = 6-1, diperoleh χ2hitung = 7,950 dan χ2tabel = 11,07. Karena χ2hitung < χ2tabel , maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Oleh karena itu kedua kelas layak dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Pembelajaran dengan perlakuan pada masing-masing kelas yaitu model pembelajaran GI dan literasi sains pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, diberi tes akhir (post-test) yang sama, yaitu 20 item soal pilihan ganda dengan 4 pilihan opsi.

Tes akhir (post-test) yang berisi 20 item soal pilihan ganda tersebut adalah hasil analisis soal uji coba yang telah di ujicobakan pada kelas uji coba. Kelas uji coba adalah kelas yang sudah mendapatkan materi gerak lurus yaitu kelas VIII yang berjumlah 20 peserta didik. Soal uji coba yang telah diujikan kemudian diuji kelayakannya, baik validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda soalnya. Hanya ada 20 butir soal yang layak digunakan sebagai tes akhir (post-test) untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Hasil tes akhir (post-test) yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata (post-test) kelas eksperimen lebih tinggi dari nilai rata-rata kelas kontrol. Kelas eksperimen memiliki rata-rata nilai post-test adalah 80,25, sedangkan kelas kontrol mempunyai rata-rata nilai post-test adalah 61,5. Penggujian normalitas data post test disajikan sebagaimana dalam Tabel 2:

Tabel 2 Data Hasil Uji Normalitas Nilai Post test Pengujian normalitas pada kelas eksperimen (VII B) untuk taraf signifikansi

α=5% dengan dk = 6-1, diperoleh χ2hitung = 5,032 dan χ2tabel = 11,07. Karena χ2hitung < χ2tabel

, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Kemudian uji normalitas pada kelas kontrol (VII A) untuk taraf signifikansi α=5% dengan dk = 6-1, diperoleh χ2hitung = 8,56 dan χ2tabel = 11,07. Karena χ2hitung < χ2tabel , maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal.

Hasil perhitungan uji homogenitas untuk kelas eksperimen (VII B) dan kelas kontrol (VII A) diperoleh Fhitung = 0,35 dengan taraf signifikansi sebesar α=5%, serta dk pembilang = 20-1 = 19 dan dk penyebut = 20-1 = 19 yaitu Ftabel = 2,12 terlihat bahwa Fhitung < Ftabel , Hal ini berarti bahwa data bervarian homogen.

Kemudian untuk menguji hipotesis dilakukan dengan tiga teknik uji hipotesis yaitu, hipotesis no 1 dan no 2 menggunakan korelasi Pearson product momen dan uji

Kelas χ2hitung Dk χ2tabel Keterangan VII A 7,95 5 11,07 Normal VII B 8,524 5 11,07 Normal

Kelas χ2hitung Dk χ2tabel Keterangan VII A 8,56 5 11,07 Normal VII B 5,032 5 11,07 Normal

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 161

hipotesis no 3 menggunakan uji korelasi ganda, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruhnya.

Hasil uji hipotesis 1 adalah diperoleh korelasi antara GI terhadap penguasaan konsep diperoleh 0,136. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh kesimpulan, terdapat korelasi/hubungan yang lemah antara variabel independent terhadap variabel dependent. Kemudian dijelaskan besarnya prosentase pengaruh variabel terikat yang disebut koefisien determinasi yang merupakan hasil dari kuadrat R, didapat nilai R2 = 0,19. Korelasi (hubungan) antara variabel independent terhadap variabel dependent pada tabel tersebut didapat sebesar 1,9%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.

Tabel 3 Hasil Signifikansi F

Tabel 3 menjelaskan hasil yang diperoleh dari nilai Fhitung = 0,341 dengan

signifikansi 0,567 > 0,05 dan Ftabel = 3,59. Karena Fhitung < Ftabel sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran GI tidak signifikan dalam mempengaruhi Penguasaan konsep. Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara X1 terhadap Y peneliti menggunakan persamaan regresi linier dengan hasil thitung = 5,584 dengan taraf signifikansi 0,567 > 0,05 dan ttabel = 2,120. Karena thitung < ttabel , maka Ha ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran GI terhadap Penguasaan Konsep, namun tidak signifikan.

Hasil Uji hipotesis 2 diperoleh nilai R sebesar 0,200. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi yang lemah antara variabel independent terhadap variabel dependent. Kemudian dijelaskan besarnya prosentase pengaruh variabel terikat yang disebut koefisien determinasi yang merupakan hasil dari kuadrat R, didapat nilai R2 = 0,04. Korelasi antara variabel independent terhadap dependent pada tabel tersebut didapat 4%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.

Tabel 4 Signifikansi F

ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean

Square F Sig.

1 Regression 60.839 1 60.839 .749 .398a

Residual 1462.911 18 81.273

Total 1523.750 19

a. Predictors: (Constant), Literasi Sains

ANOVAb

Model Sum of

Squares df Mean

Square F Sig.

1 Regression

28.321 1 28.321 .341 .567a

Residual 1495.429 18 83.079

Total 1523.750 19

a. Predictors: (Constant), GI b. Dependent Variable: Penguasaan Konsep

PENDIDIKAN FISIKA…

162 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean

Square F Sig.

1 Regression 60.839 1 60.839 .749 .398a

Residual 1462.911 18 81.273

Total 1523.750 19

b. Dependent Variable: Penguasaan Konsep

Tabel 4 menjelaskan hasil yang diperoleh dari nilai Fhitung = 0,749 dengan

signifikansi 0,398 > 0,05 dan Ftabel = 3,59, karena Fhitung < Ftabel sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara variabel independent terhadap variabel dependent namun tidak signifikan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh antara X2 terhadap Y dapat menggunakan persamaan regresi linier sederhana dengan hasil thitung = 0,865 dengan taraf signifikansi 0,398 < 0,05 dan ttabel = 2,120. Karena thitung < ttabel , maka Ha ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan terdapat model pembelajaran Literasi Sains tidak signifikan dalam mempengaruhi Penguasaan.

Hasil uji hipotesis 3 adalah korelasi dari GI dan literasi sains terhadap penguasaan konsep adalah 0,136 dan 0,200. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa ada hubungan (korelasi) sangat lemah untuk model GI terhadap penguasaan konsep dan korelasi lemah antara literasi sains terhadap penguasaan konsep. Kemudian diperoleh nilai R2 adalah 0,54. Sehingga pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent pada tabel tersebut didapat sebesar 5,4 %, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.

Tabel 5 Nilai Signifikansi F

Tabel 5 menjelaskan hasil yang diperoleh dari nilai Fhitung = 0,481, dengan signifikansinya = 0,626 > 0,05 dan Ftabel = 3,59. Karena Fhitung < Ftabel sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran GI dan Literasi Sains tidak signifikan dalam mempengaruhi Penguasaan Konsep. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh antara X1 dan X2 terhadap Y di cari menggunakan persamaan regresi linier berganda. Didapat nilai t untuk GI adalah 0,792 dan t untuk Literasi Sains adalah 0,495 dengan masing-masing signifikansi adalah 0,627 dan 0,439 dan ttabel = 2,120. Karena thitung < ttabel , maka Ha ditolak dan Ho diterima. Karena nilai signifikansi literasi sains lebih kecil dari nilai signifikansi GI, maka dapat disimpulkan bahwa literasi sains

ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean

Square F Sig.

1 Regression 81.589 2 40.795 .481 .626a

Residual 1442.161 17 84.833

Total 1523.750 19

a. Predictors: (Constant), GI, Literasi Sains

b. Dependent Variable: Penguasaan Konsep

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 163

lebih berpengaruh dominan terhadap penguasaan konsep dibandingkan model GI namun tidak signifikan.

Dari hasil tersebut peneliti melakukan refleksi seperti dibawah ini: 1. Peneliti membalik pertemuan dalam melakukan pembelajaran, sehingga

pembelajaran tidak sesuai dengan RPP yang ada. 2. Dalam Pembelajaran masih banyak siswa yang tidak memahami tentang konsep

dasar gerak lurus seperti pengertian gerak, macam-macam gerak dan lain-lain. 3. Pengerjaan soal dilakukan dengan waktu yang relatif singkat yaitu 60 menit untuk 20

soal. 4. Siswa kurang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan instrumen penelitian baik

kuesioner maupun soal pilihan ganda. 5. Kurang serasinya kombinasi model pembelajaran GI dengan literasi sains. 6. Keterbatasan alat dan bahan saat melakukan eksperimen, karena terdapat 4

kelompok namun hanya ada 2 alat eksperimen sehingga peserta didik harus bergiliran melakukan eksperimen dan hasilnya kurang maksimal.

7. Waktu pembelajaran relatif singkat hanya 2 kali pertemuan (4x40’) untuk penerapan model pembelajaran GI dan literasi sains, tentunya masih banyak faktor eksternal maupun internal yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan model pembelajaran GI dan literasi sains tidak signifikan dalam mempengaruhi penguasaan konsep siswa pada materi gerak lurus. Dengan uji korelasi dan regresi masing-masing variabel seperti di bawah ini : 1. Ada pengaruh sangat lemah antara model pembelajaran group investigation (gi)

terhadap penguasaan konsep materi gerak lurus dengan besar pengaruhya 1,9%. 2. Ada pengaruh sangat lemah antara literasi sains terhadap penguasaan konsep

materi gerak lurus dengan besar pengaruhya 4%. 3. Ada pengaruh sangat lemah antara model pembelajaran group investigation (gi) dan

literasi sains terhadap penguasaan konsep materi gerak lurus dengan besar pengaruhnya 5,4%.

REFERENSI http://referensi.elsam.or.id/2014/11/UU-no-20-tahun-2003-tentang-sistem

pendidikan-nasional pasal 1/ diakses tanggal 20 Desember 2016 pukul 12:45 Muhammad Fathurrohman, dan Sulistyorini, Meretas pendidikan berkualitas dalam

pendidikan Islam: menggagas pendidik atau guru yang ideal dan berkualitas dalam pendidikan Islam, Jakarta : Teras, 2012

Odja, A. H. dan C. S Payu, 2014, Analisis kemampuan awal literasi sains siswa pada konsep IPA. Prosiding Seminar Nasional Kimia (Online). Diakses di http://fmipa.unesa.ac.id/kimia/wp-content/ uploads/ 2013/11/40-47- Abdul- Haris-Odja-Universitas-Negeri- Gorontalo.Pdf. Pada tanggal 3 Maret 2017

Huda, Miftahul, Cooperative Learning, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2012 Elsy Zuriyani, Literasi Sains dan Pendidikan,http://happyslide.top/ doc/ 380653

/nature- of- science--bagian-penting-dari-literasi-sains. Pada tanggal 12 Desember 2016.

Nazir, Muhammad, Model Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005 Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendektan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta,

2010

PENDIDIKAN FISIKA…

164 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung : Alfabeta, 2013

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung : Alfabeta, 2014

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 165

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAMS

GAMES TOURNAMENT) DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS IX MTs NEGERI PENAWANGAN

Rini Prihestiyani, S. Pd. I

Guru MTs Negeri Penawangan Purwodadi [email protected]

Abstrak

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam bagi peserta didik kelas IX MTs Negeri Penawangan masih digolongkan sebagai pelajaran yang sulit dan kurang menarik. Salah satu faktornya yakni proses pengajaran yang masih monoton dan kurang menyenangkan. Akibatnya motivasi belajar peserta didik menjadi rendah. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT mampu memberikan perbaikan kualitas pembelajaran dan mampu meningkatkan motivasi belajar peserta didik karena pembelajaran lebih menyenangkan sekaligus bisa menanamkan sikap ilmiah. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang diterapkan di kelas IX MTs Negeri Penawangan dengan langkah perencanaan (planning), penerapan tindakan (action), pengamatan (observing), refleksi (reflecting). Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Data hasil penelitian menunjukkan dari 25 peserta didik pada kegiatan prasiklus sebesar 62,5% memiliki motivasi kurang, 37,5% memiliki kategori cukup. Pada siklus I peserta didik sudah memiliki motivasi belajar sebanyak 20,83% dengan kategori baik, 37,5% memiliki kategori cukup, dan 41,67% motivasi yang dimiliki masih kurang. Pada siklus II motivasi belajar mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 75% dengan kategori baik, dan masih ada 25% peserta didik yang berkategori cukup. Kata kunci: motivasi belajar, TGT, IPA

PENDAHULUAN Menurut UU No. 30 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang

dijabarkan PP No 32 tahun 2013 dalam pasal 19 ayat 1 menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselengarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Untuk mewujudkannya diperlukan kreatifitas guru sebagai pengajar untuk menghidupkan suasana belajar sehingga apa yang menjadi tujuan pembelajaran akan tercapai. Suasana menyenangkan adalah kondisi dimana peserta didik dengan keinginan yang tinggi mengikuti pembelajaran tanpa ada keinginan untuk meninggalkan ruangan dan ssaat proses pembelajaran peserta didik juga sangat antusias dalam mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran.

Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya).

Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap periode perkembangan Operasional formal (umur 11/12-18 tahun). Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis. Model berfikir ilmiah dengan tipe hipotetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa (Asri Budiningsih, 2005: 39).

PENDIDIKAN FISIKA…

166 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Menurut Piaget (1970), periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan `period of formal :operation'. Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik boalah kemampuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkret, bahkan objek yang visual. Peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bahwa belajar akan bermakna apabila input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Pembelajaran bahasa Indonesia akan berhasil apabila penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik peserta didik sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal.

Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu:

1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional), 2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berpikir runtut), 3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan

irama), 4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas), 5) kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang

halus), 6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan

mengembangkan jati diri), 7) kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain).

Ketujuh macam kecerdasan ini sesuai dengan karakteristik keilmuan bahasa Indonesia, dan akan dapat berkembang pesat apabila dapat dimanfaatkan oleh guru bahasa Indonesia untuk berlatih mengeksplorasi gejala alam, baik gejala kebendaan maupun gejala kejadian/ peristiwa guna membangun konsep bahasa Indonesia.

Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. (KBBI, 1996:14). Sependapat dengan pernyataan tersebut Soetomo (1993:63) mengemukakan bahwa belajar adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang dengan sengaja dilakukansehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula.

Pasal 1 Undang0Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Jadi pembelajaran adalah proses yang disengaja yang menyebabkan peserta didik belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi tertentu.

Dalam pusat kurikulum (2006:4) IPA berkaitan dengan cara mencaritahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penugasan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi merupakan suatu proses penemuan.Trianto (2011: 136-137) menyatakan pada hakikatnya IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka,jujur dan sebagainya.

Dengan demikian, IPA adalah ilmu untuk mencari tahu tentang alam melalui metode ilmiah dan menggunakan sikap ilmiah. Dalam pembelajaran IPA guru dituntut untuk memberikan pengetahuan mengenai konsep yang terkandung dalam materi IPA. Selain konsep, hendaknya guru menanamkan sikap ilmiah dengan menggunakan model-

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 167

model pembelajaran. Jadi pembelajaran IPA tidak hanya bermanfaat pemberian materinya juga penanaman nilai-nilai sikap yang terkandung dalam proses pembelajarannya.

Pengajaran tradisional menitikberatkan pada metode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid (Hamalik, 2001:157). Cara ini tidak mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidakdengan kesanggupan, kebutuhan, minat, dan tingkat kesanggupan, serta pemahaman murid. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan it didasarkan atas motif-motif dan tujuan yang ada pada murid.

Sejak adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi tentang kepribadian dan tingkah laku manusia, serta perkembangan dalam ilmu pendidikan maka pandangan tersebut kemudian berubah. Faktor peserta didik justru menjadi unsur yang menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran. Sejak saat itu para ahli berpendapat, bahwa tingkah laku manusia didorong oleh motif-motif tertentu, dan perbuatan belajar akan berhasil apabila didasarkan pada motivasi yang ada pada murid.

Motif adalah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu, atau keadaan seseorang atau organisme yang menyebabkan kesiapannya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan. Sedangkan motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:28).

Sedangkan menurut Djamarah (2002:14) motivasi adalah suatu pendorong yang mengubaha energi dalam diri seseorang kedalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak mungkin melakukan aktivitas belajar. Jadi motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.

TGT pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards, ini merupakan model pembelajaran pertama dari Jihns Hopkins. Dalam model ini, para peserta didik dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat sampai lima orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu peserta didik bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya diadakan turnamen, dimana peserta didik memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri utuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual (Slavin, 2009:13)

Dalam TGT, peserta didik mempelajari materi diruang kelas. Setiap peserta didik ditempatkan dalam satu kelompok yang terdiri dari 3 orang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. Komposisi ini dicatat dalam tabel khusus (tabel turnamen), yang setiap minggunya dapat diubah. Dalam TGT setiap anggota diharuskan untuk mempelajari materi terlebih dahulu bersama anggota-anggotanya, barulah mereka diuji secara individual melalui game akademik. Nilai yang mereka peroleh dari game akan menentukan skor kelompok masing-masing (Huda, 2011).

Selama ini pelajaran IPA digolongkan sebagai pelajaran yang sangat susah dan membosankan. Seringnya guru menggunakan model pembelajaran yang monoton dan kurang menyenangkan membuat proses pembelajaran IPA jadi membosankan. Hal ini menyebabkan motivasi peserta didik untuk belajar dalam kelas cenderung rendah.

PENDIDIKAN FISIKA…

168 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Banyak peserta didik yang sering ijin keluar kelas dan kecenderungan untuk bermain dan berbicara dengan teman satu bangkunya. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran IPA yang menyenangkan sekaligus bisa menanamkan sikap ilmiah diperlukan sebuah model pembelajaran baru yang belum pernah diterapkan dalam pembelajaran IPA. Model pembelajaran yang menyenangkan salah satunya model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Dengan menerapkan model pembelajaran TGT diharapkan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan sehingga motivasi belajar peserta didik juga akan meningkat.

Berdasarkan uraian di atas maka alur berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagi berikut:

METODE PENELITIAN Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dengan lokasi kelas IX D MTs Negeri

Penawangan. Jumlah peserta didik kelas IX D ada 24 peserta didik, yang rinciannya adalah sebagai berikut: jumlah peserta didik putra 11 orang , peserta didik putri 13 orang. Pada Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini, data diperoleh dengan teknik non tes dan tes yakni dengan menggunakan lembar observasi, dan tes tulis.

Teknik yang digunakan untuk analisis data pada penelitian ini adalah teknik deskriptif analitik dengan penjelasan sebagai berikut: Data kualitatif yang diperoleh dari lembar observasi yang berisi indikator peningkatan motivasi belajar digunakan untuk mengetahui besar motivasi peserta didik. Selanjutnya akan dijadikan pijakan untuk melakukan refleksi pada siklus berikutnya. Motivasi belajar peserta didik yang tinggi juga akan memberikan pengaruh kepada hasil belajar peserta didik yang bisa dilihat dari nilai tes tulis. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Setiap butir jawaban diskor sesuai dengan skala penilaian lembar observasi 2. Jumlah skor selanjutnya disajikan secara diskriptif persentase menggunakan

rumus yang telah disajikan. Diskripsi presentase adalah model penelitian yang menganalisis data dengan mengumpulkan kemudian dipresentase. Rumus yang digunakan untuk menghitung presentase (Ngalim Purwanto, 2009:102) adalah:

NP(%)=𝑅

𝑆𝑀x100

Keterangan: R=skor mentah yang diperoleh SM = skor maksimum Selanjutnya hasil presentase dinyatakan kedalam penghargaan kualitatif yang mempunyai kriteria sesuai tabel berikut.

Tingkat Presentase Penghargaan < 30 % Tidak Baik 30 % - 70 % Cukup Baik >70 % Baik

Motivasi

Belajar

Rendah

Rencana

Tindakan

Penerapan

Pembelajaran

Kooperatif Tipe

TGT (Teams

Games

Tournamen)

Motivasi

Belajar

Meningkat

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 169

Analisis Tes Tulis diperoleh dari nilai hasil pre test dan post test. Peserta didik dikatakan mencapai KKM jika peserta didik memperoleh nilai ≥ 70. Persentase jumlah peserta didik yang mencapai KKM dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Persentase ketercapaian KKM = Jumlah peserta didik yang mencapai KKM

Jumlah peserta didik keseluruhanx 100%

Permasalahan:

Motivasi peserta

didik masih

rendah, peserta

didik kurang

aktif dalam

pembelajaran

dan hasil belajar

kurang dari kkm

Perencanaan I:

membuat RPP

dengan

menerapkan

model

pembelajaran

kooperatif tipe

TGT,

Pelaksanaan I:

melaksanakan

pembelajaran

dengan

menggunakan

model

pembelajaran

kooperatif tipe

TGT

Observasi I:

Melakukan

pengamatan terhadap

peserta didik dan

pengamatan proses

pembelajatan dengan

menggunakan model

pembelajaran

kooperatif tipe TGT

Evaluasi I:

Melakukan

pengolahan data

hasil pelaksanaan

pembelajaran

tipe TGT untuk

dijadikan acuan

pada siklus II

Perencanaan II :

membuat RPP

dengan menerapkan

model

pembelajaran

kooperatif tipe

TGT

Pelaksanaan II :

melaksanakan

pembelajaran dengan

menggunakan model

pembelajaran

kooperatif tipe TGT

Observasi II :

Melakukan

pengamatan terhadap

peserta didik dan

pengamatan proses

pembelajatan dengan

menggunakan model

pembelajaran

kooperatif tipe TGT

Evaluasi II :

Melakukan

pengolahan data

hasil pelaksanaan

pembelajaran

tipe TGT untuk

dijadikan acuan

pada siklus II

S

I

K

L

U

S

I

S

I

K

L

U

S

2

PENDIDIKAN FISIKA…

170 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1) peserta didik ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang

merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan hobi. 2) Guru menyiapkan pelajaran, dan kemudian peserta didik bekerja di dalam tim

mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.

3) Akhirnya, seluruh peserta didik dikenai kuis, pada waktu kuis ini mereka tidak dapat saling membantu. Aturan (skenario) dalam satu kelompok permainan terdiri dari: pembaca,

penantang I, penantang II, dan seterusnya sejumlah anggota yang ada. Kelompok pembaca, bertugas: (1) ambil kartu bernomor dan cari pertanyaan pada lembar permainan, (2) baca pertanyaan keras-keras, dan (3) beri jawaban. Penantang kesatu bertugas: Menyetujui pembaca atau memberi jawaban yang berbeda. Sedangkan penantang kedua: (1) Menyetujui pembaca atau memberi jawaban yang berbeda, dan (2) Cek lembar jawaban. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran. (Trianto, 2010)

Skor peserta didik dibandingkan dengan rata-rata skor yang lalu mereka sendiri, dan poin diberikan berdasarkan pada seberapa jauh peserta didik menyamai atau melampaui prestasi yang dilaluinya sendiri. Poin tiap anggota tim ini dijumlahkan untuk mendapatkan skor tim, dan tim yang mencapai kriteria tertentu dapat diberi sertifikat atau ganjaran (award) yang lain. Perhitungan poin permainan untuk 4 pemain adalah sebagai berikut:

Pemain dengan Poin Top Scorer 40 High Middle Scorer 30 Low Middle Scorer 20 Low Scorer 10

Adapun kriteria penghargaan yang disarankan adalah sebagai berikut: Kriteria ( Rerata Kelompok)

Predikat

30 – 39 Tim Kurang Baik

40-44 Tim Baik

45-49 Tim Baik Sekali

50 ke atas Tim Istimewa

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan diperoleh gambaran awal bahwa dari 24 peserta didik yang ada di kelas IX D sejumlah 15 peserta didik memiliki motivasi belajar “kurang” yaitu 62,5 % sedangkan 9 peserta didik yang lain memiliki motivasi belajar “cukup” yaitu 37,5 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar peserta didik MTs Negeri Penawangan masih kurang. 1. Siklus I

Siklus I merupakan pemberlakuan awal penelitian dengan metode investigasi kelompok. Tindakan siklus ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah yang muncul pada pembelajaran sebelumnya. a. Perencanaan Siklus 1

Tahap perencanaan siklus I dilaksanakan pada tanggal 2-3 januari 2017 . tahap ini guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, membuat soal pre test dan lembar kerja peserta didik. Alokasi waktu yang diperlukan adalah 2 x 40 jam dengan materi pokok sifat – sifat magnet dan benda magnetik.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 171

b. Pelaksanaan Siklus 1 Tindakan kelas putaran I dilaksanakan pada hari Rabu , 4 januari 2017,

pukul 08.25-09.45 WIB di MTs Negeri Penawangan. Pelaku tindakan atau pengajar adalah peneliti sedangkan penerima tindakan adalah peserta didik kelas IX D sebanyak 24 peserta didik. Pada tahap ini dapat dijelaskan antara lain: 1) Tindak mengajar

Guru memberikan salam, kemudian membagi peserta didik kedalam 5 kelompok masing- masing kelompok terdiri dari 4-5 peserta didik (terlampir). Setelah itu, guru memberikan penjelasan materi secara singkat kemudian membagikan LKS untuk dikerjakan oleh masing-masing kelompok (terlampir). Saat peserta didik mengerjakan LKS dalam kelompoknya guru berkeliling untuk membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan. setelah waktu dianggap cukup, guru beserta peserta didik membahas bersama hasil dari diskusi untuk menyamakan konsep materi yang diajarkan.

Guru memberitahu peserta didik saatnya melakukan tournamen. Sebelum tournamen dimulai guru menyiapkan kartu bernomor dan menaruhnya diatas meja, didalam kartu bernomor terdapat pertanyaan yang harus dijawab oleh masing-masing perwakilan dalam kelompok. jumlah pertanyaan pada babak pertama berjumlah 5 pertanyaan. Kelompok yang berhasil menjawab akan diberi skor 1 sedangkan yang tidak bisa menjawab tidak mendapat skor. Guru mempersilahkan perwakilan kelompok untuk maju kedepan kelas. Kelompok abu bakar diwakili oleh ismi khariroh, kelompok umar bin khattab diwakili oleh rahma citra, kelompok usman bin affan diwakili oleh awang muda saputra, kelompok ali bin abi thalib diwakili oleh putri permatasari, dan kelompok zaid bin tsabit diwakili oleh siti rohmah. Pembaca pertama dimulai oleh awang dari kelompok usman. Pada babak pertama tournamen kelompok yang memperoleh skor adalah kelompok abu bakar dan ali. Selama 15 menit berjalan, kelompok yang mendapatkan skor tertinggi adalah kelompok ali bin abi thalib dengan jumlah skor 3 poin. Guru memberikan penghargaan berupa bintang kepada kelompok Ali Bin Abi Thalib.

Pada akhir pembelajaran, guru bersama peserta didik membuat kesimpulan dari materi pernyataan dan kalimat terbuka, guru mengadakan evaluasi materi pelajaran dengan memberikan soal latihan yang dikerjakan secara individu, memberikan pekerjaan rumah dan meminta peserta didik untuk mempelajari materi selanjutnya. 2) Tindak Belajar

Peserta didik mengikuti proses pembelajaran dengan gaduh karena guru baru pertama kali menerapkan metode pembelajaran yang berbeda. Dalam pembelajaran sehari – hari, guru biasanya menggunakan metode ceramah. Hal ini disebabkan banyak guru yang beranggapan bahwa dengan metode ceramah maka peserta didik lebih mudah menerima materi ajar. selain itu, saat diskusi berlangsung para peserta didik kurang bekerjasama satu dengan yang lain, masih banyak juga kelompok yang saling berbicara membahas bukan tentang materi yang diajarkan.

c. Observasi Siklus 1 Pada tahap ini, peneliti juga mengamati dengan menggunakan lembar

observasi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan lembar observasi dan catatan lapangan yang tersedia, mencatat hasil – hasil proses pembelajaran yang akan digunakan sebagai bahan refleksi.

Objek sasaran yang diamati dalam observasi minat peserta didik meliputi kuatnya kemauan untuk berbuat, jumlah waktu yang disediakan untuk belajar,

PENDIDIKAN FISIKA…

172 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

kerelaan meninggalkan kewajiban dan tugas yang lain, ketekunan mengerjakan tugas, ulet dalam menghadapi kesulitan, menunjukkan minat terhadap pelajaran, senang bekerja mandiri, dan dapat mempertahankan pendapatnya. sedangkan objek sasaran yang diamati dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT antara lain: bagaimana guru menjelaskan materi pelajaran, guru mengkoordinasikan kegiatan diskusi, menilai peserta didik, mengatur tournament, memberikan penghargaan kepada kelompok yang berprestasi, mengevaluasi kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan hasil observasi, perilaku peserta didik menunjukkan sikap positif dan ada pula yang menunjukkan sikap negatif. Perilaku positif ditunjukkan oleh peserta didik yang aktif mengikuti pembelajaran menulis jawab. Perilaku negatif ditunjukkan dengan sikap kurang bersemangat mengikuti pembelajaran dan masih ada peserta didik yang mondar-mandir pada saat pembelajaran berlangsung. Namun demikian, peneliti sadar akan hal ini karena setiap peserta didik memiliki karakteristik dan keterampilan yang berbeda. Apalagi, pola pembelajaran yang diterapkan peneliti merupakan hal baru bagi mereka sehingga perlu proses penyesuaian.

d. Refleksi Siklus 1 Refleksi terhadap hasil tindakan dilakukan peneliti diperoleh beberapa hal

yang dapat dicatat sebagai masukan untuk perbaikan pada putaran II, yaitu: 1) Pembelajaran masih didominasi oleh guru. Hal ini terlihat bahwa guru masih

banyak memberikan penjelasan tentang materi yang diberikan. 2) Guru kurang mampu mengendalikan kelas. 3) Suasana kelas masih gaduh pada saat penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe TGT karena peserta didik baru pertama kali mendapatkan pembelajaran dengan model baru.

4) Bimbingan dari guru kurang menyeluruh. 5) Waktu yang diberikan kurang karena peserta didik masih merasa kurang

mengerti dengan apa yang dilakukan dalam pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe TGT sehingga masih perlu penjelasan kembali tentang langkah-langkah pembelajaran pada setiap tahapan.

6) motivasi peserta didik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran belum begitu terlihat.

Menyusun rencana pada putaran II, maka perlu diadakan revisi terencana dari putaran I. Berdasarkan hasil dari refleksi putaran I, maka beberapa revisi adalah sebagai berikut. 1) Kegiatan pembelajaran lebih dipusatkan pada peserta didik. 2) Guru harus lebih memfokuskan perhatian pada peserta didik untuk

mengurangi kebosanan dalam pembelajaran berlangsung. 3) Guru perlu memberikan pemahaman yang lebih tentang model pembelajaran

kooperatif tipe TGT agar peserta didik tidak kebingungan pada saat proses pembelajaran.

4) Guru memberikan motivasi kepada peserta didik agar peserta didik percaya diri dengan kemampuannya.

5) Memberikan bimbingan secara menyeluruh. Berdasarkan observasi pada proses pembelajaran pada putaran I,

diperoleh data bahwa sebanyak 10 peserta didik (41,67 %) memiliki motivasi kurang sebanyak 9 peserta didik (37,5 %) memiliki motivasi belajar cukup dan sebanyak 5 peserta didik (20,83 %) memiliki motivasi belajar baik.

Kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan tindakan yang telah dilakukan pada putaran I ini adalah masih perlu diadakan perbaikan pada

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 173

putaran selanjutnya karena hasil yang dicapai belum memuaskan. Rencana tindakan I perlu direvisi, dan hasilnya akan digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan putaran II. Beberapa revisi dalam pertemuan berikutnya guru perlu mengoptimalkan pemberian motivasi kepada peserta didik untuk meningkatkan kemampuannya,

2. Siklus 2 a. Perencanaan Siklus 2

Perencanaan tindakan kelas putaran II ini mulai disusun tanggal 7-8 januari 2017, setelah pelaksanaan tindakan kelas putaran I. Berdasarkan dari observasi dan monitoring serta refleksi pada pembelajaran tindakan kelas putaran I, maka rencana tindakan kelas putaran I perlu revisi dan akan digunakan sebagai acuan tindakan pembelajaran kelas putaran II. Pembelajaran putaran II dilaksanakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Strategi pembelajaran pada tindakan kelas putaran II adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif learning tipe TGT. Materi ajar yang disampaikan adalah cara membuat dan menghilangkan sifat kemagnetan dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran (2 x 40 menit).

b. Pelaksanaan Siklus 2 Tindakan kelas putaran II dilaksanakan pada hari Senin, 9 januari

2017 mulai pukul 08.25 -09.45 WIB di MTs Negeri Penawangan. Pada putaran ini pemberi tindakan adalah peneliti sedangkan penerima tindakan adalah peserta didik kelas IXD sebanyak 24 peserta didik. Materi ajar pada putaran II adalah cara membuat magnet dan menghilangkan sifat kemagnetan.

c. Observasi Siklus 2 Hasil pengamatan observer terhadap peserta didik dalam mengikuti

pembelajaran, dikatakan bahwa keaktifan peserta didik dalam mendengarkan penjelasan guru sudah sangat baik walaupun masih ada peserta didik yang kurang antusias bertanya dan menjawab pertanyaan guru.

Keaktifan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran juga sangat baik, hanya peserta didik masih perlu dibimbing untuk lebih berani bertanya dan menjawab pertanyaan guru. Mereka juga dapat melaksanakan diskusi dengan baik.

Peserta didik juga aktif mengerjakan tugas, perilaku mereka juga baik, hanya saja kecepatan mereka dalam mengerjakan tugas guru belum maksimal. Guru/peneliti dalam membuka pelajaraan dan berkomunikasi dengan peserta didik sudah sangat baik hal ini dibuktikan dari kurangnya peserta didik yang gaduh/ramai di dalam kelas.

d. Refleksi Siklus 2 Pada siklus 2 ini terjadi peningkatan motivasi belajar peserta didik

yang sangat signifikan yaitu peserta didik yang memiliki motivasi baik sebanyak 18 peserta didik (75%) dan peserta didik yang memiliki motivasi cukup baik sebanyak 6 peserta didik ( 25 % ).

Guru sudah tidak lagi mendominasi. Pembelajaran sudah terpusat pada peserta didik. Motivasi yang diberikan guru agar peserta didik lebih giat belajar tampak semakin sering dilakukan. Kegiatan pembelajaran sudah berjalan lancar dan hasilnya sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan putaran sebelumnya. Dalam hal ini, penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sudah terlihat kondusif dan pelaksanaannya juga terlihat tertib.

Beberapa tindakan mengajar tersebut merupakan kunci keberhasilan atau memberikan hasil yang memuaskan dan dipandang memberikan

PENDIDIKAN FISIKA…

174 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

kontribusi yang cukup bagi keberhasilan usaha meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan pembelajaran secara keseluruhan sampai berakhirnya tindakan putaran II, perilaku peserta didik yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengalami perubahan yang positif. Hasil penelitian pada tindakan kelas putaran II diperoleh kesepakatan bahwa tindakan belajar yang diambil telah berhasil meningkatkan motivasi peserta didik dalam pembelajaran IPA. Data – data yang diperoleh di atas mengenai peningkatan motivasi peserta didik melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT kelas IX dari sebelum tindakan sampai dengan tindakan kelas putaran II dapat disajikan dalam tabel berikut : Tabel :Data peningkatan motivasi belajar peserta didik melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT kelas IX Motivasi Belajar

Sebelum Tindakan

Siklus 1 Siklus 2

Kurang 15 peserta didik (62,5 %)

10 peserta didik (41,67 %)

-

Cukup 9 peserta didik (37,5 %)

9 peserta didik (37,5 %)

6 peserta didik (25%)

Baik - 5 peserta didik (20,83 %)

18 peserta didik (75%)

B. Pembahasan

Pembahasan hasil penelitian akan membahas hasil pada setiap putaran dan antar putaran. Pada penelitian ini, sebelum dilakukan tindakan kelas hanya peserta didik tertentu saja yang punya motivasi untuk mengikuti pelajaran IPA yaitu sejumlah 15 peserta didik memiliki motivasi belajar “kurang” yaitu 62,5 % sedangkan 9 peserta didik yang lain memiliki motivasi belajar “cukup” yaitu 37,5 %. Hal ini disebabkan peserta didik tidak tertarik dengan proses pembelajaran dan tidak adanya suasana variasi proses pembelajaran menjadikan proses pembelajaran sedikit membosankan. Pembelajaran yang direncanakan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TGT mulai meningkat pada siklus I. Data tindakan kelas putaran I di dapat bahwa 10 peserta didik (41,67 %) memiliki motivasi “ kurang “,sebanyak 9 peserta didik (37,5 %) memiliki motivasi belajar cukup dan sebanyak 5 peserta didik (20,83 %) memiliki motivasi belajar “baik “. Data tindakan kelas putaran II di dapat bahwa peserta didik yang memiliki motivasi “baik “ sebanyak 18 peserta didik ( 75 % ) dan peserta didik yang memiliki motivasi “cukup baik “ sebanyak 6 peserta didik ( 25 % ). Penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT mampu menarik perhatian peserta didik dan mampu membuat peserta didik aktif, bersemangat dan termotivasi dalam belajar.

PENDIDIKAN FISIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 175

SIMPULAN Hasil penelitian pembelajaran penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

TGT (teams games tournament) dalam pembelajaran IPA kelas IX Mts Negeri penawangan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik secara klasikal pada materi magnet. Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Data hasil penelitian menunjukkan dari 25 peserta didik pada kegiatan prasiklus sebesar 62,5% memiliki motivasi kurang, 37,5% memiliki kategori cukup. Pada siklus I peserta didik sudah memiliki motivasi belajar sebanyak 20,83% dengan kategori baik, 37,5% memiliki kategori cukup, dan 41,67% motivasi yang dimiliki masih kurang. Pada siklus II motivasi belajar mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 75% dengan kategori baik, dan masih ada 25% peserta didik yang berkategori cukup.

REFERENSI B Uno, Hamzah, 2008, Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar

Mengajar, Jakarta: Balai Pustaka. Djamarah, Syaiful Bahri, 2002, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineksa Cipta Huda M., 2011, Cooperatif Learning, Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Huda, Miftahul, 2014, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran, Isu-Isu Modis dan

Paradigmatis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Permendiknas No. 22 tahun 2013 Sanjaya, Wina. 2008, Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidika,

Jakarta: Kencana. Robert E. Slavin. 2010, COOPERATIVE LEARNING: Teori, Riset dan Praktik. Bandung:

Nusa Media Trianto, 2010, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep landasan dan

Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, Jakarta: Kencana

Usman, Moh Uzer, 2001, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya

BIOLOGI…

176 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

BIOLOGI

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 177

PEMAKNAAN MASYARAKAT DESA KARANGMANGGIS TERHADAP UPAYA KONSERVASI AIR DI DESA KARANGMANGGIS BOJA KENDAL

Irma Rohmawati1, Diah Aprilia2, Nadya Fitriani3, Roie Megeron4

1,2Pendidikan Biologi FPMIPATI Universitas PGRI Semarang 3Pendidikan Fisika FPMIPATI Universitas PGRI Semarang

4Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas PGRI Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Masalah lingkungan dan pengembangan suatu wilayah merupakan permasalahan yang tidak bisa dilepaskan. Kondisi geografis, ketersediaan faktor pendukung yang berasal dari alam seperti kondisi geologi, curah hujan, air tanah, daerah resapan dan lahan hijau sudah mutlak harus dipertimbangkan karena akan menjadi penentu kenyamanan hidup manusia disekitar lingkungan. Kegiatan pada suatu komunitas diperlukan peran dari setiap pihak guna terwujudnya program tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peran serta masyarakat Desa Karangmanggis Boja Kendal dalam keterlibatannya mewujudkan upaya konservasi air. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2017 di Desa Karangmanggis Boja Kendal. Peran serta dan pemaknaan masyarakat Desa Karangmanggis terhadap Upaya Konservaasi Air di Desa Karangmanggis Boja Kendal dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu: pemahaman terhadap upaya konservasi air, kesediaan pengelolaan konservasi air dalam aspek kelembagaan, bentuk peran serta masyarakat dalam tenaga, kesediaan masyarakat dalam mengelola sendang, kesediaan masyarakat dalam melestarikan tanaman Bulung (Metroxylon sagu), kesediaan masyarakat dalam melaksanakan tradisi gugur gunung, dan bentuk peran serta masyarakat dalam pemikiran, ide dan gagasan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Karangmanggis belum berperan aktif dalam upaya konservasi air. Pemaknaan masyarakat Desa Karangmanggis terhadap upaya konservasi air menggunakan vegetasi tanaman yang berpotensi sebagai penyimpan air yaitu Bulung (Metroxylon sagu) masih sangat rendah. Kata Kunci: konservasi air, masyarakat, pemaknaan, peran, upaya

PENDAHULUAN

Masalah lingkungan dan pengembangan suatu wilayah saat ini merupakan permasalahan yang tidak bisa dilepaskan. Kondisi geografis, ketersediaan faktor pendukung yang berasal dari alam seperti kondisi geologi, curah hujan, air tanah, daerah resapan dan lahan hijau sudah mutlak harus dipertimbangkan karena akan menjadi penentu kenyaman hidup manusia di disekitar lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi masalah konservasi sumber-sumber alam seperti air dan lahan hijau di masa akan datang akan menjadi masalah utama (Harja dkk: 2007). Air sebagai kebutuhan vital dalam kehidupan sehari-hari seperti konsumsi minum, aktivitas rumah tangga, industri, pertanian dan lain-lain. Usaha konservasi air dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu (1) metode vegetative, menggunakan tanaman sebagai sarana (2) metode mekanik, menggunakan tanah, batu dan lain-lain sebagai sarana. Desa Karangmanggis yang terletak di Kecamatan Boja Kabupaten Kendal merupakan Desa yang memiliki potensi alam yang baik terkait dengan upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal. Salah satu potensi alam tersebut adalah terdapatnya tanaman yang berpotensi sebagai penyimpan air yaitu Bulung (Metroxylon sagu). Tanaman lokal yang berpotensi sebagai penyimpan air dan sumber air merupakan dua komponen yang secara dinamis saling berinteraksi yang dapat digunakan untuk usaha konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal. Berbagai permasalahan yang terdapat di desa Karangmanggis berkaitan dengan keberadaan air menuntut masyarakat Desa Karangmanggis untuk tidak hanya diam tetapi diperlukan pemikiran atau tindakan guna mengatasi permasalahan tersebut.

BIOLOGI…

178 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kegiatan atau program pada sebuah organisasi atau komunitas diperlukan peran dari setiap individu di dalamnya guna terwujudnya program tersebut. Partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat dinyatakan dalam bentuk pemikiran, ketrampilan/keahlian, tenaga, dan harta benda (Davis dalam Santosa 1998:16). Sejalan dengan itu Surbakti (1984: 72-73) mengemukakan bahwa kegiatan yang dapat digolongkan sebagai partisipasi antara lain : (1) Ikut mengajukan usul-usul kegiatan ; (2) ikut serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan ; (3) Ikut serta melaksanakan apa yang telah diputuskan termasuk disini memberikan iuran atau sumbangan materiil ; (4) Ikut serta mengawasi pelaksanaan keputusan.

Selanjutnya dikatakan Bryan dan White dalam Ndraha (1983:23) bahwa partisipasi dapat berbentuk : 1. Partisipasi buah pikiran 2. Partisipasi harta dan uang 3. Partisipasi tenaga dan gotong royong 4. Partisipasi sosial 5. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan/kegiatan nyata yang konsisten

Jadi partisipasi juga berfungsi dari manfaat disamping pengorbanan ataupun resiko. Dengan demikian, ukuran peran serta masyarakat lebih cepat bila dijelaskan secara kualitatif. Dalam hal ini partisipasti dapat didefinisikan kedalam sebuah tipologi yang memperlihatkan adanya perbedaan penilaian masyarakat tentang intensitas keterlibatan masyarakat (Whyte dalam Bourne, 1984:22).

Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah pada artikel ini adalah (1) Bagaimanakah peran serta masyarakat masyarakat Desa Karangmanggis Boja Kendal dalam keterlibatannya mewujudkan upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal? (2) Apa sajakah peran serta masyarakat Desa Karangmanggis dalam memaknai upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan bagi pemerintah dan masyarakat luas dalam perannya atau partisipasinya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan lingkungan dan sumberdaya alam sehingga dapat meningkatkan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. TUJUAN Tujuan penulisan artikel ini adalah: 1. Mendeskripsikan peran serta masyarakat masyarakat Desa Karangmanggis Boja

Kendal dalam keterlibatannya mewujudkan upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal.

2. Mengidentifikasi peran serta masyarakat dalam upaya konservasi air di Desa Karngmanggis Boja Kendal melalui beberapa indikator diantaranya: pemahaman terhadap upaya konservasi air, kesediaan pengelolaan konservasi air dalam aspek kelembagaan, kesediaan bentuk peran serta masyarakat dalam tenaga, kesediaan masyarakat dalam mengelola sendang, kesediaan masyarakat dalam melestarikan tanaman Bulung (Metroxylon sagu),Kesediaan masyarakat dalam melakukan tradisi gugur gunung, Kesediaan bentuk peran serta masyarakat dalam pemikiran, ide dan gagasan.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2017 di Desa Karangmanggis Boja Kendal

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 179

Alat Alat yang digunakan dalam pengambilan data adalah alat perekam berupa handphone, alat dokumentasi berupa kamera, dan alat tulis. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik survei lapangan (observasi), teknik wawancara secara mendalam (in depth interview) dan penelusuran data sekunder.Penelusuran data sekunder ditujukan sebagai penguatan terhadap data-data yang tidak bisa digali melalui wawancara dan observasi. Penelusuran dilakukan dengan kajian pustaka terhadap berbagai literatur, baik jurnal, buku, makalah, media massa maupun informasi dari internet yang berkaitan dengan tema penelitian. Data-data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pemaknaan masyarakat Desa Karangmanggis terhadap upaya konservasi air. PEMBAHASAN

Berkaitan dengan ketersediaan air dan terdapatnya tanaman yang berpotensi sebagai penyimpan air maka diperlukan sebuah usaha konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal. Upaya konservasi ini mampu berjalan dengan baik apabila terdapat peran sosial masyarakat untuk mencapai usaha konservasi ini. Peran serta masyarakat Desa Karangmannggis Boja Kendal dalam upaya konservasi air dapat dikaji dalam beberapa aspek berikut ini :

Tabel 1. Peran Serta dan Pemaknaan Masyarakat Desa Karangmanggis terhadap Upaya Konservaasi Air di Desa Karangmanggis Boja Kendal

No Indikator Peran Serta dan Pemaknaan Masyarakat

1. Pemahaman terhadap upaya Konservasi Air

Masyarakat Desa Karangmanggis memaknai konservasi air adalah sebagai upaya pelestarian sumber daya air. Sebagian dari anggota komunitas ini mengetahui akan pengertian konservasi air namun untuk pelaksanaan atau upaya yang harus dilakukan berkaitan dengan upaya konservasi air di Desa Karangmanggis sendiri, mereka hanya menyebutkan tindakan-tindakan sederhana seperti berhemat dalam menggunakan air dan membersihkan sungai. Berdasarkan anggapan tersebut tentunya diketahui bahwa masyarakat tidak memandang potensi tanaman yang ada di Desa Karangmanggis Boja Kendal salah satunya tanaman Bulung (Metroxylon sagu) yang memiliki potensi menyimpan air. Tanaman ini tumbuh liar di Desa Karangmanggis hingga keberadaannnya mulai berkurang dan tergantikan oleh tanaman lain seperti tanaman sengon.

2. Kesediaan pengelolaan konservasi air dalam aspek kelembagaan

Masyarakat memaknai pejabat Ulu-ulu sebagai pejabat yang bertugas bersih bersih desa,namun pemaknaan ini hanya diketahui minoritas masyarakat Desa karangmanggis. Hal ini semakin jelas bahwa pejabat Ulu-ulu

BIOLOGI…

180 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

yang merupakan pejabat yang mengurusi bidang perairan, sudah tidak aktif dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya. Dalam pembentukan pejabat ini sendiri perangkat Desa Karangmanggis kurang melibatkan masyarakatnya sehingga dalam satu periode masa jabatan ini telah selesai, tidak ada pembentukan periode baru. Pada dasarnya keberlanjutan pejabat ulu-ulu bisa terlaksana apabila ada program yang jelas dan ada lembaga yang mengaturnya.

3. Kesediaan bentuk peran serta masyarakat dalam tenaga

Salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja Kendal adalah peran serta dalam bentuk tenaga. Suatu kegiatan tidak mampu berjalan apabila hanya tertuliskan atau direncananakan tanpa ada pelaksanaan atau kegiatan dalam bentuk nyata. Maka, diperlukan peran tenaga masyarakat untuk melaksanakan program yang ada. Peran ini tentunya sangatlah dipengaruhi oleh kesibukan/ pekerjaan pada setiap masyarakat, dimana masyarakat Desa Karangmanggis mayoritas warganya adalah sebagai buruh atau karyawan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat kurang memanfaatkan waktunya dalam upaya konservasi air karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja.

4. Kesediaan masyarakat dalam mengelola sendang

Berkaitan dengan upaya konservasi air, maka dibutuhkan peran masyarakat Desa Karangmanggis dalam mengelola sendang. Desa Karangmanggis sendiri memiliki 4 dukuh, diantara keempat dukuh tersebut terdapat 3 dukuh yang memiliki sendang Pemeliharaan sendang di ketiga dukuh ini dirasa masih sangat kurang. Hal ini dibuktikan dengan semakin tidak terawatnya sendang dengan kondisi yang kotor.

5. Kesediaan masyarakat dalam melestarikan tanaman Bulung

Usaha konservasi air dapat dilakukan melalui budidaya tanaman yang yang berpotensi sebagai penyimpan air contohnya tanaman bulung yang tumbuh liar di Desa Karangmanggis. Berkaitan dengan upaya tersebut maka diperlukan kesediaan masyarakat untuk melestarikan tanaman Bulung (Metroxylon sagu). Akan tetapi masyarakat Desa karangmanggis sebagian besar masih belum memahami potensi tanaman Bulung (Metroxylon sagu), hal ini terbukti degan tanaman bulung yang

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 181

dibiarkan tumbuh tanpa adanya pembudidayaan dan perawatan.

6. Kesediaan masyarakat dalam melakukan tradisi gugur gunung

Tradisi gugur gunung sebagai tradisi bersih-bersih daerah aliran air tentunya hal ini juga berpengaruh dalam pelaksanan usaha konservasi air. Di Desa Karangmanggis Boja Kendal sendiri tradisi ini sudah mulai ditinggalkan. Pejabat Ulu-ulu yang bertugas menangani masalah perairan sudah lagi tidak berjalan. Kesediaan masyarakat akan hal ini sudah mulai rendah. Daerah Aliran sungai yang ada di Desa Karangmanggis juga semakin kotor karena tidak berjalanya tradisi gugur gunung.

7. Kesediaan bentuk peran serta masyarakat dalam pemikiran, ide dan gagasan

Peran serta masyarakat dalam pemikiran, ide dan gagasan sangat diperlukan dalam hal mewujudkan upaya konservasi air. Masyarakat harus peka terhadap keadaan di sekitarnya. Segala sesuatu yang ada dilingkungan harus mampu mereka kaji dan menghasilkan inovasi atau pemikiran yang positif dan bermanfaat guna memperbaiki kondisi alam yang rusak atau tercemar akibat ulah manusia.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap Peran Serta dan Pemaknaan Masyarakat Desa Karangmanggis terhadap Upaya Konservaasi Air Di Desa Karangmanggis Boja Kendal dapat disimpulkan : 1. Peran serta masyarakat Desa Karangmanggis dalam upaya konservasi masih rendah. 2. Pemaknaan masyarakat Desa Karangmanggis masih sangat sederhana terhadap

upaya konservasi air menggunakan vegetasi tanaman yang berpotensi sebagai penyimpan air yaitu Bulung (Metroxylon sagu).

REFERENSI Harja Asep, dkk, 2007, Pemberdayaan Masyarakat Tentang Konservasi Air tanah di

Wilayah Rancaekek Kabupaten Bandung. UNPAD. Soetomo Wahyu Tri. 2006. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Pemeliharaan

Jalan Pada Perumahan Korpri Sambak Indah, Purwodadi.UNDIP

BIOLOGI…

182 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

KEANEKARAGAMAN SPERMATOPHYTA DI KAWASAN CAGAR ALAM PAGERWUNUNG DARUPONO KENDAL

Amin Suyitno1, Lianah2, Kusrinah3

1,2,3Fakultas Sains dan Tekhnologi UIN Walisongo Semarang Email author: [email protected]

Abstrak

Cagar Alam Pagerwunung Darupono semula merupakan hutan tanaman jati yang kemudian dibiarkan mengalami proses suksesi sendiri. Proses suksesi yang terus berlangsung sampai saat ini mengakibatkan keanekaragaman hayati yang ada juga terus meningkat. Permasalahannya yaitu tingkat keanekaragaman jenis vegetasi di Kawasan Cagar Alam tersebut belum banyak diketahui dengan pasti selain pohon jati (Tectona grandis) yang merupakan tanaman awal di kawasan hutan tersebut. Data-data hasil penelitian yang telah dilakukan juga belum banyak mengungkap keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut hingga sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan tingkat keanekaragaman spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal.Metode menetukan lokasi menggunakan metode petak ganda dengan banyak petak contoh yang letaknya tersebar secara acak (random sampling). Data dianalisis untuk keanekaragaman menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner.Hasil penelitian terdapat 16 jenis spermatophyta yang termasuk dalam 9 ordo dan 12 famili.Tingkat keanekaragaman spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal tergolong rendahdengan indeks Shannon-Wiener sebesar -0.894195. Kata kunci : Keanekaragaman, Spermatophyta, Cagar Alam Pagerwunung Darupono

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia (megabiodiversity countries) bersama dengan Brazil dan Zaire (RD Congo). Keanekaragaman hayati tersebut meliputi tumbuhan dan hewan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Nugroho, 2015). Keanekaragaman tumbuhan di dunia ini sangat beragam dari tumbuhan tingkat rendah sampai tumbuhan tingkat tinggi.Tingginya tingkat biodiversitas Indonesia ditunjukkan dengan adanya 10 % dari tanaman berbunga di dunia dapat ditemukan di Indonesia (Setiawan, 2014). Indonesia menempati urutan keempat dunia untuk keanekaragaman jenis tumbuhan, yaitu memiliki kurang lebih 38.000 jenis (Nugroho, 2015).

Menurut Setiawan (2014) kekayaan alam di Indonesia yang melimpah terbentuk oleh beberapa faktor, seperti dilihat dari sisi astronomi Indonesia terletak pada daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat hidup dan tumbuh dengan cepat. Dilihat dari sisi geologi, Indonesia terletak pada titik pergerakan lempeng tektonik sehingga banyak terbentuk pegunungan yang kaya akan mineral.

Didalam Al Qur’an di terangkan dalam surat Taha Ayat 53: ن نبات شتى جا م ٣٥وأنزل من ٱلسماء ماء فأخرجنا بهۦ أزو

Artinya: 53. Dan menurunkan dari langit air hujan. Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air hujan itu) berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan (Departemen RI, 2006).

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya dalam bentuk yang beranekaragam, seperti halnya berbagai jenis tumbuhan yang ada di Bumi.

Cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem tertentu yang layak untuk dilindungi yang

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 183

dalam perkembangannya diusahakan secara alami (Arief, 2001).Hutan memiliki peran yang sangat penting sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.Disamping itu upaya pengelolaan sumber daya alam didalamnya perlu semakin ditingkatkan agar bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Salah satu kawasan cagar alam yang berada di Jawa Tengah adalah Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal.

Cagar Alam Pagerwunung Darupono semula merupakan hutan tanaman jati yang kemudian dibiarkan mengalami proses suksesi sendiri. Pagerwunung Darupono ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 115/Menhut-II/2004. Berdasarkan administrasi pemerintah, Cagar Alam ini termasuk dalam wilayah Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal.Topografinya bergelombang dan sedikit berbukit. Kawasan konservasi ini berdasar klasifikasi Schmidt dan Fergusson mempunyai tipe iklim C dengan rata-rata curah hujan 3.092 mm/tahun, dengan suhu rata-rata 280 C. CA Pagerwunung Darupono mempunyai hutan dengan tipe ekosistem hutan kering dataran rendah, dengan tumbuhan dominan Jati (Tectona grandis) (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Menurut Bijaksana dkk (2006) berdasarkan analisis cincin pohon dari pohon jati (Tectona grandis) alami di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono menunjukkan bahwapada umumnya jati berumur 250-350 tahun.

Kawasan ini memiliki luas wilayah 33,2 Ha,terdiri dari dua nomor petak yang dibatasi oleh jalan raya. Jalan tersebut merupakan jalur alternatif Semarang-Kendal sehingga lalu lintasnya tergolong ramai.Nomor petak 25 terletak disebelah barat jalan, sedangkan di sebelah timur terdapat nomor petak 56. Kawasan Cagar Alam berbatasan langsung dengan kawasan perhutani, didalamnya terdapat pos penjagaan yang biasa digunakan untuk memantau keadaan kawasan setiap harinya, dimana terdapat 3 petugas dari BKSDA dan 15 orang dari MPA (Masyarakat Peduli Api) yang secara bergantian bertugas menjaga kawasan tersebut (Gunawan, wawancara 11 Maret 2017).

Prosessuksesi yang terus berlangsung sampai saat ini mengakibatkan keanekaragaman hayati yangada juga terus meningkat.Permasalahannya yaitu keanekaragaman jenis vegetasi di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal belum banyak diketahui dengan pasti selain pohon jati (Tectona grandis) yang merupakan tanaman awal di kawasan hutan tersebut. Data-data hasil penelitian yang telah dilakukan juga belum banyak mengungkap keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut hingga sekarang. Disisi lain keanekearagaman jenis tumbuhan merupakan komponen penyusun ekosistem hutan yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian tentang keanekaragaman jenis tumbuhan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal perlu dilakukan.

Selain bertujuan untuk mengetahui potensi spesies tumbuhan penyusunnya, studi kondisi vegetasi kawasancagar alam tersebut juga sangat penting untuk memantau proses regenarasi Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono secara alami, menjadi bahan pertimbangan penentuan tindakan konservasi selanjutnya, memantau perubahan yang terjadi pada struktur vegetasi hutan, mengamati tingkat kerusakan hutan, serta untuk mempelajari kondisi vegetasi hutan sebagai habitat berbagai spesies binatang liar. Hutan dengan kondisi vegetasi yang baik akan menjadi habitat yang sesuai untuk berbagai spesies satwa liar.

Tumbuhan di dunia ini beranekaragam mulai dari tumbuhan dengan bentuk dan struktur kompleks.Keanekaragaman tersebut dalam hal bentuk, susunan, karakter khas dan ukuran.Keanekaragaman tumbuhan tersebut juga dalam upaya bertahan terhadap perubahan lingkungan. Kemampuan tumbuhan dalam upaya bertahan terhadap lingkungan tersebut dengan cara beradaptasi sehingga memuncukan variasi-variasi baru pada populasi suatu spesies tumbuhan (Hayati, 2015).

BIOLOGI…

184 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas maka perlu untuk dilakukan penelitian mengenai tingkat keanekaragaman spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal, pada bulan Maret sampai April 2017. Instrumen yang digunakan dalam membantu proses pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari: tali rafia,patok, gunting, luxmeter, termometer, higrometer, soil tester, kamera alat tulis (buku catatan, pulpen, penggaris, pensildan penghapus) dan buku kunci identifikasi tumbuhan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah semuajenis spermatophyta yang terdapat dalam plot atau petak pengamatan. Fokus dari penelitian

ini adalah pada keanekaragaman tumbuhan berbiji (spermatophyta) pada strata pohon di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal. Metode pengambilan sampel menggunakan metode petak ganda. Pengambilan data pada metode petak ganda dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar secara acak (random sampling) pada areal yang dipelajari. Dibuat 5 plot/petak pengamatan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal. Tiap plot berukuran 20 x 20 m2. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriyanto (2006) bahwa petak 20 x 20 m2 digunakan untuk pengukuran dan pencatatan terhadap tingkat pohon.

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel

Data yang telah diperoleh ditabulasi dengan baik secara keseluruhan kemudian dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui densitas (kerapatan), frekuensi, dominansi, indeks nilai penting (INP) dan indeks keanekaragaman spesies (H’). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut (Indriyanto, 2006): a. Densitas Absolut (KA)

KA = jumlah individu spesies

total luas area

b. Densitas Relatif (KR)

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 185

KR = DA suatu spesies

DA seluruh spesies x 100 %

c. Frekuensi Absolut (FA)

FA = jumlah plot ditemukannya suatu spesies

Jumlah seluruh plot

d. Frekuensi Relatif (FR)

FA = FA suatu spesies

FA seluruh spesies x 100 %

e. Dominansi Absolut (DA)

DA = basal area suatu spesies

luas area penelitian

f. Dominansi Relatif (DR)

DR = jumlah dominansi suatu spesies

jumlah dominansi seluruh spesies x 100 %

g. Indeks Nilai Penting (INP) INP = KR + FR + DR Keterangan : INP = indek nilai penting FR = frekuensi relatif KR = kerapatan relatif DR = dominansi relatif

h. Keanekaragaman Spesies (H’) Hʼ=-∑{ (n.i/N) log (n.i/N)} Keterangan : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner n.i = nilai penting dari tiap spesies N = total nilai penting Tabel 1. Penentuan tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks Shannon-Wienner (Fachrul, 2007)

Nilai H' Tingkat keanekaragaman

jenis

> 3 Tinggi

1 – 3 Sedang

< 1 Rendah HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada kelima plot menunjukkan bahwa telah ditemukan 16 jenis tumbuhan spermatophyta pada strata pohon. Plot 1 ditemukan 6 spesies, plot 2 terdiri atas 6 spesies, plot 3 terdiri atas 5 spesies, plot 4 terdiri atas 3 spesies dan plot 5 terdiri atas 6 spesies. Data 16 jenis tumbuhan tersebut selengkapnya akan di sajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Data spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal No Nama Tumbuhan Ordo Famili 1 Jati (Tectona grandis) Lamiales Verbenaceae 2 Teja (Cinnamomum iners) Laurales Lauraceae 3 Jengkol (Pithecellobium

lobatum) Fabales Fabaceae

4 Bendo (Artocarpus elastica) Rosales Moraceae 5 Belimbing

(Averrhoacarambola) Oxalidales Oxalidaceae

6 Awar-awar (Ficus septica) Rosales Moraceae

BIOLOGI…

186 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

7 Manggis hutan (Garcinia bancana)

Malpighiales Clusiaceae

8 Suren (Toona sureni) Sapindales Anacardiaceae 9 Walikukun (Schoutenia ovata) Malvales Malvaceae

10 Salam watu (Syzygium lineatum)

Myrtales Myrtaceae

11 Waru tutub (Macaranga tanarius)

Malpighiales Euphorbiaceae

12 Rengas (Gluta renghas) Fabales Fabaceae 13 Mindi (Melia azedarach) Sapindales Meliaceae 14 Serut (Streblus asper) Rosales Moraceae 15 Klayu (Erioglossum

rubiginosum) Sapindales Sapindaceae

16 Karet (Hevea brasiliensis) Malpighiales Euphorbiaceae Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 16 spesies tumbuhan yang ditemukan,

terdapat 9 ordo dan 12 famili tumbuhan spermatophyta. Ordo paling banyak terdapat pada rosales, malpighiales dan sapindales dengan masing-masing berjumlah 3 tumbuhan, kemudian fabales berjumlah 2 tumbuhan, sedangkan sisanya pada tiap ordo ditemukan satu jenis tumbuhan. Famili tumbuhan terbanyak berasal dari famili moraceae berjumlah 3 tumbuhan, kemudian fabaceae dan euphorbiaceae dengan masing-masing berjumlah 2 tumbuhan, sedangkan sisanya pada tiap famili ditemukan satu jenis tumbuhan. Tabel 3. Densitas Absolut (DA), Densitas Relatif (DR), Frekuensi Absolut (FA), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Absolut (DA) dan Dominansi Relatif (DR) tumbuhan di Kawasan

Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal No Nama

Tumbuhan Densitas Absolut

(KA) (individ

u/ ha)

Densitas Relatif (KR)

(%)

Frekuensi Absol

ut (FA)

Frekuensi Relatif (FR)

(%)

Dominansi Absolut

(DA) (m2/ha)

Dominansi Relatif (DR) (%)

1 Jati (Tectona grandis)

85 36,170213 3,4 36,170213 2.011,783385

63,706586

2 Teja (Cinnamomum iners)

30 12,765957 1,2 12,765957 188,00286

5,953434

3 Jengkol (Pithecellobium lobatum)

5 2,127660 0,2 2,127660 55,37955 1,753689

4 Bendo (Artocarpus elastica)

25 10,638298 1 10,638298 893,144355

28,282954

5 Belimbing (Averrhoacarambola)

5 2,127660 0,2 2,127660 101,818185

3,224248

6 Awar-awar (Ficus septica)

10 4,255319 0,4 4,255319 110,10682

3,486722

7 Manggis hutan (Garcinia bancana)

5 2,127660 0,2 2,127660 35,89489 1,136674

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 187

8 Suren (Toona sureni)

10 4,255319 0,4 4,255319 88,08864 2,789478

9 Walikukun (Schoutenia ovata)

5 2,127660 0,2 2,127660 15,785795

0,499884

10 Salam watu (Syzygium lineatum)

5 2,127660 0,2 2,127660 16,29091 0,515880

11 Waru tutub (Macaranga tanarius)

15 6,382979 0,6 6,382979 56,453405

1,787694

12 Rengas (Gluta renghas)

5 2,127660 0,2 2,127660 38,19773 1,209597

13 Mindi (Melia azedarach)

10 4,255319 0,4 4,255319 58,86364 1,864019

14 Serut (Streblus asper)

10 4,255319 0,4 4,255319 47,26989 1,496882

15 Klayu (Erioglossum rubiginosum)

5 2,127660 0,2 2,127660 16,29091 0,515880

16 Karet (Hevea brasiliensis)

5 2,127660 0,2 2,127660 134,65455

4,264068

Jumlah 235 9,4 3.157,889164

Densitas (kerapatan) tertinggi terdapat pada jati (Tectona grandis) sebesar 85 individu/ha dengan presentase densitas relatif 36,170213 %.Nilai terendah densitas absolut (DA) terdapat pada beberapa jenis tumbuhan meliputi jengkol, belimbing, manggis hutan, walikukun, salam watu, rengas, klayu dan karet dengan nilai yang sama yaitu sebesar 5 individu/ha serta presentase densitas relatifnya sebesar 2,127660 %.

Frekuensi absolut (FA) terbesar terdapat pada spesies jati (Tectona grandis) sebesar 3,4 dengan presentase frekuensi relatif (FR) sebesar 36,170213 %. Nilai frekuensi absolut terendah terdapat pada beberapa spesies meliputi jengkol, belimbing, manggis hutan, walikukun, salam watu, rengas, klayu dan karet dengan nilai yang sama yaitu 0,2 serta presentase frekuensi relatifnya sebesar 2,127660 %.

Dominansi terbesar yang terdapat di Kawasan CA Pagerwunung Darupono dimiliki oleh jati (Tectona grandis) sebesar 2.011,783385 m2/ha dengan dominansi relatifnya sebesar 63,706586 %, diikuti oleh bendo sebesar 893,144355 (28,282954 %) pada posisi kedua, dan teja sebesar 188,00286 (5,953434 %) diposisi ketiga. Nilai dominansi terendah diperoleh pada walikukun yaitu sebesar 15,785795 dengan dominansi relatifnya sebesar 0,499884 %.

Tabel 4. Indeks Nilai Penting (INP) dan Keanekaragaman Spesies (H’) setiap jenis tumbuhan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal (Maret 2017)

No Nama Tumbuhan Indeks Nilai Penting (INP)

(%)

H’

1 Jati (Tectona grandis) 136,047012 -0.158126 2 Teja (Cinnamomum iners) 31,485348 -0.098649 3 Jengkol (Pithecellobium

lobatum) 6,009009 -0.032230

4 Bendo (Artocarpus elastica) 49,559550 -0.125000

BIOLOGI…

188 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

5 Belimbing (Averrhoacarambola)

7,479568 -0.037913

6 Awar-awar (Ficus septica) 11,997360 -0.053178 7 Manggis hutan (Garcinia

bancana) 5,391994 -0.029707

8 Suren (Toona sureni) 11,300116 -0.050999 9 Walikukun (Schoutenia

ovata) 4,755204 -0.027004

10 Salam watu (Syzygium lineatum)

4,7712 -0.027073

11 Waru tutub (Macaranga tanarius)

14,553652 -0.060723

12 Rengas (Gluta renghas) 5,464917 -0.030010 13 Mindi (Melia azedarach) 10,374657 -0.048016 14 Serut (Streblus asper) 10,007520 -0.046802 15 Klayu (Erioglossum

rubiginosum) 4,7712 -0.027073

16 Karet (Hevea brasiliensis) 8,519388 -0.041690 Jumlah 322.487695 -0.894195

Jenis tumbuhan dengan indeks nilai penting (INP) tertinggi adalah jati (Tectona grandis) dengan indeks nilai penting sebesar 136,047012 %. Nilai penting kedua diduduki oleh bendo sebesar 49,559550 %.Tumbuhan dengan INP terendah ditemukan pada walikukun dengan nilai sebesar 4,755204 %. Hasil penelitian menunjukkan tingkat keanekaragaman spermatophyta dengan indeks Shannon-Wiener sebesar -0.894195.Nilai rujukan tingkat keanekaragaman ini dapat di lihat pada tabel 1. Angka tersebut menunjukkan tingkat keanekaragaman yang rendah pada kawasan tersebut.

Pengukuran faktor abiotik dilakukan pada rentang waktu pukul 09.00 – 12.30 WIB. Setiap plot dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali pada tempat yang berbeda kemudian diambil reratanya. Berikut hasil pengukuran kondisi faktor abiotik di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal.

Tabel 5. Pengukuran kondisi lingkungan pada seluruh plot yang diamati

Parameter lingkungan Hasil pengukuran pada plot

1 2 3 4 5

Temperatur udara (0C) 29,1 28,8 28,1 28,2 28,2

Kelembaban udara (%) 84 83 91 82 85

Intensitas cahaya (Lux) 131 135 130 322 393

PH tanah (%) 6,2 5,9 6,4 6,5 6,6

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada area pengamatan diperoleh gambaran kondisi lingkungan yang diamati di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono selama penelitian dilakukan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH tanah pada seluruh plot yang diamati bersifat asam yang cenderung mendekati netral dengan kisaran 5,9 - 6,6. Kelembaban udara berkisar antara 82 - 91 %, suhu udara berkisar 28,1 - 29,1 0C, dan intensitas cahaya antara 130 - 393 lux. Purwantoro dkk (2006) menyatakan bahwa ketinggian di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono berada diantara 60 – 110 m dpl. Menurut Mukti, Sudarsono, dan

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 189

Sulistyono(2016) spermatophyta umumnya dapat hidup pada suhu udara 15 - 32o C, pH 5,6 - 7, kelembaban udara 70 – 80 %, serta intensitas cahaya 70 -1500 lux.

Jati (Tectona grandis) memiliki tingkat densitas/kerapatan, frekuensi dan dominansi tertinggi dibandingkan tumbuhan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut paling mampu beradaptasi dengan lingkungan tersebut, dikarenakan masing-masing spesies mampu tumbuh dan berhasil memperbanyak diri dengan baik.Tingginya nilai INP pada jati menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut memiliki peranan dan kontribusi yang besar dalam penyusunan komunitas tumbuhan didalamnya.

Indeks keanekaragaman spermatophyta Shannon-Wiener sebesar -0.894195 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman yang tergolong rendah pada kawasan tersebut. Keanekaragaman dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur kestabilan komunitas. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragamannya, maka komunitas tersebut akan lebih stabil (Fachrul, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa komunitas tumbuhan spermatophyta pada strata pohon di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono belum stabil, dengan demikian komunitas tersebut memiliki potensi untuk mengalami perkembangan kearah kestabilanyanglebih baik atau sebaliknya dengan adanya factor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan tumbuhan di kawasan tersebut antara lain suhu, pH, intensitas cahaya dan kelembaban udara.

Keanekaragaman yang masih rendah ini tidak terlepas dari asal mula kawasan tersebut yang berupa hutan jati (Tectona grandis). Semenjak ditetapkan sebagaikawasan cagar alam, ekosistem yang ada dibiarkan secara alamiah tanpa adanya campur tangan dari manusia. Pohon jati semakin besar dan menguasai kawasan tersebut, sehingga tumbuhan lain tidak mampu untuk bersaing

Pengukuran faktor lingkungan yang berupa pH tanah, suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya dilakukan sebagai salah satu petimbangan analisis mengapa keanekaragaman spermatophyta di kawasan tersebut rendah. Secara umum parameter lingkungan yang didapat dari kelima plot kurang lebih sama. Intensitas cahaya menunjukkan angka yang relatif rendah, padahal disisi lain cahaya sangat penting dalam proses fotosintesis tumbuhan.

Hal ini tidak terlepas dari tumbuhan jati (Tectona grandis) yang masih mendominasi kawasan tersebut.Dikarenakan pohon tersebut membentuk kanopi yang memungkinkan cahaya matahari tidak sampai secara maksimal ke permukaan tanah. Spesies tumbuhan yang tajuknya ternaungi oleh tajuk spesies tumbuhan lainnya akan mengalami hambatan dalam menjalankan proses fotosintesis dikarenakan ketersediaan cahaya terhambat, sehingga tumbuhan lain tidak mampu berkembang secara maksimal.

Tumbuhan baru mulai akan tumbuh secara maksimal ketika ada pohon jati yang tadinya dominan di kawasan tersebut tumbang dikarenakan faktor usia maupun ketika ada cucaca buruk. Ketika hal ini terjadi maka cahaya yang masuk akan maksilam sampai kepermukaan tanah dan membantu bakal biji untuk tumbuh berkembang secara optimum. Hal ini bisa dilihat dari beberapa titik lokasi dimana terdapat pohon jati yang tumbang disekitarnya mulai rimbun dengan adanya tanaman lain yang tumbuh. Hal inilah yang diduga menjadi faktor utama penyebab keanekaragaman spermatophyta strata pohon masih relatif rendah di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal.

Jati (Tectona grandis) yang tumbuh lebih dahulu, mencapai tinggi lebih besar dan menyebar lebih luas menyebabkan tumbuhan tersebut memperoleh cahaya matahari, air dan unsur hara tanah yang lebih besar dari tempat tumbuhnya. Ada kemungkinan juga biji pohon tidak mampu berkecambah atau kalaupun berkecambah tidak mampu tumbuh dengan baik karena faktor lingkungan yang kurang mendukung. Hal ini sesuai

BIOLOGI…

190 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dengan pendapat Indriyanto (2006), bahwa penggantian spesies tumbuhan tertentu oleh spesies yang lain di suatu habitat sangat bergantung kepada kemampuan spesies tumbuhan untuk bersaing dengan yang lain terhadap tempat (ruang tumbuh) cahaya, air dan unsur hara tanah.

Penyebaran biji-bijian sebagai bakal tumbuhan ke suatu daerah yang baru dapat dibantu dengan perantara angin, air maupun hewan yang ada seperti burung maupun kera yang seringkali telihat di Kawasan Cagar Alam. KESIMPULAN

Spermatophyta yang ditemukan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal terdiri dari 16 jenis yang termasuk dalam 9 ordo dan 12 famili. Jenis-jenis tersebut adalah jati (Tectona grandis), teja (Cinnamomum iners), jengkol (Pithecellobium lobatum), bendo (Artocarpus elastica), belimbing (Averrhoacarambola), awar-awar (Ficus septica), manggis hutan (Garcinia bancana), suren (Toona sureni), walikukun (Schoutenia ovata), salam watu (Syzygium lineatum), waru tutub (Macaranga tanarius), rengas (Gluta renghas), mindi (Melia azedarach), serut (Streblus asper), klayu (Erioglossum rubiginosum) dan karet (Hevea brasiliensis).Tingkat keanekaragaman spermatophytadi Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal tergolong rendahdengan indeks Shannon-Wiener sebesar -0.894195. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Bapak Gunawan selaku Kepala Resort Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal beserta staf yang telah mendampingi Penulis selama kegiatan penelitian berlangsung. REFERENSI Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Bijaksana, Satria dkk. 2006. Report On Dendrochronological Sampling Of Teak (Tectona

Grandis) At Pagerwunung Darupono. Bandung: ITB. Departemen RI. 2006. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya. Kudus: Menara Kudus. Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Yogyakarta: Bumi Aksara. Hayati, Nur. 2015. Taksonomi Tumbuhan. Semarang: Karya Abadi Jaya. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015.Buku Informasi Kawasan

Konservasi, Semarang: Balai KSDA Jawa Tengah. Mukti, Lia Pramusintia Daru, Sudarsono dan Sulistyono. 2016. Keanekaragaman Jenis

Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya di Hutan Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta.Jurnal Biologi. 5(5): 9-19

Nugroho, Ary Susatyo. 2015. Analisis keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah di hutan lindung Surokonto, Kendal, Jawa Tengah dan potensinya sebagai kawasan konservasi burung. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indononesia.Juni 2015.

Purwantoro, R. Subekti dkk. 2006. Laporan Penelitian Ekologi Rauvolvia Serpentine di Karimunjawa dan Hutan Jati Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Bogor: LIPI.

Setiawan.2014. Manfaat Kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia. Surakarta: Aryhaeko Sinergi Persada.

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 191

RASIO SERANGGA OPT DAN MUSUH ALAMINYA DI SAWAH ORGANIK DAN SAWAH ANORGANIK

Mochamad Hadi, Rully Rahadian dan Udi Tarwotjo

Laboratorium Ekologi dan Biosistematika Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Semarang

[email protected]

Abstrak Banyak serangga yang berpotensi sebagai OPT tanaman padi, seperti berbagai jenis penggerek batang padi, belalang, walang sangit, wereng, dan lain sebagainya. Pertanian organik sebagai langkah menuju pangan sehat di Jawa Tengah masih belum banyak diterapkan sehingga masih sangat kurang informasi yang tersedia, termasuk informasi mengenai rasio antara OPT dan musuh alaminya. Penelitian ini mengenai rasio antara serangga OPT dan musuh alaminya di sawah organik dan anorganik. Data dianalisis dengan jumlah jenis, jumlah individu, indeks keragaman, kelimpahan dan kemerataan persebaran (e). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum rasio OPT dan musuh alaminya hampir tidak berbeda antara sawah organik, semi organik dan anorganik. Jumlah jenis OPT di sawah organik lebih kecil dibandingkan jumlah jenis musuh alaminya. Demikian juga jumlah jenis OPT di sawah semiorganik lebih kecil dibandingkan musuh alaminya, sedangkan jumlah jenis OPT di sawah anorganik cenderung lebih banyak dibandingkan musuh alaminya. Jumlah individu OPT di sawah organik jauh lebih kecil dibandingkan dengan musuh alaminya. Demikian juga dengan sawah semiorganik, jumlah individu OPT jauh lebih kecil dibandingkan dengan musuh alaminya. Sedangkan di sawah anorganik jumlah individu OPT hampir sama dengan jumlah individu musuh alaminya. Secara umum jumlah jenis maupun jumlah individu OPT selalu lebih rendah dibandingkan dengan musuh alaminya. Keragaman jenis OPT di sawah organik selalu lebih rendah dibandingkan musuh alaminya, sedangkan keragaman OPT di sawah semiorganik hampir sama dengan keragaman musuh alaminya. Sebaliknya keragaman OPT di sawah anorganik justru lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman musuh alaminya. Kemerataan persebaran OPT di sawah organik, semiorganik maupun anorganik hampir sama dengan kemerataan persebaran musuh alaminya. Dominansi OPT di sawah organik, semiorganik maupun anorganik secara umum hampir sama dengan dominansi musuh alaminya, dalam katagori rendah hingga menengah. Kata kunci : OPT, musuh alami, sawah organik dan sawah anorganik.

PENDAHULUAN

Keberadaan OPT di lahan sawah berfluktuasi dari tahun ke tahun. Keberadaan OPT padi, seperti berbagai jenis penggerek batang padi, belalang, walang sangit, wereng, dan lain sebagainya, berfluktuasi dari waktu ke waktu. Kehilangan hasil akibat serangan OPT pada stadia vegetatif memang tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat mengkonpensasi dengan membentuk anakan baru. Gejala serangan pada stadia generatif menyebabkan malai yang muncul hampa, tidak berisi dan rusak. Kerugian yang besar dapat terjadi bila kehadiran OPT bersamaan dengan stadia bunting tanaman padi (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009; Litbang Departemen Pertanian, 2009).

Serangga OPT dan musuh alami adalah bagian dari keragaman hayati, serangga OPT memiliki kemampuan berbiak yang tinggi untuk mengimbangi tingkat kematian di alam yang tinggi. Keseimbangan alami antara serangga OPT dan musuh alami sering dikacaukan oleh penggunaan insektisida kimia (Sutanto, 2002; Sriyanto, 2010).

Pertanian organik tidak hanya baik bagi kesehatan manusia, tetapi juga baik bagi lingkungan hidup (bumi). Pengembangan pertanian organik sebagai salah satu teknologi alternatif untuk menciptakan pangan sehat dan menanggulangi persoalan lingkungan sangat diperlukan (Sutanto, 2002; Mutiarawati, 2006; Kunia, 2011). Sampai saat ini belum pernah dilakukan pengembangan penelitian secara utuh yang berkaitan dengan rasio serangga OPT dan musuh alaminya di ekosistem sawah organik. Dengan

BIOLOGI…

192 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dihilangkannya penggunaan bahan kimia pada sawah organik, tentunya memberi peluang meningkatnya keragaman dan kelimpahan serangga OPT dan juga musuh alaminya, dibanding di sawah anorganik (Standar Nasional Indonesia, 2002; IFOAM, 2005).

Fluktuasi keragaman dan kelimpahan OPT padi di ekosistem sawah, selain dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan juga dipengaruhi keragaman jenis dan kelimpahan populasi kelompok musuh alami sebagai penyeimbang ekosistem seperti kelompok predator, parasitoid, kompetitor (Wijayanti, 1999; Santoso & Sulistyo, 2007).

Kehadiran serangga OPT di pertanaman padi dapat merusak tanaman padi yang dibudidayakan dan menurunkan produksi padi. Terdapat banyak OPT padi di Jawa Tengah dengan potensi serangan yang bergantian.

Penelitian bertujuan untuk mengkaji rasio OPT dan musuh alaminya, yaitu keragaman, kelimpahan, kemerataam persebaran dan dominansi pada ekosistem sawah organik, semiorganik dan anorganik, di Desa Mrentul, Kecamatan Bonorowo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di sawah Desa Mrentul Kecamatan Bonorowo, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Lokasi penelitian dipilih pada lahan sawah organik (milik Kelompok Tani Sri Rejeki) yang ditanami padi dua kali dan palawija satu kali setiap tahunnya. Sawah semiorganik dan sawah anorganik terletak di sekitar sawah organik.

Untuk mengetahui keragaman, kelimpahan, kemerataan dan dominansi serangga OPT padi dan musuh alaminya, dilakukan pengambilan sampel serangga dewasa pada tanaman padi antara fase vegetatip dan fase generatip di sawah organik, semiorganik dan anorganik. Pengambilan sampel serangga OPT dan musuh alami dewasa menggunakan jaring serangga ayun yang diayunkan sepanjang jalur 3 kali 100 meter di pematang sawah. Sampel serangga dewasa yang diperoleh dikoleksi dalam botol koleksi berisi alkohol 70%.

Keragaman serangga OPT dan musuk alaminya adalah jumlah jenis serangga yang terperangkap. Keragaman jenis dihitung dengan rumus Shannon Wiener (H’= -∑ni/N ln ni/N) (Dent & Walton, 1997; Brower, Zar & von Ende. 1997; Krebs, 2001).

Kelimpahan serangga OPT dan musuh alaminya adalah jumlah individu masing-masing spesies serangga yang terperangkap. Kelimpahan jenis dihitung dengan rumus Di = ni/N x 100%. Data kelimpahan jenis ini dapat digunakan untuk mengetahu jenis dominans, sub dominan dan tidak dominan menurut skala Jorgensen (1974) (Dent & Walton, 1997; Brower, Zar & von Ende. 1997; Krebs, 2001).

Kemerataan persebaran serangga OPT dan musuh alaminya adalah bagaimana individu-individu masing-masing spesies serangga menyebar di lingkungan. Kemerataan dihitung dengan menggunakan rumus e = H’/H max. Data kemerataan ini dapat digunakan untuk mengetahui bagaiman persebaran, merata, cukup merapa atau tidak merata (Dent & Walton, 1997; Brower, Zar & von Ende. 1997; Krebs, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Gambar 1 terlihat bahwa jumlah jenis OPT di sawah organik (lokasi 1, 2 dan 3) selalu lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis musuh alaminya, demikian pula dengan sawah semiorganik (lokasi 6 dan 7). Nampak bahwa rasio antara jumlah jenis OPT dan musuh alaminya di sawah organik berbanding 1:3. Pada sawah semiorganik (lokasi 6 dan 7), rasio OPT dengan musuh alaminya berbanding 1:2 yang berarti bahwa keberadaan OPT masih mampu dikontrol oleh musuh alaminya. Sedangkan di sawah organik (lokasi 4 dan 5) rasio OPT dan musuh alaminya berbanding 1:1.

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 193

Gambar 1. Jumlah spesies OPT dan musuh alaminya

Di sawah organik keberadaan jenis OPT masih mampu dikontrol oleh keberadaan musuh alaminya, demikian pula dengan keberadaan jenis OPT di sawah semiorganik. Sedangkan di sawah anorganik nampaknya musuh alami mulai tidak mampu lagi mengontrol banyaknya jenis OPT padi. Gambar 2 menunjukkan bahwa secara umum rasio keragaman OPT dengan musuh alaminya cenderung lebih rendah, kecuali di sawah anorganik. Di sawah organik rasio OPT dengan musuh alamnya berbanding 1:4, di sawah semiorganik berbanding 1:3, sedangkan di sawah anorganik berbanding 1:1. Keragaman jenis musuh alami di sawah organik dan semiorganik selalu lebih tinggi dibandingkan keragaman jenis OPT, sedangkan di sawah anorganik keragaman OPT sama dengan musuh alaminya.

Gambar 2. Keragaman jenis OPT dan musuh alaminya

Proporsi jumlah individu OPT dengan musuh alaminya di sawah organik dalam rasio 1:8 yang mengindikasikan jumlah individu musuh alami di sawah organik mampu menekan jumlah individu OPT. Sedangkan proporsi jumlah individu OPT dengan musuh alaminya di sawah semiorganik dan anorganik dalam rasio yang hampir sama yaitu 1:1,7 dan 1:1,5 yang mengindikasikan bahwa jumlah individu musuh alami di kedua sawah semiorganik dan anorganik tidak mampu mengendalikan jumlah individu OPT (Gambar 3).

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1 2 3 4 5 6 7

Lokasi

jum

lah

sp

esie

s

jumlah spesies OPT jumlah spesies musuh alami

BIOLOGI…

194 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 3. Jumalh individu OPT dan musuh alaminya

Gambar 4 menunjukkan bahwa rasio OPT dengan masuh alaminya di sawah organik, adalah 1:2,5. sedangkan di sawah semiorganik rasio OPT dengan musuh alaminya 1:1,3 dan di sawah anorganik 1:0,9. Kemerataan persebaran OPT di sawah organik nampak tidak merata sedangkan musuh alaminya tersebar merata. Sedangkan di sawah semiorganik maupun anorganik kemerataan persebaran OPT dan musuh alaminya merata.

Gambar 5 menunjukan bahwa rasio diminansi OPT dengan musuh alaminya di sawah organik adalah 1:1,3 sedangkan di sawah semiorganik adalah 1:1,2 dan di sawah anorganik 1:1. Secara umum, baik sawah organik maupun semiorganik dan angorganik tidak ada dominansi baik OPT maupun musuh alaminya.

Gambar 4. Kemerataan OPT dan musuh alaminya

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 195

Gambar 5. Dominansi OPT dan musuh alaminya.

KESIMPULAN Jumlah jenis dan keragaman OPT di sawah organik selalu lebih rendah dibandingkan dengan jumlah jenis dan keragaman musuh alaminya. Demikian pula dengan sawah semiorganik. Sedangkan di sawah anorganik jumlah jenis OPT sebanding dengan jumlah jenis dan keragaman musuh alaminya. Jumlah individu OPT di sawah organik jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah individu musuh alaminya. Di sawah semiorganik dan sawah organik jumlah individu OPT hampir sama dengan musuh alaminya. Di sawah organik OPT tersebar tidak merata sedangkan musuh alaminya tersebar merata. Sedangkan di sawah semiorganik maupun anorganik baik OPT maupun musuh alaminya tersebar merata UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Sri Widodo dan semua anggota kelompok tani Sri Rejeki, atas ijin dan bantuan yang diberikan sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan. Terima kasih juga disampaikan kepada saudara Anjar, Anna, Annisa dan Devi, mahasiswa Biologi FSM Undip, yang telah membantu dalam pengambilan sampel.. Terima kasih juga disampaikan kepada FSM atas bantuan dana penelitian yang diberikan. REFERENSI Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009. Penggerek batang padi.

http://bbpadi.litbang.deptan.go.id. Brower, Zar & von Ende. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. WCB.

McGraw Hill. Boston. Dent & Walton, 1997. Methods in Ecological and Agricultural Entomology. CAB

International. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

IFOAM, 2005. Principles of Organic Agriculture. International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM). Germany

Krebs,C.J. 2001. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Benjamin Cummings, An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. San Francisco.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

1 2 3 4 5 6 7

Lok a si Domi na nsi

Series1 Series2

BIOLOGI…

196 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kunia, K, 2011. Pertanian Organik, teknologi ramah lingkungan. http://kunia.wordpress.com.

Litbang Departemen Pertanian, 2009. Kajian empat cara pengendalian hama penggerek batang padi di Kabupaten Toli-toli Sulteng. http://sulteng.litbang.deptan.go.id.

Mutiarawati, T, 2006. Kendala dan Peluang Dalam Produksi Pertanian Organik di Indonesia. Makalah Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung

Santosa, SJ & J Sulistyo, 2007. Peranan musuh alami hama utama padi pada ekosistem sawah. INNOFARM, Jurnal Inovasi Pertanian. Vol. 6, No. 1

Sriyanto,S, 2010. Panen Duit dari Bisnis Padi Organik. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2002. Sistem Pangan Organik. SNI 01-6729-2002. Sutanto, R, 2002. Pertanian Organik, menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan.

Kanisius Yogyakarta. Wijayanti, R, 1999. Jenis dan Potensi Parasitoid Hama Putih Palsu Cnaphalocronis

medinalis (Guenee) (Lepidoptera : Pyralidae) di Tiga Sistem Pertanaman Padi. Tesis Fakultas Biologi UGM

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 197

STRUKTUR VEGETASI TUMBUHAN PENUTUP TANAH DI HUTAN

WISATA NGLIMUT GONOHARJO KABUPATEN KENDAL JAWA TENGAH

Sri Utami* dan Karyadi Baskoro* *Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Semarang

*email : [email protected]

Abstrak Tumbuhan penutup tanah merupakan salah satu komponen ekosistem hutan yang secara ekologis berfungsi sebagai pengendali erosi, sebagai habitat beberapa jenis hewan meningkatan bahan organik tanah. Secara ekonomi tumbuhan penutup tanah bermanfaat sebagai sumber pangan, sumber obat-obatan dan sebagai makanan ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan penutup tanah, dominansinya dan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan penutup tanah di hutan wisata Nglimut Gonoharjo Kendal. Penentuan stasiun dengan teknik stratified dan sampling vegetasi dengan teknik kwadrat (plot). Analisis data menggunakan Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman jenis (Hꞌ). Jenis tumbuhan penutup tanah di hutan wisata Nglimut ada 12 jenis herba dan 10 jenis semak. Jenis herba yang dominan adalah Brachiaria mutica dan Coffea sp (herba), jenis semak yang dominan Elatostema integrifolium dan Melastoma affine. Ekosistem hutan wisata Nglimut kurang stabil berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah. Kata kunci : Tumbuhan penutup tanah, Nglimut, stratified, teknik kwadrat, dominan.

PENDAHULUAN

Hutan merupakan suatu ekosistem yang memiliki keankeragaman hayati yang sangat tinggi dan oleh sebab itu harus dijaga kelestariannya. Salah satu unsur penting penyususn ekosistem hutan adalah komunitas tumbuhan penutup tanah (Burianek et al., 2013). Komunitas tumbuhan penutup tanah memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan melindungi kelestarian hutan. Tumbuhan bawah hutan berfungsi baik secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis tumbuhan bawah berfungsi melindungi tanah dari butiran air hujan, mengurangi kecepatan air permukaan tanah , sebagai habitat berbagai jenis hewan dan juga akan meningkatkan secara signifikan kandungan nirogen tanah (Burianek et al., 2013). Secara ekonomis, berbagai jenis tumbuhan bawah berkhasiat sebagai sumber bahan makanan dan bahan obat-obatan.

Hutan witata Nglimut merupakan tempat wisata yang terletak di desa Gonoharjo, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Keindahan alam, adanya sumber air panas dan air terjun menjadi daya trik untuk dikunjungi wisatawan. Adanya wisatawan akan menambah pendapatan asli daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun disisi lain, kegiatan wisata dapat berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan tersebut. Hutan sebagai ekosistem harus dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara melakukan konservasi. Konservasi dan pengelolaan hutan dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan yang hanya mempertahankan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan (Ismaeni et al.,2015).

Adanya aktifitas penebangan hutan yang dilakukan masyarakat di sekitar hutan, berpotensi merusak ekosistem hutan wisata di Nglimut. Kegiatan ini juga akan berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan penutup tanahnya. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian struktur vegetasi tumbuhan penutup tanah di hutan wisata Nglimut Gonoharjo Kendal Jawa Tengah sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan upaya konservasi hutan wisata tersebut.

BIOLOGI…

198 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2017 di kawasan hutan wisata

Nglimut Gonoharjo Kendal Jawa Tengah. Penentuan stasiun penelitian dengan menggunakan teknik stratified sampling. Tiga stasiun penelitian diambil disepanjang garis transek berupa jalan setapak mulai titik masuk kawasan hutan sampai di tempat pemandian air panas. Teknik sampling vegetasi dengan menggunakan teknik kwadrat (plot). Ukuran plot untuk lapisan semak 5 x 5 m dan untuk lapisan herba 1 x 1m. Setiap stasiun diambil 3 kali ulangan. Dilakukan pengukuran faktor lingkungan yang meliputi : ketinggian tempat, pH tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Analisis data vegetasi menggunakan Indeks Nilai Penting jenis dan Indeks Keanekaragaman jenis

Densitas = Jumlah individu Luas petak pengamatan

Densitas relatif = Densitas sp ___ x 100% Densitas seluruh sp Dominansi = Luas basal area suatu sp Luas petak pengamatan Dominansi relatif = Dominansi sp x 100% Dominansi seluruh sp Frekuensi = Ʃ petak suatu sp ditemukan Ʃ seluruh petak pengamatan Frekuensi relatif = Frekuensi sp x 100% Frekuensi seluruh sp Indeks Nilai Penting (INP) : Densitas Relatif + Domonansi Relatif + Frekuensi Relatif Indeks keanekaragaman jenis (H') :

H’ = ∑ ni/N log ni/N H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener’s ni: jumlah individuals setiap spesies. N: total jumlah individual seluruh spesies.

Kategori indeks keanekaragaman: H’ > 3 : keanekaragaman spesies tinggi. 1 <H’ < 3 : keanekaragaman spesies sedang H’ < 1 : keanekaragaman spesies rendah

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian didapatkan 12 spesies tumbuhan herba dengan jenis yang dominan adalah rumput Brachiaria mutica dan semai tanaman kopi (Coffea sp). Data spesies selengkapnya terdapat pada Tabel 1. Kedua jenis tersebut memiliki Indeks Nilai Penting (INP) yang tinggi di hutan wisata tersebut. Indeks Nilai Penting yang dimiliki oleh suatu jenis tumbuhan menunjukkan tingkat penguasaan jenis tersebut dalam komunitasnya. Suatu jenis tumbuhan yang mempunyai INP tinggi merupakan jenis yang dominan di daerah tersebut (Mandal dan Joshi, 2014).

Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Herba di Hutan Wisata Nglimut Gonoharjo, Kendal Jawa Tengah.

No Nama Spesies Famili Indeks NilaI Penting (%) Stasiun

1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Coffea sp Rubiaceae 64,1 - - 2 Commelina

nudiflora Comelinaceae 49.1 - -

3 Corchorus sp Tiliaceae 31,2 - - 4 Ischaemum Poaceae 24,5 - -

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 199

rugosum 5 Selaginella plana Selaginellaceae 31,2 - 33,4 6 Comelina diffusa Comelinaceae - 50,8 - 7 Brachiaria

mutica Poaceae - 77,7 -

8 Panicum repens Poaceae - 31,6 - 9 Dryopteris sp Polypodiacea - 39,1 30,0 10 Nephrilepis

exaltata Polypodiaceae - - 26,7

11 Molineria latifora Amaryllidaceae - - 32,7 12 Eriochlo

decumbens Poaceae - - 78,2

Jumlah individu 134 77 107 Jumlah jenis 5 4 5 Indeks Keanekaragaman (Hꞌ) 0,59 0,40 0,62

Tumbuhan kopi tingkat semai ditemukan cukup banyak di hutan wisata tersebut.

Hal ini disebabkan karena kawasan hutan wisata sudah banyak disusupi dengan tanaman kopi. Penebangan hutan yang diganti dengan tanaman kopi juga berdampak pada sedikitnya baik jumlah jenis maupun jumlah individu tumbuhan penutup tanahnya, karena banyak dilakukan penyiangan.

Jenis tumbuhan semak didapatkan 10 jenis dan jenis yang dominan adalah Elatostema integrifolium dan Melastoma affine (Tabel 2). Kedua jenis tumbuhan ini memiliki INP yang lebih tinggi dibandingkan jenis tumbuhan yang lain. Oleh karena itu kedua jenis tumbuhan ini juga memiliki ekologis yang tinggi (Indriyanto 2006). Di hutan wisata Nglimut dijumpai jenis Euphatorium odoratum yang merupakan salah satu jenis tumbuhan invasif berasal dari Amerika yang masuk dalam 100 of the World's Worst Invansive Alien Species (Lowe et al., 2000). Keberadaan jenis tumbuhan invasif mengancam kehidupan jenis tumbuhan lokal. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang serius dalam mengendalikan tumbuhan jenis ini.

Tabel 2. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Semak di Hutan Wisata Nglimut Gonoharjo, Kendal Jawa Tengah.

No Nama Spesies Famili Indeks NilaI Penting (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Elatostema integrifolium

Urticaceae 90,94 60,01

2 Solanum sp Solanaceae 28,85 3 Eclipta erecta Asteraceae 53,36 34,73 4 Melastoma affine Melastomaceae 69,35 28,26 5 Euphatorium

odoratum Asteraceae 39,74 53,93

6 Bidens pilosa Asteraceae 48,39 7 Deparia sp Dryopteridaceae 15,85 8 Diplazium

proliferum Dryopteridaceae 15,85

9 Clidemia hirta Melastomaceae 15,96 9,64 15,85 10 Physalis angulata Solanaceae 15,85 Jumlah individu 40 52 24 Jumlah jenis 4 5 7 Indeks Keanekaragaman (Hꞌ) 0,48 0,63 1,6

BIOLOGI…

200 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Besarnya nilai indeks keanekaragaman jenis untuk komunitas tumbuhan herba

berkisar antara 0,40 – 0,62, sedangkan nilai keanekaragaman jenis untuk komunitas tumbuhan semak berkisar antara 0,48 – 1,6 (Gambar 1). Nilai indek keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menilai kestabilan ekosistem (Utami et al., 2017). Berdasarkan nilai indeks tersebut, baik untuk komunitas tumbuhan herba dan semak komunitas hutan wisata dalam kondisi kurang baik (kurang stabil). Nilai indeks keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh kekayaan jenis saja tetapi juga ditentukan oleh pemerataan atau distribusi individu jenisnya (Brower, 1987). Keanekaragaman jenis dapat menggambarkan kondisi komunitas biotik (Cerny et al., 2013). Nilai indeks keanekaragaman jenis berkaitan dengan tingkat kestabilan ekosistem. Keanekaragaman jenis yang tinggi dalam komunitas menunjukkan ekosistem yang komplek (stabil) dengan adanya interaksi yang tinggi diantara spesies (Brower et al., 1997). Komunitas yang mempunyai banyak jenis akan mempunyai keanekaragaman yang tinggi (Indriyanto, 2006).

Hal ini akan dapat mengganggu fungsi dari ekosistem hutan dan tentunya akan mengancam terjadinya kerusakan ekosistem hutan. Keanekaragaman tumbuhan penutup tanah yang rendah berdampak pada tanah akan mudah tererosi dan tidak subur serta hewan-hewan banyak meninggalkan habitatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman vegetasi akan berpengaruh terhadap keanekaragaman dan julah individu burung di Pulau Panjang (Utami et.al., 2016)

Gambar 1. Grafik Indeks KeanekaragamanVegetasi Tumbuhan Penutup Tanah di Hutan

Wisata Nglimut Gonoharjo, Kendal Keanekaragaman tumbuhan bawah dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti

intensitas cahaya, pH tanah, suhu, kelembaban udara dan topografi (Das, 2007), selain itu juga dipengaruhi oleh jenis pohon naungannya (Nahdi dan Darsikin, 2014). Hasil pengukuran faktor lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Faktor Lingkungan di Hutan Wisata Nglimut Gonoharjo. Parameter Stasiun 3 Stasiun 2 Stasiun

1 Intensitas cahaya (Lux)

660 584 472

pH tanah 6,8 6,3 6,2 Kelembaban udara (%)

29 42 48

Ketinggian tempat (mdpl)

1.000 1.030 1.055

0

0.5

1

1.5

2

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Herba

Semak

BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 201

KESIMPULAN Tumbuhan penutup tanah di hutan wisata Nglimut terdapat 12 jenis tumbuhan

herba dan 10 jenis tumbuhan semak. Jenis tumbuhan yang dominan adalah Brachiaria mutica dan Coffea sp (herba), jenis semak yang dominan Elatostema integrifolium dan Melastoma affine. Ekosistem hutan wisata Nglimut dalam kondisi kurang stabil berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak pada para mahasiswa : Peny, Frendy, Lania, Tria, Evananda yang telah membantu sampling vegetasi. REFERENSI Cerny T., Dolezal, J., Janekek S., Srutek M., Valachovic M., Petrik P., Altman J., Bartos M.,

Song J. 2013. Environmental Correlates of Plant Diversity in Korean Temperate Forest. Acta Oecologica; 47: 37-45

Brower J.E., Zar J. A., Von Ende C. N. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. 4 edition. New York: Mc. Graw-Hill.

Burianek V., R. Novotny, K. Hellebrandova and V. Sramek. 2013. Ground Vegetation as an Important Factor in the Biodiversity of Forest Ecosystem and its Evaluation in Regard to Nitrogen Deposition. J.For. Sci. 59 (6): 238-252

Das, P.C. 2007. Plant Ecology. Virender Kumar Arya, A.I.T.B.S India. Ismaini L., M. Lailati, D. Rustandi. Sunandar. 2015. Distribusi dan Keanekaragaman

Tumbuhan di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1 (6) : 1397-1402

Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Lowe S, Browne M, Boudjelas S. dan De Poorter M. 2000. 100of the World's Worst

Invansive Alien Spesies A selection from the Global Invansive Species Database. The Invansive Species Specialist Group (ISSG) a specialist Group of the Species Survival Commision (SSG)of the Word Concervation Union. 12 pp. First published as specialist lift-out in Aliens 12, Desember 2000.

Mandal G. and S.P. Joshi. 2014. Analysis of Vegetation Dynamics and Phytodiversity from Three Dry Deciduous Forest of Doon Valley, Western Himalaya, India. Journal of Asia-Pasific Biodiversity; 7 : 292-304

Nahdi, M.S dan Darsikin. 2014. Distribusi dan Kemelimpahan Spesies Tumbuhan Bawah pada Naungan Pinus mercusii, Acacia auriculiformis dan Eucalyptus alba di Hutan Gama Giri Mandiri, Yogyakarta. Jurnal Nature Indonesia 16 (1): 33-41

Utami, S., Anggoro, S dan Soeprobowati T.R. 2016. Bird Species Biodiversity in Coastal Area of Panjang Island Jepara Central Java.

Utami, S., Anggoro, S dan Soeprobowati T.R. 2017. The diversity and regeneration of mangrove on Panjang Island Jepara Central Java. IJSC Volume 8 (2) : 289-294

PENDIDIKAN BIOLOGI…

202 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENDIDIKAN

BIOLOGI

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 203

POLA PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBASIS MANAJEMEN KURIKULUM DI MADRASAH ALIYAH

Dr. H. Nur Khoiri, M. Ag1

1Dosen UIN Walisongo Semarang

Abstrak Madrasah dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan umum dan keagamaan. Madrasah Aliyah NU Banat Kudus merupakan madrasah yang memiliki prestasi membanggakan, baik akademik dan non akademik. Madrasah ini mengkhususkan pada peserta didik putri. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional, kurikulum kementerian Agama, dan kurikukum lokal. MA NU Banat Kudus mengajarkan kitab kuning dan keterampilan khusus kewanitaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis mengenai pola peningkatan mutu pembelajaran biologi dengan berbasis penguatan manajemen kurikulum di Madrasah Aliyah NU Banat Kudus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan menambah pengetahuan tentang manajemen kurikulum sebagai landasan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran biologi di Madrasah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis fenomenologis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi dan Focus Group Discussion. Sumber data pada penelitian diantaranya kepala sekolah, wakil bidang kurikulum, guru biologi dan peserta didik. Teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi). . Temuan penelitian menunjukkan bahwa pertama implementasi manajemen kurikulum di MA NU Banat Kudus empat aspek meliputi; (1), perencanaan kurikulum Biologi dibahas dalam musyawarah Guru Mata Pelajaran dengan menghadirkan tim kurikulum, komite madrasah, dan guru Biologi. (2) pengorganisasian kurikulum biologi, mata pelajaran biologi dikelompokkan ke dalam mata pelajaran IPA. (3) pelaksanaan kurikulum biologi, terlebih dahulu kepala madrasah memngembangkan kemampuan guru Biologi dengan mengadakan PKG bagi guru Biologi serte mendelegasikan guru Biologi untuk mengikuti BIMTEK Biologi. Sedangkan dalam pelaksanaan pembelajaran Biologi, Guru Biologi menyiapkan kerangka pembelajaran atau RPP yang mengacu pada Indikator dan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. (4) Evaluasi Kurikulum Biologi dilaksanakan melalui dua periode yaitu: (a) periode tahun pelajaran baru, dalam rapat ini, kepala madrasah menghadirkan semua pihak madrasah yang berperan dalam pengelolaan pendidikan (b) periode semester, dalam rapat ini kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim kurikulum, dan komite madrasah.. Kedua manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi dengan melihat beberapa prinsip diantaranya prinsip relevansi yaitu kurikulum memiliki keterkaitan dengan kebutuhan masyarakat, prinsip fleksibilitas yaitu program pembelajaran yang terencana dilaksanakan secara fleksibel selama proses belajar mengajar dilakukan secara berkesinambungan, prinsip Kontinuitas artinya kurikulum dikembangkan secara berkesinambungan meliputi kesinambungan antarkelas maupun antarjenjang pendidikan tujuannya agar proses pembelajaran siswa dapat maju secara sistematis, prinsip efisiensi yaitu proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan jadual yang ditentukan. Dan prinsip efektivitas yaitu manajemen kurikulum pendidikan biologi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kurikulum dapat membawa hasil yang bermanfaat bagi Madrasah Kata Kunci: Mutu Pembelajaran Biologi, Manajemen Kurikulum

PENDAHULUAN Pendidikan abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang

modern dan profesional. Lembaga pendidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan, harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

204 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang hadir ditengah tengah dunia pendidikan Islam di Indonesia, karena berbagai alasan diantaranya sebagai manifestasi cita - cita pembaharuan dalam sistem pendidikan di Indonesia serta sebagai salah satu usaha menyempurnakan sistem pendidikan di Indonesaia

A.Mukti Ali juga menyarankan adanya peningkatan mutu pendidikan pada madrasah mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah sampai Aliyah. Madrasah tidak banyak diperhitungkan karena dari segi agama, alumni madrasah kalah jika dibandingkan dengan pondok pesantren. Dan dari segi ilmu umum tertinggal jauh jika dibandingkan dengan alumni sekolah umum. Karena itu madrasah sebagai lembaga pendidikan agama tidak memperoleh posisi yang semestinya dikalangan masyarakat Islam sekaligus (Sutrisno, 2006: 30)

Maksud dan tujuan peningkatan mutu pembelajaran pada Madrasah adalah agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yang setingkat, sehingga, pertama. Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang stingkat, kedua Lulusan Madrsah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan ketiga Siswa Madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa di tuntut untuk memahami informasi yang di ingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari (Wina Sanjaya, 2007: 1)

Ada beberapa persoalan yang selama ini dihadapi guru dalam pendidikan dan pembelajaran di madrasah sebagai berikut: pertama Kurikulum yang ada di Madrasah hanya di anggap sebagai rambu-rambu mengajar, kedua Guru menggunakan kurikulum “taken for granted” langsung jadi, sehingga kurikulum bukan kreatifitas guru untuk memberikan proses pembelajaran yang terbaik kepada peserta didik, tetapi sebagai tertib administrasi semata dan ketiga Guru tidak memahami kuikulum, sehingga saat ada perubahan dari kurikulum KTSP menuju Kurikulum 2013 (K13) tidak ada perubahan yang signifikan, yang disebabkan tidak ada kemandirian Madrasah dan diperparah oleh lemahnya sumber daya manusia. Padahal tujuan dari K13 adalah adanya pembelajaran bermakna dan inovatif

Lemahnya proses pembelajaran yang dikembangkan guru dewasa ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi di dunia pendidikan kita. Proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan selera guru. Padahal pada kenyataannya kemampuan guru dalam proses pengelolaan pembelajaran tidak merata sesuai dengan latar belakang pendidikan guru serta motivasi dan kecintaan mereka terhadap profesinya. Ada guru yang melaksanakan pengelolaan pembelajarannya di lakukan dengan sungguh- sungguh melalui perencanaan yang matang, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan memperhatikan taraf perkembangan intelektual dan perkembangan psikologi belajar anak. Guru yang demikian akan dapat menghasilkan kualitas lulusan yang lebih baik dibandingkan dengan guru yang dalam pengelolaan pembelajarannya dialakukan seadanya tanpa mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran (Wina Sanjaya, 2007:5)

Guru merupakan pengembang kurikulum bagi kelasnya, yang akan menterjemahkan, menjabarkan, dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada peserta didik. Dalam hal ini, tugas guru tidak hanya mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge) akan tetapi lebih dari itu, yaitu membelajarkan peseeta didik supaya dapat berpikir integral dan komprehensif, untuk

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 205

membentuk kompetensi dan mencapai makna tertinggi. Kegiatan btersebut bukan hanya berwujud pembelajaran di kelas tetapi dapat berwujud kegiatan lain, seperti bimbingan belajar kepada peserta didik. Pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berkaitan erat dengan kegiatan pembelajaran dan pelaksanaan bimbingan, karena isi kurikulum bukan hanya yang ada dalam mata pelajaran saja, tetapi mencakup hal lain di luar mata pelajaran sejauh masih menjadi tanggung jawab madrasah untuk diberikan kepada siswa, seperti kerja keras, disiplin, kebiasaan belajar yang baik, dan jujur dalam belajar (E. Mulyasa, 2013: 224) METODE PENELITIAN

Penelitian ini didesain dengan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Menurut Spradley (2007: 5) Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell,1998) Studi fenomenologi menggambarkan arti sebuah pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena. Orang-orang yang terlibat dalam menangani sebuah fenomena melakukan eksplorasi terhadap struktur kesadaran pengalaman hidup manusia. Sedangkan menurut Husserl (Creswell, 1998) peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang hal-hal yang perlu (esensial), struktur invarian (esensi) atau arti pengalaman yang mendasar dan menekankan pada intensitas kesadaran dimana pengalaman terdiri hal-hal yang tampak dari luar dan hal-hal yang berada dalam kesadaran masing-masing berdasarkan memori, image dan arti.. Fokus penelitian ini adalah tentang implementasi manajemen kurikulum di MA NU Banat Kudus dan manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan studi dokumen. Analisis data yang digunakan mengikuti model Miles dan Hubermen (1992), yaitu terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/ verifikasi. HASIL DAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Manajemen Kurikulum di MA NU Banat Kudus

Pola implementasi manajemen kurikulum di MA NU Banat Kudus meliputi empat aspek antara lain; Pelaksanaan fungsi manajemen kurikulum dalam pengembangan kompetensi siswa dalam bidang mata pelajaran Biologi meliputi empat aspek: (1), perencanaan kurikulum Biologi dibahas dalam musyawarah Guru Mata Pelajaran dengan menghadirkan tim kurikulum, komite madrasah, dam guru Biologi. Perumusan kurikulum berpedoman kepada prinsip-prinsip dasar pembelajaran Biologi dan dalam pelaksanaannya memperhatikan tujuan dan isi kurikulum nasional, silabus dan kompetensi Inti (KI 1, KI 2, KI 3 dan KI 4) dan kompetensi dasar. Kepala Madrasah memberikan wewenang kepada guru biologi, untuk mengembangkan materi yang disampaikan melalui KI-KD yang telah dibuatnya.(2) pengorganisasian kurikulum biologi, mata pelajaran biologi dikelompokkan ke dalam mata pelajaran IPA. Dalam hal ini, guru Biologi sepakat dengan kepala Madrasah dalam memperhatikan bahan pelajaran yang terdapat pada silabus dan KI-KD. Kepala madrasah juga memperhatikan alokasi waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran. Waktu pembelajaran biologi meliputi kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan ketika ada lomba yang berbasis dan terkait tentang Biologi. (3) pelaksanaan kurikulum biologi, terlebih dahulu kepala madrasah memngembangkan kemampuan guru Biologi dengan mengadakan PKG bagi guru Biologi serte mendelegasikan guru Biologi untuk mengikuti BIMTEK Biologi. Sedangkan dalam pelaksanaan pembelajaran Biologi, Guru Biologi menyiapkan kerangka pembelajaran atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Indikator dan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. (4)Evaluasi

PENDIDIKAN BIOLOGI…

206 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kurikulum Biologi dilaksanakan melalui dua periode yaitu: (a) periode tahun pelajaran baru, dalam rapat ini, kepala madrasah menghadirkan semua pihak madrasah yang berperan dalam pengelolaan pendidikan, seperti tenaga pendidikan dan kependidikan dan komite madrasah, karena bersamaan dengan rapat kerja pendidikan, (b) periode semester, dalam rapat ini kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim kurikulum, dan komite madrasah. Pengevaluasian kurikulum biologi dilakukan setelah terlaksananya perencanaan kurikulum biologi sebelumnya. Evaluasi kurikulum dilaksanakan setelah kepala madrasah mengadakan supervisi kelas..

Adapun Problematika dalam implementasi manajemen kurikulum Biologi yang dialami oleh MAN NU Banat Kudus antara lain; (a) aspek perencanaan kurikulum biologi, guru biologi kurang aktif dalam mengembangkan perencanaan kurikulum biologi yang direncanakan dalam MGMP, (b) aspek pengorganisasian kurikulum biologi, terkait pengalokasian waktu yang dimiliki mata pelajaran Biologi, yang hanya dilaksanakan selama 90 menit dalam satu kali pertemuan tanpa mengadakan kestrakurikuler bagi semua peserta didik, (c) aspek pelaksanaan pembelajaran biologi yang menyangkut dengan bahan dan alat dalam praktik proses pembelajaran biologi masih kurang memadai antara kuantitas bahan dan alat dengan jumlah peserta didik . (d) aspek evaluasi kurikulum biologi, komite madrasah belum berfungsi secara optimal baik dalam periode tahun pelajaran maupun semesteran

Tabel 1

Mapping Manajemen Kurikulum dalam pembelajaran Biologi No Proses Komponen Indikator Problem 1 Perenc

anaan Perumusan Kurikulum

musyawarah Guru Mata Pelajaran dengan menghadirkan tim kurikulum, komite madrasah, dan guru Biologi

guru biologi kurang aktif dalam mengembangkan perencanaan kurikulum biologi yang direncanakan dalam MGMP Penyusunan

Silabus Perumusan kurikulum berpedoman kepada prinsip-prinsip dasar pembelajaran Biologi dan dalam pelaksanaannya memperhatikan tujuan dan isi kurikulum nasional, silabus dan kompetensi Inti (KI 1, KI 2, KI 3 dan KI 4) dan kompetensi dasar

Penyusunan RPP Biologi

Kepala Madrasah memberikan wewenang kepada guru biologi, untuk mengembangkan materi yang disampaikan melalui KI-KD yang telah dibuatnya

2 Pengorganisasian

Pembagian tugas dan penyusunan jadwal

mata pelajaran biologi dikelompokkan ke dalam mata pelajaran IPA

terkait pengalokasian waktu yang dimiliki mata pelajaran Biologi, yang hanya guru Biologi sepakat

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 207

dengan kepala Madrasah dalam memperhatikan bahan pelajaran yang terdapat pada silabus dan KI-KD

dilaksanakan selama 90 menit dalam satu kali pertemuan tanpa mengadakan ekstrakurikuler bagi semua peserta didik Penentuan

beban belajar Kepala madrasah juga memperhatikan alokasi waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran Waktu pembelajaran biologi meliputi kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan ketika ada lomba yang berbasis dan terkait tentang Biologi

3 Pelaksanaan

pelaksanaan kurikulum biologi

mengembangkan kemampuan guru Biologi dengan mengadakan PKG bagi guru Biologi

pembelajaran biologi yang menyangkut dengan bahan dan alat dalam praktik proses pembelajaran biologi masih kurang memadai antara kuantitas bahan dan alat dengan jumlah peserta didik

mendelegasikan guru Biologi untuk mengikuti BIMTEK Biologi

pelaksanaan pembelajaran Biologi

Guru Biologi menyiapkan kerangka pembelajaran atau RPP yang mengacu pada Indikator dan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

Pengawasan Kepala madrasah melakukan supervisi kelas

4 Evaluasi

Rapat periode tahun pelajaran baru

kepala madrasah menghadirkan semua pihak madrasah yang berperan dalam pengelolaan pendidikan

komite madrasah belum berfungsi secara optimal baik dalam periode tahun pelajaran maupun semesteran Rapat periode

Tengah semester

kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim kurikulum, dan komite madrasah

Rapat periode semester

kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim kurikulum, dan komite madrasah

PENDIDIKAN BIOLOGI…

208 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Pola manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi Manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi dengan

mengimplementasikan beberapa prinsip pengembangan kurikulum 2013 diantaranya; a. prinsip relevansi yaitu kurikulum memiliki keterkaitan dengan kebutuhan masyarakat, ada dua jenis dalam prinsip ini antara lain relevansi eksternal yang berarti bahwa kurikulum harus sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat baik pada masa kini maupun masa yang akan datang, selanjutnya relevansi Internal yaitu kesesuaian antara komponen kurikulum itu sendiri. b. prinsip fleksibilitas yaitu program pembelajaran yang terencana dilaksanakan secara fleksibel selama proses belajar mengajar dilakukan secara berkesinambungan, dalam kurikulum harus terdapat suatu sistem tertentu yang mampu memberikan alternatif dalam pencapaian tujuan melalui berbagai metode atau cara-cara tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. c. prinsip Kontinuitas artinya kurikulum dikembangkan secara berkesinambungan meliputi kesinambungan antarkelas maupun antarjenjang pendidikan tujuannya agar proses pembelajaran siswa dapat maju secara sistematis. d. prinsip efisiensi atau praktis yaitu proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan jadual yang ditentukan. Selain itu kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan aplikabilitas di lapangan, kurikulum harus bisa diterapkan dalam praktek pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu serta prinsip praktis ada kaitannya dengan prinsip-prinsip kurikulum lainnya. e. Prinsip efektivitas yaitu merujuk pada pengertian bahwa kurikulum selalu berorientasi pada tujuan, kejelasan tujuan akan mengarahkan dalam pemilihan dan penentuan isi, metode, dan sistem evaluasi, serta model konsep kurikulum apa yang digunakan; manajemen kurikulum pendidikan biologi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kurikulum dapat membawa hasil yang bermanfaat bagi Madrasah.

Adapun Pola peningkatan mutu pembelajaran biologi melalui manajemen kurikulum di Madrasah Aliyah NU Banat Kudus dapat diuraikan dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 1 Pola Peningkatan Mutu Pembelajaran Biologi Melalui Manajemen Kurikulum

KESIMPULAN Berdasarkan deskripsi data dan pembahasan diatas maka peneliti dapat memaparkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola implementasi manajemen kurikulum di MA NU Banat Kudus meliputi empat

aspek; a. perencanaan kurikulum Biologi dibahas dalam musyawarah Guru Mata Pelajaran

dengan menghadirkan tim kurikulum, komite madrasah, dam guru Biologi.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 209

b. pengorganisasian kurikulum biologi, mata pelajaran biologi dikelompokkan ke dalam mata pelajaran IPA. Dalam hal ini, guru Biologi sepakat dengan kepala Madrasah dalam memperhatikan bahan pelajaran yang terdapat pada silabus dan KI-KD. Kepala madrasah juga memperhatikan alokasi waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran.

c. pelaksanaan kurikulum biologi, terlebih dahulu kepala madrasah mengembangkan kemampuan guru Biologi dengan mengadakan PKG bagi guru Biologi serte mendelegasikan guru Biologi untuk mengikuti BIMTEK Biologi. Sedangkan dalam pelaksanaan pembelajaran Biologi, Guru Biologi menyiapkan kerangka pembelajaran atau RPP yang mengacu pada Indikator dan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.

d. Evaluasi Kurikulum Biologi dilaksanakan melalui dua periode yaitu: (a) periode tahun pelajaran baru, dalam periode ini, kepala madrasah menghadirkan semua pihak madrasah yang berperan dalam pengelolaan pendidikan, seperti tenaga pendidikan dan kependidikan dan komite madrasah, karena bersamaan dengan rapat kerja pendidikan, (b) periode semester, dalam rapat ini kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim kurikulum, dan komite madrasah. Pengevaluasian kurikulum biologi dilakukan setelah terlaksananya perencanaan kurikulum biologi sebelumnya. Eavaluasi kurikulum dilaksanakan setelah kepala madrasah mengadakan supervisi kelas..

2. Manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi dengan melihat beberapa prinsip diantaranya a. prinsip relevansi yaitu kurikulum memiliki keterkaitan dengan kebutuhan

masyarakat, ada dua jenis dalam prinsip ini antara lain relevansi eksternal yang berarti bahwa kurikulum harus sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat baik pada masa kini maupun masa yang akan datang, selanjutnya relevansi Internal yaitu kesesuaian antara komponen kurikulum itu sendiri

b. prinsip fleksibilitas yaitu program pembelajaran yang terencana dilaksanakan secara fleksibel selama proses belajar mengajar dilakukan secara berkesinambungan, dalam kurikulum harus terdapat suatu sistem tertentu yang mampu memberikan alternatif dalam pencapaian tujuan melalui berbagai metode atau cara-cara tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu

c. prinsip Kontinuitas artinya kurikulum dikembangkan secara berkesinambungan meliputi kesinambungan antarkelas maupun antarjenjang pendidikan tujuannya agar proses pembelajaran siswa dapat maju secara sistematis.

d. prinsip efisiensi atau praktis yaitu proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan jadual yang ditentukan. Selain itu kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan aplikabilitas di lapangan, kurikulum harus bisa diterapkan dalam praktek pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu serta prinsip praktis ada kaitannya dengan prinsip-prinsip kurikulum lainnya

e. Prinsip efektivitas yaitu merujuk pada pengertian bahwa kurikulum selalu berorientasi pada tujuan, kejelasan tujuan akan mengarahkan dalam pemilihan dan penentuan isi, metode, dan sistem evaluasi, serta model konsep kurikulum apa yang digunakan.

REKOMENDASI

Rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini adalah; 1) penelitian kepala madrasah d a n g u r u b i o l o g i dapat menjaga dan meningkatkan mutu pembelajarn biologi dengan implemntasi manajemen kurikulum. Pemerintah, kementerian Agama, dan kementerian pendidikan dan kebudayaan mendukung manajemen pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan prinsip prinsip dalam kurikulum 2013, 2)

PENDIDIKAN BIOLOGI…

210 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

perkembangan dan pertumbuhan pendidikan umum dan agama secara seimbang. Peneliti lain dapat meneliti tema serupa pada SMA dan SMK di bawah pesantren, atau madrasah di lokasi yang berbeda untuk memperkaya hasil penelitian 3) sebaiknya kepala sekolah mengadakan evaluasi melalui program supervisi dan dilakukan secara rutin mengenai pelaksanaan kurikulum dan pembelajaran berbasis Manajemen kurikulum.

REFERENSI Bungin. Burhan.. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

2005 Miles, Mattew B. Dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas

Indonesia.1994. Mulyasa.. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi.

Bandung: Remaja Rosdakarya.2006 Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. 2001. Saleh, Abdul Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. 2004 Charles J. Farrugia and Godfrey Baldacchino, Educational Planning and Management

in Small States Concepts and Experiences, London: Commonwealth Secretariat Publicatins, 2002.

Emzir, Metode Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Imam Machali dan Ara Hidayat, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Bandung: Pustaka Educa, 2010.

Maisah dan Martinis Yamin, Manajemen Pembelajaran Kelas Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran, Jakarta: Gaung Persada,2009.

Sallis Edwar, Total Quality Management In Education, Manajemen Mutu Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2010.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2010.

Sulistyorini & M. Fathurrohman , Belajar dan Pembelajaran,Meningk atkan Mutu Pembelajaran Sesuai Standar Nasional, Yogyakarta : Teras, 2012, Cet.1.

Muhammad Arifin & Barnawi, Branded School membangun Sekolah Unggul Berbasis Peningkatan Mutu, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Mulyono, Strategi Pembelajaran Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global, Malang : UIN- Maliki Press, 2012.

Mulyono, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009,Cet.3.

Moleong, J.Lexy.. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. 1989 Nawawi Hadari,Manajemen Trategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan,

Yogykarta: Gadjah Mada University Press,2003. Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung:

Remaja Rosdakarya. 2007 Nasution. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. 2006 Nurdin Muhammad & Hamzah B.uno, Belajar Dengan Pendekatan Paikem:

Pembelajaran Aktif.Inovatif,Lingkungan, Kreatif, Efektif,Menarik, Jakarta : Bumi Aksara, 2011.

Oemar Hamalik. Manajemn Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007

Somadi & Sri Narwanti, Panduan Menyusun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Ppembelajaran (Konsep, Implementasi ,dan Penelitian), Yogyakarta : famili (Group Relai Inti Media),2012.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 211

Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan . Yogyakarta: Kota Gudeg, 2006 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,

Bandung: Alfabeta, 2010. Sulistyorini & M. Fathurrohman , Belajar dan Pembelajaran,Meningk atkan Mutu

Pembelajaran Sesuai Standar Nasional, Yogyakarta : Teras, 2012, Cet.1 Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Konsep, Strategi, dan Aplikasi,

Jakarta: Grafindo,2002 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:

Kencana, 2007) Zazin Nur, Gerakan Menata Mutu Pendidikan Teori & Aplikasi,Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2011.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

212 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT (Numbered Head Together) BERBASIS MEDIA TEBAK GAMBAR

TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI MATERI SISTEM EKSKRESI DI MAN KENDAL TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Rochmayatun1 Bunga Ihda Norra2 Miswari2

Email : [email protected] HP : 085735522524

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model NHT (Numbered Head Together) berbais media tebak gambar materi ekskresi terhadap hasil belajar siswa. Desain penelitian pre eksperimental design dengan pretest posttest. Sampel penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 dipilih secara random sampling. Data penelitian berupa data kuantitatif dan kualitatif. Dat kuantitatif diperoleh dari rata-rata nilai tes yang di analisis menggunakan uji t. Data kualitatif diperoleh dari deskripsi penjelasan hasil data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan penggunaan model NHT berbasis media tebak gambar pada materi ekskresi mampu meningkatkan hasil belajar siswa dengan rata-rata 88,28 dengan analisis uji t didapat t tabel 1,6698 dan t hitung 3,754, karena t hitung lebis besar daripada t tabel maka terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model NHT berbasis media tebak gambar terhadap hasil belajar siswa. Kata kunci : NHT, Media tebak gambar, Hasil Belajar

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas (Sutikno, 2006: 4). Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu upaya yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya disekolah. Peningkatan mutu pendidikan harus menjadi visi, misi, dan aksi prioritas di sekolah-sekolah yang dilaksanakna secara total, serius, kontinyu, dan dinamis (Dirman dan Juarsih, Cicih. 2014: 2). Pendidikan formal disekolah tidak lepas dari kegiatan pembelajaran yang meliputi berbagai komponen, diantaranya adalah guru, siswa, dan sumber belajar yang saling berkaitan dalam mencapai tujuan pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2010: 41).

Mulyasa (2009: 209) menegaskan bahwa suatu kegiatan pembelajaran dikatakan berhasil apabila siswa terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun social dalam proses pembelajaran, disamping siswa menunjukan kegairahan yang tinggi, semangat belajar yang besar dan rasa percaya diri sendiri. Guru dituntut melaksanakan kegiatan belajar mengajar semenarik mungkin sehingga siswa senang mengikuti pelajaran.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru biologi kelas XI MAN Kendal pada tanggal 17 Oktober 2016 diketahui terdapat permasalahan dalam pembelajaran biologi. Proses pembelajaran biologi yang sudah disampaikan sebenarnya sudah baik, karena guru tidak terpaku hanya menggunaknametode ceramah saja, namun juga diselipkan dengan diskusi, hanya saja keaktifan siswa belum mencapai taraf 50% sehingga dirasa pembelajaran kurang menarik bagi siswa. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas siswa didalam kelas terasa membosankan (Wawancara dengan Bapak Symsul Hadi selaku GMP Biologi Kelas XI). Permasalahn lain yang dialami guru salah satunya ketika mengajar materi yang berkaitan dengan sistem, seperti halnya sistem ekskresi, siswa berasumsi cakupan materi ini sangat luas dan melibatkan proses yang cukup

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 213

rumit. Terdapat banyak model pembelajaran kooperatif yang mampu meningkatkan

hasil belajar siswa seperti model NHT. Model NHT merupakan salah satu model dari pembelajaran kooperatif dimana setiap siswa lebih bertanggung awab dengan tugas yang diberikan karena adanya sistem penomoran dalam kelompok serta memungkinkan siswa untuk lebih aktif dan bertanggung jawab serta mendorong siswa untuk berpikir dalam suatu tim dan berani tampil mandiri (Majid, Abdul. 2013: 175). Media tebak gambar dirasa mampu meningkatkan hasil belajar siswa karena pengetahuan akan semakin abstrak apabila hanya disampaikan melalui bahasa verbal yang memungkinkan peserta didik hanya mengetahui tentang kata tanpa memahami dan mengerti makna yang terkanding dalam kata tersebut (Dirman an Juarsih, Cicih. 2014: 96)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakn di MAN Kendal, 30 Januari sampai 3 Februari pada semester ganjil tahun 2017. Sampel penelitian dipilih secara random sampling yaitu dengan XI IPA 1 sebagai kelas kontrol dan XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretest-posttest. Struktur desain penelitian yaitu: Desain penelitian eksperimen ini adalah(Adaptasi Arikunto. 2006) :

Tabel 1

Kelompok

Pre-test

Variabel Bebas

Post-test

E O1 X O2

K O3 O4

Keterangan : E = Kelompok eksperimen K = Kelompok kontrol O1 = hasil belajar awal kelompok eksperimen dengan menggunakan pre-test O3 = hasil belajar kelompok kontrol dengan menggunakan pre-test O2 = hasil pembelajaran kelompok eksperimen setelah mengikuti

pembelajaran menggunakan model NHT berbasis media tebak gambar O4 = hasil belajar kelompok control setelah mengikuti pembelajaran tanpa

model NHT berbasis media tebak gambar X = Treatment

Data penelitian ini adalah data kuantitatif berupa hasil belajar siswa yang diperoleh dari nilai rata-rata postest dan dianalisis secara statistik dengan uji t yakni

thitung =

dengan S2 =

ttabel = t(1-α )

Keterangan: = rata-rata data kelompok eksperimen

= rata-rata data kelompok kontrol

= banyaknya siswa kelompok eksperimen

= banyaknya siswa kelompok kontrol 2 = varian gabungan

Kriteria pengujian adalah H0 diterima jika α = 5% menghasilkan thitung ≤ t(1-α),

dimana t(1-α) didapat dari daftar distribusi t dengan dk = , dan H0 ditolak jika

jika α = 5% menghasilkan thitung > t(1-α), serta data kualitatif berupa deskripsi penjelasan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

214 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

hasil perhitungan dari analisis uji t dan deskripsi saat proses pembelajaran berlangsung. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian berupa data hasil belajar siswa sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata pretest kelas eksperimen adalah 59, 38 dan rata-rata pretest kelas control adalah 55,15. Nilai posttest didapat setelah kedua kelas mendapat perlakuan yang berbeda. Hasil rata-rata posttest kelas eksperimen adalah 88,28 dimana seluruh peserta didik kelas eksperimen tuntas KKM, sedangkan nilai rata-rata posttest kelas kontrol adalah 80 dimana terdapat 10 siswa yang belum tintas KKM.

Analisis data untuk menguji pengaruh penggunana model NHT berbasis media tebak gambar menggunakan uji t atau independent sample test didapatkan:

Tabel 2 Hasil Uji t-test Independent (analsis akhir)

Kelas Kontrol Eksperimen 1 2 3

Jumlah 2640 2825 N 33 32

X 80.00 88.28

Varians 101 59.1 Standart deviasi 10.5 7.6

3.754

Dk 63

1,6698

Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai t hitung = 3,754 dan nilai t tabel =

1,6698 dimana t hitung lebih besar daripada t tabel yang menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model NHT berbasis media tebak gambar materi ekskresi terhadap hasil belajar siswa di kelas XI. PEMBAHASAN Hasil penelitian dan analisis data yang menggunakan uji t menunjukan bahwa penggunanaan model NHT berbasis media tebak gambar mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan (tabel 1). Hal tersebut didukung dengan hasil perbedaan rata-rata dari kedua kelas yang menunjukan nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi disbanding dengan kelas kontrol. Peningkatan hasil belajar tersebut dikarenakan adanya peningkatan aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal itu sejalan dengan pendapat Suryani, Nunik an Agung, Leo (2012: 83) bahwa penerapan model NHT memiliki banyak keuntungan sepertri meningkatnya kemampuan siswa untuk saling belajar mengenai sikap, ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan bekerja sama dalam tim yang membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena adamya sistem penomoran. Nur (2005: 78) mengungkapkan bahwa model pembelajaran NHT memiliki ciri khas yang dapat menjamin keterlibatan total semua siswa karena guru akan menunjuk seorang siswa untuk mewakili kelompok secara bergantian tanpa memberitahukan identitas siswa yang akan dipanggil terlebih dahulu. Media gambar yang di bungkus dengan permainan tebak gambar juga mampu memancing siswa untuk aktif selama pembelajaran beerlangsung. Siswa mampu bekerja sama dengan kelompok mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru dengan baik. Guru memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 215

sedangkan siswa merespon dengan mencatat dan memproses informasi kedalam memorinya (Ratumanan. 2015: 15). Berdasarkan uraian di atas, dinyatakan bahwa penggunaan model NHT berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar siswa pada materi sistem ekskresi. Penggunaan model NHT juga berpengaruh terhadap aktivitas belajar siswa. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Efi yang menyatakan bahwa melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe kepala bernomor, siswa cenderung lebih aktif selama proses pembelajaran. Selain itu, sebagian besar siswa memberikan tanggapan positif terhadap penerapan model NHT. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbasis media tebak gambar berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar siswa pada materi pokok sistem ekskresi.

Untuk kepentingan penelitian, maka penulis menyarankan bahwa: dalam pelaksanaan penelitian sebaiknya diperhatikan waktu pelaksanaan tiap sintaks sehingga penelitian dapat berjalan sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam RPP. Untuk para guru, pembelajaran dengan menggunakan model NHT dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat mengembangkan aktivitas siswa pada materi lain. REFERENSI Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Dirman, dan JUarsih, Cicih. 2014. Kegiatan Pembelajaran Yang mEndidik. Jakarta: PT

Rineka Cipta Djamara, Syaiful Basri, dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar (Edisi Revisi).

Jakarta: Rineka Cipta. Efi, Kurniasari, dkk. Pengaruh Peta Konsep Pada Pembelajaran Kooperatif Numbered

Heads Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI SMA Negeri1Lawang. FMIPA UNM. Malang

Mulyasa. 2009. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nur, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Jawa Timur. Depdiknas Dirjen Dikwen LPMP. Ratumanan. 2015. Inovasi Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak Suryani, Nunik dan Agung, Leo. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Ombak Sutikono, Sobry. 2006. Pendidikan Sekaramg dan Pendidikan Masa Depan. N.T.B: Ntp

Press

PENDIDIKAN BIOLOGI…

216 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGARUH PEMANFAATAN WEBSITE SEBAGAI SUMBER BELAJAR TERHADAP MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA UNIVERSITAS

INDRAPRASTA PGRI JAKARTA

Yulistiana1), Mashudi A2), Giry Marhento3)

1Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Indraprasta PGRI Jakarta e-mail: [email protected]

2Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Indraprasta PGRI Jakarta e-mail: [email protected]

3Fakultas MIPA Universitas Indraprasta PGRI Jakarta e-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk mengetahui pemanfaatan website sebagai sumber belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI, dan 2) Untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan website sebagai sumber belajar mahasiswa terhadap motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Indraprasta PGRI dengan populasi mahasiswa semester 6. Sampel penelitian proporsinal random sampling. Variabel beda dalam penelitian ini adalah penggunaan website sebagai sumber belajar sedangkan variabel terikatnya adalah motivasi belajar. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket dan dokumentasi sedangkan analisis data dilakukan dengan teknik regresi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu pemanfaatan website sebagai sumber belajar dalam kategori cukup baik sedangkan motivasi belajar mahasiswa dalam kategori tinggi. Dari hasil analisis regresi diperoleh nilai Fhitung adalah 19,607 dengan signifikansi 0,000 < 0,05 yang menunjukkan ada pengaruh pemanfaatan website sebagai sumber belajar terhadap motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI. Kata Kunci: Pemanfaatan Website, Sumber Belajar, Motivasi Belajar.

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi ciri abad-21 dan milenium ketiga memberikan pengaruh terhadap seluruh tatanan kehidupan secara global. Memasuki abad-21 atau milenium ketiga akan terjadi pergeseran paradigma atau cara berfikir dalam menghadapi berbagai fenomena termasuk pola pikir yang berkaitan dengan pendidikan. Proses pembelajaran dalam pendidikan di era abad-21, menuntut satu strategi tertentu yang berbeda dengan di masa lain. Dengan perkembangan global yang terjadi menjelang masuknya abad-21, proses pembelajaran bukan hanya dalam bentuk pemrosesan informasi, akan tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mengembangkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan yang berkembang (Surya, 2010:2-3).

Pesatnya perkembangan teknologi informasi ini membawa dampak bagi kehidupan manusia, terutama dunia pendidikan. Dampak positifnya terkait erat dengan peningkatan kualitas kehidupan. Informasi begitu mudah diperoleh baik lewat media massa, elektronik, maupun melalui jaringan teknologi internet. Menurut Ghufron dalam Parji (2011:102), terpajangnya bahan informasi lewat media massa, baik elektronik maupun cetak, berpengaruh sangat positif terhadap pembaca. Selain muatannya yang mungkin bermanfaat bagi pembaca, media informasi tersebut juga memberikan pajangan yang berdampak positif terhadap akuisisi bahasa para pembaca. Internet di bidang pendidikan sangat berguna dalam proses belajar mengajar di sekolah, dimana para siswa dapat melengkapi ilmu pengetahuannya, sedangkan guru dapat mencari bahan ajar yang sesuai dan inovatif melalui internet. Murid dapat mencari apa saja di Internet, mulai dari mata pelajarn hingga ilmu pengetahuan umum semuanya bisa di

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 217

cari di internet. Sedangkan guru bisa mencari informasi yang dapat dijadikan bahan untuk mengajarkan materi kepada siswanya selain dari buku (Supriyanto, 2007:2).

Di Indonesia, jaringan internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di Universitas Indonesia, berupa UINet oleh Doktor Joseph Luhukay yang ketika itu baru saja menyelesaikan program doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat. Jaringan itu dibangun selama empat tahun. Pada tahun yang sama, Luhukay juga mulai mengembangkan University Network (Uninet) di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merupakan jaringan komputer dengan jangkauan yang lebih luas yang meliputi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Hasanudin dan Ditjen Dikti (Oetomo, 2002:52).

Adanya jarak yang cukup jauh antar provinsi di Indonesia dan prioritas yang tinggi untuk membangun fasilitas komputer di sekolah-sekolah merupakan salah satu pertimbangan internet sebagai pilihan yang cukup baik untuk mengembangkan komunikasi antar sekolah, kampus, Kanwil, Kandep, dan Depdiknas. Beberapa sekolah dan kampus telah mengambil inisiatif untuk membangun fasilitas mereka sendiri. Berdasarkan langkah yang sudah ada ini, dan membiarkan hal itu berkembang sendiri yaitu tetap konsisten akan kebutuhan belajar, maka internet sebagai strategi yang sesuai untuk menjadi medium komunikasi yang sah (Internet dan Pendidikan, 2011:2).

Penggunaan website pada internet sebagai media pendidikan dapat dianggap sebagai suatu hal yang sudah jamak digunakan di kalangan pelajar. Untuk itu sekolah-sekolah dan kampus-kampus bisa menjadikan website pada internet sebagai sarana untuk belajar selain dari buku, serta mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah yagn selama ini terjadi, misalnya minimnya buku yagn ada di perpustakaan, keterbatasan tenaga ahli, jarak rumah dengan lembaga pendidkan, biaya yang tinggi dan waktu belajar yang terbatas. Menyadari bahwa di website pada internet dapat ditemukan berbagai informasi apa saja, maka pemanfaatan website pada internet menjadi suatu kebutuhan. Dalam setiap aktifitas belajar mengajar, guru dan dosen adalah seorang yang memberikan bimbingan kepada peserta didiknya, dan juga seorang pengajar juga harus mempunyai profesionalitas yang tinggi terhadap keahliannya. Selain itu seorang pengajar juga harus mempunyai suatu keahlian lain dibidang teknologi informasi terutama internet, karena pada zaman sekarang seorang pengajar dituntut untuk bisa menggunakan internet karena bisa menggali lebih banyak lagi informasi selain yang ada di buku (Uno, 2008:3).

Bagi para mahasiswa, penggunaan website pada internet sebagai alat dalam menggali informasi yang berupa materi yang menyangkut dengan mata kuliah yang akan dapat memicu sekaligus dapat meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran mereka. Menurut Oetomo (2002:5) ketersediaan informasi yang up to date telah mendorong tumbuhnya motivasi untuk membaca dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Media website pada internet dapat mempermudah mencari suatu informasi yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah, seperti contohnya mencari suatu lokasi wilayah yang bersangkutan dan suatu gambaran peta dsb. Menyadari masalah ini, peneliti merasa tertarik melakukan suatu penelitian yang mampu mengungkap sejauhmana penggunaan internet sebagai media dan sumber belajar yang dapat meningkatkan motivasi belajar di kalangan para siswa. METODE

Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah penelitian ex post facto, di mana sifat desain penelitian ini tidak memberikan perlakuan atau manipulasi, karena variabel bebas sudah terjadi. Ex post facto artinya sesudah fakta. Ex post facto

PENDIDIKAN BIOLOGI…

218 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

sebagai metode penelitian menunjuk kepada perlakuan atau manipulasi variabel bebas X yang telah terjadi sebelumnya sehingga peneliti tidak perlu memberikan perlakuan lagi, tinggal melihat efeknya pada variabel terikat (Sudjana dan Ibrahim, 1989:56). Fakta menunjukkan bahwa mahasiswa sudah menggunakan fasilitas internet sebagai sumber informasi dalam proses belajar mengajar.

Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai populasi adalah semua mahasiswa semester 6 yang berjumlah 141 mahasiswa. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006:117). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik proporsinal random sampling, yaitu mengambil sebagian populasi dari tiap kelas dengan proporsi secara acak. Pengambilan sampling pada waktu jam perkuliahan berlangsung, dimana popolasi semester 6 di jadikan satu kelas dengan menggunakan populasi secara acak, pemilihan populasi dengan cara memilih prestasi mahasiswa dari yang menengah sampai yang berprestasi, pemilihan tersebut di bantu oleh ketua Program Studi yang memiliki data prestasi mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar.

Adapun penentuan jumlah sampel dari tiap-tiap kelas didasarkan pada pendapat Arikunto menyatakan bahwa apabila subjeknya kecil (kurang dari 100) lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupkan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15%, atau 20-25% atau lebih. Mengacu dari hal tersebut, maka untuk keperluan penelitian diambil sampel sebesar 25% dari anggota populasi. Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi nilai. Menurut Suharsimi Arikunto (2006:89) variabel adalah obyek penelitian dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dijadikan obyek penelitian. Variabel penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Variabel bebas (X): Penggunaan website sebagai sumber belajar, dan 2) Variabel terikat (Y): motivasi belajar mahasiswa. HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi data dari masing-masing variabel dalam penelitian ini yaitu pemanfaatan website sebagai sumber belajar dan motivasi belajar pada mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI dapat diketahui dari analisis deskriptif persentase sebagai berikut: Pemanfaatan Website Sebagai Sumber Belajar Mahasiswa

Gambaran pemanfaatan website pada internet sebagai sumber belajar mahasiswa 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI. Berdasarkan jawaban angket dari masing-masing mahasiswa diperoleh hasil seperti terangkum pada tabel berikut:

Tabel 1. Deskripsi Data Pemanfaatan Website Sebagai Sumber Belajar No Rentang Skor Kategori Frekuensi Persentase 1 85 – 100 Sangat Baik 8 22.22% 2 69 – 84 Baik 18 50.00% 3 53 – 68 Cukup Baik 10 27.78% 4 37 – 52 Tidak Baik 0 0.00% 5 20 – 36 Sangat Tidak Baik 0 0.00%

Jumlah 36 100.00% Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui dari 36 mahasiswa diperoleh

keterangan tentang tingkat pemanfaatan website sebagai sumber belajar sebagai berikut: 8 mahasiswa (22,22%) mengatakan bahwa pemanfaatan website sebagai sumber belajar dalam kriteria sangat baik, 18 mahasiswa (50,00%) mengatakan bahwa pemanfaatan website sebagai sumber belajar dalam kriteria baik, 10 mahasiswa

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 219

(27,78%) mengatakan bahwa pemanfaatan website sebagai sumber belajar dalam kriteria cukup baik, 0 mahasiswa (0,00%) mengatakan bahwa pemanfaatan website sebagai sumber belajar dalam kriteria tidak baik dan sangat tidak baik.

Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa secara umum pemanfaatan website sebagai sumber belajar mahasiswa 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI sudah baik.

Pemahaman Sikap Mahasiswa tentang Konsep Website Sebagai Sumber Belajar

Berdasarkan jawaban angket pada indikator pemahaman serta sikap tentang konsep website sebagai sumber belajar dari masing-masing mahasiswa diperoleh hasil seperti terangkum pada tabel berikut: Tabel 2. Deskripsi Pemahaman Sikap Mahasiswa tentang Konsep Website Sebagai

Sumber Belajar

No Rentang

Skor Kategori

Frekuensi

Persentase

1 13 – 15 Sangat Baik 12 33.33% 2 11 – 12 Baik 19 52.78% 3 8 – 10 Cukup Baik 5 13.89% 4 6 – 7 Tidak Baik 0 0.00%

5 3 – 5 Sangat Tidak

Baik 0 0.00%

Jumlah 36 100.00

% Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui dari 36 mahasiswa diperoleh

keterangan pemahaman serta sikap tentang konsep website sebagai sumber belajar sebagai berikut: 12 mahasiswa (33,33%) mengatakan bahwa pemahaman serta sikap mahasiswa tentang konsep website sebagai sumber belajar dalam kategori sangat baik, 19 mahasiswa (52,78%) mengatakan bahwa pemahaman serta sikap mahasiswa tentang konsep website sebagai sumber belajar dalam kategori baik, 5 mahasiswa (13,89%) mengatakan bahwa pemahaman serta sikap mahasiswa tentang konsep website sebagai sumber belajar dalam kategori cukup baik, 0 mahasiswa (0,00%) mengatakan bahwa pemahaman serta sikap mahasiswa tentang konsep website sebagai sumber belajar dalam kategori tidak baik dan sangat tidak baik.

Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa telah mampu mengoperasikan website dan menggunakannya untuk tujuan belajar dengan baik. Ketersediaan Website Sebagai Sumber Belajar

Berdasarkan jawaban angket pada indikator ketersediaan website sebagai sumber belajar dari masing-masing mahasiswa diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3. Deskripsi Ketersediaan Website Sebagai Sumber Belajar

No Rentang

Skor Kategori Frekuensi Persentase

1 17 – 20 Sangat Baik 11 30.56% 2 14 – 16 Baik 18 50.00% 3 11 – 13 Cukup Baik 7 19.44% 4 8 – 10 Tidak Baik 0 0.00%

5 4 – 7 Sangat

Tidak Baik 0 0.00%

Jumlah 36 100.00%

PENDIDIKAN BIOLOGI…

220 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Berdasarkan tabel dapat diketahui dari 36 mahasiswa diperoleh keterangan tentang ketersediaan website sebagai sumber belajar sebagai berikut: 11 mahasiswa (30,56%) mengatakan bahwa ketersediaan website sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria sangat baik, 18 mahasiswa (50,00%) mengatakan bahwa ketersediaan website sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria baik, 7 mahasiswa (19,44%) mengatakan bahwa ketersediaan website sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria cukup baik, 0 mahasiswa (0,00%) mengatakan bahwa ketersediaan website sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria tidak baik dan sangat tidak baik.

Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum fasilitas website internet di kampus maupun di lingkungan tempat tinggal mahasiswa telah tersedia secara memadai untuk tujuan kegiatan belajar mahasiswa.

Ketepatan Fungsi Website Sebagai Sumber Belajar

Berdasarkan jawaban angket pada indikator ketepatan fungsi website sebagai sumber belajar dari masing-masing mahasiswa diperoleh hasil seperti terangkum pada tabel berikut:

Tabel 4. Deskripsi Ketepatan Fungsi Internet Sebagai Sumber Belajar

No Rentang

Skor Kategori Frekuensi Persentase

1 22 – 25 Sangat Baik 13 36.11% 2 17 – 21 Baik 20 55.56% 3 14 – 17 Cukup Baik 3 8.33% 4 10 – 13 Tidak Baik 0 0.00%

5 5 – 9 Sangat Tidak

Baik 0 0.00%

Jumlah 36 100.00% Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui dari 36 mahasiswa diperoleh tentang

ketepatan fungsi website sebagai sumber belajar sebagai berikut: 13 mahasiswa (36,11%) mengatakan bahwa ketepatan fungsi website internet sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria sangat baik, 20 mahasiswa (55,56%) mengatakan bahwa ketepatan fungsi internet sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria baik, 3 mahasiswa (8,33%) mengatakan bahwa ketepatan fungsi website sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria cukup baik, 0 mahasiswa (0,00%) mengatakan bahwa ketepatan fungsi website sebagai sumber belajar termasuk dalam kriteria tidak baik dan sangat tidak baik.

Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa memberikan penilaian bahwa website dapat digunakan untuk sumber belajar.

Motivasi Belajar Mahasiswa

Gambaran motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI berdasarkan jawaban angket dari masing-masing mahasiswa diperoleh hasil seperti terangkum pada tabel berikut:

Tabel 5. Deskripsi Motivasi Belajar Mahasiswa No Rentang Skor Kategori Frekuensi Persentase 1 85 – 100 Sangat Tinggi 9 25.00% 2 69 – 84 Tinggi 23 63.89% 3 53 – 68 Sedang 4 11.11% 4 37 – 52 Rendah 0 0.00% 5 20 – 36 Sangat Rendah 0 0.00%

Jumlah 36 100.00%

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 221

Berdasarkan tabel dapat diketahui dari 36 mahasiswa diperoleh keterangan tentang motivasi belajar mahasiswa sebagai berikut: 9 mahasiswa (25,00%) mengatakan bahwa motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam kriteria sangat tinggi, 23 mahasiswa (63,89%) mengatakan bahwa motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam kriteria tinggi, 4 mahasiswa (11,11%) mengatakan bahwa motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam kriteria sedang, 0 mahasiswa (0,00%) mengatakan bahwa motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam kriteria rendah dan sangat rendah.

Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI sudah tinggi. Dorongan Mental untuk Belajar

Berdasarkan jawaban angket pada indikator dorongan mental untuk belajar dari masing-masing mahasiswa diperoleh hasil seperti terangkum pada tabel berikut:

Tabel 6. Deskripsi Dorongan Mental untuk Belajar No Rentang Skor Kategori Frekuensi Persentase 1 13 – 15 Sangat Baik 13 36.11% 2 11 – 12 Baik 17 47.22% 3 8 – 10 Cukup Baik 6 16.67% 4 6 – 7 Tidak Baik 0 0.00% 5 3 – 5 Sangat Tidak Baik 0 0.00%

Jumlah 36 100.00% Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui dari 36 mahasiswa diperoleh keterangan

tentang dorongan mental untuk belajar sebagai berikut: 13 mahasiswa (36,11%) terlihat bahwa mahasiswa memiliki dorongan mental untuk belajar dalam kategori sangat tinggi, 17 mahasiswa (47,22%) terlihat bahwa mahasiswa memiliki dorongan mental untuk belajar dalam kategori baik, 6 mahasiswa (16,67%) terlihat bahwa mahasiswa memiliki dorongan mental untuk belajar dalam kategori cukup baik, 0 mahasiswa (0,00%) terlihat bahwa mahasiswa memiliki dorongan mental untuk belajar dalam kategori tidak baik dan sangat tidak baik.

Hasil ini menunjukkan bahwa dorongan mental dalam diri mahasiswa untuk belajar sudah tinggi.

Uji Normalitas

Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak. Jika data berdistribusi normal, maka dapat digunakan analisis statistik parametrik yaitu analisis regresi untuk menguji hipotesis penelitian, akan tetapi jika data tidak berdistribusi normal maka harus menggunakan statistik non parametrik.

Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan rumus Kolmogorov Smirnov dengan perhitungan komputasi SPSS for windows relase 16 yang hasilnya seperti tersaji pada tabel berikut:

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Data

Variabel

Kolmogorov Smirnov Z

Signifikansi Keterangan

Pemanfaatan website sebagai sumber belajar (X)

0.605 0.858 Normal

Motivasi belajar mahasiswa (Y) 0.471 0.980 Normal

PENDIDIKAN BIOLOGI…

222 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai kolmogorov smirnov Z untuk data variabel pemanfaatan website sebagai sumber belajar sebesar 0,605 dengan signifikansi 0,858 > 0,05 dan untuk data variabel motivasi belajar mahasiswa sebesar 0,471 dengan signifikansi 0,980 > 0,05.

Dengan demikian menunjukkan bahwa data dari variabel dalam penelitian ini berdistribusi normal.

Uji Linieritas Data

Uji linieritas garis regresi untuk mengetahui apakah data berbentuk linier atau tidak. Jika data berbentuk linier, maka dapat digunakan analisis regresi linier akan tetapi jika tidak linier, maka harus digunakan analisis regresi non linier. Uji linieritas data dalam penelitian ini menggunakan analisis varians atau uji F dengan perhitungan komputasi SPSS for windows relase 16. Berdasarkan perhitungan pada lampiran diperoleh nilai Fhitung adalah 20,879 dengan signifikansi 0,001 < 0,05.

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa antara data pemanfaatan website sebagai sumber belajar (X) dengan motivasi belajar mahasiswa (Y) berbentuk linier sehingga dapat digunakan analisis regresi linier untuk menguji hipotesis. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi pemanfaatan website internet sebagai sumber belajar akan berpengaruh terhadap tingginya motivasi belajar mahasiswa.

KESIMPULAN Simpulan

Hasil kuisionair dalam pemanfaatan website internet dari 36 mahasiswa diketahui tentang tingkat pemanfaatan website sebagai sumber belajar sebagai berikut: 1. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa secara umum pemanfaatan website

sebagai sumber belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI sudah baik.

2. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar dari mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI saat ini sudah tinggi.

3. Pemanfaatan website internet sebagai sumber belajar mahasiswa terhadap motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI terdapat pengaruh yang signifikan pemanfaatan website sebagai sumber belajar terhadap motivasi belajar. Berdasarkan deskripsi terlihat bahwa paling banyak mahasiswa memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dalam kategori baik sebesar (50,00%) sedangkan motivasi belajar dalam kategori baik sebesar (63,89%). Jadi semakin tinggi pemanfaatan website internet sebagai sumber belajar, semakin tinggi pula motivasi belajar mahasiswa.

Saran Saran berkaitan dengan hasil penelitian ini yaitu:

1. Perlu adanya peningkatan frekuensi dalam menggunakan website internet sebagai sumber belajar untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa, dan akhirnya akan diperoleh wawasan yang luas dan hasil belajar yang optimal.

2. Pihak pengajar/dosen, hendaknya memberikan penugasan-penugasan yang menuntut mahasiswa mencari informasi melalui website internet, sehingga dapat meningkatkan motivasi belajarnya.

3. Pihak lembaga/universitas dapat memberikan fasilitas internet secara gratis melalui pembangunan jaringan hot spot atau WiFi, sehingga mahasiswa dapat dengan mudah memanfaatkan internet dan motivasi belajarnya menjadi meningkat.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 223

REFERENSI Andrias, Harefa. 2002. Menjadi Manusia Pembelajar (Pemberdayaan Diri, Transformasi

Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran). Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Reineka Cipta.

Damayanti, Feryana. 2010. Studi Komparasi Hasil Belajar IPS Sejarah Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Temanggung Antara Yang Diajarkan Dengan Pendekatan Deep Dialogue/Critical Thinking Dan Pendekatan Cooperative Model Think-Pair-Share. Skripsi: Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES.

Dimyati, Mudjiono, 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud.

Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik: Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Idris, Fazilah. 2010. Jurnal Bahasa (Pembelajaran Bahasa). Termuat dalam Makalah

Internet dan Belajar Berkumpulan. Nafisah Binti Murshid. 2001. Hubungan Penggunaan Media Komputer Berbasis Internet

Sebagai Sumber Belajar Dengan Hasil Belajar Siswa Malaysia Di Universitas Negeri Semarang Tahun Akademik 2000/2001. Skripsi: Jurusan Kurikulum Teknologi Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan.

Oetomo, Dharma Sutedjo, Budi. 2002. E-Education Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Parji. 2011. Strategi Pembelajaran Pendidikan Moral pada Era Teknologi Informasi. Madiun.

Pasaribu, I. L, dan Simanjuntak, B. 1983. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito. Surya, Mohammad H. 2010. Tantangan dan Problema Pendidikan Memasuki Milenium

Ketiga. Termuat dalam majalah Ilmiah Wahana, Tahun XIV, hal 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wasino. 2007. Dari Riset hingga Tulisan Sejarah. Semarang: UNNES Press. Winkel, W.S., 1984. Psikologi Pendidikan Belajar dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

224 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGEMBANGAN MODUL BIOLOGI BERNILAI ISLAM MATERI SISTEM REPRODUKSI PADA MANUSIA UNTUK SMA/MA KELAS XI SEMESTER

GENAP

Ana Maulidatul Hasanah1) Ismail2) Siti Mukhlishoh S.3)

1)Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang ([email protected]) 2) Dosen Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang 3) Dosen Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang

Abstrak

Pengembangan modul Biologi bernilai Islam ini bertujuan untuk menghasilkan sumber belajar Biologi dilengkapi dengan nilai Islam. Penelitian ini merupakan sarana dalam rangka membangun landasan bagi perkembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berkepribadian luhur. Tujuan adanya modul adalah membuka kesempatan bagi peserta didik untuk belajar menurut kecepatan individu, karena dianggap bahwa peserta didik tidak akan mencapai hasil yang sama dalam waktu yang sama dan tidak sedia mempelajari sesuatu pada waktu yang sama. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan memodifikasi pola 4D (Define, Design, Develop and Disseminate). Tahap define telah dilakukan sebagai penelitian pendahuluan, berbagai analisis dilakukan pada tahap define guna menyiapkan kebutuhan dalam pengembangan modul. Tahap selanjutnya adalah design guna merancang modul yang dikembangkan. Pengembangan dilanjutkan dengan tahap develop yang mana pada tahap ini ada 3 macam jenis penilaian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan modul yang dikembangkan. Penelitian ini telah menghasilkan prototype modul Biologi bernilai Islam dengan kualitas layak dan siap untuk diuji cobakan pada tahap berikutnya, yaitu disseminate. Modul yang dikembangkan masuk dalam kategori layak untuk digunakan karena, persentase rata-rata penilaian dari ahli materi 81.9%, untuk ahli media 83.3% dan guru biologi 82%. Hasil untuk presentase tanggapan peserta didik pada kelas kecil adalah 78% dengan kriteria layak, dan tanggapan peserta didik pada kelas besar sebesar 80,64% dengan kriteria layak. Kata Kunci : Modul, Biologi, Bernilai Islam, Sistem Reproduksi pada Manusia, 4D

PENDAHULUAN

Al-Qur’an tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sains teknologi dan sosial humaniora), baik ilmu agama maupun ilmu umum tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hakikatnya, semua ilmu datang dari Allah SWT (Alim, 2014). Biologi pada dasarnya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang makhluk hidup, tetapi biologi tidak bisa dipisahkan dengan ilmu agama. Sebagai buktinya, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah firmankan dan mempunyai kaitan dengan biologi.

Salah satu materi biologi yang banyak kaitannya dengan Nilai Islam adalah, sistem reproduksi pada manusia. Pendidikan sistem reproduksi sejak dini perlu diberikan kepada para remaja (siswa SMA/MA) karena pada masa tersebut, pengetahuan akan sistem reproduksi mereka sedang berada pada puncaknya, tak jarang potensi tersebut disalahgunakan apabila pendidikan tersebut tidak dibarengi dengan bekal ilmu agama. Pengintegrasian materi sistem reproduksi dengan nilai Islam dirasa akan menjadi suatu hal yang sangat tepat apabila diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di MA.

Penerapan integrasi pendidikan biologi dengan Islam merupakan salah satu perwujudan kesatuan ilmu pengetahuan. Paradigma kesatuan ilmu bukanlah paradigma baru. Paradigma ini telah dipraktikkan oleh para ilmuan muslim klasik seperti Ibnu Sina (980-1037 M), Al Kindi (801-870 M), dan Al Farabi (874-950 M). Mereka mempelajari ilmu-ilmu Yunani yang lebih menekankan logos kontemplatif–non eksperimental namun disesuaikan dan dimodifikasi dengan anjuran ilmiah wahyu yang menekankan empiris atas fakta-fakta alam (Rahman, 2014).

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 225

Menurut Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan akidah islam. Maksudnya, akidah menjadi tolok ukur dan standar penilaian apakah ilmu itu boleh dipelajari atau tidak, yang sesuai dengan akidah islam boleh dipelajari, sedangkan yang bertentangan tidak boleh diyakini (Alim, 2014).

Proses untuk memperoleh ilmu akan berjalan secara efektif dan efisien jika tersedia sumber belajar yang berkualitas dan mendukung. Sumber belajar adalah segala macam sumber yang ada di luar diri seseorang dan memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar (Rohani, 1997). Modul merupakan salah satu bentuk inovasi sumber belajar yang dapat dipakai dalam proses belajar mengajar.

Modul adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru. (Prastowo, 2012).

Sesuai dengan tujuan awal, yaitu untuk mengintegrasikan ilmu biologi dengan konsep keislaman, maka diperlukan modul yang bernilai Islam pula. Modul bernilai Islam dirasa akan menjadi salah satu pilihan sumber belajar yang tepat bagi peserta didik pada masa sekarang ini, dikarenakan akan membantu peserta didik dalam mempelajari materi yang diinginkan dan tentunya materi tersebut akan dikuatkan dengan dalil Al-Qur’an maupun Hadits yang berkaitan dengan materi yang dipelajari, sehingga dengan adanya modul bernilai Islam, peserta didik akan mendapatkan dua keunggulan, yaitu tetap dapat belajar materi yang diinginkan dengan mudah dan mendapatkan penguatan mengenai materi tersebut secara islami. Pembuatan modul bernilai Islam diharapkan dapat menciptakan keseimbangan ilmu pengetahuan yang akan diperoleh peserta didik.

Modul bernilai Islam dirasa akan menjadi salah satu pilihan sumber belajar yang tepat bagi peserta didik pada masa sekarang ini, dikarenakan akan membantu peserta didik dalam mempelajari materi yang diinginkan dan tentunya materi tersebut akan dikuatkan dengan dalil Al-Qur’an maupun Hadits yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Modul Biologi Bernilai Islam Materi Sistem Reproduksi pada Manusia Kelas XI MA” METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah Research and Development (R&D). Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model 4D. Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan, yaitu Define (pendefinisian), Design (Perancangan), Develop (pengembangan), dan Disseminate (penyebaran) (Trianto, 2010). Instrumen yang digunakan berupa lembar angket check list. Data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk instrumen angket.

Tahap define dimulai dengan melakukan berbagai analisis guna mencari tahu kebutuhan-kebutuhan dalam pengembangan modul. Analisis dimulai dengan analisis ujung depan yang dilakukan dengan pemberian angket kepada guru untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan selama ini. Selanjutnya analisis siswa yang dilakukan dengan pemberian angket kepada peserta didik kelas XI MA untuk mengetahui kebutuhan belajarnya. Analisis berlanjut pada analisis tugas, konsep, dan perumusan tujuan pembelajaran. Berdasarkan beberapa analisis tersebut maka peneliti dapat menentukan batasan materi dengan kebutuhan peserta didik.

Tahap perancangan atau design modul meliputi beberapa langkah, yaitu: menyiapkan buku referensi yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan kaitannya dengan Islam, menyusun peta kebutuhan modul, penyusunan desain modul, serat penyusunan desain instrumen penilaian. tahap ini dilakukan untuk membuat modul atau buku ajar sesuai dengan kerangka isi hasil analisis kurikulum dan materi (Mulyatiningsih, diakses 22 Juni 2016).

PENDIDIKAN BIOLOGI…

226 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tahapan selanjutnya adalah develop, tahap ini berupa validasi modul oleh ahli/pakar materi pada mata pelajaran yang sama, ahli media pembelajaran dan penilaian oleh guru biologi di MA Darul Falah. Setelah dinilai pada tahap pertama, selanjutnya peneliti melakuakn revisi modul berdasarkan masukan dari para pakar pada saat validasi.

Uji coba dilanjutkan dengan uji lapangan terbatas dalam pembelajaran di luar kelas dengan melakukan uji keterbacaan. Subjek penelitiannya adalah peserta didik kelas XI MA tahun ajaran 2016/2017 berjumlah enam orang. Uji coba lapangan luas dengan hasil akhir modul kepada 15 peserta didik pada kelas besar. Sementara tahapan disseminate tidak dilakukan peneliti karena penelitian hanya dibatasi sampai develop.

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik angket dan dokumentasi. Pada penelitian ini menggunakan angket tertutup dimana angket disusun menggunakan pilihan jawaban lengkap sehingga pengisi hanya tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih (Arikunto, 2009). Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Baik penilaian ahli materi, ahli media, guru maupun peserta didik, penilaian menggunakan acuan berupa skala bertingkat.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Skala Kategori

5 Sangat Baik 4 Baik 3 Cukup 2 Kurang Baik 1 Sangat Kurang

Selanjutnya dari hasil penilaian tersebut, data hasil kelayakan modul dianalisis dengan deskriptif presentase, dengan rumus:

% = 𝑛

𝑁 x 100%

Keterangan : % = Persentase skor n = Σ skor N = Σ skor total Keterangan penentuan jenjang kualifikasi kriteria kelayakan ditentukan dalam tabel 2 yang diadaptasi dari Akbar (2013).

Tabel 2. Kriteria Kelayakan Persentase Kategori 81-100% Sangat Layak 61-80% Layak 41-60% Kurang Layak 21-50% Tidak Layak 0-20% Sangat Tidak Layak

Modul dikatakan layak digunakan dalam pembelajaran apabila: hasil penilaian kelayakan modul oleh ahli media maupun ahli materi menunjukkan bahwa modul tersebut layak untuk digunakan dalam pembelajaran. Hasil tanggapan peserta didik menunjukkan bahwa modul layak untuk digunakan (Mulyasa, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dimulai dari tahapan define, yaitu dengan melakukan analisis ujung depan yang dilakukan dengan memberikan angket kepada guru, serta analisis siswa yang dilakukan dengan memberikan angket kepada siswa. Analisis dilanjutkan dengan analisis tugas, analisis konsep, dan perumusan tujuan pembelajaran. Analisis tersebut mendapatkan hasil bahwa kondisi pembelajaran di madrasah yang ditelliti dominan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 227

mennggunakan model ceramah meskipun sudah divariasi dengan diskusi dan tanya jawab. Kondisi sumber belajar masih minim variasinya. Madarasah yang notabene pendidikannya berdasarkan nilai Islam, belum mempunyai sumber belajar biologi yang dikaitkan dengan nilai Islam. Peserta didik juga setuju dengan pengembangan modul bernilai Islam, karena mereka mengharapkan adanya tambahan referensi untuk menunjang proses belajar mandiri yang dikaitkan dengan nilai Islam.

Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka peneliti melakukan pengembangan sumber belajar dengan mengembangkan modul yang diintegrasikan dengan nilai Islam. Modul yang dikembangkan tidak hanya menonjolkan aspek integrasinya pada nilai Islam, tetapi juga bersifat mudah dipahami, menarik, inovatif serta menimbulkan semangat peserta didik dalam belajar khususnya materi Sistem Reproduksi pada Manusia.

Berdasarkan pendefinisian masalah di atas, akhirnya modul di design dengan menentukan tes acuan patokan, penentuan media dan juga pemilihan format. Peneliti juga membuat instrumen dan produk rancangan awal (prototipe) yang kemudian di uji pada ahli validator, yang meliputi ahli materi dan ahli media serta guru Biologi yang mengajar di MA.

Format modul yang digunakan peneliti dalam menyusun modul adalah format penulisan modul menurut Surahman (2010:2), yang telah disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Formatnya yaitu, judul modul, petunjuk umum, meliputi (KD, pokok bahasan, indikator, referensi, lembar kegiatan pembelajaran, evaluasi), materi modul, serta evaluasi akhir kegiatan (Prastowo, 2015)

Berikut ini adalah hasil validasi ahli materi dan juga ahli media dalam menilai modul yang dikembangkan oleh peneliti.

Tabel 1 Hasil Validasi Ahli Materi No Aspek Evaluasi Skor

1 Kesesuaian materi 12 2 Keakuratan materi 28 3 Pendukung materi pembelajaran 26 4 Kemutakhiran materi 11 5 Teknik penyajian 12 6 Pendukung penyajian materi 43 7 Sesuai dengan perkembangan peserta didik 8 8 Komunikatif 8 9 Dialogis dan Interaktif 16

10 Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia 8 11 Koherensi dan keruntutan alur berpiikir 12 12 Penggunaan istilah dan simbol/lambang 8 13 Penyajian nilai Islam 8 14 Kesesuaian nilai Islam 13 15 Sesuai dengan perkembangan peserta didik 8

Jumlah 221 Presentase 83,39%

PENDIDIKAN BIOLOGI…

228 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 2 Hasil Validasi Ahli Media/Grafika No Aspek Evaluasi Skor 1 Ukuran fisik modul 8 2 Tata letak kulit modul 17

3 Huruf yang digunakan menarik dan mudah

dibaca 20

4 Ilustrasi sampul modul 9 5 Konsistensi tata letak 13 6 Unsur tata letak harmonis 9 7 Unsur tata letak lengkap 8 8 Tata letak mempercepat pemahaman 8 9 Tipografi isi buku sederhana 12

10 Tipografi mudah dibaca 12 11 Tipografi isi buku memudahkan pemahaman 4 12 Ilustrasi isi 17

Jumlah 137 Presentase 91,3%

Selain divalidasi polehada ahli, modul juga diberikan kepada guru biologi untuk mengetahui tanggapan guru tentang modul yang telah dikembangkan, apakah sudah layak digunakan dalam pembelajaran atau perlu direvisi kembali.

Tabel 3 Hasil Tanggapan Guru Biologi

No Aspek Evaluasi Skor

1 Kejelasan teks 4 2 Kejelasan gambar 13 3 Kemenarikan gambar 4 4 Kesesuaian gambar dengan materi 4 5 Penyajian materi 21 6 Kesesuaian soal dengan materi 4 7 Kejelasan kalimat 4 8 Kemudahan belajar 11 9 Kaitan dengan nilai Islam 17

Poin Jumlah 82

Presentase 82% Berdasarkan tabel 1, 2 dan 3 hasil uji kelayakan terhadap rancangan model awal

modul yang dikembangkan terdapat beberapa masukan, antara lain: ukuran gambar perlu diperjelas, gambar hasil tangkapan layar masih buram, terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan kata dan penyusunan kalimat, serta penambahan beberapa konsep Islam untuk melengkapi materi. Grafik hasil uji kelayakan dapat diamati pada gambar 1 berikut:

Gambar 1. Grafik Hasil Uji Kelayakan Ahli dan Guru

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

Materi Media Guru

81.90% 83.30% 82%

Guru

Media

Materi

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 229

Hasil uji kelayakan mendapatkan penilaian dari ahli materi sebesar 81,9% dan dari ahli media sebesar 83,3%. Sementara hasil penilaian dari pihak guru adalah sebesar 82%. Itu artinya modul yang dikembangkan sudah masuk dalam kriteria sangat layak dan bisa digunakan pada uji selanjutnya.

Gambar 2. Grafik Hasil Tanggapan Kelas Kecil

Hasil tanggapan peserta didik pada kelas kecil adalah sebesar 78%, artinya modul tersebut masuk dalam kategori layak. Berdasarkan tanggapan peserta didik pada uji skala kecil, ada beberapa hal yang harus diperbaiki oleh peneliti, yaitu perbaiakan resolusi gambar, serta penulisan keterangan gambar agar lebih diperjelas.

Penilaian kelayakan modul juga dilihat dari hasil tanggapan peserta didik kelas besar. Grafik hasil tanggapan peserta didik pada kelas besar dapat diamati pada gambar 4.28 berikut:

Gambar 3. Grafik Hasil Tanggapan Peserta Didik pada Kelas Besar

Hasil tanggapan pada kelas besar menunjukkan nilai sebesar 80,64%, artinya modul tersebut masuk dalam kategori layak. Hal itu dilihat dari respon setuju hingga sangat setuju yang diberikan peserta didik terhadap modul baik untuk aspek tampilan, penyajian materi dan manfaat. Peserta didik merasa lebih mudah dan lebih tertarik dalam belajar Biologi. Selain itu, yang menjadikan modul ini diminati oleh peserta didik adalah karena materi modul yang mengandung nilai Islam. Beberapa peserta didik dalam tanggapannya mengungkapkan bahwa modul tersebut sangat bagus dan sangat bermanfaat bagi usia remaja karena berisi nilai-nilai Islam. Tujuan tertentu dari pendidikan Islam sampai batas tertentu telah dicapai. Namun, penyempurnaan dari prestasi yang ada harus menjadi pengembangan yang terus menerus (Salleh, 2013).

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan peneliti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa produk hasil pengembangan yang berupa modul biologi bernilai Islam yang dikembangkan dengan metode 4-D (define, design, develop, and disseminate) layak digunakan dalam pembelajaran di MA Darul Falah Sirahan Pati. Hal tersebut berdasarkan pada penilaian kualitas modul oleh ahli materi dan ahli media mencapai presentase sebesar 81,9 % untuk materi dan 83,3 % untuk media serta tanggapan guru sebesar 82%.

Adapun hasil untuk presentase tanggapan peserta didik pada kelas kecil adalah 78% dengan kriteria layak, dan tanggapan peserta didik pada kelas besar sebesar 80,64% dengan kriteria sangat layak.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Tanggapan pesertadidik

Tanggapanpeserta didik

80.64%

0.00%

50.00%

100.00%

Tanggapan pesertadidik kelas besar

Tanggapanpesertadidik kelasbesar

PENDIDIKAN BIOLOGI…

230 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

REFERENSI Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Alim, A. 2014. Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Dharma, S. 2008. Penulisan Modul. Direktorat Tenaga Kependidikan , 3-5. Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010. Mulyatiningsih, Endang. Pengembangan Model pembelajaran, http.staff.uny.ac.id, diakses

22 Juni 2016. Rohani, A. 1997. Media Instruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Prastowo, A. 2012. Pengembangan Sumber Belajar. Yogyakarta: Pedagogia. Rahman, S. 2014. The Unity of Science in The Arabic Tradition: Science Logic

Epistemology and Their Interactions. Kluwer - Springer Academic Publisher , 9. Salleh, Muhammad Syukri. 2013. Strategizing Islamic Education. International Journal of

Education and Research. Vol. 1 No. 6. Thiagarajan and others. 1974. Instructional Development for Training Teachers of

Exceptional Children A Sourcebook. Indiana: Indiana University Bloomington. Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif - Progresif. Jakarta: Kencana. Udaibah, W. 2013. Pengembangan Modul Kimia Anorganik Terintegrasi Pendidikan

Karakter pada Materi Kimia Koordinasi Tadris Kimia IAIN Walisongo Semarang. Semarang: IAIN Walisongo.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 231

PENGEMBANGAN APPLIKASI ANDROID BIOTRACERSTUDY BERBASIS BORANG AKREDITASI INSTITUSI PROGRAM STUDI BAN-PT

(Development of Android Biotracerstudy Apps Based on Form of BAN-PT Institutional Acreditation of Study Program)

Saiful Ridlo, Retno Sri Iswari, Ibnul Mubarok

Pendidikan Biologi, FMIPA, UNNES E-mail : [email protected] (correspondence author)

Abstrak

Tracer study merupakan pendekatan yang memungkinkan institusi pendidikan tinggi memperoleh informasi tentang kekurangan yang mungkin terjadi dalam proses pendidikan dan proses pembelajaran dan dapat merupakan dasar untuk perencanaan aktivitas untuk penyempurnaan di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan instrumen tracer study berbasis borang akreditasi institusi program studi menggunakan aplikasi android, dan mendeskripsi kepraktisan instrumen berdasarkan hasil uji coba pada skala terbatas. Penelitian ini menggunakan penelitian pengembangan dengan mengambil prosedur mulai dari identifiksi masalah, pengumpulan data untuk mendesain produk, perancangan produk, validasi desain, revisi, ujicoba skala terbatas dan revisi kembali untuk dijadikan sebagai produk penelitian. Dari penelitian ini telah dihasilkan aplikasi biotracerstudy yang dapat diunduh dan dipasang pada telpon genggam pintar berbasis android yang sesuai dengan berbagai sistem operasi termasuk yang terkini, nougat, melalui biotracerstudy.com. Aplikasi dapat menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan akreditasi program studi dari BAN-PT. Kata kunci: akreditasi, aplikasi biotracerstudy, program studi, tracer study

PENDAHULUAN

Schomburg (2003) mendefiniskan tracer study sebagai pendekatan yang memungkinkan institusi pendidikan tinggi memperoleh informasi tentang kekurangan yang mungkin terjadi dalam proses pendidikan dan proses pembelajaran sehingga dapat dijadikan dasar untuk perencanaan aktivitas di masa mendatang. Oleh karena itu, nama yang sepadan adalah survey lulusan, riset alumni, penelusuran karir lulusan, atau follow-up study (Schomburg dalam Pannogan & Ocampo, 2016). Hasil tracer study dapat digunakan perguruan tinggi untuk mengetahui keberhasilan proses pendidikan yang telah dilakukan terhadap mahasiswanya. Dalam program hibah kompetisi maupun akreditasi mempersyaratkan adanya data hasil tracer study tersebut melalui parameter masa tunggu lulusan, persen lulusan yang sudah bekerja, dan penghasilan pertama yang diperoleh, apakah ada kesesuaian/ketidaksesuaian antara bidang kerja lulusan dengan kompetensinya, bahkan yang paling penting adalah persepsi pemangku kepentingan terhadap lulusan (Pannogan & Ocampo, 2016; Setyorini, et al., 2012). Dengan demikian tracer study memberi manfaat yang besar untuk evaluasi dan dalam meningkatkan pendidikan pada pendidikan tinggi. Terkait dengan akreditasi program studi, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) mengases tracer study sebagai salah satu item penilaiannya. Program studi harus dapat menunjukkan adakah studi pelacakan untuk mendapatkan hasil evaluasi kinerja lulusan dengan pihak pengguna? Hal tersebut terdapat dalam borang akreditasi Buku IIIA (BAN PT, 2008a) yang harus diisi oleh program studi. Lebih lanjut dalam Buku V Pedoman Penilaian Instrumen Akreditasi Sarjana (BAN PT, 2008b) dijelaskan dalam pengelolaan lulusan sebagai produk, program studi menyiapkan pembekalan pengembangan entrepreneurship, pengembangan karir, magang dan rekrutmen kerja. Kemitraan program studi dengan lulusan berupa tracer study serta penggalangan dukungan dan sponshorship pada lulusan. Elemen yang dinilai adalah layanan dan pendayagunaan lulusan: ragam, jenis, wadah, mutu, harga, intensitas;

PENDIDIKAN BIOLOGI…

232 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pelacakan dan perekaman data lulusan: kekomprehensifan, pemutakhiran, profil masa tunggu kerja pertama, kesesuaian bidang kerja dengan bidang studi, dan posisi kerja pertama; dan partisipasi lulusan dan alumni dalam mendukung pengembangan akademik dan non-akademik program studi (BAN PT, 2008b). Dengan demikian ada beberapa butir penting yang harus diwadahi dalam instrumen akreditasi. Melalui akreditasi oleh BAN PT sebagai lembaga eksternal penjaminan mutu, program studi dinilai kinerjanya dan hasilnya menjadi ukuran kualitas dan keberhasilan. Sehingga program studi perlu menyiapkan instrumen tracer study yang berbasis pada borang akreditasi. Bahkan saat ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti telah mengembangkan instrumen tracer study secara online dengan 78 item dan dapat diunduh melalui laman http://tracerstudy.dikti.go.id. Pengembangan instrumen tracer study telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga untuk berbagai tujuan pula. IPEC sebuah lembaga dibawah International Labour Organisation (ILO) telah mengembangkan metode tracking sejak tahun 2003-2004 untuk mengukur dampak panjangnya/lamanya anak hidup dengan keluarganya. Setelah berulang-ulang menggunakan 6 metode tracking sebagai metode asal, akhirnya menemukan metode yang disebutnya sebagai improved mehodology IPEC (2017a,b,c). Jurusan Biologi FMIPA UNNES juga telah berulang kali mengadakan penelusuran alumni dengan melalui berbagai metode penyebaran angket dan on line melalui media sosial seperti facebook dan whatsapp. Multimetode digunakan agar dijaring sebanyak-banyaknya alumni yang mau mengisi. Agaknya dengan berkembangnya teknologi informasi penganekaragaman media untuk mengoleksi data semakin terbuka. Satu metode yang belum dikembangkan adalah menggunakan applikasi berbasis android dengan memfokuskan item pada hal-hal yang dikehendaki dalam penilaian akreditasi oleh BAN PT.

Pengembangan instrumen tracer study alumni pada android dilatarbelakangi oleh adanya potensi pemakaian smartphone yang menggunakan OS android. Masalah yang terjadi di lapangan yaitu perlunya instrumen tracer study yang sesuai dengan tuntutan borang akreditasi instrusi program studi. Penelitian ini bertujuan sebagai berikut. Pertama, mengembangkan instrumen tracer study berbasis borang akreditasi institusi program studi menggunakan applikasi android. Ke dua, mendeskripsi kepraktisan instrumen berdasarkan hasil uji coba pada skala terbatas.

Android merupakan subset perangkat lunak untuk perangkat mobile yang meliputi sistem operasi, middleware dan aplikasi inti yang dirilis oleh Google. Sebagai pelengkapnya berupa Android SDK (Software Development Kit) yang menyediakan Tools dan Application Programming Interface (API) yang diperlukan untuk mengembangkan aplikasi pada platform Android dengan menggunakan bahasa pemrograman Java. Android dikembangkan secara bersama – sama antara Google, Intel, Motorola, Qualcomm, T-Mobile, NVIDIA serta 47 perusahaan lain yang tergabung dalam Open Handset Alliance (OHA).

Kelebihan sistem operasi ini yaitu, sistem operasinya terbuka, sehingga dapat dikembangkan oleh siapa saja dan akses mudah ke Android Market. Ponsel android mampu menjalankan beberapa aplikasi sekaligus (Multitasking). Sistem operasi android memiliki kemampuan untuk dapat memberitahukan pengguna tentang adanya sms, email, atau bahkan artikel terbaru dari Really Simple Syndication (RSS) Reader melalui fasilitas notifikasi. Android juga mendukung semua layanan yang ada di Google. Pengguna mampu mengisi baterai, mass storage, diskdrive, dan Unique Set Size (USS) tethering karena adanya fasilitas Universal Serial Bus (USB). Sedangkan, kekurangan sistem operasi android yaitu banyaknya iklan yang muncul didalam aplikasi yang di download secara gratis dan mudah.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 233

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium microteaching, Jurusan Biologi

FMIPA UNNES. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan membatasi sampai tersajinya instrumen setelah dilakukan analisis kepraktisan berdasarkan ujicoba pada skala terbatas. Data awal yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data yang berasal dari studi dokumen borang akreditasi institusi program studi (AIPS) dari BAN PT. Selain itu, mengumpulkan bahan yang digunakan untuk perencanaan pembuatan produk meliputi perangkat yang digunakan untuk pembuatan aplikasi android baik software maupun hardware. Pada tahap ini telah dilakukan perancangan produk instrumen pada android melalui penyusunan dan pengembangan instrumen tracer study alumni berdasarkan hasil studi dokumen dan analisis kebutuhan borang AIPS. Desain produk diwujudkan dalam bentuk naskah rancangan instrumen meliputi desain layout, perancangan sistem, penulisan kode pemrograman, dan hasilnya berupa tampilan aplikasi. Selanjutnya dilakukan validasi ahli pengembang aplikasi dan sistem informasi, dan ahli borang AIPS / asesor BAN PT. Aplikasi yang sudah divalidasi logis oleh pakar selanjutnya diujicobakan pada skala terbatas dan hasilnya dianalisis secara deskriptif untuk menelaah kepraktisan aplikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengembangan aplikasi dapat dideskripsikan sebagai berikut. Aplikasi yang dikembangkan dinamakan Biotracerstudy. Aplikasi dapat diunduh secara bebas dengan telepon pintar pengguna melalui laman biotracerstudy.com. Setelah diunduh dapat terpasang secara langsung pada perangkat telepon pintar berbasis android, hanya terdapat perbedaan cara pada berbagai tipe OS yang masih dijumpai dan digunakan, seperti Gingerbread (2.3–2.3.7), Honeycomb (3.0–3.2.6), Ice Cream Sandwich (4.0–4.0.4), Jelly Bean (4.1–4.3), KitKat (4.4+), Lollipop (5.0+), Marshmallow (6.0+), hingga yang terbaru yaitu Nougat (7.0+). Jika kemudian dalam waktu dekat muncul versi android terbaru Android O (8.0+), maka aplikasi ini menjadi kurang sesuai. Penampilan aplikasi pada telepon pintar pengguna seperti pada Gambar 1.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

234 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 1. Tampilan aplikasi ‘biotracerstudy’ setelah terpasang pada telepon pintar

Berbagai menu yang disediakan dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Menu Alumni

Menu Alumni merupakan kuisioner yang diisi oleh alumni Program Study Pendidikan Biologi FMIPA UNNES. Kuisioner yang harus diisi oleh alumni berisi identitas dan hal-hal yang ditanyakan dalam borang AIPS BAN PT. Melalui menu ini alumni diambil informasinya tentang setelah mengisi submenu: 1) data pribadi, 2) data kelulusan, 3) himpunan alumni dan aktivitasnya, dan bagi alumni yang berprofesi sebagai guru dapat mengisi submenu 4) untuk tenaga pendidik/guru.

Melalui submenu data pribadi dan data kelulusan, prodi dapat menyediakan respons sesuai dengan penilaian borang 3.3 pelacakan dan perekaman data lulusan: kekomprehensifan, pemutakhiran, profil masa tunggu kerja pertama, kesesuaian bidang kerja dengan bidang studi, dan posisi kerja pertama. Informasi yang dapat diambil adalah upaya pelacakan dan perekaman data lulusan; penggunaan hasil pelacakan untuk perbaikan proses pembelajaran, penggalangan dana, informasi pekerjaan, dan membangun jejaring; profil masa tunggu kerja pertama; profil kesesuaian bidang kerja dengan bidang studi. Khusus tentang perbaikan proses pembelajaran, informasinya diperdalam pada submenu untuk tenaga pendidik/guru. Tampilan visual pada menu ’alumni’ dapat dilihat pada Gambar 2.

Nama

aplikasi

Logo aplikasi

Menu-menu yang

tersedia dengan menu

utama ‘ALUMNI’ dan

‘PENGGUNA

ALUMNI’

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 235

(a) (b)

Gambar 2. Tampilan visual salah satu submenu pada menu ALUMNI (a) dan PENGGUNA ALUMNI (b)

2. Menu Pengguna Alumni

Menu pengguna alumni merupakan kuisioner yang diisi oleh pengguna alumni Prodi Pendidikan Biologi FMIPA UNNES. Tampilan visual salah satu submenunya dapat dilihat pada Gambar 2.

3. Menu Petunjuk Menu petunjuk merupakan petunjuk pengsian kuisioner pada menu alumni dan menu pengguna alumni.

4. Menu Bantuan Menu bantuan menampilkan bantuan penggunaan aplikasi biotracer study.

5. Menu Login Menu login merupakan menu yang ditujukan kepada admin untuk melihat data hasil tracer alumni dan pengguna alumni yang sudah mengisi

6. Menu Keluar Menu keluar untuk keluar dari aplikasi biotracer Aplikasi telah mendapatkan telaah dari ahli, yaitu dari asesor BAN PT sebagai orang yang menguasai isi borang AIPS dan dosen ilmu komputer sebagai orang yang menguasai aplikasi pada sistem informasi. Dari ahli yang menguasai borang AIPS, secara umum dinyatakan dapat digunakan untuk mengambil informasi tentang almuni. Sedikit hal yang perlu diperbaiki pada menu pengguna alumni yang masih mencantumkan penilaian atas kinerja alumni dapat diberikan oleh kolega alumni karena kolega bukanlah pengguna alumni. Isi kuis jika dianalisis dapat digunakan bagi perbaikan proses pembelajaran dan proses penggalangan dana dari alumni, serta membangun jaringan. Meskipun demikian isi kuis, mungkin belum dapat digunakan untuk perbaikan untuk memberikan informasi pekerjaan bagi mahasiswa. Sedangkan ahli sistem informasi memberi penilaian sangat baik dari aspek ergonomis dan kegunaan sehingga

PENDIDIKAN BIOLOGI…

236 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

aplikasi layak digunakan. Meskipun demikian masih disarankan agar menambahkan tombol ‘batal’ bagi pengisi untuk menunda pengisian. Berdasarkan validasi dari ahli maka dinyatakan aplikasi biotracerstudy valid dan layak digunakan. Hasil ujicoba skala terbatas untuk medeskripsi kepraktisan dapat diuraikan sebagai berikut. Admin (Prodi Pendidikan Biologi) berkemungkinan mendapat informasi dan memberikan bukti kepada asesor akreditasi secara langsung tentang ‘ada upaya yang intensif untuk melacak lulusan dan datanya terekam secara komprehensif’ sehingga berpeluang mendapat skor 4. Data terekam pada menu ‘login’ yang disediakan khusus bagi admin. Contoh data terekam dapat dilihat pada Gambar 3. Profil masa tunggu kerja pertama dan profil kesesuaian bidang kerja dengan bidang studi merupakan dua item yang harus dijelaskan oleh program studi dalam borang akreditasi. Berdasarkan gambar di atas dapat diinterpretasi bahwa lulusan mendapatkan pekerjaan pertama rata-rata < 3 bulan tetapi > 12 bulan sehingga berkemungkinan mendapat skor 3. Dari profil kesesuaian pekerjaan, setelah dicocokkan dengan profil lulusan pendidikan biologi sesuai kurikulum prodi yaitu (calon) pendidik, asisten peneliti, wirausahawan bidang pendidikan, dan pengelola lembaga pendidikan paling tidak dapat diberikan informasi ada 65% lulusan bekerja di bidang yang sesuai dan mungkin jika dilihat datanya per-alumni akan terdapat lebih mengingat pekerjaan lain belum terdefinisi oleh grafik. Jika menggunakan gambar berarti skor sesuai borang akreditasi = 65% x 5 = 3,25. Berdasarkan dua contoh bukti tersebut maka aplikasi praktis digunakan untuk melacak alumni.

Gambar 3. Contoh 2 tampilan data pada menu login

Tujuan utama dari kegiatan tracer study adalah untuk mengetahui/mengidentifikasi kualitas lulusan di dunia kerja. Adapun tujuan khusus tracer study adalah : (1) mengidentifikasi profil kompetensi dan keterampilan lulusan; (2) mengetahui relevansi dari pelaksanaan kurikulum yang telah diterapkan di perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pengembangan profesional di dalam kompetensi jurusan; (3) mengevaluasi hubungan dari kurikulum dan studi di jurusan sebagai pengembangan keilmuan; (4) sebagai kontribusi dalam proses akreditasi jurusan (Schomburg ,2003). Berdasarkan hasil penelitian, ke empat tujuan khusus tersebut dapat dicapai. Aplikasi biotracerstudy disiapkan secara khusus untuk akreditasi institusi program studi. Berbagai pertanyaan yang harus disediakan jawabannya oleh prodi terkait dengan tujuan 1, 2, dan 3 tersebut di atas, seperti dapat dibaca pada Buku 3a, 5, dan 6 (BAN PT, 2008a,b,c).

Hasil tracer study hanya dapat digunakan secara signifikan jika berasal dari metodologi yang ketat yang melibatkan pengembangan bank data yang akurat dan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 237

representatif. Menurut Teichler (1999) dan Sanyal (1987) dalam Egesah, et al., (2014) pendekatan metodologis tracer study dan desain dan tema yang tepat dapat menghasilkan hasil yang diinginkan dan dapat digunakan. Selain itu, seringkali sangat diharapkan untuk melakukan survei sensus daripada survei sampel pelacak dimana semua lulusan dilacak dan pengalaman mereka dibagikan. Hal tersebut dipastikan dapat menyajikan gambaran lengkap tentang pengalaman. Survei pelacak musiman seperti INDOTRACE (Syafiq dan Fikawati, 2011) juga memilih studi pelacak panel di mana kohort yang sama dilacak dan disurvei lebih dari satu kali. Dengan menggunakan instrumen hasil pengembangan ini, pelacakan dapat menggunakan metode survei sensus maupun survei sampel, juga dapat menggunakan metode pelacakan musiman. Mungkin juga dapat digunakan pada model tracer study dari Jose (2014) yang diberi nama The Alumni Tracer Study Questionnaire, dan Ramirez, et.al., (2014) menggunakan A modified Graduate Tracer Study (GTS) instrument. PENUTUP Dari penelitian ini telah dihasilkan aplikasi biotracerstudy yang dapat diunduh melalui biotracerstudy.com dan dipasang pada telepon genggam pintar berbasis android dengan berbagai sistem operasi termasuk yang terkini, nougat. Aplikasi dapat menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan akreditasi program studi dari BAN-PT. REFERENSI BAN PT. 2008a. Akreditasi Program Studi Sarjana: Buku IIIA Borang Akreditasi yang

Harus Diisi Program Studi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

_____. 2008b. Akreditasi Program Studi Sarjana: Buku V Pedoman Penilaian Instrumen Akreditasi Sarjana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

_____. 2008c. Akreditasi Program Studi Sarjana: Buku VI Matrik Penilaian Akreditasi Sarjana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Egesah, OB., Wahome, M., Langat, EK., & Wishitemi, BEL. 2014. University Graduate Tracer Studies (UNITRACE): Methodological Lessons and Utilization of Selected Results in Kenya. Journal of International Academic Researrch for Multidisciplinary. 2:8.

IPEC (International Programme on the Elimination of Child Labour). 2017a. Tracer Study Book 1: Model Quissionaires. Edisi Elektronik. Diakses pada 10 April 2017 melalui http://www.ilo.org/ipec/programme/Designandevaluation/ImpactAssessment/tracer-studies/lang--en/index.htm

_____. 2017b. Tracer Study Book 3: Methodology Manual. Edisi Elektronik. Diakses pada 10 April 2017 melalui http://www.ilo.org/ipec/programme/Designandevaluation/Impact Assessment/tracer-studies/lang--en/index.htm

Jose, A.E.S. 2014. Finding the Linguist: An AB English Graduates Tracer Study. International Journal of English Language Education, Vol. 2, No. 2. Edisi Elektronik. Diases pada 11 April 2017 melalui www.macrothink.org/ijele

Ramirez, T.L., Cruz, L.T., and Alcantara, N.V. 2014. Tracer Study of RTU Graduates: an Analysis. Journal of Arts, Science & Commerce Vol.– V, Issue – 1, Jan. 2014 [66] Edisi Elektronik. Diakses pada 11 April 2017 melalui www.researchersworld.com

Pannogan, O.C. & Ocampo, D.P. 2016. Tracer Study of Bachelor of Arts Graduates Major in English. International Journal of Advanced Research in Management and Social

PENDIDIKAN BIOLOGI…

238 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Sciences, Vol. 5 No. 1. Edisi Elektronik. Diases pada 11 Oktober 2017 melalui www.garph.co.uk/IJARMSS/Jan2016/21.pdf

Setyorini, M.A. Nugroho, M.N. Aisyah, C. D. Sinangkling. Tracer Study Kajian Relevansi Kemampuan Penguasaan Bahasa Asing Dan Teknologi Informasi Lulusan Program Studi Akuntansi FE UNY Tahun 2004 – 2011 dengan Kebutuhan User. Laporan Penelitian. Program Studi Akuntansi Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

Schomburg, H. 2003. Handbook for Graduate Tracer Study. Moenchebergstrasse Kassel, Germany: Wissenschaftliches Zentrum für Berufs- und Hochschulforschung, Universität Kassel

Syafiq A. and S Fikawati (2010). Tracer Study at University of Indonesia, 2012: problems in the Field and Results Dissemination. UNITRACE, INCHER-Kassel

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 239

PENERAPAN SELF ASSESMENT UNTUK MENGUNGKAP KEMAMPUAN INQUIRY SISWA PADA PRAKTIKUM SEL TUMBUHAN

Rinto

Abstrak Penelitian tentang Penerapan self assessment untuk mengungkap kemampuan inquiry menggunakan metode deskriptif. Subjek penelitian ini dipilih secara acak kelas yaitu kelas VII di SMP NEGERI 2 GEBANG semester genap. Instrumen yang digunakan adalah lembar self assessment dan lembar observasi sebagai data pembanding untuk memvalidasi jawaban siswa dalam mengisi lembar self assessment. Untuk mengungkap tanggapan serta kesulitan siswa dan guru dalam penerapan self assessment digunakan angket dan wawancara terhadap guru dan siswa. Kemampuan inquiry yang dapat diungkap menggunakan self assessment yaitu: mengobservasi (87,38%) pada kategori baik, menganalisis data (81,13%) baik, mengkomunikasikan hasil observasi (76,17%) baik, menggunakan alat dan bahan (74,18%) cukup, dan menginterpretasi data (70,07%) cukup. Berdasarkan hasil observasi diperoleh hasil yang hampir sejalan dengan hasil self assessment sehingga self assessment tersebut dapat diterapkan untuk menilai kemampuan inquiry. Tanggapan positif diberikan oleh guru terhadap self assessment karena dapat mengungkap kekuatan dan kelemahan siswa dalam inquiry. Demikian pula tanggapan siswa yang menyatakan bahwa penerapan self assessment dapat memotivasi mereka dalam belajar. Kesulitan dalam penerapan self assessment menurut guru adalah dalam mengatur waktu. Perlu waktu khusus untuk pelaksanaan self assessment. Tingkat kejujuran siswa sendiri sering menjadi hambatan. Sebagian siswa (30,79%) mengungkapkan bahwa penggunaan self assessment terlalu menyita waktu. Kata kunci : self assesment, inquiry

PENDAHULUAN

Pembelajaran harus dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Selain itu, pembelajaran sebaiknya dapat merangsang siswa untuk mencari sendiri pengetahuan dalam memecahkan masalah–masalah yang dihadapinya yang dilandasi sikap ilmiah. Sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan dalam memproses informasi yang ditemukannya, demikian pula dengan kemampuan berfikir serta strategi intelektualnya (Pujiati, 2004:1).

Kegiatan praktikum merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran yang menuntut siswa menggunakan pengetahuannya dalam suatu proses ilmiah serta menjadi bagian integral dalam IPA khususnya Biologi. Pentingnya praktikum dikemukakan oleh Woolnough dan Allsop (Rustaman et al., 2005:136) yaitu: 1) praktikum membangkitkan motivasi belajar sains; 2) praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan ekperimen; 3) praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah; 4) praktikum menunjang materi pelajaran.

Pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry lebih menekankan pada proses dalam mencari pemecahan masalah atau jawaban, bukan hanya pada hasil dari pemecahan masalah. Pernyataan lain dikemukakan oleh Fenton (Nasution, 1992:117) yang menyatakan bahwa inquiry lebih menekankan pada proses. Hal ini sangat penting mengingat dalam kegiatan belajar mengajar proses pendidikan merupakan kegiatan pokok di sekolah. Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami siswa.

Pendekatan inquiry dapat dibedakan menjadi inquiry terpimpin (guided inquiry) dan inquiry bebas (free inquiry) atau inquiry terbuka (open-ended inquiry) (Rustaman et al., 2005:95). Inquiry melibatkan aktivitas yang beragam yang meliputi observasi, pengamatan, mengajukan pertanyaan, menelaah buku dan sumber informasi lain untuk mengetahui apa yang belum diketahui, merencanakan penyelidikan, mengkaji ulang apa yang sudah diketahui dari hasil eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan,

PENDIDIKAN BIOLOGI…

240 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

menganalisis, dan menginterpretasikan data, dan mengajukan jawaban, penjelasan dan mengkomunikasikan hasil.

Sasaran di akhir pembelajaran IPA tidak hanya berorientasi pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi lebih ditekankan pada konsep untuk mencapai penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dapat memberikan bekal bagi peserta didik dalam menghadapi kehidupannya. Untuk mengetahui tercapai tidaknya sasaran tersebut perlu dilakukan penilaian, yakni serangkaian kegiatan penilaian yang menyangkut proses dan hasil belajar siswa yang menjadi alasan bahwa kemampuan inquiry perlu dinilai.

Penilaian kemampuan inquiry yang dilakukan selama ini seringkali hanya menekankan pada aspek penguasaan konsep secara kognitif. Penilaian yang dilakukan selama ini baru mengukur penguasaan materi saja dan itu pun hanya meliputi ranah kognitif yang rendah. Hal ini terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2002), dengan menggunakan alat ukur berupa tes essay untuk mengetahui kemampuan inquiry siswa, ternyata yang bisa terungkap hanya hasil akhir, sedangkan proses pembelajaran masih belum terungkap sehingga kurang bermakna dan kurang memberi masukan tentang kemampuan inquiry siswa.

Self assesment merupakan salah satu keterlibatan siswa di dalam proses penilaian yang hasilnya selain dapat memberikan umpan balik untuk perbaikan belajar juga membantu guru untuk mengetahui kesulitan belajar siswa dan kemajuan belajarnya sehingga guru dan siswa dapat merencanakan metode dan teknik belajar yang tepat (Tierney et al;1991, dalam Wulan, 2006:1). Ketika siswa bekerja sama dalam sebuah penilaian, mereka pun mengembangkan kebiasaan self reflection atau pencerminan diri. Self assessment penting dilakukan agar siswa mempelajari kualitas suatu kerja yang baik, bagaimana menilai hasil pekerjaan mereka sendiri berdasarkan standar yang telah ditentukan, belajar untuk merevisi kembali pekerjaan mereka sendiri dan kemudian menilai kerja mereka yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan dalam belajar (Reif & Wolf, 1990:1).

Konsep yang dipilih dalam penelitian ini yaitu tentang sel khususnya sel tumbuhan. Transportasi melalui membran sel merupakan konsep dasar yang menunjukan bahwa aktifitas fisiologi sel terjadi melalui membran. Pada proses transportasi membran sel, dapat dipelajari bagaimana bahan-bahan tertentu dapat masuk dan keluar dari sel (Winatasasmita, 1986). Kemampuan sel untuk membedakan pertukaran kimiawi dengan lingkungannya merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan. Hal tersebut berkaitan dengan sifat keselektifan yang dimiliki oleh membran sel (Campbell et al., 2008:141 ).

Konsep transpor membran sel pada penelitian ini lebih dikhususkan pada transport membran sel tumbuhan. Hal ini dikarenakan transportasi pada tumbuhan berkenaan dengan proses yang dapat diobservasi gejalanya (Nurhayati, 2005), sehingga memungkinkan siswa untuk menggunakan kemampuan kerja ilmiahnya melalui praktikum dengan pendekatan inquiry. Proses transportasi membran sel tumbuhan lebih sederhana dan lebih mudah untuk diamati dibandingkan dengan proses yang terjadi pada manusia atau hewan. Pada praktikum dengan pendekatan inquiry, proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer dari guru ke siswa, proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil, sehingga siswa belajar mengkontruksikan sendiri.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang penerapan self assessment untuk mengungkap kemampuan inquiry siswa. Gambaran tentang kemampuan inquiry tidak hanya diperoleh pada akhir pembelajaran tetapi pada proses pembelajaran, untuk itu self assesment tidak dilakukan diakhir periode seperti akhir semester.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 241

METODE PENELITIAN

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu untuk menggali data pada kondisi yang sebenarnya. Metoda deskriptif berusaha mendeskripsikan atau menginterpretasikan proses yang sedang berlangsung/kecenderungan yang sedang berkembang (Faisal dalam Nurhayati, 2005).

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 2 Gebang Kelas VII Semester Genap. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 2 Gebang Kelas VII Semester Genap, sebanyak satu kelas yang diambil secara acak kelas.

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini berupa non tes dengan menggunakan beberapa cara, yaitu: Lembar self assessment dengan menggunakan daftar cek, Lembar observasi, Angket, Wawancara, Lembar Kerja Siswa digunakan sebagai pedoman praktikum dan Catatan lapangan digunakan sebagai data tambahan untuk melihat keadaan di kelas pada saat praktikum/pembelajaran sedang berlangsung. Pengolahan data tersebut dapat dilakukan dengan statistika deskriptif secara kuantitatif dan kualitatif. Kemampuan inquiry siswa diperoleh dari lembar self assessment dan observasi. Lembar observasi digunakan untuk memvalidasi jawaban siswa dalam mengisi self assessment. Data yang berupa skor tiap komponen kemampuan inquiry dengan skala 1-4 diolah dengan menggunakan rumus persentase kualitatif. Kekuatan dan kelemahan siswa dalam inquiry serta rencana-rencana siswa untuk memperbaiki kelemahannya diperoleh dari lembar self assessment dihitung melalui statistika desktiptif secara kualitatif. Respon siswa tentang penggunaan self assessment dengan mengalisis data yang diperoleh melalui angket dengan menghitung persentase jawaban siswa. Data hasil wawancara guru dan siswa diolah secara kualitatif digunakan sebagai bahan masukan untuk mengetahui pendapat guru dan siswa mengenai kelebihan dan kendala penerapan self assessment dalam mengungkap kemampuan inquiry siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Kemampuan Inquiry

Berdasarkan hasil self assessment dan observasi dapat diperoleh. informasi tentang kemampuan inquiry siswa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel .1 (self assessment) dan Tabel 2 (observasi).

Tabel 1 Hasil Self Assessment Kemampuan Inquiry Siswa

No. Aspek Yang Diungkap Persentase Rata-rata

(%) Kategori

1. Menggunakan alat dan bahan 74,18 Cukup

2. Mengobservasi 87,38 Baik

3. Mengkomunikasikan hasil observasi

76,17 Baik

4. Menganalisis Data 80,71 Baik 5. Menginterpretasi data 70,07 Cukup

PENDIDIKAN BIOLOGI…

242 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 2 Hasil Observasi Kemampuan Inquiry Siswa

No. Aspek Yang Diungkap Persentase Rata-rata (%)

Kategori

1. Menggunakan alat dan bahan 66,16 Cukup 2. Mengobservasi 87,10 Baik 3. Mengkomunikasikan hasil observasi 73,25 Cukup 4. Menganalisis Data 78,06 Baik 5. Menginterpretasi data 59,75 Cukup

Berdasarkan data dari Tabel 1 dan 2 dapat dideskripsikan perbandingan antara respon siswa dari hasil self assessment dengan hasil observasi sebagai berikut: a. Mengobservasi data

Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan inquiry paling tinggi pada mengobservasi data berada pada kategori baik (87,38%). Berdasarkan Tabel 2 (observasi) terungkap bahwa kemampuan inquiry siswa dalam mengobservasi menunjukan kategori baik ((87,10%)). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat kesesuaian antara hasil self assessment dan observasi, sehingga self assessment dapat digunakan untuk mengungkap kemampuan mengobservasi data. Hal tersebut karena siswa sudah terbiasa dalam pembelajaran menggunakan metode pengamatan langsung pada objek serta melakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop.

b. Analisis Data

Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam menganalisis data berada pada kategori baik (81,13%), sedangkan pada Tabel 2 dari hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam menganalisis data juga pada kategori baik (76,17%). Kedua tabel menunjukan kategori baik dalam hal menganalisis data, perbedaannya hanya pada jumlah persentase, sehingga self assessment dapat digunakan untuk mengungkap kemampuan inquiry. Selisih antara hasil self assessment dan observasi antara lain disebabkan karena siswa mengisi berdasarkan yang ia rasakan dan siswa tidak bisa membedakan antara kemampuan dengan pengetahuan berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan. Seperti yang dikemukakan oleh Cariaga-Lo et al., (Srimavin dan Darasawang, 2003:1) bahwa self assessment digunakan oleh siswa untuk mengevaluasi dan memonitor tingkatan pengetahuan mereka, performance dan untuk mendapatkan informasi tentang yang mereka pelajari. Oleh karena itu, self assessment adalah apa yang siswa lihat dari sudut pandang mereka sendiri (Oscarson, 1989 dalam Srimavin dan Darasawang, 2003:1). Siswa juga mempunyai budaya kerjasama atau menyontek dalam mengerjakan tugas. Hal ini didukung oleh Megawangi (2006:3) yang menyatakan bahwa pendekatan belajar selama ini yang terlalu kognitif telah merubah orientasi siswa dalam belajar hanya untuk memperoleh nilai tinggi. Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti menjiplak dan menyontek. Siswa mempunyai alasan tersendiri dalam mengisi self assessment (penilaian diri) karena tidak bisa mengakui kekurangannya

c. Mengkomunikasikan hasil Observasi

Tabel 1 menunjukan bahwa mengkomunikasikan hasil observasi berada pada kategori baik (76,17%), sedangkan pada Tabel 2 dari hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan hasil observasi juga berada pada kategori cukup ((73,25%)). Kedua Tabel menunjukan kategori baik dan cukup dalam hal mengkomunikasikan hasil observasi. Siswa merespon self assessment

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 243

tetapi lemah jika dilihat dari hasil observasi. Meskipun begitu, self assessment masih bisa digunakan untuk mengungkap kemampuan mengkomunikasikan hasil observasi, sebab perbedaannya tidak terlalu jauh. Perbedaan selisih persentase mungkin disebabkan pada lembar self assessment siswa mengisi berdasarkan yang ia rasakan. Siswa tidak bisa membedakan antara kemampuan dengan pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan. Meskipun memang banyak siswa yang pandai dalam hal menggambar atau merubah data hasil observasi kedalam bentuk gambar, namun sama halnya dengan menganalisis data, siswa mempunyai kebiasaan kerjasama atau menyontek dalam mengerjakan tugas.

d. Menggunakan alat dan bahan

Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam menggunakan alat dan bahan berada dalam kategori cukup (74,18%), sedangkan pada Tabel 2 dari hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam menggunakan alat dan bahan juga berada dalam kategori cukup ((66,16%)). Tabel 1 dan 2 keduanya menunjukan kategori cukup dalam hal menggunakan alat dan bahan, meskipun perbedaannya hanya pada jumlah persentase, maka self assessment dapat digunakan untuk mengungkap kemampuan siswa dalam menggunakan alat dan bahan. Sebagian besar siswa tahu bagaimana cara atau teknik yang benar menggunakan mikroskop, dan membuat preparat, tetapi tidak semua siswa dapat melakukannya dengan baik dan benar. Sebagian siswa juga hanya melihat atau mengandalkan pekerjaan rekan lain dalam kelompoknya. Namun ketika siswa mengisi lembar self assessment siswa tidak mengakui kelemahan mereka tapi menjawab penilaian diri berdasarkan pengetahuan mereka. Hal tersebut disebabkan karena siswa merupakan pribadi yang terbentuk dari pengenalan orang terhadap dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya sendiri. Maka pribadi siswa terbentuk dari pengalaman kognitif dan afektif yang bersumber kepada diri, yang merupakan sumber pengalaman (Fahmy, 1982:111).

e. Menginterpretasi data

Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam menginterpretasi data berada pada kategori cukup (70,07%), sedangkan pada Tabel 2 dari hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam menginterpretasi data berada pada kategori cukup ((59,75%)). Kedua tabel menunjukan kategori cukup dalam hal menginterpretasi data. Perbedaan hasil self assessment pada jumlah persentase tidak begitu jauh, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan mengiterpretasi data dapat terungkap melalui self assessment. Interpretasi menurut Carin & Sund (1985;68) adalah menganalisis data yang telah diperoleh dan diatur oleh pola tertentu dalam data. Menginterpretasi data memerlukan kemampuan menganalisis, kemampuan ini perlu dilatih agar bisa lebih baik. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran biologi yang mereka dapat selama ini kurang melatih siswa untuk mengembangkan daya nalarnya. Berdasarkan hasil self assessment dan observasi (Tabel 1 dan Tabel 2), terdapat hasil yang hampir sejalan. Hampir semua siswa merespon self assessment dengan baik, walaupun ada sebagian kecil siswa yang tidak jujur. Jika dilihat dari semua kemampuan inquiry yang terungkap dalam penelitian ini, maka interpretasi data merupakan kemampuan inquiry yang lebih banyak selisihnya bila dilihat perbandingannya berdasarkan grafik pada Gambar 1. Oleh karena itu, kemampuan interpretasi data mungkin akan lebih terungkap bukan melalui self assessment melainkan melalui observasi atau tes tertulis.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

244 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 3 Kekuatan dan Kelemahan Siswa dalam Inquiry

No. Aspek yang diungkap

Persentase jawaban siswa (%) Mab Mob Mho Mad Mid

1. Kemampuan/kekuatan siswa dalam inquiry

37,14 22,86 20 17,14 2,86

2. Kelemahan siswa dalam inquiry

20 11,43 5,71 25,71 37,14

Gambar 2 Grafik Batang Persentase Kekuatan dan Kelemahan Siswa

dalam Inquiry dari Hasil Self Assessment

Keterangan: Mab = menggunakan alat dan bahan Mob = mengobservasi Mho = mengkomunikasikan hasil observasi Mda = menganalisis data Mid = menginterpretasi data

2. Kekuatan dan Kelemahan Siswa serta Rencana Perbaikan Belajar dalam

Inquiry Kekuatan dan kelemahan siswa dalam inquiry dapat terungkap dari lembar self assessment berdasarkan Tabel 3. Kekuatan siswa dari yang paling dikuasai sampai yang paling tidak dikuasai secara berurutan yaitu, menggunakan alat dan bahan (37,14%), mengobervasi data (22,86%), mengkomunikasikan hasil observasi (20%), menganalisis data (17,14%), dan menginterpretasi data (2,86%). Sedangkan kelemahan siswa dalam inquiry secara berurutan dari yang paling lemah sampai yang paling dikuasai dari hasil self assessment yaitu menginterpretasi data (37,14%), menganalisis data (25,71%), menggunakan alat dan bahan (20%), mengobservasi (11,43%), mengkomunikasikan hasil observasi (5,71%). Berdasarkan Tabel 3 dapat dikatakan bahwa penguasaan kemampuan inquiry berlangsung dari tingkatan yang sederhana sampai tingkatan yang lebih kompleks, yaitu mulai dari menggunakan alat dan bahan sampai interpretasi data dari praktikum. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ali, M (Teti, 2001) bahwa belajar itu dimulai dari yang sederhana meningkat kepada yang lebih kompleks. Meskipun siswa dapat merespon dan menilai kekuatannya sendiri dalam inquiry, tetapi bila dibandingkan dengan respon siswa terhadap kelemahannya, terdapat perbedaan yang kontradiksi (Tabel 3). Perbedaan persentase antara kekuatan dan kelemahan siswa dalam inquiry lebih jelasnya dapat dilihat melalui grafik pada

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Mab Mob Mho Mad Mid

Kekuatan siswa

kelemahan siswa

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 245

Gambar 2. Hal tersebut mungkin disebabkan karena siswa hanya bisa menilai bagian-bagian kemampuan yang ia miliki, bukan kemampuan secara keseluruhan. Siswa cenderung merasa bingung dan harus berpikir lagi jika ditanya tentang kekuatan dan kelemahan umum yang dimilikinya. Hal ini mungkin karena siswa tidak pernah berlatih untuk mengukur kekuatan dan kelemahan diri mereka. Dengan demikian siswa kurang mampu untuk mengukur kekuatan dan kelemahannya. Siswa tidak dapat mengukur kekurangan dan kelemahannya sendiri dalam aktivitas inquiry. Hal ini menjelaskan bahwa siswa tidak dapat berpikir secara keseluruhan (holistik) tetapi hanya dapat berpikir secara bagian per bagian. Hal tersebut didukung oleh David Orr (Megawangi, 2006:3) yang menyatakan bahwa kegagalan dalam melihat sesuatu secara keseluruhan terjadi ketika kita terbiasa berpikir secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana berfikir secara keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar bagian-bagian tersebut.

Tabel 4 Rencana-Rencana Siswa Untuk Mengatasi Kelemahan dalam Inquiry

No. Aspek Yang Diungkap

Rencana–rencana untuk mengatasi kelemahan dalam inquiry

Persentase (%)

1. Menggunakan alat dan bahan

- akan berlatih terus dalam menggunakan semua alat dan bahan percobaan

19,9

2. Mengobservasi - membagi tugas dengan teman yang mungkin bisa dalam hal yang saya tidak bisa

- mau berusaha dan bertanya kepada teman atau guru yang sudah bisa menggunakan mikroskop sampai bisa menemukan gambar objek yang diamati

5,71

8,57

3. Mengkomunika-sikan hasil observasi

- berlatih lagi lebih maksimal dan mencoba terus untuk bisa menggambarkan hasil observasi

5,71

No. Aspek Yang Diungkap

Rencana–rencana untuk mengatasi kelemahan dalam inquiry

Persentase (%)

4. Menganalisis data

- lebih banyak membaca buku sebelum melakukan percobaan

- lebih giat belajar dengan tekun dan berusaha meningkatkan kemampuan dalam menganalisis data

- memperhatikan dengan baik ketika guru menerangkan dan banyak membaca buku

8,57

11,43

5,71

5. Menginterpre-tasi data

- lebih giat belajar dan melatih kemampuan dengan sering membaca buku sebelum percobaan

- belajar menghubungkan antara data percobaan dengan teori agar bisa membuat kesimpulan

28,57

8,57

Rencana perbaikan belajar dalam memperbaiki kemampuan inquiry pada

praktikum transportasi membran sel terungkap melalui self assessment berdasarkan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

246 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 4. Rencana siswa untuk memperbaiki kelemahannya diantaranya yaitu siswa akan berlatih terus dalam menggunakan alat dan bahan, bertanya kepada guru, dan membaca buku sebelum percobaan. Hal ini senada dengan Hamalik (1983:54) bahwa dengan banyak membaca buku dan mengulang-ngulang hal-hal yang telah dibaca akan memberikan hasil yang lebih baik.

Berdasarkan hasil diatas terungkap bahwa dengan melakukan penilaian diri siswa dapat termotivasi untuk memperbaiki cara belajarnya sehingga dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan inquiry mereka. Oscarson (Srimavin dan Darasawang, 2003:1) menyatakan bahwa self assessment dapat meningkatkan belajar sebab self assessment memberikan latihan bagi siswa dalam evaluasi yang penting untuk pembelajaran mandiri. Siswa harus dapat diandalkan dalam membuat suatu keputusan yang benar dalam melakukan penilaian.

Tabel 5 Hasil Angket Siswa Mengenai Kendala yang Dihadapi Siswa dalam Melakukan

Penilaian Diri Pertanyaan Jawaban Persenta

se (%) Kesulitan apa saja yang kamu hadapi dalam melakukan penilaian diri?

1. Malu untuk mengakui

kekurangan

2. Kurang menyadari

kekurangan/ kelebihan diri

3. Kurang percaya diri

4. Malas dalam mengerjakan

soal

22,86

42,86

22,86 11,43

Berdasarkan angket dan hasil wawancara , ditemukan faktor-faktor penghambat

terhadap penggunaan self assessment, 1) Tingkat kejujuran siswa dalam melakukan penilaian diri (self assessment) yang mempengaruhi hasil self assessment tersebut, senada dengan Bourke dan Poskitt (McAlpine, 2000:4) yang mengemukakan bahwa sulitnya menemukan konsistensi dalam self assessment, hal ini berarti adanya ancaman terhadap reliabilitas dari assessment; 2) Guru belum terbiasa memberikan penilaian diri (self assessment) terhadap proses belajar siswa; 3) Guru memiliki keterbatasan dalam hal waktu yang digunakan untuk melaksanakan self assessment dalam KBM, senada dengan Bourke dan Poskitt (McAlpine, 2000:4) yang menyatakan bahwa diperlukan waktu yang lama dalam mengimplementasikan self assessment dalam kelas; 4) Guru memiliki keterbatasan untuk mengamati perilaku siswa yang cukup banyak agar bisa memvalidasi hasil self assessment siswa; 5) Berdasarkan hasil angket, hampir setengahnya (31,41%); siswa mengeluh karena belum terbiasa dengan melakukan penilaian diri yang mereka anggap menyita waktu dan sebagian kecil (25,71%); siswa sulit untuk jujur mengemukakan kelemahan diri. Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 siswa tidak konsisten dalam pengisian angket tentang kesulitan serta kekurangan dari teknik penilaian diri (self assessment). Hal tersebut disebabkan siswa kurang mampu untuk menilai, mengungkapkan dan menghargai kinerja mereka sendiri. Self assessment tergantung pada respon kualitatif atas kemampuan siswa. Ketidakmampuan dalam bahasa akan mengubah nilai intrinsik dalam penilaian (Bourke dan Poskitt, dalam McAlpine, 2000:4).

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 247

Tabel 6 Kekurangan dan Kelebihan Self Assessment (Penilaian Diri) Pertanyaan Jawaban Persentase

(%) Apakah kelebihan dari teknik penilaian diri yang telah kamu lakukan bila dibandingkan dengan penilaian dengan menggunakan tes?

1. Tidak perlu menghafal (belajar) 2. Kita lebih tahu tentang

kemampuan kita 3. Dengan penilaian diri kita jadi

lebih termotivasi dalam memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam diri

4. Melatih kejujuran

25,71 40

20

14,29 Apakah kekurangan dari teknik penilaian diri yang telah kamu lakukan?

1. Bahasanya terlalu baku dan kurang menarik

2. Harusnya penilaian dilakukan oleh orang lain

3. Soalnya terlalu banyak sehingga malas untuk dibaca

4. Sifatnya terbuka (tidak rahasia) 5. Menyita waktu sehingga tidak

dapat dilakukan pada setiap penilaian

6. Kurang dapat menilai jati diri (kekurangan dan kelebihan) yang sesungguhnya karena tingkat kejujuran masih kurang

7. Pilihan jawaban yang disediakan kurang lengkap

5,71

2,86

14,28

11,43 31,43

25,71

8,57

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui beberapa tanggapan siswa tentang

kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan self assessment. Berdasarkan Tabel 6 tersebut, diketahui bahwa kelebihan penilaian diri dari hampir setengahnya (40%); siswa menjawab bahwa dengan penilaian diri kita lebih tahu tentang kemampuan kita, dan sebagian kecil siswa (14,29%); menjawab penilaian diri dapat melatih kejujuran. Kekurangan penilaian diri hampir setengahnya (31,43%); siswa menyebutkan bahwa penilaian diri terlalu menyita waktu, dan sebagian kecil siswa (2,86%); menjawab bahwa seharusnya penilaian itu dilakukan oleh orang lain.

Tanggapan siswa mengenai kelebihan dan kekurangan self assessment juga diperoleh dari hasil wawancara siswa yang dilakukan pada enam orang siswa. Hasil wawancara siswa mengungkapkan tentang kekurangan dan kelebihan dari penggunaan self assessment sebagai salah satu alternatif penilaian sebagai berikut: 1) Kekurangan dari teknik penilaian diri yaitu terlalu menyita waktu, 2) soal-soalnya terlalu banyak; 3) tidak rahasia; 4) evaluasi kurang jelas, sedangkan kelebihan dari teknik penilaian diri yaitu: 1) pertanyaannya berhubungan dengan diri kita sendiri jadi tidak perlu belajar; 2) kita bisa belajar bersikap jujur; 3) bisa mengungkap kelebihan dan kekurangan kita sehingga kita bisa introspeksi diri dan termotivasi untuk lebih baik KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

PENDIDIKAN BIOLOGI…

248 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kemampuan inquiry yang dapat terungkap dari self assessment yaitu: mengobservasi data (87,38%) berada pada kategori baik, menganalisis data (81,13%) pada kategori baik, mengkomunikasikan hasil observasi (76,17%) pada kategori baik, menggunakan alat dan bahan pada kategori cukup (74,18%), dan menginterpretasikan data (70,07%) berada pada kategori cukup. Kekuatan dan kelemahan siswa dalam inquiry yang dapat terungkap melalui self assessment dari yang tertinggi yaitu kemampuan menggunakan alat dan bahan (37,14%), diikuti dengan kemampuan mengobservasi (22,86%), mengkomunikasikan hasil observasi (20%), menganalisis data (17,14%), dan yang terendah yaitu kemampuan menginterpretasi data (2,86%). Kekuatan dalam inquiry terletak pada kemampuan menggunakan alat dan bahan sedangkan kelemahan siswa dalam inquiry yaitu pada interpretasi data. Rencana-rencana perbaikan belajar siswa dalam kemampuan inquiry yaitu lebih banyak membaca buku sebelum dilakukan praktikum maupun ketika menganalisis data, memperhatikan dan banyak bertanya pada guru, terus belajar dalam menggunakan alat dan bahan, dan lebih giat belajar. Self Assessment dapat membantu dalam memotivasi belajar siswa, karena dapat mengungkap kekuatan dan kelemahan dalam inquiry. Self Assessment juga dapat membantu guru dalam menilai kemampuan inquiry siswa. Kendala yang dialami siswa dalam melalukan penilaian diri yaitu: malu untuk mengakui kekurangan, kurang menyadari kekurangan/ kelebihan diri, ulit untuk jujur, kurang percaya diri, malas dalam mengerjakan soal, terlalu menyita waktu.

Kendala yang dialami guru dalam penggunaan self assessment yaitu: guru belum terbiasa menggunakan self assessment, guru memiliki keterbatasan dalam hal waktu penggunaan self assessment dalam KBM, guru memiliki keterbatasan dalam mengawasi siswa yang banyak, kejujuran siswa dalam mengisi penilaian diri. SARAN Berdasarkan pada hasil penelitian tentang penggunaan Self Assessment untuk mengungkap kemampuan inquiry siswa, maka penulis mengajukan beberapa saran, antara lain: 1. Bagi Guru a. Penggunaan self assessment harus memperhatikan waktu dalam pelaksanaannya

harus memiliki cukup waktu tetapi jangan sampai mengganggu KBM selanjutnya b. Penggunaan self assessment harus terlebih dahulu diberikan pengenalan mengenai

self assessment agar siswa tahu tujuan dari self assessment yang diharapkan dapat memberi motivasi siswa dalam belajar.

c. Perlu dilakukan penilaian diri pada siswa dan guru agar dapat menggunakan self assessment sebagai alternatif penilaian untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa dalam belajar.

REFERENSI Ali, M. (1987). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa Anonim. Student Self-Assessment Rubric for Research Module. [Online]. Tersedia:

http://www.bcpl.net/~sulivan/modules/tips/rubrics_elem/stud_rubric.html. [ 10 April 2016]

Arikunto, S. (1989). Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina Aksara. Boud, D. (1995). Implementing Student Self-Assessment. [Online]. Tersedia: http://www.iml.uts.edu.au/assessment/students/index.html. [6 April 2016] Budnitz, N. (2000). What Inquiry. [Online]. Tersedia:

http//www.biology.duke.edu/cibl/inquiry/what_is_inquiry.htm/2000. Budnitz, N [26 Juni 2016].

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 249

Carin. A.A, and Sund, R.B. (1980). Teaching Science Through Discovery. 4rd Edition. Columbus: Charles E. Merill Publishing Company.

Champbell, N., Reece, J., dan Mitchell, L. (2008). BIOLOGI. Edisi Kedelapan-Jilid 1. Jakarta. Erlangga.

DePorter, B dan Hernacki, M. (2003). Quantum Learning. Bandung: Kaifa. Echol, J. M dan Shadily, H. (1996). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Effendi, R. (2004). Kajian Model Pembelajaran Learning Cycle dengan Tiga Teknik Hands-

On Berdasarkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Inquiry siswa SMU Pada Konsep Hukum Newton Tentang Gerak. Tesis Pasacasarjana, UPI. Bandung . Tidak Diterbitkan.

Fahmy, M. (1982). Penyesuaian Diri. Jakarta: PT. Bulan Bintang Farabee, M. J. (2001). Transport In and Out of Cells. [Online]. Tersedia: http://www.emc.maricopa.edu.faculty-farabee-biobk-pastrans-gif-html. [ 20

Januari 2017] Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Grasindo Hamalik, O. (1983). Metoda Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Herawati, T. (2002). Penerapan Pembelajaran Inkuiri Untuk Mneingkatkan Pemahaman

Siswa Pada konsep Sistem Pencernaan. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi UPI. Tidak Diterbitkan.

Hebrank, M. (2000). Why Inquiry-Based Teaching and Learning in the Middle School science Classroom?. [Online]. Tersedia: http://www.zoology.duke.edu/cibl.html/2000. Center For Inquiry-Based Learning. Dept. of Biology, Duke University. [25 Juni 2016].

Indayati. (1997). Perbedaan Pengaruh Pemberian Gambar dengan Penggambaran Sendiri Hasil Pengamatan Preparat Jaringan Tumbuhan pada siswa SLTP. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi: Tidak Diterbitkan.

Ira. (2003). Malas Belajar. [Online] Tersedia: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp? [ 20 Januari 2017] Irawan, R. (2002). Assessment Kinerja Siswa dalam Praktikum Mikroorganisme Kolam.

Skripsi: Jurusan Pendidikan Biologi. FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. McAlpine, D. (2000). Gifted and Talented: Self Assessment. [Online]. Tersedia http://www.tki.org.nz/r/gifted/reading/assessment/self-e.php. [7 April 2016] Megawangi, R. (2006). Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis

Karakter. [Online]. Tersedia: http://www.xl.co.id/files/indonesia_berprestasi/Presentasi_RatnaMegawangi.pdf.

[5 Februari 2017] Megayanti, E. (2003). Hasil Assessment Kinerja Siswa Pada Praktikum dan Korelasinya

dengan Peningkatan Pemahaman Siswa Pada Sub Konsep Protozoa. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi UPI. Tidak Diterbitkan..

Nasution, S. (1992). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara

Nurhayati, T. (2005). Penggunaan Assessment Portofolio Untuk Mengungkap Proses dan Hasil Belajar Siswa SMA Tentang Transportasi Pada Tumbuhan. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi. Tidak Diterbitkan.

Pujiati, E. (2004). Kemampuan Keterampilan Proses Siswa Dalam Pembelajaran Berbasis Inquiry Pada Konsep Pencemaran. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi UPI. Tidak Diterbitkan.

Reif, L dan Wolf, D. (1990). Why Is Student Self Assessment Important? [Online]. Tersedia http://www.eduplace.com/rdg/ras/litass/self.html. [6 April 2016]

PENDIDIKAN BIOLOGI…

250 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Rostina, S. (2000). Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa dalam Pembelajaran Zat Aditif Pada Makanan Dengan Metode Praktikum. Skripsi Jurusan Pendidikan Kimia. FPMIPA UPI. Bandung. Tidak Diterbitkan.

Rully, S. (1997). Pengaruh Kemampuan Mengamati Hasil Gambar Perspektif Terhadap Hail Belajar Siswa dalam Menggambar Perspektif. Skripsi FIP: Tidak Diterbitkan.

Rustaman, et.al. (2003). Diktat Kuliah Strategi Belajar Mengajar Biologi. UPI. Tidak Diterbitkan.

Rustaman, et.al. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Universitas Negeri Malang. UM Press.

Sagala, S. (2005). Konsep & Makna Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta. Subali, D dan Paidi .(2002). Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Biologi. Universitas

Negeri Yogyakarta: tidak diterbitkan. Sukarno, F.M. (2005). Kajian Interaksi siswa Pada Kegiatan Praktikum Dengan

Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Untuk Materi Alat Indera. Skripsi Jurusan pendidikan Biologi UPI: Tidak Diterbitkan.

Srimavin, W dan Darasawang, P. (2003). Developing Self-Assessment Through Journal Writing. Published 20 September 2004. [Online] Tersedia:

http://www.independentlearning.org/ILA/ila03/ila03_srimavin_and_pornapit.pdf?q=ila03_srimavin_and_pornafit.pdf. [6 April 2016]

Syamsudin, A. (2002). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Pratiwi, et.al. (2005). Biologi SMA Kelas XI. Jakarta. Erlangga. Teti, A. (2001). Pengembangan Assesmen Portofolio Dalam Penilaian Hasil Belajar Siswa

SLTP Pada Konsep Keanekaragaman Hewan. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi UPI. Tidak Diterbitkan

Winatasasmita, D. 1986. Fisiologi Hewan Dan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Terbuka.

Winatasasmita, D. 1994. Biologi Sel. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Terbuka.

Wulan, A.R. (2006). Penggunaan Asesmen Bervariasi Pada Pembelajaran Biologi SMA Dalam Menyongsong Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurusan Pendidikan Biologi UPI: Tidak Diterbitkan.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 251

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BIOTEKNOLOGI BERBASIS UNITY of SCIENCES

Nur Khasanah

Dosen UIN Walisongo Semarang

Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui 1) kesiapan dosen dalam mengajar biologi umum di kelas 2) Implementasi model discovery berbasis unity of sciences dalam belajar bioteknologi 3) Hasil belajar mahasiswa materi bioteknologi. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa jurusan pendidikan biologi UIN Walisongo Semarang tahun pertama th. 2015/2016 dan 2016/2017. Metode penelitian menggunakan Research and Development (RnD). Hasil penelitian menunjukkan latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar dan sosial budaya mempengaruhi kesiapan dosen dalam mengajar dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa biologi meningkat. Model discovery berbasis unity of sciences layak untuk diimplementasikan dalam pembelajaran karena dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Kata kunci: bioteknologi, unity of sciences, discovery, berpikir kritis

PENDAHULUAN

Sejak UIN Walisongo mencanangkan sebagai Universitas yang berbasis unity of science, sebagai dosen di UIN Walisongo dituntut untuk mampu mengajar dengan berbasis kesatuan ilmu (Unity of sciences). Unity of Sciences (wahdatul al ‘ulum) merupakan bentuk integrasi ilmu pengetahuan dan agama. Unity of Sciences (wahdat al-ulum) mempunyai tiga strategi pengembangan yakni humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi kearifan lokal (Muhyar, 2012).

Dalam kajian keilmuan, pembagian adanya ilmu agama dengan ilmu umum adalah pendapat manusia yang mengidentifikasikan ilmu berdasarkan objek kajian. Al-qur’an dan Sunnah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama dengan ilmu umum, bahkan menurut Imam Suprayogo dalam bukunya Rekonstruksi Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam menyebutkan bahwa posisi ilmu agama dan umum digambarkan dalam bentuk pohon ilmu, di mana Al-qur’an dan sunnah diposisikan sebagai hasil eksperimen dan penalaran logis atau menjadi sumber keilmuan ( Amin, 2004; Arsyad, 2009).

Namun demikian, fenomena yang terlihat akhir-akhir ini menunjukkan kesadaran bahwa perlunya melakukan integrasi paradigma khususnya antara ilmu agama dengan ilmu umum, termasuk bagaimana cara membelajarkannya di kelas. Model pembelajaran yang menarik untuk implementasi integrasi sains dan agama adalah bagaimana konsep yang disampaikan dapat dipahami dan nilai religius menjadi dasar dalam kegiatan pembelajaran. Kepercayaan tentang ajaran agama adalah suatu aqidah. Keimanan kepada Allah SWT secara total merupakan pandangan hidup (world-view) bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengajar di kelas.

Di negara Barat, terdapat dua pemikiran utama. Pertama, menyatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa eksis bersama-sama. Mahner & Bunge (1996) menyatakan bahwa sains dan agama hanya dapat hidup berdampingan jika salah satu dari mereka terdistorsi. Ilmuwan dan peneliti muslim umumnya sepakat bahwa islam dan ilmu pengetahuan dapat hidup berdampingan (Mansour, 2008).

Tidak ada lagi ada pemisahan agama dari ilmu dan sebaliknya, agama dipahami lebih dari ilmu. Kepercayaan pada kemutlakan Qur'an memiliki implikasi yang menarik bagi banyak ulama Islam tentang bagaimana mengajarkan, khususnya untuk terlibat dengan ide bahwa pengetahuan dan keyakinan agama seorang pendidik tidak dapat dipisahkan. Bagi mereka bahwa dalam pendidikan pembelajaran sains hanya dapat terjadi jika pengalaman yang membangun makna dalam kerangka ilmu pengetahuan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

252 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dan Islam Barbour (2000). Sikap ilmiah dan agama penting diterapkan oleh guru dan calon guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyakinan guru mempengaruhi cara mengajarkan ilmu itu sendiri (Stolberg, 2007; Mansour, 2011).

Tantangan internal yang dihadapi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTU) antara lain pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Beberapa kendala yang merupakan proses standar yang belum seperti yang diharapkan, karena proses standar perlu mendapat perhatian dengan melakukan pengembangan. Pembangunan yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik adalah mengembangkan model pembelajaran bagi siswa sebagai calon guru untuk dapat berpikir kritis (Silvi, 2013).

Faktor-faktor yang menyebabkan pemikiran kritis tidak berkembang selama kurikulum pendidikan umumnya dideklarasikan dengan target material yang luas sehingga dosen lebih fokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman guru tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. (Arends, 2013; Jeanne, 2012). Konsep dasar biologi untuk siswa baru sangat dibutuhkan dalam memulai kuliah di Pendidikan Biologi. Penguasaan biologi umum memberi bekal siswa dalam mempelajari konsep biologi pada tingkat kuliah berikutnya. Biologi dasar adalah ilmu mencari jawaban atas pertanyaan tentang apa, mengapa, dan bagaimana makhluk hidup dan karakteristiknya Serata fenomena alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, makhluk hidup. Biologi pembelajar yang merupakan bagian dari pelajaran sains tidak hanya untuk menguasai sejumlah pengetahuan tertentu, namun juga harus menyediakan ruang yang memadai bagi berkembangnya perkembangan sikap ilmiah, untuk mempraktekkan proses pemecahan masalah, dan penerapannya dalam kehidupan nyata (Kemendiknas, 2013). ).

Pembelajaran biologi belum harapan, ada nilai biologis umum dari analisis hasil ulang UAS pada tahun 2014 dan 2015 dari semester yang menunjukkan bahwa lebih dari 65% hanya mampu mencapai tingkat menengah, hampir 25% masih rendah dan hanya 10% berada pada level di atas. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, rendahnya kualitas pengajaran biologi basic leraning menuntut bagaimana menjadi lebih baik. Hal ini kemungkinan karena kurang diperhatikan dalam hal proses pembelajaran. Belajar lebih berorientasi pada ujian akhir menyebabkan pembelajaran yang hanya membutuhkan transfer informasi kepada siswa. Akibatnya, siswa dalam belajar karakter hanya menghafal konsep, teori telah ada, sehingga gagal memberi pemahaman kepada siswa konsep yang dipelajari untuk diterapkan dalam kehidupan.

Model pembelajaran penemuan dapat membuat siswa lebih mandiri belajar dan berpikir kritis. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika para profesor memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep, teori, peraturan, atau pemahaman melalui ex-amples yang ditemukan dalam kehidupan (Budiningsih, 2005).

Melalui perpaduan antara model pembelajaran penemuan yang implamentasi dengan kesatuan Ilmu Pengetahuan, siswa dapat menambahkan kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah mereka pelajari. Siswa dilatih untuk dapat menemukan diri mereka berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh (holistik), bermakna, otentik dan aktif berdasarkan kekuatan iman yang kuat. Model pembelajaran implantasi di kelas dengan menerapkan integrasi sains dan agama adalah sebuah kebutuhan dan untuk melengkapi (Bagir, 2005). Integrasi Ilmu Pengetahuan (wahdat al 'ulum) adalah bentuk integrasi nilai sains dan Islam (Muhyar, 2012). Hubungan antara kepercayaan dan sains adalah apakah pengetahuan dan kepercayaan langsung atau sebab-akibat menyebabkan pengetahuan. Ternyata ada keterikatan antara keyakinan, pengetahuan dan praktik yang saling berkaitan (Mansour, 2008, 2009). Fenomena yang terlihat baru-baru ini mengindikasikan kesadaran bahwa

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 253

perlunya integrasi paradigma terutama antara sains dan agama, termasuk bagaimana cara mengajar di kelas (Taskin, 2014).

Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kesiapan dosen dalam mengajar biologi di kelas dan implementasi model discovery berbasis unity of sciences dalam belajar bioteknologi. Ada dua alasan utama, yang mendorong untuk melakukan penelitian. Pertama, banyak studi tentang persepsi keyakinan agama pada seorang pendidik berpengaruh pada pembelajaran ilmu pengetahuan. Kedua, beberapa penelitian membahas topik bagaimana membelajarkan di kelas dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada mahasiswa.

METODE

Rancanagan penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D). Penelitian dan pengembangan merupakan pendekatan penelitian untuk menghasilkan produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada (Sugiono, 2012).

Menurut Borg dan Gall penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengembangkan atau memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan dan pembelajaran (Borg & Gall, 2003). R&D dalam pendidikan sering kemudian disebut research-based. R&D atau pengembangan berbasis penelitian yaitu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan. Langkah-langkah pokok dalam siklus R&D (Borg, & Gall, 2003) adalah: 1) Research and information collecting 2) Planning 3) Develop preliminary form of product 4) Preliminary field testing 5) Main product revision 6) Main field testing 7) Operational product revision 8) Operational field testing 9) Final product revision 10) Dissemination and implementation.

Langkah pengembangan yang dilakukan oleh peneliti adalah: 1. Penelitian dan pengumpulan data (research and information collecting) yang meliputi

pengukuran kebutuhan mahasiswa pendidikan biologi di UIN Walisongo semester satu. Studi literatur tentang pengembangan model discovery, berpikir kritis, integrasi sains dan agama. Penelitian dalam skala kecil pada mahasiswa Pendidikan Biologi semester satu angkatan 2014 dan 2015 di UIN Walisongo Semarang

2. Perencanaan (planning) yaitu menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian, desain atau langkah-langkah penelitian, dan kemungkinan dalam lingkup terbatas.

3. Pengembangan draft produk (develop preliminary form of product). Produk Pengembangan yang diharapkan berupa: Model konseptual dari model pembelajaran discovery yang berbasis unity of sciences meliputi: Komponen-komponen model discovery berbasis unity of sciences berupa: landasan teori, sintak, dampak instruksional, dampak pengiring, sistem sosial, dan sistem pendukung.

4. Uji coba lapangan awal (preliminary field testing). Uji coba di lapangan pada dua kelas semester satu Mahasiswa UIN Walisongo (Pendidikan Biologi 1A dan IB). Selama uji coba dilakukan pengamatan proses pembelajaran di kelas, wawancara dan pengedaran angket untuk mengetahui PBR dosen

5. Merevisi hasil uji coba (main product revision). Hasil uji coba awal dilakukan evaluasi, dilakukan perbaikan dalam kegiatan pembelajaran, instrumen observasi keterampilan berpikir kritis

6. Uji coba lapangan (main field testing). Melakukan uji coba yang lebih luas di UIN Walisongo Semarang pada seluruh Mahasiswa Pendidikan Biologi dan Biologi semester satu (mahasiswa baru). Data kegiatan pembelajaran di kelas, penampilan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

254 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dosen sebelum dan sesudah menggunakan model yang dicobakan dikumpulkan. Data kuantitatif dan kualitatif di kumpulkan dan direkap sebagai data pelaporan penelitian.

7. Penyempurnaan produk hasil uji lapangan (operasional product revision). Hasil uji coba lapangan dievaluasi melalui Focus Group Discussion (FGD) Dosen UIN Walisongo, untuk memperoleh penyempurnaan.

8. Uji pelaksanaan lapangan (operasional field testing). Dilaksanakan di UIN Walisongo. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, observasi dan dianalisis hasilnya.

9. Penyempurnaan produk akhir (final product revision). Penyempurnaan Model konseptual dari model pembelajaran model discovery berbasis unity of sciences.

10. Diseminasi dan implementasi (dissemination and implementation). Desiminasi dan implementasi produk dilakukan di UIN Walisongo Semarang.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan jenis pengumpulan data berikut ini: 1. Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan analisis proses belajar mahasiswa, yaitu: penguasaan konsep, keterampilan berpikir kritis, praktikum, diskusi dan presentasi mahasiswa pada mata kuliah biologi umum mahasiswa.

2. Observasi Teknik observasi bertujuan untuk mengumpulkan data penelitian yaitu aktifitas mahasiswa, minat, respon, dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa Biologi UIN Walisongo selama kegiatan pembelajaran biologi umum dengan menggunakan lembar pengamatan yang telah dikembangkan oleh peneliti. Observasi dilakukan terhadap keterampilan berpikir kritis mengacu pada indicator Facione (2011) dan dikembangkan oleh peneliti

3. Tes Tes digunakan untuk mengetahui ketercapaian kompetensi dasar mahasiswa Biologi UIN Walisongo dengan menggunakan tes tertulis baik obyektif maupun essai . Untuk mengetahui kemampuan penguasaan konsep bioteknologi dilakukan tes formatif dengan essai terbuka untuk mengetahui pemahaman mahasiswa.

4. Angket Angket digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai respon mahasiswa biologi UIN Walisongo dan UIN Sunan Kalijaga terhadap proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan lembar angket. Untuk mengetahui personal religious of beliefs (PRB) dosen dilakukan dengan angket yang telah dikembangkan peneliti. Instrumen PRB mengacu pada indikator Mansour (2008) dan dikembangkan oleh peneliti.

5. Wawancara Wawancara digunakan untuk mengetahui kesan mahasiswa Biologi UIN Walisongo dan UIN Sunan Kalijaga terhadap penerapan perangkat pembelajaran dengan model pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery berbasis Unity of Sciences pada mahasiswa. Wawancara juga untuk mengetahui kesiapan dan kemampuan dosen untuk implementasinya dengan unity of sciences selama pembelajaran Biologi umum di kelas. Wawancara juga dilakukan pada mahasiswa untuk mengetahui PRB mahasiswa dalam pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini membatasi sebuah isu penting yaitu apakah sains dan Islam kompatibel atau tidak sehingga terjadi tumpang tindih. Peneliti akan menyelidiki masalah dengan mengungkap perasaan pribadi dari dosen biologi yang mengajar mata

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 255

kuliah biologi umum tentang gagasan ilmu pengetahuan dan kompatibilitas Islam. Jika mereka yang kompatibel, bagaimana kompatibilitas ini terorganisir dalam kehidupan dosen sehari-hari menjadi penting untuk dipahami.

Dalam hal ini, wawancara dianalisis baik dalam kerangka tipologi berdasarkan klasifikasi Barbour (2000) dengan pendekatan interpretif (persepsi dosen mengenai pendidikan sains dan Islam). Kategorisasi ini didasarkan pada hubungan antara pemahaman pengetahuan agama dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi mengenai pengalaman mengajar biologi umum dan rekonsiliasi ini dengan keyakinan agama seperti yang dinyatakan oleh Stolberg (2007).

Kategori pertama, konflik, jika anatara pengeahuan dan agama terpisah (ilmuwan ateis). Kedua kelompok memiliki kesamaan keyakinan bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah berbeda tetapi mentolerir satu sama lain dan tetap ad jarak. Kategori ketiga, dialog, menyatakan bahwa ada kesamaan antara ilmu pengetahuan dan agama. Keempat adalah integrasi yang mengklaim bahwa ada keterkaitan yang sistematis dan ekstensif antara sains dan agama.

Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan bagian kategoris integrasi diklasifikasi Barbour relefan seperti yang terdapat dalam implementasi unity of science yaitu spiritualisasi ilmu-ilmu modern. Dalam rangka untuk mengeksplorasi hubungan antara Islam dan ilmu pendidikan berikut pertanyaan yang dieksplorasi a. Sejauh mana dosen biologi mengalami konflik antara keyakinan agama dan ilmu

pengatahuan? Jika mereka mempunyai pengalaman konflik, bagaimana mereka mengatasinya?

b. Apakah Dosen berpikir bahwa agama dapat memecahkan masalah dalam isu-isu ilmiah?

c. Apa pengalaman Dosen Biologi selama pembelajaran di kelas (baik mahasiswa maupun dosen) mengenai hubungan antara Islam dan Biologi Umum?

d. Bagaimana Dosen Biologi mengkategorikan ilmu pengetahuan dan Islam dalam kehidupan mereka?

Tabel 1. Latar belakang Dosen dan PRB Respondent Experience (how

long teaching and educational background)

Personal Religious Beliefs (PRB)

Questions (Q)

R1 >20 y, Non Islamic education

Characteristics of Muslim science teachers

Q1 N, Q2 Y Q3 fun, challenging

Q4 must be integrated R2 >10 y, Non Islamic

education Religious view of teaching/learning

science

Q1Y, Q2 Y/T Q3 hardship

Q4 discussion, can be integrated

R3 < 10 y, Islamic education

Religious view of teaching/learning

science

Q1Y/N , Q2 Y Q3 challenging

Q4 must be integrated R4 <10 y, Non Islamic

education, Personal interpretation

of religious view

Q1 Y, Q2 Y/T Q3 very hardship

Q4 discussion, dialogue R5 > 5 y, Islamic

education Characteristics of

Muslim science teachers Q1 N, Q2 Y

Q3 challenging Q4 must be integrated

PENDIDIKAN BIOLOGI…

256 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk mengeksplorasi dosen biologi bagaimana sebagai Muslim, yang telah tumbuh dalam Islam-sosial-budaya lingkungan, pendidikan formal dosen di bidang ilmu pendidikan dan biologi dan pengalaman mengajar di UIN Walisongo. Latar belakang pengalaman dimana dibesarkan dalam masyarakat Islam-sosio-budaya itu penting untuk memahami pengaruh kepercayaan dosen biologi hubunganya dengan pembelajara Biologi umum dan Islam selama mengajar di UIN Walisongo.

Pencapaian nilai rata-rata pemahaman umum konsep bioteknologi dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa menggunakan model pembelajaran discovery berbasis unity of sciences lebih tinggi daripada mahasiswa belajar secara konvensional. Keterampilan berpikir kritis meliputi:: interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, and self-regulation (Facione, 2011). Keterampilan berpikir kritis mahasiswa dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Indicator score critical thinking skills

NO Respon

den

Indicator score critical thinking skills

Total creteria Inter Preta tion

Analy sis

Evalua tion

Infe rention reason

self-regulation

1 R1 15 12 12 12 12 15 78 high

2 R2 10 10 9 10 10 10 59 mean

3 R3 11 9 9 9 9 9 56 mean

4 R4 10 9 11 9 9 9 57 mean

5 R5 15 14 13 14 15 15 86 very high

6 R6 11 12 11 12 12 12 70 high

7 R7 15 15 14 14 15 15 88 very high

8 R8 14 13 12 12 14 14 79 high

9 R9 12 12 12 12 12 11 71 high

10 R10 14 14 13 15 14 14 84 very high

11 R11 11 11 10 10 12 12 66 hight

12 R12 11 9 9 9 9 9 56 mean

13 R13 15 15 13 14 14 14 85 very high

14 R14 15 14 14 14 14 13 84 very high

15 R15 11 12 10 10 11 12 66 high

16 R16 11 12 12 12 12 12 71 high

17 R17 12 11 12 12 12 12 71 high

18 R18 15 14 11 11 11 12 74 high

19 R19 10 9 9 10 10 10 58 mean

20 R20 14 12 12 12 12 12 74 high

21 R21 11 11 11 12 14 15 74 high

22 R22 13 13 12 12 12 14 76 high

23 R23 12 12 12 11 14 15 76 high

24 R24 12 12 12 12 14 15 77 high

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 257

B

erdasarkan hasil analisis data, ada pengaruh model implementasi pembelajaran discovery berbasis unity of sciences terhadap pemahaman konsep tentang bioteknologi dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Analisis uji hipotesis pertama, terdapat perbedaan pemahaman konsep dasar mahasiswa biologi secara simultan antara mahasiswa yang mengikuti model discovery learning berbasis unity of science dapat mengembangkan sikap ilmiah dan pemahaman tentang konsep biologi umum dan pemikiran kritis.

Tahap pertama, Stimulation Using Lokal Wisdom dengan memberikan pertanyaan yang relevan dalam kehidupan, merangsang siswa untuk bisa berpikir dan mendorong eksplorasi. Mendeskripsikan kejadian-kejadian atau permasalahan yang di lihat, ditemui di lingkungan masyarakat. Mahasiswa diajak menggali Isu-isu yang berkembang terkait konsep.

Tahap kedua, Problem statment dengan mengidentifikasi fenomena di sekitar yang relevan (ayat kauniyah) yang sesuai dengan topik, Mahasiswa menemukan, merumuskan masalah masalah mengacu kepada sumber belajar dan high order thinking skills (HOTS), mahasiswa menetapkan hipótesis dan mahasiswa menyusun rencana eksperimen dalam bentuk lembar kerja mahasiswa.

Tahap ketiga, Observation & Data collection. Mengembangkan keingintahuan mahasiswa saat melakukan praktikum. Mahasiswa mengumpulkan berbagai informasi yang relevan dan membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber. mengumpulkan pendapat masyarakat, tokoh agama (misalnya; MUI), kajian kitab (tafsir dan figih nya) terkait permasalahan dan konsep yang dipelajari.

Motivasi mahasiswa untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul. Keterampilan berpikir kritis muncul dalam aktivitas eksperimental yang jujur dan bertanggung jawab atas fakta yang ditemukan dalam percobaan. Siswa diharapkan untuk menulis sesuai dengan yang diperoleh dalam percobaan. Kemampuan untuk membedakan fakta dan opini akan muncul dalam kegiatan eksperimental. Tahap ini adalah melatih siswa untuk menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan masalah, sehingga tidak mudah untuk percaya pada sesuatu yang tidak pasti kebenarannya (Roestiyah, 2001). Eksperimen juga melatih cooperasi di kalangan siswa. Melalui eksperimen, orang tua bisa mengingatnya lebih lama, mendapatkan pengalaman belajar secara langsung sehingga belajar menjadi makna-ful. Menurut Bruner pembelajaran bermakna selanjutnya akan menanamkan lebih banyak memori pada diri siswa (Dahar, 1989; Budiningsih, 2005). Menyarankan metode perimental dapat meningkatkan pembelajaran kognitif. interaksi antara siswa dalam kegiatan eksperimen dapat mendorong siswa untuk lebih memperhatikan tujuan perhatiannya (Aunurrahman, 2009; Melani 2012).

Tahap keempat, Data Processing. Mahasiswa mengolah data, menganalisis hasil dan menginformaskan hasil ekperimen yang telah diperoleh dengan pembahasan berdasarkan antara data, fakta, teori dan temuan-temuan terbaru (jurnal dan paper). Mahasiswa mendiskusikan data yang diperoleh secara kelompok.

25 R25 14 14 14 12 12 12 78 high

26 R26 12 14 12 12 12 12 74 high

27 R27 13 11 12 12 14 12 74 high

28 R28 14 2 12 11 15 12 66 high

29 R29 11 15 12 14 11 12 75 high

30 R30 12 12 12 14 11 12 73 high

31 R31 12 14 12 14 11 12 75 high

32 R32 12 15 11 14 12 12 76 high

33 R33 12 12 12 12 14 12 74 high

PENDIDIKAN BIOLOGI…

258 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Pengolahan data, diseminasi siswa terhadap hasil eksperimen yang dilakukan. Dengan kelompok diskusi siswa akan mengingat apa yang didiskusikan ketimbang menerima eksplanasi langsung. Interaksi dengan lingkungan dan sekolah masyarakat yang menyeluruh dapat meningkatkan pemahaman dan memperkaya pengetahuan mereka. Belajar bersama untuk meningkatkan pengetahuan dan pemikiran kritis (Slameto, 2010; Shirly, 2012).

Tahap kelima, Verification based on Religion. Dosen bersama mahasiswa mendiskusikan integrasi antara topik dengan ayat al- Qur’an dan hadist yang relevan dengan topik, mengkaji jika ada pertentangan yang muncul antara al-Qur’an dan Hadist terhadap topik kajian. Mahasiswa memahami konsep, teori, melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa mengkomunikasikan dan mendiskusikan hasil analisis praktikum dengan presentasi

Mahasiswa melakukan verifikasi, perbaikan, dan justifikasi hasil yang diperoleh melalui presentasi dan diskusi kelas. Kegiatan ini menimbulkan sikap kritis, percaya diri, kemauan untuk mengubah pandangan jawabannya karena mengungkap bukti informasi yang telah dipelajari. Dari kegiatan ini para siswa akan mendapatkan pemahaman tentang konsep yang telah dipelajari (Russell, 2008). Generalisasi ayat-ayat Alquran, sehingga bisa meningkatkan iman siswa belajar bermakna. Diskusi, argumentasi, ketrampilan pertanyaan berlangsung pada tahap ini. Banyak referensi yang bisa dipikirkan termasuk relevansi Alquran sebagai qauliyah dan fenomena alam seperti qauniyah (Muhyar, 2014).

Tahap keenam, Generalization & Awareness. Mahasiswa menarik kesimpulan dari data, pernyataan, dan pendapat konsep yang dipelajari dengan kerja ilmiah untuk menyusun rekomendasi/tindak lanjut. Mahasiswa menentukan sikap dan tindakan dengan integrasi konsep yang telah dipelajari dengan kajian tinjauan agama dan keterampilan yang dimiliki. Tahapan ini bisa menghasilkan kemauan untuk mengubah sikap pandang, karena dalam acara tersebut ditetapkan konsep tertentu adalah hasil proses pembelajaran. Dan kemungkinan sikap kritis siswa dalam menerima kesimpulan bahwa diputuskan mengacu pada konsep sebenarnya. Dengan proses induksi hal-hal tertentu yang ditemukan dalam proses pembelajaran terhadap hal-hal umum itulah kesimpulannya, akan ada proses pengetahuan konstruksi siswa yang memberi penjelasan konsep memungkinkan pemahaman konsep diri siswa (Smith, MU , 2013).

Pada uji hipotesis kedua ditemukan, bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis di kalangan siswa yang mengikuti model discovery learning implementation dengan kesatuan ilmu pengetahuan dengan model pengajaran langsung. Dalam model pembelajaran pembelajar, keingintahuan muncul pada setiap sintaks dalam pembelajaran model belajar penemuan (Dracup 2012). Sintaks meningkatkan keingintahuan siswa untuk mengetahui hasil proses ilmiah yang telah dilakukan. Keterampilan obyektif terhadap data model pembelajaran penemuan terlihat pada sintaks, terutama sintaks koleksi da-ta. Siswa diminta untuk mencatat data atau informasi yang diperoleh dari eksperimen untuk menemukan konsep yang diharapkan, sehingga dari kegiatan ini akan terbentuk keterampilan yang jujur dan obyektif. Keterampilan kemauan untuk percaya bisa tumbuh dalam model discovery learning saat dalam diskusi kelompok. Dalam sintaks data koleksinya siswa akan menghasilkan temuan dan data spesifik yang mungkin berbeda dari pandangan siswa.

Selain itu, sintaks pengolahan data, verifikasi, dan generalisasi, kemampuan berpikir kritis yang sangat akomodatif, karena sintaksisnya akan menghasilkan informasi baru dan konsep dan implementasi baru dalam kepercayaan dan masyarakat religious. Model sintaks pembelajaran discovery memberi mahasiswa kesempatan untuk membentuk keterampilan berpikir kritis. Pada tahap identifikasi dan perumusan hipotesis, kemampuan berpikir kritis siswa timbul dari beberapa pertanyaan dan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 259

jawaban sementara dan pendapat yang muncul. Keterampilan berpikir kritis juga muncul karena beragam pendapat, gagasan, umpan balik atau kritik yang terjadi saat diskusi di tahap pengolahan dan interpretasi data dan tahap verifikasi. Kemampuan berpikir kritis terhadap temuan yang dihasilkan dari eksperimen dalam tahap pengumpulan data. Keterampilan berpikir kritis seperti ini jarang terjadi pada model pengajaran langsung. Berbasis unity of sciences, mahasiswa dapat lebih meningkatkan kepercayaan agamanya dengan menerapkan konsep dasar biologi yang dipahami dari Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mahasiswa belajar lebih bermakna (Mansour N, 2008, 2009).

Analisis wawancara bersama dengan observasi kelas mengungkapkan bahwa Keyakinan tentang peran dosen, pengetahuan dan metode pengajaran yang sangat dibentuk oleh PBR berasal dari nilai-nilai yang melekat dalam agama.

Peeniliti juga mencatat bahwa pengalaman mengajar dibangun melalui interaksi dengan lingkungan 'konteks sosial' dan dapat dimodifikasi oleh pengalaman pribadi dosen. PBR mempengaruhi cara memandang dalam implementasi dalam pembelajaran.

Setiap Dosen memahami PBR dengan penafsiran dalam membentuk pengalaman berbeda satu dengan yang lain. Namun, dosen juga mempunyai keyakinan tentang diri mereka sendiri, tentang hakikat ilmu, integrasi mengajar biologi umum. Konteks sosial di mana dosen tinggal dan ingkungan sekolah dimana mereka belajar juga membentuk pengalaman setiap dosen. Penelitian ini juga didukung gagasan bahwa pengalaman hidup guru dan latar belakang berpengaruh kepada apa yang mereka percaya, cara mereka menafsirkan dan berinteraksi dengan konteks sosial mereka dan akibatnya cara mereka mengajar (Cole, 1990; Tsai, 2002).

Kendala yang mereka hadapi adalah untuk implementasikan unity of science dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh ketika belajar, karena wawasan dan pengetahuan agama yang dirasa kurang mencukupi.

Selain itu, beberapa dosen mempunyai penafsiran yang agak berbeda tentang unity of science. Menurut mereka bentuk integrasi keilmuan tidak selamanya selalu antara agama dan pengetahuan sendiri. Tetapi bentuk integrasi dapat berupa ilmu biologi dengan ilmu-ilmu yang lain (integrated science).

Interpretasi dosen tidak hanya cukup dibentuk atau disosialisasikan oleh pengalaman hidup dosen, tetapi juga oleh keyakinan agama sebelumnya dan pengalaman dosen. Hasil dari penelitian bahwa pengalaman dosen dibentuk dari latar belakang pendidikan dosen, dan melalui interpretasi dari pengalaman. Keyakinan yang terbangun pada dosen digunakan secara langsung untuk pengajaran mereka di kelas.

Keyakinan pribadi yang ada menjadi konstruksi psikologis yang menggambarkan pribadi dari pemikiran dosen, pada gilirannya mempengaruhi dosen menginterpretasikan pengalaman dan tindakan (Richardson, 2003).

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini adalah model pembelajaran discovery berbasis unity of sciences mempengaruhi pemahaman umum konsep bioteknologi dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Terdapat perbedaan nilai keterampilan berpikir kritis. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran: (1) model implementasi pembelajaran discovery berbasis unity of sciences dapat digunakan sebagai model pembelajaran di kelas, terutama dalam pengajaran biologi dasar untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis (2) penerapan model pembelajaran discovery berbasis unity of sciences harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sesuai prosedur serta persiapan fakultas dan mahasiswa untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Model ini cocok untuk memenuhi kebutuhan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan PBR pada mahasiswa dalam memahami sains dan PRB.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

260 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Agama mengatakan bahwa tidak ada keraguan bahwa Islam mendorong untuk memperoleh pengetahuan. Islam datang untuk mendidik dan memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat. Dalam Al Qur'an (58:11): Allah berjanji untuk mengangkat derajat yang berpengetahuan luas. REFERENSI Amin Abdullah, dkk (2003), Menyatukan Kembali Ilmu-IImu Agama dan

Umum,Yogyakarta: SUKA Press. Anders Kluge.2011. Design and Science Discovery Learning in the Future Classroom,

Universite TSF forlaget, Nordic Journal of Digital Literacy: VOL 6. 2011, NR 03, 157-173

Arsyad, Azhar dkk. (2009). Membangun Universitas menuju Peradaban Islam Modern. Makassar: Alauddin Press

Aydın, H. (2005). I˙slam Du¨s¸u¨nce Geleneg˘inde Din, Felsefe ve Bilim. [Religious philosophy, and science in Islamic thought]. Ankara: Naturel Publications.

Aydın, H. (2009). Postmodern C¸ ag˘da I˙slam ve Bilim [Islam and science in postmodern age]. I˙stanbul: Bilimve Gelecek Publications.

Barbour, I. G. (2000). When science meets religion: Enemies, strangers, or partners? San Francisco: Harper.BAV (Scientific Research Foundation). (2006). Retrieved June 22, 2006, from http://www.bilimarastirmavakfi. org/bav_dunyada_darwinizm.html.

Budiningsih. 2005. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013

Bruckman, A.(1997). Moose Crossing: Construction, community, and learning in a networked virtual world for kids (Doctoral dissertation, Massachusetts Institute of Technology). Retrieved from http://www.static.cc.gatech.edu/~asb/thesis/

Cole, A.L. (1990). Personal theories of teaching: Development in the formative years. The Alberta Journal of Educational Research, 36(3), 203–222.

Drever, E. (2003). Using semi-structured interviews in small-scale research: A teacher’s guide. The SCRE Centre: University of Glasgow.

Dracup Mary. 2012. Designing online role plays with a focus on story development to support engagement and critical learning for higher education students. Journal of Learning Design Vol.5

Erickson, F. (2003). Qualitative research methods for science education. In B. J. Fraser & K. G. Tobin (Eds.), International handbook of science education (pp. 1155–1174). Boston: Kluwer Academic Publishers.

Houston, C. (2006). The never ending dance: Islamism, Kemalism, and the power of self-institution inTurkey. The Australian Journal of Anthropology, 17, 161–178. doi:10.1111/j.1835-9310.2006. tb00055.x.

Jeanne Ting Chowning, Joan Carlton Griswold, Dina N. Kovarik, Laura J. Collins. 2012 Fostering Critical Thinking, Reasoning, and Argumentation Skills through Bioethics Education, PLoS ONE

Mahner, M., & Bunge, M. (1996). Is religious education compatible with science education? Science & Education, 5, 102–123. doi:10.1007/BF00428612.

Mansour, N. (2008). The Experiences and Personal Religious Beliefs of Egyptian Science Teachers as a Framework for Understanding the Shaping and Reshaping of their Beliefs and Practices about Science-Technology-Society (STS). International Journal of Science Education Vol. 30, No. 12, 5 October 2008, pp. 1605–1634. DOI: 10.1080/09500690701463303

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 261

Mansour, N.2009. Science Teachers’ Beliefs and Practices: Issues, Implications and Research Agenda, International Journal of Environmental & Science Education Vol. 4, No. 1: 25-48

Mansour, N. (2010). Science teachers’ interpretations of Islamic culture related to science education versus the Islamic epistemology and ontology of science. Cultural Studies in Science Education, 5, 127–140. DOI:10.1007/s11422-009-9214-5.

Mansour, N. (2011). Science teachers’ views of science and religion vs. the Islamic perspective: Conflicting or compatible? Science Education, 9(2), 281–309

Muhyar (2012), Integrasi Sains dan Agama (Strategi Konvensi IAIN Walisongo Menjadi UIN Walisongo), Semarang: Seminar Nasional

Powers, J. M., & Cookson, P. W. Jr.(1999). The politics of school choice research. Educational Policy, 13(1), 104-122. doi:10.1177/0895904899131009

Richardson, V. (2003). Pre-service teachers’ beliefs. In J. Raths, & A. McAninch (Eds.), Teacher Beliefs and Classroom Performance: the impact of teacher education (pp. 1–22). USA: Information Age Publishing Inc.

Russell A .2008. Theology in Ecological Perspective: An Interdisciplinary, Inquiry-Based Experiment, Teaching Theology and Religion, vol. 11 no. 1, pp 42–53.

Shirly A Vargil. Orit Herscovitz. 2012. Yeduhit Judy Dori. Teaching Thinking Skills in Context-Based Learning: Teachers’ Challenges and Assessment Knowledge. J Sci Educ Technol, vol 21:207–225

Stolberg, T. (2007). The religio-scientific frameworks of pre-service primary teachers: An analysis of their influence of their teaching of science. International Journal of Science Education, 29(7), 909–930. doi:10.1080/09500690600924934.

Smith, M.U (2013). The Role of Authority in Science and Religion with Implications for Science Teaching and Learning. Journal Sci & Educ (2013) 22:605–634 DOI 10.1007/s11191-012-9469-1

Taskın. O. 2014. An exploratory examination of Islamic values in science education: Islamization of science teaching and learning via constructivism. Cult Stud of Sci Educ 9:855–875

Tsai. C. 2002. Nested epistemologies: science teachers’ beliefs of teaching, learning and science. International Journal of Science Education, 24(8), 771-783.

Widiadnyana I W., Sadia I W., Suastra I W. 2014. Pengaruh Model Discovery Learning Terhadap Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa SMP, e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA (Volume 4 Tahun 2014)

PENDIDIKAN BIOLOGI…

262 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI KAWASAN WISATA GOA KREO PADA MATERI

EKOSISTEM KELAS X SMA NEGERI 16 SEMARANG

Atsni Wahyu Lestari1), Dr. Lianah, M.Pd2), Saifullah Hidayat, M.Sc3)

1)Peneliti (mahasiswa UIN Walisongo Semarang)2)Dosen Pembimbing I3)Dosen pembimbing II Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan (024) 76433366 Semarang 50185

Abstrak

Upaya pengembangan modul biologi berbasis kearifan lokal masih belum banyak digunakan dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu sekolah yang belum menggunakan modul mata pelajaran biologi yang berbasis kearifan lokal ialah SMA Negeri 16 Semarang.SMA Negeri 16 Semarang pada tahun 2016 telah memperoleh penghargaan sebagai sekolah Adiwiyata, yaitu sekolah yang mampu menerapkan kepedulian terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh karenanya sebagai sekolah berwawasan kepedulian terhadap lingkungan diperlukan adanya modul pembelajaran biologi berbasis kearifan lokal sekitar untuk dapat diterapkan dalam lingkungan sekolah. Salah satu upaya mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pengembangan modul ekosistem berbasis kearifan lokal di Kawasan Wisata Goa Kreo. Dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber belajar peserta didik, mampu memberikan nilai-nilai kearifan lokal kepada peserta didik, serta sebagai upaya menjaga kelestarian tradisi alam sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan modul materi ekosistem yang telah dikembangkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode Research and Development, mengacu pada model 4-D (define, design, develop, dan dessiminate) Thiagarajan. Hasil pengembangan sangat layak digunakan delam pembelajaran, hal tersebut berdasarkan pada penilaian kualitas modul oleh ahli materi dengan presentase sebesar 84,54%, ahli modul dengan presentase sebesar 93.34%, guru mata pelajaran biologi dengan presentase sebesar 90,23%, dan menurut tanggapan peserta didik dengan presentase sebesar 97,2%. Berdasarkan penilaian tersebut maka modul yang dikembangkan sangat layak untuk digunakan. Kata Kunci : Pengambangan Modul, Goa Kreo, Bahan Ajar, Materi Ekosistem

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan, sejumlah pakar menyatakan bahwa lembaga pendidikan dengan berbagai jenis jenjangnya berperan sebagai pusat pembudayaan (Alwasilah, Suryadi & Karsono, 2009: 53) yaitu proses untuk menempatkan budaya sebagai visi dan misi proses pendidikan sehingga potensi seseorang untuk belajar dan menyesuaikan pikiran dan sikap terhadap adat, serta sistem norma budayannya berkembang dengan baik (Koenjtaraningrat, 2010: 146). Melalui proses tersebut diharapkan peserta didik mempunyai beberapa karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal. Nilai-nilai lokal yang terbentuk seharusnya dipertimbangkan untuk memperkaya praktis pendidikan (Halim, 2014: 5).

Keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian secara khusus bagi pemerintah daerah sehingga anak-anak tidak asing dengan daerahnya sendiri. Salah satu keunggulan lokal di Semarang adalah adaya Kwasan Wisata Goa Kreo. Goa Kreo merupakan tempat wisata yang yang terletak di Dukuh Talun Kacang, Desa Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang. Kawasan wisata ini merupakan salah satu ekosistem perbukitan yang memiliki luas seluruhnya sekitar 20 hektar. Goa Kreo memiliki legenda goa yang dipercaya sebagai petilasan Sunan Kalijaga saat mencari kayu jati untuk membangun Masjid Agung Demak . Ketika itu menurut legenda Sunan Kalijaga bertemu dengan sekawanan kera yang kemudian disuruh menjaga kayu jati tersebut. Kata “Kreo” berasal dari kata Mangreho yang berarti

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 263

peliharalah atau jagalah. Kata inilah yang kemudian menjadikan goa ini disebut Goa Kreo dan sejak itu kawanan kera yang menghuni kawasan ini dianggap sebagai penunggu (www.seputarsemarang.com, diakses 22 Oktober 2016). Spesies monyet yang menghuni tempat ini adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jumlahnya sekitar 400 ekor (www.goa-wadukjatibarang.blogspot.com, diakses 22 Oktober 2016).

Keunikan kawasan wisata Goa Kreo selain adanya populasi monyet yang hidup di daerah tersebut juga adanya waduk jatibarang yang dibangun oleh pemerintah. Waduk ini berfungsi sebagai pengendali banjir, menjaga ketersediaan air minum dengan kapasitas 2,4 liter/detik, dan sebagai energi pembangkit listrik sebesar 1,5 megawatt (Kasno, wawancara 20 Oktober 2016).

Masyarakat yang tinggal di sekitar Goa Kreo dikenal sebagai msyarakat Kandri. Kearifan lokal masyarakat Kandri telah membentuk ekosistem yang unik di Goa Kreo. Masyarakat kandri sampai saat ini masih mempertahankan kebiasaan tradisi Nyadran, Nyadran Goa, Nyadran Kubur, Dan Nyadran Kreo. Dengan adanya kawasan ini maka terciptalah wisata alam dan wisata sejarah sebagai objek kajian pendidikan untuk lebih mengenal Goa Kreo sebagai aset wisata yang memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya.

Keterkaitan isi pembelajaran biologi dengan sumber daya alam yang dimiliki kawasan Wisata Goa Kreo serta masyarakat Kandri menjadi nilai yang sangat kuat dalam memperkaya pembendaharaan ilmu biologi berbasis kearifan lokal. Salah satu materi biologi yang dapat digunakan untuk memperpadukan biologi dengan nilai-nilai lokal adalah materi ekotistem. Salah satu upaya untuk menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran biologi di sekolah adalah dengan melalui pengembangan modul yang berbasis pada kearifan lokal sekitar. Upaya pengembangan modul biologi berbasis kearifan lokal masih belum banyak digunakan dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu sekolah yang belum menggunakan modul mata pelajaran biologi yang berbasis kearifan lokal ialah SMA Negeri 16 Semarang. upaya mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pengembangan modul ekosistem berbasis kearifan lokal yang ada di wilayah Semarang sangat diperlukan, salah satunya dengan mengangkat judul penelitian “Pengembangan Modul Pembelajaran Biologi Berbasis Kearifan Lokal Di Kawasan Wisata Goa Kreo Pada Materi Ekosistem Kelas X SMA Negeri 16 Semarang”.

METODE PENELITIAN

Jenis peneitian ini adalah penelitian research and development (R & D). Penelitian ini menggunakan model pengembangan Thiagarajan 4D yaitu define, design, development, dan disseminate. Tahap define merupakan tahap untuk menetapkan kebutuhan pembelajaran untuk peserta didik (Sugiyono, 2015: 63). Tahap define terdiri dari analisis ujung depan, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis konsep, dan perumusan tujuan pembelajaran (Trianto, 2010: 190).

Analisis ujung depan bertujuan untuk menetapkan masalah dasar yang dihadapi sehingga diperoleh pengembangan alternatif yang relevan untuk memecahkan masalah dasar yang dihadapi. Analisis peserta didik bertujuan untuk menetapkan kebutuhan peserta didik terhadappembelajaran sehingga diperoleh hasil pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Analisis tugas bertujuan untuk menetapkan tugas yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Analisis konsep untuk menetapkan konsep produk yang akan dikembangkan. Perumusan tujuan pembelajaran bertujuan untuk menetapkan indikator atau tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran menggunkan produk yang dikembangkan (Trianto, 2010: 190-192).

PENDIDIKAN BIOLOGI…

264 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tahap design atau tahap perancangan yaitu bertujuan untuk menyiapkan prototipeproduk (Trianto, 2010: 192). Tahap ini terdiri dari menyusun tes acuan, pemilihan modul, pemilihan format.

Penyusunan tes acuan, tes disusun berdasarkan hasil perumusan tujuan pembelajaran. Tes acuan digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa. Pemilihan modul yang sesuai dengan tujuan untuk menyampaikan materi. Dan pemilihan format dnegan mengkaji format perangkat yang sudah ada.

Tahap development terdiri dari validasi produk dan hasil uji lapangan. Validator produk terdiri dari satu orang ahli modul, satu orang ahli materi, dan satu orang guru biologi. Uji lapangan dilakukan pada uji lingkup terbatas untuk mengetahui tanggapan peserta didik terhadap produk yang dikembangkan sebelum digunakan dalam lingkup yang lebih luas. Tahap disseminate pada penelitian ini tidak dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis data pada penelitian pengembangan adalah data kuantitatif dan data kualitatif, dimana data kuantitatif didapat dari skor angket. Sedangkan data kualitatif didapat dari tanggapan ahli modul, ahli materi serta tanggapan siswa terhadap modul pembelajaran biologi berbasis kearifan lokal di kawasan wisata Goa Kreo pada materi ekosistem kelas X SMA N 16 Semarang.

Berawal dari permasalahan yang dihadapi peserta didik terhadap proses pembelajaran yang kurang inovatif dan kurangnya pemanfaatan kekayaan lokal untuk modul belajar , peserta didik membutuhkan suatu sumber belajar yang berisi pengamatan. Sumber belajar yang dibutuhkan juga harus memudahkan peserta didik dalam memahami materi ajarnya, sehingga diperlukan adanya sumber pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas hasil belajar dan pemahaman pada materi ekosistem yang secara tidak langsung juga menambah pemahamannya terhadap kekayaan lokal sekitar tempat tinggalnya sehingga peserta didik akan lebih mudah dalam melestarikan kekayaan lokal tersebut. Hal tersebut sesuai dengan Depag RI (2002) yang mengungkapkan materi pengajaran dipenuhi nilai-nilai bagi pembentukan pribadi, namun apabila pengemasan materi tidak sesuai justru akan membuat rasa tidak suka peserta didik dalam pembelajaran.

Berdasarkan analisis masalah yang dihadapi, maka diperlukan modul sebagai alternatif dari pemecahan masalah yang dihadapi. Modul yang mudah dipahami, menyenangkan kreatif dan inovatif dapat menimbulkan semangat dan ketertarikan siswa pada materi ekosistem, hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Reda Taradipa dan Siswandari (2013) bahwa penggunaan kombinasi modul yang sesuai akan meningkatkan minat belajar. Dengan hal ini dikembangkannya modul pembelajaran biologi berbasis kearifan lokal di kawasan wisata Goa Kreo pada materi ekosistem kelas X SMA N 16 Semarang. Modul yang dikembangkan diharapkan mampu memudahkan dalam memahami materi, menambah wawasan terkait kearifan lokal daerahnya, sehingga menyenangkan dalam penggunaannya, memiliki konsep dan sumber yang jelas mampu mencapai tujuan pembelajaran serta dapat digunakan dalam kegiatan praktikum. Perancangan modul dengan karakter tersebut sesuai dengan UU No 20 pasal 40 ayat 2 yang berbunyi “ guru dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis” (Kemenag, 2003).

Pada tahap design modul dilakukan beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah pemilihan modul, dilakukan dengan pemilihan aplikasi yang digunakan dalam hal ini menggunakan aplikasi Microsoft Publisher 2010 dan Corel Draw X4. Tahapan kedua yang dilakukan adalah pemilihan format, rancangan awal modul serta pembuatan instrumen

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 265

sebagai alat ukur efektivitas modul pembelajaran biologi berbasis kearifan lokal di kawasan wiata Goa Kreo pada materi ekosistem kelas X SMA N 16 Semarang.

Tahap development merupakan tahap pengembangan modul secara lebih rinci, pada tahap ini modul akan melalui uji validasi oleh para ahli, dan uji lapangan. Hasil validasi pada rancangan awal terlebih dahulu diuji pada pakar ahli sesuai dengan bidang yang berkaitan dengan modul dan materi yang dikembangkan. Ahli materi menyoroti tentang kandungan dan isi modul, sedangkan ahli modul menyoroti tentang tampilan, dan desain modul.

Hasil uji kelayakan oleh pakar ahli terhadap rancangan awal modul terdapat masukan yang disampaikan yaitu Perlu penjelasan bagaimana asal pembuatan piramida makanan (yaitu dari rantai makanan dan jaring-jaring makanan). Perlu penjelasan apa itu karbon? (unsur utama penyusun tubuh makhluk hidup) , disarankan, gambar tidak berbahasa inggris, Konten lokal dalam modul harus dikaitkan dengan nilai-nilai karakter terkait dengan “Unity of Science”, Penilaian harus mengembangkan 3 ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, KD pada aspek keterampilan juga harus ditampilkan sebagai satu kesatuan dari KD pengetahuan, Referensi atau rujukan pustaka yang belum lengkap. Hasil penilaian ahli materi diperoleh sebesar 84,54% dengan kategori sangat layak digunakan. Dan hasil penialaian ahli modul sebesar 93,34% dengan kategori sangat layak digunakan.

Penilaian modul yang dikembangkan selain dari ahli materi dan ahli modul juga berdasarkan penilaian guru mata pelajaran biologi di SMA Negeri 16 Semarang. Masukan yang diberikan oleh guru yaitu dalam modul juga diperlukan adanya kegiatan peserta didik yang di Goa Kreo sehingga materi yang didapat tidak hanya dari modul yang diberikan seperti yang terdapat dalam lampiran 16. Hasil penilaian guru mata pelajaran diperoleh sebesar 90,23% dengan kategori sangat layak digunakan.

Tahap Development selanjutnya merupakan uji lapangan, penelitian dilakukan uji lapangan lingkup terbatas, dan uji operasional (uji lingkup lebih luas). Uji lapangan lingkup terbatas dilakukan kepada 10 peserta didik. Uji lingkup terbatas menggunakan angket penilaian. Hasil tanggapan peserta didik dapat dilihat pada lampiran 17. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa modul materi ekosistem yang berbasis pada kearifan lokal di Goa Kreo yang dikembangkan memiliki kriteria sebesar 97,27% sehingga dapat dikategorikan sangat layak digunakan.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan modul yang dikembangkan dapat dikatakan sangat layak digunakan dalam pembelajaran dan berhasil pada materi ekosistem.

KESIMPULAN

Penelitian yang telah dilakukan menunjukan modul yang dikembangkan dapat dikatakan sangat layak digunakan dalam pembelajaran berdasarkan penilaian ahli media, ahli materi, guru biologi, dan peserta didik SMA Negeri 16 Semarang.

REFERENSI Alwasilah, Suryadi dan karyono. 2009. Etnopedagogi :Landasan Praktek Pendidikan dan

Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas Halim, Abdul. 2014. Pendidikan Berwawasan Lingkungan Berbasis Nilai Kearifan Lokal

(Studi Kasus Ritual “Among Tani” Di Legoksari Tlogomulyo Temanggung). Semarang : LP2M UIN Walisongo Semarang

Koentjaraningrat. 2010. Pengantar Antropologi I. Jakarta :Rineka Cipta

PENDIDIKAN BIOLOGI…

266 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan :Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan :Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Suherman, Yuyus. 2008. Pengembangan Media Pembelajaran Bagi ABK. Diklat Profesi Guru PLB Wilayah X Jawa Barat Bumi Makmur : Bandung.

Taradipa, Reda. Dan Siswandari. 2013. Pengaruh kombinasi Media Pembelajaran terhadap Minat Belajar Mahasiswa Pada Mata Kuliah Teknologi Pembelajaran akuntansi DI FKIP UNS Tahun 2013. Surakarta : UNS.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Trianto. 2011. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Anonim, KawasanWisata Goa Kreo, http://seputarsemarang.com/ kawasan- wisata-goa-kreo-3221/. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2016 Pukul 23:07

Anonim, Tentang Goa Kreo, http://goakreo-wadukjatibarang. blogspot.co.id/2016/02/tentang-goa-kreo.html. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2016 Pukul 23:16 Mukminan. 2011. Perspektif Teori dan Implementasi Sekolah Berbasis Keunggulan Lokal Pada Seminar Nasional Dengan Tema ”Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Sebagai Model Pendidikan Berkarakter di Era Global”. Universitas Samawa Sumbawa Besar :Pekan Ilmiah Mahasiswa se-NTB. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/dr-mukminan/ba-5unsaperspektif-teori-n-implmnts-pbkl-di-samawa.pdf. Diakespadatanggal 10 Oktober 2016

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 267

BIODIVERSITAS LOKAL HEWAN DAN TUMBUHAN : SEBUAH KAJIAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN IPA SD BERBASIS ETNOSAINS

Rukayah1, Maria Ulfah2

Pendidikan Biologi FPMIPATI Universitas PGRI Semarang 1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP Universitas PGRI Semarang 2

email : [email protected] 1, [email protected]

Abstrak Etnosains merupakan pengetahuan di masyarakat bersifat tradisional dan turun-temurun yang dimiliki oleh suatu bangsa. Etnosains merekontruksi pengetahuan masyarakat berupa keunikan budaya lokal yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan. Pengintegrasian etnosains dalam kegiatan pembelajaran IPA menjadikan pembelajaran IPA menjadi lebih konkrit, aktual dan kontekstual bagi siswa. Pembelajaran berbasis etnosains bertujuan untuk memperkenalkan siswa mengenai fakta yang telah berkembang di suatu masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan materi pembelajaran. Etnosains yang dapat diintegrasikan dengan mengembangkan pembelajaran IPA KD 3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat yaitu mengenai analisis biodiversitas hewan dan tumbuhan hijau di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Artikel ini mengkaji penerapan etnosains pada pembelajaran IPA. Artikel ini berupa kajian pustaka melalui berbagai referensi yang berkaitan. Implementasi integrasi pembelajaran berbasis etnosains ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran bermakna dan menjadikan siswa SD menjadi lebih aktif dikarenakan mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijumpai siswa dalam menjalankan kehidupannya sehari hari. Etnosains dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPA dengan berbagai tema pembelajaran. Bentuk etnosains akan lebih mudah diidentifikasi melalui proses pembelajaran, pemetaan tema pembelajaran dengan menelaah Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD) dan melalui penilaian pembelajaran. Pengintegrasian etnosains perlu dipertimbangkan untuk mengintegrasikan nilai-nilai etnosains dalam kegiatan pembelajaran. Kata kunci : etnosains, integrasi, implementasi, , pembelajaran IPA

PENDAHULUAN

Mutu pendidikan IPA di Indonesia bisa dikatakan masih rendah. Indikator yang digunakan untuk menunjukkan rendahnya mutu pendidikan IPA adalah laporan United Nation Development Project (UNDP) yang menunjukkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat ke 110 diantara berbagai Negara di dunia (Hinduan dalam Wuryastuti (2008). Permasalahan pembelajaran IPA yang ada di lapangan disebabkan karena proses pembelajaran di sekolah belum memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas. Selama ini siswa hanya menghafal berbagai konsep tanpa disertai pemahaman dan bahan ajar yang digunakan masih terlepas dari permasalahan yang timbul di masyarakat, selain itu pelajaran IPA disampaikan secara konvensional berpusat pada guru.

Pembelajaran IPA yang berpusat pada guru ini menyebabkan hanya aspek kognitif siswa yang berkembang. Menurut Farida (2014) mengemukakan bahwa pembelajaran yang hanya berpusat pada guru mengakibatkan kemampuan berpikir dan komunikasi siswa kurang terlatih, sehingga dibutuhkan kegiatan pembelajaran yang bermakna bagi siswa dengan menginternalisasikan pengetahuan yang bersifat konkrit, aktual dan kontekstual. Kegiatan pembelajaran IPA yang konkrit, aktual dan kontekstual ini dapat dilakukan melalui inovasi pembelajaran yang bermakna bagi siswa dengan mengintegrasikan budaya lokal atau etnosains dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang berbasis etnosains dirancang untuk melatih siswa membangun komunikasi dan penghormatan kepada masyarakat serta menjadikan IPA tidak menjadi hal yang asing lagi bagi siswa karena pembelajaran IPA dapat diketahui, dijumpai, dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

268 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Etnosains merupakan konsep pengetahuan di masyarakat yang bersifat tradisional dan diwariskan. Pembelajaran berbasis etnosains bertujuan untuk memperkenalkan siswa mengenai fakta yang telah berkembang di suatu masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan materi pembelajaran. Kegiatan pembelajaran berbasis etnosains merupakan pembelajaran yang dapat merancang pengalaman siswa serta mengintegrasikan bagian dari budaya sebagai proses pengetahuan (Sardiyo, 2005), selain itu siswa akan lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran karena pembelajaran yang diberikan berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan sehari-hari.

METODE

Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data diantaranya adalah: studi kepustakaan, serta pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas oleh penulis dalam artikel ini. PEMBAHASAN

Etnosains merekontruksi pengetahuan masyarakat yang berupa keunikan budaya lokal yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan seperti kesehatan, pangan dan pengolahan pangan serta konservasi tanah. Menurut Mahendrani, (2005) etnosains adalah suatu kepercayaan masyarakat daerah tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadi sains yang kebenarannya dapat dikaji secara ilmiah.

Kebudayaan lokal sering dianggap tidak ilmiah, tidak atau belum bisa dijelaskan secara kuantitatif (terukur oleh metode penelitian), walaupun fakta mencatat bahwa kebudayaan lokal manfaatnya sering mengatasi persoalan masyarakat sehari-hari (Soedjito dan Sukara, 2006). Kajian ilmiah kebudayaan lokal yang ada di masyarakat mampu mempermudah guru dan siswa dalam proses pembelajaran karena kebudayaan lokal merupakan hal yang dialami dan ditemui oleh guru dan siswa pada kehidupan sehari-hari.

Jenis pangan yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat dipengaruhi oleh tiga variabel utama yaitu fisiologis, ekologi dan budaya. Variabel fisiologi menerangkan bahwa pangan yang berasal dari hewan maupun tumbuhan secara alami tidak dapat dikonsumsi dan dicerna oleh manusia; variabel ekologi menerangkan bahwa ketersediaan pangan sangat ditentukan pada faktor tempat, dimana hewan dan tumbuhan tertentu hanya dapat hidup berkembang dan variabel budaya membatasi pangan yang dapat dikonsumsi atau tidak .

Sistem produksi pangan masyarakat dapat terpenuhi karena adanya biodiversitas tumbuhan dan hewan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan. Setiap daerah di Indonesia teridentifIkasi memiliki sumber bahan pangan spesifik lokal, sebagai contoh sebagian besar masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta telah mengkonsumsi belalang sebagai lauk pauk. Selama ini belalang hanya dimanfaatkan sebagai makanan khas yang dikonsumsi dengan cara digoreng oleh masyarakat Gunung Kidul bahkan, namun di daerah lain belalang dianggap sebagai serangga dianggap sebagai serangga yang merugikan. Ulat sagu juga sering dikonsumsi dan digemari oleh masyarakat Ambon karena rasanya yang manis, lunak dan lezat (Meilin, 2016). Berbeda dengan tradisi masyarakat Kudus yang enggan menyembelih dan memakan daging sapi sebagai bentuk wujud toleransi Sunan Kudus yang diikuti oleh para pengikutnya kepada keyakinan masyarakat pemeluk Hindu-Budha pada waktu itu.

Pemenuhan produksi pangan yang khas juga dimiliki masyarakat Papua yang memanfaatkan sumber pangan lokal talas, sagu, ubi jalar, gembili, dan jawawut yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Pemanfaatan pangan lokal seperti sagu dan umbi-umbian sebagai sumber pangan utama di Papua sudah berlangsung secara turun-

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 269

temurun. Sagu dikonsumsi sebagai menu sehari-hari dalam bentuk papeda basah maupun papeda kering/bungkus. Pemanfaatan pangan lokal Papua sebagai sumber pangan alternatif disajikan pada pada tabel 1:

Tabel 1. Pemanfaatan Pangan Lokal di Papua

Pangan Lokal

Pemanfaatan

Konsumsi Pangan Upacara Adat

Ubi jalar Ubi rebus Ubi bakar Ubi goreng

Bakar batu pada upacara adat di Jayawijaya

Sagu Papeda basah Papeda kering Sagu bakar

Setiap acara adat mutlak harus ada papeda basah maupun kering/bungkus, terutama di Sentani Jayapura

Talas Talas rebus Talas bakar

Setiap acara adat di Papua talas disajikan dalam bentuk talas rebus

Gembili Gembili rebus Gembili Bakar Gembili goreng

Mas kawin bagi suku Kanum di Merauke

Jawawut Nasi/bubur jawawut Kue jawawut

Jawawut dipercaya sebagai warisan leluhur bagi masyarakat Biak Numfor

INTEGRASI ETNOSAINS PADA PEMBELAJARAN IPA SD

Etnosains dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPA dengan berbagai tema pembelajaran. Bentuk etnosains akan lebih mudah diidentifikasi melalui proses pembelajaran, pemetaan tema pembelajaran dengan menelaah Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD) dan melalui penilaian pembelajaran. Contoh praktis pengintegrasian etnosains dalam pembelajaran IPA yaitu dengan cara mengatasi permasalahan yang ada di lingkungan dengan pendekatan budaya melalui ritual-ritual adat. Integrasi etnosains dalam pembelajaran IPA juga tidak mengaburkan konsep-konsep IPA, tetapi justru dapat mempermudah siswa dalam memahami konsep-konsep IPA yang dianggap sulit sehingga pembelajaran lebih menarik, bersifat aktual dan kontekstual.

Materi IPA Sekolah Dasar (SD) dapat diintegrasikan dengan etnosains yaitu pada materi IPA kelas IV pembelajaran 4 tema 9 Makananku Sehat dan Bergizi subtema 3 Kebiasaan Makananku dengan KD 3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat. Etnosains yang dapat diintegrasikan dengan mengembangkan pembelajaran IPA KD 3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat yaitu mengenai analisis biodiversitas hewan dan tumbuhan hijau di berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam, setiap daerah memiliki biodiversitas hewan dan tumbuhan hijau yang dapat diolah menjadi sumber makanan bergizi. Sebagai contoh di daerah Papua gembili dan sagu dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun-temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua (Rauf, A. Wahid, 2009). Masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta yang mengkonsumsi belalang yang di daerah lain serangga jenis belalang ini dianggap sebagai serangga yang merugikan di bidang pertanian.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

270 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gembili, sagu dan belalang yang merupakan sumber makanan lokal ini merupakan etnosains biodiversitas tumbuhan dan hewan bagi masyarakat yang dapat digunakan sebagai analisis kajian yang membantu siswa dalam memahami pembelajaran mengenai cara makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan mengolah kekayaan lokal menjadi makanan bergizi.

Implementasi integrasi pembelajaran berbasis etnosains ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran bermakna dan menjadikan siswa SD menjadi lebih aktif dikarenakan mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijumpai siswa dalam menjalankan kehidupannya sehari hari. Berdasarkan keterkaitan ilmu pengetahuan dan kebudayaan lokal yang dimiliki suatu daerah, ditemukan adanya penelitian terdahulu yang berkaitan dengan implementasi pembelajaran yang diintegrasikan dengan etnosains yang disajikan dalam tabel 2 : Tabel 2. Penelitian sebelumnya tentang Integrasi Etnosains dalam Pembelajaran

No Judul Artikel, Nama Peneliti Budaya

Masyarakat Sains

1 IPA Biologi Terintegrasi Etnosains Subak untuk Siswa SMP: Analisis tentang Pengetahuan Trdisonal (Etnosains) Subak yang dapat Diintegrasikan dengan Materi Biologi SMP (I Made Sudiana dan I Ketut Surata)

Subak Klasifikasi tumbuhan bermanfaat, Konservasi ekosistem sawah, Pengendalian hama dan penyakit tumbuhan tradisional, Bioteknologi konvensional

2 Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains siswa Kelas IX (Mayang Idrawati, Ahmad Qosyim)

Pembuatan tape dan brem

Bioteknologi

3 Media Pembelajaran Interaktif Berbasis Etnosains untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Sains Siswa pada Materi Difusi Osmosis (Lakhaula Sahrotul Aulia dan Arif Misrulloh)

Pembuatan telur asin daerah Brebes

Konsep difusi osmosis

4 Inovasi penggunaan Mind Map dengan Bantuan Ular Tangga Berbasis Etnosains pada Materi Tata Surya Di SMP (Davit Noviasari dan Tariza Fairuz)

Ular tangga berbasis kebudayaan masyarakat

Sistem tata surya dan lapisan bumi

Integrasi pembelajaran berbasis etnosains dapat memaksimalkan kegiatan

pembelajaran karena mengkaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga diharapkan siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Berikut gambaran implementasi integrasi etnosains pada pembelajaran IPA kelas IV pembelajaran 4 tema 9 Makananku Sehat dan Bergizi

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 271

subtema 3 Kebiasaan Makananku dengan KD 3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat.

Tabel 3. Integrasi Etnosains pada Pembelajaran IPA kelas IV materi Biodiversitas Hewan dan Tumbuhan Hijau

Kompetensi Dasar (KD)

Budaya Mayarakat Sains

3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat

Belalang dikonsumsi oleh masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta

Belalang merupakan serangga yang mengandung protein tinggi, daam 3-5 ons belalang mentah terdapat 14-28 gram protein.

Ulat sagu dikonsumsi oleh masyarakat Ambon

100 gram uat yang dikeringkan terkandung 53 gram protein dan 15 persen lemak

Sapi yang dianggap hewan suci oleh masyarakat Kudus, Bali dan etnis Tionghoa Asam Kumbang Medan Selayang

Wujud toleransi antar umat beragama Hindu Budha

Buah jeruk yang berwarna kuning seperti warna emas yang melambangkan kemakmuran oleh masyarakat etnis Tionghoa Asam Kumbang Medan Selayang

Buah Jeruk yang berwarna kuning mengandung vitamin C

Uwi sebagai (Dioscorea spp) sebagai makanan pokok masyarakat Dusun Blidit Sikka NTT

Uwi sebagai sumber karbohidrat

Jagung ketan atau jagung pulen sebagai makanan pokok masyarakat Dusun Blidit Sikka NTT

Jagung ketan atau jagung pulen sebagai sumber karbohidrat

Tumbuhan Krokot dan katuk sebagai sayuran yang dikonsumsi masyarakat Dusun Blidit Sikka NTT

Merupakan sayuran rendah kalori kaya akan serat makanan, vitamin, serta mineral

Talas, sagu, ubi jalar, gembili, dan jawawut yang dikonsumsi dan digunakan untuk upacara adat di Papua

Talas, sagu, ubi jalar, gembili, dan jawawut sebagai sumber karbohidrat

PENUTUP Kegiatan pembelajaran IPA yang selama ini hanya dilakukan dengan mnghafal berbagai konsep tanpa disertai pemahaman serta bahan ajar yang digunakan masih terlepas dari permasalahan yang ada di masyarakat kini dapat diatasi melalui integrasi nilai budaya

PENDIDIKAN BIOLOGI…

272 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

lokal atau etnosains dalam pembelajaran, dengan harapan terciptanya kegiatan pembelajaran yang bersifat konkrit, aktual, kontekstual, aktif, tidak berpusat pada guru dan menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna bagi siswa sehingga kemampuan berpikir dan komunikasi siswa semakin terlatih REFERENSI Aulia Lakhaula Sahrotul dan Arif Misrulloh. 2017. Media Pembelajaran Interaktif

Berbasis Etnosains untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Sains Siswa pada Materi Difusi Osmosis. Proceeding Seminar Nasional IPA VIII “Inovasi Penelitian dan Pembelajaran IPA Berwawasan Konservasi”. UNNES

Farida, I., & Gusniarti, W. F. 2014. Profil Keterampilan Argumentasi Siswa Pada Konsep Koloid yang Dikembangkan melalui Pembelajaran Inkuiri Argumentatif. Edusains, 6 (1), hlm.32-40.

¹Indrawati, Mayang dan Ahmad Qosyim. Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains siswa Kelas IX. E-Jurnal Unesa

²Indrawati, Mayang dan Ahmad Qosyim. Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains siswa Kelas IX. E-Jurnal Unesa

³Indrawati, Mayang dan Ahmad Qosyim. Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains siswa Kelas IX. E-Jurnal Unesa

Mahendrani, K., Sudarmin. 2015. Pengembangan Booklet Etnosains Fotografi Tema Ekosistem untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa SMP. Unnes Science Education Jurnal. 4 (2): 865-872

Meilin, Araz dan Nasamsir. 2016. Serangga dan Peranannya dalam Bidang Pertanian dan Kehidupan. Jurnal Media Pertanian Vol. 1 No. 1 Tahun 2016 Hal. 18 – 28

Nisa`,A., Sudarmin, Salmini 2015. Efektivitas Penggunaan Modul Terintegrasi Etnosains Dalam Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Unnes Science Education Journal. vol. 4, no. 3. pp.1049-1056.

Noviasari Davit, dan Tariza Fairuz. 2017. Inovasi penggunaan Mind Map dengan Bantuan Ular Tangga Berbasis Etnosains pada Materi Tata Surya Di SMP. Proceeding Seminar Nasional IPA VIII “Inovasi Penelitian dan Pembelajaran IPA Berwawasan Konservasi”. UNNES

Rauf, A. Wahid dan Martina Sri Lestari. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif Di Papua. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (2),

2009 Sardiyo, 2005. Pembelajaran Berbasis Budaya Model Inovasi Pembelajaran dan

Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurnal Pendidikan. Vol.6, No.2 (2005), 83-98

Soedjito, H. dan E. Sukara. 2006. Mengilmiahkan pengetahuan Tradisional: Sumber Ilmu Masa Depan Indonesia dalam Kearifan Tradisonal dan Cagar Biosfer Di Indonesia. Komite Nasional MAB LIPI, Jakarta

Sudiana, I Made dan I Ketut Surata. 2010. IPA Biologi Terintegrasi Etnosains Subak untuk Siswa SMP: Analisis Tentang Pengetahuan Tradisional (Etnosains) Subak yang dapat Diintegrasikan dengan Materi Biologi SMP. Suluh Pendidikan, 2010, 8 (2): 43-51

Wuryastuti, Sri. 2008. Inovasi Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jurnal, Pendidikan Dasar Nomor: 9 – April 2008

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 273

PENGEMBANGAN BOOKLET EFEK BORAKS TERHADAP ORGAN PENCERNAAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR HISTOLOGI

Dewi Masfufah1, Siti Mukhlishoh Setyawati2, Dian Ayuning Tyas3

1,2,3FakultasSainsdanTeknologi UIN Walisongo Semarang

Abstrak Gambaran jaringan hewan yang baik, jelas, dan representatif sangat diperlukan dalam menjelaskan materi Histologi. Sumber belajar histologi menjadi panduan yang sangat diharapkan dapat membantu menjelaskan gambaran jaringan dengan lebih nyata. Booklet merupakan salah satu bentuk sumber belajar yang relatif praktis, dan dapat menyajikan informasi berupa gambar dan teks. Booklet histologi yang dibuat berdasar hasil riset masih belum banyak disusun. Pengembangan Booklet Efek Boraks terhadap Organ Pencernaan sebagai Sumber Belajar Histologi, telah dilakukan. Hasil riset berupa gambaran histologi organ pencernaan akibat terpapar boraks dikembangkan dalam bentuk booklet sebagai sumber belajar. Hasil pengembangan tersebut diharapkan dapat menambah alternatif sumber belajar yang bersifat praktis, informatif, efektif, dan menarik untuk digunakan.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kelayakan booklet efek boraks terhadap organ pencernaan yang dapat digunakan sebagai sumber belajar histologi oleh mahasiswa biologi dan pendidikan biologi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Research and Development (R&D). Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dari langkah-langkah penelitian dan pengembangan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2015). Prosedur penelitian dan pengembangan yang digunakan meliputi: potensi dan masalah, pengumpulan data, desain booklet, validasi booklet, revisi desain booklet, uji coba booklet, dan revisi booklet setelah diuji coba. Booklet yang didesain berjudul “efek boraks terhadap organ pencernaan kajian mendalam pada gaster, duodenum dan hepar tikus wistar (Rattus novergicus)”. Berdasarkan penilaian dari ahli materi diperoleh prosentase nilai sebesar 73,7%, dan ahli media diperoleh prosentase nilai sebesar 78,7% yang artinya booklet layak digunakan. Hasil penilaian dari pengguna diperoleh prosentase nilai sebesar 84,8% yang artinya booklet sangat layak untuk digunakan. Kata kunci : Booklet, Boraks, Histologi

PENDAHULUAN

Histologi merupakan ilmu yang mempelajari jaringan tubuh. Histologi mencakup semua aspek biologi jaringan tubuh yang terfokus pada struktur sel, susunan, dan mekanisme kerja jaringan dalam mengoptimalkan fungsi yang spesifik untuk setiap organ. Kajian struktur dan fungsi jaringan dalam sistem organ yang terkait dengan histologi dari organ yang terpapar bahan adiktif tertentu merupakan salah satu aspek materi aplikasi histologi di bidang kesehatan. Sajian gambar dan analisis perubahan histologinya diperlukan untuk membantu mahasiswa memahami materi jaringan penyusun organ pada hewan dengan lebih mudah.

Salah satu contoh dari aplikasi mata kuliah histologi di bidang kesehatan adalah efek bahaya boraks terhadap jaringan organ pencernaan. Boraks merupakan bahan adiktif yang sebenarnya tidak disarankan untuk campuran produk makanan. Boraks merupakan jenis bahan tambahan yang dilarang penggunaannya untuk makanan berdasarkan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 (SIKerNas, 2011).

Boraks di dalam tubuh terdapat sebagai asam borat. Garam borat atau Natrium tetraborat dalam pH fisiologis akan diubah menjadi asam borat yang tidak terionisasi. Asam borat dan garam borat memiliki sifat toksik yang mirip. Efek negatif yang ditimbulkan dari konsumsi boraks dalam jumlah sedikit tidak terlihat secara langsung, tetapi bersifat jangka panjang (Alsuhendra dan Ridawati,2013). Organ tubuh yang rentan terhadap bahaya boraks adalah organ pencernaan. Boraks mengakibatkan disfungsi pada gastrointestinal dan hati. Disfungsi gastrointestinal oleh boraks diakibatkan dari terjadinya iritasi berupa deskuamasi, erosi, dan ulserasi pada lapisan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

274 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

mukosa gastrointestinal. Disfungsi hati dapat terjadi akibat fibrosis (Masfufah, 2017 dan Takude, 2012).

Paparan suatu zat yang bersifat iritatif terhadap jaringan penyusun organ pencernaan dapat dilihat dari perubahan morfologi struktur sel dan kenampakan umum dari bagian yang terpapar. Perubahan kenampakan dari jaringan penyusun organ pencernaan yang secara prinsip tersusun atas empat jaringan dasar, dapat dikaji dan dianalisis untuk lebih memahami fungsi normal dan abnormal dari organ tersebut. Pemahaman terhadap kenampakan jaringarn normal dan abnormal dari jaringan penyusun organ pencernaan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami fungsi normal dan abnormal dari jaringan penyusun organ lainnya.

Berdasarkan hasil observasi awal, sumber belajar berupa buku teks atau buku non

teks yang berkaitan dengan aplikasi histologi di bidang kesehatan, terutama terkait dengan efek zat adiktif pada jaringan tubuh (khususnya pada organ pencernaan) masih sangat terbatas. Sumber belajar merupakan suatu bahan yang dapat dipergunakan untuk mendukung dan mempermudah terjadinya proses belajar mengajar (Sitepu, 2010). Sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran harus menarik minat baca seseorang, salah satunya adalah sumber belajar berupa buku non teks seperti booklet. Berdasarkan penjelasan Purwanto (seperti dikutip dalam Fitriastuti, 2010) booklet adalah media komunikasi massa yang bertujuan untuk menyampaikan informasi. Penyampaian informasi dalam booklet menngunakan teks yang singkat dan jelas dan dilengkapi dengan gambar. Selain terdapat teks dan gambar booklet juga didesain dengan praktis, sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan gairah dalam belajar.

Gambaran jaringan hewan yang baik, jelas, dan representatif sangat diperlukan dalam menjelaskan materi Histologi. Sumber belajar histologi menjadi panduan yang sangat diharapkan dapat membantu menjelaskan gambaran jaringan dengan lebih nyata. Booklet merupakan salah satu bentuk sumber belajar yang relatif praktis, dan dapat menyajikan informasi berupa gambar dan teks. Booklet histologi yang dibuat berdasar hasil riset masih belum banyak disusun. Hasil riset berupa gambaran histologi organ pencernaan akibat terpapar boraks dikembangkan dalam bentuk booklet sebagai sumber belajar. Hasil pengembangan tersebut diharapkan dapat menambah alternatif sumber belajar yang bersifat praktis, informatif, efektif, dan menarik untuk digunakan.

METODE PENELITIAN

Ditinjau dari objeknya, penelitian ini menggunakan jenis penelitian Research and Development (R&D) yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2015). Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dari langkah penelitian dan pengembangan yang dikemukakan oleh sugiyono. Langkah-langkah pengembangan yang direncanakan yaitu: 1) studi pendahuluan yang meliputi potensi dan masalah, dan pengumpulan data 2) pengembangan prototipe meliputi desain booklet, validasi booklet dan revisi booklet 3) uji coba booklet skala kecil dan revisi booklet.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket berupa instrumen penilaian. Instrumen yang digunakan berbentuk skala Likert. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai dengan sangat negatif (Sinambela, 2014). Instrumen penilaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Lembar validasi ahli materi dan media, instrumen ini digunakan untuk mengetahui kelayakan dari produk yang telah dihasilkan dan untuk memperoleh saran dari ahli materi dan media dalam memperbaiki produk. Instrumen penilaian untuk ahli materi dan media diadopsi dari instrumen penilaian

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 275

buku teks oleh BSNP. 2) Angket respon pengguna, instrumen ini digunakan untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap produk yang telah dihasilkan. Tanggapan pengguna diisi oleh mahaiswa yang telah mengambil mata kuliah histologi, mencakup mahasiswa Biologi dan Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang,.

Data yang diperoleh dari angket kemudian ditabulasi dan dicari persentasenya dengan rumus:

Jumlah skorSkor tertinggi x 100% Data hasil dari persentase kemudian disederhanakan kedalam bentuk yang mudah

dibaca dan diinterpretasikan agar diperoleh kesimpulan mengenai kelayakan booklet. Kriteria kelayakan yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari Akbar (2013), seperti pada tabel berikut

Tabel 1.1. Interpretasi skor dalam penilaian sumber belajar Kriteria Interpretasi skor 0% - 20% Sangat tidak layak 21% - 40% Tidak layak 41% - 60% Kurang layak 7 61% - 80% Layak 1%-100% Sangat layak

HASIL DAN PEMBAHASAN Booklet hasil pengembangan di desain berdasarkan kumpulan hasil riset tentang

efek boraks terhadap organ pencernaan. Cakupan materi dalam booklet terkait organ pencernaan yang terpapar boraks disajikan secara umum pada bagian lambung, duodenum dan hati tikus wistar (Rattus novergicus). Gambaran secara khusus berupa deskripsi tingkat kerusakan organ secara anatomi dan histologi yang diwakili oleh gambaran dari organ duodenum dan hati. Hasil riset yang menjadi dasar materi bersumber dari penelitian Takude (2012) dan riset sebelumnya oleh Masfufah (2017).

Format yang digunakan dalam menyusun booklet terdiri dari tiga bagian yaitu: 1) bagian awal yang terdiri dari sampul depan, halaman judul, redaksi, kata pengantar dan daftar isi. 2) bagian tengah terdiri dari materi utama yaitu latar belakang ditulisnya booklet dan materi yang menjelaskan tentang bahaya boraks terhadap organ pencernaan. 3) bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, biografi penulis, halaman catatan dan sampul belakang. Berikut cuplikan prototipe booklet yang dikembangkan dalam penelitian ini: Tabel 1. Bagian Awal Booklet

Gambar 1.1 Sampul depan booklet

Gambar 1.2. Halaman judul booklet

PENDIDIKAN BIOLOGI…

276 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 1.3. Redaksi booklet

Gambar 1.4. kata pengantar

Gambar1.5.Daftar isi booklet

Tabel 2. Bagian Tengah Booklet

Gambar 2.1 Halaman pendahuluan

Gambar 2.2. Cuplikan isi materi booklet

Gambar 2.3. Cuplikan isi materi booklet

Gambar 2.4. Cuplikan isi materi booklet

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 277

Gambar 2.4. Cuplikan isi materi booklet

Gambar 2.5. isi materi booklet

Gambar 2.6. isi materi booklet

Gambar 2.7. cuplikan isi materi booklet

Gambar 2.8. cuplikan isi booklet

Tabel 3. Bagian Akhir Booklet

Gambar 3.1. Daftar pustaka

Gambar 3.2. Profil penulis

PENDIDIKAN BIOLOGI…

278 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 3.3. Halaman catatan

Gambar 3.4. Sampul belakang booklet

Sampul depan booklet didesain dengan mencantumkan judul booklet, nama

penulis, dan sasaran pengguna. Selain itu, pada sampul booklet dilengkapi dengan gambar jaringan duodenum tikus wistar (Rattus novergicus) yang merupakan hasil riset sebelumnya (Masfufah, 2017) sebagai simbol materi yang dibahas dalam booklet. Halaman pendahuluan dalam booklet menjelaskan tentang latar belakang masalah ditulisnya booklet. Latar belakang masalah yang dijelaskan juga diperkuat dengan dalil Al-quran Surat Al-Baqarah ayat 169 yang menjelaskan bahwa mengkonsumsi makanan tidak hanya dilihat dari segi halal, akan tetapi kriteria baik (thoyyib) dari segi syariah dan kesehatan juga harus diperhatikan. Salah satu kriteria makanan yang baik adalah terbebas dari zat aditif seperti boraks, sehingga tubuh dapat terjaga kesehatannya.

Materi dalam booklet terdiri dari tiga sub judul pembahasan yaitu: 1) pengertian boraks, 2) penggunaan boraks pada makanan, 3) bahaya boraks terhadap organ pencernaan. Materi yang dibahas dalam sub judul pengertian boraks meliputi penjelasan tentang karakter boraks, larangan penggunaan boraks berdasarkan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, dan dilengkapi dengan gambar boraks yang sering diperdagangkan. Hal penting yang dijelaskan dalam sub judul penggunaan boraks pada makanan adalah fakta penggunaan boraks pada makanan berdasarkan penelitian istiqamah (2016) yaitu terdiri dari beberapa makanan seperti bakso, mie basah, krupuk gendar, dan cendol. Materi yang disajikan dalam sub judul bahaya boraks terhadap organ pencernaan terbagi menjadi tiga pokok pembahasan yaitu: a) penjelasan awal tentang sumber gambar, semua gambar anatomi dan jaringan yang digunakan dalam booklet diambil dari gambaran organ tikus wistar (Rattus novergicus). b) Penjelasan mekanisme boraks yang merusak organ lambung , duodenum berdasarkan riset sebelumnya (Masfufah, 2017) c) Penjelasan mekanisme boraks yang merusak organ hati berdasarkan penelitian Takude (2012).

Gambar yang disajikan dalam materi bahaya boraks terhadap organ pencernaan meliputi: 1. Gambaran anatomi dan histologi duodenum normal dan abnormal yang rusak

terpapar boraks sesuai dengan tingkat kerusakannya yang diperoleh dari riset sebelumnya (Masfufah,2017).

2. gambaran anatomi dan histologi hati tikus wistar yang normal dan abnormal akibat paparan boraks berdasarkan penelitian Takude (2012).

Setiap gambar yang disajikan dilengkapi dengan keterangan nama tiap bagian, letak kerusakan dan jenis kerusakan. Selain gambar diatas, materi dalam booklet juga dilengkapi dengan deskripsi tentang mekanisme kerusakan organ akibat paparan boaks dan pengertian istilah asing yang digunakan dalam booklet. Diakhir materi terdapat halaman kesimpulan dari pembahasan yang sudah disajikan. Bagian akhir booklet dilengkapi dengan daftar pustaka, biogafi penulis , halaman catatan, dan sampul

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 279

belakang. Sampul belakang booklet terdapat sinopsis yang menjelaskan gambaran singkat isi materi booklet.

Booklet yang sudah didesain selanjutnya divalidasi oleh ahli materi dan media. Berikut hasil penilaian dari ahli materi dan media:

Gambar 1.19. Grafik persentase penilaian aspek materi

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa penilaian pada aspek materi

terbagi menjadi 3 penilaian yaitu: kelayakan isi memperoleh nilai sebesar 73,8%, kelayakan penyajian memperoleh nilai sebesar 71,1% dan kelayakan bahasa memperoleh nilai sebesar 76,9% yang merupakan nilai tertinggi di dalam penilaian aspek materi. Perolehan nilai rata-rata pada aspek materi adalah sebesar 73,7% yang menunjukkan bahwa booklet tergolong dalam kategori layak untuk digunakan.

Gambar 1.3. Grafik persentase penilaian aspek media

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa penilaian pada aspek media

terbagi menjadi 3 penilaian yaitu: kelayakan tampilan dengan perolehan nilai sebesar 81,8%, kelayakan penyajian materi dengan perolehan nilai sebesar 74,7%,dan kelayakan mafaat dengan perolehan nilai sebesar 80%. Nilai rata-rata yang diperoleh pada aspek materi adalah sebesar 78,8% yang menunjukkan bahwa booklet tergolong dalam kategori layak untuk digunakan.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

280 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Booklet selanjutnya direvisi berdasarkan perolehan nilai dan saran dari ahli materi dan media. Setelah direvisi booklet selanjutnya diuji skala kecil. Uji skala kecil booklet ditujukan kepada 20 mahasiswa biologi dan pendidikan biologi sebagai pengguna. Adapun hasil penilaian dari pengguna adalah sebagai berikut:

Gambar 1.20. Grafik persentase penilaian kelayakan booklet oleh pengguna Data prosentase rata-rata penilaian oleh pengguna berdasarkan tabel diatas

memperoleh nilai sebesar 84,4% yang artinya booklet sangat layak untuk digunakan. Aspek tampilan booklet memeperoleh nilai tertinggi yaitu sebesar 87,80%. Hal ini dikarenakan booklet didesain menggunakan ukuran A5 yang merupakan ukuran standar dari booklet, ilustrasi gambar pada booklet disajikan sesuai dengan rasionya, adanya keterangan pada setiap gambar, gambar yang disajikan menarik dan sesuai dengan materinya, dan teks pada booklet mudah dibaca. Aspek penyajian materi memperoleh nilai sebesar 85% karena penyajian materi dalam booklet sudah sesuai dengan mata kuliah histologi, materi yang disajikan mudah untuk difahami dan disajikan secara runtut. Aspek bahasa berdasarkan penilaian pengguna memperoleh nilai sebesar 83,50%, hal ini dikarenakan kalimat yang digunakan dalam booklet mudah untuk difahami, tidak ada kalimat yang menimbulkan makna ganda, lambang atau simbol dan istilah yang digunakan dalam booklet mudah difahami. Nilai yang diperoleh pada aspek manfaat sebesar 81,40% karena berdasarkan respon dari pengguna booklet dapat mempermudah mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah histologi khususnya pada materi aplikasi kesehatan dan dapat menumbuhkan semangat belajar mahasiswa. KESIMPULAN

Hasil riset berupa gambaran histologi organ pencernaan akibat terpapar boraks dikembangkan dalam bentuk booklet sebagai sumber belajar. Persentase hasil penilaian booklet oleh ahli materi sebesar 74,9%. Nilai yang diperoleh dari ahli media sebesar 78,8%. Angket dari pengguna memperoleh nilai 84,4 %, sehingga booklet efek boraks terhadap organ pencernaan dinyatakan layak untuk dijadikan sebagai sumber belajar histologi oleh mahasiswa biologi dan pendidikan biologi. UCAPAN TERIMAKASIH

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 281

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Saefullah Hidayat, M.Sc. sebagai validator ahli materi dan Zaenudin Khabib, S.Pd.sebagai validator ahli media. REFERENSI Akbar, Sa'dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Alsuhendra dan Ridawati. 2013. Bahan Toksik dalam Makanan. Bandung : Remaja

Roesdakarya Fitriastuti, Diah Ratna. 2010. Efektifitas Booklet Dan Permainan Tebak Gambar Dalam

Meningkatkan Pengetahuan Dan Sikap Siswa Kelas Iv Terhadap Karies Gigi Di Sd Negeri 01, 02, Dan 03 Bandengan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara Tahun Ajaran 2009/2010. Skripsi. Universitas Negeri Semarang . http://lib.unnes.ac.id. diakses pada 24 Julu 2017 pukul 08:06 WIB

Masfufah, Dewi. 2017. Pengaruh Penggunaan Boraks Dosis Bertingkat terhadap Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Duodenum Tikus Wistar (Rattus novergicus). Skripsi. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) dan Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI. 2011. Asam Borat

Sinambela, L. P. 2014. Metode Penelitian Kuantiatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta Takude, Rico Lukas, dkk. 2012. Gambaran Histopatologi Hati Tikus Wistar yang Diberi

Boraks. jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 2, Nomor 3, November 2014. http://ejournal.unsrat.ac.id/ . Diakses pada tanggal 6 Januari 2017

PENDIDIKAN BIOLOGI…

282 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

STUDI KORELASI KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERILAKU PEDULI LINGKUNGAN MAHASISWA

PENDIDIKAN BIOLOGI UIN WALISONGO SEMARANG

Dewi Kharisah 1*, Ruswan 2, Rusmadi 3, 1 Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang

2,3 Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang * Email: [email protected]

Abstrak Kerusakan lingkungan seperti tanah longsor, banjir, kekeringan dan pemanasan global merupakan cermin buruknya hubungan manusia dengan lingkungan. Salah satu tolok ukur hubungan tersebut di antaranya dapat ditinjau dari perilaku manusia yang sering membuang sampah tidak pada tempatnya, boros dalam penggunaan energi dan penggunaan bahan yang tidak ramah lingkungan. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungan di antaranya yaitu emosi dan nilai-nilai. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi, berempati, sadar diri, memotivasi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan seseorang menggali makna dan nilai-nilai dalam hidup yang dicirikan dengan sikap toleran, jujur, berani, disiplin, bertanggungjawab dan terbuka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif yang bersifat korelatif. Jumlah sampel 53 responden dengan teknik sistematic sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dan dokumentasi. Analisis data menggunakan korelasi ganda. Hasil penelitian ini yaitu: 1) terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan perilaku peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan rx1y = 0,368; 2) terdapat hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan rx2y = 0,604; 3) terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama dengan perilaku peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan R = 0,608. Kata kunci : kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, perilaku peduli lingkungan

PENDAHULUAN

Kehidupan manusia sangat bergantung kepada lingkungan. Perilaku manusia terhadap lingkungan sangat menentukan kualitas lingkungan. Kerusakan alam seperti tanah longsor, banjir bandang, banjir rob, kekeringan yang berkepanjangan dan meningkatnya suhu udara secara signifikan mengindikasikan ketidakharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan.

Salah satu unsur yang dikembangkan dalam pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 adalah kecerdasan. Praktik pendidikan di Indonesia yang cenderung hanya mengarah pada mengembangkan kecerdasan intelektual atau IQ saja, yaitu lebih menekankan perolehan nilai akademik, sementara pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang berkaitan dengan karakter peserta didik kurang mendapatkan perhatian dalam proses pendidikan [12].

Kecerdasan emosional menurut Goleman adalah kemampuan seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain [11]. Tidak seperti kecerdasan intelektual (IQ)—yang hampir tidak berubah selama seseorang hidup—kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang seseorang hidup. Kematangan atau kedewasaan pada umumnya dijabarkan sebagai proses menuju cerdas dalam hal emosi dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 283

cenderung meningkat seiring dengan seseorang belajar untuk menyadari suasana hati, menangani emosi-emosi dengan lebih baik, berempati, dan menjadi lebih matang [5].

Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, dan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya serta untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan tertinggi manusia dan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif [13]. Kecerdasan spiritual ini akan mengalami aktualisasinya yang optimal apabila hidup manusia berdasarkan visi dasar dan misi utamanya, yakni seorang hamba (‘abid) dan sekaligus wakil Allah (khalifah) di bumi [6].

Mahasiswa merupakan seseorang yang menuntut ilmu atau menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Salah satu peran dan fungsi utama mahasiswa yaitu agen perubahan (agent of change), yang memiliki tanggungjawab besar dalam membuat perubahan-perubahan dalam masyarakat [12]. Jurusan Pendidikan Biologi UIN Walisongo mempunyai salah satu misi yaitu menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat sebagai implementasi hasil riset dan pengembangan bidang Pendidikan Biologi yang berwawasan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, perilaku peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi dapat dipandang sebagai bekal yang akan dibawa mahasiswa nantinya dalam menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat sebagai pendidik yang tidak melupakan aspek pelestarian lingkungan.

Perilaku mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo terhadap lingkungan dapat ditinjau dari perilaku memanfaatkan energi listrik, perilaku membuang sampah, perilaku dalam pemanfaatan air bersih, pemanfaatan bahan bakar dan pemanfaatan barang. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan penulis, perilaku mahasiswa pendidikan Biologi terhadap lingkungan di laboratorium Biologi menunjukkan sering meninggalkan laboratorium yang baru dipakai dalam keadaan kurang bersih dan meninggalkan sampah di depan ruang laboratorium yang sering digunakan untuk menunggu waktu praktikum. Perilaku mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo terhadap lingkungan yang melakukan aktivitas baik akademik maupun non-akademik di kampus 2 UIN Walisongo, secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dengan kondisi lingkungan yang ada di kampus 2 UIN Walisongo seperti banyaknya sampah yang tidak dibuang pada tempatnya, misalnya di beranda perpustakaan, di partisi pohon mangga sekitar kantin Ma’had Walisongo dan di kamar mandi; sampah yang tidak dibuang berdasarkan jenisnya; banyaknya penggunaan kantong plastik oleh mahasiswa ketika berbelanja; penggunaan sepeda motor dalam jarak tempuh yang dekat sehingga tempat parkir penuh; serta penggunaan fasilitas seperti lampu, LCD dan kipas angin dalam ruang kelas yang tidak efisien.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku peduli lingkungan, hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan, dan hubungan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama dengan perilaku peduli lingkungan. METODE

Penelitian ini termasuk jenis penelitian survey, dengan pendekatan kuantitatif metode korelasional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2017 di Fakultas Sains dan Teknologi, kampus 2 UIN Walisongo, Jl. Prof. Hamka, km. 2 Ngaliyan, Semarang.

Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa S-1 Pendidikan Biologi. Sampel dalam penelitian ini mencakup mahasiswa Pendidikan Biologi angkatan 2013, 2014,

PENDIDIKAN BIOLOGI…

284 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

2015 dan 2016. Teknik pengambilan sampel dengan teknik sampling sistematis dengan angka kelipatan 5.

Teknik kuesioner digunakan dalam mengukur kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan perilaku peduli lingkungan. Instrumen penelitian berupa pernyataan positif menggunakan skala Likert.

Uji coba instrumen dilakukan pada anggota populasi non-sampel berjumlah 30

orang. Uji validitas instrumen menggunakan aplikasi SPSS 14.0 dengan Corrected Item-Total Correlation sebagai korelasi antara skor item dengan skor total item. Uji reliabilitas instrumen menggunakan aplikasi SPSS 14.0 dengan Cronbach Alpha sebagai reliabilitas instrumen secara keseluruhan.

Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data pendukung dalam pra-riset dan riset tentang perilaku peduli lingkungan mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi tahun angkatan 2013, 2014, 2015 dan 2016.

Uji normalitas data menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS 14.0 dengan signifikansi 0,05. Jika nilai Sig. > 0,05 maka data berdistribusi normal. Uji linearitas dilakukan dengan bantuan SPSS 14.0 dengan signifikansi 0,05. Jika nilai Sig. > 0,05 maka data dinyatakan linear. Uji hipotesis menggunakan uji korelasi product moment dan korelasi ganda SPSS 14.0 dengan signifikansi 0,05. Jika nilai rhitung > rtabel atau nilai Sig. > 0,05 maka signifikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Peduli Lingkungan

Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Peduli Lingkungan

Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa nilai Sig 0,007<0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Berdasarkan perhitungan korelasi antara variabel X1 dengan Y diperoleh rx1y = 0,368 yang termasuk dalam kategori rendah, kemudian dikonsultasikan dengan harga rtabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 0,279 sehingga rx1y> rtabel atau 0,368 > 0,279 maka terdapat korelasi antara kecerdasan emosional dengan perilaku peduli lingkungan, dengan koefisien arahnya positif, artinya makin tinggi nilai X1 makin tinggi nilai Y atau kenaikan X1 diikuti kenaikan nilai Y.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 285

Kecerdasan emosional berkorelasi positif dan signifikan dengan perilaku peduli lingkungan, dapat dilihat dari keterkaitan perilaku dengan sikap. Terdapat tiga komponen sikap, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Komponen afektif mendeskripsikan reaksi emosional terhadap objek sikap [10]. Komponen afektif sikap yang mendeskripsikan reaksi emosional merupakan bagian dari pengelolaan emosi, karena perilaku seseorang terhadap lingkungan berkaitan dengan bagaimana seseorang mengelola dengan tepat emosinya sehingga reaksi yang ditimbulkan pun menjadi tepat dalam waktu, porsimaupun objeknya. Reaksi emosional yang tepat tersebut pada akhirnya akan mendorong perilaku yang tepat pula terhadap lingkungan, misalnya seseorang yang sedang marah kepada orang lain tidak melampiaskan atau menjadikan kemarahannya sebagai alasan untuk membuang sampah sembarangan atau berlebihan dalam menggunakan air bersih; seseorang yang sedang merasa sedih tidak lantas secara sengaja membiarkan lampu dan kipas angin dalam ruang kelas tetap menyala bahkan saat tidak ada seorang pun di dalamnya atau seorang yang merasa sedih tetap membawa kantong belanja non plastik ketika berbelanja. Hasil penelitian yang lain menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap menjaga kelestarian lingkungan dengan perilaku menjaga kelestarian lingkungan, yaitu perubahan perilaku dapat diupayakan dengan perubahan sikap melalui jalur perubahan paradigma [1]. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Peduli Lingkungan

Tabel 3. Hasil Uji Korelasi Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Peduli Lingkungan

Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa nilai Sig 0,000<0,05 maka Ho ditolak dan

Ha diterima. Berdasarkan perhitungan korelasi antara variabel X2 dengan Y diperoleh rx2y = 0,604 yang termasuk dalam kategori kuat, kemudian dikonsultasikan dengan harga rtabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 0,279 sehingga rx2y> rtabel atau 0,604>0,279 maka terdapat korelasi antara kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan, dengan koefisien arahnya positif, artinya makin tinggi nilai X2 makin tinggi nilai Y atau kenaikan X2 diikuti kenaikan nilai Y.

Korelasi positif dan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan, dapat ditinjau dari perspektif budaya lingkungan, bahwa etika dan norma yang berlaku di masyarakat umumnya membentuk perilaku terhadap lingkungan [8]. Etika yang baik pada suatu masyarakat, misalnya dalam membuang sampah pada tempatnya dan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan akan membentuk perilaku membuang sampah dan pemanfaatan barang yang baik pula. Etika yang dihargai inilah yang merupakan aspek values atau nilai-nilai [4] yang pengamalannya terdapat dalam kecerdasan spiritual. Seseorang yang tinggi kecerdasan spiritualnya cenderung menjadi seseorang yang bertanggungjawab membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya [13].

Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Peduli Lingkungan

PENDIDIKAN BIOLOGI…

286 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Ganda Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Peduli Lingkungan

Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui bahwa nilai Sig 0,000<0,05 maka Ho ditolak

dan Ha diterima. Harga Fhitung = 14,697 dengan Ftabel yang diperoleh dari dk penyebut = (n-k-1) = (53-2-1) = 50 dan dk pembilang = k = 2 pada taraf signifikansi 5% maka harga Fhitung = 14,697 > Ftabel = 3,18 maka koefisien korelasi ganda bermakna, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama dengan Perilaku Peduli Lingkungan. Nilai R = 0,608 artinya hubungan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan termasuk kategori kuat, karena 0,60 < R < 0,799. Kontribusi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dalam mempengaruhi perilaku peduli lingkungan yaitu sebesar 37% (R square x 100), sedangkan 63% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain.

Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berkorelasi positif dan signifikan secara bersama-sama dengan perilaku peduli lingkungan dapat ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mencakupfaktor pribadi dan faktor lingkungan; faktor pribadi: pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, emosi, kemampuan dan tanggung jawab; faktor lingkungan: norma sosial, umpan-balik, tujuan, kemungkinan penguatan, anjuran-anjuran dan ketersediaan [2]. Nilai-nilai dan emosi termasuk faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku peduli lingkungan, yaitu aspek-aspek yang berturut-turut diamalkan dalam kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional, sehingga kualitas kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional menentukan kualitas perilaku peduli lingkungan.

Nilai-nilai merupakan determinan penting dari perilaku melestarikan. Keterbukaan untuk berubah, dan kepedulian terhadap orang lain merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan perilaku melestarikan, seperti mendaur ulang, menggunakan produk ramah lingkungan dan aktif dalam kegiatan peduli lingkungan [2]. Pemahaman yang baik tentang kaitan nilai-nilai dengan perilaku dapat digunakan sebagai langkah untuk mengubah perilaku berdasarkan nilai-nilai yang sudah diyakini [2]. Nilai-nilai yang dibawakan dengan penuh tanggungjawab dalam perilaku melestarikan menunjukkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Salah satu indikator seseorang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi adalahmempunyaikualitas hidup yang diilhami oleh misi dan nilai-nilai [13]. Kecerdasan spiritual akan mengalami aktualisasinya yang optimal apabila hidup manusia berdasarkan visi dasar dan misi utamanya, yakni seorang hamba (‘abid) dan sekaligus wakil Allah (khalifah) di bumi [6]. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56 tentang misi utama manusia sebagai hamba Allah SWT dan QS. Al-Baqarah ayat 30 tentang misi utama manusia sebagai khalifah:

نس و الجن خلقت وما ( 56 ( ليعب د ون إل الArtinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”[3].

األرض فى جاعل ي إن للملئكة ربك قال وإذ ( 30 (....خليفة

Artinya: “Dan (ingatlah) Tuhanmu berfirman kepada malaikat “Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi”[3].

PENDIDIKAN BIOLOGI…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 287

Ibadah adalah aktifitas memperoleh ridho Allah. Sebagai khalifah di bumi, aktifitas-aktifitas yang bertujuan untuk memakmurkan bumi juga merupakan ibadah [9]. Menjaga kelestarian lingkungan, seperti membuang sampah pada tempatnya, menghemat energi dan menggunakan barang-barang ramah lingkungan termasuk langkah ibadah berupa memakmurkan bumi sebagai khalifah.

Emosi merupakan prediktor khusus perilaku melestarikan Elisabeth Kals dkk. mengemukakan bahwa emosi positif seperti kasih sayang kepada alam maupun emosi negatif seperti ketidaksukaan terhadap perilaku yang mencemari alam, berkaitan dengan kemauan dalam melaksanakan komitmen untuk berperilaku melestarikan. Respons emosi terhadap alam dapat ditingkatkan melalui pendidikan lingkungan, sehingga emosi dapat dijadikan jalan yang mendorong perilaku melestarikan [2]. Kecerdasan emosional cenderung meningkat seiring dengan seseorang belajar untuk menyadari suasana hati, menangani emosi-emosi dengan lebih baik, berempati, dan menjadi lebih matang [5].

Mahasiswa Pendidikan Biologi sebagai calon guru/pendidik mata pelajaran Biologi, sepatutnya mempunyai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang baik, sehingga dapat mendorong timbulnya perilaku peduli lingkungan yang baik pula. Pembelajaran yang didukung oleh guru yang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat mendorong siswa mengembangkan kecerdasan emosionalnya [7] karena kemampuan kecerdasan emosional empat kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam menentukan sukses seseorang [5]. Kecerdasan spiritual yang baik juga penting dimiliki seorang pendidik karena kecerdasan spiritual merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif [13]. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang baik dari seorang guru akan mendorong lahirnya perilaku peduli lingkungan yang baik, karena dalam

proses belajar, perilaku seorang guru akan menjadi penyampaian pesan paling efektif dan pengaruhnya mencapai 90% kepada peserta didik [12]. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional (X1) dengan perilaku

peduli lingkungan (Y) mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan nilai koefisien korelasi rhitung = 0,368 > rtabel =0,279 termasuk dalam kategori rendah pada taraf signifikansi 5%.

2. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan spiritual (X2) dengan perilaku peduli lingkungan (Y) mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan rhitung = 0,604 > rtabel = 0,279 termasuk dalam kategori kuat pada taraf signifikansi 5%.

3. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional (X1) dan kecerdasan spiritual (X2) secara bersama-sama dengan perilaku peduli lingkungan (Y) mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan nilai Signifikansi FChange = 0,000 < 0,05 dan Fhitung= 14,697> Ftabel = 3,18 pada taraf signifikansi 5%. Nilai R = 608 termasuk dalam kategori kuat dan koefisien determinasi (R square) = 0,370 atau 37% sedangkan 63% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing I, Dr. Ruswan, M.A dan pembimbing II, Rusmadi, M.Si serta semua pihak baik yang telah membantu maupun terlibat langsung dalam penelitian.

PENDIDIKAN BIOLOGI…

288 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

REFERENSI Azhar, M. Djahir B. dan Alfitri. 2015. Hubungan Pengetahuan dan Etika Lingkungan

dengan Sikap dan Perilaku Menjaga Kelestarian Lingkungan. Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 13, Issue:1:36-41

Clayton, S. dan Gene M. 2014. Psikologi Konservasi: Memahami dan Meningkatkan Kepedulian Manusia terhadap Alam, terj. Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: Departemen Agama RI

Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya Goleman, D. 2005. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama Prawira, P.A. 2013. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media Priatini, W., Melly L. dan Suprihatin G. 2008. Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan

Sekolah dan Peran Teman Sebaya terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Vol. 1 No. 1: 43-53

Rohadi, T. 2011. Budaya Lingkungan: Akar Masalah dan Solusi Krisis Lingkungan. Yogyakarta: Ecologia Press

Shobirin, . 2013. http://www.pa-jepara.go.id/index.php?option=com _content&view=article&id=296:drs-shobirin-mh-tugas-dan-kewajiban&catid=40:berita-sendiri diakses 15 Juni 2017

Tim Penyusun KLH. 2013. Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan: Survei KLH 2012. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup RI

Tridhonanto, A. 2009. Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) buah Hati. Jakarta: Elex Media Komputindo

Wibowo, A. dan Sigit P. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Zohar, D. dan Ian M. 2007. SQ: Kecerdasan Spiritual. terj. Rahmani Astuti, Ahmad Nadjib Burhani, dan Ahmad Baiquni. Bandung: Miza

MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 289

MATEMATIKA

MATEMATIKA…

290 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

ETNOMATEMATIKA DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA (Studi Kasus Di Pasar Tradisional Gang Baru Semarang)

Linda Indiyarti Putri

Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang [email protected]

Abstract

Acculturation and assimilation of the culture which inherent in the market of Pecinan area has ethnomathematics potential which is still used by local community and become a habit until today. This research shows its particular characteristic; it is by introducing the research on the subject that is used as an object rarely and reference in education. It can ensure the knowledge and the other hand, it can preserve the culture. This research aims to discover and describe the forms of ethno- mathematics as the result of mathematical activity observation in Gang Baru traditional market and document the culture that relates to mathematical concepts in order not to be lost, including: cultural heritage in the form of (artifacts), the activity of counting and measuring using local units, determine the location and design the place, activity of explaining. This research is a field research. The techniques of collecting data are by interview, observation, documentation. The result of data is analyzed by using qualitative data that refers to Miles and Huberman namely reduction, display, conclusion and verification The result of research shows there are special ways of the community in Gang Baru tradisional market doing mathematical activity. Without studying the theory of mathematical concepts, the community of Gang Baru traditional market has also applied the concepts of mathematics in daily life using ethnomathematics. it is approved that the existence of ethno- mathematics in the community reflected by the result of mathematical activity that they have and develop in the community Keywords: Etnomatematika, Social Culture, Traditional Market

PENDAHULUAN

Kota besar di Jawa Tengah seperti Semarang, memiliki multi etnis baik dominan maupun imigran yang datang dari negara lain. Imbas dalam menghadapi kondisi keberagaman ini sudah menjadi aktivitas sehari-hari dalam kalangan masyarakat Jawa Tengah. Salah satu ras yang mampu survive keberadaanya tengah masyarakat Indonesia adalah etnis Tionghoa, sejak mereka masuk dan menjadi masyarakat di Indonesia mereka disebut sebagai China Indonesia/Tionghoa Indonesia. Tujuan pertama kali mereka datang ke Indonesia adalah untuk berdagang dan bertransaksi dengan warga Indonesia.

Pasar tradisional merupakan sektor perdagangan yang memiliki ciri khas tersendiri yaitu adanya pola interaksi antara penjual dan pembeli saat tawar menawar barang dagangan, tidak hanya sebagai tempat aktivitas penjual dan pembeli malainkan juga sebagai tempat berkumpulnya berbagai suku dan agama, dalam perkembangannya pasar tradisional juga sebagai media wisata belanja, edukasi, serta meningkatkan pendapatan pedagang mikro atau terhadap pihak penggerak ekonomi kerakyatan.1 Oleh karena itu pasar tadisional memiliki multifungsi yaitu sebagai tempat bertemunya penjual, dan pembeli, media edukasi, dan wisata.

Kampung Semawis adalah kawasan padat ekonomi kota Semarang yang didominasi oleh etnis Tionghoa. Di Kampung China ini terdapat Pasar Tradisional Gang Baru berlokasi di sebelah timur Beteng, membentang antara Gang Pinggir dan Gang Tengah Kota Semarang. Pasar tradisional sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan sangat familar karena keunikannya. Aktivitas berniaga mulai dari tengkulak, pedagang, serta pembelinya di pasar tradisional ini pun tidak luput dari peran etnis Tionghoa. Sebagian besar etnis ini gigih, tekun, dan cerdas dalam management keuangan. Terutama dalam

1 Barsamian, David, dan Liem Siok Lan, Menembus Batas (Beyond Boundaries) Damai Untuk

Semesta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)

MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 291

pengaturan cash flow sangat luar biasa. Mereka memiliki cara atau budaya tersendiri untuk mendidik keluarga terutama dalam hal perhitungan dagang yang di dalam ilmu pengetahuan disebut dengan aritmatika sosial. Dari aspek edukasi, sering tidak disadari bahwa berbagai kelompok budaya yang berbeda telah menggunakan pengetahuan matematika berbeda antara satu dengan lainnya. Pada dasarnya matematika sangat erat kaitannya dengan perkembangan budaya manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Sembiring dalam Prabowo bahwa matematika sebagai hasil konstruksi budaya manusia.2

Ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal peradabannya, manusia telah menggunakan matematika untuk melakukan perhitungan-perhitungan sederhana, seperti menghitung banyaknya ternak, bagi kelompok petani digunakan untuk menghitung luas area pertanian serta waktu-waktu dimana harus melakukan aktivitas sebagai petani, dan masih banyak ragam aktivitas di bidang ekonomi, perikanan, pertukangan, perkebunan, hingga kerajinan seni budayanya dengan berbagai sentuhan geometri yang unik dan menarik. Bagi para arsitek, konsep matematika juga dapat diterapkan pada konstruksi bangunan atau gedung dan sebagainya. Begitu pula pada kelompok penjahit, saat membuat pola pada bahan kain atau kulit untuk membuat sepatu, tas, maupun pakaian.

Konsep matematika yang terus berkembang di masyarakat luas didapat karena adanya proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Salah satu kegunaan matematika bagi manusia adalah untuk memecahkan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan perhitungan matematika baik dalam pertanian, perikanan, perdagangan, dan perindustrian.3 Metematika sebagai ilmu pengetahuan dan budaya sebagai sesuatu yang dinamis dapat terintegrasikan melalui etnomatematika. Istilah ethnomathematics yang selanjutnya dikenal dengan etnomatematika pertama kali diperkenalkan oleh D’Ambrosio, seorang matematikawan Brazil pada tahun 1977.4 Tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui adanya cara-cara yang berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda dimana budaya yang berbeda merundingkan praktik matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).5

Oleh karena tumbuh dan berkembang dari budaya, keberadaan etnomatematika seringkali tidak disadari oleh masyarakat penggunanya. Hal ini disebabkan, etnomatematika seringkali terlihat lebih “sederhana” dan hanya dijadikan sebagai “alat” dari bentuk formal matematika yang dijumpai di Sekolah. Masyarakat daerah yang biasa menggunakan etnomatematika mungkin merasa tidak percaya diri dengan warisan nenek moyangnya, karena matematika dalam budaya ini, tidak dilengkapi definisi, teorema, dan rumus-rumus seperti yang biasa ditemui di matematika akademik. Sujono dalam Antonius, menyebutkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam matematika adalah nilai praktis, nilai disiplin dan nilai budaya.6 Memiliki nilai praktis karena matematika teraplikasi pada kehidupan nyata dan sekaligus berguna dalam membantu memecahkan permasalahan sehari-hari. Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris, sehingga akan lebih mudah memahami

2 Prabowo, Agung dan Pramono S., Internasional Conference on Teacher Educations. Memahat

karakter melalui pembelajaran matematika. (Bandung: -, 2010). 3 Eni Titikkusumawati, Modul Pembelajaran Matematika, (Kemenag RI, 2014), hlm. 25 4 Inda Rachmawati, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, E-Jurnal UNESA. Vol 1 No 1.,

2012, hlm. 4 5 Inda Rachmawati, Eksplorasi... 6 A. C. Prihandoko, Memahami Konsep Matematika Secara Benar dan Menyajikannya Dengan

Menarik, (Jember: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,, 2005), hlm. 16

MATEMATIKA…

292 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

matematika dari penglaman nyata yang abastrak kemudian dikonkretkan dalam bentuk simbol-simbol atau konsep matematika formal. Contoh penerapannya antara lain transaksi jual beli, menghitung luas daerah, menghitung jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain, menghitung laju kecepatan kendaraan, dan lain sebagainya.

Pada matematika terdapat nilai-nilai kedisiplinan. Hal ini dimaksudkan bahwa dengan belajar matematika akan melatih orang berlaku disiplin dalam pola pemikirannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa hakekat matematika berkenaan dengan struktur-struktur, hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang dikembangkan menurut aturan yang logis. Matematika terdiri dari sistem-sistem yang terstruktur yang masing-masing terbentuk melalui pola penalaran secara deduktif dengan logika matematika sebagai alat penalarannya. Oleh karena itu pemakaian simbol dan variabel dalam pekerjaan matematika harus dilakukan dengan tertib dan jelas sebab jika tidak akan bisa menimbulkan salah tafsir dan kurang komunikatif, dalam artian hasil pekerjaan seseorang tidak dapat dipahami oleh orang lain, walau pekerjaan tersebut benar sekalipun.

Nilai utama berikutnya yang terkandung dalam matematika adalah nilai budaya. Memang nampaknya asing kedengarannya bahwa matematika dikaitkan dengan budaya. Tetapi bila kita perhatikan maka sebenarnya matematika sangat erat kaitannya dengan perkembangan budaya manusia. Ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal peradabannya, manusia telah menggunakan matematika untuk melakukan perhitungan-perhitungan sederhana, seperti menghitung banyaknya ternak, hari dan sebagainya. Mereka menggunakan batu-batu atau menorehkan pahatan di dinding-dinding gua untuk menyatakan kalkulasinya. Pada perkembangan selanjutnya manusia berusaha menciptakan simbol-simbol sebagai lambang bilangan dan juga menyusun sistem numerasinya untuk lebih memudahkan mereka dalam menyatakan sebuah kuantitas.

Akulturasi dan asimilasi budaya yang melekat di pasar Kawasan Pecinan tersebut berpotensi etnomatematika yang masih dijalankan oleh kelompok masyarakat sekitar dan menjadi kebiasaan hingga saat ini. Dalam hubungannnya dengan studi etnomatematika, penelitian ini menunjukkan ciri khususnya yakni mengintroduksi penelitiannya pada subjek yang sangat jarang dijadikan sebagai objek dan acuan dalam pendidikan. Dari latar belakang antropologi, penelitian ini memberikan warna baru bagi studi pengembangan matematika dalam latar budaya pada kondisi Pasar Tradisional Gang Baru Semarang. Kemunculan etnomatematika dalam diskusi tentang ilmu matematika nampaknya akan menjadi sangat menarik. Di satu sisi memperkaya ilmu pengetahuan, di sisi lain melestarikan budaya. Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka penelitian terhadap Etnomatematika dalam Konteks Sosial-Budaya yang mengambil studi kasus di Pasar Tradisional Gang Baru Semarang sangat signifikan untuk dilaksanakan.

tujuan penelitian ini untuk menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk etnomatematika sebagai hasil pengamatan aktivitas matematika di pasar tradisional Gang Baru kemudian mendokumentasikan budaya yang masih berlangsung berkaitan dengan konsep-konsep matematika agar tidak hilang, meliputi : peninggalan budaya dalam wujud (artefak), aktivitas membilang dan mengukur menggunakan satuan lokal, menentukan lokasi dan merancang tempat, aktivitas menjelaskan. Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dokumentasi. Hasil data kemudian dianalisis menggunakan analisis data kualitatif yang mengacu pada Miles dan Huberman, yaitu reduction, display, conclusion and verification.

MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 293

ETNOMATEMATIKA DAN KAJIANNYA Etnomatematika di Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan suatu ilmu

pengetahuan baru melainkan sudah dikenal sejak diperkenalkan ilmu matematika itu sendiri. Hanya saja disiplin ilmu ini disadari setelah beberapa ilmuwan memperkenalkan nama etnomatematika menjadi bagian dari ilmu matematika. Inda Rachmawati dalam penelitiannya menerangkan bahwa etnomatematika adalah cara-cara khusus yang digunakan oleh suatu kelompok budaya atau masyarakat tertentu dalam aktivitas matematika. Dimana aktivitas matematika adalah aktivitas yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam matematika atau sebaliknya, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, membuat pola, membilang, menentukan lokasi, permainan, menjelaskan, dan sebagainya.7

Istilah etnomatematika berasal dari kata ethnomathematics, yang diperkenalkan oleh D’Ambrosio seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Terbentuk dari kata ethno, mathema, dan tics. Awalan ethno mengacu pada kelompok kebudayaan yang dapat dikenali, seperti perkumpulan suku di suatu negara dan kelas-kelas profesi di masyarakat, termasuk pula bahasa dan kebiasaan mereka sehari-hari. Kemudian, mathema disini berarti menjelaskan, mengerti, dan mengelola hal-hal nyata secara spesifik dengan menghitung, mengukur, mengklasifikasi, mengurutkan, dan memodelkan suatu pola yang muncul pada suatu lingkungan. Akhiran tics mengandung arti seni dalam teknik. Secara istilah etnomatematika diartikan sebagai matematika yang dipraktikkan di antara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional.8 Lebih luas lagi, jika ditinjau dari sudut pandang riset, maka etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural antrophology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika.9

Etnomatematika merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan realitas hubungan antara budaya lingkungan dan matematika sebagai rumpun ilmu pengetahuan. Jika menengok negara-negara lain, keberhasilan negara Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran matematika karena mereka menggunakan Etnomatematika dalam pembelajaran matematika.10 Etnomatematika terbentuk dari cara-cara atau kebiasaan yang mampu membaur dengan tradisi setempat. Kebiasaan atau cara yang dilakukan secara turun temurun dan memiliki nilai guna bagi kehidupan masyarakat sehingga masih dipertahankan hingga saat ini.

Cara-cara yang digunakan berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Seperti misalnya beberapa kegiatan jual-beli di pasar tradisional yang tidak akan ditemui di pasar modern (minimarket, supermarket, hipermart, dan lainnya). Antara lain adanya proses tawar-menawar yang di dalamnya meliputi aktivitas membilang dan menjelaskan, antara penjual dan pembeli menggunakan cara dan bahasa daerah masing-masing lokasi. Cara hitung yang masih manual dengan aritmatika yang dikembangkan sendiri tanpa bantuan alat hitung terkadang masih dijumpai di pasar tradisional. Para pedagang dalam merancang bangunan atau lokasi tempat jualannya di

7 Inda Rachmawati, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, E-Jurnal UNESA. Vol 1 No 1. Th

2012.

8 D’Ambrosio, U., Ethnomathematics And Its Place In The History And Pedagogy Of Mathematics.

For learning of Mathematics, 5 (1), 44-48, 1985. 9 U. D’Ambrosio, Etnomathematics Link between Traditions and Modernity, Published by: Sense

Publisher, P.O. Box 21858, 3001 AW Rotterdam, The Netherlands, 2006, h. 1. 10 Uloko ES, Imoko BI, Pengaruh Ethnomatematics Mengajar Pendekatan dan Jenis Kelamin terhadap

Prestasi Siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ., 2007, Res.5(1):31-36

MATEMATIKA…

294 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pasar tradisional menggunaakan konsep geometri dengan mengikuti cara-cara yang sudah ada tanpa mempelajari tehnik rancang bangun seperti sarjana arsitektur.

Oleh karena tumbuh dan berkembang dari budaya, keberadaan etnomatematika seringkali tidak disadari oleh masyarakat penggunanya. Hal ini disebabkan, etnomatematika seringkali terlihat lebih “sederhana” dari bentuk formal matematika yang dijumpai di sekolah. Masyarakat daerah yang biasa menggunakan etnomatematika mungkin merasa tidak percaya diri dengan warisan nenek moyangnya, karena matematika dalam budaya ini, tidak dilengkapi definisi, teorema, dan rumus-rumus seperti yang biasa ditemui di matematika akademik.

Adapun ruang lingkup kajian etnomatematika adalah sebagai berikut: 1) Lambang-lambang, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-

keterampilan matematis yang ada pada kelompok-kelompok bangsa, suku, ataupun kelompok masyarakat lainnya.

2) Perbedaan ataupun kesamaan dalam hal-hal yang bersifat matematis antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dan faktor-faktor yang ada di belakang perbedaan atau kesamaan tersebut.

3) Hal-hal yang menarik atau spesifik yang ada pada suatu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat tertentu, misalnya cara berpikir, cara bersikap, cara berbahasa, dan sebagainya, yang ada kaitannya dengan matematika.

4) Berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat yang ada kaitannya dengan matematika, misalnya : Literasi keuangan (financial literacy) dan kesadaran ekonomi (economic awareness); Keadilan sosial (social justice); Kesadaran budaya (cultural awareness); Demokrasi (democracy) dan kesadaran politik (political awareness)

Matematika tumbuh dan berkembang di berbagai belahan bumi ini, setiap

budaya dan sub budaya mengembangkan matematika dengan caranya sendiri. Matematika bukanlah domain pengetahuan formal yang universal, tetapi merupakan kumpulan representasi dan prosedur simbolik yang terkonstruksi secara kultral dalam kelompok masyarakat tertentu.11 Disadari atau tidak matematika memiliki andil yang penting dalam mempengaruhi konstruksi budaya manusia, karena konsep dasar yang ditawarkan oleh matematika dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang sifatnya praktis.

Peran lainnya adalah mampu memberikan wawasan peran sosial matematika dalam bidang akademik. Melalui nilai-nilai budaya lokal karakter bangsa dapat dibangun. Hal ini diharapkan akan memberikan angin segar dalam rangka menjawab kompleksitas permasalahan yang dialami oleh masyarakat dengan tetap melestarikan dan mengembangkan budaya lokal. Transformasi nilai-nilai budaya ini dapat dilakukan melalui etnomatematika. Penerapan etnomatematika sebagai salah satu pendekatan pembelajaran dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengembangkan karakter bangsa melalui wahana belajar berupa hasil karya cipta yang sifatnya konkret diambil dari realitas kehidupan.

Eksplorasi kajian-kajian budaya berupa aktivitas terkait matematika akan memberikan informasi baru betapa beraneka ragamnya budaya lokal Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar keterkaitan antara matematika dan budaya bisa lebih dipahami, persepsi peserta didik dan masyarakat tentang matematika menjadi lebih tepat, dan pembelajaran matematika bisa lebih disesuaikan dengan konteks budaya peserta didik dan masyarakat, dan matematika bisa lebih mudah dipahami karena tidak lagi

11 Strigler, dkk dalam Silvia, Pengembangan Bahan Ajar Matematika yang Bernuansa Etnomatematika

dalam Suku Dayak Kanayat’n di Kalimantan Barat untuk Membantu Peserta Didik Sekolah Dasar Mempelajari

Konsep Matematika. Penelitian Fundamental, tidak diterbitkan, 1999:9.

MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 295

dipersepsikan sebagai sesuatu yang ‘asing’ oleh peserta didik dan masyarakat. Agar aplikasi dan manfaat matematika bagi kehidupan peserta didik dan masyarakat luas lebih dapat dioptimalkan, sehingga peserta didik dan masyarakat memperoleh manfaat yang optimal dari kegiatan belajar matematika. BENTUK ETNOMATEMATIKA DI PASAR GANG BARU SEMARANG

Pasar Gang Baru terletak di kawasan Pecinan Semarang berdekatan dengan kawasan Kota Lama Semarang (Little Netherlands), dan Pasar Tradisional Johar. Kawasan Pecinan Semarang secara administrasi terletak di Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah Kota Semarang. Diberi nama Pasar Gang Baru karena lokasinya ada di jalan Gang Baru.

Adapun batas-batas wilayah pasar gang baru yaitu: Batas Utara : Gang Warung Batas Selatan : jalan Wotgandul Timur Batas Barat : deretan rumah yang menghadap di jalan Benteng Batas Timur : deretan rumah yang menghadap di Gang belakang

Secara fisik pasar tradisional Gang Baru berbentuk lorong jalan sempit dan meliuk-liuk berpagarkan bangunan yang rapat satu dengan yang lain. Lebar jalan sekitar 5 meteran dengan akses lalu lintas untuk pejalan kaki sekitar 1,5 meteran karen pedagang yang berjualan di depan bangunan-bangunan yang ada. Pasar ini tidak punya gedung. Seperti pasar tumpah, para pedagang yang tidak bertempat tinggal di Gang Baru menggelar dagangan di sepanjang jalan dengan membuat lapak, los maupun kios atau tenda sederhana untuk berdagang di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan. Bagi penduduk yang bermukim di lokasi tersebut akan lebih mudah mengatur dagangannya di suatu ruangan permanen dan ditata sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian pembeli. 1. Peninggalan Budaya dalam Wujud (Artefak)

Banyak peninggalan-peninggalan budaya dalam bentuk fisik yang dapat diamati oleh peneliti di lapangan terkait etnomatematika. Wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan yang disebut dengan artefak ini merupakan wujud terbesar dan juga bersifat konkret. Adapun beberapa peninggalan budaya berwujud yang berhasil peneliti temukan antara lain: a. Klenteng

Saat memasuki jalan Gang Baru nuansa etnis Cina makin terasa dengan keberadaan Klenteng tempat sembahyang untuk umat Tridarma (Budha, Konghucu, dan Tao). Klenteng Hoo Hok Bio didirikan pada tahun 1779 ini merupakan klenteng tertua kedua di wilayah Pecinan Semarang. Menurut Penuturan penjaga Klenteng, pemilihan nama Hoo Hok Bio itu lantaran para pendahulu yang membangun klenteng tersebut berharap, tempat ibadah itu dapat memberikan rezeki yang

Gambar 1. Peta Gang Baru Kawasan Pecinan Semarang

Sumber: https://www.google.co.id/maps

MATEMATIKA…

296 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

berlimpah ruah bagi warga yang bersembayang di tempat tersebut. Tuan rumah Klenteng Hoo Hok Bio adalah Dewa Bumi, secara filosofi bumi adalah tanah, dan tanah dapat diasosiasikan sebagai sumber rezeki, karena di tanahlah kita menanam dan menuai12

Ornamen peribadatan salah satunya berupa lilin yang berbentuk tabung dan lampion yang berbentuk bulat menyerupai bola bermakna lentera (cahaya/penerangan). Dalam diskusi peneliti dengan Chandra Wijaya (Kwee Kong Tywan) ketua pengelola klenteng menjelaskan bahwa lentera ini ibarat harapan cahaya agar pada tanggal 15 bulan 7, arwah orang-orang yang pada saat meninggalnya jauh dari keluarga, akan dapat kembali ke bumi dipandu oleh cahaya lampion selain itu juga dapat diartikan sebagai simbol sumber energi bagi manusia.

Bentuk dari bedug yang menyerupai tabung tergantung di sudut atas klenteng yang pada saat-saat hari peringatan masyarakat Tionghoa. Gambar Yin dan Yang di halaman depan pintu masuk, sebagai lambang ajaran Taoisme yang berbentuk lingkaran. Dalam lingkaran tersebut solah terbagi menjadi dua bagian yang sama. Lambang ini memberikan makna bahwa pada hakekatnya semua yang ada selalu hadir dalam bentuk berpasangan secara seimbang dan alamiah.

Keunikan lain adalah arsitektur bentuk atap klenteng yang menggunakan konsep Geometri bentuk prisma segi tiga dengan atap pelananya yang seperti digelung di puncaknya. Puncak yang melengkung dari dinding-dinding batu ini merupakan hiasan tradisional yang berasal dari Cina. Jika di atap klenteng kita melihat ada 2 ekor naga yang sedang bermain bola api, itu melambangkan pembawa pesan dari langit ke bumi dan pembawa hujan bagi para petani ujar Chandra Wijaya (Kwee Kong Tywan). b. Jenis Kuliner tradisional

Warisan kuliner budaya Cina masih dapat dirasakan di kawasan Pasar Gang Baru. Apalagi dengan dibukanya pasar Semawis tiap akhir pekan (Jum’at, Sabtu dan Minggu malam) merupakan surga kuliner bagi pecinta kuliner. Digelar stan-stan yang menjual beragam makanan khas Tionghoa Cina juga Semarang. Hingga kini tradisi tersebut masih lestari, dan tak bosan memberikan sajian menarik bagi pengunjungnya.

Adapun eksplorasi etnomatematika terkait jenis kuliner hasil akulturasi budaya antara lain Makanan khas negara China seperti misalnya : 1) Bakcang

Bakcang atau kue Bacang merupakan jajanan tradisional Tionghoa yang sudah dikenal di Indonesia. Memiliki bentuk yang unik berbentuk limas segitiga dibungkus dengan daun bambu yang diikat dengan tali. Bagi yang belum pernah membuat kue Bacang ini akan merasa kesulitan karena membutuhkan keahlian khusus untuk membentuk bangun limas segitiga. Sejarah munculnya kue Bakcang pada mulanya untuk menghormati Quyuan yang bunuh diri di sungai. 2) Lun pia (lumpia)

Di Indonesia, lumpia dikenal sebagai jajanan khas Semarang dengan tata cara pembuatan dan bahan-bahan yang telah disesuaikan dengan tradisi setempat. Lumpia terdiri dari lembaran tipis tepung gandum yang dijadikan sebagai pembungkus isian yang umumnya adalah rebung, telur, sayuran segar, daging, atau makanan laut. Bentuk lumpia sendiri seperti bentuk bangun ruang tabung yang ukurannya disesuaikan dengan jenis isiannya. Penyajian disesuaikan dengan peminatnya, ada yang basah (tidak digoreng) atau kering (goreng) dengan paduan saus.

12 Wawancara dengan pengelola Klenteng Hoo Hok Bio Bp. Tjan Khik Kien pada tanggal 23 Juni 2016

MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 297

3) Bakpao Selain sebagai cemilan, kue bakpao juga bisa dijadikan sebagai makanan

sementara pengganti nasi bagi masyarakat keturunan China. Bentuknya yang setengah bola dan padat memberikan rasa kenyang karena kandungan karbohidratnya. 4) onde-onde

Onde-onde berbentuk bulat, berwarna coklat jika sudah digoreng dan berlapis wijen. Di dalamnya terdapat kacang hijau, kacang merah, coklat dan lainnya. Saat ini onde-onde mengalami perkembangan baik dalam rasa, ukuran, dan cara pengolahannya. 5) Tahu

Tahu adalah makanan yang dibuat dari endapan perasan biji kedelai yang mengalami koagulasi. Tahu berasal dari Tiongkok, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Nama "tahu" merupakan serapan dari bahasa Hokkian (tauhu). Bentuk tahu awalnya kotak atau seperti balok, kini banyak bentuk tahu yang divariasi yaitu prisma segitiga dan bulat disesuaikan dengan selera masing-masing. Harganya pun relatif murah dan memiliki nilai gizi yang tinggi.

c. Gerabah dan peralatan tradisional Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang alat serta membuat

pola yang terdapat pada gerabah dan peralatan tradisional merupakan contoh bentuk etnomatematika masyarakat pasar tradisional Gang Baru, diantaranya bentuk guci, gelas cina, vas, keramik, panci yang berbentuk tabung tanpa tutup dengan tepian berpola lingkaran.

Cowek (cobek), wajan, piring berbentuk lingkaran, entong berbentuk elips, bagor tempat dupa yang berbentuk setengah bola. Di Pasar Tradisional Gang Baru ditemukan banyak pedagang yang menggunakan keranjang rotan berbentuk tabung tanpa tutup dan tampah rotan bentuk lingkaran berfungsi mewadahi barang dagangannya. Kebanyakan pedagang buah dan sayur yang masih memanfaatkan benda tersebut karena memiliki sirkulasi udara yang baik untuk barang dagangannya.

2. Aktivitas Membilang dan Mengukur Menggunakan Satuan Lokal Membilang merupakan suatu cara untuk dapat menentukan banyaknya benda

atau sesuatu yang ingin kita ketahui jumlahnya. Bentuk etnomatematika dalam ritual masyarakat etnis Tionghoa ini di klenteng terlihat saat sembahyang kepada Dewa, Tuhan, maupun tokoh yang berjasa untuk masyarakat luas dan mahluk suci lainnya menggunakan hitungan angka ganjil yaitu menggunakan dupa (hio): 3 (san), 5 (wu), 7 (qi), 9 (jiu). Ganjil dalam metafisik Tiongkok adalah lambang dari unsur Yang atau positif. Unsur Yang berjumlah genap adalah untuk leluhur, arwah yang meninggal, setan gentayangan. Himpunan bilangan genap pada ritual tersebut adalah 2 (er), 6 (liu), 12 (shi er).

Dalam melakukan aktivitas membilang satuan mereka menggunakan bahasa jawa: sak... (satu), rong... (dua), telung... (tiga), patang... (empat), limang... (lima), enem... (enam), pitung... (tujuh), wolung... (delapan), sangang... (sembilan), sepuluh... (sepuluh). Alat yang dijadikan ukuran atau satuan oleh masyarakat dagang di pasar Gang Baru antara lain jari tangan misalnya dalam menghimpun satu ikat kacang panjang, sawi, dan kangkung satuan yang digunakan adalah unting, membeli cabai menggunakan satuan jumput dan cakup, ombyok untuk satuan tunggal petai. Tundun, lirang untuk satuan pisang. Sejinah untuk satuan setiap 10 biji jagung, ataupun kue dan makanan-makanan tertentu. Penjual daun jati juga menggunakan satuan ikat tali, satu ikatnya berisi antara 10-15 lembar daun.

MATEMATIKA…

298 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Seperti yang peneliti alami saat akan membeli parutan kelapa kepada seorang pedagang tua bahwa pedagang tersebut menjajakan barang dagangan sudah dalam bentuk parutan dan dikemas dalam plastik bening yang dihargai lima ribu rupiah tiap plastiknya (sakplastik) tanpa melalui proses penimbangan terlebih dahulu. Berbeda dengan Bu Liang dalam melayani pembelian sudah menggunakan alat ukur modern berupa timbangan untuk mengukur berat bawang merah.

Ciam Si, sebuah ramalan kuno masyarakat Tionghoa yang menggunakan konsep matematika peluang, dimana biasanya orang yang bersangkutan harus terlebih dahulu mengikuti aturan tradisi yang ada dengan cara mengocok batang bambu kecil, menyerupai sumpit memiliki panjang sekitar 20 cm yang diletakkan di dalam sebuah wadah gelas, dimana setiap batang bambu tersebut memiliki nomor yang sudah disesuaikan dengan jumlah kertas syair sebagi hasil ramalan. Bila sebatang bambu yang telah dikocok, jatuh ke tanah maka angka yang tertera di batang kayu, disesuaikan dengan secarik kertas yang ada di kotak ramalan. Setiap kertas dalam ramalan Ciam Si ini, memiliki syair dan ramalan yang berbeda-beda, berupa peruntungan karir, jodoh, rezeki dan kehidupan rumah tangga. 3. Menentukan Lokasi dan Merancang Tempat

Konsep sudut dalam matematika untuk menentuan lokasi tercermin pada kepercayaan etnis Tionghoa dalam penentuan lokasi letak strategis klenteng yang frontal terhadap Pasar Gang Baru. Hal ini dipercaya dapat menunjang perekonomian pada area ini. Menurut kepercayaan bahwa tapak tusuk sate dipengaruhi oleh roh jahat dan kekuatan lain yang tidak diinginkan manusia.

Konsep matematika dalam menentuan dan merancang tempat berdagang baik itu berupa los, kios maupun tenda sederhana dilakukan dengan baik. walaupun masyarakat pasar Gang Baru tidak mengenal materi dasar konstruksi bangunan seperti halnya yang sekarang diajarkan pada pendidikan formal (seperti konsep siku-siku, simetris, persegipanjang, maupun yang konsep geometri lain), tetapi mereka dapat membuat lokasi dagang yang nyaman. Mereka hanya melakukannya secara mengalir, menggunakan perkiraan dan satuan lokal (karena belum mengenal satuan SI), dan menerapkannya pada tata cara, tata letak, dan tata bangunan sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual yang mereka yakini.

Aktivitas merancang Bentuk etnomatematika yang ditemukan adalah cara membuat tempat berdagang pilar dari batang bambu berdiameter kira-kira 7-10 cm, bagian atas diberi payung kertas lebar dengan rangka dari bambu untuk memberikan keteduhan dari cahaya matahari, sedangkan bagian bawah untuk menopang supaya kuat diberi bambu yang dibelah menjadi 4-5 bagian membentuk seperti kerucut. 4. Aktivitas Menjelaskan

Matematika dapat dipelajari dari budaya yang ada dalam lingkungan tempat tinggal setiap masyarakat. Salah satu ranah kajian yang mengaitkan antara metematika dan budaya adalah etnomatematika. Tanpa disadari beberapa kelompok atau suku dengan kebudayaan tertentu telah menggunakan pengetahuan matematika dalam kesehariannya melakukan aktivitas. Sama halnya yang dilakukan oleh masyarakat di pasar tradisioanal Gang Baru, untuk melakukan salah satu aktivitas yang terjadi pada proses jual beli adalah menghitung.

Cara menghitung yang dilakukan oleh penjual dan pembeli tentunya berbeda dengan cara yang diajarkan di sekolah. Proses menghitung yang meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian termasuk dalam kajian aritmetika. Adanya perbedaan cara menghitung yang dilakukan oleh masyarakat pasar tradisioanal Gang Baru dalam melakukan transaksi jual beli menggunakan bahasa daerah. Seperti yang peneliti alami saat akan membeli bumbu dapur pada pedagang Bu Liang yang menyebutkan harganya dengan bahasa mandarin noceng yang artinya dua ribu.

MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 299

Nampaknya kebiasaan tersebut sudah mengakar karena pedagang pribumipun langsung dapat memahami atas transaksi dua budaya tersebut. Aktivitas tawar menawarpun juga dilakukan menggunakan bahasa mandarin antar sesama etnis.

Proses transaksi jual beli dan cara menghitung aritmetika pada proses jual beli yang dilakukan pedagang di pasar tradisional sebagai bentuk etnomatematika aritmetika. Terlihat saat memberikan sisa uang pembayaran, apabila penjual tidak memiliki uang kembalian maka pembeli dapat menggantinya dengan barang-barang seperti cabai, tomat, daun bawang atau yang lainnya sesuai dengan permintaan pembeli. Cara penjual memberikan uang kembalian yaitu dengan menggenapkan uang yang harus dibayar terlebih dahulu ke puluhan terdekat, selanjutnya menambahkan sampai total jumlahnya sesuai dengan uang yang dibayarkan oleh pembeli.

Cara menghitung penjumlahan, pengurangan, perkalian yang dilakukan oleh subjek penelitian memiliki cara yang bermacam-macam dan berbeda dengan cara yang diajarkan di sekolah dan selalu mengabaikan nilai 0 yang berperan sebagai ribuan. Untuk menghitung penjumlahan dimulai dengan menjumlahkan ribuan dengan ribuan terlebih dahulu selanjutnya ratusan dengan ratusan. Selain itu juga ada yang menggenapkan terlebih dulu ke nilai puluhan terdekat. Untuk pengurangan cara yang digunakan jika contoh bilangan yang dikurangi adalah 50.000 – 17.000 caranya yaitu 17 untuk menuju 20 kurang 3. Selanjutnya 50 – 20 = 30. Setelah itu menjumlahkan 30 dengan 3 dan didapat hasilnya adalah 33 yang artinya 33.000 untuk kembalian kepada pembeli.

Selain itu ada yang menggunakan cara menggenapkan kembalian dengan menambahkan nominal uang tertentu. Misalnya harga barang Rp. 32.000,- sedangngkan pembeli memberikan selembar uang sebesar Rp. 50.000,-. Terkadang untuk mempermudah perhitungan pedagang menanyakan nominal uang Rp. 2.000,- untuk menggenapkan uang kembalian. Sehingga dalam matematika cara tesebut dapat disimbolkan 50.000 – 32.000 + 2.000 = 20.000 yang artinya penjual harus memberikan nominal uang Rp. 20.000,- kepada pembeli sebagai kembalian. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat cara-cara yang khusus pada masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru dalam melakukan aktivitas matematika. Tanpa mempelajari teori tentang konsep-konsep matematika, masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru pun telah menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan etnomatematika. Terbukti adanya bentuk etnomatematika yang tercermin melalui berbagai hasil aktivitas matematika yang dimiliki dan berkembang di masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru, meliputi konsep-konsep matematika pada : a. Peninggalan budaya berupa klenteng yang menggunakan konsep bilangan ganjil

dalam memuja Dewa, bilangan genap untuk mendo’akan para arwah dalam memberika persembahan serta ornamen-ornamen khas Cina sebagai pengaplikasian konsep geometri. Jenis kuliner tradisional yang telah mengalami modifikasi karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Semarang yang mayoritas muslim yaitu bakcang, lumpia, bakpao, onde-onde, dan tahu. Gerabah diantaranya bentuk guci, gelas cina, vas, keramik, panci yang berbentuk tabung tanpa tutup dengan tepian berpola lingkaran. Keranjang rotan berbentuk tabung tanpa tutup dan tampah rotan bentuk lingkaran.

b. Aktivitas membilang dan mengukur menggunakan satuan lokal juga telah dilakukan oleh masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru. Aktivitas membilang satuan mereka menggunakan bahasa jawa: sak... (satu), rong... (dua), telung... (tiga), patang...

MATEMATIKA…

300 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

(empat), limang... (lima), enem... (enam), pitung... (tujuh), wolung... (delapan), sangang... (sembilan), sepuluh... (sepuluh). Alat yang digunakan untuk menghitung satuan tangan, tali rotan, plastik, tali rapia. Satuan yang digunakan unting, jumput dan cakup, ombyok, tundun, lirang, jinah untuk menyatakan per sepuluh biji. Konsep peluang juga dilakukan ketika melakukan ramalan kuno Tionghoa Ciam Si.

c. Menentukan lokasi bagi masyarakat etnis Tionghoa percaya bahwa tapak tusuk sate dipengaruhi oleh roh jahat dan kekuatan lain yang tidak diinginkan manusia sehingga sangat dihindari untuk melakukan kegiatan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa konsep sudut dalam matematika digunakan dalam menentuan lokasi. Merancang tempat usaha menggunakan konsep siku-siku, simetris, persegipanjang, maupun yang konsep geometri lain tanpa melalui pendidikan formal, mereka hanya melakukannya secara mengalir, menggunakan perkiraan dan satuan lokal.

d. Aktivitas menjelaskan dilakukan saat melakukan transaksi jual beli, dengan menyebutkan nominal harga barang menggunakan bahasa Jawa dan Mandarin. Terutama bagi sesama pedagang etnis Cina.

SARAN Pada penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran sebagai berkut. a. Meninjau manfaatnya yang dapat memotivasi peserta didik, guru sebaiknya

memperkenalkan etnomatematika pada pembelajaran matematika formal, sebagai modal awal mengajarkan konsep matematika kepada siswa.

b. Hasil penelitian tentang eksplorasi etnomatematika masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru ini dapat dijadikan ide alternatif pembelajaran matematika di luar kelas serta dijadikan bahan rujukan penyusunan soal-soal pemecahan masalah matematika kontekstual.

c. Penelitian ini belum terfokus pada satu subkajian objek saja. Sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya, fokus penelitian lebih dibatasi pada satu subkajian saja agar lebih efisien dan efektif dalam pembahasannya (lebih mendalam dan terarah).

REFERENSI Barsamian, David, dan Liem Siok Lan, Menembus Batas (Beyond Boundaries) Damai

Untuk Semesta, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Prabowo, Agung dan S., Pramono, Internasional Conference on Teacher Educations.

Memahat karakter melalui pembelajaran matematika. Bandung: -, 2010 Titikkusumawati, Eni, Modul Pembelajaran Matematika, Kemenag RI, 2014 Rachmawati, Inda, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, E-Jurnal UNESA.

Vol 1 No 1., 2012, Prihandoko, A. C., Memahami Konsep Matematika Secara Benar dan Menyajikannya

Dengan Menarik, Jember: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2005.

D’Ambrosio, U., Ethnomathematics And Its Place In The History And Pedagogy Of Mathematics. For learning of Mathematics, 5 (1), 1985.

_________, Etnomathematics Link between Traditions and Modernity, Published by: Sense Publisher, P.O. Box 21858, 3001 AW Rotterdam, The Netherlands, 2006.

ES, Uloko, BI, Imoko, Pengaruh Ethnomatematics Mengajar Pendekatan dan Jenis Kelamin terhadap Prestasi Siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ., 2007, Res.5(1).

Silvia, Pengembangan Bahan Ajar Matematika yang Bernuansa Etnomatematika dalam Suku Dayak Kanayat’n di Kalimantan Barat untuk Membantu Peserta Didik Sekolah Dasar Mempelajari Konsep Matematika. Penelitian Fundamental, tidak diterbitkan, 1999:9.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 301

PENDIDIKAN MATEMATIKA

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

302 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK TERHADAP KEMAMPUAN

REPRESENTASI MATEMATIS PESERTA DIDIK MATERI SEGIEMPAT MTs TARBIYATUL ISLAMIYAH BATANGAN TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Alfin Ni’mah1, Emy Siswanah2, Ahmad Aunur Rohman3

1Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected] 2Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

3Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

Abstrak Kemampuan representasi matematis yang dimiliki peserta didik rendah karena peserta didik kesulitan dalam menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan permasalahan dalam soal. Peserta didik belum mampu menafsirkan permasalahan matematika yang terdapat dalam soal dengan ekspresi matematis yang benar. Peserta didik juga masih kesulitan untuk menyusun argumen untuk menjawab soal secara lisan ataupun teks tertulis. Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik terhadap kemampuan representasi matematis peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain berbentuk posttest only control group design. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh peserta didik kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan yang terbagi menjadi dua kelas. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh. Data yang didapatkan dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis statistik uji t-test dengan uji hipotesis satu pihak. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan rata-rata nilai hasil tes kemampuan representasi matematis peserta didik kelas eksperimen adalah 65,42, sedangkan kelas kontrol adalah 54,76. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan menggunakan uji t test dihasilkan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,475 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,671. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , taraf

signifikansi 𝛼 = 5% maka 𝐻0 ditolak. Hal tersebut mempunyai arti bahwa kemampuan representasi matematis kelas eksperimen lebih baik daripada kemampuan representasi matematis kelas kontrol. Kata kunci: Kemampuan Representasi Matematis, Active Knowledge Sharing

PENDAHULUAN

Kemajuan sebuah bangsa dilihat dari bagaimana perkembangan pendidikan bagi bangsa itu sendiri. Kemajuan dalam satuan waktu jangka panjang akan dapat memprediksi bagaimana kualitas bangsa pada sekian puluh tahun ke depan (Hamzah & Muhlisrarini, 2014). Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan generasi bangsa yang berkompeten dan berkualitas untuk kemajuan bangsa tersebut. Pendidikan juga berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan suatu bangsa. Upaya untuk mencapai pendidikan yang berkualitas juga harus ada proses pembelajaran yang baik, dimana pembelajaran tersebut mampu membawa peserta didik untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran, terutama dalam pembelajaran matematika.

Mata pelajaran matematika dikategorikan menjadi salah satu mata pelajaran yang sulit, bahkan kurang begitu diminati oleh sebagian besar peserta didik. Asumsi dalam benak peserta didik yang menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang menakutkan dan sulit untuk dipahami merupakan permasalahan awal yang harus dihadapi dan diatasi oleh seorang pendidik. Permasalahan awal itulah yang menyebabkan kemampuan matematis yang dimiliki peserta didik kurang berkembang dengan baik.

Peserta didik diharuskan untuk memiliki lima standar kemampuan matematis yang ditetapkan NCTM, yaitu: (1) kemampuan pemecahan masalah, (2) kemampuan komunikasi, (3) kemampuan koneksi, (4) kemampuan penalaran, (5) kemampuan representasi (Effendi, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui Permendiknas No.22 tahun 2006 menetapkan lima tujuan dalam pembelajaran

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 303

matematika yang harus dicapai, salah satu diantaranya berkaitan tentang kemampuan representasi matematis. Jadi dapat diketahui bahwa kemampuan representasi matematis penting untuk dikembangkan oleh peserta didik . Tapi pada kenyataannya peserta didik belum mempunyai kemampuan representasi matematis sepenuhnya.

Pembelajaran matematika seharusnya memberikan peluang sebanyak-banyaknya bagi peserta didik untuk aktif memperoleh informasi serta menemukan solusi permasalahan yang dikemukakan guru. Namun pada kenyataannya sampai sekarang pelaksanaan pembelajaran matematika cenderung masih didominasi guru melalui kegiatan ceramah. Peserta didik kurang mempunyai minat untuk menemukan jawaban sendiri atas permasalahan apabila guru tidak memberikan penjelasan terlebih dahulu. Ceramah juga membuat peserta didik cepat melupakan informasi atau materi yang dijelaskan (Ariasa, Wiyasa, & Kristiantari, 2014).

Permasalahan diatas juga peneliti temukan dalam proses pembelajaran di MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan. MTs Tarbiyatul Islamiyah merupakan salah satu sekolah swasta yang terletak di Kecamatan Batangan Kabupaten Pati. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, pelaksanaan pembelajarannya masih menerapkan metode ceramah. Proses pembelajarannya masih menggunakan metode konvensional yang didominasi oleh guru sebagai pemberi materi pelajaran dan peserta didik sebagai penerima materi pelajaran. Peserta didik hanya pasif mendengarkan penjelasan guru dan mencatatnya. Proses pembelajaran seperti itu menjadikan peserta didik cepat bosan dan mengantuk. Sebagian besar dari peserta didik masih terlihat kesulitan menggunakan representasi visual dalam menyelesaikan masalah. Misalnya ketika peserta didik diminta menggambarkan diagram venn untuk soal himpunan, peserta didik masih banyak yang kesulitan dan kurang tepat dalam menggambarkannya.

Kemudian kemampuan yang masih rendah adalah kemampuan menggunakan ekspresi matematika. Peserta didik kesulitan dalam menyajikan himpunan dengan notasi himpunan. Peserta didik masih terlihat kebingungan memahami bahasa matematika atau notasi matematika yang ada dalam permasalahan matematika. Selain itu ketika peserta didik disuruh untuk menyebutkan definisi himpunan, bukan himpunan, irisan himpunan, ataupun gabungan himpunan, mereka masih kesulitan mengungkapkan pendapat secara lisan maupun teks tertulis. Kesimpulan yang peneliti peroleh dari hasil observasi yang peneliti lakukan pada kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan bahwa kemampuan representasi matematis yang dimiliki peserta didik dapat dikatakan belum berkembang secara maksimal.

Hal tersebut juga didukung oleh wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 17 Januari 2017 dengan Maria Fitriani selaku guru pengampu matematika kelas VII di MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan, diperoleh informasi bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan mempelajari matematika. Beberapa peserta didik mengalami kesulitan dalam membuat gambar untuk memperjelas suatu masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya. Peserta didik juga masih kesulitan untuk menyelesaikan permasalahan dengan melibatkan ekspresi matematis yang benar. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyak ditemukannya peserta didik yang masih salah dalam menafsirkan permasalahan matematika yang terdapat dalam soal dengan ekspresi matematis yang benar. Selain itu, Peserta didik juga masih kesulitan menyusun argumen untuk menjawab soal secara lisan maupun teks tertulis. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peserta didik kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan mempunyai kemampuan representasi matematis yang masih kurang.

Berdasarkan uraian permasalahan yang peneliti sebutkan sebelumnya, maka model pembelajaran yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut yaitu Active Knowledge Sharing. Menurut Silberman (2007:82) mengemukakan bahwa ”Active Knowledge Sharing adalah sebuah model yang baik untuk menarik perhatian peserta

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

304 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

didik pada materi pelajaran dan dapat membentuk tim belajar serta saling berbagi pengetahuan dengan teman lainnya, serta dapat digunakan sebagai penilaian tingkat pengetahuan para peserta didik”. Kerjasama dalam kelompok dapat memberikan konstribusi peluang yang banyak bagi peserta didik untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan matematika ke dalam bentuk representasi visual, ekspresi, dan kata-kata atau teks tertulis sehingga diharapkan kemampuan representasi matematis akan lebih baik.

Dewi (2012:8) mengemukakan bahwa “model pembelajaran Active Knowledge Sharing mampu menjadikan peserta didik terlibat secara aktif, dimana mereka dalam kelompoknya dapat berdiskusi, mengeksplorasi, mengaplikasikan pemahaman dan pengetahuan yang diperolehnya”. Sehingga dengan mengeksplorasi dan mengaplikasikan pemahaman maka pada tahap ini peserta didik mengorganisasikan masalah, mengilustrasikan dan membuat representasi dari permasalahan matematika ke dalam bentuk representasi lain. Kemudian pendapat yang diungkapkan oleh Majid & Chitra (2013:1292) : “Active knowledge sharing, brings many benefits to students such as better academic achievements, improved communication and interpersonal skills”. Kalimat tersebut mempunyai arti bahwa Active Knowledge Sharing memberikan manfaat yang banyak bagi peserta didik seperti meningkatnya prestasi belajar akademik yang lebih bagus, serta meningkatnya komunikasi dan keterampilan interpersonal. Pembelajaran Active Knowledge Sharing mendorong peserta didik untuk men-sharing yaitu saling bertukar fikiran mengungkapkan ide dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki, sehingga komunikasi antar peserta didik juga berkembang dengan baik.

Pelaksanaan model pembelajaran ini menggunakan variasi yaitu dengan memberikan kartu indeks kepada peserta didik. Peserta didik diminta untuk menulis sebuah informasi yang mereka yakini akurat mengenai materi pembelajaran. Kemudian peserta didik bergerak dengan berbagi apa yang telah ditulis dalam kartu tersebut (Silberman,2007). Peserta didik menggunakan kartu indeks tersebut untuk menulis kata, ekspresi matematis, ataupun visualisasi gambar untuk mempermudah siswa dalam memahami materi yang diajarkan. Jadi dengan menerapkan model pembelajaran Active Knowledge Sharing diharapkan kemampuan representasi matematis peserta didik akan menjadi lebih baik.

Pelaksanaan pembelajaran aktif tipe Active Knowledge Sharing ini diiringi dengan pendekatan saintifik, dimana pendekatan saintifik dalam pembelajaran ini mencakup langkah kegiatan meliputi kegiatan mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Kemudian di akhir pembelajaran setiap pertemuan diadakan kuis, dimana kuis tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil kemampuan representasi matematis yang diperoleh peserta didik selama menerapkan model pembelajaran Acive Knowledge Sharing. Sebagaimana menurut Rusnilawati (2016) menyatakan bahwa pendekatan saintifik mengarahkan peserta didik tidak hanya menghafal konsep-konsep matematika yang dipelajari, melainkan terlibat aktif dalam penemuan konsep tersebut. Kemudian pendekatan saintifik juga baik digunakan untuk membangun kemampuan matematis serta mengaktifkan peserta didik untuk membangun pengetahuan secara mandiri.

Materi segiempat merupakan salah satu materi pokok pelajaran matematika KTSP kelas VII yang diajarkan di semester genap MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan tahun pelajaran 2016/2017. Peneliti memilih materi segiempat karena pada materi tersebut membutuhkan kemampuan representasi matematis (visualisasi gambar, ekspresi matematis, maupun kata-kata atau teks tertulis).

Berdasarkan uraian yang peneliti jelaskan sebelumya, maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan Pendekatan saintifik Terhadap Kemampuan Representasi

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 305

Matematis Peserta Didik Materi Segiempat MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan Tahun Pelajaran 2016/2017”. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode pendekatan eksperimen dan desain berbentuk Posttest-Only Control Group Design. Penelitian dilaksanakan di MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan pada bulan April-Mei 2017,dengan populasi yaitu kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan dengan jumlah 67 peserta didik yang terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas VII A dan VII B. Pengambilan sampel menggunakan teknik nonprobability sampling tipe sampling jenuh, karena hanya terdiri dari dua kelas yaitu VII A dan VII B maka kedua kelas tersebut digunakan sebagai sampel dalam penelitian. Pemilihan kelas eksperimen dan kontrol ditentukan dari sampel yang telah diambil dengan menggunakan undian. Sehingga didapatkan kelas VII A sebagai kelas kontrol dan kelas VII B sebagai kelas eksperimen.

Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat, dimana variabel bebasnya adalah model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan representasi matematis. Pengumpulan data kemampuan representasi matematis menggunakan tes.

Tes yang diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kemampuan representasi matematis berupa soal-soal uraian. Semua instrumen yang akan digunakan harus diujicobakan terlebih dahulu, kemudian dilakukan analisis instrumen untuk memperoleh instrumen yang layak. Analisis instrumen soal kemampuan representasi matematis yaitu meliputi uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda.

Tes tahap awal diambil dari menganalisis soal dokumentasi guru yang memuat indikator kemampuan representasi matematis, yaitu dari soal ulangan akhir semester dan ulangan tengah semester. Analisis yang dilakukan meliputi uji normalitas, homogenitas, dan uji kesamaan dua rata-rata. Uji normalitas data dilakukan dengan uji Chi-Kuadrat. Pengujian homogenitas dengan uji F, dan uji kesamaan dua rata-rata menggunakan uji t. Tujuan analisis data tahap awal ini untuk mengetahui apakah seluruh populasi berasal dari kemampuan awal yang seimbang atau sama.

Analisis data tahap akhir dilakukan untuk posttest kemampuan representasi matematis peserta didik. Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas, homogenitas dan uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji Chi-Kuadrat. Uji homogenitas menggunakan uji F. Terakhir uji hipotesis atau uji perbedaan rata-rata menggunakan rumus uji t pihak kanan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah melakukan penelitian, maka diperoleh data kemampuan representasi matematis dari kelas eksperimen yang mengikuti pembelajaran Active Knowledge Sharing (AKS) dan pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol. Peneliti mendapatkan data lengkap 67 peserta didik, yang terdiri dari 33 peserta didik sebagai kelas eksperimen (mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran AKS dengan pendekatan saintifik) dan 34 peserta didik sebagai kelas kontrol (mengikuti pembelajaran konvensional). Selanjutnya data yang diperoleh dilakukan analisis, kemudian dilaporkan dalam laporan hasil penelitian ini.

Analisis data kemampuan representasi matematis meliputi uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-rata. Berikut hasil uji normalitas data kemampuan representasi matematis.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

306 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 1. Uji normalitas data kemampuan representasi matematis Kelas 𝛘𝟐

𝒉𝒊𝒕𝒖𝒏𝒈 𝛘𝟐𝒕𝒂𝒃𝒆𝒍

Eksperimen 9,288 9,49 Kontrol 8,717 9,49

Berdasarkan hasil tabel perhitungan normalitas tersebut diperoleh hasil bahwa data kelas eksperimen dan kontrol keduanya mempunyai χ2

ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < χ2(𝛼,𝑘−3) , maka 𝐻0

diterima yang artinya bahwa data kelas eksperimen dan kontrol keduanya berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan uji homogenitas terhadap kedua kelas menggunakan uji-F diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,018 dan 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,017 dengan 𝛼 = 5%, dengan derajat

kebebasan 𝑑𝑘 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 = 𝑛 − 1 dan 𝑑𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡 = 𝑛 − 1 . Jadi 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

sehingga kelas eksperimen (menggunakan pembelajaran Active Knowledge Sharing) dan kelas kontrol (konvensional) memiliki varians yang sama atau homogen.

Dari pengujian normalitas dan homogenitas diperoleh bahwa data berdistribusi normal dan memiliki varians homogen. Sehingga untuk pengujian perbedaan rata-rata digunakan uji t pihak kanan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut .

Tabel. Hasil uji perbedaan rata-rata kemampuan representasi matematis Eksperimen Kontrol

Jumlah Skor

2159 1862

N 33 34 Rata-rata

65,42 54,76

Varians 313,44 307,88 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,475

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,671 Dari tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,475 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡(0,95)(65) = 1,671

sehingga 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , berarti bahwa kemampuan

representasi matematis kelas eksperimen (menggunakan pembelajaran Active Knowledge Sharing) lebih baik daripada kemampuan representasi matematis kelas kontrol (menggunakan pembelajaran konvensional).

Berdasarkan analisis yang telah peneliti lakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik pada pembelajaran matematika materi pokok segiempat efektif terhadap kemampuan representasi matematis peserta didik kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah tahun pelajaran 2016/2017.

Ada beberapa kelebihan yang menjadikan model pembelajaran Active Knowledge Sharing ini efektif terhadap kemampuan representasi matematis. Penggunaan model pembelajaran AKS menjadikan peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik saling berinteraksi dan berdiskusi untuk mengungkapkan atau menyusun argumen dalam menjawab soal baik secara lisan maupun teks tertulis. Proses pembelajaran yang demikian sesuai dengan teori Vygotsky yang menghendaki suasana pembelajaran kooperatif antar peserta didik melalui interaksi antar kelompok yang melibatkan peserta didik secara langsung untuk mengekspresikan ide.

Selain itu pada pelaksanaan model pembelajaran ini peserta didik menemukan sendiri informasi sesuai materi yang diajarkan berdasarkan daftar pertanyaan yang ada pada LKPD. Masing-masing peserta didik menjawab daftar pertanyaan yang ada pada LKPD dengan sebaik-baiknya. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk berkeliling dalam kelompok masing-masing dengan mencari pasangan yang dapat membantu menjawab pertanyaan yang belum bisa dikerjakan oleh peserta

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 307

didik tersebut. Sesuai teori konstruktivisme yang menerangkan bahwa peserta didik menemukan sendiri, mengembangkan ide supaya benar-benar mampu untuk memahami dan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya.

Pada pelaksanaan pembelajaran dengan model AKS ini guru memberikan variasi dengan penggunaan kartu indeks. Penggunaan kartu indeks dan LKPD dalam pembelajaran mampu membuat peserta didik tertarik dan lebih termotivasi untuk semangat dalam belajar. Hal tersebut terlihat ketika kegiatan pembelajaran peserta didik antusias dalam mengerjakan soal latihan representasi matematis pada LKPD dan menuliskan semua informasi yang diperoleh ke dalam kartu indeks tersebut.

Pelaksanaan model Active Knowledge Sharing ini diiringi dengan pendekatan saintifik, dimana terdapat langkah-langkah dalam pendekatan saintifik. Pada perlakuan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen, peserta didik memperoleh kesempatan yang banyak untuk mengeksplorasi, mengaplikasikan pemahaman, mengilustrasi dan membuat representasi dari permasalahan matematika.

Berbeda dengan kelas kontrol yang menerapkan metode konvensional dengan hanya mendapatkan penjelasan daari guru melalui metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Metode konvensional yang digunakan pada kelas kontrol akan mengakibatkan peserta pasif sehingga sulit dalam mengembangkan kemampuan representasi matematis secara maksimal. Jadi Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik efektif terhadap kemampuan representasi matematis peserta didik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan uji perbedaan rata-rata tahap akhir yang menggunakan uji-t diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,475 pada taraf signifikansi 𝛼 = 5% dengan 𝑑𝑘 = 33 + 34 − 2 =

65 diperoleh 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡(0,95)(65) = 1,671, karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka 𝐻0 ditolak dan

𝐻1 diterima. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik efektif terhadap kemampuan representasi matematis peserta didik kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan materi segiempat. Saran

Active Knowledge Sharing dapat digunakan sebagai pilihan untuk melaksanakan pembelajaran khususnya pada materi segiempat. Selain itu juga dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis peserta didik.

Diharapkan dari penelitian ini dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dan kajian yang lebih mendalam terkait pembelajaran Active Knowledge Sharing. UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji peneliti ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah, taufik, dan rahmat-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Ucapan terima kasih peneliti haturkan kepada Ibu Emy Siswanah, S.Pd, M.Sc. selaku pembimbing I dan Bapak Ahmad Aunur Rohman, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama pelaksanaan penelitian. Kemudian terimakasih juga peneliti ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini. REFERENSI Ariasa, I. K., Wiyasa, I. K., & Kristiantari, M. R.2014. Pengaruh Model Pembelajaran

Active Knowledge Sharing Terhadap Hasil Belajar Matematika Peserta

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

308 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

didik Kelas V SD gugus Peliatan Ubud Tahun Ajaran 2013/2014. Jurnal Mimbar PGSD Uiversitas Pendidikan Ganesha , 2(1): 2-10.

Dewi, A. N. 2010. Pengaruh Penggunaan Model Active Knowledge Sharing Terhadap Hasil Belajar ditinjau dari Minat Belajar Peserta didik SMA N 2 Karanganyar. Jurnal Pendidikan Biologi. 9 (1): 30.

Effendi, L. A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Peserta didik SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan , 3(2): 2.

Hamzah, M. A., & Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Raja Grafindo.

Majid & Citra. 2013. Role of Knowledge Sharing in the Learning Process. LICEJ. 2(1): 1292.

Rusnilawati,R. 2016. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Bercirikan Active Knowledge Sharing dengan Pendekatan Saintifik Kelas VIII. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. 3(2): 256.

Silberman, M. L. 2007. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 309

EFEKTIVITAS MODEL BRAIN BASED LEARNING (BBL) BERBANTU LKPD TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

PESERTA DIDIK MATERI SEGIEMPAT KELAS VII MTs MIFTAHUL HUDA MAGUAN TAHUN 2016/2017

Dita Ayu Nurjanah1, Emy Siswanah2, Ahmad Aunur Rohman3

1Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected] 2Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

3Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

Abstrak Kemampuan pemecahan masalah peserta didik rendah karena mereka kesulitan dalam mengubah masalah dalam kalimat matematika. Sebagian dari mereka tidak mampu menuliskan informasi yang terdapat dalam soal dalam soal, apa yang menjadi pertanyaan dalam soal dan rumus matematika yang harus digunakan untuk mengerjakan suatu soal. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang berdesain posttest-only control design. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII MTs Miftahul Huda Maguan sekaligus sebagai sampel penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis uji t-test dengan uji hipotesis satu pihak. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas VII A (eksperimen) adalah 79,07. Sedangkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas kontrol adalah 72,46. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan menggunakan uji t test diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,182

dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,674. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan taraf nyata 5% maka 𝐻0 ditolak. Hal ini

menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah kelas yang menggunakan model BBL lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah kelas dengan model konvensional. Kata kunci : Kemampuan pemecahan masalah, brain based learning.

PENDAHULUAN Guru mempunyai peran penting dalam berlangsungnya proses pembelajaran.

Upaya yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran adalah dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan dapat melibatkan peserta didik berperan aktif dalam pembelajaran. Misalnya seorang guru memberikan berbagai inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi kelas. Sehingga peserta didik merasa tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran.

Menurut Arens (dalam Trianto, 2009:22) menyatakan, “the term teaching model refers to particular to instruction that incledes its its goals, syntax, enviroment, and management system”. Hasil belajar peserta didik salah satunya dipengaruhi oleh model pembelajaran yang kurang sesuai. Kemampuan pemecahan masalah peserta didik juga dipengaruhi oleh rasa bosan. Ketika metode yang digunakan seorang guru dalam pembelajaran hanya ceramah, peserta didik cenderung merasa bosan dan akibatnya peserta didik menjadi pasif. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu menerapkan model pembelajaran inovatif yang dapat meningkatkan respon peserta didik dalam pembelajaran. Meningkatnya respon peserta didik diharapkan dapat mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah peserta didik menjadi lebih baik.

Kemampuan pemecahan masalah didalam matematika merupakan komponen yang penting dalam kehidupan. Sehingga ketika kemampuan pemecahan masalah peserta didik tinggi diharapkan dapat menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik. Karena permasalahn dalam kehidupan sehari-hari masih memerlukan beberapa data yang harus dicari sebagai informasi tambahan dan data-data yang kurang valid bisa dibuang. Beberapa peserta didik tidak bisa melakukan identifikasi masalah dengan baik. Ketika disajikan soal pemecahan masalah materi bangun datar segiempat peserta didik tidak mengerjakan secara sistematis.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

310 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hal ini menunjukkan bahwa cara peserta didik dalam mengerjakan soal pemecahan masalah kurang sistematis, peserta didik tidak menuliskan informasi yang ada dalam soal dan apa yang ditanyakanl. sebagian peserta didik tidak mampu menuliskan rumus matematika yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal. Oleh karena itu, peserta didik tidak bisa mengerjakan sesuai rencana pemecahan dengan baik. Rata-rata peserta didik juga tidak memeriksa kembali jawabannya karena antara pertanyaan dengan jawaban peserta didik ada yang belum sesuai.

Berdasarkan hasil observasi pembelajaran dikelas VII A dan VII B, peserta didik cenderung pasif dalam menerima pelajaran dan kurang memperhatikan guru ketika mengajar, banyak dari peserta didik kurang percaya diri ketika diminta untuk menuliskan hasil pekerjaannya dipapan tulis. Peserta didik merasa ragu dengan hasil pekerjaan mereka sehingga banyak yang menyontek.

Belajar matematika tidak hanya dibutuhkan kemampuan menghafal dan mengingat rumus, tetapi dibutuhkan pengertian dan pemahaman masalah matematika serta kemampuan peserta didik dalam menghubungkan informasi-informasi baru dengan konsep yang sudah peroleh sebelumnya. Perlu dipersiapkan pembelajaran yang aktif dan inovatif, dengan harapan peserta didik dapat memahami dengan baik permasalahan matematika pada materi bangun datar segiempat khususnya bangun persegi panjang, jajargenjang, belah ketupat dan trapesium.

Pembelajaran matematika di MTs Miftahul Huda menggunakan metode ceramah, guru menjelaskan materi kemudian peserta didik diberi contoh soal yang berhubungan dengan materi untuk dikerjakan bersama-sama dan di akhiri dengan guru memberikan latihan soal kepada peserta didik. Soal-soal yang diberikan oleh guru biasanya dikerjakan secara individu. Proses pembelajaran di MTs Mifatahul Huda belum melibatkan keaktifan peserta didik. Pembelajaran masih berpusat kepada guru, belum muncul komunikasi dua arah.

Model pembelajaran brain based learning adalah model pembelajaran yang secara alamiah disesuaikan dengan sistem kerja otak untuk belajar. Pembelajaran BBL atau kemampuan otak ini mulai muncul pada sekitar 1980-an ketika seluruh cabang ilmu-ilmu baru berkembang secara perlahan. Pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan otak mempertimbangkan apa yang sifatnya alami bagi otak kita dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman. Otak dapat belajar secara optimal dalam sebuah lingkungan yang kondusif terhadap bagaimana otak saat paling baik untuk belajar (Jensen, 2008:11).

BBL merupakan salah satu cara yang dapat digunakan agar peserta didik aktif dan merasa nyaman dalam pembelajaran. BBL juga memperhatikan proses dalam pembelajaran tidak hanya ingin mencapai hasil belajar yang maksimal saja. Menurut Given (Zakiyah, 2013:8) dengan pembelajaran yang menyenangkan akan membuat koneksi atau hubungan antara belahan otak kanan dan kiri menjadi lebih cepat, sehingga lebih membuat peserta didik dapat dapat berfikir tentang pemecahan masalah matematika.

Otak merupakan organ yang menduduki posisi terhormat pada tubuh setiap makhluk yang berjalan tegak (Homo Erectus) yang bernama manusia. Otak adalah satu-satunya tubuh yang perkembangannya pesat sehingga secara otomatis dapat mempelajari dirinya sendiri. Otak bisa berfungsi seumur hidup untuk belajar dan pada belajar pula terletak kekuatan otak. Otak adalah organ yang apabila dirawat, dijaga dan dipelihara dengan baik dan teratur dapat bertahan seratus tahun lebih. Tidak seperti organ tubuh lain, yang kian tua kian rusak, otak justru makin tua makin menunjukkan fungsi yang kian luas dan lebar (Masykur & Fathani, 2009:86). Menurut Paisak (dalam Masykur & Fathani, 2009:87) orang yang berprinsip long life education (‘uthlubul al-

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 311

‘ilma min al-mahd ila al-lahd, tuntutlah ilmu sejak berada dalam kandungan sampai ke alam kubur) adalah mereka yang memanfaatkan kemampuan otaknya dengan maksimal.

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk membuat peserta didik lebih mudah dalam mengerjakan soal pemecahan masalah adalah dengan memuat soal dalam LKPD. LKPD harus selaras dengan materi dan tidak hanya berupa soal-soal saja, akan tetapi berupa langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadikan pembelajaran menjadi bermakna. Hal ini agar peserta didik tidak terlalu kesulitan dan malas berfikir, akan tetapi rasa keingintahuan peserta didik muncul untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perlu diadakan penelitian dengan judul “Efektifitas Model Brain Based Learning (BBL) berbantu LKPD terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Kelas VII MTs Miftahul Huda Maguan Tahun 2016/2017”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang berdesain “posttest-only control design”. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mencari pengaruh perlakuan (treatment) khusus terhadap yang lain (Sugiyono, 2009).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII MTs Miftahul Huda tahun pelajaran 2016/2017 sebanyak 56 peserta didik yang terbagi dalam 2 kelas yaitu kelas VII A dan kelas VII B. Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi, dikarenakan penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling. Teknik yang digunakan adalah sampling jenuh.

Penelitian ini fokus pada kemampuan pemecahan masaah matematika peserta didik pada materi bangun datar segiempat. Adapun langkah-langkah penelitian adalah (1) Mengumpulkan lembar jawab UAS gasal 2016/2017 peserta didik untuk melakukan uji tahap awal penelitian yang meliputi uji kenormalan, uji homogenitas dan uji kesamaan rata-rata (2) Menentukan kelas yang akan diberikan perlakuan model BBL dan kelas yang akan diberikan perlakuan model konvensional dengan sampling jenuh (3) Memberikan perlakuan Model BBL pada kelas VII A (eksperimen) dan konvensional pada kelas VII B (control) (4) Melakukan uji coba soal post test kemapuan pemecahan masalah yang kemudian dilakukan perhitungan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda (5) Memberikan soal post test kepada kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (control) (6) Melakukan uji tahap akhir menggunakan nilai posttest dengan uji kenormalan, uji homogenitas, uji perbedaan rata- rata.

Uji perbedaan rata-rata yang digunakan adalah uji satu pihak (uji t) yaitu pihak kanan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai pemecahan masalah kelas VII A (eksperimen) dengan nilai pemecahan masalah kelas VII B (kontrol).

HASIL PENELITIAN

Kegiatan pengambilan data ini dilaksanakan di MTs Miftahul Huda mulai tanggal 29 April 2017 sampai tanggal 29 Mei 2017. Seluruh kelas VII semester 2 tahun pelajaran 2016/2017 dengan jumlah 56 peserta didik menjadi populasi dalam penelitian ini. Kelas VII terbagi menjadi dua kelas yaitu kelas VII A dan kelas VII B. Sebelum kedua kelas ditentukan sebagai sampel, peneliti melakukan uji kenormalan, uji homogenitas dan kesamaan rata-rata pada popolasi dengan menggunakan nilai Ulangan Akhir semester (UAS) gasal 2016/2017 soal pemecahan masalah. Dengan menggunakan sampling jenuh, kemudian ditentukan kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VII B sebagai kelas kontrol.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

312 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Pelaksanaan pembelajaran antara kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (control) dilakukan dengan perlakuan yang berbeda. Kelas VII A (eksperimen) memperoleh treatment pembelajaran BBL sedangkan kelas kontrol memperoleh treatment pembelajaran konvensional. Setelah melakukan pengambilan data, peneliti memperoleh data nilai posttest kemampuan pemecahan masalah dari hasil evaluasi materi bangun datar segiempat dalam bentuk tes uraian yang diberikan pada pertemuan ke lima kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (kontrol).

Data kemampuan pemecahan masalah peserta didik didapatkan dari nilai posttest. Soal posttest terdiri dari 8 butir soal uraian dengan masing-masing soal mencakup indikator pemecahan masalah. Lembar jawab peserta didik kemudian diberikan nilai sesuai dengan pedoman penskoran kemampuan pemecahan masalah.

Tabel Hasil Perhitungan Kenormalan Akhir

Kriteria pengujian: jika 𝐿0 < 𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 dengan taraf nyata 5% maka H0 diterima

(Sudjana: 2005). Hasil perhitungan uji kenormalan nilai kemampuan pemecahan masalah dari tabel diatas menunjukkan bahwa kedua kelas berdistribusi normal. Setelah itu dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui varians antara kedua kelompok setelah diberi perlakuan yang berbeda. Hipotesis : H0 ∶ σ1

2 = σ22

𝐻1 ∶ 𝜎12 ≠ 𝜎2

2 Pengujian hipotesis :

𝐹 =𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

Kriteria pengujian : Tolak 𝐻0 jika 𝐹 ≥ 𝐹(1/2.α)(v1,v2) (Sudjana , 2005)

Tabel Perhitungan Homogenitas Akhir

Kelas 𝐿0 𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 Ket

VII A (Eksperimen)

0,1026 0,1674 Normal

VII B (Kontrol) 0,1588 0,1674 Normal

Sumber

variasi

Eksperimen Kontrol

Jumlah 2214 2029

N 28 28

X 79,07 72,46

Varians (S2) 132,21 124,62

Standart

deviasi (S)

11,49 11,16

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 313

Berdasarkan uji kesamaan varians diperoleh 𝐹 = 1,060 dan 𝐹(1/2.𝛼)(𝑣1,𝑣2) = 2,161

dengan taraf signifikan 5%. Jadi 𝐹 ≤ 𝐹(1/2.𝛼)(𝑣1,𝑣2) maka 𝐻0 diterima, berarti kedua

kelompok tersebut memiliki varians yang sama sehingga dapat dikatakan homogen. Hasil Perhitungan uji kenormalan dan homogenitas kelas VII A (eksperimen) dan

kelas VII B (kontrol) menunjukkan bahwa nilai kemampuan pemecahan masalah kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (kontrol) berdistribusi normal dan homogen. Maka uji perbedaan rata-rata antara kelas VII A (eksperimen) dan kelas kontrol ini menggunakan uji-t satu pihak yaitu uji pihak kanan. Hipotesis yang digunakan (Sugiyono, 2009): 𝐻0 : 𝜇1 ≤ 𝜇2 𝐻1 : 𝜇1 > 𝜇2

Kriteria pengujian 𝐻0 diterima apabila < 𝑡1−∝, dimana 𝑡1−∝ = 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 (Sudjana, 2005). Diperoleh 𝑡 = 2,182 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,674. Karena 𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Ini berarti rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas VII A (eksperimen) lebih baik dari pada kelas VII B (control).

Pembelajaran pada kelas VII A dan kelas VII B dilakukan dengan pembelajaran yang berbeda. Dimana pada kelas VII A (eksperimen) dilakukan pembelajaran dengan model BBL berbantu LKPD dan pada kelas VII B (kontrol) dilakukan pembelajaran konvensional. Perlakuan pada kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (kontrol) dievaluasi dengan cara yang sama. Metode yang digunakan untuk evaluasi pada kedua kelas yaitu dengan menggunakan tes tertulis. Peserta didik kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (kontrol) diberikan soal posttest dengan jumlah 8 soal uraian, dimana setiap soal mewakili satu indikator.

Instrumen soal posttest yang digunakan untuk evaluasi diuji terlebih dahulu sebelum digunakan. Instrumen tes yang diuji cobakan berjumlah 16 soal dimana setiap satu indikator diberikan 2 soal. Hal ini dilakukan dengan harapan jika ada soal yang tidak valid ada soal lain yang bisa digunakan sebagai soal posttest. Kelas yang dijadikan sebagai kelas uji coba yaitu kelas VII A MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan. Kelas tersebut sudah pernah mendapatkan materi bangun datar segiempat. Uji coba soal dilakukan di sekolah yang berbeda karena di sekolah tempat penelitian hanya ada dua kelas VII. Sehingga uji coba dilakukan disekolah lain dengan harapan ingin mendapatkan soal yang benar-benar valid.

Adapun instrumen posttest digunakan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran dikelas VII A (eksperimen) dan kelas VIIB (control). Berdasarkan hasil posttest kelas VII A (eksperimen) dan kelas VII B (kontrol) diperoleh rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah kelas VII A (eksperimen) adalah 79,07 dengan standar deviasi (S) 11,49. Sedangkan rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah kelas kontrol, adalah 72,46 dengan standar deviasi (S) 11,16. Sedangkan berdasarkan analisis data akhir menunjukkan bahwa 𝑡 = 2,182 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡(0,95)(54) = 1,674, 𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

maka signifikan. Hipotesis yang diajukan peneliti bahwa model pembelajaran BBL berbantu LKPD efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik dapat diterima.

Perbedaan rata-rata antara kelas yang menggunakan pembelajaran BBL dan kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model BBL lebih baik dari pembelajaran konvensional. Ada beberapa kelebihan yang membuat model BBL lebih efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada materi bangun datar segiempat. Pembelajaran dengan model BBL menjadikan peserta didik lebih aktif dalam mengikuti proses belajar. Keaktifan peserta didik terlihat ketika diskusi kelompok saat mengerjakan kegiatan-kegiatan dalam LKPD. Pada tahap pra-pemapamaran setelah peserta didik melakukan senam otak, guru memberikan apersepsi berupa pertanyaan-

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

314 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pertanyaan materi sebelumnya. Selain itu guru juga memperlihatkan dan menjelaskan tentang peta konsep bangun datar segiempat. Hal ini bertujuan untuk membentuk pemahaman konsep awal peserta didik. Pembelajaran ini sesuai dengan teori Ausubel yaitu teori belajar bermakna (Trianto, 2009:37). Dimana dalam proses belajar lebih ditekankan pada pemahaman konsep awal dan pembelajaran dengan diskusi dan kegiatan kelompok dapat menjadikan proses belajar peserta didik menjadi lebih bermakna.

Peserta didik terlibat aktif dalam menemukan rumus bangun datar segiempat, sehingga peserta didik dapat memahami proses penemuan rumus luas dan keliling bangun datar segiempat. Hal ini terlihat ketika proses pembelajaran peserta didik diberikan LKPD yang berisi serangkaian kegiatan kelompok dan latihan soal pemecahan masalah. Kegiatan kelompok memudahkan peserta didik dalam memahami materi, karena peserta didik diberikan kesempatan untuk diskusi dengan masing-masing anggota kelompok sehingga peserta didik lebih mudah untuk bertukar pendapat. Ketika peserta didik diberikan LKPD, terlihat rasa keingintahuan mereka muncul. Hal ini terlihat pada keberanian mereka untuk bertanya kepada anggota kelompok mereka atau kepada guru ketika ada perintah atau soal yang belum mereka pahami.

Pembelajaran BBL didesain dengan memperhatikan cara otak berpikir secara alami, maka peserta didik tidak hanya diminta untuk fokus hanya pada materi pembelajaran selama pembelajaran berlangsung. Akan tetapi peserta didik diberikan kesempatan untuk merilekskan otak dan membantu otak untuk berpikir secara alami dengan mengajak peserta didik untuk melakukan senam otak. Peserta didik juga diberikan kesempatan untuk istirahat ditengah-tengah pembelajaran yaitu dengan melakukan gerakan relaksasi bersama-sama. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadikan otak secara alami dapat mengasah kemampuan otak dan otak dapat mengolah informasi-informasi yang didapatkan untuk dibuang atau disimpan ke dalam memori jangka panjang. Pembelajaran ini sesuai dengan teori belajar pemrosesan informasi, dimana peserta didik menggunakan kemampuan otak untuk mengingat materi yang sedang dipelajari.

Berbeda dengan pembelajaran konvensional, guru berperan lebih aktif daripada peserta didik. Dimana peserta didik hanya mendengarkan penjelasan materi yang disampaikan oleh guru. Peserta didik tidak terlibat dalam menemukan rumus dari materi bangun datar segiempat, sehingga jika dihadapkan dengan soal pemecahan masalah dan mereka lupa rumus maka akan kebingungan dalam mengerjakan soal tersebut.

KESIMPULAN

Hasil penelitian tentang “efektifitas model brain based learning (BBL) berbantu LKPD terhadap kemampuan pemecahan masalah materi segiempat kelas VII MTs Miftahul Huda Maguan tahun 2016/2017”, adalah penerapan pembelajaran BBL berbantu LKPD efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas VII MTs Miftahul Huda Maguan tahun 2016/2017. Hal ini berdasarkan uji hipotesis menggunakan uji t, diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,182 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,674 dengan demikian

maka 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 artinya rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas yang

menggunakan model BBL lebih baik dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas yang menggunakan model konvensioal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih peneliti haturkan kepada Ibu Emy Siswanah, S.Pd, M.Sc selaku pembimbing I dan Bapak Ahmad Aunur Rohman, M.Pd selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti. Serta kepada seluruh

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 315

pihak MTs Miftahul Huda Kaliori yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian. Ucapan terimakasih juga peneliti haturkan kepada berbagai pihak senantiasa mendukung peneliti selama proses penelitian.

REFERENSI Jensen, E. 2008. Brain Based Learning Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak. Celeban

Timur: Pustaka Pelajar. Masykur, M dan Fathani, AH. 2009. Mathematical Intelegence. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

R&D). Bandung: Alfabeta. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif (Konsep, Landasan dan

Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Zakiyah, QY. 2013. Implementasi Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak (Brain Based Learning) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis (Study Kuasi Eksperimen pada Siswa Sekolah Dasar di kota Bandung). Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

316 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE (TTW) TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS

PESERTA DIDIK PADA MATERI BANGUN RUANG

Muhammad Fadhilah ‘Ammar, Yulia Romadiastri, M. Sc., Ulliya Fitiani, M.Pd.

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada Materi Bangun Ruang kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan Tahun Pelajaran 2016/2017. Kajian penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan yang terjadi tentang komunikasi matematis peserta didik yang rendah. Pada materi bangun ruang, peserta didik belum bisa menyatakankan argumennya dengan baik meskipun sebenarnya mereka telah memiliki ide dan gagasan dalam pikiran mereka. Selain itu peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan suatu permasalahan dalam bentuk gambar. Ketika diberikan soal cerita, peserta didik kesulitan untuk menerjemahkan kalimat yang ada pada soal menjadi bentuk model matematika. Selain itu, peserta didik cenderung menuliskan jawaban tanpa memperhatikan kejelasan dan sistematika dalam penulisan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dengan bentuk Posttest-Only Control Group Design. Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan tes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan rata-rata nilai pada kelas eksperimen 78,2903 dan rata-rata nilai kelas kontrol 69,5667. Sehingga hasil perhitungan data penelitian diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,38833 dan

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 Ini berarti nilai rata-rata kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan model pembelajaran TTW lebih tinggi dari pada nilai rata-rata peserta didik untuk kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) efektif terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VIII pada Materi Bangun Ruang kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan Tahun Pelajaran 2016/2017. Kata Kunci : Think Talk Write, Kemampuan Komunikasi Matematis, dan Bangun Ruang

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam membangun kehidupan bangsa yang bermartabat. Salah satu komponen dari pendidikan adalah pembelajaran. Pembelajaran seharusnya hadir dengan wajah yang menyenangkan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berorientasi pada kehidupan nyata/kontekstual.

Pembelajaran kontekstual memiliki peran yang cukup penting. Pembelajaran yang lebih dekat dengan kehidupan peserta didik membuat materi bisa tersampaikan dengan lebih efektif dan bermakna, tidak terkecuali dengan pembelajaran matematika.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. Matematika menjadi salah satu ilmu yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun sayangnya, mayoritas peserta didik beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang sangat membosankan dan kurang menarik. Problem tersebut dikarenakan metodologi dan pedagogi yang dipakai oleh guru kurang tepat sehingga guru belum bisa menghadirkan pembelajaran yang realistis dan bermakna di dalam kelas. Ilmu matematika yang seharusnya akrab dengan kehidupan peserta didik menjadi asing dan kurang bermakna.

Guru matematika diharapkan mampu membuat peserta didik menikmati pembelajaran matematika bukan malah membuat peserta didik takut untuk melaksanakan pelajaran. Guru harus bisa menghadirkan kelas menjadi tempat untuk berekreasi dan penuh dengan kegembiraan. Guru juga diharapkan bisa mengemas

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 317

pembelajaran matematika agar lebih kontekstual dengan permasalahan yang dihadapi peserta didik.

Berdasarkan Permendiknas No. 12 Tahun 2006 tentang Standar Isi disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik m emiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Memahami kosep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang strategi matematika, menyelesaikan strategi dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan motivasi dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Wijaya, 2012).

Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika pada Permendiknas poin keempat, komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik harus mampu mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan dari National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), melalui principles and standard for school mathematics, yang menempatkan komunikasi sebagai salah satu bagian penting dalam matematika dan pendidikan matematika (Wijaya, 2012).

NCTM dalam Shelby (2016) menjelaskan lebih lanjut tentang pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika:

Communication is an essential part of mathematics and mathematics education. It is a way of sharing ideas and clarifying understanding. When students are challenged to think and reason about mathematics and to communicate the results of their thinking to others orally or in writing, they learn to be clear and convincing. Listening to others' explanations gives students opportunities to develop their own understandings. Conversations in which mathematical ideas are explored from multiple perspectives help the participants sharpen their thinking and make connections. Maksudnya adalah komunikasi merupakaan salah satu bagian penting dari

matematika dan pendidikan matematika. Melalui kegiatan komunikasi dalam bentuk diskusi, peserta didik dapat bertukar gagasan dan sekaligus mengklarifikasi pemahaman dan pengetahuan. Ketika peserta didik ditantang untuk berpikir dan bernalar tentang matematika dan mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain secara lisan atau tulisan, mereka belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain. Mendengarkan penjelasan orang lain memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman mereka sendiri. Percakapan (diskusi) yang mengeksplorasi gagasan matematika dari berbagai perspektif membantu peserta mempertajam pemikiran mereka dan membuat koneksi. Pemaparan tersebut memperjelas bahwa kemampuan komunikasi matematis hendaknya diperhatikan dalam proses pembelajaran matematika.

Proses komunikasi pada saat pembelajaran matematika mempunyai peranan yang sangat penting, terutama untuk proses transfer informasi. Ketika peserta didik menggali informasi dari sumber guru maupun buku, terjadi proses transfer informasi berupa konsep matematika dari sumber kepada murid. Idealnya peserta didik akan memberikan respon terhadap informasi yang dia peroleh sesuai interpretasinya. Namun, karena karakteristik matematika yang identik dengan simbol dan istilah, maka

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

318 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

tidak jarang ada peserta didik yang mampu mengenali simbol/istilah dengan baik akan tetapi tidak mampu memahami apa maksud dari informasi tersebut. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi matematika perlu dikembangkan dalam diri peserta didik.

Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan peserta didik untuk mengungkapkan pemikiran matematisnya dalam bentuk lisan, tulisan maupun gambar dengan bahasa yang baik dan tepat, serta dapat memahami representasi matematis dengan baik. Menurut Sumarmo (Kadir, 2008), komunikasi matematis merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk : a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide-ide matematika. b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan dan tulisan dengan

benda nyata, gambar, grafik dan aljabar. c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik. d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika (dalam diskusi

kelompok dan kelas). e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis. f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi. g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Materi bangun ruang merupakan materi geometri yang diajarkan di SMP/MTs kelas VIII semester genap. Pada materi ini peserta didik akan mengenal beberapa bangun ruang sisi datar yaitu kubus, balok, prisma, dan limas. Pada materi tersebut, komunikasi matematis sangatlah diperlukan oleh peserta didik. Materi bangun ruang merupakan materi yang bersifat tiga dimensi. Sehingga dalam menyelesaikan soal peserta didik diharapkan bisa mengkonkretkan ide mereka kedalam bentuk gambar. Selain itu, peserta didik diharapkan pula dapat menyimbolkan permasalahan kedalam bahasa matematika.

Prestasi belajar matematika peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Rendahnya prestasi belajar matematika peserta didik dapat dilihat dari laporan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). TIMSS adalah studi internasional tentang prestasi matematika dan sains peserta didik sekolah lanjutan tingkat pertama yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali. Pada tahun 2011, Indonesia berada pada pringkat 38 dari 42 negara dengan skor 386. Skor tersebut turun 11 poin dari tahun 2007 (Napitupulu, 2012). Sedangkan pada TIMSS tahun 2015 Indonesia berada pada peringkat 45 dari 50 negara dengan skor 397(Rahmawati, 2016).

Berikut hasil pencapaian peserta didik Indonesia dalam TIMSS 2015, untuk tiap-tiap domain konten dan domain kognitif dibanding dengan negara lainya:

Gambar 1 Capaian Skor Matematika per konten dan level kognitif peserta didik

Indonesia pada TIMSS 2015 Pada bagian geometric (geometri), Indonesia mendapatkan skor 28 sedangkan

rata-rata internasional yang mencapai skor 50. Pada bagian applying Indonesia juga tertinggal dari nilai rata-rata internasional yaitu 24 untuk Indonesia sedangkan rata-rata internasional sebesar 48 (Rahmawati, 2016).

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 319

Selanjutnya hasil penilaian Students’ Mathematics Performance oleh The Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara. Skor Indonesia termasuk rendah yaitu 386 jauh dari skor rata-rata internasional yang mencapai 490 (OECD, 2016).

Hasil penelitian dan penilaian yang dilakukan oleh lembaga internasional, baik TIMSS maupun PISA, menunjukkan betapa memprihatinkan prestasi belajar matematika peserta didik Indonesia. Prestasi belajar matematika yang dimaksudkan tentu mencakup seluruh kompetensi matematika (doing math), karena standar soal yang digunakan oleh TIMSS dan PISA termasuk mengukur kemampuan komunikasi dan kemampuan matematis lainnya.

Kebanyakan pembelajaran di Indonesia saat ini menggunakan model pembelajaran ceramah. Hal tersebut membuat peserta didik menjadi bosan dalam mengikuti pembelajaran. Kurangnya peran aktif peserta didik dalam pembelajaran berakibat buruk pada kemampuan komunikasi matematis peserta didik karena peserta didik hanya menerima informasi dengan satu arah saja. Peserta didik menjadi kurang mendapatkan kesempatan untuk meyampaikan pemikiran pribadinya tentang materi yang sedang diajarkan. Ide matematika sangat penting mengingat bahwa setiap peserta didik membawa pengetahuannya awalnya masing-masing serta pengalaman secara kontekstual yang berbeda-beda.

Terkait masalah tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan salah satu guru SMP Negeri 2 Pabelan yaitu Ibu Desi Shinta. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan tentang kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematika peserta didik masih rendah. Pada materi bangun ruang, peserta didik belum bisa menyatakankan argumennya dengan baik meskipun sebenarnya mereka telah memiliki ide dan gagasan dalam pikiran mereka. Selain itu peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan suatu permasalahan dalam bentuk gambar. Ketika diberikan soal cerita, peserta didik kesulitan untuk menerjemahkan kalimat yang ada pada soal menjadi bentuk model matematika. Selain itu, peserta didik cenderung menuliskan jawaban tanpa memperhatikan kejelasan dan sistematika dalam penulisan.

Menaggapi permasalahan di atas, peneliti memberikan suatu alternatif model pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TTW. Model pembelajaran ini dirasa sangat tepat karena memiliki 3 tahap utama yaitu berpikir (think), berbicara (talk), dan menulis (write). Pada tahap berpikir, peserta didik dirangsang untuk memahami persoalan yang diberikan kemudian, melahirkan ide-ide kreatifnya tentang materi yang sedang dipelajari. Setelah itu, pada tahap berbicara, peserta didik berkelompok dengan temannya untuk berdiskusi dan bertukar ide yang telah ada pada pikirannya. Kemudian yang terakhir adalah tahap menulis. Pada tahap ini peserta didik menuliskan apa yang telah mereka dapatkan dari tahap berbicara.

Pembelajaran TTW merupakan salah satu tipe Model Pembelajaran kooperatif. Pembelajaran TTW diperkenalkan oleh Huinker dan Laughlin. Seperti pembelajaran kooperatif lainnya, pembelajaran ini ditandai dengan adanya langkah diskusi kelompok kecil dalam prosesnya.

Agama islam menganjurkan umatnya berdiskusi untuk menyelesaikan masalah bersama. Berikut salah satu ayat alquran yang menyatakan anjuran tersebut.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

320 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

“…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Kemudian apabila kamu telah bertekad untuk mengerjakan sesuatu sesudah bermusyawarah, maka bertakwallah kepada Allah. Sesungguhnya Allahmenyukai orang-orang yang bertawakal.” (Q.S. Ali Imran : 159) Salah satu yang menjadi maksud dari ayat tersebut adalah perintah melakukan

musyawarah (diskusi). Kesalahan yang dilakukan dari hasil musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih dengan pemikiran sendiri, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama (Quraish, 2002). Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan bermusyawarah untuk menyelesaikan dan menghadapi segala urusan. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa kita wajib menjalankan keputusan yang telah ditetapkan dalam suatu musyawarah yang memenuhi syarat (Hasbi, 2000). Maka jelaslah jika musyawarah atau diskusi memiliki manfaat salah satunya yaitu untuk mengambil suatu kesepakatan bersama dan memperoleh solusi dari suatu permasalahan.

Berikut langkah-langkah pembelajaran menggunakan model TTW (Hamdayama, 2015)

Tabel 1 Langkah-langkah Model Pembelajaran TTW

No Kegiatan Guru Aktivitas Peserta didik

1 Guru menjelaskan tentang TTW Peserta didik memperhatikan penjelasan guru.

2 Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

Memahami tujuan pembelajaran.

3 Guru menjelaskan sekilas tentang materi yang akan didiskusikan

Peserta didik memperhatikan dan berusaha memahami materi.

4 Guru membentuk peserta didik dalam beberapa kelompok heterogen yang terdiri atas 3-5 orang pesertadidik.

Peserta didik mendengarkan kelompoknya.

5 Guru membagikan LKPD kepada

setiap peserta didik. Peserta didik membaca soal LKPD, memahami masalah secara individual, dan dibuatkan catatan kecil (think)

Menerima dan mencoba memahami LKPD kemudian membuat catatan kecil untuk didiskusikan dengan teman kelompoknya.

6 Mempersiapkan peserta didik berinteraksi dengan teman kelompok untuk membahasisi LKPD (talk). Guru sebagai mediator lingkungan belajar.

Peserta didik berdiskusi untuk merumuskan kesimpulan sebagai hasil dari diskusi dengan anggota kelompoknya.

7 Mempersiapkan peserta didik menulis sendiri pengetahuan yang diperolehnya sebagai hasil kesepakatan dengan anggota kelompoknya(write).

Menulis secara sistematis hasil diskusinya untuk dipresentasikan.

8 Guru meminta masing-masing kelompok mempresentasikan pekerjaannya.

Peserta didik mempresentasikan hasil diskusinya.

9 Guru meminta peserta didik dari kelompok lain untuk menanggapi presentasi.

Peserta didik menanggapi jawaban dari temannya.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 321

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif tipe TTW terhadap kemampuan komunikasi matematis pada peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan pada pokok bahasan Bangun Ruang tahun pelajaran 2016/2017. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan langsung dengan pembelajaran Bangun Ruang di SMP dengan menggunakan Model Pembelajaran TTW. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode penelitian eksperimen dengan bentuk Posttest-Only Control Group Design. Pada desain penelitian ini terdapat dua kelompok yang masing-masing dipilih secara random/acak. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok eksperimen yaitu kelompok yang diberikan perlakuan menggunakan model pembelajaran TTW. Kelompok dua disebut sebagai kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak diberikan perlakuan.

Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan berjumlah 161 peserta didik yang tersebar dalam enam kelas yaitu kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D, dan VIII E. Dari enam kelas tersebut, peneliti mengambil dua kelas sebagai sampel.

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara cluster random sampling, yang juga disebut dengan sampling sederhana. Pengambilan dilakukan secara acak karena diasumsikan semua kelas relatif sama. Asumsi tersebut didasarkan pada alasan bahwa seluruh kelas diampu oleh guru yang sama, berada pada tingkat kelas yang sama, mendapatkan materi pelajaran dengan kurikulum yang sama dan pembagian kelas tidak berdasarkan tingkatan pengetahuan (tidak ada kelas unggulan).

Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel bebas dan terikat. Variabel bebasnya adalah TTW sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan komunikasi matematis.

Metode Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode dokumentasi dan metode tes. Metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan daftar nama dan nilai awal peserta didik serta pengambilan photo selama proses penelitian. Metode tes berupa posttest digunakan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis setelah dilakukan perlakuan.

Instrumen tes yang akan digunakan harus diujicobakan terlebih dahulu, kemudian dilakukan analisis instrumen untuk memperoleh instrumen yang layak. Analisis instrumen kemampuan komunikasi matematis meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda.

Analisis data tahap awal menggunakan data UTS peserta didik. Analisis yang dilakukan meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata. Uji normalitas data dilakukan dengan uji Liliefors. Pengujian homogenitas dengan uji bartlett, dan uji kesamaan rata-rata menggunakan uji ANOVA. Analisis data tahap awal dilakukan untuk mengetahui apakah seluruh populasi memiliki kemampuan awal yang sama, sehingga dapat dilakukan pengambilan sampel secara acak.

Analisis data tahap akhir dilakukan untuk data kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji Chi-square. Uji homogenitas menggunakan uji F. Terakhir uji hipotesis atau uji perbedaan rata-rata menggunakan uji t’. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) terhadap kemampuan komunikasi

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

322 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

matematis peserta didik kelas VIII pada materi bangun ruang kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan tahun pelajaran 2016/2017.

Peneliti menggunakan nilai UTS semester genap peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan sebagai dasar pengambilan sampel penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan rata-rata nilai UTS genap (data kemampuan awal peserta didik) untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari kondisi awal yang sama atau tidak.

Hasil uji normalitas data tahap awal dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 2. Hasil uji normalitas data tahap awal

Kelas 𝑳𝟎 𝑳𝒅𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓 Keterangan

VIII A 0,100029 0,156624 Normal VIII B 0,105403 0,151948 Normal VIII C 0,136306 0,161761 Normal VIII D 0,134775 0,159130 Normal VIII E 0,073153 0,151948 Normal

Berdasarkan hasil uji normalitas di atas diketahui bahwa kelima kelas tersebut masing-masing memiliki nilai 𝐿0 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙, sehingga 𝐻0 diterima. Artinya data kelima kelas tersebut masing-masing berdistribusi normal.

Hasil uji homogenitas data tahap awal diperoleh nilai 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔2 = 3,85585 dan nilai

𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙2 = 9,488. Karena 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

2 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙2 maka 𝐻0 diterima, artinya kelima kelas tersebut

memiliki varians yang sama atau homogen. Hasil uji kesamaan rata-rata tahap awal diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,67073 dan

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,43. Karena nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙, maka keempat kelas memiliki rata-rata yang

identik. Berdasarkan uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan rata-rata

didapatkan bahwa kelima kelas berdistribusi normal, mempunyai varians homogen, dan memiliki rata-rata sama. Kemudian peneliti melakukan Cluster Random Samping, sehingga diperoleh kelas VIII D sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII C sebagai kelas kontrol.

Pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas eksperimen menggunakan model TTW. Waktu yang digunakan adalah 2 kali pertemuan (4 jam pelajaran) dan satu kali pertemuan (1 jam pelajaran) untuk posttest. Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok beranggotakan 4-5 orang peserta didik. Peserta didik diberikan dua macam LKPD yaitu LKPD individu dan LKPD kelompok, serta alat peraga bangun ruang. Mulanya peserta didik mengerjakan LKPD individu untuk merangsang berfikir secara individu. Kemudian peserta didik berdiskusi secara kelompok sesuai dengan LKPD kelompok yang telah diberikan. Dengan langkah-langkah TTW yang dilakukan membuat peserta didik lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran secara konvensional, yaitu ekspositori. Guru menjelaskan materi secara runtut, kemudian peserta didik diberi kesempatan bertanya dan mencatat, kemudian guru memberi contoh dan penyelesaiannya. Peserta didik diberi soal latihan untuk dikerjakan secara individu dan selanjutnya guru membahas soal dengan meminta beberapa peserta didik menyelesaikan di papan tulis. Waktu yang digunakan adalah 2 kali pertemuan (4 jam pelajaran) dan satu kali pertemuan (1 jam pelajaran) untuk posttest.

Berdasarkan hasil tes akhir yang telah dilakukan, diperoleh rata-rata nilai kelas eksperimen adalah 78,2903. Rata-rata nilai kelas kontrol adalah 69,5667. Kedua nilai posttest tersebut kemudian dilakukan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji perbedaan rata-rata. Hasil uji normalitas nilai posttest kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen dan kontrol digunakan untuk menunjukkan kedua nilai tersebut

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 323

berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas terhadap nilai kedua kelas untuk menunjukkan kedua kelas memiliki varians yang sama atau berbeda, kemudian dilakukan uji perbedaan dua rata-rata untuk menguji hipotesis penelitian.

Hasil uji normalitas data kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil uji normalitas data kemampuan komunikasi matematis Kelas 𝝌𝒉𝒊𝒕𝒖𝒏𝒈

𝟐 𝝌𝒕𝒂𝒃𝒆𝒍𝟐

Eksperimen 7,36757 7,81 Kontrol 2,58644 7,81

Berdasarkan hasil pengujian normalitas di atas diketahui bahwa kelas eksperimen dan kontrol masing-masing memiliki nilai 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

2 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙2 . Dengan demikian 𝐻0 diterima, artinya data kedua kelas tersebut

berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji homogenitas data kemampuan komunikasi matematis Eksperimen Kontrol

Jumlah skor 2427 2087 Jumlah peserta didik (𝑛) 31 30

Rata-rata (��) 78,2903 69,5667 Varians (𝑠2) 281,546 133,702

𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,10577

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2,0920 Dari tabel diatas diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,10577 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,0920, sehingga 𝐻0

ditolak. Artinya dapat disimpulkan bahwa kedua kelas mempunyai varians yang tidak homogen.

Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa data kemampuan komunikasi matematis peserta kelas VIII D dan VIII C berdistribusi normal dan tidak homogen. Dengan demikian, untuk menguji perbedaan rata-ratanya digunakan uji t’. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Hasil uji perbedaan rata-rata kemampuan komunikasi matematis Kelas Eksperimen Kontrol

Jumlah Skor 2427 2087 Jumlah peserta didik (𝑛) 31 30

Rata-rata (��) 78,2903 69,5667 Varians (𝑠2) 281,546 133,702

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,37085

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,70 Dengan menganalisis hasil pada tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,37085 >

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70, sehingga 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka terdapat

perbedaan yang signifikan antara kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan pembelajaran TTW lebih baik dari pada kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan pembelajaran konvensional.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata skor kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan pembelajaran TTW adalah 78,2903, sedangkan yang menggunakan pembelajaran konvensional adalah 69,5667. Dari uji perbandingan rata-rata skor kemampuan komunikasi matematis diperoleh besar nilai

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

324 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,37085. Pada taraf signifikansi ∝= 5% dan 𝑑𝑘 = (𝑛1 + 𝑛2 − 2) = 59

diperoleh nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙, maka 𝐻0 ditolak atau 𝐻1 diterima.

Artinya rata-rata kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan model pembelajaran TTW lebih baik dari pada yang menggunakan model pelajaran konvensional.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran TTW efektif terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada materi bangun ruang kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan tahun pelajaran 2016/2017. Saran

Pembelajaran TTW dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan untuk diterapkan dalam pembelajaran bangun ruang khususnya kubus dan balok. Selain itu pembelajaran TTW dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis.

Diharapkan dari penelitian ini dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dan kajian yang lebih mendalam terkait pembelajaran TTW. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih peneliti haturkan kepada Ibu Yulia Romadiastri, M.Sc. selaku pembimbing I dan Ibu Ulliya Fitriani, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama penelitian. Tak lupa juga kepada seluruh pihak SMP Negeri 2 Pabelan yang telah memberikan izin pada peneliti untuk melaksanakan penelitian. Ucapan terimakasih juga peneliti haturkan kepada berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-satu yang telah membantu untuk kelancaran penelitian ini.

REFERENSI Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur.

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hamdayama, Jumanta. 2015. Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter.

Bogor: Ghalia Indonesia. Kadir. 2008. Kemampuan komunikasi matematik dan keterampilan sosial peserta didik

dalam pembelajaran matematika. Makalah disampaikan dalam Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika, pada tanggal 28 November 2008, di Yogyakarta.

Napitupulu, Ester L. 2012. Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. Harian Kompas 14 Desember 2012. [online]. Diakses di http://edukasi.kompas.com. Pada tanggal 30 Maret 2017.

OECD. 2016. PISA 2015 Result in Focus. Diakses di https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf Pada tanggal 17 Juli 2017.

Rahmawati. 2016. Seminar hasil TIMSS 2015. Diakses di http://puspendik.kemdikbud.go.id/seminar/upload/Rahmawati-Seminar%20Hasil%20TIMSS%202015.pdf pada tanggal 17 Mei 2017.

Shelby, S. 2016. Communicating in the Math Classroom. Diakses di http://www.nctm.org/Publications/Mathematics-Teaching-in-Middle-School/Blog/Communicating-in-the-Math-Classroom_-Part-1/ pada tanggal 18 Juli 2017

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:Lentera Hati. Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan

Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 325

PEMBELAJARAN MATA KULIAH PEMROGRAMAN KOMPUTER BERBASIS EDMODO

Sayyidatul Karimaha, Rini Utamib, Nurina Hidayahc aProgram Studi Pendidikan Matematika FKIP UNIKAL

Jl. Sriwijaya No 3 Pekalongan, [email protected] b Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNIKAL Jl. Sriwijaya No 3 Pekalongan, utamirini31gmail.com

c Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNIKAL Jl. Sriwijaya No 3 Pekalongan, [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran mata kuliah Pemrograman Komputer berbasis edmodo yang valid. Model pengembangan yang digunakan adalah model Plomp yang telah dimodifikasi. Tahapan pengembangannya meliputi tahap investigasi awal, tahap desain, tahap realisasi/konstruksi, tahap tes, tahap evaluasi dan revisi. Kevalidan media pembelajaran dilihat berdasarkan hasil analisis validasi dari para validator. Hasil penelitian menunjukkan pengembangan media pembelajaran mata kuliah pemrograman komputer berbasis edmodo valid. Kata kunci : pengembangan, media pembelajaran, edmodo, pemrograman komputer

PENDAHULUAN

Pemrograman komputer merupakan salah satu mata kuliah di program studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pekalongan (FKIP Unikal) yang pembelajarannya dilaksanakan secara teori dan praktik. Pembelajaran pada mata kuliah ini, dosen menyiapkan bahan ajar sebagai acuan atau pedoman mahasiswa melaksanakan praktik dalam mata kuliah tersebut. Bahan ajar yang digunakan berupa modul pembelajaran, yang merupakan salah satu bentuk media pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran. Media pembelajaran dapat berbentuk visual, audio, maupun audio visual. Kegiatan pembelajaran yang baik dapat dilihat dari bahan ajar yang digunakan. Bahan ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa “modul pembelajaran videoscribe berbasis edmodo pada Mata Kuliah Pemrograman Komputer” yang merupakan media audio visual.

Aplikasi videoscribe merupakan aplikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan melalui kata-kata/ kalimat, gambar dan suara kepada penerima pesan. Aplikasi ini juga dapat digunakan oleh guru/dosen dalam proses pembelajaran dengan mengambil istilah whiteboard animation yaitu berasal dari proses seseorang menggambar di papan tulis dan merekamnya (Wikipedia, 2017). Pembelajaran videoscribe ini dilaksanakan berbasis edmodo sehingga sebelum mempelajari lebih jauh tentang videoscribe maka diharapkan sudah menguasai edmodo. Edmodo merupakan perusahaan teknologi pendidikan yang menawarkan alat komunikasi, kolaborasi, dan pembinaan untk guru dan sekolah (Wikipedia, 2017). Edmodo ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi pendidik, peserta dan orangtua/wali dapat saling berkomunikasi. Pembelajaran berbasis edmodo merupakan pembelajaran elektronik, dimana pembelajaran elektronik menurut Jabar (2013) mampu memadukan perkembangan teknologi dan informasi serta materi pembelajaran

Media yang dikembangkan, sebelum digunakan dalam pembelajaran hendaknya sudah dinyatakan layak. Kelayakan media ditunjukkan dengan pernyataan “valid”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui media pembelajaran berbasis edmodo yang dikembangkan valid.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

326 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan menggunakan model

Plomp (Hobri, 2010) yang terdiri dari tahap investigasi awal, tahap desain, tahap realisasi/konstruksi, tahap tes, evaluasi dan revisi. Untuk mencapai media pembelajaran yang valid dilihat berdasarkan analisis hasil validasi dari tiga validator. Sebagai obyek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unikal. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan angket yang berupa lembar validasi yang dianalisis secara deskriptif untuk merevisi / memperbaiki media pembelajaran (Akbar, 2013). Lembar validasi dalam penelitian ini terdiri dari 19 butir pernyataan. Kriteria penilaian validator dapat dilihat pada tabel 1 berikut

Tabel 1 Kriteria Penilaian Validator No

Nilai Keterangan Kesimpulan

1 1,0 Va 1,8 Tidak baik

Belum bisa digunakan, masih memerlukan konsultasi

2 1,8 Va 2,6 Kurang baik Dapat digunakan dengan banyak revisi

3 2,6 Va 3,4 Cukup baik Dapat digunakan dengan cukup banyak revisi

4 3,4 Va 4,2 Baik Dapat digunakan dengan sedikit revisi

5 4,2 Va 5,0 Sangat baik Dapat digunakan tanpa revisi

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan model pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan cara disederhanakan. Model pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp terdiri dari lima tahap yaitu: (1) tahap investigasi awal; (2) tahap desain; (3) tahap realisasi/konstruksi; (4) tahap tes, evaluasi, dan revisi; dan (5) tahap implementasi. Modifikasi yang dilakukan adalah penyederhanaan model dari lima tahap menjadi empat tahap, yaitu (1) tahap investigasi awal; (2) tahap desain; (3) tahap realisasi/konstruksi; dan (4) tahap tes, evaluasi, dan revisi. Tahap implementasi tidak dilakukan secara eksplisit tetapi terpadu dalam pelaksanaan penelitian, yaitu pada saat melakukan uji coba lapangan perangkat pembelajaran di lingkup subyek penelitian. Implementasi dalam lingkup yang lebih luas tidak dilakukan dalam penelitian ini, karena keterbatasan situasi dan kondisi pelaksanaan penelitian.

Tahap investigasi awal menemukan beberapa permasalahan yaitu 1) Pembelajaran dilaksanakan secara teori dan praktik, 2) Belum dilaksanakannya pembelajaran berbasis elektronik, dan 3) Mata kuliah Pemrograman Komputer memerlukan kreativitas dari mahasiswa. Tahap desain terdiri dari dua tahap yaitu perencanaan penyusunan modul dan desain produk. Pada tahap perencanaan penyusunan modul disusun garis besar isi modul yang berisi : 1) Cover dengan judul “Modul Pembelajaran Videoscribe Berbasis Edmodo untuk MataKuliah Pemrograman Komputer”. 2) Pendahuluan, berisi kata pengantar, peta konsep pembelajaran, daftar isi, daftar tabel, dan daftar gambar, 3) Isi modul yang terdiri dari 5 bab dan 4) Pustaka.

Tahap selanjutnya adalah tahap desain produk yaitu sebagai berikut.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 327

Tabel 2. Desain Modul

DESAIN MODUL KETERANGAN

SAMPUL

instansi logo JUDUL MODUL JUDUL MODUL TIM PENULIS

Pada sampul terdiri dari nama instansi, logo instansi, judul, dan tim penulis. Pada nama instansi berisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pekalongan (Unikal), kemudian memuat logo Unikal. Modul ini memiliki judul MODUL PEMBELAJARAN VIDEOSCRIBE BERBASIS EDMODO, Untuk Mata Kuliah Pemrograman Komputer. Untuk TIM Penulis terdiri dari

1. Sayyidatul Karimah, S.Pd.I., M.Pd. 2. Rini Utami, S.Pd., M.Pd. 3. Nurina Hidayah, M.Pd.

KATA PENGANTAR Berisi tujuan pembuatan modul dan ucapan terima kasih dari TIM Penulis

DAFTAR ISI Memuat daftar isi dari halaman judul hingga penutup

ISI Pada isi terdiri dari 5 bab. Pada setiap bab terdiri atas 3 subbab yaitu pendahuluan, penyajian, dan penutup.

PUSTAKA terdapat pustaka yang digunakan untuk menyusun modul.

Sedangkan pada tahap realisasi konstruksi disusun modul berdasarkan desain

yang sudah dirancang. Berikut tampilan model yang telah dikembangkan.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

328 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 1 dan 2. Tampilan Kelas dalam Pembelajaran berbasis Edmodo

Tahap berikutnya yaitu tes, evaluasi dan revisi Pada tahap ini, dilakukan uji kevalidan. Uji kevalidan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan penilaian oleh 3 validator. Hasil validasi menyimpulkan media pembelajaran videoscribe mempunyai kriteria kevalidan baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata validasi dari validator yaitu 4,16. Para validator memberikan masukan sebagai berikut: 1) perlunya pemanfaatan diskusi grup untuk tugas kelompok, 2) perlu memperbanyak macam-macam materi dan tugas, 3) perlu konsisten dalam penilaian hasil tugas dan komentar lanjutan. Berikut rekapan penilaian para validator.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 329

Tabel 3. Rekapan Penilaian Validator

No

Pernyataan ke-

Validator

1 2 3

1 1 4 4 5

2 2 4 4 4

3 3 4 5 4

4 4 2 3 5

5 5 5 4 5

6 6 3 4 5

7 7 3 4 5

8 8 3 4 4

9 9 5 5 5

10 10 3 4 3

11 11 4 5 4

12 12 5 4 4

13 13 5 4 5

14 14 5 4 5

15 15 3 5 5

16 16 4 4 5

17 17 3 5 5

18 18 2 3 4

19 19 4 5 4

JUMLAH 71 80 86

RATA-RATA 3.74 4.21 4.53 RATA-RATA

TOTAL 4.16

KETERANGAN Baik Kevalidan hasil pengembangan media pembelajaran ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Nugroho (2012), yang meyatakan bahwa hasil validasi pengembangan media pembelajaran matematika melalui e-learning menggunakan edmodo dikatakan valid. Berikutnya penelitian Jabar (2013) menyatakan bahwa perlunya pembelajaran matematika berbasis elektronik, dalam hal ini edmodo. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika media yang dikembangkan dinyatakan valid, maka pembelajaran matematika diharapkan akan lebih baik.

Berkaitan dengan keterbatasan waktu, pengembangan media pembelajaran berbasis edmodo ini belum lengkap dalam pengisian menu yang tersedia dalam tampilan edmodo. Misalnya pada menu snapshoot belum terisi. Berikutnya media pembelajaran berbasis edmodo ini belum terhubung dengan orang tua, dimana dalam edmodo sudah tersedia relasi antara pendidik (dosen), peserta didik (mahasiswa) dan orang tua. Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti memberi saran kepada peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian sejenis untuk melengkapi isi dari tampilan menu yang ada dan memanfaatkan fasilitas yang ada secara maksimal.

KESIMPULAN

Media pembelajaran berbasis Edmodo yang dikembangkan valid. Hasil validasi menyatakan bahwa media pembelajaran mempunyai kriteria kevalidan baik. Hal ini ditunjukan dengan nilai rata-rata validasi dari validator yaitu 4,16.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

330 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang utama dihaturkan kepada Allah SWT, atas karuanianya peneliti dapat menyelesaikna penelitian ini. Tidak lupa disampaikan kepada orang tua, pimpinan, rekan sejawat, serta mahasiswa yang telah mensupport penuh pelaksanaan penelitian ini dari awal hingga terlaksananya publikasi hasil penelitian ini. Semoga menjadi amal ibadah bagi kita.

REFERENSI Akbar, Sakdun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosda. Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi pada Penelitian

Pendidikan Matematika). Jember: Pena Salsabila Iwan, Binanto. 2010. Multimedia Digital Dasar Teori dan Pengembangannya.

Yogyakarta: Andi Publisher. Jabar, A. 2013. Pembelajaran Elektronik Pada Matematika. Lentera Jurnal Pendidikan,

8(1). Munir, 2013. Multimedia Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Nugroho, A. A. 2014. Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Dengan Strategi

Project Based Learning Berbantuan Edmodo Pada Mata Kuliah Statistik Dasar. In MATHEMATICS AND SCIENCES FORUM 2014.

Nugroho, A. A. 2015. PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI E-LEARNING PADA MATA KULIAH TEORI BILANGAN. AKSIOMA, 5(1/MARET).

Sudrajat, A. (2008). Media pembelajaran. On Line at http://akhmadsudrajat. wordpress. com.

Wikipedia. 2017. Whiteboard Animation diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Whiteboard_animation. (20 Mei 2017)

Wikipedia. 2017. Edmodo diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Edmodo. (20 Mei 2017)

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 331

RANCANG BANGUN DAN IMPLEMENTASI MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS GOOGLE SKETCHUP PADA MATERI BANGUN

RUANG SISI DATAR KELAS VIII

Yuli Arfan1, Siti Maslihah2, Ahmad Aunur Rohman3 1Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

2Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected] 3Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi dengan keterbatasan variasi media pembelajaran yang digunakan untuk menjelaskan konsep bangun ruang sisi datar kelas VIII. Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup pada materi bangun ruang sisi datar, mengetahui kevalidan dan kepraktisan media pembelajaran yang telah dirancang bangun. Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan media pembelajaran yang mengacu pada modifikasi model 4D dari Thiagarajan, yaitu tahap pendefinisian, perancangan dan pengembangan. Produk dari penelitian ini adalah video animasi. Kevalidan media pembelajaran dilakukan oleh 5 validator menggunakan instrumen lembar validasi media pembelajaran. Kepraktisan media pembelajaran diperoleh dari respon guru dan peserta didik. Hasil penelitian menunjukan (1) Rancang bangun media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup menghasilkan video pembelajaran. (2) Media pembelajaran yang dirancang bangun telah dinyatakan valid oleh validator dengan nilai rata-rata 4,1875 dari nilai maksimum 5,0. (3) Respon dari guru dan perserta didik menunjukan bahwa media pembelajaran yang telah dirancang bangun praktis. Hal ini didasarkan pada respon guru berada pada kategori baik dengan nilai 4,0 dari nilai maksimum 5,0. Sedangakan rata-rata respon peserta didik berada pada kategori setuju dengan nilai 4,0389 dari nilai maksimum 5,0. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa rancang bangun media pembelajaran berbasis Google Sketchup menghasilkan media pembelajaran video yang valid dan praktis. Kata kunci: Media Pembelajaran, Google Sketchup, Bangun Ruang Sisi Datar

PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada berbagai bidang

kehidupan. Kemampuan untuk memperoleh, mengelola dan memanfaatkan IPTEK secara proporsional akan sangat diperlukan. Kemampuan tersebut membutuhkan pemikiran yang sistematis, logis dan kritis yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran matematika. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep-konsep matematika dapat dipahami dengan mudah apabila bersifat konkret, karenanya pengajaran matematika harus dilakukan secara bertahap. Pembelajaran matematika dimulai dari tahapan konkret lalu diarahkan pada tahapan semi konkret, sehingga pada akhirnya siswa dapat berpikir dan memahami matematika secara abstrak sesuai dengan teori belajar bruner. Teori belajar kognitif yang dikembangkan oleh Jerome Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif peserta didik dibagi menjadi tiga tahap yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Pada tahap enaktif peserta didik melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya memahami meteri pembelajaran dengan cara terlibat langsung dalam memanipulasi objek. Kemudian pada tahap ikonik peserta didik memahami objek-objek tersebut melalui gambar dan visualisasi verbal. Tahap yang terakhir adalah tahap simbolik, yaitu peserta didik telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan berlogika. Peserta didik mampu memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu dan mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek nyata.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

332 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hasil penelitian Bruner (seperti yang di kutip oleh Francis, Khan & Davis, 2015, p.6) menunjukan bahwa:

“Bruner saw young children’s transitioning from iconic to symbolic as particularly concerning. As he viewed it, this transition is associated with both amplified cognitive possibility and an array of potential psychological problems, both of which arise as soon as children start to combine words and explore the effects of grammatical productiveness.”

Bangun ruang sisi datar merupakan salah satu materi yang bersifat abstrak. Pada materi ini peseta didik diarahkan untuk mencapai bebarapa kompetensi dasar, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur kubus, balok, prisma dan limas serta bagian-bagiannya, membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas, dan menghitung luas permukaan serta volume kubus, balok, prisma dan limas. Untuk tercapainya kompetensi dasar tersebut, peserta didik harus memiliki konsep-konsep pada materi sebelumnya.

Berdasarkan informasi dari guru matematika yang mengampu kelas VIII SMP N 35 Semarang, Sudarto (Wawancara, 21 November 2016) menyatakan bahwa secara garis besar peserta didik mempunyai masalah pada materi bangun ruang sisi datar. Peserta didik mengalami kesulitan dalam menentukan diagonal ruang pada bangun prisma dan luas permukaan khususnya pada bangun limas. Pemahaman konsep peserta didik dalam menentukan luas permukaan pada bangun limas kurang. Permasalahan yang sering terjadi adalah peserta didik tidak bisa menerapkan konsep tinggi limas dan tinggi sisi tegak limas yang akan digunakan dalam menentukan luas permukaan.

Kegiatan belajar mengajar pada materi bangun ruang sisi datar yang telah berlangsung di SMP Negeri 35 Semarang menggunakan media papan tulis, power point dan kertas karton. Media papan tulis merupakan media berbasis dua dimensi. Materi yang disampaiakan dengan media papan tulis hanya dapat menekankan persepsi indra penglihatan saja tanpa menampilkan unsur motion. Objek yang digambar pada papan tulis bersifat statis, hanya dapat dilihat dari bagian depannya saja. Karakteristik media papan dirasa kurang tepat jika digunakan untuk media pembelajaran pada materi bangun ruang. Diperlukan media lain untuk melukis suatu bangun ruang dengan ukuran yang tepat dan rapi, yaitu spidol dan penggaris.

Microsoft Powerpoint dapat digunakan sebagai media pembelajaran di berbagai materi, demikian pula pada meteri bangun ruang. Powerpoint memiliki banyak fasilitas atau perintah-perintah dalam mengubah objek, diantaranya mengubah warna, mengubah ukuran, dan memberi motion. Mengambar pada powerpoint juga dimudahkan dengan adanya toolbar drawing tool, sehingga dapat membuat objek dengan rapi. Kelebihan pada powerpoint dapat menciptakan media pembelajaran yang menarik, namun kemampuan tiga dimensi pada powerpoint masih kurang. Objek bangun ruang yang diciptakan dengan menggunakan powerpoint tidak bisa diputar dengan leluasa untuk melihat sisi yang lain. Karakteristik yang dimiliki powerpoint dirasa kurang tepat jika digunakan untuk media pembelajaran pada materi bangun ruang meskipun dapat diberi suatu motion.

Media sederhana dari kertas karton juga menjadi alternatif lain dalam menyampaikan konsep pada meteri bangun ruang. Peserta didik mendapat instruksi untuk membuat jaring-jaring suatu bangun ruang untuk dapat menentukan luas permukaanya. Penggunaan media ini hanya terbatas untuk mencapai indikator menentukan jaring-jaring bangun ruang dan luas permukaannya, tidak bisa untuk menyampaikan unsur-unsur dan volume pada bangun ruang. Dengan menggunakan media ini pula, peserta didik harus mengeluarkan biaya untuk membelinya.

Ketidaktepatan pemilihan media akan membuat proses belajar mengajar tidak menarik. Pesan yang disampaiakan akan sulit diterima oleh peserta didik. Kesan visual yang diberikan oleh peserta didik kurang mampu menampilkan objek bangun ruang yang bersifat tiga dimensi.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 333

Peserta didik kelas VIII SMP Negeri 35 Semarang memiliki rentang usia antara 13 tahun sampai 17 tahun. Sebayak 58% dari jumlah peserta didik berusia 14 tahun. Berdasarkan teori belajar piaget, peserta didik dengan usia 11 tahun atau lebih berada pada tingkat operasional formal. Pada tingkat operasi formal, peserta didik seharusnya mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak, namun pada kenyataannya peserta didik memiliki masalah dalam memahami konsep dimensi tiga.

Berdasarkan permasalahan pada SMP N 35 Semarang terkait pembelajaran bangun ruang kelas VIII maka diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat memvisualisasikan objek tiga dimensi secara fleksibel, efektif dan efesien dengan tujuan untuk memahami konsep pada masing-masing sub bab yang ada dalam materi bangun ruang sisi datar. Dalam hal ini pemanfaatan aplikasi teknologi sebagai media pembelajaran akan sangat membantu dalam menjelaskan konsep yang abstrak dengan lebih mudah karena suatu objek bangun ruang sisi datar dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.

Terdapat berbagai aplikasi berbasis tiga dimensi yang dapat membuat objek tiga dimensi, diantaranya adalah software-software dari AutoDeks dan juga dari Trimble Navigation seperti AutoCad, 3D Studio Max (3Ds Max), Blender, dan Google Sketchup. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan software Google Sketchup. Jika dibandingkan dengan softwere tiga dimensi yang lain Google Sketchup memiliki tampilan yang user friendly sehingga dapat dipelajari dengan mudah untuk pemula, dan yang paling utama softwere ini mengkonsumsi sedikit RAM sehingga dapat berjalan di berbagai laptop dan PC.

Google Sketchup dapat menunjukan tampilan visualisasi yang baik tentang objek dimensi tiga. Objek yang tercipta dengan Google Sketchup dapat di putar sehingga peserta didik dapat melihat objek dari berbagai sudut pandang. Kemampuan yang dimiliki Google Sketchup dapat menjelaskan konsep pada bangun ruang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan Sa’dijah (2014) menunjukan bahwa model pembelajaran langsung menggunakan Google Sketchup dapat meningkatkan pemahaman siswa dan ketuntasan klasikal tentang konsep jarak pada topik dimensi 3 kelas X.

Berdasarkan masalah yang dialami peserta didik kelas VIII tentang bangun ruang sisi datar serta keunggulan yang dimiliki oleh Google Sketchup tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Rancang Bangun dan Implementasi Media Pembelajaran Matematika Berbasis Google Sketchup pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas Viii

METODE PENELITIAN

Pengembangan media ini menggunakan jenis penelitian pengembangan (research and development) yang mengembangkan software Google Sketchup sebagai media pembelajaran matematika pada materi bangun ruang sisi datar. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model 4D yang dimodifikasi oleh thiagarajan, Semmel dan Semmel menjadi 3D (Define, Design, Development).

Prosedur pada penelitian ini adalah 1) Define (tahap pendefinisian) dilakukan untuk menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pengembangan. Tahap define mencakup 4 langkah pokok, yaitu analisis ujung depan (front-end analysis), analisis peserta didik (learner analysis), analisis konsep (concept analysis), dan perumusan tujuan pembelajaran (specifying instructional objectives) kemudian menarik suatu kesimpulan dari data yang telah diperoleh. 2) Design (Tahap Perencanaan) Thiagarajan membagi tahap design dalam empat kegiatan, yaitu: media selection (Pemilihan Media), format selection (Pemilihan Format), initial design (Rancangan Awal). 3) Develop (Tahap Pengembangan) dilakukan dengan memvalidasi produk oleh tim ahli, revisi model berdasarkan masukan dari para pakar pada saat validasi, Uiji coba terbatas dalam

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

334 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pembelajaran di kelas, Revisi model berdasarkan hasil uji coba (Mulyatiningsih, 2013, p.198).

Penelitian ini mengambil tempat penelitian di SMP N 35 Semarang kelas VIII. Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap dalam kurun waktu November 2016 - Juni 2017 yang meliputi tahap perencanaan, penelitian dan pelaporan.

Responden dari penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP N 35 Semarang. Kelas VIII terdiri dari 7 kelas dengan jumlah peserta didik sebanyak 220 orang.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan kuesioner (angket). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi wawancara untuk mengeksplorasi proses kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan, kondisi siswa, dan kesulitan siswa dalam materi bangun ruang sisi datar. Teknik wawancara digunakan pada tahap pendefinisian. Narasumber dari penelitian ini adalah guru pengampu mata pelajaran matematika kelas VIII SMP N 35 Semarang. Pengumpulan data dengan kuesioner dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui kelayakan dan kepraktisan produk.

Penilaian kelayakan produk dilakukan oleh tim ahli. Tim ahli pada penelitian ini adalah Dimas Wicaksono, S.T., M.Eng. (Dosen Universitas Negeri Semarang), Ulya Fitriani, M.Pd. (Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang), Wenti Dwi Yuniarti, S.Pd., M.Kom. (Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang), Sugiarto, S.Pd. (Guru SMA Negeri 13 Semarang), dan Wiji Hastuti, S.Pd. (Guru SMP Negeri 35 Semarang). .

Penilaian kepraktisan produk akan dilakukan oleh guru matematika kelas VIII SMP N 35 Semarang dan peserta didik kelas VIII yang berjumlah 220 orang. Instrumen kepraktisan produk menggunakan skala likert dengan respon skala lima/skor 1,2,3,4 dan 5. Pada angket respon guru menggunakan kategori sangat tidak baik (STB), tidak baik (TB), kurang baik (KB), baik (B) dan sangat baik (SB). Pada angket respon peserta didik menggunakan kategori sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), kurang setuju (KS), setuju (S) dan sangat setuju (SS).

Media pembelajaran akan divalidasi oleh tim ahli meliputi aspek-aspek kelayakan Google Sketchup, kelayakan video dan kelayakan isi. Data yang diperoleh dari hasil validasi selanjtnya akan dianalisis secara deskriptif untuk melakukan perbaikan/revisi jika ada. Untuk menganalisis hasil validasi menggunakan analisis rata-rata, yaitu menghitung rata-rata hasil penilaian yang diberikan oleh lima validator.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Validator

Data hasil pengisisan angket respon guru terhadap media pembelajaran dianalisis dengan kriteria penilaian angket respon guru dengan skala lima.

No. Rata-rata Kete- Rangan

Kesimpulan

1 1,0 ≤ Va ≤ 1,8 Sangat tidak layak

Tidak dapat digunakan.

2 1,8 < Va ≤ 2,6 Tidak layak Belum dapat digunakan dan masih memerlukan konsultasi.

3 2,6 < Va ≤ 3,4 Cukup layak Dapat digunakan dengan banyak revisi.

4 3,4 < Va ≤ 4,2 Layak Dapat diguakan tetapi dengan sedikit revisi.

5 4,2 < Va ≤ 5,0 Sangat layak Dapat digunakan tanpa revisi

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 335

Tabel 2. Kriteria Penilaian Respon Guru Hasil penilaian respon guru dihitung dengan cara membagi jumlah skor respon

guru dengan banyaknya item. Data hasil pengisisan angket respon peserta didik terhadap media pembelajaran dianalisis dengan menghitung jumlah skor dari respon peserta didik dibagi dengan banyaknya item butir instrumen.

Tabel 3. Kriteria Penilaian Respon Peserta Didik

Media dikatakan praktis apabila penilaian respon guru berada pada kategori minimal baik dan reson peserta didik berada pada kategori minimal setuju. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Tahap Pendefinisian (Define)

Berdasarkan wawancara dengan guru matematika SMP Negeri 35 Semarang, masalah yang timbul adalah keterbatasan media pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar pada materi bangun ruang sisi datar yang telah berlangsung di SMP Negeri 35 Semarang menggunakan media papan tulis, power point dan media sederhana seperti kertas karton.

Analisis peserta didik dilakukan untuk mengetahui karakteristik peserta didik. Analisis peserta didik dilakukan dengan mengamati hasil ulangan akhir semester I. Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan bahwa nilai rata-rata peserta didik masih dibawah KKM. Berdasarkan wawancara dengan guru matematika SMP Negeri 35 Semarang, diperoleh beberapa keterangan mengenai karakteristik peserta didik, diantaranya kemampuan akademisi peserta didik setiap kelas bersifat heterogen. Minat dan motivasi peserta didik dalam mempelajari matematika masih termasuk rendah.

Analisis materi diperoleh sistematika penyajian materi yang meliputi unsur-unsur pada bangun ruang sisi datar, jaring-jaring pada bangun ruang sisi datar, luas permukaan dan volume pada bangun ruang sisi datar.

2. Tahap Perancangan Media yang dirancang dan dibangun menggunakan fasiltas dan keunggulan yang

ada pada Google Sketchup. Media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup yang di rancang dan di bangun pada penelitian ini berbentuk video. Video yang

NO. RATA-RATA

NILAI KRITERIA

1 1,0 ≤ 𝑅𝑔 ≤ 1,8 Sangat tidak baik

2 1,8 < 𝑅𝑔 ≤ 2,6 Tidak baik

3 2,6 < 𝑅𝑔 ≤ 3,4 Cukup baik

4 3,4 < 𝑅𝑔 ≤ 4,2 Baik

5 4,2 < 𝑅𝑔 ≤ 5,0 Sangat baik

NO. RATA-RATA

NILAI KRITERIA

1 1,0 ≤ 𝑅𝑝 ≤ 1,8 Sangat tidak setuju

2 1,8 < 𝑅𝑝 ≤ 2,6 Tidak setuju

3 2,6 < 𝑅𝑝 ≤ 3,4 Cukup setuju

4 3,4 < 𝑅𝑝 ≤ 4,2 Setuju

5 4,2 < 𝑅𝑝 ≤ 5,0 Sangat setuju

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

336 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dihasilkan adalah animasi dari kumpulan gambar pada masing-masing scene. Video yang di export berformat .mp4, sehingga dapat di putar di berbagai media player. Resolusi video berukuran 1080p Full HD sehingga dapat menampilkan gambar dengan jelas. Video tersebut dikemas dalam Compact Disk (CD).

Media pembelajaran yang dirancang pada kegiatan rancangan awal adalah video

pembelajaran yang memberikan kesan visual tentang konsep pada bangun ruang sisi datar. Secara garis besar, video yang di rancang menjelaskan konsep dari 4 bangun ruang sisi datar, yaitu kubus, balok, prisma dan limas. Pada masing-masing bangun tersebut juga terdapat beberapa video sesuai dengan jumlah indikator. video-video tersebut antara lain: a. Kubus

1) Rusuk Kubus 2) Sisi Kubus 3) Titik Sudut Kubus 4) Diagonal Bidang Kubus 5) Diagonal Ruang Kubus 6) Bidang Diagonal Kubus 7) Panjang Bidang Diagonal Kubus 8) Panjang Diagonal Ruang Kubus 9) Jaring-Jaring Kubus 10) Luas Permukaan Kubus 11) Volume Kubus

b. Balok 1) Rusuk Balok 2) Sisi Balok 3) Titik Sudut Balok 4) Diagonal Bidang Balok 5) Diagonal Ruang Balok 6) Bidang Diagonal Balok 7) Panjang Bidang Diagonal Balok 8) Panjang Diagonal Ruang Balok 9) Jaring-Jaring Balok 10) Luas Permukaan Balok 11) Volume Balok

c. Prisma 1) Contoh Prisma 2) Rusuk Prisma Segitiga 3) Sisi Prisma Segitiga

Gambar 1. Format Video

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 337

4) Titik Sudut Prisma 5) Diagonal Bidang Prisma Segilima 6) Diagonal Ruang Prisma Segilima 7) Bidang Diagonal Prisma Segilima 8) Jaring-Jaring Prisma Segilima 9) Luas Permukaan Prisma Segitiga 10) Volume Prisma

d. Limas 1) Contoh Limas 2) Rusuk Limas 3) Sisi dan Tinggi Limas Persegi 4) Titik Sudut Limas 5) Diagonal Bidang Limas Persegi 6) Bidang Diagonal Limas Persegi 7) Jaring-Jaring Limas Persegi 8) Luas Permukaan Limas Persegi 9) Volume Limas

3. Tahap Pengembangan Validasi ahli dilakukan oleh 5 orang yang berkompeten untuk menilai kelayakan

media pembelajaran. Saran dari validasi ahli digunakan untuk melakukan perbaikan dan menjadi draf final.

Gambar 2. Komentar dan Saran Validator

Rata-rata peniliaian kelima validator adalah 4,1875. Berdasarkan tabel 3.1 tentang kriteria penilaian validator, maka dapat disimpulkan media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup yang di rancang adalah layak dan dapat digunakan tetapi dengan sedikit revisi.

Tabel 4. Hasil Rekapitulasi Validasi Media pembelajaran

Validator Nilai Rata-rata Validator

1 4,375 2 3,8125 3 4,625 4 4,3125 5 3,8125

Rata-rata keseluruhan

4,1875

Kriteria Layak

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

338 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hasil perhitungan angket repon guru terhadap media pembelajaran matematika

berbasis Google Sketchup diperoleh rata-rata 4,0. Artinya respon guru terhadap media pembelajaran berada pada kriteria baik.

Hasil perhitungan angket repon peserta didik terhadap media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup diperoleh rata-rata 4,0389. Artinya respon peserta didik terhadap media pembelajaran berada pada kriteria setuju. Pembahasan 1. Pembahasan Proses Rancang Bangun Media Pembelajaran

Proses rancang bangun media pebelajaran matematika berbasis Google Sketchup pada umumnya menggunakan perintah-perintah menggambar dan perintah-perintah untuk memodifikasi objek.

Gambar 3. Proses Pembuatan Animasi

Video hasil dari Google Sketchup merupakan hasil ekport dari animasi yang terdiri dari beberapa scene.

Gambar 4. Exporting Animation

2. Pembahasan Hasil Validasi Rancang Bangun Media Pembelajaran Hasil perhitungan rata-rata peniliaian kelima validator adalah 4,1875 dari nilai maksimum 5,0, sehingga dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran layak dan dapat digunakan tetapi dengan sedikit revisi. Tanggapan dari validator tentang penggunaan Google Sketchup sebagai media pembelajaran sangat tepat. Hal ini dikarenakan kemampuan tiga dimensi yang dimiliki Google Sketchup sangat tepat digunakan untuk memvisualisasikan objek pada materi bangun ruang. Media yang dirancang telah memenuhi ciri-ciri media pendidikan, yaitu ciri fiksatif karena dapat merekonstruksi suatu objek, ciri manipulatif karena dapat mempersingkat waktu dan ciri distributif kerena dapat disajikan kepada sejumlah besar peserta didik. Saran yang diberikan oleh validator terhadap rancang bangun media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup dijabarkan untuk masing-masing aspek, diantaranya sebagai berikut:

Tabel 5. Perbaikan pada Aspek Tampilan Google Sketchup Saran Perbaikan (Draf Final)

Sudut pandang pada alas limas saat diputar menyerupai trapesium.

Sudut pandang pada alas limas persegi yang menyerupai trapesium akan diubah sedemikian hingga sehingga

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 339

tidak membuat peserta didik rancu terhadap alas limas. Hasil revisi dapat dilihat pada gambar 5

Tampilan saat shoot/preview zoom out, pastikan semua objek terview. Mohon bisa diperbaiki.

Mengatur tampian saat semua objek di shoot agar terlihat semua. Hasil revisi dapat dilihat pada gambar 6

Packaging dalam konteks media. Hasil yang berupa video bisa dikemas dalam satu bundling, dinavigasikan sehingga memudahkan penggunaan.

Google Sketchup tidak mampu membuat menu navigasi untuk menuju video yang lain.

Diberikan suara. Google Sketchup tidak mampu menambahkan suara pada video animasi yang di eksport.

Gambar 5. Perbaikan sudut pandang alas limas

Gambar 6. Perbaikan zoom out pada limas

Tabel 6. Perbaikan pada Aspek Kelayakan Video Saran Perbaikan (Draf Final) Jenis dan ukuran huruf (Terutama warna huruf dibedakan warnanya).

Warna pada nama bangun ruang akan dibuat berbeda. Hasil revisi dapat dilihat pada gambar 7

Durasi, pemutaran bangun pada bidang diagonal kubus dibuat agak pelan, sehingga kelihatan bedanya. Video sebelum diperbaiki memiliki durasi 48 detik

Durasi animasi bangun pada bidang diagonal kubus dibuat lebih pelan. Video setelah diperbaiki menjadi 66 detik

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

340 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 7. Perbaikan Warna Nama Bangun Ruang

Tabel 7. Perbaikan pada Aspek Kelayakan Isi Saran Perbaikan (Draf Final) Pembelajar dalam media, simulasi diperlukan agar mudah dipahami dan dipelajari. Selain itu juga dibutuhkan praktik (Learning by doing).

Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengoperasikan Google Sketchup secara langsung pada saat di lakukan uji coba. Praktik mengoperasikan Google Sketchup dilakukan dengan menggunakan mouse wireless sehingga dapat dilakukan dari tempat duduk peserta didik. Peserta didik dapat dengan bebas melihat bangun ruang sisi datar dari segala sudut pandang sesuai keinginannya.

Dilengkapi pada limas cara menghitung tinggi sisi tegak.

Menambah rancangan video tentang menghitung tinggi sisi tegak limas. Hasil revisi dapat dilihat pada gambar 8

Ada beberapa keterangan yang belum jelas. Pada volume limas belum ada keterangan tinggi limas TO.

Menambah keterangan tinggi limas pada video volume limas. Hasil revisi dapat dilihat pada gambar 9

Gambar 8. Penambahan Video Tinggi Sisi Tegak Limas

Gambar 9. Menambah Keterangan Tinggi Limas (TO)

3. Pembahasan Kepraktisan Media Pembelajaran Uji kepraktisan dalam penelitian ini dilihat dari respon guru dan respon peserta

didik terhadap media pembelajaran yang dikembangkan. a. Respon Guru

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 341

Guru yang memberi respon terhadap media pembelajaran dalam penelitian ini adalah Sudarto, S.Pd., SAB. Beliau adalah guru matematika SMP Negeri 35 Semarang. Respon guru terhadap media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup adalah baik dengan hasil perhitungan rata-rata yang diperoleh adalah 4,0 dari nilai maksimum 5,0. Hal ini menunjukan bahwa media pembelajaran dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar.

Berdasarkan hasil pengisian angket, guru memberi respon baik terkait keefektifan dalam menggunakan media pembelajaran berbasis Google Sketchup ini. Guru juga terbantu dengan penggunaan media selama pembelajaran, selain bisa mereduksi abstraksi materi, media ini juga bisa mengefisiensi waktu denga baik. Tampilan dan kesan tiga dimensi pada Google Sketchup juga dapat menarik perhatian siswa agar lebih fokus dalam pembelajaran.

Penggunaan media pembelajaran matematika berbasis Google Sletchup ini. Guru juga dapat mengarahkan peserta didik untuk menemukan konsep pada bangun ruang sisi datar, sehingga dapat tercipta suatu pembelajaran bermakna. Hal tersebut dapat dilakukan karena video yang dihasilkan dapat diputar (play) dan diberhentikan (pause) dengan mudah, karena video dapat diputar diberbagai media video player.

b. Respon Peserta Didik Respon peserta didik dilakukan terhadap kelas VIII SMP Negeri 35 Semarang

sebanyak 220 responden. Respon peserta didik terhadap media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup adalah setuju dengan hasil perhitungan rata-rata yang diperoleh adalah 4,0389 dari nilai maksimum 5,0. Hal ini menunjukan bahwa media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dan dapat meningkatkan minat serta motivasi peserta didik terhadap bangun ruang sisi datar.

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa respon peserta didik yang sangat setuju dengan media pembalajaran yang telah dirancang dapat menumbuhkan minat dan motivasi sebesar 24,34%. Sebagian besar peserta didik setuju dengan media pembelajaran yang dirancang, yaitu sebesar 58,98%.

Gambar 10. Grafik Respon Peserta Didik

13,75% peserta didik kurang setuju, 2,18% peserta didik tidak setuju dan sisanya 0,75% peserta didik sangat tidak setuju jika media pembelajaran yang dirancang dapat menumbuhkan minat dan motivasi.

Suatu media pembelajaran dikatakan praktis apabila respon guru minimal baik dan respon peserta didik minimal setuju. Berdasarkan analisis hasil uji kepraktisan media pembelajaran, respon guru berada pada kategori baik dengan rata-rata 4,0 dan respon peserta didik berada pada kriteria setuju dengan rata-rata 4,0389. Maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup pada materi bangun ruang sisi datar adalah praktis.

STS0.75%

TS2,18%

KS13.75%

S58,98%

SS24,34%

RESPON PESERTA DIDIK

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

342 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Rancang bangun media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup

menghasilkan video pembelajaran. Video yang dihasilkan adalah animasi dari kumpulan gambar-gambar pada masing-masing scene. Video yang di eksport berformat .mp4 dengan resolusi video berukuran 1080p Full HD. Video tersebut dikemas dalam bentuk Compact Disk (CD)

2. Media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup telah divalidasi oleh tim ahli. Media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup dinyatakan layak dengan rata-rata 4,1875.

3. Penggunaan media Pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup memenuhi krteria praktis dengan respon guru berada pada kategori baik dengan nilai 4,0 dan respon peserta didik berada pada kriteria setuju dengan rata-rata 4,0389.

Saran Dari hasil penelitian Rancang bangun media pembelajaran matematika berbasis

Google Sketchup pada materi bangun ruang sisi datar, peneliti memberikan saran sebagai berikut 1. Media pembelajaran berbasis Google Sketchup hendaknya dikembangkan untuk

mata pelajaran yang lain yang membutuhkan tampilan visual tiga dimensi. 2. Hasil media pembelajaran yang telah dirancang bangun ini hendaknya dilakukan

untuk menguji efektivitasnya. Karena media pembelajaran berbasis Google Sketchup telah terbukti valid dan praktis.

3. Hasil media pembelajaran yang telah dirancang bangun ini dapat dimodifikasi dengan mengkombinasikannya dengan softwere lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dimas Wicaksono, S.T., M.Eng., Ulya

Fitriani, M.Pd., Wenti Dwi Yuniarti, S.Pd., M.Kom., Sugiarto, S.Pd., dan Wiji Hastuti, S.Pd. yang telah berkenan menjadi tim validator, Kepala SMP N 35 Semarang, Drs. Slamet Santosa, M.Pd. yang telah berkenan memberikan izin untuk melakukan penelitian di SMP N 35 Semarang. REFERENSI Arsyad, A. 2005. Media Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Francis,Khan dan Davis. 2015. Enactivism, Spatial Reasoning and Coding. CrossMark.

2(1): 6. Hamzah, S.N. dan Sa’dijah, C. 2014. Pemahaman Konsep Jarak pada Topik Dimensi Tiga

Kelas X Menggunakan Model Pembelajaran Langsung Berbantuan Google Sketchup. Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education. 2(2):9-10.

Indah, S.A.S. 2011. Google Sketchup Perangkat Alternatif dalam Pemodelan 3D. ULTIMATICS. 3(2):6-7.

Mulyatiningsih, E. 2013. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Yogyakarta: ALFABETA.

Nieveen, N. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. In Jan Van den Akker. R.M. Branch, K. Gustafson , N. Nieveen & Tj. Plomp (Eds) Design Approaches and Tools in Education and Training (pp 125 – 135). Dordrecht, Netherland: Kluwer Academic Publishers

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Putro, E.W. 2009. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Belajar.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 343

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Thiagarajan, S.,Semmel,.D.S., Semmel.M.I.1974. Instructional Development for Training

Teachers of Exceptional Children, A Source Book. Blomington: Center of Inovation on Teaching the Handicapped Minnepolis Indiana University. Tersedia di https://www.eric.ed.gov/PDFS/ED90725.pdf

Wahana Komputer. 2015. Google Sketchup. Semarang: Andi. https://en.wikipedia.org/wiki/SketchUp

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

344 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN RELATING, EXPERIENCING, APPLYING, COOPERATING AND TRANSFERRING (REACT) TERHADAP MOTIVASI DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA

MATERI POKOK LINGKARAN KELAS VIII MTs HUSNUL KHATIMAH 01 ROWOSARI TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Anilta Rosikhatul Ulum1, Emy Siswanah2

1Univarsitas Islam Negeri Walisongo, [email protected] 2Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

Abstrak

Pada MTs Husnul Khatimah 01 kelas VIII didapatkan fakta bahwa rata-rata motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pelajaran matematika masih rendah. Dengan penelitian ini diharapkan agar mengetahui keefektifan strategi pembelajaran REACT terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada materi lingkaran. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif eksperimen dengan desain penelitian post-test only control design. MTs Husnul Khatimah memiliki tiga kelas yaitu kelas VIII A, VIII B dan VIII C. Kemudian teknik pengambilan penelitian penelitian dengan menggunakan cluster random sampling sehingga diperoleh kelas VIII A dalam penelitian menjadi kelas eksperimen sedangkan kelas VIII C menjadi kelas kontrol. Metode pengambilan datapada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, metode tes dan metode angket. Hasil analisis data diperoleh rata-rata nilai motivasi belajar siswa diperoleh kelas eksperimen = 76,14 dan kelas kontrol = 67,79. Hasil uji hipotesis terhadap motivasi belajar pada siswa dengan 𝛼 = 5% diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,736 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,678 karena

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka rata-rata nilai motivasi belajar di kelas eksperimen yaitu lebih baik

daripada motivasi belajardi kelas kontrol. Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen = 56,24 dan kelas kontrol = 42,61. Hasil uji hipotesis kemampuan pemecahan masalah siswa dengan 𝛼 = 5% diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,587 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,678

karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen memiliki

rata-rata lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah kelas kontrol. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penggunaan strategi pembelajaran REACT efektif terhadap motivasi serta kemampuan pemecahan masalah belajar siswa pada materi lingkaran kelas VIII MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari. Kata kunci: Kemampuan Pemecahan masalah, Motivasi Belajar, Strategi REACT

PENDAHULUAN Tujuan pendidikan matematika sebagaimana tercantum dalam Standar Isi pada

KTSP 2006 adalah diharapkan siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan hasil dari penyelesaian. Selain itu, agar siswa mempunyai sikap menghargai dan mengetahui kegunaan pelajaran matematika dalam kehidupan, mempunyai sikap rasa keingin tahuan, perhatian serta minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet, percaya diri untuk memecahan masalah (Kemdiknas, 2006: 345). Hal tersebut berarti bahwa motivasi dan kemampuan pemecahan masalah pada matematika sangat penting guna pencapaian tujuan pembelajaran matematika.

Namun pada kenyataannya masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah, berdasarkan wawancara peneliti pada tanggal 5 Desember 2017 dengan Siti Mubarokah guru matematika MTs Husnul Khatimah 01 menyatakan bahwa kebanyakan siswa masih bingung dengan metode yang dipakai dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah, hal ini berarti siswa belum memahami soal yang akan dipecahkan. Selain itu siswa masih kesulitan untuk merencanakan cara penyelesaian, terbukti ketika siswa telah memperoleh pemecahan masalah awal, mereka belum paham cara menyelesaikan soal menggunakan konsep atau metode yang sebelumnya mereka dapatkan. Siswa juga masih kurang teliti dalam operasi hitung untuk

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 345

menyelesaikan persoalan, terbukti dari analisis peneliti terhadap hasil jawaban ulangan harian pythagoras dan UAS ganjil kebanyakan siswa kurang benar dalam perhitungan, bahkan ada yang hanya menuliskan hasil akhirnya saja tanpa ada cara untuk mendapatkannya. Pada tahap akhir dalam penyelesaian soal, siswa sering melewatkan tahap menyimpulkan hasil yang didapat.

Selain kemampuan pemecahan masalah, siswa juga kurang memiliki motivasi belajar matematika. Hal tersebut dipaparkan kembali oleh Siti Mubarokah bahwa siswa beranggapan matematika itu pelajaran yang sulit, sehingga ketika diberi tugas malas mengerjakan dan hanya meniru pekerjaan teman. Akibatnya siswa tidak tekun menghadapi tugas serta tidak senang menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Selain wawancara, peneliti juga melakukan observasi di kelas. Peneliti melihat ketika guru memberi pertanyaan kepada siswa kebanyakan dari mereka hanya diam. Kemudian guru memberi contoh soal, siswa mencatat apa yang di tulis guru ada papan tulis, memberi soal latihan, kemudian memberi kesempatan siswa agar maju menyelesaikan soal. Aktifitas seperti ini dimana guru tidak melibatkan siswa untuk aktif menyebabkan siswa menjadi mudah bosan dan lebih memilih berbicara sendiri atau tidur serta kurang percaya diri mengungkapkan pendapat, sehingga siswa tidak memiliki motivasi dalam belajar. Selain itu, aktifitas siswa hanya mencatat dari guru mengakibatkan siswa kurang latihan untuk menemukan permasalahan sendiri atau berkelompok.

Adanya motivasi serta kemampuan pemecahan masalah pada siswa masih rendah, maka dapat diterapkan strategi pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating and Transferring). Strategi ini terdiri dari lima tahap yaitu (1) relating, bertujuan untuk melibatkan materi yang sedang diajarkan dengan materi sebelumnya atau dengan kehidupan sehari-hari, (2) experiencing, bertujuan untuk melakukan kegiatan matematika melalui penemuan dan pencarian, (3) applying, kegiatan menerapkan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, (4) cooperating, bertujuan melibatkan siswa untuk aktif saling bekerjasama, (5) transferring, bertujuan untuk mentransfer pengetahuan yang sudah dipelajari ke dalam konteks yang baru (Craword: 2001).

Melalui strategi pembelajaran tersebut melibatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Pada tahap experiencing siswa diajak untuk menemukan konsep atau rumus matematika yang terdapat dalam LKS sehingga diharapkan dalam diri siswa timbul motivasi dalam belajar. Pada tahap applying dan cooperating siswa menggunakan rumus yang diperoleh untuk menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah yang disajikan secara berkelompok, sehingga diharapkan timbul kemampuan memecahan masalah pada diri siswa. Pada tahap transferring siswa diberi soal yang berbeda secara individu guna mengetahui kepahaman dan melatih siswa memecahan masalah agar terbiasa dengan soal-soal pemecahan masalah.

Dalam Al Qur’an surat Al-Insyirah ayat 6-8 yang berbunyi: Artinya : “... Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, maka apabila

engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)” (Departemen Agama RI, 2010). Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap kali Allah memberikan kesulitan kepada hambanya, maka Ia akan memberikan kemudahan setelahnya. Kemudian apabila telah merasakan kemudahan, Allah juga menyuruh untuk bekerja keras terhadap usaha yang lain dan tidak putus asa.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

346 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Terkait dengan permasalahan yang telah dibahas dan solusi yang diajukan, maka dilakukan sebuah penelitian eksperimen guna menjawab beberapa permasalah dalam penelitian ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah (1) Apakah penggunaan strategi pembelajaran REACT efektif terhadap motivasi kelas VIII MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari pada materi lingkaran? (2) Apakah penggunaan strategi pembelajaran REACT efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari pada materi lingkaran? METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang menggunakan pendekatan eksperimen. Adapun penelitian ini menggunakan desain Posttest-Only Control Group Design. Berikut adalah gambaran desain penelitian tersebut (Sugiyono, 2015). Kelas Eksperimen R1 X O1

------------------ Kelas Kontrol R2 O2

Penelitian dilaksanakan di MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari pada bulan Januari-Maret 2017. Populasi penelitian ini yaitu kelas VIII MTs Husnul Khatimah 01 sejumlah 83 siswa yang terbagi ke dalam tiga kelas, yakni kelas VIII A, VIII B, VIII C. Teknik pengambilan penelitian menggunakan cara cluster random sampling yaitu dengan memilih acak dua kelas menjadi kelas eksperimen dan kontrol. Kelas eksperimen merupakan kelas yang diberikan perlakuan pembelajaran dengan strategi pembelajaran REACT, dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Adapun penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kelas VIII A sejumlah 29 siswa menjadi kelas eksperimen, dan pada kelas VIII B sejumlah 28 siswa menjadi kelas kontrol.

Terdapat dua variabel dalam penelitian, yaitu (1) Variabel bebas pada penelitian ini adalah strategi pembelajaran REACT, dan (2) Variabel terikat pada penelitian ini adalah motivasi dan kemampuan pemecahan masalah. Pengumpulan data motivasi belajar dilakukan denga menggunakan angket, sedangkan data untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah menggunakan tes.

Indikator motivasi belajar meliputi (1) tekun menghadapi tugas, (2) ulet menghadapi kesulitan, (3) menunjukkan minat belajar (4) lebih senang menyelesaikan tugas sendiri, (5) cepat bosan terhadap tugas yang sama, (6) dapat mempertahankan pendapatnya, (7) tidak mudah melepaskan hal-hal yang diyakini (8) gemar mencari serta memecahkan saol-soal.

Test kemampuan pemecahan masalah mengukur beberapa aspek Indikator meliputi (1) Memahami permasalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan penyelesaian, dan (4) Memeriksa kembali. Tes kemampuan pemecahan masalah berupa soaal-soal uraian.

Semua instrumen yang akan digunakan harus diujicobakan terlebih dahulu, kemudian dilakukan analisis instrumen untuk memperoleh instrumen yang layak. Analisis instrumen motivasi meliputi validitas dan reliabilitas. Analisis instrumen soal kemampuan pemecahan masalah meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.

Analisis data pada tahap awal menggunakan data ulangan harian phytagoras dan UAS kemampuan pemecahan masalah. Analisis yang dilakukan meliputi uji normalitas, homogenitas, dan kesamaan rata-rata. Uji normalitas data dilakukan menggunakan uji liliefors. Pengujian homogenitas dengan uji bartlet, dan uji kesamaan rata-rata memakai uji Anova satu arah. Analisis data pada tahap awal dilakukan guna mengetahui apakah seluruh populasi mempunya kemampuan awal yang sama, sehingga dapat dilakukan pengambilan penelitian secara acak.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 347

Analisis data tahap akhir dilakukan untuk data motivasi dan posttest kemampuan pemecahan maslah siswa. Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas untuk menguji kenormalan data, uji homogenitas untuk menguji vaians data sama atau tidak dan uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji liliefors. Uji homogenitas menggunakan uji F. Terakhir uji hipotesis atau uji perbedaan rata-rata memakai uji t pihak kanan. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Secara umum, hasil penelitian yang dideskripsikan pada hasil penelitian adalah data untuk motivasi serta kemampuan memecahankan masalah setelah mengikuti pembelajaran dengan model REACT pada kelas ekpserimen dan pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol.

Analisis data pada tahap awal dilakukan guna mengetahui apakah populasi penelitian mempunyai kemampuan awal yang sama. Data yang digunakan pada analisis data pada tahap awal adalah nilai ulangan harian phytagoras dan UAS yang didalamnya mengandung soal kemampuan pemecahan masalah. Analisis data pada tahap awal meliputi uji normalitas, homogenitas, dan kesamaan rata-rata.

Hasil uji normalitas pada tahap awal disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Hasil uji normalitas pada tahap awal

Kelas 𝑳𝟎 𝑳𝒅𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓 Keterangan

VIII A 0,110 0,161 Normal VIII B 0,087 0,161 Normal VIII C 0,145 0,161 Normal

Berdasarkan hasil uji normalitas di atas bahwa keempat kelas tersebut masing-masing memiliki nilai 𝐿0 < 𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 , sehingga 𝐻0 diterima. Artinya data ketiga kelas

tersebut masing-masing berdistribusi normal. Hasil pengujian homogenitas data tahap awal diperoleh nilai 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

2 = 0,8318 dan

nilai 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙2 = 5,99. Karena 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

2 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙2 maka 𝐻0 diterima, artinya ketiga kelas

memiliki data varians yang homogen atau identik. Dari hasil uji kesamaan rata-rata tahap awal diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,10036 dan

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 3,11. Karena nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙, maka ketiga kelas memiliki rata-rata yang

identik. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa semua kelas VIII,

yakni kelas VIII A, VIII B, dan VIII C mempunyai kemampuan awal yang identik atau sama. Selanjutnya dilakukan penentuan penelitian menggunakan teknik cluster random sampling. Dari hasil sampling diperoleh penelitian kelas eksperimen adalah kelas VIII A dan kelas VIII C menjadi kelas kontrol. Motivasi Belajar

Analisis data motivasi meliputi uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-rata. Adapun hasil dari uji normalitas data motivasi belajar dituangkan dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hasil dari uji normalitas data motivasi Kelas 𝑳𝟎 𝑳𝒅𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓

Eksperimen 0,133 0,161 Kontrol 0,093 0,161

Berdasarkan hasil pengujian normaitas pada tabel 2 bahwa kedua penelitian penelitian masing-masing memiliki nilai 𝐿0 < 𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 . Dengan demikian 𝐻0 diterima,

artinya data kedua kelas tersebut berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Hasil pengujian ditunjukkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil dari uji homogenitas untuk data motivasi

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

348 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Eksperimen Kontrol Jumlah siswa

(𝑛) 29 28

Rata-rata (��) 76,138 67,786 Varians (𝑠2) 109,909 156,397

𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 1,423

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2,151 Dari tabel diatas diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,423 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,151, sehingga 𝐻0

diterima. Sehingga, disimpulkan kedua kelas penelitian penelitian memiliki varians yang sama.

Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa data motivasi pada kelas VIII A dan VIII C data berdistribusi normal dan berangkat dari keadaan yang sama. Dengan demikian, untuk menguji perbedaan rata-ratanya digunakan uji t satu pihak, yaitu pihak kanan. Adapun hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Hasil pengujian perbedaan rata-rata motivasi belajar Kelas Eksperimen Kontrol

Jumlah Skor 2208 1898 Jumlah siswa

(𝑛) 29 28

Rata-rata (��) 76,14 67,79 Varians (𝑠2) 109,91 156,40

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,736

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,67 Dengan menganalisis hasil pada tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,736 >

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,67, sehingga 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka terdapat

perbedaan motivasi di kelas eksperimen dan motivasi belajar siswa di kelas kontrol. Jadi, dapat disimpulan bahwa motivasi belajar siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran REACT lebih baik dibandingkan motivasi belajar siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional.

Analisis kemampuan pemecahan masalah berupa data meliputi uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-rata. Adapun hasil uji normalitas ditunjukkan tabel berikut.

Tabel 5. Uji normalitas kemampuan pemecahan masalah Kelas 𝑳𝟎 𝑳𝒅𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓

Eksperimen 0,092 0,161 Kontrol 0,151 0,161

Berdasarkan hasil di atas diketahui masing-masing kelas memiliki nilai 𝐿0 <𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 . Jadi 𝐻0 diterima, artinya data kedua kelas tersebut masing-masing berdistribusi

normal. Selanjutnya adalah uji homogenitas. Hasil pengujian homogenitas data ditunjukkan

pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Hasil dari Uji Homogenitas data kemampuan pemecahan masalah

Kelas Eksperimen Kontrol Jumlah Siswa (𝑛)

29 28

Rata-rata (��) 56,241 42,607 Varians (𝑠2) 276,618 132,396

𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,089

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2,151

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 349

Dari tabel diatas diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,089 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,151, sehingga 𝐻0

diterima. Artinya kedua kelas berangkat dari keadaan yang sama. Dari pengujian normalitas dan homogenitas diperoleh bahwa data penelitian

penelitian berdistribusi normal dan memiliki varians homogen. Sehingga untuk pengujian perbedaan rata-rata digunakan uji t pihak kanan. Adapun hasilnya ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil uji perbedaan rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah Eksperimen Kontrol

Jumlah Skor

1631 1898

N 29 28 Rata-rata 56,24 42,61 Varians 276,62 132,40 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 3,587

𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,67 Dari tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,587 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,67, sehingga 𝐻0

ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka terdapat perbedaan kemampuan

pemecahan masalah siswa pada kelas penelitian. Jadi, disimpulan bahwa kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan pembelajaran REACT lebih baik dibandingkan kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran REACT pada pembelajaran matematika materi pokok lingkaran efektif terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan masalah pada kelas VIII MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari tahun pelajaran 2016/2017.

Keefektifan pembelajaran REACT terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan masalah tidak terlepas dari langkah-langkah pembelajarannya. Langkah-langkah pembelajaran REACT mempengaruhi motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Langkah pembelajaran yang pertama yakni Relating. pada tahap relating, siswa dibimbing untuk dapat mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan konsep yang telah didapat ataupun konsep nyata. Sehingga pemahaman yang mereka peroleh lebih baik, dan pembelajaran yang berlangsung lebih bermakna sejalan dengan teori Ausubel.

Langkah berikutnya adalah Experiencing, pada bagian ini siswa berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan eksperimen untuk menemukan suatu konsep secara mandiri. Dengan menemukan sendiri, pemahaman konsep siswa diharapkan akan lebih baik dan lebih kuat dibanding jika siswa hanya sekedar menerima materi kemudian dihafal. Pemahaman suatu konsep yang baik ini yang akan menjadi bekal untuk memecahkan suatu masalah. Menurut Bruner dengan belajar penemuan akan tercapai belajar yang bermakna.

Selanjutnya pada tahap Applying, siswa diminta untuk menerapkan konsep yang diperoleh ke dalam soal pemecahan masalah lingkaran materi yang sedang dipelajari. Dalam penelitian ini, siswa diminta menerapkan rumus yangdiperoleh untuk mengerjakan soal-soal pemecahan masalah dalam LKS secara berkelompok. Dengan demikian, akam melatih siswa untuk mengerjakan soal pemecahan masalah sehingga akan muncul kemampuan pemecahan masalah dengan sendirinya pada diri siswa.

Tahap yang selanjutnya adalah tahap Cooperating. Dalam penerapannya Cooperating atau kerja sama dilakukan tahap Experiencing, Applying, dan Transferring. Melalui Cooperating siswa dapat saling bertukar pengetahuan baik dalam menemukan konsep maupun dalam memecahkan masalah, sehingga siswa tidak mudah berputus asa ketika menghadapi kesulitan. Hal tersebut memiliki nilai positif terhadap motivasi yang

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

350 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dimiliki siswa, karena siswa menjadi lebih percaya diri dalam menyelesaiakan tugas yang mereka hadapi.

Pada tahap yang terakhir yaitu Transferring, siswa diharuskan dapat menerapkan konsep yang sudah dipelajari ke dalam konteks baru, yaitu soal-soal pemecahan masalah yang berbeda. Melalui tahap ini siswa mengerjakan soal kemampuan memecahkan masalah secara individ. Dengan terbiasanya siswa mengerjakan soal pemecahan masalah mereka akan terampil untuk memecahkan masalah. Selain itu, siswa akan terbiasa menghadapi tugas yang beragam tingkat kesulitannya. Oleh karena itu, hal tersebut dapat meningkatkan keyakinan siswa untuk dapat menyelesaikan tugas sesulit apapun. Sehingga nantinya akan bernilai positif terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa.

Selanjutnya, pembelajaran REACT dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan untuk dipakai dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi lingkaran untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pada hasil penelitian yang sudah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut, bahwa:

Rata-rata nilai akhir motivasi pada kelas eksperimen yang diberi perlakuan pembelajaran dengan strategi pembelajaran REACT yaitu 76,14; lebih tinggi daripada rata-rata-rata nilai akhir motivasi pada kelas kontol yaitu 67,79. Dari uji perbedaan rata-rata tahap akhir dengan menggunakan uji-t diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,2736 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 =

𝑡(0.95)(55) = 1.67, sehinga 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙. Sehingga dapat diketahui bahwa rata-rata nilai

motivasi belajar siswa di kelas yang mendapatkan pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran REACT lebih baik daripada rata-rata nilai motivasi dengan menggunakan pembelajaran konvensional dengan metode ceramah. Sehingga, penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan strategi pembelajaran REACT efektif terhadap motivasi belajar siswa.

Rata-rata nilai akhir kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen yang diberi perlakuan pembelajaran dengan strategi pembelajaran REACT yaitu 56.24; lebih tinggi daripada rata-rata-rata nilai akhir kemampuan pemecahan masalah kelas kontol yaitu 42.61. Dari uji perbedaan rata-rata tahap akhir dengan menggunakan uji-t diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,587 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡(0.95)(55) = 1.67, sehinga 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙.

Sehingga dapat diketahui bahwa rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah di kelas yang mendapatkan pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran REACT lebih baik daripada rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah siswa dengan menggunakan pembelajaran konvensional dengan metode ceramah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penggunaann strategi pembelajaran REACT efektif terhadap kemmapuan pemecahan masalah siswa. Saran

Pembelajaran REACT dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan untuk diterapkan dalam pembelajaran bangun datar khususnya lingkaran. Selain itu pembelajaran REACT dapat dilaksanakan untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Pada penelitian ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dan kajian yang lebih mendalam terkait pembelajaran REACT. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih peneliti haturkan kepada Ibu Emy Siswanah, S.Pd, M.Sc., selaku pembimbing I dan Ibu Any Muanalifah, M.Si. sebagai pembimbing II telah membimbing kepada peneliti selama penelitian. Tak lupa juga kepada seluruh pihak MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari yang telah memberikan izin pada peneliti untuk

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 351

melaksanakan penelitian. ucapan terimakasih peneliti haturkan kepada berbagai pihak yang telah membantu untuk kelancaran penelitian ini. REFERENSI Amrai, Kourosh, dkk. (2011) The relationship between academic motivation and

academic achievement students. Prosedia social and behavioral Sciences 15 399-402.

Arikunto, S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Cahyono, B. (1015) Korelasi Pemecahan Masalah dan Indikator Berfikir Kritis.

Phenomenon. Vol. 5. No 1. Carson, J. (2007). A Problem With Problem Solving: Teaching Thinking Without Teaching

Knowledge. The Mathematics Education Jurnal Vol. 17. Crawford, M. L. 2001. Teaching Contextually. Texas: ISBN 1-57837-321-2. Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur'an dan Tafsirnya. Jakarta: Penerbit Lentera Abadi. Djamarah, S. B., & Zain, A. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, O. 2013. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hamzah, M. A., & Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran

Matematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hanafiah, N., & Suhana, C. (2012). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Rineka

Aditama. JACOB. (Tanpa Tahun). Matematika Sebagai Pemecahan Masalah. Bandung: FPMIPA UPI. Komalasari, K. 2011. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi . Bandung: PT.

Rafika Aditama. Kusaeri, & Suprananto. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta:

Graha Ilmu. Kusumawati, E., & Rizki, N. D. (2014). Pembelajaran Matematika Melalui Strategi REACT

Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMK. EDU-MAT Pendidikan Matematika, 262.

Kuswidi, I. (tanpa tahun). Geometri Analitik. Yogyakarta: Program Studi Matematika FST UIN Sunan Kalijaga.

Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2006). Implementasi Kurikulum 2004. Banduung: PT. Remaja Rosdakarya. Mawaddah, S., & Anisah, H. (2015). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

Pada Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Di SMP. EDU-MT Jurnal Pendidikan Matematika, 167

Nissa, I. C. (2015). Pemecahan Masalah Matematika. Lombok: Duta Pustaka Ilmu. Permendiknas, 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Nomor

22 Tahun 2006. Saefuddin, H. A., & Berdiati, I. (2014). Pebelajaran Efektif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya. Sudijono, A. (2015). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawal iPers. Sudirman. (2010). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta. Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning Teori & Aplikasi Paikem. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Susanti, M. N. (2010). Statistika Deskriptif & Induktif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

352 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media Group.

Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Uno , H. B., & Mohamad, N. (2011). Belajar dengan Pendekatan PAIKEM. Jakarta: PT.

Bumi Aksara. Wahyudi, & Budiono, I. (2012). Pemecahan Masalah Matematika. Salatiga: Widya Sari

Press. Wardhani, S. (2008). Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTsuntuk

Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPPTK.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 353

PENGEMBANGAN MODUL MATEMATIKA BERNUANSA ISLAMI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI POKOK ARITMETIKA SOSIAL

PESERTA DIDIK KELAS VII MTS N BRANGSONG KENDAL

Moch. Asyroful Minan1, Budi Cahyono2, Nadhifah3 1Pendidikan Matematika, [email protected]

2Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected] 3Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

Abstrak

Penelitian pengembangan ini dilatar belakangi dari hasil observasi dan wawancara terhadap guru dan siswa kelas VII MTs N Brangsong yang menghasilkan kesimpulan bahwa perlu modul yang memuat materi dan nilai-nilai keislaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik pada materi pokok aritmetika sosial yang valid, praktis dan efektif untuk membantu peserta didik meningkatkan hasil belajar dan sikap spiritual peserta didik melalui modul. Penelitian ini merupakan jenis penelitian R & D (research and development). Prosedur pengembangan modul menggunakan model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas VII G sebagai kelas eksperimen dan kelas VII H sebagai kelas kontrol. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik pada materi aritmetika sosial valid dengan penilaian validator termasuk dalam kategori valid dan praktis namun perlu sedikit revisi dengan persentase rata-rata sebesar 82,50%. Tanggapan peserta didik terhadap modul termasuk pada kategori baik dengan persentase 86,94% tertarik dengan modul . Modul efektif untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan kelas eksperimen tuntas secara klasikal dengan rata-rata 71,79. Uji t-test mendapatkan hasil thitung = 6.12 > ttabel=2,01, artinya rata-rata kelas yang menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik lebih baik dari pada yang tidak menggunakan modul. Sikap spiritual peserta didik meningkat hal tersebut ditunjukkan dari peningkatan pre-test dan pos-test dari 75% menjadi 83%. Skor n-gain sebesar 0,32 hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik efektif meningkatkan sikap spiritual peserta didik dengan kategori sedang. Kata kunci: Modul Pembelajaran, Modul bernuansa Islami, Pendekatan Saintifik, Aritmetika Sosial

PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi penguasaan ilmu pengetahuan lain. Hal itu dikarenakan matematika merupakan sarana untuk menumbuh kembangkan cara berpikir logis, sistematis, dan kritis. Cara berpikir inilah yang sangat berpengaruh untuk menentukan keberhasilan penguasaan pengetahuan lain. Sehingga membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan.

Matematika dalam kenyataannya masih dipandang sulit oleh peserta didik dan menjadi mata pelajaran yang memiliki nilai paling rendah dibandingkan mata pelajaran lain. Pada tabel 1 berikut dapat dilihat hasil UN Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs N) Brangsong.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

354 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 1 Data Nilai Rata-rata Ujian Nasional (UN) MTs N Brangsong Kabupaten Kendal Tahun Ajaran 2016/2017

No Mata Pelajaran Rata-rata Nilai

1. Bahasa Indonesia 72,83 2. Bahasa Inggris 43,24 3. Matematika 35,50 4. Ilmu Pengetahuan Alam 44,55

Sumber data: puspendik.kemdikbud.go.id, diakses 28 Agustus 2017 pukul 21.35 Kenyataan yang ada ini, bisa diatasi dengan memperbaiki proses pembelajaran

yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik akan mengajak peserta didik aktif menemukan suatu konsep. Pendekatan ini merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu hal atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya (Agus Susilo, 2016). Pendekatan ini juga menuntut siswa untuk aktif berpikir dan menemukan suatu konsep atau pemahamannya sendiri. Sehingga pembelajaran akan berorientasi pada proses. Menurut Permendikbud no. 81 A tahun 2013 lampiran IV tentang pedoman umum pembelajaran dinyatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran saintifik terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: 1) Mengamati 2) Menanya 3) Mengumpulkan informasi 4) Mengasosiasi 5) Mengkomunikasikan.

Undang–Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 berbunyi:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari paparan Undang–undang pendidikan nasional di atas, dapat diartikan bahwa pemerintah melalui undang–undang menekankan pentingnya pembangunan spiritual peserta didik. Hal ini bertujuan untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa melalui pembelajaran di sekolah, salah satunya yaitu pembelajaran matematika. Cara pembangunan keimanan dan ketakwaan salah satunya yaitu mengamalkan firman Allah surat al-Anfāl ayat 1:

ؤ كنتم إن ۥوأطيعوا ٱلله ورسوله (١) مني م

Artinya: “dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (RI, 1998)

Pada ayat tersebut Allah telah memerintahkan manusia untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Taat merupakan buah dari iman dan takwa kepada Tuhan. Iman kepada Tuhan mengharuskan peserta didik memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Sifat-sifat Tuhan atau nama-nama Tuhan yang baik (asmaul husna) sebaiknya tidak hanya dihafalkan atau diketahui artinya, melainkan harus dipahami, dihayati dan diamalkan kandungannya, karena dengan itulah tercipta manusia yang selalu ingat pada Tuhan dan melahirkan manusia yang berakhlak yang mulia (Nata, 2013). Iman dan takwa dalam kaitannya dengan sikap merupakan sikap spiritual, yang kemudian dengan sikap spiritual inilah sikap sosial peserta didik juga dapat tercipta.

MTs N Brangsong Kendal merupakan salah satu sekolah menengah Islam, sehingga di dalamnya peserta didik memperoleh mata pelajaran agama lebih banyak dibandingkan dengan sekolah menengah pertama (SMP). Menurut hasil wawancara dengan bapak R. Wahyu Djatmiko, S.Pd., salah satu guru matematika kelas VII MTs N Brangsong Kendal padat tanggal 11 November 2016 penanaman sikap spiritual sebenarnya sudah dilakukan

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 355

oleh pendidik, yaitu dengan cara lisan. Di sisi lain ada buku teks matematika sebagai sumber belajar, akan tetapi, buku teks itu sendiri belum memenuhi untuk menunjang penanaman sikap spiritual. Para pengarang maupun penyusun buku teks kebanyakan hanya memikirkan aspek kognitifnya saja, belum banyak yang memerhatikan aspek-aspek psikologi dan teori-teori desain yang pas untuk menunjang penanaman sikap spiritual. Penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) juga kurang efektif, karena hanya berisi ringkasan materi yang tentunya belum menyentuh ranah sikap, terutama sikap spiritual.

Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah penanaman sikap spiritual yang kurang adalah mengembangkan sumber belajar matematika lain yang bisa membantu peserta didik menguasai materi matematika serta membantu peserta didik memiliki sikap spiritual. Berdasarkan data hasil angket kebutuhan yang sudah didapat, menunjukkan bahwa 27,59% peserta didik sangat membutuhkan modul, sebanyak 31,03% membutuhkan modul, sebanyak 41,38% cukup membutuhkan modul dan 0% peserta didik tidak membutuhkan modul. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik membutuhkan modul sebagai sumber belajar. Modul sendiri merupakan suatu unit program pengajaran yang disusun dalam bentuk tertentu untuk keperluan belajar. Menurut makna istilah modul adalah alat ukur yang lengkap, merupakan unit yang dapat berfungsi secara mandiri, terpisah, tetapi juga dapat berfungsi sebagai kesatuan dari seluruh unit lainnya (Daryanto, 2013). Modul mempunyai kegunaan yaitu untuk membantu peserta didik secara individual meningkatkan pemahaman terhadap suatu materi. Modul yang dibutuhkan peserta didik harus memiliki pendekatan yang membantu peserta didik memahami sendiri materi. Modul yang baik harus memperhatikan memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Self instruction merupakan karakteristik yang penting dalam modul, sehingga memungkinkan seorang belajar secara mandiri dan tidak bergantung pada pihak lain. (2) Self contained artinya modul memuat seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan, (3) Stand alone (berdiri sendiri) artinya dengan menggunakan modul Peserta didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari, memahami ataupun mengerjakan tugas yang ada pada modul, (4) Adaptif artinya bisa menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta fleksibel/luwes digunakan di berbagai perangkat keras (hardware), dan (5) User friendly (Bersahabat/Akrab) (Daryanto, 2013).

Sedangkan modul bernuansa Islami merupakan modul yang memuat nilai-nilai Islam di dalamnya. Menurut M. Quraish Shihab (2013) nilai-nilai Islam yang ada dalam Al Quran adalah Nilai akidah yaitu tentang keyakinan kepada Allah, nilai syariah yaitu tentang ibadah dan muamalah, dan nilai akhlak yaitu tentang perilaku manusia.

Hasil wawancara dengan bapak R. Wahyu Djatmiko juga mengatakan, materi yang cocok untuk menanamkan sikap, khususnya sikap spiritual adalah aritmetika sosial. Aritmetika sosial merupakan materi sangat aplikatif terhadap kehidupan sehari-hari peserta didik. sehingga peserta didik bisa langsung mempraktikkan pada kehidupan sehari-harinya. Aritmetika sosial merupakan materi yang diajarkan kepada peserta didik kelas VII SMP/MTs. Menurut teori Piaget pada tahap operasional formal, perkembangan kognitif anak dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau dewasa (Desmita, 2011). Sehingga pada kelas VII inilah, sangat pas untuk mulai mengajak siswa berpikir logis dan abstrak.

Terkait dengan permasalahan yang telah dibahas dan solusi yang diajukan, maka dilakukan sebuah penelitian dan pengembangan guna menjawab beberapa permasalah dalam penelitian ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah (1) Bagaimana mengembangkan modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik pada materi pokok aritmetika sosial peserta didik kelas VII MTs N Brangsong Kendal yang valid?

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

356 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

(2) Bagaimana mengembangkan modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik pada materi pokok aritmetika sosial peserta didik kelas VII MTs N Brangsong Kendal yang efektif meningkatkan hasil belajar dan sikap spiritual peserta didik? METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian dan pengembangan atau Research and development (R and D). Research and development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini akan dikembangkan dan dihasilkan suatu produk berupa modul pembelajaran matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik.

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian Research and Development (R & D) dengan model pengembangan versi ADDIE. Model ADDIE adalah salah satu model yang paling umum digunakan di bidang desain instruksional panduan untuk memproduksi sebuah desain yang efektif. Desain instruksional dikenal dengan teknologi pembelajaran. Ini berarti proses sistematis yang membantu dalam menciptakan dan mengembangkan bahan ajar yang efektif, menarik, dan efisien dalam lingkungan yang mendukung dengan menggunakan seni, Ilmu pengetahuan, pembelajaran, dan teori instruksional (Aldoobie, 2015).

Gambar 1 Tahap pengembangan model ADDIE

Model ini terdiri dari 5 fase atau tahap utama, yaitu analysis, desain, development, implementation, dan evaluation (ADDIE). Tahapan ADDIE dapat dilihat pada gambar 1 di atas.

Masing-masing langkah pada tahapan di atas dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, analisis. Tahap analisis merupakan suatu proses mendefinisikan apa yang akan dipelajari dari peserta didik, yaitu melakukan needs assessment (analisis kebutuhan), mengidentifikasi masalah dan melakukan analisis tugas (task analysis). Kedua, desain. Tahap ini dikenal juga dengan istilah membuat rancangan (blue print). Ketiga, pengembangan. Pengembangan merupakan proses untuk mewujudkan blue print atau desain yang dibuat menjadi kenyataan. Keempat, implementasi. Implementasi merupakan langkah nyata untuk menerapkan pada sistem pembelajaran. Kelima, evaluasi. Evaluasi adalah proses untuk melihat apakah sistem pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau tidak (Wiyani, 2014).

Subjek dari penelitian ini adalah peserta didik kelas VII MTs N Brangsong Kendal. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII MTs N Brangsong Kendal yang terdiri dari 10 kelas. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik cluster random sampling. Sampel yang akan digunakan adalah 2 kelas, yaitu kelas VII G sebagai kelas eksperimen dan kelas VII H sebagai kelas kontrol. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data pada saat melakukan studi pendahuluan untuk menemukan suatu permasalahan dan mengetahui hal-hal dari

Evaluation (evaluasi)

Analysis(analisis)

Design(desain)

Development

(pengembangan)

Implementation

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 357

responden yang lebih mendalam (Sugiyono, 2015). Wawancara pada penelitian ini dilakukan dengan tanya jawab secara langsung, antara peneliti dan subjek yang menjadi sumber data. Sumber data pada wawancara ini berasal dari guru matematika di MTsN Brangsong yaitu R. Wahyu Djatmiko, S.Pd. dan Fiki Diah Rahmawati, S.Pd. Wawancara dengan guru matematika bertujuan untuk melakukan studi pendahuluan mengetahui proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru matematika di sekolah tersebut dan untuk menganalisis kebutuhan modul pembelajaran matematika.

Penilaian Diri (self assessment) merupakan suatu teknik penilaian yang dilakukan oleh peserta didik terhadap dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik penilaian ini dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (Daryanto, 2014). Teknik penilaian diri pada penelitian ini digunakan untuk mengukur pencapaian sikap spiritual peserta didik setelah diajar menggunakan modul bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik.

Teknik Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan sebagai rekam jejak dari penelitian ini. Dokumentasi yang dihasilkan berupa foto pada saat penerapan modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dan pada post test hasil belajar peserta didik.

Teknik Kuesioner disebut juga sebagai angket, yaitu merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam bentuk pengajuan pertanyaan tertulis melalui sebuah daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan harus diisi oleh responden (Sugiyono, 2015). Pengajuan angket diberikan kepada peserta didik untuk studi pendahuluan (analisis kebutuhan modul) dan tanggapan peserta didik terhadap produk modul pembelajaran serta kepada validator sebagai uji kelayakan modul.

Teknik Tes dalam penelitian ini menggunakan teknik tes tertulis. Tes tertulis ini dilakukan pada saat post test untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah menggunakan modul pada kelas eksperimen dan post test pada kelas kontrol. Teknik Analisis Data Uji Validitas Modul oleh Validator

Uji validitas modul diperlukan untuk menunjukkan kesesuaian antara teori penyusunan dengan modul yang disusun, menentukan apakah modul yang telah dibuat itu cukup valid (layak, baik) atau tidak. Apabila tidak atau kurang valid berdasarkan teori dan masukan perbaikan validator, modul tersebut perlu diperbaiki. Valid atau tidaknya modul ditentukan dari kecocokan hasil validasi empiris dengan kriteria validitas yang ditentukan. Angket validasi menggunakan tabulasi. Tabulasi data sesuai dengan tabel 2.

Tabel 2 Pedoman penskoran lembar penilaian validator. Kategori Skor

Sangat baik 4 Baik 3

Kurang 2 Sangat kurang 1

Jumlah total skor validasi kemudian dihitung persentasenya dengan rumus sebagai

berikut :

𝑆𝑘𝑜𝑟 % = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛 𝑣𝑎𝑙𝑖𝑑𝑎𝑠𝑖

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙× 100%

Setelah itu, skor (%) yang sudah dihasilkan dikonversikan dalam bentuk tabel

kriteria. Tabel kriterianya disajikan pada tabel 3.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

358 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 3 Kriteria Validitas Produk Pengembangan (Sa’dun Akbar, 2013) Angket tanggapan peserta didik

Data yang diperoleh melalui angket tanggapan peserta didik terhadap modul

pembelajaran matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik masih berupa data uraian aspek-aspek tanggapan peserta didik. Data uraian tersebut direkap dan setiap aspek tanggapan dari keseluruhan peserta didik sampel dipersentasekan. Angket tanggapan menggunakan tabulasi. Tabulasi data sesuai dengan tabel 4.

Tabel 4 Pedoman penskoran lembar angket tanggapan peserta didik.

Kategori Skor Sangat setuju 4

setuju 3 Tidak setuju 2

Sangat tidak setuju 1 Jumlah total skor validasi kemudian dihitung persentasenya dengan rumus sebagai berikut :

𝑆𝑘𝑜𝑟 % = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛 𝑣𝑎𝑙𝑖𝑑𝑎𝑠𝑖

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙× 100%

Setelah itu, skor (%) yang sudah dihasilkan dikonversikan dalam bentuk tabel kriteria. Tabel kriterianya disajikan pada tabel 5.

Tabel 5 Pedoman penilaian tanggapan peserta didik (Purwanto, 2002) Analisis Efektivitas Modul Ranah kognitif

Penilaian kognitif dilakukan dengan desain posttest-only control design. Berikut adalah gambaran desain penelitian tersebut (Sugiyono, 2015). Kelas Eksperimen R1 X O1

------------------ Kelas Kontrol R2 O2

Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Sminov. Uji

No Kriteria Validitas

Tingkat Validitas

1 85,01% − 100% Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi

2 70,01% − 85% Cukup valid, atau dapat digunakan namun perlu direvisi kecil

3 50,01% - 70% Kurang valid, disarankan tidak dipergunakan karena perlu revisi besar

4 1% − 50% Tidak valid atau tidak boleh dipergunakan

No. Tingkat

penguasaan Predikat

1. 2. 3. 4. 5.

86-100% 76-85% 66-75% 56-65% 1-55%

Sangat baik Baik

Cukup Kurang

Kurang sekali

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 359

homogenitas menggunakan uji F. Terakhir uji perbedaan rata-rata menggunakan uji t pihak kanan. Ranah sikap spiritual

Analisis Sikap spiritual dilakukan dengan menggunakan desain one-group pretest-posttest design. Berikut adalah gambaran desain penelitian tersebut (Sugiyono, 2015). Kelas Eksperimen O1 X O2

Penilaian diri digunakan untuk menilai sikap spiritual peserta didik. Hasil perhitungan penilaian sikap spiritual kemudian ditafsirkan dengan rentang kualitatif seperti pada tabel berikut:

Tabel 6 Kategori Pencapaian Penilaian ranah Afektif (Purwanto, 2002)

Data hasil pre-test dan post test selanjutnya dianalisis dengan indeks gain : 𝑔

(Normalized Gain). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Modul pembelajaran matematika materi aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dalam penelitian ini dikembangkan dengan prosedur pengembangan ADDIE yaitu dikembangkan dengan melalui beberapa tahap dalam ADDIE yaitu analysis, design, development, implementation, dan evaluation. Adapun dalam deskripsi prototipe produk dapat dijabarkan dalam tahap pengembangan ADDIE sebagai berikut: Tahap Analysis

Analisis peserta didik terhadap modul pembelajaran matematika materi aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dilakukan dalam rangka mengetahui kebutuhan peserta didik terhadap sumber belajar yang diharapkan mampu menunjang hasil belajar peserta didik tentang materi aritmetika sosial. Analisis kebutuhan dilakukan dengan menyebarkan angket kebutuhan peserta didik MTs N Brangsong. Hasil angket kebutuhan modul sebagai berikut:

Tabel 7 Persentase tempat yang sering digunakan peserta didik dalam mengulang pelajaran

Tempat Persentase Rumah 55,17% Perpustakaan sekolah 31,03% Ruang kelas 6,90% Warnet 3,45% Lain-lain 3,45%

Data di atas menunjukkan bahwa sebanyak 55,17% peserta didik sering

mengulang pelajaran di rumah dan 31,03% peserta didik suka mengulang pelajaran ketika ada di ruang kelas. Berdasarkan data tersebut, peserta didik membutuhkan sumber belajar yang dapat digunakan di rumah maupun ruang kelas.

No. Tingkat

penguasaan Predikat

1. 2. 3. 4. 5.

86-100% 76-86% 66-75% 56-65% 1-55%

Sangat baik Baik Cukup Kurang Kurang sekali

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

360 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 8 Persentase kebutuhan modul matematika bagi peserta didik

Kebutuhan terhadap modul matematika

Persentase

Sangat perlu 27,59% Perlu 31,03%

Cukup perlu 41,38% Tidak perlu 0%

Sangat tidak perlu 0% Data di atas menunjukkan bahwa 27,59% peserta didik sangat membutuhkan

modul, sebanyak 31,03% membutuhkan modul, sebanyak 41,38% cukup membutuhkan modul dan 0% peserta didik tidak membutuhkan modul. Sehingga dapat dikatakan bahwa peserta didik akan lebih terbantu dengan adanya modul matematika sebagai bahan ajar alternatif.

Tabel 9 Persentase konten yang diharapkan muncul pada modul matematika No Aspek yang

diharapkan muncul pada modul matematika

Persentase

1. Adanya integrasi Islam dengan modul matematika

Ya 76,86%

Tidak 23,14% 2. Aspek Islam yang

diharapkan muncul dalam modul matematika

Al Quran 44,83% Hadis 27,59% Sejarah 24,14% Lainnya 3,45%

3. Konten tambahan Gambar 23,33% Grafik 6,67% Latihan soal 66,67% Lainnya 3,33%

Adapun konten yang peserta didik harapkan muncul dalam modul matematika menurut angket analisis kebutuhan peserta didik terhadap modul dapat dilihat pada Tabel 9. Data dari tabel 9 tersebut menunjukkan bahwa modul matematika perlu mencakup nilai Islam yaitu dengan mencakup ayat-ayat Al Quran, hadis, nilai Islam lain, serta konten tambahan yang berupa gambar, grafik, atau pun latihan soal. Tahap design

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan informasi, tahap selanjutnya yaitu membuat desain modul. Desain modul matematika aritmetika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut: (1) Menentukan topik pembelajaran (2) Menentukan kompetensi sesuai kurikulum (3) Menentukan sub materi pembelajaran Keuntungan dan kerugian, Bunga tunggal Bruto, neto, dan tara (4) Menentukan kegiatan pembelajaran (5) Menentukan kerangka modul. Kerangka modul disusun berdasarkan data yang diperoleh pada analisis angket kebutuhan peserta didik. Kerangka modul dibuat dalam bentuk poin-poin isi modul sebagai berikut: cover dan halaman judul, Kata pengantar, Daftar isi, Deskripsi modul, Petunjuk Penggunaan Modul matematika aritmetika sosial, Kompetensi dan indikator, Peta konsep, Biografi, Sejarah aritmetika, Kegiatan pembelajaran, Ayo berlatih, Rangkuman materi, Tes pemahaman, Kunci jawaban, Daftar Pustaka. Selain berisi pembuka dan materi inti dalam modul ini juga terdapat materi pendukung yaitu kolom renungan, kamu harus tahu, tahu tidak?, dan motivasi.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 361

Tahap development Setelah desain modul, selanjutnya yaitu mengembangkan draf modul sesuai

dengan desain kerangka yang sudah dibuat. Draf modul aritmetika sosial yang sudah tersusun kemudian melewati tahapan, antara lain: Kritik dan saran dari validator Validasi Modul oleh Validator

Draf modul aritmetika sosial bernuansa islami diajukan kepada validator ahli. Validator ahli dari modul aritmetika sosial dalam penelitian ini yaitu Yulia Romadiastri, S.Si., M.Sc. sebagai validator 1 dan Sri Isnani Setiyaningsih, M. Hum. sebagai validator 2. Validasi modul yang dilakukan oleh validator berupa angket validasi. Kategori penilaian modul berasal dari angket pada poin kesimpulan dengan validator memilih dari 3 kategori yaitu layak digunakan di lapangan tanpa ada revisi, layak digunakan di lapangan dengan revisi dan tidak layak digunakan di lapangan. Hasil dari angket oleh validator ahli yaitu validator 1 dan validator 2 menyimpulkan layak digunakan di lapangan dengan revisi.

Selain dari kesimpulan pada angket validasi modul, juga dilakukan perhitungan pada hasil angket. Validasi oleh validator dilakukan untuk mengetahui modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik valid dan layak digunakan atau tidak. Didapatkan rata-rata total penilaian validator mencapai persentase 82,50% sehingga mencapai kategori valid dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Berikut hasil dari perhitungan validasi oleh validator:

Tabel 10 Hasil validasi modul No. Indikator Skor

maks Validator

1 2

1. Kelayakan Isi

56 39 49

2. Penyajian 52 37 49 3. Bahasa 52 40 49 4. Saintifik 20 15 16 5. Sikap

Spiritual 20 17 20

Total 200 148 172 Persentase 100% 71,00% 91,00% Rata-rata total 82,50%

Kategori Cukup valid, atau dapat digunakan namun perlu direvisi kecil

Tahap implementation Implementasi dengan uji terbatas yang dilakukan pada penelitian ini adalah

menerapkan modul aritmetika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik yang sudah divalidasi pada kelas eksperimen yaitu kelas VII G. Tahap evaluation

Tahap evaluation pada desain pengembangan ADDIE pada penelitian ini yaitu analisis data akhir. Analisis data ini menganalisis data hasil penerapan modul yaitu tanggapan peserta didik terhadap modul aritmetika sosial dan efektivitas modul aritmetika sosial. Tanggapan Peserta Didik terhadap Modul

Modul yang sudah valid dan sudah dilakukan uji terbatas kemudian dilakukan penyebaran angket tanggapan peserta didik terhadap modul. Berdasarkan hasil rekapitulasi tanggapan peserta didik terhadap modul aritmetika sosial, peran modul

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

362 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

aritmetika sosial terhadap kemudahan belajar peserta didik dinyatakan baik dengan persentase sebesar 81%, ketertarikan peserta didik menggunakan bahan ajar berbentuk modul dinyatakan baik dengan persentase sebesar 78%, peran modul dalam memotivasi peserta didik untuk belajar aritmetika sosial dinyatakan sangat baik dengan persentase sebesar 86% dan peran modul aritmetika sosial dalam membawa peserta didik kepada spiritualitas yang sesuai dengan Islam dinyatakan sangat baik dengan persentase 90%.

Dari respons peserta didik terhadap modul aritmetika sosial kemudian ditentukan respons peserta didik secara umum. Respons peserta didik secara umum diperoleh persentase rata-rata sebesar 86,94%. Dari persentase tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa modul aritmetika sosial yang sudah dipakai peserta didik dinyatakan sangat baik. Efektivitas modul Ranah kognitif

Analisis data motivasi meliputi uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-rata. Adapun hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 11 Hasil uji normalitas tahap akhir No. Kelas 𝑫𝒉𝒊𝒕𝒖𝒏𝒈 𝑫𝒕𝒂𝒃𝒆𝒍 Kesimpulan

1. VII G /Eksperimen

0,148 0,240

Normal

2. VII H /Kontrol

0,115 0,240

Normal

Dari tabel di atas diketahui 𝐷ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 kedua sampel kurang dari 𝐷𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga 𝐻0 diterima. Artinya kedua sampel berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan uji homogenitas, hasil yang didapat sesuai dengan tabel berikut.

Tabel 12 Hasil uji homogenitas tahap akhir Dari tabel uji homogenitas di atas diketahui 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐹𝐹(0,05)(25,26)

sehingga 𝐻0

diterima. Artinya kedua kelas mempunyai varians yang sama atau homogen. Dari pengujian normalitas dan homogenitas diperoleh bahwa data berdistribusi

normal dan memiliki varians homogen. Sehingga untuk pengujian perbedaan rata-rata digunakan uji t pihak kanan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil Uji t-test independent Sumber variasi

Eksperimen Kontrol

Jumlah 1941 1421 𝑁 27 26 �� 71,89 54,65 𝑆𝑖

2 77,33 133,76 𝑆2 104,99 𝑆 10,25

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 6,12

Sumber Variansi Kontrol Eksperimen Jumlah 1421 1941 N 26 27

�� 54.65 71.89 Varians (Si2) 133.76 77.33 Standart deviasi (S) 11.57 8.79 𝐹hitung 1.730

𝐹(0,05)(26,27) 1.947

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 363

dk 51 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,67

Dari tabel di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2 Kurva hasil uji t Didapat 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka 𝐻0 ditolak atau 𝐻1 diterima. Hal ini menunjukkan

bahwa ada perbedaan rata-rata hasil belajar peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu sebesar 71,89 dan 54,65. Artinya pembelajaran menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik lebih efektif dari pada pembelajaran yang tidak menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik. Ranah sikap spiritual

Efektivitas modul juga ditentukan dengan hasil penilaian sikap spiritual peserta didik. Sikap spiritual yang dinilai dalam penilaian ini di antaranya yaitu keimanan, rasa syukur dan akhlak. Sikap spiritual pada penelitian ini diuji berdasarkan hasil pre-test dan post-test peserta didik dengan menggunakan angket penilaian diri. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peran modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dalam meningkatkan sikap spiritual peserta didik.

Hasil penilaian sikap spiritual peserta didik sesuai lampiran 14 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 14 Nilai pre-test dan post-test

Hasil Pretest

Hasil Posttest

Jumlah (skor maks 1488)

1113 1229

Rata-rata 35.90 39.65

Persentase 75% 83%

Kategori cukup baik Hasil angket sikap spiritual peserta didik kemudian diuji dengan menggunakan uji

normalitas gain (n-gain). Uji ini menunjukkan peningkatan sikap spiritual peserta didik. Hasil rata-rata skor n-gain yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 15 Hasil analisis N-Gain

Test Total skor

Gain skor

N-Gain

Kategori

Pre-test

1113 116 0,32 Sedang

Post-test

1229

Berdasarkan tabel di atas, skor n-gain yang diperoleh sebesar 0,32 menunjukkan adanya peningkatan sikap spiritual peserta didik dengan pencapaian kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik efektif meningkatkan sikap spiritual peserta didik.

Daerah penerimaan Ho

1,67 6,12

Daerah penolakan Ho

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

364 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dikatakan valid dan praktis diperoleh dari penilaian validator 1 dan validator 2 yang mencakup kelayakan isi, kelayakan penyajian, penilaian bahasa, penilaian saintifik dan sikap spiritual. Penilaian dari 2 validator mendapat persentase rata-rata sebesar 82,50% yang artinya modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dinyatakan valid namun perlu sedikit revisi sebagai perangkat pembelajaran. Dengan hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa modul dinyatakan valid dan praktis. Dan juga tanggapan peserta didik terhadap modul mendapat persentase 86,94%. Hal ini menunjukkan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dinyakan sangat baik.

Efektivitas modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik diukur pada ranah kognitif dan sikap spiritual peserta didik. Ranah kognitif diukur dengan cara post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil post-test menunjukkan ada perbedaan rata-rata antara kelas eksperimen dan kontrol. Rata-rata nilai kelas eksperimen yaitu 71,79 dan rata-rata nilai kelas kontrol yaitu 54,65. Data ini kemudian diuji dengan t-test mendapatkan hasil 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 6.12 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,67 maka 𝐻0

ditolak atau 𝐻1 diterima. Artinya pembelajaran menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik lebih efektif dari pada pembelajaran yang tidak menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik. Sedangkan sikap spiritual peserta didik diukur menggunakan pre-test dan post-test dengan menggunakan angket sikap spiritual pada kelas eksperimen. Hasil yang didapatkan yaitu pre-test sebesar 75% dan post-test sebesar 83%. Hasil ini kemudian dianalisis dengan uji normalitas Gain (N-Gain). Hasil uji n-gain memperoleh skor n-gain sebesar 0,32. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik efektif meningkatkan sikap spiritual peserta didik dengan kategori sedang.

Produk berupa modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik pada materi aritmetika sosial ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran matematika di MTs atau sekolah sederajat berbasis Islam lainnya. REFERENSI Agus Susilo, S. &. B., 2016. Pengembangan Modul Berbasis Pembelajaran Saintifik Untuk

Peningkatan Kemampuan Mencipta Siswa Dalam Proses Pembelajaran Akuntansi Siswa Kelas XII SMA N I Slogohimo 2014. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, juni, 26(1), p. 51.

Aldoobie, N., 2015. ADDIE Model. American International Journal of Contemporary Research, Desember, Volume 5 no.6, p. 68.

Daryanto, 2013. Menyusun Modul Bahan Ajar untuk Persiapan Guru dalam Mengajar. Yogyakarta: Gava Media.

Daryanto, 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Jogyakarta: Gava Media.

Desmita, 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. 1, cetakan 3 penyunt. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hake, R. R., 1999. Analyzing Change/Gain Scores. American Educational Research Association.

Kusaeri, 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nata, A., 2013. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers. Purwanto, N., 2002. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 365

RI, D. A., 1998. Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI. Semarang: Toha Putra.

Sa’dun Akbar, 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Salleh, M. S., 2013. Strategizing Islamic Education. International Journal of Education and Research.

Shihab, M. Q., 2013. Membumikan Al Quran. Bandung: Mizan Media Utama. Sudjana, N., 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta. Wiyani, N. A., 2014. Desain Pembelajaran Pendidikan. Yogyakarta: AR-Ruzz Media.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

366 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

ANALISIS KESULITAN BELAJAR PADA MATERI DIMENSI TIGA

Sofi Ulfamayanti1, Yulia Romadiastri2, Sri Isnani Setiyaningsih3

1Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected] 2Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

3Universitas Islam Negeri Walisongo, [email protected]

Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya hambatan-hambatan sebagai bentuk gejala kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik kelas X di MA Mir’atul Muslimien. Diantaranya peserta didik tidak dapat merespon pertanyaan guru, peserta didik kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru, peserta didik juga lambat dalam pengumpulan tugas. Serta banyak peserta didik yang mendapatkan nilai jauh di bawah KKM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar peserta didik pada materi dimensi tiga di kelas X MA Mir’atul Muslimien. Metode penelitian yang digunakan ialah pendekatan kualitatif, dan dijabarkan secara deskriptif. Analisis tingkat kesulitan belajar ini dilakukan berdasarkan tiga aspek yang ada pada kurikulum matematika, yakni pemahaman konsep, keterampilan, dan pemecahan masalah. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya observasi, dokumentasi, tes tertulis, dan wawancara. Data yang diperoleh dari observasi dan dokumentasi menunjukkan bahwa kelas X di MA Mir’atul Muslimien memiliki gejala kesulitan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kesulitan belajar peserta didik kelas X memiliki skor 2,52 pada kategori sedang. Sedangkan kesulitan belajar pada aspek pemahaman konsep memiliki skor rata-rata 2,57 yang menunjukkan kesulitan belajar pada aspek pemahaman konsep berada pada kategori sedang. Pada aspek keterampilan memiliki skor rata-rata kesulitan sebesar 1,78 yang berada pada kategori cukup. Pada aspek pemecahan masalah memiliki skor rata-rata kesulitan belajar sebesar 2,88, menunjukkan kategori sedang. Kata Kunci: Kesulitan Belajar, Dimensi Tiga

PENDAHULUAN Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk pembentukan kepribadian

suatu individu. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai dalam diri seseorang yang akan menjadi penuntun dalam menjalani kehidupan. Sehingga orang yang berpendidikan biasanya akan lebih bisa membawa dan mengontrol dirinya dalam bertindak dan berperilaku dalam berbagai situasi. Hal ini dikarenakan orang tersebut telah belajar dengan benar serta menghayati perannya sebagai orang yang berilmu. Sejalan denganSyeh Az-Zarnuji dalam Kitab Ta’lim Mu’taalim (Al-Zarnuji, 2004: 8):

يع اخلصال سوى العلم ختص بإلنسانية لن ج

ها اإلنسان وسآئر احلي وانت: كالشجاعي وشرف العلم ليفى على أحد إذ هو امل ة شتك في رها سوى العلم.واجلراءة والقوة واجلود والشفقة وغي

“Tidak ada seorangpun yang meragukan akan pentingnya ilmu pengetahuan, karena itu khusus dimiliki umat manusia. Adapun selain ilmu, itu bisa dimiliki manusia dan bisa juga dimiliki binatang: seperti keberanian, kekuatan, kemurahan hati, dan belas kasih, selain ilmu.”

Dalam pendidikan formal maupun non-formal, belajar atau pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila masing-masing peserta didik telah mencapai tujuan pembelajaran yang sebelumnya tertuang dalam indikator. Dalam hal ini setiap pokok bahasan dalam suatu mata pelajaran tertentu mempunyai masing-masing indikator yang harus dicapai peserta didik diakhir pembelajaran. Semua itu bukan tidak mungkin dapat dicapai oleh peserta didik karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna baik fisik maupun akal pikiran. Peserta didik (manusia) lahir dengan potensinya masing-masing yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Seperti firman Allah dalam QS. At-Tin ayat 4 (Depag RI, 2012: 598):

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 367

نسان ف أحسن ت قومي )لقد خ (٤لقنا اإل “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-

baiknya”. Pemerintah Indonesia melalui lembaga pendidikan terus berupaya sebaik mungkin

untuk memberikan sarana dan pra-sarana pendidikan yang baik untuk peserta didik. Upaya yang di lakukan pemerintah yang paling nyata dirasakan baik oleh guru maupun peserta didik ialah kurikulum yang diterapkan. Setiap mata pelajaran memiliki kurikulum yang berbeda. Masing-masing memiliki peran penting untuk membentuk kemampuan peserta didik. Lerner (Abdurrahman: 2009) menyebutkan bahwa kurikulum matematika harus mencakup konsep atau pemahaman konsep. Konsep merupakan hal yang paling mendasar dalam matematika. Selain konsep, keterampilan juga diperlukan dalam matematika. Keterampilan dapat berkembang seiring latihan-latihan yang dilakukan. Hal terakhir atau penutup dari matematika ialah pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah menekankan pada pemrosesan informasi matematika. Dalam menghadapi persoalan matematika perlu dilakukan analisis sebagai landasan untuk menentukan keputusan. Jadi dalam pembelajaran matematika, indikator pembelajaran atau tujuan pembelajaran idealnya mencakup tiga hal tersebut.

Standar pencapaian kurikulum yang diterapkan tentu memicu berbagai kesulitan belajar bagi peserta didik. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pembelajaran, peserta didik sering kali mengalami situatsi-situasi yang menghambat belajar mereka. Kesulitan-kesulitan tersebut juga berlaku pada mata pelajaran matematika. Kehadiran matematika sebagai mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan menjadikan masyarakat menganggap bahwa matematika merupakan tolok ukur kecerdasan. Namun selama ini matematika di pandang sebagai mata pelajaran yang sulit. Seperti yang diungkapkan oleh Muijs dan Reynolds yang di kutip oleh Dyahsih Alin Sholihah dan Ali Mahmudi (2015: 178) bahwa matematika di anggap sulit oleh siswa maupun masyarakat pada umumnya dikarenakan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa hanya terbatas pada apa yang telah diajarkan oleh guru saja. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) kembali melakukan penelitian melalui PISA (Programme for International Student Assessment) ke berbagai negara terkait pendidikan pada tahun 2015. Diantara yang diteliti ialah kemampuan sains, membaca, dan matematika. Salah satu dari 72 negara yang diteliti adalah Indonesia. Tepat pada 6 Desember 2016 OECD merilis hasil penelitian yang mereka lalukan. Pada kemampuan matematika, Indonesia memperoleh skor 386. Skor sains sebesar 403, sedangkan untuk membaca, Indonesia memperoleh skor 397 (OCED 2016, diakses 2 April 2017). Hal ini menguatkan bahwa di Indonesia matematika merupakan mata pelajaran yang sulit di banding dengan mata pelajaran lain. Salah satu materi yang terdapat pada kurikulum matematika di SMA/MA ialah dimensi tiga.

Dimensi tiga merupakan salah satu materi yang diajarkan di kelas X pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebagai salah satu materi yang berinduk pada geometri, terdapat cukup banyak penggunaan konsep dan aplikasi pada dimensi tiga. Pemahaman dasar konsep serta keterkaitan antar konsep yang telah didapatkan sebelumnya benar-benar dibutuhkan. Sehingga untuk menyesaikan permasalahan dimensi tiga harus menguasai konsep secara matang dan keterampilan menyelesaikan soal secara tepat. Serta pemecahan masalah selalu menjadi bagian penting dalam belajar geometri khususnya dimensi tiga (O'Daffer&Clemens, 1992: 7).

Dimensi Tiga sebagai muatan kurikulum nasional juga diajarkan di MA Mir’atul Muslimien di kelas X. MA Mir’atul Muslimien merupakan sekolah swasta yang berada di bawah naungan yayasan Mir’atul Muslimien. MA Mir’atul Muslimien yang memiliki akreditasi C berpotensi memiliki peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Di kelas X baik X-A maupun X-B, peserta didik terlihat tidak bersemangat dalam mengikuti

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

368 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pembelajaran hingga tertidur. Sebagian besar dari peserta didik saling mengobrol satu sama lain saat guru menyampaikan materi pelajaran. Hal itu berimbas pada ketidaksanggupan peserta didik dalam merespon apa yang ditanyakan oleh guru. Peserta didik kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru meskipun materinya baru saja di sampaikan. Saat diberikan tugas rumah, peserta didik kelas X di MA Mir’atul Muslimien juga lambat dalam pengumpulan. Belum lagi diperkuat dengan nilai-nilai tes yang didapatkan jauh di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Dari sekian banyak penelitian yang dilakukan dan teori para ahli, kesulitan belajar diartikan sebagai sebuah kesulitan dalam hal membaca, menulis, atau berhitung yang penyebabnya adalah terjadinya luka pada otak atau tidak berfungsinya sistem syaraf pusat. Namun pada realitanya, pihak sekolah, guru, orangtua, maupun peserta didik sendiri tidak akan tahu pasti kesulitan belajar yang di alami karena tidak pernah ada pemeriksaan medis yang di lakukan terhadap otak dan sistem syaraf peserta didik kelas X di MA Mir’atul Muslimien. Sedangkan penelitian ini membahas kesulitan belajar yang diartikan sebagai hambatan-hambatan yang mengganggu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.Secara kasat mata, gejalanya pun mudah terlihat. Sehingga penelitian ini akan lebih efektif dalam membantu peserta didik, guru, bahkan pihak sekolah untuk mengetahui kesulitan belajar yang peserta didik kelas X alami.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2013) metode kualitatif dilakukan pada objek yang alamiah atau apa adanya tanpa manipulasi. Dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan dengan pengolahan angka-angka namun juga dengan mencari data sacara mendalam kepada objek penelitian. Pencarian data secara mendalam dilakukan dengan melakukan observasi, pengumpulan dokumen-dokumen, mengadakan tes tertulis, dan juga wawancara kepada responden.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar peserta didik kelas X pada materi dimensi tiga. Penelitian ini dilaksanakan di MA Mir’atul Muslimien, tepatnya berada di Desa Ngambakrejo, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Sementara itu waktu penelitian dimulai pada bulan januari 2017 dan berakhir pada bulan Juni 2017.

Aspek yang dianalisis dalam kesulitan belajar peserta didik yakni pemahaman konsep, keterampilan, dan pemecahan masalah. Berikut indikator untuk pemahaman konsep peserta didik (Mukhni, 2013): 1. Menyatakan ulang sebuah konsep 2. Mengklasifikasikan objek menururt sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya) 3. Memberi contoh dan bukan contoh dari konsep 4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis 5. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep 6. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu 7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah Menurut Abdurrahman (2010), Keterampilan dapat dilihat dari kinerja baik atau kurang baik, cepat atau lambat, secara mudah atau sukar. Keterampilan cenderung berkembang dan dapat ditingkatkan melalui latihan-latihan yang dilakukan secara continue. Dalam materi dimensi tiga, komponen yang dapat dinilai dalam aspek keterampilan yakni pengoperasian simbol-simbol, satuan, dan ketepatan gambar. Sehingga dalam penelitian ini, indikator keterampilan yaitu pengoperasian simbol-simbol, satuan, dan ketepatan gambar dalam menyelesaikan permasalahan.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 369

Pemecahan masalah adalah sebuah proses dimana suatu situasi diamati kemudian bila ditemukan ada masalah dibuat penyelesaiannya dengan cara menentukan masalah, mengurangi atau menghilangkan masalah atau mencegah masalah tersebut terjadi (Kusuma 2011, diakses 10 Nopember 2016). Menurut Polya (1957), pemecahan masalah harus melalui tahapan-tahapan yang menjadi indikator dalam penelitian ini, yaitu: 1. Understanding the problem (memahami masalah) 2. Devising a problem (merencanakan penyelesaian) 3. Carrying out the plan (melaksanakan perencanaan) 4. Looking back (memeriksa kembali)

Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada metode Miles dan Huberman yang dikutip oleh Sugiono (2013) yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Pada tahap penyajian data, data disajikan dalam empat kategori berdasarkan skor yang didapatkan, dengan skor maksimal bernilai 4. Empat kategori yang dimaksud yaitu tinggi, sedang, cukup, dan rendah. Dilakukan dengan menggunakan rumus:

𝑋 =𝑥𝑚𝑎𝑥−𝑥

𝑥𝑚𝑎𝑥× 4

Keterangan: 𝑋 : Skor kesulitan 𝑥𝑚𝑎𝑥 : Skor maksimal 𝑥 : skor yang di dapat masing-masing peserta didik

Pengelompokkan peserta didik dalam penelitian ini dilakukan kepada keseluruhan peserta didik, tidak hanya peserta didik yang memeroleh nilai dibawah KKM. Hal ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang lebih valid. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa peserta didik yang memeroleh nilai mencapai KKM tidak mengalami kesulitan belajar. Sedangkan tabel kategori dan rentang skornya adalah sebagai berikut (Widoyoko, 2014: 258-259):

Tabel 1. Kategori dan rentang skor kesulitan belajar Kategori Rentang Tinggi 𝑋 > 3,25 Sedang 2,50 < 𝑋 ≤ 3,25 Cukup 1,75 < 𝑋 ≤ 2,50 Rendah 𝑋 ≤ 1,75

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tes kesulitan belajar yang dilakukan pada peserta didik kelas X-A dan X-B sebanyak 20 orang mendapatkan skor rata-rata keseluruhan sebesar 2,52. Yang artinya kesulitan belajar peserta didik berada pada tingkat sedang. Berikut banyaknya peserta didik pada tiap kategori:

Tabel 2. Banyaknya peserta didik pada setiap kategori

Kategori Rentang Banyak Tinggi 𝑋 > 3,25 6 Sedang 2,50 < 𝑋 ≤ 3,25 7 Cukup 1,75 < 𝑋 ≤ 2,50 7 Rendah 𝑋 ≤ 1,75 5

Gambar 1. Diagram prosentase banyaknya peserta didik pada setiap kategori

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

370 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Dari pengkategorian tersebut dipilih 2 peserta didik untuk dilakukan wawancara dan analisis jawaban. Berikut daftar peserta didik yang terpilih:

Tabel 3. Daftar wawancara dan analisis jawaban peserta didik Kategori Kode Kelas Tinggi S-11 X-A Tinggi S-24 X-B Sedang S-1 X-A Sedang S-14 X-B Cukup S-7 X-A Cukup S-22 X-B Rendah S-8 X-A Rendah S-17 X-B

1. Kesulitan Belajar Pada Aspek Pemahaman Konsep Pada asepk pemahaman konsep, peserta didik memiliki skor rata-rata kesulitan

sebesar 2,57 yang menunjukkan kesulitan belajar pada aspek ini berada pada kategori sedang. Berikut banyaknya peserta didik pada tiap kategori aspek pemahaman konsep:

Tabel 4. Banyaknya peserta didik pada tiap kategori aspek pemahaman konsep Kategori Rentang Ban

yak Tinggi 𝑋 > 3,25 6 Sedang 2,50 < 𝑋

≤ 3,25 7

Cukup 1,75 < 𝑋≤ 2,50

7

Rendah 𝑋 ≤ 1,75 5

Terdapat tujuh butir indikator dalam aspek pemahaman konsep. indikator yang pertama yaitu menyatakan ulang sebuah konsep terdapat pada soal nomor 6.

Gambar 2. Jawaban S-22 (Kategori sedang) menyatakan ulang konsep nomor 6

Gambar 2 merupakan contoh jawaban dari S-22 yang menyebutkan bahwa dua

garis sejajar merupakan garis yang saling berhadapan. S-22 mengakui kalau begitulah yang dia ketahui. Hal tersebut juga dia sampaikan saat wawancara.

P : Bagaimana maksud dua garis sejajar? S-22 : Garis yang saling berhadapan, Mbak. P : Apakah garis sejajar selalu saling berhadapan? S-22 : Iya, Mbak, meskipun jauh kan berhadapan

Tinggi24%

Sedang28%

Cukup28%

Rendah20%

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 371

P : Kalau dua garis yang berhadapan itu berpotongan di suatu titik, apakah masih garis sejajar?

S-22 : Kalau sudah berhadapan kan nggak mungkin berpotongan, Mbak. Dari hasil wawancara dengan S-22 menunjukkan bahwa S-22 memahami

bentuk visual dari dua garis sejajar, namun tidak mengerti secara tepat definisi garis sejajar.

Indikator yang kedua yaitu mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya). Pada Gambar 3, terdapat kesalahan saat S-8 menyebut garis frontal vertikal dan garis orthogonal.

Gambar 3. Jawaban S-8 (kategori rendah) mengklasifikasikan objek-objek nomor 1

Indikator ketiga dari aspek pemahaman konsep yaitu memberi contoh dan bukan contoh. Diaplikasikan pada soal yang meminta peserta didik menjawab “ya” pada garis yang dianggap sejajar, dan “tidak” pada sebaliknya. Gambar 4. Jawaban S-11 (kategori tinggi) memberi contoh dan bukan contoh nomor

6 Gambar 4 menunjukkan S-11 mampu menyebutkan contoh dan bukan contoh

dari garis sejajar dengan baik, namun sayangnya dia tidak mampu menyebutkan apa maksud dua garis sejajar pada indikator pertama. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada S-11, dia sulit untuk menuliskan, tapi mengerti maksud dari garis sejajar.

Indikator yang keempat yaitu menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.

Gambar 5. Jawaban S-7 (kategori cukup) menyajikan representasi nomor 3

Gambar 5 menunjukkan S-7 mampu melakukan representasi dengan baik. Bahkan S-7 juga dapat melihat dengan jelas permasalahan dengan menarik garis dari titik P ke titik Q yang merupakan puncak permasalahan. Berikut kutipan wawancara kepada S-17 terhadap representasinya di nomor 3. P : Apa yang kamu ketahui dari soal? S-7 : Ada kubus panjang rusuknya a senti. Lalu di bagian bawah sini (menunjuk

rusuk AP) ada perpanjangan sampai ukurannya 2a. Terus ada perpanjangan lagi di samping (menunjuk rusuk FG) ukurannya a senti.

P : Kamu yakin cara menggambarmu benar? S-7 : Yakin. P : Apakah kamu merasa kesulitan dalam menggambar seperti ini?

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

372 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

S-7 : Harus mahami dulu sih, kalau nggak paham ya sulit. Indikator kelima dari aspek pemahaman konsep yaitu mengembangkan syarat

perlu dan syarat cukup suatu konsep. memiliki skor rata-rata sebesar 3,04. Sedangkan indikator keenam yakni menggunakan, memanfaatkan, dan memilik prosedur atau operasi tertentu. Indikator kelima dan keenam merupakan indikator yang amat erat hubungannya. Syarat perlu atau syarat cukup akan tepat jika pemilihan prosedur operasi tepat. Jadi, pemilihan prosedur akan mempengaruhi ketercapaian syarat perlu dan syarat cukup. Salah satu soal yang memuat kedua indikator yaitu soal nomor 7. Dalam menjawab soal nomor 7, hanya S-8 yang mampu memenuhi indikator nomor 5.

Gambar 6. Jawaban S-8 (kategori rendah) mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup dan menggunakan prosedur tertentu nomor 7

Gambar 6 menunjukkan S-8 mampu mengembangkan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mencari nilai dari suatu sudut. Cara dia menyembangkan syarat sudah sesuai dengan alur, meskipun syarat yang dikembangkan belum cukup untuk menjawab permasalahan. Prosedur yang digunakan dalam mencari nilai sudut juga tepat..

Indikator ketujuh dari pemahaman konsep yaitu mengaplikasikan konsep dan

algoritma pemecahan masalah. Skor rata-rata kesulitan belajar peserta didik pada indikator ini sebesar 2,96. Tingginya skor kesulitan belajar tersebut dikarenakan minimnya pengaplikasian pemecahan masalah oleh peserta didik. Selain itu dikarenakan tidak lengkapnya langkah-langkah yang peserta didik lakukan pada proses pemecahan masalah.

2. Kesulitan Belajar Pada Aspek Keterampilan

Kesulitan belajar pada aspek keterampilan peserta didik memperoleh skor 1,78. Secara garis besar peserta didik menguasai aspek keterampilan lebih baik daripada aspek yang lain. Terlihat dari banyaknya peserta didik yang menempati setiap kategori, tidak ada peserta didik yang memiliki kesulitan belajar tinggi.

Tabel 5. Banyaknya peserta didik pada tiap kategori pada aspek keterampilan

Kategori Rentang Banyak Tinggi 𝑋 > 3,25 0 Sedang 2,50 < 𝑋 ≤ 3,25 8 Cukup 1,75 < 𝑋 ≤ 2,50 5 Rendah 𝑋 ≤ 1,75 12

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 373

Gambar 7. Diagram prosentase banyaknya peserta didik pada setiap kategori pada aspek keterampilan

Kesulitan belajar pada aspek keterampilan peserta didik dilihat dari ketepatan gambar peserta didik saat menyelesaikan permasalahan. S-8, sebagai peserta didik yang berada pada kategori kesulitan belajar rendah menunjukkan ketepatan gambarnya pada jawaban nomor 8.

Gambar 8. Jawaban S-8 (kategori rendah) aspek keterampilan nomor 8

Gambar 8 menunjukkan S-8 menggambar dimensi tiga yang berbentuk kubus

dengan bentuk dan ukuran yang pas. Baik ukuran panjang maupun ukuran sudut. Kesulitan belajar pada aspek keterampilan peserta didik tidak hanya dapat

dilihat dari ketepatan gambar dalam menyelesaikan permasalahan, namun juga bisa dilihat dari pengoperasian simbol-simbol matematika yang mereka lakukan. Masih terdapat peserta didik yang kesulitan dalam pengoperasian simbol-simbol matematika. Seperti S-24 pada jawabannya nomor 3. Pada gambar terlihat bahwa S-24 kesulitan dalam pengoperasian akar pangkat.

Gambar 9. Jawaban S-24 (kategori tinggi) aspek keterampilan nomor 3

3. Kesulitan Belajar Pada Aspek Pemecahan Masalah Kesulitan belajar pada aspek pemecahan masalah memiliki skor rata-rata

sebesar 2,88. Skor tersebut merupakan skor tertinggi dibandingkan dengan aspek yang lain. Bahkan dari delapan peserta didik, empat diantaranya memiliki skor kesulitan 4,00. Berikut banyaknya peserta didik pada masing-masing kategori:

Tabel 6. Banyaknya peserta didik pada setiap kategori pada aspek pemecahan masalah

Tinggi0%

Sedang

32%

Cukup20%

Rendah

48%

Kategori Rentang Banyak Tinggi 𝑋 > 3,25 11 Sedang 2,50 < 𝑋 ≤ 3,25 6

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

374 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 10. Diagram prosentase banyaknya peserta didik pada setiap kategori pada

aspek Pemecahan masalah

Pada indikator pertama yaitu pemahaman masalah, peserta didik memiliki skor kesulitan belajar sebesar 2,38. Peserta didik pada kategori sedang dan cukup mampu menjawab dengan baik.

Gambar 11. Jawaban S-8 (kategori rendah) pemahaman masalah nomor 3

Gambar 11 menunjukkan kemampuan S-8 dalam indikator pemahaman

masalah. S-8 mampu menuliskan apa yang diketahui atau informasi yang terdapat dalam soal. S-24 yang tidak menuliskan apa yang diketahui, mengatakan bahwa dia terbiasa mengerjakan soal secara langsung, jarang sekali menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah. P : Coba sebutkan apa yang kamu ketahui dari soal nomor 3? S-24 : Panjang sisi kubus. Juga ada perpanjangannya. P : Kenapa tidak kamu tuliskan di lembar jawab? S-24 : Nggak biasa sih, Mbak.

Indikator kedua dari pemecahan masalah adalah perencanaan penyelesaian.

Penilaian untuk perencanaan penyelesaian dilakukan berdasarkan penulisan apa yang ditanyakan pada soal. Skor kesulitan belajar untuk pemahaman masalah yaitu 2,46. Sama seperti indikator pertama, pada soal nomor 3 dari delapan jawaban yang dianalisis dari masing-masing kategori, hanya peserta didik yang berada pada

Tinggi44%

Sedang

24%

Cukup16%

Rendah

16%

Cukup 1,75 < 𝑋 ≤ 2,50 4 Rendah 𝑋 ≤ 1,75 4

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 375

kategori rendah dan kategori cukup yang melakukan perencanaan. Pada soal nomor 4, hanya S-1 dan S-17. Pada soal nomor 5, perencanaan hanya dilakukan oleh peserta didik yang berada pada kategori kesulitan rendah yakni S-8 dan S-17. Sedangkan pada soal nomor 7, perencanaan tidak dilakukan oleh S-11, S-24, dan S-1.

Indikator ketiga yaitu pelaksanaan penyelesaian. Pada indikator ini, skor kesulitan belajar mencapai angka 3,22. Pada analisis jawaban peserta didik, banyak dari mereka yang bermasalah pada indikator ini. Terlihat dari beberapa peserta didik yang mampu memenuhi indikator pemahaman masalah dan perencanaan penyelesaian, namun mereka tidak mampu memenuhi indikator pelaksanaan perencanaan. Gambar 12 menunjukkan bahwa pada soal nomor 4 yang berbasis pemecahan masalah, peserta didik S-1 berhenti setelah menuliskan apa yang ditanyakan pada soal.

Gambar 12. Jawaban S-1 (kategori sedang) nomor 4

Indikator keempat dalam pemecahan masalah yaitu pemeriksaan kembali.

Penilaian indikator ini dilakukan dengan melihat apakah peserta didik menuliskan kesimpulan pada jawaban. Indikator ini memperoleh skor sebesar 3,46 yang berada pada kategori tinggi. Kasus indikator keempat dalam pemecahan masalah hampir sama dengan indikator pertama. Seperti yang diungkapkan oleh S-22, bahwa dia mengaku kalau jarang sekali menuliskan kesimpulan dari jawaban. P : Saya lihat dari jawaban kamu, kamu tidak menuliskan kesimpulan, kenapa? S-22 : Ya karena saya lupa, Mbak. Saya jarang menuliskan kesimpulan memang.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik kelas X MA Mir’atul Muslimien memiliki skor rata-rata sebesar 2,52 yang berada pada kategori sedang. Kesulitan belajar pada aspek pemahaman konsep memiliki skor rata-rata 2,57. Skor tersebut menunjukkan kesulitan belajar peserta didik pada aspek pemahaman konsep berada pada kategori sedang. Kesulitan belajar peserta didik pada aspek keterampilan memiliki skor rata-rata kesulitan sebesar 1,78 yang berada pada kategori cukup. Kesulitan belajar peserta didik pada aspek pemecahan masalah memiliki skor rata-rata kesulitan sebesar 2,88. Skor tersebut berada pada kategori sedang. Saran Semoga kedepannya ditemukan sebuah metode untuk mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih diucapkan kepada Allah S.W.T. dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini.

REFERENSI Abdurrahman, M. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Adi

Mahasatya. Ahmadi, A., & Supriyono, W. 2013. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Al-Zarnuji, B. 2004. Ta'lim Muta'alim. Sodan: Al-Dar Al-Soudania.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

376 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta. Departemen Agama RI. 2012. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Darus Sunnah. Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.

Jakarta: Balai Pustaka. Fajar, H. 2010. Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam

Mempelajari Aljabar. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Jamaris, M. 2014. Kesulitan Belajar. Bogor: Ghalia Indonesia. Kurniasari, Ika. 2013. Identifikasi Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Geometri

Materi Dimensi Tiga Kelas XI IPA SMA. Prosiding Seminar Nasional dan Pendidikan Matematika. Yogyakarta 9 November 2013.

Kusni. 2009. Geometri Ruang. Semarang: Jurusan Matematika Fakultas MIPA UNNES. Mukhni, dkk. 2012. Pemahaman Konsep Luas dan Volume Bangun Ruang Sisi Datar

Siswa Melalui Penggunaan Model Learning Cycle 5E Disertai Peta Konsep. Jurnal Pendidikan Matematika. 1(1): 27-32.

Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar Dan Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar Khusus. Yogyakarta: Nuha Litera

Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group. Musyafak, A. 2011. Diagnosis Tingkat Kesulitan Belajar Matematika Peserta Didik Kelas

VII di SMP Askhabul Kahfi Mijen Semarang berdasarkan Hasil Ujian Akhir Semester Genap Tahun Pelajaran 2010/2011. Skripsi. Semarang: Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo.

Negoro, S.T. & Harahap, B. 1998. Ensiklopedia Matematika. Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ontario Principals' Council. 2009. Mathematics Leader. California: Corwin Press. O’Daffer, P.G. & Clemens, S.R. 1992. Geometry: An Investigative Approach. United States

of America: Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Polya, G. 1957. How To Solv It: A Nes Aspect of Mathematical Method. New York:

Princeton University Press. Rahyubi, H. 2012. Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik: Deskripsi dan

Tinjauan Kritis. Bandung: Nusa Media. Rohmah, Noer. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Teras. Romlah. 2010. Psikologi Pendidikan. Malang: UMM Press. Sholihah D.A. & Mahmudi, A. 2015. Keefektifan Experiental Learning Pembelajaran

Matematika MTs Materi Bangun Ruang Sisi Datar. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. 2(2): 175-185.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D). Bandung: Alfabeta. ________. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Susanto, A. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group. Syah, Muhibbin. 2016. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. Widoyoko. 2014. Penilaian Hasil Pembelajaran di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zirbel, E.L. 2010. Learning, Concept Formation & Conceptual Change. Tufts University. Kusuma, L.H. 2011. Pemecahan Masalah. Diunduh di http://lingga-

repeluone.blogspot.co.id/p/pemecahan-masalah.html tanggal 10 November 2016 OCED. 2016. PISA 2015 Result in Focus. Diunduh di https://www.oced.org/pisa tanggal 2

April 2017

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 377

MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE (SSCS) UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS

Yusrina Wardani

Universitas Negeri Yogyakarta [email protected]

Abstrak

Tantangan abad 21 yang tampak secara nyata adalah meningkatnya kebutuhan akan pendidikan yang mampu menjawab tuntutan global, yaitu menuntut individu untuk tampil sebagai manusia cerdas. Dengan kata lain bahwa pendidikan pada abad 21 merupakan pengembangan intelegensi/kecerdasan sehingga dengan bekal kecerdasan individu mampu memecahkan permasalahan dalam kehidupannya. Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu standar proses yang dinyatakan dalam National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share dinilai memiliki karakter yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Makalah ini berupa studi literatur yang bertujuan untuk mengetahui peran model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang merupakan salah satu tuntutan kompetensi dalam pembelajaran matematika. Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dapat menjadi suatu rekomendasi model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di sekolah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa karena di dalamnya terdapat tahapan-tahapan terstruktur yang dapat mendukung untuk mencapai tujuan yang terdapat dalam indikator kemampuan komunikasi matematis. Kata kunci : Search, Solve, Create, and Share (SSCS), komunikasi matematis

PENDAHULUAN Tantangan abad 21 yang tampak nyata (Rohana, 2015) adalah meningkatnya

kebutuhan akan pendidikan yang mampu menjawab tuntutan global, yaitu menuntut individu untuk tampil sebagai manusia cerdas. Dengan kata lain bahwa pendidikan pada abad 21 merupakan pengembangan intelegensi/kecerdasan sehingga dengan bekal kecerdasan individu mampu memecahkan permasalahan dalam kehidupannya. Kompetensi abad 21 memiliki manfaat yang terukur untuk beberapa area kehidupan. Kompetensi kunci dapat diidentifikasi berdasarkan seberapa memberi kontribusi terhadap pencapaian pendidikan, relasi, pekerjaan, kesehatan dan kesejahteraan. Kompetensi ini berhubungan dengan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas dan inovasi. Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu yang dipelajari dari pendidikan tingkat dasar hingga tingkat atas memegang peranan penting dalam pembentukan kemampuan berpikir siswa. Belajar matematika (Yuana & Indriyastuti, 2016) adalah membangun pemahaman tentang konsep-konsep, fakta, prosedur, dan gagasan matematika. Salah satu tujuan mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Pada tahap akhir, diharapkan pembelajaran matematika dapat membentuk sikap-sikap positif siswa seperti kedisiplinan, tanggung jawab, toleransi, kerja keras, kejujuran, menghargai perbedaan, dan lain sebagainya (Satriawan, 2017). Selanjutnya di kemudian hari dapat terbentuk pola berpikir dan bertindak ilmiah yang merupakan suatu kebiasaan. Untuk mencapai hasil pembelajaran seperti yang diharapkan, guru perlu mengembangkan pendekatan atau model, perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menguraikan prosedur sistematis dalam mengorganisasi pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

378 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam merencanakan aktivitas pembelajaran.

Kegiatan inti dalam pembelajaran matematika (Yuana & Indriyastuti, 2016) merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pembelajaran yang interaktif dapat menumbuhkan keterlibatan siswa dalam menyampaikan gagasan matematis untuk memperkuat pemahaman terhadap pembelajaran matematika. Komunikasi matematis (Putra Imam Wijaya & Sujadi, 2016) adalah cara bagi siswa untuk mengomunikasikan ide-ide pemecahan masalah, strategi maupun solusi matematika baik secara tertulis maupun lisan. Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu standar proses yang dinyatakan dalam National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). NCTM menyebutkan terdapat lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi matematis. Tujuan utama dari pembelajaran abad ke-21 (Zubaidah, 2017) adalah membangun kemampuan belajar individu dan mendukung perkembangan mereka menjadi pebelajar sepanjang hayat, aktif, pebelajar yang mandiri; oleh karena itu guru perlu menjadi pelatih pembelajaran yang memiliki sebuah peran yang sangat berbeda dari guru kelas tradisional. Guru sebagai pelatih pembelajaran akan memberikan bimbingan untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan dan menawarkan berbagai dukungan yang akan membantu siswa mencapai tujuan belajar mereka.

Pembelajaran matematika perlu menerapkan model pembelajaran yang tepat untuk menunjang kemampuan komunikasi matematis siswa. Menyadari pentingnya kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, diperlukan strategi yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir matematis dan membantu siswa mengkomunikasikan apa yang dipahaminya. Selain itu, diperlukan juga keaktifan dan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas yang menumbuhkan sikap keberanian siswa untuk menyelesaikan masalah matematika dan berkompetisi (Euclid, 2013). Para siswa hendaknya dibiasakan untuk mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya. Oleh karena itu keterlibatan siswa secara aktif sangat penting dalam kegiatan pembelajaran matematika (Fitri & Syarifuddin, 2014). Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dinilai memiliki karakter yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Model pembelajaran SSCS (Irwan, 2011) mempunyai beberapa keunggulan diantaranya meningkatkan kemampuan bertanya siswa, meningkatkan dan memperbaiki interaksi siswa, siswa dapat berkomunikasi secara efektif, memberikan pengaruh terhadap interaksi siswa, dan pengaruh postif terhadap sikap siswa dalam merespon pernyataan. Model SSCS ini mengacu kepada empat langkah penyelesaian masalah yang urutannya dimulai pada menyelidiki masalah (search), merencanakan pemecahan masalah (solve), mengkonstruksi pemecahan masalah (create), dan yang terakhir adalah mengkomunikasikan penyelesaian yang diperolehnya (share). Adanya tahapan yang jelas dapat mempermudah siswa untuk menyampaikan gagasan/ide matematis baik secara lisan maupun tulisan serta menerima gagasan/ide matematis dari orang lain. KAJIAN PUSTAKA

Pembelajaran matematika menurut Uno (Fitri & Syarifuddin, 2014) adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkan pada situasi nyata. Belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 379

Mata pelajaran matematika sangat bergantung dari cara guru mengajarkan kepada siswa. Guru dapat membantu siswa memahami pelajaran matematika. Banyak cara bagi seorang guru untuk menyampaikan materi pelajaran yang akan membuat siswa merasa senang serta meningkatkan hasil belajar, di antaranya adalah dengan menggunakan strategi, metode yang tepat dan dibantu media yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Dengan diterapkannya model pembelajaran yang tepat maka akan membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.

Model pembelajaran (Lestari & Yudhanegara, 2015) adalah suatu pola interaksi antara siswa dan guru di dalam kelas yang terdiri dari strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (Utami, 2011) melibatkan siswa dalam menyelidiki situasi baru, membangkitkan minat bertanya siswa dan memecahkan masalah-masalah yang nyata. SSCS merupakan model pembelajaran yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh pemahaman ilmu dengan melakukan penyelidikan dan mencari solusi dari permasalahan yang ada. Menurut Pazzini (Satriawan, Madjid, & Timur, 2017), model SSCS memiliki tahapan search, solve, create, dan share. Search: siswa melakukan pencarian pertanyaan melalui penyelidikan tentang topik yang mereka ingin selidiki. Solve: siswa merancang dan melaksanakan penyelidikan untuk memecahkan pertanyaan melalui penelitian mereka. Create: siswa menganalisis dan menginterpretasikan data kemudian membuat hasil analisis data untuk mengkomunikasikan temuan mereka. Share: siswa berbagi hasil mereka dan mengevaluasi penyelidikan mereka. Aktivitas tiap fase SSCS (Syamsi, 2012) dideskripsikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Aktivitas pada tiap fase model pembelajaran Search, Solve, Create, and

Share Fase Kegiatan yang dilakukan Search 1. Memahami soal atau kondisi yang diberikan kepada siswa, yang

berupa apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui, apa yang diketahui, apa yang ditanyakan

2. Melakukan observasi dan investigasi terhadap kondisi tersebut 3. Membuat pertanyaan-pertanyaan kecil 4. Menganalisis informasi yang ada sehingga terbentuk sekumpulan

ide Solve 1. Menghasilkan dan melaksanakan rencana untuk mencari solusi.

2. Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif, membentuk hipotesis yang dalam hal ini berupa dugaan jawaban

3. Memilih metode untuk memecahkan masalah 4. Mengumpulkan data dan menganalisis

Create 1. Menciptakan produk yang berupa solusi masalah berdasarkan dugaan yang telah dipilih pada fase sebelumnya.

2. Menguji dugaan yang dibuat apakah benar atau salah. 3. Menampilkan hasil yang sekreatif mungkin dan jika perlu siswa

dapat menggunakan metode grafik, poster, atau model. Share 1. Berkomunikasi dengan guru dan teman sekelompok dan kelompok

lain atas temuan, solusi masalah. Siswa dapat menggunakan media rekaman, video, poster, dan laporan.

2. Mengartikulasikan pemikiran mereka, menerima umpan balik dan mengevaluasi hasil.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

380 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Kemampuan komunikasi matematis (Lestari & Yudhanegara, 2015) adalah kemampuan menyampaikan gagasan/ide matematis, baik secara lisan maupun tulisan serta kemampuan memahami dan menerima gagasan/ide matematis orang lain secara cermat, analitis, kritis, dan evaluatif untuk mempertajam pemahaman. Kemampuan komunikasi matematis (Putra Imam Wijaya et al., 2016) menunjang kemampuan-kemampuan matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan masalah. Dengan kemampuan komunikasi yang baik maka suatu masalah akan lebih cepat bisa direpresentasikan dengan benar dan hal ini akan mendukung untuk penyelesaian masalah.

Indikator kemampuan komunikasi matematis (Lestari & Yudhanegara, 2015) di antaranya: (1) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika, (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar, (3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa matematika, (4) mendengarkan, diskusi, dan menulis tentang matematika, (5) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, (6) menyusun pertanyaan matematika yang relevan dengan situasi masalah, dan (7) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi. Adapun indikator dari kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM (2000) sebagai berikut: (1) menyusun dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis mereka melalui komunikasi, (2) mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka secara logis dan jelas dengan siswa lainnya atau dengan guru, (3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi-strategi orang lain, dan (4) menggunakan bahasa matematis untuk menyatakan ide-ide matematis dengan tepat.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur terhadap jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share dan kemampuan komunikasi matematis berdasarkan referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut laporan Laboratory Network Program (dalam Irwan, 2011), standar NCTM yang dapat dicapai dengan menggunakan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share SSCS adalah (1) mengajukan soal/masalah matematika, (2) membangun pengalaman dan pengetahuan siswa, (3) mengembangkan keterampilan berpikir matematika yang meyakinkan tentang keabsahan suatu representasi tertentu, membuat dugaan, memecahkan masalah atau membuat jawaban, (4) melibatkan intelektual siswa yang berbentuk pengajuan pertanyaan dan tugas-tugas yang melibatkan siswa, dan menantang siswa, (5) mengembangkan pengetahuan dan keterampilan siswa, (6) merangsang siswa untuk membuat koneksi dan mengembangkan kerangka kerja yang koheren, (7) berguna untuk perumusan masalah, pemecahan masalah dan penalaran, dan (8) mempromosikan pengembangan semua kemampuan siswa untuk melakukan pekerjaan.

Berdasarkan hasil penelitian (Haryanto, 2013) menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model SSCS dengan pendekatan problem posing lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Disposisi siswa terhadap pelajaran matematika, terhadap pembelajaran model SSCS dengan pendekatan problem posing serta terhadap soal-soal penalaran dan komunikasi matematis menunjukkan sikap yang positif.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 381

Tahapan model pembelajaran SSCS mengharuskan siswa untuk terlibat aktif. Hal ini tidak terlepas dari setting pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya dalam menyelesaikan masalah-masalah nyata yang diberikan oleh guru. Sejalan dengan Johan (2012) yang menyatakan bahwa model pembelajaran SSCS bersifat student center, membangun pembelajaran aktif, pembelajar menjadi penerima informasi aktif, serta lebih menekankan pada program pendidikan dari mengajar menjadi pembelajaran. Pembelajaran ini juga meningkatkan sikap menyelesaikan masalah, berpikir, kerja kelompok, berkomunikasi. Dalam penelitian sebelumnya, Utami (2011) menyebutkan bahwa SSCS merupakan model pembelajaran yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh pemahaman ilmu dengan melakukan penyelidikan dan mencari solusi dari permasalahan yang ada. Melalui tahapan pembelajaran dalam model pembelajaran SSCS, siswa akan mampu memecahkan persoalan dan mengomunikasikannya kepada rekan dalam kelompoknya berupa hasil pemecahan masalah yang berdasarkan kesepakatan bersama dengan media komunikasi baik berupa komunikasi lisan, tulisan, gambar, dan grafik, serta mampu menyampaikan, menerima, mengktitisi suatu ide dari orang lain.

Pada tahap search guru memunculkan masalah yang harus dianalisis oleh siswa melalui pertanyaan yang dapat membantu siswa merumuskan masalah, membantu siswa menemukan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, dan menyusun hipotesis. Pada tahap ini siswa banyak mengalami kesulitan dalam menemukan informasi dan menentukan masalah yang mendasar pada masalah yang diajukan. Hal ini terjadi karena siswa belum terbiasa dengan situasi belajar yang dituntut dalam pembelajaran. Pada tahap solve guru mengarahkan kegiatan siswa untuk melakukan penyelidikan untuk menguji hipotesis. Guru mengarahkan siswa melakukan kegiatan untuk menghasilkan dan melaksanakan rencana untuk mencari solusi, mengumpulkan, dan menganalisis data untuk menguji hipotesis yang telah disusun. Guru memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif guna menemukan solusi yang tepat dengan bantuan LKS. Guru juga menjadi motivator agar siswa mau membaca literatur yang dimiliki sebagai panduan diskusi dalam kelompok. Pada tahap create guru membimbing siswa untuk membuat presentasi berupa powerpoint sederhana. Guru membimbing siswa dalam menyiapkan bahan presentasi dan mempersiapkan bagian-bagian penting dari hasil kerja siswa dengan memberikan contoh. Pada fase create siswa menyusun simpulan dan suatu karya yang komunikatif untuk disajikan kepada kelompok lain. Berdasarkan LKS yang telah dikerjakan siswa, siswa telah mampu membuat grafik berdasarkan data yang disediakan, menghasilkan simpulan, dan menguji hipoteisis yang telah disusun. Pada fase share guru membimbing siswa dalam diskusi kelas. Dalam diskusi kelas guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator agar diskusi berjalan dengan baik dan suasana menjadi hidup. Siswa percaya diri dalam mengungkapkan pendapatnya, menanggapi solusi, dan mengevaluasi solusi yang diperoleh (Suciati, 2013).

Berdasarkan pemaparan di atas, model pembelajaran SSCS dapat menjadi suatu rekomendasi model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, yang mana komunikasi merupakan suatu kompetensi yang wajib dikuasai pada abad 21 ini. Siswa sebagai pusat pembelajaran, dan guru sebagai fasilitator dan pemberi umpan balik dan evaluasi dalam kegiatan belajar. Masing-masing tahapan pada model SSCS memiliki kontribusi dalam meningkatkan kemampan komunikasi matematis siswa. Pada tahapan search, siswa memiliki kesempatan menggali informasi dengan cara observasi terhadap peristiwa sehari-hari serta mengumpulkan ide-ide yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah matematika yang muncul dengan menyatakannya dalam bahasa matematika.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

382 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tahapan solve, siswa melakukan pencarian solusi yang tepat atas masalah masalah tersebut dengan menggunakan ide-ide yang sudah dibangun pada tahapan search. Tahapan create, siswa menciptakan produk yang berupa solusi masalah sekreatif mungkin dengan menampilkannya dalam bentuk gambar, grafik, dan aljabar. Kemudian di tahapan share, siswa membagikan solusi dari masalah matematika baik secara lisan maupun tulisan atau dengan benda nyata yang sudah mereka buat pada tahap create, serta menerima tanggapan dari orang lain untuk menyempurnakan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, model pembelajaran SSCS dapat menunjang kemampuan komunikasi matematis siswa.

KESIMPULAN

Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dapat menjadi suatu rekomendasi model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di sekolah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa karena di dalamnya terdapat tahapan-tahapan terstruktur yang dapat mendukung untuk mencapai tujuan yang terdapat dalam indikator kemampuan komunikasi matematis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dihaturkan kepada peneliti-peneliti sebelumnya yang artikelnya menjadi sumber studi literatur dalam penulisan makalah ini. Selain itu, kepada FMIPA UIN Walisongo Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk mempublikasikan makalah ini.

REFERENSI Euclid, J. (2013). Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.561, 3(2), 561–567. Fitri, R., & Syarifuddin, H. (2014). Penerapan Strategi The Firing Line Pada Pembelajaran

Matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Batipuh. Jurnal Pendidikan Matematika : Part, 3(2), 18–22. Retrieved from http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/pmat/article/viewFile/1214/906

Haryanto, D. (2013). Penerapan Model Search, Solve, Create, and Share dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Retrieved from http://repository.upi.edu/1864/

Irwan. (2011). Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search, Solve, Create and Share (SSCS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Matematika. Penelitian Pendidikan, 12(1), 1–13.

Johan, H. (2014). Pembelajaran Model Search, Solve, Create and Share (SSCS) Problem Solving untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Mahasiswa pada Materi Listrik Dinamis. Pengajaran MIPA, 19(1), 103–110.

Putra Imam Wijaya, H., Sujadi, I., & Magister Pendidikan Matematika, P. (2016). Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sesuai dengan Gender dalam Pemecahan Masalah pada Materi Balok dan Kubus (Studi Kasus Pada Siswa SMP Kelas VIII SMP Islam Al-Azhar 29 Semarang), 4(9), 2339–1685. Retrieved from http://jurnal.fkip.uns.ac.id

Rohana. (2015). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Reflektif. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 4(1), 105–119.

Satriawan, R., P., Madjid, A., & Timur, L. (2017). Keefektifan Model Search, Solve, Create, and Share Ditinjau dari Prestasi, Penalaran Matematis, dan Motivasi Belajar The Effectiveness of the Model of Search, Solve, Create, and Share Terms of Achievement, Mathematical Reasoning, and Motivation, 4(1), 87–99.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 383

Suciati, N. (2013). Pengaruh Pembelajaran Search, Solve, Create dan Share dengan Strategi Metakognitif terhadap Kemampuan Menyelesaikan Masalah dan Berpikir Kritis Fisika. Pendidikan Sains, 1(2), 194–200.

Syamsi, N. (2012). Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Dengan Strategi Search, Solve, Create, Share Terhadap Hasil Belajar Siswa. Penelitian Pendidikan, 1(1), 1–7.

Utami, R. P. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Search Solve Create And Share (SSCS) dan Problem Based Instruction (PBI) Terhadap Prestasi Belajar dan Kreativitas Siswa. Bioedukasi, 4(2), 57–71.

Yuana, R. A., & Indriyastuti. (2016). Buku Guru Pesrpektif Matematika 1. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Abadi.

Zubaidah, S. (2017). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/318013627.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

384 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

THE ANALYSIS OF MATHEMATICAL REASONING ABILITY REVIEWED BY CREATIVE MATHEMATICALLY FOUNDED REASONING (CMR) AND

IMITATIVE REASONING (IR) ON FUNCTION

M.Asikin1, R.Rahman2, A. Agoestanto3 1,2,3Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Semarang State University

Abstract This research aims to describe the mathematical reasoning ability of the 8th grade students reviewed by CMR and IR on the function subject. This research is a qualitative research which involved a group of 8th grade students as its subjects. They were examined by using mathematical reasoning test and then the top five and the bottom five among them were selected to be interviewed. The data collection techniques used in this research were observation, interview, and test in which the credibility was then tested by using triangulation. The research instruments were test and interview guidance of CMR and IR mathematical reasoning ability. The result suggested that in order to accomplish CMR questions, subjects used their own way to answer by developing the formula. Reasoning process for this strategy was a new reasoning since the subjects create their own solution. In the implementation, some subjects used solutions which were different with the test rubric, but the conclusion was correct. These were alternative ways plausible for the students. Though the solutions were different with the rubric content, these alternative ways have a strong mathematical foundation. In order to accomplish IR questions, subjects used a strategy by imitating a concept. Subjects recalled the concept from the book or from their teacher explanation, and then they directly wrote down the memorized answers or memorized either the procedure or the algorithmic solution. Keywords: Mathematical reasoning, Imitative Reasoning (IR), Creative Mathematically Founded Reasoning (CMR)

INTRODUCTION

Mathematical reasoning is defined as a line of thought adopted to create a statement and conclusion when solving a mathematical problem (Lithner, 2008). It is not always based on formal logic, so it is not limited by evidence, and sometimes it is not right but plausible. With mathematical reasoning ability, students can make a better decision by collecting facts and considering the consequences of several choices (O’Connell, 2008). The emphasis of reasoning on each mathematical activity is needed to provide a comprehensive mathematical understanding to the students (New Jersey Mathematics Coalition, 1996).

The comprehensive purpose of learning mathematics is to help students developing their mathematical competence including problem-solving ability, reasoning ability, and conceptual understanding (Niss, 2007). In the regulation of the Indonesian Ministry of Education and Culture number 58 comment 2014, mathematical competence is divided into several domains, namely: understanding, presentation and interpretation, reasoning and proof. In the reasoning and proof domain, the ability assessed is the students’ ability in: (1) identifying example and non-example, (2) assuming and checking the truth of a statement, (3) obtaining or checking the truth with inductive reasoning, (4) arranging the algorithm of the mathematical problem solving process, and (5) derriving or proving the formula using the inductive reasoning.

One of the international studies evaluating the education quality is Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). TIMSS assesses especially for 14 years old students (Junior High School) using four international-standard scales. Those used to represent range of students’ ability based on international benchmark which varies from expert (625), high standard (550), medium standard (475), and poor standard (400). In the TIMSS 2011, assessment framework is divided into two dimensions, the content dimension which consists of numbers, algebra, geometry, data

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 385

and probability; and the cognitive dimension which consists of knowing, applying, and reasoning (Mullis, et al, 2012).

TIMSS research data in 2011 showed that the reasoning ability of junior high school students in Indonesia is lower than the students in other countries. It is also below the international standard (388). This data is also supported by TIMSS research result in 2015, representing the ability of 10 years old students, which showed that the reasoning ability of elementary school students is lower than do students in other countries. Moreover, it is still below the international benchmark standard (397). Since most of 14 years old students are 8th grade junior high school students, it can be inferred that the reasoning ability of 8th grade junior high school students in Indonesia is very low.

Lithner (2008) defined CMR as reasoning that conform to criteria: new, plausible, and having a mathematical foundation. CMR is divided into two sub-categories: Local Creative Reasoning (LCR) and Global Creative Reasoning (GCR). On the other hand, Lithner (2008) also defined IR as a reasoning that imitates a concept. It is divided into two sub-categories: Memorized Reasoning (MR) and Algorithmic Reasoning (AR).

Based on the explained facts, researcher examined the reasoning ability of 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang based on CMR and IR on function subject.

METHOD This research used purposive sampling technique, a data collection technique with

certain considerations (Sugiyono, 2010). First, ten subjects in one class were adequate to represent the 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang. Second, the research time was limited. From the chosen class, researcher pick out 5 students who had highest score and the other 5 students who had the lowest score of CMR and IR test. The data collection techniques used were observation, interview, and test in which their credibility was then tested by using triangulation. The data used in the research were the interview result after CMR and IR test, and the result of CMR and IR test.The test method used to obtain data about students mathematical reasoning ability is CMR and IR. The test consisted of questions on function and related to either CMR or IR. Questions presented on the test were based on Bergqvist (2007) classification of questions and reasoning types.

Figure 1. Classification of type of problem based on the Bergqvist (2007) mathematical

reasoning The test instrument used to find out the students’ CMR and IR mathematical

reasoning ability is test with functioning subject based on Bergqvist (2007) research about question classification related the type of mathematical reasoning. The number of essay questions is 8 questions, 4 questions for measuring CMR mathematical reasoning ability and 4 questions for the IR. They refer to the mathematical reasoning structure by Lithner (2008).

Observation technique used by researcher is passive participative observation in which the researcher comes to the observation object only as an observer and do not

CMR LCR - Conceptual modeling GCR - Conceptual modeling - Proving new concepts

IR MR - Definition AR - Basic algorithm - Basic algorithm - Proof using algorithm -

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

386 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

involved in the research subject activities (Sugiyono, 2010). Data collection using observation technique is done by thoroughly assessing the given test and writing down the score on the observation sheet.

Interview method conducted is unstructural interview done to find informal information and to find more comprehensive information about the respondents (Sugiyono, 2010). The interview topic is about the CMR and IR reasoning test done by the research subjects.

The research data analysis is done by several stages such as data reduction, data presentation, and conclusion making. The collected research data is summarized and reduced to focus on the formulation of the problem – mathematical reasoning problem which refers to Lithner (2008) mathematical process. Lithner’s mathematical reasoning process is illustrated in the Figure 2.

Figure 2. The process of mathematical reasoning by Lithner (2008)

The following stage after data reduction is data presentation. On qualitative research, data presentation is usually presented in form of a brief description, chart, inter-category relationship, flowchart, and others. Through this stage, data will be more organized, composed in a relationship pattern, so it will be much easier to understand.

The data presented in by Table 1 and Table 2, if supported by valid data, can be credible conclusion (Sugiyono, 2010). They describe the mathematical reasoning process of the 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang from each question presented. The conclusion may explain the mathematical reasoning ability of the 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang reviewed by CMR and IR.

RESULTS AND DISCUSSION

The result of CMR and IR mathematical reasoning ability test is presented in the table below.

1. Problematic Situation The situation when a student deals with a problem which has not been solved.

2. Choosing Strategy Choosing strategy to solve the problem by direct recalling, recalling a procedure, constructing or searching alternative strategy such that the problem can be solved.

3. Implementation of Strategy Implementing the chosen strategy to solve the problem. If it does not work, then the student has to look back his or her work or rechoose the strategy in the step 2.

4. Conclusion Getting the solution of the problem.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 387

Table 1. Description of the students’ mathematical reasoning path

Mathematical Reasoning of IR Subject

MR (Memorized Reasoning)

Reasoning Path

Problematic Situation

Subject wrote the given information of the problem. Given 𝐴 = {𝑎, 𝑏, 𝑐} 𝐵 = {1,2}. Then, subject analyzed if the relation between set A and set B is a function and explained the definition of function.

Choosing Strategy

Subject recalled the concept written in his note and directly explained his answer. Subject recalled the definition of function.

Implementation of Strategy

Subject stated the definition of function, and then, based on his understanding, subject stated that the illustration of problem is a function.

Conclusion

Subject concluded that the given illustration is a function, and explained that function from set A to set B is a specific relation mapping every element in set A to exactly one element in set B.

AR (Algorithmic Reasoning)

Reasoning Path

Problematic Situation

Subject wrote the given information of the problem. Given 𝑓(𝑥) = 𝑥2 − 5𝑥 + 4. Then, find the value of 𝑓(2) and 𝑓(4).

Choosing Strategy

The strategy chosen by the subject was applying a formula. Subject applied the algorithm procedure 𝑓(𝑥) = 𝑥2 − 5𝑥 + 4 by giving certain value of 𝑥 given in the problem to find the solution.

Implementation of Strategy

𝑓(2) = 22 − 5(2) + 4 = 4 − 10 + 4 = −2 𝑓(4) = 42 − 5(4) + 4 = 16 − 20 + 4 = 0

Conclusion S31 got a conclusion that 𝑓(2) = −2 dan 𝑓(4) = 0

Table 2. Description of the CMR students’ mathematical reasoning path

Mathematical Reasoning of CMR Subject

LCR (Local Creative

Reasoning)

Reasoning Path

Problematic Situation

Subject wrote the given information of the problem. Given 𝑎 is the volume of water. The volume of water is 50 liter for every 10 minutes, thus the debit of the water is 5 liter per minute.

Choosing Strategy

By using the formula which has been learned, subject developed the problem solving

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

388 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

process. Subject constructed a function modeling from the contextual problem associating the function of 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 where 𝑥 is time and 𝑓(𝑥) is volume.

Implementation of Strategy

Subject got a value of 𝑎 by dividing 50 liter with 10 minutes such that he got 𝑎 = 5, and for the value of b, he gained 𝑏 = 0 which means that the volume of water tank is empty. Thus, 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 = 5𝑥.

Conclusion Subject got a conclusion that 𝑎 = 5, 𝑏 = 0, and𝑓(𝑥) = 5𝑥.

GCR (Global Creative

Reasoning)

Reasoning Path

Problematic Situation

Subject wrote the given information of the problem. Given a problem of taxi price rate at IDR 13,000 for 2 km, IDR 19,000 for 4 km, and IDR 25,000 for 6 km. Subject was supposed to determine the price for 10 km using the taxi.

Choosing Strategy

By using the formula which has been learned, subject developed the problem solving process. Subject constructed a function modeling from the contextual problem associating the function of 𝑓(𝑥).

Implementation of Strategy

From the price written, subject guessed the pattern and knew that every 2 km, the price increased by IDR 6,000. Subject found that the function of the taxi price is 𝑓(𝑥) = 3𝑥 + 7with 𝑥 is the length of the distance. Here, 𝑥 = 10, then 𝑓(10) = 37.

Conclusion Subject got a conclusion that the price he had to pay for 10 km using taxi is IDR 37,000.

On the students’ CMR mathematical reasoning ability analysis, the research

subjects fulfill the requirement of Lithner’s (2008) CMR reasoning ability, namely:

Novelty Strategy chosen by the research subjects is the expansion of the learned formula in

which the expansion is done by themselves. Some of them even fabricate their own solution. The subjects used his/her own way to get 𝑎 value by dividing 50 litre volume with 10 minutes so 𝑎 = 5 is obtained, 𝑏 = 0 is obtained from water basin volume before filled. So, 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 = 5𝑥. With 𝑓(𝑥) = 5𝑥 in which𝑥 is water discharge time. Reviewed by the statement, there is a novelty in S31’s work on questions number 5 and 6. Subject chooses to expand the formula himself. Subject develop the solution of questions by developing the mathematical function 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 which is considered familiar. Plausibility

If we compare subjek answering process to the mathematical reasoning test rubric, the subject’s answer is different with the rubric. However, the resulted conclusion between the answer and the rubric shows the same result. After thoroughly monitoring

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 389

the subjects answering process, it is correct. It shows that the reasoning applied to answer the question is plausible.

Mathematical Foundation

Problem solving strategy used by the research subjects to find the solution of the CMR questions is an argument which has mathematical foundation because it is taught in mathematic learning. So, the argument can be applied to find the solution. To figure out the function, S26 should find 𝑎 and 𝑏 value by substitution and elimination in which both ways needs students’ mathematical foundation on two-variable linear equation, which the foundation exists in the learned mathematical teorhm and character.

On the analysis of students’ IR mathematical reasoning ability, the research subjects find the answer and memorize it. Then they answer the question by writing what is memorized. Research subjects memorize the function, domain, co-domain, and range concept from the note, book or what have been taught by their teacher. They directly write the answer by restating the functioning definition and writing down the domain, co-domain, and range of a functioning illustration.

For answering AR questions, the research subjects also used memorized process.

They did not memorize the answer but memorize the procedure or the algorithmic solution. By figuring out the algorithm, subjects follow the procedure to find the solution. For example, 𝑓(𝑥) = 𝑥2 − 5𝑥 + 4 is known. Subjects should determine the value of 𝑓(2) and 𝑓(4). To find out the 𝑓(2) and 𝑓(4) value based on the taught procedure, the value of 𝑓(2) = 22 − 5(2) + 4 = 4 − 10 + 4 = −2, and the value of 𝑓(4) = 42 − 5(4) + 4 = 16 − 20 + 4 = 0.

Most of the research subjects are able to answer the question. Based on the interview, they stated that they found frequently the similar questions either in practice or in test. Therefore, they used to answer such questions.

CONCLUSION

Based on the discussion conducted on 10 research subjects, it can be inferred that the mathematical reasoning ability of the 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang reviewed by Creative Mathematically Founded Reasoning (CMR) and Imitative Reasoning (IR) on functioning subject is as follows.

On the Creative Mathematically Founded Reasoning (CMR) in Local Creative Reasoning (LCR) category, in the problematic situation, subjects wrote the information of the contextual problem into mathematical model. On the strategy election, they used their own steps to find the solution. On the strategy implementation, though the strategy applied is a different strategy composed by subjects, it indirectly involved Imitative Reasoning (IR) elements by imitating a concept or a procedure because they ever faced the similar contextual problem before. On the conclusion stage, subjects give a correct conclusion based on the applied strategy implementation. Some subjects cannot give the correct conclusion because they rarely face such questions either in practice or in test, so they experience a difficulty in applying the strategy to find the correct answer.

In Global Creative Reasoning (GCR) category, on the problematic situation, subjects wrote the information of the contextual problem into mathematical model. On the strategy election, they used their own steps to find the solution. On the strategy implementation, subjects applied a strategy by developing their own steps to find the answers. Each subject applied different ways. On the conclusion stage, subjects give a correct conclusion based on the applied strategy implementation. Some subjects cannot give the correct conclusion because they rarely face such questions either in practice or in test, so they experience a difficulty in applying the strategy to find the correct answer.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

390 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

On the Imitative Reasoning (IR) ability for Memorized Reasoning (MR) category on the problematic situation, subjects wrote the known information to find the solution. On the strategy election, subjects choosed the strategy by imitating the learned concept. On the strategy implementation, the subjects directly wrote what is memorized. On the conclusion stage, most of the subjects are able to solve the problems correctly since they only memorized a concept and then applied it to find the answer. They stated that they often face such questions either in practice or in test.

On Alghoritmic Reasoning (AR) category, on the problematic situation stage, subjects wrote the known information to find the solution. On the strategy election, subjects choosed the strategy by imitating the learned concept. On the strategy implementation stage, the subjects directly wrote the memorized procedure or algorithm and then found the solution by following them. On the conclusion stage, most of the subjects are able to solve the problems correctly since they only followed the procedure or the algorithm to find the answer. They stated that they often face such questions either in practice or in test. ACKNOWLEDGEMENTS We would like to thank the principal of SMP Negeri 14 Semarang who has permitted us to conduct this research in the school.

REFERENCES Bergqvist, E. (2007). Types of reasoning required in university exams in mathematics.

Journal of Mathematical Behavior, 26. Lithner, J. (2008). A Research Framework for Creative and Imitative Reasoning.

Educational Studies in Mathematics, 67,(3). Mullis, I., Martin, M.O., Ruddock, G.J., O’Sullivan, C.Y., & Preuschoff, C. (2012). TIMSS 2011

Assessment Framework. Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 International Result in

Mathematics. Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center. New Jersey Mathematics Coalition. (1996). The First Four Standards. New Jersey: New

Jersey State Department of Education. Niss, M. (2007). Reactions on the state and trends in research on mathematics teaching

and learning. The 2nd Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning.

O’Connell, J. (2008). Mathematics Study Guide. Sacramento: California Department of Education.

MOEC. (2014). The regulation of minister of education and culture number 58 comment 2014. Jakarta: MOEC.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 391

ANALISIS KESULITAN MAHASISWA DALAM UJIAN KOMPREHENSIF

Lulu Choirunnisa1, Eva Khoirun Nisa2

1,2Universitas Islam Negeri Walisongo, Jl. Walisongo No.3-5 Semarang [email protected], [email protected]

Abstrak

Standar Pelayanan Minimum UIN Walisongo Semarang menyebutkan bahwa 60% mahasiswa lulus tepat waktu. Bagi program studi sarjana, hal ini berarti dalam satu angkatan, mahasiswa yang berhasil menyelesaikan studi selama 8 semester sedikitnya mencapai 60%. Namun data pada program studi Pendidikan Matematika menunjukkan bahwa kelulusan mahasiswa angkatan 2013 pada tahun akademik 2016/2017 kurang dari 60%, sedangkan mahasiswa yang sudah menyelesaikan seluruh mata kuliahnya mencapai lebih dari 60%. Hal ini menunjukkan bahwa ada kendala mahasiswa pada proses ujian komprehensif dan skripsi. Ujian komprehensif merupakan ujian akhir dengan materi yang diujikan semua mata kuliah yang telah dipelajari selama menempuh perkuliahan di program studi Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang. Beberapa mahasiswa harus mengikuti ujian komprehensif lebih dari satu kali sampai mereka lulus. Dalam analisis ini, metode deskriptif dan inferensial digunakan untuk mengetahui faktor yang menjadi kendala dalam ujian komprehensif. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sampel sebanyak 17 mahasiswa, lebih dari 80% mahasiswa menyatakan kesulitan mempersiapkan ujian karena ruang lingkup materi yang terlalu luas, sehingga tidak dapat belajar fokus. Selain itu, faktor individu penguji juga secara statistik berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kelulusan. Sementara jenis pertanyaan penguji menunjukkan tidak berpengaruh terhadap hasil kelulusan, meskipun mahasiswa menyatakan bahwa pertanyaan tentang konsep dasar lebih menyulitkan mahasiswa daripada soal perhitungan. Kata kunci: Analisis kesulitan, ujian komprehensif

PENDAHULUAN Dalam bidang pendidikan, Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah standar

akademik yang dikembangkan berdasarkan peraturan akademik suatu perguruan tinggi [5]. Bagi UIN Walisongo Semarang, SPM diartikan sebagai standar akademik yang dikembangkan dengan tujuan seluruh pemangku kepentingan di UIN Walisongo Semarang mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama tentang standar akademik.

SPM UIN Walisongo Semarang menyebutkan bahwa 60% mahasiswa lulus tepat waktu. Bagi program studi sarjana seperti pada program studi Pendidikan Matematika, hal ini berarti dalam satu angkatan, mahasiswa yang berhasil menyelesaikan perkuliahan selama 8 semester sedikitnya mencapai 60%. Sementara jumlah kelulusan di program studi Pendidikan Matematika pada angkatan 2013 tahun akademik 2016/2017 kurang dari 60%. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada kendala mahasiswa pada proses ujian komprehensif dan skripsi.

Ujian komprehensif di UIN Walisongo Semarang merupakan ujian akhir selain ujian skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa. Materi yang diujikan adalah semua mata kuliah yang telah dipelajari selama menempuh perkuliahan pada program studi Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang. Kendala mahasiswa dalam proses ujian komprehensif mengindikasikan bahwa mahasiswa kesulitan dalam mengikuti atau menjawab pertanyaan dari dosen penguji. Ketika mahasiswa mengalami kesulitan dan dosen penguji menyatakan tidak lulus maka ujian komprehensif harus diulang sampai dosen penguji menyatakan lulus. Banyak faktor yang mempengaruhi kesulitan mahasiswa dalam ujian komprehensif. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian mengenai kesulitan mahasiswa dalam ujian komprehensif pada program studi Pendidikan Matematika dengan tujuan agar terindentifikasi faktor apa saja yang menjadikan mahasiswa sulit dan tidak lulus dalam ujian komprehensif.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

392 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

TINJAUAN PUSTAKA 1. Analisis Kesulitan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [2], analisis diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya) sedangkan kesulitan berarti keadaan yang sulit atau sesuatu yang sulit [3]. Dari definisi diatas maka analisis kesulitan bisa didefinisikan sebagai proses penyelidikan atau pengidentifikasian penyebab peristiwa dalam keadaan sulit.

Pada setiap ujian pasti adanya suatu kesulitan. Kesulitan tersebut terjadi karena ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Begitu pula pada permasalahan ujian komprehensif yang penulis teliti. Di dalam paper ini penulis mencoba menganalisis kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi mahasiswa dalam mengikuti ujian komprehensif. Kesulitan ini dapat disebabkan dari pihak dosen penguji, materi ujian atau memang dari faktor pribadi mahasiswa sendiri seperti grogi saat ujian atau malas dalam mempersiapkan ujian komprehensif.

2. Ujian Komprehensif Ujian komprehensif menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa di UIN

Walisongo Semarang selain ujian skripsi. Ujian komprehensif dapat diartikan sebagai ujian akhir yang bersifat menyeluruh yang dijujikan berasal dari mata kuliah yang dipelajari selama di bangku perkuliahan yang bertujuan untuk menilai kompetensi mahasiswa [8].

Ujian komprehensif di UIN Walisongo Semarang diselenggarakan setiap semester dengan syarat lolos Toefl dan IMKA. Jadwal ujian komprehensif pada program studi Pendidikan Matematika dibuat oleh petugas apabila mahasiswa yang mendaftar telah memenuhi kuota [6]. Kuota untuk satu kali ujian sebanyak empat mahasiswa dengan delapan materi yang diujikan yaitu agama, bahasa, pendidikan dan pembelajaran matematika, analisis, terapan, aljabar, statistika & peluang, dan yang terakhir geometri. Untuk satu materi diuji oleh satu dosen penguji. Ujian dilaksanakan secara lisan maupun tertulis tergantung dari dosen penguji. Jenis pertanyaan yang diajukan pun berbeda antar penguji. Ada penguji yang lebih suka menanyakan konsep dasar, ada pula yang lebih menyukai memberikan pertanyaan hitungan. Bila menurut penguji kompetensi mahasiswa saat ditanya dirasa kurang maka penguji berhak tidak meloloskan mahasiswa tersebut. Dengan kata lain, mahasiswa tersebut harus mengulang ujian komprehensif di lain waktu sesuai kesepakatan.

3. Koefisien Kontingensi Koefisien Kontingensi yang biasa disimbolkan dengan C merupakan salah satu

statistik uji nonparametrik dalam statistika inferensial untuk mengetahui apakah ada hubungan atau tidak antar dua variabel. Koefisien Kontingensi tepat digunakan untuk data berskala nominal [4]. Statistik uji ini merupakan pengembangan dari Chi-square untuk data dalam tabel kontingensi lebih dari 2x2 dengan sampel kecil [4].

Menurut Siegel [7], Chi-square dirumuskan sebagai berikut:

2

2

1 1

dengan = jumlah baris dalam tabel kontingensi

= jumlah kolom dalam tabel kontingensi

= nilai observasi

= nilai harapan/ekspektasi

r kij ij

i j ij

O E

E

r

k

O

E

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 393

Asumsi yang harus dipenuhi dalam Chi-square adalah observasi berasal dari sampel acak serta tiap observasi mempunyai beberapa kategori yang dapat diklasifikasikan dalam kategori baris dan kolom pada tabel kontingensi [1]. Nilai Chi-square ini akan dapat digunakan dalam menentukan besarnya nilai Koefisien Kontingensi (Contingency Coefficient) [4] yaitu

2

2

dengan = jumlah sampel

CN

N

Nilai C terletak antara 0 sampai dengan 1. Nilai 0 mengindikasikan tidak ada hubungan sama sekali antar dua variabel dan ketika koefisien C bernilai 1 maka mengindikasikan hubungan yang kuat antar dua variabel. Nilai C mendekati 0 artinya terdapat hubungan yang lemah dan bila nilai C mendekati 1 maka menyatakan hubungan yang lebih kuat [4].

Untuk mengetahui ada hubungan atau tidak antar dua variabel dapat dilihat dari

p-value yang diperoleh dari output software SPSS. Bila p-value < maka tolak 0H

dengan hipotesis nol menyatakan tidak terdapat hubungan antar dua variabel. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 17 mahasiswa dari 32 mahasiswa yang telah mengikuti ujian komprehensif di program studi Pendidikan Matematika pada angkatan 2013 tahun akademik 2016/2017. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Convenience Sampling. Mahasiswa yang datang memenuhi undangan untuk mengisi kuesioner menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk variabel yang digunakan adalah pengulangan ujian komprehensif, penyebab kurang persiapan ujian, jenis materi ujian, dosen penguji, dan jenis pertanyaan. Kelima variabel tersebut berupa data kategorik. Tahapan metodologi dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan variabel-variabel yang digunakan. 2. Menentukan apakah ada hubungan antara variabel pengulangan ujian

komprehensif dengan dosen penguji 3. Menentukan apakah ada hubungan antara variabel materi ujian tersulit dengan

jenis pertanyaan penguji. 4. Menentukan apakah ada hubungan antara variabel pengulangan ujian

komprehensif dengan jenis pertanyaan penguji. 5. Menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.

HASIL DAN ANALISIS

Dari data yang telah diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. A. Analisis Kesulitan Mahasiswa dalam Ujian Komprehensif Secara Deskriptif Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa dari 17 mahasiswa yang telah mengikuti ujian komprehensif terdapat sembilan orang mahasiswa yang tidak lulus pada ujian komprehensif pertama. Dengan kata lain, mereka diharuskan mengikuti ujian komprehensif ulang karena tidak lulus pada salah satu materi yang diujikan. Ada tanda tanya besar mengapa lebih dari 50% jumlah mahasiswa responden tidak bisa lulus ujian komprehensif dalam satu kali ujian? Perlu dilihat lebih lanjut baik dari aspek materi ujian, dosen penguji, maupun jenis pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji.

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

394 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Ujian komprehensif sejatinya adalah salah satu syarat mengikuti ujian skripsi di UIN Walisongo Semarang dengan materi ujian dari semester satu sampai semester sebelum ujian skripsi. Mahasiswa mungkin akan sedikit dituntut untuk pintar dalam mengatur waktu dalam persiapan ujian komprehensif maupun ujian skripsi. Meski dari pihak program studi sudah memberikan kisi-kisi bagian materi yang akan diujikan, akan tetapi mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini tetap mengeluhkan ruang lingkup materi yang terlalu luas menjadi penyebab kurang persiapan ujian. Seperti dijelaskan pada Gambar 1 bahwa ruang lingkup materi yang terlalu luas menjadi kendala terbesar mahasiswa ujian komprehensif dibandingkan kurangnya kompetensi pada materi ujian tersebut.

Gambar 1 Grafik Penyebab Kurang Persiapan Ujian Komprehensif

Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu ada perbaikan baik dari program studi selaku penyelenggara ujian maupun mahasiswa selaku pelaksana ujian. Program studi dapat memberikan kisi-kisi materi ujian lebih spesifik termasuk menjelaskan indikator-indikator yang menjadi tujuan atau capaian ujian komprehensif. Dengan kisi-kisi materi ujian yang lebih spesifik dan penjelasan indikator capaian ujian setidaknya mahasiswa dalam mempersiapkan ujian komprehensif lebih terarah. Selain itu, mahasiswa mampu mengidentifikasi materi bidang apa yang dirasa kurang kompeten sehingga perlu belajar lebih lanjut. Kisi-kisi materi ujian yang lebih spesifik diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam menjawab berbagai jenis pertanyaan dosen penguji. Jenis pertanyaan dosen penguji dapat berupa pertanyaan konsep dasar, perhitungan, maupun pertanyaan lain seperti pertanyaan yang bersifat praktik dalam materi bidang agama. Mahasiswa menganggap pertanyaan penguji mengenai konsep dasar menjadi kendala bagi mereka dalam kelulusan ujian komprehensif seperti pada Gambar 2. Hal ini relevan dengan pemahaman mereka ketika mengikuti perkuliahan di ruang kelas. Mereka mengakui memahami konsep dasar ketika perkuliahan lebih sulit dibandingkan ketika sudah diaplikasikan dengan perhitungan.

Gambar 2 Grafik Jenis Pertanyaan Penguji Tersulit Menurut Mahasiswa

0.00% 50.00% 100.00%

kurangnya kompetensipada materi ujian

ruang lingkup materiyang terlalu luas

17.65%

82.35%

Penyebab Kurang Persiapan Ujian Komprehensif

0 2 4 6 8

Cara yang lain

Perhitungan

Menanyakan konsep dasar

5

5

7

Jenis Pertanyaan Dosen Penguji Tersulit

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 395

Jenis materi ujian tentunya perlu disoroti dalam menganalisis kesulitan mahasiswa saat mengikuti ujian komprehensif. Terdapat delapan materi bidang yang diujikan yaitu materi agama, bahasa, pendidikan & pembelajaran matematika, analisis, aljabar, statistika & peluang, terapan, serta geometri. Berikut penulis tampilkan diagram distribusi pemilihan mahasiswa terhadap materi ujian yang dianggap paling sulit: Gambar 3 Grafik Materi Ujian Komprehensif Menurut Mahasiswa

Dari grafik di atas materi terapan menjadi momok bagi sebagian mahasiswa program studi Pendidikan Matematika yang telah mengikuti ujian komprehensif. Ternyata enam mahasiswa memilih terapan sebagai materi tersulit dalam ujian komprehensif, empat mahasiswa memilih materi analisis dan sisanya memilih aljabar, statistika & peluang serta pendidkan & pembelajaran matematika. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa materi ujian tersulit menurut mahasiswa pada ujian komprehensif merupakan materi bidang matematika murni yang di dalamnya terdapat banyak teorema dan pembuktian rumus. Hal ini dimungkinkan mahasiswa program studi Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang beranggapan bahwa mereka hanya perlu memperkaya ilmu yang berkaitan dengan mengajar sehingga kurang kompeten dalam mata kuliah bidang matematika murni. B. Analisis Kesulitan Mahasiswa dalam Ujian Komprehensif Secara Inferensial Selain secara deskriptif, statistika inferensial juga diterapkan dalam menganalisis kesulitan mahasiswa mengikuti ujian komprehensif. Di dalam paper ini penulis

menggunakan statistik uji Koefisien Kontingensi C untuk mengetahui apakah ada

hubungan antar kedua variabel yang ditentukan. Penentuan menggunakan uji statistik ini dikarenakan data berupa kategorik berskala nominal dan sampel yang digunakan berukuran kecil. Akan dianalisis apakah ada hubungan antara variabel pengulangan ujian komprehensif dengan dosen penguji. Untuk itu hipotesis yang ditentukan adalah

0

1

: tidak terdapat hubungan antara pengulangan ujian komprehensif dengan dosen penguji

: terdapat hubungan antara pengulangan ujian komprehensif dengan dosen penguji

H

H

Dengan bantuan software SPSS diperoleh nilai Chi-square yaitu 67,597 dan tabel

Koefisien Kontingensi C sebagai berikut:

0 1 2 3 4 5 6

pendidikan & pembelajaran…

statistik dan peluang

aljabar

analisis

terapan

2

2

3

4

6

Materi Ujian Komprehensif Tersulit

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

396 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 1 Koefisien Kontingensi untuk Variabel Pengulangan Ujian Komprehensif dengan Dosen Penguji

Symmetric Measures

Value

Approx. Sig.

Nominal by Nominal

Contingency Coefficient

.894 .019

N of Valid Cases 17

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh nilai Koefisien Kontingensi C sebesar 0,894. Nilai ini

mendekati angka satu sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pengulangan ujian komprehensif dengan faktor dosen penguji. Hal ini juga dibuktikan dengan p-value pada Tabel 1 lebih kecil dari (0,019 < 0,05) sehingga

menolak 0H yang artinya bahwa faktor dosen penguji berpengaruh secara signifikan

terhadap kelulusan mahasiswa dalam ujian komprehensif. Pastinya setiap dosen penguji mempunyai standar kelulusan masing-masing. Dari hasil analisis tersebut dapat menjadikan evaluasi mahasiswa agar lebih memahami karakteristik tiap dosen, misalkan dapat dilihat ketika dosen memberikan soal atau tugas dalam perkuliahan. Ketika mahasiswa menyatakan suatu materi ujian paling sulit dibandingkan dengan materi yang lain maka pastinya ada faktor yang berkaitan dengan materi tersebut. Dengan 5% dihasilkan nilai C yang mendekati satu yaitu 0,772. Selain itu,

p-value pada Tabel 2 lebih kecil dari (0,001 < 0,05) sehingga menolak 0H dengan

hipotesis nol dalam kasus ini adalah tidak terdapat hubungan antara materi ujian tersulit dengan jenis pertanyaan penguji. Dapat kita nyatakan bahwa jenis pertanyaan menjadi salah satu penyebab suatu materi bidang pada ujian komprehensif dikatakan paling sulit oleh mahasiswa.

Tabel 2 Koefisien Kontingensi untuk Variabel Materi Ujian Tersulit dengan Jenis Pertanyaan

Symmetric Measures

Value

Approx. Sig.

Nominal by Nominal

Contingency Coefficient

.772 .001

sN of Valid Cases 17

Namun, dalam kasus ini ternyata variabel jenis pertanyaan tidak mempengaruhi kelulusan dalam ujian komprehensif dalam hal ini berarti tidak mempengaruhi mahasiswa tersebut mengulang ujian atau tidak.

Tabel 3 Koefisien Kontingensi untuk Variabel Pengulangan Ujian Komprehensif dengan Jenis Pertanyaan

Symmetric Measures

Value

Approx. Sig.

Nominal by Nominal

Contingency Coefficient

.331 .351

N of Valid Cases 17

PENDIDIKAN MATEMATIKA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 397

Berdasarkan Tabel 3 nilai Koefisien Kontingensi jauh dari nilai satu yaitu sebesar 0,331. Kali ini tidak dapat serta merta menentukan tidak ada hubungan antar kedua variabel tanpa membandingkan p-value dengan . Dari Tabel 3 nilai p-value > (0,351 > 0,05)

sehingga gagal tolak 0H maka dapat disimpulkan bahwa jenis pertanyaan yang diajukan

oleh penguji tidak mempengaruhi kelulusan ujian komprehensif. Dikaitkan dengan analisis sebelumnya maka dalam penelitian ini faktor dosen penguji-lah yang dominan mempengaruhi kelulusan mahasiswa sehingga beberapa mahasiswa harus mengulang ujian komprehensif lebih dari satu kali. KESIMPULAN Kesulitan mahasiswa dalam mengikuti ujian komprehensif perlu mendapat perhatian dari pihak dosen, program studi maupun perguruan tinggi karena ujian komprehensif pada program studi Pendidikan Matematika menjadi salah satu penyebab tingkat kelulusan mahasiswa tahun akademik 2016/2017 tidak memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) UIN Walisongo Semarang. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Mahasiswa lebih banyak mengalami kesulitan ujian komprehensif pada materi

terapan dengan jenis pertanyaan dari penguji berupa pertanyaan konsep dasar. Selain itu, mereka mengeluhkan ruang lingkup materi ujian yang terlalu luas. Dengan demikian, pihak program studi diharapkan dapat memberikan kisi-kisi ujian komprehensif lebih detil dan spesifik termasuk bagian konsep dasar dalam suatu materi sehingga mempermudah mahasiswa dalam mempersiapakan ujian komprehensif.

2. Salah satu yang mempengaruhi kelulusan mahasiswa dalam ujian komprehensif adalah faktor dosen penguji. Ada baiknya hal ini menjadi evaluasi baik dari mahasiswa maupun dosen sebagai penguji.

REFERENSI Conover, W.J., 1999. Practical Non Parametric Statistics. 3th Ed. John Wiley &. Sons, Inc.

New York https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/analisis (diakses pada tanggal 5 Oktober 2017) https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kesulitan (diakses pada tanggal 5 Oktober 2017) Kraska, M., and Miller. 2014. Nonparametric Statistics for Social and Behavioral Sciences.

CRC Press. New York Lembaga Penjaminan Mutu UIN Walisongo Semarang. 2017. Standar Pelayanan

Minimum UIN Walisongo Semarang. LPM UIN Walisongo. Semarang Program Studi Pendidikan Matematika. 2017. Buku Bimbingan Akademik Program Studi

Pendidikan Matematika. Prodi Pendidikan Matematika FST UIN Walisongo. Semarang

Siegel, Sidney. 1986. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta Utami, Aprilia Dwi, Robiatul Auliyah, Nurul Herawati. 2011. Bagaimanakah Penafsiran

Ujian Komprehensif Menurut Civitas Akademik Universitas Trunojoyo? Jurnal Investasi. Vol. 7 No.1. 64-75

KIMIA…

398 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

KIMIA

KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 399

PELATIHAN DAN PENDAMPINGAN INSTRUMEN HPLC UNTUK PRAKTIKUM ANALISIS SEDIAAN FARMASI BAGI GURU KIMIA SMK

FARMASI DAN FARMASI INDUSTRI SE-KOTA SEMARANG

Willy Tirza Eden1, Sri Nurhayati2, Eko Budi Susatyo3, Harjito4, Ella Kusumastuti5 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES)

email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Tujuan dari kegiatan pengabdian ini adalah untuk (1) meningkatkan peran guru dalam mentransfer pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) analisis sediaaan farmasi sehingga peningkatan motivasi belajar dan kompetensi akhir siswa yang diharapkan tercapai, (2) meningkatkan kompetensi profesional guru dalam menggunakan instrumen HPLC untuk analisis sediaan farmasi. Target pada khalayak sasaran adalah (1) tercapainya peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional guru dengan indikator menghasilkan produk media pembelajaran dan pedoman praktikum analisis instrumen HPLC, (2) tercapainya peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam penggunaan instrumen HPLC dengan indikator peningkatan nilai post test dari pre test. Program aksi yang dilakukan adalah (1) menyelenggarakan workshop pengembangan media pembelajaran dan pedoman praktikum yang inovatif, kreatif, dan tuntas kepada guru, (2) menyelenggarakan pelatihan preparasi, pengoperasian dan penyelesaikan masalah yang terkait dengan penggunaan instrumen HPLC untuk analisis sediaan farmasi yang difasilitasi oleh Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES) kepada guru. Luaran pengabdian yang diperoleh yakni : (1) khalayak sasaran menghasilkan modul praktikum analisis sediaan farmasi menggunakan HPLC yang komprehensif, (2) Guru mampu menghasilkan video penunjang laboratorium kering di institusinya masing-masing, (3) siswa memiliki kemampuan yang cukup dalam bekerja di industri farmasi setelah lulus. Kata kunci : HPLC; Analisis Sediaan Farmasi; Guru Kimia.

PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui dua jalan, yaitu pendidikan formal dan non formal. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai peranan penting dalam proses adaptasi siswa menjadi generasi yang tidak tertinggal dalam menghadapi perkembangan teknologi. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan formal yang dituntut mampu mengikuti perkembangan teknologi sehingga menghasilkan lulusan yang kompeten secara kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pengenalan teknologi baru harus dilakukan dalam proses kegiatan belajar mengajar di SMK agar peserta didik mampu menjadi kader yang siap dalam menghadapi tantangan dunia di era teknologi (Anonim, 2003).

Salah satu kompetensi keahlian SMK yang berkaitan dengan penggunaan HPLC adalah Farmasi dan Farmasi Industri. Kompetensi keahlian tersebut merupakan pengembangan dari kompetensi keahlian kimia industri ke arah seluruh aspek produksi sediaan farmasi (obat, obat tradisional dan kosmetika) di industri farmasi yang tertuang dalam CPOB, CPOTB, maupun CPKB berikut dengan keahlian dalam pengawasan dan penjaminan mutu produk. Keberadaan SMK Farmasi dan Farmasi Industri menjadi pilihan utama masyarakat Kota Semarang untuk mensekolahkan putra-putri mereka di jenjang pendidikan menengah kejuruan. Harapan orang tua siswa kedepannya setelah lulus dari SMK tersebut, putra-putri mereka dapat langsung siap kerja di Industri Farmasi atau dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Kota Semarang memiliki beberapa SMK dengan kompetensi keahlian farmasi dan farmasi industri, yakni SMK Nusaputera 2, SMK Theresiana, SMK Yayasan Pharmasi, SMK 17 Agustus 1945, dan SMK Assodiqiyah.

KIMIA…

400 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

SMK tersebut dikelola oleh swasta dalam bentuk yayasan pendidikan. Keterbatasan dalam hal pengadaan alat yang menunjang proses pembelajaran terutama dalam bentuk praktikum pembuatan dan evaluasi sediaan farmasi menjadi kendala. Hal tersebut dikarenakan memerlukan dana investasi yang tinggi dan belum dapat dipenuhi oleh yayasan pendidikan sebagai pihak pengelola.

Salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa SMK Farmasi dan Farmasi Industri adalah dengan penyelenggaraan Praktek Kerja Industri (Prakerin). Lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 323/U/1997 menjelaskan tentang Pendidikan Sistem Ganda (PSG) yang merupakan suatu kombinasi antara penyelenggaraan pembelajaran di sekolah (SMK) dengan penyelenggaraan praktek kerja industri (prakerin) di institusi kerja pasangan (dalam hal ini industri farmasi), secara sinkron dan sistematis, bertujuan menghantarkan peserta didik pada penguasaan kemampuan kerja tertentu, sehingga menjadi lulusan yang berkemampuan relevan seperti yang diharapkan. Kendala yang dihadapi saat prakerin adalah siswa tidak menguasai pengetahuan dan ketrampilan dasar untuk menggunakan peralatan atau teknologi di industri farmasi lahan prakerin, khususnya penggunaan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) untuk analisis zat aktif dan kadar obat dalam sediaan farmasi secara simultan (Skoog, et al, 2014).

Guru sebagai tenaga pendidik memiliki kompetensi pedagogik dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Guru SMK Farmasi dan Farmasi Industri diharapkan mengembangkan strategi pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi pedagogik yang dimiliki. Pengembangan media pembelajaran juga perlu menjadi perhatian dalam upaya meningkatkan motivasi belajar siswa. Media pembelajaran harus menantang siswa di dalam mengembangkan daya pikir dan kreativitasnya sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing, sehingga menumbuhkan minat dalam menekuni bidang keahliannya. Media berbasis audio visual seperti video dapat menarik minat siswa, khususnya pada mata praktikum yang seharusnya dipraktekkan per individu siswa tetapi diubah dengan demonstrasi pelaksanaan metode atau penggunaan alat dan bahan yang disebut sebagai laboratorium kering (WHO, 2009). Guru SMK Farmasi dan Farmasi Industri Kota Semarang masih mengaplikasikan strategi pembelajaran klasik dengan memberikan tugas yang hanya mengarahkan peserta didik untuk mencapai penguasaan kompetensi yang telah diprogramkan bersama antara sekolah dengan industri farmasi tanpa menghasilkan produk atau hasil karya yang laku dijual /dipasarkan dan berorientasi pada konsumen. Media pembelajaran juga masih menggunakan power point tanpa modifikasi yang menarik minat belajar siswa.

Menanggapi permasalahan yang telah diungkapkan sebelumnya, penulis tertarik untuk memberikan pelatihan dan pendampingan penggunaan instrumen HPLC bagi guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri di Kota Semarang. Diharapkan kegiatan ini memberikan kontribusi lebih jauh pada terbentuknya peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional guru kimia terhadap penggunaan instrumen HPLC di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). METODE

Adapun persiapan, pelaksanaaan, dan rancangan evaluasi secara rinci dalam kegiatan ini meliputi : 1. Persiapan

a. Proses perijinan dari APMFI Kota Semarang untuk melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan sasaran guru kimia.

b. Rapat koordinasi dengan ketua APMFI Kota Semarang untuk merancang pelaksanaan kegiatan.

KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 401

c. Ketua APMFI Kota Semarang mengundang guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri di Kota Semarang untuk mengikuti kegiatan pelatihan.

d. Mempersiapkan alat, bahan dan sampel yang akan digunakan dalam proses pelatihan dan pendampingan penggunaan instrumen HPLC untuk praktikum analisis sediaan farmasi.

2. Pelaksanaan a. Melaksanakan kegiatan workshop pembuatan media pembelajaran dan pedoman

praktikum bagi guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri Se-Kota Semarang. b. Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan praktikum analisis penetapan

kadar sediaan farmasi dengan bentuk sediaan padat dan cair menggunakan instrumen HPLC bagi guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri Se-Kota Semarang.

c. Refleksi dan menganalisis ketercapaian tujuan sosialisasi dan pelatihan. d. Menindaklajuti hasil pelatihan melalui kegiatan pendampingan terhadap guru

kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri di institusinya masing-masing. e. Refleksi dan menganalisis ketercapaian tujuan kegiatan pelatihan dan

pendampingan. 3. Rancangan Evaluasi

a. Dikumpulkan data pre-test pada awal kegiatan workshop pembuatan media pembelajaran dan pedoman praktikum, kemudian post-test pada akhir kegiatan sosialisasi dan pelatihan praktikum analisis sediaan farmasi menggunakan instrumen HPLC. Indikator keberhasilan kegiatan pengabdian ini adalah adanya peningkatan nilai post-test dibandingkan pre-test dengan nilai akhir maksimal 100.

b. Pada tahap pelaksanaan pelatihan, dievaluasi tingkat kesiapan peserta untuk memfasilitasi pengujian kadar sampel dengan metode HPLC yang sebelumnya telah dilakukan preparasi sampel. Indikator keberhasilannya adalah peserta memiliki kompetensi untuk melakukan pengujian kadar sampel secara tepat.

c. Pada tahap pendampingan, peserta pelatihan akan dinilai kemampuan menjelaskan materi praktikum, kemampuan melatih hard skill siswa, dan kemampuan menilai hasil unjuk kerja siswa di sekolah masing-masing. Indikator keberhasilan tahap pendampingan yaitu siswa telah melakukan pengujian kadar sampel dengan metode HPLC menggunakan fase gerak dan fase diam yang sesuai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan pada khalayak sasaran guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri di Kota Semarang yang difasilitasi oleh Asosiasi Pendidikan Menengah Farmasi Indonesia (APMFI) Kota Semarang yang bertempat di SMK Nusaputera 2, Jalan Medoho III No. 2, Kelurahan Siwalan, Kecamatan Gayamsari. Khalayak sasaran memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi, yakni sarjana kimia, teknik kimia, dan farmasi yang merupakan tenaga profesional guru yang mengajar mata pelajaran kimia baik teori maupun praktikum. Hasil nyata kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah khalayak sasaran telah menerima pengetahuan dan keterampilan mengenai peilihan fase gerak, preparasi sampel dan pengujian sampel menggunakan instrument HPLC sehingga nantinya siswa peserta didik dapat meningkat kemampuan hard skill dan life skill-nya.

Jalannya kegiatan pengabdian ini secara garis besarnya mengikuti pola tiga tahap yaitu : Pada tahap pertama dilakukan pemberian wawasan atau pengetahuan dari penulis mengenai penggunaan media pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Sebelum kegiatan ini dilakukan, penulis memberikan pre test terlebih dahulu untuk mengetahui pengetahuan awal khalayak sasaran sebelum diberikan penjelasan materi pengabdian. Pada kegiatan pemberian penjelasan mengenai macam-macam media pembelajaran

KIMIA…

402 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

digital, dilakukan dengan metode ceramah dikuti tanya jawab. Selain itu para peserta pelatihan yaitu guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri juga diberikan materi pelatihan dalam bentuk print out, sehingga dapat dibaca terlebih dahulu oleh khalayak sasaran. Pada tahap penjelasan materi penggunaan power point dan video pembelajaran, maka penulis juga menunjukkan contoh produk media dan mendemonstrasikan pembuatannya pada peserta pelatihan. Khalayak sasaran sangat serius dan tertarik terhadap materi yang diberikan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan dan saran /masukan selama penjelasan materi berlangsung. Pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan pemilihan background media yang baik, bagaimana cara mengintegrasikan video ke dalam slide pembelajaran serta menggabungkan foto dan video dalam satu media. Penentuaan jenis media mana yang cocok untuk dterapkan pada siswa di institusinya masing-masing menjadi perbincangan yang cukup padat tetapi berjalan kondusif dan menemukan solusi agar ke depan siswa menjadi meningkat pemahamannya dan mempermudah belajar siswa.

Tahap kedua dari kegiatan ini yaitu pelatihan dan praktek aplikasi. Pada tahap pelatihan ini, sebelum praktek dilakukan persiapkan alat dan bahan, misalnya baku induk paracetamol dan kafein, fase gerak (KH2PO4 0,01 M, metanol, asetonitril, isopropil alkohol) serta kolom C-18 sebagai fase diam untuk keperluan praktek penetapan kadar paracetamol dan kafein pada sediaan farmasi Tablet “Bodrex”. Dari hasil operasi instrumen akan diperoleh kurva kalibrasi. Bila kurva kalibrasi diperoleh dengan koefisien regresi > 0,997 khalayak sasaran diperbolehkan melanjutkan perhitungan kadar parasetamol atau kafein dalam sampel dalam satuan %b/b. Bila tidak diperoleh kurva yang linier, maka dilakukan diskusi untuk mencari penyebabnya (Rohman dan Gandjar, 2012). Setelah persiapan alat dan bahan selesai dilanjutkan kegiatan pelatihan yaitu demonstrasi penggunaan instrumen HPLC menggunakan fase gerak dan fase diam yang telah ditentukan oleh penulis. Setelah dilakukan demonstrasi dan dilakukan sesi tanya jawab mengenai kendala teknis pelaksanaan, khalayak sasaran diberi kesempatan untuk melakukan langsung praktek injeksi sampel yang telah disaring dengan didampingi dan diarahkan oleh penulis. Khalayak sasaran antusias terhadap praktek aplikasi instrumen HPLC yang didemonstrasikan oleh penulis. Hal ini dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang muncul, yakni mengenai keakuratan waktu retensi saat elusi fase gerak, hingga perubahan komposisi fase gerak dapat dimanfaatkan. Sebelum kegiatan ini diakhiri, penulis memberikan post test kepada khalayak sasaran untuk melihat keterserapan materi pengabdian yang diberikan sehingga dapat diketahui ketercapaiannya sesuai tujuan pengabdian.

Tahap ketiga adalah pendampingan guru kimia ke sekolah masing-masing dan evaluasi akhir hasil pengabdian. Pendampingan guru kimia dilakukan pada saat khalayak sasaran sedang menjalankan rutinitas mengajar baik di dalam kelas maupun di laboratorium. Penulis mengamati kinerja khalayak sasaran dalam menjalankan tugasnya sebagai guru profesional. Umpan balik dari penulis disampaikan setelah guru selesai melaksanakan tugasnya. Tanggapan terhadap umpan balik penulis diterima dengan baik oleh khalayak sasaran untuk dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam rangka meningkatkan hard skill dan life skill siswa peserta didik. Pada akhir kegiatan ini, khalayak sasaran mengisi angket evaluasi akhir kegiatan untuk mengetahui dampak dari kegiatan pengabdian ini terhadap guru dan siswa.

Hasil pemantauan selama proses pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini menunjukkan antusias peserta untuk mengikuti kegiatan ini cukup besar, terbukti dari 20 kuota peserta yang diundang, sejumlah 15 (lima belas) peserta yang datang. Selama praktek penggunaan instrumen HPLC untuk analisis kadar obat berlangsung, maka khalayak sasaran secara aktif mengambil peran langsung dan membantu penulis pada pelaksanaan proses pemisahan dan penentuan waktu retensi. Analisis pre-test/post-test,

KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 403

pengamatan kinerja, wawancara dan angket evaluasi akhir kegiatan yang disebarkan kepada khalayak sasaran memberikan hasil dan tanggapan sebagai berikut : 1. Peningkatan wawasan dan pengetahuan khalayak sasaran setelah dilakukan

pelatihan dan pendampingan instrumen HPLC untuk praktikum analisis sediaan farmasi yang dibuktikan dengan peningkatan nilai rata-rata post-test sebesar 35,76% dibandingkan dengan nilai rata-rata pre-test.

2. Peningkatan keterampilan khalayak sasaran setelah dilakukan pelatihan oleh penulis yang dapat dilihat dari perubahan teknik mengajar dan pensisipan materi HPLC, baik pada slide bahan ajar maupun pada pembelajaran praktikum di laboratorium terhadap peserta didik.

3. Peningkatan keterampilan siswa peserta didik dalam melakukan pengujian kadar sampel obat dengan metode HPLC menggunakan fase gerak dan fase diam terpilih. Hal tersebut dapat diamati oleh penulis pada saat kunjungan langsung di institusi khalayak sasaran pada saat praktikum rutin siswa SMK Farmasi dan Farmasi Industri di laboratorium kimia.

4. Khalayak sasaran sebagian besar yaitu 14 orang (93%) belum mengetahui cara preparasi sampel untuk mendapatkan zat aktif yang larut, bebas dari bahan tambahan /pengotor sehingga kemurnian tinggi. Sedangkan 1 (satu) orang peserta (7%) mengetahui penggunaan HPLC dan pemanfaatannya untuk penetapan kadar obat karena merupakan bagian dari proyek tugas akhirnya selama menjadi mahasiswa.

5. Khalayak sasaran peserta pelatihan menyatakan tanggapannya bahwa materi dan pelaksanaan kegiatan pengabdian ini telah dipersiapkan dengan baik, serta penulis menguasai materi pelatihan.

6. Peserta pelatihan merasa bahwa prosedur aplikasi penggunaan HPLC mudah dilakukan dan dapat diterapkan untuk siswa peserta didik sehingga kegiatan pengabdian ini dirasakan sangat memberikan manfaat bagi dirinya maupun siswa yang dibimbingnya.

7. Guru kimia khalayak sasaran mengalami kesulitan pada saat menentukan deret baku dan komposisi fase gerak. Hal tersebut disebabkan keterbatasan fase gerak yang digunakan untuk proses pemisahan senyawa. Diperlukan pengetahuan sifat fisikokimia dan waktu retensi obat melalui berpikir kritis dengan literatur yang valid dan relevan.

8. Khalayak sasaran merasa bahwa pengabdian ini mejadi momentum yang baik untuk pengembangan pembelajaran kimia berbasis green chemistry dengan sasaran utama menggunakan senyawa kimia yang tidak mencemari lingkungan dan sedapat mungkin memiliki sifat fast recycling.

9. Setelah selesai kegiatan, maka diperoleh masukan dari peserta yaitu (a) mohon pelatihan seperti ini dilakukan secara rutin dengan materi yang berbeda dan inovatif, (b) mereka juga menyarankan untuk kegiatan pelatihan mengenai peningkatan nilai jual hasil limbah dan produksi sediaan kosmetika berbasis herbal yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh guru tersebut untuk program pengmbangan kewirausahaan siswa di SMK Farmasi Kota Semarang.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kegiatan dari pelatihan dan pendampingan penggunaan HPLC untuk praktikum analisis sediaan farmasi pada khalayak sasaran, maka disimpulkan Khalayak sasaran menghasilkan modul praktikum analisis sediaan farmasi menggunakan HPLC yang komprehensif; Guru mampu menghasilkan video penunjang laboratorium kering di institusinya masing-masing; Siswa memiliki kemampuan yang cukup dalam bekerja di industri farmasi setelah lulus.

KIMIA…

404 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Daya dukung institusi pendidikan dalam hal ini pimpinan yayasan SMK Farmasi dan Farmasi Industri Kota Semarang dalam peningkatan kompetensi pedagogik dan keterampilan guru masih kurang, sehingga hanya mengandalkan peranan Kemendikbud untuk melakukan pelatihan-pelatihan, terkait dari sisi finansial yayasan. Diketahui bahwa guru saat ini memerlukan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan jenjang karir serta update dan upgrade iptek. Berdasarkan hal tersebut, maka disarankan kepada pimpinan yayasan untuk memperhatikan dan terus menjaga dari sisi pengembangan karir guru sebagai insan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, beriringan dengan jurusan kimia FMIPA UNNES yang selalu akan menyelenggaran pengabdian kepada masyarakat yang terkhusus berfokus pada peningkatan keilmuan calon guru kimia dan guru SMK Farmasi dan Farmasi Industri di Kota Semarang. REFERENSI Anonim. 1997. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 323/U/1997

tentang Pendidikan Sistem Ganda. Kemendikbud : Jakarta Anonim. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta Rohman, A. dan Gandjar, I.G. 2012. Analisis Obat secara Spektrofotometri dan

Kromatografi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta Skoog, D.A., West, D.M., Holler, F.J., and Crouch, S.R. 2014. Fundamentals of Analytical

Chemistry. 9th Edition. Mary Finch : USA WHO. 2009. Handbook: good laboratory practice (GLP): quality practices for regulated

non-clinical research and development. 2nd Edition. WHO : Switzerland

KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 405

KIMIA…

406 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 407

KIMIA…

408 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 409

KIMIA…

410 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 411

PENDIDIKAN

KIMIA

PENDIDIKAN KIMIA…

412 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENDIDIKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN MELALUI PERKULIAHAN KIMIA LINGKUNGAN TERINTEGRASI NILAI-NILAI ISLAM

Atik Rahmawati

Dosen UIN Walisongo Semarang

Abstrak Terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan, salah satu penyebabnya adalah rendahnya kepedulian manusia terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan karakter peduli lingkungan. Untuk menanamkan karakter peduli lingkungan ini perlu dimulai sejak dini, yaitu dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan di sekolah maupun pendidikan tinggi. Pembentukan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran secara tidak langsung. Untuk membentuk karakter peduli lingkungan pada pembelajaran materi masalah-masalah lingkungan global terintegrasi agama, dapat dilakukan dengan cara melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Dengan menggunakan berbagai sumber belajar, mahasiswa mendiskusikan tentang masalah-masalah lingkungan global. Pembahasan materi dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai Qur’an. Mahasiswa dihadapkan permasalahan riil (real life) tentang masalah-masalah lingkungan global (pembelajaran berbasis masalah). Melalui pembelajaran kooperatif dan berbasis masalah, diharapkan mahasiswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan menumbuhkan sikap peduli terhadap lingkungan. Kata kunci: integrasi, nilai-nilai Islam, karakter peduli lingkungan, masalah lingkungan global

PENDAHULUAN

Sejarah perjalanan pendidikan nasional kita telah mengalami bongkar pasang kurikulum. Namun demikian, wajah pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Terjadi kesenjangan antara yang diharapkan dengan kenyataan. Produk pendidikan nasional kita telah menelurkan insan yang pandai dan berkompetensi. Saat ini di negara kita telah terjadi krisis dan dekadensi moral. Krisis tersebut antara lain maraknya praktek korupsi di segala bidang, meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, kerusakan lingkungan, dll. Kondisi ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapat di bangku sekolah belum atau tidak berdampak terhadap perubahan perilaku siswa (Zubaedi, 2011).

Situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan ini telah mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif dengan memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal tersebut tercermin melalui pengembangan Kurikulum 2013, yang menyeimbangkan soft skills (sikap) dan hard skills. Demikian juga yang terjadi di Perguruan Tinggi, saat ini telah disahkan Kurikulum Berbasis KKNI, dimana capaian pembelajaran tidak hanya meliputi aspek pengetahuan dan ketrampilan, namun juga aspek sikap yang dirumuskan dengan sikap umum dan sikap khusus. Dengan demikian, proses perkuliahan perlu dirancang model perkuliahan yang mampu memfasilitasi capaian ketiga ranah.

Universitas Islam Negeri Walisongo sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang bernafaskan Islam dengan paradigma visinya yaitu Unity of Sciences (Kesatuan Ilmu Pengetahuan). Paradigma ini menuntut jurusan-jurusan umum (termasuk Pendidikan Kimia) untuk mampu mengembangkan kurikulumnya dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam. Dengan integrasi sains dengan nilai-nilai Islam diharapkan mengantarkan pengkajinya semakin mengenal dan semakin dekat dengan Allah sebagai al-Alim (Yang Maha Tahu), mengagumi keteraturan ciptaan-Nya yang

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 413

dapat meningkatkan sikap religi siswa yang terejawantahkan dalam sikap-sikap yang positif, diantaranya menjaga kelestarian alam. Terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan, salah satu penyebabnya adalah rendahnya kepedulian manusia terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan karakter peduli lingkungan. Untuk menanamkan karakter peduli lingkungan ini perlu dimulai sejak dini, dimulai dari keluarga dan juga dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan di sekolah maupun pendidikan tinggi. Mata kuliah kimia lingkungan merupakan salah satu mata kuliah pilihan yang dirancang untuk membekali mahasiswa agar mampu memahami masalah-masalah lingkungan global baik penyebab, dampak, upaya pengendaliannya; memahami komponen-komponen kimia yang terdapat pada kompartment tanah, air, udara, serta pencemarannya, memahami bioremediasi senyawa polutan, green chemistry dan aplikasinya, toksikologi kimia serta dapat mengaplikasikan ilmu kimia lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian tujuan besar dan akhir dari mata kuliah ini membentuk sikap menjaga kelestarian lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi perkuliahan kimia lingkungan terintegrasi nilai-nilai agama untuk membentuk karakter peduli lingkungan, serta bagaimana karakter peduli lingkungan mahasiswa setelah memahami masalah-masalah lingkungan global yang terintegrasi nilai-nilai Islam. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Untuk mendapatkan gambaran sikap peduli lingkungan mahasiswa digunakan angket terbuka.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil berdasarkan data yang dapat mewakili populasi secara keseluruhan (representatif). Oleh karena itu, sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan jumlah populasi yang menjadi subjek penelitian yaitu seluruh mahasiswa yang mengambil mata kuliah kimia lingkungan sebanyak 29 mahasiswa.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Adanya integrasi nilai-nilai Islam dapat dipahami dari berbagai firman Allah SWT, diantaranya Q.S Ali Imran [3]: 190-191: “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terkait dimensi akal dan iman. Dimensi akal ditunjukkan oleh kata “memikirkan”, yaitu kata yang mewakili aktivitas berpikir yang mendalam disertai dengan pengamatan, analisis, dan penyimpulan. Aktivitas berpikir tersebut disertai dengan adanya kesadaran adanya keteraturan yang bersumber pada Sang Pencipta.

Ketrampilan memahami fakta dari fenomena alam ini tidak sekedar mengandalkan bukti-bukti aqliyah (rasio). Tafsir (2006) dalam Rochman (2010) menyatakan bahwa pemahaman fakta dari fenomena alam harus menggunakan suara hati atau moral. Suara hati ini dapat memperkuat ranah rasio. Menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran pada prinsipnya menjadikan semua sifat Allah sebagai rujukan dalam memahami materi dan proses memperoleh ilmu pengetahuan.

PENDIDIKAN KIMIA…

414 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan (Yahya K, 2010). Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Secara prinsip, pengembangan pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan. Dengan prinsip tersebut peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat.

Zubaidi (2002) menyatakan peduli lingkungan ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Adapun karakter peduli lingkungan bisa ditunjukkan dengan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mencegah kerusakan pada lingkungan alam yang terjadi disekitarnya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, indikator karakter peduli lingkungan meliputi perilaku penghematan energi, perilaku membuang sampah, perilaku pemanfaatan air, dan perilaku mengurangi emisi karbon

Karakter peduli lingkungan dapat ditunjukkan dengan sikap dan tindakan untuk mengembangkan upaya-upaya memperbaiki kerusakan alam yang terjadi. Dengan demikian karakter peduli lingkungan sangat penting untuk dibangun pada diri setiap anak didik. Jika semua orang mencintai lingkungan hidup dan alam, maka semua orang akan peduli untuk memelihara kelangsungan hidup lingkungan, seperti menjaga keseimbangan lingkungan, memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, sampai menjaga lingkungan dari polusi.

Pembentukan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran secara tidak langsung. Untuk membentuk karakter peduli lingkungan pada pembelajaran materi masalah-masalah lingkungan global terintegrasi agama, dilakukan dengan cara melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Pembelajaran dilakukan secara kooperatif dengan metode diskusi, dengan menggunakan berbagai sumber belajar, mahasiswa mendiskusikan tentang masalah-masalah lingkungan global. Mahasiswa dihadapkan permasalahan riil (real life) tentang masalah-masalah lingkungan global (pembelajaran berbasis masalah). Melalui pembelajaran kooperatif dan berbasis masalah, diharapkan mahasiswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan menumbuhkan sikap peduli terhadap lingkungan.

Pada kegiatan pendahuluan yaitu apersepsi dan motivasi. Dilakukan brainstorming tentang fenomena saat ini, seperti suhu udara yang tinggi, terjadinya perubahan musim, terjadinya curah hujan ekstrim yang mengakibatkan longsor dan banjir. Mengapa terjadi demikian? Mengapa terjadi pemanasan global? Faktor apa yang menyebabkan pemanasan global? Bagaimana dampak pemanasan global terhadap kehidupan di bumi? Bagaimana upaya mengendalikan pemanasan global? Setiap kelompok membahas materi pemanasan global dalam perspektif sains dan Islam. Untuk menumbuhkan dan memperkuat karakter peduli lingkungan, mahasiswa diberikan masalah riil, kontribusi masyarakat dalam menyumbang konsentrasi CO2 di atmosfer dari sektor transportasi.

Berdasarkan hasil penelitian, keenam kelompok mampu mengembangkan masalah berdasarkan permasalahan utama di atas. Setiap kelompok telah mampu membahas materi dalam perspektif sains dan Islam.

Berdasarkan kegiatan pembelajaran di atas, mahasiswa dihadapkan pada fenomena-fenomena yang bisa dilakukan dan ternyata memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pemanasan global, diharapkan dapat menjadi pengetahuan sikap,

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 415

yang akan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 4.1 berikut adalah tindakan yang pernah dilakukan mahasiswa dalam mengendalikan pemanasan global: Tabel 4.1 Perilaku yang pernah dilakukan untuk mengendalikan pemanasan global

No Sikap Peduli Lingkungan Frekuensi Persentase

1

Hemat energi (mematikan fasilitas-fasilitas di kampus maupun di rumah setelah digunakan) 12 21,05

2 Berjalan kaki jika jarak dekat 13 22,81

3 Bersepeda 1 1,75

4 Menggunakan transportasi umum 3 5,26

5 Menanam pohon 9 15,79

6 Sebagai mahasiswa meminimalkan penggunaan kertas 7 12,28

7 Memilih BBM yang bernilai oktan tinggi untuk efisiensi 1 1,75

8 Membuang sampah pada tempatnya 6 10,53

9 Tidak menggunakan AC 2 3,51

10 Tidak membakar sampah 1 1,75

11 Menggunakan kompor dengan bahan bakar gas 1 1,75

12 Menggunakan air secukupnya 1 1,75

Jumlah 57 100,00 Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa tindakan yang pernah dilakukan mahasiswa

dalam mengendalikan pemanasan global yang paling dominan adalah hemat energi dan berjalan kaki jika jarak tempuh dekat. Hal ini tidak terlepas dari sebagian besar mahasiswa indekost di sekitar kampus sehingga mereka tidak menggunakan kendaraan bermotor. Namun demikian berdasarkan data di atas sebagian besar mahasiswa telah memiliki perilaku mengurangi emisi CO2 (perilaku peduli lingkungan).

Setelah memahami dampak dari pemanasan global, terjadi perubahan sikap yang signifikan terkait hal yang akan dilakukan dalam mengendalikan pemanasan global sebagaimana tertera pada Tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Perilaku yang akan dilakukan untuk mengendalikan pemanasan global

No Sikap Peduli Lingkungan Frekuensi Persentase

1 Bijaksana menggunakan kendaraan 3 7,14

2

Mengurangi penggunaan kertas atau memanfaatkan kertas yang telah terpakai, menggunakan kertas secara bijaksana 9 21,43

3 Membuang sampah pada tempatnya 1 2,38

4 Menggunakan energi alternatif 2 4,76

5 Memilih green chemistry 2 4,76

6 Melestarikan lingkungan pantai dari abrasi 1 2,38

7 Hemat energi 6 14,29

8 Mendaur ulang sampah atau melakukan 3R 3 7,14

9 Menanam pohon 7 16,67

10 Mengurangi emisi CO2 1 2,38

PENDIDIKAN KIMIA…

416 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

11 Menggunakan energi ramah lingkungan 2 4,76

12 Tidak merokok karena asapnya CO 1 2,38

13 Menggunakan kendaraan umum 2 4,76

14 Menggunakan kompor dengan bahan bakar gas 1 2,38

15 Kampanye dampak global warming melalui medsos 1 2,38

Jumlah 42 100,00 Terjadi kenaikan yang cukup signifikan pada perilaku mengurangi penggunaan

kertas yaitu sebesar 9% yang sebelumnya hanya sebesar 12,28%. Perilaku ini tidak terlepas dari peraturan di kelas kimia lingkungan bahwa tugas-tugas yang dikumpulkan mahasiswa dalam bentuk soft file. Demikian pula tidak diijinkan penggandaan makalah dalam bentuk hard file. Perilaku hemat energi, hemat penggunaan kertas, menanam pohon yang persentasenya cukup tinggi secara tidak langsung sudah mengurangi emisi CO2 (perilaku peduli lingkungan).

Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 berikut adalah perilaku yang pernah dan yang akan dilakukan untuk mengurangi laju penipisan lapisan ozon: Tabel 4.3 Perilaku yang pernah dilakukan untuk mengurangi laju penipisan lapisan ozon

No Sikap Peduli Lingkungan Frekuensi Persentase

1 Menanam pohon/merawat 5 15,63

2 Memilih kipas angin daripada AC 2 6,25

3 Mengurangi penggunaan plastik 1 3,13

4 Tidak membakar sampah 3 9,38

5 Tidak memakai AC 7 21,88

6 Tidak menggunakan alat yang menghasilkan CFC 2 6,25

7 Bijaksana menggunakan kendaraan 4 12,50

8 Memilih parfum yang tidak menggunakan spray 2 6,25

9 Menggunakan kendaraan umum 1 3,13

10 Hemat energi 1 3,13

11 Tidak pernah melakukan 4 12,50

32 100,00 Tabel 4.4 Perilaku yang akan dilakukan untuk mengurangi laju penipisan lapisan ozon

No Sikap Peduli Lingkungan Frekuensi Persentase

1 Menumbuhkan mindset yang positif 1 5,26 2 Menggunakan AC secara bijaksana 1 5,26

3 Mengurangi penggunaan kertas atau memanfaatkan kertas yang telah terpakai 2 10,53

4 Mengurangi penggunaan plastik 1 5,26

5 Mematikan mesin kendaraan ketika beli BBM 2 10,53

6 Memanfaatkan penggunaan lemari es secara bijaksana 1 5,26

7 Jalan kaki jika jarak dekat / 3 15,79

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 417

mengurangi penggunaan motor 8 Menanam pohon 2 10,53

9 Sosialisasi ke masyarakat untuk tidak menggunakan kulkas CFC 2 10,53

10 Menggunakan produk non CFC 2 10,53 11 Tidak membakar sampah 2 10,53

19 100,00

Berdasarkan Tabel 4.3, perilaku yang pernah dilakukan mahasiswa yang dapat mengurangi laju penipisan lapisan ozon sebesar 40,63%. Perilaku yang paling dominan adalah tidak memakai AC. Hal ini tidak terlepas dari ruang-ruang kelas di UIN tidak memakai AC. Namun demikian mahasiswa yang tidak pernah melakukan tindakan mengurangi emisi klor ke atmosfer cukup besar yaitu sebesar 12,5%.

Setelah memahami penyebab, dampak dari penipisan lapisan ozon, tidak terjadi perubahan sikap yang signifikan terkait hal yang akan dilakukan untuk mengurangi penipisan lapisan sebagaimana tertera pada Tabel 4.4 hanya sebesar 31,57% yaitu Menggunakan produk non CFC, Sosialisasi ke masyarakat untuk tidak menggunakan kulkas CFC, Memanfaatkan penggunaan lemari es dan AC secara bijaksana. Hal ini kemungkinan sebagian besar mahasiswa masih tumpang tindih dalam memahami penyebab pemanasan global dan penipisan lapisan ozon. Hal ini juga dapat kita lihat pada Tabel 4.4 sebagian perilaku yang akan dilakukan adalah mengurangi emisi CO2.

Pemahaman mahasiswa terkait integrasi sains dengan nilai-nilai Islam, baru terbatas pada ayatisasi sains, belum sampai pada hikmah yang terkandung dari nilai-nilai Qur’an. Sebanyak 22 responden dari 29 responden atau sebesar 75,9% pemahaman masih terbatas pada ayatisasi, mengkaitkan. Hanya 20,7% yang telah mampu memahami nilai-nilai agama yang terkait dengan lingkungan dengan mampu mengambil hikmah dan implementasinya. Ada 1 responden yang menyatakan nilai-nilai agama Islam belum mempengaruhi diri dalam menjaga kelestarian lingkungan karena tidak memahami arti dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Integrasi sinergis antara agama dan sains secara konsisten dapat menghasilkan sumber daya yang handal dalam mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dengan diperkuat oleh spiritualitas yang kokoh dalam menghadapi kehidupan. Dengan demikian Islam merupakan sebuah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang kehidupan, dan sebagai fasilitas untuk perkembangan ilmu dan teknologi.

KESIMPULAN Pembentukan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran secara tidak langsung. Untuk membentuk karakter peduli lingkungan pada pembelajaran materi masalah-masalah lingkungan global terintegrasi agama, dapat dilakukan dengan cara melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Dengan menggunakan berbagai sumber belajar, mahasiswa mendiskusikan tentang masalah-masalah lingkungan global. Pembahasan materi dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai Islam. Mahasiswa dihadapkan permasalahan riil (real life) tentang masalah-masalah lingkungan global (pembelajaran berbasis masalah). Melalui pembelajaran kooperatif dan berbasis masalah, diharapkan mahasiswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan menumbuhkan sikap peduli terhadap lingkungan. Pemahaman mahasiswa terkait integrasi sains dengan nilai-nilai Islam, baru terbatas pada ayatisasi sains, belum sampai pada hikmah yang terkandung dari nilai-nilai Qur’an. Sebanyak 22 responden dari 29 responden atau sebesar 75,9% pemahaman masih terbatas pada ayatisasi, mengkaitkan. Hanya 20,7% yang telah mampu memahami nilai-nilai agama yang terkait dengan lingkungan dengan mampu mengambil hikmah dan implementasinya.

PENDIDIKAN KIMIA…

418 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

REFERENSI Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta: Penerbit Andi. Bakar, Osman, 1991, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam

terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Perilaku Masyarakat Peduli

Lingkungan Survay KLH 2012, 2010, dalam http://www.menlh.go.idDATAbk_laporan_survei.pdf

Khan, D. Yahya, 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri Mendongkrak Kualitas Pendidikan, Semarang: Pelangi Publishing.

Mansour, Nasser. 2015. Science Teachers’ Views and Stereotypes of Religion, Scientists and Scientific Research: A call for scientist–science teacher partnerships to promote inquiry-based learning. International Journal of Science Education, Vol. 37, No. 11, 1767–1794

Purwanto A., 2004, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan. Bandung: Mizan Pustaka

Rochman Chaerul, 2010, Pengembangan Program Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Calon Guru Fisika dalam Menyusun Program Pembelajaran yang Mengintegrasikan Nilai Agama Islam. Disertasi: Universitas Pendidikan Indonesia

Sastrawijaya A, Tresna. 2000, Pencemaran Lingkungan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Yusuf Qardhawi, 2003, ad-Din fi ‘Ashr al-Ilm. Terjemahan: Abdussalam “Ilmu

Pengetahuan dalam Perspektif Islam”, Yogyakarta: ‘Izzan Pustaka Zubaedi, 2011, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga

Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 419

DESAIN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK ANALISIS KETERAMPILAN PROSES

SAINS SISWA

Murbangun Nuswowati*, Sri Wahyu Oktaviana, Endang Susilaningsih, dan

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035

E-mail: [email protected], +6281325773499

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan Lembar Kerja Siswa berbasis Pembelajaran Kontekstual yang efektif untuk mengukur keterampilan proses sains siswa. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Bergas kelas XI IPA. Penelitian dirancang dengan desain Research and Development. Desain ini menggunakan menggunakan 4-D Models yaitu Define, Design, Develop, dan Disseminate. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis masalah yang ada dilapangan, mendesain Lembar Kerja Siswa, memvalidasi Lembar Kerja Siswa kemudian dilakukan uji coba skala kecil, uji coba skala besar dan implementasi. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan metode wawancara, metode observasi, metode angket, metode tes, dan metode dokumentasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Lembar Kerja Siswa dinyatakan layak digunakan dengan rerata skor validasi oleh ahli materi sebesar 62 dari skor total 68 dengan kirteria sangat layak dan rerata skor validasi oleh ahli media sebesar 63 dari skor total 72 dengan kriteria sangat layak. Lembar Kerja Siswa dinyatakan efektif berdasarkan tes tertulis dan hasil observasi mendapatkan predikat baik pada setiap indikatornya. Simpulan yang diperoleh adalah Lembar Kerja Siswa berbasis pembelajaran kontekstual untuk analisis keterampilan proses sains siswa materi koloid dinyatakan efektif diterapkan dalam pembelajaran kimia. Kata Kunci: Keterampilan Proses Sains, Lembar Kerja Siswa, Pembelajaran Kontekstual

PENDAHULUAN

Pendidikan pada dasarnya merupakan proses panjang dan berkelanjutan untuk membantu manusia mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Pendidikan menuntut adanya pembenahan dan penyempurnaan terhadap aspek dasar yang mendukungnya, terutama kurikulum.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum telah mengalami beberapa kali penataan. Penataan kurikulum disesuaikan dengan perkembangan sains dan teknologi, psikologi siswa,lingkungan alami dan social,serta tuntutan dan kebutuhan masyarakat.Kurikulum 2013 muncul akibat adanya kesenjangan kurikulum saat ini dengan konsep ideal yang diharapkan,meliputi aspek kompetensi lulusan,materi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian,pendidik, dan tenaga kependidikan serta pengelolaan kurikulum. Pelaksanaan penyusunan kurikulum 2013 merupakan kelanjutan pengembangan kurikulum berbasis Kompetensi (KBK) yang dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap,pengetahuan, dan ketampilan secara terpadu. Kurikulum 2013 menganut pembelajaran yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi hasil kurikulum (Permendikbud No 69, 2013).

Kimia merupakan salah satu cabang ilmu IPA yang berperan sangat esensial dalam perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, siswa dituntut untuk menguasai materi pelajaran kimia secara tuntas. Tujuan pembelajaran kimia itu sendiri yaitu agar siswa memahami atau menguasai penerapan konsep-konsep kimia dan saling

PENDIDIKAN KIMIA…

420 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

keterkaitanya serta mampu menerapkan berbagai konsep kimia untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi secara ilmiah (Depdiknas, 2004).

Keterampilan Proses Sains merupakan keterampilan dalam menemukan fakta, prinsip, konsep-konsep dasar melalui suatu kegiatan ilmiah (Rustaman, 2004), atau dijelaskan pula keterampilan-keterampilan proses adalah suatu pendekatan ilmu pengetahuan alam didasarkan atas pengamatan terhadap apa yang dilakukan oleh seorang ilmuwan (Rusmianti & Yulianto, 2009). Keterampilan proses sains siswa dapat dilakukan pada ranah kognitif dan psikomotorik peserta didik, karena keterampilan proses sains siswa merupakan keterampilan dasar untuk meningkatkan nilai sikap serta keterampilan siswa (Widyaningrum et al., 2014).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada bulan Januari di SMA Negeri 1 Bergas diketahui bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran kimia pada kelas XI IPA khususnya pada materi koloid. Separuh lebih dari siswa di tiap kelas memiliki nilai dibawah dengan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yaitu 75. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, masalah ini terjadi disebabkan beberapa faktor, diantaranya pembelajaran yang digunakan masih berpusat kepada guru, sehingga dominasi guru dalam proses pembelajaran masih jelas terlihat sementara siswa cenderung pasif mendengarkan. Guru hanya mengajarkan konsep-konsep dan teori yang kadang susah dijangkau oleh pemikiran siswa. Selain itu guru juga jarang menggunkan metode yang berkaitan dengan laboratorium sehingga keterampilan proses sains siswa kurang. Hal inilah yang membuat siswa merasa bosan dan kurang tertarik dengan pelajaran kimia khususnya materi koloid.

Hasil wawancara dengan salah satu guru kimia kelas XI IPA di SMA Negeri 1 Bergas diperoleh informasi bahwa selain menggunakan buku cetak sebagai bahan ajar, guru juga menggunakan LKS sebagai bahan ajar. LKS yang digunakan oleh guru tersebut merupakan buatan dari penerbit sehingga belum disesuaikan dengan karakteristik siswa maupun keterampilan yang ingin dilatihkan

Berdasarkan pengamatan, beberapa LKS yang beredar saat ini belum mencakupi dari segi keaktifan siswa, segi pengingkatan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, dan kurang dikaitkan dengan pemahaman siswa pada lingkungan Perlu adanya pendekatan kontekstual yaitu pendekatan yang dapat membantu siswa belajar secara berkembang menemukan pengetahuannya sendiri berdasarkan tingkat perkembangan dan pengalaman yang dimilikinya melalui lingkungan sebagai sumber belajar, dan dapat mengembangkan keterampilan siswa, sehingga lebih aktif dan kreatif.

Pendekatan kontekstual juga merupakan salah satu pendekatan yang sesuai dengan pembelajaran menurut kurikulum 2013. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan pendekatan yang menghubungkan konsep dengan situasi di dunia nyata dan mendorong siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang didapat di sekolah dengan kehidupan sehari-hari (Kunandar, 2007). Contextual Teaching and Learning ini memiliki tujuh prinsip, yaitu kontruktivisme, inkuiri, bertanya, pemodelan, masyarakat belajar, refleksi dan penilaian autentik. Prinsip-prinsip CTL ini dapat membantu siswa untuk berlatih keterampilan proses sains, terutama pada prinsip inkuiri. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka peneliti tertarik untuk mengembangkan LKS berbasis pembelajaran kontekstual pada materi koloid.

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah LKS berbasis pembelajaran kontekstual untuk analisis keterampilan proses sains siswa pada materi koloid efektif digunakan dalam pembelajaran kimia. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan Lembar Kerja Siswa berbasis pembelajaran kontekstual yang efektif untuk mengukur keterampilan proses sains siswa.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 421

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Bergas pada materi koloid yang

dilakukan mulai 8 Mei 2017- 20 Mei 2017. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian Research and Development (R & D). Model pengembangan yang digunakan merujuk model 4-D yang dikemukakan oleh Thiagarajan yaitu: Define (pendefinisian), Design (perancangan), Develop (pengembangan), dan Disseminate (penyebaran).

Subjek penelitian menggunakan siswa kelas XI IPA 3 sebanyak 20 siswa untuk uji coba skala kecil, siswa kelas XI IPA 4 dan XI IPA 5 sebanyak 40 siswa untuk uji coba skala besar dan siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 sebanyak 50 siswa untuk implementasi. Kelayakan LKS dinilai oleh para ahli menggunakan lembar validasi. LKS yang dikembangkan diuji keefektifannya melalui tiga tahap yaitu uji coba skala kecil, uji coba skala besar, dan implementasi.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode wawancara untuk identifikasi potensi dan masalah yang ada di SMA Negeri 1 Bergas dengan guru kimia sebagai responden. Metode tes dan metode observasi digunakan untuk mengukur keterampilan proses sains siswa dan memperoleh data mengenai keefektifan LKS. Metode angket berupa lembar validasi LKS untuk menguji kelayakan LKS. Pengumpulan data juga menggunakan metode dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu penggalan silabus materi koloid, rencana pelaksaaan pembelajaran, lembar wawancara, lembar validasi LKS, lembar observasi untuk mengukur keterampilan proses sains siswa, dan soal evaluasi. Instrumen telah divalidasi dengan mengkonsultasikan kepada pakar atau ahli (expert judgement) yaitu dosen pembimbing sehingga instrumen valid digunakan. Instrumen yang digunakan juga harus reliabel. Metode analisis data hasil penelitian terhadap kelayakan LKS dan keefektifan LKS yaitu menggunakan metode deskriptif kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pengembangan ini meliputi: (1) hasil identifikasi potensi dan masalah; (2) desain LKS; (3) hasil validasi LKS; (4) hasil revisi LKS; dan (5) keefektifan LKS. Identifikasi potensi dan masalah selama tahap define ini dlakukan melalui metode observasi dan wawancara dengan guru. Berdasarkan identifikasi tersebut didapatkan informasi bahwa SMA Negeri 1 Bergas memiliki 1 ruang laboratorium kimia dengan fasilitas alat dan bahan yang cukup lengkap. Potensi lain yang dimiliki SMA Negeri 1 Bergas yaitu memiliki guru-guru mumpuni. SMA Negeri 1 Bergas mempunyai 3 orang guru kimia. Ketiga guru kimia tersebut pernah mengikuti pelatihan terkait pelaksanaan kurikulum 2013 sehingga mereka sangat paham mengenai pelaksanaan kurikulum 2013. SMA Negeri 1 Bergas juga memiliki ruang perpustakaan yang lengkap sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuannya secara mandiri melalui membaca buku.

Identifikasi permasalahan di SMA Negeri 1 Bergas diperoleh informasi bahwa laboratorium yang ada di SMA Negeri 1 Bergas jarang digunakan dalam pembelajaran karena terbatasnya alat dan bahan yang ada di laboratorium kimia. Selain itu persiapan untuk praktikum membutuhkan waktu dan tenaga khusus, karena tidak adanya laboran kimia, sehingga keterampilan proses sains siswa SMA Negeri 1 Bergas masih rendah. Biasanya guru hanya menggunakan metode ceramah dan diskusi kelompok dalam pembelajaran kimia.

Bahan ajar yang digunakan di SMA Negeri 1 Bergas masih menggunakan LKS dan buku cetak dari penerbit. Guru mengatakan bahwa LKS/bahan ajar yang digunakan siswa kurang mengkonstruk siswa untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. LKS/bahan ajar yang digunakan siswa hanya sekedar diberikan rumus dan soal-soal. Siswa kurang diasah untuk memahami namun lebih ke hafalan sehingga siswa mudah lupa. LKS/bahan ajar tersebut tidak ada contoh pada kehidupan sehari-hari. Contoh soal

PENDIDIKAN KIMIA…

422 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

yang diberikan juga kurang beragam sehingga siswa kurang latihan mengerjakan soal dan tidak ada tempat yang cukup untuk mengerjakan. Selain itu LKS/bahan ajar tidak ditunjukkan aspek mikroskopiknya hanya aspek simbolik dan makroskopisnya saja yang ditonjolkan. Hal ini didukung oleh data observasi sebuah penelitian Nabilah (2014). Hasil wawancara dari beberapa siswa, siswa menginginkan untuk lebih memahami konsep kimia dengan mudah. Mereka menyetujui jika pembelajaran dikaitkan pada kehidupan sehari-hari. Mereka ingin adanya LKS/Bahan ajar yang mudah dipahami dan menarik.

Tahap selanjutnya adalah design. Desain LKS berbasis pembelajaran kontekstual pada pembelajaran kimia materi koloid merupakan pengembangan LKS yang berintegrasikan pendekatan pembelajaran kontekstual. Komponen-komponen pembelajaran kontekstual diintegrasikan kedalam LKS yang meliputi tujuh komponen, yaitu: (1) konstruktivisme; (2) menemukan; (3) bertanya; (4) masyarakat belajar; (5) pemodelan; (6) refleksi; (7) penilaian otentik. Sehingga produk LKS yang dihasilkan lebih bermakna bagi siswa dalam hal mengingat dan memahami materi. Desain LKS divalidasi oleh dua ahli yaitu ahli materi dan ahli media. Hasil validasi ahli materi dilakukan oleh dua ahli dosen kimia UNNES dan satu guru kimia SMA Negeri 1 Bergas sedangkan hasil validasi ahli media dilakukan oleh satu ahli dosen kimia UNNES. Ahli materi melakukan penilaian terhadap kelayakan isi, kelayakan penyajian dan kelayakan kontekstual, sedangkan ahli media melakukan penilaian terhadap kelayakan kegrafisan dan kebahasaan. Komponen-komponen tersebut merupakan tiga aspek yang harus dimiliki oleh Lembar Kerja Siswa. Menurut Darmodjo dan Kaligis tiga aspek yang dimaksud yaitu aspek didaktik, aspek kontruksi dan aspek teknik (Arifin, Hadisaputro dan Susilaningsih, 2014).

Kriteria kelayakan yang digunakan untuk LKS sama dengan kelayakan buku teks. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kriteria kevalidan LKS sebagai berikut: (1) Komponen isi meliputi dimensi sikap spiritual (KI 1), dimensi sikap sosial (KI 2), dimensi pengetahuan (KI3), dan dimensi keterampilan (KI 4), (2) Komponen penyajian meliputi teknik penyajian, pendukung penyajian materi, penyajian pembelajaran, kelengkapan penyajian (3) Komponen kebahasaan meliputi kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, keterbacaan, kemampuan memotivasi, kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia, penggunaan istilah dan simbol/lambang (4) Komponen kegrafisan meliputi ukuran LKS, desain sampul LKS, tipografi, dan desain isi LKS (Hastari dan Ranu, 2015). Hasil rerata penilaian LKS oleh ahli materi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Rerata Penilaian Ahli Materi

No Aspek Rerata Penilaian

Validator Rerata Kriteria 1 2

1 2 3

Isi Penyajian

Kontekstual

3,40 3,50 3,63

3,60 4,00 3,75

3,50 3,75 3,69

Layak Layak Layak

Tabel 1. Diketahui bahwa rata-rata penilaian oleh ahli materi tiap aspek

mencapai kriteria layak sesuai dengan kriteria penilaian buku ajar menurut BNSP (2006). LKS dinyatakan layak karena komponen isi mempunyai rata-rata skor lebih besar dari 2,75 sedangkan komponen penyajian mempunyai rata-rata skor lebih besar dari 2,5. Hasil penilaian ahli materi secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 423

Tabel 2. Hasil Penilaian Ahli Materi Secara Keseluruhan Validator Perolehan Skor Skor Maksimal Kriteria

Validator 1 Validator 2 Rata-rata

60 64 62

68 68 68

Sangat layak Sangat layak Sangat layak

Tabel 2. Diketahui bahwa validator 1 dan validator 2 memberikan penilaian terhadap LKS dengan sangat layak. Rata-rata skor penilaian dari kedua validator tersebut terhadap LKS sebesar 62 dari skor total 68 dengan kriteria sangat layak. Hasil penilaian ahli media pada aspek kegrafikan menunjukkan rata-rata skor sebesar 3,50 dari skor maksimal 4,00 dengan kriteria layak. Aspek kebahasaan menunjukkan rata-rata skor sebesar 3,50 dari skor maksimal 4,00 dengan kriteria layak.Hal ini sesuai dengan kriteria penilaian buku ajar menurut BNSP (2006). LKS dinyatakan layak karena komponen kebahasaan mempunyai rata-rata skor lebih besar dari 2,5. Penilaian ahli media secara keseluruhan terhadap LKS berbasis pembelajaran kontekstual menunjukkan skor 63 dari skor total 72 dengan kriteria sangat layak. Walaupun secara keseluruhan sudah dinyatakan layak, tahap revisi masih perlu dilakukan oleh peneliti guna memperbaiki produk LKS agar lebih baik lagi karena masih ada kekurangan pada aspek-aspek tertentu. Hasil revisi terkait cover LKS dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Perbaikan Cover (Halaman Awal)

(a) Tampilan sebelum perbaikan (b) tampilan sesudah perbaikan Berdasarkan Gambar 1. (a) cover nama identitas penulis masih diatas pojok kanan dan memakai warna font yang tidak terlihat sehingga kurang jelas untuk dibaca. Revisi dilakukan dengan memindah identitas di atas nama dosen pembimbing dan mengganti warna font menjadi warna hitam. Hasil perbaikan dapat dilihat Gambar 1.(b).

a

) b)

PENDIDIKAN KIMIA…

424 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 2. Perbaikan Sekilas Peristiwa

(a) Tampilan sebelum perbaikan (b) Tampilan sesudah perbaikan Gambar 2. Menunjukkan sebelum dan sesudah perbaikan pada sekilas peristiwa.

Perbaikan ini atas dasar saran dari ahli media. Ahli media memberi saran supaya memberi sumber pada setiap gambar, seperti pada gambar 2. (b).

Gambar 3. Perbaikan Ringkasan Materi

(a)Tampilan sebelum perbaikan (b) Tampilan sesudah perbaikan Berdasarkan Gambar 3. yang disajikan adalah perbaikan pada fase terdispersi

dari asap. Perbaikan ini atas dasar saran dari ahli materi. Saran dari ahli media perbaikan untuk menambahkan materi atau soal-soal pada bagian bawah tabel, agar tidak terlalu banyak ruang kosong pada halaman tersebut. Hasil perbaikan dilihat pada Gambar 3. (b).

Setelah dilakukan validasi LKS oleh ahli materi dan ahli media dengan revisi kemudian dilanjutkan tahap develop meliputi uji coba skala kecil dan uji coba skala besar. Tahap berikutnya disseminate yaitu implementasi LKS yang sudah dilakukan berulang kali pengujian. Tahap uji coba skala kecil, uji coba skala kecil dan implementasi bertujuan untuk mengetahui keefektifan LKS. Keefektifan LKS diperoleh dari keterampilan proses sains yang diukur dari penilaian hasil observasi praktikum dan tes tertulis. LKS dikatakan efektif untuk digunakan pembelajaran apabila berdasarkan tes tertulis mendapatkan predikat baik pada setiap indikator dan berdasarkan hasil

a

) b)

a

)

b

)

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 425

observasi sebanyak 75 % siswa dari jumlah siswa subjek penelitian setiap kelas mendapatkan predikat baik. Keterampilan proses sains siswa dinilai berdasarkan hasil observasi praktikum dan tes tertulis. Penilaian berdasarkan hasil observasi praktikum dilakukan oleh tiga observer. Kegiatan praktikum yang dilakukan yaitu efek tyndall. Berdasarkan hasil observasi pada uji coba skala kecil sampai implementasi dapat diketahui bahwa lebih dari 75 % siswa dari jumlah siswa subjek penelitian setiap kelas mendapatkan predikat baik. Indikator keterampilan proses sains siswa yang dinilai berdasarkan hasil observasi ada 6 yaitu keterampilan mengamati, keterampilan melaksanakan eksperimen, keterampilan menafsirkan data, keterampilan menyusun kesimpulan sementara, keterampilan menerapkan konsep dan keterampilan berkomunikasi. Nilai rata-rata tiap indikator keterampilan proses sains berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada uji coba skala kecil, uji coba skala besar, dan implementasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Nilai Tiap Indikator Keterampilan Proses Sains Siswa Berdasarkan Hasil Observasi

No Indikator

Uji Skala Kecil Uji Skala Besar Implementasi Rata-rata Nilai

Kriteria

Rata-rata Nilai

Kriteria Rata-rata Nilai

Kriteria

1

2

3

4

5

6

Keterampilan Mengamati

Keterampilan Melaksanakan

Eksperimen Keterampilan

Menafsirkan Data Keterampilan

Menyusun Kesimpulan Sementara

Keterampilan Menerapan Konsep

Keterampilan Berkomunikasi

84,17

81,56

83,33

85,42

78,75

83,33

Baik

Baik

Baik

Baik

Cukup baik

Baik

83,64

86,72

83,54

83,33

82,71

81,67

Baik

Sangat baik

Baik

Baik

Baik

Baik

82,92

86,33

85,67

84,33

85,17

81,17

Baik

Sangat baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Tabel 3 diketahui bahwa rata-rata capaian keseluruhan pada uji coba skala kecil sebesar 82,76 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria baik, uji coba skala besar didapatkan rata-rata nilai sebesar 83,60 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria baik dan implementasi didapatkan rata-rata nilai sebesar 84,26 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria baik. Indikator keterampilan melaksanakan eksperimen memperoleh nilai tertinggi diantara indikator yang lain karena siswa melakukan praktikum sesuai dengan prosedur yang ada didalam LKS berbasis pembelajaran kontekstual. Data keterampilan proses sains siswa diperoleh melalui tes tertulis menggunakan soal objektif setelah menerima pembelajaran berbantuan LKS berbasis pembelajaran kontekstual. Soal objektif yang digunakan sesuai dengan indikator keterampilan proses sains. Indikator keterampilan proses sains yang dinilai berdasarkan tes tertulis ada 4 yaitu keterampilan mengamati, keterampilan memprediksi, keterampilan mengklasifikasi dan keterampilan menyimpulkan. Nilai rata-rata tiap indikator

PENDIDIKAN KIMIA…

426 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

keterampilan proses sains pada uji coba skala kecil, uji coba skala besar dan implementasi berdasarkan tes tertulis dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Nilai Tiap Indikator Keterampilan Proses Sains Berdasarkan Tes Tertulis

No Indikator

Uji Skala Kecil Uji Skala Besar Implementasi Rata-rata nilai

kriteria Rata-rata nilai

kriteria Rata-rata nilai

Kriteria

1

2

3

4

Keterampilan Mengamati

Keterampilan menyimpulkan Keterampilan

mengklasifikasi Keterampilan Memprediksi

82,5

82,9

81

82,3

Baik

Baik

Baik

Baik

82,5

94,29

86,25

82,95

Baik

Sangat baik

Sangat baik Baik

87

89,1

85

88,5

Sangat baik

Sangat baik Baik

Sangat

baik

Tabel 4. diketahui bahwa rata-rata capaian nilai keseluruhan berdasarkan tes

tertulis pada uji coba skala kecil sebesar 82,2 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria baik,uji coba skala besar didapatkan rata-rata nilai sebesar 86,5 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria sangat baik dan implementasi didapatkan rata-rata nilai sebesar 87,4 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria sangat baik.Hal ini menunjukkan bahwa ketercapaian tiap indikator sudah mencapai predikat baik. Indikator keterampilan menyimpulkan mendapatkan rata-rata nilai tertinggi diantara indikator yang lainnya, hal ini dikarenakan siswa yang mempunyai keterampilan proses sains yang tinggi mampu menggunakan logika untuk membuat kesimpulan dari apa yang diobservasi. Berdasarkan hasil observasi dan tes tertulis, LKS berbasis pembelajaran kontekstual dapat disimpulkan efektif digunakan dalam pembelajaran kimia. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aydin (2013) bahwa pembelajaran berbasis laboratorium tidak dapat diabaikan karena merupakan bagian dari ilmu sains yang dapat mengukur keterampilan proses sains.

Hal ini menunjukkan bahwa LKS berbasis pembelajaran kontekstual efektif digunakan dan sesuai dengan penelitian dari Wiliani (2013). Keefektifan LKS berbasis pembelajaran kontekstual pada penelitian Wiliani (2013) diukur dengan hasil belajar siswa, sedangkan pada penelitian ini diukur dengan keterampilan proses sains siswa. KESIMPULAN

LKS berbasis pembelajaran kontekstual untuk analisis keterampilan proses sains siswa dinyatakan efektif untuk mengukur keterampilan proses sains siswa. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil observasi pada uji coba skala kecil, uji coba skala besar dan implementasi sebanyak lebih dari 75 % siswa dari jumlah siswa subjek penelitian setiap kelas mendapatkan predikat baik, dan berdasarkan tes tertulis mendapatkan predikat baik pada setiap indikatornya. REFERENSI Anwar, S. & Dalim, Y. 2004. Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Kontekstual pada

Mata Pelajaran Geografi. Jurnal Pembelajaran. Vol 27 No 1. Arifin, U. F., Hadisaputro, S. and Susilaningsih, E. (2014) ‘Pengembangan Lembar kerja

Praktikum Siswa Terintegrasi Guide Inquiry untuk Keterampilan Proses Sains’,

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 427

Chemistry in Education, 3(1), pp. 54–60. Aydin, A. 2013. Representation Of Science Process Skill in the Chemistry Curricula for

Grades 10, 11 and 12. International Journal Education and Practice. 15(1): 51-63. BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Sekolah

Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Falahudin, I., Fauzi. M, & Purnamasari, W. Pembelajaran Berbasis Proyek dalam

Praktikum Biologi terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa SMP Muhammadiyah 6 Palembang. Jurnal Bioilmi. Vol 2 No 2.

Hastari, R. F. and Ranu, M. E. (2015) ‘PENGEMBANGAN MODUL KOMPETENSI DASAR MENJELASKAN PENYIMPANAN DAN PENEMUAN KEMBALI SURAT / DOKUMEN BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK DI KELAS X AP 2 SMK NEGERI 1 NGAWI’, Jurnal Administrasi Perkantoran, 3(3), pp. 1–15.

Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: Raja Grafindo Prasada Permendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun

2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah. Jakarta: BNSP

Rusmiati & Yulianto. 2009. Peningkatan Keterampilan Proses Sains dengan Menerapkan Model Pembelajaran Based-Instruction. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 5(1): 75-78.

Thiagarajan, S., Semmel, D.S. & Semmel, M.I. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Indiana: Indiana University Bloomington.

Widyaningrum, P & Sudarmin. 2014. Pengembangan alat alternative evaluasi terpadu berbasis keterampilan proses sains pada tema mikroskop dan jaringan tumbuhan. Journal Education Science, 3(3): 642.

Wiliani, Nur Okta. Penerapan Pembelajaran IPA Terpadu Menggunakan LKS Berbasis Contextual Teaching and Learning pada Siswa Kelas VII SMPN 1 Dukuhseti Pati. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.

PENDIDIKAN KIMIA…

428 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PEMBEKALAN MERANCANG LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK KONSTRUKTIVIS DALAM MENINGKATKAN PEDAGOGICAL CONTENT

KNOWLEDGE DAN METAKOGNISI CALON GURU

Sri Haryani, Endah Fitriani, dEko Budi Susatya, dan Sri Wardani Jurusan Kimia FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Email: [email protected]

Penelitian ini bertujuan untuk membekali kemampuan merancang Lembar Kerja Peserta Didik (LKPDk) calon guru yang dapat meningkatkan Pedagogical Content Knowledge (PCK) dan metakognisi melalui perkuliahan Perencanaan Pengajaran Kimia (PPK). Penelitian dirancang dalam 4 tahap menggunakan desain mixed method dengan model strategi embedded. Tahap sebelum intervensi dilaksanakan pada awal penelitian untuk memperoleh perangkat instrumen penelitian sebagai prototipe model peningkatan PCK dan metakognisi melalui pembekalan LKPDk sebagai model hipotetik 1. Model hipotetik ini diperoleh melalui kajian hasil penelitian Haryani dkk tahun 2013-2016, serta kajian berbagai hasil penelitian lain. Tahap intervensi diperoleh model hipotetik 2 dan divalidasi diawali dengan pretes, implementasi di kelas, wawancara, dan diakhiri postes. Tahap ketiga analisis data kualitatif dan kuantitatif, dan diakhiri tahap ke-4 interpretasi secara keseluruhan untuk mengambil kesimpulan sehingga diperoleh model yang sudah teruji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa berusaha mengintegrasikan aspek kosntruktivis melalui menganalisis materi dengan strategi tertentu, meskipun untuk materi berbeda perlu difasilitasi secara mendalam. Pedagogical Content Knowledge terbukti meningkat yang dijaring melalui pengisian dokumen CoRe, demikian pula kemampuan metakognisi calon guru juga meningkat.

Kata Kunci: Lembar Kerja Peserta Didik, Pedagogical Content Knowledge (PCK); metakognisi

PENDAHULUAN Salah satu standar kompetensi lulusan SMA/MA dan perguruan tinggi untuk

domain pengetahuan dalam kurikulum 2013 adalah keterampilan metakognitif. Tuntutan tersebut juga tercermin dalam kompetensi inti kurikulum 2013 serta tujuan pendidikan tinggi dalam PP no. 10 tahun 2010. Pengembangan metakognisi ini penting dilakukan, karena pengetahuan mahasiswa tentang proses kognisi dapat membimbing mereka dalam menyusun lingkungan belajar menjadi lebih bermakna, dan dalam memilih strategi-stategi untuk memperbaiki kinerja kognitif pada masa yang akan datang (Zulkiply, et al.,2008; Coutinho, 2010; Singh, 2012; Cooper & Santiago, 2009). Guru maupun calon guru juga harus mampu memonitor bagaimana pertemuan kelas dirancang, menentukan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan, serta bagaimana mengubah kondisi tersebut untuk berbagai topik. Idealnya dalam suatu proses pembelajaran di kelas pendidik hendaknya memiliki kesadaran untuk menilai pemikiran sebelum, selama, dan setelah suatu proses pemecahan masalah; dan kondisi ini dikatakan sebagai “senantiasa terlibat dalam metakognisinya sendiri” (Haryani, 2012; McGregor, 2007).

Proses pembelajaran di kelas merupakan manifestasi implementasi standar proses, dan guru merupakan agen sentral dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas. Calon guru perlu dibekali kemampuan Pedagogy Knowledge (PK) serta kemampuan Content Knowledge (CK) (Loughrant, 2008), dan keduanya menurut Shulman (1987) harus dipadukan sebagai pengetahuan konten pedagogi (Pedagogical Content Knowledge = PCK). Secara sederhana PCK dapat diartikan sebagai gambaran tentang bagaimana kesadaran seorang guru dalam mengajarkan suatu materi dengan mengakses apa yang dia ketahui tentang: konten/materi, pembelajar, kurikulum, dan apa yang dia yakini sebagai cara mengajar yang baik pada konteks tersebut (Rollnick. et

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 429

al. 2008; NSTA, 2013). Pendapat Rollnick.ini sangat mendukung pernyataan bahwa guru maupun calon guru senantiasa terlibat dalam metakognisinya sendiri”

Berkaitan dengan kemampuan PCK, guru maupun calon guru hendaknya mampu menjadi model dalam menentukan lingkungan pembelajaran sebagaimana diharapkan dapat dikembangkan untuk peserta didiknya. Lingkungan pembelajaran yang diharapkan adalah yang dapat memfasilitasi untuk bisa mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Penyusunan LKPDk sebagai panduan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah merupakan wahana yang sesuai untuk memfasilitasi konstruktivis dan mengembangkan metakognisi. Melalui penyusunan LKPDk ini calon guru tidak sekedar menuliskan prosedur percobaan ataupun soal-soal, namun dituntut untuk: memilih dan mengurutkan materi, memikirkan agar suatu persamaan/rumus dapat ditemukan siswanya, merancang agar siswa mampu mengkaitkan antara data pengamatan dengan pembahasan, dan memikirkan kesesuaian dengan indikator pencapaian kompetensi.

Di lain pihak, berdasarkan temuan terkait penyusunan LKPDk guru, beberapa kelemahan yang menonjol adalah: 1) kesulitan menuliskan permasalahan untuk berbagai model pembelajaran, 2) tidak memikirkan materi prasyarat, 3) keruntutan dan kedalaman materi, 4) tidak memberi kesempatan siswa menurunkan suatu persamaan, 5) adanya miskonsepsi, dan 6) kurang memperhatikan keterkaitan antara data pengamatan dan analisis data (Haryani et al, 2015-2016). Jika kemampuan menyusun LKPDk ini bisa dimiliki calon guru, maka di samping meminimalkan beberapa kelemahan sebagaimana disebutkan, juga esensi konstruktivis yang diharapkan selama ini akan bisa diwujutkan. Sen, et al (2015) menguatkan pendapat bahwa selagi dihadapkan pada permasalahan seperti penyusunan LKPDk, maka calon guru akan menggunakan keterampilan metakognitifnya yang meliputi aspek perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Tersedianya contoh LKPDk juga akan mendukung kebutuhan bahan ajar yang sesuai kebutuhan siswa (Yasir et al, 2013), serta senantiasa dapat diperbaiki pada tahun berikutnya sehingga perbaikan kualitas pembelajaran di kelas selalu ditingkatkan.

Terujinya model pembekalan ini akan mendukung roadmap penelitian unggulan bidang kependidikan yaitu mengkaji penyiapan guru berkualitas terutama berkaitan dengan inovasi pembelajaran dan Pedagogik Materi Subyek. Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Apakah melalui pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK dapat meningkatkan PCK dan metakognisi calon guru?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian mixed method yang menekankan pada pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan secara simultan menggunakan embedded design (Creswell & Clark, 2007). Penelitian difokuskan untuk mengeksplorasi karakteristik setiap langkah LKPDk berbasis model pembelajaran dalam membangun ataupun meningkatkan PCK dan metakognisi calon guru.

Penelitian dilaksanakan dalam 4 tahap, diawali tahap sebelum intervensi, tahap intervensi, tahap analisis data, dan diakhiri tahap interpretasi. Tahap sebelum intervensi dilaksanakan untuk menghasilkan kebutuhan dalam merancang model yang selanjutnya disebut model hipotetik 1. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh model hipotetik 1 adalah (1) merancang RPS, (2) merancang panduan LKPDk, (3) menyiapkan instrumen untuk mengukur metakognisi, (4) menyiapkan instrumen pengukuran PCK, dan (5) FGD hasil (1)-(4). Tahap 2 merupakan tahap intervensi dengan kegiatan : (1) revisi hasil FGD, diperoleh model hipotetik 2, dan (3) validasi model hipotetik 2. Validasi model hipotetik 2 menggunakan desain one group pretest-posttest design. Validasi diawali dengan pretes untuk mengungkap metakognisi calon guru. Tes disusun

PENDIDIKAN KIMIA…

430 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

dengan indikator metakognisi bermuatan konsep berkaitan dengan materi kimia SMA, di samping itu juga dianalisis PCK awal calon guru. Data PCK awal diambil pada saat pertama kali mahasiswa mempresentasikan rancangan PCKnya, sedangkan data akhir diambil setelah diperbaiki dan dipresentasikan lagi. Pada tahap implementasi dilakukan pembekalan merancang LKPDk dengan bantuan panduan LKPDk yang sudah disiapkan tahap sebelumnya. Pada saat pembekalan juga dilakukan wawancara dan diakhiri postes. Tahap ketiga analisis data yaitu data kualitatif dan kuantitatif, dan diakhiri tahap ke-4 interpretasi data kualitatif-kuantitatif untuk mengambil kesimpulan sehingga diperoleh model yang sudah teruji secara empiris.

Pengumpulan data kuantitatif menggunakan tes bentuk uraian dengan indikator metakognisi bermuatan konsep materi kimia SMA. Data kualitatif yaitu PCK calon guru dikumpulkan menggunakan rubrik penilaian; melalui observasi selama proses pembelajaran untuk kinerja mahasiswa dalam merancang LKPDk. Wawancara dilakukan untuk mengeksplorasi pengetahuan mahasiswa terkait LKPDk yang disusun pada setiap langkah pembelajaran berbasis model-model pembelajaran. Data kuantiatatif berupa peningkatan metakognisi dianalisis menggunakan rumus gain ternomalisasi, N-gain, sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif persentase. Interpretasi data kualitatif-kuantitatif dilakukan untuk mengambil kesimpulan sehingga diperoleh model yang sudah teruji secara empiris.

Penelitian dilakukan di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang yang terakreditasi A dalam program pendidikan calon guru. Mahasiswa yang dilibatkan adalah mahasiswa yang mengambil matakuliah PPK rombel 1. Dalam mata kuliah ini mahasiswa dilatih untuk menganalisis kurikulum, membuat penggalan silabus, RPP, LKPDk, asesmen, media pembelajaran, dan skenario pembelajaran yang berorientasi pada kondisi lapangan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisis LKS Di awal perkuliahan, hampir semua LKS yang disusun belum memberi peluang siswa untuk dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Meskipun demikian, calon guru juga sudah berusaha mengkaitkan antara sintaks dalam model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dikembangkan. Calon guru terbukti sangat kesulitan menyususn materi agar menjadi kontruktivis, hal ini bisa dimengerti karena kedalaman dan keluasan materi sertaadanya materi prasyarat juga kurang. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya materi prasyarat, sehingga urutan/sequensial materi kurang ada filosofinya. Sintaks pembelajaran yang dituliskan secara urutan sudah sesuai belum sesuai dengan modelnya. Sebagai contoh untuk langkah awal dalam inkuiri adalah mengundang untuk berimkuiri denganmemberikan masalah.hampir semua guru belum bisa membuat masalah yangmampu mengundang untuk berinkuiri. Pemberian masalah pada pembelajaran berbasis masalah maupun Project based learning, masih kurang memenuhi kaidah seperti open ended dan tidak terstruktur, namun demikian jika dibanding pada awal kegiatan (sewaktu diskusi), bisa dikatakan telah meningkat lebih dari 80 %. Calon Guru juga masih bingung membedakan antara inkuiri dan discovery; serta PBL dan PjBL. Berikut contoh sintaks pembelajaran PBL.

Mengorientasi siswa pada masalah. Pemberian masalah pada PBL masih kurang memenuhi kaidah seperti kontekstual, open ended dan tidak terstruktur. Mengorientasi siswa pada belajar. Fase ini merupakan fase penting untuk mengarahkan siswa apa yang harus diketahui dan apa yang penting untuk dipelajari. Temuan selama pembekalan yang menonjol pada fase ini lemahnya dalam membuat pertanyaan yang berkaitan dengan IPK, tetapi berhubungan dengan masalah pada fase 1. Untuk bisa mengngaitkan

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 431

Fase 3 pada PBL yaitu membimbing penyelidikan kelompok. Penyelidikan adalah inti dari PBL. Fase ini merupakan kunci dari pemberian peluang siswa untuk konstrutivis, dalam rangka menjawab pertanyaan pengarah pada nomor 2. Temuan selama pendampingan antara lain kelemahan dalam hal: - Bagaimana agar penurunan suatu persamaan ditemukan siswa - Bagaimana suatu konsep ditemukan siswa sendiri - Bagaimana membuat hubungan antara data pengamatan dengan analisis data

sehingga siswa mampu mengkostruk pengetahuannya

Penyajian Hasil Karya. Menurut pendapat calon guru penyajian hasil karya seringkali membutuhkan waktu banyak dan kurang efektif, karena siswa kurang fokus terhadap apa yang dipresentasikan kelompok lain. Saran pada saat refleksi semestinya waktu ditentukan guru, dan dibantu dengan ditayangkan melalui LCD. Tahap terakhir untuk PBL yaitu menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada tahap ini umumnya calon guru mengarahkan untuk membuat kesimpulan sesuai fase 2. Namun ada pula yang mengkonfirmasi materi esessial, di samping dihubungkan dengan fase 2 juga dihubungkan dengan KD dan IPK. 2. Analisis kemampuan PCK

Secara umum kegiatan penelitian ini setelah pemberian informasi tentang PCK, dilanjutkan dengan memberikan isian dokumen CoRe awal untuk masing-masing calon guru, kemudian dilaksanakan wawancara atas apa yang telah guru tulis dalam dokumen CoRe. Kemampuan PCK dianalisis dari CoRe yang bersifat sebagai deskriptif dikaitkan dengan RPP yang disusun. Kinerja penyusunan RPP dan LKS calon guru lebih mendetail terutama aspek penulisan kegiatan pembelajaran dan lebih memperhatikan keterkaitan kedalaman materi dan strategi pembelajaran. Jika dibandingkan dengan RPP yang disusun guru pada saat kegiatan pengabdian masyarakat, mahasiswa calon guru lebih memperhatikan apersepsi dan aspek konstruktivis yang tampak dari hasil LKS dan hasil praktek pembelajarannya melalui PPL dan peert eaching. Beberapa hal yang mulai dipertimbangkan sebelum menuliskan RPP dan LKS adalah apersepsi, materi prasyarat, keluasan dan kedalaman materi, dan strategi pembelajaran agar siswa mampu mengkonstruk pengetahuannya. Kendala yang dihadapi calon guru terutama lemahnya penguasaan konsep yang dimiliki. Namun demikian, calon guru merasakan senang melakukan penyusunan dokumen CoRe dan LKS konstruktivis serta merasa perlu dikembangkan untuk semua materi.

Berdasarkan analisis deskripsi hasil penelitian diperoleh bahwa gambaran PCK seorang calon guru yang dianalisis melalui penyusunan dokumen CoRe dan PaP-eRs berkorelasi dengan peningkatan kinerja calon guru kimia dalam menyusun RPP dan LKS. Wawancara digunakan untuk mendukung keterkaitan dengan ketiga dokumen, dan bersifat reflektif terhadap kemampuan PCK-nya. Kemampuan PCK calon guru yang diukur melalui CoRe dan PaP-eRs sejalan dengan kemampuan penyusunan RPP. Temuan penelitian ini sejalan dengan temuan (Goolamhossen, 2013) yang menemukan bahwa semakin tinggi pemahanan konseptual mahasiswa calon guru, semakin tinggi pula kemampuan pedagogik yang dimiliki (Ozden, 2012). Walaupun masih ada mahasiswa calon guru yang memiliki PCK relatif kurang, namun pada umumnya setelah penilaian ke-3, baru mulai tampak peningkatannya. Penilaian ketiga ini baru dilakukan wawancara untuk merefleksi apa yang telah ditulis.

Bersamaan dengan kegiatan penyusunan dokumen CoRe dan PaP-eR, juga dilakukan diskusi dengan masing-masing subyek penelitian. Masalah-masalah yang didiskusikan antara peneliti dengan guru antara lain: (1) mempersiapkan apersepsi agar pembelajaran menjadi bermakna, (2) prasyarat materi, (3) LKS kontrukstivis, (4)

PENDIDIKAN KIMIA…

432 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

kedalaman materi, (4) miskonsepsi yang mungkin timbul, (5) penyusunan RPP berbasis model-model pembelajaran, dan asesmem autentik.

3. Peningkatan metakognisi

Pengukuran metakognisi dalam penelitian ini dilakukan melalui tes bentuk uraian dan kuesioner masing-masing dengan indikator metakognisi yang dilakukan pada awal dan akhir pembelajaran PPK. Di samping tes, metakognisi juga dijaring melalui wawancara tidak terstruktur selama pelaksanaan pembelajaran PPK. Hasil tes bentuk uraian untuk mengungkap metakognisi mengalami peningkatan dibanding pretes yang ditunjukkan dari Gambar 1, dengan persen N-g ternormalisasi 43,45 %. Hasil peningkatan metakognisi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan metakognisi pada kelas eksperimen belum menunjukkan kemampuan yang optimal akan tetapi masih pada taraf sedang (0,3 < g < 0,7), dan dari uji t menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil tes metakognisi tersebut didukung hasil kuesioner, skor total hasil pre dan post dari 2153 menjadi 2258 atau meningkat sebesar 31,08 %. Hal ini menandakan bahwa pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK dapat meningkatkan metakognisi calon guru mampu meningkatkan metakognisi calon guru. Untuk mengetahui bagaimana peningkatan pada setiap indikator metakognisi melalui pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK ditunjukkan pada Gambar 2.

Rerata %N-g indikator mengidentifikasi informasi diikuti mengelaborasi informasi mencapai peningkatan tertinggi, dan mengevaluasi prosedur pada pencapaian terendah. Mengidentifikasi informasi dan mengelaborasi informasi banyak dikembangkan pada fase 1 untuk hampir semua LKPd berbasis model-model pembelajaran. Pada fase ini calon guru harus banyak mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, kemudian dielaborasi dengan KD, IPK, dan sumber lain. Penguasaan materi pada tahap ini harus menyeluruh, urutan materi, kedalaman, dan juga sudah harus menggambarkan strategi pembelajaran yang akan dilakukan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Haryani, dkk (2011). Penelitian terdahulu dosen menyiapkan panduan praktikum berbasis masalah yang harus dilakukan calon guru, sementara pada penelitian ini calon gurulah yang harus menysun LKPdnya. Selanjutnya, mengevaluasi prosedur memiliki % N-gain palin rendah. Kondisi diduga calon guru, belum ada kesempatan mengimplementasikan LKPd yang dibuat, sehingga indikator mengevaluasi prosedur belum terkembangkan dengan baik.

Gambar 1. Rerata pretes, postes, dan %N-gain metakognisi mahasiswa calon Guru

59

77

43.45

Rerata Pretes Rerata Postes N-gain

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 433

Gambar 2. Perbandingan rerata % N-gain untuk tiap indikator metakognisi 1.

mengidentifikasi informasi, 2. mengelaborasi informasi, 3. mengaplikasikan pemahamannya, 4. memilih prosedur yang akan digunakan, 5. mengembangkan prosedur, 6. mengevaluasi prosedur

Melalui pembekalan LKPDk ini calon guru akan memperoleh kesempatan yang

lebih luas untuk berperan aktif dalam mengembangkan kompetensinya menyusun perencanaan pembelajaran yang menggabungkan CK dan PK menjadi PCK. Calon guru yang kompeten sebagaimana diuraikan pada nomor1, merupakan modal yang penting dalam pencapaian tujuan pendidikan yang tercantum PP RI No. 20 Tahun 2003, dan berdampak pada peningkatan kualitas proses pembelajaran di kelas yang memiliki relevansi dengan Renstra LP2M tahun 2015- 2019 terutama penyiapan calon guru berkualitas. Berkaitan dengan penguasaan konsep kimia SMA, calon guru akan berlatih mengkaitkan materi prasyarat dengan materi yang akan dipelajari, mengurutkan konsep-konsep agar kontruktivis, dan memikirkan aktivitas siswa secara hands on dan minds on. Dengan demikian melalui pembekalan penyusunan LKPDk pendalaman materi calon guru akan semakin baik yang berakibat kualitas perangkat pembelajaran yang disusun juga meningkat.

KESIMPULAN Pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK terbukti secara deskriptif mampu meningkatkan PCK calon guru. Pembekalan ini juga mampu meningkatkan metakognisi calon guru yang diukur melalui tes bentuk uraian dan kuesioner metakognisi. SARAN

Calon guru akan senantiasa dihadapkan pada masalah dalam merancang perangkat pembelajaran termasuk LKPDk, maka calon guru tersebut akan menggunakan kemampuan metakognisinya yang merupakan aspek pengetahuan yang harus dimiliki calon guru maupun siswa SMA sesuai kurikulum 2013.Oleh sebab itu pembekalan ini perlu dilakukan terus menerus melalui perkuliahan yang sesuai.

REFERENSI Chandrasegaran, A.L., Treagust, D.F., & Mocerino, M. 2007. The Development of A Two-

Tier Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School Students’ Ability to Describe and Explain Chemical Reactions Using Multiple Levels of Representation. Chemistry Education Research and Practice. 8(3): 293-307.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1 2 3 4 5 6

Rerata pretes

Rerata postes

N gain

PENDIDIKAN KIMIA…

434 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Cooper, M., & Santiago, S. 2009. Design and Validation of an Instrument to Assess Metacognitive Skillfulness in Chemistry Probim Solving. Journal of Chemichal Education, 86 (2): 240-245.

Coutinho, S.A. 2007. TheRelationshipBetween Goals, Metacognition, n academic Success. Educate Jurnal. 7(1):39-47

Creswell, J.W. dan Clark, V.L.P. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods Research.United States of America: Sage Publications, Inc.

Downing, K. 2010. Problem Based Learning and Metacognition. Asian Jurnal Education & Learning. 1(2) 75-79.

Hamidah, D. Rustaman, Nuryani Y & Mariana, M. 2011. Pengembangan Profesional Guru Biologi SMA melalui Penerapan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Pada Materi Genetika. Jurnal Pendidikan MIPA, 12 (2). Oktober 2011.

Haryani,s. 2012. Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru melaui Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah. Semarang: Unnes Press

Haryani, S. Saptorini. dan Prasetya, A.T. 2013. Pengembangan Model Pembekalan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Melalui Perkuliahan Perencanaan Pengajaran Kimia. Penelitian Fundamental.LP2M Unnes

Haryani, S. Wardani, S. dan Prasetya, A.T. 2015. Peningkatan Profesional Guru Kimia SMA/MA/SMK Melalui Implementasi Program Pendampingan Penyusunan Lembar Kegiatan Peserta Didik. Penelitian Terapan: Program Fasilitasi Perguruan Tinggi Jawa Tengah.

Haryani, S. Wardani, S. dan Prasetya, A.T. 2015-2016. Pengembangan Program Pendampingan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Guru Kimia Melalui Lesson Study Berbasis MGMP. Penelitian Hibah bersaing.LP2M Unnes

Haryani,S dan Prasety, A.T. Pedagogical Content Knowledge (PCK) Calon Guru dan Guru Kimia pada Materi Buffer. Seminar Nasional MIPA 2016.

Harlen, W. (Ed). 2010. Principles and big ideas of science education. Hatfield, Heart: Association for Science Education.

Hollingworth, R. dan McLoughlin, C. (2002). The Development of Metacognitive Skills among First Year Science Students. Tersedia http://www.fyhe. Qut.edu.au./FYHE-Previous/Papers/HollingworthPaper.doc (April 2007)

Kipnis, M. dan Hofstein, A. (2007). The Inkuiry Laboratory As A Source for Development of Metacognitive Skills. International Journal of Science and Mathematics Education, 6 (3), 601-607.

Loughran J., Amanda Berry & Pamela Mulhall. 2006. Understanding and Developing Science Teachers’ Pedagogical Content Knowledge. Rotterdam : Sense Publishers.

Loughran, John, Mulhall, Pamela and Berry, Amanda. 2008. Exploring Pedagogical Content Knowledge in Science Teacher Education. International Journal of Science Education.30:10,1301 — 1320.

Loughran, J.J. 2009. Is teaching a discipline?: Implications for teaching and teacher education. Teachers and Teaching: Theory and Practice, 15(2): 189- 203.

Loughran, J., Berry A., & Mulhall, P. 2012. Understanding and developing science teatchers’ pedagogical content knowledge Clayton: Monash University.

Loughran, J., Berry A., & Mulhall, P. 2012. Understanding and developing science teatchers’ pedagogical content knowledge Clayton: Monash University.National Science Teacher Association .2003. Standards for Science Teacher Preparation.

Mc.Gregor, D.2007. Developing Thinking Developing Learning: A Guide to Thinking Skills in Education, Berkshire: Open University Press, Mc Graw-Hill

National Science Teachers Association. 2003. Standard for Science Teacher Preparation. Association for the Education of Teachers in Science.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 435

Nulhakim,L. 2013. Analisis Keterampilan Metakognitif Siswa yang Dikembangkan Melalui Pembelajarana Berbasis Masalah pada Materkelarutan dan Hasil Kali kelarutan.Tesis . Bandung: UPI. Tidak diterbitkan

Ozssoy, G & Ataman, A. 2009. The effect of Metacognitive Strategy Training on Mathematical Problem Solving Achievement. International Electronic Journal of Elementary Education Vol 1.

Prastowo, A., 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press.

Purwaningsih, W. 2011. Pengembangan Program Pembekalan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Bioteknologi Melalui Perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA.Ringkasan Disertasi pada FPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Rollnick, M., Bennett, J., Rhemtula, M., Dharsey, N. and Ndlovu, T. 2008. ‘The Place of Subject Matter Knowledge in Pedagogical Content Knowledge: A case study of South African teachers teaching the amount of substance and chemical equilibrium',International Journal of Science Education,30(10): 1365-1387.

Sen, S., Yilmaz, A. & Geban, O. 2015. The Effects of Process Oriented Guided Inquiry Learning Environment on Students’ Self-Regulated Learning Skills. Problems of Education in The 21st Century. 66: 54-66.

Singh, Y. G. (2012). Metacognitive Ability of Secondary Students and its Association with Academic Achievement in Science Subject. International Indexed & Refered Research journal. IV (39). ISSN -0974-2832.

Talanquer, V. 2011.Macro, Submicro, and Symbolic: The Many Faces Of The Chemistry “Triplet” . International Journal of Science Education. Taylor & Francis. 33 (2), 179–195.

Treagust, D.F., & Chandrasegaran, C. 2009. The Efficacy of An Alternative Instructional Programme Designed to Enhance Secondary Students’ Competence in The Triplet Relatioship”. Dalam Gilbert, J.K & D. Treagust (Eds.), Multiple Representation in Chemical Education: Models & Modelling in Science Education. Dordrecht: Springer. 151-164.

Tuysuza, M. 2011. Pre-Service Chemistry Teachers’ Understanding of Phase Changes and Dissolution at Macroscopic, Symbolic, and Microscopic Levels. Procedia Social and Behavioral Sciences Elsevier. 15. 452–455.

Yasir, M., Susantini, E. & Isnawati, 2013. Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis Strategi Belajar Metakognitif Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Pewarisan Sifat Manusia. BioEdu, 2(1): p.77.

Zulkiply, N., Kabit M. R., & Ghani, K. A. (2008). Metacognition : What Roles Does It Play On Students’ Academic Performance ?. The International Journal of Leraning. 15 (11): 97-106.

PENDIDIKAN KIMIA…

436 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN KIMIA DENGAN MATERI POKOK LARUTAN PENYANGGA BERBASIS WEBSITE SEBAGAI SUMBER

BELAJAR PESERTA DIDIK

Fina Fastaqima, Achmad Hasmi Hashona, Teguh Wibowo Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

[email protected]; [email protected]; [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian adalah mengembangkan media pembelajaran berupa media pembelajaran berupa website pada materi larutan penyangga dan mengetahui kelayakan media pembelajaran tersebut. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai salah satu media pembelajaran yang telah banyak digunakan, terutama pada ilmu sains. Banyak media internet khususnya website yang menyuguhkan berbagai materi pembelajaran, tetapi terkadang materi yang disajikan kurang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga sering membuat kesalahan informasi yang didapat oleh peserta didik. Penelitian ini menggunakan metode pengembangan Research and Development (R & D), dengan model Thiagarajan yang meliputi define (pendefinisian), design (perancangan), dan develop (pengembangan). Kelayakan media pembelajaran didasarkan pada hasil penilaian ahli media, ahli materi, pendidik kimia SMA, serta tanggapan peserta didik terhadap media pembelajaran berbasis website. Hasil penilaian ahli materi sebanyak 66,67% termasuk kategori baik. Hasil penilaian ahli media sebanyak 86,1% dengan kategori sangat baik. Hasil penilaian pendidik kimia SMA sebanyak 79,1% dengan kategori baik. Hasil angket tanggapan peserta didik adalah 76,67% dengan kategori baik. Berdasarkan hasil yang telah didapat tersebut dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbasis website layak digunakan sebagai sumber belajar peserta didik. Kata Kunci: Media Pembelajaran, Website, R & D.

PENDAHULUAN

Kimia merupakan Ilmu Pengetahuan Alam yang mempelajari tentang materi meliputi struktur, susunan, sifat dan perubahan materi serta energi yang menyertainya. Perubahan materi tersebut dapat juga menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang tepat dan efektif untuk mempelajari ilmu kimia, agar peserta didik memperoleh gambaran yang jelas dan detail terkait materi yang sedang dipelajari (Dorthy, 2009).

Observasi yang telah dilakukan di SMA N 13 Semarang menunjukkan sebagian besar peserta didik menganggap ilmu kimia memiliki materi yang terlalu banyak dan banyak perhitungan sehingga sulit untuk dipahami oleh peserta didik. Beberapa faktor penyebab kesulitan dan kurang ketertarikan peserta didik tersebut meliputi buku dan LKS yang digunakan pada pembelajaran dianggap peserta didik kurang memberikan pemahaman materi yang dipelajari sehingga membutuhkan media pembelajaran pendukung yang dapat membantu memperjelas materi. Selain itu, terbatasnya media pembelajaran pelengkap buku sehingga media pembelajaran tersebut dibutuhkan untuk dapat memudahkan pendidik dalam tugasnya sebagai fasilitator.

Hasil observasi saat field study menunjukkan proses pembelajaran kimia yang ada di SMA N 13 Semarang sering menggunakan metode ceramah. Hal ini sesuai dengan teori Mulyono (2012) yang menyatakan bahwa dengan metode ceramah pendidik dapat mengontrol keadaan kelas, namun terkadang membuat peserta didik bosan dengan pembelajaran yang berlangsung. Peserta didik yang sudah mulai bosan lebih memilih diam dan berpura-pura memperhatikan pendidik. Adanya peserta didik yang bosan terhadap pembelajaran kimia, maka perlu digunakan media pembelajaran yang menarik yang dapat merangsang rasa penasaran peserta didik terhadap materi kimia.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 437

Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat khususnya dalam teknologi informatika, menuntut sebuah sistem pendidikan mampu menyesuaikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Kemudahan akses internet saat ini tidak bisa dihindarkan lagi dari kebutuhan manusia khususnya dalam bidang pendidikan. Hal inilah yang seharusnya dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal dalam proses belajar peserta didik. Media pembelajaran yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan peserta didik dapat membantu peserta didik untuk belajar lebih mandiri tanpa mengandalkan pendidik, mereka dapat mengandalkan dan memanfaatkan teknologi yang ada (Suyanto, 2003).

Hal ini diperlukan suatu kreativitas pendidik dalam proses pembelajaran yaitu dengan media pembelajaran multimedia yang mengkombinasikan antara audio, gambar, animasi, teks, dan video yang menarik sehingga dapat memudahkan peserta didik belajar hanya dalam satu media saja. Salah satunya dengan Website yang dapat digunakan oleh pendidik di dalam kelas dan peserta didik sebagai sumber belajar (Suyanto, 2003).

Materi larutan penyangga merupakan salah satu materi dalam ilmu kimia yang penuh dengan konsep teori dan hitungan. Materi larutan peyangga ini juga merupakan salah satu materi yang sulit untuk difahami peserta didik karena teori dan rumus perhitungannya cukup banyak. Materi ini didapatkan peneliti dari hasil analisis angket kebutuhan peserta didik (Sundus, wawancara 17 Oktober 2017).

Berdasarkan permasalahan tersebut maka diperlukan sebuah kajian khusus yang dapat menciptakan dan mengembangkan media pembelajaran berbasis website pada materi pokok larutan penyangga. Diharapkan peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasikan, dan menyimpulkan sehingga mampu mengatasi permasalahan pembelajaran di SMA. Untuk itu, peneliti akan mengembangkan media pembelajaran kimia dengan materi pokok larutan penyangga berbasis website dengan tujuan untuk mengembangkan media pembelajaran kimia larutan penyangga berbasis website sebagai sumber belajar peserta didik kelas XI SMA N 13 Semarang, serta untuk mengetahui kelayakan media pembelajaran larutan penyangga berbasis Website sebagai sumber belajar peserta didik kelas XI SMA N 13 Semarang. METODE

Penelitian ini menggunakan penelitian R&D (Research and Development). Model pengembangan yang dipilih dalam penelitian ini adalah model 4D yang dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) yang dimodifikasi menjadi 3D dalam merancang sistem pembelajaran dikarenakan keterbatasan waktu yang tersedia. Tahapan model 3D yaitu meliputi define, design, develop.

Waktu dan tempat penelitian dilakukan pada 23 januari- 23 Februari 2017 di SMA N 13 Semarang. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap dari model pengembangan 4D. Tahap define terdiri dari lima langkah analisis meliputi analisis ujung depan, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis konsep, dan analisis tujuan pembelajaran. Data yang diperoleh dalam melakukan analisis diperoleh dari peserta didik dan pendidik kimia di SMA N 13 Semarang. Tahap design meliputi pemilihan media, pemilihan format, serta rancangan awal. Hal ini bertujuan agar media yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Tahap develop, dilakukan uji kelayakan atau validasi ahli yang meliputi ahli materi dan ahli media, serta dilakukan uji kelas kecil yang terdiri atas 9 peserta didik kelas XI IPA 3.

PENDIDIKAN KIMIA…

438 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, kuesioner, serta dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang meliputi uji validasi ahli media, materi, serta peserta didik menggunakan rumus berikut:

Keterangan: ∑ = jumlah n = jumlah seluruh item angket.

Tabel 3.1 Konversi Tingkat Pencapaian (Sari, 2016) Persentase Kategori Keterangan

81,25% ≤ x ≤ 100% Sangat Baik Sangat baik untuk digunakan

62,50% ≤ x ≤ 81,25%

Baik Boleh digunakan dengan revisi kecil

43,75% ≤ x ≤ 62,50 Cukup Baik Boleh digunakan dengan revisi besar

25% ≤ x ≤ 43,75 Tidak Baik Tidak boleh digunakan HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menghasilkan media pembelajaran berupa website pembelajaran pada materi larutan penyangga. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Define

Dari tahap pendefinisian ini meliputi analisis ujung depan, analisis karakteristik dan kebutuhan peserta didik, analisis tugas, analisis konsep, dan merumuskan tujuan. Tahap pendefinisian ini dilihat dari wawancara pendidik dan angket kebutuhan dapat disimpulkan perlunya mengembangkan media pembelajaran berbasis website pada materi larutan penyangga yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik serta disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan SMA N 13 Semarang. Hasil Angket Kebutuhan Peserta Didik Terhadap Media Pembelajaran Kimia

Berbasis Website pada Materi Larutan Penyangga No. Kriteria Persentase

1. Ketertarikan dengan pelajaran kimia

a. Menyenangkan 39,4%

b. Membosankan 3,03%

c. Biasa saja 57,6%

2. Metode pembelajaran yang sering digunakan

a. Ceramah 63,6%

b. Diskusi 30,3%

3. Pemahaman terhadap buku ajar sekolah

a. Ya 18,2%

b. Tidak 42,4%

c. Biasa saja 39,4%

4. Kelengkapan media pembelajaran

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 439

a. Lengkap 18,2%

b. Kurang lengkap 81,2%

c. Tidak lengkap 0%

5. Kepuasan waktu yang tersedia

a. Ya 9,1%

b. Tidak 33,3%

c. Biasa saja 57,6%

6. Pengaruh banyaknya teman di kelas dengan konsentrasi dan pemahaman

a. Ya 45,5%

b. Tidak 42,4%

c. biasa saja 9,1%

7. Seringnya metode praktek

a. Sering 12,1%

b. Kadang 87,9%

c. Tidak Pernah 0%

8. Penguasaan semua materi

a. Ya 21,2%

b. Tidak 54,5%

c. Biasa saja 24,2%

9. Respon

a. Setuju 69,7%

b. Biasa saja 30,3%

2. Design (Perencanaan) Tahap desain media pembelajaran kimia meliputi pemilihan perangkat media

pembelajaran. Perangkat media pembelajaran berbasis Website dikembangkan dengan menggunakan software Wordpress yang dapat digunakan secara gratis.

Desain media pembelajaran kimia berbasis webiste yang dikembangkan pada materi larutan penyangga meliputi menu beranda, menu kurikulum pendidikan, menu apersepsi, menu materi ajar, menu kalian harus tahu, menu refleksi, menu daftar pustaka, dan menu kolom tanya.

3. Develop (Pengembangan) Tahap develop dilakukan dengan validasi oleh ahli materi, ahli media, serta

tanggapan dari peserta didik. Adapun analisis yang dilakukan yaitu sebagai berikut: 1. Uji kelayakan oleh ahli materi

PENDIDIKAN KIMIA…

440 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Gambar 4.1 Hasil penilaian ahli materi

Berdasarkan gambar 4.1 di atas, skor total yang diperoleh dari uji kelayakan materi pada media pembelajaran berbasis website pada validasi pertama diperoleh skor 45,50% dan pada validasi kedua diperoleh skor 66,67%. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penilaian ahli materi ini dapat diketahui bahwa materi yang terdapat pada media pembelajaran termasuk dalam kategori cukup baik dengan keterangan layak digunakan dengan revisi pada validasi pertama. Adapun hasil yang diperoleh dari revisi yang kedua ini lebih baik dari hasil sebelumnya yaitu dalam kategori baik.

2. Uji kelayakan oleh ahli media

Gambar 4.2 Hasil validasi ahli media

Berdasarkan gambar 4.2 validasi ahli media terhadap media pembelajaran berbasis website diperoleh skor sebesar 51,65% pada tahap validasi pertama dan skor 85,85% pada tahap validasi kedua. Tahap pertama skor yang diperoleh tergolong dalam kategori cukup baik dan tahap kedua skor yang diperoleh tergolong dalam kategori sangat baik.

3. Hasil Uji Terbatas

Gambar 4.3 Hasil tanggapan peserta didik

Hasil tanggapan peserta didik yang diperoleh ini menunjukkan persentase yang termasuk dalam kategori baik dan sangat baik. Berdasarkan hasil penilaian

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

V1 V2

45.50%66.67%

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

V1 V2

51.65%

85.85%

75%68.85% 65.60%

76.70%81% 80.00%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

isi senang evaluasi motivasi tatabahasa

tampilan

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 441

tersebut rata-rata hasil tanggapan peserta didik tersebut menunjukkan bahwa media pembelajaran ini layak digunakan dalam pembelajaran.

Hasil dari penelitianini yaitu bahwa media pembelajaran berbasis website layak digunakan sebagai sumber belajar media pembelajaran alternatif, hal ini ditunjukkan dengan tercapainya indikator kelayakan yaitu hasil validasi ahli media sebesar 86,1% dengan kriteria sangat baik, sedangkan hasil validasi ahli materi sebesar 66,67% dengan kriteria baik. Sedangkan hasil penilaian validasi dari pendidik SMA sebesar 79,1% dengan kriteria baik. Adapun hasil angket tanggapan peserta didik terhadap media pembelajaran berbasis website, tingkat pencapaian media pembelajaran mencapai 76,67% dengan kriteria baik sehingga layak untuk digunakan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Penelitian dan pengembangan ini menggunakan model 4D termodifikasi menjadi 3D yang dikembangkan oleh Thiagarajan dan menghasilkan media pembelajaran berbasis website pada materi larutan penyangga. Komponen website pembelajaran kimia terdiri dai beberapa menu, menu tersebut antara lain: 1) beranda, 2) kurikulum, 3) apersepsi, 4) materi ajar, 5) Kalian harus tahu, 6)Refleksi, 7) Daftar pustaka, 8) kolom tanya.

Media pembelajaran kimia berbasis website yang dikembangkan ini terbukti layak digunakan dalam pembelajaran, hal ini ditunjukkan dengan tercapainya indikator kelayakan yaitu hasil validasi ahli media sebesar 86,1% dengan kriteria sangat baik, sedangkan hasil validasi ahli materi sebesar 66,67% dengan kriteria baik. Sedangkan hasil penilaian validasi dari pendidik SMA sebesar 79,1% dengan kriteria baik. Adapun hasil angket tanggapan peserta didik terhadap media pembelajaran berbasis website, tingkat pencapaian media pembelajaran mencapai 76,67% dengan kriteria baik sehingga layak untuk digunakan.

Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian yang lebih mendalam baik dengan cara menguji efektifitas, hubungan atau pengaruh adanya media pembelajaran kimia berbasis website terhadap motivasi, gaya belajar, minat dan hasil belajar peserta didik serta mengembangkan media pada materi yang berbeda karena media pembelajaran berbasis website ini hanya terbatas pada materi larutan penyangga.

REFERENSI Abdullah. 2005. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. Abdullah Sani, Ridwan. 2015. Pembelajaran saintifik untuk Implementasi Kurikulum

2013. Jakarta: PT Kalola Printing. Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja

Rosadakarya Offset. Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Arsyad, Azhar . 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Budi Rahardjo, Sentot. 2014. Kimia Berbasis Eksperimen Untuk Kelas XI SMA dan MA

Kelompok Peminatan Matematika dan Ilmu Alam. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar: Konsep-konsep IntiJilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga .

PENDIDIKAN KIMIA…

442 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Departemen Agama RI. 2009. .Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung: Diponegoro. Efrosius Simson Dumgair, Irvan. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Kimia

Dengan Materi Pokok Karbohidrat Berbasis Website sebagai Sumber Belajar Mandiri Untuk Peserta didik SMA/MA. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

Gede Rasagama, I. 2011. Memahami Implementasi Eductional Research and Development, Bandung: Politeknik Negeri Bandung.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2004. Hanum, Fathikah Fauziah. 2014. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Web

Untuk Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SMA N 1 Banguntapan. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial.

Hariandjana, Dorthy. 2009. Pengenalan Ilmu Kimia. Diakses pada tanggal 20 november 2016

Hasil wawancara dengan Ibu Maria Sundus, M.Pd guru SMA N 13 Semarang, pada 10 Oktober 2016.

Irmayanti, Shabrina. 2016. Pengembangan Media Pembelajaran Akuntansi Berbasis Web Blog Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta didik Kelas XI Akuntansi 4 SMK YPKK 2 Sleman Tahun Ajaran 2015/2016. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta.

Jespersen, Neil D, dkk. 2010. Chemistry The Molucular Nature of Matter. USA: John Wiley Sons.

Jury, Christopher P, dkk. 2013. Buffer Capacity, Ecosystem Feedbacks, and Seawater Chemistry Under Global Change. Journal. USA

Justiana, Sandri. 2002. Kimia 2. Jakarta: Yudhistira. Khamidah, Kun dan Ramadian Agus Triyono. 2013. Pengembangan Aplikasi E-learning

Berbasis Web dengan PHP dan My SQL Studi Kasus SMP N 1 Arjosari, (Indonesian Jurnal on Networking and Security, Vol.2, No.2, April 2013).

Keenan, dkk. 1984. Kimia Untuk Universitas. Jakarta: Erlangga. Made Candiasa, I. 2004. Pembelajaran dengan Modul Berbasis Web, (Jurnal Pendidikan

dan Pengajaran IKIP Singaraja No.3, Juli 2004) Singaraja: Fakultas Pendidikan MIPA.

Mulyasa, E . Pengembangan dan Impelemtasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdaha.

Mulyono. 2012. Strategi Pembelajaran Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global. Malang: UIN-Maliki Press.

Moore, John W, dkk. 2010. Chemistry The Molecular Science. USA: Brooks Cole. Oxtoby, David W. 2001. Kimia Modern. Jakarta: Erlangga. Poerwadaminta. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Purwanto, Ngalim. 1997. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. Rufaida, Anis Dyah. 2014. Kimia. Klaten: Intan Pariwara. Riduwan. 2009. Skala pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung. Saekhan Muchith, M. 2007. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL Media Group. Sanjaya, Wina. 2011. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group. __________. 2014. Penelitian Pendidikan Jenis, Metode Dan Prosedur. Bandung: Kencana

Prenada Media Group. Sari, Maya Anita. 2016. Pengembangan Media Pembelajaran Buku Saku Berbasis Mind

Mapping Materi Sistem Pemerintahan Tingkat Pusat untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn Kelas IV SD Tambak Aji 02. Skripsi. Semarang: PGSD Unnes

Sitepu, B.P. 2014. Pengembangann Sumber Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 443

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

__________. 2012. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. __________. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D). Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya . Suyanto, M. 2003. Multimedia Alat Meningkatkan Keunggulan Bersaing. Yogyakarta: Andi

Offset. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan

Implementasiny pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana. Tro, Nivaldo J. 2010. Principles of Chemistry A Molecular Approach. USA: Pearson. Wijaya, Muksin. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran e-Learning Berbasis Web

dengan Prinsip e-Pedagogy dalam Meningkatkan Hasil Belajar. Bandung: Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK PENABUR

PENDIDIKAN KIMIA…

444 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SELF-ASSESSMENT UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN LABORATORIUM

CALON GURU KIMIA

Muhammad Zammi1, Endang Susilaningsih2, Kasmadi Imam Supardi3 1Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

Email: [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar untuk meningkatkan keterampilan laboratorium calon guru kimia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode penelitian pengembangan. Penelitian dilakukan di UIN Walisongo Semarang. Penelitian diawali dengan validasi instrumen self-assessment oleh pakar dengan kriteria sangat layak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar telah tercapai kesepahaman antar observer dengan harga koefisien generalisabilitas 0,7. Dampak penggunaan instrumen self-assessment adalah 24 dari 30 mahasiswa dengan rata-rata kinerja sangat baik, tanggapan mahasiswa sangat setuju yaitu 20 dari 30 mahasiswa dan dosen pengampu memberikan tanggapan sangat setuju dengan penggunaan instrumen ini. Implementasi instrumen self-assessment terbukti efektif meningkatkan keterampilan laboratorium calon guru kimia. Kata Kunci: Asesmen, Self-Assessment, Keterampilan Laboratorium

PENDAHULUAN

Kegiatan praktikum merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran kimia. Kegiatan praktikum dapat digunakan untuk lebih memahami teori dan mengembangkan keterampilan dasar (Rustaman, 2005: 137). Dalam perkuliahan di jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang terdapat mata kuliah Praktikum Kimia Dasar, praktikum ini merupakan bagian tak terpisahkan dari mata kuliah Kimia Dasar sebagai pemahaman konsep, hukum dasar dan teori kimia melalui kegiatan laboratorium. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, penilaian praktikum kimia dasar Jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo yang berjalan selama ini berdasarkan pretest, jurnal praktikum, laporan praktikum dan ujian semester, walaupun kinerja juga dinilai tetapi realitanya berjalan kurang maksimal, penilaian kinerja hanya dilakukan pada saat ujian akhir semester dengan instrumen yang digunakan sifatnya global atau tidak spesifik pada praktikum tertentu, sehingga mahasiswa tidak mengetahui secara spesifik kriteria penilaian. Selain itu, banyaknya jumlah mahasiswa yang diampu oleh seorang dosen juga menjadi masalah dalam melakukan penilaian kinerja, karena dosen harus memantau kinerja mahasiswa secara menyeluruh, sehingga keterampilan laboratorium mahasiswa tidak terukur secara maksimal. Hal ini menyebabkan keterampilan laboratorium mahasiswa tidak meningkat (rendah). Rendahnya keterampilan laboratorium mahasiswa juga diakui oleh dosen dan laboran Jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo, hal ini dibuktikan dari kemampuan mahasiswa semester lanjut yang mengalami kesulitan ketika persiapan bahan praktikum, misalnya pembuatan reagen. Oleh karena itu diperlukan upaya lebih intens untuk mengatasi hal tersebut dengan cara mengembangkan rubrik penilaian kinerja.

Penilaian kinerja sangat diperlukan dalam konteks untuk mengukur kinerja praktikum mahasiswa terutama pada praktikum kimia dasar karena praktikum ini merupakan praktikum awal atau dasar bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo. Pemahaman konsep, hukum dasar dan teori kimia, pembentukan pribadi yang memiliki keterampilan akademik, menemukan ide-ide, tekun, kreatif dan inovatif merupakan tujuan esensial dari praktikum kimia dasar.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 445

Salah satu jenis penilaian kinerja yang efektif dikembangkan pada penelitian ini adalah self-assessment, yaitu proses pengumpulan informasi, melakukan refleksi, pertimbangan sendiri terhadap kemajuan dan kualitas kinerjanya berdasarkan bukti-bukti dan kriteria yang jelas, agar mahasiswa dapat memiliki kesadaran dan pengertian atas diri sendiri dan dapat meningkatkan di masa mendatang (Rolheiser, 2013). Evaluasi diri adalah kemampuan dan kesadaran mahasiswa untuk mengetahui tingkat perkembangan atau kemajuan perilaku dan berpikirnya sesuai target-target belajarnya. Implementasi strategi kemampuan mahasiswa untuk menerapkan strategi belajar sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kinerjanya (MacMillan, 2008).

Assesmen kinerja dipandang memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk mengukur keterampilan dan komunikasi yang kompleks, yang dianggap sebagai kompetensi penting dan disiplin pengetahuan yang dibutuhkan di masyarakat saat ini. Singkatnya, penilaian kinerja lebih cocok untuk mengukur pencapaian keterampilan dari pada penilaian tradisional (Palm, 2008). Asesmen ini dapat meningkatkan kinerja praktikum mahasiswa (Zaki, 2012), meningkatkan motivasi mahasiswa (Ardli at al, 2012), lebih bermakna bagi mahasiswa dan penilaian dapat dilakukan baik oleh instruktur maupun mahasiswa (situasi alamiah belajar mahasiswa) berdasar standar proses dan produk yang mengacu pada spesifikasi konstruksi (Dedy, 2009).

Sejalan dengan hal di atas, penelitian Kearney (2004) menunjukkan bahwa self-assessment terbukti berpengaruh positif pada hasil “service learning” mahasiswa, mereka dapat berfikir kritis, berkomunikasi dan berinteraksi sosial, memiliki tanggung jawab dan kesadaran sosial serta keahlian profesi mereka pun meningkat. Self-assessment membuat mahasiswa lebih realistis terhadap tujuan belajarnya, akurat melakukan asesmen atas dirinya sehingga dapat membantu mahasiswa dalam tes persiapan dan mereka merasa seperti telah mencapai tujuan belajarnya (Kelberlau, 2006). Penelitian Tousignant dan DesMarchais (2002) dengan desain pre-posttest, juga membuktikan model self-assessment dapat meningkatkan kinerja-diri pada mahasiswa program kedokteran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menghasilkan produk berupa instrumen self-assessment praktikum kimia dasar yang valid dan reliabel, (2) mengetahui efektivitas instrumen self-assessment praktikum kimia dasar untuk meningkatkan keterampilan laboratorium mahasiswa calon guru kimia, (3) mengetahui respon mahasiswa terhadap instrumen self-assessment yang diterapkan pada praktikum kimia dasar. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau R&D. penelitian dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang. Uji coba terbatas dilakukan terhadap 6 mahasiswa semester 4, sedangkan uji coba luas dilakukan terhadap 30 mahasiswa semester 2.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian meliputi wawancara, observasi, dokumentasi dan angket. Jenis data meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari lembar observasi kinerja, angket tanggapan mahasiswa dan dosen, sedangkan data kuantitatif meliputi pengaruh penggunaan instrumen self-assessment praktikum kimia dasar terhadap aspek psikomotor dan afektif mahasiswa. Instrumen yang dikembangkan berupa non-tes berupa lembar observasi dan pedoman penilaian kinerja (self-assessment) dan angket. Data dianalisis secara deskriptif dan validasi instrumen

Untuk mengetahui pengaruh pada aspek psikomotor dilakukan dengan skala kinerja praktikum dan pengaruh pada aspek afektif mahasiswa menggunakan skala sikap (angket tanggapan).

PENDIDIKAN KIMIA…

446 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Instrumen Self-assessment Pada Praktikum Kimia Dasar

Instrumen self-assessment praktikum kimia dasar yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi percobaan pembuatan reagen kimia, pemisahan sederhana, pemisahan dan pemurnian, dan kesetimbangan kimia. Instrumen dikembangkan sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan dan indikator praktikum tersebut. Instrumen self-assessment digunakan untuk mengukur dan meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan laboratorium mahasiswa. Instrumen self-assessment yang dikembangkan ini berbeda dengan yang lain, karena instrumen ini dimaksudkan untuk mengarahkan mahasiswa selama pembelajaran, sehingga mahasiswa dapat memahami dan mengintrospeksi kinerjanya. Selain itu, instrumen ini juga memunculkan karakter (sikap) meliputi kedisiplinan, kejujuran, motivasi dan kemandirian, dan tanggung jawab.

Instrumen self-assessment diterapkan sejak praktikum pertama hingga praktikum terakhir. Pelaksanaan pembelajaran pada praktikum diawali dengan kontrak perkuliahan dan mengarahkan mahasiswa untuk mendiskusikan materi pembelajaran sebelum melakukan praktikum, selain itu dijelaskan kriteria dan aspek penilaian selama pembelajaran berlangsung. Adapun aspek-aspek yang diamati selama pembelajaran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Aspek Kinerja Mahasiswa yang diamati selama praktikum No. Aspek yang diamati

1. Persiapan praktikum 2. Keterampilan proses 3. Membuat laporan sementara 4. Selesai praktikum

Pembahasan Produk Akhir Produk instrumen self-assessment praktikum kimia dasar yang dikembangkan diuji

validitas, reliabilitas dan efektivitas untuk mengetahui kualitas produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan harus memenuhi kategori valid, reliabel dan efektif untuk meningkatkan keterampilan laboratorium, penguasaan konsep mahasiswa dan mahasiswa memberikan respon positif.

Sebelum diuji cobakan, instrumen yang dibuat divalidasi oleh validator (pakar). Validasi bertujuan untuk memberikan masukan dan perbaikan desain awal, sehingga dapat digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya. Validasi pakar meliputi asesmen tes essay, instrumen kinerja dan angket. Hasil validasi pakar disajikan pada Tabel 2. Hasil validasi perangkat sudah mencapai kriteria sangat layak sehingga perangkat dinyatakan valid dan dapat digunakan untuk penelitian.

Selain valid, instrumen penilaian harus reliabel. Reliabilitas merupakan keajegan suatu instrumen. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2012: 121). Hasil uji reliabilitas instrumen disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2 Hasil Validasi Pakar

Validator Asesmen Kinerja

Angket

I 89 92 II 96 92 III 93 92

Rata-rata 93 92

Kriteria Sangat layak Sangat

layak

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 447

Tabel 3 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen

Angket Asesmen kinerja

Pengujian Rumus Alpha

Koefisien genelisabilitas

Reliabilitas 0,765

P1: 0,806; P2: 0,728

P3: 0,774; P4: 0,742

Kesimpulan Reliabel Reliabel Ket: P1 : Kinerja Praktikum I P2 : Kinerja Praktikum II P3 : Kinerja Praktikum III P4 : Kinerja Praktikum IV Hasil uji reliabilitas pada Tabel 3 menyatakan bahwa instrumen yang

dikembangkan menunjukkan data yang reliabel karena memenuhi nilai reliabilitas (r11 0,7). Hal ini sesuai dengan penelitian Ross (2006), bahwa penggunaan self-assessment dikaji dari reliabilitas dan validitasnya, menunjukkan hasil yang konsisten, menyediakan informasi tentang prestasi mahasiswa dan kekuatan self-assessment dapat ditingkatkan melalui pelatihan siswa dalam menilai pekerjaan mereka. Lebih lanjut Andrade (2007) dalam penelitiannya menyatakan, selain valid dan reliabel, penggunaan acuan kriteria penilaian self-assesment efektif untuk mengecek kerja mahasiswa dan memperbaiki arah kerja, bahkan setelah penggunaan secara berkala dan mengetahui harapan guru, asesmen ini dapat meningkatkan peringkat, kualitas kerja dan motivasi belajar. Efektivitas Penggunaan Produk Instrumen Self-assessment Praktikum Kimia Dasar

Dalam penelitian ini, penilaian kinerja mahasiswa diobservasi oleh 3 observer, yaitu peneliti, asisten dan mahasiswa sendiri (self-assessment). Observasi oleh peneliti dan asisten berfungsi untuk mengoreksi hasil self-assessment mahasiswa. Penilaian kinerja mahasiswa dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. Kinerja mahasiswa setiap pertemuan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kinerja Mahasiswa Setiap Pertemuan

Kriteria Prak

tikum I

Prak tikum II

Prak tikum III

Prak tikum IV

Sangat Rendah

0 0 0 0

Rendah 0 0 0 0

Sedang 0 0 0 0

Baik 1 4 1 1 Sangat Baik

29 25 28 27

Absen 0 1 1 2

Berdasarkan Tabel 4, kinerja mahasiswa pada setiap pertemuan mayoritas sangat

baik, hanya sebagian kecil mahasiswa dengan kinerja praktikum dengan kategori baik, bahkan tidak ada mahasiswa dengan kategori sangat rendah, rendah dan sedang. Hasil tersebut menyatakan bahwa instrumen self-assessment yang dikembangkan efektif meningkatkan keterampilan laboratorium mahasiswa. Hal ini sesuai dengan penelitian Kelberlau (2006), bahwa self-assessment membuat mahasiswa lebih realistis terhadap

PENDIDIKAN KIMIA…

448 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

tujuan belajarnya, akurat melakukan asesmen atas dirinya sehingga dapat membantu mahasiswa dalam tes persiapan, meningkatkan penguasaan konsep dan mereka merasa seperti telah mencapai tujuan belajarnya. Lebih lanjut MacMillan (2008), menyatakan bahwa self-assessment adalah kemampuan dan kesadaran siswa untuk mengetahui tingkat perkembangan atau kemajuan perilaku dan berpikirnya sesuai target-target belajarnya. Implementasi strategi kemampuan mahasiswa untuk menerapkan strategi belajar sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan menetapkan tujuan belajarnya dapat membantu peningkatan pemahaman siswa, mengidentifikasi kriteria belajar, mengevaluasi kemajuan diri mereka dalam belajar, bercermin pada pelajaran mereka, dan menghasilkan strategi untuk lebih banyak belajar, mereka akan menunjukkan peningkatan performa dan motivasi.

Selain penilaian pada keterampilan laboratorium, penilaian juga dilakukan pada aspek afektif. Penilaian afektif digunakan untuk mengetahui sikap mahasiswa yang muncul selama pembelajaran. Penilaian afektif spesifik pada kehadiran mahasiswa di laboratorium, kejujuran dalam melakukan penilaian, motivasi dan kemandirian melakukan praktikum, tanggungjawab dalam penilaian, dan kedisiplinan melakukan praktikum. Rata-rata nilai afektif mahasiswa selama pembelajaran disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Rata-rata Nilai Afektif Mahasiswa

No. Nilai Afektif Rata-rata Nilai

Kriteria

1 Kehadiran mahasiswa di laboratorium

3,40 Sangat Tinggi

2 Kejujuran dalam melakukan penilaian

3,40 Sangat Tinggi

3 Motivasi dan kemandirian melakukan praktikum

3,43 Sangat Tinggi

4 Tanggungjawab dalam penilaian

3,47 Sangat Tinggi

5 Kedisiplinan melakukan praktikum

3,37 Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 5 rata-rata nilai afektif mahasiswa sangat tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa disamping meningkatkan keterampilan laboratorium, penggunaan instrumen self-assessment juga efektif membangun sikap mahasiswa ke arah positif.

Pengujian efektivitas juga dilakukan dengan angket respon yang diisi oleh mahasiswa dan dosen. Data hasil angket mahasiswa menyatakan sebagian besar mahasiswa sangat setuju yaitu 20 mahasiswa dari 30 mahasiswa. Hasil analisis angket tanggapan mahasiswa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Hasil Angket Tanggapan Mahasiswa

0

5

10

15

20

Sangat

Setuju

Setuju Tidak

Setuju

Sangat

Tidak

Setuju

Ju

mla

h M

ah

sisw

a

Respon Mahasiswa

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 449

Tanggapan penggunaan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar juga diperoleh dari dosen pengampu mata kuliah praktikum kimia dasar. Data yang diperoleh kemudian dianalisis deskriptif. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dosen pengampu setuju dengan penggunaan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar, penggunaan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar dapat menarik minat belajar mahasiswa, rubrik self assessment mudah untuk dikembangkan, meningkatkan penguasaan mahasiswa terhadap konsep-konsep kimia, mampu mendorong aktifitas mahasiswa, membantu proses pembelajaran praktikum, membuat mahasiswa bekerja dengan kemampuannya, membantu mahasiswa meningkatkan kemampuannya, membantu melatih keterampilan kinerja mahasiswa dalam praktikum dan membantu dosen dalam penilaian kinerja mahasiswa. KESIMPULAN

Hasil pengembangan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar dinyatakan valid oleh validator dan reliabel. Berdasarkan hasil uji coba, instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar efektif meningkatkan keterampilan laboratorium, penguasaan konsep dan sikap mahasiswa calon guru kimia.

REFERENSI Andrade, H. dan Du, Y. 2007. “Student responses to criteria-referenced self-assessment”.

Journal Assessment & Evaluation in Higher Education. Volume32 No. 2. Page 159-181.

Ardli, I., Ade G. A., Siti M., dan Ana. 2012. “Perangkat Penilaian Kinerja Untuk Pembelajaran Teknik Pemeliharaan Ikan”. Jurnal Invotec. Volume 8 No. 2. Hal 147-166.

Dedy dan Yusa. 2009. “Model Pembelajaran Berbasis Produksi dengan Pendekatan Asesmen Portofolio pada Perkuliahan Praktik Kerja Bangunan”. Jurnal Penelitian. Volume 9 No. 1.

Kearney, K. R. 2004. “Students’ Self-Assessment of Learning through Service-Learning”. American Journal of Pharmaceutical Education. Volume 68 No. 1. Page 1-13.

Kelberlau-Berks, A. R. 2006. The Effects of Self-Assessment on Student Learning. “A report on an action research project submitted in partial fulfillment of the requirements for participation in the Math in the Middle Institute Partnership and the MAT degree. Lincoln, Nebraska.

MacMillan, J. H. dan Hearn, J. 2008. “Student Self-Assessment: The Key to Stronger Student Motivation and Higher Achievement”. Journal Educational Horizons. Volume 87 No. 1. Page 40-49.

Palm, T. 2008. “Performance Assesment and Authentic Assesment: A Conceptual Analysis of the Literature”. Practical Assessment, Research and Evaluation. Volume 13 No. 4. Page 1-11.

Rolheiser, C. dan Ross, J. A. Student Self-Evaluation: What Research Says And What Practice Shows. http://www.cdl.org/resourcelibrary/articles/self_eval.php (diunduh 12 Oktober 2013).

Ross, J. A. 2006. “The Reliability, Validity, and Utility of Self-Assessment”. Journal of Practical Assessment, Research & Evaluation. Volume 11 No. 10. Page 1-13.

Rustaman, N. Y. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tousignant, A dan DesMarchais, J. E. 2002. “Accuracy of Student Self-Assessment Ability

Compared to Their Own Performance in a Problem-Based Learning Medical

PENDIDIKAN KIMIA…

450 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Program: A Correlation Study”. Journal Advances in Health Sciences Education. Volume 7. Page 19–27.

Zaki, 2012. “Pengembangan Perangkat Aesmen Kinerja dalam Pembelajaran Matematika Sub pokok Bahasan Melukis Segitiga pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Surabaya”. Jurnal AdMathEdu. Volume 2 No. 2. Hal 165-175.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 451

DEVELOPMENT LEARNING MATERIAL INTEGRATED WITH UNITY OF SCIENCES AND MULTILEVEL REPRESENTATION IN TOPIC SOLUBILITY

EQUILIBRIA AND SOLUBILITY PRODUCT CONSTANT

Ulfah Fatkhuroh1, Mufidah2, Anita Fibonacci3

1Chemistry education Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email: [email protected]

2Chemistry education Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email: [email protected]

3Chemistry education Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Email: [email protected]

Abstract

This study aims to develop a chemistry learning module based on unity of sciences and multilevel representations for learners. The developed module tries to integrate chemistry by instilling the spiritual side of it, and presenting chemical content in macroscopic, submicroscopic and symbolic languages in full. Research and development design used in this research include define, design, and develop. The subjects of the study were students of XI IPA 1 class at SMA Negeri 1 Boja. The data analysis used in testing the feasibility, readability, and student response of the module is a descriptive statistic with the calculation of the percentage score from the experts. The result of development is obtained by learning module. The results show that the module developed by the researchers is qualified according to the experts with the average score of the expert is 77.78%. The module student response test is included in the good category with a percentage of 67.03%, and readability test 73.81% is included in the high category so that the module of unity of sciences and multi-level representation can be used as an alternative source of chemical learning. Keywords: learning material, unity of sciences, and multi-level representations

PENDAHULUAN Media pembelajaran merupakan suatu alat atau bahan yang digunakan dalam

kegiatan pembelajaran.Schramm dalam Daryanto (2013) mengelompokkan media berdasarkan kemampuan daya liputan meliputi liputan luas seperti televisi, liputan serentak seperti video, media tersebut menuntut sekolah memiliki fasilitas yang memadai (Daryanto, 2013).Selanjutnya yaitu media untuk belajar secara individu, salah satunya yaitu buku ajar.Penyusunan buku ajar erat kaitannya dengan karakteristik dari materi atau disiplin ilmu tertentu. Penyajian materi pokok dalam kimia disarankan melibatkan keterhubungan tiga level representasi yaitu level makroskopik, submikroskopik, dan simbolik (Gkitzia, et al., 2010). Suryani dalam Nurpratami (2015) menyatakan bahwa masih minimnya buku yang menghubungkan ketiga level representasi tersebut (Nurpratami, Farida Ch, dan Helsy, 2015). Oleh karena minimnya buku ajar kimia yang menghubungkan ketiga level representasi tersebut terutama buku ajar yang sifatnya mandiri (modul), maka perlu dikembangkan modul kimia. Modul diharapkan dapat menggambarkan hubungan tiga level representasi kimia (makroskopik, submikroskopik, dan simbolik) agar peserta didik dapat memahami kimia secara komprehensif (Gilbert dan Treagust, 2009), karena masih banyak peserta didik yang belum memahami konsep materi secara komprehensif, terutama pada level submikroskopik dan bahasa simbolik (Indrayani, 2013), mengingat konsep-konsep kimia bersifat abstrak seperti interaksi antar atom, molekul, dan ion (Gkitzia, et al., 2010).

Salah satu konsep kimia yang masih menjadi kendala bagi peserta didik adalah kelarutan dan hasil kali kelarutan berdasarkan hasil angket.Hal ini diperkuat dengan data jawaban peserta didik yang masih kurang tepat ketika uji coba soal. Contoh, peneliti membuat pertanyaan tentang materi kelarutan dan hasil kali kelarutan terutama kemampuan memvisualisasikan suatu fenomena.

PENDIDIKAN KIMIA…

452 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Pertanyaan atau soal yang dibuat meminta peserta didik untuk menggambarkan secara submikroskopik larutan garam NaCl dan larutan gula. Sebagian besar peserta didik menjawab gambaran submikroskopik larutan garam NaCl dan gula kurang tepat, mereka masih menganggap bahwa garam NaCl yang mengalami ionisasi maka di dalam larutannya tidak terdapat air, seharusnya jawaban yang tepat yaitu dalam larutan garam NaCl terdapat Na+, Cl-, dan H2O (Chang, 2005). Peserta didik menganggap bahwa gula dalam air mengalami ionisasi, sehingga mereka memisahkan atom C, H, dan O dalam larutan gula. Dengan demikian, modul hasil pengembangan yang melibatkan tiga level representasi diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi peserta didik.

Pentingnya peranan tiga level representasi dalam pembelajaran kimia, pertama yaitu level makroskopik yang memuat fenomena yang dapat diamati oleh panca indra. Fenomena yang dapat diamati yaitu terbentuknya endapan AgCl dari larutan HCl dengan AgNO3. Kedua, level submikroskopik merupakan level abstrak yang menjelaskan fenomena makroskopik. Representasi submikroskopik dilakukan dengan menggambarkan atom-atom, molekul-molekul, dan ion-ion yang terdapat dalam reaksi terbentuknya endapan AgCl.Ketiga yaitu level simbolik yang dirumuskan dalam bentuk lambang dan persamaan (Gilbert dan Treagust, 2009). Bentuk lambang dan persamaan dari fenomena terbentuknya endapan AgCl yaitu HCl direaksikan dengan AgNO3akan menghasilkan endapan AgCl dan senyawa HNO3.

Jika modul yang dikembangkan telah mencakup ketiga level representasi kimia, maka modul hasil pengembangan berpotensi dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami peserta didik (Milenkovic et. al, 2016; Guzel, dan Adadan, 2013). Apabila modul hasil pengembangan dilengkapi dengan pendekatan multipel level representasi dan integrasi Islam-kimia (Unity of Sciences) pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan, maka tidak hanya memberikan pengetahuan dalam memahami materi kimia, tetapi juga pengetahuan tentang hubungan ilmu agama dengan ilmu kimia, sehingga hal tersebut dapat menjadikan peserta didik sebagai seseorang yang memandang semua cabang ilmu sebagai satu kesatuan holistik tidak terpisah-pisah (Fanani, 2015) dan pada akhirnya mampu memberikan kontribusi terhadap ketercapaian tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanahkan dalam UU nomer 20 tahun 2003. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di SMA N 1 Boja. Penelitian dilaksanakan pada bulan mei 2017. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas XI IPA 1 yang berjumlah 9 dari 34 peserta didik.Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model 4D (Define, Design, Develop, andDisseminate) (Thiagarajan, 1974), akan tetapi tahap disseminate tidak dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa adanya keterbatasan waktu, dan dengan sampai pada tahap develop sudah menghasilkan produk yang valid. Adapun prosedur penelitian mencakup: a) tahap define, b) tahap design, dan c) tahap develop.

Tahap definemeliputi lima langkah analisis. Analisis yang dilakukan yaitu analisis ujung depan, peserta didik, tugas, konsep, dan tujuan pembelajaran. Sumber data dalam melakukan analisis diperoleh dari peserta didik dan guru di SMA Negeri 1 Boja. Selanjutnya tahap design, seluruh informasi yang diperoleh dari tahap define dipertimbangkan pada tahap design. Hal ini bertujuan agar modul yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik selaku pengguna modul. Terakhir yaitu tahap develop, pada tahap ini dilakukan uji kelayakan atau validasi ahli yang meliputi ahli materi dan ahli media, serta dilakukan uji respon peserta didik dan uji keterbacaan modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 453

Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu, observasi, kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Metode observasi dan wawancara untuk mengamati proses pembelajaran dan aktivitas peserta didik, kuesioner untuk mengetahui respon peserta didik, sedangkan dokumentasi untuk mengambil data nilai peserta didik.

Adapun data yang diperoleh dari tiga tahap yang telah dilakukan dianalisis dengan teknik analisis data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan pengembangan yaitu kevalidan modul. 1. Analisis Data Lembar Validasi Ahli

Tabel 1 Kriteria Validitas untuk Hasil Validasi Ahli Materi No. Kriteria

Validitas Tingkat

Validitas 1. 81% – 100% Sangat Layak 2. 61% – 80% Layak 3. 41% – 60% Kurang Layak 4. 21% – 40% Tidak Layak 5. 2,22% – 20% Sangat Tidak

Layak

% Skor = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 x 100%

Tabel 2 Kriteria Validitas untuk Hasil Validasi Ahli Media

No. Kriteria Validitas

Tingkat Validitas

1. 81% – 100% Sangat Layak 2. 61% – 80% Layak 3. 41% – 60% Kurang Layak 4. 21% – 40% Tidak Layak 5. 2,5% – 20% Sangat Tidak

Layak

2. Analisis Data Angket Respon Peserta Didik Tabel 3 Kriteria Respon Peserta Didik No. Kriteria

Validitas Tingkat

Validitas 1. 82% –

100% Sangat Baik

2. 64% – 81% Baik 3. 46% – 63% Kurang Baik 4. 28% – 45% Tidak Baik 5. 10% – 27% Sangat Tidak

Baik 3. Analisis Uji Keterbacaan Modul

Tabel 4 Kategori Tingkat Keterbacaan Persentase Kategori TK > 60% Tinggi

40% ≤ 𝑇𝐾 ≥ 60%;

Sedang

TK < 40% Rendah

PENDIDIKAN KIMIA…

454 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan melalui tiga tahap yaitu define, design, dan develop. Tahap

pengembangan akan dijelaskan sebagai berikut: Define (Pendefinisian)

Langkah awal dalam pengembangan modul dilakukan langkah define, yang meliputi lima tahap yaitu front-end analysis (analisis ujung depan) yang dilakukan dengan wawancara guru dan observasi. Analisis menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan pemahaman konsep, dibuktikan dengan jawaban peserta didik yang masih salah pada angket soal yang mencakup tiga level representasi. Learner analysis (analisis peserta didik) dilakukan dengan angket kebutuhan , dimana selisih persentase gaya belajar peserta didik visual dengan audio adalah 14,71%. Task analysis (analisis tugas), tahap ini menunjukkan analisis tugas peserta didik harus sesuai dengan struktur isi dan prosedur dalam silabus. Concept analysis (analisis konsep) merupakan analisis penting, pada analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman peserta didik pada konsep materi, dan specifying instructional objectives yang dilakukan dengan wawancara, angket, dan dokumentasi. Design (Perencanaan)

Hasil analisis dari kelima tahap define digunakan sebagai dasar dalam melakukan langkah design modul dan pengembangan modul. Rancangan modul disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Rancangan awal modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi memiliki komposisi yaitu: cover, kata pengantar, daftar isi, pendahuluan (berisi KI, KD, indikator, tujuan pembelajaran, dan petunjuk penggunaan modul), peta konsep, materi, soal latihan, penilaian, rangkuman, soal evaluasi, kunci jawaban, halaman pemahaman, glosarium, dan daftar pustaka. Develop (Pengembangan)

Tahap pengembangan adalah tahap yang dilakukan untuk menghasilkan produk pengembangan yang valid atau layak. Kelayakan modul dilakukan melalui beberapa uji, diantaranya yaitu: 1. Uji Kelayakan oleh Ahli Materi dan Ahli Media

Gambar 1. Hasil Uji Kelayakan oleh Ahli Materi dan Ahli Media

Berdasarkan gambar 1 di atas, uji kelayakan modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi oleh validator ahli materi diperoleh persentase skor sebesar 77,81%, dan ahli media 80% termasuk dalam kategori layak (berdasarkan tabel 1 dan 2). Skor diperoleh melalui revisi-revisi sesuai dengan saran atau masukan dari para ahli. Beberapa saran yang diberikan ahli yaitu: a) memberikan contoh yang dapat menjadi pengantar untuk masuk dalam materi; b) mengganti gambar submikroskopik pada sub bab reaksi pengendapan; c) menuliskan reaksi kesetimbangan dengan lengkap; d) masih ada salah pengetikan yang perlu diganti.

76.00%

77.00%

78.00%

79.00%

80.00%

ahli materi ahli media

hasil uji

hasil uji

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 455

2. Hasil Uji Terbatas

Gambar 2 Hasil Skor Respon Peserta Didik

Berdasarkan gambar 2 diperoleh skor sebesar 13,7% untuk indikator minat modul pembelajaran, 9,63% untuk kemandirian belajar, 11,12% untuk kemudahan untuk memahami, dan 32,58% untuk desain modul pembelajaran. jika dihitung skor total yang diperoleh adalah 67,03% termasuk dalam kategori baik (berdasarkan tabel 3).

3. Uji Keterbacaan Modul Berdasarkan uji yang dilakukan diperoleh rata-rata persentase skor sebesar 73,81% yang termasuk dalam kategori tinggi (berdasarkan tabel 4).

KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi memiliki komposisi

yaitu: Cover, Kata Pengantar, Daftar Isi, Pendahuluan (berisi KI, KD, indikator, tujuan pembelajaran, dan petunjuk penggunaan modul), Peta Konsep, Materi, Soal Latihan, Penilaian, Rangkuman, Soal Evaluasi, Kunci Jawaban, Halaman Pemahaman, Glosarium, dan Daftar Pustaka.

2. Modul kimia berbasis unity of sciences dan multi level representasi layak digunakan berdasarkan validasi ahli dan tanggapan peserta didik pada skala kecil. Hasil validasi modul oleh ahli materi memperoleh persentase skor sebesar 77,78% dan ahli media sebesar 80%. Berdasarkan skor yang diperoleh modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi tergolong dalam kriteria “layak”, dan respon peserta didik terhadap modul tergolong “baik” dengan persentase skor 67,03%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya artikel ini , peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT atas segala nikmat sehingga peneliti dapat melaksanakan penelitian dan

menyelesaikan artikel. 2. UIN Walisongo Semarang khususnya Fakultas Sains dan Teknologi yang telah

memberikan kesempatan peneliti untuk bergabung dalam seminar nasional. 3. SMA N 1 Boja yang telah memberikan izin peneliti melaksanakan penelitian. 4. Dosen pembimbing Ibu Mufidah, S.Ag., M.Pd dan Anita Fibonacci, M.Pd yang telah

membimbing dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan artikel. 5. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan artikel.

REFERENSI Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Konsep-konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta:

Erlangga.

0.00%5.00%

10.00%15.00%20.00%25.00%30.00%35.00%

Hasil Skor

PENDIDIKAN KIMIA…

456 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Chang, Raymond. 2005.. Kimia Dasar Konsep-konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Daryanto. 2013. Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting Dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.

Fanani, M. 2015. Buku Ajar Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.

Gilbert, J.K and David F. Treagust. 2009. Introduction: Macro, Submicro, and Symbolic Representations and the Relationship Between Them: Key Models in Chemical Education. Multiple Representations in Chemical Education, Models and Modeling in Science Education . 4: 1-8.

Gkitzia V, Katerina Salta, dan Chryssa Zougraki. 2010. Development and application of suitable criteria for the evaluation of chemical representations in school textbooks. Chemistry Education Research and Practice.

Guzel, Buket Yakmaci dan Emine Adadan. 2013. Use of multiple representations in developing preservice chemistry teachers’ understanding of the structure of matter. International Journal of Environmental & Science Education.Vol 8 No. 1.

Milenkovic, Dusica, Mirjana D. Segedinac, Tamara N. Hrin, dan Sasa Horvat. 2016. The impact of instructional strategy based on the triplet model of content representation on elimination of students’ misconceptions regarding inorganic reactions. Journal of the Serbian Chemical Society.

Nurpratami, Handini, Ida Farida Ch, dan Imelda Helsy. 2015. Pengembangan Bahan Ajar pada Materi Laju Reaksi Berorientasi Multipel Representasi Kimia. Bandung: Prosiding SNIPS.

Thiagarajan, Sivasailam, dkk. 1974. Instructional Development for Training Techers of Exceptional Children A Sourcebook. Indiana: Indiana University Bloomington.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 457

PENGEMBANGAN BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM BERNUANSA GREEN CHEMISTRY PADA MATERI ASAM BASA, LARUTAN PENYANGGA, DAN

HIDROLISIS GARAM KELAS XI IPA DI SMA INSTITUT INDONESIA SEMARANG

Ummi Azizah1, R. Arizal Firmansyah2, Ulya Lathifa3*

1,2,3. Pendidikan Kimia UIN Walisongo Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan Semarang 3* [email protected]

Abstrak

Penelitian pengembangan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry ini didasarkan pada tidak adanya buku petunjuk praktikum kimia di sekolah, kurangnya pemahaman peserta didik terhadap prosedur kerja praktikum, banyaknya limbah yang dihasilkan saat praktikum, serta kurang waspadanya peserta didik pada keselamatan kerja di laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pengembangan produk dan kualitas buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry pada materi asam basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam di kelas XI IPA SMA Institut Indonesia. Buku petunjuk praktikum ini dikembangkan dengan menggunakan model pengembangan 4-D yang terdiri dari tahap define (pendefinisian), design (perancangan), development (pengembangan), dan disseminate (penyebaran). Akan tetapi penelitian ini terbatas pada tahap ketiga yaitu development. Pengembangan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry mendapatkan masukan dari tiga ahli materi, dua ahli media, dan sembilan peserta didik. Hasil validasi ahli materi didapatkan bahwa buku petunjuk praktikum kimia yang dikembangkan mendapatkan kategori sangat baik dengan persentase 85,3 % sedangkan penilaian ahli media mendapatkan kategori baik dengan persentase 80,6%. Respon peserta didik terhadap buku petunjuk praktikum menunjukkan kategori sangat baik dengan persentase 89%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry layak digunakan dalam pelaksanaan praktikum di laboratorium dan perlu ditindaklanjuti melalui penerapan di kelas besar untuk mengetahui keefektifan produk dalam pembelajaran. Kata Kunci : Buku Petunjuk Praktikum, Green Chemistry, Asam Basa, Larutan Penyangga, Hidrolisis Garam

PENDAHULUAN Metode praktikum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis data, dan menarik kesimpulan mengenai suatu keadaan atau proses sesuatu (Djamarah, 2010). Pada pelaksanaan kegiatan praktikum guru harus memberikan arahan atau petunjuk kepada peserta didik sebelum kegiatan praktikum dimulai supaya kegiatan praktikum berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja di laboratorium. Jenis arahan atau petunjuk yang diberikan kepada peserta didik dapat berupa buku petunjuk praktikum yang berfungsi sebagai bahan ajar untuk mencapai tujuan pelaksanaan praktikum sekaligus tujuan pembelajaran. Berdasarkan observasi pelaksanaan praktikum kimia di SMA Istitut Indonesia Semarang memiliki beberapa permasalahan di antaranya peserta didik tidak mendapatkan buku petunjuk praktikum kimia. Di samping itu, pelaksanaan praktikum kurang memberi penekanan terhadap tata tertib pelaksanaan praktikum. Di dalam melaksanakan praktikum peserta didik juga kurang memahami materi praktikum dan merasa kebingungan dengan prosedur kerja yang tersedia. Selain itu, pembuangan limbah hasil praktikum dan keselamatan kerja di dalam laboratorium kurang diindahkan. Akan tetapi, peserta didik juga kurang mengetahui sifat-sifat bahan dalam praktikum dan penanganan hasil limbah praktikum. Salah satu solusi untuk meminimalisir limbah hasil praktikum dan untuk meningkatkan keselamatan kerja di dalam laboratorium adalah penerapan prinsip green chemistry. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemsitry sebagai suatu solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Dengan adanya

PENDIDIKAN KIMIA…

458 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry, diharapkan peserta didik mampu mengkonstruksi konsep melalui kegiatan praktikum dengan mengindahkan nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip green chemistry. Menurut Anastas & Warner (1998), green chemistry adalah suatu konsep teknologi kimia inovatif yang mengurangi penggunaan maupun produksi bahan kimia berbahaya, pembuatan dan penggunaan produk kimia. Tujuan dari teknologi green chemistry adalah mengurangi limbah, meminimalkan penggunaan bahan-bahan yang berbahaya, mengurangi penggunaan energi dan sumber daya alam tidak terbarukan, dan memaksimalkan penggunaan suatu bahan dalam proses kimia. Menurut Husniyah (2016) dan Septiana (2016) buku petunjuk praktikum kimia berbasis green chemistry dikembangkan untuk meminimalisir banyaknya limbah hasil praktikum dan meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium. Buku petunjuk praktikum keduanya dapat mengarahkan peserta didik untuk melaksanakan praktikum dengan menerapkan green chemistry. Namun, buku petunjuk praktikum yang dikembangkan oleh Husniyah (2016) dan Septiana (2016) tidak mengarahkan kepada guru untuk memastikan bahwa peserta didik benar-benar membaca, memperhatikan tata tertib praktikum. Oleh karena itu perlu adanya arahan dan kontrol dari guru misalnya dalam bentuk lembar kontrak keselamatan kerja di setiap praktikum yang harus ditanda tangani oleh peserta didik. Ditambah pula pengembangan keduanya tidak ada bimbingan kepada peserta didik untuk berhati-hati dalam melaksanakan praktikum. Oleh karena itu, perlu adanya kolom peringatan praktikum dan intruksi green chemistry dalam prosedur kerja. Pengembangan keduanya juga tidak membimbing peserta didik dalam menyimpulkan konsep yang telah dipelajarinya dan perlu adanya bimbingan pengamatan dan pertanyaan yang dapat menstimulasi peserta didik serta membuat kesimpulan atau menemukan konsep yang sedang dipelajarinya secara mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pengembangan produk dan kualitas buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry pada materi asam basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam di kelas XI IPA SMA Institut Indonesia Semarang. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah model pengembangan 4-D (Four D). Model pengembangan 4-D merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh S. Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974). Model pengembangan 4-D terdiri atas 4 tahap yaitu: (1) define (pendefinisian), (2) design (perancangan), (3) develop (pengembangan) (4) disseminate (penyebaran). Tetapi penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap ketiga yaitu pengembangan karena keterbatasan peneliti. Tahap define merupakan tahap untuk menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan dalam pengembangan pembelajaran. Penetapan kebutuhan dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan pelaksanaan praktikum untuk peserta didik. Tahap define mencakup tiga langkah pokok yaitu analisis ujung depan, analisis peserta didik, dan analisis konsep. a. Analisis Ujung Depan

Analisis ujung depan dimulai dari pengetahuan, ketrampilan, dan sikap awal peserta didik untuk mencapai tujuan yang sudah tercantum pada kurikulum. Pengidentifikasian masalah dilakukan dengan wawancara langsung dengan guru kimia, peserta didik, dan pengisian angket kebutuhan oleh peserta didik. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kebermanfaatan produk yang dikembangkan oleh peneliti dalam dunia pendidikan.

b. Analisis Karakteristik Peserta Didik Pada tahap ini analisis karakteristik peserta didik di setiap pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didiknya. Begitu pula buku petunjuk

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 459

praktikum yang digunakan sebagai panduan pelaksanaan praktikum. Analisis bertujuan untuk mendapatkan gambaran karakteristik peserta didik.

c. Analisis Tugas Pada tahap ini, dilakukan analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar pada materi asam basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam berdasarkan pelaksanaan praktikum peserta didik.

d. Analisis Konsep Pada tahap ini dilakukan analisis pada materi pokok, standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian dari mata pelajaran yang akan dijadikan sebagai praktikum untuk mengidentifikasi konsep pokok dari materi yang akan dijadikan praktikum.

e. Merumuskan Tujuan Pada tahap ini dilakukan perumusan tujuan untuk menentukan indikator pencapaian pembelajaran yang disesuaikan dengan analisis konsep dan analisis kurikulum, supaya sesuai dengan tujuan awal dalam mengembangkan buku petunjuk praktikum.

Tahap berikutnya adalah tahap perancangan yang bertujuan untuk merancang perangkat pembelajaran. Langkah yang dilakukan pada tahap ini yaitu: (1) mengumpulkan referensi mengenai percobaan-percobaan yang terkait dengan materi yang akan dijadikan materi praktikum penelitian, (2) memilih format kriteria buku petunjuk praktikum kimia yang bernuansa green chemistry, (3) membuat rancangan awal buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry sesuai dengan indikator pencapaian hasil belajar. Tahap pengembangan adalah tahap untuk menghasilkan produk pengembangan yang dilakukan melalui dua langkah yaitu validasi produk dan uji lapangan. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas XI IPA di SMA Institut Indonesia Semarang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara kepada guru dan peserta didik, dokumentasi, serta pengisian angket yang dilakukan validator ahli dan peserta didik. Teknik analisis data diperoleh dari hasil validasi produk dan validasi instrumen yang dilakukan oleh dosen pembimbing, 1 guru SMA, 1 dosen ahli media, dan 2 dosen ahli materi. Kemudian data penilaian produk dihitung dengan pemberian skor seperti pada Tabel 1 dan data respon peserta didik dikonversi menjadi skor menggunakan skala Guttman. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dan pengembangan ini mengikuti model pengembangan oleh S. Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) yang terdiri dari 4 tahap utama yaitu define, design, development, dan disseminate. Model pengembangan ini diadaptasikan menjadi 3 D yaitu define, design, dan development. Tahapan penelitian dan pengembangan akan peneliti deskripsikan sesuai dengan tahapan di atas. Define (Pendefinisian) Pada tahap ini dilakukan diagnosa awal yang meliputi kegiatan studi literatur dan studi lapangan. Tahap define dapat diartikan sebagai tahap analisis kebutuhan. 1. Analisis ujung depan diperoleh dari hasil wawancara guru digunakan untuk menetapkan

masalah dasar yang dialami peserta didik dalam proses pelaksanaan praktikum. Masalah yang dialami peserta didik dalam pelaksanaan praktikum.

2. Analisis Karakteristik Peserta Didik Pada analisis karakteristik peserta didik ini dihasilkan bahwa peserta didik lebih menyukai praktikum di laboratorium dari pada metode ceramah atau pembelajaran di dalam kelas sehingga membutuhkan buku petunjuk praktikum supaya dapat meminimalisir kecelakaan kerja dan kurangnya pemahaman terhadap materi praktikum.

PENDIDIKAN KIMIA…

460 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

3. Analisis Tugas Pada tahap ini, peneliti menganalisis standar kompetensi atau kompetensi dasar pada materi asam-basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam berdasarkan pelaksanaan praktikum peserta didik. Pada pelaksanaan praktikum peserta didik melakukan pengamatan, menganalisis data, dan menyimpulkan hasil praktikum. Pada pelaksanaan praktikum peserta didik melakukan pengamatan, menganalisis data, dan menyimpulkan hasil praktikum di antaranya : 1) Peserta didik dapat menguji dan mengelompokkan bahan-bahan alam di kehidupan

sehari-hari dalam sifat asam, basa, dan netral menggunakan indikator alami dan kertas

lakmus.

2) Peserta didik dapat melakukan penyelidikan dan perhitungan kadar cuka dengan titrasi

asam dan basa.

3) Peserta didik dapat menyelidiki sifat larutan penyangga berdasarkan penambahan

sedikit asam atau basa.

4) Peserta didik dapat menyelidiki sifat larutan garam berdasarkan nila pH-nya

5) Peserta didik dapat mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip green chemistry pada

praktikum.

4. Analisis Konsep Pada tahap ini dilakukan analisis pada empat hal yaitu materi pokok, standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian dari mata pelajaran yang akan dijadikan praktikum. Konsep-konsep dasar pada materi asam basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam harus dikuasi oleh peserta didik adalah ciri-ciri asam dan basa, prinsip dalam melakukan titrasi asam basa, penambahan larutan pada sistem larutan penyangga, proses hidrolisis, serta prinsip-prinsip dalam green chemistry.

5. Merumuskan Tujuan Pada tahap ini untuk mencapai tujuan akhir pelaksanaan praktikum yang diinginkan, maka buku petunjuk praktikum yang dikembangkan disesuaikan dengan silabus dan kurikulum KTSP serta kebutuhan peserta didik.

Design (Perancangan) Tahap perancangan dilakukan setelah tahapan define. Berdasarkan analisis kebutuhan pada tahap define, maka rancangan modul dilakukan dengan mengumpulkan referensi mengenai percobaan-percobaan yang terkait dengan materi yang dijadikan dalam materi buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry. Referensi tersebut didapatkan dari beberapa buku dan jurnal ilmiah. Memilih format kriteria buku petunjuk praktikum kimia yang bernuansa green chemistry. Format tersebut meliputi lembar judul praktikum, apersepsi, tujuan praktikum, konsep kunci materi, alat dan bahan, cara kerja, lembar pengamatan, contoh format laporan praktikum, dan contoh format penilaian laporan praktikum. Membuat rancangan awal buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry disesuaikan dengan indikator pencapaian pelaksanaan praktikum. Prinsip-prinsip green chemistry disesuaikan dengan materi praktikum yang akan dilaksanakan. Develop (Pengembangan) Pada tahap develop, langkah yang dilakukan adalah membuat buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan kebutuhan peserta didik. Tahap pengembangan produk dilakukan uji validasi produk dan uji lapangan yaitu implementasi pada peserta didik. Hasil validasi kualitas buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry pada materi asam basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam oleh validator ahli materi dan ahli media dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 461

Tabel 1. Hasil Penilaian Validator Ahli Materi

Tabel 2. Hasil Penilaian Validator Ahli Media

Berdasarkan hasil validasi ahli materi dan ahli media dapat disimpulkan bahwa draft buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry dalam kategori sangat baik pada kontens atau materi dan berkategori baik pada penilaian media. Setelah dilakukan validasi ahli media dan materi, buku petunjuk praktikum dikembangkan kepada peserta didik untuk melaksanakan praktikum dan memberikan tanggapan terhadap buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry yang sudah digunakan. Peserta didik memberikan tanggapan atau respon berupa angket yang dibagikan setelah pelaksanaan praktikum. Hasil angket respon peserta didik terhadap buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Angket Respon Peserta Didik Terhadap Buku Petunjuk Praktikum Bernuansa Green Chemistry

No. Kriteria Skor Total

Keidealan %

Kualitas

1. Tampilan fisik buku 25 92 % SB 2. Kejelasan dan keterbacaan

kalimat 18 66 % B

3. Kontruktivisme Apersepsi 9 100 % SB 4. Aspek Green Chemistry 63 100 % SB 5. Keterlaksanaan praktikum 14 77 % B 6. Penilaian Laporan

Praktikum 18 100 % SB

Aspek Penilaian Jumlah

Indikato

r

Skor rerata

Skor maksima

l

% Keideal

an

Kategori

Kualitas

Kontruktivisme Apersepsi 1 4.3 5 86 % SB Kebenaran Konsep 2 7.6 10 76 % B Kedalaman Materi 1 3.6 5 72 % B

Muatan Green Chemistry 7 32.3 35 92 % SB Tingkat Keterlaksanaan

Praktikum 2 9.3 10 93 % SB

Penilaian Laporan Praktikum

2 9.3 10 93 % SB

Jumlah 15 66,4 75 85,3 % SB

Aspek Penilaian Jumlah Indikator

Skor rerata

Skor maksi

mal

% Keidealan

Kategori Kualitas

Tampilan fisik buku

3 12,5 15 83 % SB

Penulisan dan organisasi buku

3 13 15 86 % SB

Kejelasan kalimat dan tingkat keterbacaan

3 11 15 73 % B

Jumlah 9 32.3 35 80,6 % B

PENDIDIKAN KIMIA…

462 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Persentase Keseluruhan 89 % SB Setelah mengisi angket, peserta didik memberikan beberapa tanggapan, kritik, dan saran. Sebagian besar peserta didik memberikan tanggapan pada beberapa aspek buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry yang dihasilkan kategori sangat baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Berdasarkan penilaian ahli media,materi,dan respon peserta didik menunjukkan bahwa buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry layak digunakan dalam pelaksanaan praktikum di laboratorium dengan kategori sangat baik. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Cara penyusunan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry dengan

melakukan tahapan sebagai berikut: Pendahuluan yang meliputi analisis ujung depan, analisis karakteristik peserta didik, analisis tugas, analisis konsep, dan perumusan tujuan pelaksanaan praktikum. Perancangan meliputi pengumpulan referensi, pemilihan format kriteria, pembuatan rancangan buku petunjuk praktikum, Pengembangan dengan membuat buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan kebutuhan peserta didik.

2. Kualitas buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry berdasarkan penilaian ahli materi mendapatkan kategori sangat baik dengan persentase 85,3 % , penilaian ahli media mendapatkan kategori baik dengan persentase 80,6 %. Sedangkan berdasarkan respon peserta didik buku petunjuk praktikum mendapatkan kategori sangat baik dengan persentase 89 %. Hal ini menunjukkan bahwa buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry layak digunakan dalam pelaksanaan praktikum di laboratorium dikategorikan sangat baik.

Adapun saran pemanfaatan pada pengembangan produk sebagai berikut : 1. Buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keefektifan terhadap variabel

lainnya seperti hasil belajar dan keterampilan proses sains peserta didik.

2. Buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry perlu diuji cobakan dalam

kelas besar dalam tahap disseminate.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada dosen pembimbimbing, validator ahli materi dan ahli media, peserta didik SMA Institut Indonesia Semarang serta pihak-pihak yang telah terlibat dan membantu terlaksananya penelitian. DAFTAR PUSTAKA Djamarah, Syaiful B. & Aswan Zain. 1997. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka

Cipta. EPA. 2013. Green Chemistry. Diakses pada 20 November 2016 pukul16.06,dari

http://www.epa.grov/greenchemistry/ Husniyah, Fatihah. 2016. Pengembangan Buku Petunjuk

Praktikum Kimia Berbasis Green Chemistry Materi LajuReaksi Untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga.

Iqbal, Syed Aftab dan Neelofar Iqbal. 2011. Textbook of Green Chemistry. New Delhi : Discovery Publishing House PVT.LTD.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 463

Lancaster, Mike. 2010. Green Chemistry: An Introductory Text,2nd Edition. Cambridge: The Royal Society of Chemistry.

Majid. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moran, Lisa & Masciangioli, Tina. 2010. Keselamatan dan

Keamanan Laboratorium Kimia: Panduan Pengelolaan Bahan Kimia dengan Bijak. Washington: The National Academi Press.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2012. Kimia Dasar. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Septiana, Nurul. 2016. Pengembangan Buku Petunjuk PraktikumBerbasis Green Chemistry untuk SMA/MA Kelas XI Semester 2. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga.

Sivasailan, Thiagarajan. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Washingthon DC: Indiana Univ. Blomington.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2011. Statistika Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

PENDIDIKAN KIMIA…

464 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODUL KIMIA TERINTEGRASI KARAKTER ISLAMI PADA MATERI REAKSI REDOKS

Fachri Hakim, Endang Susilaningsih, Edy Cahyono

Abstrak

Integrasi karakter Islam dalam pembelajaran kimia sangat penting demi terbentuknya peserta didik beriman, bertaqwa, dan berilmu pengetahuan. Efektivitas modul kimia terintegrasi karakter Islam inovatif untuk meningkatkan penguasaan konsep dan respons peserta didik dalam pengajaran kimia. Penelitian ini bertujuan adalah mengetahui efektifitas penggunaan modul kimia terintegrasi karakter islami pada materi reaksi redoks. Penelitian dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan lapangan dan media pembelajaran interaktif ke dalam topik kimia. Metode penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan eksperimen. Desain penelitian berupa control group pretest protest design. Sampel yang digunakan adalah peserta didik kelas X di MAN 1 Kudus. Teknik pengumpulan data dengan angket, lembar observasi, dan tes penguasaan konsep kognitif. Teknik analisis data kemudian diuji menggunakan uji T-Test (Paired Samples T-Test) dan dihitung dengan N-gain ternormalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep peserta didik dalam bidang kimia. Berdasarkan data yang dihasilkan diperoleh di kelas eksperimen yang diajarkan dengan modul pembelajaran inovatif (M = 81,88) ditemukan lebih tinggi dari kelas kontrol (M = 74,76) dimana hasil uji t paired sample menunjukkan thitung (18,98) > ttabel (1,992) sehingga dapat disimpulkan bahwa modul kimia terintegrasi karakter Islam dapat meningkatkan penguasaan konsep kognitif peserta didik. Respons peserta didik juga menunjukkan hasil yang sangat baik dengan ditunjukkan skor rata-rata 67,4 dari skor total 80 Kata kunci: Efektivitas, integrasi karakter Islam, penguasaan konsep, respons

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter peserta didik sangat berperan penting demi meningkatnya perilaku, etika, dan kreatifitas peserta didik ke arah yang lebih baik. Upaya pemerintah mewujudkan itu dengan menerapkan pembelajaran yang menanamkan muatan karakter dalam setiap pembelajaran. Penanaman nilai karakter ini sebagai perwujudan pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter dapat menjadi sebuah jalan untuk merubah wajah pendidikan sekolah di masa depan (Mulkey, 1997:37). Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia terkait aspek agama dan moral sesuai UUD No. 20 tahun 2003 sangat mengejutkan dan mengecewakan pendidikan Indonesia. Perilaku anarkis, brutal, amoral dan semakin banyaknya pengguna narkoba di kalangan peserta didik, baik di tingkatan sekolah bahkan sampai tingkatan perkuliahan merupakan fakta lemahnya agama dan moral. Terciptanya produk-produk atau output lulusan dari berbagai lembaga penyelenggara pendidikan yang nilai agama dan moralnya sangat kurang juga menjadikan dunia pendidikan di Indonesia perlu berbenah, seperti banyaknya tindakan korupsi, dari mulai korupsi migas, korupsi sapi, korupsi e-ktp, hingga korupsi pengadaan Alquran, ditambah lagi adanya skandal perbankan, dan mafia peradilan yang kesemuanya bukan tidak dilakukan oleh orang-orang bodoh, melainkan orang-orang terpelajar. Hasil observasi peneliti di MAN 1 Kudus juga menunjukkan bahwa masih ditemukannya tindakan perkelahian antar peserta didik. Penguasaan konsep yang didapatkan oleh peserta didik juga masih kurang dari yang ditetapkan oleh guru kimia melalui kriteria ketuntasan minimal 73.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 465

Pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan di Indonesia pada era sekarang ini mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Pendidikan karakter yang meliputi aspek spiritual dan sosial telah masuk dalam kurikulum 2013. Nilai-nilai keislaman yang ditanamkan ke dalam diri peserta didik dapat membentuk generasi penerus bangsa yang berkarakter, salah satunya dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi pelajaran dengan konsep agama Islam. Barret (dalam Ceglie, 2012: 42) menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat keagamaan yang kuat akan mendapatkan hasil pendidikan yang lebih berhasil dalam pelajarannya.

Peristiwa korosi, reaksi fotosintesis, respirasi, dan berbagai reaksi pembakaran merupakan contoh penerapan dari reaksi redoks. Fenomena-fenomena tersebut telah dijelaskan oleh Allah dalam Alquran untuk dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan manusia dan fakta keilmiahan Alquran. Reaksi reduksi oksidasi sebenarnya terjadi secara berdampingan. Keseimbangan ini sudah digariskan oleh Allah SWT secara jelas dalam firman-Nya yang menyatakan bahwa “….tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih….” (Q.S. Almulk: 3). Hal ini memungkinkan keterlaksanaan pembelajaran kimia terintegrasi karakter Islami. Hasil sains dan eksplorasi ilmu kimia tersebut tetap dalam rangka mendekatkan diri dan takwa kepada Allah SWT serta mempertahankan nilai utama terhadap kekuasaan-Nya.

Pengintegrasian karakter Islam dalam ilmu kimia dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan karakter Islam ke dalam bahan ajar. Penggunaan bahan ajar dapat mempengaruhi minat peserta didik, meningkatkan motivasi serta rangsangan dalam aktivitas belajar peserta didik. Penggunaan bahan ajar dapat membantu peserta didik meningkatkan pemahaman, memberikan data menarik dan terpercaya, mempermudah penafsiran data, serta mampu memperjelas informasi. Terlebih bahan ajar tersebut dilengkapi dengan karakter Islam dan sains.

Berdasarkan observasi beberapa sekolah di Kudus, peneliti belum menemukan sekolah yang menggunakan bahan ajar kimia terintegrasi karakter Islami. Madrasah Aliyah Negeri 1 Kudus yang dalam misi menyatakan menyelenggarakan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan teknologi secara Islami, hasil observasi menunjukkan bahwa belum ditemukan bahan ajar kimia terintegrasi karakter Islami yang digunakan dalam proses pembelajaran. Rendahnya motivasi peserta didik menyelesaikan bahan belajarnya turut melengkapi hasil observasi yang dilaksanakan. Hal ini menjadikan peneliti ingin mengetahui efektifitas penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islam terhadap penguasaan konsep dan respons peserta didik pada materi reaksi redoks kelas X.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islam terhadap penguasaan konsep dan respons peserta didik materi reaksi redoks kelas X di MAN 1 Kudus. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan modul terintegrasi karakter islam sebagai sumber belajar untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi reaksi redoks. Instrumen penelitian ini meliputi angket, lembar observasi, dan soal tes penguasaan konsep kognitif peserta didik. Lembar observasi digunakan untuk mengamati penilaian afektif dan psikomotor peserta didik. Soal tes digunakan untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep kognitif peserta didik. Penelitian ini dilaksanakan di MAN 1 Kudus dengan subyek penelitian peserta didik kelas X IPA pada tahun pelajaran 2014/2015. Populasi dalam penelitian adalah peserta didik kelas X semester 1 di MAN 1 Kudus, sedangkan sampel dalam penelitian 2 kelas X IPA di MAN 1 Kudus. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

PENDIDIKAN KIMIA…

466 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

metode eksperimen yaitu dengan menggunakan pretest-posttest control group design yakni membandingkan penguasaan konsep sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam dan membandingkan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Adapun rancangan penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Kelas Pre test Perlaku

an Post test

Eksperimen YO1 X1 YO2

Kontrol YO1

YO2

Berdasarkan gambar tersebut, penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: analisis dilakukan dengan menguji perbedaan prestasi awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (O1) dengan menggunakan t-test. O1 adalah pretest sedangkan O2 adalah posttest. Tanda X menunjukkan adanya perlakuan (treatment) pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran interaktif modul kimia terintegrasi karakter islam. Media ini dapat dikatakan efektif jika nilai Y02 > Y01.

Instrument dalam penelitian ini adalah tes penguasaan konsep dan angket respon peserta didik. Teknik analisis data untuk mengetahui efektifitas penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islam dengan cara analisis penguasaan konsep peserta didik dan angket respon peserta didik. Analisis data penguasaan konsep diuji menggunakan uji T (Paired Samples T-Test) yang digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata lebih dari dua sampel berpasangan, dan uji T (independent sample t-test) sampel tak berhubungan untuk menguji perbedaan penguasaan konsep peserta didik antara kelas eksperimen dan kontrol dengan asumsi populasi berdistribusi normal, variasi data sama, tetapi sampel tidak berhubungan satu dengan lainnya, dan dihitung dengan N-gain ternormalisasi. Normalitas gain score yaitu teknis analisis untuk mengetahui tingkat kenaikan penguasaan konsep dari sebelum menggunakan modul pembelajaran dan setelah menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis penguasaan konsep peserta didik menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam pada materi redoks lebih baik dari penguasaan konsep peserta didik yang menggunakan buku pelajaran biasa. Uji hipotesis dengan uji t dilakukan setelah analisis prasyarat uji berupa uji normalitas dan uji homogenitas dinyatakan secara berturutan normal dan homogen. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pembahasan Hasil Analisis Data

Hipotesis yang diuji (Ha) adalah model pembelajaran menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam lebih efektif dibandingkan dengan perkuliahan tanpa modul terintegrasi karakter Islam dalam meningkatkan penguasaan konsep peserta didik. Adapun hipotesis nol (Ho) dalam penelitian ini ialah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pembelajaran menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam lebih efektif dibandingkan dengan perkuliahan tanpa modul terintegrasi karakter Islam dalam meningkatkan penguasaan konsep peserta didik.

Untuk membuktikan hipotesis penelitian, digunakan analisis uji-t. Uji-t digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan penguasaan konsep peserta didik antara peserta didik yang mendapat perlakuan dengan modul terintegrasi karakter Islam dan tanpa modul terintegrasi karakter Islam sehingga dapat diketahui mana yang lebih efektif dari kedua kelas tersebut dalam meningkatkan penguasaan konsep peserta didik berbasis karakter Islam.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 467

Hipotesis Pertama (Penguasaan konsep Pretest-Posttest) Modul kimia terintegrasi karakter Islam hasil pengembangan dijadikan sebagai

bahan ajar pada pengajaran kimia pokok bahasan reaksi redoks pada kelompok eksperimen dan sebagai pembanding dipergunakan buku ajar pegangan peserta didik pada kelompok kontrol dengan integrasi karakter islam melalui lisan. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, penguasaan konsep peserta didik terhadap reaksi redoks dievaluasi sebagaimana dirangkum pada tabel berikut.

Tabel 1. Penguasaan Konsep Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol NO Nilai Eksperimen Kontrol

Pretest Posttest Pretest Posttest 1 Rata-rata 31.71 81.88 31.14 74.76 2 Maksimal 46 96 46 86 3 Minimal 20 70 20 53

Signifikansi peningkatan penguasaan konsep peserta didik dapat dilihat dari uji peningkatan penguasaan konsep menggunakan uji T sampel berpasangan. Hasil analisis pengujian peningkatan penguasaan konsep pada kelas eksperimen diperoleh t hitung = 18,98 dengan p = 0,000 < 0,05, yang berarti bahwa ada peningkatan penguasaan konsep peserta didik yang signifikan pada kelas eksperimen, demikian juga pada kelas kontrol diperoleh t hitung = 10,681 dengan p = 0,000 < 0,05 yang berarti ada peningkatan penguasaan konsep peserta didik pada kelas kontrol.

Data menunjukkan bahwa penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islami dapat meningkatkan penguasaan konsep peserta didik secara signifikan. Hasil uji paired test menunjukkan bahwa harga thitung sebesar 18,98 dengan derajat kebebasan 76, didapatkan nilai ttabel untuk kesalahan 5% = 1,992. Karena thitung lebih besar dari ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan nilai yang signifikan dari hasil pretest dan posttest. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan modul tersebut di kelas eksperimen tentang penguasaan konsep telah memenuhi kriteria efektif.

Perbedaan penguasaan konsep antara kelas eksperimen dan kelas kontrol juga diuji kebermaknaannya menggunakan uji t sampel tak berhubungan (independent sample t test), seperti tercantum pada tabel 2.Uji ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 2. Uji Perbedaan Penguasaan Konsep Peserta didik Sig T Sig (2 tailed) Nilai Equal Variances assumed .762 3.833 0.000

Equal Variances not assumed

3.801 0.000

Hasil analisis uji t diperoleh nilai t hitung = 3.833 dengan p value = 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan penguasaan konsep yang signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Dilihat dari rata-ratanya menunjukkan bahwa penguasaan konsep kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol.

Nilai gain ternormalisasi kelas eksperimen kriteria tinggi diperoleh sebanyak 25 peserta didik dan yang mendapatkan nilai sedang sebanyak 14 peserta didik. Ketuntasan belajar klasikal peserta didik menunjukkan bahwa proporsi 33 dari 39 peserta didik mendapatkan nilai diatas KKM 73 (tuntas). Hasil nilai pretest-posttest dapat dilihat pada Gambar 1.

Modul kimia terintegrasi karakter Islam telah dipergunakan sebagai bahan ajar pada pengajaran kimia kepada peserta didik MAN 1 Kudus. Kelompok eksperimen dilakukan pengajaran materi menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam sebagai media pembelajaran, sedangkan kelas kontrol diberikan pembelajaran menggunakan buku ajar kimia pegangan sekolah dengan integrasi karakter islam disampaikan secara lisan. Selama pembelajaran dilakukan, berbagai parameter

PENDIDIKAN KIMIA…

468 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

penelitian diusahakan relatif sama. Evaluasi belajar dilakukan pada jam pelajaran kimia pada minggu efektif berikutnya setelah paket pembelajaran dalam satu modul ajar telah selesai diajarkan, bertujuan untuk memberikan waktu cukup bagi peserta didik menggunakan bahan ajar untuk belajar mandiri untuk menyelesaikan soal-soal kimia. Penguasaan konsep peserta didik diukur berdasarkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan evaluasi belajar dan skor peserta didik dalam bentuk nilai pada tabel.

Penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islami dapat meningkatkan penguasaan konsep peserta didik, ini menegaskan bahwa modul kimia terintegrasi karakter Islami sangat tepat untuk diterapkan pada proses pembelajaran sains, karena di dalam modul kimia terintegrasi karakter Islami ini berupaya untuk menghindarkan kehampaan spiritual yaitu dengan meningkatkan penguasaan konsep kimia peserta didik disertai meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada sang Pencipta alam semesta karena kesadaran akan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah swt. Konsep-konsep kimia diintegrasikan dengan nilai-nilai agama yang relevan dalam bahan ajar dan pembelajaran kimia, akan bermanfaat karena sains dipadukan dengan pengajaran dan konsep-konsep lain, menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi peserta didik (Carin, 1997: 242) dan akan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik (Forgarty, 1991). Sains sebagai sunatullah tentang alam semesta berperan penting dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya, disamping itu juga berperan penting sebagai media pengenalan dan objek berpikir manusia kepada Khaliqnya untuk memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah swt di langit dan di bumi, sehingga peserta didik akan semakin sadar tentang kebesaran dan keagungan Allah swt dan menjadikan pembelajaran menyenangkan ketika belajar. Karena menurut Turella (2010: 55) proses pembelajaran menyenangkan dapat menarik minat peserta didik untuk belajar, bersemangat, konsentrasi tinggi dan ceria. Belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi peserta didik dan bukan sebaliknya menjadi beban karena membosankan.

Hipotesis Kedua Hasil Respons Peserta Didik terhadap Modul

Berdasarkan aspek respons peserta didik terhadap pembelajaran menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam menunjukkan bahwa respons sangat baik terhadap penggunaan modul lebih banyak diperoleh dibanding yang memberikan respon cukup. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam dalam proses pembelajaran peserta didik berminat untuk belajar lebih serius dan merasa senang. Hal tersebut disandarkan modul dirancang semenarik mungkin dibuat rangsangan-rangsangan yang positif berupa pengintegrasian konsep sains dan karakter Islam sehingga peserta didik tertarik dan merespons positif terhadap modul yang digunakan dan suasana kelas menjadi nyaman.

Hasil analisis data respons peserta didik menunjukkan bahwa dari 39 peserta didik, 26 peserta didik memberikan sangat baik, 12 peserta didik memberikan respons baik dan 1 peserta didik memberikan respons cukup baik. Hasil angket respons peserta didik selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 469

Gambar 1. Hasil Angket Respons Peserta didik kelas eksperimen

Gambar 1 ini menunjukkan bahwa keseluruhan peserta didik pada kelas eksperimen memberikan respons yang sangat baik terhadap penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islami dengan skor rata-rata 67,4 dari skor total 80. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan respons peserta didik terhadap modul kimia terintegrasi karakter Islam adalah sangat baik. Hasil ini turut membuktikan bahwa penggunaan modul telah memenuhi dua kriteria keefektifan, yaitu dapat meningkatkan penguasaan konsep dan respons peserta didik.

Pembelajaran dengan menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam akan membimbing peserta didik berpikir mengenai alam semesta ciptaan Allah swt, dan menyadari bahwa Allah adalah sang pencipta alam yang hakiki. Penggunaan modul ini ternyata memberikan respons dan kesan positif bagi peserta didik. Terbukti dari hasil respons peserta didik terhadap modul dalam kelas eksperimen yakni 38 dari 39 peserta didik memberikan respons yang baik terhadap penggunaan modul kimia terintegrasi Islam dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Liou (2009) dalam penelitiannya bahwa keterkaitan agama dalam pembelajaran akan memberikan kontribusi positif terhadap penguasaan konsep peserta didik. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: efektifitas penggunaan Modul kimia terintegrasi karakter Islam pada pokok bahasan redoks kelas X MAN 1 Kudus tercapai, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a). penguasaan konsep redoks peserta didik menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam lebih baik daripada penguasaan konsep peserta didik dengan buku paket kimia di sekolah. b). respon peserta didik terhadap penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islam sangat baik.

Pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam pembelajaran melalui modul kimia terintegrasi karakter Islam diharapkan dapat mencetak muslim yang ideal karena memiliki prinsip tawazun antara urusan dunia dan akhirat, dan bermanfaat bagi lingkungannya. REFERENSI Benninga, J.S. 2003. The Relationship of Character Education Implementation and

Academic Achievement in elementary School. Journal of Research in Character Education, 1(1): 19-32

Carin, R.B. 1997. Teaching Modern Science (7th edition). Merril Prentice Hall: New Jersey, Columbus Ohio, USA.

Ceglie, R. 2013. Religion as a Support Factor for Women of Color Pursuing Science Degrees: Implications for Science Teacher Educators. J Sci Teacher Educ 24:37–65

Danielson, K. 2010. Learning Chemistry: Text Use and Text Talk in a Finland-Swedish Chemistry Classroom. International Assosiation for Research of Textbook and Educational Media (IARTEM e-journal). 3(2): 1-28.

26

12

1

Sangat Baik

Baik

Cukup

PENDIDIKAN KIMIA…

470 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Fogarty, R. 1991. The Mindful School. How to Integrate the Curricula. Palatine Skyliht Publishing, Inc : Illionis, USA.

Hakim, F., Susilaningsih, E., Cahyono, E. 2015. Pengembangan Modul Kimia Terintegrasi Karakter Islami Pada Materi Reaksi Redoks di MAN 1 Kudus. Journal of Innovative Science Education 4 (1).

Liou, D. D., Gonzalez, R. A., & Cooper, R. (2009). Unveiling the promise of community cultural wealth to sustaining latina/o students’ college going information networks. Educational Studies, 45, 534–555. Meadows, L., D

Mansour, N. 2008. Religious beliefs: A hidden variable in the performance of science teachers in the classroom. European Educational Research Journal, 7 (4), 557-576

Mulkey, Y.J. 1997. The History Of Character Education. Journal of Physical Education, Recreation, and Dance, 68, 35-37

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Turella, Rella. 2010. Science Classroom Supervision. Bandung: Seameo Qitep In Science Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung Sugiono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan

R&D). Bandung: Alfabeta,

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 471

INDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI HUKUM DASAR DAN STOIKIOMETRI

Mulyatun1, Emilia Tanjung2, R. Arizal Firmansyah2

1Prodi Kimia 2Pendidikan Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang Jl. Prof. Hamka (Kampus II), Ngaliyan, Semarang

Email : [email protected]

Abstrak Hukum dasar dan Stoikiometri merupakan materi dasar (prasyarat) dari materi kesetimbangan kimia, asam-basa, larutan penyangga, hidrolisis, dan kelarutan dan hasil kali kelarutan. Penguasaan konsep terhadap materi prasyarat sangat penting untuk dimiliki oleh peserta didik sebelum mempelajari materi berikutnya. Namun, dalam pembelajaran kimia materi Hukum dasar dan stoikiometri sulit dipahami dan sering terjadi miskonsepsi. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami peserta didik dalam materi hukum dasar dan stoikiometri. Sampel penelitian adalah 31 peserta didik kelas X IPA 8 SMA Negeri 5 Semarang tahun ajaran 2016/2017. Miskonsepsi peserta didik diidentifikasi menggunakan metode CRI termodifikasi. Wawancara dilakukan pada 9 peserta didik untuk mengetahui miskonsepsi peserta didik lebih dalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase rata-rata peserta didik mengalami miskonsepsi sebesar 17,25 %. Miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik yaitu pada konsep massa atom relatif, persamaan reaksi, hukum Lavoisier, hukum Proust, hukum Dalton, hukum Gay-Lussac, rumus molekul, volume gas pada keadaan STP, dan pereaksi pembatas. Adapun persentase tertinggi dari kelompok peserta didik yang mengalami miskonsepsi terdapat pada konsep massa molar senyawa air kristal. Kata Kunci: Miskonsepsi, Hukum Dasar dan Stoikiometri CRI termodifikasi

PENDAHULUAN

Ilmu kimia merupakan ilmu yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Didalamnya mempelajari banyak konsep, mulai dari konsep sederhana sampai konsep yang lebih kompleks dan abstrak. Konsep-konsep tersebut saling berkaitan dan berjenjang. Konsep-konsep dasar kimia mendasari dan membangun konsep yang lebih kompleks, apabila peserta didik salah dalam memahami konsep dasar kimia tersebut, maka memungkinkan sekali konsep yang lebih kompleks sulit dipahami atau tidak dapat dipahami dengan benar. Pemahaman konsep yang salah atau berbeda dengan pemahaman konsep secara ilmiah disebut miskonsepsi (Tekkaya, 2002). Miskonsepsi pada peserta didik dalam belajar kimia dapat terjadi karena konsep kimia yang kompleks, bersifat abstrak, dan saling berkaitan.

Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kimia di SMA N 5 Semarang menunjukkan bahwa, hampir di semua materi kimia peserta didik mengalami miskonsepsi. Salah satu materi yang dianggap sulit dipahami dan sering terjadi miskonsepsi pada peserta didik yaitu stoikiometri. Pada materi stoikiometri, peserta didik sering mengalami miskonsepsi pada konsep mol, hukum-hukum dasar kimia, dan persamaan reaksi. Selain itu, hasil observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa hampir semua peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami soal-soal yang berhubungan dengan konsep stoikiometri. Hal ini menunjukkan bahwa, konsep stoikiometri sulit dipahami peserta didik. Jika miskonsepsi tersebut tidak dikoreksi dan dilakukan perbaikan maka mengakibatkan konsep kimia selanjutnya akan berpeluang menimbulkan miskonsepsi juga. Akibat lebih lanjut, jika miskonsepsi ini tidak diperbaiki sejak dini, maka bukan tidak mungkin miskonsepsi tersebut akan bertahan sampai perguruan tinggi bahkan sampai usia tua. Oleh karena itu, identifikasi miskonsepsi

PENDIDIKAN KIMIA…

472 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

peserta didik sangatlah penting dilakukan sebelum memperbaiki pemahaman peserta didik.

Beberapa tes diagnostik yang berbeda telah dikembangkan untuk mengidentifikasi konsepsi peserta didik. Menurut Gurel, et al., (2015), tes diagnostik yang sering digunakan yaitu wawancara, tes terbuka (uraian), dan pilihan ganda. Tes diagnostik tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang disesuaikan dengan tujuan penggunaan dari tes tesebut. Metode wawancara dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman peserta didik secara utuh dan mendalam. Selain itu, metode wawancara digunakan untuk menentukan sumber dan penyebab yang belum diperoleh dalam analisis (Suwarto, 2013), serta mengetahui alasan yang menyebabkan peserta didik mengalami miskonsepsi (Mahardika, 2014). Namun, metode ini membutuhkan waktu yang lama dan ketrampilan khusus untuk memperoleh data yang diinginkan (Sunyono, 2011). Tes terbuka (uraian) dapat digunakan untuk mengungkap miskonsepsi yang dialami peserta didik, karena pada tes ini peserta didik diberikan kebebasan untuk menjawab soal dengan bahasa mereka sendiri. Tes uraian juga dapat digunakan untuk menilai tingkat pemahaman peserta didik pada level yang tinggi. Namun, tes uraian memiliki kekurangan yaitu membutuhkan waktu yang lama untuk mengoreksi jawaban peserta didik (Suwarto, 2010). Tes pilihan ganda merupakan tes diagnostik yang mudah digunakan, namun hasil dari tes ini tidak bisa memberikan gambaran miskonsepsi yang dialami peserta didik, alasan dibalik jawaban peserta didik tidak dapat diketahui, serta memungkinkan peserta didik dalam menebak jawaban (Suwarto, 2013 ; Pesman, 2010). Untuk mengatasi keterbatasan tes pilihan ganda, Treagust (1988), mengembangkan tes pilihan ganda yang dapat menggali pemahaman lebih mendalam yang disebut two-tier multiple choice aitems. Tes two-tier (tes dua tingkat) terdiri atas soal pilihan ganda dan alasan. Tes ini memiliki keunggulan dibandingan tes pilihan ganda biasa, yaitu dapat digunakan untuk mengungkap alasan dibalik jawaban peserta didik. Namun, tes ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara peserta didik yang mengalami miskonsepsi dengan peserta didik tidak paham konsep (Pesman, 2010). Untuk mengatasi keterbatasan tes two-tier, dikembangkan model tes diagnostik three-tier (tes tiga tingkat). Pesman (2010), menyebutkan bahwa tes diagnostik tiga tingkat lebih valid dalam menemukan miskonsepsi peserta didik dibandingkan tes satu tingkat atau dua tingkat dan menyarankan untuk menggunakan tes diagnostik tiga tingkat dalam penelitian selanjutnya. Tes diagnostik yang dikembangkan adalah tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat yang terdiri atas soal, alasan, dan tingkat keyakinan peserta didik (CRI).

Hasan, Bagayoko, dan Kelly (1999), memperkenalkan metode Certainty of Response Index (CRI) untuk mengukur suatu miskonsepsi yang sedang terjadi. Metode CRI dapat digunakan untuk membedakan antara peserta didik yang paham konsep, tidak paham konsep, dan peserta didik yang mengalami miskonsepsi. Namun, menurut Hakim, et al., (2012), metode ini tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan karakter peserta didik di Indonesia yang cenderung tidak percaya diri dengan pilihan jawabannya. Jika menggunakan metode CRI, peserta didik yang memiliki jawaban benar, namun memiliki keyakinan rendah, maka dikategorikan ke dalam peserta didik yang tidak paham konsep. Hal tersebut terjadi karena peserta didik dianggap menebak jawaban atau faktor keberuntungan saja. Untuk mengatasi keterbatasan metode CRI, Hakim, et al., (2012) mengembangkan metode CRI dengan menambahkan kategori pemahaman yakni Paham Konsep tetapi Kurang Yakin (PKKY) serta alasan terbuka pada bentuk tes pilihan ganda. Metode yang dikembangkan ini disebut metode CRI termodifikasi.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 473

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif

(Sugiyono, 2015: 29). Pada penelitian ini mendeskripsikan permasalahan pada bentuk-bentuk miskonsepsi dalam materi stoikiometri yang dialami peserta didik kelas X IPA SMA N 5 Semarang. Sumber data dalam penelitian ini berupa data hasil belajar peserta didik, hasil observasi, hasil wawancara, dan hasil tes diagnostik.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk tes pilihan ganda disertai alasan terbuka dan kolom tingkat keyakinan (CRI). Setiap butir soal yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 5 pilihan jawaban. Soal dengan 5 pilihan jawaban digunakan untuk memperkecil kemungkinan peserta didik dalam menebak jawaban soal. Adapun tingkat keyakinan berdasarkan CRI dapat dilihat pada tabel 3.1. (Hasan, et al., 1999)

Tabel 1. Keyakinan Peserta didik Berdasarkan CRI CRI Kriteria

0 Totally guessed answer (menerka)

1 Almost guess (hampir diterka)

2 No sure (tidak yakin) 3 Sure (yakin) 4 Almost certain (hampir pasti

benar) 5 Certain (pasti benar)

Metode yang digunakan untuk menganalisis hasil jawaban peserta didik

menggunakan metode Certanty of Response Index (CRI) yang sudah dimodifikasi oleh Hakim, et al., (2012). Modifikasi kategori tingkat pemahaman peserta didik oleh Hakim, et al., (2012) dapat diringkas dalam tabel 3.4:

Tabel 2. Modifikasi Kategori Tingkat Pemahaman Jawaban Alasa

n Nilai CRI

Deskripsi

Benar Benar >2,5 Memahami konsep

dengan baik Benar Benar <2,5 Memahami

konsep tetapi

kurang yakin

Benar Salah >2,5 Miskonsepsi Benar Salah <2,5 Tidak tahu

konsep Salah Benar >2,5 Miskonsepsi Salah Benar <2,5 Tidak tahu

konsep Salah Salah >2,5 Miskonsepsi Salah Salah <2,5 Tidak tahu

konsep

PENDIDIKAN KIMIA…

474 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Dari analisis jawaban peserta didik kemudian dilakukan perhitungan presentase terhadap keempat hasil penilaian di tiap strata dengan rumus:

P = 𝑓

𝑁 𝑥 100%

Keterangan: P = angka presentase kelompok f = jumlah peserta didik pada setiap kelompok N = jumlah peserta didik yang menjadi obyek penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil observasi dan wawancara guru kimia menunjukkan bahwa peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang berhubungan dengan materi stoikiometri. Hal ini terjadi dimungkinkan karena adanya miskonsepsi pada konsep stoikiometri yaitu pada konsep mol, konsep persamaan reaksi, dan konsep hukum-hukum dasar kimia. Data hasil observasi dan wawancara guru kimia didukung dengan data hasil tes diangnostik dan wawancara peserta didik yang menunjukkan adanya miskonsepsi yang dialami peserta didik pada konsep stoikiometri.

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes diagnostik pilihan ganda disertai alasan dan tingkat keyakinan (CRI termodifikasi). Jumlah butir soal yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 soal yang telah melalui proses validasi ahli dan uji validasi butir soal. Pada tes ini, peserta didik mengerjakan tes pilihan ganda dan menuliskan alasan mengapa memilih jawaban tersebut, serta memberikan tingkat keyakinan pada jawaban yang dipilih. Skor yang didapatkan dilihat dari jumlah jawaban benar, setiap jawaban benar diberi skor 1, sedangkan jawaban salah diberi skor 0.

Gambar 1. Persentase Rata-rata Pemahaman Peserta Didik

Gambar 1. menunjukkan bahwa persentase rata-rata peserta didik yang mengalami miskonsepsi sebesar 17,25 %. Presentase peserta didik yang mengalami miskonsepsi (17,25 %) lebih sedikit dari pada peserta didik yang paham konsep (43,38 %), namun hal demikian tetap harus diatasi karena miskonsepsi sulit untuk diperbaiki.

Miskonsepsi yang dialami peserta didik terjadi pada konsep massa molekul relatif, persamaan reaksi, hukum Lavoisier, hukum Proust, hukum Dalton, Hukum Gay-Lussac, rumus molekul, volume gas pada keadaan STP, dan pereaksi pembatas. Bentuk miskonsepsi yang berasal dari soal tes diagnostik dan wawancara diuraikan sebagai berikut: 1. Konsep Massa Molekul Relatif

Peserta didik memahami bahwa massa atom relatif dan massa molekul relatif adalah sama. Massa molekul relatif senyawa hidrat adalah hasil kali antara massa molekul relatif senyawa dengan massa molekul relatif air hidratnya.

2. Konsep Persamaan Reaksi Bentuk Miskonsepsi:

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 475

a. menganggap oksigen sebagai unsur tidak sebagai molekul Mg(s) + O(g) → MgO(s), b. pada persamaan reaksi yang disetarakan adalah jumlah koefisiennya.

CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(g), 3. Konsep Hukum Kekekalan Massa (Hukum Lavoisier)

Peserta didik memahami bahwa hukum kekekalan massa (Hukum Lavoisier) yang menyatakan bahwa massa zat sebelum dan sesudah reaksi sama Hal ini dipahami sebagai bahwa pada hukum kekekalan massa, perbandingan koefisien pada suatu reaksi, menyatakan perbandingan massa reaktan.

4. Konsep Hukum Perbandingan Tetap (Hukum Proust) Peserta didik menyelesaikan soal hukum perbandingan tetap menggunakan konsep hukum kekekalan massa, sehingga massa produk merupakan hasil penjumlahan dari massa reaktan. Pada Konsep yang benar pada reaksi Kadang salah satu dari zat yang bereaksi akan tersisa karena tidak habis bereaksi (Chang, 2005: 77), karena setiap zat yang bereaksi memiliki perbandingan yang tetap (Effendy, 2016: 86).

5. Konsep Hukum Perbandingan Berganda (Hukum Dalton) Peserta didik menyelesaikan soal hukum perbandingan berganda dengan konsep hukum perbandingan tetap.

6. Konsep Hukum Perbandingan Volume (Hukum Gay-Lussac) Peserta didik menyelesaikan soal hukum perbandingan volume tanpa menyetarakan persamaan reaksi terlebih dahulu. Konsep: perbandingan volume gas-gas hasil reaksi terhadap volume gas-gas pereaksi merupakan bilangan bulat sederdana”(Effendy, 2016: 89)

7. Konsep Mol Peserta didik memahami bahwa jumlah mol sama dengan jumlah partikel.Konsep:1 mol zat mengandung 6,022 x 1023 atom/partikel (Petrucci, 1987: 58 ; Chang, 2005: 59-60).

8. Konsep Rumus Molekul a. rumus molekul magnesium klorida adalah MgCl, sehingga jumlah atom pada 1

molekul magnesium klorida sebanyak 2 yaitu 1 atom Mg dan 1 atom Cl. b. Peserta didik memahami bahwa rumus molekul merupakan perbandingan massa

atom penyusunnya. Konsep: rumus molekul merupakan perbandingan jumlah atom atau perbandingan mol atom-atom penyusunnya dalam suatu molekul

9. Konsep Volume Gas pada Keadaan STP Peserta didik memahami bahwa volume 1 mol gas O2 dan 1 mol gas CO2 jika diukur pada suhu dan tekanan yang sama adalah berbeda, karena massa molekul relatif zat berbeda. Konsep: semua gas yang memiliki mol sama jika diukur pada STP memiliki volume yang sama, tanpa melihat jenis gasnya

10. Konsep Pereaksi Pembatas Peserta didik memahami bahwa pereaksi pembatas merupakan pereaksi yang memiliki mol/koefisien yang terkecil. Konsep:pereaksi pembatas merupakan pereaksi yang habis terlebih dahulu, karena pereaksi pembatas membatasi jalannya reaksi (Petrucci, 1987: 106 ; Chang, 2005: 77).

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik yaitu pada konsep massa atom relatif,

persamaan reaksi, hukum Lavoisier, hukum Proust, hukum Dalton, hukum Gay-Lussac, rumus molekul, volume gas pada keadaan STP, dan pereaksi pembatas.

PENDIDIKAN KIMIA…

476 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

2. Adapun persentase tertinggi dari kelompok peserta didik yang mengalami miskonsepsi terdapat pada konsep massa molar senyawa air kristal.

REFERENSI Astuti, F., Redjeki, T., & Nurhayati, N. D. (2016). Identifikasi Miskonsepsi dan

Penyebabnya pada Siswa Kelas XI MIA SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016 pada Materi Pokok Stoikiometri. Jurnal Pendidikan Kimia, 5(2), 10–17.

Brady, James E. (1999). Kimia Universitas Asas dan Struktur Jilid 1. Tanggerang: Binarupa Aksara.

Chang, Raymond. (2005). Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 2 Edisi ke 3. Jakarta: Erlangga

Effendy. (2016). Ilmu Kimia untuk Siswa SMA dan MA Jilid 1. Malang: Indonesia Academic Publishing

Gurel, D. K., Eryılmaz, A., & Mcdermott, L. C. (2015). A Review and Comparison of Diagnostic Instruments to Identify Students ’ Misconceptions in Science. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 11(5), 989–1008. https://doi.org/10.12973/eurasia.2015.1369a.

Hakim, A., Kadarohman, A., & Liliasari. (2012). Student Concept Understanding of Natural Products Chemistry in Primary and Secondary Metabolites Using the Data Collecting Technique of Modified CRI. International Online Journal of Educational Sciences, 4(3), 544–553.

Hasan, S., Bagayoko, D., & Ella, L. K. (1999). Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI). Phys. Educ, 34(5), 294–299. https://doi.org/10.1088/0031-9120/34/5/304

Hermawan, Sutarjawinata, P., & Al, H. P. (2009). Aktif Belajar Kimia: untuk SMA dan MA Kelas X.

Huddle, P. A., & Pillay, A. E. (1996). An In-Depth Study of Misconceptions in Stoichiometry and Chemical Equilibrium at a South African University. Journal of Research in Science Teaching, 33(1), 65–77.

Lathifa, U., Ibnu, S., & Budiasih, E. (2015). Identifikasi Kesalahan Konsep Larutan Asam-Basa dengan Menggunakan Teknik Certainty of Response Index (CRI) Termodifikasi. In Seminar Nasional Pendidikan Sains UKSW (pp. 242–249).

Mahardika, R. (2014). Identifikasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) dan Wawancara Diagnosis pada Konsep sel.

McMurry, John E dan Fay, Robert C. (2010). General Chemistry Atoms First Second Edition. USA: Pearson Education

Mulyatun. (2015). Kimia Dasar (Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Biologi). Semarang: CV. Karya Abadi Jaya

Nasution, S. (2005). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara

Ozmen, H., & Ayas, A. (2003). Students’ Difficulties in Understanding of The Conservation of Matter in Open and Closed-System Chemical Reactions. Chemistry Education : Research and Practice, 4(3), 279–290.

Pesman, H., & Eryilmaz, A. (2010). Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple Electric Circuits. The Journal of Education Research, 103, 208–222. https://doi.org/10.1080/00220670903383002

Petrucci, Ralph H. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi ke Empat Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Petrucci, Harwood, Herring, dan Madura. (2008). Kimia Dasar Prinsip-Prinsip dan Aplikasi Modern Edisi ke Sembilan Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Purwanto. (2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 477

Sidauruk, S. (2005). Miskonsepsi Stoikiometri pada Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Dan Evaluasi Pendidikan, (2), 253–272.

Sudjana, N. (1992). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya

Syukri, S. (1999). Kimia Dasar Jilid 2. Bandung: Penerbit ITB Tekkaya, C. (2002). Misconceptions As Barrier To Understanding Biology. Hacettepe

Onoversities Egitim Fakultesi Dergisi, 23, 259–266. Treagust, D. F. (1988). Development and Use of Diagnostic Tests to Evaluate Students ’

Misconceptions in Science. International Journal of Science Education, 10(2), 159–169. https://doi.org/10.1080/0950069880100204

Winarni, S., Ismayani, A., & Fitriani. (2013). Kesalahan Konsep Materi Stoikiometri yang Dialami Siswa SMA. Jurnal Ilmiah Didaktika, 14(1), 43–59.

Winarni, S., & Syahrial. (2011). Analisis Kesalahan Konsep Level Mikroskopis yang Dialami Mahasiswa Tingkat Akhir Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah pada Materi Persamaan Reaksi.

PENDIDIKAN KIMIA…

478 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODUL BERPENDEKATAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP TERMOKIMIA

Teguh Wibowo

Jurusan Pendidikan Kimia Fak. Sains dan Teknologi UIN Walisongo [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan modul berpendekatan inkuiri untuk meningkatkan pemahaman konsep termokimia pada siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan Posstest Only Control-Group Design. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 1 Lasem. Data penelitian yang diambil berupa pemahaman konsep siswa melalui hasil belajar kognitif. Pengumpulan data dilakukan melalui tes dan dokumentasi. Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling. Teknik analisis data menggunakkan analisis uji t-test related (Independent-Sample T-Test) dari hasil posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil dan analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penerapan modul berpendekatan inkuiri efektif untuk meningkatkan pemahaman konsep termokimia siswa. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai evaluasi termokimia kelas eksperimen sebesar 73,08 dan kelas kontrol sebesar 64,56 dan dengan signifikansi < 0,05. Kata kunci : modul, termokimia, inkuiri, pendidikan karakter, pemahaman konsep

PENDAHULUAN

Sistem pendidikan Indonesia yang berlaku saat ini mengharapkan tidak sekedar berorientasi pada pengembangan kognitif (otak kiri), namun juga memperhatikan pengembangan afektif, empati, dan rasa (otak kanan). Namun pada penerapannya terkadang masih belum maksimal. Mata pelajaran yang berhubungan dengan pendidikan karakter pun (seperti kewarganegaraan dan agama) ternyata pada prakteknya juga lebih menekankan pada aspek hafalan atau hanya sekedar tahu (Suharyadi, et. al., 2013). Pembentukan karakter seharusnya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting.

Hal seperti ini pun terjadi pada mata pelajaran eksakta, misalnya kimia. Pelajaran kimia merupakan salah satu pelajaran yang memiliki karakteristik tersendiri dan memerlukan keterampilan khusus dalam memecahkan masalah-masalah yang berupa teori, konsep, hukum dan fakta. Karakteristik khas pelajaran kimia tersebut adalah adanya tiga level representasi kimia, yaitu: level makroskopik, level submikroskopik dan level simbolik (Treagust, et al., 2003). Banyaknya representasi yang harus dikuasai dalam pelajaran kimia, menyebabkan banyak siswa menganggap pelajaran kimia itu konsepnya abstrak dan sulit untuk dipahami..

Kesulitan siswa untuk memahami konsep kimia berhubungna erat dengan pemahaman konspe yang dimiliki siswa itu sendiri. Pemahaman konsep merupakan ranah kognitif manusia dan merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan untuk belajar siswa, sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat proses belajar. Jika pemahaman siswa terhadap materi tidak sesuai dengan konsep yang sebenarnya, maka dapat menimbulkan miskonsepsi pada siswa (Istijabatun, 2008). Miskopsensi inilah yang menyebabkan siswa kesulitan dalam belajar, sehingga mempengaruhi prestasi belajar yang kurang baik.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap hasil Ujian Nasional, menunjukkan bahwa tingkat kesalahan siswa terbanyak adalah pada materi termokimia. Termokimia merupakan materi yang sarat dengan konsep dan aplikasinya pada perhitungan. Pada materi ini siswa masih mengalami kesulitan terutama mengenai cara menentukan ∆H reaksi dengan menggunakan hokum Hess dan data perubahan entalpi pembentukan standar (∆Hof) (Mahpuzah, dalam Aprialisa dan Mahdian, 2010). Hasil ini juga oleh

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 479

penelitian Rovona (dalam Aprialisa dan Mahdian, 2010) bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan reaksi dan perhitungan ∆H reaksi berdasarkan hokum Hess masih kurang.

Pemilihan dan penggunaan metode dan metode yang tepat dalam menyajikan suatu materi dapat membantu siswa dalam mengetahui serta memahami segala sesuatu yang disajikan guru, sehingga melalui tes hasil belajar dapat diketahui peningkatan prestasi belajar siswa. Penggunaan metode pembelajaran yang cenderung monoton dan kurangnya keterlibatan siswa dalam menemukan suatu konsep dalam proses pembelajaran juga menjadi penyebab kimia kurang menarik bagi siswa (Suharyadi, et al., 2013). Biasanya siswa yang mempelajari kimia cenderung diberikan dengan fakta terisolasi dan rumus-rumus kimia yang tidak ada hubungan dengan kehidupan mereka, sehingga mereka cenderung untuk menghafal, kemudian siswa dengan mudah membuangnya tanpa bekas (Brist, 2012). Sehingga perlu adanya media dan metode yang tepat dalam pembelajaran. Melalui pembelajaran yang tepat, siswa diharapkan mampu memahami dan menguasai materi ajar sehingga dapat berguna dalam kehidupan nyata. Salah satu indikator keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa.

Berdasarkan analisis permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk melakukan inovasi pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan pemahaman konsep melalui pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa belajar lebih aktif, lebih berpartisipasi dalam proses belajar mengajar serta mampu memiliki karakter yang baik. Salah satu solusi alternatif inovatif yang dapat dilakukan tersebut dituangkan dalam bentuk penerapan modul. Namun modul yang diterapkan tentunya harus memiliki karakteristik yang memadai dan membantu untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, salah satunya dengan modul yang berpendekatan inkuiri. Siswa lebih suka dengan bahan ajar tertulis (contohnya modul), meskipun siswa menikmati fleksibilitas yang ditawarkan bahan ajar berbasis ICT (Horsley, et al., 2010). Strategi pengorganisasian materi pelajaran mengacu pada upaya penyajian materi pelajaran, dan synthesizing yang mengacu pada upaya untuk menunjukkan kepada siswa keterikaitan antara fakta, konsep, prosedur dan prinsip yang terkandung dalam materi pelajaran (Indriyamti, 2010: 1).

Modul berpendekatan inkuiri dapat menggambarkan proses ketika para saintis secara rutin mengerjakan penelitian ilmiah dan menyediakan sebuah metode bagi siswa untuk mempelajari content dan skills sains (Sadeh & Zoin, 2012). Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang berorientasi pada siswa, memberikan kesempatan pada siswa untuk memformulasi dan melakukan investigasi. Inkuiri sebagai proses umum yang dikerjakan oleh manusia untuk memcari atau memahami suatu informasi. Sund (Trianto, 2007: 135) menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau inquiry merupakan perluasan dari discovery yang digunakan lebih mendalam. METODE PENELITIAN

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan menggunakan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI MIA SMAN I Lasem. Penerapan modul menggunakan 4 kelas yaitu XI MIA 1 dan 2 (kelas eksperimen) dan XI MIA 3 dan 4 (kelas kontrol). Desain implentasi menggunakan Posttest Only Control-Group Design (Creswell, 2009: 161).

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran berupa tes pemahaman konsep. Tes ini berupa soal esai untuk mengetahui pemahaman siswa. Analisis hasil tes ini digunakan untuk mengukur pemahaman konsep siswa sesuai dengan indikator-indikator yang sudah ditentukan. Data yang tertera pada lembar hasil

PENDIDIKAN KIMIA…

480 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

tes merupakan penilaian terhadap jawaban siswa pada post test pada kelas yang dilakukan eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol dan untuk memastikannya dilakukan dengan uji t-test related (Independent-Sample T-Test).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Modul yang tidak hanya sekedar memberikan penyajian materi yang banyak, namun juga memberikan ruang kepada siswa untuk menggunakan pemahamannya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Pada akhir pertemuan dilakukan tes evaluasi pemahaman konsep termokimia, digunakan untuk mengetahui keefektifan penggunaan modul yang dikembangkan dengan cara membandingkan nilai pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun rekapitulasi hasil tes evaluasi pemahaman konsep termokimia sebagaimana tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Tes Evaluasi Pemahaman Konsep

Data Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

Nilai maksimum 90 76 Nilai Minimun 53 50

Rata-rata 73,1 64,6 Berdasarkan data penelitian terlihat ada perbedaan antara kelas eksperimen dan

kelas kontrol. Hal itu ditunjukkan dengan adanya perbedaan pada jumlah siswa yang tuntas (memenuhi KKM = 75) dan rata-rata nilai. Setelah mengetahui adanya pengaruh yang lebih baik terhadap logika siswa antara kelas eksperimen dan kelas kotrol, maka selanjutnya dilihat apakah perbedaan tersebut signifikan atau tidak menggunakan uji paired sampel t-test.

Pada kolom equal variance assumed ternyata sig (2-tailed) kurang dari 0,05 maka Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen yaitu kelas dengan pembelajaran penerapan modul yang berpendekatan inkuiri dengan kelas kontrol yaitu kelas dengan pembelajaran tanpa menggunakan modul yang berpendekatan inkuiri. Untuk mengetahui kelas mana yang mempunyai nilai rataan yang lebih tinggi, kita gunakan analisis Group Statistik yang hasilnya dapat dilihat bahwa rata-rata kelas eksperimen = 73,08 lebih tinggi dari rata-rata kelas kontrol = 64,56. Ini berarti bahwa pemahaman konsep siswa kelas eksperimen lebih baik dari logika siswa kelas kontrol. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh simpulan tentang penerapan modul kimia dengan pendekatan inkuiri sebagai bahan ajar dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai evaluasi pemahaman konsep termokimia kelas eksperimen sebesar 73,08 dan kelas kontrol sebesar 64,56 dan dengan signifikansi kurang dari 0,05. Saran

Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan, terdapat beberapa hal yang masih kurang terindentifikasi dengan baik. Oleh karena itu disampaikan beberapa saran yang didasarkan hasil penelitian ini adalah: (1) Perlu adanya penelitian lain yang memfokuskan pada aspek afektif dan psikomorik, karena dalam penelitian ini kurang membahas mengenai aspek tersebut, dan (2) Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai bahan ajar lain yang dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa, karena proses pemahaman konsep pada penelitian ini belum rinci.

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 481

REFERENSI Brist, A.H. 2012. The Effect Of A Contextual Approach To Chemistry Instruction On

Students‟ Attitudes, Confidence, And Achievement In Science. Proposal for Science Master. Master Programme di Montana University.

Creswell, J. 2009. Research Desaign; Qualitative, Quantitative, and Mix Methods Approaches. California: SAGA.

Horsley,M., Knight, B., & Huntly, H. 2010. The Role Of Textbooks And Other Teaching And Learning Resources In Higher Education In Australia:Change And Continuity In Supporting Learning. International Assosiation for Research of Textbook and Educational Media (IARTEM e-journal). 3(2):43-61.

Istijabatun, Siti (2008). Pengaruh Pengetahuan Alam Terhadap Pemahaman Mata Pelajaran Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol .2, No. 2, 2008. 325

Prodjosantoso, A.K. 2008.„Pembelajaran Kimia Secara Menarik dan Menyenangkan Pendekatan Relevansi‟. Makalah disajikan dalam Seminar Pembekalan Calon Guru Kimia. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA UNNES Semarang, 12 Juli 2008

Sadeh, I & Zion, M. 2012. Which Type of Inquiry Project Do High School Biology Students Prefer: Open or Guided?. Research and Science Education. 42(5):831-848.

Suharyadi, Permanasari,A., dan Hernani. 2013. Pengembangan Buku Ajar Berbasis Kontekstual Pada Pokok Bahasan Asam dan Basa. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia.1(1): 60-68.

Treagust D.F., Chittleborough G.D. and Mamiala T.L., (2003), The role of submicroscopic and symbolic representations in chemical explanations, International Journal of Science Education, 25, 1353-1369.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovativ Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

PENDIDIKAN KIMIA…

482 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

HUBUNGAN PENGUASAAN KONSEP DENGAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS MAHASISWA PADA PEMBELAJARAN KIMIA TERINTEGRASI

ETNOSAINS

Woro Sumarni1), Sudarmin2), Endang Susilaningsih3)

1)2)3)Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang 1)E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mendapatkan informasi bagaimana hubungan penguasaan konsep dan KGS mahasiswa. Penelitian ini menggunakan metode pre-experiment melibatkan 55 orang mahasiswa calon guru di sebuah LPTK di Jawa Tengah pada pembelajaran kimia bahan pangan terintegrasi etnosains. Instrumen yang digunakan adalah soal penguasaan konsep dan soal KGS yang telah dinyatakan valid oleh ahli. Data dianalisis dengan uji korelasi product momen Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan konsep dan KGS memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat korelasi sedang. Kata Kunci: keterampilan generik sains, pembelajaran kimia terintegrasi etnosains, penguasaan konsep

PENDAHULUAN

Di abad ke 21 ini harus dipersiapkan warga-negara yang mampu bersaing dalam menghadapi berbagai tantangan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi harus dikembangkan sejak dini. Mahasiswa perlu diberikan sejumlah pengalaman untuk mengerti tentang konsep-konsep kimia disamping membimbing mereka agar terampil menggunakan pengetahuan kimia yang sudah diperolehnya (Galagher, 2007). Keterampilan untuk berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan sains yang telah dimiliki ini disebut dengan ketrampilan generik sains (Liliasari (2007).

Keterampilan generik sains (KGS) ini memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sikap dan pengetahuan karena melibatkan pengetahuan kognitif atau intelektual, manual dan sosial. Keterampilan generik sains merupakan dasar dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga ditegaskan oleh Liliasari (2007) bahwa KGS merupakan dasar dalam proses berpikir tingkat tinggi Dengan demikian KGS ini merupakan keterampilan yang sangat penting dalam upaya membangun kepribadian dan pola tindakan manusia Indonesia (Brotosiswoyo, 2001).

Permasalahannya, pembelajaran kimia selama ini cenderung mengarahkan mahasiswa untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip kimia saja, sehingga menyebabkan mahasiswa hanya mengenal banyak peristilahan kimia secara tidak bermakna (Liliasari, 2011). Sebagian besar dosen kurang memperhatikan aspek-aspek lain seperti keterampilan berpikir. Walaupun sebenarnya, dalam belajar konsep atau prinsip, mahasiswa dituntut tidak hanya mengetahui konsep-konsep, namun sampai dengan mampu menggunakan konsep-konsep kimia yang telah dipelajarinya untuk memecahkan persoalan baik dalam bentuk soal tes maupun penerapannya dalam situasi baru (Dahar, 2011)..

Dampak dari permasalahan di atas, walaupun hasil belajar khususnya pada aspek kognitif tinggi, namun karena pada proses pembelajarannya kurang menekankan pada pembekalan keterampilan generik sains maka belum diketahui bagaimana gambaran hubungan antara keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dengan penguasaan konsep kimianya. Menurut Dahar (2011), konsep-konsep merupakan pondasi-pondasi pembangunan (building block) berpikir. Oleh karena itu, ketika seseorang telah menguasai konsep, maka ia akan memiliki pondasi-pondasi pembangunan berpikir yang

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 483

kokoh. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Mundilarto (2003) bahwa tingkat pemahaman konsep fisika yang rendah berakibat pada banyaknya kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam menggunakan persamaan dan perhitungan matematis.

Beberapa peneliti juga mengakui bahwa KGS memiliki hubungan dengan pembangunan kognisi /penguasaan konsep mahasiswa, diantaranya Yuliyanti (2016) menemukan peningkatan yang tinggi pada KGS kesadaran akan skala besaran diakibatkan kemampuan yang tinggi siswa dalam menerapkan konsep hukum Ohm, Megadomani (2011) dan Maliyah et al. (2012) juga menyampaikan adanya keterkaitan antara kemampuan matematis terhadap kemampuan kognitif.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi/ gambaran bagaimana hubungan penguasaan konsep dan KGS mahasiswa, khususnya pada pembelajaran kimia bahan pangan berbasis proyek. Dengan diketahuinya gambaran keterkaitan antara KGS dan penguasaan konsep mahasiswa, maka diharapkan pada masa datang akan diperoleh informasi, apakah untuk meningkatkan KGS mahasiswa cukup dengan meningkatkan penguasaan konsepnya saja atau sebaliknya untuk meningkatkan penguasaan konsep cukup dengan membekali mahasiswa dengan KGS saja ataukah untuk meningkatkan keduanya diperlukan strategi/pendekatan/ model pembelajaran tertentu.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode pre-experiment melibatkan 55 mahasiswa calon guru di salah satu LPTK di Jawa Tengah yang dipilih melalui non random sampling. Peneliti hanya ingin memperoleh informasi penguasaan konsep dan KGS mahasiswa, sehingga penelitian hanya difokuskan pada satu kelompok mahasiswa. Data penguasaan konsep dan keterampilan generic sains mahasiswa diperoleh setelah implementasi pembelajaran kimia bahan pangan terintegrasi etnosains (PKBPTE) pada bahan kajian karbohidrat, lemak dan protein. Butir soal tes Penguasaan konsep dan KGS dikembangkan oleh Sumarni (2016) dan telah dinyatakan valid dan reliable melalui proses judgement dan uji coba pada mahasiswa. Korelasi antara penguasaan konsep dan KGS ditentukan dengan formula koefisien korelasi product moment Karl Pearson, karena data berdistribusi normal dan homogen. Uji normalitas pada data rata-rata penguasaan konsep dan KGS menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas menggunakan Levene’s test. Semua uji dilakukan menggunakan software SPSS 20,0 for windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil uji korelasi penguasaan konsep terhadap KGS menggunakan SPSS 20,0 for windows sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

PENDIDIKAN KIMIA…

484 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Bahasa

simbolik

Pengamatan

Hub Sebab akibat

Logical

frame

Konsistensi logis

Inferensi

logika

Pemodelan

Tabel 1 Hasil pengujian statistik korelasi penguasaan konsep terhadap KGS mahasiswa Parameter Penguas

aan Konsep

KGS Uji Levene

Uji korelasi Pearson

Sig (2-tailed)

Keterangan

N 55 55 0,219 (homogen)

0,557**

(sedang)

0.000

Ada korelasi yang signifikan dengan tingkat korelasi sedang

Rerata 0,54 0,52 SD 0,049 0,06

0 Kolmogorov-Smirnov Z

0,849 1,059

Asymp Sig (2 tailed)

0,467 0,212

Keputusan normal Normal

Tabel 1 menunjukkan besarnya koefisien korelasi peningkatan penguasaan

konsep dengan peningkatan KGS mahasiswa sebesar 0,557* dan nilai ρ – value pada kolom Sig (2 tailed) 0,000<0,052 yang berarti ada korelasi yang signifikan dengan tingkat korelasi sedang. Korelasi penguasaan konsep terhadap KGS sebesar 0,557 menunjukan bahwa 55,7% penguasaan konsep yang dimiliki mahasiswa memberi andil terhadap KGSnya. Korelasi positif dari hasil pengujian secara statistik di atas, berarti tingginya nilai KGS diikuti dengan tingginya nilai penguasaan konsep. Implementasi PKBPTE menghasilkan korelasi antara tiap indikator penguasaan konsep dan KGS dapat saling mendukung satu dan lainnya. Dengan kata lain, penguasaan konsep dan KGS dapat saling terkait dalam hal tujuan yang hendak dicapai. Tanda (*) berarti apabila penguasaan konsep tinggi maka berakibat KGS mahasiswa juga tinggi dan sebaliknya jika KGS tinggi mengindikasikan penguasaan konsep mahasiswa juga tinggi. Korelasi antara penguasaan konsep kimia terhadap KGS mahasiswa dapat digambarkan seperti Gambar 1.

PENGUASAAN KONSEP KGS

Gambar 1 Korelasi Penguasaan konsep terhadap KGS mahasiswa

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 485

Pada Tabel 2 diperlihatkan uji beda rerata penguasaan konsep pada ketiga bahan kajian dan keseluruhan KGS.

Tabel 2 Hasil Uji Beda Rerata N-gain antara Bahan Kajian dan KGS Jumlah mahasiswa

(N) = 55 Hubungan KGS dan bahan kajian

KGS -lemak KGS-protein KGS-Lemak Z -0,931 -1,574 -1,592 Asymp Sig (2-tailed) 0.352 0.116 0.210 Kesimpulan Tidak

berbeda Sign

Tidak berbeda Sign

Tidak berbeda Sign

Pada Tabel 2 tampak bahwa penguasaan konsep mahasiswa pada bahan kajian

lemak, karbohidrat dan protein terhadap KGS tidak berbeda secara signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Megadomani (2012) yang menunjukkan rendahnya KGS pemodelan matematis karena kurangnya penguasaan siswa dalam hal dasar penurunan rumus matematik. Penelitian Hidayat (n.d) juga menemukan bahwa pemahaman konsep yang rendah berdampak pada keterampilan generik sains yang rendah pula, begitu juga Maliyah et al. (2012) menyampaikan adanya keterkaitan antara kemampuan matematis terhadap kemampuan kognitif. Peserta didik dengan kemampuan matematis tinggi memperoleh prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan peserta didik dengan kemampuan matematis rendah. Hal ini disebabkan dengan kemampuan matematik tinggi memberi peluang kepada peserta didik untuk lebih cepat menganalisis data yang berkaitan dengan hitungan matematis. Kemampuan matematik diperlukan untuk mengabstraksikan kesebandingan matematis dari data analisis ke konsep dan untuk memecahkan masalah yang memerlukan perhitungan matematis secara tepat.

Keterkaitan antara penguasaan konsep dan KGS di atas juga di dukung hasil angket tanggapan mahasiswa yang menunjukkan sekitar 93% menyatakan setuju dan sangat setuju pada pernyataan bahwa implementasi PKBPTE menjadikan mahasiswa mampu memperkirakan penyebab atau akibat dari suatu fenomena/peristiwa kimia berdasarkan konsep kimia yang telah dipahami (KGS Hukum sebab akibat) , sekitar 96% mahasiswa menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa implementasi PKBPTE mampu menggeneralisasi/menyusun suatu kesimpulan berdasarkan fenomena-fenomena yang diamati dan konsep kimia yang telah dipahaminya (KGS inferensi logika), dan 93% mahasiswa menyatakan setuju dan sangat setuju jika implementasi PK-BPTE menjadikannya mampu menginterpretasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip kimia secara benar. Kondisi inilah sebagai pendorong berkembangnya berbagai keterampilan generik sains .

Contoh keterkaitan antara penguasaan konsep dengan KGS tampak juga sebagaimana yang diungkapkan melalui inferensi logika (Sumarni, 2010). Mahasiswa dapat menggali konsekuensi-konsekuensi logis yang dilahirkan melalui KGS inferensi logika yang merupakan kemampuan generik untuk membuat suatu generalisasi atau mengambil suatu kesimpulan sebagai akibat logis dari teori-teori atau konsep-konsep yang ada sebelumnya. Jadi , KGS inferensi logika mahasiswa akan meningkat jika penguasaan konsepnya juga tinggi. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Agustianingsih et al, (2014) bahwa keterampilan generik adalah salah satu keterampilan yang harus dicapai oleh mahasiswa melalui penguasaan kompetensi yang diterima oleh mahasiswa. Hasil penelitian Badcock et al. (2010) terkait pengembangan keterampilan generik memperoleh hasil bahwa keterampilan generik mahasiswa meningkat seiring dengan kemajuan yang dicapai dalam studi yang ditempuh.

PENDIDIKAN KIMIA…

486 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Keterampilan generik sains (KGS) sebagai kemampuan intelektual hasil perpaduan atau interaksi kompleks antara pengetahuan sains dan keterampilan (Sudarmin, 2011) dapat dipelajari mahasiswa selama pembelajaran di kelas, oleh karena itu nilai yang diperoleh mahasiswa bukan diakibatkan oleh kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Hal inilah yang menyebabkan , mengapa mahasiswa yang memiliki hasil belajar kognitif yang tinggi, akan memiliki KGS yang tinggi pula.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penguasaan konsep dan KGS tidak dapat saling dipisahkan, karena satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu, KGS dan penguasaan konsep memiliki hubungan yang searah. Satu sama lain saling berkontribusi baik itu peningkatan pada KGS, maupun pada penguasaan konsep atau sebaliknya. Korelasi yang signifikan antara penguasaan konsep dan KGS diakibatkan karena setiap KGS sebagai pengetahuan dan keterampilan mengandung cara berpikir dan berbuat (Sudarmin, 2011).

Dalam PKBPTE, dosen lebih banyak berperan sebagai fasilitator, mahasiswa lebih berperan aktif dalam mengkonstruk pengetahuan melalui permasalahan yang harus dipecahkan, sehingga mahasiswa didorong untuk berfikir agar dapat membuat solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Dalam mengatasi permasalahan inilah, mahasiswa dituntut memiliki pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep kimia.

. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan konsep dengan KGS mahasiswa setelah diterapkannya PKBPTE. Oleh karena itu PKBPTE ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan penguasaan konsep sekaligus KGS mahasiswa. Dari pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan bahwa dosen perlu mempertimbangkan dan merancang model pembelajaran apa yang akan diterapkan disesuaikan dengan konten yang akan dibelajarkan dan hasil belajar yang ingin diperolehnya agar proses pembelajarannya efektif dan optimal. UCAPAN TERIMA-KASIH Terima-kasih penulis ucapkan kepada para mahasiswa peserta mata kuliah Kimia Bahan Pangan atas kesediaan, partisipasi dan kerjasamanya dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agustinaningsih, W., Sarwanto, & Suparmi. 2014. Pengembangan instruksi praktikum

berbasis keterampilan generik sains pada pembelajaran fisika materi teori kinetik gas Kelas XI IPA SMA Negeri 8 Surakarta tahun ajaran 2012/2013. Jurnal Inkuiri 3(1), 50-61

Badcock, P. B. T., Pattison, P. E. & Harris, K. L., (2010). Developing generic skills through university study:a study of arts, science and engineering in Australia. Higher Education , Volume 60, pp. 441-458.

Brotosiswojo, S., (2001). Hakekat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Kimia di Perguruan Tinggi.. Jakarta: : PAU-PPAI.

Dahar, R. W. (2011). Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Gallagher, J., (2007). Teaching Science for Understanding: A Practical Guide for School

Teachers.,. New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall. .. Hidayat, R. (.n.d.) Implementasi pendekatan pembelajaran berbasis tantangan untuk

meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generic sains siswa SMP

PENDIDIKAN KIMIA…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 487

pada tema pemanasan global. ejournal.upi.edu/index.php/JER/article/download/3121/2143 akses 12 April 2017

Liliasari. (2007). Scientific Concepts and Generic Science Skills Relationship in the 21st Century Science Education. Seminar Proceeding of the First International Seminar of Science Educatin. October 2007. Bandung, 13-18

Liliasari. (2011). Pengembangan Keterampilan Generik Sains untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik. Makalah-Joint-SEM-UiTM

Megadomani, A. (2011). Pengaruh inkuiri laboratorium terbimbing terhadap keterampilan generic sains siswa SMA pada Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan. Edisi Khusus. http://jurnal.upi.edu/file/36-Aritta.pdf akses 12 April 2017

Mundilarto. (2003). Kemampuan Mahasiswa menggunakan pendekatan analitis kuantitatif dalam pemecahan soal fisika. Jurnal Pendidikan Matematik dan Sains, tahun VIII edisi 3.

Maliyah, N, Sunarno, W., & Suparmi. 2012. Pembelajaran Fisika dengan inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan demonstrasi diskusi ditinjau dari kemampuan matematik dan kemampuan verbal siswa. Jurnal Inkuiri 1(3), 227-234.

Sudarmin., 2011. Model pembelajaran kimia organik terintegrasi dengan kemampuan generik sains.. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17(6), 494-502. DOI: http://dx.doi.org/10.17977/jip.v17i6.2884.

Sumarni, W., 2010. Penerapan Learning Cycle sebagai upaya meningkatkan keterampilan generik sains inferensi logika mahasiswa melalui praktikum kimia dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia , 4 (1), 521-531.

Sumarni, W., Sudarmin, Wiyanto & Supartono, 2016. Preliminary Analysis of Assessment Instrument Design to Reveal Science Generic Skill and Chemistry Literacy. InternationalJournal of Evaluation and Research in Education (IJERE) 5(4), 332-342.

Yuliyanti, E., Hasan, M. & Syukri, M. 2016. Peningkatan keterampilan Generik Sains dan penguasaan konsep melalui laboratorium virtual berbasis inkuiri. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia, 4(2), 76-83

PENDIDIKAN KIMIA…

488 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 489

UMUM

UMUM…

490 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

ANALISIS PERANCANGAN SISTEM INFORMASI TRACER STUDY PADA JURUSAN ILMU KOMPUTER

Endang Sugiharti, Riza Arifudin, Alamsyah, dan Anggy Trisnawan Putra

Abstrak

Tracer study merupakan kegiatan yang sangat banyak membutuhkan waktu dan biaya. Tingkat kesulitan untuk mencari data para alumni di berbagai kota sangat sulit. Kemajuan di bidang teknologi web diharapkan bisa membantu mengatasi masalah tracer study ini. Untuk itu perlu analisis kebutuhan dan proses pengembangan sistem informasi tracer study khususnya di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA UNNES. Permasalahannya, (1) bagaimana mengembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang, (2) bagaimana tata aturan berkaitan pengembangan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang, Untuk melakukan pengembangan sistem ini, dilakukan dengan Model R&D. Model ini dilakukan dengan langkah (1) melakukan pendefinisian sistem, (2) melakukan pembuatan desain sistem informasi, (3) melakukan pengembangan sistem, (4) melakukan evaluasi sistem. Penelitian ini telah (1) dikembangkan aplikasi tracer study yang dikembangkan dengan Model R&D (2) Aplikasi ini sudah bisa digunakan untuk menggali informasi berkaitan alumni. Kata kunci: tracer study, sistem informasi, website

PENDAHULUAN

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menyentuh di segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari dunia bisnis sampai dunia pendidikan sangat merasakan kebermanfaatannya. Sejalan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tersebut, maka teknologi komputer sangat pesat, sehingga keunggulan komputer tidak hanya terbatas pada kemampuan mengolah data, tetapi lebih dari itu komputer dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Dengan komputer dapat menjalankan informasi yang berbasiskan komputer maka data yang masuk akan diolah secara tepat, akurat, mudah dalam mengaksesnya.

Selain sarana untuk menyajikan informasi, komputer dapat dimanfaatkan di berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Pemanfaatan komputer sudah tidak berkembang tidak hanya sebagai alat yang hanya dipergunakan untuk membantu urusan keadministrasian saja, melainkan juga sangat dimungkinkan untuk digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pembuatan sistem penilaian administrasi akreditasi instirusi perguruan tinggi.

Dalam penilaian akreditasi untuk setiap pendidikan tinggi di nilai oleh asesor. Asesor ini adalah tenaga pakar pada bidang ilmu, bidang studi, profesi, dan atau praktisi yang mewakili BAN-PT dalam penilaian akreditasi program studi. Dalam penilaian, asesor mempunyai dua tahap penilaian yaitu : (1) penilaian terhadap borang dan atau portfolio program studi/institusi yang disampaikan oleh program studi beserta lampiran-lampirannya melalui pengkajian "di atas meja" (desk evaluation) , (2) penilaian di lapangan (visitasi) untuk validasi dan verifikasi hasil desk evaluation, dan melakukan penilaian di tempat kedudukan program studi/institusi.

Salah satu point penilaian adalah bagaimana program studi dalam menelusur para alumninya atau disebut dengan tracer study. Tracer study merupakan kegiatan yang sangat banyak membutuhkan waktu dan biaya. Tingkat kesulitan untuk mencari data para alumni di berbagai kota sangat sulit. Teknologi jaringan sosial dan kemajuan di bidang teknologi web dapat membantu untuk kegiatan tracer study ini.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 491

Untuk mendukung sistem tracer study secara manual, maka perlu dikembangkan sistem tracer study dengan berbantuan komputer dengan mengembangkan web. Dengan adanya sistem ini diharapkan Jurusan Ilmu Komputer dapat mengambil data berkaitan tracer study dengan lebih mudah.

Hasil dari sistem dapat menunjukkan data alumni baik keberadaannya maupun tempat bekerjanya secara up to date. Data alumni yang di sampaikan untuk mengisi borang menjadi mudah dan valid. Sehingga hasilnya ini dapat digunakan sebagai rujukan program studi untuk memperbaiki point point yang kurang, terutama pada point penelusuran alumni, yang pada akhirnya akreditasi dengan nilai “A” dapat diraih dengan mudah.

Sistem ini sangat dibutuhkan bagi pengelola Jurusan Ilmu Komputer, karena merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberikan informasi kepada alumni dan umpan balik alumni terkait dengan data alumni secara up to date. Dalam perkembangannya, sistem ini merupakan pengenbangan dari website jurusan yang perlu ditingkatkan fasilitasnya dan kelengkapan informasinya guna mendukung kinerja Jurusan Ilmu Komputer dan kemudahan dalam mengakses informasi, sehingga perlu adanya penelitian dan pengembangan (research and development).

Permasalahan utama yang dikaji dalam artikel ini adalah sebagai berikut. Bagaimana Analisis Perancangan Sistem Informasi Tracer Study pada Jurusan Ilmu Komputer? Dari permasalahan utama tersebut, dapat disusun sub-sub permasalahan sebagai berikut. (1) Bagaimana mengembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang? (2) Bagaimana tata aturan berkaitan pengembangan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang?

Tujuan utama penelitian ini: Tersusun prototip Sistem Informasi Tracer Study pada Jurusan Ilmu Komputer. Dari tujuan utama tersebut, dapat disusun sub-subtujuan sebagai berikut. (1) Untuk mengembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang. (2) Untuk membuat tata aturan berkaitan pengembangan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang.

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sistem Informasi

Sistem, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perangkat unsur yang secara beratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, sedangkan, informasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlihat di bagian-bagian amanat itu.

Menurut Ferdinand Magaline (2007) sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsur yang saling berhubungan erat dan bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan informasi secara umum didefinisikan dengan hasil dari pengolahan data ke dalam bentuk yang lebih berguna. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi sistem informasi secara umum adalah suatu sistem yang menyediakan informasi bagi semua golongan dari organisasi tersebut.

Tracer Study

Studi penelusuran (tracer study) merupakan bagian penting dari aktivitas sebuah lembaga pendidikan. Melalui penelusuran lulusan akan diperoleh berbagai informasi penting yang sangat bermanfaat bagi lembaga pendidikan yang bersangkutan, bagi para lulusan, dan juga lembaga-lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan

UMUM…

492 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pendidikan. Tracer study memungkinkan sebuah lembaga pendidikan melacak kondisi lulusan yang dihasilkan dan dari informasi yang diperoleh dapat diambil berbagai kebijakan dan tindakan yang memberikan manfaat bagi para lulusan dan bagi pengembangan lembaga yang bersangkutan. Salah satu manfaat penting dari penelitian tracer study adalah diperolehnya informasi tentang relevansi program pendidikan yang diselenggarakan dengan kebutuhan lapangan. Menjamin adanya relevansi antara program pendidikan dengan kebutuhan lapangan merupakan keharusan bagi setiap lembaga pendidikan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus menjamin pemerataan Sistem Informasi pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Schomburg (2003) mengemukakan bahwa studi penelurusan bertujuan untuk mengetahui mobilitas tamatan dan kepuasan tamatan terhadap pekerjaannya. Mobilitas tamatan dapat dilihat dari mobilitas karir, baik secara vertikal maupun horizontal. Mobilitas karir secara vertikal dapat ditelusuri melalui jenjang jabatan pekerjaan yang diperoleh tamatan sedangkan mobilitas horizontal ditelusuri melalui banyaknya tamatan yang melakukan perpindahan Sistem Informasi kerja. Berdasarkan hasil penelusuran lulusan, sekolah dapat melakukan berbagai tindakan yang diharapkan Sistem Informasi bisa meningkatkan kualitas sekolah yang bersangkutan. Pemanfaatan hasil studi penelusuran juga memungkinkan sekolah melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga sustainabilitas sekolah lebih menjamin.

Slamet PH (1993) mengemukakan bahwa studi penelusuran bertujuan untuk mengetahui: sejarah karir tamatan, status karir/pekerjaan tamatan, dan penilaian tamatan terhadap program pendidikan atas dasar pengalaman kerja mereka. Meyer, dkk. (Patni Ninghardjanti, 1999: 44) mengklasifikasi tujuan studi penelusuran menjadi tiga hal: 1) untuk memperbaiki pengajaran dan pembelajaran di sekolah, 2) untuk membantu alumni dalam mencari pekerjaan, dan 3) untuk mengumpulkan informasi penting sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki program.

Studi penelusuran juga dimaksudkan untuk mengetahui penampilan (antara lain berupa kinerja dan produktivitas) lulusan setelah mereka terjun ke masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi penampilan seseorang. Bernadin & Russel (Suwardjo, 2003: 26) mengemukakan bahwa produktivitas seseorang dipengaruhi oleh faktor penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tingkah laku pekerja dalam organisasi. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta dimilikinya sikap dan tingkahlaku yang positif, menyebabkan seseorang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Demikian juga sebaliknya. Faktor-faktor tersebut sebagian besar terbentuk ketika seseorang mengikuti pendidikan dan pelatihan sebelumnya. Itu berarti bahwa proses pembelajaran yang baik di sekolah, mampu membekali lulusan sehingga yang bersangkutan memiliki produktivitas yang tinggi.

Menurut BAN-PT yakni penelusuran alumni untuk menggali informasi melalui pengisian kuesioner yang disusun sedemikian rupa untuk tujuan perbaikan kurikulum dan proses pendidikan di suatu sekolah. Tracer study termasuk ke dalam standar ketiga dari ketujuh standar dalam Standar Akreditasi Program Sarjana yakni Mahasiswa dan Lulusan, sehingga untuk poin lulusan dapat ditelusuri dengan kegiatan tracer study.

Berdasarkan buku terbitan BAN-PT untuk data-data mengenai lulusan berisi mengenai berbagai faktor berikut : a. Profil lulusan: ketepatan waktu penyelesaian studi, proporsi mahasiswa yang

menyelesaikan studi dalam batas masa studi b. Layanan dan pendayagunaan lulusan: ragam, jenis, wadah, mutu, harga, intensitas.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 493

c. Pelacakan dan perekaman data lulusan: kekomprehensifan, pemutakhiran, profil masa tunggu kerja pertama, kesesuaian bidang kerja dengan bidang studi, dan posisi kerja pertama.

d. Partisipasi lulusan dan alumni dalam mendukung pengembangan akademik dan non-akademik program studi.

PHP PHP (Personal Home Page) merupakan bahasa scripting yang open source dan

digunakan untuk membuat situs web yang dinamis dan powerful. PHP pertama kali dibuat oleh Rasmus Lerdorf pada tahun 1995. Pada waktu itu PHP bernama FI (Form Interpreted). Pada saat tersebut PHP adalah sekumpulan script yang digunakan untuk mengolah data form dari web. Perkembangan selanjutnya adalah Rasmus melepaskan kode sumber tersebut dan menamakannya PHP/FI, pada saat tersebut kepanjangan dari PHP/FI adalah Personal Home Page/Form Interpreter. Dengan pelepasan kode sumber ini menjadi open source, maka banya programmer yang tertarik untuk ikut mengembangkan PHP. Pada November 1997, dirilis PHP/FI 2.0. Pada rilis ini interpreter sudah diimplementasikan dalam C.

Pemrograman yang berjalan pada server banyak sekali. Setiap program memiliki kelebihan dan kekurangan. Saat ini banyak website yang menggunakan program PHP sebagai dasar pengolahan data. Beberapa keunggulan yang dimiliki program PHP (MADCOMS, 2004: 2), di antaranya adalah: (i) PHP memiliki tingkat akses yang lebih cepat, (ii) PHP memiliki tingkat lifecycle yang cepat sehingga selalu mengikuti

perkembangan teknologi internet, (iii) PHP memiliki tingkat keamanan yang tinggi, (iv) PHP mampu berjalan di beberapa server yang ada, misalnya Apache, Microsoft IIS,

PWS, AOLserver, phttpd, fhttpd, dan Xitami, (v) PHP mampu berjalan di Linux sebagai platform sistem operasi utama bagi PHP, (vi) PHP mendukung ke beberapa database yang sudah ada, dan (vii) PHP bersifat gratis.

MySQL

MySQL adalah sebuah software yang Open Source. sehingga bebas dipakai dan dimodifikasi oleh semua orang. Setiap orang dapat mendownload MySQL dari internet dan menggunakannya tanpa perlu membayar.

Dengan karakteristik MySQL tersebut diatas maka dapat memberikan kelebihan sebagai berikut: 1. Menghemat waktu proses pengisian data. 2. Menghemat waktu proses pengambilan data. 3. Proses pengambilan data lebih fleksibel.

Data dapat diakses secara bersama oleh lebih dari satu pengguna pada waktu yang bersamaaan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA UNNES. Tahapan penelitian ini sesuai dengan tahapan pengembangan sistem model R&D (Trianto, 2007). a. Tahap Pendefinisian

Tahap ini merupakan tahap pendefinisian dan syarat-syarat dari sistem yang akan dibangun setelah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan.

b. Tahap Perencanaan

UMUM…

494 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tahap ini merupakan tahap membuat prototipe dalam bentuk desain. Desain yang dibuat meliputi perancangan kerangka sistem informasi, perancangan tracer study, perancangan aturan, perancangan proses, dan perancangan antarmuka.

c. Tahap Pengembangan Tahap ini merupakan tahap implementasi sistem berdasarkan desain yang telah dibuat pada tahap sebelumnya dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP.

d. Tahap Penyebaran. Tahap ini merupakan tahap pengujian sistem dengan mengukur hasil pengembangan system.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berikut ini diuraikan hasil penelitian terkait dengan Analisis Perancangan Sistem Informasi Tracer Study pada Jurusan Ilmu Komputer. Pada proses awal dilakukan dengan cara observasi lapangan. Data observasi ini merupakan bagian dari proses tahap pendefinisian seperti pada model R&D. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan data berkaitan kondisi lapangan. Tim peneliti mengumpulkan berkaitan data-data yang perlu dikumpulkan berkaitan data tracer study. Data-data yang diperlukan berdasarkan kebutuhan berkaitan akreditasi adalah sebagai berikut:

1) Integritas (etika dan moral), 2) Keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme), 3) Bahasa Inggris, 4) Penggunaan Teknologi Informasi, 5) Komunikasi, 6) Kerjasama tim, dan 7) Pengembangan diri.

Pada selanjutnya yaitu tahap perencanaan dengan membuat prototip dalam bentuk desain. Desain yang dibuat meliputi perancangan kerangka sistem informasi perancangan tracer study seperti pada gambar 1. Pengguna alumni pada awal cukup mengisikan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan Tanggal Lahir untuk login. Dari data ini, sistem bisa mengenali identitas lainnya dari basisdata yang sudah ada. Selanjutnya pengguna bisa melakukan proses pengisian data. Data ini selanjutnya disimpan pada basisdata. Data yang tersimpan ini yang selanjutnya dijadikan luaran sistem.

Gambar 1. Kerangka Sistem Informasi Tracer Study

Pada tahap pengembangan sudah dikembangkan sistem tracer study ini. Gambar 2 merupakan tampilan awal sistem tracer study. Selanjutnya pada gambar 3, merupakan isian kuesioner bagi para lalusan.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 495

Gambar 2. Halaman Awal Sistem Tracer Study

Gambar 3. Isian kesioner bagi para lulusan.

Selanjutnya, tim peneliti memperkenalkan Aplikasi Tracer Study ini pada alumni. Data ini digunakan untuk menguji sistem. Dari awal proses pendefinisian, perencanaan, pengembangan hingga penyebarannya sudah divalidasi alumnus serta stakeholder terkait. Dengan demikian, prototip sistem informasi tracer study ini sudah sesuai dengan kebutuhan Jurusan Ilmu Komputer FMIPA UNNES. SIMPULAN Telah dikembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang.

SARAN Agar manfaat hasil penelitian ini lebih optimal maka perlu diteruskan dengan penelitian lanjutan dengan membuat sistem informasi Tracer Study berbasis Android. REFERENSI Hardjono, D. (Ed). 2006. Seri Panduan Lengkap Menguasai Pemrograman Web dengan

PHP 5. Yogyakarta: ANDI. Kadir, A. 2008. Tuntunan Praktis: Belajar Database Menggunakan MySQL. Yogyakarta:

ANDI. MADCOMS. 2004. Aplikasi Program PHP dan MySQL untuk Membuat Website Interaktif.

Yogyakarta: ANDI. Magaline, Ferdinand. 2013. Sistem Informasi. Jurnal SI

UMUM…

496 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Nugroho, B. 2007. Latihan Membuat Aplikasi Web PHP dan MySQL dengan Dreamwaver MX (6, 7, 2004) dan 8. Yogyakarta: Gava Media.

Peranginangin, K. 2006. Aplikasi Web dengan PHP dan MySQL. Yogyakarta: ANDI Purbo, O.W. 2006. Buku Sakti Menjadi Programmer Sejati PHP. Jakarta: Solusi Media. Saputro, W. 2005. MySQL Untuk Pemula. Yogyakarta: Pena Media Sidik, B. 2005. MySQL untuk Pengguna, Administrator, dan Pengembang Aplikasi Web.

Bandung: INFORMATIKA. Schomburg, Harald (2003). Handbook for Graduate Tracer Study. Moenchebergstrasse

Kassel, Germany:Wissenschaftliches Zentrum für Berufs-und Hochschulforschung, Universität Kassel

Sudijono, A. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Suhud, H. 2004. Pengembangan Template Sistem Evaluasi Pembelajaran Berbasis Web

(Skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang Sunarfrihantono, B. 2002. PHP dan MySQL untuk Web. Yogyakarta: ANDI

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 497

PENGARUH STRATEGI METAKOGNITIF TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

Liyana Sunanto, Nur Asyiah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Cirebon e-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh perangkat perkuliahan dengan menggunakan strategi metakognitif dalam membentuk kemandirian belajar mahasiswa. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa semester II Prodi PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Cirebon T.A 2016/2017 pada mata kuliah Konsep Dasar Matematika. Pengaruh perangkat perkuliahan dengan menggunakan strategi metakognitif dapat dilihat dari hasil pengamatan kemandirian belajar mahasiswa. Data dianalisis menggunakan uji-t untuk mengetahui pengaruh penggunaan strategi metakognitif terhadap kemandirian belajar. Hasil uji-t pada pembelajaran konsep dasar matematika materi geometri ruang dengan menggunakan strategi metakognitif terhadap kemandirian belajar adalah sebesar 4,465 > 2,027 maka penggunaan strategi metakognitif dianggap berpengaruh terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD. Kata Kunci: strategi metakognitif, kemandirian belajar

PENDAHULUAN Berbicara tentang tatangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia memasuki era globalisasi maka perlu dipersiapkan kegiatan pendidikan yang mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidup di masa depan, yaitu menyelenggarakan pendidikan yang tanggap terhadap era globalisasi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka perlu melatih peserta didik agar mampu belajar secara mandiri dan berkembang kemampuan bernalar serta berpikirnya (Depdikbud, 2006).

Tantangan dan permasalahan serius yang sering ditemui pada tingkat perguruan tinggi adalah belajar secara mandiri. Sejalan dengan ini permasalahan akademik yang sering muncul berdasarkan pengalaman dan kegiatan observasi terhadap proses pembelajaran pada mata kuliah konsep dasar matematika di semester dua Prodi PGSD adalah (1) rendahnya keinginan mahasiswa untuk membahas soal dan bertanya di kelas, (2) kecenderungan mahasiswa hanya menerima materi dari dosen tanpa usaha untuk mempelajari atau mencari informasi sendiri, dan (3) jika ada tugas latihan atau pekerjaan rumah saling mencontek, serta permasalahan lainnya.

Permasalahan tersebut diduga terjadi karena rendahnya kemandirian belajar mahasiswa pada saat perkuliahan. Ketercapaian kemandirian belajar mahasiswa dipengaruhi oleh pelaksanaan proses perkuliahan.dalam pelaksanaannya tentu diperlukan strategi yang tepat, sehingga digunakan strategi metakognitif agar dapat mengatasi permasalahan tersebut diatas. Sehingga dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh strategi metakognitif terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD UMC

Schneider (Murtadho, 2013) strategi metakognisi merupakan proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah tercapai. Metakognitif memiliki empat karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Buron (Kamaluddin dan Sulisworo, 2016), yaitu: (1) mengetahui tujuan yang ingin dicapai, (2) memilih strategi untuk mencapai tujuan, (3) mengamati proses pengembangan pengetahuan diri sendiri, untuk melihat apakah strategi yang dipilih sudah tepat, (4) mengevaluasi hasil untuk mengetahui apakah tujuan sudah tercapai.

Hatler (Murtadho, 2013) mengelompokan indikator strategi metakognitif

UMUM…

498 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kesadaran, meliputi kesadaran mengidentifikasi apa yang diketahui dan menentukan tujuan belajar; (2) perencanaan, meliputi kegiatan memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, membuat checlis tentang aktivitas yang perlu dilakukan, mengorganisasikan materi, dan mengambil langkah yang yang perlu dilakukan; dan (3) pemantauan atau refleksi, meliputi kegiatan mengawasi proses belajar, memantau belajar dengan pertanyaan sendiri, member umpan balik, serta menjaga motivasi dan konsentrasi. Samuels (2005) menyatakan metakognisipun melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang aktivitas kognitifnya sendiri, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya.

Berdasarkan definisi mengenai strategi metakognisi diatas dapat disimpulkan strategi ini mampu menggiring siswa menjadi lebih mandiri dalam belajar.

Yang (Sumarmo, 2006) menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi memiliki ciri; cenderung belajar lebih baik dalam pengawasannya sendiri daripada pengawasan program serta mampu mengatur belajarnya secara efektif dan efisien. Haris Mujiman (Aini dan Taman, 2012) mejelaskan definisi kemandirian belajar dapat diartikan sebagai sifat serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh motif untuk menguasai suatu kompetensi yang telah dimiliki. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar adalah siswa yang dapat merencanakan mengelola kegiatan belajarnya dengan baik untuk mencapai kompetensi yang di inginkan.

Peraturan menteri nomor 41 Tahun 2007 menjelaskan bahwa sikap kemandirian belajar atau sikap yang dimiliki individu untuk belajar dengan inisiatif sendiri dalam upaya menginternalisasi pengetahuan tanpa tergantung atau mendapat bimbingan langsung dari orang lain. Berikut lebih lanjut mengenai indikator kemandirian belajar yang dikemukakan oleh Hidayati dan Listyani (Sunanto, 2014) yaitu: (1) ketidaktergantungan terhadap orang lain, (2) memiliki kepercayaan diri, (3) berperilaku disiplin, (4) memiliki rasa tanggung jawab, (5) berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan (6) melakukan kontrol diri. METODE Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan strategi metakognitif pada mahasiswa semester dua Prodi PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Tahun Akademik 2016/2017 di mata kuliah konsep dasar matematika materi geometri ruang.

Penelitian ini bersifat asosiatif untuk mengetahui apakah ada pengaruh strategi metakognitif terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD UMC pada mata kuliah konsep dasar matematika materi bangun ruang. Rancangan penelitian ini menggunakan desain true experimental pola pretest-posttest control group design yaitu terdapat dua kelompok yang dipilih secara random kemudian diberi pretest untu mengetahui keadaan awal antara kelompok eksperimen berjumlah 30 mahasiswa dan kelompok kontrol berjumlah 32 mahasiswa. Setelah itu diberi posttest untuk mengetahui hasil kemandirian belajar mahasiswa setelah mendapat perlakuan. Desain penelitian pola pretest-posttest control group design dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 pretest-posttest control group design

Kelompok Eksperimen

R O1 X O2

Kelompok Kontrol

R O3 O4

(Sugiyono, 2010)

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 499

HASIL DAN PEMBAHASAN Instrumen yang dgunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan uji instrumen yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kevalidannya. Uji validasi menggunakan expert judgement dari ahli materi dan ahli pendidikan. adapun instrumen yang divalidasi adalah perangkat pembelajaran (silabus, RPS dan LKM) dan lembar observasi kemandirian belajar.

Setelah selesai divalidasi, instrumen penelitian di ujicobakan pada kelompok kecil (small group evaluation) pada 15 mahasiswa meliputi uji keefektifan dari hasil kemandirian belajar menggunakan strategi metakognitif. Didapat rerata hasil tes penguasaan materi pada uji coba kelompok untuk tes awal sebesar 71.13, skor tes akhir sebesar 79.33 dan nilai N-gain sebesar 0.34 (sedang), sehingga dapat disimpulkan instrumen penelitian strategi metakognitif layak untuk digunakan, maka peneliti menggunakannya kedalam proses pembelajaran pada kelas eksperimen.

Proses pembelajaran dengan menggunakan strategi metakognitif pada mata kuliah konsep dasar matematika materi Geometri Ruang di semester dua mahasiswa Prodi PGSD dilakukan tiga kali pertemuan. Proses pembelajaran dengan menggunakan strategi metakognitif ini adalah dosen mengkondisikan mahasiswa agar dalam keadaan sadar belajar, sehingga mahasiswa mampu merencanakan apa saja yang akan dilakukannya selama proses pembelajaran dan mengaitkan materi yang telah dimiliki sebelumnya dengan yang sedang dibahas dikelas. Dengan cara dosen mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat menstimulus mahasiswa dan mengarahkan pemahaman mahasiswa pada saat mahasiswa mengalami kesulitan serta mengarahkan mahasiswa untuk selalu mengevaluasi ulang hasil pekerjaannya.

Uji normalitas awal dilakukan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum mendapatkan perlakuan, tujuannya adalah untuk mengetahui apakah data awal (pretest) pada kedua kelompok tersebut berdistribusi normal atau tidak. Adapun hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan chi-kuadrat dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Kelas Kontrol

dan Kelas Eksperimen Kelas db X2

hitung

X2

tabel

Ket

Kontrol 3 2,98 7,81 Normal Eksperimen 3 2,25 7,81 Normal

Sumber: Data diolah, 2017

Berdasarkan Tabel 1, kemandirian belajar mahasiswa pre-test) pada kelas kontrol diperoleh X2 hitung 2,98 dan X2 tabel sebesar 7,81. Sehingga nilai X2 hitung < X2 tabel atau 2,98 < 7,81, sehingga dapat disimpulkan bahwa data awal pada kelas kontrol berdistribusi normal. Sedangkan hasil belajar pada kelas eksperimen diperoleh X2 hitung 2,25 dan X2

tabel sebesar 7,81. Sehingga nilai X2 hitung < X2 tabel atau 2,25< 7,81, sehingga dapat disimpulkan bahwa data awal pada kelas eksperimen berdistribusi normal.

Pengujian selanjutnya adalah uji homogenitas dengan membandingkan varian terbesar dengan varian terkecil atau dikenal dengan uji F, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

UMUM…

500 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Kelas Kontrol

dan Kelas Eksperimen Varian Terbesar

Varian Terkecil

Fhitung Ftabel

(db=n-1) Ket

91,99 82,99 1,108 2,15 Varian Homogen Sumber: Data diolah, 2017

Berdasarkan Tabel 3 diatas, hasil perhitungan uji homogenitas pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol diperoleh Fhitung = 1,108 dan Ftabel dengan taraf signifikansi 0,05, db pembilang = n-1 = 19 dan db penyebut = n -1 = 19 maka diperoleh Ftabel = 2,15. Ternyata diperoleh Fhitung < Ftabel atau 1,108 < 2,15, maka varian-varian adalah homogen.

Uji Perbedaan rata-rata data pre-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji-t, dengan menggunakan uji-t untuk sampel independen dengan rumus separated varian yang bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelas kontrol denga kelas eksperimen. Adapun hasil uji hipotesis atau perbedaan rata-rata anatara kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini:

Tabel 4.

Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen

X1 X2 S21 S22 thitung ttabel Ket 80,9 63,5 132,04 171,79 4,465 2,027 Ha : Diterima

Sumber: Data diolah, 2017 Pada Tabel 4 diatas lambang 1 menandakan data dari kelas ekspermen dan

lambang 2 menandakan data dari kelas kontrol. Sehinga dapat diketahui bahwa pada kelas eksperimen X= 80,9, S2 = 132,04 dan pada kelas kontrol diketahui X = 63,5, S2 = 171,79. Dengan n1 = 20, n2 = 20, maka diperoleh thitung = 4,465 dan diperoleh ttabel = 2,027. Ternyata uji perbedaan rata-rata diperoleh thitung > ttabel atau 4,465 > 2,027 maka sesuai dengan kriteria pengujiannya Ha diterima. Artinya ada perbedaan nilai rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, dengan kata lain strategi metakognitif berpengaruh positif terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD. PENUTUP Berdasarkan data penelitian yang didapat bahwa kelas kontrol dan kelas eksperimen berasal dari kemampuan awal yang sama. Sedangkan pada hasil analisis data post-test memperoleh thitung > ttabel atau 4,465 > 2,027 maka sesuai dengan kriteria pengujiannya dapat disimpulkan Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata antara kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah kelas eksperimen mendapat perlakuan dengan strategi metakognitif dan kelas kontrol dengan metode diskusi.

Dengan kata lain, strategi metakognitif berpengaruh positif terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon pada mata kuliah konsep dasar matematika materi Bangun Ruang. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih peneliti ucapkan kepada Kementrian Riset dan Pedidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan untuk menjadi salah satu penerima hibah penelitian dosen pemula pada tahun anggaran 2017.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 501

REFERENSI Aini, P.N dan Taman, A. 2012. Pengaruh Kemandirian Belajar dan Lingkungan Belajar

Siswa Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sewon Bantul Tahun Akademik 2010/2011. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. X, No.8.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Guru SD/MI Lulusan S-1 PGSD. Jakarta: Depdiknas. Hidayati, K & Listyani, E. 2007. Improving Instruments of Students Self-Regulated

Learning. Yogyakarta: FMIPA UNY. Kamaluddin dan Sulisworo, D. 2016. Pengaruh Penggunaan Strategi Metakognitif untuk

Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa. Paper Presented at the Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY.

Murtadho, F. 2013. Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi: Alternatif Sarana Pengoptimalan Latihan Menulis Argumentasi. Paper Presented at the 2nd International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE).

Samuels, S.Jay, Kari Ann. 2005. Role of Autometicity in Metakognition Literacy Instruction. Handbook. New Jersey. University of Minnesota Twin Cities, Vol.3, No.4.

Sugiyono (2010) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan ke-10. Bandung: Alfabeta.

Sumarmo, U. 2006. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Bandung. FMIPA UPI.

Sunanto, L. 2014. Pengembangan Strategi Meta-Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Journal of Primary Education Vol. 3, No.1.

UMUM…

502 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PERLUNYA MANAJEMEN PENGELOLAAN WELL BEING BAGI PENDIDIK

Miswari Dosen Fak. Sains dan Teknologi

UIN Walisongo Semarang

Abstrak Pendidik merupakan amanah yang amat strategis dalam menunjang proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Bahkan pendidik sebagai gerbang awal yang representatif dalam kondisi dan kinerja pendidikan. Pengaruh positif pendidik di dalam kelas amat sangat penting untuk menjawab tantangan pendidikan dan memandu pemikiran peserta didik yang masih sangat membutuhkan bimbingan menuju pengembangan potensi dirinya. Pendidik bukan hanya transfer of knowledge akan tetapi juga mendidik terkait dengan nilai-nilai, dimana memberikan, menanamkan, dan menumbuhkan nilai pada peserta didik. Maka dari itu, kinerja pendidik berdasar pada kompetensi dan berlandaskan kualitas kepribadian yang harus dapat terwujudkan secara nyata. Kompetensi pendidik dapat mewujudkan kemampuannya dalam kualitas kepribadian untuk berinteraksi dengan lingkungan pendidikan agar kebutuhan dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif. Well Being pendidik berkaitan dengan bagaimana seorang pendidik mampu berfungsi positif secara psikologis dalam hidupnya, yang diukur dari enam aspek yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup serta pertumbuhan pribadi. Well Being pendidik dapat meningkatkan kesadaran kinerjanya lebih tinggi dalam kompetensi dan kewajibannya menjadi seorang pendidik. Akan lebih baik jika well being yang dimiliki pendidik lebih terarah dan terstruktur dengan dikelola sesuai fungsi manajemen. Dengan memiliki well being seorang pendidik dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik terhadap peserta didiknya. Kata kunci: Well-Being, Pendidik, Peserta Didik

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter merupakan tujuan dari pendidikan nasional di Indonesia seperti yang tertuang dalam Undang-undang no. 20 tahun 2003 bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Namun pendidikan saat ini dianggap belum mampu sepenuhnya membentuk karakter peserta didik karena proses pembelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari.

Komponen pendidikan yang sangat menetukan keberlangsungan pendidikan adalah pendidik. Pendidik sangat berperan dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan berbagai kemampuan seperti kemampuan kognitif, sosial dan emosionalnya. Dalam berbagai kesempatan seorang pendidik dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh peserta didik agar peserta didik dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut dan dijadikan bekal sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Kemampuan kognitif yang ditanamkan menjadi harapan bahwa peserta didik dapat berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menemukan resolusi konflik, bertindak asertif dalam masyarakat. Seorang pendidik dituntut untuk kreatif, kreatifitasnya memberikan semangat yang kuat buat peserta didiknya.

Kemampuan sosial yang ditanamkan menjadi harapan bahwa peserta didik dapat mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat dan memiliki kepekaan sosial sehingga

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 503

peserta didik mampu mengaplikasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat dasar yang harus dimiliki objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kokoh dalam pendirian, dan berani mengakui kesalahan ( Darmiyati Zuchdi, 2009: 128).

Kemampuan emosional yang ditanamkan menjadi harapan bahwa peserta didik mampu mengelola emosi. Mengelola emosi berupa mengatasi masalah diri sendiri dan mengatasi masalah orang lain ( Darmiyati Zuchdi, 2009: 160-161).

Rusting & Larsen (1997) dalam studinya menemukan bahwa seorang yang gembira dan yang sedang sedih, akan menghasilkan reaksi yang berbeda terhadap stimulus yang sama. Orang yang mempunyai perasaan gembira akan lebih tertarik dengan gambar yang positif dari pada yang negatif, akan tetapi sebaliknya. Orang yang mempunyai perasaan sedang sedih lebih tertarik dengan gambar yang negatif dari pada yang positif. Kondisi tersebut menjelaskan mengenai pengaruh dari kepribadian seseorang dalam subjectif well being.

Pendidik harus selalu tampil prima dan berpandangan positif dalam menghadapi kondisi seburuk apapun. Pendidik bagian dari pendidikan, pendidikan pribadi merupakan landasan atau modal utama dalam pembinaan terhadap keluarga, lembaga (sekolah), dan masyarakat. Betapa pentingnya pendidikan pribadi dalam hal ini bagi pendidik sebelum melakukan pembinaan terhadap peserta didik. Dalam Islam menekankan tentang pendidikan pribadi atau aktualisasi diri, seperti dalam potongan ayat al Qur’an surat Al Baqarah ayat 44, yang artinya: “ Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri...”

Penerimaan diri, dengan penerimaan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dirinya dalam menghadapi peserta didik. Pendidik sebagai individu yang mempunyai kemampuan dalam memahami dan menerima kemampuan diri termasuk didalamnya kualitas baik maupun buruk dirinya, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain, terutama dengan peserta didik mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi.

Sebaliknya, pendidik sebagai individu yang rendah dalam hubungan positif terhadap orang lain, terisolasi dan membina hubungan yang baik interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995). Otonomi, pendidik yang mempunyai kemampuan untuk mengatur hidup dan tingkah lakunya. Pendidik yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain.

Penguasaan lingkungan (environmental mastery), penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Pendidik dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.

Tujuan dalam hidup (purpose of life), tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan

UMUM…

504 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

bahwa seorang pendidik mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Pendidik yang tinggi dalam aspek ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup.

Pertumbuhan pribadi (personal growth), pendidik yang tinggi dalam aspek pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai anggapan yang baik dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, tidak menutup diri terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.

Pendidik yang memiliki aspek-aspek seperti dipaparkan di atas akan mampu mendidik, membimbing, membina, dan membawa peserta didiknya menjadi manusia yang tangguh, cerdas, kreatif dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidik akan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan keprofesionalannya dan dapat mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional. PEMBAHASAN

Dalam upaya menuju masa depan pendidikan bermutu yang lebih efektif dan efisien, pendidikan memberikan berbagai kontribusi baik dibidang pendidik, peserta didik, metode, materi, kurikulum dan lain-lain. Setiap komponen itu saling berkaitan dan berkesinambungan sampai mencapai suatu tujuan pendidikan. Untuk memaksimalkan perannya setiap komponen mempunyai cara tersendiri dalam satuan pendidikan tersebut. Komponen pendidik yang mempunyai peran sangat penting untuk keberlangsungan jalannya pendidikan. Maka dari itu, pendidik sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Menurut Megarry dan Dean, bahwa pendidik wajib mengembangkan keprofesionalannya agar dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas, karena pendidikan di masa yang akan datang menuntut keterampilan profesi pendidikan yang bermutu (Abdul Hadi dan Nurhayati, 2010: 5).

Kadang terlalu banyaknya tugas pendidik dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran yang dialami pendidik sehingga merasa letih, jenuh, cemas, yang akhirnya tidak bertanggung jawab. Untuk mengatasi masalah tersebut perlunya sikap positif yang dimiliki oleh seorang pendidik. Well being menawarkan sikap positif yang efektif untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan kejiwaan. MANAJEMEN PENGELOLAAN WELL BEING BAGI PENDIDIK 1. Perencanaan Aspek Well Being

Menurut Rusman (Ahmadi, 2013: 56) mendefinikan perencanaan merupakan suatu proses sosial yang komplek yang menuntut berbagai jenis dan tingkat pembuatan keputusan. Keputusan menjadi seorang pendidik merupakan langkah awal untuk melaksanakan profesi yang sudah dipersiapkan resiko yang akan dihadapi. Akan tetapi, perasaan negatif selalu menghantui jika kejiwaan kita selalu berfikir negatif. Aspek well-being merupakan bagian dari psikologi positif, sebagaimana diketahui selama ini psikologi biasanya selalu menekankan apa yang salah pada manusia, seperti persoalan stress, depresi, kegelisahan dan lain-lain. Psikologi positif memandang dari sudut pandang positif dalam berbagai aspek, selalu berfikiran positif terutama dalam hal kejiwaan. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan. Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak;

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 505

pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri seseorang.” Misi Seligman adalah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis yang hanya berkisar ada kekurangan manusia menjadi psikologi positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.

2. Implementasi Aspek Well-Being Seorang pendidik menampilkan jati dirinya sebagai seorang yang patut menjadi

contoh dan suri tauladan tidak hanya dalam lingkungan sekolah bahkan lebih luas lagi yaitu di lingkungan masyarakat, karena dia sebagai model yang patut untuk ditiru. Implementasi aspek well being merupakan bentuk pengembangan diri bagi pendidik Aspek well being menurut Ryff (2005: 6) menghasilkan suatu model kesejahteraan dalam bentuk multidimensi yang terdiri atas enam fungsi psikologis positif, yaitu: Penerimaan diri, Penerimaan bukan berarti pendidik bersikap pasif atau pasrah, akan tetapi pemahaman yang jelas akan peristiwa yang terjadi sehingga individu dapat memberikan tanggapan secara efektif (dalam Lopez, 2007: 642). Berarti seorang pendidik mampu memberikan pemahaman yang jelas kepada peserta didik dan mendapat tanggapan positif dari muridnya sebagai bentuk apresiasi terhadap apa yang diberikannya.

Hubungan positif dengan sesama, Diener dan Seligman menemukan bahwa hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, akan tetapi tidak cukup untuk membuat subjective well-being seseorang tinggi. Dalam aspek ini, pendidik selalu menjalin komunikasi yang baik kepada siapa saja dan dapat mengembangkan sifat-sifat yang baik kepada semua warga sekolah. Serta mempunyai sifat empati, data penelitian menunjukkan bahwa empati merupakan kekuatan yang hebat untuk mencapai kebaikan. Pendidik yang mmemiliki tingkat empati yang tinggi dapat mengmbangkan kemampuan akademik yang lebih besar kepada muridnya. Carl Rogers mengatakan bahwa empati merupakan alat yang paling efektif untuk membantu perkembangan pribadi dan meningkatkan hubungan serta komunikasi dengan orang lain.

Autonomi, Ciri utama dari seorang pendidik yang memiliki autonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan mandiri. Seorang pendidik mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain mampu memandang dari kaca mata positif. Selain itu, pendidik memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standard personal.

Penguasaan lingkungan, Seorang pendidik yang baik dalam aspek penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Pendidik dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sebaliknya seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.

Tujuan dalam hidup, Seorang pendidik yang mempunyai komitmen dalam mengejar tujuan hidupnya, dia akan dapat memahami makna hidup dan mampu mengatasi masalah. Jika pendidik memiliki tujuan dalam hidupnya maka akan memahami dengan jelas tugasnya, memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuannya, dan yakin akan dapat melakukan suatu perubahan hidupnya. Hal itu

UMUM…

506 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

memiliki arti pada masa sekarang dan masa lalu dalam kehidupan. Sedangkan orang yang komitmen dalam hidupnya kurang maka dia tidak mampu memaknai hidup.

Pertumbuhan pribadi, Pribadi pendidik yang mampu berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mempunyai locus of control sebagai alat evaluasi, dimana seseorang tidak melihat orang lain untuk mendapatkan persetujuan, tetapi mengevaluasi diri dengan menggunakan standard pribadinya.

3. Prediktor Subjective Well-Being Menurut Argyle, Myers, dan Diener (dalam Compton, 2005: 48) terdapat enam variabel yang dihubungkan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup, yaitu: a. Self esteem (Harga diri)

Pendidik yang memiliki harga diri yang tinggi akan dapat melaksanakan tugasnya dengan bermakna. Akan tetapi harga diri ini bukan berarti memberikan jarak dengan peserta didik atau dengan rekan yang lain. Self esteem adalah prediktor paling penting dari subjective well-being. Self esteem yang positif dihubungkan dengan keberfungsian yang adaptif di dalam setiap bidang kehidupan. Self esteem yang tinggi memberikan sejumlah keuntungan bagi individu meliputi perasaan bermakna dan berharga. Dengan demikian berefek positif dalam menghadapi peserta didik akan lebih bermakna. Pendidik merasa lebih terhormat, berwibawa, dan mempunyai harga diri dihadapan peserta didik.

b. Sense of perceived control (Rasa tentang pengendalian yang dapat diterima) Seorang pendidik harus mampu mengontrol pribadi karena dia mempunyai keyakinan bahwa pendidik dapat berperilaku positif dengan cara memaksimalkan hasil yang baik atau meminimalkan hasil yang buruk.

c. Extroversion (Terbuka) Ekstroversi menjadi salah satu prediktor yang paling signifikan dari subjective well- being. Pendidik yang mudah bergaul memiliki kesempatan untuk membangun relasi positif dengan individu lain seperti peserta didik dan rekan pendidik yang lain sekaligus mendapatkan timbal balik dari individu lain sehingga terwujud kondisi well being yang lebih tinggi.

d. Optimism (Optimisme) Pendidik yang lebih optimis akan merasa masa depan lebih bahagia dan lebih puas dengan hidup. Harapan untuk hasil yang positif tidak hanya meningkatkan mood tetapi juga menyediakan strategi coping yang lebih baik ketika mengalami stress. Sehingga beban tugas yang berat akan terasa lebih ringan dengan semangat yang tinggi.

e. Positive relationship (Hubungan positif)

Pendidik berada pada relasi sosial yang positif dihubungkan dengan self esteem yang lebih tinggi, coping yang sukses, kesehatan yang lebih baik, dan masalah psikologis yang lebih sedikit.

4. Evaluasi Komponen Well-Being Menurut Diener (dalam Eid & Larsen, 2008: 97) subjective well-being terbagi

dalam dua komponen umum, yaitu: 1. Komponen kognitif, Komponen kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang sebagai bentuk penguatan diri. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi: 1) Evaluasi terhadap kepuasaan hidup secara global (life satisfaction), yaitu evaluasi seseorang terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk mempresentasikan penilaian responden secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya. Secara spesifik, kepuasan hidup secara global melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standard unik yang dipunyai. 2) Evaluasi

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 507

terhadap kepuasan pada domain tertentu adalah suatu penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga.

Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global merupakan refleksi dari persepsi seseorang terhadap hal-hal yang ada dalam hidupnya, ditambah dengan bagaimana kultur mempengaruhi pandangan hidup yang positif dari seseorang.

5. Komponen aktif

Secara umum, komponen aktif subjective well-being merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe dari reaksi afektif yang ada seorang peneliti dapat memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen afektif well-being dapat dibagi menjadi: a. Afek positif (positive affect)

Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari well-being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa- peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited), kuat (strong), antusias (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert), bangga (proud), bersemangat (inspired), penuh tekad (determined), penuh perhatian (attentive), dan aktif (active).

b. Afek negatif (negatif affect)

Afek negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami. Afek negatif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressed), kecewa (disappointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile), lekas marah (irritable), malu (shamed), gelisah (nervous), gugup (jittery), khawatir (afraid).

6. Faktor yang Mempengaruhi Well-Being Menurut Pavot dan Diener (dalam Linely dan Joseph, 2004: 681) faktor-faktor

yang mempengaruhi subjective well-being adalah: Perangai/watak, watak seorang dapat diinterpretasikan sebagai sifat dasar dan universal dari kepribadian, dianggap menjadi yang paling dapat diturunkan, dan ditunjukkan sebagai faktor yang stabil di dalam kepribadian seseorang. Sifat, Sifat ekstrovert berada pada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi karena mempunyai kepekaan yang lebih besar terhadap imbalan yang positif atau mempunyai reaksi yang lebih kuat terhadap peristiwa yang menyenangkan.

Menurut Ngalim Purwanto (Heri Jauhari Muchtar, 2005:152), bahwa sikap dan sifat pendidik hendaknya: adil (tidak membedakan dan pilih kasih), percaya dan suka pada murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa terhadap peserta didiknya, penggembira, bersikap baik sama pendidik yang lain, bersikap baik sama masyarakat, menguasai materi, menyenangi pelajaran yang diberikan, dan berpengetahuan luas. Karakter pribadi lain, Karakter pribadi lain seperti optimisme dan percaya diri berkaitan dengan subjective well-being. Orang yang lebih optimis tentang masa depannya didapat merasa lebih bahagia, tidak mudah menyerah dan puas atas hidupnya dibandingkan dengan orang pesimis yang mudah menyerah dan putus asa jika suatu hal terjadi tidak sesuai dengan keinginannya.

UMUM…

508 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Hubungan sosial, hubungan yang positif dengan orang lain berkaitan dengan subjective well-being, karena dengan adanya hubungan yang positif tersebut akan mendapat dukungan sosial dan kedekatan emosional. Pada dasarnya kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu kebutuhan bawaan. Pendapatan, Dari survei diketahui, 96 persen orang mengakui bahwa kepuasan hidup bertambah seiring meningkatnya pendapatan pribadi maupun negara bersangkutan. Meski demikian bahwa ketimbang uang, perasaan bahagia lebih banyak dipengaruhi faktor lain seperti merasa dihormati, kemandirian, keberadaaan teman serta memiliki pekerjaan yang memuaskan.

Pengangguran, adanya masa pengangguran dapat menyebabkan berkurangnya subjective well-being, walaupun akhirnya orang tersebut dapat bekerja kembali. Pengalaman menganggur adalah penyebab adanya ketidakbahagiaan, namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua pengangguran mengalami ketidakbahagiaan.

Pengaruh sosial/budaya, pengaruh masyarakat bahwa perbedaan subjective well-being dapat timbul karena adanya perbedaan budaya dalam suatu negara. Ia menerangkan lebih lanjut bahwa pengaruh sosial dapat menimbulkan subjective well-being yang tinggi karena kebiasaan yang dianut dalam suatu negara yang kaya menghargai hak asasi manusia, memungkinkan orang yang hidup disitu untuk berumur panjang dan memberikan demokrasi. Aspek budaya terdapat 2 bagian yaitu budaya progresif dan budaya ekspresif. Budaya progresif tercermin dalam kemauan untuk maju dan berkembang, disamping itu dalam rangka pemenuhan kebutuhan secara efisiensi berdasarkan pemikiran secara rasional dan logis. Sedangkan budaya ekspresif yang diwarnai oleh nilai agama dan nilai estetik yang berdasarkan perasaan, intuisi, imajinasi, dan kepercayaan (Darmiyati Zuchdi, 2009: 186).

7. A sense of meaning and purpose to life (Pemahaman tentang arti dan tujuan hidup)

Kedua variabel tersebut diukur sebagai religiusitas dalam subjective well-being. Agama memberikan perasaan bermakna bagi pendidik di samping juga dukungan sosial dan meningkatkan self esteem melalui proses verifikasi diri ketika individu berhubungan dengan individu lain untuk berbagi cerita.

SIMPULAN Salah satu landasan pendidikan adalah psikologis. Landasan psikologis merupakan landasan psiko-fisik seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Pendidik bagian dari komponen pendidikan yang sangat berperan karena pendidik yang berinteraksi langsung dengan peserta didik. Well being pendidik sangat membantu terciptanya jalinan interaksi yang harmonis baik antar pendidik dengan peserta didik, antar pendidik dengan rekan sejawat dan atasan, serta antar pendidik dengan masyarakat. Well being berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia, kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Dengan manajemen pelaksanaan well being pada pendidik dapat berjalan lebih sistematis dan terstruktur dengan baik.

REFERENSI Ahmadi. 20013. Manajemen Kurikulum: Pendidikan Kecakapan Hidup. Yogyakarta:

Pustaka Ifada. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Asdi

Mahasatya. Asri C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta Azwar, Saifuddin. 2011. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Compton, William C. 2005. Introduction to Positive Psychology. USA: Thomson Learning

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 509

Compton, William C dan Edward Hoffman. 2005. Positive Psychology The Science of Happiness and Flourishing. USA: Jon-David Hague

Darmiyati Zuchdi. 2009. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara De Porter B, Hernarcki M. 1999. Quantum Learning. Bandung: Penerbit Kaifa Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi. Depdikbud. Diener, E. 2009. The Science of Well-Being The Collected Works of Ed Diener. USA:

Springer Diener, E. et al. 1993. The Relationship Between Income and Subjective Well-Being:

Relative or Absolute?. Netherlands: Kluwer Academic Publisher Eid, M. & Larsen R.J. 2008. The Science of Subjective Well-Being. London: The Guilford

Perss Endraswara, S. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha

Widya Fafchamps, Marcel dan Bereket Kebede. Subjective well-being, disability and adaptation:

A case study from rural Ethiopia. CSAE WPS/2008-01 Feist, Gregory J. dan Jess Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika Fudyartanto, Ki. 2003. Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Guardiola, Jorge and Teresa García-Muñoz. Subjective well being and basic needs:

Evidence from rural Guatemala. JEL Codes: I31, I32, O13, O18 Hamzah B. Uno, 2008. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Yogyakarta: Bumi Aksara I Nyoman S. – Olga D. Pandeirot, 2014. Psikologi Pendidikan 1, Jakarta: Erlangga. Jarvis, Matt. 2009. Teori-teori Psikologi. Bandung: Nusa Media Jarvis, Matt. 2009. Teori-teori Psikologi. Bandung: Nusa Media Jatman, Darmanto. 2011. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kayoman Koentjaraningrat. 2007. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan Linley, P.A & Joseph S. 2004. Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley &

Sons. Inc Lopez, S. J & Synder, C.R. 2007. Positive Psychological Assessment A Handbook of Model

and Measures: The Measurement and Utility of Adult Subjective Well-Being. Washington, DC, US: American Psychological Assosiation

Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi Edisi Sepuluh. Yogyakarta: PENERBIT ANDI Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT

REMAJA ROSDAKARYA Morissan, M.A. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana Munandar, Ashar Sunyoto. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press) Purwa Atmaja Prawira, 2013. Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, Jogyakarta:

Ar- Ruzz Media Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi Pendidikan.Jakarta: Rajawali. Ryff. C. & Keyes. C. 2005. The Ryff Scales of Psychological Well-Being. Journal of

Personality and Social Psychology. Vol 69. No. 4

UMUM…

510 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN UNTUK MENGUKUR KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMP KELAS VII

Muhammad Izzatul Faqih1, Insih Wilujeng2

UIN Walisongo Semarang1, Universitas Negeri Yogyakarta2

email: [email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengembangkan tes objektif yang layak untuk mengukur keterampilan proses sains: (1) ditinjau dari standar tes, dan (2) ditinjau melalui karakteristik tes. Penelitian ini merupakan research & development dengan model 4D. Teknik pengambilan data meliputi wawancara, angket, dan tes. Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara, lembar penilaian kelayakan soal dan soal keterampilan proses. Hasil penelitian berupa tes objektif yang layak secara teoritis dan empiris. Setiap butir soalnya memiliki daya beda > 0,25 dan reliabilitas sebesar 0,71. Jumlah soal sebanyak 36 butir. Kata kunci: instrumen, tes objektif, keterampilan proses sains

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kemakmuran suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin makmur bagsa itu. Untuk mencapai hal tersebut maka dapat dilakukan dengan membangun sebuah sistem pendidikan nasional. Dengan adanya sistem ini diharapkan kualitas dari pendidikan dapat meningkat. Kualitas sistem dapat dilihat melalui hasil dari tujuan pendidikan. Hasil dari tujuan sistem pendidikan nasional secara operasional dapat dilihat melalui sistem pembelajaran yang memuat proses pembelajaran. Proses pembelajaran terdiri dari tiga tahap, yaitu perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran, serta penilaian hasil belajar.

Kemudian pada tahap proses pembelajaran, penilaian merupakan aspek yang penting dan perlu diperhatikan. Pengertian penilaan dijelaskan oleh Uno & Koni (2012, p.2) bahwa assessement dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk dasar pengambilan keputusan tentang siswa, baik yang menyangkut kurikulum, program pembelajaran, iklim sekolah, maupun kebijakan-kebijakan sekolah. Penilaian hasil belajar siswa dapat berupa hasil belajar pengetahuan (kognitif), keterampilan, dan sikap. Kegiatan penilaian dapat dilakukan dengan teknik tes dan non tes, sedangkan instrumen yang digunakan dapat berupa soal maupun non soal. Teknik dan instrumen tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Sehubungan dengan itu penggunaan teknik dan instrumen harus sesuai dengan fungsi dan sasaran pengukuran sehingga didapatkan hasil yang valid.

Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dianggap memiliki beberapa kelemahan sehingga dikembangkan kurikulum 2013 (K-13). K-13 memiliki empat elemen perubahan antara lain; Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian. Standar penilaian merupakan salah satu elemen perubahan yang manjadi perhatian. Hal ini dikarenakan penilaian yang selama ini diterapkan dianggap tidak sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan. Penilaian keterampilan yang selama ini dilakukan di sekolah, khususnya untuk sains, mengarah kepada penilaian kognitif. Hal tersebut tidak sesuai dengan esensi yang ada pada penilaian keterampilan. Idealnya penilaian keterampilan harus mengukur kemampuan proses sains setiap siswa sehingga sesuai dengan hakikat sains.

Hakikat sains meliputi sains sebagai body of knowledge dan sains sebagai a way of investigation. Sains sebagai body of knowledge merupakan dimensi pengetahuan dari sains (produk), sedangkan sains sebagai a way of investigation merupakan dimensi

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 511

proses. Produk yang dihasilkan sains berupa pengetahuan. Dimensi pengetahuan dibagi menjadi empat ranah dimana dimensinya meliputi pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Pengetahuan tersebut didapatkan melalui serangkaian ketrampilan proses. Keterampilan proses dibagi menjadi dua macam yaitu ketrampilan proses sains dasar dan ketrampilan proses sains terintegrasi. Ketrampilan proses sains dasar meliputi mengamati, mengelompokkan, mengukur, inferensi, dan prediksi sedangkan ketrampilan proses sains terintegrasi meliputi menggambarkan secara operasional (komunikasi), mengendalikan variable, interpretasi data, hipotesis, dan eksperimen. Oleh karena itu, untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap penguasaan dimensi pengetahuan maka dapat dilakukan dengan mengukur keterampilan proses.

Pengertian mengenai sains yang lebih luas dinyatakan oleh Hewitt, et al. (2007: 1) “Science is an organized a body of knowledge about nature. It is the product of observations, common sense, rational thinking, and (sometimes) brilliant insights” yaitu sains adalah sebuah susunan badan pengetahuan tentang alam. Itu merupakan produk dari hasil observasi, akal sehat, pola pikir rasional, dan kadang kala dari ide yang brilian. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “Yet science is more than a body of knowledge. It is also a method, a way of exploring nature and discovering the order within it” sains lebih dari sekedar sebuah tubuh pengetahuan. Namun juga termasuk metode dan cara untuk mengeksplorasi alam dan menemukan susunan yang berada didalamnya.

Sains memiliki hubungan dinamis antara tiga faktor, seperti yang dikemukakan Bybee. & Trowbrige (1990: 48), “The nature of science is represented as a dynamic relationship among three factors-the extant body of scientific knowledge, the value of science, and the methods and process of science” sains mewakili sebuah hubungan dinamis antara pengetahuan saintifik, nilai sains, dan metode serta proses sains.

Sains dipelajari dengan metode tersendiri yaitu metode ilmiah. Dalam metode ilmiah terdapat beberapa bagian prosedural yang digunakan oleh saintis dalam menguji sebuah hipotesis. Kerangka dasar prosedur tersebut dalam Muslimin dan Nur (2007: 16) dibagi menjadi enam tahapan diantaranya: (a) Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah, (b) Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (c) Penyusunan atau klarifikasi data, (d) Perumusan hipotesis, (e) Deduksi dan hipotesis, (f) Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa.

Melalui metode ini para saintis memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, perlu adanya pembiasaan melatihkan kemapuan tersebut agar seseorang mampu menguasai sains secara ilmiah dan empiris layaknya seorang saintis.

Hasil wawancara terhadap guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kabupaten Gunung Kidul menunjukkan bahwa terdapat beberapa kendala terhadap penilaian keterampilan proses. Kendala tersebut berkaitan dengan banyaknya jumlah siswa yang diampu dan kompetensi yang harus dicapai. Rata-rata guru IPA mengampu sebanyak 6 kelas dengan rombongan belajar yang bervariasi antara 24 sampai 32 siswa per kelas. Sebagai tambahan, penilaian keterampilan proses setiap siswa juga membutuhkan waktu yang cukup lama, karena guru dituntut untuk menyelesaikan sejumlah kompetensi yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Ketika guru melakukan penilaian keterampilan proses untuk setiap siswa, maka kompetensi yang harus diselesaikan dalam waktu satu semester tidak dapat dicapai tepat waktu. Sehubungan dengan hal itu, guru menilai siswa dengan cara perkiraan yang subjektif, dimana menilai baik keterampilan proses siswa yang dilihat aktif dalam melakukan praktek. Hal ini dapat disimpulkan bahwa guru belum melakukan penilaian sesuai dengan fungsi dan sasaran pengukuran menggunakan instrumen yang valid dan reliabel. Oleh sebab itu, dibutuhkan instrumen penilaian alternatif yang efektif, efisien dan mampu mengukur keterampilan proses setiap siswa secara valid dan reliabel.

UMUM…

512 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Instrumen tersebut harus mudah digunakan, objektif, dan tidak memakan waktu yang lama.

Teknik tes dengan instrumen berupa soal dapat menjadi alternatif solusi terhadap masalah yang dimiliki guru dalam penilaian keterampilan proses setiap siswa. Stanley (1964: 221) menyatakan “A multiple-choice test is made up of items of which presents two or more responses, only one of which is correct or definitely better than the othes.” Sebuah tes pilihan ganda terbuat dari item yang disajikan dengan jumlah respon dua atau lebih, dan hanya ada satu jawaban yang benar atau lebih baik dari yang lainnya. Pendapat ini sejalan dengan Mardapi (2008: 71) yang mengemukakan bahwa tes bentuk pilihan ganda adalah tes yang jawabannya dapat diperoleh dengan memilih alternatif jawaban yang telah disediakan.

Keterampilan yang dikuasai setiap siswa dapat diukur melalui instrumen soal dalam bentuk tes objektif tipe pilihan ganda, namun demikian hasil observasi guru harus tetap dilakukan untuk mengetahui korelasi antara tes objektif ini dengan kemampuan praktis siswa. Instrumen tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan yang dimiliki diantaranya dapat digunakan untuk mengukur pemahaman dan kemampuan berfikir kompleks, mencakup materi dan soal yang cukup banyak, pensokran sangat mudah dilakukan dan objektif, serta memiliki reliabilitas yang sangat tinggi. Disamping itu, kelemahan yang dimiliki oleh instrumen ini diantaranya kurang efisien untuk mengukur kemampuan mengorganisasikan gagasan, kemampuan menulis, dan problem solving. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai merupakan penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D). Model R&D yang akan digunakan adalah 4D oleh Thiagarajan Semmel, & Semmel (1974) untuk mengembangkan instrumen tes berupa soal pilihan ganda untuk mengukur keterampilan proses sains siswa SMP kelas VII. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di D.I.Yogyakarta, yaitu untuk uji coba kelompok kecil adalah SMP N 3 Sentolo dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2015 Subjek Penelitian

Sampel populasi dalam penelitian ini adalah pada kelas VII SMP semester II di 17 SMP yang berbeda, yaitu: SMP N 3 Sentolo, dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan Variabel Penelitian

Variabel yang terlibat dalam penelititan ini adalah penguasaan keterampilan proses sains siswa SMP kelas VII. Prosedur Penelitian

Berdasarkan empat langkah pelaksanaan strategi penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Thiagarajan Semmel, dan Semmel (1974) maka penelitian ini menggunakan langkah berupa define, design, develope dan disseminate. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis butir soal. Data yang dianalisis meliputi: (1) Analisis data dari Validator: Draf awal yang di validasi menghasilkan data kualitatif. Data tersebut berupa masukan dan saran pada tiap butir soal yang berasal dari validator. Masukan dan saran dari validator dipadukan dan digunakan untuk merevisi draf awal yang sudah diberikan. (2) Analisis data dengan program Quest: Analisis data secara kuantitatif dilakukan setelah draf awal diujicobakan kepada siswa. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik soal yang dapat berupa tingkat kesukaran, daya beda, pengecoh dan indeks reliabilitas.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 513

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada pengembangan produk awal, penelitian bertujuan untuk: (1) membuat produk awal soal pilihan ganda untuk mengukur keterampilan proses siswa SMP kelas VII, (2) mengetahui kualitas soal secara teoretis melalui penilaian ahli, dan (3) mengetahui kualitas soal secara empiris melalui uji coba awal. Untuk mencapai tujuan itu, maka dilakukan tahap pengembangan sesuai dengan model R&D yang dikemukakan oleh Thiagarajan Semmel, dan Semmel 1974. Prosedur tersebut berupa pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan diseminasi. Keempat langkah tersebut dilakukan secara sistematis.

Langkah pertama, diawali dengan mealakukan analisis terhadap kebutuhan mengenai pengembangan instrumen yang berkaitan dengan pengukuran keterampilan proses. Analisis kebutuhan dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap guru. Hasil wawancara yang dilakukan kepada guru IPA di delapan sekolah di Kabupaten Gunung Kidul pada bulan September tahun 2014, terdapat masalah dasar dalam melakukan penilaian. Masalah terkait penilaian yang dihadapi ialah cara menilai penguasaan keterampilan proses siswa sesuai dengan tuntutan K-13. K-13 menuntut agar guru menilai kemampuan setiap siswa menggunakan instrumen penilaian seperti yang dicontohkan dalam kurikulum.

Konsekuensi dari kegiatan penilaian sesuai kurikulum adalah guru harus membimbing praktek sekaligus menilai tiap siswa dalam kelas dimana dalam satu kelas terdapat rata-rata 24 sampai 32 siswa. Kegiatan praktek merupakan aktivitas yang sangat kompleks dan memerlukan banyak bimbingan dari guru, khususnya untuk kelas VII karena mereka masih berada pada peralihan antara sekolah dasar (SD) menuju SMP. Kegiatan tersebut akan berlangsung dengan baik jika guru memiliki keleluasaan mengarahkan siswa, namun ketika harus dibebani menilai langsung pada tiap individu maka kelaluasaan itu akan berkurang dan akan berdampak pada kualitas kegiatan praktek.

Alasan lain yang membuat guru mengalami masalah dalam penilaian keterampilan proses adalah membutuhkan waktu yang cukup lama, dilain pihak juga dituntut untuk menyelesaikan SKL. Ketika guru melakukan keterampilan proses pada tiap siswa dimungkinkan kompetensi selama satu semester tidak dapat dicapai tepat waktu. Oleh karena itu, guru dilapangan menilai siswa secara subjektif dengan melakukan estimasi tanpa menggunakan instrumen yang valid, yaitu dengan melihat siswa yang aktif dan pasif. Siswa yang aktif diberikan nilai tinggi dan yang pasif diberikan nilai rendah, sedangkan yang antara pasif dan aktif diberi nilai sedang.

Penilaian secara subjektif ini kurang sesuai dengan kurikulum. Penilaian seharusnya dilakukan dengan instrumen yang jelas dan dilakukan secara objektif. Namun, dengan kesulitan yang sudah dipaparkan sebelumnya maka tidak ada pilihan lain, yaitu melakukan penilaian subjektif. Oleh karena itu, masalah sulitnya melakukan penilaian tersebut harus dipecahkan. Pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan dengan mengembangakan sebuah instrumen yang mudah digunakan guru. Instrumen yang dikembangkan adalah instrumen yang mampu mengukur penguasaan keterampilan proses.

Dari berbagai kajian pustaka yang telah dilakukan, teradapat banyak referensi untuk melakukan pengukuran keterampilan proses dengan menggunakan soal pilihan berganda. Salah satu diantaranya seperti tes yang dikembangkan oleh Baharom et al. 2011, p.203 yang menghasilkan instrumen tes berupa soal pilihan ganda yang valid dan reliabel untuk mengukur keterampilan proses sains pada sekolah menengah yang berjumlah 60 item. Keterampialn proses yang diukur dalam penelitian ini meliputi observasi, klasifikasi, mengukur dan menggunakan angka, inferensi, prediksi,

UMUM…

514 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

komunikasi, menggunakan hubungan spasial dan temporal, interpretasi data, mengontrol variable, mengoperasionalisasi variable, mengajukan hipotesis, dan melakukan eksperimen. Penelitian dilakukan dengan menggunakan responden sebanyak 111 siswa yang berasal dari Malaysia.

Langkah kedua, dilakukan pendesainan sesuai dengan analisis yang dilakukan pada tahap pendefinisian, maka instrumen yang dibuat berupa instrumen non tes dan instrumen tes. Instrumen non tes berupa angket untuk mengetahui validitas produk yang akan dibuat, sedangkan instrumen tes merupakan produk yang akan divalidasi. Instrumen tes berupa soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban yang dirancang sesuai dengan estimasi kriteria soal terstandar dengan mengacu spesifikasi tes. Spesifikasi tes merupakan karakter instrumen tes berupa: penentuan tujuan tes, penyusunan kisi-kisi tes, pememilihan bentuk tes, dan penentuan panjang tes.

Soal yang dibuat diturunkan melalui KI dan KD dari K13. KI dan KD dianalisis untuk mengetahui materi yang cocok untuk dibuat soal. Materi diambil dari semester I yang berasal dari lima bab. Setiap bab dipilih satu topik eksperimen yang kemudian dibuat soal keterampilan proses dalam bentuk pilihan ganda.

Langkah ketiga, dilakukan pengembangan yang menghasilkan instrumen non tes untuk mengukur kevalidan dan instrument tes draf produk berupa soal yang akan divalidasi beserta atributnya. Setelah instrumen validasi dan draf produk dibuat, selanjutnya dilakukan validasi secara teori melalui ahli.

Hasil validasi didapatkan melalui instrumen validasi dan butir soal yang telah dibuat. Judgement dari validasi oleh ahli dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) valid tanpa revisi, (2) valid dengan revisi, dan (3) tidak valid. Penilaian validitas draf awal dapat dilihat melalui rekapitulasi yang terdapat pada Tabel 1.

Revisi berdasarkan hasil validasi dibagi menjadi dua yaitu validasi ahli materi dan validasi ahli evaluasi. Hasil validasi dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1, ahli materi memutuskan 43 butir soal valid tanpa revisi dan 8 soal valid dengan revisi, sedangkan menutur ahli evaluasi 36 soal valid tanpa revisi dan 15 soal valid dengan revisi. Butir soal yang memiliki kategori valid tanpa revisi dapat digunakan langsung pada uji coba kelompok kecil. Butir soal pada kategori valid dengan revisi diperbaiki terlebih dahulu sebelum digunakan. Revisi dari kedua ahli tersebut kemudian diperbaiki dengan memperhatikan masukan dan saran pada lembar validasi dan lembar soal. Rekapitulasi perbaikan dari masing-masing ahli dapat dilihat pada lampiran

Butir soal direvisi berdasarkan masukan dan saran yang diberikan oleh validator. Secara umum masukan dan saran yang diberikan adalah sebagai berikut: (a) Perbaikan pada rumusan soal, yaitu: bahasa tidak komunikatif, bahasa yang tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia, cara penyusunan kalimat, dan melengkapi informasi yang kurang, gambar yang kurang jelas, dan soal yang tidak mencakup process skills IPA. (b) Perbaikan pada pilihan jawaban, yaitu: pilihan jawaban tidak homogen dan logis, dan mudah ditebak. (c) Perbaikan pada indikator karena terbalik antara butir soal yang satu dengan yang lain (kesalahan penyusunan pada kisi-kisi).

Dari revisi yang dilakukan, perbaikan yang paling banyak adalah pada bagian rumusan soal. Rumusan soal yang diperbaiki terletak pada bahasa yang kurang komunikatif dan kurang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku.

Butir soal yang telah diperbaiki berdasarkan masukan dan saran validator selanjutnya disusun kembali sehingga diperoleh produk awal. Produk awal yang berjumlah 51 butir soal disusun sehingga memenuhi validitas isi. Hasil produk awal dapat dilihat pada lampiran 3b halaman 144. yang selanjutnya digunakan untuk uji coba kepada siswa untuk mencari validitas secara empiris.

Revisi berdasarkan uji coba kelompok kecil menghasilkan 32 butir soal yang memenuhi kriteria standaar tes dan berada pada kategori diterima, 12 butir diperbaiki

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 515

dan 8 butir ditolak. Butir soal yang diterima langsung dimasukkan produk utama, sedangkan yang ditolak dibuang. Butir soal yang berada pada kategori diperbaiki, dilakukan revisi sesuai dengan analisis yang dilakukan dengan bantuan program komputer Quest. Dari 12 butir soal yang dalam kategori diperbaiki, hanya 4 soal yang dimasukkan pada produk utama setelah dilakukan perbaikan, hal ini dikarenakan 8 butir soal yang lain memiliki daya beda mendekati nol atau dapat dikatakan tidak mampu membedakan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan kemampuan rendah. Selain itu, 8 butir soal yang lain tidak diperbaiki karena soal yang ada sudah memenuhi indikator keterampilan proses yang diharapkan pada masing-masing kategori keterampilan proses. Perbaikan yang dilakuakan pada pengecoh yang tidak berfungsi karena terdapat option yang dipilih kurang dari 2,5 % dari jumlah siswa yang ada.

Setelah semua perbaikan dilakukan sesuai dengan hasil analisis, maka semua butir soal disusun dan dirakit kembali berdasarkan karakteristik yang sudah didapatkan. Butir soal yang sudah dirakit menjadi produk utama kemudian digunakan untuk mengukur keterampilan proses siswa.

Setelah saran dan masukan didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan revisi terhadap draf awal. Draf awal diperbaiki sesuai dengan masukan dan saran yang telah diberikan oleh expert judgement. Setelah diperbaiki, butir soal kemudian dirakit kembali dan dijadikan sebagai produk awal. Produk awal digunakan untuk mengetahui validitas tiap butir soal secara empiris.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Validasi Ahli No

Validator

Nomor Butir Soal Valid tanpa revisi Valid dengan revisi Tidak

Valid

1 Ahli Evaluasi

5,6,8,9,13,17,20,39,42,43,45,46,47,48,49

1,2,3,4,7, 10,11,12, 14,15,16,18,19,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33,34,35,36,37,38, 40,41,44, 50,51

0

Jumlah 15 36 0 2 Ahli

Materi 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,15,16,17,19,20,22,23,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33,34,35,37,39,40,41,42,44,47,48,49,50,51

13,18,21,36,38,3,45, 46 0

Jumlah 43 8 0 Validitas dan reliabilitas instrumen soal diperoleh dari uji coba kelompok kecil.

Uji coba dilakukan pada tiga kelas di dua sekolah yang berbeda. Sekolah tersebut adalah SMP Negeri 3 Sentolo sebanyak dua kelas, dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan sebanyak satu kelas. Jumlah siswa pada kedua sekolah tersebut adalah 94 siswa.

Ujicoba kelompok kecil menghasilkan informasi tentang karakteristik butir soal. Karakteristik tersebut dilihat dari tingkat kesukaran, daya beda, pengecoh, dan reliabilitas. Informasi tentang karakteristik soal diperoleh dari analisis menggunakan bantuan program komputer Quest yang diolah dengan teori klasik.

Tingkat kesukaran yang dihasilkan melalui ujicoba kelompok kecil dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa produk awal memiliki soal dalam kategori sulit sebanyak 15 soal (29,41 %), kategori sedang sebanyak 31 soal (60,79 %), dan kategori mudah sebanyak 5 soal (9,8 %).

UMUM…

516 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 2. Tingkat Kesukaran Butir Soal Produk Awal No Kategori Nomor Butir Soal Jumlah Persentase

(%) 1 p>0,7 (Mudah) 2,10,33,39, 44

55

9,8 2 0,3≤p≤0,7 (Sedang) 1,4,5,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17,1

8,19,20,21,22,26,30,31,32,36,37,38,40,41,42,43,45,49

331

60,79

3 p<0,3 (Sukar) 3,13,23,24,25,27,28,29,34,35,46,47,48,50, 51

115

29,41

Daya beda soal melalui uji coba kelompok kecil diketahui melalui poin biserial. Hasil dari analisis terangkum pada tabel 3. Sesuai dengan tabel 3, maka soal yang termasuk kategori diterima sebanyak 32 soal (62,75 %), kategori diperbaiki sebanyak 11 soal (21,57 %), dan untuk yang ditolak sebanyak 8 soal (15,68 %).

Tabel 3. Daya Pembeda Butir Soal Produk Awal No Kategori

Nomor Butir Soal Jumlah Persentase

(%) 1 p > 0,25 1,2,4,5,6,10,11,12,15,17,18,19,20,21,2

2,23,24,26,29,31,33,36,37,38,39,40,41,43,44,45,49,51

32 62,75

2 0<DP≤0,25 3,7,13,14,16,25,28,35,42,48,50 111 21,57 3 p ≤ 0 8,9,27,30,32,34,46,47 8 15,68

Penyebaran jawaban (pengecoh) pada butir soal produk awal dapat dilihat pada

tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, sebanyak 46 soal memiliki pemilih lebih dari 2,5 % untuk tiap option dengan persentase 90,2 % sedangkan yang dibawah 2,5 % sebanyak 9,8 % atau 5 butir soal. Hal ini menunjukkan sebagian besar butir soal memiliki pengecoh yang berfungsi dengan baik.

Tabel 4. Penyebaran Jawaban Butir Soal Produk Awal No Kategori

Nomor Butir Soal jumlah Persenta

se (%) 1 Pemilih > 2,5 % 1,5,6,7,8,9,11,12,13,14,15,16,17,19,20,21,

22,23,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33,34,35,36,37,38,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49,50, 51

46 90,2

2 Pemilih < 2,5 % 2,4,10,18, 40 55 9,8

Berdasarkan karakteristik butir soal yang ditunjukkan pada tabel 2, tabel 3, dan tabel 4 dapat diestimasi jumlah butir soal yang diterima, diperbaiki, dan ditolak seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Sesuai dengan Tabel 5, maka soal dengan kategori “diterima” langsung digunakan, soal dengan kategori “ditolak” tidak digunakan untuk produk utama, soal dengan kategori “diperbaiki” direvisi terlebih dahulu sebelum digunakan. Delapan soal dengan kategori “diperbaiki” tidak direvisi dan tidak digunakan dalam produk utama karena nilai daya beda mendekati nol. Soal yang memiliki daya beda mendekati nol adalah nomor (3, 13, 16, 25, 28, 35, 49). Selain itu, alasan mengapa soal yang memiliki daya beda mendekati nol tidak digunakan untuk produk utama adalah soal yang lain sudah mewakili indikator keterampilan proses yang diperlukan.

Perakitan kembali soal yang sudah diterima dan direvisi dilakukan sehingga menghasilkan produk utama. Produk utama terdiri dari 36 soal yang selanjutnya

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 517

digunakan untuk uji lapangan pada tahap desiminasi. Rekapitulasi kategori butir soal disajikan pada Tabel 5 berikut.

Diseminasi dilakukan dengan mengujikan produk utama. Ujicoba dilakukan pada 15 sekolah di Kabupaten Gunung Kidul pada penelitian berbeda. Kajian produk akhir dapat dilakukan melalui hasil uji validitas secara teori dan uji validitas secara empiris. Kajian dari kedua uji tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut.

Tabel 5. Rekapitulasi Kategori Butir Soal

No Kategori Nomor Butir Soal jumlah 1 Diterima 1,2,4,5,6,10,11,12,15,17,18,19,20,21,22

,23,24,26,29,31,33,36,37, 38,39,40,41,43,44,45, 49,51

32

2 Diperbaiki 3,7,13,14,16,25,28,35,48,42,50 11 3 Ditolak 8,9,27,30,32,34,46,47 8

Uji validitas secara teori dilakukan oleh ahli evaluasi dan ahli materi. Pada uji ini,

produk awal divaliadasi untuk mendapatkan masukan dan saran. Masukan dan saran yang diperoleh dari kedua ahli digunakan untuk merevisi produk. Hasil validasi menunjukkan bahwa butir soal yang sudah dibuat sebagian besar berada pada kategori valid tanpa revisi dan sebagian yang lain berada pada kategori valid dengan revisi, serta tidak ada butir soal yang tidak valid. Sesuai dengan hasil tersebut butir soal yang sudah dibuat dapat dikatakan merupakan butir soal yang baik.

Uji validitas secara empiris dilakukan dengan mengujicobakan soal yang sudah direvisi dari ahli. Soal diujikan kepada 94 anak dari dua sekolah yang berbeda, yaitu SMP Negeri 3 Sentolo dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan. Setelah uji coba dilakukan maka dilakukan analisis terhadap semua butir soal dengan teori klasik. Analisis dibantu dengan menggunakan program Quest dan didapatkan bahwa terdapat soal yang valid sebanyak 32 butir soal, 8 butir soal gugur, dan 12 butir soal diperbaiki. 4 dari 12 butir soal diperbaiki dan digunakan pada produk utama. Produk utama yang dihasilkan berjumlah 36 butir soal. Nilai reliabilitas pada produk utama dilihat dari internal consistency yang terdapat pada hasil analisis program Quest dan dihasilkan angka 0,71. Angka tersebut berarti butir soal yang dianalisis memiliki reliabilitas yang cukup karena berkisar antara 0,7 sampai 0,8.

Berdasarkan kajian produk akhir melalui validasi ahli dan validasi empiris, maka dapat disimpulkan bahwa produk akhir merupakan perangkat soal yang telah valid baik secara teoritis menurut ahli maupun empiris setelah di uji di lapangan. Perangkat soal yang sudah valid kemudian dapat digunakan untuk mengukur keterampilan proses siswa SMP kelas VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan pembahasan sesuai dengan penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, Perangkat tes objektif pilihan ganda yang dikembangkan layak digunakan untuk mengukur keterampilan proses ditinjau dari standard tes. Hal tersebut didapatkan setelah divalidasi kepada ahli materi dan ahli evaluasi. Masukan dan saran yang diperolah digunakan untuk melakukan revisi dan dikembalikan kembali pada ahli. Pemeriksaan kembali dilakukan oleh ahli dan dinyatakan layak.

Kedua, Perangkat soal yang sudah diuji secara empiris memiliki karakteristik dayabeda, tingkat kesukaran, dan efektifitas pengecoh, dan reliabilitas yang baik. Daya

UMUM…

518 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

beda yang dimiliki > 0,25, tingkat kesukaran bervariasi dari rendah, sedang, dan sulit dengan proporsi 13,9 % : 72,2 % : 13,9%, pengecoh dipilih minimal 2,5 % dari semua responden, dan nilai reliabilitas instrument sebesar 0,71. Saran

Pertama, Guru IPA dapat menerapkan produk akhir soal keterampilan proses tipe pilihan ganda ini untuk mengukur penguasaan keterampilan proses siswa.

Kedua, Produk akhir soal diharapkan dapat digunakan sebagai contoh oleh guru IPA SMP untuk mengembangkan instrumen pengukur keterampilan berpikir kritis IPA siswa.

REFERENSI Bybee, R.W. & Trowbrige L.W. (1990). Becoming a Secondary School Science Teacher.

USA: Merrill Publishing Company Hewitt, Paul G., Lyons, Suzanne, Suchocki, John, Yeh, Jennifer (2007). Conceptual

Integrated Science. San Fransisco: Pearson Addison Wisely Mardapi, Djemari. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta:

Mitra Cendikia Press Muslimin & Nur, M. (2007). Hakikat Sains. UNY Press: Yogyakarta Stanley, J.C. (1964). Measurement In Today’s Schools. Prentice Hall: Englewood Cliffs,

New Jersey Thiagarajan, S., Semmel, D.S. & Semmel, M.I. (1974). Instructional Development For

Training Teachers Of Exceptional Children. Leadership Trining Institute/ Special Education: Minneapolis, Minnesota: University Of Minneasota

Uno, H.B. & Koni, S. (2012). Assessment Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 519

STUDI PENERAPAN ENTREPRENEURSHIP EDUCATION PADA PEMBELAJARAN TEMATIK

Nur Novianti1, Maria Ulfah2

Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP Universitas PGRI Semarang1

Pendidikan Biologi FPMIPATI Universitas PGRI Semarang2

email: [email protected], [email protected]

Abstrak Entrepreneurship education merupakan salah satu aspek penting untuk menumbuhkan minat wirausaha pada siswa Sekolah Dasar (SD). Entrepreneurship education memberikan peluang tumbuh dan berkembangnya potensi kreativitas dan inovasi siswa. Entrepreneurship education di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan, sedangkan pengintegrasian dalam proses pembelajaran di SD belum optimal. Artikel ini mengkaji penerapan entrepreneurship education pada pembelajaran tematik. Artikel ini berupa kajian pustaka melalui berbagai referensi yang berkaitan. Integrasi entrepreneurship education pada pembelajaran tematik SD diharapkan menumbuhkan minat kewirausahaan pada siswa SD. Sangat urgen adanya upaya pengembangan minat wirausaha pada siswa, sehingga siswa tidak hanya menguasai aspek pengetahuan dan sikap saja namun juga memiliki keterampilan yang terkait dengan minat wirausaha, dapat diterapkan program berbasis entrepreneurship education seperti student canteen, handycrafts market, market day, dan belajar jual beli. Program tersebut dikaitkan dengan materi yang ada pada pembelajaran tematik kelas 1 SD. Integrasi minat wirausaha kepada siswa dapat dilakukan dalam pembelajaran. Minat wirausaha tersebut dapat terintegrasi dalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka penerapan entrepreneurship education perlu dipertimbangkan untuk mengintegrasikan minat wirausaha dalam proses pembelajaran. Kata Kunci: Entrepreneurship education, Pembelajaran Tematik, Siswa SD

PENDAHULUAN

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Satuan Pendidikan harus mengembangkan tujuan pendidikan nasional yang merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia. Oleh karena itu, dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan rumusan tujuan pendidikan nasional. Fungsi dan tujuan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Sistem pendidikan di indonesia harus selalu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik ditingkat lokal,nasional maupun global. Untuk melihat mutu penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator.

Beberapa indikator mutu hasil pendidikan yang selama ini digunakan diantaranya adalah nilai Ujian Nasional (UN), persentase kelulusan, angka drop out (DO), angka mengulang kelas, persentase lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan diatasnya. Indikator-indikator tersebut cenderung bernuansa kuantitatif, mudah pengukurannya, dan bersifat universal. Di samping indikator kuantitatif, indikator mutu hasil pendidikan lainnya yang sangat penting untuk dicapai adalah indikator kualitatif yang meliputi: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

UMUM…

520 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

bertanggung jawab. Indikator kualitatif tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter siswa dan berkaitan dengan pembentukan sikap serta ketrampilan/skill entrepreneurship siswa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan ketrampilan/ skill entrepreneurship (Kemendiknas,2010). Pendidikan di Indonesia saat ini belum berhasil dalam mendidik siswa sadar dan memiliki jiwa entrepreneurship. Entrepreneurship education juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, entrepreneurship education di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Entrepreneurship education dapat diintegrasikan dalam pembelajaran tematik.

Entrepreneurship atau kewirausahan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya. Seseorang yang memiliki karakter selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Wirausaha adalah orang yang terampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya (Kemendiknas, 2010). METODE

Dalam tulisan ini, penulis mengumpulkan data melalui beberapa metode, di antaranya adalah: Studi Kepustakaan, serta pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. PEMBAHASAN

Salah satu upaya sistemik untuk menumbuhkan karakter wirausaha pada seseorang atau sekelompok orang adalah melalui entrepreneurship education. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam entrepreneurship education harus di arahkan pada pengembangan nilai-nilai dari ciri-ciri seorang wirausaha. Menurut para ahli kewirausahaan, ada banyak nilai-nilai kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa sebanyak 17 (tujuh belas) nilai yang seharusnya dimiliki oleh siswa. Implementasi dari nilai-nilai pokok kewirausahaan tersebut tidak secara langsung dilaksanakan sekaligus oleh satuan pendidikan, namun dilakukan secara bertahap. Hal ini bukan berarti membatasi penanaman nilai-nilai (internalisasi) kewirausahaan tersebut kepada semua sekolah secara seragam, namun setiap jenjang satuan pendidikan dapat menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan yang lain secara mandiri sesuai dengan keperluan.

Implementasi nilai-nilai kewirausahaan yaitu: (1) mandiri, (2) kreatif, (3) berani mengambil resiko dengan pertimbangan , (4) berorientasi pada tindakan, (5) kepemimpinan, (6) kerja keras, (7) Jujur, (8) Disiplin, (9) Inovatif , (10) Tanggung-jawab, (11) Kerja sama , (12) Pantang menyerah (ulet), (13) Komitmen, (14) Realistis, (15) Rasa ingin tahu, (16) Komunikatif, (17) Motivasi kuat untuk sukses.(Kemendiknas: 2010, 10). Apabila entrepreneurship education dilaksanakan secara terus menerus baik melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal maka akan mampu menumbuhkembangkan semangat dan jiwa kewirausahaan. Di samping itu entrepreneurship education dapat juga diintegrasikan dalam pembelajaran tematik pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran yang berwawasan entrepreneurship education tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 521

internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat (Kemendiknas: 2010, ).

Terdapat beberapa program berbasis entrepreneurship education yang mengembangkan skill entrepreneurship siswa seperti student canteen, handycrafts market, market day, dan belajar jual beli. Program tersebut dikaitkan dengan materi yang ada pada pembelajaran tematik kelas 1-6 SD yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar. Deskripsi program tersebut disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi Program Student Canteen, Handycrafts Market, Market Day, dan Belajar Jual Beli Berbasis Entrepreneurship Education No Program Deskripsi 1. Student

Canteen Sebuah program kantin siswa yang melibatkan siswa dalam kegiatan jual beli. Masing-masing kelas memiliki kantin dengan produk yang kreatif dan inovatif. Beberapa produk yang ditawarkan berupa hasil dari pembelajaran ipa yaitu mengenai produk bioteknologi.

2. Handycrafts Market

Sebuah program pasar kerajinan tangan yang diadakan tiap akhir semester. Produk yang diperjualbelikan merupakan hasil dari pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBdP). Tiap kelas terdapat stand yang menyajikan hasil kerajinan tangan perkelas dalam satu semester.

3. Market Day Sebuah program dimana dalam satu minggu terdapat satu hari pasaran. Hari pasaran ini digunakan untuk memperjualbelikan kebutuhan siswa seperti pakaian, alat tulis, sepatu, dan buku bacaan. Para penjual dan pembeli pada Market Day ini merupakan siswa dengan bimbingan guru.

4. Belajar Jual Beli

Sebuah program yang mewajibkan siswa untuk membawa minimal satu produk setiap harinya untuk dijual dilingkungan kelas. Produk tersebut dapat berupa makanan ataupun barang lainnya yang bermanfaat.

PENERAPAN ENTREPRENEURSHIP EDUCATION PADA PEMBELAJARAN TEMATIK DI SD

Menurut Hadi Subroto (2000), pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu tema tertentu yang mengaitkan dengan pokok bahasan lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep lain yang dilakukan secara spontan atau direncanakan baik dalam satu bidang studi atau lebih dan dengan beragam pengalaman belajar sehingga pembelajaran menjadi semakin bermakna. Sedangkan menurut Sukmadinata (2004) lebih memandang pembelajaran tematik sebagai suatu model pembelajaran dengan fokus pada bahan ajaran. Bahan ajaran disusun secara terpadu dan dirumuskan dalam bentuk tema-tema pembelajaran. Tema yang dimaksud adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi inti pembicaraan. Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya: (1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu; (2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama; (3) Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; (4) Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa; (5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas; (6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi

UMUM…

522 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain; (7) Guru dapat menghemat waktu karena beberapa mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan,waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.

Berikut adalah Penerapan pembelajaran tematik melalui program berbasis entrepreneurship education yang disajikan dalam tabel 2. Tabel 2. Penerapan Pembelajaran Tematik pada Kelas 1 SD melalui Program Berbasis Entrepreneurship Education No

Kelas Tema Program Penerapan

1 1 SD Tema 1: Diriku Sub tema : Aku merawat tubuhku

- Student Canteen

Pada Tema 1. mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat KD 4.4 Menyampaikan penjelasan (berupa gambar dan tulisan) tentang anggota tubuh dan panca indera serta perawatannya menggunakan kosakata bahasa Indonesia dengan bantuan bahasa daerah secara lisan dan/atau tulis. Penerapan entrepreneurship education yang sesuai yaitu memperjualbelikan peralatan mandi untuk merawat tubuh pada kantin siswa. Hal ini akan melatih siswa untuk jujur dan disiplin. Selanjutnya siswa menjelaskan penggunaan peralatan tersebut menggunakan kosakata bahasa indonesia dengan bantuan bahasa daerah. Selain itu dapat dikaitkan pula dengan mata pelajaran PJOK pada KD 4.8 Menceritakan bagian-bagian tubuh, bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain, cara menjaga kebersihannya, dan kebersihan pakaian.

- Handycrafts Market

Pada Mata pelajaran SBdP terdapat KD 4.2 Membuat karya ekspresi dua dan tiga dimensi. Karya tersebut nantinya diperjualbelikan saat akhir semester di Handycrafts Market. Tentunya hasil penjualan dapat digunakan siswa untuk menabung dan membeli kebutuhan lain sehingga dapat melatih siswa untuk hidup hemat dan mandiri.

- Market Day

Market Day ini menjual berbagai produk kebutuhan siswa. Di dalam market day siswa diajarkan untuk kerja keras, pantang menyerah dan komunikatif. Pada KD 4.2 Menceritakan kegiatan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari yang terdapat dalam mata

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 523

pelajaran PPKn. Pada Market Day ini dapat diterapkan aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi siswa.

- Belajar Jual Beli

Belajar jual beli ini merupakan program menjual produk dilingkungan kelas. Alat tukar yang digunakan yaitu berupa kartu yang dapat digunakan untuk jual beli. Kartu tersebut dapat dikaitkan dalam pembelajaran matematika KD 4.3 Mengurutkan bilangan- bilangan sampai dua angka dari bilangan terkecil ke bilangan terbesar atau sebaliknya dengan menggunakan kumpulan benda-benda konkret.

PENUTUP Entrepreneurship education selama ini hanya dilakukan dengan pengenalan tanpa ada program khusus yang juga dikaitkan dengan pembelajaran tematik , dengan program tersebut harapan terciptanya jiwa entrepreneurship pada siswa semakin meningkat. Sehingga siswa memiliki karakter kewirausahaan yang berguna bagi kehidupan ke depannya. REFERENSI Hadi Subroto.2000. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Universitas Terbuka. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan.

Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing danKarakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Sukmadinata. 2004. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, sistem pendidikan nasional, Bab II Pasal 3.

UMUM…

524 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

BAHAN AJAR SETS UNTUK SEKOLAH DASAR

Ummu Jauharin Farda Dosen FAI Unwahas Semarang

[email protected]

Abstrak Bahan ajar IPA bervisi SETS dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV pada mata pelajaran IPA dalam materi sumber daya alam. Dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi nilai rata-rata 85 dan hasil ketuntasan klasikal sebesar 86%. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas menggunakan bahan ajar IPA bervisi SETS. Model penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu Perencanaan (Planning), Implementasi Tindakan dan Pengamatan (Acting and Observe) dan Refleksi (Reflecting). Proses penelitian dilaksanakan sebanyak dua siklus yang terdiri atas dua kali pertemuan. Dari hasil analisis, bahwa ada peningkatan yang signifikan pada nilai tes tiap siklus. Pada siklus I, siswa yang mendapat nilai lebih dari 75 sebanyak 23 (66%) siswa dengan nilai rata-rata yang dicapai 73. Pada siklus II siswa yang mendapat nilai lebih dari 75 sebanyak 30 (86%) siswa dengan nilai rata-rata 85. Kata kunci: IPA, Bahan Ajar, SETS.

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan saat ini dituntut menghadapi tantangan perkembangan zaman yang secara kualitatif cenderung meningkat. Pendidikan IPA sebagai bagian dari pendidikan umumnya memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan, khususnya di dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi peserta didiklah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.13 Kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar guru harus menyesuaikan bahan ajarnya dengan Kurikulum 2013.

Bahan ajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (materi pelajaran), merangsang pikiran, dan perasaan, perhatian dan kemampuan peserta didik, sehingga dapat mendorong proses pembelajaran.14 Materi pelajaran yang sangat teknis dengan istilah terlalu banyak untuk dihafal secara rinci akan membuat peserta didik sering merasa mengantuk. Buku bahan ajar yang ada tidak menarik maka dapat membuat pembelajaran yang berlangsung kurang menarik bagi peserta didik. Buku bahan ajar sebaiknya mengaitkan pembelajaran dengan konsep kontekstual, dengan kata lain buku bahan ajar sebaiknya harus terkait dengan konsep ilmu dan lingkungan selain itu ditunjang dengan gambar dan tampilan yang menarik yang disusun untuk sebuah proses pembelajaran yang efektif.15 Kolaborasi antar unsur materi dengan lingkungan jika tidak sesuai akan mempengaruhi kebermaknaan pembelajaran bagi peserta didik. Kolaborasi yang tidak sesuai dengan unsur-unsur dilingkungan bisa sangat mempengaruhi proses kebermaknaan belajar dalam pembelajaran, mempengaruhi kognitif dan metakognitif karakteristik proses itu sendiri.16

13 Esa Nur Wahyuni dan Baharuddin. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2010. hlm.

115. 14 Rusman. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2010. 15 Rosario, B.,I, Science, Technology, Society, dan Evironment (STSE). Approach in Environment Science For

Non Science Student in a local Culture. ISSN: 20994-1064 CHED Accredited Research Journal,

CategoryB. 2009. 6 (1). 16 Viola, S. R., giretti, A., & leo, T. Detecting Differences in “Meaningful Learning” Behaviours and their

Evaluation: a Data Driven Approach. International Journal of Computing & Information Science.

2007. 5 (2) : 63-73.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 525

IPA di Sekolah Dasar bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; (1) Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, (2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi; antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat, (4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan gejala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, (7) Memperoleh bekal pengetahuan konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan SMP/MTs.17

Bahan ajar merupakan salah satu sumber belajar, yakni segala sesuatu yang memudahkan peserta didik memperoleh sejumlah informasi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan pemilihan bahan ajar berpendekatan SETS adalah berdasarkan faktor kebutuhan bahan ajar yang masih sangat minim dan kurang variatif. Menggunakan bahan ajar berpendekatan SETS diharapkan peserta didik memahami konsep yang disampaikan dan memahami dampak dari proses yang dipelajari baik bagi lingkungan maupun bagi dirinya sendiri. Penyusunan bahan ajar ini akan berpengaruh pada kompleks tidaknya materi ajar yang diperoleh peserta didik dalam setiap pembelajarannya, maka perlu pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan standar isi dan kontekstual.

Khususnya bahan ajar IPA perlu dikaitkan dengan lingkungan sekitar, masyarakat, dan teknologi agar peserta didik tidak hanya memahami sainsnya saja akan tetapi mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari. Pengkaitan ini lebih dikenal dengan pembelajaran IPA bervisi Science, Environment, Technology, And Society (SETS). SETS memberi peluang untuk mempelajari hakikat sains, teknologi, dan keterkaitannya dengan lingkungan dan masyarakat. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa melalui pendekatan SETS diharapkan peserta didik memiliki kemampuan memandang sesuatu secara terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur SETS, sehingga memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan yang dimiliki.18

Pada dasarnya dalam kehidupan manusia, unsur sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat itu saling berkaitan satu sama lainnya. Hal tersebut menguatkan pernyataan bahwa peserta didik belajar sebagai bekal hidup di masyarakat. Peserta didik harus hidup bermasyarakat dan sebagai bagian dari masyarakat harus berinteraksi dengan alam. Dari pembelajaran peserta didik mengenal konsep alam yang selanjutnya dikenal dengan sains dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya dalam bentuk teknologi untuk memperoleh kemudahan atau kemanfaatan dalam proses kehidupan individu maupun masyarakat.

Melalui penelitian ini diharapkan pembelajaran tentang materi sumber daya alam dapat membantu peserta didik mengaplikasikan pemahaman konsepnya dalam dunia nyata, dan benar-benar memahami fenomena-fenomena yang terjadi dalam lingkungan serta mampu memahami lingkungan tempat tinggal peserta didik sangat

17 Depdiknas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional. 2006.

hlm. 6.

18 Achmad Binadja. Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And Society) Dalam

Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Semarang: UNNES. 1999.

UMUM…

526 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

bermanfaat bagi kehidupannya serta mengaplikasikan hasil dari pemerolehan pengetahuannya, yang tentu saja masih dengan bimbingan guru. Melalui kegiatan pembelajaran diharapkan peserta didik diajak berpikir kritis sejak dini, dalam keadaan seperti apapun.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti khususnya di SDN Kalibanteng 03 Semarang, bahwasanya SETS sebagai pendekatan pembelajaran yang menghubungkaitkan lingkungan, teknologi, dan masyarakat, pendekatan ini sudah dikenal tetapi belum sepenuhnya diimplementasikan. Materi pembelajaran IPA sumber daya alam adalah materi yang berhubungan dengan alam dan kehidupan sehari-hari. Permasalahan yang lain adalah prioritas pembelajaran pada target selesainya semua materi pelajaran tanpa menghubungkan materi dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, serta manfaat peserta didik mempelajari materi tersebut sehingga mengakibatkan hasil belajar peserta didik rendah. Permasalahan yang ditemukan selanjutnya adalah minimnya upaya guru sekolah dasar untuk mengembangkan bahan ajar yang baik. Hal ini menjadi permasalahan klasik, dan perlu upaya pemecahan yang bersifat dorongan serta motivasi dari berbagai pihak. Tidak ada salahnya apabila guru mencoba sesuatu hal yang baru dengan mengembangkan bahan ajar yang memenuhi kriteria bahan ajar kelas IV Sekolah Dasar.

Dari permasalahan di atas, maka diperlukan pemecahan agar dapat meminimalisir masalah yang muncul dalam proses pembelajaran, salah satunya dengan pengembangan bahan ajar IPA bervisi SETS. Bahan ajar kelas IV Sekolah Dasar yang dikembangkan akan menjadi sumber dan acuan penting bagi peserta didik. Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Bahan Ajar IPA Bervisi SETS untuk Sekolah Dasar”. PENGERTIAN IPA IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan sistematis dan IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.19 IPA adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi alam.20 IPA adalah pengetahuan khusus yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.21 Dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Sains adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang alam sekitar beserta isinya tidak hanya dengan teori saja tetapi dengan melakukan observasi, ekperimentasi dan penyimpulan. IPA membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu IPA mempelajari semua benda yang ada di alam, peristiwa, dan gejala-gejala yang muncul di alam. IPA berupaya membangkitkan minat manusia untuk meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tak ada habis-habisnya. Berbagai alasan mata pelajaran IPA dimasukkan dalam suatu kurikulum yaitu: (1) bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa; (2) bila diajarkan dengan cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu mata pelajaran yang melatih atau mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis; (3) bila diajarkan melalui praktikum yang dilakukan oleh anak sendiri, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan

19 Sri Sulistyorini. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya Dalam KTSP. Semarang: Tiara

Wacana. 2007. hlm. 39. 20 Iskandar. Pendidikan Ilmu Pengetahuan alam. IKIP Malang. 2001. hlm. 2. 21 Abdullah. Pendidikan Sains Yang Humanistis. Surabaya: Kanisius. 1998. hlm. 18.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 527

belaka dan tidak membosankan; (4) mata pelajaran IPA mempunyai nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara holistik. HAKIKAT PEMBELAJARAN IPA

Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan menuangkan pengetahuan kepada siswa.22 Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.23 Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan.24 Dari pernyataan menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses untuk mentransfer pengetahuan anatara dua pihak pendidik dan peserta didik yang sistematik dan direncanakan.

Ditinjau dari karakteristiknya, peserta didik sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah memiliki rasa ingin tahu yang berlebih, penyelidik, penemu, dan pembelajar. Sehubungan dengan hal tersebut, peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan objek, orang, dan sumber-sumber belajar lainnya. Pembelajaran sains dapat membangun proses keterlibatan mental, fisik serta emosional. Selain itu pembelajaran sains juga harus ditunjang dengan pembelajaran yang menyenangkan dan bahan ajar yang baik. Bahan ajar yang baik disini yang seyogyanya dapat mengarahkan peserta didik kedalam proses perolehan, pengembangan, dan penerapan suatu konsep. Dengan demikian peserta didik akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkembangkan nilai-nilai pendidikan karakter. BAHAN AJAR IPA BERVISI SETS

Bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.25 Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran. Bahan ajar harus mempertimbangkan hal-hal berikut; (1) urutan tampilan harus yang mudah terlebih dahulu, kemudian judul yang singkat dan tidak bertele-tele, terdapat daftar isi, kerangka berfikirnya jelas, memenuhi prinsip bahan ajar, memuat refleksi, dan ada penugasan; (2) mempergunakan bahasa yang mudah dengan kosa kata yang sederhana, adanya kejelasan kalimat, keterkaitan masing-masing ide paragraf dengan kalimat yang tidak terlalu panjang; (3) adanya stimulant atau rangsangan pemikiran dengan kalimat-kalimat yang mendorong pembaca untuk berfikir dan menguji stimulant; (4) memuhi etika dan estetika dengan tidak menyalahi aturan penulisan, dan enak untuk dilihat dan dibaca; (5) materi harus instruksional, yang menyangkut pemilihan teks, bahan kajian serta lembar kerja; (6) harus ditentukan materi apa yang dibuat dan (7) mengetahui sasaran pembaca.26

Sebuah bahan ajar yang baik tentu harus memenuhi unsur-unsur yang disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Ada enam komponen yang berkaitan dengan unsur-unsur dalam penyusunan bahan ajar dapat mencakup; (1) petunjuk belajar, (2) kompetensi yang akan dicapai, (3) informasi pendukung, (4) latihan-latihan, (5)

22 Oemar Hamalik. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. hlm. 25. 23 UU No. 20. Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20. 2003. 24 Nana Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensido Offset. 2004. hlm. 28. 25 Andi Prastowo. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press. 2014. hlm.17. 26 Imas Kurniasih. Panduan Membuat Bahan Ajar Buku Teks Pelajaran Sesuai Dengan Kurikulum 2013.

Surabaya: Kata Pena. 2014. hlm. 67.

UMUM…

528 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

petunjuk kerja atau lembar kerja, (6) evaluasi.27 Bahan ajar merupakan sarana penunjang bagi peserta didik untuk kelancaran proses pembelajaran baik di kelas maupun di rumah, memuat materi pelajaran sains mengarahkan peserta didik ke pembelajaran IPA bervisi Science, Environment, Technology, And Society (SETS).28

Teori yang mendukung model pembelajaran SETS adalah sebagai berikut: (1) Gagne, menyatakan untuk terjadinya kegiatan belajar pada peserta didik diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun eksternal. Gagne menyatakan lima kelompok, yaitu intelectual skill, cognitive strategy, verbalinformation, motor skill, and attitude. (2) Dahar, menggolongkan teori-teori belajar (abad ke-20) kedalam golongan besar, yaitu teori perilaku (behavioristik), misalnya stimulus-respons dan teori belajar Gestalt-feald, yaitu teori kognitif dan (3) Yager (2009), mengajukan empat tahap strategi dalam pembelajaran yang memrhatikan konstruktivisme, yaitu (a) invitasi; (b) eksplorasi; (c) pengajuan penjelasam dan solusi; (d) menentukan langkah.29

Visi SETS adalah cara pandang yang menyatakan bahwa segala yang kita ketahui di alam ini mengandung empat unsur yaitu Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat.30 Pendidikan bervisi SETS adalah pendidikan yang membawa sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya guna meningkatkan kualitas hidup manusia Binadja.31

Karakteristik pembelajaran IPA bervisi SETS yaitu: 1) pembelajaran konsep IPA (sains) tetap diberikan; 2) peserta didik dibawa ke situasi untuk melihat teknologi yang terkait; 3) peserta didik diminta untuk menjelaskan keterhubungkaitan antara unsur sains yang dibincangkan dengan unsur-unsur lain dalam SETS.32 Untuk warga negara di masa datang dalam masyarakat demokratis, memahami hubungan timbal balik dari ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat mungkin sama pentingnya dengan memahami konsep dan proses sains.33

METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap, penelitian menggunakan beberapa metode, sehingga jika salah satu ada kelemahan dapat teratasi oleh metode yang lain. Metode yang digunakan adalah wawancara , observasi, dokumentasi, dan analisis data pada instrumen lembar observasi dengan menggunakan teknik deskriptif melalui persentase.

Hasil belajar dapat dianalisis dengan cara menghitung rata-rata nilai ketuntasan belajar secara klasikal. Adapun rumus yang digunakan:

Menghitung nilai rata-rata Nilai rata-rata= Jumlah seluruh siswa

N (Jumlah Siswa)

27 Andi Prastowo. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press. 2014. hlm.28-30. 28 Achmad Binadja. (1999). Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And Society)

Dalam Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar Lokakarya Pendidikan

SETS 14-15 Desember 1999. Semarang: UNNES 29 Wisudawati & Eka. Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara. 2014. hlm.74. 30 Puskur Balitbang Depdiknas. Draft Panduan Penyusunan Kurikulum dan Silabus Bervisi SETS (Salintemas)

Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. 2006.

Hlm. 4. 31 Binadja, Achmad. Pemikiran dalam SETS (Science, Environment, Technology, and Society). Semarang:

Laboratorium SETS-Universitas Negeri Semarang. 2007. hlm. 127. 32 Binadja, Achmad. (1999). Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And Society)

Dalam Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar Lokakarya Pendidikan

SETS 14-15 Desember 1999. Semarang: UNNES 33 Aikenhead, G., S. AvisionFor Science Education: Responding to the Work of Peter J. Fensham. International

Journal of STS Education. 2003.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 529

Ketuntasan belajar klasikal menggunakan analisis deskriptif persentase dengan perhitungan:

Ketuntasan belajar klasikal= Jumlah siswa yang tuntas belajar x 100% Jumlah Siswa

Indikator keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: a. Untuk perorangan, seorang siswa disebut telah tuntas belajar bila telah

mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditetapkan yaitu 75. b. Tercapainya ketuntasan belajar klasikal yaitu 85% siswa mendapat nilai 75

atau lebih.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan keseluruhan pembahasan serta analisis yang telah dilakukan, maka

secara ringkas diperoleh data: Tabel I

Hasil Tes Pra Siklus

No Kriteria

Ketuntasan Jumlah Siswa

Persentase

1. Tuntas 14 40% 2. Belum tuntas 21 60% Jumlah 35 100%

KKM = 75 Tabel 2

Rentang Nilai Pra Siklus

Nilai 45 50 55 60 65 75 80 Frekuensi 3 7 3 5 3 9 5

Gambar 1. Grafik Pra Siklus

Pada tahap pra siklus dari 35 siswa terdapat 14 siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal. Secara keseluruhan pada pra siklus belum mencapai ketuntasan minimal yang ditentukan melalui standar nilai yaitu 75. Karena hanya 14 peserta didik (40%) yang sudah mencapai KKM, sedangkan sisanya 21 peserta didik (60%) belum mencapai KKM. Dari hasil tes tersebut didapat nilai terendah 45, tertinggi 80 dan rata-rata 63.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

45 50 55 60 65 75 80

Jumlah

UMUM…

530 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 3

Ketuntasan Tes Siklus I

No Kriteria Ketuntasan

Jumlah Persentase

1. Tuntas 23 65,7% 2. Belum tuntas 12 34,3% Jumlah 35 100%

Batas Tuntas = 75 Tabel 4

Rentang Nilai Siklus I

Nilai 50 55 60 65 70 75 80 85 90 Jumlah Frekuensi 2 1 3 3 3 13 4 4 2 35

Gambar.2 Grafik Siklus I

Dari hasil tes tersebut diperoleh 12 siswa atau sebanyak (34%). Bagi yang telah tuntas sebanyak 23 siswa atau sebanyak (66%), dengan nilai terendah 50 dan nilai tertinggi 90. Secara keseluruhan keberhasilan pada siklus I cukup baik tetapi masih banyak siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar minimal

Tabel 5 Ketuntasan Hasil Tes Siklus II

No Kriteria Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase

1. Tuntas 30 85,7%

2. Belum tuntas 5 14,3%

Jumlah 35 100%

Batas Tuntas = 75 Tabel 6

Rentang Nilai Siklus II Nilai 60 70 75 80 85 90 95 100 Frekuensi 1 4 4 3 9 6 3 5

0

2

4

6

8

10

12

14

50 55 60 65 70 75 80 85 90

Juml…

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 531

Gambar 3. Grafik Siklus II

Dari hasil tes di dapat nilai terendah 70, tertinggi 100 dan rata-rata 85. Secara keseluruhan keberhasilan pada siklus II ini sudah mencapai ketuntasan minimal sedangkan untuk ketuntasan klasikal juga telah mencapai 86% yaitu diatas standar yang telah ditentukan yaitu 80%

Tabel 7 Perbandingan rata-rata evaluasi pada tahap Pra siklus, siklus I, dan siklus II

No Pelaksanaan Siklus Ketuntasan Prosentase 1 Pra Siklus 10 40% 2 Siklus I 23 66% 3 Siklus II 30 86%

Gambar.4 Grafik Perbandingan Rata-rata Evaluasi Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II

Dari hasil penelitian antara pra siklus, siklus I, dan siklus II terjadi peningkatan hasil belajar. Pada tahap pra siklus di dapat nilai ketuntasan klasikal: P= 10 x 100% = 40%

35 Pada pra siklus tersebut dapat disimpulkan bahwa didapat nilai terendah 45,

tertinggi 80 dan rata-rata 63. Secara keseluruhan keberhasilan pada pra siklus belum mencapai ketuntasan minimal yang ditentukan melalui standar nilai yaitu 75. Karena hanya 14 siswa (40%) yang sudah mencapai KKM, sedangkan sisanya 21 peserta didik (60%) dari 35 peserta didik kelas IV yang belum mencapai KKM.

Pada pengamatan siklus I dari hasil diperolehan nilai ketuntasan klasikal yaitu dengan rumus:

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

60 70 75 80 85 90 95 100

Jumlah

UMUM…

532 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

P= 23 x 100% = 66% 35 Pada siklus ini mengalami peningkatan yaitu hanya 13 peserta didik (34%), dan

yang telah tuntas belajar sebanyak 22 siswa (66%) dari 35 siswa. Pada pengamatan siklus II dari hasil diperolehan nilai ketuntasan klasikal yaitu dengan rumus: P= 30 x 100% = 86%

35 Siklus II diperoleh hasil peserta didik telah mencapai ketuntasan belajar

sebanyak 30 (86%), yang belum tuntas hanya 5 (14%) dari 35 peserta didik kelas IV dengan memperoleh ketuntasan klasikal 86%. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bahan ajar IPA bervisi SETS dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi dengan nilai rata-rata 85 dan hasil ketuntasan klasikal sebanyak 86%. REFERENSI Abdullah. Pendidikan Sains Yang Humanistis. Surabaya: Kanisius. 1998. Aikenhead, G., S. AvisionFor Science Education: Responding to the Work of Peter J.

Fensham. International Journal of STS Education. 2003. Baharuddin, dan Esa Nur Wahyuni. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media. 2010. Binadja, Achmad. Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And

Society) Dalam Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar Lokakarya Pendidikan SETS 14-15 Desember 1999. Semarang: UNNES. 1999.

Binadja, Achmad. Pemikiran dalam SETS (Science, Environment, Technology, and Society). Semarang: Laboratorium SETS-Universitas Negeri Semarang. 2007.

Depdiknas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional. 2006.

Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika. Iskandar. Pendidikan Ilmu Pengetahuan alam. IKIP Malang. 2001. Prastowo, Andi. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press.

2014. Puskur Balitbang Depdiknas. Draft Panduan Penyusunan Kurikulum dan Silabus Bervisi

SETS (Salintemas) Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. 2006.

Rosario, B.,I,. Science, Technology, Society, dan Evironment (STSE). Approach in Environment Science For Non Science Student in a local Culture. ISSN: 20994-1064 CHED Accredited Research Journal, CategoryB. 6 (1). 2009.

Rusman. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2010. Sudjana, Nana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung :Sinar Baru Algensido

Offset. 2004. Sulistyorini, Sri. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya Dalam KTSP.

Semarang: Tiara Wacana. 2007. UU No. 20. 2003. Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20. 2008. Viola, S. R., giretti, A., & leo, T. Detecting Differences in “Meaningful Learning”

Behaviours and their Evaluation: a Data Driven Approach. International Journal of Computing & Information Science. 5 (2) : 63-73. 2007.

Wisudawati & Eka. Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 533

PENGARUH IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL BUDI PEKERTI TERHADAP KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR

DI KABUPATEN CIREBON

Bagus Nurul Iman, Hanikah Universitas Muhammadiyah Cirebon

[email protected] [email protected]

Abstrak

Pendidikan budi pekerti merupakan karakter Bangsa Indonesia sejak sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karakter sebagai moral excellence atau akhlak atau pula budi pekerti dibangun di atas kebijakan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Untuk meningkatkan karakter individu yang lebih baik pemerintah kabupaten Cirebon sejak tahun 2004 menjadikan mata pelajaran Budi Pekerti sebagai matapelajaran di Sekolah Dasar. Tujuan dari Penelitian ini ialah Mengetahui seberapa besar pengaruh implementasi pembelajaran muatan lokal Budi Pekerti terhadap karakter siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon. Jenis penelitian ini adalah korelasional, mengingat penelitian sejenis di lokasi penelitian ini belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai sebuah penelitian korelasi untuk mengetahui pengaruh implementasi pembelajaran muatan lokal budi pekerti terhadap karakter siswa.Hasil Uji regresi terdapat R Square sebesar 0,665 dari koefisien korelasi (0,815) R-Square disebut koefisien determinasi yang dalam hal ini 66% peningkatan nilai karakter siswa dapat dipengaruhi oleh pembelajaran budi pekerti dan 34% dipengaruhi faktor lain. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai F yang mengasumsikan bahwa kedua varian sama adalah dengan nilai t = 4,337 dengan derajat kebebasan (df) = n1 + n2 – 2 = (200 + 200 – 2 = 398). α = 0,05 diperoleh Sig. 0,000. Karena nilai Sig. 0,000 < 0,05 dengan demikian Ho ditolak dengan kata lain Ha diterima, artinya terdapat pengaruh pembelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa. Kata Kunci: Implementasi pembelajaran, budi pekerti, karakter siswa.

PENDAHULUAN

Di indonesia angka kenakalan remaja sangat tinggi,hal ini menurut Wahidin (2011 : 116 ) di sebabkan oleh sistem pendidikan yang kurang berhasil dalam membentuk sumberdaya manusia melalui pendidikan karakter yang tangguh berbudi pekerti luhur, tanggung jawab, disiplin dan mandiri yang terjadi hampir disemua jenjang pendidikan. Hal tersebut membuktikan bahwa lembaga pendidikan yang ada belum dapat mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas.

Pendidikan budi pekerti merupakan karakter Bangsa Indonesia sejak sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. karakter sebagai moral excellence atau akhlak atau pula budi pekerti dibangun di atas kebijakan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebijakan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa indonesia. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian tersendiri dari warga negaranya dengan bertingkah laku yang berbudi pekerti luhur.

Ki Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa menekankan betapa pentingnya pendidikan budi pekerti sejak usia dini di sekolah. Mata pelajaran ini memfasilitasi siswa guna mengkaji nilai-nilai humanitas, misalnya prinsip kejujuran, memperjuangkan keadilan,sikap tepa slira dan menghargai perbedaan yang ada (SKH Kedaulatan Rakyat Oktober 2006). Budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah.2007:17). Menurut

UMUM…

534 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

draf kurikulum berbasis kompetensi (2001) budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia Ada Beberapa Pendapat tentang Budi Pekerti yaitu: yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukan melalui norma agama, norma hukum, tatakrama dan sopan santun, norma budaya adat istiadat masyarakat. Budi pekerti berinduk pada “etika” atau filsafat moral.

Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat-istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil (Tim Pendidikan Karakter, 2010).

Martin Luther King, Jr., dalam sebuah ceramahnya di Morehouse Colege 1948 menegaskan: “We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus character—that is the goal of true education”. Kutipan “ceramah” filosuf handal tersebut menegaskan satu hal bahwa parameter keberhasilan sebuah pendidikan tidak cukup hanya melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan secara intelektual saja, namun diperlukan intelejensi tambahan yakni karakter, inilah tujuan dari sebuah pendidikan (Freeforum.org, 2012). Sementara itu, Down berdasarkan pengalamannya di berbagai negara menyimpulkan, bahwa tujuan pendidikan itu ada dua, yakni: membantu anak-anak muda menjadi pintar dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Lebih lanjut, Down menegaskan; karakter yang baik tidak bisa dibentuk secara otomatis. Ia dibentuk melalui proses waktu dalam pendidikan yang berkelanjutan, melalui teladan, belajar dan praktik (“Good character is not formed automatically; it is developed over time through a sustained process of teaching, example, learning and practice. It is developed through character education”).

Nilai-nilai karakter dan budi pekerti yang dapat dintegrasikan dan dipraktekan di sekolah antara lain keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mentaati ajarannya, menaati ajaran masing-masing agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja/etos belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berfikir positif, mengembangkan kualifikasi diri, menumbuhkan rasa cinta dan kasuh sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetiakawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran.

Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin sebagaimana dikutip Abdul Majid dan Diyan Andayani mengandung tiga unsur pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (Loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good) (Majid dan Andayani, 2011: 11). Lebih lanjut Furqon menyimpulkan bahwa karakter adalah kualitas mental atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakan dengan individu yang lain (Hidayatullah, 2010: 13).

Kata karakter terkadang juga disandingkan dengan beberapa kata seperti budi pekerti, akhlak, etika atau moral. Budi pekerti secara epistemologi berarti penampilan diri berbudi sedangkan secara leksikal budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, watak atau akhlak. Secara operasional, budi pekerti adalah perilaku yang tercermin dalam kata, perbuatan, pikiran, sikap, perasaan, keinginan dan hasil karya (Majid dan Andayani, 2011: 13).

Karakter atau budi pekerti berkembang melalui empat tahap yaitu tahap anatomi, heteronomi, sosionomi, dan anatomi (Bull, 1969; Rachman, 2000). Mengingat

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 535

budi pekerti berkembang melalui tahapan-tahapan perkembangan anak dan pengaruh lingkungan dimana anak memiliki hak mengembangkan dirinya maka pendidikan budi pekerti hendaknya diberikan secara dini, sekarang, dan selalu setiap waktu. Oleh karena itu, guru di sekolah, orang tua di rumah, instruktur/pelatih di tempat kursus, tokoh masyarakat di masyarakat dalam mengembangkan budi pekerti anak harus bersifat spontan dan segera. Spontan dalam merespon, menegur, mengarahkan ketika anak berbuat tidak sesuai dengan nilai budi pekerti; segera memberi penguatan ketika anak berbuat sesuai dengan nilai budi pekerti.

Pendidikan budi pekerti merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai sistem, pendidikan budi pekerti memiliki serangkaian materi, metode, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi. Di dalam buku pedoman umum pendidikan budi pekerti dijelaskan bahwa pendidikan budi pekerti sebagai salah satu dimensi substansi pendidikan nasional penting yang belum sepenuhnya memberi dampak pembelajaran dan pengiring yang menggembirakan. Hal ini terutama tercermin dalam fenomena perilaku yang tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan menurunya penghormatan kepada pemerintah. Oleh karena itu sebagai sarana utama dalam pembangunan bangsa dan watak, pendidikan budi pekerti dituntut untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan nilai budi pekerti dalam seluruh dimensi pendidikan (Depdiknas, 2001: 3). Sehingga sampai sekarang gejalagejala perilaku siswa belum mencerminkan suatu sikap yang luhur. Dewasa ini, terutama di kota-kota besar terdapat perilaku yang menyimpang atau amoral-asusila, seperti perkelahian massal, tawuran siswa, penyalahgunaan narkoba, penyebaran HIV-AIDS, dan pelanggaran tata tertib, 3 maka diperlukan upaya pencegahan dan penyembuhanya. Salah satu upaya yang dirasa paling pas dan masuk akal untuk menangkal atau mencegah makin merebaknya perilaku amoral peserta didik, diperlukan pendidikan budi pekerti yang menanamkan nilai-nilai moral pada diri peserta didik. Pendidikan budi pekerti dilaksanakan secara terintegrasi untuk pembentukan watak kepribadian peserta didik secara utuh yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja, dan hasil kerja yang baik.

Pendidikan budi pekerti untuk membentuk karakter siswa harus dipikirkan secara serius agar proses bersekolah yang dialami para peserta didik dapat menghasilkan karakter bangsa yang baik. Salah satunya adalah pendidikan karakter dirancang dengan cara diintegrasikan ke dalam kandungan kurikulum tertulis, kurikulum yang tidak tertulis (hidden curriculum), serta kegiatan kokurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata pelajaran melalui proses pembelajaran di kelas, tugas di luar kelas, dan juga terwujud di dalam peraturan sekolah Perlu diketahui bahwa desain pembelajaran budi pekerti semestinya tidak muncul sebagai suatu mata pelajaran atau tidak diatasnamakan mata pelajaran budi pekerti. Namun, aplikasi nilai-nilai budi pekerti itu terserap sebagai muatan di setiap aktivitas pembelajaran yang sudah dirancang. Dengan demikian, setiap mata pelajaran dapat bermuatan nilai-nilai budi pekerti. Oleh karena itu, pendidikan karakter untuk mengembangkan nilai budi pekerti ini tentu saja tidak dapat berhasil dalam waktu yang singkat. Misalnya, langsung dapat dilihat melalui bentuk spot mata pelajaran di awal, di tengah, ataupun di akhir saja. Di samping itu, juga jangan diharapkan langsung dapat berhasil dalam satu mata pelajaran. Pendidikan karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata pelajaran saja tidak akan dapat menjamin tercapainya karakter peserta didik yang diinginkan. Dengan demikian, pendidikan karakter harus berjalan sesuai dengan proses yang menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum ini diterapkan, kandungan dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan.

UMUM…

536 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Lembaga pendidikan memiliki tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang cerdas dan berakhlak mulia. Terbentuknya dua kriteria ini memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial yang ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin serta keselamatan dunia akherat (Zuchdi, 2008:141). Dengan kata lain, lembaga pendidikan dalam konteks ini diharapkan dapat menghasilkan terbentuknya manusia yang memiliki budi pekerti yang baik. Dalam hal ini, pendidikan budi pekerti dapat dipandang sebagai proses pembentukan manusia yang bermuarapada aspek kecerdasan dan sosialitas yang bermuara pada aspek akhlak mulia. METODE

Jenis penelitian ini adalah korelasional, mengingat penelitian sejenis di lokasi penelitian ini belum pernah dilakukan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Oleh sebab itu, sebagai sebuah penelitian korelasi untuk mengetahui pengaruh implementasi pembelajaran muatan lokal budi pekerti terhadap karakter siswa.

Ada dua jenis variabel dalam penelitian ini, yakni variabel bebas (independent) berupa pembelajaran budi pekerti (X), dan variabel terpengaruh (dependent) berupa karakter siswa (Y). Kedua variabel tersebut akan diteliti mengenai pengaruhnya satu sama lain sebagai objek materil dari penelitian ini.

Populasi dari penelitian ini adalah siswa SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD Negeri 2 Pabuaran Kidul Kabupaten Cirebon Tahun Akademik 2016/2017. Total populasinya adalah 712 siswa. Adapun rinciannya sesuai tabel berikut ini:

Tabel 1 Jumlah Populasi

Jumlah Siswa

SDN 1 Cipeujeuh

Wetan

SDN 2 Pabuaran

Kidul Laki-laki 218 154

Permpuan 194 146 Jumlah Total

412 300 712

Sampel dalam penelitian ini adalah 200 SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD Negeri

2 Pabuaran kidul. Instrument yang digunakan adalah lembar angket. Lembar angket ini digunakan

untuk mendapatkan data tentang kontribusi pembelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa. Lembar angket ini diberikan kepada siswa, berisi pernyataan dan pertanyaan mengenai gambaran pembelajaran budi pekerti menumbuhkan karakter bangsa pada siswa. Lembar angket ini dipilih karena memudahkan untuk mendapatkan data dalam waktu yang singkat dan responden dalam jumlah yang banyak. Dengan menggunakan lembar angket yang diberikan kepada siswa agar terhindar dari subjektif guru. Berikut ini kisi-kisi angket yang di gunakan dalam penelitian:

Tabel 2 Kisi-kisi Angket

Budi Pekerti Berkaitan dengan Nilai Karakter

No Indikator Deskripsi No

Pernyataan 1. Religius 1. Berdoa sebelum belajar

2. Melaksanakan ibadah sesuai keyakinan

1

2

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 537

2. Jujur 1. Tidak menyontek saat ulangan 2. Berbicara apa adanya

3

4 3. Toleransi 1. Menjenguk teman yang sakit

2. Menghargai pendapat teman 5

6 4. Disiplin 1. Datang ke sekolah tepat waktu

2. Mentaati peraturan sekolah 3. Berpakaian rapih

7

8

9 5. Kerja

Keras 1. Mengerjakan soal ulangan sendiri 2. Rajin belajar demi mendapat nilai

besar

10

11 6. Kreatif 1. Membuat rangkuman dari pelajaran

yang telah dipelajari 2. Membuat daftar pertanyaan atau

catatan kecil dari pelajaran yang akan atau telah dipelajari

12

13 7. Mandiri 1. Menyiapkan perlengkapan sekolah

sendiri 2. Tidak mudah meminta pertolongan

teman saat mengerjakan tugas sekolah

14

15

8. Demokratis

1. Tidak memaksakan pendapat kepada teman

2. Meminta pendapat teman saat ada tugas kelompok

16

17 9. Rasa Ingin

Tahu 1. Mendengarkan penjelasan guru 2. Senang bertanya

18

19 10. Semangat

Kebangsaan

1. Senang memperingati hari besar nasional

2. Iuran untuk kegiatan 17 Agustus

20

21 11. Cinta

Tanah Air 1. Senang menggunakan bahasa

Indonesia 2. Hapal lagu kebangsaan Indonesia

22

23 12. Mengharg

ai Prestasi 1. Mengakui kelebihan teman 2. Menghargai hasil karya teman

24

25 13. Bersahaba

t / Komunikatif

1. Membantu teman 2. Bermain dan belajar bersama

26 27

14. Cinta Damai

1. Memaafkan ketika teman salah 2. Berkata santun dan sopan kepada

teman

28, 39 29

UMUM…

538 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

15. Gemar Membaca

1. Memanfaatkan waktu luang untuk membaca

2. Rutin ke perpus untuk membaca

30

31

16. Peduli Lingkungan

1. Membuang sampah pada tempatnya 2. Melaksanakan piket kelas 3. Menjaga kebersihan kelas

32, 40 33 34

17. Peduli Sosial

1. Menolong teman yang kesusahan 2. Memberikan ucapan baik pada waktu

suka maupun duka

35

36 18. Tanggungj

awab 1. Melaksanakan tugas guru 2. Melaksanakan jadual piket

kebersihan kelas

37

38

Untuk mengetahui implementasi pembelajaran muatan lokal budi pekerti terhadap pendidikan karakter dilakukan uji regresi. Analisis regresi digunakan untuk tujuan peramalan, dimana dalam model ini akan ada variable dependen dan variable independen. Jika ada peningkatan dari satu variable, apakah variable yang lainnya akan mengikuti atau tidak. Dalam penelitian ini analisis regresi akan melihat apakah jika terjadi peningkatan dalam pembelajaran budi pekerti maka disertai pula dengan peningkatan pembangunan karakter pada siswa. Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi sederhana yaitu hanya menggunakan satu variable independen.

Untuk mengetahui tingkat signifikan implementasi pemebelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa, maka dilakukan uji anova yang akan mengindikasikan regresi secara statistic sangat signifikan atau tidak dengan melihat angka signifikannya (Sig). apabila nilai signifikannya lebih kecil dari α=0,05, maka dapat disimpulkan terjadi pengaruh yang signifikan antar variable. Sebaliknya apabila signifikannya lebih besar dari α=0,05, maka dapat disimpulkan tidak ada pengaruh yang signifikan antar variable.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suatu instrumen dikatakan memenuhi validitas isi apabila instrumen mampu mengukur tujuan tertentu yang sejajar dengan kurikulum. Uji coba instrumen diberikan kepada 50 siswa (SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD Negeri 2 Pabuaran Kidul Kabupaten Cirebon) yang masih termasuk dalam populasi, tetapi kedudukan mereka bukan sebagai sampel. Uji validitas dilakukakan secara bersamaan dengan uji realibilitas dengan mengklik menu analyze, Scale, Reliability Analysis menggunakan model Alpha, dari 40 pertanyaan hanya 5 yang dinyatakan tidak valid. Hal tersebut dapat diketahui dengan cara menggunakan r tabel. Nilai r tabel adalah 0,138 dengan tingkat signifikasi untuk uji dua arah adalah 0,05 atau 5% dan df 48 yang diperoleh dari jumlah koresponden 50 dikurangi 2 (df=N-2). Apabila pada kolom Corrected item-Total Correlation memiliki nilai lebih kecil (<) dari pada r tabel maka instrumen penelitian tersebut dianggap tidak valid. Sebaliknya jika nilai yang dihasilkan lebih besar (>) dari pada r tabel maka instrumen tersebut dinyatakan valid.

Suatau instrumen dikatakan reliabel bila memiliki koefisien keandalan reliabilitas sebesar 0,635 atau lebih. Hasil pengujian reliabilitas data angket dapat dilihat pada tabel berikut:

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 539

Tabel 3 Hasil Uji Reliabilitas Angket

Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items

.635 40

Hasil uji regresi dilakukan dengan menggunakan. SPSS.V. 21, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4

Pengaruh Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Budi Pekerti terhadap Karakter Siswa SD di Kabupaten Cirebon

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .815a .665 .663 6.711

a. Predictors: (Constant), trust

Pada tabel ini terdapat R Square sebesar 0,665 dari koefisien korelasi (0,815) R-Square disebut koefisien determinasi yang dalam hal ini 66% peningkatan nilai karakter siswa dapat dipengaruhi oleh pembelajaran budi pekerti. Sisanya 34% dipengaruhi oleh faktor lain.

Tabel 5

Signifikansi Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Budi Pekerti terhadap Karakter Siswa SD di Kabupaten Cirebon

ANOVAa

Model

Sum of Squares

df Mean Squa

re

F Sig.

1

Regression

17681.710 1 17681.71

0

392.57

6

.000b

Residual

8917.970 198 45.040

Total 26599.680 199

a. Dependent Variable: partisipasi b. Predictors: (Constant), trust

Pada tabel ini terlihat bahwa nilai probabilitasnya atau signifikasinya adalah 0,000 < 0,05 hal ini menunjukan model regresi linier dapat digunakan.

UMUM…

540 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 6 Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error

Beta

1

(Constant)

11.900

5.424 2.194

.029

trust .916 .046 .815 19.8

14 .000

a. Dependent Variable: partisipasi

Pada tabel ini menunjukan regresi yang dicari. Nilai signifikasi di atas adalah 0,029 dan 0,000 (<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai pada kolom B adalah signifikan artinya persamaan yang paling tepat untuk kedua variable tersebut adalah : Y = 11.900 + 0, 916 X.

Mengetahui hasil dari uji hipotesis dapat dilakukan dengan uji t, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 7

Hasil Uji Hipotesis Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-tailed)

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confiden

ce Interval

of the Differenc

e

Lower

Upper

Pair 1

partisipasi - trust

2.070

6.750

.477

1.129

3.011

4.337

199 .000

Berdasarkan hasil uji pada tabel di atas diperoleh nilai F yang mengasumsikan bahwa

kedua varian sama adalah dengan nilai t = 4,337 dengan derajat kebebasan (df) = n1 + n2 – 2 = (200 + 200 – 2 = 398). α = 0,05 diperoleh Sig. 0,000. Karena nilai Sig. 0,000 < 0,05 dengan demikian Ho ditolak dengan kata lain Ha diterima, artinya terdapat pengaruh pembelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 541

KESIMPULAN Pada uji regresi terdapat R Square sebesar 0,665 dari koefisien korelasi (0,815) R-

Square disebut koefisien determinasi yang dalam hal ini 66% peningkatan nilai karakter siswa dapat dipengaruhi oleh pembelajaran budi pekerti dan 34% dipengaruhi faktor lain. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai F yang mengasumsikan bahwa kedua varian sama adalah dengan nilai t = 4,337 dengan derajat kebebasan (df) = n1 + n2 – 2 = (200 + 200 – 2 = 398). α = 0,05 diperoleh Sig. 0,000. Karena nilai Sig. 0,000 < 0,05 dengan demikian Ho ditolak dengan kata lain Ha diterima, artinya terdapat pengaruh pembelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa. UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kemajuan kegiatan penelitian yang berjudul “Pengaruh Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Budi Pekerti Terhadap Karakter Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon”.

Laporan kemajuan kegiatan ini dapat diselesaikan dengan baik, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan 2. Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon 3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Muhammmadiyah Cirebon. 4. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammmadiyah

Cirebon 5. Kepala Sekolah dan Guru-guru SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD Negeri 2

Pabuaran Kidul Kabupaten Cirebon. 6. Pihak-pihak yang telah membantu dan mensukseskan pelaksanaan kegiatan ini.

Kami berharap kegiatan yang telah terlaksana ini dapat bermanfaat untuk pengembangan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan Universitas Muhammmadiyah Cirebon, serta masyarakat pada umumnya. REFERENSI Abdul Majid, Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Prespektif Islam. Bandung:

Remaja Rosdakarya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan

penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa (Pengembangan Pendidikan Kewirausaaan). Jakarta:Pendidikan Nasional

Balitbang Dikbud, 1997, Pedoman Pembelajaran Budi Pekerti, Jakarta: Pusbang-kurrandik

Cahyoto. 2002. Budi Pekerti Dalam Perspektif Pendidikan. Malang : Depdiknas Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah – Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang

Depdiknas. 2001. Pedoman Umum Manajemen Sekolah Berwawasan Budi Pekerti. Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas

Free Forum, 2012, Character Education, dalam <http://www.freedomforum.org/publication/first/findingcommonground/B13.CharacterEd.pdf> , diakses tanggal 18 Februari 2012.

Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7 No. 028, hlm. 1-11.

UMUM…

542 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja

Rosdakarya. Sutiyono.2013. Penerapan Pendidikan Budi Pekerti sebagai Pembentukan Karakter

Siswa di Sekolah: Sebuah Fenomena dan Realitas.Jurnal Pendidikan Karakter.3(3): 318-319

Tim Pendidikan Karakter, 2010. Pendidikan Karakter di SMP, Kementerian Pendidikan Nasional.

TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta, Balai Pustaka).

Wahidin, dkk. (2012). "Pemahaman Remaja Tentang Kenakalan dan Partisipasi Masyarakat dalam Mengatasi Kenakalan Remaja di Kecamatan Mamajang Makasar". J. Analisis Juni 2012. Vol. 1 No. 1.FISIP Universitas Hasanuddin Makassar

Zamroni. (2011). Pendidikan Demokrasi pada masyarakat Multikultural. Gavin Kalam Utama. Yogyakarta.

Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.

Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 543

PENGEMBANGAN ELECTRONIC DIAGNOSTIC TEST MISKONSEPSI SAINS BERBASIS WEB DENGAN CERTAINTY OF RESPONSE INDEX (CRI)

Muhamad Taufiq, Parmin, Stephani Diah Pamelasari

Program Studi Pendidikan IPA, FMIPA, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan Certainty of Response Index (CRI) yang teruji baik untuk mengidentifikasi miskonsepsi sains mahasiswa calon guru IPA. Metode yang digunkan pada penelitian ini adalah metode waterfall. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI yang dikembang berupa website yang dapat diakses secara online. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI mendapatkan penilaian yang sangat layak dari ahli materi dan evaluasi. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh mahasiswa secara secara online tanpa harus mencetak mengunakan kertas (paperless). Dengan penerapan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dosen dapat merencanakan dan menganalisis remediasi konsep yang benar sesuai pendapat para ilmuan. Kata Kunci: Electronic Diagnostic Test, miskonsepsi sains, CRI

PENDAHULUAN

Penguasaan konsep sains secara benar mutlak harus dimiliki oleh setiap guru sains atau IPA. Apapun bentuk peran yang dimainkan seorang guru sains di kelas, siswa akan belajar dari guru tentang konsep sains yang sedang mereka pelajari. Oleh karena itu, guru sains tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun dalam memahami suatu konsep, hukum maupun teori sains. Jika seorang guru memiliki kesalahan konsep Sains dan hal tersebut tidak mereka sadari maka kesalahan itu akan secara tidak sengaja akan beralih kepada para siswa.

Dalam beberapa studi tentang kesalahan konsep atau miskonsepsi terungkap bahwa miskonsepsi tidak hanya terjadi pada siswa. Miskonsepsi juga dapat terjadi pada guru dan calon guru sains (Taufiq, 2012; Widyasari, 2011). Miskonsepsi pada siswa terjadi diantaranya karena miskonsepsi yang dimiliki guru kemudian ditransfer ke siswa melalui kegiatan pembelajaran. Jika hal ini terjadi maka semakin banyak orang yang mengalami miskonsepsi tersebut.

Guru atau calon guru IPA yang mengalami miskonsepsi sains memiliki resiko yang besar pada pembelajaran konsep IPA yang benar. Pengetahuan yang diperoleh dari seorang guru yang mengalami miskonsepsi akan menjadi konsepsi awal (prakonsepsi) muridnya pada jenjang pendidikan yang selanjutnya. Prakonsepsi tersebut menjadi masalah apabila masih menetap dalam diri siswa (resisten) walaupun telah diberikan pemahaman yang benar (konsep ilmiah). Kesalahan terbesar dari suatu proses pembelajaran adalah tidak menelusuri pengetahuan awal (prior knowledge) yang dimiliki oleh siswa tentang topik pembelajaran sebelum menyajikan topik yang dimaksud. Hal ini disebabkan siswa telah memiliki pengalaman sebelumnya dengan topik yang tersebut. Eggen dan Kauchak, (2004) menyatakan berkaitan dengan miskonsepsi adalah sekali miskonsepsi tersebut terjadi maka hal tersebut akan sulit untuk dirubah dan memiliki miskonsepsi akan berakibat serius pada pembelajaran.

Boo (2007) melaporkan bahwa terdapat miskonsepsi pada guru mengenai fenomena sains biologi dasar. Beberapa miskonsepsi pada konsep dasar khususnya biologi diantaranya tentang bernapas dan respirasi, reproduksi pada tanaman, struktur sel dan mekanismenya dan berbagai sistem pada manusia. Taufiq (2012) juga mengungkapkan bahwa mahasiswa mengalami miskonsepsi berkaitan dengan konsep

UMUM…

544 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

gaya dengan tingkatan yang berbeda-beda yaitu tingkat tinggi, sedang, dan rendah. Penyebab miskonsepsi yang dialami mahasiswa pada konsep gaya adalah karena kesalahan bahasa, tayangan film, kemampuan berfikir, latar belakang keluarga, konsepsi parallel, dan kesalahan konsepsi awal mahasiswa.

Kondisi demikian tentu saja perlu segera diatasi mengingat pengusaan materi merupakan salah satu faktor yang utama yang harus dikusai oleh guru ataupun calon guru. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya jika guru mengajar, namun konsep yang diajarkan ternyata tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang benar atau berkebalikan dengan konsep ilmuan. Miskonsepsi menjadi masalah yang serius dalam pembelajaran karena memberikan murid-murid pemikiran/ rasa (sense) yang salah dalam mengetahui sehingga membatasi usaha mental yang mereka investasikan dalam belajar, dan terjadi interferensi antara konsep yang telah dipelajari (salah) dengan yang sedang dipelajari (benar). Miskonsepsi juga dapat bersifat menetap saat tidak terbukti salah atau mendapat tantangan konsep lain.

Berdasarkan uraian tersebut maka identifikasi miskonsepsi sains mahasiswa calon guru IPA menjadi sangat penting dan harus segera dilakukan, mengingat karakteristik pekerjaan guru IPA yang sangat memerlukan pemahaman konsep sains yang benar. Pengembangan perangkat tes diagnostik sudah banyak dikembangkan, namun masih terbatas karena berupa paper test dan belum bisa diakses secara online. Identifikasi yang cepat dapat dilakukan dengan memanfaatkan IT (Information and Communication Technology) berbasis web berupa pengembangan Electronic Diagnostic Test miskonsepsi sains menggunakan Certainty of Response Index (CRI).

Identifikasi miskonsepsi sains sedini mungkin diharapkan dapat membantu penyiapan tindakan perbaikan sebelum mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada saat PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) atau bahkan bekerja sebagai novice teacher (guru muda). Tes berbasis Certainty of Response Index (CRI) dikembangkan untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi sekaligus dapat membedakannya dengan tidak tahu konsep. Secara sederhana CRI dapat diartikan sebagai ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam menjawab setiap pertanyaan (soal) yang diberikan. Penelitian identifikasi miskonsepsi sains calon guru IPA menggunakan tes berbasis Certainty of Response Index (CRI) dilakukan untuk mengukur tingkat keyakinan/kepastian calon guru IPA dalam menjawab setiap pertanyaan (soal) yang diberikan.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Development Research) yang diarahkan untuk mengembangkan Electronic Diagnostic Test miskonsepsi sains menggunakan Certainty of Response Index (CRI). Subjek penelitian adalah mahasiswa pogram studi pendidikan IPA tahun ajaran 2016/2017. Penelitian ini dirancang sebagai Research and Development (R & D) dengan metode waterfall. Model waterfall adalah model klasik yang sistematis dan urut (Martono & Nurhayati, 2014).

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 545

Gambar 1 Pengembangan metode waterfall

Tahapan pengembangan melalui model waterfall yang diterapkan meliputi: a. Analisis Syarat dan Ketentuan (Requirements definition)

Mengumpulkan apa yang dibutuhkan secara lengkap untuk kemudian dianalisis guna mendefinisikan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh program yang akan dibangun. Pada fase ini harus dikerjakan secara lengkap untuk bisa menghasilkan desain yang lengkap. Syarat yang diperlukan pada fase ini yaitu jabaran materi kapita selekta IPA, alur kerja program dan perangkat web Electronic Diagnostic Test miskonsepsi sains menggunakan Certainty of Response Index (CRI), pada fase ini peneliti merancang website yang akan dikembangkan menggunakan program xampp.

b. Sistem dan Desain Perangkat Lunak (System and software design) Setelah apa yang dibutuhkan selesai dikumpulkan dan sudah lengkap maka desain kemudian dikerjakan.

c. Implementasi dan Pengujian Unit (Implementation and unit testing) Desain program diterjemahkan ke dalam kode-kode dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL yang sudah ditentukan. Program yang dibangun langsung diuji secara unit, apakah sudah bekerja dengan baik.

d. Integrasi dan Pengujian Sistem (Integration and system testing) Penyatuan unit-unit program untuk kemudian diuji secara keseluruhan (system testing).

e. Operasi dan Pemeliharaan (Operation and maintenance) Mengoperasikan program di lingkungannya dan melakukan pemeliharaan, seperti penyesuaian atau perubahan untuk adaptasi dengan situasi yang sebenarnya.

f. Uji coba pemakaian produk dilaksanakan dalam uji coba kelompok besar. Uji coba dilakukan dengan pelaksanaan pembelajaran yang didukung Electronic Diagnostic Test miskonsepsi sains menggunakan Certainty of Response Index (CRI) telah dikembangkan. Angket digunakan untuk mengumpulkan informasi respon mahasiswa terhadap Electronic Diagnostic Test miskonsepsi sains menggunakan Certainty of Response Index (CRI).

Pada tahap penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan dan merancang

instrument penelitian. Kemudian dilakukan penelusuran miskonsepsi dimulai dengan meminta mahasiswa mengerjakan pretest sebagai tahap identifikasi miskonsepsi. Dalam penelitian ini data yang digunakan yaitu jawaban siswa dalam benuk tes tertulis berbentuk pilihan ganda (multiple choice) beralasan terbuka dengan empat opsi indeks keyakinan.

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah melalui proses observasi, instrument tes, serta dokumentasi penelitian dan menggunakan instrument berupa tes dalam bentuk pilihan ganda beralasan terbuka dengan metode CRI. Siswa dengan indeks keyakinan CRI (Certainty of Response Index) tinggi (>1,5 dari skala maksimal 3), dan

UMUM…

546 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

jawabannya benar maka dikategorikan tahu konsep, dan apabila jawabannya salah maka dikategorikan miskonsepsi. Sedangkan apabila jawaban salah dengan indeks CRI rendah (<1,5 dari skala 3) maka dikategorikan tidak tahu konsep. Instrumen tes ini terdiri dari 10 indikator secara umum dengan 10 item soal. Tabel 1 Ketentuan untuk membedakan antara tahu konsep, miskonsepsi dan tidak tahu

konsep untuk responden secara individu Kriteria jawaban CRI rendah (<1,5) CRI tinggi (>1,5) Jawaban benar Jawaban benar tapi CRI

rendah berarti tidak tahu konsep (lucky guess)

Jawaban benar dan CRI Tinggi berarti menguasai konsep dengan baik

Jawaban salah Jawaban salah dan CRI rendah berarti tidak tahu konsep

Jawaban salah tapi CRI tinggi berarti terjadi miskonsepsi

(Hasan et al., 1999) Tabel 1 menunjukkan empat kemungkinan kombinasi dari jawaban (benar atau

salah) dan CRI (tinggi atau rendah) untuk tiap responden secara individu. Untuk seorang responden dan untuk suatu pertanyaan yang diberikan, jawaban benar dengan CRI rendah menandakan tidak tahu konsep, dan jawaban benar dengan CRI tinggi menunjukkan penguasaan konsep yang tinggi. Jawaban salah dengan CRI rendah menandakan tidak tahu konsep, sementara jawaban salah dengan CRI tinggi menandakan terjadinya miskonsepsi. Selanjutnya dapat dilakukan pengecekan keabsahan data dengan cara menggunakan angket dan dokumentasi. Adapun tahap-tahap penelitian ini yaitu tahap pendahuluan, tahap pengembangan CRI, tahap pengumpulan data, analisis dan membuat simpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Langkah yang pertama (define) dalam proses pengembangan electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI yaitu analisis kebutuhan, Analisis kebutuhan dilakukan dengan studi lapangan di Program Studi Pendidikan IPA FMIPA UNNES, studi lapangan dilakukan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibutuhkan untuk pembuatan electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI. Analisis kebutuhan yang dilakukan yaitu melakukan analisis kesiapan, peluang, tantangan dan hambatan dalam pembuatan electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI. Hal-hal yang juga dilakukan adalah analisis terhadap materi perkuliahan kapita selekta IPA pada Prodi Pendidikan IPA meliputi silabus, RPS (Rencana Pembelajaran Semester), dan bahan ajar kuliah.

Langkah kedua (design) yaitu uji kelayakan desain dan produk yang dikembangkan yaitu electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI dilakukan oleh ahli materi dan TIK. Hasil validasi yang berupa saran dan komentar digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki untuk dilanjutkan tahap ketiga yaitu mengembangkan (develop) electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI. Selanjutnya, dilakukan validasi kembali dan dianalisis serta dihitung persentase dari skor rata-rata yang diperoleh dan dibagi dengan skor maksimal. Hasil persentase diinterpretasikan ke dalam kriteria-kriteria yang ditetapkan pada Tabel 2.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 547

Tabel 2 Kriteria Persentase Kelayakan electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI

Interval Persentase skor (%)

Kriteria

81 - 100 61 - 80 41 - 60 21 - 40 <20

Sangat Baik Baik Cukup Kurang Baik

Tidak Baik

Validasi electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI pada

penelitian meliputi validasi terhadap desain dan produk. Validasi dilakukan oleh ahli materi dan TIK dengan hasil sebagai berikut. a. Validasi Desain

Berdasarkan hasil penilaian ahli didapatkan nilai persentase kelayakan desain yaitu 95,31 % termasuk pada kriteria sangat baik, sehingga desain dapat diteruskan untuk dapat dibuat dengan perbaikan. Pada aspek komunikasi visual, ahli TIK secara umum menyatakan sudah baik tetapi diperbaiki ukuran dan jenis font yang tepat untuk memudahkan pengguna dalam mengakses electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI. Selain itu, warna tulisan juga perlu diperhatikan agar tampilan media terlihat kontras, jenis dan ukuran huruf, dan penataan link pada interface electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI perlu disesuaikan agar lebih harmonis dan tertata. Pada aspek pemrograman, ahli TIK menyatakan sistem electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI terintegrasi sudah sangat baik.

Tabel 3 Rekapitulasi Data Validasi oleh Ahli terhadap Desain Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains menggunakan CRI

No Validator Rata-Rata Kriteria

1 Ahli Materi 3,86 Sangat Baik 2 Ahli TIK 3,75 Sangat Baik

Berdasarkan aspek komunikasi visual, ahli TIK memberikan saran agar gambar

latar belakang hendaknya dipilih lebih interaktif dan menggunakan layout design yang tepat, typography, dipilih warna yang lebih cerah. Secara umum ahli materi dan TIK menyatakan bahwa desain electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI sudah sangat baik. Peneliti melakukan perbaikan dengan mempertimbangkan saran dari ahli, kemudian dilakukan diskusi dan evaluasi untuk mendapatkan rekomendasi baik dan valid terhadap desain electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI. Pada aspek rekayasa sistem secara umum dinyatakan bahwa electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI sudah baik. b. Validasi Produk

Kelayakan produk electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI dilakukan oleh ahli materi dan TIK menggunakan lembar validasi berupa angket yang dikembangkan peneliti. Hasil validasi ahli terhadap produk electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI tersaji pada Tabel 4.

UMUM…

548 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Validasi Ahli terhadap Produk Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains menggunakan CRI No Validator Rata-Rata Kriteria

1 Ahli Materi 3.86 Sangat Baik 2 Ahli TIK 3.86 Sangat Baik

Berdasarkan hasil penilaian ahli didapatkan nilai persentase kelayakan produk

yaitu 96,86 % termasuk pada kriteria sangat baik, sehingga produk dapat diuji cobakan. Kelebihan dari Produk electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI yang dikembangkan antara lain dikarenakan electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI dengan komponen yang lengkap yakni data base soal miskonsepsi sains, menu editing soal, menu penskoran dan perekapan data jawaban dan alasan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan. Electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI juga mendukung kebijakan pengurangan penggunaan kertas (paperless).

Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI yang dikembang berupa website yang dapat diakses secara online pada alamat http://cri-ipa.org. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI mendapatkan penilaian yang sangat layak dari ahli materi dan evaluasi. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh mahasiswa secara secara online tanpa harus mencetak mengunakan kertas (paperless). Dengan penerapan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dosen dapat merencanakan dan menganalisis remediasi konsep yang benar sesuai pendapat para ilmuan. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dapat diakses pada alamat: http://cri-ipa.org.

Gambar 2 Tampilan Menu Laman Muka Electronic diagnostic test

miskonsepsi sains menggunakan CRI SIMPULAN

Telah dikembangkan electronic diagnostic test miskonsepsi sains berbasis web dengan CRI yang mendapatkan validasi yang baik dari ahli dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh mahasiswa secara secara online tanpa harus mencetak mengunakan kertas (paperless). Dengan penerapan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dosen dapat dimudahkan dalam merencanakan dan menganalisis remediasi konsep yang benar sesuai pendapat para ilmuan.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 549

REFERENSI Amien, M. (1990). Pemetaan konsep: Suatu tehnik untuk meningkatkan belajar yang

bermakna. Jurnal Mimbar Pendidikan. 2 (1), 55-69. Boo, H. K. 2007. Primary Science Assesment Item Setters’ Misconception Concerning

Biological Ccience Concept. Journal of Asia-Pasific on Science Learning and Teaching. 8 (1), 1-13.

Eggen, P. & Kauchak, D. 2004. Educational Psychology: Windows, Classrooms. Upper Saddle River: Pearson Prentice Hall.

Hasan, S., D. Bagayoko, D., & Kelley, E. L. (1999). Misconseptions and the Certainty of Response Index (CRI). Physics Education Journal, 34(5), 294- 299.

Martono, K.T. & Nurhayati, O. D. 2014. Implementation of android based mobile Learning application as a flexible learning Media. International Journal of Computer Science. 11 (1), 168-174.

Sund, R. B., & Trowbridge, L. M. (1973). Teaching Science by inquiry in the secondary school 2nd ed. Columbia, Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.

Suparno, P. (2013). Miskonsepsi & Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sutrisno, L., Kresnadi, H., & Kartono. (2007). Pengembangan Pembelajaran IPA SD. Jakarta: Depdiknas.

Taufiq, M., Nathan H., & Khumaedi. (2010). Student’s Science Misconceptions Concerning The State Changes of Water and Their Remediation Using Three Different Learning Models In Elementary School. Prosiding Seminar Nasional Fisika Unnes 2010. Universitas Negeri Semarang.

Taufiq, M. (2012). Remediasi miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika pada Konsep gaya melalui penerapan model siklus belajar (learning cycle) 5E. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia (JPII). 1 (2), 198-203.

Van den Berg. (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga: UKSW. Widyasari, R. (2011). Identifikasi Miskonsepsi Siswa dan Guru Terhadap Konsep-

konsep SAINS Kelas V Semester 1 di Gugus II Kecamatan Kartoharjo Kabupaten Magetan . Skripsi. FKIP Universitas Negeri Malang.

UMUM…

550 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA PGSD DALAM MENYUSUN BAHAN AJAR IPA MELALUI MODEL PROJECT BASED LEARNING (PjBL)

Susilawati, Widia Nur Jannah, Dianasari

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Cirebon, Jl. Tuparev 70 Cirebon 45153 e-mail: [email protected]

Abstrak

Orientasi pendidikan saat ini tidak hanya menuntut guru untuk terampil menguasai bahan ajar. Lebih dari itu, guru diharapkan dapat memiliki keterampilan menyusun dan mengembangkan bahan ajar. Namun, rendahnya motivasi guru dan calon guru dalam menyusun bahan ajar menjadi masalah yang perlu diselesaikan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui model Project Based Learning (PjBL). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan instrumen berupa lembar observasi dan lembar angket motivasi. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon yang mengontrak matakuliah Pembelajaran IPA. Temuan penelitian ini telah memberikan gambaran motivasi belajar mahasiswa dalam menyusun bahan ajar cetak IPA. Hasil angket motivasi menunjukkan skor 3,9 yang berarti mahasiswa sangat termotivasi dalam menyusun bahan ajar IPA. Dengan demikian, model Project Based Learning (PjBL) dapat dijadikan salah satu alternatif model pembelajaran untuk menciptakan motivasi belajar mahasiswa dalam menyusun bahan ajar. Kata Kunci: motivasi-belajar, mahasiswa-PGSD, Project-Based-Learning, bahan-ajar-IPA.

PENDAHULUAN

Bahan ajar merupakan salah satu komponen kurikulum pendidikan yang memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Seorang guru dituntut untuk menguasai bahan ajar agar mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis. Akan tetapi tidak semua bahan ajar yang tersedia sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Sukerni (2014) dalam penelitiannya menjelaskan “Berdasarkan analisis kebutuhan, para guru membutuhkan buku ajar yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dalam belajar”. Oleh karena itu, guru dituntut untuk dapat menyusun dan mengembangkan bahan ajar agar pembelajaran yang disampaikan relevan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.

Pada kenyataanya, motivasi guru dalam menyusun bahan ajar masih rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Sinaga (2015) yang mengemukakan “masalah yang teridentifikasi pada studi lapangan ialah rendahnya kemampuan dan keterampilan guru dalam menulis bahan ajar”. Para guru menganggap menulis bahan ajar merupakan hal yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama sehingga kurang termotivasi dalam menyusun bahan ajar. Hal ini berimplikasi pada rendahnya jumlah buku ajar yang diterbitkan. Sembiring (2007) yang mengungkapkan “jumlah penerbitan buku yang ditulis oleh guru relatif masih kurang dibandingkan dengan jumlah guru ada sekitar 2,7 juta orang”.

Berdasarkan hasil observasi pada matakuliah Pembelajaran Ilmu Pendidikan Alam (IPA), mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang merupakan calon guru juga memiliki motivasi yang rendah dalam menyusun bahan ajar khususnya IPA. Mahasiswa beranggapan, bahan ajar IPA bisa didapatkan dengan mudah dari buku paket baik cetak maupun online yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, guru terbiasa membeli bahan ajar cetak lainnya yang ada di berbagai toko buku. Oleh karena itu, mahasiswa kurang termotivasi dalam menyusun bahan ajar. Padahal penting bagi

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 551

mahasiswa PGSD untuk belajar menyusun bahan ajar agar terlatih untuk menampilkan bahan ajar yang relevan dengan karakteristik dan kebutuhan siswa yang akan diajarnya.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengembangkan keterampilan menulis mahasiswa PGSD adalah menggunakan pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning (PjBL). PjBL dapat memfasilitasi calon guru untuk dapat menulis bahan ajar sehingga sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tiantong, M & Sumalee Siksen (2013) mengemukakan “PjBL has been found to be effective to increase student learning achievement, acquiring knowledge through active learning, gaining interdisciplinary and multidisciplinary knowledge”. Model PjBL juga dapat meningkatkan berbagai keterampilan dan memberikan pengalaman nyata sehingga pembelajaran menjadi aktif. Dengan demikian, melalui PjBL diharapkan keterampilan menyusun bahan ajar IPA mahasiswa PGSD akan lebih baik sehingga kelak akan mampu mengimplementasikan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah penelitian ini adalah “motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui model Project Based Learning (PjBL)?”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui model Project Based Learning (PjBL).

KAJIAN TEORITIS 1. Motivasi Belajar Mahasiswa PGSD

Motivasi merupakan salah satu faktor psikis yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Mc. Donal (Sardiman, 2009) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Tujuan dari motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang sehingga timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu. Dalam kegiatan pembelajaran, motivasi bertujuan untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar mau belajar dengan baik.

Terdapat berbagai macam motivasi yang berpengaruh terhadap pembelajaran. Jenis-jenis motivasi itu dapat dilihat dari berbagai jenis sudut pandangnya. Motivasi intrinsik merupakan motif yang tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar.

Ada beberapa bentuk atau cara yang dapat digunakan oleh guru untuk memotivasi siswa dalam belajar di sekolah, di antaranya menurut Sardiman (2009) adalah: a) pemberian angka, angka merupakan salah satu motivasi yang sangat kuat karena banyak siswa yang ingin mendapatkan angka atau nilai yang baik; b) hadiah, hadiah dapat menjadi motivasi yang menarik bagi seseorang untuk belajar; c) persaingan atau kompetisi, persaingan akan meningkatkan kegiatan belajar yang berakibat pada peningkatan prestasi belajar siswa; d) ego-involvement, bekerja keras demi mempertaruhkan harga diri merupakan salah satu bentuk motivasi belajar yang cukup penting; e) memberi ulangan, ulangan akan membuat siswa lebih giat dalam belajar; f) pujian, pujian merupakan reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik untuk meningkatkan harga diri siswa.

2. Bahan Ajar IPA

Bahan ajar IPA merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam suatu kegiatan pembelajaran IPA di kelas untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam Depdiknas (2006) dijelaskan “Bahan ajar adalah materi yang harus dipelajari

UMUM…

552 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

siswa sebagai sarana untuk mencapai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan guru dan dipelajari siswa untuk mencapai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

Depdiknas (2008) mengemukakan tujuan penyusunan bahan ajar bahan adalah: a) menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial siswa, b) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh, dan c) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran.

3. Model Project Based Learning (PjBL) Project Based Learning (PjBL) merupakan salah satu pembelajaran dengan

menggunakan proyek sebagai langkah untuk mencapai tujuan pembelajaran. PjBL menitikberatkan pada masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata melalui kerja proyek. Thomas, dkk (Wena, 2011) mengemukakan kerja proyek yang dimaksud memuat tugas-tugas yang kompleks berdasarkan kepada pertanyaan dan permasalahan yang sangat menantang, dan menuntut peserta didik untuk merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan kegiatan investigasi, serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja mandiri. Tujuannya adalah agar peserta didik mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan tugas yang dihadapinya.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Sugiyono (2012) mengemukakan bahwa “penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci”. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar observasi dan lembar angket motivasi. Adapun kriteria dari nilai angket motivasi tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 1.1 Kriteria Motivasi Belajar

No. Rentang Rata-rata

Skor Kriteria

1 3,01 < skor ≤ 4,00 Sangat Termotivasi

2 2,01 < skor ≤ 3,00 Termotivasi 3 1,01 < skor ≤ 2,00 Cukup

Termotivasi 4 0 < skor ≤ 1,00 Kurang

Termotivasi

Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon yang mengontrak matakuliah Pembelajaran IPA. Data yang dikumpulkan kemudian di analisis dengan teknik triangulasi dan dideskripsikan agar dapat dijadikan sebuah landasan pemikiran untuk melakukan penelitian berikutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini mengukur motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui model Project Based Learning (PjBL). Berdasarkan hasil observasi yang telah dilaksanakan, implementasi PjBL dilaksanakan melalui berbagai

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 553

tahapan seperti yang telah dijelaskan oleh Doppelt (2005) dengan implementasi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

Tabel 1.2

Implementasi PjBL di Kelas No

Tahapan PjBL Pelaksanaan Implementasi

1. Merancang Tujuan (Design Purpose) yaitu mendefinisikan masalah

Pada tahapan ini, mahasiswa melakukan kegiatan diskusi yang berkaitan dengan masalah-masalah pembelajaran di SD. Masalah-masalah tersebut diantaranya pembelajaran yang disajikan kurang efektif dan interaktif. Selain itu, tujuan pembelajaran lebih sulit dicapai oleh siswa terutama pada pembelajaran IPA. Pada langkah ini juga, mahasiswa membatasi permasalahan pembelajaran yang bersumber pada bahan ajar.

2. Mengajukan pertanyaan/inquiry (Field Inquiry) yaitu mendefinisikan aspek inquiri dalam cakupan masalah

Langkah ini dilakukan oleh mahasiswa dengan menganalisis masalah bahan ajar IPA. Berbagai masalah yang berkaitan dianalisis penyebabnya apakah bersumber dari siswa, guru, atau pemerintah. Pada tahapan ini juga, mahasiswa mendapatkan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan guru dalam menyusun bahan ajar sehingga menyebabkan pembelajaran di kelas kurang efektif.

3. Mengajukan alternatif pemecahan masalah (solution alternative) yaitu melibatkan pertimbangan alternatif pemecahan masalah terhadap masalah yang dirumuskan

Tahapan yang dilakukan oleh mahasiswa pada langkah ini yaitu dengan beberapa alternatif pemecahan masalah yang harus diselesaikan. Mahasiswa sebagai calon guru mendiskusikan pengertian bahan ajar dan menganalisis berbagai cara untuk dapat menyusun bahan ajar diantaranya dengan menganalisis model-model pengembangan bahan ajar yaitu model “ASSURE” dan “ADDIE”. Berdasarkan model-model tersebut, mahasiswa mengkaji alternatif yang paling memudahkannya dalam menyusun bahan ajar secara sederhana.

4. Memilih solusi yang tepat (Choosing the Preffered Solution) : memilih salah satu solusi alternatif yang tepat

Berdasarkan langkah sebelumnya, langkah ini dilakukan oleh mahasiswa dengan memilih model “ASSURE” sebagai langkah untuk menyusun bahan ajar IPA sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan siswa. Adapun materi IPA yang disusun berdasarkan kurikulum 2013 yaitu kurikulum terbaru yang menggunakan tema dalam setiap pembelajaran. Selain itu, sebagai bahan latihan menulis, mahasiswa PGSD menentukan tema “Berbagai Pekerjaan” yang ada pada kelas 4 semester 1 untuk dibuat bahan ajar sehingga memudahkan mahasiswa dalam menyusun bahan ajar yang kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan

UMUM…

554 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

No

Tahapan PjBL Pelaksanaan Implementasi

siswa di SD. 5. Tahap

Pelaksanaan (Operation Step) : Merencanakan metode untuk implementasi solusi yang dipilih.

Pada tahapan ini, mahasiswa PGSD dibuat 3 kelompok besar sesuai dengan subtema yang ada pada tema “Berbagai Pekerjaan” dan mulai menyusun bahan ajar sesuai dengan komponen penyusunan bahan ajar. Adapun masing-masing kelompok menyusun bahan ajar dengan subtema yaitu: 1. Kelompok 1 menyusun bahan ajar subtema 1

“Jenis-jenis Pekerjaan” 2. Kelompok 2 menyusun bahan ajar subtema 2

“Barang dan Jasa” 3. Kelompok 3 menyusun bahan ajar subtema 3

“Pekerjaan Orang Tuaku”. 6. 6

. Evaluasi (Evaluation): mengevaluasi keseluruhan proses dan produk yang dihasilkan.

Langkah ini dilakukan dengan mengevaluasi hasil bahan ajar yang telah dibuat oleh mahasiswa PGSD.

Langkah-langkah tersebut diimplementasikan di kelas sesuai dengan tahapan yang dijelaskan oleh Doppelt (2005) secara sistematis. Selain itu, berdasarkan hasil angket yang telah dibagikan kepada mahasiswa PGSD, didapat data hasil motivasi mahasiswa dalam menyusun bahan ajar IPA yaitu sebagai berikut.

Tabel 1.3 Hasil Angket Motivasi Belajar Mahasiswa dalam Menyusun Bahan Ajar IPA

No.

Pernyataan Rata-Rata

1 Saya merasa senang dengan adanya pembelajaran Project Based Learning (PjBL)

3,9

2 Penerapan Project Based Learning (PjBL) dapat menghilangkan rasa bosan saat proses kegiatan belajar mengajar

4,0

3 Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) membuat saya semangat untuk menyusun bahan ajar IPA SD

4,0

4 Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) motivasi saya untuk belajar dengan sungguh-sungguh dalam menyusun bahan ajar IPA

3,9

5 Project Based Learning (PjBL) adalah salah satu model yang membuat saya termotivasi untuk dapat menulis bahan ajar IPA dengan baik

4,0

6 Project Based Learning (PjBL) membuat saya lebih aktif dalam pembelajaran

3,9

7 Project Based Learning (PjBL) membuat saya menjadi sering bekerjasama dengan teman dalam pembelajaran di Kelas

3,9

8 Belajar dengan Project Based Learning (PjBL) membuat saya bersungguh-sungguh mempelajari cara pembuatan bahan ajar IPA yang sesuai dengan Kurikulum 2013

3,9

9 Saya merasa menyusun bahan ajar IPA menggunakan Project 3,8

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 555

No.

Pernyataan Rata-Rata

Based Learning (PjBL) menjadi menarik 10 Saya setuju bahwa model pembelajaran Project Based

Learning (PjBL) adalah model yang efektif dan inovatif untuk diterapkan dalam pembelajaran menyusun bahan ajar

3,8

Rata-Rata 3,9 Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap item pernyataan yang

ada pada lembar angket motivasi menunjukkan nilai dengan rentang 3,8 sampai 4,0 (skor maksimum 4,0) yang bermakna mahasiswa PGSD sangat termotivasi dalam belajar menyusun bahan ajar IPA dengan menggunakan model PjBL di kelas pada matakuliah pembelajaran IPA. Hal ini menunjukkan nilai yang sangat positif terhadap ketertarikan mahasiswa dalam belajar menyusun bahan ajar. Hasil ini sejalan dengan pendapat Moursound (Wena: 2011) yang mengemukakan beberapa kelebihan dari implementasi pembelajaran PjBL diantaranya yaitu increased motivation, meningkatkan motivasi belajar siswa; increased collaboration, meningkatkan semangat dan keterampilan berkolaborasi/bekerjasama; dan increased resource management skills, meningkatkan keterampilan dalam manajemen sumber daya.

Berdasarkan hasil observasi dan angket, mahasiswa PGSD menunjukkan sikap senang, tidak mudah bosan, dan semangat belajar dalam menyusun bahan ajar IPA pada saat belajar di kelas menggunakan model PjBL. Dengan semangat yang tinggi hasil bahan ajar yang dibuat menjadi lebih maksimal. Morales (2013) mengemukakan bahwa PjBl dapat memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa. Selain itu, mahasiswa juga menjadi lebih aktif berdiskusi dan bekerjasama dengan lebih baik dalam pembelajaran ini. Mahasiswa beranggapan model PjBL menjadikan pembelajaran lebih efektif dan inovatif sehingga mahasiswa menjadi sungguh-sungguh dan termotivasi dalam belajar membuat bahan ajar IPA. ChanLin (2008) mengemukakan hasil penelitiannya menggunakan PjBL “the results of the study indicate that all of the students achieved their research goals”. Selain itu, Wang, etc (2015) juga menungkapkan bahwa PjBL dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa. Dengan demikian, PjBL menjadikan mahasiswa PGSD mampu menyusun bahan ajar dengan baik.

KESIMPULAN

Penelitian ini telah memberikan manfaat dalam meningkatkan motivasi mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar. Hal ini dibuktikan dengan hasil angket motivasi menunjukkan skor 3,9 yang berarti mahasiswa sangat termotivasi dalam menyusun bahan ajar IPA melalui PjBL. Mahasiswa menjadi lebih bersemangat belajar, aktif, dan bekerjasama dengan rekan di kelas dalam menyusun bahan ajar IPA.

REKOMENDASI

Hasil penelitian ini memberikan rekomendasi guru, dosen maupun para pemangku kebijakan untuk memperhatikan kebutuhan siswa akan bahan ajar. Oleh karenanya, sorang guru perlu dilatih dalam menyusun dan mengembangkan bahan ajar secara mandiri sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa yang dididiknya. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan serta tidak tergantung pada buku-buku yang tersedia. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan mengimplementasikan model PjBL agar peserta didik menjadi lebih termotivasi dalam belajar menyusun bahan ajar.

UMUM…

556 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

REFERENSI ChanLin, L. 2008. Technology integration applied to project-based learning in science.

Innovations in Education and Teaching International Vol. 45, No. 1, February 2008, 55–65.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2008. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas. Doppelt, Y. 2005. Assessment of Project Based Learning in a Mechatronicts Context.

Journal of Technology Education. Volume 16, number 2. Morales, T., etc. 2013. A One-year Case Study: Understanding the Rich Potential of

Project-based Learning in a Virtual Reality Class for High School Students. J J Sci Educ Technol. 22; PP. 791–806.

Sardiman. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Sembiring, D. 2007. Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis dan Kualitas Karya Tulis

Ilmiah Guru. Artikel. Sinaga, P. 2015. Desain Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Calon

Guru Fisika dalam Menulis Materi Ajar. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF2015 http://snf-unj.ac.id/kumpulan-prosiding/snf2015/. Volume IV, Oktober 2015 p-ISSN: 2339-0654 e-ISSN: 2476-9398.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sukerni, P. 2014. Pengembangan Buku Ajar Pendidikan IPA Kelas IV Semester I SD No. 4

Kaliuntu dengan Model Dick and Carey. Jurnal Pendidikan Indonesia. ISSN: 2303-288X Vol. 3, No. 1, April 2014. Hal 386-396.

Tiantong, M & Sumalee Siksen. 2013. The Online Project-based Learning Model Based on Student’s Multiple Intelligence. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 3 No. 7; April 2013. PP. 204-211.

Wang, dkk. 2015. Let‘s Go Traveling – Project-Based Learning in a Taiwanese Classroom. International Journal of Information and Education Technology. Vol. 5, No. 2, February 2015. PP. 84-88.

Wena, M. 2011. Strategi Pembelajaran Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 557

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SAINS BERKARAKTER UNTUK MENUMBUHKAN KETERAMPILAN METAKOGNISI

Anggun Zuhaida, M.Pd

IAIN Salatiga

Abstrak Implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan metakognisi dilaksanakan pada pembelajaran sains di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kota Salatiga. Implementasi pembelajaran ini merupakan manifestasi pelaksanaan perangkat pembelajaran, khususnya silabus, Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP), lembar kerja, media, dan asesmen sebagaimana diatur dalam permendiknas No. 41 Tahun 2007. Pengembangan karakter secara tersirat tercermin dalam pembelajaran sains untuk menumbuhkan kemampuan metakognisi. Inovasi model pembelajaran merujuk pada penggunaan model problem based learning dalam pelaksanaan pembelajaran yang digunakan untuk mengetahui pencapaian metakognisi peserta didik. Secara umum, penelitian ini dilakukan dengan prosedur penelitian Research & Development. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk meninjau secara spesifik karakteristik Program Pembelajaran Sains Berkarakter dari penelitian yang telah dilakukan, menganalisis SWOT (Strength, Weakness, Oppurtinities, and Threat) pada produk yang dikembangkan, serta menganalisis tingkat pencapaian kemampuan metakognisi dari program tersebut. Kata Kunci: metakognisi, karakter, problem based learning.

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan alam (IPA) akhir-akhir ini begitu pesat ditandai dengan banyaknya penemuan-penemuan baru. Hal ini erat hubungannya dengan perkembangan teknologi. Perkembangan IPA yang pesat menuntut para pendidik agar mampu merancang dan melaksanakan pendidikan yang lebih terarah pada pengusaan konsep IPA. IPA merupakan gabungan dari beberapa ilmu, antara lain biologi, fisika dan kimia. Perkembangan IPA tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan fakta, melainkan timbul akibat adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. IPA tidak hanya sekedar pengetahuan, melainkan melibatkan operasi mental, keterampilan dan strategi dalam menemukan konsep IPA itu sendiri.

IPA didefinisikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Pembelajaran IPA masih diajarkan meniru pada paradigma pendidikan lama ”teacher centered”. Konsep dari guru diberikan kepada siswa dan siswa menerima begitu saja sehingga siswa tidak paham untuk apa IPA dipelajari. Sehingga siswa tidak dapat menerapkan konsep yang siswa dapat di lingkungannya. Siswa hanya menerima konsep IPA saja tetapi jika diberi soal aplikatif dengan apa yang diajarkan gurunya maka siswa merasa kesulitan untuk mengerjakannya. Pembelajaran IPA dewasa ini masih diajarkan secara terpisah dan tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, sehingga perlu adanya suatu model pembelajaran keterpaduan (Rosidi, 2015).

Karakter merupakan bentuk kepribadian yang melekat pada diri seseorang. Berbeda dengan pendidikan moral, pendidikan karakter memiliki esensi lebih tinggi karena menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi paham (kognitif) tentang mana baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan mampu melakukannya (psikomotor) (Khan, 2010). Lickona (1992) berpendapat bahwa karakter yang baik meliputi memahami dengan baik, merasakan dengan baik yang mengarah kepada kebiasaan berpikir, merasakan dan berbuat. Menurut Megawangi (2004), pendidikan nilai bagi individu merupakan salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh semua pihak, karena akan membentuk karakter dan merupakan

UMUM…

558 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

pondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera dan beradab.

Pada prinsipnya, pengembangan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa ke dalam kurikulum berupa: Silabus, RPP, media, serta asesmennya. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai agama, budaya, dan karakter sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.

Metakognisi berasal dari kata meta yang artinya setelah, melebihi dan di atas, sedangkan kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui serta dipikirkan oleh seseorang atau yang mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berfikir. Metakognisi dapat didefinisikan sebagai "berpikir tentang berpikir”, metakognisi mengacu pada kesadaran peserta didik terhadap kemampuan yang dimilikinya serta kemampuan untuk memahami, mengontrol dan memanipulasi proses-proses kognitif yang mereka miliki Flavell dalam Weinert & Kluwe (1987;8) Downing (2010: 76).

Pengembangan metakognisi penting dilakukan, karena metakognisi adalah kunci dalam pencapaian pemahaman suatu materi pelajaran agar lebih bermakna dan lebih tahan lama. Metakognisi siswa dapat ditumbuhkan salah satunya melalui suatu program pembelajaran yang kurikulumnya dikembangkan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Program pembelajaran khususnya pada program pembelajaran sains Berkarakter dirancang dengan suatu pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang diharapkan dapat menumbuhkan matakognisi dan menstimulasi peserta didik untuk melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kemampuan individual dengan mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.

Melihat kondisi tersebut, tentu saja reformasi pendidikan perlu dilakukan guna memperbaiki keterampilan metakognisi peserta didik. Reformasi yang dimaksud bukanlah menyangkut perubahan konten kurikulum, melainkan perubahan pedagogi, yaitu pergeseran dari pengajaran tradisional (keterampilan berpikir tingkat rendah) ke pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi, yang salah satunya adalah metakognisi (Tsapartis & Zoller, 2003; Lubezky et al., 2004).

Dengan merujuk berbagai hal yang telah dipaparkan, perlu dilaksanakan suatu pembaharuan dalam pembelajaran melalui implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi khususnya keterampilan metakognisi. Pembelajaran ini merupakan serangkaian poses pembelajaran yang merupakan manifestasi pelaksanaan perangkat pembelajaran, khususnya silabus, RPP, lembar kerja, media, dan asesmen sebagaimana diatur dalam permendiknas No. 41 Tahun 2007. Selain itu, berkaitan dengan pengintegrasian nilai-nilai pendidikan karakter yaitu karakter-karakter yang menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang salah satunya adalah metakognisi dalam pembelajaran, program ini akan mendukung pula UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3. METODE PENELITIAN

Implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan metakognisi difokuskan pada pembelajaran sains, yang pelaksanaannya diberikan pada siswa tingkat MTs/SMP. Guna mencapai tujuan tersebut, digunakan

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 559

metode Research and Development hasil adaptasi, yang terbagi dalam beberapa tahapan yaitu 1) define, 2) design, 3) develop dan 4) implementasi model/validasi model.

Penelitian dilakukan di MTs di Kota Salatiga dengan subjek penelitian para siswa. Implementasi pembelajaran yang dikembangkan dilakukan melalui model pembelajaran PBL berkarakter. Desain penelitian ditampilkan pada gambar berikut:

Gambar 1: Desain Penelitian dan Pengembangan

Penjelasan sistematika penelitian ini juga dapat dijelaskan melalui diagram fishbone berpikir metakognisi dalam pembelajaran sains Bekarakter.

Skema 1. Skema fishbone pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan

keterampilan metakognisi Data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa: 1) hasil pengukuran kemampuan metakognisi siswa pada materi sains, serta pengukuran karakter siswa; 2) analisis SWOT terkait dengan model pembelajaran yang dilaksanakan selama penelitian yaitu model pembelajaran PBL (Problem Based Learning). Data kualitatif tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data kualitatif berupa skor kompetensi dalam pelaksanaan pembelajaran melalui instrumen yang dikembangkan. Data kuantitatif berupa peningkatan kemampuan metakognisi siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pendidikan Karakter

Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak

UMUM…

560 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang Demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Karakter merupakan bentuk kepribadian yang melekat pada diri seseorang. Berbeda dengan pendidikan moral, pendidikan karakter memiliki esensi lebih tinggi karena bukan sekedar mengajarakan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari itu, menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan mampu melakukannya (psikomotor) (Khan, 2010).

Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa, sebagaimana dijelaskan dalam buku pedoman implementasi pendidikan budaya dan karakter bangsa (Puskur Balitbang Kemdiknas, 2010) sebagai berikut : (1) Berkelanjutan : mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya

dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan;

(2) Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler;

(3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa;

(4) Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsal;

(5) Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru.

Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui program pengembangan diri, pengintegrasian dalam mata pelajaran, pembentukan budaya sekolah, pendidikan karakter, dan melalui muatan lokal. Pengintegrasian nilai-nilai pendidikan karakter dalam penelitian dipilih melalui melalui penyusunan perangkat pembelajaran, sebagai kompetensi yang diharapkan dicapai guru maupun calon guru. Metakognisi

Metakognisi sering dikaitkan dengan John Flavell. Tokoh ini adalah seseorang yang mengawali aktivitas penelitian tentang metakognisi. Metakognisi menurut Flavell didefinisikan sebagai pengetahuan dan kognisi tentang objek-objek kognitif, yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kognitif Weinert & Kluwe (1987). Metakognisi menurut Costa (1985) adalah suatu keterampilan yang berhubungan dengan kesadaran peserta didik pada proses berfikirnya. Peserta didik harus dengan

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 561

aktif memonitor proses dan pengaturan berfikirnya untuk mencapai suatu tujuan belajar.

Istilah metakognisi terkait dengan beberapa istilah lain dalam literatur biasanya disebut sebagai metamemory dan metacomprehension yang membedakan antara pengetahuan tentang isi memori dibandingkan proses yang digunakan untuk mengatur dan memonitor memori dan kognisi. Istilah metacomprehension mengacu pada pemahaman pada tingkat pemahaman luas yang diperlukan oleh seorang individu untuk sepenuhnya mandiri. Dua komponen dari metacomprehension yang diperlukan untuk pemahaman yang komprehensif, adalah metamemory dan metakognisi. Definisi metamemory mengacu pada pengetahuan dan pemahaman tentang memori secara umum, serta memori sendiri pada khususnya. Pengetahuan ini memungkinkan individu untuk menilai tuntutan memori dan untuk menilai pengetahuan yang tersedia dan strategi dalam memori. Metakognisi mengacu pada pengetahuan tentang kognisi dan proses kognitif. Metakognisi biasanya dibagi menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu pengetahuan tentang kognisi dan regulasi kognisi Weinert&Kluwe (1987:8-9).

Gambar 2: Hubungan antara Metacomprehension, Metakognisi dan Metamemory dalam

Schraw (2012) Tabel 1: Indikator-indikator Metakognisi yang dikembangkan dari Tipe-tipe

Metakognisi Schraw dan Dennison (1994) Tipe

Metakognisi

Ketrampilan Metakognisi

Indikator Metakognisi

Pengetahuan

Kognisi

Pengetahuan deklaratif

Mengetahui kelebihan dan kelemahan intelektual yang dimiliki

Memahami tujuan belajar Memahami cara belajar yang efektif untuk dirinya

sendiri Pengetahuan procedural

Memilih prosedur yang akan digunakan Memahami prosedur yang digunakan Memilih prosedur yang tepat secara otomatis Mengembangkan prosedur untuk permasalahan yang

sama Pengetahuan kondisional

Mengaplikasikan pemahaman yang telah dimiliki terhadap sesuatu yang baru

UMUM…

562 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

Mengembangkan strategi belajar yang berbeda bergantung pada situasi

Menggunakan kekuatan intelektual untuk mengimbangi kelemahannya

Pengaturan Kognisi

Planning Mengatur tujuan belajar yang akan dicapai Mengetahui apa yang dibutuhkan untuk belajar

dengan baik Merencanakan beberapa startegi untuk memecahkan

masalah Mengorganisir waktu agar dapat mencapai tujuan

belajar yang diinginkan Manajemen informasi

Mengidentifikasi informasi Menganalisis arti dan makna dari suaru informasi

baru Menghubungkan informasi yang didapat dengan teori

yang ada Menterjemahkan informasi yang didapat dengan kata-

katanya sendiri Menyeleksi informasi penting yang digunakan dalam

memecahkan masalah Monitoring Memantau diri secara berkala tentang pencapaian

tujuan belajarnya Mereview secara berkala tentang pengetahuan yang

telah didapat Menganalisis penggunaan strategi belajar yang telah

digunakan Debugging Meminta bantuan kepada orang lain jika menemuai

sesuatu yang kurang difahami Mengubah strategi belajar jika menemui kegagalan Mengevaluasi ulang asumsinya jika kebingungan Mengulangi dan membaca kembali pelajarannya jika

ada hal yang kurang difahami dan mengalami kebingungan

Evaluasi Mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki Membuat ringkasan tentang apa yang telah dipelajari Mengevaluasi prosedur yang telah digunakan Menganalisis efisiensi dan efektifitas prosedur Memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan

baik Menyusun dan menginterpretasikan data atau

pertanyaan yang ada Mengevaluasi tentang apa yang telah dipelajari,

apakah sudah memenuhi tujuan belajar Karakteristik Pembelajaran Sains Berbasis Karakter untuk Menumbuhkan Keterampilan Metakognisi

Implementasi pembelajaran sains berbasis karakter untuk menumbuhkan keterampilan metakognisi merupakan serangkaian poses pembelajaran yang merupakan manifestasi pelaksanaan perangkat pembelajaran, khususnya silabus, RPP, lembar kerja, media, dan asesmen sebagaimana diatur dalam permendiknas No. 41

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 563

Tahun 2007. Pengembangan karakter secara tersirat tercermin dalam pembelajaran sains untuk menumbuhkan kemampuan metakognisi.

Implementasi pembelajaran ini menggunakan menggunakan model pembelajaran PBL. Pembelajaran berbasis masalah dalam Bilgin (2009) adalah metode pengajaran yang menggunakan permasalahan yang terstruktur sebagai konteks bagi peserta didik untuk memperoleh keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan dasar. Pembelajaran berbasis masalah adalah cara belajar yang mendorong pemahaman lebih dalam dari suatu materi, dan juga merupakan pembelajaran berorientasi masalah di mana peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan dasar, tetapi juga dapat mengalami bagaimana menggunakan pengetahuan mereka untuk memecahkan masalah dalam dunia nyata. Selain itu tujuan pembelajaran berbasis masalah adalah meningkatkan kemampuan peserta didik untuk bekerja dalam tim, menunjukkan kemampuan koordinasi mereka untuk mengakses informasi dan mengubahnya menjadi suatu pengetahuan yang layak. Pembelajaran berbasis masalah juga bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan kemampuan higher order thinking dan substansial dasar suatu disiplin pengetahuan dengan menempatkan siswa berperan aktif dalam praktik yang dihadapkan dengan situasi yang mencerminkan dunia nyata.

Karakteristik dalam Pembelajaran Berbasis Masalah menurut Akinoglu dan Tandogan (2007) adalah: 1. Proses Belajar harus dimulai dengan masalah, terutama masalah yang jelas

penting/masih belum terpecahkan. 2. Isi dan praktek harus menyertakan situasi yang menarik perhatian peserta didik. 3. Guru hanya menjadi pemandu dalam kelas. 4. Peserta didik harus diberikan waktu yang diperlukan untuk berpikir atau

mengumpulkan informasi dan mengatur strategi mereka dalam pemecahan masalah, dan pikiran kreatif mereka harus didorong dalam proses ini.

5. Kesulitan subjek penting untuk menjadi belajar tidak harus pada tingkat tinggi yang bisa mencegah peserta didik.

6. Sebuah belajar yang nyaman, santai dan lingkungan aman harus ditetapkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik pada pemikiran dan pemecahan masalah mereka sendiri.

Karakteristik dari skenario pembelajaran yang merupakan alat dasar dalam pendidikan berbasis masalah menurut Akinoglu dan Tandogan (2007) adalah: 1. Masalah harus dipilih mana yang paling pas dengan dunia nyata 2. Soal/masalah harus open ended. 3. Harus membangkitkan rasa penasaran. 4. Harus fokus hanya pada satu masalah. 5. Harus mengajarkan perilaku dan etika yang baik, 6. Harus membantu peserta didik untuk merefleksikan secara bebas dan

mengekspresikan diri mereka sendiri. 7. Dengan membuat personifikasi cocok, peserta didik diberi kesempatan untuk

merawat masalah seolah-olah itu masalah mereka dan menjadi bersedia melakukannya.

Akinoglu dan tandogan (2007) menyatakan keuntungan dari pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah: 1. Kelas berpusat pada peserta didik bukan berpusat pada guru. 2. Mendorong peserta didik untuk belajar bahan dan konsep baru ketika memecahkan

masalah. 3. Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah peserta didik.

UMUM…

564 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

4. Pembelajaran ini mengembangkan model pengendalian diri pada peserta didik. Hal itu mengajarkan kepada peserta didik untuk membuat rencana yang prospektif, menghadapi realita yang ada dan mengekspresikan emosi.

5. Model ini memungkinkan peserta didik untuk melihat peristiwa multidimensi dan dengan perspektif yang lebih dalam.

6. Mengembangkan kemampuan tingkat sosialisasi dan komunikasi pada peserta didik dengan memungkinkan mereka untuk belajar dan bekerja dalam tim.

7. Mengembangkan kemampuan tingkat berpikir tinggi/berpikir kritis dan berfikir ilmiah peserta didik

8. Menyatukan teori dan praktek. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan lama mereka dengan pengetahuan yang baru dan mengembangkan keterampilan mereka dalam menilai lingkungan disiplin tertentu.

9. Memotivasi belajar bagi guru dan peserta didik. 10. Peserta didik memperoleh keterampilan manajemen waktu, fokus, pengumpulan

data, penyusunan laporan dan evaluasi. 11. Membuka jalan untuk belajar seumur hidup

Akinoglu dan tandogan (2007) menyatakan keterbatasan pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah: 1. Sulit bagi guru untuk mengubah gaya mengajar mereka 2. Memakan waktu lebih banyak bagi peserta didik untuk memecahkan situasi yang

bermasalah ketika situasi ini pertama disajikan di kelas. 3. Kelompok atau individu dapat menyelesaikan karya mereka lebih awal atau

kemudian. 4. Pembelajaran berbasis masalah membutuhkan kaya bahan dan penelitian. 5. Sulit untuk menerapkan pembelajaran berbasis masalah di semua kelas. Hal ini

tidak bisa berhasil jika diterapkan pada peserta didik yang tidak bisa sepenuhnya memahami nilai atau lingkup masalah dengan konten sosial.

6. Cukup sulit dalam menilai pembelajaran Tabel 2: Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

FASE-FASE

PERILAKU GURU

Fase 1 : Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik

Guru membahas tujuan pelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah

Fase 2 : Mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti

Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan permasalahannya.

Fase 3 : Membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4 : Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit (hasil)

Guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak (hasil) yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 565

serta membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain.

Fase 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru membantu peserta didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

(Arends, 2008) Karakteristik pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah pembelajaran melalui model PBL untuk mengukur kemampuan metakognisi siswa. Sehingga, penilaian dalam pembelajaran yang disusun disesuaikan dengan indikator-indikator metakognisi. Karakteristik penilaian metakognisi dalam pembelajaran ini dapat dilihat pada Gambar.

Gambar 3: Karakteristik dalam penilaian keterampilan metakognisi dalam pembelajaran

sains berkarakter

Pelaksanaan pembelajaran sains yang telah dilaksanakan, diawali dengan pemberian masalah open-ended yang harus diselesaikan oleh siswa dalam suatu kegiatan diskusi secara berkelompok. Masalah open-ended yang diberikan pada saat pembelajaran berfungsi sebagai stimulus. Diharapkan siswa nantinya akan melaksanakan tugas belajarnya yang telah dirancang pada pembelajaran berbasis masalah yaitu dapat mengembangkan keterampilan mengidentifikasi masalah, menyelesaikan masalah, mengevaluasi dan menganalisis masalah. Tahap pembelajaran yang dilakukan mengacu pada sintaks pembelajaran berbasis masalah yang dikembangkan oleh Arends (2012:57). Sedangkan materi pembelajaran dalam penelitian ini adalah mencakup materi sains. Pada pembelajaran ini nantinya siswa akan diukur kemampuan metakognisinya dengan menggunakan instrumen asesmen metakognisi yang terdiri dari: asesmen diri (pada awal dan akhir pembelajaran), asesmen tes essay (awal dan akhir pembelajaran) serta asesmen sikap pada saat diskusi dan presentasi pemecahan masalah. Analisis SWOT a. Strength (Potensi) 1. Melatih kemampuan metakognisi siswa 2. Siswa dapat mengukur dan menyadari kemampuan kognisi yang dimilikinya 3. Siswa dapat menemukan cara belajar yang baik untuk meningkatkan kemampuan kognisi yang dimiliki 4. Memberikan format asesmen/penilaian yang efektif untuk mengukur segala kemampuan yang dimiliki oleh siswa

UMUM…

566 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

5. Mengaplikasikan pembelajaran berbasis masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan teori yang dipelajari dengan permasalahan di lingkungan sekitar 6. Siswa lebih antusias karena pembelajaran tidak monoton hanya pembuktian teori saja, tetapi mereka mengetahui pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari b. Weakness (Kendala) 1. Membutuhkan waktu yang relatif lama, karena siswa harus mencari permasalahan, melaksanakan praktikum dan menghubungkan teori yang ada. 2. Membutuhkan observer yang banyak, mengingat banyaknya indikator yang diamati c. Opportunities (Peluang Hasil Penggunaan) Pemenuhan indikator pengukuran metakognisi yang dilakukan melalui pembelajaran berbasis masalah. d. Threats (Kemungkinan Terburuk) 1. Siswa mengalami kesulitan untuk menghubungkan masalah yang ditemukan dengan teori yang ada 2. Siswa masih belum menguasai teknis pelaksanaan praktikum di laboratorium 3. Siswa belum sepenuhnya memahami kemampuan kognisi yang dimiliki 4. Siswa masih menganggap melaksanakan tugas hanya sekedar untuk pemenuhan mendapatkan nilai Hasil Pencapaian Tes essay (uraian) disusun berdasarkan silabus dan RPP yang dikembangkan melalui pembelajaran berbasis masalah. Tes essay terdiri dari 26 butir soal. Soal tes essay yang diberikan pada saat pretest dan posttest menggunakan soal dengan bobot yang sama.

Analisis Hasil Pretest-Posttest Asesmen Tes Essay Rerata Skor <g> Normalitas *

Sebelum pembelajaran

(pretest)

21.2 0,5 (Sedang)

Berdistribusi normal

Setelah pembelajaran (posttest)

75.8 Berdistribusi normal

Ket: * = uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov

Perubahan ketercapaian indikator metakognisi peserta didik dapat dilihat secara keseluruhan dengan menggunakan angka kategori. Angka kategori terdiri dari: angka 5 dan 4 menunjukkan indikator tercapai (IT), angka 3 menunjukkan sebagian besar indikator tercapai (SBIT), angka 2 menunjukkan sebagian kecil indikator tercapai (SKIT) dan angka 1 dan 0 menunjukkan tidak mencapai indikator metakognisi (TMI). Pengkategorian angka tersebut dimodifikasi dari Standard Grade Arrangement in Science (2000: 51-56). Hasil analisis pengkategorian perubahan ketercapaian indikator metakognisi peserta didik dapat dilihat pada Gambar 4.

UMUM…

Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017 567

Gambar 4: Hasil Analisis Perubahan Ketercapaian Indikator Metakognisi Peserta Didik

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa porsi TMI pasca pembelajaran tidak ada. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan yang signifikan dari peserta didik. Pada pra pembelajaran kategori yang muncul hanya TMI dan SKIT, sedangkan pada pasca pembelajaran sudah mulai muncul kategori SBIT dan IT. Hasil tersebut menunjukkan dengan penggunaan asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan metakognisi peserta didik. Perubahan ketercapaian indikator metakognisi juga dapat dilihat pada masing-masing konsep yang tertuang dalam butir soal. Ketercapaian indikator metakognisi dapat dilihat dari hasil rerata angka kategori tiap soal pada pra pembelajaran dan pasca pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk mengetahui indikator metakognisi apa yang paling dominan tercapai. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5: Analisis Hasil Ketercapaian Indikator Metakognisi Tiap Konsep (Butir Soal).

Hasil analisis Gambar 5 dapat dilihat, pada butir soal B1-1d (soal Bagian I no 1.b) menunjukkan peningkatan yang paling signifikan yaitu dari kategori 0 (TMI) menjadi 4(IT). Pada butir tersebut menunjukkan indikator metakognisi yaitu menyusun dan menginterpretasikan data atau pernyataan yang ada, indikator tersebut merupakan salah satu indikator yang terdapat pada keterampilan metakognisi: Evaluasi, hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan metakognisi siswa sudah meningkat karena selama pembelajaran berlangsung siswa sudah terlatih untuk mengidentifikasi dan menginterpretasi suatu data. Sedangkan untuk pencapaian terendah adalah pada butir soal B1-5a, B2-1b, B2-1c dan B2-2b yaitu dari kategori 1(TMI) menjadi 2 (SKIT), yang di antaranya terdiri dari indikator berupa: menghubungkan informasi yang didapat dengan teori yang ada (B1-5a), memecahkan permasalahan tentang reaksi (B2-1b), mengidentifikasi informasi (B2-1c dan B2-2b). Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan metakognisi berupa manajemen informasi

23

0

8

5

0

11

0

15

0

5

10

15

20

25

30

35

pra pembelajaran pasca pembelajaran

IT

SBIT

SKIT

TMI

1

2

1

0

1 1

0

1 1

0 0

1 1 1 1 1 1 1

0 0 0 0 0 0

2

1

4 4

3

4

3

4

2

3

2

3

2

3

2 2

3

2

3 3 3 3 3

2

3 3

4

3

0

1

2

3

4

5pra pembelajaran pasca pembelajaran

UMUM…

568 Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017

masih kurang, hal ini dikarenakan beberapa siswa yang masih kurang dalam penggalian informasi untuk memecahkan masalah. Hasil dari tes menunjukkan bahwa siswa belajar dengan mengandalkan keterangan yang diberikan oleh guru di kelas dan juga dari buku diktat yang mereka gunakan. SIMPULAN Implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan metakognisi dilaksanakan pada pembelajaran sains di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kota Salatiga. Pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan PBL, dan pelaksanaan penilaian metakognisi dilakukan melalui tes essay dengan dianalisis tahap ketercapaian pada pra dan pasca pembelajaran. Selain itu juga dianalisis SWOT (Strength, Weakness, Oppurtinities, and Threat) pada produk yang telah dikembangkan. REFERENSI Akinoglu, Orhan dan Ruhan Ozkardes Tandogan. 2007. The Effects of Problem-Based

Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(1), 71-81

Arends, Richard II. 2008. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar Edisi Ketujuh. Terjemahan Helly P.S & Sri Mulyani S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bilgin, Ibrahim et al. 2009. The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 5(2), 153-164

Costa, A. L. 1985. Teaching For, Of, and About. In A. L. Costa (Eds). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

Downing, Kevin. Problem-Based Learning and Metacognition. Asian Journal Education & Learning, 1: 75-96, (2010)

Khan, Y. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Lickona, T. 1992. Educating For Character. How Our School Can Teach Respect and

Responsibility. New York: Bantam Book Lubezki, A., Dori, Y. J., and Zoller, U. 2004. HOCS-Promoting Assessment of Students’

Performance on Environment-Related Undergraduate Chemistry. Chemistry Education Research and Practice. 5(2), 175-184.

Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Star Energy (Kakap) Ltd.

Rosidi, Irsad. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPATerpadu Tipe Integrated untuk Mengetahui Ketuntasan Belajar IPA Siswa SMP pada Topik Pengelolaan Lingkungan. Jurnal Pena Sains. Vol. 2, No. 1, April 2015.

Schraw, Dennison. 1994. Assesmen Metacognitive Awareness. Department of Educational Psychology. Lincoln: University of Nebraska

Schraw, Olafson, Weibel, Sewing. 2012. Metacognitive Knowledge and Field-based Science Learning in an Outdoor Environmental Education Program. Departmen of Educational Psychology. Las Vegas: University of Nevada

Tsapartis, G. & Zoller, U. 2003. valuation of Higher vs. Lower-order Cognitive Skills-Type Examination in Chemistry: Implications for University in-class Assessment and Examination. U.Chem.Ed. 7, 50-57.

Weinert, F.E dan Kluwe, R.E. 1987. Metacognition, Motivation, and Understanding. London: Lawrence Erbaum Associates

STRUKTUR VEGETASITUMBUHAN PENUTUP TANAHDI HUTAN WISATA NGLIMUTGONOHARJO KABUPATEN

KENDAL JAWA TENGAHby Sri Utami

Submission date: 10-Feb-2020 09:20AM (UTC+0700)Submission ID: 1254330252File name: ._Pros_semnas_uin_2017-_UIN_Wali9-Struktur_Vegetasi_Tumbuhan.pdf (907.43K)Word count: 1852Character count: 11147

5%SIMILARITY INDEX

4%INTERNET SOURCES

4%PUBLICATIONS

5%STUDENT PAPERS

1 2%

2 1%

3 1%

4 1%

STRUKTUR VEGETASI TUMBUHAN PENUTUP TANAH DIHUTAN WISATA NGLIMUT GONOHARJO KABUPATENKENDAL JAWA TENGAHORIGINALITY REPORT

PRIMARY SOURCES

dspace.cuni.czInternet Source

Jeanne L Maalalu, Dominggus Rumahlatu."STRUKTUR KOMUNITAS TUMBUHAN PAKU(PTERIDOPHYTA) DI KAWASAN HUTANKUSU-KUSU KECAMATAN NUSANIWE DANSOYA KECAMATAN SIRIMAU KOTA AMBONSEBAGAI SUMBANGAN ILMIAH BAGI MATAKULIAH EKOLOGI TUMBUHAN", Biopendix:Jurnal Biologi, Pendidikan dan Terapan, 2019Publication

biologi.fst.unair.ac.idInternet Source

Yuya Watari, Issei Yamada, Tamaki Watanabe." Single–meal maximum ingestion of theinvasive mongoose ( ) for evaluating foodconsumption in the field ", New Zealand Journalof Zoology, 2009Publication

5 1%

Exclude quotes Off

Exclude bibliography On

Exclude matches < 1%

Submitted to Pasundan UniversityStudent Paper

FINAL GRADE

/0

STRUKTUR VEGETASI TUMBUHAN PENUTUP TANAH DIHUTAN WISATA NGLIMUT GONOHARJO KABUPATENKENDAL JAWA TENGAHGRADEMARK REPORT

GENERAL COMMENTS

Instructor

PAGE 1

PAGE 2

PAGE 3

PAGE 4

PAGE 5

PAGE 6