proposal herpet fix (autosaved) (2)

27
PROPOSAL PENELITIAN PENGARUH KETEBALAN SERESAH DAN KERAPATANTUMBUHAN BAWAH TERHADAP KEANEKARAGAMAN AMFIBI TERESTRIAL DI HUTAN WANAGAMA I Diusulkan oleh : Reza M Irsyad (11/313214/KT/06898) Farid Sancoyo Widagdo (11/318661/KT/06987) Aziza Lazuarda (11/318730/KT/07054) Gina Anggia Putri (11/318796/KT/07114) Tajudin Nur Afif (11/312464/KT/06855) LABORATORIUM SATWA LIAR

Upload: independent

Post on 10-Jan-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH KETEBALAN SERESAH DAN KERAPATANTUMBUHAN BAWAH TERHADAP

KEANEKARAGAMAN AMFIBI TERESTRIAL

DI HUTAN WANAGAMA I

Diusulkan oleh :

Reza M Irsyad (11/313214/KT/06898)

Farid Sancoyo Widagdo (11/318661/KT/06987)

Aziza Lazuarda (11/318730/KT/07054)

Gina Anggia Putri (11/318796/KT/07114)

Tajudin Nur Afif (11/312464/KT/06855)

LABORATORIUM SATWA LIAR

JURUSAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di hutan sangat erat hubungannya dengan keberadaan

herpetofauna dan perubahan iklim serta suhu, terutama amfibi.

Pada hutan bekas tebangan memilki jumlah jenis amfibi yang

lebih sedikit dibandingkan hutan yang masih alami. Hal yang

sama juga dikonfirmasi oleh penelitian Ul-Hasanah (2006) yang

menunjukkan berubahnya komposisi jenis amfibi di hutan yang

masih baik dengan hutan yang telah terbuka. Jenis-jenis yang

hilang adalah katak-katak penghuni serasah dan pepohonan.

Dikarenakan kebanyakan amfibi berbiak di lahan basah, maka

memerlukan kelembaban suhu yang optimal. Perubahan habitat

hutan seperti adanya pembalakan liar atau aktivitas lainnya

dapat mengurangi kemampuan satu jenis untuk bertahan hidup dan

habitat bagi herpetofauna semakin berkurang.

Herpetofauna merupakan hewan berdarah dingin

(eksotermal) yang artinya suhu dalam tubuhnya dapat

menyesuaikan dengan suhu lingkungan disekitar dia berada. Oleh

karena itu herpetofauna sangat terpengaruh oleh keadaan suhu

lingkungan untuk dapat hidup, sehingga membuat herpetofauna

sangat terkendala untuk dapat hidup karena habitatnya yang

sangat spesifik tegantung pada faktor lingkungan yang ada

dengan batasan-batasan baik suhu maupun batas-batas lingkungan

lainnya yang sesuai dengan kondisi ideal yang dibutuhkan untuk

dapat hidup dan berkembang biak.

Amfibi memiliki ketergantungan terhadap lingkungan, hal

ini karena amfibi sangat peka terhadap perubahan lingkungan

yang ada. Amfibi juga memiliki cara tersendiri untuk

beradaptasi terhadap perubahan lingkungan tersebut. Beberapa

faktor lain yang juga berpengaruh secara garis besar adalah

faktor edafik (tanah), terrestrial (lantai hutan), dan aboreal

(vegetasi).

Faktor edafik adalah faktor yang bergantung pada tanah

dalam keadaannya sebagai tanah pada penyusunnya, kandungan air

dan udara, organisme yang hidup di dalamnya, dan seterusnya.

Keberadaan faktor edafik ini diperlukan oleh amfibi sebagai

tempat berlindung, khususnya pada bebatuan. Amfibi juga

memanfaatkan penutupan lantai hutan oleh seresah dan juga

tumbuhan bawah sebagai tempat berlindung dan tempat hidupnya.

Keberadaan faktor aboreal (vegetasi), sebagai pembentuk iklim

mikro pada suatu kawasan, sehingga keberadaan vegetasi

berpengaruh terhadap amfibi yang berdarah dingin dan peka

terhadap perubahan suhu.

Di Wanagama sendiri mempunyai karakteristik vegetasi

yang berbeda-beda. Perbedaan ini terbentuk karena dinamika

perkembangan kawasan Wanagama. Perbedaan karakteristik

vegetasi terhadap suatu kawasan akan berpengaruh terhadap

keanekaragaman individu amfibi yang ada di dalamnya. Melihat

kondisi seperti di atas maka perlu diadakan suatu penelitian

mengenai pengaruh ketebalan seresah dan kerapatan tumbuhan

bawah terhadap keanekaragaman jenis amfibi terestrial yang ada

di Wanagama.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Herpetofauna terutama amfibi sangat sensitif terhadap

perubahan kondisi habitat karena kulitnya yang permeabel dan

siklus hidupnya yang akuatik dan terrestrial. Daerah

jelajahnya yang kecil juga membuat jenis ini rentan terhadap

kerusakan habitat dan faktor edafiknya. Hutan Wanagama I

terdiri atas berbagai petak. Masing-masing petak memiliki

ketebalan seresah dan kerapatan tumbuhan bawah yang berbeda-

beda. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh ketebalan

seresah dan kerapatan tumbuhan bawah terhadap keanekaragaman

amfibi terrestrial.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.Mengetahui pengaruh ketebalan seresah dan kerapatan tumbuhan

bawah terhadap keanekaragaman amfibi terrestrial di Hutan

Wanagama 1.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai pengaruh ketebalan seresah dan kerapatan tumbuhan

bawah terhadap keanekaragaman amfibi terrestrial di hutan

Wanagama I, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

acuan, seberapa pentingnya peranan seresah dan tumbuhan bawah

terhadap keanekaragaman amfibi trrestrial di hutan Wanagama I

dan diharapkan dari informasi tersebut dapat dijadikan sebagai

bahan pendukung dalam menentukan upaya konservasi atau

rekomendasi pengelolaan konservasi amfibi terrestrial yang

baik di hutan Wanagama I.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. AMFIBI

Amfibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang

tinggi, tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air

maupun di darat. Amphibia berasal dari bahasa Yunani yaitu

Amphi yang berarti dua dan Bios yang berarti hidup. Karena itu

amphibi diartikan sebagai hewan yang mempunyai dua bentuk

kehidupan yaitu di darat dan di air. Pada umumnya, amphibia

mempunyai siklus hidup awal di perairan dan siklus hidup kedua

adalah di daratan ( Zug, 1993). Secara umum, semua amfibi

memiliki kulit yang tipis dan halus. Berberapa jenis

menggunakan kulitnya untuk respirasi dan pertukaran gas dengan

udara. Sebagian besar jenis amfibi memiliki mata yang besar

untuk mencari mangsanya(Kusrini, 2008).

Saat dewasa hewan amfibi masih memerlukan tempat yang

terdapat air atau lembab untuk hidup.  Amfibi selalu hidup

berasosiasi dengan air, tetapi hewan ini menghuni habitat yang

cukup beragam mulai dari yang hidup di bawah permukaan air

sampai yang hidup di puncak pepohonan. Kebanyakkan hewan ini

hidup di kawasan berhutan, karena  memerlukan kelembaban untuk

melindungi tubuhnya dari kekeringan. Amfibi tidak memiliki

alat fisik untuk mempertahankan diri seperti taring dan cakar,

sebagian besar untuk jenis katak mengandalkan kaki belakangnya

untuk melompat dan menghindari bahaya, alat pertahanan lain

yang cukup efektif adalah kulitnya yang  beracun.

Amfibi adalah satwa vertebrata dengan jumlah jenis

terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis. Dari ketiga Ordo

tersebut, salamander adalah satu-satunya kelompok yang tidak

terdapat di Indonesia. Salamander dijumpai di Amerika utara

dan tengah sampai Amerika Selatan bagian utara, Eropa, Afrika,

Jepang dan Taiwan (Kusrini, 2008).

Taksonomi amfibi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub-phyllum : Vertebrata

Kelas : Amfibia

Ordo : Gymnophiona (Sesilia)

Apoda (Salamander)

Anura (Katak dan kodok) (Kusrini, 2008).

2.1.1. Sesilia

Ordo Gymnophiona juga dikenal dengan nama lain sesilia.

Ordo ini terdiri dari 34 genera dan 5 famili. Jumlah jenis

dari Ordo tersebut adalah sebanyak 163 jenis, atau sekitar

3.5% dari seluruh jenis amfibi (Kusrini, 2008). 5 famili dari

Ordo Gymnophiona yaitu Rhinatrematidae, Ichtyopiidae,

Uraeotyphilidae, Scolecomorphiidae, dan Caecilidae. Famili

Caecilidae mempunyai 3 subfamili yaitu Dermophinae, Caecilinae

dan Typhlonectinae. ( Webb et.al, 1981).  Famili yang ada di

indonesia adalah Ichtyopiidae.

Bangsa ini mempunyai bentuk tubuh seperti cacing dengan

kepala dan mata tampak jelas. Aktif pada malam hari dan

membutuhkan perairan yang jernih sebagai habitatnya. Jenis ini

sulit dijumpai karena hidup di sungai- sungai kecil maupun

besar pada stadium larva yaitu ekor masih terdapat bagian

tubuh seperti sirip di bagian ekor, dan kemudian akan

mereduksi setelah dewasa dan hidup dalam liang-liang tanah

(Mistar, 2008). Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam daur

hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan

insang. Pada fase dewasa insang mengalami reduksi, dan

biasanya ditemukan di dalam tanah atau di lingkungan akuatik.

Fertilisasi pada Caecilia terjadi secara internal. ( Webb

et.al, 1981).

Satwa dari Ordo Gymnophiona memiliki tubuh panjang tanpa

kaki, seperti cacing. Ciri-ciri seperti bentuk tulang, gigi

dan lemak dalam tubuh menyerupai amfibi, sehingga sesilia

termasuk dalam kelas tersebut. Sebagian besar sesilia berwarna

abu-abu kebiruan. Ukurannya berkisar dari 7 cm sampai 1.5 m.

Satwa sesilia jarang ditemui (Kusrini, 2008).

2.1.2. Salamander

Salamander memiliki tubuh yang memanjang dan memiliki

ekor. Sebagian besar Salamander memiliki empat kaki, meskipun

tungkai pada beberapa spesies akuatik jelas sekali mereduksi.

Ada 2 kecenderungan yang cukup menonjol dalam proses evolusi

Salamander yaitu hilangnya (mereduksi) paru-paru serta adanya

paedomorphosis (adanya karakteristik larva pada Salamander

dewasa) (Pough et al., 1998). Sangat mengherankan jika suatu

hewan terestrial dapat bertahan hidup tanpa adanya paru-paru

akan tetapi pada family terbesar Salamander yaitu Plethodontidae

memiliki karakteristik tidak adanya paru-paru. Tidak adanya

paru-paru mungkin terjadi pada Salamander karena kulit

Salamander memungkinkan terjadinya pertukaran gas.

Beberapa penjelasan telah disusun untuk menunjukkan

keuntungan dari hilangnya paru-paru pada Plethodontidae,

hipotesis yang paling mudah diterima berkaitan dengan evolusi

hilangnya paru-paru adalah spesialisasi dari apparatus

hyoideus yang terdapat di dalam tenggorokan sebagai suatu

mekanisme dalam menjulurkan lidah untuk menangkap mangsa.

Kartilago hyoideus merupakan bagian dari alat bantu

pernapasan pada Salamander yang memiliki paru-paru. Jadi pada

Plethodontidae, apparatus hyoideus yang seharusnya berperan

sebagai alat bantu pernapasan jika dia memiliki paru-paru

mengalami modifikasi menjadi mekanisme penjuluran lidah untuk

menangkap mangsa dikarenakan paru-paru mereduksi. Anggota

dari Pletodhontidae yang mampu menjulurkan lidah lebih jauh

daripada panjang kepala dan tubuh dikelompokkan dalam

Bolitoglossine (Pough et al., 1998).

Salamander merupakan kelompok Amphibia yang berekor.

Semua anggota dari family ini memiliki ekor yang panjang,

tubuh silinder yang memanjang serta kepala yang berbeda.

Sebagian besar memiliki tungkai yang berkembang dengan baik,

biasanya pendek tergantung pada ukuran tubuh. Tengkoraknya

mereduksi dikarenakan adanya beberapa bagian yang menghilang.

Sebagian besar anggotanya memiliki fertilisasi internal meski

tak satu pun anggota dari family ini yang memiliki organ

kopulasi. Fertilisasi internal terjadi ketika jantan

mendepositkan spermatopora yang kemudian akan diterima oleh

betina melalui bibir kloakanya (Zug, 1993).

2.1.3. Katak dan Kodok

Katak dan kodok adalah anggota dari Ordo Anura. Untuk

penjelasan seterusnya, kelompok ini akan disebut katak. Ordo

tersebut terdiri dari 20 famili dengan 303 genera. Saat ini

terdapat lebih dari 4,100 jenis Anura di dunia, atau sekitar

87% dari semua jenis amfibi. Indonesia memiliki sekitar 376

jenis amfibi (IUCN 2007). Jumlah jenis amfibi terus bertambah

dengan adanya penemuan jenis-jenis baru (Kusrini, 2008).

Katak dan kodok merupakan amfibi yang paling mudah

dikenal. Kata “anura” berarti “tanpa ekor”. Anura dewasa tidak

memiliki ekor. Tubuh katak tampak seperti berjongkok dengan

empat kaki. Kaki depan berukuran lebih kecil daripada kaki

depan. Kaki belakang berfungsi untuk melompat. Kepala katak

tidak dipisahkan dari badan oleh leher yang jelas. Katak

memiliki mata yang besar dengan pupil horizontal atau vertikal

(Kusrini, 2008).

Katak dan kodok berbeda dari ciri katak yang memiliki

kulit tipis dan halus, tubuh ramping, dan kaki yang lebih

kurus dan panjang. Kodok memiliki tubuh yang lebih pendek dan

gemuk dengan kulit kasar dan tertutup bintil-bintil. Warna

katak bervariasi, dari hijau, coklat, hitam, merah, oranye,

kuning dan putih. Ukuran SVL (snout vent length) Anura berkisar

dari 1-35 cm, tetapi kebanyakan berkisar antara 2-12 cm

(Kusrini, 2008).

Morfologi katak berbeda tergantung pada habitatnya. Katak

pohon seperti famili Rhacophoridae memiliki piringan (discs)

pada ujung jarinya untuk membantu dalam memanjat. Katak

akuatik atau semi-akuatik seperti famili Ranidae memiliki

selaput diantara jari-jarinya untuk membantu dalam berenang.

Katak terestrial tidak memiliki selaput ataupun piringan,

tetapi cenderung memiliiki warna yang menyerupai serasah atau

lingkungan sekelilingnya, seperti pada genus Megophrys

(Kusrini, 2008).

Ordo Anura dibagi menjadi 27 famili, yaitu: Ascaphidae,

Leiopelmatidae, Bombinatoridae, Discoglossidae, Pipidae,

Rhinophrynidae,Megophryidae, Pelodytidae, Pelobatidae,Allophrynidae, Bufonidae,

Branchycephalidae,Centrolenidae, Heleophrynidae, Hylidae,Leptodactylidae,

Myobatrachidae, Pseudidae,Rhinodermatidae, Sooglossidae,

Arthroleptidae,Dendrobatidae, Hemisotidae, Hyperoliidae,Microhylidae, Ranidae,

Rachoporidae( Pough et. al.,1998).

Di Jawa-Bali, Ordo Anura terdiri dari 5 famili yaitu

Megophrydae, Bufonidae, Ranidae, Microhylidae, dan

Rhacophoridae.

- Suku Bufonidae (kodok sejati)

Suku ini disebut juga katak sejati atau kodok, permukaan

kulitnya kasar dan memiliki penampilan yang kekar, pada

tubuhnya tertutup oleh bintil-bintil. Memiliki kelenjar

paratoid yang mensekresikan getah berlendir serta racun, akan

tetapi tidak berbahaya jika memegangnya asalkan tangan kita

langsung dibasuh dengan air.Untuk beberapa jenis mamalia

kecil mungkin akan beracun untuk dimangsa. Suku ini menempati

habitat yang beragam dari pemukiman penduduk, rawa, hutan

sekunder, hutan primer, dari permukaan laut sampai hutan

pegunungan. Ukurannya beragam dari 25 mm sampai 250 mm. Marga

dari suku ini antara lain Leptophryne, Pelophryne,

Pedostibes serta Bufo (Anonim, 2008).

- Suku Megophryidae (katak seresah)

Suku ini disebut juga katak seresah karena hidup diantara

seresah daun kering. Suku ini memiliki kaki yang relatif

pendek, sehingga lambat dalam bergerak. Katak ini melompat

dari satu tempat ke tempat lain dan memiliki strategi menyatu

(kamuflase) dengan daun kering untuk menghindari pemangsa.

Daerah penyebarannya terdapat di hutan bambu, hutan sekunder

muda, hutan alami dan pada daerah perairan (riparian). Ada 2

marga disini yaitu Leptobrachium dan Megophrys (Anonim,

2008).

- Suku Microhylidae (katak mulut sempit)

Suku ini disebut juga katak mulut sempit karena bentuk

kepalanya yang relatif kecil dan bentuk mulut yang runcing

dengan mata yang kecil. Memiliki tubuh yang berukuran kecil

sampai besar dengan jari atau tanpa ujung melebar. Beberapa

jenis hidup di dalam lubang-lubang tanah (fossorial), dan

lubang-lubang pohon. Suku ini merupakan suku kodok dan katak

terbesar di Indonesia (sekitar 150 jenis) dengan 4 marga

antara lain marga Kaloula, Phrynella, Kalophrynus, dan

Microhyla. Daerah penyebarannya antara lain terdapat di

semak/padang rumput, hutan bambu, hutan sekunder muda

(Anonim, 2008).

- Suku Ranidae ( katak sejati )

Dikenal sebagai katak sejati, tersebar di Indonesia

terdiri dari 100 jenis terbagi dalam 8 marga . Memiliki ciri-

ciri tubuh ramping,ujung jari tangan biasanya melebar dan

pipih dengan alur melingkar memisahkan bagian atas lempengan

dari bagian yang bawah.Habitat suku ini sangat beragam, dari

mulai hutan mangrove sampai hutan pegunungan,dari mulai hutan

primer, sekunder, belukar, padang rumput, sampai sekitar

pemukiman (Anonim, 2008).

2.2. HABITAT AMFIBI

Menurut Alikodra (2002) habitat satwa yaitu suatu

kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk

memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Herpetofauna sangat

menyukai tempat-tempat yang kondisi kelembapannya relatif

tinggi dan dekat dengan badan air (Fitri, 2002). Tidak jauh

berbeda dengan amphibi, reptil juga menyukai habitat lembap

dengan tajuk pohon yang rapat. Penyebaran reptil sangat

dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah tersebut

(Halliday dan Adler, 2000 dalam Edarwin 2006).

Amfibi dan reptil hidup di air dan darat, namundemikian

kita harus memilih tempat-tempat yang diduga sebagai

habitatnya. Antara lain, sungai-sungai besar maupun kecil,

kolam-kolam kecil, kubanganhewan, kayu lapuk, dan akar banir

yang terakumulasi dengan serasah daun (Mistar, 2008).

Umumnya Amfibi menghuni daerah-daerah Hutan. Amfibi

sangat senang dengan hutan karena daerah hutan memiliki

kelembaban yang tinggi sehingga menambah kenyamanan bagi suhu

amfibi itu sendiri. Dari segi habitat, terdapat spesies katak

yang merupakan pengecualian dari yang lain yakni spesies

Fejervanya cancrivora, hal ini dikarenakan katak ini mampu hidup

di air payau sekalipun sehingga penyebarannya luas di Asia

Tenggara (Anonim, 2008).

2.3. HABITAT TERESTRIAL

Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan

indikator yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu

daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat

tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah

organisme tetapi pada demografi populasi secara individual.

Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli

restorasi.Dalam ekosistem kita mengenal dua pembagian

ekosistem yaitu ekosistem terrestrial (daratan) dan ekosistem

akuatik (Perairan). Dalam ekosistem akuatik dapat kita

jabarkan sebagai semua komponen biotik dan abiotik yang

terdapat didalam ekosistem perairan tersebut.Sedangkan dalam

ekosistem terrestrial atau ekosistem daratan dapat dijabarkan

semua komponen yang terlibat langsung maupun tidak langsung

dalam ekosistemtersebut.Ekosistem terestrial meliputi bioma

gurun, padang rumput, Hutan hujan tropis, Hutan gugur,

Taiga,dan bioma Tundra.

2.4. SERESAHMenurut Nasoetion (1990), serasah adalah lapisan teratas

dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis

sisa tumbuhan.Serasah didefinisikan sebagai tumpukan

dedaunankering, ranting dan berbagai sisa vegetasi lainnya

diatas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk

(mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah),

dan akhirnya menjadi tanah. Serasah umumnya dihitung

biomassanya dengan metode pemanenan atau pengumpulan. Serasah

bisa dipisahkan lagi menjadi lapisan atas dan bawah. Lapisan

atas disebut serasah yang merupakan lapisan di lantai hutan

yang terdiri dari guguran daun segar, ranting, serpihan kulit

kayu, lumut dan lumut kerak mati, dan bagian buah dan bunga.

Lapisan dibawah serasah disebut dengan humus yang terdiri

dari serasah yang sudah terdekomposisi dengan baik (Sutaryo,

2009).Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun,

cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya

yang telah mati. Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat

melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi

penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh

kualitas bahan oraganik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan,

semakin lama bahan tersebut dilapuk, sehingga terjadi akumulasi

serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah,

dkk, 2005).

(ketebalan seresah, klasifikasi seresah)

2.5. TUMBUHAN BAWAH

Vegetasi merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam

arti luasnya. Pada umumnya, tumbuhan terdiri dari beberapa

golongan antara lain pohon yaitu berupa tegakan dengan ciri-

ciri tertentu. Kemudian dapat diketemukan semak belukar dan

lain-lain tergantung dari ekosistem yang diamati. Tumbuhan

bawah merupakan tumbuhan yang termasuk bukan tegakan atau

pohon namun berada di bawah tegakan atau pohon (Odum, 1993).

Soerianegara dan Indrawan (2008) menyatakan bahwa

tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang

terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan

meliputi rerumputan, herba dan semak belukar. Dalam

stratifikasi hutan hujan tropika, tumbuhan bawah menempati

stratum D yakni lapisan perdu, semak dan lapisan tumbuhan

penutup tanah padastratum E. Tumbuhan bawah berfungsi sebagai

penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses

dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk

tanaman pokok. Di sini, siklus hara dapat berlangsung

sempurna, guguran yang jatuh sebagai serasah akan

dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsure hara yang

seperti diketahui akan diuraiakan oleh bakteri (Ewusia,

1990).

2.6. KEANEKARAGAMAN JENIS

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi dapat

dilakukan inventarisasi. Inventarisasi amfibi adalah

pengumpulan data amfibi yang hidup pada suatu wilayah atau

habitat tertentu. Data yang diperoleh dapat berupa jenis

amfibi, jumlah individu tiap jenis amfibi dan penyebarannya

(Yuda, 1994).

BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

3.1. LANDASAN TEORI

Amfibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang

tinggi, tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air

maupun di darat. Amphibia berasal dari bahasa Yunani yaitu

Amphi yang berarti dua dan Bios yang berarti hidup. Karena itu

amphibi diartikan sebagai hewan yang mempunyai dua bentuk

kehidupan yaitu di darat dan di air. Pada umumnya, amphibia

mempunyai siklus hidup awal di perairan dan siklus hidup kedua

adalah di daratan. Secara umum, semua amfibi memiliki kulit

yang tipis dan halus. Berberapa jenis menggunakan kulitnya

untuk respirasi dan pertukaran gas dengan udara. Sebagian

besar jenis amfibi memiliki mata yang besar untuk mencari

mangsanya.

Wanagama I memiliki beberapa petak, dari petak-petak

tersebut dapat dijumpai penyusun vegetasi yang berbeda-beda,

dikarenakan adanya perbedaan letak antar petak yang memiliki

karakter yang bervariasi, misalnya ketinggian tempat, iklim

mikro, jenis tanah atau keadaan tanah. Dikarenakan penyusun

tegakan yang berbeda pula. Perbedaan penyusun tersebut

berpengaruh terhadap kondisi fisik lingkungan.Umumnya Amfibi

menghuni daerah-daerah hutan. Amfibi sangat senang dengan

hutan karena daerah hutan memiliki kelembaban yang tinggi

sehingga menambah kenyamanan bagi suhu amfibi itu sendiri.

Tempat-tempat tersebut antara lain, sungai-sungai besar maupun

kecil, kolam-kolam kecil, kubangan hewan, kayu lapuk, akar

banir yang terakumulasi dengan serasah daun, dan tumbuhan

bawah.

3.2. HIPOTESIS

Semakin tebal seresah dan semakin rapat tumbuhan bawah

akan berpengaruh terhadap tingginya keanekaragaman amfibi

terrestrial di Hutan Wanagama I.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 13-14

Desember 2013, di Hutan Pendidikan Wanagama I Kabupaten

Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

4.2. Alat Dan Bahan

1. Kompas

2. GPS

3. Roll meter

4. Protaktor

5. Tally sheet

6. Alat tulis

7. Plastik

8. Thermohygrometer

9. Kamera

10. Stopwatch / jam tangan

11. Senter

12. Jas hujan

13. Peta kawasan Wanagama I

14. Buku panduan identitas herpetofauna

15. Tabung okuler

16. Tali

17. Density board

18. Parang

4.3. Metode Pengambilan Data

4.3.1. Data Herpetofauna

Metode yang digunakan untuk mengetahui keanekaragaman

amfibi terestrial yang terdapat di Hutan Wanagama I yaitu

metode line transect. Line transect (garis transek) merupakan

suatu petak contoh dimana seorang pencatat berjalan sepanjang

garis transek dan mencatat setiap jenis satwa liar yang

dilihat berupa jenis amfibi yang ditemukan. Line transect

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan lebar 20 m

dan panjang 250 m yang kemudian dibagi menjadi 5 segmen

dengan panjang 50 m pada setiap segmen. Jumlah line transect

yang dibuat untuk pengambilan data amfibi sebanyak tiga line

transect dengan jarak antar transek 50 m. Di dalam masing-

masing segmen dibuat protokol sampling untuk mengetahui ketebalan

seresah dan kerapatan tumbuhan bawah pada setiap segmen. Data

yang diambil adala keanekaragaman amfibi yaitu nama spesies

dan jumlah tiap individu spesies.

50 m

20 m

50 m

50 m

50 m 50 m 50 m 50 m

11 12 13 14 15

10 9 8 7 6

1.3.3. Data Ketebalan Seresah dan Kerapatan Tumbuhan

Bawah

Pengukuran faktor habitat yang digunakan dalam

penelitian adalah ketebalan seresah dan kerapatan tumbahan

bawah. Untuk mengetahui data ketebalan seresah menggunakan

penggaris untuk mengukur. Kerapatan tumbuhan bawah menggunakan

alat density board. Pengukuran ketebalan seresah dan kerapatan

tumbuhan bawah menggunakan metode protocol sampling. Teknik ini

dilakukan dengan cara membuat plot berbentuk lingkaran

dengan jari-jari (r) 11,3 meter. Protocol sampling dibuat pada

setiap segmen.

Di dalam lingkaran tersebut dibuat jalur sepanjang

garis Utara-Selatan dan Timur-Barat. Dalam setiap arah Utara-

Selatan atau Timur-Barat dibagi menjadi 10 titik sehingga

jumlah keseluruhan dari semua arah dalam metode protocol sampling

ada 20 titik. Pengukuran density board dilakukan dari pusat

protocol sampling ke empat arah sesuai arah mata angin, sedangkan

10 m

Gambar 1. Garis

sungai oyo

1 2 3 4 5

Diameter 11,3m

U

T

S

B

pengukuran ketebalan seresah diukur pada titik-titik tersebut.

Data yang perlu dicatat yaitu nama lokasi, waktu pengambilan

data, ketebalan seresah, kerapatan tumbuhan bawah dan spesies

vegetasi.

Gambar 2. Protocol sampling

Gambar 3. Density board

1.3.4. Metode Analisis Data

1. Keanekaragaman amfibi terestrial ditentukan dengan

menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Ludwig & Reynolds,

1988), dengan rumus:

H'=−∑i=1

k ni

nln

nin

Keterangan:

H’ = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener

ni = jumlah individu species i

n = jumlah individu total

Pengkategorian nilai keragaman Shannon-Wiener

dilakukan untuk mengidentifikasi range kawasan yang

memiliki tingkat nilai dari rendah, sedang dan tinggi.

Menurut Fachrul (2007) besarnya Indeks Keragaman jenis

menurut Shannon-Wiener didefinisikan sebagai berikut.

a. Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa keragaman jenis pada

suatu transek adalah melimpah tinggi

b. Nilai H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keragaman

jenis pada suatu transek adalah sedang melimpah

c. Nilai H’ < 1 menunjukkan bahwa keragaman jenis

pada suatu transek adalah sedikit atau rendah

2. Untuk mengetahui pengaruh ketebalan seresah dan

kerapatan tumbuhan bawah terhadap keanekaragaman amfibi

terrestrial di Hutan Wanagama 1 diolah menggunakan

software R-statistic, dengan analisis regresi. Analisis

data dilakukan dengan menguji apakah data tersebut

normal atau tidak normal. Untuk menganalisis data yang

tidak nomal menggunakan Uji Logistic Regression. Rumus

analisis regresi logistik yang digunakan yaitu y : a +

bx. Dengan keterangan y untuk kehadiran amfibi, b

( konstanta ) dan x sebagai variabelnya yang terdiri

dari ketebalan seresah dan kerapatan tumbuhan bawah.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit

Fakultas Kehutanan IPB.

Anonim. 2008. Modul KP3. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Endarwin, W. 2006. Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi Cyrtodactylus

famosus di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung. (Skripsi).

Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Ewusia, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh

Usman Tanuwidjaja. Penerbit I TB. Bandung.

Fitri, A. 2002. Keanekaragaman Jenis Amphibi (Ordo Anura) di Kebun Raya

Bogor. (Skripsi). Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.Hairiah, dkk. 2005. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem

Agroforestri.

Kusrini, M. D. 2008. Pengenalan Herpetofauna. Bogor: Fakultas

Kehutanan IPB.

Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor.

The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.Nasoetion, A. H. 1990. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Untuk

Mahasiswa Baru. Institut Pertanian Bogor. Tahun Ajaran

2000/2001. Litera AntarNusa.

Odum, E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono

samingan dari buku Fundamentals Ecology. UGM Press. Yogyakarta.

Pough, F.H, et. al. 1998. Herpetology. Prentice-Hall,Inc. New

Jersey.

Soerianegara, I dan A. Indrawan. 2008. Ekologi hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. FakultasKehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Sutaryo, D. 2009. Perhitungan Biomassa (Sebuah pengantar untuk

studi karbon dan perdagangan karbon).

http://www.wetlands.or.id/PDF/Penghitungan%20Biomasssa.pdf.

Webb, E. J., Campbell, D. T., Schwartz, R. D., Sechrest, L. and

Grove, J. B. (1981).Nonreactive Measures in the Social

Sciences.

Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Ampibians and

Reptiles. Academic Press. London.