pembangunan kelautan yang menyejahterakan

10
1 Menuju Kebijakan Pembangunan Kelautan yang Menyejahterakan 1 Rissalwan Habdy Lubis USAID-IMACS Policy Development Specialist Laut adalah bahan baku sumber daya kehidupan yang sangat luar biasa bagi Indonesia. Bahkan jargon bangsa Indonesia yang terdokumentasikan dan tersosialisasikan melalui lagu anak-anak berjudul ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ telah sangat bersahabat di telinga kita semua. Namun sayangnya, pada periode orde baru selama kurang lebih 30 tahun, orientasi kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan pada gagasan teritorial yang lebih berfokus pada daratan. Pembangunan sendiri adalah sebuah upaya mencapai kemajuan bagi umat manusia. Secara umum pembangunan seringkali dikaitkan dengan pencapaian dan peningkatan kesejahteraan secara ekonomis. Hal ini terutama terjadi pada negara sedang berkembang, yang pada gelombang awal pembangunan pasca kolonialisme diidentikkan dengan peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 1997: 7). Ide dasar dari pembangunan berbasis ekonomi ini adalah pertumbuhan yang akan membawa dampak menetes ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep trickle down effect tersebut ternyata tidak hanya terjadi dalam konteks sektoral, melainkan juga melebar ke dalam konteks spasial. Pembangunan yang bertujuan pertumbuhan telah menciptakan daerah atau kawasan atau matra yang mendapatkan perhatian pembangunan yang lebih dari daerah lainnya (Gore, 1984: 25-27). Dalam kenyataannya di Indonesia, seolah-olah ada polarisasi antara kota dan desa, demikian pula antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur dan juga daratan dan lautan. Daerah daratan di perkotaan dan khususnya yang berada di kawasan Barat Indonesia telah menjadi sentral pembangunan selama masa orde baru. Industri hulu hingga hilir berkembang dengan pesat di tempat tersebut. Sementara daerah pedesaan dan daerah 1 Concept paper of core competence, 4 September 2014.

Upload: independent

Post on 20-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Menuju Kebijakan Pembangunan Kelautan yang Menyejahterakan1

Rissalwan Habdy Lubis

USAID-IMACS Policy Development Specialist

Laut adalah bahan baku sumber daya kehidupan yang sangat luar biasa bagi Indonesia.

Bahkan jargon bangsa Indonesia yang terdokumentasikan dan tersosialisasikan melalui lagu

anak-anak berjudul ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ telah sangat bersahabat di telinga

kita semua. Namun sayangnya, pada periode orde baru selama kurang lebih 30 tahun,

orientasi kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan pada gagasan teritorial yang

lebih berfokus pada daratan.

Pembangunan sendiri adalah sebuah upaya mencapai kemajuan bagi umat manusia. Secara

umum pembangunan seringkali dikaitkan dengan pencapaian dan peningkatan

kesejahteraan secara ekonomis. Hal ini terutama terjadi pada negara sedang berkembang,

yang pada gelombang awal pembangunan pasca kolonialisme diidentikkan dengan

peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan

ekonomi (Kuncoro, 1997: 7). Ide dasar dari pembangunan berbasis ekonomi ini adalah

pertumbuhan yang akan membawa dampak menetes ke bawah (trickle down effect).

Penerapan konsep trickle down effect tersebut ternyata tidak hanya terjadi dalam konteks

sektoral, melainkan juga melebar ke dalam konteks spasial. Pembangunan yang bertujuan

pertumbuhan telah menciptakan daerah atau kawasan atau matra yang mendapatkan

perhatian pembangunan yang lebih dari daerah lainnya (Gore, 1984: 25-27). Dalam

kenyataannya di Indonesia, seolah-olah ada polarisasi antara kota dan desa, demikian pula

antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur dan juga daratan dan lautan.

Daerah daratan di perkotaan dan khususnya yang berada di kawasan Barat Indonesia telah

menjadi sentral pembangunan selama masa orde baru. Industri hulu hingga hilir

berkembang dengan pesat di tempat tersebut. Sementara daerah pedesaan dan daerah

1 Concept paper of core competence, 4 September 2014.

2

lainnya di kawasan Timur, telah menjadi pemasok bahan baku industri secara marjinal dan

mengabaikan sumber daya utamanya yaitu laut. (Warpani, 1984: 67-68; Mashoed, 2004: 7-8).

Pada masa reformasi, kebijakan pembangunan kelautan telah kembali secara eksplisit

mengemuka.2 Pembentukan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah wujud nyata dari

kebangkitan orientasi kebijakan pembangunan kelautan tersebut. Namun kenyataan bahwa

Kementerian Kelautan dan Perikanan masih berada dibawah koordinasi Menteri

Koordinator Perekonomian—bukan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat—cenderung

mengarahkan kebijakan pembangunan kelautan nasional dalam konteks pengelolaan

komoditas daripada aspek peningkatan kualitas hidup.3 Konsekuensi dari pengaturan

seperti ini adalah bahwa kebijakan kelautan nasional masih cenderung economic-centric.

Sebut saja misalnya praktek pembangunan di daerah yang lebih mengedepankan

pembangunan infrastruktur—terutama infrastruktur ekonomi—dan cenderung melupakan

peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

dalam jangka panjang.4 Pola pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi

seperti ini tentunya tidak terlalu mendukung semangat pembangunan yang berpusat pada

manusia atau people centered development.

2 Pada masa awal pemerintahan orde lama, isu pembangunan kelautan atau kemaritiman

sempat menjadi perhatian dengan dibentuknya menteri koordinator kemaritiman.

3 Bahkan dalam pemerintahan Presiden Jokowi-JK, ada gagasan untuk membentuk

Kementerian Kedaulatan Pangan yang akan memastikan ketersediaan komoditas pangan dari hulu

hingga hilir. Salah satunya adalah dengan melebur sebagian Kementerian Kelautan dan Perikanan

dengan Kementerian baru tersebut.

4 Beberapa pemda kabupaten dan propinsi, seperti misalnya Kabupaten Sukabumi, Kabupaten

Sidrap, Kabupaten Singaraja dan lain-lain, memang ternyata telah mampu menunjukkan

komitmen untuk mengedepankan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan berbagai

cara. Diantaranya adalah dengan memberikan fasilitasi dan akses pada pengembangan kualitas

hidup nelayan tangkap dan pembudidaya ikan melalui layanan kesehatan dan pendampingan

teknis produksi perikanan.

3

STRATEGI PEMBANGUNAN BERPUSAT PADA MANUSIA

Konsep pembangunan berpusat pada manusia ini memang termasuk suatu paradigma baru

yang berkembang di era 80-an sebagai respons terhadap kegagalan pola pembangunan yang

mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Midgley (1995) menjelaskan bahwa pembangunan

yang dilaksanakan di seluruh dunia memang selalu menggunakan instrumen ekonomi

untuk mencapai tujuannya. Namun sayangnya, pembangunan tersebut sering mengalami

distorsi dari hakekat dasar pembangunan itu sendiri yang ingin mewujudkan kesejahteraan

manusia.

Midgley (1995), secara implisit juga ingin membantah pemikiran bahwa manusia hanyalah

alat produksi dalam proses ekonomi. Ia bahkan menguraikan bagaimana proses ekonomi

telah menciptakan kesenjangan bukan hanya antara orang kaya dengan orang miskin,

melainkan juga antara tujuan pembangunan jangka pendek dengan tujuan pembangunan

jangka panjang. Tetapi ia secara tegas menolak bahwa proses pembangunan sama sekali

harus dipisahkan dari mekanisme ekonomi. Midgley percaya bahwa pembangunan yang

berorientasi ekonomi harus dilengkapi dengan keberpihakan pada sisi sosial kemanusiaan,

dan ia menamakan konsepnya tersebut dengan istilah pembangunan sosial (social

development).

Dengan demikian, sebagai suatu strategi pembangunan, pembangunan sosial seolah-olah

ingin menahan semangat pertumbuhan ekonomi yang menggebu-gebu dan

mengkonversikannya ke dalam perenungan yang mendalam terhadap pilihan-pilihan

kebijakan yang tepat secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lantas

bagaimanakah hal tersebut dapat diwujudkan?

Midgley (1995) mengemukakan ada tiga cara yang harus dilakukan secara sinergis dalam

melaksanakan pembangunan sosial yang dapat melengkapi perspektif pembangunan

ekonomi yang sudah berjalan selama ini, yaitu:

Pembangunan sosial oleh pemerintah

Pembangunan sosial oleh masyarakat

Pembangunan sosial oleh individu

4

Dari ketiga pendekatan tersebut, pendekatan pembangunan sosial oleh individu-lah yang

paling menonjol dimensi ekonomi, yang dapat dikatakan dapat menjelaskan kembali

pemahaman tentang ekonomi kerakyatan.

Strategi pembangunan sosial oleh individu atau dikenal dengan ‚social development by

individual‛ adalah sebuah pendekatan yang mengedepankan pentingnya peran individu

dalam proses transformasi sosial yang mengarah kepada perubahan-perubahan yang

bersifat konstruktif dan simultan (Midgley, 1995: 103-104). Dalam pendekatan ini,

pembangunan sosial dilakukan melalui optimalisasi potensi oleh setiap individu yang ada.

Potensi yang ada dalam masing-masing individu itu diharapkan akan meningkatkan social

progress melalui berkembangnya semangat berusaha (entrepreneurship spirit) yang akan

terkristalisasi dalam sebuah budaya berusaha yang cukup baik.

Akibat dari itu berkembanglah small enterprises yang dapat membuka peluang bagi

individu-individu lain yang kurang beruntung, untuk dapat memperkuat keberfungsian

dirinya sendiri atau individual functioning (Midgley, 1995: 112-113). Proses ini terus

berlangsung sehingga berbagai permasalahan sosial dalam konteks yang sangat luas, pada

akhirnya dapat diatasi oleh masing-masing individu dengan kapasitas diri yang cukup baik.

Dalam pendekatan pembangunan sosial oleh individu, intervensi yang perlu dilakukan oleh

pemerintah adalah dalam bentuk langkah-langkah untuk membantu orang-orang yang

menjadi sasaran agar bisa mandiri dan berpartisipasi secara efektif dalam persaingan pasar.

Bentuk programnya ada yang berskala besar, misalnya menciptakan budaya wirausaha

(enterprise culture), ada pula yang berskala kecil, seperti membantu keluarga-keluarga

berpenghasilan rendah, usaha-usaha kecil dan sektor informal agar bisa bersaing di pasar.

Peran pemerintah dalam menciptakan budaya wiraswasta terutama adalah bebaskan pasar

dari penghambat-penghambat yang menghalangi orang untuk berusaha.

Dalam konteks pembangunan kelautan, strategi pembangunan sosial oleh individu ini

menjadi semakin relevan untuk dikedepankan. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi

5

daerah yang sangat mengagungkan kemandirian dan keberdayaan lokal berdasarkan pada

potensi dan keunggulan lokal yang dimiliki oleh masing-masing daerah otonom. Praktek-

praktek kewirausahaan dalam bentuk usaha kecil dan menengah (UKM) memang sudah

seharusnya menjadi perhatian setiap pemerintah daerah dalam upaya mensinergikan

percepatan pembangunan ekonomi dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

dalam konteks yang lebih luas lagi.

Dengan demikian, dalam perspektif strategi pembangunan yang berpusat pada manusia ini,

kebijakan pembangunan kelautan memang sebaiknya dilihat sebagai perwujudan dari suatu

kebijakan sosial.

DISKURSUS KEBIJAKAN SOSIAL

Dalam kerangka kebijakan sosial, hal yang paling mendasar untuk dipahami adalah

motivasi apa yang terkandung dibalik penyusunan kebijakan tersebut. Apakah memang

diberikan sebagai bentuk perwujudan rasa kemanusiaan yang tulus ikhlas dan tugas utama

sebagai abdi negara atau memang dianggap sebagai beban pemenuhan tanggung jawab

atau upaya menggugurkan kewajiban dari kelompok tertentu kepada kelompok lain dalam

suatu masyarakat.

Selain itu, kebijakan sosial perlu pula untuk dilihat dari sisi penyediaan dalam pengelolaan

sumber dayanya. Apakah memang suatu kebijakan sosial semata-mata menjadi sesuatu hal

yang memang harus diberikan oleh pihak-pihak yang mempunyai akses pada sumber-

sumber (resources) atau dianggap sebagai komoditas yang bisa diupayakan di tingkat

penerima manfaat dari kebijakan itu sendiri.

Berdasarkan kedua pemahaman tersebut, dapat dijelaskan 4 diskursus dalam praktek

pelayanan sosial, yakni sebagaimana tergambar dalam diagram berikut.

6

DISKURSUS KEBIJAKAN SOSIAL

Hirarkis

(Top-down)

Diskursus Manajerial

Diskursus Profesional

Positivistik Humanistik

Diskursus Pasar

Diskursus Komunitas

Anarkis

(Bottom-up)

Sumber: Dimodifikasi dari Adi, 2002: 31.

Dalam diskursus profesional, kebijakan sosial dilihat sebagai upaya mobilisasi pelayanan

profesional kepada anggota masyarakat yang menjadi klien aktual (actual client), yang

datang membutuhkan bantuan atau layanan. Pendekatan umum yang digunakan adalah

memberikan bantuan langsung kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Kebijakan dalam konteks ini biasanya berbentuk pembinaan atau pendampingan sosial atau

dikenal dengan istilah bimbingan sosial kelompok (groupwork). Dengan demikian, kebijakan

yang terkait dengan diskursus ini adalah mendorong dan meningkatkan kuantitas dan

kualitas tenaga profesional untuk kebutuhan pelayanan sosial seluas-luasnya.

Diskursus Komunitas melihat kebijakan sosial sebagai upaya pemenuhan hak warga

masyarakat untuk dapat memperoleh kehidupan yang lebih layak. Isu tentang partisipasi

dan demokratisasi menjadi hal yang sangat krusial dalam kerangka ini, yang sekaligus juga

menjadi prasyarat ketersediaan layanan sosial yang diupayakan dari berbagai potensi yang

dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu

didorong adalah fasilitasi pelaksanaan desentralisasi pengambilan keputusan, yang seluas-

luasnya melibatkan partisipasi publik.

7

Diskursus berikutnya adalah diskursus pasar. Dalam diskursus ini, kebijakan sosial

dipandang sebagai komoditas yang harus dibeli oleh anggota masyarakat yang

membutuhkannya. Kebijakan sosial tidak lagi bermuatan kemanusiaan, melainkan

mempunyai misi tertentu yang terkait dengan motif-motif ekonomi. Diskursus ini sejalan

dengan pemikiran laissez-faire dalam konsep ekonomi kesejahteraan yang dikemukakan

Adam Smith (1776) dan juga konsep residual welfare state yang dikemukakan Richard Titmus

(1974).

Diskursus yang terakhir adalah diskursus manajerial. Diskursus ini melihat kebijakan sosial

sebagai produk yang disediakan kepada semua pihak yang berkepentingan tanpa

terkecuali. Kebijakan sosial harus dikemas secara baik agar perubahan akibat kebijakan

sosial yang diberikan dapat lebih nyata, terutama dari sisi kepuasan klien dan juga

keberlanjutan layanan itu sendiri. Dengan demikian, kebijakan yang perlu untuk didorong

di sini adalah mengembangkan pola manajemen yang yang lebih baik dan

berkesinambungan.

Dari keempat diskursus kebijakan sosial di atas dapat dilihat bahwa kebijakan sosial dalam

konteks kebijakan pembangunan kelautan pada prinsipnya bisa saja diterapkan dalam

keempat diskursus yang berbeda tersebut. Semuanya sangat tergantung pada motivasi dan

asal sumber-sumber yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

khususnya yang berada di kawasan pesisir. Jika ingin mengedepankan peran sebagai

pemerintah, maka diskursus manajerial dan diskursus profesionallah yang diterapkan.

Sebaliknya jika Kementerian Kelautan dan Perikanan juga ingin memobiliasasi sumber-

sumbernya berasal dari luar pemerintah, maka diskursus pasar dan diskursus komunitas

akan mewarnai implementasi kebijakan kelautan nasional.

KONTEKS KELEMBAGAAN DALAM KEBIJAKAN SOSIAL

Dalam kaitannya dengan diskursus yang dibahas di atas, perlu pula untuk dipahami bahwa

kebijakan sosial memang selalu membutuhkan wahana atau wadah dalam mekanisme

implementasinya. Meskipun sekilas ada kesan bahwa hanyalah diskursus manajerial saja

yang tampaknya mengedepankan pemusatan ketersediaan sumber daya layanan publik,

8

namun kenyataannya semua kerangka diskursus tersebut haruslah disalurkan melalui

mekanisme input-process-output.

Mekanisme tersebut merupakan landasan utama dalam memahami bagaimana suatu

kebijakan sosial bekerja untuk mengurangi kesenjangan (gaps) antara realitas sosial dengan

kehidupan masyarakat yang ideal. Iatridis (1994) menegaskan bahwa eksistensi kebijakan

sosial pada prinsipnya adalah berupaya menciptakan masyarakat yang ideal dengan cara

menjamin terselenggaranya distribusi kebutuhan—dalam hal ini mungkin juga termasuk

pelayanan sosial—melalui berbagai lembaga yang ada dalam daur hidup bermasyarakat

dan bernegara.

Dalam pemahaman tersebut, konteks kelembagaan seolah-olah menjadi inti dalam

mekanisme kebijakan sosial secara umum. Hal ini kembali menegaskan apa pun kerangka

ideologi, diskursus atau misi yang diemban oleh suatu kebijakan yang mendorong

penyediaan layanan sosial yang prima, tidak akan berjalan jika tidak ada lembaga yang

menjalankannya. Penataan kelembagaan adalah tahap process yang akan merubah input

menjadi output yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini dapat dilihat dalam

diagram berikut.

Konteks Kelembagaan dalam Kebijakan Sosial

Sumber: Iatridis, 1994: 21

Ideology &

National Goal

Social

Institution

Economic

Institution

Governance &

Political

Institution

Well-Being

A

IDEAL SOCIETY

(Input)

B

INSTITUTIONAL

ARRANGEMENTS

C

DISTRIBUTION

(Output)

9

Dari diagram di atas dapat dipahami bahwa paling tidak ada 3 kelompok lembaga dasar

yang berperan dalam mekanisme implementasi kebijakan sosial untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat (well-being). Lembaga-lembaga ekonomi—seperti misalnya bank,

pedagang, pengusaha, dll—berperan penting dalam alokasi dan tata kelola sumber-sumber

finansial. Kemudian lembaga-lembaga sosial—seperti peguyuban masyarakat, yayasan,

kelompok hobi, kelompok masyarakat miskin, dll—menjadi entitas yang bersentuhan atau

bahkan menjadi bagian dari segmen masyarakat yang membutuhkan pemberdayaan sosial

tertentu. Sementara lembaga pemerintahan dan politik menjadi penghubung diantara

banyak kepentingan dan tarik menarik kekuasan untuk kepentingan 2 kelompok lembaga

lainnya, masyarakat yang membutuhkan layanan publik, dan cita-cita ideal yang menjadi

ideologi bersama.

Identifikasi terhadap kelompok lembaga-lembaga ini menjadi penting bagi para pembuat

kebijakan untuk memilah-milah potensi penanganan masalah dan juga sumberdaya yang

mungkin tersedia untuk teknis penyediaan layanan kepada publik. Seperti misalnya dalam

kasus pelayanan pendampingan untuk kelompok nelayan tangkap, apakah lembaga-

lembaga sosial lokal sudah mampu menaungi tekanan sistemik di lingkungannya? Apakah

lembaga ekonomi—pedagang ikan, pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, dll—telah

mendorong semakin tinggi distribusi ikan segar atau justru menjadi potensi bagi industri

pengolahan ikan tingkat rumah tangga? Bagaimanakah komitmen pemerintah dalam

menyediakan fasilitas dan peralatan dasar bagi operasional para nelayan tangkap? Serta

sejauhmana pemerintah tegas dan konsisten dalam mengarahkan agar para nelayan

tangkap ini turut aktif berpartisipasi dalam melakukan konservasi sumber daya laut?

Dengan kerangka kebijakan kelautan yang dibangun melalui perspektif kebijakan sosial ini,

kiranya kesejahteraan masyarakat di pesisir akan lebih nyata terlihat dalam rumusan arah

kebijakan kelautan kedepan. Sehingga kita tidak perlu hanya sekedar berromantika dengan

lagu ‚Nenek Moyangku Seorang Pelaut‛, tetapi dengan lantang dan bangga dapat

menyanyikan lagu ‚Anak Cucuku Sejahtera karena Laut‛

10

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan

Sosial. Jakarta: LP FE-UI.

Atchia, M., S. Tropp. 1997. Enviromental Management, Issues and Solutions. New York:

John Willey and Sons.

Daljoeni. 2003. Geografi Kota dan Desa. Edisi ke-2. Bandung: PT. ALUMNI.

Earth Summit Agenda 21 The United Nations Program of Action from Rio. 1992., New York:

United Nations Departement of Public Information.

Gore, Charles. 1984. Regions in Question: Space, Development Theory and Regional

Policy. London & New York: Methuen & Co Ltd.

Iatridis, Demetrius. 1994. Social Policy: Instituional Context of Social Development and

Human Services. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Jewson, Nick & MacGregor, Susanne (eds.). 1997. Transforming Cities: Contested

Governance & New Spatial Divisions. London & New York: Rotledge.

Midgley, James. 1995. Social Development: The Developmental Perspective in Social

Welfare. London: Sage Publication.

Mitchell B., B.Setawan, D.H.Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.

Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Pearce, D., E.B.Barbier. 2000. Blueprint for a Sustainable Economy. London:Earthscan

Publicications Ltd.

Suryochondro, Sukanti. 1993. Masalah Perkotaan dan Perencanaan. Pusat Antara

Universitas Ilmu-Ilmu Sosial UI.