paper kelompok 3

50
DASAR DASAR KOMUNIKASI Diffusion of inovation theory dan Agenda setting theory Disusun Oleh : Kelompok 3 Arjuna Tampubolon Agida Amalia Lubis Elpi Evi Eka Rahmina Dewi Megawati Vino Defira Putra Dosen Pembimbing : Dr.Ir.Rosnita ,Msi JURUSAN AGRIBISNIS

Upload: unri

Post on 17-Jan-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DASAR DASAR KOMUNIKASI

Diffusion of inovation theory dan Agenda setting theory

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Arjuna Tampubolon

Agida Amalia Lubis

Elpi Evi

Eka Rahmina Dewi

Megawati

Vino Defira Putra

Dosen Pembimbing : Dr.Ir.Rosnita ,Msi

JURUSAN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS RIAU

2014

Pendahuluan

Latar belakang

Teori difusi inovasi

Secara umum, inovasi didefinisikan sebagai suatu ide,

praktek atau obyek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru

oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain. Thompson dan

Eveland (1967) mendefinisikan inovasi sama dengan teknologi,

yaitu suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental

dalam rangka mengurangi ketidak teraturan suatu hubungan sebab

akibat dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi

dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan

tertentu. Fullan (1996) menerangkan bahwa tahun 1960-an adalah

era dimana banyak inovasi-inovasi pendidikan kontemporer

diadopsi, seperti matematika, kimia dan fisika baru, mesin

belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran

individu, pengajaran secara team (team teaching) dan termasuk

dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu

inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka

waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi

dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus

dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga

dapat diangap sebaai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu

proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem

sosial. Jelas disini bahwa istilah difusi tidak terlepas dari

kata inovasi. Karena tujuan utama proses difusi adalah

diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem sosial tertentu.

Anggota sistem sosial dapat berupa individu, kelompok

informal, organisasi dan atau sub sistem.

Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide

dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan . Teori

ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui

bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia

mendefinisikan difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi

dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu

tertentu dalam sebuah sistem sosial.

Inovasi merupakan ide, praktek, atau objek yang dianggap

baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini

bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam

pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan

mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar

inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat

lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi

inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh

sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak.

Difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori di abad

ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam

bukunya yang berjudul “The Laws of Imitation” (1930), Tarde

mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya

komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan

mengenai opinion leadership , yakni ide yang menjadi penting

diantara para peneliti efek media beberapa dekade kemudian.

Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam komunitas tertentu

merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide

baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih

berpengetahuan dibanding yang lainnya. Orang-orang ini dinilai

bisa mempengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah

inovasi.

Teori agenda setting

Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi

yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar,

majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh

suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan

kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat.

Salah satu teori efek komunikasi massa adalah teori agenda

setting

Dari beberapa asumsi mengenai efek komunikasi massa, satu

yang bertahan dan berkembang dewasa ini menganggap bahwa media

massa dengan memberikan perhatian pada issue tertentu dan

mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap

pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal

yang diberitakan dan menerima susunan prioritas yang diberikan

media massa terhadap isu-isu yang berbeda. Asumsi ini berhasil

lolos dari keraguan yang ditujukan kepada penelitian

komunikasi massa yang menganggap media massa memiliki efek

yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan

proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap atau pendapat.

Studi empiris terhadap komunikasi massa telah

mengkonfirmasikan bahwa efek yang cenderung terjadi adalah

dalam hal informasi. Teori agenda-setting menawarkan suatu

cara untuk menghubungkan temuan ini dengan kemungkinan

terjadinya efek terhadap pendapat, karena pada dasarnya yang

ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa. Orang

belajar mengenai isu-isu apa dan bagaimana isu-isu tersebut

disusun berdasarkan tingkat

kepentingannya.

Berdasarkan uraian di atas kami akan membahas lebih rinci

lagi mengenai Teori Agenda Setting pada bab selanjutnya.

Diffusion of inovation theory dan agenda setting theory

A. Teori Difusi Inovasi

a.Pengertian Difusi dan inovasi

Difusi Inovasi terdiri dari dua padanan kata yaitu difusi

dan inovasi. Rogers (1983) mendefinisikan difusi sebagai

proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran

tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota

suatu sistem sosial (the process by which an innovation is

communicated through certain channels overtime among the

members of a social system). Disamping itu, difusi juga

dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu

suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan

fungsi sistem sosial.

Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang

dianggap/dirasa baru oleh individu atau kelompok masyarakat.

Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap suatu ide, praktek

atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada

sebagian yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan

oleh individu atau kelompok terhadap ide, praktek atau benda

tersebut.

Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide

dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan . Teori

ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui

bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia mendefinisikan

difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan

melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam

sebuah sistem sosial.

Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses

bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan)

melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada

sekelompok anggota dari sistem sosial.

Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu

inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, bidang pengembangan

masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem

sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi

sampai kepada masyarakat.

b.Elemen – elemen Difusi Inovasi

Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi

inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:

1) Inovasi merupakan Gagasan, tindakan, atau barang yang

dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan

inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu

yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh

seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep

”baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama

sekali.

2) Saluran komunikasi merupakan ”Alat” untuk menyampaikan

pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam

memilih saluran komunikasi, sumber, paling tidak perlu

memperhatikan:

Tujuan diadakannya komunikasi

Karakteristik penerima.

Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu

inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka

saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien,

adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan

untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara

personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah

saluran interpersonal.

3) Jangka Waktu merupakan Proses keputusan inovasi, dari mulai

seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau

menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat

berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu

terlihat dalam:

Proses pengambilan keputusan inovasi

Keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih

lambat dalam menerima inovasi,

Kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

4) Sistem Sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara

fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan

masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Sementara itu inovasi mempunyai lima atribut, yaitu (1)

keunggulan relatif, (2) kompatibilitas, (3) kerumitan, (4)

keterandalan, dan (5) keteramatan.

c.Tahapan Peristiwa yang Menciptakan Proses Difusia) Mempelajari inovasi:

Tahapan ini merupakan awal ketika masyarakat mulai

melihat dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber,

khususnya media massa. Pengadopsian awal biasanya

merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan

menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi

baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit

dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak

akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika

yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka

akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi

bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi

interpersonal dan kedekatan secara fisik.

b) Pengadopsian:

Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi

yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah

inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa

faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan

yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi

perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh

keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang

memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut

biasanya bertanya pada diri sendiri, apakah mereka mampu

melakukannya? Maka mereka akan cenderung mengadopsi

inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga

menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi

inovasi.

Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian

dalam mengadopsi inovasi untuk menunjukkan status

sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga

dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut

serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi danggapnya

menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai yang ia anut,

maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar

pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah

inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya.

c) Pengembangan jaringan sosial:

Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan

menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di

sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas

diadopsi oleh masyarakat. Difusi sebuah inovasi tidak

lepas dari proses penyampaian dari satu individu lain

melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset

menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat

satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya.

Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran

media massa lebih cepat menyadarkan masyarakat mengenai

penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi

interpersonal. Komunikasi interpersonal mempengaruhi

manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah

diperkenalkan oleh media massa.

d.Tahapan Dari Proses Adopsi InovasiRogers.E.M dan Shoemaker G.F.,dalam Mulyana S.

(2009) mengemukakan bahwa ada 5 tahap, proses adopsi

inovasi yaitu:

1) Tahap munculnya pengetahuan (Knowledge) ketika seorang

individu (atau unit pengambil keputusan lainnya)

diarahkan untuk memahami eksistensi dan

keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi

berfungsi. Pada tahap ini, seseorang belum memiliki

informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi

mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui

berbagai saluran komunikasi yang ada.

2) Tahap persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau

unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik

atau tidak baik

3) Tahap pengambilan keputusan (Decisions) muncul ketika

seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya

terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan

adopsi atau penolakan inovasi.

4) Tahapan implementasi (Implementation), ketika seorang

individu atau unit pengambil keputusan lainnya

menetapkan penggunaan suatu inovasi sambil mempelajari

tentang inovasi tersebut.

5) Tahapan konfirmasi (Confirmation), ketika seorang

individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari

penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan

inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.

e.Tahapan AdopterAnggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-

kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat

keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi).Salah

satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah

pengelompokkan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji

oleh Rogers (1961). 

Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat

sebagai berikut:

a) Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali

mengadopsi inovasi.

Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile,

cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.

b) Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para

perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para

teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses

di dalam tinggi

c) Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi para

pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi

internal tinggi.

d) Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut

akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis,

menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan

social, terlalu hati-hati.

e) Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir

adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional,

terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion

leaders,sumberdaya terbatas.

f.Faktor – faktor yang Berpengaruh terhadap Tahapan

Difusi Inovasi

Menurut Ardianto dkk (2009), faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut

mencakup:

a. Atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion),

Keuntungan relative (relative advantage), adalah inovasi dapat

diterima oleh

masyarakat apabila menguntungkan secara ekonomis atau

dapat meningkatkan prestise/status social serta

kenyamanan dan kepuasan, juga merupakan unsur yang

penting.

Kesesuaian (compatibility), adalah suatu inovasi dirasakan

ajeg atau konsisten dengan nilai – nilai yang berlaku,

pengalaman yang telah dimiliki, kesesuaian dengan

tradisi dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi.

Kerumitan (complexity), adalah mutu derajat dimana inovasi

dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan.

Selanjutnya Mulyana S (2009) mengatakan bahwa kerumitan

dari inovasi, apabila dilaksanakan oleh

sasaran.Kompleksitas inovasi yang diterima oleh anggota

dalam sistem sosial sangat berpengaruh.

Kemungkinan di coba (trialability), adalah mutu derajat dimana

inovasi di eksperimentasikan pada landasan yang

terbatas.Mulyana S. (2009) mengatakan bahwa, dapat

diujicobakan, setiap inovasi yang dibawa dapat

diujicobakan dulu oleh sasaran sehingga dapat

dilanjutkan/tidak, tergantung dari persepsi sasaran

terhadap inovasi tersebut.

Kemungkinan diamati (observability),adalah hasil inovasi

dapat disaksikan oleh orang lain atau

dapatdilihat/tampak, dapat dikomunikasikan dan dapat

dideskripsikan.

b. Jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions)

1) Keputusan Individual

Keputusan Optional melalui proses

Keputusan Kolektif

2) Keputusan Otoritas

Dimana suatu keputusan diambil dengan paksaan, atas

dasar kepentingan atau mendesaknya suatu inovasi untuk

diadopsi atau digunakan atau karena urgensi dari suatu

inovasi tersebut harus digunakan dalam suatu sistem

sosial. Karena apabila inovasi itu tidak segera

dikhawatirkan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

Disini dalam pengambilan keputusan tidak harus melalui

tahapan-tahapan pengambilan keputusan.

c. Saluran Komunikasi ( communication channel )

Sumber

Media/khalayak

Objek/interpersonal

d. Kondisi sistem sosial (nature of social system)

Hal yang harus diperhatikan:

Norma masyarakat

Toleransi terhadap penyimpangan

Pola komunikasi

e. Peran agen perubah (change agents). 

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen: gencarnya

promosi yang berorientasi pada klien, kerjasama dengan

tokoh masyarakat, kredibilitas agen di mata klien.

g.Penerapan dan Keterkaitan TeoriPada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan

berikutnya,  teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan

dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan

awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan

sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan

masyarakat.

Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mulyana S (2009)

menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari

proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses

dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem

sosial.

Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan,

yaitu:

a. Penemuan (invention),

b. Difusi (diffusion),

c. Konsekuensi (consequences),

ROGER menawarkan alternative mekanisme Difusi Inovasi

dalam Lembaga Pemerintahan, yaitu :

1) Agenda Setting ,Pada tahap ini dilakukan identifikasi

kebutuhan lembaga. dengan Identifikasi dilakukan dengan

cara mengajukan pertanyaan “ Apakah Inovasi yang

bersangkutan dibutuhkan lembaga.

2) Maching, Pada tahap ini terjadi proses mencocokkan,

melakukan redesign organisasi untuk menyesuaikan dengan

inovasi. Organisasi dapat memutuskan bahwa inovasi yang

akan di difusi mach atau mismatch. Apabila menurut

penilaian terjadi mismatch maka inovasi dapat ditolak.

Keputusan ini penting karena akan menentukan langkah

selanjutnya.

3) Restrukturing / Redefining, Ketika tahap 2 di putuskan bahwa

inovaso mach dengan organisasi maka harus mulai melakukan

modifikasi terhadap inovasi tersebut sehingga inovasi

mulai mengurangi karakter bawaannya dan mulai menyatu

dengan karakter organisasi. Dalam tahap ini inovasi di

reinvented sehingga menjadi inovasi yang memiliki

karakter organisasi.Dengan demikian juga secara otomatis

terjadi stukturisasi lembaga sebagai dampak dari

implementasi inovasi.

4) Clarifying, Pada tahap ini inovasi diimplementasikan

secara luas sehingga ide-ide yang di bawa oleh innovator

lambat laun menjadi kebiasaan bagi setiap anggota

organisasi.

5) Routinizing, Pada tahap ini inovasi telah menjadi ide-ide

dan telah menjadi kegiatan rutinitas yang menyatu dengan

kegiatan organisasi. Ide-ide inovasi telah melebur dengan

organisasi menjadi pengetahuan, cara berfikir dan cara

bertindak.

h.Aplikasi teoriTeori difusi inovasi, selaras dengan uraian di atas,

dapat diterapkan di berbagai bidang. Bidang pertanian

dapat menggunakannya untuk keperluan penyebaran pema-

kaian bibit unggul, terutama tanaman pangan, demi

ketahanan pangan nasional. Bidang kesehatan dapat

memanfaatkannya untuk kampanye keluarga berencana untuk

mening-katkan kesejahteraan keluarga, kampanye sanitasi

untuk mencegah penyakit menular. Bidang ekonomi dapat

menggunakannya untuk kampanye pembayaran pajak secara

jujur dan tepat waktu atau pemberantasan korupsi. Bidang

telekomunikasi dan informatika dapat memakainya untuk

kampanye/pendidikan penggunaan Internet secara sehat,

dsb.

Teori difusi inovasi dapat memandu penelitian atau

evaluasi keefektifan kampanye, pendidikan (formal atau

nonformal), dan terutama kegagalan-kegagalan komunikasi

pem-bangunan. Contohnya adalah program nasional

pengalihan penggunaan minyak tanah dengan gas elpiji

(LPG). Program ini tidak mulus karena tergesa-gesa

sehingga ada beberapa komponen alat pembakaran yang mudah

rusak dan karenanya berbahaya. Kasus ledakan karena

kerusakan alat itu sempat menjadi bahan kampanye negatif

pada difusi pemakaian LPG sebagai pengganti minyak tanah.

Setelah mengetahui penyebab ledakan-ledakan tersebut,

Pemerintah mengeluar-kan kebijakan mengganti peralatan

yang mudah rusak dan mengkampanyekan perilaku penggunaan

LPG secara aman. Kini program konversi minyak tanah oleh

LPG dilanjutkan dengan lebih berhati-hati menyediakan

peralatan pembakaran, lebih tegas dalam melaku-kan

pengawasan distribusi gas, dan lebih gencar berkampanye

soal cara pemakaian LPG yang aman.

i.Kasus Aplikasi Teori Difusi Inovasi

PENGEMBANGAN BUKU INFO REMAJA DAN BUKU KESEHATAN REMAJA

DI KABUPATEN BONDOWOSO JAWA TIMUR

( Sumber : Dinas Kesehatan Kab.Bondowoso , Dinas

Kesehatan Prop.Jawa Timur, 2011 )

Buku info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja di

kembangkan sebagai tujuan memberikan pengetahuan,

informasi serta meningkatkan kualitas kesehatan remaja.

Buku ini berisi tentang Promosi Kesehatan khususnya

tentang informasi tumbuh kembang remaja, reproduksi sehat

remaja, Gizi Remaja, Catatan Riwayat kesehatan remaja,

Skrening kesehatan pada Remaja serta catatan kesehatan

remaja. Buku ini di ibaratkan sebagai diare/ catatan

pribadi remaja.

Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja ,

dikembangkan pada tahun 2008, dan mulai di sosialisasikan

pada tahun 2009. Dimana uji coba di laksanakan di tiga

( 3 ) Kabupaten yaitu Bondowoso, Tulung Agung,

Probolinggo ( 3 Kabupaten Binaan UNICEF ).Sasaran

pengggunaan buku ini adalah semua anak dan Remaja baik di

tingkat pendidikan Formal ( SMP, SMA, SMK,MTs, MA ),

Pendidikan non formal ( Pondok pesantren, Kelompok Remaja

masjid, remaja gereja dll ) serta disosialisasikan ke

anak jalanan. Penggunaan buku ini serentak di gunakan di

Jawa Timur sejak tahun 2010 ,khususnya di Kabupaten

Bondowoso.

Pengembangan inovasi Penggunaan Buku Info Kesehatan

Remaja dan Buku Kesehatan Remaja ( Buku KEREM ) banyak

tantangan dan kendala yang di hadapi, sejak mulai di

kembangkan sampai saat ini masih juga banyak kendala

terutama pada pengguna buku remaja di Pendidikan Non

Formal ( Pondok Pesantren ). Dimana buku Kesehatan Remaja

maupun Buku Info di anggap tabu karena memberikan

informasi tentang tumbuh kembang serta pendidikan seks

pada remaja.

Adapun Aplikasi buku Kesehatan Remaja ini di hubungkan

dengan Teori Difusi dan Inovasi yaitu :

1. ANTECEDENT

Ciri Penerima :

Remaja di kabupaten Bondowoso berkultur religious

keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari terutama di

daerah pedesaan banyak mengikuti pembelajaran di

Pondok pesanten. Sedangkan ada remaja baik di desa

maupun kota juga pembelajaran di Pendidikan formal.

Banyaknya usia pernikahan dini di kalangan remaja di

sebabkan karena factor budaya serta pengetahuan yang

kurang dari para orang tua serta remaja sendiri

terhadap Reproduksi sehat. Data usia perinikahan dini

( menikah kurang dari 20 tahun ) .

Remaja di kabupaten Bondowoso khususnya sebagian

besar berkeinginan memperoleh informasi kesehatan,

khususnya tentang kesehatan remaja.

Ciri Sistem Sosial :

Remaja di kabupaten latar budaya adalah suku Madura

hampir 80 % sedangkan 20 % suku jawa,etnis arab dan

Tionghoa. ( Sumber : BPS Kab Bondowoso 2010 ).

Masyarakat Bondowoso sebagian besar masih masyarakat

tradisional dan sub modern dimana rasa kebersamaan

serta penganut tokoh agama sangat kuat.

2. PROSES

Pengetahuan : tentang Kesehatan Reproduksi remaja

dengan pengembangan Buku Info Remaja dan Buku

Kesehatan Remaja. Disosialisasikan pada kalangan

remaja di kabupaten Bondowoso sejak tahun 2009 dan

serentak di laksanakan pengunaanya tahun 2010.

Persuasi :

1. Pendekatan melalui Pendidik Sebaya (PE ) remaja

yang di kembangkan tahun 2007 di kabupaten

Bondowoso bersama Petugas Penanggung jawab

Pelayanan Kesehatan Remaja di Puskesmas .

2. Bidang Kesga ( Dinkes ) melakukan pendekatan

serta advokasi dan kerja sama dengan lintas

sector ( DIKNAS, KBPP, BAPEMAS, BAPPEDA,DEPAG ,

DINSOS ) .

3. Pendekatan pada remaja langsung di Pendidikan

Formal maupun non formal ( pondok pesanten )

melalui Kelompok Saresahan Remaja serta Siaran

Radio interaktif tentang Kesehatan Reproduksi

Remaja.

Keputusan :

1. Adopsi : setelah adanya sosialisasi serta

pendekatan remaja yang dilakukan PE ( peer

educator ) serta petugas kesehatan , di kalangan

remaja khususnya dipendidikan Formal dan sebagian

remaja di pendidikan non formal, Remaja mau

menggunakan buku info dan buku kesehatan remaja

sebagai sumber informasi tentang kesehatan remaja.

Serta terus memanfaatkan buku tersebut. Adapun

sebagian kecil remaja di tingkat pendidikan non

formal maupun formal tidak terus menggunakan

dengan alasan malas atau buku tidak gratis. Tetapi

tahun 2010 pengadaan buku tersebut dianggarkan

melalui APBD II maupun APBD I, sehingga remaja

gratis memperoleh buku tersebut.

2. Menolak : Keputusan menolak di dasarkan karena

merasa tabu dan terlalu vulgar terhadap keterangan

informasi. Khusunya di tingkat pendidikan non

formal (PONPES). Dengan berjalannya waktu sudah

banyak PONPES mau menggunakan buku tersebut tetapi

ada juga yang tetap menganggap tabu dan tidak

boleh di gunakan.

Implementasi : Para remaja khususnya di

tingkat pendidikan formal serta sebagian kecil

remaja di ponpes mau mempelajari serta menggunaka

buku tersebut.

Konfirmasi : Para remaja sudah mulai

mencari infomasi tentang buku kesehatan remaja

serta mulai tersa manfaatnya

Konsekuensi : Di kabupaten Bondowoso terus

di adopsi ( terus di gunakan ) penggunaan buku

Info Remaja serta Buku Kesehatan Remaja sebagai

sarana memperoleh Informasi Kesehatan pada

remaja.

Contoh kasus 2 :

Contoh yang lebih fenomenal adalah keberhasilan Pemerintah

Orde Baru dalammelaksanakan program Keluarga Berencana (KB).

Dalam program tersebut, suatu inovasiyang bernama Keluarga

Berencana, dikomunikasikan melalui berbagai saluran

komunikasi baik saluran interpersonal maupun saluran

komunikasi yang berupa media massa, kepadasuatu sistem sosial

yaitu seluruh masyarakat Indonesia. Dan itu terjadi dalam

kurun waktutertentu agar inovasi yang bernama Keluarga

Berencana Tersebut dapat dimengerti,dipahami, diterima, dan

diimplementasikan (diadopsi) oleh masyarakat Indonesia.

ProgramKeluarga Berencana di Indonesia dilaksanakan dengan

menerapkan prinsip difusi inovasi. Iniadalah contoh difusi

inovasi, dimana inovasinya adalah suatu ide atau program

kegiatan, bukan produk.

B. Teori Agenda Setting

a. Pengertian teori Agenda setting

Teori Penentuan Agenda (bahasa Inggris: Agenda Setting

Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa media massa

berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan

kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu

kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan

mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada

isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Teori

Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman

(1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”,

penelitian empiris teori ini dilakukan Mc Combs dan Shaw

ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972.

Menurut Everet Rogers dan James Dearing (1998), agenda

setting merupakan proses linear yang terdiri atas tiga

tahap, yaitu agenda media, agenda public, dan agenda

kebijakan.

Penetapan agenda media (media agenda), yaitu penentuan

prioritas isu oleh media massa.

Media agenda dalam cara tertentu akan memengaruhi atau

berinteraksi dengan apa yang menjadi pikiran public

maka interaksi terebut akan menghasilkan ‘agenda

pubik’ (public agenda.

Agenda public akan berinteraksi sedemikian rupa dengan

apa yang dinilai penting oleh pengambil kebijakan,

yaotu penerintah, dan interaksi tersebut akan

menghasilkan agenda kebijakan (policy agenda). Agenda

media akan memengaruhi agenda public dan pada

gilirannya, agenda public akan memengaruhi agenda

kebijakan.

b. Asumsi-Asumsi Teori Agenda Setting

Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi

tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan

mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi

apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi

masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek

yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan

dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan

pendapat. Khalayak tidak hanya mempelajai isu-isu

pemberitaan, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti

penting diberikan pada suatu isu atau topik berdasarkan

cara media massa memberikan penekanan terhadap isu atau

topik tersebut. Media massa mempunyai kemampuan untuk

menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada

gagasan atau peristiwa tertentu.

Asumsi agenda-setting ini mempunyai kelebihan karena

mudah dipahami dan relatif mudah untuk diuji. Dasar

pemikirannya adalah di antaraberbagai topik yang dimuat

media massa, topik yang mendapat perhatian lebih banyak

dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya

dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu

tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang

kurang mendapat perhatian media. Perkiraan ini dapat diuji

dengan membandingkan hasil dari analisis isi media secara

kuantitatif dengan perubahan pada pendapat umum yang

diukur melalui survei pada dua (atau lebih) waktu yang

berbeda. Teori ini menyatakan bahwa media massa merupakan

pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa

untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi

ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik

serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting

oleh media massa. Dua asumsi dasar yang paling mendasari

penelitian tentang penentuan agenda adalah:

1) Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan

kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu.

2) Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah

masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang

lebih penting dari pada isu-isu lain.

Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep

penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa,

berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang

potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal. Ide

dasar pendekatan Agenda Setting seperti yang sering

dikemukakan Bernard Cohen (1963) adalah bahwa “pers lebih

dari pada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers

mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk

memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong

pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”.

Dalam studi pendahuluan tentang Agenda Setting, McCombs

dan Shaw (1972) menunjukkan hubungan di antara beberapa

surat kabar tertentu dan pembacanya dalam isu-isu yang

dianggap penting oleh media dan publik. Jenjang pentingnya

isu publik ini disebut sebagai salience. Akan tetapi,

studi ini sendiri bukanlah Agenda Setting seperti yang

kita maksudkan, karena arah penyebabnya tidaklah jelas.

Baik media ataupun publik bisa saja menimbulkan

kesepakatan tentang jenjang isu-isu publik.

Selain itu, studi pendahuluan ini masih berupa suatu

perbandingan umum, bukan perbandingan individual, seperti

yang ditetapkan dalam hipotesis Agenda Setting ini.

McCombs dan Shaw (1972) mengakui keterbatasan ini dalam

studinya dan mengungkapkan bahwa “penelitian-penelitian

lain harus meninggalkan konteks sosial yang umum dan

memakai konteks psikologi sosial yang lebih spesifik”.

Sayang sekali saran ini tidak sepenuhnya diikuti dalam

hampir seluruh penelitian agenda setting yang dilakukan

kemudian (Becker, 1982). Di pihak lain, studi-studi

berikutnya tentang Agenda Setting berhasil menetapkan

urutan waktu dan arah penyebab. Dalam kondisi tertentu,

peneliti menunjukkan bahwa media massa benar-benar dapat

menentukan agenda bagi khalayak yang spesifik, paling

tidak pada suatu tingkat agregatif (cf. Shaw dan McCombs,

1977). McLeod et al. (1974) membandingkan agenda pembaca-

pembaca sebuah surat kabar dengan pembaca-pembaca surat

kabar lain di Madison, Wisconsin. Dari pengamatan ini ia

dapat menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu ada

perbedaan di antara keduanya.

Dalam pemberian suara, media ternyata tidak menunjukkan

efek pada pemilih muda, yang baru pertama kali memberikan

suaranya dan hanya sedikit mempengaruhi pemilih yang lebih

tua. Pembagian lebih lanjut kelompok pemilih muda ini

menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil menunjukkan

bahwa mereka yang memiliki predisposisi partisan akan

lebih dipengaruhi oleh agenda media. Akan tetapi,

keterbatasan besar yang dihadapi penelitian ini disebabkan

oleh liputan isu-isu publik surat kabar-surat kabar itu

hampir sama. Dalam suatu studi yang dilakukan pada orang-

orang yang menonton dan tidak menonton perdebatan calon-

calon presiden Amerika Serikat pada tahun 1976, peneliti

dapat menunjukkan perbedaan dalam penentuan agenda di

kalangan segmen-¬segmen khalayak yang spesifik. Di samping

itu, ditunjukkan pula bahwa waktu memainkan peranan

penting dalam proses tersebut (Becker et al., 1979; McLeod

et al., 1979).

Sebagai perbandingan, suatu studi Agenda Setting surat

kabar dan televisi di Barquisimeto, Venezuela oleh Chaffee

dan Izcaray (1975) menunjukkan tiadanya efek yang

diharapkan. Penggunaan media massa oleh responden kedua

peneliti ini tidak mengarah pada meningkatnya salience

untuk isu-isu yang menerima liputan media yang besar. Di

sini tampak bahwa posisi sosial ekonomi responden

memainkan peranan dalam menentukan kepentingan relatif

beberapa isu publik.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa agenda setting oleh

media massa dapat terjadi dalam beberapa kondisi. Akan

tetapi, kondisi yang berlaku di negara industri dan di

negara sedang berkembang mungkin berbeda. Riset tentang

agenda setting oleh media di negara-negara Dunia Ketiga

masih perlu dilakukan, karena kebanyakan studi tentang

agenda setting yang ada telah dilakukan di Eropa dan

Amerika Serikat.

c. Dimensi Teori Agenda Setting

Teori agenda setting memiliki tiga dimensi utama yang

dikemukakan oleh Mannhem (Severin dan Tankard, Jr : 1992)

1. Agenda media

a) Visibility (visibilitas), jumlah dan tingkat menonjolnya

berita.

b) Audience Salience (tingkat menonjol bagi khalayak),

relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.

c) Valence (valensi), menyenangkan atau tidak menyenangkan

cara pemberitaan bagi suatu peristiwa.

2. Agenda Khalayak

a) Familiarty (keakraban), derajat kesadaran khalayak akan

topik tertentu.

b) Personal salience (penonjolan pribadi), relevansi

kepentingan individu dengan ciri pribadi.

c) Favorability (kesenangan), pertimbangan senang atau

tidak senang akan topik berita.

3. Agenda Kebijakan

a) Support (dukungan), kegiatan menyenangkan bagi posisi

berita tertentu.

b) Likehood of action (kemungkinan kegiatan), kemungkinan

pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.

c) Freedom of action (kebebasan bertindak), nilai kegiatan

yang mungkin dilakukan pemerintah.

d. Kelemahan Teori Agenda Setting

Skandal Century yang pernah terjadi, beritanya tidak

menjadi topik utama di semua media massa. Hanya beberapa

media saja yang menjadikannya headline. Itu terjadi karena

tidak sesuai dengan selera publik. Di sinilah kelemahan

dari teori agenda setting. Ketika mulai masuk ke selera

publik maka teori yang lebih relevan untuk melihatnya

adalah Uses dan Gratification. Teori ini mempertimbangkan apa

yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media

untuk pemuas kebutuhannya.

Dalam memenuhi kebutuhan secara psikologis dan sosial,

audiens menjadi tergantung pada media massa. Audiens

memperlakukan media sebagai sumber informasi bagi

pengetahuan mengenai perkembangan kasus Century. Karena

itu, media pun bersedia menayangkan Sidang Pansus Century

secara live. Media mencoba memberikan apa yang dibutuhkan

oleh audiens sehingga memberikan efek dalam ranah afektif

audiens. Salah satunya adalah meningkat dan menurunnya

dukungan moral terhadap skandal Century yang sedang dalam

penyelesaian.

Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin

tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang

yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa

dalam berpikir tentang apa. Ini termasuk dalam kelebihan

dari teori agenda setting sementara yang lainnya adalah

memiliki asumsi bahwa suatu berita mudah dipahami dan

mudah untuk diuji. Dari kelemahan dan kelebihan yang

dimiliki teori agenda setting tentu ada saja dampak

negatif dan positifnya.

e. Asumsi Teori Penentuan Agenda

Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa

media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang

akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti

penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan

mana yang pantas diberitkan dan mana yang harus

disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot

tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat

kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan

(ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi

penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam

tayang). Misalnya berita tebunuhnya gembong teroris Dr.

Azahari yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata

30 menit dalam dalam televise dan disajikan pada surat

kabar dengan mengisi hampir setengah halaman muka, berarti

Dr. Azahari sedang ditonjolkan sebagai gembong teroris

yang terbunuh atau pencapaian prestasi jajaran polisi

membunuh teroris nomor wahid di Indonesia itu. Atau para

bintang AFI, KDI, Indonesia Idol yang mendapat tayangan

lebih, sehingga dari orang yang tak dikenal, karena terus

diberitakan atau disiarkan hanya beberapa bulan menjelma

menjadi bintang dan sangat terkenal oleh pemirsa televisi

Indonesia. Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar

memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka

agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat

(public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan

menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang

mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang

lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang

tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience).

Teori Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter

Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the

Picture in our head”, penelitian empiris teori ini

dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti

pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan antara

lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia

belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir

oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan

ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan

penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk

realitas social kita, ketika mereka melaksanakan tugas

keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan

saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain

melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya

suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh

media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang

diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya

menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media

menetukan “acara” (agenda) kampanye. Dampak media massa,

kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara

individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda

setting dari komunikasi massa. Disinilah terletak efek

komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk

menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas Agenda

Setting telah membangkitkan kembali minat peneliti pada

efek komunikasi massa.

f. Ide Dasar Teori Penentuan Agenda

Ide dasar pendekatan Agenda Setting seperti yang sering

dikemukakan Bernard Cohen (1963) adalah bahwa “pers lebih

daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin

saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan

sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya

untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”.

Dalam studi pendahuluan tentang Agenda Setting, McCombs

dan Shaw (1972) menunjukkan hubungan di antara beberapa

surat kabar tertentu dan pembacanya dalam isu-isu yang

dianggap penting oleh media dan publik. Jenjang pentingnya

isu publik ini disebut sebagai salience. Akan tetapi,

studi ini sendiri bukanlah Agenda Setting seperti yang

kita maksudkan, karena arah penyebabnya tidaklah jelas.

Baik media ataupun publik bisa saja menimbulkan

kesepakatan tentang jenjang isu-isu publik. Selain itu,

studi pendahuluan ini masih berupa suatu perbandingan

umum, bukan perbandingan individual, seperti yang

ditetapkan dalam hipotesis Agenda Setting ini. McCombs dan

Shaw (1972) mengakui keterbatasan ini dalam studinya dan

mengungkapkan bahwa “penelitian-penelitian lain harus

meninggalkan konteks sosial yang umum dan memakai konteks

psikologi sosial yang lebih spesifik”. Sayang sekali saran

ini tidak sepenuhnya diikuti dalam hampir seluruh

penelitian agenda setting yang dilakukan kemudian (Becker,

1982).

Di pihak lain, studi-studi berikutnya tentang Agenda

Setting berhasil menetapkan urutan waktu dan arah

penyebab. Dalam kondisi tertentu, peneliti menunjukkan

bahwa media massa benar-benar dapat menentukan agenda bagi

khalayak yang spesifik, paling tidak pada suatu tingkat

agregatif (cf. Shaw dan McCombs, 1977). McLeod et al.

(1974) membandingkan agenda pembaca-pembaca sebuah surat

kabar dengan pembaca-pembaca surat kabar lain di Madison,

Wisconsin. Dari pengamatan ini ia dapat menunjukkan bahwa

dalam batas-batas tertentu ada perbedaan di antara

keduanya.

Dalam pemberian suara, media ternyata tidak menunjukkan

efek pada pemilih muda, yang baru pertama kali memberikan

suaranya dan hanya sedikit mempenga¬ruhi pemilih yang

lebih tua. Pembagian lebih lanjut kelompok pemilih muda

ini menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil menunjukkan

bahwa mereka yang memiliki predisposisi partisan akan

lebih dipengaruhi oleh agenda media. Akan tetapi,

keterbatasan besar yang dihadapi penelitian ini disebabkan

oleh liputan isu-isu publik surat kabar-surat kabar itu

hampir sama.

Dalam suatu studi yang dilakukan pada orang-orang yang

menonton dan tidak menonton perdebatan calon-calon

presiden Amerika Serikat pada tahun 1976, peneliti dapat

menunjukkan perbedaan dalam penentuan agenda di kalangan

segmen¬segmen khalayak yang spesifik. Di samping itu,

ditunjukkan pula bahwa waktu memainkan peranan penting

dalam proses tersebut.

Sebagai perbandingan, suatu studi Agenda Setting surat

kabar dan televisi di Barquisimeto, Venezuela oleh Chaffee

dan Izcaray (1975) menunjukkan tiadanya efek yang

diharapkan. Penggunaan media massa oleh responden kedua

peneliti ini tidak mengarah pada meningkatnya salience

untuk isu-isu yang menerima liputan media yang besar. Di

sini tampak bahwa posisi sosial ekonomi responden

memainkan peranan dalam menentukan kepentingan relatif

beberapa isu publik.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa agenda setting oleh

media massa dapat terjadi dalam beberapa kondisi. Akan

tetapi, kondisi yang berlaku di negara industri dan di

negara sedang berkembang mungkin berbeda. Riset tentang

agenda setting oleh media di negara-negara Dunia Ketiga

masih perlu dilakukan, karena kebanyakan studi tentang

agenda setting yang ada telah dilakukan di Eropa dan

Amerika Serikat.

g. Potensi Teori Agenda Setting

Agenda setting memiliki potensi untuk membangun

masalah-masalah bagi publik. Seperti dikatakan McComb dan

Shaw, media menentukan isu-isu penting, yang berarti media

mengatur ‘agenda’ dari kampanye. “The mass media may well

determine the important issues—that is, the media may set

the ‘agenda’ of the campaign.” Dalam sebuah kampanye

pemilihan di Denmark, penelitian menunjukkan adanya tiga

pengaruh agenda. Pertama, sejauh mana media mencerminkan

agenda publik atau yang disebut dengan representasi. Dalam

agenda representasional, publik yang mempengaruhi media.

Kedua, pemeliharaan agenda yang sama oleh publik selama

waktu itu yang disebut persistensi. Dan ketiga, terjadi

apabila agenda media mempengaruhi agenda publik, yang

disebut persuasi. Jenis pengaruh yang ketiga ini media

mempengaruhi publik adalah tepat seperti apa yang

diramalkan oleh teori agenda setting klasik.

Meski dikatakan McCombs dan Shaw bahwa editor, staf

pemberitaan dan penyiar memainkan peranan penting dalam

mempertajam realitas politik, memilihkan what to think

about kepada publik, namun berita politik merupakan

gabungan kreasi antara jurnalis dan komunikator politik

lain politikus, profesional dan juru bicara yang

mempromosikannya. Sehingga, hal tersebut memungkinkan

persuader ikut ‘bermain’ dalam agenda setting. Untuk

melihat kaitan lebih jauh antara persuasi dengan agenda

setting, mengikuti identifikasi Lasswell untuk melukiskan

tindakan komunikasi siapa, mengatakan apa, dengan saluran

apa, kepada siapa dan dengan akibat apa, jelas bahwa

persuader politikus, profesional dan juru bicara,

merupakan sumber berita bagi para jurnalis yang dapat

digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Lebih jelas

lagi, dengan posisi seorang presiden. Hampir semua apa

yang dilakukan presiden membuat berita—apa yang

dikatakannya, bagaimana mengatakannya, ke mana ia pergi,

apa yang dilihatnya dan bahkan kecelakaannya.

Dalam konteks persuasi politik, kaitan agenda setting

di sini adalah dengan propaganda, periklanan dan retorika.

Temua-temuan riset menyebutkan, untuk bisa mempengaruhi

agenda setting, pesan akan dilihat berdasarkan isi dan

struktur pesan. Yang perlu diperhatikan di sini adalah

jangka waktu yang terbatas untuk kampanye politik hampir

tidak cukup untuk melakukan propaganda penuh. Karena itu,

dalam kampanye politik kontemporer terletak pada upaya

mempersuasi melalui periklanan massa dan retorika, bukan

propaganda.

Persuasi modern menggunakan semua saluran komunikasi

modern. Imbauan kepada massa dilakukan baik melalui

hubungan tatap muka ataupun melalui media antara, yaitu

media elektronik, media cetak dan poster. Namun baiknya

dipikirkan bukan menentukan media mana yang akan

digunakan, melainkan media mana yang tepat untuk persuasi.

Yang menantang untuk dimanfaatkan dalam mengatur agenda

persuasi adalah televisi. Televisi tetap digunakan secara

luas sebagai saluran persuasi. Melihat perkembangan

terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, selain

mengandalkan iklan televisi dan kaset video yang kirim

langsung ke pemilih, persuasi kini juga menggunakan

teknologi informasi (internet).

Tujuan akhir dari persuasi adalah khalayak. Jika

persuasi masuk dalam agenda setting, proses dialektis yang

diharapkan adalah tindakan yang merefleksikan perubahan

dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan.

Sehingga, kaitannya dengan agenda setting adalah bagaimana

mempengaruhi khalayak itu dengan isu-isu yang ingin

disampaikan persuader dengan menggunakan media.Secara

kritis, ada tiga hal yang dikedepankan dari tulisan

mengenai agenda setting dalam persuasi politik: menyangkut

persuasi politik itu sendiri, teori agenda setting dan

relasi antara keduanya, terutama jika dikaitkan dengan

tujuan akhir persuasi, yaitu mempengaruhi khalayak.

Mengenai persuasi, selain persoalan efek terbatas, dalam

kasus kampanye misalnya, bagaimana orang memilih,

merupakan lebih merupakan interaksi yang kompleks antara

pemilih dan sistem politik.

h. Kasus Aplikasi dari Teori Agenda Setting

PEMBAHASAN AGENDA SETTING FENOMENA BRIPTU NORMAN KAMARU

Kasus Briptu Norman Kamaru bisa menjadi contoh untuk

diaplikasikan dalam pembahasan agenda setting.

Pertengahan April 2011 nama Norman Kamaru seorang anggota

Brimob Polda Gorontalo berpangkat Briptu begitu ramai

diperbincangkan di berbagai media di tanah air. Apa yang

menarik dari polisi berpangkat Briptu ini hingga setiap

harinya khalayak dijejali dengan beragam informasi

tentang Norman Kamaru? Jawaban singkatnya adalah Norman

Kamaru adalah sosok polisi yang unik. Seorang polisi yang

bisa menyanyi dan menari.

Rasa-rasanya orang menyanyi dan menari adalah hal

yang wajar dan bukan sesuatu yang besar. Apa yang

dilakukan Kamaru mungkin juga dilakukan oleh kebanyakan

orang lainnya yang mencoba menghilangkan stress dan

menghibur rekan kerjanya, hanya saja aksinya ini

dilakukan ketika ia tengah mengenakan seragam

kepolisiannya dan cilakanya apa yang ia lakukan terekam

dalam video yang tersebar di situs video online

Youtube.com.

Situasi ini direspon oleh masyarakat dengan cepat.

Dari hari ke hari jumlah orang yang menyaksikkan video

Briptu Norman Kamaru semakin meningkat. Dalam kurun waktu

43 hari, berita tentang Briptu Norman Kamaru terindeks

mencapai 42 berita di detikNews. Berita terakhir di media

detikNews menyebutkan bahwa Briptu Norman Kamaru berhasil

memperoleh gelar Most Entertaining Newsmaker mengalahkan Pong

Hardjatmo, Bona Paputungan, Gayatri Century dan Ruhut

Sitompul.

Melejitnya Briptu Norman ternyata juga tidak luput

dari peran media massa dalam pemberitaannya terhadap

Briptu Norman Kamaru seiring dengan menguaknya kabar

sanksi yang akan diberikan Polri kepada Briptu Norman

Kamaru atas tindakan indisiplinernya tatkala bertugas.

Jika kita melihat dari sudut yang berbeda jelas yang

dilakukan Briptu Norman menyalahi aturan. Norman

melakukan aksinya tatkala ia tengah bertugas jaga. Maka

sah-sah saja jika Polri memberikan hukuman kepada Kamaru

untuk tidak diperbolehkan bernyanyi saat piket, tidak

diperbolehkan merokok saat piket, dan tidak diperbolehkan

melepas baret saat tugas piket.

Seperti dikutip di Tribunnews.com 7 April 2011,

Kasat Brimobda Polda Gorontalo AKBP Anang Supena

mengatakan pihaknya sudah sangat tegas memberikan hukuman

kepada Norman yang dinilai salah dalam menjalankan tugas

jaganya. “Sebagai anggota Polri kita sudah harus siap

menerima penghargaan dan sanksi jika anggota kita

dianggap lalai dan tidak bagus dalam kinerjanya,”

ujarnya,[ Namun sepertinya sanksi yang diberikan Polri

justru berbuah respon negatif dari masyarakat. Dukungan

kepada Norman terus mengalir, baik dari masyarakat, artis

maupun para pejabat pemerintahan. Situasi ini sangat

menguntungkan bagi pihak media tentunya. Ditengah

dukungan dan pujian masyarakat kepada Norman, Polri

justru malah memberikan sanksi.

Adapun Aplikasi Agenda Setting dari fenomena Briptu

Norman Kamaru yaitu:

a) Agenda Media

Berawal dari sebuah aksi kocak Briptu Norman

bernyanyi, menari di depan kamera hp. Secara tak sengaja

video tersebut muncul di situs Youtube dengan judul yang

cukup bombastis, Polisi Gorontalo Menggila. Sontak video ini

menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa ditengah

masyarakat. Beberapa saat setelah video Norman booming,

pihak kepolisian menyatakan akan memberikan sanksi kepada

Norman. Sontak keputusan Polri mengundang reaksi keras

baik dari masyarakat, politisi, dan pejabat pemerintah.

b) Agenda Publik

Apa yang dilakukan Norman memang diluar dugaan banyak

orang. Aksinya terbilang nekad, dan kocak. Dalam waktu

singkat videonya menyebar di media internet. Mungkin

sangat tepat jika kita menyebutnya dengan pola dikursus

(discourse) oleh Michel Foucault (1926 – 1984). Prosesnya

seperti ini seorang penyebar video ini (agen diskursus)

akan membagikan video ke pada teman-temannya lewat situs

jejaring sosial. Jika agen ini adalah seorang top leader

atau katakanlah orang yang terkenal dan berpengaruh maka

dengan cepat downline mereka akan mengikuti. Kasus Norman

boleh jadi seperti ini. Awalnya ada yang iseng upload ke

Youtube. Lalu link-nya disebarkan ke beberapa orang.

Berhubung videonya memang menggelitik, maka dengan

sendirinya mereka akan meneruskan kepada temannya.

Lalu dengan dalam waktu yang singkat video Norman

Kamaru langsung menyebar di masyarakat. Ketika Polisi

memberikan sanksi kepada Norman kemudian menimbulkan pro

dan kontra. Banyak masyarakat, artis, politisi dan

pejabat yang memberikan dukungan kepada Norman. Bahkan

muncul kampanye dukung Norman di dunia maya, seperti

“Gerakan satu juta mendukung Briptu Norman Kamaru”,

“Melepas Rasa Jenuh Bersama Briptu Norman”, dan “Dukung

Briptu Norman Kamaru Berekspresi”

Efek yang terjadi sanksi yang diberikan tidak

memberatkan, Norman pun malahan menjadi icon kepolisian

baru yang sekarang dikenal masyarakat luas sebagai

Shahrukh Norman Kamaru Khan.

c) Agenda Elit atau Eksekutif

Kasus Norman yang mencuat sejak munculnya statement

dari kepolisian untuk memberikan sanksi kepada Norman.

Lalu hal ini membuat beberapa orang yang duduk di posisi

jabatan atas angkat bicara. Seperti Marzukie Alie Ketua

DPR Marzuki Alie dan Wakil Ketua DPR Pramono Anung sempat

juga menengok video kocak tersebut, dan memberikan

apresiasi. “Presiden saja bisa bikin album, masa polisi

bernyanyi tidak boleh,” kelakar Marzukie Alie yang

ditulis di Kompas.com, beberapa waktu yang lalu. Dukungan

yang berdatang juga muncul dari musisi dan penyanyi Glenn

Fredly yang ditulis di akun twitternya. “Siapapun yg

ngaku penyanyi & Lipsync mulai sekarang, kalo tidak lebih

keren dr #Briptu Norman lebih baik ditindak

aparat..sekian” ujar glenn seperti dikutip di detikNews.

Begitu banyak dukungan berbuah pada sanksi ringan yang

diterima oleh Briptu Norman Kamaru. Bahkan oleh

kepolisian Briptu Norman yang dianggap sebagai maskot

mereka sedang dipertimbangkan untuk menjadi duta seni

kepolisian, tentu saja dengan adanya Briptu Norman

kepolisian yang selama ini mendapatkan stereotip yang

“negatif” mendapatkan suntikan citra yang menunjukkan

bahwa seorang anggota polisi pun memiliki nilai-nilai

yang humanis.

Kesimpulan

Teori difusi inovasi

Pada tahun tahun 1962, Everett Rogers menggabungkan

temuan penelitian arus informasi dengan studi mengenai arus

informasi dan pengaruh personal dalam beberapa bidang termasuk

antopologi, sosiologi dan pertanian desa. Ia meng embangkan

apa yang ia sebut sebagai teori difusi, perpanjangan dari ide

Paul Lazarsfeld mengenai arus dua langkah.

Upaya rogers untuk menggabungkan penelitian arus

informasi dengan teori difusi sangat sukses sehingga teori

arus informasi dikenal sebagai teori difusi informasi (dan

ketika teori ini diterapkan kepada difusi selain informasi,

yaitu teknologi teori ini disebut sebagai teori difusi

inovasi). Rogers menggunakan kedua istilah ini untuk menamai

edisi selanjutnya dari buku yang ia tulis.

Rogers mengumpulkan data dari berbagai studi empiris

untuk menunjukkan bahwa ketika inovasi teknologi baru

diperkenalkan, inovasi tersebut melawati serangkaian tahap

sebelum diadopsi secara luas.

Pertama sebagian besar orang menge tahui teknologi

tersebut, seringkali melalui informasi di media massa. Kedua

inovasi tersebut diadopsi oleh sekelompok kecil inovator yang

disebut sebagai pengguna awal. Ketiga, opinion leader belajar

dari para pengguna awal ini dan mencoba inovasi ini sendiri.

Keempat, jika opinion leader merasa inovasi ini berguna, maka

mereka akan mendorong teman-teman mereka-para opinion

follower.

Akhirnya setelah sebagian besar orang sudah mengadopsi

inovasi ini, sekelompok pengguna akhir (late follower) akan

melakukan perubahan. Proses ini ditemukan untuk menerapkan

sebagian besar inovasi pertanian di Amerika.

Teori difusi informasi/inovasi adalah contoh yang bagus

atas kekuatan keterbatasan teori berjakauan menengah. Teori

ini sukses menggabungkan banyak penelitian empiris. Rogers

menelaah ribuan studi. Teori difusi informasi/inovasi ini

memandu penelitian dan memfasilitasi penafsirannya.

Meskipun demikian teori ini memiliki keterbatasan serius.

Seperti teori arus informasi dan pemasaran sosial, teori

difusi informasi/inovasi adalah teori yang didominasi sumber

yang melihat proses komunikasi dari sudut pandang elite

penguasa yang telah memutuskan untuk menyebarkan sebuah

inovasi atau informasi. Teori ini memperbaiki teori arus

informasi dengan menyediakan strategi yang lebih baik untuk

mengetahui hambatan penyebaran.

Teori difusi informasi/inovasi memberikan peranan yang

sangat terbatas kepada media massa, karena umumnya media massa

hanya menciptakan kesadaran akan inovasi baru. Tetapi teori

ini memberikan peranan utama untuk berbagai jenis orang yang

mengkritik proses difusi.

Media secara langsung mempengaruhi pengguna awal, tetapi

orang-orang ini secara umum memiliki cukup informasi dan

merupakan pengguna media yang berhati-hati. Para pengguna awal

mencoba inovasi dan kemudian memberitahu orang lain mengenai

hal tersebut. Mereka secara langsung mempengaruhi opinion

leader yang kemudian mempengaruhi semua orang. Agen perubahan

juga bagian penting orang yang terlibat dalam difusi ini.

Tugas mereka adalah untuk memiliki banyak informasi mengenai

inovasi dan memandu orang-orang lain yang ingin berubah.

Rogers menyarankan supaya agen perubahan memimpin upaya

difusi, mereka dapat keluar ke komunitas pedesaan dan secara

langsung mempengaruhi pengguna awal serta opinion leader.

Sebagai tambahan untuk menarik perhatian kepada inovasi, media

juga dapat digunakan untuk menyediakan wadah untuk diskusi

kelompok yang dipimpin oleh agen perubahan. Strategi

penggunaan media ini dibentuk setelah kesuksesan agen perluasa

pertanian di wilayah Barat Tengah Amerika.

Teori Rogers sangat berpengaruh besar. United States

Agency for International Development (USAID) menggunakan

strategi ini untuk menyebarkan inovasi pertanian di negara-

negara dunia ketiga. Selama perang dingin pada tahun 1950-an

dan 1960-an, Amerika Serikat bersaing pengaruh dengan USSR di

negara-negara berkembang.

Harapannya adalah dengan memimpin ”revolusi hijau” dan

membantu mereka untuk memberi makan diri mereka sendiri,

Amerika Serikat akan mendapatkan dukungan dari negara-negara

baru ini. Akan tetapi untuk membantu mereka dalam hal ini,

Amerika Serikat perlu meyakinkan petani dan warga desa untuk

mengadopsi sejumlah besar inovasi pertanian secepat mungkin.

Teori difusi informasi/inovasi milik Rogers ini menjadi

panduan latihan untuk upaya tersebut.

Agen perubahan dari seluruh dunia dibawa ke Michigan

State University untuk belajar teori dari Rogers. Banyak

orang-orang ini kemudian menjadi akademisi di negara mereka

masing-masing, dan tidak seperti teori Amerika yang lain teori

difusi informasi/inovasi ini menyebar melalui universitas di

negara berkembang selama inovasi pertanian tersebar di

perladangan. Diberbagai belahan dunia, teori Rogers disamakan

dengan teori komunikasi.

Teori difusi inormasi/inovasi mewakili sebuah

perkembangan penting atas teori efek terbatas. Seperti

penelitian klasik lain pada awal tahun 1960-an, teori ini

diambil dari kesimpulan empiris yang ada dan digabungkan ke

dalam sebuah perspektif yang medalam dan rasional. Sebagai

tambahan untuk memandu perkembangan negara dunia ketiga, teori

ini memberikan dasar bagi sejumlah besar komunikasi promosi

dan teori pemasaran serta kampanye yang mereka lakukan, bahkan

hingga saat ini.

Akan tetapi teori difusi informasi/inovasi ini juga

memiliki keterbatasan yang serius. Teori ini memiliki masalah

unik yang berakar dari penerapannya. Sebagai contoh teori ini

memfasilitasi adopsi inovasi yang terkadang tidak terlalu

dimengerti atau diinginkan oleh para pengguna. Misalnya sebuah

kampanye untuk membuat para isteri petani di Georgia

mengalengkan sayuran, awalnya dianggap sukses besar, sampai

ditemukan bahwa sedikit sekali wanita yang menggunakan sayur-

sayuran yang dikalengkan tersebut. Mereka menumpuknumpuk botol

di dinding ruang tamu mereka sebagai status simbol. Kebanyakan

dari mereka tidak tahu resep untuk memasak sayuran yang

dikalengkan tersebut dan bagi mereka yang menggunakannya

diketahui kemudian bahwa anggota keluarga mereka tidak

menyukai rasa sayuran yang dikalengkan tersebut.

Situasi ini mendorong masyarakat desa yang kebanyakan sebagai

tenaga kerja tidak terdidik dan terlatih pergi ke kota untuk

mencari pekerjaan. Ironisnya di kota pun tenaga kerja dari

desa dengan kualifikasi tersebut tidak mendapat tempat.

Sehingga banyak diantara mereka yang kemudian terjebak pada

situasi sulit dan menjadi kriminal.

Teori agenda setting

Teori agenda setting adalah teori yang menyatakan bahwa

media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan

kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu

kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan

mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu

yang dianggap penting oleh media massa.

Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang

penentuan agenda adalah:

1. Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan

kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu.

2. Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah

masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih

penting dari pada isu-isu lain.

Teori agenda setting memiliki tiga dimensi utama yang

dikemukakan oleh Mannhem (Severin dan Tankard, Jr : 1992):

1. Agenda media

2.   Agenda Khalayak

3. Agenda Kebijakan

Dalam teori agenda setting, audiens bersifat pasif

sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya. Agar

tidak terjadi kesalahan dalam perolehan informasi maka perlu

untuk melek media atau Literacy Media. James Potter dalam

bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001)

mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang

digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan

tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.

Dalam mencermati berita yang sedang booming di media,

teori agenda setting masih cukup relevan untuk menilai efek

komunikasi massa saat ini. Contoh yang sangat bagus dalam hal

ini adalah kasus manohara, karena kasus ini bermula dari ranah

antar personal, yaitu KDRT, yang kemudian diekspos media

(karena melibatkan tokoh ternama). Dari media agenda menjadi

agenda public dan sekarang bergerak ranah politik dan menjadi

policy agenda.

Sesungguhnya berita maupun trend yang berkembang di

masyarakat seuntuhnya diatur oleh media massa. Jika media

memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan

memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Dari

beberapa asumsi mengenai efek komunikasi massa, teori agenda

setting lah salah satu teori yang terus bertahan dan

berkembang. Menurut teori agenda setting, media massa dapat

memengaruhi agenda public atau masyarakat. dari berbagai topic

yang dimuat di media massa, topic yang mendapat perhatian

lebih banyak dari medialah yang akan menjadi lebih akrab bagi

masyarakat dan dianggap penting pada periode tertentu, Hal ini

terbukti pada kasus pemberitaan kasus Manohara.

Daftar Pustaka

(http://www.tribunnews.com/2011/04/07/inilah-daftar-teguran-

untuk-briptu-norman-kamaru)

diakses 24 februari 2014 18;00

Denis McQuil,Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.)

(Jakarta: Erlangga, 1987hlm.40

Robert Mc Chesney,Konglomerasi Media Massa dan Ancaman

Terhadap Demokrasi, And

Achdian (terj), (Jakarta : Aji, Th. 1998) hlm.29

Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja

Rosdakarya

Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.

http://andi-wewe.blogspot.com/2011/01/teori-difusi-inovasi-

teori-uses.html

http://www.himikomunib.org/2012/12/teori-agenda-setting.html

http://1ptk.blogspot.com/2012/06/kasus-keberhasilan-kegagalan-

difusi.html

http://aprilianaaping.blogspot.com/2013/07/sejarah-munculnya-

teori-agenda- setting.html