otonomi khusus papua
TRANSCRIPT
MATA KULIAHLINGKUNGAN BISNIS
OTONOMI KHUSUS PAPUASEBUAH UPAYA MERESPON KONFLIK DAN
ASPIRASI KEMERDEKAANPAPUA
Lukas Luli Lasan14/375898/PEK/20067
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA2015
OTONOMI KHUSUS PAPUA
SEBUAH UPAYA MERESPON KONFLIK DAN
ASPIRASI KEMERDEKAAN PAPUA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Politik
Papua menjadi bagian dari Indonesia pada tanggal 1 Mei
1963 melalui Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Sebelum diberi
nama “Irian Jaya”, kawasan ini dikenal dengan nama “Papua”.
Nama “Papua” pada awalnya dipergunakan oleh pelaut Portugis
Antonio d’Arbreu, yang mendarat di pulau ini pada
tahun1521.Diperkirakan, kata “papua” berasal dari kata dalam
bahasa Melayu kuno “pua-pua”, yang berarti “keriting”. Nama
ini kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta yang ikut dalam
pelayaran dengan Magellan mengelilingi bumi. Versi lain dari
penamaan papua adalah dari Papua bagian timur, yang kini
menjadi Papua Nieuw Guinea. Sebutan “Nieuw Guinea” digunakan
oleh pelaut Belanda, menggunakan penamaan dari seorang
pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes, yang pada tahun 1545
mengunjungi kawasan utara pulau ini. Nama “Nieuw Guinea”
2
diberikan karena penduduk yang ditemui berwarna hitam,
seperti penduduk di Pantai Guinea, Afrika. Meskipun
merupakan kawasan yang secara kategori pembangunan disebut
terbelakang, Papua tercatat memiliki kekayaan alam yang
melimpah.
.Sebagaimana dikemukakan dalam UU No. 21 Tahun 2001,
otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah
pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang
lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan
kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Papua. Kewenangan ini berarti pula
kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan
perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran
yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah
ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi
pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta
lingkungan alam Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera
daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri
rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat,
adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:
3
1. Pengaturan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di
Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
2. Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli
Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan
mendasar;
3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang
berciri:
a) Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat,
agama, dan kaum perempuan;
b) Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-
besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk
asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi
Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan
bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
c) Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab
kepada masyarakat.
4. Pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang
tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai
representasi kultural penduduk asli Papua yang
diberikan kewenangan tertentu.
4
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan
untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum,
penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi,
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua,
dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan
provinsi lain.
Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan
penduduk Papua pada umumnya sebagai subyek utama. Keberadaan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk
memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat.
Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian
masalah dan rekonsiliasi, antara lain, dengan pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini
dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang
terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan
kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.
Konflik yang terjadi di Papua berakar dari sebuah
ketidakadilan yangbersumber dari ketidakmerataan distribusi
hasil-hasil pembangunan ekonomi yangdijalankan oleh orde
baru. Proses ketidakmerataan distribusi hasil-hasil
pembangunan ekonomi ini pada akhirnya terlembaga menjadi
sebuah upaya pemiskinan yang sifatnya terstruktur dan
permanen apakah itu memang disengajaatau secara otomatis
konsep pembangunan ekonomi yang dijalankan dan
sekaligusberfungsi sebagai sebuah ideologi negara mau tidak
5
mau harus lebih memperhatikan kebutuhan pusat daripada
daerah sebagai sumber kekuatan danapembangunan.
Ketika rezim orde baru berakhir pada pertengahan tahun 1998,
konflik ini semakin manifest dan upaya untuk memerdekaan
diri juga semakin intensif. Persoalan ini membawa seluruh
pemerintahan paska rezim orde baru berupaya keras untuk
memikirkan sebuah solusi alternatif bagi penyelesaian
konflik yang terjadi di Papua. Desakan dunia Internasional
turut mempengaruhi seluruh kebijakan politik pemerintah
Indonesia terhadap Papua. Pendekatan Militer yang dianggap
menjadi solusi paling tepat dengan mengedepankan cara-cara
dan tindakan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan,
perlahan-lahan ditarik dari tengahtengah
masyarakat Papua.
Secara umum dapat dikatakan bahwa UU Otsus dalam
tataran ide – idenormatif sangat ideal. Hal itu mestinya
dapat merespon tuntutan kemerdekaan dan semangat
nasionalisme Papua, serta mengurangi tekanan tuntutan dan
gerakan pemisahan diri. Kesenjangan antara ide normatif
dengan realitas barangkali muncul akibat implementasi yang
belum berjalan secara efektif. Meski Undang-Undang Otonomi
Khusus No. 21 tahun 2001 telah diberlakukan, gerakan kritis
terhadap berbagai persoalan di Papua seperti pelanggaran
HAM, ketidakadilan tidak lantas berhenti sama sekali.
Sebagian masyarakat melihat bahwa otonomi khusus bukan
jawaban memuaskan atas persoalan dan keinginan mereka. Sikap
kritis ini dilakukan oleh berbagai kelompok yang memiliki
latar belakang beragam, baik masyarakat adat, intelektual
6
maupun sektor lainnya, termasuk didalamnya terdapat elemen
mahasiswa.
B. Identifikasi Masalah:
Problema identitas di Papua belum tuntas. Dana otsus
sejak 2002 tak hanya gagal menghentikan tuntutan merdeka,
tetapi justru menyebar di tingkat publik. Jika dulu
merdeka hanya tuntutan elite, sekarang menjadi menu
obrolan di tingkat rakyat.
Wewenang yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan
masalah baru terkait perebutan wewenang atau saling lempar
tanggung jawab. Pembentukan PP sebagai tindak lanjut UU
otsus sangat lambat. Selain itu, perdasus dan perdasi
penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua tak
becus memanfaatkan limpahan kewenangan, Papua menunjuk
Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.
Di Jakarta, tak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika
muncul masalah Papua, tak jelas pembagian kewenangan
antara UP4B, Kemendagri, Desk Papua di Menko Polhukam,
staf khusus Velix Wanggai, atau utusan khusus Farid
Husain. Seluruh lembaga ini tak saling sapa dan duduk
bersama mendiskusikan persoalan Papua. Justru aparat
keamanan yang dikirim.
7
Persoalan wewenang juga muncul antara provinsi dan
kabupaten/kota: tergantung mana paling menguntungkan.
Provinsi berpegang pada UU Otsus, kabupaten/kota merujuk
ke UU 32/2004. Sebabnya, materi UU otsus kurang lengkap
dan tak ada peraturan pelaksanaannya.
Pembentukan lembaga yang berkaitan dengan adat di Papua
justru menimbulkan masalah baru dan menjadi arena politik
elite. Penundaan pilkada gubernur Papua disebabkan oleh
penafsiran UU Otsus yang dinilai mengambil wewenang KPUD.
Kata ”orang asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan.
Tindakan afirmatif ras Melanesia justru bertentangan
dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi
dasar pembentukan negara modern.
Dana otsus yang demikian besar setelah sepuluh tahun tak
berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang
signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks
capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah.
Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak dibuat.
Evaluasi pemerintah terhadap otsus yang seharusnya
dilakukan tiga tahun setelah diberlakukan: sampai kini tak
ada.
Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di tingkat
pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana
otsus. Temuan BPK ada penyelewengan dana otsus, Rp 380
miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana
otsus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu
dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite
8
Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena itulah
sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.
Dari identifikasi masalah tersebu diatas, yang menjadi
pokok masalah adalah penerapannya Otsus hingga kini belum
berjalan optimal. Berbagai kendala menghinggapi
perjalanannya diantaranya; distrubusi kewenangan dan
aliran dana yang tidak jelas, inkonsistensi pemerintah
pusat dan Pemda Papua, hingga konflik kepentingan dan
kekuasaan di antara elit lokal Papua, yang akhirnya
mengakibatan menurunnya kepercayaan masyarakat Papua dan
tuntutan kemerdekaan menjadi harapan anak papua.
C. Kerangka Pemikiran Teoritis
1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Kebijakan otonomi daerah selain banyak dikaitkan dengan
tujuan untukmewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan
lebih mendekatkan pelayanan kepada publik, mendorong
proses demokratisasi dan partisipasi publik yang lebih
luas memperkuat kapasitas dan tanggung-jawab daerah dalam
menyelesaikan masalah-masalah lokal dengan segala potensi
dan kreativitas yang dimiliki daerah, juga sering
dihubungkan dengan tujuan untuk mempertahankan bahkan
memperkuat integrasi nasional.
Menurut Scott A. Bollens (2001), otonomi daerah dilihat
mempunyai kelebihan atau manfaat dalam masyarakat yang
heterogen. Melalui otonomi kalangan minoritas dapat lebih
terlibat aktif dalam politik, menawarkan prospek bagi
minoritas untuk mempertahankan kebudayaannya, meningkatkan
9
kesempatan untuk lahir dan terbangunnya koalisi antar-
etnis, dan memberikan kesempatan yang luas bagi negara-
negara yang berpotensi terpecah-belah untuk mengusahakan
jalan keluar
secara konstitusional. Tetapi otonomi dapat pula
menghadapi resistensi dan menghasilkan dampak negatif,
termasuk kekhawatiran bahwa otonomi bisa merupakan “batu
loncatan” untuk pemisahan diri, kekhawatiran dari
pimpinanpimpinan mayoritas bahwa mereka mungkin saja akan
kehilangan dukungan suara, menguatnya identitas etnis atau
terciptanya bentuk-bentuk identitas baru, terjadinya
kompromi terhadap apa yang dianggap sebagai nilai-nilai
fundamental suatu negara, dan adanya resistensi untuk
berlangsungnya konsultasi dan kompromi bagi kesuksesan
devolusi kekuasaan pemerintahan.
Otonomi daerah lebih jauh dikategorisasikan kedalam dua
kelompok oleh Van
Houtten sebagai berikut:
1) otonomi yang bersifat umum yang berlaku dan diterapkan
disemua wilayah. Otonomi ini biasanya diterapkan pada
negara yangmemiliki stabilitas politik terkendali dan
tidak dalam potensi konflik separatisme.
2) Otonomi yang bersifat khusus atau disebut juga dengan
desentralisasiasimetris, dimaksudkan untuk memberikan
perlakuan berbeda, yang pada akhirnyaakan memungkinkan
terjadinya koherensi/persatuan nasional yang lebih
kokohkarena masalah - masalah yang spesifik dapat
10
diselesaikan dengan damai dandisepakati oleh semua
pihak. Desentralisasi asimetris ini lazim diterapkan
didaerahyang memang memiliki potensi perbedaan tinggi
dan mengalami ketimpangan luarbiasa hingga dapat memicu
terjadinya gejolak.
Manfaat dari desentralisasi asimetris ini adalah;
a) Menjadi solusi atas kemungkinan terjadinya konflik
etnis atau konfliksosial lainnya.
b) Sebagai respon demokratis dan damai terhadap
keluhan / masalah – masalahkaum minoritas yang hak -
haknya selama ini dilanggar dan diabaikan.
Otonomi daerah menurut Undang-Undang adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
2. Resolusi Konflik
Konflik dapat diartikan sebagai setiap pertentangan
atau perbedaanpendapat diantara minimal dua orang atau dua
kelompok. Konflik yang seperti ini dapat dinamakan konflik
lisan atau konflik non-fisik. Jika konflik tersebut tidak
dapat diselesaikan, maka status konflik meningkat menjadi
konflik fisik, yaitu dengan dilibatkannya benda-benda
11
fisik dalam perbedaan pendapat. Konflik lisan dapat
dikategorikan sebagai suatu konflik, karena terlihat
pertentangan di dalamnya, meskipun tindakan kekerasan yang
melibatkan benda-benda fisik belum terjadi. Jika konflik
terbatas pada tindakan kekerasan secara fisik, maka
sebenarnya tidak perlu adanya istilah conflict of interest,
conflict ideas, yang lebih banyak mengacu pada konflik lisan.
Adapun faktor-faktor penyebab timbulnya konflik di
masyarakat, terutamaperbedaan posisi dan wewenang
(Sahidin, 2004, h.3-7):
“konflik sosial bersumber dari adanya distribusi kekuasaan yang tidak
merata, sehingga konflik menjadi suatu keniscayaan. Konflik juga dapat
berasal dari tidak tunduknya individu-individu sebagai pihak yang dikuasai
terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi
menguasai. Konflik juga merupakan fungsi dari adanya pertentangan antara
penguasa dengan yang dikuasai, dimana penguasa senantiasa ingin
mempertahankan set of properties yang melekat pada kekuasaannya,
sementara yang dikuasai selalu terobsesi untuk mewujudkan perubahan yang
dianggapnya jalan untuk perbaikan posisinya.”
Ted Robert Gurr (1980) menjelaskan bahwa konflik
mempunyaisetidaknya empat persyaratan yang harus
dipenuhinya, anatar lain ;
(1) ada dua atau lebih pihak yang terlibat,
(2) mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling
memusuhi,
(3) mereka menghancurkan, melukai, dan menghalang-
halangi lawannya, dan
12
(4) interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka
sehingga terdeteksi secara mudah oleh parapengamat
independen.
3. Nasionalisme
Studi tentang nasionalisme memberikan kesulitan
tersendiri mengingatmanifestasi dan cakupan dari
nasionalisme dan etnisitas ini sangat luas dan kompleks.
Tidak ada definisi yang seragam dalam berbagai literatur
politik tentang nasionalisme. Namun demikian, agaknya
menarik bagi kita untuk lebih jauh memahami gagasan yang
dirumuskan oleh Kellas dalam studinya tentang nasionalisme
dan etnisitas. Dalam bukunya ini Kellas mencoba memberikan
sebuahanalisis yang cukup mendalam mengenai apa yang
disebut dengan “Nation”, “Nationalism”, “Ethnic Group” and “Race”.
Menurut Kellas (1998) “Nation” adalah sekelompok orang yang
menyatakan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat dan
secara bersama-sama dibatasi oleh pertalian sejarah,
budaya dan keturunan. Nation memiliki beberapa
karakteristik baikyang sifatnya objektif maupun subjektif.
Karakteristik objektif meliputi teritory (wilayah),
bahasa, agama. Sedangkan karakteristik subjektif adalah
kesadaran orang terhadap kebangsaannya dan rasa cintanya
terhadap kebangsaannya itu. Istilah nation ini umumnya
dipakai untuk menyebutkan state, contohnya UnitedNations. Kata
nation yang dipakai dalam kata “united nation” adalah bangsa
dalam pengertian negara. Istilah nation juga dipakai untuk
menyebutkan ethnic group atauethnic nation.
13
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Politik dan Tata Pemerintahan
Salah satu persoalan penting yang menjadi concern
dari gerakan reformasitahun 1998 adalah upaya untuk
membangun suatu sistem politik dan tatapemerintahan yang
14
lebih demokratis. Gagasan perubahan ini beranjak dari
refleksipengalaman hidup masa Orde Baru di mana
sentralisasi telah menutup ruangpartisipasi masyarakat
dalam pengembangan pembangunan daerah. Modelsentralistik
juga menyebabkan adanya ketimpangan distribusi kue
pembangunan kedaerah sehingga pada akhirnya menimbulkan
berbagai persoalan, diantaranyakekecewaan dan protes
yang sering kali disikapi secara represif oleh
pemerintah pusat.Pengalaman di Papua memperlihatkan
berbagai persoalan pembangunanyang sarat dengan
ketimpangan dan perlakuan represif terhadap kelompok
kritisterhadap kebijakan pemerintah. Bagi pemerintah
pusat, aktivitas kelompok kritis inidianggap sebagai
gejala sosial politik yang dapat berpotensi menimbulkan
ancamanterhadap stabilitas sosial politik dan integrasi
nasional. Sehingga, perlu untukdisikapi secara tegas
dengan mengedepankan pendekatan keamanan (securityapproach).
Hal inilah yang kemudian justru semakin memperuncing
permasalahandan mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM
di Papua. Momentum perubahan yang dibawa oleh arus
reformasi memberikankesempatan bagi seluruh pihak untuk
menata ulang hubungan pusat dan daerah,termasuk konsep
pembangunan daerah diseluruh tanah air. Secara nasional,
tatapemerintahan demokratis ini diwujudkan dalam bentuk
perubahan UU No 5 Tahun1974 yang sebelumnya dianggap
sebagai landasan legal bagi dominasi pusatUndang -
Undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah kemudian
munculsebagai bentuk penyempurnaan. Dalam konteks Papua,
15
penerapan otonomi daerahmerupakan bagian dari langkah
maju yang dibuat untuk menterjemahkan
prinsipdesentralisasi pemerintahan dalam UU No. 22 Tahun
1999 yang disesuaikandengan dinamika dan kekhususan
potensi dan penanganan masalah Papua yangkemudian
ditindaklanjuti dengan dirumuskannya UU No 21 Tahun 2001
tentangOtonomi Khusus Papua.
2. Nasionalisme Papua dan Aspirasi Kemerdekaan
Lahirnya nasionalisme Papua bisa dirunut melalui
sejarahnya. Kekuasaankolonial Belanda yang berkuasa di
Papua sampai sebelum berada di bawahkekuasaan Indonesia
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
lahirnyanasionalisme Papua. Tidak hanya bahwa Papua
mengalami sejarah kolonialismesebagaimana Indonesia juga
mengalaminya di bawah kekuasaan Belanda,
sejarahkolonialisme tersebut juga telah mempersatukan
elit-elit Papua melalui pendidikan,termasuk pendidikan
tinggi, dan proses “Papuanisasi” dalam
penyelenggaraanurusan pemerintahan di Papua. Bahkan
dalam rangka dekolonisasi, Belanda jugamempersiapkan
institusi dan sumberdaya manusia bagi penduduk Papua
sendiriuntuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri.
Dalam persepsi orang Papua, kemerdekaan Papua
pertamakalidideklarasikan dengan pengibaran bendera
Morning Star (Bintang Kejora) pada tanggal 1 Desember 1961.
Akan tetapi, pernyataan kemerdekaan ini diabaikan
16
atau“dibatalkan” oleh perjanjian antara Belanda dan
Indonesia yang ditanda-tangani diNew York tahun 1962, di
mana Belanda sepakat mentransfer
penyelenggaraanpemerintahan di Papua kepada Indonesia di
bawah pengawasan PBB (dikenalsebagai misi UNTEA-United
Nations Temporary Excecutive Authority).Orang-orang
Papua yang tidak merasa terlibat dalam proses perjanjian
itumengganggap bahwa Papua semata-mata sebagai obyek
persengketaaninternasional. Anggapan ini termasuk
terhadap pelaksanaan Pepera (PenentuanPendapat Rakyat)
di bawah pengawasan PBB pada tahun 1969 dimana
kemudianmenjadi legitimasi bahwa Papua merupakan bagian
dari Indonesia. Merekamemandang bahwa kekuasaan
Indonesia atas Papua tidaklah legitimate. Hal inikemudian
ditegaskan kembali ketika Presidium Dewan Papua
(PDP)menyelenggarakan kongresnya pada tahun 2000, dengan
penolakan terhadappersetujuan New York yang dianggap
tidak mempunyai dasar moral dan legal yangkuat karena
tidak terlibatnya wakil-wakil masyarakat Papua dalam
proses tersebut,dan juga menolak hasil Pepera pada tahun
1969 karena dilaksanakan secara tidak demokratis,
pemaksaan, dan intimidasi terhadap wakil-wakil
masyarakat yangmenjadi peserta Pepera tersebut yang
sebenarnya juga dipilih sendiri olehIndonesia. Presidium
Dewan Papua juga menyatakan bahwa kemerdekaan Papuatelah
diproklamirkan pada tahun 1961.
Sikap politik dalam Kongres Presidium Dewan Papua di
atas hanyalah salahsatu bentuk ekspresi tuntutan
17
kemerdekaan Papua yang dinyatakan secara terbukadan
sering sejak sesudah jatuhnya kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan serupa pernahjuga terjadi pada tahun 1998,
FORERI (Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya)dalam
dialognya dengan Pemerintah Indonesia menyampaikan
tuntutankemerdekaan Papua atas Indonesia. Dengan
demikian, tuntutan politik ataskemerdekaan Papua semakin
mengalami eskalasi bersamaan dengan perubahanpolitik
akibat reformasi 1998. Tuntutan itu termanifestasi dalam
berbagai bentukyang acap kali berujung pada konflik yang
melibatkan kekerasan, sebagaimanaberlangsungnya
demonstrasi mahasiswa besar - besaran disertai dengan
pelarianlebih dari 30 orang Papua meminta suaka ke
Australia.Survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga
internasional pada tahun 2002 di12 kabupaten di Papua,
dengan sampel hampir 2.000 orang, menunjukan
bahwamayoritas orang-orang asli Papua (75% dari kelompok
sampel orang Papua yangberjumlah 60% dari total sampel)
menyadari ada aspirasi kemerdekaan Papua danmeyakini
bahwa kemerdekaan tersebut akan terwujud. Kesadaran
terhadap aspirasitersebut dapat dikatakan merata sampai
ke daerah-daerah pedalaman. Temuanlainnya adalah
rendahnya penghormatan terhadap institusi pemerintahan,
dan jugakuatnya persepsi mengenai kemiskinan yang mereka
alami, dan perasaan ketidakyakinanakan perbaikan tingkat
kesejahteraan di masa yang akan datang.
Perkembangan nasionalisme Papua ini mengalami dinamika
yang cukupberarti sesudah reformasi, jauh lebih kuat dan
18
lebih meluas ketimbang pada tahun1961. Chauvel
menjelaskan bahwa menguatnya nasionalisme Papua
dipengaruhioleh empat faktor berikut;
1. banyak orang Papua mempunyai pandangandan perasaan yang
sama mengenai ketidak-adilan sejarah mengenai
prosesterintegrasinya tanah air mereka ke dalam
Indonesia.
2. Banyak elit Papuamerasa rivalitas dengan pejabat-pejabat
Indonesia (yang bukan orang Papua) yangtelah mendominasi
pemerintahan di Papua bahkan sejak di masa Belanda,
apalagikemudian sesudah penyerahan kekuasaan oleh
Belanda pada tahun 1963, dankemudian di masa Orde baru
sampai sekarang.
3. Pembangunan ekonomi diwilayah Papua dan juga pembangunan
administrasi pemerintahan, yangberlangsung bersamaan
dengan menguatnya kesadaran akan perbedaan antaraPapua
dengan bagian-bagian Indonesia lainnya, telah memperkuat
perasaan Pan-Papuans dengan basis yang lebih luas
dibandingkan pada awal 1960-an.
4. Transisi demografis di Papua, yang ditandai dengan
masuknya warga “pendatang”dalam jumlah besar, baik
melalui kebijakan transmigrasi maupun secara
“sukarela,”telah menimbulkan perasaan bahwa orang Papua
termarjinalisasi dan tersingkirkandi tanah mereka
sendiri. Sebagai ilustrasi lebih lanjut dari
argumentasinya;walaupun Papua sendiri terdiri dari
begitu banyak kelompok etno-linguistik denganberbagai
ukuran, tetapi evolusi nasionalisme yang terjadi telah
19
berkembang menjadinasionalisme dan identifikasi
identitas sebagai Pan-Papuan. Dikemukakan pulabahwa di
dua daerah yang semula dapat dikatakan sebagai basis
“pro-Indonesia”,yaitu di Serui dan Fak-Fak pun, telah
berkembang secara meluas identitas danloyalitas Pan -
Papuan tersebut dan dengan demikian perasaan perbedaan
danbahkan anti Indonesia
.
3. Otonomi Khusus Papua Sebagai Kebijakan Desentralisasi
dan Resolusi
Konflik
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagiProvinsi Papua adalah suatu kebijakan yang
bernilai strategis dalam rangkapeningkatan pelayanan
(service), dan akselerasi pembangunan (acselerationdevelopment),
serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di
ProvinsiPapua, terutama orang asli Papua. Melalui
kebijakan ini diharapkan dapatmengurangi kesenjangan
antar Provinsi Papua dengan Provinsi-Provinsi lain
dalamwadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
akan memberikan peluang bagiorang asli Papua untuk
berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus
sasaranpembangunan.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah
pemberiankewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota dan rakyatPapua untuk mengatur
dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka
NegaraKesatuan Republik Indonesia. Sebagai akibat dari
20
penetapan Otonomi Khusus ini,maka ada perlakuan berbeda
yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua.Dengan
kata lain terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku
di Provinsi Papuadan tidak berlaku di Provinsi lain di
Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula halhalyang
berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di
Provinsi Papua;Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya,
undang-undang ini adalahkompromi politik yang sangat
penting dan mendasar dan memang dimaksudkanuntuk
merespon tuntutan kemerdekaan di Papua. Proses
penyusunannya sendiridilakukan secara sangat
partisipatif, melibatkan konsultasi berbagai stakeholders
diPapua dan diskusi yang cukup alot di antara tim
perumusnya di Papua untukkemudian dibawa ke dalam proses
legislasi di DPR nasional di Jakarta.
Elemenelemenpenting apakah yang terkandung di dalamnya?
1. Adanya afirmasi bahwa “orang asli Papua” berasal dari
rumpun ras Melanesia
yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua
2. Sistem legislatif yang bersifat bikameral, yaitu DPR
Papua yang dipilih melaluiPemilu, dan MRP (Majelis
Rakyat Papua), ”yang merupakan representasi
kulturalorang asli Papua yang memiliki kewenangan
tertentu dalam rangka perlindunganhak-hak orang asli
Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan
terhadapadat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidupberagama.” MRP beranggotakan
orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakilwakiladat,
21
wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang
jumlahnyamasing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
Bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur haruslah orang asli
Papua
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.
Rekrutmen politik olehpartai politik di Provinsi Papua
dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asliPapua.
Bahwa Provinsi Papua akan memperoleh Penerimaan khusus
dalam rangkapelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya
setara dengan 2% (dua persen) dariplafon Dana Alokasi
Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaanpendidikan dan kesehatan. Selain itu juga
Provinsi Papua memperoleh proporsibagi hasil dari
pendapatan yang berasal dari sumberdaya alam lebih
besardibandingkan daerah-daerah lainnya
Penghormatan hak-hak azazi manusia, dengan kewajiban
pemerintah membentukperwakilan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia,dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai
denganperaturan perundang-undangan. Tugas Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasiadalah untuk melakukan
klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuandan
kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; danmerumuskan dan menetapkan langkah-langkah
rekonsiliasi.
Pengerahan militer melalui pertimbangan pemerintahan
daerah (legislatif daneksekutif) dan polisi yang
bertanggung-jawab kepada gubernurPenerapan otonomi
22
khusus melalui UU NO 21 Tahun 2001 merupakanbagian dari
pelaksanan otonomi daerah yang diadopsi dalam sistem
pemerintahannasional Indonesia.
Merujuk pada penjelasan Scott A. Bollens, penerapan
otonomikhusus sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah
merupakan upaya pemerintahpusat untuk memberi kesempatan
bagi kalangan minoritas dapat lebih terlibat aktifdalam
politik, menawarkan prospek bagi minoritas untuk
mempertahankankebudayaannya, meningkatkan kesempatan
untuk lahir dan terbangunnya koalisiantar-etnis, dan
memberikan kesempatan yang luas bagi daerah - daerah
yangberpotensi terpecah-belah untuk mengusahakan jalan
keluar secara konstitusional.Oleh karenanya, merujuk
pada klausula-klausula yang berbeda dengan
penerapanotonomi daerah diwilayah Provinsi lainnya maka
UU No 21 Tahun 2001 tentangOtsus Papua ini dapat
dikategorikan sebagai bentuk otonomi daerah asimetris
yangdimaksudkan untuk menghargai kekhasan yang dimiliki
dan meminimalisir potensiresistensi dan yang dapat
menghasilkan dampak negatif, termasuk kekhawatiranbahwa
otonomi bisa merupakan “batu loncatan” untuk pemisahan
diri.
4. Kendala dan Kelemahan dalam Penerapan Otonomi Khusus
Undang-undang Otonomi Khusus Papua adalah sebuah
aturan ataukebijakan yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat dalam upaya meningkatkanpembangunan dalam berbagai
aspek dengan empat prioritas utama yaitu
23
ekonomi,pendidikan, kesehatan dan infrastruktur - secara
filosofis UU Otsus ini dibuatsebagai langkah untuk
mensejajarkan Papua dengan wilayah lainnya di
Indonesiaserta juga sebagai langkah proteksi bagi hak-
hak dasar Orang asli Papua yang sejakberintegrasi dengan
NKRI hak-hak dasar mereka terabaikan dan
termarginalkan.Ringkasnya, tujuannya adalah kemakmuran
dan kesejahteraan yang sebesar -besarnya bagi orang asli
Papua.Selanjutnya, kendala yang muncul dan mengganggu
efektifitas dalampenerapan Otsus itu dapat dijelaskan
lebih jauh sebagai berikut :
1) lambatnya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No 54
Tahun2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua ( MRP
). Sejak PemerintahProvinsi Papua memasukkan Draft PP
tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua(MRP) Tahun
2002, implementasi pembentukan Majelis Rakyat Papua
barudilaksanakan pada Bulan November 2005, padahal
berdasarkan aturan yang adalembaga ini harus dibentuk
paling lambat satu tahun setelah UU Otsus diberlakukan.
2) minimnya aturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan
Perdasus.Dalam kurun penerapan UU Otsus bagi Provinsi
Papua khususnya penyusunanperaturan pelaksanaan dalam
bentuk Perdasi dan Perdasus belum berjalan
optimalpadahal untuk mengejawantahkan UU No 21 Tahun
2001 diperlukan adanyaPerdasi dan Perdasus sebagai
instrumen operasionalisasi dalam mewujudkan
citacitapembangunan yang berorientasi pada perlindungan
dan penegakan hak-hakdasar orang asli Papua. Hal ini
24
dipertegas dalam pasal 75 UU No 21/2001 bahwa"peraturan
pelaksanaan yang dimaksud dalam Undang-undang Otonomi
Khususditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
diundangkan".
3) lemahnya konsistensi atas perlindungan dan penegakan
HAM. Harusdiakui implementasi UU Otsus tidak serta-merta
mampu membawa perubahansignifikan dalam proses penegakan
HAM di Papua. Selama penerapan UU Otsussejumlah kasus
pelanggaran HAM di Papua, semisal kasus Wamena 2003,
KasusPuncak Jaya (2004), pasca persidangan kasus filep
Karma (2005) Kasus Abepura(Maret 2006) Kasus penembakan
Mako Tabuni Ketua I KNPB dan masih banyakkasus lainnya
yang belum tuntas diselesaikan. Sejatinya Undang-undang
inidiharapkan mampu menjawab persoalan atau
meminimalisir pelanggaran HAM yangterjadi selama ini di
Papua.
4) konflik pemekaran wilayah. Hal ini muncul akibat
ketergesa-gesaanpemerintah dalam menjalankan kebijakan
pemekaran yang sebenarnyadimaksudkan untuk
mengefektifkan fungsi pelayanan pemerintahan dan
pemerataanpembangunan di wilayah Papua. Namun demikian,
kebijakan pemekaransebagaimana dimaksud pemerintah
justru memicu terjadinya konflik mengingatterbitnya
Inpres Nomor 1/2003 pada tanggal 27 Januari 2003 tentang
percepatanpelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999
yaitu pembentukan ProvinsiIrian Jaya Barat, Irian Jaya
Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,Kabupaten
Puncak Jaya, dan Kota Sorong, dibuat tanpa melibatkan
25
MPRPsebagaimana amanat UU Otsus.Konflik yang terjadi
baik akibat pemekaran wilayah maupun proses
pergantiankekuasaan yang melibatkan elit lokal di Papua
ini mengganggu efektifitaspenyelenggaraan pemerintahan
di beberapa daerah di Papua dan pada
akhirnyamempengaruhi penerapan Otonomi Khusus.
Sebagaimana tersirat di dalamUndang-undang Otonomi
Khusus Papua yang menegaskan bahwa
keberhasilanpelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus
sangat tergantung sejauh mana tatapemerintahan yang baik
(good governance) berjalan dengan efektif dan efisiendalam
kerangka melayani kepentingan publik yang lebih adil,
demokratis danacountabilty.
5) keterbatasan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM)
Papuadalam merespon kewenangan dan tanggungjawab yang
lebih besar sebagaimanaterkandung dalam UU Otsus. Secara
objektif harus dilihat bahwa efektifitaspelaksanaan
Otsus tidak hanya terkait dengan pendekatan yang
dilakukan olehpemerintah pusat, tetapi juga melibatkan
kesiapan SDM Papua yang merupakanperangkat pelaksana
kebijakan Otsus di lapangan. Berbagai konflik ditingkat
lokalserta berkembangnya praktek korupsi memperlihatkan
bahwa persoalan Otsusmemiliki kaitan erat dengan
kapasitas lokal dalam menerima alokasi tanggungjawabdan
kewenangan yang lebih besar sesuai dengan tuntutan
masyarakat selama ini.
26
Berbagai kendala pelaksanaan Otsus sebagaimana deskripsi
diatasmemperlihatkan bahwa keberhasilan penerapan Otsus
dalam merespon tuntutanmasyarakat akan suatu tata
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan diPapua yang
lebih baik dari masa sebelumnya serta meredam gejolak dan
tuntutankemerdekaan, tidak hanya tergantung pada sikap dari
pemerintah pusat semata,tetapi juga sangat terkait dengan
kemampuan dan daya dukung daerah Papua.Berbagai kelemahan
dan kendala pelaksanaan Otsus ini jika tidak segera
diperbaikidapat berimplikasi pada menurunnya kepercayaan
masyarakat akan kesungguhanpemerintah dalam memenuhi
tuntutan rakyat dan sangat memungkinkan justrusemakin
menyemai suara-suara kritis yang menghendaki pemisahan Papua
menjadiwilayah merdeka yang terpisah dari NKRI.Dengan
demikian, jika tercipta sinergi antara idealitas normatif
sebagaimanaterkandung dalam substansi UU Otsus dengan sikap
nyata dan konsistensi baik daripemerintah pusat maupun
pemerintah Papua beserta segenap komponenmasyarakat Papua,
maka niscaya Otsus dapat menjadi suatu penyelesaian
dankebijakan alternatif terbaik dalam mewujudkan seluruh
keinginan masyarakat Papuadalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Langkah pertama menyelesaikan otsus Papua:
1) Bangun konsensus nasional dalam dua asas! Di tingkat
pusat, tatalah desain besar kesejahteraan Papua! Bila
UU 21/2001 tak lagi disepakati, buat regulasi baru yang
28
diberlakukan konsisten. Di Aceh perlu tiga regulasi
otsus untuk sampai pada tahap sekarang.
2) Elite dan masyarakat Papua membentuk konsensus terkait
mekanisme kepemimpinan. Kepemimpinan harus membentuk
kerucut, tak seperti trapesium sekarang. Kegagalan
desentralisasi asimetris ini hanya memberi dua pilihan
terakhir: menjadi federal atau merdeka. Bukan pilihan
ideal untuk NKRI. Dalam diskusi di UGM muncul istilah
kakak dan adik. Papua kakak dan Aceh adik berdasarkan
pelaksanaan otsus. Kasih orangtua lebih kepada adik.
Saatnya mendorong orangtua tak lagi pilih kasih.
3) Kepercayaan Orang Papua kepada pemerintah hingga saat
ini sangat minim. Tak heran jika hampir semua kebijakan
pembangunan di Papua ditanggapi dengan penolakan dan
hal ini tentunya sangat menghambat usaha untuk
membangun Papua, apalagi menyejahterakan Orang Papua.
Perubahan psikologi masyarakat sangat penting jika kita
ingin membicarakan kesejahteran. Kesejahteraan bukanlah
hal yang bersifat materiil saja, tetapi psikologis juga
hal yang utama.
4) Usulan saya adalah langkah-langkah kecil yang dapat
dilakukan Jakarta bagi Orang Papua sebagai wujud niat
baik dalam upaya rekonsiliasi, tanpa perlu meluruskan
sejarah tetapi nyata dirasakan oleh Orang Papua. Upaya
ini hanya memerlukan niat baik tetapi berdampak pada
penyembuhan luka hati dan meningkatkan kepercayaan
Orang Papua. Niat baik itu mungkin akan ditanggapi
dengan kecurigaan dan belum tentu Orang Papua mau
29
menerimanya. Tetapi langkah aktif rekonsiliasi harus
tetap diambil oleh Jakarta untuk menunjukkan sebuah
niat baik pemerintah, sebab Papua sudah secara proaktif
membicarakan rekonsiliasi lewat mekanisme dialog
Jakarta – Papua.
DAFTAR RUJUKAN
1) Bayu Dardias Ketua Tim Kajian Otsus Aceh Papua Fisipol UGM-TIFA
2012
30
2) Bahan-bahan diambil dari BHM Vlekke, 2008, Nusantara:
Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG/Gramedia; MC Ricklefs,
2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta:
Serambi; Marwati
3) Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993;
Koentjaraningrat (ed) 1993, Irian Jaya: Membangun
Masyarakat Majemuk, Jakarta: Djambatan;
www.papua.go.id.
4) http://www.papuareview.com/2014/04/rekonsiliasi-yang-
terlupakan-dari-otsus.html
31