mengkaji tujuan audit siklus pendapatan, proses audit, materialitas & risiko audit

51
MENGKAJI TUJUAN AUDIT SIKLUS PENDAPATAN, PROSES AUDIT, MATERIALITAS & RISIKO AUDIT 1. AUDIT SIKLUS PENDAPATAN A. PENDAPATAN DAERAH Pengertian Pendapatan Daerah Di dalam keuangan daerah terdapat hak-hak daerah yang dapat dinilai dengan uang yang tercermin dalam pendapatan daerah. Pendapatan daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah yang berhubungan dengan tanggung jawabnya sebagai pelayan publik (public service). Pendapatan daerah pada dasarnya merupakan penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas dan tepat mengenai pendapatan, di bawah ini dikemukakan beberapa definisi mengenai pendapatan daerah. 1. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) No. 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran, mendefinisikan : “pendapatan sebagai semua penerimaan rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah“. 2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Audit Sektor Publik Page 1

Upload: portalunri

Post on 21-Feb-2023

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MENGKAJI TUJUAN AUDIT SIKLUS PENDAPATAN, PROSES

AUDIT, MATERIALITAS & RISIKO AUDIT

1. AUDIT SIKLUS PENDAPATAN

A. PENDAPATAN DAERAH

Pengertian Pendapatan Daerah

Di dalam keuangan daerah terdapat hak-hak daerah yang

dapat dinilai dengan uang yang tercermin dalam pendapatan

daerah. Pendapatan daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah

dimaksudkan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah

yang berhubungan dengan tanggung jawabnya sebagai pelayan

publik (public service). Pendapatan daerah pada dasarnya merupakan

penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau

penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun

anggaran yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pengertian yang

lebih jelas dan tepat mengenai pendapatan, di bawah ini

dikemukakan beberapa definisi mengenai pendapatan daerah.

1. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) No. 2 tentang

Laporan Realisasi Anggaran, mendefinisikan : “pendapatan

sebagai semua penerimaan rekening Kas Umum Negara/Daerah

yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun

anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan

tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah“.

2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Audit Sektor Publik Page 1

Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan pendapatan

daerah adalah “Hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun

bersangkutan.”

Berdasarkan beberapa definisi mengenai pendapatan daerah

di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapatan daerah

memiliki beberapa karakteristik, yaitu sebagai berikut :

1. Pendapatan merupakan arus kas masuk atau penerimaan kas

daerah yang menambah ekuitas dana lancar.

2. Pendapatan yang diterima daerah berdampak pada

peningkatan aktiva atau penurunan utang daerah.

3. Dalam periode tahun anggaran tertentu.

4. Tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.

Sumber Pendapatan daerah

Penyelenggaraan otonomi daerah membawa dampak dalam

pengelolaan keuangan daerah dimana daerah diberi kewenangan

untuk mengatur dan mengurus keuangannya sendiri. Agar

pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan dengan

lancar maka pemerintah mengaturnya dalam pasal 155 Undang-

Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai

berikut :

1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran

pendapatan dan belanja daerah.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi

kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas

beban anggaran pendapatan dan belanja negara.

Audit Sektor Publik Page 2

3. Administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan

pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan

secara terpisah dari administrasi pendanaan

penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud

ayat (2).

Selain itu, dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan

daerah diberikan sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan

berbagai tugas dan tanggung jawabnya. Sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang RI Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang

RI No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber pendapatan bagi

daerah terdiri atas:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemerintah Daerah

sangatlah penting karena PAD menunjukan kemampuan daerah dalam

menggali sumber keuangannya sendiri yang kemudian menjadi

sebuah ukuran kinerja bagi Pemerintah Daerah dalam proses

pengembangan ekonomi daerah. Pengertian pendapatan asli daerah

menurut Ketentuan Umum UU RI No. 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah adalah sebagai berikut : “Pendapatan Asli Daerah,

selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh

Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.“Berdasarkan pengertian di

atas, PAD dipungut/diperoleh berdasarkan pada ketentuan

perundang-undangan. Pasal 6 UU RI No. 33 tahun 2004 tentang

Audit Sektor Publik Page 3

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah mengungkapkan bahwa :

1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD,

yaitu :

a. Hasil pajak daerah;

b. Hasil retribusi daerah;

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;

dan

d. Lain-lain PAD yang sah.

2. Lain-lain pendapatan daerah yang sah yang dimaksud

adalah, seperti :

a. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak

dipisahkan;

b. Jasa giro;

c. Pendapatan bunga;

d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata

uang asing; dan

e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat

dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau

jasa oleh Daerah.

2. Dana Perimbangan

Menurut pasal 1 UU RI No. 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah “Dana Perimbangan adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada

Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka

Audit Sektor Publik Page 4

pelaksanaan desentralisasi.“ Berdasarkan pasal 10 Undang-

Undang tersebut, dana perimbangan terdiri atas :

a. Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana hasil dari

pengelolaan sumber daya alam dan pemungutan pajak, yang

dibagi berdasarkan persentase tertentu antara pusat dan

daerah. Dana ini tidak bersifat hibah murni. Dana Bagi

Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah dengan angka persentase

tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi. Selanjutnya dana bagi hasil (DBH) ini

dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Dana bagi hasil berasal dari pajak, terdiri dari :

a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pedesaan,

perkotaan, perkebunan, pertambangan serta

kehutanan.

b. Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)

sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan,

pertambangan serta kehutanan.

2. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam,

berasal dari :

a. Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak

pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya

hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan

dari wilayah daerah yang bersangkutan;

b. Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari

penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan

Audit Sektor Publik Page 5

iuran eksploitasi (royalty) yang dihasilkan dari

wilayah daerah yang bersangkutan;

c. Penerimaan perikanan yang diterima secara

nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan

pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan

hasil perikanan;

d. Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan

dari wilayah daerah yang bersangkutan;

e. Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan

dari wilayah daerah yang bersangkutan;

f. Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal

dari penerimaan setoran bagian Pemerintah, iuran

tetap dan iuran produksi yang dihasilkan dari

wilayah daerah yang bersangkutan.

3. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan

Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan

PPh Pasal 21

(UU RI No. 32 tahun 2004 pasal 160) DBH dari

penerimaan PBB sebesar 90% dibagikan kepada Daerah

dengan rincian sebagai berikut :

1. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk

daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan

ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;

2. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh

persen) untuk daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum

Daerah kabupaten/kota; dan 3. 9% (sembilan

persen) untuk biaya pemungutan.

Audit Sektor Publik Page 6

Sedangkan sisanya 10% dari penerimaan PBB

merupakan bagian Pemerintah dibagikan kepada seluruh

daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas

realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan,

dengan imbangan 6,5% (enam lima persepuluh persen)

dibagikan secara merata kepada seluruh daerah

kabupaten dan kota; dan 3,5% (tiga lima persepuluh

persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah

kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya

mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor

tertentu.

DBH dari penerimaan BPHTB sebesar 80% disalurkan

dengan rincian sebagai berikut :

1. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi

yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas

Umum Daerah Provinsi; dan

2. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah

kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke

Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota.

Sisa dana bagi hasil dari penerimaan BPHTB sebesar

20% merupakan bagian pemerintah dibagikan dengan

porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan

kota.

DBH dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib

Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21

yang merupakan milik daerah adalah 20% dua puluh

persen, yang dibagi dengan rincian sebagai berikut :

Audit Sektor Publik Page 7

1. 8% (delapan persen) untuk provinsi yang

bersangkutan; dan

2. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam

provinsi yang bersangkutan

DBH dari penerimaan kehutanan yang berasal dari

Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Propinsi

Sumber Daya Hutan (PSDH) dibagi dengan imbangan 20%

untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah. DBH dari

penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana

Reboisasi dibagi dengan perimbangan 60% untuk

pemerintah dan 40% untuk daerah. Bagian pemerintah

digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara

nasional, sedangkan dana rebiosasi bagian daerah

digunakan untuk kegiatan rahabilitasi hutan dan

lahan di kabupaten/kota penghasil.

DBH dari Penerimaan Pertambangan Umum yang

dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan

dibagi dengan perimbangan 20% untuk pemerintah dan

80% untuk daerah. Dana bagi hasil dari Penerimaan

Pertambangan Umum yang berasal dari Penerimaan Iuran

Tetap (Land-rent) yang menjadi bagian daerah dibagi

dengan rincian 16% untuk propinsi yang bersangkutan

dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Sedangakan

Penerimaan Pertambangan Umum yang berasal dari Iuran

Eksploitasi (Royalty) yang menjadi bagian daerah

dibagi dengan imbangan 16% untuk propinsi, 32% untuk

kabupaten/kota penghasil dan 32% dibagikan untuk

Audit Sektor Publik Page 8

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan.

DBH dari Penerimaan Perikanan dibagi dengan

imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk seluruh

kabupaten/kota. DBH dari Pertambangan Minyak Bumi

setelah dikurangi pajak dan pungutan lainnya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan

imbangan 84,5% untuk pemerintah dan 15,5% untuk

daerah. dana bagi hasil yang menjadi bagian daerah

dibagi dengan imbangan 3% untuk provinsi, 6% untuk

kabupaten/kota penghasil dan 6% dibagikan untuk

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan.

DBH dari Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang

dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan setelah

dikurangi pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan

imbangan 69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk

daerah. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang

menjadi bagian daerah dibagi dengan rincian 6%

dibagikan untuk propinsi, 12% dibagikan untuk

kabupaten/kota penghasil dan 12% dibagikan untuk

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi bersangkutan.

DBH dari Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan

Gas Bumi yang menjadi bagian daerah 0,5%

dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan

dasar dengan imbangan 0,1% dibagikan untuk propinsi

yang bersangkutan; 0,2% dibagikan untuk

Audit Sektor Publik Page 9

kabupaten/kota penghasil dan 0,2% dibagikan untuk

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan.

DBH dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang

dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan dibagi

dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan,

32% untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% untuk

seluruh kabupaten/kota lainnya dalam privinsi yang

bersangkutan.

b. Dana Alokasi Umum

Kebijakan perimbangan keuangan membawa dampak

terhadap semakin besarnya kesenjangan kemampuan keuangan

antar daerah, khususnya karena setiap daerah mempunyai

kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda. Dengan kata

lain daerah yang mempunyai potensi PBB, BPHTB dan SDA

yang besar akan memperoleh penerimaan yang besar, daerah

yang potensinya kecil tentunya akan mendapatkan

pendapatan yang kecil juga. Pengaturan Dana Alokasi Umum

(DAU) diarahkan untuk mengurangi kesenjangan tersebut,

yang berarti daerah yang memiliki kemampuan keuangan

yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relaif kecil

demikian pula sebaliknya. Pasal 1 UU RI No. 33 tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa : “Dana

Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan

tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

Audit Sektor Publik Page 10

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

Desentralisasi”.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut Dana Alokasi Umum

ditetapkan sekurang-kurangnya 26% yang kemudian

disalurkan kepada provinsi sebesar 10% dan kabupaten

atau kota sebesar 90% dari total DAU. Hal ini sesuai

dengan PP No. 55 tahun 2005 Pasal 37 yaitu:

1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya

26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam

Negeri Neto.

2. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota

dihitung dari perbandingan antara bobot urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan

kabupaten/kota.

3. Dalam hal penentuan proporsi sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) belum dapat dihitung secara

kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan

kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10%

(sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen).

4. Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) ditetapkan dalam APBN.

Selanjutnya dari jumlah DAU 90%, yang ditujukan untuk

kabupaten dan kota, maka setiap kabupaten dan kota akan

mendapatkan DAU sesuai dengan hasil perhitungan “Formula

DAU” yang ditetapkan berdasarkan Celah Fiskal dan

Alokasi Dasar. Hal ini sesuai dengan PP No. 55 tahun

2005 Pasal 40 yaitu:

Audit Sektor Publik Page 11

1. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan

formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi

dasar.

2. Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan

kapasitas fiskal.

3. Kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk,

luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk

Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks

Pembangunan Manusia.

4. Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH.

5. Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri

Sipil Daerah.

Ketentuan perolehan DAU untuk Kabupaten/Kota menurut PP

No.55 tahun 2005 pasal 45 yaitu :

1. Daerah yang memiliki celah fiskal lebih dari 0

(nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah

celah fiskal.

2. Daerah yang memiliki celah fiskal sama dengan 0

(nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar.

3. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai

negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar,

menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah

diperhitungkan nilai celah fiskal.

Audit Sektor Publik Page 12

4. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai

negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi

dasar, tidak menerima DAU.

c. Dana Alokasi Khusus

Pasal 1 UU RI No. 33tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

menyebutkan bahwa : “Dana Alokasi Khusus, selanjutnya

disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan

tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang

merupakan urusan Daerah sesuai dengan prioritas

nasional”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi

Khusus dari APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan

untuk :

1. Mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah

atas dasar prioritas nasional,

2. Mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah

tertentu. Daerah penerima Dana Alokasi Khusus wajib

menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10%

dari alokasi DAK yang dianggarkan dalam APBD.

3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Menurut Pasal 164 UU RI No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa lain-lain pendapatan

daerah yang sah merupakan ”Seluruh pendapatan daerah selain

PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat,

dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah“. Hibah

merupakan bantuan berupa uang, barang dan/atau jasa yang

Audit Sektor Publik Page 13

berasal dari Pemerintah, masyarakat dan badan usaha dalam

negeri atau luar negeri. Dana darurat merupakan bantuan

pemerintah dari APBN kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai

keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang

tidak dapat ditanggulangi daerah dengan menggunakan sumber

APBD. Dana darurat diberikan kepada daerah yang mengalami

bencana nasional atau kejadian luar biasa.

4. Piutang Pajak dan Retribusi

Piutang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar oleh

wajib pajak termasuk sanksi administrasi berupa kenaikan Pajak

dan atau Bunga yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak

Daerah atau Surat sejenis berdasarkan peraturan perundang-

undangan perpajakan daerah. Sedangkan piutang retribusi daerah

adalah sisa utang retribusi atas nama wajib retribusi yang

tercantum pada surat ketetapan retribusi daerah, surat tagihan

retribusi daerah, surat ketetapan retribusi daerah kurang

bayar dan surat ketetapan retribusi daerah kurang bayar

tambahan yang belum kedaluwarsa dan retribusi lainnya yang

masih terutang.

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi

daerah, Kepala Daerah dapat menghapuskan piutang pajak

dan/atau retribusi apabila sudah kadaluwarsa. Kondisi

kadaluarsa menyebabkan piutang pajak dan/atau retribusi tidak

dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:

1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan

harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli

waris tidak ditemukan;

2. Wajib Pajak tidak memiliki kekayaan lagi;

Audit Sektor Publik Page 14

3. Hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa; atau

4. Sebab lain sesuai dengan hasil penelitian.

B. SIKLUS PENDAPATAN DAERAH

Pendapatan Asli Daerah

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 28 tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tata cara

pemungutan pajak dilakukan dengan :

a. Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan

berdasarkan penetapan kepala daerah dibayar dengan

menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan

(official assessement).

b. Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri

dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau

SKPDKBT (self assessement).

Wajiib pajak melakukan pembayaran pajak pada bank persepsi

atau kantor pos yang telah ditunjuk dan ditujukan kepada

Rekening Kas Daerah.

Dana Perimbangan

1. Dana Bagi Hasil

a. DBH Pajak (PBB, BPHTB, PPh WPOPDN, dan PPh pasal 21)

DBH PBB dan BPHTB disalurkan dengan cara

pemindahbukukan dari Rekening Kas Umum Negara ke

Rekening Kas Umum Daerah secara mingguan. Penyaluran

Audit Sektor Publik Page 15

tersebut dilaksanakan berdasarkan realisasi

penerimaan tahun anggaran berjalan.

b. DBH Sumber Daya Alam

Penyaluran DBH SDA dilaksanakan berdasarkan realisasi

penerimaan SDA tahun anggaran berjalan. Penyaluran

tersebut dilaksanakan secara triwulanan dengan cara

pemindahbukukan dari Rekening Kas Umum Negara ke

Rekening Kas Umum Daerah.

2. Dana Alokasi Umum

DAU disalurkan dengan cara pemindahbukukan dari

Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah

secara bulanan sebesar 1/12 dari alokasi DAU daerah yang

bersangkutan.

3. Dana Alokasi Khusus

DAK disalurkan dengan cara pemindahbukukan dari

Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

Berdasarkan PMK No 21 tahun 2009 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah, penyaluran DAK

adalah :

a. Tahap 1 sebesar 30% dari alokasi DAK, paling cepat

pada bulan Februari, setelah peraturan daerah

mengenai APBD, laporan penyerapan penggunaan DAK

tahun sebelumnya, dan surat pernyataan penyediaan

dana pendamping diterima DJPK.

b. Tahap 2 sebesar 45% dari alokasi DAK, dilaksanakan

selambatnya 15 hari setelah laporan penyerapan

penggunaan DAK tahap 1 diterima oleh DJPK.

Audit Sektor Publik Page 16

c. Tahap sebesar 25% dari alokasi DAK, dilaksanakan

selambatnya 15 hari setelah laporan penyerapan

penggunaan DAK tahap 2 diterima oleh DJPK.

Lain-lain Pendapatan yang Sah

1. Hibah

Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat

yang dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara

pemerintah daerah dan pemberi hibah dan digunakan sesuai

dengan naskah perjanjian tersebut.

2. Dana Darurat

Dana darurat merupakan dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan untuk keperluan mendesak yang diakibatkan

oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang

tidak ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan APBD.

Pemerintah juga dapat mengalokasikan dana darurat pada

daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas.

C. PEMERIKSAAN SIKLUS PENDAPATAN DAERAH

Tujuan Audit Siklus Pendapatan

Tujuan adanya audit siklus pendapatan adalah

mengungkapkan ada atau tidaknya salah saji material dalam Pos

Pendapatan Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain Pendapatan

yang sah.

Pemahaman Atas Pengendalian Internal Pendapatan

Pemahaman atas struktur pengendalian siklus pendapatan

daerah meliputi pertimbangan lingkungan pengendalian, system

akuntansi, dan prosedur pengendalian. Pemahaman atas komponen-

Audit Sektor Publik Page 17

komponen ini diperlukan baik menurut strategi audit

substantive yang utama maupun pendekatan penilaian tingkat

risiko pengendalian yang lebih rendah. Pemahaman atas aspek-

aspek yang berlaku pada pengendalian internal diperoleh

melalui review pengalaman sebelumnya dengan klien,mengajukan

pertanyaan kepada manajemen atau personil lainnya, memeriksa

bagian yang relevan dari buku pedoman, catatan, dan dokumen

lainnya, serta mengobservasi aktivitas siklus pendapatan.

Lingkungan Pengendalian

Dalam lingkungan pengendalian ,auditor harus memahami

struktur Organisasi klien (pemerintah daerah) atas

kegiatan penerimaan. Pengajuan pertanyaan mengenai dan

penelaahan terhadap bagan Organisasi sangat membantu

pemahaman terhadap struktur pengendalian internal.

Sistem Akuntansi

Sistem akuntansi adalah metode pengolahan data dokumen

dan catatan. Sistem akuntansi pendapatan daerah yang

terdiri atas pendapatan asli daerah dan penerimaan

pembiayaan harus dapat menyediakan adanya jejak audit

yang lengkap atas setiap transaksi. Pemahaman atas

system akuntansi diperoleh dengan menelaah manual

akuntanasi dan diagram alur system. Di samping itu

auditor dapat mengajukan pertanyaan atau melakukan

wawancara pada pihak-pihak yang terkait diantaranya

PPKD dan PA selaku BUD.

Apabila suatu penugasan audit merupakan penugasan dari

klien lama,maka auditor dapat menlaah kembali

pengalaman terdahulu dengan klien tersebut,yaitu

Audit Sektor Publik Page 18

dengan melihat kembali kertas kerja tahun sebelumnya.

Pemahaman system akuntasni juga dapat diperoleh dengan

menilik pengalaman terdahulu dengan klien.

Prosedur Pengendalian

Prosedur pengendalian terdiri atas:

1. Otorisasi yang memadai

2. Adanya pemisahan tugas

3. Dokumen dan catatan

2. PROSES AUDIT

Proses pemeriksaan atas siklus pendapatan mencakup

pemeriksaan atas:

1. Pendapatan Daerah, meliputi : pos pajak daerah,

retribusi laba, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain

pendapatan asli daerah.

2. Dana Perimbangan, mencakup : bagi hasil pajak, bukan

pajak, DAU, DAK, dana perimbangan dari pusat.

3. Lain-lain pendapatan yang sah

3. MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT

Audit Sektor Publik Page 19

Transaksi-transaksi dalam siklus pendapatan sangat

berpengaruh terhadap laporan keuangan. Kesalahan dalam

membedakan antara pendapatan yang diterima secara tunai dengan

pendapatan yang diterima secara kredit (piutang) akan

menimbulkan salah saji dalam laporan keuangan. Risiko bawaan

dari sikus bawaan dapat disebabkan oleh tingkat volume

transaksi. Tingginya volume transaksi akan memperbesar

kemungkinan terjadinya salah saji. Semakin tinggi volume

transaksi maka semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya

kesalahan dalam pencatatan transaksi tersebut.

Setelah tujuan audit ditetapkan dan berbagai bidang yang

diaudit dianalisis dalam prosedur analitis awal, tingkat

materialitas untuk angka-angka yang diaudit harus ditetapkan.

Auditor tidak mungkin memeriksa semua hal untuk memastikan

bahwa semuanya telah diperlakukan dengan selayaknya dalam

suatu sistem atau telah dilaporkan dengan benar. Ia harus

memutuskan sampai tingkatan mana memeriksa hal-hal tersebut

yang sesuai dengan tujuantujuannya, dan karena hal inilah

konsep materialitas dan risiko muncul dalam audit. Banyak

faktor yang menyebabkan auditor tidak dapat memeriksa semua

hal, seperti:

Jangka waktu audit.

Sifat audit dan kapasitas sumber daya yang ada.

Keterbatasan anggaran, dan Suatu opini audit memiliki

probabilitas untuk dikatakan benar, tidak benar 100%.

Pembaca laporan audit memberikan kepercayaan pada opini

berdasarkan probabilitas bahwa laporan itu salah. Dengan

asumsi bahwa auditor memiliki kemampuan yang layak,

Audit Sektor Publik Page 20

probabilitas laporan audit memberikan hasil yang benar

berkaitan secara langsung dengan kedalaman pemeriksaan

yang dilakukan, dan hal ini terejawantahkan dalam nilai-

nilai yang diterapkan kepada materialitas dan risiko.

Materialitas

Boynton, Johnson & Kell (2001:286) dalam bukunya

mendefinisikan materialitas sebagai berikut:

“Besarnya suatu pengabaian atau salah saji informasi akuntansi yang, di luar

keadaan di sekitarnya, memungkinkan bahwa pertimbangan seseorang yang

bergantung pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh

pengabaian atau salah saji tersebut.”

            Definisi lain dari materialitas menurut Arens &

Loebbecke (2003:42) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Amir

Abadi Jusuf mendefinisikan materialitas sebagai berikut :

“Suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika

pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai

laporan keuangan yang rasional”

            Mulyadi (2002) mendefinisikan materialitas sebagai

berikut:

 “Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi

akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan

perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan

Audit Sektor Publik Page 21

kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah

saji itu.”

            Berdasarkan definisi – definisi diatas dapat

disimpulkan bahwa materialitas adalah besaran jumlah nilai

yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dimana

salah saji dapat dikatakan material jika pengetahuan atas

salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan para pegguna

laporan keuangan.

            Definisi tersebut mensyaratkan auditor untuk

mempertimbangkan baik:

1. Situasi yang berkenaan dengan entitas dan

2. Informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang akan

meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan yang

diaudit.

Sebagai contoh, suatu jumlah yang material bagi laporan

keuangan suatu entitas mungkin tidak material bagi laporan

keuangan entitas lainnya yang memiliki ukuran atau sifat yang

berbeda. Juga apa yang material bagi laporan keuangan entitas

tertentu mungkin akan berubah dari satu peride ke periode

lainnya.

Pernyataan FASB No. 2 mendefinisikan materialitas sebagai

jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam

informasi akuntansi yang, dalam kaitannya dengan kondisi yang

bersangkutan, mungkin membuat pertimbangan pengambilan

keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh

Audit Sektor Publik Page 22

oleh salah saji tersebut. Materialitas juga didefinisikan

dalam International Accounting Standard. Menurut standar ini,

informasi dipandang sebagai material bila disajikan salah atau

tidak disajikan dapat mempengaruhi keputusan-keputusan

ekonomis yang diambil oleh pengguna laporan yang mendasarkan

keputusan-keputusannya sebagian pada informasi dalam laporan

keuangan. Materialitas bergantung pada ukuran pos atau

kesalahan dan bergantung pada situasi-situasi tertentu yang

melingkup kesalahsajian atau peniadaan informasi. Oleh karena

itu, materialitas lebih merupakan pemberian suatu batasan

daripada suatu karakteristik kualitatif primer yang harus

dimiliki oleh informasi yang berguna.

Definisi ini pada kenyataannya sulit diterapkan oleh

auditor dalam praktik. Definisi ini memberikan penekanan

kepada pengguna yang penuh pertimbangan (reasonable users) dalam

menggunakan laporan keuangan untuk pengambilan keputusan. Oleh

karena itu, auditor harus memiliki pemahaman tentang pengguna

laporan keuangan dan keputusan-keputusan yang mereka buat.

Dalam suatu audit keuangan, tujuan audit adalah memungkinkan

auditor menyatakan opininya apakah laporan keuangan, dalam

hal-hal yang material, disajikan sesuai dengan standar

akuntansi. Dengan demikian, penilaian apakah sesuatu itu

material merupakan pertimbangan profesional. Tujuan penetapan

materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan

pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan

jumlah yang rendah berarti lebih banyak bahan bukti yang harus

dikumpulkan. Tanggung jawab auditor adalah menetapkan apakah

suatu laporan keuangan salah saji dalam jumlah yang material.

Audit Sektor Publik Page 23

Apabila auditor berpendapat adanya salah saji yang material,

ia harus memberitahukan hal tersebut pada auditan, sehingga

koreksi dapat dilakukan. Jika auditan menolak untuk

mengkoreksi laporan tersebut, pendapat dengan pengecualian

atau pernyataan tidak wajar harus diberikan. Oleh karena itu,

auditor harus memahami benar penerapan materialitas.

Materialitas merupakan konsep relatif, bukan absolut dalam

jumlah. Salah saji dalam jumlah tertentu dapat dianggap

material pada sebuah perusahaan kecil tetapi tidak material

pada perusahaan besar. Karena sifatnya relatif, diperlukan

basis untuk menentukan tingkat materialitas suatu salah saji.

Basis penetapan dapat berdasarkan neraca atau laporan laba

rugi atau suatu angka-angka kuantitas input atau output

tertentu, seperti besarnya anggaran.

Materialitas menunjukkan dua aspek dari auditing. Aspek

pertama yang lebih umum adalah penggunaan materialitas pada

ukuran dan sensitivitas kesalahan yang dapat mempengaruhi

laporan audit. Aspek lainnya seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya berkenaan dengan kedalaman pemeriksaan dalam suatu

audit. Kedua konsep ini bertautan satu dengan lainnya karena

kedalaman pemeriksaan akan menentukan kemungkinan kesalahan

akan ditemukan. Pada intinya, materialitas berkaitan dengan

angka-angka moneter di atas jumlah tertentu yang menurut

auditor akan mempengaruhi tujuantujuan auditnya. Oleh

karenanya, materialitas merupakan hal yang subyektif dan dapat

bervariasi dari satu situasi audit ke situasi audit lainnya.

Oleh karena auditor bertanggung jawab menentukan apakah

terdapat salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari

Audit Sektor Publik Page 24

keadaan yang melingkupinya dapat mengakibatkan perubahan atas

atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan

kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adnaya

penghilangan atau salah saji tersebut. Jika klien menolak

untuk mengoreksi salah saji tersebut, maka auditor harus

menerbitkan opini wajar dengan pengecualian atau tidak wajar,

bergantung pada seberapa signifikan salah saji tersebut. Untuk

menentukan hal tersebut, auditor sangat bergantung pada

pengetahuan yang mendalam atas penerapan materialitas.

Ada lima langkah audit yang terkait dengan penerapan

konsep materialitas, dua diantaranya dilakukan pada tahap

perencanaan, yaitu:

1) Menetapkan penentuan awal tentang materialitas.

PSA 25 (SA 312) menharuskan auditor untuk memutuskan

jumlah gabungan salah saji dalam laporan yang akan mereka

anggap material di awal pengauditan bersamaan dengan

ketika mereka mengembangkan strategi audit secara

keseluruhan. Dinamakan pertimbangan materialitas awal,

karena meskipun merupakan opini professional, penilaian

tersebut dapat berubah selama kontrak kerja. Penilaian

tersebut harus didokumentasikan dalam arsip audit.

Penentuan ini dinyatakan sebagai penentuan awal karena

akan berubah sepanjang audit proses bila ada perubahan

kondisi. Alasan utama untuk menetapkan penentuan awal ini

adalah untuk membantu auditor merencanakan bukti yang

cukup untuk dikumpulkan dan dievaluasi. Jika auditor

menetapkan tingkat materialitas yang rendah maka

Audit Sektor Publik Page 25

diperlukan bukti yang lebih banyak daripada jika auditor

menetapkan tingkat materialitas yang lebih tinggi.

Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan

kuantitatif dan pertimbangan kualitatif. Pertimbangan

kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dalam

laporan keuangan seperti:

a. Laba bersih sebelum pajak dalam laporan

keuangan

b. Total aktiva dalam neraca

c. Total aktiva lancar dalam neraca

d. Total ekuitas pemegang saham dalam neraca

Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab

salah saji adapun faktornya seperti:

a. Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar

huku

b. Kemungkinan terjadinya kecurangan

c. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan

kredit dari bank yang mengharuskan klien untuk

mempertahankan beberapa rasio keuangan pada

tingkat minimum tertentu.

d. Adanya gangguan dalam trend laba

e. Sikap manajemen terhadap integritas laporan

keuangan

Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan

materialitas pada dua tingkat beriku ini:

Audit Sektor Publik Page 26

a.       Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor

mengenai kewajaran atas laporan keuangan secara keseluruhan.

b.      Tingkat saldo akun, karena auditor menguji saldo akun

dalam memperoleh kesimpulan keseluruhan atas kewajaran laporan

keuangan.

Pertimbangan materialitas awal merupakan jumlah maksimal

dimana auditor yakin terdapat salah saji dalam laporan

keuangan namun tidak memengaruhi keputusan-keputusan para

pengguna yang rasional. (secara konsep, ini adalah jumlah yang

Rp 1 lebih kecil dari pada materialitas yang didefinisikan

oleh FASB. Untuk kemudahan, kita mendefinisikan hal tersebut

sebagai materialitas awal). Penilaian ini merupakan salah satu

keputusan yang paling penting yang harus diambil oleh audior,

dan sangat membutuhkan pemahaman dan pertimbangan professional

yang tinggi. Auditor menetapkan pertimbangan materialitas awal

untuk membantunya merencanakan pengumpulan bukti-bukti audit

yang tepat.

Selama melakukan audit, auditor sering kali mengubah

pertimbangan awal yang diistilahkan sebagai penilaian

materialitas yang direvisi. Beberapa factor yang memengaruhi

auditor dalam melakukan pertimbangan materialitas awal dalam

laporan keuangan. Hal-hal yang sangat penting untuk

diperhatikan dalam konsep materialitas adalah sebagai

berikut :

1. Materialitas Merupakan Konsep Relative, Bukan Absolute

Audit Sektor Publik Page 27

Sebuah salah saji dengan besaran tertentu dapat

menjadi material bagi suatu perusahaan kecil,

sebaiknya dengan jumlah salah saji yang sama dapat

menjadi tidak material bagi perusahaan yang besar.

Sehingga tidak mungkin untuk menetukan acuan nilai

nominal untuk pertimbangan materialitas awal yang

dapat diterapkan untuk semua klien audit.

2. Dibutuhkan Dasar untuk Mengevaluasi Materialitas

Karena materialitas adalah konsep yang relative,

sehingga sangat penting untuk memiliki dasar dalam

menentukan apakah suatu jumlah tertentu material atau

tidak.laba bersih sebelum pajak biasanya dijadikan

sebagai dasar dalam menentukan materialitas bagi

perusahaan yang berorientasi laba karena dianggap

sebagai unsure yang sangat penting bagi para

penggunanya. Beberapa perusahaan menggunakan dasar

utama yang berbeda, karena laba bersih sering kali

naik turun secara signifikan dari tahun ketahun,

sehingga tidak dapat memberikas dasar secra stabil,

atau ketika entitasnya adalah suatu perusahaan

nirlaba. Sering kali dasar utama yang digunakan adalah

penjualan bersih, laba kotor, dan total asset atau

asset bersih. Setelah menetapkan dasar utama,

auditorjuga harus memutuskan apakah salah saji

tersebut secara signifikan berpengaruh pada kewajaran

dasar lainnyaseperti asset lancar, total asset

liabilitas lancar dan ekuitas pemilik. PSA 25 (SA 312)

mengharuskan auditor untuk mendokumentasikan dasar

Audit Sektor Publik Page 28

yang digunakan dalam melakukan pertimbangan

materialitas awal kedalam prinsip audit.

3. Factor-Faktor Kualitatif Juga Memengaruhi

Materialitas.

Faktor kualitatif seperti:

1. Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar

hukum dan kecurangan

2. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan

kredit dari bank yang mengharuskan klien untuk

mempertahankan beberapa ratio keuangan pada tingkat

minimum tertentu.

3. Adanya gangguan dalam trend laba

4. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan

2) Mengalokasikan penentuan materialitas awal kepada

berbagai bidang atau segmen.

Pengalokasian pertimbangan materialitas awal kesetiap

bagian merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena

auditor mengumpulkan bukti audit per bagian dibandingkan

dengan laporan keuangan secara keseluruhan. Ketika auditor

mengalokasikan pertimbangan materialitas awal pada saldo-saldo

akun, materialitas yang dialokasikan setiap saldo akun yang

dimaksud dalam PSA 25 (SA 312) sebagai salah saji yang dapat

diterima. Alokasi ini diperlukan karena bukti-bukti

dikumpulkan untuk setiap bidang atau segmen pemeriksaan,

bukannya keseluruhan pemeriksaan. Jika auditor memiliki

penetapan materialitas awal untuk setiap bidang atau segmen,

penetapan ini akan membantunya menentukan bukti audit yang

Audit Sektor Publik Page 29

tepat untuk dikumpulkan bagi setiap bidang atau segmen. Dalam

praktik, alokasi ini sulit dilakukan karena sulitnya menduga

bidang atau segmen mana yang mungkin mengandung salah saji

atau temuan. Oleh karena itu, alokasi materialitas ini juga

memerlukan pertimbangan profesional.

Ketika pertimbangan awal auditor mengenai materialitas

laporan keuangan dikuantifikasikan, estimasi pendahuluan

mengenai materialitas untuk tiap akun bisa didapat dengan

mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara

individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan untuk akun

neraca dan labarugi. Tapi karena kebanyakan salah saji pada

laporan labarugi juga mempengaruhi neraca dan hanya terdapat

akun neraca maka banyak auditor melakukan alokasi berdasarkan

akun-akun neraca. Dalam melakukan alokasi auditor harus

mempertimbangkan (1) kemungkinan salah saji dalam akun, dan

(2) biaya yang mungkin untuk menguji akun.

3) Memperkirakan Salah Saji dan Membandingkan dengan

Penilaian Awal

Salah saji dalam suatu akun dapat berbentuk satu dari dua

jenis ini, yaitu salah saji yang diketahui salah saji yang

mungkin. Salah saji yang diketahui adalah salah saji dimana

auditor dapat menetukan jumlah salah saji dalam akun tersebut.

Salah saji yang mungkin terdapat dua jenis, pertama yaitu

salah saji yang muncul karena adanya perbedaan antara

penilaian manajemen dan penilaian auditor mengenai estimasi

saldo akun. Yang kedua adalah proyeksi salah saji bedasarkan

pengujian auditor atas sampel yang diambil dari populasi.

Audit Sektor Publik Page 30

4) Mengestimasikan Salah Saji Gabungan

5) Membandingkan Estimasi Salah Saji Gabungan dengan

Materialitas dalam Penilaian Awal atau Penilaian yang

Direvisi

Dalam menilai tingkat materialitas suatu entitas, program,

aktivitas atau layanan pemerintah, auditor sektor publik perlu

menetapkan tingkat materialitas yang lebih rendah daripada

tingkat materialitas yang ditetapkan dalam audit-audit pada

sektor swasta karena adanya akuntabilitas publik dari auditan,

berbagai persyaratan peraturan perundang-undangan dan

visibilitas dan sensitivitas dari program-program pemerintah.

Auditor juga harum mempertimbangkan kenyataan bahwa laporan-

laporan pada sektor publik berkaitan erat dengan aspek legal

dan kepatuhan pada peraturan-peraturan yang berlaku. Auditor

sektor publik dalam menetapkan tingkat materialitas, baik

dalam nilai absolut rupiah maupun dalam persentase, harus

memperhatikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga

audit karena audit yang dilakukannya tidak berdiri sendiri

melainkan bagian dari rencana strategis yang telah ditetapkan

oleh lembaga. Pada bidang-bidang tertentu, pertimbangan

politis suatu lembaga atau pos atau permasalahan mengharuskan

auditor menetapkan tingkat materialitas khusus yang hanya

berlaku untuk pos tersebut dan hal ini umumnya telah ada dalam

panduan yang diberikan kepada auditor oleh lembaga auditnya.

Hubungan Antara Materialitas dengan Bukti Audit

Materialitas merupakan satu diantara berbagai faktor yang

mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan

Audit Sektor Publik Page 31

( kuantitas ) bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan

antara materialitas dengan bukti audit, perbedaan istilah

materialitas dan saldo akun material harus tetap diperhatikan.

Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar jumlah

bukti yang diperlukan ( hubungan terbalik ).

RISIKO

Risiko (risk) penerimaan auditor bahwa terdapat beberapa

tingkat ketidakpastian dalam menjalankan fungsi audit. Auditor

menangani risiko dalam perencanaan bukti audit umumnya dengan

menggunakan model risiko audit. Dalam menilai tingkat

materialitas suatu entitas, program, aktivitas atau layanan

pemerintah, auditor sektor publik perlu menetapkan tingkat

materialitas yang lebih rendah daripada tingkat materialitas

yang ditetapkan dalam audit-audit pada sektor swasta karena

adanya akuntabilitas publik dari auditan, berbagai persyaratan

peraturan perundang-undangan dan visibilitas dan sensitivitas

dari program-program pemerintah. Auditor juga harus

mempertimbangkan kenyataan bahwa laporan-laporan pada sektor

publik berkaitan erat dengan aspek legal dan kepatuhan pada

peraturan-peraturan yang berlaku.

Auditor sektor publik dalam menetapkan tingkat

materialitas, baik dalam nilai absolut rupiah maupun dalam

persentase, harus memperhatikan kebijakan yang telah

Audit Sektor Publik Page 32

ditetapkan oleh lembaga audit karena audit yang dilakukannya

tidak berdiri sendiri melainkan bagian dari rencana strategis

yang telah ditetapkan oleh lembaga. Pada bidang-bidang

tertentu, pertimbangan politis suatu lembaga atau pos atau

permasalahan mengharuskan auditor menetapkan tingkat

materialitas khusus yang hanya berlaku untuk pos tersebut dan

hal ini umumnya telah ada dalam panduan yang diberikan kepada

auditor oleh lembaga auditnya.

Risiko dalam audit berarti bahwa auditor menerima suatu

tingkat ketidakpastian tertentu dalam pelaksanaan audit.

Risiko adalah penilaian auditor akan kemungkinan terjadi

kesalahan dalam simpulan-simpulannya yang dinyatakan dalam

laporan audit. Risiko audit dapat didefinisikan sebagai risiko

yang dihadapi auditor dengan menderita kerugian karena

menghasilkan laporan atau memberikan opini audit yang tidak

layak. Kerugian ini dapat berupa rusaknya reputasi auditor

atau dalam bentuk kompensasi moneter atas kerugian yang

diderita pihak lain (misalnya auditan atau pihak yang

memberikan penugasan) atau bahkan keduanya. Menurut Nasamiku

Liandu, laporan/opini yang tidak layak ini dapat terjadi

karena:

Tidak mengumpulkan bukti audit yang layak.

Secara sengaja diarahkan pengumpulan buktinya oleh pihak-

pihak yang menyediakan bukti dengan menyembunyikan bukti

yang bila diberikan kepada auditor dapat mengarah pada

simpulan/opini yang berbeda.

Audit Sektor Publik Page 33

Salah menginterpretasikan (mengambil simpulan yang salan)

dari bukti yang dikumpulkan.

Bila audit menggunakan pendekatan non-statistik, risiko

harus dipertimbangkan bersama-sama dengan materialitas. Dalam

pendekatan statistik, penilaian risiko bukan merupakan

permasalahan utama dalam proses perencanaan karena pada

umumnya materialitas yang menjadi penentu utama ukuran sampel.

Auditor akan memerlukan perencanaan berkaitan dengan risiko

bila menghadapi tiga situasi berikut:

1. Bila melakukan perencanaan pekerjaan audit yang

menggunakan pendekatan non-statistik.

2. Bila tingkat kesalahan dalam sampling diperkirakan akan

tinggi. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam

pembahasan sampling statistik pada bagian berikutnya.

3. Menilai kebergantungan kepada pengendalian intern. Hal

ini akan dibahas pada bagian pemahaman dan penilaian

pengendalian intern.

Auditor harus menerima tingkat risiko tertentu dalam

melakukan audit dengan alasan yang sama sebagaimana harus

menentukan tingkat materialitas tertentu. Seorang auditor yang

efektif akan mengenali adanya risiko dan akan menghadapi

risiko dengan cara yang benar. Sebagian besar risiko ini sulit

diukur dan memerlukan pemikiran yang mendalam untuk

menanggapinya.

Audit yang berkualitas mengharuskan auditor untuk tanggap

secara kritis terhadap risiko-risiko ini. Model risiko audit

dapat digunakan terutama untuk tahap perencanaan dalam

Audit Sektor Publik Page 34

menentukan berapa besar bahan bukti yang harus dikumpulkan

dalam tiap siklus.

Risiko Deteksi yang Direncanakan

Risiko deteksi yang direncanakan adalah risiko bahwa bahan

bukti yang dikumpulkan dalam segmen gagal menemukan salah saji

yang melewati jumlah yang dapat ditoleransi, kalau salah saji

semacam itu timbul. Ada dua hal penting mengenai risiko

deteksi yang direncanakan di atas: pertama, ia tergantung pada

tiga unsur risiko lain dalam model dan kedua, risiko deteksi

yang direncanakan menentukan besarnya rencana bahan bukti yang

akan

dikumpulkan, dalam hubungan yang berlawanan. Risiko deteksi

yang direncanakan hanya akan berubah bila auditor mengubah

faktor-faktor risiko lainnya.

Risiko ini juga yang menentukan jumlah bukti yang

rencananya akan dikumpulkan, yang hubungannya berbanding

terbalik dengan risiko deteksi yang direncanakan. Bila risiko

deteksinya dikurangi maka maka auditor harus menambah bukti

yang harus dikumpulkan..

Risiko Bawaan

Risiko bawaan adalah penetapan auditor akan kemungkinan

adanya salah saji dalam segmen audit yang melewati batas

toleransi, sebelum memperhitungkan faktor efektivitas

pengendalian intern. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko

bawaan adalah sifat kegiatan auditan, integritas manajemen,

motivasi manajemen, hasil audit sebelumnya, penugasan pertama

Audit Sektor Publik Page 35

atau berulang, hubungan istimewa, transaksi nonrutin,

pertimbangan yang diperlukan, kemungkinan terhadap kecurangan,

dan unsur-unsur populasi.

Ketika memulai audit, tidak banyak upaya yang dapat

dilakukan untuk mengubah risiko bawaan. Auditor harus menilai

faktor-faktor di atas yang mempengaruhi risiko bawaan dan

memodifikasi bukti audit untuk memastikan bahwa faktor-faktor

tersebut telah diperhitungkan. Faktor-faktor tertentu akan

mempengaruhi seluruh tujuan ruang lingkup audit, seperti

movitasi atau integritas manajemen. Sementara itu, beberapa

faktor tertentu hanya akan mempengaruhi tujuan audit tertentu

dan/atau bidang-bidang tertentu yang diaudit, seperti faktor

transaksi-tansksi nonrutin.

Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian adalah ukuran penetapan auditor akan

kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam segmen audit

yang melewati batas toleransi, yang tidak terdeteksi atau

tercegah oleh struktur pengendalian intern. Faktor yang

mempengaruhi risiko pengendalian adalah efektivitas

pengendalian intern dan keandalan yang direncanakan oleh

auditor. Risiko pengendalian ditetapkan setelah auditor

memahami struktur pengendalian intern auditan.

Risiko Audit yang Dapat Diterima

Risiko audit yang dapat diterima adalah ukuran

ketersediaan auditor untuk menerima bahwa laporan audit tidak

memberikan pendapat atau simpulan yang sesuai dengan kenyataan

Audit Sektor Publik Page 36

yang ada. Faktor yang mempengaruhi risiko audit yang dapat

diterima adalah tingkat ketergantungan pemakai laporan auditan

dan kemungkinan adanya permasalahan dalam organisasi auditan,

seperti masalah keuangan.

Pertimbangan-Pertimbangan Lain dalam Materialitas dan Risiko

Risiko pengendalian dan risiko bawaan biasanya ditetapkan

untuk setiap bidang atau siklus atau akun dan juga untuk

setiap tujuan audit, tidak untuk keseluruhan audit. Oleh

karena itu, tingkat risikonya akan bervariasi antar setiap

bidang/siklus/akun dan antar setiap tujuan pada satu penugasan

audit. Pengendalian intern mungkin lebih efektif pada

pembayaran honor daripada pada transaksi pengadaan barang.

Risiko pengendaliannya tentu saja akan berbeda bergantung pada

efektivitas pengendaliannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi

risiko bawaan, seperti kemungkinan kecurangan dan rutinitas

transaksi, juga akan berbeda dari satu bidang audit ke bidang

audit lainnya.

Untuk alasan tersebut, auditor umumnya akan menetapkan

tingkar risiko bawaan yang berbeda-beda pada bidang-bidang

berbeda kecuali pada entitas auditan ada satu faktor

menyeluruh yang kuat, seperti integritas manajemen. Risiko

audit yang dapat diterima pada umumnya ditetapkan oleh auditor

untuk digunakan sepanjang pelaksanaan audit dan besarnya

selalu tetap untuk setiap bidan/siklus/akun. Misalnya,

diasumsikan auditor menetapkan risiko audit yang dapat

diterima pada tingkatan menengah karenasedikitnya jumlah

pengguna laporan auditan dan program-program diselenggarakan

Audit Sektor Publik Page 37

dengan baik (tidak ada permasalahan-permasalahan dalam

organisasi). Auditor akan cenderung menggunakan risiko audit

yang dapat diterima pada tingkatan menengah untuk audit

inventaris, pembangunan gedung, penerimaan bukan pajak,

pembayaran honor dan transaksi-transaksi utama lainnya.

Auditor menggunakan tingkatan risiko yang sama karena faktor-

faktor yang mempengaruhi risiko audit terkait dengan audit

secara keseluruhan, bukannya bidang/siklus/akun individual.

Pada kasus-kasus tertentu, auditor akan menggunakan

tingkat risiko audit yang dapat diterima pada tingkatan yang

lebih rendah pada bidangbidang audit tertentu. Misalnya,

tingkat risiko audit pada pengeluaranpengeluaran tertentu yang

berasal dari pinjaman luar negeri umumnya ditetapkan lebih

rendah daripada bidang-bidang lain karena adanya berbagai

persyaratan tambahan dan pelaporan tambahan berkenaan dengan

pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Satu kelemahan utama dalam aplikasi model risiko audit ini

adalah sulitnya mengukur komponen-komponen dari setiap modal.

Seberapa baiknya upaya auditor dalam perencanaan audit,

penilaian risiko audit yang dapat diterima, risiko bawaan dan

risiko pengendalian dan juga risiko deteksi yang direncanakan

merupakan upaya yang sangat subyektif dan kesesuaian dengan

kenyataan hanya diupayakan sebaik mungkin. Oleh karena itu,

auditor hanya menggunakan ukuran-ukuran relatif dalam menilai

tingkat risiko, yaitu rendah, sedang atau tinggi. Hal yang

sama juga terjadi pada pengukuran jumlah bukti audit yang

sesuai dengan tingkat risiko deteksi yang direncanakan Konsep

materialitas dan risiko dalam auditing berkaitan erat dan

Audit Sektor Publik Page 38

tidak dapat dipisahkan. Risiko adalah ukuran ketidakpastian

sedangkan materialitas adalah ukuran jumlah atau magnitude.

Digunakan bersama-sama, keduanya mengukur tingkat

ketidakpastian pada suatu jumlah. Tujuan utama auditor

menggunakan materialitas dan risiko adalah untuk membantu

auditor dalam mengumpulkan bukti yang kompeten secukupnya

dengan cara yang paling efisien.

Menilai Risiko Audit yang Dapat Diterima

Dalam sebuah pengauditan, auditor harus memutuskan risiko

audit yang dapat diterima, lebih utama dilakukan selama masa

perencanaan. Pertama, auditor menetapkan risiko kontrak kerja

dan kemudian menggunakan risiko kontrak kerja tersebut untuk

memodifikasi risiko audit yang dapat diterima.

Dampak Risiko Kontrak Kerja Terhadap Risiko Audit Yang Dapat

Diterima

Risiko kontrak kerja (engagement risk) adalah risiko

dimana auditor atau KAP akan mendapat masalah setelah audit

diselesaikan, meskipun laporan audit sudah benar. Risiko

kontrak kerja sangat terkait erat dengan risiko bisnis klien.

Sangat penting untuk dicatat bahwa auditor tidak menyetujui

mengenai apakah risiko kontrak kerja harus dipertimbangkan

dalam perencanaan audit.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Risiko Audit

1. Tingkat Ketergantungan Pengguna Eksternal Laporan Keuangan

Audit Sektor Publik Page 39

Factor-faktor yang merupakan indikator yang baik untuk

menilai tingkat ketergantungan para pengguna terhadap

laporan keuangan:

a) Ukuran klien. Umumnya, makin besar kegiatan operasi klien,

makin luas penggunaan laporan keuangan. Ukuran klien,

yang diukur dengan asset total atau pendapatan total,

akan berpengaruh terhadap risiko audit yang dapat

diterima.

b) Distribusi kepemilikan. Laporan keuangan perusahaan public

umumnya diandalkan oleh lebih banyak pengguna

dibandingkan dengan perusahaan tertutup lainnya. Untuk

perusahaan public ini, pihak yang berkepentingan

lainnya adalah SEC, analisis keuangan, dan masyarakat

umum.

c) Sifat dan jumlah liabilitas. Ketika laporan memiliki sejumlah

besar liabilitas,besar kemungkinan laporan tersebut

akan digunakan secara lebih luas oleh para kreditor

yang ada ataupun para calon kreditor dibandingkan

dengan perusahaan yang memiliki lebih sedikit

liabilitas.

2. Kemungkinan Klien Akan Mengalami Kesulitan Keuangan

Setelah Laporan Audit Diterbitkan

Sulit bagi auditor untuk memprediksi kegagalan keuangan

sebelum hal itu terjadi, namun beberapa factor berikut

dapat menjadi indikator yang baik atas meningkatnya

kemungkinan kegagalan keuangan tersebut.

a) Posisi likuiditas. Jika klien terus menerus kekurangan kas

dan modal kerja, hal ini mengindikasikan adanya masalah

Audit Sektor Publik Page 40

dimasa mendatang dalam pembayaran utang-utangnya.

Auditor harus menilai kemungkinan dan seberapa besar

penurunan posisi likuiditas yang terjadi terus-menerus.

b) Laba (rugi) ditahun-tahun sebelumnya. Sangat penting untuk

mempertimbangkan perubahan laba relative terhadap saldo

yang tersisa dalam saldo laba.

c) Metode pertumbuhan pembiayaan. Auditor harus mengevaluasi

apakah asset tetap klien dibiayai oleh pinjaman jangka

pendek atau jangka penjan, karena sejumlah besar kas

keluar yang dibutuhkan dalam waktu yang singkat akan

memaksa perusahaan untuk mengalami kebangkrutan.

d) Sifat kegiatan operasi klien. Beberapa jenis bisnis secara

alamiah lebih berisiko dibandingkan dengan bisnis

lainnya.

e) Kompetensi manajemen. Manajemen yang kompeten secara

terus menerus akan mewaspadai adanya potensi kesulitan

keuangan dan memodifikasinya dengan berbagai metode

operasi untuk meminimalkan pengaruh dari masalah jangka

pendek. Auditor harus menilai kemampuan manajemen

sebagai bagian dari evaluasi atas kemungkinan

terjadinya kebangkrutan.

3. Evaluasi Auditor Terhadap Integritas Manajemen

Perusahan-perusahaan dengan integritas rendah sering kali

menjalankan aktivitas bisnis mereka dengan cara-cara yang

dapat menimbulkan konflik dengan para pemegang sahamnya,

pemerintah dan pelanggannya. Pada akhirnya, konflik-

konflik tersebut sering kali tercermin  dalam persepsi

Audit Sektor Publik Page 41

pengguna terhadap kualitas audit dan dapat mengakibatkan

adanya tuntutan hukum dan ketidaksetujuan lainnya.

4. Membuat Keputusan Risiko Audit yang Dapat Diterima

Evaluasi yang biasanya dilakukan untuk risiko audit yang

dapat diterima adalah tinggi, sedang atau rendah, dimana

risiko audit yang dapat diterima rendah berarti bagi

klien yang “berisiko” harus mendapatkan bukti yang lebih

banyak, penugasan staf audit yang lebih bepengalaman,

dan/atau penelaahan yanag lebih mendalam atas dokumentasi

audit. Sejalan dengan perkembangan kemajuan kontrak

kerja, auditor mendapatkan informasi tambahan mengenai

klien, sehingga risiko audit yang dapat diterima dapat

dimodifikasi.

Menilai Risiko Bawaan

Masuknya risiko bawaan dalam model risiko audit merupakan

slah satu konsep penting dalam pengauditan. Hal ini

mengimplikasikan bahwa auditor harus mencoba untuk memprediksi

bagian mana kemungkinan terdapat salah saji dalam laporan

keuangan. Informasi ini memengaruhi jumlah bukti yang akan

dikumpulkan auditor, penugasan staf dan penelaahan dokumentsi

audit.

1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Risiko Bawaan

Auditor harus menilai factor-faktor yang menyusun risiko

dan memodifikasi bukti audit yang akan dijadikan bahan

pertimbangan. Auditor harus mempertimbangkan  beberapa

factor utama berikut ketika menilai risiko pengendalian.

Audit Sektor Publik Page 42

a) Sifat bisnis klien

b) Hasil pengauditan sebelumnya

c) Kontrak kerja yang pertama atau kontrak kerja yang

berulang

d) Pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa

e) Transaksi-transaksi yang tidak rutin

f) Penilaian yang diperlukan untuk mencatat saldo-saldo

akun dan transaksi-transaksi dengan benar

g) Membuat populasi

h) Factor-faktor yang terkait dengan kecurangan dalam

laporan keuangan

i) Factor-faktor yang terkait dengan penyalahgunaan asset

2. Membuat Keputusan Risiko Bawaan

Auditor harus mengevaluasi informasi yang dapat memengaruhi

risiko bawaan dan memutuskan factor risiko bawaan yang

tepat untuk setiap siklus, akun dan untuk setiap tujuan

audit. Beberapa factor seperti kontrak kerja pertama atau

kontrak kerja yang berulang, hanya akan memengaruhi akun-

akun atau tujuan audit tertentu saja.

3. Mendapatkan Informasi Untuk Menilai Risiko Bawaan

Auditor mulai melakukan penilaian atas risiko bawaan selama

fase perencanaan dan memperbarui penilaian tersebut

disepanjang pengauditan.

Hubungan Antara Risiko dan Materialitas dengan Bukti Audit

Konsep materialitas dan risiko dalam audit sangat

berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. Risiko merupakan

ukuran atas ketidakpastian, sedangkan materialitas merupakan

Audit Sektor Publik Page 43

ukuran besaran atau tinggi rendanhnya. Bersama-sama keduanya

mengukur jumlah ketidakpastian dalam suatu besaran tertentu.

Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit

dan risiko audit sebagai berikut:

1. Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan

tingkat materialitas dikurangi, auditor harus menambah

jumlah bukti audit yang di kumpulkan.

2. Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan

dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan,

risiko audit menjadi meningkat.

3. Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit,

auditor dapat menempuh salah satu dari tiga cara berikut

ini :

Menambah tingkat materialitas, sementara itu

mempertahankan jumlah bukti audit yang dikumpulkan.

Menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan,

sementara itu tingkat materialitas tetap

dipertahankan.

Menambah sedikit jumlah bukti audit yang dikumpulkan

dan tingkat materialitas secara bersama-sama.

Merivisi Risiko dan Bukti

Dalam merivisi risiko dan bukti audit, auditor sebaiknya

mengikuti pendektan dua langkah berikut ini :

Audit Sektor Publik Page 44

1. Auditor harus merivisi penilaian awal dari risiko yang

wajar. Adalah pelanggaran jika membiarkan penilaian awal

tidak diubah jika auditor tahu itu adalah tidak wahar

2. Auditor harus mempertimbangkan dampak dari rivisi

terhadap bukti yang diharuskan, tanpa penggunaan model

risiko audit. Penelitian dalam bidang audit telah

menunjukkan, jika risiko yang dirivisi digunakan dalam

model risiko audit untuk menentukan risiko deteksi yang

direncanakan yang juga telah direvisi, ada bahaya dari

tidak meningkatkannya bukti secara memadai. Sebagai

gantinya, auditor harus berhati-hati mengevaluasi

implikasi dari revisi risiko dan memodifikasi dengan

tepat, diluar dari model risiko audit.

CONTOH

HASIL PEMERIKSAAN ATAS PENDAPATAN DAERAH

TAHUN ANGGARAN 2004 DAN 2005

PADA KABUPATEN SIDOARJO DI SIDOARJO

GAMBARAN UMUM

1. Tujuan Pemeriksaan

Tujuan Pemeriksaan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2004

dan 2005 adalah untuk mengetahui, menguji, dan menilai

apakah:

a. Pendapatan Daerah Kabupaten yang seharusnya menjadi hak

daerah yang bersangkutan telah diterima tepat waktu, dan

dalam jumlah yang menjadi haknya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Audit Sektor Publik Page 45

b. Pengelolaan Anggaran Pendapatan Daerah telah

ditatausahakan atau dicatat secara tertib, dan

dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku;

c. Sistem pengendalian menajemen pengelolaan anggaran

pendapatan daerah telah cukup memadai.

2. Sasaran Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan terhadap pendapatan daerah yang

berasal dari :

a. Pajak Daerah;

b. Retribusi Daerah;

c. Hasil/Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;

e. Dana Perimbangan.

3. Metodologi Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan secara uji petik atas dokumen-dokumen

yang berkaitan dengan pendapatan daerah, melakukan

konfirmasi dengan pejabat satuan kerja dan pelaksana

pendapatan yang terkait serta pengecekan di lapangan.

4. Jangka Waktu Pemeriksaan

Pemeriksaan dilaksanakan dari Tanggal 7 September 2005

sampai dengan 1 Oktober 2005.

5. Obyek yang diperiksa

a. Pemeriksaan dilakukan atas Pendapatan Daerah Kabupaten

Sidoarjo Tahun Anggaran 2004 dan 2005.

b. Anggaran dan realisasi

Audit Sektor Publik Page 46

c. Anggaran dan realisasi Pendapatan Daerah Kabupaten

Sidoarjo Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (s.d. Juli) adalah

sebagai berikut:

HASIL PEMERIKSAAN

Audit Sektor Publik Page 47

Berdasarkan ketentuan pasal 23E Perubahan Ketiga Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973, Badan Pemeriksa Keuangan

Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas

Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2004 dan 2005 pada Pemerintah

Kabupaten Sidoarjo di Sidoarjo. Pemeriksaan tersebut dilakukan

dengan berpedoman pada Standar Audit Pemerintahan (SAP) yang

ditetapkan oleh BPK-RI.

Pendapatan Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004 dan 2005

terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan

Lain-lain Pendapatan yang Sah. Realisasi Pendapatan Asli

Daerah pada tahun 2004 melebihi target yang ditetapkan, yaitu

pada tahun 2004 dianggarkan sebesar Rp 115.924.633.310,00 dan

terealisasi sebesar Rp 128.834.195.079,68 atau 111,14% dan

tahun 2005 dianggarkan sebesar Rp 125.251.789.300,00

realisasinya sampai dengan Juli 2005 sebesar Rp

69.675.219.280,80 atau baru mencapai 55,63% dari anggaran.

Bagian Dana Perimbangan Tahun 2004 dianggarkan sebesar Rp

466.486.041.000,00 dan terealisasi sebesar Rp

504.497.383.005,00 atau 108,15%. Sedangkan tahun 2005 (s.d

Juli) dianggarkan sebesar Rp 491.477.399.000,00 dan

terealisasi sebesar Rp 278.148.260.786,00 atau baru mencapai

56,59%. Lain-lain Pendapatan yang Sah Tahun 2004 dianggarkan

sebesar Rp 20.180.000.000,00 terealisir sebesar Rp

25.180.000.000,00 atau 125%, sedangkan tahun 2005 dianggarkan

sebesar Rp 18.320.000.000,00 namun sampai dengan pemeriksaan

berakhir belum teralisir.

Audit Sektor Publik Page 48

Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern menunjukkan

bahwa sistem pengendalian intern telah dirancang dan

diterapkan secara memadai. Pengendalian intern memberikan

keyakinan memadai kepada manajemen bahwa penerimaan pendapatan

telah dilaksanakan dengan otorisasi manajemen dan dicatat

semestinya. Karena adanya keterbatasan bawaan dalam setiap

pengendalian intern, kekeliruan atau ketidakberesan dapat saja

terjadi dan tidak terdeteksi. Hal tersebut tercermin dalam

temuan-temuan pemeriksaan. Tanpa mengurangi keberhasilan yang

telah dicapai, hasil pemeriksaan menunjukkan ada kelemahan,

sehingga menghasilkan temuan sebagai berikut:

1. Penerimaan daerah dari sumber daya alam berupa gas alam

kurang diterima sebesar Rp 23.489.026.528,00.

2. Pengelolaan Terminal Bungurasih dilaksanakan tidak sesuai

perjanjian kerjasama.

3. Penetapan target Retribusi Parkir di Jalan Umum tidak

didasarkan potensi yang sebenarnya (riil).

4. Ketetapan Pajak Parkir tidak sesuai ketentuan sebesar Rp

89.370.300,00.

5. Penerimaan Retribusi Pasar Krian tidak dapat

direalisasikan sebesar Rp 615.572.500,00.

6. Sebanyak 14 pasar belum ditingkatkan menjadi pasar kelas

I.

7. Pemberian keringanan ketetapan pajak dan retribusi belum

diatur dengan ketentuan.

8. Pendapatan Puskesmas Tarik yang berasal dari pelayanan

unit kamar operasi belum diatur dengan Peraturan Daerah.

Audit Sektor Publik Page 49

DAFTAR PUSTAKA

Audit Sektor Publik Page 50

Murwanto, Rahmadi; Adi Budiarso; Fajar Hasri Ramadhana. Audit

Sektor Publik : Suatu Pengantar Bagi Pembangunan Akuntabilitas

Instansi Pemerintah. Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan

Akuntabilitas Pemerintah.Badan Pendidikan dan Pelatihan

Keuangan Departemen Keuangan RI.2008.

http://merahkuning.wordpress.com/2012/05/20/contoh-makalah-audit-sektor-publik/ 28Oktober 2014

http://www.scribd.com/doc/94408102/Prosedur-Audit-Penerimaan-Pembiayaan 28Oktober 2014

http://www.scribd.com/doc/50335353/Program-Audit-Untuk-Siklus-Pendapatan 28Oktober 2014

Audit Sektor Publik Page 51