makalah sejarah hukum
TRANSCRIPT
SEJARAH MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI
PENGADILAN
Tugas Makalah Mata Kuliah : Sejarah Hukum
Dosen : Dr. Arief Suryono, S.H., M.H.
Disusun Oleh :1. Imdadurrouf E2A0150532. Jaenuri E2A0150553. Lilik Winarti E2A015057
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO2015 / 2016
1
A. PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dimana mereka
saling membutuhkan satu sama lain. Dengan adanya hubungan timbal
balik, maka sering kali timbul fenomena sosial berupa konflik yang timbul
akibat adanya kepentingan yang berbeda-beda. Dengan timbulnya konflik,
maka hukum memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik
tersebut.
Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian
konflik (sengketa) yang berperan selama ini. Namun putusan yang
diberikan pengadilan belum mampu menciptakan kepuasan dan keadilan
bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung
memuasakan salah satu pihak dan tidak memuaskan pihak lain. Pihak
yang mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki hak atas sesuatu,
maka pihak tersebut akan dimenangkan oleh pengadilan. Sebaliknya,
pihak yang tidak mampu mengajukan bukti bahwa ia memiliki hak
terhadap sesuatu, maka pihak tersebut pasti dikalahkan oleh pengadilan,
walaupun secara hakiki pihak tersebut memiliki hak. Dalam konteks ini
penyelesaian sengketa melalui pengadilan menuntut ‘pembuktian formal’,
tanpa menghiraukan kemampuan para pihak dalam mengajukan alat
bukti. Menang kalah merupakan hasil akhir yang akan dituai para pihak,
jika sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Konsekuensi menang kalah, akan menumbuhkan sikap
ketidakpuasan salah satu pihak terhadap putusan pengadilan. Pihak kalah
akan menggunakan upaya hukum, karena ia merasa tidak adil terhadap
suatu putusan. Upaya hukum cenderung digunakan pihak kalah, selama ia
masih diberikan kesempatan oleh suatu sistem hukum. Akibatnya,
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan memerlukan waktu yang
cukup lama. Pada sisi lain, sering ditemukan dalam praktik bahwa biaya
yang dikeluarkan pihak bersengketa kadang-kadang melebihi jumlah nilai
dari objek harta yang dipersengketakan. Hal ini menandakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan membuat dampak negatif
2
pada renggangnya hubungan silaturahmi antara para pihak yang
bersengketa.3
Dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Pernyataan ini
disampaikan hakim kepada para pihak pada sidang pertama. Ia meminta
para pihak untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh
pengadilan maupun mediator diluar daftar pengadilan. Apabila para pihak
memilih mediator dari daftar pengadilan, maka ketua majelis akan
membuat surat penetapan mediator. Bila para pihak tidak setuju dengan
daftar mediator yang ada dipengadilan atau mediator dari luar pengadilan,
maka ketua majelis dengan kewenangan yang ada menunjuk seorang
mediator dari daftar mediator pada pengadilan tingkat pertama dengan
suatu penetapan.4
Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat di
gunakan oleh para pihak. Lembaga ini memberikan kesempatan kepada
para pihak untuk berperan mengambil inisiatif, guna menyelesaikan
sengketa mereka yang dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Prinsip
mediasi adalah sama-sama menang (win-win solution), sehingga para
pihak yang terlibat sengketa merasakan tidak adanya pihak menang dan
pihak kalah. Mediasi bukan hanya mempercepat proses penyelesaian
sengketa, tetapi juga menghilangkan dendam dan memperteguh
hubungan silaturahmi.5
Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa
para pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap
pengambilan keputusan. Mediator menjembatani pertemuan para pihak
melakukan negosiasi, menjaga dan mengontrol proses negosiasi,
menawarkan alternatif solusi dan secara bersama-sama para pihak
3 Syahrial Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional, Kencana, Jakarta, 2011, hal x.4 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Kesebelas, 2009, hal. 35-37. Baca juga; Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012, hal. 150-153.5 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal xi.
3
merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa. Meskipun mediator
teerlibat dalam menawarkan solusi dan merumuskan kesepakatan, bukan
berarti ia yang menentukan hasil kesepakatan. Keputusan akhir tetap
berada ditangan para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah
membantu mencari jalan keluar, agar para pihak bersedia duduk bersama
menyelesaikan sengketa yang mereka alami.6
Mediasi dapat dilakukan melalui jalur pengadilan atau diluar jalur
pengadilan. Ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
ditujukan untuk menyelesaikan sengketa diluar jalur pengadilan,
sedangkan Perma No. 02 Tahun 2003 sebagaimana telah di ubah dengan
Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
diterbitkan untuk prosedur mediasi di Pengadilan. Mediasi di pengadilan
merupakan suatu rangkaian dengan pemeriksaan perkara di pengadilan.
Bila para pihak gagal menempuh mediasi, maka hakim akan melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku.
B. PERUMUSAN PERMASALAHAN Bagaimanakah sejarah perkembangan Mediasi sebagai alternatif
penyelesaian perkara perdata di pengadilan sampai dengan sekarang ?
C. PEMBAHASAN Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa-masa yang telah lalu.
Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai
telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil,
seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam
masyarakat. Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka
secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak
merampas atau menekan kebebasan individual. Masyarakat Indonesia,
6 Ibid, hal 59.
4
sebagaimana masyarakat lainnya didunia, merasakan bahwa konflik atau
sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus
menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya. Dampak dari
konflik tidak hanya memperburuk hubungan antar para pihak, tetapi juga
dapat menganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.
Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada
prinsip “kebebasan”7 yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak
dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh
masyarakat. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau
salah dalam sengketa yang mereka hadapi, tetapi mereka cenderung
memikirkan penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian
sengketa yang dapat memuasakan para pihak dapat ditempuh melalu
mekanisme musyawarah dan mufakat. Penerapan prinsip musyawarah ini
umumnya dilakukan diluar pengadilan. Musyawarah mufakat merupakan
falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan,
termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat sebagai nilai
filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara, yaitu Pancasila. Dalam
sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Nilai tertinggi ini,
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan sejumlah peraturan
perundang-undangan dibawahnya. Prinsip musyawarah mufakat
merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari
solusi terutama diluar jalur pengadilan. Nilai musyawarah mufakat
terkonkritkan dalam bentuk mediasi, dan berbagai bentuk penyelesaian
sengketa lainnya.
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah
mufakat yang berujung damai juga digunakan dilingkungan peradilan,
terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari
sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa kolonial belanda 7 Kebebasan yang dimaksudkan adalah para pihak lebih leluasa untuk mengkreasi kemungkinan opsi yang dapat ditawarkan dalam proses penyelesaian sengketa.
5
sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah
satu asas peradilan (baca: peradilan perdata) di Indonesia. Bahkan akhir-
akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh
prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa.
Dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain
penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup
lama, melahirkan pihak menang kalah, cenderung mempersulit hubungan
para pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak tidak leluasa
mengupayakan opsi penyelesaian sengketa mereka.8
Istilah mediasi dan arbitrase cukup gencar dipopulerkan oleh para
akademisi dan praktisi akhir-akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkap
secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur melaui riset dan studi
akademik. Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam
praktek penyelesaian sengketa. Perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, dan berbagai lembaga lain cukup banyak menaruh perhatian
pada mediasi ini.9
Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin “mediare”
yang berarti berada di tengah, makna ini menunjuk pada peran yang
ditampilkan pihak ke tiga sebagai mediator dalam tugasnya menengahi
dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.10 Secara terminologi para
ahli tidak seragam dalam memberikan definisi mediasi, karena masing-
masing memberikan pengertian sesuai dengan sudat pandangnya,
misalnya J. Folberg dan A. Taylor sebagaiman dikutip Prof. Dr. Syahrizal
Abbas dalam bukunya Mediasi (Dalam hukum syariah, hukum adat dan
hukum nasional) mendefinisikan mediasi” ...the process by wich the
participants, together with the assistance of a neutral persons,
systematically issolate dispute in order to develop options, consider
alternatif, and reach consensual settlement that will accomodate their
8 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 285.9 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Media Pustaka Utama, 2006, hal 119.10 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 1.
6
nedds”.11 Para ahli yang lain misalnya Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H.,
LL.M dalam bukunya Mediasi (penyelesaian sengketa melalui pendekatan
mufakat) mendefinisikan Mediasi sebagai “Suatu proses penyelesaian
sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara
mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan
memutus”.12 Dalam Peraturan Mahkamah agung (Perma) Nomor 01 tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 ayat 7 memberikan
definisi : “ Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu
oleh mediator.“
Sedangkan Pengertian arbitrase sendiri secara etiomologi berasal dari
kata “ arbitase (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
arbiter atau wasit. Sedangkan secara terminologi dalam Black Law
Distionary sebagaimana dikutip Rachmadi Usman, S.H. dalam bukunya
Pilihan Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dijelaskan “ Arbitration is
the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the
parties to the dispute whoo agree in advance to abide by the arbitrator’s
award issued after hearing at which both parties hace an opportunity to be
heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected
persons in some disputed matter, istead of carrting it to establish tribunal
of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense
and taxation of ordinary litigation” dan dalam kamus Hukum Ekonomi
ELIPS menyatakan “ Arbitration, arbitrase, perwasitan adalah : metode
penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas
persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Arbitor, arbiter, wasit adalah orang
yang bukan hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara
11 Ibid., hal 4.12 Takdir Rahmadi, Mediasi (penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 12.
7
menurut tata cara perwasitan”.13 Sedangkan didalam Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Pasal 1 ayat 1
mendefinisikan Arbitrase adalah: “Cara penyelesaian suatu sengketa
perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”
Berikut akan dikemukakan sejumlah peraturan yang menjadi
perkembangan mediasi dari hukum adat, masa kolonial belanda, masa
kemerdekaan sampai dengan sekarang serta dasar yuridis bagi
penerapan mediasi di pengadilan maupun diluar pengadilan. Mediasi
dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat
pengaturan tersendiri baik dalam hukum adat, dalam peraturan produk
hukum hindia belanda maupun produk hukum setelah Indonesia merdeka
sampai hari ini. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan
hukum amat penting, mengingat Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat). Dalam negara hukum tindakan lembaga negara dan
aparatur negara harus memiliki landasan hukum, karena tindakan negara
atau aparatur negara yang tidak ada dasar hukumnya dapat dibatalkan
atau batal demi hukum. Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa
dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di pengadilan atau pihak
lain diluar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan
hukum.
1. Mediasi dalam sistem hukum adatKonsep penyelesaian sengketa melalui mediasi yang
menggunakan win-win solution atau penyelesaian menang sama
menang, telah lama dikenal dalam hukum adat di Indonesia. Konsep
penyelesaian sengketa melalui musyawarah antara para pihak telah
lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem
litigasi diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda.14
13 Rachmadi Usman, Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 107-110.14 Nurnaningsih Amriani, Mediasi alternative penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 115.
8
Penyelesaian sengketa menurut hukum adat selalu diarahkan
kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena
adanya sengketa tersebut, dan tidak bersifat penghukuman.15
Ketua adat didalam menyelesaikan sengketa tidak untuk mencari
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Penyelesaian sengketa
melalui musyawarah mufakat dan damai bahkan telah dikenal pada
zaman Mataram II. Pada saat Sultan Agung berkuasa, urusan
peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang
didampingi oleh beberapa ulama sebagai anggota majelis peradilan.
Peradilan ini disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini
dilaksanakan atas dasar musyawarah dan mufakat (collegiale
rechtspraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir
oleh raja. Pada zaman tersebut disamping adanya peradilan serambi,
didaerah-daerah juga berlaku peradilan “padu”, yaitu penyelesaian
perselisihan-perselisihan antara perorangan oleh peradilan keluarga
(peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara
kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai
dibawah pimpinan seorang pejabat kerajaan yang disebut Jaksa.16
Kemudian pola-pola penyelesaian sengketa tersebut tetap
dikenal didalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda. Pada zaman ini dikenal apa yang disebut dengan hakim
perdamaian desa. Lembaga perdamaian desa mendapat pengakuan
secara hukum berdasarkan Pasal 3a RO (Rechtelijke Organisatie),
yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh
menjatuhkan hukuman (ayat 3). Oleh karena tidak boleh menjatuhkan
hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”. Dalam menegakan
hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan
15 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 249.16 H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hal 61.
9
mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam Pasal 3 dan
13 Regelement Indonesia yang diperbaharui (RIB).17
Beberapa aspek positif dari perdamaian desa, yaitu :18
a) Hakim perdamaian desa bertindak aktif mencari fakta
b) Hakim meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam
masyarakat.
c) Putusan diambil berdasarkan musyawarah dan/atau mufakat
d) Putusan dapat diterima oleh para pihak dan juga memuaskan
masyarakat secara keseluruhan
e) Pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, hal mana menunjukan
adanya tenggang rasa (toleransi) yang tinggi diantara para pihak.
f) Suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan
g) Integrasi masyarakat dapat dipertahankan
Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai
tetap bertahan didalam masyarakat hukum adat Indonesia dewasa ini.
Didalam masyarakat Batak, misalnya: masih mengandalkan forum
rukun adat yang pada intinya adalah penyelesaian sengketa secara
musyawarah dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minangkabau juga
dikenal adanya Lembaga Hakim Perdamaian Minangkabau, yang
secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator. Dalam
masyarakat Minang telah berkembang suatu tradisi bahwa kalau
terjadi perselisihan, termasuk sengketa dagang (yang dianggap
identik sebagai pekerjaan orang Minang), mereka mencari berbagai
kemungkinan alternatif mana yang lebih efektif jika kasusnya harus
segera diselesaikan dipengadilan atau diluar pengadilan. Dengan
sejumlah pertimbangan, banyak kasus dagang di Minang ternyata
diselesaikan melalui “mediasi” (kesepakatan) atau konsiliasi
(kesepakatan dengan kompensasi).19 Demikian juga dalam
17 Nurnaningsih Amriani, Mediasi … Op. Cit., hal 117. 18 Ibid., hal 117.19 Ibid., hal 118.
10
masyarakat Jawa, penyelesaian sengketa dilakukan melalui
musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat atau tokoh
agama.
Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa konsep penyelesaian
melalui mediasi telah lama dikenal dalam sistem hukum adat kita.
Sayangnya pola-pola penyelesaian sengketa win-win solution yang
dikenal dalam hukum adat kita kurang dikembangkan oleh masyarakat.
Bahkan, masyarakat kita yang menyatakan diri sebagai masyarakat
yang kompromis, telah beralih menjadi masyarakat litigasi (litigious
society).
2. Mediasi pada masa Kolonial BelandaMediasi juga dikenal dalam sistem hukum kolonial belanda
walaupun hanya secara implisit. Setidaknya ada dua peraturan
perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar untuk menerapkan
mediasi, yaitu HIR (Herziene Indonesische Reglement) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan terjemahan dari
BW (Burgerlijk Wetboek).20
HIR adalah hukum acara perdata peninggalan pemerintahan
kolonial Belanda yang berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan
peralihan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun
1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
Pada masa kolonial belanda ini lembaga pengadilan diberikan
kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Kewenangan mendamaikan hanya sebatas kasus-kasus keluarga dan
perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa,
dan berbagai aktivitas bisnis lainnya. Hakim diharapkan mengambil
peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang
20 Ibid., hal 121.
11
bersengketa. Hakim yang baik berusaha maksimal dengan
memberikan sejumlah saran agar upaya damai tidak hanya
bermanfaat bagi para pihak, tetapi juga memberikan kemudahan bagi
hakim dalam mempercepat penyelesaian sengketa yang menjadi
tugasnya.21
Dalam pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement,
Staatsblad 1941:44) ayat (1) dikatakan bahwa :
“Jika pada hari yang ditentukan untuk itu, kedua belah pihak datang
maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan
memperdamaikan mereka”
Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan bahwa :
“Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu
bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana
kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat
itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai
putusan yang biasa”.
Atau juga dalam Pasal 154 R.Bg (Rechts reglement Buitengwesten,
Staatsblad, 1927:227) atau pasal 31 Rv (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1874:52), disebutkan bahwa hakim atau
majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara
mereka diputuskan. 22
Ketentuan dalam pasal 130 HIR/ 154 R.bg/ 31 Rv
mengambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai
merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa dipengadilan.
Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan ia tidak boleh
memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih
dahulu. Bila kedua belah pihak bersetuju menempuh jalur damai,
maka hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah
pihak, sehingga mereka sendiri menemukan bentuk-bentuk
kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa mereka. 21 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 286.22 Ibid., hal 287.
12
Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta
perdamaian, sehingga memudahkan para pihak melaksanakan
kesepakatan itu. Akta damai memeiliki kekuatan hukum sama dengan
vonnies hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para pihak jika
salah satu diantara mereka enggan melaksanakan isi kesepatakatan
tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap
akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. Dalam sejarah
hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan :
dading”23
Peraturan perundang-undangan pada masa belanda juga
mengatur penyelesaian sengketa melalui upaya damai diluar
pengadilan. Upaya tersebut dikenal dengan Arbitrase. Ketentuan
mengenai hal ini diatur dalam Pasal 615-651 Rv (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblas 1874:52), atau Pasal 377 HIR (Het
Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44). Ketentuan dari
pasal-pasal ini antara lain berbunyi : Jika orang bangsa bumiputera
dan orang Timur Asing hendak menyuruh memutuskan
perselisihannya oleh juru pemisah atau arbitrase, maka dalam hal itu
mereka wajib menurut peraturan mengadili perkara bagi bangsa
Eropa.24
R. Tresna memberikan komentar bahwa Pasal 377 HIR, pada
dasarnya memberikan peluang bagi para pihak bersengketa untuk
meminta bantuan atau jasa baik dari pihak ketiga guna menyelesaikan
perselisihan mereka. Pihak ketiga dikenal dengan scheidsgerecht atau
pengadilan wasit. Scheidsgerecht tidak berbeda dengan pengadilan
biasa, kecuali orang yang mengadili perkara bukanlah hakim,
melainkan seseorang atau beberapa orang yang dipilih oleh pihak-
pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Keputusaan dari pengadilan wasit atau scheidsgerecht sama
23 Ibid., hal 288.24 Rachmadi Usman, Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 113-115.
13
kekuatannya dengan keputusan pengadilan (vonnies hakim), kecuali
dalam pelaksanannya memerlukan keterangan (baca: pengesahan)
dari hakim. Hakim pengadilan dapat memberikan pengesahan atau
menolak memberikan pengesahan, jika ditemukan kesalahan formil
yang menurut undang-undang dapat membatalkan keputusan yang
dibuat oleh scheidsgerecht atau pengadilan wasit. Hakim dalam
memberikan pengesahan terhadap putusaan scheidsgerecht tidak
boleh mempertimbangkan apakah isi putusan wasit itu betul atau
salah, karena penyelesaian sengketa dengan bantuan wasit atau
arbitrase hanya mungkin dilakukan bila kedua belah pihak
menginginkannya.25
3. Mediasi pada masa kemerdekaan sampai sekarangDalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang beada dibawahnya lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peadilan militer, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah mahkamah konstitusi. Ketentuan pasal 24 mengisyartkan
bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat
dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi). Badan peradilan adalah
pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan
keadilan. Meskipun demikian, sistem hukum di Indonesia juga
membuka peluang menyelesaikan sengketa diluar jalur pengadilan
(nonlitigasi). Dua model penyelesaian ini disebut dengan metode
penyelesaian sengketa dalam bentuk formal dan informal.
a) Mediasi pada lembaga peradilan(1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 tahun
2003
25 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 289.
14
Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 02
tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadikan
mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Ia
menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa dipengadilan.
Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana
yang tertuang dalam hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 Rbg.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 Perma No. 02 tahun 2003, yaitu
semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama
wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediasi.26
Ketentuan Pasal 2 Perma ini mengharuskan hakim sebelum
melanjutkan proses pemeriksaan perkara terlebih dahulu menawarkan
mediasi kepada pihak yang bersengketa. Penawaran ini bukanlah
suatu bentuk pilihan (choice) tetapi merukan kewajiban yang haru
diikuti oleh para pihak. Pasal 3 ayat (1) Perma No. 02 Tahun 2003
menyebutkan bahwa pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua
belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara terlebih
dahulu menempuh mediasi. Ketentuan dalam ayat ini menunjukan
bawahwa para pihak tidak dapat menolak kewajiban yang dibebankan
hakim untuk menempuh jalur mediasi terlebih dahulu sebelum
perkaranya dilanjutkan.
Dalam Perma No. 02 Tahun 2003 secara keseluruhan berisi 18
Pasal yang terbagi menjadi 6 Bab, yaitu ketentuan umum, tahap Pra
mediasi, tahap mediasi, tempat dan biaya, lain-lain dan terakhir
Penutup.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya Mahkamah Agung
menyempurnakan prosedur mediasi di pengadilan dengan
mengeluarkan Perma No. 01 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan, hal ini dilakukan karena ditemukan beberapa masalah,
sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Perma No. 01
26 Ibid., hal 306.
15
tahun 2008 ini sebagai upaya untuk mendayagunakan dan
mempercepat, mempermurah dan mempermudah penyelesaian
sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari
keadilan. Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi
penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan
fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa,
disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).27
(2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 01 tahun 2008
Disusunnya Perma No. 01 Tahun 2008 dimaksudkan untuk lebih
mendayagunakan dan memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran
dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu
sengketa pedata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan
mengintegrasikan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di
pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam Perma No.
01 Tahun 2008, karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau
enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim terbut
batal demi hukum (Pasal 2 ayat 3). Oleh karenanya, hakim dalam
pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang
bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan
menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Pasal 4 Perma No. 01 Tahun 2008 menentukan perkara yang
dapat diupayakan mediasi adalah semua sengeketa perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang
diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan
industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan
27 Ibid., hal 310.
16
Usaha. Perkara perdata yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara
perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan
lingkup peradilan agama yang meliputi perkara perkawinan,
kewarisan, wakaf, hibah, sodaqoh, wasiat, dan ekonomi Islam.
Pada prinsipnya mediasi dilingkungan pengadilan dilakukan oleh
mediator yang berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah
mediator yang sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat
pertama tersedia mediator, maka Perma ini mengizinkan hakim
menjadi mediator. Hakim yang menjadi mediator bukanlah hakim yang
sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi hakim-
hakim lainnya dipengadilan tersebut. Mediator non hakim dapat
berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang
diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI ( Pasal 5
ayat 1 ).
Jika medisi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai, bentuk kesepakatan perdamaian tersebut
dituangakan dalam bentuk akta perdamaian (Pasal 17)
Dalam Perma No. 01 Tahun 2008 secara keseluruhan berisi 27
Pasal yang terbagi menjadi 8 Bab, yaitu ketentuan umum, tahap Pra
mediasi, tahap-tahap proses mediasi, tempat penyelenggaraaan
mediasi, perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan
kembali, kesepakatan diluar pengadilan, pedoman perilaku mediator
dan insentif dan terakhir Penutup.
b) Mediasi diluar lembaga peradilanLembaga mediasi diluar pengadilan adalah lembaga mediasi yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menyelesaikan
17
sengketa. Biasanya lembaga ini berbadan hukum yayasan atau dalam
bentuk lainnya, yang mana mereka menyediakan jasa mediasi bagi
masyarakat yang menginginkan penyelesaian sengketa.28
Penyelesaian sengketa yang sudah lama berkembang adalah
arbitrase. Para pihak melalaui klausul yang disepakati dalam
perjanjian, menundukan diri (submission) menyerahkan penyelesaian
sengketa yang timbul dari perjajian kepada pihak ketiga yang netral
dan bertindak sebagai arbiter. Dalam tata hukum nasional di
Indonesia ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa.29
Undang-Undang No 30 tahun 1999 ini memuat 82 Pasal yang
terdiri dari 11 bab, yaitu ketentuan umum, Alternatif penyelesaian
sengketa, Syarat arbitrase pengangkatan arbiter dan hak ingkar,
syarat pengangkatan arbiter, acara yang berlaku dihadapan majelis
arbitrase, pendapat dan putusan arbitrase, pelaksanaan putusan
arbitrase, pembatalan putusan arbitrase, berakhirnya tugas arbiter,
biaya arbitrase, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999
tersebut mendefinisikan “ Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar pengadilan umum uang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan
yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun
melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa
melalui Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan
waktu yang lama.30
28 Ibid., hal 336.29 Rachmadi Usman, Pilihan ... Op. Cit., hal. 117.30 Ibid., hal. 118.
18
Arbitrase sangat berbeda dengan mediasi, perbedaan pokoknya
terletak pada fungsi dan kewenangannya, yakni : (1) Arbiter diberi
kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa,
(2) untuk itu arbiter berwenang mengambil putusan yang lazim disebut
award, (3) sifat putusan langsung final and binding (final dan
mengikat) kepada para pihak.31
Salah satu lembaga mediasi yang terkenal adalah Pusat Mediasi
Nasional (National Mediation Center). Disamping itu terdapat pula
lembaga penyedia jasa pelayanan mediasi, walaupun tidak
menggunakan nama pusat mediasi, lembaga tersebut antara lain:32
(1) Pusat Mediasi Nasional
(2) Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT)
(3) Badan Arbitrase Nasional (BANI)
(4) Badan Arbitrase Mu’amalah Indonesia (BAM-UI)
(5) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
(6) Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Dan berbagai lembaga lainnya. Kegiatan utama lembaga ini
adalah menjalankan arbitrase, namun mereka juga memiliki sejumlah
mediator yang memberikan pelayanan kepada pihak yang
bersengketa, jika para pihak menempuh jalur mediasi dan bukan
arbitrase.
Di Indonesia, lembaga penyedia jasa mediasi tumbuh cukup
banyak, dan kemungkinan besar akan bertambah lagi dimasa
mendatang, mengingat kebutuhan penyelesaian sengketa secara
cepat dan memuaskan para pihak menjadi tuntutan terutama bagi
para pelaku bisnis.33
D. KesimpulanMediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga akan menjadi mediator, bila ia
31 Nurnaningsih Amriani, Mediasi … Op. Cit., hal. 2132 Rachmadi Usman, Pilihan ... Op. Cit., hal. 126-129.33 Syahrial Abbas, Mediasi … Op. Cit., hal 336.
19
mendapatkan kepercayaan (trust) dari para pihakyang bersengketa.
Kepercayaan diperoleh mediator bila ia dianggap adil, jujur, tidak memihak
dan tidak memiliki kepentinganapapun terhadap sengketa yang dialami
para pihak. Kepercayaan merupakan modal utama bagi para mediator
dalam menjembatani para pihak untuk “duduk bersama” mencarikan jalan
keluar terhdap sengketa yang mereka hadapi. Mediator hanyalah
membantu para pihak untuk mencarikan sejumlah kemungkinan solusi
bagi penyelesaian sengketa. Mediator tidak dapat menawarkan atau
memaksakan para pihak untuk menerima solusi yang berasal darinya,
tetapi mediator harus mendorong para pihak untuk menciptakan sendiri
sejumlah solusi yang dapat mengakhiri sengketa mereka.
Dalam sistem hukum adat, mediasi digunakan oleh masyarakat
hukum adat sebagai cara dalam penyelesaian sengketa. Mediasi memiliki
keterkaitan dengan pandangan hidup masyarakat hukum adat, bahwa
sengketa yang terjadi antara para pihak menandakan adanya gangguan
keseimbangan nilai komunal dari masyarakat hukum adat. Persengketaan
tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, tetapi para pihak yang terlibat
berkewajiban menyelesaikannya dalam rangka menjaga keseimbangan
nilai kebersamaan dan kerukunan dalam masyarakat hukum adat. Tokoh
adat amat berperan dalam membantu para pihak yang menyelesaikan
sengketa melalui mediasi. Keberadaan tokoh adat sebagai pihak ketiga
(mediator) amat diperlukan, karena mereka adalah orang yang memiliki
otoritas dan kewibawaan dalam menjaga dan menegakan nilai-nilai adat.
Pada masa kolonial belanda ini lembaga pengadilan diberikan
kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Kewenangan mendamaikan hanya sebatas kasus-kasus keluarga dan
perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan
berbagai aktivitas bisnis lainnya.
Dalam sistem hukum nasional, mediasi dapat dilakukan terhadap
sengketa perdata atau sengketa lain yang memungkinkan dilakukan
upaya perdamaian. Ketentuan ini ditemukan dalam pasal 6 Undang-
20
Undang No. 30 tahun 1999 yang menyatakan sengketa atau beda
pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
menyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan. Ketentuan
pasal ini memberi ruang gerak mediasi yang cukup luas, yaitu seluruh
perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup perdata.
Hal senada juga ditegaskan dalam peraturan Mahakamah Agung RI
Nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Dalam pasal
4 Perma tersebut disebutkan bahwa semua sengketa perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebi dahulu diselesaikan
melalui perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali perkara yang
diselesaiakan melaui porsedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan
industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Ketentuan pasal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup
sengketa yang dapat dimediasikan adalah seluruh perkara perdata yang
menjadi kewewenangan peradilan umum dan peradilan agama pada
tingkat pertama. Kewenangan peradilan agama meliputi perkara
perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, sodakoh, wasiat, dan ekonomi
Islam. Dengan demikian, mediasi dalam sistem hukum nasional dapat
dilaksanakan diluar pengadilan maupun dihadapan pengadilan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam proses beracara.
DAFTAR PUSTAKA
21
Abbas, Syahrial, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum
Nasional, Kencana, Jakarta, 2011.
Amriani, Nurnaningsih, Mediasi Alternative Penyelesaian Sengketa Perdata
Di Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, CV. Mandar
Maju, Bandung, 1992.
Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2012.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Rahmadi, Takdir , Mediasi (Penyelesaian sengketa melalui pendekatan
mufakat), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Sumartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Media
Pustaka Utama, 2006, hal 119.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata,
CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Kesebelas, 2009.
Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
22