makalah sejarah hukum

22
SEJARAH MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN Tugas Makalah Mata Kuliah : Sejarah Hukum Dosen : Dr. Arief Suryono, S.H., M.H. Disusun Oleh : 1. Imdadurrouf E2A015053 2. Jaenuri E2A015055 3. Lilik Winarti E2A015057 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2015 / 2016 1

Upload: frenatav

Post on 18-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SEJARAH MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI

PENGADILAN

Tugas Makalah Mata Kuliah : Sejarah Hukum

Dosen : Dr. Arief Suryono, S.H., M.H.

Disusun Oleh :1. Imdadurrouf E2A0150532. Jaenuri E2A0150553. Lilik Winarti E2A015057

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO2015 / 2016

1

A. PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dimana mereka

saling membutuhkan satu sama lain. Dengan adanya hubungan timbal

balik, maka sering kali timbul fenomena sosial berupa konflik yang timbul

akibat adanya kepentingan yang berbeda-beda. Dengan timbulnya konflik,

maka hukum memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik

tersebut.

Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian

konflik (sengketa) yang berperan selama ini. Namun putusan yang

diberikan pengadilan belum mampu menciptakan kepuasan dan keadilan

bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung

memuasakan salah satu pihak dan tidak memuaskan pihak lain. Pihak

yang mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki hak atas sesuatu,

maka pihak tersebut akan dimenangkan oleh pengadilan. Sebaliknya,

pihak yang tidak mampu mengajukan bukti bahwa ia memiliki hak

terhadap sesuatu, maka pihak tersebut pasti dikalahkan oleh pengadilan,

walaupun secara hakiki pihak tersebut memiliki hak. Dalam konteks ini

penyelesaian sengketa melalui pengadilan menuntut ‘pembuktian formal’,

tanpa menghiraukan kemampuan para pihak dalam mengajukan alat

bukti. Menang kalah merupakan hasil akhir yang akan dituai para pihak,

jika sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Konsekuensi menang kalah, akan menumbuhkan sikap

ketidakpuasan salah satu pihak terhadap putusan pengadilan. Pihak kalah

akan menggunakan upaya hukum, karena ia merasa tidak adil terhadap

suatu putusan. Upaya hukum cenderung digunakan pihak kalah, selama ia

masih diberikan kesempatan oleh suatu sistem hukum. Akibatnya,

penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan memerlukan waktu yang

cukup lama. Pada sisi lain, sering ditemukan dalam praktik bahwa biaya

yang dikeluarkan pihak bersengketa kadang-kadang melebihi jumlah nilai

dari objek harta yang dipersengketakan. Hal ini menandakan bahwa

penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan membuat dampak negatif

2

pada renggangnya hubungan silaturahmi antara para pihak yang

bersengketa.3

Dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, hakim

mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Pernyataan ini

disampaikan hakim kepada para pihak pada sidang pertama. Ia meminta

para pihak untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh

pengadilan maupun mediator diluar daftar pengadilan. Apabila para pihak

memilih mediator dari daftar pengadilan, maka ketua majelis akan

membuat surat penetapan mediator. Bila para pihak tidak setuju dengan

daftar mediator yang ada dipengadilan atau mediator dari luar pengadilan,

maka ketua majelis dengan kewenangan yang ada menunjuk seorang

mediator dari daftar mediator pada pengadilan tingkat pertama dengan

suatu penetapan.4

Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat di

gunakan oleh para pihak. Lembaga ini memberikan kesempatan kepada

para pihak untuk berperan mengambil inisiatif, guna menyelesaikan

sengketa mereka yang dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Prinsip

mediasi adalah sama-sama menang (win-win solution), sehingga para

pihak yang terlibat sengketa merasakan tidak adanya pihak menang dan

pihak kalah. Mediasi bukan hanya mempercepat proses penyelesaian

sengketa, tetapi juga menghilangkan dendam dan memperteguh

hubungan silaturahmi.5

Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa

para pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap

pengambilan keputusan. Mediator menjembatani pertemuan para pihak

melakukan negosiasi, menjaga dan mengontrol proses negosiasi,

menawarkan alternatif solusi dan secara bersama-sama para pihak

3 Syahrial Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional, Kencana, Jakarta, 2011, hal x.4 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Kesebelas, 2009, hal. 35-37. Baca juga; Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012, hal. 150-153.5 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal xi.

3

merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa. Meskipun mediator

teerlibat dalam menawarkan solusi dan merumuskan kesepakatan, bukan

berarti ia yang menentukan hasil kesepakatan. Keputusan akhir tetap

berada ditangan para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah

membantu mencari jalan keluar, agar para pihak bersedia duduk bersama

menyelesaikan sengketa yang mereka alami.6

Mediasi dapat dilakukan melalui jalur pengadilan atau diluar jalur

pengadilan. Ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

ditujukan untuk menyelesaikan sengketa diluar jalur pengadilan,

sedangkan Perma No. 02 Tahun 2003 sebagaimana telah di ubah dengan

Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

diterbitkan untuk prosedur mediasi di Pengadilan. Mediasi di pengadilan

merupakan suatu rangkaian dengan pemeriksaan perkara di pengadilan.

Bila para pihak gagal menempuh mediasi, maka hakim akan melanjutkan

pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang

berlaku.

B. PERUMUSAN PERMASALAHAN Bagaimanakah sejarah perkembangan Mediasi sebagai alternatif

penyelesaian perkara perdata di pengadilan sampai dengan sekarang ?

C. PEMBAHASAN Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikan dalam

kehidupan masyarakat Indonesia pada masa-masa yang telah lalu.

Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai

telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil,

seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam

masyarakat. Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka

secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak

merampas atau menekan kebebasan individual. Masyarakat Indonesia,

6 Ibid, hal 59.

4

sebagaimana masyarakat lainnya didunia, merasakan bahwa konflik atau

sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus

menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya. Dampak dari

konflik tidak hanya memperburuk hubungan antar para pihak, tetapi juga

dapat menganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.

Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada

prinsip “kebebasan”7 yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak

dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh

masyarakat. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau

salah dalam sengketa yang mereka hadapi, tetapi mereka cenderung

memikirkan penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi

kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian

sengketa yang dapat memuasakan para pihak dapat ditempuh melalu

mekanisme musyawarah dan mufakat. Penerapan prinsip musyawarah ini

umumnya dilakukan diluar pengadilan. Musyawarah mufakat merupakan

falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan,

termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat sebagai nilai

filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara, yaitu Pancasila. Dalam

sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Nilai tertinggi ini,

kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan sejumlah peraturan

perundang-undangan dibawahnya. Prinsip musyawarah mufakat

merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari

solusi terutama diluar jalur pengadilan. Nilai musyawarah mufakat

terkonkritkan dalam bentuk mediasi, dan berbagai bentuk penyelesaian

sengketa lainnya.

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah

mufakat yang berujung damai juga digunakan dilingkungan peradilan,

terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari

sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa kolonial belanda 7 Kebebasan yang dimaksudkan adalah para pihak lebih leluasa untuk mengkreasi kemungkinan opsi yang dapat ditawarkan dalam proses penyelesaian sengketa.

5

sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah

satu asas peradilan (baca: peradilan perdata) di Indonesia. Bahkan akhir-

akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh

prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa.

Dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain

penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup

lama, melahirkan pihak menang kalah, cenderung mempersulit hubungan

para pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak tidak leluasa

mengupayakan opsi penyelesaian sengketa mereka.8

Istilah mediasi dan arbitrase cukup gencar dipopulerkan oleh para

akademisi dan praktisi akhir-akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkap

secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur melaui riset dan studi

akademik. Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam

praktek penyelesaian sengketa. Perguruan tinggi, lembaga swadaya

masyarakat, dan berbagai lembaga lain cukup banyak menaruh perhatian

pada mediasi ini.9

Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin “mediare”

yang berarti berada di tengah, makna ini menunjuk pada peran yang

ditampilkan pihak ke tiga sebagai mediator dalam tugasnya menengahi

dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.10 Secara terminologi para

ahli tidak seragam dalam memberikan definisi mediasi, karena masing-

masing memberikan pengertian sesuai dengan sudat pandangnya,

misalnya J. Folberg dan A. Taylor sebagaiman dikutip Prof. Dr. Syahrizal

Abbas dalam bukunya Mediasi (Dalam hukum syariah, hukum adat dan

hukum nasional) mendefinisikan mediasi” ...the process by wich the

participants, together with the assistance of a neutral persons,

systematically issolate dispute in order to develop options, consider

alternatif, and reach consensual settlement that will accomodate their

8 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 285.9 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Media Pustaka Utama, 2006, hal 119.10 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 1.

6

nedds”.11 Para ahli yang lain misalnya Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H.,

LL.M dalam bukunya Mediasi (penyelesaian sengketa melalui pendekatan

mufakat) mendefinisikan Mediasi sebagai “Suatu proses penyelesaian

sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara

mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan

memutus”.12 Dalam Peraturan Mahkamah agung (Perma) Nomor 01 tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 ayat 7 memberikan

definisi : “ Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu

oleh mediator.“

Sedangkan Pengertian arbitrase sendiri secara etiomologi berasal dari

kata “ arbitase (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),

schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan

untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh

arbiter atau wasit. Sedangkan secara terminologi dalam Black Law

Distionary sebagaimana dikutip Rachmadi Usman, S.H. dalam bukunya

Pilihan Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dijelaskan “ Arbitration is

the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the

parties to the dispute whoo agree in advance to abide by the arbitrator’s

award issued after hearing at which both parties hace an opportunity to be

heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected

persons in some disputed matter, istead of carrting it to establish tribunal

of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense

and taxation of ordinary litigation” dan dalam kamus Hukum Ekonomi

ELIPS menyatakan “ Arbitration, arbitrase, perwasitan adalah : metode

penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas

persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Arbitor, arbiter, wasit adalah orang

yang bukan hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara

11 Ibid., hal 4.12 Takdir Rahmadi, Mediasi (penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 12.

7

menurut tata cara perwasitan”.13 Sedangkan didalam Undang-Undang

Arbitrase Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Pasal 1 ayat 1

mendefinisikan Arbitrase adalah: “Cara penyelesaian suatu sengketa

perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”

Berikut akan dikemukakan sejumlah peraturan yang menjadi

perkembangan mediasi dari hukum adat, masa kolonial belanda, masa

kemerdekaan sampai dengan sekarang serta dasar yuridis bagi

penerapan mediasi di pengadilan maupun diluar pengadilan. Mediasi

dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat

pengaturan tersendiri baik dalam hukum adat, dalam peraturan produk

hukum hindia belanda maupun produk hukum setelah Indonesia merdeka

sampai hari ini. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan

hukum amat penting, mengingat Indonesia adalah negara hukum

(rechtsstaat). Dalam negara hukum tindakan lembaga negara dan

aparatur negara harus memiliki landasan hukum, karena tindakan negara

atau aparatur negara yang tidak ada dasar hukumnya dapat dibatalkan

atau batal demi hukum. Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa

dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di pengadilan atau pihak

lain diluar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan

hukum.

1. Mediasi dalam sistem hukum adatKonsep penyelesaian sengketa melalui mediasi yang

menggunakan win-win solution atau penyelesaian menang sama

menang, telah lama dikenal dalam hukum adat di Indonesia. Konsep

penyelesaian sengketa melalui musyawarah antara para pihak telah

lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem

litigasi diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda.14

13 Rachmadi Usman, Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 107-110.14 Nurnaningsih Amriani, Mediasi alternative penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 115.

8

Penyelesaian sengketa menurut hukum adat selalu diarahkan

kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena

adanya sengketa tersebut, dan tidak bersifat penghukuman.15

Ketua adat didalam menyelesaikan sengketa tidak untuk mencari

siapa yang menang dan siapa yang kalah. Penyelesaian sengketa

melalui musyawarah mufakat dan damai bahkan telah dikenal pada

zaman Mataram II. Pada saat Sultan Agung berkuasa, urusan

peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang

didampingi oleh beberapa ulama sebagai anggota majelis peradilan.

Peradilan ini disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini

dilaksanakan atas dasar musyawarah dan mufakat (collegiale

rechtspraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir

oleh raja. Pada zaman tersebut disamping adanya peradilan serambi,

didaerah-daerah juga berlaku peradilan “padu”, yaitu penyelesaian

perselisihan-perselisihan antara perorangan oleh peradilan keluarga

(peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara

kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai

dibawah pimpinan seorang pejabat kerajaan yang disebut Jaksa.16

Kemudian pola-pola penyelesaian sengketa tersebut tetap

dikenal didalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial

Belanda. Pada zaman ini dikenal apa yang disebut dengan hakim

perdamaian desa. Lembaga perdamaian desa mendapat pengakuan

secara hukum berdasarkan Pasal 3a RO (Rechtelijke Organisatie),

yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh

menjatuhkan hukuman (ayat 3). Oleh karena tidak boleh menjatuhkan

hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”. Dalam menegakan

hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan

15 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 249.16 H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hal 61.

9

mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam Pasal 3 dan

13 Regelement Indonesia yang diperbaharui (RIB).17

Beberapa aspek positif dari perdamaian desa, yaitu :18

a) Hakim perdamaian desa bertindak aktif mencari fakta

b) Hakim meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam

masyarakat.

c) Putusan diambil berdasarkan musyawarah dan/atau mufakat

d) Putusan dapat diterima oleh para pihak dan juga memuaskan

masyarakat secara keseluruhan

e) Pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, hal mana menunjukan

adanya tenggang rasa (toleransi) yang tinggi diantara para pihak.

f) Suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan

g) Integrasi masyarakat dapat dipertahankan

Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai

tetap bertahan didalam masyarakat hukum adat Indonesia dewasa ini.

Didalam masyarakat Batak, misalnya: masih mengandalkan forum

rukun adat yang pada intinya adalah penyelesaian sengketa secara

musyawarah dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minangkabau juga

dikenal adanya Lembaga Hakim Perdamaian Minangkabau, yang

secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator. Dalam

masyarakat Minang telah berkembang suatu tradisi bahwa kalau

terjadi perselisihan, termasuk sengketa dagang (yang dianggap

identik sebagai pekerjaan orang Minang), mereka mencari berbagai

kemungkinan alternatif mana yang lebih efektif jika kasusnya harus

segera diselesaikan dipengadilan atau diluar pengadilan. Dengan

sejumlah pertimbangan, banyak kasus dagang di Minang ternyata

diselesaikan melalui “mediasi” (kesepakatan) atau konsiliasi

(kesepakatan dengan kompensasi).19 Demikian juga dalam

17 Nurnaningsih Amriani, Mediasi … Op. Cit., hal 117. 18 Ibid., hal 117.19 Ibid., hal 118.

10

masyarakat Jawa, penyelesaian sengketa dilakukan melalui

musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat atau tokoh

agama.

Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa konsep penyelesaian

melalui mediasi telah lama dikenal dalam sistem hukum adat kita.

Sayangnya pola-pola penyelesaian sengketa win-win solution yang

dikenal dalam hukum adat kita kurang dikembangkan oleh masyarakat.

Bahkan, masyarakat kita yang menyatakan diri sebagai masyarakat

yang kompromis, telah beralih menjadi masyarakat litigasi (litigious

society).

2. Mediasi pada masa Kolonial BelandaMediasi juga dikenal dalam sistem hukum kolonial belanda

walaupun hanya secara implisit. Setidaknya ada dua peraturan

perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar untuk menerapkan

mediasi, yaitu HIR (Herziene Indonesische Reglement) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan terjemahan dari

BW (Burgerlijk Wetboek).20

HIR adalah hukum acara perdata peninggalan pemerintahan

kolonial Belanda yang berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan

peralihan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang

kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun

1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

Pada masa kolonial belanda ini lembaga pengadilan diberikan

kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa.

Kewenangan mendamaikan hanya sebatas kasus-kasus keluarga dan

perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa,

dan berbagai aktivitas bisnis lainnya. Hakim diharapkan mengambil

peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang

20 Ibid., hal 121.

11

bersengketa. Hakim yang baik berusaha maksimal dengan

memberikan sejumlah saran agar upaya damai tidak hanya

bermanfaat bagi para pihak, tetapi juga memberikan kemudahan bagi

hakim dalam mempercepat penyelesaian sengketa yang menjadi

tugasnya.21

Dalam pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement,

Staatsblad 1941:44) ayat (1) dikatakan bahwa :

“Jika pada hari yang ditentukan untuk itu, kedua belah pihak datang

maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan

memperdamaikan mereka”

Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan bahwa :

“Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu

bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana

kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat

itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai

putusan yang biasa”.

Atau juga dalam Pasal 154 R.Bg (Rechts reglement Buitengwesten,

Staatsblad, 1927:227) atau pasal 31 Rv (Reglement op de

Rechtsvordering, Staatsblad 1874:52), disebutkan bahwa hakim atau

majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara

mereka diputuskan. 22

Ketentuan dalam pasal 130 HIR/ 154 R.bg/ 31 Rv

mengambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai

merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa dipengadilan.

Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan ia tidak boleh

memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih

dahulu. Bila kedua belah pihak bersetuju menempuh jalur damai,

maka hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah

pihak, sehingga mereka sendiri menemukan bentuk-bentuk

kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa mereka. 21 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 286.22 Ibid., hal 287.

12

Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta

perdamaian, sehingga memudahkan para pihak melaksanakan

kesepakatan itu. Akta damai memeiliki kekuatan hukum sama dengan

vonnies hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para pihak jika

salah satu diantara mereka enggan melaksanakan isi kesepatakatan

tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap

akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. Dalam sejarah

hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan :

dading”23

Peraturan perundang-undangan pada masa belanda juga

mengatur penyelesaian sengketa melalui upaya damai diluar

pengadilan. Upaya tersebut dikenal dengan Arbitrase. Ketentuan

mengenai hal ini diatur dalam Pasal 615-651 Rv (Reglement op de

Rechtsvordering, Staatsblas 1874:52), atau Pasal 377 HIR (Het

Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44). Ketentuan dari

pasal-pasal ini antara lain berbunyi : Jika orang bangsa bumiputera

dan orang Timur Asing hendak menyuruh memutuskan

perselisihannya oleh juru pemisah atau arbitrase, maka dalam hal itu

mereka wajib menurut peraturan mengadili perkara bagi bangsa

Eropa.24

R. Tresna memberikan komentar bahwa Pasal 377 HIR, pada

dasarnya memberikan peluang bagi para pihak bersengketa untuk

meminta bantuan atau jasa baik dari pihak ketiga guna menyelesaikan

perselisihan mereka. Pihak ketiga dikenal dengan scheidsgerecht atau

pengadilan wasit. Scheidsgerecht tidak berbeda dengan pengadilan

biasa, kecuali orang yang mengadili perkara bukanlah hakim,

melainkan seseorang atau beberapa orang yang dipilih oleh pihak-

pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa mereka.

Keputusaan dari pengadilan wasit atau scheidsgerecht sama

23 Ibid., hal 288.24 Rachmadi Usman, Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 113-115.

13

kekuatannya dengan keputusan pengadilan (vonnies hakim), kecuali

dalam pelaksanannya memerlukan keterangan (baca: pengesahan)

dari hakim. Hakim pengadilan dapat memberikan pengesahan atau

menolak memberikan pengesahan, jika ditemukan kesalahan formil

yang menurut undang-undang dapat membatalkan keputusan yang

dibuat oleh scheidsgerecht atau pengadilan wasit. Hakim dalam

memberikan pengesahan terhadap putusaan scheidsgerecht tidak

boleh mempertimbangkan apakah isi putusan wasit itu betul atau

salah, karena penyelesaian sengketa dengan bantuan wasit atau

arbitrase hanya mungkin dilakukan bila kedua belah pihak

menginginkannya.25

3. Mediasi pada masa kemerdekaan sampai sekarangDalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang beada dibawahnya lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peadilan militer, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah mahkamah konstitusi. Ketentuan pasal 24 mengisyartkan

bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat

dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi). Badan peradilan adalah

pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan

keadilan. Meskipun demikian, sistem hukum di Indonesia juga

membuka peluang menyelesaikan sengketa diluar jalur pengadilan

(nonlitigasi). Dua model penyelesaian ini disebut dengan metode

penyelesaian sengketa dalam bentuk formal dan informal.

a) Mediasi pada lembaga peradilan(1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 tahun

2003

25 Syahrial Abbas, Mediasi …Op. Cit., hal 289.

14

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 02

tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadikan

mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Ia

menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa dipengadilan.

Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana

yang tertuang dalam hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 Rbg.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 Perma No. 02 tahun 2003, yaitu

semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama

wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan

bantuan mediasi.26

Ketentuan Pasal 2 Perma ini mengharuskan hakim sebelum

melanjutkan proses pemeriksaan perkara terlebih dahulu menawarkan

mediasi kepada pihak yang bersengketa. Penawaran ini bukanlah

suatu bentuk pilihan (choice) tetapi merukan kewajiban yang haru

diikuti oleh para pihak. Pasal 3 ayat (1) Perma No. 02 Tahun 2003

menyebutkan bahwa pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua

belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara terlebih

dahulu menempuh mediasi. Ketentuan dalam ayat ini menunjukan

bawahwa para pihak tidak dapat menolak kewajiban yang dibebankan

hakim untuk menempuh jalur mediasi terlebih dahulu sebelum

perkaranya dilanjutkan.

Dalam Perma No. 02 Tahun 2003 secara keseluruhan berisi 18

Pasal yang terbagi menjadi 6 Bab, yaitu ketentuan umum, tahap Pra

mediasi, tahap mediasi, tempat dan biaya, lain-lain dan terakhir

Penutup.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya Mahkamah Agung

menyempurnakan prosedur mediasi di pengadilan dengan

mengeluarkan Perma No. 01 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di

pengadilan, hal ini dilakukan karena ditemukan beberapa masalah,

sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Perma No. 01

26 Ibid., hal 306.

15

tahun 2008 ini sebagai upaya untuk mendayagunakan dan

mempercepat, mempermurah dan mempermudah penyelesaian

sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari

keadilan. Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi

penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan

fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa,

disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).27

(2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 01 tahun 2008

Disusunnya Perma No. 01 Tahun 2008 dimaksudkan untuk lebih

mendayagunakan dan memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran

dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu

sengketa pedata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan

mengintegrasikan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di

pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam Perma No.

01 Tahun 2008, karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur

penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau

enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim terbut

batal demi hukum (Pasal 2 ayat 3). Oleh karenanya, hakim dalam

pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang

bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan

menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Pasal 4 Perma No. 01 Tahun 2008 menentukan perkara yang

dapat diupayakan mediasi adalah semua sengeketa perdata yang

diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang

diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan

industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan

27 Ibid., hal 310.

16

Usaha. Perkara perdata yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara

perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan

lingkup peradilan agama yang meliputi perkara perkawinan,

kewarisan, wakaf, hibah, sodaqoh, wasiat, dan ekonomi Islam.

Pada prinsipnya mediasi dilingkungan pengadilan dilakukan oleh

mediator yang berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah

mediator yang sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat

pertama tersedia mediator, maka Perma ini mengizinkan hakim

menjadi mediator. Hakim yang menjadi mediator bukanlah hakim yang

sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi hakim-

hakim lainnya dipengadilan tersebut. Mediator non hakim dapat

berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang

diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh

lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI ( Pasal 5

ayat 1 ).

Jika medisi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak

dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis

kesepakatan yang dicapai, bentuk kesepakatan perdamaian tersebut

dituangakan dalam bentuk akta perdamaian (Pasal 17)

Dalam Perma No. 01 Tahun 2008 secara keseluruhan berisi 27

Pasal yang terbagi menjadi 8 Bab, yaitu ketentuan umum, tahap Pra

mediasi, tahap-tahap proses mediasi, tempat penyelenggaraaan

mediasi, perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan

kembali, kesepakatan diluar pengadilan, pedoman perilaku mediator

dan insentif dan terakhir Penutup.

b) Mediasi diluar lembaga peradilanLembaga mediasi diluar pengadilan adalah lembaga mediasi yang

memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menyelesaikan

17

sengketa. Biasanya lembaga ini berbadan hukum yayasan atau dalam

bentuk lainnya, yang mana mereka menyediakan jasa mediasi bagi

masyarakat yang menginginkan penyelesaian sengketa.28

Penyelesaian sengketa yang sudah lama berkembang adalah

arbitrase. Para pihak melalaui klausul yang disepakati dalam

perjanjian, menundukan diri (submission) menyerahkan penyelesaian

sengketa yang timbul dari perjajian kepada pihak ketiga yang netral

dan bertindak sebagai arbiter. Dalam tata hukum nasional di

Indonesia ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Undang-Undang

Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa.29

Undang-Undang No 30 tahun 1999 ini memuat 82 Pasal yang

terdiri dari 11 bab, yaitu ketentuan umum, Alternatif penyelesaian

sengketa, Syarat arbitrase pengangkatan arbiter dan hak ingkar,

syarat pengangkatan arbiter, acara yang berlaku dihadapan majelis

arbitrase, pendapat dan putusan arbitrase, pelaksanaan putusan

arbitrase, pembatalan putusan arbitrase, berakhirnya tugas arbiter,

biaya arbitrase, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999

tersebut mendefinisikan “ Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata diluar pengadilan umum uang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa”. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan

yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan

yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun

melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa

melalui Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan

waktu yang lama.30

28 Ibid., hal 336.29 Rachmadi Usman, Pilihan ... Op. Cit., hal. 117.30 Ibid., hal. 118.

18

Arbitrase sangat berbeda dengan mediasi, perbedaan pokoknya

terletak pada fungsi dan kewenangannya, yakni : (1) Arbiter diberi

kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa,

(2) untuk itu arbiter berwenang mengambil putusan yang lazim disebut

award, (3) sifat putusan langsung final and binding (final dan

mengikat) kepada para pihak.31

Salah satu lembaga mediasi yang terkenal adalah Pusat Mediasi

Nasional (National Mediation Center). Disamping itu terdapat pula

lembaga penyedia jasa pelayanan mediasi, walaupun tidak

menggunakan nama pusat mediasi, lembaga tersebut antara lain:32

(1) Pusat Mediasi Nasional

(2) Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT)

(3) Badan Arbitrase Nasional (BANI)

(4) Badan Arbitrase Mu’amalah Indonesia (BAM-UI)

(5) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)

(6) Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Dan berbagai lembaga lainnya. Kegiatan utama lembaga ini

adalah menjalankan arbitrase, namun mereka juga memiliki sejumlah

mediator yang memberikan pelayanan kepada pihak yang

bersengketa, jika para pihak menempuh jalur mediasi dan bukan

arbitrase.

Di Indonesia, lembaga penyedia jasa mediasi tumbuh cukup

banyak, dan kemungkinan besar akan bertambah lagi dimasa

mendatang, mengingat kebutuhan penyelesaian sengketa secara

cepat dan memuaskan para pihak menjadi tuntutan terutama bagi

para pelaku bisnis.33

D. KesimpulanMediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak

ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga akan menjadi mediator, bila ia

31 Nurnaningsih Amriani, Mediasi … Op. Cit., hal. 2132 Rachmadi Usman, Pilihan ... Op. Cit., hal. 126-129.33 Syahrial Abbas, Mediasi … Op. Cit., hal 336.

19

mendapatkan kepercayaan (trust) dari para pihakyang bersengketa.

Kepercayaan diperoleh mediator bila ia dianggap adil, jujur, tidak memihak

dan tidak memiliki kepentinganapapun terhadap sengketa yang dialami

para pihak. Kepercayaan merupakan modal utama bagi para mediator

dalam menjembatani para pihak untuk “duduk bersama” mencarikan jalan

keluar terhdap sengketa yang mereka hadapi. Mediator hanyalah

membantu para pihak untuk mencarikan sejumlah kemungkinan solusi

bagi penyelesaian sengketa. Mediator tidak dapat menawarkan atau

memaksakan para pihak untuk menerima solusi yang berasal darinya,

tetapi mediator harus mendorong para pihak untuk menciptakan sendiri

sejumlah solusi yang dapat mengakhiri sengketa mereka.

Dalam sistem hukum adat, mediasi digunakan oleh masyarakat

hukum adat sebagai cara dalam penyelesaian sengketa. Mediasi memiliki

keterkaitan dengan pandangan hidup masyarakat hukum adat, bahwa

sengketa yang terjadi antara para pihak menandakan adanya gangguan

keseimbangan nilai komunal dari masyarakat hukum adat. Persengketaan

tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, tetapi para pihak yang terlibat

berkewajiban menyelesaikannya dalam rangka menjaga keseimbangan

nilai kebersamaan dan kerukunan dalam masyarakat hukum adat. Tokoh

adat amat berperan dalam membantu para pihak yang menyelesaikan

sengketa melalui mediasi. Keberadaan tokoh adat sebagai pihak ketiga

(mediator) amat diperlukan, karena mereka adalah orang yang memiliki

otoritas dan kewibawaan dalam menjaga dan menegakan nilai-nilai adat.

Pada masa kolonial belanda ini lembaga pengadilan diberikan

kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa.

Kewenangan mendamaikan hanya sebatas kasus-kasus keluarga dan

perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan

berbagai aktivitas bisnis lainnya.

Dalam sistem hukum nasional, mediasi dapat dilakukan terhadap

sengketa perdata atau sengketa lain yang memungkinkan dilakukan

upaya perdamaian. Ketentuan ini ditemukan dalam pasal 6 Undang-

20

Undang No. 30 tahun 1999 yang menyatakan sengketa atau beda

pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif

penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan

menyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan. Ketentuan

pasal ini memberi ruang gerak mediasi yang cukup luas, yaitu seluruh

perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup perdata.

Hal senada juga ditegaskan dalam peraturan Mahakamah Agung RI

Nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Dalam pasal

4 Perma tersebut disebutkan bahwa semua sengketa perdata yang

diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebi dahulu diselesaikan

melalui perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali perkara yang

diselesaiakan melaui porsedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan

industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha. Ketentuan pasal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup

sengketa yang dapat dimediasikan adalah seluruh perkara perdata yang

menjadi kewewenangan peradilan umum dan peradilan agama pada

tingkat pertama. Kewenangan peradilan agama meliputi perkara

perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, sodakoh, wasiat, dan ekonomi

Islam. Dengan demikian, mediasi dalam sistem hukum nasional dapat

dilaksanakan diluar pengadilan maupun dihadapan pengadilan sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dalam proses beracara.

DAFTAR PUSTAKA

21

Abbas, Syahrial, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum

Nasional, Kencana, Jakarta, 2011.

Amriani, Nurnaningsih, Mediasi Alternative Penyelesaian Sengketa Perdata

Di Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, CV. Mandar

Maju, Bandung, 1992.

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Ghalia

Indonesia, Bogor, 2012.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003

Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008

Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Rahmadi, Takdir , Mediasi (Penyelesaian sengketa melalui pendekatan

mufakat), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Sumartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Media

Pustaka Utama, 2006, hal 119.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata,

CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Kesebelas, 2009.

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

22