sejarah perkembangan hukum laut internasional

35
HUKUM LAUT INTERNASIONAL “SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL” HESTIKA DWI NINGRUM 1212011140 UNIVERSITAS LAMPUNG

Upload: himbiounila

Post on 24-Jan-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

“SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT

INTERNASIONAL”

HESTIKA DWI NINGRUM

1212011140

UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS HUKUM

BANDAR LAMPUNG

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “SEJARAH

PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL”. Makalah ini

dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan dalam melengkapi

nilai tugas guna menyelesaikan mata kuliah hukum laut

internasional.

Meskipun telah berusaha seoptimal mungkin, penulis

berkeyakinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan harapan

oleh keterbatasan ilmu pengetahuan, tenaga, dan waktu, serta

literature bacaan. Namun, dengan ketekunan dan tekad penulis

dapat menyelesaikan makalah ini.

Bandar Lampung, 14 April 2014

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagian terbesar dari wilayah dunia terdiri dari perairan,

terutama perairan laut. Permukaan bumi yang memiliki luas 200

juta mil persegi, 70% atau 140 juta mil persegi terdiri dari

air. Dari jumlah ini, 97% terdiri dari air asin atau

135.800.000 mil persegi dan 3% air tawar atau 4.200.000 mil

persegi. Di antara lautan-lautan yang terluas, yaitu Laut

Pasifik yang mengenangi permukaan bumi seluas 63.855.000 mil

persegi, Laut Atlantik 31.744.000 mil persegi, Laut Artik

5.427.000 mil persegi dan Laut Mediterania seluas 967.000 mil

persegi.1 Dari keseluruhan permukaan bumi yang terdiri dari

1 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, Hlm. 269.

lautan, ada yang merupakan bagian dari wilayah negara, bagian

dari yuridiksi negara dan ada pula merupakan bagian dari laut

lepas.

Pembedaan batas dari wilayah laut atau zona maritime ini,

dalam ketentuan internasional diukur dari garis pangkal yang

bentuk dan sifatnya beragam, antara satu bentuk geografis

dengan bentuk geografis lainnya. Sistem pengukuran wilayah

perairan suatu negara dalam hokum laut internasional.2

Banyak sekali manfaat laut yang dapat kita rasakan antara lain

yaitu sebagai sumber kekayaan alam, sebagai sarana

transportasi, sebagai sarana untuk membuang limbah, sebagai

sarana pelabuhan, sebagai sarana untuk memasang kabel dan pipa

bawah laut, sebagai sarana penelitian ilmiah kelautan, sebagai

sarana pertempuran dan menudukkan lawan. Semenjak laut

dimanfaatkan untuk itulah, maka tidak jarang menjadi rebutan

dan klaim bagi negara-negara lainnya, supaya tidak menimbulkan

persengketaan antar negara dalam memanfaatkan dan memfungsikan

laut, maka perlu diatur oleh suatu norma atau kaidah yaitu

hukum laut internasional.3 Hukum laut internasional adalah

sekumpulan kaidah dan asas yang mengatur mengenai zona

maritime yang melintasi batas negara. Pada makalah ini akan

menjelaskan tentang bagaimana sejarah perkembangan hukum laut

internasional dan pengaturan zona maritim.

2 Khaidir Anwar, Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Penerbit Universitas Lampung, 2011, hlm. 55.3 Abddul Muthalib Tahar. 2013. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Cet. 2. Bandar Lampung: ISBN:978-602-7509-01-6. Hlm 4.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun identifikasi masalah dari latar belakang diatas adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana sejarah perkembangan hukum laut internasional?

b. Bagaimana pengaturan zona maritim

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang akan dijawab dalam

makalah ini adalah :

1. Menjelaskan sejarah perkembangan hukum laut internasional

2. Menjelaskan pengaturan zona maritim

1.4 Metode Penulisan

Untuk menjawab rumusan masalah penulis menggunakan metode

penelitian hukum normatif, yaitu bahan-bahan yang dikumpulkan

dengan studi kepustakaan yang terdiri dari:

1.Bahan hukum primer, yaitu UNCLOS

2.Bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan internet

3.Bahan hukum tersier, yaitu kamus hukum

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran,

perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan ahli-ahli hokum

mulai mencurahkan perhatiannya pada hokum laut. Sebagai suatu

bentuk dari hokum laut yang paling dini pada abad ke-12 telah

dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan yang

dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah Lex Rhodia atau Hukum

Laut Rhodhia mulai dikenal sejak abad ketujuh.4

Suatu koleksi hukum maritime, yang mungkin merupakan koleksi

yang paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim, kapten-

kapten kapal dan pedagang-pedang ternama, diterbitkan pada

tahun 1494, yang dinamakan Consolato del Mare (Konsulat dari

4 Von Glahn, Gerhard, Law Among Nations, An Introdunction to Pub lic International Law, New York, 1965, Hlm. 316.

Lautan). Himpunan Rolles d’Oleron di dalam bahasa Perancis

kuno, merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik.5

Di Indonesia, suatu kompilasi dari “Hukum Laut Amanna Gappa”

dari daerah Wajo (Bugis) di daerah Sulawesi Selatan telah

dikenal, yang merupakan himpunan hokum pelayaran dan

perdagangan.6

Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan

Perjanjian Tordesillas tahun 1494, memperoleh tantangan baik

dari Inggris yang di bawah Elizabeth I menghendaki kebebasan

di laut dan tantangan dari Belanda, yang tercermin dalam

karangan Grotius tahun 1609 yang berjudul “mare liberum”. Pada

abad ke-17 Raja James I dari Inggris memplokamirkan bahwa

menangkap ikan di pantai negara-negara di bawah kekuasaannya

hanya diperkenankan dengan memakai izin. Hal ini berarti bahwa

nelayan-nelayan belanda harus membayar semacam royalty di

perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa

kepada perdebatan yuridis yang sangit antara yurist Belanda

Grotius yang memperhatikan mare liberum dengan pembelaan Selden

dari Inggris yang bergejolak dalam bukunya Mare Clausum.

Masing-masing Belanda dan Inggris sama-sama tidak menghendaki

monopoli Spanyol dan Portugis atas lautan.7

Kedua ajaran ini timbul akibat dari pertentangan Belanda atas

penguasaan laut di dunia oleh Portugal dan Spanyol, serta5 Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi HUkum Laut 1982, Jakarta,1989, hlm. 1.6 Ibid, hlm 1.7 Chairul Anwar, op.cit, hlm 2.

untutan Inggris atas kawasan Mare Anglicanum. Pertentangan

antara Negara-negara ini terutama antara Belanda dan Inggris

menimbulkan the Battle of books (perang buku).perang buku ini

berlangsung kurang lebih 50 tahun dan berakhir dengan

terjadinya perang antara Inggris dan Belanda pada tahun 1665.

Perang buku ini umumnya berkisar pada dua teori tersebut.

1. Mare Liberum

Sebenarnya, sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare

Liberum dalam tahun 1609 oleh Grotius, ajran ini telah dianut

oleh Negara-negara lain. Selama abad ke-16 Ratu Inggris,

Elizabeth menganut teori ini. Francoise Alfonso Castro dalam

bukunya De Potestate Legis Poenalis, Vasculus Menchaca (1509-

1569)di Portugal dalam bukunya Controverslae Illustris,

Alberto Gentilldi Italia dalam bukunya de Jure Belli menganut

teori ini.

Di antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal

adalah Hugo de Groot, yang menulis pandangannya mengenai

kebebasan laut dalam bukunya Mare Liberum yang terbit tahun 1608

tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum, Grotius

berpendapat laut tak dapat dimiliki oleh negara. Pendapat ini

sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan (ownership).

Menurutnya, ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi

melalui possession, dan possession hanya bias terjadi melalui

pemberian atau melalui occupation. Occupation atas barang-

barang bergerak dapat terjadi melalui hubungan fisik atas

barang tersebut, sedangkan occupation atas benda tidak

bergerak dapat terjadi dengan membangun sesuatu di atasnya

(“by power of standing and sitting). Karena itu pemilikan

hanya dapat terjadi atas barang-barang yang dapat dipegang

teguh. Dan untuk dapat dipegang diteguh benda-benda tersebut

harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak berbatas,

karena itu tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair,

dan sesuatu yang cair hanya dapat dimiliki dengan memasukkan

ke tempat yang lebi padat (peraliud). Dengan demikian,

tuntutan pemilikan laut berdasarkan penemuan (discovery),

penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) ataupun

servitude tak dapat diterima karena semua itu bukan alas an

untuk memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian,

Grotius mengakui bahwa anak laut, inner sea, dan sungai

sekalipun cair dapat dimiliki karena ada batasnya, yaitu

tepinya dapat dianggap sebagai per allud.

2. Mare Clausum

Ajaran Grotius mengenai mare liberum sebagaimana disebutkan di

atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya.

Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough,

Paulo Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius

mencegah kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-

bagian tertentu dari laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang

dibuat berdasarkan teori mare liberium hanya dalam satu hal,

yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.

Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John

Sheldon. Penentangnya ini dikemukakan dalam bukunya “Mare

Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut

Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun,

sejarah telah membuktikan bahwa Negara-negara telah

menjalankan kekuasaan mereka atas lautan, dank arena itu

melalui prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut itu

bukan mare liberium tetapi mare clausum. Sifatnya yang cair

tak menyebabkan laut tak dapt dimiliki, karena sungai dan

perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat

dimiliki.11

3. Jalan Tengah

Kenyataan membuktikan bahwa dalam berbagai bidang pertentangan

pendapat kerap melahirkan pendapat ketiga yang bersifat

ecletic yang mencari jalan tengah dengan menggabungkan sisi-

sisi positif dari teori-teori yang saling bertentangan itu.

Dalam kaitannya dengan dapat tidaknya laut dimiliki ternyata,

kedua teori tersebut tak dapat mempertahankan ajarannya dengan

kaku dan konsekuen. Grotius misalnya, dalam De Jure Bell ac

Pacis (1625) menyatakan bahwa laut di sepanjang pantai dapat

dimilki sejauh dapat dikuasai dari darat. Demikian pula

Shelden. Selain mengakui hak Inggris atas Mare Anglicanum juda

mengakui adanya hak lintas damai (innocent pessage) di laut-

laut yang dituntut itu.

Dengan demikian, maka pada masa itu telah diakui ada bagian

laut yang dapat dimiliki, yaitu bagian laut yang sekarang

disebut laut wilayah dan jalur-jalur laut lainnya seperti

jalur perikanan; dan laut yang tak dapat dimiliki oleh

siapapun (laut bebas). Dalam abad ke 18 semua penulias,

mengadakan pembedaan laut atas kawasan laut (maritime belt)

yang dianggap berada di bawah kekuasaan negara-negara pesisir

(the litoral state), dan laut bebas (open sea) yang tidak

berada di bawah kekuasaan negara lain. Pontanus seorang ahli

hokum Belanda, menyebut laut-laut yang dapat dimiliki mare

audience, dan laut yang tidak bisa dimiliki mare alterium.

Persoalannya adalah berapa jarak laut yang dapat dimiliki. Ini

baru dapat dipecahkan pada tahun 1702 ketika seorang ahli

hokum Belanda, Binkhersoek, mengemukakan teori canon shot

rule. Menurutnya, laut wilayah suatu negara adalah sampai

jarak tembakan meriam dari pantai. Tampaknya ajaran ini

pertama-tama dilandasi dari pengawasan nyata dari pelabuhan

atau perbentengan terhadap kawasan laut yang berdeatan dengan

pantainya.

Ajaran ini dikemukakan di bukunya De Dominio Maris Disertasio.

Namun ajarannya ini belum secara pasti menentukan berapa mil

jarak laut yang dapt dimiliki oleh negara. Untuk itu para

penulis waktu itu berupaya mendapatkan patokan yang sama

dengan atau pengganti dari jarak berdasarkan jangkauan meriam

tersebut. Dan, seorang penulis Italia, Gallani (1872)

mengusulkan batas 3 mil atau 1 league Italia sebagai pengganti

dari jarak jangkauan meriam tersebut. Batas ini diakui oleh

Amerika Serikat dalam Notanya kepada Inggris dan Perancis.

Pada 8 Nopember 1873, dalam kaitannya dengan netralitas, dan

selama dan setelah perang Napoleon, prize court (pengadilan

penyitaan kapal) Inggris dan Amerika Serikat menerjemahkan the

canon shoot rule, ke dalam 3 mil laut,18 atau tiga kali 1852

meter.

Sementara itu sepanjang abad ke-18 dan permulaan abad ke-19

sebagai akibat dari pelayaran negar-negara lain (selain

Portugal, Spanyol dan Belanda = pen) perjuangan kebebasan di

laut semakin berat, dan pada akhir kwartal pertama abad ke-19

kebebasan di laut bebas itu diakui secara semesta. Inggris

sendiri yang semula menjadi penentang konsep laut bebas

mengurangi tuntutan kedaulatan maritimnya, dan menjadi

pemimpin baru kebebasan di laut bebas.

Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakkan konsep-konsep dasar

tentang hokum laut, menurut Summer biasanya membagi teori-

teori tentang lautan secara legalistic dalam empat bagian,

yaitu:

1. Perairan pedalaman

2. Laut territorial

3. Zona tambahan

4. Laut lepas8

8 Summers Lionnel, M., The international Law of Peace, Oceana, New York, 1973, hlm. 148.

Pada awal sejarah perkembangan hukum laut, ada beberapa ukuran

yang dipermasalahkan orang untuk menetapkan lebar laut

territorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan

negara pantai. Hingga permulaan abad kedelapan belas prinsip

kedaulatan negara pantai atas jalur maritime ini benar-benar

berlaku. Pada tahun 1702, seorang ahli hokum Belanda Cornelius

van Bynkershoek menerbitkan karyanya sebuah buku berjudul “De

Dominio Mares” mengenai kedaulatan atas laut, datam karyanya

ini menyetujui peraturan baha negara pesisir dapat menguasai

laut sebatas lebar perairan pantai sejauh tembakan peluru

meriam dari meriam-meriam pantai (kurang lebih 3 mil). Batas 3

mil ini memperoleh pengakuan luas dari para ahli hokum, juga

ahli hukum, juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat

pengesahan dalam praktek negara maritime utama.9

Yang menjadi soal lainnya dalam hokum laut internasional

adalah apakah laut dapat dimiliki suatu negara atau tidak.

Selama ini sejarah hokum laut internasional mengenal

pertarungan antara dua konsepsi pokok, yaitu:

1. Res Nullius, yang mengatakan bahwa laut tidak akan

memilikinya dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh

masing-masing negara.

2. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik

dunia dan karena itu tidak diambil atau dimiliki masing-

masing negara.10

9 May Rudy, T, Hukum Internasional 2, Retika Aditama, Bandung, 2011, hlm 1 dan 3.10 Ibid, hlm 1.

Menurut sejarahnya, hukum laut sebagaimana cabang-cabang hukum

lainnya dibuat berdasarkan kebutuhan, kemudian bertahan dalam

bergantinya pemerintahan dan dinasti sehingga kemudian

akhirnya dikodifikasikan. Beberapa konsep hokum dagang yang

sekarang dikenal mempunya akar dari peradaban

Phoenicia/Mediterania Timur. Elemen-elemen yang termasuk di

dalamnya adalah mengenai hukum asuransi, ketentuan terkait

salvage, angkutan laut,kompensasi kepada para pelaut karena

kecelakaan kerja dan sejenisnya. Hukum ini juga mengandung

hukum maritim publik yaitu dalam bentuk perlindungan dari para

perompak oleh kapal perang terhadap kapal-kapal dagang agar

kapal-kapal tersebut dapat melanjutkan pelayaran dagangnya.11

Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan Yunani dan di masa

inilah berkembang hukum yang mengatur mengenai kemaritiman.

Elemen-elemennya antara lain:

Perlindungan terhadap para pelaut yang kapalnya karam

Yurisdiksi pengadilan terkait dengan hukum maritim (Admiralty

Law)

Ketentuan-ketentuan mengenai pemblokiran dan perompakan

Penyelesaian sengketa akibat kontrak-kontrak maritim.12

Terdapat percampuran antara elemen hukum perdata dan hukum

publik. Hukum perdata dalam pengertian terdapatnya ketentuan-

ketentuan yang mengatur hubungan mengenai pihak-pihak perdata;

11 Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl. Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, Jakarta, 2009, hlm. 812 Ibid, hlm. 9.

hukum publik dalam pengertian terdapatnya ketentuan-ketentuan

mengenai hak, tugas dan kewajiban-kewajiban Negara.13

Di masa berkuasanya Kerajaan Rhodes di kawasan Mediterania

Timur dibuatlah sebuah Koda (Code) hukum maritim yang sangat

komprehensif. Koda ini bukan saja menjadi dasar hukum bagi

perdagangan maritim di kawasan tersebut selama beratus-ratus

tahun di masa itu tapi juga menjadi fondasi hukum laut di

seluruh dunia beribu-ribu tahun kemudian. Diperkirakan

peraturan-peraturan di dalam Koda tersebut merupakan

kodifikasi dari berbagai macam prinsip-prinsip hokum kuno

terkait dengan kenavigasian dan pelayaran dagang. Koda

tersebut mengatur mengenai yurisdiksi eksklusif dan wilayah

laut yang berbatasan dengan Negara tersebut. Dengan kata lain

memberi hak kebebasan berlayar bagi kapal-kapal milik Negara

tersebut dan melakukan pembatasan bagi kapal-kapal asing14

Tonggak sejarah yang penting lainnya adalah Roman Maritime Policy

(Hukum Maritim Romawi). Seperti hukum Inggris, kebanyakan

hukum ini tidak dikodifikasikan walaupun berdasarkan hukum

Kerajaan Rhodes. Hukum Maritim Romawi ini mendapatkan

kekuatannya dari Pax Romana yang memberikan keamanan tidak

tertandingi. Perompakan dan perampokan dibabat habis sehingga

perdagangan Romawi sangat maju.

Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan,

Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan

13 Ibid, hlm. 9.14 Retno Windari, op.cit, hlm. 10.

pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut

tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut Rhodes tentang

perdagangan) karena tenggelam dalam perkembangan laut yang

didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat

itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak

Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti

danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang

bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas

menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran

hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah

bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res

communis omnium) sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap

orang.

Peraturan-peraturan hukum laut Rhodes yang berasal dari abad

ke-2 atau ke-3 SM, sangat berpengaruh di daerah Laut Tengah

karena prinsip-prinsipnya diterima baik oleh orang-orang

Yunani dan Romawi. Kitab Undang-Undang Rhodes yang dikeluarkan

pada abad ke-7 Masehi oleh orang-orang Romawi didasarkan pada

peraturan-peraturan hukum laut Rhodes. Di kawasan Laut Tengah

sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut

yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan

seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan

perdagangan (perdata).

Hukum Maritim Romawi mencakup, antara lain:

Laut: harus “terbuka” namun di masa perang harus berada

dalam pengendalian bangsa Romawi.

Kapal harus dikategorikan, contohnya, kapal penumpang, kapal

kargo dan kategori apakah dalam negeri atau luar negeri.

Hukum ini mengenai hak, tugas dan kewajiban dari pihak-pihak

yang terkait dengan kapal seperti pemilik kapal, nahkoda,

awak kapal, pandu, pengirim barang dan penumpang.

Muatan: Tidak ada kewajiban dari pemilik kapal untuk

menerima muatan, tapi jika diterima juga maka dia wajib

bertanggung jawab terhadap aspek keselamatan di kapal dan

aspek keselamatan muatannya. Pada masa inilah diperkirakan

munculnya prinsip general average yaitu ketika awak kapal

harus mengurangi muatan dengan membuangnya ke laut untuk

menyelamatkan kapal, dan kompensasi akan diberikan oleh para

pemodal kapal.

Tanggung jawab/kewajiban dalam pelayaran: mencakup

ketentuan-ketentuan mengenai charter/sewa sebagian atau

keseluruhan dari kapal, mengatur kewenangan yang dimiliki

nahkoda kapal - misalnya dalam hal kebutuhan perbaikan

mendadak, atau membeli peralatan yang diperlukan agar kapal

dapat terus beroperasi; serta ketentuan-ketentuan umum

mengenai pinjaman khusus bagi pihak-pihak yang terlibat

usaha maritime.

Penyelesaian sengketa: sengketa yang timbul dari hal-hal

tersebut di atas diatur dalam peraturan dan prosedur yang

sudah ada. Namun prosedur berbeda diterapkan tergantung

apakah tindakan dan luka-luka itu diakibatkan dari sebab

internal ataukah dari eksternal, misalnya tubrukan kapal

atau kerusakan akibat pihak lain.15

Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak

mengalami perubahan secara revolusioner selama empat decade

terakhir, dan khususnya selama satu setengah decade terakhir,

selain daripada hokum laut dan jalur-jalur maritime (maritime

highways). Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982,

di Montego Bay – Jamaica, oleh sejumlah besar negara (tidak

kurang dari 118 negara) yang terwakili dalam Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut 1973-1982

(UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hokum internasional

yang komprehensif berkait dengan hokum laut di bawah judul

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hokum Laut,

mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam

keseluruhan sejarah ketentuan hokum internasional berkenaan

dengan lautan bebas. 16

Mengutip pendapat seorang ahli sejarah terkenal, Dr. A. L.

Rowse, “landasan dari semua perkembangan ilmu social adalah

sejarah, dari sanalah ilmu-ilmu social itu menemukan, baik

dalam kadar lebih besar maupun lebih kecil, pokok permasalahan

dan bahan-bahan, verifikasi dan kontradiksi”. Pendapat ini

berlaku terhadap hokum laut dengan perkenaan khusus. Dengan

menyampingkan perairan pedalaman seperti, misalnya, pelabuhan-

15 Retno Windari,op.cit,hlm. 10.16 J. G. Strake, Pengantar hokum internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 322.

pelabuhan, pangkalan-pangkalan laut dan teluk-teluk yang

terkurung daratan, lautan secara historis adalah laut terbuka

atau bebas yang terutama menyangkut ahli tata negara dan para

penguasa negara-negara dalam periode abad pertengahan dan

akhir abad pertengahan serta para penulis hokum internasional

sejak abad keenam belas. Pada awalnya, pelayaran di laut bebas

terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan penangkapan-

penangkapan ikan, akan tetapi pada abad-abad kelima belas dan

keenam belas – periode-periode di mana terjadi penemuan-

penemuan maritime akbar oleh para pelaut Eropa – klaim-klaim

dikemukakan oleh negara-negara maritime kuat untuk

melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat

dibedakan dari pemilikan, atas bagian-bagian tertentu dari

laut bebas.17

Grotius merupakan salah seorang dari kalangan yang merasa

sangat berkeberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan luas

ini. Keberatan-keberatannya itu terutama didasarkan atas dua

landasan:

1. Tidak ada lautan yang dapat menjadi milik suatu

bangsa/negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk

efektif mengambilnya sebagai hak milik dengan cara okupasi.

2. Alam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki

sarana yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang serta yang

sifatnya tidak dapat habis (exhaustable) – dengan perkataan

lain, laut terbuka/ lepas adalah hak semua bangsa (res

gentium) atau barang non-komersial (res extra commercium).18

17 J.G. Starke, op.cit, hal 322.18 Ibid, hal 323.

Berlawanan dengan prinsip kedaulatan laut maritime, prinsip

“kebebasan laut lepas” (atau “kebebasan laut terbuka”) mulai

dikembangkan, seperti dikemukakan oleh Hall, sesuai dengan

kepentingan-kepentingan bersama dan nyata dari negara-negara

maritime. Disadari bahwa demikian seringnya terjadi, dan

besarnya kesulitan yang menimpa semua negara yang mengajukan,

klaim-klaim yang bertentangan terhadap bagian laut terbuka.

Kebebasan laut lepas dengan demikian haruslah dilihat dalam

kaitannya dengan kepentingan umum semua negara, khususnya

menyangkut kebebasan saling berhubungan antar bangsa.19

Pada zaman modern kebebasan-kebebasan laut lepas mencakup

“kebebasan untuk menyelami” (freedom of immersion – seperti

peletakan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa minyak) serta

hak untuk terbang (overflight) bagi segala pesawat udara.

Meskipun demikian, kebebasan-kebebasan ini tidak membenarkan

suatu negara membiarkan suatu keadaan kacaunya peraturan-

peraturan maritime, dan peraturan-peraturan tertentu untuk

melaksanakan yuridiksi atas kapal-kapal di laut menjadi

demikian pentingnya guna menghindarkan keadaan-keadaan anarki.

Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang

diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara

maupun swasta, di laut bebas tunduk pada yurisdiksi (pada

umumnya, eksklusif) dan berhak atas perlindungan dari negara

bendera kapal itu yang memungkinkan mereka melakukan

pelayaran.

19 J. G. Starke, op.cit, hal 324.

Dalam hal ini perlu menyinggung hak-hak yang dapat

dilaksanakan oleh negara-negara maritime terhadap suatu bagian

perairan yang berdampingan dengan garis pantai mereka,

sedemikian rupa sepanjang dipandang perlu untuk keamanan

negara terkait, atau di mana negara itu memiliki kemampuan

untuk menguasainya. Jalur ini, yang kemudian sering disebut

sebagai “jalur maritime” (maritime belt), dan yang sama paling

sedikit dalam 30 tahun yang lalu dikenal secara universal

sebagai “laut wilayah/territorial” sejak penyebutan bagian

laut itu dengan nama demikian dalam Konvensi Jenewa 1958

mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Territorial Sea and

Contigous Zone), dinyatakan berada dalam kedaulatan negara

pantai, tunduk pada hak lintas damai (innocent passage) oleh

kapal-kapal negara lain. Hingga permulaan abad kedelapan belas

prinsip kedaulatan negara pantai atas jalur maritime ini

benar-benar berlaku. Pada tahun 1702 Bynkershoek menerbitkan

karyanya, De dominio maris dissertation (Esay mengenai kedaultan atas

laut), dalam karyanya ini ia menyetujui peraturan bahwa negara

pesisir dapat menguasai laut sebatas lebar perairan pantai

sejauh jangkauantembakan peluru meriam daari meriam-meriam

pantai: Terrae potestas ubi finuter armorumvis (kedaulatan wilayah

berjarak sejauh kekuatan senjata dapat mencapainya).

Pada abad kesembilan belas, batas tiga mil memperoleh

pengakuan luas dari para ahli hokum, juga oleh pengadilan-

pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-

negara maritime utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad

ke dua puluh, dengan dua negara maritime besar, Amerika

Serikat dan Inggris, secara tegas menjadi pendukung utama

batas tiga mil tersebut. Sejumlah besar negara memakai suatu

ukuran yang lebih lebar untuk jalur maritime. 20

Dua perkembangan penting yang terjadi setelah berakhirnya

Perang Dunia Kedua yang sekarang perlu dibicarakan, pertama

evolusi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen

(continental shelf), dan yang kedua, keputusan-keputusan

International Court of Justice dalam perkara Anglo-Norwegian

Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu

penarikan garis dasar lebar jalur maritime diukur, sebagai

pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur

maritime.21

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang

pertama dan Kedua masih belum menyelesaikan sejumlah besar

permalasahan, khususnya mengenai:

1. Lebar laut territorial secara tepat,

2. Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu

melintasi selat-selat yang merupakan jalan raya maritime

internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut

territorial,

3. Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan

perairan kepulauan, dan

20 J.G. Starke, Op.cit, hal. 325.21 Ibid, hal. 328.

4. Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus

untuk kepentingan-kepentingan-kepentingan ilmiah atau

fasilitas kepariwisataan.22

Hasil akhir dari perkembangan-perkembangan yang timbul ini

adalah dikeluarkannyadua resolusi penting oleh Majelis Umum

tanggal 17 Desember 1970, yang satu memuat Deklarasi Prinsip-

Prinsip yang Mengatur Dasar Laut dan Dasar Samudera serta

Tanah di Bawahnya di luar Batas Yuridiksi Nasional (Declaration of

Principles Governing the Seabed and Subsoil Thereof beyond the Limits of National

Jurisdiction), dan yang lainnya mengemukakan keputusan untuk

menyelenggarakan suatu Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Ketiga mengenai Hukum Laut pada tahun 1973, yang kemudian

dikenal dengan singkatan “UNCLOS” (United Nations Conference on the

Law of the Sea). Deklarasi itu menyatakan sejumlah prinsip dan

pedoman, antara lain yang termasuk yang berikut ini:

a. Batas dasar laut dan dasar samudera serta tanah di

bawahnya, di laut batas-batas yuridiksi, juga sumber-sumber

daya alam di kawasan (area) adalah “warisan bersama untuk

umat manusia”,

b. Bahwa kawasan itu tidak tunduk pada pemilikan, atau

menjadi obyek penuntutan kedaulatan atau hak-hak berdaulat

oleh negara-negara.

c. Bahwa segala aktivitas eksplorasi atau eksploitasi di

kawasan harus diatur dengan suatu rezim internasional yang

akan dibentuk.

d. Bahwa kawasan secara eksklusif harus dicadangkan untuk

tujuan-tujuan damai, dan22 Ibid, hal. 336.

e. Bahwa harus diambil tindakan-tindakan kerjasama untuk

mencegah kerusakan lingkungan lautdan keseimbangan

ekologinya, untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber

daya alam di kawasan, dan untuk mencegah kerusakan flora dan

fauna.23

Jadi dengan adanya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Hukum Laut (KHL 1982), disahkan tanggal 10 Desember

1982, di Montegobay, Jamaica. Berdasarkan pada Konvensi ini,

maka:

a. Negara dari aspek geografis dibedakan menjadi 3 yaitu

negara tak berpantai, negara pantai, dan negara kepulauan

b. Laut dibagi dalam beberapa zona, yaitu:

Laut territorial (territorial sea),

Perairan pedalaman (internal sea),

Zona tambahan (contiguous sea),

Perairan kepulauan (archipelagic water),

Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone),

Laut lepas (the high sea),

Daerah dasar laut dan tanah di bawahnya dibedakan menjadi

dua, yaitu: landas kontinen (continental shelf ) dan kawasan

(area).24

2.2 Pengaturan Zona Maritim

Perkembangan yang cepat dari hokum laut internasional terlihat

dengan diperkenalkannya pengaturan tentang “landas kontinen”

23 J. G. Starke, Op.cit, hal 341.24 Abdul Muthalib, Op.cit, hal. 3.

dalam UNCLOS I dan rejim baru “Zona Ekonomi Eksklusif”,

“Negara Kepulauan”, “Kawasan Dasar Laut Internasional” dan

lain-lain. Adapun konfrensi internasional utama yang membahas

masalah laut territorial ialah Codification Conference pada

tahun 1930 di Den Haag, yang dilangsungkan dibawah naungan

Liga Bangsa-Bangsa.

Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret

sampai tanggal 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari

47 negara. Konperensi tidak mencapai kata sepakat tentang

batas luar dari luar teritorial dan hak menangkap ikan dari

negara-negara pantai pada zona tambahan. Peserta konferensi

pendapatnya terbagi di dalam beberapa versi, di antaranya ada

yang menginginkan lebar laut territorial 3 mil (20 negara),

ada pula yang menghendaki 6 mil laut territorial (12 negara),

serta negara-negara Nordic menghendaki laut territorial 4 mil.

Konferensi Kodifikasi Den Haag tidak menghasilkan suatu

konvensi, kecuali beberapa rancangan pasal-pasal yang

disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag merupakan

satu-satunya konferensi hokum laut yang dilangsungkan di bawah

naungan Liga Bangsa-Bangsa.25

Secara teoretik, system penetapan garis batas zona maritime

negara pantai yang saling berhadapan pada umumnya dan negara

tepi selat pada khususnya dilakukan dengan perjanjian

bilateral sesuai dengan UNCLOS 1982 sebagai dasar primer

pengaturan laut internasional.26

25 Colombos, The International Law of the Sea, 1967. Hlm. 103-106.

UNCLOS 1982 menetukan wilayah perairan laut negara terdiri

dari laut territorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE) di bawah dasar laut dan tanah di bawahnya terdapat rezim

landas kontinen. Masing-masing zona memiliki status hokum

berbeda. Zona zona perairan laut terluar suatu negara dapat

saja berbatasan dengan laut territorial, zona tambahan, atau

ZEE. Khusus untukwilayah dasar laut dan tanah di bawahnya

terdapat pula hak-hak negara di landas kontinennya yang

tentunya akan terkait pula dengan batas negara di landas

kontinen.27

Berdasarkan ketentuan internasional, penentuan batas zona-zona

perairan laut negara diukur dari garis pangkal, yaitu garis

imajiner yang diukur dari titik-titik terluar pulau-pulau

terluar ketika air laut surut. Garis pangkal inilah yang

menjadi dasar penarikan batas zona maritime suatu negara,

sekaligus pula untuk menentukan batas-batas wilayah laut

negara, baik yang berbatasan dalam wilayah laut territorial,

ZEE, maupun batas landas kontinen.

Penggunaan garis pangkal dapat dilakukan dengan cara

bervariasi antara lain:

1. Garis pangkal normal (normal base line)

2. Garis pangkal lurus (straight base line)

3. Garis pangkal kepulauan (archipelagic straight base line) atau

4. Gabungan dari ketiga garis pangkal tersebut.

26 Khaidir Anwar, Batas wilayah Negara di Perairan Laut, Universitas Lampung, 2011, hlm 55.27 Khaidir Anwar, Op.cit, hal 56.

Penggunaan ketiga garis pangkal ini disesuaikan dengan kondisi

geografis wilayah perairan tersebut.

Penarikan garis pangkal lurus kepulauan dilakukan dengan cara

menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang

kering terluar kepulauan itu dengan garis lurus secara satu

kesatuan, dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

47 UNCLOS 1982 yang telah diuraikan pada bagian terlebih

dahulu.

Setelah suatu negara menetapkan garis pangkalnya, lalu untuk

menetukan zona maritimnya, diukur sejauh 12 mil dari garis

pangkal merupakan laut territorial, 24 mil zona tambahan, 200

mil ZEE. Penentuan jarak zona maritime ini tidak dapat diklaim

secara mutlak. Jika terdapat suatu wilayahh yang ukuran zona

maritimnya kurang dari lebar zona maritime yang telah

ditentukan dalam UNCLOS 1982, maka negara yang zona maritimnya

ditentukan dengan median line, atau sesuai kesepakatan para

pihak. Tidak dibenarkan suatu negara mengklaim batas

wilayahnya secara sepihak.

Dalam UNCLOS 1982 terdapat tiga ketentuan tentang penetapan

batas maritime antara negara-negara yang berhadapan atau

berdampingan perbatasan laut wilayah, ZEE, dan landas

kontinen, yaitu:

1. Penentuan batas laut territorial, bila pantai dua negara

berhadapan atau berdampingan satu sama lain, maka kedua

negara tidak mempunyai hak atas wilayah tersebut, kecuali

jika ada perjanjian antara keduanya.

2. Penentuan batas ZEE antara negara-negara dengan pantai

yang berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan

perjanjian berdasarkan hokum internasionalsebagaimana yang

diatur dalam Pasal38 Statuta Mahkamah Internasional. Apabila

tidak tercapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,

negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur

yang ditentukan dalam Bab XV UNCLOS 1982. Sambil menunggu

persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) negara-

negarayang bersangkutan dengan semangat saling pengertian

dan kerja sama harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan

pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama masa

peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi

dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian

tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir

mengenai perbatasan (Pasal 74 UNCLOS 1982).

3. Penentuan batas landas kontinen sama seperti yang berlaku

untuk ZEE yang diatur dalam Pasal 83. Pasal ini secara

khusus mengatur bahwa penetapan garis landas kontinen antar

negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus

dilakukan dengan persetujuan atas dasar hokum

internasional.

Sementara itu, Boer Mauna, menyatakan bahwa dalam menentukan

landas kontinen Mahkamah Internasional juga memberikan

beberapa petunjuk, yaitu:

1. Dalam menentukan batas landas kontinen, seharusnya negara

yang bersangkutan memperoleh keseluruhan landas kontinennya,

yang merupakan kelanjutan natural dari dasar laut wilayahnya

untuk menghindarkan agar landas kontinen tersebut tidak

mengambil daerh-daerah laut pihak-pihak lain.

2. Bila penentuan pembatasan landas kontinen menyebabkan

adanya bagian-bagian dasar laut yang dituntut bersama, maka

dasar-dasar laut tersebut harus dibagi sama rata bagi

negara-negara yang bersangkutan, kecuali negara-negara

tersebut menerima rezim yuridiksi penggunaan dan eksploitasi

bersama dari sebagian atas keseluruhan daerah-daerah dasar

laut yang sama-sama dituntut tersebut.

3. Memperhatikan semua keadaan-keadaan khusus, yaitu:

a. Kesatuan sumber daya alam konfigurasi umum dari pantai

dengan segala cirri-ciri khususnya atau ciri-ciri luar

biasa yang ada.

b. Menunjukkan struktur fisik dan geologi dari daerah-daerah

landas kontinen yang akan dibagi.

c. Hubungan yang wajar antara luasnya landas kontinen yang

berada di bawah kedaulatan negara pantai dan panjang

pantai negara tersebut yang diukur menurut jurusan umum

pantai.28

Kedua penjelasan diatas memberikan kejelasan bahwa penetapan

batas wilayah laut negara ditentukan dengan persetujuan, bukan

tindakan secara sepihak (unilateral). Dalam keadaan tertentu

hal ini dapat dilakukan secara adil, antara lain tentang hak

lintas bagi kapal asing dan kepentingan-kepentingan negara28 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 27.

tepi selat yang juga perlu dilindungi, termasuk juga

masyarakat (pelayan).

Dengan demikian, hukum internasional saat ini telah dianggap

not only as a restriction upon but also as an actual denial of absolute sovereignty.

Persoalan tanggung jawab negara dalam hokum lingkungan

internasional telah dianggap lebih berat dari pada hak-hak

negara sebagai pelaksana konsep kedaulatan. Oleh sebab itu,

penetapan batas zona maritime bagi negara-negara tepi selat

harus pula mempertimbangkan tanggung jawab negara lain,

khususnya terkait dengan aspek lingkungan akibat penggunaan

selat oleh negara tepi selat dan negara-negara yang

melintasinya.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.1.1. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

Laut memiliki fungsi dan manfaat, yaitu:

a. Saran pelabuhan

b. Sarana transportasi

c. Sarana membuang limbah (dalam arti negative)

d. Sarana sumber daya alam

e. Sarana penelitian ilmiah kelautan

f. Sarana rekreasi

g. Sarana pertempuran

h. Sarana keamanan dan pengamanan

i. Sarana penanaman pipa dalam laut

Hokum laut internasional adalah himpunan kaidah dan asas hokum

yang mengatur tentang zona maritime dan pemanfaatannya oleh

negara-negara dan negara lain, hak dan kewajiban negara-negara

dan negara lain dalam pemanfatan zona-zona tersebut, serta

hubungannya dengan organisasi internasional dan subyek hokum

internasional lainnya.

Sejarah perkembangan hokum laut dimulai pada abad ke-12 yang

telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan yang

dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah Lex Rhodia atau Hukum

Laut Rhodhia mulai dikenal sejak abad ketujuh. Penandatanganan

akhir pada tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay – Jamaica,

oleh sejumlah besar negara (tidak kurang dari 118 negara) yang

terwakili dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga

tentang Hukum Laut 1973-1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu

ketentuan hokum internasional yang komprehensif berkait dengan

hokum laut di bawah judul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai Hokum Laut, mungkin merupakan perkembangan paling

penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hokum

internasional berkenaan dengan lautan bebas.

Jadi, dengan adanya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Hukum Laut (KHL 1982), disahkan tanggal 10 Desember

1982, di Montegobay, Jamaica. Berdasarkan pada Konvensi ini,

maka:

c. Negara dari aspek geografis dibedakan menjadi 3 yaitu

negara tak berpantai, negara pantai, dan negara kepulauan

d. Laut dibagi dalam beberapa zona, yaitu:

Laut territorial (territorial sea),

Perairan pedalaman (internal sea),

Zona tambahan (contiguous sea),

Perairan kepulauan (archipelagic water),

Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone),

Laut lepas (the high sea),

Daerah dasar laut dan tanah di bawahnya dibedakan menjadi

dua, yaitu: landas kontinen (continental shelf ) dan kawasan

(area).

3.1.2 Pengaturan Zona Maritim

Sistem penetapan garis batas zona maritime negara pantai yang

saling berhadapan pada umumnya dan negara tepi selat pada

khususnya dilakukan dengan perjanjian bilateral sesuai dengan

UNCLOS 1982 sebagai dasar primer pengaturan laut

internasional. Berdasarkan ketentuan internasional, penentuan

batas zona-zona perairan laut negara diukur dari garis

pangkal, yaitu garis imajiner yang diukur dari titik-titik

terluar pulau-pulau terluar ketika air laut surut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muthalib Tahar. 2013. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL 1982

dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Cet. 2. Bandar Lampung:

ISBN:978-602-7509-01-6.

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.

Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional

Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta,1989

Colombos, The International Law of the Sea, 1967.

Hartono, M.Dimyati, Hukum Laut Internasional, Bhratara Karya Aksara,1977.

J. G. Strake, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta,

Sinar Grafika, 2008

Khaidir Anwar, Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Penerbit

Universitas Lampung, 2011.

Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Laut Internasional, Binacipta, 1986.

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsepsi Hukum Negara Nusantara padaKonferensi Hukum Laut III, Alumni, 2003.

May Rudy, T, Hukum Internasional 2, Retika Aditama, Bandung, 2011

Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan

Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl.

Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, Jakarta, 2009

Summers Lionnel, M., The international Law of Peace, Oceana, New York, 1973

Von Glahn, Gerhard, Law Among Nations, An Introdunction to Public

International Law, New York, 1965.

Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982