sejarah perkembangan hukum laut internasional
TRANSCRIPT
HUKUM LAUT INTERNASIONAL
“SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT
INTERNASIONAL”
HESTIKA DWI NINGRUM
1212011140
UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS HUKUM
BANDAR LAMPUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “SEJARAH
PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL”. Makalah ini
dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan dalam melengkapi
nilai tugas guna menyelesaikan mata kuliah hukum laut
internasional.
Meskipun telah berusaha seoptimal mungkin, penulis
berkeyakinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan harapan
oleh keterbatasan ilmu pengetahuan, tenaga, dan waktu, serta
literature bacaan. Namun, dengan ketekunan dan tekad penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Bandar Lampung, 14 April 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagian terbesar dari wilayah dunia terdiri dari perairan,
terutama perairan laut. Permukaan bumi yang memiliki luas 200
juta mil persegi, 70% atau 140 juta mil persegi terdiri dari
air. Dari jumlah ini, 97% terdiri dari air asin atau
135.800.000 mil persegi dan 3% air tawar atau 4.200.000 mil
persegi. Di antara lautan-lautan yang terluas, yaitu Laut
Pasifik yang mengenangi permukaan bumi seluas 63.855.000 mil
persegi, Laut Atlantik 31.744.000 mil persegi, Laut Artik
5.427.000 mil persegi dan Laut Mediterania seluas 967.000 mil
persegi.1 Dari keseluruhan permukaan bumi yang terdiri dari
1 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, Hlm. 269.
lautan, ada yang merupakan bagian dari wilayah negara, bagian
dari yuridiksi negara dan ada pula merupakan bagian dari laut
lepas.
Pembedaan batas dari wilayah laut atau zona maritime ini,
dalam ketentuan internasional diukur dari garis pangkal yang
bentuk dan sifatnya beragam, antara satu bentuk geografis
dengan bentuk geografis lainnya. Sistem pengukuran wilayah
perairan suatu negara dalam hokum laut internasional.2
Banyak sekali manfaat laut yang dapat kita rasakan antara lain
yaitu sebagai sumber kekayaan alam, sebagai sarana
transportasi, sebagai sarana untuk membuang limbah, sebagai
sarana pelabuhan, sebagai sarana untuk memasang kabel dan pipa
bawah laut, sebagai sarana penelitian ilmiah kelautan, sebagai
sarana pertempuran dan menudukkan lawan. Semenjak laut
dimanfaatkan untuk itulah, maka tidak jarang menjadi rebutan
dan klaim bagi negara-negara lainnya, supaya tidak menimbulkan
persengketaan antar negara dalam memanfaatkan dan memfungsikan
laut, maka perlu diatur oleh suatu norma atau kaidah yaitu
hukum laut internasional.3 Hukum laut internasional adalah
sekumpulan kaidah dan asas yang mengatur mengenai zona
maritime yang melintasi batas negara. Pada makalah ini akan
menjelaskan tentang bagaimana sejarah perkembangan hukum laut
internasional dan pengaturan zona maritim.
2 Khaidir Anwar, Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Penerbit Universitas Lampung, 2011, hlm. 55.3 Abddul Muthalib Tahar. 2013. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Cet. 2. Bandar Lampung: ISBN:978-602-7509-01-6. Hlm 4.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun identifikasi masalah dari latar belakang diatas adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana sejarah perkembangan hukum laut internasional?
b. Bagaimana pengaturan zona maritim
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas yang akan dijawab dalam
makalah ini adalah :
1. Menjelaskan sejarah perkembangan hukum laut internasional
2. Menjelaskan pengaturan zona maritim
1.4 Metode Penulisan
Untuk menjawab rumusan masalah penulis menggunakan metode
penelitian hukum normatif, yaitu bahan-bahan yang dikumpulkan
dengan studi kepustakaan yang terdiri dari:
1.Bahan hukum primer, yaitu UNCLOS
2.Bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan internet
3.Bahan hukum tersier, yaitu kamus hukum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional
Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran,
perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan ahli-ahli hokum
mulai mencurahkan perhatiannya pada hokum laut. Sebagai suatu
bentuk dari hokum laut yang paling dini pada abad ke-12 telah
dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan yang
dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah Lex Rhodia atau Hukum
Laut Rhodhia mulai dikenal sejak abad ketujuh.4
Suatu koleksi hukum maritime, yang mungkin merupakan koleksi
yang paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim, kapten-
kapten kapal dan pedagang-pedang ternama, diterbitkan pada
tahun 1494, yang dinamakan Consolato del Mare (Konsulat dari
4 Von Glahn, Gerhard, Law Among Nations, An Introdunction to Pub lic International Law, New York, 1965, Hlm. 316.
Lautan). Himpunan Rolles d’Oleron di dalam bahasa Perancis
kuno, merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik.5
Di Indonesia, suatu kompilasi dari “Hukum Laut Amanna Gappa”
dari daerah Wajo (Bugis) di daerah Sulawesi Selatan telah
dikenal, yang merupakan himpunan hokum pelayaran dan
perdagangan.6
Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan
Perjanjian Tordesillas tahun 1494, memperoleh tantangan baik
dari Inggris yang di bawah Elizabeth I menghendaki kebebasan
di laut dan tantangan dari Belanda, yang tercermin dalam
karangan Grotius tahun 1609 yang berjudul “mare liberum”. Pada
abad ke-17 Raja James I dari Inggris memplokamirkan bahwa
menangkap ikan di pantai negara-negara di bawah kekuasaannya
hanya diperkenankan dengan memakai izin. Hal ini berarti bahwa
nelayan-nelayan belanda harus membayar semacam royalty di
perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa
kepada perdebatan yuridis yang sangit antara yurist Belanda
Grotius yang memperhatikan mare liberum dengan pembelaan Selden
dari Inggris yang bergejolak dalam bukunya Mare Clausum.
Masing-masing Belanda dan Inggris sama-sama tidak menghendaki
monopoli Spanyol dan Portugis atas lautan.7
Kedua ajaran ini timbul akibat dari pertentangan Belanda atas
penguasaan laut di dunia oleh Portugal dan Spanyol, serta5 Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi HUkum Laut 1982, Jakarta,1989, hlm. 1.6 Ibid, hlm 1.7 Chairul Anwar, op.cit, hlm 2.
untutan Inggris atas kawasan Mare Anglicanum. Pertentangan
antara Negara-negara ini terutama antara Belanda dan Inggris
menimbulkan the Battle of books (perang buku).perang buku ini
berlangsung kurang lebih 50 tahun dan berakhir dengan
terjadinya perang antara Inggris dan Belanda pada tahun 1665.
Perang buku ini umumnya berkisar pada dua teori tersebut.
1. Mare Liberum
Sebenarnya, sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare
Liberum dalam tahun 1609 oleh Grotius, ajran ini telah dianut
oleh Negara-negara lain. Selama abad ke-16 Ratu Inggris,
Elizabeth menganut teori ini. Francoise Alfonso Castro dalam
bukunya De Potestate Legis Poenalis, Vasculus Menchaca (1509-
1569)di Portugal dalam bukunya Controverslae Illustris,
Alberto Gentilldi Italia dalam bukunya de Jure Belli menganut
teori ini.
Di antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal
adalah Hugo de Groot, yang menulis pandangannya mengenai
kebebasan laut dalam bukunya Mare Liberum yang terbit tahun 1608
tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum, Grotius
berpendapat laut tak dapat dimiliki oleh negara. Pendapat ini
sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan (ownership).
Menurutnya, ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi
melalui possession, dan possession hanya bias terjadi melalui
pemberian atau melalui occupation. Occupation atas barang-
barang bergerak dapat terjadi melalui hubungan fisik atas
barang tersebut, sedangkan occupation atas benda tidak
bergerak dapat terjadi dengan membangun sesuatu di atasnya
(“by power of standing and sitting). Karena itu pemilikan
hanya dapat terjadi atas barang-barang yang dapat dipegang
teguh. Dan untuk dapat dipegang diteguh benda-benda tersebut
harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak berbatas,
karena itu tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair,
dan sesuatu yang cair hanya dapat dimiliki dengan memasukkan
ke tempat yang lebi padat (peraliud). Dengan demikian,
tuntutan pemilikan laut berdasarkan penemuan (discovery),
penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) ataupun
servitude tak dapat diterima karena semua itu bukan alas an
untuk memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian,
Grotius mengakui bahwa anak laut, inner sea, dan sungai
sekalipun cair dapat dimiliki karena ada batasnya, yaitu
tepinya dapat dianggap sebagai per allud.
2. Mare Clausum
Ajaran Grotius mengenai mare liberum sebagaimana disebutkan di
atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya.
Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough,
Paulo Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius
mencegah kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-
bagian tertentu dari laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang
dibuat berdasarkan teori mare liberium hanya dalam satu hal,
yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.
Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John
Sheldon. Penentangnya ini dikemukakan dalam bukunya “Mare
Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut
Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun,
sejarah telah membuktikan bahwa Negara-negara telah
menjalankan kekuasaan mereka atas lautan, dank arena itu
melalui prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut itu
bukan mare liberium tetapi mare clausum. Sifatnya yang cair
tak menyebabkan laut tak dapt dimiliki, karena sungai dan
perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat
dimiliki.11
3. Jalan Tengah
Kenyataan membuktikan bahwa dalam berbagai bidang pertentangan
pendapat kerap melahirkan pendapat ketiga yang bersifat
ecletic yang mencari jalan tengah dengan menggabungkan sisi-
sisi positif dari teori-teori yang saling bertentangan itu.
Dalam kaitannya dengan dapat tidaknya laut dimiliki ternyata,
kedua teori tersebut tak dapat mempertahankan ajarannya dengan
kaku dan konsekuen. Grotius misalnya, dalam De Jure Bell ac
Pacis (1625) menyatakan bahwa laut di sepanjang pantai dapat
dimilki sejauh dapat dikuasai dari darat. Demikian pula
Shelden. Selain mengakui hak Inggris atas Mare Anglicanum juda
mengakui adanya hak lintas damai (innocent pessage) di laut-
laut yang dituntut itu.
Dengan demikian, maka pada masa itu telah diakui ada bagian
laut yang dapat dimiliki, yaitu bagian laut yang sekarang
disebut laut wilayah dan jalur-jalur laut lainnya seperti
jalur perikanan; dan laut yang tak dapat dimiliki oleh
siapapun (laut bebas). Dalam abad ke 18 semua penulias,
mengadakan pembedaan laut atas kawasan laut (maritime belt)
yang dianggap berada di bawah kekuasaan negara-negara pesisir
(the litoral state), dan laut bebas (open sea) yang tidak
berada di bawah kekuasaan negara lain. Pontanus seorang ahli
hokum Belanda, menyebut laut-laut yang dapat dimiliki mare
audience, dan laut yang tidak bisa dimiliki mare alterium.
Persoalannya adalah berapa jarak laut yang dapat dimiliki. Ini
baru dapat dipecahkan pada tahun 1702 ketika seorang ahli
hokum Belanda, Binkhersoek, mengemukakan teori canon shot
rule. Menurutnya, laut wilayah suatu negara adalah sampai
jarak tembakan meriam dari pantai. Tampaknya ajaran ini
pertama-tama dilandasi dari pengawasan nyata dari pelabuhan
atau perbentengan terhadap kawasan laut yang berdeatan dengan
pantainya.
Ajaran ini dikemukakan di bukunya De Dominio Maris Disertasio.
Namun ajarannya ini belum secara pasti menentukan berapa mil
jarak laut yang dapt dimiliki oleh negara. Untuk itu para
penulis waktu itu berupaya mendapatkan patokan yang sama
dengan atau pengganti dari jarak berdasarkan jangkauan meriam
tersebut. Dan, seorang penulis Italia, Gallani (1872)
mengusulkan batas 3 mil atau 1 league Italia sebagai pengganti
dari jarak jangkauan meriam tersebut. Batas ini diakui oleh
Amerika Serikat dalam Notanya kepada Inggris dan Perancis.
Pada 8 Nopember 1873, dalam kaitannya dengan netralitas, dan
selama dan setelah perang Napoleon, prize court (pengadilan
penyitaan kapal) Inggris dan Amerika Serikat menerjemahkan the
canon shoot rule, ke dalam 3 mil laut,18 atau tiga kali 1852
meter.
Sementara itu sepanjang abad ke-18 dan permulaan abad ke-19
sebagai akibat dari pelayaran negar-negara lain (selain
Portugal, Spanyol dan Belanda = pen) perjuangan kebebasan di
laut semakin berat, dan pada akhir kwartal pertama abad ke-19
kebebasan di laut bebas itu diakui secara semesta. Inggris
sendiri yang semula menjadi penentang konsep laut bebas
mengurangi tuntutan kedaulatan maritimnya, dan menjadi
pemimpin baru kebebasan di laut bebas.
Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakkan konsep-konsep dasar
tentang hokum laut, menurut Summer biasanya membagi teori-
teori tentang lautan secara legalistic dalam empat bagian,
yaitu:
1. Perairan pedalaman
2. Laut territorial
3. Zona tambahan
4. Laut lepas8
8 Summers Lionnel, M., The international Law of Peace, Oceana, New York, 1973, hlm. 148.
Pada awal sejarah perkembangan hukum laut, ada beberapa ukuran
yang dipermasalahkan orang untuk menetapkan lebar laut
territorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan
negara pantai. Hingga permulaan abad kedelapan belas prinsip
kedaulatan negara pantai atas jalur maritime ini benar-benar
berlaku. Pada tahun 1702, seorang ahli hokum Belanda Cornelius
van Bynkershoek menerbitkan karyanya sebuah buku berjudul “De
Dominio Mares” mengenai kedaulatan atas laut, datam karyanya
ini menyetujui peraturan baha negara pesisir dapat menguasai
laut sebatas lebar perairan pantai sejauh tembakan peluru
meriam dari meriam-meriam pantai (kurang lebih 3 mil). Batas 3
mil ini memperoleh pengakuan luas dari para ahli hokum, juga
ahli hukum, juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat
pengesahan dalam praktek negara maritime utama.9
Yang menjadi soal lainnya dalam hokum laut internasional
adalah apakah laut dapat dimiliki suatu negara atau tidak.
Selama ini sejarah hokum laut internasional mengenal
pertarungan antara dua konsepsi pokok, yaitu:
1. Res Nullius, yang mengatakan bahwa laut tidak akan
memilikinya dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh
masing-masing negara.
2. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik
dunia dan karena itu tidak diambil atau dimiliki masing-
masing negara.10
9 May Rudy, T, Hukum Internasional 2, Retika Aditama, Bandung, 2011, hlm 1 dan 3.10 Ibid, hlm 1.
Menurut sejarahnya, hukum laut sebagaimana cabang-cabang hukum
lainnya dibuat berdasarkan kebutuhan, kemudian bertahan dalam
bergantinya pemerintahan dan dinasti sehingga kemudian
akhirnya dikodifikasikan. Beberapa konsep hokum dagang yang
sekarang dikenal mempunya akar dari peradaban
Phoenicia/Mediterania Timur. Elemen-elemen yang termasuk di
dalamnya adalah mengenai hukum asuransi, ketentuan terkait
salvage, angkutan laut,kompensasi kepada para pelaut karena
kecelakaan kerja dan sejenisnya. Hukum ini juga mengandung
hukum maritim publik yaitu dalam bentuk perlindungan dari para
perompak oleh kapal perang terhadap kapal-kapal dagang agar
kapal-kapal tersebut dapat melanjutkan pelayaran dagangnya.11
Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan Yunani dan di masa
inilah berkembang hukum yang mengatur mengenai kemaritiman.
Elemen-elemennya antara lain:
Perlindungan terhadap para pelaut yang kapalnya karam
Yurisdiksi pengadilan terkait dengan hukum maritim (Admiralty
Law)
Ketentuan-ketentuan mengenai pemblokiran dan perompakan
Penyelesaian sengketa akibat kontrak-kontrak maritim.12
Terdapat percampuran antara elemen hukum perdata dan hukum
publik. Hukum perdata dalam pengertian terdapatnya ketentuan-
ketentuan yang mengatur hubungan mengenai pihak-pihak perdata;
11 Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl. Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, Jakarta, 2009, hlm. 812 Ibid, hlm. 9.
hukum publik dalam pengertian terdapatnya ketentuan-ketentuan
mengenai hak, tugas dan kewajiban-kewajiban Negara.13
Di masa berkuasanya Kerajaan Rhodes di kawasan Mediterania
Timur dibuatlah sebuah Koda (Code) hukum maritim yang sangat
komprehensif. Koda ini bukan saja menjadi dasar hukum bagi
perdagangan maritim di kawasan tersebut selama beratus-ratus
tahun di masa itu tapi juga menjadi fondasi hukum laut di
seluruh dunia beribu-ribu tahun kemudian. Diperkirakan
peraturan-peraturan di dalam Koda tersebut merupakan
kodifikasi dari berbagai macam prinsip-prinsip hokum kuno
terkait dengan kenavigasian dan pelayaran dagang. Koda
tersebut mengatur mengenai yurisdiksi eksklusif dan wilayah
laut yang berbatasan dengan Negara tersebut. Dengan kata lain
memberi hak kebebasan berlayar bagi kapal-kapal milik Negara
tersebut dan melakukan pembatasan bagi kapal-kapal asing14
Tonggak sejarah yang penting lainnya adalah Roman Maritime Policy
(Hukum Maritim Romawi). Seperti hukum Inggris, kebanyakan
hukum ini tidak dikodifikasikan walaupun berdasarkan hukum
Kerajaan Rhodes. Hukum Maritim Romawi ini mendapatkan
kekuatannya dari Pax Romana yang memberikan keamanan tidak
tertandingi. Perompakan dan perampokan dibabat habis sehingga
perdagangan Romawi sangat maju.
Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan,
Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan
13 Ibid, hlm. 9.14 Retno Windari, op.cit, hlm. 10.
pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut
tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut Rhodes tentang
perdagangan) karena tenggelam dalam perkembangan laut yang
didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat
itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak
Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti
danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang
bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas
menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran
hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah
bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res
communis omnium) sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap
orang.
Peraturan-peraturan hukum laut Rhodes yang berasal dari abad
ke-2 atau ke-3 SM, sangat berpengaruh di daerah Laut Tengah
karena prinsip-prinsipnya diterima baik oleh orang-orang
Yunani dan Romawi. Kitab Undang-Undang Rhodes yang dikeluarkan
pada abad ke-7 Masehi oleh orang-orang Romawi didasarkan pada
peraturan-peraturan hukum laut Rhodes. Di kawasan Laut Tengah
sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut
yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan
seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan
perdagangan (perdata).
Hukum Maritim Romawi mencakup, antara lain:
Laut: harus “terbuka” namun di masa perang harus berada
dalam pengendalian bangsa Romawi.
Kapal harus dikategorikan, contohnya, kapal penumpang, kapal
kargo dan kategori apakah dalam negeri atau luar negeri.
Hukum ini mengenai hak, tugas dan kewajiban dari pihak-pihak
yang terkait dengan kapal seperti pemilik kapal, nahkoda,
awak kapal, pandu, pengirim barang dan penumpang.
Muatan: Tidak ada kewajiban dari pemilik kapal untuk
menerima muatan, tapi jika diterima juga maka dia wajib
bertanggung jawab terhadap aspek keselamatan di kapal dan
aspek keselamatan muatannya. Pada masa inilah diperkirakan
munculnya prinsip general average yaitu ketika awak kapal
harus mengurangi muatan dengan membuangnya ke laut untuk
menyelamatkan kapal, dan kompensasi akan diberikan oleh para
pemodal kapal.
Tanggung jawab/kewajiban dalam pelayaran: mencakup
ketentuan-ketentuan mengenai charter/sewa sebagian atau
keseluruhan dari kapal, mengatur kewenangan yang dimiliki
nahkoda kapal - misalnya dalam hal kebutuhan perbaikan
mendadak, atau membeli peralatan yang diperlukan agar kapal
dapat terus beroperasi; serta ketentuan-ketentuan umum
mengenai pinjaman khusus bagi pihak-pihak yang terlibat
usaha maritime.
Penyelesaian sengketa: sengketa yang timbul dari hal-hal
tersebut di atas diatur dalam peraturan dan prosedur yang
sudah ada. Namun prosedur berbeda diterapkan tergantung
apakah tindakan dan luka-luka itu diakibatkan dari sebab
internal ataukah dari eksternal, misalnya tubrukan kapal
atau kerusakan akibat pihak lain.15
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak
mengalami perubahan secara revolusioner selama empat decade
terakhir, dan khususnya selama satu setengah decade terakhir,
selain daripada hokum laut dan jalur-jalur maritime (maritime
highways). Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982,
di Montego Bay – Jamaica, oleh sejumlah besar negara (tidak
kurang dari 118 negara) yang terwakili dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut 1973-1982
(UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hokum internasional
yang komprehensif berkait dengan hokum laut di bawah judul
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hokum Laut,
mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam
keseluruhan sejarah ketentuan hokum internasional berkenaan
dengan lautan bebas. 16
Mengutip pendapat seorang ahli sejarah terkenal, Dr. A. L.
Rowse, “landasan dari semua perkembangan ilmu social adalah
sejarah, dari sanalah ilmu-ilmu social itu menemukan, baik
dalam kadar lebih besar maupun lebih kecil, pokok permasalahan
dan bahan-bahan, verifikasi dan kontradiksi”. Pendapat ini
berlaku terhadap hokum laut dengan perkenaan khusus. Dengan
menyampingkan perairan pedalaman seperti, misalnya, pelabuhan-
15 Retno Windari,op.cit,hlm. 10.16 J. G. Strake, Pengantar hokum internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 322.
pelabuhan, pangkalan-pangkalan laut dan teluk-teluk yang
terkurung daratan, lautan secara historis adalah laut terbuka
atau bebas yang terutama menyangkut ahli tata negara dan para
penguasa negara-negara dalam periode abad pertengahan dan
akhir abad pertengahan serta para penulis hokum internasional
sejak abad keenam belas. Pada awalnya, pelayaran di laut bebas
terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan penangkapan-
penangkapan ikan, akan tetapi pada abad-abad kelima belas dan
keenam belas – periode-periode di mana terjadi penemuan-
penemuan maritime akbar oleh para pelaut Eropa – klaim-klaim
dikemukakan oleh negara-negara maritime kuat untuk
melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat
dibedakan dari pemilikan, atas bagian-bagian tertentu dari
laut bebas.17
Grotius merupakan salah seorang dari kalangan yang merasa
sangat berkeberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan luas
ini. Keberatan-keberatannya itu terutama didasarkan atas dua
landasan:
1. Tidak ada lautan yang dapat menjadi milik suatu
bangsa/negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk
efektif mengambilnya sebagai hak milik dengan cara okupasi.
2. Alam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki
sarana yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang serta yang
sifatnya tidak dapat habis (exhaustable) – dengan perkataan
lain, laut terbuka/ lepas adalah hak semua bangsa (res
gentium) atau barang non-komersial (res extra commercium).18
17 J.G. Starke, op.cit, hal 322.18 Ibid, hal 323.
Berlawanan dengan prinsip kedaulatan laut maritime, prinsip
“kebebasan laut lepas” (atau “kebebasan laut terbuka”) mulai
dikembangkan, seperti dikemukakan oleh Hall, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan bersama dan nyata dari negara-negara
maritime. Disadari bahwa demikian seringnya terjadi, dan
besarnya kesulitan yang menimpa semua negara yang mengajukan,
klaim-klaim yang bertentangan terhadap bagian laut terbuka.
Kebebasan laut lepas dengan demikian haruslah dilihat dalam
kaitannya dengan kepentingan umum semua negara, khususnya
menyangkut kebebasan saling berhubungan antar bangsa.19
Pada zaman modern kebebasan-kebebasan laut lepas mencakup
“kebebasan untuk menyelami” (freedom of immersion – seperti
peletakan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa minyak) serta
hak untuk terbang (overflight) bagi segala pesawat udara.
Meskipun demikian, kebebasan-kebebasan ini tidak membenarkan
suatu negara membiarkan suatu keadaan kacaunya peraturan-
peraturan maritime, dan peraturan-peraturan tertentu untuk
melaksanakan yuridiksi atas kapal-kapal di laut menjadi
demikian pentingnya guna menghindarkan keadaan-keadaan anarki.
Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang
diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara
maupun swasta, di laut bebas tunduk pada yurisdiksi (pada
umumnya, eksklusif) dan berhak atas perlindungan dari negara
bendera kapal itu yang memungkinkan mereka melakukan
pelayaran.
19 J. G. Starke, op.cit, hal 324.
Dalam hal ini perlu menyinggung hak-hak yang dapat
dilaksanakan oleh negara-negara maritime terhadap suatu bagian
perairan yang berdampingan dengan garis pantai mereka,
sedemikian rupa sepanjang dipandang perlu untuk keamanan
negara terkait, atau di mana negara itu memiliki kemampuan
untuk menguasainya. Jalur ini, yang kemudian sering disebut
sebagai “jalur maritime” (maritime belt), dan yang sama paling
sedikit dalam 30 tahun yang lalu dikenal secara universal
sebagai “laut wilayah/territorial” sejak penyebutan bagian
laut itu dengan nama demikian dalam Konvensi Jenewa 1958
mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Territorial Sea and
Contigous Zone), dinyatakan berada dalam kedaulatan negara
pantai, tunduk pada hak lintas damai (innocent passage) oleh
kapal-kapal negara lain. Hingga permulaan abad kedelapan belas
prinsip kedaulatan negara pantai atas jalur maritime ini
benar-benar berlaku. Pada tahun 1702 Bynkershoek menerbitkan
karyanya, De dominio maris dissertation (Esay mengenai kedaultan atas
laut), dalam karyanya ini ia menyetujui peraturan bahwa negara
pesisir dapat menguasai laut sebatas lebar perairan pantai
sejauh jangkauantembakan peluru meriam daari meriam-meriam
pantai: Terrae potestas ubi finuter armorumvis (kedaulatan wilayah
berjarak sejauh kekuatan senjata dapat mencapainya).
Pada abad kesembilan belas, batas tiga mil memperoleh
pengakuan luas dari para ahli hokum, juga oleh pengadilan-
pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-
negara maritime utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad
ke dua puluh, dengan dua negara maritime besar, Amerika
Serikat dan Inggris, secara tegas menjadi pendukung utama
batas tiga mil tersebut. Sejumlah besar negara memakai suatu
ukuran yang lebih lebar untuk jalur maritime. 20
Dua perkembangan penting yang terjadi setelah berakhirnya
Perang Dunia Kedua yang sekarang perlu dibicarakan, pertama
evolusi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen
(continental shelf), dan yang kedua, keputusan-keputusan
International Court of Justice dalam perkara Anglo-Norwegian
Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu
penarikan garis dasar lebar jalur maritime diukur, sebagai
pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur
maritime.21
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang
pertama dan Kedua masih belum menyelesaikan sejumlah besar
permalasahan, khususnya mengenai:
1. Lebar laut territorial secara tepat,
2. Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu
melintasi selat-selat yang merupakan jalan raya maritime
internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut
territorial,
3. Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan
perairan kepulauan, dan
20 J.G. Starke, Op.cit, hal. 325.21 Ibid, hal. 328.
4. Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus
untuk kepentingan-kepentingan-kepentingan ilmiah atau
fasilitas kepariwisataan.22
Hasil akhir dari perkembangan-perkembangan yang timbul ini
adalah dikeluarkannyadua resolusi penting oleh Majelis Umum
tanggal 17 Desember 1970, yang satu memuat Deklarasi Prinsip-
Prinsip yang Mengatur Dasar Laut dan Dasar Samudera serta
Tanah di Bawahnya di luar Batas Yuridiksi Nasional (Declaration of
Principles Governing the Seabed and Subsoil Thereof beyond the Limits of National
Jurisdiction), dan yang lainnya mengemukakan keputusan untuk
menyelenggarakan suatu Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ketiga mengenai Hukum Laut pada tahun 1973, yang kemudian
dikenal dengan singkatan “UNCLOS” (United Nations Conference on the
Law of the Sea). Deklarasi itu menyatakan sejumlah prinsip dan
pedoman, antara lain yang termasuk yang berikut ini:
a. Batas dasar laut dan dasar samudera serta tanah di
bawahnya, di laut batas-batas yuridiksi, juga sumber-sumber
daya alam di kawasan (area) adalah “warisan bersama untuk
umat manusia”,
b. Bahwa kawasan itu tidak tunduk pada pemilikan, atau
menjadi obyek penuntutan kedaulatan atau hak-hak berdaulat
oleh negara-negara.
c. Bahwa segala aktivitas eksplorasi atau eksploitasi di
kawasan harus diatur dengan suatu rezim internasional yang
akan dibentuk.
d. Bahwa kawasan secara eksklusif harus dicadangkan untuk
tujuan-tujuan damai, dan22 Ibid, hal. 336.
e. Bahwa harus diambil tindakan-tindakan kerjasama untuk
mencegah kerusakan lingkungan lautdan keseimbangan
ekologinya, untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber
daya alam di kawasan, dan untuk mencegah kerusakan flora dan
fauna.23
Jadi dengan adanya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut (KHL 1982), disahkan tanggal 10 Desember
1982, di Montegobay, Jamaica. Berdasarkan pada Konvensi ini,
maka:
a. Negara dari aspek geografis dibedakan menjadi 3 yaitu
negara tak berpantai, negara pantai, dan negara kepulauan
b. Laut dibagi dalam beberapa zona, yaitu:
Laut territorial (territorial sea),
Perairan pedalaman (internal sea),
Zona tambahan (contiguous sea),
Perairan kepulauan (archipelagic water),
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone),
Laut lepas (the high sea),
Daerah dasar laut dan tanah di bawahnya dibedakan menjadi
dua, yaitu: landas kontinen (continental shelf ) dan kawasan
(area).24
2.2 Pengaturan Zona Maritim
Perkembangan yang cepat dari hokum laut internasional terlihat
dengan diperkenalkannya pengaturan tentang “landas kontinen”
23 J. G. Starke, Op.cit, hal 341.24 Abdul Muthalib, Op.cit, hal. 3.
dalam UNCLOS I dan rejim baru “Zona Ekonomi Eksklusif”,
“Negara Kepulauan”, “Kawasan Dasar Laut Internasional” dan
lain-lain. Adapun konfrensi internasional utama yang membahas
masalah laut territorial ialah Codification Conference pada
tahun 1930 di Den Haag, yang dilangsungkan dibawah naungan
Liga Bangsa-Bangsa.
Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret
sampai tanggal 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari
47 negara. Konperensi tidak mencapai kata sepakat tentang
batas luar dari luar teritorial dan hak menangkap ikan dari
negara-negara pantai pada zona tambahan. Peserta konferensi
pendapatnya terbagi di dalam beberapa versi, di antaranya ada
yang menginginkan lebar laut territorial 3 mil (20 negara),
ada pula yang menghendaki 6 mil laut territorial (12 negara),
serta negara-negara Nordic menghendaki laut territorial 4 mil.
Konferensi Kodifikasi Den Haag tidak menghasilkan suatu
konvensi, kecuali beberapa rancangan pasal-pasal yang
disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag merupakan
satu-satunya konferensi hokum laut yang dilangsungkan di bawah
naungan Liga Bangsa-Bangsa.25
Secara teoretik, system penetapan garis batas zona maritime
negara pantai yang saling berhadapan pada umumnya dan negara
tepi selat pada khususnya dilakukan dengan perjanjian
bilateral sesuai dengan UNCLOS 1982 sebagai dasar primer
pengaturan laut internasional.26
25 Colombos, The International Law of the Sea, 1967. Hlm. 103-106.
UNCLOS 1982 menetukan wilayah perairan laut negara terdiri
dari laut territorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) di bawah dasar laut dan tanah di bawahnya terdapat rezim
landas kontinen. Masing-masing zona memiliki status hokum
berbeda. Zona zona perairan laut terluar suatu negara dapat
saja berbatasan dengan laut territorial, zona tambahan, atau
ZEE. Khusus untukwilayah dasar laut dan tanah di bawahnya
terdapat pula hak-hak negara di landas kontinennya yang
tentunya akan terkait pula dengan batas negara di landas
kontinen.27
Berdasarkan ketentuan internasional, penentuan batas zona-zona
perairan laut negara diukur dari garis pangkal, yaitu garis
imajiner yang diukur dari titik-titik terluar pulau-pulau
terluar ketika air laut surut. Garis pangkal inilah yang
menjadi dasar penarikan batas zona maritime suatu negara,
sekaligus pula untuk menentukan batas-batas wilayah laut
negara, baik yang berbatasan dalam wilayah laut territorial,
ZEE, maupun batas landas kontinen.
Penggunaan garis pangkal dapat dilakukan dengan cara
bervariasi antara lain:
1. Garis pangkal normal (normal base line)
2. Garis pangkal lurus (straight base line)
3. Garis pangkal kepulauan (archipelagic straight base line) atau
4. Gabungan dari ketiga garis pangkal tersebut.
26 Khaidir Anwar, Batas wilayah Negara di Perairan Laut, Universitas Lampung, 2011, hlm 55.27 Khaidir Anwar, Op.cit, hal 56.
Penggunaan ketiga garis pangkal ini disesuaikan dengan kondisi
geografis wilayah perairan tersebut.
Penarikan garis pangkal lurus kepulauan dilakukan dengan cara
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang
kering terluar kepulauan itu dengan garis lurus secara satu
kesatuan, dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
47 UNCLOS 1982 yang telah diuraikan pada bagian terlebih
dahulu.
Setelah suatu negara menetapkan garis pangkalnya, lalu untuk
menetukan zona maritimnya, diukur sejauh 12 mil dari garis
pangkal merupakan laut territorial, 24 mil zona tambahan, 200
mil ZEE. Penentuan jarak zona maritime ini tidak dapat diklaim
secara mutlak. Jika terdapat suatu wilayahh yang ukuran zona
maritimnya kurang dari lebar zona maritime yang telah
ditentukan dalam UNCLOS 1982, maka negara yang zona maritimnya
ditentukan dengan median line, atau sesuai kesepakatan para
pihak. Tidak dibenarkan suatu negara mengklaim batas
wilayahnya secara sepihak.
Dalam UNCLOS 1982 terdapat tiga ketentuan tentang penetapan
batas maritime antara negara-negara yang berhadapan atau
berdampingan perbatasan laut wilayah, ZEE, dan landas
kontinen, yaitu:
1. Penentuan batas laut territorial, bila pantai dua negara
berhadapan atau berdampingan satu sama lain, maka kedua
negara tidak mempunyai hak atas wilayah tersebut, kecuali
jika ada perjanjian antara keduanya.
2. Penentuan batas ZEE antara negara-negara dengan pantai
yang berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan
perjanjian berdasarkan hokum internasionalsebagaimana yang
diatur dalam Pasal38 Statuta Mahkamah Internasional. Apabila
tidak tercapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,
negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur
yang ditentukan dalam Bab XV UNCLOS 1982. Sambil menunggu
persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) negara-
negarayang bersangkutan dengan semangat saling pengertian
dan kerja sama harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan
pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama masa
peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi
dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian
tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir
mengenai perbatasan (Pasal 74 UNCLOS 1982).
3. Penentuan batas landas kontinen sama seperti yang berlaku
untuk ZEE yang diatur dalam Pasal 83. Pasal ini secara
khusus mengatur bahwa penetapan garis landas kontinen antar
negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus
dilakukan dengan persetujuan atas dasar hokum
internasional.
Sementara itu, Boer Mauna, menyatakan bahwa dalam menentukan
landas kontinen Mahkamah Internasional juga memberikan
beberapa petunjuk, yaitu:
1. Dalam menentukan batas landas kontinen, seharusnya negara
yang bersangkutan memperoleh keseluruhan landas kontinennya,
yang merupakan kelanjutan natural dari dasar laut wilayahnya
untuk menghindarkan agar landas kontinen tersebut tidak
mengambil daerh-daerah laut pihak-pihak lain.
2. Bila penentuan pembatasan landas kontinen menyebabkan
adanya bagian-bagian dasar laut yang dituntut bersama, maka
dasar-dasar laut tersebut harus dibagi sama rata bagi
negara-negara yang bersangkutan, kecuali negara-negara
tersebut menerima rezim yuridiksi penggunaan dan eksploitasi
bersama dari sebagian atas keseluruhan daerah-daerah dasar
laut yang sama-sama dituntut tersebut.
3. Memperhatikan semua keadaan-keadaan khusus, yaitu:
a. Kesatuan sumber daya alam konfigurasi umum dari pantai
dengan segala cirri-ciri khususnya atau ciri-ciri luar
biasa yang ada.
b. Menunjukkan struktur fisik dan geologi dari daerah-daerah
landas kontinen yang akan dibagi.
c. Hubungan yang wajar antara luasnya landas kontinen yang
berada di bawah kedaulatan negara pantai dan panjang
pantai negara tersebut yang diukur menurut jurusan umum
pantai.28
Kedua penjelasan diatas memberikan kejelasan bahwa penetapan
batas wilayah laut negara ditentukan dengan persetujuan, bukan
tindakan secara sepihak (unilateral). Dalam keadaan tertentu
hal ini dapat dilakukan secara adil, antara lain tentang hak
lintas bagi kapal asing dan kepentingan-kepentingan negara28 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 27.
tepi selat yang juga perlu dilindungi, termasuk juga
masyarakat (pelayan).
Dengan demikian, hukum internasional saat ini telah dianggap
not only as a restriction upon but also as an actual denial of absolute sovereignty.
Persoalan tanggung jawab negara dalam hokum lingkungan
internasional telah dianggap lebih berat dari pada hak-hak
negara sebagai pelaksana konsep kedaulatan. Oleh sebab itu,
penetapan batas zona maritime bagi negara-negara tepi selat
harus pula mempertimbangkan tanggung jawab negara lain,
khususnya terkait dengan aspek lingkungan akibat penggunaan
selat oleh negara tepi selat dan negara-negara yang
melintasinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional
Laut memiliki fungsi dan manfaat, yaitu:
a. Saran pelabuhan
b. Sarana transportasi
c. Sarana membuang limbah (dalam arti negative)
d. Sarana sumber daya alam
e. Sarana penelitian ilmiah kelautan
f. Sarana rekreasi
g. Sarana pertempuran
h. Sarana keamanan dan pengamanan
i. Sarana penanaman pipa dalam laut
Hokum laut internasional adalah himpunan kaidah dan asas hokum
yang mengatur tentang zona maritime dan pemanfaatannya oleh
negara-negara dan negara lain, hak dan kewajiban negara-negara
dan negara lain dalam pemanfatan zona-zona tersebut, serta
hubungannya dengan organisasi internasional dan subyek hokum
internasional lainnya.
Sejarah perkembangan hokum laut dimulai pada abad ke-12 yang
telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan yang
dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah Lex Rhodia atau Hukum
Laut Rhodhia mulai dikenal sejak abad ketujuh. Penandatanganan
akhir pada tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay – Jamaica,
oleh sejumlah besar negara (tidak kurang dari 118 negara) yang
terwakili dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga
tentang Hukum Laut 1973-1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu
ketentuan hokum internasional yang komprehensif berkait dengan
hokum laut di bawah judul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Hokum Laut, mungkin merupakan perkembangan paling
penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hokum
internasional berkenaan dengan lautan bebas.
Jadi, dengan adanya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut (KHL 1982), disahkan tanggal 10 Desember
1982, di Montegobay, Jamaica. Berdasarkan pada Konvensi ini,
maka:
c. Negara dari aspek geografis dibedakan menjadi 3 yaitu
negara tak berpantai, negara pantai, dan negara kepulauan
d. Laut dibagi dalam beberapa zona, yaitu:
Laut territorial (territorial sea),
Perairan pedalaman (internal sea),
Zona tambahan (contiguous sea),
Perairan kepulauan (archipelagic water),
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone),
Laut lepas (the high sea),
Daerah dasar laut dan tanah di bawahnya dibedakan menjadi
dua, yaitu: landas kontinen (continental shelf ) dan kawasan
(area).
3.1.2 Pengaturan Zona Maritim
Sistem penetapan garis batas zona maritime negara pantai yang
saling berhadapan pada umumnya dan negara tepi selat pada
khususnya dilakukan dengan perjanjian bilateral sesuai dengan
UNCLOS 1982 sebagai dasar primer pengaturan laut
internasional. Berdasarkan ketentuan internasional, penentuan
batas zona-zona perairan laut negara diukur dari garis
pangkal, yaitu garis imajiner yang diukur dari titik-titik
terluar pulau-pulau terluar ketika air laut surut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muthalib Tahar. 2013. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL 1982
dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Cet. 2. Bandar Lampung:
ISBN:978-602-7509-01-6.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.
Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta,1989
Colombos, The International Law of the Sea, 1967.
Hartono, M.Dimyati, Hukum Laut Internasional, Bhratara Karya Aksara,1977.
J. G. Strake, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta,
Sinar Grafika, 2008
Khaidir Anwar, Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Penerbit
Universitas Lampung, 2011.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Laut Internasional, Binacipta, 1986.
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsepsi Hukum Negara Nusantara padaKonferensi Hukum Laut III, Alumni, 2003.
May Rudy, T, Hukum Internasional 2, Retika Aditama, Bandung, 2011
Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan
Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jl.
Dr. Sutomo No. 11 Jakarta Pusat 10710, Jakarta, 2009