makalah hukum penitensier

10
1 TUGAS TUGAS HUKUM PENITENSIER HUKUM PENITENSIER “ PIDANA TUTUPAN & PIDANA BERSYARAT” “ PIDANA TUTUPAN & PIDANA BERSYARAT” DISUSUN OLEH DISUSUN OLEH WAHYU FERYANSAH WAHYU FERYANSAH H1A1 10 092 H1A1 10 092 KELAS A KELAS A FAKULTAS HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALUOLEO UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI KENDARI 2013 2013

Upload: khangminh22

Post on 19-Mar-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

TUGASTUGAS

HUKUM PENITENSIERHUKUM PENITENSIER

“ PIDANA TUTUPAN & PIDANA BERSYARAT”“ PIDANA TUTUPAN & PIDANA BERSYARAT”

DISUSUN OLEHDISUSUN OLEH

WAHYU FERYANSAHWAHYU FERYANSAH

H1A1 10 092H1A1 10 092

KELAS AKELAS A

FAKULTAS HUKUMFAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALUOLEOUNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARIKENDARI

20132013

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmadnyalah sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “PIDANA

TUTUPAN DAN PIDANA BERSYARAT”, meskipun didalam makalah ini masih terdapat banyak

kekurangan yang sangat mendasar, akan tetapi semoga kajian dari isi makalah ini dapat

diterima dengan baik oleh pembacanya. Dengan selesainya makalah ini semoga dapat

memberi kita banyak manfaat dan juga pengetahuan luas mengenai materi yang dibahas

didalam makalah ini yang terkait dengan masalah PIDANA TUTUPAN DAN PIDANA

BERSYARAT.

Semoga makalah ini dapat diterima dengan baik oleh pembacanya untuk dapat

menambah pengetahuan khususnya dalam pengetahuan hukum panitensier. Dan tak lupa

penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kerjasamanya.

KENDARI, JUNI 2013

PENYUSUN

WAHYU FERYANSAH

STB: H1A1 10 092

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB 1

PENDAHULUAN

 A.LATAR BELAKANG 4

B.RUMUSAN MASALAH 5

C.TUJUAN PENULISAN 5

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1.PENGERTIAN PIDANA TUTUPAN 6

2.2.DASAR HUKUM PIDANA TUTUPAN 7

2.3.PENGERTIAN PIDANA BERSYARAT 8

2.4.DASAR HUKUM PIDANA BERSYARAT 10

2.5.SYARAT PIDANA BERSYARAT 15

BAB 3

PENUTUP

 A.KESIMPULAN 16

B.SARAN 16

KAJIAN PUSTAKA 17

4

BAB 1

PENDAHULUAN

 A.LATAR BELAKANG

Dalam tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Juli, telah diintrodusir suatu terminologi baru

dalam hukum pidana di Indonesia, yang dinamakan pidana tutupan, yaitu satu jenis pidana bagi

mereka yang patut dihormati. Penerapan terminologi baru ini berkaitan dengan dilakukan

penangkapan dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh politik pada waktu itu, antara lain

Muhammad Yamin dan Mayjen Sudarsono, yang meminta agar Kabinet Sjahrir di copot oleh

Presiden Soekarno. Namun permintaan ini ditolak oleh Presiden Soekarno dan kepada mereka

dikenakan pemidaan penjara/tutupan.  Akan tetapi bagaimana wujud serta substansi pidana

tutupan ini. Bahkan terhadap siapa yang dimaksud sebagai narapidana yang wajib dihormati,

masih belum jelas. Maka dari itu saya$ disini akan mencoba untuk menerangkan terkait dengan

pidana tutupan. Pidana bersyarat sering disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke

veroordeling ) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena tidak disebutkan

dalam Pasal 10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terkait pada

Pasal 10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan kurungan yang keberlakuannya hanya

pada batas satu tahun penjara atau kurungan.Pidana dengan bersyarat, yang dalam praktik

hukum sering juga disebut dengan pidana percobaan, adalah suatu sistem/model penjatuhan

pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya,

pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama

syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-

syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.

Pidana bersyarat tidak termasuk jenis pidana pokok maupun pidana tambahan, tetapi

pidana bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan

pelaksanaannya dilakukan di luar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan berarti

5

membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan

dalam masyarakat dalam suatu penjara atau lembaga pemasyarakatan, akan tetapi secara

formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana hanya saja dengan

pertimbangan tertentu pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata

terpidana telah melanggar.

B.RUMUSAN MASALAH

Menjelaskan pengertian dari pidana tutupan dan pidana bersyarat serta juga perbedaan dari

kedua jenis pidana tersebut apakah memiliki banyak perbedaan atau banyak persamaan..?

C.TUJUAN PENULISAN

 Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah:

1. .untuk bisa memahami pengertian dari pidana tutupan dan pidana bersyarat

2. .agar kita dapat membedakan manakah yang tergolong pidana tutupan dan pidana

bersyarat

3. .untuk dapat mengetahui berbagai macam pendapat ahli dalam menguraikan pengertian

pidana tutupan dan pidana bersyarat

6

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1.PENGERTIAN PIDANA TUTUPAN

Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh

ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan

tersebut diterapkan. Pidana tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang

pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan

sehingga ditambahkan jenis  – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10

KUHP dengan satu pidana baru. Adapun maksud ditetapkannya Undang-undang No. 20 tahun

1946 K. Wantjik Saleh menyatakan bahwa dari ketentuan Pasal 1 dan 2 Undang Undang No.

20 tahun 1946 dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pidana tutupan dimaksud dapat

menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan

hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung

pada hakim. Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan atau acara

melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara lebih pada tempatnya,

maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.” Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan

untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan

kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa. Hubungannya diadakan undang-

undang No. 20 tahun 1946 dengan politik kiranya dapat dilihat konsiderannya yang

menyebutkan maklumat Wakil Presiden No. X yakni tentang anjuran pendirian partai politik.

Selanjutnya ditentukan bahwa: “Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara juga

berlaku terhadap hukuman tutupan jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat

atau pereturan khusus tentang hukuman tutupan. Tentang tempat, cara, dan segala sesuatu

yang perlu untuk melaksanakan undang-undang ini masih akan diatur dengan suatu peraturan-

pemerintahan sedangkan peraturan mengenai tatausaha atau tata tertib bagi rumah untuk

7

menjalankam hukuman tutupan diatur oleh Menteri kehakiman dengan persetujuan Menteri

Pertahanan” . dalam pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana bagian terakhir 

dibawah pidana denda.

2.2.DASAR HUKUM PIDANA TUTUPAN

Dasar pidana tutupan itu antara lain :

1. UU No 20 Tahun 1946, Berita RI No II, yang berbunyi :

Mengingat: Pasal 20 ayat (1) berhubung dengan Pasal IV Aturan Peralihan dari Undang-

undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden tertanggal 18-10-1945 No.X.

Pasal 1. Selain daripada hukuman pokok tersebut dalam Pasal 10 huruf a Kitab Undang-

undang Hukum Pidana dan Pasal 6 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara

adalah hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan, yang menggantikan hukuman penjara

dalam hal tersebut dalam Pasal 2.

Pasal 2 (1). Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan

hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh

menjatuhkan hukuman tutupan. (2). Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang

merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu akibat dari perbuatan tadi adalah

demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada empatnya.

Pasal 3. (1) Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang

diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5.

(2). Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas permintaan

terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat (1).

8

Pasal 4. Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman

tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus

tentang hukuman tutupan.

Pasal 5 (1). Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan

segala yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah.

(2). Peraturan tata usaha atau tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan diatur 

oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.

pasal 6.undang-undang ini mulai berlaku pada pengumumannya ditetapkan di Jogjakarta pada

tanggal 31 Oktober 1946, dan diumumkan pada tanggal 1 Nopember 1946.

. 2. Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10

dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda.

Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan

2.3.PENGERTIAN PIDANA BERSYARAT MENURUT PARA AHLI

Pidana bersyarat sering disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke

veroordeling ) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena tidak disebutkan

dalam Pasal 10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terkait pada

Pasal 10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan kurungan yang keberlakuannya hanya

pada batas satu tahun penjara atau kurungan.

Menurut E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2002 : 473) kata-kata pidana bersyarat atau

pemidanaan bersyarat adalah :

Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang

bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu.

9

Pidana dengan bersyarat, yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan pidana

percobaan, adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya

digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu

ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak

dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak

ditaatinya atau dilanggarnya.

 Andi Hamzah dan Siti Rahayu (Tolib Setiady, 2010 : 112) berpendapat mengenai pidana

bersyarat dengan menyatakan bahwa :

Pemidanaan bersyarat dapat disebut pula pemidanaan dengan perjanjian atau pemidanaan

secara janggelan, dan artinya adalah menjatuhkan pidana kepada seseorang, akan tetapi

pidana ini tak usah dijalani kecuali di kemudian hari ternyata bahwa terpidana sebelum habis

tempo percobaan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diberikan

kepadanya oleh hakim, jadi keputusan pidana tetap ada akan tetapi hanya pelaksanaan pidana

itu tidak dilakukan.

Sementara itu Muladi (2008 : 195) menyatakan bahwa :

Pidana bersyarat adalah suatu pidana di mana si terpidana tidak usah menjalani pidana

tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat

umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan (pidana bersyarat ini merupakan

penundaan pelaksanaan pidana).

Pidana bersyarat tidak termasuk jenis pidana pokok maupun pidana tambahan, tetapi

pidana bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan

pelaksanaannya dilakukan di luar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan berarti

membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan

dalam masyarakat dalam suatu penjara atau lembaga pemasyarakatan, akan tetapi secara

10

formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana hanya saja dengan

pertimbangan tertentu pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata

terpidana telah melanggar.

2.4.DASAR HUKUM PIDANA BERSYARAT

Di Indonesia sendiri untuk pertama kalinya diterapkan adanya pidana bersyarat pada

tahun 1926 yang dituangkan dalam STB. 1926 NO. 251 JO 486, akan tetapi baru sejak 1

Januari 1927 dimasukkan ke dalam KUHP berupa ketentuan Pasal 14a sampai 14f.

Dalam Pasal 14a KUHP menentukan :

1) Jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan dijatuhkan hukuman

kurungan diantaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh

memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan, kecuali kalau di kemudian hari ada

perintah lain dalam keputusan hakim. Oleh karena terhukum sebelum jatuh tempo percobaan

yang akan ditentukan dalam perintah pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau

dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang akan

sekiranya diadakan dalam perintah itu.

2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai

penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata

kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan

sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu

hanya dianggap sebagai perkara mengenai pengahasilan negara, jika terhadap kejahatan dan

pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan

Pasal 30 ayat (2).

3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai

pidana tambahan.