makalah hukum waris menurut adat

29
PENDAHULUAN I. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum islam bias disebut sebagai hibah. Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut. II. Identifikasi Masalah

Upload: unpad

Post on 27-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat,

termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam

bentuk waris diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW,

hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki

karakter yang berbeda dengan yang lain.

Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara

turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari

musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan

kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus

dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia.

Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal

dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum islam

bias disebut sebagai hibah.        

Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat,

menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum

waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing

daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem

kewarisan tersebut.

II. Identifikasi Masalah

1. Apa pengertian secara umum mengenai hukum waris adat?

2. Bagaimana pemahaman tentang sifat hukum waris adat?

3. Bagaimana penerapan hukum waris adat?

LANDASAN TEORI

HUKUM WARIS ADAT

Hukum waris adat menurut Soepomo, merupakan peraturan yang

memuat pengaturan mengenai proses penerusan serta pengoperan

barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak termasuk

harta beda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.1

Kemudian yang dikemukakan oleh Ter Haar, hukum waris adat adalah

aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke

abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud

dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikutnya.2

Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan

yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari

pewaris kepada para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan

harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau

setelah pewaris meninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan1 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.2 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R. Surbakti Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990.

cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan, atau penyerahan pemilikan

atas bendanya oleh pewaris kepada ahli warisnya. Jadi bukanlah

sebagaimana yang diungkapkan oleh Wirjono, pengertian “warisan”

ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakan

pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang

pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang

masih hidup.3 Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara

penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan

sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang

manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta

kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penelesaian

bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu

sebagai akibat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma

mengartikan warisan itu adalah bedanya dan penyelesaian harta

benda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia

wafat.4

Sistem Hukum Waris Adat

Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikataakan

bahwa sistem hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, antara

lain :

1. Sistem Keturunan

3 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm 8.4 Ibid., hlm. 8.

Dilihat dari segi garis keturuan maka perbedaan lingkungan

hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

:

a. sistem patrilineal (kelompok garis ayah)

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,

contohnya: Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Seram, Nusa

Tenggara.

b. Sistem Matrilineal (kelompok garis ibu)

Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana

kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari

kedudukan pria dalam pewarisan. Contohnya, Minangkabau

dan Enggano.

c. Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis ibu dan

bapak)

Sistem yang ditarik menurut garis orang tua (ibu dan

bapak) dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan

dalam pewarisan. Contohnya: Jawa, Sunda, Madura, dan

Melayu.5

2. Sistem kolektif

Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan

pengalihan harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak

terbaik dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk

menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.

Contohnya seperti di Minangkabau, Ambon, dan Minahasa.

3. Sistem Mayorat

5Ibid., hlm 23.

Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu

kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang

dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-

laki tertua (contohnya di Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso),

atau perempuan tertua (di Sumendo, Sumatera Selatan), anak

laki-laki termuda (di masyarakat Batak) atau perempuan

termuda atau anak laki-laki saja.

4. Sistem individual

Menurut sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau

memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada

umumnya, sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut

sistem parental.

Asas-asas dalam hukum waris adat di Indonesia :

1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian diri

2. Asas Kesamaan Hak dan Kebersamaan Hak

3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan

4. Asas Musyawarah dan Mufakat

5. Asas Keadilan

Para Ahli Waris

Yang menjadi ahli waris yang terpenting dalam adat adalah

anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung ini, anggota

keluarga lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris. Hukum

adat waris sangat dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan yang

bersifat susunan unilateral yaitu matrilineal dan patrilineal.

Beberapa yurisprudensi tentang adat waris, yaitu :

1. Keputusan MA tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959

yang berisikan: hak untuk mengisi atau penggantian kedudukan

ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari pada

yang meninggalkan warisan adalah ada pada keturunan dalam

garis menurun. Jadi, cucu-cucu adalah ahli waris dari

bapaknya.

2. Keputusan MA tanggal 10 November 1959 no. 141/K/SIP/1959

mengatakan :

a. Penggantian waris dalam garis keturunan ke atas juga

mungkin ditinjau dari rasa keadilan

b. Pada dasarnya penggantian waris harus ditinjau pada rasa

keadilan masyarakat dan berhubungan dengan kewajiban

untuk memelihara orang tua dan sebaliknya.

Di dalam masyarakat adat dikenal juga :

a. Anak angkat

b. Anak tiri

c. Anak di luar kawin

d. Kedudukan janda

e. Kedudukan duda

a. Anak angkat

Kedudukan hukum anak angkat di lingkungan hukum adat di

beberapa daerah tidak sama. Di Bali, perbuatan mengangkat

anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan hak anak dari

pertalian orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut

menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dengan tujuan

untuk melanjutkan keturunannya.

Di Jawa, perbuatan mengangkat anak hanyalah memasukkan anak

itu ke kehidupan rumah tangganya saja, sehingga anak

tersebut hanya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang

mengangkatnya dan tidak memutuskan pertalian keluarga antara

anak itu dengan orang tua kandungnya. Jadi, bukan untuk

melanjutkan keturunan seperti di Bali.

Putusan Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak

angkat berhak atas barang-barang gono gini orang tua

angkatnya. Sedangkan barang-barang pustaka (barang asal)

anak angkat tidak berhak mewarisinya (putusan MA tanggal 18

Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).

b. Anak tiri

Anak tiri yang hidup bersama dengan ibu kandungnya dan bapak

tirinya atau sebaliknya adalah warga serumah tangga pula.

Terhadap bapak atau ibu kandungnya anak itu adalah ahli

waari, tetapi terhadap bapak atau ibu tirinya anak itu

bukanlah ahli waris melainkan hanya warga serumah tangga

saja. Hidup bersama dalam suatu rumah tangga membawa hak-hak

dan kewajiban-kewajiban antara satu dengan yang lainnya.

Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah

tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak

tirinya, bahkan anak tiri berhak atas penghasilan dari

bagian harta peninggalan bapak tirinya, demikian sebaliknya.

c. Anak yang lahir di luar perkawinan

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya menjadi ahli waris

dari ibunya.

d. Kedudukan Janda

Di dalam hukum adat, kedudukan janda di dalam masyarakat di

Indonesia adalah tidak sama sesuai dengan sifat dan sistem

kekeluargaan.

Di masyarakat tapanuli dan batak, istri dapat mewarisi harta

peninggalan suaminya. Anak yang belum dewasa dibawah

kekuasaan ibunya dan harta kekayaan anak dikuasai ibunya.

Janda wajib tetap berada dalam ikatan kekeluargaan kerabat

suaminya, bahkan sering janda menjadi isteri dari saudara

suaminya.

e. Kedudukan Duda

Di daerah Minangkabau, dengan sifat matrilineal, suami pada

hakekatnya tidak masuk keluarga istri sehingga duda tidak

berhak atas warisan istri.

Di masyarakat Batak dan Bali, suami berhak atas warisan

istrinya yaitu barang-barang yang dulu di bawa oleh

istrinya.

Di Jawa, duda berhak mendapat nafkah dari harta kekayaan

rumah tangga setelah istrinya meninggal dunia.

Harta Waris Adat

Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang

diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi

maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam

empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta

pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.

1. Harta asal

Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh

pewaris sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik

harta itu berupa harta peninggalan maupun harta bawaan. Harta

peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak

terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga

harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami.

Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi

dan harta peninggalan yang dapat dibagi. Dalam pewarisan yang

banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak

terbagi, karena terhadap harta ini ada seolah-olah waris

kehilangang haknya untuk memiliki secara perseorangan atau

menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi

dalam hukum adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari

harta itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa, harta peninggalan

dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana

misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus

mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak

akan terjamin bila diadakan pembagian.

Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah

gadang, sawah atau peladangan. Dalam masyarakat matrilinial ini

harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat

pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara

perseorangan melainkan secara bersama memilikinya bagi para

anggota kerabat dari pihak ibu tersebut. Terhadap harta kerabat

di Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin oleh

mamak kepala waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain

faktor-faktor di atas, harta peninggalan tak terbagi karena harta

tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus seperti

dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta

peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang

menggantikan kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara

saudara-saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim

matrilinial harta peninggalan hanya dikuasai dan diurus, tidak

dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan

tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga yang ditinggalkan”.

( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).

Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya

terdapat pada masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat

bilateral di Jawa, dan tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah

yang harta peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman

dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun

pada prinsipya tidak dapat dibagi. Demikian juga di Semende yang

menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi hanya

harta tunggu tubang saja, sedangkan harta diluar harta tubang

dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi biasanya merupakan harta

pencaharian atau harta bawaan.

Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau

isteri sebelum perkawinan. Oleh sebab itu dibagi antara harta

bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada yang

terikat dengan kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat.

Harta bawaan yang terikat dengan kerabat seperti harta pihak

suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke tempat kediaman

isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di

Minangkabaum harta yang diberikan kepada anak perempuan selagi

masih gadis di Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman

suaminya (patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan.

Harta bawaan yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu

hasil pencaharian si suami selagi masih bujang (harta

pembujangan, Sumatera Selatan), harta penantian bagi si isteri

semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta perempuan ataupun

harta laki-laki.

Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang

berbeda sesuai dengan bentuk masyarakat itu.

2. Harta pemberian

Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris

karena pemberian, baik pemberian dari suami bagi si isteri,

pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian orang

lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta

pemberian dibedakan dengan harta asal, sebab harta asal telah ada

sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada setelah

perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat

terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada

anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak

tersebut dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan

arian), bila si isteri ini meninggal dan tidak mempunyai anak,

maka harta ini akan kembali pada kerabatnya.

Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.

Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak

suami-isteri, sama halnya dengan pemberian kerabat hanya saja

motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya didasarkan

rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan

pemberian orang lain karena rasa persahabatan dan sebagainya.

3. Harta pencaharian

Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-

isteri, suami saja atau isteri saja dalam perkawinan karena usaha

dari suami-isteri atau salah satu pihak. Secara umum harta yang

diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri,

tetapi dalam beberapa masyarakat ada harta pencaharian suami

saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan bentuk

perkawinan dan sistim kekerabatannya.

Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa

gono-gini, di Kalimantan harta perpantanganm di Bugis dan Makasar

dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah karena harta

bawaan, harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk

keluarga yang diberikan tersebut.

CONTOH KASUS

1. PATRILINEAL

Sistem pembagian waris dalam masyarakat hukum adat Batak Toba

Khususnya di Indonesia banyak dikenal system hukum waris yang

dapat diberlakukan dalam masyarakat, ini tidak terlepas dari

aspek sejarah bahwa system hukum yang pernah eksis dalam sejarah

Negara Indonesia sangat plural (majemuk) , antara lain hukum

waris, hukum barat, hukum waris islam, dan hukum waris adat.

Hukum waris adat merupakan penggunaan istilah yang berbeda

dengan hukum waris lainnya, sehingga terlihat hukum waris adat

merupakan system yang berbeda dengan hukum waris islam dan hukum

waris barat yang sampai sekarang masih banyak dianut oleh anggota

masyarakat.

Oleh karenanya, perlu ditegaskan hukum waris adat merupakan

salah satu dari sekian banyak system hukum yang ada dalam hukum

adat yang bersumber dari akar budaya asli bangsa Indonesia yang

beraneka ragam.

Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan

adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan

bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak

perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta

warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena

pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki

yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan.

Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan

Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak

perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan

keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan

bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi

biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak

nya dalam pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur

dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi.

Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak

perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin

agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi

ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum

perdata dalam hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak

anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,

harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang

tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang

mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak

dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka

turun - temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka

turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang

mewariskan. Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat

batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan

yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan

hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan

Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma

Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan

adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu

ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan

apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak

Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah

Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya

dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga

tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena

anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya,

misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu

Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka

hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak

perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya.

Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh

warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan

dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak

lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah

merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata

nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan

adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan

perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba

saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan

warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di

kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti

di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum

waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung

jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku

batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan

yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang

batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang.

2. MATRILINEAL

Hukum waris adat dengan sistem kekeluargaan matrilineal ini

menentukan bahwa anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari

ibu, baik harta pencaharian maupun harta bawaan (harta pusaka),

oleh karenanya, sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam

masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang

mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum

serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang “mamak kepala

waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya

adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris

harus cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam

kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris.

Anggota kaum terdiri dari kemenakan dan kemenakan ini adalah ahli

waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan

antara:

a. Waris Bertali Darah

Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang

terdiri dari ahli waris satampok ( waris setampuk ), waris

sajangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta).

Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini

mewaris secara bergiliran, artinya selama waris bertali darah

setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal belum

berhak mawaris. Demikian pula waris seterusnya selama waris

sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.

b. Waris Bertali Adat

Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh

hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.

Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian

tersendiri untuk waris bertali adat sehingga waris bertali adat

ini dibedakan sebagai berikut:

- Waris menurut caranya menjadi waris: waris batali

ameh, waris batali suto, waris batali budi, waris tambilang basi,

waris tambilang perak.

- Menurut jauh-dekatnya terdiri dari: waris dibawah

daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris di bawah lutut.

- Menurut datangnya, yaitu: waris orang dating, waris

air tawar, waris mahindu.

c. Waris Bertali Budi

Yaitu waris dari orang lain yang sering dating berkunjung di

bawah lindungan satu penghulu.

d. Waris di Bawah Lutuik

Yaitu waris yang asalnya tidak jelas dan keturunan pembantu

(budak) yang menetap sebagai anggota kerabat.

Dari keempat macam ahli waris atau kemenakan tersebut yang

sebagai ahli waris adalah kemenakan bertali darah yang sepuluhan

ke bawah dan sepuluhan ke atas. Para ahli waris tersebut berhak

menghalangi tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka

yang tidak mereka setujui. Sedangkan kemenakan lainnya, yang

bertali adat, bertali budi, dan dibawah lutuik bukan ahli waris

dari satu gadang (sabuah paruik) atau dari satu kesatuan kerabat

yang disebut “kaum”.

3. PARENTAL

Sistem Waris dan Ahli Waris pada masyarakat Sunda

a.               Sedarah dan Tidak Sedarah

Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak

sedarah.Ahli waris yangsedarah terdiri atas anak kandung, orang

tua,saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak

angkat, janda/duda. Di daerah Cianjur, seorang anak angkat adalah

ahli waris,apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan

negeri.

Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama,

anak/anak.Kedua, orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga,

saudara/saudara kalau tidak ada orang tua.

b.      Kepunahan atau Nunggul Pinang

Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai

ahliwaris(punah)atau lazim disebutnunggul pinang. Menurut

ketentuanyang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar,

Ciamis, Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang,

apabila terjadinunggul pinang, barang atau harta peninggalan akan

diserahkankepada desa. Selanjutnya desalah yang akan menentukan

pemanfaatanatau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang

kalau pewarismati punah, harta warisan jatuh kepada desa atau

mungkin juga padabaitulmaal,masjid atau wakaf. Di daerah

Kabupaten Cianjur,kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli

waris, selain diserahkankepada desa, mungkin diserahkan

kepadabaitulmaalatau kepadaorang tidak mampu.Di Kecamatan Kawali,

selain diserahkan ke desadapat juga diserahkan kepada yayasan

sosial. Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh

PengadilanTinggi Jawa barat di Bandung, memutuskan:“Apabila

seseorang tidak mempunyai anak kandung, makakeponakan-

keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yangmerupakan

barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisanorang

tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt.,

PT. Jabar di Bandung tanggal 23 Januari 1971,Nomor 507/

1969/Perd/PTB.

KESIMPULAN

Hukum waris adat merupakan hukum yang bertalian dengan

proses aturan-aturan penurunan dan peralihan kekayaan materiil

dan immateriil dari turunan ke turunan. Merumuskan hukum waris

adat sebagai hukum yang menurut peraturan-peraturan yang

mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta

benda dan barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan

manusia kepada turunannya.

Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan

individual. Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan

peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud

dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia

kepada ahli warisnya. Harta waris adalah harta yang ditinggalkan

atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat

dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi

dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta

pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.

Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-

laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat

Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki.

Dalam sistem matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli

waris dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka tinggi maupun

untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang

laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris

mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh

kemenakannya dari pihak laki-laki.

Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki

ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris

adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak

yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam

proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada

ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk

diperlakukan sama. Berikut perbandingan tiga sistem kewarisan :

a.Sistem Pewarisan Individual.Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris

mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau

memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.

Sistem pewarisan ini contohnya pada masyarakat parental di

Jawa.

b.Sistem Pewarisan Kolektif.Pada sistem ini harta warisan diteruskan dan dialihkan

pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai satu

kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan

pemilikannya. Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan,

menggunakan dan mendapatkan hasil dari harta warisan itu.

Sistem pewarisan kolektif ini contohnya pada masyarakat

matrilineal di Mingangkabau.

c.Sistem Pewarisan MayoratSistem mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan

kolektif, hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan

atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada

anak  tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga.

Sistem pewarisan mayorat contohnya di Pulau Bali, dimana

anak laki-laki tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan

kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.

N

o

.

Sistem

Kewarisa

n

Ciri-ciri Kelebihan Kekurangan

1

.

Individu

al

Harta

peninggalan

itu dibagi-

bagikan

kepemilik-

annya

kepada para

waris

Para waris

dapat

bebas

mengusai

dan

memiliki

harta

warisan

bagiannya

tanpa

dipengaruh

i anggota-

anggota

keluarga

yang lain

Pecahnya

harta

warisan

dan

meregangny

a tali

kekerabata

n.

2 Kolektif

Harta

peninggalan

Dapat

terlihat

menimbulka

n cara

. diteruskan

dan dialih-

kan

kepemilikan

-nya dari

pewaris

kepada ahli

waris

sebagai

kesatuan

yang tidak

terbagi -

bagi

penguasaann

ya dan

pemilikanny

a.

apabila

fungsi

harta

kekayaan

itu

diperuntuk

kan bagi

kelangsung

an harta

anggota

keluarga

tersebut.

berpikir

yang

terlalu

sempit,

kurang

terbuka

karena

selalu

terpancang

pada

kepentinga

n keluarga

saja

3

.

Mayorat

Harta

peninggalan

diwarisi

keseluruhan

-nya atau

sebagian

besar

Terletak

pada

kepemimpin

an anak

tertua

yang

mengganti-

Tampak

apabila

anak

tertua ini

ternyata

tidak

mampu

(sejumlah

harta pokok

dari suatu

keluarga)

oleh

seorang

anak saja.

kan

kedudukan

orang

tuanya

yang telah

meninggal

untuk

mengurus

harta.

mengurus

harta

kekayaan

orang

tuanya itu

DAFTAR PUSAKA

Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,

1993.

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R.

Surbakti Presponoto, Let. N.

Voricin Vahveve, Bandung, 1990.

Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Bandung: Alumni, 1983

Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Adat Cet 5. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti. 1995

Wignyodipuro, Suroyo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.

Jakarta: CV Haji Masagung. 1990

TUGAS KELOMPOK

HUKUM PERSELISIHAN

HUKUM WARIS ADAT

Rachel Gabriella P. M 110 110 100 021

Ibrahim S. 110 110 100 146

Dominico Josua Hutagalung 110 110 100 152

Anggodo Bambang 110 110 100 273

Cheffy 110 110 110 350

Jeremia L. Tobing 110 110 100 385

Shannon P. Hutabarat 110 110 110 178

Priatama Baginda 110 110 110 310

Miftahudin 110 110 110 280

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2014