rumah adat batak

27
1 ARSITEKTUR NUSANTARA “Rumah Adat Batak” Oleh: Ucu Siti Nurmala 11420031 UNIVERSITAS BOROBUDUR JAKARTA FAKULTAS TEKNIK PRODI ARSITEKTUR 2012

Upload: independent

Post on 30-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

ARSITEKTUR NUSANTARA

“Rumah Adat Batak”

Oleh:

Ucu Siti Nurmala

11420031

UNIVERSITAS BOROBUDUR JAKARTA

FAKULTAS TEKNIK

PRODI ARSITEKTUR 2012

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa penulis telah

menyelesaikan tugas mata kuliah Arsitektur Nusantara yang membahas tentang salah satu rumah

adat yang berada di Indonesia.

Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis

menyadari bahwa kelancaran dalam penyususnan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan,

bimbingan dari panengajar, sehingga kendala yang penulis hadapi dapaat teratasi. Oleh karena

itu, penulis mengucapakan terimakasih kepada :

1. Dosen mata kuliah Arsitektur Nusantara yang telah memberikan tugas, petunjuk kepada

penulis sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan tugas ini.

2. Teman-teman yang turut berpartisipasi dan ikut aktif dalam penyelesaian tugas, sehingga

tugas ini selesai.

Harapan penulis semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi

bahan diskusi untuk perbaikan. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jau dari sempurna,

oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Jakata, Desember 2012

Penulis

3

DAFTAR ISI

HALAMAN PEMBUKA

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG............................ ........................................................................1

B. MAKSUD DAN TUJUAN..............................................................................................1

BAB II. METODE PEMBAHASAN

A. METODE…………………............................................................................................2

B. LOKASI….……………………….................................................................................2

BAB III. PEMBAHASAN

A. KONSEP RUMAH BATAK..........................................................................................3

B. FILOSOFI RUMAH BATAK………............................................................................4

C. TYPE & BENTUK RUMAH BATAK…………...........................................................8

D. TATA RUANG RUMAH BATAK...............................................................................11

E. KONSTRUKSI..............................................................................................................13

F. BAHAN……………………………………………………………………………….18

G. POLA LINGKUNGAN……………………………………………………………….20

BAB IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN.............................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..…………..24

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tinggalan manusia masa lampau merupakan gambaran gagasan yang tercipta

karena adanya jaringan ingatan, pengalaman, dan pengetahuan yang diaktualisasikan ke

dalam suatu aktivitas yang menghasilkan benda maupun jejak budaya. Manusia

melakukan interaksi dengan alam sekitarnya dalam bentuk sosial, religi, dan juga

permukimannya.

Dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut, manusia menjadikan lingkungan alam

sekitarnya sebagai lahan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya bahan baku, pangan,

serta tempat beraktivitas.

Permukiman merupakan salah satu situs arkeologi yang secara ekologis merupakan

suatu ekosistem yang komponen-komponennya saling berhubungan timbal balik. Oleh

karena itu, hubungan antarkomponen dalam permukiman menjadi salah satu bagian yang

menarik untuk dikaji. Berkenaan dengan kajian tersebut, maka tulisan ini akan

mengambil permasalahan bagaimana bentuk-bentuk adaptasi lingkungan yang dilakukan

masyarakat pada permukiman tradisional Batak Toba di sekeliling Danau Toba.

B. DAN TUJUAN

Tujuan di buatnya makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

“Arsitektur Nusantara” dan untuk pembelajaran bagi para mahasiswa tentang sejarah

arsitektur Indonesia. Karena Indonesia memiliki beragam keragaman budaya, hal ini

diharapkan dapat menambah wawasan yang tidak terbatas bagi penerapa ide design

bangunan dengan tidak menghilangkan ciri khas dari negara sendiri.

5

BAB II

METODE PEMBAHASAN

A. METODE

Metode penyusunan makalah ini, dilakukan dengan memanfaatkan data dari

pengamatan data dari objek wisata Taman Mini Indonesia Indah yang memperlihatkan

bangunan Adat Suku Batak dari Sumatera Utara.

Gambar 1

Survey Bangunan Rumah Batak

Sumber: TMII (Ucu Siti Nurmala:2012)

S

v

Selain itu, isi makalah ini juga merupakan hasil dari pengumpulan darta dari

internet dan juga buku-buku yang menyangkut pola lingkungan Suku Batak di Indonesia.

B. LOKASI

Provinsi Sumatera Utara beribukota Medan,

Terletak antara 10 - 40 LU, 980 - 1000 B.T.

Batas wilayahnya sebelah utara provinsi Aceh

dan Selat Sumatera, sebelah barat berbatasan

dengan provinsi Sumatera Barat dan Riau,

sedangkan sebelah Timur di batasi oleh Selat

Sumatera.

Gambar 2

Peta Suku Batak di Sumatera Utara

Sumber: : http://www.google.co.id

6

BAB III

PEMBAHASAN

A. KONSEP RUMAH BATAK TOBA

Arsitektur Tradisional Batak Toba

Gambar 3 Ruma tradisional Batak Toba

Sumber: http://www.hlc.unimelb.edu.au_dalli_Indonesian_stories

Suku bangsa Batak terbagi atas 6 anak suku, yaitu Batak Karo, Batak

Simalungun, Batak Pakpak, Batak Toba, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Setiap

suku memiliki seni arsitektur yang menarik.

Rumah Adat Batak Toba yaitu Rumah Bolon (Rumah Gorga atau Jabu Si

Baganding Tua). Biasanya Rumah terdiri atas Rumah dan juga sopo (lumbung padi) yang

berada di depan rumah. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi

sebagai ruang bersama warga huta.Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut

Rumah Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang tidak

berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut

Rumah Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu Parbale-balean.

Pada rumah Adat Batak juga terdapat banyak ukiran yang disebut gorga. Warna-

warna yang dipilih adalah merah, hitam dan putih, yang maksudnya adalah warna dari

alam yang mengacu pada flora dan fauna.

7

B. FILOSOFI RUMAH BATAK TOBA

Gambar 4

Rumah adat Batak

Toba

Sumber: http://artasia.www2.50megs.com

Rumah adat bagi orang Batak didirikan

bukan hanya sekedar tempat bemaung dan

berteduh dari hujan dan panas terik matahari

semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi

yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah

adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup

dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.

Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya

sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya,

agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta

terhadap budayanya.

Makna dan Simbolisme

Pola penataan desa atau lumban/ huta terdiri dari beberapa ruma dan sopo.

Perletakan ruma dan sopo tersebut saling berhadapan dan mengacu pada poros utara

selatan. Sopo merupakan lumbung, sebagi tempat penyimpanan makanan. Dalam hal ini,

menunjukkan bahwa masyarakat Batak selalu menghargai kehidupan, karena padi

merupakan sumber kehidupan bagi mereka. Penafsiran Pola penataan lumban yang

terlindungi dengan pagar yang kokoh, dengan dua gerbang yang mengarah utara-selatan,

menunjukkan bahwa masyarakat Batak, memiliki persaingan dalam kehidupan

kesehariannya.

8

Jika kita mengamati peta perkampungan Batak, maka dapat kita ketahui terdapat

beragam suku Batak, dengan lokasi yang berdekatan. Oleh karena iu, pola penataan

lumban berbentuk lebih menyerupai sebuah benteng dari pada sebuah desa. Pada

penataan bangunan yang sangat menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan

dengan ruma. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang

didominasi oleh bertani, dengan padi sebagai sumber kehidupan yang sangat dihargainya.

Di dalam lumban, terdapat beberapa ruma dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa

rumah tersebut menunjukkan bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan extended

family dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.

Kajian Persolekan

Sebelum mendirikan bangunan diadakan upacara mangunsong bunti, yaitu

upacara memohon kepada Tri-tunggal Dewa (Mula Jadi Nabolon, Silaon Nabolon, dan

Mengalabulan). Peserta upacara melipud Datu Ari (dukum), Raja Perhata (ahli hukum

adat), Raja Huta (kepala desa) dan Dalihan Natolu (raja ni hula-hula, dongan tubu dan

boru). Waktu mendirikan bangunan diadakan upacara paraik tiang dan paraik urur

(memasang tiang dan urur). Setelah bangunan selesai diadakan 2 upacara, yakni:

mangompoi jabu (memasuki rumah baru) dan pamestahon jabu (pesta perhelatan rumah

baru).

Gambar 5

Ragam hias pada beranda Roma Bolon Raja Simanindo

Sumber: Soeroto (2003: 106)

Beranda Ruma Bolon Raja Simanindo

merupakan tempat raja menyampaikan

perintah atau menyaksikan pagelaran seni dan

upacara adat Ragam hias (gorga) pada

bangunan Batak Toba banya mengenal 3

warna, yaitu merah, putih dan hitam yang

9

dibuat dari bahan alam. Setiap hiasan dan ukiran mengandung makna yang melambangkan

kepercayaan bersifat magis religius. Pemasangan ragam hias juga harus mengikuti aturan adat

yang berlaku. Bentuk dan corak ragam hiasnya banyak mengambil bentuk dari alam semesta,

flora, dan fauna. Hiasan dari alam, di antaranya at matani ari (matahari) dan desa ni ualu (8 mata

angin). Hiasan berasal dari flora, antara lain simeol-eol, sitompi, sitangan, iran-iran, hariara

sudung ni langit. Sedang hiasan berasal dari fauna, yaitu hoda-hoda (kuda), boraspati (cecak

besar), sijonggi, dan gajah dompak. Ada juga hiasan geometris, seperti silintong (garis-garis) dan

ipon-ipon.

Gambar 6

Detail ukiran pada balok utama, papan lis atap dan papan

beranda

Sumber: TMII (Ucu Siti Nurmala : 2012)

Makna dan Simbolisme Pada hiasan runmah tradisional

Batak Toba, merupakan desain bentuk dari binatang dan

tumbuhan. Pewarnaan yang digunakanpun hanya

menggunakan tiga warna, yaitu hitam, merah dan putih.

Hal ini merupakan warna dsar yang dapat ditemukan dari alam. Selain bentuk tumbuhan dan

binatang, terdapat juga hiasan geometris, baik garus lurus maupun lengkung. Adapun bentukan

garis lengkung merupakan hiasan yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi, karena hal

tersebut dapat ditemukan pula pada arsitektur kalimantan dan sulawesi. Selain bentuk ruma

secara individu, keberadaan tempat upacara juga merupakan salah satu pelengkap bagi

keberadaan lumban. Hal ini merupakan salah satu bangunan yang memiliki nilai yang tidak kalah

pentingnya dengan keberadaan ruma dan sopo sebagai inti dari keberadaan lumban.

10

Gambar 7

Detail ukiran pada balok utama, papan lis atap dan papan

beranda

Sumber: Soeroto (2003: 106)

Penafsiran

Hiasan yang digunakan pada arsitektur

tradisional Batak Toba merupakan seni ukir dan

lukis. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan

merupakan salah satu hal yang sangat erat kaitannya

dalam kehidupan manusia. Selain keindahan, hiasan yang ada pada rumah tradisional Batak Toba

juga memiliki nilai yang sangat penting dalam menentukan jati diri penghuni ruma. Oleh karena

itu, selain bentuk ruma, hiasan juga merupakan suatu kebanggan dan penghargaan yang

diberikan untuk menunjukkan penghuni ruma. Dengan adanya hiasan pada rumaha tradisional

Batak Toba, hal tersebut dapat digunakan sebagai nilai spesifik yang dimiliki oleh suatu ruma

sebagai bangunan personal, bukan sekedar bangunan tradisional. Misalnya rumah raja memiliki

ragam dan bentuk hiasan yang berbeda dengan rumah tradisional pada umumnya. Hal ini

menunjukkan bahwa hiasan atau nilai keindahan menjadi sesuatu yang sangat penting dan

sifatnya sakral.

11

C. TYPE & BENTUK RUMAH BATAK

Rumah Adat Batak dari semua sub suku secara umum:

1. Rumah Adat Toba

Berdasarkan bentuknya rumah dibagi kedalam 2 bagian, yaitu :

a. Rumah Bolon

Rumah yang cukup besar (biasanya dimiliki

oleh orang yang mampu saja) berbentuk persegi

panjang dan sanggup untuk ditempati 5 sampai 6

keluarga. Biasanya memiliki jumlah anak tangga

yang ganjil dan pintu masuk yang pendek

sehingga untuk dapat masuk kita harus

menundukkan kepala.

Di bagian luar dindingnya biasanya terdapat

hiasan-hiasan berupa ukiran atau pahatan yang

diberi warna-warna, yang disebut dengan Gorga

(akan dibahas dalam postingan selanjutnya).

Sedangkan dibagian sudut rumah biasanya

terdapat pula hiasan yang disebut Gajah Dompak

(bermotif wajah binatang) yang dimaksudkan

sebagai penolak bala.

Gambar 8

Rumah Adat Batak Toba

Sumber: http://www.google.co.id

b. Ruma / Jabu

Rumah sederhana yang hanya mampu menampung 1 keluarga, tidak terdapat

hiasan-hiasan maupun ukiran-ukiran dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari Rumah

Bolon, namun dengan ciri-ciri arsitektur yang sama. Rumah tipe ini lah yang paling

banyak bisa ditemui saat ini.

12

2. Rumah Adat Simalungun

Rumah Adat Simalungun memiliki kemiripan

dan kesamaan dengan Rumah Adat Toba baik

dari segi bentuk, arsitektur, nama, dan juga

ornamen-ornamen hiasannya.

Gambar 9

Rumah Adat Batak Simalungun

Sumber: http://www.google.co.id.

a. Rumah Bolon

Merupakan kediaman para raja dan keluarganya, ciri khas utama adalah dibagian bawah

atau kaki bangunan selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan,

dengan cara silang menyilang dari sudut ke sudut. Ciri khas lainnya adalah bentuk atap di

mana pada anjungan diberi limasan berbentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.

3. Rumah Adat Karo

Disebut sebagai Siwaluh Jabu, panjangnya

bisa mencapai 13 meter dengan lebar mencapai

10 meter dan biasa ditempati oleh 4 hingga

delapan keluarga (jumlah keluarga harus selalu

genap). Salah satu ciri khususnya adalah rumah

ini dibangun tanpa menggunakan paku,

melainkan dengan cara dipantek dengan pasak

atau diikat menyilang dengan tali

Gambar 10

Rumah Adat Batak Karo

Sumber: http://www.google.co.id.

13

Salah satu keunikan lainnya yaitu atap rumah dibangun bertingkat-tingkat cukup

tinggi dan mampu bertahan hingga usia ratusan tahun.

4. Rumah Adat Mandailing

Rumah Adat Mandailing disebut

sebagai Bagas Godang sebagai kediaman

para raja, terletak disebuah kompleks

yang sangat luas dan selalu didampingi

dengan Sopo Godang sebagai balai

sidang adat. Bangunannya

mempergunakan tiang-tiang besar yang

berjumlah ganjil sebagaimana juga

jumlah anak tangganya.

Gambar 11

Rumah Adat Mandailing

Sumber: http://www.google.co.id.

5. Rumah Adat Pakpak

Ciri khas Rumah Adat Pakpak

terletak pada bagian atapnya yang

melengkung dan mempunyai satu bagian

atap kecil dibagian paling atas.

Sayangnya rumah adat ini kini semakin

sulit ditemui karena kurang dilestarikan.

Bentuk bangunan yang masih utuh bisa

ditemukan di Sidikalang, Dairi, dan

Pakpak Barat.

Gambar 12

Rumah Adat Pakpak

Sumber: http://www.google.co.id.

14

6. Rumah Adat Angkola

Dikenal sebagai Bagas Godang, yang

saat ini masih banyak bisa kita temui di daerah

Sipirok dan Padang Sidempuan.

Gambar 13

Rumah Adat Angkola

Sumber: http://www.google.co.id.

D. TATA RUANG RUMAH BATAK TOBA

Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak

disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai

(halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk

memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot

margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”

Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku

tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti

debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang

mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan

bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang

tersinggung harus dapat dilupakan.

Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan

ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah

ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada

juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul

setelah selesai bertanam padi.

Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk

panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya

15

dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan

“ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera

dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma

pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai

permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.

Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya

untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para para dibuat “parlabian” digunakan tempat

rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena

itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe

raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari

diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah

mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.

Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan

rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala

berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding,

di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.

Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga

yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang

punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena

orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.

Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah

yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Rumah Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah

(bahagian) yaitu:

a. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah

ini biasa di tempati oleh keluarga tuan rumah.

b. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh

anak anak yang belum akil balik (gadis)

16

c. Jabu Suhat, ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di

tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah

yang di ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati

Jabu Suhat.

d. Jabu Tampar Piring, ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu

masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu

tampar piring atau jabu soding jolo-jolo.

E. KONSTRUKSI

Kajian Perangkaan

Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah

tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang

terbagi alas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki

rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap

rumah

Arsitektur Batak Toba terdiri atas ruma dan sopo (lumbung) yang saling berhadapan.

Ruma dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga

huta. Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah

adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru.

Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang.

Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu

Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi hak

anak bungsu. Rumah Batak berbentuk 4 persegi panjang dengan ukuran panjang 2 kali

lebarnya. Tinggi bangunan mulai dari batu fondasi sampai ke puncak atapnya (ulu paung)

sekitar 13,00 m. Rumah panggung dengan konstruksi kayu ini berdiri di atas tiang-tiang yang

diletakkan di atas batu ojahan (fondasi). Tiang-tiang rumah terdiri atas tiang panjang (basiha

rea) dan tiang pendek (basi pandak). Bentuknya bulat berdiameter 50 - 70 cm, sehingga

terkesan sangat kokoh.

17

Gambar 14

Rumah adat Batak Toba ”Bolon”

Sumberhttp://i.f.alexander.users.btopenworld.com

Tiang-tiang muka dan belakang dihubungkan oleh 4 baris papan tebal, disebut tustus

parbarat Atau pangaruhut ni banua (pengikat benua). Tiang-tiang kanan dan kiri diikat oleh 4

baris papan tebal, disebut tustus ganjang atau pangaruhut ni portibi (pengikat dunia tengah).

Bagian atas tiang-tiangnya dihubungkan oleh balok ransang yang diikat dengan solang-solang.

Atap yang tinggi besar merupakan unsur paling dominan dari keseluruhan bangunan. Konstruksi

atapnya dari kayu dan bambu dengan penutup atap dari ijuk.

Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang

dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Lantai rumah kadang-kadang sampai

1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan

sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang

horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Untuk

memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah

anak tangga yang ganjil.

18

Gambar 15

Denah dan potongan melintang Ruma Bolon Sumber: Soeroto (2003: 104-105)

Gambar 16 Axonometri konstruksi atap Ruma Bolon

Sumber: Indonesian Heritage (1998: 10)

Bila orang hendak masuk rumah

Batak Toba harus menundukkan kepala

agar tidak terbentur pada balok yang

melintang, hal ini diartikan tamu harus

menghormati si pemilik rumah. Ruangan

dalam rumah adat merupakan ruangan

terbuka tanpa kamar-kamar,walaupun

berdiam disitu lebih dari satu keluarga,

tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian

ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruang dalamnya terbagi menurut struktur adat

Dalihan Natolu, yakni sistem kekerabatan suku Batak Toba. Karena itu ruma terbagi atas jabu

19

soding, jabu bona, jabo tonga-tonga, jabu sukat, jabu tampar piring, dan jamhur. Jabu bona dan

jabu tampar piring di sisi kanan, sedang jabu soding dan jabu sukat di sisi kiri. Dekat pintu

terletak jamhur, sedang dapur di antara jabu tonga-tonga, jabu bona, dan jabu soding. Setiap

jabu mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Jabu bona berfungsi sebagai tempat tinggal pemilik

rumah dan tempat menerima upacara adat Jabu tampar piring tempat saudara pria pihak istri

(hula-hula) serta tempat duduk anggi ni partibi (semarga yang bungsu). Jabu soding adalah

tempat anak gadis pemilik rumah dan tempat upacara adat. Jabu sukat untuk tempat tinggal anak

laki-laki pemilik rumah serta tempat duduk para boru. Sedangkan jabu tonga-tonga untuk tempat

berkumpul seisi rumah.

Gambar 17

Sopo (lumbung)

Sumber: Soeroto (2003: 102)

Dalam ukuran yang lebih kecil, bentuk arsitektur

sopo sama persis dengan ruma bolon, hal ini sebagai

bukti penghargaan yang diberikan pada lumbung

sebagai sumber pangan dan kehidupan.

Gambar 18

Denah Sopo Sumber: Soeroto (2003: 104)

Bangunan lumbung (sopo) dibangun

berhadapan dengan ruma. Sopo dibedakan menurut

jumlah tiangnya, yaitu antara 4 sampai 12 tiang. Sopo

siopat bertiang 14, Sopo sionam bertiang 6, sopo si

ualu bertiang 8 dan sopo bolon bertiang 12. Sopo

bolon masih dapat dilihat di desa Lumban Nabolon,

Tapanuli Utara. Sopo juga merupakam bangunan

20

panggung yang melambangkan tri-tunggal banua. Bagian kolongnya tempat ternak, bagian

tengah tempat menenun dan bersantai, sedang bagian atasnya tempat menyimpan padi. Tiang-

tiang sopo berdiri di atas batu ojahan, berbentuk bulat dengan diameter 20 cm di bawah dan 40

cm di atas. Selain tiang utama terdapat tiang-dang pembantu berbentuk bulat berdiameter 20cm.

Seluruh tiang diikat oleh 4 balok ransang pada tiap sisinya. Bagian atas tiang dihubungkan oleh

balok galapang. Di atas balok galapang terletak sumban dan di atas sumban terdapat gulang-

gulang.

Pada bangunan rumah, terbagi dalam tiga bagian atau tritunggal banua, yakni banua

tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang

(singa dilangit) untuk atap rumah. Hal ini menunjukkan kepatuhan masyarakat tradisional Batak,

dalam menghargai keberadaan dirinya sebagai mikro kosmos di tengah lingkungan alam (makro

kosmos) yang sudah ada. Bentuk dan posisi perletakan bolon dalam rumah Batak Toba yang

menyerupai ruma, menunjukkan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh masyarakat Batak

Toba terhadap hasil alam, sebagai sumber kehidupan. Dalam Ruma, terdapat beberapa keluarga

yang tinggal di dalamnya, akan tetapi tidak terdapat sekat yang jelas di dalamnya, karena lebih

menyerupai ruang yang terbuka. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Batak Toba yang

sangat patuh terhadap adat yang mengaturnya, sehingga tidak diperlukan suatu wujud aturan

secara fisik, karena moralitas mereka masih mengakui kekuatan dan kebenaran adat yang mereka

yakini. Penafsiran Rumah tradisional Batak Toba senantiasa dirancang untuk pola kehidupan

kolektif, yang mampu menampung 4 – 8 keluarga.

Perkembangan peradaban dan kehidupan masyarakat, telah mempengaruhi berbagai

perubahan yang terdapat di dalamnya, termasuk pemanfaatan ruang pada rumah tradisional.

Pergeseran nilai-nilai social tersebut juga akan mempengaruhi bentuk dan pola arsitekturnya.

Suku Batak memiliki sistem kekerabatan yang sangat baik. Hal itu sangat diperlukan untuk

melangsungkan dan memelihara adat istiadat, termasuk rumah tradisional. Kebiasaan merantau

yang banyak dijumpai pada masyarakat Batak, dapat emperburuk serta mempengaruhi

keberlangsungan adat istiadat. Bentuk Lumban (desa) yang terdiri dari beberapa ruma dan bolon

yang tertata secara rapi dan berjajar, dapat menjadi sebagai salah satu upaya keberlangsungan

budaya. Tatanan kehidupan kolektif di daerah pedesaan merupakan suatu benteng bagi

21

keberlangsungan desa-desa tradisional beserta arsitekturnya. Konservasi arsitektur bukan hanya

melestarikan seni budaya peninggalan nenek moyang, akan tetapui bagaimana kita dapat

menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalmnya. Sudah banyak nilai-nilai luhur

yang telah kita tinggalkan dengan alasan modernisasi, yang pada akhirnya hanya akan membawa

kita pada suatu krisis dan kehancuran.

F. BAHAN

Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang

diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan

antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture,

sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-

singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.

Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan

gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong

royong tanpa pamrih.

Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan

kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang

dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah

apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.

Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan

dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande

dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.

Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu

dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut

dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil

(dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang

mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.

22

Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah

penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak

bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di

ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana

tanah di pijak disitu langit jungjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang

lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang

bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada

pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban

berat.

Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-

hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna

jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian

bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan

kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-

hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan

mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang

ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang

letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor

selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus

menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan

kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.

Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari

adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan

agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum

mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi

yang dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.

23

Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan

atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan

pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus

dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang

patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati

“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan.

Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai

pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam

keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa

dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan

kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok

individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan”

yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun

dalam sukacita.

G. POLA LINGKUNGAN

Kajian Pertapakan

Suku Batak Toba bertempat tinggal di sekitar pulau Samosir dan pinggiran Danau

Toba dari Prapat sampai Balige. Di sebelah timur danau dibatasi perbukitan dan guriung-

gunung berdiam suku Batak Simalungun. Suku Batak Karo berada di ujung utara danau

dipisahkan deretan perbukitan. Di sebelab barat danau bermukim suku Batak Pakpak. Suku

Batak Mandailing menempati wilayah selatan berbatasan dengan propinsi Sumatera Barat.

Sedangkan suku Batak Angkola mendiami daerah Tapanuli Selatan, dekat perbatasan Riau.

Setiap anak suku memiliki langgam seni bangunan (arsitektur) yang unik dan indah.

Sayangnya tidak banyak lagi yang tersisa dari bangunan tradisional di tanah Tapanuli,

terutama seni arsitektur dari Batak Pakpak dan Batak Angkola. Perwujudan arsitektur

tradisional Batak Simalungun masih dapat disaksikan di desa Pematang Purba, yaitu bekas

kerajaan Simalungun. Sedangkan wujud arsitektur Batak Mandailing tersisa di desa-desa

Hutagodang, Penyabungan, Pakantan, dan Busortolang. Hutagodang dan Pakantan adalah

24

kampung raja-raja Mandailing, di mana terdapat rumah pria, rumah wanita dan lumbung.

Langgam arsitekturnya bercirikan peralihan bentuk atap rumah Batak dan rumah

Minangkabau, Dewasa ini yang masih banyak ditemui adalah wujud arsitektur tradisional

dan Batak Toba dan Batak Karo

Gambar 19

Sketsa desa adat Lumban Nabolon Parbagasan

Sumber: Soeroto (2003: 102)

Gambar ini menunjukkan pola perkampungan adat Batak Toba yangmenyerupai benteng

dengan dua gerbang Perkampungan suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar dua, yaitu suatu

tata ruang lingkungan dengan komunitas yang utuh dan mantap. Desanya disebut lumban/ huta

yang dilengkapi 2 pintu gerbang (bahal) di sisi utara dan selatan huta. Sekeliling kampong

dipagar batu setinggi 2.00 m, yang disebut parik. Di setiap sudut dibuat menara untuk mengintai

musuh. Menurut sejarahnya, antar sesama suku Batak sering sekali berperang. Itu sebabnya

bentuk kampungnya menyerupai benteng, Huta masih dapat disaksikan di Kabupaten Tapanuli

Utara di desa-desa Tomok, Ambarita, Silaen, dan Lumban Nabolon Parbagasan. Desa-desa

tersebut merupakan daya tarik wisata budaya yang banyak dikunjungi wisatawan.

25

Pola atau susunan perkampungan masyarakat Batak Toba mengikuti pola berbanjar dua

(berhadap-hadapan), yaitu suatu tata ruang lingkungan dengan komunitas yang utuh dan mantap.

Dalam Bahasa Batak, Desa disebut sebagai Lumban atau Huta dan biasanya dilengkapi dengan

gerbang di sisi utara dan selatan sebagai pintu masuk.

Pada setiap sudut terdapat semacam menara untuk mengintai musuh karena pada zaman

dahulu seringkali terjadi peperangan antar kampung pada masyarakat Batak (lihat juga artikel

Bangsa Batak), sehingga kampung dibuat menyerupai benteng. Bentuk-bentuk Huta seperti ini

masih dapat ditemukan di desa-desa Tomok, Ambarita, Silaen, dan Lumban Nabolon

Parbagasan, yang merupakan daya tarik wisata budaya yang banyak dikunjungi wisatawan.

Setiap rumah dibangun dengan mengikuti keyakinan masyarakat Batak pada zaman

dahulu yaitu mengenai konsep alam semesta yang terdiri dari Banua Ginjang, Banua Tonga, dan

Banua Toru (lihat juga artikel Silsilah Manusia Menurut Mitologi Si Raja Batak). Demikianlah

rumah juga dibangun dengan mengikuti konsep tersebut yang terdiri dari Atap (banua ginjang),

Lantai dan badan rumah (banua tonga), dan tanah (banua toru).

Bentuk rumah dibangun dengan pola persegi panjang dengan bahan dasar utama yang

digunakan adalah kayu balok maupun papan dan ijuk serta songsong boltok sebagai atap rumah.

Dasar rumah dibangun setinggi 1,5 - 2 meter dari permukaan tanah, dan bagian bawah biasanya

digunakan untuk tempat ternak (ayam, babi, dll).

Untuk masuk kedalam rumah digunakan anak tangga yang biasanya berjumlah ganjil, hal

ini berhubungan dengan adanya cerita yang beredar pada masyarakat waktu itu bahwa anak

tangga genap hanya digunakan oleh bekas budak saja.

Pintu rumah memiliki dua jenis daun pintu, yaitu daun pintu horisontal dan vertikal.

Namun sekarang, daun pintu horisontal tidak digunakan lagi. Untuk masuk kedalam rumah,

orang harus menundukkan kepala karena adanya balok melintang yang menandakan bahwa

orang yang berkunjung harus menghormati pemilik rumah.

Ruangan di rumah tradisional adalah sebuah ruang terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun

di situ didiami beberapa keluarga, tetapi itu tidak berarti tidak ada pembagian area, karena ini

disesuaikan dengan pembagian kediaman dari rumah tersebut yang diatur oleh adat yang kuat.

26

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Rumah Batak merupakan kebudayaan yang harus dijaga dan di lestarikan, selain

sebagai ilmu pengetahuan hal ini juga mengandung unsur social yang tinggi. Dari setiap

penempatan struktur bangunan memiliki arti dan makna masing-masing yang mengarah

kepada kebersamaan. Nilai budaya ini hendaknya dapat ditempatkan sebagai dasar

filosofi pandangan hidup manusia adalah mahluk social yang saling membutuhkan satu

sama lain.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat

menghargai budayanya, karena itu Bangsa Batak perlu menjaga citra dan jati dirinya agar

keberadaannya tetap mendapat tempat dalam pergaulan hubungan yang harmonis.

27

DAFTAR PUSTAKA

Soeroto, Myrtha. 2003, Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia .Ghalia

Indonesia: Jakarta

Soebadio Haryati. 1998 Indonesian Heritage. Buku Antar Bangsa: Jakarta

http://artasia.www2.50megs.com

http://www.google.co.id

http://www.hlc.unimelb.edu.au_dalli_Indonesian_stories

http://students.ukdw.ac.id

http://ms.wikipedia.org/w/index.php

http://i.f.alexander.users.btopenworld.com