hukum internasional.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi jika
berbicara era modern dewasa ini. Berbagai perbedaan antara sebuah kelompok atau lebih, tidak
jarang mengalami eskalasi dan harus diselesaikan dengan cara kekerasan seperti perang. Internal
Conflict (konflik internal) seperti ini tentu memiliki metode tersendiri dalam penyelesaiannya.
Begitu pula dengan konflik-konflik lainnya seperti konflik internasional yang terjadi antara dua
negara atau lebih. Konflik Internal sebuah negara adalah salah satu kasus yang sering terjadi
bahkan di era modern seperti saat ini.
Pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan merupakan sebuah dinamika yang sering
ditemui jika berbicara dalam konteks hubungan internasional. Rivalitas politik yang
menghasilkan sebuah pihak kalah, tentu akan berakibat fatal terhadap pihak-pihak lainnya yang
merasa dirugikan. Keadaan tersebut biasa menjadi latar belakang dari penggunaan coercive
action (tindakan koersif) atau penggunaan kekerasan agar kepentingan pihak-pihak tersebut bisa
terealisasi.
Kasus pemberontakan dalam sebuah negara terhadap sebuah pemerintahan merupakan
kasus yang kerap terjadi di Negara-negara Afrika. Afrika sebagai sebuah benua yang dianggap
paling tertinggal dalam konteks perkembangan di masa kini, masih dihadapkan dengan
penyelesaian konflik melalui kekerasan yang tidak jarang menghasilkan melayangnya nyawa
rakyat yang menjadi korban dari konflik itu sendiri. Terdapat banyak kasus di Afrika, bisa dilihat
di Sudan dengan konflik antara agama Islam dan Kristen, di Somalia dengan kasus perompak
Somalia, hingga ke Zimbabwe dengan pemerintahan seorang diktator bernama Robert Mugabe
yang kerap menjadi fokus internasional terkait masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Kebanyakan dari konflik-konflik tersebut telah berlangsung selama waktu yang tidak singkat,
termasuk sebuah konflik yang bermula di Uganda Utara, disebabkan oleh kelompok yang disebut
sebagai Lord’s Resistance Army (Tentara Pertahanan Tuhan).
Kelompok Lord’s Resistance Army merupakan sebuah kelompok militan yang hingga
kini belum juga mendapatkan cukup perhatian internasional. Pelanggaran hak asasi manusia
secara masif yang dilakukan kelompok ini-lah yang akhirnya membedakan Lord’s Resistance
Army dengan kelompok-kelompok militan dan pemberontak lainnya yang bertahan hingga kini.
Pemerkosaan, pembunuhan, dan yang paling parah adalah pemaksaan anak-anak untuk menjadi
bagian dari Lord’s Resistance Army merupakan beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang
hingga kini terus dilakukan oleh kelompok LRA ini.2 Ideologi yang diterapkan oleh Lord’s
Resistance Army sangat unik, dan dapat dikaji dari segi historis, dan lebih spesifik melalui
pemahaman akan masalah politik di Uganda. Kerumitan banyak terjadi dalam menganalisa
kelompok Lord’s Resistance Army ini sebab LRA di satu sisi dapat dikatakan sebagai sebuah
kelompok separatis, dan bahkan kelompok teroris modern.
Tahun 1987 menjadi awal munculnya kelompok Lord’s Resistance Army. Kompetisi
yang terjadi antara berbagai kelompok etnis yang ada di Uganda, menginspirasi seorang Joseph
Kony untuk membawa keadilan kembali di Uganda melalui kekuatan yang menurutnya diberikan
langsung oleh tuhan. Joseph menyebut dirinya seorang nabi, yang diberikan kewajiban oleh
tuhan untuk membawa restorasi politik dan perdamaian di Uganda melalui kekerasan, yang kala
itu di Uganda, dihadapkan dengan banyak masalah.
Sejak saat itu, kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) yang telah bertahan selama 25
tahun lebih itu tidak pernah kehilangan akal dalam memberi terror kepada rakyat Uganda.
Permasalahan dalam memahami LRA adalah tujuan dari kelompok Lord’s Resistance Army itu
sendiri. Kepentingan kelompok Lord’s Resistance Army yang cenderung dinamis seiring dengan
waktu, menjadi penghambat utama bagi beberapa aktor yang ingin bernegosiasi dengan
kelompok yang telah membunuh hingga ribuan warga ini. Beberapa pemerintahan yang
mendapat dampak langsung dari Lord’s Resistance Army seperti Uganda, Sudan Selatan,
Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo hingga kini selalu menemui kesulitan.
Jumlah warga yang diperkirakan meninggal akibat konflik dengan kelompok Lord’s Resistance
Army ini di tahun 2008-2011 sebanyak 2.400 orang..
Internasionalisasi konflik yang terjadi bermula saat LRA dan pemerintahan Uganda
sama-sama menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian di tahun 2006. Perjanjian tersebut
disebut sebagai Juba Talks dan berlangsung hingga 2008.6 Juba talks ternyata hanya digunakan
oleh LRA untuk melarikan diri dari Uganda, menuju perbatasan dari negara Sudan Selatan,
Congo, dan Republik Afrika Tengah. Penyebaran tersebut hingga kini membawa ancaman
kepada keempat negara tersebut.
Kebijakan-kebijakan dari berbagai aktor internasional telah berupaya menyelesaikan
masalah LRA ini. Kebijakan yang dikeluarkan Uni Afrika misalnya yang akan merencanakan
pengiriman 5,000 pasukan menuju perbatasan-perbatasan di negara-negara yang mendapatkan
dampak LRA di pertengahan tahun 2012 dianggap sebagai salah satu solusi yang komprehensif
dalam pemberantasan LRA.7 Masalah yang muncul adalah komitmen dari empat negara yang
mendapat pengaruh LRA tersebut, yakni Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan
Republik Demokratis Congo, dalam pemberantasan kelompok tersebut. Perlawanan militer telah
dilakukan, namun signifikansi dari komitmen negara menyebabkan hasil yang didapatkan tidak
maksimal, dan malah memberikan lebih banyak waktu bagi Joseph Kony untuk merekrut lebih
banyak warga untuk bergabung dalam LRA ini.
Kenyataan ini sangat tidak rasional, melihat urgensi yang dibawa oleh kelompok LRA
tersebut. Salah satu cara mengatasi kelompok pemberontakan adalah mengetahui motif dari
kelompok tersebut, yang ingin mereka perjuangkan hingga mati. Pemahaman akan motif dari
kelompok pemberontak, akan membawa berbagai aktor untuk mengatasi pemberontak tersebut
dengan cara mediasi konflik, yang berusaha menyatukan kepentingan dari aktor pemberontak,
dan aktor-aktor berkepentingan lainnya. LRA mampu bertahan hingga sekarang sebab keunikan
motif yang dimilikinya, yang dapat dikategorisasikan menjadi 2 bagian, yaitu motif internal dan
eksternal. Motif ini-lah yang membuat LRA mampu bertahan hingga sekarang.
Motif internal menjadi motif yang paling mengerikan dalam LRA ini. Seringkali
kelompok LRA melakukan kekerasan dan pembunuhan massal di desa-desa terpencil yang
terletak di empat negara korban LRA. Alasan pembunuhan massal tersebut daripada eksternal,
sebenarnya merupakan motif internal. Kenyataan bahwa mayoritas kekuatan LRA merupakan
hasil dari penculikan, maka LRA menggunakan sebuah mekanisme doktrinasi melalui ketakutan,
guna membangun yang namanya kesetiaan dalam kelompok LRA ini.
Seringkali kita temui bahwa kelompok LRA melakukan kekerasan bahkan terhadap
anggota LRA itu sendiri. Motif dibalik tindakan tersebut juga merupakan motif internal yang
bertujuan membangun sebuah rasa takut. Akan tetapi, tujuan kekerasan dalam internal LRA
adalah memberikan contoh kepada seluruh anggota LRA, bahwa siapapun yang ingin melakukan
pemberontakan terhadap kelompok LRA, akan mendapatkan hal yang sama dengan apa yang
dialami anggota LRA yang disiksa ini. Banyaknya anggota LRA yang merupakan child soldier
(tentara anak-anak), maka mekanisme menakuti yang diterapkan LRA sangat mempan dalam
membangun ketakutan, sekaligus loyalitas dalam diri anggota LRA itu sendiri. Meskipun tidak
begitu terlihat, terdapat usaha dari berbagai aktor dalam penyelesaian kasus LRA ini di tingkatan
internasional, misalnya oleh organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi yang sejak berdiri di tahun
1945, menjadi harapan dunia internasional agar terdapat penyelesaian konflik yang damai. PBB
telah berusaha melakukan berbagai mekanisme yang dianggap mampu mengurangi kekuatan dari
Lord’s Resistance Army itu sendiri. Perpanjangan dan penambahan mandat yang diberikan
kepada MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic
Republic of the Congo) yang merupakan sebuah misi pasukan perdamaian PBB dalam mengatasi
perang sipil di Congo adalah salah satu pendekatan militer yang telah dilakukan PBB.
PBB dianggap sebagai salah satu organisasi yang memiliki kewajiban dalam merespon
masalah yang terjadi akibat eksistensi LRA. Dalam mengatasi berbagai kasus konflik yang ada,
PBB membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa, yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menerapkan mekanisme
penyelesaian konflik. Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) terdiri atas 15
negara, dan 5 negara diantaranya memiliki hak veto yang merupakan hak untuk menolak sebuah
resolusi secara langsung, tanpa adanya diskusi terlebih dahulu oleh forum Dewan Keamanan.
Berbagai konflik telah diatasi oleh PBB dalam bentuk mandat Peacekeeping maupun secara
Humanitarian intervention di beberapa negara Afrika, yang memang dianggap sebagai benua
dimana konflik merupakan hal yang lazim terjadi. Kasus LRA yang jelas merupakan bukan
hanya sebuah ancaman internal sebuah negara, namun merupakan sebuah ancaman keamanan
regional (akibat pengaruh yang diberikan kepada empat negara), maka tentunya PBB melalui
lembaga seperti Dewan Keamanan PBB, memiliki tanggung jawab yang besar dalam
penyelesaian konflik LRA itu sendiri. Kerjasama yang intensif melalui pemberian intelijen dan
arahan kepada Uni Afrika, dan negara-negara yang mendapatkan dampak langsung dari LRA ini
adalah salah satu solusi lainnya yang telah dilakukan oleh PBB. Pertanyaan paling besar yang
muncul adalah signifikansi solusi yang telah diberikan oleh PBB tersebut dalam pemberantasan
LRA secara keseluruhan, berdasarkan analisa kebijakan berbagai badan PBB dalam beberapa
tahun terakhir ini. Analisa kebijakan PBB perlu dilakukan dalam menganalisa signifikansi dari
kehadiran PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki obligasi untuk menciptakan
perdamaian dunia, dan mengupayakan mekanisme-mekanisme dalam menciptakan perdamaian
tersebut.
BAB IV
PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PEMBERANTASAN
LORD’S RESISTANCE ARMY
A. Kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Pemberantasan
Kelompok Lord’s Resistance Army Tahun 2008 – 2012
Dewan keamanan PBB sebagai badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
melaksanakan beberapa hal guna memberantas kelompok Lords’s Resistance Army ini. Beberapa
resolusi yang telah diterapkan dari tahun 2008 hingga 2012 adalah Resolusi 1812 (2008),
Resolusi 1991 (tahun 2011) dan Resolusi 1996 (tahun 2011). Ketiga resolusi tersebut merupakan
resolusi keamanan yang memiliki peran untuk mengarahkan Dewan Keamanan dan dunia
internasional terhadap respon yang tepat dalam menghadapi LRA. Meskipun tidak memiliki
detail yang cukup tentang mekanisme pemberantasan, namun Dewan Keamanan telah
menggunakan resolusi-resolusi tersebut, yang digabungkan dengan resolusi-resolusi sebelum
tahun 2008, untuk mengetahui secara umum cara pemberantasan LRA tersebut.
Pembatasan penelitian menjadi tahun 2008 hingga 2012 tidak terlepas dari salah satu
faktor yaitu terjadinya kasus pembantaian terbesar sepanjang kehadiran LRA. Tahun 2008
menjadi tahun dimana prosesi negosiasi Juba Talks gagal akibat ketidakinginan LRA untuk
menjalani negosiasi. Namun, tahun 2008 penting karena Christmas Massacre di Sudan Selatan
terjadi dan menewaskan 800 warga sipil waktu itu. Respon pertama PBB di tahun 2008 melalui
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1812 muncul dan merupakan tindakan Dewan Keamanan
pertama yang pernah ada. Resolusi tersebut memberikan mandat kepada UNMIS di Sudan untuk
menyertakan ancaman LRA dalam mandat yang sudah ada di Sudan.
Pemberantasan sebuah kelompok pemberontak bukanlah perkara yang mudah. Berbeda
dengan penyelesaian sebuah konflik antar negara, konflik dengan pemberontak memerlukan
layar penyelesaian konflik yang rumit, dan bisa berlangsung selama waktu yang tidak singkat.
LRA merupakan salah satu contoh jelas sulitnya menyelesaikan sebuah kasus konflik jika salah
satu aktor yang dihadapi adalah kelompok pemberontak. Kerumitan lebih terlihat jelas dalam
kasus LRA ini, sebab adanya tujuan yang tidak jelas yang diberikan oleh LRA kepada para aktor
yang terlibat dalam negosiasi, yang telah menyebabkan metode diplomasi dan negosiasi tidak
mampu berjalan sesuai dengan harapan. Ada banyak cara yang berbeda tentang penyelesaian
konflik yang melibatkan aktor kelompok pemberontak. Penggunaan cara koersif seperti militer
merupakan salah satu metode paling sering digunakan oleh aktor negara, misalnya di Sri Lanka
dalam memberantas kelompok Tamil Tigers yang mampu diberantas dengan menyatakan perang
dengan kelompok tersebut. Cara diplomasi merupakan salah satu cara lainnya, seperti yang telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi kelompok pemberontak/freedom
fighters yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, Indonesia. Kedua metode paling terkenal
tersebut dalam beberapa kasus tidak dapat dipisahkan, sehingga kedua metode digunakan dalam
usaha sebuah Negara
Perserikatan Bangsa-Bangsa (secara spesifik Dewan Keamanan) telah menggunakan
metode Multidimensional Approach yang merupakan pendekatan multidimensional dalam
menghadapi kelompok LRA dari tahun 2008-2012. Pembelajaran yang didapatkan oleh PBB
sejak kegagalan Juba Talks di tahun 2008 adalah, sangat beresiko untuk memberikan waktu LRA
untuk membentuk ulang formasi kelompoknya karena LRA hanya akan gunakan janji untuk
melakukan negosiasi untuk kepentingan pribadi. PBB sejak saat itu telah melakukan eliminasi
terhadap pendekatan negosiasi kepada kelompok LRA. Sejak Juba Talks, PBB akan tetapi telah
meningkatkan upaya untuk memberikan sebuah fasilitas kepada para anggota LRA, dengan
tujuan membangun sebuah keinginan oleh anggota LRA itu sendiri untuk melarikan diri dari
LRA. Kehadiran beberapa misi pasukan perdamaian PBB di wilayah Sudan Selatan, Republik
Afrika Tengah dan Republik Demokratis Congo juga membantu proses pemberantasan LRA.
Misi pasukan perdamaian tersebut telah diperpanjang untuk melingkupi proteksi dan perlawanan
kepada kelompok LRA untuk tujuan perlindungan warga sipil. Pembagian informasi antara PBB
dan negara-negara yang mendapat pengaruh LRA juga telah terjalin sejak tahun 2008 dan
berlangsung hingga sekarang, dengan tujuan mengetahui pergerakan LRA yang terkini. Beberapa
solusi tersebut adalah pendekatan PBB dalam segi non-koersif.
Meski telah berkontrbusi besar dalam hal non-koersif, tetap sebuah kelompok
pemberontak perlu diatasi dengan cara militer. PBB telah memperpanjang mandat yang
diberikan kepada pasukan perdamaian yang ada di Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah dan
Republik Demokratis Congo. Pasukan perdamaian PBB tidak diperbolehkan untuk melakukan
operasi militer dengan tujuan menghancurkan atau memberantas sebuah pihak atau kelompok,
akan tetapi kehadiran pasukan perdamaian PBB telah membatasi ruang gerak LRA, dan telah
memberikan perlawanan dasar ketika diserang terlebih dahulu oleh kelompok LRA. Akan tetapi,
kontribusi terbesar PBB dalam pemberantasan LRA adalah pembentukan UNOCA (United
Nations Regional Office for Central Africa). UNOCA telah berperan aktif membantu Dewan
Keamanan, untuk membangun relasi dengan Uni Afrika dalam usaha pemberantasan kelompok
LRA. Pada akhirnya, dibentuk yang namanya African Union Regional Task Force yang
merupakan pendekatan yang telah diinisiasi oleh PBB melalui Uni Afrika sebagai pendekatan
militer dalam memberantas kelompok LRA. Kerjasama miiliter tersebut terdiri atas pasukan asal
negara yang mendapat dampak langsung dari kelompok LRA. Secara umum, kontribusi PBB
dalam pemberantasan kelompok LRA dari tahun 2008 hingga 2012 dapat disimpulkan menjadi
beberapa pendekatan, yakni pendekatan politik, militer, dan pendekatan mekanisme pendukung
pemberantasan kelompok LRA. Ketiga pendekatan tersebut merupakan realisasi dari 5 tujuan
utama yang Dewan Keamanan ingin bentuk sebagai respon dari eksistensi LRA yang tidak
kunjung mereda, yakni Kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh PBB diharuskan untuk
merespon keunikan dari konflik etnis Afrika ini. PBB sejak pembentukannya di tahun 1945 telah
menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dalam menghadapi konflik etnis. Dalam kasus
pemberontakan di Sudan misalnya, PBB telah mengirim Pasukan Perdamaian untuk membantu
prosesi perdamaian antara pemerintahan Khartoum Sudan melawan kelompok pemberontakan
SPLA/M. Kasus intervensi di Mali oleh Perancis juga telah disetujui dan didorong oleh Dewan
Keamanan PBB. Pendekatan-pendekatan tegas seperti pengiriman pasukan perdamaian PBB
bahkan sampai intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Afrika Utara, telah menyebabkan de-
eskalasi konflik. Menanggapi berbagai perang yang terjadi antar etnis di Afrika memang
membutuhkan berbagai pendekatan yang unik. Afrika dikenal sebagai negara yang akibat
perbedaan paham dan pengembangan perekonomian yang tidak merata, sering jatuh dalam
konflik yang berkepanjangan. Kehadiran kudeta militer, dan perang antar etnis menjadi beberapa
alasan utama terjadinya konflik berkepanjangan tersebut. Tidak heran, mengapa intervensi pihak
ketiga dari organisasi internasional sering terjadi. LRA ini juga merupakan sebuah kasus akibat
konflik antar etnis.
Kolonialisasi Inggris yang mengembangkan sistem pertanian dan perekonomian hanya
untuk kaum Baganda (Uganda Selatan) menjadi salah satu faktor utama konflik etnis di Uganda.
Kaum acholi dari Uganda Utara yang merasa diabaikan, bahkan menjadi korban dari
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan dominasi Baganda, membuat berbagai
gerakan pemberontakan terjadi. Awal kemunculan LRA dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
melindungi dan merepresentasi kaum Acholi agar bebas dari pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh pemerintahan dominasi Baganda.
Dominasi pemerintahan oleh kaum Baganda mewarnai konflik antar etnis yang terjadi di
Uganda tersebut. Pemerintahan yang muncul tahun 1962 sejak kemerdekaan hingga saat ini,
semua merupakan pemerintahan yang didominasi oleh kaum Baganda. Pemerintahan Idi Amin
dari tahun 1971 hingga 1979 telah menjadi tersangka terhadap pembunuhan 300.000 kelompok
oposisi (kaum Acholi) selama pemerintahannya. Begitu pula selama pemerintahan Miton Obote
di tahun 1980 hingga 1985. Pemerintahan Uganda bahkan saat ini yang naik sejak tahun 1986
yaitu Yoweri Museveni, kerap memberikan perintah kepada UPDA (Uganda People’s
Democratic Army) untuk melakukan pembantaian di beberapa wilayah dominasi Kaum Acholi.
PBB pun melakukan berbagai mekanisme dalam menangani konflik etnis tersebut
A.1 Political Front (Pendekatan Politik)
Pendekatan politik yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB tidak terlepas dari
organisasi internasional African Union (Uni Afrika). Dewan Keamanan PBB dan Uni Afrika
telah menjalin hubungan yang baik sejak pembentukan badan keamanan Uni Afrika yang disebut
Peace and Security Council of the African Union pada tahun 2004. Kerjasama intensif telah
dilakukan oleh kedua badan tersebut agar terdapat respon yang tepat dalam mengatasi berbagai
masalah keamanan yang terjadi di benua Afrika. Seperti yang penulis uraikan dalam Bab III
tentang Uni Afrika, berbagai kerjasama akan dilakukan Uni Afrika dan PBB, untuk mencapai
sebuah tujuan yang dianggap membutuhkan kooperasi yang intensif antar kedua organisasi
tersebut.
Masalah keamanan bisa merupakan pencegahan konflik, pemeliharaan perdamaian,
ataupun pembangunan perdamaian di sebuah negara atau wilayah. Dewan Keamanan PBB dalam
menghadapi ancaman regional yang LRA berikan, menggunakan media Uni Afrika, agar
perdamaian dapat tercipta. Dewan Keamanan PBB melakukan kerjasama langsung dengan Uni
Afrika, juga melakukan kerjasama melalui media UNOAU (United Nations Office to African
Union) dan UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa) yang mendapatkan
mandat langsung oleh Dewan Keamanan PBB untuk menjalankan negosiasi tersebut.
Pertama adalah Dewan Keamanan yang memberikan mandat kepada UNOAU (United
Nations Office to African Union). UNOAU adalah badan yang bertujuan meningkatkan
hubungan antara PBB dan Uni Afrika pada bidang keamanan dan perdamaian, dan untuk
memberikan dukungan demi kesuksesan berbagai operasi. UNOA juga terkenal dengan
koordinasi dengan pasukan perdamaian yang ditempatkan dalam benua Afrika. UNOA memiliki
beberapa tujuan umum, yakni untuk memberikan asistensi kepada Uni Afrika dalam
mengembangkan kerjasama keamanan yang efektif, dan meningkatkan kerjasama antara Uni
Afrika dan PBB. Mandat yang Dewan Keamanan PBB berikan sejak tahun 2012 saat
pembentukan kerjasama Uni Afrika secara regional dalam menghadapi LRA adalah asistensi
terhadap :
1. Pengembangan dan review terhadap konsep dan arahan operasi,
2. Pengembangan struktur operasional inisiatif Uni Afrika (RTF),
3. Pengembangan kebijakan dan standar operasional dari inisiatif, termasuk standar perlindungan
warga sipil,
4. Bantuan logistik dalam operasional militer melawan LRA,
5. Pengembangan informasi startegis untuk digunakan melawan LRA.
UNOAU akan bertindak sebagai jembatan penghubung antara Uni Afrika dan PBB,
dalam pemberian asistensi kepada Uni Afrika tersebut.
Pembentukan UNOCA merupakan salah satu kontribusi terbesar PBB dalam
pemberantasan kelompok LRA. UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa)
merupakan sebuah sebuah organisasi regional dibawah PBB yang diberikan mandat untuk
mencegah terjadinya konflik dan mendukung segala prosesi perdamaian di wilayah Afrika
Tengah yang dibentuk pada bulan Maret 2011 di Libreville, Gabon. UNOCA bekerja langsung
dibawah United Nations Department of Political Affairs, yang pembentukannya di tahun 2011
telah disetujui oleh Dewan Keamanan PBB, dan pembiayaan organisasi telah disetujui oleh
Sidang Umum PBB. UNOCA diberikan mandat selama 2 tahun sejak pembentukannya di tahun
2011, untuk membantu beberapa institusi PBB dalam merealisasikan misi politik dengan mandat
regional.
LRA merupakan sebuah ancaman keamanan regional, dimana penyelesaian yang tepat
membutuhkan pendekatan regional. UNOCA setelah mendapatkan mandat dari Dewan
Keamanan PBB, melangsungkan kerjasama intensif dengan melibatkan Uni Afrika dan keempat
negara yang menjadi korban konflik LRA, guna memaksimalkan berbagai usaha yang
dibutuhkan untuk memberantas kelompok LRA. Kepala UNOCA, yaitu Mr. Abou Moussa telah
melakukan berbagai pendekatan intensif sejak pembentukan di tahun 2011 agar keempat negara
yaitu Uganda, Demokratis Republik Congo, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah.
Hasil dari pendekatan intensif kepada keempat negara dan Uni Afrika adalah
terbentuknya sebuah inisiatif militer regional yang dibentuk untuk memberantas kelompok LRA.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa operasi militer yang dilancarkan oleh Uganda, terlihat
bagaimana penyebaran LRA dan kurangnya kerjasama dan hubungan antara negara-negara
korban menyebabkan operasi militer yang dilancarkan menjadi terhambat dan akhirnya gagal.
Kenyataan tersebut membuat Abou Moussa untuk mendorong sebuah kerjasama militer yang
bersifat regional, dengan tujuan memberantas kelompok LRA tersebut. Kerjasama tersebut
disebut sebagai African Union Cooperation Initiative against LRA, yang terdiri atas Joint
Coordination Mechanism dan African Union Regional Task Force yang diketuai oleh Kolonel
Dick Prit Olum dari Uganda, sebagai komandan misi.
Joint Coordination Mechanism merupakan badan yang menyatukan komando negara-
negara Uni Afrika dalam memberantas kelompok LRA. Sedangkan African Union Regional Task
Force merupakan perlawanan militer yang dibentuk oleh Uni Afrika setelah dorongan UNOCA,
yang terdiri atas personil militer keempat negara korban LRA. African Union Cooperation
Initiative against LRA dibentuk pada Maret 2012, dan Regional Task Force terdiri atas pasukan
yang berasal dari Uganda, Demokratis Republik Congo, Sudan Selatan dan Republik Afrika
Tengah. UNOCA telah berhasil menyatukan kepentingan keempat negara tersebut dalam
memberantas kelompok LRA, sehingga masing-masing negara memiliki keinginan untuk
berkontribusi dalam pemberantasan kelompok LRA. Dewan Keamanan PBB menerima dengan
senang hati, terhadap keputusan Uni Afrika tersebut dan telah bersedia untuk membantu operasi
militer Uni Afrika melalui penyediaan keperluan-keperluan militer yang dibutuhkan untuk
membuat sukses operasi militer yang telah dijalankan. Hingga Desember 2012, terdapat 2,860
pasukan dalam Regional Task Force tersebut, dengan harapan akan meningkat menjadi
maksimal 5,000 pasukan. Asal dari pasukan tersebut antara lain 2,000 pasukan dari Uganda, 500
pasukan dari Sudan Selatan, dan 360 dari Republik Afrika Tengah. Pengiriman pasukan tersebut
akan berlangsung secara bertahap.
Pendekatan politis yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB untuk mempercepat segala
inisiasi militer secara regional telah berkontribusi besar terhadap pemberantasan kelompok LRA.
Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang pertama melalui pendekatan politis
adalah menurunnya jumlah kelompok LRA itu sendiri. Hingga tahun 2012, diperkirakan bahwa
jumlah LRA kini menurun hingga 250 – 500 jumlah anggota, jauh berbeda dari jumlah perkiraan
LRA di tahun 2008 yaitu 500-1000 anggota. Jumlah tersebut telah menurun drastis akibat
kerjasama militer Uni Afrika dan PBB melalui Regional Task Force sejak Maret 2012 hingga
Desember 2012. Menurunnya jumlah anggota LRA sejak negosiasi UNOCA dalam
pembentukan kerjasama regional militer tergolong tidak besar, akan tetapi kemampuan LRA
dalam menyebar teror sejak April 2012 telah menurun drastis sebab berkurangnya anggota LRA.
LRA memiliki kemampuan untuk melakukan teror di beberapa tempat sekaligus, karena
Kony kerap memecah belah jumlah LRA menjadi beberapa kelompok dan melakukan
penyerangan di beberapa tempat sekaligus. Kemampuan tersebut telah berkurang drastis,
terutama sejak Kony mengetahui bahwa kini terdapat 2,860 pasukan yang mengejar
kelompoknya. Desember 2012 juga menjadi waktu Regional Task Force membunuh salah satu
senior dari LRA yaitu Binansio Okamu di wilayah perbatasan Republik Afrika Tengah, yaitu
seorang senior LRA yang dikenal telah melakukan ratusan pembunuhan terhadap warga sipil
sejak pembentukan LRA.
Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang kedua melalui pendekatan
politis adalah penyatuan dari kerjasama negara-negara korban LRA. Operasi militer yang sering
diinisasi oleh negara-negara korban LRA memiliki koordinasi yang sangat minim dengan
negara-negara lainnya. Tidak jarang negara yang melintasi wilayah negara lainnya akan
berkonflik di perbatasan, meski tujuannya adalah pemberantasan kelompok LRA melalui inisiasi
militer. Hasil dari pendekatan politis yang telah dilakukan oleh UNOCA telah berhasil
menyatukan keempat negara tersebut, dan telah membantu dalam membentuk sebuah jaringan
hubungan yang jelas antar keempat negarat melalui pembentukan Regional Task Force.
Akibatnya, negara-negara seperti Uganda yang selama ini dikenal telah aktif .
Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang kedua melalui pendekatan
politis adalah adanya penghematan dalam menindak sebuah kelompok pemberontak.
Pengggunaan UNOCA sebagai pendekatan politis merupakan hal yang sangat efektif yang
diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB. Keputusan Dewan Keamanan PBB sejak tahun 2008
untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau mengirim pasukan perdamaian telah mengambil
begitu banyak sumber daya PBB, sehingga UNOCA dianggap sebagai langkah strategis dalam
mengatasi sebuah konflik. Terlihat jelas dari hasilnya, bagaimana Uni Afrika telah menyetujui
untuk mengirim maksimal 5,000 pasukan untuk memberantas sebuah kelompok pemberontak
yang jumlahnya kini hanya mencapai tidak lebih dari 500 anggota. Pendekatan politis tersebut
sangat penting, mengingat kapasitas PBB dalam mengirim pasukan sangat minim, melihat
banyaknya pasukan perdamaian yang dikirim ke semua bagian di dunia saat ini, dan masih aktif
hingga sekarang. Pengiriman pasukan perdamaian ataupun membentuk sebuah intervensi
kemanusiaan juga sangat sulit terealisasi, sebab minimnya kepentingan nasional yang dimiliki
oleh beberapa negara kontributor terbesar terhadap operasi-operasi militer dibawah PBB. Bentuk
antisipasi yang dilakukan penulis anggap sangat tepat sebagai respon dari ancaman regional,
melalui negosiasi untuk menyatukan kerjasama regional tersebut.
A.2 Military Front (Pendekatan Militer)
Pendekatan Militer yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB tidak seperti biasanya dalam
merespon kasus LRA. Berbagai korban yang diakibatkan oleh kehadiran LRA, tetap membuat
Dewan Keamanan cermat dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam menindak kelompok
LRA, yaitu dengan cara fokus terhadap pasukan perdamaian yang awalnya memiliki mandat
terhadap perlindungan warga sipil di negara tertentu, menjadi mandat yang baru untuk
menghadapi LRA jika secara kebetulan terjadi konfrontasi. Pendekatan militer seperti intervensi
kemanusiaan tidak dilaksanakan oleh Dewan Keamanan PBB, melihat adanya banyak alternatif
dalam memberantas kelompok tersebut. Kenyataan ini tentunya sangat berbeda dengan beberapa
intervensi kemanusiaan atau pengiriman pasukan perdamaian yang dilaksanakan dalam masa
2008 hingga 2012, seperti No-Fly Zone di Libya, dan pasukan perdamaian di Mesir.
Selama beberapa tahun terakhir, tugas yang diberikan kepada Pasukan Perdamaian telah
berkembang secara signifikan sebagai respon dari pola konflik yang semakin kompleks.
Meskipun setiap Pasukan Perdamaian PBB diberikan tugas yang berbeda-beda, namun terdapat
beberapa prinsip dasar Pasukan Perdamaian yang tugasnya telah dimandat oleh Dewan
keamanan PBB. Secara umum, Pasukan perdamaian PBB memiliki tugas untuk :
1. Mencegah pecahnya konflik atau penyebaran konflik lintas batas negara,
2. Stabilkan situasi konflik pasca gencatan senjata, untuk menciptkan lingkungan yang
mendukung tercapainya sebuah perjanjian damai,
3. Memberikan asistensi terhadap implementasi perjanjian perdamaian,
4. Membantu negara untuk melakukan transisi menuju pemerintahan demokratis.
Beberapa pasukan perdamaian telah hadir di negara-negara korban dari LRA sejak waktu
yang lama. Peran serta Dewan Keamanan PBB dalam hal ini ada dua, yakni perpanjangan
mandat pasukan perdamaian tersebut menjadi beberapa bulan atau tahun lebih, dan penambahan
mandat untuk mengikutsertakan masalah LRA sebagai tanggung jawab dari pasukan perdamaian
tersebut. Di Republik Demokratis Congo , terdapat pasukan perdamaian yaitu MONUSCO
(United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo)
yang telah dibentuk sejak 30 November 1999.
Pasukan perdamaian juga hadir di Sudan Selatan, yaitu UNMISS (United Nations Mission in
South Sudan). UNMISS dibentuk pada tanggal 9 Juli 2011, dan terdiri atas 5,508 pasukan
perdamaian PBB. UNMISS telah mendapatkan penambahan mandat, untuk melindungi warga
sipil dari serangan LRA, dan melakukan patroli dan pengawalan untuk perjalanan di beberapa
daerah Sudan Selatan. Terkahir adalah pasukan perdamaian di Republik Afrika Tengah yaitu
BINUCA (United Nations Integrated Peacebuilding Office in the Central African Republic).
BINUCA dibentuk pada tahun 2000 yang bertujuan untuk membantu dan memberikan asistensi
kepada pemerintahan dalam pembangunan nasional negara Republik Afrika Tengah.
Operasi pasukan perdamaian yang ketiganya telah dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB, telah
mengalami penambahan mandat akibat masalah yang dihadapi dengan LRA. Pertama adalah
MONUSCO. MONUSCO secara umum melakukan fokus terhadap perlindungan warga sipil dari
serangan LRA di Republik Demokratis Congo. MONUSCO telah banyak berkontribusi terhadap
angkatan militer Republik Demokratis Congo yaitu FARDC (Military of the Republic of the
Congo) dalam bentuk pemberian bantuan logistik, bantuan perangkat militer dan finansial, serta
bantuan pelatihan militer kepada FARDC yang melakukan operasi militer yang bertujuan
memberantas kelompok LRA. Beberapa pangkalan militer telah dibangun oleh MONUSCO di
wilayah Duru, Bangdi, Ngilima dan Niangara dari Haut Uele di tahun 2010.139 Di wilayah-
wilayah tersebut, MONUSCO rutin telah melakukan patroli siang dan malam, dan telah
melakukan pengawalan kepada warga sipil yang ingin bepergian ke pasar ataupun tempat-tempat
yang dianggap berbahaya. Pada tahun yang sama, MONUSCO melakukan patroli dalam jumlah
masif di wilayah-wilayah tersebut, saat akhir tahun 2010, 2011, dan 2012, sebagai aksi
pencegahan penyerangan LRA akhir tahun seperti yang terjadi tahun 2008 dalam penyerangan
Christmas Massacres.
Kedua adalah BINUCA di Republik Afrika Tengah, yang berlangsung intensif sejak
tahun 2010. Intensif berlangsung pada tahun tersebut sebab pasukan perdamaian MINURCAT
(United Nations Mission in the Central African Republic and Chad) berakhir di tahun 2010,
sehingga yang tersisa kini adalah BINUCA. BINUCA sejak tahun 2008 telah melakukan
beberapa mekanisme, yakni asistensi dalam membangun koordinasi antara pemerintahan pusat,
dan pemerintahan regional dan sub-regional dalam pembagian informasi perihal LRA. Meski
BINUCA tidak diberikan mandat sebesar yang diberikan kepada MONUSCO dan UNMISS,
akan tetapi BINUCA telah berkontribusi dalam pemberantasan kelompok LRA melalui
pembagian informasi penting terhadap keberadaan dan berbagai penyerangan di Republik Afrika
Tengah,
Ketiga adalah pasukan perdamaian di Sudan Selatan, yaitu UNMISS. UNMISS yang
dibentuk tahun 2011 diberikan mandat untuk koordinasi dengan pemerintah Sudan Selatan yang
baru dalam perlindungan warga negara dari penyerangan yang dilakukan oleh kelompok LRA
(sama dengan MONUSCO). Program UNMISS secara umum tidak jauh berbeda jika berbicara
masalah LRA, dan UNMISS memiliki peran yang aktif dalam melindungi anggota LRA yang
memutuskan untuk melarikan diri dari LRA. Uganda merupakan satu-satunya negara yang tidak
memiliki pasukan perdamaian yang aktif di tahun 2008-2012, akan tetapi Pasukan perdamaian di
kedua negara di atas telah aktif dalam memberikan asistensi dalam bentuk informasi keberadaan
dan perkembangan kepada pasukan militer Uganda yaitu UPDF, guna membantu pasukan UPDF
dalam pemberantasan kelompok tersebut sebelum tahun 2012.
Pendekatan militer yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam kasus LRA, telah
berpengaruh besar terhadap pemberantasan kelompok LRA secara perlahan. Alasan pertama
adalah adanya peningkatan kapasitas militer nasional. UNMISS dan MONUSCO yang masing-
masing berada di negara Sudan Selatan dan Republik Demokratis Congo, telah memberikan
banyak asistensi dalam bentuk penyediaan bantuan logistik militer, hingga bantuan melalui
pelatihan militer. Bantuan tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas angkatan militer
nasional dalam menghadapi kelompok LRA, terutama sejak tahun 2012 dimana Uni Afrika
Alasan kedua pendekatan militer Dewan Keamanan dianggap sukses dalam
pemberantasan kelompok LRA adalah keberhasilan dalam membatasi ruang gerak LRA.
Penambahan mandat yang diberikan kepada UNMISS dan MONUSCO, telah membuat kedua
operasi pasukan perdamaian tersebut untuk melakukan pengawalan militer kepada warga sipil,
dan patroli di berbagai wilayah, dalam waktu-waktu tertentu dalam sehari. Patroli tersebut telah
dengan signifikan membatasi ruang gerak dari LRA, bahkan yang terletak di wilayah terpecil dan
di perbatasan keempat negara tersebut. LRA mampu bergerak dengan bebas dari satu wilayah
menuju wilayah lainnya karena pengetahuan bahwa tidak terdapat pasukan militer apapun yang
melakukan penjagaan yang ketat di wilayah-wilayah penyerangan LRA tersebut. Patroli dan
pengawalan yang dilakukan telah secara signifikan menutupi begitu banyak wilayah di Republik
Demokratis Congo dan Sudan Selatan,
Kelompok LRA telah secara signifikan terpengaruh oleh kenyataan tersebut, karena
ketergantungan LRA untuk menyerang juga di tempat-tempat yang tidak terjaga oleh keamanan.
LRA melakukan penyerangan di wilayah tersebut karena mengetahui bahwa wilayah
penyerangan yang mereka akan serang adalah wilayah yang akan mudah untuk diserang, dan
mudah untuk melakukan pembunuhan dan mencuri barang-barang milik warga. LRA di tahun
2012 dianggap sebagai kelompok pemberontak yang melakukan penyerangan dengan tujuan
untuk tetap bertahan hidup. Patroli yang dilakukan dalam skala besar telah melingkupi wilayah
yang luas, sehingga memberikan opsi yang sangat sedikit akan pilihan wilayah penyerangan
yang bisa diserang oleh LRA.
Terbatasnya ruang gerak LRA terihat dari menurunnya jumlah penyerangan yang terjadi
dari tahun 2010 hingga saat ini di tahun 2012. Tahun tersebut merupakan tahun dimana mandat-
mandat yang Dewan Keamanan PBB berikan kepada UNMISS dan MONUSCO, telah
diperbanyak untuk melingkupi masalah dengan LRA. Tahun 2010, terdapat 470 penyerangan
LRA, mengakibatkan 709 warga meninggal akibat penyerangan tersebut. 2011 terdapat 284
penyerangan dengan 154 warga meninggal. Tahun 2012 menunjukkan 222 penyerangan, dan 41
warga meninggal. Jumlah penyerangan yang terjadi, dan jumlah korban yang berjatuhan tentu
telah berkurang dengan drastis jika dibandingkan sebelum-sebelumnya saat mandat pasukan
perdamaian belum ditambahka dan 400 lebih warga yang dibunuh dalam bulan Desember 2008
menjadi salah satu pembanding jelas
Perang yang dinyatakan oleh pemerintah Uganda terhadap LRA sejak tahun 2000an,
telah membuat LRA lari dari negara tersebut. Penyerangan yang terjadi kini hanya berlangsung
di tiga negara lainnya. Beberapa kasus penyerangan di tahun 2011 sendiri adalah 34 di Republik
Afrika Tengah, 28 di Sudan Selatan, dan 222 penyerangan di Republik Demokratis Congo. Pola
memperlihatkan adanya perpindahan wilayah penyerangan yang lebih fokus di wilayah Congo,
akan tetapi jumlah penyerangan telah berkurang drastis di tahun 2011 jika dibandingkan dengan
tahun 2010 yang jumlah penyerangan mencapai 470.142 Penyerangan tersebut menghasilkan
beberapa krisis kemanusiaan, yakni pembunuhan, pemerkosaan, hingga penculikan.
A.3 Supporting Mechanicms (Mekanisme Pendukung)
Pendekatan militer dan politik yang telah dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB telah
membawa hasil yang positif dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Akan tetapi, Dewan
Keamanan dalam memastikan tujuan pemberantasan bisa berhasil, maka dilakukan beberapa
mekanisme pendukung yang dianggap bisa membantu perang melawan LRA. Salah satu
mekanisme pendukung yang paling besar pengaruhnya terhadap pemberantasan kelompok LRA
adalah Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement and Reintegration (gencatan
senjata, demobilisasi, repatriasi, pengembalian, dan reintegrasi) atau disingkat DDRRR. Secara
umum, program ini memiliki tujuan untuk melemahkan LRA dari segi pengurangan jumlah
anggota LRA itu sendiri.
DDRRR memiliki peran yang sangat penting dalam melumpuhkan kelompok LRA
secara internal. LRA sebagai sebuah kelompok pemberontak, memiliki ketergantungan terhadap
jumlah massa yang banyak untuk melancarkan segala operasi militer yang ingin dijalankan, sama
seperti kelompok pemberontak pada umumnya. Kekurangan anggota akan menyebabakan
ketidakmampuan kelompok pemberontak tersebut untuk melancarkan beberapa penyerangan
yang direncanakan sebelumnya. Memahami efektifitas dari DDRRR, perlu dipahami terlebih
dahulu akan keanggotaan dari LRA itu sendiri.
Kelompok pemberontak dikenal dengan anggota yang sangat setia terhadap tujuan dari
pemberontakan tersebut. Kelompok pemberontakan seperti SPLA/M di Sudan, OPM di Papua
Indonesia, FAARC di Colombia, serta IRA di Irlandia/Inggris merupakan beberapa contoh
kelompok pemberontak yang mampu bertahan lama akibat adanya dukungan yang besar oleh
beberapa kelompok masyarakat, sehingga anggota akan terus berdatangan untuk membantu
tujuan mulia pemberontakan tersebut. Meski dikelompokkan sebagai kelompok pemberontak,
LRA memiliki tujuan yang tidak dimiliki oleh kelompok pemberontak lainnya, yaitu tidak
memiliki tujuan. Pembentukan kelompok LRA di tahun 1980an yang ingin membebaskan dan
menyelamatkan kaum Acholi kini tidak terlihat sama sekali dalam tindakan-tindakan
penyerangan yang dilakukan oleh LRA. Kini LRA melakukan penyerangan hanya dengan tujuan
internal yaitu membangun secara paksa rasa kesetiaan dan rasa takut agar tidak memberontak.
Secara eksternal, tujuan LRA adalah menjauhkan penyerangan terhadap LRA, melalui unjuk
kekuatan dengan cara penyerangan tersebut.
Berbeda dengan kelompok pemberontak lainnya, keanggotaan dalam LRA tidak dapat
dikategorikan sebagai kelompok yang menyetujui tujuan dari LRA itu sendiri. Mayoritas anggota
yang kini ada di dalam LRA adalah anggota yang dipaksa menjadi anggota LRA. Keanggotaan
LRA terdiri atas masyarakat yang diculik, yang mayoritas adalah anak-anak. Menumbuhkan rasa
takut dalam anak-anak merupakan hal yang LRA anggap lebih mudah, jika dibandingkan
doktrinasi orang dewasa, sehingga LRA terus melakukan penculikan anak-anak untuk menjadi
anggota dalam LRA. Hanya ketakutan akan dibunuh oleh anggota senior LRA yang menjadi
penghambat dari anak-anak tersebut untuk melakukan pelarian dari LRA. Beberapa kasus
penangkapan LRA terhadap anak-anak yang hendak melarikan diri juga meningkatkan ketakutan
anak-anak tersebut, sebab mereka yang ingin melarikan diri dan ditangkap akan disiksa terlebih
dahulu didepan semua anggota LRA. Anak tersebut dijadikan contoh brutalitas LRA, dan
mudahnya LRA melakukan tindak teror terhadap anggotanya sendiri. PBB menyadari
pentingnya tradisi tersebut dalam LRA, sehingga membentuk DDRRR sebagai usaha
membangun inisiatif dalam diri anggota LRA, untuk dengan segera melarikan diri.
Tidak berhenti disitu, sebab terdapat beberapa faktor penghambat inisiatif untuk melarikan
diri dari LRA. Ketakutan terbesarnya untuk kembali ke masyarakat adalah ketakutan akan
diserang oleh warga yang menjadi korban penyerangan LRA di masa lalu. Alasan tersebut
menjadi sebab
DDRRR membuat mekanisme secara bertahap apabila telah kembali ke komunitasnya,
yaitu reintegrasi kembali dalam komunitas asalnya. Melihat besarnya potensi DDRRR dalam
memberantas kelompok LRA dari dalam organisasi tersebut, Dewan Keamanan kemudian
memberikan mandat kepada MONUSCO, UNMISS dan BINUCA dalam memberikan asistensi
DDRRR tersebut untuk dijalani.
MONUSCO, UNMISS dan BINUCA merupakan aktor utama yang diberikan mandat oleh
Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan DDRRR. Ketiga misi tersebut diberikan
kewenangan sesuai dengan masing-masing mandat yang diberikan, dan akan melakukan
koordinasi dengan beberapa aktor nasional dan sub-regional yang dianggap bisa membantu
kesuksesan dari DDRRR. Konsentrasi utama dari DDRRR adalah tempat-tempat yang baru saja
dihadapkan dengan penyerangan, ataupun wilayah-wilayah yang dianggap akan dilewati oleh
LRA nantinya. Tim DDRRR MONUSCO memberikan bantuan teknis kepada BINUCA dan
UNMISS dalam implementasi DDRRR di lapangan.
BINUCA yang ada di Republik Afrika Tengah merupakan salah satu aktor yang
menjalankan DDRRR. BINUCA sejak tanggal 17 Juni 2008 telah mengambil peran
menyebarkan informasi tentang program DDRRR, dengan harapan akan membangun keinginan
anggota LRA untuk melarikan diri. BINUCA melalui stasiun-stasiun radio di Republik Afrika
Tengah, menyiarkan informasi tentang keamanan dari DDRRR. Radio tersebut juga digunakan
untuk membuat rakyat lokal terima terhadap anggota LRA yang memutuskan untuk melarikan
diri, berhubung banyaknya penyerangan yang masih terjadi terhadap mantan anggota LRA
MONUSCO sejak tahun 2007 hingga 2012 telah menjalankan DDRRR dalam usahanya
melumpuhkan LRA dari segi keanggotaan. MONUSCO melalui unit DDRRR telah membuat
dan menyebarkan selebaran yang berisi program DDRRR dalam bahasa lokal. Selebaran tersebut
tidak hanya disebarkan di wilayah perbatasan Republik Demokratis Congo, tetapi juga
disebarkan di wilayah perbatasan dari Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah. Tahun 2011,
unit DDRRR juga telah memanfaatkan Radio regional untuk menyebarkan informasi tentang
DDRRR, yakni di stasiun radio di Obo (Republik Afrika Tengah), Yambio dan Ezo (Sudan
Selatan), Dungu dan Faradje (Republik Demokratis Congo).
Terdapat beberapa kasus sukses dari DDRRR selama beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2010,
terdapat 361 orang yang melarikan diri dari LRA. Peningkatan terjadi di tahun 2011, dimana
terdapat 424 anggota LRA yang berhasil melarikan diri.
Sejak tahun 2011, terdapat jumlah pelarian anggota LRA yang meningkat secara
signifikan, dan tren tersebut akan menambah sesuai dengan fasilitas yang DDRRR berikan
kepada calon anggota yang ingin melarikn diri.
Mekanisme pendukung lainnya adalah Joint Information and Operations Centre (JIOC).
JIOC merupakan sebuah usaha PBB dalam menggabungkan informasi relevan dalam usaha
pencarian dan pemberantasan kelompok LRA. Rumitnya pergerakan LRA membuat adanya
kebutuhan untuk menggabungkan informasi-informasi dari wilayah atau negara yang berbeda,
agar dapat lebih memahami arah gerakan dari kelompok LRA itu sendiri. JIOC dibentuk pada
tahun 2011, dan bermarkas di dalam MONUSCO (Republik Demokratis Congo) di Dungu.
JIOC memiliki tujuan utama untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang
berhubungan dengan LRA. Informasi tersebut bisa berupa laporan penyerangan, laporan
pergerakan, dan laporan-laporan lainnya tentang LRA. Sejak tahun 2011, JIOC telah
mengumpulkan informasi intelijen dari Amerika Serikat, dari MONUSCO, BINUCA, dan
UNMISS, yang semua merupakan informasi yang berkontribusi besar terhadap pengejaran
LRA.146 Sejak pembentukan Regional Task Force di tahun 2012, JIOC telah melakukan
pemberian informasi kepada Regional Task Force tersebut akan informasi yang dianggap sangat
penting dalam upaya pemberantasan kelompok LRA di masa yang akan mendatang. JIOC juga
digunakan sebagai media MONUSCO, untuk menyebarkan mekanisme yang mendetail.
Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi ancaman LRA telah bertindak sesuai dengan
otoritas yang diberikan lewat Piagam PBB. Penjelasan tentang Dewan Keamanan PBB telah
dijelaskan melalui Piagam PBB Bab 5, dan lebih spesifik berbicara masalah fungsi dan kekuatan
pada pasal 24. Pasal 24 nomor 1 menjelaskan bahwa, dalam rangka menghasilkan efektifitas
PBB, seluruh anggota PBB memberikan otoritas Dewan Keamanan saja sebagai satu-satunya
badan PBB yang menangani masalah Internasional.
Secara umum, tindakan yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB akan masalah LRA,
sejalan dengan prinsip-prinsip yang disetujui dalam PBB itu sendiri. Penyelesaian konflik
dengan cara yang damai merupakan sebuah kemajuan besar dalam hal keikutsertaan organisasi
internasional, dalam menciptakan suasana kondusif dan aman dalam sebuah negara. Piagam PBB
Bab 6 tentang Peace Settlement of Disputes (penyelesaian sengketa dengan cara damai) Pasal 33,
telah menjelaskan tentang langkah yang boleh diambil oleh Dewan Keamanan dalam merespon
sebuah konflik. Pasal 33 Nomor 1 menjelaskan bahwa, setiap aktor yang terlibat dalam konflik
harus menyelesaikan konfliknya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, perjanjian regional,
ataupun melalui cara damai lainnya.149 Nomor 2 di pasal yang sama lebih jauh menjelaskan
bagaimana Dewan Keamanan PBB memiliki otoritas untuk mendorong prosesi damai tersebut
agar terlaksana. Pendekatan politis yang diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB yang
mendorong UNOCA untuk melaksanakan negosiasi agar keempat negara korban LRA bisa
mengatasi ancaman dari LRA itu sendiri.
Negosiasi juga dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNOCA, untuk
menciptakan yang namanya Regional Task Force. Regional Task Force yang terdiri atas
maksimal 5,000 pasukan Republik Demokratis Congo, Uganda, Sudan Selatan dan Republik
Afrika Tengah adalah hasil dari negosiasi UNOCA kepada Uni Afrika, agar menerapkan sebuah
langkah tegas dalam rangka menghadapi ancaman regional yang LRA berikan. Dewan
Keamanan yang mendorong proses tersebut sudah sesuai dengan Piagam PBB Bab 8 tentang
Regional Arrangements (perjanjian regional) Pasal 52 Nomor 3, yang menyatakan bahwa Dewan
Keamanan harus mendorong perkembangan penyelesaian konflik melalui perjanjian regional
atau melalui aktor regional.150 Dewan Keamanan PBB yang telah mendorong Uni Afrika dan
keempat negara korban LRA telah mengikuti langkah-langkah penyelesaian sengketa secara
damai, yang juga menyatakan Dewan Keamanan diharapkan untuk mendorong penyelesaian
konflik secara regional sebelum ikut campur dalam penyelesaian konflik tersebut.
Legalitas Pasukan Perdamaian PBB tidak disebutkan secara langsung dalam Piagam
PBB. Pasukan Perdamaian PBB sering digunakan sebagai alat untuk mencapai penyelesaian
konflik dengan cara damai, sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Piagam PBB,
penjelasan yang mengarah terhadap legalitas dari Pasukan Perdamaian PBB dapat dilihat dalam
Bab 6 dan Bab 7. Bab 6 tentang Peace Settlement of Disputes (penyelesaian sengketa dengan
cara damai), dan Bab 7 tentang Action with Respect to the Peace, Breaches of the Peace and Acts
of Agression (tindakan yang menghargai perdamaian, dan respon terhadap tindakan agresi)
masing-masing telah digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam melegalisasi pengiriman dan
perpanjangan mandat dari Pasukan Perdamaian PBB. Kehadiran Pasukan Perdamaian PBB
dianggap sebagai solusi yang menghargai kedaulatan, dan sejalan dengan PBB itu sendiri yang
berusaha menciptakan keadaan damai hingga pasca konflik aktif. MONUSCO dan UNMISS
merupakan 2 contoh Pasukan Perdamaian PBB yang kini aktif, dan diberikan peran untuk ikut
serta dalam perang melawan LRA dalam bentuk yang tidak frontal
B. Kendala Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Pemberantasan
Kelompok Lord’s Resistance Army Tahun 2008 – 2012
Kendala yang dihadapi oleh Dewan Keamanan dalam pemberantasan LRA tergolong
sangat rumit. Meskipun telah terdapat perkembangan yang pesat terhadap perang melawan LRA
yang diarahkan langsung oleh PBB, akan tetapi banyak dihadapi kendala dari Dewan Keamanan
itu sendiri dan keadaan eksternal terhadap perang melawan LRA. Berbagai perkembangan
seperti pembentukan African Union Regional Task Force di tahun 2012 merupakan lompatan
besar, jika dibandingkan dengan beberapa usaha dari PBB dalam mengatasi LRA melalui Dewan
Keamanan dari tahun 2008 hingga 2011 Kendala yang dihadapi oleh PBB dalam hal ini terdiri
atas beberapa hal. Beberapa program utama yang telah dijalankan oleh Dewan Keamanan dalam
usaha pemberantasan kelompok LRA masing-masing dihadapi dengan kendala yang signifikan.
Kendala pertama adalah kendala yang dihadapi dalam penerapan mandat Pasukan
Perdamaian, yang sangat membatasi ruang gerak dari kemampuan pemberantasan LRA sebab
mandat yang terbatas. Kendala kedua yang ditemuai adalah kendala terhadap penerapan African
Union Regional Task Force yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika politis yang terjadi dalam
negara-negara korban LRA (Republik Demokratis Congo, Uganda, Sudan Selatan, Republik
Afrika Tengah). Kendala terakhir yang dihadapi adalah kendala pada penerapan program
DDRRR (Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement, and Reintegration) yang
selama ini mulai diterapkan sejak tahun 2008 oleh MONUSCO dan kemudian menyebar ke
BINUSCA dan UNMISS.
B.1 Penerapan Penambahan Mandat Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-
Bangsa
Pengambilan keputusan dalam Dewan Keamanan PBB merefleksikan kebijakan Dewan
Keamanan yang berdasar pada kepentingan pemegang hak veto. Meskipun terdapat 15 anggota,
namun 5 anggota diantaranya memiliki hak spesial yang biasa dikenal sebagai Hak Veto. Hak
Veto merupakan hak yang dimiliki oleh Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Rusia dan Republik
Rakyat Cina, untuk secara langsung membatalkan sebuah resolusi keamanan yang ingin
diterapkan. Kemampuan tersebut berarti, Dewan Keamanan PBB akan bertindak menghadapi
sebuah ancaman internasional hanya apabila kelima negara pemegang hak veto setuju melakukan
tindakan demikian. Keadaan ini menjadi salah satu penghambat utama Dewan Keamanan dalam
menerapkan sebuah perlawanan keras sebagai respon dari kehadiran LRA.
Seperti yang penulis uraikan di Bab II dan III, tentang Collective Security dan Dewan
Keamanan PBB. Keputusan terhadap intervensi dalam bentuk apapun harus disetujui oleh
prosedur dalam organisasi inisiator keamanan kolektif tersebut (dalam hal ini Dewan Keamanan
PBB). Dewan Keamanan dalam menghadapi ancaman LRA memiliki beberapa pilihan. Akan
tetapi, pilihan yang dipilih oleh Dewan Keamanan yang fokus terhadap regionalisme dan
pemanfaatan pasukan perdamaian PBB dianggap sebagai respon yang sangat lamban dan tidak
memperlihatkan keseriusan yang besar dalam menanggapi ancaman tersebut. Beberapa alasan
hal tersebut terjadi adalah pertama kehadiran Arab Uprising di tahun 2010. Bermula dari negara
Tunisia dan menyebar ke hampir seluruh negara di Timur Tengah, perhatian Dewan Keamanan
dan dunia internasional terfokus pada berbagai demonstrasi massal dan pembantaian oleh
diktator yang membutuhkan respon yang lebih cepat dibanding dengan ancaman LRA. Dunia
internasional berada dalam perdebatan untuk intervensi atau tidak intervensi dalam beberapa
kasus negara Timur Tengah yang sedang menghadapi gejolak tersebut.
Alasan kedua adalah terbatasnya kapasitas dari Dewan Keamanan dalam menindak
dengan tegas. Tindakan tegas akan menghasilkan sebuah mandat yang dalam kasus ini akan
secara ideal menuju kemungkinan mandat untuk melaksanakan
Humanitarian Intervention (intervensi kemanusiaan). Kendala utama yang dihadapi dalam
menindak tegas LRA sehingga menggunakan opsi perpanjangan mandat adalah terbatasnya
kapasitas dan keinginan dunia internasional untuk mengirimkan sebuah operasi militer dalam
menghadapi LRA. Mengirim pasukan khusus untuk mengatasi LRA menjadi tidak mungkin,
melihat banyaknya operasi milter dengan tujuan pembangunan perdamaian yang dilokasikan di
berbagai benua saat ini. Keadaan tersebut membuat Dewan Keamanan menggunakan
penambahan mandat sebagai alternatif.
Berangkat dari pernyataan di atas maka muncul kendala utama Dewan Keamanan dalam
pemberantasan kelompok LRA, yaitu penggunaan pasukan perdamaian PBB. Meskipun telah
muncul sebuah inisiatif dari Uni Afrika untuk menyelesaikan masalah dengan LRA, namun
bentuk intervensi langsung PBB dalam kasus LRA tersebut adalah melakukan beberapa
tambahan operasi militer melalui pasukan perdamaian yang ada yaitu MONUSCO dan UNMISS.
Kekurangan utama dari penggunaan pasukan perdamaian tersebut adalah, pasukan perdamaian
tidak memiliki mandat ataupun otoritas untuk secara langsung melakukan pembunuhan terhadap
kelompok pemberontakan LRA. Pasukan Perdamaian hanya diperbolehkan melakukan
penyerangan setalah diserang terlebih dahulu, sehingga pengejaran lebih lanjut tidak boleh
dilaksanakan. Keadaan tersebut menjadi pukulan yang sangat berat, sebab LRA merupakan
kelompok yang perlu dilakukan pengejaran secara konstan agar bisa secara keseluruhan
diberantas. Jumlah Pasukan Perdamaian yang berlokasi di Sudan Selatan dan Republik Coingo
juga masih jauh dari ideal apabila ingin melakukan patrol terhadap semua wilayah ancaman
LRA.
Sejak tahun 2008 hingga 2011, terlihat kesulitan dari keadaan di atas. LRA mampu
bertahan hingga sekarang, sebab ruang gerak yang mereka miliki masih sangat luas. Ketika
pemerintah Uganda menyatakan perang melawan LRA, kendala terbesar Uganda adalah saat
LRA mempercepat laju dan menyebar ke begitu banyak wilayah. Jumlah pasukan perdamaian
PBB yang terbatas, dan mandat sebagai penjaga perdamaian saja, menjadi alasan mengapa
perang melawan LRA tidak bisa maksimal, berhubung besarnya kemungkinan untuk
memperluas jangkauan dan ruang gerak LRA itu sendiri.
Kesulitan lainnya yang dihadapi oleh PBB adalah keberadaan LRA itu sendiri. Sama dengan
mayoritas kelompok pemberontak, bahwa lokasi markas dan operasi akan selalu dirahasiakan
dan merupakan tempat yang terpencil dan sulit dijangkau. Keputusan tersebut diambil oleh
kelompok pemberontak dengan alasan menghilangkan kemungkinan penangkapan atau
penyerangan terhadap kelompok tersebut. Pasukan Perdamaian PBB MONUSCO dan UNMISS
memiliki kesulitan yang besar dalam menghadapi LRA, sebab lokasi yang begitu terpencil.
Lokasi yang terpencil menyebabkan LRA tidak mampu untuk melakukan patroli ataupun
melakukan pengawalan militer ke beberapa wilayah terpencil. Hal tersebut telah memperluas
ruang gerak LRA, sehingga bisa terus melakukan penyerangan di tempat-tempat yang tidak
dijangkau oleh Pasukan Perdamaian tersebut. Masalah ini menjadi kendala ketika Pasukan
Perdamaian PBB memiliki sebuah tujuan untuk membatasi ruang gerak LRA yang memiliki
dampak langsung terhadap keberlangsungan LRA itu sendiri.
B.2 Penerapan African Union Regional Task Force
Kesuksesan dari upaya PBB dalam menangani kasus LRA akan bergantung kepada
kemampuan kerjasama regionalisme dari Uni Afrika. UNOCA telah bekerja dalam pembentukan
kerjasama militer yaitu Regional Task Force yang direncanakan terdiri atas maksimal 5,000
pasukan. Tugas dari UNOCA akan terus berlanjut dalam memberikan asistensi kepada African
Union Regional Task Force melalui kerjasama dengan UNOAU, agar perang melawan LRA
dapat berlangsung dengan efektif. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah, African Union
Regional Task Force masih memiliki banyak kekurangan yang jauh dari kemampuan Dewan
Keamanan bisa selesaikan.
Seperti yang dikatakan oleh Johan Galtung di tahun 1996 tentang Spheres of
Cosmopolitan Conflict, aktor ketiga sangat penting dalam kasus ini. Bab II penelitian tentang
Resolusi Konflik menjelaskan bagaimana peran serta sebuah aktor ketiga sangat penting dalam
merespon sebuah ancaman keamanan yang telah mengalami Regional Spillover (menyebar
secara regional). Uni Afrika melalui Regional Task Force dalam hal ini merupakan bentuk
intervensi aktor ketiga yang nyata dan ideal sebagai upaya pemberantasan kelompok LRA.
Meskipun demikian, aplikasi dari RTF ini masih dihadapkan dengan banyak kendala. 143
Pemerintahan Uganda melalui UPDF (Uganda People’s Democratic Front) telah
mengambil peran yang paling aktif dalam kasus LRA sebelum pembentukan RTF di tahun 2012.
Sejak pembentukan LRA, Uganda telah menyatakan perang dan sangat terlihat sejak tahun
2000an melalui operasi militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok tersebut. Uganda
dari keempat negara korban LRA, merupakan negara yang menempatkan ancaman LRA sebagai
prioritas dari pemerintah Uganda yang harus diselesaikan. Masalah yang muncul adalah
Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, dan Republik Demokratis Congo tidak memiliki
inisiatif yang sama dengan Uganda dari tahun 2008 tersebut. Hal tersebut membuat upaya dari
MONUSCO dan UNMISS menjadi pasif dan kurang efektif, mengingat sangat tergantungnya
Pasukan Perdamaian terhadap angkatan militer nasional negara. Negosiasi yang dilakukan secara
terus menerus hanya dapat berhasil sejak pembentukan UNOCA di tahun 2011, dan telah
setidaknya membangun urgensi masalah LRA kepada negara-negara korban. Meskipun
demikian, hingga sekarang masih terlihat kurangnya komitmen diantara negara-negara korban
LRA dalam memberantas kelompok tersebut.
UNOCA memiliki kendala yang besar dalam mendorong keempat negara korban LRA
untuk kontribusi lebih banyak pasukan. Perencanaan dari African Union Regional Task Force
adalah untuk mengirimkan 5,000 pasukan dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Akan
tetapi, UNOCA hanya mampu untuk menegosiasi dan mendapatkan jumlah pasukan sebanyak
2,860. Jumlah yang jauh dari ideal untuk bisa melakukan pengejaran terhadap LRA yang kini
telah menyebar ke wilayah yang mencapai 115.000 mill. Komitmen yang kurang membuat
UNOCA menjadi semakin sulit untuk membuat Sudan Selatan Demokratis Congo dan membuat
Republik Afrika Tengah untuk mengirim lebih banyak pasukan.
Kesulitan dalam African Union Regional Task Force (AU-RTF) sebagai usaha paling
besar Dewan Keamanan dan UNOCA dalam memberantas LRA, adalah kapasitas dari pasukan
militer yang tidak imbang. AU-RTF yang terdiri atas 3 negara saat ini, masih tidak memiliki
kapasitas yang cukup bahkan untuk menjalankan sebuah operasi militer standar. Misalnya
sebuah kelompok angkatan militer yang berlokasi di Nzara, Sudan Selatan. UPDF yang
merupakan angkatan militer Uganda di lain sisi, memiliki kapasitas dan pengalaman yang cukup
dalam memberantas kelompok LRA.
Hingga akhir tahun 2012, proses AU-RTF terus berjalan dalam lingkup wilayah negara masing-
masing untuk sementara. Alasannya adalah belum terdapat komando yang begitu jelas dalam
AU-RTF yaitu Concept of Operations (CONOPS) yang telah disetujui oleh keempat negara.
CONOPS menentukan konsep operasi militer yang akan dijalani, dan juga bagaimana rantai
komando yang akan diterapkan nantinya. CONOPS juga esensial dalam menentukan misi, area
operasi, taktik, logistik, dan strategi secara keseluruhan. Adanya kecurigaan berdasarkan sejarah
menjadi salah satu kesulitan untuk menyatukan pemikiran tersebut. Uganda
Konflik terhadap CONOPS yang belum disetujui telah berdampak langsung terhadap
akses wilayah LRA. UNOCA hingga kini belum mampu mendorong Republik Demokratis
Congo untuk berkontribusi terhadap pasukan militer AU-RTF. Tertutupnya Congo terhadap
negosiasi tersebut telah membuat banyak wilayah kosong yang bisa dimasuki oleh LRA karena
kurangnya penjagaan yang ada, menjadikan Congo harus menghadapi jumlah penyerangan
terbanyak di tahun 2011 sebanyak 222, hampir 5 kali lebih banyak dibandingkan penyerangan di
Republik Afrika Tengah dan di Sudan Selatan.153 Banyaknya wilayah yang tidak terjaga dengan
ketat yang juga tidak mampu dijangkau oleh patroli MONUSCO, membuat Congo sarang LRA
yang tepat selama periode 2008-2012. Congo juga merupakan negara paling pasif dari segi
kebijakan domestik terhadap LRA, jika dibandingkan dengan 3 negara korban lainnya. Hal ini
tentunya menjadi kendala besar PBB dalam memberantas kelompok LRA, akibat kesulitan
negosiasi antar aktor yang terlibat. Sulit bagi Dewan Keamanan melalui UNOCA agar bisa
memenuhi tugasnya dalam keadaan tersebut. Masalah politik yang muncul diantara beberapa
negara anggota dalam AU-RTF, telah membuat kesulitan besar kepada PBB untuk menyatukan
kekuatan negara-negara tersebut.
B.3 Penerapan Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement, and Reintegration
(DDRRR)
Sejak tahun 2008 hingga 2012, PBB dihadapkan dengan beberapa kendala dalam
penerapan program DDRRR. Program DDRRR memiliki dampak yang sangat signifikan dalam
mengurangi jumlah dari kelompok LRA. Berhubungan LRA bukan merupakan organisasi yang
terdiri atas anggota yang setia terhadap tujuan dari pemberontakan, maka mengurangi jumlah
dari kelompok tersebut merupakan tujuan esensial dalam usaha pemberantasan kelompok LRA.
Usaha pengurangan jumlah dapat dilakukan dengan cara pembunuhan langsung melalui cara
koersif, atau menerapkan pendekatan agar anggota kelompok dengan sendirinya melarikan diri
dari kelompok. DDRRR menggunakan taktik kedua, dan terbukti telah meningkatkan inisiatif
dari puluhan hingga ratusan anggota LRA untuk melarikan diri dari kelompok LRA itu sendiri.
Beberapa kendala akan tetapi tetap dihadapi oleh aktor pelaksana dari program DDRRR tersebut.
Pertama adalah media penyebaran informasi yang digunakan oleh MONUSCO. Inisiatif untuk
melarikan diri dari LRA akan muncul apabila anggota merasa bahwa ada peluang untuk
melarikan diri, dan pemerintah mampu memberikan perlindungan kepada mantan anggota
tersebut dari kemungkinan penyerangan oleh warga sebagai bentuk balas dendam. Penyebaran
melalui selebaran selama ini dimanfaatkan oleh MONUSCO, juga melalui stasiun radio FM.
Radio dianggap sebagai media yang sangat tepat dalam menyebarkan program DDRRR yang
dikenal sebagai ‘Come Home’ di tempat-tempat yang terpencil (sulit dijangkau) dan
merupakan mekanisme yang sangat efektif. Penggunaan radio akan tetapi hanya mencakup 30%
dari keseluruhan wilayah korban LRA yang ada di Republik Afrika Tengah. Hal ini disebabkan
oleh adanya beberapa wilayah yang sangat terpencil, yang juga tidak memiliki akses terhadap
media radio. Hal tersebut merupakan kendala terbesar, mengingat pergerakan LRA fokus di
wilayah-wilayah yang sangat terpencil seperti wilayah yang tidak memiliki akses radio, sehingga
memberi dampak signifikan terhadap efektifitas pemberantasan terhadap kelompok LRA.
Kendala kedua adalah adanya keraguan keamanan terhadap program DDRRR oleh anggota LRA
yang berencana melarikan diri. UNOCA dan UNOAU telah memberikan dorongan kepada Uni
Afrika agar menerapkan sebuah mekanisme yang akan menjamin keamanan bagi mereka mantan
anggota LRA. Adanya ketakutan akan diserang oleh warga jika kembali ke komunitasnya
masing-masing merupakan salah satu masalah terbesar dari kesuksesan program DDRRR.
Pemerintahan masing-masing negara yang tidak transparan dalam hal informasi akan perlakuan
yang akan diberikan kepada para mantan anggota LRA, telah membangun rasa takut terhadap
kemungkinan prosekusi. Keraguan juga terbangun karena ketidakjelasan terhadap titik
pertemuan.
DDRRR di beberapa wilayah Republik Demokratis Congo menerapkan yang namanya
Assembly Points (titik pertemuan). Titik pertemuan diciptakan oleh MONUSCO untuk
mempermudah pelarian anggota LRA yang ingin melarikan diri.
Titik pertemuan tersebut akan menjadi titik penjemputan anggota LRA yang telah
melarikan diri, dan akan dibawa menuju tempat yang aman. Proyek tersebut dilaksanakan oleh
MONUSCO sejak Januari 2012, dan telah menemui beberapa kendala dalam penerapannya. Titik
pertemuan yang ditetapkan oleh MONUSCO terletak di wilayah yang sangat terpencil, dan
belum menjamin bahwa wilayahnya merupakan wilayah yang bebas dan aman dari LRA.
MONUSCO juga menetapkan titik tersebut pada tempat dimana patroli yang dilakukan tidak
secara rutin.
Ketakutan dan keraguan terhadap program DDRRR paling jelas terlihat di Uganda.
Uganda serta beberapa wilayah lainnya masih mengalami masalah dalam implementasi DDRRR.
Meskipun telah didorong oleh PBB dan Uni Afrika agar menghargai HAM mantan anggota
LRA, namun masih banyak pelanggaran yang sering dilakukan. Beberapa kasus saat tentara
anak-anak dari LRA menyerahkan diri kepada UPDF, UPDF kerap melakukan kekerasan kepada
anak tersebut karena sebelumnya telah menyerang angkatan militer Uganda.155 Kedua faktor
yaitu akses terhadap informasi dan ketidakjelasan beberapa hal dalam DDRRR itu sendiri
menjadi faktor penghambat PBB dalam pemberantasan kelompok LRA dalam hal mengurangi
jumlah LRA secara perlahan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan data-data dan fakta-fakta di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) merupakan sebuah kelompok pemberontak
yang dibentuk pada tanggal 1 April 1987. LRA dibentuk sebagai bentuk kekecewaan
beberapa rakyat Uganda Utara terhadap pemerintahan yang terkesan melakukan
diskriminasi terhadap kaum Acholi. Joseph Kony kemudian membentuk LRA sebagai
wujud perlawanan terhadap pemerintahan Uganda, yang hingga kini masih terus
berkembang. Kelompok LRA dikenal dengan pelanggaran HAM berat dengan
melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan perekrutan anak-anak untuk menjadi tentara
anak-anak. Perkembangan LRA terus berkembang, dan yang dulunya hanya
mempengaruhi Uganda, kini Republik Afrika Tengah, Republik Demokratis Congo, dan
Sudan Selatan juga mendapat dampaknya.
2. Dalam mengatasi kelompok pemberontakan tersebut, organisasi internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berkontribusi banyak dalam pemberantasan
kelompok LRA. Obligasi PBB melalui Dewan keamanan PBB telah diberikan mandat
untuk mengatasi segala ancaman yang diberikan oleh aktor siapapun. Sejak tahun 2008,
terdapat 3 Resolusi Dewan Keamanan PBB yang secara langsung mendorong
dilaksanakan tindakan yang tegas dalam mengatasi ancaman regional tersebut.
Pendekatan politik dilakukan melalui UNOCA (UN Regional Office on Central Africa)
dibawah mandat Dewan Keamanan telah berhasil menegosiasikan pembentukan
pendekatan militer kolektif oleh keempat korban LRA. Pendekatan militer dilakukan
dengan menambahkan mandat dari Pasukan Perdamaian PBB yang berada di Republik
Demokratis Congo (MONUSCO:) dan Sudan Selatan (UNMISS), untuk melakukan
patroli dan pengawalan di beberapa wilayah penyebaran dari LRA. Pendekatan terakhir
melalui pemanfaatan radio lokal dan penyebaran selebaran yang berusaha mengajak
anggota LRA untuk melarikan diri dari LRA. Beberapa dari pendekatan tersebut telah
berkontribusi dalam membatasi ruang gerak, dan mengurangi jumlah anggota yang pada
akhirnya melemahkan kelompok LRA.
3. Kendala yang dihadapi oleh PBB dalam pemberantasan kelompok LRA ada beberapa.
Mandat yang diberikan Dewan Keamanan kepada Pasukan Perdamaian PBB saja, telah
secara signifikan membatasi kemampuan Dewan Keamanan dalam menindak secara
militer kelompok LRA, sebab mandat yang secara umum adalah perlindungan warga
sipil. Kendala lainnya adalah segala pendekatan yang digunakan PBB sangat tergantung
terhadap komitmen negara-negara korban LRA dan Uni Afrika sendiri. Meskipun
memperlihatkan kemajuan, namun komitmen yang tidak maksimal menjadi faktor
penghambat terbesar.
B. Saran
Adapun saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi yang dipaparkan
di atas adalah :
1. Perlunya Dewan Keamanan PBB memberi asistensi dalam hal sumber daya
militer seperti perangkat militer dan pelatihan yang lebih. Pemberantasan
kelompok LRA akan sangat bergantung terhadap sumber daya dan kapasitas dari
militer, sehingga Dewan Keamanan diperlukan dalam bantuan nyata tersebut.
Asistensi bisa diberikan secara langsung, maupun melalui aktor ketiga yaitu Uni
Afrika.
2. Perlunya Dewan Keamanan PBB ikut serta dalam memperbaiki rantai komando
dari perang melawan LRA dan hubungan bilateral Republik Demokratis Congo
dan Uganda. Berbagai aktor yang memiliki peran masing-masing melawan LRA,
perlu disatukan dalam sebuah komando. Kehadiran Pasukan Perdamaian PBB,
operasi militer kolektif dibawah Uni Afrika, dan militer masing-masing negara
korban LRA, akan membuat usaha pemberantasan semakin rumit dan kompleks,
sebab banyaknya aktor yang terlibat. Hal ini bisa diatasi melalui Komando yang
jelas dalam menjalankan misi pemberantasan kelompok LRA. Perbaikan dalam
hubungan bilateral juga menjadi salah satu faktor dari kegagalan komando
perang melawan LRA di tahun 2008-2012. Perbaikan hubungan bilateral antara
Pemerintahan Uganda dan Republik Demokratis Congo perlu dilakukan melalui
peningkatan kerjasama di berbagai bidang keamanan dibutuhkan, agar proses
memasuki wilayah negara lainnya tidak akan dihadapkan dengan hambatan-
hambatan yang ada. Dewan Keamanan dalam hal ini melalui Sekretaris-General
perlu untuk melakukan negosiasi dengan kedua negara agar tidak terdapat
kecurigaan-kecurigaan dalam perang melawan LRA.
3. Perlunya Dewan Keamanan PBB mengambil posisi yang tegas terhadap segala
aktor negara yang tidak maksimal dalam perang melawan LRA, berhubung
perang tersebut sudah berlangsung lama dan mempengaruhi wilayah Afrika
Tengah secara regional. Komitmen diharapkan dapat tumbuh melalui ketegasan
Dewan Keamanan PBB, yaitu dalam bentuk pemberian sanksi seperti embargo
ekonomi atau embargo senjata. Sanksi untuk aktor pemerintahan misalnya
pembekuan aset atau larangan terbang. Sanksi tersebut diharapkan akan
meningkatkan ketegasan dari Republik Demokratis Congo, Republik Afrika
Tengah, Uganda, dan Sudan Selatan agar fokus dan tegas dalam upaya
pemberantasan kelompok LRA, mengingat kesuksesan PBB dalam Regional
Task Force bergantung terhadap komitmen keempat negara pengaruh tersebut.