hukum internasional.docx

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi jika berbicara era modern dewasa ini. Berbagai perbedaan antara sebuah kelompok atau lebih, tidak jarang mengalami eskalasi dan harus diselesaikan dengan cara kekerasan seperti perang. Internal Conflict (konflik internal) seperti ini tentu memiliki metode tersendiri dalam penyelesaiannya. Begitu pula dengan konflik-konflik lainnya seperti konflik internasional yang terjadi antara dua negara atau lebih. Konflik Internal sebuah negara adalah salah satu kasus yang sering terjadi bahkan di era modern seperti saat ini. Pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan merupakan sebuah dinamika yang sering ditemui jika berbicara dalam konteks hubungan internasional. Rivalitas politik yang menghasilkan sebuah pihak kalah, tentu akan berakibat fatal terhadap pihak-pihak lainnya yang merasa dirugikan. Keadaan tersebut biasa menjadi latar belakang dari penggunaan coercive action (tindakan koersif) atau penggunaan kekerasan agar kepentingan pihak-pihak tersebut bisa terealisasi. Kasus pemberontakan dalam sebuah negara terhadap sebuah pemerintahan merupakan kasus yang kerap terjadi di Negara-negara Afrika. Afrika sebagai sebuah benua yang dianggap paling tertinggal dalam konteks perkembangan di masa kini, masih dihadapkan dengan penyelesaian konflik melalui kekerasan yang tidak jarang menghasilkan melayangnya nyawa rakyat yang menjadi korban dari konflik itu sendiri. Terdapat banyak kasus di Afrika, bisa dilihat di Sudan dengan konflik antara agama Islam dan Kristen, di Somalia dengan kasus perompak Somalia, hingga ke Zimbabwe dengan pemerintahan seorang diktator bernama Robert Mugabe yang kerap menjadi fokus internasional terkait masalah pelanggaran hak asasi manusia. Kebanyakan dari konflik-konflik tersebut telah berlangsung selama waktu yang tidak singkat, termasuk sebuah konflik yang bermula di Uganda Utara, disebabkan oleh kelompok yang disebut sebagai Lord’s Resistance Army (Tentara Pertahanan Tuhan).

Upload: independent

Post on 03-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi jika

berbicara era modern dewasa ini. Berbagai perbedaan antara sebuah kelompok atau lebih, tidak

jarang mengalami eskalasi dan harus diselesaikan dengan cara kekerasan seperti perang. Internal

Conflict (konflik internal) seperti ini tentu memiliki metode tersendiri dalam penyelesaiannya.

Begitu pula dengan konflik-konflik lainnya seperti konflik internasional yang terjadi antara dua

negara atau lebih. Konflik Internal sebuah negara adalah salah satu kasus yang sering terjadi

bahkan di era modern seperti saat ini.

Pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan merupakan sebuah dinamika yang sering

ditemui jika berbicara dalam konteks hubungan internasional. Rivalitas politik yang

menghasilkan sebuah pihak kalah, tentu akan berakibat fatal terhadap pihak-pihak lainnya yang

merasa dirugikan. Keadaan tersebut biasa menjadi latar belakang dari penggunaan coercive

action (tindakan koersif) atau penggunaan kekerasan agar kepentingan pihak-pihak tersebut bisa

terealisasi.

Kasus pemberontakan dalam sebuah negara terhadap sebuah pemerintahan merupakan

kasus yang kerap terjadi di Negara-negara Afrika. Afrika sebagai sebuah benua yang dianggap

paling tertinggal dalam konteks perkembangan di masa kini, masih dihadapkan dengan

penyelesaian konflik melalui kekerasan yang tidak jarang menghasilkan melayangnya nyawa

rakyat yang menjadi korban dari konflik itu sendiri. Terdapat banyak kasus di Afrika, bisa dilihat

di Sudan dengan konflik antara agama Islam dan Kristen, di Somalia dengan kasus perompak

Somalia, hingga ke Zimbabwe dengan pemerintahan seorang diktator bernama Robert Mugabe

yang kerap menjadi fokus internasional terkait masalah pelanggaran hak asasi manusia.

Kebanyakan dari konflik-konflik tersebut telah berlangsung selama waktu yang tidak singkat,

termasuk sebuah konflik yang bermula di Uganda Utara, disebabkan oleh kelompok yang disebut

sebagai Lord’s Resistance Army (Tentara Pertahanan Tuhan).

Kelompok Lord’s Resistance Army merupakan sebuah kelompok militan yang hingga

kini belum juga mendapatkan cukup perhatian internasional. Pelanggaran hak asasi manusia

secara masif yang dilakukan kelompok ini-lah yang akhirnya membedakan Lord’s Resistance

Army dengan kelompok-kelompok militan dan pemberontak lainnya yang bertahan hingga kini.

Pemerkosaan, pembunuhan, dan yang paling parah adalah pemaksaan anak-anak untuk menjadi

bagian dari Lord’s Resistance Army merupakan beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang

hingga kini terus dilakukan oleh kelompok LRA ini.2 Ideologi yang diterapkan oleh Lord’s

Resistance Army sangat unik, dan dapat dikaji dari segi historis, dan lebih spesifik melalui

pemahaman akan masalah politik di Uganda. Kerumitan banyak terjadi dalam menganalisa

kelompok Lord’s Resistance Army ini sebab LRA di satu sisi dapat dikatakan sebagai sebuah

kelompok separatis, dan bahkan kelompok teroris modern.

Tahun 1987 menjadi awal munculnya kelompok Lord’s Resistance Army. Kompetisi

yang terjadi antara berbagai kelompok etnis yang ada di Uganda, menginspirasi seorang Joseph

Kony untuk membawa keadilan kembali di Uganda melalui kekuatan yang menurutnya diberikan

langsung oleh tuhan. Joseph menyebut dirinya seorang nabi, yang diberikan kewajiban oleh

tuhan untuk membawa restorasi politik dan perdamaian di Uganda melalui kekerasan, yang kala

itu di Uganda, dihadapkan dengan banyak masalah.

Sejak saat itu, kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) yang telah bertahan selama 25

tahun lebih itu tidak pernah kehilangan akal dalam memberi terror kepada rakyat Uganda.

Permasalahan dalam memahami LRA adalah tujuan dari kelompok Lord’s Resistance Army itu

sendiri. Kepentingan kelompok Lord’s Resistance Army yang cenderung dinamis seiring dengan

waktu, menjadi penghambat utama bagi beberapa aktor yang ingin bernegosiasi dengan

kelompok yang telah membunuh hingga ribuan warga ini. Beberapa pemerintahan yang

mendapat dampak langsung dari Lord’s Resistance Army seperti Uganda, Sudan Selatan,

Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo hingga kini selalu menemui kesulitan.

Jumlah warga yang diperkirakan meninggal akibat konflik dengan kelompok Lord’s Resistance

Army ini di tahun 2008-2011 sebanyak 2.400 orang..

Internasionalisasi konflik yang terjadi bermula saat LRA dan pemerintahan Uganda

sama-sama menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian di tahun 2006. Perjanjian tersebut

disebut sebagai Juba Talks dan berlangsung hingga 2008.6 Juba talks ternyata hanya digunakan

oleh LRA untuk melarikan diri dari Uganda, menuju perbatasan dari negara Sudan Selatan,

Congo, dan Republik Afrika Tengah. Penyebaran tersebut hingga kini membawa ancaman

kepada keempat negara tersebut.

Kebijakan-kebijakan dari berbagai aktor internasional telah berupaya menyelesaikan

masalah LRA ini. Kebijakan yang dikeluarkan Uni Afrika misalnya yang akan merencanakan

pengiriman 5,000 pasukan menuju perbatasan-perbatasan di negara-negara yang mendapatkan

dampak LRA di pertengahan tahun 2012 dianggap sebagai salah satu solusi yang komprehensif

dalam pemberantasan LRA.7 Masalah yang muncul adalah komitmen dari empat negara yang

mendapat pengaruh LRA tersebut, yakni Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan

Republik Demokratis Congo, dalam pemberantasan kelompok tersebut. Perlawanan militer telah

dilakukan, namun signifikansi dari komitmen negara menyebabkan hasil yang didapatkan tidak

maksimal, dan malah memberikan lebih banyak waktu bagi Joseph Kony untuk merekrut lebih

banyak warga untuk bergabung dalam LRA ini.

Kenyataan ini sangat tidak rasional, melihat urgensi yang dibawa oleh kelompok LRA

tersebut. Salah satu cara mengatasi kelompok pemberontakan adalah mengetahui motif dari

kelompok tersebut, yang ingin mereka perjuangkan hingga mati. Pemahaman akan motif dari

kelompok pemberontak, akan membawa berbagai aktor untuk mengatasi pemberontak tersebut

dengan cara mediasi konflik, yang berusaha menyatukan kepentingan dari aktor pemberontak,

dan aktor-aktor berkepentingan lainnya. LRA mampu bertahan hingga sekarang sebab keunikan

motif yang dimilikinya, yang dapat dikategorisasikan menjadi 2 bagian, yaitu motif internal dan

eksternal. Motif ini-lah yang membuat LRA mampu bertahan hingga sekarang.

Motif internal menjadi motif yang paling mengerikan dalam LRA ini. Seringkali

kelompok LRA melakukan kekerasan dan pembunuhan massal di desa-desa terpencil yang

terletak di empat negara korban LRA. Alasan pembunuhan massal tersebut daripada eksternal,

sebenarnya merupakan motif internal. Kenyataan bahwa mayoritas kekuatan LRA merupakan

hasil dari penculikan, maka LRA menggunakan sebuah mekanisme doktrinasi melalui ketakutan,

guna membangun yang namanya kesetiaan dalam kelompok LRA ini.

Seringkali kita temui bahwa kelompok LRA melakukan kekerasan bahkan terhadap

anggota LRA itu sendiri. Motif dibalik tindakan tersebut juga merupakan motif internal yang

bertujuan membangun sebuah rasa takut. Akan tetapi, tujuan kekerasan dalam internal LRA

adalah memberikan contoh kepada seluruh anggota LRA, bahwa siapapun yang ingin melakukan

pemberontakan terhadap kelompok LRA, akan mendapatkan hal yang sama dengan apa yang

dialami anggota LRA yang disiksa ini. Banyaknya anggota LRA yang merupakan child soldier

(tentara anak-anak), maka mekanisme menakuti yang diterapkan LRA sangat mempan dalam

membangun ketakutan, sekaligus loyalitas dalam diri anggota LRA itu sendiri. Meskipun tidak

begitu terlihat, terdapat usaha dari berbagai aktor dalam penyelesaian kasus LRA ini di tingkatan

internasional, misalnya oleh organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi yang sejak berdiri di tahun

1945, menjadi harapan dunia internasional agar terdapat penyelesaian konflik yang damai. PBB

telah berusaha melakukan berbagai mekanisme yang dianggap mampu mengurangi kekuatan dari

Lord’s Resistance Army itu sendiri. Perpanjangan dan penambahan mandat yang diberikan

kepada MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic

Republic of the Congo) yang merupakan sebuah misi pasukan perdamaian PBB dalam mengatasi

perang sipil di Congo adalah salah satu pendekatan militer yang telah dilakukan PBB.

PBB dianggap sebagai salah satu organisasi yang memiliki kewajiban dalam merespon

masalah yang terjadi akibat eksistensi LRA. Dalam mengatasi berbagai kasus konflik yang ada,

PBB membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-

Bangsa, yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menerapkan mekanisme

penyelesaian konflik. Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) terdiri atas 15

negara, dan 5 negara diantaranya memiliki hak veto yang merupakan hak untuk menolak sebuah

resolusi secara langsung, tanpa adanya diskusi terlebih dahulu oleh forum Dewan Keamanan.

Berbagai konflik telah diatasi oleh PBB dalam bentuk mandat Peacekeeping maupun secara

Humanitarian intervention di beberapa negara Afrika, yang memang dianggap sebagai benua

dimana konflik merupakan hal yang lazim terjadi. Kasus LRA yang jelas merupakan bukan

hanya sebuah ancaman internal sebuah negara, namun merupakan sebuah ancaman keamanan

regional (akibat pengaruh yang diberikan kepada empat negara), maka tentunya PBB melalui

lembaga seperti Dewan Keamanan PBB, memiliki tanggung jawab yang besar dalam

penyelesaian konflik LRA itu sendiri. Kerjasama yang intensif melalui pemberian intelijen dan

arahan kepada Uni Afrika, dan negara-negara yang mendapatkan dampak langsung dari LRA ini

adalah salah satu solusi lainnya yang telah dilakukan oleh PBB. Pertanyaan paling besar yang

muncul adalah signifikansi solusi yang telah diberikan oleh PBB tersebut dalam pemberantasan

LRA secara keseluruhan, berdasarkan analisa kebijakan berbagai badan PBB dalam beberapa

tahun terakhir ini. Analisa kebijakan PBB perlu dilakukan dalam menganalisa signifikansi dari

kehadiran PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki obligasi untuk menciptakan

perdamaian dunia, dan mengupayakan mekanisme-mekanisme dalam menciptakan perdamaian

tersebut.

BAB IV

PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PEMBERANTASAN

LORD’S RESISTANCE ARMY

A. Kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Pemberantasan

Kelompok Lord’s Resistance Army Tahun 2008 – 2012

Dewan keamanan PBB sebagai badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa telah

melaksanakan beberapa hal guna memberantas kelompok Lords’s Resistance Army ini. Beberapa

resolusi yang telah diterapkan dari tahun 2008 hingga 2012 adalah Resolusi 1812 (2008),

Resolusi 1991 (tahun 2011) dan Resolusi 1996 (tahun 2011). Ketiga resolusi tersebut merupakan

resolusi keamanan yang memiliki peran untuk mengarahkan Dewan Keamanan dan dunia

internasional terhadap respon yang tepat dalam menghadapi LRA. Meskipun tidak memiliki

detail yang cukup tentang mekanisme pemberantasan, namun Dewan Keamanan telah

menggunakan resolusi-resolusi tersebut, yang digabungkan dengan resolusi-resolusi sebelum

tahun 2008, untuk mengetahui secara umum cara pemberantasan LRA tersebut.

Pembatasan penelitian menjadi tahun 2008 hingga 2012 tidak terlepas dari salah satu

faktor yaitu terjadinya kasus pembantaian terbesar sepanjang kehadiran LRA. Tahun 2008

menjadi tahun dimana prosesi negosiasi Juba Talks gagal akibat ketidakinginan LRA untuk

menjalani negosiasi. Namun, tahun 2008 penting karena Christmas Massacre di Sudan Selatan

terjadi dan menewaskan 800 warga sipil waktu itu. Respon pertama PBB di tahun 2008 melalui

Resolusi Dewan Keamanan PBB 1812 muncul dan merupakan tindakan Dewan Keamanan

pertama yang pernah ada. Resolusi tersebut memberikan mandat kepada UNMIS di Sudan untuk

menyertakan ancaman LRA dalam mandat yang sudah ada di Sudan.

Pemberantasan sebuah kelompok pemberontak bukanlah perkara yang mudah. Berbeda

dengan penyelesaian sebuah konflik antar negara, konflik dengan pemberontak memerlukan

layar penyelesaian konflik yang rumit, dan bisa berlangsung selama waktu yang tidak singkat.

LRA merupakan salah satu contoh jelas sulitnya menyelesaikan sebuah kasus konflik jika salah

satu aktor yang dihadapi adalah kelompok pemberontak. Kerumitan lebih terlihat jelas dalam

kasus LRA ini, sebab adanya tujuan yang tidak jelas yang diberikan oleh LRA kepada para aktor

yang terlibat dalam negosiasi, yang telah menyebabkan metode diplomasi dan negosiasi tidak

mampu berjalan sesuai dengan harapan. Ada banyak cara yang berbeda tentang penyelesaian

konflik yang melibatkan aktor kelompok pemberontak. Penggunaan cara koersif seperti militer

merupakan salah satu metode paling sering digunakan oleh aktor negara, misalnya di Sri Lanka

dalam memberantas kelompok Tamil Tigers yang mampu diberantas dengan menyatakan perang

dengan kelompok tersebut. Cara diplomasi merupakan salah satu cara lainnya, seperti yang telah

dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi kelompok pemberontak/freedom

fighters yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, Indonesia. Kedua metode paling terkenal

tersebut dalam beberapa kasus tidak dapat dipisahkan, sehingga kedua metode digunakan dalam

usaha sebuah Negara

Perserikatan Bangsa-Bangsa (secara spesifik Dewan Keamanan) telah menggunakan

metode Multidimensional Approach yang merupakan pendekatan multidimensional dalam

menghadapi kelompok LRA dari tahun 2008-2012. Pembelajaran yang didapatkan oleh PBB

sejak kegagalan Juba Talks di tahun 2008 adalah, sangat beresiko untuk memberikan waktu LRA

untuk membentuk ulang formasi kelompoknya karena LRA hanya akan gunakan janji untuk

melakukan negosiasi untuk kepentingan pribadi. PBB sejak saat itu telah melakukan eliminasi

terhadap pendekatan negosiasi kepada kelompok LRA. Sejak Juba Talks, PBB akan tetapi telah

meningkatkan upaya untuk memberikan sebuah fasilitas kepada para anggota LRA, dengan

tujuan membangun sebuah keinginan oleh anggota LRA itu sendiri untuk melarikan diri dari

LRA. Kehadiran beberapa misi pasukan perdamaian PBB di wilayah Sudan Selatan, Republik

Afrika Tengah dan Republik Demokratis Congo juga membantu proses pemberantasan LRA.

Misi pasukan perdamaian tersebut telah diperpanjang untuk melingkupi proteksi dan perlawanan

kepada kelompok LRA untuk tujuan perlindungan warga sipil. Pembagian informasi antara PBB

dan negara-negara yang mendapat pengaruh LRA juga telah terjalin sejak tahun 2008 dan

berlangsung hingga sekarang, dengan tujuan mengetahui pergerakan LRA yang terkini. Beberapa

solusi tersebut adalah pendekatan PBB dalam segi non-koersif.

Meski telah berkontrbusi besar dalam hal non-koersif, tetap sebuah kelompok

pemberontak perlu diatasi dengan cara militer. PBB telah memperpanjang mandat yang

diberikan kepada pasukan perdamaian yang ada di Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah dan

Republik Demokratis Congo. Pasukan perdamaian PBB tidak diperbolehkan untuk melakukan

operasi militer dengan tujuan menghancurkan atau memberantas sebuah pihak atau kelompok,

akan tetapi kehadiran pasukan perdamaian PBB telah membatasi ruang gerak LRA, dan telah

memberikan perlawanan dasar ketika diserang terlebih dahulu oleh kelompok LRA. Akan tetapi,

kontribusi terbesar PBB dalam pemberantasan LRA adalah pembentukan UNOCA (United

Nations Regional Office for Central Africa). UNOCA telah berperan aktif membantu Dewan

Keamanan, untuk membangun relasi dengan Uni Afrika dalam usaha pemberantasan kelompok

LRA. Pada akhirnya, dibentuk yang namanya African Union Regional Task Force yang

merupakan pendekatan yang telah diinisiasi oleh PBB melalui Uni Afrika sebagai pendekatan

militer dalam memberantas kelompok LRA. Kerjasama miiliter tersebut terdiri atas pasukan asal

negara yang mendapat dampak langsung dari kelompok LRA. Secara umum, kontribusi PBB

dalam pemberantasan kelompok LRA dari tahun 2008 hingga 2012 dapat disimpulkan menjadi

beberapa pendekatan, yakni pendekatan politik, militer, dan pendekatan mekanisme pendukung

pemberantasan kelompok LRA. Ketiga pendekatan tersebut merupakan realisasi dari 5 tujuan

utama yang Dewan Keamanan ingin bentuk sebagai respon dari eksistensi LRA yang tidak

kunjung mereda, yakni Kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh PBB diharuskan untuk

merespon keunikan dari konflik etnis Afrika ini. PBB sejak pembentukannya di tahun 1945 telah

menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dalam menghadapi konflik etnis. Dalam kasus

pemberontakan di Sudan misalnya, PBB telah mengirim Pasukan Perdamaian untuk membantu

prosesi perdamaian antara pemerintahan Khartoum Sudan melawan kelompok pemberontakan

SPLA/M. Kasus intervensi di Mali oleh Perancis juga telah disetujui dan didorong oleh Dewan

Keamanan PBB. Pendekatan-pendekatan tegas seperti pengiriman pasukan perdamaian PBB

bahkan sampai intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Afrika Utara, telah menyebabkan de-

eskalasi konflik. Menanggapi berbagai perang yang terjadi antar etnis di Afrika memang

membutuhkan berbagai pendekatan yang unik. Afrika dikenal sebagai negara yang akibat

perbedaan paham dan pengembangan perekonomian yang tidak merata, sering jatuh dalam

konflik yang berkepanjangan. Kehadiran kudeta militer, dan perang antar etnis menjadi beberapa

alasan utama terjadinya konflik berkepanjangan tersebut. Tidak heran, mengapa intervensi pihak

ketiga dari organisasi internasional sering terjadi. LRA ini juga merupakan sebuah kasus akibat

konflik antar etnis.

Kolonialisasi Inggris yang mengembangkan sistem pertanian dan perekonomian hanya

untuk kaum Baganda (Uganda Selatan) menjadi salah satu faktor utama konflik etnis di Uganda.

Kaum acholi dari Uganda Utara yang merasa diabaikan, bahkan menjadi korban dari

pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan dominasi Baganda, membuat berbagai

gerakan pemberontakan terjadi. Awal kemunculan LRA dilatarbelakangi oleh keinginan untuk

melindungi dan merepresentasi kaum Acholi agar bebas dari pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh pemerintahan dominasi Baganda.

Dominasi pemerintahan oleh kaum Baganda mewarnai konflik antar etnis yang terjadi di

Uganda tersebut. Pemerintahan yang muncul tahun 1962 sejak kemerdekaan hingga saat ini,

semua merupakan pemerintahan yang didominasi oleh kaum Baganda. Pemerintahan Idi Amin

dari tahun 1971 hingga 1979 telah menjadi tersangka terhadap pembunuhan 300.000 kelompok

oposisi (kaum Acholi) selama pemerintahannya. Begitu pula selama pemerintahan Miton Obote

di tahun 1980 hingga 1985. Pemerintahan Uganda bahkan saat ini yang naik sejak tahun 1986

yaitu Yoweri Museveni, kerap memberikan perintah kepada UPDA (Uganda People’s

Democratic Army) untuk melakukan pembantaian di beberapa wilayah dominasi Kaum Acholi.

PBB pun melakukan berbagai mekanisme dalam menangani konflik etnis tersebut

A.1 Political Front (Pendekatan Politik)

Pendekatan politik yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB tidak terlepas dari

organisasi internasional African Union (Uni Afrika). Dewan Keamanan PBB dan Uni Afrika

telah menjalin hubungan yang baik sejak pembentukan badan keamanan Uni Afrika yang disebut

Peace and Security Council of the African Union pada tahun 2004. Kerjasama intensif telah

dilakukan oleh kedua badan tersebut agar terdapat respon yang tepat dalam mengatasi berbagai

masalah keamanan yang terjadi di benua Afrika. Seperti yang penulis uraikan dalam Bab III

tentang Uni Afrika, berbagai kerjasama akan dilakukan Uni Afrika dan PBB, untuk mencapai

sebuah tujuan yang dianggap membutuhkan kooperasi yang intensif antar kedua organisasi

tersebut.

Masalah keamanan bisa merupakan pencegahan konflik, pemeliharaan perdamaian,

ataupun pembangunan perdamaian di sebuah negara atau wilayah. Dewan Keamanan PBB dalam

menghadapi ancaman regional yang LRA berikan, menggunakan media Uni Afrika, agar

perdamaian dapat tercipta. Dewan Keamanan PBB melakukan kerjasama langsung dengan Uni

Afrika, juga melakukan kerjasama melalui media UNOAU (United Nations Office to African

Union) dan UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa) yang mendapatkan

mandat langsung oleh Dewan Keamanan PBB untuk menjalankan negosiasi tersebut.

Pertama adalah Dewan Keamanan yang memberikan mandat kepada UNOAU (United

Nations Office to African Union). UNOAU adalah badan yang bertujuan meningkatkan

hubungan antara PBB dan Uni Afrika pada bidang keamanan dan perdamaian, dan untuk

memberikan dukungan demi kesuksesan berbagai operasi. UNOA juga terkenal dengan

koordinasi dengan pasukan perdamaian yang ditempatkan dalam benua Afrika. UNOA memiliki

beberapa tujuan umum, yakni untuk memberikan asistensi kepada Uni Afrika dalam

mengembangkan kerjasama keamanan yang efektif, dan meningkatkan kerjasama antara Uni

Afrika dan PBB. Mandat yang Dewan Keamanan PBB berikan sejak tahun 2012 saat

pembentukan kerjasama Uni Afrika secara regional dalam menghadapi LRA adalah asistensi

terhadap :

1. Pengembangan dan review terhadap konsep dan arahan operasi,

2. Pengembangan struktur operasional inisiatif Uni Afrika (RTF),

3. Pengembangan kebijakan dan standar operasional dari inisiatif, termasuk standar perlindungan

warga sipil,

4. Bantuan logistik dalam operasional militer melawan LRA,

5. Pengembangan informasi startegis untuk digunakan melawan LRA.

UNOAU akan bertindak sebagai jembatan penghubung antara Uni Afrika dan PBB,

dalam pemberian asistensi kepada Uni Afrika tersebut.

Pembentukan UNOCA merupakan salah satu kontribusi terbesar PBB dalam

pemberantasan kelompok LRA. UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa)

merupakan sebuah sebuah organisasi regional dibawah PBB yang diberikan mandat untuk

mencegah terjadinya konflik dan mendukung segala prosesi perdamaian di wilayah Afrika

Tengah yang dibentuk pada bulan Maret 2011 di Libreville, Gabon. UNOCA bekerja langsung

dibawah United Nations Department of Political Affairs, yang pembentukannya di tahun 2011

telah disetujui oleh Dewan Keamanan PBB, dan pembiayaan organisasi telah disetujui oleh

Sidang Umum PBB. UNOCA diberikan mandat selama 2 tahun sejak pembentukannya di tahun

2011, untuk membantu beberapa institusi PBB dalam merealisasikan misi politik dengan mandat

regional.

LRA merupakan sebuah ancaman keamanan regional, dimana penyelesaian yang tepat

membutuhkan pendekatan regional. UNOCA setelah mendapatkan mandat dari Dewan

Keamanan PBB, melangsungkan kerjasama intensif dengan melibatkan Uni Afrika dan keempat

negara yang menjadi korban konflik LRA, guna memaksimalkan berbagai usaha yang

dibutuhkan untuk memberantas kelompok LRA. Kepala UNOCA, yaitu Mr. Abou Moussa telah

melakukan berbagai pendekatan intensif sejak pembentukan di tahun 2011 agar keempat negara

yaitu Uganda, Demokratis Republik Congo, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah.

Hasil dari pendekatan intensif kepada keempat negara dan Uni Afrika adalah

terbentuknya sebuah inisiatif militer regional yang dibentuk untuk memberantas kelompok LRA.

Berdasarkan pengalaman dari beberapa operasi militer yang dilancarkan oleh Uganda, terlihat

bagaimana penyebaran LRA dan kurangnya kerjasama dan hubungan antara negara-negara

korban menyebabkan operasi militer yang dilancarkan menjadi terhambat dan akhirnya gagal.

Kenyataan tersebut membuat Abou Moussa untuk mendorong sebuah kerjasama militer yang

bersifat regional, dengan tujuan memberantas kelompok LRA tersebut. Kerjasama tersebut

disebut sebagai African Union Cooperation Initiative against LRA, yang terdiri atas Joint

Coordination Mechanism dan African Union Regional Task Force yang diketuai oleh Kolonel

Dick Prit Olum dari Uganda, sebagai komandan misi.

Joint Coordination Mechanism merupakan badan yang menyatukan komando negara-

negara Uni Afrika dalam memberantas kelompok LRA. Sedangkan African Union Regional Task

Force merupakan perlawanan militer yang dibentuk oleh Uni Afrika setelah dorongan UNOCA,

yang terdiri atas personil militer keempat negara korban LRA. African Union Cooperation

Initiative against LRA dibentuk pada Maret 2012, dan Regional Task Force terdiri atas pasukan

yang berasal dari Uganda, Demokratis Republik Congo, Sudan Selatan dan Republik Afrika

Tengah. UNOCA telah berhasil menyatukan kepentingan keempat negara tersebut dalam

memberantas kelompok LRA, sehingga masing-masing negara memiliki keinginan untuk

berkontribusi dalam pemberantasan kelompok LRA. Dewan Keamanan PBB menerima dengan

senang hati, terhadap keputusan Uni Afrika tersebut dan telah bersedia untuk membantu operasi

militer Uni Afrika melalui penyediaan keperluan-keperluan militer yang dibutuhkan untuk

membuat sukses operasi militer yang telah dijalankan. Hingga Desember 2012, terdapat 2,860

pasukan dalam Regional Task Force tersebut, dengan harapan akan meningkat menjadi

maksimal 5,000 pasukan. Asal dari pasukan tersebut antara lain 2,000 pasukan dari Uganda, 500

pasukan dari Sudan Selatan, dan 360 dari Republik Afrika Tengah. Pengiriman pasukan tersebut

akan berlangsung secara bertahap.

Pendekatan politis yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB untuk mempercepat segala

inisiasi militer secara regional telah berkontribusi besar terhadap pemberantasan kelompok LRA.

Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang pertama melalui pendekatan politis

adalah menurunnya jumlah kelompok LRA itu sendiri. Hingga tahun 2012, diperkirakan bahwa

jumlah LRA kini menurun hingga 250 – 500 jumlah anggota, jauh berbeda dari jumlah perkiraan

LRA di tahun 2008 yaitu 500-1000 anggota. Jumlah tersebut telah menurun drastis akibat

kerjasama militer Uni Afrika dan PBB melalui Regional Task Force sejak Maret 2012 hingga

Desember 2012. Menurunnya jumlah anggota LRA sejak negosiasi UNOCA dalam

pembentukan kerjasama regional militer tergolong tidak besar, akan tetapi kemampuan LRA

dalam menyebar teror sejak April 2012 telah menurun drastis sebab berkurangnya anggota LRA.

LRA memiliki kemampuan untuk melakukan teror di beberapa tempat sekaligus, karena

Kony kerap memecah belah jumlah LRA menjadi beberapa kelompok dan melakukan

penyerangan di beberapa tempat sekaligus. Kemampuan tersebut telah berkurang drastis,

terutama sejak Kony mengetahui bahwa kini terdapat 2,860 pasukan yang mengejar

kelompoknya. Desember 2012 juga menjadi waktu Regional Task Force membunuh salah satu

senior dari LRA yaitu Binansio Okamu di wilayah perbatasan Republik Afrika Tengah, yaitu

seorang senior LRA yang dikenal telah melakukan ratusan pembunuhan terhadap warga sipil

sejak pembentukan LRA.

Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang kedua melalui pendekatan

politis adalah penyatuan dari kerjasama negara-negara korban LRA. Operasi militer yang sering

diinisasi oleh negara-negara korban LRA memiliki koordinasi yang sangat minim dengan

negara-negara lainnya. Tidak jarang negara yang melintasi wilayah negara lainnya akan

berkonflik di perbatasan, meski tujuannya adalah pemberantasan kelompok LRA melalui inisiasi

militer. Hasil dari pendekatan politis yang telah dilakukan oleh UNOCA telah berhasil

menyatukan keempat negara tersebut, dan telah membantu dalam membentuk sebuah jaringan

hubungan yang jelas antar keempat negarat melalui pembentukan Regional Task Force.

Akibatnya, negara-negara seperti Uganda yang selama ini dikenal telah aktif .

Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang kedua melalui pendekatan

politis adalah adanya penghematan dalam menindak sebuah kelompok pemberontak.

Pengggunaan UNOCA sebagai pendekatan politis merupakan hal yang sangat efektif yang

diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB. Keputusan Dewan Keamanan PBB sejak tahun 2008

untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau mengirim pasukan perdamaian telah mengambil

begitu banyak sumber daya PBB, sehingga UNOCA dianggap sebagai langkah strategis dalam

mengatasi sebuah konflik. Terlihat jelas dari hasilnya, bagaimana Uni Afrika telah menyetujui

untuk mengirim maksimal 5,000 pasukan untuk memberantas sebuah kelompok pemberontak

yang jumlahnya kini hanya mencapai tidak lebih dari 500 anggota. Pendekatan politis tersebut

sangat penting, mengingat kapasitas PBB dalam mengirim pasukan sangat minim, melihat

banyaknya pasukan perdamaian yang dikirim ke semua bagian di dunia saat ini, dan masih aktif

hingga sekarang. Pengiriman pasukan perdamaian ataupun membentuk sebuah intervensi

kemanusiaan juga sangat sulit terealisasi, sebab minimnya kepentingan nasional yang dimiliki

oleh beberapa negara kontributor terbesar terhadap operasi-operasi militer dibawah PBB. Bentuk

antisipasi yang dilakukan penulis anggap sangat tepat sebagai respon dari ancaman regional,

melalui negosiasi untuk menyatukan kerjasama regional tersebut.

A.2 Military Front (Pendekatan Militer)

Pendekatan Militer yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB tidak seperti biasanya dalam

merespon kasus LRA. Berbagai korban yang diakibatkan oleh kehadiran LRA, tetap membuat

Dewan Keamanan cermat dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam menindak kelompok

LRA, yaitu dengan cara fokus terhadap pasukan perdamaian yang awalnya memiliki mandat

terhadap perlindungan warga sipil di negara tertentu, menjadi mandat yang baru untuk

menghadapi LRA jika secara kebetulan terjadi konfrontasi. Pendekatan militer seperti intervensi

kemanusiaan tidak dilaksanakan oleh Dewan Keamanan PBB, melihat adanya banyak alternatif

dalam memberantas kelompok tersebut. Kenyataan ini tentunya sangat berbeda dengan beberapa

intervensi kemanusiaan atau pengiriman pasukan perdamaian yang dilaksanakan dalam masa

2008 hingga 2012, seperti No-Fly Zone di Libya, dan pasukan perdamaian di Mesir.

Selama beberapa tahun terakhir, tugas yang diberikan kepada Pasukan Perdamaian telah

berkembang secara signifikan sebagai respon dari pola konflik yang semakin kompleks.

Meskipun setiap Pasukan Perdamaian PBB diberikan tugas yang berbeda-beda, namun terdapat

beberapa prinsip dasar Pasukan Perdamaian yang tugasnya telah dimandat oleh Dewan

keamanan PBB. Secara umum, Pasukan perdamaian PBB memiliki tugas untuk :

1. Mencegah pecahnya konflik atau penyebaran konflik lintas batas negara,

2. Stabilkan situasi konflik pasca gencatan senjata, untuk menciptkan lingkungan yang

mendukung tercapainya sebuah perjanjian damai,

3. Memberikan asistensi terhadap implementasi perjanjian perdamaian,

4. Membantu negara untuk melakukan transisi menuju pemerintahan demokratis.

Beberapa pasukan perdamaian telah hadir di negara-negara korban dari LRA sejak waktu

yang lama. Peran serta Dewan Keamanan PBB dalam hal ini ada dua, yakni perpanjangan

mandat pasukan perdamaian tersebut menjadi beberapa bulan atau tahun lebih, dan penambahan

mandat untuk mengikutsertakan masalah LRA sebagai tanggung jawab dari pasukan perdamaian

tersebut. Di Republik Demokratis Congo , terdapat pasukan perdamaian yaitu MONUSCO

(United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo)

yang telah dibentuk sejak 30 November 1999.

Pasukan perdamaian juga hadir di Sudan Selatan, yaitu UNMISS (United Nations Mission in

South Sudan). UNMISS dibentuk pada tanggal 9 Juli 2011, dan terdiri atas 5,508 pasukan

perdamaian PBB. UNMISS telah mendapatkan penambahan mandat, untuk melindungi warga

sipil dari serangan LRA, dan melakukan patroli dan pengawalan untuk perjalanan di beberapa

daerah Sudan Selatan. Terkahir adalah pasukan perdamaian di Republik Afrika Tengah yaitu

BINUCA (United Nations Integrated Peacebuilding Office in the Central African Republic).

BINUCA dibentuk pada tahun 2000 yang bertujuan untuk membantu dan memberikan asistensi

kepada pemerintahan dalam pembangunan nasional negara Republik Afrika Tengah.

Operasi pasukan perdamaian yang ketiganya telah dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB, telah

mengalami penambahan mandat akibat masalah yang dihadapi dengan LRA. Pertama adalah

MONUSCO. MONUSCO secara umum melakukan fokus terhadap perlindungan warga sipil dari

serangan LRA di Republik Demokratis Congo. MONUSCO telah banyak berkontribusi terhadap

angkatan militer Republik Demokratis Congo yaitu FARDC (Military of the Republic of the

Congo) dalam bentuk pemberian bantuan logistik, bantuan perangkat militer dan finansial, serta

bantuan pelatihan militer kepada FARDC yang melakukan operasi militer yang bertujuan

memberantas kelompok LRA. Beberapa pangkalan militer telah dibangun oleh MONUSCO di

wilayah Duru, Bangdi, Ngilima dan Niangara dari Haut Uele di tahun 2010.139 Di wilayah-

wilayah tersebut, MONUSCO rutin telah melakukan patroli siang dan malam, dan telah

melakukan pengawalan kepada warga sipil yang ingin bepergian ke pasar ataupun tempat-tempat

yang dianggap berbahaya. Pada tahun yang sama, MONUSCO melakukan patroli dalam jumlah

masif di wilayah-wilayah tersebut, saat akhir tahun 2010, 2011, dan 2012, sebagai aksi

pencegahan penyerangan LRA akhir tahun seperti yang terjadi tahun 2008 dalam penyerangan

Christmas Massacres.

Kedua adalah BINUCA di Republik Afrika Tengah, yang berlangsung intensif sejak

tahun 2010. Intensif berlangsung pada tahun tersebut sebab pasukan perdamaian MINURCAT

(United Nations Mission in the Central African Republic and Chad) berakhir di tahun 2010,

sehingga yang tersisa kini adalah BINUCA. BINUCA sejak tahun 2008 telah melakukan

beberapa mekanisme, yakni asistensi dalam membangun koordinasi antara pemerintahan pusat,

dan pemerintahan regional dan sub-regional dalam pembagian informasi perihal LRA. Meski

BINUCA tidak diberikan mandat sebesar yang diberikan kepada MONUSCO dan UNMISS,

akan tetapi BINUCA telah berkontribusi dalam pemberantasan kelompok LRA melalui

pembagian informasi penting terhadap keberadaan dan berbagai penyerangan di Republik Afrika

Tengah,

Ketiga adalah pasukan perdamaian di Sudan Selatan, yaitu UNMISS. UNMISS yang

dibentuk tahun 2011 diberikan mandat untuk koordinasi dengan pemerintah Sudan Selatan yang

baru dalam perlindungan warga negara dari penyerangan yang dilakukan oleh kelompok LRA

(sama dengan MONUSCO). Program UNMISS secara umum tidak jauh berbeda jika berbicara

masalah LRA, dan UNMISS memiliki peran yang aktif dalam melindungi anggota LRA yang

memutuskan untuk melarikan diri dari LRA. Uganda merupakan satu-satunya negara yang tidak

memiliki pasukan perdamaian yang aktif di tahun 2008-2012, akan tetapi Pasukan perdamaian di

kedua negara di atas telah aktif dalam memberikan asistensi dalam bentuk informasi keberadaan

dan perkembangan kepada pasukan militer Uganda yaitu UPDF, guna membantu pasukan UPDF

dalam pemberantasan kelompok tersebut sebelum tahun 2012.

Pendekatan militer yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam kasus LRA, telah

berpengaruh besar terhadap pemberantasan kelompok LRA secara perlahan. Alasan pertama

adalah adanya peningkatan kapasitas militer nasional. UNMISS dan MONUSCO yang masing-

masing berada di negara Sudan Selatan dan Republik Demokratis Congo, telah memberikan

banyak asistensi dalam bentuk penyediaan bantuan logistik militer, hingga bantuan melalui

pelatihan militer. Bantuan tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas angkatan militer

nasional dalam menghadapi kelompok LRA, terutama sejak tahun 2012 dimana Uni Afrika

Alasan kedua pendekatan militer Dewan Keamanan dianggap sukses dalam

pemberantasan kelompok LRA adalah keberhasilan dalam membatasi ruang gerak LRA.

Penambahan mandat yang diberikan kepada UNMISS dan MONUSCO, telah membuat kedua

operasi pasukan perdamaian tersebut untuk melakukan pengawalan militer kepada warga sipil,

dan patroli di berbagai wilayah, dalam waktu-waktu tertentu dalam sehari. Patroli tersebut telah

dengan signifikan membatasi ruang gerak dari LRA, bahkan yang terletak di wilayah terpecil dan

di perbatasan keempat negara tersebut. LRA mampu bergerak dengan bebas dari satu wilayah

menuju wilayah lainnya karena pengetahuan bahwa tidak terdapat pasukan militer apapun yang

melakukan penjagaan yang ketat di wilayah-wilayah penyerangan LRA tersebut. Patroli dan

pengawalan yang dilakukan telah secara signifikan menutupi begitu banyak wilayah di Republik

Demokratis Congo dan Sudan Selatan,

Kelompok LRA telah secara signifikan terpengaruh oleh kenyataan tersebut, karena

ketergantungan LRA untuk menyerang juga di tempat-tempat yang tidak terjaga oleh keamanan.

LRA melakukan penyerangan di wilayah tersebut karena mengetahui bahwa wilayah

penyerangan yang mereka akan serang adalah wilayah yang akan mudah untuk diserang, dan

mudah untuk melakukan pembunuhan dan mencuri barang-barang milik warga. LRA di tahun

2012 dianggap sebagai kelompok pemberontak yang melakukan penyerangan dengan tujuan

untuk tetap bertahan hidup. Patroli yang dilakukan dalam skala besar telah melingkupi wilayah

yang luas, sehingga memberikan opsi yang sangat sedikit akan pilihan wilayah penyerangan

yang bisa diserang oleh LRA.

Terbatasnya ruang gerak LRA terihat dari menurunnya jumlah penyerangan yang terjadi

dari tahun 2010 hingga saat ini di tahun 2012. Tahun tersebut merupakan tahun dimana mandat-

mandat yang Dewan Keamanan PBB berikan kepada UNMISS dan MONUSCO, telah

diperbanyak untuk melingkupi masalah dengan LRA. Tahun 2010, terdapat 470 penyerangan

LRA, mengakibatkan 709 warga meninggal akibat penyerangan tersebut. 2011 terdapat 284

penyerangan dengan 154 warga meninggal. Tahun 2012 menunjukkan 222 penyerangan, dan 41

warga meninggal. Jumlah penyerangan yang terjadi, dan jumlah korban yang berjatuhan tentu

telah berkurang dengan drastis jika dibandingkan sebelum-sebelumnya saat mandat pasukan

perdamaian belum ditambahka dan 400 lebih warga yang dibunuh dalam bulan Desember 2008

menjadi salah satu pembanding jelas

Perang yang dinyatakan oleh pemerintah Uganda terhadap LRA sejak tahun 2000an,

telah membuat LRA lari dari negara tersebut. Penyerangan yang terjadi kini hanya berlangsung

di tiga negara lainnya. Beberapa kasus penyerangan di tahun 2011 sendiri adalah 34 di Republik

Afrika Tengah, 28 di Sudan Selatan, dan 222 penyerangan di Republik Demokratis Congo. Pola

memperlihatkan adanya perpindahan wilayah penyerangan yang lebih fokus di wilayah Congo,

akan tetapi jumlah penyerangan telah berkurang drastis di tahun 2011 jika dibandingkan dengan

tahun 2010 yang jumlah penyerangan mencapai 470.142 Penyerangan tersebut menghasilkan

beberapa krisis kemanusiaan, yakni pembunuhan, pemerkosaan, hingga penculikan.

A.3 Supporting Mechanicms (Mekanisme Pendukung)

Pendekatan militer dan politik yang telah dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB telah

membawa hasil yang positif dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Akan tetapi, Dewan

Keamanan dalam memastikan tujuan pemberantasan bisa berhasil, maka dilakukan beberapa

mekanisme pendukung yang dianggap bisa membantu perang melawan LRA. Salah satu

mekanisme pendukung yang paling besar pengaruhnya terhadap pemberantasan kelompok LRA

adalah Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement and Reintegration (gencatan

senjata, demobilisasi, repatriasi, pengembalian, dan reintegrasi) atau disingkat DDRRR. Secara

umum, program ini memiliki tujuan untuk melemahkan LRA dari segi pengurangan jumlah

anggota LRA itu sendiri.

DDRRR memiliki peran yang sangat penting dalam melumpuhkan kelompok LRA

secara internal. LRA sebagai sebuah kelompok pemberontak, memiliki ketergantungan terhadap

jumlah massa yang banyak untuk melancarkan segala operasi militer yang ingin dijalankan, sama

seperti kelompok pemberontak pada umumnya. Kekurangan anggota akan menyebabakan

ketidakmampuan kelompok pemberontak tersebut untuk melancarkan beberapa penyerangan

yang direncanakan sebelumnya. Memahami efektifitas dari DDRRR, perlu dipahami terlebih

dahulu akan keanggotaan dari LRA itu sendiri.

Kelompok pemberontak dikenal dengan anggota yang sangat setia terhadap tujuan dari

pemberontakan tersebut. Kelompok pemberontakan seperti SPLA/M di Sudan, OPM di Papua

Indonesia, FAARC di Colombia, serta IRA di Irlandia/Inggris merupakan beberapa contoh

kelompok pemberontak yang mampu bertahan lama akibat adanya dukungan yang besar oleh

beberapa kelompok masyarakat, sehingga anggota akan terus berdatangan untuk membantu

tujuan mulia pemberontakan tersebut. Meski dikelompokkan sebagai kelompok pemberontak,

LRA memiliki tujuan yang tidak dimiliki oleh kelompok pemberontak lainnya, yaitu tidak

memiliki tujuan. Pembentukan kelompok LRA di tahun 1980an yang ingin membebaskan dan

menyelamatkan kaum Acholi kini tidak terlihat sama sekali dalam tindakan-tindakan

penyerangan yang dilakukan oleh LRA. Kini LRA melakukan penyerangan hanya dengan tujuan

internal yaitu membangun secara paksa rasa kesetiaan dan rasa takut agar tidak memberontak.

Secara eksternal, tujuan LRA adalah menjauhkan penyerangan terhadap LRA, melalui unjuk

kekuatan dengan cara penyerangan tersebut.

Berbeda dengan kelompok pemberontak lainnya, keanggotaan dalam LRA tidak dapat

dikategorikan sebagai kelompok yang menyetujui tujuan dari LRA itu sendiri. Mayoritas anggota

yang kini ada di dalam LRA adalah anggota yang dipaksa menjadi anggota LRA. Keanggotaan

LRA terdiri atas masyarakat yang diculik, yang mayoritas adalah anak-anak. Menumbuhkan rasa

takut dalam anak-anak merupakan hal yang LRA anggap lebih mudah, jika dibandingkan

doktrinasi orang dewasa, sehingga LRA terus melakukan penculikan anak-anak untuk menjadi

anggota dalam LRA. Hanya ketakutan akan dibunuh oleh anggota senior LRA yang menjadi

penghambat dari anak-anak tersebut untuk melakukan pelarian dari LRA. Beberapa kasus

penangkapan LRA terhadap anak-anak yang hendak melarikan diri juga meningkatkan ketakutan

anak-anak tersebut, sebab mereka yang ingin melarikan diri dan ditangkap akan disiksa terlebih

dahulu didepan semua anggota LRA. Anak tersebut dijadikan contoh brutalitas LRA, dan

mudahnya LRA melakukan tindak teror terhadap anggotanya sendiri. PBB menyadari

pentingnya tradisi tersebut dalam LRA, sehingga membentuk DDRRR sebagai usaha

membangun inisiatif dalam diri anggota LRA, untuk dengan segera melarikan diri.

Tidak berhenti disitu, sebab terdapat beberapa faktor penghambat inisiatif untuk melarikan

diri dari LRA. Ketakutan terbesarnya untuk kembali ke masyarakat adalah ketakutan akan

diserang oleh warga yang menjadi korban penyerangan LRA di masa lalu. Alasan tersebut

menjadi sebab

DDRRR membuat mekanisme secara bertahap apabila telah kembali ke komunitasnya,

yaitu reintegrasi kembali dalam komunitas asalnya. Melihat besarnya potensi DDRRR dalam

memberantas kelompok LRA dari dalam organisasi tersebut, Dewan Keamanan kemudian

memberikan mandat kepada MONUSCO, UNMISS dan BINUCA dalam memberikan asistensi

DDRRR tersebut untuk dijalani.

MONUSCO, UNMISS dan BINUCA merupakan aktor utama yang diberikan mandat oleh

Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan DDRRR. Ketiga misi tersebut diberikan

kewenangan sesuai dengan masing-masing mandat yang diberikan, dan akan melakukan

koordinasi dengan beberapa aktor nasional dan sub-regional yang dianggap bisa membantu

kesuksesan dari DDRRR. Konsentrasi utama dari DDRRR adalah tempat-tempat yang baru saja

dihadapkan dengan penyerangan, ataupun wilayah-wilayah yang dianggap akan dilewati oleh

LRA nantinya. Tim DDRRR MONUSCO memberikan bantuan teknis kepada BINUCA dan

UNMISS dalam implementasi DDRRR di lapangan.

BINUCA yang ada di Republik Afrika Tengah merupakan salah satu aktor yang

menjalankan DDRRR. BINUCA sejak tanggal 17 Juni 2008 telah mengambil peran

menyebarkan informasi tentang program DDRRR, dengan harapan akan membangun keinginan

anggota LRA untuk melarikan diri. BINUCA melalui stasiun-stasiun radio di Republik Afrika

Tengah, menyiarkan informasi tentang keamanan dari DDRRR. Radio tersebut juga digunakan

untuk membuat rakyat lokal terima terhadap anggota LRA yang memutuskan untuk melarikan

diri, berhubung banyaknya penyerangan yang masih terjadi terhadap mantan anggota LRA

MONUSCO sejak tahun 2007 hingga 2012 telah menjalankan DDRRR dalam usahanya

melumpuhkan LRA dari segi keanggotaan. MONUSCO melalui unit DDRRR telah membuat

dan menyebarkan selebaran yang berisi program DDRRR dalam bahasa lokal. Selebaran tersebut

tidak hanya disebarkan di wilayah perbatasan Republik Demokratis Congo, tetapi juga

disebarkan di wilayah perbatasan dari Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah. Tahun 2011,

unit DDRRR juga telah memanfaatkan Radio regional untuk menyebarkan informasi tentang

DDRRR, yakni di stasiun radio di Obo (Republik Afrika Tengah), Yambio dan Ezo (Sudan

Selatan), Dungu dan Faradje (Republik Demokratis Congo).

Terdapat beberapa kasus sukses dari DDRRR selama beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2010,

terdapat 361 orang yang melarikan diri dari LRA. Peningkatan terjadi di tahun 2011, dimana

terdapat 424 anggota LRA yang berhasil melarikan diri.

Sejak tahun 2011, terdapat jumlah pelarian anggota LRA yang meningkat secara

signifikan, dan tren tersebut akan menambah sesuai dengan fasilitas yang DDRRR berikan

kepada calon anggota yang ingin melarikn diri.

Mekanisme pendukung lainnya adalah Joint Information and Operations Centre (JIOC).

JIOC merupakan sebuah usaha PBB dalam menggabungkan informasi relevan dalam usaha

pencarian dan pemberantasan kelompok LRA. Rumitnya pergerakan LRA membuat adanya

kebutuhan untuk menggabungkan informasi-informasi dari wilayah atau negara yang berbeda,

agar dapat lebih memahami arah gerakan dari kelompok LRA itu sendiri. JIOC dibentuk pada

tahun 2011, dan bermarkas di dalam MONUSCO (Republik Demokratis Congo) di Dungu.

JIOC memiliki tujuan utama untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang

berhubungan dengan LRA. Informasi tersebut bisa berupa laporan penyerangan, laporan

pergerakan, dan laporan-laporan lainnya tentang LRA. Sejak tahun 2011, JIOC telah

mengumpulkan informasi intelijen dari Amerika Serikat, dari MONUSCO, BINUCA, dan

UNMISS, yang semua merupakan informasi yang berkontribusi besar terhadap pengejaran

LRA.146 Sejak pembentukan Regional Task Force di tahun 2012, JIOC telah melakukan

pemberian informasi kepada Regional Task Force tersebut akan informasi yang dianggap sangat

penting dalam upaya pemberantasan kelompok LRA di masa yang akan mendatang. JIOC juga

digunakan sebagai media MONUSCO, untuk menyebarkan mekanisme yang mendetail.

Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi ancaman LRA telah bertindak sesuai dengan

otoritas yang diberikan lewat Piagam PBB. Penjelasan tentang Dewan Keamanan PBB telah

dijelaskan melalui Piagam PBB Bab 5, dan lebih spesifik berbicara masalah fungsi dan kekuatan

pada pasal 24. Pasal 24 nomor 1 menjelaskan bahwa, dalam rangka menghasilkan efektifitas

PBB, seluruh anggota PBB memberikan otoritas Dewan Keamanan saja sebagai satu-satunya

badan PBB yang menangani masalah Internasional.

Secara umum, tindakan yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB akan masalah LRA,

sejalan dengan prinsip-prinsip yang disetujui dalam PBB itu sendiri. Penyelesaian konflik

dengan cara yang damai merupakan sebuah kemajuan besar dalam hal keikutsertaan organisasi

internasional, dalam menciptakan suasana kondusif dan aman dalam sebuah negara. Piagam PBB

Bab 6 tentang Peace Settlement of Disputes (penyelesaian sengketa dengan cara damai) Pasal 33,

telah menjelaskan tentang langkah yang boleh diambil oleh Dewan Keamanan dalam merespon

sebuah konflik. Pasal 33 Nomor 1 menjelaskan bahwa, setiap aktor yang terlibat dalam konflik

harus menyelesaikan konfliknya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, perjanjian regional,

ataupun melalui cara damai lainnya.149 Nomor 2 di pasal yang sama lebih jauh menjelaskan

bagaimana Dewan Keamanan PBB memiliki otoritas untuk mendorong prosesi damai tersebut

agar terlaksana. Pendekatan politis yang diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB yang

mendorong UNOCA untuk melaksanakan negosiasi agar keempat negara korban LRA bisa

mengatasi ancaman dari LRA itu sendiri.

Negosiasi juga dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNOCA, untuk

menciptakan yang namanya Regional Task Force. Regional Task Force yang terdiri atas

maksimal 5,000 pasukan Republik Demokratis Congo, Uganda, Sudan Selatan dan Republik

Afrika Tengah adalah hasil dari negosiasi UNOCA kepada Uni Afrika, agar menerapkan sebuah

langkah tegas dalam rangka menghadapi ancaman regional yang LRA berikan. Dewan

Keamanan yang mendorong proses tersebut sudah sesuai dengan Piagam PBB Bab 8 tentang

Regional Arrangements (perjanjian regional) Pasal 52 Nomor 3, yang menyatakan bahwa Dewan

Keamanan harus mendorong perkembangan penyelesaian konflik melalui perjanjian regional

atau melalui aktor regional.150 Dewan Keamanan PBB yang telah mendorong Uni Afrika dan

keempat negara korban LRA telah mengikuti langkah-langkah penyelesaian sengketa secara

damai, yang juga menyatakan Dewan Keamanan diharapkan untuk mendorong penyelesaian

konflik secara regional sebelum ikut campur dalam penyelesaian konflik tersebut.

Legalitas Pasukan Perdamaian PBB tidak disebutkan secara langsung dalam Piagam

PBB. Pasukan Perdamaian PBB sering digunakan sebagai alat untuk mencapai penyelesaian

konflik dengan cara damai, sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Piagam PBB,

penjelasan yang mengarah terhadap legalitas dari Pasukan Perdamaian PBB dapat dilihat dalam

Bab 6 dan Bab 7. Bab 6 tentang Peace Settlement of Disputes (penyelesaian sengketa dengan

cara damai), dan Bab 7 tentang Action with Respect to the Peace, Breaches of the Peace and Acts

of Agression (tindakan yang menghargai perdamaian, dan respon terhadap tindakan agresi)

masing-masing telah digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam melegalisasi pengiriman dan

perpanjangan mandat dari Pasukan Perdamaian PBB. Kehadiran Pasukan Perdamaian PBB

dianggap sebagai solusi yang menghargai kedaulatan, dan sejalan dengan PBB itu sendiri yang

berusaha menciptakan keadaan damai hingga pasca konflik aktif. MONUSCO dan UNMISS

merupakan 2 contoh Pasukan Perdamaian PBB yang kini aktif, dan diberikan peran untuk ikut

serta dalam perang melawan LRA dalam bentuk yang tidak frontal

B. Kendala Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Pemberantasan

Kelompok Lord’s Resistance Army Tahun 2008 – 2012

Kendala yang dihadapi oleh Dewan Keamanan dalam pemberantasan LRA tergolong

sangat rumit. Meskipun telah terdapat perkembangan yang pesat terhadap perang melawan LRA

yang diarahkan langsung oleh PBB, akan tetapi banyak dihadapi kendala dari Dewan Keamanan

itu sendiri dan keadaan eksternal terhadap perang melawan LRA. Berbagai perkembangan

seperti pembentukan African Union Regional Task Force di tahun 2012 merupakan lompatan

besar, jika dibandingkan dengan beberapa usaha dari PBB dalam mengatasi LRA melalui Dewan

Keamanan dari tahun 2008 hingga 2011 Kendala yang dihadapi oleh PBB dalam hal ini terdiri

atas beberapa hal. Beberapa program utama yang telah dijalankan oleh Dewan Keamanan dalam

usaha pemberantasan kelompok LRA masing-masing dihadapi dengan kendala yang signifikan.

Kendala pertama adalah kendala yang dihadapi dalam penerapan mandat Pasukan

Perdamaian, yang sangat membatasi ruang gerak dari kemampuan pemberantasan LRA sebab

mandat yang terbatas. Kendala kedua yang ditemuai adalah kendala terhadap penerapan African

Union Regional Task Force yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika politis yang terjadi dalam

negara-negara korban LRA (Republik Demokratis Congo, Uganda, Sudan Selatan, Republik

Afrika Tengah). Kendala terakhir yang dihadapi adalah kendala pada penerapan program

DDRRR (Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement, and Reintegration) yang

selama ini mulai diterapkan sejak tahun 2008 oleh MONUSCO dan kemudian menyebar ke

BINUSCA dan UNMISS.

B.1 Penerapan Penambahan Mandat Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-

Bangsa

Pengambilan keputusan dalam Dewan Keamanan PBB merefleksikan kebijakan Dewan

Keamanan yang berdasar pada kepentingan pemegang hak veto. Meskipun terdapat 15 anggota,

namun 5 anggota diantaranya memiliki hak spesial yang biasa dikenal sebagai Hak Veto. Hak

Veto merupakan hak yang dimiliki oleh Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Rusia dan Republik

Rakyat Cina, untuk secara langsung membatalkan sebuah resolusi keamanan yang ingin

diterapkan. Kemampuan tersebut berarti, Dewan Keamanan PBB akan bertindak menghadapi

sebuah ancaman internasional hanya apabila kelima negara pemegang hak veto setuju melakukan

tindakan demikian. Keadaan ini menjadi salah satu penghambat utama Dewan Keamanan dalam

menerapkan sebuah perlawanan keras sebagai respon dari kehadiran LRA.

Seperti yang penulis uraikan di Bab II dan III, tentang Collective Security dan Dewan

Keamanan PBB. Keputusan terhadap intervensi dalam bentuk apapun harus disetujui oleh

prosedur dalam organisasi inisiator keamanan kolektif tersebut (dalam hal ini Dewan Keamanan

PBB). Dewan Keamanan dalam menghadapi ancaman LRA memiliki beberapa pilihan. Akan

tetapi, pilihan yang dipilih oleh Dewan Keamanan yang fokus terhadap regionalisme dan

pemanfaatan pasukan perdamaian PBB dianggap sebagai respon yang sangat lamban dan tidak

memperlihatkan keseriusan yang besar dalam menanggapi ancaman tersebut. Beberapa alasan

hal tersebut terjadi adalah pertama kehadiran Arab Uprising di tahun 2010. Bermula dari negara

Tunisia dan menyebar ke hampir seluruh negara di Timur Tengah, perhatian Dewan Keamanan

dan dunia internasional terfokus pada berbagai demonstrasi massal dan pembantaian oleh

diktator yang membutuhkan respon yang lebih cepat dibanding dengan ancaman LRA. Dunia

internasional berada dalam perdebatan untuk intervensi atau tidak intervensi dalam beberapa

kasus negara Timur Tengah yang sedang menghadapi gejolak tersebut.

Alasan kedua adalah terbatasnya kapasitas dari Dewan Keamanan dalam menindak

dengan tegas. Tindakan tegas akan menghasilkan sebuah mandat yang dalam kasus ini akan

secara ideal menuju kemungkinan mandat untuk melaksanakan

Humanitarian Intervention (intervensi kemanusiaan). Kendala utama yang dihadapi dalam

menindak tegas LRA sehingga menggunakan opsi perpanjangan mandat adalah terbatasnya

kapasitas dan keinginan dunia internasional untuk mengirimkan sebuah operasi militer dalam

menghadapi LRA. Mengirim pasukan khusus untuk mengatasi LRA menjadi tidak mungkin,

melihat banyaknya operasi milter dengan tujuan pembangunan perdamaian yang dilokasikan di

berbagai benua saat ini. Keadaan tersebut membuat Dewan Keamanan menggunakan

penambahan mandat sebagai alternatif.

Berangkat dari pernyataan di atas maka muncul kendala utama Dewan Keamanan dalam

pemberantasan kelompok LRA, yaitu penggunaan pasukan perdamaian PBB. Meskipun telah

muncul sebuah inisiatif dari Uni Afrika untuk menyelesaikan masalah dengan LRA, namun

bentuk intervensi langsung PBB dalam kasus LRA tersebut adalah melakukan beberapa

tambahan operasi militer melalui pasukan perdamaian yang ada yaitu MONUSCO dan UNMISS.

Kekurangan utama dari penggunaan pasukan perdamaian tersebut adalah, pasukan perdamaian

tidak memiliki mandat ataupun otoritas untuk secara langsung melakukan pembunuhan terhadap

kelompok pemberontakan LRA. Pasukan Perdamaian hanya diperbolehkan melakukan

penyerangan setalah diserang terlebih dahulu, sehingga pengejaran lebih lanjut tidak boleh

dilaksanakan. Keadaan tersebut menjadi pukulan yang sangat berat, sebab LRA merupakan

kelompok yang perlu dilakukan pengejaran secara konstan agar bisa secara keseluruhan

diberantas. Jumlah Pasukan Perdamaian yang berlokasi di Sudan Selatan dan Republik Coingo

juga masih jauh dari ideal apabila ingin melakukan patrol terhadap semua wilayah ancaman

LRA.

Sejak tahun 2008 hingga 2011, terlihat kesulitan dari keadaan di atas. LRA mampu

bertahan hingga sekarang, sebab ruang gerak yang mereka miliki masih sangat luas. Ketika

pemerintah Uganda menyatakan perang melawan LRA, kendala terbesar Uganda adalah saat

LRA mempercepat laju dan menyebar ke begitu banyak wilayah. Jumlah pasukan perdamaian

PBB yang terbatas, dan mandat sebagai penjaga perdamaian saja, menjadi alasan mengapa

perang melawan LRA tidak bisa maksimal, berhubung besarnya kemungkinan untuk

memperluas jangkauan dan ruang gerak LRA itu sendiri.

Kesulitan lainnya yang dihadapi oleh PBB adalah keberadaan LRA itu sendiri. Sama dengan

mayoritas kelompok pemberontak, bahwa lokasi markas dan operasi akan selalu dirahasiakan

dan merupakan tempat yang terpencil dan sulit dijangkau. Keputusan tersebut diambil oleh

kelompok pemberontak dengan alasan menghilangkan kemungkinan penangkapan atau

penyerangan terhadap kelompok tersebut. Pasukan Perdamaian PBB MONUSCO dan UNMISS

memiliki kesulitan yang besar dalam menghadapi LRA, sebab lokasi yang begitu terpencil.

Lokasi yang terpencil menyebabkan LRA tidak mampu untuk melakukan patroli ataupun

melakukan pengawalan militer ke beberapa wilayah terpencil. Hal tersebut telah memperluas

ruang gerak LRA, sehingga bisa terus melakukan penyerangan di tempat-tempat yang tidak

dijangkau oleh Pasukan Perdamaian tersebut. Masalah ini menjadi kendala ketika Pasukan

Perdamaian PBB memiliki sebuah tujuan untuk membatasi ruang gerak LRA yang memiliki

dampak langsung terhadap keberlangsungan LRA itu sendiri.

B.2 Penerapan African Union Regional Task Force

Kesuksesan dari upaya PBB dalam menangani kasus LRA akan bergantung kepada

kemampuan kerjasama regionalisme dari Uni Afrika. UNOCA telah bekerja dalam pembentukan

kerjasama militer yaitu Regional Task Force yang direncanakan terdiri atas maksimal 5,000

pasukan. Tugas dari UNOCA akan terus berlanjut dalam memberikan asistensi kepada African

Union Regional Task Force melalui kerjasama dengan UNOAU, agar perang melawan LRA

dapat berlangsung dengan efektif. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah, African Union

Regional Task Force masih memiliki banyak kekurangan yang jauh dari kemampuan Dewan

Keamanan bisa selesaikan.

Seperti yang dikatakan oleh Johan Galtung di tahun 1996 tentang Spheres of

Cosmopolitan Conflict, aktor ketiga sangat penting dalam kasus ini. Bab II penelitian tentang

Resolusi Konflik menjelaskan bagaimana peran serta sebuah aktor ketiga sangat penting dalam

merespon sebuah ancaman keamanan yang telah mengalami Regional Spillover (menyebar

secara regional). Uni Afrika melalui Regional Task Force dalam hal ini merupakan bentuk

intervensi aktor ketiga yang nyata dan ideal sebagai upaya pemberantasan kelompok LRA.

Meskipun demikian, aplikasi dari RTF ini masih dihadapkan dengan banyak kendala. 143

Pemerintahan Uganda melalui UPDF (Uganda People’s Democratic Front) telah

mengambil peran yang paling aktif dalam kasus LRA sebelum pembentukan RTF di tahun 2012.

Sejak pembentukan LRA, Uganda telah menyatakan perang dan sangat terlihat sejak tahun

2000an melalui operasi militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok tersebut. Uganda

dari keempat negara korban LRA, merupakan negara yang menempatkan ancaman LRA sebagai

prioritas dari pemerintah Uganda yang harus diselesaikan. Masalah yang muncul adalah

Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, dan Republik Demokratis Congo tidak memiliki

inisiatif yang sama dengan Uganda dari tahun 2008 tersebut. Hal tersebut membuat upaya dari

MONUSCO dan UNMISS menjadi pasif dan kurang efektif, mengingat sangat tergantungnya

Pasukan Perdamaian terhadap angkatan militer nasional negara. Negosiasi yang dilakukan secara

terus menerus hanya dapat berhasil sejak pembentukan UNOCA di tahun 2011, dan telah

setidaknya membangun urgensi masalah LRA kepada negara-negara korban. Meskipun

demikian, hingga sekarang masih terlihat kurangnya komitmen diantara negara-negara korban

LRA dalam memberantas kelompok tersebut.

UNOCA memiliki kendala yang besar dalam mendorong keempat negara korban LRA

untuk kontribusi lebih banyak pasukan. Perencanaan dari African Union Regional Task Force

adalah untuk mengirimkan 5,000 pasukan dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Akan

tetapi, UNOCA hanya mampu untuk menegosiasi dan mendapatkan jumlah pasukan sebanyak

2,860. Jumlah yang jauh dari ideal untuk bisa melakukan pengejaran terhadap LRA yang kini

telah menyebar ke wilayah yang mencapai 115.000 mill. Komitmen yang kurang membuat

UNOCA menjadi semakin sulit untuk membuat Sudan Selatan Demokratis Congo dan membuat

Republik Afrika Tengah untuk mengirim lebih banyak pasukan.

Kesulitan dalam African Union Regional Task Force (AU-RTF) sebagai usaha paling

besar Dewan Keamanan dan UNOCA dalam memberantas LRA, adalah kapasitas dari pasukan

militer yang tidak imbang. AU-RTF yang terdiri atas 3 negara saat ini, masih tidak memiliki

kapasitas yang cukup bahkan untuk menjalankan sebuah operasi militer standar. Misalnya

sebuah kelompok angkatan militer yang berlokasi di Nzara, Sudan Selatan. UPDF yang

merupakan angkatan militer Uganda di lain sisi, memiliki kapasitas dan pengalaman yang cukup

dalam memberantas kelompok LRA.

Hingga akhir tahun 2012, proses AU-RTF terus berjalan dalam lingkup wilayah negara masing-

masing untuk sementara. Alasannya adalah belum terdapat komando yang begitu jelas dalam

AU-RTF yaitu Concept of Operations (CONOPS) yang telah disetujui oleh keempat negara.

CONOPS menentukan konsep operasi militer yang akan dijalani, dan juga bagaimana rantai

komando yang akan diterapkan nantinya. CONOPS juga esensial dalam menentukan misi, area

operasi, taktik, logistik, dan strategi secara keseluruhan. Adanya kecurigaan berdasarkan sejarah

menjadi salah satu kesulitan untuk menyatukan pemikiran tersebut. Uganda

Konflik terhadap CONOPS yang belum disetujui telah berdampak langsung terhadap

akses wilayah LRA. UNOCA hingga kini belum mampu mendorong Republik Demokratis

Congo untuk berkontribusi terhadap pasukan militer AU-RTF. Tertutupnya Congo terhadap

negosiasi tersebut telah membuat banyak wilayah kosong yang bisa dimasuki oleh LRA karena

kurangnya penjagaan yang ada, menjadikan Congo harus menghadapi jumlah penyerangan

terbanyak di tahun 2011 sebanyak 222, hampir 5 kali lebih banyak dibandingkan penyerangan di

Republik Afrika Tengah dan di Sudan Selatan.153 Banyaknya wilayah yang tidak terjaga dengan

ketat yang juga tidak mampu dijangkau oleh patroli MONUSCO, membuat Congo sarang LRA

yang tepat selama periode 2008-2012. Congo juga merupakan negara paling pasif dari segi

kebijakan domestik terhadap LRA, jika dibandingkan dengan 3 negara korban lainnya. Hal ini

tentunya menjadi kendala besar PBB dalam memberantas kelompok LRA, akibat kesulitan

negosiasi antar aktor yang terlibat. Sulit bagi Dewan Keamanan melalui UNOCA agar bisa

memenuhi tugasnya dalam keadaan tersebut. Masalah politik yang muncul diantara beberapa

negara anggota dalam AU-RTF, telah membuat kesulitan besar kepada PBB untuk menyatukan

kekuatan negara-negara tersebut.

B.3 Penerapan Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement, and Reintegration

(DDRRR)

Sejak tahun 2008 hingga 2012, PBB dihadapkan dengan beberapa kendala dalam

penerapan program DDRRR. Program DDRRR memiliki dampak yang sangat signifikan dalam

mengurangi jumlah dari kelompok LRA. Berhubungan LRA bukan merupakan organisasi yang

terdiri atas anggota yang setia terhadap tujuan dari pemberontakan, maka mengurangi jumlah

dari kelompok tersebut merupakan tujuan esensial dalam usaha pemberantasan kelompok LRA.

Usaha pengurangan jumlah dapat dilakukan dengan cara pembunuhan langsung melalui cara

koersif, atau menerapkan pendekatan agar anggota kelompok dengan sendirinya melarikan diri

dari kelompok. DDRRR menggunakan taktik kedua, dan terbukti telah meningkatkan inisiatif

dari puluhan hingga ratusan anggota LRA untuk melarikan diri dari kelompok LRA itu sendiri.

Beberapa kendala akan tetapi tetap dihadapi oleh aktor pelaksana dari program DDRRR tersebut.

Pertama adalah media penyebaran informasi yang digunakan oleh MONUSCO. Inisiatif untuk

melarikan diri dari LRA akan muncul apabila anggota merasa bahwa ada peluang untuk

melarikan diri, dan pemerintah mampu memberikan perlindungan kepada mantan anggota

tersebut dari kemungkinan penyerangan oleh warga sebagai bentuk balas dendam. Penyebaran

melalui selebaran selama ini dimanfaatkan oleh MONUSCO, juga melalui stasiun radio FM.

Radio dianggap sebagai media yang sangat tepat dalam menyebarkan program DDRRR yang

dikenal sebagai ‘Come Home’ di tempat-tempat yang terpencil (sulit dijangkau) dan

merupakan mekanisme yang sangat efektif. Penggunaan radio akan tetapi hanya mencakup 30%

dari keseluruhan wilayah korban LRA yang ada di Republik Afrika Tengah. Hal ini disebabkan

oleh adanya beberapa wilayah yang sangat terpencil, yang juga tidak memiliki akses terhadap

media radio. Hal tersebut merupakan kendala terbesar, mengingat pergerakan LRA fokus di

wilayah-wilayah yang sangat terpencil seperti wilayah yang tidak memiliki akses radio, sehingga

memberi dampak signifikan terhadap efektifitas pemberantasan terhadap kelompok LRA.

Kendala kedua adalah adanya keraguan keamanan terhadap program DDRRR oleh anggota LRA

yang berencana melarikan diri. UNOCA dan UNOAU telah memberikan dorongan kepada Uni

Afrika agar menerapkan sebuah mekanisme yang akan menjamin keamanan bagi mereka mantan

anggota LRA. Adanya ketakutan akan diserang oleh warga jika kembali ke komunitasnya

masing-masing merupakan salah satu masalah terbesar dari kesuksesan program DDRRR.

Pemerintahan masing-masing negara yang tidak transparan dalam hal informasi akan perlakuan

yang akan diberikan kepada para mantan anggota LRA, telah membangun rasa takut terhadap

kemungkinan prosekusi. Keraguan juga terbangun karena ketidakjelasan terhadap titik

pertemuan.

DDRRR di beberapa wilayah Republik Demokratis Congo menerapkan yang namanya

Assembly Points (titik pertemuan). Titik pertemuan diciptakan oleh MONUSCO untuk

mempermudah pelarian anggota LRA yang ingin melarikan diri.

Titik pertemuan tersebut akan menjadi titik penjemputan anggota LRA yang telah

melarikan diri, dan akan dibawa menuju tempat yang aman. Proyek tersebut dilaksanakan oleh

MONUSCO sejak Januari 2012, dan telah menemui beberapa kendala dalam penerapannya. Titik

pertemuan yang ditetapkan oleh MONUSCO terletak di wilayah yang sangat terpencil, dan

belum menjamin bahwa wilayahnya merupakan wilayah yang bebas dan aman dari LRA.

MONUSCO juga menetapkan titik tersebut pada tempat dimana patroli yang dilakukan tidak

secara rutin.

Ketakutan dan keraguan terhadap program DDRRR paling jelas terlihat di Uganda.

Uganda serta beberapa wilayah lainnya masih mengalami masalah dalam implementasi DDRRR.

Meskipun telah didorong oleh PBB dan Uni Afrika agar menghargai HAM mantan anggota

LRA, namun masih banyak pelanggaran yang sering dilakukan. Beberapa kasus saat tentara

anak-anak dari LRA menyerahkan diri kepada UPDF, UPDF kerap melakukan kekerasan kepada

anak tersebut karena sebelumnya telah menyerang angkatan militer Uganda.155 Kedua faktor

yaitu akses terhadap informasi dan ketidakjelasan beberapa hal dalam DDRRR itu sendiri

menjadi faktor penghambat PBB dalam pemberantasan kelompok LRA dalam hal mengurangi

jumlah LRA secara perlahan.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan data-data dan fakta-fakta di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) merupakan sebuah kelompok pemberontak

yang dibentuk pada tanggal 1 April 1987. LRA dibentuk sebagai bentuk kekecewaan

beberapa rakyat Uganda Utara terhadap pemerintahan yang terkesan melakukan

diskriminasi terhadap kaum Acholi. Joseph Kony kemudian membentuk LRA sebagai

wujud perlawanan terhadap pemerintahan Uganda, yang hingga kini masih terus

berkembang. Kelompok LRA dikenal dengan pelanggaran HAM berat dengan

melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan perekrutan anak-anak untuk menjadi tentara

anak-anak. Perkembangan LRA terus berkembang, dan yang dulunya hanya

mempengaruhi Uganda, kini Republik Afrika Tengah, Republik Demokratis Congo, dan

Sudan Selatan juga mendapat dampaknya.

2. Dalam mengatasi kelompok pemberontakan tersebut, organisasi internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berkontribusi banyak dalam pemberantasan

kelompok LRA. Obligasi PBB melalui Dewan keamanan PBB telah diberikan mandat

untuk mengatasi segala ancaman yang diberikan oleh aktor siapapun. Sejak tahun 2008,

terdapat 3 Resolusi Dewan Keamanan PBB yang secara langsung mendorong

dilaksanakan tindakan yang tegas dalam mengatasi ancaman regional tersebut.

Pendekatan politik dilakukan melalui UNOCA (UN Regional Office on Central Africa)

dibawah mandat Dewan Keamanan telah berhasil menegosiasikan pembentukan

pendekatan militer kolektif oleh keempat korban LRA. Pendekatan militer dilakukan

dengan menambahkan mandat dari Pasukan Perdamaian PBB yang berada di Republik

Demokratis Congo (MONUSCO:) dan Sudan Selatan (UNMISS), untuk melakukan

patroli dan pengawalan di beberapa wilayah penyebaran dari LRA. Pendekatan terakhir

melalui pemanfaatan radio lokal dan penyebaran selebaran yang berusaha mengajak

anggota LRA untuk melarikan diri dari LRA. Beberapa dari pendekatan tersebut telah

berkontribusi dalam membatasi ruang gerak, dan mengurangi jumlah anggota yang pada

akhirnya melemahkan kelompok LRA.

3. Kendala yang dihadapi oleh PBB dalam pemberantasan kelompok LRA ada beberapa.

Mandat yang diberikan Dewan Keamanan kepada Pasukan Perdamaian PBB saja, telah

secara signifikan membatasi kemampuan Dewan Keamanan dalam menindak secara

militer kelompok LRA, sebab mandat yang secara umum adalah perlindungan warga

sipil. Kendala lainnya adalah segala pendekatan yang digunakan PBB sangat tergantung

terhadap komitmen negara-negara korban LRA dan Uni Afrika sendiri. Meskipun

memperlihatkan kemajuan, namun komitmen yang tidak maksimal menjadi faktor

penghambat terbesar.

B. Saran

Adapun saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi yang dipaparkan

di atas adalah :

1. Perlunya Dewan Keamanan PBB memberi asistensi dalam hal sumber daya

militer seperti perangkat militer dan pelatihan yang lebih. Pemberantasan

kelompok LRA akan sangat bergantung terhadap sumber daya dan kapasitas dari

militer, sehingga Dewan Keamanan diperlukan dalam bantuan nyata tersebut.

Asistensi bisa diberikan secara langsung, maupun melalui aktor ketiga yaitu Uni

Afrika.

2. Perlunya Dewan Keamanan PBB ikut serta dalam memperbaiki rantai komando

dari perang melawan LRA dan hubungan bilateral Republik Demokratis Congo

dan Uganda. Berbagai aktor yang memiliki peran masing-masing melawan LRA,

perlu disatukan dalam sebuah komando. Kehadiran Pasukan Perdamaian PBB,

operasi militer kolektif dibawah Uni Afrika, dan militer masing-masing negara

korban LRA, akan membuat usaha pemberantasan semakin rumit dan kompleks,

sebab banyaknya aktor yang terlibat. Hal ini bisa diatasi melalui Komando yang

jelas dalam menjalankan misi pemberantasan kelompok LRA. Perbaikan dalam

hubungan bilateral juga menjadi salah satu faktor dari kegagalan komando

perang melawan LRA di tahun 2008-2012. Perbaikan hubungan bilateral antara

Pemerintahan Uganda dan Republik Demokratis Congo perlu dilakukan melalui

peningkatan kerjasama di berbagai bidang keamanan dibutuhkan, agar proses

memasuki wilayah negara lainnya tidak akan dihadapkan dengan hambatan-

hambatan yang ada. Dewan Keamanan dalam hal ini melalui Sekretaris-General

perlu untuk melakukan negosiasi dengan kedua negara agar tidak terdapat

kecurigaan-kecurigaan dalam perang melawan LRA.

3. Perlunya Dewan Keamanan PBB mengambil posisi yang tegas terhadap segala

aktor negara yang tidak maksimal dalam perang melawan LRA, berhubung

perang tersebut sudah berlangsung lama dan mempengaruhi wilayah Afrika

Tengah secara regional. Komitmen diharapkan dapat tumbuh melalui ketegasan

Dewan Keamanan PBB, yaitu dalam bentuk pemberian sanksi seperti embargo

ekonomi atau embargo senjata. Sanksi untuk aktor pemerintahan misalnya

pembekuan aset atau larangan terbang. Sanksi tersebut diharapkan akan

meningkatkan ketegasan dari Republik Demokratis Congo, Republik Afrika

Tengah, Uganda, dan Sudan Selatan agar fokus dan tegas dalam upaya

pemberantasan kelompok LRA, mengingat kesuksesan PBB dalam Regional

Task Force bergantung terhadap komitmen keempat negara pengaruh tersebut.

HUKUM INTERNASIONAL

Tugas : PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM

PEMBERANTASAN LORD’S RESISTANCE ARMY

Oleh:Yosephine Sekar Sari (NPM: 14600129)Tita Tresia Panjaitan (NPM : 14600145)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN

2016