makalah amar ma'ruf nahi munkar

39
i KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang karena bimbingan-Nya maka penulis bisa menyelesaikan sebuah makalah Al-Qur’an Hadits berjudul “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua. Semarang, 28 Mei 2014 Penulis

Upload: independent

Post on 22-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucapkan

kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang karena bimbingan-Nya maka penulis

bisa menyelesaikan sebuah makalah Al-Qur’an Hadits berjudul “Amar Ma’ruf

Nahi Munkar”.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu

sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu penulis

dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.

Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi

kita semua.

Semarang, 28 Mei 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ 1

DAFTAR ISI .............................................................................. 2

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................ 3

Latar Belakang Masalah ................................................................................. 3

Rumusan Masalah .......................................................................................... 7

Batasan Masalah............................................................................................. 8

Tujuan dan Kegunaan Penulisan .................................................................... 8

Garis Besar Isi ................................................................................................ 9

BAB II. PEMBAHASAN ........................................................10

Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar ........................................................ 10

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar ............................................................. 13

Kaidah Penting dan Prinsip Dasar dalam Ber-Amar Ma’ruf

Nahi Munkar ................................................................................................ 19

BAB III. KESIMPULAN ........................................................37

BAB IV. PENUTUP ................................................................38

SUMBER .................................................................................39

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam

yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan

penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,

ة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهو ن عن المنكر وتؤمنون باهلل ولوءامن أهل الكتاب كنتم خير أم

نهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون لكان خيرا لهم م

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada

Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di

antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang

yang fasik.”

(QS. Ali Imron : 110)

Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan

hal ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

الة الص ويقيمون المنكر عن وينهون بالمعروف يأمرون بعض أوليآء بعضهم والمؤمنات والمؤمنون

كاة ويؤتون حكيم عزيز للا إن للا سيرحمهم أوالئك ورسوله للا ويطيعون الز

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)

menjadi penolong sebagian yang lain.

2

Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar,

mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-

Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

(QS. At-Taubah : 71)

Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, umat Islam adalah

umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan

baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan

kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma'ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan

hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah

yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada

semua perkara yang ma'ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran.

Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak

berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka

untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim

berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk

amar ma'ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa.

إن ياموسى قالوا خاسرين فتنقلبوا أدباركم على ترتدوا وال لكم للا كتب التي المقدسة األرض ادخلوا ياقوم

الذين من رجالن قال داخلون فإنا منها يخرجوا فإن منها يخرجوا حتى ندخلها لن وإنا جبارين قوما فيها

ؤمنين كنتم إن فتوكلوا للا وعلى غالبون فإنكم دخلتموه فإذا الباب عليهم ادخلوا عليهما للا أنعم يخافون م

قاعدون هاهنا إنا فقاتل وربك أنت فاذهب فيها داموا ما أبدا ندخلهآ لن إنا ياموسى قالوا

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah

bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh),

maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.

3

Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang

gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum

mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan

memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada

Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan

melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu

akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu

benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali

tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena

itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua,

sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”

(QS. Al-Maa’idah : 21-24)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya),

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi

Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah

untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan

Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan

berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak

mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari

kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu

diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja

diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim.”

(QS. Al-Baqarah : 246)

4

Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah

demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan

begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-

budak tawanan perang.[1]

Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam. Dia

menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana

firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

سول يتبعون الذين ي النبي الر بالمعروف يأمرهم واإلنجيل التوراة في عندهم مكتوبا يجدونه الذي األم

م الطيبات لهم ويحل المنكر عن وينهاهم كانت التي واألغالل إصرهم عنهم ويضع الخبائث عليهم ويحر

المفلحون هم أولئك معه أنزل الذي النور واتبعوا ونصروه وعزروه ءامنوا فالذين عليهم

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)

mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang

menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari

mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan

mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka

beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang

yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya

yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang

yang beruntung.”

(QS. Al- A'raaf : 157)

[1] Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma'ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan, Solo.

5

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan orang-orang yang selalu

mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bahkan

memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya,

نكم ولتكن م ة المفلحون هم وأوالئك المنكر عن وينهون بالمعروف ويأمرون الخير إلى يدعون أم

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar;

mereka adalah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Ali Imron : 104)

Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi

seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke

seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.

Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan-

permasalahan sebagai berikut:

Bagaimana pengertian dari amar Ma’ruf Nahi Munkar?

Bagaimana hukum melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar?

Bagaimanakah derajat kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar?

Apa saja kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam

ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar?

6

Batasan Masalah

Karena terbatasnya waktu dan referensi yang digunakan, maka makalah ini hanya

membahas tentang definisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan hukumnya, serta

kaidah-kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam ber-Amar

Ma’ruf Nahi Munkar.

Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

Untuk memenuhi Tugas Harian Mata Pelajaran Al-Qur’an Hadits.

Untuk memperoleh dan memperkaya pemahaman tentang Amar Ma’ruf

Nahi Munkar beserta dalil dan hukumnya.

Untuk ikut berperan serta dalam kegiatan ilmiah, khususnya ilmu Al-

Qur’an Hadits melalui studi kepustakaan guna memperkaya khazanah

dunia ilmu.

Adapun kegunaan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

Dapat mengetahui pengertian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Dapat memahami hukum serta dalil tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Dapat mengetahui serta memahami kaidah penting dan prisip dasar dalam

ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

7

Garis Besar Isi

Isi dari makalah secara garis besar adalah sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan dan

kegunaan penulisan dan garis besar makalah.

Bab II. Pembahasan

Pada bab ini akan dijelaskan tentang pengertian, hukum serta dalil dan kaidah-

kaidah penting dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Bab III. Kesimpulan

Pada bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang dapat disimpulkan dari Amar

Ma’ruf Nahi Munkar

Bab IV. Penutup

8

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Maksud dari “amar ma’ruf” adalah ‘seluruh ketaatan; dan yang paling utama

adalah ibadah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan ibadah

bagi-Nya semata, serta meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kemudian,

(tingkatan) di bawahnya adalah segenap ketaatan, berupa perkara-perkara yang

wajib dan mustahab’.[2]

Sementara itu, “mungkar” adalah ‘setiap perkara yang dilarang oleh Allah dan

Rasul-Nya’. Dengan begitu, seluruh kemaksiatan dan kebid’ahaan adalah perkara

mungkar dan kemungkaran yang paling besar adalah menyekutukan Allah

Subhanahu wa Ta’ala.[3]

Mengajak kepada perkara yang ma’ruf dan mencegah dari perkara yang mungkar,

hukumnya adalah fardu kifayah atas umat ini, bukan wajib ain. Jika amar ma’ruf

nahi mungkar telah ditegakkan oleh sebagian orang yang mencukupi, gugurlah

dosa (jika tidak ada yang menunaikannya, red.) atas yang lainnya. Akan tetapi,

jika tidak ada satu pun yang melaksanakannya maka seluruhnya (kaum muslimin,

red.) berdosa.[4]

[2] Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 6, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan. [3] Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 6–7, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan. [4] Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 14 dan setelahnya, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan.

9

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dan hendaklah ada, di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada perbuatan yang ma’ruf, dan mencegah dari

kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Ali Imron : 104)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Barang siapa yang memerintahkan hal yang ma’ruf dan mencegah dari

kemungkaran maka hendaknya dia memiliki ilmu tentang hal yang dia

perintahkan dan hal yang dia larang, serta bersikap lembut dan santun ketika

memerintah dan melarang. Hendaknya, ilmu didahulukan sebelum memerintah,

sedangkan sikap lembut dan santun harus selalu menyertai perintah. Jika tidak

berilmu maka dia tidak boleh mengerjakan segala sesuatu yang ilmu tentangnya

tidaklah dia miliki.”

Apabila ia berilmu tetapi tidak memiliki kelembutan maka dia ibarat dokter yang

tidak memilki kelembutan, kasar terhadap pasiennya, maka niscaya ia tidak akan

diterima, serta ibarat pendidik yang kasar dan tidak disukai oleh anak didiknya.

Sungguh, Allah telah berkata kepada Musa dan Harun ‘alaihimassalam (yang

artinya),

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah

lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

(QS. Thaha : 4)

10

Kemudian, orang yang memerintahkan perkara yang ma’ruf dan mencegah

kemungkaran, biasanya, disakiti. Oleh karena itulah, wajib baginya untuk

bersabar dan santun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“… Dan suruhlah (manusia) mengerjakan perbuatan yang baik dan cegahlah

(mereka) dari perbuatan kemungkaran, serta bersabarlah terhadap segala sesuatu

yang menimpamu. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk hal-hal yang

diwajibkan (oleh Allah).”

(QS. Luqman : 17)

Beliau (Ibnu Taimiyah) menambahkan, “Wajib bagi orang, yang memerintahkan

perkara yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, untuk melakukannya

dengan ikhlas karena Allah, dengan maksud taat kepada Allah. Hendaknya pula,

tujuannya adalah untuk memperbaiki orang yang diperintah, menegakkan hujjah

(alasan, red.) kepadanya, dan jangan bertujuan untuk mencari kedudukan, baik

untuk dirinya maupun untuk kelompoknya, atau untuk melecehkan orang lain.

Pondasi agama adalah mencintai karena Allah, benci karena Allah, bersikap loyal

karena Allah, bermusuhan karena Alllah, beribadah hanya karena Allah, meminta

pertolongan hanya kepada Allah, takut hanya kepada Allah, berharap hanya dari

Allah, memberi hanya karena Allah, dan mencegah pun hanya karena Allah. Itu

semua diperoleh, tidak lain, hanya dengan cara mengikuti Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam, yang perintahnya adalah perintah Allah dan larangannya adalah

larangan Allah, memusuhinya berarti memusuhi Allah, taat kepadanya adalah

bentuk ketaatan kepada Allah, dan bermaksiat kepadanya berarti bermaksiat

kepada Allah.” (Diringkas dari perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah)

11

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar [5]

Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah

Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh

dalil Al Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.

Dalil Al Qur'an

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya),

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar;

mereka adalah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Ali Imron : 104)

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Maksud dari ayat ini, hendaklah

ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini.” [6]

Dan firman-Nya.

ة خير كنتم باهلل وتؤمنون المنكر عن وتنهون بالمعروف تأمرون للناس أخرجت أم

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada

Allah.”

(QS. Ali Imron : 110)

[5] Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi Anil Mungkar Bainal Ifraath. [6] Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405.

12

Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini, “Wahai sekalian manusia,

barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat

Allah darinya.”[7]

Dalil As-Sunnah

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

منكم رأى من : يقول وسلم عليه للا صلى للا رسول سمعت: قال -عنه للا رضي- الخدري سعيد أبي عن

اإليمان أضعف وذلك فبقلبه يستطع لم فإن فبلسانه يستطع لم فإن بيده فليغيره منكرا

Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu

yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan

tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan

lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah

keimanan yang paling lemah.”

(HR. Muslim no. 49)

خردل حبة اإليمان من ذلك وراء ليس: رواية وفي

Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan

sebesar biji sawi (sedikitpun)”

[7] Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453.

13

Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat

penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini

pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan

syari’at terbagi dua : ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan

dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi

ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.”[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini

adalah : Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang

dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan

tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah

maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki

keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada

sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan,

masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya,

akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih

mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang

wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang

kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan

demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib

atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah)

kepada mereka.”[9]

8 Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292. 9 Majmu’ Fatawa, 7/427

14

Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan

nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari

kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:

Mengingkari dengan tangan.

Mengingkari dengan lisan.

Mengingkari dengan hati.

Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu

melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini

seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya

dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap

bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan

mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.

Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana

beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan

dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?”

Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau

melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di

antara mereka.

Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan

bukanlah dengan pedang dan senjata.”[10]

Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara

sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu

sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan

membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.

[10] Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185.

15

Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci

kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas

setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang

tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.

Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits

yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari

kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan

hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan

hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.”[11]

عبد فقال. المنكر عن ينه ولم بالمعروف يأمر لم من هلك: -عنه للا رضي- مسعود بن للا لعبد رجل قال

بقلبه المنكر وينكر بقلبه المعروف يعرف لم من هلك بل: للا

Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru

kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud

berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan

dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.”

(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)

Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata,

“Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati

adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang

tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan

tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.”[12]

[11] Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258. [12] Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259.

16

Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang

mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu

tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:

بقلبه كرالمن وينكر بقلبه المعروف يعرف لم من

“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari

kemungkaran dengan hatinya.”

(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)

Sedangkan Ijma' kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:

1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh umat telah bersepakat

mengenai kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan

diantara mereka sedikitpun.”[13]

2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah

menegaskan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat

dalam Al Qur'an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir.

Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas

kewajibannya.”[14]

3. An-Nawawi berkata, “Telah banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah serta

Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar.”[15]

4. Asy-Syaukaniy berkata, “Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban,

pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan

Islam dan tegak kejayaannya.”[16]

[13] Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19. [14] Al-Jashash, Ahkamul Qur'an , 2/486. [15] An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22.

17

Jelaslah kewajiban umat ini untuk ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.

Kaidah Penting dan Prinsip Dasar Dalam Ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan

prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan

menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:

Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah.

Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan

dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah

seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan

mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika

maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh

melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih

besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu

yang di perintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sekalipun kemungkaran

tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan

yang haram.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar

merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu

yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari

mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan

membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang

diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-

[16] Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450.

18

orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta

mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila

mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia

bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan

kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia

bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki

petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

اهتديتم إذا ضل من يضركم ال أنفسكم عليكم آمنوا الذين أيها يا

“Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak

akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk.”

(QS. Al-Maa’idah : 105)

Dan mendapat petunjuk hanya dengan melakukan kewajiban.”[17]

Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perintah dan larangan jika

menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu

yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang

muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu

yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan

tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari’at.”

[17] Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah.

19

Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan

sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak

boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan

mengutuknya.”[18]

Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran

dalam bernahi mungkar berikut ini:

Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.

Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.

Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.

Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.

Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan

ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram

melakukannya.[19]

Kedua: Karakteristik orang yang ber-Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar.

Sekalipun amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang

mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di

atas, akan tetapi orang yang melakukan hal itu harus memiliki kriteria berikut ini:

1. Berilmu.

2. Lemah lembut dan penyantun.

3. Sabar.

[18] I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4. [19] Lihat, ibid, dan Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255.

20

Berilmu

Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah ibadah yang sangat mulia, dan

sebagaimana yang dimaklumi bahwa suatu ibadah tidak akan diterima oleh Allah

kecuali apabila ikhlas kepada-Nya dan sebagai amal yang saleh, suatu amalan

tidak akan mungkin menjadi amal saleh kecuali apabila berlandaskan ilmu yang

benar. Karena seseorang yang beribadah tanpa ilmu maka ia lebih banyak

merusak daripada memperbaiki, karena ilmu adalah imam amalan, dan amalan

mengikutinya.

Syaikhul Islam berkata, “Jika ini merupakan definisi amal saleh (yang memenuhi

persyaratan ikhlas dan ittiba’) maka seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi

mungkar wajib menjadi seperti ini juga terhadap dirinya, dan tidak akan mungkin

amalannya menjadi amal saleh jika ia tidak berilmu dan paham, dan sebagaimana

yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, “Barang siapa yang beribadah kepada

Allah tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya lebih banyak dari apa yang

diperbaikinya,” dan dalam hadits Mu’adz Bin Jabal, “Ilmu adalah imam amalan,

dan amalan mengikutinya,” dan ini sangat jelas, karena sesungguhnya niat dan

amalan jika tidak berlandaskan ilmu maka ia adalah kebodohan, kesesatan dan

mengikuti hawa nafsu… dan inilah perbedaan antara orang-orang jahiliyah dan

orang-orang Islam.”[20]

Ilmu di sini mencakup ilmu tentang kebaikan dan kemungkaran itu sendiri, bisa

membedakan antara keduanya dan berilmu tentang keadaan yang diperintah dan

yang dilarang.

[20] Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Mungkar, hal. 19. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah.

21

Lemah Lembut dan Santun ( Ar-Rifq dan Al Hilm )

Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar hendaklah mempunyai sifat

lemah lembut dan penyantun, sebab segala sesuatu yang disertai lemah lembut

akan bertambah indah dan baik, dan sebaliknya jika kekerasan menyertai sesuatu

maka akan menjadi jelek, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

sallam,

شانه إال شيء من ينزع وال زانه، إال شيء في يكون ال الرفق إن

“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut ada pada sesuatu kecuali akan

menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan

membuatnya jelek.”

(HR. Muslim no. 2594)

يعطي ال وما العنف على يعطى ال ما الرفق على ويعطي كله، األمر في الرفق يحب رفيق للا إن: وقال

سواه ما على

“Sesungguhnya Allah Maha Penyantun, Ia menyukai sifat penyantun (lemah

lembut) dalam segala urusan, dan memberikan dalam lemah lembut apa yang

tidak diberikan dalam kekerasan dan apa yang tidak diberikan dalam selainnya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

عن والنهي بالمعروف األمر في ورفق مداراة إلى يحتاجون والناس: -للا رحمه- حنبل بن أحمد اإلمام قال

حرمة، لفاسق ليس: يقال ألنه وإعالمه، نهيه عليك وجب فقد بالفسق، معلنا رجال إال غلظة بال المنكر،

لهم حرمة ال فهؤالء

Imam Ahmad berkata, “Manusia butuh kepada mudaaraah (menyikapinya dengan

lembut) dan lemah lembut dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, tanpa kekerasan

22

kecuali seseorang yang terang-terangan melakukan dosa, maka wajib atasmu

melarang dan memberitahunya, karena dikatakan, ‘Orang fasik tidak memiliki

kehormatan’ maka mereka tidak ada kehormatannya.”[21]

Jika ini di zaman Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah,

zaman di mana ilmu dan sunnah lebih dominan dalam kehidupan manusia dan

mewarnai perilaku mereka kecuali ahlul bid’ah, tentu manusia di zaman kita

sekarang ini lebih membutuhkan lemah lembut dan santun dalam menghadapi dan

menyikapi kesalahan yang mereka lakukan, apalagi dengan berkembangnya

kebodohan di kalangan kaum muslimin dan semakin jauhnya mereka dari

bimbingan Al-Qur’an dan Sunnah kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh

Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita berdoa semoga Allah mengembalikan kaum

muslimin kepada kebenaran, amiin.

لنفسه ينتصر أن يريد فيكون يغضب ال يكره ما اسمعوه فإن والخضوع، بالرفق يأمر أن ينبغي: أيضا وقال

“Mesti ia menyeru dengan lemah lembut dan merendahkan diri, jika mereka

memperdengarkan (memperlihatkan) kepadanya apa yang dibenci jangan ia

marah, karena (kalau marah) berarti ia ingin membalas untuk dirinya sendiri.”[22]

[21] . 2/272 والحكم العلوم جامع في رجب وابن ،1/212 ”الشرعية اآلداب“ في مفلح ابن نقله [22] . 2/272 والحكم العلوم جامع في رجب وابن ،1/213 الشرعية اآلداب في مفلح ابن ذكره

23

Sabar

Hendaklah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar bersifat sabar, sebab

sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap orang yang mengajak kepada

kebenaran dan kebaikan serta mencegah dari kemungkaran pasti akan menghadapi

bermacam bentuk cobaan, jika ia tidak bersabar dalam menghadapinya maka

kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak dari kebaikannya. Sebagaimana firman

Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang wasiat Luqman terhadap anaknya,

األمور عزم من ذلك إن أصابك ما على واصبر المنكر عن وانه بالمعروف وأمر

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari

perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.

Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

(QS. Luqman : 17)

Oleh karena itu Allah ta’ala memerintahkan para rasul -di mana mereka adalah

panutan orang yang ber-Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar- untuk bersabar,

sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa

sallam- yang terdapat pada awal surat Muddatsir, surat yang pertama turun setelah

Iqra’:

فاصبر ولربك تستكثر، تمنن وال فاهجر، والرجز فطهر، وثيابك فكبر، وربك فأنذر، قم المدثر، أيها يا

“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu beri peringatan. Dan Rabbmu

agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah

berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)

memperoleh (balasan) lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu

bersabarlah.”

(QS. Al-Muddatsir : 1-7)

24

Dan sangat banyak ayat yang memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi

segala cobaan dan problem hidup secara umum, dan dalam berdakwah secara

khusus.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sabar terhadap cobaan dari manusia

dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar jika tidak dipergunakan pasti akan

menimbulkan salah satu dari dua permasalahan (kerusakan): boleh jadi ia

meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau timbulnya fitnah dan

kerusakan yang lebih besar dari kerusakan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi

mungkar, atau semisalnya, atau mendekatinya, kedua hal ini adalah maksiat dan

kerusakan,

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

األمور عزم من ذلك إن أصابك ما على واصبر المنكر عن وانه بالمعروف وأمر

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari

perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.

Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

Maka barang siapa yang menyeru tapi tidak sabar, atau sabar tetapi tidak

menyeru, atau tidak menyeru dan tidak bersabar, maka akan timbul dari ketiga

macam ini kerusakan, kebaikan itu hanya terdapat dalam menyeru (kepada

kebaikan) dan bersabar.”[23]

[23] Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/181.

25

Maka harus ada ketiga karakter di atas: ilmu, lemah lembut, sabar; ilmu sebelum

menyeru dan melarang, dan lemah lembut bersamanya, dan sabar sesudahnya,

sekalipun masing-masing dari ketiga karakter tersebut harus ada pada setiap

situasi dan kondisi, hal ini sebagaimana yang dinukilkan dari sebagian salaf:

فيما ورفيقا عنه، ينهى فيما وفقيها به، أمر فيما فقيها كان من إال المنكر عن وينهى بالمعروف يأمر ال

عنه ينهى فيما وحليما به، يأمر فيما حليما عنه، ينهى فيما ورفيقا به، يأمر

“Tidaklah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran kecuali

orang yang berilmu (memahami) apa yang ia serukan, dan memahami apa yang

dia larang, dan berlemah lembut di dalam apa yang ia serukan, dan berlemah

lembut dalam apa yang ia larang, dan santun dalam apa yang ia serukan dan

santun dalam apa yang ia larang.”[24]

Ketiga: Syarat perbuatan yang wajib diingkari[25]

Tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang wajib diingkari, kecuali perbuatan

dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan berikut ini:

1. Perbuatan tersebut benar suatu kemungkaran, kecil atau besar.

Maksudnya: Nahi mungkar tidak khusus terhadap dosa besar saja, tetapi

mencakup juga dosa kecil, dan juga tidak disyaratkan kemungkaran tersebut

berbentuk maksiat, barang siapa yang melihat anak kecil atau orang gila sedang

meminum khamr maka wajib atasnya menumpahkan khamr tersebut dan

melarangnya, begitu juga jika seseorang melihat orang gila melakukan zina

1/213 الشرعية اآلداب في مفلح وابن 28/137 الفتاوى مجموع في اإلسالم شيخ نقله . [24] [25] Lihat: Tanbiihul Ghaafiliin, Ibnu An Nahhas, hal. 25-30, Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Mungkar, Al Qodhy Abu Ya’la, hal. 158, Jami’ Ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab, 2/269-271, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 2/188-190.

26

dengan seorang perempuan gila atau binatang, maka wajib atasnya mengingkari

perbuatan tersebut sekalipun dalam keadaan sendirian, sementara perbuatan ini

tidak dinamakan maksiat bagi orang gila.

2. Kemungkaran tersebut masih ada.

Maksudnya: Kemungkaran tersebut betul ada tatkala seorang yang bernahi

mungkar melihatnya, apabila si pelaku telah selesai melakukan kemungkaran

tersebut maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasihat, bahkan dalam

keadaan seperti ini lebih baik ditutupi, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu

'alaihi wa sallam,

واآلخرة الدنيا في للا ستره مسلما ستر من

“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan

menutupi (dosa dan kesalahan)nya di dunia dan akhirat.”

(HR. Muslim)

Sebagai contoh: Seseorang yang telah selesai minum khamr kemudian mabuk,

maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara menasihati apabila ia telah sadar.

Dan ini (menutupi kesalahan dan dosa seorang muslim) tentunya sebelum hukum

dan permasalahan tersebut sampai ke tangan pemerintah atau pihak yang

berwenang, atau orang tersebut seseorang yang berwibawa dan tidak dikenal

melakukan kemungkaran dan keonaran, apabila permasalahan tersebut telah

sampai ke tangan pemerintah dengan cara yang syar’i, dan orang tersebut dikenal

melakukan kerusakan, kemungkaran dan keonaran, maka tidak boleh ditutupi dan

diberi syafaat.

27

Adapun kemungkaran yang diperkirakan akan muncul dengan tanda-tanda dan

keadaan tertentu, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasehat lewat

ceramah agama, khutbah dll.

3. Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai.

Maksudnya: Tidak boleh memata-matai suatu kemungkaran yang tidak jelas

untuk diingkari, seperti seseorang yang menutupi maksiat dan dosa di dalam

rumah dan menutup pintunya, maka tidak boleh bagi seorang pun memata-matai

untuk mengingkarinya, karena Allah ta’ala melarang kita untuk memata matai,

Allah Subhanahu wa Ta'ala befirman,

أيحب بعضا بعضكم يغتب وال تجسسوا وال إثم الظن بعض إن الظن من كثيرا اجتنبوا آمنوا الذين أيها يا

واتقوا فكرهتموه ميتا أخيه لحم يأكل أن أحدكم إن للا اب للا رحيم تو

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka

(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-

cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah

seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?

Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

(QS. Al Hujuraat : 12)

Persyaratan ini diambil dari hadits di atas, ( منكرا منكم رأى من ), Manthuq (lafadz)nya

menjelaskan bahwa pengingkaran berkaitan dengan penglihatan, Mafhumnya:

Barangsiapa yang tidak melihat maka tidak wajib mengingkari.

28

4. Kemungkaran tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan

khilafiyah.

Maksudnya: Jika permasalahan tersebut khilafiyah, yang berbeda pendapat ulama

dalam menilainya maka tidak boleh bagi yang melihat untuk mengingkarinya,

kecuali permasalahan yang khilaf di dalamnya sangat lemah yang tidak berarti

sama sekali, maka ia wajib mengingkarinya, sebab tidak semua khilaf yang bisa

diterima, kecuali khilaf yang memiliki sisi pandang yang jelas.

Sebagai contoh: Jika anda melihat seseorang memakan daging unta kemudian ia

berdiri dan langsung shalat, jangan diingkari, sebab ini adalah permasalahan

khilafiyah.

Di antara contoh permasalahan yang khilafiyah yang tidak berarti, dan sebagai

sarana untuk berbuat suatu yang diharamkan: Nikah Mut’ah (kawin kontrak) dan

ini adalah suatu cara untuk menghalalkan zina, bahkan sebagian ulama

mengatakan ini adalah perzinaan yang nyata. Dalam hal ini ulama Ahlus sunnah

sepakat tentang haramnya nikah mut’ah kecuali kaum Syi’ah (Rafidhah), dan

khilaf mereka di sini tidak ada harganya sama sekali.

Keempat: Metode dan cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa

atau pemimpin

Penguasa, pemerintah atau hakim adalah manusia biasa dan tidak ma’shum dari

dosa, bisa benar, baik dan berlaku adil dan bisa juga bersalah dan berbuat zalim

sebagaimana halnya manusia biasa, akan tetapi tidak semua orang berhak untuk

mengingkari kemungkaran yang muncul dari penguasa dan tidak pula semua cara

yang bisa digunakan dalam hal ini, oleh karena itu agama Islam -agama yang

sempurna dan universal- telah menjelaskan metode dan cara yang digunakan

29

untuk ber-nahi mungkar terhadap penguasa, jikalau metode ini tidak diindahkan

dan digunakan dalam hal ini niscaya akan menimbulkan bermacam bentuk fitnah

dan kerusakan yang sangat besar, berupa hilangnya keamanan dan kestabilan

suatu negara, kehormatan dan martabat diri, darah yang bertumpahan dan nyawa

yang melayang dll, dan sejarah perjalanan umat ini merupakan saksi nyata

terhadap apa yang saya kemukakan.

Syaikhul Islam berkata, “Hampir tidak dikenal suatu golongan pun yang khuruj

(angkat senjata dan kudeta) menghadapi penguasa kecuali kerusakan yang

disebabkan oleh perbuatan mereka lebih besar dari kemungkaran yang

dihapuskan.”[26]

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Barang siapa yang memperhatikan fitnah baik besar

atau kecil yang menimpa Islam, niscaya ia akan mengetahui bahwa penyebabnya

adalah tidak mengindahkan prinsip ini (tidak boleh kudeta dan angkat senjata

terhadap penguasa) dan tidak sabar terhadap kemungkaran yang ingin dihapuskan,

sehingga menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.”[27]

Adapun metode yang digunakan dalam mengingkari kemungkaran yang dilakukan

oleh penguasa atau pemerintah ada dua:

Pertama: Tidak boleh menggunakan kekerasan dan senjata.

أن وال باليد، بالقهر منعه ألحد ليس( : 84 ص) ”الغافلين تنبيه“ في( هت418 ت) النحاس ابن اإلمام قال

لهيبة وإذهابا للشر، وتهييجا للفتن، تحريكا ذلك في ألن أعوانا، عليه يجمع أو سالحا، عليه يشهر

مما ذلك وغير البالد، وتخريب عليه، الخروج على تجريهم إلى ذلك أدى وربما الرعية، قلوب من السلطان

يخفى ال

[26] Minhaajussunnah, 3/390. [27] I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4.

30

Imam Ibnu Nahas berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun melarang penguasa

dengan menggunakan kekerasan dan tangan serta tidak boleh angkat senjata, atau

mengumpulkan masa, karena yang demikian itu menyebabkan fitnah dan

menimbulkan kejahatan (kerusakan) serta hilangnya wibawa seorang pemimpin di

hati masyarakat, dan terkadang bisa menyebabkan keberanian mereka untuk

khuruj (kudeta) terhadapnya, dan rusak (hancur) nya suatu Negara, dan kerusakan

lain yang nyata (tidak di pungkiri).”

Apa yang dikemukakan oleh Imam Ibnu An Nahhas di atas merupakan manhaj

Ahlus Sunnah dalam mengingkari kemungkaran para penguasa, hal ini sesuai

dengan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang

wajibnya memberikan nasihat kepada para pemimpin dan larangan untuk kudeta

dan angkat senjata terhadap penguasa yang zalim, dan sesuai dengan apa yang

dikatakan dan dipraktekkan oleh para ulama salafush sholih.

ليس ولكن لحسن إنه: )قال( المنكر عن وننهى بالمعروف نأمر أال: )لحذيفة قيل: قال البختري أبي عن

(.إمامك على السالح ترفع أن السنة من

Dari Abu Al Bukhtury beliau berkata, dikatakan kepada Hudzaifah, “Tidakkah

kita beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Ini sungguh sangat

baik, tetapi bukanlah merupakan sunnah kamu mengangkat senjata (dalam

beramar ma’ruf dan nahi mungkar) terhadap imam (penguasa atau

pemerintah)mu.”[28]

فوقع فأنكره، منكرا، رأى المسكين: )بالبصرة خارجي خرج عندما -تعالى للا رحمه- البصرى الحسن قال

(منه أنكر هو فيما

في الداني عمرو وأبو ،388: رقم ،1/153 الفتن في حماد بن ونعيم( 37613) رقم ،7/508 مصنفه في شيبة أبي ابن رواه [28]

6/63 اإليمان شعب في والبيهقي. 2/407 الكامل في عدي وابن ، ،2/391 الفتن في الواردة السنن

31

Imam Hasan Al Bashri -rahimahullah- berkata, tatkala keluar salah seorang

Khawarij di Bashrah-: “Miskin (kasihan)!!, ia melihat suatu kemungkaran, lalu

mengingkarinya (dengan kekerasan), maka ia terjerumus ke dalam kemungkaran

yang lebih besar.”[29]

Kedua: Menasehati penguasa atau pemimpin dengan sembunyi.

الخلوة في السلطان مع الكالم ويختار( :)55 ص) ”الغافلين تنبيه“ في( هـ418 ت) النحاس ابن اإلمام قال

(.لهما ثالث غير من خفية ونصحه سرا كلمه لو يود بل األشهاد، رؤوس على معه الكالم على

Imam Ibnu An Nahhas berkata, “Dan ia memilih pembicaraan bersama penguasa

di tempat yang tersembunyi dari pembicaraan di hadapan orang banyak, bahkan ia

menginginkan kalau bisa berbicara dan menasihatinya dalam keadaan

tersembunyi tanpa ada orang ketiga.”

يظهر وال يناصحه أن المسائل بعض في اإلمام غلط له ظهر لمن ينبغي ولكنه: )الشوكاني اإلمام وقال

(األشهاد رؤوس على عليه الشناعة

Imam Asy Syaukani berkata, “Akan tetapi mesti bagi orang yang melihat

kesalahan imam dalam sebagian masalah agar menasihatinya, dan jangan

memperlihatkan pengingkaran kepadanya di hadapan orang banyak.”30

Apa yang dekemukakan oleh dua imam di atas sesuai dengan apa yang

disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nasihat para

salafus sholeh:

بيده ليأخذ ولكن عالنية له يبد فال بأمر لسلطان ينصح أن أراد من: )وسلم عليه للا صلى للا رسول قال

( له عليه الذي أدى قد كان وإال فذاك، منه قبل فإن به، فيخلو

[29] . 48: رقم 1/345 الشريعة في اآلجري أخرجه 4/556 الجرار السيل 30

32

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin

menasihati pemimpin dalam suatu urusan maka jangan ia perlihatkan secara

terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia memegang tangan dan membawanya

menyendiri, jika dia menerima nasihatnya itulah yang diharapkan, dan jika tidak,

ia telah menyampaikan apa yang wajib atasnya.”

(3/303 مسنده في أحمد رواه )

Dari Sa’id Bin Jamhan, bahwa ia datang kepada Abdullah Bin Abi Aufa -

radhiyallahu anhu- dalam keadaan ia tidak melihat kemudian mengucapkan salam

kepadanya, lalu beliau menjawab sambil bertanya, “Anda siapa?” Dia menjawab,

“Saya Sa’id Bin Jamhan” dan ia berkata, “Pemerintah telah berbuat zalim kepada

masyarakat, ia melakukan kedzaliman terhadap mereka,” lalu ia memegang

tanganku dan mencubitnya dengan kuat, kemudian berkata, “Celaka kamu wahai

Ibnu Jamhan, berpeganglah kamu dengan sawadul a’zham (jama’ah yang banyak)

-dia katakan dua kali-, jika pemerintah mendengar nasihatmu maka datangi ke

rumahnya dan sampaikan kepadanya apa yang kamu ketahui, jika ia menerima

nasihatmu (itu yang diharapkan), jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu belum

tentu lebih tahu daripadanya.”

أكلمه ال أني أترون: فقال فتكلمه؟ عثمان على تدخل أال: له قيل أنه -عنه للا رضي- زيد بن أسامة وعن

فتحه من أول أكون أن أحب ال أمرا أفتتح أن دون ما وبينه بيني فيما كلمته لقد وللا أسمعكم، إال

Dari Usamah Bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu- dikatakan kepada beliau, “Apakah

kamu tidak masuk (menemui) Utsman dan berbicara dengannya

(menasihatinya)?” Beliau menjawab, “Apakah kalian menyangka saya tidak

berbicara kepadanya (menasihatinya) kecuali harus saya beritahu kalian, demi

Allah sungguh saya telah berbicara dengannya secara empat mata, tanpa

33

membuka permasalahan yang saya tidak ingin menjadi orang yang paling pertama

membukanya.”[31]

باإلنكار المجاهرة يعنى: ) 333 ص ”مسلم صحيح مختصر“ على تعليقه في للا رحمه األلباني الشيخ قال

إذ جهارا عثمان على اإلنكار في اتفق كما عاقبته، يخشى ما جهارا اإلنكار في ألن المأل، في األمراء على

ـاه(قتله عنه نشأ .

Syekh Albani -rahimahullah- mengomentari hadits di atas sambil berkata,

“Maksudnya terang- terangan dalam mengingkari (kesalahan) para pemimpin di

hadapan orang banyak, karena mengingkari secara terang-terangan

(menyebabkan) apa yang ditakutkan akibatnya, sebagaimana yang terjadi dalam

pengingkaran terhadap Utsman secara terang-terangan, yang menyebabkan

terbunuhnya beliau.”

(Mukhtashar Shahih Muslim hal. 330)

Setelah dijelaskan metode Ahlus sunnah dalam mengingkari kemungkaran baik

yang muncul dari masyarakat umum atau dari penguasa atau pemimpin, ada

baiknya di akhir lembaran ini disebutkan sebagian metode yang salah yang

bertentangan dengan nash-nash syar’i dan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal

jama’ah dan manhaj salaf dalam mengingkari kemungkaran, di antaranya:

Angkat senjata, kudeta dan provokasi untuk melawan pemerintah.

Melakukan demonstrasi yang merupakan metode yang paling disukai oleh

mayoritas manusia di zaman sekarang ini, sementara ini adalah metode

yang dicetuskan oleh orang-orang Yahudi.

Dengan membeberkan kesalahan pemerintah di depan masyarakat umum,

atau lewat media massa.

Dengan menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri.

لمسلم واللفظ ،(2989: رقم) ومسلم 6685: رقم[ الباري فتح- 6/330] البخاري رواه [31]

34

Sengaja memata-matai suatu kemungkaran yang tersembunyi untuk

diingkari.

Mengingkari kemungkaran yang menyebabkan munculnya kemungkaran

yang lebih besar.

dll.

35

BAB III

KESIMPULAN

Perintah melakukan amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan) dan

mencegah kemunkaran.

Melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang dituntut

dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan

kekuatannya.

Tindakan paling baik dalam mencegah amar ma’ruf nahi munkar adalah

dilakukan oleh tangannya sendiri atau memiliki kekuasaan yang dimiliki.

Ini merupakan tingkatan iman yang terbaik.

Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan

pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.

Menolak kemunkaran dengan hati merupakan bentuk/ tingkatan iman yang

paling lemah, lebih-lebih jika hati tidak tersentuh, hal itu bukan ciri orang

yang beriman.

36

BAB IV

PENUTUP

Demikian yang bisa disampaikan dalam lembaran yang sederhana ini, mudah-

mudahan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, jika didapatkan di dalamnya

kebenaran ini semata mata taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika

didapatkan kesalahan dan kekeliruan ini semata-mata dari diri penulis sendiri,

penulis beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala serta sangat

mengharapkan nasihat dan saran dari para pembaca.

أجمعين وصحبه آله وعلى محمد نبيا على وسلم للا وصلى الصالحات، تتم بنعمته هلل الحمد

37

SUMBER

http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-1.html

http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-2.html

http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-3.html

http://muslimah.or.id/manhaj/kaidah-dalam-amar-maruf-dan-nahi-

mungkar.html

http://almanhaj.or.id/content/2708/slash/0/amar-maruf-nahi-

mungkar-menurut-hukum-islam/