majalah insan budaya edisi 2

64
Edisi 2 Tahun I Agustus 2013 Media Informasi Pengembangan SDM Kebudayaan q q Meningkatkan Kompetensi SDM PEDALANGAN

Upload: ui

Post on 03-Mar-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi 2 Tahun I Agustus 2013

Media Informasi Pengembangan SDM Kebudayaan

fqEdisi 2 Tahun I Agustus 2013qEdisi 2 Tahun I Agustus 2013qqqMeningkatkan Kompetensi

fqSDM PEDALANGAN

Majalah INSAN BUDAYA dan keluarga besar Pusbang SDM Kebudayaan,

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan

mengucapkan

Selamat Idul Fitri 1434 HMohon Maaf Lahir dan Batin

Tantangan besar berikutnya adalah membumikan pengembangan SDM Kebudayaan ini melalui jalur pendidikan, yakni di UPT-UPT Kebudayaan dan sekolah-sekolah, serta lembaga pendidikan nonformal. Kami juga berusaha menjalin kemitraan yang baik dengan satuan kerja yang membina sekolah-sekolah, dan unit-unit pelaksana teknis, seperti Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Seni dan Budaya, tentu juga unit-unit kerja kebudayaan baik di pusat maupun di daerah. Unit-unit tersebut merupakan ujung tombak peningkatan mutu pendidikan di daerah, yang bersentuhan langsung dengan SDM kebudayaan.

Kami juga senantiasa belajar dari satuan kerja lain di lingkungan BPSDMPK-PMP, seperti Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, serta Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan, khususnya dalam hal pendataan dan pemetaan kompetensi SDM, serta kegiatan peningkatan kompetensi, dll.

Mari kita selalu menjaga etos kerja, meningkatkan kualitas diri sehingga mampu menjadi bagian penting dari keberhasilan Pusbang SDM Kebudayaan dalam melaksanakan tugas dan fungsi, sekaligus andil dalam melahirkan generasi bangsa yang cerdas, unggul, berkarakter dan berbudaya.

Jakarta, Agustus 2013

Drs. Shabri Aliaman NIP. 195705051984031019

Pesan KAPUS

dd

d

d Drs. Shabri Aliaman

dDrs. Shabri Aliaman

NIP. 195705051984031019

d NIP. 195705051984031019

Penuh semangat. Itulah yang selalu kami jaga dalam mewarnai etos kerja kami sebagai satuan kerja yang belum lama berdiri. Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan, BPSDMPK-PMP Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, hingga saat ini masih cukup sederhana, baik dalam struktur organisasi, juga jumlah personal. Struktur organisasi kami hanya dipilah ke dalam dua bidang, yakni Bidang Peningkatan Kompetensi dan Bidang Sertifi kasi, yang masing-masing didukung subbidang Program dan subbidang Evaluasi, dengan didukung 27 orang personal.

Semangat yang tak boleh putus ini tak lain karena tantangan besar bagi kami, Pusbang SDM Kebudayaan, bak berada di belantara SDM kebudayaan yang sangat beragam, baik jenisnya, latar belakang pendidikan, juga jumlahnya.

PEMBINA:Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd(Kepala BPSDMPK-PMP)

Prof. Kacung Marijan, Ph.D (Direktur Jenderal Kebudayaan)

PENGARAH:Drs. Shabri Aliaman(Kepala Pusbang SDM Kebudayaan)

PEMIMPIN REDAKSI/ PENANGGUNG JAWAB:Andi Syamsu Rijal, S.S., M.Hum

SIDANG REDAKSI:Drs. Budiharja, MM., M. Sanggupri, S.Sos., M.Hum, Helena Listyaningtyas, S.H.Dra. Puspa Dewi, Dra. Dahlia Silvana AnekawatiAryanti Budhiastuti, S.H.,Saiful Anam, Dipo Handoko, Mukti Ali, Saif Al Hadi, Salam MS, Berta Sofyan, Arien T.W.

EDITORM. Sanggupri, S.Sos., M.HumDrs. Budiharja, M.M.

DESAIN VISUAL DAN TATA LETAKDipo Handoko

SEKRETARIAT:Akmal Maulana, S.Sos., Dani Ramdhani, S.Pd.Bernas Sobari, S.S. Dewilisa Finifera, M.KomLia Supardianik, S.S.Rahmat Agus Widiarso

PENERBITPusbang SDM Kebudayaan BPSDMPK-PMPKementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ALAMAT REDAKSI:Pusbang SDM Kebudayaan Gedung E Lantai 8, Kompleks Kemdikbud Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta-10270Telepon : (021) 572 5704, 572 5519Email: [email protected]

Cover: Pentas Ki Asman Budi Prayitno pada Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan di Jakarta. (Foto: Dipo Handoko)

Langkah kedua, biasanya lebih mudah daripada yang pertama. Meski begitu, kami awak redaksi Majalah INSAN BUDAYA, merasakan betapa tak mudah menyisihkan waktu, tenaga, dan pikiran di antara kesibu-kan kami untuk menyusun tulisan, dan meramunya menjadi sajian

menarik seperti yang tersaji di hadapan sidang pembaca ini. Motivasi un-tuk tetap menghadirkan informasi penting bagi pengembangan SDM ke-budayaan seolah membuncah. Apalagi, Bapak Drs. Shabri Aliaman, Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kebudayaan (Pusbang SDM Kebudayaan) tak lelah mengingatkan seluruh awak redaksi untuk tetap me-matuhi tenggat penerbitan edisi Nomor II/Agustus 2013 ini.

Rapat redaksi menjadi forum penggodokan majalah, apa saja yang akan dis-ajikan. Pada perencanaan edisi kedua ini, kami mengundang sejumlah pihak yang dirasa relevan sesuai kapasitasnya dan berhubungan dengan tema be-sar edisi ini yang sudah dtetapkan jauh-jauh hari sebelumnya, yakni jagad SDM kesenian. Di antara tamu yang diundang adalah Nungki Kusumastuti, S.Sn, M.Sos, yang sohor sebagai penari, pemain fi lm dan sinetron, juga se-bagai pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Selain itu juga dari Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud, dan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfi lman, Ditjen Kebudayaan.

Setelah melalui diskusi serius, namun juga santai, kami menetapkan tema besar SDM kesenian edisi ini adalah SDM pedalangan. Hal ini sesuai den-gan kegiatan besar yang digelar Pusbang SDM Kebudayaan, yakni Pening-katan Kompetensi Teknis Pedalangan. Sejumlah materi yang menjadi acuan bagi para dalang dan pengajar itu menjadi standar kompetensi yang mutlak harus dimiliki dalang. Kami sajikan dalam tulisan panjang pada Topik Utama.

Rubrik Khazanah menghadirkan tulisan Taman Budata Jawa Timur. Sejum-lah artikel tentang SDM kebudayaan dari sejumlah unit utama kebudayaan dan unit pelaksana teknis kebudayaan, melengkapi sajian kali ini. Bagian akhir edisi ini menyajikan berita-berita seputar kegiatan yang dilaksanakan Pusbang SDM Kebudayaan.

Kami berharap Majalah INSAN BUDAYA edisi Agustus ini dapat menambah informasi penting dan inspirasi pengembangan SDM kebudayaan. Kritik dan saran senantiasa kami terima untuk perbaikan edisi mendatang.

Selamat membaca...!

Salam RedaksiPUSBANG SDM KEBUDAYAAN

BPSDMPK-PMPKEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

3 PESAN KEPALA PUSAT

4 SALAM REDAKSI

KR0NIKA24 Rakor Penyiapan Program BPSDMPK-PMP26 Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan30 Memperkaya Kompetensi Kebudayaan

PENDIDIKAN 32 Peran Seni Budaya dalam Pendidikan

KHAZANAH36 Taman Budaya Jawa Timur Sohor dengan Nama Taman Cak Durasim

PROFIL38 PEPADI: Wadah Seni Pedalangan dan Pewayangan

SENI TEATER40 Teater Satu, Lampung Menuju Panggung Teater Dunia

SENI MUSIK 42 Daeng Serang Dakko Maestro Gendang Bugis Makassar

SENI PERTUNJUKAN 46 Wayang Golek Citra Pariwisata Budaya Jawa Barat

KOLOM 50 Wayang Beber Nasibmu Kini53 Kesenian Miangas Tetap Lestari56 Ekistensi Tari Linda di Muna

LINTAS58 Lomba Cipta Seni Anak-anak Nasional59 Festival Dalang Anak Se-Solo Raya-DIY60 Siapkan Generasi Bertalenta melalui ISBI61 Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional62 Festival Tari Kreasi Baru Anak-anak

Edisi 2 Tahun I Agustus 2013

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kebudayaan (Pusbang SDM Kebudayaan) menggelar kegiatan penting, Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan. Kegiatan ini sekaligus juga menjadi embrio

penyusunan standar kompetensi yang harus dimiliki dalang. Kami menggandeng Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), kalangan pewayangan, akademisi, dan sejumlah kalangan lainnya untuk merumuskannya. Apa saja formula standar kompetensi dalang yang sudah kami susun? Simak ulasannya!

TOPIK UTAMA 6-23Meningkatkan Kompetensi

SDM PEDALANGAN

6 Meningkatkan Kompetensi SDM Pedalangan10 Ragam Seni Pedalangan12 Kompetensi Teknis Pedalangan14 Seni Pedalangan Dari Masa ke Masa18 Etika Pengembangan Wayang22 Meneladani Pekerti Wayang

TOPIK UTAMA

6 Pusbang SDM Kebudayaan

MENINGKATKAN KOMPETENSI

SDM PEDALANGAN

TOPIK UTAMA

“Saya beruntung sekali ikut serta kegiatan ini. Terima kasih kepada bapak-ba-pak pengajar yang telah banyak memberikan tambahan ilmu,” kata Ki Asman Budi Prayitno, peserta dari Jakarta Se-latan. Asman adalah satu dari 61 peserta kegiatan

Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan, yang digelar Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kebudayaan (Pusbang SDM Kebudayaan), di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, 23-29 Juli 2013 lalu. Asman yang juga Wakil Ketua Pepadi, juga berhasil meraih lulusan terbaik ketiga di kelompok A.

Kegiatan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan digelar berkat kerja sama antara Pusbang SDM Kebudayaan dengan Persatuan Pedalangan Indnesia (Pepadi). Dalang

6 Pusbang SDM Kebudayaan

sebagai bagian dari SDM kebudayaan memainkan peranan penting dalam dunia pewayangan. “Dalam memainkan peranan tersebut seorang dalang dituntut memiliki kemampuan dalam memberikan tuntunan kepada penonton. Tuntunan itu bisa berupa nilai-nilai budaya untuk membangun karakter bangsa,” kata Drs. Shabri Aliaman, Kepala Pusbang SDM Kebudayaan, menjelaskan pentingnya ajang peningkatan kompetensi dalang digelar. Shabri Aliaman berharap melalui pelatihan dengan berbagai materi menghasilkan dalang-dalang unggul.

Tujuan kegiatan ini memang ditargetkan dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku para dalang.

7Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

f“Sehingga setelah pelatihan ini dapat menghasilkan dalang-dalang yang dapat diandalkan dan berperan sebagaii pelestari budaya serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” kata Shabri menambahkan.

DEMAM MENJADI DALANGWakil Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D, mengapresiasi kegiatan yang diadakan Pusbang SDM Kebudayaan tersebut dan berterima kasih atas kerja sama dengan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dalam mendukung upaya peningkatan kompetensi para dalang. “Jumlah peserta kegiatan ini 61 orang, saya kira terlalu kecil. Paling tidak minimal diikuti 300-an dalang dari berbagai provinsi,” kata Wamendikbud disambut tepukan meriah para hadirin.

Penambahan peserta kegiatan peningkatan kompetensi teknis pedalangan, kata Wamendikbud, diharapkan menjangkau dalang-dalang

dari generasi muda. “Kita berharap generasi muda bisa memberikan kreativitas dan inovasi pengembangan wayang. Misalnya mengkawinkan dunia pedalangan dengan dunia teknologi, digitalisasi, dan kreativitas baru lainnya. Diharapkan nantinya bisa memunculkan kondisi demam menjadi dalang,” kata Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Wayang yang diakui sebagai warisan budaya dunia, memang memiliki keragaman di berbagai daerah. Wayang di banyak daerah memiliki variasi yang unik, kreatif dan satu sama lain memiliki identitas sendiri. “Itulah mengapa negara kita sering disebut sebagai rumah dunia bagi pewayangan,” kata Wiendu.

Wamendikbud sangat mendukung program wayang masuk sekolah. Saat ini pedalangan dan pewayangan bukan

hanya ada di ISI, namun di beberapa universitas, seperti Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta sudah memasukkan mata kuliah Filsafat Wayang. “Saya berharap ke depan wayang bisa diajarkan sejak usia dini,” kata Wamendikbud menambahkan.

MENAMBAH MOTIVASISementara Dr. Abi Sujak, Sekretaris

BPSDMPK-PMP, menilai keberadaan seni pedalangan sebagai bagian dari ragam budaya dapat menjadi instrumen untuk membangun karakter peserta didik, seperti yang ditekankan Kurikulum 2013 melalui pelajaran Seni Budaya Indonesia. “Seni pedalangan dapat menjadi wahana untuk mengomunkasikan nilai-nilai falsafah hidup. Jika disampaikan di sekolah memiliki manfaat langsung

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D, didampingi (dari kiri ke kanan) Abi Sujak, Ph.D (Sekretaris BPSDMPK-PMP), Ekotjipto, SH (Ketua Umum Persatuan Pedalangan Indonesia), Drs. Shabri Aliaman (Kepala Pusbang SDM Kebudayaan), dan Dr. Ir. Bastari, MA (Kepala Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan) berpose bersama peserta Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan di Jakarta, 23-29 Juli 2013.

TOPIK UTAMA

8 Pusbang SDM Kebudayaan

terhadap tujuan pembelajaran, yakni pembinaan budi pekerti anak didik kita,” kata Abi Sujak.

Keberadaan Pusbang SDM Kebudayaan diarahkan sebagai institusi baru untuk meningkatkan kompetensi SDM kebudayaan. Menyangkut sertifi kasi SDM kebudayaan, Abi Sujak berpandangan, masih perlu pembahasan lebih mendalam. Sebab ragam profesi kebudayaan sangat luas. Latar belakang sosial budaya, perkembangannya, dan keberadaannya juga sangat luas. “Perlu usaha lebih keras lagi dalam pemetaan jenis-jenis profesi kebudayan, standar kompetensi yang tentunya bisa mengembangkan kesempatan berkreasi dan berinovasi. Pengertian sertifkasi perlu dirumuskan dengan baik, sehingga dapat menambah motivasi dan berkembangannya para budayawan,” ujarnya.

KOMPETENSI PEDALANGANKegiatan peningkatan kompetensi

pedalangan yang kali pertama diadakan Pusbang SDM Kebudayaan ini sebelumnya telah melalui persiapan matang, di antaranya, tahapan penyusunan standar kompetensi, kurikulum dan modul pelatihan melalui serangkaian pembahasan dengan pengurus Pepadi dan narasumber pewayangan.

Materi utama yang diujikan dalam kegiatan ini meliputi: 1) pengetahuan pedalangan; 2) pengetahuan lakon; 3) bahasa dan sastra pedalangan; 4) pengetahuan karawaitan; 5) manajemen seni pedalangan; dan 6) andragogik. Selain itu juga ada materi umum, yakni kebijakan pengembangan SDM

pendidikan dan kebudayaan, serta materi penunjang, yaknik praktik pedalangan serta pre-test dan post-test. (Lihat: Kompetensi Teknis Pedalangan, halaman 11-12).

Beragam pokok bahasan tersebut merupakan cerminan dari standar kompetensi yang harus dimiliki dalang. Dalam jagat pedalangan, seorang dalang berkompeten setidaknya memiliki pengetahuan tentang tokoh wayang, lakon wayang, gending wayang, tembang, sulukan wayang, gerak wayang, alat-alat pergelaran wayang, bahasa wayang, dan tata kelola pergelaran wayang.

Para pengajar beragam pokok bahasan tersebut adalah Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, S.Kar., M.Hum (ISI Yogyakarta), Sumanto, S.Kar., M.Hum (ISI Surakarta), Dr. Suyanto, S.Kar., M.Hum (ISI Surakarta), Bambang Murtiyoso, S.Kar., M.Hum. (ISI Surakarta), Cahya Heidi, S.Kar., M.Hum. (STSI Bandung), B. Subono, S.Kar., M.Hum. (ISI Surakarta), dan Joko Rianto, S.Kar., M.Hum (ISI Surakarta).

DALANG SEBAGAI GANTUNGAN HIDUPSoal sertifi kasi bagi dalang, menurut

Kasidi Hadiprayitno, memang diperlukan agar dalang yang tampil memiliki standar kualitas maupun penampilan. Dalang-dalang anggota Pepadi, kata Kasidi,

dapat dijadikan indikator bahwa dalang tersebut punya kompetensi dan layak mentas. “Dalang-dalang di Jawa Tengah, Yogyakarta mesti ditanya sudah menjadi anggota Pepadi atau belum. Kalau sudah menjadi anggota Pepadi, boleh dibilang sudah bagus kompetensinya,” katanya. Prosedur menjadi anggota Pepadi, yang menjadi fi lter pertama adalah masyarakat sendiri. Kedua, dalang tersebut memiliki jam terbang yang cukup. Misalnya, sudah sering mendalang semalam suntuk, di Yogyakarta sudah sering manggung di Sasono Hinggil, tempat paling sering menggelar pementasan wayang semalam suntuk.

Profesi dalang sebenarnya memiliki segmen masing-masing, yang membedakan antara dalang satu dengan yang lain. Tuntutan masyarakat sendiri beragam. Ada yang menghendaki pentas wayang kulit dengan kolaborasi macam-macam. Sementara Kasidi, juga kedua adiknya, yang juga menjadi ahli waris almarhum ayahanda mereka, dalang klasik Ki Timbul Hadiprayitno, tetap menekuni jalur yang selama ini dijalani Ki Timbul. “Saya dan adik-adik saya hanya mentas di tempat-tempat yang dulu biasa mementaskan almarhum bapak saya, yakni di pedesaan. Masyarakat tradisi masih mempercayai dalang tertentu untuk mementaskan wayang kulit. Misalnya dengan keyakinan panenan akan berhasil,” kata Kasidi.

▶Abi Sujak, Ph.D (Sekretaris BPSDMPK-PMP), Ekotjipto, SH (Ketua Umum Persatuan Pedalangan Indonesia), dan Drs. Shabri Aliaman (Kepala Pusbang SDM Kebudayaan) saat berbincang santai usai pembukaan kegiatan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan. ff▶f▶Abi Sujak, Ph.D (Sekretaris BPSDMPK-PMP), Ekotjipto, SH fAbi Sujak, Ph.D (Sekretaris BPSDMPK-PMP), Ekotjipto, SH (Ketua Umum Persatuan Pedalangan Indonesia), dan f(Ketua Umum Persatuan Pedalangan Indonesia), dan Drs. Shabri Aliaman (Kepala Pusbang SDM Kebudayaan) fDrs. Shabri Aliaman (Kepala Pusbang SDM Kebudayaan) saat berbincang santai usai pembukaan kegiatan fsaat berbincang santai usai pembukaan kegiatan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan. fPeningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan. f

9Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 9Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

d

Dengan menekuni jalur pakeliran klasik, Kasidi tidak memerlukan bintang tamu atau harus banyak berkolaborasi. “Pada dasarnya saya mendalang sesuai potensi saya, sehingga setiap mendalang semalam suntuk masih terasa kurang. Mestinya kekuatan dalang itu ada di situ, bukan dengan dibantu hal-hal di luar wayang,” kata Kasidi.

Di mata Kasidi, dalang sebagai profesi sudah dapat menjadi gantungan hidup. Setidaknya, ia dan adik-adiknya, dihidupi oleh nafkah bapaknya dari mendalang. Sebagian anggota Pepadi juga ada yang menjadikan dalang sebagai profesi utama. Namun sebagian besar memiliki profesi lain yang dijalani rutin, misalnya guru, petani, atau tukang becak. “Saya sendiri dari bayi sampai tua, sampai menjadi dalang banyak sedikitnya bergantung dari mendalang. Kebetulan saya juga dosen, namun wayang itu tetap nomor satu, nomor duanya mengajar. Bagi saya kepuasan mendalang itu di si hati. Meski upah tidak banyak sekalipun, dengan mendalang itu bebasan wis ngrasakke mlebu swarganing kasampurnan (ibarat merasakan memasuki kesempurnaan surga,” kata Kasidi.

Kasidi sengaja membatasi mentas paling banyak tiga-empat kali dalam sebulan. Semata agar kedua adiknya yang berprofesi sebagai dalang, tetap mendapatkan tanggapan. Bagi dalang-dalang yang belum memiliki gamelan tentu saja harus membagi nilai tanggapannya untuk membayar sewa gamelan, termasuk para pengrawit yang sekitar 20 orang plus dua orang sinden. Dalam hitungan Kasidi, jika tarif mendalang sekitar Rp 10 jutaan, dalang dapat membawa pulang Rp 3-4 jutaan, setelah dikurangi ongkos untuk gamelan, pengrawit, dan sinden yang berkisar Rp 6-7 juta.

SEPULUH TERBAIKKegiatan Peningkatan Kompetensi

Teknis Pedalangan diakhiri pemberian sertifi kat kelulusan dan penghargaan kepada sepuluh peserta terbaik. “Melalui even ini kami berharap dapat menggugah kesadaran betapa pentingnya seni pedalangan bagi masyarakat Indonesia.

Kata kuncinya adalah pewayangan dan pedalangan itu masterpiece dan intangible. Sebagai dalang harus memahami betul apa yang disajikan dari segi ilmu dan kefi lsafatannya,” kata Suyanto pengajar pengetahuan dalang yang memberikan sambutan sebelum pengumuman sepuluh peserta terbaik.

Peringkat lima terbaik dibagi dalam dua kelas. Di kelas A, peserta terbaik berturut-turut adalah Mudjiono, S.Kar (Karanganyar), Bambang Dwi Sumanto, SSn, M.Pd (Surabaya), Asman Budi Prayitno (Jakarta Selatan), Parlan Supadmo Wiyono, SE, MM (Tangerang), dan Sunarno, SS. (Klaten). Sedangkan di kelas B, peserta terbaiknya adalah: Sudarto, SE, SPd. (Lampung), Ki Puguh Prasetyo (Gresik), Surono, SSn MSi, (Sidoarjo), Sukron Suwondo (Blitar), Ki Nadiyanto (Magelang).

Sukron Suwondo, dalang dari Blitar, merasa bersyukur mendapat kesempatan mengikuti kegiatan ini. Seandainya ia tidak lulus pun, sebenarnya ia lebih berharap yang penting ia

laku mendalang. “Di Blitar sendiri, setiap peringatan Hari Jadi Blitar yang mendalang mesti Pak Anom (Ki Anom Suroto, dalang kondang Surakarta). Kami berharap di setiap pemerintah kabupaten mendukung pelestarian pementasan wayang kulit sehingga dalang-dalang lokal mendapatkan rezeki,” kata Sukron Suwondo yang mendapat penghargaan terbaik ketiga di kelas B, disambut tawa pengunjung.

DIPO HANDOKO, SALAM MS, DAN RAUHANDA RIYANTAMA

Shabri Aliaman (Kepala Pusbang SDM Kebudayaan) didampingi Budiharja (Kabid Sertifikasi) dan Sanggupri (Kabid Peningkatan Kompetensi) tengah berbicang dengan Ki Suyanto dan Ki Kasidi Hadiprayitno, keduanya dalang dan juga dosen, yang ditunjuk sebagai pengajar pada kegiatan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan.

9Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

TOPIK UTAMA

10 Pusbang SDM Kebudayaan

TOPIK UTAMA

10 Pusbang SDM Kebudayaan

Wayang BeberPertunjukan wayang beber dilakukan

oleh seorang dalang, sembari bercerita dengan menunjukkan gambar-gambar yang melukiskan kejadian-kejadian atau adegan penting dalam cerita dimaksud yang dilukis pada kertas. Pada gulungan kertas itu menunjukkan isi dari cerita yang dipentaskan. Cerita yang dibawakan bersumber pada sejarah Jawa seputar kerajaan Majapahit, khususnya tentang kisah perjalanan Jaka Kembangkuning.

Wayang kulit (Purwa)Wayang Purwa adalah pertunjukan

wayang yang pementasannya mengam-bil sumber cerita pokok dari siklus Ma-habharata, Ramayana, Lokapala, atau Arjunasasrabahu. Pemerannya atau way-angnya dapat berupa wayang kulit, way-ang golek, dan wayang orang. Kata pur-wa, menurut pendapat para ahli berasal dari kata parwa yang artinya bagian cer-ita dari kitab Mahabharata atau Ramaya-na. Dalam masyarakat Jawa para genera-si tua terutama menyamakan kata purwa dengan purba. Wayang purwa diartikan juga sebagai wayang yang menceritakan kisah-kisah pada zaman dahulu.

S eni pertunjukan wayang lazim di-sebut pakeliran atau pedalangan. “Disebut pakeliran bukan semata ka-rena pertunjukan wayang meng-gunakan sehelai kelir atau layar

(screen), tetapi lebih pada arti teatrikal yang hubungannya dengan penyajian peristiwa-peristiwa atau adegan-ade-gan dalam suatu kesatuan cerita atau lakon,” kata Dr. Suyanto, S.Kar., MHum, dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, yang juga berporfesi sebagai dalang. Di dalam dunia seni drama tradisi Jawa, seperti kêthoprak, wayang wong, ludrug dan lain-lainnya, penampilan adegan-adegan lazim disebut kelir. Misalnya kelir siji, kêlir loro, kêlir têlu, dan seterusnya. Termasuk wayang golek yang dalam sajiannya tidak menggunakan kelir juga disebut pakeliran.

Disebut seni pedalangan karena seni pertunjukan ini dikemudikan oleh seorang dalang yang mengatur jalannya cerita sepanjang sajian atau pertunjukan. Di dalam pertunjukan wayang kulit, dalang berperan sebagai sutradara, sebagai pemeran, sekaligus sebagai stage manager. Jadi dalam pertunjukan wayang kulit, dalang merupakan fi gur sentral yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pergelaran wayang. Menurut Suyanto, ditinjau dari bentuk pertunjukannya, seni pedalangan dapat dibedakan dalam beragam bentuk, di antaranya wayang beber, wayang kulit, wayang madya, dan wayang wasana.

RAGAM SENI PEDALANGAN

Wayang Madya Wujud wayang Madya ini

mempunyai ciri khas yakni: bentuk badan sampai kepala seperti wayang purwa, sedangkan bentuk sor-soran-nya mirip wayang Gedog. Wayang ini dibuat dari kulit, ditatah dan disungging seperti wayang purwa pada umumnya. Pertunjukannya menggunakan iringan gamelan laras pélog. Dengan gending-gending dan sulukan khas garap untuk wayang Madya. Ceritanya bersumber pada Serat Pustaka Raja Madya yang menuturkan lakon tokoh-tokoh keturunan Pandawa sejak Prabu Dipayana atau Parikesit hingga Prabu Jayabaya di Mamenang.

Wayang gedhogWayang Gedhog dibuat dari kulit,

ditatah dan disungging sebagaimana wayang kulit purwa. Ceritanya bersumber pada siklus cerita Panji, tokoh utamanya adalah Panji Asmarabangun atau Inu Kartapati putra Jenggala dan Dewi

▶ Wayang beber mengangkat cerita sejarah Jawa seputar kerajaan Majapahit, khususnya kisah perjalanan Jaka Kembangkuning. (Foto:wikipedia.com)

TOPIK UTAMA

10 Pusbang SDM Kebudayaan

11Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Sekartaji putri Kediri. Bentuk wayang Gedog memiliki ciri diantaranya tokoh-tokoh Panji mengenakan irah-irahan (mahkota) berupa têkês, dengan bentuk kain sor-soran rapèkan. Pertunjukannya seperti wayang madya, menggunakan iringan gamelan laras pélog.

Wayang WasanaPertunjukan wayang wasana ini

terdapat beragam wayang, di antaranya: wayang Klithik atau wayang Krucil; bonekanya dibuat dari kayu dengan tangan dari kulit, ceritanya mengambil dari serat Ménak (hikayat Amir Hamzah) atau Babat (Damarwulan). Wayang Suluh, bonekanya dibuat dari kulit dengan bentuk seperti manusia biasa, melukiskan tokoh-tokoh revolusi. Wayang Wahyu, bonekanya melukiskan para tokoh-tokoh pada zaman perjuangan Yesus, termasuk para Malaikat dan Iblis, wayang ini dipentaskan untuk dahwah

kaum Kristiani. Wayang Pancasila, yaitu wayang purwa yang diberi atribut seperti para pahlawan perjuangan kemerdekaan, pertunjukannya seperti wayang kulit, tetapi ceritanya mengambil dari sejarah perjuangan Indonesia. Wayang Perjuangan melukiskan tokoh-tokoh pejuang dan ceritanya seputar perjuangan tahun 1945. Wayang Dupara yaitu wayang yang tokoh-tokohnya melukiskan tokoh-tokoh sejarah seputar zaman Mataram Islam. Wayang Sadat ini termasuk wayang untuk dakwah agama Islam. Dan lain-lainnya termasuk wayang-wayang baru yang bersifat temporer.

Pada dasarnya di antara berbagai ragam bentuk pertunjukan wayang tersebut, meskipun dengan sumber cerita dan gaya yang berbeda-beda, tetapi jika dilihat dari aspek pergelarannya memiliki kesamaan. Semua itu adalah termasuk betuk seni pedalangan. Seni pedalangan merupakan jenis seni pertunjukan yang

melibatkan berbagai unsur kesenian lainnya. Sedikitnya terdapat tujuh unsur seni yang tergabung dalam seni pedalangan, di antaranya: seni drama, seni sastra, seni lukis, seni kriya, seni suara, seni karawitan, dan seni tari.

Melalui unsur seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap cerita atau lakon. Dari unsur seni sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang indah dan menawan.

Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata bahasa Jawa yang banyak diwarnai oleh kehadiran bahasa Kawi. Kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan, menimbulkan kesan spesifi k, edipeni dan adiluhung. Unsur seni lukis atau rupa dapat dilihat dalam bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan aksesoris yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing wujud wayang. Seorang dalang ataupun penonton akan mudah melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya. .

DIPO HANDOKOSumber: Pengetahuan Dasar Pedalangan

karya Dr. Suyanto, S.Kar., MHum ▶Wayang kulit madya, ceriteranya bersumber

pada Serat Pustaka Raja Madya yang menuturkan lakon tokoh-tokoh keturunan Pandawa sejak Prabu Dipayana atau Parikesit hingga Prabu Jayabaya di Mamenang. Sedangkan sumber cerita pada wayang gedog adalah siklus ceritera Panji, tokoh utamanya adalah Panji Asmarabangun atau Inu Kartapati putra Jenggala dan Dewi Sekartaji putri Kediri. (Foto-foto: museumwayang.com

TOPIK UTAMA

12 Pusbang SDM Kebudayaan

KOMPETENSI TEKNISPEDALANGAN

Materi pengetahuan lakon diberikan oleh Sumanto, S.Kar., MS, juga dari ISI Surakarta. Pokok bahasan yang ajarkan meliputi: konsep lakon, teknik garapan lakon, garap ginem/dialog wayang, dan garap ginem wejangan. “Konsep lakon yang bisa digarap misalnya konsep trep, mungguh, wutuh, mulih, dan kempel. Pada teknik garap lakon di antaranya menambah wawasan budaya, wawasan garap, dan tekniknya meliputi tema, gagasan pokok, garap lakon, garap adegan,” kata Budiharja menjelaskan.

Materi teknik garap ginem meliputi posisi adegan dalam lakon, latar belakang adegan, permasalahan adegan, tujuan akhir ginem, inventarisasi bahasan, serta pemaduan bahasan dengan tokoh.

Materi bahasa dan sastra pedalangan disampaikan oleh Bambang Murtiyoso, S.Kar., M.Hum, juga dari ISI Surakarta. Pokok bahasan yang wajib dimiliki para dalang meliputi: ragam dan fungsi bahasa dan sastra pedalangan; rekabahasa dalam bahasa dan sastra pedalangan; serta ragam ungkapan bahasa pedalangan. “Diharapkan dari bahasan materi ini, peserta mampu mengaplikasikan kosa bahasa pedalangan secara tepat dan ekspresif dalam karya lakonnya,” kata Sanggupri.

Sementara materi manajemen pedalangan diberikan oleh guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, S.Kar.,

K egiatan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan, yang di-gelar Pusat Pengem-banagn Sumber Daya Manusia Kebudayaan (Pusbang SDM Ke-

budayaan), di Jakarta, 23-29 Juli lalu, dilaksanakan setelah melalui sejumlah tahapan. Tahapan penting di antaranya adalah penyusunan standar kompetensi, kurikulum dan modul pelatihan.

Materi utama yang diujikan dalam kegiatan ini meliputi: 1) pengetahuan pedalangan; 2) pengetahuan lakon; 3) bahasa dan sastra pedalangan; 4) pengetahuan karawaitan; 5) manajemen seni pedalangan; dan 6) andragogik. Selain itu juga ada materi umum, yakni kebijakan pengembangan SDM pendidikan dan kebudayaan, serta materi penunjang, yaknik praktik pedalangan serta pre-test dan post-test.

Pengetahuan pedalangan yang disampaikan Dr. Suyanto, S.Kar, MHum, dosen Institus Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Pokok bahasan pengetahuan pedalangan meliputi: unsur-unsur garap pakeliran, sumber-sumber lakon wayang, serta genealogi wayang. “Setelah menyelesaikan pelajaran ini diharapkan peserta dapat menjelaskan unsur-unsur garap pakeliran, beserta sumber lakon pedalangan,” kata Sanggupri, S.Sos, M.Hum, Kepala Bidang Peningkatan Kompetensi, Pusbang SDM Kebudayaan.

Subpokok bahasan pada garap pakeliran, peserta mendapatkan tambahan ilmu mengenai garap catur, garap sabet, garap iringan pakeliran. Sumber lakon bisa digali dari kakawin dan tembang, cerita gancaran, dan gotek.

MHum. Materi yang diajarkan meliputi dasar-dasar manajemen, jenis manajemen pedalangan, serta aplikasi prinsip-prinsip manajerial dalam pertunjukan wayang.

Karawitan juga merupakan pengetahuan penting yang harus dimiliki dalang. Materi diajarkan oleh B. Subono, S.Kar, M.Hum (ISI Surakarta) untuk karawitan pakeliran Jawa dan Cahya Heidi, S.Kar., M.Hum (STSI Bandung) untuk karawitan pakeliran sunda. Pokok bahasannya meliputi gending pembuka, gending pertunjukan, dan penutup (untuk karawitan sunda), serta gending adegan, ragam playon dan gending budhalan, dan ragam tembang pakeliran (untuk karawitan pakeliran jawa). Pengajar untuk praktik pedalangan adalah Joko Rianto, S.Kar, MHum.

▶ Sanggupri, S.Sos, M.Hum, Kepala Bidang Peningkatan Kompetensi, Pusbang SDM Kebudayaan

kkKOMPETENSI TEKNISkKOMPETENSI TEKNISPEDALANGANkPEDALANGAN

13Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 13Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

standar koMPetensiMateri yang diajarkan tersebut

merupakan bagian penting dari terpenuhinya kompetensi bagi para dalang. Hingga saat ini memang belum ada standar kompetensi pedalangan. Pada persiapan kegiatan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan, telah disusun pula setidaknya draft standar kompetensi teknis pedalangan. Pembahasan melibatkan Pepadi, Sena Wangi, akademisi, widyaiswara kesenian, dan sejumlah kalangan terkait seni pedalangan, seperti dalang dan pengrawit.

“Pada draft standar kompetensi bagi pengajar pedalangan dan pewayangan harus memiliki pengetahuan pedalangan dan pewayangan, keterampilan peda-langan, serta mahir dalam pengetahuan

▶ ▶ Dr. Suyanto, S.Kar, M.Hum, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang juga berprofesi sebagai dalang. ketika menyampaikan materi pengetahuan pedalangan

Sumanto, S.Kar, M.Hum, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, memberi materi pengetahuan lakon.

pedalangan baik secara teoritis maupun praktik,” kata Sanggupri.

Sementara standar kompetensi bagi seseorang yang bertugas sebagai agen pendidikan seni pedalangan dan pewayangan memiliki pengetahuan pedalangan mencakup tokoh wayang, lakon-lakon, gending, sulukan dan gerak wayang. Standar kompetensi lain adalah penguasaan bahasa wayang, praktik pakeliran wayang, serta manajemen seni pedalangan.

Dalam penyusunan standar kompetensi pedalangan juga dibahas tingkatan dwijawara seni pedalangan, instruktur pedalangan, serta pelatih sanggar pedalangan. Kedudukan dwijawara adalah sebagai agen dalam transformasi pengetahuan wayang dan pedalangan, baik teori maupun praktik yang bertumpu pada aspek-

aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Tugas dwijawara memberikan materi pembelajaran seni pedalangan dan pewayangan guna peningkatkan dan pengkayaan kompetensi teoritis maupun praksis seniman dalang. Tingkatannya dari 1 hingga 5.

Instruktur pedalangan adalah orang yang memiliki kapasitas penguasaan dan kemampuan dalam seluk-beluk seni pedalangan dan pewayangan. Tingkatan instruktur dari 1 sampai 4. Sedangkan pada kategori pelatih sanggar pedalangan, disyaratkan memiliki kapasitas penguasaan dan kemampuan dalam seluk-beluk seni pedalangan dan pewayangan. Tingkatan pelatih sanggar pedalangan terbagi ke dalam level 1 hingga 3.

DIPO HANDOKO

13Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

TOPIK UTAMA

14 Pusbang SDM Kebudayaan

TOPIK UTAMA

14 Pusbang SDM Kebudayaan

SENI PEDALANGANDARI MASA KE MASA

Wayang kulit merupakan salah satu gen-re seni pertunjukan tradisional Jawa yang melakonkan epos Mahabarata dan Ramayana atau yang lain, dengan menggunakan boneka wayang yang terbuat dari kulit kerbau yang dita-tah ‘diukir’ serta disungging ‘diwarnai’ sesuai dengan karakter tokoh yang di-representasikan.

Pertunjukan wayang bukan sesuatu yang mandeg (establish), artinya akan selalu mengalami tawar-menawar secara terus-menerus setiap kali berhadapan dengan nilai-nilai baru. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk fi sik maupun eks¬presinya dari satu zaman ke zaman berikutnya. Perubahan yang terjadi tidak dapat dipisahkan dengan dinamika ke¬hidup¬an masya¬rakat Jawa, sebagai penyangga utama wayang.

Pertunjukan wayang, yang juga lazim disebut dengan pakeliran, tumbuh dan berkembang seirama dengan keadaan atau kondisi batin masyarakat pendukungnya. Cita-cita, cita rasa, tingkat intelektual, pandangan politik, dan wawasan masyarakat yang ber¬ubah serta disertai kemajuan teknologi dapat dipastikan turut andil mewarnai pertumbuhan dan perkembangan pakeliran.

ZaMan seBelUM keMerdekaanPada masa sebelum proklamasi kemerdekaan, para penyangga dan pemerharti

pakeliran yang mendapat dukungan pihak Keraton Kasunanan Surakarta mendirikan lembaga pengajaran dalang yang pertama, PADASUKA (Pasinaon Dalang Surakarta). Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk melakukan konservasi atau pelestarian pakeliran gaya keraton. Langkah Keraton Kasunanan Surakarta ini, pada tahun 1925, diikuti Kasultanan Yogyakarta yang mendirikan lembaga sejenis yang dinamakan Habirandha (Hambiwarakaké Rancangan Andhalang). Selanjutnya, pada awal tahun 30-an, Kadipaten Mangku Nagaran mendirikan PDMN (Pasinaon Dhalang Mangku Nagaran).

Ketiga lembaga pengajaran dalang di kalangan keraton itu masing-masing menyusun buku panduan bagi calon dalang atau dalang pemula tentang teknis pakeliran yang lazim disebut dengan pakem. Masing-masing pakem lazimnya diberikan contoh model pertunjukan wayang dalam satu lakon lengkap; misalnya untuk Padasuka menggunakan lakon Irawan Rabi, Habirandha dengan lakon Suryatmaja Maling, dan PDMN dengan lakon Wahyu Pakem Makutharama.

Perlu diketahui bahwa model pertunjukan wayang pada periode sebelumnya selalu ada benang merahnya dengan model pertunjukan wayang pada periode tertentu. Seterusnya model pertunjukan wayang pada periode tertentu mempengaruhi pada periode sesudahnya.

era aWal keMerdekanPada masa seputar proklamasi

kemerdekaan RI, penyelenggaraan pertunjukan wayang di Jawa Tengah masih dikaitkan dengan kegiatan berbagai ritual agraris (masyarakat pertanian) dan kaum bangsawan. Pada masa itu, pertunjukan wayang lebih banyak terselenggara di daerah agraris untuk berbagai kepentingan ritual masyarakat pedesaan; seperti mitoni perempuan hamil tujuh bulan, sepasaran bayi, pernikahan, dan bersih desa. Dengan demikian di masa itu pertunjukan wayang hanya dapat dilihat pada masyarakat yang benar-benar akrab dengan dunia pakeliran. Pertunjukan wayang lebih banyak diselenggarakan di desa-desa serta pusat kehidupan seni dan budaya tradisional, keraton misalnya.

Di sisi lain, merebaknya, pakeliran gaya keraton di masyarakat luas mendapat dukungan dari berbagai pihak. Model atau bentuk ekspresi pakeliran gaya keraton ini mendapat penilaian sangat tinggi. Dari sinilah kemungkinan besar munculnya anggapan bahwa pakeliran gaya keraton itu selalu memiliki nilai adiluhung, yang menjadi sangat terkenal di masyarakat pedalangan dan atau pewayangan sampai sekarang. Wacana nilai adiluhung yang sering dibicarakan di masyarakat pewayangan ini masih menggunakan tolok ukur pakem gaya keraton; meskipun sebenarnya secara lambat, tetapi pasti, selalu mengalami perubahan.

Di luar keraton, para dalang terkenal yang pernah mengikuti kursus pedalangan gaya keraton pun secara sedikit demi sedikit mulai

TOPIK UTAMA

14 Pusbang SDM Kebudayaan

15Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 15

berani mengingkari pakem. Bentuk pengingkaran itu yang lebih jelas adalah memasukkan beberapa ricikan gamelan (alat atau instrumen) yang tidak ada dalam pakem pedalangan gaya keraton, seperti: bonang barung, bonang penerus, gong ageng, demung, kendang ciblon dan ketipung, serta saron peking; bahkan gamelan gedhe.

Konon pakeliran di masa sebelum kemerdekaan, selain untuk berbagai kepentingan perhelatan, lebih dipusatkan sebagai wahana untuk mengobarkan semangat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Banyak alur lakon wayang dikembangkan serta diselipi dialog-dialog simbolik yang mengarah kepada upaya untuk merebut kekuasaan dari tokoh-tokoh tirani. Dengan demikian episode lakon-lakon Bratayuda dan Ramayana menjadi sangat populer di saat itu. Setelah kemerdekaan tercapai tetap berlanjut dengan isu atau harapan akan munculnya mitos ratu adil banyak dibicarakan dalam dialog wayang.

Pada masa sesudah kemerdekaan, secara politis, keraton memang sudah tidak memiliki otoritas lagi, tetapi wibawanya di bidang seni pedalangan masih sangat kuat. Pengaruh keraton di bidang pedalangan ini tidak terbatas

pada bekas wilayah administrasinya saja, tetapi meluas hampir di seluruh pendukung budaya wayang. Pakeliran gaya keraton yang semula dilegitimasikan dalam bentuk pakem melalui lembaga-lembaga pengajaran pedalangan yang langsung dikelola keraton berpengaruh luas terhadap kehidupan pewayangan di luar keraton juga.

Pada masa itu, di kalangan dalang,

belum mengenal tarif pentas. Artinya, berapa pun imbalan jasa yang diterima dalang dari penanggap akan diterima dengan ikhlas. Bahkan besarnya imbalan jasa sangat ditentukan oleh penanggap wayang; bergantung pada tingkat penghargaan yang diberikan penanggap terhadap tingkat kepiawian dalang. Dengan model ini, semua dalang mendapat kesempatan tampil di berbagai strata sosial.

Di luar budaya keraton, telah tumbuh subur bentuk pakeliran yang memiliki konvensi sendiri dan berkembang pada komunitas masing-masing, meskipun ada pula sejumlah dalang yang mencoba mengacu pada sebagian kecil dari pakem pedalangan keraton. Para dalang gaya kerakyatan ini telah tersebar di berbagai daerah yang jauh dari jangkuan tradisi dan atau budaya

Bung Karno didampingi Sudiro, Gubernur DKI Jakarta 1953-1960, sedang mengagumi wayang Gatokaca karya Tjermo Suwedo. Gatokaca merupakan perlambang patriot sejati yang selalu bersedia mempertaruhkan segalanya demi Tanah Air, bangsa dan rakyatnya. Bung Karno dikenal sebagai penggemar seni wayang. Dulu di Istana Negara, setiap bulan selalu diadakan pergelaran wayang kulit yang dimainkan dalang ternama asal Jakarta, Ki Gitosewoko. Kata Dalang dalam singkatan makna Jawa berarti membeberkan ilmu.

Pertunjukan wayang kulit di Jawa pada tahun 1890. (Foto: wikipedia.com)

pBung Karno didampingi Sudiro, Gubernur DKI pBung Karno didampingi Sudiro, Gubernur DKI Jakarta 1953-1960, sedang mengagumi pJakarta 1953-1960, sedang mengagumi wayang Gatokaca karya Tjermo Suwedo. pwayang Gatokaca karya Tjermo Suwedo. Gatokaca merupakan perlambang pGatokaca merupakan perlambang patriot sejati yang selalu bersedia ppatriot sejati yang selalu bersedia mempertaruhkan segalanya demi Tanah Air, pmempertaruhkan segalanya demi Tanah Air, bangsa dan rakyatnya. Bung Karno dikenal pbangsa dan rakyatnya. Bung Karno dikenal sebagai penggemar seni wayang. Dulu di psebagai penggemar seni wayang. Dulu di Istana Negara, setiap bulan selalu diadakan pIstana Negara, setiap bulan selalu diadakan pergelaran wayang kulit yang dimainkan ppergelaran wayang kulit yang dimainkan pdalang ternama asal Jakarta, Ki Gitosewoko. pdalang ternama asal Jakarta, Ki Gitosewoko.

TOPIK UTAMA

16 Pusbang SDM Kebudayaan16 Pusbang SDM Kebudayaan

beberapa tokoh pewayangan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendirikan Lembaga Pembina Seni Pedalangan Indonesia (Ganasidi) pada 12 Juli 1969.

Seiring dengan karier Surono, setelah menjabat Panglima Komando Wilayah Pertahanan II Jawa dan Madura, Ganasidi diubah namanya menjadi Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) yang disepakati dalam pertemuan para dalang se-Jawa dan Madura, di Yogyakarta pada tanggal 15 April 1971.

Masa dekade 70-anSemenjak awal Repelita I, beberapa

dalang populer seringkali dititipi pesan-pesan pembangunan oleh pejabat Orba. Para elite birokrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah, telah bersemangat berusaha memanfaatkan posisi dalang untuk menyampaikan pesan dalam berbagai kesempatan; sarasehan, seminar, kongres, pekan wayang, dan sebagainya. Sedemikian pentingnya, menurut pandangan para pejabat tinggi, posisi dan peran dalang di masyarakat, hampir setiap acara pembukaan pertemuan atau sarasehan dalang lebih dari dua menteri memberi sambutan pengarahan.

Bagi pejabat yang mengenal cara-

cara kreatif dalam menyampaikan pesan-pesan kemasyarakatan, titipan itu tidak menjadi permasalahan bagi para dalang; sebab dalang yang kreatif serta memiliki kepekaan sosial tinggi berbagai persoalan kemanusiaan dapat diungkapkan ke dalam pakeliran. Yang menjadi masalah adalah, sebagian besar pejabat yang tidak apresiasif terhadap dunia wayang dan secara kebetulan menyerahkan tugas itu kepada para dalang yang tidak kreatif menimbulkan pendangkalan terhadap bentuk ekspresi pakeliran.

Dengan kondisi seperti yang digambarkan tadi sempat meresahkan para pengamat pedalangan saat itu; dimulai semenjak awal pemerintahan ORBA (Orde Baru) menyelenggarakan pemilu (pemilihan umum) yang pertama pada tahun 1971. Pada masa itu banyak dalang lokal yang dimanfaatkan bagi kepentingan kampanye Pemilu, ada beberapa yang mampu memetik hasil, menjadi populer sesuai dengan tingkat wilayah pentasnya.

Melalui kerja sama dengan aparat pemerintah dalam berbagai hal dianggap berjasa besar dalam ”menyehatkan” kembali kehidupan para dalang dan pakeliran saat itu. Ada sejumlah dalang telah mencapai popularitas tingkat puncak berkat kerja samanya dengan para elite politik dan birokrat. Dampak

pedalangan keraton. Namun kehidupan pakeliran gaya kerakyatan yang beredar di pedesaan-pedesaan dengan bentuk ekspresi dan sifatnya yang lebih bebas, sederhana, serta lugas, semakin lama semakin tersisih. Hal ini disebabkan oleh kehadiran serta terkenalnya para dalang yang menggunakan pakem gaya keraton.

Pada era sekitar kemerdekaan sampai tahun 1960-an, pakeliran gaya kerakyatan ini tidak mendapat simpati, dihujat serta berkonotasi negatif sebagai bentuk pakeliran yang kasar, ndésa, bermutu rendah dan sebagainya.

dasaWarsa 60-anKondisi sosial budaya di masa 60-

an, termasuk dunia pedalangan, sangat diwarnai oleh persaingan antar partai-partai politik di dalam mencari pengaruh masyarakat. Kesatuan dan persatuan para dalang pun telah terpecah ke dalam tiga kelompok besar dalam pola NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis). Akibat pola masyarakat yang demikian itu, pertunjukan wayang oleh sebagian dalang, baik secara terselubung maupun terang-terangan, telah digunakan untuk propaganda partai politik masing-masing. Para dalang yang tidak mau terlihat dalam kegiatan politik terpaksa jarang mendalang, akibatnya kreativitas dalang semakin memprihatinkan.

Ditambah lagi keadaan ekonomi yang tidak kondusif bagi kehidupan pakeliran semakin memprihatinkan, bersamaan dengan banyaknya dalang yang terlibat secara langsung atau tidak pada G30S/PKI. Oleh karena itulah semenjak akhir tahun 1965 sampai pada tahun 1968 pertunjukan wayang semakin jarang terselenggara, apalagi di kota-kota. Dunia wayang seakan-akan hanya terdengar melalui radio (seminggu sekali) dan suara rekaman melalui tape recorder.

Kelesuan jagad pedalangan itu telah tertangkap oleh Jenderal Surono, saat menjabat Panglima Kodam VII Diponegoro, dan beberapa pecinta wayang. Maka, melihat kondisi yang sangat memprihatinkan itu, dengan

TOPIK UTAMA

16 Pusbang SDM Kebudayaan

17Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 17Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

dari pandangan ini setiap anjuran atau himbauan pemerintah ditangkap oleh sebagian para dalang sebagai satu perintah yang ”tidak mungkin dibantah.” Secara terpaksa para dalang harus menonjolkan pesan-pesan atau program-progam pemerintah. Bagi dalang yang bekal budaya serta kemampuan kesenimannya kurang sering menghadapi kesulitan. Akibatnya, dalam menggarap pakeliran dilakukan dengan cara-cara yang tidak kreatif, bahkan kadang-kadang sangat vulgar.

Pada tahun 1974 diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia II di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dalam pekan wayang lima tahunan ini dimanfaatkan bagi kepentingan pelestarian, pengagungan, serta pengembangan pewayangan yang sekarang lebih terkenal dengan rumusan Tri Karsa Pewayangan. Pada saat pekan wayang itu pula diselenggarakan pertemuan seluruh komponen penyangga dunia pewayangan atau pedalangan dari seluruh daerah di Indonesia.

Seiring dengan pelaksanaan Tri Karsa Pewayangan, di Surakarta sejak tahun 1976, SD Humardani bersama para mahasiswa jurusan Pedalangan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, mengadakan inovasi pedalangan yang disebut pakeliran padat. Tujuan pakeliran padat adalah untuk menggarap masalah-masalah kemanusiaan yang paling wigati dan mantab, seperti fungsi utama seni pedalangan. Dengan pakeliran padat ini diupayakan dapat merangsang kreativitas para dalang melalui penjelajahan keseluruhan garap unsur-unsur pakeliran (catur, sabet dan karawitan). Berkaitan dengan penggarapan pakeliran padat tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan atau penafsiran kembali wujud konvensi-konvensi pakeliran yang ada, yang oleh para dalang dianggap merusak pakem.

Pekeliran padat tidak harus terikat pada waton-waton (konvensi) pertunjukan wayang tradisi; yang terpenting adalah adanya kesesuaian antara wadah (estetika dan hiburan) dan isi (etika dan devosional). Untuk

mencapai keserasian antara wadah dan isi ini diperlukan penjelajahan secara optimal seluruh unsur pakeliran; meliputi: dialog, narasi, sabet, iringin, dan alur cerita. Dengan demikian diperlukan garapan unsur-unsur secara mantab dan serba padat, ”sempurna” (perfect), sehingga waktu yang diperlukan tidak terlalu kepanjangan. Hal inilah yang menyebabkan banyak pihak tidak dapat membedakan antara pakeliran padat dengan pakeliran ringkas.

Seiring dengan usaha pemasyarakatan pakeliran padat, sejak tahun 1977, telah merebak pakeliran yang menggarap lakon-lakon banjaran. Lakon banjaran ini pada intinya adalah salah satu bentuk pemadatan sejumlah episode cerita –dimulai dari kelahiran, yang dijalin dengan peristiwa-peristiwa urgen, dan berakhir pada kematian tokoh utama– dalam satu kali pertunjukan. Dengan demikian pengertian lakon banjaran ini mekananya menjadi bergeser setelah Ki Manteb Soedharsono menggelar lakon Banjaran Bima, seperti yang akan dibicarakan pada subbab setelah ini.

era dekade 1980-an Pada awal tahun 1980-an, muncul

gagasan sekelompok seniman muda Surakarta yang telah mengadakan inovasi pertunjukan wayang dengan format khusus yang disebut dengan pakeliran layar lebar, Sandosa. Sandosa ini menggunakan layar sepanjang 6 meter dan setinggi 3 meter, dengan menggunakan penataan lighting warna-warni. Dialog dan narasi wayang dengan sistem dubbing (sulih suara) dan menggunakan bahasa Indonesia. Pertunjukan Sandosa hanya dapat dinikmati dari belakang layar, sebab yang terpenting adalah efek dari bayangannya. Pemain atau peraga wayang terdiri lebih dari 10 orang, yang masing-masing hanya menggerakkan satu atau dua wayang saja.

Gagasan penampilan Sandosa saat itu adalah sebagai sarana untuk mencari kemungkinan alternatif model berbagai pengembangan kreativitas serta menggali kekuatan estetik pertunjukan wayang yang telah lama mapan. Dalam

Sandosa telah dilakukan eksplorasi berbagai ekspresi pakeliran, seperti: garapan cerita, sabet, suluk, antawavana, dan gending.

Menjelang pertengahan dasawarsa 1980-an, tepatnya tahun 1986, tampillah percaturan dunia pedalangan Ki Manteb Soedharsono (Karanganyar) dan secara perlahan mulai menyusul ketenaran Ki Anom Suroto.

Semenjak dasawarsa 1980-an, jagad pedalangan benar-benar telah mengalami zaman keemasan. Pertunjukan wayang juga merebak hampir di seluruh kawasan perkotaan, bahkan kota-kota besar; seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang. Kondisi pakeliran secara kuantitatif sangat menggembirakan ini di antaranya disebabkan semakin banyak perorangan meningkatkan taraf hidupnya. Para penggemar wayang, yang telah memiliki otoritas tinggi (karena kekayaan dan atau jabatan) sebagian besar memiliki latar budaya wayang cukup kuat, telah banyak membantu tercapainya zaman keemasan tersebut.

Pertunjukan wayang terselenggara tidak hanya untuk kepentingan atau menyemarakkan perhelatan keluarga seperti yang sudah-sudah. Yang lebih menarik adalah, pertunjukan wayang banyak terselenggara di kota-kota serta inisiatif munculnya inovasi pakeliran timbul dari orang-orang kota. Jumlah hajatan, baik yang dilaksanakan perorangan maupun kelembagaan, semakin tahun semakin meningkat, pada malam-malam Minggu atau hari besar dan sangat dimungkinkan ntuk dilengkapi dengan penyelenggaraan pakeliran. Hajat-hajat itu seperti: tasyakuran (naik jabatan, selesainya suatu proyek pembangunan), ulang tahun pribadi, dan ulang tahun lembaga. Kondisi dunia pedalangan yang sangat menggembirakan tersebut, selain telah didukung oleh situasi sosial ekonomi yang sangat baik, juga tidak kalah pentingnya adalah situasi politik dan keamanan yang benar-benar kondusif bagi penyelenggaraan pakeliran.

BAMBANG MURTIYOSO, S.Kar, M.Hum.

17Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

TOPIK UTAMA

18 Pusbang SDM Kebudayaan18 Pusbang SDM Kebudayaan

Masyarakat pewayangan Indonesia pantas berbangga saat wayang Indonesia mendapat penghargaan UNESCO sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity. Tapi rupanya kebanggaan itu pun menjadi beban cukup berat, sebab sebagian besar para pelaku wayang, terutama para dalang, seakan-akan tidak peduli atas penghargaan besar tersebut. Para dalang sebagian besar sedang ‘terbius,’ sehingga wayang hanya disikapi sebagai

barang komoditas semata. Maka, pangsa pasar menjadi pusat orientasi dalang demi meningkatkan pendapatan (fi nansial) mereka. Ironisnya, sebagian besar masyarakat bersikap sama dengan dalang. Mereka kurang memiliki apresiasi yang cukup bahwa wayang merupakan pruduk budaya unggulan.

Pertunjukan wayang dapat berumur panjang sampai berabad-abad disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu selalu: (1) konsisten pada nilai moral dan (2) adaptif terhadap perkembangan zaman. Bahkan wacana yang dikembangkan dalang dalam pakeliran sering mendahului zamannya. Melalui pakeliran sajian beberapa dalang, dapat disimak tanda-tanda zaman yang akan terjadi. Sebab, lazimnya para dalang di masa lalu senantiasa melakukan semedi, perenungan atau kontemplasi secara intens. Pakeliran lebih didarmakan bagi kemaslahatan masyarakat luas, bebrayan agung. Semboyan

DIPO

HAND

OKO

ETIKA PENGEMBANGAN

WAYANGOleh: Bambang Murtiyoso, S.Kar., M.Hum. Dosen ISI Surakarta

TOPIK UTAMA

Pusbang SDM Kebudayaan18

19Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

mereka adalah, memayu hayuning bawana dan memayu hayuning sasama. Dengan semboyan itu, para dalang di masa lalu seolah-olah tidak memikirkan imbalan atau pituas. Yang utama bagi mereka adalah mendapat kesempatan untuk menyebarluaskan pesan-pesan moral ke khalayak luas. Karena itulah maka dalang memiliki kharisma dan menduduki posisi yang sentral di masyarakat masa lalu.

Di masa lalu, akomodasi terhadap berbagai kecenderungan sosial oleh para dalang selalu dikemas dalam idiom-idiom pakeliran secara cerdas dan menarik. Masyarakat di saat itu masih sangat apresiatif terhadap jagat wayang, sehingga tidak menyulitkan para dalang. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat sekarang, terutama generasi muda, nyaris tidak memiliki latar budaya wayang sama sekali. Hal ini merepotkan para dalang dalam menggarap pakelirannya agar selalu dapat simpati khalayak luas.

Para pujangga dan cendekiawan masa lalu selalu melakukan reinterpretasi (penafsiran atau penerjemahan terus-menerus) terhadap pesan, alur cerita, dan tokoh wayang di setiap zaman masing-masing. Hasil reinterpretasi itu, bersama dengan para dalang, dituangkan ke dalam kemasan: dialog, narasi, garapan sabet, gending, suluk, dan bahasa pedalangan dengan arif, kreatif, canggih, dan cerdas. Kearifan kolektif itu terwujud ke dalam pakeliran dengan menggunakan empat frame (1) moral (etika), (2) peribadatan (devosional), (3) keindahan seni (estetika), dan (4) hiburan (entertainment). keempatnya digarap secara seimbang. Ki Nartasabda adalah salah satu dalang maestro terakhir yang mampu menggarap pakeliran dengan empat bingkai (frame) di atas secara seimbang, tidak atau menonjolkan salah satu.

MengikUti keMaUan PenontonPasca ketenaran Ki Nartasabda, empat dalang Jawa yang

masih terkenal sekarang (Ki Timbul Cremo Manggolo, Ki Sugino Siswocarito, Ki Anom Suroto, dan Ki Manteb Soedharsono) kadang-kadang kedodoran dalam menuruti kemauan khalayak penonton. Pakeliran format adiluhung tinggal kenangan masa lalu. Penggemar pakeliran adiluhung juga umumnya orang-orang separo baya ke atas, bahkan sebagian besar sudah uzur, serenta usia pakeliranannya. Adiluhung sekarang hanya sebagai wacana, omongan komunitas terbatas, sangat langka dalam realitas pertunjukan wayang.

Situasi jagat pakeliran sekarang cukup memprihatinkan, sebab sebagian besar dalang tidak sekedar melayani penonton tetapi lebih banyak “memanjakan” penonton yang tidak apresiatif itu. Pakem atau referensi para dalang sekarang pada umumnya sudah bukan lagi masalah-masalah kemanusiaan, tetapi cenderung mengarah pada bentuk hiburan, yang lucu, yang meriah, yang spektakuler, dan glamour.

Repotnya lagi adalah, pemanjaan terhadap penonton seperti itu mendapatkan legitimasi para elite birokrasi dan politik yang notabene juga kurang apresiatif terhadap budaya wayang. Oleh sebab itulah bentuk pengembangan wayang cenderung ke arah yang sangat mengkhawatirkan. Pakeliran sekarang nyaris tidak lagi memperhatikan segi moral atau etika. Ibarat wastra lungset ing sampiran, alias sudah kehilangan

rohnya.Perhatian para dalang dalam menggarap pakeliran lebih

dikarenakan didorong oleh selera penonton yang tidak apresiatif dan lebih banyak diarahkan pada bentuk-bentuk fi sikal yang bersifat menghibur, seperti guyonan yang kadang-kadang tidak mendidik, sabet akrobatik, sajian gending-gending populer yang berkepanjangan. Akibatnya, alur dramatik dan sanggit lakon sama sekali langka kita jumpai lagi dalam pakeliran sekarang. Para dalang sekarang kesulitan mengikuti jejak Ki Nartasabda. Yang diikuti hanya terbatas pada guyonannya saja, tidak pada sanggit dan dramatika wayang. Yang terpenting buat para dalang sekarang, penonton menjadi terhibur dengan berbagai alasan dan ririskonya.

Pakeliran format spektakuler —dengan gemerlapan lampu, penggandaan jumlah instrumen dan pengrawit/pesinden, penggoyangan penari/penyanyi, penghadiran bintang tamu, penjujudan wayang, pengerasan bunyi yang didukung oleh teknologi pemekaan telinga— telah menjadi sebuah pertunjukan wayang bergengsi yang dibanggakan masyarakat luas, elite politik, elite ekonomi, pemilik modal, media massa, sebagian besar birokrat, para dalang, dan pendukungnya. Lama-kelamaan penonton awam semakin kecanduan terhadap pakeliran spektakuler yang hingar bingar itu.

Seni pertunjukan yang hanya menonjolkan sisi spektakuler, yang menghibur, yang mengekspose guyonan pornograpik, yang hingar bingar, dan sejenisnya lazimnya tidak mampu bertahan lama. Seperti nasib wayang orang panggung, ludruk, ketoprak, dan Srimulat. Kondisi keempat seni pertunjukan ini sekarang sangat mengenaskan, hidup sudah tidak, mati tetapi belum. Kalau masyarakat pendukung pakeliran dan/atau pewayangan lalai dan tidak mau belajar dari pengalaman keempat genre seni pertunjukan itu, dapat diramalkan pertunjukan wayang akan segera mengalami nasib yang sama, mati.

Para dalang potensial yang masih konsisten dan kreatif dalam mengembangkan lakon, nilai moral, sanggit, dan alur dramatik lazimnya kurang digemari khalayak luas. Para dalang potensial yang kreatif seperti Ki Sukron Suwondo, Ki Enthus Susmono, dan Ki Purbo Asmoro kadang-kadang memaksa dirinya untuk larut pada selera publik yang dangkal. Mereka, terutama Ki Sukron dan Ki Enthus, terpaksa harus berani mengambil resiko untuk ‘dimaki-maki’ pengamat lantaran dinilai terlalu ‘kasar, jorok, norak, vulgar’, dan jauh menyimpang dari budaya wayang, meskipun mereka masih ‘agak setia’ menggunakan idiom, peralatan, dan kelengkapan pertunjukan wayang tradisi.

antisiPasi strategis Masa dePanMasyarakat penggemar wayang yang bernostalgia untuk

menghayati pakeliran yang bukan spektakuler jumlahnya sangat sedikit. Mereka yang jumlahnya sedikit ini menghadapi banyak kesulitan untuk dapat menyelenggarakan pakeliran sendiri seperti yang diinginkannya karena berbagai sebab, misalnya karena kurang mampu atau biaya yang tidak mencukupi. Selain itu, golongan ini rata-rata sudah berusia lanjut yang sudah tidak berdaya.

TOPIK UTAMA

20 Pusbang SDM Kebudayaan

ccAntisipasi terhadap kondisi yang sangat memprihatinkan

tersebut sudah pernah dipikirkan, didiskusikan, dirumuskan, dan dilaksanakan. Tapi semua bentuk antisipasi ternyata tidak mempan membendung arus pakeliran yang memprihatikan itu. Berbagai bentuk antisipasi itu setengah gagal atau gagal di tengah-tengah, sebab hanya dilakukan secara setengah-tengah dengan terengah-engah, tidak berkelanjutan, tidak terus-menerus, sporadis, kurang koordinasi, dan mungkin tidak bersungguh-sungguh.

Segala macam kegiatan antisipasi itu hasilnya tidak maksimal, berhenti sebelum masalahnya terobati. Upaya mulia itu mandeg setelah institusi mengalami pergantian pejabat dan/atau proyek selesai dilaporkan dan semua Surat Perintah Perjalanan Dinas atau dikenal dengan sebutan SPJ beres. Ironisnya lagi kalau bentuk antisipasi itu hanya bersifat temporer serta tidak dirancang dalam program jangka panjang yang berkesinambungan. Di sinilah mulai perlu merumuskan sebuah konsep strategis pengembangan yang koordinatif terhadap keberlangsungan jagat wayang untuk prospek yang lebih baik di masa depan.

Pengembangan pakeliran untuk masa depan sebaiknya didasarkan pada realitas yang kuat, bukan sekedar harapan-harapan semu atau nostalgia dan untuk kepuasan emosional orang-orangtua. Dengan demikian, semua bentuk pengembangan wayang harus berorientasi pada kepentingan generasi muda ke depan. Dalang “paling berbobot” Slamet Gundono dengan komunitas wayang suketnya, meskipun tidak disukai orang-orang tua, tetapi telah dapat menyedot anak-anak muda untuk menontonnya. Hal itu dapat terjadi sebab Slamet Gundono mampu menyerap aspirasi kawula muda, terutama di kota-kota. Slamet Gundono telah berani meninggalkan idiom-idiom baku budaya wayang. Tokoh-tokoh wayang, seperti Kunti dan Karna, disikapi sebagai manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya;

bukan sebagai tokoh simbolik yang memiliki tipologi yang mapan.

Berbeda dengan Slamet Gundono, Jlitheng Suparman dengan kelompoknya telah membuat wayang kamuong --yang sama sekali tidak menggunakan tokoh Mahabarata maupun Ramayana. Beberapa kali pertunjukan wayang kampung Jlitheng Suparman juga dapat menyerap kawula muda cukup banyak. Ia menggelar cerita kehidupan masyarakat keseharian dengan tema-tema yang populer di

masyarakat marginal. Baik Slamet Gundono maupun Jlitheng Suparman juga tidak memakai wayang kulit purwa sebagai bonekanya. Jlitheng Suparman telah membuat wayang baru dari bahan karton yang berpostur seperti wujud manusia biasa, mirip wayang suluh; misalnya Ketua RT, Pak Lurah, mBah Dukun, dan sebagainya.

Dengan kedua asumsi dasar ini, maka pusat perhatian dalam pe-ngembangan wayang bukan pada masalah-masalah teknis pakeliran, seperti gending, suluk, dodogan/keprakan, wanda, sabet, bahasa, antawacana, dan panduan teknik yang lain. Kalau cara ini disetujui, berarti semua panduan yang tertulis di dalam pakem pakeliran harus ikhlas untuk ditinggalkan, sebab zaman telah berubah dan penalaran masyarakat berkembang. Sebenarnya, pakeliran layar lebar Sandosa dan Wayang Ukur telah dirancang dalam dasar pemikiran seperti itu. Tetapi dengan berbagai sebab, saat ini sudah tidak ada berita kemunculannya lagi. Kemungkinan disebabkan oleh peran institusi terkait belum dan/ atau tidak maksimal.

Moral merupakan roh jiwa, atau spirit dari pakeliran, sebab yang menjadi dasar acuan atau pondasi dari seluruh garap aspek pakeliran. ‘Pakem abadi’ jagat wayang yang benar adalah moral atau etika. Apabila moral ini lemah dalam pakeliran, maka lemahlah pakeliran itu. Moral dalam wayang adalah segala hal bersinggungan dengan masalah rohani manusia yang wigati, yang pokok, atau yang utama. Rumusan moral yang wigati, yang pokok, atau yang utama itu oleh Hazim Amir digolongkan menjadi 20 butir, meliputi nilai:1. kesempurnaan sejati2. kebijaksanaan sejati,3. kesatuan sejati4. realita dan pengetahuan sejati;5. kebenaran sejati6. kesadaran dan keyakinan sejati;7. kesucian sejati

Pertunjukan wayang suket oleh dalang Slamet Gundono. Slamet Gundono mampu menyerap aspirasi kawula muda, terutama di perkotaan. Ia berani meninggalkan idiom-idiom baku budaya wayang.

21Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

8. kekasihsayangan sejati;9. keadilan sejati10. ketanggungjawaban sejati;11. keagungan sejati12. kehendak, niat, dan tekad sejati;13. kemercusuaran sejati14. keberanian, semangat, dan

pengabdian sejati;15. keabadian sejati16. kekuatan sejati;17. keteraturan makrokosmos sejati18. kekuasaan, kemandirian, dan

kemerdekaan sejati; serta19. keteraturan mikrokosmos sejati20. kebahagiaan sejati.

Moral atau etika juga sering disebut budi pekerti. Sayang, sebagian masyarakat kita, termasuk dalang, budi pekerti hanya dimaknai sebagai etiket, tata karma, unggah-ungguh, sopan santun, tata susila, dan udanagara yang mesti harus diluruskan.

Selain masalah pokok moral —yang serba sejati, yang wigati, yang pokok, atau yang utama— pengembangan wayang harus ditujukan kepada kepentingan generasi muda, sebagai konsumen, yang sekarang sudah semakin tidak akrab dengan bahasa serta musik daerahnya. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan sarana ekspresi baru yang paling tepat untuk lihatan dan dengaran kawula muda.

Hal ini tidak cukup (hanya) diserahkan sepenuhnya kepada para dalang saja, sebab banyak keterbatasan yang dimilikinya. Penyampaian nilai-nilai moral yang dilakukan oleh para dalang sekarang pada umumnya hanya terbatas pada dialog wayang (ginem) dalam wujud wejangan, sebab cara ini yang paling mudah dilakukan. Cara ini biasanya tidak menarik, membosankan, sebab hanya dipusatkan pada satu tokoh; tokoh-tokoh lain pasif atau menjadi pendengar semata. Cara wejangan ini biasanya juga terbatas pada adegan tertentu saja, misalnya seorang pandita yang dihadap oleh para cantriknya. Isi wejangan cenderung berupa wacana klise yang dapat diterapkan pada adegan mana pun dan lakon apa saja. Sekarang sudah saatnya untuk mengurangi ambisi penyampaian pesan atau wejangan yang didesak-desakkan ke dalam sebuah lakon.

Penyampaian nilai-nilai yang menarik tetapi sulit dilakukan adalah melalui dialog yang intens, perdebatan antar tokoh yang ada dalam adegan. Dengan demikian suasana adegan menjadi lebih dramatis, lebih hidup, lebih menarik dibanding dengan cara wejangan. Cara ini dilakukan oleh Ki Nartasabda hampir di setiap adegan dan semua lakon. Dengan cara demikian, peluang untuk menggarap sanggit lakon menjadi sangat terbuka, sekaligus memacu kreativitas dalang seluas-luasnya.

Cara penyampaian nilai etika yang lebih rumit lagi adalah melalui garapan alur cerita. Sebab memerlukan perenungan atau kontemplasi awal yang mendalam saat memilih tema sentral yang akan digarap. Perlu dicermati bahwa tidak semua cerita dapat disampiri berbagai semua nilai moral dalam satu episode cerita. Setiap lakon memiliki karakteristik atau tipologi masing-masing. Dengan demikian, penetapan tema harus didasarkan atas karakter atau tipologi cerita. Kecenderungan untuk menyampaikan nilai moral sebanyak-banyaknya perlu dihentikan agar tidak menyulitkan dalam proses penggarapan naskah secara rinci.

Penggarapan naskah secara detail dapat dilakukan setelah mengupas tuntas per adegan atau jejer. Kemampuan kesenimanan dalang dan komunitas mana yang akan menjadi konsumen mesti juga menjadi bahan pertimbangan juga. Apabila dalang kurang mampu dalam hal penyusunan naskah rinci, dapat dibantu oleh sebuah tim kreatif yang memiliki keahlian yang beragam, seperti di bidang sanggit, isu aktual, sastra/bahasa pewayangan, gending, humor, dan sabet. Pembentukan tim kreatif semacam ini pernah dilakukan Ki Manteb Soedharsono, yaitu pada awal meniti karier dan saat menggarap lakon khusus atau keperluan event penting. Penggarapan lakon untuk kepentingan tayangan wayang kalasinema beberapa tahun lalu juga membentuk tim kreatif. Tim kreatif semacam ini tentu tidak diperlukan lagi jika dalang sudah memiliki kemampuan setara Ki Nartasabda. .

Ki Manteb Soedharsono dikenal sebagai dalang dengan pakeliran wayang kulit klasik. Namun ia kaya inovasi dalam visualisasi. Ia sangat mahir menciptakan bahasa gerak wayang, melalui sabet yang cerdas, segar dan sensasional sehingga bayangan wayang yang tercipta dalam kelir menjadi lebih memikat pandangan mata.

TOPIK UTAMA

22 Pusbang SDM Kebudayaan

TOPIK UTAMA

22 Pusbang SDM Kebudayaan

b∎ seMinar BUdi Pekerti

Meneladani PEKERTI WAYANG

“Wayang itu simbol kehidupan manusia atau wewayangane ngaurip. Kisah manusia dari lahir hingga mati. Sangkan paraning dumadi, maksudnya dari manusia ada dan akan ke

mana,” kata Drs. Solichin, Ketua Dewan Kebijakan Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia), saat berbicara pada seminar Sosialisasi Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang, di Museum Wayang, Kompleks Kota Tua Jakarta, Ahad, 7 Juli lalu.

Kegiatan seminar tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Festival Wayang Indonesia 2013. Kegiatan besar tahunan ini diselenggarakan atas kerja sama Sena Wangi dengan Persatuan Para Dalang Indonesia (Pepadi), Museum Wayang, dan Yayasan Total Indonesia. “Digelarnya

seminar memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seminar ini penting karena membahas budi pekerti dalam rangka pembentukan karakter. Pertunjukan wayang sarat

pesan moral dan budi pekerti,” kata Solichin, salah satu penulis Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang, yang diterbitkan Sena Wangi (2011). Penulis lainnya adalah Dr. Suyanto, Aris Setiawan, Nurul Zuriah, Mikka Wildha Nurrochsyam.

Menurut Solichin, di era reformasi ini, pendidikan budi pekerti sangatlah penting agar bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa unggul dan memiliki budi pekerti terpuji. “Ada beberapa nilai yang dimiliki dan dilaksanakan oleh bangsa-bangsa maju, yaitu etika, kejujuran, integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan, hormat pada hak orang lain, cinta pekerjaan, bekerja keras, tepat waktu, dan tidak saling menyalahkan,” kata Solichin.

Dr. Suyanto, S.Kar., M.Hum, dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, yang juga dalang, memaparkan buku Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang, yang didukung penelitian. Penulisan buku itu memiliki latar belakang permasalahan kondisi budi pekerti masyarakat Indonesia dikaitkan dengan peranan pertunjukan wayang dalam pendidikan budi pekerti. Lingkup penelitian seni pertunjukan wayang termasuk penelitian budaya.

22 Pusbang SDM Kebudayaan

23Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Selain itu juga berkaitan dengan ilmu fi lsafat, yang berhubungan erat dengan fi lsafat nilai, fi lsafat moral, dan fi lsafat budaya. Pendekatan yang dipakai menggunakan model kualitatif, sedangkan proses pengumpulan data menerapkan metode deskriptif. Langkah analisisnya menggunakan metode hermeneutika.

“Budi pekerti sendiri kami maknai sebagai cerminan konsistensi dan keselarasan antara batin, watak, sifat, dan daya pikir dengan perilaku atau perbuatan manusia,” kata Suyanto. Saat ini, kata Suyanto, masyarakat mengalami krisis di berbagi dimensi, yang berdampak pada krisis moralitas. Tidak banyak lagi masyarakat yang menghargai nilai-nilai luhur peninggalan para pendahulu, baik nilai ideologi, sejarah, moral, maupun nilai-nilai kehidupan lainnya. “Generasi muda mengabaikan teladan dalam budaya bangsa karena mereka menganggap budaya bangsa sudah ketinggalan zaman,” katanya.

Upaya pendidikan dan penanaman budi pekerti kepada generasi penerus bangsa harus dilakukan secara terus menerus. Suyanto meyakini pertunjukan wayang mampu menyampaikan pendidikan budi pekerti kepada masyarakat. Pertunjukan wayang menggelarkan secara luas hakikat kehidupan manusia dan alam sekitar

serta rahasia hidup beserta kehidupan manusia. “Wayang selain sebagai tontonan juga menjadi tuntunan. Selain sebagai hiburan wayang juga sebagai penyampai pesan moral,” katanya.

Pertunjukan wayang memiliki nilai fi losofi s sebagai manifestasi pandangan hidup ajaran mengenai hakikat mendasar manusia. “Ada ajaran moral, mencakup moral pribadi, sosial, dan religius,” kata Suyanto. Nilai budi pekerti dalam pertunjukan wayang adalah adanya teladan berbasis kultural. Ajaran budi pekerti dalam wayang tertuang dalam jalinan kisah yang dipentaskan dalan selama semalam suntuk.

Menanamkan budi pekerti melalui pertunjukan wayang, kata Suyanto, merupakan bentuk pendididikan yang cerdas dan bermanfaat. “Karena dalam wayang terdapat pendidikan karakter dan sarana edukasi yang bersifat rekreatif simbolis dan dapat merangsang imajinasi anak untuk mengenali lebih jauh serta mengakrabi cerita dalam pertunjukan wayang,” katanya.

keBeranian inoVasiPembicara lainnya, Dr. Nurul Zuriah,

M.Si., dosen Universitas Muhammadiyah Malang, memaparkan makalah berjudul Membincang Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang. Menurut

Nurul Zuriah, terlepas dari pro kontra penerapan pelajaran budi pekerti di sekolah, untuk memperbaiki kondisi mental, sikap dan perilaku anak-anak yang makin runyam, diperlukan keberanian melakukan inovasi, baik berupa discovery maupun invention. “Inovasi pendidikan budi di antaranya melalui pertunjukan wayang. Di dalam wayang terdapat pendidikan karakter, sarana edukasi bersifat rekreatif simbolis, dan merangsang imajinasi anak,” kata Nurul Zuriah.

PeWarisan tradisiSementara Drs. Suparmin Sunjoyo,

Ketua Umum Sena Wangi, dalam arahannya menyatakan bahwa Sena Wangi dan Pepadi, dengan segala keterbatasan dana terus berupaya agar kegiatan festival, pergelaran wayang terus berjalan secara teratur. Hal ini dapat direalisasikan dengan penyelenggaraan Festival Dalang Bocah setiap tahun dan Festival Dalang Remaja setiap dua tahun. Mengingat partisipasi pemerintah belum begitu besar, Sena Wangi dan Pepadi, terus menggalang kerjasama dengan institusi lain, baik nasional maupun asing.

Kebiasan pewarisan tradisi lisan yang sudah sekian lama berlangsung, dan telah melahirkan sejumlah karya seni budaya pewayangan yang adiluhung dan tokoh-tokoh terkait pewayangan sampai tingkat maestro, sudah makin diperkaya lagi dengan pewarisan tradisi tertulis berupa bahan-bahan atau dokumen tertulis tentang pewayangan. Di antaranya, Drs. Solichin, Ketua Dewan Kebijakan Sena Wangi, yang juga mantan Ketua Umum Dewan Pengurus Sena Wangi dua periode, sangat produktif menulis hampir 10 buku terkait pewayangan. Buku-buku tersebut disamping diedarkan di Indonesia juga telah dikirim ke Kantor Pusat UNESCO di Paris. “Kiranya perlu juga diketahui khalayak ramai bahwa pengusulan wayang Indonesia sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO itu dapat besarnya ada di Kantor Sena Wangi dan Pepadi disamping oleh pemerintah.

DIPO HANDOKO

∎ Dr. Suyanto ketika memaparkan makalah berjudul Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang.

K R O N I K A

24 Pusbang SDM Kebudayaan

K R O N I K A

24 Pusbang SDM Kebudayaan

“Bapak Ibu yang saya hormati, selain lembaga ini masih baru, struktur kami juga sangat ramping dan sederhana. Kami hanya

memiliki dua bidang, yakni Bidang Peningkatan Kompetensi dan Bidang Sertifi kasi. Masing-masing dibantu sub bidang program dan sub bidang evaluasi. Jumlah personal kami juga sangat ramping, hanya 27 orang,” kata Drs. Shabri Aliaman, Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kebudayaan (Pusbang SDM Kebudayaan), Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP), ketika menyampaikan paparan di hadapan peserta Rapat Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Program Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Tahun 2013.

Kegiatan tahunan BPSDMPK-PMP itu berlangsung di Hotel Puncak Raya Bogor, pada tanggal 14-16 Mei lalu. Peserta yang hadir pada rakor tersebut adalah para kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS), serta para pejabat di unit kerja di lingkungan BPSDMPK-PMP. Kegiatan dibuka Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, Kepala BPSDMPK-PMP.

Pusbang SDM Kebudayaan sudah melakukan identifi kasi ragam SDM kebudayaan pada tahun 2012 lalu, yang mencatat 136 jenis SDM kebudayaan. “Jumlah ini diperkirakan masih terus berkembang mengingat kekayaan dan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia. Memang sangat banyak keragaman SDM kebudayaan yang kita miliki belum lagi jumlahnya. Jadi memasuki wilayah SDM kebudayaan seperti

masuk rimba belantara,” ujar pria asal Aceh itu.Meski bak belantara, kata Shabri, justru

menjadikan tantangan bagi jajaran Pusbang SDM Kebudayaan. “Kami sangat bersyukur dan berterima kasih pemerintah membentuk Pusbang SDM Kebudayaan, karena sejak 67 Indonesia merdeka belum pernah ada lembaga yang secara khusus menangani SDM kebudayaan. Baru saat ini dan berada dalam naungan BPSDMPK-PMP,” lanjutnya yang disambut tepuk tangan peserta. “Sebetulnya waktu masih berada di Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan sudah ada satuan kerja tetapi kita tahu bahwa di kementerian pariwisata, fokus pengembangan kebudayaan lebih banyak diarahkan sebagai pasar wisata. Dengan dikembalikannya ke dalam kementerian pendidikan, mudah-mudahan ke depannya kita bisa menyiapkan generasi bangsa yang lebih cerdas, unggul, berkarakter dan berbudaya,” Shabri menambahkan.

Tantangan selanjutnya, kata Shabri, bagaimana Pusbang SDM Kebudayaan dalam

Rakor Persiapan Pelaksanaan Program BPSDMPK-PMP

SEGERA PETAKAN KOMPETENSI SDM KEBUDAYAAN

Pusbang SDM Kebudayaan

sudah mengidenti� kasi

136 SDM kebudayaan.

Namun diperkirakan

ragam dan jumlahnya masih akan bertambah

karena kekayaan dan keragaam

budaya Indonesia

Kepala BPSDMPK-PMP Syawal Gultom didampingi (dari kiri ke kanan) Kepala Pusbang Tendik Muhammad Hatta, Sekretaris BPSDMPK-PMP Abi Sujak, Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, dan Kepala PPMP Bastari pada pembukaan Rakor Persiapan Pelaksanaan Program BPSDMPK-PMP.

K R O N I K A

24 Pusbang SDM Kebudayaan

25Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

kiprahnya mampu masuk ke dalam sistem persekolahan. Untuk itulah sangat diharapkan antara Pusbang SDM Kebudayaan dengan LPMP, P4TK, dan LPPKS terjalin kemitraan yang baik, mengingat lembaga-lembaga tersebut merupakan ujung tombak penjaminan mutu pendidikan di daerah yang senantiasa sering berhubungan dengan kalangan guru.

Di sisi lain, Shabri menegaskan, Pusbang SDM Kebudayaan juga terus belajar dari Pusbangprodik dan Pusbangtendik khususnya dalam pendataan dan pemetaan kompetensi bagi tenaga pendidik dan kependidikan. “Kami juga akan melaksanakan pemetaan kompetensi SDM kebudayaan, sehingga nantinya kami dapat merumuskan kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi dengan tepat sasaran,” katanya.

MoU BPSDMPK-PMP DENGAN TELKOMSelain Shabri Aliaman, para kepala pusat juga diberi

kesempatan memaparkan program-program yang akan dilaksanakan sepanjang tahun 2013. Kepala pusat-kepala pusat tersebut meliputi Dr. Ir. Bastari, MA (Kapus PMP), Muhammad Hatta, Ph.D (Kapusbangtendik), serta Suharno (Kepala Bidang Pengembangan Profesi PAUDNI) mewakili Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Kapusbangprodik). Beberapa kepala LPMP, P4TK, dan LPPKS juga diberi kesempatan menyampaikan paparan seputar inovasi-inovasi yang telah dan akan dilakukan. Sedangkan sebagai pembicara utama, yakni Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd. Pada rakor tersebut peserta juga melakukan diskusi kelompok dengan berabagai tema, di antaranya diskusi pembahasan draft materi pelatihan implementasi kurikulum 2013.

Rakor BPSDMPK-PMP 2013 juga ditandai penandatanganan nota kesepakatan (MoU) Telkom dan BPSDMPK-PMP. Kerjasama itu berupa penyediaan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) melalui pemanfaatan aplikasi pendidikan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pendidikan dan kebudayaan dan penjaminan mutu pendidikan.

Pada sambutannya, Telkom yang diwakili General Manager Nation Welfare Services Telkom, Afriwandi, menyatakan bahwa kerjasama ini merupakan wujud bakti Telkom Indonesia sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara di bidang TIK yang secara berkesinambungan terus

mendukung perkembangan dunia pendidikan Indonesia. “Kali ini Telkom melanjutkan dukungan melalui Program NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan EDS (Evaluasi Diri Sekolah),” kata Afriwandi.

Aplikasi yang terintegrasi dengan NUPTK dan EDS adalah Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan (SIAP) Online, yang direncanakan akan menjangkau seluruh sekolah di Indonesia. Tahun 2013, jaringan yang terhubung ke sekolah-sekolah ini direncanakan menyentuh 100.000 sekolah. “Saat ini sudah terpasang sekitar 17.000 jaringan di sekolah-sekolah. Pada pelaksanaan Uji Kompetensi guru lalu hanya menggunakan 3000 TUK (Tempat Uji Kompetensi). Artinya, kelak dengan 100.000 sambungan tidak ada lagi hambatan kita untuk memperbaiki pendidik dan tenaga kependidikan,” kata Kepala BPSDMPK-PMP Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd.

Syawal menilai dengan adanya sistem jejaring, ujian-ujian mestinya tidak menggunakan kertas, melainkan dilaksanakan secara online. BPSDMPK-PMP merancang SIAP Online yang terintegrasi dengan Penilaian Kinerja Guru (PKG) sudah dilaksanakan pada 2014 mendatang. NUPTK yang sekitar 2,7 juta bukan jumlah sedikit sehingga PKG pun harus dilaksanakan melalui sistem daring. “Mudah-mudahan tidak terjadi lagi seperti tahun kemarin. Banyak guru yang harus pulang dulu karena jaringan internetnya tidak bisa digunakan. Saya tempo hari memantau ujicoba di NTT ternyata sudah lancar,” ujarnya.

SIAP Online, kata Syawal, merupakan program besar untuk mengedukasi siswa dan guru tentang TIK. “BPSDMPK-PMP sudah mengawali pelaksanaan uji kompetensi guru secara Online, yang sampai berdarah-darah dari tahun 2012 lalu. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mengapresiasi dukungan Telkom dengan baik. Semoga ke depan bisa lebih baik memperbaiki dan bisa mempergunakan teknologi informasi sebaik mungkin,” kata Syawal.

MUKTI ALI DAN SALAM MS

Sejumlah pejabat Pusbang SDM Kebudayaan saat mengikuti Rakor Persiapan Pelaksanaan Program BPSDMPK-PMP. Tampak di antaranya, (dari kiri ke kanan) Sanggupri (Kabid Kompetensi), Budiharja (Kabid Sertifikasi) dan Andi Syamsu Rijal (Kasubbid Program, Bidang Sertifikasi).

K R O N I K A

26 Pusbang SDM Kebudayaan

K R O N I K A

26 Pusbang SDM Kebudayaan

Meski banyak me-dia massa hadir, baik di daerah m a u p u n level na-

sional, namun pemberitaan seputar seni dan budaya, khususnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) kebudayaan, masih kurang. Pemberitaan seni dan bu-daya yang sudah ada sering-kali belum mencakup ragam SDM kebudayaan. Selama ini lebih banyak mengangkat seni pertunjukan, terutama musik, musisi dan seputar gosip artis.

Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan (Pusbang SDM Kebudayaan), Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Pen-jaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP), Kemdikbud merasa perlu mengasah dan meningkatkan wawasan tentang seni budaya kepada kalangan penulis, khususnya wartawan aktif media masa. Secara khusus lagi bagi wartawan yang terbiasa bertugas meliput dan menulis seputar seni budaya. Wadah kegiatan itu telah dirancang dan dilaksanakan tahun lalu, seiring dengan keberadaan Pusbang SDM Kebudayaan yang baru terbentuk tahun 2012 lalu. Kegiatan itu bertajuk Pening-katan Kompetensi bagi Wartawan Kebudayaan. Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama antara Pusbang SDM Kebudayaan dengan pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di internal PWI, kegiatan tersebut diberi label Sekolah Jurnalistik Kebudayaan (SJK).

Kegiatan Peningkatan Kompetensi bagi Wartawan Kebudayaan dilangsungkan di Hotel Gumati, Bogor, tang-

gal 18-25 Juli. Kegiatan diikuti 60 wartawan dari media cetak dan elektronik, lokal maupun nasion-al. Peserta lainnya adalah utusan

dari unit kerja di lingkungan Kemdikbud, yakni Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Pem-binaan Kesenian dan Perfi lman, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terharap Tuhan YME dan Tradisi, Direktorat In-ternalisasi dan Diplomasi Kebu-dayaan, Sekretariat Ditjen Ke-budayaan dan PIH Kemdikbud.

Berikut daftar peserta dari media massa, Harian Waspada (Medan), Analisa (Medan), Batam Pos, Tribun (Pekanbaru), Inioke.com (Padang), Haluan (Padang), Bengkulu Ekspres, Bangka Pos, Majalah Tinta Pena Sastra (Jabar), Suara Merdeka (Jateng), Majalah

Kidung (Jatim), Harian Surya (Jatim), Bali DWE Magazine, RRI Denpasar, Lombok Pos, Kupang Pos, Victory News (Kupang), RRI Samarinda, Banjarmasin Post, Radar Sampit,Mega Pos (Kalteng), Antara (Sulut). Media Sulut, Sulteng Pos, Mercu Suar (Sulteng), Fajar (Sulsel), Surya Pos (Sulteng), Media Sultra, Jambura (Gorontalo), Posko Malut, Tabura Pos (Papua Barat), Cahaya Papua, Media Papua Manokwari, Waspada (NAD), Serambi Indonesia (NAD), Jambi Daily, Majalah Besemah (Sulsel), Majalah Kinerja (Sulsel), Lampung Pos, IKJ, Media Indonesia, Koran Jakarta, Majalah Galeri, Kedaulatan Rakyat (DIY), Jogjanews, Detik.com (Maluku), Harian Ekspresi (Maluku), dan Majalah Insan Budaya (Jakarta).

Sejumlah pejabat yang hadir pada pembukaan, di antaranya, Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, Kepala BPSDMPK-PMP, didampingi Dr. Bastari, M.A (Kepala

Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan

BERVISI PROSPEKTIF, PROFESIONAL TIDAK TEROMBANG-AMBING

Pusbang SDM Kebudayaan merasa perlu mengasah dan meningkatkan wawasan

wartawan tentang seni budaya.

Kepala BPSDMPK-PMP Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd.

26 Pusbang SDM Kebudayaan

K R O N I K A

27Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 27Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Pusbang Penjaminan Mutu Pendidikan) dan Muhammad Hatta, Ph.D (Kepala Pubangtendik), serta sang tuan rumah, Drs. Shabri Aliaman, Kepala Pusbang SDM Kebudayaan. Dari PWI tampak hadir Hendry Ch Bangun, Sekjen PWI pusat didampingi beberapa pengurus serta Yusuf Susilo Hartono selaku Direktur Sekolah Jurnalisme Kebudayaan (SKJ) PWI.

HARUS KUAT SOFT SKILL DAN HARD SKILLProf. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, merasa sangat senang

dapat hadir dan bertemu para wartawan kebudayaan. “Paling tidak ada dua hal yang bergejolak dalam pikiran saya terkait dengan acara ini. Pertama, wartawan itu jelas profesi bukan pekerjaan. Kedua, sering sekali terjadi reduksi terhadap agen kebudayaan. Kebudayaan sering ditafsirkan hanya seolah-olah seni menari, menyanyi, melukis. Padahal kebudayaan sangat luas, “ katanya.

Oleh karena itu, ketika kebudayaan dimasukkan dalam kementerian pendidikan Syawal menilai sangat tepat dan pas. “Karena pendidikan itu nanti harus menghasilkan budaya atau output-nya budaya,” ujarnya.

Wartawan disebut profesi, kata Syawal Gultom, sebagaimana ia melihat dokter sebagai profesi. Syawal mengilustrasikan sikap profesional dokter, ketika sang dokter bedah dihadapkan pada situasi genting mengoperasi pasien gagal jantung. Mendadak suster membisiki, keluarga pasien tak satu pun mau bertanggung jawab. Sang dokter tidak mungkin menghentikan operasi dan mengatakan: ya sudahlah kalau begitu biarkan saja jantungnya di luar. “Dokter tetap menyelesaikan pekerjaannya. Itu membuktikan bahwa dokter itu adalah profesi. Pertanyaannya adalah mungkinkah wartawan sebagai pofesi akan seperti itu?“ kata Syawal.

“Seperti guru juga profesi. Kalau guru sudah berdiri di depan kelas maka tidak peduli betapa pun gajinya, tidak peduli tunjangan profesi sudah keluar atau belum, secara maksimal ia akan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada siswa,” katanya.

Tuntutan sebagai profesi itu sangat berat, karena pada sisi lain setiap wartawan akan dihadapkan pada sisi fakta yang dihadapinya. Fakta yang dihadapi tidak selalu enak dan baik. Bukan hanya menyangkut sosial yang dihadapi melainkan juga materi. Wartawan pun dituntut secara proporsional dapat menghubungkan dan menggabungkan antara profesi dan pekerjaan dengan baik. Wartawan selalu dihadapkan pada idealisme dan profi t demi kelangsungan hidup pers.

“Hal-hal itulah yang selalu bergejolak dalam pikiran saya, tetapi saya ingin menggaris bawahi pelatihan ini adalah peningkatan kompetensi. Kompetensi itu dalam pandangan apapun hanya ada dua kelompok nanti, yakni soft skill dan hard skill. Soft skill itu berkaitan dengan daya juang, kejujuran, objektivitas sebagai wartawan, karena bekerja di bawah tekanan. Itu semua menentukan sukses tidaknya wartawan,” jelasnya.

Tetapi, kata Syawal, soft skill saja tidak cukup tanpa didukung keterampilan berupa hard skill, yakni keterampilan mengumpulkan berita, menguraikan peristiwa, dan memberi makna. “Frame yang terbatas dari wartawan bisa mereduksi peristiwa yang sesungguhnya dan bisa mereduksi makna dari liputan. Ini bisa menyimpang, karena tidak fokus. Maka keterampilan menjadi penting,” Syawal melanjutkan.

WARTAWAN HARUS FOKUSSyawal juga memberi contoh kasus lain. Misal

wartawan olahraga sedang meliput pertandingan sepak bola. Kemudian terjadi keributan yang berbuntut perkelahian, hingga ada penonton yang masuk lapangan menangkap salah satu pemain dan memukul keningnya hingga luka parah. Wartawan harus hati-hati, karena kalau tidak fokus pada liputan, berita yang muncul bukan lagi tentang pertandingan bola, tapi soal kerusuhan. “Artinya harus fokus, itu membutuhkan keterampilan,” tegasnya.

FOTO: PIH Kemdikbud

Pusbang Penjaminan Mutu Pendidikan) dan Muhammad Tuntutan sebagai profesi itu sangat berat, karena pada

FOTO: PIH Kemdikbud

27Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

K R O N I K A

28 Pusbang SDM Kebudayaan

Kalau berbicara keterampilan, lanjut Syawal Gultom, dengan memberi contoh tentang kebijakan digulirkannya kurikulum 2013. Dalam kurikulum baru itu ada penekanannya attitude, skills, dan knowledge. Keterampilan tidak bisa berkembang kalau tidak ada pengetahuan, tetapi keterampilan dan pengetahuan bisa juga menjadi malapetaka jika tidak dipandu oleh sikap yang memadai. Oleh karena itu, pembangunan antara soft skills dan hard skills yang paling sulit dibangun adalah soft skillsnya, atau sikapnya. Wartawan harus bisa membangun sikap yang jujur, berdaya juang tinggi, disiplin, kerja keras, tanggung jawabnya besar, mengerti akan tanggung jawab sosial, politik, ekonomi, kebudayaan.Jika semua itu tidak ditanamkan dengan baik dalam diri wartawan, sangat mungkin wartawan akan mudah terombang-ambing. “Teman-teman wartawan kebudayaan ini juga bisa meliput pendidikan, karena budaya ini berakar pada pendidikan. Sebab bicara soal budaya, kita bicara kondisi saat ini, pasti akan berkaca pada kondisi masa lalu yang tentu untuk membangun kondisi masa depan yang lebih baik. Ya itulah bicara soal budaya,” katanya.

MENGUJI MENTALDalam laporannya, Shabri Aliaman menyampaikan bahwa

tujuan diselenggarakan kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan kompetensi dasar para wartawan kebudayaan. “Kompetensi dasar itu mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sehingga teman-teman wartawan nantinya dapat menyampaikan karya jurnalistiknya dengan tepat dan lebih baik. Tidak kalah pentingnya, teman-teman wartawan mulai sekarang dapat mengenal apa itu Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan. Ini adalah lembaga di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru dua tahun dibentuk. Juga kami harapkan nantinya teman-teman wartawan ini bisa memahami dan memiliki kecintaan serta kesadaran yang tinggi tentang pentingnya kebudayaan,” kata Shabri Aliaman.

Selama kegiatan, lanjut Shabri Aliaman, peserta menerima berbagai materi terkait kebudayaan, jurnalistik dan fotografi. Peserta juga dikuatkan wawasannya dengan kegiatan-kegiatan observasi langsung ke tempat-tempat budaya. Untuk itu, Kapusbang SDM Kebudayaan berpesan agar semua peserta dapat mengikuti seluruh mata kegiatan secara penuh.

Dari pihak PWI, sambutan disampaikan Hendry Ch Bangun, Sekjen PWI. Ia menyampaikan, bahwa kegiatan SJK dilangsungkan secara berjenjang, mulai dari tingkat dasar, madya dan utama. Jenjang utama adalah jenjang spesialisasi di mana para wartawan kebudayaan sudah memiliki kompetensi tinggi, mereka dapat menjadi mitra yang baik bagi pemerintah maupun lembaga-lembaga lain non pemerintah.

Hendry menjelaskan, bahwa pada kegiatan tersebut para peserta akan diuji mental dan wawasannya. Pada setiap mata kegiatan baik yang bersifat teori maupun observasi, sebelum dan sesudah materi berlangsung selalu disertai tes tertulis. Ini untuk mengetahui sejauh mana wawasan peserta sebelum dan sesudah materi diberikan. Untuk itu, peserta diharapkan dapat

mencerna dengan baik dan mengikuti kegiatan secara penuh, karena di akhir kegiatan ada penentuan lulus atau tidak. Sekjen PWI pusat itu sangat berharap, setelah mengikuti SJK para peserta dapat mengikuti uji kompetensi wartawan untuk dapat dinobatkan sebagai wartawan bersertifikat.

Hendry sangat yakin kegiatan peningkatan kompetensi kebudayaan bagi wartawan sangat membantu. Tidak hanya membantu kemahiran dalam menulis tentang kebudayaan, tetapi juga menumbuhkan kecintaan pada kebudayaan. “Saya sendiri dulu waktu masih memiliki pengetahuan minim tentang seni budaya, ketika di Kompas disuruh meliput pameran lukisan saya bingung mau menulis apa. Makanya, dengan adanya sekolah wartawan kebudayaan ini maka teman-teman akan mendapat penguatan wawasan dan pengalaman, kalau meliput pameran lukisan seperti saya sudah tahu apa yang harus diperhatikan, apa yang harus kita tulis,” lanjutnya.

Wartawan kebudayaan ketika meliput pertunjukan tradisional, kata Hendry, harus lebih tahu apa yang harus digali dan ditulis. Begitu juga ketika ditugasi menulis kritik sastra bagaimana, dan menulis sebuah situs budaya bagaimana. Kondisi global yang menjadikan arus budaya luar begitu mudah masuk ke Indonesia menjadi tantangan bagi para wartawan untuk dapat memilih dan memilah informasi dengan

29Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

tepat. Wartawan kebudayaan menjadi salah satu pihak yang harus mampu menjaga jati diri bangsa. “Kita harus menjadi wartawan yang memiliki visi prospektif, sehingga tidak lagi menulis dalam ruang hampa yang mudah terombang ambing,” tegasnya.

PWI sangat berterima kasih kepada Kemdikbud khususnya Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan. Melalui kegiatan peningkatan kompetensi bagi wartawan kebudayaan kedua belah pihak sama-sama dapat menyalurkan kepentingan-kepentingannya. PWI berkepentingan agar anggotanya memiliki kompetensi handal bidang kebudayaan, dan Kemdikbud dapat menyosialisasikan kebijakan dan program.

DIDUKUNG PEMATERI HANDAL Rangkaian kegiatan Peningkatan Kompetensi bagi

Wartawan Kebudayaan memang cukup menarik. Dapat dilihat dari materi serta para penyaji yang cukup handal. Materi-materi tersebut meliputi: Sejarah Kebudayaan/ Problematika Kebudayaan disajikan oleh Prof. Edi Sedyawati (FIB-UI), Pengantar Filsafat Seni oleh Prof. Muji Sutrisno (STF-Drijarkara), Permuseuman, Cagar Budaya dan UU CB oleh (Drs. Junus Satrio Atmodjo), Dasar-dasar Kritik Sastra dan Tradisi Lisan oleh Prof. Wahyu Wibowo (Guru Besar Univ. Nasional), Dasar-dasar Kritik Seni Rupa oleh Drs.Asmudjo Jono Irianto (FSRD ITB), Dasar-dasar Kritik Seni Pertunjukan oleh Dr. Sal

Mugiyanto, dan Dasar- dasar Kritik Film dan Televisi oleh Willy Hangguman (PWI).

Selain itu, diberikan pula materi Teknik Penulisan Feature oleh Bre Redana (Harian Kompas), Dasar-Dasar Fotografi oleh Arbain Rambey (Harian Kompas), Bahasa Jurnalistik oleh TD Asmadi (Lembaga Pers Dr. Sutomo), dan Kode Etik Jurnalistik oleh Hendry Ch Bangun (PWI Pusat). Materi praktik yang diberikan adalah praktik penulisan feature, penulisan kritik, dan praktik peliputan di lapangan. Sedangkan kegiatan praktik

lapangan meliputi kunjungan ke Istana Bogor dan kunjungan ke desa budaya di Desa Sindang Barang, Bogor.

KEGIATAN YANG MERINDUKANSelama mengikuti kegiatan semua peserta tampak begitu

senang dengan semua materi. Karantina selama sepekan juga menjadikan mereka lebih akrab, hingga saat ini komunikasi masih terus terjalin melalui jejaring sosial facebook, email maupun grup di blackberry messenger. Kesenangan mereka kian memuncak lantaran seluruh peserta dinyatakan lulus. Pada saat penutupan diumumkan pula 10 peserta terbaik. Berikut berturut-turut daftar 10 peserta terbaik. Asti Supriati (RRI Samarinda, Kaltim), Denison Wicaksono (Dit. Internalisasi dan Diplomasi Kebudayaan), Rosyid Al Azhar (Jambura On, Gorontalo), Yosy (Radar Sampit, Kalteng), M Ikhsan Mustakim (Majalah Besemah Sumbar), Eka Nugraha (Fajar, Sulsel), Bagus Ary Wicaksono (Malang Post, Jatim), Rahmadhani (Haluan Padang), Dian Trihayati (Dit Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman), Nethy Dharma Somba (The Jakarta Post Biro Jayapura).

“Senang, bangga dan tidak menyangka menjadi yang terbaik. Kegiatan ini akan sangat membuat kami rindu. rindu pada sesama peserta, pada panitia, juga rindu menemukan wadah peningkatan kompetensi dengan materi dan pemateri yang semuanya hebat,” ujar Asti Supriati wartawan RRI Samarinda yang menjadi peserta terbaik pertama.

Hal senada juga disampaikan Agus Ary Wicaksono, peserta terbaik ketujuh dari Malang Post. “Saya baru kali ini mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi bagi wartawan kebudayaan. Otak dan pikiran saya serasa dibuka dan diisi materi-materi yang semuanya ok. Apalagi pematerinya handal semua. Terimakasih dan sukses untuk Pusbang SDM Kebudayaan dan PWI,” katanya.

MUKTI ALI, RAUHANDA RIYANTAMA, SAIF AL HADI

Direktur Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman bertukar cindera mata dengan PWI Pusat yang diwakili Sekjen PWI Hendry Ch. Bangun dan Yusuf Susilo Hartono, Direktur Sekolah Jurnalisme Kebudayaan PWI (foto kiri atas).

Praktik wawancara, di antaranya kepada tokoh Desa Sindang Barang, Bogor (foto kiri bawah).

Para peserta dan panitia Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan berpose di teras Istana Bogor, pada sesi praktik lapangan. (foto kanan atas)

K R O N I K A

30 Pusbang SDM Kebudayaan

K R O N I K A

30 Pusbang SDM Kebudayaan

Guru seni budaya Indone-sia pada Kurikulum 2013 dituntut berperan besar dalam pembentukan si-kap siswa. Pembentukan

sikap, merupakan satu di antara arah Kurikulum 2013, yakni membentuk siswa yang memiliki pengetahuan, keterampi-lan, dan sikap. Artinya, guru seni budaya Indonesia, harus benar-benar mampu memperkaya konten seni budaya In-donesia sehingga mampu menjadikan siswa memiliki kearifan lokal kebuday-aan bangsa Indonesia yang luhur.

“Mata pelajaran seni budaya bukan semata pelajaran seni musik, seni rupa dan seni teater, seperti yang dikehendaki Kurikulum 2013. Namun materi pelajaran seni budaya bisa disentuhkan dengan kearifan lokal, budaya bangsa, dikaitkan dengan nilai-nilai kepurbakalaan, cagar budaya, atau adat istiadat. Artinya guru tidak miskin materi seni budaya,” kata Drs. Shabri Aliaman, Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kebudayaan, saat menjelaskan pentingnya kegiatan Peningkatan Kompetensi Kebudayaan bagi Guru Seni Budaya.

Hingga Agustus lalu, kegiatan baru pada tahap rapat persiapan. Rapat dihadiri kalangan akademisi, pejabat direktorat teknis, dan sejumlah pejabat di lingkungan Pusbang SDM Kebudayaan dan BPSDMPK-PMP. Sejumlah narasumber penting yang hadir di antaranya, Prof. Dr. S. Hamid Hasan, Prof. Dr. Yus Rusyana (keduanya guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung), Dr. Dinny Devi Trisna (Universitas Negeri

Jakarta), Dr. Abi Sujak, M.Sc (Sekretaris BPSDMPK-PMP), Drs. Madio Sudarmo, M.M. (Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfi lman), Drs. Sardi, M.Pd (P4TK Seni Budaya Yogyakarta), dan Suharno Sajim, S.E., M.Si (Pusbang Prodik).

Dari Pusbang SDM Kebudayaan sendiri hadir semua pejabat penting, yakni Drs. Budiharja, MM (Kabid Sertifi kasi), Sangguupri, M.Hum (Kabid Peningkatan Kompetensi, juga para kepala subbidang dan staf.

MEMPERKAYA MATERI KEBUDAYAAN

Sasaran kegiatan ditetapkan sebanyak 315 guru seni budaya yang mewakili SMP di seluruh provinsi di Indonesia. total jumlah guru seni budaya sendiri lebih dari 18.000 guru. Namun, sebagian besar guru seni budaya tersebut tidak memiliki latar belakang ilmu pendidikan seni dan budaya.

Penentuan peserta kegiatan berdasarkan masukan dari P4TK Seni Budaya Yogyakarta, yang sudah berpengalaman dalam melakukan pelatihan guru-guru seni budaya. P4TK

Peningkatan Kompetensi Kebudayaan bagi Guru Seni Budaya

MEMPERKAYA KOMPETENSIKEBUDAYAAN

Materi pelajaran seni budaya bisa disentuhkan

dengan kearifan lokal

budaya bangsa, dikaitkan

dengan nilai-nilai

kepurbakalaan, cagar budaya,

atau adat istiadat.

Rapat persiapan kegiatan Peningkatan Kompetensi Kebudayaan bagi Guru Seni Budaya, di Pusbang SDM Kebudayaan, 28 Agustus lalu.

31Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 31Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

akan mengidentifi kasi, mengklarifi kasi, dan menetapkan calon peserta. Calon peserta terpilih setidaknya memiliki kompetensi seni yang dikuasai dan memiliki kualifi kasi pendidikan S-1 Seni.

Pelatihan yang dirancang lima hari ini ditetapkan dalam dua cluster, dengan tempat pelaksanaan di empat kota, yakni Medan dan Mataram (cluster I) serta Yogyakarta dan Makassar (cluster II). “Penggunaan sistem cluster dengan pertimbangan keterjangkauan, efi siensi, serta lebih mendekatkan guru-guru dengan kebudayaan daerah masing-masing. Misalnya, guru-guru di Sumatera tentunya lebih diarahkan untuk memperkaya, mengidentifi kasi tradisi, nilai budaya, adat istiadat, dan apresiasi kesenian di Pulau Sumatera,” kata Shabri menjelaskan.

Materi pengayaan pengetahuan kebudayaan sebenarnya sangat luas cakupannya. “Kompetensi kebudayaan mencakup banyak aspek, di antaranya, aspek kepurbakalaan, permuseuman, sejarah, kebahasaan, nilai tradisi, perfi liman, termasuk di dalamnya ada kesenian,” kata Shabri.

Rapat persiapan juga merekomendasikan materi modul pelatihan disusun oleh Tim Pengembang Kurikulum (TPK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, P4TK Seni Budaya, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Pusbang Prodik dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). Penyunting modul ditetapkan Prof. Hamid Hasan dan Prof. Yus Rusyana. Sedangkan calon pelatih adalah guru inti yang sudah menerima pelatihan, dan memiliki latar belakang seni budaya. Selain itu juga Tim Penulis yang ditetapkan P4TK Seni Budaya Yogyakarta dan Pusbang Prodik.

PENGUATAN NARASUMBER DAN INSTRUKTUR NASIONAL

Abi Sujak menekankan pentingnya penguatan narasumber nasional bidang seni budaya. Nara sumber nasional ini harus mampu memperbanyak instruktur nasional seni budaya, sehingga mampu memberi pendampingan pada guru-guru seni budaya. “Selain itu, di masing-masing provinsi paling tidak ada 10 tim untuk mewadahi masalah guru seni budaya. Perlu pula membentuk forum atau perkumpulan guru-guru seni budaya di daerah,” kata Abi Sujak.

Kegiatan peningkatan kompetensi ebudayaan bagi guru seni budaya , kata Abi, diharapkan akan melahirkan calon instruktur nasional bidang seni budaya. “Mereka yang lulus pelatihan ini juga harus dikembangkan menjadi narasumber di masing-masing daerah,” kata Abi.

BERAKAR PADA BUDAYA

Prof. Hamid Hasan dalam paparannya menjelaskan bahwa pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Pendidikan juga merupakan proses pewarisan dan pengembang budaya. “Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan yang mencerminkan

karakter bangsa masa kini dan masa yang akan datang,” kata Guru Besar Ilmu Sejarah UPI Bandung ini. Sehingga peserta didik harus dipandang sebagai pewaris budaya bangsa yang kreatif.

Cara mengenal dan memahami seni budaya, kata Prof. Hamid Hasan, adalah dengan mengenali budaya lokal. Artinya, pengetahuan tentang budaya lokal sangat penting dimiliki guru seni budaya. “Perilaku budaya tidak bisa dibentuk dalam waktu yang singkat. Pembentukan suasana sekolah hendaknya bisa mendukung proses pembelajaran. Modul pembelajaran tidak saja wajib dibaca akan tetap memerintahkan siswa untuk melaksanakan praktik nyata,” kata Prof. Hamid.

Prof. Yus Rusyana mencermati bahwa dalam pelatihan kelak, perlu penggalian materi di setiap wilayah. Pelatihan tersebut tak ubahnya penelitian kegiatan budaya di suatu tempat. Dalam pelatihan diharapkan juga memberikan keterampilan budaya bagi guru. Misalnya mampu membuat makanan khas daerah. “Harapannya guru memiliki keterampilan budaya dan sikap budaya,” kata Yus Rusyana.

Sementara Sardi menekankan pentingnya guru seni budaya memahami lingkup seni budaya, baik yang berwujud dan tidak berwujud. “Saat ini kompetensi sebagian besar guru seni budaya kurang memadai karena tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Ke depan pengadaan khusus guru seni budaya sangat diharapkan,” kata Sardi.

Untuk mendongkrak kompetensi guru seni budaya, Sardi memberi masukan untuk menambah workshop penyaan bidang seni budaya di LPMP dan P4TK. Selain itu juga memperbanyak buku pengayaan dan memanfaatkan para maestro seni budaya untuk meningkatkan kompetensi guru.

DIPO HANDOKO

Pertunjukan tari modern siswa SMP Negeri 1 Wonosari, hasil kreasi Tira Susana, guru seni budaya

31Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

PENDIDIKAN

32 Pusbang SDM Kebudayaan

PENDIDIKAN

32 Pusbang SDM Kebudayaan

didik membutuhkan aspek kreativitas, emosi, intelektual, persepsi, dan kemampuan berinteraksi di tengah masyarakat untuk perkembangan individu. Semua itu terkait dengan integritas kepribadian siswa yang terbentuk dan dicirikan dalam pembelajaran seni yang meliputi kehalusan rasa, sikap apresiatif, kreatif, dan produktif.

Peran dan FUngsi seni Seni hadir dalam setiap kehidupan manusia sejak

dahulu sampai sekarang, sejak manusia hidup di gua sampai bermukim di gedung bertingkat. Hal ini membuktikan bahwa seni merupakan bagian hidup manusia, melekat dalam kehidupan manusia, dan menjadi bagian kegiatan manusia. Seni masuk ke segala aspek kehidupan manusia sehari-hari, aktivitas ekonomi, kehidupan politik, nilai moral, sampai ke kehidupan beragama. Contoh; dalam kehidupan beragama, sering memanfaatkan seni sebagai media dakwah yang efektif

Istilah “seni dan budaya” dalam konteks ini merupakan nomenklatur resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti yang tercantum pada mata pelajaran yang kini dipakai dalam kurikulum sekolah jenjang dasar dan menengah. Di era sebelum Kurikulum

2013, mata pelajaran Seni Budaya di SD, SMP dan SMA bernama “kesenian” atau “kerajinan tangan dan kesenian” (kertakes). Perubahan nama tersebut, diyakini dapat melahirkan semangat baru dalam pendidikan seni dan budaya. Dengan pendekatan budaya diharapkan dapat diimplementasikan untuk seluruh mata pelajaran yang relevan.

Pendidikan seni dan budaya merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Oleh sebab itu tidak akan lepas dari dinamika pendidikan secara keseluruhan. Manfaat pendidikan seni dan budaya di sekolah diharapkan memacu perkembangan (membentuk) kepribadian siswa dan memperhalus budi pekerti. Selain itu, pada dasarnya peserta

PERAN SENI BUDAYA DALAM PENDIDIKAN

∎ Pentas karya seni pertunjukan pada Festival Seni Internasional P4TK Seni dan Budaya Yogyakarta

PENDIDIKAN

32 Pusbang SDM Kebudayaan

33Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

dan berkualitas tinggi. Misalnya lantunan azan tidak sekadar panggilan sholat, tetapi suara muazin haruslah enak didengar. Azan pun mengandung unsur seni suara yang tinggi yang dapat menyentuh kalbu dan membuat orang khusuk.

Seni merupakan kegiatan atau pengembangan konsep yang kental dengan nuansa apresiatif, kreatif, dan inovatif. Dalam berolah seni orang boleh bertindak beda, kadang tidak sesuai norma, nyeleneh, dan memandang ke arah lain, sehingga dimungkinkan terjadinya eksperimen yang mencampur-memisah, menebalkan-menipiskan, menutup-membuka, dan memotong-menyambung sehingga menciptakan sesuatu yang baru.

Eksperimentasi seni tidak lepas dari hasil kerja otak kanan beserta pusat-pusat kecerdasannya yang mempengaruhi pikiran menjadi hasil karya kreatif dan inspiratif. Stimulasi otak kanan merangsang otak kiri untuk bekerja dan berkoordinasi sehingga terbentuk kerjasama yang dapat mengoptimalkan dan mengembangkan kecerdasan manusia.

Karya seni merupakan hasil penafsiran kehidupan yang dilakukan oleh seniman melalui proses kreatif. Menciptakan sebuah karya seni: tari, musik, dan sastra, bagi seniman, merupakan penafsiran realitas kehidupan, dan pada hakikatnya sama dengan laku, yang tak terpisahkan dari ngelmu, karena ngelmu iku kalakone kanthi laku, yakni menafsirkan realitas kehidupan.

Seni adalah kegiatan yang mencakup tentang berkonsep seni, apresiasi seni, dan berkarya seni, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal. Jalur pendidikan seni meliputi jenjang pendidikan dasar, menengah, dan kejuruan dimaksudkan untuk meningkatkan kecerdasan peserta didik dan memecahkan masalah kehidupan. Kecerdasan berhubungan dengan pembinaan kemampuan berfi kir, sedang kegiatan seni berhubungan dengan pembinaan perasaan.

Seni diyakini dapat meredam kekerasan, maraknya tawuran antarpelajar atau mahasiswa, dan kebrutalan massa. Ramesh Ghanta dalam forum diskusi di Kongres II International Society for Education through Art (Filipina, 1984) mengatakan bahwa “Bangsa yang menggusur pendidikan seni dari kurikulum sekolahnya akan menghasilkan generasi yang berbudaya kekerasan di masa depan.” Pada Seminar Festival Kesenian I (1999) di Yogyakarta bertema Tradition and Modernity, pelukis Widayat (almarhum), membawakan makalah berjudul Seni Meredam Kebrutalan dan Loekman Sutrisno membawakan makalah berjudul Budaya Kekerasan dan Buta Seni. Konsep dan pemikiran dalam makalah tersebut menguatkan pemahaman dan membenarkan bahwa seni dapat meredam kekerasan dan kebrutalan massa.

Seni terus eksis dan berkembang seiring perkembangan peradaban manusia dan menyangkut kualitas manusia dalam mempertahankan kehidupan, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam rentang kehidupan manusia sejak jaman prasejarah, sejarah, kerajaan, kolonial, modernisasi, sampai kehidupan saat ini. Eksistensi, peran, dan fungsi seni mewarnai kehidupan manusia pada setiap periodenya. Pada mulanya, seni diciptakan berdasarkan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan hal yang gaib,

karena seni adalah ungkapan manipulasi energi yang dapat mempengaruhi dan mengubah alam. Inilah kira-kira peran dan fungsi seni di jaman animisme.

∎ Karya peserta diklat guru produktif SMK seni kria di P4TK Seni Budaya Yogyakarta

Peran dan FUngsi BUdayaBudaya merupakan perwujudan integritas manusia

secara menyeluruh dan diwujudkan dalam cipta, rasa, dan karsa. Budaya adalah segala upaya dan tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam menjadi sesuatu yang berdayaguna. Budaya merupakan suatu konsep dari hasil pikiran dan hasil karya manusia untuk memenuhi hasrat akan keindahan. Dewantara (1994) mengatakan, manusia yang belum tersentuh budaya adalah manusia yang masih natural dan memerlukan pembudayaan menjadi manusia cultural. Di dalam pribadi manusia yang masih natural, egonya masih menonjol, dan di dalam pribadi manusia yang telah menjadi cultural melalui pendidikan, telah masuk berbagai intervensi nilai dari luar yang menguatkan sensitivitas, kreativitas dan inovasi. Hal ini sesuai ajaran Taman Siswa, pendidikan adalah strategi menuju budaya, berarti sasaran akhir perwujudan Taman Siswa adalah manusia berbudaya.

Manusia sebagai makhluk budaya selalu berusaha untuk mengubah dirinya, meningkatkan kualitas hidupnya, dan memanfaatkan lingkungan menuju kehidupan yang lebih baik. Kemampuan tersebut merupakan salah satu bagian yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Cara berpikir dan beraktivitas manusia yang mampu meningkatkan taraf hidup disebut budaya, sehingga eksistensinya tidak statis tetapi dinamis, baik secara evolutif atau revolutif, dan mendorong berfi kir kreatif untuk memecahkan persoalan yang ada. Peursen (1988) menuliskan bahwa “ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri”. Peran dan FUngsi seni dalaM Pendidikan

Manusia merupakan salah satu jenis makluk hidup yang memanfaatkan alam sebagai sarana kehidupan. Dalam menjalani hidup, manusia menggunakan kemampuan cipta, rasa, nalar, dan karsa, sedang makhluk lain hanya mengandalkan naluri. Dengan kemampuan yang dimiliki

PENDIDIKAN

34 Pusbang SDM Kebudayaan

tersebut manusia mampu menciptakan sesuatu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Seni lahir karena kebutuhan manusia untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui berbagai jenis media yang berhubungan dengan panca indera. Ke lima indera manusia ingin dipuaskan, untuk keperluan itu manusia mengubah dan menyusun kualitas material alam apa adanya menjadi sesuatu yang memiliki kualitas berbagai rasa. Hasil kreativitas manusia melahirkan seni kria, seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater, seni sastra, berbagai jenis bau-bauan, dan berbagai jenis rasa, yang semua itu memberi kenikmatan ke lima indera manusia. Berbagai nilai rasa tersebut oleh para ahli estetika diberi nama rasa keindahan “the sense of pleasurable relation is the sense of beauty”.

Manusia mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam wujud karya seni, karena sejak lahir manusia telah dibekali kemampuan untuk itu. Ahli neurophsychologist menemukan bahwa otak manusia terdiri atas dua hemisphere, yaitu belahan otak kiri dan otak kanan yang memiliki fungsi berbeda. Otak kiri berfungsi mengontrol rational, analytical thinking, language skills, mathematical functions, and sequentially ordered thingking, sedang otak kanan bertugas nengontrol intuitive functions, spatial orientation, spatial construction, crafts, skills, arts, music, creative expression, and the recognition of images (Rouke, 1984).

Howard Gardner (1983) dengan multiple intelligence-nya merumuskan bahwa manusia memiliki potensi tujuh jenis kecerdasan, yaitu: language, music, logic and mathematics, visual-spatial conceptualization, bodily-kinesthetic, knowledge of other person, dan knowledge of ourselves. Dengan demikian, secara pasti bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan potensi seni yang dimilikinya.

Seni mempunyai dua aspek yang berguna bagi manusia, yaitu: (1) aspek produk karya seni yang bermanfaat bagi

peningkatan kualitas hidup manusia karena dengan menghayati karya seni dapat memahami kemungkinan cara baru dalam berpikir, merasakan, membayangkan, dan memperbanyak informasi kehidupan; dan (2) aspek proses karya seni yang melibatkan aktivitas fisik dan psikologis dapat merangsang semua potensi pada diri manusia untuk berkembang, oleh sebab itu, seni berperan dalam pendidikan guna mencapai tujuan sesuai karakter dan potensi manusia.

Seni sangat penting bagi perkembangan kepribadian peserta didik, melalui beberapa pengamatan pembelajaran seni di sekolah dan berbagai lomba yang diselenggarakan oleh PPPPTK-SB, menunjukkan bahwa proses berkesenian peserta didik akan melibatkan kegiatan berpikir, merasakan, mempersepsi, dan memberikan reaksi kepada lingkungan sekitar. Hal ini didukung oleh pernyataan Lowenfeld (1987) yang mengatakan bahwa kegiatan seni dapat digunakan untuk mengamati perkembangan anak dalam hal emosi, intelektual, fisik, persepsi, social, estetik, dan kreativitas. Pendapat senada diungkapkan Broudy (1987) bahwa kegiatan seni, baik seni musik, lukis, patung, tari, drama, dan sastra banyak melibatkan imajinasi, padahal imajinasi merupakan benih kreativitas. Oleh karena itu, jika imajinasi tidak dirangsang untuk tumbuh maka kreativitas tidak akan berkembang.

Kedudukan seni budaya sangat penting dalam strategi pendidikan karena seni dapat memberikan konstribusi dalam mencapai tujuan pendidikan yaitu mengembangkan kepribadian peserta didik menjadi lebih utuh. Kegiatan seni diharapkan dapat mengimbangi perkembangan logika dengan memperkuat kepekaan rasa, emosi, dan imajinasi sehingga menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi, atau ada keseimbangan kinerja otak kanan dan otak kiri. Ketika anak seimbang dalam pola pikir, tindakan, dan hidup bermasyarakat, harapannya dapat meredam, atau paling tidak mengurangi tindak kekerasan, tawuran antarpelajar, dan meningkatan kepedulian antarsesama.

Pengajaran seni di sekolah harus direncanakan secara cermat, guru harus mampu memilih dan memilah, jenis seni apa yang dapat mendorong nilai moral yang baik, dan menjauhkan

∎ Pakaian daerah merupakan representasi dan aktualisasi proses budaya

∎ Pendidikan seni karawitan bagi siswa sekolah dasar

35Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

seni yang berakibat memerosotkan nilai moral peserta didik. Seni bukan sekedar hiburan, tetapi seni memiliki frekuensi getaran yang dapat mempengaruhi saraf peserta didik untuk menghayati arti kehidupan, mengerti tentang kebenaran, menghargai nilai dan norma, menjunjung tinggi kejujuran, mempertebal nasionalisme, dan seni dapat memberikan tontonan, tuntunan, dan tatanan bagi setiap manusia seperti yang terkandung dalam pertunjukan Seni Pedalangan.

tUJUan Pendidikan seniBerdasarkan pengkajian dan analisis substansi

pembelajaran seni dan budaya oleh Tim Pengembang Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Kesenian (PPPGK) Yogyakarta, tahun 2003-2005, menetapkan bahwa tujuan pendidikan seni pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah untuk mengembangkan aspek kamanusiaan melalui pengembangan kepekaan (sensitivitas), kemampuan kreatif, dan kemampuan apresiasi terhadap hasil seni dan budaya manusia.a. Sensitif. Sensitif dalam bidang seni adalah kepekaan

estetik tentang tiga tahap berkarya seni yang mengacu pada rumusan Hebert Read (1980), yaitu: (1) kepekaan terhadap rasa yang terdapat dalam kualitas unsur yang digunakan dalam mewujudkan karya seni seperti bentuk, warna, suara, gerak, ekspresi wajah yang dapat dipresepsi oleh panca indera; (2) kepekaan terhadap kualitas susunan dan hubungan unsur-unsur yang digunakan dalam mewujudkan karya seni; dan (3) kepekaan terhadap kualitas yang terdapat dalam karya seni.

b. Kreatif. Seni dan kreativitas merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena kegiatan seni selalu melibatkan kemampuan kreatif, yaitu kemampuan berfi kir secara divergent, kemampuan memecahkan masalah dalam mewujudkan karya seni. Proses menuju kemampuan kreatif dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) secara bertahap, pendekatan ini bertujuan untuk penguasaan secara utuh suatu disiplin seni dari sisi kreatif dan praktis, dimulai dari penguasaan kemampuan teknis, imitatif, inovatif, kemudian kreatif; dan (2) secara langsung, pendekatan ini hanya untuk sasaran kemampuan berfi kir kreatif, pelatihan bersifat langsung karena tidak memerlukan keterampilan teknik dan pengembangan lebih kepada aspek imajinasi kreatif sebagai bagian dari kognisi.

c. Apresiatif, adalah suatu kemampuan merespon berupa deskripsi, analisis, interpretasi, dan penilaian guna memperkirakan nilai estetik suatu karya seni atau kondisi lingkungan. Secara psikologis dalam melakukan apresiasi terjadi proses mental yaitu berupa sensasi kegembiraan, kepuasan atau sebaliknya. Apresiasi cenderung untuk pemahaman seni, maka di dalamnya ada kegiatan analisis, sedang untuk melakukan analisis diperlukan pengetahuan tentang seni. Apresiasi seni dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan analitik; (2) pendekatan pengembangan kognitif; dan (3) pendekatan empatik. Feldman (1970), merumuskan empat langkah

dalam menganalisis karya seni, yaitu: deskripsi, analisis, interpretasi, dan judgement.

Tujuan Pelatihan Seni di PPPPTK Seni dan Budaya yaitu menghaluskan indera rasa atau cita rasa keindahan terutama pendengaran dan penglihatan yang akhirnya menuju penghalusan budi pekerti. Tahap-tahap pelatihan adalah: (1) perhatian, yaitu timbulnya kesadaran atau kepedulian terhadap apa yang ada disekitarnya atau karya seni dan budaya; (2) tanggapan, yaitu timbulnya tanggapan secara verbal terhadap apa yang dicermati; (3) penghayatan, yaitu proses perenungan nilai-nilai positif yang ada dalam lingkungan kita atau karya seni; dan (4) penerapan, yaitu penanaman nilai-nilai seni dalam kehidupan.

Tujuan pendidikan seni di Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas yaitu, mengembangkan kepekaan rasa, kreativitas, cita rasa estetis, etika, kesadaran sosial, kesadaran kultural, dan cinta terhadap kebudayaan Indonesia.

Tujuan pendidikan seni di jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yaitu, mengembangkan kepekaan rasa, kreativitas, cita rasa estetis, etika, kesadaran sosial, kesadaran kultural, dan cinta terhadap kebudayaan Indonesia sesuai dengan bidang studi (keahlian) masing-masing.

Pendidikan seni di jenjang pendidikan SMK di kelompokkan dalam tiga Bidang Studi (Keahlian), yaitu: (1) Seni Kria terdiri dari Program Studi (Keahlian) Kria Kayu, Tekstil, Keramik, Kulit, dan Logam, (2) Senirupa terdiri dari Program Studi Seni Lukis, Patung, Desain Komunikasi Visual, Animasi, Desain Interior dan Landscape, dan (3) Seni Pertunjukan terdiri dari Program Studi Seni Tari, Karawitan, Musik, Pedalangan, dan Teater.

PenyeiMBang otakSeni dan budaya mutlak diperlukan dalam proses

pendidikan. Seni berperan sebagai penyeimbang kinerja otak kanan dan otak kiri, memperhalus budi pekerti, mempertahankan nilai moral masyarakat, mempertajam sensitivitas, meningkatkan kreativitas, dan mengembangkan inovasi.

Seni juga dapat menjadi kegiatan hidup sehari-hari, meningkatkan taraf hidup masyarakat, mempertegas pola hidup, menghangatkan aktivitas ekonomi, sebagai alat politik, dan sebagai media dakwah keagamaan.

Pembelajaran seni dan budaya di sekolah harus direncanakan secara cermat, pemilihan media yang tepat, penerapan model pembelajaran yang cocok, dan (selalu) menghargai seni dan budaya setempat. Tidak ada pemaksaan dan pemberangusan seni dan budaya daerah, tidak ada penyeragaman seni dan budaya, dan tidak ada penyamaan tradisi.

Dr. EDHY SUSATYAKepala Bidang Fasilitasi Peningkatan Kompetensi

P4TK Seni dan Budaya, Yogyakarta

KHAZANAH

36 Pusbang SDM Kebudayaan

KHAZANAH

Sebuah bangunan tua, termasuk cagar budaya, dan lokasinya cukup strategis berdiri di kota metropolitan.

Bangunan ini adalah sebuah kantor yang bernama Taman Budaya Propinsi Jawa Timur, tempat berkumpulnya para seniman baik lokal, regional, nasional maupun mancanegara. Dengan luas area 10.400 m2, lokasi ini cukup strategis karena terletak di jantung kota Surabaya sebagai Ibukota Jawa Timur.

Taman Budaya Propinsi Jawa Timur ini diresmikan pada tanggal 20 Mei 1978 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef dan merupakan salah satu dari 25 Taman Budaya yang ada di Indonesia. Semula taman ini merupakan kompleks perkantoran kabupaten dan sebagai rumah dinas Bupati Kepala Daerah Tingkat II Surabaya. Kemudian berdasarkan surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur No. Sek/41/1171 tanggal 13 Oktober 1973

Taman Budaya Jawa Timur

SOHOR DENGAN NAMATAMAN CAK DURASIM

tentang penyerahan Persil beserta gedung kompleks dan Kabupaten, maka sebagai tindak lanjut dari surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur, pada tanggal 19 Januari 1975, dilaksanakan serah terima bangunan gedung dan perumahan di kompleks jalan Gentengkali 85 Surabaya.

Dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Surabaya diserahkan kepada kepala perwakilan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur di Surabaya yang selanjutnya digunakan sebagai wadah pengembangan Seni dan Budaya melalui anggaran APBN dan APBD tahun 1974-1975. Sejak saat itulah dibangun sebuah tempat yang diberi nama teater terbuka, tempat ini digunakan untuk kegiatan berkesenian yang saat ini lebih terkenal dengan nama Taman Budaya Cak Durasim. Melalui anggaran 1975-1976, pembangunan berikutnya adalah gedung tester tertutup atau Gedung Cak Durasim. Nama taman dan gedung tersebut diambil dari tokoh seniman Ludruk di Surabaya yang kondang di zamannya, Cak Gondo Durasim.

Gedung Cak Durasim ini sendiri terletak di arah timur, di depan pintu masuk Taman Budaya Jawa Timur. Bangunan ini menghadap ke arah utara, di depan gedung, tepatnya dekat pintu masuk terdapat sebuah patung setengah badan Cak Durasim. Di bawah patung tersebut terdapat tulisan kidungan yang digunakan untuk menentang penjajahan Jepang, “Pegupon omahe doro, urip melu Nippon tambah sengsoro”.

KHAZANAH

Kegiatan Taman Budaya

Jawa Timur, di antaranya

menggelar kesenian,

pengkajian kesenian,

apresiasi seni dan inventarisasi,

serta dokumentasi kesenian. Pagelaran periodik

dijadwalkan sepanjang tahun sehingga taman ini benar-benar menjadi etalase

seni budaya Jawa Timur.

37Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Pada tahun 1930, Cak Gondo Durasim telah memprakarsai pembentukan kelompok ludruk Surabaya. Beliau adalah seorang seniman ludruk sejati di Jaman Soerabaja tempo Doeloe. Ia memperkenalkan cerita-cerita legenda Rakyat Surabaya dalam bentuk drama pada tahun 1937. Dengan kepiawaiannya melantunkan kidungan, akhirnya ia ditangkap dan disiksa oleh polisi rahasia Jepang.

Pada Tahun 1944 Cak Durasim menghembuskan nafasnya dalam tahanan. Beliau dimakamkan di pemakaman Tembok Surabaya. Dan pada bulan Oktober 1989, dimulai kelanjutan rehabilitasi gedung yang hingga saat ini sudah mengalami perombakan tiga kali. Saat ini fungsi dari Taman Budaya adalah untuk peningkatan dan pengembangan kesenian, menyelenggarakan penyajian kesenian, melaksanakan pendokumentasian, dan penginformasian seni budaya.

Sejak awal tahun 2011, Taman Budaya Jawa Timur kembali memulai kiprahnya sebagai Art Center dengan berbagai kegiatan. Di antaranya seputar pagelaran kesenian, pengkajian kesenian, apresiasi seni dan inventarisasi, serta dokumentasi kesenian pagelaran periodik yang dijadwalkan sepanjang tahun sehingga taman ini benar-benar menjadi etalase seni budaya Jawa Timur. Acara yang pernah dilangsungkan di taman ini antara lain, pagelaran periodik Ludruk, Ketoprak, Wayang Orang, Wayang Kulit, Janger, Seni Musik, Apresiasi Seni Pakeliran, Gelar Seni Budaya Daerah, dan Diskusi Seni Budaya.

SALAM MS

D A E R A H

TUBUH Ketua Lembaga Adat Bangka Belitung (Babel) ini sejak beberapa tahun ini tergolek di tempat tidur dalam kamar dengan ukuran tak lebih dari 2x3 meter. Suhaimi Sulaiman, kakek yang lahir di Pulau Bangka pada 1940 silam ini harus menjalani sisa usianya

yang telah uzur serta sakit-sakitan. Dia harus berjuang melawan derita penyakit asam urat yang menderanya sejak beberapa tahun belakangan ini. Sebelah kaki dan tangannya sulit untuk digerakkan. Kendati demikian, suaranya masih lantang, apalagi saat ia mengkritisi persoalan kebudayaan lokal di negerinya, di Pulau Timah itu.

Kini, Mantan Guru yang telah mendidik para lulusan di beberapa sekolah yang tersebar di wilayah Bangka dan Belitung ini hanya mengisi hari-harinya dengan banyak berdiam di rumah. Kesehariannya, kini ia dalam penjagaan anaknya di kediaman mereka di Jalan Kejaksaan Pangkalpinang, Kepulauan Bangka-Belitung.

Dijumpai di kediamannya di Pangkalpinang jelang Ramadan 1434 H lalu atau awal Juli 2013 lalu, Suhaimi Sulaiman – yang akrab disapa Pak Su – terlihat masih bersemangat saat ditanya seputar pergeseran budaya yang melanda generasi muda saat ini. Dari pengamatannya selaku Ketua Lembaga Adat Kepulauan Babel, kondisi yang terjadi saat ini bukan kesalahan anak/remaja yang kebablasan. Sebaliknya, menurut Pak Su, minimnya bekal pendidikan agamis secara religious -- yang juga meliputi norma dan etika bertata-krama telah menjadikan generasi muda saat ini rentan. Artinya, kemampuan menyaring arus globalisasi informasi yang deras sangat minim. Alhasil, kata Pak Su, kini generasi muda seakan melupakan landasan adat istiadat yang utamanya bersumber dari ajaran agama.

“Semoga penyusun kurikulum pendidikan saat ini berorientasi kepada hal-hal mendasar. Seiring dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa, jangan melupakan asas adat istiadat serta kearifan lokal yang bersumber secara religius. Kalau di Minangkabau, dapat saya kutip, Adat basandi sara’; Sara’ basandi kitabullah,” pesan Pak Su.

Karenanya, Pak Su yang berlatar pendidik sebelum pensiun mengabdi sebagai guru PNS itu hanya berharap akan adanya kurikulum yang mampu memecahkan kusutnya problem menasional ini.

Mengenai nilai kejuangan dan semangat nasionalisme, Pak Su berpendapat perlunya memupuk nilai pengetahuan tentang Ilmu Sejarah kepada anak sejak usia dini di sekolah. “Dengan demikian, generasi penerus bangsa akan lebih memahami makna utama dari kemerdekaan,” papar Pak Su.

EMIL MAHMUD

suhaimi sulaiman ketua lembaga adat kepulauan Bangka Belitung

“JANGAN LUPAKAN ADAT ISTIADAT”

37Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

P R O F I L

38 Pusbang SDM Kebudayaan

P R O F I L

38 Pusbang SDM Kebudayaan

PEPADI,Wadah Seni Pedalangan

dan Pewayangan

Sebuah organisasi profesi yang independen, berang-gotakan para dalang, pen-grawit, swarawati, pem-buat wayang, dan pero-rangan yang memenuhi persyaratan tertentu. Or-

ganisasi ini bernama Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) yang bertujuan mewadahi kegiatan seni pedalangan yang merupakan keahlian berkesenian khusus, sebagai sarana pengabdian dan peningkatan kualitas hidup para seni-man pewayangan dan pedalangan. Dis-ebut independen karena PEPADI meru-pakan organisasi seni pewayangan dan pedalangan yang merupakan milik dari semua golongan, aliran, dan seluruh strata masyarakat Indonesia.

Pepadi didirikan oleh Jenderal Surono yang kala itu menjabat sebagai PANGKOWILHAN II (Jawa-Madura) pada tanggal 14 April 1971 dalam musyawarah pedalangan se-Jawa dan Madura di Yogyakarta sebagai organisasi yang bersifat nasional. Sebelumnya Jenderal Surono telah mendirikan organisasi pedalangan yang bersifat regional bernama GANASIDI (Lembaga Pembina Seni Pedalangan Indonesia) pada tanggal 12 Juli 1969, yang saat itu beliau menjabat sebagai PANGDAM VII Diponegoro.

Organisasi yang saat ini memiliki kantor di 24 provinsi dan ratusan kabupaten/kota ini memiliki visi sebagai organisasi pedalangan yang solid, profesional, dan berdaya guna tinggi dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni pedalangan serta

meningkatkan kesejahteraan anggota. Selain itu organisasi yang bertempat di Jl. Raya Pintu I TMII, Jakarta Timur, dengan nama gedung Pewayangan Kautaman ini memiliki lima misi. Pertama, menjaga jati diri seni pedalangan yang adi luhung sebagai sarana pendidikan masyarakat untuk meningkatkan ketakwaan dan budi pekerti yang luhur. Kedua, meningkatkan kualitas dan kaderisasi SDM (dalang, pengrawit, swarawati, dan pembuat wayang) agar tumbuh dan berkembang sebagai tenaga profesi yang handal. Ketiga, meningkatkan mutu seni pedalangan agar selalu tanggap menghadapi tantangan jaman. Keempat, meningkatkan apresiasi masyarakat, utamanya generasi muda terhadap seni pedalangan. Kelima, meningkatkan kesejahteraan anggota.

Dalam kurun waktu 37 tahun, Pepadi Pusat telah dipimpin oleh tiga orang. Pertama oleh Sampurno, SH., yang menjabat dari awal didirikan pada periode tahun 1974-1999. Kemudian diteruskan oleh Drs. Solichin di periode tahun 1999-2003. Ketiga dikepalai oleh Ekotjipto, SH., pada periode tahun 2003 hingga sekarang. Pepadi sebagai organisasi yang independen di dalam kiprahnya melaksanakan program-program kerjanya telah menjalin mitra kerja yang seluas-luasnya, terutama

P R O F I L

38 Pusbang SDM Kebudayaan

∎ Kantor Pepadi di Gedung Pewayangan Kautaman, Jalan Pintu I TMII, Jakarta Timur.

39Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 39Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

pemerintah baik di pusat maupun di daerah, perguruan tinggi, sekolah-sekolah, pengusaha dan budayawan.

Di samping itu, ada sebuah lembaga kemasyarakatan yang memiliki tugas melestarikan dan mengembangkan wayang Indonesia. Lembaga ini bernama Sena Wangi yang tugas-tugasnya saling terkait dan tak dapat dipisahkan dari Pepadi. Sena Wangi lebih sebagai think thank yang merumuskan kebijaksanaan, strategi pelestarian, dan pengembangan wayang. Sedangkan Pepadi yang menjabarkan di dalam program-programnya melalui komisariat Pepadi di seluruh Indonesia.

DARI BANK TURUN KE WAYANGDi belakang kemudi pengelolaan Pepadi, ada sosok pria

sepuh asli Trenggalek berusia 72 tahun. Ialah Ekotjipto, SH, Ketua Umum Pepadi yang sudah dua periode sejak tahun 2003. Ekotjipto memang menjadikan dalang sebagai hobinya sejak kecil. Pertama mendalang saat ia duduk di bangku SMA kelas 2 yang saat itu juga ia sempatkan kursus dalang di Surabaya. Sejak saat itulah kecintaannya terhadap seni pedalangan terus ia kembangkan.

Setamat dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1964), Ekotjipto bekarier di Bank Indonesia hingga pensiun. Meskipun disibukkan sebagai pejabat tinggi di Bank Indonesia, tak mengurangi waktu Eko untuk mengasah bakatnya dalam mendalang. Tahun 1968, ia sudah aktif mendalang.

Saat ini Pepadi sudah beranggotakan 2500 dalang yang tersebar di seluruh Indonesia, dari semua jenis wayang. Banyaknya wayang yang tersebar di nusantara karena terbawa imigran yang mengajarkan wayang di luar Pulau Jawa. Sehingga Pepadi saat ini sudah memiliki komisariat di 23 provinsi.

Terkait dengan peningkatan kompetensi dalang, Pepadi memang punya andil besar dalam memberikan sertifi kasi kompetensi seniman pedalangan, yang di dalamnya ada pesinden, pengrawit, dan pembuat wayang. Saat ini Pepadi hampir merampungkan rumusan standar kompetensi, kurikulum, dan bahan ajar. “Saat ini kita juga sudah memiliki program untuk mendidik guru yang akan dijadikan instruktur di sanggar untuk mengajarkan seni pedalangan,” kata Eko.

Tahapan dalam penyusunan sertifi kasi kompetensi adalah mendidik guru-guru untuk menjadi pelatih di sanggar. Ketua Pepadi ini menjelaskan, apabila hal tersebut berhasil, maka akan di galakkan kegiatan menyeluruh di Indonesia sebagai instruktur nasional. “Jika instruktur sudah semakin banyak maka akan lebih mudah menggarap sertifi kasi kompetensi, mengingat sertifi kasi ini tidak dapat dilakukan terpusat, harus menyebar di daerah,” tambahnya.

Dengan pengaruh efek global, masyarakat Indonesia khususnya generasi muda saat ini menurut bapak dari tiga orang anak ini sudah semakin miskin minat terhadap budaya tradisi, salah satunya wayang. Tugas Pepadi sebenarnya lebih kepada regenerasi seniman, mendorong masyarakat dan pemerintah untuk banyak menggelar wayang. Hal ini ditujukan untuk menciptakan suasana di masyarakat itu ada wayang.

“Misalnya kita adakan festival secara berjenjang setiap tahun mulai dari dalang bocah, dalang remaja, sampai senior, maka pasti akan tercipta budaya mengenal wayang sekaligus dapat meregenerasi para anak muda,” ungkap kakek empat cucu.

Ekotjipto berharap pemerintah membantu proses regenerasi. Misalnya dengan memerintahkan gubernur, walikota/bupati, mengadakan pertunjukkan wayang pada Hari Besar Nasional. Hal tersebut sudah sudah cukup membantu untuk membudayakan wayang di masyarakat. Langkah lainnya adalah melakukan regenerasi pecinta wayang. Regenerasi pecinta wayang kalau perlu melewati pendidikan formal. Pepadi sebagai ujung tombak organisasi sangat siap dan bersedia untuk pilot project. Kalau proyek tersebut diujicobakan di beberapa sekolah berhasil maka bisa dilakukan secara menyeluruh. “Jadi menurut saya, pendidikan di sini sangat penting dan dibutuhkan sebagai sarana pertama penanaman wayang kepada generasi muda,” kata dalang yang juga hobi berolahraga ini.

SALAM MS

SENI TEATER

40 Pusbang SDM Kebudayaan40 Pusbang SDM Kebudayaan

Banyak cara untuk menularkan bakat terpen-dam dalam diri seseorang. Salah satunya ada-lah dengan menuangkannya melalui kesenian teater. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak teater-teater yang ada di Indonesia mampu melahirkan aktor-aktor berbakat dari panggung ini. Salah satu teater yang sudah

dikenal oleh masyarakat banyak adalah Teater Satu, Lampung.Teater Satu adalah sebuah lembaga/komunitas seni

budaya yang didirikan pada tanggal 18 Oktober 1996 oleh Iswadi Pratama dan Imas Sobariah. Sejak awal berdirinya, Teater Satu secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan meliputi bidang-bidang pendidikan, kebudayaan, kesenian, dan sosial dalam bentuk penelitian, diskusi/seminar, pelatihan, apresiasi, dan pementasan seni. Teater Satu juga merupakan salah satu teater yang sampai saat ini kiprahnya terus menanjak, baik di Lampung maupun di Indonesia secara luas. “Teater Satu terus berkarya untuk menampilkan kreasi terbaik untuk dipersembahkan kepada masyarakat,” ungkap Iswadi.

Visi yang diusung Teater Satu adalah untuk menjadi sebuah lembaga kebudayaan yang p r o f e s i o n a l dan mampu secara terus-menerus memberikan apresiasi tentang seni dan k e b u d a y a a n k e p a d a m a s y a r a k a t m e l a l u i media teater ( p e r t u n j u k a n seni), diskusi, penelitian, dan pengembangan seni budaya, baik lokal, nasional maupun internasional. Sedangkan misi yang diangkat adalah melaksanakan p r o g r a m -

program kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan yang dapat menginspirasi masyarakat untuk meraih nilai-nilai yang dapat mendorong terjadinya perubahan hidup ke arah yang lebih baik.

Keberadaan Teater Satu dimotivasi oleh keinginan yang kuat untuk membuat sebuah komunitas kreatif dari para pekerja seni, terutama teater di Lampung yang bereksplorasi di wilayah kampus, sekolah, maupun di luar lembaga formal. Kini, Teater Satu telah mementaskan lebih dari lima puluh naskah drama. Naskah tersebut merupakan karya beberapa penulis terkenal seperti Samuel Beckett, Anton Chekov, Nano Riantiarno, Jean Jeanet, Arifi n C. Noer, Atur S. Nalan, dan Iswadi Pratama.

Dalam pementasannya, Teater Satu memiliki trik dan cara sendiri dalam memikat penontonnya. Berbagai tanggapan pun muncul berkaitan dengan pementasan yang mereka lakukan. Dalam berbagai pertunjukan, mereka sering kali menyisipkan unsur tradisi. Melalui Teater Satu, masyarakat, khususnya penikmat teater, menjadi terbiasa mendengarkan syair-syair yang berakar dari syair sastra lisan Lampung. Misalnya saja dalam naskah “Aruk Gugat” yang pernah dipentaskan atas permintaan Bank Dunia. Dalam lakon “Aruk Gugat”, penonton akan diperkenalkan pada warahan, yaitu cerita atau dongeng yang biasanya disampaikan untuk hiburan bagi anak-anak maupun dalam hajatan dari sebuah undangan. Naskah-naskah drama seperti inilah yang tentunya memiliki keunikan dan menjadi kelebihan tersendiri. “Naskah drama seperti ini mengandung unsur tradisi dan secara tidak langsung menawarkan budayanya sendiri,” tutur Iswadi.

Bagi para penikmat sastra, terutama teater, tentunya mudah menyerap pesan-pesan moral yang ingin ditampilkan dalam sebuah pertunjukan teater. Kritikan-kritikan dan pesan moral yang disampaikan oleh Teater Satu misalnya. Bagi para penikmat teater, kemasan dialog dan peran yang disampaikan secara santun oleh Teater Satu merupakan alasan tersendiri bagi mereka untuk terus mengapresiasi karya-karya yang dipentaskan oleh Teater Satu. Hal ini tentunya tak pernah lepas

Pusbang SDM Kebudayaan

Visi yang diusung Teater Satu adalah untuk menjadi sebuah lembaga kebudayaan yang p r o f e s i o n a l dan mampu secara terus-menerus memberikan apresiasi tentang seni dan k e b u d a y a a n k e p a d a m a s y a r a k a t m e l a l u i media teater ( p e r t u n j u k a n seni), diskusi, penelitian, dan pengembangan seni budaya, baik lokal, nasional maupun internasional. Sedangkan misi yang diangkat adalah melaksanakan p r o g r a m -

yang berakar dari syair sastra lisan Lampung. Misalnya saja dalam naskah “Aruk Gugat” yang pernah dipentaskan atas permintaan Bank Dunia. Dalam lakon “Aruk Gugat”, penonton akan diperkenalkan pada warahan, yaitu cerita atau dongeng yang biasanya disampaikan untuk hiburan bagi anak-anak maupun dalam hajatan dari sebuah undangan. Naskah-naskah drama seperti inilah yang tentunya memiliki keunikan dan menjadi kelebihan tersendiri. “Naskah drama seperti ini mengandung unsur tradisi dan secara tidak langsung menawarkan budayanya sendiri,” tutur Iswadi.

Bagi para penikmat sastra, terutama teater, tentunya mudah menyerap pesan-pesan moral yang ingin ditampilkan dalam sebuah pertunjukan teater. Kritikan-kritikan dan pesan moral yang disampaikan oleh Teater Satu misalnya. Bagi para penikmat teater, kemasan dialog dan peran yang disampaikan secara santun oleh Teater Satu merupakan alasan tersendiri bagi mereka untuk terus mengapresiasi karya-karya yang dipentaskan oleh Teater Satu. Hal ini tentunya tak pernah lepas

MENUJU PANGGUNG TEATER DUNIA

Teater Satu, Lampung

∎ Iswadi Pratama

40 Pusbang SDM Kebudayaan

41Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

dari naskah-naskah yang mereka pilih untuk dipentaskan.Beberapa naskah yang pernah ditampilkan oleh Teater

Satu memiliki unsur intrinsik yang dominan. Salah satunya dalam lakon monolog “Perempuan Pilihan” karya Iswadi Pratama. Terlihat sekali kekuatan watak tokoh-tokoh yang diceritakan dalam monolog tersebut. Secara psikologis, emosi

• Periode 1996—2000. Oktober 1996, ketika Taman Budaya Lampung menyelenggarakan Festival Monolog se-Lampung, menjadi momen penting deklarasi pendirian Teater Satu, sekaligus manggung kali pertama. Anggota Teater Satu waktu itu hanya bertambah satu: Isnaini Muhimah (Ema). Ema terpilih sebagai penampil terbaik. Setelah Festival Monolog itu, anggota Teater Satu bertambah hingga 20 orang. Lakon kedua yang mereka panggungkan adalah Lysistrata karya Aristophanes, pada April 1997.

• Periode 2000—2003. Teater Satu menggandeng Teater Potlot melaksanakan program rekonsiliasi etnik melalui pertunjukkan teater yang didanai USAID. Kerja sama ini melahirkan 50 kali pertunjukkan teater rakyat dan modern di 50 kota dan desa di Provinsi Lampung. Periode ini menjadikan Teater Satu berkembang menjadi komunitas seni yang lebih modern dan dikenal luas.

Bermula dari Lysistrata

tokoh yang bercerita dan diceritakan dalam monolog tersebut sangat bervariasi dan sangat menonjol. “Jika ditinjau secara psikologis, naskah “Perempuan Pilihan” merupakan karya yang tepat untuk dijadikan objek,” kata Iswadi. Selain itu, para pemain dan tim artistik sebuah teater juga memiliki peranan yang sangat vital dalam kesuksesan sebuah

pertunjukan. Mereka menjadi kunci keberhasilan sebuah naskah dapat diterima dan diapresiasi dengan baik.

BERTA SOFYANSumber: Dari berbagai sumber

Program pembelajaran, pelatihan hingga bidang artistik dan manajemen mulai digarap lebih serius. Di sini pula tahap penyiapan SDM teater lebih matang dan sudah siap menuju panggung teater nasional. Ajang pertemuan Taman Budaya se–Sumatera di Jambi tahun 2000 menjadi pembuktian kualitas Teater Satu yang melakonkan Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Tahun 2001, mereka tampil di Teater Utan Kayu, Jakarta, kemudian berturut-turut di Yogyakarta, Tasikmalaya, dan Taman Budaya Bandung (2002).

• Periode 2003—2007. Teater Satu kian berkembang dan sudah ditahbiskan sebagai salah satu kelompok teater dari Sumatera yang berhasil dan mampu mengaktualisasikan diri di level nasional. Tantangan semakin kompleks. Teater Satu kian melakukan penguatan di bidang organisasi. Jika semula dinamika masih sangat bergantung pada inisiatif Iswadi dan Imas atau pada proyek-proyek yang diterima, maka sejak periode 2003-2007 Teater Satu bekerja berdasarkan program yang telah disusun bersama. Namun demikian masih sering terjadi bahwa beberapa proyek terpaksa didahulukan daripada program yang telah disusun karena pertimbangan pendanaan. Pada periode ini pula posisi Teater Satu di panggung teater nasional perlahan semakin kokoh. Mereka telah merintis jalan menuju go international.

∎ Salah satu adegan pentas Teater Satu dengan lakon Aruk Gugat. Aruk Gugat dipentaskan atas permintaan Bank Dunia. Naskahnya mengangkat warahan atau dongeng untuk anak-anak yang mengandung unsur tradisi di Lampung. (Foto: Dok. Teater Satu)

41Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

SENI MUSIK

42 Pusbang SDM Kebudayaan

Tahun 2007 silam, Pres-iden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Menteri Pariwisata dan Kebudayaan yang kala itu dijabat Jero Wacik menganugerahkan

gelar maestro kepada Serang Dakko, lelaki berusia 74 tahun yang merupakan penggiat seni pertunjukan tradisional khas suku Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan. Seni pertunjukan itu bernama Gandrang Gendang dengan alat musik utama adalah Gendang.

Bukan cuma kepiawaiannya bermain Gandrang Gendang yang mengantarkan lelaki yang biasa disapa Daeng Serang itu meraih anugerah maestro dari Presiden dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, tetapi eksistensinya memang sangat luar biasa. Ia mampu mengharumkan nama

MAESTRO GENDANGBUGIS MAKASSAR

SENI MUSIK

DAENG SERANG DAKKO

Indonesia hingga mancanegara. Daeng Serang, pernah tampil di Australia, Amerika Serikat, Hongkong, Singapura, Malaysia, Thailand, dan beberapa negara di Eropa. Bahkan dalam kurun lima tahun sejak tahun 2005, Daeng Serang secara reguler tampil di Thailand. "Berkesan sekali tampil di Thailand, orang sana beramai-ramai datang untuk melihat kesenian khas Bugis Makassar. Sepertinya mereka sangat senang dengan kesenian tradisional," terang Daeng Serang kepada Mukti Ali dari majalah Insan Budaya yang berkunjung ke rumahnya awal Mei 2013 lalu di kawasan Benteng Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan.

Di lingkungan lokal, ia sering tampil di acara-acara adat atau orang yang punya hajat. Kerap pula diundang gubernur untuk tampil di acara-acara penyambutan tamu-tamu kebesaran. Di tingkat nasional, ia pernah berkolaborasi dengan Gilang Ramadhan, juga dengan Jimmy Manopo dalam berbagai pertunjukan. Ia tidak pernah menemukan kesulitan ketika harus berkolaborasi dengan genre musik apapun, termasuk musik jazz, karena ia sangat menikmati hingga memainkannya terasa muda.

Sebelum pertunjukan digelar, biasanya Daeng Serang Dakko melihat satu atau dua kali tim yang akan berkolaborasi

43Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

latihan. "Saya hanya meminta mereka main satu atau dua kali, saya dengarkan dan saya cermati di bagian mana kira-kira tabuhan gendang saya bisa masuk dan kira-kira improvisasi seperti apa yang akan saya lakukan," katanya.

Di Sulawesi Selatan, pemusik tradisional Gandrang Gendang tentu bukan hanya Daeng Serang, tetapi ialah yang terhebat. Ada keunikan tersendiri kala sedang unjuk gigi, ia juga sangat atraktif dan pandai memainkan mimik wajah mengikuti irama gendang yang dimainkan. Sebagai komandan, kala musik sedang mengalun terkadang Daeng Serang tiba- tiba menghentikan permainan melalui aba-aba khusus. Biasanya Daeng Serang spontan berlagak seperti patung, kepalanya sedikit di majukan dengan mata melirik sembari tersenyum, kadang salah satu tanganya menopang dagu dengan wajah dan sorot mata tajam, dan lain-lain. Setiap penonton akan dibuat kaget, terkesima, larut dalam atraksinya, dan pasti mengira permainan telah usai. Tetapi dengan aba-aba spontan, musik akan kembali mengalun.

MUSIK PENGIRING RITUAL ADATGandrang dalam bahasa Bugis Makassar berarti

menghantam atau memukul atau menabuh. Gandrang Gendang berarti menabuh gendang. Gendang menjadi alat musik utama dan tidak hanya satu buah gendang saja yang dimainkan. Bisa dua gendang, bisa tiga, bahkan bisa lebih dari 10 gendang, hingga menjadi semacam atraksi perkusi. Tetapi ada satu gendang yang secara khusus dimainkan oleh sang komandan irama musik. Bunyi-bunyi gendang itu dipadukan dengan seruling atau dalam bahasa Bugis Makassar dinamakan pui-pui, alat musik petik semacam gitar, serta gong. Alunan Gandrang Gendang selalu disertai tari Pakarena, tari tradisional suku Bugis Makassar.

Gandrang Gendang yang mengalun bisa menghasilkan bermacam-macam ritme, bisa mengalun dengan lambat dan sayup-sayup, bisa mengalun begitu rancak, cepat dan penuh semangat menyesuaikan acara dan keadaan yang berlangsung. "Gandrang Gendang biasanya ditampilkan dalam acara-acara ritual adat, untuk penyambutan tamu, perpisahan, pembukaan acara, pemacu semangat, pernikahan, dan lain-lain yang semuanya punya suasana berbeda-beda. Kini Gandrang Gendang juga tampil dalam pertunjukan-pertunjukan besar seperti festival atau acara-acara musik lainnya dan bebas dipadukan dengan musik apa saja," katanya.

Daeng Serang, demikian sapaan akrab Serang Dakko, menjelaskan tentang gendang khas suku Bugis Makassar itu. Bagian gendang yang dipukul terbuat dari

kulit kambing jantan. Kulit kambing teksturnya lebih tipis dibanding kulit sapi. Kulit kambing jantan lebih kuat dibanding kulit kambing betina. Dengan tekstur kulit yang tipis dan kuat, bunyi yang dihasilkan jauh lebih nyaring dan kencang. Kulit kambing diikat pada rangka gendang dengan penguat tali rotan. Tetapi kini, seiring makin sulitnya mencari bahan rotan, tali rotan banyak diganti dengan tali berbahan plastik, disebut tasi.

Rangka gendang secara khusus dibuat dari kayu Campaga. Katanya, kayu jenis ini bisa menghasilkan bunyi yang lebih nyaring dan khas dibanding jenis kayu lain. Kayu Campaga juga kurang disukai rayap sehingga awet dan tahan lapuk. Cara menabuh gendang dalam Gandrang Gendang selalu dikombinasikan antara pemukulan dengan tangan dan pemukulan menggunakan tongkat/ stick. Kalau dipukul pakai tangan disebut tumbuk, kalau dipukul pakai tongkat (ba’bala’) disebut tunrung.

DILARANG BELAJAR GENDANG Pergulatan Daeng Serang menggeluti Gandrang Gendang

punya kisah menarik untuk disimak. Ia berujar bahwa kemahirannya memainkan gendang adalah bakat warisan dari orang tua dan leluhurnya. Tetapi ia tidak tahu menjadi generasi penerus yang keberapa. "Saya hanya mendengar cerita dari ayah, bahwa kakek nenek dan semua leluhur keluarga terdahulu adalah pemain Gandrang Gendang dan penari Pakarena. Yang jelas musik tradisional ini sudah ada sejak zaman kerajaan Bone," tutur Daeng Serang.

Ketertarikan Daeng Serang pada gendang dimulai kala masih berumur sembilan tahun. Kala itu ia masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR). Di kampung kelahirannya, di Tompobalang, Gowa, Daeng Serang kecil sangat terpikat melihat ayahnya yang mahir mainkan Gandrang Gendang, juga melihat ibunya menari Pakarena. Apalagi grup Gandrang Gendang milik ayahnya itu kerap diundang tampil masyarakat

∎ Sanggar musik tradisional Gandrang Gendang, yang juga tempat tinggal Daeng Serang Dakko setiap hari selalu diramaikan anak didiknya, dari anak SD hingga mahasiswa.

SENI MUSIK

44 Pusbang SDM Kebudayaan

yang mempunyai hajat juga sering tampil dalam acara-acara adat. Tetapi sang ayah sangat melarang anak keempat dari delapan bersaudara itu coba-coba bermain gendang. Sedangkan semua kakak-kakaknya diperbolehkan, termasuk yang perempuan juga menjadi penari Pakarena.

Setelah lulus SR, daeng serang tak melanjutkan sekolah juga tidak boleh belajar gendang. Ternyata orang tuanya meminta Daeng Serang untuk merawat lima ekor kerbau. Jika semuanya sibuk bermain gendang, khawatir kerbaunya tidak ada yang merawat. Maka Daeng Serang lah yang ditunjuk untuk mengurusnya. Mulai mencarikan rumput, menggembala hingga memandikannya.

Perihal sekolah, Daeng Serang beranggapan SR sudah lebih dari cukup. Apalagi zaman dahulu sekolah hanya tradisi untuk masyarakat kaya atau orang-orang yang bekerja pada perangkat di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Daeng Serang berasal dari masyarakat biasa.

"Saya tidak ingin sekolah lagi. Dulu kan zaman Belanda, kalau sekolah saya takut, bisa-bisa nanti saya jadi buruan Belanda. Hidup saya tidak aman. Makanya saya memilih ingin jadi pemain gendang, yang saya lihat jadi pemain gendang itu enak. Sering diundang ke mana-mana, dapat makan, dapat uang, dapat rokok, dan kita tidak diburu penjajah," tuturnya.

Alasan itulah yang menguatkan Daeng Serang tak surut belajar bermain Gendang. Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering kali ia mencuri-curi kesempatan memainkan gendang. Bahkan saat menggembala kerbau sembari duduk, tanpa disadari tangannya memukul-mukul kedua kakinya seolah menabuh gendang. Begitu pula ketika ayahnya sedang bepergian, Daeng Serang akan memanfaatkan menabuh gendang. Di lingkungan teman-teman sebayanya, Daeng Serang sering kali mengajak teman-temannya belajar bermain gendang, menjadi semacam grup kecil.

Menginjak usia remaja, Daeng Serang tak kuasa membendung bakatnya itu, ia pun terus terang pada ayahnya jika bisa bermain Gandrang Gendang. Sang ayah akhirnya memberi kesempatan bergabung dalam kelompok Gandrang Gendang miliknya. Daeng Serang senang bukan kepalang mulai mendapat kesempatan unjuk gigi. Kesempatan besar itu tak hanya dimanfaatkan untuk memainkan gendang saja, tetapi juga belajar membuat gendang sendiri, sampai akhirnya benar-benar bisa. Dalam perkembangannya, kemampuan Daeng Serang menabuh gendang melebihi saudara-saudaranya, juga melebihi ayahnya. Keunggulan lain dibanding ayahnya, yakni mampu membuat gendang sendiri, sedangkan ayahnya memperoleh gendang dengan cara memesan pada tukang pembuat gendang.

TAK MELIHAT KELAHIRAN ANAKNYAKala masih sibuk-sibuknya melakukan pertunjukan ke luar

Makassar dan ke luar negeri Daeng Serang terhitung jarang di rumah, sampai-sampai tak pernah menyaksikan proses kelahiran keempat anaknya hasil pernikahannya dengan Daeng Baji. Pada saat anak pertama lahir, Daeng Serang

saya semakin semangat menunjukkan kemampuan musikku. Sejak itu saya terpikat dan saya nikahi sampai sekarang hingga punya empat anak, dua laki dua perempuan," kata Daeng.

Akan tetapi, ternyata Daeng Baji dijadikan istri keduanya. "Mamaknya anak-anak itu istri kedua saya, istri pertama saya adalah gendang ini," lanjut Daeng Serang sembari menunjuk gendang kesayangannya diiringi tawa. "Sebelum saya menikahi mamaknya anak-anak, saya lebih dulu jatuh cinta pada gendang. Jiwa saya, darah daging saya sudah menyatu dengan gendang," imbuhnya.

Kepiawaian Daeng Baji dalam menari Pakarena ternyata tak berlangsung lama. Seiring bertambahnya usia dan kesbukannya mengurus anak, kesehatannya semakin menurun. Serangan Asam Urat menjadikannya tidak bisa lagi menari dengan baik seperti kala masih muda. Ia menjadi pendamping setia sang suami saban hari kala latihan di rumahnya. Tetapi saat majalah Insan Budaya menyambangi Daeng Serang, Daeng Waji sejenak mampu unjuk gigi menari Pakarena meskipun dengan gerakan yang cukup pelan lantaran kakinya terasa sakit.

berada di kediaman Perdana Menteri Malaysia yang secara khusus diundang untuk pertunjukan di sana. Kelahiran anak kedua, Daeng Serang sedang di Singapura, kelahiran anak ketiga di Hongkong, dan pada kelahiran anak keempat Daeng Serang sedang manggung di Jakarta.

Daeng Baji, istri Daeng Serang tak pernah mempermasalahkan aktivitas suaminya yang jarang di rumah. Ia sendiri penari Pakarena yang sangat memahami dan mendukung suaminya. Dulu mereka sering tampil bersama. Daeng Serang sebagai pengiring musik, Daeng Baji menari. Keduanya dijodohkan melalui sebuah pertunjukan kala sama-sama masih muda.

Pada pertunjukan itu, Daeng Serang menjadi pemusik, dan Daeng Baji sebagai penari. "Saya melihat ia sosok perempuan yang sempurna. Ia menunjukkan kemampuannya menari,

45Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

TAK ADA SUMUR MENCARI TIMBARumah Daeng Serang Dakko di kawasan Benteng

Somba Opu, Gowa Sulawesi Selatan itu tampak sederhana. Itu bukan rumah kelahirannya, tapi rumah pemberian dari pemerintah pusat, dibangun tahun 1990. Pada awal dibangun, rumah itu sangat alakadarnya, dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Perbaikan rumah hingga menjadi lebih layak saat ini semuanya dari biaya mandiri. Pernah suatu ketika Daeng Serang minta bantuan kepada pemerintah daerah tetapi tidak pernah ditanggapi. "Saya hanya berusaha, kalau tidak diberi ya tidak apa-apa, yang penting setiap hari saya masih bisa mengajari anak-anak bermain gendang dan menari Pakarena," ujarnya.

Dinding Rumah panggung Daeng Serang saat ini terbuat dari seng dengan model bangunan khas rumah adat masyarakat Bugis Makassar. Bentuk panggung rumah itu termasuk tinggi, di bagian bawahnya dimanfaatkan untuk kamar. Pada bagian samping, terlihat bangunan tambahan yang menyatu dengan bangunan utama, digunakan sebagai sanggar musik tradisional Gandrang Gendang dan tari Pakarena.

Saban hari, daeng yang sudah punya sembilan cucu itu menghabiskan waktunya di rumah tinggalnya tersebut. Pakaian kesehariannya sangat sederhana, menggunakan kaos oblong, sarung yang dipakai sekenanya dengan kopyah. Terkadang ia mengganti kopyah dengan slayer bermotif batik yang diikatkan dikepala dengan cara pengikatan sesuai khas masyarakat Bugis Makassar. Di rumah itu selalu ramai, selain ramai anak didik yang sedang belajar gendang dan menari, juga diramaikan anak-anak dan sembilan cucunya yang hampir tiap hari bertandang

ke rumah itu. Anak- anak dan cucunya yang laki-laki semuanya bisa bermain Gandang Gendang, sedang yang perempuan menari Pakarena.

Kegiatan sanggar dilakukan setiap hari dari pagi hingga sore hari. Anak didiknya mulai dari usia SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa. Tetapi Daeng Serang tak pernah mencatat dan menghitung berapa jumlah peserta didiknya yang aktif. Bahkan juga tidak pernah ada biaya khusus yang harus dibayarkan peserta sanggar selama berlatih gendang dan menari. "Saya tidak mau menghitung berapa murid saya, saya juga tidak membebani mereka membayar. Yang mau memberi uang silahkan, tidak memberi juga tidak apa-apa, yang penting mereka mau belajar saya sudah sangat senang. Kadang mereka sebulan sekali memberi saya uang lima puluh ribu, seratus ribu. Saya terima dengan ikhlas karena bukan itu yang saya cari," katanya.

Pada waktu majalah Insan Budaya berkunjung di rumah sekaligus Sanggar Alam, terlihat tak kurang dari 20 anak usia remaja dan mahasiswa sedang berada di sanggar. Ada yang sedang berlatih menari, latihan musik, dan ada pula yang duduk- duduk bercengkerama menunggu giliran latihan.

Sejatinya, jika saja mau, Daeng Serang akan kerap menjadi guru tamu atau dosen tamu di beberapa sekolah atau perguruan tinggi untuk mengajarkan Gandang Gendrang. Tetapi kakek yang masih cukup gesit dan enerjik itu selalu menolaknya. "Sumur tidak akan pernah mencari timbanya, tetapi timba itulah yang akan mendatangi sumur untuk mengambil airnya. Sedalam apapun sumur itu jika memerlukan air, maka timba akan masuk ke dalamnya," Daeng Serang berprinsip.

Dalam penjelasannya, Daeng Serang sudah merasa sangat nyaman tinggal di rumahnya, dan apalagi di rumah itu juga berdiri sanggar. Sanggar itulah wadah untuk belajar Gandrang Gendang. Ia akan menghabiskan waktunya di rumah itu sembari menunggu siapa saja yang datang untuk belajar tanpa ada persyaratan.

MUKTI ALI (Makassar)

∎ Sanggar musik tradisional Gandrang Gendang, yang juga tempat tinggal Daeng Serang Dakko (foto kiri).

∎ Wartawan Insan Budaya, Mukti Ali, berpose bersama anak didik Serang Dakko, yang sebagian adalah anak-anak dan cucunya.

SENI PERTUNJUKAN

46 Pusbang SDM Kebudayaan

Wayang golek, dalam terminologi yang lebih luas, adalah boneka me-nyerupai manusia namun dengan distilasi secara seni yang dimainkan oleh dalang dan diiringi oleh be-berapa orang pemusik dan sinden dalam sebuah pertunjukan. Wayang

golek merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa Indo-nesia peninggalan sejarah bangsa yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang dihargai masyarakat Indo-nesia selama berabad-abad.

WAYANG GOLEKCITRA PARIWISATA BUDAYA JAWA BARAT

Oleh: Wawan Gunawan, S.Sn., MM

Staf Direktorat Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik

Ditjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya

SENI PERTUNJUKAN

Bentuk fi sik boneka wayang golek bukanlah semata-mata tiruan terdistorsi dari bentuk manusia asli, melainkan pencitraan yang memuat dan mewadahi nilai-nilai simbolik. Maka wujud pada wayang golek adalah gagah, besar, seram, cantik, tampan, jenaka atau lucu yang menyiratkan aspek perwatakan dan spiritualitas suatu karakter wayang, bukan aspek lahiriah.

Di Jawa Barat, wayang golek memiliki beragam makna, bentuk, dan fungsi. Keberagaman ini memunculkan banyak sekali eksplorasi kreatif yang bagi sebagian kalangan dirasakan paradoks dengan nilai-nilai awal yang disisipkan dalam

Pusbang SDM Kebudayaan46

47Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

wayang golek tersebut. Diperlukan wadah sebagai sarana untuk mengakomodasi keberagaman, kebebasan kreatifi tas, dan juga nilai-nilai yang terartikulasi dalam sebuah produk budaya wayang golek pada masa kini.

Struktur dalam pertunjukan wayang golek Sunda pada umumnya adalah terdiri dari berbagai unsur yang dipergunakan dalam suatu pertunjukan wayang golek,sebagai berikut: dalang, wayang, pemusik, alat musik pengiring,pesinden, cerita lakon, pola adegan, bahasa dan sastra, property dan artistik panggung, alat pendukung (sound, lighting, dll).

Citra PariWisata BUdaya JaWa BaratDengan ditempatkannya seni wayang golek dalam

barisan komoditas pariwisata, industri ini diharapkan dapat menghasilkan produk yang layak dikonsumsi. Meskipun demikian harus diakui bahwa akan selalu ada sampah yang menyertainya. Hukum alam ini pun harus terjadi dalam pertunjukan wayang golek Sunda.

Para pengelola industri jasa pariwisata menyatakan bahwa para wisatawan ingin melihat pesona wisata dalam waktu yang singkat dengan biaya yang murah. Oleh karena itu, pelaku seni pedalangan menyiapkan materi yang sesuai dengan keperluan dan harga jualnya. Para pelaku seni wayang golek menyiasati fenomena ini dengan pemotongan atau penyingkatan pertunjukan disesuaikan dengan kebutuhan atraksi wisata budaya. Setelah itu, mereka menjadikan bentuk baru tersebut sebagai bentuk ideal seni wayang golek untuk daya tarik atraksi wisata budaya.

Penyiasatan ini melahirkan bentuk baru pertunjukan wayang golek Sunda garapan padat yang sangat ideal, mantap, efektif, kreatif dan bernilai jual. Hingga saat ini, secara ekstrim, tampaknya mereka tidak lagi berpikir mengenai kondisi pencipta karya yang mereka ubah, juga mengenai dampak karya itu terhadap pemahaman kultural wisatawan.

Yang lebih berbahaya dan memprihatinkan, besar kemungkinan timbulnya sikap yang tidak lagi mampu memandang arti pentingnya kemandirian karya dan idealisme seniman pedalangan, khususnya seni wayang golek yang ada pada dirinya untuk mencari dan mewujudkan karya baru pedalangan dengan idealisme tinggi.

keMasan Wayang golek Masa kiniPada dasarnya mengemas seni pertunjukan adalah sebuah

bentuk kerja seniman (kreator) dalam menyusun, memilih, dan menata kembali menjadi bentuk sajian baru dengan format dan struktur baru. Berkenaan dengan pengemasan seni pada pertunjukan wayang golek Sunda kekinian, prosesnya akan bersentuhan dengan teknik dan pola kreatif untuk membuat garapan pengemasan sebagai bentuk inovasi yang menarik dan tidak merusak nilai esensi pedalangan. Hal ini dapat tercapai melalui proses pengemasan agar dapat menghasilkan karya seni berkualitas dan bernilai jual tinggi sebagai komsumsi publik khususnya sebagai daya tarik atraksi wisata budaya.

Para seniman tidak lagi harus berpaku pada konsep yang diajukan oleh para pemangku kepentingan atau pengusaha

pariwisata saja, tetapi juga mempunyai kedudukan yang kuat untuk merumuskan bentuk ideal kemasan wisata dalam dunia seni pertunjukan wayang golek Sunda.

Pekerjaan yang menantang para seniman pedalangan pelaku pertunjukan wayang golek Sunda untuk atraksi wisata adalah menyediakan sajian pertunjukan wayang golek yang sesuai dengan kondisi dan budaya bangsa, menampilkan citra bangsa, dan tidak mengecewakan selera estetis wisatawan.

Menafsirkan selera wisatawan merupakan suatu rangkaian kerja yang tidak mudah karena bukan hanya mengenai kemampuan memahami sikap perilaku konsumennya, tapi juga dengan mengetahui kelas sosial, sehingga mampu membantu menempatkan mereka pada posisi yang sesuai dengan tingkat sosial yang dimiliki. Kesulitan penafsiran selera estetik pada bidang seni pertunjukan wayang golek juga sesekali terjadi, karena seni pedalangan dan pewayangan ini acapkali hanya sebagai produk pelengkap dalam sajian atraksi wisata budaya. Oleh karena itu sudah selayaknya untuk berhati-hati menetapkan pertunjukan wayang golek garapan padat yang akan dihidangkan, meski seni wayang golek belum memiliki kedudukan yang penting dalam atraksi wisata budaya.

Alasan wisatawan mengunjungi tempat atraksi budaya sangat penting untuk dipertimbangkan terlebih dahulu. Wisatawan sebenarnya hanya berkeinginan untuk menemui alam, kebudayaan, serta adat istiadat suatu masyarakat dalam kondisi seadanya, dalam kondisi aslinya. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu kunjungan untuk menikmati keindahan murni atau asli tanpa adanya pengolahan atau campur tangan manusia pemiliknya. Di sisi lain, pemilik keindahan itu merasakan adanya kepentingan untuk membenahi dan mempersiapkan keindahan alam dengan terlebih dahulu mengemasnya dengan memperhitungkan kuantitas ekonomisnya.

Di samping itu, pengelola industri pariwisata cenderung menunjukkan upaya untuk memperindah kondisi alami yang ada dalam suatu kegiatan kesenian. Dari sekian banyak peristiwa pementasan wayang golek, seperti halnya rutinitas yang masih dilestarikan komunitas etnis di suatu wilayah, terlihat jelas usaha untuk mensekulerkannya dengan memperhitungkan kemungkinan yang muncul jika kesenian itu dikemas dan disajikan pada wisatawan di tempat pemilik seni itu sendiri.

Sikap atau langkah ingin mengemas dan membuat suatu aktivitas kemasyarakatan menjadi suatu perilaku ekonomis ini tampaknya kurang dilengkapi dengan penafsiran terhadap selera estetik wisatawan yang hadir. Jadi pertunjukan wayang golek dalam peran dan fungsinya untuk pariwisata belum optimal. Yang terjadi, peran wayang golek hanya sebagai pelengkap rangkaian pertunjukan kesenian sebagai bagian dari paket pertunjukan seni atraksi wisata budaya.

Pertunjukan wayang golek untuk atraksi pariwisata sampai saat ini masih juga berkutat dengan sajian lakon yang bersumber dari epos Ramayana dan Mahabarata. Kondisi ini tidak berarti buruk ketika disajikan dengan ketepatan ruang dan waktu, konteks, motivasi penyajian, sampai dengan ketepatan pengolahan garapan pertunjukan. Sudah pasti bahwa hal ini menjadi suatu tantangan bagi para pelaku

SENI PERTUNJUKAN

48 Pusbang SDM Kebudayaan

seni pertunjukan, khususnya seniman wayang golek Sunda, untuk senantiasa kreatif dalam mengisi suasana, ruang dan waktu.

Contoh lain pengemasan seni pertunjukan wayang golek untuk atraksi wisata budaya adalah di padepokan seni wayang golek Giri harja yang berada di Desa Wisata Kampung Giri Harja, Kelurahan Jelekong, Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Selatan. Pertunjukan wayang golek untuk pariwisata tak hanya melulu dengan cerita dari epos Ramayana atau Mahabarata, namun sudah mendapatkan tafsir baru disesuaikan dengan suasana kekinian. Artinya, lakon tersebut diubah secara strukturnya dengan muatan dan unsur-unsur kekinian agar mudah dipahami oleh penonton khusunya para wisatawan. Bahasa pengantar pun tidak serta merta menggunakan bahasa pedalangan Sunda yang mayoritas menggunakan bahasa Sunda, Jawa, dan Kawi, namun bisa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing khususnya bahasa Inggris untuk memudahkan interaksi dengan para wisatawan asing, diiringi beberapa pemusik yang lebih atraktif dan penuh inovatif dan menambah variasi ritme musik yang mudah dicerna para wisatawan. Seperti dengan menyuguhkan lagu tradisi Sunda “Mojang Priangan” namun dikemas dan diaransir dengan kolaborasi dengan musik modern sehingga sajiannya berbeda dengan aslinya namun dapat memberikan warna baru dan lebih atraktif.

Teknik garapan pertunjukan wayang golek kemasan dengan desain artistik panggung yang indah untuk dilihat, kostum dan rias wajah para seniman yang lebih harmonis dan menunjukan kesemarakan, keglamoran, dan pesona. Pertunjukan wayang golek menjadi mudah dipahami karena banyak digunakan gerakan-gerakan atraktif yang secara universal dapat menyampaikan pesan moral lakon secara visual. Ini menjadikan daya tarik tersendiri. Gerak-gerak atraktif dalam wayang golek seperti: teknik berjalan, bernafas, teknik menari, jaipongan, berperang, silat, tinju, memanah, teknik permainan gada, teknik perang dengan senjata, teknik naik kuda, naik gajah dan teknik wayang bisa memuntahkan mie ketika sedang berkelahi, bahkan ada teknik wayang bisa menari breakdance atau hiphop, teknik wayang golek makan kerupuk, teknik wayang golek minum dan merokok, teknik pertarungan wayang humor adegan perkelahian dengan gaya benjang atau seperti orang sedang gulat. Semua teknik tersebut dapat menarik minat para wisatawan dengan gelak tawa yang lepas. Kreativitas pelaku seni dalang melahirkan bentuk-bentuk wayang golek teknik baru seperti wayang golek pesulap, wayang golek penari dangdut, wayang wayang punk, dan wayang golek pop.

Sebenarnya para pelaku seniman pedalangan memiliki

banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tidak serta merta mengandalkan seni kemasan atau penciptaan bentuk wayang golek teknik yang baru, tetapi juga harus bersedia untuk menunjukan kemampuan strategisnya dalam menempatkan karya-karya pedalangan sesuai dengan misi yang diemban oleh pemangku kepentingan dalam jasa pariwisata budaya.

Namun sementara ini, untuk mendukung program pariwisata, wayang golek hanya berperan sebagai objek yang perlu didandani sesuai dengan misi yang harus diembannya. Padahal pertunjukan wayang golek mengemban misi yang sangat penting yaitu sebagai tontonan dan tuntunan. Tuntutan teknis seperti durasi waktu dan pemindahan konteks memaksa dikuranginya dan direlakannya kekuatan informasi akibat lingkungan hidupnya.

Wayang golek PadatAlternatif yang sementara ini dihadapkan dengan nilai jual

adalah dengan menyajikan pertunjukan wayang golek padat. Pengertian padat diarahkan pada durasi sajian yang tidak panjang, yang seringkali tidak mampu menjaga keutuhan karya seni, namun sekedar keindahan dalam menyajikan pertunjukannya. Dalang-dalang dalam pertunjukan kemasan untuk pariwisata berupaya melakukan perubahan yang tidak sesuai dengan pola-pola pertunjukan yang konservatif dan melakukan perubahan dan penyesuaian bentuk garapan kemasannya sesuai dengan kebutuhan dan selera wisatawan.

Garapan kemasan pertunjukan wayang golek semestinya tidak terlalu membutuhkan waktu sajian panjang. Hal ini disebabkan oleh wisatawan yang kegiatannya dibatasi oleh waktu kunjungan. Dalam kriteria padat waktu dan misi sajian ini, pelaku seni pedalangan harus menyadari arti penting waktu bagi dunia usaha. Untuk itu sangatlah penting bagi seniman dalang menghitung kembali berbagai proses kreasinya yang

49Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

harus disesuaikan dengan nilai-nilai ekonomis.Penciptaan pertunjukan wayang golek garapan padat

tentu tidak semestinya meninggalkan unsur-unsur estetik lainya seperti kekuatan komunikasi antara penonton dan karya seni pedalangan, dan kualitas karya seni pedalangan yang senantiasa harus dijunjung tinggi oleh para pelaku seni. Unsur-unsur estetik karya seni kemasan pedalangan haruslah tetap menjadi pertimbangan penting bagi seorang atau sekelompok pelaku seni pertunjukan sebagai atraksi wisata, bahkan seni pertunjukan atraksi wisata haruslah mencerminkan kondisi budaya dimana kesenian itu hidup. Hal ini menjadi wajib bagi pelaku seni karena adanya kepentingan untuk menjaga dan mengembangkan hakikat kebhinekaan Indonesia. Model sajian pariwisata bisa berbentuk sajian-sajian etnik dengan penonjolan sifat budaya masyarakat lokal.

Wayang golek aJenSalah satu kemasan pertunjukan wayang golek kekinian

yang mampu menyedot ketertarikan antara lain pertunjukan wayang golek Ajen, yang menampilkan beberapa wayang golek tokoh panakawan seperti Cepot, Dawala, Gareng, emban kembu dan emban geulis, namun dengan menggunakan kostum dan asesoris yang didesain secara khusus bergaya China. Pertunjukan ini bahkan sempat dipertontonkan dalam ajang International Marionette Festival di Hanoi – Vietnam pada September 2012 lalu. Pertunjukan ini adalah sebuah bukti, dimana seni tradisi wayang golek Sunda dapat pula dikemas dengan pemahaman modern disesuaikan dengan format kebutuhan festival taraf internasional yang lebih menarik perhatian berbagai lapisan masyarakat dunia, serta dapat memberikan nilai positif yang bermanfaat bagi citra baik dan martabat bangsa Indonesia dimata internasional melalui kegiatan kebudayaan.

Konsep Pertunjukan Wayang Ajen dirancang sedemikian rupa penataan dalang, wayang, pemusik dan sarana pendukung lainnya seperti penataan sound, lighting dan penataan artistik lainnya sesuai dengan konsep yang telah dirancang

sedemikian rupa. Misinya adalah untuk menyampaikan pesan moral tentang nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui kebudayaan khususnya pertunjukan wayang golek Sunda ini menjadi kekuatan untuk menunjukan kepada dunia internasional tentang eksistensi budaya Sunda khususnya dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya.

Pola pertunjukan dirancang berdasarkan konsep teaterikal untuk penyiasatan agar pertunjukan wayang ajen tidak sekedar asal-asalan tetapi digarap lebih serius. Ada upaya penataan multimedia/teknologi untuk menggiring penonton internasional agar dapat memahami alur lakon yang dipertunjukan sang dalang. Dalang pun menyelipkan ideom dan ungkapan berbagai bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat internasional dan lokal yang sampaikan dalam dialog wayang.

Nyatanya, Pertunjukan Wayang Golek Ajen ini berhasil dengan sukses. Tim Indonesia dinobatkan sebagai Dalang terbaik dan pertunjukan terbaik dalam festival tersebut.

Untuk menciptakan kesuksesan sebuah pertunjukan wayang golek wisata budaya, unsur yang tidak kalah penting adalah tempat pertunjukan. Namun kelemahan yang masih terdapat pada gedung-gedung kesenian di Jawa Barat khususnya di Kota Bandung adalah kualitas gedung pertunjukan yang sangat kurang refresentatif dan kurang terawat. Padahal apabila digarap secara serius, program yang matang bisa mensejajarkan wayang golek dengan wayang air di Hanoi Vietnam yang gemilang yang menjadi daya tarik para wisatawan khususnya asing untuk berbondong-bondong datang ke Vietnam. Begitu juga secara teknis, di gedung-gedung yang kita miliki, belum bisa secara rutin dilangsungkan pertunjukan wayang golek. Program-program latihan pertunjukan di gedung tersebut nyaris tidak terlihat, padahal proses latihan mungkin bisa diprogramkan dan diangkat atau dipublikasikan secara serius dan professional sehingga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Proses latihan di panggung dapat memberikan gambaran mengenai pentas wayang golek yang akan dilakukan di panggung sesungguhnya. Sebagai contoh, wisatawan di kota Bandung

dapat diajak menikmati proses latihan wayang golek bila ada latihan di Gedung Naripan, Braga Kota Bandung bahkan diberikan ruang dan waktu untuk menikmati praktek sederhana sebagai kenangan dan pengalaman pribadi terlibat secara langsung dalam proses latihan tersebut. Hal ini dapat memberikan pengalaman hidup yang sangat menarik bagi para wisatawan. Wisatawan diberikan ruang dan waktu dalam kebersatuan lingkungan geografi s dan kesenian selayaknya menjadi konsep pengembangan kesenian dalam dunia pariwisata yang ramah lingkungan.

K O L O M

50 Pusbang SDM Kebudayaan50 Pusbang SDM Kebudayaan

Di Kawasan Kars, tepatnya di Dusun Karangtalun, Desa Gedompol, Paci-tan adalah lokasi kediaman pewaris ke-13 Wayang Beber, yakni Ki Mar-di Guno Carito. Sayangnya, Ki Mardi Guno Carito telah berpulang pada Maret 2010 lalu. Kendati demikian, Beliau telah mewariskan Wayang Beber pada penerusnya yang lebih muda, meski bukan keturunan lang-sung darinya. Hal ini dikarenakan Beliau tidak memiliki anak laki-laki, sementara cucu laki-lakinya saat itu masih berusia kanak-kanak.

Wayang Beber ini adalah wayang langka, karena satu-satunya seni pertunjukan yang masih ditampilkan dan menjadi hiburan masyarakat sekitarnya. Suatu jenis warisan budaya leluhur yang kini masih tersimpan dengan baik di balik perbukitan gamping Pacitan.

Hal yang menarik dari wayang beber ini adalah kelangkaan dan kerahasiaan salah satu gambar yang tidak pernah ditunjukkan ke penonton. Dan lebih aneh lagi adalah, Sang Dalang sendiri tidak sekalipun mengetahui dan pernah mengintip isi gambar pada lembar ke-6 wayang tersebut. Ia begitu taat dan patuh menjaga amanah sang pewaris, sehingga wayang beber tetap terjaga dan terpelihara di tangan generasi pewarisnya.

Berdasarkan catatan Ma Huan, salah satu penulis yang mengiringi Cheng Ho dalam lawatannya ke Majapahit, wayang ini diperkirakan dibuat pada masa dinasti Majapahit, berkisar 400 tahun yang lalu. Dugaan mengenai usia Wayang Beber ini dapat diperhatikan dalam salah satu sengkalan yang terdapat dalam gulungan wayang beber yang berbunyi,

NASIBMU KINI Oleh: Drs. NasruddinPeneliti Pusat Arkeologi Nasional

ansy

or.blo

gspo

t.com

WAYANG BEBER

50 Pusbang SDM Kebudayaan

51Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

“Ginawi Serabi Jinamah ing Wong”. Dari kata-kata tersebut, dapat diperkirakan bahwa wayang tersebut berangka tahun 1614. Dengan demikian, ada kesamaan tahun pembuatan antara catatan Ma Huan dengan sengkalan yang ada di wayang Beber.

Sesuai dengan namanya, Wayang Beber adalah seni pertunjukkan wayang yang cara memainkannya dibeber. Wayang ini terdiri dari enam gulungan kertas, diperkirakan bahannya terbuat dari serbuk kayu, lalu dilukis dengan tehnik yang luar biasa. Setiap gulungan teridiri dari empat adegan. Salah satu adegan terakhir dari gulungan ini tidak pernah ditampilkan karena dianggap sakral. Konon, seorang dalang telah meninggal dunia akibat kutukan setelah membuka gulungan yang dilarang itu. Sampai saat ini, tidak pernah ada yang membuka gulungan ini.

Wayang yang ditampilkan untuk seni pertunjukkan adalah bentuk duplikatnya. Wayang Beber yang asli usianya sudah tua, sehingga tidak bisa lagi dipentaskan karena sangat rapuh. Jumlah gulungan tiruan wayang beber ini hanya lima, karena gulungan yang terakhir itu tetap menjadi misteri untuk dibuka.

Diperkirakan gulungan yang tidak boleh dibuka ini berisi adegan-adegan porno, sehingga untuk memproteksi secara moral, maka penciptanya telah melarang membukanya dengan memberikan sangsi, barang siapa yang melanggarnya pasti kena kutukan. Dugaan mengenai seni rupa yang menggambarkan tentang pornografi itu dapat dipahami, karena pada adegan sebelumnya telah menunjukkan adegan-adegan menjurus ke pornografi . Mungkin, di bagian terakhir itu lebih seru, sehingga pantang untuk dibuka.

PeWaris Wayang BeBerDalang Wayang Beber, Ki Mardi Guno Carita, semasa

hidupnya adalah generasi pelanjut dan pewaris yang tetap konsisten menjaga Wayang Beber. Sehari-harinya tampak bersahaya, dengan kesederhanaan dan kerendahan hatinya. Dengan mendalang, kebutuhan ekonominya relatif tercukupi meskipun tinggal di kawasan yang kering, tandus, dan miskin. Menurutnya setiap bulannya pasti ada saja yang nanggap Wayang Beber. Jangkauan pentasnya sampai ke luar daerah, termasuk ke Jakarta dan Bali. Sayangnya, Ki Mardi Guno Carita ini enggan untuk dipromosikan ke luar negeri, karena takut naik pesawat udara. Bahkan, ketika menyeberang lautan saat hendak pentas di Bali, ia merasa sangat gugup.

Ki Mardi Guno Carita adalah generasi pewaris yang ke-13. Namun sayangnya Beliau tidak memiliki anak laki-laki, sehingga kemungkinan pewaris selanjutnya adalah sang cucu yang usianya masih belia.

Menurut Ki Mardi Guno Carita, Wayang Beber memuat kisah Panji, sejenis roman, yaitu kisah percintaan antara Dewi Sekartaji dan Panji Asmara Bangun. Ceritanya mengkisahkan tentang hilangnya Putri Kerajaan Kediri, Dewi Sekartaji. Segala cara telah dilakukan untuk mencari putri raja tersebut, tetapi nihil belaka. Akhirnya, Sang Prabu mengumumkan sayembara. Barang siapa yang menemukan Dewi Sekartaji, kalau perempuan akan dipersaudarakan dengan sang putri. Tetapi kalau laki-laki

akan dinikahkan dengan sang putri. Singkat cerita, Sang Putri berhasil ditemukan berkat usaha Joko Kembang Kuning, atau yang dikenal dengan Panji Asmarabangun. Pada akhirnya, keduanya bersanding di pelaminan.

Dalam pertunjukkan Wayang Beber ini, sang dalang duduk bersimpuh di depan kotak yang berisi gulungan-gulungan Wayang Beber. Gulungan-gulungan itu dibentangkan dari kanan ke kiri, sementara Sang Dalang menceritakan kisah sesuai dengan urutan gambar, diiringi oleh gamelan. Gamelan Wayang Beber ini terdiri dari gong, kenong, kendang dan rebab. Lama pertunjukkan biasanya sekitar 90 menit.

Makna FilosoFisPertunjukan seni Wayang Beber memuat nilai-nilai budaya

sebagai pelajaran berharga. Wayang Beber mengkemas sebuah pertunjukan yang berkisah tentang percintaan dengan ajaran-ajaran luhur tentang hidup dan kehidupan.

Seperti yang terdapat dalam janturan jejer, prolog awal dalam pergelaran Wayang Beber atau disebut Janturan, menampilkan tentang konsep kualitas negara yang baik. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya kalimat seperti “nagari panjang punjung, pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja”. Sementara istilah panjang dawa pocapane mempunyai makna ”segala sesuatunya dalam kegiatan kenegaraan itu

Almarhum Ki Mardi Guno Carito, semasa hidupnya dengan koleksi wayang beber miliknya. Beliau adalah generasi ke-13 dalang way-ang beber. Wayang beber diperkirakan lahir pada tahun 1614.

K O L O M

52 Pusbang SDM Kebudayaan

Dok.

Nasr

uddin

mempunyai visi dan dasar pemikiran yang jelas”. Kalimat punjung luhur kawibawane mempunyai makna ”negara itu menjadi terkenal dan ternama karena mempunyai beberapa kualitas atau sumber daya”, di antaranya adalah pasir samudra. Kata ini menggambarkan masa lalu, dimana wilayah kita adalah negara bahari. Melalui kalimat “wukir gunung, dene nagari ngungkurake pagunungan, ngeringake pasabinan”, kita dapat membayangkan suasana pada masa lalu yang indah mempesona karena adanya gunung dan hutan dengan segala potensi di dalamnya, yang merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya.

Janturan itu menggambarkan suasana masyarakat agraris dengan penduduknya yang hidup mengolah tanah dan bercocok tanam. Mereka hidup tenteram dan sejahtera, tercukupi segala kebutuhan hidupnya. Kita dapat membayangkan juga bahwa keadaan masyarakat aman, tidak ada gangguan keamanan, tidak ada pencurian maupun kejahatan, seperti dalam kata-kata, “kawula ing padhusunan pada tentrem atine, mungkul pangulahing tetanen; ingon-ingon kebo, sapi, pitik, iwen tan ana cinancangan, rahina aglar ing pangonan, yen bengi mulih marang kandange dhewe-dhewe”. Masyarakat agraris itu terkait dengan hewan ternak seperti, kerbau, lembu, ayam, serta hewan ternak lainnya. Hewan-hewan itu bebas berkeliaran tanpa pengawasan pemiliknya, tetapi semuanya aman. Dalam kata-kata itu digambarkan kalau sore hari hewan-hewan itu pergi ke kandang masing-masing, dan kembali dalam keadaan utuh, tidak ada yang hilang satupun.

Dalam Janturan itu juga menggambarkan konsep seorang pemimpin yang ideal. “dena para para mantri bupati padha kontap kautamane, wicaksana limpad ing kawruh putus marang wajib pangrehing praja, tansah ambudi wewahe kaluhuraning nata”. Seorang pemimpin yang ideal adalah seorang pemimpin yang mempunyai keutamaan, yaitu pemimpin yang bijaksana dan profesional dalam bidangnya serta selalu berupaya menjaga keluhuran dan kemuliaan negara.

PerlU PelestarianKelestarian Wayang Beber

seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, karena Wayang Beber adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang belum banyak dikaji dan dipertunjukkan, sehingga potensi punahnya menjadi sangat besar.

Wayang Beber merupakan salah satu bentuk wayang tertua yang ada di Indonesia yang diperkirakan mulai ada sejak masyarakat Indonesia membuat relief candi. Pada tahun 1416, sebuah berita Cina mengabarkan tentang salah satu kesenian di Majapahit, sebagai berikut:

“Ada seorang pria yang melukis manusia, burung, binatang serangga dan sebagainya di selembar kertas. Bentuk kertas ini seperti gulungan dan masing-masing ujungnya diikatkan pada sebatang kayu. Kertas ini kemudian digulung pada satu sisi. Pria itu kemudian berjongkok di tanah dan meletakkan gambar di depannya. Sambil membuka gulungan gambar, dia menunjukkan gambar kearah penonton. Selanjutnya dia memberikan penjelasan tentang setiap bagian gambar dalam bahasa pribumi dan bersuara keras. Para penonton duduk di sekitarnya dan mendengar, dan tertawa atau menangis sesuai dengan ceritanya” (Yingya Shenglan 1416).

Meskipun telah lama ada di Indonesia, tetapi Wayang Beber belum diapresiasi secara luas oleh masyarakat Indonesia -- dibandingkan misalnya, wayang kulit. Dapat dikatakan Wayang Beber hanya terdapat di buku-buku sejarah seni dan budaya sebagai salah satu bentuk wayang tertua, tetapi tidak banyak orang yang pernah melihat seperti apa bentuknya dan seperti apa pertunjukkannya.

Wayang Beber secara turun temurun diajarkan secara terbatas di sebuah keluarga sampai mencapai keturunan ke-13. Akan tetapi, wayang beber belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat Pacitan atau hanya bergaung di komunitas seniman yang jumlahnya terbatas.

Kepergian, Ki Mardi Guno Carita sebagai dalang Wayang Beber keturunan terakhir untuk selama-lamanya merupakan kehilangan besar bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. Penerusnya adalah Rudhi Prasetyo, meski bukan merupakan keturunan langsung. Akan tetapi, tanpa dukungan dari berbagai pihak, dengan hanya ada satu orang

penerus maka Wayang Beber akan segera punah.

Warisan Wayang Beber yang dititipkan itu, selanyaknya dapat menjadi amanah untuk dikaji lebih lanjut bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan dapat dilestarikan nilai-nilainya serta dikembangkan sebagai karya budaya bangsa.

53Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Jika Anda pergi ke Manado, mampirlah ke kota lama. Di kawasan pecinan Ja-lan D.I. Panjaitan, Anda akan menjumpai sebuah klenteng tua nan resik, dengan sisa-sisa kemega-

han masa lalunya. Masyarakat Manado mengenalnya sebagai Klenteng Ban Hin Kiong, bahasa Cina yang berarti Istana Penuh Berkah. Kiong dalam bahasa Tionghoa berarti istana, sementara Ban berarti banyak dan Hin berarti kelimpa-han kebaikan.

Miangas adalah pulau terluar yang terletak paling utara di wilayah Propinsi Sulawesi Utara, di wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud. Brilman mencatat

jarak antara Manado – Lirung 198 mil laut (satu mil = 1852 meter): dan Lirung – Miangas, 102 mil laut (Brilman, 1938:245). Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud mencantumkan jarak Manado – Miangas 274 mil laut; Data dari Wanadri dan Rumah Nusantara ketika melakukan Ekspedisi Garis Depan Nusantara mencatat jarak Manado – Miangas, 310 mil (Kompas, 2011:238). Lepas dari perbedaan tersebut, jarak antara Miangas – Melonguane (75 mil): Miangas – Karatung (57 mil); atau Miangas – Marore (82 mil); masih lebih jauh dibandingkan dengan jarak antara Miangas – tanjung San Agustin.

Paparan diatas menunjukkan betapa jauhnya apabila melakukan perjalanan ke pulau miangas. Tetapi kita akan merasa senang bila kita berkunjung ke Miangas, karena akan disambut meriah dengan kesenian. Kunjungan tamu seperti pejabat negara (menteri, gubernur, bupati), aparat keamanan, ataupun politisi menjadi ajang pertunjukan seni. Dua jenis atraksi yang umum dibawakan adalah cakalele atau tari perang,

KESENIAN MIANGAS TETAP LESTARI

Oleh : PristiwantoStaf Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado

Tari Lenso, biasa digelar untuk menyambut tamu penting. Atraksi tarian lenso dilaku-kan ketika sang tetamu penting menginjakkan kaki di dermaga.

K O L O M

54 Pusbang SDM Kebudayaan

dan ‘tari lenso’ kreasi baru. Atraksi cakalele dan ‘tari lenso’ diperankan setelah tamu menginjakkan kakinya di dermaga dan disambut oleh tokoh adat dengan ucapan selamat datang dalam bentuk aimpaļu bahasa daerah. Pasukan cakalele membentuk barisan mengawali rombongan yang berjalan kaki dari dermaga sampai Aula Kecamatan. Jika tamu yang datang adalah menteri atau gubernur, atraksi utama di dermaga adalah ‘tari lenso’ kreasi baru. Setelah itu, dalam perjalanan menuju tempat pertemuan, rombongan dikawal oleh penari cakalele.

Dalam aktivitas kehidupan sehari-hari di Miangas tidak berbeda dengan jenis kesenian di kepulauan Talaud. Seni pertunjukan yang biasa dilakoni adalah maccampe atau masamper, ampawayar atau empat wayar, dan mabbare’ yang secara harafiah berarti berbaris. Masamper dan ampawayar merupakan seni pertunjukan yang umum ditemukan di kepulauan Sangihe dan Talaud. Sedangkan mabbare’ hanya dilakoni oleh warga Miangas khususnya, dan umumnya warga Nanusa.

Acara mabbare hanya diselenggarakan pada pesta natal dan tahun baru. Usai ibadah natal dan tahun baru, warga mengelompok dan berbaris menari berkeliling kampung diringi bunyi-bunyian, gitar, ukulele, dan harmonika. Peserta barre ini tidak mengenal usia dan kelamin. Ada yang membentuk kelompok berdasarkan usia yakni anak-anak, anak dan pemuda-pemudi; ada juga kelompok orang dewasa. Semuanya berpasangan, membentuk barisan dan melangkah, menari ikut irama lagu harmonika, gitar dan tambur. Pengelompokan barre biasanya didasarkan pada satuan organisasi gereja seperti kolom. Sekilas, gerakan-gerakan dalam atraksi mabbare mirip gerakan dasar dalam tarian modern seperti dansa dan seni pertunjukan ampat wayar. Misalnya, gerakan-gerakan seperti langkah dua pas ke kiri, dua pas ke kanan, sambil melangkah tangan di pinggang, gaya joget, dan sebagainya. Pada atraksi mabbare, keseragaman dan irama bersama serta kekompakan kelompok menjadi ukuran hebat tidaknya sebuah kelompok barre. Tiupan harmonika dengan langgam mars diiringi pukulan tambur dan

petikan senar ukulele serta gitar akan menghidupkan gaya para penari yang berbaris di depan pemain alat musiknya. Penari hanya melakoni gerakan. Yang terdengar hanya suara harmonika, gitar, ukulele serta pukulan tambur. Peralihan dari lagu riang ke lagu-lagu bergaya waltz atau salsa merupakan variasi sekaligus para penari diberi kesempatan bernafas. Jika ada dua kelompok barre yang akan berpapasan, masing-masing menampilkan permain terbaiknya terutama gaya riang dan hidup-hidup. Tidak ada upaya saling menghalangi jalan antara kelompok yang satu dengan yang lain. Rasa toleransi muncul ketika kedua kelompok berpapasan. Adakalanya, ketika ketemu, mereka menyatu dan saling mencari pasangan baik itu sesama perempuan, sesama laki-laki, atau laki-laki dengan perempuan, tidak menjadi masalah. Pasangan yang dipilih sesuai dengan urutan baris kelompoknya. Dan kata barre itu sendiri berarti berbaris. Lamanya mereka bergabung tergantung pada lagu yang dimainkan. Adakalanya selama satu lagu yang diulang-ulang hingga dua atau tiga kali. (Hoetagaol dkk, 2012: 106)

Secara garis besar, ada beberapa klasifikasi kesenian yang hidup dalam masyarakat Miangas, antara lain: kesenian yang bernafaskan agama, kesenian dalam bentuk pekerjaan seputaran mata pencaharian hidup, kesenian tradisional dalam bentuk hiburan.

Kesenian yang bernafaskan agama dalam hal ini agama kristen berkembang cukup baik. Menyanyi atau berkidung merupakan unsur kesenian-gereja yang juga diperkenalkan oleh pekabaran Injil. Kesenian ini berkembang cukup pesat dan paling menonjol karena adanya tradisi serupa dalam budaya orang Sangihe dan Talaud pra-kristen, terutama sasambo (Ulaen, 1996). Para misionaris dan pekabar injil dengan giat mengajarkan berbagai lagu gerejani, baik yang berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah.

Tari Cakalele juga biasa digelar untuk menyambut tamu penting. Jika tari Lenso dilakukan ketika sang tetamu menginjakkan kaki di dermaga, tari Cakalele mengiringi tetamu dalam perjalanan menuju tempat pertemuan

55Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 55Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Pada awalnya, pengajaran tentang kidung rohani tersebut hanya untuk digunakan dalam kegiatan upacara-upacara keagamaan. Selanjutnya, kidung gerejani ini berkembang penggunaannya, tidak lagi sebatas upacara keagamaan semata, melainkan hingga berbagai peristiwa, seperti hari ulang tahun, perkawinan, kematian dan sebagainya. Pada setiap selesai upacara keagamaan seperti ibadah, masih dilanjutkan dengan acara menyanyi. dari kegiatan menyanyi inilah tumbuh dan berkembang tradisi masamper.

Perkembangan tradisi masamper saat ini mulai diwarnai dengan perpaduan antara menyanyi dan menari. Bahkan sudah diciptakan sedemikian rupa sehingga lebih semarak, misalnya para penari/penyanyi telah mengenakan kostum seragam. Kesenian ini pun telah diperlombakan/dipertunjukan pada setiap event-event tertentu. Masamper merupakan salah satu kesenian yang berkembang pesat. Hingga kini, kesenian ini tetap bertahan dan menjadi suatu kegemaran masyarakat setempat. Di samping itu pula, kesenian masamper pun telah dipertunjukkan oleh masyarakat Sangihe dan Talaud yang berada diperantauan.

Apabila diperhatikan, faktor yang membuat kesenian daerah masyarakat Miangas tetap bertahan dan digemari hingga kini adalah karena adanya dukungan dan perhatian yang baik dari pemerintah daerah, masyarakat desa, maupun dari pihak pemimpin-pemimpin organisasi kesenian. Umumnya, pada kesenian-kesenian yang tumbuh atas kesadaran

masyarakat desa seperti kesenian yang bernuansa agama, para pelaku kesenian tersebut seringkali masih tergolong kerabat. Apabila si pemimpin kesenian tidak aktif lagi, maka digantikan oleh generasi berikutnya -- apakah itu anak atau kerabat lain yang mempunyai bakat dalam kesenian. Walaupun organisasi

kesenian itu dalam wadah yang kecil (kaum kerabat), namun pemimpin selalu berusaha meningkatkan kedisiplinan terhadap para anggotanya, yaitu dengan mengadakan latihan-latihan dan memberi wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat agar kesenian tersebut dapat memberi hiburan dan memberi makna bagi para penonton.

Berbagai prosesi kesenian, dari penyambutan tamu sampai penghiburan upacara kematian menandakan bahwa masyarakat Miangas masih menjaga warisan budaya dari generasi ke generasi. Mereka pun selalu mewariskan kesenian tersebut yang sesuai dengan tema sumber daya manusia. Maka seyogjanya pemerintah pusat memberikan penghargaan tentang kesenian di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina ini.

Tari Mabbare, yang arti harafiahnya berbaris, biasa dilakukan pada pesta Natal dan tahun baru. Usai dari gereka, warga dari anak-anak hingga orangtua, berkelompok-kelompok dan berbaris menari berkeliling kampung diringi bunyi-bunyian, gitar, ukulele, dan harmonika.

55Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

K O L O M

56 Pusbang SDM Kebudayaan

Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi dan bu-daya. Kekayaan tradisi dan budaya yang dimiliki tentu menjadi kebanggaan rakyat Indonesia. Salah satunya adalah Tari Linda, sebuah tarian indah yang berasal dari budaya Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Di saat warisan budaya lainnya kerap mengalami pengikisan dikarena-kan gerak jaman, budaya Tari Linda ini justru tetap lest-

ari sampai kapanpun. Pembinaan kesenian tradisional (khususnya Tari Linda)

masih berjalan dan eksis hingga saat ini. Eksisnya kesenian tradisional ini dikarenakan masyarakat di Pulau Muna telah mengimplementasikannya dalam tradisi adatnya, baik yang menyangkut aspek normatif maupun praktek ritual.

Masyarakat Muna hingga kini masih berpegang teguh pada warisan budaya leluhurnya. Mereka memegang prinsip bahwa sejak lahir kebiasaan-kebiasaan itu sudah ada, sehingga jika mengabaikan atau meninggalkannya akan dianggap pamali, dan dikenai sanksi kultural. Menurut salah seorang tokoh adat masyarakat Muna, Tari Linda adalah tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari segi kehidupan sosial budaya masyarakat Pulau Muna, sehingga tarian ini cukup populer. Tarian ini pun seringkali disuguhkan dalam penyambutan tamu-tamu kehormatan saat berkunjung ke Pulau Muna.

asal UsUl tari lindaTari Linda lahir atau muncul sekitar abad ke-16, di

masa pemerintahan Laposasu (kobang kuduno). Tari Linda memadukan unsur tari, musik dan nyanyian. Wujud geraknya mempunyai karakter yang ceria. Konon, asal muasal gerak indah dan lagu dalam Tari Linda tersebut berasal gerak yang ditarikan oleh bidadari. Tari yang memuat sebuah kisah legenda ini umumnya dilakukan secara massal oleh para gadis Muna. Gerakannya lemah gemulai, mengikuti irama gendang pogada yang beritme keras. Uniknya, di tengah lingkaran para penari

Linda dipertunjukan seni bela diri balaba atau silat tradisional Muna. Para pesilat saling menunjukkan ketangkasan dan keahliannya. Mereka memukul dengan keras dan menendang dengan kuat, serta membentuk gerakan indah bermakna kejantanan yang memesona.

Umumnya, tarian ini diperagakan dalam upacara ritual adat Karia, yakni ritual pingitan gadis-gadis menjelang dewasa dan sebelum memasuki bahtera rumah tangga. Oleh karena itu, hingga kini, tarian ini tetap eksis dan lestari, karena setiap kali gadis-gadis di karia “dipingit”, selalu diajarkan Tari Linda.

Penamaan Linda berasal dari bahasa daerah Muna yang berarti menari berkeliling, laksana burung yang terbang dengan sayap yang terkembang indah. Konon Tari Linda ini diciptakan oleh seorang Raja di Pulau Muna. Raja tersebut dipercaya pernah menangkap dan mempersunting seorang bidadari yang turun mandi di sebuah telaga di pulau ini.

Gerak Tari Linda itu sendiri terinspirasi dari cerita tujuh bidadari yang pernah turun mandi di telaga di Pulau ini. Salah satu di antara mereka dipersunting oleh Omputa (penguasa kampung). Setelah menikah, bidadari tersebut kemudian berganti nama menjadi Wa Ode Fari. Namun tiba-tiba pada suatu hari ia kehilangan kesaktiannya karena suaminya telah melanggar sumpah dan janji yang pernah disepakati, yakni dilarang membuka penanak nasi ketika dirinya sedang memasak. Janji itu dilanggar ketika istrinya sedang tak ada di rumah.

Karena sudah tak sakti lagi, terpaksa Wa Ode Fari setiap hari harus menumbuk padi seperti layaknya manusia biasa. Namun hari demi hari, stok beras di lumbung terus berkurang, dan pasokan padi pun semakin menipis. Suatu pagi, ketika Wa Ode Fari hendak mengangkat padi terakhir untuk ditumbuk, ia menemukan selendangnya di dasar lumbung, yang selama bertahun-tahun hilang darinya. Ia gembira sekaligus sedih karena harus meninggalkan seorang anak dan suami

Oleh : Abdul Asis, S.S., M.Pd.Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

EKSISTENSI

TARI LINDA DI MUNA

57Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 57Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

yang perlahan-lahan mulai dicintainya, untuk kembali ke kahyangan. Ia pun mulai merasakan keindahan menjadi manusia saat anaknya bermanja-manja penuh kemesraan. Tetapi bagaimanapun juga, ia menyadari bahwa dunianya bukan di sini. Maka ia pun berpamitan pada anak dan suaminya, terbang dengan air mata berurai bertebaran di udara, yang menjelma menjadi rintik hujan.

Di bawah kelamnya langit di tengah rinai hujan, anak dan suaminya menatap pilu kepergian istrinya. Si Bidadari terbang menari di udara menghibur anaknya yang terus menangis. Dalam tariannya, ia mendendangkan nasihat dan memberi petuah melalui lagu agar anaknya tabah dan kelak menjadi lelaki dewasa yang gagah perkasa. Tak lama kemudian, pelangi muncul menggaris langit dengan warnanya yang indah. Melalui pelangi itu, ia menaiki langit, pulang ke negeri asalnya.

Lakadandio, Sang Anak, merasa sepi semenjak ibunya pergi. Segala upaya dilakukan ayahnya untuk menghiburnya, tapi kesedihannya tak juga beranjak. Ia hanya mendamba belai kasih ibunya. Sehalus lembut tangan ayahnya tak mampu menyamai lembut kasih belai dari tangan ibunya. Lakandandio yang masih berusia dua tahun selalu termenung, duduk seorang diri di tempat ketika ibunya pergi pulang ke kahyangan.

Suatu hari,saat matahari bersinar terik dan membawa hawa yang panas, Lakandadio duduk termenung memandangi langit. Sepertinya, rindu pada ibunya membakar lebih panas daripada matahari yang tepat di ubun-ubun itu. Di bawah pohon tempat ibunya terbang, tiba-tiba ia meliukkan badannya, berlenggok mengayunkan badan dengan gemulai. Rupanya ia masih mengingat gerakan-gerakan ibunya ketika terakhir kali melihatnya. Orang-orang yang kebetulan melihatnya menjadi kagum karena mereka tak pernah melihat gerak lenggok seindah itu.

Lakadandio terus menari, menirukan gerak tari ibunya. Ia seakan dimabuk rindu pada ibunya yang membuncah meluap memenuhi dadanya. Ia tak peduli bahwa orang-orang memerhatikannya dengan terpesona. Ia tenggelam dalam tarinya, tenggelam dalam fantasi yang melenakannya. Ia pun bersenandung lirih mendendangkan lagu ibunya yang sungguh menyayat hati, “Yo Lakadandio, Dandio Lakadandio, Ladadimaka, Rimana Lakadandio, Kamboi Ngkuku, Neruru Rondano Uwe, Silono Mata, Nefopati Losua”.

terUs lestariPembinaan Tari Linda di daerah Muna berlangsung hingga

sekarang. Walaupun sifatnya secara perorangan, namun dalam hal pelestarian terhadap kesenian (khususnya tari linda) terus dilakukan agar tidak punah. Selain itu, sanggar-sanggar kesenian di daerah ini tetap menjadikan Tari Linda ini sebagai

salah satu tarian tradisional yang wajib diajarkan. Menurut Pamong Budaya yang bertugas di Kabupaten

Muna, beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahkan mengajarkan Tari Linda kepada siswa-siswanya sebagai ektra kurikuler. Menurut seorang tokoh adat Kabupaten Muna,Tari Linda merupakan suatu tradisi budaya masyarakat Muna yang sudah berlangsung sejak turun temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya. Jadi, Tari Linda ini akan tetap bertahan selama masih ada orang yang melahirkan anak perempuan yang nantinya pasti akan melalui fase ini, yakni karia atau “dipingit”.

Dalam upaya mempertahankan kebudayaan nasional yang dimiliki bangsa Indonesia diperlukan adanya suatu pengembangan serta pembinaan kebudayaan Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa. Pengembangan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya mutlak diperlukan dalam rangka memilah-milah budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan. Selain itu juga diperlukan adanya pengembangan kebebasan berkreasi dalam berkesenian dengan tetap mengacu pada nilai-nilai etika, moral, estetika, agama serta nilai-nilai falsafah Pancasila. Pelestarian apresiasi kesenian dan kebudayaan tradisional serta penggalakan dan pemberdayaan sentra-sentra kesenian di juga diperlukan untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif. .

57Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

L I N T A S

58 Pusbang SDM Kebudayaan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak pernah absen menghadiri acara Lomba Cipta

Seni Anak-Anak Nasional (LCSAN). Tahun 2013 ini Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono kembali menghadiri lomba yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekaf) di kawasan Hutan Jati Putih, Istana Kepresidenan Cipanas, Jawa Barat, 7 Juli 2013.

Lomba yang mengambil tema Maju Negeriku dan Indah Budayaku ini diikuti oleh 99 siswa SD dan 132 siswa SMP asal 33 provinsi. Ada lima jenis lomba yaitu lomba cipta puisi, lomba seni lukis, lomba desain motif batik, lomba membatik dan lomba cipta lagu.

Saat meninjau tenda lomba lukis, Presiden SBY terkagum-kagum dengan karya seni yang dibuat para peserta. “Bagus-bagus semua. Kalau saya juri tidak mudah memilihnya,” kata SBY saat meninjau lomba seni didampingi Ibu Ani, anak, menantu dan cucu-cunya. Saat berkunjung ke tenda lomba puisi, SBY berpesan agar peserta tidak mahir dalam satu keterampilan saya. “Bikin puisi juga jago yang lain juga ya!” pesan SBY.

Saat berkunjung ke tenda lomba cipta lagu, salah seorang perserta bernama Rana yang berasal dari Riau menciptakan lagu yang diambil dari pengalaman terbakarnya hutan di kampungnya yang berjudul Paru

Dunia. “Lagu ini bertemakan kebakaran hutan di Riau. Dulu kami sering diliburkan sekolah dan matahari tidakk terlihat. Namun atas instruksi Bapak Presiden untuk memadamkan api, kami bisa menghirup udara segar lagi,” kata Rana.

Pujian juga disampaikan Presiden ketika meninjau tenda lomba cipta puisi. Presiden SBY takjub karena para peserta lomba yang masih duduk di bangku SD piawai menulis puisi. “Puisi jago, yang lain juga ya,” pesan Presiden memberi semangat. Sementara itu Ibu Negara mengabadikan hasil karya seni peserta Lomba Cipta Seni Anak-Anak Nasional 2013.

Sesekali, Ibu Ani melemparkan pujian terhadap hasil karya seni berupa lukisan dan kain batik yang dipotretnya. Bukan cuma Presiden SBY dan Ibu Negara yang meninjau kegiatan lomba cipta seni pelajar nasional ke-8 ini. Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono beserta istri juga ikut melakukan peninjauan.

Menurut SBY, Indonesia sekarang memiliki banyak maestro seni budaya, namun harus dipersiapkan maestro-maestro masa depan. “Kalianlah yang yang akan menjadi budayawan, seniman besar. Oleh karena itu sejak awal kita gagas sesuatu untuk mempersiapkan negara, bangsa, dan anak-anak kita,” ujar Presiden.

SAIF AL HADISumber: Dari berbagai sumber

MENCIPTAKAN

Maestro Seni MASA DEPAN

Lomba Cipta Seni Anak-anak Nasional (LCSAN)

Bagus-bagus semua. Kalau

saya juri tidak mudah memilihnya,” kata Presiden SBY. LCSAN melombakan

cipta puisi, seni lukis, desain motif batik,

membatik dan cipta lagu.

“Bagus-bagus “Bagus-bagus

59Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 59Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Dalam rangka meningkatkan seni pedalangan, yang juga termasuk upaya

melestarikan wayang sebagai salah satu kebudayaan nasional, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Klaten menyelenggarakan Festival Dalang Anak Se-Solo Raya dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang diikuti oleh 34 dalang cilik dengan 16 dalang dari Solo Raya, 16 dalang dari Klaten, dan 2 dalang dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Bersamaan dengan hal tersebut, festival yang diselenggarakan pada Juni 2013 lalu ini juga dalam rangka menyambut Ulang Tahun Klaten yang ke-209. Perhelatan tersebut digelar di Pendopo Monumen Juang ‘45 Klaten selama dua hari dengan batas maksimal peserta berumur 14 tahun.

Festival juga bertujuan sebagai bentuk fasilitas atau sarana bagi dalang cilik untuk unjuk keterampilannya dalam mendalang. Penilaian yang akan menjadi dasar para juri di antaranya adalah Sabet Ontowecono atau karakter suara dan terakhir pada penilaian kecocokan antara permainan tokoh wayang dengan iringan gamelan. Setiap dalang diberi kesempatan unjuk kebolehan dengan durasi waktu selama 40 hingga 45 menit.

“Dengan adanya even seperti ini diharapkan semangat generasi muda untuk melestarikan budaya terus meningkat. Bibit dalang sebenarnya banyak, hanya saja sarana untuk

mengapresiasi keterampilan mereka untuk mendalang, seperti festival ini masih kurang,” tutur Kabid Kebudayaan Disbudparpora Klaten, Atiek Sriwiyati.

Selain itu, festival pementasan wayang kulit oleh 34 dalang cilik tersebut juga bertujuan untuk memupuk kecintaan generasi muda terhadap seni pewayangan. Endro Susilo, Sekretaris Disbudparpora Klaten menilai, penggemar seni pementasan wayang kulit dari kalangan generasi muda saat ini cenderung berkurang. Oleh sebab itu, pihaknya mendukung penuh adanya ketertarikan generasi muda terhadap seni wayang.

“Dalang cilik adalah generasi penerus pelaku seni wayang kulit. Mereka perlu dukungan dan motivasi supaya makin mencintai seni yang digelutinya itu,” papar Endro. Pementasan 34 dalang cilik tersebut merupakan langkah untuk menyongsong slogan Klaten sebagai Kota Wayang. Menurutnya, cukup banyak dalang kondang yang lahir dan dibesarkan di Klaten seperti Ki Narto Sabdo. “Pementasan wayang kulit selama ini juga kerap ditampilkan dalam berbagai ajang seperti peringatan hari ulang tahun (HUT) Kabupaten Klaten,” tambahnya.

SALAM MS

TUNAS MUDA

SENI PEDALANGAN

Festival Dalang Anak Se-Solo Raya dan DI Yogyakarta

Bibit dalang sebenarnya

banyak, hanya saja

sarana untuk mengapresiasi keterampilan

anak-anak untuk mendalang

seperti festival, masih kurang. “

L I N T A S

60 Pusbang SDM Kebudayaan60 Pusbang SDM Kebudayaan

Seiring masuknya nomenklatur kebudayaan ke dalam kementerian pendidikan menjadi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendirikan empat Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Keempat ISBI itu didirikan di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Isntansi baru tersebut telah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar mulai tahun ini/ tahun pelajaran 2013/2014.

Selain itu, Kemdikbud juga berencana mengubah Institut Seni Indonesia menjadi ISBI. Saat ini di Indonesia ada lima ISI, yakni ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Bali, ISI Padang Panjang, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), serta satu Sekolah Tinggi Seni di Bandung.

Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen. Dikti) mengatakan, dengan perubahan ISI serta Sekolah Tinggi Seni menjadi ISBI tugas dan fungsinya akan diperluas. "Kalau tadinya hanya berfokus pada kesenian, nantinya akan diperluas dengan kebudayaan yang terkait dengan kesenian tersebut. Melalui ISBI diharapkan lembaga-

lembaga tersebut nantinya bisa mengembangkan seni budaya khas daerah setempat,"tegasnya.

Sejauh ini, masyarakat masih menanggapi pro dan kontra soal perubahan ISI menjadi ISBI tersebut. Akan tetapi Prof. Dr .Rahayu Supanggah, dosen ISI Surakarta menilai bahwa perubahan ISI menjadi ISBI adalah ide yang baik dan mendesak. "Ini ide baik. Jika keduanya dipisahkan maka kesenian hanya akan menjadi tontonan. Padahal, kesenian harusnya masuk dalam kehidupan masyarakat yang tertuang dalam kegiatan-kegiatan keseharian. Oleh karena itu, perubahan nama ISI menjadi ISBI tidak perlu diragukan lagi dan ini sangat mendesak," tegasnya.

Pria yang juga menjadi salah satu tim perumus perubahan ISI menjadi ISBI tersebut menambahkan, bahwa di luar negeri pendidikan seni sudah digabung dengan kebudayaan, sehingga pendidikan tidak terkesan kering. Mestinya pendidikan seni tidak berkutat pada pertunjukan seni, melainkan mampu mengantarkan mahasiswa memahami cara berkomunikasi dengan orang lain dalam hal ini stakeholders, dengan teknologi serta dengan kebudayaan masyarakat.

Rektor ISI Surakarta, Prof. Dr. T. Slamet Suparno juga sangat mendukung perubahan ISI menjadi ISBI. "Di internal ISI Surakarta sudah dilakukan pertemuan senat institut untuk membahas hal tersebut, dan kami semua mendukung," katanya.

MUKTI ALI

SIAPKAN GENERASI BERTALENTA

MELALUI ISBI

Melalui ISBI diharapkan

lembaga-lembaga Institut Seni Indonesia

dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia

nantinya bisa mengembangkan seni budaya khas

daerah... “

““Pusbang SDM Kebudayaan60

61Edisi 2 Tahun I Agusus 2013 61Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013Edisi 2 Tahun I Agusus 2013

Kemilau Budaya Nusantara

dari Siswa

berikutnya dicapai Provinsi Jawa Tengah (10 emas, 5 perak dan 5 perunggu) dan DKI Jakarta (9 emas, 3 perak dan 1 perunggu.

FLS2N ditutup Wakil Gubernur Sumatera Utara, H.T. Erry Nuradi, M. Si. Pada sambutannnya, Erry Nuradi merasa bangga atas kinerja panitia, sehingga FLS2N berjalan dengan lancar dan aman. Menurutnya, pelaksanaan FLS2N 2013 yang dipercayakan Kemdikbud kepada Pemprov Sumut merupakan sebuah penghargaan yang begitu besar, karena dapat memacu semangat para siswa di Sumatera Utara untuk meningkatkan prestasi lebih baik di masa akan datang. “FLS2N juga perlu lebih ditingkatkan sehingga nilai-nilai tradisi yang terdapat di sejumlah daerah dapat digali guna meningkatkan kreativitas seni dan sastra para siswa,“ ujar mantan Bupati Serdang Bedagai.

Kadis Pendidikan Jawa Barat Prof. Dr. Moh. Wahyudin Zarkasyi, S.Pd, usai menerima piala juara umum mengatakan, keberhasilan timnya sebuah kemajuan yang signifi kan berkat dukungan semua pihak di Pemprov Jabar. “Kami sebelumnya pada tahun 2009 dan 2011 memperoleh juara umum FLS2N dan pada 2012 berada pada urutan ke-5,” ujar Zarkasyi.

SAIF AL HADISumber: Dari berbagai sumber

Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional

Dengan adanya FLS2N,

anak yang terbiasa

mengikuti festival lomba akan

termotivasi untuk

belajar mandiri

dan meraih

hasil yang terbaik dengan

diri sendiri,”

Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) selalu meriah. FLS2N ke-6 di Medan yang dibuka di Lapangan Merdeka Medan. 17 Juni

lalu, disesaki peserta dari SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB wakil dari seluruh provinsi di Indonesia. FLS2N dibuka Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Prof. Dr. Ir. Musliar Kasim, MS, didampingi Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

Wamendikbud menilai pelaksanaan FLS2N sesuai dengan tema Karya Prestasi Siswa untuk Kemilau Budaya Nusantara, yaitu untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui budaya belajar, membangun sikap yang baik, kompetitif, bertanggung jawab dan mengembangkan potensi diri. “Dengan adanya FLS2N, anak yang terbiasa mengikuti festival lomba akan termotivasi untuk belajar mandiri dan meraih hasil yang terbaik dengan diri sendiri,” katanya.

Menurut Ketua Umum Panitia Penyelenggara FLS2N, Dr. Mudjito, FLS2N diikuti sebanyak 4.479 peserta yang terdiri dari 2.838 siswa dan 1.741 pendamping. Mudjito yang juga Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, Ditjen Dikdas, Kemdikbud, mengatakan para pemenang selain mendapatkan piagam dan medali juga hadiah lain yang disediakan panitia.

JAWA BARAT JUARA UMUMFLS2N 2013 yang berlangsung di

Medan berjalan sukses. Tuan rumah Sumatera Utara menempati urutan ke delapan dengan jumlah medali 3 emas, 3 perak dan 2 perunggu. Sedangkan juara umum FLS2N 2013 diraih oleh Provinsi Jawa Barat dengan perolehan medali 11 emas, 1 perak dan 4 perunggu. Peringkat

kemd

ikbud

.go.id

L I N T A S

62 Pusbang SDM Kebudayaan

L I N T A S

62 Pusbang SDM Kebudayaan62 Pusbang SDM Kebudayaan

Melestarikan BudayaMEMBANGUN JATI DIRI BANGSA

Dalam upaya penguatan jati diri bangsa dan pembangunan karakter melalui

seni budaya, pada tanggal 27-29 Juni 2013 lalu, Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfi lman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud menggelar Festival Nasional Tari Kreasi Baru Anak-Anak Tahun 2013. Kegiatan yang berlangsung di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya, Jawa Timur itu dibuka langsung oleh Prof. Prof. Wiendu Nuryati, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan. Kegiatan tersebut diikuti ratusan anak perwakilan dari 33 provinsi.

Wamendikbud sangat apresiatif dengan kegiatan tersebut. Ia berharap direktorat bersangkutan dapat melaksanakan kegiatan tersebut secara berkesinambungan, mempertahankan eksistensi kegiatan, terus meningkatkan kualitasnya, serta memberi ruang apresiasi yang lebih luas kepada masyarakat. “Kurangnya wadah penyaluran kreativitas dan produktivitas kesenian menjadi salah satu kendala bagi pengenalan dan penyebaran kesenian

ke masyarakat luas. Dikhawatirkan hal dimaksud dapat menyebabkan kekurangpahaman masyarakat terutama generasi muda dalam berkreasi dan mengembangkan kesenian tradisi tersebut,” ujar Wiendu.

Ia menambahkan, bahwa pengembangan kesenian tradisi di era globalisasi, harus tidak meninggalkan nilai akar budayanya, dan tidak mengabaikan sasaran pelaku dan penikmatnya yang terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu anak-anak, remaja atau dewasa.

“Pada intinya bagaimana proses berkesenian tersebut dapat memberikan nilai-nilai dan pembangunan karakter serta penguatan jati

diri pada masing-masing pelakunya. Semoga silaturahmi budaya

ini akan menambah energi positif bagi kita semua untuk

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan warisan budaya

secara bijaksana,” kata Wamendikbud Wiendu.

Sementara itu, Sulistyo S. Tritokusumo, Direktur

Pembinaan Kesenian dan Perfi lman menegaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan wadah bagi anak-anak dan koreografer untuk menuangkan kreasinya. “Melalui seni tari, anak-anak dapat mengekspresikan ide,

perasaan, kreativitas, dan aktualisasi diri

sekaligus menjadi wahana yang baik bagi para koreografer," katanya.

MUKTI ALI

Pusbang SDM KebudayaanPusbang SDM KebudayaanPusbang SDM Kebudayaan

Kreasi Baru Anak-Anak Tahun 2013. Kegiatan yang berlangsung di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya, Jawa Timur itu dibuka langsung oleh Prof. Prof. Wiendu Nuryati, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan. Kegiatan tersebut diikuti ratusan anak perwakilan dari 33

Wamendikbud sangat

kegiatan tersebut. Ia berharap direktorat bersangkutan dapat melaksanakan kegiatan

berkesinambungan,

eksistensi kegiatan, terus meningkatkan

memberi ruang apresiasi yang lebih luas kepada masyarakat. “Kurangnya

produktivitas kesenian menjadi salah satu kendala bagi pengenalan dan penyebaran kesenian

anak-anak, remaja atau dewasa.“Pada intinya bagaimana proses berkesenian

tersebut dapat memberikan nilai-nilai dan pembangunan karakter serta penguatan jati

diri pada masing-masing pelakunya. Semoga silaturahmi budaya

ini akan menambah energi positif bagi kita semua untuk

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan warisan budaya

secara bijaksana,” kata Wamendikbud Wiendu.

Sementara itu, Sulistyo S. Tritokusumo, Direktur

Pembinaan Kesenian dan Perfi lman menegaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan wadah bagi anak-anak dan koreografer untuk menuangkan kreasinya. “Melalui seni tari, anak-anak dapat mengekspresikan ide,

perasaan, kreativitas, dan aktualisasi diri

sekaligus menjadi wahana yang baik bagi para koreografer," katanya.

Festival Nasional Tari Kreasi Baru Anak-anak

L I N T A S

Kepala BPSDMPK-PMP Syawal Gultom didampingi Kepala Pusbang Tendik Muhammad Hatta, Kepala PPMP Bastari, dan Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, pada kegiatan Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan di Bogor, 18-25 Juli 2013.

Dirjen Kebudayaan Kacung Marijan didampingi Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman menyapa peserta Peningkatan Kompetensi Teknis Pengelolaan Museum di Bogor, 29 Juli-3 Agustus 2013.

Kabid Sertifi kasi Budiharja membuka Focus Group Discussion Pola Dasar dan Pedoman Pengembangan SDM Kebudayaan di Ambon, 6-8 Juni 2013

Suasana rapat redaksi Majalah Insan Budaya Edisi 2/Tahun I/Agustus 2013 di ruang rapat Pusbang SDM Kebudayaan.

Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Alimana membuka Focus Group Discussion Pola Dasar dan Pedoman Pengembangan SDM Kebudayaan di Denpasar, 6-8 Juni 2013

Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, didampingi Kabid Sertifi kasi Budiharja, saat memberi arahan pada kegiatan Penyusunan Draft Kuesioner dan Buku Pedoman Pengisian Kegiatan Inventarisasi Data SDM Kebudayaan, di Jakarta, 10-12 Juli 2013

GELIAT DAPUR REDAKSI

Kepala BPSDMPK-PMP Syawal Gultom didampingi Kepala Pusbang Tendik Muhammad Hatta, Kepala PPMP Bastari, Kepala BPSDMPK-PMP Syawal Gultom didampingi Kepala Pusbang Tendik Muhammad Hatta, Kepala PPMP Bastari, Kepala BPSDMPK-PMP Syawal Gultom didampingi Kepala Pusbang Tendik Muhammad Hatta, Kepala PPMP Bastari, dan Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, pada kegiatan Peningkatan Kompetensi Wartawan dan Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, pada kegiatan Peningkatan Kompetensi Wartawan dan Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, pada kegiatan Peningkatan Kompetensi Wartawan

Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Alimana membuka Focus Group Discussion Pola Dasar dan Pedoman Pengembangan SDM Kebudayaan di Denpasar, 6-8 Juni 2013

Kabid Sertifi kasi Budiharja membuka Focus Group Discussion Pola Dasar dan Pedoman

Kepala Pusbang SDM Kebudayaan Shabri Aliaman, didampingi Kabid Sertifi kasi Budiharja, saat

Wakil M

enteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M

.Arch., Ph.D, didam

pingi (dari kiri ke kanan) Abi Sujak, Ph.D (Sekretaris BPSDMPK-PM

P), Ekotjipto, SH (Ketua U

mum

Persatuan Pedalangan Indonesia), Drs. Shabri Aliaman (Kepala Pusbang SDM

Kebudayaan), dan Dr. Ir. Bastari, M

A (Kepala Pusat Penjaminan M

utu Pendidikan) berpose bersama peserta Peningkatan

Kompetensi Teknis Pedalangan di Jakarta, 23-29 Juli 2013. (Foto: Rauhanda Riyantam

a)