laporan akhir penelitian hibah grup riset

86
LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH GRUP RISET UNIVERSITAS UDAYANA ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA STRATEGI DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI PADA KAWASAN MISKIN DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI TAHUN 2014 Nama Grup Riset: Kesmas TIM PENELITI Peneliti Utama: Kadek Tresna Adhi, S.KM, M.Kes (NIDN.0018107906) Anggota Peneliti: dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D (NIDN.0001098101) dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH (NIDN.0018087607) Dibiayai dari Dana PNBP Universitas Udayana Dengan Surat Penugasan Penelitian Nomor: 238-35/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 Tanggal: 14 Mei 2014 GRUP RISET KESMAS PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA November Tahun 2014

Upload: khangminh22

Post on 09-Jan-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

HIBAH GRUP RISET UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA STRATEGI

DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI PADA KAWASAN MISKIN

DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI TAHUN 2014

Nama Grup Riset:

Kesmas

TIM PENELITI

Peneliti Utama:

Kadek Tresna Adhi, S.KM, M.Kes (NIDN.0018107906)

Anggota Peneliti:

dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D (NIDN.0001098101)

dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH (NIDN.0018087607)

Dibiayai dari Dana PNBP Universitas Udayana

Dengan Surat Penugasan Penelitian

Nomor: 238-35/UN14.2/PNL.01.03.00/2014

Tanggal: 14 Mei 2014

GRUP RISET KESMAS

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

November Tahun 2014

iii

iv

RINGKASAN

Provinsi Bali sebagai daerah pariwisata ternyata tidak bisa lepas dari masalah

kemiskinan. Beberapa kabupaten memiliki persentase penduduk miskin yang cukup tinggi

(BPS Provinsi Bali, 2011). Kemiskinan merupakan akar berbagai permasalahan khususnya

terkait kesehatan dan status gizi. Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan berdampak pada

kemampuan masyarakat untuk membeli bahan makanan, rendahnya akses terhadap

pelayanan kesehatan dan juga perilaku pengasuhan anak yang kurang baik. Kondisi ini akan

berdampak langsung terhadap tingkat konsumsi zat gizi di rumah tangga khususnya

konsumsi energi dan protein yang secara nasional menunjukkan 24,7% anak usia 24-59

bulan mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (<70%AKG) (Riskesdas, 2010).

Kondisi ini berujung pada tingginya prevalensi anak balita dengan status gizi kurang dan

juga anak dengan kondisi stunting (pendek) khususnya di daerah miskin. Kasus anak balita

kekurangan gizi diibaratkan fenomena gunung es (iceberg fenomena), dimana kasus gizi

buruk yang memerlukan penanganan di RS saja yang muncul dipermukaan, padahal banyak

anak yang menderita kekurangan gizi yang tidak ditemukan secara lebih dini, khususnya

pada daerah terpencil dan miskin. Kondisi ini membutuhkan suatu studi analisis mengenai

situasi pangan dan gizi dan juga perancangan model deteksi dini pada kawasan miskin di

Provinsi Bali sehingga diharapkan dapat disusun rencana program perbaikan gizi dan juga

program peningkatan ketahanan pangan oleh pemerintah setempat secara lebih efektif dan

efisien. Metode yang digunakan adalah dengan rancangan penelitian deskriptif

observasional dan dengan populasi rumah tangga yang ada di kabupaten dengan penduduk

miskin terbanyak. Pengumpulan data dilakukan metode survei dan juga focus group

discussion (FGD) dengan data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik sosial ekonomi

responden, produksi dan distribusi pangan, ketersediaan pangan di pasar dan RT,

aksesibilitas terhadap pangan (daya beli dan transportasi), keanekaragaman pangan yang

tersedia, kualitas dan keamanan pangan, dan harga pangan (stabilitas pangan). Dilakukan

juga pengukuran antropometri untuk menilai status gizi anak balita dan juga status kurang

energi kronis (KEK) ibu hamil yang ada di desa terpilih. Selanjutnya data dianalisis secara

deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan juga hasil FGD disajikan dalam

bentuk transkrip hasil diskusi berdasarkan tema yang telah disusun. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa berdasarkan analisis data tingkat konsumsi energi dan proporsi

pengeluaran pangan, maka diperoleh hasil bahwa masih terdapat 46 rumah tangga yang

tergolong dalam kondisi rawan pangan, 102 rumah tangga yang termasuk kurang pangan, 9

rumah tangga mengalami rentan pangan, dan 13 rumah tangga sudah tergolong tahan

pangan. Berdasarkan perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil diketahui

bahwa dari 11 ibu hamil 4 (36,4%) ibu termasuk dalam kategori berat badan (BB) kurang

dan 7 (63,6%) termasuk dalam kategori BB normal. Berdasarkan indeks BB/TB sebagian

besar (78,1%) dengan kategori normal. Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita

(87,5%) termasuk dalam status gizi baik, namun ditemukan anak balita dengan status gizi

kurang dan buruk sebanyak 10 anak balita (10,4%). Berdasarkan indeks TB/U sebagian

besar anak balita dengan tinggi badan normal (62,5%), namun prevalensi anak balita dengan

status gizi pendek yaitu sebesar 31,2%. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian

ini, maka disaranakan adanya peningkatan pemanfaatan pangan lokal dan diversifikasi

pangan untuk memenuhi kecukupan energi anggota keluarga dan untuk mengurangi

terjadinya kerawanan pangan pada keluarga serta dilakukan advokasi kepada pemerintah

untuk mencoba menerapkan metode active case finding oleh kader dan tokoh masyarakat

sebagai solusi dalam menemukan secara dini anak balita dengan status gizi kurang sehingga

v

dapat menurunkan prevalensi anak balita dengan status gizi kurang dan buruk terutama pada

kawasan miskin yang sulit dijangkau oleh petugas kesehatan.

PRAKATA

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat

dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya laporan kemajuan penelitian yang berjudul “Analisis

Situasi Pangan dan Gizi serta Deteksi Dini Kasus Malnutrisi pada Kawasan Miskin di

Kabupaten Karangasem Provinsi Bali” ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu dalam penyelesaian laporan ini, antara lain:

1. Pihak LPPM Universitas Udayana yang membantu dalam penyediaan dana

penelitian

2. KPS Ilmu Kesehatan Masyarakat beserta staf yang membantu dalam

menyediakan fasilitas dan sarana penelitian

3. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem yang membantu dalam

menyediakan data sekunder mengenai kasus gizi kurang anak balita

4. Pihak BPMPD Provinsi Bali yang membantu dalam menyediakan data PPLS

tahun 2011 serta memberikan informasi terkait data yang diambil

5. Pihak Puskesmas yang mewilayahi Desa Tianyar Timur, Desa Bukit, desa

Nawakerti, dan Desa Pidpid beserta Perbekel, Kepala Dusun, Bidan Desa dan

Kader Desa atas partisipasi aktifnya dalam pengumpulan data penelitian

6. Para enumerator yang membantu dan sedang melaksanakan tugas

pengumpulan data penelitian di lapangan.

Demikian laporan ini disusun dan penulis menyadari laporan ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Denpasar, 25 November 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................................ii

RINGKASAN ........................................................................................................................iii

PRAKATA .............................................................................................................................iv

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................v

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................vii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... viii

BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................................1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................3

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................13

BAB 4. METODE PENELITIAN .........................................................................................14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................................18

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................46

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Bali tahun 2007-20112 ....................3

Tabel 2.2 Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Bali ...........4

Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Baku Median WHO ..................7

Tabel 3.1 Road Map Penelitian ..............................................................................................14

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian .............................................................................19

Tabel 5.2 Karakteristik Anak Balita ......................................................................................20

Tabel 5.3 Riwayat Kelahiran Anak ........................................................................................23

Tabel 5.4 Distribusi Analisis AKG berdasarkan Kondisi Fisik .............................................28

Tabel 5.5 Persentase Pengeluaran Pangan Keluarga .............................................................29

Tabel 5.6 Distribusi Ketersediaan Pangan dan Frekuensi Makan Keluarga ..........................29

Tabel 5.7 Kondisi Tempat Tinggal ........................................................................................30

Tabel 5.8 Tingkat Konsumsi Zat Gizi....................................................................................31

Tabel 5.9 Kategori AKG ........................................................................................................31

Tabel 5.10 Tingkat Konsumsi Energi berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan ................32

Tabel 5.11 Status Gizi Balita yang Ditemukan Secara Aktif di Dusun Jumenang ................45

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi ..................................5

Gambar 5.1 Persentase RTS di Provinsi Bali berdasarkan data PPLS tahun 2011 ...............18

Gambar 5.2 Persentase RTS di Kabupaten Karangasem menurut Kecamatan ......................19

Gambar 5.3 Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Indeks BB/U, BB/TB dan TB/U ............23

Gambar 5.4 Persepsi Keluarga menegnai Kecukupan Pangan Keluarga ..............................28

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Laporan Penggunaan Dana 100%

Lampiran 2. Dukungan sarana dan prasarana penelitian

Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas

Lampiran 4. Dokumentasi

Lampiran 5. Jadwal kegiatan per bulan (sesuai Kontrak Penelitian)

Lampiran 6. Kuesioner Penelitian

Lampiran 7. Pedoman FGD

Lampiran 8. Surat Ethical Clearence dan Kesbangpol Provinsi Bali

Lampiran 9. Output Analisis Data

x

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Pangan merupakan salah satu kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia.

Ketersediaan pangan baik secara makro dan mikro merupakan salah satu persyaratan

penting untuk terwujudnya ketahanan pangan. Ketersediaan pangan yang mencukupi secara

nasional ternyata tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan tingkat regional ataupun

rumah tangga/individu (Ariani, 2010). Hasil studi dari Saliem et al. (2001) menunjukkan

bahwa walaupun ketahanan pangan tingkat regional (provinsi) telah terjamin namun di

provinsi tersebut masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan dengan

proporsi relatif tinggi. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan

yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi

standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Dewan

Ketahanan Pangan, 2006).

Tingkat kecukupan gizi yang diukur dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) merupakan

indikator apakah rumah tangga tersebut sudah tahan pangan, tidak tahan pangan atau rawan

pangan (BPMPD Provinsi Bali, 2013). Pada tahun 2011 terdapat 42,08 juta atau sekitar

17,41% penduduk Indonesia yang memiliki AKG < 70%, nilai ini meningkat sebanyak 6,37

juta atau sekitar 2,07% dari tahun 2010 yaitu 35,71 juta atau sekitar 15,34% (Badan Pusat

Statistik (BPS) diolah BPMPD Provinsi Bali, 2012). Secara nasional, rata-rata konsumsi

energi anak umur 24–59 bulan di Indonesia sudah sesuai AKG (102,0%), namun belum

merata di semua provinsi. Secara nasional, sebanyak 24,7% anak umur 24–59 bulan

mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (<70% AKG) (Riskesdas, 2010).

Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum akan berdampak terhadap

kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Jika hal ini terjadi pada anak balita dalam

jangka panjang, akan berdampak pada kualitas SDM. Dalam hal ini kecukupan energi dan

protein dapat digunakan untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan keberhasilan pemerintah

dalam membangun pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara terintegrasi

(Moeloek, 1999). Berdasarkan laporan tahunan Sistem Kewaspadaan Gizi dan Pangan

(SKPG) Provinsi Bali Tahun 2012, dilihat dari aspek ketersediaan pangan dan akses pangan,

Provinsi Bali tergolong aman pangan, akan tetapi jika dilihat dari kondisi pemanfaatan

pangan maka Provinsi Bali tergolong rawan (BPMPD Provinsi Bali, 2012).

Berdasarkan indicator dalam analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Indonesia (Food Security and Vurnability Atlas/FSVA) (2009), kerentanan terhadap

kerawanan pangan terutama disebabkan oleh angka kemiskinan yang masih tinggi, tidak ada

2

akses listrik, kasus underweight pada balita masih tinggi, tidak ada akses jalan untuk

kendaraan roda empat, tidak ada sumber air bersih, dan rasio konsumsi normatif perkapita

terhadap ketersediaan serealia masih meningkat. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi

yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, tercatat sebesar 4,56% penduduk

miskin di Provinsi Bali dengan dua (2) kabupaten yang memiliki penduduk miskin

terbanyak adalah Kabupaten Karangasem (6,43%) dan Kabupaten Klungkung (6,10%) (BPS

Provinsi Bali, 2011). Angka kemiskinan yang tinggi pada kedua kabupaten diatas didukung

oleh data tingginya kasus gizi kurang pada anak balita di daerah tersebut. Berdasarkan hasil

Riset Kesehatan Dasar Provinsi Bali tahun 2010 menunjukkan prevalensi kurang gizi pada

anak balita pada Kabupaten Karangasem sebesar 19,8% dan Kabupaten Klungkung sebesar

12,9%. Kasus anak pendek (stunting) juga cukup tinggi yaitu di Kabupaten Karangasem

sebesar 39,0% dan Kabupaten Klungkung sebesar 28,3% (Riskesdas, 2010). Belum ada

informasi mengenai situasi pangan dan gizi dikedua daerah tersebut. Berdasarkan data ini

maka penting untuk dianalisis mengenai situasi pangan dan gizi serta bentuk model deteksi

dini kasus malnutrisi anak balita pada kawasan miskin di Provinsi Bali.

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Miskin di Provinsi Bali

Kemiskinan telah menjadi masalah yang kompleks dan kronis baik ditingkat nasional

maupun regional, sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan

berkelanjutan. Program pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah memberikan

perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Meskipun demikian, maslaah

kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah yang berkepanjangan. Provinsi Bali

yang dikenal sebagai daerah pariwisata, sampai saat ini juga belum bisa luput dari

permasalahan kemiskinan. Berikut ini tabel yang menunjukkan perkembangan jumlah dan

persentase penduduk miskin di Bali selama lima tahun terakhir (BPS Provinsi Bali, 2011).

Tabel 2.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Bali tahun 2007-2011

Berdasarkan tabel diatas daerah perkotaan pada umumnya memiliki jumlah penduduk

miskin yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah pedesaan dan tingkat kemiskinan

dalam lima tahun terakhir terus mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan pada September

2011 baik di perkotaan maupun di pedesaan menunjukkan kenaikan dibanding bulan Maret

2011, masing-masing 3,91% dan 4,65% menjadi 4,20% dan 5,17%. Tingkat kemiskinan

perkotaan lebih rendah dibanding pedesaan.

Penentuan penduduk misin oleh BPS, didahului oleh penentuan Garis Kemiskinan

(GK) sebagai besaran nilai pengeluaran yang dibutuhkan penduduk untuk memenuhi

kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Selanjutnya penduduk miskin ditentukan

4

berdasarkan posisi rata-rata pengeluaran per kapita per bulan terhadap GK. Penduduk

dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah GK tergolong penduduk miskin

(BPS Provinsi bali, 2011).

Tabel berikut ini menggambarkan persentase penduduk miskin berdasrkan

kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali.

Tabel 2.2 Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Bali

Kabupaten/Kota

Regency/City

Jumlah Penduduk Miskin

(000 jiwa)

Number of Poor People (000)

Persentase Penduduk Miskin

Percentage of Poor People

2009 2010 2011

2009 2010 2011

(1) (2) (3) (4)

(5) (6) (7)

1. Jembrana 17.6 21.3 17.6

6.80 8.11 6.56

2. Tabanan

20.8 29.3 24.2

4.99 6.96 5.62

3. Badung

14.0 17.7 14.6

3.28 3.23 2.62

4. Gianyar

25.5 31.5 26.0

5.76 6.68 5.40

5. Klungkung 8.8 12.9 10.7

5.23 7.58 6.10

6. Bangli

11.4 13.8 11.4

5.18 6.41 5.16

7. Karangasem 24.7 31.6 26.1

6.37 7.95 6.43

8. Buleleng

37.7 45.9 37.9

5.95 7.35 5.93

9. Denpasar 13.3 17.5 14.5

2.20 2.21 1.79

B A L I

173.6 221.6 183.1

4.88 5.67 4.59

Sumber : Badan Pusat Statistik (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional - Juli)

Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata persentase penduduk miskin di Provinsi

Bali adalah sebesar 4,59% hanya dua kabupaten dengan persentase dibawah rata-rata daerah

yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpsaar. Sebagian besar diatas rata-rata dengan

Kabupaten Karangasem, Jembrana dan Klungkung yang dengan perssentase tertinggi

penduduk miskin.

2.2 Status Gizi Anak Balita

Status gizi balita dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor langsung dan tidak langsung.

Faktor yang langsung berpengaruh adalah asupan makanan dan status kesehatan (misalnya

penyakit infeksi, penyakit metabolisme, kelainan organ, pasca operasi dan sebagainya).

5

Faktor yang tidak langsung berpengaruh antara lain tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

orang tua, dan budaya (Kemenristek, 2011).

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi

Status gizi secara umum dikelompokkan menjadi sangat kurang, kurang, baik, dan

lebih. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi yang digunakan secara optimal yang memberikan kesempatan pada individu untuk

tumbuh secara fisik, memacu perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara

umum pada tingkat setinggi mungkin (Malena K, 2006 dalam Nicholas dkk.,2011). Namun

pada keadaan tertentu dapat terjadi malnutrisi yang dapat terjadi sebagai akibat kekurangan

zat gizi atau diistilahkan dengan kurang gizi, maupun dapat terjadi karena kelebihan nutrisi

yang diistilahkan dengan gizi lebih. Dengan demikian, status kurang gizi diartikan sebagai

kurangnya asupan energi dan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan individu untuk menjaga

kesehatan yang baik. Sedangkan kelebihan gizi sendiri didefinisikan sebagai terlalu banyak

6

kalori atau mengkonsumsi salah jenis kalori seperti lemak jenuh, lemak trans dan gula yang

sangat halus yang mengarah pada obesitas dan banyak penyakit kronis lainnya (World

Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).

Seseorang yang mengalami kurang gizi tidak hanya mengalami gangguan dalam fisik

dan tingkat energi, tetapi juga dapat berpengaruh secara langsung berbagai aspek dari fungsi

mental, terutama bila kurang gizi terjadi sejak usia balita dan anak-anak, di mana

pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu dan nantinya memiliki efek negatif

terhadap kemampuan anak-anak untuk belajar dan memproses informasi dan menjadi orang

dewasa yang produktif. Kekurangan gizi juga biasanya mempengaruhi fungsi kekebalan

tubuh, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita penyakit infeksi. Kurang Energi

Protein (KEP) adalah keadaan yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein

(World Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).

Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya

nampak kurus, sedangkan gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan

menjadi 3 yaitu Marasmus, Kwasiorkor, atau Marasmik-Kwasiorkor. Bila status kurang gizi

disertai dengan tanda-tanda klinis seperti: wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut

cekung, kulit keriput disebut Marasmus. Kwashiorkor adalah keadaan kurang protein yang

menunjukkan gejala klinis oedema terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab.

Marasmus dan Kwashiorkor atau Marasmic Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai

“busung lapar” adalah keadaan kurang gizi dengan semua gejala klinis yang disebutkan di

atas (World Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).

Pemantauan KEP yang umum dilakukan pada pusat pelayanan kesehatan primer,

seperti puskesmas adalah dengan hanya menimbang berat badan balita dibandingkan dengan

umurnya. Kemudian hasil penimbangan tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kategori

sebagai berikut (World Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).

1. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna

kuning diatas garis merah atau BB/U 70%-80% baku median WHO-NCHS.

2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS berada di bawah garis

merah (BGM) atau BB/U 60%-70% baku median WHO-NCHS.

3. KEP berat bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-NCHS. Pada

KMS tidak ada garis pemisah antara KEP berat dan KEP sedang.

Beberapa pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menilai status gizi

pada balita adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang kemudian disajikan dalam

tiga indikator, yaitu: berat badan menurut (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat

7

badan menurut tinggi badan (BB/TB). Angka berat badan dan tinggi badan setiap balita

dkonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku

antropometri WHO 2006 (Malena K, 2006 dalam Nicholas dkk.,2011)

Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Baku Median WHO-NCHS

Status Gizi Ambang Batas

Gizi lebih +2 SD

Gizi baik > -2 SD sampai +2 SD

Gizi kurang < -2 SD sampai > -3 SD

Gizi buruk < -3 SD

Dikutip dari Kepmenkes RI No: 920/Menkes/SK/VIII/2002

Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak

spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk kurang mengindikasikan ada tidaknya

masalah gizi pada balita, dan apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut.

2.3 Deteksi Dini Kasus Malnutrisi

Menurut WHO (2007), active case finding atau penemuan kasus secara aktif

merupakan bagian dari manajemen malnutrisi pada balita yang berbasis komunitas.

Manajemen malnutrisi berbasis komunitas pada dasarnya terdiri dari deteksi dini kasus dan

pemberian terapi berupa sediaan makanan terapeutik atau makanan yang bergizi tinggi di

rumah, kepada anak-anak dengan malnutrisi yang tidak mengalami komplikasi medis. Jika

dikombinasikan dengan manajemen berbasis fasilitas bagi kasus-kasus dengan komplikasi

medis, maka penerapan manajemen berbasis komunitas ini akan mampu mencegah

kematian akibat komplikasi malnutrisi pada anak-anak (WHO, 2007).

Sebagai ujung tombak manajemen malnutrisi berbasis komunitas, active case finding

dapat dilakukan oleh kader kesehatan atau relawan yang bersedia ikut serta dalam program

dan telah terlatih untuk mengidentifikasi dan manajemen kasus di tingkat komunitas (WHO,

2007). Pada daerah-daerah dengan fasilitas yang terbatas dan pada masyarakat dengan sosial

ekonomi yang rendah, sebagian besar kasus malnutrisi tidak dibawa ke fasilitas kesehatan,

sehingga peran komunitas yang kuat sangat dibutuhkan untuk dapat menangani kasus

dengan tepat. Penemuan kasus secara aktif juga telah terbukti dapat menurunkan jumlah

kasus malnutrisi yang perlu dirawat di fasilitas kesehatan (WHO, 2007).

8

2.4 Ketahanan dan Kerawanan Pangan

Pengertian ketahanan pangan seperti yang tertuang pada Undang undang No. 7 tahun

1996 tentang Pangan, adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang

tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata

dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan

pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi: (1)

Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian

ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak

dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang

bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia, (2) Terpenuhinya pangan dengan

kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain

dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk

kaidah agama, (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa

distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di

seluruh tanah air, (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa

pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Konsep ketahanan

pangan ini merupakan konsep yang yang mengadopsi definisi dari FAO (1996) Keempat

komponen tersebut dapat digunakan dalam mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah

tangga(Ariani, 2010).

Dalam rangka mewujudkan peningkatan ketahanan pangan, sesuai dengan Instruksi

Presiden Nomor 1 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun

2010, ketahanan pangan merupakan prioritasi kelima. Tindak lanjut dari instruksi ini adalah

adanya Program Pemenuhan Konsumsi dan Kualitas Gizi Masyarakat yang meliputi: 1.

Pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pangan, 2. Percepatan

penganekaragaman pangan, 3. Pengembangan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan.

Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and

Vurnability Atlas/FSVA) (2009), menunjukkan bahwa dari 364 kabupaten yang dianalisis,

terdapat 100 kabupaten atau sekitar 28,9% rentan terhadap kerawanan pangan. Dari 100

kabupaten tersebut, sebanyak 30 kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta perlu

mendapat penanganan prioritas 1, sebanyak 30 kabupaten lainnya masuk dalam kategori

prioritas 2 dan 40 kabupaten sisa termasuk dalam prioritas 3 yang perlu mendapat

penanganan secara bertahap. Berdasarkan indikator dalam analisis FSVA kerentanan

terhadap kerawanan pangan terutama disebabkan oleh angka kemiskinan yang masih tinggi,

tidak ada akses listrik, kasus underweight pada balita masih tinggi, tidak ada akses jalan

9

untuk kendaraan roda empat, tidak ada sumber air bersih, dan rasio konsumsi normatif

perkapita terhadap ketersediaan serealia masih meningkat.

Pembangunan ketahanan pangan untuk mengatasi kondisi kerawanan pangan di

Indonesia ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang

dirumuskan sebagai usaha untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah

tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata,

serta terjangkau oleh setiap individu.

Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang dilegitimasi pada Undang-

undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini ditindaklanjuti

dengan Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Indonesia

memasukkan mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi dalam

pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau. Konsep

ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan untuk menyatakan ketahanan pangan

pada beberapa tingkatan : 1. global, 2. nasional, 3. regional dan 4. tingkat rumah tangga di

tingkat rumah tangga dan individu(Hanani, 2005).

Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan

yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah,

mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat,

kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan anggotanya dari produk sendiri dan

atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat, serta kemampuan rumah tangga

untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.

Ketahanan pangan setidaknya memiliki dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas

masyarakat terhadap pangan(Arifin, 2004).

2.5 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Sistem Kewaspadaaan Pangan dan Gizi (SKPG) merupakan suatu sistem informasi

dan komunikasi yang mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan kondisi pangan

dan gizi yang berkesinambungan dan diproses kepada pengambilan keputusan serta

dilakukan intervensi untuk menanggulangi masalah pangan dan gizi yang terjadi (Djaeni,

1989).Mengetahui kondisi pangan dan gizi pada suatu daerah dapat dilihat dari hasil analisis

Sistem Kewaspadaaan Pangan dan Gizi (SKPG).

Data yang dikumpulkan dalam SKPG mencakup tiga aspek utama yaitu ketersediaan

pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.Hasil hasil analisis SKPG ini digunakan

sebagai dasar pelaksanaan investigasi untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian

10

kerawanan pangan dan gizi di suatu daerah serta intervensi dalam rangka mewujudkan

ketahanan pangan masyarakat.Menurut Hanani (2005)dalam Monitoring dan Evaluasi

Ketahanan Pangan, aspek ketersediaan pangan melihat bagaimana kemampuan suatu daerah

untuk menghasilkan pangannya sendiri. Melihat potensi sumber daya yang dimiliki setiap

daerah berbeda-beda.Perbedaan dalam hal potensi produksi pertanian ini tentunya sangat

terkait dengan kondisi iklim dancuaca serta kondisi tanah yang sangat spesifik pada

masingh-masing daerah.

Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangannormatif

dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi pangan normatif di

peroleh dengan mengasumsikankonsumsi per kapita per hari adalah 300 gram per orang per

hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan

ukuran yang menunjukkan proporsi dari ketersediaan yang digunakan untuk

konsumsi.Komoditas pangan dalam aspek ketersediaan pangan merupakan komoditas

pangan sebagai sumber karbohidrat dan merupakan pangan utama di wilayah

tersebut(Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Klungkung, 2013a).

Menurut Hanani (2005) aspek akses pangan erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi

yang dilakukan di daerah tersebut. Wilayah dengan kondisi akses ekonomi yang baik akan

meningkatkan daya beli yang lebih baik. Aspek pemanfaatan pangan merupakan indikator

dampak dari ketersediaan maupun akses pangan. Ketersediaan dan akses pangan yang baik

akan memberi peluang bagi penyerapan pangan yang baik pula. Informasi yang ditampilkan

dalam aspek pemanfaatan pangan pada SKPG adalah informasi mengenai jumlah balita

terdaftar, jumlah ditimbang, jumlah balita naik berat badan, jumlah balita BGM dan jumlah

balita tidak naik berat badan (BPMPD Provinsi Bali, 2012).

2.6 Indikator Ketahanan Pangan dan Rumah Tangga Rawan Pangan

Menurut Maxwell & Frankenberger (1992)menyebutkan bahwa pencapaian

ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses

menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan,

sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung.

Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses

terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar,

konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi sumber pendapatan,

akses terhadap kredit modal. Selain itu indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah

11

tangga untuk memenuhi kekurangan pangan.Indikator dampak juga dibedakan ke dalam dua

jenis yaitu indikator dampak langsung dan indikator dampak tidak langsung. Indikator

dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan, sedangkan indikator

dampak tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi(Khomsan. A, 2002).

Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami

daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar

kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.Hal ini terjadi secara

berulang pada waktu-waktu tertentu (kronis) dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat

seperti bencana alam maupun bencana sosial (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).Seseorang

dikatakan tahan pangan apabila konsumsinya mencapai sedikitnya 90% dari AKG sebesar

2.000 Kkal/kapita/hari, sedangkan rawan pangan apabila konsumsinya antara 70%-90% dari

AKG dan dikategorikan sebagai sangat rawan pangan apabila konsumsinya kurang dari 70%

dari AKG (Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, 2013).

Istilah “rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari

ketahanan pangan (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah “terjadingan

penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertian sama. Ada dua jenis

kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food insecurity) dan bersifat

sementara (transitory food insecurity)(BPMPD Provinsi Bali, 2013).

Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah

tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat

individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis) yang terjadi

sepanjang waktu.Pengertian rawan pangan akut atau transitory mencangkup rawan pangan

musiman.Rawan pangan ini terjadi karena adanya kejutan yang sangat membatasi

kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi

rumah tangga diperkotaan rawan pangan tersebut disebabkan oleh pemutusan hubungan

kerja dan pengangguran(BPMPD Provinsi Bali, 2013).

Rawan pangan juga didefinisikan kondisi didalamnya tidak hanya mengandung

unsur yang berhubungan dengan state of poverty, seperti masalah kelangkaan sumber daya

alam, kekurangan, modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang disebabkan

ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur

yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang diperlukan

didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu/rumah tangga melalui proses pertukaran

guna mempengaruhi kebutuhan pangannya(Arifin, 2004).

12

Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya

rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat

rawan pangan jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi

normal(BPMPD Provinsi Bali, 2013). Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di

semua provinsi dengan besaranyang berbeda. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk

dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa

ketahanan pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat

ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi(Saliem et al., 2001).

Kerawanan terjadi mana kala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu

mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi

pertumbuhan dan kesehatan para individu anggota. Ada tiga hal penting yang

mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu: Kemampuan penyediaan pangan

individu/rumah tangga; Kemampuan individu/rumah tangga untuk mendapatkan dan

pangan; Proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang

dimiliki oleh individu/rumah tangga(BPMPD Provinsi Bali, 2013).

Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul

secara stimultan dan bersifat relatif permanen.Sedang pada kasus rawan pangan yang

musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau dua

faktor saja yang sifatnya tidak permanen. Kondisi rawan pangan ditingkat rumah tangga

dapat dikategorikan tingkat empat, yaitu: Tidak rawan pangan (food security);Rawan

pangan tanpa terjadi kelaparan (food insecure without hunger); Rawan pangan dan terjadi

kelaparan tingkat sedang (food insecure with hunger moderate); Rawan pangan dan terjadi

kelaparan tingkat berat (food insecure with hunger severe)(BPMPD Provinsi Bali, 2013).

13

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, maka tujuan umum

penelitian ini adalah untuk menganalisis situasi pangan dan gizi serta deteksi dini kasus

malnutrisi pada anak balita di kawasan miskin Provinsi Bali.

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis kondisi pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan akses pangan

penduduk di kawasan miskin Provinsi Bali

2. Menganalisis masalah gizi yang terjadi pada anak balita dan ibu hamil di kawasan

miskin Provinsi Bali

3. Menganalisis bentuk model deteksi dini kasus malnutrisi yang sesuai dengan kondisi

pangan dan gizi pada kawasan miskin di Provinsi Bali.

3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan mengingat kemiskinan merupakan akar

permasalahan terjadinya kerawanan pangan dan akan berdampak langsung terhadap masalah

gizi yang terjadi di daerah tersebut. Hasil penelitian ini akan diketahui secara lebih detail

mengenai tingkat keparahan dari masalah kerawanan pangan di kawasan miskin, disamping

itu dapat disusun strategi program yang tepat sesuai kondisi dan situasi daerah dan

memberikan rekomendasi bagi pemegang kebijakan dalam hal ini Dinas Kesehatan

Kabupaten dan Provinsi dalam menyusun kebijakan mengenai kerawanan pangan dan

masalah gizi di kawasaan miskin Provinsi Bali baik dalam hal pengaturan sumber daya dan

dana untuk implementasi program. Universitas Udayana, khususnya Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat akan dapat berkontribusi untuk membantu mengatasi masalah

pangan dan gizi serta dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian selanjutnya. Model

deteksi dini kasus malnutrisi untuk kawasan miskin di Provinsi Bali yang akan dirancang

berdasarkan hasil analisis situasi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemegang

kebijakan dalam upaya mengatasi masalah gizi khususnya pada anak balita di kawasan

miskin berdasarkan karakteristik khas daerah atau budaya lokal masing-masing daerah.

Potensi hasil yang didapat dengan dilakukannya penelitian adalah 1) Diperoleh data

atau informasi yang sangat penting mengenai kondisi kerawanan pangan dan masalah gizi

dikawasan miskin Provinsi Bali dan 2) Dihasilkan bentuk model deteksi dini kasus

malnutrisi yang efektif dan efisien untuk dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi dan

situasi pangan dan gizi kawasan miskin Provinsi Bali.

14

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan rancangan

cross-sectional, yaitu seluruh variabel penelitian diamati secara bersamaan selama

penelitian berlangsung. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan digunakan dalam

penelitian ini.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kabupaten yang ada di Provinsi Bali yang memiliki

kawasan miskin berdasarkan data BPS Provinsi Bali tahun 2011 yaitu di Kabupaten

Karangasem. Waktu pelaksanaannya dilaksanakan selama 1 tahun.

4.3 Bagan Alir Penelitian (road map)

Berikut ini road map atau bagan alir penelitian ini yang dilakukan selama 12 bulan.

Tabel 3.1 Road Map Penelitian

Tema

Riset

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Analisis

situasi

pangan

dan gizi

serta

deteksi

dini kasus

malnutrisi

di

kawasan

miskin

Provinsi

Bali

Dilakukannyaa

nalisis situasi

wilayah/kawas

an miskin di

Provinsi Bali

meliputi :

1) Identifika

si atau

pemetaan

wilayah

atau desa

dikabupat

en terpilih

2) Data

wilayah,

jumlah

KK,

pekerjaan,

pendidika

n, jumlah

anak

balita,

jumlah

ibu hamil,

angka

Disusunnya kuesioner

analisis pangan dan gizi

serta informed consent.

Dilakukan kegatan

pengumpulan data

menggunakan pedoman

observasi dan kuesioner,

meliputi:

- Karakteristik sosial

ekonomi

- Produksi dan distribusi

pangan

- Ketersediaan pangan di

pasar dan RT

- Aksesibilitas terhadap

pangan (daya beli dan

transportasi)

- Keanekaragaman pangan

yang tersedia

- Kualitas dan keamanan

pangan

- Harga pangan (stabilitas

pangan)

- Penilaian status gizi anak

Dilakukan

kegiatan

analisis data

penelitian:

- Data

coding

- Data

entry

- Pengolah

an data

- Penyajian

data

dalam

bentuk

numerik

(angka),

grafik

(gambar)

- Analisis

data

Dirancang

suatu

model

deteksi dini

kasus

malnutrisi

pada anak

balita

sesuai hasil

penelitian

Disusun-

nya laporan

penelitian

Disemi

nasi

hasil

peneliti

an

Pengu

mpulan

laporan

peneliti

an

15

kesakitan

dan

kematian

ibu dan

anak

3) Data

fasilitas

kesehatan

yang

meliputi

jumlah

puskesma

s,

posyandu,

jumlah

tenaga

kesehatan

dan kader

desa.

Diperoleh ijin

penelitian

(ethical

clearence)

Litbang FK

Universitas

Udayana

dan ibu hamil dengan

metode antropometri

- Perilaku makan atau

budaya

- Perilaku pemberian ASI

eksklusif

- Perilaku akses terhadap

pelayanan kesehatan

Pengumpulan data

kualitiatif dengan FGD

dengan tokoh masyarakat

dan kader mengenai peran

mereka dalam deteksi dini

kasus malnutrisi pada anak

balita terutama penerapan

metode active case finding

malnutrisi

4.4 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Responden

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh KK di Kabupaten Karangasem dan

Kabupaten Klungkung. Dipilih desa miskin dari kabupaten tersebut dengan cara random

sampling. Sampel penelitian ini adalah KK dari desa terpilih dengan besar sampel dihitung

berdasarkan rumus sebagai berikut:

n =Zα2 . p(1− p)

d2

Keterangan:

Zα = Z score untuk tingkat kemaknaan tertentu, besar tingkat kesalahan tipe 1 (α) pada

penelitian sosial biasanya 5% sehingga diperoleh Zα = 1,96

p = Estimasi proporsi sebesar 0,198 (persentase anak balita dengan status gizi kurang di

Kabupaten Karangasem tahun 2010)

d = Besarnya penyimpangan yang dikehendaki sebesar 6,0%

16

Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel maka diperoleh sampel sebanyak 170 KK.

Responden penelitian ini adalah ibu atau keluarga sampel, sedangkan responden dalam

setiap sesi pelaksanaan FGD yaitu tokoh masyarakat dan kader yang ada di desa terpilih

sebanyak minimal lima (5) orang dan akan dilaksanakan dua (2) sesi FGD.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar observasi dan kuesioner

terstruktur yang berisikan data karakteristik sosial ekonomi responden, produksi dan

distribusi pangan, ketersediaan pangan di pasar dan RT, aksesibilitas terhadap pangan (daya

beli dan transportasi), keanekaragaman pangan yang tersedia, kualitas dan keamanan

pangan, dan harga pangan (stabilitas pangan), sedangkan dalam pelaksanaan FGD akan

digunakan pedoman FGD yang sebelumnya akan diujicobakan untuk mengetahui apakah

pertanyaan tersebut sudah dapat dimengerti responden.

Untuk penilaian status gizi anak balita menggunakan metode antropometri dengan alat

pengukur panjang badan atau tinggi badan dengan mikrotoa merek Onemed dan alat

pengukur berat badan dengan menggunakan timbangan pegas merek Camry dengan

ketelitian 0,1 cm. Interpretasi nilai z-score diperoleh dengan menggunakan software WHO

Antro 2005. Penilaian status gizi ibu hamil dilakukan dengan metode antropometri

menggunakan pita lingkar lengan atas (LILA) untuk mengetahui status KEK ibu hamil yang

ada di wilayah penelitian. Data berat badan sebelum hamil dan tinggi badan juga

dikumpulkan untuk mengetahui IMT ibu sebelum hamil.

4.6 Prosedur Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik sosial ekonomi (pekerjaan,

pendidikan dan pendapatan keluarga) responden, produksi dan distribusi pangan,

ketersediaan pangan di pasar dan RT, aksesibilitas terhadap pangan (daya beli dan

transportasi), keanekaragaman pangan yang tersedia, kualitas dan keamanan pangan, dan

harga pangan (stabilitas pangan) serta data status gizi anak balita dan ibu hamil. Data

primer diperoleh dengan wawancara dengan responden dan pengukuran berat badan,

tinggi badan/panjang badan dan pengukuran LILA.

Pelaksanaan FGD untuk pengumpulan data mengenai persepsi dan opini mengenai

mengenai peran tokoh masyarakat dan kader dalam deteksi dini kasus malnutrisi pada

anak balita, dilakukan pada dua kelompok yaitu satu kelompok di Kabupaten

17

Karangasem dan satu kelompok di Kabupaten Klungkung dengan tim peneliti sekaligus

sebagai fasilitator. Diskusi ini akan dilaksanakan di kantor dinas kesehatan masing-

masing kabupaten.

2. Data sekunder

Data sekunder meliputi data wilayah, jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk atau

pekerjaan, pendidikan, pendapatan perkapita daearah, jumlah anak balita, jumlah ibu

hamil, angka kesakitan dan kematian ibu dan anak. Dikumpulkan juga data mengenai

jumlah fasilitas kesehatan (jumlah puskesmas dan posyandu), jumlah tenaga kesehatan

dan kader desa yang ada di wilayah penelitian. Data sekunder ini diperoleh dari catatn

register puskesmas/posyandu, laporan atau data kecamatan/kabupaten dan sumber yang

lainnya.

4.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif yaitu digunakan untuk

mendiskripsikan setiap variabel yang diteliti dalam penelitian, dengan melihat gambaran

distribusi dari variabel penelitian, sedangkan hasil FGD dianalisis dengan menggunakan

content analysis dimana data disederhanakan dan kemudian dianalisis untuk melihat

persepsi dan opini mengenai mengenai peran tokoh masyarakat dan kader dalam deteksi dini

kasus malnutrisi pada anak balita.

18

BAB 5. HASIL PENELITIAN

Provinsi Bali tidak lepas dari masalah kemiskinan, walaupun secara signifikan telah

mencapai kemajuan terkait upaya pengurangan kemiskinan yaitu 6,18% pada tahun 2008

menurun menjadi 3,95% pada tahun 2013 (BPMPD, 2013).

Penelitian ini dimulai dengan melakukan analisis data sekunder mengenai data

rumah tangga miskin (RTM) di Provinsi Bali. Disamping persentase RTM yang tinggi,

dicari data mengenai persentase kejadian malnutrisi di kawasan miskin tersebut. Data

diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Kabupaten serta

diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi

Bali. Menurut informasi dari BPMPD Provinsi Bali, sejak tahun 2008 sampai tahun 2011,

istilah RTM berubah nama menjadi RTS (Rumah Tangga Sasaran). Data yang diperoleh

dari BPMPD adalah data yang berasal dari BPS melalui Program Pendataan Perlindungan

Sosial (PPLS) tahun 2011. Kategori yang digunakan adalah miskin (kelompok 1), hampir

miskin (kelompok 2) dan rentan miskin (kelompok 3). Gambar 5.1 merupakan hasil analisis

persentase RTS di Provinsi Bali berdasarkan data PPLS tahun 2011. Berdasarkan analisis ini

diketahui Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Klungkung memiliki persentase RTS

tertinggi.

Penelitian ini juga mengambil data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Bali

tahun 2010 mengenai persentase anak balita menderita kurang gizi. Diperoleh data bahwa

Kabupaten Karangasem menempati posisi teratas dengan kasus kurang gizi sebesar 19,8%.

18.1

21.81

9.35

25 26.2223.14

28.0129.69

6.37

Gambar 5.1 Persentase RTS di Provinsi Bali

19

Berikut ini persentase RTS yang ada di Kabupaten Karangasem menurut Kecamatan.

Kecamatan dengan RTS tertinggi ada di Kecamatan Abang dengan persentase

sebesar 43,91% namun jika dilihat berdasarkan desa yang ada di masing-masing kecamatan

persentase RTS diatas 30% selalu ada di setiap kecamatan kecuali di Kecamatan Rendang.

Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem tahun 2013,

menunjukkan bahwa persentase RTS diatas 30% ternyata diikuti dengan kecenderungan

kejadian kasus anak balita gizi kurang yang tinggi yaitu di Kecamatan Kubu (528 anak

balita), Kecamatan Abang (244 anak balita) dan Kecamatan Karangasem (94 anak balita).

Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Abang, Kecamatan Kubu dan

Kecamatan Karangasem yaitu di Desa Pidpid, Desa Bukit, Desa Nawakerti dan Desa

Tianyar Timur. Berikut ini hasil analisis data survei yang sudah dilakukan di Kabupaten

Karangasem.

I. Struktur KK

Berikut ini karakteristik sampel penelitian ini.

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik Sampel n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 352 52,1

Perempuan 324 47,9

Kelompok Usia

0-4 tahun 96 14,2

5-12 tahun 103 15,2

13-17 tahun 59 8,7

18-25 tahun 112 16,6

26-45 tahun 221 32,7

13.97

26.95

12.05

28.22

43.91

25.42 23.49

37.55

Gambar 5.2 Persentase RTS di Kabupaten Karangasem

20

46-65 tahun 66 9,8

>65 tahun 19 2,8

Tingkat Pendidikan

Tidak sekolah 108 16,0

SD 191 28,3

SMP 125 18,5

SMA 57 8,4

PT 9 1,3

Berdasarkan tabel diatas, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah

wanita. Hal ini terlihat dari jumlah laki-laki pada tabel yakni 352 orang (52,1%) dan jumlah

perempuan 324 orang (47,9%). Sebagian besar anggota keluarga termasuk dalam kelompok

usia produktif yaitu usia 15-64 tahun. Selain usia produktif, terdapat pula usia balita dengan

persentase 14,2% dan lansia sebesar 2,8%. Untuk tingkat pendidikan, berdasarkan tabel

diatas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat di empat desa tersebut merupakan lulusan

SD yakni 28,3% dan hanya sedikit yang mampu melanjutkan hingga perguruan tinggi

(1,3%).

II. Status Kesehatan dan Gizi Anak Balita dan Ibu Hamil

Karakteristik dan Status Gizi Anak Balita (0-59 Bulan)

Sebanyak 96 anak balita menjadi sampel dalam penelitian ini. Berikut ini adalah

karakteristik dan status gizi anak balita.

Tabel 5.2 Karakteristik Anak Balita

Karakteristik Balita n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 57 59,4

Perempuan 39 40,6

Status BBLR

BBLR 8 8

Tidak BBLR 88 92

Status Gizi Balita

BB/TB

Sangat Kurus 1 1

Kurus 11 11,5

Normal 75 78,1

Gemuk 9 9,4

BB/U

Buruk 2 2,1

Kurang 8 8,3

Baik 84 87,5

Lebih 2 2,1

21

TB/U

Sangat pendek 10 10,4

Pendek 20 20,8

Normal 60 62,5

Tinggi 6 6,3

Tabel diatas menunjukkan sebanyak 59,4% anak balita berjenis kelamin laki-laki dan

40,6% anak balita berjenis kelamin perempuan. Rata-rata umur anak balita adalah 28 bulan

dengan umur 59 bulan merupakan umur tertinggi. Sebanyak 8(8%) anak balita lahir dengan

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan 88(92%) anak balita lahir dengan berat sama

dengan atau diatas 2500 gr.

Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan metode antropometri. Parameter yang

diambil adalah umur, panjang atau tinggi badan dan berat badan. Indeks yang digunakan

yaitu BB/TB, BB/U dan TB/U. Berdasarkan indeks BB/TB sebagian besar (78,1%) dengan

kategori normal. Walaupun sebagian besar normal namun ditemuka juga anak balita gemuk

yaitu 9,4%. Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita (87,5%) termasuk dalam

status gizi baik, namun ditemukan anak balita dengan status gizi kurang dan buruk sebanyak

10 anak balita (10,4%). Berdasarkan indeks TB/U sebagian besar anak balita memiliki

pertumbuhan linier (tinggi badan) sesuai umur (62,5%), namun ditemukan masih tingginya

prevalensi anak balita dengan status gizi pendek (pendek dan sangat pendek) yaitu sebesar

31,2%.

Berikut ini grafik status gizi anak dibandingkan dengan referensi dari WHO 2005.

BB/TB

22

BB/U

23

TB/U

Gambar 5.3 Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Indeks BB/U, BB/TB dan TB/U

Disamping karakteristik dan status gizi anak balita, dikumpulkan data mengenai riwayat

kelahiran anak balita seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 5.3 Riwayat Kelahiran Anak

Riwayat Kelahiran n %

Umur Kelahiran

Cukup Umur 85 88,5

Tidak Cukup Umur 11 11,5

Bantuan Alat

Menggunakan Alat 11 11,5

Tidak Menggunakan Alat 85 88,5

Pemberian Kolostrum

Diberikan Kolostrum 72 75

Tidak Diberikan 18 18,8

Tidak Tahu 6 6,3

Riwayat kelahiran anak balita menunjukkan sebagian besar anak balita lahir pada umur

≥37 minggu (88,5%). Sebanyak 11,5% balita lahir dengan tidak cukup umur dan

menggunakan alat berupa vakum dan operasi. Sebesar 75% anak balita mendapatkan

24

kolostrum namun berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 6,3% responden yang tidak

mengetahui anaknya sudah mendapatkan kolostrum atau tidak sewaktu dilahirkan.

Keadaan Kesehatan Anak Balita, Perilaku Akses terhadap Pelayanan Kesehatan dan

Kepemilikan Kartu Sehat/Kartu Miskin

Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan kuesioner, kunjungan anak balita pada

keluarga miskin ke posyandu berkisar 68,8%. Waktu penelitian ini berlangsung tepat pada

saat bulan vitamin A dan sebagian besar balita mendapatkan dan meminum vitamin A yaitu

sebesar 69,8%. Vitamin A tersebut didapatkan di posyandu, bidan, rumah sakit, dokter dan

puskesmas. Namun kadang kapsul vitamin A dititipkan kepada salah satu ibu yang datang

ke posyandu untuk diberikan kepada ibu yang memiliki anak balita namun tidak datang saat

pembagian kapsul vitamin A.

Sebagian besar (57,3%) anak balita pernah mengalami sakit dengan frekuensi 1-2 kali

dalam sebulan. Berdasarkan hasil wawancara, jenis penyakit yang diderita anak balita dalam

tiga bulan terakhir antara lain ISPA, campak, diare, gejala tifus, muntah dan sesak dengan

lama sakit lebih kurang 5 hari.

Pada saat menderita sakit, anak balita dibawa orang tua ke puskesmas (37,5%), bidan

praktek swasta (21,9%), dokter (11,5%), klinik swasta (7,3%), rumah sakit (7,3%) dan

mantri (1%). Selain itu, berdasarkan hasil wawancara responden juga melakukan

pengobatan dengan obat tradisional, obat yang dibeli sendiri di warung terdekat, diberikan

air putih dan ada yang membiarkan saja anaknya yang sakit sampai sembuh sendiri. Terkait

dengan hal ini sebesar 51% responden yang memiliki anak balita tidak memiliki kartu

sehat/miskin. Bagi responden yang memiliki kartu sehat/miskin, kartu tersebut

dimanfaatkan untuk berobat, pemeriksaan, perawatan serta untuk keperluan melahirkan.

Kebiasaan Makan Anak

Untuk melihat keadaan gizi balita, dilakukan penilaian terhadap beberapa kebiasaan

konsumsi seperti kebiasaan sarapan, konsumsi camilan, sayur, susu, buah dan protein serta

dilihat ada tidaknya pantangan atau alergi. Berdasarkan data diperoleh bahwa balita selalu

mengonsumsi sarapan (54,2%) dan yang tidak pernah sarapan hanya 6,3%. Untuk camilan,

terdapat 44,8% balita yang selalu mengonsumsi camilan dan 13,5% balita tidak pernah

mengonsumsi camilan.

Konsumsi sayur dan buah pada balita berdasarkan data, terlihat bahwa kedua jenis

makanan tersebut kurang diminati. Sebanyak 32,3% balita kadang-kadang mengonsumsi

25

sayur dan 42,7% balita jarang mengonsumsi buah atau sari buah. Sedangkan untuk

konsumsi susu, sebanyak 44,8% balita tidak pernah mengonsumsi susu. Jika dilihat dari

konsumsi lauk protein yang dibagi menjadi lauk hewani dan lauk nabati, sebagian besar

balita termasuk kedalam kategori kadang mengonsumsinya dengan persentase masing-

masing ialah 47,9% dan 53,1%.

Sedangkan untuk pantangan, hanya 10,4% balita yang memiliki pantangan terhadap

makanan. Jenis makanan yang menjadi pantangan balita tersebut adalah daging ayam

(40%), ikan (20%), camilan (20%), susu (10%) dan telur (10%). Pantangan makanan

tersebut sebagian besar menyebabkan gatal (70%).

Pemberian ASI Eksklusif dan MPASI

Pemberian ASI secara eksklusif belum dapat terlaksana dengan baik di wilayah

penelitian. Hal ini terlihat hanya 24% responden memberikan ASI saja sampai usia 6 bulan,

sedangkan 74% responden tidak ASI eksklusif. Sebesar 2% responden sedang memberikan

ASI saja pada saat pengumpulan data dilakukan. Pemberian susu formula dan MPASI dini

dilakukan oleh responden yang tidak menyusui secara eksklusif. Jenis MPASI yang

diberikan antara lain bubur beras, pisang, nasi dan air rebusan beras (titisan). Rata-rata

frekuensi pemberian MP-ASI adalah 3 kali dalam sehari.

Keadaan Gizi dan Kesehatan Ibu Hamil

Dari 170 responden terdapat 11 orang ibu hamil. Sebagian besar merupakan kehamilan

kedua (54,5%) dengan sebagian besar berada pada trimester ketiga (45,5%). Rata-rata

keluarga di empat desa yang memiliki ibu hamil, umumnya baru memiliki 1 orang anak

(72,7%).

Rata-rata berat badan sebelum hamil adalah 51 kg sedangkan pada saat hamil, rata-rata

berat ibu hamil adalah 57 kg, sedangkan untuk rata-rata tinggi badan ibu hamil adalah 154

cm. Berdasarkan perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil diketahui bahwa

dari 11 ibu hamil 4 (36,4%) ibu termasuk dalam kategori berat badan (BB) kurang dan 7

(63,6%) termasuk dalam kategori BB normal.

Keadaan gizi ibu hamil juga diukur dengan melakukan pengukuran lingkar lengan atas

(LILA). Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh bahwa semua ibu hamil memiliki LILA

diatas 23,5 cm (100%). Sebanyak 18,2% ibu hamil mengalami edema dan 81,8% tidak

mengalami edema. Rata-rata frekuensi ANC pada ibu hamil tersebut adalah 4 kali selama

kehamilan. ANC tersebut dilakukan di bidan praktek swasta (72,7%) dan dokter, puskesmas

26

serta rumah sakit dengan persentase masing-masing adalah 9,1%. Dalam melakukan ANC,

sebagian besar biaya yang dihabiskan lebih dari Rp 30.000,- (63,6%) dengan biaya

pemeriksaan yang paling mahal adalah Rp 90.000,- dan paling murah Rp 5.000,-.

Berdasarkan hasil wawancara, seluruh ibu hamil mengonsumsi suplemen atau

multivitamin. Merek dari multivitamin yang dikonsumsi antara lain Novakal/Hufabion,

Prenatal, Ramabion, Antasida Doen, Livron B Plex, Licokalk, Promavit dan Tablet Tambah

Darah. Multivitamin tersebut diminum ibu hamil dengan frekuensi 2 kali dalam sehari.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh bahwa semua ibu hamil

tidak ada yang memiliki riwayat sakit sebelum kehamilan berlangsung. Keluhan yang sering

terjadi selama kehamilan berlangsung sebanyak 8 (72,7%) ibu hamil mengalami keluhan

lebih dari satu jenis yakni mual, muntah, pusing, lesu, kesemutan, pegal, dan kurang nafsu

makan. Pantangan makan selama kehamilan hanya dimiliki oleh 18,2% ibu hamil yaitu air

dingin dan minyak.

III. Ketahanan Pangan Keluarga

Rata-rata pendapatan rumah tangga

Rata-rata pendapatan pada rumah tangga sampel adalah Rp 1.034.552,94. Pendapatan

tertinggi adalah Rp 9.000.000,00 dan pendapatan terendah adalah Rp 20.000,00.

Akses pangan

Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat

rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari

rata-rata jarak yang ditemnpuh untuk mengakses pangan, sarana transportasi yang

digunakandalam memperoleh pangan serta sumber dari perolehan pangan.

a. Rata-rata jarak yang ditempuh untuk mengakses pangan

Jarak yang ditempuh oleh anggota rumah tangga sampel untuk mengakses

pangan adalah 672,15 m. Jarak terdekat yang ditempuh adalah 1 m dan jarak

terjauhnya adalah 10.000 m.

b. Sarana transportasi yang digunakan

Jenis sarana transportasi yang digunakan adalah kendaraan (motor dan

mobil) serta angkot.Selain itu terdapat pula rumah tangga yang mengakses

pangan dengan berjalan kaki menuju lokasi penjualan pangan.

Hasil analisis data diketahui bahwa terdapat 6 keluarga sampel yang

menggunakan kendaraan dan berjalan kaki dalam mengakses pangan, 29

27

keluarga menggunakan kendaraan dalam mengakses pangan, 139 keluarga

mengakses pangan dengan hanya berjalan kaki dan 7 keluarga yang

menggunakan angkot dalam mengakses pangan.

c. Sumber perolehan pangan

Sumber perolehan pangan dari rumah tangga sampel dapat berupa produksi

sendiri, membeli dan diberi oleh orang lain. Sumber perolehan pangan terbanyak

berasal dari membeli yaitu sebanyak 165 keluarga, diikuti dengan memproduksi

sendiri sebanyak 33 keluarga dan 7 keluarga diberi. Terdapat 2 keluarga yang

memiliki sumber perolehan pangan berasal dari produksi dan diberi, 6 keluarga

memperoleh pangan dari membeli dan diberi serta 29 keluarga yang memperoleh

pangan dengan produksi sendiri dan membeli.

Selain itu terdapat keluarga yang memperoleh bantuan beras miskin

sebanyak 96 keluarga dan 27 keluarga yang memperoleh bantuan MPASI/PMT

pada saat dilakukan wawancara dan observasi.

Jenis MPASI/PMT yang diperoleh adalah telur, roti, bubur, dan kacang

hijau.Hasil analisis tabulasi silang diperoleh hasil bahwa terdapat 14 keluarga

yang memperoleh raskin dan MPASI/PMT.

Di pekarangan rumah dari keluarga sampel terdapat 62 rumah tangga yang

memiliki tanaman pangan selain itu terdapat 47 rumah tangga memiliki ternak

dan tidak ada rumah tangga yang memelihara ikan. Hasil tabulasi silang

diperoleh hasil bahwa terdapat 27 keluarga yang memiliki tanaman di

pekarangan serta berternak.

Jenis tanaman yang ditanam meliputi jenis sayuran yaitu bayam, terong, labu

siam, pare, kelor, tomat dan cabe. Selain itu terdapat pula beberapa jenis umbi-

umbian yang ditanam meliputi ubi dan singkong. Jenis buah-buahan yang

ditanam lebih banyak pisang, selain itu terdapat pula warga yang menanam

nangka, rambutan, mangga dan kelapa, sedangkan hewan ternak yang dipelihara

meliputi jenis sapi, ayam, babi, angsa,

Persepsi tentang kecukupan pangan

Dalam beberapa bulan terakhir terdapat 78 keluarga yang merasa tidak cukup

pangan karena tidak mampu menyediakan/membeli pangan dan 92 keluarga lainnya tidak

mengalami hal tersebut. Peristiwa tersebut terjadi 1-7 hari dalam sebulan terakhir, kejadian

28

terlama terjadi selama 7 hari dalam sebulan rata-rata keluarga mengalami kekurangan

pangan adalah 1,49 hari. Kejadian tidak cukup pangan ini terjadi berkisar 1-35 dalam kali

setahun dengan rata-rata kejadian per tahunnya adalah 2,49 kali.

Menurut pengamatan pencacah sebagian besar ibu/responden tergolong normal

dengan jumlah 107 orang, 16 orang gemuk, dan 47 orang tergolong kurus. Wajah dari

responden sebagian besar tampak cerah yaitu sebanyak 124 orang serta 46 orang tampak

pucat. Keadaan tubuh anak dalam keluarga sampel sebagian besar normal dengan jumlah 68

orang, 9 orang kurus, dan 2 orang tampak gemuk.

Hasil tabulasi silang antara kondisi wajah (fisik) dan kondisi kecukupan pangan

diperoleh hasil terdapat 39 keluarga yang mengalami ketidak cukupan pangan serta kondisi

wajah responden pucat.

Tabel 5.4 Distribusi Analisis AKG berdasarkan Kondisi Fisik (Wajah)

Kondisi Wajah

Kategori AKG Pucat (f(%)) Cerah (f(%)) Total

Cukup 7 (31,8%) 15 (68,2%) 22 (12,9%)

Kurang 39 (26,4%) 109 (73,6%) 148 (87,1%)

46 (27,1%) 124 (72,9%) 170 (100,0%)

Penyediaan pangan/makanan keluarga

Penyediaan pangan di keluarga sampel lebih banyak berasal dari masak di rumah

yaitu sebanyak 168 keluarga. Alasan responden lebih banyak masak di rumah karena

masakan yang dihasilkan lebih enak, murah, porsinya cukup, lebih hemat, uang yang kurang

Cukup Pangan Tidak Cukup Pangan

Jumlah 92 78

70

75

80

85

90

95

Gambar 5.4 Persepsi Keluarga mengenai Kecukupan Pangan Keluarga

29

untuk membeli dan jarak yang ditempuh jika membeli jauh selain itu kondisi masakan yang

dihasilkan lebih bersih. Terdapat 2 keluarga yang lebih sering membeli makanan untuk

keluarga karena jika memasak sendiri mubazir mengingat tidak semua anggota keluarga

makan di rumah.

Rata-rata pengeluaran pangan keluarga

Rata-rata pengeluaran pangan keluarga adalah Rp 304.105,26 dan rata-rata

pengeluaran untuk membeli non pangan adalah Rp 79.438,60. Rata-rata presentase

pengeluaran pangan adalah 71,42% ± 140,9 SD. Presentase pengeluaran pangan keluarga

dibagi menjadi 2 yaitu <60% tergolong rendah dan ≥60% tergolong tinggi. Terdapat 55

rumah tangga yang memiliki presntase pengeluaran pangan tinggi.

Tabel 5.5 Persentase Pengeluaran Pangan Keluarga

Persentase pengeluaran pangan

n (%) Mean ± SD SE

Rendah 115

67,60% 71,042 ± 140,90 10,806

Tinggi 55

32,40%

Kualitas dan stabilitas pangan

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan

kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari.

Pada aspek ketersediaan pangan di rumah, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 51

rumah tangga yang tergolong tidak cukup pangan, dan 119 rumah tangga tergolong

memiliki persediaan pangan yang cukup.

Pada aspek frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari terdapat 68 rumah

tangga yang memiliki frekuensi makan <3 kali/hari.

Tabel 5.6 Distribusi Ketersediaan Pangan dan Frekuensi Makan Keluarga

Aspek n (%)

Ketersediaan Pangan

1. Cukup

2. Tidak cukup

119 (70%)

51 (30%)

Frekuensi Makan

1. 3 kali/hari

2. <3 kali/hari

102 (60%)

68 (40%)

Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai

30

macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran

keamanan pangan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung

protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Hasil observasi yang

dilakukan menunjukan bahwa terdapat 141 rumah tangga yang tidak memiliki persediaan

pangan yang mengandung protein hewani/nabati pada saat dilakukan observasi.

Kondisi Tempat Tinggal

Aspek kondisi tempat tinggal meliputi beberapa indikator yaitu keadaan rumah,

kepemilikan rumah, penerangan, sumber air yang digunakan, ketersediaan septic tank,

kondisi ventilasi serta keberadaan tempat sampah.

Tabel 5.7 Kondisi Tempat Tinggal

Aspek n (%)

Keadaan Rumah

1. Permanen

2. Semi permanen

77 (45,3%)

93 (54,7%)

Kepemilikan rumah

1. Milik sendiri

2. Sewa

3. Lainnya (warisan)

155 (91,2%)

10 (5,9%)

5 (2,9%)

Penerangan

1. Minyak tanah

2. Lilin

3. Listrik

54 (31,8%)

26 (15,3%)

90 (52,9%)

Sumber Air

1. PAM

2. Sumur

3. Mata air/sungai

109 (64,1%)

1 (0,6%)

60 (35,3%)

Septic Tank

1. Tidak ada

2. Ada

88 (51,8%)

82 (48,2%)

Ventilasi

1. Baik

2. Cukup

3. Buruk

36 (21,2%)

59 (34,7%)

75(44,1%)

Tempat sampah

1. Tidak ada

2. Ada

97 (57,1%)

73 (42,9%)

Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga Sampel

31

Rata-rata konsumsi energi rumah tangga sampel adalah 5245,49 kkal/hari. Tingkat

konsumsi energi tertinggi adalah 22543,6 dan tingkat konsumsi energi terendah adalah

1159,4.

Rata-rata energi yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut per kapita per hari

adalah 2419,48 kkal/kap/hari. Nilai ini sudah lebih tinggi dari rata-rata konsumsi energi

yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu 2000kkal/kap/hari. Jika dibandingkan dengan AKG

2004, maka terdapat 148 rumah tangga yang masih tergolong mengkonsumsi energi kurang

dari kecukupan yang dianjurkan per orang/hari yaitu 2000kkal dan 22 keluarga tergolong

cukup.

Tabel 5.8 Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Tingkat Konsumsi

Zat gizi

Rata-rata Asupan

(Mean)

Min (kkal) Maks (kkal)

Energi 5245,49 kkal/hari 1159,40 kkal/hari 22543,60 kkal/hari

Protein 128,73 g/hari 30,20 g/hari 707,20 g/hari

Rata-rata tingkat konsumsi protein rumah tangga sampel adalah 128,73 g/hari. Tingkat

konsumsi protein tertinggi adalah 707,2 g/hari dan terendah adalah 30,2 g/hari.

Tabel 5.9 Kategori AKG

Kategori AKG n (%)

Cukup 22 (12,9%)

Kurang 148 (87,1%)

Jenis Makanan Rumah Tangga Sampel

Jenis sumber karbohidrat yang dikonsumsi oleh rumah tangga sampel adalah beras,

jagung, ubi, mie, roti dan singkong.Sumber karbohidrat yang dominan dikonsumsi oleh

rumah tangga sampel adalah beras dan mie. Rata-rata frekuensi konsumsi beras pada rumah

tangga sampel adalah 2,7 kali per hari dengan frekuensi tertinggi adalah 3 kali dan terendah

adalah 2 kali sehari. Sedangkan pada mie rata-rata konsumsi per hari adalah 0,32 kali per

hari dengan frekuensi tertinggi adalah 1 kali per hari dan terendah adalah 0,0028 kali per

hari.

Sumber protein yang dikonsumsi berasal dari ayam, sapi, babi, ikan, susu, telur,

tempe, tahu, ikan teri, pindang, kacang hijau, sosis, kedelai, dan kacang tanah. Sumber

protein yang paling dominan dikonsumsi adalah susu dengan rata-rata frekuensi konsumsi

adalah 1,77 kali per hari. Selain itu tempe dan tahu juga merupakan salah satu sumber

protein yang banyak dikonsumsi setelah susu. Rata-rata frekuensi konsumsi tempe dan tahu

32

adalah 0,57 dan 0,46 kali per hari. Sumber protein yang paling jarang dikonsumsi adalah

sapi dengan frekuensi 0,04 kali per harinya.

Pemenuhan vitamin dan mineral pada rumah tangga sampel berasal dari berbagai

jenis buah dan sayur.Jenis buah yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan

mineral pada rumah tangga sampel adalah manga, pisang, jambu, papaya, jeruk, semangka,

melon, durian, salak, apel dan timun.Sedangkan jenis sayur yang dikonsumsi adalah kacang

panjang, wortel, daun jelitong, daun kelor, daun ubi, daun singkong, kangkung, bayam,

buncis, sawi hijau, terong ungu, tauge.Selain dari sayur dan buah, terdapat rumah tangga

yang mengkonsumsi kacang tolo dan kacang merah sebagai salah satu sumber pemenuhan

vitamin dan mineral. Jenis sumber vitamin dan mineral yang paling banyak dikonsumsi per

harinya adalah daun kelor dengan rata-rata konsumsi 0,68 kali per hari dan jenis buah durian

merupakan makanan sumber vitamin dan mineral yang paling jarang dikonsumsi dengan

frekuensi konsumsi 0.0027 per harinya.

Frekuensi kebiasaan minum air putih pada rumah tangga sampel adalah 2-10 kali per

hari, dengan rata-rata konsumsi air putih adalah 4,2 kali perharinya.

Jenis minuman selain air putih yang dikonsumi oleh rumah tangga sampel adalah

softdrink, kopi, teh, sirup, nutrisari dan pocari. Jenis minuman lain yang banyak dikonsumsi

oleh rumah tangga sampel adalah kopi dan teh. Frekuensi minum kopi pada rumah tangga

sampel adalah 1,6 kali per hari dan frekuensi minum the adalah 0,96 kali per hari. Jenis

minuman yang paling jarang dikonsumsi adalah softdrink dengan rata-rata frekuensi minum

softdrink adalah 0,18 kali per hari.

Kondisi Ketahanan Pangan Keluarga

Tabel 5.10 Tingkat Konsumsi Energi berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan

Tingkat Konsumsi

Energi

Proporsi pengeluaran pangan

Rendah

(<60% pengeluaran total)

Tinggi

(≥ 60% pengeluaran total)

Cukup (>80%AKG) Tahan Pangan

13

Rentan Pangan

9

Kurang (≤80% AKG) Kurang pangan

102

Rawan pangan

46

Berdasarkan analisis data tingkat konsumsi energi dan proporsi pengeluaran pangan,

maka diperoleh hasil bahwa masih terdapat 46 rumah tangga yang tergolong dalam kondisi

rawan pangan, 102 rumah tangga yang termasuk kurang pangan, 9 rumah tangga mengalami

rentan pangan, dan 13 rumah tangga sudah tergolong tahan pangan.

33

Strategi Deteksi Dini Kasus Malnutrisi dengan Metode Active Case Finding

Berdasarkan hasil survei status gizi anak balita, prevalensi anak balita gizi kurang masih

cukup tinggi. Terkait dengan hal ini maka diteliti mengenai strategi atau model untuk

mendeteksi dini kasus malnutrisi dengan metode active case finding melalui dua (2) tahapan

kegiatan yaitu pengumpulan data persepsi tokoh masyarakat dan kader desa dan tahap

selanjutnya adalah melakukan uji coba strategi tersebut.

Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data mengenai persepsi tokoh masyarakat dan

kader mengenai desa mengenai strategi deteksi dini kejadian malnutrisi pada anak balita di

kawasan miskin yang ada di Kabupaten Karangasem. Dipilih 2 (dua) desa dengan RTS

tertinggi yaitu Desa Bukit dan Desa Nawakerti. FGD I dilaksanakan di Desa Bukit pada hari

Kamis, 28 Agustus 2014 dan FGD II dilaksanakan di Desa Nawakerti pada hari Sabtu, 30

Agustus 2014. Dilakukan sebanyak 4 (empat) FGD masing-masing 2 (dua) FGD dengan

kader desa dan 2(dua) FGD dengan tokoh masyrakat yang meliputi kepala dusun dan

perbekel desa, staf desa serta pemuka agama. Berikut ini hasil FGD pada tokoh masyarakat

dan kader desa.

1. Pemahaman tentang Kejadian Gizi Kurang/Buruk dan Dampaknya pada anak

Balita

Semua kader mengetahui tanda-tanda gizi kurang/buruk, hanya saja sebagian besar masih

berdasarkan keadaan klinisnya antara lain lemes, muka pucat, kelihatannya kuning-kuning,

matanya sayu, kuning, sama kulitnya juga lembek, jalannya agak goyang, perut buncit,

rambutnya pirang, dan kelihatan kurus. Salah satu kader menyebutkan bahwa busung lapar

identik dengan kecacingan

“Perutnya buncit, busung lapar ini kecacingan” (K7)

Beberapa kader menyebutkan tanda gizi buruk berdasarkan pengukuran antropometri

antara lain berat badannya kurang dari umurnya dan di KMS masih kuning, walaupun tidak

disebutkan penjelasannya berdasarkan KMS tetapi kader telah tahu bahwa anak yang

potensial menjadi gizi kurang/buruk adalah berat badannya yang selalu atau terus menurun.

“Iya itu masih kuning, kan saya kan liat timbangan, kalo teman saya baru

KMS, sama-sama memegang (K1)

34

“Berat badannya kurang dari umurnya” (K6))

“Pertumbuhannya tidak sesuai dengan umurnya” (K5)

“Ada juga, peris sama seperti pak wayannya. Dulu kan ada, karena ada juga

setiap bulannya hasil penimbangan itu tidak sesuai, berat badannya selalu

menurun” (KD)

Sedangkan untuk penyebab, adanya asumsi bahwa gizi buruk disebabkan oleh

kelahiran prematur, genetik, pengetahuan serta kemampuan daya beli makanan oleh

keluarga balita

“Karena kelahirannya dia prematur harusnya kan 8 bulan ke atas tetapi dia lahir

7 bulan, ada juga dampaknya dari otaknya” (KB)

“Karena kan ada yang keturunannya kurus gitu, tergantung juga dari ee..

genetik” (KB)

“Ada yang pengetahuannya kurang,ada yg orang tuanya malas mengantarkan

ke posyandu. Kalau dia tahu penyebabnya dia tahu efeknya bu…Kalau

masyarakat tahu akibatnya otomatis dia tahu dampak, pengetahuan,

kemampuan juga, kemampuan daya beli untuk mengonsumsi makanan” (KA)

“Kalau orang di kota dia kan sudah tahu dari segi-segi penyebabnya, langsung

dah diajak ke dokter, kalau sudah punya dokter pribadi kan disarankan untuk

dikasi gizi yang cukup mungkin makanan empat sehat lima sempurna. Tapi

kalau kita cuma di desa mungkin dari bayi dia sudah dikasi ubi, tahu kan

ubi?” (KB)

Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi kurang/buruk diikuti oleh kurangnya pengetahuan

untuk memanfaatkan pangan lokal dan adanya asumsi yang salah tentang perbedaan gizi dan

fasilitas dokter antara anak di desa dan kota. Beberapa responden mengemukakan dampak

gizi buruk/kurang antara lain daya tahan tubuh yang menurun dan pertumbuhan serta

perkembangan anak yang lambat.

“Biasanya kan ke penyakit, kadang mungkin kalau dia kurang lahap begitu

makan itu imunitas tubuhnya yang terganggu, jadi cepat sakit. Biasanya balita

dengan gizi kurang kan biasanya disebut dengan BGM ..balita dengan garis

merah..itu kan biasanya masalahnya dampaknya ke anemia, itu nantinya itu

atal gitu lo.. terserang penyakit lebih cepat” (KB)

“Kalau Adiayasa ini, saya kuraang tahu juga ya, normal lahirnya Cuma

pertumbuhannya agak lambat, belum bisa berjalan padahal sudah dua tahun,

lahirnya terlalu berdekatan juga kesehatannya kurang juga” (K5)

“Misalnya pertumbuhannya, biasanya kan sudah bisa berjalan itu belum..

35

Badannya kurus, ee.. bicaranya juga belum” (K6)

Adanya persepsi yang salah, yang seharusnya gizi buruk menimbulkan dampak yang cukup

serius di masa depan tetapi karena salah satu anak yang menderita gizi buruk sebelumnya

dan mengalami keterbelakangan mental tetapi saat ini anak tersebut menjadi pintar, maka

kader menganggap gizi kurang/buruk bukan merupakan ancaman.

“Tiang kira waktu gizi buruk yang tiang katakan tadi mentalnya jadi

keterbelakngan, tetapi pikiran saya salah,sekarang anak itu jadi pintar” (K3)

Pada umumnya pencegahan agar anak balita tidak mengalami gizi buruk sudah dilakukan

oleh para kader seperti dalam pernyataan dibawah ini.

“Penyebabnya itu karena masih dapat diatasi, masih bisa dibantu dengan cara

apa … supaya anak itu tidak seperti sekarang kan gitu…Tidak mungkin gizi

buruk terus menerus , apalagi sudah dapat bantuan dari mana-mana itu” (KD)

Mungkin itu kelebihannya, mungkin dari obat dikasi,mungkin kan vitamin-

vitamin gitu. (KD)

“Karena dia prematur itu semua juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua”

(KB)

Pendapat para kader diatas menunjukkan bahwa pencegahan gizi kurang/buruk belum

dilaksanakan, yang ada adalah bagaimana pemulihan status gizi anak setelah diketahui

mengalamai gizi kurang/buruk.

Pendapat Tokoh Masyarakat, sebagian besar juga menyebutkan tanda-tanda gizi kurang dan

juga gizi lebih dari keadaan klinisnya.

“Gizi buruk kurang asupan gizi , Gizi buruk artinya pertumbuhannya tidak

normal Matanya cembung Kakinya kurus-kurus (T5)

Ya misalnya kakinya kurus badannya besar,perutnya buncit (T4)

Sama halnya dengan pendapat para kader, tokoh masyarakat berpendapat bahwa penyebab

gizi buruk antara lain faktor geografis, keturunan, dan ekonomi. Sebagai tambahan, adalah

tidak diiminusasi saat dalam kandungan.

“Penyebab gizi buruk karena geografis iklimnya ya” (T5)

“Karena kemungkinan saat dia dalam kandungan tidak sempat di imunisasi

bu,kan bisa saja sebelum kandungan diimunisasi dulu” (T1)

36

“Iya karena terlantar, karena keadaan ekonomi dan keluarganya mungkin

sehingga anak itu terbengkelai, Bisa faktor ekonomi dah..Bisa karena faktor

kesehatan karena ibunya sakit-sakitan” (T5; T1)

“Kenten ada faktor keturunan juga, misalnya kurang suburnya dari kedua itu,

bisa anak lahir premature atau gizi buruk itu” (T5; T3)

“Tidak layaknya gizi yang diberikan kepada balita itu karena kemampuan

ekonominya” (TB)

“Mungkin yang mestinya susu, dia beralih ke teh atau air putih, mungkin gitu.

Jadinya gizi tidak memadai kenten. Itu faktor pertama adalah kemampuan

ekonominya” (TC)

Kurangnya kemauan, pengertian pengetahuan dan pengalaman dari orang tua mengenai gizi

kurang/buruk juga dapat menyebabkan anak tersebut mangalami gizi kurang/buruk, seperti

pada pernyataan di bawah ini

“Kemauan daripada pengertian pengalaman hidup orang tua kan, karena dia

pengetahuannya dia itu awam gitu.” (TF)

Persepsi tokoh masyarakat mengenai dampak gizi kurang/buruk lebih banyak yang

mengungkapkan adanya masalah dengan perkembangan otak dan juga fisik.

“Kalau dari sebaya dengan anaknya dia sudah bisa jalan,kalau dia tidak” (T3)

“IQnya kurang” (T5)

2. Cara mencegah terjadinya masalah gizi kurang/buruk pada anak balita

Terungkap dari hasil FGD dengan kader, ada dua faktor untuk mencegah masalah gizi

kurang/buruk pada anak Balita antara lain faktor gizi dan kedatangan ke posyandu,

sedangkan setelah di posyandu peran kader untuk menyampaikan saran juga merupakan

faktor penting.

“Sering ajak ngobrol, makanannya diperhatikan” (K1, 2, 3)

“Cara menyusui juga dari kecil juga harus diperhatikan, supaya sehat dari kecil

harus menyusui, supaya gizi anak itu jangan sampai kurang” (K6)

“Imunisasi juga harus tetap” (K6)

“Harus rajin ke posyandu tiap bulan, biar tau berat badannya, naik turunnya”

(K4)

37

Tentang posyandu itu sendiri, dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa masalah antara

lain adanya persepsi lebih baik mengerjakan hal yang lain daripada ke posyandu yang juga

berkaitan dengan faktor ekonomi.

“Ke posyandu saja jarang dia, ibunya juga malas memperhatikan

anaknya,dibawah aja dia badannya juga kecil” (KF)

“Ibuknya kan bilang waktu juga ndak punya gitu kan buk nganter anaknya

kan” (TD)

“Kan lebih baik nyabit dirumah lebih baik cari yang lain, akhirnya timbullah

kebodohan anak disana kelihatan (TD)

“Ada juga yang bilang, beh buat apa juga nimbang masih sing maan apa gitu,

jajan ga pernah dikasi gitu” (K4)

Selain itu juga adanya persepsi negatif yang berkaitan dengan mitos/budaya.

“Adenang jumah be jemak gae lenang, kenten hhe..hee” (TC)

“De be pesu, amah leak nyanan” (K2)

“Ada bu, ada yang aktif anaknya imunisasi kan ada, dapet demam anaknya abis

imunisasi nah setelah itu dah gini orang tuanya bilang, ih buat apa dibawa ke

posyandu, abis dibawa imunisasi anaknya panas, ada leak nyanan, yak an di

bali ya, jangan dah dibawa ke posyandu anaknya sakit anaknya dibawa ke

posyandu, gitu ada yang gitu ngomong” (K3)

Adanya persepsi negatif masyarakat tentang posyandu, dikaitkan dengan pendidikan dan

kurangnya pengetahuan orang tua balita mengenai manfaat penimbangan setiap bulannya.

“Tapi karena ada anggapan seperti tadi itu..“ngekoh kemu metimbang-

metimbang deen..” gitu” (TG)

“Tapi kalau di desa buk, yang tidak pernah berpendidikan dari ibunya atau

bapaknya, “ngeranang kengken ne metimbang, Itu kan “ape ye gunane

metimbang nah” kan gitu.”(TC)

Atau adanya Ibu balita malas mengajak ke posyandu karena kurangnya pengetahuan tentang

dampak gizi kurang/buruk

“Ada yang pengetahuannya kurang,ada yg orang tuanya malas mengantarkan

ke posyandu. Kalau dia tahu penyebabnya dia tahu efeknya bu…Kalau

masyarakat tahu akibatnya otomatis dia tahu dampak, pengetahuan,

kemampuan juga, kemampuan daya beli untuk mengonsumsi makanan” (KA)

38

Sistem pelaporan oleh kader kepada kepala dusun, sehingga menjadi tanggung jawab kepala

dusun.

“Kepala dusun juga ikut, tetap dilaporkan ke kepala dusun oleh kadernya.

Kepala dusunlah yang bertanggung jawab” (T1, T2)

Responden mengungkapkan cara agar masyarakat mau datang ke Posyandu. Misalnya

dengan cara arisan banjar dan pemberian kudapan, yang di beberapa banjar merupakan

sumbangan dari kepala dusun.

“Karena disana ada arisan bu, akehan memancing biar mereka datang” (T3)

“Disamping ada arisan, dan ditempat saya istilahnya saya langsung

memberikan istilahnya sekedar snack, 15 ribu rupiah, tiang kasi sumbangan”

(T1)

“Diberikan telur, kacang hijau..mungkin bubur. Kita dulu yang mengupayakan

untuk sekedarnya, biar mau datang” (T2, 5)

“Bawa-bawa itu camilan-camilan itu..yang bubur kan bagus, yang gorengan-

gorengan, tahu, lumpiaa, gitu-gitu dah disenengi sama anak-anak” (TA)

“Apa itu yang ada saosnya itu, yang di ketul itu buk..paling di senengi sama

anak-anak” (TE)

Perlu inovasi dari Posyandu mengenai makanan yang disukai anak sebagai menu PMT.

Masyarakat masih fanatik dangan merk dari kota atau yang terkenal. Disini posyandu

harusnya menyikapi dengan membuat makanan sendiri tapi diberikan label sebagai penarik

minat masyarakat.

“Iyaa kulitnya bagus-bagus keliatan, gitu” (TC)

“Ada jual dari singkong tapi gak laku, gitu (TA) Gak laku..kalau dikasi merk

dari hardys, lagi dibeli gitu”(TD)

Perlu adanya hiburan daerah untuk menyelipkan pesan kesehatan dan menarik masyarakat

untuk datang ke posyandu

“Kecuali yen cengblong undang cepok pang rame masyarakat ne mebalih,

sambil selipang nike, baru bisa..haa..haa. Gratis lagi kalau nonton

cengblongnya kenten..hhee” (TD)

39

3. Kendala masyarakat untuk datang ke posyandu

Faktor geografis yaitu dusun yang berbukit bukit dan jauhnya jarak ke posyandu

disamping juga kurangnya sarana dan prasarana antara lain jalan yang memadai

“Karena bu, dari..darii..darii eee ke berstruktur kedesaan saya memang terlalu

di desa memang, di gunung gitu.. bener-bener ada di kaki gunung.. ee abis dah

gunung disini bu” (TF)

“Maunya Posyandu gitu. Ee jalan gak ada ya gimana. Akhirnya dia kan, “aaah

biarin aja di rumah gak usah kesana” (TD)

“Tapi itu karena jaraknya jauh buk. Yaa jarak jauh (TA), Orang jaraknya bisa 4

kilo buk. Bayangin buk jalan, kalau yang punya seperti kita kan atau bapaknya

kan yaa datang dia. kalau jarak 1 kilo itu pasti datang. Yang 3 kilo 4 kilo itu

jalan bayangkan buk (TC), Jalan setapak jalan kaki” (TA)

Salah satu informan mendapatkan laporan dari ibu balita bahwa dia rajin datang tetapi

sampai posyandu tidak ada kadernya. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan ibu balita

untuk datang lagi ke posyandu.

“Kadernya nggak ada (K5)

Sarana atau alat penimbangan di posyandu yang membuat anak takut untuk ditimbang.

“Anaknya takut” (K2)

“Iya kan megantung gitu dia, digantung nah nangis dia nggak mau” (K1)

“Iya karna digantung gitu takut dia, terus ada yang anaknya gemuk kan ga

muat dicelananya, ada yang sampe robek celananya, gitu dah gam au jadinya

anaknya nimbang, trauma dia ampe robek celananya” (K3)

Disamping itu disebabkan juga oleh karena faktor pekerjaan orang tua, harus bekerja di luar

daerah dan mengajak serta anak balitanya.

“Pokok di Desa Nawekerti itu tidak ada lapangan pekerjaan apa-apa. Kalau

yang mau hidup lebih bagus itu yang muda-muda keluar desa, anak-anaknya

diajak” (TC)

Inovasi untuk menarik minat masyarakat ke posyandu antara lain adanya pemberian bantuan

kepada masyarakat.

“Disitu dia dapat bantuan sesuatu gitu kan..jadi ee yang jelas segitu dulu dari

saya, yang tadi sudah dari ekonomi yang kedua dari pengetahuan yang kurang

gitu” (TF dan TA)

40

“Nah tetapi yang jangka pendeknya itu ibuk, itu yang diperbesar Posyandunya.

Yaaa bantuan-bantuannya untuk anak-anak itu” (TC)

“Cuma dari desa hanya beberapa itu cukup untuk satu tahun itu hanya

pembelian kacang ijo saja itu untuk setiap balita” (TA)

Pendapat bahwa PMT di posyandu kurang efektif, akan habis tetapi tidak ada kelanjutannya.

Disebutkan bahwa makan ubi yang adalah sumber karbohidrat, disini terlihat bahwa

masyarakat kurang memahami tentang pemanfaatan pangan local.

“Pada awalnya walaupun pemerintah ngasi Posyandu gitu buk, tapi itu ada sih

manfaatnya. Tapi menurut saya itu kecil. Pada saat di Posyandu itu di kasi

telur, dikasi susu kan bagus. Itu ada kacang ijo kan banyak gitu. Tapi pada saat

habis itu pulang. Kan gitu yaa..dua atau tiga hari kan udah abis, pulang yaa

sama lagi kembali kadang ubii dimakan, makanan yang tidak terjamin lagi

kembali. Syukur kena nasi” (TC)

4. Pendapat mengenai metode penemuan gizi kurang/buruk secara aktif

Selanjutnya digali megenai pendapat kader dan tokoh masyarakat mengenai strategi

penemuan anak balita gizi kurang dan buruk secara aktif atau active case finding.

“Kalau itu, sistem itu mungkin kalau saya atau yang lain mungkin sepakat,

kalau kita mendatangi penduduk yang belum mau datang” (TC)

“Nah kalau kita yang jelas itu ada dananya,, yaa yang aktif. Tetapi yang saya

harapkan itu gini buk, yang penting itu berlanjut yaa..yang saya mau. Kalau ini

ada umpamanya gejer-gejer berjalan satu dua bulan atau tiga bulan selesai dah.

Berarti kita mulai lagi 1 tahun, lagi mulai dari awal” (TC diiyakan oleh TA, TB

dan TE)

“Iya sebaiknya dicari” (K3)

Kendala yang dihadapi dalam penemuan gizi kurang/buruk secara aktif adalah faktor dana,

selain untuk kadernya juga untuk PMT kepada anak-anak balita

“Cuman ini kan ada persoalan, nah disini yang bertugas kesana itu bermasalah.

Karena disini ada sistem-sistem istilah gotong royong, atau apa namanya sosial

itu, jiwanya sih ada buk. Jiwa sosial ada, tapi pelaksanaan yang susah. Karena

kita dirumah saja pas-pasan gimana kita sosial.” (TC)

“Nah yang mengunjungi kesana juga nanti yaah pertahunnya atau perbulannya

juga ada yaa…”(TD)

Nah kemudian yang kedua, itu kalau kita dapat orang yang mendatangi ke

rumh-rumah ee balita, mungkin kan kemudian ee danaaa kan gitu. Perlu dana

41

untuk memberikan apa umpamanya, kalau telur, atau memberikan makanan

tambahan, ataukah kacang ijo, kan gitu. (TC)

“Namanya juga, kalau datang ke orang miskin pasti lah diharapkan. Dia akan

selalu berharap untuk diberikan sesuatu gitu buk” (TA)

Selain faktor dana juga faktor jarak, kondisi geografis (berbukit-bukit), sarana prasarana

jalan yang belum memadai.

“Karena kebetulan, lokasi-lokasi masyarakat kita yang ada di skup itu, itu

adalah jalannya terjal, yaa tidak ada jalan mobil, ada Cuma jalan setapak-

setapak yang melewati sungai” (TE)

“Iya karna jaraknya jauh, ibunya males bawa keposyandu, biar deket juga

males karna kesibukan juga” (K7)

“Kalau saya selaku kader kita datang ke rumah sih bisa, Cuma alat timbangan

itu yang kurang, bagaimana caranya turun ke bawah sedangkan alat-alat seperti

itu tidak ada” (KC)

“…kalau di posyandu itu kan banyak kadernya” (KD)

“Kalau kita bawa barang-barang misalnya timbangan kan berat” (KE)

“Kalau di desa ini untuk mendatai ke rumah-rumah, tidak mungkin kan.

Karena lokasinyaa jauh, jalannya juga rusak bagaimana kita bisa bawa alat-alat

kesana” (KF)

“Ya kalau datang kerumahnya,, iya kalau ada dirumahnya ya kan? Kalau

kosong kan kita yang rugi, belum anjingnya banyak” (KG)

Faktor lainnya adalah kurangnya kesadaran dari ibu-ibu tentang kesehatan anak dan adanya

persepsi negatif tentang peran kader dalam menemukan gizi kurang/buruk

“Mungkin dari segi maaf dana juga umpamanya sudah, udah itu mungkin kita

juga sudah berusaha bersama-sama, namun sekarang juga kesadaran dari

masyarakat daripada ibu-ibu atau orang tua dari anak-anak yang dimaksud,

sejauh mana akan mempunyai kesadaran demi kesehatan anaknya” (TE)

“Iya kan namanya orang dikampung kan kalo misalnya datang kerumah dikasi

tahu nanti kan biasa gitu negatifnya, bih nak ye be ngelah, raga sing ngelah

keto, care paling duegan dogen, paling melahan doen gitu tanggapannya bu”

(K5)

“Iya apalagi kita kasi penjelasan gitu tentang anaknya ntar minta dikasi uang,

dimintain uang kenten, nunas nah misalne, baang pipis mare nyak keto kenten”

(K3)

42

Kasi uang dulu anaknya baru mau bagus gitu (K6)

Sekarang kan sakit, disuru periksa bu, dikasi uang, kalo ada uang baru mau

saya ajak periksa gitu dah, kadernya gitu yang disuruh ngasi uang sama

anaknya baru mau diajak periksa gitu (K7)

Hal ini akan mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap program/kegiatan yang

dilakukan oleh kader antara lain kurangnya pengetahuan kader tentang bagaimana

menentukan status gizi balita, mereka hanya mengetahui dari perhitungan KMS.

“Sama bu,kalau kita melihat dari anaknya kan belum tentu orang itu gizi buruk

atau gizi kurang. Terutama dari segi kmsnya dulu lihat,kalau sudah dibawah

garis merah kita laporkan ke bu bidan. Kalau dilihat dari segi yang lain belum

pernah saya mengalami” (KD)

“Karena orang yang bersangkuta gizi kurang ini kan harus setiap bulan datang,

walaupun berat badanya meningkat sedikit itu artinya sudah ada peningkatan.

Baru tahu dari segi itu saja, kalau dari segi lainnya belum pernah saya

mengalami, ya dari hasil penimbangan saja” (KE)

“Tiang sih dari segi penimbangannya juga,kalau gizi buruk kan turun kalau

biasaanya kan naik satu strip dua strip. Kalau gizi buruk otomatis kan turun

kalau sudah dua kali kita tanyakan tidak mau makan atau bagaimana, Cuma itu

aja” (KF)

“Mengukur badan itu? Kalau saya sih belum..” (KF)

5. Partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi balita gizi kurang/buruk

Tokoh masyarakat hanya berpartisipasi sebatas mengadvokasi masyarakat mengenai

pentingnya kesehatan anak dan mengunjungi posyandu dengan mendatangi masyarakat

yang baru melahirkan atau waktu tiga bulanan.

“Nah disamping kita juga bertemu dengan masyarakat, sambil memberikan

pemahaman kepada masyarakat biar kedepannya bahwa kesehatan anak itu

lebih penting ketimbang harta” (TE)

“Nah kita tekankan karena sudah ada Posyandu, maka datanglah kesana. Nanti

disana lagi dapat tunjangan makanan. Akhirnya karena kita mungki barang 3

sampai 4 kali umpamanya datang, kita sarankan ke Posyandu bahwa dapat

juga sesuatu, nah itu kan nanti dengan sendirinya masyarakat sadar kan kita

juga dapat keringanan beban untuk tidak mendatangi lagi buk” (TE)

“Tiap melahirkan sih kita menengok kesana, waktu kepus pungsed” (T4)

“Kita menengok kesana, tiga bulanan” (T1)

43

“Tiang kan upayakan datang ke rumah, suruh dia memeriksakan anak.

Diketahui gizi buruk dan normalnya itu, saya suruh. Namun umpamanya dia

kaku, ya apa boleh buat” (T1)

Pengalaman menemukan kasus gisi kurang/buruk belum pernah, Kegiatan yang dilakukan

oleh kader hanya sampai penyuluhan saja tetapi tidak pernah melaporkan kepada kepala

dusun datau bidan desa.

“Pointnya ya pada kadernya saja untuk bisa menyarankan kepada ibunya pada

masyarakatnya. Semenjak saya jadi kader sih belum ada sampai melaporkan ke

bu bidannya untuk gizi buruk atau gizi kurang belum ada”(KB)

“Kalau sik pak putunya kan langsung jadi tokoh masyarakat,kelian banjar juga

berperan sebagai kader posyandu, kalau di saya sih belum ada. Cuman dari

kadernya sendiri untuk menyarakan” (KC)

Walaupun tokoh masyarakat telah datang mengunjungi warganya tetapi keputusan tetap

pada keluarganya. Disini terlihat sudah ada usaha dari tokoh masyarakat. Tetapi kegiatannya

masih hanya sebatas advokasi, belum ada pengukuran antropometri oleh tokoh masyarakat.

Adanya awig-awing yang menyatakan bahwa kader akan keluputan dari kegiatan ngayah

“Iya dalam kami di banjar itu ada dispensasi, misalnya ada kegiatan di pura

tidak kena.. Istilah balinya luputan” (T3)

“Kalau dibanjar tiang,semua kader itu luput dari gotong royong kalau dia tidak

hadir tidak kena denda” (T5)

Beberapa kader telah mendapat pelatihan sebatas mengisi KMS, sedangkan beberapa belum

pernah.

“Kalo ngisi KMSnya kan udah ada yang bisa..” (K3)

“Mengukur badan itu? Kalau saya sih belum, Kalau menimbang sudah.

Pelatihan Penyuluhan Pernah. Tentang makanan seperti eee.. apa makanan

yang dikasi” (KF)

“Pengukuran belum,kalau penyuluhan gizi pernah” (KD)

“Sama juga kalau pengukuran-pengukuran tidak pernah, kalau penyuluhan

pernah disini” (KB)

“Tiang dapat pelatihan 3 hari, kader-kader tiang juga fokusnya ke penyuluhan

ibu hamil, bayi cuma itu” (KC)

44

Kemauan untuk melakukan deteksi dini tergantung dari beberapa faktor yang diharapakan

diperoleh kader antara lain pelatihan, imbalan (insentif), adanya target yang mesti dicapai

kader, serta adanya

“Pelatihan , uang juga” (KG)

“Yang pertama iya ada pelatihan menimbang, karena kita kan cari pengalaman

dulu gitu” (KE)

“Yang kedua disini juga ada dari puskesmas, insentif itu harus juga ada” (KC)

“Kalau dikasi target bisa,maksudnya itu kan sudah dikasi data. Mungkin dari

dinas dikasi ee…lokasinya disini, namanya si ini kan sudah ada data. Dia

sudah terjadi gizi buruk bagus itu. Karena mengirit waktu juga. Ya kalau kita

carisatu persatu mungkin dalam lima rumah itu belum ketemu. Kalau kita

dikasi data dari atas itu lebih efektif”. (KE)

“Kalau kita pelatihan disini, di desa atau kecamatn kita datangi” (KF)

“Diharapkan tindakan dari pemerintah itu nyata tindakannya. Jangan sampai

ada susu, dibagi berlima kan kasian jadinya. Yang diatas itu biar terjun

langsung biar dia tahu situasi. Biar tersentuhlan semua masyarakat biar tidak

ada lagig izi buruk” (KA)

“Tiang usul sedikit bu, nanti jika sekali ini saja ada pertemuan seperti ini

mungkin setiap tahun, biar mengingatlah dari universitas ibu” (KC)

Hal lain yang didapatkan dari FGD adalah kurangnya koordinasi tugas antara kelian banjar

dan kader.

“Karena kadang-kadang ada rapat, kadang-kadang rapat koordinasi bersama

petugas puskesmas, kadang-kadang ditanyakan berapa ada bayi. Kalau kelian

banjarnya tidak pernah hadir dibanjar otomatis kan tidak tahu. Jangan sampai

nanti kelian banjar mengira pekerjaan kader. Memang pekerjaan kader tetapi

koordinasinya tidak nyambung. Seperti data memang tetap memberikan data

ini data itu dari list puskesmas,kalu tidak pernah nongol otomatis kacau dah”

(KC)

“Seharusnya pencatatan awal itu kan ada di kelian banjar dinas. Seperti

misalnya kelahiran, ibu hamil. Kadang kelian banjarnya saja tidak tahu.

Seharusnya seperti itu, setiap bulan setiap kita minta data dia itu tidak

rungu.kan kadang pertahun diminta data, kadang kalang kabut datanya, siapa

yang lahir, siapa yang meninggal,siapa yang hamil. Terutama hamil itu jarang

sekali ada yang tahu. Orang sudah meninggal tetap saja terdata” (KD)

“Kalau mengenai rujukan itu kan yang buat itu kan memang kelian dinas,

mengasi informasi ke desa sudah itu staf desanya membuat surat rujukan”

(KE).

45

Ujicoba Strategi Deteksi Dini Kasus Malnutrisi pada Anak Balita dengan Metode

Active Case Finding

Berdasarkan hasil FGD selanjutnya dilakukan kegiatan tahap kedua yaitu uji coba

model atau strategi deteksi dini. Dipilih salah satu dusun di Desa Bukit dengan kriteria

cakupan D/S yang rendah. Cakupan D/S menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat untuk

datang ke posyandu. Dipilih Dusun Jumenang dengan jumlah anak balita yang datang ke

posyandu sebanyak 9 anak balita.

Tahap pertama dilakukan pelatihan kader desa untuk melakukan pengukuran status

gizi anak balita serta secara langsung melakukan interpretasi hasil pengukuran berdasarkan

tabel status gizi yang diberikan. Sejumlah lima orang kader desa yang terdiri dari dua kader

perempuan dan tiga kader laki-laki. Seluruh kader bekerja sebagai petani dan umur antara 26

sampai dengan 40 tahun dengan pendidikan terakhir SMP dan SD,

Selanjutnya kader desa diminta mencari anak balita yang ada di Dusun Jumenang

dan mengukur status gizi anak dengan cara menimbang selanjutnya disesuaikan dengan

umur anak atau berdasarkan indeks berat badan (BB) menurut umur atau BB/U. Apabila

ditemukan anak dengan kategori status gizi kurang dan buruk, kader diminta untuk merujuk

ke puskesmas pembantu yang ada di Desa Bukit dan dilakukan pengukuran ulang oleh bidan

desa setempat untuk memastikan kebenaran status gizi anak yang dibawa oleh kader.

Dari hasil kunjungan kader kerumah-rumah untuk mencari anak balita, diperoleh

sebanyak 35 anak balita. Hal ini tentu saja sangat berbeda jauh dari data di posyandu yang

hanya mencatat 9 anak saja. Dari 35 anak tersebut ditemukan sebanyak 1 anak balita dengan

status gizi kurang.

Tabel 5.11 Status Gizi Balita yang Ditemukan Secara Aktif di Dusun Jumenang

Kategori n %

Umur (Bulan)

≤24 bulan 18 51,4

>24 bulan 17 48,6

Status Gizi

Gizi Kurang 1 2,9

Gizi Baik 32 91,4

Gizi Lebih 2 5,7

Kader desa diberikan insentif untuk setiap KK yang dikunjungi dan setiap

menemukan anak balita dengan status gizi kurang atau buruk diberikan tambahan insentif.

Hasil ini menunjukkan bahwa dengan metode active case finding,akan lebih cepat dideteksi

anak balita yang mengalami masalah gizi sehingga intervensi bisa cepat dilakukan dan dapat

mencegah status gizi anak balita turun menjadi status gizi buruk.

46

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya simpulan yang dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan analisis data tingkat konsumsi energi dan proporsi pengeluaran pangan,

maka diperoleh hasil bahwa masih terdapat 46 rumah tangga yang tergolong dalam

kondisi rawan pangan, 102 rumah tangga yang termasuk kurang pangan, 9 rumah

tangga mengalami rentan pangan, dan 13 rumah tangga sudah tergolong tahan

pangan.

2. Berdasarkan perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil diketahui bahwa

dari 11 ibu hamil 4 (36,4%) ibu termasuk dalam kategori berat badan (BB) kurang

dan 7 (63,6%) termasuk dalam kategori BB normal

3. Berdasarkan indeks BB/TB sebagian besar (78,1%) dengan kategori normal.

Walaupun sebagian besar normal namun ditemuka juga anak balita gemuk yaitu

9,4%. Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita (87,5%) termasuk dalam

status gizi baik, namun ditemukan anak balita dengan status gizi kurang dan buruk

sebanyak 10 anak balita (10,4%). Berdasarkan indeks TB/U sebagian besar anak

balita memiliki pertumbuhan linier (tinggi badan) sesuai umur (62,5%), namun

ditemukan masih tingginya prevalensi anak balita dengan status gizi pendek (pendek

dan sangat pendek) yaitu sebesar 31,2%.

4. Hasil FGD menunjukkan bahwa tokoh masyarakat dan kader desa mendukung

adanya penemuan secara aktif anak balita namun dibutuhkan reward/insentif agar

lebih memotivasi kader untuk melakukan strategi tersebut oleh karena kondisi

geografis yang sulit dijangkau.

5. Strategi active case finding terbukti lebih cepat menemukan dan mendeteksi anak

balita yang mengalami masalah gizi sehingga intervensi bisa segera dilakukan,

dengan demikian dapat mencegah status gizi anak balita turun menjadi gizi buruk.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka disaranakan:

1. Peningkatan pemanfaatan pangan lokal untuk memenuhi kecukupan energi anggota

keluarga dan untuk mengurangi terjadinya kerawanan pangan pada keluarga

47

2. Melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mencoba menerapkan metode active case

finding oleh kader dan tokoh masyarakat sebagai solusi dalam menemukan secara dini

anak balita dengan status gizi kurang sehingga dapat menurunkan prevalensi anak balita

dengan status gizi kurang dan buruk terutama pada kawasan miskin yang sulit dijangkau

oleh petugas kesehatan.

3. Peningkatan kepedulian masyarakat terhadap anak balita gizi kurang yang ada disekitar

rumah dan melaporkan kepada petugas kesehatan untuk dapat dilakukan tindakan

intervensi sesuai keadaan gizi anak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Andriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. (I. Edisi,

Ed.). Jakrta: Kencana Prenada Media Group.

Ariani, M. (2010). Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian

Diversifikasi Pangan. Gizi Indon 2010, 33(1), 20–28.

Ariani, M., & Asahari. (2003). Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi

Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Vol.21, No.

Arifin, B. (2004). Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Arisman. (2010). Gizi Dalam daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi (Edisi II.). Jakarta:

EGC.

Aritonang, I. (2000). Krisis Ekonomi: Akar Masalah Gizi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Azhar, A., & Henry. (2007). Pertanian, Pembangunan dan Kemiskinan.

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2012a). Laporan

Tahunan Sistem Kewaspadaan Gizi dan Pangan (SKPG) Provinsi Bali tahun 2012.

Denpasar.

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2012b). Laporan

Akhir Pelaksanaan Kegiatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Tahun 2012 di

Provinsi Bali. Denpasar.

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2013). Petunjuk

Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Denpasar.

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2013). Gerbang

Sadu Mandara. http://www.bpmpd.baliprov.go.id/id/Gerbang-Sadu-Mandara2.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, & RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar

2010. Jakarta.

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia. (2010). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Departemen Kesehatan RI. (1990). Buku Pedoman Puskesmas. Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan. (2006). Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.

Jakarta.

Djaeni, A. (1989). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia (Vol. Jilid II).

Jakarta: PT Dian Rakyat.

Hanani, H. (2005). Monitoring dan Evaluasi Ketahanan Pangan.

Harper, L. J., Deaton, B. ., & Driskel, J. . (1985). Pangan, Gizi dan Pertanian

(Diterjemahkan oleh Suhardjo). Jakarta: UI. Press.

Instruksi Presiden Nomor 1. (n.d.). tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan

Nasional Tahun 2010.

Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Klungkung. (2013a). Laporan Sistem

Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Bulanan Oktober. Klungkung.

Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Klungkung. (2013b). Laporan Sistem

Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Bulanan Nopember. Klungkung.

Khomsan. A. (2002). Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Martianto, D. & M. A. (n.d.). Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan

dalam Dekade Terakhir. in Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan

Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.” Jakarta.

Maxwell, S., & Frankenberger, & T. R. (1992). Household Food Security: Concepts,

Indicators, Measurements, A Technical Review. Rome: International Fund for

Agricultural Development/ United Nations Children’s Fund.

Moeloek, F. (1999). Gizi sebagai Basis Pengembangan SUmber Daya Manusia Menuju

Indonesia Sehat 2000 dalam pengembangan Gizi dan Pangan Perspektif Kemandirian

2

Lokal. In Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources

Development and Coommunity Empowerment. Jakarta.

Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. (n.d.). Peraturan

Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and Vurnability

Atlas/FSVA). (2009). No Title (Vol. ISBN: 978-, p. 210). Dewan Ketahanan Pangan,

Departemen Pertanian Republik Indonesia, World Food Programme.

Saliem, H.P., E. M. L., Ariyani, M., & Purwantini, T. B. (2001). Analisis Ketahanan

Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Bogor: Laporan Hasil Penelitian Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2002). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis (Edisi ke-

2.). Jakarta: Sagung Seto.

Soetardjo, S., & Soekarti, M. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. (S. Almatsier,

Ed.). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suhardjo. (1994). Strategi di Bidang Konsumsi Pangan dalam Mendorong Terwujudnya

Swasembada Pangan dan Perbaikan Gizi. Pangan No 18, IV, 48–55.

Supariasa, I. D. N., Bakri, B., & Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi (Edisi Revi.). Jakarta:

EGC.

Yuniastuti, A. (2008). Gizi dan Kesehatan (Edisi I.). Yogyakarta: Graha Ilmu.

WHO, 2007, Community-Based Management of Severe Acute Malnutrition, diunduh dari:

http://www.who.int/nutrition/topics/Statement_community_based_man_sev_acute

_mal_eng.pdf , diakses 17 Februari 2012

LAMPIRAN

Lampiran 1 Laporan Penggunaan Dana 100%

Anggaran ini dibuat sudah dengan pemotongan pajak 15% dari dana yang disetujui Rp.

35.000.000,- sehingga total dana yang ada Rp. 29.750.000,-

Item

Rp

Total Sub total

1. Honor 4,800,000

Ketua 1 orang x 200,000 x 12 bulan 2,400,000

Anggota Peneliti 2 orang x 100,000 x 12 bulan 2,400,000

2. Peralatan survei 10,870,000

Transport untuk survei lokasi 4 orang x 100,000 x 1 hari 400,000

Surat-surat 1 unit x 242,000 x 1 unit 242,000

Souvenir responden 170 orang x 20,000 x 1 hari 3,400,000

Kuesioner 170 orang x 20,000 x 1 unit 3,400,000

Timbangan 8 orang x 50,000 x 1 unit 400,000

Mikrotoa 8 orang x 35,000 x 1 unit 280,000

Tabel status gizi 8 orang x 6,000 x 1 unit 48,000

Transport fee untuk interviewer+surveyer 8 orang x 250,000 x 1 unit 2,000,000

Transport fee untuk kader desa 10 orang x 60,000 x 1 hari 600,000

Dokumentasi survei 1 unit` x 100,000 x 1 unit 100,000

3. Peralatan FGD dan Perancangan model 10,080,000

Sewa Ruangan FGD 4 site x 400,000 x 1 hari 1,600,000

Institutional fee untuk puskesmas/pustu 2 unit x 200,000 x 1 unit 400,000

Fee pemandu FGD 8 orang x 100,000 x 1 hari 800,000

Fee notulen FGD 2 orang x 100,000 x 1 hari 200,000

Transport peserta FGD 30 orang x 100,000 x 1 hari 3,000,000

Konsumsi peserta 30 orang x 40,000 x 1 hari 1,200,000

Materi FGD 4 unit x 50,000 x 1 unit 200,000

Sewa recorder 4 site x 150,000 x 1 hari 600,000

Batere recorder 1 unit x 100,000 x 1 unit 100,000

ATK 4 site x 45,000 x 1 unit 180,000

dokumentasi FGD 4 site x 100,000 x 1 hari 400,000

Perancangan model dan uji coba 1 unit x 1,000,000 x 1 unit 1,400,000

4. Pengolahan data, pembuatan laporan, desiminasi/seminar dan publikasi 4,000,000

Pengolahan data 1 unit x 1,000,000

1 unit 2,000,000

Pembuatan Laporan 1 unit x 500,000

1 unit 500,000

Publikasi 1 unit x 600,000

1 unit 600,000

Desiminasi/seminar 30 orang x 30,000

1 unit 900,000

Total 29,750,000 29,750,000

2

Lampiran 2. Dukungan sarana dan prasarana penelitian

Penelitian ini didukung oleh sarana dan prasarana yang cukup memadai dalam hal:

1. Alat/media pelatihan seperti LCD, leaflet, alat praktikum dan sarana atau ruangan

untuk pelatihan.

2. Peralatan untuk mengukur status gizi seperti mikrotoa dan timbangan disediakan

oleh PS IKM dan juga bantuan Dinas Kesehatan setempat.

Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas

No Nama/NIDN Instansi

Asal

Bidang

Ilmu

Alokasi

Waktu

(jam/minggu)

Uraian Tugas

1. Kadek Tresna

Adhi, S.KM,

M.Kes/0018107906

PS IKM

FK

Gizi

Kesehatan

Masyarakat

6 jam/minggu - Mengurus ijin

penelitian

- Melatih surveyor

- Melatih pemandu

FGD

- Menghubungi kader

dan petugas

puskesmas serta

tokoh masyarakat

- Analisis data

- Pembuatan laporan

2. dr. Ni Wayan Arya

Utami,

M.App.Bsc.,

Ph.D/001098101

PS IKM

FK

Gizi

Kesehatan

Masyarakat

4 jam/minggu - Analisis data survey

- Pembuatan laporan

3. dr. Putu Ayu

Swandewi Astuti,

MPH/0018087607

PS IKM

FK

Biostatistik

dan

Kependudu

kan

4 jam/minggu - Analisis data FGD

- Pembuatan laporan

3

Lampiran 4. Dokumentasi

Dokumentasi Survei Lokasi Desa Pidpid dan Desa Nawakerti (Kecamatan Abang) dan

Desa Bukit (Kecamatan Karangasem) dan Desa Tianyar Timur (Kecamatan Kubu)

di Kabupaten Karangasem

4

5

Lampiran 5.

Jadwal kegiatan per bulan (sesuai Kontrak Penelitian)

Jenis Kegiatan Bulan

Mei Juni Juli Agustus September Oktober November

Persiapan penelitian

- Penandatangan kontrak penelitian

- Penetapan lokasi desa

- Surat menyurat

- Rekrutment enumerator

- Training enumerator

Penyusunan Instrumen

- Penyusunan kuesioner dan

panduan FGD

- Informed consent

- Ethical clearance

- Alat survey (mikrotoa,

timbangan, pita lila, tabel z-score)

- Souvenir

- Alat perekam, batere

- ATK

- Dokumentasi

- Pembagian transport fee

- Survei lokasi desa

Pelaksanaan penelitian

- Survei

- FGD

Analisis data

- Input karakteristik responden

- Analisis status gizi

- Analisis pangan

- Analisis hasil FGD

Laporan Kemajuan Penelitian

(Oktober 2014)

- Laporan penggunaan dana

70%

- Laporan kemajuan penelitian

- Logbook

Monev LPPM

Laporan Akhir Penelitian

(Paling lambat tgl 28 Nopember

2014)

- Unggah laporan akhir di

sim.lppm.unud.ac.id

- Unggah penggunaan dana

100%

Diseminasi/Seminar hasil

7

Lampiran 6. Kuesioner Penelitian

Tanggal Wawancara : _____________________ Kode Sampel :

KUESIONER ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI DI KAWASAN

MISKIN PROVINSI BALI TAHUN 2014 Nama Responden/Ibu ____________________________ Enumerator /Pencacah _________________________ Alamat dan Nama Desa ____________________ I. STRUKTUR KELUARGA

No Nama Anggota

Keluarga

Status Anggota

Keluarga a)

Jenis Kelamin b)

Umurc)

Pendidikand) Bulan Tahun

1 2 3 4 5 6 7 8

Keterangan : a). 1. KK 2. Istri 3. Anak 4. Orangtua 5. Saudara 6. Pembantu 7. Lainnya (diisi) b). 1. Laki-laki 2. Perempuan c). Untuk dewasa isi kolom tahun saja d). 1. Tidak sekolah 2. SD 3. SLTP 4. SLTA 5. PT

II. ANAK BALITA (0-59 BULAN) DAN IBU HAMIL Perhatikan: Jika dalam 1 (satu) KK ada lebih dari 1 balita, maka semua data terkait anak balita tersebut dicatat (karakteristik, riwayat kelahiran, keadaan gizi dan kesehatan, kebiasaan makan anak, dan pemberian ASI ekslusif serta MPASI) A. KARAKTERISTIK DAN KEADAAN GIZI ANAK BALITA

1. Nama Balita (1) : __________________________ 2. Tanggal Lahir (tgl/bln/thn) : ____/____/____ 3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan 4. Berat badan lahir : _______ 5. Anthropometri anak (saat ini) : Berat badan:_________ kg Panjang/tinggi : _______ cm

1. Nama Balita (2) : __________________________ 2. Tanggal Lahir (tgl/bln/thn) : ____/____/____ 3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan 4. Berat badan lahir : _______ 5. Anthropometri anak (saat ini): Berat badan:_________ kg Panjang/tinggi : _______ cm

8

B. RIWAYAT KELAHIRAN ANAK Riwayat Kelahiran (*Beri tanda 1 bila ya, 2 bila tidak, atau 3 bila tidak tahu)

No. Keadaan Kronologis* (1) (2) 1 Kelahiran cukup umur ( 37 mgg /lebih dari 8 bln) 2. Kelahiran tidak cukup umur/prematur ( 36 mgg)

3. Kelahiran dengan bantuan (alat penjepit/vakum/operasi/injeksi)*)

4. Pemberian kolostrum (ASI pertama berwarna kuning) *) Pilih salah satu *

) untuk balita (1)

C. KEADAAN KESEHATAN ANAK BALITA, PERILAKU AKSES TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DAN KEPEMILIKAN KARTU SEHAT/KARTU MISKIN

1. Bulan lalu, apakah ibu membawa anak ibu ke Posyandu : 1. Ya 2. Tidak 2. Apakah anak menerima kapsul vitamin A bulan ini? 1. Ya 2. Tidak 3. Jika ya, apakah diminum ? 1. Ya 2. Tidak 4. Jika ya, dari mana kapsul vitamin A tersebut diperoleh? 1. posyandu 2. Puskesmas 3. RS 4. ____ 5. Apakah selama sebulan terakhir anak ibu (sebut nama anak) pernah sakit? 1. Ya

2.Tidak Jika Ya, sakit apa?____________________________

6. Rata-rata seberapa sering anak ibu sakit (diare/batuk/pilek/demam) dalam 3 bulan terakhir?...........kali dalam sebulan. Jenis penyakit: ............................lama sakit..................hari

7. Apa yang ibu lakukan ketika anak (sebut nama anak) sakit? 1). Membawa anak ke puskesmas 2). Memberikan anak obat yang dibeli di warung dekat rumah 3). Memberikan anak obat tradisional (jenis:..............................) 4). Lainnya..............................................................................

8. Apakah keluarga memiliki kartu sehat/kartu miskin? 1. Ya (sejak tahun......) 2. Tidak 9. Digunakan untuk apa kartu tersebut selama ini?....................................

Jawaban Responden: Untuk anak balita (2): _______________________________________________________________ D. KEBIASAAN MAKAN ANAK

No. Pertanyaan Kebiasaan (frekuensi dalam seminggu*) (anak balita (1))

Anak Balita

(2) 1 Apakah Anak biasa sarapan pagi

setiap hari? a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

2 Apakah Anak biasa mengonsumsi camilan?

a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

3 Apakah Anak biasa mengonsumsi sayur-sayuran?

a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

4 Apakah Anak biasa mengonsumsi buah-buahan atau sari buah?

a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

5 Apakah Anak biasa mengonsumsi susu?

a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

9

6 Apakah Anak biasa mengonsumsi lauk hewani (misalnya daging, ayam, ikan, telur)?

a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

7 Apakah Anak biasa mengonsumsi lauk nabati (misalnya tempe, tahu)?

a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)

8 Apakah Anak memiliki makanan pantangan?

a. Ya b. Tidak

9 Jika jawaban No. 8 YA, sebutkan jenis dan alasannya!

Jenis: ___________________________ Alasan: ______________________

Keterangan : (frekuensi dalam seminggu) *) a. Selalu : 5-7 kali b. Kadang-kadang : 3-4 kali c. Jarang : 1-2 kali d. Tidak pernah

E. PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN MPASI

1. Anak ibu (sebut nama) diberikan ASI saja sampai umur...... bulan 2. Anak ibu (sebut nama) mulai diberikan makanan/minuman selain ASI pada umur ........bulan 3. Jenis makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang pertama kali diberikan: ....................................

frekuensi:....................per hari

Catatan: Untuk anak balita (2) jawaban ditulis dibawah ini. 1. ......................bulan 2. ......................bulan 3. Jenis: .......................................frekuensi.....................per hari

F. KEADAAN GIZI DAN KESEHATAN IBU HAMIL

1. Kehamilan ke: ..... Umur kehamilan: ..... mgg/.......bulan 2. Paritas: ........ 3. Jumlah anak: .......orang 4. Berat badan sebelum hamil:.......kg Tinggi badan:....... cm 5. Berat badan saat ini: ......kg 6. Apakah berat badan ibu ditimbang secara teratur? 1. Ya 2. Tidak 7. Lingkar Lengan Atas (LILA): ........cm 8. Kondisi edema (bengkak pada kaki): 1. ya 2. tidak 9. Sudah berapa kali periksa hamil (ANC) sampai saat ini: ........kali 10. Tempat periksa (ANC): puskesmas/pustu/bidan praktek swasta *) 11. Obat/suplemen yang dikonsumsi selama kehamilan ini:

..........................Frekuensi:.......kali/hari Merek obat/suplemen: ....................................

12. Riwayat sakit ibu: DM/Hipertensi/preeklampsia/...............*) 13. Keluhan selama hamil (mual/muntah/pusimg/lesu atau lelah/kesemutan/pegal/kurang nafsu

makan/lainnya.................) 14. Biaya rata-rata per bulan untuk periksa hamil: Rp.....................per bulan 15. Apakah ibu berpantang suatu makanan selama hamil? 1. Ya (jenis..................................) 2.

Tidak *) pilih salah satu

10

III. KETAHANAN PANGAN KELUARGA A. PENDAPATAN KELUARGA

Sumber Pendapatan Pekerjaan Pendapatan per hari (rupiah)

Total pendapatan per bulan (Rupiah)

Keterangan (jumlah hari kerja untuk buruh/sopir)

1. Ayah/Bapak 2. Ibu 3. Anggota keluarga

lainnya

4. Kebun* 5. Pekarangan* 6. Ternak* 7. Ikan* 8. Lain-lain *Catatan: Bila PNS/TNI/Pensiunan: tanyakan berapa pendapatan per bulan Bila Pedagang: tuliskan pendapatan bersih Bila Petani/Pendapatan dari usaha tani, isilah dengan pendapatan bersih (setalah dikurangi

biaya produksi: pakan, bibit, obat dsb) *Bila Buruh (misalnya buruh bangunan, sopir, dll), tanyakan dalam satu bulan rata-rata bekerja

berapa hari, dan berapa upah setiap hari kerja. Rata-rata pendapatan perhari adalah upah setiap hari kerja x lama kerja dalam satu bulan dibagi 30 hari.

Jika ada pendapatan berasal dari kebun/pekarangan/ternak/ikan, tanyakan berapa rata-rata pendapatan bersih (setelah dikurangi ongkos biaya produksi: pakan, bibit, obat dsb) dalam satu bulan. Tuliskan angka setelah dikurangi biaya produksi.

B. AKSES PANGAN

1. Berapa jauh jarak warung sembako dengan rumah: …………….. (m/km) 2. Sarana transportasi apa yang digunakan untuk membeli kebutuhan pangan? a. Jalan kaki : 1. Ya 2. Tidak b. Motor/mobil sendiri : 1. Ya 2. Tidak c. Angkot : 1.. Ya 2. Tidak 3. Sumber perolehan pangan :

a. Produksi Sendiri : 1. Ya 2. Tidak b. Membeli : 1. Ya 2. Tidak c. Diberi : 1. Ya 2. Tidak

4. Apakah keluarga/anggota keluarga saat ini menerima bantuan pangan seperti beras untuk masyarakat miskin (raskin) atau MPASI/PMT? a. Raskin : 1. Ya 2. Tidak b. MPASI/PMT : 1. Ya (jenis: ............................) 2. Tidak c. Lainnya : 1. Ya (sebutkan.......................) 2. Tidak

5. Apakah di pekarangan rumah/ kebun bapak/ibu ada : a. Tanaman pangan : 1. Ya (sebutkan...................................) 2. Tidak b. Ternak : 1. Ya (sebutkan...................................) 2. Tidak c. Ikan : 1. Ya 2. Tidak

C. PERSEPSI TENTANG KECUKUPAN PANGAN 1. Apakah bulan lalu keluarga bapak/ ibu pernah merasa tidak cukup pangan karena tidak

mampu (menyediakan/membeli)? 1. Ya 2. Tidak 2. Jika Ya, berapa hari peristiwa tersebut terjadi dalam sebulan terakhir ? _________ hari

11

3. Dalam tahun ini berapa berapa kali terjadi tidak cukup pangan? __________ 4. Menurut pengamatan pencacah/enumerator, ibu (responden) tergolong:

1. Kurus 2. Normal 3. Gemuk 5. Menurut pengamatan pencacah/enumerator, ibu (responden) tergolong:

1. Pucat 2. Cerah (normal) 6. Menurut pengamatan pencacah/enumerator, anak ini tergolong:

1. Kurus 2. Normal 3. Gemuk D. PENYEDIAAN PANGAN/MAKANAN KELUARGA

Penyediaan pangan/makanan keluarga: 1. Sering masak dirumah 2. Sering tidak masak (membeli) Tuliskan alasan untuk jawaban 1) atau 2):

E. PENGELUARAN PANGAN KELUARGA

No Variabel Rata-rata per hari/minggu/bulan (Rupiah)

1. Pangan pokok (sumber karbohidrat: beras, jagung, ubi, dsb) Rp................................per........... 2. Lauk pauk (sumber protein: tempe, tahu, ikan, telur, dsb) Rp................................per........... 3. Sayur-sayuran Rp................................per........... 4. Buah-buahan Rp................................per........... 5. Gula (meliputi gula bali, gula pasir, dsb) Rp................................per........... 6. Susu Rp................................per........... 7. Minyak goreng Rp................................per........... 8. Snack/jajanan (makanan selingan/selain makanan utama) Rp................................per........... JUMLAH (Total 1+2+3+4+5+6+7+8) Rp................................per...........

*Catatan: bila bahan makanan berasal dari usaha tani sendiri atau tidak membeli, maka perlu dikonversi ke dalam rupiah sesuai harga yang berlaku saat survei dilakukan PENGELUARAN BUKAN PANGAN Rata-rata pengeluaran bukan makanan (papan dan sandang): Rp_________________per bulan

F. KUALITAS DAN STABILITAS PANGAN

1. Harga bahan pokok (beras) saat ini Rp………………………/kg (Harga normal Rp…………………./kg) 2. (Kualitas Pangan) Apakah tersedia di rumah tangga berupa bahan pangan yang mengandung

protein hewani dan atau nabati (dilakukan observasi): 1. Ada 2. Tidak

3. (Stabilitas Pangan) (wawancara dan observasi) a. Jumlah persediaan pangan pokok yang ada di keluarga:

Pangan Pokok Jumlah yang tersedia Habis persedian tersebut akan habis (hari/bulan) Beras/jagung/umbi-umbian/Mie Gula pasir Sayur dan buah Daging sapi/ayam/babi Minyak goreng Telur Susu Minyak tanah/Gas elpiji Garam beriodium/tidak

b. Kecukupan ketersediaan pangan di rumah tangga (observasi):

1. Cukup 2. Tidak Cukup c. Frekuensi makan anggota rumah tangga

12

1. 3 kali/sehari 2. <3kali/sehari

IV. KONDISI TEMPAT TINGGAL 1. Besar keluarga (jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggunagan oleh keluarga tersebut

(makan dalam satu dapur)): ………………orang 2. *Keadaan rumah : 1. Permanen 2. Semi permanen 3. Tidak permanen 3. Kepemilikian rumah : 1. Milik sendiri 2. Sewa 3. Lainnya ……… 4. Penerangan : 1. Minyak tanah 2. Lilin 3. Listrik 5. Sumber air : 1. PAM 2. Sumur 3. Mata air/sungai 6. Septic tank : 1. Tidak ada 2. Ada 7. Ventilasi : 1. Baik 2. Cukup 3. Buruk 8. Tempat sampah : 1. Tidak ada 2. Ada

Keterangan: *Permanen (tembok semua), semi permanen (separuh tembok), tidak (bukan tembok)

13

FORM RECALL 24 JAM Kode Sampel: Formulir Pencatanan Makanan Rumah Tangga (Household food record) Nama Responden: ……………………….. Alamat:……………………………………….. Tanggal : ………………………………….

Hari/Tanggal Menu Makanan (Nama Bahan Makanan)

Banyaknya Sumber/Asal Makanan URT Berat (gram)

Selingan pagi/sore:

FORM FFQ Kode Sampel:

14

Tanggal : …………………………………. Catatan: Tanyakan dengan lebih detail bahan pangan lain yang tidak ada dalam list dibawah ini.

Jenis Pangan 1= Ya 2=Tidak Frekuensi (Berapa kali per…….)

Hari Minggu Bulan Tahun 1. Karbohidrat

a. Beras b. Jagung c. Ubi jalar d. ………………….. e. ………………….. f. ………………….. g. ………………….. h. …………………..

2. Protein a. Daging ayam b. Daging sapi c. Daging babi d. Ikan e. Susu f. Telur g. Tempe h. Tahu i. ………………….. j. ………………….. k. …………………..

3. Vitamin dan Mineral a. Mangga b. Pisang c. Jambu d. Pepaya e. Jeruk f. Semangka g. Melon h. ………………….. i. ………………….. j. …………………..

4. Minuman a. Softdrink b. Kopi c. Teh d. Sirup e. Air putih f. ………………….. g. …………………..

FORM OBSERVASI KETERSEDIAAN PANGAN DI PASAR DESA _______________________

15

Tanggal:

Nama Bahan Pangan Keterangan (selalu tersedia/musiman)

*Jika ada tambahan silahkan ditulis dibalik lembaran ini Lampiran 7. Pedoman FGD

16

PEDOMAN FGD

“Peran serta Tokoh Masyarakat dan Kader Desa dalam Metode Penemuan

Secara Aktif Anak Balita dengan Status Gizi Kurang sebagai Upaya Deteksi

Dini Kasus Malnutrisi”

PERKENALAN:

Selamat pagi/siang/sore. Nama saya adalah........ Saya adalah salah anggota tim peneliti dari

Universitas Udayana dengan judul “ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA

DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI DI KAWASAN MISKIN PROVINSI BALI

TAHUN 2014” dan akan menjadi pemandu diskusi kita hari ini. Sebelumnya saya

mengucapkan terima kasih untuk kesediaan Bapak/Ibu* untuk bersedia hadir dalam diskusi

ini.

Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah adalah sebuah diskusi pada

kelompok kecil yang bertujuan untuk mendiskusikan sebuah topik dengan lebih detail.

Pagi/siang/sore ini, kita akan mendiskusikan tentang rencana kegiatan mendeteksi atau

menemukan secara dini anak balita dengan status gizi kurang atau buruk yang dilakukan

secara aktif oleh kader atau tokoh masyarakat didesa ini. Dalam diskusi ini saya tidak

bertindak sebagai pemberi informasi ataupun narasumber. Tugas saya adalah mendengarkan

pendapat Bapak/Ibu berkaitan dengan topik yang akan kita diskusikan ini.

Dalam diskusi ini, kami sangat mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu*, demikian juga

ketulusan dan kejujuran Anda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan kami

ajukan. Tidak ada pernyataan yang salah atau benar, hanya opini dan kami berharap agar

semua Bapak/Ibu* dapat mengeluarkan pendapat dalam diskusi ini. Kami mohon agar

Bapak/Ibu* jangan malu dan takut mengungkapkan pendapat walaupun bertentangan

dengan pendapat yang lain. Saya sangat menghargai setiap pendapat yang Bapak/Ibu*

ungkapkan. Dalam diskusi ini, kami mohon Bapak/Ibu bisa mengeluarkan pendapat secara

bergiliran. Pendapat Bapak/Ibu dalam diskusi ini sangat penting dalam penyusunan suatu

model penemuan secara aktif kasus gizi kurang/buruk di desa ini yang pada akhirmya

mendukung kebijakan pemerintah dalam program penanggulangan masalah gizi buruk di

Bali.

Dalam diskusi ini, kami akan merekam hasil diskusi kita agar setiap pendapat yang

Bapak/Ibu* sampaikan dapat kami rekam dengan baik dan tidak ada infromasi yang

terlewatkan. Setiap pendapat yang disampaikan bersifat sangat rahasia dan akan digunakan

untuk tujuan penelitian serta tidak akan mencantumkan nama Bapak/Ibu*. Sebelum kita

mulai diskusi ini, kami persilahkan Bapak/Ibu bertanya jika seandainya ada hal hal yang

kurang jelas.

17

Diskusi

I. Pertanyaan Pemanasan

1. Sebelum dimulai, saya ingin menyampaikan bahwa FGD ini diselenggarakan

oleh Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar institusi

tersebut?

2. Sebaiknya FGD dimulai dengan perkenalan. Mohon menyebutkan nama,

alamat dan warna yang disukai (atau bisa juga dengan menanyakan jumlah

anak/pekerjaan).

Sekarang saya ingin bertanya lebih spesifik tentang topik yang ingin kita bahas:

II. Pemahaman tentang Kejadian Gizi Kurang/Buruk dan Dampaknya pada Anak

Balita

1. Saya ingin mendiskusikan kepada Bapa/Ibu semuanya tentang masalah gizi

kurang atau gizi buruk. Mohon Bapak/Ibu kemukakan apapun yang

Bapak/Ibu ketahui selama ini tentang gizi kurang atau buruk, misalnya

tentang tanda-tandanya, tentang penyebabnya, dan seterusnya. Menurut

Bapak/ibu bagaimana dampak atau akibat jika anak balita mengalami gizi

kurang/buruk? (Probing: bagaimana dampak pada saat ini dan masa depan

anak. Bisa diberikan contoh)

2. Menurut Bapak/ibu, bagaimana caranya mencegah terjadinya masalah gizi

kurang/buruk pada anak balita? (Probing: bagaimana bentuk

tindakan/cara/metode yang diambil untuk mencegah masalah gizi buruk pada

anak. Kira-kira apa yang Bapak/ibu lakukan untuk mencegah masalah gizi

pada anak.)

III. Persepsi Metode Deteksi Dini Anak Balita dengan Status Gizi Kurang/Buruk dan

Peran serta Aktif Kader/Tokoh Masyarakat

1. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana jika metode menemukan lebih dini anak

balita dengan gizi buruk secara aktif diterapkan didesa ini (probing:

menemukan lebih dini secara aktif yaitu dengan mengunjungi rumah anak

balita yang tidak datang keposyandu)?

2. Apakah Bapak/Ibu pernah punya pengalaman menemukan ada anak balita

yang mengalami gizi buruk?(Probing: jika pernah, bagaimana atau silahkan

Bapak/Ibu cerita bagaimana ceritanya sampai Bapak/Ibu bisa mengetahui

bahwa anak tersebut menderita gizi buruk? )

3. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti pelatihan mengukur status gizi pada

anak? (Probing: kapan, siapa melatih, dimana pelatihannya, bagaimana kesan

terhadap pelatihan tersebut)

4. Kira-kira kendala atau kesulitan apa yang Bapak/Ibu rasakan ketika

melakukan pengukuran status gizi pada anak? (Probing: apa saja kendalanya,

pada diri sendiri, ibu balita, masyarakat)

5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai metode penemuan gizi buruk

dengan cara aktif (probing: menemukan atau mencari anak balita dengan gizi

kurang dirumahnya) dibandingkan dengan yang pasif (probing: hanya

menunggu anak balita dibawa keposyandu saja. Bagaimana menurut

Bapak/Ibu mengenai hal ini)?

6. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana peran kader/tokoh masyarakat dalam

menurunkan kejadian gizi buruk (Probing: peran disini bagaimana Bapak/Ibu

bisa berpartisipasi dalam mengurangi anak balita yang mengalami gizi

buruk)?

18

7. Jika seandainya, kita ingin Bapak/Ibu mau dan mampu melakukan deteksi

dini dengan menemukan lebih awal anak balita gizi kurang/buruk, apa yang

harus kita lakukan:

8. (Probing)

a. Melakukan pelatihan pengukuran status gizi?

b. Menetapkan target yang dicapai oleh kader?

c. Adanya dukungan atau reward (insentif) dari puskesmas/dinas

kesehatan?

d. Melibatkan Bapak/Ibu yang berhasil menemukan anak balita gizi

buruk sebagai panutan (role model)?

Kira-kira mana yang lebih efektif dilakukan? Apa kira-kira kesulitan yang

muncul kalau kita mau melakukan hal tersebut?

IV. Penutup

Kita akan mengakhiri diskusi, terima kasih atas informasi yang Bapak/Ibu berikan dalam

diskusi ini.

19

Lampiran 8. Surat Ethical Clearence dan Kesbangpol Provinsi Bali

20

21

22

Lampiran 9. Output analisis data

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic

pendapatan 170 20000 9000000 1034552,94 87850,087 1145424,993

jarak 170 1 10000 672,15 127,005 1655,936

Valid N (listwise) 170

jalan * kendaraanCrosstabulation

Count

kendaraan

Total 1 2

jalan 1 6 133 139

2 23 8 31

Total 29 141 170

angkot * kendaraanCrosstabulation

Count

kendaraan

Total 1 2

angkot 1 0 7 7

2 29 134 163

Total 29 141 170

angkot * jalanCrosstabulation

Count

jalan

Total 1 2

angkot 1 0 7 7

2 139 24 163

Total 139 31 170

produksi * diberiCrosstabulation

Count

diberi

Total 1 2

Produksi 1 2 31 33

2 5 132 137

Total 7 163 170

membeli * diberiCrosstabulation

23

Count

diberi

Total 1 2

Membeli 1 6 159 165

2 1 4 5

Total 7 163 170

produksi * membeliCrosstabulation

Count

membeli

Total 1 2

Produksi 1 29 4 33

2 136 1 137

Total 165 5 170

raskin * mpasiCrosstabulation

Count

mpasi

Total 1 2

raskin 1 14 82 96

2 13 61 74

Total 27 143 170

tanaman * ternakCrosstabulation

Count

ternak

Total 1 2

tanaman 1 27 35 62

2 20 88 108

Total 47 123 170

IIIc1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 78 26,6 45,9 45,9

2 92 31,4 54,1 100,0

Total 170 58,0 100,0

Missing System 123 42,0

Total 293 100,0

24

IIIc4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 47 16,0 27,6 27,6

2 107 36,5 62,9 90,6

3 16 5,5 9,4 100,0

Total 170 58,0 100,0

Missing System 123 42,0

Total 293 100,0

IIIc5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 46 15,7 27,1 27,1

2 124 42,3 72,9 100,0

Total 170 58,0 100,0

Missing System 123 42,0

Total 293 100,0

IIId1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 168 57,3 98,8 98,8

2 2 ,7 1,2 100,0

Total 170 58,0 100,0

Missing System 123 42,0

Total 293 100,0

IIIc1 * IIIc5 Crosstabulation

Count

IIIc5

Total 1 2

IIIc1 1 29 49 78

2 17 75 92

Total 46 124 170

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic

IIIc2 170 0 7 1,49 ,144 1,879

IIIc3 170 0 35 2,49 ,308 4,012

Valid N (listwise) 170

25

KLPPERSENTASE

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid rendah 115 67,6 67,6 67,6

tinggi 55 32,4 32,4 100,0

Total 170 100,0 100,0

AKG

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid cukup 22 12,9 12,9 12,9

kurang 148 87,1 87,1 100,0

Total 170 100,0 100,0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

AKG * KLPPERSENTASE 170 100,0% 0 ,0% 170 100,0%

AKG * KLPPERSENTASE Crosstabulation

Count

KLPPERSENTASE

Total rendah tinggi

AKG cukup 13 9 22

kurang 102 46 148

Total 115 55 170

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

AKG * IIIC5 170 100,0% 0 ,0% 170 100,0%

26

AKG * IIIC5 Crosstabulation

Count

IIIC5

Total 1 2

AKG cukup 7 15 22

kurang 39 109 148

Total 46 124 170

Frequency Table

IIIF2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 29 17,1 17,1 17,1

2 141 82,9 82,9 100,0

Total 170 100,0 100,0

IIIF3B

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 119 70,0 70,0 70,0

2 51 30,0 30,0 100,0

Total 170 100,0 100,0

IIIF3C

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 102 60,0 60,0 60,0

2 68 40,0 40,0 100,0

Total 170 100,0 100,0

Statistics

IV2 IV3 IV4 IV5 IV6 IV7 IV8

N Valid 170 170 170 170 170 170 170

Missing 0 0 0 0 0 0 0

Mean 1,55 1,12 2,21 1,71 1,48 2,23 1,43

IV2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 77 45,3 45,3 45,3

2 93 54,7 54,7 100,0

Total 170 100,0 100,0

27

IV3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 155 91,2 91,2 91,2

2 10 5,9 5,9 97,1

3 5 2,9 2,9 100,0

Total 170 100,0 100,0

IV4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 54 31,8 31,8 31,8

2 26 15,3 15,3 47,1

3 90 52,9 52,9 100,0

Total 170 100,0 100,0

IV5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 109 64,1 64,1 64,1

2 1 ,6 ,6 64,7

3 60 35,3 35,3 100,0

Total 170 100,0 100,0

IV6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 88 51,8 51,8 51,8

2 82 48,2 48,2 100,0

Total 170 100,0 100,0

IV7

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 36 21,2 21,2 21,2

2 59 34,7 34,7 55,9

3 75 44,1 44,1 100,0

Total 170 100,0 100,0

IV8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 97 57,1 57,1 57,1

2 73 42,9 42,9 100,0

28

IIIF2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1 29 17,1 17,1 17,1

2 141 82,9 82,9 100,0

Total 170 100,0 100,0