laporan akhir penelitian hibah grup riset
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
HIBAH GRUP RISET UNIVERSITAS UDAYANA
ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA STRATEGI
DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI PADA KAWASAN MISKIN
DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI TAHUN 2014
Nama Grup Riset:
Kesmas
TIM PENELITI
Peneliti Utama:
Kadek Tresna Adhi, S.KM, M.Kes (NIDN.0018107906)
Anggota Peneliti:
dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D (NIDN.0001098101)
dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH (NIDN.0018087607)
Dibiayai dari Dana PNBP Universitas Udayana
Dengan Surat Penugasan Penelitian
Nomor: 238-35/UN14.2/PNL.01.03.00/2014
Tanggal: 14 Mei 2014
GRUP RISET KESMAS
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
November Tahun 2014
iv
RINGKASAN
Provinsi Bali sebagai daerah pariwisata ternyata tidak bisa lepas dari masalah
kemiskinan. Beberapa kabupaten memiliki persentase penduduk miskin yang cukup tinggi
(BPS Provinsi Bali, 2011). Kemiskinan merupakan akar berbagai permasalahan khususnya
terkait kesehatan dan status gizi. Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan berdampak pada
kemampuan masyarakat untuk membeli bahan makanan, rendahnya akses terhadap
pelayanan kesehatan dan juga perilaku pengasuhan anak yang kurang baik. Kondisi ini akan
berdampak langsung terhadap tingkat konsumsi zat gizi di rumah tangga khususnya
konsumsi energi dan protein yang secara nasional menunjukkan 24,7% anak usia 24-59
bulan mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (<70%AKG) (Riskesdas, 2010).
Kondisi ini berujung pada tingginya prevalensi anak balita dengan status gizi kurang dan
juga anak dengan kondisi stunting (pendek) khususnya di daerah miskin. Kasus anak balita
kekurangan gizi diibaratkan fenomena gunung es (iceberg fenomena), dimana kasus gizi
buruk yang memerlukan penanganan di RS saja yang muncul dipermukaan, padahal banyak
anak yang menderita kekurangan gizi yang tidak ditemukan secara lebih dini, khususnya
pada daerah terpencil dan miskin. Kondisi ini membutuhkan suatu studi analisis mengenai
situasi pangan dan gizi dan juga perancangan model deteksi dini pada kawasan miskin di
Provinsi Bali sehingga diharapkan dapat disusun rencana program perbaikan gizi dan juga
program peningkatan ketahanan pangan oleh pemerintah setempat secara lebih efektif dan
efisien. Metode yang digunakan adalah dengan rancangan penelitian deskriptif
observasional dan dengan populasi rumah tangga yang ada di kabupaten dengan penduduk
miskin terbanyak. Pengumpulan data dilakukan metode survei dan juga focus group
discussion (FGD) dengan data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik sosial ekonomi
responden, produksi dan distribusi pangan, ketersediaan pangan di pasar dan RT,
aksesibilitas terhadap pangan (daya beli dan transportasi), keanekaragaman pangan yang
tersedia, kualitas dan keamanan pangan, dan harga pangan (stabilitas pangan). Dilakukan
juga pengukuran antropometri untuk menilai status gizi anak balita dan juga status kurang
energi kronis (KEK) ibu hamil yang ada di desa terpilih. Selanjutnya data dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan juga hasil FGD disajikan dalam
bentuk transkrip hasil diskusi berdasarkan tema yang telah disusun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berdasarkan analisis data tingkat konsumsi energi dan proporsi
pengeluaran pangan, maka diperoleh hasil bahwa masih terdapat 46 rumah tangga yang
tergolong dalam kondisi rawan pangan, 102 rumah tangga yang termasuk kurang pangan, 9
rumah tangga mengalami rentan pangan, dan 13 rumah tangga sudah tergolong tahan
pangan. Berdasarkan perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil diketahui
bahwa dari 11 ibu hamil 4 (36,4%) ibu termasuk dalam kategori berat badan (BB) kurang
dan 7 (63,6%) termasuk dalam kategori BB normal. Berdasarkan indeks BB/TB sebagian
besar (78,1%) dengan kategori normal. Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita
(87,5%) termasuk dalam status gizi baik, namun ditemukan anak balita dengan status gizi
kurang dan buruk sebanyak 10 anak balita (10,4%). Berdasarkan indeks TB/U sebagian
besar anak balita dengan tinggi badan normal (62,5%), namun prevalensi anak balita dengan
status gizi pendek yaitu sebesar 31,2%. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian
ini, maka disaranakan adanya peningkatan pemanfaatan pangan lokal dan diversifikasi
pangan untuk memenuhi kecukupan energi anggota keluarga dan untuk mengurangi
terjadinya kerawanan pangan pada keluarga serta dilakukan advokasi kepada pemerintah
untuk mencoba menerapkan metode active case finding oleh kader dan tokoh masyarakat
sebagai solusi dalam menemukan secara dini anak balita dengan status gizi kurang sehingga
v
dapat menurunkan prevalensi anak balita dengan status gizi kurang dan buruk terutama pada
kawasan miskin yang sulit dijangkau oleh petugas kesehatan.
PRAKATA
Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat
dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya laporan kemajuan penelitian yang berjudul “Analisis
Situasi Pangan dan Gizi serta Deteksi Dini Kasus Malnutrisi pada Kawasan Miskin di
Kabupaten Karangasem Provinsi Bali” ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini, antara lain:
1. Pihak LPPM Universitas Udayana yang membantu dalam penyediaan dana
penelitian
2. KPS Ilmu Kesehatan Masyarakat beserta staf yang membantu dalam
menyediakan fasilitas dan sarana penelitian
3. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem yang membantu dalam
menyediakan data sekunder mengenai kasus gizi kurang anak balita
4. Pihak BPMPD Provinsi Bali yang membantu dalam menyediakan data PPLS
tahun 2011 serta memberikan informasi terkait data yang diambil
5. Pihak Puskesmas yang mewilayahi Desa Tianyar Timur, Desa Bukit, desa
Nawakerti, dan Desa Pidpid beserta Perbekel, Kepala Dusun, Bidan Desa dan
Kader Desa atas partisipasi aktifnya dalam pengumpulan data penelitian
6. Para enumerator yang membantu dan sedang melaksanakan tugas
pengumpulan data penelitian di lapangan.
Demikian laporan ini disusun dan penulis menyadari laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Denpasar, 25 November 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................................ii
RINGKASAN ........................................................................................................................iii
PRAKATA .............................................................................................................................iv
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... viii
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................3
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................13
BAB 4. METODE PENELITIAN .........................................................................................14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................................18
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Bali tahun 2007-20112 ....................3
Tabel 2.2 Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Bali ...........4
Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Baku Median WHO ..................7
Tabel 3.1 Road Map Penelitian ..............................................................................................14
Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian .............................................................................19
Tabel 5.2 Karakteristik Anak Balita ......................................................................................20
Tabel 5.3 Riwayat Kelahiran Anak ........................................................................................23
Tabel 5.4 Distribusi Analisis AKG berdasarkan Kondisi Fisik .............................................28
Tabel 5.5 Persentase Pengeluaran Pangan Keluarga .............................................................29
Tabel 5.6 Distribusi Ketersediaan Pangan dan Frekuensi Makan Keluarga ..........................29
Tabel 5.7 Kondisi Tempat Tinggal ........................................................................................30
Tabel 5.8 Tingkat Konsumsi Zat Gizi....................................................................................31
Tabel 5.9 Kategori AKG ........................................................................................................31
Tabel 5.10 Tingkat Konsumsi Energi berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan ................32
Tabel 5.11 Status Gizi Balita yang Ditemukan Secara Aktif di Dusun Jumenang ................45
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi ..................................5
Gambar 5.1 Persentase RTS di Provinsi Bali berdasarkan data PPLS tahun 2011 ...............18
Gambar 5.2 Persentase RTS di Kabupaten Karangasem menurut Kecamatan ......................19
Gambar 5.3 Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Indeks BB/U, BB/TB dan TB/U ............23
Gambar 5.4 Persepsi Keluarga menegnai Kecukupan Pangan Keluarga ..............................28
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Laporan Penggunaan Dana 100%
Lampiran 2. Dukungan sarana dan prasarana penelitian
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas
Lampiran 4. Dokumentasi
Lampiran 5. Jadwal kegiatan per bulan (sesuai Kontrak Penelitian)
Lampiran 6. Kuesioner Penelitian
Lampiran 7. Pedoman FGD
Lampiran 8. Surat Ethical Clearence dan Kesbangpol Provinsi Bali
Lampiran 9. Output Analisis Data
1
BAB 1 PENDAHULUAN
Pangan merupakan salah satu kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia.
Ketersediaan pangan baik secara makro dan mikro merupakan salah satu persyaratan
penting untuk terwujudnya ketahanan pangan. Ketersediaan pangan yang mencukupi secara
nasional ternyata tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan tingkat regional ataupun
rumah tangga/individu (Ariani, 2010). Hasil studi dari Saliem et al. (2001) menunjukkan
bahwa walaupun ketahanan pangan tingkat regional (provinsi) telah terjamin namun di
provinsi tersebut masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan dengan
proporsi relatif tinggi. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan
yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi
standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Dewan
Ketahanan Pangan, 2006).
Tingkat kecukupan gizi yang diukur dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) merupakan
indikator apakah rumah tangga tersebut sudah tahan pangan, tidak tahan pangan atau rawan
pangan (BPMPD Provinsi Bali, 2013). Pada tahun 2011 terdapat 42,08 juta atau sekitar
17,41% penduduk Indonesia yang memiliki AKG < 70%, nilai ini meningkat sebanyak 6,37
juta atau sekitar 2,07% dari tahun 2010 yaitu 35,71 juta atau sekitar 15,34% (Badan Pusat
Statistik (BPS) diolah BPMPD Provinsi Bali, 2012). Secara nasional, rata-rata konsumsi
energi anak umur 24–59 bulan di Indonesia sudah sesuai AKG (102,0%), namun belum
merata di semua provinsi. Secara nasional, sebanyak 24,7% anak umur 24–59 bulan
mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (<70% AKG) (Riskesdas, 2010).
Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum akan berdampak terhadap
kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Jika hal ini terjadi pada anak balita dalam
jangka panjang, akan berdampak pada kualitas SDM. Dalam hal ini kecukupan energi dan
protein dapat digunakan untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan keberhasilan pemerintah
dalam membangun pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara terintegrasi
(Moeloek, 1999). Berdasarkan laporan tahunan Sistem Kewaspadaan Gizi dan Pangan
(SKPG) Provinsi Bali Tahun 2012, dilihat dari aspek ketersediaan pangan dan akses pangan,
Provinsi Bali tergolong aman pangan, akan tetapi jika dilihat dari kondisi pemanfaatan
pangan maka Provinsi Bali tergolong rawan (BPMPD Provinsi Bali, 2012).
Berdasarkan indicator dalam analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia (Food Security and Vurnability Atlas/FSVA) (2009), kerentanan terhadap
kerawanan pangan terutama disebabkan oleh angka kemiskinan yang masih tinggi, tidak ada
2
akses listrik, kasus underweight pada balita masih tinggi, tidak ada akses jalan untuk
kendaraan roda empat, tidak ada sumber air bersih, dan rasio konsumsi normatif perkapita
terhadap ketersediaan serealia masih meningkat. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi
yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, tercatat sebesar 4,56% penduduk
miskin di Provinsi Bali dengan dua (2) kabupaten yang memiliki penduduk miskin
terbanyak adalah Kabupaten Karangasem (6,43%) dan Kabupaten Klungkung (6,10%) (BPS
Provinsi Bali, 2011). Angka kemiskinan yang tinggi pada kedua kabupaten diatas didukung
oleh data tingginya kasus gizi kurang pada anak balita di daerah tersebut. Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar Provinsi Bali tahun 2010 menunjukkan prevalensi kurang gizi pada
anak balita pada Kabupaten Karangasem sebesar 19,8% dan Kabupaten Klungkung sebesar
12,9%. Kasus anak pendek (stunting) juga cukup tinggi yaitu di Kabupaten Karangasem
sebesar 39,0% dan Kabupaten Klungkung sebesar 28,3% (Riskesdas, 2010). Belum ada
informasi mengenai situasi pangan dan gizi dikedua daerah tersebut. Berdasarkan data ini
maka penting untuk dianalisis mengenai situasi pangan dan gizi serta bentuk model deteksi
dini kasus malnutrisi anak balita pada kawasan miskin di Provinsi Bali.
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Miskin di Provinsi Bali
Kemiskinan telah menjadi masalah yang kompleks dan kronis baik ditingkat nasional
maupun regional, sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan
berkelanjutan. Program pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah memberikan
perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Meskipun demikian, maslaah
kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah yang berkepanjangan. Provinsi Bali
yang dikenal sebagai daerah pariwisata, sampai saat ini juga belum bisa luput dari
permasalahan kemiskinan. Berikut ini tabel yang menunjukkan perkembangan jumlah dan
persentase penduduk miskin di Bali selama lima tahun terakhir (BPS Provinsi Bali, 2011).
Tabel 2.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Bali tahun 2007-2011
Berdasarkan tabel diatas daerah perkotaan pada umumnya memiliki jumlah penduduk
miskin yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah pedesaan dan tingkat kemiskinan
dalam lima tahun terakhir terus mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan pada September
2011 baik di perkotaan maupun di pedesaan menunjukkan kenaikan dibanding bulan Maret
2011, masing-masing 3,91% dan 4,65% menjadi 4,20% dan 5,17%. Tingkat kemiskinan
perkotaan lebih rendah dibanding pedesaan.
Penentuan penduduk misin oleh BPS, didahului oleh penentuan Garis Kemiskinan
(GK) sebagai besaran nilai pengeluaran yang dibutuhkan penduduk untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Selanjutnya penduduk miskin ditentukan
4
berdasarkan posisi rata-rata pengeluaran per kapita per bulan terhadap GK. Penduduk
dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah GK tergolong penduduk miskin
(BPS Provinsi bali, 2011).
Tabel berikut ini menggambarkan persentase penduduk miskin berdasrkan
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali.
Tabel 2.2 Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Bali
Kabupaten/Kota
Regency/City
Jumlah Penduduk Miskin
(000 jiwa)
Number of Poor People (000)
Persentase Penduduk Miskin
Percentage of Poor People
2009 2010 2011
2009 2010 2011
(1) (2) (3) (4)
(5) (6) (7)
1. Jembrana 17.6 21.3 17.6
6.80 8.11 6.56
2. Tabanan
20.8 29.3 24.2
4.99 6.96 5.62
3. Badung
14.0 17.7 14.6
3.28 3.23 2.62
4. Gianyar
25.5 31.5 26.0
5.76 6.68 5.40
5. Klungkung 8.8 12.9 10.7
5.23 7.58 6.10
6. Bangli
11.4 13.8 11.4
5.18 6.41 5.16
7. Karangasem 24.7 31.6 26.1
6.37 7.95 6.43
8. Buleleng
37.7 45.9 37.9
5.95 7.35 5.93
9. Denpasar 13.3 17.5 14.5
2.20 2.21 1.79
B A L I
173.6 221.6 183.1
4.88 5.67 4.59
Sumber : Badan Pusat Statistik (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional - Juli)
Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata persentase penduduk miskin di Provinsi
Bali adalah sebesar 4,59% hanya dua kabupaten dengan persentase dibawah rata-rata daerah
yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpsaar. Sebagian besar diatas rata-rata dengan
Kabupaten Karangasem, Jembrana dan Klungkung yang dengan perssentase tertinggi
penduduk miskin.
2.2 Status Gizi Anak Balita
Status gizi balita dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor langsung dan tidak langsung.
Faktor yang langsung berpengaruh adalah asupan makanan dan status kesehatan (misalnya
penyakit infeksi, penyakit metabolisme, kelainan organ, pasca operasi dan sebagainya).
5
Faktor yang tidak langsung berpengaruh antara lain tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan
orang tua, dan budaya (Kemenristek, 2011).
Gambar 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi
Status gizi secara umum dikelompokkan menjadi sangat kurang, kurang, baik, dan
lebih. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi yang digunakan secara optimal yang memberikan kesempatan pada individu untuk
tumbuh secara fisik, memacu perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara
umum pada tingkat setinggi mungkin (Malena K, 2006 dalam Nicholas dkk.,2011). Namun
pada keadaan tertentu dapat terjadi malnutrisi yang dapat terjadi sebagai akibat kekurangan
zat gizi atau diistilahkan dengan kurang gizi, maupun dapat terjadi karena kelebihan nutrisi
yang diistilahkan dengan gizi lebih. Dengan demikian, status kurang gizi diartikan sebagai
kurangnya asupan energi dan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan individu untuk menjaga
kesehatan yang baik. Sedangkan kelebihan gizi sendiri didefinisikan sebagai terlalu banyak
6
kalori atau mengkonsumsi salah jenis kalori seperti lemak jenuh, lemak trans dan gula yang
sangat halus yang mengarah pada obesitas dan banyak penyakit kronis lainnya (World
Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).
Seseorang yang mengalami kurang gizi tidak hanya mengalami gangguan dalam fisik
dan tingkat energi, tetapi juga dapat berpengaruh secara langsung berbagai aspek dari fungsi
mental, terutama bila kurang gizi terjadi sejak usia balita dan anak-anak, di mana
pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu dan nantinya memiliki efek negatif
terhadap kemampuan anak-anak untuk belajar dan memproses informasi dan menjadi orang
dewasa yang produktif. Kekurangan gizi juga biasanya mempengaruhi fungsi kekebalan
tubuh, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita penyakit infeksi. Kurang Energi
Protein (KEP) adalah keadaan yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
(World Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).
Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya
nampak kurus, sedangkan gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu Marasmus, Kwasiorkor, atau Marasmik-Kwasiorkor. Bila status kurang gizi
disertai dengan tanda-tanda klinis seperti: wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut
cekung, kulit keriput disebut Marasmus. Kwashiorkor adalah keadaan kurang protein yang
menunjukkan gejala klinis oedema terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab.
Marasmus dan Kwashiorkor atau Marasmic Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai
“busung lapar” adalah keadaan kurang gizi dengan semua gejala klinis yang disebutkan di
atas (World Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).
Pemantauan KEP yang umum dilakukan pada pusat pelayanan kesehatan primer,
seperti puskesmas adalah dengan hanya menimbang berat badan balita dibandingkan dengan
umurnya. Kemudian hasil penimbangan tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kategori
sebagai berikut (World Bank, 2010 dalam Nicholas 2011).
1. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna
kuning diatas garis merah atau BB/U 70%-80% baku median WHO-NCHS.
2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS berada di bawah garis
merah (BGM) atau BB/U 60%-70% baku median WHO-NCHS.
3. KEP berat bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-NCHS. Pada
KMS tidak ada garis pemisah antara KEP berat dan KEP sedang.
Beberapa pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menilai status gizi
pada balita adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang kemudian disajikan dalam
tiga indikator, yaitu: berat badan menurut (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat
7
badan menurut tinggi badan (BB/TB). Angka berat badan dan tinggi badan setiap balita
dkonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku
antropometri WHO 2006 (Malena K, 2006 dalam Nicholas dkk.,2011)
Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Baku Median WHO-NCHS
Status Gizi Ambang Batas
Gizi lebih +2 SD
Gizi baik > -2 SD sampai +2 SD
Gizi kurang < -2 SD sampai > -3 SD
Gizi buruk < -3 SD
Dikutip dari Kepmenkes RI No: 920/Menkes/SK/VIII/2002
Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak
spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk kurang mengindikasikan ada tidaknya
masalah gizi pada balita, dan apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut.
2.3 Deteksi Dini Kasus Malnutrisi
Menurut WHO (2007), active case finding atau penemuan kasus secara aktif
merupakan bagian dari manajemen malnutrisi pada balita yang berbasis komunitas.
Manajemen malnutrisi berbasis komunitas pada dasarnya terdiri dari deteksi dini kasus dan
pemberian terapi berupa sediaan makanan terapeutik atau makanan yang bergizi tinggi di
rumah, kepada anak-anak dengan malnutrisi yang tidak mengalami komplikasi medis. Jika
dikombinasikan dengan manajemen berbasis fasilitas bagi kasus-kasus dengan komplikasi
medis, maka penerapan manajemen berbasis komunitas ini akan mampu mencegah
kematian akibat komplikasi malnutrisi pada anak-anak (WHO, 2007).
Sebagai ujung tombak manajemen malnutrisi berbasis komunitas, active case finding
dapat dilakukan oleh kader kesehatan atau relawan yang bersedia ikut serta dalam program
dan telah terlatih untuk mengidentifikasi dan manajemen kasus di tingkat komunitas (WHO,
2007). Pada daerah-daerah dengan fasilitas yang terbatas dan pada masyarakat dengan sosial
ekonomi yang rendah, sebagian besar kasus malnutrisi tidak dibawa ke fasilitas kesehatan,
sehingga peran komunitas yang kuat sangat dibutuhkan untuk dapat menangani kasus
dengan tepat. Penemuan kasus secara aktif juga telah terbukti dapat menurunkan jumlah
kasus malnutrisi yang perlu dirawat di fasilitas kesehatan (WHO, 2007).
8
2.4 Ketahanan dan Kerawanan Pangan
Pengertian ketahanan pangan seperti yang tertuang pada Undang undang No. 7 tahun
1996 tentang Pangan, adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan
pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi: (1)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian
ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak
dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia, (2) Terpenuhinya pangan dengan
kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk
kaidah agama, (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa
distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di
seluruh tanah air, (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa
pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Konsep ketahanan
pangan ini merupakan konsep yang yang mengadopsi definisi dari FAO (1996) Keempat
komponen tersebut dapat digunakan dalam mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga(Ariani, 2010).
Dalam rangka mewujudkan peningkatan ketahanan pangan, sesuai dengan Instruksi
Presiden Nomor 1 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun
2010, ketahanan pangan merupakan prioritasi kelima. Tindak lanjut dari instruksi ini adalah
adanya Program Pemenuhan Konsumsi dan Kualitas Gizi Masyarakat yang meliputi: 1.
Pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pangan, 2. Percepatan
penganekaragaman pangan, 3. Pengembangan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan.
Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and
Vurnability Atlas/FSVA) (2009), menunjukkan bahwa dari 364 kabupaten yang dianalisis,
terdapat 100 kabupaten atau sekitar 28,9% rentan terhadap kerawanan pangan. Dari 100
kabupaten tersebut, sebanyak 30 kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta perlu
mendapat penanganan prioritas 1, sebanyak 30 kabupaten lainnya masuk dalam kategori
prioritas 2 dan 40 kabupaten sisa termasuk dalam prioritas 3 yang perlu mendapat
penanganan secara bertahap. Berdasarkan indikator dalam analisis FSVA kerentanan
terhadap kerawanan pangan terutama disebabkan oleh angka kemiskinan yang masih tinggi,
tidak ada akses listrik, kasus underweight pada balita masih tinggi, tidak ada akses jalan
9
untuk kendaraan roda empat, tidak ada sumber air bersih, dan rasio konsumsi normatif
perkapita terhadap ketersediaan serealia masih meningkat.
Pembangunan ketahanan pangan untuk mengatasi kondisi kerawanan pangan di
Indonesia ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang
dirumuskan sebagai usaha untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah
tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata,
serta terjangkau oleh setiap individu.
Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang dilegitimasi pada Undang-
undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Indonesia
memasukkan mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi dalam
pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau. Konsep
ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan untuk menyatakan ketahanan pangan
pada beberapa tingkatan : 1. global, 2. nasional, 3. regional dan 4. tingkat rumah tangga di
tingkat rumah tangga dan individu(Hanani, 2005).
Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan
yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah,
mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat,
kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan anggotanya dari produk sendiri dan
atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat, serta kemampuan rumah tangga
untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.
Ketahanan pangan setidaknya memiliki dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas
masyarakat terhadap pangan(Arifin, 2004).
2.5 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
Sistem Kewaspadaaan Pangan dan Gizi (SKPG) merupakan suatu sistem informasi
dan komunikasi yang mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan kondisi pangan
dan gizi yang berkesinambungan dan diproses kepada pengambilan keputusan serta
dilakukan intervensi untuk menanggulangi masalah pangan dan gizi yang terjadi (Djaeni,
1989).Mengetahui kondisi pangan dan gizi pada suatu daerah dapat dilihat dari hasil analisis
Sistem Kewaspadaaan Pangan dan Gizi (SKPG).
Data yang dikumpulkan dalam SKPG mencakup tiga aspek utama yaitu ketersediaan
pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.Hasil hasil analisis SKPG ini digunakan
sebagai dasar pelaksanaan investigasi untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian
10
kerawanan pangan dan gizi di suatu daerah serta intervensi dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan masyarakat.Menurut Hanani (2005)dalam Monitoring dan Evaluasi
Ketahanan Pangan, aspek ketersediaan pangan melihat bagaimana kemampuan suatu daerah
untuk menghasilkan pangannya sendiri. Melihat potensi sumber daya yang dimiliki setiap
daerah berbeda-beda.Perbedaan dalam hal potensi produksi pertanian ini tentunya sangat
terkait dengan kondisi iklim dancuaca serta kondisi tanah yang sangat spesifik pada
masingh-masing daerah.
Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangannormatif
dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi pangan normatif di
peroleh dengan mengasumsikankonsumsi per kapita per hari adalah 300 gram per orang per
hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan
ukuran yang menunjukkan proporsi dari ketersediaan yang digunakan untuk
konsumsi.Komoditas pangan dalam aspek ketersediaan pangan merupakan komoditas
pangan sebagai sumber karbohidrat dan merupakan pangan utama di wilayah
tersebut(Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Klungkung, 2013a).
Menurut Hanani (2005) aspek akses pangan erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi
yang dilakukan di daerah tersebut. Wilayah dengan kondisi akses ekonomi yang baik akan
meningkatkan daya beli yang lebih baik. Aspek pemanfaatan pangan merupakan indikator
dampak dari ketersediaan maupun akses pangan. Ketersediaan dan akses pangan yang baik
akan memberi peluang bagi penyerapan pangan yang baik pula. Informasi yang ditampilkan
dalam aspek pemanfaatan pangan pada SKPG adalah informasi mengenai jumlah balita
terdaftar, jumlah ditimbang, jumlah balita naik berat badan, jumlah balita BGM dan jumlah
balita tidak naik berat badan (BPMPD Provinsi Bali, 2012).
2.6 Indikator Ketahanan Pangan dan Rumah Tangga Rawan Pangan
Menurut Maxwell & Frankenberger (1992)menyebutkan bahwa pencapaian
ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses
menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan,
sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung.
Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses
terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar,
konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi sumber pendapatan,
akses terhadap kredit modal. Selain itu indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah
11
tangga untuk memenuhi kekurangan pangan.Indikator dampak juga dibedakan ke dalam dua
jenis yaitu indikator dampak langsung dan indikator dampak tidak langsung. Indikator
dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan, sedangkan indikator
dampak tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi(Khomsan. A, 2002).
Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami
daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.Hal ini terjadi secara
berulang pada waktu-waktu tertentu (kronis) dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat
seperti bencana alam maupun bencana sosial (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).Seseorang
dikatakan tahan pangan apabila konsumsinya mencapai sedikitnya 90% dari AKG sebesar
2.000 Kkal/kapita/hari, sedangkan rawan pangan apabila konsumsinya antara 70%-90% dari
AKG dan dikategorikan sebagai sangat rawan pangan apabila konsumsinya kurang dari 70%
dari AKG (Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, 2013).
Istilah “rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari
ketahanan pangan (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah “terjadingan
penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertian sama. Ada dua jenis
kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food insecurity) dan bersifat
sementara (transitory food insecurity)(BPMPD Provinsi Bali, 2013).
Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah
tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat
individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis) yang terjadi
sepanjang waktu.Pengertian rawan pangan akut atau transitory mencangkup rawan pangan
musiman.Rawan pangan ini terjadi karena adanya kejutan yang sangat membatasi
kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi
rumah tangga diperkotaan rawan pangan tersebut disebabkan oleh pemutusan hubungan
kerja dan pengangguran(BPMPD Provinsi Bali, 2013).
Rawan pangan juga didefinisikan kondisi didalamnya tidak hanya mengandung
unsur yang berhubungan dengan state of poverty, seperti masalah kelangkaan sumber daya
alam, kekurangan, modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang disebabkan
ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur
yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang diperlukan
didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu/rumah tangga melalui proses pertukaran
guna mempengaruhi kebutuhan pangannya(Arifin, 2004).
12
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya
rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat
rawan pangan jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi
normal(BPMPD Provinsi Bali, 2013). Banyaknya penduduk rawan pangan masih terjadi di
semua provinsi dengan besaranyang berbeda. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk
dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa
ketahanan pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat
ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi(Saliem et al., 2001).
Kerawanan terjadi mana kala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu
mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi
pertumbuhan dan kesehatan para individu anggota. Ada tiga hal penting yang
mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu: Kemampuan penyediaan pangan
individu/rumah tangga; Kemampuan individu/rumah tangga untuk mendapatkan dan
pangan; Proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang
dimiliki oleh individu/rumah tangga(BPMPD Provinsi Bali, 2013).
Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul
secara stimultan dan bersifat relatif permanen.Sedang pada kasus rawan pangan yang
musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau dua
faktor saja yang sifatnya tidak permanen. Kondisi rawan pangan ditingkat rumah tangga
dapat dikategorikan tingkat empat, yaitu: Tidak rawan pangan (food security);Rawan
pangan tanpa terjadi kelaparan (food insecure without hunger); Rawan pangan dan terjadi
kelaparan tingkat sedang (food insecure with hunger moderate); Rawan pangan dan terjadi
kelaparan tingkat berat (food insecure with hunger severe)(BPMPD Provinsi Bali, 2013).
13
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, maka tujuan umum
penelitian ini adalah untuk menganalisis situasi pangan dan gizi serta deteksi dini kasus
malnutrisi pada anak balita di kawasan miskin Provinsi Bali.
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis kondisi pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan akses pangan
penduduk di kawasan miskin Provinsi Bali
2. Menganalisis masalah gizi yang terjadi pada anak balita dan ibu hamil di kawasan
miskin Provinsi Bali
3. Menganalisis bentuk model deteksi dini kasus malnutrisi yang sesuai dengan kondisi
pangan dan gizi pada kawasan miskin di Provinsi Bali.
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan mengingat kemiskinan merupakan akar
permasalahan terjadinya kerawanan pangan dan akan berdampak langsung terhadap masalah
gizi yang terjadi di daerah tersebut. Hasil penelitian ini akan diketahui secara lebih detail
mengenai tingkat keparahan dari masalah kerawanan pangan di kawasan miskin, disamping
itu dapat disusun strategi program yang tepat sesuai kondisi dan situasi daerah dan
memberikan rekomendasi bagi pemegang kebijakan dalam hal ini Dinas Kesehatan
Kabupaten dan Provinsi dalam menyusun kebijakan mengenai kerawanan pangan dan
masalah gizi di kawasaan miskin Provinsi Bali baik dalam hal pengaturan sumber daya dan
dana untuk implementasi program. Universitas Udayana, khususnya Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat akan dapat berkontribusi untuk membantu mengatasi masalah
pangan dan gizi serta dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian selanjutnya. Model
deteksi dini kasus malnutrisi untuk kawasan miskin di Provinsi Bali yang akan dirancang
berdasarkan hasil analisis situasi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemegang
kebijakan dalam upaya mengatasi masalah gizi khususnya pada anak balita di kawasan
miskin berdasarkan karakteristik khas daerah atau budaya lokal masing-masing daerah.
Potensi hasil yang didapat dengan dilakukannya penelitian adalah 1) Diperoleh data
atau informasi yang sangat penting mengenai kondisi kerawanan pangan dan masalah gizi
dikawasan miskin Provinsi Bali dan 2) Dihasilkan bentuk model deteksi dini kasus
malnutrisi yang efektif dan efisien untuk dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi dan
situasi pangan dan gizi kawasan miskin Provinsi Bali.
14
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan rancangan
cross-sectional, yaitu seluruh variabel penelitian diamati secara bersamaan selama
penelitian berlangsung. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan digunakan dalam
penelitian ini.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kabupaten yang ada di Provinsi Bali yang memiliki
kawasan miskin berdasarkan data BPS Provinsi Bali tahun 2011 yaitu di Kabupaten
Karangasem. Waktu pelaksanaannya dilaksanakan selama 1 tahun.
4.3 Bagan Alir Penelitian (road map)
Berikut ini road map atau bagan alir penelitian ini yang dilakukan selama 12 bulan.
Tabel 3.1 Road Map Penelitian
Tema
Riset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Analisis
situasi
pangan
dan gizi
serta
deteksi
dini kasus
malnutrisi
di
kawasan
miskin
Provinsi
Bali
Dilakukannyaa
nalisis situasi
wilayah/kawas
an miskin di
Provinsi Bali
meliputi :
1) Identifika
si atau
pemetaan
wilayah
atau desa
dikabupat
en terpilih
2) Data
wilayah,
jumlah
KK,
pekerjaan,
pendidika
n, jumlah
anak
balita,
jumlah
ibu hamil,
angka
Disusunnya kuesioner
analisis pangan dan gizi
serta informed consent.
Dilakukan kegatan
pengumpulan data
menggunakan pedoman
observasi dan kuesioner,
meliputi:
- Karakteristik sosial
ekonomi
- Produksi dan distribusi
pangan
- Ketersediaan pangan di
pasar dan RT
- Aksesibilitas terhadap
pangan (daya beli dan
transportasi)
- Keanekaragaman pangan
yang tersedia
- Kualitas dan keamanan
pangan
- Harga pangan (stabilitas
pangan)
- Penilaian status gizi anak
Dilakukan
kegiatan
analisis data
penelitian:
- Data
coding
- Data
entry
- Pengolah
an data
- Penyajian
data
dalam
bentuk
numerik
(angka),
grafik
(gambar)
- Analisis
data
Dirancang
suatu
model
deteksi dini
kasus
malnutrisi
pada anak
balita
sesuai hasil
penelitian
Disusun-
nya laporan
penelitian
Disemi
nasi
hasil
peneliti
an
Pengu
mpulan
laporan
peneliti
an
15
kesakitan
dan
kematian
ibu dan
anak
3) Data
fasilitas
kesehatan
yang
meliputi
jumlah
puskesma
s,
posyandu,
jumlah
tenaga
kesehatan
dan kader
desa.
Diperoleh ijin
penelitian
(ethical
clearence)
Litbang FK
Universitas
Udayana
dan ibu hamil dengan
metode antropometri
- Perilaku makan atau
budaya
- Perilaku pemberian ASI
eksklusif
- Perilaku akses terhadap
pelayanan kesehatan
Pengumpulan data
kualitiatif dengan FGD
dengan tokoh masyarakat
dan kader mengenai peran
mereka dalam deteksi dini
kasus malnutrisi pada anak
balita terutama penerapan
metode active case finding
malnutrisi
4.4 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Responden
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh KK di Kabupaten Karangasem dan
Kabupaten Klungkung. Dipilih desa miskin dari kabupaten tersebut dengan cara random
sampling. Sampel penelitian ini adalah KK dari desa terpilih dengan besar sampel dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut:
n =Zα2 . p(1− p)
d2
Keterangan:
Zα = Z score untuk tingkat kemaknaan tertentu, besar tingkat kesalahan tipe 1 (α) pada
penelitian sosial biasanya 5% sehingga diperoleh Zα = 1,96
p = Estimasi proporsi sebesar 0,198 (persentase anak balita dengan status gizi kurang di
Kabupaten Karangasem tahun 2010)
d = Besarnya penyimpangan yang dikehendaki sebesar 6,0%
16
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel maka diperoleh sampel sebanyak 170 KK.
Responden penelitian ini adalah ibu atau keluarga sampel, sedangkan responden dalam
setiap sesi pelaksanaan FGD yaitu tokoh masyarakat dan kader yang ada di desa terpilih
sebanyak minimal lima (5) orang dan akan dilaksanakan dua (2) sesi FGD.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar observasi dan kuesioner
terstruktur yang berisikan data karakteristik sosial ekonomi responden, produksi dan
distribusi pangan, ketersediaan pangan di pasar dan RT, aksesibilitas terhadap pangan (daya
beli dan transportasi), keanekaragaman pangan yang tersedia, kualitas dan keamanan
pangan, dan harga pangan (stabilitas pangan), sedangkan dalam pelaksanaan FGD akan
digunakan pedoman FGD yang sebelumnya akan diujicobakan untuk mengetahui apakah
pertanyaan tersebut sudah dapat dimengerti responden.
Untuk penilaian status gizi anak balita menggunakan metode antropometri dengan alat
pengukur panjang badan atau tinggi badan dengan mikrotoa merek Onemed dan alat
pengukur berat badan dengan menggunakan timbangan pegas merek Camry dengan
ketelitian 0,1 cm. Interpretasi nilai z-score diperoleh dengan menggunakan software WHO
Antro 2005. Penilaian status gizi ibu hamil dilakukan dengan metode antropometri
menggunakan pita lingkar lengan atas (LILA) untuk mengetahui status KEK ibu hamil yang
ada di wilayah penelitian. Data berat badan sebelum hamil dan tinggi badan juga
dikumpulkan untuk mengetahui IMT ibu sebelum hamil.
4.6 Prosedur Pengumpulan Data
1. Data primer
Data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik sosial ekonomi (pekerjaan,
pendidikan dan pendapatan keluarga) responden, produksi dan distribusi pangan,
ketersediaan pangan di pasar dan RT, aksesibilitas terhadap pangan (daya beli dan
transportasi), keanekaragaman pangan yang tersedia, kualitas dan keamanan pangan, dan
harga pangan (stabilitas pangan) serta data status gizi anak balita dan ibu hamil. Data
primer diperoleh dengan wawancara dengan responden dan pengukuran berat badan,
tinggi badan/panjang badan dan pengukuran LILA.
Pelaksanaan FGD untuk pengumpulan data mengenai persepsi dan opini mengenai
mengenai peran tokoh masyarakat dan kader dalam deteksi dini kasus malnutrisi pada
anak balita, dilakukan pada dua kelompok yaitu satu kelompok di Kabupaten
17
Karangasem dan satu kelompok di Kabupaten Klungkung dengan tim peneliti sekaligus
sebagai fasilitator. Diskusi ini akan dilaksanakan di kantor dinas kesehatan masing-
masing kabupaten.
2. Data sekunder
Data sekunder meliputi data wilayah, jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk atau
pekerjaan, pendidikan, pendapatan perkapita daearah, jumlah anak balita, jumlah ibu
hamil, angka kesakitan dan kematian ibu dan anak. Dikumpulkan juga data mengenai
jumlah fasilitas kesehatan (jumlah puskesmas dan posyandu), jumlah tenaga kesehatan
dan kader desa yang ada di wilayah penelitian. Data sekunder ini diperoleh dari catatn
register puskesmas/posyandu, laporan atau data kecamatan/kabupaten dan sumber yang
lainnya.
4.7 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif yaitu digunakan untuk
mendiskripsikan setiap variabel yang diteliti dalam penelitian, dengan melihat gambaran
distribusi dari variabel penelitian, sedangkan hasil FGD dianalisis dengan menggunakan
content analysis dimana data disederhanakan dan kemudian dianalisis untuk melihat
persepsi dan opini mengenai mengenai peran tokoh masyarakat dan kader dalam deteksi dini
kasus malnutrisi pada anak balita.
18
BAB 5. HASIL PENELITIAN
Provinsi Bali tidak lepas dari masalah kemiskinan, walaupun secara signifikan telah
mencapai kemajuan terkait upaya pengurangan kemiskinan yaitu 6,18% pada tahun 2008
menurun menjadi 3,95% pada tahun 2013 (BPMPD, 2013).
Penelitian ini dimulai dengan melakukan analisis data sekunder mengenai data
rumah tangga miskin (RTM) di Provinsi Bali. Disamping persentase RTM yang tinggi,
dicari data mengenai persentase kejadian malnutrisi di kawasan miskin tersebut. Data
diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Kabupaten serta
diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi
Bali. Menurut informasi dari BPMPD Provinsi Bali, sejak tahun 2008 sampai tahun 2011,
istilah RTM berubah nama menjadi RTS (Rumah Tangga Sasaran). Data yang diperoleh
dari BPMPD adalah data yang berasal dari BPS melalui Program Pendataan Perlindungan
Sosial (PPLS) tahun 2011. Kategori yang digunakan adalah miskin (kelompok 1), hampir
miskin (kelompok 2) dan rentan miskin (kelompok 3). Gambar 5.1 merupakan hasil analisis
persentase RTS di Provinsi Bali berdasarkan data PPLS tahun 2011. Berdasarkan analisis ini
diketahui Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Klungkung memiliki persentase RTS
tertinggi.
Penelitian ini juga mengambil data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Bali
tahun 2010 mengenai persentase anak balita menderita kurang gizi. Diperoleh data bahwa
Kabupaten Karangasem menempati posisi teratas dengan kasus kurang gizi sebesar 19,8%.
18.1
21.81
9.35
25 26.2223.14
28.0129.69
6.37
Gambar 5.1 Persentase RTS di Provinsi Bali
19
Berikut ini persentase RTS yang ada di Kabupaten Karangasem menurut Kecamatan.
Kecamatan dengan RTS tertinggi ada di Kecamatan Abang dengan persentase
sebesar 43,91% namun jika dilihat berdasarkan desa yang ada di masing-masing kecamatan
persentase RTS diatas 30% selalu ada di setiap kecamatan kecuali di Kecamatan Rendang.
Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem tahun 2013,
menunjukkan bahwa persentase RTS diatas 30% ternyata diikuti dengan kecenderungan
kejadian kasus anak balita gizi kurang yang tinggi yaitu di Kecamatan Kubu (528 anak
balita), Kecamatan Abang (244 anak balita) dan Kecamatan Karangasem (94 anak balita).
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Abang, Kecamatan Kubu dan
Kecamatan Karangasem yaitu di Desa Pidpid, Desa Bukit, Desa Nawakerti dan Desa
Tianyar Timur. Berikut ini hasil analisis data survei yang sudah dilakukan di Kabupaten
Karangasem.
I. Struktur KK
Berikut ini karakteristik sampel penelitian ini.
Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik Sampel n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 352 52,1
Perempuan 324 47,9
Kelompok Usia
0-4 tahun 96 14,2
5-12 tahun 103 15,2
13-17 tahun 59 8,7
18-25 tahun 112 16,6
26-45 tahun 221 32,7
13.97
26.95
12.05
28.22
43.91
25.42 23.49
37.55
Gambar 5.2 Persentase RTS di Kabupaten Karangasem
20
46-65 tahun 66 9,8
>65 tahun 19 2,8
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah 108 16,0
SD 191 28,3
SMP 125 18,5
SMA 57 8,4
PT 9 1,3
Berdasarkan tabel diatas, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
wanita. Hal ini terlihat dari jumlah laki-laki pada tabel yakni 352 orang (52,1%) dan jumlah
perempuan 324 orang (47,9%). Sebagian besar anggota keluarga termasuk dalam kelompok
usia produktif yaitu usia 15-64 tahun. Selain usia produktif, terdapat pula usia balita dengan
persentase 14,2% dan lansia sebesar 2,8%. Untuk tingkat pendidikan, berdasarkan tabel
diatas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat di empat desa tersebut merupakan lulusan
SD yakni 28,3% dan hanya sedikit yang mampu melanjutkan hingga perguruan tinggi
(1,3%).
II. Status Kesehatan dan Gizi Anak Balita dan Ibu Hamil
Karakteristik dan Status Gizi Anak Balita (0-59 Bulan)
Sebanyak 96 anak balita menjadi sampel dalam penelitian ini. Berikut ini adalah
karakteristik dan status gizi anak balita.
Tabel 5.2 Karakteristik Anak Balita
Karakteristik Balita n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 57 59,4
Perempuan 39 40,6
Status BBLR
BBLR 8 8
Tidak BBLR 88 92
Status Gizi Balita
BB/TB
Sangat Kurus 1 1
Kurus 11 11,5
Normal 75 78,1
Gemuk 9 9,4
BB/U
Buruk 2 2,1
Kurang 8 8,3
Baik 84 87,5
Lebih 2 2,1
21
TB/U
Sangat pendek 10 10,4
Pendek 20 20,8
Normal 60 62,5
Tinggi 6 6,3
Tabel diatas menunjukkan sebanyak 59,4% anak balita berjenis kelamin laki-laki dan
40,6% anak balita berjenis kelamin perempuan. Rata-rata umur anak balita adalah 28 bulan
dengan umur 59 bulan merupakan umur tertinggi. Sebanyak 8(8%) anak balita lahir dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan 88(92%) anak balita lahir dengan berat sama
dengan atau diatas 2500 gr.
Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan metode antropometri. Parameter yang
diambil adalah umur, panjang atau tinggi badan dan berat badan. Indeks yang digunakan
yaitu BB/TB, BB/U dan TB/U. Berdasarkan indeks BB/TB sebagian besar (78,1%) dengan
kategori normal. Walaupun sebagian besar normal namun ditemuka juga anak balita gemuk
yaitu 9,4%. Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita (87,5%) termasuk dalam
status gizi baik, namun ditemukan anak balita dengan status gizi kurang dan buruk sebanyak
10 anak balita (10,4%). Berdasarkan indeks TB/U sebagian besar anak balita memiliki
pertumbuhan linier (tinggi badan) sesuai umur (62,5%), namun ditemukan masih tingginya
prevalensi anak balita dengan status gizi pendek (pendek dan sangat pendek) yaitu sebesar
31,2%.
Berikut ini grafik status gizi anak dibandingkan dengan referensi dari WHO 2005.
BB/TB
23
TB/U
Gambar 5.3 Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Indeks BB/U, BB/TB dan TB/U
Disamping karakteristik dan status gizi anak balita, dikumpulkan data mengenai riwayat
kelahiran anak balita seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 5.3 Riwayat Kelahiran Anak
Riwayat Kelahiran n %
Umur Kelahiran
Cukup Umur 85 88,5
Tidak Cukup Umur 11 11,5
Bantuan Alat
Menggunakan Alat 11 11,5
Tidak Menggunakan Alat 85 88,5
Pemberian Kolostrum
Diberikan Kolostrum 72 75
Tidak Diberikan 18 18,8
Tidak Tahu 6 6,3
Riwayat kelahiran anak balita menunjukkan sebagian besar anak balita lahir pada umur
≥37 minggu (88,5%). Sebanyak 11,5% balita lahir dengan tidak cukup umur dan
menggunakan alat berupa vakum dan operasi. Sebesar 75% anak balita mendapatkan
24
kolostrum namun berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 6,3% responden yang tidak
mengetahui anaknya sudah mendapatkan kolostrum atau tidak sewaktu dilahirkan.
Keadaan Kesehatan Anak Balita, Perilaku Akses terhadap Pelayanan Kesehatan dan
Kepemilikan Kartu Sehat/Kartu Miskin
Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan kuesioner, kunjungan anak balita pada
keluarga miskin ke posyandu berkisar 68,8%. Waktu penelitian ini berlangsung tepat pada
saat bulan vitamin A dan sebagian besar balita mendapatkan dan meminum vitamin A yaitu
sebesar 69,8%. Vitamin A tersebut didapatkan di posyandu, bidan, rumah sakit, dokter dan
puskesmas. Namun kadang kapsul vitamin A dititipkan kepada salah satu ibu yang datang
ke posyandu untuk diberikan kepada ibu yang memiliki anak balita namun tidak datang saat
pembagian kapsul vitamin A.
Sebagian besar (57,3%) anak balita pernah mengalami sakit dengan frekuensi 1-2 kali
dalam sebulan. Berdasarkan hasil wawancara, jenis penyakit yang diderita anak balita dalam
tiga bulan terakhir antara lain ISPA, campak, diare, gejala tifus, muntah dan sesak dengan
lama sakit lebih kurang 5 hari.
Pada saat menderita sakit, anak balita dibawa orang tua ke puskesmas (37,5%), bidan
praktek swasta (21,9%), dokter (11,5%), klinik swasta (7,3%), rumah sakit (7,3%) dan
mantri (1%). Selain itu, berdasarkan hasil wawancara responden juga melakukan
pengobatan dengan obat tradisional, obat yang dibeli sendiri di warung terdekat, diberikan
air putih dan ada yang membiarkan saja anaknya yang sakit sampai sembuh sendiri. Terkait
dengan hal ini sebesar 51% responden yang memiliki anak balita tidak memiliki kartu
sehat/miskin. Bagi responden yang memiliki kartu sehat/miskin, kartu tersebut
dimanfaatkan untuk berobat, pemeriksaan, perawatan serta untuk keperluan melahirkan.
Kebiasaan Makan Anak
Untuk melihat keadaan gizi balita, dilakukan penilaian terhadap beberapa kebiasaan
konsumsi seperti kebiasaan sarapan, konsumsi camilan, sayur, susu, buah dan protein serta
dilihat ada tidaknya pantangan atau alergi. Berdasarkan data diperoleh bahwa balita selalu
mengonsumsi sarapan (54,2%) dan yang tidak pernah sarapan hanya 6,3%. Untuk camilan,
terdapat 44,8% balita yang selalu mengonsumsi camilan dan 13,5% balita tidak pernah
mengonsumsi camilan.
Konsumsi sayur dan buah pada balita berdasarkan data, terlihat bahwa kedua jenis
makanan tersebut kurang diminati. Sebanyak 32,3% balita kadang-kadang mengonsumsi
25
sayur dan 42,7% balita jarang mengonsumsi buah atau sari buah. Sedangkan untuk
konsumsi susu, sebanyak 44,8% balita tidak pernah mengonsumsi susu. Jika dilihat dari
konsumsi lauk protein yang dibagi menjadi lauk hewani dan lauk nabati, sebagian besar
balita termasuk kedalam kategori kadang mengonsumsinya dengan persentase masing-
masing ialah 47,9% dan 53,1%.
Sedangkan untuk pantangan, hanya 10,4% balita yang memiliki pantangan terhadap
makanan. Jenis makanan yang menjadi pantangan balita tersebut adalah daging ayam
(40%), ikan (20%), camilan (20%), susu (10%) dan telur (10%). Pantangan makanan
tersebut sebagian besar menyebabkan gatal (70%).
Pemberian ASI Eksklusif dan MPASI
Pemberian ASI secara eksklusif belum dapat terlaksana dengan baik di wilayah
penelitian. Hal ini terlihat hanya 24% responden memberikan ASI saja sampai usia 6 bulan,
sedangkan 74% responden tidak ASI eksklusif. Sebesar 2% responden sedang memberikan
ASI saja pada saat pengumpulan data dilakukan. Pemberian susu formula dan MPASI dini
dilakukan oleh responden yang tidak menyusui secara eksklusif. Jenis MPASI yang
diberikan antara lain bubur beras, pisang, nasi dan air rebusan beras (titisan). Rata-rata
frekuensi pemberian MP-ASI adalah 3 kali dalam sehari.
Keadaan Gizi dan Kesehatan Ibu Hamil
Dari 170 responden terdapat 11 orang ibu hamil. Sebagian besar merupakan kehamilan
kedua (54,5%) dengan sebagian besar berada pada trimester ketiga (45,5%). Rata-rata
keluarga di empat desa yang memiliki ibu hamil, umumnya baru memiliki 1 orang anak
(72,7%).
Rata-rata berat badan sebelum hamil adalah 51 kg sedangkan pada saat hamil, rata-rata
berat ibu hamil adalah 57 kg, sedangkan untuk rata-rata tinggi badan ibu hamil adalah 154
cm. Berdasarkan perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil diketahui bahwa
dari 11 ibu hamil 4 (36,4%) ibu termasuk dalam kategori berat badan (BB) kurang dan 7
(63,6%) termasuk dalam kategori BB normal.
Keadaan gizi ibu hamil juga diukur dengan melakukan pengukuran lingkar lengan atas
(LILA). Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh bahwa semua ibu hamil memiliki LILA
diatas 23,5 cm (100%). Sebanyak 18,2% ibu hamil mengalami edema dan 81,8% tidak
mengalami edema. Rata-rata frekuensi ANC pada ibu hamil tersebut adalah 4 kali selama
kehamilan. ANC tersebut dilakukan di bidan praktek swasta (72,7%) dan dokter, puskesmas
26
serta rumah sakit dengan persentase masing-masing adalah 9,1%. Dalam melakukan ANC,
sebagian besar biaya yang dihabiskan lebih dari Rp 30.000,- (63,6%) dengan biaya
pemeriksaan yang paling mahal adalah Rp 90.000,- dan paling murah Rp 5.000,-.
Berdasarkan hasil wawancara, seluruh ibu hamil mengonsumsi suplemen atau
multivitamin. Merek dari multivitamin yang dikonsumsi antara lain Novakal/Hufabion,
Prenatal, Ramabion, Antasida Doen, Livron B Plex, Licokalk, Promavit dan Tablet Tambah
Darah. Multivitamin tersebut diminum ibu hamil dengan frekuensi 2 kali dalam sehari.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh bahwa semua ibu hamil
tidak ada yang memiliki riwayat sakit sebelum kehamilan berlangsung. Keluhan yang sering
terjadi selama kehamilan berlangsung sebanyak 8 (72,7%) ibu hamil mengalami keluhan
lebih dari satu jenis yakni mual, muntah, pusing, lesu, kesemutan, pegal, dan kurang nafsu
makan. Pantangan makan selama kehamilan hanya dimiliki oleh 18,2% ibu hamil yaitu air
dingin dan minyak.
III. Ketahanan Pangan Keluarga
Rata-rata pendapatan rumah tangga
Rata-rata pendapatan pada rumah tangga sampel adalah Rp 1.034.552,94. Pendapatan
tertinggi adalah Rp 9.000.000,00 dan pendapatan terendah adalah Rp 20.000,00.
Akses pangan
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari
rata-rata jarak yang ditemnpuh untuk mengakses pangan, sarana transportasi yang
digunakandalam memperoleh pangan serta sumber dari perolehan pangan.
a. Rata-rata jarak yang ditempuh untuk mengakses pangan
Jarak yang ditempuh oleh anggota rumah tangga sampel untuk mengakses
pangan adalah 672,15 m. Jarak terdekat yang ditempuh adalah 1 m dan jarak
terjauhnya adalah 10.000 m.
b. Sarana transportasi yang digunakan
Jenis sarana transportasi yang digunakan adalah kendaraan (motor dan
mobil) serta angkot.Selain itu terdapat pula rumah tangga yang mengakses
pangan dengan berjalan kaki menuju lokasi penjualan pangan.
Hasil analisis data diketahui bahwa terdapat 6 keluarga sampel yang
menggunakan kendaraan dan berjalan kaki dalam mengakses pangan, 29
27
keluarga menggunakan kendaraan dalam mengakses pangan, 139 keluarga
mengakses pangan dengan hanya berjalan kaki dan 7 keluarga yang
menggunakan angkot dalam mengakses pangan.
c. Sumber perolehan pangan
Sumber perolehan pangan dari rumah tangga sampel dapat berupa produksi
sendiri, membeli dan diberi oleh orang lain. Sumber perolehan pangan terbanyak
berasal dari membeli yaitu sebanyak 165 keluarga, diikuti dengan memproduksi
sendiri sebanyak 33 keluarga dan 7 keluarga diberi. Terdapat 2 keluarga yang
memiliki sumber perolehan pangan berasal dari produksi dan diberi, 6 keluarga
memperoleh pangan dari membeli dan diberi serta 29 keluarga yang memperoleh
pangan dengan produksi sendiri dan membeli.
Selain itu terdapat keluarga yang memperoleh bantuan beras miskin
sebanyak 96 keluarga dan 27 keluarga yang memperoleh bantuan MPASI/PMT
pada saat dilakukan wawancara dan observasi.
Jenis MPASI/PMT yang diperoleh adalah telur, roti, bubur, dan kacang
hijau.Hasil analisis tabulasi silang diperoleh hasil bahwa terdapat 14 keluarga
yang memperoleh raskin dan MPASI/PMT.
Di pekarangan rumah dari keluarga sampel terdapat 62 rumah tangga yang
memiliki tanaman pangan selain itu terdapat 47 rumah tangga memiliki ternak
dan tidak ada rumah tangga yang memelihara ikan. Hasil tabulasi silang
diperoleh hasil bahwa terdapat 27 keluarga yang memiliki tanaman di
pekarangan serta berternak.
Jenis tanaman yang ditanam meliputi jenis sayuran yaitu bayam, terong, labu
siam, pare, kelor, tomat dan cabe. Selain itu terdapat pula beberapa jenis umbi-
umbian yang ditanam meliputi ubi dan singkong. Jenis buah-buahan yang
ditanam lebih banyak pisang, selain itu terdapat pula warga yang menanam
nangka, rambutan, mangga dan kelapa, sedangkan hewan ternak yang dipelihara
meliputi jenis sapi, ayam, babi, angsa,
Persepsi tentang kecukupan pangan
Dalam beberapa bulan terakhir terdapat 78 keluarga yang merasa tidak cukup
pangan karena tidak mampu menyediakan/membeli pangan dan 92 keluarga lainnya tidak
mengalami hal tersebut. Peristiwa tersebut terjadi 1-7 hari dalam sebulan terakhir, kejadian
28
terlama terjadi selama 7 hari dalam sebulan rata-rata keluarga mengalami kekurangan
pangan adalah 1,49 hari. Kejadian tidak cukup pangan ini terjadi berkisar 1-35 dalam kali
setahun dengan rata-rata kejadian per tahunnya adalah 2,49 kali.
Menurut pengamatan pencacah sebagian besar ibu/responden tergolong normal
dengan jumlah 107 orang, 16 orang gemuk, dan 47 orang tergolong kurus. Wajah dari
responden sebagian besar tampak cerah yaitu sebanyak 124 orang serta 46 orang tampak
pucat. Keadaan tubuh anak dalam keluarga sampel sebagian besar normal dengan jumlah 68
orang, 9 orang kurus, dan 2 orang tampak gemuk.
Hasil tabulasi silang antara kondisi wajah (fisik) dan kondisi kecukupan pangan
diperoleh hasil terdapat 39 keluarga yang mengalami ketidak cukupan pangan serta kondisi
wajah responden pucat.
Tabel 5.4 Distribusi Analisis AKG berdasarkan Kondisi Fisik (Wajah)
Kondisi Wajah
Kategori AKG Pucat (f(%)) Cerah (f(%)) Total
Cukup 7 (31,8%) 15 (68,2%) 22 (12,9%)
Kurang 39 (26,4%) 109 (73,6%) 148 (87,1%)
46 (27,1%) 124 (72,9%) 170 (100,0%)
Penyediaan pangan/makanan keluarga
Penyediaan pangan di keluarga sampel lebih banyak berasal dari masak di rumah
yaitu sebanyak 168 keluarga. Alasan responden lebih banyak masak di rumah karena
masakan yang dihasilkan lebih enak, murah, porsinya cukup, lebih hemat, uang yang kurang
Cukup Pangan Tidak Cukup Pangan
Jumlah 92 78
70
75
80
85
90
95
Gambar 5.4 Persepsi Keluarga mengenai Kecukupan Pangan Keluarga
29
untuk membeli dan jarak yang ditempuh jika membeli jauh selain itu kondisi masakan yang
dihasilkan lebih bersih. Terdapat 2 keluarga yang lebih sering membeli makanan untuk
keluarga karena jika memasak sendiri mubazir mengingat tidak semua anggota keluarga
makan di rumah.
Rata-rata pengeluaran pangan keluarga
Rata-rata pengeluaran pangan keluarga adalah Rp 304.105,26 dan rata-rata
pengeluaran untuk membeli non pangan adalah Rp 79.438,60. Rata-rata presentase
pengeluaran pangan adalah 71,42% ± 140,9 SD. Presentase pengeluaran pangan keluarga
dibagi menjadi 2 yaitu <60% tergolong rendah dan ≥60% tergolong tinggi. Terdapat 55
rumah tangga yang memiliki presntase pengeluaran pangan tinggi.
Tabel 5.5 Persentase Pengeluaran Pangan Keluarga
Persentase pengeluaran pangan
n (%) Mean ± SD SE
Rendah 115
67,60% 71,042 ± 140,90 10,806
Tinggi 55
32,40%
Kualitas dan stabilitas pangan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari.
Pada aspek ketersediaan pangan di rumah, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 51
rumah tangga yang tergolong tidak cukup pangan, dan 119 rumah tangga tergolong
memiliki persediaan pangan yang cukup.
Pada aspek frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari terdapat 68 rumah
tangga yang memiliki frekuensi makan <3 kali/hari.
Tabel 5.6 Distribusi Ketersediaan Pangan dan Frekuensi Makan Keluarga
Aspek n (%)
Ketersediaan Pangan
1. Cukup
2. Tidak cukup
119 (70%)
51 (30%)
Frekuensi Makan
1. 3 kali/hari
2. <3 kali/hari
102 (60%)
68 (40%)
Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai
30
macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran
keamanan pangan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung
protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Hasil observasi yang
dilakukan menunjukan bahwa terdapat 141 rumah tangga yang tidak memiliki persediaan
pangan yang mengandung protein hewani/nabati pada saat dilakukan observasi.
Kondisi Tempat Tinggal
Aspek kondisi tempat tinggal meliputi beberapa indikator yaitu keadaan rumah,
kepemilikan rumah, penerangan, sumber air yang digunakan, ketersediaan septic tank,
kondisi ventilasi serta keberadaan tempat sampah.
Tabel 5.7 Kondisi Tempat Tinggal
Aspek n (%)
Keadaan Rumah
1. Permanen
2. Semi permanen
77 (45,3%)
93 (54,7%)
Kepemilikan rumah
1. Milik sendiri
2. Sewa
3. Lainnya (warisan)
155 (91,2%)
10 (5,9%)
5 (2,9%)
Penerangan
1. Minyak tanah
2. Lilin
3. Listrik
54 (31,8%)
26 (15,3%)
90 (52,9%)
Sumber Air
1. PAM
2. Sumur
3. Mata air/sungai
109 (64,1%)
1 (0,6%)
60 (35,3%)
Septic Tank
1. Tidak ada
2. Ada
88 (51,8%)
82 (48,2%)
Ventilasi
1. Baik
2. Cukup
3. Buruk
36 (21,2%)
59 (34,7%)
75(44,1%)
Tempat sampah
1. Tidak ada
2. Ada
97 (57,1%)
73 (42,9%)
Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga Sampel
31
Rata-rata konsumsi energi rumah tangga sampel adalah 5245,49 kkal/hari. Tingkat
konsumsi energi tertinggi adalah 22543,6 dan tingkat konsumsi energi terendah adalah
1159,4.
Rata-rata energi yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut per kapita per hari
adalah 2419,48 kkal/kap/hari. Nilai ini sudah lebih tinggi dari rata-rata konsumsi energi
yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu 2000kkal/kap/hari. Jika dibandingkan dengan AKG
2004, maka terdapat 148 rumah tangga yang masih tergolong mengkonsumsi energi kurang
dari kecukupan yang dianjurkan per orang/hari yaitu 2000kkal dan 22 keluarga tergolong
cukup.
Tabel 5.8 Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Tingkat Konsumsi
Zat gizi
Rata-rata Asupan
(Mean)
Min (kkal) Maks (kkal)
Energi 5245,49 kkal/hari 1159,40 kkal/hari 22543,60 kkal/hari
Protein 128,73 g/hari 30,20 g/hari 707,20 g/hari
Rata-rata tingkat konsumsi protein rumah tangga sampel adalah 128,73 g/hari. Tingkat
konsumsi protein tertinggi adalah 707,2 g/hari dan terendah adalah 30,2 g/hari.
Tabel 5.9 Kategori AKG
Kategori AKG n (%)
Cukup 22 (12,9%)
Kurang 148 (87,1%)
Jenis Makanan Rumah Tangga Sampel
Jenis sumber karbohidrat yang dikonsumsi oleh rumah tangga sampel adalah beras,
jagung, ubi, mie, roti dan singkong.Sumber karbohidrat yang dominan dikonsumsi oleh
rumah tangga sampel adalah beras dan mie. Rata-rata frekuensi konsumsi beras pada rumah
tangga sampel adalah 2,7 kali per hari dengan frekuensi tertinggi adalah 3 kali dan terendah
adalah 2 kali sehari. Sedangkan pada mie rata-rata konsumsi per hari adalah 0,32 kali per
hari dengan frekuensi tertinggi adalah 1 kali per hari dan terendah adalah 0,0028 kali per
hari.
Sumber protein yang dikonsumsi berasal dari ayam, sapi, babi, ikan, susu, telur,
tempe, tahu, ikan teri, pindang, kacang hijau, sosis, kedelai, dan kacang tanah. Sumber
protein yang paling dominan dikonsumsi adalah susu dengan rata-rata frekuensi konsumsi
adalah 1,77 kali per hari. Selain itu tempe dan tahu juga merupakan salah satu sumber
protein yang banyak dikonsumsi setelah susu. Rata-rata frekuensi konsumsi tempe dan tahu
32
adalah 0,57 dan 0,46 kali per hari. Sumber protein yang paling jarang dikonsumsi adalah
sapi dengan frekuensi 0,04 kali per harinya.
Pemenuhan vitamin dan mineral pada rumah tangga sampel berasal dari berbagai
jenis buah dan sayur.Jenis buah yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan
mineral pada rumah tangga sampel adalah manga, pisang, jambu, papaya, jeruk, semangka,
melon, durian, salak, apel dan timun.Sedangkan jenis sayur yang dikonsumsi adalah kacang
panjang, wortel, daun jelitong, daun kelor, daun ubi, daun singkong, kangkung, bayam,
buncis, sawi hijau, terong ungu, tauge.Selain dari sayur dan buah, terdapat rumah tangga
yang mengkonsumsi kacang tolo dan kacang merah sebagai salah satu sumber pemenuhan
vitamin dan mineral. Jenis sumber vitamin dan mineral yang paling banyak dikonsumsi per
harinya adalah daun kelor dengan rata-rata konsumsi 0,68 kali per hari dan jenis buah durian
merupakan makanan sumber vitamin dan mineral yang paling jarang dikonsumsi dengan
frekuensi konsumsi 0.0027 per harinya.
Frekuensi kebiasaan minum air putih pada rumah tangga sampel adalah 2-10 kali per
hari, dengan rata-rata konsumsi air putih adalah 4,2 kali perharinya.
Jenis minuman selain air putih yang dikonsumi oleh rumah tangga sampel adalah
softdrink, kopi, teh, sirup, nutrisari dan pocari. Jenis minuman lain yang banyak dikonsumsi
oleh rumah tangga sampel adalah kopi dan teh. Frekuensi minum kopi pada rumah tangga
sampel adalah 1,6 kali per hari dan frekuensi minum the adalah 0,96 kali per hari. Jenis
minuman yang paling jarang dikonsumsi adalah softdrink dengan rata-rata frekuensi minum
softdrink adalah 0,18 kali per hari.
Kondisi Ketahanan Pangan Keluarga
Tabel 5.10 Tingkat Konsumsi Energi berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan
Tingkat Konsumsi
Energi
Proporsi pengeluaran pangan
Rendah
(<60% pengeluaran total)
Tinggi
(≥ 60% pengeluaran total)
Cukup (>80%AKG) Tahan Pangan
13
Rentan Pangan
9
Kurang (≤80% AKG) Kurang pangan
102
Rawan pangan
46
Berdasarkan analisis data tingkat konsumsi energi dan proporsi pengeluaran pangan,
maka diperoleh hasil bahwa masih terdapat 46 rumah tangga yang tergolong dalam kondisi
rawan pangan, 102 rumah tangga yang termasuk kurang pangan, 9 rumah tangga mengalami
rentan pangan, dan 13 rumah tangga sudah tergolong tahan pangan.
33
Strategi Deteksi Dini Kasus Malnutrisi dengan Metode Active Case Finding
Berdasarkan hasil survei status gizi anak balita, prevalensi anak balita gizi kurang masih
cukup tinggi. Terkait dengan hal ini maka diteliti mengenai strategi atau model untuk
mendeteksi dini kasus malnutrisi dengan metode active case finding melalui dua (2) tahapan
kegiatan yaitu pengumpulan data persepsi tokoh masyarakat dan kader desa dan tahap
selanjutnya adalah melakukan uji coba strategi tersebut.
Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data mengenai persepsi tokoh masyarakat dan
kader mengenai desa mengenai strategi deteksi dini kejadian malnutrisi pada anak balita di
kawasan miskin yang ada di Kabupaten Karangasem. Dipilih 2 (dua) desa dengan RTS
tertinggi yaitu Desa Bukit dan Desa Nawakerti. FGD I dilaksanakan di Desa Bukit pada hari
Kamis, 28 Agustus 2014 dan FGD II dilaksanakan di Desa Nawakerti pada hari Sabtu, 30
Agustus 2014. Dilakukan sebanyak 4 (empat) FGD masing-masing 2 (dua) FGD dengan
kader desa dan 2(dua) FGD dengan tokoh masyrakat yang meliputi kepala dusun dan
perbekel desa, staf desa serta pemuka agama. Berikut ini hasil FGD pada tokoh masyarakat
dan kader desa.
1. Pemahaman tentang Kejadian Gizi Kurang/Buruk dan Dampaknya pada anak
Balita
Semua kader mengetahui tanda-tanda gizi kurang/buruk, hanya saja sebagian besar masih
berdasarkan keadaan klinisnya antara lain lemes, muka pucat, kelihatannya kuning-kuning,
matanya sayu, kuning, sama kulitnya juga lembek, jalannya agak goyang, perut buncit,
rambutnya pirang, dan kelihatan kurus. Salah satu kader menyebutkan bahwa busung lapar
identik dengan kecacingan
“Perutnya buncit, busung lapar ini kecacingan” (K7)
Beberapa kader menyebutkan tanda gizi buruk berdasarkan pengukuran antropometri
antara lain berat badannya kurang dari umurnya dan di KMS masih kuning, walaupun tidak
disebutkan penjelasannya berdasarkan KMS tetapi kader telah tahu bahwa anak yang
potensial menjadi gizi kurang/buruk adalah berat badannya yang selalu atau terus menurun.
“Iya itu masih kuning, kan saya kan liat timbangan, kalo teman saya baru
KMS, sama-sama memegang (K1)
34
“Berat badannya kurang dari umurnya” (K6))
“Pertumbuhannya tidak sesuai dengan umurnya” (K5)
“Ada juga, peris sama seperti pak wayannya. Dulu kan ada, karena ada juga
setiap bulannya hasil penimbangan itu tidak sesuai, berat badannya selalu
menurun” (KD)
Sedangkan untuk penyebab, adanya asumsi bahwa gizi buruk disebabkan oleh
kelahiran prematur, genetik, pengetahuan serta kemampuan daya beli makanan oleh
keluarga balita
“Karena kelahirannya dia prematur harusnya kan 8 bulan ke atas tetapi dia lahir
7 bulan, ada juga dampaknya dari otaknya” (KB)
“Karena kan ada yang keturunannya kurus gitu, tergantung juga dari ee..
genetik” (KB)
“Ada yang pengetahuannya kurang,ada yg orang tuanya malas mengantarkan
ke posyandu. Kalau dia tahu penyebabnya dia tahu efeknya bu…Kalau
masyarakat tahu akibatnya otomatis dia tahu dampak, pengetahuan,
kemampuan juga, kemampuan daya beli untuk mengonsumsi makanan” (KA)
“Kalau orang di kota dia kan sudah tahu dari segi-segi penyebabnya, langsung
dah diajak ke dokter, kalau sudah punya dokter pribadi kan disarankan untuk
dikasi gizi yang cukup mungkin makanan empat sehat lima sempurna. Tapi
kalau kita cuma di desa mungkin dari bayi dia sudah dikasi ubi, tahu kan
ubi?” (KB)
Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi kurang/buruk diikuti oleh kurangnya pengetahuan
untuk memanfaatkan pangan lokal dan adanya asumsi yang salah tentang perbedaan gizi dan
fasilitas dokter antara anak di desa dan kota. Beberapa responden mengemukakan dampak
gizi buruk/kurang antara lain daya tahan tubuh yang menurun dan pertumbuhan serta
perkembangan anak yang lambat.
“Biasanya kan ke penyakit, kadang mungkin kalau dia kurang lahap begitu
makan itu imunitas tubuhnya yang terganggu, jadi cepat sakit. Biasanya balita
dengan gizi kurang kan biasanya disebut dengan BGM ..balita dengan garis
merah..itu kan biasanya masalahnya dampaknya ke anemia, itu nantinya itu
atal gitu lo.. terserang penyakit lebih cepat” (KB)
“Kalau Adiayasa ini, saya kuraang tahu juga ya, normal lahirnya Cuma
pertumbuhannya agak lambat, belum bisa berjalan padahal sudah dua tahun,
lahirnya terlalu berdekatan juga kesehatannya kurang juga” (K5)
“Misalnya pertumbuhannya, biasanya kan sudah bisa berjalan itu belum..
35
Badannya kurus, ee.. bicaranya juga belum” (K6)
Adanya persepsi yang salah, yang seharusnya gizi buruk menimbulkan dampak yang cukup
serius di masa depan tetapi karena salah satu anak yang menderita gizi buruk sebelumnya
dan mengalami keterbelakangan mental tetapi saat ini anak tersebut menjadi pintar, maka
kader menganggap gizi kurang/buruk bukan merupakan ancaman.
“Tiang kira waktu gizi buruk yang tiang katakan tadi mentalnya jadi
keterbelakngan, tetapi pikiran saya salah,sekarang anak itu jadi pintar” (K3)
Pada umumnya pencegahan agar anak balita tidak mengalami gizi buruk sudah dilakukan
oleh para kader seperti dalam pernyataan dibawah ini.
“Penyebabnya itu karena masih dapat diatasi, masih bisa dibantu dengan cara
apa … supaya anak itu tidak seperti sekarang kan gitu…Tidak mungkin gizi
buruk terus menerus , apalagi sudah dapat bantuan dari mana-mana itu” (KD)
Mungkin itu kelebihannya, mungkin dari obat dikasi,mungkin kan vitamin-
vitamin gitu. (KD)
“Karena dia prematur itu semua juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua”
(KB)
Pendapat para kader diatas menunjukkan bahwa pencegahan gizi kurang/buruk belum
dilaksanakan, yang ada adalah bagaimana pemulihan status gizi anak setelah diketahui
mengalamai gizi kurang/buruk.
Pendapat Tokoh Masyarakat, sebagian besar juga menyebutkan tanda-tanda gizi kurang dan
juga gizi lebih dari keadaan klinisnya.
“Gizi buruk kurang asupan gizi , Gizi buruk artinya pertumbuhannya tidak
normal Matanya cembung Kakinya kurus-kurus (T5)
Ya misalnya kakinya kurus badannya besar,perutnya buncit (T4)
Sama halnya dengan pendapat para kader, tokoh masyarakat berpendapat bahwa penyebab
gizi buruk antara lain faktor geografis, keturunan, dan ekonomi. Sebagai tambahan, adalah
tidak diiminusasi saat dalam kandungan.
“Penyebab gizi buruk karena geografis iklimnya ya” (T5)
“Karena kemungkinan saat dia dalam kandungan tidak sempat di imunisasi
bu,kan bisa saja sebelum kandungan diimunisasi dulu” (T1)
36
“Iya karena terlantar, karena keadaan ekonomi dan keluarganya mungkin
sehingga anak itu terbengkelai, Bisa faktor ekonomi dah..Bisa karena faktor
kesehatan karena ibunya sakit-sakitan” (T5; T1)
“Kenten ada faktor keturunan juga, misalnya kurang suburnya dari kedua itu,
bisa anak lahir premature atau gizi buruk itu” (T5; T3)
“Tidak layaknya gizi yang diberikan kepada balita itu karena kemampuan
ekonominya” (TB)
“Mungkin yang mestinya susu, dia beralih ke teh atau air putih, mungkin gitu.
Jadinya gizi tidak memadai kenten. Itu faktor pertama adalah kemampuan
ekonominya” (TC)
Kurangnya kemauan, pengertian pengetahuan dan pengalaman dari orang tua mengenai gizi
kurang/buruk juga dapat menyebabkan anak tersebut mangalami gizi kurang/buruk, seperti
pada pernyataan di bawah ini
“Kemauan daripada pengertian pengalaman hidup orang tua kan, karena dia
pengetahuannya dia itu awam gitu.” (TF)
Persepsi tokoh masyarakat mengenai dampak gizi kurang/buruk lebih banyak yang
mengungkapkan adanya masalah dengan perkembangan otak dan juga fisik.
“Kalau dari sebaya dengan anaknya dia sudah bisa jalan,kalau dia tidak” (T3)
“IQnya kurang” (T5)
2. Cara mencegah terjadinya masalah gizi kurang/buruk pada anak balita
Terungkap dari hasil FGD dengan kader, ada dua faktor untuk mencegah masalah gizi
kurang/buruk pada anak Balita antara lain faktor gizi dan kedatangan ke posyandu,
sedangkan setelah di posyandu peran kader untuk menyampaikan saran juga merupakan
faktor penting.
“Sering ajak ngobrol, makanannya diperhatikan” (K1, 2, 3)
“Cara menyusui juga dari kecil juga harus diperhatikan, supaya sehat dari kecil
harus menyusui, supaya gizi anak itu jangan sampai kurang” (K6)
“Imunisasi juga harus tetap” (K6)
“Harus rajin ke posyandu tiap bulan, biar tau berat badannya, naik turunnya”
(K4)
37
Tentang posyandu itu sendiri, dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa masalah antara
lain adanya persepsi lebih baik mengerjakan hal yang lain daripada ke posyandu yang juga
berkaitan dengan faktor ekonomi.
“Ke posyandu saja jarang dia, ibunya juga malas memperhatikan
anaknya,dibawah aja dia badannya juga kecil” (KF)
“Ibuknya kan bilang waktu juga ndak punya gitu kan buk nganter anaknya
kan” (TD)
“Kan lebih baik nyabit dirumah lebih baik cari yang lain, akhirnya timbullah
kebodohan anak disana kelihatan (TD)
“Ada juga yang bilang, beh buat apa juga nimbang masih sing maan apa gitu,
jajan ga pernah dikasi gitu” (K4)
Selain itu juga adanya persepsi negatif yang berkaitan dengan mitos/budaya.
“Adenang jumah be jemak gae lenang, kenten hhe..hee” (TC)
“De be pesu, amah leak nyanan” (K2)
“Ada bu, ada yang aktif anaknya imunisasi kan ada, dapet demam anaknya abis
imunisasi nah setelah itu dah gini orang tuanya bilang, ih buat apa dibawa ke
posyandu, abis dibawa imunisasi anaknya panas, ada leak nyanan, yak an di
bali ya, jangan dah dibawa ke posyandu anaknya sakit anaknya dibawa ke
posyandu, gitu ada yang gitu ngomong” (K3)
Adanya persepsi negatif masyarakat tentang posyandu, dikaitkan dengan pendidikan dan
kurangnya pengetahuan orang tua balita mengenai manfaat penimbangan setiap bulannya.
“Tapi karena ada anggapan seperti tadi itu..“ngekoh kemu metimbang-
metimbang deen..” gitu” (TG)
“Tapi kalau di desa buk, yang tidak pernah berpendidikan dari ibunya atau
bapaknya, “ngeranang kengken ne metimbang, Itu kan “ape ye gunane
metimbang nah” kan gitu.”(TC)
Atau adanya Ibu balita malas mengajak ke posyandu karena kurangnya pengetahuan tentang
dampak gizi kurang/buruk
“Ada yang pengetahuannya kurang,ada yg orang tuanya malas mengantarkan
ke posyandu. Kalau dia tahu penyebabnya dia tahu efeknya bu…Kalau
masyarakat tahu akibatnya otomatis dia tahu dampak, pengetahuan,
kemampuan juga, kemampuan daya beli untuk mengonsumsi makanan” (KA)
38
Sistem pelaporan oleh kader kepada kepala dusun, sehingga menjadi tanggung jawab kepala
dusun.
“Kepala dusun juga ikut, tetap dilaporkan ke kepala dusun oleh kadernya.
Kepala dusunlah yang bertanggung jawab” (T1, T2)
Responden mengungkapkan cara agar masyarakat mau datang ke Posyandu. Misalnya
dengan cara arisan banjar dan pemberian kudapan, yang di beberapa banjar merupakan
sumbangan dari kepala dusun.
“Karena disana ada arisan bu, akehan memancing biar mereka datang” (T3)
“Disamping ada arisan, dan ditempat saya istilahnya saya langsung
memberikan istilahnya sekedar snack, 15 ribu rupiah, tiang kasi sumbangan”
(T1)
“Diberikan telur, kacang hijau..mungkin bubur. Kita dulu yang mengupayakan
untuk sekedarnya, biar mau datang” (T2, 5)
“Bawa-bawa itu camilan-camilan itu..yang bubur kan bagus, yang gorengan-
gorengan, tahu, lumpiaa, gitu-gitu dah disenengi sama anak-anak” (TA)
“Apa itu yang ada saosnya itu, yang di ketul itu buk..paling di senengi sama
anak-anak” (TE)
Perlu inovasi dari Posyandu mengenai makanan yang disukai anak sebagai menu PMT.
Masyarakat masih fanatik dangan merk dari kota atau yang terkenal. Disini posyandu
harusnya menyikapi dengan membuat makanan sendiri tapi diberikan label sebagai penarik
minat masyarakat.
“Iyaa kulitnya bagus-bagus keliatan, gitu” (TC)
“Ada jual dari singkong tapi gak laku, gitu (TA) Gak laku..kalau dikasi merk
dari hardys, lagi dibeli gitu”(TD)
Perlu adanya hiburan daerah untuk menyelipkan pesan kesehatan dan menarik masyarakat
untuk datang ke posyandu
“Kecuali yen cengblong undang cepok pang rame masyarakat ne mebalih,
sambil selipang nike, baru bisa..haa..haa. Gratis lagi kalau nonton
cengblongnya kenten..hhee” (TD)
39
3. Kendala masyarakat untuk datang ke posyandu
Faktor geografis yaitu dusun yang berbukit bukit dan jauhnya jarak ke posyandu
disamping juga kurangnya sarana dan prasarana antara lain jalan yang memadai
“Karena bu, dari..darii..darii eee ke berstruktur kedesaan saya memang terlalu
di desa memang, di gunung gitu.. bener-bener ada di kaki gunung.. ee abis dah
gunung disini bu” (TF)
“Maunya Posyandu gitu. Ee jalan gak ada ya gimana. Akhirnya dia kan, “aaah
biarin aja di rumah gak usah kesana” (TD)
“Tapi itu karena jaraknya jauh buk. Yaa jarak jauh (TA), Orang jaraknya bisa 4
kilo buk. Bayangin buk jalan, kalau yang punya seperti kita kan atau bapaknya
kan yaa datang dia. kalau jarak 1 kilo itu pasti datang. Yang 3 kilo 4 kilo itu
jalan bayangkan buk (TC), Jalan setapak jalan kaki” (TA)
Salah satu informan mendapatkan laporan dari ibu balita bahwa dia rajin datang tetapi
sampai posyandu tidak ada kadernya. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan ibu balita
untuk datang lagi ke posyandu.
“Kadernya nggak ada (K5)
Sarana atau alat penimbangan di posyandu yang membuat anak takut untuk ditimbang.
“Anaknya takut” (K2)
“Iya kan megantung gitu dia, digantung nah nangis dia nggak mau” (K1)
“Iya karna digantung gitu takut dia, terus ada yang anaknya gemuk kan ga
muat dicelananya, ada yang sampe robek celananya, gitu dah gam au jadinya
anaknya nimbang, trauma dia ampe robek celananya” (K3)
Disamping itu disebabkan juga oleh karena faktor pekerjaan orang tua, harus bekerja di luar
daerah dan mengajak serta anak balitanya.
“Pokok di Desa Nawekerti itu tidak ada lapangan pekerjaan apa-apa. Kalau
yang mau hidup lebih bagus itu yang muda-muda keluar desa, anak-anaknya
diajak” (TC)
Inovasi untuk menarik minat masyarakat ke posyandu antara lain adanya pemberian bantuan
kepada masyarakat.
“Disitu dia dapat bantuan sesuatu gitu kan..jadi ee yang jelas segitu dulu dari
saya, yang tadi sudah dari ekonomi yang kedua dari pengetahuan yang kurang
gitu” (TF dan TA)
40
“Nah tetapi yang jangka pendeknya itu ibuk, itu yang diperbesar Posyandunya.
Yaaa bantuan-bantuannya untuk anak-anak itu” (TC)
“Cuma dari desa hanya beberapa itu cukup untuk satu tahun itu hanya
pembelian kacang ijo saja itu untuk setiap balita” (TA)
Pendapat bahwa PMT di posyandu kurang efektif, akan habis tetapi tidak ada kelanjutannya.
Disebutkan bahwa makan ubi yang adalah sumber karbohidrat, disini terlihat bahwa
masyarakat kurang memahami tentang pemanfaatan pangan local.
“Pada awalnya walaupun pemerintah ngasi Posyandu gitu buk, tapi itu ada sih
manfaatnya. Tapi menurut saya itu kecil. Pada saat di Posyandu itu di kasi
telur, dikasi susu kan bagus. Itu ada kacang ijo kan banyak gitu. Tapi pada saat
habis itu pulang. Kan gitu yaa..dua atau tiga hari kan udah abis, pulang yaa
sama lagi kembali kadang ubii dimakan, makanan yang tidak terjamin lagi
kembali. Syukur kena nasi” (TC)
4. Pendapat mengenai metode penemuan gizi kurang/buruk secara aktif
Selanjutnya digali megenai pendapat kader dan tokoh masyarakat mengenai strategi
penemuan anak balita gizi kurang dan buruk secara aktif atau active case finding.
“Kalau itu, sistem itu mungkin kalau saya atau yang lain mungkin sepakat,
kalau kita mendatangi penduduk yang belum mau datang” (TC)
“Nah kalau kita yang jelas itu ada dananya,, yaa yang aktif. Tetapi yang saya
harapkan itu gini buk, yang penting itu berlanjut yaa..yang saya mau. Kalau ini
ada umpamanya gejer-gejer berjalan satu dua bulan atau tiga bulan selesai dah.
Berarti kita mulai lagi 1 tahun, lagi mulai dari awal” (TC diiyakan oleh TA, TB
dan TE)
“Iya sebaiknya dicari” (K3)
Kendala yang dihadapi dalam penemuan gizi kurang/buruk secara aktif adalah faktor dana,
selain untuk kadernya juga untuk PMT kepada anak-anak balita
“Cuman ini kan ada persoalan, nah disini yang bertugas kesana itu bermasalah.
Karena disini ada sistem-sistem istilah gotong royong, atau apa namanya sosial
itu, jiwanya sih ada buk. Jiwa sosial ada, tapi pelaksanaan yang susah. Karena
kita dirumah saja pas-pasan gimana kita sosial.” (TC)
“Nah yang mengunjungi kesana juga nanti yaah pertahunnya atau perbulannya
juga ada yaa…”(TD)
Nah kemudian yang kedua, itu kalau kita dapat orang yang mendatangi ke
rumh-rumah ee balita, mungkin kan kemudian ee danaaa kan gitu. Perlu dana
41
untuk memberikan apa umpamanya, kalau telur, atau memberikan makanan
tambahan, ataukah kacang ijo, kan gitu. (TC)
“Namanya juga, kalau datang ke orang miskin pasti lah diharapkan. Dia akan
selalu berharap untuk diberikan sesuatu gitu buk” (TA)
Selain faktor dana juga faktor jarak, kondisi geografis (berbukit-bukit), sarana prasarana
jalan yang belum memadai.
“Karena kebetulan, lokasi-lokasi masyarakat kita yang ada di skup itu, itu
adalah jalannya terjal, yaa tidak ada jalan mobil, ada Cuma jalan setapak-
setapak yang melewati sungai” (TE)
“Iya karna jaraknya jauh, ibunya males bawa keposyandu, biar deket juga
males karna kesibukan juga” (K7)
“Kalau saya selaku kader kita datang ke rumah sih bisa, Cuma alat timbangan
itu yang kurang, bagaimana caranya turun ke bawah sedangkan alat-alat seperti
itu tidak ada” (KC)
“…kalau di posyandu itu kan banyak kadernya” (KD)
“Kalau kita bawa barang-barang misalnya timbangan kan berat” (KE)
“Kalau di desa ini untuk mendatai ke rumah-rumah, tidak mungkin kan.
Karena lokasinyaa jauh, jalannya juga rusak bagaimana kita bisa bawa alat-alat
kesana” (KF)
“Ya kalau datang kerumahnya,, iya kalau ada dirumahnya ya kan? Kalau
kosong kan kita yang rugi, belum anjingnya banyak” (KG)
Faktor lainnya adalah kurangnya kesadaran dari ibu-ibu tentang kesehatan anak dan adanya
persepsi negatif tentang peran kader dalam menemukan gizi kurang/buruk
“Mungkin dari segi maaf dana juga umpamanya sudah, udah itu mungkin kita
juga sudah berusaha bersama-sama, namun sekarang juga kesadaran dari
masyarakat daripada ibu-ibu atau orang tua dari anak-anak yang dimaksud,
sejauh mana akan mempunyai kesadaran demi kesehatan anaknya” (TE)
“Iya kan namanya orang dikampung kan kalo misalnya datang kerumah dikasi
tahu nanti kan biasa gitu negatifnya, bih nak ye be ngelah, raga sing ngelah
keto, care paling duegan dogen, paling melahan doen gitu tanggapannya bu”
(K5)
“Iya apalagi kita kasi penjelasan gitu tentang anaknya ntar minta dikasi uang,
dimintain uang kenten, nunas nah misalne, baang pipis mare nyak keto kenten”
(K3)
42
Kasi uang dulu anaknya baru mau bagus gitu (K6)
Sekarang kan sakit, disuru periksa bu, dikasi uang, kalo ada uang baru mau
saya ajak periksa gitu dah, kadernya gitu yang disuruh ngasi uang sama
anaknya baru mau diajak periksa gitu (K7)
Hal ini akan mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap program/kegiatan yang
dilakukan oleh kader antara lain kurangnya pengetahuan kader tentang bagaimana
menentukan status gizi balita, mereka hanya mengetahui dari perhitungan KMS.
“Sama bu,kalau kita melihat dari anaknya kan belum tentu orang itu gizi buruk
atau gizi kurang. Terutama dari segi kmsnya dulu lihat,kalau sudah dibawah
garis merah kita laporkan ke bu bidan. Kalau dilihat dari segi yang lain belum
pernah saya mengalami” (KD)
“Karena orang yang bersangkuta gizi kurang ini kan harus setiap bulan datang,
walaupun berat badanya meningkat sedikit itu artinya sudah ada peningkatan.
Baru tahu dari segi itu saja, kalau dari segi lainnya belum pernah saya
mengalami, ya dari hasil penimbangan saja” (KE)
“Tiang sih dari segi penimbangannya juga,kalau gizi buruk kan turun kalau
biasaanya kan naik satu strip dua strip. Kalau gizi buruk otomatis kan turun
kalau sudah dua kali kita tanyakan tidak mau makan atau bagaimana, Cuma itu
aja” (KF)
“Mengukur badan itu? Kalau saya sih belum..” (KF)
5. Partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi balita gizi kurang/buruk
Tokoh masyarakat hanya berpartisipasi sebatas mengadvokasi masyarakat mengenai
pentingnya kesehatan anak dan mengunjungi posyandu dengan mendatangi masyarakat
yang baru melahirkan atau waktu tiga bulanan.
“Nah disamping kita juga bertemu dengan masyarakat, sambil memberikan
pemahaman kepada masyarakat biar kedepannya bahwa kesehatan anak itu
lebih penting ketimbang harta” (TE)
“Nah kita tekankan karena sudah ada Posyandu, maka datanglah kesana. Nanti
disana lagi dapat tunjangan makanan. Akhirnya karena kita mungki barang 3
sampai 4 kali umpamanya datang, kita sarankan ke Posyandu bahwa dapat
juga sesuatu, nah itu kan nanti dengan sendirinya masyarakat sadar kan kita
juga dapat keringanan beban untuk tidak mendatangi lagi buk” (TE)
“Tiap melahirkan sih kita menengok kesana, waktu kepus pungsed” (T4)
“Kita menengok kesana, tiga bulanan” (T1)
43
“Tiang kan upayakan datang ke rumah, suruh dia memeriksakan anak.
Diketahui gizi buruk dan normalnya itu, saya suruh. Namun umpamanya dia
kaku, ya apa boleh buat” (T1)
Pengalaman menemukan kasus gisi kurang/buruk belum pernah, Kegiatan yang dilakukan
oleh kader hanya sampai penyuluhan saja tetapi tidak pernah melaporkan kepada kepala
dusun datau bidan desa.
“Pointnya ya pada kadernya saja untuk bisa menyarankan kepada ibunya pada
masyarakatnya. Semenjak saya jadi kader sih belum ada sampai melaporkan ke
bu bidannya untuk gizi buruk atau gizi kurang belum ada”(KB)
“Kalau sik pak putunya kan langsung jadi tokoh masyarakat,kelian banjar juga
berperan sebagai kader posyandu, kalau di saya sih belum ada. Cuman dari
kadernya sendiri untuk menyarakan” (KC)
Walaupun tokoh masyarakat telah datang mengunjungi warganya tetapi keputusan tetap
pada keluarganya. Disini terlihat sudah ada usaha dari tokoh masyarakat. Tetapi kegiatannya
masih hanya sebatas advokasi, belum ada pengukuran antropometri oleh tokoh masyarakat.
Adanya awig-awing yang menyatakan bahwa kader akan keluputan dari kegiatan ngayah
“Iya dalam kami di banjar itu ada dispensasi, misalnya ada kegiatan di pura
tidak kena.. Istilah balinya luputan” (T3)
“Kalau dibanjar tiang,semua kader itu luput dari gotong royong kalau dia tidak
hadir tidak kena denda” (T5)
Beberapa kader telah mendapat pelatihan sebatas mengisi KMS, sedangkan beberapa belum
pernah.
“Kalo ngisi KMSnya kan udah ada yang bisa..” (K3)
“Mengukur badan itu? Kalau saya sih belum, Kalau menimbang sudah.
Pelatihan Penyuluhan Pernah. Tentang makanan seperti eee.. apa makanan
yang dikasi” (KF)
“Pengukuran belum,kalau penyuluhan gizi pernah” (KD)
“Sama juga kalau pengukuran-pengukuran tidak pernah, kalau penyuluhan
pernah disini” (KB)
“Tiang dapat pelatihan 3 hari, kader-kader tiang juga fokusnya ke penyuluhan
ibu hamil, bayi cuma itu” (KC)
44
Kemauan untuk melakukan deteksi dini tergantung dari beberapa faktor yang diharapakan
diperoleh kader antara lain pelatihan, imbalan (insentif), adanya target yang mesti dicapai
kader, serta adanya
“Pelatihan , uang juga” (KG)
“Yang pertama iya ada pelatihan menimbang, karena kita kan cari pengalaman
dulu gitu” (KE)
“Yang kedua disini juga ada dari puskesmas, insentif itu harus juga ada” (KC)
“Kalau dikasi target bisa,maksudnya itu kan sudah dikasi data. Mungkin dari
dinas dikasi ee…lokasinya disini, namanya si ini kan sudah ada data. Dia
sudah terjadi gizi buruk bagus itu. Karena mengirit waktu juga. Ya kalau kita
carisatu persatu mungkin dalam lima rumah itu belum ketemu. Kalau kita
dikasi data dari atas itu lebih efektif”. (KE)
“Kalau kita pelatihan disini, di desa atau kecamatn kita datangi” (KF)
“Diharapkan tindakan dari pemerintah itu nyata tindakannya. Jangan sampai
ada susu, dibagi berlima kan kasian jadinya. Yang diatas itu biar terjun
langsung biar dia tahu situasi. Biar tersentuhlan semua masyarakat biar tidak
ada lagig izi buruk” (KA)
“Tiang usul sedikit bu, nanti jika sekali ini saja ada pertemuan seperti ini
mungkin setiap tahun, biar mengingatlah dari universitas ibu” (KC)
Hal lain yang didapatkan dari FGD adalah kurangnya koordinasi tugas antara kelian banjar
dan kader.
“Karena kadang-kadang ada rapat, kadang-kadang rapat koordinasi bersama
petugas puskesmas, kadang-kadang ditanyakan berapa ada bayi. Kalau kelian
banjarnya tidak pernah hadir dibanjar otomatis kan tidak tahu. Jangan sampai
nanti kelian banjar mengira pekerjaan kader. Memang pekerjaan kader tetapi
koordinasinya tidak nyambung. Seperti data memang tetap memberikan data
ini data itu dari list puskesmas,kalu tidak pernah nongol otomatis kacau dah”
(KC)
“Seharusnya pencatatan awal itu kan ada di kelian banjar dinas. Seperti
misalnya kelahiran, ibu hamil. Kadang kelian banjarnya saja tidak tahu.
Seharusnya seperti itu, setiap bulan setiap kita minta data dia itu tidak
rungu.kan kadang pertahun diminta data, kadang kalang kabut datanya, siapa
yang lahir, siapa yang meninggal,siapa yang hamil. Terutama hamil itu jarang
sekali ada yang tahu. Orang sudah meninggal tetap saja terdata” (KD)
“Kalau mengenai rujukan itu kan yang buat itu kan memang kelian dinas,
mengasi informasi ke desa sudah itu staf desanya membuat surat rujukan”
(KE).
45
Ujicoba Strategi Deteksi Dini Kasus Malnutrisi pada Anak Balita dengan Metode
Active Case Finding
Berdasarkan hasil FGD selanjutnya dilakukan kegiatan tahap kedua yaitu uji coba
model atau strategi deteksi dini. Dipilih salah satu dusun di Desa Bukit dengan kriteria
cakupan D/S yang rendah. Cakupan D/S menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat untuk
datang ke posyandu. Dipilih Dusun Jumenang dengan jumlah anak balita yang datang ke
posyandu sebanyak 9 anak balita.
Tahap pertama dilakukan pelatihan kader desa untuk melakukan pengukuran status
gizi anak balita serta secara langsung melakukan interpretasi hasil pengukuran berdasarkan
tabel status gizi yang diberikan. Sejumlah lima orang kader desa yang terdiri dari dua kader
perempuan dan tiga kader laki-laki. Seluruh kader bekerja sebagai petani dan umur antara 26
sampai dengan 40 tahun dengan pendidikan terakhir SMP dan SD,
Selanjutnya kader desa diminta mencari anak balita yang ada di Dusun Jumenang
dan mengukur status gizi anak dengan cara menimbang selanjutnya disesuaikan dengan
umur anak atau berdasarkan indeks berat badan (BB) menurut umur atau BB/U. Apabila
ditemukan anak dengan kategori status gizi kurang dan buruk, kader diminta untuk merujuk
ke puskesmas pembantu yang ada di Desa Bukit dan dilakukan pengukuran ulang oleh bidan
desa setempat untuk memastikan kebenaran status gizi anak yang dibawa oleh kader.
Dari hasil kunjungan kader kerumah-rumah untuk mencari anak balita, diperoleh
sebanyak 35 anak balita. Hal ini tentu saja sangat berbeda jauh dari data di posyandu yang
hanya mencatat 9 anak saja. Dari 35 anak tersebut ditemukan sebanyak 1 anak balita dengan
status gizi kurang.
Tabel 5.11 Status Gizi Balita yang Ditemukan Secara Aktif di Dusun Jumenang
Kategori n %
Umur (Bulan)
≤24 bulan 18 51,4
>24 bulan 17 48,6
Status Gizi
Gizi Kurang 1 2,9
Gizi Baik 32 91,4
Gizi Lebih 2 5,7
Kader desa diberikan insentif untuk setiap KK yang dikunjungi dan setiap
menemukan anak balita dengan status gizi kurang atau buruk diberikan tambahan insentif.
Hasil ini menunjukkan bahwa dengan metode active case finding,akan lebih cepat dideteksi
anak balita yang mengalami masalah gizi sehingga intervensi bisa cepat dilakukan dan dapat
mencegah status gizi anak balita turun menjadi status gizi buruk.
46
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya simpulan yang dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis data tingkat konsumsi energi dan proporsi pengeluaran pangan,
maka diperoleh hasil bahwa masih terdapat 46 rumah tangga yang tergolong dalam
kondisi rawan pangan, 102 rumah tangga yang termasuk kurang pangan, 9 rumah
tangga mengalami rentan pangan, dan 13 rumah tangga sudah tergolong tahan
pangan.
2. Berdasarkan perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil diketahui bahwa
dari 11 ibu hamil 4 (36,4%) ibu termasuk dalam kategori berat badan (BB) kurang
dan 7 (63,6%) termasuk dalam kategori BB normal
3. Berdasarkan indeks BB/TB sebagian besar (78,1%) dengan kategori normal.
Walaupun sebagian besar normal namun ditemuka juga anak balita gemuk yaitu
9,4%. Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita (87,5%) termasuk dalam
status gizi baik, namun ditemukan anak balita dengan status gizi kurang dan buruk
sebanyak 10 anak balita (10,4%). Berdasarkan indeks TB/U sebagian besar anak
balita memiliki pertumbuhan linier (tinggi badan) sesuai umur (62,5%), namun
ditemukan masih tingginya prevalensi anak balita dengan status gizi pendek (pendek
dan sangat pendek) yaitu sebesar 31,2%.
4. Hasil FGD menunjukkan bahwa tokoh masyarakat dan kader desa mendukung
adanya penemuan secara aktif anak balita namun dibutuhkan reward/insentif agar
lebih memotivasi kader untuk melakukan strategi tersebut oleh karena kondisi
geografis yang sulit dijangkau.
5. Strategi active case finding terbukti lebih cepat menemukan dan mendeteksi anak
balita yang mengalami masalah gizi sehingga intervensi bisa segera dilakukan,
dengan demikian dapat mencegah status gizi anak balita turun menjadi gizi buruk.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka disaranakan:
1. Peningkatan pemanfaatan pangan lokal untuk memenuhi kecukupan energi anggota
keluarga dan untuk mengurangi terjadinya kerawanan pangan pada keluarga
47
2. Melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mencoba menerapkan metode active case
finding oleh kader dan tokoh masyarakat sebagai solusi dalam menemukan secara dini
anak balita dengan status gizi kurang sehingga dapat menurunkan prevalensi anak balita
dengan status gizi kurang dan buruk terutama pada kawasan miskin yang sulit dijangkau
oleh petugas kesehatan.
3. Peningkatan kepedulian masyarakat terhadap anak balita gizi kurang yang ada disekitar
rumah dan melaporkan kepada petugas kesehatan untuk dapat dilakukan tindakan
intervensi sesuai keadaan gizi anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Andriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. (I. Edisi,
Ed.). Jakrta: Kencana Prenada Media Group.
Ariani, M. (2010). Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian
Diversifikasi Pangan. Gizi Indon 2010, 33(1), 20–28.
Ariani, M., & Asahari. (2003). Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi
Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Vol.21, No.
Arifin, B. (2004). Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arisman. (2010). Gizi Dalam daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi (Edisi II.). Jakarta:
EGC.
Aritonang, I. (2000). Krisis Ekonomi: Akar Masalah Gizi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Azhar, A., & Henry. (2007). Pertanian, Pembangunan dan Kemiskinan.
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2012a). Laporan
Tahunan Sistem Kewaspadaan Gizi dan Pangan (SKPG) Provinsi Bali tahun 2012.
Denpasar.
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2012b). Laporan
Akhir Pelaksanaan Kegiatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Tahun 2012 di
Provinsi Bali. Denpasar.
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2013). Petunjuk
Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Denpasar.
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2013). Gerbang
Sadu Mandara. http://www.bpmpd.baliprov.go.id/id/Gerbang-Sadu-Mandara2.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, & RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar
2010. Jakarta.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. (2010). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Departemen Kesehatan RI. (1990). Buku Pedoman Puskesmas. Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan. (2006). Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.
Jakarta.
Djaeni, A. (1989). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia (Vol. Jilid II).
Jakarta: PT Dian Rakyat.
Hanani, H. (2005). Monitoring dan Evaluasi Ketahanan Pangan.
Harper, L. J., Deaton, B. ., & Driskel, J. . (1985). Pangan, Gizi dan Pertanian
(Diterjemahkan oleh Suhardjo). Jakarta: UI. Press.
Instruksi Presiden Nomor 1. (n.d.). tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan
Nasional Tahun 2010.
Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Klungkung. (2013a). Laporan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Bulanan Oktober. Klungkung.
Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Klungkung. (2013b). Laporan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Bulanan Nopember. Klungkung.
Khomsan. A. (2002). Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Martianto, D. & M. A. (n.d.). Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan
dalam Dekade Terakhir. in Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan
Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.” Jakarta.
Maxwell, S., & Frankenberger, & T. R. (1992). Household Food Security: Concepts,
Indicators, Measurements, A Technical Review. Rome: International Fund for
Agricultural Development/ United Nations Children’s Fund.
Moeloek, F. (1999). Gizi sebagai Basis Pengembangan SUmber Daya Manusia Menuju
Indonesia Sehat 2000 dalam pengembangan Gizi dan Pangan Perspektif Kemandirian
2
Lokal. In Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources
Development and Coommunity Empowerment. Jakarta.
Peraturan Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. (n.d.). Peraturan
Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and Vurnability
Atlas/FSVA). (2009). No Title (Vol. ISBN: 978-, p. 210). Dewan Ketahanan Pangan,
Departemen Pertanian Republik Indonesia, World Food Programme.
Saliem, H.P., E. M. L., Ariyani, M., & Purwantini, T. B. (2001). Analisis Ketahanan
Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Bogor: Laporan Hasil Penelitian Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2002). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis (Edisi ke-
2.). Jakarta: Sagung Seto.
Soetardjo, S., & Soekarti, M. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. (S. Almatsier,
Ed.). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Suhardjo. (1994). Strategi di Bidang Konsumsi Pangan dalam Mendorong Terwujudnya
Swasembada Pangan dan Perbaikan Gizi. Pangan No 18, IV, 48–55.
Supariasa, I. D. N., Bakri, B., & Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi (Edisi Revi.). Jakarta:
EGC.
Yuniastuti, A. (2008). Gizi dan Kesehatan (Edisi I.). Yogyakarta: Graha Ilmu.
WHO, 2007, Community-Based Management of Severe Acute Malnutrition, diunduh dari:
http://www.who.int/nutrition/topics/Statement_community_based_man_sev_acute
_mal_eng.pdf , diakses 17 Februari 2012
LAMPIRAN
Lampiran 1 Laporan Penggunaan Dana 100%
Anggaran ini dibuat sudah dengan pemotongan pajak 15% dari dana yang disetujui Rp.
35.000.000,- sehingga total dana yang ada Rp. 29.750.000,-
Item
Rp
Total Sub total
1. Honor 4,800,000
Ketua 1 orang x 200,000 x 12 bulan 2,400,000
Anggota Peneliti 2 orang x 100,000 x 12 bulan 2,400,000
2. Peralatan survei 10,870,000
Transport untuk survei lokasi 4 orang x 100,000 x 1 hari 400,000
Surat-surat 1 unit x 242,000 x 1 unit 242,000
Souvenir responden 170 orang x 20,000 x 1 hari 3,400,000
Kuesioner 170 orang x 20,000 x 1 unit 3,400,000
Timbangan 8 orang x 50,000 x 1 unit 400,000
Mikrotoa 8 orang x 35,000 x 1 unit 280,000
Tabel status gizi 8 orang x 6,000 x 1 unit 48,000
Transport fee untuk interviewer+surveyer 8 orang x 250,000 x 1 unit 2,000,000
Transport fee untuk kader desa 10 orang x 60,000 x 1 hari 600,000
Dokumentasi survei 1 unit` x 100,000 x 1 unit 100,000
3. Peralatan FGD dan Perancangan model 10,080,000
Sewa Ruangan FGD 4 site x 400,000 x 1 hari 1,600,000
Institutional fee untuk puskesmas/pustu 2 unit x 200,000 x 1 unit 400,000
Fee pemandu FGD 8 orang x 100,000 x 1 hari 800,000
Fee notulen FGD 2 orang x 100,000 x 1 hari 200,000
Transport peserta FGD 30 orang x 100,000 x 1 hari 3,000,000
Konsumsi peserta 30 orang x 40,000 x 1 hari 1,200,000
Materi FGD 4 unit x 50,000 x 1 unit 200,000
Sewa recorder 4 site x 150,000 x 1 hari 600,000
Batere recorder 1 unit x 100,000 x 1 unit 100,000
ATK 4 site x 45,000 x 1 unit 180,000
dokumentasi FGD 4 site x 100,000 x 1 hari 400,000
Perancangan model dan uji coba 1 unit x 1,000,000 x 1 unit 1,400,000
4. Pengolahan data, pembuatan laporan, desiminasi/seminar dan publikasi 4,000,000
Pengolahan data 1 unit x 1,000,000
1 unit 2,000,000
Pembuatan Laporan 1 unit x 500,000
1 unit 500,000
Publikasi 1 unit x 600,000
1 unit 600,000
Desiminasi/seminar 30 orang x 30,000
1 unit 900,000
Total 29,750,000 29,750,000
2
Lampiran 2. Dukungan sarana dan prasarana penelitian
Penelitian ini didukung oleh sarana dan prasarana yang cukup memadai dalam hal:
1. Alat/media pelatihan seperti LCD, leaflet, alat praktikum dan sarana atau ruangan
untuk pelatihan.
2. Peralatan untuk mengukur status gizi seperti mikrotoa dan timbangan disediakan
oleh PS IKM dan juga bantuan Dinas Kesehatan setempat.
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas
No Nama/NIDN Instansi
Asal
Bidang
Ilmu
Alokasi
Waktu
(jam/minggu)
Uraian Tugas
1. Kadek Tresna
Adhi, S.KM,
M.Kes/0018107906
PS IKM
FK
Gizi
Kesehatan
Masyarakat
6 jam/minggu - Mengurus ijin
penelitian
- Melatih surveyor
- Melatih pemandu
FGD
- Menghubungi kader
dan petugas
puskesmas serta
tokoh masyarakat
- Analisis data
- Pembuatan laporan
2. dr. Ni Wayan Arya
Utami,
M.App.Bsc.,
Ph.D/001098101
PS IKM
FK
Gizi
Kesehatan
Masyarakat
4 jam/minggu - Analisis data survey
- Pembuatan laporan
3. dr. Putu Ayu
Swandewi Astuti,
MPH/0018087607
PS IKM
FK
Biostatistik
dan
Kependudu
kan
4 jam/minggu - Analisis data FGD
- Pembuatan laporan
3
Lampiran 4. Dokumentasi
Dokumentasi Survei Lokasi Desa Pidpid dan Desa Nawakerti (Kecamatan Abang) dan
Desa Bukit (Kecamatan Karangasem) dan Desa Tianyar Timur (Kecamatan Kubu)
di Kabupaten Karangasem
Lampiran 5.
Jadwal kegiatan per bulan (sesuai Kontrak Penelitian)
Jenis Kegiatan Bulan
Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
Persiapan penelitian
- Penandatangan kontrak penelitian
- Penetapan lokasi desa
- Surat menyurat
- Rekrutment enumerator
- Training enumerator
Penyusunan Instrumen
- Penyusunan kuesioner dan
panduan FGD
- Informed consent
- Ethical clearance
- Alat survey (mikrotoa,
timbangan, pita lila, tabel z-score)
- Souvenir
- Alat perekam, batere
- ATK
- Dokumentasi
- Pembagian transport fee
- Survei lokasi desa
Pelaksanaan penelitian
- Survei
- FGD
Analisis data
- Input karakteristik responden
- Analisis status gizi
- Analisis pangan
- Analisis hasil FGD
Laporan Kemajuan Penelitian
(Oktober 2014)
- Laporan penggunaan dana
70%
- Laporan kemajuan penelitian
- Logbook
Monev LPPM
Laporan Akhir Penelitian
(Paling lambat tgl 28 Nopember
2014)
- Unggah laporan akhir di
sim.lppm.unud.ac.id
- Unggah penggunaan dana
100%
Diseminasi/Seminar hasil
7
Lampiran 6. Kuesioner Penelitian
Tanggal Wawancara : _____________________ Kode Sampel :
KUESIONER ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI DI KAWASAN
MISKIN PROVINSI BALI TAHUN 2014 Nama Responden/Ibu ____________________________ Enumerator /Pencacah _________________________ Alamat dan Nama Desa ____________________ I. STRUKTUR KELUARGA
No Nama Anggota
Keluarga
Status Anggota
Keluarga a)
Jenis Kelamin b)
Umurc)
Pendidikand) Bulan Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8
Keterangan : a). 1. KK 2. Istri 3. Anak 4. Orangtua 5. Saudara 6. Pembantu 7. Lainnya (diisi) b). 1. Laki-laki 2. Perempuan c). Untuk dewasa isi kolom tahun saja d). 1. Tidak sekolah 2. SD 3. SLTP 4. SLTA 5. PT
II. ANAK BALITA (0-59 BULAN) DAN IBU HAMIL Perhatikan: Jika dalam 1 (satu) KK ada lebih dari 1 balita, maka semua data terkait anak balita tersebut dicatat (karakteristik, riwayat kelahiran, keadaan gizi dan kesehatan, kebiasaan makan anak, dan pemberian ASI ekslusif serta MPASI) A. KARAKTERISTIK DAN KEADAAN GIZI ANAK BALITA
1. Nama Balita (1) : __________________________ 2. Tanggal Lahir (tgl/bln/thn) : ____/____/____ 3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan 4. Berat badan lahir : _______ 5. Anthropometri anak (saat ini) : Berat badan:_________ kg Panjang/tinggi : _______ cm
1. Nama Balita (2) : __________________________ 2. Tanggal Lahir (tgl/bln/thn) : ____/____/____ 3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan 4. Berat badan lahir : _______ 5. Anthropometri anak (saat ini): Berat badan:_________ kg Panjang/tinggi : _______ cm
8
B. RIWAYAT KELAHIRAN ANAK Riwayat Kelahiran (*Beri tanda 1 bila ya, 2 bila tidak, atau 3 bila tidak tahu)
No. Keadaan Kronologis* (1) (2) 1 Kelahiran cukup umur ( 37 mgg /lebih dari 8 bln) 2. Kelahiran tidak cukup umur/prematur ( 36 mgg)
3. Kelahiran dengan bantuan (alat penjepit/vakum/operasi/injeksi)*)
4. Pemberian kolostrum (ASI pertama berwarna kuning) *) Pilih salah satu *
) untuk balita (1)
C. KEADAAN KESEHATAN ANAK BALITA, PERILAKU AKSES TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DAN KEPEMILIKAN KARTU SEHAT/KARTU MISKIN
1. Bulan lalu, apakah ibu membawa anak ibu ke Posyandu : 1. Ya 2. Tidak 2. Apakah anak menerima kapsul vitamin A bulan ini? 1. Ya 2. Tidak 3. Jika ya, apakah diminum ? 1. Ya 2. Tidak 4. Jika ya, dari mana kapsul vitamin A tersebut diperoleh? 1. posyandu 2. Puskesmas 3. RS 4. ____ 5. Apakah selama sebulan terakhir anak ibu (sebut nama anak) pernah sakit? 1. Ya
2.Tidak Jika Ya, sakit apa?____________________________
6. Rata-rata seberapa sering anak ibu sakit (diare/batuk/pilek/demam) dalam 3 bulan terakhir?...........kali dalam sebulan. Jenis penyakit: ............................lama sakit..................hari
7. Apa yang ibu lakukan ketika anak (sebut nama anak) sakit? 1). Membawa anak ke puskesmas 2). Memberikan anak obat yang dibeli di warung dekat rumah 3). Memberikan anak obat tradisional (jenis:..............................) 4). Lainnya..............................................................................
8. Apakah keluarga memiliki kartu sehat/kartu miskin? 1. Ya (sejak tahun......) 2. Tidak 9. Digunakan untuk apa kartu tersebut selama ini?....................................
Jawaban Responden: Untuk anak balita (2): _______________________________________________________________ D. KEBIASAAN MAKAN ANAK
No. Pertanyaan Kebiasaan (frekuensi dalam seminggu*) (anak balita (1))
Anak Balita
(2) 1 Apakah Anak biasa sarapan pagi
setiap hari? a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
2 Apakah Anak biasa mengonsumsi camilan?
a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
3 Apakah Anak biasa mengonsumsi sayur-sayuran?
a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
4 Apakah Anak biasa mengonsumsi buah-buahan atau sari buah?
a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
5 Apakah Anak biasa mengonsumsi susu?
a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
9
6 Apakah Anak biasa mengonsumsi lauk hewani (misalnya daging, ayam, ikan, telur)?
a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
7 Apakah Anak biasa mengonsumsi lauk nabati (misalnya tempe, tahu)?
a. Selalu*) c. Jarang*) b. Kadang-kadang*) d. Tidak pernah*)
8 Apakah Anak memiliki makanan pantangan?
a. Ya b. Tidak
9 Jika jawaban No. 8 YA, sebutkan jenis dan alasannya!
Jenis: ___________________________ Alasan: ______________________
Keterangan : (frekuensi dalam seminggu) *) a. Selalu : 5-7 kali b. Kadang-kadang : 3-4 kali c. Jarang : 1-2 kali d. Tidak pernah
E. PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN MPASI
1. Anak ibu (sebut nama) diberikan ASI saja sampai umur...... bulan 2. Anak ibu (sebut nama) mulai diberikan makanan/minuman selain ASI pada umur ........bulan 3. Jenis makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang pertama kali diberikan: ....................................
frekuensi:....................per hari
Catatan: Untuk anak balita (2) jawaban ditulis dibawah ini. 1. ......................bulan 2. ......................bulan 3. Jenis: .......................................frekuensi.....................per hari
F. KEADAAN GIZI DAN KESEHATAN IBU HAMIL
1. Kehamilan ke: ..... Umur kehamilan: ..... mgg/.......bulan 2. Paritas: ........ 3. Jumlah anak: .......orang 4. Berat badan sebelum hamil:.......kg Tinggi badan:....... cm 5. Berat badan saat ini: ......kg 6. Apakah berat badan ibu ditimbang secara teratur? 1. Ya 2. Tidak 7. Lingkar Lengan Atas (LILA): ........cm 8. Kondisi edema (bengkak pada kaki): 1. ya 2. tidak 9. Sudah berapa kali periksa hamil (ANC) sampai saat ini: ........kali 10. Tempat periksa (ANC): puskesmas/pustu/bidan praktek swasta *) 11. Obat/suplemen yang dikonsumsi selama kehamilan ini:
..........................Frekuensi:.......kali/hari Merek obat/suplemen: ....................................
12. Riwayat sakit ibu: DM/Hipertensi/preeklampsia/...............*) 13. Keluhan selama hamil (mual/muntah/pusimg/lesu atau lelah/kesemutan/pegal/kurang nafsu
makan/lainnya.................) 14. Biaya rata-rata per bulan untuk periksa hamil: Rp.....................per bulan 15. Apakah ibu berpantang suatu makanan selama hamil? 1. Ya (jenis..................................) 2.
Tidak *) pilih salah satu
10
III. KETAHANAN PANGAN KELUARGA A. PENDAPATAN KELUARGA
Sumber Pendapatan Pekerjaan Pendapatan per hari (rupiah)
Total pendapatan per bulan (Rupiah)
Keterangan (jumlah hari kerja untuk buruh/sopir)
1. Ayah/Bapak 2. Ibu 3. Anggota keluarga
lainnya
4. Kebun* 5. Pekarangan* 6. Ternak* 7. Ikan* 8. Lain-lain *Catatan: Bila PNS/TNI/Pensiunan: tanyakan berapa pendapatan per bulan Bila Pedagang: tuliskan pendapatan bersih Bila Petani/Pendapatan dari usaha tani, isilah dengan pendapatan bersih (setalah dikurangi
biaya produksi: pakan, bibit, obat dsb) *Bila Buruh (misalnya buruh bangunan, sopir, dll), tanyakan dalam satu bulan rata-rata bekerja
berapa hari, dan berapa upah setiap hari kerja. Rata-rata pendapatan perhari adalah upah setiap hari kerja x lama kerja dalam satu bulan dibagi 30 hari.
Jika ada pendapatan berasal dari kebun/pekarangan/ternak/ikan, tanyakan berapa rata-rata pendapatan bersih (setelah dikurangi ongkos biaya produksi: pakan, bibit, obat dsb) dalam satu bulan. Tuliskan angka setelah dikurangi biaya produksi.
B. AKSES PANGAN
1. Berapa jauh jarak warung sembako dengan rumah: …………….. (m/km) 2. Sarana transportasi apa yang digunakan untuk membeli kebutuhan pangan? a. Jalan kaki : 1. Ya 2. Tidak b. Motor/mobil sendiri : 1. Ya 2. Tidak c. Angkot : 1.. Ya 2. Tidak 3. Sumber perolehan pangan :
a. Produksi Sendiri : 1. Ya 2. Tidak b. Membeli : 1. Ya 2. Tidak c. Diberi : 1. Ya 2. Tidak
4. Apakah keluarga/anggota keluarga saat ini menerima bantuan pangan seperti beras untuk masyarakat miskin (raskin) atau MPASI/PMT? a. Raskin : 1. Ya 2. Tidak b. MPASI/PMT : 1. Ya (jenis: ............................) 2. Tidak c. Lainnya : 1. Ya (sebutkan.......................) 2. Tidak
5. Apakah di pekarangan rumah/ kebun bapak/ibu ada : a. Tanaman pangan : 1. Ya (sebutkan...................................) 2. Tidak b. Ternak : 1. Ya (sebutkan...................................) 2. Tidak c. Ikan : 1. Ya 2. Tidak
C. PERSEPSI TENTANG KECUKUPAN PANGAN 1. Apakah bulan lalu keluarga bapak/ ibu pernah merasa tidak cukup pangan karena tidak
mampu (menyediakan/membeli)? 1. Ya 2. Tidak 2. Jika Ya, berapa hari peristiwa tersebut terjadi dalam sebulan terakhir ? _________ hari
11
3. Dalam tahun ini berapa berapa kali terjadi tidak cukup pangan? __________ 4. Menurut pengamatan pencacah/enumerator, ibu (responden) tergolong:
1. Kurus 2. Normal 3. Gemuk 5. Menurut pengamatan pencacah/enumerator, ibu (responden) tergolong:
1. Pucat 2. Cerah (normal) 6. Menurut pengamatan pencacah/enumerator, anak ini tergolong:
1. Kurus 2. Normal 3. Gemuk D. PENYEDIAAN PANGAN/MAKANAN KELUARGA
Penyediaan pangan/makanan keluarga: 1. Sering masak dirumah 2. Sering tidak masak (membeli) Tuliskan alasan untuk jawaban 1) atau 2):
E. PENGELUARAN PANGAN KELUARGA
No Variabel Rata-rata per hari/minggu/bulan (Rupiah)
1. Pangan pokok (sumber karbohidrat: beras, jagung, ubi, dsb) Rp................................per........... 2. Lauk pauk (sumber protein: tempe, tahu, ikan, telur, dsb) Rp................................per........... 3. Sayur-sayuran Rp................................per........... 4. Buah-buahan Rp................................per........... 5. Gula (meliputi gula bali, gula pasir, dsb) Rp................................per........... 6. Susu Rp................................per........... 7. Minyak goreng Rp................................per........... 8. Snack/jajanan (makanan selingan/selain makanan utama) Rp................................per........... JUMLAH (Total 1+2+3+4+5+6+7+8) Rp................................per...........
*Catatan: bila bahan makanan berasal dari usaha tani sendiri atau tidak membeli, maka perlu dikonversi ke dalam rupiah sesuai harga yang berlaku saat survei dilakukan PENGELUARAN BUKAN PANGAN Rata-rata pengeluaran bukan makanan (papan dan sandang): Rp_________________per bulan
F. KUALITAS DAN STABILITAS PANGAN
1. Harga bahan pokok (beras) saat ini Rp………………………/kg (Harga normal Rp…………………./kg) 2. (Kualitas Pangan) Apakah tersedia di rumah tangga berupa bahan pangan yang mengandung
protein hewani dan atau nabati (dilakukan observasi): 1. Ada 2. Tidak
3. (Stabilitas Pangan) (wawancara dan observasi) a. Jumlah persediaan pangan pokok yang ada di keluarga:
Pangan Pokok Jumlah yang tersedia Habis persedian tersebut akan habis (hari/bulan) Beras/jagung/umbi-umbian/Mie Gula pasir Sayur dan buah Daging sapi/ayam/babi Minyak goreng Telur Susu Minyak tanah/Gas elpiji Garam beriodium/tidak
b. Kecukupan ketersediaan pangan di rumah tangga (observasi):
1. Cukup 2. Tidak Cukup c. Frekuensi makan anggota rumah tangga
12
1. 3 kali/sehari 2. <3kali/sehari
IV. KONDISI TEMPAT TINGGAL 1. Besar keluarga (jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggunagan oleh keluarga tersebut
(makan dalam satu dapur)): ………………orang 2. *Keadaan rumah : 1. Permanen 2. Semi permanen 3. Tidak permanen 3. Kepemilikian rumah : 1. Milik sendiri 2. Sewa 3. Lainnya ……… 4. Penerangan : 1. Minyak tanah 2. Lilin 3. Listrik 5. Sumber air : 1. PAM 2. Sumur 3. Mata air/sungai 6. Septic tank : 1. Tidak ada 2. Ada 7. Ventilasi : 1. Baik 2. Cukup 3. Buruk 8. Tempat sampah : 1. Tidak ada 2. Ada
Keterangan: *Permanen (tembok semua), semi permanen (separuh tembok), tidak (bukan tembok)
13
FORM RECALL 24 JAM Kode Sampel: Formulir Pencatanan Makanan Rumah Tangga (Household food record) Nama Responden: ……………………….. Alamat:……………………………………….. Tanggal : ………………………………….
Hari/Tanggal Menu Makanan (Nama Bahan Makanan)
Banyaknya Sumber/Asal Makanan URT Berat (gram)
Selingan pagi/sore:
FORM FFQ Kode Sampel:
14
Tanggal : …………………………………. Catatan: Tanyakan dengan lebih detail bahan pangan lain yang tidak ada dalam list dibawah ini.
Jenis Pangan 1= Ya 2=Tidak Frekuensi (Berapa kali per…….)
Hari Minggu Bulan Tahun 1. Karbohidrat
a. Beras b. Jagung c. Ubi jalar d. ………………….. e. ………………….. f. ………………….. g. ………………….. h. …………………..
2. Protein a. Daging ayam b. Daging sapi c. Daging babi d. Ikan e. Susu f. Telur g. Tempe h. Tahu i. ………………….. j. ………………….. k. …………………..
3. Vitamin dan Mineral a. Mangga b. Pisang c. Jambu d. Pepaya e. Jeruk f. Semangka g. Melon h. ………………….. i. ………………….. j. …………………..
4. Minuman a. Softdrink b. Kopi c. Teh d. Sirup e. Air putih f. ………………….. g. …………………..
FORM OBSERVASI KETERSEDIAAN PANGAN DI PASAR DESA _______________________
15
Tanggal:
Nama Bahan Pangan Keterangan (selalu tersedia/musiman)
*Jika ada tambahan silahkan ditulis dibalik lembaran ini Lampiran 7. Pedoman FGD
16
PEDOMAN FGD
“Peran serta Tokoh Masyarakat dan Kader Desa dalam Metode Penemuan
Secara Aktif Anak Balita dengan Status Gizi Kurang sebagai Upaya Deteksi
Dini Kasus Malnutrisi”
PERKENALAN:
Selamat pagi/siang/sore. Nama saya adalah........ Saya adalah salah anggota tim peneliti dari
Universitas Udayana dengan judul “ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI SERTA
DETEKSI DINI KASUS MALNUTRISI DI KAWASAN MISKIN PROVINSI BALI
TAHUN 2014” dan akan menjadi pemandu diskusi kita hari ini. Sebelumnya saya
mengucapkan terima kasih untuk kesediaan Bapak/Ibu* untuk bersedia hadir dalam diskusi
ini.
Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah adalah sebuah diskusi pada
kelompok kecil yang bertujuan untuk mendiskusikan sebuah topik dengan lebih detail.
Pagi/siang/sore ini, kita akan mendiskusikan tentang rencana kegiatan mendeteksi atau
menemukan secara dini anak balita dengan status gizi kurang atau buruk yang dilakukan
secara aktif oleh kader atau tokoh masyarakat didesa ini. Dalam diskusi ini saya tidak
bertindak sebagai pemberi informasi ataupun narasumber. Tugas saya adalah mendengarkan
pendapat Bapak/Ibu berkaitan dengan topik yang akan kita diskusikan ini.
Dalam diskusi ini, kami sangat mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu*, demikian juga
ketulusan dan kejujuran Anda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan kami
ajukan. Tidak ada pernyataan yang salah atau benar, hanya opini dan kami berharap agar
semua Bapak/Ibu* dapat mengeluarkan pendapat dalam diskusi ini. Kami mohon agar
Bapak/Ibu* jangan malu dan takut mengungkapkan pendapat walaupun bertentangan
dengan pendapat yang lain. Saya sangat menghargai setiap pendapat yang Bapak/Ibu*
ungkapkan. Dalam diskusi ini, kami mohon Bapak/Ibu bisa mengeluarkan pendapat secara
bergiliran. Pendapat Bapak/Ibu dalam diskusi ini sangat penting dalam penyusunan suatu
model penemuan secara aktif kasus gizi kurang/buruk di desa ini yang pada akhirmya
mendukung kebijakan pemerintah dalam program penanggulangan masalah gizi buruk di
Bali.
Dalam diskusi ini, kami akan merekam hasil diskusi kita agar setiap pendapat yang
Bapak/Ibu* sampaikan dapat kami rekam dengan baik dan tidak ada infromasi yang
terlewatkan. Setiap pendapat yang disampaikan bersifat sangat rahasia dan akan digunakan
untuk tujuan penelitian serta tidak akan mencantumkan nama Bapak/Ibu*. Sebelum kita
mulai diskusi ini, kami persilahkan Bapak/Ibu bertanya jika seandainya ada hal hal yang
kurang jelas.
17
Diskusi
I. Pertanyaan Pemanasan
1. Sebelum dimulai, saya ingin menyampaikan bahwa FGD ini diselenggarakan
oleh Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar institusi
tersebut?
2. Sebaiknya FGD dimulai dengan perkenalan. Mohon menyebutkan nama,
alamat dan warna yang disukai (atau bisa juga dengan menanyakan jumlah
anak/pekerjaan).
Sekarang saya ingin bertanya lebih spesifik tentang topik yang ingin kita bahas:
II. Pemahaman tentang Kejadian Gizi Kurang/Buruk dan Dampaknya pada Anak
Balita
1. Saya ingin mendiskusikan kepada Bapa/Ibu semuanya tentang masalah gizi
kurang atau gizi buruk. Mohon Bapak/Ibu kemukakan apapun yang
Bapak/Ibu ketahui selama ini tentang gizi kurang atau buruk, misalnya
tentang tanda-tandanya, tentang penyebabnya, dan seterusnya. Menurut
Bapak/ibu bagaimana dampak atau akibat jika anak balita mengalami gizi
kurang/buruk? (Probing: bagaimana dampak pada saat ini dan masa depan
anak. Bisa diberikan contoh)
2. Menurut Bapak/ibu, bagaimana caranya mencegah terjadinya masalah gizi
kurang/buruk pada anak balita? (Probing: bagaimana bentuk
tindakan/cara/metode yang diambil untuk mencegah masalah gizi buruk pada
anak. Kira-kira apa yang Bapak/ibu lakukan untuk mencegah masalah gizi
pada anak.)
III. Persepsi Metode Deteksi Dini Anak Balita dengan Status Gizi Kurang/Buruk dan
Peran serta Aktif Kader/Tokoh Masyarakat
1. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana jika metode menemukan lebih dini anak
balita dengan gizi buruk secara aktif diterapkan didesa ini (probing:
menemukan lebih dini secara aktif yaitu dengan mengunjungi rumah anak
balita yang tidak datang keposyandu)?
2. Apakah Bapak/Ibu pernah punya pengalaman menemukan ada anak balita
yang mengalami gizi buruk?(Probing: jika pernah, bagaimana atau silahkan
Bapak/Ibu cerita bagaimana ceritanya sampai Bapak/Ibu bisa mengetahui
bahwa anak tersebut menderita gizi buruk? )
3. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti pelatihan mengukur status gizi pada
anak? (Probing: kapan, siapa melatih, dimana pelatihannya, bagaimana kesan
terhadap pelatihan tersebut)
4. Kira-kira kendala atau kesulitan apa yang Bapak/Ibu rasakan ketika
melakukan pengukuran status gizi pada anak? (Probing: apa saja kendalanya,
pada diri sendiri, ibu balita, masyarakat)
5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai metode penemuan gizi buruk
dengan cara aktif (probing: menemukan atau mencari anak balita dengan gizi
kurang dirumahnya) dibandingkan dengan yang pasif (probing: hanya
menunggu anak balita dibawa keposyandu saja. Bagaimana menurut
Bapak/Ibu mengenai hal ini)?
6. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana peran kader/tokoh masyarakat dalam
menurunkan kejadian gizi buruk (Probing: peran disini bagaimana Bapak/Ibu
bisa berpartisipasi dalam mengurangi anak balita yang mengalami gizi
buruk)?
18
7. Jika seandainya, kita ingin Bapak/Ibu mau dan mampu melakukan deteksi
dini dengan menemukan lebih awal anak balita gizi kurang/buruk, apa yang
harus kita lakukan:
8. (Probing)
a. Melakukan pelatihan pengukuran status gizi?
b. Menetapkan target yang dicapai oleh kader?
c. Adanya dukungan atau reward (insentif) dari puskesmas/dinas
kesehatan?
d. Melibatkan Bapak/Ibu yang berhasil menemukan anak balita gizi
buruk sebagai panutan (role model)?
Kira-kira mana yang lebih efektif dilakukan? Apa kira-kira kesulitan yang
muncul kalau kita mau melakukan hal tersebut?
IV. Penutup
Kita akan mengakhiri diskusi, terima kasih atas informasi yang Bapak/Ibu berikan dalam
diskusi ini.
22
Lampiran 9. Output analisis data
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
pendapatan 170 20000 9000000 1034552,94 87850,087 1145424,993
jarak 170 1 10000 672,15 127,005 1655,936
Valid N (listwise) 170
jalan * kendaraanCrosstabulation
Count
kendaraan
Total 1 2
jalan 1 6 133 139
2 23 8 31
Total 29 141 170
angkot * kendaraanCrosstabulation
Count
kendaraan
Total 1 2
angkot 1 0 7 7
2 29 134 163
Total 29 141 170
angkot * jalanCrosstabulation
Count
jalan
Total 1 2
angkot 1 0 7 7
2 139 24 163
Total 139 31 170
produksi * diberiCrosstabulation
Count
diberi
Total 1 2
Produksi 1 2 31 33
2 5 132 137
Total 7 163 170
membeli * diberiCrosstabulation
23
Count
diberi
Total 1 2
Membeli 1 6 159 165
2 1 4 5
Total 7 163 170
produksi * membeliCrosstabulation
Count
membeli
Total 1 2
Produksi 1 29 4 33
2 136 1 137
Total 165 5 170
raskin * mpasiCrosstabulation
Count
mpasi
Total 1 2
raskin 1 14 82 96
2 13 61 74
Total 27 143 170
tanaman * ternakCrosstabulation
Count
ternak
Total 1 2
tanaman 1 27 35 62
2 20 88 108
Total 47 123 170
IIIc1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 78 26,6 45,9 45,9
2 92 31,4 54,1 100,0
Total 170 58,0 100,0
Missing System 123 42,0
Total 293 100,0
24
IIIc4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 47 16,0 27,6 27,6
2 107 36,5 62,9 90,6
3 16 5,5 9,4 100,0
Total 170 58,0 100,0
Missing System 123 42,0
Total 293 100,0
IIIc5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 46 15,7 27,1 27,1
2 124 42,3 72,9 100,0
Total 170 58,0 100,0
Missing System 123 42,0
Total 293 100,0
IIId1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 168 57,3 98,8 98,8
2 2 ,7 1,2 100,0
Total 170 58,0 100,0
Missing System 123 42,0
Total 293 100,0
IIIc1 * IIIc5 Crosstabulation
Count
IIIc5
Total 1 2
IIIc1 1 29 49 78
2 17 75 92
Total 46 124 170
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
IIIc2 170 0 7 1,49 ,144 1,879
IIIc3 170 0 35 2,49 ,308 4,012
Valid N (listwise) 170
25
KLPPERSENTASE
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid rendah 115 67,6 67,6 67,6
tinggi 55 32,4 32,4 100,0
Total 170 100,0 100,0
AKG
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid cukup 22 12,9 12,9 12,9
kurang 148 87,1 87,1 100,0
Total 170 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
AKG * KLPPERSENTASE 170 100,0% 0 ,0% 170 100,0%
AKG * KLPPERSENTASE Crosstabulation
Count
KLPPERSENTASE
Total rendah tinggi
AKG cukup 13 9 22
kurang 102 46 148
Total 115 55 170
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
AKG * IIIC5 170 100,0% 0 ,0% 170 100,0%
26
AKG * IIIC5 Crosstabulation
Count
IIIC5
Total 1 2
AKG cukup 7 15 22
kurang 39 109 148
Total 46 124 170
Frequency Table
IIIF2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 29 17,1 17,1 17,1
2 141 82,9 82,9 100,0
Total 170 100,0 100,0
IIIF3B
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 119 70,0 70,0 70,0
2 51 30,0 30,0 100,0
Total 170 100,0 100,0
IIIF3C
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 102 60,0 60,0 60,0
2 68 40,0 40,0 100,0
Total 170 100,0 100,0
Statistics
IV2 IV3 IV4 IV5 IV6 IV7 IV8
N Valid 170 170 170 170 170 170 170
Missing 0 0 0 0 0 0 0
Mean 1,55 1,12 2,21 1,71 1,48 2,23 1,43
IV2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 77 45,3 45,3 45,3
2 93 54,7 54,7 100,0
Total 170 100,0 100,0
27
IV3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 155 91,2 91,2 91,2
2 10 5,9 5,9 97,1
3 5 2,9 2,9 100,0
Total 170 100,0 100,0
IV4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 54 31,8 31,8 31,8
2 26 15,3 15,3 47,1
3 90 52,9 52,9 100,0
Total 170 100,0 100,0
IV5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 109 64,1 64,1 64,1
2 1 ,6 ,6 64,7
3 60 35,3 35,3 100,0
Total 170 100,0 100,0
IV6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 88 51,8 51,8 51,8
2 82 48,2 48,2 100,0
Total 170 100,0 100,0
IV7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 36 21,2 21,2 21,2
2 59 34,7 34,7 55,9
3 75 44,1 44,1 100,0
Total 170 100,0 100,0
IV8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 97 57,1 57,1 57,1
2 73 42,9 42,9 100,0