kisah aṣḥāb al-sabt dalam al-qur'an: analisis semiotika
TRANSCRIPT
KISAH AṢḤĀB AL-SABT DALAM AL-QUR’AN: ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh Noval Aldiana Putra
11140340000023
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2018 M
!i
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari
pedoman Arab-Latin yang diangkat dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun
1987 dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا Tidak dilambangkan
ب B Be
ت T Te
ث Ṡ Es dengan titik di atas
ج J Je
ح Ḥ Ha dengan titik di bawah
خ Kh Ka dan ha
د D De
ذ Ż Zet dengan titik di atas
ر R Er
ز Z Zet
س S Es
ش Sy Es dan ye
ص Ṣ Es dengan titik di bawah
ض Ḍ De dengan titik di bawah
ط Ṭ te dengan titik di bawah
ظ Ẓ Zet dengan titik di bawah
ع ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan
!v
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan Alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
غ G Ge
ف F Ef
ق Q Ki
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
و W We
ه H Ha
ء ’ Apostrof
ي Y Ye
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
U Ḍammah
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
بينكم Ai A dan I
قول Au A dan u
!vi
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl, al-ṭīn.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah (Tasydīd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
جاهلية Ā A dengan garis di atas
مجيد Ī I dengan garis di atas
فروض Ū U dengan garis di atas
!vii
ABSTRAK
Noval Aldiana Putra. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Al-Qur’an: Analisis Semiotika Roland Barthes, 2018
Skripsi ini membahas kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur’an dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Salah satu hal menarik yang terdapat dalam kisah ini adalah penggunaan hewan kera sebagai bentuk adzab dari Allah kepada orang-orang yang melanggar perjanjian. Bentuk adzab ini penuh dengan isyarat simbolis yang dalam hal ini relevan untuk diterapkan dengan pendekatan semiotika. Maka, kisah Aṣḥāb al-Sabt akan penulis uraikan dan tafsirkan dengan pendekatan semiotika Roland Barthes, sehingga dapat diceritakan keseluruhan kisahnya dan menggali pesan-pesan filosofis di balik kisah tersebut. Pesan inilah yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Semua data tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur’an dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan semiotika Roland Barthes. Analisis ini terbagi atas dua tingkat pemaknaan, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi adalah makna kebahasaan, yang sesuai dengan arti yang disepakati, sedangkan makna konotasi adalah makna tingkat kedua yang memakai makna denotasi sebagai landasan utamanya, yang di sinilah terdapat makna mitos seperti yang diistilahkan Roland Barthes.
Hasil dari penelitian ini yaitu kisah Aṣḥāb al-Sabt terbagi atas tiga fragmen. Pertama, fragmen pelanggaran perjanjian, kedua, fragmen dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian, ketiga, fragmen kutukan kera. Masing-masing fragmen memiliki makna denotasi dan makna konotasi, sehingga menghasilkan signifikasi seperti keseimbangan dalam menjalankan kewajiban dunia dan akhirat, larangan berbuat tamak yang mengarah pada sifat materialistis dan hedonis, kewajiban untuk saling nasihat-menasihati dalam kebaikan, dan jika seorang Muslim tidak menjalankan rukun Islam, maka akan timbul sifat egois, rakus, tidak toleran terhadap sesama, serta keinginan untuk memonopoli sesuatu.
Kata kunci: Roland Barthes, semiotika, semiologi, mitos, sign, Aṣḥāb al-Sabt, kera, kisah al-Qur’an.
!viii
ABSTRACT
Noval Aldiana Putra. The story of Aṣḥāb al-Sabt in the Qur'an: Semiotic Analysis of Roland Barthes, 2018
This thesis discusses the story of Aṣḥāb al-Sabt in the Qur'an with the semiotic approach of Roland Barthes. One of the interesting things found in this story is the use of ape as a form of punishment from Allah to those who violate the agreement. This punishment is full of symbolic signals which in this case are relevant to be analyzed with the semiotic approach. Thus, the Aṣḥāb al-Sabt story will be described and interpreted with Roland Barthes's semiotic approach, so that the whole story can be informed and the philosophical messages behind the story can be explored. This message can be used in everyday life.
This is a library research. All data on the story of Aṣḥāb al-Sabt in the Qur'an are collected, then analyzed by Roland Barthes's semiotics. This analysis is divided into two levels of meaning, namely denotation and connotation. Denotation is linguistic meanings, which are in accordance with agreed meanings, while connotation are the second level meanings that use denotation as the main foundation. This second level of meaning is myth as termed by Roland Barthes.
The results of this study are: the story of Aṣḥāb al-Sabt is divided into three fragments. First, fragment of covenant violations, second, fragment of dialogue between two groups that obey the agreement, third, fragment of ape curses. Each fragment has denotation and connotation meaning, resulting in significance such as balance in carrying out the obligations of the world and the hereafter, the prohibition of greedy actions that lead to materialistic and hedonic, obligations to mutual advice-exhorting in kindness, and if a Moslem does not practice the pillars of Islam, it will arise the nature of selfish, greedy, intolerant to others, and the desire to monopolize something.
Keywords: Roland Barthes, semiotics, semiology, myths, sign, Aṣḥāb al-Sabt, ape, story in the Qur’an.
!ix
KATA PENGANTAR
Bismillāhirrahmānirrāhīm
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya
tidak terlepas dari dukungan semua pihak.
Maka, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh sivitas akademika
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin, Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA dan Dra. Banun Binaningrum,
M.Pd selaku ketua program studi dan sekretaris jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir.
Untuk dosen pembimbing penulis, Dr. Yusuf Rahman, MA, terima kasih atas
saran yang membangun dan setiap masukan yang selalu mencerahkan. Untuk
Ayah yang selalu mendukung dan bertanya kapan wisuda, untuk Ibu yang sudah
tenang disana, terima kasih atas setiap hal bahagia yang selalu kalian berikan,
yang selalu menjadi alasan penulis untuk terus menjadi manusia yang berguna.
Untuk teman-teman seperjuangan, terima kasih telah meyakinkan penulis untuk
bisa melalui semua tahap ujian. Terima kasih sudah menjadi tempat berdiskusi dan
berbagi ilmu sehingga pengetahuan penulis dapat terus berkembang. Semoga
Allah SWT selalu memberikan kebaikan kepada semua pihak yang mendukung
penulis.
!x
Jakarta, 5 Desember 2018
Noval Aldiana Putra
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL i ...................................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii .....................................................
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii ...................................................
LEMBAR PERNYATAAN iv ...................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI v ...........................................................................
ABSTRAK viii ...........................................................................................................
ABSTRACT ix ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR x .............................................................................................
DAFTAR ISI xi ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 1 ......................................................................................
A. Latar belakang masalah 1 ..........................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan masalah 4 ......................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5 ...............................................................
D. Tinjauan Kajian Terdahulu. 5 .....................................................................
E. Metode Penelitian. 10 .................................................................................
F. Sistematika penulisan 11 .............................................................................
BAB II SEMIOTIKA ROLAND BARTHES 13 .....................................................
A. Semiotika 13 ..............................................................................................
1. Pengertian 13 .........................................................................................
2. Konsep Dasar Semiotika 15 ..................................................................
B. Roland Barthes 17 .....................................................................................
1. Signifier, Signified, Sign dan Signification 17 .......................................
2. Denotasi dan Konotasi 19 .....................................................................
3. Analisa Mitos 22 ...................................................................................
!xi
C. Disposisi-disposisi Operatori 25 ...............................................................
BAB III KISAH AṢḤĀB AL-SABT 28 ..................................................................
A. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Al-Qur`an 28 ................................................
B. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Kitab Tafsir 35 .............................................
BAB IV ANALISIS SEMIOTIS KISAH AṢḤĀB AL-SABT 50 ...........................
A. Nuansa Denotatif 52 .................................................................................
1. Pemotongan Teks Cerita 52 ................................................................
a. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian 53 .........................................
b. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati
Perjanjian 57 ................................................................................
c. Fragmen III: Kutukan Kera 59 .....................................................
2. Fakta-Fakta Cerita 61 .........................................................................
a. Plot/Alur Kisah 62 ........................................................................
b. Tokoh dan Penokohan 65 .............................................................
c. Latar atau Setting 66 ....................................................................
B. Nuansa Mitos 67 .......................................................................................
1. Ideologi Umum dibalik Kisah 68 .......................................................
2. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian 69 ...............................................
3. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati
Perjanjian 79 .......................................................................................
4. Fragmen III: Kutukan Kera 84 ...........................................................
BAB V PENUTUP 91 ...............................................................................................
A. Kesimpulan 91 ..........................................................................................
B. Saran 92 ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA 94...........................................................................................
!xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Qur’an yang turun 14 abad lalu haruslah
mampu menjadi petunjuk bagi kehidupan dari masa lalu hingga saat ini.
Dengan membaca kembali, menginterpretasi setiap ayat-ayatnya, maka tafsir
al-Qur’an akan menjawab setiap persoalan kemanusiaan di berbagai segi
kehidupan, baik masalah kejiwaan, ekonomi, sosial, politik, dan berbagai
bidang lainnya. 1
Di dalam al-Qur’an, terdapat banyak aspek yang melingkupinya. Salah
satu aspek yang menarik perhatian penulis adalah terkait kisah-kisah yang ada
dalam al-Qur’an. Seringkali kisah-kisah ini dibaca begitu saja tanpa berusaha
menggali makna yang lebih mendalam. Padahal makna dari suatu kisah dapat
melahirkan pesan-pesan filosofis yang universal untuk diterapkan pada masa
kini. Dengan menggali makna baru dari kisah-kisah dalam al-Qur’an, maka
kisah itu tidak lagi menjadi warisan sejarah, namun akan selalu hidup dan
relevan di setiap zaman. 2
Dari sekian banyak kisah-kisah yang disajikan dalam al-Qur’an, kisah
tentang suatu kaum yang dikutuk menjadi kera menarik perhatian penulis. Al-
Qur’an mengistilahkan kaum itu dengan Aṣḥāb al-Sabt, sebagaimana yang
disebutkan dalam QS. Al-Nisa/4: 47
يا أيJها ال?ذين أوتوا الكتاب آمنوا Aا نز?لنا مصد:قا 9ا معكم من قبل أن نطمس وجوها
(٤۷) Mفنرد?ها على أدبارها أو نلعنهم كما لعن?ا أصحاب الس?بت وكان أمر الل?ه مفعو
“Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.”
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 14.1
Rahmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 137.2
#1
#2
Kisah tersebut dapat dilihat lebih lengkap dalam QS. Al-A‘rāf/7: 163-166.
Dalam ayat ini dijelaskan pula sebab-sebab mengapa Allah mengutuk mereka
menjadi kera. Namun kemenarikan kisah ini ketika penulis membaca QS. Al-
Baqarah/2: 65-66
ولقد علمتم ال?ذين اعتدوا منكم في الس?بت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئ` (٦٥) فجعلناها
نكاM 9ا ب` يديها وما خلفها وموعظة للمت?ق` (٦٦)
“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu, lalu Kami katakan kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. Maka Kami jadikan (yang demikian) itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
Pada QS. Al-Baqarah/2: 66, Allah menekankan agar kisah ini menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa, yang berarti mengandung pesan-
pesan untuk kehidupan umat Muslim. Pemberitahuan Allah ini yang menjadi 3
salah satu dorongan penulis untuk meneliti kisah Aṣḥāb al-Sabt.
Selanjutnya kata لفهاiiiiiiiiا خiiiiiiiiوم pun menarik perhatian penulis. Jika ayat 65
menjelaskan kutukan kera dari Allah kepada Aṣḥāb al-Sabt, maka pada ayat
selanjutnya Allah menjadikan kisah itu sebagai peringatan untuk لفهاiiiiiiا خiiiiiiوم.
Orang-orang yang datang kemudian pada ayat ini berarti semua manusia dari
saat terjadinya kisah itu sampai sekarang. Maka pemahaman yang didapatkan 4
adalah kutukan kera yang terjadi pada kisah itu dapat pula terjadi pada zaman
ini.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep transformasi manusia
menjadi kera adalah hal yang sulit diterima pada zaman sekarang. Untuk
itulah pendekatan semiotika diperlukan guna merasionalkan kisah ini dan
menghasilkan makna yang akan terus hidup di setiap zaman.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1 3
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 213.
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 87.4
#3
Berbagai penafsiran mengenai kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam al-Qur`an sudah
dikemukakan oleh para ulama tafsir. Al-Qurṭubi dalam kitab tafsirnya
menjelaskan bahwa Aṣḥāb al-Sabt yang melanggar perintah Tuhan benar-
benar berubah menjadi kera. Ketika ditemui oleh golongan yang taat pada
perintah Tuhan, kera-kera ini tidak dapat dikenali lagi, namun para kera itu
masih tetap dapat mengenali teman-temannya yang tidak dikutuk sehingga
mereka hanya bisa menangis. 5
Al-Ṭabari dengan banyaknya menyebutkan riwayat-riwayat mengenai
Aṣḥāb al-Sabt, nampaknya tidak jauh berbeda dalam hal penafsiran kutukan
kera. Ketika golongan yang taat menyadari ketiadaan sebagian kaumnya,
maka mereka mendatangi rumah mereka dan mendapatkan mereka yang
melanggar perintah Tuhan sudah berubah menjadi kera, namun mereka dapat
dikenali melalui matanya. Para kera ini hanya hidup tiga hari dengan tidak
makan, tidak minum, dan tidak berketurunan. 6
Mufassir kontemporer dari Indonesia, M. Quraish Shihab dalam tafsir al-
Mishbah sedikit ragu-ragu dan tidak mengambil sikap terhadap transformasi
kera pada kaum tersebut. Namun ia masih banyak mengutip dari penjelasan-
penjelasan tafsir terdahulu dalam mengurai kisahnya. 7
Penafsiran-penafsiran para mufassir klasik dan kontemporer memiliki
ragam yang unik dengan masing-masing argumentasi yang dikemukakan.
Semua itu menunjukkan bahwa ruang interpretasi terbuka luas terhadap kisah
ini. Maka, melalui pendekatan semiotika, bukan tidak mungkin akan lahir
kemungkinan makna-makna baru yang sesuai dengan perspektif penafsiran
zaman sekarang dan menggali berbagai pesan tersembunyi dalam kisah
tersebut. Semiotika juga membuka ruang untuk mengurai lebih dalam rincian-
rincian kisah Aṣḥāb al-Sabt melalui sistematika yang dimilikinya. Kutukan
Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 7, terj. Sudi Rosadi (dkk) (Jakarta: Pustaka Azzam, 5
2008), h. 761.
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, terj. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 6
h. 45.
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 2, h. 443.7
#4
kera yang terdapat dalam kisah ini merupakan satu tanda dari serangkaian
tanda yang terdapat dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt. Setiap tanda memiliki
pemaknaannya tersendiri yang memiliki pesan bagi manusia.
Dengan demikian, penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan
semiotika Roland Barthes sebagai pisau bedah dalam menyingkap makna dan
signifikasi yang terdapat dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt. Selain menggunakan
analisa struktural yang diterapkan pada karya sastra, Barthes pun memiliki
konsep mitos yang menurutnya ada dalam makna konotasi. Mitos ini
berfungsi untuk menaturalkan sesuatu yang sesungguhnya tidak natural. Hal 8
ini tentu menjadi relevan untuk diterapkan dalam kajian tafsir, terutama terkait
kisah-kisah dalam al-Qur’an, seperti kisah Aṣḥāb al-Sabt yang banyak
mengandung simbol-simbol dalam serangkaian kisahnya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang berhubungan dengan
kisah Aṣḥāb al-Sabt. Namun fokus penelitian ini dibatasi pada penafsiran QS.
Al-A‘rāf/7: 163-166, karena pada ayat inilah kisah Aṣḥāb al-Sabt dibahas
secara lengkap. Selanjutnya untuk membahas konsep semiotika dalam tafsir
ini, penulis batasi pada konsep semiotika Roland Barthes dan pendekatannya
untuk membaca dan menganalisis kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur’an.
Dari batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang menjadi acuan
dalam penelitian ini adalah: bagaimana penerapan analisis semiotika Roland
Barthes terhadap kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam QS. Al-A‘rāf/7: 163-166, dan
apa saja pesan-pesan filosofis yang dikandungnya?
Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1991), h. 128.8
#5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Menafsirkan kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam QS. Al-A‘raf/7: 163-166
dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes.
b. Mengkaji pesan-pesan filosofis dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt yang
dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Penelitian
a. Menguatkan argumentasi bahwa semiotika dapat dijadikan pisau
bedah dalam menafsirkan al-Qur’an.
b. Bahan bacaan tambahan dalam mata kuliah tafsir seperti: semiotika,
metode penelitian tafsir, dan pendekatan modern dalam tafsir al-
Qur’an.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Adapun tinjauan kajian terdahulu dalam skripsi ini terbagi menjadi dua
bagian. Pertama, seputar kajian semiotika dalam studi agama, kedua, kajian
yang khusus membahas semiotika Roland Barthes pada ayat al-Qur’an.
Terkait fokus utama kajian pustaka ini, penulis cenderung meninjau karya
tulis yang terdapat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Alasan penulis mengambil UIN Yogya sebagai kajian
pustaka yaitu karena sudah cukup banyak karya tulis semiotika al-Qur’an di
kampus tersebut, ditambah dengan kemudahan akses dalam pencarian karya
tulisnya.
#6
1. Kajian semiotika dalam studi agama
Penelitian yang menggunakan semiotika pada studi agama setidaknya
sudah dilakukan oleh sarjana muslim, seperti Luthfi Firdaus yang menulis
“Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”. Ia menjelaskan
teori semiotika dan para tokohnya serta kemungkinan penerapannya dalam
kajian tafsir kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa semiotika merupakan
solusi bagi penafsiran yang bersifat artificial dan letterlux. Lalu ada Rony 9
Subayu yang menulis “Al-Qur’an sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland
Barthes Sebagai Metode Penafsiran al-Qur’an.” Penelitiannya lebih kepada
kemungkinan atau ketidakmungkinan penerapan semiotika Roland Barthes
pada al-Qur`an, bukan aplikasi penafsiran. Ia menyimpulkan bahwa tafsir
mitis hanya berlaku untuk ayat-ayat muamalah saja, tidak untuk ubudiyah. 10
Selanjutnya Husni Mubarak menulis “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis
Kritis dari Semiologi Roland Barthes.” Karyanya ditekankan pada penciptaan
mitos baru yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan. 11
Penelitian yang mengaplikasikan semiotika pada ayat al-Qur’an, namun
bukan semiotika Roland Barthes, ditulis oleh Ali Imran dalam tesisnya yang
berjudul “Kisah Nabi Yusuf Dalam Al-Qur’an (Kajian Semiotika)”. Pada tesis
itu, ia menawarkan metodologi penafsiran menggunakan semiotik melalui dua
tahap. Tahap pertama adalah pembacaan heuristik (analisis linguistik). Tahap
kedua adalah pembacaan retroaktif (kelanjutan dari konvensi di atas konvensi
linguistik) dengan mengaitkan aspek intertekstualitas teks, asbāb al-nuzūl,
latar belakang historis, maupun perangkat studi ulum al-Qur`an yang lain.
Pembacaan ini melahirkan apa yang dinamakan makna konotasi. Implikasi
pemaknaan dari kedua langkah tersebut, bahwa kisah Yusuf memiliki pesan
Luthfi Firdaus, “Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”. (Skripsi, 9
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005)
Rony Subayu, “Al-Qur’an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes 10
Sebagai Metode Penafsiran al-Qur’an”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005)
Husni Mubarak, “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis Dari Semiologi Roland 11
Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006)
#7
moral mengenai etika, sikap optimis, dakwah, kesabaran, hukum, dan
kekuasaan Allah Swt. 12
2. Kajian semiotika Roland Barthes pada ayat al-Qur’an
Pada bagian ini akan dimuat kajian terdahulu yang khusus memakai
semiotika Roland Barthes pada penafsiran ayat al-Qur’an. Muhammad
Khairul Mujib menulis “Jadal al-Qur’an dalam Perspektif Mitologis Roland
Barthes”. Ia berusaha mencari rahasia kekuatan bahasa al-Qur’an dan
membaca makna yang tersirat dari teks yang diteliti. Ulumuddin menulis 13
“Kisah Luth Dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes).
Berdasarkan analisisnya, kisah Luth mempunyai beberapa signifikasi seperti
sikap peduli terhadap lingkungan, aspirasi rakyat jelata, dll. Dona Kahfi MA 14
Iballa menulis “Nilai-Nilai Ideologis Kisah Aṣḥāb al-Kahf Dalam QS. Al-
Kahf (Aplikasi Semiotika Roland Barthes). Ia membagi empat fragmen dari
kisah-kisah dalam QS. Al-Kahf yang mengandung nilai ideologis seperti
keberanian mengambil sikap dalam menghadapi resiko kehidupan, etika
dalam interaksi sosial, dll. 15
Ulufatul Khoiriyah menulis “Perempuan Sebagai Ḥarṡun Dalam al-Qur’an
(Kajian Semiotika Roland Barthes)”. Skripsinya berangkat dari permasalahan
ketidakadilan gender yang menurutnya masih marak terjadi, pun dalam rumah
tangga. Ia berusaha melakukan penafsiran ulang ayat-ayat yang berbicara
tentang relasi gender secara komprehensif. Melalui pendekatan semiotika
Roland Barthes, maka akan dimungkinkan pemaknaan yang bertingkat terkait
Ali Imran, Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf 12
(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 45.
Muhammad Khairul Mujib, “Jadal al-Qur’an dalam Perspektif Mitologis Roland 13
Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009)
Ulumuddin, “Kisah Luth Dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. 14
(Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013)
Dona Kahfi MA Iballa, “Nilai-Nilai Ideologis Kisah Aṣḥāb al-Kahf Dalam QS. Al-Kahf 15
(Aplikasi Semiotika Roland Barthes)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014)
#8
ayat-ayat gender. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa sebuah rumah
tangga bukanlah kehidupan yang dikuasai oleh salah satu pihak (suami),
namun suami dan istri memiliki hak yang sama untuk turut andil mengatur
rumah tangganya. Muhammad Allajji menulis “Struktur dan Semiotik Surat 16
Hud (Analisis Strukturalisme dan Semiotika dalam al-Qur’an)”. Karya
tulisnya ditekankan pada revitalisasi peran al-Qur’an sebagai petunjuk hidup
manusia di setiap zaman, yang salah satunya dengan mereproduksi
kemungkinan-kemungkinan makna lain di luar makna dasar surat Hud.
Kesimpulan dari makna baru yang didapatkan adalah asas kekeluargaan
seorang pemimpin, sikap keterbukaan dan egalitarianisme, pentingnya budaya
berpikir kritis, dan pembangunan berdasarkan nilai-nilai Islam. 17
Pipit Aidul Fitriyani menulis “Kisah Yusuf Dalam al-Qur’an: Perspektif
Semiologi Roland Barthes.” Dalam skripsinya ia membahas kisah Yusuf
dengan pisau analisis teori mitos Roland Barthes. Ia berusaha mencari nilai-
nilai ideal moral yang dapat berlaku secara universal dalam kisah Yusuf. Hasil
yang didapatkannya adalah bahwa kisah Yusuf mengandung pesan-pesan
seperti kewajiban menghindarkan setiap orang dari perbuatan keji dan
munkar, manusia harus senantiasa ikhlas dan tidak mendahului takdir yang
telah ditetapkan, dan beberapa nilai ideal moral lainnya. Nor Faridatunnisa 18
menulis “Kisah Żulqarnain dalam al-Qur’an (Telaah Semiotik)”. Tesisnya
cukup rinci menerangkan kisah Żulqarnain dengan membagi ke dalam empat
fragmen. Analisis mitos yang didapatkan adalah bahwa Żulqarnain sebagai
cerminan pemimpin ideal yang dalam kepemimpinannya harus memiliki iman
Ulufatul Khoiriyah, “Perempuan Sebagai Ḥarṡun Dalam al-Qur’an (Kajian Semiotika 16
Roland Barthes)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014)
Muhammad Allajji, “Struktur dan Semiotik Surat Hud (Analisis Strukturalisme dan 17
Semiotika dalam al-Qur’an)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014)
Pipit Aidul Fitriyana, “Kisah Yusuf Dalam al-Qur’an: Perspektif Semiologi Roland 18
Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014)
#9
dan ilmu, membangun sistem pertahanan yang kuat baik ke dalam maupun ke
luar. 19
Irpan Sanusi menulis “Pesan Semiotis al-Qur’an: Analisis Strukturalisme
QS. Al-Lahab.” Ia menggunakan pendekatan strukturalisme Roland Barthes
untuk membedah penafsiran QS. Al-Lahab dengan menganalisis makna
denotasi yang ia istilahkan dengan momen ilmiah, dan makna konotasi yang
ia istilahkan dengan momen mitis. Penelitian ini berkesimpulan bahwa mitos
lain dari Abu Lahab adalah bahwa Abu Lahab merupakan simbol kapitalis-
monopolis Mekah. Sehingga pesan filosofis yang terkandung adalah etika
ekonomi Islam yang harus berdasarkan keadilan dan kebijakan sosial dalam
mengembangkan ekonomi keumatan. 20
Malikhatul Mu’asyaroh menulis “Pemaknaan Mitos Kisah Nabi Adam
dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. Pemaknaan mitos
yang didapatkan adalah bahwa kisah Nabi Adam mempunyai beberapa
signifikasi, di antaranya menjadi pemimpin di bumi, ketulusan dalam
berkurban tanpa terukur dengan nilai-nilai materialistis. Selain itu, kisah ini
juga mengajarkan nilai-nilai positif seperti tekad yang kuat, etika, dan
memilih berita. Haizumiah menulis, “Kesatuan Kisah Khalafallah dalam 21
QS. Al-Kahfi; Analisis Semiotika Roland Barthes”. Ia berusaha mencari
makna mitos dari keseluruhan kisah yang diceritakan dalam QS. Al-Kahfi.
Hasilnya, ia menguraikan ada empat kisah yaitu pemuda Aṣḥāb al-Kahf
sebagai simbol kesabaran dan keteguhan, pemilik dua kebun sebagai simbol
keniscayaan sirnanya harta, Musa sebagai simbol ketinggian hati yang tidak
akan mendapatkan petunjuk, hamba saleh sebagai simbol hidayah dan ilmu
Nor Faridatunnisa, “Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an (Telaah Semiotik)”. (Tesis, 19
Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015)
Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur’an: Analisis Strukturalisme QS. Al-Lahab”. 20
(Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016)
Malikhatul Mu’asyaroh, “Pemaknaan Mitos Kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an 21
(Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017)
#10
atas dasar pilihan Allah, dan Żulqarnain sebagai simbol keringan-tanganan
pemimpin untuk membantu masyarakat. 22
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, penulis berasumsi bahwa penelitian
yang menggunakan pendekatan semiotika dengan objek material kisah Aṣḥāb
al-Sabt masih belum diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengisi
kekosongan penelitian mengenai kisah Aṣḥāb al-Sabt dengan pendekatan
semiotika Roland Barhes yang kemudian dicari pesan-pesan filosofis dari
kisah tersebut.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menitikberatkan pada penelitian
kepustakaan (library research), dengan mengumpulkan data dan menganalisis
bahan-bahan yang dibutuhkan dari berbagai buku, jurnal, majalah-majalah,
dan bacaan-bacaan lain yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.
2. Sumber Data
a. Data primer, yaitu data yang menjadi sumber utama dalam penulisan
karya tulis ilmiah ini. Data primer tersebut adalah kisah Aṣḥāb al-Sabt
di dalam QS. Al-A‘raf/7: 163-166. Adapun data primer terkait metode
semiotika Roland Barthes yaitu: Elements of Semiology, Mythologies,
dan Semiologi Roland Barthes.
b. Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku yang memuat
kisah Al-Qur`an dan buku mengenai semotika, kitab-kitab tafsir al-
Qur`an seperti tafsir karya al-Ṭabari, Sayyid Qutb, Ṭabaṭaba’i,
Haizumiah, “Kesatuan Kisah Khalafallah dalam QS. Al-Kahfi; Analisis Semiotika 22
Roland Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017)
#11
Quraish Ṣhihab, jurnal-jurnal terkait, dan sumber-sumber lain yang
relevan dengan kajian penelitian.
Adapun pedoman penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017
Tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, yang menjadi pokok pembahasan penulis
terdiri dari lima bab yang masing-masing mempunyai sub-sub tertentu
sebagaimana yang terurai berikut ini:
Bab I adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II adalah pembahasan tentang semiotika Roland Barthes. Pada bab ini
akan dijelaskan pengertian semiotika secara umum dan pemikiran semiotika
Roland Barthes. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan landasan bagi
pembahasan selanjutnya.
Bab III adalah kisah Aṣḥāb al-Sabt. Pada bab ini kisah Aṣḥāb al-Sabt akan
ditafsirkan dengan menggunakan kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer.
Informasi yang berada dalam kitab tafsir akan membantu mengurai kisah
Aṣḥāb al-Sabt dengan lebih rinci dan jelas, yang kemudian dipakai pada
pembahasan selanjutnya.
Bab IV adalah analisis semiotis kisah Aṣḥāb al-Sabt. Terdiri dari dua
bagian. Bagian pertama adalah nuansa denotatif, dan bagian keduanya adalah
nuansa mitos. Nuansa denotatif akan menguraikan pembagian fragmen kisah,
struktur kisah yang melingkupinya, dan signifier, signified dari kisah ini. Lalu
Nuansa mitos akan mengungkap pesan-pesan filosofis dari setiap fragmen.
Kedua Bagian ini akan memberikan pemaknaan pada kisah Aṣḥāb al-Sabt
#12
yang diurai melalui kitab tafsir, ataupun sumber lainnya yang menjelaskan
kisah tersebut.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari analisis yang telah
dikemukakan dan saran-saran yang dapat penulis sampaikan pada penelitian
ini.
BAB II SEMIOTIKA ROLAND BARTHES
Berbicara semiotika erat kaitannya dengan semiologi. Keduanya sulit
dibedakan, atau bahkan memang tidak ada yang berbeda sama sekali. Istilah
semiotika dan semiologi sesungguhnya mengandung pengertian yang sama persis.
Jika seseorang mengatakan semiologi, berarti ia merujuk kepada tradisi
Saussurean yang berkembang di Eropa. Oleh karena itu, dalam penerbitan-
penerbitan Prancis, istilah semiologie kerap dipakai. Seperti halnya buku Roland
Barthes yang memakai judul Elements de Semiologie karena ia termasuk pengikut
Saussure. Sedangkan istilah semiotika digunakan dalam kaitannya dengan karya
Charles Sanders Pierce yang berkembang di Amerika. Namun kemudian istilah
semiotika lebih populer dibandingkan dengan semiologi sehingga para penganut
Saussure pun sering menggunakannya. 1
Keputusan untuk hanya memakai istilah semiotika ini sesuai dengan
resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris bulan Januari 1969.
Pilihan ini kemudian dikukuhkan oleh Association for Semiotics Studies pada
kongresnya yang pertama tahun 1974. Dalam konteks ini, semiotics (dan
ekuivalensinya dalam bahasa Prancis semiotique) menjadi istilah untuk semua
peristilahan lama semiology dan semiotics. Atas dasar ini pula penulis 2
menggunakan istilah semiotika dalam kaitannya dengan Roland Barthes.
A. Semiotika
1. Pengertian
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. 3
Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau
menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai segala
Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 2.1
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 13.2
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.3
13
!14
apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya. Charles
Sanders Pierce menyebut tanda “sebagai suatu pegangan seseorang akibat
keterkaitan dengan tanggapan atau kapasitasnya”. Dasar dari semiotika 4
adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang
tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun seluruhnya terdiri
atas tanda-tanda. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling
fundamental bagi manusia. Sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-
gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta praktik sosial konvensional lainnya, dapat
dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna
yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi. 5
Menurut Saussure, semiotika adalah suatu ilmu yang mempelajari tanda-
tanda kehidupan dalam masyarakat yang bersifat dapat dipahami. Tujuannya 6
adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta
kaidah-kaidah yang mengaturnya. Kekhasan teori Saussure terletak pada 7
kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Sedangkan
menurut Charles Sanders Peirce, semiotika sinonim dengan logika, yang
mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori
Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda
memungkinkan seseorang berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan
memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Umberto 8
Eco mengatakan bahwa semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Maksudnya, jika 9
Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer (Yogyakarta: Tiara 4
Wacana Yogya, 2000), h. 1.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 13.5
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (New York: McGraw-Hill Book 6
Company, 1966), h. 16.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 12.7
Zoest, Serba-serbi Semiotika, h. 1.8
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna 9
(Bandung: Matahari, 2012), h. 44.
!15
semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia juga teori kebenaran, sebab
jika semua tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran, maka
ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan. Dengan kata
lain, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di
dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata
malam. Sementara itu, bagi Barthes, semiotika hendak mempelajari 10
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
signify) dalam hal ini t idak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. 11
2. Konsep Dasar Semiotika
Kajian semiotika sampai sekarang telah dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi
menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya
mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim,
penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang
dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan penekanan pada
teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiotika 12
signifikasi dikembangkan oleh Saussure, dan semiotika komunikasi
dikembangkan oleh Peirce. Pertama, Saussure mengatakan bahwa tanda-
tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra bunyi dan konsep, yang
selanjutnya ia istilahkan dengan penanda (signifiant) dan petanda (signifié). 13
Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang: 10
UIN-Malang Press, 2007), h. 10.
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Indonesiatera, 2001), h. 53.11
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.12
Saussure, Course in General Linguistics, h. 67.13
!16
Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan dari tanda itu sendiri, karena
penanda dan petandalah yang membentuk tanda. Bagi Saussure, hubungan
antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan
maupun ditetapkan. Hal ini tidak berarti bahwa pemilihan penanda sama
sekali meninggalkan pembicara namun lebih dari itu adalah “tak bermotif”,
yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah
dengan petanda. 14
Kedua, Charles Sanders Peirce yang mengatakan bahwa tanda-tanda
berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya. Keberadaannya memiliki
hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional
dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk
kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi
konvensional.
Perbedaan kunci model analisis semiotika antara Saussure dan Peirce yaitu
Saussure menggunakan istilah penanda dan petanda, sedangkan Peirce
menggunakan konsep trikotomi. Keduanya berkaitan dengan tanda-tanda dan
penanda-petanda, namun keduanya memiliki perspektif yang berbeda.
Tanda
Penanda (Siginifiant) Petanda (Siginifié)
Citra-bunyi Konsep
Tanda Ikon Indeks Simbol
Ditandai dengan:
Persamaan (kesamaan)
Hubungan Sebab-akibat
Konvensi
Contoh: Gambar-gambar, patung-patung tokoh besar.
Asap/api, Gejala/penyakit.
(Bercak merah/campak
Kata-kata, Isyarat
Proses Dapat dilihat Dapat diperkirakan
Harus dipelajari
Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, h. 12.14
!17
Terkait kearbitreran tanda-tanda, Peirce berbeda dengan Saussure. Bagi
Peirce, hubungan antara indeks dan ikon adalah alamiah. Jadi, asap bukan
semata-mata berasosiasi “secara konvensional” dengan api, dan representasi
ikon jelas bermotif. Hanya simbol-simbol yang tak bermotif. 15
B. Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
gigih mempraktikkan model semiotika Saussure. Ia juga intelektual dan
kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan
semiotika pada studi sastra. Sebagaimana dikutip Sobur, Barthes berpendapat
bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi
dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Konsep-konsep dasar 16
semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Signifier, Signified, Sign, dan Signification
Menurut Barthes, tanda (sign) merupakan satuan dasar bahasa yang
tesusun dari dua relasi yang tidak terpisahkan, yaitu penanda/citra bunyi
(signifier) dan petanda/konsep (signified). Substansi penanda (signifier) selalu
dikatakan bersifat material seperti bunyi-bunyi, objek, ataupun gambar.
Namun kemudian, materialitas signifier dibedakan atas materi dan substansi.
Substansi bisa saja tidak material (misalnya dalam kasus substansi isi). Ketika
berhadapan dengan beberapa sistem campuran yang melibatkan beberapa
materi yang berbeda-beda (bunyi dan gambar, objek dan tulisan, dsb), maka
orang harus menyatukan semua sign yang dibawa oleh materi yang satu dan
Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, h. 14-15.15
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63.16
!18
sama itu dibawah satu konsep sign tipikal, seperti sign verbal, sign grafis, sign
ikonis, dsb. Sedangkan petanda (signified) bukanlah suatu benda, tetapi 17
lebih kepada representasi mental dari benda itu. Signified merupakan salah
satu dari dua relata yang dimiliki sign. Untuk mengikat tanda/penanda/
petanda (sign/signifier/signified) sebagai sebuah kesatuan, diperlukan
konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa, menyangkut makna sebuah
tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu karena ada kesepakatan sosial di
antara komunitas bahasa. Sign berbeda dengan signifer, karena sign 18
merupakan kesatuan dari signifier dan signified (seperti halnya kedua
permukaan selembar kertas). Ini adalah suatu hal yang perlu diingat, karena
orang berkecenderungan menggunakan istilah sign untuk menyebut signifier,
padahal sign adalah suatu realitas berwajah dua. 19
Untuk lebih jelasnya, Barthes mencontohkan dengan kata “a bunch of
roses”. A bunch of roses (seikat mawar) ini menandakan sebuah passion
(gelora cinta). Maka a bunch of roses menjadi signifier, dan passion menjadi
signified. Pada level analisis, kombinasi keduanya menghasilkan istilah
ketiga, yaitu sign. Sebagai sebuah sign, a bunch of roses menjadi penuh
dengan makna dan dibebani oleh gelora cinta. Maka dalam hal ini, sign
terlihat berbeda dengan signifier, karena sign merupakan a bunch of roses
yang penuh gelora cinta, sedangkan signifier hanya a bunch of roses layaknya
tanaman biasa. 20
Roland Barthes, Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko 17
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 45-46.
Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, h. 250.18
Roland Barthes, Petualangan Semiologi, h. 37-38.19
Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1991), h. 111-112.20
Signifier A bunch of roses
Signified Passion
Sign A bunch of roses are weighted with passion perfectly
!19
Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) disebut
dengan signifikasi (signification). Signifikasi menekankan pada teori tanda 21
dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Segi pemahaman suatu
tanda merupakan hal yang diutamakan sehingga proses kognisinya pada
penerima tanda lebih diperhatikan. Signifikasi melingkupi seluruh kehidupan
kultural yang prosesnya didasari oleh sistem-sistem aturan yang berlaku
dalam konteks tertentu. 22
Tanda (sign) dan signifikasi (signification) terlihat mirip, tetapi keduanya
berbeda. Tanda (sign) lebih pada penyatuan antara penanda-petanda (signifier-
signified), sedangkan signifikasi (signification) merupakan hubungan
penanda-petanda (signifier-signified). 23
2. Denotasi dan Konotasi
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,
yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah sistem signifikasi tingkat
pertama yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara
tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini, adalah makna pada apa
yang tampak. Misalnya, foto Ahmad, berarti wajah Ahmad yang
Signification
Signifier Signified
Roland Barthes, Elements of Semiology, (New York: Hill and Wang, 1968), h. 48. 21
Ali Imron, Semiotika al-Qur`an, Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf 22
(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 21.
Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 50. 23
!20
sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi. 24
Konotasi adalah sistem signifikasi tingkat kedua yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap
berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang
terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti
perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga, ia mengkonotasikan
kasih sayang. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat
implisit, tersembunyi, inilah yang disebut makna konotatif. 25
Di dalam sistem signifikasi tingkat kedua ini, terdapat dua artikulasi yang
dibedakan berdasarkan pengembangan signifier maupun signified nya dalam
pemaknaan tingkat kedua. Barthes sempat menyebutkan istilah expression
untuk signifier dan content untuk signified. Namun yang akan dipakai pada 26
pembahasan ini hanya istilah signifier dan signified saja agar tidak
membingungkan, dan memang nyatanya tidak ada perbedaan pada kedua
istilah itu.
Pada artikulasi pertama, hubungan antara signifier dan signified pada
tingkat pertama (sign), menjadi signifier pada tingkat kedua yang kemudian
menghasilkan signified baru pada tingkat kedua. Dengan kata lain, telah
terjadi pengembangan pada signified. Ini disebut konotasi. Sedangkan pada
artikulasi kedua, hubungan antara signifier dan signified pada tingkat pertama
(sign), menjadi siginified pada tingkat kedua dan terjadi pengembangan pada
signifier. Ini disebut metabahasa. Inilah dua sudut artikulasi yang dibedakan
oleh Barthes. 27
Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 22.24
Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 22.25
Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 90. 26
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70.27
!21
Konotasi Metabahasa
Signifier pada sistem konotasi terbentuk dari sign (penggabungan dari
signifier dan signified) pada sistem denotasi. Dengan kata lain, beberapa tanda
dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk signifier yang ada dalam
sistem konotasi. Sementara itu, signified dalam sistem konotasi memiliki sifat
yang umum, global, dan menyeluruh, yang bisa dikatakan mengandung
sebuah ideologi. Signified memiliki hubungan yang sangat dekat dengan
budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, yang pada akhirnya ia adalah wujud
ideologi suatu tanda. 28
Perbedaan sistem konotasi dan metabahasa dapat lebih jelas ketika
dideskripsikan melalui contoh yang ada. Misalnya dalam metabahasa, makna
‘tempat para narapidana dikurung’, selain kata penjara, pengguna tanda
menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan.
Beberapa pelukis dapat menggambarkan ‘cinta’ dengan lukisan bunga, kain
putih, pasangan lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan, ibu yang
memeluk anaknya, dan banyak lagi jenis signifier untuk signified ‘cinta’. 29
Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 91. 28
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu, 29
2014), h. 25.
Signifier Signified
Signifier Signified
Signifier Signified
Signifier Signified
Signifier Lukisan bunga
Signified Cinta
Signifier Kain putih, pasangan lelaki
dan perempuan yang sedang berpelukan, ibu yang memeluk
anaknya, dll.
Signified Cinta
!22
Ketika satu signifier memiliki banyak signified, maka ini yang dinamakan
konotasi. Misalnya, kata penjara memiliki makna tempat menghukum orang
bersalah, lembaga yang mengubah orang jahat menjadi baik dan dapat
kembali hidup bermasyarakat, tempat menginap para pesakitan atas biaya
negara, dan signified lainnya untuk signifier ‘penjara’. 30
Terkait dua model sistem yang ditawarkan Barthes, yaitu sistem konotasi
dan metabahasa, penulis akan cenderung menggunakan sistem konotasi untuk
mendapatkan makna mitos dari pembahasan skripsi ini.
3. Analisa Mitos
Dalam Yunani kuno, mitos (mu`thos) berarti sebuah fiksi. Dewasa ini
biasanya dikaitkan dengan fiksi yang meliputi dewa atau kekuatan
supranatural, mitos juga memiliki makna umum dari cerita fiksi utama yang
pernah ada sejak zaman kuno. Dengan demikian mitos, sambil menunjukkan
apa yang fiktif, juga cenderung mengacu pada cerita yang memiliki daya tarik
dan kebenaran yang tampaknya abadi dan universal. 31
Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 26.30
Graham Allen, Roland Barthes (London: Routledge, 2003), h. 34.31
Signifier Penjara
Signified Tempat menghukum
orang bersalah
Signifier Penjara
Signified Lembaga yang mengubah orang
jahat menjadi baik dan dapat kembali hidup bermasyarakat,
tempat menginap para pesakitan atas biaya negara.
!23
Menurut Barthes, myth is a type of speech. Ia mengartikan mitos sebagai
cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara meng-
konseptualisasikan atau memahami suatu hal. Barthes menyebut mitos
sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Segala sesuatu dapat 32
menjadi mitos asalkan disampaikan dalam bentuk wacana. Seperti halnya
sebuah pohon yang akan berbeda maknanya ketika pohon itu dihias,
disesuaikan dengan jenis pemakaian tertentu, penuh dengan khayalan,
pemberontakan, imaji-imaji, singkatnya dengan jenis penggunaan sosial yang
ditambahkan ke materi murni. 33
Dalam mitos terdapat pola tiga dimensi, yaitu penanda (signifier), petanda
(signified), dan signifikasi (signification), namun sebagai suatu sistem yang
unik mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya
atau, dengan kata lain mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua. 34
Dalam Mythologies-nya, Barthes memberi contoh dari salinan sampul
majalah Paris-Match yang ditawarkan kepadanya di barber
shop. Foto sampul itu menunjukkan seorang pria kulit
hitam muda berpakaian seragam militer Prancis, matanya
terangkat, mungkin tertuju pada bendera Prancis. Realitas
foto itu tampaknya tak terbantahkan: pria kulit hitam muda
ini adalah seorang tentara Prancis yang tertangkap kamera
sedang hormat pada saat tertentu.
Namun, ada makna lain, yang oleh Barthes digambarkan sebagai gagasan:
"Prancis adalah Kekaisaran yang hebat, bahwa semua anak laki-lakinya, tanpa
diskriminasi warna, setia melayani di bawah benderanya, dan bahwa tidak ada
jawaban yang lebih baik bagi para pencela dugaan kolonialisme daripada
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 224.32
Roland Barthes, Mythologies, h. 107.33
Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 23.34
!24
semangat yang ditunjukkan oleh orang Negro ini dalam melayani
penindasnya.”. 35
Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem semiotik
tingkat pertama sebagai landasannya. Jadi, mitos adalah sejenis sistem ganda
dalam sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.
Untuk menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil
seluruh sistem tanda tingkat pertama sebagai signifier. Kesimpulan dari
Signifer
Sampul majalah
Paris-Match
Signified
Foto seorang pria kulit
hitam berpakaian seragam militer Prancis, matanya terangkat keatas.
Sign
Foto seorang tentara Prancis berkulit hitam yang
tertangkap kamera pada momen tertentu sedang hormat kepada bendera
Prancis.Form Concept
Semua anak laki-laki Prancis, tanpa diskriminasi
warna, setia melayani di bawah benderanya.
Signification
Prancis adalah kekaisaran yang hebat. Negara yang inklusif dan terpadu. Simbol patriotisme Prancis
Roland Barthes, Mythologies, h. 115.35
} Mitos
} Denotasi
!25
kerangka berpikir Barthes bahwa mitos adalah sejenis konotasi. Dari skema 36
yang diberikan Barthes, bahwa sign pada tingkat pertama dijadikan signifier
bagi sistem tanda tingkat dua. Dengan kata lain, tanda denotatif sebagai sign
tingkat pertama yang terdiri atas signifier dan signified, pada saat bersamaan
menjadi signifier bagi tanda konotatif. 37
Barthes kemudian membedakan istilah pada dua sistem semiotiknya.
Sistem denotasi terdiri dari signifier, signified, dan sign, sedangkan pada
sistem mitos memakai istilah form, concept, dan signification. Hal ini
dilakukan semata-mata untuk menghilangkan ambiguitas istilah dari kedua
sistem yang ada. 38
C. Disposisi-disposisi Operatori
Roland Barthes lebih memilih istilah ini dibandingkan dengan
menggunakan istilah metode. Menurutnya, istilah metode akan lebih
mengintimidasi, karena ia sendiri tidak yakin apakah ini memang suatu metode.
Tetapi memang ada sejumlah disposisi operatori dalam analisis stuktural karya
sastra yang dirumuskan ke dalam tiga operasi : 39
1. Pemotongan Teks, yaitu pemotongan terhadap penanda-penanda pada wacana
naratif. Pemotongan ini adalah sejenis pengkotakkan teks yang menghasilkan
serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Fragmen-fragmen ini disebut
leksia yaitu unitas-unitas pembacaan. Pemotongan ini sepenuhnya bersifat
arbitrer. Dalam al-Qur’an sebuah ayat dapat disebut leksia.
2. Inventaris yaitu kode-kode yang disebutkan dalam teks. Bagian ini berupaya
untuk menginventarisasi makna-makna yang ada dalam leksia-leksia.
Menurut Roland Barthes, di dalam teks terdapat operasi lima kode pokok
Roland Barthes, Mythologies, h. 115.36
Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 92.37
Roland Barthes, Mythologies, h. 115.38
Roland Barthes, Petualangan Semiologi, h. 349.39
!26
yang di dalamnya semua penanda tekstual dapat dikelompokkan. Kelima
kode tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kode hermeneutik, adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara
berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya,
serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut
atau justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang
menyusun semacam teka-teki dan sekedar memberi isyarat bagi
penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode
penceritaan yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum
memberikan pemecahan atau jawaban.
b) Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat,
petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda
tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa
yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai tema atau
struktur tematik.
c) Kode simbolik merupakan kode pengelompokkan atau konfigurasi yang
gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara
teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa
serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan
panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur
simbolik.
d) Kode proairetik merupakan kode tindakan atau aksi. Kode ini didasarkan
atas konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau
akibat dari suatu tindakan secara rasional. Hal ini mengimplikasikan
suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan yang membuahkan
dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik
tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan.
e) Kode kultural atau referensial adalah kode yang berwujud sebagai
semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari
!27
pengalaman manusia yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang
hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang
diterima umum. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau
kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks atau yang menyediakan
semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. 40
3. Koordinasi, yaitu menetapkan korelasi-korelasi unitas-unitas, korelasi fungsi-
fungsi yang berhasil ditemukan dan yang sering terpisah-pisah. Ada dua tipe
korelasi yaitu korelasi-korelasi internal dan korelasi-korelasi eksternal.
Korelasi internal merupakan korelasi yang terdapat di dalam teks, sedangkan
korelasi eksternal adalah sebuah intertekstualitas.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui kunci-kunci teori semiotika
Barthes terdiri dari signifier dan signified, denotasi dan konotasi, serta konsep
mitos. Dalam melakukan pembacaan, Barthes memiliki dua sistem tingkatan
makna dari pengembangan konsep yang dirumuskan Saussure. Sistem tingkat
pertama terdiri dari signifier, signified, dan sign, sedangkan sistem semiotik
tingkat kedua terdiri dari form, concept, dan signification. Mitos berada dalam
sistem semiotik tingkat kedua dimana di dalamnya dapat terungkap makna-makna
baru dari makna yang sudah ada. Penjelasan mengenai langkah-langkah untuk
membangun dua sistem semiotik ini dijelaskan dalam disposisi operatori yang
disusun Barthes. Langkah ini dimulai dengan memotong teks menjadi beberapa
fragmen yang bersifat arbitrer, kemudian menginventarisasikan kode-kode yang
berada dalam teks sesuai lima kode yang sudah dijelaskan, baru kemudian teks
tersebut dianalisis dengan dua tingkatan pembacaan makna hingga menemukan
makna mitos dari teks tersebut.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 65.40
BAB III
KISAH AṢḤĀB AL-SABT
Al-Qur’an memang bukanlah kitab sejarah atau buku sastra, namun perlu
diakui bahwa al-Qur’an banyak memuat kisah atau cerita sejarah dengan gaya
bahasa yang sangat indah. Kisah dalam al-Qur’an memiliki gaya dan cara
tersendiri dalam penuturannya. Dari segi isi misalnya, al-Qur’an tidak menyusun
rangkaian kronologis suatu peristiwa yang merangkai jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan apa, siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa seperti lazimnya cerita
sejarah. Namun fokus penyampaian kisah dalam al-Qur’an lebih kepada apa
akibatnya dan bagaimana sifat-sifat pelakunya. 1
Kisah-kisah dalam al-Qur’an mengandung maksud dan tujuan dasar
diceritakannya kisah tersebut. Inilah yang menjadi pembeda dengan kisah-kisah
lain yang terkadang hanya memaparkan suatu kisah untuk menceritakan riwayat
orang-orang di masa lalu dan merekam kehidupan serta urusan-urusan mereka
saja. Melalui kisah, nasihat yang terkadang monoton akan dapat lebih menarik 2
perhatian jika digambarkan dengan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan,
sehingga orang tidak akan bosan mendengarkan dan memperhatikannya, yang
kemudian merasa rindu dan ingin tahu tentang apa yang dikandung dari kisah
tersebut. Akhirnya, kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang akan
mempengaruhinya. 3
A. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Al-Qur`an
Kisah berasal dari kata al-qaṣṣu yang berarti mencari atau mengikuti
jejak. Kata al-qaṣaṣ adalah bentuk masdar, seperti firman Allah: 4
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 107.1
M. Baqir Hakim, Ulumul Quran (Jakarta: Al Huda, 2012), h. 515.2
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 300.3
Abī Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukarram bin Manẓur al-Miṣrī, Lisān al-‘Arab 4
(Beirut: Dār Ṣādr), h. 74.
'28
'29
5قال ذلك ما كن2ا نبغ فارتد2ا على آثارهما قصصا (٦٤)
“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
Maksudnya, kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk mengikuti
jejak dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa,
6وقالت Vخته قصSيه فبصرت به عن جنب وهم I يشعرون (۱۱)
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya,.”
Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang
mengambilnya. Qaṣaṣ al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal-
ihwal umat yang telah lalu, kenabian yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang
kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan
peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka
dengan cara yang menarik dan mempesona. 7
Kisah-kisah al-Qur’an memiliki fungsi dan tujuan tersendiri yang
dijelaskan dalam beberapa ayatnya. Seperti pada QS. Ṭaha/20: 99 bahwa
Allah SWT menyebut kisah-kisah orang terdahulu sebagai żikr (peringatan).
Ini berarti bahwa sejarah adalah peringatan agar manusia tidak berbuat
sesuatu yang mengakibatkan kerugian pada dirinya. Dalam ayat lain Allah
menunjukkan bahwa kisah dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal seperti yang disebutkan dalam QS. Yusuf/12: 111 dan
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa seperti dalam QS. Al-
Baqarah/2: 66. Ringkasnya, kisah dalam al-Qur`an berfungsi sebagai
pelajaran, peringatan, janji, dan ancaman. Oleh karena itulah, dalam berkisah
QS. Al-Kahf/18: 64.5
QS. Al-Qaṣaṣ/28: 11.6
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an, h. 300.7
'30
tentang masa lalu, al-Qur`an selalu mewarnainya dengan nasihat, bimbingan,
peringatan, dan ancaman. 8
Berdasarkan objeknya, kisah dalam al-Qur’an dapat terbagi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya,
mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang
memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta
akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan
yang mendustakan. Misalnya kaum Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa,
Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya.
Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu
jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam,
Aṣḥāb al-Kahf, Żulqarnain, Aṣḥāb al-Sabt, Maryam, Aṣḥāb al-Ukhdūd,
Aṣḥāb al-Fīl, dan lain-lain.
3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surat
Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surat al-Taubah, perang Ahzab
dalam surat al-Aḥzāb, dll. 9
Jika berdasarkan gambaran ceritanya, kisah dalam al-Qur’an dapat terbagi
menjadi, pertama, kisah yang ditunjukkan tempatnya, tokohnya, dan
gambaran kisahnya. Kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa atau keadaan
tertentu dari pelaku sejarah tanpa menyebutkan namanya dan tempat
kejadiannya. Ketiga, kisah dalam bentuk dialog yang juga tidak disebutkan
siapa pelakunya dan di mana terjadinya. 10
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 136-137.8
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an, h. 301.9
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 130.10
'31
Kisah Aṣḥāb al-Sabt seperti pada penjelasan di atas termasuk kisah yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan
tidak menyebutkan nama dan tempat kejadiannya. Istilah Aṣḥāb al-Sabt
sendiri penulis temukan dalam QS. Al-Nisa/4: 47 ketika Allah
memperingatkan Ahli Kitab untuk beriman kepada apa yang sudah diturunkan
kepada mereka, jika mereka tidak ingin sama nasibnya seperti Aṣḥāb al-Sabt.
Untuk menelusuri secara komprehensif terkait kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam
al-Qur`an, langkah pertama yang penulis lakukan adalah dengan melihat kitab
al-Mu‘jam al-Mufahras li alfaẓ al-Qur’an dengan kata yang ditelusuri yaitu
kata سبت. Pencarian tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut: 11
Hasil yang didapatkan kemudian diurutkan sesuai dengan tartib nuzul
dalam al-Qur’an. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa QS. Al-A‘rāf
adalah surat yang pertama kali turun di antara tema Aṣḥāb al-Sabt yang lain. 12
Hal ini sangat sesuai karena memang pada QS. Al-A‘rāf lah dijelaskan kisah
tersebut dengan penjelasan yang paling rinci. Setelah umat Islam mengetahui
kisah Aṣḥāb al-Sabt melalui ayat tersebut, lalu ayat-ayat yang datang
setelahnya berfungsi sebagai peringatan agar tidak berbuat seperti apa yang
Tartib Nuzul
Nama SuratMakkiyah/ Madaniyah
No. Ayat
Tartib Mushaf
Potongan Ayat
39 Al-A’rāf Makkiyah 163 7 إذ يعدون في الس2بت إذ تأتيهم حيتانهم يوم سبتهم
42 Al-Furqān Makkiyah 47 25 وهو ال2ذي جعل لكم الل2يل لباسا والن2وم سباتا
70 Al-Naḥl Makkiyah 124 16 إن2ما جعل الس2بت على ال2ذين اختلفوا فيه
80 Al-Naba` Makkiyah 9 78 وجعلنا نومكم سباتا
87 Al-Baqarah Madaniyah 65 2 ولقد علمتم ال2ذين اعتدوا منكم في الس2بت
92 `Al-Nisā Madaniyah 47 4 فنرد2ها على أدبارها أو نلعنهم كما لعن2ا أصحاب الس2بت
92 `Al-Nisā Madaniyah 154 4 وقلنا لهم I تعدوا في الس2بت وأخذنا منهم ميثاقا غليظا
M. Fuad ‘Abd al-Baqi‘, al-Mu‘jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur`an al-Karīm (Kairo: 11
Dar al-Kitab, 1364), h. 338.
Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Resalah Publisher, 2008), h. 12
34.
'32
sudah dilakukan Aṣḥāb al-Sabt dan menjadikan kisah mereka sebagai
pelajaran.
Ketujuh ayat di atas yang menyinggung kata sabt akan penulis lihat satu
per-satu tafsirnya guna mengetahui adanya hubungan dengan kisah Aṣḥāb al-
Sabt. Hal ini dilakukan karena penyusunan kitab-kitab tafsir kebanyakan
mengikuti tartib mushaf yang dimulai dari surat al-Fātihah sampai al-Nās.
Jadi, terkadang mufassir menjelaskan kisah Aṣḥāb al-Sabt dengan panjang
lebar dalam QS. Al-Baqarah dan hanya menjelaskan sisanya pada QS. Al-
A‘rāf, atau sebaliknya, dan bisa juga dijelaskan dalam QS. Al-Nisā,
tergantung pada bagian mana mufassir tersebut menjelaskan dengan detail
keseluruhan kisahnya. Maka dari itu, ketujuh ayat yang penulis kemukakan
akan tetap penting dan dapat menjadi sumber untuk menjelaskan kisah Aṣḥāb
al-Sabt.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan ayat-ayat terkait sesuai
dengan tartib nuzul yang dimulai dari QS. Al-A‘rāf/7: 163-166.
واسoألoهم عoن الoقريoة الo2تي كoانoت حoاضoرة البحoر إذ يoعدون فoي السo2بت إذ تoأتoيهم حoيتانoهم
يoوم سoبتهم شoر2عoا ويoوم I يسoبتون I تoأتoيهم كoذلoك نoبلوهoم otا كoانoوا يoفسقون (۱٦۳)
وإذ قoالoت أمo2ة مoنهم لoم تoعظون قoومoا الoل2ه مهoلكهم أو مoعذSبoهم عoذابoا شoديoدا قoالoوا مoعذرة
إلoى ربoSكم ولoعل2هم يoت2قون (۱٦٤) فoلم2ا نoسوا مoا ذكoSروا بoه أoyينا الo2ذيoن يoنهون عoن الoسxوء
وأخoذنoا الo2ذيoن ظoلموا بoعذاب بoئيس otا كoانoوا يoفسقون (۱٦٥) فoلم2ا عoتوا عoن مoا نoهوا عoنه
13قلنا لهم كونوا قردة خاسئ~ (۱٦٦)
“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab
QS. Al-A‘rāf/7: 163-166.13
'33
mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”.
Ayat di atas cukup jelas menerangkan tentang kisah kaum terdahulu yang
pernah melanggar pada hari Sabtu, yang pada hari itulah ikan-ikan banyak
terapung di permukaan air laut. Sedangkan pada hari yang lain ikan-ikan
tersebut tidak bermunculan. Lalu ayat selanjutnya menyebutkan suatu kaum
yang menasihati orang-orang yang berbuat zalim, satu kaum yang lain malah
menegur kaum yang menasihati itu. Cerita ini diakhiri dengan kutukan kera
yang ditimpakan kepada kaum yang zalim. Kemudian dalam surat yang lain
dengan kata sabt yang penulis telusuri, didapatkan padanan kata sabt dalam
QS. Al-Furqān/25: 47 dan QS. Al-Naba`/78: 9.
14وهو ال2ذي جعل لكم الل2يل لباسا والن2وم سباتا وجعل الن2هار نشورا
“Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”
15وجعلنا نومكم سباتا
“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat”
Dua ayat ini menjelaskan derivasi kata sabt, yaitu subātan yang artinya
istirahat. Ayat ini memang tidak terikat dengan kisah Aṣḥāb al-Sabt, tetapi
penjelasan kata sabt dan subātan akan membantu penulis dalam memaknai
lebih jauh kata sabt itu sendiri.
Kisah mengenai kaum yang dikutuk menjadi kera seringkali dijadikan
peringatan oleh Allah kepada kaum-kaum setelahnya. Hal ini dibuktikan
dengan peringatan-peringatan Allah yang tertulis dalam empat ayat yang
QS. Al-Furqān/25: 47.14
QS. Al-Naba’/78: 9.15
'34
terletak di tiga surat yang berbeda dalam al-Qur’an. Ayat-ayat itu di antaranya
QS. Al-Naḥl/16: 124, QS. Al-Baqarah/2: 65, QS. Al-Nisā’/4: 47 dan 154.
إنo2ما جoعل السo2بت عoلى الo2ذيoن اخoتلفوا فoيه وإن2 ربo2ك لoيحكم بoينهم يoوم الoقيامoة فoيما كoانoوا
16فيه يختلفون
“Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.”
17ولقد علمتم ال2ذين اعتدوا منكم في الس2بت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئ~
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina”
يoا أيoxها الo2ذيoن أوتoوا الoكتاب آمoنوا otا نoز2لoنا مoصدSقoا oÅا مoعكم مoن قoبل أن نoطمس وجoوهoا
18فنرد2ها على أدبارها أو نلعنهم كما لعن2ا أصحاب الس2بت وكان أمر الل2ه مفعول
“Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.”
ورفooعنا فooوقooهم الooطxور ootيثاقooهم وقooلنا لooهم ادخooلوا الooباب سجoo2دا وقooلنا لooهم I تooعدوا فooي
19الس2بت وأخذنا منهم ميثاقا غليظا
“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”
QS. Al-Naḥl/16: 124.16
QS. Al-Baqarah/2: 65.17
QS. Al-Nisā’/4: 47.18
QS. Al-Nisā’/4: 154.19
'35
B. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Kitab Tafsir
Berdasarkan informasi yang sudah didapatkan, kisah Aṣḥāb al-Sabt
termasuk kisah yang tidak disebutkan secara jelas nama dan tempat
kejadiannya di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung kisah tersebut.
Uraian kisah ini akan dapat lebih terungkap ketika membaca kitab-kitab tafsir
klasik maupun kontemporer. Namun dikarenakan subjek kisah Aṣḥāb al-Sabt
mengarah kepada Bani Israil, kemungkinan besar akan banyak riwayat 20
Israiliyat yang masuk ke dalam penjelasan tafsir tersebut.
Israil merupakan gelar yang ditunjukkan kepada Nabi Ya‘qub. Ia adalah
nenek moyang bangsa Yahudi, karena kedua belas suku bangsa Yahudi yang
berinduk kepadanya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Israiliyat berarti
seorang raja, pejuang di jalan Allah. Israiliyat adalah lafaz jamak dari
Israiliyah. Al-Qaṭṭān mendefinisikan Israiliyat dengan berita-berita yang 21
diceritakan Ahli Kitab yang masuk Islam, baik dari Yahudi maupun Nasrani.
Namun penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena interaksi
mereka dengan kaum Muslimin telah dimulai semenjak kelahiran Islam
terutama pasca hijrah ke Madinah. 22
Penggunaan Israiliyat dalam penafsiran al-Qur`an sudah dilakukan sejak
zaman sahabat yang ketika itu banyak para tokoh mufassir al-Qur’an yang
bertanya dan menerima keterangan dari Ahli Kitab yang telah masuk Islam.
Ibn Abbas termasuk yang cukup banyak menggunakan Israiliyat dalam karya
tafsirnya. Kemudian berlanjut pada masa tabi‘in yang perhatiannya kepada
Israiliyat semakin meningkat, karena diikuti pula oleh semakin banyaknya
Ahli Kitab yang masuk Islam. Kebanyakan mufassir pada masa tabi‘in tidak
Noor Akmaldin, Al-Qur`an tematis: Kisah-kisah dalam al-Qur’an 2 (Jakarta: Yayasan 20
SIMAQ, 2010), h. 89.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 104. 21
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an, h. 345.22
'36
mengoreksi secara kritis lebih dahulu kutipan cerita-cerita Israiliyat itu,
padahal di antaranya terdapat yang tidak benar dan batil. 23
Hal ini berbeda dengan para sahabat yang cukup berhati-hati terhadap
Israiliyat sesuai dengan pesan Rasulullah SAW:
حoد2ثoنا محoم2د بoن بoش2ار حoد2ثoنا عoثمان بoن عoمر أخoبرنoا عoليx بoن اoÅبارك عoن يoحيى بoن أبoي كoثير
عoن أبoي سoلمة عoن أبoي هoريoرة رضoي الoل2ه عoنه قoال كoان أهoل الoكتاب يoقرءون الoت2وراة بoالoعبرانoي2ة
ويفسooSرونooها بooالooعربooي2ة Vهooل اÜسÖooم فooقال رسooول الooل2ه صooل2ى الooل2ه عooليه وسooل2م I تooصدSقooوا أهooل
الكتاب وI تكذSبوهم وقولوا آمن2ا بالل2ه وما أنزل إلينا اáية
“Janganlah kamu membenarkan (berita-berita yang dibawa) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. Bukhari) 24
Lebih jauh, terkadang terjadi dialog antara mereka dengan Ahli Kitab itu
tentang sesuatu rincian kisah-kisah tersebut. Para sahabat menerima sebagian
rincian kisah itu selama tidak menyentuh masalah akidah dan hukum. Mereka
pun terkadang menceritakannya juga, karena menurut mereka, hal tersebut
diperkenankan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
حoد2ثoنا أبoو عoاصoم الoض2ح2اك بoن مخoلد أخoبرنoا اVوزاعoيx حoد2ثoنا حoس2ان بoن عoطي2ة عoن أبoي كoبشة
عoن عoبد الoل2ه بoن عoمرو أن2 الoن2بي2 صoل2ى الoل2ه عoليه وسoل2م قoال بoلSغوا عoنSي ولoو آيoة وحoدSثoوا عoن بoني
إسرائيل وI حرج ومن كذب علي2 متعمSدا فليتبو2أ مقعده من الن2ار
“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil, karena yang demikian itu tidak dilarang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari) 25
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 109.23
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Tafsīr al-Qur’an Surat al-Baqarah, Bab Qū Lū 24
Āmannā Billāhi wamā Unzila Ilaina No. 4485 (Beirut: Dār Al-Fikr, 2003), h. 133-134.
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Aḥādiṡ al-Anbiyā`, Bab Mā Żukiru min Banī Isrā’īl 25
No. 3461, h. 370.
'37
Maksudnya, ceritakanlah dari Bani Israil sesuatu yang tidak kamu ketahui
kedustaannya. Adapun pengertian hadis pertama, “Janganlah kamu
membenarkan Ahli Kitab dan janganlah pula mendustakannya….” diterapkan
pada hal-hal yang diceritakan mereka itu, mungkin benar dan mungkin pula
dusta. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara kedua hadis tersebut. 26
Terkait penafsiran kisah Aṣḥāb al-Sabt, penulis menemukan beberapa
riwayat dari ibn ‘Abbas yang berusaha menguraikan kisah itu dengan jelas.
Ibn ‘Abbas sendiri termasuk tokoh mufassir di kalangan sahabat yang banyak
menggunakan riwayat Israiliyat. Karena materi yang akan penulis bahas ini 27
adalah kisah yang tidak menyentuh masalah akidah dan hukum, maka
berdasarkan argumentasi di atas, penulis akan mengemukakan riwayat-
riwayat yang menjelaskan keseluruhan kisah Aṣḥāb al-Sabt, meskipun di
kemudian hari diketahui bahwa itu bersumber dari Israiliyat.
Uraian kisah Aṣḥāb al-Sabt ini akan diambil dari kitab-kitab tafsir dari
berbagai generasi, baik klasik maupun kontemporer. Al-Ṭabari, Sayyid Quṭb,
Ṭabaṭaba’i, Quraish Shihab adalah mufassir-mufassir yang akan penulis
jadikan rujukan utama melalui kitab tafsirnya. Pertama, Al-Ṭabari dengan
kitab tafsirnya Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āyi al-Qur’ān adalah seorang tokoh
terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Selain menulis kitab tafsir,
ia pun seorang pakar sejarah dan pakar hadis. Dalam penafsirannya, al-28
Ṭabari terlebih dahulu mengemukakan pendapat-pendapat mengenai tafsir
atau ta‘wil suatu ayat, lalu ia menafsirkannya berdasarkan kepada pandangan
sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan secara lengkap yakni dengan metode
tafsir bi al-ma’ṡur. Terkadang ia pun menunjukkan dukungannya terhadap
Ahlusunnah wal-Jama‘ah ketika membantah pandangan beberapa mazhab
kalam. 29
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur`an, h. 344-345.26
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 107.27
Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir 28
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 67.
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur`an, h. 353.29
'38
Kedua, Sayyid Quṭb, seorang kritikus sastra ternama dengan kitab
tafsirnya fī Ẓilāl al-Qur`an. Ia termasuk salah seorang pemimpin Ikhwanul
Muslimin, maka tidak heran corak penafsirannya adalah corak haraki
(perjuangan). Selain memakai sumber penafsiran bi al-ma’ṡur, ia pun
memakai sumber tafsir bi al-ra’yi (logika). Ketiga, Ṭabaṭaba’i yang 30
merupakan tokoh ulama Syi’ah yang menulis kitab tafsir al-Mizan. Prestasi
akademiknya tidak diragukan lagi ketika ia dikenal sebagai seorang filosof
dan sekaligus insan spiritual, religius, dan mistis. Keempat, M. Quraish 31
Shihab yang merupakan seorang mufassir kenamaan dari Indonesia dengan
kitab tafsirnya al-Misbah. Dalam penyusunan tafsirnya, ia menggunakan
urutan mushaf Usmani yang dimulai dari surat al-Fātiḥah sampai dengan al-
Nās. Nuansa penafsirannya adalah masyarakat dan sosial. Maksudnya,
Quraish Shihab dalam penafsirannya selalu berusaha untuk dapat menjawab
problem-problem kekinian yang sedang ada di masyarakat dan membutuhkan
penyelesaian. Keempat tokoh mufassir ini memiliki ragam keunikan 32
tersendiri dalam hal corak penafsiran, aliran kalam, dan sumber yang mereka
gunakan. Hal tersebut diharapkan dapat memperkaya penafsiran kisah Aṣḥāb
al-Sabt yang akan dibahas.
Aṣḥāb al-Sabt adalah penduduk suatu negeri yang berada di dekat laut dan
melanggar aturan pada hari Sabtu. Adapun alasan penyebutan kata negeri 33
sebagai pengganti dari penyebutan penduduknya, karena biasanya sebuah
negeri itu adalah tempat para penduduknya menetap dan tempat mereka
berkumpul. Oleh karena itu, penyebutan negeri dianggap sudah cukup untuk
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: 30
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 132-139.
Ṭabaṭaba’i, Tafsir al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, Jilid. 1 (Jakarta: Lentera, 2010), h. 11-13.31
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”. Hunafa: 32
Jurnal Studi Islamika 11, no.1 (2014): 123-124.
QS. Al-Nisa/4: 47, QS. Al-A‘rāf/7: 163.33
'39
mewakili penduduknya. Makna yang sama juga disebutkan pada firman 34
Allah SWT:
35واسأل القرية ال2تي كن2ا فيها والعير ال2تي أقبلنا فيها وإن2ا لصادقون
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".
Ada perbedaan pendapat terkait negeri yang ditempati oleh Aṣḥāb al-Sabt.
Beberapa ulama mengatakan bahwa negeri itu adalah Ailah. Pendapat ini
disampaikan oleh Ibn ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Abdullah ibn Kaṣir, Al-Suddi,
Mujahid, dan Qatadah. Ada yang berpendapat bahwa negeri tersebut bernama
Maqna, yang terletak di antara Madyan dan ‘Ainuni. Pendapat ini
disampaikan oleh Ibn Zaid. Riwayat lain dari Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa
negeri itu adalah Madyan, yang terletak di antara Ailah dan bukit Ṭur. 36
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, riwayat yang mengatakan negeri itu
adalah Ailah berjumlah delapan. Sedangkan negeri Maqna hanya memiliki
satu riwayat, begitu pula negeri Madyan dengan hanya satu riwayat dari Ibn
‘Abbas yang menyelisihi riwayat lainnya yang lebih banyak.
Aṣḥāb al-Sabt hidup pada zaman Nabi Daud , hal ini sebagaimana firman 37
Allah SWT dalam QS. Al-Mā`idah/5: 78
لoعن الo2ذيoن كoفروا مoن بoني إسoرائoيل عoلى لoسان داوود وعيسoى ابoن مoرé ذلoك otا عoصوا
وكانوا يعتدون
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, terj. Sudi Rosadi (dkk) (Jakarta: Pustaka Azzam, 34
2008), h. 754.
QS. Yusuf/12: 82.35
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 11, terj. Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 36
2008), h. 655-658. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, h. 756.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1 37
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 212. Lihat juga Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, terj. Ahsan Askan, h. 50. Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, h. 760.
'40
Karena terjadi pada zaman Nabi Daud, maka kisah Aṣḥāb al-Sabt tidak
tercantum dalam kitab Taurat, tetapi kisah itu sangat populer dan diketahui
oleh para pemuka agama Yahudi. Oleh karena itu, Allah menyampaikannya
kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat yang berkaitan dengan
pemberitaan gaib. 38
Kisah mereka dimulai ketika mereka melakukan pelanggaran pada hari
Sabtu. Hari Sabtu merupakan hari yang disucikan bagi mereka di mana 39
mereka tidak dibolehkan bekerja mencari penghidupan, termasuk kegiatan 40
memancing ikan. Hal tersebut merupakan perjanjian Aṣḥāb al-Sabt dengan 41
Allah bahwa hari Sabtu adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah.
Penetapan hari khusus untuk beribadah itu bukanlah tanpa perselisihan di
antara mereka. Awalnya mereka diperintahkan untuk mengagungkan hari 42
Jum’at dengan berbagai keutamaannya dibandingkan dengan hari-hari
lainnya. Tetapi menurut mereka, hari Sabtu lah yang lebih utama karena Allah
selesai dari penciptaan pada hari itu, hingga akhirnya Allah menyetujui hari
yang mereka pilih. Riwayat lain mengatakan bahwa pada mulanya mereka 43
memang menginginkan hari Jum‘at sebagai hari khusus beribadah, tetapi
mereka melanggarnya. Maka mereka memilih hari Sabtu yang kemudian
Allah mewajibkannya bagi mereka. 44
Perselisihan mereka terkait hari khusus beribadah itu diperkuat pula oleh
hadiṡ Rasulullah SAW berikut:
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 213.38
Ṭabaṭaba’i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 299. Lihat juga Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-39
Qur`an, Juz 1, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2003), h. 203.
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 1, h. 203.40
Ṭabaṭaba`i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 299. Lihat juga Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, 41
h. 284.
QS. Al-Nahl/16: 124.42
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 16 , h. 385. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, 43
Juz 12, h. 495.
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 16 , h. 386-387.44
'41
وحoد2ثoنا قoتيبة بoن سoعيد ، وزهoير بoن حoرب ، قoاI : حoد2ثoنا جoريoر ، عoن اVعoمش ، عoن أبoي
صoالoح ، عoن أبoي هoريoرة ، قoال : قoال رسoول الoل2ه صoل2ى الoل2ه عoليه وسoل2م : " نoحن اáخoرون
اVو2لoون يoوم الoقيامoة ، ونoحن أو2ل مoن يoدخoل اoíن2ة ، بoيد أنo2هم أوتoوا الoكتاب مoن قoبلنا ،
وأوتoيناه مoن بoعدهoم فoاخoتلفوا فهoدانoا الoل2ه oÅا اخoتلفوا فoيه مoن اoîقS ، فهoذا يoومoهم الo2ذي
اخoتلفوا فoيه هoدانoا الoل2ه لoه " ، قoال : " يoوم اoíمعة فoالoيوم لoنا ، وغoدا لoليهود ، وبoعد غoد
" للن2صارى
“Kita adalah umat terakhir dan umat pertama pada hari Kiamat kelak. Kita adalah orang yang pertama-tama masuk ke dalam surga padahal mereka diberi kitab sebelum kita sedangkan kita diberi kitab setelah mereka. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang kitab itu, sedangkan kita diberi petunjuk oleh Allah tentang apa yang mereka perselisihkan berupa kebenaran. Ini adalah hari yang mereka perselisihkan yang kemudian Allah memberi kita petunjuk tentang hal itu. Beliau bersabda, hari Jum’at adalah hari kita, besok hari orang-orang Yahudi dan lusa adalah hari orang-orang Nasrani. (HR. Muslim) 45
Penetapan hari Sabtu sebagai hari khusus beribadah ini akhirnya menjadi
suatu perjanjian yang kokoh, dan dimasukkan ke dalam sembilan perintah bagi 46
orang-orang Yahudi , sebagaimana hadiṡ berikut: 47
حoد2ثoنا أبoو كoريoب حoد2ثoنا عoبد الoل2ه بoن إدريoس وأبoو أسoامoة عoن شoعبة عoن عoمرو بoن مoر2ة عoن عoبد
الoل2ه بoن سoلمة عoن صoفوان بoن عoس2ال قoال قoال يoهوديñ لoصاحoبه اذهoب بoنا إلoى هoذا الoن2بيS فoقال
صoاحoبه I تoقل نoبيñ إنo2ه لoو سoمعك كoان لoه أربoعة أعo~ فoأتoيا رسoول الoل2ه صoل2ى الoل2ه عoليه وسoل2م
فoسأIه عoن تoسع آيoات بoيSنات فoقال لoهم I تشoركoوا بoالoل2ه شoيئا وI تسoرقoوا وI تoزنoوا وI تoقتلوا
الoن2فس الo2تي حoر2م الoل2ه إلo2ا بoاoîقS وoò Iشوا بoبريء إلoى ذي سoلطان لoيقتله وI تسحoروا وI تoأكoلوا
الoرSبoا وI تoقذفoوا مoحصنة وI تoولoxوا الoفرار يoوم الoز2حoف وعoليكم خoاصo2ة الoيهود أن I تoعتدوا فoي
Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Jumu’ah, Bab Hidāyah Hāżihi al-Ummati li Yaumi 45
al-Jumu’ah No. 1864 (Beirut: Dār Al-Fikr, 2003), h. 7.
QS. Al-Nisa/4: 154.46
Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 1, ter. Fathurrahman (dkk), h. 958.47
'42
السo2بت قoال فoقب2لوا يoده ورجoله فoقاI نشهoد أنo2ك نoبيñ قoال فoما oöنعكم أن تoت2بعونoي قoالoوا إن2 داود
دعoا ربo2ه أن I يoزال فoي ذرSيo2ته نoبيñ وإنo2ا نoخاف إن تoبعناك أن تoقتلنا الoيهود وفoي الoباب عoن يoزيoد
بن اVسود وابن عمر وكعب بن مالك قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
“Seorang Yahudi berkata kepada temannya, ‘mari kita pergi ke Nabi itu.’ Lalu temannya mengatakan, ‘janganlah engkau mengatakan Nabi, ia mungkin akan mendengarmu, karena ia memiliki empat mata. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah SAW dan menanyakan perihal sembilan perintah, lalu Rasulullah SAW bersabda: ‘janganlah kalian menyekutukan Allah, janganlah kalian mencuri, janganlah kalian berzina, janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, janganlah mengadukan orang yang tidak bersalah kepada penguasa, jangan kalian (mempergunakan) sihir, janganlah kalian memakan (hasil) riba, janganlah kalian menuduh berzina seorang wanita yang telah menikah, janganlah kalian lari saat perang berkecamuk, dan khusus untuk kaum Yahudi janganlah kalian melanggar perintah pada hari Sabtu. Lalu orang tersebut mencium tangan dan kaki Rasulullah SAW dan berkata, ‘kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang Nabi. Kemudian Nabi SAW bertanya, ‘apa yang mencegah kalian untuk mengikuti (ajaran)ku?’ Mereka menjawab, ‘sesungguhnya Daud pernah mengklaim bahwa Nabi akan datang dari keturunannya, dan kami juga takut kalau kami mengikuti ajaranmu maka orang-orang Yahudi akan membunuh kami.’ (HR. Tirmiżi) 48
Setelah ditetapkan bahwa hari Sabtu adalah hari yang khusus untuk
beribadah, maka, Aṣḥāb al-Sabt tidak diperbolehkan melakukan aktivitas
pekerjaan apapun, termasuk memancing ikan. Tetapi aturan ini mereka langgar 49
ketika banyaknya ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai mereka pada hari
Sabtu dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak berdatangan kepada
mereka. Pelanggaran perjanjian yang mereka lakukan ini dilakukan dengan cara 50
yang licik. Setelah mereka tahu bahwa ikan-ikan itu hanya datang pada hari
Sabtu, namun di saat yang bersamaan mereka dilarang memancing pada hari itu,
akhirnya mereka merencanakan suatu tipu daya pada hari Sabtu yang akan
datang. Mereka membuat tambak-tambak ikan dan jaring-jaring pada hari
Al-Tirmiżi, Sunan Tirmiżi, Kitab Tafsīr al-Qur’an, Bab Wa min Sūrat Banī Isrā’īl, No. 48
3144 (Beirut: Dār Al-Fikr, 2003), h. 133-134.
QS. Al-Baqarah/2: 65, QS. Al-A‘rāf/7: 163.49
QS. Al-A‘rāf/7: 163.50
'43
Jum‘at, kemudian jaring-jaring itu dilemparkan di tempat ikan-ikan yang 51
biasanya berkumpul pada hari Sabtu, sehingga ketika ikan-ikan itu berdatangan,
ikan tersebut tidak dapat kembali ke laut karena tambak-tambak yang sudah
dibuat, dan juga terjebak oleh jaring-jaring yang sudah dipasang. 52
Ada pula yang mengatakan bahwa seseorang dari mereka mengambil
seutas tali yang dijadikan perangkap dan dilemparkan pada ekor ikan paus,
sedangkan ujung tali lainnya diikat di tepian pantai dan ditinggalkan begitu saja
hingga hari Ahad (Minggu). Maka, pada hari minggu itulah mereka mengambil 53
ikan-ikan hasil dari perangkap yang mereka buat, lalu memasaknya hingga
tercium aroma ikan oleh tetangganya. Perbuatan ini terus diulangi hingga Sabtu
berikutnya sampai semakin banyak orang yang mengikuti cara memancing ikan
tersebut. Namun adzab tidak segera turun kepada mereka, sehingga mereka
semakin berani dengan memancingnya secara terang-terangan dan menjualnya di
pasar. 54
Tipu daya yang mereka lakukan itu disebabkan karena hati yang
menyimpang dan ketakwaan yang menipis. Mereka seakan-akan berusaha
menaati perjanjian dalam kitab suci mereka, namun sebenarnya mereka
melanggar teks kitab suci tersebut. Dalam hal ini Sayyid Quṭb berkomentar:
“Sesungguhnya undang-undang tidak bisa dijaga oleh teks-teksnya dan tidak pula oleh para penjaganya. Undang-undang hanya dapat dijaga oleh hati yang bertakwa, yang di dalamnya bersemayam rasa takut kepada Allah, sehingga rasa takut itu melindungi dan menjaga undang-undang.” 55
Menurutnya, tidak ada undang-undang yang bisa dijaga dari akal-akalan
manusia terhadapnya. Tidak ada pula undang-undang yang bisa dijaga oleh
kekuatan material dan penjagaan lahiriah. Apapun intimidasi yang dilakukannya,
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 412. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-51
Qurtubi, Juz 7, h. 760.
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 213. Lihat juga Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 52
2 , h. 49.
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, h. 46. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 53
2, h. 959.
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, h. 46.54
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 411.55
'44
negara tidak akan sanggup menempatkan satu penjaga pada kepala setiap
individu untuk melaksanakan dan menjaga undang-undang, selama tidak ada rasa
takut kepada Allah di hati masyarakat dalam keadaan sembunyi-sembunyi
ataupun terang-terangan. Karenanya, semua sistem dan tatanan yang tidak
didasari penjagaan hati yang bertakwa mengalami kegagalan. Semua teori dan
mażhab yang dibuat manusia untuk manusia tanpa ada kekuasaan Allah di
dalamnya pasti mengalami kegagalan. Dan karena itu, aparat manusia yang
dibentuk negara tidak mampu menjaga dan melaksanakan undang-undang, dan
tidak mampu melakukan pengawasan dan pelacakan yang menyoroti perkara-
perkara dari permukaannya. 56
Namun tidak semua penduduk Aṣḥāb al-Sabt melakukan pelanggaran.
Mereka kemudian terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang 57
melanggar perjanjian. Kedua, kelompok yang pernah memberi nasihat dan telah
berputus asa memberikan nasihatnya, karena merasa bahwa nasihat itu tidak
berguna lagi. Bahkan mereka menegur kelompok yang memberikan nasihat.
Ketiga, kelompok yang masih melanjutkan nasihat untuk dua tujuan, yaitu
melaksanakan kewajiban nasihat-menasihati terlepas apakah diterima atau tidak,
dan siapa tahu nasihat itu menyentuh hati mereka yang melanggar perjanjian
sehingga mereka sadar. 58
Sempat terjadi perdebatan antara kelompok kedua dengan kelompok
ketiga tentang nasihat yang disampaikan kepada Aṣḥāb al-Sabt yang melanggar.
Hingga kelompok kedua mengatakan kepada kelompok yang masih memberikan
nasihat:
59لم تعظون قوما الل2ه مهلكهم أو معذSبهم عذابا شديدا
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur`an, Juz 5, h. 411.56
QS. Al. A’rāf/7: 163-166.57
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h. 285.58
QS. Al. A’rāf/7: 164.59
'45
Maka kelompok yang menasihati itu pun menjawab:
60قالوا معذرة إلى ربSكم ولعل2هم يت2قون
“agar kami mempunyai alasan kepada Tuhan kamu”
Penyebutan Tuhan kamu dan bukan Tuhan kita atau Tuhan kami untuk
menyindir mereka yang berhenti menasihati bahwa sebenarnya mereka juga
masih mempunyai kewajiban, karena jika mereka berhenti menasihati, bisa jadi
mereka mempunyai alasan yang dapat membenarkan sikap mereka itu. 61
Itulah kewajiban yang harus seorang manusia lakukan untuk Allah, yaitu
kewajiban ‘amar ma‘ruf dan nahi munkar, dan memperingatkan pelanggaran
akan berbagai larangan, agar ia dapat menyampaikan alasan kepada Allah, dan
Allah tahu bahwa ia telah melaksanakan kewajibannya. Kemudian, barangkali
nasihat itu berbekas di hati yang durhaka, sehingga membangkitkan perasaan
takwa di dalamnya. 62
Nasihat demi nasihat terus disampaikan kepada mereka yang melanggar.
Namun tetap saja mereka tidak mau mendengarkan nasihat tersebut hingga pada
akhirnya mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka. Lupa 63
peringatan di sini maksudnya adalah terhentinya pengaruh peringatan itu ke
dalam jiwa mereka, walaupun mereka masih mengingat peringatan yang
disampaikan. Itulah siksa Allah disebabkan mereka melecehkan tuntunan-Nya
dan mengabaikan peringatan-Nya. Adapun lupa maka ia pada hakikatnya menjadi
sebab gugurnya sanksi, karena itu yang dimaksud dengan lupa yang ada pada
mereka adalah mengabaikan. 64
Pada dasarnya, manusia selalu dikelilingi oleh bimbingan Allah yang
mengingatkannya tentang kewajiban-kewajiban penting yang ditetapkan Allah
QS. Al. A‘rāf/7: 164.60
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h. 286.61
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 413.62
QS. Al-A‘rāf/7: 165.63
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h. 287.64
'46
SWT. Kalau ia istiqomah dan konsisten maka itulah yang diharapkan, dan kalau
ia mengabaikan konsistensi serta tidak merasakan teguran dalam jiwanya, maka
ia telah melampaui batas-batas Ilahi. Memang seringkali pada tahap awal,
seseorang masih merasakan teguran, kecaman batin serta rasa perih akibat
pelanggaran yang dilakukannya. Tetapi jika pelanggaran itu dilakukan berulang
tanpa taubat, maka kedurhakaan akan semakin mantap, dan jika kedurhakaan
berlanjut, maka bertambah lemah pula teguran dan kecaman batin sampai
akhirnya hilang sama sekali sehingga ada atau tidaknya peringatan sama saja buat
mereka, dan inilah yang dimaksud dengan mereka melupakan peringatan, yakni
tidak berbekas lagi dan terhenti sudah pengaruhnya dalam jiwa bagaikan hilang
sama sekali. 65
فoلم2ا نoسوا مoا ذكoSروا بoه أoyينا الo2ذيoن يoنهون عoن الoسxوء وأخoذنoا الo2ذيoن ظoلموا بoعذاب بoئيس
t66ا كانوا يفسقون
”Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Ketika nasihat dan saran tidak berguna, dan orang-orang tetap pada
kesesatannya, maka ketetapan siksa Allah pasti berlaku dan ancaman-Nya pasti
terealisir. Maka, orang-orang yang melarang perbuatan buruk itu selamat dari
siksa. Kelompok yang melanggar perjanjian tertimpa adzab yang sangat keras,
sedangkan kelompok yang tidak menasihati dan tidak pula melanggar tidak
disinggung dalam ayat. Mungkin untuk mengacuhkan mereka yang meskipun
tidak disiksa dengan adzab, mereka berpangku tangan dari pengingkaran aktif
dan hanya berhenti pada pengingkaran pasif, sehingga patut diacuhkan meskipun
tidak patut menerima adzab. 67
Ṭabaṭaba`i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 300-301.65
QS. Al-A‘rāf/7: 165.66
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 414.67
'47
68فلم2ا عتوا عن ما نهوا عنه قلنا لهم كونوا قردة خاسئ~
”Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”.”
Kesombongan dan ketidakpedulian mereka yang melakukan pelanggaran
sudah tidak mungkin dapat dinasihati. Akhirnya orang-orang yang taat membagi
desa tersebut dengan batasan tembok agar mereka tidak terkena imbas dari adzab
Allah yang akan menimpa kepada orang-orang yang melanggar. Hingga pada 69
suatu hari ketika kelompok yang taat sedang berkumpul, ada seseorang dari
mereka yang menyampaikan kebingungannya. Ia merasa aneh karena orang-
orang yang melanggar di balik tembok itu sama sekali tidak terlihat gerak-
geriknya. Mereka pun sepakat untuk mengintip keadaan orang-orang itu dari atas
tembok, karena mereka berpikir pasti telah terjadi sesuatu dengan orang-orang di
sana. Mereka kemudian menaiki tembok tersebut, dan ternyata yang mereka
perkirakan itu benar adanya bahwa mereka melihat orang-orang di sana telah
diubah bentuknya menjadi kera. 70
Akhirnya mereka memutuskan untuk membuka pintu-pintu pemisah
tembok tersebut dan melihat keadaan orang-orang yang telah diubah bentuknya
itu. Namun sayangnya mereka tidak mengenali siapapun di sana. Berbeda dengan
kera-kera itu, mereka masih mengenali saudara mereka dari kalangan manusia,
dan segera mendatanginya, akan tetapi yang dapat kera-kera itu lakukan hanyalah
mencium baju saudaranya itu sambil menangis tersedu-sedu. Para manusia itu
pun tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya dapat berkata, “Bukankah kami
telah melarang kalian”. Kera-kera itu pun hanya dapat menyesal dan
membenarkan hal itu dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Kera tersebut 71
QS. Al-A‘rāf/7: 166.68
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2 , h. 50.69
Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, h. 761.70
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 11 , h. 669. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, 71
Juz 7, h. 761.
'48
tidak hidup di bumi kecuali hanya tiga hari dengan tidak makan, tidak minum,
dan tidak berketurunan. 72
Namun menurut riwayat dari Mujahid, yang diubah menjadi kera adalah
hati mereka, sedangkan wajah mereka tetap sebagaimana adanya. Hal ini
perumpaan yang dibuat oleh Allah seperti halnya perumpamaan keledai yang
membawa buku-buku. 73
Mufassir kontemporer seperti Sayyid Quṭb dan Quraish Shihab pun tidak
mengharuskan perubahan bentuk tubuh manusia menjadi kera. Menurut Sayyid
Quṭb, bukanlah suatu keharusan bahwa mereka berubah menjadi kera secara fisik,
tetapi mereka telah berubah menjadi kera secara mental dan pemikiran. Karena
berbagai pengaruh perasaan dan pola pikir itu terpantul pada penampilan dan raut
muka. Mereka telah turun dari derajat kemanusiaan mereka, ketika mereka 74
melepaskan karakteristik mereka yang paling khusus, yaitu keinginan yang
mengalahkan kesenangan. Mereka berbalik ke alam hewan ketika mereka
melepaskan karakteristik manusia, sehingga kepada mereka dikatakan agar
menjadi seperti yang mereka kehendaki untuk diri mereka, yaitu kerendahan dan
kehinaan. 75
Menurut Quraish Shihab, tidak jelas apakah bentuk rupa mereka yang
diubah menjadi kera atau hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah
ini populer di kalangan mereka. Kemudian ia menjelaskan tentang kera yang
dalam hal ini binatang yang ditunjuk Allah. Menurutnya, kera adalah satu-satunya
binatang yang selalu terlihat auratnya, karena auratnya memiliki warna yang
menonjol dan berbeda dengan seluruh warna kulitnya. Di sisi lain, kera harus
dicambuk untuk mengikuti perintah. Demikianlah orang-orang Yahudi yang
dikecam dalam al-Qur`an. Mereka tidak tunduk dan taat kecuali setelah dijatuhi
sanksi atau diperingatkan dengan ancaman. Apa yang terjadi terhadap para
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2 , h. 45.72
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2 , h. 51.73
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 1, h. 203.74
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 414.75
'49
pembangkang itu merupakan peringatan yang sangat berharga untuk dihindari
oleh mereka yang tidak ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu
maupun generasi selanjutnya. Sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa. Sekali lagi, apakah bentuk jasmani mereka yang diubah atau
bukan, dewasa ini tidaklah terlalu penting untuk dibuktikan. Yang pasti adalah
akhlak mereka dan cara berpikir mereka tidak lurus. 76
Penafsiran mufassir klasik yang dalam hal ini diwakili oleh al-Ṭabari dan
al-Qurṭubi dan mufassir kontemporer seperti Ṭabaṭaba’i, Sayyid Quṭb, dan M.
Quraish Shihab memiliki perbedaan yang cukup signifikan terhadap kisah Aṣḥāb
al-Sabt. Mufassir klasik cenderung merujuk kepada riwayat-riwayat dari ‘Ibn
‘Abbas dalam mengurai keseluruhan kisahnya, meskipun riwayat itu tidak sampai
kepada Nabi. Dalam hal penerimaan kutukan kera, al-Ṭabari terkesan menerima
riwayat-riwayat yang ia kemukakan, meskipun pada dua riwayat terakhir ia
memasukkan pula riwayat dari Mujahid yang mengatakan bahwa hanya hati dan
pikiran mereka saja yang menjadi seperti kera. Sedangkan tiga mufassir
kontemporer memilih untuk tidak membenarkan apakah kutukan kera itu
perubahan fisik atau perubahan mental saja. Seperti Quraish Shihab yang lebih
memilih untuk tidak mengambil sikap karena tidak ada sumber yang bisa
dipastikan untuk diterima. Sayyid Quṭb pun mengatakan bahwa bukan suatu
keharusan menerima perubahan fisik tersebut. Sedangkan Ṭabaṭaba’i tidak terlalu
banyak menyinggung kutukan kera dalam tafsirnya. Namun yang jelas, para
mufassir kontemporer mencoba sebisa mungkin untuk tidak memasukkan riwayat
Israiliyat dalam tafsir mereka. Karena itu, mereka lebih terfokus kepada pelajaran
dan hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 213-214. 76
BAB IV ANALISIS SEMIOTIS KISAH AṢḤĀB AL-SABT
Ketika semiotika dipahami sebagai ilmu tentang tanda, maka al-Qur’an
menjadi bidang subur bagi analisis semiotis. Tanda memainkan peran penting
dalam agama dan itu dengan berbagai cara yang perlu dibedakan. Seringkali
manusia diseru untuk memperhatikan tanda kebesaran Allah dengan
memperhatikan ciptaan-Nya di dunia. 1
Al-Qur’an memiliki satuan-satuan dasar yang dinamakan ayat (tanda).
Tanda dalam al-Qur’an tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya,
seperti: kalimat, kata atau huruf, tetapi totalitas struktur yang menghubungkan
masing-masing unsur termasuk dalam kategori tanda al-Qur’an. Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur’an adalah serangkaian tanda-tanda
yang memiliki arti. 2
Terkait problema penerapan semiotika terhadap teks al-Qur’an, Nasr
Hamid Abu Zayd, sebagaimana dikutip oleh Muzakki memberikan penjelasan 3
yang rasional dengan membuat analogi mengenai turunnya al-Qur’an dengan
akidah Kristiani tentang kelahiran Isa. Umat Islam memandang Nabi Isa as
sebagai sosok manusia meskipun proses kelahirannya hanya dari seorang ibu
tanpa bapak. Ia adalah utusan-Nya dan kalimah-Nya. Demikian juga dengan al-
Qur’an yang merupakan kalam Allah. Dalam hal ini Nabi Isa dan al-Qur’an sama-
sama kalimah Allah dengan perantara Jibril. Bedanya hanya pada al-Qur’an
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan Isa disampaikan kepada
Maryam. Pada dua kasus tersebut dapat dikatakan bahwa kalam Allah terwujud
dalam bentuk yang dapat disentuh pada kedua agama tersebut. Dalam agama
Kristen berwujud Nabi Isa, sedangkan dalam Islam berwujud teks al-Qur’an yang
berbahasa Arab. Artinya yang Ilahi menjadi manusiawi, atau yang Ilahi menjadi
Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang: 1
UIN-Malang Press, 2007), h. 101.
Ali Imran, Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf 2
(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 33-34.
Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 100.3
!50
!51
termanusiakan. Ketika sifatnya sudah termanusiakan, maka teks al-Qur’an dapat
didekati dengan pendekatan apapun, termasuk pendekatan semiotika Roland
Barthes. 4
Pada bab ini penulis berusaha untuk menganalisis kisah Aṣḥāb al-Sabt
dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Barthes sendiri
pernah mengaplikasikan metode analisis strukturalnya pada kisah Ya‘qub dan
malaikat yang terdapat dalam Kitab Kejadian. Dengan demikian, dalam kajian 5
tafsir yang membahas tentang kisah dalam al-Qur’an, analisis semiotika Roland
Barthes menjadi relevan karena menggunakan kisah yang dalam hal ini adalah
kisah Aṣḥāb al-Sabt sebagai objeknya. Sebagaimana diketahui, Barthes memiliki
konsep dua tingkatan pembacaan makna, yaitu makna denotasi dan makna
konotasi. Makna denotasi akan penulis istilahkan dengan nuansa denotatif,
sedangkan makna konotasi diistilahkan dengan nuansa mitos, karena mitos
bersemayam pada makna konotasi.
Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 100.4
Roland Barthes, Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko 5
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 370.
Jibril Jibril
Muhammad
Kalam Allah
Maryam
Al-Qur`an Nabi Isa
Keduanya adalah kalam Allah yang termanusiakan. Berwujud dalam bentuk yang dapat disentuh.
!52
A. Nuansa Denotatif
Nuansa denotatif adalah tahap pembacaan makna tingkat pertama, di mana
analisis linguistik sangat berperan. Tahap ini akan membiarkan teks itu
berbicara apa adanya tanpa melibatkan unsur di luar teks. Pembacaan ini akan
menjadi langkah awal untuk memberikan makna konotasi atau semiotik
tingkat kedua.
Denotasi merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas
penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas
konvensi tertentu dan bersifat objektif. Analisis ini dilakukan dengan asumsi
bahwa struktur teks merupakan tanda. Bahasa dan stuktur kisah adalah
penanda yang memiliki arti atau konsep di balik tanda tersebut. 6
Pada pembahasan kali ini, kisah Aṣḥāb al-Sabt akan dianalisis
menggunakan analisis sturkturalnya Barthes. Hal pertama yang dilakukan
Barthes dalam analisisnya adalah memotong-motong teks menjadi beberapa
fragmen. Setiap fragmen dapat dianalisis sistem semiotik tingkat pertamanya.
1. Pemotongan Teks Cerita
Pemotongan teks menjadi hal pertama yang dilakukan Barhes dalam
menganalisis suatu karya sastra. Pada tahap ini teks dipenggal menjadi
beberapa fragmen yang sifatnya arbitrer, dalam arti penganalisis teks dapat
dengan sewenang-wenang menentukan fragmen cerita sesuai dengan hasil
pembacaannya.
Penulis membagi kisah Aṣḥāb al-Sabt ke dalam tiga fragmen. Pertama,
pelanggaran perjanjian, kedua, dialog antara dua golongan yang menaati
perjanjian, dan ketiga, kutukan kera. Masing-masing fragmen akan dianalisis
sistem semiotik tingkat pertamanya sehingga mendapatkan makna denotasi
Ali Imran, Semiotika al-Qur’an, h. 53-54.6
!53
yang sesuai dengan apa yang ada di dalam teks. Berikut ini tabel pembagian
fragmen tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt:
a. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian
Fragmen ini menjelaskan permulaan kisah Aṣḥāb al-Sabt hingga
sebab-sebab mereka melakukan sebuah pelanggaran perjanjian dengan
Tuhan mereka yang disebutkan dalam QS. Al-A‘rāf/7: 163.
واس%أل%هم ع%ن ال%قري%ة ال3%تي ك%ان%ت ح%اض%رة البح%ر إذ ي%عدون ف%ي الس3%بت إذ ت%أت%يهم ح%يتان%هم
7يوم سبتهم شر3عا ويوم O يسبتون O تأتيهم كذلك نبلوهم Jا كانوا يفسقون
“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, diwaktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
Pada ayat di atas, Nabi Muhammad saw selaku penerima al-Qur’an
diperintahkan untuk menanyakan kepada kaum Yahudi tentang sebuah
negeri yang terletak di dekat laut. Negeri itu ditempati oleh penduduk
Aṣḥāb al-Sabt yang diinformasikan al-Qur`an bahwa mereka melakukan
pelanggaran pada hari Sabtu.
No. Fragmen Segmen Ayat
1. Pelanggaran perjanjian 1. Sebuah pelanggaran ketika ikan-ikan berdatangan ke tepi pantai.
QS. Al-A‘rāf/7: 163.
2. Dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian
1. Pertanyaan kaum 2. Jawaban golongan yang
menasihati
QS. Al-A‘rāf/7: 164.
3. Kutukan kera 1. Hukuman kepada para pelanggar dengan menjadikan mereka kera
QS. Al-A‘rāf/7: 165-166, QS. Al-Baqarah/2: 65.
QS. Al-A‘rāf/7: 163.7
!54
Al-Qur’an tidak menginformasikan di mana negeri tersebut atau
nama penduduknya karena itu bukanlah tujuan utama dari kisah ini. Kisah
yang ada dalam al-Qur’an memang tidak banyak memerinci unsur-unsur
yang biasanya terdapat dalam cerita fiksi. Karena tujuan dari kisah al-
Qur’an adalah untuk mengambil hikmah dan pesan moral yang terdapat di
dalamnya. 8
Informasi mengenai sebuah negeri yang terletak di dekat laut
kemudian diikuti kata iż yang dari situlah awal mula kisah Aṣḥāb al-Sabt.
Preposisi iż yang digunakan menunjukkan keterangan waktu sekaligus
memberikan aksentuasi pada kisah ini. Tanda iż memiliki arti bahwa
pembaca diajak memperhatikan kisah yang ada di dalam al-Qur`an dengan
seksama, sehingga pembaca benar-benar menemukan sekaligus merasakan
nilai-nilai dan pelajaran penting dalam sebuah kisah. Hal ini 9
menunjukkan bahwa kisah Aṣḥāb al-Sabt memiliki pesan-pesan dan
pelajaran penting yang dapat digali layaknya kisah yang ada di dalam al-
Qur’an.
Kata ya‘dūna menjadi topik utama yang perlu dipahami dengan
pemahaman mendalam. Karena sebagaimana diketahui pelanggaran yang
mereka lakukan langsung diikuti dengan informasi kedatangan ikan-ikan
ke tepi pantai pada hari Sabtu. Oleh karena itu, untuk memahaminya
pembaca harus jeli melihat penanda-penanda apa saja yang ada dalam ayat
ini agar mendapatkan pemahaman yang utuh.
Lafaz ya‘dūna merupakan qira’ah jumhur ulama. Sedangkan lafaz
ini dibaca oleh Abu Nahik menjadi yu‘iddūna dengan menggunakan
harakat ḍammah pada huruf ya, harakat kasrah pada huruf ‘ain, dan
tasydid pada huruf dal. Asal dari lafaz ya’dūna adalah al-i‘tidā` yang
artinya melakukan suatu hal buruk atau melanggar batas, sedangkan asal
M. Baqir Hakim, Ulumul Quran (Jakarta: Al Huda, 2012), h. 515.8
Ali Imran, Semiotika al-Qur`an, h. 55-56.9
!55
dari lafaz yu‘iddūna adalah al-i‘dād yang berarti mempersiapkan peralatan
memancing atau berburu yang digunakan untuk mengambil ikan-ikan
itu. 10
Selanjutnya kata Sabt merupakan penanda penting terkait
pelanggaran yang mereka lakukan. Sabt sendiri berasal dari kata sabata
yang jika disandingkan pada orang Yahudi (sabata al-Yahūdi) maka
maknanya adalah orang Yahudi itu tidak bekerja pada hari Sabtu. Kata ini
juga dapat bermakna mengantuk apabila dikatakan subita al-rajulu. Selain
itu, kata ini dapat berarti diam, yakni jika yang diungkapkan asbata maka
maknanya orang itu tenang dan tidak bergerak sama sekali. Kata ini pun
dapat bermakna sebutan untuk salah satu hari dalam seminggu atau hari
ketujuh dalam satu minggu seperti yang kita kenal yaumu al-Sabt, yang
biasanya dianggap sebagai hari beristirahat dan hari bebas dari pekerjaan
(hari libur). 11
Penanda lain yang dapat ditemukan dalam fragmen ini yaitu kata
ḥītan yang berarti ikan-ikan yang hidup di dalam air (laut) dan dapat pula
Signifier Signified
Sabt Hari ketujuh dalam satu
minggu, dapat bermakna diam
dan istirahat. Hari khusus
beribadah orang Yahudi
Sign
Hari khusus beribadah bagi orang Yahudi, di mana mereka tidak
diperbolehkan melakukan pekerjaan apapun pada hari itu.
Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, Juz 7, terj. Sudi Rosadi (dkk) (Jakarta: Pustaka Azzam, 10
2008), h. 758.
Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, h.757.11
!56
diartikan dengan ikan yang besar atau ikan paus. Ikan-ikan itu 12 13
diberitakan berdatangan ke tepi pantai pada hari Sabtu secara syurra‘an
yang berarti terapung-apung di permukaan air dari segala arah. Ikan itu
terlihat sangat jelas hanya dengan melihatnya dengan mata kepala. 14
Pelanggaran yang dilakukan oleh Bani Israil pada hari Sabt tidak
disebutkan secara langsung di dalam ayat di atas. Hal ini dapat
menunjukkan dua hal, pertama, kaum Yahudi sebagai objek yang ditanya,
sudah tahu betul kisah Aṣḥāb al-Sabt. Kedua, pembaca dituntut untuk
mencari tahu bagaimana sebenarnya kisah Aṣḥāb al-Sabt. Pertanyaan Nabi
Muhammad yang ditunjukkan kepada kaum Yahudi ini sekaligus
menunjukkan kebenaran kenabiannya karena mengetahui pemberitaan
gaib, dalam hal ini kisah Aṣḥāb al-Sabt yang sudah sangat populer di
kalangan kaum Yahudi.
Signifier Signified
Ḥītan Ikan-ikan yang hidup di dalam
laut. Dapat juga diartikan ikan
paus.
Sign
Ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai pada hari Sabtu dan
terlihat terapung-apung di permukaan air.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 12
2009), h. 110.
A. Thoha Husein al-Mujahid, Kamus al-Waafi: Arab-Indonesia (Depok: Gema Insani, 13
2016), h. 382.
Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari, Juz 11, terj. Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 14
2008), h. 659.
!57
b. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati
Perjanjian
Pada fragmen sebelumnya telah dijelaskan bahwa Aṣḥāb al-Sabt
melakukan pelanggaran pada hari Sabtu yang ketika itu ikan-ikan banyak
berdatangan ke tepi pantai. Kemudian al-Qur’an menginformasikan
adanya dialog mengenai dua golongan yang tergambarkan dalam QS. Al-
A‘rāf/7: 164.
وإذ ق%ال%ت أم3%ة م%نهم ل%م ت%عظون ق%وم%ا ال%ل3ه مه%لكهم أو م%عذUب%هم ع%ذاب%ا ش%دي%دا ق%ال%وا
معذرة إلى ربUكم ولعل3هم يت3قون
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.
Wau pada awal ayat ini menjadi ‘aṭaf dari kalimat iż ya‘dūna pada
ayat sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Aṣḥāb al-Sabt 15
melakukan pelanggaran, kejadian tersebut kemudian diikuti dengan
terjadinya dialog antara dua golongan yang tidak melakukan pelanggaran.
Dengan demikian, pelanggaran yang dilakukan menjadi sebab dari
terjadinya dialog di antara mereka. Dua golongan yang dimaksud adalah
ummatun yang disebutkan dalam ayat ini dan allażīna yanhauna ‘ani al-
sū’ yang disebutkan pada ayat setelahnya, yakni QS. Al-A‘rāf/7: 165.
Penanda yang terdapat dalam ayat di atas adalah pertanyaan
ummatun dengan redaksi lima ta‘iżūna qauman. Kata ta‘iżūna terambil
dari kata wa‘iż yang dipahami dengan nasihat dan ucapan-ucapan yang
menyentuh hati, yang sebenarnya telah diketahui oleh sasaran yang
dinasihati itu tetapi belum juga mereka laksanakan. Qauman mengacu
Muhyiddin al-Darwisy, I‘rāb al-Qur’ān al-Karīm wa bayānuhu, Juz 3 (Damsyik: Dār 15
al-Yamāmah, 2005), h. 67.
!58
kepada kaum yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu. Hal ini dapat
terlihat dari kalimat Allahu muhlikuhum au mu’ażżibuhum ‘ażāban
syadīdan (Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka
dengan adzab yang amat keras) yang terletak setelah kata qauman.
Kalimat ini sekaligus menjelaskan bahwa ummatun tahu betul apa yang
akan terjadi terhadap qauman yang dalam hal ini mereka melanggar pada
hari Sabtu.
Pertanyaan ummatun ini ditunjukkan kepada allażīna yanhauna
‘ani al-sū’, yakni orang-orang yang melarang perbuatan buruk, yang
masih dan akan terus memberikan nasihat. Jawaban dari pertanyaan
tersebut adalah ma‘żiratan ila rabbikum wa la’allahum yattaqūn. Terdapat
perbedaan qira’at dalam membaca kata ma’żiratan. Mayoritas ahli qira’at
Hijaz, Kufah, dan Basrah, membacanya ma’ziratun dengan rafa‘ yang
berarti nasihat kami itu merupakan sebuah tindakan untuk melepaskan
tanggungjawab. Sebagian ahli qira’at Kufah membacaya ma‘ziratan
dengan naṣab yang artinya nasihat kami itu sebagai alasan. 16
Signifier Signified
Lima ta‘iżūna qauman Redaksi yang disampaikan
oleh ummatun. Artinya
“Mengapa kamu menasihati
kaum?”
Sign
Pertanyaan ummatun tentang nasihat yang disampaikan kepada
qauman, dimana mereka akan dibinasakan dan diadzab dengan
sangat keras oleh Allah.
Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari, h. 662.16
!59
c. Fragmen III: Kutukan Kera
Fragmen ini adalah fragmen terakhir dari kisah Aṣḥāb al-Sabt.
Setelah dua fragmen di atas menjelaskan bahwa ada suatu kaum yang
melakukan pelanggaran pada hari Sabtu, kemudian diikuti dengan
terjadinya dialog antara dua golongan yang taat, maka pada fragmen ini
Allah menentukan balasan apa yang akan menimpa kepada tiga golongan
yang disebutkan dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt. Hal ini tergambarkan dalam
QS. Al-A‘rāf/7: 165 - 166.
ف%لم3ا ن%سوا م%ا ذكU%روا ب%ه أf%ينا ال3%ذي%ن ي%نهون ع%ن ال%سeوء وأخ%ذن%ا ال3%ذي%ن ظ%لموا ب%عذاب
ب%%ئيس J%%ا ك%%ان%%وا ي%%فسقون (۱٦٥) ف%%لم3ا ع%%توا ع%%ن م%%ا ن%%هوا ع%%نه ق%%لنا ل%%هم ك%%ون%%وا ق%%ردة
(۱٦٦) mخاسئ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”.
Signifier Signified
Ma‘żiratan ila rabbikum Redaksi yang disampaikan
oleh allażīna yanhauna ‘ani al-
sū’. Artinya “sebagai alasan
kepada Tuhanmu.”
Sign
Jawaban dari allażīna yanhauna ‘ani al-sū` atas pertanyaan
ummatun.
!60
Nasihat demi nasihat yang disampaikan oleh allażīna yanhauna
‘ani al-sū’ nampaknya menemukan jalan buntu. Meskipun nasihat itu
disampaikan secara terus menerus, qauman tetap tidak mengindahkan
nasihat yang disampaikan. Hal ini terlihat dari kalimat nasū mā żukkirū bihi
yang berarti mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka.
Ketika mereka sudah melupakan peringatan itu, maka frase qauman
berubah menjadi allażīna ẓalamū seperti yang disebutkan pada ayat di atas.
Allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ diselamatkan oleh Allah, allażīna ẓalamū
menerima siksaan yang keras, sedangkan ummatun tidak disebutkan dalam
ayat ini terkait apa yang terjadi pada mereka.
Mengenai kalimat nasū mā żukkirū bihi, Ṭabaṭaba’i memberikan
komentar bahwa yang dimaksud dengan melupakan peringatan adalah
terhentinya pengaruh peringatan itu ke dalam jiwa allażīna ẓalamū,
walaupun mereka masih mengingat peringatan itu. Adapun lupa maka ia
pada hakikatnya menjadi sebab gugurnya sanksi, karena itu yang dimaksud
dengan lupa yang ada pada mereka adalah mengabaikan. Al-Qurtubi 17
mengatakan bahwa nasū yang ada pada mereka maksudnya mereka
meninggalkan dan melanggar larangan itu dengan sengaja. 18
Signifier Signified
Nasū mā żukkirū bihi Allażīna ẓalamū melupakan
apa yang diperingatkan kepada
mereka.
Sign
Melupakan yang dapat diartikan dengan sengaja mengabaikan dan
melanggar apa yang diperingatkan.
Ṭabaṭaba`i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 300-301.17
Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, h. 766.18
!61
Akibat dari melakukan pelanggaran dan mengabaikan nasihat yang
diberikan oleh allażīna yanhauna ‘ani al-sū’, maka allażīna ẓalamū ditimpa
dengan siksaan yang keras. Bentuk siksaan itu dijelaskan pada ayat
setelahnya yakni QS. Al-A‘rāf/7: 166 dengan menjadikan allażīna ẓalamū
kera yang hina. Kalimat kūnū qiradatan khāsi’īn ini sebagai kalimat
kutukan dari Allah kepada kaum yang melanggar dan mengabaikan nasihat
yang diberikan. Selain pada ayat di atas, kalimat kutukan ini disebutkan
pula pada QS. Al-Baqarah/2: 65.
2. Fakta-fakta Cerita
Untuk memahami karya sastra, seseorang harus menempuh tiga hal, yaitu
interpretasi, analisis, dan penilaian. Dengan menempuh langkah tersebut
karya sastra dapat dikenali, dipahami, dan dinikmati. Salah satu cara yang
ditempuh adalah dengan mengungkap fakta-fakta cerita itu. Fakta-fakta cerita
merupakan bagian dari elemen-elemen pembangun prosa fiksi. Ia termasuk ke
dalam bagian dari analisis cerita. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. 19
Ketiga unsur ini merupakan struktur dasar yang selalu ada dalam setiap
narasi. Melalui analisis ketiganya cerita dapat dipahami secara lebih
terperinci.
Signifier Signified
Kūnū qiradatan khāsi’īn Kalimat kutukan yang artinya:
Jadilah kamu kera yang hina
Sign
Kutukan yang diberikan Allah kepada allażīna ẓalamū dengan
menjadikan mereka kera yang hina.
Suminto A. Suyuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi (Yogyakarta: Gama Media, 2000), 19
h. 29.
!62
a. Plot/Alur Kisah
Plot merupakan rentetan atau urutan peristiwa secara keseluruhan.
Peristiwa-peristiwa tersebut dihubungkan secara sebab atau akibat dari
peristiwa-peristiwa lain. Peristiwa tersebut apabila dihilangkan, maka akan
merusak jalannya cerita. Jadi, plot merupakan hal penting dalam struktur
cerita karena melalui plot suatu cerita dapat tergambar dengan jelas. Plot
dapat memberi keterangan sebab akibat yang menyebabkan rentetan
peristiwa itu terjadi. 20
Alur cerita memiliki beberapa tahapan seperti pengenalan,
munculnya masalah, menuju konflik yang lebih besar, puncak konflik,
klimaks, dan penyelesaian. Begitu pun dengan kisah Aṣḥāb al-Sabt yang 21
sedang penulis bahas. Tahap pengenalan terlihat ketika al-Qur’an
menyebutkan suatu negeri di dekat laut, yang tidak dijelaskan secara detail
negeri mana yang dimaksud. Hal ini memperlihatkan bahwa al-Qur’an
mengajak pembaca untuk berpikir dan mencari tahu negeri tersebut, yang
ternyata negeri itu ditempati oleh penduduk Aṣḥāb al-Sabt.
Informasi tersebut didapatkan setelah membaca lanjutan ayatnya
yang menjelaskan bahwa di negeri tersebut terdapat orang-orang yang
melanggar peraturan pada hari Sabtu. Pada tahap ini mulai muncul sebuah
masalah, bahwa penduduk Aṣḥāb al-Sabt melakukan pelanggaran di hari
Sabtu. Masalah ini kemudian diperinci dengan lanjutan ayat setelahnya
bahwa pelanggaran pada hari Sabtu itu terjadi ketika banyaknya ikan-ikan
yang datang kepada mereka secara terapung-apung, sedangkan pada hari
yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Penjelasan ini
ternyata masih belum menerangkan pelanggaran apa yang sebenarnya
Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam 20
Layar Terkembang (Bandung: Katarsis, 2003), h. 14.
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University 21
Press, 2017), h. 209.
!63
mereka lakukan. Sekali lagi, pembaca diajak berpikir untuk menemukan
masalah apa yang sebenarnya terjadi pada penduduk Aṣḥāb al-Sabt.
Setelah muncul sebuah masalah, kisah ini masih terus membuat
perkembangan konflik dengan menghadirkan sebuah dialog antara dua
golongan yang taat. Dua golongan yang dimaksud adalah ummatun dan
allażīna yanhauna ‘ani al-sū’. Adanya konflik ini merupakan sebab-akibat
dari masalah yang telah terjadi pada penduduk Aṣḥāb al-Sabt. Ummatun
memulainya dengan bertanya kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ tentang
mengapa harus menasihati kaum yang akan diadzab dan dibinasakan oleh
Allah. Menurut ummatun, nasihat yang disampaikan oleh allażīna
yanhauna ‘ani al-sū’ hanyalah sebuah kesia-siaan karena kaum tersebut
sudah melanggar aturan pada hari Sabtu, dan tetap terus melakukan
pelanggaran. Namun pernyataan ini dibantah oleh allażīna yanhauna ‘ani
al-sū’ dengan menyatakan argumentasi yang kuat disertai sindiran kepada
ummatun. Mereka mengatakan bahwa nasihat ini akan menjadi alasan dan
pembebas tanggungjawab —karena telah menunaikan kewajiban nasihat-
menasihati— kepada Tuhanmu. Pemakaian kata Tuhanmu merupakan
sindiran yang cukup kuat untuk membuat ummatun bungkam atas konflik
ini dan membuat mereka kembali berpikir atas apa yang mereka ucapkan
kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’.
Konflik yang terjadi antara ummatun dan allażīna yanhauna ‘ani
al-sū’ dapat dikategorikan sebagai konflik in-group, yaitu konflik yang
terjadi dalam kelompok atau masyarakat itu sendiri. Ummatun dan allażīna
yanhauna ‘ani al-sū’ sama-sama penduduk Aṣḥāb al-Sabt, tetapi kemudian
timbul pertentangan ideologi di antara keduanya. Ummatun berpendapat
bahwa kaum yang melakukan pelanggaran tidak perlu dinasihati, sedangkan
allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ berkeyakinan bahwa mereka semua harus
tetap menasihati kaum yang melanggar, karena itu merupakan kewajiban
setiap manusia.
!64
Setelah konflik sudah mulai membesar, maka tahap selanjutnya
merupakan puncak konflik yang akan mengantar kepada klimaks sebuah
cerita. Puncak konflik kisah ini dijelaskan pada lanjutan ayat setelahnya
dengan menginformasikan bahwa allażīna yanhauna ‘ani al-
sū`’diselamatkan oleh Allah, sedangkan allażīna ẓalamū, yakni kaum yang
melanggar aturan pada hari Sabtu ditimpakan siksaan yang sangat keras
kepada mereka. Pada tahap ini alur semakin menegang dengan informasi
siksaan yang sangat keras kepada allażīna ẓalamū. Suasana tegang ini
dicampur dengan rasa penasaran akan bentuk siksaan yang ditimpakan
kepada mereka. Inilah puncak konflik yang mengantar kepada sebuah
klimaks sekaligus penyelesaian dari kisah Aṣḥāb al-Sabt. Bentuk siksaan
yang ditimpakan kepada allażīna ẓalamū adalah mengutuk mereka menjadi
kera. Klimaks ini sekaligus menutup kisah Aṣḥāb al-Sabt sehingga
berdampak besar pada pembaca, yang akan terus mengingat klimaks ini dan
sebab-sebab yang menyebabkan klimaks itu terjadi.
Alur yang terdapat dalam kisah ini merupakan alur maju karena
menampilkan peristiwa yang secara kronologis bergerak maju, mulai dari
tahap pengenalan, munculnya konflik, konflik berkembang, klimaks, dan
penyelesaian. Penggunaan alur maju ini membuat cerita mudah dicerna dan
dipahami hingga sampai klimaks kisah yang menimbulkan efek dahsyat,
sehingga membuat pembaca akan terus mengingat kisah Aṣḥāb al-Sabt.
Di sisi lain, penyelesaian yang terjadi pada kisah ini merupakan
penyelesaian terbuka, karena menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita
yang masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan dan logika cerita, cerita
masih potensial untuk dilanjutkan karena konflik belum sepenuhnya
diselesaikan. Tokoh-tokoh cerita belum semuanya ditentukan nasibnya
sesuai dengan peran yang diembannya. Penyelesaian terbuka pada kisah 22
Aṣḥāb al-Sabt tergambar ketika pembaca bertanya-tanya apakah kutukan
Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, h. 207-208. 22
!65
kera yang menimpa allażīna ẓalamū benar-benar perubahan bentuk fisik
ataukah hanya memiliki sifat seperti kera. Lalu apa yang terjadi setelahnya
jika mereka benar-benar menjadi kera. Pelanggaran yang mereka lakukan
pada kisah ini masih belum terlihat dan tokoh ummatun pun masih belum
jelas nasibnya, apakah mereka termasuk golongan yang terkena adzab
ataukah yang selamat. Penggunaan penyelesaian terbuka memberi
kesempatan pembaca untuk “ikut” memikirkan, mengimajinasikan, dan
mengkreasikan bagaimana kira-kira penyelesaian cerita itu (yang juga
sesuai dengan harapannya), walau semestinya tidak bertentangan dengan
tuntutan dan logika cerita yang telah dikembangkan sebelumnya. Pembaca
diminta untuk mengisi ruang kosong sesuai dengan logikanya. 23
b. Tokoh/Penokohan
Tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau
drama, sedangkan penokohan adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi
atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang
pembaca untuk menafsirkan kualitas tokoh yang diceritakan lewat kata dan
tindakannya dalam cerita. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa
antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan
penerimaan pembaca. 24
Pada kisah Aṣḥāb al-Sabt, tokoh-tokoh yang dihadirkan antara lain:
Allah, allażīna ẓalamū, ummatun, dan allażīna yanhauna ‘ani al-sū’.
Dalam bukunya yang berjudul Image, Music, Text, Barthes menggunakan
analisis aktansial A. J. Greimas untuk menjelaskan penokohan dalam cerita
yang terdapat pada Kitab Kejadian 32: 22-32 yang berjudul Pergumulan
Ya’qub dengan Malaikat. Greimas mengelompokkan aktor narasi menjadi
Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, h. 208. 23
Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, h. 247. 24
!66
enam aktan berdasarkan fungsi yang mereka emban dalam narasi. Dengan
begitu, satu aktan dapat mewakili beberapa karakter dan satu karakter
tunggal dapat mewakili beberapa aktan. Maka, kisah Aṣḥāb al-Sabt diisi 25
dengan aktan sebagai berikut: Allah adalah Subject yang memberikan
hukuman berupa kutukan kera. Object adalah allażīna ẓalamū yang
dihukum dan diadzab dengan menjadikan mereka kera. Sender merupakan
tokoh yang membuat aturan pada hari Sabtu, yakni Allah. Receiver adalah
tokoh yang terikat aturan dari Allah, yakni semua penduduk Aṣḥāb al-Sabt
yang mencakup allażīna ẓalamū, ummatun, dan allażīna yanhauna ‘ani al-
sū’. Opponent diperankan oleh allażīna ẓalamū yang melanggar aturan
pada hari Sabtu dan ummatun yang menentang untuk memberikan nasihat.
Helper adalah allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ yang terus menasihati dan
berharap nasihat itu berguna agar allażīna ẓalamū kembali bertakwa.
Dalam hal ini, tokoh protagonis dan tokoh antagonis terbagi ke
dalam dua kelompok. Allah dan allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ sebagai
tokoh protagonis dalam kisah ini, sedangkan allażīna ẓalamū dan ummatun
menjadi tokoh antagonis.
c. Latar atau Setting
Latar atau setting dalam prosa fiksi merupakan tempat, waktu, atau
keadaaan alam/cuaca terjadinya suatu peristiwa. Hal ini perlu dimunculkan
dalam sebuah cerita karena pada dasarnya setiap perbuatan atau aktivitas
manusia akan terjadi pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu pula.
Namun, sesungguhnya secara lebih jauh, latar diciptakan untuk
membangun suasana tertentu yang dapat menggerakkan perasaan dan emosi
pembaca. Latar dapat pula dibedakan atas latar sosial dan latar fisik/
material. Latar sosial menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-
kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan hal
Roland Barthes, Image Music Text (London: Fontana Press, 1977), h. 137. 25
!67
sosial lainnya yang melatari cerita. Adapun latar fisik/material adalah
tempat dalam wujud fisiknya, seperti bangunan, daerah, dan sebagainya. 26
Latar tempat pada kisah Aṣḥāb al-Sabt diinformasikan terjadi di
sebuah negeri yang terletak di dekat laut. Al-Qur`an tidak menyebutkan
negeri mana yang dimaksud, karena begitulah ciri khas dari kisah dalam al-
Qur`an yang seringkali tidak menjelaskan dengan detail nama tempat
ataupun kapan terjadinya kisah tersebut. Informasi negeri yang terletak di
dekat laut membawa pemahaman kepada latar sosial penduduk negeri itu.
Sudah sangat wajar jika penduduk pesisir pantai akan bermata pencaharian
sebagai nelayan yang sering menangkap ikan. Teknik dan cara penangkapan
ikan pasti sudah sebagian besar mereka kuasai.
Latar waktu disini cukup disebutkan secara jelas bahwa kisah ini
terjadi pada hari Sabtu. Latar waktu kemudian diikuti dengan latar keadaan
ketika al-Qur`an menginformasikan kedatangan ikan-ikan di tepi pantai
mereka secara terapung-apung pada hari Sabtu.
B. Nuansa Mitos
Nuansa mitos adalah tahap pembacaan makna tingkat kedua, di mana pada
bagian ini akan dijelaskan cerita dengan lebih mendalam hingga menemukan
signifikasi atau mitos dari sebuah kisah tersebut. Nuansa mitos ini dibangun
dari semiotik tingkat pertama, yakni nuansa denotasi. Pada semiotik tingkat
pertama yang dominan berperan adalah analisis linguistik, sedangkan pada
semiotik tingkat kedua lebih kepada cara berpikir tentang suatu keadaan dan
sebuah cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami suatu hal.
Pembacaan makna tingkat kedua ini melibatkan hubungan internal teks al-
Qur`an, intertekstualitas, asbāb al-nuzūl, latar belakang historis, maupun
Dina Ramadhanti, Buku Ajar Apreasiasi Prosa Indonesia (Yogyakarta: Deepublish, 26
2016), h. 71-73.
!68
perangkat studi ilmu al-Qur’an lainnya. Dalam mitos ini dapat pula 27
ditemukan kode-kode dari lima kode yang dikonsepkan oleh Barthes pada
setiap fragmennya.
Tahap ini akan memperlihatkan dengan jelas sistem semiotik bertingkat
yang dikemukakan Barthes. Pemaknaan tataran kedua ini menggunakan sign
pada tingkat pertama untuk dijadikan signifier pada tingkat kedua, yang
kemudian menghasilkan signified baru pada sistem kedua atau dengan kata
lain telah terjadi pengembangan pada signified. Signifier dan signified pada
tingkat kedua ini yang akan menghasilkan signification dimana mitos
bersemayam di dalamnya.
1. Ideologi Umum dibalik Kisah
Fragmen ini diawali oleh seruan dari Allah kepada Nabi
Muhammad untuk menanyakan kepada kaum Yahudi mengenai kisah
Aṣḥāb al-Sabt. Bentuk pertanyaan ini bukanlah untuk mencari tahu
informasi yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi lebih kepada
mengingatkan kembali kisah itu kepada kaum Yahudi yang sedang bersama
Nabi, dan memberikan peringatan tentang sebuah adzab yang menimpa
Aṣḥāb al-Sabt ketika mereka melakukan pelanggaran. Karena QS. Al-A‘rāf
diturunkan di Mekkah dan menjadi golongan surat Makkiyah, maka
interaksi yang terjadi saat itu adalah Nabi Muhammad dengan kaum Yahudi
yang berada di Mekkah. Penempatan kisah ini dalam golongan surat
Makkiyah menjadi sangat relevan mengingat salah satu ciri khas surat
Makkiyah banyak mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu. Selain
itu, dilihat dari segi tema, karakteristik ayat-ayat Makkiyah sering
menjelaskan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak
mulia yang dijadikan dasar terbentuknya suatu masyarakat, pembuktian
mengenai risalah kenabian, menjadikan kisah umat terdahulu sebagai
Ali Imran, Semiotika al-Qur`an, h. 50.27
!69
pelajaran dan mengetahui nasib orang-orang yang mendustakan rasul. 28
Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Nabi, makna semiotik
tingkat dua pada ayat ini adalah untuk membuktikan kenabian Muhammad
kepada kaum Yahudi yang berada di Mekkah saat itu. Pembuktian tersebut
ditunjukkan dengan pengetahuan Nabi tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt yang
sudah diketahui oleh kaum Yahudi tetapi tidak tercantum dalam kitab suci
mereka. Informasi yang diketahui Nabi Muhammad ini tentunya akan
cukup membuat terkejut Kaum Yahudi yang sedang diajak bicara karena
mereka tahu betul tentang kisah yang ditanyakan Nabi.
Fokus utama dari kisah ini tentunya adzab yang menimpa orang-
orang yang durhaka dengan menjadikan mereka kera. Ini dapat berarti
bahwa melalui kisah Aṣḥāb al-Sabt, audiens yang berada di Mekkah baik
itu Kaum Yahudi, para sahabat, maupun masyarakat Mekkah yang kafir,
akan tersadar akan kuasa Allah terhadap orang-orang yang durhaka. Maka
dari itu, ayat ini memiliki ideologi, yakni memberikan peringatan kepada
masyarakat Mekkah bahwa akan ada adzab besar yang menimpanya jika
mereka durhaka dan tidak menjalankan perintah Allah. Informasi kutukan
kera dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt pun relevan dengan ciri khas ayat
Makkiyah lainnya yaitu kalimatnya singkat disertai kata-kata yang
mengesankan dan menggetarkan hati bagi pendengarnya.
2. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian
Fragmen ini dimulai dengan menceritakan sebuah negeri di dekat
laut yang ketika itu terdapat orang-orang yang melakukan pelanggaran
pada hari Sabtu. Pelanggaran tersebut disandingkan dengan kedatangan
ikan-ikan secara terapung-apung di tepi pantai mereka. Dari fragmen ini
muncul salah satu kode dari lima kode yang dikemukakan Barthes, yaitu
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 59.28
!70
kode hermeneutik. Kode ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti:
negeri manakah yang dimaksud? Pelanggaran apa yang sebenarnya mereka
lakukan? Mengapa ikan-ikan itu datang pada hari Sabtu?
Terkait negeri yang terletak di dekat laut, hal ini sudah berusaha
dijelaskan oleh mufassir klasik dalam kitab tafsirnya. Kemungkinan-
kemungkinan negeri yang dimaksud itu adalah negeri Ailah, negeri Maqna
yang terletak di antara Madyan dan ‘Ainuni, dan ada pula yang mengatakan
negeri itu adalah Madyan yang terletak di antara Ailah dan bukit Tur.
Dalam hal ini, Uri Rubin, seorang professor dari Tel Aviv University 29
mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan negeri itu adalah Madyan
yang terletak di antara Ailah dan bukit Tur, mengingatkannya dengan ayat
dalam al-Kitab (Keluaran 16:1):
“Setelah mereka berangkat dari Elim, tibalah segenap jemaah Israel di padang gurun Sin, yang terletak di antara Elim dan gunung Sinai, pada hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir.”
Frase di antara Ailah dan bukit Tur dalam al-Qur’an ia sandingkan
dengan frase di antara Elim dan gunung Sinai. Pendapat ini ia kemukakan
dalam artikelnya yang berjudul “Become you apes, repelled!” (Quran
7:166): The transformation of the Israelites into apes and its biblical and
midrashic background”. Disandingkannya kedua frase di atas bukanlah 30
tanpa alasan. Menurutnya, kisah Aṣḥāb al-Sabt yang terdapat dalam al-
Qur’an sejalan dengan kisah kaum Nabi Musa yang keluar dari tanah Mesir
karena penindasan Fir’aun. Pendapat ini berangkat dari adanya kesamaan
episode yang diceritakan dalam al-Kitab dan al-Qur’an.
Pada al-Kitab, diceritakan kaum Nabi Musa yang dikeluarkan dari
tanah Mesir diperintahkan untuk mengembara sampai tiba di tanah yang
Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari, h. 655-658.29
Uri Rubin, “Become you apes, repelled!” (Quran 7:166): The transformation of the 30
Israelites into apes and its biblical and midrashic background”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies 78, no.1 (2015): 39.
!71
dijanjikan. Saat pengembaraan itu mereka diberi makanan dari surga, yakni
manna yang mereka olah menjadi sejenis roti. Hal ini sesuai dengan yang
diceritakan dalam al-Kitab (Keluaran 16: 4).
“Lalu berfirmanlah Tuhan kepada Musa: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.”
(Keluaran 16: 31) “Umat Israel menyebutkan namanya: manna; warnanya putih seperti ketumbar dan rasanya seperti rasa kue madu.
Informasi terkait manna ini dapat pula ditemukan dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah: 57 dan al-A‘rāf: 160.
وظ%ل3لنا ع%ليكم ال%غمام وأن%زل%نا ع%ليكم اr%ن3 والس3%لوى ك%لوا م%ن ط%يUبات م%ا رزق%ناك%م وم%ا
31ظلمونا ولكن كانوا أنفسهم يظلمون
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
وق%ط3عناه%م اث%نتي عش%رة أس%باط%ا أv%ا وأوح%ينا إل%ى م%وس%ى إذ اس%تسقاه ق%وم%ه أن اض%رب
ب%عصاك ا{ج%ر ف%انبجس%ت م%نه اث%نتا عش%رة ع%ينا ق%د ع%لم ك%لe أن%اس مش%رب%هم وظ%ل3لنا
ع%ليهم ال%غمام وأن%زل%نا ع%ليهم اr%ن3 والس3%لوى ك%لوا م%ن ط%يUبات م%ا رزق%ناك%م وم%ا ظ%لمون%ا
32ولكن كانوا أنفسهم يظلمون
“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan
QS. Al-Baqarah/2: 57.31
QS. Al-A‘rāf/7: 160.32
!72
salwa. (Kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”
Rubin kemudian membandingkan kisah itu dari kedua sumber,
yakni al-Kitab dan al-Qur’an. Dalam al-Kitab, setelah kaum Yahudi
diberikan manna, maka turun perintah Tuhan agar menyimpan makanan
untuk hari Sabat yang kudus, hari khusus untuk beribadah yang dijelaskan
dalam surat Keluaran 16: 23-29.
“Lalu berkatalah Musa kepada mereka: "Inilah yang dimaksudkan Tuhan: Besok adalah hari perhentian penuh, sabat yang kudus bagi Tuhan; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah, dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di tempatnya untuk disimpan sampai pagi.” Mereka membiarkannya di tempatnya sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. Selanjutnya kata Musa: "Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk Tuhan, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang. Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari itu.” Tetapi ketika pada hari ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya. Sebab itu Tuhan berfirman kepada Musa: "Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintah-Ku dan hukum-Ku? Perhatikanlah, Tuhan telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari. Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu.”`
Setelah diberikan aturan pada hari Sabat, yang mereka
melanggarnya, Tuhan masih belum memberikan hukuman kepada mereka.
Sampai tahap ini mereka masih terus memakan manna yang diberikan
Tuhan, hingga akhirnya mereka mengeluh dan meminta daging untuk
dimakan. Ketidakpuasan mereka terhadap manna ini pun dijelaskan dalam
al-Kitab surat Bilangan 11: 4-6.
“Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: "Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat."
Sedangkan al-Qur’an menjelaskannya dalam surat al-Baqarah: 61.
!73
وإذ ق%لتم ي%ا م%وس%ى ل%ن ن%صبر ع%لى ط%عام واح%د ف%ادع ل%نا رب3%ك يخ%رج ل%نا 3v%ا ت%نبت اÅرض
م%ن ب%قلها وق%ث3ائ%ها وف%وم%ها وع%دس%ها وب%صلها ق%ال أتس%تبدل%ون ال3%ذي ه%و أدن%ى ب%ال3%ذي ه%و
خ%ير اه%بطوا م%صرا ف%إن3 ل%كم م%ا س%أل%تم وض%رب%ت ع%ليهم ال%ذUل3%ة واr%سكنة وب%اءوا ب%غضب
م%ن ال%ل3ه ذل%ك ب%أن3%هم ك%ان%وا ي%كفرون ب%آي%ات ال%ل3ه وي%قتلون ال%ن3بيmU ب%غير ا{%قU ذل%ك J%ا
33عصوا وكانوا يعتدون
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”
Ketidakpuasan mereka terhadap manna yang diberikan Tuhan
ternyata membuat Tuhan marah. Sebelum memberikan hukuman kepada
mereka, Tuhan terlebih dahulu mengirimkan burung-burung puyuh dari
sebelah laut yang dijelaskan dalam al-Kitab surat Bilangan 11: 31.
“Lalu bertiuplah angin yang dari Tuhan asalnya; dibawanyalah burung-burung puyuh dari sebelah laut, dan dihamburkannya ke atas tempat perkemahan dan di sekelilingnya, kira-kira sehari perjalanan jauhnya ke segala penjuru, dan kira-kira dua hasta tingginya dari atas muka bumi.”
Setelah burung-burung puyuh itu berdatangan kepada mereka
sebagai makanan daging untuk dimasak, sepanjang hari mereka memburu
burung-burung puyuh itu hingga cukup untuk mereka masak. Tetapi ketika
mereka ingin memakannya, datanglah adzab Tuhan yang akan dijelaskan
pada fragmen selanjutnya. Sedangkan pada al-Qur’an, yang berdatangan
kepada mereka adalah ikan-ikan secara terapung-apung di tepi pantai.
QS. Al-Baqarah/2: 61.33
!74
Alur kisah dalam al-Kitab ini diselaraskan oleh Rubin ketika ia
merumuskan kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur`an dengan 4 episode.
Jika dilihat dalam QS. Al-A‘rāf/7 ayat 160 sampai 166, maka rangkaian
episode itu: (1) Sebuah batu dan air, (2) Manna dan salwa, (3) Sebuah
negeri dan perkataan hiṭṭah, (4) Sebuah negeri yang berada di dekat laut.
Dalam surat QS. Al-Baqarah/2: 57-61 episodenya menjadi: (1) Manna dan
salwa, (2) Sebuah negeri dan perkataan hiṭṭah, (3) Sebuah batu dan air, (4)
Ketidakpuasan terhadap manna , dan pada QS. Al-Baqarah/2: 65 muncul 34
episode sebuah negeri yang terletak di dekat laut, yang episodenya seakan
terpisah dari ayat sebelumnya.
Ketika Rubin menganggap episode di atas sebagai suatu kesatuan
kisah Aṣḥāb al-Sabt, maka kode hermeneutik mengenai mengapa ikan-ikan
itu berdatangan pada hari Sabtu dapat terjawab bahwa kedatangan ikan-
ikan itu sebagai bentuk ujian terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterima kasih, yang tidak puas dengan apa yang telah diberikan Allah
kepada mereka, yakni manna. Argumentasi ini dikuatkan berdasarkan
episode-episode yang sudah dirumuskan di atas, bahwa episode keempat
dalam QS. Al-Baqarah yang menjelaskan mengenai ketidakpuasan terhadap
satu jenis makanan, berbanding lurus dengan episode keempat dalam QS.
Al-A‘rāf yang menjelaskan kedatangan ikan di negeri dekat laut.
Kedatangan ikan-ikan ini menjadi pengantar akan adzab yang ditimpakan
kepada mereka. Maka, rentetan episode ini sekaligus menjawab kode
hermeneutik yang ketiga mengenai pelanggaran apa yang sebenarnya
mereka perbuat?
Dalam kitab tafsir sudah dijelaskan bahwa pelanggaran yang
mereka lakukan adalah memancing dan menangkap ikan-ikan itu dengan
cara yang licik. Mereka membuat tambak ikan dan meletakkan jaring-
jaring pada hari Jum‘at, lalu mengambil ikan-ikan yang terjebak pada hari
Uri Rubin, “Become you apes, repelled!”: 29.34
!75
Minggu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak melanggar aturan
pada hari Sabtu. Pada versi al-Kitab, pelanggaran yang dilakukan hingga
menimbulkan kemurkaan Tuhan terjadi ketika mereka tidak puas terhadap
manna yang diberikan, dan menginginkan daging sebagai bahan makanan.
Sebelumnya mereka sudah melanggar dengan mengumpulkan manna pada
hari Sabtu, tetapi Tuhan masih belum menghukum mereka. Baru kemudian
setelah nafsu rakus memasuki mereka dengan meminta daging, Tuhan
mengadzab mereka dengan didahului oleh kedatangan burung-burung
puyuh dari sisi laut.
Dalam al-Qur’an yang disusun berdasarkan episode oleh Rubin,
dapat dilihat bahwa pelanggaran yang dilakukan merupakan akumulasi dari
kefasikan mereka. Al-Qur’an menginformasikan bahwa mereka diberi
manna dan salwa. Disini terdapat perbedaan dengan al-Kitab yang hanya
diberikan manna kepada kaum tersebut. Kefasikan pertama dijelaskan
ketika mereka diperintahkan memasuki sebuah negeri seraya mengatakan
hiṭṭah, yang mana mereka mengubah perkataan itu. Kefasikan kedua terjadi
ketika mereka tidak puas dengan hanya memakan manna, dan meminta
makanan yang lain seperti yang dahulu mereka biasa makan. Kefasikan
selanjutnya ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di saat ikan-
ikan berdatangan ke tepi pantai. Jika dalam al-Kitab dijelaskan bahwa
sebelumnya mereka sudah pernah melanggar pada hari Sabtu dengan
mengumpulkan manna, maka al-Qur’an kembali menginformasikan bahwa
mereka melanggar pula pada hari Sabtu ketika ikan-ikan berdatangan ke
tepi pantai. Akumulasi dari kefasikan ini yang akhirnya mengantarkan
mereka kepada adzab Allah.
Pada nuansa denotasi, fragmen ini mengambil kata Sabt sebagai
signifier. Hari Sabtu merupakan hari khusus beribadah kaum Yahudi, di
mana pada hari itu mereka tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan
apapun, dan hanya beribadah kepada Allah. Sign mengenai pengkhususan
!76
satu hari untuk beribadah membentuk concept pada makna konotasi yaitu
menunjukkan betapa pentingnya meluangkan waktu untuk menumbuhkan
nilai spiritual dalam setiap jiwa manusia, sekaligus sebagai simbol
keseimbangan dunia dan akhirat. Dengan beribadah, manusia tidak hanya
terfokus kepada urusan dunia saja. Seseorang yang selalu beribadah akan
sadar bahwa kehidupan dunia ini tidaklah abadi, sehingga tidak akan
terjebak kepada hedonisme dunia dan sifat materialistis.
Penanda lain yang terdapat dalam fragmen ini adalah kata hitan.
Ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai merupakan ikan yang besar dan
berjumlah banyak. Hitan sendiri dapat berarti ikan paus. Ikan paus
Signifier Signified
Sabt Hari ketujuh dalam
satu minggu, dapat
bermakna diam dan
istirahat. Hari
khusus beribadah
orang Yahudi
Sign
Hari khusus beribadah bagi orang
Yahudi, dimana mereka tidak
diperbolehkan melakukan
pekerjaan apapun pada hari itu.
Form Concept
Keseimbangan dalam
menjalankan kewajiban
dunia dan akhirat.
Signification
Setiap manusia harus meluangkan waktu untuk menjaga nilai
spiritualnya agar tidak terjebak pada sifat materialistis dan hedonis.
!77
merupakan sekelompok mamalia yang hidup di lautan. Sebutan "paus"
diberikan pada anggota bangsa Cetacea yang berukuran besar. Paus
mempunyai ciri-ciri bernapas menggunakan paru-paru, mempunyai rambut
(sedikit, kebanyakan ada di paus dewasa), berdarah panas, mempunyai
kelenjar susu, dan mempunyai jantung dengan empat ruang. Paus banyak
terdapat di lautan dalam seperti samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia. 35
Jika ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai secara terapung-
apung kepada penduduk Aṣḥāb al-Sabt ini adalah ikan paus, maka
peristiwa ini dapat dijelaskan dan bukanlah sesuatu yang di luar nalar.
Fenomena tersebut sering pula terjadi pada masa sekarang. Terdamparnya
paus di pantai dapat disebabkan karena kesalahan sistem navigasi paus itu
sendiri akibat perubahan kondisi alam. Paus adalah hewan yang memiliki
kebutuhan berkelompok sangat kuat. Kelompok ini dipimpin oleh pemandu
paus (pilot whales) yang ketika navigasi pemandu ini terjadi kesalahan,
maka akan berakibat pada semua anggota kelompok paus tersebut. Jadi
tidak heran ketika terjadi fenomena paus terdampar dengan jumlah
puluhan, karena gaya hidup mereka yang memang berkelompok. 36
Di awal diceritakan bahwa kisah ini terjadi di negeri yang terletak
di dekat laut, yang akan membentuk latar sosial penduduk tersebut bermata
pencaharian sebagai nelayan dan pasti sudah sangat ahli mengenai teknik
dan cara menangkap ikan. Ikan-ikan bagi nelayan ibarat sumber kehidupan
utama agar dapat terus bertahan hidup. Dari ikan-ikan yang didapatkan,
mereka dapat menjualnya di pasar dan mengumpulkan harta dari
keuntungan yang didapat. Maka, ikan bagi nelayan sama berharganya
dengan sawah bagi petani, hewan ternak bagi peternak, properti bagi
pengusaha properti, dan sebagainya. Jika ikan yang dimaksud adalah ikan
http://wwf.panda.org/knowledge_hub/endangered_species/cetaceans/about/blue_whale/35
diakses pada 7 November 2018 14.48.
https://news.nationalgeographic.com/news/2015/02/150213-pilot-whales-stranded-36
new-zealand/ diakses pada 29 September 2018 21.08.
!78
paus, tentu ini menjadi sesuatu yang sangat bernilai mengingat Paus
termasuk hewan yang sering diburu untuk diambil daging dan lemaknya
yang dengan pengolahan tertentu dapat diracik menjadi minyak yang bisa
digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit dan perut. Selain itu,
muntahan ikan paus yang biasa disebut ambergris memiliki nilai jual yang
tinggi karena dapat dijadikan bahan untuk membuat minyak wangi. Maka 37
concept yang terbentuk pada makna konotasi terhadap hitan adalah simbol
aset yang memiliki nilai jual tinggi. Ketika aset bernilai tinggi itu
berdatangan secara cuma-cuma, maka orang-orang yang durhaka akan
berbondong-bondong mengumpulkan aset tersebut, meskipun terikat
perjanjian dengan Allah untuk tidak bekerja pada hari Sabtu. Dalam al-
Kitab surat Bilangan 11: 32 dijelaskan:
“Lalu sepanjang hari dan sepanjang malam itu dan sepanjang hari esoknya bangkitlah bangsa itu mengumpulkan burung-burung puyuh itu —setiap orang sedikit-dikitnya mengumpulkan sepuluh homer—, kemudian mereka menyebarkannya lebar-lebar sekeliling tempat perkemahan.”
Betapa sibuknya orang-orang yang dipenuhi nafsu rakus
mengumpulkan aset berharga itu. Namun sebab burung-burung puyuh
menjadi aset berharga di dalam al-Kitab terjadi karena mereka
menginginkan makan daging setelah sekian lama hanya memakan manna.
Betapapun perbedaan sebab ikan atau burung puyuh itu menjadi aset yang
bernilai tinggi, terdapat satu signification yang melarang manusia untuk
tidak tamak terhadap harta dan mengumpulkannya dengan cara yang tidak
benar.
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42036429 diakses pada 7 November 2018 37
15.03.
!79
3. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati Perjanjian
Pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian penduduk Aṣḥāb al-
Sabt memiliki dampak sosial kepada penduduk lainnya yang tidak
melakukan pelanggaran dan masih taat kepada Allah. Hal ini terlihat dari
tiga kode aksi yang terdapat dalam fragmen ini. Kode aksi tersebut adalah
pertama, pertanyaan dari ummatun kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’,
kedua, jawaban allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ kepada ummatun dan satu
kode aksi yang tidak dijelaskan secara tersirat, yakni nasihat yang
disampaikan oleh allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ kepada allażīna ẓalamū.
Penyampaian nasihat yang dilakukan oleh allażīna yanhauna ‘ani
al-sū’ ini terlihat ketika ummatun bertanya kepada mereka tentang mengapa
Signifier Signified
Hitan Ikan-ikan yang
hidup di dalam laut.
Dapat juga diartikan
ikan paus.
Sign
Ikan-ikan yang berdatangan ke
tepi pantai pada hari Sabtu dan
terlihat terapung-apung di
permukaan air.
Form Concept
Aset dengan nilai tinggi yang
diperebutkan orang-orang.
Signification
Manusia tidak boleh tamak terhadap harta ataupun mengumpulkan
harta dengan cara yang tidak benar.
!80
harus menasihati kaum yang Allah akan membinasakan kaum itu. Tanda ini
menunjukkan bahwa sebelum ummatun bertanya mengenai hal itu, allażīna
yanhauna ‘ani al-sū’ sudah sering memberikan nasihat kepada allażīna
ẓalamū. Maka dari itu, urutan kode aksi pada fragmen ini adalah
penyampaian nasihat, pertanyaan ummatun, dan jawaban allażīna
yanhauna ‘ani al-sū’.
Kode aksi pertama, yakni penyampaian nasihat memberikan tanda
bahwa allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ memiliki sifat yang peduli terhadap
masyarakat sekitarnya. Nasihat yang mereka sampaikan merupakan respon
atas pelanggaran yang dilakukan oleh allażīna ẓalamū. Mereka sadar
bahwa akan ada adzab bagi setiap orang yang melanggar perjanjian dengan
Tuhan. Sifat peduli terhadap masyarakat dan tindakan untuk terus
menyampaikan nasihat ini merupakan nilai positif yang dapat dipetik dari
karakter allażīna yanhauna ‘ani al-sū’.
Selain itu, ketika kembali diasumsikan bahwa ikan-ikan yang
berdatangan ke tepi pantai adalah ikan paus, nasihat yang disampaikan
untuk tidak mengeksploitasi ikan paus itu merupakan sifat kepedulian
terhadap ekosistem laut. Hal ini didasarkan atas teori yang dikemukakan
pakar biologi kelautan tentang kotoran paus yang berperan penting bagi
ekosistem laut. Kotoran paus mengandung banyak zat besi yang berguna
untuk perkembangan fitoplankton. Sebagaimana diketahui, fitoplankton ini
keberadaannya sangat penting karena menjadi dasar bagi keberlangsungan
rantai makanan di lautan. Fitoplankton lah yang memberi makan semua
makhluk hidup yang ada di samudera, termasuk krill yang tidak lain adalah
makanan paus itu sendiri. Oleh karena itu, ketika allażīna ẓalamū terus-38
menerus mengumpulkan ikan paus itu dan terus mengeksploitasinya, maka
ekosistem laut akan terancam akibat kehilangan fitoplankton yang menjadi
http://wwf.panda.org/knowledge_hub/endangered_species/cetaceans/about/38
blue_whale/ diakses pada 7 November 2018 15.05.
!81
peran penting bagi rantai makanan di lautan. Maka respon yang diberikan
oleh allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ adalah mengingatkan dan
menyampaikan nasihat kepada mereka yang mengambil ikan paus itu agar
berhenti mengeksploitasinya. Tindakan ini sebagai bentuk kepedulian
mereka terhadap ekosistem laut, yang merupakan ladang penghidupan
seorang nelayan.
Kode aksi yang kedua merupakan respon yang disampaikan oleh
ummatun ketika melihat allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ masih terus saja
memberikan nasihat kepada orang-orang yang melanggar. Mereka
menggunakan frase lima ta‘iżūna qauman sebagai sebuah pertanyaan yang
mereka lontarkan kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’. Frase yang
memiliki arti mengapa kamu menasihati kaum ini sekaligus menjadi
signifier pada sistem semiotik tingkat pertama yang akan dicari pemaknaan
pada makna konotasinya. Bentuk pertanyaan yang disampaikan ummatun
ini seakan ingin menjelaskan bahwa menurut ummatun nasihat yang
disampaikan itu hanya akan sia-sia, karena mereka yang melanggar akan
diadzab oleh Allah. Disini terlihat bahwa di antara mereka sudah sama-
sama tahu jika ada yang melanggar aturan, maka akan diadzab.
Di sisi lain, pertanyaan ummatun tentang mengapa memberikan
nasihat terkesan aneh karena penyampaian nasihat merupakan suatu hal
yang baik. Jadi, ketika seseorang mempertanyakan orang lain yang
melakukan perbuatan baik, bisa dikatakan pertanyaan itu menjadi suatu hal
yang tidak baik dan orang yang bertanya memiliki sifat yang tidak baik
pula. Hal ini kemungkinan dilatarbelakangi ketika ummatun melihat
allażīna ẓalamū berbondong-bondong mengumpulkan ikan-ikan yang tidak
lain adalah aset bernilai tinggi di kalangan penduduk Aṣḥāb al-Sabt.
Perilaku mengeksploitasi aset ini membuat ummatun ingin juga
mendapatkan aset tersebut. Rasa dilema memenuhi hati ummatun karena
satu sisi mereka tahu perbuatan itu dilarang, namun di sisi lain mereka
!82
ingin mengambil ikan-ikan yang datang. Dilema tindakan itu pada akhirnya
akan menimbulkan perasaan gelisah, ingin marah, sampai timbul
kedengkian kepada mereka yang mengumpulkan aset bernilai tinggi. Maka
concept pada makna konotasi terhadap pertanyaan lima ta‘iżūna qauman
adalah dilema hati dan perasaan dengki kepada pengumpul aset bernilai
tinggi. Ummatun memberikan pesan kepada pembaca bahwa perasaan
dengki akan berakibat kepada perbuatan yang tidak baik dan menghambat
seseorang untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.
Signifier Signified
Lima
ta‘iżūna
qauman
Redaksi yang
disampaikan oleh
ummatun. Artinya
“Mengapa kamu
menasihati kaum?”
Sign
Pertanyaan ummatun tentang
nasihat yang disampaikan kepada
qauman, di mana mereka akan
dibinasakan dan diadzab dengan
sangat keras oleh Allah.
Form Concept
Dilema hati dan perasaan
dengki kepada pengumpul
aset bernilai tinggi.
Signification
Perasaan dengki akan berakibat kepada perbuatan yang tidak baik
dan menghambat seseorang untuk saling mengingatkan dalam
kebaikan.
!83
Kode aksi ketiga merupakan respon yang diberikan oleh allażīna
yanhauna ‘ani al-sū’ atas pertanyaan ummatun. Respon yang diberikan
menggunakan frase ma‘żiratan ila rabbikum yang berarti sebagai alasan
(pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu. Frase ini sekaligus menjadi
kode semik karena mengandung sebuah isyarat dalam penggunaan kata ila
rabbikum. Dalam penjelasan di kitab tafsir, penyebutan Tuhanmu dan
bukan Tuhan kita atau Tuhan kami merupakan bentuk sindiran kepada
ummatun bahwa sebenarnya mereka juga masih mempunyai kewajiban
untuk menasihati allażīna ẓalamū. Kalimat sindiran ini menjadi concept
pada makna konotasi dari kata ma‘żiratan ila rabbikum. Sebuah kalimat
yang menegaskan bahwa ummatun memiliki kewajiban yang sama dengan
allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ dalam hal mendakwahi orang-orang yang
melanggar. Jawaban yang dikemas dalam bentuk sindiran ini tentunya
membuat ummatun tersentak atas kealpaannya memberikan nasihat. Dari
hal ini, signifikasi yang dapat dipetik yaitu setiap manusia memiliki
kewajiban untuk saling nasihat-menasihati dan melarang orang lain untuk
melakukan perbuatan buruk.
Signifier Signified
Ma‘żirata
n ila
rabbikum
Redaksi yang
disampaikan oleh
allażīna yanhauna
‘ani al-sū’. Artinya
“sebagai alasan
kepada Tuhanmu.”
Sign
Jawaban dari allażīna yanhauna ‘ani
al-sū’ atas pertanyaan ummatun.
Form Concept
!84
4. Fragmen III: Kutukan Kera
Pada fragmen ini terdapat kode simbolik yang direpresentasikan
oleh antitesis antara golongan yang diselamatkan dan golongan yang
ditimpakan adzab yang keras. Kode simbolik ini memakai frase anjainā
(selamat) yang berlawanan dengan frase akhażnā (timpa), bi ‘ażābin ba’īs
(dengan siksaan yang keras). Adzab yang ditimpakan kepada allażīna
ẓalamū ini kemudian dijelaskan pada ayat setelahnya bahwa mereka
dijadikan kera yang hina.
Terkait hal ini, dalam artikel yang ditulis Rubin, adzab yang
ditimpakan kepada allażīna ẓalamū memiliki perbedaan yang signifikan
antara yang terdapat dalam al-Kitab dengan yang tertulis dalam al-Qur’an.
Dalam al-Kitab surat Bilangan 11: 33-34.
“Selagi daging itu ada di mulut mereka, sebelum dikunyah, maka bangkitlah murka Tuhan terhadap bangsa itu dan Tuhan memukul bangsa itu dengan suatu tulah yang sangat besar. Sebab itu dinamailah tempat itu Kibrot-Taawa, karena di sanalah dikuburkan orang-orang yang bernafsu rakus.
Diceritakan dalam al-Kitab bahwa orang-orang yang memakan
burung puyuh ditimpakan tulah yang sangat besar berupa kematian.
Mereka yang mati karena nafsu rakus mereka mengumpulkan dan
memakan burung puyuh itu akhirnya dikuburkan di tanah yang sedang
Kalimat sindiran kepada
ummatun bahwa mereka
pun memiliki kewajiban
untuk memberikan nasihat.
Signification
Setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling nasihat-menasihati
dan melarang orang lain untuk melakukan perbuatan buruk.
!85
mereka tempati. Dinamakanlah tanah itu dengan Kibrot-Taawa atau
kuburan nafsu. Menurut Rubin, adzab berupa kematian yang diceritakan
dalam al-Kitab ini dapat diselaraskan dengan adzab yang ditimpakan
kepada allażīna ẓalamū yang menggunakan frase akhażnā (timpa), bi
‘ażābin ba`īs (dengan siksaan yang keras). Informasi mengenai adzab
berupa siksaan yang keras ini (QS. Al-A‘rāf/7: 165) mendahului adzab
kutukan kera yang terdapat pada QS. Al-A‘rāf/7: 166. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa adzab yang menimpa allażīna ẓalamū memiliki dua
bentuk, yaitu berupa kematian yang menimpa sebagian golongan, dan
kutukan kera pada golongan yang lain.
Sebelum masuk ke penjelasan mengenai kutukan kera, pada nuansa
denotasi terdapat signifier yang diambil dari kata nasū mā żukkirū bihi.
Kata ini memiliki arti mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada
mereka. Pada fragmen II telah dijelaskan bahwa allażīna yanhauna ‘ani al-
sū’ adalah sebagian penduduk Aṣḥāb al-Sabt yang senantiasa
mengingatkan dan memberikan nasihat kepada allażīna ẓalamū. Nasihat
yang disampaikan itu bertujuan agar allażīna ẓalamū kembali bertakwa dan
tidak melakukan pelanggaran lagi. Walaupun nasihat itu disampaikan
secara terus-menerus, tetap saja tidak dapat memberikan hidayah kepada
mereka yang melanggar. Hingga pada fragmen ini al-Qur’an
menginformasikan bahwa allażīna ẓalamū telah melupakan apa yang
diperingatkan kepada mereka. Di atas telah dijelaskan bahwa lupa yang ada
pada mereka bukanlah lupa (tidak ingat) yang dapat menggugurkan
jatuhnya adzab. Lupa yang terdapat pada allażīna ẓalamū adalah
terhentinya pengaruh peringatan itu ke dalam jiwa mereka, hingga mereka
mengabaikan dan sengaja melakukan pelanggaran. Dari penjelasan ini,
concept yang terbentuk pada makna konotasi dari kata nasū mā żukkirū
bihi, yaitu terhentinya hidayah dalam jiwa.
!86
Kejadian ini dapat pula digali nilai universalnya. Ketika orang-
orang sudah terbiasa melakukan dosa setiap hari secara berulang-ulang,
maka dosa itu sudah bukan lagi suatu hal yang perlu dikhawatirkan.
Misalnya saja seorang pezina yang pada awalnya masih timbul rasa
bersalah dengan melakukan perzinahan dan masih memikirkan dosa serta
adzab yang akan menimpanya, namun ketika perbuatan itu dilakukan
secara terus-menerus, maka perzinahan akan menjadi suatu hal yang biasa
dan tidak timbul rasa bersalah sama sekali. Bahkan semua hal yang
dianggap buruk jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi biasa
dan tidak timbul perasaan bersalah lagi, padahal sebenarnya mereka tahu
jika hal itu merupakan perbuatan yang buruk.
Signifier Signified
Nasū mā
żukkirū
bihi
Allażīna ẓalamū
melupakan apa
yang diperingatkan
kepada mereka.
Sign
Melupakan yang dapat diartikan
dengan sengaja mengabaikan dan
melanggar apa yang diperingatkan.
Form Concept
Terhentinya hidayah dalam
jiwa orang yang
melakukan pelanggaran.
Signification
Perbuatan buruk yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi
suatu hal yang biasa dan tidak berdampak lagi pada hati orang yang
melakukannya, serta terhentinya hidayah ke dalam jiwa mereka.
!87
Selanjutnya dalam fragmen ini terdapat kode semik yang
ditunjukkan oleh frase qiradatan (kera). Kera ini merupakan binatang yang
ditunjuk Allah sebagai bentuk adzab yang ditimpakan kepada allażīna
ẓalamū. Dalam kitab tafsir, kutukan kera memiliki perbedaan makna antara
mufassir klasik dan kontemporer. Mufassir klasik cenderung menerima
perubahan bentuk manusia menjadi kera sebagai adzab yang ditimpakan
kepada allażīna ẓalamū. Berbeda halnya dengan mufassir kontemporer 39
yang menganggap bahwa kutukan kera yang dialami allażīna ẓalamū
berarti dimasukkannya sifat-sifat kera ke dalam jiwa mereka. Ketika sifat-
sifat mereka menjadi seperti kera, maka hilanglah martabat kemanusiaan
mereka. Derajat mereka turun menjadi derajat binatang. 40
Makna konotasi kera kiranya dapat dijelaskan lebih jauh dengan
menggali sifat-sifat kera yang sesungguhnya. Terkait hal ini, sejumlah
pakar primatologi dari Institut Max Planck di Leipzig, Jerman melakukan
penelitian terhadap kawanan kera di pulau Ngamba, danau Victoria,
Uganda. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu bagaimana
sekelompok kera bisa bekerjasama dalam pekerjaannya. Penelitian
dilakukan dengan meletakkan sebuah papan berisi pisang yang diletakkan
di luar kandang. Papan tersebut dipasangi dua anting logam, lalu dipasangi
tali melewati anting logam itu, sehingga dua ujung talinya berada di dalam
kandang. Jika hanya salah satu ujung tali yang ditarik, maka papan tidak
akan bergerak dan tali itu akan terlepas. Jadi dua tali yang berada di dalam
kandang itu harus ditarik bersamaan agar papan bisa bergerak. Penelitian
tersebut mendapatkan hasil bahwa jika semua makanan itu diletakkan di
tengah papan dan ditunjukkan kepada kelompok kera, ternyata tidak ada
yang dapat memecahkan masalah tersebut. Penyebabnya, kera ini sibuk
sendiri memikirkan siapa yang akan memperoleh makanan itu dan
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, h. 669. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, h. 761.39
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur`an, Juz 5, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid 40
(Jakarta: Robbani Press, 2003), h. 414. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 213-214.
!88
memonopolinya. Itulah sebabnya kera tidak dapat bekerjasama
memecahkan masalah. Masing-masing individu menolak bekerjasama,
karena tahu yang lainnya akan mencuri makanan tersebut. Kerapuhan
kerjasama mereka ini akibat dari kendala toleransi di antara mereka sendiri
karena sifat individualis dan egois yang tidak dapat mereka tahan.” 41
Penelitian lain tentang kera dilakukan oleh tim peneliti dari
universitas-universitas di USA. Mereka memulai penelitiannya dengan
membuat apa yang disebut “mesin kemurahan hati”. Mesin ini memiliki
dua tuas. Tuas pertama jika ditarik mengeluarkan dua pisang, sedangkan
tuas kedua jika ditarik hanya mengeluarkan satu pisang. Kehadiran mesin
ini untuk melihat seberapa jauh simpanse memiliki rasa ingin berbagi
dengan sesamanya jika mendapatkan dua pisang. Hasilnya menunjukkan
bahwa kera memiliki sifat acuh tak acuh. Kadang mereka membagikan satu
pisang lainnya kepada pasangannya, tetapi ketika ada kera lain yang
melihatnya memiliki dua pisang, maka kera tersebut tidak akan
membagikan satu pisang pun kepada kera yang lain. Percobaan ini terus
berlanjut hingga tim berkesimpulan bahwa kera tidak memiliki perasaan
ingin berkorban terhadap orang lain. 42
Hasil penelitian terhadap kera di atas menjadi jawaban atas kode
semik yang terdapat dalam fragmen ini. Kutukan kera memiliki makna
konotasi sifat individualis dan egois, tidak toleran terhadap orang lain,
rakus yang memunculkan keinginan untuk memonopoli sesuatu, dan tidak
memiliki perasaan ingin berkorban terhadap orang lain. Sifat tercela dari
kera yang sesuai dengan frase qiradatan khāsi’īn (signifier) ini menjadi
Alicia P. Melis, Brian Hare, Michael Tomasello, Engineering Cooperation in 41
Chimpanzees: Tolerance Constrains on Cooperation, Animal Behaviour 72, no. 2 (2006), h 283.
Jennifer Vonk, Sarah F. Brosnan Joan B. Silk, Joseph Henrich, Amanda S. Richardson, 42
Susan P. Lambeth, Stephen J. Schapiro, Daniel J. Povinelli, Chimpanzees do not take advantage of very low cost opportunities to deliver food to unrelated group members, Animal Behaviour 75, no.5 (2008), h. 16.
!89
pengantar bagi signified pada makna konotasi yaitu sebagai simbolisme
nafsu rakus, egois, dan monopolistik.
Allah mengadzab allażīna ẓalamū dengan frase kūnū qiradatan
khāsi’īn yang berarti jadilah kamu kera yang hina. Ketika sampai pada
makna konotasi, maka sesaat setelah allażīna ẓalamū mengambil ikan-ikan
yang datang, akan memiliki sifat rakus, egois, dan monopolistik. Hal ini
sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa mereka mengumpulkan ikan
atau burung puyuh yang datang sepanjang siang dan malam, mengingat
ikan itu adalah aset bernilai tinggi yang harus dikumpulkan untuk
menumpuk kekayaan. Mereka rakus ketika ingin memakan ikan atau
burung puyuh yang datang, karena bosannya mereka terhadap manna.
Sikap egois dan monopolistik tercermin ketika mereka dengan sepihak
melanggar perjanjian pada hari Sabtu. Mereka menghabiskan hari-hari
mereka dengan memonopoli ikan yang dapat dijadikan aset berharga. Sikap
tidak toleran terhadap orang lain terlihat ketika mereka angkuh dan tidak
mengindahkan nasihat yang disampaikan oleh allażīna yanhauna ‘ani al-
sū’. Karena sikap inilah akhirnya mereka melupakan peringatan yang
disampaikan hingga hilangnya hidayah yang ada dalam jiwa mereka.
Penggunaan makna konotasi terhadap kutukan kera adalah penjelasan logis
yang dapat dikontekstualisasikan pada masa sekarang. Mengingat kutukan
kera ini sebagai peringatan untuk orang-orang di masa itu dan orang-orang
setelahnya (QS. Al-Baqarah/2: 66). Pada kisah Aṣḥāb al-Sabt, pelanggaran
yang dilakukan allażīna ẓalamū adalah akumulasi sifat kefasikan mereka
dari pengubahan kata hiṭṭah, ketidakpuasan mereka terhadap manna, dan
melanggar aturan pada hari Sabtu.
Perintah untuk tidak melanggar pada hari Sabtu, dimana hari itu
adalah hari khusus beribadah, tercantum dalam sembilan perintah bagi
orang-orang Yahudi. Sembilan perintah ini dapat diartikan dengan perintah-
perintah pokok yang harus mereka jalankan dalam beragama. Di dalam
!90
agama Islam, perintah pokok dalam beragama kita kenal dengan Rukun
Islam. Maka, sembilan perintah yang ada dalam kaum Yahudi dapat
dikontekstualisasikan dengan rukun Islam dalam agama Islam.
Konsekuensi dari rumusan ini yaitu jika seorang Muslim tidak
melaksanakan rukun Islam yang lima seperti syahadat, shalat, puasa, zakat,
dan haji, tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, pun tidak
melaksanakan kewajiban mingguan, yaitu shalat Jum‘at, maka sifat-sifat
seperti nafsu rakus, egois, dan monopolistik akan tertanam dalam jiwa
manusia yang tidak menjalankan perintah agama.
Signifier Signified
Kūnū
qiradatan
khāsi’īn
Kalimat kutukan
yang artinya:
Jadilah kamu kera
yang hina
Sign
Kutukan yang diberikan Allah
kepada allażīna ẓalamū dengan
menjadikan mereka kera yang hina.
Form Concept
Simbolisme sifat egois,
rakus, individualis, dan
monopolistik
Signification
Setiap Muslim yang tidak menjalankan rukun Islam, dan tidak
bersyukur atas nikmat Allah, maka akan timbul sifat egois, rakus,
tidak toleran terhadap orang lain, dan keinginanan untuk memonopoli
sesuatu.
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
Untuk menganalisis kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam QS. Al-A‘rāf/7:
163-166 dengan menggunakan semiotika Roland Barthes, diperlukan
langkah-langkah metodis yang disusun oleh Barthes sendiri, di antaranya
adalah memotong teks ayat menjadi beberapa fragmen, menginventarisasikan
kode-kode dan semua struktur yang membangun cerita tersebut, kemudian
melakukan analisis semiotis dengan menggunakan dua tingkatan pemaknaan,
yaitu denotasi dan konotasi.
Kisah Aṣḥāb al-Sabt penulis bagi ke dalam tiga fragmen pembacaan yang
masing-masing fragmen memiliki makna denotasi dan konotasinya sendiri.
Fragmen-fragmen tersebut yaitu, pertama pelanggaran perjanjian, kedua
dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian, ketiga kutukan kera.
Pada makna denotasi, yang penulis istilahkan dengan nuansa denotatif,
masing-masing fragmen dimaknai sesuai dengan makna apa adanya yang
memiliki tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Pada makna
konotasi, yang penulis istilahkan dengan nuansa mitos, setiap fragmen
dianalisis dengan mengambil makna denotasi sebagai langkah awal untuk
mendapatkan makna mitos, yang juga melibatkan hubungan internal teks al-
Qur’an, intertekstualitas dari penjelasan kitab tafsir, al-Kitab, artikel yang
menulis kisah Aṣḥāb al-Sabt, maupun perangkat studi ilmu al-Qur’an lainnya.
Fragmen pelanggaran perjanjian memiliki tanda-tanda yang dapat dicari
dua tingkatan pemaknaannya, yaitu kata sabt dan ḥītan. Sabt pada nuansa
denotatif bermakna hari ketujuh dalam satu minggu. Pada nuansa mitos, kata
sabt menunjukkan makna keseimbangan dalam menjalankan dunia dan
akhirat, sehingga signifikasi yang diperoleh yaitu setiap manusia harus
meluangkan waktu untuk menjaga nilai spiritualnya agar tidak terjebak pada
sifat materialistis dan hedonis.
"91
"92
Fragmen dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian memiliki pesan
bahwa perasaan dengki akan menghambat seseorang dalam berbuat kebaikan,
dan isyarat untuk selalu menyampaikan nasihat kepada setiap manusia,
berdasarkan tanda-tanda yang terdapat dalam fragmen ini.
Fragmen kutukan kera penuh dengan isyarat simbolis karena
menggunakan hewan kera terkait adzab yang diberikan Allah. Konsep
simbolis kera ini kemudian melahirkan pesan kepada manusia agar tidak
egois, rakus, ataupun bersikap intoleransi kepada orang lain. Karena sifat
inilah yang dimiliki oleh kera.
Jika dilihat dari keseluruhan ceritanya, maka pesan-pesan filosofis yang
terdapat dalam kisah ini yaitu:
1. Manusia harus meluangkan waktu untuk menjaga nilai spiritualnya agar
tidak terjebak pada sifat materialistis dan hedonis.
2. Manusia tidak boleh tamak terhadap harta ataupun mengumpulkan harta
dengan cara yang tidak benar.
3. Perasaan dengki akan berakibat kepada perbuatan yang tidak baik dan
menghambat seseorang untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.
4. Setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling nasihat-menasihati dan
melarang orang lain untuk melakukan perbuatan buruk.
5. Perbuatan buruk yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi hal
yang biasa, sehingga akan terhentinya hidayah ke dalam jiwa.
6. Setiap Muslim yang tidak menjalankan rukun Islam, dan tidak bersyukur
atas nikmat Allah, maka akan timbul sifat egois, rakus, tidak toleran
terhadap orang lain, dan keinginanan untuk memonopoli sesuatu.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa penelitian al-Qur’an yang menggunakan
pendekatan semiotika terus berkembang. Sejauh yang penulis telusuri,
penggunakan pendekatan semiotika banyak diterapkan pada kisah-kisah yang
"93
ada dalam al-Qur’an, karena semiotika erat kaitannya dengan karya sastra. Di
antara kisah-kisah yang belum penulis temukan penelitiannya yaitu kisah
Maryam, kisah Sulaiman dan malaikat Harut Marut, kisah Aṣḥāb al-Aikah,
kisah Nabi Daud, ataupun kisah Ibrahim yang menggunakan semiotika
Roland Barthes. Selain diterapkan pada kisah, semiotika dapat pula diterapkan
pada ayat-ayat yang memiliki penafsiran beragam dan dimungkinkannya dua
tingkatan pemaknaan dari ayat-ayat yang diteliti.
Sebagaimana diketahui, semiotika terbagi atas beberapa pendekatan sesuai
metode yang disusun oleh para tokohnya. Selain mencari materi kisah yang
berbeda dan belum pernah dibahas, penelitian selanjutnya dapat pula
menggunakan kisah yang sudah dibahas tetapi dengan pendekatan semiotika
yang berbeda. Dengan perbedaan pendekatan, maka akan mendapatkan hasil
yang berbeda pula, yang mana dengan itu akan menambah khazanah keilmuan
al-Qur’an.
"94
DAFTAR PUSTAKA
Akmaldin, Noor. Al-Qur`an tematis: Kisah-kisah dalam al-Qur`an 2. Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010.
Allajji, Muhammad. “Struktur dan Semiotik Surat Hud (Analisis Strukturalisme dan Semiotika dalam al-Qur’an)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
Allen, Graham, Roland Barthes. London: Routledge, 2003.
‘Abd al-Baqi’, M. Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur`an al-Karīm. Kairo: Dar al-Kitab, 1364.
Barthes, Roland, Elements of Semiology. New York: Hill and Wang, 1968.
———. Image Music Text. London: Fontana Press, 1977.
———. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1991.
———. Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Berger, Arthur Asa. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000.
Al-Bukhari. Shahih Bukhari. Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.
al-Darwisy, Muhyiddin. I‘rāb al-Qur’ān al-Karīm wa bayānuhu. Damsyik: Dār al-Yamāmah, 2005.
Faridatunnisa, Nor. “Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an (Telaah Semiotik)”. Tesis, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015.
Firdaus, Luthfi. “Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.
Fitriyana, Pipit Aidul. “Kisah Yusuf Dalam al-Qur’an: Perspektif Semiologi Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014.
Haizumiah. “Kesatuan Kisah Khalafallah dalam QS. Al-Kahfi; Analisis Semiotika Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.
Hakim, M. Baqir. Ulumul Quran. Jakarta: Al Huda, 2012.
"95
‘Abd Halim, Mani’, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu, 2014.
Iballa, Dona Kahfi MA. “Nilai-Nilai Ideologis Kisah Aṣḥāb al-Kahf Dalam QS. Al-Kahf (Aplikasi Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
Imron, Ali. Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf. Yogyakarta: Teras, 2011.
Khoiriyah, Ulufatul. “Perempuan Sebagai Ḥarṡun Dalam al-Qur’an (Kajian Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera, 2001.
Ibn Manẓur al-Miṣrī, Abī Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukarram, Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār Ṣādr.
Melis, Alicia P. Brian Hare. Michael Tomasello. Engineering Cooperation in Chimpanzees: Tolerance Constrains on Cooperation, Animal Behaviour 72, no. 2 (2006)
Mu’asyaroh, Malikhatul. “Pemaknaan Mitos Kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.
Mubarak, Husni. “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis Dari Semiologi Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.
al-Mujahid, A. Thoha Husein. Kamus al-Waafi: Arab-Indonesia. Depok: Gema Insani, 2016.
Mujib, Muhammad Khairul. “Jadal al-Qur’an dalam Perspektif Mitologis Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.
Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama. Malang: UIN-Malang Press, 2007.
"96
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017.
Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari, 2012.
al-Qaṭṭān, Manna. Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurthubi. terj. Sudi Rosadi (dkk), Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Quṭb, Sayyid. Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur`an. Jakarta: Robbani Press, 2003.
Ramadhanti, Dina. Buku Ajar Apreasiasi Prosa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Rubin, Uri. “Become you apes, repelled!” (Quran 7:166): The transformation of the Israelites into apes and its biblical and midrashic background”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies 78, no.1 (2015)
Sanusi, Irpan. “Pesan Semiotis al-Qur’an: Analisis Strukturalisme QS. Al-Lahab”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.
Saussure, Ferdinand de. Course in General Linguistics. New York: McGraw-Hill Book Company, 1966.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Sofia, Adib. Sugihastuti. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis, 2003.
Subayu, Rony. “Al-Qur’an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes Sebagai Metode Penafsiran al-Qur’an”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.
al-Suyūṭi, Jalāluddīn. al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur`an. Beirut: Resalah Publisher, 2008.
Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Syibromalisi, Faizah Ali. Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
Ṭabaṭaba’i. Tafsir al-Mizan. terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2010.
"97
Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, terj. Ahsan Askan, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Tirmiżi. Sunan Tirmiżi. Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.
Ulumuddin, “Kisah Luth Dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.
Vonk, Jennifer. (dkk). Chimpanzees do not take advantage of very low cost opportunities to deliver food to unrelated group members, Animal Behaviour 75, no.5 (2008).
Wartini, Atik, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”. Hunafa: Jurnal Studi Islamika 11, no.1 (2014)
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2009.
Zoest, Aart Van. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia, 1996.
Internet References http://wwf.panda.org/knowledge_hub/endangered_species/cetaceans/about/blue_whale/ https://news.nationalgeographic.com/news/2015/02/150213-pilot-whales-stranded-new-zealand/ https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42036429