kisah aṣḥāb al-sabt dalam al-qur'an: analisis semiotika

109
KISAH AṢḤĀB AL-SABT DALAM AL-QUR’AN: ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Noval Aldiana Putra 11140340000023 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2018 M i

Upload: khangminh22

Post on 27-Feb-2023

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KISAH AṢḤĀB AL-SABT DALAM AL-QUR’AN: ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh Noval Aldiana Putra

11140340000023

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H / 2018 M

!i

PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari

pedoman Arab-Latin yang diangkat dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun

1987 dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ṡ Es dengan titik di atas

ج J Je

ح Ḥ Ha dengan titik di bawah

خ Kh Ka dan ha

د D De

ذ Ż Zet dengan titik di atas

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

ش Sy Es dan ye

ص Ṣ Es dengan titik di bawah

ض Ḍ De dengan titik di bawah

ط Ṭ te dengan titik di bawah

ظ Ẓ Zet dengan titik di bawah

ع ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan

!v

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan Alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

غ G Ge

ف F Ef

ق Q Ki

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه H Ha

ء ’ Apostrof

ي Y Ye

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatḥah

I Kasrah

U Ḍammah

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

بينكم Ai A dan I

قول Au A dan u

!vi

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun

huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl, al-ṭīn.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah (Tasydīd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

جاهلية Ā A dengan garis di atas

مجيد Ī I dengan garis di atas

فروض Ū U dengan garis di atas

!vii

ABSTRAK

Noval Aldiana Putra. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Al-Qur’an: Analisis Semiotika Roland Barthes, 2018

Skripsi ini membahas kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur’an dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Salah satu hal menarik yang terdapat dalam kisah ini adalah penggunaan hewan kera sebagai bentuk adzab dari Allah kepada orang-orang yang melanggar perjanjian. Bentuk adzab ini penuh dengan isyarat simbolis yang dalam hal ini relevan untuk diterapkan dengan pendekatan semiotika. Maka, kisah Aṣḥāb al-Sabt akan penulis uraikan dan tafsirkan dengan pendekatan semiotika Roland Barthes, sehingga dapat diceritakan keseluruhan kisahnya dan menggali pesan-pesan filosofis di balik kisah tersebut. Pesan inilah yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Semua data tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur’an dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan semiotika Roland Barthes. Analisis ini terbagi atas dua tingkat pemaknaan, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi adalah makna kebahasaan, yang sesuai dengan arti yang disepakati, sedangkan makna konotasi adalah makna tingkat kedua yang memakai makna denotasi sebagai landasan utamanya, yang di sinilah terdapat makna mitos seperti yang diistilahkan Roland Barthes.

Hasil dari penelitian ini yaitu kisah Aṣḥāb al-Sabt terbagi atas tiga fragmen. Pertama, fragmen pelanggaran perjanjian, kedua, fragmen dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian, ketiga, fragmen kutukan kera. Masing-masing fragmen memiliki makna denotasi dan makna konotasi, sehingga menghasilkan signifikasi seperti keseimbangan dalam menjalankan kewajiban dunia dan akhirat, larangan berbuat tamak yang mengarah pada sifat materialistis dan hedonis, kewajiban untuk saling nasihat-menasihati dalam kebaikan, dan jika seorang Muslim tidak menjalankan rukun Islam, maka akan timbul sifat egois, rakus, tidak toleran terhadap sesama, serta keinginan untuk memonopoli sesuatu.

Kata kunci: Roland Barthes, semiotika, semiologi, mitos, sign, Aṣḥāb al-Sabt, kera, kisah al-Qur’an.

!viii

ABSTRACT

Noval Aldiana Putra. The story of Aṣḥāb al-Sabt in the Qur'an: Semiotic Analysis of Roland Barthes, 2018

This thesis discusses the story of Aṣḥāb al-Sabt in the Qur'an with the semiotic approach of Roland Barthes. One of the interesting things found in this story is the use of ape as a form of punishment from Allah to those who violate the agreement. This punishment is full of symbolic signals which in this case are relevant to be analyzed with the semiotic approach. Thus, the Aṣḥāb al-Sabt story will be described and interpreted with Roland Barthes's semiotic approach, so that the whole story can be informed and the philosophical messages behind the story can be explored. This message can be used in everyday life.

This is a library research. All data on the story of Aṣḥāb al-Sabt in the Qur'an are collected, then analyzed by Roland Barthes's semiotics. This analysis is divided into two levels of meaning, namely denotation and connotation. Denotation is linguistic meanings, which are in accordance with agreed meanings, while connotation are the second level meanings that use denotation as the main foundation. This second level of meaning is myth as termed by Roland Barthes.

The results of this study are: the story of Aṣḥāb al-Sabt is divided into three fragments. First, fragment of covenant violations, second, fragment of dialogue between two groups that obey the agreement, third, fragment of ape curses. Each fragment has denotation and connotation meaning, resulting in significance such as balance in carrying out the obligations of the world and the hereafter, the prohibition of greedy actions that lead to materialistic and hedonic, obligations to mutual advice-exhorting in kindness, and if a Moslem does not practice the pillars of Islam, it will arise the nature of selfish, greedy, intolerant to others, and the desire to monopolize something.

Keywords: Roland Barthes, semiotics, semiology, myths, sign, Aṣḥāb al-Sabt, ape, story in the Qur’an.

!ix

KATA PENGANTAR

Bismillāhirrahmānirrāhīm

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya

tidak terlepas dari dukungan semua pihak.

Maka, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh sivitas akademika

Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan

Fakultas Ushuluddin, Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA dan Dra. Banun Binaningrum,

M.Pd selaku ketua program studi dan sekretaris jurusan Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir.

Untuk dosen pembimbing penulis, Dr. Yusuf Rahman, MA, terima kasih atas

saran yang membangun dan setiap masukan yang selalu mencerahkan. Untuk

Ayah yang selalu mendukung dan bertanya kapan wisuda, untuk Ibu yang sudah

tenang disana, terima kasih atas setiap hal bahagia yang selalu kalian berikan,

yang selalu menjadi alasan penulis untuk terus menjadi manusia yang berguna.

Untuk teman-teman seperjuangan, terima kasih telah meyakinkan penulis untuk

bisa melalui semua tahap ujian. Terima kasih sudah menjadi tempat berdiskusi dan

berbagi ilmu sehingga pengetahuan penulis dapat terus berkembang. Semoga

Allah SWT selalu memberikan kebaikan kepada semua pihak yang mendukung

penulis.

!x

Jakarta, 5 Desember 2018

Noval Aldiana Putra

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL i ...................................................................................................

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii .....................................................

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii ...................................................

LEMBAR PERNYATAAN iv ...................................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI v ...........................................................................

ABSTRAK viii ...........................................................................................................

ABSTRACT ix ...........................................................................................................

KATA PENGANTAR x .............................................................................................

DAFTAR ISI xi ..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN 1 ......................................................................................

A. Latar belakang masalah 1 ..........................................................................

B. Pembatasan dan Perumusan masalah 4 ......................................................

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5 ...............................................................

D. Tinjauan Kajian Terdahulu. 5 .....................................................................

E. Metode Penelitian. 10 .................................................................................

F. Sistematika penulisan 11 .............................................................................

BAB II SEMIOTIKA ROLAND BARTHES 13 .....................................................

A. Semiotika 13 ..............................................................................................

1. Pengertian 13 .........................................................................................

2. Konsep Dasar Semiotika 15 ..................................................................

B. Roland Barthes 17 .....................................................................................

1. Signifier, Signified, Sign dan Signification 17 .......................................

2. Denotasi dan Konotasi 19 .....................................................................

3. Analisa Mitos 22 ...................................................................................

!xi

C. Disposisi-disposisi Operatori 25 ...............................................................

BAB III KISAH AṢḤĀB AL-SABT 28 ..................................................................

A. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Al-Qur`an 28 ................................................

B. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Kitab Tafsir 35 .............................................

BAB IV ANALISIS SEMIOTIS KISAH AṢḤĀB AL-SABT 50 ...........................

A. Nuansa Denotatif 52 .................................................................................

1. Pemotongan Teks Cerita 52 ................................................................

a. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian 53 .........................................

b. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati

Perjanjian 57 ................................................................................

c. Fragmen III: Kutukan Kera 59 .....................................................

2. Fakta-Fakta Cerita 61 .........................................................................

a. Plot/Alur Kisah 62 ........................................................................

b. Tokoh dan Penokohan 65 .............................................................

c. Latar atau Setting 66 ....................................................................

B. Nuansa Mitos 67 .......................................................................................

1. Ideologi Umum dibalik Kisah 68 .......................................................

2. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian 69 ...............................................

3. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati

Perjanjian 79 .......................................................................................

4. Fragmen III: Kutukan Kera 84 ...........................................................

BAB V PENUTUP 91 ...............................................................................................

A. Kesimpulan 91 ..........................................................................................

B. Saran 92 ....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA 94...........................................................................................

!xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Qur’an yang turun 14 abad lalu haruslah

mampu menjadi petunjuk bagi kehidupan dari masa lalu hingga saat ini.

Dengan membaca kembali, menginterpretasi setiap ayat-ayatnya, maka tafsir

al-Qur’an akan menjawab setiap persoalan kemanusiaan di berbagai segi

kehidupan, baik masalah kejiwaan, ekonomi, sosial, politik, dan berbagai

bidang lainnya. 1

Di dalam al-Qur’an, terdapat banyak aspek yang melingkupinya. Salah

satu aspek yang menarik perhatian penulis adalah terkait kisah-kisah yang ada

dalam al-Qur’an. Seringkali kisah-kisah ini dibaca begitu saja tanpa berusaha

menggali makna yang lebih mendalam. Padahal makna dari suatu kisah dapat

melahirkan pesan-pesan filosofis yang universal untuk diterapkan pada masa

kini. Dengan menggali makna baru dari kisah-kisah dalam al-Qur’an, maka

kisah itu tidak lagi menjadi warisan sejarah, namun akan selalu hidup dan

relevan di setiap zaman. 2

Dari sekian banyak kisah-kisah yang disajikan dalam al-Qur’an, kisah

tentang suatu kaum yang dikutuk menjadi kera menarik perhatian penulis. Al-

Qur’an mengistilahkan kaum itu dengan Aṣḥāb al-Sabt, sebagaimana yang

disebutkan dalam QS. Al-Nisa/4: 47

يا أيJها ال?ذين أوتوا الكتاب آمنوا Aا نز?لنا مصد:قا 9ا معكم من قبل أن نطمس وجوها

(٤۷) Mفنرد?ها على أدبارها أو نلعنهم كما لعن?ا أصحاب الس?بت وكان أمر الل?ه مفعو

“Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.”

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 14.1

Rahmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 137.2

#1

#2

Kisah tersebut dapat dilihat lebih lengkap dalam QS. Al-A‘rāf/7: 163-166.

Dalam ayat ini dijelaskan pula sebab-sebab mengapa Allah mengutuk mereka

menjadi kera. Namun kemenarikan kisah ini ketika penulis membaca QS. Al-

Baqarah/2: 65-66

ولقد علمتم ال?ذين اعتدوا منكم في الس?بت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئ` (٦٥) فجعلناها

نكاM 9ا ب` يديها وما خلفها وموعظة للمت?ق` (٦٦)

“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu, lalu Kami katakan kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. Maka Kami jadikan (yang demikian) itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”

Pada QS. Al-Baqarah/2: 66, Allah menekankan agar kisah ini menjadi

pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa, yang berarti mengandung pesan-

pesan untuk kehidupan umat Muslim. Pemberitahuan Allah ini yang menjadi 3

salah satu dorongan penulis untuk meneliti kisah Aṣḥāb al-Sabt.

Selanjutnya kata لفهاiiiiiiiiا خiiiiiiiiوم pun menarik perhatian penulis. Jika ayat 65

menjelaskan kutukan kera dari Allah kepada Aṣḥāb al-Sabt, maka pada ayat

selanjutnya Allah menjadikan kisah itu sebagai peringatan untuk لفهاiiiiiiا خiiiiiiوم.

Orang-orang yang datang kemudian pada ayat ini berarti semua manusia dari

saat terjadinya kisah itu sampai sekarang. Maka pemahaman yang didapatkan 4

adalah kutukan kera yang terjadi pada kisah itu dapat pula terjadi pada zaman

ini.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep transformasi manusia

menjadi kera adalah hal yang sulit diterima pada zaman sekarang. Untuk

itulah pendekatan semiotika diperlukan guna merasionalkan kisah ini dan

menghasilkan makna yang akan terus hidup di setiap zaman.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1 3

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 213.

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 87.4

#3

Berbagai penafsiran mengenai kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam al-Qur`an sudah

dikemukakan oleh para ulama tafsir. Al-Qurṭubi dalam kitab tafsirnya

menjelaskan bahwa Aṣḥāb al-Sabt yang melanggar perintah Tuhan benar-

benar berubah menjadi kera. Ketika ditemui oleh golongan yang taat pada

perintah Tuhan, kera-kera ini tidak dapat dikenali lagi, namun para kera itu

masih tetap dapat mengenali teman-temannya yang tidak dikutuk sehingga

mereka hanya bisa menangis. 5

Al-Ṭabari dengan banyaknya menyebutkan riwayat-riwayat mengenai

Aṣḥāb al-Sabt, nampaknya tidak jauh berbeda dalam hal penafsiran kutukan

kera. Ketika golongan yang taat menyadari ketiadaan sebagian kaumnya,

maka mereka mendatangi rumah mereka dan mendapatkan mereka yang

melanggar perintah Tuhan sudah berubah menjadi kera, namun mereka dapat

dikenali melalui matanya. Para kera ini hanya hidup tiga hari dengan tidak

makan, tidak minum, dan tidak berketurunan. 6

Mufassir kontemporer dari Indonesia, M. Quraish Shihab dalam tafsir al-

Mishbah sedikit ragu-ragu dan tidak mengambil sikap terhadap transformasi

kera pada kaum tersebut. Namun ia masih banyak mengutip dari penjelasan-

penjelasan tafsir terdahulu dalam mengurai kisahnya. 7

Penafsiran-penafsiran para mufassir klasik dan kontemporer memiliki

ragam yang unik dengan masing-masing argumentasi yang dikemukakan.

Semua itu menunjukkan bahwa ruang interpretasi terbuka luas terhadap kisah

ini. Maka, melalui pendekatan semiotika, bukan tidak mungkin akan lahir

kemungkinan makna-makna baru yang sesuai dengan perspektif penafsiran

zaman sekarang dan menggali berbagai pesan tersembunyi dalam kisah

tersebut. Semiotika juga membuka ruang untuk mengurai lebih dalam rincian-

rincian kisah Aṣḥāb al-Sabt melalui sistematika yang dimilikinya. Kutukan

Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 7, terj. Sudi Rosadi (dkk) (Jakarta: Pustaka Azzam, 5

2008), h. 761.

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, terj. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 6

h. 45.

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 2, h. 443.7

#4

kera yang terdapat dalam kisah ini merupakan satu tanda dari serangkaian

tanda yang terdapat dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt. Setiap tanda memiliki

pemaknaannya tersendiri yang memiliki pesan bagi manusia.

Dengan demikian, penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan

semiotika Roland Barthes sebagai pisau bedah dalam menyingkap makna dan

signifikasi yang terdapat dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt. Selain menggunakan

analisa struktural yang diterapkan pada karya sastra, Barthes pun memiliki

konsep mitos yang menurutnya ada dalam makna konotasi. Mitos ini

berfungsi untuk menaturalkan sesuatu yang sesungguhnya tidak natural. Hal 8

ini tentu menjadi relevan untuk diterapkan dalam kajian tafsir, terutama terkait

kisah-kisah dalam al-Qur’an, seperti kisah Aṣḥāb al-Sabt yang banyak

mengandung simbol-simbol dalam serangkaian kisahnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang berhubungan dengan

kisah Aṣḥāb al-Sabt. Namun fokus penelitian ini dibatasi pada penafsiran QS.

Al-A‘rāf/7: 163-166, karena pada ayat inilah kisah Aṣḥāb al-Sabt dibahas

secara lengkap. Selanjutnya untuk membahas konsep semiotika dalam tafsir

ini, penulis batasi pada konsep semiotika Roland Barthes dan pendekatannya

untuk membaca dan menganalisis kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur’an.

Dari batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang menjadi acuan

dalam penelitian ini adalah: bagaimana penerapan analisis semiotika Roland

Barthes terhadap kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam QS. Al-A‘rāf/7: 163-166, dan

apa saja pesan-pesan filosofis yang dikandungnya?

Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1991), h. 128.8

#5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Menafsirkan kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam QS. Al-A‘raf/7: 163-166

dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes.

b. Mengkaji pesan-pesan filosofis dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt yang

dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Manfaat Penelitian

a. Menguatkan argumentasi bahwa semiotika dapat dijadikan pisau

bedah dalam menafsirkan al-Qur’an.

b. Bahan bacaan tambahan dalam mata kuliah tafsir seperti: semiotika,

metode penelitian tafsir, dan pendekatan modern dalam tafsir al-

Qur’an.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Adapun tinjauan kajian terdahulu dalam skripsi ini terbagi menjadi dua

bagian. Pertama, seputar kajian semiotika dalam studi agama, kedua, kajian

yang khusus membahas semiotika Roland Barthes pada ayat al-Qur’an.

Terkait fokus utama kajian pustaka ini, penulis cenderung meninjau karya

tulis yang terdapat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta. Alasan penulis mengambil UIN Yogya sebagai kajian

pustaka yaitu karena sudah cukup banyak karya tulis semiotika al-Qur’an di

kampus tersebut, ditambah dengan kemudahan akses dalam pencarian karya

tulisnya.

#6

1. Kajian semiotika dalam studi agama

Penelitian yang menggunakan semiotika pada studi agama setidaknya

sudah dilakukan oleh sarjana muslim, seperti Luthfi Firdaus yang menulis

“Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”. Ia menjelaskan

teori semiotika dan para tokohnya serta kemungkinan penerapannya dalam

kajian tafsir kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa semiotika merupakan

solusi bagi penafsiran yang bersifat artificial dan letterlux. Lalu ada Rony 9

Subayu yang menulis “Al-Qur’an sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland

Barthes Sebagai Metode Penafsiran al-Qur’an.” Penelitiannya lebih kepada

kemungkinan atau ketidakmungkinan penerapan semiotika Roland Barthes

pada al-Qur`an, bukan aplikasi penafsiran. Ia menyimpulkan bahwa tafsir

mitis hanya berlaku untuk ayat-ayat muamalah saja, tidak untuk ubudiyah. 10

Selanjutnya Husni Mubarak menulis “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis

Kritis dari Semiologi Roland Barthes.” Karyanya ditekankan pada penciptaan

mitos baru yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan. 11

Penelitian yang mengaplikasikan semiotika pada ayat al-Qur’an, namun

bukan semiotika Roland Barthes, ditulis oleh Ali Imran dalam tesisnya yang

berjudul “Kisah Nabi Yusuf Dalam Al-Qur’an (Kajian Semiotika)”. Pada tesis

itu, ia menawarkan metodologi penafsiran menggunakan semiotik melalui dua

tahap. Tahap pertama adalah pembacaan heuristik (analisis linguistik). Tahap

kedua adalah pembacaan retroaktif (kelanjutan dari konvensi di atas konvensi

linguistik) dengan mengaitkan aspek intertekstualitas teks, asbāb al-nuzūl,

latar belakang historis, maupun perangkat studi ulum al-Qur`an yang lain.

Pembacaan ini melahirkan apa yang dinamakan makna konotasi. Implikasi

pemaknaan dari kedua langkah tersebut, bahwa kisah Yusuf memiliki pesan

Luthfi Firdaus, “Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”. (Skripsi, 9

Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005)

Rony Subayu, “Al-Qur’an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes 10

Sebagai Metode Penafsiran al-Qur’an”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005)

Husni Mubarak, “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis Dari Semiologi Roland 11

Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006)

#7

moral mengenai etika, sikap optimis, dakwah, kesabaran, hukum, dan

kekuasaan Allah Swt. 12

2. Kajian semiotika Roland Barthes pada ayat al-Qur’an

Pada bagian ini akan dimuat kajian terdahulu yang khusus memakai

semiotika Roland Barthes pada penafsiran ayat al-Qur’an. Muhammad

Khairul Mujib menulis “Jadal al-Qur’an dalam Perspektif Mitologis Roland

Barthes”. Ia berusaha mencari rahasia kekuatan bahasa al-Qur’an dan

membaca makna yang tersirat dari teks yang diteliti. Ulumuddin menulis 13

“Kisah Luth Dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes).

Berdasarkan analisisnya, kisah Luth mempunyai beberapa signifikasi seperti

sikap peduli terhadap lingkungan, aspirasi rakyat jelata, dll. Dona Kahfi MA 14

Iballa menulis “Nilai-Nilai Ideologis Kisah Aṣḥāb al-Kahf Dalam QS. Al-

Kahf (Aplikasi Semiotika Roland Barthes). Ia membagi empat fragmen dari

kisah-kisah dalam QS. Al-Kahf yang mengandung nilai ideologis seperti

keberanian mengambil sikap dalam menghadapi resiko kehidupan, etika

dalam interaksi sosial, dll. 15

Ulufatul Khoiriyah menulis “Perempuan Sebagai Ḥarṡun Dalam al-Qur’an

(Kajian Semiotika Roland Barthes)”. Skripsinya berangkat dari permasalahan

ketidakadilan gender yang menurutnya masih marak terjadi, pun dalam rumah

tangga. Ia berusaha melakukan penafsiran ulang ayat-ayat yang berbicara

tentang relasi gender secara komprehensif. Melalui pendekatan semiotika

Roland Barthes, maka akan dimungkinkan pemaknaan yang bertingkat terkait

Ali Imran, Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf 12

(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 45.

Muhammad Khairul Mujib, “Jadal al-Qur’an dalam Perspektif Mitologis Roland 13

Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009)

Ulumuddin, “Kisah Luth Dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. 14

(Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013)

Dona Kahfi MA Iballa, “Nilai-Nilai Ideologis Kisah Aṣḥāb al-Kahf Dalam QS. Al-Kahf 15

(Aplikasi Semiotika Roland Barthes)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014)

#8

ayat-ayat gender. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa sebuah rumah

tangga bukanlah kehidupan yang dikuasai oleh salah satu pihak (suami),

namun suami dan istri memiliki hak yang sama untuk turut andil mengatur

rumah tangganya. Muhammad Allajji menulis “Struktur dan Semiotik Surat 16

Hud (Analisis Strukturalisme dan Semiotika dalam al-Qur’an)”. Karya

tulisnya ditekankan pada revitalisasi peran al-Qur’an sebagai petunjuk hidup

manusia di setiap zaman, yang salah satunya dengan mereproduksi

kemungkinan-kemungkinan makna lain di luar makna dasar surat Hud.

Kesimpulan dari makna baru yang didapatkan adalah asas kekeluargaan

seorang pemimpin, sikap keterbukaan dan egalitarianisme, pentingnya budaya

berpikir kritis, dan pembangunan berdasarkan nilai-nilai Islam. 17

Pipit Aidul Fitriyani menulis “Kisah Yusuf Dalam al-Qur’an: Perspektif

Semiologi Roland Barthes.” Dalam skripsinya ia membahas kisah Yusuf

dengan pisau analisis teori mitos Roland Barthes. Ia berusaha mencari nilai-

nilai ideal moral yang dapat berlaku secara universal dalam kisah Yusuf. Hasil

yang didapatkannya adalah bahwa kisah Yusuf mengandung pesan-pesan

seperti kewajiban menghindarkan setiap orang dari perbuatan keji dan

munkar, manusia harus senantiasa ikhlas dan tidak mendahului takdir yang

telah ditetapkan, dan beberapa nilai ideal moral lainnya. Nor Faridatunnisa 18

menulis “Kisah Żulqarnain dalam al-Qur’an (Telaah Semiotik)”. Tesisnya

cukup rinci menerangkan kisah Żulqarnain dengan membagi ke dalam empat

fragmen. Analisis mitos yang didapatkan adalah bahwa Żulqarnain sebagai

cerminan pemimpin ideal yang dalam kepemimpinannya harus memiliki iman

Ulufatul Khoiriyah, “Perempuan Sebagai Ḥarṡun Dalam al-Qur’an (Kajian Semiotika 16

Roland Barthes)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014)

Muhammad Allajji, “Struktur dan Semiotik Surat Hud (Analisis Strukturalisme dan 17

Semiotika dalam al-Qur’an)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014)

Pipit Aidul Fitriyana, “Kisah Yusuf Dalam al-Qur’an: Perspektif Semiologi Roland 18

Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014)

#9

dan ilmu, membangun sistem pertahanan yang kuat baik ke dalam maupun ke

luar. 19

Irpan Sanusi menulis “Pesan Semiotis al-Qur’an: Analisis Strukturalisme

QS. Al-Lahab.” Ia menggunakan pendekatan strukturalisme Roland Barthes

untuk membedah penafsiran QS. Al-Lahab dengan menganalisis makna

denotasi yang ia istilahkan dengan momen ilmiah, dan makna konotasi yang

ia istilahkan dengan momen mitis. Penelitian ini berkesimpulan bahwa mitos

lain dari Abu Lahab adalah bahwa Abu Lahab merupakan simbol kapitalis-

monopolis Mekah. Sehingga pesan filosofis yang terkandung adalah etika

ekonomi Islam yang harus berdasarkan keadilan dan kebijakan sosial dalam

mengembangkan ekonomi keumatan. 20

Malikhatul Mu’asyaroh menulis “Pemaknaan Mitos Kisah Nabi Adam

dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. Pemaknaan mitos

yang didapatkan adalah bahwa kisah Nabi Adam mempunyai beberapa

signifikasi, di antaranya menjadi pemimpin di bumi, ketulusan dalam

berkurban tanpa terukur dengan nilai-nilai materialistis. Selain itu, kisah ini

juga mengajarkan nilai-nilai positif seperti tekad yang kuat, etika, dan

memilih berita. Haizumiah menulis, “Kesatuan Kisah Khalafallah dalam 21

QS. Al-Kahfi; Analisis Semiotika Roland Barthes”. Ia berusaha mencari

makna mitos dari keseluruhan kisah yang diceritakan dalam QS. Al-Kahfi.

Hasilnya, ia menguraikan ada empat kisah yaitu pemuda Aṣḥāb al-Kahf

sebagai simbol kesabaran dan keteguhan, pemilik dua kebun sebagai simbol

keniscayaan sirnanya harta, Musa sebagai simbol ketinggian hati yang tidak

akan mendapatkan petunjuk, hamba saleh sebagai simbol hidayah dan ilmu

Nor Faridatunnisa, “Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an (Telaah Semiotik)”. (Tesis, 19

Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015)

Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur’an: Analisis Strukturalisme QS. Al-Lahab”. 20

(Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016)

Malikhatul Mu’asyaroh, “Pemaknaan Mitos Kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an 21

(Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017)

#10

atas dasar pilihan Allah, dan Żulqarnain sebagai simbol keringan-tanganan

pemimpin untuk membantu masyarakat. 22

Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, penulis berasumsi bahwa penelitian

yang menggunakan pendekatan semiotika dengan objek material kisah Aṣḥāb

al-Sabt masih belum diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengisi

kekosongan penelitian mengenai kisah Aṣḥāb al-Sabt dengan pendekatan

semiotika Roland Barhes yang kemudian dicari pesan-pesan filosofis dari

kisah tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menitikberatkan pada penelitian

kepustakaan (library research), dengan mengumpulkan data dan menganalisis

bahan-bahan yang dibutuhkan dari berbagai buku, jurnal, majalah-majalah,

dan bacaan-bacaan lain yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.

2. Sumber Data

a. Data primer, yaitu data yang menjadi sumber utama dalam penulisan

karya tulis ilmiah ini. Data primer tersebut adalah kisah Aṣḥāb al-Sabt

di dalam QS. Al-A‘raf/7: 163-166. Adapun data primer terkait metode

semiotika Roland Barthes yaitu: Elements of Semiology, Mythologies,

dan Semiologi Roland Barthes.

b. Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku yang memuat

kisah Al-Qur`an dan buku mengenai semotika, kitab-kitab tafsir al-

Qur`an seperti tafsir karya al-Ṭabari, Sayyid Qutb, Ṭabaṭaba’i,

Haizumiah, “Kesatuan Kisah Khalafallah dalam QS. Al-Kahfi; Analisis Semiotika 22

Roland Barthes”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017)

#11

Quraish Ṣhihab, jurnal-jurnal terkait, dan sumber-sumber lain yang

relevan dengan kajian penelitian.

Adapun pedoman penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah

Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017

Tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, yang menjadi pokok pembahasan penulis

terdiri dari lima bab yang masing-masing mempunyai sub-sub tertentu

sebagaimana yang terurai berikut ini:

Bab I adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II adalah pembahasan tentang semiotika Roland Barthes. Pada bab ini

akan dijelaskan pengertian semiotika secara umum dan pemikiran semiotika

Roland Barthes. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan landasan bagi

pembahasan selanjutnya.

Bab III adalah kisah Aṣḥāb al-Sabt. Pada bab ini kisah Aṣḥāb al-Sabt akan

ditafsirkan dengan menggunakan kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer.

Informasi yang berada dalam kitab tafsir akan membantu mengurai kisah

Aṣḥāb al-Sabt dengan lebih rinci dan jelas, yang kemudian dipakai pada

pembahasan selanjutnya.

Bab IV adalah analisis semiotis kisah Aṣḥāb al-Sabt. Terdiri dari dua

bagian. Bagian pertama adalah nuansa denotatif, dan bagian keduanya adalah

nuansa mitos. Nuansa denotatif akan menguraikan pembagian fragmen kisah,

struktur kisah yang melingkupinya, dan signifier, signified dari kisah ini. Lalu

Nuansa mitos akan mengungkap pesan-pesan filosofis dari setiap fragmen.

Kedua Bagian ini akan memberikan pemaknaan pada kisah Aṣḥāb al-Sabt

#12

yang diurai melalui kitab tafsir, ataupun sumber lainnya yang menjelaskan

kisah tersebut.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari analisis yang telah

dikemukakan dan saran-saran yang dapat penulis sampaikan pada penelitian

ini.

BAB II SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

Berbicara semiotika erat kaitannya dengan semiologi. Keduanya sulit

dibedakan, atau bahkan memang tidak ada yang berbeda sama sekali. Istilah

semiotika dan semiologi sesungguhnya mengandung pengertian yang sama persis.

Jika seseorang mengatakan semiologi, berarti ia merujuk kepada tradisi

Saussurean yang berkembang di Eropa. Oleh karena itu, dalam penerbitan-

penerbitan Prancis, istilah semiologie kerap dipakai. Seperti halnya buku Roland

Barthes yang memakai judul Elements de Semiologie karena ia termasuk pengikut

Saussure. Sedangkan istilah semiotika digunakan dalam kaitannya dengan karya

Charles Sanders Pierce yang berkembang di Amerika. Namun kemudian istilah

semiotika lebih populer dibandingkan dengan semiologi sehingga para penganut

Saussure pun sering menggunakannya. 1

Keputusan untuk hanya memakai istilah semiotika ini sesuai dengan

resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris bulan Januari 1969.

Pilihan ini kemudian dikukuhkan oleh Association for Semiotics Studies pada

kongresnya yang pertama tahun 1974. Dalam konteks ini, semiotics (dan

ekuivalensinya dalam bahasa Prancis semiotique) menjadi istilah untuk semua

peristilahan lama semiology dan semiotics. Atas dasar ini pula penulis 2

menggunakan istilah semiotika dalam kaitannya dengan Roland Barthes.

A. Semiotika

1. Pengertian

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. 3

Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau

menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai segala

Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 2.1

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 13.2

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.3

13

!14

apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya. Charles

Sanders Pierce menyebut tanda “sebagai suatu pegangan seseorang akibat

keterkaitan dengan tanggapan atau kapasitasnya”. Dasar dari semiotika 4

adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang

tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun seluruhnya terdiri

atas tanda-tanda. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling

fundamental bagi manusia. Sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-

gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta praktik sosial konvensional lainnya, dapat

dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna

yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi. 5

Menurut Saussure, semiotika adalah suatu ilmu yang mempelajari tanda-

tanda kehidupan dalam masyarakat yang bersifat dapat dipahami. Tujuannya 6

adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta

kaidah-kaidah yang mengaturnya. Kekhasan teori Saussure terletak pada 7

kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Sedangkan

menurut Charles Sanders Peirce, semiotika sinonim dengan logika, yang

mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori

Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda

memungkinkan seseorang berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan

memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Umberto 8

Eco mengatakan bahwa semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari

segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Maksudnya, jika 9

Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer (Yogyakarta: Tiara 4

Wacana Yogya, 2000), h. 1.

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 13.5

Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (New York: McGraw-Hill Book 6

Company, 1966), h. 16.

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 12.7

Zoest, Serba-serbi Semiotika, h. 1.8

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna 9

(Bandung: Matahari, 2012), h. 44.

!15

semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia juga teori kebenaran, sebab

jika semua tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran, maka

ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan. Dengan kata

lain, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di

dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata

malam. Sementara itu, bagi Barthes, semiotika hendak mempelajari 10

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to

signify) dalam hal ini t idak dapat dicampuradukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek

tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. 11

2. Konsep Dasar Semiotika

Kajian semiotika sampai sekarang telah dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi

menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya

mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim,

penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang

dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan penekanan pada

teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiotika 12

signifikasi dikembangkan oleh Saussure, dan semiotika komunikasi

dikembangkan oleh Peirce. Pertama, Saussure mengatakan bahwa tanda-

tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra bunyi dan konsep, yang

selanjutnya ia istilahkan dengan penanda (signifiant) dan petanda (signifié). 13

Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang: 10

UIN-Malang Press, 2007), h. 10.

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Indonesiatera, 2001), h. 53.11

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.12

Saussure, Course in General Linguistics, h. 67.13

!16

Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan dari tanda itu sendiri, karena

penanda dan petandalah yang membentuk tanda. Bagi Saussure, hubungan

antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan

maupun ditetapkan. Hal ini tidak berarti bahwa pemilihan penanda sama

sekali meninggalkan pembicara namun lebih dari itu adalah “tak bermotif”,

yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah

dengan petanda. 14

Kedua, Charles Sanders Peirce yang mengatakan bahwa tanda-tanda

berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya. Keberadaannya memiliki

hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional

dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk

kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi

konvensional.

Perbedaan kunci model analisis semiotika antara Saussure dan Peirce yaitu

Saussure menggunakan istilah penanda dan petanda, sedangkan Peirce

menggunakan konsep trikotomi. Keduanya berkaitan dengan tanda-tanda dan

penanda-petanda, namun keduanya memiliki perspektif yang berbeda.

Tanda

Penanda (Siginifiant) Petanda (Siginifié)

Citra-bunyi Konsep

Tanda Ikon Indeks Simbol

Ditandai dengan:

Persamaan (kesamaan)

Hubungan Sebab-akibat

Konvensi

Contoh: Gambar-gambar, patung-patung tokoh besar.

Asap/api, Gejala/penyakit.

(Bercak merah/campak

Kata-kata, Isyarat

Proses Dapat dilihat Dapat diperkirakan

Harus dipelajari

Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, h. 12.14

!17

Terkait kearbitreran tanda-tanda, Peirce berbeda dengan Saussure. Bagi

Peirce, hubungan antara indeks dan ikon adalah alamiah. Jadi, asap bukan

semata-mata berasosiasi “secara konvensional” dengan api, dan representasi

ikon jelas bermotif. Hanya simbol-simbol yang tak bermotif. 15

B. Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

gigih mempraktikkan model semiotika Saussure. Ia juga intelektual dan

kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan

semiotika pada studi sastra. Sebagaimana dikutip Sobur, Barthes berpendapat

bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi

dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Konsep-konsep dasar 16

semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Signifier, Signified, Sign, dan Signification

Menurut Barthes, tanda (sign) merupakan satuan dasar bahasa yang

tesusun dari dua relasi yang tidak terpisahkan, yaitu penanda/citra bunyi

(signifier) dan petanda/konsep (signified). Substansi penanda (signifier) selalu

dikatakan bersifat material seperti bunyi-bunyi, objek, ataupun gambar.

Namun kemudian, materialitas signifier dibedakan atas materi dan substansi.

Substansi bisa saja tidak material (misalnya dalam kasus substansi isi). Ketika

berhadapan dengan beberapa sistem campuran yang melibatkan beberapa

materi yang berbeda-beda (bunyi dan gambar, objek dan tulisan, dsb), maka

orang harus menyatukan semua sign yang dibawa oleh materi yang satu dan

Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, h. 14-15.15

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63.16

!18

sama itu dibawah satu konsep sign tipikal, seperti sign verbal, sign grafis, sign

ikonis, dsb. Sedangkan petanda (signified) bukanlah suatu benda, tetapi 17

lebih kepada representasi mental dari benda itu. Signified merupakan salah

satu dari dua relata yang dimiliki sign. Untuk mengikat tanda/penanda/

petanda (sign/signifier/signified) sebagai sebuah kesatuan, diperlukan

konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa, menyangkut makna sebuah

tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu karena ada kesepakatan sosial di

antara komunitas bahasa. Sign berbeda dengan signifer, karena sign 18

merupakan kesatuan dari signifier dan signified (seperti halnya kedua

permukaan selembar kertas). Ini adalah suatu hal yang perlu diingat, karena

orang berkecenderungan menggunakan istilah sign untuk menyebut signifier,

padahal sign adalah suatu realitas berwajah dua. 19

Untuk lebih jelasnya, Barthes mencontohkan dengan kata “a bunch of

roses”. A bunch of roses (seikat mawar) ini menandakan sebuah passion

(gelora cinta). Maka a bunch of roses menjadi signifier, dan passion menjadi

signified. Pada level analisis, kombinasi keduanya menghasilkan istilah

ketiga, yaitu sign. Sebagai sebuah sign, a bunch of roses menjadi penuh

dengan makna dan dibebani oleh gelora cinta. Maka dalam hal ini, sign

terlihat berbeda dengan signifier, karena sign merupakan a bunch of roses

yang penuh gelora cinta, sedangkan signifier hanya a bunch of roses layaknya

tanaman biasa. 20

Roland Barthes, Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko 17

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 45-46.

Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, h. 250.18

Roland Barthes, Petualangan Semiologi, h. 37-38.19

Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1991), h. 111-112.20

Signifier A bunch of roses

Signified Passion

Sign A bunch of roses are weighted with passion perfectly

!19

Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) disebut

dengan signifikasi (signification). Signifikasi menekankan pada teori tanda 21

dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Segi pemahaman suatu

tanda merupakan hal yang diutamakan sehingga proses kognisinya pada

penerima tanda lebih diperhatikan. Signifikasi melingkupi seluruh kehidupan

kultural yang prosesnya didasari oleh sistem-sistem aturan yang berlaku

dalam konteks tertentu. 22

Tanda (sign) dan signifikasi (signification) terlihat mirip, tetapi keduanya

berbeda. Tanda (sign) lebih pada penyatuan antara penanda-petanda (signifier-

signified), sedangkan signifikasi (signification) merupakan hubungan

penanda-petanda (signifier-signified). 23

2. Denotasi dan Konotasi

Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang

memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,

yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah sistem signifikasi tingkat

pertama yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara

tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,

langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini, adalah makna pada apa

yang tampak. Misalnya, foto Ahmad, berarti wajah Ahmad yang

Signification

Signifier Signified

Roland Barthes, Elements of Semiology, (New York: Hill and Wang, 1968), h. 48. 21

Ali Imron, Semiotika al-Qur`an, Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf 22

(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 21.

Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 50. 23

!20

sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat

konvensi atau kesepakatan yang tinggi. 24

Konotasi adalah sistem signifikasi tingkat kedua yang menjelaskan

hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna

yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap

berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang

terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti

perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga, ia mengkonotasikan

kasih sayang. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat

implisit, tersembunyi, inilah yang disebut makna konotatif. 25

Di dalam sistem signifikasi tingkat kedua ini, terdapat dua artikulasi yang

dibedakan berdasarkan pengembangan signifier maupun signified nya dalam

pemaknaan tingkat kedua. Barthes sempat menyebutkan istilah expression

untuk signifier dan content untuk signified. Namun yang akan dipakai pada 26

pembahasan ini hanya istilah signifier dan signified saja agar tidak

membingungkan, dan memang nyatanya tidak ada perbedaan pada kedua

istilah itu.

Pada artikulasi pertama, hubungan antara signifier dan signified pada

tingkat pertama (sign), menjadi signifier pada tingkat kedua yang kemudian

menghasilkan signified baru pada tingkat kedua. Dengan kata lain, telah

terjadi pengembangan pada signified. Ini disebut konotasi. Sedangkan pada

artikulasi kedua, hubungan antara signifier dan signified pada tingkat pertama

(sign), menjadi siginified pada tingkat kedua dan terjadi pengembangan pada

signifier. Ini disebut metabahasa. Inilah dua sudut artikulasi yang dibedakan

oleh Barthes. 27

Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 22.24

Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 22.25

Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 90. 26

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70.27

!21

Konotasi Metabahasa

Signifier pada sistem konotasi terbentuk dari sign (penggabungan dari

signifier dan signified) pada sistem denotasi. Dengan kata lain, beberapa tanda

dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk signifier yang ada dalam

sistem konotasi. Sementara itu, signified dalam sistem konotasi memiliki sifat

yang umum, global, dan menyeluruh, yang bisa dikatakan mengandung

sebuah ideologi. Signified memiliki hubungan yang sangat dekat dengan

budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, yang pada akhirnya ia adalah wujud

ideologi suatu tanda. 28

Perbedaan sistem konotasi dan metabahasa dapat lebih jelas ketika

dideskripsikan melalui contoh yang ada. Misalnya dalam metabahasa, makna

‘tempat para narapidana dikurung’, selain kata penjara, pengguna tanda

menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan.

Beberapa pelukis dapat menggambarkan ‘cinta’ dengan lukisan bunga, kain

putih, pasangan lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan, ibu yang

memeluk anaknya, dan banyak lagi jenis signifier untuk signified ‘cinta’. 29

Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 91. 28

Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu, 29

2014), h. 25.

Signifier Signified

Signifier Signified

Signifier Signified

Signifier Signified

Signifier Lukisan bunga

Signified Cinta

Signifier Kain putih, pasangan lelaki

dan perempuan yang sedang berpelukan, ibu yang memeluk

anaknya, dll.

Signified Cinta

!22

Ketika satu signifier memiliki banyak signified, maka ini yang dinamakan

konotasi. Misalnya, kata penjara memiliki makna tempat menghukum orang

bersalah, lembaga yang mengubah orang jahat menjadi baik dan dapat

kembali hidup bermasyarakat, tempat menginap para pesakitan atas biaya

negara, dan signified lainnya untuk signifier ‘penjara’. 30

Terkait dua model sistem yang ditawarkan Barthes, yaitu sistem konotasi

dan metabahasa, penulis akan cenderung menggunakan sistem konotasi untuk

mendapatkan makna mitos dari pembahasan skripsi ini.

3. Analisa Mitos

Dalam Yunani kuno, mitos (mu`thos) berarti sebuah fiksi. Dewasa ini

biasanya dikaitkan dengan fiksi yang meliputi dewa atau kekuatan

supranatural, mitos juga memiliki makna umum dari cerita fiksi utama yang

pernah ada sejak zaman kuno. Dengan demikian mitos, sambil menunjukkan

apa yang fiktif, juga cenderung mengacu pada cerita yang memiliki daya tarik

dan kebenaran yang tampaknya abadi dan universal. 31

Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 26.30

Graham Allen, Roland Barthes (London: Routledge, 2003), h. 34.31

Signifier Penjara

Signified Tempat menghukum

orang bersalah

Signifier Penjara

Signified Lembaga yang mengubah orang

jahat menjadi baik dan dapat kembali hidup bermasyarakat,

tempat menginap para pesakitan atas biaya negara.

!23

Menurut Barthes, myth is a type of speech. Ia mengartikan mitos sebagai

cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara meng-

konseptualisasikan atau memahami suatu hal. Barthes menyebut mitos

sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Segala sesuatu dapat 32

menjadi mitos asalkan disampaikan dalam bentuk wacana. Seperti halnya

sebuah pohon yang akan berbeda maknanya ketika pohon itu dihias,

disesuaikan dengan jenis pemakaian tertentu, penuh dengan khayalan,

pemberontakan, imaji-imaji, singkatnya dengan jenis penggunaan sosial yang

ditambahkan ke materi murni. 33

Dalam mitos terdapat pola tiga dimensi, yaitu penanda (signifier), petanda

(signified), dan signifikasi (signification), namun sebagai suatu sistem yang

unik mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya

atau, dengan kata lain mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua. 34

Dalam Mythologies-nya, Barthes memberi contoh dari salinan sampul

majalah Paris-Match yang ditawarkan kepadanya di barber

shop. Foto sampul itu menunjukkan seorang pria kulit

hitam muda berpakaian seragam militer Prancis, matanya

terangkat, mungkin tertuju pada bendera Prancis. Realitas

foto itu tampaknya tak terbantahkan: pria kulit hitam muda

ini adalah seorang tentara Prancis yang tertangkap kamera

sedang hormat pada saat tertentu.

Namun, ada makna lain, yang oleh Barthes digambarkan sebagai gagasan:

"Prancis adalah Kekaisaran yang hebat, bahwa semua anak laki-lakinya, tanpa

diskriminasi warna, setia melayani di bawah benderanya, dan bahwa tidak ada

jawaban yang lebih baik bagi para pencela dugaan kolonialisme daripada

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 224.32

Roland Barthes, Mythologies, h. 107.33

Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 23.34

!24

semangat yang ditunjukkan oleh orang Negro ini dalam melayani

penindasnya.”. 35

Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem semiotik

tingkat pertama sebagai landasannya. Jadi, mitos adalah sejenis sistem ganda

dalam sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.

Untuk menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil

seluruh sistem tanda tingkat pertama sebagai signifier. Kesimpulan dari

Signifer

Sampul majalah

Paris-Match

Signified

Foto seorang pria kulit

hitam berpakaian seragam militer Prancis, matanya terangkat keatas.

Sign

Foto seorang tentara Prancis berkulit hitam yang

tertangkap kamera pada momen tertentu sedang hormat kepada bendera

Prancis.Form Concept

Semua anak laki-laki Prancis, tanpa diskriminasi

warna, setia melayani di bawah benderanya.

Signification

Prancis adalah kekaisaran yang hebat. Negara yang inklusif dan terpadu. Simbol patriotisme Prancis

Roland Barthes, Mythologies, h. 115.35

} Mitos

} Denotasi

!25

kerangka berpikir Barthes bahwa mitos adalah sejenis konotasi. Dari skema 36

yang diberikan Barthes, bahwa sign pada tingkat pertama dijadikan signifier

bagi sistem tanda tingkat dua. Dengan kata lain, tanda denotatif sebagai sign

tingkat pertama yang terdiri atas signifier dan signified, pada saat bersamaan

menjadi signifier bagi tanda konotatif. 37

Barthes kemudian membedakan istilah pada dua sistem semiotiknya.

Sistem denotasi terdiri dari signifier, signified, dan sign, sedangkan pada

sistem mitos memakai istilah form, concept, dan signification. Hal ini

dilakukan semata-mata untuk menghilangkan ambiguitas istilah dari kedua

sistem yang ada. 38

C. Disposisi-disposisi Operatori

Roland Barthes lebih memilih istilah ini dibandingkan dengan

menggunakan istilah metode. Menurutnya, istilah metode akan lebih

mengintimidasi, karena ia sendiri tidak yakin apakah ini memang suatu metode.

Tetapi memang ada sejumlah disposisi operatori dalam analisis stuktural karya

sastra yang dirumuskan ke dalam tiga operasi : 39

1. Pemotongan Teks, yaitu pemotongan terhadap penanda-penanda pada wacana

naratif. Pemotongan ini adalah sejenis pengkotakkan teks yang menghasilkan

serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Fragmen-fragmen ini disebut

leksia yaitu unitas-unitas pembacaan. Pemotongan ini sepenuhnya bersifat

arbitrer. Dalam al-Qur’an sebuah ayat dapat disebut leksia.

2. Inventaris yaitu kode-kode yang disebutkan dalam teks. Bagian ini berupaya

untuk menginventarisasi makna-makna yang ada dalam leksia-leksia.

Menurut Roland Barthes, di dalam teks terdapat operasi lima kode pokok

Roland Barthes, Mythologies, h. 115.36

Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 92.37

Roland Barthes, Mythologies, h. 115.38

Roland Barthes, Petualangan Semiologi, h. 349.39

!26

yang di dalamnya semua penanda tekstual dapat dikelompokkan. Kelima

kode tersebut adalah sebagai berikut:

a) Kode hermeneutik, adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara

berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya,

serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut

atau justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang

menyusun semacam teka-teki dan sekedar memberi isyarat bagi

penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode

penceritaan yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam

permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum

memberikan pemecahan atau jawaban.

b) Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat,

petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda

tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa

yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai tema atau

struktur tematik.

c) Kode simbolik merupakan kode pengelompokkan atau konfigurasi yang

gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara

teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa

serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan

panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur

simbolik.

d) Kode proairetik merupakan kode tindakan atau aksi. Kode ini didasarkan

atas konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau

akibat dari suatu tindakan secara rasional. Hal ini mengimplikasikan

suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan yang membuahkan

dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik

tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan.

e) Kode kultural atau referensial adalah kode yang berwujud sebagai

semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari

!27

pengalaman manusia yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang

hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang

diterima umum. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau

kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks atau yang menyediakan

semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. 40

3. Koordinasi, yaitu menetapkan korelasi-korelasi unitas-unitas, korelasi fungsi-

fungsi yang berhasil ditemukan dan yang sering terpisah-pisah. Ada dua tipe

korelasi yaitu korelasi-korelasi internal dan korelasi-korelasi eksternal.

Korelasi internal merupakan korelasi yang terdapat di dalam teks, sedangkan

korelasi eksternal adalah sebuah intertekstualitas.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui kunci-kunci teori semiotika

Barthes terdiri dari signifier dan signified, denotasi dan konotasi, serta konsep

mitos. Dalam melakukan pembacaan, Barthes memiliki dua sistem tingkatan

makna dari pengembangan konsep yang dirumuskan Saussure. Sistem tingkat

pertama terdiri dari signifier, signified, dan sign, sedangkan sistem semiotik

tingkat kedua terdiri dari form, concept, dan signification. Mitos berada dalam

sistem semiotik tingkat kedua dimana di dalamnya dapat terungkap makna-makna

baru dari makna yang sudah ada. Penjelasan mengenai langkah-langkah untuk

membangun dua sistem semiotik ini dijelaskan dalam disposisi operatori yang

disusun Barthes. Langkah ini dimulai dengan memotong teks menjadi beberapa

fragmen yang bersifat arbitrer, kemudian menginventarisasikan kode-kode yang

berada dalam teks sesuai lima kode yang sudah dijelaskan, baru kemudian teks

tersebut dianalisis dengan dua tingkatan pembacaan makna hingga menemukan

makna mitos dari teks tersebut.

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 65.40

BAB III

KISAH AṢḤĀB AL-SABT

Al-Qur’an memang bukanlah kitab sejarah atau buku sastra, namun perlu

diakui bahwa al-Qur’an banyak memuat kisah atau cerita sejarah dengan gaya

bahasa yang sangat indah. Kisah dalam al-Qur’an memiliki gaya dan cara

tersendiri dalam penuturannya. Dari segi isi misalnya, al-Qur’an tidak menyusun

rangkaian kronologis suatu peristiwa yang merangkai jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan apa, siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa seperti lazimnya cerita

sejarah. Namun fokus penyampaian kisah dalam al-Qur’an lebih kepada apa

akibatnya dan bagaimana sifat-sifat pelakunya. 1

Kisah-kisah dalam al-Qur’an mengandung maksud dan tujuan dasar

diceritakannya kisah tersebut. Inilah yang menjadi pembeda dengan kisah-kisah

lain yang terkadang hanya memaparkan suatu kisah untuk menceritakan riwayat

orang-orang di masa lalu dan merekam kehidupan serta urusan-urusan mereka

saja. Melalui kisah, nasihat yang terkadang monoton akan dapat lebih menarik 2

perhatian jika digambarkan dengan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan,

sehingga orang tidak akan bosan mendengarkan dan memperhatikannya, yang

kemudian merasa rindu dan ingin tahu tentang apa yang dikandung dari kisah

tersebut. Akhirnya, kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang akan

mempengaruhinya. 3

A. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Al-Qur`an

Kisah berasal dari kata al-qaṣṣu yang berarti mencari atau mengikuti

jejak. Kata al-qaṣaṣ adalah bentuk masdar, seperti firman Allah: 4

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 107.1

M. Baqir Hakim, Ulumul Quran (Jakarta: Al Huda, 2012), h. 515.2

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 300.3

Abī Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukarram bin Manẓur al-Miṣrī, Lisān al-‘Arab 4

(Beirut: Dār Ṣādr), h. 74.

'28

'29

5قال ذلك ما كن2ا نبغ فارتد2ا على آثارهما قصصا (٦٤)

“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”

Maksudnya, kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk mengikuti

jejak dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa,

6وقالت Vخته قصSيه فبصرت به عن جنب وهم I يشعرون (۱۱)

“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya,.”

Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang

mengambilnya. Qaṣaṣ al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal-

ihwal umat yang telah lalu, kenabian yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa

yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang

kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan

peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka

dengan cara yang menarik dan mempesona. 7

Kisah-kisah al-Qur’an memiliki fungsi dan tujuan tersendiri yang

dijelaskan dalam beberapa ayatnya. Seperti pada QS. Ṭaha/20: 99 bahwa

Allah SWT menyebut kisah-kisah orang terdahulu sebagai żikr (peringatan).

Ini berarti bahwa sejarah adalah peringatan agar manusia tidak berbuat

sesuatu yang mengakibatkan kerugian pada dirinya. Dalam ayat lain Allah

menunjukkan bahwa kisah dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang

mempunyai akal seperti yang disebutkan dalam QS. Yusuf/12: 111 dan

menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa seperti dalam QS. Al-

Baqarah/2: 66. Ringkasnya, kisah dalam al-Qur`an berfungsi sebagai

pelajaran, peringatan, janji, dan ancaman. Oleh karena itulah, dalam berkisah

QS. Al-Kahf/18: 64.5

QS. Al-Qaṣaṣ/28: 11.6

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an, h. 300.7

'30

tentang masa lalu, al-Qur`an selalu mewarnainya dengan nasihat, bimbingan,

peringatan, dan ancaman. 8

Berdasarkan objeknya, kisah dalam al-Qur’an dapat terbagi menjadi tiga

macam, yaitu:

1. Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya,

mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang

memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta

akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan

yang mendustakan. Misalnya kaum Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa,

Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.

2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi

pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya.

Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu

jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam,

Aṣḥāb al-Kahf, Żulqarnain, Aṣḥāb al-Sabt, Maryam, Aṣḥāb al-Ukhdūd,

Aṣḥāb al-Fīl, dan lain-lain.

3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi

pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surat

Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surat al-Taubah, perang Ahzab

dalam surat al-Aḥzāb, dll. 9

Jika berdasarkan gambaran ceritanya, kisah dalam al-Qur’an dapat terbagi

menjadi, pertama, kisah yang ditunjukkan tempatnya, tokohnya, dan

gambaran kisahnya. Kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa atau keadaan

tertentu dari pelaku sejarah tanpa menyebutkan namanya dan tempat

kejadiannya. Ketiga, kisah dalam bentuk dialog yang juga tidak disebutkan

siapa pelakunya dan di mana terjadinya. 10

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 136-137.8

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an, h. 301.9

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 130.10

'31

Kisah Aṣḥāb al-Sabt seperti pada penjelasan di atas termasuk kisah yang

berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan

tidak menyebutkan nama dan tempat kejadiannya. Istilah Aṣḥāb al-Sabt

sendiri penulis temukan dalam QS. Al-Nisa/4: 47 ketika Allah

memperingatkan Ahli Kitab untuk beriman kepada apa yang sudah diturunkan

kepada mereka, jika mereka tidak ingin sama nasibnya seperti Aṣḥāb al-Sabt.

Untuk menelusuri secara komprehensif terkait kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam

al-Qur`an, langkah pertama yang penulis lakukan adalah dengan melihat kitab

al-Mu‘jam al-Mufahras li alfaẓ al-Qur’an dengan kata yang ditelusuri yaitu

kata سبت. Pencarian tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut: 11

Hasil yang didapatkan kemudian diurutkan sesuai dengan tartib nuzul

dalam al-Qur’an. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa QS. Al-A‘rāf

adalah surat yang pertama kali turun di antara tema Aṣḥāb al-Sabt yang lain. 12

Hal ini sangat sesuai karena memang pada QS. Al-A‘rāf lah dijelaskan kisah

tersebut dengan penjelasan yang paling rinci. Setelah umat Islam mengetahui

kisah Aṣḥāb al-Sabt melalui ayat tersebut, lalu ayat-ayat yang datang

setelahnya berfungsi sebagai peringatan agar tidak berbuat seperti apa yang

Tartib Nuzul

Nama SuratMakkiyah/ Madaniyah

No. Ayat

Tartib Mushaf

Potongan Ayat

39 Al-A’rāf Makkiyah 163 7 إذ يعدون في الس2بت إذ تأتيهم حيتانهم يوم سبتهم

42 Al-Furqān Makkiyah 47 25 وهو ال2ذي جعل لكم الل2يل لباسا والن2وم سباتا

70 Al-Naḥl Makkiyah 124 16 إن2ما جعل الس2بت على ال2ذين اختلفوا فيه

80 Al-Naba` Makkiyah 9 78 وجعلنا نومكم سباتا

87 Al-Baqarah Madaniyah 65 2 ولقد علمتم ال2ذين اعتدوا منكم في الس2بت

92 `Al-Nisā Madaniyah 47 4 فنرد2ها على أدبارها أو نلعنهم كما لعن2ا أصحاب الس2بت

92 `Al-Nisā Madaniyah 154 4 وقلنا لهم I تعدوا في الس2بت وأخذنا منهم ميثاقا غليظا

M. Fuad ‘Abd al-Baqi‘, al-Mu‘jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur`an al-Karīm (Kairo: 11

Dar al-Kitab, 1364), h. 338.

Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Resalah Publisher, 2008), h. 12

34.

'32

sudah dilakukan Aṣḥāb al-Sabt dan menjadikan kisah mereka sebagai

pelajaran.

Ketujuh ayat di atas yang menyinggung kata sabt akan penulis lihat satu

per-satu tafsirnya guna mengetahui adanya hubungan dengan kisah Aṣḥāb al-

Sabt. Hal ini dilakukan karena penyusunan kitab-kitab tafsir kebanyakan

mengikuti tartib mushaf yang dimulai dari surat al-Fātihah sampai al-Nās.

Jadi, terkadang mufassir menjelaskan kisah Aṣḥāb al-Sabt dengan panjang

lebar dalam QS. Al-Baqarah dan hanya menjelaskan sisanya pada QS. Al-

A‘rāf, atau sebaliknya, dan bisa juga dijelaskan dalam QS. Al-Nisā,

tergantung pada bagian mana mufassir tersebut menjelaskan dengan detail

keseluruhan kisahnya. Maka dari itu, ketujuh ayat yang penulis kemukakan

akan tetap penting dan dapat menjadi sumber untuk menjelaskan kisah Aṣḥāb

al-Sabt.

Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan ayat-ayat terkait sesuai

dengan tartib nuzul yang dimulai dari QS. Al-A‘rāf/7: 163-166.

واسoألoهم عoن الoقريoة الo2تي كoانoت حoاضoرة البحoر إذ يoعدون فoي السo2بت إذ تoأتoيهم حoيتانoهم

يoوم سoبتهم شoر2عoا ويoوم I يسoبتون I تoأتoيهم كoذلoك نoبلوهoم otا كoانoوا يoفسقون (۱٦۳)

وإذ قoالoت أمo2ة مoنهم لoم تoعظون قoومoا الoل2ه مهoلكهم أو مoعذSبoهم عoذابoا شoديoدا قoالoوا مoعذرة

إلoى ربoSكم ولoعل2هم يoت2قون (۱٦٤) فoلم2ا نoسوا مoا ذكoSروا بoه أoyينا الo2ذيoن يoنهون عoن الoسxوء

وأخoذنoا الo2ذيoن ظoلموا بoعذاب بoئيس otا كoانoوا يoفسقون (۱٦٥) فoلم2ا عoتوا عoن مoا نoهوا عoنه

13قلنا لهم كونوا قردة خاسئ~ (۱٦٦)

“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab

QS. Al-A‘rāf/7: 163-166.13

'33

mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”.

Ayat di atas cukup jelas menerangkan tentang kisah kaum terdahulu yang

pernah melanggar pada hari Sabtu, yang pada hari itulah ikan-ikan banyak

terapung di permukaan air laut. Sedangkan pada hari yang lain ikan-ikan

tersebut tidak bermunculan. Lalu ayat selanjutnya menyebutkan suatu kaum

yang menasihati orang-orang yang berbuat zalim, satu kaum yang lain malah

menegur kaum yang menasihati itu. Cerita ini diakhiri dengan kutukan kera

yang ditimpakan kepada kaum yang zalim. Kemudian dalam surat yang lain

dengan kata sabt yang penulis telusuri, didapatkan padanan kata sabt dalam

QS. Al-Furqān/25: 47 dan QS. Al-Naba`/78: 9.

14وهو ال2ذي جعل لكم الل2يل لباسا والن2وم سباتا وجعل الن2هار نشورا

“Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”

15وجعلنا نومكم سباتا

“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat”

Dua ayat ini menjelaskan derivasi kata sabt, yaitu subātan yang artinya

istirahat. Ayat ini memang tidak terikat dengan kisah Aṣḥāb al-Sabt, tetapi

penjelasan kata sabt dan subātan akan membantu penulis dalam memaknai

lebih jauh kata sabt itu sendiri.

Kisah mengenai kaum yang dikutuk menjadi kera seringkali dijadikan

peringatan oleh Allah kepada kaum-kaum setelahnya. Hal ini dibuktikan

dengan peringatan-peringatan Allah yang tertulis dalam empat ayat yang

QS. Al-Furqān/25: 47.14

QS. Al-Naba’/78: 9.15

'34

terletak di tiga surat yang berbeda dalam al-Qur’an. Ayat-ayat itu di antaranya

QS. Al-Naḥl/16: 124, QS. Al-Baqarah/2: 65, QS. Al-Nisā’/4: 47 dan 154.

إنo2ما جoعل السo2بت عoلى الo2ذيoن اخoتلفوا فoيه وإن2 ربo2ك لoيحكم بoينهم يoوم الoقيامoة فoيما كoانoوا

16فيه يختلفون

“Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.”

17ولقد علمتم ال2ذين اعتدوا منكم في الس2بت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئ~

“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina”

يoا أيoxها الo2ذيoن أوتoوا الoكتاب آمoنوا otا نoز2لoنا مoصدSقoا oÅا مoعكم مoن قoبل أن نoطمس وجoوهoا

18فنرد2ها على أدبارها أو نلعنهم كما لعن2ا أصحاب الس2بت وكان أمر الل2ه مفعول

“Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.”

ورفooعنا فooوقooهم الooطxور ootيثاقooهم وقooلنا لooهم ادخooلوا الooباب سجoo2دا وقooلنا لooهم I تooعدوا فooي

19الس2بت وأخذنا منهم ميثاقا غليظا

“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”

QS. Al-Naḥl/16: 124.16

QS. Al-Baqarah/2: 65.17

QS. Al-Nisā’/4: 47.18

QS. Al-Nisā’/4: 154.19

'35

B. Kisah Aṣḥāb al-Sabt dalam Kitab Tafsir

Berdasarkan informasi yang sudah didapatkan, kisah Aṣḥāb al-Sabt

termasuk kisah yang tidak disebutkan secara jelas nama dan tempat

kejadiannya di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung kisah tersebut.

Uraian kisah ini akan dapat lebih terungkap ketika membaca kitab-kitab tafsir

klasik maupun kontemporer. Namun dikarenakan subjek kisah Aṣḥāb al-Sabt

mengarah kepada Bani Israil, kemungkinan besar akan banyak riwayat 20

Israiliyat yang masuk ke dalam penjelasan tafsir tersebut.

Israil merupakan gelar yang ditunjukkan kepada Nabi Ya‘qub. Ia adalah

nenek moyang bangsa Yahudi, karena kedua belas suku bangsa Yahudi yang

berinduk kepadanya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Israiliyat berarti

seorang raja, pejuang di jalan Allah. Israiliyat adalah lafaz jamak dari

Israiliyah. Al-Qaṭṭān mendefinisikan Israiliyat dengan berita-berita yang 21

diceritakan Ahli Kitab yang masuk Islam, baik dari Yahudi maupun Nasrani.

Namun penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena interaksi

mereka dengan kaum Muslimin telah dimulai semenjak kelahiran Islam

terutama pasca hijrah ke Madinah. 22

Penggunaan Israiliyat dalam penafsiran al-Qur`an sudah dilakukan sejak

zaman sahabat yang ketika itu banyak para tokoh mufassir al-Qur’an yang

bertanya dan menerima keterangan dari Ahli Kitab yang telah masuk Islam.

Ibn Abbas termasuk yang cukup banyak menggunakan Israiliyat dalam karya

tafsirnya. Kemudian berlanjut pada masa tabi‘in yang perhatiannya kepada

Israiliyat semakin meningkat, karena diikuti pula oleh semakin banyaknya

Ahli Kitab yang masuk Islam. Kebanyakan mufassir pada masa tabi‘in tidak

Noor Akmaldin, Al-Qur`an tematis: Kisah-kisah dalam al-Qur’an 2 (Jakarta: Yayasan 20

SIMAQ, 2010), h. 89.

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 104. 21

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an, h. 345.22

'36

mengoreksi secara kritis lebih dahulu kutipan cerita-cerita Israiliyat itu,

padahal di antaranya terdapat yang tidak benar dan batil. 23

Hal ini berbeda dengan para sahabat yang cukup berhati-hati terhadap

Israiliyat sesuai dengan pesan Rasulullah SAW:

حoد2ثoنا محoم2د بoن بoش2ار حoد2ثoنا عoثمان بoن عoمر أخoبرنoا عoليx بoن اoÅبارك عoن يoحيى بoن أبoي كoثير

عoن أبoي سoلمة عoن أبoي هoريoرة رضoي الoل2ه عoنه قoال كoان أهoل الoكتاب يoقرءون الoت2وراة بoالoعبرانoي2ة

ويفسooSرونooها بooالooعربooي2ة Vهooل اÜسÖooم فooقال رسooول الooل2ه صooل2ى الooل2ه عooليه وسooل2م I تooصدSقooوا أهooل

الكتاب وI تكذSبوهم وقولوا آمن2ا بالل2ه وما أنزل إلينا اáية

“Janganlah kamu membenarkan (berita-berita yang dibawa) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. Bukhari) 24

Lebih jauh, terkadang terjadi dialog antara mereka dengan Ahli Kitab itu

tentang sesuatu rincian kisah-kisah tersebut. Para sahabat menerima sebagian

rincian kisah itu selama tidak menyentuh masalah akidah dan hukum. Mereka

pun terkadang menceritakannya juga, karena menurut mereka, hal tersebut

diperkenankan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

حoد2ثoنا أبoو عoاصoم الoض2ح2اك بoن مخoلد أخoبرنoا اVوزاعoيx حoد2ثoنا حoس2ان بoن عoطي2ة عoن أبoي كoبشة

عoن عoبد الoل2ه بoن عoمرو أن2 الoن2بي2 صoل2ى الoل2ه عoليه وسoل2م قoال بoلSغوا عoنSي ولoو آيoة وحoدSثoوا عoن بoني

إسرائيل وI حرج ومن كذب علي2 متعمSدا فليتبو2أ مقعده من الن2ار

“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil, karena yang demikian itu tidak dilarang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari) 25

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 109.23

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Tafsīr al-Qur’an Surat al-Baqarah, Bab Qū Lū 24

Āmannā Billāhi wamā Unzila Ilaina No. 4485 (Beirut: Dār Al-Fikr, 2003), h. 133-134.

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Aḥādiṡ al-Anbiyā`, Bab Mā Żukiru min Banī Isrā’īl 25

No. 3461, h. 370.

'37

Maksudnya, ceritakanlah dari Bani Israil sesuatu yang tidak kamu ketahui

kedustaannya. Adapun pengertian hadis pertama, “Janganlah kamu

membenarkan Ahli Kitab dan janganlah pula mendustakannya….” diterapkan

pada hal-hal yang diceritakan mereka itu, mungkin benar dan mungkin pula

dusta. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara kedua hadis tersebut. 26

Terkait penafsiran kisah Aṣḥāb al-Sabt, penulis menemukan beberapa

riwayat dari ibn ‘Abbas yang berusaha menguraikan kisah itu dengan jelas.

Ibn ‘Abbas sendiri termasuk tokoh mufassir di kalangan sahabat yang banyak

menggunakan riwayat Israiliyat. Karena materi yang akan penulis bahas ini 27

adalah kisah yang tidak menyentuh masalah akidah dan hukum, maka

berdasarkan argumentasi di atas, penulis akan mengemukakan riwayat-

riwayat yang menjelaskan keseluruhan kisah Aṣḥāb al-Sabt, meskipun di

kemudian hari diketahui bahwa itu bersumber dari Israiliyat.

Uraian kisah Aṣḥāb al-Sabt ini akan diambil dari kitab-kitab tafsir dari

berbagai generasi, baik klasik maupun kontemporer. Al-Ṭabari, Sayyid Quṭb,

Ṭabaṭaba’i, Quraish Shihab adalah mufassir-mufassir yang akan penulis

jadikan rujukan utama melalui kitab tafsirnya. Pertama, Al-Ṭabari dengan

kitab tafsirnya Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āyi al-Qur’ān adalah seorang tokoh

terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Selain menulis kitab tafsir,

ia pun seorang pakar sejarah dan pakar hadis. Dalam penafsirannya, al-28

Ṭabari terlebih dahulu mengemukakan pendapat-pendapat mengenai tafsir

atau ta‘wil suatu ayat, lalu ia menafsirkannya berdasarkan kepada pandangan

sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan secara lengkap yakni dengan metode

tafsir bi al-ma’ṡur. Terkadang ia pun menunjukkan dukungannya terhadap

Ahlusunnah wal-Jama‘ah ketika membantah pandangan beberapa mazhab

kalam. 29

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur`an, h. 344-345.26

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 107.27

Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir 28

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 67.

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur`an, h. 353.29

'38

Kedua, Sayyid Quṭb, seorang kritikus sastra ternama dengan kitab

tafsirnya fī Ẓilāl al-Qur`an. Ia termasuk salah seorang pemimpin Ikhwanul

Muslimin, maka tidak heran corak penafsirannya adalah corak haraki

(perjuangan). Selain memakai sumber penafsiran bi al-ma’ṡur, ia pun

memakai sumber tafsir bi al-ra’yi (logika). Ketiga, Ṭabaṭaba’i yang 30

merupakan tokoh ulama Syi’ah yang menulis kitab tafsir al-Mizan. Prestasi

akademiknya tidak diragukan lagi ketika ia dikenal sebagai seorang filosof

dan sekaligus insan spiritual, religius, dan mistis. Keempat, M. Quraish 31

Shihab yang merupakan seorang mufassir kenamaan dari Indonesia dengan

kitab tafsirnya al-Misbah. Dalam penyusunan tafsirnya, ia menggunakan

urutan mushaf Usmani yang dimulai dari surat al-Fātiḥah sampai dengan al-

Nās. Nuansa penafsirannya adalah masyarakat dan sosial. Maksudnya,

Quraish Shihab dalam penafsirannya selalu berusaha untuk dapat menjawab

problem-problem kekinian yang sedang ada di masyarakat dan membutuhkan

penyelesaian. Keempat tokoh mufassir ini memiliki ragam keunikan 32

tersendiri dalam hal corak penafsiran, aliran kalam, dan sumber yang mereka

gunakan. Hal tersebut diharapkan dapat memperkaya penafsiran kisah Aṣḥāb

al-Sabt yang akan dibahas.

Aṣḥāb al-Sabt adalah penduduk suatu negeri yang berada di dekat laut dan

melanggar aturan pada hari Sabtu. Adapun alasan penyebutan kata negeri 33

sebagai pengganti dari penyebutan penduduknya, karena biasanya sebuah

negeri itu adalah tempat para penduduknya menetap dan tempat mereka

berkumpul. Oleh karena itu, penyebutan negeri dianggap sudah cukup untuk

Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: 30

Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 132-139.

Ṭabaṭaba’i, Tafsir al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, Jilid. 1 (Jakarta: Lentera, 2010), h. 11-13.31

Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”. Hunafa: 32

Jurnal Studi Islamika 11, no.1 (2014): 123-124.

QS. Al-Nisa/4: 47, QS. Al-A‘rāf/7: 163.33

'39

mewakili penduduknya. Makna yang sama juga disebutkan pada firman 34

Allah SWT:

35واسأل القرية ال2تي كن2ا فيها والعير ال2تي أقبلنا فيها وإن2ا لصادقون

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".

Ada perbedaan pendapat terkait negeri yang ditempati oleh Aṣḥāb al-Sabt.

Beberapa ulama mengatakan bahwa negeri itu adalah Ailah. Pendapat ini

disampaikan oleh Ibn ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Abdullah ibn Kaṣir, Al-Suddi,

Mujahid, dan Qatadah. Ada yang berpendapat bahwa negeri tersebut bernama

Maqna, yang terletak di antara Madyan dan ‘Ainuni. Pendapat ini

disampaikan oleh Ibn Zaid. Riwayat lain dari Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa

negeri itu adalah Madyan, yang terletak di antara Ailah dan bukit Ṭur. 36

Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, riwayat yang mengatakan negeri itu

adalah Ailah berjumlah delapan. Sedangkan negeri Maqna hanya memiliki

satu riwayat, begitu pula negeri Madyan dengan hanya satu riwayat dari Ibn

‘Abbas yang menyelisihi riwayat lainnya yang lebih banyak.

Aṣḥāb al-Sabt hidup pada zaman Nabi Daud , hal ini sebagaimana firman 37

Allah SWT dalam QS. Al-Mā`idah/5: 78

لoعن الo2ذيoن كoفروا مoن بoني إسoرائoيل عoلى لoسان داوود وعيسoى ابoن مoرé ذلoك otا عoصوا

وكانوا يعتدون

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”

Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, terj. Sudi Rosadi (dkk) (Jakarta: Pustaka Azzam, 34

2008), h. 754.

QS. Yusuf/12: 82.35

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 11, terj. Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 36

2008), h. 655-658. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, h. 756.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1 37

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 212. Lihat juga Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, terj. Ahsan Askan, h. 50. Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, h. 760.

'40

Karena terjadi pada zaman Nabi Daud, maka kisah Aṣḥāb al-Sabt tidak

tercantum dalam kitab Taurat, tetapi kisah itu sangat populer dan diketahui

oleh para pemuka agama Yahudi. Oleh karena itu, Allah menyampaikannya

kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat yang berkaitan dengan

pemberitaan gaib. 38

Kisah mereka dimulai ketika mereka melakukan pelanggaran pada hari

Sabtu. Hari Sabtu merupakan hari yang disucikan bagi mereka di mana 39

mereka tidak dibolehkan bekerja mencari penghidupan, termasuk kegiatan 40

memancing ikan. Hal tersebut merupakan perjanjian Aṣḥāb al-Sabt dengan 41

Allah bahwa hari Sabtu adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah.

Penetapan hari khusus untuk beribadah itu bukanlah tanpa perselisihan di

antara mereka. Awalnya mereka diperintahkan untuk mengagungkan hari 42

Jum’at dengan berbagai keutamaannya dibandingkan dengan hari-hari

lainnya. Tetapi menurut mereka, hari Sabtu lah yang lebih utama karena Allah

selesai dari penciptaan pada hari itu, hingga akhirnya Allah menyetujui hari

yang mereka pilih. Riwayat lain mengatakan bahwa pada mulanya mereka 43

memang menginginkan hari Jum‘at sebagai hari khusus beribadah, tetapi

mereka melanggarnya. Maka mereka memilih hari Sabtu yang kemudian

Allah mewajibkannya bagi mereka. 44

Perselisihan mereka terkait hari khusus beribadah itu diperkuat pula oleh

hadiṡ Rasulullah SAW berikut:

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 213.38

Ṭabaṭaba’i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 299. Lihat juga Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-39

Qur`an, Juz 1, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2003), h. 203.

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 1, h. 203.40

Ṭabaṭaba`i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 299. Lihat juga Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, 41

h. 284.

QS. Al-Nahl/16: 124.42

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 16 , h. 385. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, 43

Juz 12, h. 495.

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 16 , h. 386-387.44

'41

وحoد2ثoنا قoتيبة بoن سoعيد ، وزهoير بoن حoرب ، قoاI : حoد2ثoنا جoريoر ، عoن اVعoمش ، عoن أبoي

صoالoح ، عoن أبoي هoريoرة ، قoال : قoال رسoول الoل2ه صoل2ى الoل2ه عoليه وسoل2م : " نoحن اáخoرون

اVو2لoون يoوم الoقيامoة ، ونoحن أو2ل مoن يoدخoل اoíن2ة ، بoيد أنo2هم أوتoوا الoكتاب مoن قoبلنا ،

وأوتoيناه مoن بoعدهoم فoاخoتلفوا فهoدانoا الoل2ه oÅا اخoتلفوا فoيه مoن اoîقS ، فهoذا يoومoهم الo2ذي

اخoتلفوا فoيه هoدانoا الoل2ه لoه " ، قoال : " يoوم اoíمعة فoالoيوم لoنا ، وغoدا لoليهود ، وبoعد غoد

" للن2صارى

“Kita adalah umat terakhir dan umat pertama pada hari Kiamat kelak. Kita adalah orang yang pertama-tama masuk ke dalam surga padahal mereka diberi kitab sebelum kita sedangkan kita diberi kitab setelah mereka. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang kitab itu, sedangkan kita diberi petunjuk oleh Allah tentang apa yang mereka perselisihkan berupa kebenaran. Ini adalah hari yang mereka perselisihkan yang kemudian Allah memberi kita petunjuk tentang hal itu. Beliau bersabda, hari Jum’at adalah hari kita, besok hari orang-orang Yahudi dan lusa adalah hari orang-orang Nasrani. (HR. Muslim) 45

Penetapan hari Sabtu sebagai hari khusus beribadah ini akhirnya menjadi

suatu perjanjian yang kokoh, dan dimasukkan ke dalam sembilan perintah bagi 46

orang-orang Yahudi , sebagaimana hadiṡ berikut: 47

حoد2ثoنا أبoو كoريoب حoد2ثoنا عoبد الoل2ه بoن إدريoس وأبoو أسoامoة عoن شoعبة عoن عoمرو بoن مoر2ة عoن عoبد

الoل2ه بoن سoلمة عoن صoفوان بoن عoس2ال قoال قoال يoهوديñ لoصاحoبه اذهoب بoنا إلoى هoذا الoن2بيS فoقال

صoاحoبه I تoقل نoبيñ إنo2ه لoو سoمعك كoان لoه أربoعة أعo~ فoأتoيا رسoول الoل2ه صoل2ى الoل2ه عoليه وسoل2م

فoسأIه عoن تoسع آيoات بoيSنات فoقال لoهم I تشoركoوا بoالoل2ه شoيئا وI تسoرقoوا وI تoزنoوا وI تoقتلوا

الoن2فس الo2تي حoر2م الoل2ه إلo2ا بoاoîقS وoò Iشوا بoبريء إلoى ذي سoلطان لoيقتله وI تسحoروا وI تoأكoلوا

الoرSبoا وI تoقذفoوا مoحصنة وI تoولoxوا الoفرار يoوم الoز2حoف وعoليكم خoاصo2ة الoيهود أن I تoعتدوا فoي

Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Jumu’ah, Bab Hidāyah Hāżihi al-Ummati li Yaumi 45

al-Jumu’ah No. 1864 (Beirut: Dār Al-Fikr, 2003), h. 7.

QS. Al-Nisa/4: 154.46

Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 1, ter. Fathurrahman (dkk), h. 958.47

'42

السo2بت قoال فoقب2لوا يoده ورجoله فoقاI نشهoد أنo2ك نoبيñ قoال فoما oöنعكم أن تoت2بعونoي قoالoوا إن2 داود

دعoا ربo2ه أن I يoزال فoي ذرSيo2ته نoبيñ وإنo2ا نoخاف إن تoبعناك أن تoقتلنا الoيهود وفoي الoباب عoن يoزيoد

بن اVسود وابن عمر وكعب بن مالك قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

“Seorang Yahudi berkata kepada temannya, ‘mari kita pergi ke Nabi itu.’ Lalu temannya mengatakan, ‘janganlah engkau mengatakan Nabi, ia mungkin akan mendengarmu, karena ia memiliki empat mata. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah SAW dan menanyakan perihal sembilan perintah, lalu Rasulullah SAW bersabda: ‘janganlah kalian menyekutukan Allah, janganlah kalian mencuri, janganlah kalian berzina, janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, janganlah mengadukan orang yang tidak bersalah kepada penguasa, jangan kalian (mempergunakan) sihir, janganlah kalian memakan (hasil) riba, janganlah kalian menuduh berzina seorang wanita yang telah menikah, janganlah kalian lari saat perang berkecamuk, dan khusus untuk kaum Yahudi janganlah kalian melanggar perintah pada hari Sabtu. Lalu orang tersebut mencium tangan dan kaki Rasulullah SAW dan berkata, ‘kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang Nabi. Kemudian Nabi SAW bertanya, ‘apa yang mencegah kalian untuk mengikuti (ajaran)ku?’ Mereka menjawab, ‘sesungguhnya Daud pernah mengklaim bahwa Nabi akan datang dari keturunannya, dan kami juga takut kalau kami mengikuti ajaranmu maka orang-orang Yahudi akan membunuh kami.’ (HR. Tirmiżi) 48

Setelah ditetapkan bahwa hari Sabtu adalah hari yang khusus untuk

beribadah, maka, Aṣḥāb al-Sabt tidak diperbolehkan melakukan aktivitas

pekerjaan apapun, termasuk memancing ikan. Tetapi aturan ini mereka langgar 49

ketika banyaknya ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai mereka pada hari

Sabtu dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak berdatangan kepada

mereka. Pelanggaran perjanjian yang mereka lakukan ini dilakukan dengan cara 50

yang licik. Setelah mereka tahu bahwa ikan-ikan itu hanya datang pada hari

Sabtu, namun di saat yang bersamaan mereka dilarang memancing pada hari itu,

akhirnya mereka merencanakan suatu tipu daya pada hari Sabtu yang akan

datang. Mereka membuat tambak-tambak ikan dan jaring-jaring pada hari

Al-Tirmiżi, Sunan Tirmiżi, Kitab Tafsīr al-Qur’an, Bab Wa min Sūrat Banī Isrā’īl, No. 48

3144 (Beirut: Dār Al-Fikr, 2003), h. 133-134.

QS. Al-Baqarah/2: 65, QS. Al-A‘rāf/7: 163.49

QS. Al-A‘rāf/7: 163.50

'43

Jum‘at, kemudian jaring-jaring itu dilemparkan di tempat ikan-ikan yang 51

biasanya berkumpul pada hari Sabtu, sehingga ketika ikan-ikan itu berdatangan,

ikan tersebut tidak dapat kembali ke laut karena tambak-tambak yang sudah

dibuat, dan juga terjebak oleh jaring-jaring yang sudah dipasang. 52

Ada pula yang mengatakan bahwa seseorang dari mereka mengambil

seutas tali yang dijadikan perangkap dan dilemparkan pada ekor ikan paus,

sedangkan ujung tali lainnya diikat di tepian pantai dan ditinggalkan begitu saja

hingga hari Ahad (Minggu). Maka, pada hari minggu itulah mereka mengambil 53

ikan-ikan hasil dari perangkap yang mereka buat, lalu memasaknya hingga

tercium aroma ikan oleh tetangganya. Perbuatan ini terus diulangi hingga Sabtu

berikutnya sampai semakin banyak orang yang mengikuti cara memancing ikan

tersebut. Namun adzab tidak segera turun kepada mereka, sehingga mereka

semakin berani dengan memancingnya secara terang-terangan dan menjualnya di

pasar. 54

Tipu daya yang mereka lakukan itu disebabkan karena hati yang

menyimpang dan ketakwaan yang menipis. Mereka seakan-akan berusaha

menaati perjanjian dalam kitab suci mereka, namun sebenarnya mereka

melanggar teks kitab suci tersebut. Dalam hal ini Sayyid Quṭb berkomentar:

“Sesungguhnya undang-undang tidak bisa dijaga oleh teks-teksnya dan tidak pula oleh para penjaganya. Undang-undang hanya dapat dijaga oleh hati yang bertakwa, yang di dalamnya bersemayam rasa takut kepada Allah, sehingga rasa takut itu melindungi dan menjaga undang-undang.” 55

Menurutnya, tidak ada undang-undang yang bisa dijaga dari akal-akalan

manusia terhadapnya. Tidak ada pula undang-undang yang bisa dijaga oleh

kekuatan material dan penjagaan lahiriah. Apapun intimidasi yang dilakukannya,

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 412. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-51

Qurtubi, Juz 7, h. 760.

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 213. Lihat juga Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 52

2 , h. 49.

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, h. 46. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 53

2, h. 959.

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2, h. 46.54

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 411.55

'44

negara tidak akan sanggup menempatkan satu penjaga pada kepala setiap

individu untuk melaksanakan dan menjaga undang-undang, selama tidak ada rasa

takut kepada Allah di hati masyarakat dalam keadaan sembunyi-sembunyi

ataupun terang-terangan. Karenanya, semua sistem dan tatanan yang tidak

didasari penjagaan hati yang bertakwa mengalami kegagalan. Semua teori dan

mażhab yang dibuat manusia untuk manusia tanpa ada kekuasaan Allah di

dalamnya pasti mengalami kegagalan. Dan karena itu, aparat manusia yang

dibentuk negara tidak mampu menjaga dan melaksanakan undang-undang, dan

tidak mampu melakukan pengawasan dan pelacakan yang menyoroti perkara-

perkara dari permukaannya. 56

Namun tidak semua penduduk Aṣḥāb al-Sabt melakukan pelanggaran.

Mereka kemudian terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang 57

melanggar perjanjian. Kedua, kelompok yang pernah memberi nasihat dan telah

berputus asa memberikan nasihatnya, karena merasa bahwa nasihat itu tidak

berguna lagi. Bahkan mereka menegur kelompok yang memberikan nasihat.

Ketiga, kelompok yang masih melanjutkan nasihat untuk dua tujuan, yaitu

melaksanakan kewajiban nasihat-menasihati terlepas apakah diterima atau tidak,

dan siapa tahu nasihat itu menyentuh hati mereka yang melanggar perjanjian

sehingga mereka sadar. 58

Sempat terjadi perdebatan antara kelompok kedua dengan kelompok

ketiga tentang nasihat yang disampaikan kepada Aṣḥāb al-Sabt yang melanggar.

Hingga kelompok kedua mengatakan kepada kelompok yang masih memberikan

nasihat:

59لم تعظون قوما الل2ه مهلكهم أو معذSبهم عذابا شديدا

“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur`an, Juz 5, h. 411.56

QS. Al. A’rāf/7: 163-166.57

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h. 285.58

QS. Al. A’rāf/7: 164.59

'45

Maka kelompok yang menasihati itu pun menjawab:

60قالوا معذرة إلى ربSكم ولعل2هم يت2قون

“agar kami mempunyai alasan kepada Tuhan kamu”

Penyebutan Tuhan kamu dan bukan Tuhan kita atau Tuhan kami untuk

menyindir mereka yang berhenti menasihati bahwa sebenarnya mereka juga

masih mempunyai kewajiban, karena jika mereka berhenti menasihati, bisa jadi

mereka mempunyai alasan yang dapat membenarkan sikap mereka itu. 61

Itulah kewajiban yang harus seorang manusia lakukan untuk Allah, yaitu

kewajiban ‘amar ma‘ruf dan nahi munkar, dan memperingatkan pelanggaran

akan berbagai larangan, agar ia dapat menyampaikan alasan kepada Allah, dan

Allah tahu bahwa ia telah melaksanakan kewajibannya. Kemudian, barangkali

nasihat itu berbekas di hati yang durhaka, sehingga membangkitkan perasaan

takwa di dalamnya. 62

Nasihat demi nasihat terus disampaikan kepada mereka yang melanggar.

Namun tetap saja mereka tidak mau mendengarkan nasihat tersebut hingga pada

akhirnya mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka. Lupa 63

peringatan di sini maksudnya adalah terhentinya pengaruh peringatan itu ke

dalam jiwa mereka, walaupun mereka masih mengingat peringatan yang

disampaikan. Itulah siksa Allah disebabkan mereka melecehkan tuntunan-Nya

dan mengabaikan peringatan-Nya. Adapun lupa maka ia pada hakikatnya menjadi

sebab gugurnya sanksi, karena itu yang dimaksud dengan lupa yang ada pada

mereka adalah mengabaikan. 64

Pada dasarnya, manusia selalu dikelilingi oleh bimbingan Allah yang

mengingatkannya tentang kewajiban-kewajiban penting yang ditetapkan Allah

QS. Al. A‘rāf/7: 164.60

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h. 286.61

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 413.62

QS. Al-A‘rāf/7: 165.63

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h. 287.64

'46

SWT. Kalau ia istiqomah dan konsisten maka itulah yang diharapkan, dan kalau

ia mengabaikan konsistensi serta tidak merasakan teguran dalam jiwanya, maka

ia telah melampaui batas-batas Ilahi. Memang seringkali pada tahap awal,

seseorang masih merasakan teguran, kecaman batin serta rasa perih akibat

pelanggaran yang dilakukannya. Tetapi jika pelanggaran itu dilakukan berulang

tanpa taubat, maka kedurhakaan akan semakin mantap, dan jika kedurhakaan

berlanjut, maka bertambah lemah pula teguran dan kecaman batin sampai

akhirnya hilang sama sekali sehingga ada atau tidaknya peringatan sama saja buat

mereka, dan inilah yang dimaksud dengan mereka melupakan peringatan, yakni

tidak berbekas lagi dan terhenti sudah pengaruhnya dalam jiwa bagaikan hilang

sama sekali. 65

فoلم2ا نoسوا مoا ذكoSروا بoه أoyينا الo2ذيoن يoنهون عoن الoسxوء وأخoذنoا الo2ذيoن ظoلموا بoعذاب بoئيس

t66ا كانوا يفسقون

”Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”

Ketika nasihat dan saran tidak berguna, dan orang-orang tetap pada

kesesatannya, maka ketetapan siksa Allah pasti berlaku dan ancaman-Nya pasti

terealisir. Maka, orang-orang yang melarang perbuatan buruk itu selamat dari

siksa. Kelompok yang melanggar perjanjian tertimpa adzab yang sangat keras,

sedangkan kelompok yang tidak menasihati dan tidak pula melanggar tidak

disinggung dalam ayat. Mungkin untuk mengacuhkan mereka yang meskipun

tidak disiksa dengan adzab, mereka berpangku tangan dari pengingkaran aktif

dan hanya berhenti pada pengingkaran pasif, sehingga patut diacuhkan meskipun

tidak patut menerima adzab. 67

Ṭabaṭaba`i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 300-301.65

QS. Al-A‘rāf/7: 165.66

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 414.67

'47

68فلم2ا عتوا عن ما نهوا عنه قلنا لهم كونوا قردة خاسئ~

”Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”.”

Kesombongan dan ketidakpedulian mereka yang melakukan pelanggaran

sudah tidak mungkin dapat dinasihati. Akhirnya orang-orang yang taat membagi

desa tersebut dengan batasan tembok agar mereka tidak terkena imbas dari adzab

Allah yang akan menimpa kepada orang-orang yang melanggar. Hingga pada 69

suatu hari ketika kelompok yang taat sedang berkumpul, ada seseorang dari

mereka yang menyampaikan kebingungannya. Ia merasa aneh karena orang-

orang yang melanggar di balik tembok itu sama sekali tidak terlihat gerak-

geriknya. Mereka pun sepakat untuk mengintip keadaan orang-orang itu dari atas

tembok, karena mereka berpikir pasti telah terjadi sesuatu dengan orang-orang di

sana. Mereka kemudian menaiki tembok tersebut, dan ternyata yang mereka

perkirakan itu benar adanya bahwa mereka melihat orang-orang di sana telah

diubah bentuknya menjadi kera. 70

Akhirnya mereka memutuskan untuk membuka pintu-pintu pemisah

tembok tersebut dan melihat keadaan orang-orang yang telah diubah bentuknya

itu. Namun sayangnya mereka tidak mengenali siapapun di sana. Berbeda dengan

kera-kera itu, mereka masih mengenali saudara mereka dari kalangan manusia,

dan segera mendatanginya, akan tetapi yang dapat kera-kera itu lakukan hanyalah

mencium baju saudaranya itu sambil menangis tersedu-sedu. Para manusia itu

pun tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya dapat berkata, “Bukankah kami

telah melarang kalian”. Kera-kera itu pun hanya dapat menyesal dan

membenarkan hal itu dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Kera tersebut 71

QS. Al-A‘rāf/7: 166.68

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2 , h. 50.69

Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurtubi, Juz 7, h. 761.70

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 11 , h. 669. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, 71

Juz 7, h. 761.

'48

tidak hidup di bumi kecuali hanya tiga hari dengan tidak makan, tidak minum,

dan tidak berketurunan. 72

Namun menurut riwayat dari Mujahid, yang diubah menjadi kera adalah

hati mereka, sedangkan wajah mereka tetap sebagaimana adanya. Hal ini

perumpaan yang dibuat oleh Allah seperti halnya perumpamaan keledai yang

membawa buku-buku. 73

Mufassir kontemporer seperti Sayyid Quṭb dan Quraish Shihab pun tidak

mengharuskan perubahan bentuk tubuh manusia menjadi kera. Menurut Sayyid

Quṭb, bukanlah suatu keharusan bahwa mereka berubah menjadi kera secara fisik,

tetapi mereka telah berubah menjadi kera secara mental dan pemikiran. Karena

berbagai pengaruh perasaan dan pola pikir itu terpantul pada penampilan dan raut

muka. Mereka telah turun dari derajat kemanusiaan mereka, ketika mereka 74

melepaskan karakteristik mereka yang paling khusus, yaitu keinginan yang

mengalahkan kesenangan. Mereka berbalik ke alam hewan ketika mereka

melepaskan karakteristik manusia, sehingga kepada mereka dikatakan agar

menjadi seperti yang mereka kehendaki untuk diri mereka, yaitu kerendahan dan

kehinaan. 75

Menurut Quraish Shihab, tidak jelas apakah bentuk rupa mereka yang

diubah menjadi kera atau hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah

ini populer di kalangan mereka. Kemudian ia menjelaskan tentang kera yang

dalam hal ini binatang yang ditunjuk Allah. Menurutnya, kera adalah satu-satunya

binatang yang selalu terlihat auratnya, karena auratnya memiliki warna yang

menonjol dan berbeda dengan seluruh warna kulitnya. Di sisi lain, kera harus

dicambuk untuk mengikuti perintah. Demikianlah orang-orang Yahudi yang

dikecam dalam al-Qur`an. Mereka tidak tunduk dan taat kecuali setelah dijatuhi

sanksi atau diperingatkan dengan ancaman. Apa yang terjadi terhadap para

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2 , h. 45.72

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, Juz 2 , h. 51.73

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 1, h. 203.74

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’an, Juz 5, h. 414.75

'49

pembangkang itu merupakan peringatan yang sangat berharga untuk dihindari

oleh mereka yang tidak ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu

maupun generasi selanjutnya. Sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-orang

yang bertakwa. Sekali lagi, apakah bentuk jasmani mereka yang diubah atau

bukan, dewasa ini tidaklah terlalu penting untuk dibuktikan. Yang pasti adalah

akhlak mereka dan cara berpikir mereka tidak lurus. 76

Penafsiran mufassir klasik yang dalam hal ini diwakili oleh al-Ṭabari dan

al-Qurṭubi dan mufassir kontemporer seperti Ṭabaṭaba’i, Sayyid Quṭb, dan M.

Quraish Shihab memiliki perbedaan yang cukup signifikan terhadap kisah Aṣḥāb

al-Sabt. Mufassir klasik cenderung merujuk kepada riwayat-riwayat dari ‘Ibn

‘Abbas dalam mengurai keseluruhan kisahnya, meskipun riwayat itu tidak sampai

kepada Nabi. Dalam hal penerimaan kutukan kera, al-Ṭabari terkesan menerima

riwayat-riwayat yang ia kemukakan, meskipun pada dua riwayat terakhir ia

memasukkan pula riwayat dari Mujahid yang mengatakan bahwa hanya hati dan

pikiran mereka saja yang menjadi seperti kera. Sedangkan tiga mufassir

kontemporer memilih untuk tidak membenarkan apakah kutukan kera itu

perubahan fisik atau perubahan mental saja. Seperti Quraish Shihab yang lebih

memilih untuk tidak mengambil sikap karena tidak ada sumber yang bisa

dipastikan untuk diterima. Sayyid Quṭb pun mengatakan bahwa bukan suatu

keharusan menerima perubahan fisik tersebut. Sedangkan Ṭabaṭaba’i tidak terlalu

banyak menyinggung kutukan kera dalam tafsirnya. Namun yang jelas, para

mufassir kontemporer mencoba sebisa mungkin untuk tidak memasukkan riwayat

Israiliyat dalam tafsir mereka. Karena itu, mereka lebih terfokus kepada pelajaran

dan hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut.

Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 1, h. 213-214. 76

BAB IV ANALISIS SEMIOTIS KISAH AṢḤĀB AL-SABT

Ketika semiotika dipahami sebagai ilmu tentang tanda, maka al-Qur’an

menjadi bidang subur bagi analisis semiotis. Tanda memainkan peran penting

dalam agama dan itu dengan berbagai cara yang perlu dibedakan. Seringkali

manusia diseru untuk memperhatikan tanda kebesaran Allah dengan

memperhatikan ciptaan-Nya di dunia. 1

Al-Qur’an memiliki satuan-satuan dasar yang dinamakan ayat (tanda).

Tanda dalam al-Qur’an tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya,

seperti: kalimat, kata atau huruf, tetapi totalitas struktur yang menghubungkan

masing-masing unsur termasuk dalam kategori tanda al-Qur’an. Hal ini

menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur’an adalah serangkaian tanda-tanda

yang memiliki arti. 2

Terkait problema penerapan semiotika terhadap teks al-Qur’an, Nasr

Hamid Abu Zayd, sebagaimana dikutip oleh Muzakki memberikan penjelasan 3

yang rasional dengan membuat analogi mengenai turunnya al-Qur’an dengan

akidah Kristiani tentang kelahiran Isa. Umat Islam memandang Nabi Isa as

sebagai sosok manusia meskipun proses kelahirannya hanya dari seorang ibu

tanpa bapak. Ia adalah utusan-Nya dan kalimah-Nya. Demikian juga dengan al-

Qur’an yang merupakan kalam Allah. Dalam hal ini Nabi Isa dan al-Qur’an sama-

sama kalimah Allah dengan perantara Jibril. Bedanya hanya pada al-Qur’an

disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan Isa disampaikan kepada

Maryam. Pada dua kasus tersebut dapat dikatakan bahwa kalam Allah terwujud

dalam bentuk yang dapat disentuh pada kedua agama tersebut. Dalam agama

Kristen berwujud Nabi Isa, sedangkan dalam Islam berwujud teks al-Qur’an yang

berbahasa Arab. Artinya yang Ilahi menjadi manusiawi, atau yang Ilahi menjadi

Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang: 1

UIN-Malang Press, 2007), h. 101.

Ali Imran, Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf 2

(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 33-34.

Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 100.3

!50

!51

termanusiakan. Ketika sifatnya sudah termanusiakan, maka teks al-Qur’an dapat

didekati dengan pendekatan apapun, termasuk pendekatan semiotika Roland

Barthes. 4

Pada bab ini penulis berusaha untuk menganalisis kisah Aṣḥāb al-Sabt

dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Barthes sendiri

pernah mengaplikasikan metode analisis strukturalnya pada kisah Ya‘qub dan

malaikat yang terdapat dalam Kitab Kejadian. Dengan demikian, dalam kajian 5

tafsir yang membahas tentang kisah dalam al-Qur’an, analisis semiotika Roland

Barthes menjadi relevan karena menggunakan kisah yang dalam hal ini adalah

kisah Aṣḥāb al-Sabt sebagai objeknya. Sebagaimana diketahui, Barthes memiliki

konsep dua tingkatan pembacaan makna, yaitu makna denotasi dan makna

konotasi. Makna denotasi akan penulis istilahkan dengan nuansa denotatif,

sedangkan makna konotasi diistilahkan dengan nuansa mitos, karena mitos

bersemayam pada makna konotasi.

Muzakki, Kontribusi Semiotika, h. 100.4

Roland Barthes, Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko 5

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 370.

Jibril Jibril

Muhammad

Kalam Allah

Maryam

Al-Qur`an Nabi Isa

Keduanya adalah kalam Allah yang termanusiakan. Berwujud dalam bentuk yang dapat disentuh.

!52

A. Nuansa Denotatif

Nuansa denotatif adalah tahap pembacaan makna tingkat pertama, di mana

analisis linguistik sangat berperan. Tahap ini akan membiarkan teks itu

berbicara apa adanya tanpa melibatkan unsur di luar teks. Pembacaan ini akan

menjadi langkah awal untuk memberikan makna konotasi atau semiotik

tingkat kedua.

Denotasi merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas

penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas

konvensi tertentu dan bersifat objektif. Analisis ini dilakukan dengan asumsi

bahwa struktur teks merupakan tanda. Bahasa dan stuktur kisah adalah

penanda yang memiliki arti atau konsep di balik tanda tersebut. 6

Pada pembahasan kali ini, kisah Aṣḥāb al-Sabt akan dianalisis

menggunakan analisis sturkturalnya Barthes. Hal pertama yang dilakukan

Barthes dalam analisisnya adalah memotong-motong teks menjadi beberapa

fragmen. Setiap fragmen dapat dianalisis sistem semiotik tingkat pertamanya.

1. Pemotongan Teks Cerita

Pemotongan teks menjadi hal pertama yang dilakukan Barhes dalam

menganalisis suatu karya sastra. Pada tahap ini teks dipenggal menjadi

beberapa fragmen yang sifatnya arbitrer, dalam arti penganalisis teks dapat

dengan sewenang-wenang menentukan fragmen cerita sesuai dengan hasil

pembacaannya.

Penulis membagi kisah Aṣḥāb al-Sabt ke dalam tiga fragmen. Pertama,

pelanggaran perjanjian, kedua, dialog antara dua golongan yang menaati

perjanjian, dan ketiga, kutukan kera. Masing-masing fragmen akan dianalisis

sistem semiotik tingkat pertamanya sehingga mendapatkan makna denotasi

Ali Imran, Semiotika al-Qur’an, h. 53-54.6

!53

yang sesuai dengan apa yang ada di dalam teks. Berikut ini tabel pembagian

fragmen tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt:

a. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian

Fragmen ini menjelaskan permulaan kisah Aṣḥāb al-Sabt hingga

sebab-sebab mereka melakukan sebuah pelanggaran perjanjian dengan

Tuhan mereka yang disebutkan dalam QS. Al-A‘rāf/7: 163.

واس%أل%هم ع%ن ال%قري%ة ال3%تي ك%ان%ت ح%اض%رة البح%ر إذ ي%عدون ف%ي الس3%بت إذ ت%أت%يهم ح%يتان%هم

7يوم سبتهم شر3عا ويوم O يسبتون O تأتيهم كذلك نبلوهم Jا كانوا يفسقون

“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, diwaktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.

Pada ayat di atas, Nabi Muhammad saw selaku penerima al-Qur’an

diperintahkan untuk menanyakan kepada kaum Yahudi tentang sebuah

negeri yang terletak di dekat laut. Negeri itu ditempati oleh penduduk

Aṣḥāb al-Sabt yang diinformasikan al-Qur`an bahwa mereka melakukan

pelanggaran pada hari Sabtu.

No. Fragmen Segmen Ayat

1. Pelanggaran perjanjian 1. Sebuah pelanggaran ketika ikan-ikan berdatangan ke tepi pantai.

QS. Al-A‘rāf/7: 163.

2. Dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian

1. Pertanyaan kaum 2. Jawaban golongan yang

menasihati

QS. Al-A‘rāf/7: 164.

3. Kutukan kera 1. Hukuman kepada para pelanggar dengan menjadikan mereka kera

QS. Al-A‘rāf/7: 165-166, QS. Al-Baqarah/2: 65.

QS. Al-A‘rāf/7: 163.7

!54

Al-Qur’an tidak menginformasikan di mana negeri tersebut atau

nama penduduknya karena itu bukanlah tujuan utama dari kisah ini. Kisah

yang ada dalam al-Qur’an memang tidak banyak memerinci unsur-unsur

yang biasanya terdapat dalam cerita fiksi. Karena tujuan dari kisah al-

Qur’an adalah untuk mengambil hikmah dan pesan moral yang terdapat di

dalamnya. 8

Informasi mengenai sebuah negeri yang terletak di dekat laut

kemudian diikuti kata iż yang dari situlah awal mula kisah Aṣḥāb al-Sabt.

Preposisi iż yang digunakan menunjukkan keterangan waktu sekaligus

memberikan aksentuasi pada kisah ini. Tanda iż memiliki arti bahwa

pembaca diajak memperhatikan kisah yang ada di dalam al-Qur`an dengan

seksama, sehingga pembaca benar-benar menemukan sekaligus merasakan

nilai-nilai dan pelajaran penting dalam sebuah kisah. Hal ini 9

menunjukkan bahwa kisah Aṣḥāb al-Sabt memiliki pesan-pesan dan

pelajaran penting yang dapat digali layaknya kisah yang ada di dalam al-

Qur’an.

Kata ya‘dūna menjadi topik utama yang perlu dipahami dengan

pemahaman mendalam. Karena sebagaimana diketahui pelanggaran yang

mereka lakukan langsung diikuti dengan informasi kedatangan ikan-ikan

ke tepi pantai pada hari Sabtu. Oleh karena itu, untuk memahaminya

pembaca harus jeli melihat penanda-penanda apa saja yang ada dalam ayat

ini agar mendapatkan pemahaman yang utuh.

Lafaz ya‘dūna merupakan qira’ah jumhur ulama. Sedangkan lafaz

ini dibaca oleh Abu Nahik menjadi yu‘iddūna dengan menggunakan

harakat ḍammah pada huruf ya, harakat kasrah pada huruf ‘ain, dan

tasydid pada huruf dal. Asal dari lafaz ya’dūna adalah al-i‘tidā` yang

artinya melakukan suatu hal buruk atau melanggar batas, sedangkan asal

M. Baqir Hakim, Ulumul Quran (Jakarta: Al Huda, 2012), h. 515.8

Ali Imran, Semiotika al-Qur`an, h. 55-56.9

!55

dari lafaz yu‘iddūna adalah al-i‘dād yang berarti mempersiapkan peralatan

memancing atau berburu yang digunakan untuk mengambil ikan-ikan

itu. 10

Selanjutnya kata Sabt merupakan penanda penting terkait

pelanggaran yang mereka lakukan. Sabt sendiri berasal dari kata sabata

yang jika disandingkan pada orang Yahudi (sabata al-Yahūdi) maka

maknanya adalah orang Yahudi itu tidak bekerja pada hari Sabtu. Kata ini

juga dapat bermakna mengantuk apabila dikatakan subita al-rajulu. Selain

itu, kata ini dapat berarti diam, yakni jika yang diungkapkan asbata maka

maknanya orang itu tenang dan tidak bergerak sama sekali. Kata ini pun

dapat bermakna sebutan untuk salah satu hari dalam seminggu atau hari

ketujuh dalam satu minggu seperti yang kita kenal yaumu al-Sabt, yang

biasanya dianggap sebagai hari beristirahat dan hari bebas dari pekerjaan

(hari libur). 11

Penanda lain yang dapat ditemukan dalam fragmen ini yaitu kata

ḥītan yang berarti ikan-ikan yang hidup di dalam air (laut) dan dapat pula

Signifier Signified

Sabt Hari ketujuh dalam satu

minggu, dapat bermakna diam

dan istirahat. Hari khusus

beribadah orang Yahudi

Sign

Hari khusus beribadah bagi orang Yahudi, di mana mereka tidak

diperbolehkan melakukan pekerjaan apapun pada hari itu.

Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, Juz 7, terj. Sudi Rosadi (dkk) (Jakarta: Pustaka Azzam, 10

2008), h. 758.

Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, h.757.11

!56

diartikan dengan ikan yang besar atau ikan paus. Ikan-ikan itu 12 13

diberitakan berdatangan ke tepi pantai pada hari Sabtu secara syurra‘an

yang berarti terapung-apung di permukaan air dari segala arah. Ikan itu

terlihat sangat jelas hanya dengan melihatnya dengan mata kepala. 14

Pelanggaran yang dilakukan oleh Bani Israil pada hari Sabt tidak

disebutkan secara langsung di dalam ayat di atas. Hal ini dapat

menunjukkan dua hal, pertama, kaum Yahudi sebagai objek yang ditanya,

sudah tahu betul kisah Aṣḥāb al-Sabt. Kedua, pembaca dituntut untuk

mencari tahu bagaimana sebenarnya kisah Aṣḥāb al-Sabt. Pertanyaan Nabi

Muhammad yang ditunjukkan kepada kaum Yahudi ini sekaligus

menunjukkan kebenaran kenabiannya karena mengetahui pemberitaan

gaib, dalam hal ini kisah Aṣḥāb al-Sabt yang sudah sangat populer di

kalangan kaum Yahudi.

Signifier Signified

Ḥītan Ikan-ikan yang hidup di dalam

laut. Dapat juga diartikan ikan

paus.

Sign

Ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai pada hari Sabtu dan

terlihat terapung-apung di permukaan air.

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 12

2009), h. 110.

A. Thoha Husein al-Mujahid, Kamus al-Waafi: Arab-Indonesia (Depok: Gema Insani, 13

2016), h. 382.

Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari, Juz 11, terj. Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 14

2008), h. 659.

!57

b. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati

Perjanjian

Pada fragmen sebelumnya telah dijelaskan bahwa Aṣḥāb al-Sabt

melakukan pelanggaran pada hari Sabtu yang ketika itu ikan-ikan banyak

berdatangan ke tepi pantai. Kemudian al-Qur’an menginformasikan

adanya dialog mengenai dua golongan yang tergambarkan dalam QS. Al-

A‘rāf/7: 164.

وإذ ق%ال%ت أم3%ة م%نهم ل%م ت%عظون ق%وم%ا ال%ل3ه مه%لكهم أو م%عذUب%هم ع%ذاب%ا ش%دي%دا ق%ال%وا

معذرة إلى ربUكم ولعل3هم يت3قون

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.

Wau pada awal ayat ini menjadi ‘aṭaf dari kalimat iż ya‘dūna pada

ayat sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Aṣḥāb al-Sabt 15

melakukan pelanggaran, kejadian tersebut kemudian diikuti dengan

terjadinya dialog antara dua golongan yang tidak melakukan pelanggaran.

Dengan demikian, pelanggaran yang dilakukan menjadi sebab dari

terjadinya dialog di antara mereka. Dua golongan yang dimaksud adalah

ummatun yang disebutkan dalam ayat ini dan allażīna yanhauna ‘ani al-

sū’ yang disebutkan pada ayat setelahnya, yakni QS. Al-A‘rāf/7: 165.

Penanda yang terdapat dalam ayat di atas adalah pertanyaan

ummatun dengan redaksi lima ta‘iżūna qauman. Kata ta‘iżūna terambil

dari kata wa‘iż yang dipahami dengan nasihat dan ucapan-ucapan yang

menyentuh hati, yang sebenarnya telah diketahui oleh sasaran yang

dinasihati itu tetapi belum juga mereka laksanakan. Qauman mengacu

Muhyiddin al-Darwisy, I‘rāb al-Qur’ān al-Karīm wa bayānuhu, Juz 3 (Damsyik: Dār 15

al-Yamāmah, 2005), h. 67.

!58

kepada kaum yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu. Hal ini dapat

terlihat dari kalimat Allahu muhlikuhum au mu’ażżibuhum ‘ażāban

syadīdan (Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka

dengan adzab yang amat keras) yang terletak setelah kata qauman.

Kalimat ini sekaligus menjelaskan bahwa ummatun tahu betul apa yang

akan terjadi terhadap qauman yang dalam hal ini mereka melanggar pada

hari Sabtu.

Pertanyaan ummatun ini ditunjukkan kepada allażīna yanhauna

‘ani al-sū’, yakni orang-orang yang melarang perbuatan buruk, yang

masih dan akan terus memberikan nasihat. Jawaban dari pertanyaan

tersebut adalah ma‘żiratan ila rabbikum wa la’allahum yattaqūn. Terdapat

perbedaan qira’at dalam membaca kata ma’żiratan. Mayoritas ahli qira’at

Hijaz, Kufah, dan Basrah, membacanya ma’ziratun dengan rafa‘ yang

berarti nasihat kami itu merupakan sebuah tindakan untuk melepaskan

tanggungjawab. Sebagian ahli qira’at Kufah membacaya ma‘ziratan

dengan naṣab yang artinya nasihat kami itu sebagai alasan. 16

Signifier Signified

Lima ta‘iżūna qauman Redaksi yang disampaikan

oleh ummatun. Artinya

“Mengapa kamu menasihati

kaum?”

Sign

Pertanyaan ummatun tentang nasihat yang disampaikan kepada

qauman, dimana mereka akan dibinasakan dan diadzab dengan

sangat keras oleh Allah.

Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari, h. 662.16

!59

c. Fragmen III: Kutukan Kera

Fragmen ini adalah fragmen terakhir dari kisah Aṣḥāb al-Sabt.

Setelah dua fragmen di atas menjelaskan bahwa ada suatu kaum yang

melakukan pelanggaran pada hari Sabtu, kemudian diikuti dengan

terjadinya dialog antara dua golongan yang taat, maka pada fragmen ini

Allah menentukan balasan apa yang akan menimpa kepada tiga golongan

yang disebutkan dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt. Hal ini tergambarkan dalam

QS. Al-A‘rāf/7: 165 - 166.

ف%لم3ا ن%سوا م%ا ذكU%روا ب%ه أf%ينا ال3%ذي%ن ي%نهون ع%ن ال%سeوء وأخ%ذن%ا ال3%ذي%ن ظ%لموا ب%عذاب

ب%%ئيس J%%ا ك%%ان%%وا ي%%فسقون (۱٦٥) ف%%لم3ا ع%%توا ع%%ن م%%ا ن%%هوا ع%%نه ق%%لنا ل%%هم ك%%ون%%وا ق%%ردة

(۱٦٦) mخاسئ

“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina”.

Signifier Signified

Ma‘żiratan ila rabbikum Redaksi yang disampaikan

oleh allażīna yanhauna ‘ani al-

sū’. Artinya “sebagai alasan

kepada Tuhanmu.”

Sign

Jawaban dari allażīna yanhauna ‘ani al-sū` atas pertanyaan

ummatun.

!60

Nasihat demi nasihat yang disampaikan oleh allażīna yanhauna

‘ani al-sū’ nampaknya menemukan jalan buntu. Meskipun nasihat itu

disampaikan secara terus menerus, qauman tetap tidak mengindahkan

nasihat yang disampaikan. Hal ini terlihat dari kalimat nasū mā żukkirū bihi

yang berarti mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka.

Ketika mereka sudah melupakan peringatan itu, maka frase qauman

berubah menjadi allażīna ẓalamū seperti yang disebutkan pada ayat di atas.

Allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ diselamatkan oleh Allah, allażīna ẓalamū

menerima siksaan yang keras, sedangkan ummatun tidak disebutkan dalam

ayat ini terkait apa yang terjadi pada mereka.

Mengenai kalimat nasū mā żukkirū bihi, Ṭabaṭaba’i memberikan

komentar bahwa yang dimaksud dengan melupakan peringatan adalah

terhentinya pengaruh peringatan itu ke dalam jiwa allażīna ẓalamū,

walaupun mereka masih mengingat peringatan itu. Adapun lupa maka ia

pada hakikatnya menjadi sebab gugurnya sanksi, karena itu yang dimaksud

dengan lupa yang ada pada mereka adalah mengabaikan. Al-Qurtubi 17

mengatakan bahwa nasū yang ada pada mereka maksudnya mereka

meninggalkan dan melanggar larangan itu dengan sengaja. 18

Signifier Signified

Nasū mā żukkirū bihi Allażīna ẓalamū melupakan

apa yang diperingatkan kepada

mereka.

Sign

Melupakan yang dapat diartikan dengan sengaja mengabaikan dan

melanggar apa yang diperingatkan.

Ṭabaṭaba`i, Tafsir al-Mizan, Juz 8, h. 300-301.17

Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, h. 766.18

!61

Akibat dari melakukan pelanggaran dan mengabaikan nasihat yang

diberikan oleh allażīna yanhauna ‘ani al-sū’, maka allażīna ẓalamū ditimpa

dengan siksaan yang keras. Bentuk siksaan itu dijelaskan pada ayat

setelahnya yakni QS. Al-A‘rāf/7: 166 dengan menjadikan allażīna ẓalamū

kera yang hina. Kalimat kūnū qiradatan khāsi’īn ini sebagai kalimat

kutukan dari Allah kepada kaum yang melanggar dan mengabaikan nasihat

yang diberikan. Selain pada ayat di atas, kalimat kutukan ini disebutkan

pula pada QS. Al-Baqarah/2: 65.

2. Fakta-fakta Cerita

Untuk memahami karya sastra, seseorang harus menempuh tiga hal, yaitu

interpretasi, analisis, dan penilaian. Dengan menempuh langkah tersebut

karya sastra dapat dikenali, dipahami, dan dinikmati. Salah satu cara yang

ditempuh adalah dengan mengungkap fakta-fakta cerita itu. Fakta-fakta cerita

merupakan bagian dari elemen-elemen pembangun prosa fiksi. Ia termasuk ke

dalam bagian dari analisis cerita. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. 19

Ketiga unsur ini merupakan struktur dasar yang selalu ada dalam setiap

narasi. Melalui analisis ketiganya cerita dapat dipahami secara lebih

terperinci.

Signifier Signified

Kūnū qiradatan khāsi’īn Kalimat kutukan yang artinya:

Jadilah kamu kera yang hina

Sign

Kutukan yang diberikan Allah kepada allażīna ẓalamū dengan

menjadikan mereka kera yang hina.

Suminto A. Suyuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi (Yogyakarta: Gama Media, 2000), 19

h. 29.

!62

a. Plot/Alur Kisah

Plot merupakan rentetan atau urutan peristiwa secara keseluruhan.

Peristiwa-peristiwa tersebut dihubungkan secara sebab atau akibat dari

peristiwa-peristiwa lain. Peristiwa tersebut apabila dihilangkan, maka akan

merusak jalannya cerita. Jadi, plot merupakan hal penting dalam struktur

cerita karena melalui plot suatu cerita dapat tergambar dengan jelas. Plot

dapat memberi keterangan sebab akibat yang menyebabkan rentetan

peristiwa itu terjadi. 20

Alur cerita memiliki beberapa tahapan seperti pengenalan,

munculnya masalah, menuju konflik yang lebih besar, puncak konflik,

klimaks, dan penyelesaian. Begitu pun dengan kisah Aṣḥāb al-Sabt yang 21

sedang penulis bahas. Tahap pengenalan terlihat ketika al-Qur’an

menyebutkan suatu negeri di dekat laut, yang tidak dijelaskan secara detail

negeri mana yang dimaksud. Hal ini memperlihatkan bahwa al-Qur’an

mengajak pembaca untuk berpikir dan mencari tahu negeri tersebut, yang

ternyata negeri itu ditempati oleh penduduk Aṣḥāb al-Sabt.

Informasi tersebut didapatkan setelah membaca lanjutan ayatnya

yang menjelaskan bahwa di negeri tersebut terdapat orang-orang yang

melanggar peraturan pada hari Sabtu. Pada tahap ini mulai muncul sebuah

masalah, bahwa penduduk Aṣḥāb al-Sabt melakukan pelanggaran di hari

Sabtu. Masalah ini kemudian diperinci dengan lanjutan ayat setelahnya

bahwa pelanggaran pada hari Sabtu itu terjadi ketika banyaknya ikan-ikan

yang datang kepada mereka secara terapung-apung, sedangkan pada hari

yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Penjelasan ini

ternyata masih belum menerangkan pelanggaran apa yang sebenarnya

Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam 20

Layar Terkembang (Bandung: Katarsis, 2003), h. 14.

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University 21

Press, 2017), h. 209.

!63

mereka lakukan. Sekali lagi, pembaca diajak berpikir untuk menemukan

masalah apa yang sebenarnya terjadi pada penduduk Aṣḥāb al-Sabt.

Setelah muncul sebuah masalah, kisah ini masih terus membuat

perkembangan konflik dengan menghadirkan sebuah dialog antara dua

golongan yang taat. Dua golongan yang dimaksud adalah ummatun dan

allażīna yanhauna ‘ani al-sū’. Adanya konflik ini merupakan sebab-akibat

dari masalah yang telah terjadi pada penduduk Aṣḥāb al-Sabt. Ummatun

memulainya dengan bertanya kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ tentang

mengapa harus menasihati kaum yang akan diadzab dan dibinasakan oleh

Allah. Menurut ummatun, nasihat yang disampaikan oleh allażīna

yanhauna ‘ani al-sū’ hanyalah sebuah kesia-siaan karena kaum tersebut

sudah melanggar aturan pada hari Sabtu, dan tetap terus melakukan

pelanggaran. Namun pernyataan ini dibantah oleh allażīna yanhauna ‘ani

al-sū’ dengan menyatakan argumentasi yang kuat disertai sindiran kepada

ummatun. Mereka mengatakan bahwa nasihat ini akan menjadi alasan dan

pembebas tanggungjawab —karena telah menunaikan kewajiban nasihat-

menasihati— kepada Tuhanmu. Pemakaian kata Tuhanmu merupakan

sindiran yang cukup kuat untuk membuat ummatun bungkam atas konflik

ini dan membuat mereka kembali berpikir atas apa yang mereka ucapkan

kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’.

Konflik yang terjadi antara ummatun dan allażīna yanhauna ‘ani

al-sū’ dapat dikategorikan sebagai konflik in-group, yaitu konflik yang

terjadi dalam kelompok atau masyarakat itu sendiri. Ummatun dan allażīna

yanhauna ‘ani al-sū’ sama-sama penduduk Aṣḥāb al-Sabt, tetapi kemudian

timbul pertentangan ideologi di antara keduanya. Ummatun berpendapat

bahwa kaum yang melakukan pelanggaran tidak perlu dinasihati, sedangkan

allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ berkeyakinan bahwa mereka semua harus

tetap menasihati kaum yang melanggar, karena itu merupakan kewajiban

setiap manusia.

!64

Setelah konflik sudah mulai membesar, maka tahap selanjutnya

merupakan puncak konflik yang akan mengantar kepada klimaks sebuah

cerita. Puncak konflik kisah ini dijelaskan pada lanjutan ayat setelahnya

dengan menginformasikan bahwa allażīna yanhauna ‘ani al-

sū`’diselamatkan oleh Allah, sedangkan allażīna ẓalamū, yakni kaum yang

melanggar aturan pada hari Sabtu ditimpakan siksaan yang sangat keras

kepada mereka. Pada tahap ini alur semakin menegang dengan informasi

siksaan yang sangat keras kepada allażīna ẓalamū. Suasana tegang ini

dicampur dengan rasa penasaran akan bentuk siksaan yang ditimpakan

kepada mereka. Inilah puncak konflik yang mengantar kepada sebuah

klimaks sekaligus penyelesaian dari kisah Aṣḥāb al-Sabt. Bentuk siksaan

yang ditimpakan kepada allażīna ẓalamū adalah mengutuk mereka menjadi

kera. Klimaks ini sekaligus menutup kisah Aṣḥāb al-Sabt sehingga

berdampak besar pada pembaca, yang akan terus mengingat klimaks ini dan

sebab-sebab yang menyebabkan klimaks itu terjadi.

Alur yang terdapat dalam kisah ini merupakan alur maju karena

menampilkan peristiwa yang secara kronologis bergerak maju, mulai dari

tahap pengenalan, munculnya konflik, konflik berkembang, klimaks, dan

penyelesaian. Penggunaan alur maju ini membuat cerita mudah dicerna dan

dipahami hingga sampai klimaks kisah yang menimbulkan efek dahsyat,

sehingga membuat pembaca akan terus mengingat kisah Aṣḥāb al-Sabt.

Di sisi lain, penyelesaian yang terjadi pada kisah ini merupakan

penyelesaian terbuka, karena menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita

yang masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan dan logika cerita, cerita

masih potensial untuk dilanjutkan karena konflik belum sepenuhnya

diselesaikan. Tokoh-tokoh cerita belum semuanya ditentukan nasibnya

sesuai dengan peran yang diembannya. Penyelesaian terbuka pada kisah 22

Aṣḥāb al-Sabt tergambar ketika pembaca bertanya-tanya apakah kutukan

Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, h. 207-208. 22

!65

kera yang menimpa allażīna ẓalamū benar-benar perubahan bentuk fisik

ataukah hanya memiliki sifat seperti kera. Lalu apa yang terjadi setelahnya

jika mereka benar-benar menjadi kera. Pelanggaran yang mereka lakukan

pada kisah ini masih belum terlihat dan tokoh ummatun pun masih belum

jelas nasibnya, apakah mereka termasuk golongan yang terkena adzab

ataukah yang selamat. Penggunaan penyelesaian terbuka memberi

kesempatan pembaca untuk “ikut” memikirkan, mengimajinasikan, dan

mengkreasikan bagaimana kira-kira penyelesaian cerita itu (yang juga

sesuai dengan harapannya), walau semestinya tidak bertentangan dengan

tuntutan dan logika cerita yang telah dikembangkan sebelumnya. Pembaca

diminta untuk mengisi ruang kosong sesuai dengan logikanya. 23

b. Tokoh/Penokohan

Tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau

drama, sedangkan penokohan adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi

atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang

pembaca untuk menafsirkan kualitas tokoh yang diceritakan lewat kata dan

tindakannya dalam cerita. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa

antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan

penerimaan pembaca. 24

Pada kisah Aṣḥāb al-Sabt, tokoh-tokoh yang dihadirkan antara lain:

Allah, allażīna ẓalamū, ummatun, dan allażīna yanhauna ‘ani al-sū’.

Dalam bukunya yang berjudul Image, Music, Text, Barthes menggunakan

analisis aktansial A. J. Greimas untuk menjelaskan penokohan dalam cerita

yang terdapat pada Kitab Kejadian 32: 22-32 yang berjudul Pergumulan

Ya’qub dengan Malaikat. Greimas mengelompokkan aktor narasi menjadi

Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, h. 208. 23

Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, h. 247. 24

!66

enam aktan berdasarkan fungsi yang mereka emban dalam narasi. Dengan

begitu, satu aktan dapat mewakili beberapa karakter dan satu karakter

tunggal dapat mewakili beberapa aktan. Maka, kisah Aṣḥāb al-Sabt diisi 25

dengan aktan sebagai berikut: Allah adalah Subject yang memberikan

hukuman berupa kutukan kera. Object adalah allażīna ẓalamū yang

dihukum dan diadzab dengan menjadikan mereka kera. Sender merupakan

tokoh yang membuat aturan pada hari Sabtu, yakni Allah. Receiver adalah

tokoh yang terikat aturan dari Allah, yakni semua penduduk Aṣḥāb al-Sabt

yang mencakup allażīna ẓalamū, ummatun, dan allażīna yanhauna ‘ani al-

sū’. Opponent diperankan oleh allażīna ẓalamū yang melanggar aturan

pada hari Sabtu dan ummatun yang menentang untuk memberikan nasihat.

Helper adalah allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ yang terus menasihati dan

berharap nasihat itu berguna agar allażīna ẓalamū kembali bertakwa.

Dalam hal ini, tokoh protagonis dan tokoh antagonis terbagi ke

dalam dua kelompok. Allah dan allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ sebagai

tokoh protagonis dalam kisah ini, sedangkan allażīna ẓalamū dan ummatun

menjadi tokoh antagonis.

c. Latar atau Setting

Latar atau setting dalam prosa fiksi merupakan tempat, waktu, atau

keadaaan alam/cuaca terjadinya suatu peristiwa. Hal ini perlu dimunculkan

dalam sebuah cerita karena pada dasarnya setiap perbuatan atau aktivitas

manusia akan terjadi pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu pula.

Namun, sesungguhnya secara lebih jauh, latar diciptakan untuk

membangun suasana tertentu yang dapat menggerakkan perasaan dan emosi

pembaca. Latar dapat pula dibedakan atas latar sosial dan latar fisik/

material. Latar sosial menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-

kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan hal

Roland Barthes, Image Music Text (London: Fontana Press, 1977), h. 137. 25

!67

sosial lainnya yang melatari cerita. Adapun latar fisik/material adalah

tempat dalam wujud fisiknya, seperti bangunan, daerah, dan sebagainya. 26

Latar tempat pada kisah Aṣḥāb al-Sabt diinformasikan terjadi di

sebuah negeri yang terletak di dekat laut. Al-Qur`an tidak menyebutkan

negeri mana yang dimaksud, karena begitulah ciri khas dari kisah dalam al-

Qur`an yang seringkali tidak menjelaskan dengan detail nama tempat

ataupun kapan terjadinya kisah tersebut. Informasi negeri yang terletak di

dekat laut membawa pemahaman kepada latar sosial penduduk negeri itu.

Sudah sangat wajar jika penduduk pesisir pantai akan bermata pencaharian

sebagai nelayan yang sering menangkap ikan. Teknik dan cara penangkapan

ikan pasti sudah sebagian besar mereka kuasai.

Latar waktu disini cukup disebutkan secara jelas bahwa kisah ini

terjadi pada hari Sabtu. Latar waktu kemudian diikuti dengan latar keadaan

ketika al-Qur`an menginformasikan kedatangan ikan-ikan di tepi pantai

mereka secara terapung-apung pada hari Sabtu.

B. Nuansa Mitos

Nuansa mitos adalah tahap pembacaan makna tingkat kedua, di mana pada

bagian ini akan dijelaskan cerita dengan lebih mendalam hingga menemukan

signifikasi atau mitos dari sebuah kisah tersebut. Nuansa mitos ini dibangun

dari semiotik tingkat pertama, yakni nuansa denotasi. Pada semiotik tingkat

pertama yang dominan berperan adalah analisis linguistik, sedangkan pada

semiotik tingkat kedua lebih kepada cara berpikir tentang suatu keadaan dan

sebuah cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami suatu hal.

Pembacaan makna tingkat kedua ini melibatkan hubungan internal teks al-

Qur`an, intertekstualitas, asbāb al-nuzūl, latar belakang historis, maupun

Dina Ramadhanti, Buku Ajar Apreasiasi Prosa Indonesia (Yogyakarta: Deepublish, 26

2016), h. 71-73.

!68

perangkat studi ilmu al-Qur’an lainnya. Dalam mitos ini dapat pula 27

ditemukan kode-kode dari lima kode yang dikonsepkan oleh Barthes pada

setiap fragmennya.

Tahap ini akan memperlihatkan dengan jelas sistem semiotik bertingkat

yang dikemukakan Barthes. Pemaknaan tataran kedua ini menggunakan sign

pada tingkat pertama untuk dijadikan signifier pada tingkat kedua, yang

kemudian menghasilkan signified baru pada sistem kedua atau dengan kata

lain telah terjadi pengembangan pada signified. Signifier dan signified pada

tingkat kedua ini yang akan menghasilkan signification dimana mitos

bersemayam di dalamnya.

1. Ideologi Umum dibalik Kisah

Fragmen ini diawali oleh seruan dari Allah kepada Nabi

Muhammad untuk menanyakan kepada kaum Yahudi mengenai kisah

Aṣḥāb al-Sabt. Bentuk pertanyaan ini bukanlah untuk mencari tahu

informasi yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi lebih kepada

mengingatkan kembali kisah itu kepada kaum Yahudi yang sedang bersama

Nabi, dan memberikan peringatan tentang sebuah adzab yang menimpa

Aṣḥāb al-Sabt ketika mereka melakukan pelanggaran. Karena QS. Al-A‘rāf

diturunkan di Mekkah dan menjadi golongan surat Makkiyah, maka

interaksi yang terjadi saat itu adalah Nabi Muhammad dengan kaum Yahudi

yang berada di Mekkah. Penempatan kisah ini dalam golongan surat

Makkiyah menjadi sangat relevan mengingat salah satu ciri khas surat

Makkiyah banyak mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu. Selain

itu, dilihat dari segi tema, karakteristik ayat-ayat Makkiyah sering

menjelaskan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak

mulia yang dijadikan dasar terbentuknya suatu masyarakat, pembuktian

mengenai risalah kenabian, menjadikan kisah umat terdahulu sebagai

Ali Imran, Semiotika al-Qur`an, h. 50.27

!69

pelajaran dan mengetahui nasib orang-orang yang mendustakan rasul. 28

Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Nabi, makna semiotik

tingkat dua pada ayat ini adalah untuk membuktikan kenabian Muhammad

kepada kaum Yahudi yang berada di Mekkah saat itu. Pembuktian tersebut

ditunjukkan dengan pengetahuan Nabi tentang kisah Aṣḥāb al-Sabt yang

sudah diketahui oleh kaum Yahudi tetapi tidak tercantum dalam kitab suci

mereka. Informasi yang diketahui Nabi Muhammad ini tentunya akan

cukup membuat terkejut Kaum Yahudi yang sedang diajak bicara karena

mereka tahu betul tentang kisah yang ditanyakan Nabi.

Fokus utama dari kisah ini tentunya adzab yang menimpa orang-

orang yang durhaka dengan menjadikan mereka kera. Ini dapat berarti

bahwa melalui kisah Aṣḥāb al-Sabt, audiens yang berada di Mekkah baik

itu Kaum Yahudi, para sahabat, maupun masyarakat Mekkah yang kafir,

akan tersadar akan kuasa Allah terhadap orang-orang yang durhaka. Maka

dari itu, ayat ini memiliki ideologi, yakni memberikan peringatan kepada

masyarakat Mekkah bahwa akan ada adzab besar yang menimpanya jika

mereka durhaka dan tidak menjalankan perintah Allah. Informasi kutukan

kera dalam kisah Aṣḥāb al-Sabt pun relevan dengan ciri khas ayat

Makkiyah lainnya yaitu kalimatnya singkat disertai kata-kata yang

mengesankan dan menggetarkan hati bagi pendengarnya.

2. Fragmen I: Pelanggaran Perjanjian

Fragmen ini dimulai dengan menceritakan sebuah negeri di dekat

laut yang ketika itu terdapat orang-orang yang melakukan pelanggaran

pada hari Sabtu. Pelanggaran tersebut disandingkan dengan kedatangan

ikan-ikan secara terapung-apung di tepi pantai mereka. Dari fragmen ini

muncul salah satu kode dari lima kode yang dikemukakan Barthes, yaitu

Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 59.28

!70

kode hermeneutik. Kode ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti:

negeri manakah yang dimaksud? Pelanggaran apa yang sebenarnya mereka

lakukan? Mengapa ikan-ikan itu datang pada hari Sabtu?

Terkait negeri yang terletak di dekat laut, hal ini sudah berusaha

dijelaskan oleh mufassir klasik dalam kitab tafsirnya. Kemungkinan-

kemungkinan negeri yang dimaksud itu adalah negeri Ailah, negeri Maqna

yang terletak di antara Madyan dan ‘Ainuni, dan ada pula yang mengatakan

negeri itu adalah Madyan yang terletak di antara Ailah dan bukit Tur.

Dalam hal ini, Uri Rubin, seorang professor dari Tel Aviv University 29

mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan negeri itu adalah Madyan

yang terletak di antara Ailah dan bukit Tur, mengingatkannya dengan ayat

dalam al-Kitab (Keluaran 16:1):

“Setelah mereka berangkat dari Elim, tibalah segenap jemaah Israel di padang gurun Sin, yang terletak di antara Elim dan gunung Sinai, pada hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir.”

Frase di antara Ailah dan bukit Tur dalam al-Qur’an ia sandingkan

dengan frase di antara Elim dan gunung Sinai. Pendapat ini ia kemukakan

dalam artikelnya yang berjudul “Become you apes, repelled!” (Quran

7:166): The transformation of the Israelites into apes and its biblical and

midrashic background”. Disandingkannya kedua frase di atas bukanlah 30

tanpa alasan. Menurutnya, kisah Aṣḥāb al-Sabt yang terdapat dalam al-

Qur’an sejalan dengan kisah kaum Nabi Musa yang keluar dari tanah Mesir

karena penindasan Fir’aun. Pendapat ini berangkat dari adanya kesamaan

episode yang diceritakan dalam al-Kitab dan al-Qur’an.

Pada al-Kitab, diceritakan kaum Nabi Musa yang dikeluarkan dari

tanah Mesir diperintahkan untuk mengembara sampai tiba di tanah yang

Al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari, h. 655-658.29

Uri Rubin, “Become you apes, repelled!” (Quran 7:166): The transformation of the 30

Israelites into apes and its biblical and midrashic background”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies 78, no.1 (2015): 39.

!71

dijanjikan. Saat pengembaraan itu mereka diberi makanan dari surga, yakni

manna yang mereka olah menjadi sejenis roti. Hal ini sesuai dengan yang

diceritakan dalam al-Kitab (Keluaran 16: 4).

“Lalu berfirmanlah Tuhan kepada Musa: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.”

(Keluaran 16: 31) “Umat Israel menyebutkan namanya: manna; warnanya putih seperti ketumbar dan rasanya seperti rasa kue madu.

Informasi terkait manna ini dapat pula ditemukan dalam al-Qur’an

surat al-Baqarah: 57 dan al-A‘rāf: 160.

وظ%ل3لنا ع%ليكم ال%غمام وأن%زل%نا ع%ليكم اr%ن3 والس3%لوى ك%لوا م%ن ط%يUبات م%ا رزق%ناك%م وم%ا

31ظلمونا ولكن كانوا أنفسهم يظلمون

“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

وق%ط3عناه%م اث%نتي عش%رة أس%باط%ا أv%ا وأوح%ينا إل%ى م%وس%ى إذ اس%تسقاه ق%وم%ه أن اض%رب

ب%عصاك ا{ج%ر ف%انبجس%ت م%نه اث%نتا عش%رة ع%ينا ق%د ع%لم ك%لe أن%اس مش%رب%هم وظ%ل3لنا

ع%ليهم ال%غمام وأن%زل%نا ع%ليهم اr%ن3 والس3%لوى ك%لوا م%ن ط%يUبات م%ا رزق%ناك%م وم%ا ظ%لمون%ا

32ولكن كانوا أنفسهم يظلمون

“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan

QS. Al-Baqarah/2: 57.31

QS. Al-A‘rāf/7: 160.32

!72

salwa. (Kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”

Rubin kemudian membandingkan kisah itu dari kedua sumber,

yakni al-Kitab dan al-Qur’an. Dalam al-Kitab, setelah kaum Yahudi

diberikan manna, maka turun perintah Tuhan agar menyimpan makanan

untuk hari Sabat yang kudus, hari khusus untuk beribadah yang dijelaskan

dalam surat Keluaran 16: 23-29.

“Lalu berkatalah Musa kepada mereka: "Inilah yang dimaksudkan Tuhan: Besok adalah hari perhentian penuh, sabat yang kudus bagi Tuhan; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah, dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di tempatnya untuk disimpan sampai pagi.” Mereka membiarkannya di tempatnya sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. Selanjutnya kata Musa: "Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk Tuhan, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang. Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari itu.” Tetapi ketika pada hari ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya. Sebab itu Tuhan berfirman kepada Musa: "Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintah-Ku dan hukum-Ku? Perhatikanlah, Tuhan telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari. Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu.”`

Setelah diberikan aturan pada hari Sabat, yang mereka

melanggarnya, Tuhan masih belum memberikan hukuman kepada mereka.

Sampai tahap ini mereka masih terus memakan manna yang diberikan

Tuhan, hingga akhirnya mereka mengeluh dan meminta daging untuk

dimakan. Ketidakpuasan mereka terhadap manna ini pun dijelaskan dalam

al-Kitab surat Bilangan 11: 4-6.

“Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: "Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat."

Sedangkan al-Qur’an menjelaskannya dalam surat al-Baqarah: 61.

!73

وإذ ق%لتم ي%ا م%وس%ى ل%ن ن%صبر ع%لى ط%عام واح%د ف%ادع ل%نا رب3%ك يخ%رج ل%نا 3v%ا ت%نبت اÅرض

م%ن ب%قلها وق%ث3ائ%ها وف%وم%ها وع%دس%ها وب%صلها ق%ال أتس%تبدل%ون ال3%ذي ه%و أدن%ى ب%ال3%ذي ه%و

خ%ير اه%بطوا م%صرا ف%إن3 ل%كم م%ا س%أل%تم وض%رب%ت ع%ليهم ال%ذUل3%ة واr%سكنة وب%اءوا ب%غضب

م%ن ال%ل3ه ذل%ك ب%أن3%هم ك%ان%وا ي%كفرون ب%آي%ات ال%ل3ه وي%قتلون ال%ن3بيmU ب%غير ا{%قU ذل%ك J%ا

33عصوا وكانوا يعتدون

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”

Ketidakpuasan mereka terhadap manna yang diberikan Tuhan

ternyata membuat Tuhan marah. Sebelum memberikan hukuman kepada

mereka, Tuhan terlebih dahulu mengirimkan burung-burung puyuh dari

sebelah laut yang dijelaskan dalam al-Kitab surat Bilangan 11: 31.

“Lalu bertiuplah angin yang dari Tuhan asalnya; dibawanyalah burung-burung puyuh dari sebelah laut, dan dihamburkannya ke atas tempat perkemahan dan di sekelilingnya, kira-kira sehari perjalanan jauhnya ke segala penjuru, dan kira-kira dua hasta tingginya dari atas muka bumi.”

Setelah burung-burung puyuh itu berdatangan kepada mereka

sebagai makanan daging untuk dimasak, sepanjang hari mereka memburu

burung-burung puyuh itu hingga cukup untuk mereka masak. Tetapi ketika

mereka ingin memakannya, datanglah adzab Tuhan yang akan dijelaskan

pada fragmen selanjutnya. Sedangkan pada al-Qur’an, yang berdatangan

kepada mereka adalah ikan-ikan secara terapung-apung di tepi pantai.

QS. Al-Baqarah/2: 61.33

!74

Alur kisah dalam al-Kitab ini diselaraskan oleh Rubin ketika ia

merumuskan kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam al-Qur`an dengan 4 episode.

Jika dilihat dalam QS. Al-A‘rāf/7 ayat 160 sampai 166, maka rangkaian

episode itu: (1) Sebuah batu dan air, (2) Manna dan salwa, (3) Sebuah

negeri dan perkataan hiṭṭah, (4) Sebuah negeri yang berada di dekat laut.

Dalam surat QS. Al-Baqarah/2: 57-61 episodenya menjadi: (1) Manna dan

salwa, (2) Sebuah negeri dan perkataan hiṭṭah, (3) Sebuah batu dan air, (4)

Ketidakpuasan terhadap manna , dan pada QS. Al-Baqarah/2: 65 muncul 34

episode sebuah negeri yang terletak di dekat laut, yang episodenya seakan

terpisah dari ayat sebelumnya.

Ketika Rubin menganggap episode di atas sebagai suatu kesatuan

kisah Aṣḥāb al-Sabt, maka kode hermeneutik mengenai mengapa ikan-ikan

itu berdatangan pada hari Sabtu dapat terjawab bahwa kedatangan ikan-

ikan itu sebagai bentuk ujian terhadap orang-orang yang tidak tahu

berterima kasih, yang tidak puas dengan apa yang telah diberikan Allah

kepada mereka, yakni manna. Argumentasi ini dikuatkan berdasarkan

episode-episode yang sudah dirumuskan di atas, bahwa episode keempat

dalam QS. Al-Baqarah yang menjelaskan mengenai ketidakpuasan terhadap

satu jenis makanan, berbanding lurus dengan episode keempat dalam QS.

Al-A‘rāf yang menjelaskan kedatangan ikan di negeri dekat laut.

Kedatangan ikan-ikan ini menjadi pengantar akan adzab yang ditimpakan

kepada mereka. Maka, rentetan episode ini sekaligus menjawab kode

hermeneutik yang ketiga mengenai pelanggaran apa yang sebenarnya

mereka perbuat?

Dalam kitab tafsir sudah dijelaskan bahwa pelanggaran yang

mereka lakukan adalah memancing dan menangkap ikan-ikan itu dengan

cara yang licik. Mereka membuat tambak ikan dan meletakkan jaring-

jaring pada hari Jum‘at, lalu mengambil ikan-ikan yang terjebak pada hari

Uri Rubin, “Become you apes, repelled!”: 29.34

!75

Minggu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak melanggar aturan

pada hari Sabtu. Pada versi al-Kitab, pelanggaran yang dilakukan hingga

menimbulkan kemurkaan Tuhan terjadi ketika mereka tidak puas terhadap

manna yang diberikan, dan menginginkan daging sebagai bahan makanan.

Sebelumnya mereka sudah melanggar dengan mengumpulkan manna pada

hari Sabtu, tetapi Tuhan masih belum menghukum mereka. Baru kemudian

setelah nafsu rakus memasuki mereka dengan meminta daging, Tuhan

mengadzab mereka dengan didahului oleh kedatangan burung-burung

puyuh dari sisi laut.

Dalam al-Qur’an yang disusun berdasarkan episode oleh Rubin,

dapat dilihat bahwa pelanggaran yang dilakukan merupakan akumulasi dari

kefasikan mereka. Al-Qur’an menginformasikan bahwa mereka diberi

manna dan salwa. Disini terdapat perbedaan dengan al-Kitab yang hanya

diberikan manna kepada kaum tersebut. Kefasikan pertama dijelaskan

ketika mereka diperintahkan memasuki sebuah negeri seraya mengatakan

hiṭṭah, yang mana mereka mengubah perkataan itu. Kefasikan kedua terjadi

ketika mereka tidak puas dengan hanya memakan manna, dan meminta

makanan yang lain seperti yang dahulu mereka biasa makan. Kefasikan

selanjutnya ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di saat ikan-

ikan berdatangan ke tepi pantai. Jika dalam al-Kitab dijelaskan bahwa

sebelumnya mereka sudah pernah melanggar pada hari Sabtu dengan

mengumpulkan manna, maka al-Qur’an kembali menginformasikan bahwa

mereka melanggar pula pada hari Sabtu ketika ikan-ikan berdatangan ke

tepi pantai. Akumulasi dari kefasikan ini yang akhirnya mengantarkan

mereka kepada adzab Allah.

Pada nuansa denotasi, fragmen ini mengambil kata Sabt sebagai

signifier. Hari Sabtu merupakan hari khusus beribadah kaum Yahudi, di

mana pada hari itu mereka tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan

apapun, dan hanya beribadah kepada Allah. Sign mengenai pengkhususan

!76

satu hari untuk beribadah membentuk concept pada makna konotasi yaitu

menunjukkan betapa pentingnya meluangkan waktu untuk menumbuhkan

nilai spiritual dalam setiap jiwa manusia, sekaligus sebagai simbol

keseimbangan dunia dan akhirat. Dengan beribadah, manusia tidak hanya

terfokus kepada urusan dunia saja. Seseorang yang selalu beribadah akan

sadar bahwa kehidupan dunia ini tidaklah abadi, sehingga tidak akan

terjebak kepada hedonisme dunia dan sifat materialistis.

Penanda lain yang terdapat dalam fragmen ini adalah kata hitan.

Ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai merupakan ikan yang besar dan

berjumlah banyak. Hitan sendiri dapat berarti ikan paus. Ikan paus

Signifier Signified

Sabt Hari ketujuh dalam

satu minggu, dapat

bermakna diam dan

istirahat. Hari

khusus beribadah

orang Yahudi

Sign

Hari khusus beribadah bagi orang

Yahudi, dimana mereka tidak

diperbolehkan melakukan

pekerjaan apapun pada hari itu.

Form Concept

Keseimbangan dalam

menjalankan kewajiban

dunia dan akhirat.

Signification

Setiap manusia harus meluangkan waktu untuk menjaga nilai

spiritualnya agar tidak terjebak pada sifat materialistis dan hedonis.

!77

merupakan sekelompok mamalia yang hidup di lautan. Sebutan "paus"

diberikan pada anggota bangsa Cetacea yang berukuran besar. Paus

mempunyai ciri-ciri bernapas menggunakan paru-paru, mempunyai rambut

(sedikit, kebanyakan ada di paus dewasa), berdarah panas, mempunyai

kelenjar susu, dan mempunyai jantung dengan empat ruang. Paus banyak

terdapat di lautan dalam seperti samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia. 35

Jika ikan-ikan yang berdatangan ke tepi pantai secara terapung-

apung kepada penduduk Aṣḥāb al-Sabt ini adalah ikan paus, maka

peristiwa ini dapat dijelaskan dan bukanlah sesuatu yang di luar nalar.

Fenomena tersebut sering pula terjadi pada masa sekarang. Terdamparnya

paus di pantai dapat disebabkan karena kesalahan sistem navigasi paus itu

sendiri akibat perubahan kondisi alam. Paus adalah hewan yang memiliki

kebutuhan berkelompok sangat kuat. Kelompok ini dipimpin oleh pemandu

paus (pilot whales) yang ketika navigasi pemandu ini terjadi kesalahan,

maka akan berakibat pada semua anggota kelompok paus tersebut. Jadi

tidak heran ketika terjadi fenomena paus terdampar dengan jumlah

puluhan, karena gaya hidup mereka yang memang berkelompok. 36

Di awal diceritakan bahwa kisah ini terjadi di negeri yang terletak

di dekat laut, yang akan membentuk latar sosial penduduk tersebut bermata

pencaharian sebagai nelayan dan pasti sudah sangat ahli mengenai teknik

dan cara menangkap ikan. Ikan-ikan bagi nelayan ibarat sumber kehidupan

utama agar dapat terus bertahan hidup. Dari ikan-ikan yang didapatkan,

mereka dapat menjualnya di pasar dan mengumpulkan harta dari

keuntungan yang didapat. Maka, ikan bagi nelayan sama berharganya

dengan sawah bagi petani, hewan ternak bagi peternak, properti bagi

pengusaha properti, dan sebagainya. Jika ikan yang dimaksud adalah ikan

http://wwf.panda.org/knowledge_hub/endangered_species/cetaceans/about/blue_whale/35

diakses pada 7 November 2018 14.48.

https://news.nationalgeographic.com/news/2015/02/150213-pilot-whales-stranded-36

new-zealand/ diakses pada 29 September 2018 21.08.

!78

paus, tentu ini menjadi sesuatu yang sangat bernilai mengingat Paus

termasuk hewan yang sering diburu untuk diambil daging dan lemaknya

yang dengan pengolahan tertentu dapat diracik menjadi minyak yang bisa

digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit dan perut. Selain itu,

muntahan ikan paus yang biasa disebut ambergris memiliki nilai jual yang

tinggi karena dapat dijadikan bahan untuk membuat minyak wangi. Maka 37

concept yang terbentuk pada makna konotasi terhadap hitan adalah simbol

aset yang memiliki nilai jual tinggi. Ketika aset bernilai tinggi itu

berdatangan secara cuma-cuma, maka orang-orang yang durhaka akan

berbondong-bondong mengumpulkan aset tersebut, meskipun terikat

perjanjian dengan Allah untuk tidak bekerja pada hari Sabtu. Dalam al-

Kitab surat Bilangan 11: 32 dijelaskan:

“Lalu sepanjang hari dan sepanjang malam itu dan sepanjang hari esoknya bangkitlah bangsa itu mengumpulkan burung-burung puyuh itu —setiap orang sedikit-dikitnya mengumpulkan sepuluh homer—, kemudian mereka menyebarkannya lebar-lebar sekeliling tempat perkemahan.”

Betapa sibuknya orang-orang yang dipenuhi nafsu rakus

mengumpulkan aset berharga itu. Namun sebab burung-burung puyuh

menjadi aset berharga di dalam al-Kitab terjadi karena mereka

menginginkan makan daging setelah sekian lama hanya memakan manna.

Betapapun perbedaan sebab ikan atau burung puyuh itu menjadi aset yang

bernilai tinggi, terdapat satu signification yang melarang manusia untuk

tidak tamak terhadap harta dan mengumpulkannya dengan cara yang tidak

benar.

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42036429 diakses pada 7 November 2018 37

15.03.

!79

3. Fragmen II: Dialog Antara Dua Golongan Yang Menaati Perjanjian

Pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian penduduk Aṣḥāb al-

Sabt memiliki dampak sosial kepada penduduk lainnya yang tidak

melakukan pelanggaran dan masih taat kepada Allah. Hal ini terlihat dari

tiga kode aksi yang terdapat dalam fragmen ini. Kode aksi tersebut adalah

pertama, pertanyaan dari ummatun kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’,

kedua, jawaban allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ kepada ummatun dan satu

kode aksi yang tidak dijelaskan secara tersirat, yakni nasihat yang

disampaikan oleh allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ kepada allażīna ẓalamū.

Penyampaian nasihat yang dilakukan oleh allażīna yanhauna ‘ani

al-sū’ ini terlihat ketika ummatun bertanya kepada mereka tentang mengapa

Signifier Signified

Hitan Ikan-ikan yang

hidup di dalam laut.

Dapat juga diartikan

ikan paus.

Sign

Ikan-ikan yang berdatangan ke

tepi pantai pada hari Sabtu dan

terlihat terapung-apung di

permukaan air.

Form Concept

Aset dengan nilai tinggi yang

diperebutkan orang-orang.

Signification

Manusia tidak boleh tamak terhadap harta ataupun mengumpulkan

harta dengan cara yang tidak benar.

!80

harus menasihati kaum yang Allah akan membinasakan kaum itu. Tanda ini

menunjukkan bahwa sebelum ummatun bertanya mengenai hal itu, allażīna

yanhauna ‘ani al-sū’ sudah sering memberikan nasihat kepada allażīna

ẓalamū. Maka dari itu, urutan kode aksi pada fragmen ini adalah

penyampaian nasihat, pertanyaan ummatun, dan jawaban allażīna

yanhauna ‘ani al-sū’.

Kode aksi pertama, yakni penyampaian nasihat memberikan tanda

bahwa allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ memiliki sifat yang peduli terhadap

masyarakat sekitarnya. Nasihat yang mereka sampaikan merupakan respon

atas pelanggaran yang dilakukan oleh allażīna ẓalamū. Mereka sadar

bahwa akan ada adzab bagi setiap orang yang melanggar perjanjian dengan

Tuhan. Sifat peduli terhadap masyarakat dan tindakan untuk terus

menyampaikan nasihat ini merupakan nilai positif yang dapat dipetik dari

karakter allażīna yanhauna ‘ani al-sū’.

Selain itu, ketika kembali diasumsikan bahwa ikan-ikan yang

berdatangan ke tepi pantai adalah ikan paus, nasihat yang disampaikan

untuk tidak mengeksploitasi ikan paus itu merupakan sifat kepedulian

terhadap ekosistem laut. Hal ini didasarkan atas teori yang dikemukakan

pakar biologi kelautan tentang kotoran paus yang berperan penting bagi

ekosistem laut. Kotoran paus mengandung banyak zat besi yang berguna

untuk perkembangan fitoplankton. Sebagaimana diketahui, fitoplankton ini

keberadaannya sangat penting karena menjadi dasar bagi keberlangsungan

rantai makanan di lautan. Fitoplankton lah yang memberi makan semua

makhluk hidup yang ada di samudera, termasuk krill yang tidak lain adalah

makanan paus itu sendiri. Oleh karena itu, ketika allażīna ẓalamū terus-38

menerus mengumpulkan ikan paus itu dan terus mengeksploitasinya, maka

ekosistem laut akan terancam akibat kehilangan fitoplankton yang menjadi

http://wwf.panda.org/knowledge_hub/endangered_species/cetaceans/about/38

blue_whale/ diakses pada 7 November 2018 15.05.

!81

peran penting bagi rantai makanan di lautan. Maka respon yang diberikan

oleh allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ adalah mengingatkan dan

menyampaikan nasihat kepada mereka yang mengambil ikan paus itu agar

berhenti mengeksploitasinya. Tindakan ini sebagai bentuk kepedulian

mereka terhadap ekosistem laut, yang merupakan ladang penghidupan

seorang nelayan.

Kode aksi yang kedua merupakan respon yang disampaikan oleh

ummatun ketika melihat allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ masih terus saja

memberikan nasihat kepada orang-orang yang melanggar. Mereka

menggunakan frase lima ta‘iżūna qauman sebagai sebuah pertanyaan yang

mereka lontarkan kepada allażīna yanhauna ‘ani al-sū’. Frase yang

memiliki arti mengapa kamu menasihati kaum ini sekaligus menjadi

signifier pada sistem semiotik tingkat pertama yang akan dicari pemaknaan

pada makna konotasinya. Bentuk pertanyaan yang disampaikan ummatun

ini seakan ingin menjelaskan bahwa menurut ummatun nasihat yang

disampaikan itu hanya akan sia-sia, karena mereka yang melanggar akan

diadzab oleh Allah. Disini terlihat bahwa di antara mereka sudah sama-

sama tahu jika ada yang melanggar aturan, maka akan diadzab.

Di sisi lain, pertanyaan ummatun tentang mengapa memberikan

nasihat terkesan aneh karena penyampaian nasihat merupakan suatu hal

yang baik. Jadi, ketika seseorang mempertanyakan orang lain yang

melakukan perbuatan baik, bisa dikatakan pertanyaan itu menjadi suatu hal

yang tidak baik dan orang yang bertanya memiliki sifat yang tidak baik

pula. Hal ini kemungkinan dilatarbelakangi ketika ummatun melihat

allażīna ẓalamū berbondong-bondong mengumpulkan ikan-ikan yang tidak

lain adalah aset bernilai tinggi di kalangan penduduk Aṣḥāb al-Sabt.

Perilaku mengeksploitasi aset ini membuat ummatun ingin juga

mendapatkan aset tersebut. Rasa dilema memenuhi hati ummatun karena

satu sisi mereka tahu perbuatan itu dilarang, namun di sisi lain mereka

!82

ingin mengambil ikan-ikan yang datang. Dilema tindakan itu pada akhirnya

akan menimbulkan perasaan gelisah, ingin marah, sampai timbul

kedengkian kepada mereka yang mengumpulkan aset bernilai tinggi. Maka

concept pada makna konotasi terhadap pertanyaan lima ta‘iżūna qauman

adalah dilema hati dan perasaan dengki kepada pengumpul aset bernilai

tinggi. Ummatun memberikan pesan kepada pembaca bahwa perasaan

dengki akan berakibat kepada perbuatan yang tidak baik dan menghambat

seseorang untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.

Signifier Signified

Lima

ta‘iżūna

qauman

Redaksi yang

disampaikan oleh

ummatun. Artinya

“Mengapa kamu

menasihati kaum?”

Sign

Pertanyaan ummatun tentang

nasihat yang disampaikan kepada

qauman, di mana mereka akan

dibinasakan dan diadzab dengan

sangat keras oleh Allah.

Form Concept

Dilema hati dan perasaan

dengki kepada pengumpul

aset bernilai tinggi.

Signification

Perasaan dengki akan berakibat kepada perbuatan yang tidak baik

dan menghambat seseorang untuk saling mengingatkan dalam

kebaikan.

!83

Kode aksi ketiga merupakan respon yang diberikan oleh allażīna

yanhauna ‘ani al-sū’ atas pertanyaan ummatun. Respon yang diberikan

menggunakan frase ma‘żiratan ila rabbikum yang berarti sebagai alasan

(pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu. Frase ini sekaligus menjadi

kode semik karena mengandung sebuah isyarat dalam penggunaan kata ila

rabbikum. Dalam penjelasan di kitab tafsir, penyebutan Tuhanmu dan

bukan Tuhan kita atau Tuhan kami merupakan bentuk sindiran kepada

ummatun bahwa sebenarnya mereka juga masih mempunyai kewajiban

untuk menasihati allażīna ẓalamū. Kalimat sindiran ini menjadi concept

pada makna konotasi dari kata ma‘żiratan ila rabbikum. Sebuah kalimat

yang menegaskan bahwa ummatun memiliki kewajiban yang sama dengan

allażīna yanhauna ‘ani al-sū’ dalam hal mendakwahi orang-orang yang

melanggar. Jawaban yang dikemas dalam bentuk sindiran ini tentunya

membuat ummatun tersentak atas kealpaannya memberikan nasihat. Dari

hal ini, signifikasi yang dapat dipetik yaitu setiap manusia memiliki

kewajiban untuk saling nasihat-menasihati dan melarang orang lain untuk

melakukan perbuatan buruk.

Signifier Signified

Ma‘żirata

n ila

rabbikum

Redaksi yang

disampaikan oleh

allażīna yanhauna

‘ani al-sū’. Artinya

“sebagai alasan

kepada Tuhanmu.”

Sign

Jawaban dari allażīna yanhauna ‘ani

al-sū’ atas pertanyaan ummatun.

Form Concept

!84

4. Fragmen III: Kutukan Kera

Pada fragmen ini terdapat kode simbolik yang direpresentasikan

oleh antitesis antara golongan yang diselamatkan dan golongan yang

ditimpakan adzab yang keras. Kode simbolik ini memakai frase anjainā

(selamat) yang berlawanan dengan frase akhażnā (timpa), bi ‘ażābin ba’īs

(dengan siksaan yang keras). Adzab yang ditimpakan kepada allażīna

ẓalamū ini kemudian dijelaskan pada ayat setelahnya bahwa mereka

dijadikan kera yang hina.

Terkait hal ini, dalam artikel yang ditulis Rubin, adzab yang

ditimpakan kepada allażīna ẓalamū memiliki perbedaan yang signifikan

antara yang terdapat dalam al-Kitab dengan yang tertulis dalam al-Qur’an.

Dalam al-Kitab surat Bilangan 11: 33-34.

“Selagi daging itu ada di mulut mereka, sebelum dikunyah, maka bangkitlah murka Tuhan terhadap bangsa itu dan Tuhan memukul bangsa itu dengan suatu tulah yang sangat besar. Sebab itu dinamailah tempat itu Kibrot-Taawa, karena di sanalah dikuburkan orang-orang yang bernafsu rakus.

Diceritakan dalam al-Kitab bahwa orang-orang yang memakan

burung puyuh ditimpakan tulah yang sangat besar berupa kematian.

Mereka yang mati karena nafsu rakus mereka mengumpulkan dan

memakan burung puyuh itu akhirnya dikuburkan di tanah yang sedang

Kalimat sindiran kepada

ummatun bahwa mereka

pun memiliki kewajiban

untuk memberikan nasihat.

Signification

Setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling nasihat-menasihati

dan melarang orang lain untuk melakukan perbuatan buruk.

!85

mereka tempati. Dinamakanlah tanah itu dengan Kibrot-Taawa atau

kuburan nafsu. Menurut Rubin, adzab berupa kematian yang diceritakan

dalam al-Kitab ini dapat diselaraskan dengan adzab yang ditimpakan

kepada allażīna ẓalamū yang menggunakan frase akhażnā (timpa), bi

‘ażābin ba`īs (dengan siksaan yang keras). Informasi mengenai adzab

berupa siksaan yang keras ini (QS. Al-A‘rāf/7: 165) mendahului adzab

kutukan kera yang terdapat pada QS. Al-A‘rāf/7: 166. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa adzab yang menimpa allażīna ẓalamū memiliki dua

bentuk, yaitu berupa kematian yang menimpa sebagian golongan, dan

kutukan kera pada golongan yang lain.

Sebelum masuk ke penjelasan mengenai kutukan kera, pada nuansa

denotasi terdapat signifier yang diambil dari kata nasū mā żukkirū bihi.

Kata ini memiliki arti mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada

mereka. Pada fragmen II telah dijelaskan bahwa allażīna yanhauna ‘ani al-

sū’ adalah sebagian penduduk Aṣḥāb al-Sabt yang senantiasa

mengingatkan dan memberikan nasihat kepada allażīna ẓalamū. Nasihat

yang disampaikan itu bertujuan agar allażīna ẓalamū kembali bertakwa dan

tidak melakukan pelanggaran lagi. Walaupun nasihat itu disampaikan

secara terus-menerus, tetap saja tidak dapat memberikan hidayah kepada

mereka yang melanggar. Hingga pada fragmen ini al-Qur’an

menginformasikan bahwa allażīna ẓalamū telah melupakan apa yang

diperingatkan kepada mereka. Di atas telah dijelaskan bahwa lupa yang ada

pada mereka bukanlah lupa (tidak ingat) yang dapat menggugurkan

jatuhnya adzab. Lupa yang terdapat pada allażīna ẓalamū adalah

terhentinya pengaruh peringatan itu ke dalam jiwa mereka, hingga mereka

mengabaikan dan sengaja melakukan pelanggaran. Dari penjelasan ini,

concept yang terbentuk pada makna konotasi dari kata nasū mā żukkirū

bihi, yaitu terhentinya hidayah dalam jiwa.

!86

Kejadian ini dapat pula digali nilai universalnya. Ketika orang-

orang sudah terbiasa melakukan dosa setiap hari secara berulang-ulang,

maka dosa itu sudah bukan lagi suatu hal yang perlu dikhawatirkan.

Misalnya saja seorang pezina yang pada awalnya masih timbul rasa

bersalah dengan melakukan perzinahan dan masih memikirkan dosa serta

adzab yang akan menimpanya, namun ketika perbuatan itu dilakukan

secara terus-menerus, maka perzinahan akan menjadi suatu hal yang biasa

dan tidak timbul rasa bersalah sama sekali. Bahkan semua hal yang

dianggap buruk jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi biasa

dan tidak timbul perasaan bersalah lagi, padahal sebenarnya mereka tahu

jika hal itu merupakan perbuatan yang buruk.

Signifier Signified

Nasū mā

żukkirū

bihi

Allażīna ẓalamū

melupakan apa

yang diperingatkan

kepada mereka.

Sign

Melupakan yang dapat diartikan

dengan sengaja mengabaikan dan

melanggar apa yang diperingatkan.

Form Concept

Terhentinya hidayah dalam

jiwa orang yang

melakukan pelanggaran.

Signification

Perbuatan buruk yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi

suatu hal yang biasa dan tidak berdampak lagi pada hati orang yang

melakukannya, serta terhentinya hidayah ke dalam jiwa mereka.

!87

Selanjutnya dalam fragmen ini terdapat kode semik yang

ditunjukkan oleh frase qiradatan (kera). Kera ini merupakan binatang yang

ditunjuk Allah sebagai bentuk adzab yang ditimpakan kepada allażīna

ẓalamū. Dalam kitab tafsir, kutukan kera memiliki perbedaan makna antara

mufassir klasik dan kontemporer. Mufassir klasik cenderung menerima

perubahan bentuk manusia menjadi kera sebagai adzab yang ditimpakan

kepada allażīna ẓalamū. Berbeda halnya dengan mufassir kontemporer 39

yang menganggap bahwa kutukan kera yang dialami allażīna ẓalamū

berarti dimasukkannya sifat-sifat kera ke dalam jiwa mereka. Ketika sifat-

sifat mereka menjadi seperti kera, maka hilanglah martabat kemanusiaan

mereka. Derajat mereka turun menjadi derajat binatang. 40

Makna konotasi kera kiranya dapat dijelaskan lebih jauh dengan

menggali sifat-sifat kera yang sesungguhnya. Terkait hal ini, sejumlah

pakar primatologi dari Institut Max Planck di Leipzig, Jerman melakukan

penelitian terhadap kawanan kera di pulau Ngamba, danau Victoria,

Uganda. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu bagaimana

sekelompok kera bisa bekerjasama dalam pekerjaannya. Penelitian

dilakukan dengan meletakkan sebuah papan berisi pisang yang diletakkan

di luar kandang. Papan tersebut dipasangi dua anting logam, lalu dipasangi

tali melewati anting logam itu, sehingga dua ujung talinya berada di dalam

kandang. Jika hanya salah satu ujung tali yang ditarik, maka papan tidak

akan bergerak dan tali itu akan terlepas. Jadi dua tali yang berada di dalam

kandang itu harus ditarik bersamaan agar papan bisa bergerak. Penelitian

tersebut mendapatkan hasil bahwa jika semua makanan itu diletakkan di

tengah papan dan ditunjukkan kepada kelompok kera, ternyata tidak ada

yang dapat memecahkan masalah tersebut. Penyebabnya, kera ini sibuk

sendiri memikirkan siapa yang akan memperoleh makanan itu dan

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, h. 669. Lihat juga Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurtubi, h. 761.39

Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur`an, Juz 5, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid 40

(Jakarta: Robbani Press, 2003), h. 414. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 213-214.

!88

memonopolinya. Itulah sebabnya kera tidak dapat bekerjasama

memecahkan masalah. Masing-masing individu menolak bekerjasama,

karena tahu yang lainnya akan mencuri makanan tersebut. Kerapuhan

kerjasama mereka ini akibat dari kendala toleransi di antara mereka sendiri

karena sifat individualis dan egois yang tidak dapat mereka tahan.” 41

Penelitian lain tentang kera dilakukan oleh tim peneliti dari

universitas-universitas di USA. Mereka memulai penelitiannya dengan

membuat apa yang disebut “mesin kemurahan hati”. Mesin ini memiliki

dua tuas. Tuas pertama jika ditarik mengeluarkan dua pisang, sedangkan

tuas kedua jika ditarik hanya mengeluarkan satu pisang. Kehadiran mesin

ini untuk melihat seberapa jauh simpanse memiliki rasa ingin berbagi

dengan sesamanya jika mendapatkan dua pisang. Hasilnya menunjukkan

bahwa kera memiliki sifat acuh tak acuh. Kadang mereka membagikan satu

pisang lainnya kepada pasangannya, tetapi ketika ada kera lain yang

melihatnya memiliki dua pisang, maka kera tersebut tidak akan

membagikan satu pisang pun kepada kera yang lain. Percobaan ini terus

berlanjut hingga tim berkesimpulan bahwa kera tidak memiliki perasaan

ingin berkorban terhadap orang lain. 42

Hasil penelitian terhadap kera di atas menjadi jawaban atas kode

semik yang terdapat dalam fragmen ini. Kutukan kera memiliki makna

konotasi sifat individualis dan egois, tidak toleran terhadap orang lain,

rakus yang memunculkan keinginan untuk memonopoli sesuatu, dan tidak

memiliki perasaan ingin berkorban terhadap orang lain. Sifat tercela dari

kera yang sesuai dengan frase qiradatan khāsi’īn (signifier) ini menjadi

Alicia P. Melis, Brian Hare, Michael Tomasello, Engineering Cooperation in 41

Chimpanzees: Tolerance Constrains on Cooperation, Animal Behaviour 72, no. 2 (2006), h 283.

Jennifer Vonk, Sarah F. Brosnan Joan B. Silk, Joseph Henrich, Amanda S. Richardson, 42

Susan P. Lambeth, Stephen J. Schapiro, Daniel J. Povinelli, Chimpanzees do not take advantage of very low cost opportunities to deliver food to unrelated group members, Animal Behaviour 75, no.5 (2008), h. 16.

!89

pengantar bagi signified pada makna konotasi yaitu sebagai simbolisme

nafsu rakus, egois, dan monopolistik.

Allah mengadzab allażīna ẓalamū dengan frase kūnū qiradatan

khāsi’īn yang berarti jadilah kamu kera yang hina. Ketika sampai pada

makna konotasi, maka sesaat setelah allażīna ẓalamū mengambil ikan-ikan

yang datang, akan memiliki sifat rakus, egois, dan monopolistik. Hal ini

sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa mereka mengumpulkan ikan

atau burung puyuh yang datang sepanjang siang dan malam, mengingat

ikan itu adalah aset bernilai tinggi yang harus dikumpulkan untuk

menumpuk kekayaan. Mereka rakus ketika ingin memakan ikan atau

burung puyuh yang datang, karena bosannya mereka terhadap manna.

Sikap egois dan monopolistik tercermin ketika mereka dengan sepihak

melanggar perjanjian pada hari Sabtu. Mereka menghabiskan hari-hari

mereka dengan memonopoli ikan yang dapat dijadikan aset berharga. Sikap

tidak toleran terhadap orang lain terlihat ketika mereka angkuh dan tidak

mengindahkan nasihat yang disampaikan oleh allażīna yanhauna ‘ani al-

sū’. Karena sikap inilah akhirnya mereka melupakan peringatan yang

disampaikan hingga hilangnya hidayah yang ada dalam jiwa mereka.

Penggunaan makna konotasi terhadap kutukan kera adalah penjelasan logis

yang dapat dikontekstualisasikan pada masa sekarang. Mengingat kutukan

kera ini sebagai peringatan untuk orang-orang di masa itu dan orang-orang

setelahnya (QS. Al-Baqarah/2: 66). Pada kisah Aṣḥāb al-Sabt, pelanggaran

yang dilakukan allażīna ẓalamū adalah akumulasi sifat kefasikan mereka

dari pengubahan kata hiṭṭah, ketidakpuasan mereka terhadap manna, dan

melanggar aturan pada hari Sabtu.

Perintah untuk tidak melanggar pada hari Sabtu, dimana hari itu

adalah hari khusus beribadah, tercantum dalam sembilan perintah bagi

orang-orang Yahudi. Sembilan perintah ini dapat diartikan dengan perintah-

perintah pokok yang harus mereka jalankan dalam beragama. Di dalam

!90

agama Islam, perintah pokok dalam beragama kita kenal dengan Rukun

Islam. Maka, sembilan perintah yang ada dalam kaum Yahudi dapat

dikontekstualisasikan dengan rukun Islam dalam agama Islam.

Konsekuensi dari rumusan ini yaitu jika seorang Muslim tidak

melaksanakan rukun Islam yang lima seperti syahadat, shalat, puasa, zakat,

dan haji, tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, pun tidak

melaksanakan kewajiban mingguan, yaitu shalat Jum‘at, maka sifat-sifat

seperti nafsu rakus, egois, dan monopolistik akan tertanam dalam jiwa

manusia yang tidak menjalankan perintah agama.

Signifier Signified

Kūnū

qiradatan

khāsi’īn

Kalimat kutukan

yang artinya:

Jadilah kamu kera

yang hina

Sign

Kutukan yang diberikan Allah

kepada allażīna ẓalamū dengan

menjadikan mereka kera yang hina.

Form Concept

Simbolisme sifat egois,

rakus, individualis, dan

monopolistik

Signification

Setiap Muslim yang tidak menjalankan rukun Islam, dan tidak

bersyukur atas nikmat Allah, maka akan timbul sifat egois, rakus,

tidak toleran terhadap orang lain, dan keinginanan untuk memonopoli

sesuatu.

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan

Untuk menganalisis kisah Aṣḥāb al-Sabt di dalam QS. Al-A‘rāf/7:

163-166 dengan menggunakan semiotika Roland Barthes, diperlukan

langkah-langkah metodis yang disusun oleh Barthes sendiri, di antaranya

adalah memotong teks ayat menjadi beberapa fragmen, menginventarisasikan

kode-kode dan semua struktur yang membangun cerita tersebut, kemudian

melakukan analisis semiotis dengan menggunakan dua tingkatan pemaknaan,

yaitu denotasi dan konotasi.

Kisah Aṣḥāb al-Sabt penulis bagi ke dalam tiga fragmen pembacaan yang

masing-masing fragmen memiliki makna denotasi dan konotasinya sendiri.

Fragmen-fragmen tersebut yaitu, pertama pelanggaran perjanjian, kedua

dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian, ketiga kutukan kera.

Pada makna denotasi, yang penulis istilahkan dengan nuansa denotatif,

masing-masing fragmen dimaknai sesuai dengan makna apa adanya yang

memiliki tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Pada makna

konotasi, yang penulis istilahkan dengan nuansa mitos, setiap fragmen

dianalisis dengan mengambil makna denotasi sebagai langkah awal untuk

mendapatkan makna mitos, yang juga melibatkan hubungan internal teks al-

Qur’an, intertekstualitas dari penjelasan kitab tafsir, al-Kitab, artikel yang

menulis kisah Aṣḥāb al-Sabt, maupun perangkat studi ilmu al-Qur’an lainnya.

Fragmen pelanggaran perjanjian memiliki tanda-tanda yang dapat dicari

dua tingkatan pemaknaannya, yaitu kata sabt dan ḥītan. Sabt pada nuansa

denotatif bermakna hari ketujuh dalam satu minggu. Pada nuansa mitos, kata

sabt menunjukkan makna keseimbangan dalam menjalankan dunia dan

akhirat, sehingga signifikasi yang diperoleh yaitu setiap manusia harus

meluangkan waktu untuk menjaga nilai spiritualnya agar tidak terjebak pada

sifat materialistis dan hedonis.

"91

"92

Fragmen dialog antara dua golongan yang menaati perjanjian memiliki pesan

bahwa perasaan dengki akan menghambat seseorang dalam berbuat kebaikan,

dan isyarat untuk selalu menyampaikan nasihat kepada setiap manusia,

berdasarkan tanda-tanda yang terdapat dalam fragmen ini.

Fragmen kutukan kera penuh dengan isyarat simbolis karena

menggunakan hewan kera terkait adzab yang diberikan Allah. Konsep

simbolis kera ini kemudian melahirkan pesan kepada manusia agar tidak

egois, rakus, ataupun bersikap intoleransi kepada orang lain. Karena sifat

inilah yang dimiliki oleh kera.

Jika dilihat dari keseluruhan ceritanya, maka pesan-pesan filosofis yang

terdapat dalam kisah ini yaitu:

1. Manusia harus meluangkan waktu untuk menjaga nilai spiritualnya agar

tidak terjebak pada sifat materialistis dan hedonis.

2. Manusia tidak boleh tamak terhadap harta ataupun mengumpulkan harta

dengan cara yang tidak benar.

3. Perasaan dengki akan berakibat kepada perbuatan yang tidak baik dan

menghambat seseorang untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.

4. Setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling nasihat-menasihati dan

melarang orang lain untuk melakukan perbuatan buruk.

5. Perbuatan buruk yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi hal

yang biasa, sehingga akan terhentinya hidayah ke dalam jiwa.

6. Setiap Muslim yang tidak menjalankan rukun Islam, dan tidak bersyukur

atas nikmat Allah, maka akan timbul sifat egois, rakus, tidak toleran

terhadap orang lain, dan keinginanan untuk memonopoli sesuatu.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian al-Qur’an yang menggunakan

pendekatan semiotika terus berkembang. Sejauh yang penulis telusuri,

penggunakan pendekatan semiotika banyak diterapkan pada kisah-kisah yang

"93

ada dalam al-Qur’an, karena semiotika erat kaitannya dengan karya sastra. Di

antara kisah-kisah yang belum penulis temukan penelitiannya yaitu kisah

Maryam, kisah Sulaiman dan malaikat Harut Marut, kisah Aṣḥāb al-Aikah,

kisah Nabi Daud, ataupun kisah Ibrahim yang menggunakan semiotika

Roland Barthes. Selain diterapkan pada kisah, semiotika dapat pula diterapkan

pada ayat-ayat yang memiliki penafsiran beragam dan dimungkinkannya dua

tingkatan pemaknaan dari ayat-ayat yang diteliti.

Sebagaimana diketahui, semiotika terbagi atas beberapa pendekatan sesuai

metode yang disusun oleh para tokohnya. Selain mencari materi kisah yang

berbeda dan belum pernah dibahas, penelitian selanjutnya dapat pula

menggunakan kisah yang sudah dibahas tetapi dengan pendekatan semiotika

yang berbeda. Dengan perbedaan pendekatan, maka akan mendapatkan hasil

yang berbeda pula, yang mana dengan itu akan menambah khazanah keilmuan

al-Qur’an.

"94

DAFTAR PUSTAKA

Akmaldin, Noor. Al-Qur`an tematis: Kisah-kisah dalam al-Qur`an 2. Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010.

Allajji, Muhammad. “Struktur dan Semiotik Surat Hud (Analisis Strukturalisme dan Semiotika dalam al-Qur’an)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

Allen, Graham, Roland Barthes. London: Routledge, 2003.

‘Abd al-Baqi’, M. Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur`an al-Karīm. Kairo: Dar al-Kitab, 1364.

Barthes, Roland, Elements of Semiology. New York: Hill and Wang, 1968.

———. Image Music Text. London: Fontana Press, 1977.

———. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1991.

———. Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Berger, Arthur Asa. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000.

Al-Bukhari. Shahih Bukhari. Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.

al-Darwisy, Muhyiddin. I‘rāb al-Qur’ān al-Karīm wa bayānuhu. Damsyik: Dār al-Yamāmah, 2005.

Faridatunnisa, Nor. “Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an (Telaah Semiotik)”. Tesis, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015.

Firdaus, Luthfi. “Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.

Fitriyana, Pipit Aidul. “Kisah Yusuf Dalam al-Qur’an: Perspektif Semiologi Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014.

Haizumiah. “Kesatuan Kisah Khalafallah dalam QS. Al-Kahfi; Analisis Semiotika Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.

Hakim, M. Baqir. Ulumul Quran. Jakarta: Al Huda, 2012.

"95

‘Abd Halim, Mani’, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu, 2014.

Iballa, Dona Kahfi MA. “Nilai-Nilai Ideologis Kisah Aṣḥāb al-Kahf Dalam QS. Al-Kahf (Aplikasi Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

Imron, Ali. Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf. Yogyakarta: Teras, 2011.

Khoiriyah, Ulufatul. “Perempuan Sebagai Ḥarṡun Dalam al-Qur’an (Kajian Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera, 2001.

Ibn Manẓur al-Miṣrī, Abī Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukarram, Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār Ṣādr.

Melis, Alicia P. Brian Hare. Michael Tomasello. Engineering Cooperation in Chimpanzees: Tolerance Constrains on Cooperation, Animal Behaviour 72, no. 2 (2006)

Mu’asyaroh, Malikhatul. “Pemaknaan Mitos Kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.

Mubarak, Husni. “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis Dari Semiologi Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.

al-Mujahid, A. Thoha Husein. Kamus al-Waafi: Arab-Indonesia. Depok: Gema Insani, 2016.

Mujib, Muhammad Khairul. “Jadal al-Qur’an dalam Perspektif Mitologis Roland Barthes”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.

Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.

Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama. Malang: UIN-Malang Press, 2007.

"96

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017.

Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari, 2012.

al-Qaṭṭān, Manna. Mabāḥiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qurṭubi, Tafsir Al-Qurthubi. terj. Sudi Rosadi (dkk), Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Quṭb, Sayyid. Tafsir Fi Ẓilāl al-Qur`an. Jakarta: Robbani Press, 2003.

Ramadhanti, Dina. Buku Ajar Apreasiasi Prosa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish, 2016.

Rubin, Uri. “Become you apes, repelled!” (Quran 7:166): The transformation of the Israelites into apes and its biblical and midrashic background”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies 78, no.1 (2015)

Sanusi, Irpan. “Pesan Semiotis al-Qur’an: Analisis Strukturalisme QS. Al-Lahab”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.

Saussure, Ferdinand de. Course in General Linguistics. New York: McGraw-Hill Book Company, 1966.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Sofia, Adib. Sugihastuti. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis, 2003.

Subayu, Rony. “Al-Qur’an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes Sebagai Metode Penafsiran al-Qur’an”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.

al-Suyūṭi, Jalāluddīn. al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur`an. Beirut: Resalah Publisher, 2008.

Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Syibromalisi, Faizah Ali. Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.

Ṭabaṭaba’i. Tafsir al-Mizan. terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2010.

"97

Al-Ṭabari, Tafsir Al-Thabari, terj. Ahsan Askan, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Tirmiżi. Sunan Tirmiżi. Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.

Ulumuddin, “Kisah Luth Dalam al-Qur’an (Pendekatan Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.

Vonk, Jennifer. (dkk). Chimpanzees do not take advantage of very low cost opportunities to deliver food to unrelated group members, Animal Behaviour 75, no.5 (2008).

Wartini, Atik, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”. Hunafa: Jurnal Studi Islamika 11, no.1 (2014)

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2009.

Zoest, Aart Van. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia, 1996.

Internet References http://wwf.panda.org/knowledge_hub/endangered_species/cetaceans/about/blue_whale/ https://news.nationalgeographic.com/news/2015/02/150213-pilot-whales-stranded-new-zealand/ https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42036429