hukuman pelaku santet (tinjauan rkuhp dan
TRANSCRIPT
HUKUMAN PELAKU SANTET
(TINJAUAN RKUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
WASKITA AGUNG NUGROHO
N I M : 1110045100009
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pemilik alam semesta
beserta isinya, yang telah memberikan kemudahan serta ilmu yang bermamfaat. Tak
lupa shalawat serta salam akan kerinduan yang teramat dalam kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah memberikan cahaya
serta pertolongan kepada umat muslim hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, skripsi yang berjudul “HUKUMAN PELAKU SANTET
(TINJAUAN RKUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM) telah selesai. Skripsi ini
merupakan sebuah bentuk akhir dari semua usaha yang penulis lakukan selama 3
tahun lebih belajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang semoga dapat bermamfaat bagi penulis juga pembaca. Tak
sedikit kesulitan serta halangan ketika penulisan ini dimulai, namun semua itu bisa
teratasi dengan baik karena dukungan serta arahan dari berbagai pihak yang selalu
dengan sabar membantu penulis.
Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada yang sempurna, apa lagi hanya
sebuah karya skripsi ini yang penulisnya pun masih dalam proses belajar kearag yang
lebih baik. Namun dari semua itu, yang paling diutamakan adalah usaha serta kerja
keras yang sudah penulis lakukan untuk menyajikan wacana keilmuan dalam skripsi
ini. Tentunya hal tersebut tidaklah mungkin dapat terjadi jika tanpa bantuan para
pihak, oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada :
1. Kepada pak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum
UIN Syarif Hidayatullah.
2. Kepada Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku ketua prodi Hukum Pidana Islam,
dan Nur Rohim Yunus, LL.M, selaku sekretaris prodi Jinayah Siyasah, kepada
keduanya yang telah memberikan banyak arah serta motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
v
3. Kepada Bapak Qasim Arsyadani, M.Ag, dan Bapak Almarhum Dedy
Nursyamsi, S.H, M.H selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia
meluangkan banyak waktu, arahan, kritik dan motivasi dalam penyusunan
skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Kepada orang tua dan keluarga penulis, terimakasih atas segala dukunganya.
5. Kepada seluruh senior Jinayah Siyasah yang telah memberikan banyak
pengalaman dan pelajaran kepada penulis.
Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis, semoga
kebaikan mereka semua dapat balasan yang indah dari Allah SWT. Kepada mereka,
penulis hanya bias mendoakan, agar mereka semua selalu sehat dalam rahmat dan
keberkahan Allah SWT. Akhir kata, semoga kerja keras penulisan skripsi ini dapat
bermamfaat untuk semua pihak, baik pembaca, penulis, maupun praktisi hukum.
Jakarta, 19 Juli 2017.
Penulis
vi
ABSTRAK
Waskita Agung Nugroho 1110045100009, Prodi Hukum Pidana Islam, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
1438 H/ 2017, vii + 52 halaman.
Penelitian ini berjudul “Hukuman Pelaku Santet (Tinjauan RKUHP dan Hukum
Pidana Islam). Tujuan penulisan skripsi ini untuk memberikan gambaran tentang
sanksi tindak pidana santet dalam RKHUP dan dalam hukum pidana Islam. Penelitian
ini menggunakan pendekatan penelitian sosiolegal dengan metode kualitatatif berupa
penelitian pustaka (library research). Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari RKUHP dan kitab fiqih,
sedangkan data sekunder berasal dari buku-buku hukum yang dituis oleh para ahli
yang mendukung ataupun menjelaskan data primer dan berkaitan dengan objek
penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwasanya, santet merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Santet merupakan
salah satu praktik sihir yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain agar orang
tersebut merasakan penderitaan ataupun tujuan tertentu lainya. Santet pun dapat
dilakukan oleh seorang ahli sihir atas permintaan orang lain yang meminta bantuanya,
ataupun atas kehendak si ahli sihir itu sendiri. Dalam RKUHP, hukuman bagi pelaku
santet (ahli sihir) dinyatakan dalam Pasal 295 dengan sanksi pidana 5 (lima) tahun
penjara ataupun denda paling banyak katerogi IV. Sedangkan, dalam hukum pidana
Islam, sanksi bagi pelaku santet ditentukan dalam Q.S. Al-Baqarah (2) : 102 yang
menyatakan bahwa pelaku santet ialah kafir. Dikarenakah dalah nash tidak diperinci
secara jelas, maka para fuqaha pun menentukan sanksi santet ini berdasarkan
pandanganya masing-masing, yang kebanyakan dari para fuqaha menyatakan bahwa
hukuman bagi pelaku santet ialah dihukum mati. Kesimpulanya adalah santet
merupakan suatu tindak pidana yang pelakunya harus dikenakan sanksi karena
tindakan ini melanggar aturan hukum pidana Islam, maupun RKUHP.
Kata kunci : Santet, Santet dalam RKUHP, Santet dalam Hukum Pidana Islam.
Pembimbing : Qosim Arsyadani, MA.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ................................................ ii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN ........................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
BAB I.
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 6
C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ..................................................... 6
1. Tujuan ...................................................................................... 6
2. Mamfaat Penelitian .................................................................. 6
D. Tinjuan Pustaka/ Penelitian Terdahulu .......................................... 7
E. Metode Penelitian........................................................................... 8
1. Pendekatan Penelitian .............................................................. 9
2. Sumber Data ............................................................................. 10
3. Tehnik Analisis Data .................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II.
TINDAK PIDANA MENURUT RKUHP DAN HUKUM ISLAM ................ 12
A. Tindak Pidana Menurut RKUHP ................................................... 12
1. Sejarah pembentukan RKUHP ................................................... 12
2. Tindak Pidana............................................................................. 14
a. Pengertian Tindak Pidana ...................................................... 14
b. Unsur-unsur Tindak Pidana ................................................... 15
3. Tujuan Pemidanaan .................................................................... 20
B. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam ............................... 25
viii
1. Hukum Pidana Islam .................................................................. 25
2. Tindak PidanaIslam .................................................................... 26
a). Pengertian Tindak Pidana Islam ........................................... 26
b). Unsur-unsur Hukum Pidana Islam ....................................... 28
3. Tujuan Hukum Pidana Islam ...................................................... 29
BAB III.
HUKUMAN TERHADAP PELAKU SANTET DALAM RKUHP DANHUKUM
ISLAM ............................................................................................................. 32
A. Santet .............................................................................................. 32
1. Definisi Santet ............................................................................ 32
2. Latar Belakang Santet ................................................................ 33
B. Hukuman Pelaku Santet Dalam RKHUP dan Hukum Islam ......... 35
1. Hukuman Pelaku Santet Dalam RKUHP ................................... 35
2. Hukuman Pelaku Santet Dalam Hukum Islam........................... 37
C. Pembuktian Tindak Pidana Santet ................................................... 42
1. Pembuktian Tindak Pidana Santet Dalam Sistem Hukum di
Indonesia .................................................................................... 42
2. Pembuktian Tindak Pidana Santet Dalam Hukum Islam ........... 43
BAB IV.
ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN HUKUMAN SANTET .................. 45
A. Persamaan dan Perbedaan Hukuman Santet .................................. 45
1. Persamaan .................................................................................. 45
2. Perbedaan ................................................................................... 46
B. Kekurangan dan Kelebihan Hukuman Pelaku Santet Dalam RKUHP dan
Hukum Pidana Islam ...................................................................... 47
BAB.V. PENUTUP .......................................................................................... 49
A. Kesimpulan .................................................................................... 49
B. Saran ............................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai
tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai dan tujuan pokok hukum
adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan
keseimbangaan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan
kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan itu, hukum bertugas
membagi hak dan kewajiban antara perorangan didalam masyarakat, membagi
wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara
kepastian hukum.1
Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara
mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan
tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan
berkembang sepanjang masa. Oleh karna itu peraturan hukum yang kurang jelas
harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan
hukum agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Sehingga dapat
mewujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.2
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum.
Disamping itu, karena tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya, maka kebijakan penegak hukum inipun termasuk kedalam kebijakan
sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum pidana
1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ( Yogyakarta : Liberty, 2005),
hlm 77 2 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pers, 2006), hlm 28.
2
sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang
kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan penilaian dan pemilihan
dari berbagai macam alternative. Dengan demikian, masalah pengendalian atau
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana bukan hanya
merupakan problem sosial, tetapi juga masalah kebijakan (the problem of policy).3
Sehubungan dengan itu hukum perlu dikaji atau di telaah lebih mendalam
untuk menjawab berbagai permasalahan-permasalahan yang sedang marak. Diantara
permasalahan tersebut, penulis ingin mencoba menggali lebih dalam mengenai
hukuman terhadap pelaku santet. Karna santet adalah masalah klasik yang muncul
bersamaan dengan adanya rasa tamak pada manusia yang tertuang dalam perasaan
cemburu, iri dengki, senang berkuasa dan membalas dendam. Hubungan ini telah
terjalin sejak lama, yakni sejak hari-hari pertama keberadaan manusia dimuka bumi
hingga sekarang sesuai dengan kondisi dan keyakinan mereka.4
Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya, sehingga tidak asing lagi
ditelinga kita mengenai perbedaan ragam budaya, adat istiadat, maupun mengenai
keyakinan. Di Indonesia, kehidupan spiritual tampaknya juga tidak pernah redup.
Memang agama, bagi masyarakat Indonesia selain merupakan bagian dari tradisi itu
sendiri, tampaknya adalah suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual yang
tak mungkin ditinggalkan.5
Kebudayaan adalah kompleks yang mengungkap pengetahuan,
kepercayaan,kesenian dan moral. Didalam kebudayaan bermacam kekuatan yang
harus dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya, selain itu manusia
dan masyarakat juga memerlukan kepuasan dibidang spiritual maupun materil. Selain
yang kompleks diatas, adapun kaidah-kaidah yang dinamakan peraturan biasanya
sengaja dibuat dan mempunyai sanksi tegas. Peraturan bertujuan membawa suatu
3 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung: Nusa Media, 2010), hlm
20. 4 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, hlm 20.
5 Ahmad syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat ,cet I (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006), hlm.vii
3
kerahasiaan dan memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan keadaan lahiriah
maupun batiniah.6
Beberapa waktu yang lalu masyarakat kita diguncang oleh perang pernyataan
sejumlah pihak yang bertikai berkait dengan isu kejahatan praktek sihir (santet salah
satunya) dan paranormal. Isu ini merupakan kisah lama yang kembali menghiasi
pemberitaan di tengah-tengah masyarakat yang konon dikenal sebagai masyarakat
religius.
Perselisihan semacam ini memang tak pernah berujung dengan selesai,
lantaran obyek yang menjadi perselisihan tak berwujud. Hebatnya lagi, konflik yang
kali ini terjadi menimpa kalangan masyarakat yang dikenal berkecukupan bahkan
mapan dalam hal ekonomi maupun intelektual.
Perselisihan pendapat dengan masalah berbau klenik yang diangkat ke ranah
hukum di masa lalu hingga kini, umumnya banyak terjadi di kalangan masyarakat
tradisional pedesaan. Mereka pun umumnya berangkat dari sistem kepercayaan dan
tradisi lokal yang telah demikian mengakar kuat di dalam kehidupan sosial mereka.
Sering kali pula media massa memberitakan konflik yang tak jarang berujung pada
kerusuhan massal dan penghakiman secara sepihak kepada terduga pelaku, seperti
peristiwa Banyuwangi tahun 1997, Pangandaran 1999, dan lainnya. Pada praktek
selanjutnya, upacara sumpah pocong misalnya menjadi solusi yang dianggap efektif
untuk mencegah pembunuhan massal dan menjadi ajang pembuktian bahwa mereka
yang dituduh itu bersih dan tak terindikasi melakukan praktek sihir, santet, ataupun
teluh.
Gambaran sekaligus fenomena ini kemudian menarik perhatian sejumlah
wakil rakyat di DPR untuk melakukan kajian hukum secara mendalam atas fenomena
klenik di tengah masyarakat itu dalam bentuk Rancangan Undang-Undang KUHP.
Yang menjadi sorotan para wakil rakyat itu adalah hukuman atas komersialisasi
6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,1990), hlm. 45
4
praktek sihir dan paranormal yang menjadi trend di kalangan masyarakat, bukan
menghakimi perbuatan sihir, yang butuh pembuktian lahir.
Di Indonesia sihir dikenal dengan bermacam-macam istilah yaitu seperti
santet, teluh, guna-guna dan sebagainya. Indonesia sendiri belum punya payung
hukum mengenai sihir ini. Karenanya bila ada orang yang diduga pelaku santet tidak
bisa dijerat dengan hukum, akibatnya masyarakat yang menjadi korban santet sering
main hakim sendiri bahkan orang yang diduga dukun santet sering dibunuh warga
tanpa pembuktian. Pakar hukum pidana UI Prof Dr Ronny Nitibaskara mengatakan
penerapan pasal santet bisa melindungi orang-orang yang difitnah melakukan santet.
Karena dengan adanya itu maka mereka yang difitnah melakukan santet tidak bisa
dimain hakim sendiri.7
Gejala sosial yang terjadi saat ini adanya sistem main hakim sendiri pada
pelaku santet. Bahkan, untuk menyingkirkan orang yang tidak disukai bisa
melakukan dengan cara memfitnah seseorang yang dituding melakukan santet. Jadi
kalau kita tidak suka atau ingin menyingkirkan orang lain, kita tinggal fitnah orang
itu melakukan santet lalu dia dihakimi. Oleh karena itu, pasal ini diperlukan untuk
mencegah gejala sosial seperti itu.
Tetapi Pakar hukum pidana UI Prof Dr Ronny Nitibaskara yang dilibatkan
dalam pembuatan Rancangan KUHP ini mengaku bahwa pasal santet tersebut ada sisi
negatifnya. Menurutnya, draft pasal 293 Rancangan KUHP ini tidak disusun dengan
delik materil, karena adanya kendala pembuktian. Yang dipidana bukan pembunuhan
terselubung oleh tukang santet, melainkan perbuatan mereka yang mengganggu
ketertiban umum.8
Oleh karenanya para pakar dan ahli hukum pidana sangat berantusias
menyarankan pemerintah agar segera membuat Undang-undang terkait santet atau
sihir ini, dengan mempertimbangkan isyu-isyu atau polemik yang tumbuh dan
7 Jelas Ronny dalam diskusi 'Pasal Santet Dalam Naskah Revisi UU KUHP' di Gedung DPR
Lantai 17, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, www.detiknews.com, diakses pada, Selasa (2/4/2013). 8 Jelas Ronny dalam diskusi 'Pasal Santet Dalam Naskah Revisi UU KUHP' di Gedung DPR
Lantai 17.
5
berkembang di masyarakat. Atas desakan itu akhirnya pemerintah lewat DPR
akhirnya memasukkan santet kedalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Dalam kitab tersebut pasal 295 disebutkan bahwa orang yang
membantu atau menawarkan jasa untuk melakukan tindak pidana dengan cara gaib
dapat diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Banyak pendapat yang mendukung Undang-undang ini walau banyak juga
yang menentang. Yang mendukung beralasan bahwa korban sihir atau santet di
Indonesia sangat banyak dan mereka sangat menderita dan kadang sulit disembuhkan
dan akhirnya meninggal tanpa memperoleh keadilan. Sedang Untuk menjawab
permasalahan tersebut perlu diadakannya penelitian atau pengkajian lebih mendalam
mengenai hukuman pelaku santet, maka dari itu penulis mengusung skripsi yang
berjudul HUKUMAN PELAKU SANTET (TINJAUAN RKUHP DAN HUKUM
PIDANA ISLAM).
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Fokus masalah dalam studi ini berkisar pada masalah penghukuman terhadap
pelaku santet, yang mana dalam kajiannya melihat dari Rancangan KUHP di
Indonesia dengan Hukum Pidana Islam, dan bagaimanakah letak persamaan dan
perbedaan dari kedua hukum tersebut?
Dari masalah pokok di atas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub-masalah yang
dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research questions), yaitu :
1. Bagaimanakah hukuman pelaku santet dalam Rancangan KUHP ?
2. Bagaimanakah hukuman pelaku santet dalam Hukum Pidana Islam ?
3. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan hukuman pelaku santet dalam
Rancangan KUHP dan Hukum Pidana Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Secara umum studi ini memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Mengetahui secara utuh mengenai hukuman pelaku santet dalam
Rancangan KUHP di Indonesia.
b. Mengetahui secara komperhensif mengenai hukuman pelaku santet
dalam perspektif hukum Islam.
c. Menemukan sebuah intisari mengenai perbedaan dan persamaan
mengenai hukuman untuk pelaku santet.
2. Manfaat Penelitian
Adapun signifikansi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Hasil penelitian ini diharapkan punya nilai signifikan bagi upaya
transformasi hukum pidana Islam kedalam tata hukum pidana
Nasional.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan studi komparatif dimasa yang akan
datang.
7
c. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan kontribusi pemikiran dalam
merumuskan RUU KUHP di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka / Penelitian Terdahulu
Dari hasil telaah pustaka yang penyusun lakukan di beberapa karya ilmiah
baik berupa buku maupun skripsi yang membahas tentang kejahatan mistik dan
supranatural. Penyusun melakukan telaah dari tinjauan umum atas karya-karya
penelitian, berikut paparan tinjauan umum tersebut :
1) Karya ilmiah mahasiswa (Skripsi) di FSH UIN Syarif Hidayatullah tahun
2013, yang ditulis oleh Dwi Wahyuni dengan judul “Kajian Hukum Islam
Terhadap Kejahatan Mistik Dalam Rancangan Undang-undang Hukum
pidana”. Dalam kajian skripsi tersebut mengutarakan tentang bagaimana
pemidanaan terhadap pelaku kejahatan mistik. Dalam skripsi ini tidak
dikatakan jenis kejahatan mistiknya, penulis hanya memaparkan kejahatan
mistik secara global dan hukuman bagi pelakunya baik ditinjau dari RUU
KUHP maupun dalam hukum Islam.
2) Karya ilmiah dari mahasiswa di FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun
2013 yang ditulis oleh Tosim Fauzi dengan judul “kebijakan hukum pidana
terhadap tindak pidana santet di Indonesia”. Dalam karyanya menyatakan
bahwa dalam mengkriminalisasi hanya menitik beratkan perhatiannya pada
usaha pencegahan (Preventif) dilakukan praktik santet oleh para juru santet,
yangakan dicegah adalah provesi atau pekerjaanya. Namun dalam penelitian
ini penulisnya hanya menitik beratkan kepada hukuman pelaku santet dalam
RUU KUHP, tidak ada tinjauan dari perspektif hukum Islam.
3) Karya ilmiah selanjutnya, yaitu karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di FH
Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2007, yang ditulis oleh Winarto,
dengan judul: “Analisis Yuridis Terhadap Kriminalisasi Perbuatan Santet
Sebagai Tindak Pidana di Indonesia”. Dalam skripsi tersebut mengutarakan
mengenai hukuman terhadap pelaku santet dalam RUU KUHP yang mana
8
dalam penghukumannya terdapat kelemahan dalam segi pembuktiannya.
Dalam skripsi tersebut hanya menitik beratkan kepada analisis dalam RUU
KUHP.
4) Karya tulis terakhir yaitu sebuah buku yang diterbitkan oleh Bayumedia
Publishing, ditulis oleh Budi Daruputra pada tahun 2007 yang berjudul Santet
Realita dibalik Fakta. Dalam karya tulisnya, beliau menyatakan bahwa santet
masih digemari dalam masyarakat Indonesia dan sudah membudaya.
Meskipun zaman telah berganti kearah yang lebih modern, santet masih
memiliki tempat didalam masyarakat. Santet dapat dilakukan oleh kalangan
manapun, dimulai dari yang tidak berpendidikan hingga kalangan elite.
E. Metode Penelitian.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis penelitian yang oleh Peter Mahmud disebut sebagai penelitian
sosiolegal (socio-legal research). Menurut Peter Mahmud, penelitian tentang hukum
atau yang disebut sebagai socio-legal research sering kali disalah artikan sebagai
penelitian hukum. Hal ini disebabkan baik penelitian yang bersifat sosiolegal maupun
penelitian hukum mempunyai objek yang sama yaitu hukum. Akan tetapi, penelitian
yang bersifat sosiolegal hanya menempatkan hukum sebagai gejala social. Hal ini
ditegaskan oleh Peter Mahmud karena dalam penelitian sosiolegal hukum selalu
dikaitkan dengan masalah social. Penelitian-penelitian demikian merupakan
penelitian yang menitik beratkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitanya
dengan hukum. 9
Berdasarkan hal tersebut, menurut Peter Mahmud, tidak dapat disangkal
bahwa yang paling sering menjadi topik di dalam penelitian sosiolegal adalah
masalah efektifitas aturan hukum, kepatuhan terhadap aturan hukum, peran lembaga
atau institusi hukum dalam penegakkan hukum, implementasi hukum, pengaruh
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Cet.VII, (Jakarta : Prenadamedia Grup, 2013),
hlm.128
9
aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya, pengaruh masalah
social tertentu terhadap aturan hukum. Dalam penelitian semacam ini, hukum
ditempatkan sebagai variable terikat dan faktor-faktor non hukum yang
mempengaruhi hukum dipandang sebagi variable bebas.10
Oleh sebab pemaparan diatas, maka menurut penulis, pendekatan penelitian
sosiolegal sangatlah cocok untuk penelitian ini. Peneliti hendak melihat bagaimakah
aturan hukum yang ada – dalam hal ini tentu saja terkait sanksi pidana santet –
berjalan di dalam ranah penegakkan hukum pidana, baik hukum pidana Islam
maupun RKUHP.
1. Pendekatan Penelitian
Secara tipologis, penelitian penulisan ini merupakan model penelitian dengan
pendekatan Kualitatif sehingga metode yang diterapkan ialah metode kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model logika
reflektif, yang didalamnya proses berfikir membuat abstraksi dan proses berfikir
membuat penjabaran berlangsung cepat.11
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penulis melakukan
penelitian kualittatif berupa penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa
data-data primer yaitu RKUHP dan Kitab Fiqih dan sumber data sekunder yaitu
buku-buku hukum, artikel, dan website yang terkait dengan pembahasan.
10
Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, cet V, (Jakarta : Indhillco,
2001), hlm.3 11
Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag.
10
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kualitatif, yaitu data
yang umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam data kualitatif, data-
data yang berupa bahan hukum terdiri dari :
a. Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.12
Adapun
bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu : RUU KUHP dan Kitab
Fiqih.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan
hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah
buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang sudah membahas masalah ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.13
Bahan
hukum tersier adalah semua bahan yang mendukung bahan primer dan
sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, artikel, dan lain-lain.
3. Tehnik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan
metode induktif atau deduktif. Metode induktif adalah metode berfikir yang
berangkat dari fakta khusus, peristiwa yang konkret yang kemudian ditarik
kesimpulan secara umum. Sedangkan metode deduktif adalah metode yang
menggukan dalil-dalil yang bersifat umum.
Dalam penelitian kulaitatif, penyajianya yang khas adalah dalam teks naratif.14
Dalam melakukan analisis terhadap sumber dan materi hukum pidana Islam
diterapkan pendekatan teoritis-filosofis. Sedangkan dalam melakukan analisis
terhadap materi perundang-undangan pidana khusus dan doktrin hukum pidana,
diterapkan pendekatan normative-doktrin dengan memanfaatkan model-model
12
Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, cet V (Jakarta:IND
HILLCO, 2001), hlm.13. 13
Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, hlm.13. 14
Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag.
11
interpretasi hukum.
F. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini dapat dipahami dengan logis, maka penulisan penelitian
skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dan memiliki sub bab dalam setiap bab nya.
Adapun sistematikanya adalah sebagai betikut :
Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka/
penelitian terdahullu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang tindak pidana menurut RKUHP dan hukum
pidana Islam, yang isinya dibagi kedalam dua sub bab, sub tema pertama meliputi
tindak pidana menurut RKUHP, pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana,
dan tujuan pemidanaan. Sedangkan dalam sub bab kedua berisi tentang tindak pidana
menurut hukum pidana Islam, pengertian hukum pidana Islam, unsur-unsur dalam
hukum pidana Islam, dan tujuan hukum dalam hukum pidana Islam.
Bab ketiga dalam penulisan ini berisi mengenai hukuman terhadap pelaku
santet dalam RKUHP dan hukum pidana Islam, yang meliputi pengertian dan latar
belakang santet, hukuman pelaku santet dalam RKUHP dan hukum pidana Islam,
serta pembuktian tindak pidana santet.
Bab keempat penulis akan memaparkan mengenai analisis hasil penelitian
hukuman santet, yang didalamnya berisi tentang persamaan dan perbedaan, serta
kelemahan dan kelebihan baik dalam RKUHP ataupun hukum Islam.
Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran
yang penulis lakukan dari hasil penelitian mengenai hukuman terhadap pelaku santet.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis merujuk kepada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
12
BAB II
TINDAK PIDANA MENURUT RKUHP DAN HUKUM ISLAM
A. Tindak Pidana Menurut RKUHP
1. Sejarah Pembentukan Rancangan KUHP
Hasrat untuk mengadakan kodifikasi KUHP nasional yang disusun oleh
putera-putera bangsa Indonesia sendiri dengan memperhatikan perkembangan dunia
modern dibidang hukum pidana, sudah lama dicetuskan didalam berbagai kesempatan
termasuk seminar hukum nasional. Usaha-usaha konkret menuju tercapainya hasrat
tersebut antara lain dapat dikemukakan oleh usaha Baharudin S.H. dan Iskandar
Situmorang, S.H. yang menyusun Rancangan Buku I KUHP pada Tahun 1971 dan
buku II KUHP pada Tahun 1976.15
Kemudian sejak Tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkaji Hukum Pidana,
yang diberikan tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (memteri
Kehakiman dalam hal ini Badan Pembina Hukum Nasional). Pada tahun itu
disusunlah materi-materi yang diperlukan untuk tujuan tersebut. Tahun 1980-1981
mulailah disusun Rancangan buku I yang antara lain juga memakai KUHP (lama) dan
Rancangan Baasaruddin dan rekan sebagai bahan perbandingan.16
Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti
masih kasar. Pada Tahun 1982 itu diadakanlah lokakarya di BABINKUMNAS
memahas Rancangan tersebut. Sesudah, itu tim terus menerus berkumpul untuk
memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyusun Rancangan Buku II
sampai Tahun 1985. Paada Tahun 1985 itu diadakanlah lokakarya lagi ditempat yang
sama untuk membahas Buku II. Lalu pada Tahun 1986diadakan Lokakarya khusus
mengenai sanksi pidana ditempat yang sama. Dan terakhir Lokakarya mengenai delik
computer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan.17
15
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005) hlm 27. 16
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm 27. 17
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm 28.
13
Menurut Andi Hamzah, pada saat tulisan ini disusun (mei 1991), 99%
pekerjaan menyusun Rancangan Buku I KUHP telah selesai dan 80% pekerjaan
menyusun Buku II KUHP dicapai pula. Perbedaan yang mencolok antara Rancangan
dan KUHP(lama) ialah Rancangan hanya terdiri atas dua buku, sedangkan KUHP
(lama) yang sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya
perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelnggaran didalam Rancangan telah
ditiadakan. Jadi sama dengan KUHP Jerman, Jepang, Korea, dan lain-lain. Akan
tetapi materi Buku II 95% sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.18
Pembentukan KUHP baru diharapkan dapat menampung berbagai masalah
dalam hukum pidana yang selama ini tidak terakomondasi dalam KUHP lama dan
selalu timbul ketidakadilan di masyarakat dan praktik peradilan. Disamping itu
substansi KUHP baru juga harus mampu mengantisipasi berbagai perkembangan
delik-delik baru pada proses perubahan masyarakat di dalam era reformasi, seperti
masalah penyandraan, maker, terorisme, delik-delik terhadap komunikasi lewat
satelit, penghinaan peradilan(contempt of court), delik-delik yang erhubungan dengan
computer, teknologi informasi, dan ruang angkasa, delik-delik terhadap pencemaran
lingkungan, serta kejahatan ekonomi.19
Yang mana memiliki implikasi besar terhadap
segenap aspek kehidupan bangsa dan Negara.
Terbentuknya KUHP baru adalah mencerminkan upaya serius pemerintah di
dalam upaya penegakan hukum pidana yang lebih adil bagi semua lapisan masyarakat
pada era reformasi ini. Aneh rasanya, apabila di Negara Belanda, WvS sudah lama di
revisi dan tidak di berlakukan, akan tetapi di Indonesia, KUHP sebagai terjemahan
WvS justru masih tetap berlaku sebagai warisan kolonial, karena ketidak mampuan
bangsa ini untuk menciptakan suatu undang-undang pidana nasional yang baru.20
18
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm 28. 19
Teguh sulistia, Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011) hlm 26. 20
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005) hlm 30.
14
2. Tindak Pidana
a) Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh
aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.21
Kata tindak pidana berasal dari
istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda, yaitu strafbaar feit, kadang juga
menggunakan istilah delict , yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana
Negara-negara anglo-saxon menggunakan istilah offense atau criminal act untuk
maksud yang sama.22
Pada dasarnya istilah strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga
kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Baar diterjemahkan
dengan dapat dan boleh. Kata feit diterjemahkan dengan kata tindak, peristiwa,
pelanggaran, dan perbuatan jadi istilah strafbaar feit secara singkat bisa diartikan
perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam kajian selanjutnya tidak sesederhana
ini karna yang hanya bisa dihukum bukan perbuatannya melainkan orang yang
melakukan suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum. Selanjutnya, beberapa
rumusan tentang tindak pidana menurut para pakar hukum pidana perlu dikemukakan,
menurut Simons sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar freit atau
tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan
hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan kelakuan orang yang mampu
bertanggung jawab. Hal ini berkaitan erat dengan aliran monoisme dan dualisme
dalam hukum pidana.23
Dari latar belakang tersebut maka dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembentukan
RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Khususnya BAB II
mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana yang termuat dalam pasal
12. Berikut penjelasan dari BAB II pasal 12 RKUHP 2015 :24
21
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I
(Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 28 22
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet I (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 86 23
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm. 87-88 24
KEMENKUMHAM, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2015.
15
Pasal 12
1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana.
2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut
dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus
juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat.
3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali
ada alasan pembenar.
Dalam penjelasan pasal 12 RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) menerangkan bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana serta memiliki sifat melawan hukum. Sehingga
pasal 12 RKUHP dapat dikategorikan sebagai penjabaran dan pengertian dari suatu
tindak pidana.
b) Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur
lahiriah, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya.25
Sebuah
perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus
diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri.
Dalam hal ini Satochid Kartanegara mengatakan bahwa unsur-unsur delik,
terdiri dari dua golongan yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-
unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat diluar diri manusia, yang semuanya
dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.26
Sedang kan unsur-unsur
subjektif adalah unsur yang terdapat di dalam diri pembuat. Unsur ini berupa hal yang
dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatannya yang ia lakukan.27
25
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), hlm. 64 26
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th),
hlm. 65 27
P.A.F Lamintang, Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan
Terhadap Hak Milik, (Bandung: Tarsito,1992), hlm. 29
16
(1). Unsur-Unsur Pidana Pidana Yang Disepakati Oleh Para Sarjana:
Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana. Setiap
sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti Lamintang
yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. Wederrechtjek
(melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).28
Duet Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat
melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan
manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld (terjadi karena
kesalahan).29
Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal
pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.
Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup
rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. Sehingga perbuatan pidana
mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik,
Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.30
Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan diatas, Moelyatno menyebutkan
bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat
(perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan
yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan
hukum yang objektif.31
Dari kesemua rumusan diatas dapat kita lihat bahwa ada beberapa pendapat
28
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1992),
hlm. 173 29
Cansil dan Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2007), hlm. 38 30
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 27 31
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008) hlm. 69
17
para sarjana hukum. Beberapadari para sarjana tersebut memiliki kriteri unsur-unsur
tindak pidana yang sama, kecuali Lamintang yang menyebutkan bahwa unsur-unsur
perbuatan meliputi 2 hal yakni Handeling dan Wederrechtjek.
Handeling (perbuatan manusia), tidak disebutkan Lamingtang sebagai salah
satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui
perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita berusaha untuk
menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula
dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia.32
Handeling yang
dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten atau
niet doen (melalaikan atau tidak berbuat).33
Wederrechtjek (melanggar hukum), menurut Lamintang terkait dengan sifat
melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda dan haruslah dijelaskan ke-
empat-nya yaitu sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum materil, sifat
melawan hukum umum, dan sifat melawan hukum khusus.34
Sifat melawan hukum formil adalah pelanggaran terhadap delik formil, yakni
delik yang dianggap telah terlaksana apabila telah dilakukan suatu perbuatan yang
dilarang. Seperti dalam pasal 224 KUHP mengenai pemalsuan mata uang. Seseorang
dapat di ajukan ke muka sidang pengadilan harus dapat dibuktikan bahwa ia
melakukan perbuatan itu harus dengan maksud mengedarkan, artinya berniat dengan
tujuan yang dikehendaki yaitu mengedarkan atau menyuruh edarkan. dengan
demikian apabila dapat dibuktikan dari tujuan pemalusan uang tersebut maka
seseorang dapat di hukum, walaupun belum terlaksana pengedaran mata uangnya.
Sehingga pasal 244 dapat di kategorikan sebagai delik formil, yakni yang secara
khusus dijelaskan yang dilarang ialah perbuatannya bukan akibatnya.35
Sifat melawan hukum materil ialah pelanggaran terhadap delik materil
32
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm. 183 33
Cansil dan Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2007), hlm. 39 34
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 39 35
Suharto RM, Hukum Pidana Materiil, cet II (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm 60-62
18
(kebalikan dari delik formil), dimana dalam rumusan tindak pidana hanya disebutkan
akibat tertentu sebagai akibat yang dilarang.36
Dengan contoh pasal 338 KUHP
mengenai pembunuhan, pasal tersebut di rumuskan dalam delik materiil karena tindak
pidana dianggap selesai apabila sudah terjadi akibatnya, tetapi bagai mana cara atau
sebab pembunuhannya tidak dirumuskan.37
Kemudian, sifat melawan hukum umum. Sifat melawan hukum umum ini
sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada
aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum
pada masyarakat yaitu keadilan. Yang terakhir ialah sifat melawan hukum khusus.
Sifat melawan hukum khusus ialah suatu perbuatan yang telah diatur secara tertulis
oleh undang-undang tidak ditentukan unsur-unsurnya, tetapi hanya ditentukan
kualifikasinya. Seperti pada rumusan delik pencurian pasal 363 KUHP, delik
pencurian padda pasal 363 ini unsurnya sama dengan pencurian yang dimaksud
dalam pasal 362 KUHP, hanya bedanya pencurian yang dimaksud dalam pasal 363
ini ditambah dengan ditentukannya bentuk, cara, dan waktu melakukan perbuatan
sehingga dapat dinilai memberatkan kualitas pencurian maka perlu adanya hukuman
yang lebuh berat dari pencurian biasa.38
Selain unsur-unsur yang disepakati bersama oleh para sarjana diatas, masih
ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. Dimana para sarjana
memiliki beberapa perbedaan mengenai unsur-unsur pidana.
(2). Unsur-Unsur Pidana Pidana Yang Tidak Disepakati Oleh Para Sarjana.
36
Suharto RM, Hukum Pidana Materiil, hlm 46 37
Suharto RM, Hukum Pidana Materiil, hlm 58 38
Suharto RM, Hukum Pidana Materiil, hlm 72-73.
19
Berikut adalah unsur-unsu tindak pidana yang tidak disepakati oleh para
sarjana, yakni :
a. Schuld (kesalahan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Schuld (kesalahan) adalah tidak mengetahui atau tidak memahami akan
adanya perundang-undangan bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau
bahkan bukan pula alasan untuk memperingan hukuman. Asas “setiap orang dianggap
tahu isi undang-undang” menekankan pentingnya mengetahui hukum. Sehingga
seseorang tidak dengan mudah mengelak dari pelanggaran hukum dengan alasan
tidak paham hukum.39
Dengan berdasarkan asas tersebut, maka seorang dinilai berbuat kesalahan
ketika melanggar hukum. Sedangkan secara mendasar dalam kesalahan ada dua
pembagian, yaitu Pertama, opzet (kesengajaan) dan kedua, Culpa (kurang berhati-hati
atau kelalaian).40
Cansil-christine membagi kesalahan kedalam empat kategori, diantaranya
sebagai berikut:
a. Dolus.
Seperti dikemukakan diatas, dolus memiliki arti yang sama dengan opzet yaitu
kesengajaan. Perlu diketahui bahwa kitab undang-undang hukum pidana tidak
merumuskan apa yang dimaksud dengan kesengajaan.41
Dalam hal ini pasangan
cansil merumuskan bahwa kesengajaan merupakan suatu niat atau i’tikad diwarnai
sifat melawan hukum, kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak.
b. Culpa.
Culpa atau ketidak sengajaan ialah berarti kesalahan pada umumnya. Maka
39
Cansil dan Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2007), hlm. 50 40
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2008), hlm. 65 41
Cansil dan Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2007), hlm. 51
20
seorang hakim tidak bisa mengukur ketidak sengajaan atau kelalaian berdasar pada
dirinya sendiri, melainkan melihat bagaimana hal umumnya pada masyarakat.42
c. Dolus generalis
Hal yang mebedakan antara dolus generalis dan dolus atau opzet ialah dari
tujuannya. Bila dolus dan opzet memiliki satu tujuan yang pasti, maka dolus generalis
tak memiliki tujuan yang pasti. Digambarkan dengan seseorang yang meracuni pusat
air minum dengan maksud agar semua orang yang meminum air tersebut akan
terbunuh. Tidak melihat siapa yang terbunuh.43
d. Aberratio Ictus.
Seperti makna katanya, salah kena berarti akibat tidak sesuai dengan tujuan.
Contoh sederhana seseorang yang akan menembak burung meleset dan mengenai
manusia.
Sedangkan, terkait dengan hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
Van hamel membagi hal ikhwal ini menjadi dua. Pertama, mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan. Dicontohkan dengan kejahatan jabatan. Kedua, mengenai di
luar diri si pelaku. Seperti pengahsutan. Kejahatan tersebut memiliki unsur di muka
umum. Maka tanpa adanya unsur ini kejahatan tersebut tak bisa dikatakan terjadi.
3. Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis,
terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan
pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari
proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik
temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi
baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan
mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori
tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan
42
Cansil dan Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, hlm. 51 43
Cansil dan Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, hlm. 56
21
hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.
Menurut Remmelink Hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi ditunjukan
untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib
sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan.44
Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang
masingmasing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini
melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan
atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan
bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat
pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi
atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak,
pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan
di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan
berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan
(detterence).45
Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3
kelompok yakni :
a) Teori absolut (retributif);
b) Teori teleologis
c) Teori retributive teleologis.
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak
44
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), cet I. hlm.30 45
Zainal Abidin, Pemidanaan,Pidana dan tindakan dalam Rancangan KUHP, cet I (Jakarta:
Elsam, 2005), hlm. 11
22
pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan.46
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan
pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka
bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.47
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat
plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif
sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung
karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam
menjawab tindakan yang salah. Pandangan teori ini menganjurkan adanya
kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian
dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai
sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat
integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a) Pencegahan umum dan khusus
b) Perlindungan masyarakat
c) Memelihara solidaritas masyarakat
d) Pengimbalan/pengimbangan.48
Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan ternyata tidak
terdapat suatu kesamaan pendapat di antara para pemikir atau diantara para penulis.
46
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT Alumni, 1998), hlm. 49. 47
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, hlm. 50. 48
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, hlm. 51
23
Pada dasarnya tewrdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemidanaan, yaitu: 49
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan
3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan
kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah
tidak dapat di perbaiki lagi.
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP mengatur tentang bagaimana
pengadilan akan menentukan atau menjatuhkan pidana kepada pelaku yang
didasarkan pada pertimbangan berbagai faktor untuk mencapai pemidanaan yang
dianggap patut. Faktor-faktor dalam pemidanaan sebagaimana diatur dalam Bagian
Kesatu adalah berkaitan dengan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan
ketentuan lain mengenai bagaimana pemidanaan akan diberlakukan kepada pelaku.
Tujuan pemidanaan dalam RKUHP terkandung dalam Pasal 55 yang
menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan :
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.50
Dalam Pasal 55 ayat (2) juga dinyatakan bahwa pemidanaan tidak
49
P.A.F Lamintang, Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika,
2010) hlm. 11 50
KEMENKUMHAM, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, buku ke satu,
tahun 2015
24
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.51
Perumusaan
dari keempat tujuan pemidanaan dalam RKUHP tersimpul pandangan mengenai
perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana.
Pandangan ini dipertegas lagi dengan mencantumkan tentang pemidanaan tidak
bemaksud untuk menderitakan dan merendahkan martabat.
Tujuan yang dirumuskan dalam RKHUP di atas nampak berlandaskan atas
tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori pemidanaan retributif-teleologis
yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan
menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan
kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar
orang tidak melakukan kejahatan.
Tujuan ini juga berdasarkan pandangan utilitarian sebagaimana
diklasifikasikan oleh Herbet L. Paker yang melihat pemidanaan dari segi manfaat
atau kegunaannya, dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Tujuan pemidanaan untuk
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dengan demikian,
tujuan pemidanaan dalam RKUHP adalah berorientasi ke depan (forward-looking).52
B. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
51
KEMENKUMHAM, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, buku ke satu,
tahun 2015 52
Zainal Abidin, Pemidanaan,Pidana dan tindakan dalam Rancangan KUHP, (Jakarta:
Elsam, 2005). hlm. 17
25
1. Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata jinayah. Pada dasarnya,
pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Di kalanga
fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut
syara’.53
Secara etimologis, Jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang ia perbuat. Jinayah adalah
suatu penamaan melalui bentuk صدر dari kata yang berarti kejelekan yang ج
menimpanya. Makna ini masih umum, tetapi kemudian dikhususkan bagi perbuatan-
perbuatan yang diharamkan. Makna ini berasal dari راء اىطب yang bermakna ج
memetik buah dari pohonya.54
Adapun secara terminologis, jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan yang
diharamkan oleh hukum Islam, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta, maupun
lainya. Meskipun demikian, fuqaha mengkhususkan atau mempersempit pengertian
jinayah ini sebagai perbuatan (yang diharamkan oleh hukum Islam) yang berkenaan
dengan jiwa (nyawa), dan anggota tubuh manusia (membunuh, melukai, dan
memukul).55
Kebanyakan fuqaha membahas pembunuhan, pelukaan, dan pemukulan
(penganiayaan) di bawah tema jinayah. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan
istilah jinayah untuk tiga tindak pidana tersebut.56
Sebagian fuqaha membahas tiga
tindak pidana ini dengan tema al-jirah (pelukaan). Mereka melihat bahwa pelukaan
merupakan jalan yang paling banyak mendatangkan kematian, penyerangan terhadap
jiwa dan anggota tubuh lainya. Sebagian fuqaha ada juga yang memakai kata ad-dima
(darah) dan menjadikanya sebagai tema untuk tindak pidana pembunuhan, pelukaan,
dan pemukulan. Alasanya bisa karena banyaknya pertumpahan darah akibat tindak
53
Dede Rosyada, Hukum Islam Dari Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyaraakatan, 1992), hlm.86 54
Muhammad Ahsin Sakho, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jilid III, (Bogor: PT.
Karisma Ilmu, 2008), hlm. 175 55
Muhammad Ahsin Sakho, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. hlm. 175 56
Muhammad Ahsin Sakho, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. hlm. 175
26
pidana ini atau karena hukum-hukum ini dibuat untuk melindungi darah.57
2. Tindak pidana Islam
a. Pengertian tindak pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam tindak Pidana diartikan sebagai jarimah,
sedangkan jarimah menurut bahasa adalah melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-
hal yang diyakini tidak baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan rasa
keadilan dan kebenaran. Pengertian jarimah menurut istilah adalah perbuatan-
perbuatan yang dilarang syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana,
apabila bertentangan dengan undang-undang dan diancam dengan hukuman.58
Konsep Hukum pidana Islam merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh syara’. Sesuai dengan ketentuan fiqih, larangan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu tidak hanya cukup dengan “niat baik”, tetapi harus disertai dengan
sanksi (hukuman). Hal ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa secara intrinsik
hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu kebaikan sekurang-kurangnya bagi pelaku
kejahatan itu sendiri. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan jarimah menurut istilah para fuqaha’ adalah59
:
وتعز يرالحظر الشخصية التي هذ دت من قبل اال لهة مع العقىية حذا
Artinya : “Larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukum
had atau ta’zir”.
Dikutip dari Nurul Irfan, Abdul Qadir Audah pun menyatatakan bahwasanya
hal-hal yang dilarang menurut syariat Islam adalah melakukan suatu perbuatan yang
57
Muhammad Ahsin Sakho, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. hlm. 175 58
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004).hlm 10 59
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jinaiy Al Islamiy, (Jil.II, DarAl Kitab Al’Araby, Beurit,
1992), hlm.65
27
dilaran, pun tidak melakukan (meninggalkan) suatu perbuatan yang diperintahkan
oleh syariat. Jadi, tampaklah jelas bahwasanya tindakan pasif yang menyebabkan
timbulnya tindak pidana pun dapat dikategorikan melakukan jarimah.60
Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanya jinayah adalah sebuah
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, dan tindakan itu mengancam keselamatan
fisik dan jiwa orang lain (yang menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta
seseorang) sehingga perbuatan orang tersebut dianggap haram untuk dilakukan bahwa
yang melakukanya harus diberikan sanksi baik di dunia maupun di akhirat.61
Di tinjau dari segi berat hukumannya, jarimah dapat di bagi menjadi tiga
bagian antara lain62
:
a) Jarimah hudud, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman
had adalah hukuman yang telah di tentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah
(hak masyarakat). Jarimah hudud ini ada tujuh macam yaitu: Zina, Qazaf,
Meminum minuman keras, Mencuri, Melakukan hirabah (gangguan
keamanan), Murtad, dan Pemberontak.
b) Jarimah qishash, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau
diat. Jarimah qishash dan diat ini ada dua macam, yaitu pembunuhan dan
penganiayaan.
c) Jarimah ta’zir, jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir
adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum di tentukan
oleh syara’ yang mana aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan
oleh penguasa setempat.
b. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam.
Dikutp dari Nurul Irfan, objek kajian fiqih jinayah menurut Abdul Qadir
60
Nurul Irfan, Gratifikasi Dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta :
Amzah, 2014), hlm.9 61
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm.69. 62
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih Jinayah), cet 1,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2004), 17
28
Audah, objek atau pun unsur-unsur tindak pidana untuk jarimah dapat dibedakan tiga
bagian, yaitu: Pertama unsur formal (al-rukn al-syar’i), kedua unsur material (al-rukn
al-madi), ketiga unsur moral (al-rukn al-adabi).63
Al-rukn al-syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.64
Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyakatan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah
jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu), maupun yang
bersifat negatif (pasit dalam melakukan sesuatu).65
Al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gilla, anak dibawah umur, atau
sedang berada dibawah ancaman.66
Inilah objek utama hukum pidana Islam jika dikaitkan dengan unsur-unsur
tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan bawa suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai Jinayah, jika perbuatan tersebut mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur
tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.
3. Tujuan Hukum Pidana Islam
Setiap peraturan mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh pembuatnya.
63
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm.69. 64
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , (Jakarta : Hamzah, 2013), hlm.2 65
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, hlm.2 66
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, hlm.3
29
Kalau kita meninjau tata aturan pada hukum positif maka tujuan pembuatannya tidak
lain adalah ketentraman masyarakat, yaitu mengatur sebaik-baiknya dalam
menentukan batas-batas hak dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat dalam
hubungannya satu sama lain.
Secara umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah SWT
adalah untuk kepentingan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia seluruhnya baik di
dunia maupun di akhirat. Menurut Abu Zahra sebagaimana yang dikutip dari
Zainuddin Ali, terdapat tiga sasaran utama dari tujuan penetapan hukum Islam, yaitu
pensucian jiwa, penegakan keadilan, da perwujudan kemaslahatan.67
Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum Islam menentukan aturan yaitu
menolak bahaya harus didahulukan daripada mengambil manfaat, kemaslahatan
umum harus didahulukan dari kemaslahatan khusus, kesulitan akan dapat membawa
kepada adanya kemudahan, keadaan darurat dapat memperbolehkan hal yang
dilarang, tidak ada bahaya yang membahayakan, dan Islam tidak mengenal prinsip
tujuan membenarkan cara.68
Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali, tujuan hukum Islam dapat dilihat
dari dua segi yaitu segi pembuat hukum Islam yakni Allah dan Rasul-Nya, dan dari
segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu : 69
1). Segi pembuat hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah:
a. Memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer (kebutuhan yang
harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya agar kemaslahatan hidup
67
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006) hlm. 10-11 68
A. Ma’mun Rauf, Asas-asas Hukum Islam, Cetakan kesepuluh, (Makassar: Universitas
Muslim Indonesia, 1995) hlm.133 69
Mohammad Daud Ali, , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2007) hlm. 61
30
manusia terwujud yang terdiri dari Agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta), sekunder (kebutuhan yang dibutuhkan untuk mencapai kebutuhan
primer seperti kemerdekaan dan persamaan), dan tersier (kebutuhan selain
kebutuhan primer dan sekunder seperti sandang, pangan, dan papan).
b. Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari;
c. Agar ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib
meningkatkan kemampuannya untuk memahami ushul fiqih (dasar
pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodeloginya).
2). Segi manusia menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam, tujuan hukum Islam
adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera dengan cara
mengambil yang bermanfaat, mencegah dan menolak yang mudharat.
Abdul Wahab Khalaf sebagaimana yang dikutp dari Abduh Malik, secara
garis besarnya membagi tujuan syariat Islam itu kepada dua bagian yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Yang dimaksud dengan tujuan umum ditetapkannya hukum
Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didalam hidupnya, yang
prinsipnya menarik manfaat dan menolak kemudaratan.70
Menurut Al- Syatibi,
adapun tujuan umum dari ditetapkannya hukum Islam diwujudkan kepada tiga
tingkatan, yakni Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat.71
Dharuriyat adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk melindungi kehidupan
manusia. Sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Hal ini meliputi lima aspek yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta.
1) Memelihara agama adalah semua aturan yang berkaitan dengan akidah,
ibadah, dan semua aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
dan manusia dengan sesamanya.
70
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, cet I
(Jakarta: Satelit Buana, 2003), hlm 42 71
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Mufaqat, (Darul Ma’rifah, Bairut, 1997, jilid 1-2), hlm.324
31
2) Memelihara jiwa yaitu syariat Islam yang berkaitan dengan aturan hukum
keluarga, beranak keturunan, dan cara-cara pemeliharaan jiwa. Mulai dari
mengatur makanan, pakaian, tempat tinggal dan kepada diwajibkannya
melaksanakan qishash, diyat, dan kafarat.
3) Memelihara akal seperti aturan yang mengharamkan khamar dan semua yang
memabukkan serta hukuman bagi para pelakunya.
4) Memelihara kehormatan seperti aturan yang berkaitan dengan hukuman had
zina bagi pelaku zina pria dan wanita serta hukuman had qazaf.
5) Memelihara harta benda yang berkaitan dengan cara mendapatkan harta,
memelihara harta, dan cara menggunakan harta sampai segala macam aturan
bermuamalah dan aturan hukum mengambil harta orang lain secara batil.72
Kemaslahatan yang bersifat hajiyat adalah yang bersifat mempermudah
kehidupan manusia. Menghilangkan kesulitan serta meringankan beban tugas dan
kewajiban manusia didalam hidupnya. Missal dibidang uqubat: tidak menjatuhkan
hukuman had dalam hal yang meragukan.
Selanjutnya yaitu tahsiniyat, yakni kemaslahatan yang bersifat memperindah
kehidupan manusia, seperti masalah kebersihan, menjaga diri dari najis, berpakaian
baik kemasjid, mengerjakan yang sunat-sunat, dan sebagainya.73
Sedangkan tujuan hukum Islam khusus yang dimaksud Abdul wahab khalaf
yaitu tujuan yang berkaitan dengan satu persatu aturan hukum Islam. Hal ini dapat
diketahui dengan memahami asbabun nuzul dan hadis-hadis yang sahih.74
BAB III
HUKUMAN TERHADAP PELAKU SANTET DALAM RKUHP DAN HUKUM
ISLAM
72
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm 43 73
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm 43 74
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm 44
32
A. Santet
1. Definisi Santet
Dalam kehidupan manusia, kita mengenal suatu hal yang nampak dan tak
nampak. Suatu hal yang tak nampak atau astral biasa kita kenal dengan istilah ghaib.
Sesuatu yang keberadaannya ghaib tidaklah selalu negatif, seperti mukjizat, karomah,
dan maunah. Mukjizat ialah hal luar biasa atau istimewa yang dianugerahkan oleh
Allah kepada RasulNya, untuk membuktikan sesuatu kebenaran.75
Karomah ialah
sesuatu yang dipahami untuk kepentingan yang ditunjukan Allah kepada manusia,
keajaiban karomah ini dianugerahkan sebagai hadiah dari Allah untuk manusia lewat
seorang Wali (orang suci).76
Maunah ialah perkara-perkara luar biasa yang diberikan
Allah kepada manusia biasa dan merupakan pertolongan khusus yang dikaruniakan
oleh Allah kepadanya.77
Hal ghaib yang bersifat negatif ialah hal ghaib yang dilakukan dengan
mendekatkan diri kepada syetan dan dengan pertolongan darinya, hal ghaib tersebut
berupa sihir. Di Indonesia sihir dikenal dengan bermacam-macam istilah yaitu seperti
santet, teluh, guna-guna dan sebagainya. Santet adalah salah satu praktik sihir yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang bertujuan untuk mencelakaan
orang lain seperti penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang yang
dikehendakinya78
, oleh karnanya santet dapat dikatagorikan sebagai salah satu dari
golongan sihir.
Secara bahasa, sihir dalam bahasa Arab terambil dari kata sahara ( سحر).79
Sedangkan menurut Al Azhari, sihir ialah amal perbuatan yang dilakukan dengan
mendekatkan diri kepada syetan dan dengan pertolongan darinya. Menurut Al Azhari
75
M. Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), hlm.221 76
Muhammad Iqbal. Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam. (Jakarta: Taramedia, 2003), hlm.
225 77
M. Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fiqih, hlm.204 78
Penjelasan RKUHP Pasal 293 ayat 1 79
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet XIV,(Surabaya:
Pustaka Progresif,1997), hlm.615
33
arti asal “sihir” ialah memalingkan sesuatu dari hakekatnya kepada selainnya,
seolah-olah penyihir melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran dan membayangkan
sesuatu tidak menurut sebenarnya.80
Menurut Ibnu Qudamah, sihir ialah buhul, mantra dan perkataan yang
diucapkan atau ditulis atau dibuat sesuatu yang berpengaruh pada jasad orang yang
disihir atau pada hati dan akalnya tanpa menyentuh secara langsung. Diantaranya
dapat menimbulkan kematian,sakit,menimbulkan kebencian dan sebagainya.81
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwasannya sihir ialah
suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan menyediakan syarat-syarat
tertentu, dibawah kondisi-kondisi dan persiapan-persiapan yang tidak wajar, dan
dengan cara misterius. Hal itu dilakukan guna mempengaruhi seseorang atau
sejumlah orang, untuk mencapai maksud-maksud tertentu yang diinginkan baik itu
secara pribadi atau orang yang memintanya.82
2. Latar Belakang Santet
Santet atau sihir telah terjadi di masa Rasulullah SAW. Pada saat itu
Rasulullah SAW mengalami sakit parah, maka datanglah malaikat dan
menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah terkena sihir yang dibuat oleh Labid bin
al asham. Sihir tersebut berupa gulungan yang didalamnya terdapat tali yang terdiri
dari sebelas simpul. Maka berdasarkan riwayat tersebut turunlah surat Al-Alaq dan
An-Nash, setiap Rasulullah SAW membaca satu ayat maka terbukalah satu
simpulnya. Dari riwayat tersebut nampak bahwasannya santet sudah ada di zaman
Rasulullah SAW.
Kepercayaan masyarakat Indonesia terkait santet memang mengakar cukup
kuat dan menjadi sebuah mitos tersendiri. Santet digunakan seseorang dalam rangka
80
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam.
Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh, cet III(Jakarta: Robbani Press, 1995). hlm. 21 81
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam, hlm. 22 82
Muhammad Isa Daud, Dialog Dengan Jin Muslim. Penerjemah Afif Muhammad dan Abdul
Adhiem, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). hlm. 143.
34
untuk mencari dan menuruti kepuasan yang bersifat pribadi dengan adanya rasa sirik,
iri dan dengki untuk suatu tujuan tertentu (jabatan atau kedudukan, mancari
suami/istri bahkan untuk menyakiti atau membinasakan orang). Keadaan atau
fenomena seperti ini, masih sering kita jumpai di tengah kehidupan masyarakat.
Artinya dalam tatanan struktur sosial masyarakat di Indonesia, santet sudah menjadi
sebuah fakta sosial sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan. Nilai spiritual atau
mistis sebenarnya selalu ada dalam setiap diri manusia dan menjadi kebutuhan yang
mendasar untuk menyelsaikan masalah dalam hidupnya. Sehingga bukan menjadi
suatu keheranan lagi jika banyak masyarakat kita menyelesaikan masalah
kehidupannya dengan jalan yang irasional. Dikarenakan, jalan yang rasioanal
dianggap sudah tidak mampu untuk menyelesaikannya.
Perselisihan klenik ini di masa lalu hingga kini, mulanya banyak terjadi
dikalangan masyarakat tradisional di pedesaan. Mereka pun umumnya berangkat dari
sistem kepercayaan dan tradisi lokal yang telah demikian mengakar kuat di dalam
kehidupan sosial mereka. Seringkali media massa memberitakan konflik yang
takjarang berujung pada kerusuhan massal dan penghakiman secara sepihak, seperti
peristiwa Banyuwangi tahun 1997, Pangandaran 1999, dan lainnya.
Masyarakat Indonesia memang tidak asing dengan dunia klenik atau sihir,
bahkan sudah menjadi rahasia umum dimana para artis dan pejabat kerap
berhubungan dengan para dukun dan paranormal ataupun mendatangi tempat-tempat
berbau mistis. Bahkan saat ini banyak paranormal yang secara terang-terangan
mengiklankan diri melalui media cetak dan elektronik.
Salah satu klenik yang terkenal jahat adalah santet, walau hal tersebut sangat
sulit dibuktikan secara logika dan ilmu pengetahuan. Untuk menghindari
penyalahgunaan dan mengatasi santet ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat
ini sedang menggodok RUU KUHP tentang pemidanaan terhadap dukun santet.
35
Permasalahan delik hukum untuk dukun santet ini sebenarnya sangat klasik.
Disebabkan banyak orang telah menjadi korban main hakim sendiri oleh warga, serta
tewas karena dituduh dukun santet. Oleh karena itu, pemerintah memasukan delik
santet dalam RKHUP dengan tujuan agar tidak adanya lagi korban, baik korban
akibat santet maupun korban yang dituduh mempunyai kekuatan gaib.
B. Hukuman Pelaku Santet Dalam RKUHP dan Hukum Islam.
1. Hukuman Pelaku Santet Dalam RKUHP
Hukuman terhadap pelaku santet memang tidak tertulis atau tercantum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini. Tetapi lain
halnya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pelaku
santet kini dapat dijadikan suatu tindak pidana walaupun tidak secara spesifik
mencantumkan kata “santet” di dalam RKUHP.
Pemerintah mengusulkan agar soal penggunaan kekuatan gaib diatur dalam
undang-undang. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menuangkan masalah
itu dalam Pasal 295 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Direktur Jenderal Perundang-Undangan
Kemenkumham, Wahidudin Adams beralasan, pasal itu dimasukkan untuk
melindungi masyarakat. "Untuk melindungi mayarakat dari penipuan, dan janji dari
orang yang menjanjikan dapat menggunakan gaib untuk membuat orang celaka dan
menderita,"83
.Selain itu, aturan santet akan membuat masyarakat tak main hakim
sendiri pada orang yang diduga dukun santet. Ini ada dalam penjelasan pasal tersebut.
Di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pelaku
santet dapat dikenakan hukuman di dalam Pasal 295 sebagai berikut :
1) Setiap orang yang menyatkan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada
83
Penjelasan Wahidudin Adams dalam Tempo.com,Alasan pemerintah atur santet, diakses pada selasa
10 Desember 2013
36
orang lain bahwa karna perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian,
penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per
tiga).
Dalam rumusan tindak pidana pasal 293 Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP) pada ayat (1), yang jika dirinci terdiri dari unsur-unsur
berikut ini.
a. Perbutannya : Menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan jasa atau memberikan bantuan
jasa.
b. Objeknya : terhadap orang lain, bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.
Ada empat macam perbuatan yang dilarang. Jika dihubungkan dengan objek
tindak pidana, maka rumusan tindak pidana tersebut dapat dibedakan antara 4 macam
tindak pidana:
Pertama : Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada
orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian,
penderitaan mental atau fisik seseorang. Kedua : Tindak pidana memberitahukan
harapan pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.
Ketiga : Tindak pidana menawarkan jasa pada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik
seseorang. Keempat : Tindak pidana memberikan bantuan jasa pada orang lain bahwa
karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau
fisik seseorang.
37
Setelah dirinci demikian, rumusan tindak pidana dalam pasal 293 RKUHP
semakin jelas bahwasannya pelaku santet yang memiliki unsur-unsur sebagaimana
dimaksud dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda kategori
IV.
2. Hukuman Pelaku Santet dalam Hukum Islam
Di dalam hukum Islam, pelaku sihir atau santet tidak disebutkan secara jelas
bentuk hukumannya baik dalam Al-Quran dan Hadis. Tetapi hukum melakukan sihir
atau menyantet terhadap orang lain ialah kafir. Berikut dalil mengenai ke kafiran
tukang sihir:
مفر ٱىشيطي وىن ب مفر ضيي و يل ضيي عي ب تتيىا ٱىشيطي ٱىبش وا يوٱتبعىا ى عي
أحد حت يقىىب ب ب يعي روث و ببببو هروث و يني ب أسه عي ٱى ٱىطحر و ب ح إ
ت رء و فت ٱى بهۦ بي ب يفرقى ب ه ى أحد فيب تنفر فيتعي بهۦ ب ه بضبري زوجهۦ و
ب ىهۥ ٱشتريه ىا ى ب يضره وىب يفعه وىقد عي ى ٱىيه ويتعي إىب بئذ في ٱىأخرة
ۦ أفطه ىى خيق ب شروا به وىبئص ى ٢٠١ مبىا يعي
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir
(mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan
kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami
Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari
kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan
sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu
yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya
mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu,
tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.’’ (Q.S. Al-Baqarah : 2 : 102).
Mengenai kekafiran terhadap pelaku sihir, juga tertera dalam hadis Nabi
Muhammad SAW sebagai berikut:84
84
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam.
Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh, (Jakarta: Robbani Press), 1995. hlm. 35
38
اىبي صي اأب وع ي هريرة رضي اهلل عه ع ى بقبث , قبىىا: بىاهلل عييه قبه : اجت اىطبع اى
؟ قب ب ه اهلل إىاى قتو, و حرواىط ,ه : اىشرك بباهلل يب رضىه اهلل و قب بأىحفص اىتي حر
اىس وامو , واىتى ىي يى به اىيتي بث اىغب فيبث, وقد حفاىربب, وامو ؤ حصبث اى 85ف اى
“Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW, ia bersabda: “jauhilah tujuh hal
yang menghancurkan”. Mereka bertanya: “apa itu wahai Rasulullah?”. Nabi SAW
bersabda: “Kemusyrikan kepada Allah, Sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah, (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, memakan riba, memakan
harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, menuduh berzina wanita
mu’minah”.(HR. Bukhari)
Jadi dari dalil tersebut diatas dapat disimpulkan bahwasannnya Al-Quran dan
as Sunnah jelas menyebutkan hukum melakukan sihir ialah kafir. Adapun mengenai
hukumannya terhadap pelaku sihir para jumhur ulama berbeda pendapat dalam segi
hukumannya. Berikut pendapat para ulama mengenai hukuman pelaku.
a. Hukuman Tukang Sihir dalam Syari’at Islam.
Dalam memaparkan hukum/ sanksi tentang sihir, penulis mengutip
pendapat yang disampaikan oleh Wahid Abdus Salam, yang menyatakan
bawa, hukuman bagi pelaku santet menurut para fuqaha adalah sebagai
berikut86
:
1) Imam Malik Bin Anas Rahimahullah.
Menurut Imam Malik Bina Anas, tukang sihir yang mengerjakan sihir
padahal orang lain tidak mengerjakannya adalah seperti orang di sebutkan
Allah di dalam firmanNya :
خي ب ىهۥ في ٱىأخرة ٱشتريه ىا ى ب يضره وىب يفعه وىقد عي ى وىبئصقويتعي ى ۦ أفطه ىى مبىا يعي ٢٠١ ب شروا به
“...dan mereka mempelajari apa yang memudaratkan mereka dan tidak
memberi manfaat kepada mereka.dan sesungguhnya mereka telah meyakini
85
Diriwayatkan oleh Bukhari 5/393 (Fathul Bari) dan Muslim 2/83 (Nawawi), yang dikutip
oleh Syaikh Wahid Abus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam. hlm 35 86
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam.
Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh, (Jakarta: Robbani Press, 1995). hlm 63.
39
bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tidaklah
baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 2 : 102).
Maka, berdasarkan hal tersebut menurut Imam Malik, tukang sihir
tersebut harus dibunuh apabila dia sendiri mengerjakannya.
2) Ibnu Qudamah Rahimahullah.
Menurut Ibnu Qudamah, hukuman tukang sihir ialah dibunuh. Hal ini
diriwayatkan dari Umar, Utsman Bin Affan, Ibnu Umar, Hafshah, Jundab Bin
Abdullah, Abu Hanifah.
3) Al Qurthubi Rahimahullah.
Menurut beliau, para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum sihir
muslim dan dzimmi. Malik berpendapat bahwa seorang muslim apabila
mensihir sendiri dengan suatu ucapan yang berwujud kekafiran maka ia
dibunuh, tidak diminta taubatnya, dan taubatnya tidak diterima karena ia
adalah perkara yang dilakukannya dengan senang hati seperti orang zindiq
dan berzina. Juga karna Allah menamakan sihir dengan kekafiran didalam
firmannya:
ت فت ب ح أحد حت يقىىب إ ب ب يعي فيب تنفر و
“….. sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun
sebelum mengatakan:” sesungguhnya kami hannya (membawa) cobaan
(fitnah), sebab itu janganlah kamu ingkar….” (Q.S. Al Baqarah:2:102).
Ini adalah pendapat Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, Ishaq, Syafi’i, dan
Abu Hanifah.87
87
Diriwayatkan oleh Bukhari 5/393 (Fathul Bari) dan Muslim 2/83 (Nawawi), yang dikutip
oleh Syaikh Wahid Abus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam. hlm 35
40
4) Ibnu Mundzir Rahimahullah.
Menurut Ibnu Mundzir, apabila seseorang mengakui bahwa dia telah
mensihir dengan ucapan yang berupa kekafiran maka ia wajib di bunuh, jika
dia tidak bertaubat. Demikian pula jika terbukti melakukannya dan bukti itu
menyebutkan ucapan yang berupa kekafiran. Jika ucapan yang dipakai untuk
menyihir bukan berupa kekafiran maka dia tidak boleh dibunuh. Jika dia
menimbulkan kriminalitas pada diri orang yang tersihir maka wajib di qisas.
Ia di qisas jika sengaja melakukannya. Jika termasuk yang tidak dikenakan
qisas maka dikenakan diyat.88
b. Hukum Tukang Sihir Ahlul Kitab.
1) Abu Hanifah Rahimahullah.
Menurut Abu Hanifah, tukang sihir ahlul kitab dapat dibunuh karena
keumuman khabar (riwayat), disamping karena sihir merupakan kriminalitas
(jinayat) yang mewajibkan hukum bunuh terhadap muslim (yang
melakukannya), karna itu orang dzimmi pun wajib dikenakan hukum bunuh
yang sama.89
2) Malik Bin Anas Rahimahullah.
Menurut Malik Bina Anas, tukang sihir Ahlul Kitab tidak dibunuh kecuali
jika dia membunuh dengan sihirnya. Ia juga berkata: jika dengan sihirnya dia
menimbulkan bahaya terhadap seseorang muslim yang tidak terikat perjanjian
dengannya sekalipun maka batallah perjanjian dengan perbuatan tersebut lalu
dibolehkan membunuhnya. Rasullullah SAW tidak membunuh Labid Bin Al
A’sham karena beliau tidak mau membalas untuk dirinya disamping khawatir
jika beliau membunuhnya akan terjadi fitnah dikalangan kaum muslimin dan
88
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam.
Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh, (Jakarta: Robbani Press, 1995). hlm 64 89
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam, hlm 65
41
di kalangan sekutunya dari Anshar.90
3) Syafi’i Rahimahullah.
Menurut Syafi’i Rahimahullah, tukang sihir Ahlul Kitab tidak dibunuh
kecuali jika ia membunuh dengan sihirnya.91
4) Ibnu Qudamah Rahimahullah.
Sedangkan, menuu Ibnu Qudamah, tukang sihir Ahlul Kitab tidak dibunuh
karena sihirnya kecuali jika ia membunuh dengan sihirnya. Biasanya ia
termasuk yang dibunuh karena sihirnya, maka ia dibunuh sebagai qisash,
mengingat terbukti bahwa Labid in Al A’sham telah mensihir Rasullullah
SAW tetapi Rasullullah tidak membunuhnya92
.
Dari berbagai penjelasan para jumhur ulama tersebut kalau di lihat dalam
objek kajian fiqih jinayah bahwasannya bentuk hukuman terhadap pelaku sihir atau
santet dapat dikategorikan kedalam jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir yaitu semua jenis
tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh nash (Al-Quran dan hadis). Aturan
teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah
ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan bentuk atau tindakan kejahatan
yang dilakukannya.93
Bentuk hukumannya meliputi: hukuman mati, hukuman
cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, dan sebagainya.
C. Pembuktian Tidak Pidana Santet.
1. Pembuktian tindak pidana santet dalam sistem hukum di Indonesia
Pembuktian merupakan alat bukti yang dijadikan pegangan hakim sebagai
dasar memutuskan suatu perkara, sehingga dengan berpegang kepada alat bukti
tersebut dapat mengakhiri sengketa diantara pihak yang berperkara. Tujuan dari
sistem pembuktian adalah untuk mengetahui bagaimana cara memberikan hasil
90
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam, hlm 65 91
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam, hlm 66 92
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali, Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam, hlm 66 93
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , (Jakarta : Hamzah, 2013), hlm.4
42
pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan. Sistem
pembuktian berdasarkan KUHAP dapat diketahui dari ketentuan hakim sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 183 KUHAP, yakni kesalahan terdakwa harus berdasarkan
kesalahan yang terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.hakim dapat
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang melakukannya.94
Mengenai alat bukti diatur dalam KUHAP passal 184 yakni:
keterangan saksi,keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Perihal tindak pidana santet yang di rumuskan dalam pasal 295 Rancangan
Kitab Undaang-Undang Hukum Pidana, delik tersebut di masukkan kedalam bab V
mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Dilihat dari pembedaan delik ke
dalam delik formal dan delik materil, delik santet tergolong delik formal yang
menekankan kepada dilarangnya perbuatan, bukan menekankan pada dilarangnya
akibat dari perbuatan. Pembuktian delik santet tidak harus membuktikan apakah
benar kematian seseorang atau hilangnya barang seseorang sebagai akibat santet atau
bukan.Yang dilarang dalam hal ini adalah segala perbuatan dan perilaku yang
menimbulkan kepercayaan kepada masyarakat akan suatu perbuatan yang dapat
menimbulkan akibat yang diinginkan melalui kekuatan ghaib.
Mengutip pendapat Chairul Huda, salah seoran anggota Tim Perumus KUHP
dalam situs hukum online, delik santet mendekati pada delik penipuan, yaitu
mengaku memiliki kemampuan santet dan menyebarluaskannya. Pasal ini dikenakan
bagi pelaku delik yang melakukan tindakannya secara sporadis dan berkelanjutan dan
yang dilakukan dengan kontinuitas dan bertujuan mencari keuntungan (mata
pencaharian).95
2. Pembuktian Tindak Pidana Santet Dalam Hukum Islam
Untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana diperlukan
94
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian cet I,(Jakarta:Gramata Publishing, 2012) hlm. 54 95
http//www.hukumonline.com/2013/11/pembuktian-santet.
43
adanya pembuktian, pembuktian dalam hukum Islam harus berdasarkan alat bukti
yang sah dan meyakinkan. Alat bukti ialah alat untuk menjadikan pegangan hakim
sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Dengan demikian, alat bukti adalah
suatu upaya yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk
meyakinkan hakim di muka pengadilan dan dipergunakan oleh hakim untuk
memutuskan suatu perkara, sehingga alat bukti diperlukan oleh pencari keadilan
maupun pengadilan. Menurut hukum Islam alat bukti dalam peradilan pidana terdiri
atas:96
a. Saksi.
Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk
membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan.
b. Al-Iqrar.
Yakni suatu bentuk keterangan, ataupun pengakuan yang dilakukan oleh
tersangka di depan persidangan.
c. Persangkaan/Petunjuk (Qarinaah)
Qarinah diartikan sebagai tanda-tanda yang merupakan hasil kesimpulan
hakim dalam menangani beberapa kasus melalui ijtihad.sehingga tanda-tanda
itu dapat menimbulkan keyakinan.
d. Qasamah.
Qasamah yang bermakna sumpah, biasanya qasamah hanya diterapkan dalam
praktik peradilan pidana Islam. Hal tersebut dimintakan oleh wali si terbunuh
karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan pembunuhan tersebut.
Dari beberapa jenis alat bukti tersebut, memang tidak ditemukan secara jelas
dalam nash mengenai pembuktian terhadap sihir atau santet. Tetapi mengenai cara
pembuktiannya para fuqaha memiliki argument tersendiri diantaranya ialah, menurut
madzhab Maliki pembuktiannya dengan dua cara yaitu dengan memakai bukti
96
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian,cet I, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm 185-194
44
(bayyinah) atau pengakuan dari pelakunya (iqrar). Sedangkan menurut madzhab
Syafi’i pembuktiannya hanya bisa dilakukan dengan cara pengakuan dari pelakunya,
sebab tujuan pelaku dan pengaruh dari santet adalah sesuatu yang tak dapat dilihat
secara langsung.97
Sedangkan menurut ulama Indonesia, tindak pidana sihir hanya bisa
dibuktikan dengan ikrar (pengakuan) atau yamin mardudah (sumpah balik), dan ikrar
dari penyihir, apabila belum jelas apakah media sihir yang digunakan tersebut bisa
melukai atau mematikan orang lain, maka efek media ini bisa ditentukan dengan
persaksian dua orang saksi ahli dari mantan tukang sihir yang telah bertaubat.98
BAB IV
ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN HUKUMAN SANTET
A. Persamaan dan Perbedaan Hukuman Santet.
1. Persamaan.
Ditinjau dari Rumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) dan hukum pidana Islam. Bahwa dari segi penghukumannya terhadap
pelaku santet memiliki beberapa persamaan yaitu:
a) Dalam pasal 295 RKUHP unsur yang terkandung ialah “menyatakan dirinya
mempunyai kekuatan gaib” ditinjau dari segi perbuatannya santet merupakan
97
http//www.fikihkontemporer.com/2013/11/hukuman-santet-fikih-kontemporer.html di
akses pada kamis 28 oktober 2014. Merujuk pada: Roudhotut tholibin, Juz : 9 Hal : 347 (Madzhab
Syafi’i) dan Syarah Az-Zarqoni Ala Muhtashor Kholil, Juz : 8 Hal : 29 (Madzhab Maliki) 98
http// Fikihkontemporer.com Hasil Keputusan Bahtsul Masail FMPP ke-26 se-Jawa
Madura, PP. Mamba’ul Ma’arif, Denanyar-Jombang, 01-02 Mei 2013. Merujuk pada: Al Asybah Wa
Al Nadha’ir III hal. 7 3. Hawasyi Syarwani IX hal. 73
45
salah satu dari bentuk kekuatan gaib, sedangkan dalam hukum Islam yang
berpedoman kepada Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 102 menyatakan bahwa
“…Barang siapa yang menukarkan (kitab Allah) dengan sihir tidaklah baginya
keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka ”. maka dari itu
para fuqaha berpendapaat bahwasannya pelaku sihir harus mendapatkan
hukuman berdasarkan perbuatannya. Dengan kata lain baik dalam RKUHP
maupun hukum pidana Islam memiliki persamaan bahwasannya pelaku santet
atau sihir harus ada hukumannya.
b) Ditinjau dari segi penghukumannya dalam pasal 295 RKUHP merumuskan
bahwa perbuatan santet yang dapat dihukum ialah yang dapat menimbulkan
penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang. Sedangkan
menurut mayoritas jumhur ulama mengatakan, tidaklah di berikan hukuman
apabila dalam sihirnya tidak membunuh atau melukai seseorang, jadi tukang
sihir yang membunuh atau melukai dengan sihirnya sajalah yang dapat
dihukum. Dengana kata lain baik dalam RKUHP maupun hukum pidana
Islam dapat di tafsirkan bahwa hanya pelaku santet yang memiliki I’tikad
jahat atau tidak baik sajalah yang dapat dikenakan sanksi hukuman.
2. Perbedaan.
Ditinjau dari Rumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) dan hukum pidana Islam. Bahwa dari segi hukumnya terhadap pelaku
santet memiliki beberapa perbedaan yaitu:
a) Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal 295
ayat 1 bahwasannya “setiap orang yang menyatakan dirinya memiliki
kekuatan gaib,memberitahukan harapan,menawarkan, atau memberikan
bantuan jasa kepada orang lain dapat di pidana penjara. Sedangkan dalam
hukum pidana Islam menyatakan dengan tegas bahwasannya apapun bentuk
dan jenis sihirnya, apabila telah terbukti melakukan sihir dan sihirnya dapat
46
melukai seseorang maka pelaku tersebut dapat dihukum. Dari pemaparan
tersbeut dapat di ketahui bahwa dalam RKUHP melakukan santet atau sihir
tanpa mengemukakannya didepan umum dan tanpa menawarkan jasa apapun
yang mana ini semua didasarkan atas nama pribadi, maka perbuatan tersebut
tidak dapat dikenakan hukuman. Sedangkan dalam hukum pidana Islam tetap
harus ada hukumannya.
b) Ditinjau dari segi penghukumannya dalam RKUHP pasal 295 ayat 1, pelaku
santet dapat di hukum pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV apabila terbukti perbuatannya telah memenuhi
unsur-unsur dalam pasal tersebut. Sedang kan dalam hukum pidana Islam
tidak memiliki kepastian bentuk hukumannya. Karna penghukuman terhadap
pelaku santet tidak secara spesifik dijelaskan dalam nash. Sehingga untuk segi
penghukumannya digolongkan ke dalam kategori jarimah ta’zir, yakni
hukuman yang menjadi kompetensi penguasa setempat. Adapun dalam
penghukumannya jumhur ulama sepakat bahwasannya terhadap pelaku sihir
hukumannya adalah dibunuh. Tetap berbeda dengan Rasulullah SAW, beliau
tidak menghukum Labid bin Al A’sham dikarenakan demi kemaslahatan
umat.
B. Kekurangan dan Kelebihan Hukuman pelaku Santet Dalam RKUHP dan
Hukum Pidana Islam.
Santet atau sihir merupakan suatu perbuatan jahat yang dilakukan seseorang
terhadap orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal 295 terdapat beberapa kekurangan
yaitu:
1) santet merupakan bagian dari hal gaib, yakni perbuatan yang tidak dapat
di telaah oleh logika manusia atau dengan kata lain merupakan suatu
perbuatan yang irasional. Maka dari itu penghukumannya memiliki
kendala dalam hal pembuktian.
47
2) RKUHP pasal 295 masih belum bisa sepenuhnya memberikan efek
pencegahan terhadap pelaku santet. Karna pasal tersebut bukan merupakan
pasal yang secara spesifik membahas mengenai santet.
3) Pasal 295 RKUHP di khawatirkan dapat memicu konflik atau
menimbulkan permasalahan baru dikarenakan pasal tersebut tidak bisa
menaungi dari teori tujuan pemidanaan yakni retributif-teleologis.
Ditinjau dalam hukum pidana Islam, penghukuman terhadap pelaku sihir atau
santet memiliki kekurang dari segi pembuktian. Karna santet merupakan hal yang
irasional maka dalam hukum pidana Islam santet pembuktiannya hanya bisa
dilakukan dengan ikrar (sumpah) karna menurut mazhab syafi’i sebab tujuan pelaku
dan pengaruhnya dari santet adalah sesuatu yang tak dapat dilihat secara langsung. Di
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) khususnya pasal
295 terdapat beberapa kelebihan yaitu :
1) Walaupun bukan merupakan pasal santet, pelaku santet dapat dihukum
apabila terpenuhinya unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 295
RKUHP.
2) Karna pelaku santet merupakan hal yang irasional dan sulit
pembuktiannya, maka dari itu pasal 295 RKUHP di masukan ke dalam
bab V mengenai pelanggaran terhadap ketertiban umum, delik yang
terkandung ialah delik formil sehinggan akan sangan mudah perihal
pembuktiannya.
Dalam Hukum pidana Islam terhadap pelaku sihir atau santet sangat tegas
bahwasannya sihir adalah kafir dan seseorang yang kafir harus mendapat hukuman,
walaupun penghukumannya berbeda-beda tetapi memiliki kepastian hukum. Dalam
hukum pidana Islam Penghukuman terhadap pelaku santet memiliki tujuan yang
sangat sesuai dengan teori retributif-theologis.
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis paparkan tentang hukuman pelaku santet yang
ditinjau dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan
hukum pidana Islam, maka banyak hal yang sebenarnya bisa ditarik kesimpulan.
Namun setidaknya penulis mencatat beberapa point penting yang menjadi inti dari
bahasan skripsi penulis.
49
1. Hukum pada daasarnya tumbuh dan berkembang didalam masyarakat,
oleh karnanya hukum perlu dikaji dan ditelaah lebih mendalam untuk
menjawab berbagai permasalahan-permasalahan yang sedang marak.
2. Santet adalah salah satu praktik sihir yang dilakukan seseorang terhadap
orang lain guna menimbulkan penyakit, kematian, dan penderitaan
mental atau fisik seseorang dengan maksud dan tujuan tertentu.
3. Sebenarnya santet atau sihir ini sudah ada sejak jaman Rasulullah, beliau
pernah di sihir oleh Labid bin Al a’sham sehingga dari peristiwa tersebut
turunlah surat Al-Alaq dan An-Nash. Santet dan sihir inipun terus
berkembang hingga jaman modern pada saat ini khususnya di Indonesia.
Banyak masyarakat baik di kota maupun di pedesaan yang masih
percaya dan masih mempraktikkan hal gaib tersebut baik itu para artis
ataupun pejabat. Bahkan saat ini banyak dukun atau paranormal yang
secara terang-terangan mengiklankan diri melalui media cetak dan
elektronik. Dari praktik gaib tersebut tak jarang berujung dengan konflik
atau kerusuhan masal dan penghakiman secara sepihak. Oleh karnanya
pemerintah melalui DPR-RI sedang merumuskan RKUHP mengenai
permasalahan hal gaib tersebut.
4. Hukuman terhadap pelaku santet yang masuk dalam kategori ilmu gaib
terkandung dalam pasal 295 RKUHP yaitu:
1) Setiap orang yang menyatkan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan
jasa kepada orang lain bahwa karna perbuatannya dapat
menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
50
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya
dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
5. Dalam hukum Islam santet atau sihir sangat jelas dikatakan dalam surat
Al-Baqarah ayat 102 , tegas menyebutkan bahwasannya hukum
melakukan sihir adalah kafir. Karna dalam nash tidak ditemukan bentuk
hukuman dari perbuatan sihir maka perbuatan sihir tersebut digolongkan
kedalam jarimah tak’zir, yaitu penyerahan hukumannya terhadap
penguasa setempat. Dalam segi penghukumannya jumhur ulama sepakat
bahwasannya hukuman terhadap pelaku sihir adalah dibunuh. Tetap
berbeda dengan Rasulullah, ketika Rasul di sihir oleh Labid bin a’Sham
beliau tidak menghukumnya dikarenakan untuk kemaslahatan umat pada
waktu itu.
6. Karena praktik sihir atau santet merupakan hal yang irasional sehingga
cukup sulit dalam pembuktiannya. Maka dari itu dalam RKUHP praktik
sihir atau santet ini dimasukkan kedalam bab V mengenai ketertiban
umum sehinga deliknya pun masuk kedalam delik formil sehingga
cukup mudah dalam segi pembuktiannya. Sedangkan dalam hukum
pidana Islam praktik sihir atau santet ini dibuktikan cukup dengan
pengakuan saja, karna menurut mazhab Syafi’i pembuktian hanya bisa
dilakukan dengan cara pengakuan (iqrar), sebab tujuan pelaku dan
pengaruh dari sihir adalah sesuatu yang tak dapat dilihat secara
langsung.
7. Dalam RKUHP dan hukum pidana Islam memiliki beberapa persamaan
dan perbedaan yaitu:
a) Persamaan :
Menganggap bahwasannya pelaku santet atau sihir merupakan
salah satu tindak kejahatan dan harus ada hukuman yang dapat
diberikan kepada sipelaku.
51
Pelaku santet atau sihir yang memiliki i’tikad jahat atau tidak
baik sajalah yang dapat dikenakan sanksi hukuman
b) Perbedaan
Dalam RKUHP hukuman pelaku santet maksimal hanya 5 tahun
atau pidana denda kategori IV. Sedangkan dalam hukum pidana
Islam hukuman pelaku santet dimasukkan kedalam jarimah
tak’zir yaitu penghukumannya diserahkan terhadap penguasa
setempat, bahkan hukuman matipun dapat dijatuhkan atas dasar-
dasar tertentu.
Dalam RKUHP melakukan sihir atau santet tanpa
mengemukakan didepan umum dan tanpa menawarkan jasa
apapun yang mana ini didasari atas kehendak pribadi, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dihukum. Berbeda dengan hukum
pidana Islam, sangat tegas bahwasannya hukum melakukan sihir
ialah kafir. Dan seseorang yang kafir harus mendapatkan
hukuman terlepas dari apapun bentuk dan tujuan sipelaku.
8. Kekurangan dalam penghukuman terhadap pelaku sihir atau santet ini
ialah dalam hal pembuktian. Dikarenakan santet atau sihir ini
merupakan sesuatu yang irasional. Sedangkan kelebihan yang terdapat
dalam RKUHP yaitu pelaku santet masih bisa dihukum karenakan
dimasukkan ke dalam delik formil. Dalam hukum pidana Islam karna
tegasnya hukuman sehingga bisa menyesuaikan terhadap teori tujuan
pemidanaan itu sendiri, yakni teori retributif-teleologis.
B. Saran.
Setelah penulis menarik kesimpulan dari uraian skripsi ini, penulis
memberikan saran sebagai berikut.
52
1. Mengingat pasal 295 RKUHP bukanlah pasal santet melainkan tentang
ketertiban umum, maka para legislator dan para penegakhukun harus
melakukan sosialisai mengenai pasal tersebut yang sifatnya kontinuitas
agar tidak ada salah faham di masyarakat.
2. Bilamana perlu memasukan konsep hukum pidana Islam dalam RKUHP
agar menimbulkan efek jera bagi para pelaku, maka para hakim dan jaksa
harus adil dan tidak pandang bulu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdus Salam Bali, Syaikh Wahid. Sihir Dan Cara Pengobatannya Dalam Islam.
Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh, cet III. (Jakarta: Robbani Press, 1995).
Abidin, Zainal. Pemidanaan,Pidana dan tindakan dalam Rancangan KUHP, cet I
(Jakarta: Elsam, 2005).
Ali, Zainudin. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006).
53
Al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Mufaqat, (Darul Ma’rifah, Bairut, 1997, jilid 1-2).
Abdul Mujieb, Muhammad. dkk. Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1994).
Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian cet I,(Jakarta:Gramata Publishing, 2012).
Cansil, Cristine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2007).
Daud Ali, Mohammad. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2007). Abduh Malik, Muhamad. Perilaku Zina
Pandangan Hukum Islam dan KUHP, cet I (Jakarta: Satelit Buana, 2003).
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005).
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, cet I (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Irfan, Nurul.Gratifikasi Dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,
(Jakarta : Amzah, 2014).
Irfan, Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2012).
Irfan, Nurul. Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , (Jakarta : Hamzah, 2013).
Isa Daud, Muhammad. Dialog Dengan Jin Muslim. Penerjemah Afif Muhammad dan
Abdul Adhiem, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). hlm. 143.
Iqbal. Muhammad. Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam. (Jakarta: Taramedia, 2003).
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa,
t.th).
Lamintang, Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan
Terhadap Hak Milik, (Bandung: Tarsito,1992).
Lamintang, Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika,
2010).
Ahsin Sakho, Muhammad. dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jilid III, (Bogor:
PT. Karisma Ilmu, 2008).
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Cet.VII, (Jakarta : Prenadamedia Grup,
2013).
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008).
54
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT Alumni, 1998).
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ( Yogyakarta : Liberty,
2005).
Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung: Nusa Media, 2010).
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2008).
Qadir Audah, Abdul. At Tasyri’ Al Jinaiy Al Islamiy, (Jil.II, DarAl Kitab Al’Araby,
Beurit, 1992)
Rauf, Ma’mun. Asas-asas Hukum Islam, Cetakan kesepuluh, (Makassar: Universitas
Muslim Indonesia, 1995).
Rosyada, Dede. Hukum Islam Dari Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Studi Islam
dan Kemasyaraakatan, 1992).
Syafi’I Mufid, Ahmad. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat ,cet I (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2006).
Schaffmeister, dkk, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995).
Soerjono Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali
Pers,1990).
Sulistia, Teguh. Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011).
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan,
cet.I (Jakarta: Sinar Grafika, 2002).
Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang
Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pers, 2006).
Warson Munawwir, Ahmad. Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet
XIV,(Surabaya: Pustaka Progresif,1997).
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) .
KEMENKUMHAM, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, buku ke
satu, tahun 2015.
55
http//www.hukumonline.com/2013/11/pembuktian-santet..
http//www.fikihkontemporer.com/2013/11/hukuman-santet-fikih-kontemporer.html
di akses pada kamis 28 oktober 2014. Merujuk pada: Roudhotut tholibin, Juz :
9 Hal : 347 (Madzhab Syafi’i) dan Syarah Az-Zarqoni Ala Muhtashor Kholil,
Juz : 8 Hal : 29 (Madzhab Maliki).
http// Fikihkontemporer.com Hasil Keputusan Bahtsul Masail FMPP ke-26 se-Jawa
Madura, PP. Mamba’ul Ma’arif, Denanyar-Jombang, 01-02 Mei 2013.
Merujuk pada: Al Asybah Wa Al Nadha’ir III hal. 7 3. Hawasyi Syarwani IX
hal.73.
Ronny dalam diskusi 'Pasal Santet Dalam Naskah Revisi UU KUHP' di Gedung DPR
Lantai 17, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, www.detiknews.com, diakses pada,
Selasa (2/4/2013).
Wahidudin Adams dalam Tempo.com, Alasan pemerintah atur santet, diakses pada
selasa 10 Desember 2013.