geokimia batuan gunung api ciremai, jawa barat
TRANSCRIPT
1
GEOKIMIA BATUAN GUNUNG API CIREMAI, JAWA BARAT
Eka Kadarsetia Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Jl. Diponegoro 57 Bandung
Sari
Ciremai merupakan gunungapi Kuarter aktif dan memiliki sejarah letusan yang
tercatat sejak tahun 1698. Secara geografis terletak pada 108º24’ – 6º50’, dan
secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat, mencakup Kabupaten
Cirebon, Kuningan dan Majalengka.
Di bawah mikroskop lava-lava G. Ciremai umumnya memiliki tekstur porfiritik,
innequigranular, kemas tertutup. Menunjukkan struktur aliran, terdapat senolit.
Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan mineral-mineral bijih. Massa dasar
terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-mineral bijih dan
gelas. Lava-lava calc-alkalin G. Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak panjang
dari 50 sampai 58 wt%. Alumina terlihat meningkat dengan turunnya MgO.
Tingginya alumina di dalam lava-lava basalt calc-alkalin Ciremai menepis
perkiraan tingginya tingkat fraksinasi plagioklas di dalam lava-lava tersebut.
Penurunan Fe2O3 yang disertai dengan turunnya kadar MgO menunjukkan
pentingnya magnetit dan klinopiroksen dalam fraksinasi magma. Fraksinasi
klinopiroksen dan plagioklas ditunjukkan oleh penurunan CaO yang dibarengi
dengan penurunan MgO. Meningkatnya K2O pada lava-lava yang lebih terfraksi
menandakan bahwa fase-fase kaya K seperti amfibol, flogopit dan K feldsfar
bukan merupakan fase penting dalam fraksinasi. Tingginya kandungan K2O
sangat dimungkinkan oleh proses kontaminasi krustal terhadap magma.
Kandungan H2O dalam magma juga meningkat pada batuan-batuan yang lebih
asam, peningkatan ini sangat berkaitan dengan kenaikan Indek Eksplosivitas.
2
GEOCHEMISTRY OF THE ROCKS OF CIREMAI VOLCANO, WEST JAVA
Eka Kadarsetia Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation
Jl. Diponegoro 57 Bandung
Abstract
Ciremai is an active Quater volcano with the eruption history was recorded since
1698. Geographically lies at 108º24’ – 6º50’, belong to the West Java Province,
surounded by Cirebon, Kuningan and Majalengka Regencies.
Under the microscope, Ciremai lavas showing porphyritic textures,
innequigranullar with the clossed fabrique. Some times showing flow structures,
contain xenolith. The phenochrysts are plagioclase, phyroxene and ore minerals.
Ground mass contain of plagioclase mycroliths, micro chrystal of phyroxene, ore
minerals and glasses.
Calc-alkaline of Ciremai coontain teh SiO2 range from 50 to 58 wt%. Alumina
increase wtih decreasing of MgO. The high allumina content in basaltic calc-
alkaline lavas reflecting the low grade of plagioclase fractionation. Decreasing of
Fe2O3 parallel with MgO are featuring the importance of magnetite and clyno
pyroxene in the magma fractionation. The fractionation of clyno-pyroxene and
plagioclase are reflected by the increasing of Cao parallel to MgO. Increasing of
K2O in more fractionated lavas indicate that K rich phases such as amphibole,
phologophite and K-feldsfar are not importance minerals in fractionation. The
high K2O contents most possiby caused by crustal contamination to the magmas.
Kandungan H2O dalam magma juga meningkat pada batuan-batuan yang lebih
asam, peningkatan ini sangat berkaitan dengan kenaikan Indek Eksplosivitas.
The of H2O content are increassing in the more acid magmas, which is also
related to the increasing of Explosivity Index.
3
1. Pendahuluan
Ciremai merupakan gunungapi Kuarter aktif dan memiliki sejarah letusan
yang tercatat sejak tahun 1698. Secara geografis terletak pada 108º24’ – 6º50’,
dan secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat, mencakup Kabupaten
Cirebon, Kuningan dan Majalengka (Gambar 1).
18
Gambar 1. Lokasi penelitian.
Erupsi G. Ciremai tercatat terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang
waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga erupsi 1772,
1775 dan 1805 (Junghun, 1845; 1853) terjadi di kawah pusat tetapi tidak
menimbulkan kerusakan yang berarti.
2. Metoda Penelitian
Metoda penelitian yang dilakukan meliputi penelaahan geologi di
lapangan, pengambilan contoh batuan secara variatif, analisa kimia batuan dan
analisa petrografi. Tahapan akhir dilakukan evaluasi dan interpretasi data untuk
penyusunan karya ilmiah.
4
Gambar 2. Lokasi Pengambilan Contoh Batuan.
3. Geologi Gunung Api Ciremai
Pola tektonik Sektor Jawa relatif sederhana, dalam hal ini dasar Samudra
Hindia menunjam ke bawah Jawa dengan kecepatan rata-rata 6 cm/ tahun (Le
Pichon, 1968).
5
Gambar 3. Pola Tektonik Indonesia (Hall, 2002).
Gunung api Ciremai terletak di atas Formasi-formasi Tersier (Djuri, 1995;
Silitonga dkk, 1986). Formasi-formasi Tersier tersebut umumnya tersingkap di
bagian baratlaut dan utaranya, yang terdiri dari Formasi Cinambo (Oligo-
Miosen; serpih pasiran dan breksi), Formasi Halang (Miosen; batu pasir, serpih
pasiran dan breksi), Formasi Kaliwangu (Pliosen ; batulempung), Formasi
Citalang (Pliosen Atas; konglomerat, breksi, batupasir dan batugamping),
Formasi Kalibiuk (Pliosen Atas; batu pasir tufaan, batugamping dan lensa
batugamping), Formasi Ciherang (Oliosen Atas; selang seling antara breksi dan
batupasir) Formasi-formasi Tersier ini ternyata banyak diterobos oleh intrusi-
intrusi kecil yang berkomposisi andesitik. Tak kurang dari sepuluh tubuh intrusi
ditemukan di kawasan barat laut G. Ciremai yang diperkirakan muncul menjelang
kegiatan Ciremai Tua. Beberapa intrusi tersebut antara lain di daerah Maja serta
di utara komplek G. Ciremai, yaitu pada daerah G. Kromong.
Pemetaan geologi yang dilakukan oleh Situmorang dan kawan-kawan
(1984) menunjukkan bahwa G. Ciremai paling tidak mengalami 4 (empat) perioda
kegiatan, yaitu :
1). Erupsi G. Putri
2). Erupsi G. Gegerhalang
3). Erupsi G. Ciremai
4). Erupsi-erupsi celah
6
Pertumbuhan aktivitas vulkanik di sekitar G. Ciremai diawali oleh kegiatan
G. Putri dan disusul oleh kegiatan G. Gegerhalang, kemudian kegiatan G.
Ciremai dan erupsi-erupsi celah (Situmorang dkk, 1984). Erupsi G. Putri adalah
periode kegiatan pertama, yang menghasilkan aliran-aliran lava dan piroklastik
yang bersifat andesitik. Produk erupsi G. Putri ini mendominasi daerah selatan
dan tenggara dari G. Ciremai. G. Gegerhalang dipercaya sebagai kegiatan
vulkanik periode kedua mengawali kegiatan vulkanisma G. Ciremai.
Gegerhalang sekarang hanya dikenal sebagai dua buah pematang besar yang
masing-masing terletak di selatan dan tenggara dari puncak.
Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).
Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).
GEGERHALANG
G. PUCUK
KAWAH WURUNG
G. BUNTUNG
G. PUTRI
G. GEPUK
G. SELA
G. MENYAN
G. ASEUPAN
G. DULANG
3078
G. MANGGAR
Telaga Sangiang
G. BATUKARANG Barujaksi
TALAGA
MAJA
CILIMUS
KUNINGAN
G. PICUNG
Wanahayu
PR. GIBUG
PR. BATANG
7
Gambar 5. Korelasi Satuan Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).
Pertumbuhan aktifitas vilkanik di sekitar G. Ciremai diawali oleh kegiatan G. Putri
dan disusul oleh kegiatan G. Gegerhalang, kemudian kegiatan G. Ciremai dan
erupsi-erupsi celah (Situmorang dkk, 1984). Erupsi G.Putri adalah periode
kegiatan pertama, yang menghasilkan aliran-aliran lava dan piroklastik yang
bersifat andesitik. Produk erupsi G. Putri ini mendominasi daerah selatan dan
tenggara dari G. Ciremai. G. Gegerhalang dipercaya sebagai kegiatan vulkanik
periode kedua mengawali kegiatan vulkanisme G. Ciremai. Gegerhalang
sekarang hanya dikenal sebagain dua buah pematang besar yang masing-
masing terletak di selatan dan tenggara dari puncak Ciremai pada ketinggian
antara 1200 sampai 1900 meter di atas permukaan laut. Melihat periode-periode
pertumbuhan tersebut dapat disimpulkan bahwa gunungapi ini memiliki titik
erupsi yang berpindah-pindah. Pada periode-periode awal nampaknya magma
bersifat basaltis, kemudian terjadi proses diferensiasi yang menghasilkan
magma-magma yang berjenis andesit seprti pada produk-produk G. Putri. Proses
8
diferensiasi ini berlangsung terus hingga menghasilkan magma yang lebih asam
(dasitik) sehingga menghasilkan letusa yang bersifat sangat eksplosif dan terjadi
pembentukan Kaldera Gegerhalang.
Gunung Gegerhalang bila dilakukan rekonstruksi, ternyata kedua pematang
tersebut menunjukkan bentuk sebuah kaldera dengan diameter sekitar 6 km
yang membuka ke arah barat laut dengan sedikit celah terbuka di bagian
tenggaranya yang memisahkan kedua pematang ini. Gunung api Ciremai yang
aktif sekarang menempati bagian utara yang terbuka dari kaldera ini. Diduga
bagian utara/ barat laut dari kaldera telah hancur mengiringi kegiatan kegiatan
vulkanik akhir dari erupsi Gegerhalang dan kini tertimbun oleh hasil-hasil
kegiatan erupsi G. Ciremai. Periode vulkanik Gegerhalang ini tampaknya
diwarnai pula oleh adanya paling sedikit dua erupsi samping, yang sisa-sisanya
masing-masing kini dikenal sebagai Telaga Sangiang dan Dataran Tinggi
Batukarang – Barujaksi. Kedua pusat erupsi samping tua ini terletak lebih kurang
6 km di barat daya dari pematang barat Kaldera Gegerhalang. Telaga Sangiang
ini kini sebagai danau berdiameter sekitar 800 meter pada ketinggian sekitar 900
meter di atas muka laut, sedangkan Dataran Tinggi Batukarang – Barujaksi
dengan diameter terpanjangnya yang sekitar 3,5 km dan ditutupi oleh endapan
piroklastik jatuhan berkomposisi basaltik menjadi lahan pertanian yang cukup
subur. Situmorang dkk (1984) dalam peta geologinya menggambarkan bahwa
dataran tinggi ini ditutupi oleh produk muda G. Pucuk, salah satu titik erupsi dari
Vulkanik Gegerhalang. Hasil erupsi Gegerhalang yang dominan adalah aliran
piroklastik yang bersifat asam serta lava-lava andesttik. Aliran piroklastika ini
penyebarannya terutama di kawasan baratdaya, selatan dan tenggara dari
Gegerhalang itu sendiri, yang terdiri dari Aliran Piroklastik Pasirbatang,
Pasirgibug, Wanahayu dan Puncak. Lava-lavanya terdiri dari Lava Picung,
Gegerhalang Barat, Putri dan Pucuk. Endapan Lahar Gegerhalang banyak
ditemukan di Kuningan dan Cilimus .
Gunung Api Ciremai yang saat ini menempati bagian utara dari tepi Kaldera
Gegerhalang, menghasilkan lava-lava yang lebih variatif, yaitu basalt, basaltik
andesit dan dominan andesit. Selain itu menghasilkan juga aliran
piroklastik,jatuhan piroklastik serta lahar. Erupsi celah yang diperkirakan terjadi di
masa erupsi Ciremai lebih banyak menghasilkan lava yang bersifat basaltik,
9
seperti erupsi celah Sukageri di selatan dan Dulang di utara. Melihat titik-titik
erupsi dari ketiga periode kegiatan Ciremai, periode pertama, kedua dan ke tiga
bisa dikatakan bahwa perkembangannya bergerak dari tenggara ke barat laut.
Pada kegiatan G. Putri menghasilkan aliran lava porfiritik, sedangkan
kegiatan vulkanik G. Gegerhalang menghasilkan aliran lava dan awan panas
serta jatuhan piroklastik. Setelah kegiatan vulkanik Gegerhalang disusul oleh
kegiatan G. Ciremai yang menghasilkan beberapa aliran lava serta endapan
awan panas, dan jatuhan piroklastika. Selain itu juga menghasilkan endapan
sekunder berupa endapan lahar yang menyebar di kaki sebelah timur G. Ciremai.
Disamping itu dijumpai juga beberapa erupsi samping yang menghasilkan aliran
lava berkomposisi andesit diantaranya erupsi Sukageri, erupsi Buntung, erupsi
Pucuk dan erupsi Dulang.
4. Petrografi
Karakteristik batuan G. Ciremai yang terutama didasarkan pada kriteria
mineralogi yang telah teramati akan diringkaskan di bawah ini. Yang terpenting
diantaranya adalah fase-fase fenokris, apa serta bagaimana hubungannya
dengan jenis fenokris lainnya dan massa dasarnya. Secara umum di bawah
mikroskop batuan G. Ciremai menunjukkan tekstur porfiritik yang kuat, dengan
fenokris plagioklas yang mendominasi, serta klinopiroksen yang kaya Ca,
ortopiroksen, olivin, titanomagnetit dan hornblenda (Ca-amfibol) (Gambar 9).
Fase-fase fenokris ini tertanam dalam massadasar yang halus yang
didominasi oleh mikrolit plagioklas, piroksen granular dan oksida-oksida Fe-Ti.
Massadasar ini sering mengandung gelas yang biasanya masif, kelurusan-
kelurusan fase fenokris dan massadasar mikrolit kadang-kadang memperlihatkan
tekstur aliran. Sering pula dijumpai adanya senolit sedimen Tersier dan
mikrogabbro. Terdapatnya senolit ini mengindikasikan bahwa magma G. Ciremai
dalam perjalanannya ke permukaan telah mengalami kontaminasi (Purbawinata
dkk, 1991).
Sementara itu pada deskripsi yang penulis lakukan secara umum
didapatkan, tekstur porfiritik, innequigranular, kemas setengah terbuka,
menunjukkan struktur aliran. Fenokris : massa dasar dari 35 : 65 sampai 65 : 35.
Terdapat senolit dan senokrist. Kadang menunjukkan struktur sub-ofitik.Fenokris
terdiri dari plagioklas, piroksen, olivin hornblenda dan mineral-mineral bijih.
10
Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikrokristal piroksen, mineral bijih
dan gelas.
Plagioklas
Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral, dominan
yang berbentuk subhedral. Ukuran dari kecil hingga besar, dominan yang
berukuran besar dan sedang. Kembar berupa albit-karlsbad dan albit, kadang
menunjukkan struktur zonning sedang, terubah menjadi serisit mengikuti bidang
zonning, umumnya terdapat inklusi mineral-mineral bijih. Volume 20 – 50%
Piroksen
Berwarna hijau sampai kecoklatan, bentuk anhedral sampai subhedral, dominan
yang berbentuk anhedral. Belahan umumnya satu arah, umumnya berupa
piroksen ortho, kadang menunjukkan kembar sederhana, kadang menumpang
diatas plagioklas. Terubah menjadi mineral bijih dan sedikit hornblenda. Volume
4 – 7%
Hornblenda
Berwarna coklat, menunjukkan struktur mata burung, merupakan ubahan dari
piroksen, bentuk subhedral sampai berupa agregat, terkadang dikelilingi oleh
mineral bijih. 1%
Olivin
Berwarna hijau, bentuk anhedral, kadang berbentuka agregat, retak-retak,
mengandung inklusi mineral bijih. 1%>.
Mineral Bijih
Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil
(fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan
yang sangat kecil (massa dasar) berbentuk bulat dan sebagai mineral bijih
primer serta sebagian berupa inklusi. Volume 2 - 3%.
11
Lava G.Putri
Bertekstur porfiritik, inequigranular, kemas setengah terbuka. Rasio antara
fenokris dengan massa dasar = 40 : 60. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen,
olivin dan mineral-mineral bijih. Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro
kristal piroksen, mineral-mineral bijih dan gelas. Menunjukkan struktur aliran dari
mikrolit plagioklas, terdapat senolit batuan beku (Gambar 6).
Plagioklas
Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral dan
dominan yang subhedral. Berukuran kecil sampai besar, dominan yang
berukuran sedang. Kembar albit, albit-karlsbad dan kadang karlsbad. Terdapat
inklusi mineral bijih dan olivin/piroksen. Kadang menunjukkan struktur zonning
sedang, kadang terubah menjadi serisit mengikuti bidang zonning. Volume
sekitar 33%.
Gambar 6. Lava G. Putri di bawah mikroskop.
Piroksen
Berwarna hijau sampai hijau kecoklatan, umumnya berupa piroksen ortho,
umumnya berbentuk prismatik panjang, subhedral sampai anhedral. Ukuran kecil
sampai besar, kadang saling menindih dengan piroksen lain. Belahan umumnya
satu arah, kadang kembar sederhana. Sebagian retak-retak dan retakannya diisi
oleh silika. Terdapat inklusi mineral bijih primer. Sebagian terubah menjadi
mineral bijih. Kadang diselimuti oleh plagioklas. Volume sekitar 5%.
Olivin
12
Berwarna hijau terang, berbentuk hampir bulat, terdapat didalam senolit. Volume
1%>.
Mineral Bijih
Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil
(fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan
yang sangat kecil (massa dasar), sebagian berupa inklusi, berbentuk bulat,
berukuran sangat kecil, sebagai mineral bijih primer. Volume sekitar 2%.
Lava Barujaksi
Tekstur porfiritik, innequigranular, kemas tertutup. Menunjukkan struktur aliran,
terdapat senolit. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan mineral-mineral
bijih. Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-
mineral bijih dan gelas (Gambar 7).
Gambar 7. Lava Barujaksi di bawah mikroskop.
Plagioklas
Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral, ukuran
besar dan sedang, dominan yang berukuran besar. Kembar albit dan albit-
karlsbad, dominan albit-karlsbad. Kadang menunjukkan struktur zonning sedang
dan pemadaman bergelombang. Terubah menjadi serissit mengikuti bidang
zonning. Terdapat inklusi mineral-mineral bijih dan olivin/piroksen. Volume sekitar
50%.
Piroksen
Berwarna hijau, bentuk anhedral sampai subhedral, kadang hadir dalam bentuk
pecahan. Belahan umumnya satu arah, umumnya berbentuk prismatik panjang,
kadang menunjukkan kembar sederhana, umumnya berupa piroksen ortho.
13
Kadang terubah menjadi hornblenda pada bagian tepi dan retakannya. Volume
sekitar 6%.
Mineral Bijih
Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil
(fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan
yang sangat kecil (massa dasar), sebagian berupa inklusi, berbentuk bulat,
berukuran sangat kecil, sebagai mineral bijih primer. Volume sekitar 2%.
Lava G.Sela
Tektur porfiritik, innequigranular, kemas tertutup denga perbandingan antara
fenokris dengan massa dasar = 65 : 35. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen
dan mineral-mineral bijih. Massa dasar terdiri dari plagioklas, piroksen, mineral-
mineral bijih dan gelas (Gambar 8).
Gambar 8. Lava G. Sela di bawah mikroskop.
Plagioklas
Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral. Kembar
albit, albit-karlsbad dan karlsbad, dominan albit-karlsbad. Kadang menunjukkan
struktur zonning lemah dan pemadaman bergelombang. Retak-retak, terubah
menjadi serisit mengikuti bidang zonning. Terdapat inklusi mineral-mineral
olivin/piroksen dan bijih. Volume sekitar 55%.
Piroksen
14
Berwarna hijau sampai agak kecoklatan, belahan umumnya satu arah, retak-
retak, bentuk anhedral sampai subhedral, umumnya anhedral. Kadang
menunjukkan kembar sederhana, ukuran kecil sampai sedang, dominan yang
berukuran kecil. Sebagian terubah menjadi mineral bijih. Volume sekitar 7%.
Mineral Bijih
Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil
(fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan
yang sangat kecil (massa dasar), sebagian berupa inklusi, berbentuk bulat,
berukuran sangat kecil, sebagai mineral bijih primer. Volume sekitar 3%.
Gambar 9. Komposisi mineralogi batuan toleiitik (kiri) dan calc-alkalin
(kanan). Tanda x menunjukkan komposisi mineralogi batuan G. Ciremai (Sumber ; Wilson, 1989; Edwards, 1990; Purbawinata dkk, 1991)).
Perhitungan komposisi mineralogi (CIPW) dengan menggunakan metoda
Hollocher dapat dilihat dalam Tabel 1.
15
Tabel 1. Mineralogi Batuan (CIPW) G. Ciremai dengan menggunakan metoda Hollocher.
_________________________________________________________________________
Sampel (G.Tengah) (G.Apuy) (G.Sela) (G.Wangi) (G.Rohang) (G.Sada) (Cikakalang) (G.Raga (Sangkan saksi) herang)
SiO2 (wt%) (50,81) (53,75) (58,30) (56,97) (58,26) (56,29) (54,78) (54,93) (54,58)
_________________________________________________________________________
Kuarsa 0,70 7,47 5,87 8,81 7,11 0,34 3,96 2,68
Plagioklas 62,48 66,99 62,39 64,16 63,13 61,51 60,81 63,72 61,04
Ortoklas 7,62 9,77 11,44 12,47 11,03 10,07 7,78 9,04 9,92
Diopsid 13,4 7 4,4 3,41 5,39 2,24 4,23 4,77 6,55 9,25
Hipersten 5,91 16,08 3,66 10,59 13,18 15,57 22,66 14,95 15,38
Ilmenit 1,30 1,05 0,82 0,72 0,79 0,94 0,90 0,99 0,98
Magnetit 0,40 0,40 0,28 0,31 0,35 0,34 0,35 0,33 0,35
Apatit 0,43 0,61 0,49 0,51 0,51 0,54 0,39 0,46 0,40
Anortit 52,5 49,7 44,1 40,3 48,9 51,9 55,6 51,7 50,5
__________________________________________________________________________
5. Variasi Geokimia Unsur-unsur Utama Batuan G. Ciremai
Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa mayoritas batuan
Gunungapi Ciremai berkomposisi calc-alkalin. Lava-lava calc-alkalin G. Ciremai
memiliki kisaran SiO2 yang agak panjang dari 50 sampai 58 wt% (Gambar 10).
Sementara itu andesit basaltik kaya silika (SiO2 + 54 wt%) mempunyai
kandungan MgO cukup tinggi (7,0 wt %), mirip dengan basalt berkisar antara
0,57 – 0,62. Alumina terlihat meningkat dengan turunnya MgO. Tingginya
alumina di dalam lava-lava basalt calc-alkalin Ciremai menepis perkiraan
tingginya tingkat fraksinasi plagioklas di dalam lava-lava tersebut. Dibandingkan
dengan beberapa gunung api lain di Jawa Barat, batuan-batuan G. Ciremai
memiliki kandungan K2O yang relatif tinggi, hal ini kemungkinan besar
diakibatkan oleh kontaminasi krustal, yang dibuktikan dengan banyaknya senolit-
senolit batuan sedimen (Whitford, 1975).
17
Tabel 1. (Lanjutan) Komposisi Kimia Batuan G. Ciremai
Purbawinata dkk (1991) telah pula melakukan penelitian petrokimia Gunung
Api Ciremai. Lava-lava calc-alkalin Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak
panjang (50 – 60 wt%). Beberapa lava basaltik andesit kaya silika mempunyai
18
kandungan MgO yang cukup tinggi (7 wt%) sama dengan basalt, dan Mg #
berkisar dari 0,57 – 0,62. Lava-lava Ciremai juga mempunyai afinitas high-K calc-
alkalin. Model kristalisasi fraksional memberikan gambaran bahwa lava calc-
alkalin Ciremai bukan merupakan hasil kristalisasi fraksional dari magma induk
yang sama seperti pada toleiitik, walaupun magma induk untuk lava calc-alkalin
bisa jadi toleiitik olivin. Plagioklas bukan merupakan fase fraksional yang penting
di dalam lava-lava calc-alkalin Ciremai.
6. Variasi Komposisi Unsur-unsur Jejak Batuan G. Ciremai
Basalt dan basaltik andesit calc-alkalin Ciremai mempunyai kadar Ni dan Cr
dari 115 sampai 532 ppm. Tingginya Ni dan Cr serta Mg# pada lava-lava basa di
Ciremai menandakan sifatnya yang cukup primitif atau bahwa basalt calc alkalin
Ciremai dihasilkan oleh proses fraksinasi yang tidak begitu lanjut/ kuat.
Vanadium dan Sc menunjukkan kecenderungan kompatibel ke arah lava-lava
yang lebih terfraksinasi. Kecenderungan ini diakibatkan oleh fraksinasi fase-fase
klinopiroksen dan magnetit.
Large Ion Lithophile Element (LILE), yaitu Rb, Ba, K, Sr dan Pb
memperlihatkan pola yang beragam. Rb, Ba dan K umumnya inkompatibel yang
menandakan bahwa fase-fase mika, K-feldsfar dan amfibol bukanlah fase
penting dalam fraksinasi. Sr nampak kompatibel dan ini mencerminkan fraksinasi
plagioklas.
High Field Strength Element (HFSE) , yaitu Zr, Ti, Nb, Ta, Hf, Th, P dan Y,
kecuali Ti dan P adalah unsur-unsur yang inkompatibel di dalam lava-lava calc-
alkalin. Rare Earth Elament (REE), yaitu Ce, Nb, Bm dan Yb juga adalah unsur-
unsur yang inkompatibel. harga-harga trace elemen terpilih yang
dinormalisasikan terhadap harga rata-rata chondrite normal dari Sun (1980)
(Gambar 12). Lava-lava calc-alkalin memiliki trend trace elemen yang khas
busur kepulauan dengan pengayaan LILE (Rb, Ba, Sr) dan LREE (Ce, Sn) relatif
terhadap HFSE (Nb, P, Ti) dan HREE (Y, Yb). Nb secara jelas memiliki anomali
negatif, demikian juga Ba relatif terhadap Rb dan Th menunjukkan anomali
negatif, dimana hal ini tidak terlihat pada lava-lava busur vulkanik lainnya
(Wilson, 1989). Anomali negatif Sr menunjukkan cukup intensnya fraksinasi
plagioklas dalam magma.
19
Pada gambar spidergram untuk lava-lava calc alkalin G. Ciremai dan
toleiitik G. Guntur dapat dilihat adanya perbedaan bentuk atau pola. Pearce
(1983) menunjukkan bahwa variasi dalam derajat kristalisasi fraksional dan
pelelehan parsial dari mantel akan merubah level pola geokimia spidergram
tanpa mempengaruhi bentuknya secara nyata. Bentuk-bentuk spidergram
dimungkinkan bisa berubah melalui kondisi-kondisi sebagai berikut :
- proses pengayaan yang mempengaruhi daerah sumbernya
- kontaminasi ketika magma naik melalui kerak
- derajat pelelehan parsial yang sangat rendah
- dinamika pelelehan yang selektif
- derajat kristalisasi yang tidak bias
7. Model Petrogenesis Batuan G. Ciremai
Penurunan Fe2O3 yang disertai dengan turunnya kadar MgO
menunjukkan pentingnya magnetit dan klinopiroksen dalam fraksinasi magma.
Fraksinasi klinopiroksen dan plagioklas ditunjukkan oleh penurunan CaO yang
dibarengi dengan penurunan MgO (Gambar 13, 14, 15 dan 16).
Meningkatnya K2O pada lava-lava yang lebih terfraksi menandakan
bahwa fase-fase kaya K seperti amfibol, flogopit dan K feldsfar bukan merupakan
fase penting dalam fraksinasi. Tingginya kandungan K2O sangat dimungkinkan
oleh proses kontaminasi krustal terhadap magma (Gambar 11 dan 12).
Nampaknya lava-lava Ciremai merupakan afinitas high K cac-alkalin, bukan
hasil dari fraksionasi fraksionasi kristalisasi. Menurunnya TiO2 seiring dengan
penurunan MgO menunjukkan adanya indikasi fraksinasi magnetit dan
klinopiroksen. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa variasi elemen-elemen
utama pada lava-lava G. Ciremai dihasilkan oleh fraksinasi klinopiroksen dan
magnetit. Sebagai bahan perbandingan ditampilkan pula variasi komposisi major
elements G. Galunggung (Bronto, 1090), terlihat bahwa sebagian besar Lava
Ciremai lebih matang dibandingkan dengan Lava Galunggung (Gambar 20 dan
22), namun sebagian kecil malah lebih primitif. Ploting antara K2O terhadap SiO2
(Wilson, 1989) menunjukkan bahwa lava-lava Ciremai berada pada batas antara
alkali dan sub-alkali, dimana batuan-batuan tersebut dapat dihasilkan oleh variasi
20
proses fraksinasi kristalisasi, kontaminasi dari kerak, penurunan prosentase
partial melting dan pengayaan dari sumber magma. Gunung Gegerhalang
merupakan sebuah kaldera, yang biasanya dihasilkan oleh magma yang bersifat
asam (dasitik) sebagai hasil dari proses-proses diferensiasi dan asimilasi
magma, dan batuan-batuan yang dihasilkan akan memiliki kandungan SiO2 dan
K2O yang relatif tinggi, yang secara mineralogi akan terbentuk mineral-mineral
alkali feldsfar. Resume perjalanan magma dari zona subduksi hingga ke
permukaan dapat dilihat pada Gambar 13.
Berdasarkan perhitungan dari Hollocher juga didapatkan harga-harga :
Indek diferensiasi, temperatur magma (°C), kandungan H2O dalam magma
(wt%), , viskositas, densitas cairan (g/cc). Kandungan H2O dalam magma juga
meningkat pada batuan-batuan yang lebih asam, peningkatan ini sangat
berkaitan dengan kenaikan Indek Eksplosivitas.
Gambar 10. Variasi komposisi kimia batuan G. Ciremai dan G. Guntur (Purbawinata dkk, 1991;
Data kimia dari: Edwards, 1990).
-- 1%
-- 2%
wt %
K2O
21
Gambar 11. Proses petrogenesis berdasarkan kandungan SiO2dan K2O dalam batuan beku.
(Wilson, 1989). X = Batuan Ciremai.
Gambar 12. Prosen berat Na2O + K2O terhadap SiO2 untuk basal-basat alkali dan toleiitik dari Kepulauan Hawaii. Garis pemisah antara alkali dan toleiitik dari Macdonald & Katsura, 1964; Wilson, 1989). Tanda kali berwarna merak adalah untuk batuan-batuan Ciremai.
x x
x
22
Gambar 13. Mekanisme perjalanan magma dari zona
Penunjaman ke permukaan (Wilson,1989).
Gambar 14. Ploting SiO2 terhadap anortit dalam Lava Ciremai.
23
Gambar 15. Ploting SiO2 terhadap diopsid dalam Lava Ciremai.
Gambar 16. Ploting SiO2 terhadap hipersten dalam Lava Ciremai.
Gambar 17. Ploting SiO2 terhadap total piroksen dalam Lava Ciremai.
24
Gambar 18. Ploting SiO2 terhadap Indek Diferensiasi dalam magma G. Ciremai.
Gambar 19. Ploting SiO2 terhadap temperatur magma G. Ciremai.
Gambar 20. Ploting SiO2 terhadap H2O dalam magma G. Ciremai.
25
G. Galunggung :
Gambar 21 . Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai
dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).
Gambar 22. Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).
G. Galunggung
26
Gambar 23. Posisi tektoni G. Ciremai (tanda merah) berdasarkan ploting Th/Yb terhadap Ta/Yb.(Grafik dari Pearce, 1983; Wilson, 1989).
8. Kesimpulan
Di bawah mikroskop lava-lava G. Ciremai umumnya memiliki tekstur
porfiritik, innequigranular, kemas tertutup. Menunjukkan struktur aliran, terdapat
senolit. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan mineral-mineral bijih. Massa
dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-mineral bijih
dan gelas.
Lava-lava calc-alkalin G. Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak
panjang dari 50 sampai 58 wt%. Alumina terlihat meningkat dengan turunnya
MgO. Tingginya alumina di dalam lava-lava basalt calc-alkalin Ciremai menepis
perkiraan tingginya tingkat fraksinasi plagioklas di dalam lava-lava tersebut.
Penurunan Fe2O3 yang disertai dengan turunnya kadar MgO menunjukkan
pentingnya magnetit dan klinopiroksen dalam fraksinasi magma. Fraksinasi
X
27
klinopiroksen dan plagioklas ditunjukkan oleh penurunan CaO yang dibarengi
dengan penurunan MgO.
Meningkatnya K2O pada lava-lava yang lebih terfraksi menandakan
bahwa fase-fase kaya K seperti amfibol, flogopit dan K feldsfar bukan merupakan
fase penting dalam fraksinasi. Tingginya kandungan K2O sangat dimungkinkan
oleh proses kontaminasi krustal terhadap magma.
Kandungan H2O dalam magma juga meningkat pada batuan-batuan yang
lebih asam, peningkatan ini sangat berkaitan dengan kenaikan Indek
Eksplosivitas.
Variasi major dan trace elemen mengindikasikan bahwa magma G.
Ciremai telah terkontaminasi oleh batuan sedimen. Cairan (melt) dari sedimen
yang tersubduksi berpengaruh pada sifat alamiah sumber-sumber toleiitik, dan
lava-lava calc alkalin. Indikasi adanya pengaruh dari cairan-cairan ini antara lain
tingginya rasio Th/Ta dan Rb/Ba namun rendah dalam rasio-rasio Ce/Pb dan
Sr/Nd.
Plotting antara Th/Yb terhadap Ta/Yb mengindikasikan bahwa G. Ciremai
berada pada active continental margin.
DAFTAR PUSTAKA
Bronto, S., 1989. Volcanic Geology of Galunggung, West Java, Indonesia. Ph.D Thesis University of Canterbury, New Zealand. (unpublish).
Djuri, 1995. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa. Pusat Penelitian dan
Pegembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energy. Dupre, B. and Allegre, C.J., 1983. Nd and Sr Isotope Variation in Indian Ocean
Basalts and Mixing Phenomena. Nature 303, 142-146. Edwards, C.M.H., 1990. Petrogenesis of tholeiitic, calc-alkaline volcanic rocks,
Sunda arc, Indonesia. Ph.D thesis (unpubl), Royal Holloway and Bodford New College, University of London.
Green, T.H., 1980. Island arc and continental building magmatism, a review of
petrogenetic models on experimental petrology and geochemistry. Tectonophysics. 63, 367-385.
Green, T.H., 1981., Experimental evidence for the role of accesory phases in
magma genesis. J.of volcanol. Geotherm. Res. 10, 405-422.
28
Hall, R., 2002. Cenozoic Geological and Plate Tectonic Evolution of South East Asia and the SW Pacific : Computer Based Reconstruction, Model and Animation. Journal of Asian Earth Science (20) 2002, 353 – 431.
Hutchinson, C.S., 1989. Geological evolution of South East Asia. Oxford
Monographs on Geology and Geophysics no. 13, Oxford science publications, Oxford, Clarendon Press, 368 pp.
Kay, R.W., 1977. Geochemical constraints on the origin of Aleutian magmas. In :
Talwani, N & Pitman, W.C. (red) Island arc, Deep-sea trenches and Back-arc basins. Amer. Geophys. Union, 229-242.
Katili, J.A.,1975. Volcanism and Tectonics in the Indonesian island arcs.
Tectonophysics, 26, p.165-188. Kaya, R.W., 1980. Volcanic arc magmas : implications of a melting-mixing
model for element recycling in the crust-upper mantle system.
Le Pichon, X., 1968. Sea floor spreading and continental drift. J. Geophys. Res. Morris, J.D. & Hart, S.R., 1983. Isotopic and incompatible element constraints on
the genesis of island arc volcanics from Cold Bay and Amak Island, Aleutians, and implication for mantle structure. Geochim. Cosmochom. Acta. 47.
Pearce, J.A., 1983. Role of the sub-continental lithosphere in magma genesis at
active continental margins. In : Hawkesworth, C.J. & Norry, M.J. (red). Continental Basalts and Mantle Xenoliths., Nautwich, Shiva publishing, 230-249.
Purbawinata, M.A., Kadarsetia, E. & Rakimin, 1991. Laporan Penelitian
Petrokimia Gunungapi – Ciremai – Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi (unpubl).
Silitonga, P.H., Masrie, M. Dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar
Cirebon, Jawa. Pusat Penelitian dan Pegembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energy.
Silitonga, P.H., 1973. Geological Maf of The Bandung Quadrangel, Jawa, scale
1 : 100.000. Geological Survey of Indonesia, Ministry of Mines, Indonesia.
Situmorang, T., Hadisantono, R.D. & Asmoro,P,.1984. Peta Geologi Gunungapi
Ciremai, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi. Taylor, S.R. & Mc Lennan, S.M., 1985. The continental crust : Its composition
and evolution. Oxford, Blackwell Scientific.
Whitford, D.J., 1975. Geochemistry and petrology of volcanic rocks of the Sunda arc, Indonesia. PhD thesis (unpubl), Australian National University.
29
Wilson, M., 1989. Igneous Petrogenesis: a global tectonic approach. Unwin Hyman - London.
Wirakusumah, A.D., 1991. Some Studies of Volcanology, Petrology and
Structures of Mt. Kelut, East Java, Indonesia. Research School of Earth Sciences, Victoria University of Wellington, New Zealand. Ph.D Thesis (unpublished).
Wright, T.L. & Doherty, P.C., 1970. A linear programming and least squares
computer method for solving petrological mixing problems. Geol. Soc. Am. Bull. 81, 1996-2008.
30
GEOLOGI DAN GEOKIMIA BATUAN
GUNUNG API CIREMAI,
JAWA BARAT
GEOLOGY AND ROCKS GEOCHEMISTRY OF CIREMAI VOLCANO, WEST
JAVA
Oleh :
Eka Kadarsetia
BIDANG EVALUASI POTENSI BENCANA
PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI
BADAN GEOLOGI
2013
DAFTAR ISI
Hal
BAB I PENDAHULUAN
BAB II GEOLOGI
2.1 Geologi Regional
2.2 Geologi Gunung Api Ciremai
31
BAB III PETROGRAFI
3.1 Basalt
3.2 Andesit basaltik
3.2 Andesit
3.4 Andesit silika tinggi
BAB IV GEOKIMIA UNSUR-UNSUR UTAMA
(MAJOR ELEMENTS)
4.1 Variasi Geokimia Unsur-unsur Utama Batuan G. Ciremai
4.2 Model Petrogenesis Batuan G. Ciremai Berdasarkan Variasi
Unsur- unsur Utamanya
BAB V GEOKIMIA UNSUR-UNSUR JEJAK
(TRACE ELEMENTS)
5.1 Variasi Komposisi Unsur-unsur Jejak Batuan G. Ciremai
5.2 Model Petrogenesis Batuan G. Ciremai
BAB VI GEOKIMIA ISOTOP
3.1 Data Isotop Sr dan Nd
3.2 Data Isotop Pb
3.3 Data Isotop O
3.4 Pengenalan Komponen-komponen Sumber Dari Isotop
3.5 Pengenalan Komponen-komponen Zona Subduksi Dari Isotop dan
Trace Elements Inkompatibel
BAB VII PENGENALAN KOMPONEN-KOMPONEN SUMBER
MAGMA
7.1 Pengenalan Komponen-komponen Sumber Dari Isotop
7.2 Pengenalan Komponen-komponen Zona Subduksi Dari Isotop dan
Trace Elements Inkompatibel
DAFTAR PUSTAKA
ii
32
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Lokasi penelitian
Gambar 2. Pola Tektonik Indonesia (Hall, 2002).
Gambar 3a. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa (Djuri,1995).
Gambar 3b. Korelasi Satuan Peta Geologi Lembar Arjawinangun,
Jawa (Djuri,1995).
Gambar 3c. Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa (Silitonga dkk, 1996)
Gambar 3d. Korelasi Satuan Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa
(Silitonga dkk, 1996)
Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).
Gambar 5. Korelasi Satuan Peta Geologi Gunung Api Ciremai
(Situmorang dkk, 1984)
Gambar 6. Komposisi mineralogi batuan toleiitik (kiri) dan calc-alkalin
(kanan). Tanda x menunjukkan komposisi mineralogi batuan
G. Ciremai (Sumber ; Wilson, 1989; Edwards, 1990;
Purbawinata dkk, 1991)).
Gambar 7. Variasi komposisi kimia batuan G. Ciremai dan G. Guntur
(Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 8. Proses petrogenesis berdasarkan kandungan SiO2
dan K2O dalam batuan beku (Wilson, 1989). X = Batuan
Ciremai.
33
Gambar 9 . Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai
dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).
Gambar 10. Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai
dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).
Gambar 11. Mekanisme perjalanan magma dari zona penunjaman
ke permukaan (Wilson,1989).
Gambar 12. Spidergrams yang dinormalisasi dengan Chondrite,
trace element terpilih dari calc-alkalin Ciremai
(Edwards, 1990;Purbawinata, dkk, 1991).
Gambar 13. Ploting Th/Yb terhadap Ta/Yb yang memperlihatkan
perbedaan antara basalt hasil penunjaman dengan basalt
dari MORB serta basalt hasil pengayaan sumber (OIB).
Vektor-vektor menunjukkan pengaruh dari komponen-
komponen subduksi (S), pengayaan lempeng
(W),kontaminasi kerak (C) dan fraksinasi kristalisasi (F).
TH = Toleiitik; CA = Calk-alkalin; S = Sosonit. (Wilson,
1989; Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 14. Diagram Sr/Nd vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan Guntur.
Lava-lava tholeiitik memperlihatkan komposisi yang khas
hasil pengayaan elemen dari fluida asal kerak samudra yang
tersubduksi (Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 15. Diagram Rb/Ba vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan Guntur.
Gambar 16. Variasi elemen-elemen jejak (trace elements)
G.Ciremai dibandingkan dengan G. Kelut,
Jawa Timur Wirakusumah, 1991).
Gambar 17. Variasi elemen-elemen jejak (trace elements)
G. Ciremai dibandingkan dengan G. Kelut,
Jawa Timur (Wirakusumah, 1991).
Gambar 18. Variasi elemen-elemen jejak (trace element)
G. Ciremai dibandingkan dengan G. Kelut, Jawa Timur
(Wirakusumah, 1991).
Gambar 19. Diagram 143Nd/ 144Nd vs 87Sr/ 86Sr dari lava-lava
Ciremai dan Guntur relatif terhadap MORB
(Purbawinata dkk, 1991).
iii
34
Gambar 20. Diagram 206Pb/ 204Pb vs 207Pb/ 204Pb dan 206Pb/ 204Pb vs 206Pb/ 204Pb dari lava-lava Ciremai relatif terhadap Nothern
Hemisphere Reference Line (NHRL) (Purbawinata dkk,
1991).
Gambar 21. Diagram 18O vs 87Sr/ 86Sr dari lava-lava Ciremai relatif
terhadap 18O MORB dan mantel (Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 22. Diagram 18O vs MgO dan 18O vs SiO2 dari lava-lava Ciremai
dan Guntur (Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 23. Diagram 87Sr/ 86Sr vs Sr untuk lava-lava Ciremai dan Guntur,
disertai kemungkinan arah evolusi magmanya masing-
masing (Purbawinata dkk, 1991). Gambar 24. Diagram 207 Pb/ 204 Pb vs Ce/Pb dari lava-lava
Ciremai dan Guntur (Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 25. Diagram Ce/Pb vs Pb dari lava-lava Ciremai dan Guntur.
Lava-lava Ciremai terplot pada atau dekat kurva mixing
(Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 26. Diagram Sr/Nd vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan Guntur.
Lava-lava tholeiitik memperlihatkan komposisi yang khas
hasil pengayaan elemen dari fluida asal kerak samudra yang
khas hasil pengayaan elemen dari fluida asal kerak samudra
yang tersubduksi. Naiknya rasio Th/Ta dan turunnya rasio
Sr/Nd pada lava calc-alkalin diakibatkan oleh pengaruh dari
komponen sedimen.
Gambar 27. Diagram 87Sr/86Sr vs Sr/Nd dari lava-lava Ciremai dan
Guntur. Trend pada tholeiitik terbentuk akibat pengeruh
fluida asal kerak samudra di dalam mantel sumber. Tingginya
87Sr/86Sr pada calc-alkalin Ciremai berasosiasi dengan
rendahnya komponen Sr/Nd sedimen.
Gambar 28. Diagram 143Nd/ 144Nd vs 87Sr/ 86Sr dari lava-lava
Ciremai dan Guntur (Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 29. Diagram Rb/Ba vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan
Guntur. Tingginya rasio Rb/Ba berasosiasi dengan
komponen sedimen (Purbawinata dkk, 1991).
Gambar 30. Resume perjalanan magma dari zona penunjaman ke
permukaan beserta karakteristik geokimianya (Wilson,
1989).
iv
35
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rakhmat dan karunianya sehingga penulisan buku ini dapat terwujud. Buku
ini merupakan hasil kompilasi dari para peneliti terdahulu, baik itu di bidang geologi
maupun di bidang geokimia G. Ciremai. Diharapkan bahwa buku ini akan memperkaya
khasanah keilmuam di bidang vulkanologi khususnya dan di bidang geologi umumnya.
Diharapkan pula bahwa hasil penelitian ini juga dapat digunakan dalam mitigasi
bencana Gunung Api Ciremai pada khususnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
koreksi dan masukan. Kepada Badan Geologi serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi yang telah memberikan berbagai fasilitas dan dorongan terhadap
penulisan buku ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Fakultas Teknik Geologi,
Universitas Padjadjaran yang telah memberikan pencerahan yang terus menerus di
bidang ”ilmu” geolologi, serta berbagai masukan dan koreksi yang sangat bermanfaat.
Semoga segala kebaikan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bandung, Oktober 2013
Penulis,