barabai “bandung van borneo” kota wisata kuliner dan pejalan kaki

13
1 Barabai “Bandung van Borneo” Kota Wisata Kuliner Dan Pejalan Kaki Oleh : Ferozi Faisal 1. Pendahuluan Barabai adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Kota Barabai terletak di sepanjang tepian Sungai Barabai dan berada di kaki Pegunungan Meratus. Kota Barabai berjarak sekitar 165 km dari Kota Banjarmasin ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Secara astronomis kota Barabai terletak pada posisi 2°33’06.5” - 2°36’32.4” Lintang Selatan dan 115°21’11.3” - 115°25’09.5” Bujur Timur. Luas keseluruhan kawasan Kota Barabai adalah 2.690 Ha. Jumlah penduduk kota Barabai 52.662 jiwa (BPS, 2012). Kota Barabai sebagai Ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah terletak persis di tengah-tengah wilayah Banua Enam (Enam Kabupaten di wilayah utara Kalimantan Selatan yaitu Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan Tapin). Kota Barabai adalah pusat perdagangan dan pendidikan di wilayah Banua Enam. Sejak Zaman kolonial Belanda kota Barabai dijuluki sebagai “Bandung van Borneo” karena kesejukan dan keindahan suasana kotanya yang tertata dengan baik. Tugu Burung Enggang di pintu gerbang masuk Kota Barabai Kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah di Kota Barabai Lapangan Dwi Warna sekaligus sebagai Ruang Terbuka Kota di Kota Barabai Salah satu sudut Kota Barabai yang rindang dan sejuk sebagai bekas peninggalan era kolonial Belanda

Upload: undip

Post on 24-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Barabai “Bandung van Borneo” Kota Wisata Kuliner Dan Pejalan Kaki

Oleh : Ferozi Faisal

1. Pendahuluan Barabai adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan

Selatan. Kota Barabai terletak di sepanjang tepian Sungai Barabai dan berada di kaki Pegunungan Meratus. Kota Barabai berjarak sekitar 165 km dari Kota Banjarmasin ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Secara astronomis kota Barabai terletak pada posisi 2°33’06.5” - 2°36’32.4” Lintang Selatan dan 115°21’11.3” - 115°25’09.5” Bujur Timur. Luas keseluruhan kawasan Kota Barabai adalah 2.690 Ha. Jumlah penduduk kota Barabai 52.662 jiwa (BPS, 2012). Kota Barabai sebagai Ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah terletak persis di tengah-tengah wilayah Banua Enam (Enam Kabupaten di wilayah utara Kalimantan Selatan yaitu Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan Tapin). Kota Barabai adalah pusat perdagangan dan pendidikan di wilayah Banua Enam. Sejak Zaman kolonial Belanda kota Barabai dijuluki sebagai “Bandung van Borneo” karena kesejukan dan keindahan suasana kotanya yang tertata dengan baik.

Tugu Burung Enggang di pintu gerbang masuk

Kota Barabai

Kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten

Hulu Sungai Tengah di Kota Barabai

Lapangan Dwi Warna sekaligus sebagai

Ruang Terbuka Kota di Kota Barabai

Salah satu sudut Kota Barabai yang rindang dan sejuk

sebagai bekas peninggalan era kolonial Belanda

2

2. Sejarah Kota Barabai Zaman Kolonial Pada awalnya Kota Barabai adalah sebuah perkampungan yang dulu disebut

dengan Kampung Qadi. Penduduk asli di daerah ini sering disebut dengan panggilan Urang Alai terdiri dari Alai Banjar yang mendiami daerah bawah dan Alai Dayak yang mendiami daerah atas (pegunungan). Barabai merupakan nama administrasi yang diberikan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menyebut daerah Onderafdeling Batang Alai. Menurut Staatblaad tahun 1898 no.178 Batang Alai menjadi salah satu onderafdeeling di dalam Afdeeling Kendangan. Setelah mengeluarkan pernyataan penghapusan Kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memasukkan Kesultanan Banjar dalam wilayah yang di kenal dengan Zuider en Oosterafdeling van Borneo.

Untuk mengamankan jalur militernya, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun benteng-benteng sebagai markas pasukan militer di beberapa tempat strategis di jalur antara Banjarmasin sampai dengan daerah Hulu Sungai, di antaranya adalah di Kota Barabai.

Benteng Belanda sekaligus barak tentara Belanda

di Barabai Tahun 1867

Suasana pasar di tepi Sungai Barabai

Tahun 1923 Kota Barabai mulai berkembang ketika dipimpin oleh seorang controleur (pejabat

setingkat bupati sekarang) yang bernama Gerard Louwrens Tichelman pada tahun 1926-1929. G. L. Tichelman adalah seorang controleur termuda di masanya yaitu berusia 33 tahun ketika di angkat sebagai controleur. Dimasa kepemimpinannya yang hanya sekitar tiga tahun Kota Barabai mulai berkembang. Tata kota dan arsitektur bangunannya didesain dan dibangun dengan baik mengacu pada gaya-gaya arsitektur di benua Eropa namun masih dalam balutan kearifan arsitektur lokal.

Bentuk kota dirancang menyerupai kota Bandung yang saat itu juga merupakan salah satu kota yang dirancang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bergaya Eropa. Disepanjang jalan kota ditanami dengan pohon mahoni sehingga menambah keasrian dan kesejukan suasana kota sehingga oleh orang-orang Belanda masa itu menjulukinya sebagai “Bandung van Borneo”. Menurut penduduk, pohon-pohon itu dulu ditanam oleh Tuan Paul, seorang keturunan Jerman yang bekerja pada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai kepala V & W singkatan dari "Verkeer & Waterstaat" yang mengurusi bidang Transportasi dan Pekerjaan Umum, semacam

3

Dinas PU (Pekerjaan Umum) sekarang. Tuan Paul sangat telaten merawat pohon-pohon mahoni dan menata kota dengan gaya dan selera orang Eropa saat itu. Ketika Hitler menyerang Belanda, tak ayal lagi tuan Paul ditawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Entah bagaimana nasibnya kemudian. Yang jelas, namanya masih dikenang oleh masyarakat kota Barabai, terutama jika sedang berjalan-jalan di bawah pepohonan mahoni di pusat kota Barabai.

G. T. Tichelman dan istri 1926-1929

Suasana kota Barabai Tahun 1928

Lapangan Dwi warna Zaman kolonial Tahun 1927

Jalan Raya di Kota Barabai Tahun 1928

Pohon Mahoni yang di tanam Tuan Paul Tahun 1930

Suasana pusat Kota Barabai Tahun 1928

Suasana pasar di Kota Barabai Tahun 1927

Salah satu sudut Kota Barabai Tahun 1928

4

3. Sejarah Kota Bandung Zaman Kolonial Bandung di abad ke 19 adalah sebuah kota kecil di kawasan cekungan purba

yang jauh dari akses keramaian kota. Kota Bandung dikelilingi oleh hutan lebat pegunungan tinggi yang tanahnya subur. Potensi itu disambut cukup positif oleh para tuan tanah, sehingga Bandung pun dikembangkan menjadi lokasi perkebunan yang strategis. Pembukaan perkebunan pada wilayah ini menjadi sebuah titik tolak yang menjadikan pembangunan kota Bandung semakin pesat. Selain itu dibangunnya stasiun kereta api pada akhir abad 19, menghubungkan Bandung-Batavia dan Bandung-Jogjakarta-Surabaya, meningkatkan akselerasi pembangunan. Kemudahan akses keluar dan ke dalam kota Bandung membuat arus orang yang masuk ke kota ini meningkat pula. Terutama orang-orang dari Eropa. Hingga akhirnya terjadi ledakan penduduk di kota Bandung pada tahun 1910-1920 sebesar lima kali lipat. Penduduk Eropa yang pada awalnya hanya 2.815 jiwa meningkat menjadi 11.000 jiwa.

Masyarakat Eropa yang berdatangan ke kota Bandung membutuhkan banyak infrastruktur penunjang. Kebutuhan utama yang harus terpenuhi adalah rumah tinggal dan pusat kegiatan. Karena itu dibangunlah berbagai infrastruktur di kota Bandung yang pada awalnya diwarnai oleh dominasi arsitektur Eropa.

Sejak menguatnya pengaruh Belanda di Pulau Jawa pada awal abad ke-20, kebudayaan lokal di Pulau Jawa perlahan memudar. Di bidang arsitektur, budaya tradisional Jawa semakin memudar. Pudarnya budaya bertukang dilihat dari jarangnya tukang tradisional dan menguatnya budaya membangun Eropa. Di masa itu kuda-kuda segitiga mulai banyak digunakan menggantikan atap joglo.

Arsitektur dengan gaya Eropa pun turut melanda kota Bandung. Terlebih lagi. Tak hanya bangunan, pengaruh arsitektur Eropa juga memengaruhi rancangan kota Bandung. Kemajuan pesat ini diapresiasi dalam pemilihan kota Bandung sebagai kota yang menjadi prototype Kota Kolonial (Kolonial Stad), di samping kota Hiderabad di India. Hal ini tentu saja menjadi sebuah kebanggan bagi kota Bandung yang dulunya merupakan kota yang sangat terpencil.

Sebutan yang disandang oleh Kota Bandung sebagai Kolonial Stad berasal dari Hendrik Berlage, yang merupakan master builder dari Belanda. Pendapat ini berdasarkan surveynya pada kota Bandung pada saat pembangunan masterplan Gedung Sate, Taman Lalu Lintas, dan kawasan Bandung Utara yang akan dijadikan pusat kegiatan masyarakat Eropa di masa itu. Melihat masterplan yang ada, maka sangat pantas kota Bandung mendapat sebutan Kolonial Stad. Namun oleh para orang Eropa dimasa itu Bandung mempunyai banyak sebutan antara lain kota kembang karena banyak pohon dan bunga-bunga tumbuh disana. Dan Sebutan lain yang lebih terkenal adalah “Parijs van Java” karena keindahan arsitektur kotanya.

5

4. Kota Barabai Sebagai Pusat Kuliner Tradisional Kota Barabai selain dikenal dengan julukan “Bandung van Borneo” karena keasrian dan kesejukan suasana kotanya juga dikenal sebagai pusat kuliner tradisional di Kalimantan Selatan. Diantara kuliner tradisional yang ada di Kota Barabai adalah:

Apam Barabai

Bingka Kantang

Kueh Lam

Amparan Tatak

Apam Batil

Gayam/Hintalu Karuang

Laksa

Lapat

Lontong

Nasi Pundut

Nasi Kuning

Soto Banjar

Katupat Kandangan

Nasi Samin

Pakasam

Lamang

Sate Itik

Papuyu Baubar

6

5. Pedestrian Ways Kota Barabai Beberapa Koridor jalan di Kota Barabai sudah ada pedestriannya, antara lain di

Koridor Jalan Bhakti, Jalan Kartini, Jalan Brigjen. H. Hasan Basri (sampai depan Rumah Dinas Wakil Bupati), Jalan Perwira, Jalan SMP, Jalan Ganesya, Jalan H. Damanhuri dan Jalan Ir. P.H.M Noor. Semua jalan-jalan tersebut terdapat jalur pedestriannya dan saling berhubungan.

Elemen sirkulasi dalam urban design merupakan salah satu alat yang bermanfaat dalam menyusun struktur ruang kota, karena dapat membentuk, mengarahkan, dan mengontrol pola-pola aktivitas pengembangan suatu kota (Shirvani, 1985). Pendestrian jalan di Kota Barabai yang saling terhubung merupakan salah satu modal untuk menjadikan Kota Barabai sebagai kota yang bisa dijadikan tempat wisata jalan kaki memutari kota.

Berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada di dalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda–moda angkutan yang lain. (Fruin, 1979). Sebuah kota bisa dikatakan layak huni dan nyaman ditinggali adalah salah satunya apabila aktivitas berjalan kaki mendapat fasilitas utama dan memberikan kenyamanan bagi penggunanya.

Pedestrian di Kota Barabai

7

6. Potensi Dan Permasalahan Kota Barabai Letak Kota Barabai yang tepat di tengah-tengah wilayah Banua Enam membuat

Kota Barabai sangat stretegis dalam pencapaian. Selain itu Kota Barabai juga dikenal sebagai pusat kuliner tradisional. Hal ini jika dimanfaatkan secara maksimal tentu akan sangat membantu perkembangan aktivitas perekonomian kota yang pada akhirnya bisa membantu meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya.

Dalam hal ini ada beberapa potensi dan permasalahan yang harus dipetakan agar dalam perkembangannya kedepan Kota Barabai bisa di rancang dengan memaksimalkan potensinya dan meminimalisir dampak permasalahan yang ada. a. Potensi yang dimiliki Kota Barabai

Dari desain tata kotanya Barabai sangat berpotensi menjadi kota wisata. Potensi keindahan dan keasrian kota Barabai bisa ditingkatkan dengan perencanaan rancang kota yang baik. Dari tata letak dan pencapaian Kota Barabai juga sangat strategis jika didukung dengan layanan angkutan transportasi massal yang nyaman. Kuliner khas yang dimiliki Kota Barabai adalah daya tarik tersendiri bagi para pelancong apalagi bagi mereka yang suka berwisata kuliner.

Segala potensi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Kabupaten untuk dikembangkan dan di kelola dengan baik. Dukungan prasarana dan sarana adalah salah satu kunci sukses untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh Kota Barabai. Peran serta dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan kota juga menjadi salah satu kunci untuk memaksimalkan potensi kota.

Terminal Keramat Barabai terminal terbesar di

Banua Enam

Pujasera (Pusat Jajan Serba Ada)

Sentra Kuliner Kota Barabai

Pasar Wadai Ramadhan even tahunan di Kota

Barabai tiap bulan Ramadhan

Pedestrian kota yang nyaman dan rindang oleh

pepohonan peninggalan era kolonial

8

b. Permasalahan Yang Dimiliki Kota Barabai Banjir karena luapan air sungai adalah masalah yang dihadapi Kota Barabai tiap

tahunnya. Masalah banjir ini sendiri sudah terjadi sejak Zaman kolonial Belanda. Tidak heran jika dalam desain kotanya Belanda menitik beratkan pada sistem drainase kota. Seiring dengan pembangunan dan terus berkembangnya kota Barabai maka permasalahan sistem drainase ini kadang terabaikan sehingga ketika musim penghujan maka sebagian besar kawasan kota Barabai akan terendam.

Banjir di Kota Barabai tahun 1927

Banjir di Kota Barabai tahun 1927

Banjir di Kota Barabai tahun 1928

Banjir di Kota Barabai tahun 1928

Banjir di Kota Barabai Tahun 2013

9

Selain Banjir pemanasan iklim yang melanda hampir seluruh dunia juga berimbas dan dirasakan oleh masyarakat Kota Barabai. Sekarang Barabai tidak sesejuk dulu, bahkan sama panasnya dengan kota lainnya. Dulu Barabai dikenal sejuk karena kawasan hutannya masih terpelihara dengan pegunungan meratus yang oleh Belanda disebut sebagai Green Belt Of Borneo. Aktivitas penebangan liar di pegunungan Meratus adalah penyumbang terbesar rusaknya lingkungan yang berimbas juga di Kota Barabai. Kurangnya kepedulian penguasa setempat juga mengakibatkan rusaknya lingkungan kota apalagi dengan adanya wacana perkebunan sawit. Pembangunan kota cenderung atas kehendak kelompok penguasa tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Padahal menurut Prof. Eko Budihardjo (1997) Bila penduduk kota tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan pembangunan kotanya, tidak diberi kesempatan untuk bertindak secara aktif memberikan “cap” pribadi atau kelompok pada lingkungannya, tidak memperoleh peluang untuk membantu, menambah, merubah, menyempurnakan lingkungannya, akan kita dapatkan masyarakat kota yang apatis, acuh tak acuh, dan mungkin agresif. Kearifan dan kebijakan seorang pemimpin mutlak dibutuhkan dalam usaha merancang sebuah kota yang nyaman dan bernilai ekonomis bagi warganya. Seorang pemimpin yang berwawasan lingkungan dan mengerti ilmu perencanaan mutlak di butuhkan untuk membangun Kota Barabai. 7. Barabai “Bandung van Borneo” Kota Wisata Kuliner Dan Pejalan Kaki

Citra kota adalah gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan pandangan masyarakatnya yang tinggal dan hidup di dalam kota tersebut. Arti penting “citra” suatu kota terhadap penduduknya, karena citra yang jelas dapat memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya, yaitu Legibility (kejelasan), Identitas dan susunan, Imageability (Lynch, 1975). Arsitektur merupakan wujud dari kemajuan peradaban. Karena itu kehadiran karya arsitektur tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor sosial dan budaya serta konteks di mana karya arsitektur didirikan. Penjajahan Belanda di Indonesia pun memberikan sebuah “kenang-kenangan” yang berwujud karya Arsitektur Kolonial di kota-kota kolonial di Indonesia. Barabai merupakan salah satu dari kota hasil karya Arsitektur Kolonial. Keberadaan karya-karya tersebut menunjukkan bahwa kota Barabai pernah menjadi pusat kegiatan kolonial di masanya dan menjadi bagian penting dari sejarah kolonial di Indonesia. Sayangnya banyak bangunan-bangunan peninggalan era kolonial itu beralih fungsi dan terlupakan serta kurang perhatian dari penguasa setempat.

Menurut Shirvani (1985), suatu kota atau lingkungan pada dasarnya merupakan wadah aktivitas manusia yang memerlukan kebersamaan langkah dari semua warganya. Kemampuan pelayanan suatu lingkungan dapat dilihat dari fungsi primer

10

lingkungan, antara lain: sebagai tempat komunikasi manusia baik secara langsung maupun dengan mediator, sebagai tempat kegiatan ekonomi, sebagai ungkapan berbagai variabel dari kognisi dan estetika.

Kota Barabai sebagai Ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan, berpotensi untuk dijadikan kota wisata kuliner dan pejalan kaki. Gordon Cullen (1961) mengatakan bahwa kita memahami ruang tidak hanya dengan melihat tetapi juga dengan bergerak. Dengan luasan kota Barabai yang ada, wisata jalan kaki keliling kota Barabai bisa dikembangkan dengan menggabungkannya dengan konsep wisata kuliner, karena kuliner dari kota Barabai mempunyai kekhasan tersendiri dan kota Barabai sudah terkenal sebagai gudangnya kuliner di Kalimantan Selatan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah penataan kota yang lebih berpihak pada para pejalan kaki. Membuat pedestrian jalan yang luas dan nyaman dan terkoneksi keseluruh penjuru kota. Disepanjang pedestrian tersebut bisa digabungkan dengan konsep RTH dan taman kota dengan tanaman peneduh yang tentu akan membuat nyaman para pejalan kaki. Hal tersebut juga harus ditunjang dengan penyediaan lahan parkir terintegrasi di tiap pintu masuk kota sehingga warga yang ingin wisata jalan kaki bisa memarkir kendaraannya di pintu masuk kota. Dan ini yg mungkin sedikit ekstrim, salah satu tujuan akhirnya adalah membebaskan jalanan kota Barabai dari kendaraan bermotor khususnya kendaraan pribadi, mungkin nanti diganti dengan angkutan massal seperti trem atau memberdayakan angkutan becak dengan modifikasi yg lebih menarik. Sebagai reward bagi pejalan kaki dan yang menggunakan sepeda diberi fasilitas utama di ruang publik. Atau dengan istilah lain menjadikan para pejalan kaki sebagai warga kelas utama di kota Barabai. Sebagai pengecualian yang boleh menjadi pengguna jalan cuma mobil BPK dan Ambulan. Ini hanya sebuah ide dan mungkin sedikit khayalan, semata-mata hanya ingin menyumbangkan ide dan pikiran untuk pembangunan daerah.

Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan kotanya mutlak diperlukan. Sebagaimana sebuah ungkapan “What is a city but its citizen” (W. Shakespeare) dan “We shape our city and the city will shape us” (W. Churchil). Masyarakat harus diberi kesempatan untuk bertindak secara aktif memberikan “cap” pribadi atau kelompok pada lingkungannya. Jika hal itu dilakukan maka akan didapat sebuah modal sosial dalam membangun kota, sehingga tidak ada lagi sikap apatis, acuh tak acuh, dan mungkin sifat agresif dari masyarakatnya yang bisa menghambat proses perencanaan dan pembangunan kota.

Selain itu dalam perancangan dan pembangunan kota pendukung kegiatan tidak hanya menyediakan jalur pedestrian atau plaza tapi juga mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan elemen-elemen kota yang dapat menggerakkan aktivitas. Termasuk pusat perbelanjaan, taman rekreasi, pusat perkantoran, perpustakaan

11

umum, dll (Shirvani, 1985). Diharapkan Kota Barabai nantinya tidak hanya menjadi sebuah kota wisata namun sebuah kota yang memiliki “sense of place”.

Pemahaman tentang nilai suatu tempat (spirit of place) merupakan pemahaman tentang keunikan dari suatu tempat, sehingga tidak akan terlepas dari karakter yang membentuknya. Karakter yang spesifik merupakan identitas dan pengenalan bentuk serta kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, disebut sense of place (Trancik, 1986). Suasana Kota barabai yang sejuk dan asri tentu akan membuat berkesan bagi mereka yang pernah mengunjunginya. Tempat adalah ruang yang bisa kita ingat, peduli dan membuat bagian dari kehidupan kita. Tempat bisa membawa emosi, re-koleksi, orang-orang dan ide-ide dalam pikiran (Lyndon, 2001).

Selain itu ada hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan pembangunan sebuah kota yaitu konsep sustainable city. Wacana sustainability dalam desain kota dan arsitektur merupakan isu lama yang sulit untuk terwujud. Hal itu disebabkan karena terlalu banyak aspek yang perlu diperhatikan. Dalam hal sustainable city ini ada istilah menarik dari Prof. Eko Budihardjo yaitu ““The Ten Commandments on Sustainable Development”. Pertama, Environment atau Ekologi, agar keseimbangan lingkungan kota dan daerah tetap terjaga, demi keserasian hubungan segitiga manusia – alam – Sang Pencipta. Kedua, Employment atau Ekonomi, agar warga kota dan daerah memperoleh lapangan kerja sesuai dengan kompetensi dan tingkat pendidikan masing-masing, formal maupun informal dan nonformal. Ketiga, Empowerment atau pemberdayaan mayarakat, agar rakyat ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasib mereka, tidak sekedar menjadi obyek. Keempat, Engagement atau keterlibatan segenap stakeholders, khususnya pihak swasta dalam wujud semacam public-private partnership, yang saling menguntungkan. Kelima, Enforcement, agar rencana tata ruang kota atau wilayah betul-betul dijadikan acuan dalam pembangunan, dilengkapi mekanisme pengawasan yang ketat, tegas, konsisten, sehingga pelaksanaan pembangunan bisa berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Keenam Enjoyment, agar setiap warga kota dan daerah dapat merasa senang di tempat tinggal masing-masing. Ketujuh Equality, agar setiap warga diperlakukan secara adil memiliki akses setara terhadap setiap aset yang ada di kota dan daerah, yang berupa antara lain perumahan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, sarana dan prasarana lingkungan. Kedelapan Energy Conservation, agar dalam membangun kota dan daerah tidak boros tetapi hemat energi, lebih mengutamakan jaringan transportasi publik ketimbang kepentingan kendaraan pribadi. Kesembilan Ethics of Development, agar setiap pelaku pembangunan berkiprah tanpa mengakibatkan dampak negatif lingkungan sekitarnya. Kesepuluh Estetika, agar kota dan daerah menjadi lebih indah, memiliki nuansa seni dengan kaidah “A city is a social work of art”.

12

8. Penutup a. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan antara lain :

- Kota Barabai tidak sepenuhnya mirip dengan Kota Bandung dari segi sejarah, namun dari segi tata kota ada kemiripan.

- Kemiripan Barabai dengan Bandung terutama pada tata kota yang dirancang oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan suasana kota yang sejuk serta terjaga keasrian alamnya. Walau secara Geografis Kota Bandung berada di daerah yang lebih tinggi dari Kota Barabai.

- Kota Barabai yang sangat strategis dari segi geografis serta ditunjang dengan suasana kota yang indah dan masih ada sisa-sisa jejak sejarah peninggalan zaman kolonial bisa menjadi sebuah potensi sebagai wisata kota.

- Kuliner khas yang banyak terdapat di Kota Barabai bisa dikembangkan menjadi wisata kuliner.

- Pedestrian ways yang ada di Kota Barabai juga mendukung untuk aktivitas pejalan kaki menelusuri keindahan kota dan jejak-jejak sejarah zaman kolonial yang ada.

- Semua potensi itu bisa dijadikan bagian dari City Branding Kota Barabai yaitu “Bandung Van Borneo” sebuah kota wisata kuliner dan pejalan kaki.

b. Rekomendasi - Perlu suatu usaha untuk kembali mengangkat citra Kota Barabai sebagai kota

yang indah bernilai seni dan asri dengan kesejukannya. - Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah menetapkan secepatnya perda

RTRW dan RTRK untuk mendukung perencanaan dan pembangunan sesuai peruntukannya.

- Menata pedestrian jalan dengan lebih baik dengan menerapkan konsep Universal Design yaitu desain produk dan bangunan yang dapat diakses dan dapat digunakan oleh semua orang, termasuk para penyandang cacat.

- Memberi ruang dan fasilitas kepada pelaku usaha kecil dan rumah tangga yaitu usaha bidang kuliner untuk menunjang city marketing Kota Barabai sebagai kota wisata kuliner.

- Perlu usaha yang serius dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah untuk menganalisis pengembangan drainase kawasan perkotaan Barabai untuk meminimalisasi dampak banjir seperti genangan air dan luapan air sungai ketika musim hujan.

- Masyarakat harus diberi kesempatan untuk bertindak secara aktif memberikan cap pribadi atau kelompok pada lingkungannya. Jika hal itu dilakukan maka akan didapat sebuah modal sosial dalam membangun kota.

13

9. Referensi

Budihardjo, Eko, Prof, Ir, M.Sc, 1997. Tata Ruang Perkotaan. PT. Alumni, Bandung. BPS. 2012. Kabupaten Hulu Sungai Tengah Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik

Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Barabai. Cullen, G. 1961. Townscape. The Architectural Press, London. Fruin, J. 1979. Transportation Planning-Installation Master Plan. Pedestrian Planning

and Design, Association of Urban Designers and Environmental Planners, Inc. Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandung Tempo Doeloe. PT. Granesia: Bandung. Lynch, K. 1991. City Sense and City Design. Massachusetts : The MIT Press Cambridge. Lynch, K. 1975. The Image Of The City. The MIT Press Cambridge. Lyndon. D. 2001. A Sense Of Place, Kate Ferrucci, People to people Press. Sa’dianoor. 2013. Analisis Pengembangan Drainase Kawasan Perkotaan Barabai

(Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan). Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin, Makasar.

Shirvani, H. 1985. The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold company, Inc, New York.

Trancik, R. 1986. Finding Lost Space, Van Nostrand Reinhold Company. http://catatansinalinali.blogspot.com http://hulusungaitengahkab.go.id http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung http://media-kitlv.nl