bab i - repository poltekkes semarang
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidur adalah fenomena alami biologis yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Islam mengartikan tidur sebagai anugerah dari Allah untuk
memelihara kesehatan (Nor, Yusoff, Ruhila, Razi, & Sanusi, 2018). Tidur juga
berfungsi untuk memulihkan energi dari kelelahan (Qodir, 2014). Kualitas
tidur yang buruk pada remaja dapat menimbulkan efek negatif pada aspek
fisiologis maupun psikologis. Secara fisiologis akan menyebabkan nafsu
makan menurun, kelemahan/kelelahan, kantuk di siang hari, dan kecelakaan
(Riyadi & Widuri, 2015). Pada aspek psikologis akan berdampak terhadap
penurunan konsentrasi belajar, stres, kecemasan, gangguan memori, cemas,
serta penurunan prestasi akademik (Pitaloka, Utami, & Novayelinda, 2015).
Prevalensi kualitas yang buruk pada umur 18 – 24 tahun terdapat 67,8%
mengalami kualitas tidur yang buruk di Amerika Serikat dan 64,9% di Distrik
Columbia (Liu et al., 2016). Sedangkan di Indonesia terdapat sebanyak 83,75%
dari 130 remaja yang mengalami kualitas tidur yang buruk (Ginting & Gayatri,
2013). Hasil dari studi pendahuluan di Pondok Pesantren Selamat Kota
Magelang terhadap 10 santri SMA, terdapat 60% dengan kualitas tidur yang
buruk dan mengalami gangguan fisiologis seperti pusing, kantuk di siang hari,
keletihan, dan badan tidak segar di pagi hari serta pada aspek psikologis
menimbulkan gelisah, kecemasan, sulit berkonsentrasi, tidak merasa puas
ketika tidur dan sering terburu-buru.
2
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur remaja. Namun
dari sekian banyaknya faktor terdapat faktor bersuci atau berwudhu yang
mempunyai hubungan erat dengan kualitas tidur remaja (Lestari & Minan,
2018). Hal itu dibuktikan dengan efek dari berwudhu yang dapat merelaksasi
tubuh sehingga otot tidak tegang (Nor, Yusoff, Ruhila, Razi, & Sanusi, 2018).
Ketika otot relaks hipotalamus akan mengeluarkan mekanisme glutamatergic.
Banyaknya glutamatergic akan memicu tidur nyenyak, GABA atau γ- asam
aminobutirat yang berfungsi sebagai penghambat serotonin dan norepinefrin
yang mempunyai peran sebagai pengatur gairah dan tonus otot, yang tidak akan
bekerja pada tidur dalam (Fraigne, Torontali, Snow, & Peever, 2015). Selain
itu, berwudhu juga memicu gelombang theta yang dapat sebagai gambaran dari
kondisi yang rileks (Irmak, 2014).
Berdasarkan uraian di atas dan studi pendahuluan yang dilakukan di
Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik para santri yang bersekolah SMA
sebagian ada yang sudah berwudhu sebelum tidur dan sebagian belum. Santri
remaja Pondok Pesantren Damarjati tidur dengan durasi yang sama yaitu
kurang dari 7 jam per hari. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian hubungan
wudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur santri yang bersekolah SMA di
Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik.
3
B. Rumusan masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
“Adakah hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur santri
remaja SMA yang tinggal di Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik ?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur
santri remaja SMA yang tinggal di Pondok Pesantren Damarjati
Kaliangkrik.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik kualitas tidur santri remaja SMA di Pondok
Pesantren Damarjati.
b. Mengetahui komponen kualitas tidur santri yang berwudhu sebelum
tidur dan tidak berwudhu sebelum tidur.
c. Mengetahui hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur.
D. Manfaat
1. Pengembangan Ilmu
a. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan terutama pada bidang kesehatan.
b. Hasil penelitian ini dapat sebagai referensi manfaat berwudhu untuk
kualitas tidur.
4
2. Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik.
Hasil dari data ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui pengaruh
terhadap kualitas tidur bagi para santri.
3. Peneliti
Peneliti dapat mengetahui hubungan berwudhu sebelum tidur dengan
kualitas tidur dan menerapkan metodologi penelitian dalam memecahkan
masalah dalam bentuk penelitian.
E. Orisinalitas penelitian
Tabel 1.1 Orisinalitas penelitian
No. Nama, tahun
penelitian
Judul Rencana
penelitian
Variabel Hasil
1. Dian Adi
Saputro
tahun 2015
Pengaruh
Terapi
Wudu
Sebelum
Tidur
Terhadap
Tingkat
Insomnia
Pada Lanjut
Usia Di
PSTW Unit
Budhi Luhur
Yogyakarta
Penelitian Pre
Eksperimen
dengan
menggunakan
rancangan Non
equivalent
Control Group.
Pengambilan
sampel dengan
Purposive
Sampling
Variabel
independen
: terapi
wudu
sebelum
tidur.
Variabel
dependen :
tingkat
insomnia
lanjut usia
Hasil
pemberian
intervensi
terapi wudu
sebelum
tidur nilai p
= 0,000 (p <
0,05).
Terdapat
pengaruh
pemberian
terapi wudu
terhadap
tingkat
insomnia
pada usia
lanjut di
PSTW
Yogyakarta
Unit Budi
Luhur
2. Irfan
Hidayat,
Ichsan
Budiharto,
dan Suhaimi
Pengaruh
Terapi
Wudu
Sebelum
Tidur
penelitian quasi
eksperimental,
pre and post
test without
control.
Variabel
independen
: terapi
wudu
Hasil
pemberian
intervensi
terapi wudu
sebelum
5
Fauzan
tahun 2016
Terhadap
Tingkat
Insomnia
Lanjut Usia
Di Posyandu
Lansia
Cempaka
Pontianak
Pengambilan
sampel
digunakan
Purpossive
Sampling
sebelum
tidur.
Variabel
dependen :
tingkat
insomnia
lanjut usia
tidur
menunjukka
n p = 0,001
(p<0,05).
Ada
pengaruh
terapi wudu
sebelum
tidur
terhadap
tingkat
insomnia
lansia
3. Nina Dwi
Lestari, dan
Muhammad
Rofiqul
Minan tahun
2018
Efektivitas
Terapi
Wudu
Menjelang
Tidur
terhadap
Kualitas
Tidur
Remaja
Penelitian ini
adalah Quasy-
Experimental
with pretest-
posttest control
group design
Teknik
sampling
dengan Simple
Random
Sampling
Variabel
independen
: terapi
wudu
menjelang
tidur
Variabel
dependen :
kualitas
tidur remaja
Hasil setelah
diberikan
terapi wudu
(p value
0,000,
p<0,05).
Terapi wudu
menjelang
tidur terbukti
efektif
dalam
meningkatka
n kualitas
tidur remaja.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian
sebelumnya adalah pada desain penelitian yang dilakukan dan responden yang
diambil. Pada penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional
sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan desain penelitian kuasi
eksperimen. Responden yang digunakan pada penelitian ini yaitu remaja santri
yang menempuh pendidikan SMA dan tinggal di pondok pesantren, sedangkan
penelitian sebelumnya menggunakan responden lansia maupun mahasiswa.
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Tidur
1. Pengertian
Pengertian tentang tidur diartikan oleh para pakar dengan berbagai
penjelasan. Salah satu pakar mendefinisikannya sebagai salah satu kondisi
dengan menurunnya kesadaran, tetapi jantung tetap beraktivitas untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis (Nashori & Wulandari, 2017; h 1). Ada
juga yang mengartikannya sebagai proses fisiologi yang berperiode dan
berperan mengendalikan fungsi fisiologis dan respons perilaku (Potter &
Perry, 2010; h 174). Penelitian mengartikannya sebagai fenomena biologi
alami yang penting bagi kebutuhan manusia. Islam mengartikannya
sebagai hadiah yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
manusia sebagai sarana untuk menjaga kesehatan guna bertahan hidup
(Nor, Yusoff, Ruhila, Razi, & Sanusi, 2018).
Perspektif Al – Quran mengartikan sebagai pemisah antara jiwa dari
tubuh namun tidak sepenuhnya terpisah. Ketika pemisahan terjadi,
kesadaran tidak aktif, tidak ada sensasi maupun gerakan. Namun
kebutuhan yang dibutuhkan tetap aktif, seperti detak jantung, sirkulasi dan
pernafasan (Heidari, Norouzadeh, & Abbasi, 2014).
2. Neurotransmitter pada tidur
Neuron adalah jenis sel khusus yang membawa informasi listrik.
Bertugas sebagai menerima sinyal dari sel dan mengubahnya menjadi
7
sinyal listrik atau potensial aksi. Ditemukan bahwa bangun dipromosikan
oleh berbagai neurotransmiter, termasuk norepinefrin, asetilkolin,
histamin, glutamat, dan orexin / hipokretin. Peran serotonin lebih
kompleks, salah satunya meningkatkan aktivitas serotonergik sebagai
mempromosikan kewaspadaan. Banyak neurotransmiter yang memicu
terjaga juga memiliki efek pada tidur REM. Neurotransmitter yang
mempromosikan tidur NREM termasuk GABA (asam gamma-
aminobutyric), neurotransmitter penghambat yang paling umum
(mengurangi rangsangan) dalam sistem saraf, dan adenosin. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, asetilkolin tampak terlibat dalam promosi terjaga
dan tidur REM. Orexin / hipokretin adalah peptida (terdiri dari molekul
rantai asam amino) dari neuron di hipotalamus lateral, dengan proyeksi ke
batang otak, bagian lain dari hipotalamus, sistem limbik, thalamus, dan
bagian otak yang lebih luas. Mereka berpotensi memiringkan saraf sistem
menuju terjaga (Carley & Farabi, 2016). Neuron yang mengandung
histamin terletak di bagian hipotalamus yang dikenal sebagai inti
tuberomamillary di hipotalamus posterior, dan mengirim proyeksi ke
berbagai area hipotalamus, korteks, dan batang otak. Aktivitas
histaminergik meningkatkan kesadaran. Di bawah ini merupakan
penjelasan dari setiap neurotransmitter (Brown, Basheer, Mckenna,
Strecker, & Robert, 2013) :
a. GABA (gamma aminobuytric acid) adalah turunan asam amino yang
bertindak sebagai neurotransmitter penghambat, mencegah atau
8
mengurangi sinyal saraf tertentu. Ini mengontrol sinyal saraf di retina
dan sistem saraf pusat, sehingga GABA yang tidak memadai biasanya
menyebabkan kecemasan dan bahkan kejang epilepsi (Faust, Assous,
Tepper, & Koo, 2016).
b. Asam glutamat adalah asam amino dan merupakan neurotransmitter
paling umum dalam tubuh. 80% dari neuron otak melepaskan
glutamat. Fungsi Glutamat yang paling vital sebagai neurotransmitter
adalah dalam aktivitas kognitif seperti memori dan pembelajaran.
(Indrowati, Astuti, & Pratiwi, 2015).
c. Acetylcholine adalah neurotransmitter yang mempunyai fungsi utama
sebagai penggerak otot refleks, meskipun ia juga memiliki banyak
fungsi lainnya. Ini terlibat dalam penjadwalan tidur REM. Neuron
yang terlibat dalam kontrol tidur-bangun yang melepaskan asetilkolin
terletak di Basal forebrain dan di mesopontine tegmentum dari batang
otak. Neuron kolinergik yang diproyeksikan secara kortikal dan
teridentifikasi dalam basal forebrain caudal (substantia innominata,
tungkai horizontal dari pita diagonal, area preoptik magnoseluler,
nukleus basalis) menembak tercepat selama terjaga dan tidur REM.
d. Norepinefrin umumnya dianggap sebagai bagian dari respons flight-
or-fight sentral, yang sangat penting dalam bangun yang terkait
dengan situasi yang membuat stres. Norepinefrin juga memainkan
peran penting dalam pemeliharaan tonus otot selama bangun dan
penekanan tidur REM. Katekolamin ini terkait dengan gairah,
9
kesadaran, tidur, dan juga terlibat dalam pembentukan ingatan.
peningkatan kadar norepinefrin berimplikasi pada gejala pada
beberapa gangguan mood. Neuron di lokus coeruleus di bagian bawah
batang otak yang merespons norepinefrin. Ketika neuron ini
distimulasi, area kortikal otak menjadi lebih aktif. Karenanya,
norepinefrin dianggap berperan dalam menyebabkan orang bangun.
e. Dopamin adalah neurotransmitter penghambat lain yang terlibat
dalam gerakan dan motivasi. Kadang-kadang disebut "salience
chemical" dopamin memainkan peran penting dalam kesenangan dan
perasaan kebahagiaan subyektif.
f. Serotonin terlibat dalam beberapa fungsi tubuh yang penting seperti
ingatan, emosi, suasana hati, nafsu makan dan termoregulasi,
sehingga akan mempromosikan keadaan terjaga. Karena dalam
keadaan panas serotonin meningkat dan kualitas tidur tidak tercapai.
Serotonin menghambat theta dan gamma, aktivitasnya berlawanan
dengan sistem kolinergik. Menghasilkan blokade irama cepat
terutama theta dan gamma (Fava & Belaise, 2015).
g. Histamin adalah neuron histaminergik dari hipotalamus yang
membentuk jaringan aktif sebagai penjaga gairah, menjadikan
hiperaktif dengan jumlah tenaga yang luar biasa. Berperan dalam tidur
REM (Indrowati, Astuti, & Pratiwi, 2015). Pertama kali terlibat dalam
promosi bangun karena efek sedatif samping antihistamin generasi
10
pertama (H antagonis reseptor) yang melintasi penghalang darah-otak
dan mempengaruhi sistem histaminergic pusat.
h. Orexin (Hypocretin) mengacu pada beberapa bahan kimia otak.
Mereka adalah neuropeptida rangsang yang mempromosikan bangun
dan menekan tidur. Daerah hipotalamus periktikal otak kaya akan
neuron yang memiliki reseptor orexin. Tes pada hewan yang
melibatkan injeksi orexin ke dalam formasi reticular pontine
menghasilkan peningkatan kesadaran dan peningkatan kadar GABA.
i. Glisin Neurotransmitter yang dihasilkan oleh selama terjadi tidur
REM. Glycine adalah inhibitor neurotransmitter dalam spinal cord
dan penyebab kelumpuhan dari hyperpolarisasi dari spinal
motoneurons.
3. Regulasi tidur
Proses regulasi tidur diatur oleh dua model yaitu homeostatis dan
sirkadian. Hubungan proses homeostatis tergantung pada tidur dan bangun
(Proses S) dengan dikendalikan oleh proses sirkadian (proses C) yang
menentukan aspek menonjol dalam pengaturan tidur. Proses S, mewakili
hutang tidur, meningkat selama terjaga dan menurun selama tidur, dalam
kisaran nilai yang berosilasi dengan periode yang biasanya ditularkan ke
siang dan malam. Non-rapid eye movement (NREM) sleep
electroencephalography (EEG) aktivitas gelombang lambat (SWA)
merupakan penanda utama proses S selama tidur; Aktivitas theta dalam
bangun adalah penanda meningkatnya anggota badan. Suhu tubuh inti dan
11
ritme melatonin adalah penanda proses C. Proses S berperan sebagai
latensi tidur sedangkan proses S adalah durasi (Borbely, Daan, Wirz-
Justice, & Deboer, 2016).
4. Tahapan tidur
Manusia tidur terdiri dari beberapa tahap tidur, NREM (Non -
rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement) yang terus
bergantian. Tahap 1 tidur NREM memperlihatkan aktivitas theta di frontal
dan aktivitas alfa posterior, mirip dengan mengantuk. Tahap 2 NREM
tidur ditandai dengan penampilan gelendong tidur (7-15 Hz) dan
kompleks-K di EEG. Tahapan 3 dan 4 tidur NREM (tidur nyenyak)
menunjukkan gelombang delta yang kuat dan lambat, gelombang tinggi
(1-4 Hz). Tidur NREM ditandai dengan tonus otot rangka yang rendah dan
gerakan mata yang lambat (Vyazovskiy & Delogu, 2014).
Hubungan dari sirkuit penghasil REM dan struktur otak depan,
hipotalamus dan batang otak adalah menghasilkan tidur REM dan tanda –
tandanya (misalnya, kelumpuhan otot). Aktivitas kolinergik langsung dan
penghambatan GABAergik menginduksi transisi ke tidur REM dengan
mengaktifkan neuron SubC glutamatergik. Proyeksi SubC Descending
mengaktifkan pelepasan GABA dan glisin ke motoneuron, menghasilkan
kelumpuhan otot rangka dalam tidur REM (Fraigne, Torontali, Snow, &
Peever, 2015).
12
5. Siklus tidur
Pada saat tidur manusia melalui berbagai tahap tidur NREM
menjadi REM sebelum memulai lagi tidur NREM. Dimulai dari tahap 1
NREM di mana tubuh mulai rileks dan keadaan mengantuk dengan
gerakan mata yang lambat. Pada tahap 1 seseorang masih mudah untuk
bangun. Dilanjutkan dengan tahap 2 yang berdurasi lebih lama dari tahap
1. Rata – rata 40 – 60% dari total waktu tidur. Kemudian tahap 3 yang
berlangsung sekitar 5 – 15% dari keseluruhan waktu tidur. Pada tahap 3
hormon pertumbuhan dikeluarkan sebagai pemulihan tubuh dan
pemulihan sistem kekebalan tubuh, hal itu sangat penting sebagai sarana
untuk menjaga kesehatan. Tahap 3 adalah tidur yang paling nyenyak dan
seseorang sulit untuk dibangunkan. Setelah tahap 3 kemudian tahap REM,
pada tahap ini respirasi dan denyut jantung tidak beraturan juga terjadi
kelumpuhan otot. Mimpi terjadi pada tahap REM (Waterhouse, Fukuda, &
Morita, 2012).
6. Electrographic dari tidur
Saat seseorang tidur terdapat gelombang – gelombang yang
bekerja. Gelombang tersebut memiliki frekuensi yang berbeda – beda dan
menandakan suatu keadaan dalam diri manusia (Waterhouse, Fukuda, &
Morita, 2012), gelombang itu yaitu gamma / beta (15–120 Hz) frekuensi
gamma dengan amplitudo rendah (30–120 Hz) dan beta (15–30 Hz) adalah
fitur utama EEG selama bangun dan ditingkatkan pada area kortikal
tertentu setelah menerima rangsangan sensorik. Ritme gamma sering
13
terjadi bersamaan dengan ritme theta selama bangun aktif dan selama tidur
REM. Interneuron cepat yang menghasilkan ritme gamma. Ritme beta dan
gamma dihasilkan oleh GABAergic interneuron, khususnya fast-spike,
interneuron GABAergik yang menyelaraskan pada tubuh sel dan segmen
awal akson dari neuron piramidal. Analisis keterkaitan gen menunjukkan
keterkaitan yang signifikan antara frekuensi beta EEG manusia dan gen
reseptor GABA. Gelombang beta muncul ketika seseorang terjaga atau
bangun. Gelombang ini aktif ketika berpikir, berkonsentrasi, atau merasa
cemas (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Gelombang beta (Medelson, 2017; h 13)
Kedua adalah Ritme alfa (8-14 Hz). Pada umumnya gelombang
alfa diamati selama terjaga dengan santai di daerah korteks parietal dan
oksipital termasuk korteks visual primer dan ditekan oleh pembukaan mata
dan rangsangan visual. Ritme alfa dapat memainkan peran penting dalam
proses berpikir yang diarahkan secara internal karena diperkuat selama
tugas yang membutuhkan aritmatika mental dan citra visual. Ritme alfa
dihasilkan dari interaksi sirkuit thalamik dan neokortikal, bersama dengan
input kolinergik batang otak tingkat sedang. Gelombang alfa muncul
14
ketika seseorang dalam keadaan santai dengan mata tertutup namun masih
terjaga. Gelombang ini akan mulai berkurang ketika seseorang mengantuk
atau saat mereka membuka mata (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Gelombang alfa (Medelson, 2017; h 13)
Gelombang ke tiga adalah ritme theta (4-8 Hz). Gelombang theta
muncul secara jelas selama bangun, selama tugas yang membutuhkan
perhatian atau memori pada manusia, dan selama tidur REM. Pada
manusia, di lobus temporal terletak di bagian ventral, ritme theta dipelajari
terutama di korteks frontal dan garis tengah yang merupakan bagian dari
jaringan standar. aktivitas theta meningkat kuat di area garis tengah-depan
selama kurang tidur dan berkorelasi dengan sleep drive. Gelombang theta
muncul sebagai tanda seseorang mengantuk, dan ritme penting dalam
tahap 2 NREM. Gelombang theta muncul ketika seseorang masih dalam
keadaan mengantuk atau tidur ringan. Gelombang ini mempunyai peran
penting dalam tidur tahap 2 (Gambar 2.3).
15
Gambar 2.3 Gelombang theta (Medelson, 2017; h 13)
Gelombang ke empat yaitu delta. Gelombang delta adalah ciri khas
dari tahap 3 dari tidur NREM yang dihasilkan dari peningkatan penarikan
rangsang input neuromodulator (terutama kolinergik dan aminergik),
gelombang delta dihasilkan dari suasana hening dan minim cahaya. Pada
saat otak mengalami gelombang delta tubuh akan bekerja untuk fase
penyembuhan atau perbaikan dari kerusakan jaringan. Gelombang delta
terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe II mendasari regulasi
homeostatis yang artinya kualitas tidur terjadi pada delta tipe II.
Sedangkan tipe I tersebar luas dan berhubungan dengan gairah serta
memicu disfungsi fungsional sebagai pelindung tidur (Bernardi, Siclari,
Handjaras, Riedner, & Tononi, 2018). Gelombang delta merupakan
karakteristik dari tidur tahap 3, dikenal juga sebagai tidur gelombang
lambat. Gelombang ini mempunyai frekuensi 0,54 siklus per detik (dikenal
dengan cps atau Hz) (Medelson, 2017; h 13).
16
Gambar 2.4 Gelombang delta (Medelson, 2017; h 13)
B. Konsep Kualitas Tidur
1. Pengertian
Menurut kamus Bahasa Indonesia tidur di artikan sebagai keadaan
berhentinya kesadaran dengan memejamkan mata guna mengistirahatkan
badan dan kesadarannya. Sedangkan kualitas adalah tingkat atau taraf baik
buruknya sesuatu. Jadi dapat disimpulkan sebagai taraf baik buruknya
individu dalam mengistirahatkan tubuh dari kesadaran.
Seorang pakar psikologi mengartikan sebagai seberapa dalam tidur
individu yang akan menghasilkan rasa segar dan bugar ketika terbangun di
pagi hari. Tingginya kualitas yang diperoleh dapat dilihat dari optimalisasi
proses dan kondisi individu ketika terlelap (Nashori & Wulandari, 2017).
2. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, secara umum
kualitas tidur dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut :
a. Sleep hygiene atau kebersihan tidur, kebersihan tidur dapat
memberikan dampak yang positif yaitu perbaikan mood, kesulitan
17
bangun pagi dan perbaikan tidur (Harmoniati, Sekartini, & Gunardi,
2016).
b. Posisi tidur, pada posisi yang nyaman dapat memberikan kepuasan
pada saat tidur (Harmoniati, Sekartini, & Gunardi, 2016).
c. Kecemasan, adalah salah satu hal yang dapat mempengaruhi kualitas
tidur. Pada saat seseorang cemas kadar norepineprin meningkat dan
menyebabkan terganggunya tidur NREM dan REM (Purwati,
Ma’arifah, & Maryati, 2015).
d. Penyakit, seseorang yang menderita penyakit pasti merasakan tidak
nyaman. Rangsangan yang dirasakan akan sangat mengganggu. Suatu
aktivitas penyakit yang buruk akan berdampak buruk terhadap
nyenyak tidaknya seseorang (Dwiutomo, Pramudo, & Hellmi, 2016).
e. Latihan dan aktivitas fisik, remaja dengan aktivitas fisik yang teratur
memiliki peluang 4 kali lebih tinggi mendapatkan kualitas yang baik
dibandingkan dengan remaja yang tidak aktif. Membaiknya kualitas
akan menjadikan kesehatan remaja menjadi optimal (Baso, Langi, &
Sekeon, 2018).
f. Stimulant dan alkohol Banyak penelitian yang mengungkapkan
bahwa mengonsumsi obat – obatan dan alkohol dapat mengganggu
istirahat malam yang berkualitas seseorang (Lohsoonthorn et al.,
2013).
g. Lingkungan, tempat yang bersih serta tenang akan membuat
seseorang merasa nyaman. Lingkungan dengan sedikit cahaya akan
18
merangsang seseorang untuk mendapatkan istirahat yang berkualitas
(Rusmiyati, 2015).
Adapun faktor – faktor yang dilihat dari pandangan Islam yang
diutarakan oleh Nashori & Wulandari (2017) kualitas tidur dapat
dipengaruhi oleh faktor - faktor sebagai berikut :
a. Bersuci, berdoa dan berzikir sebelum tidur. Bersuci yang
dimaksudkan yaitu menyucikan jasad dan rohani, dengan berwudu.
Berdasarkan Hadits Al Baro’ bin ‘Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka
Wudhulah seperti Wudhu untuk Salat, lalu berbaringlah pada sisi
kanan badanmu” (HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710). Berdoa
di sini yaitu berserah diri kepada Allah, seperti yang telah
diriwayatkan “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak
tidur, beliau mengucapkan: ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya
(Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila
bangun tidur, beliau mengucapkan: “Alhamdulillahilladzii ahyaana
ba’da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji bagi Allah yang
telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya
lah tempat kembali).” (HR. Bukhari no. 6324).
b. Posisi tidur miring ke kanan dan menghadap kiblat, seperti Hadits,
“apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, maka
beliau berbaring ke sebelah kanan.” (HR. Bukhari no. 5840 BAB 60
doa).
19
c. Secara psikologis nyaman. Pada keadaan nyaman seseorang akan
mudah untuk tertidur.
d. Tidak melakukan aktivitas berat menjelang waktu tidur. Hal ini
berguna untuk rileksnya otot.
3. Aspek kualitas tidur
Menurut Nashori & Wulandari (2017; h 6-9) ada lima aspek yang
harus terpenuhi, yaitu :
a. Nyenyak selama sepanjang malam, gangguan internal maupun
eksternal tidak akan dialami oleh seseorang yang nyenyak. Nyenyak
dengan cara yang alami lebih baik dari pada menggunakan obat.
Karena obat memiliki implikasi yang buruk bagi tubuh.
b. Waktu tidur yang cukup yaitu minimal enam jam dalam sehari. Akan
menjadikan seseorang ketika terbangun akan merasa siap untuk
beraktivitas.
c. Berbaring lebih awal dan bangun lebih awal. Hal itu akan membuat
jam biologis seseorang selaras dengan rutinitas hariannya.
d. Merasa segar ketika bangun. Jika seseorang terlelap dengan cukup
akan menjadikan tubuh segar dan bugar.
e. Tidak bermimpi buruk. Mimpi yang baik tidak akan mengganggu
seseorang yang akan membangunkan ketika malam hari.
4. Komponen kualitas tidur
Terdapat 7 komponen kualitas tidur yang pertama adalah kualitas
tidur subjektif. Kualitas tidur subjektif dapat diartikan sebagai penilaian
20
retrospektif dari pengalaman tidur seperti yang diingat oleh individu yang
pada akhirnya digabungkan dengan komponen lain sehingga menghasilkan
status kualitas tidur global (Lo, Woo, Martin, & Wilson, 2018).
Mustikawati (2016) menyatakan bahwa pola tidur santri
berhubungan dengan ketersediaan waktu tidur santri. Di mana santri
terpaku pada waktu yang telah diberikan menjadikan lama tidur malam
santri hampir semua kurang dari 7 jam. Kehidupan santri yang terjadwal
membuat kebanyakan santri sulit untuk mendapatkan waktu tidur yang
direkomendasikan. Durasi tidur yang kurang baik atau kurang dari 7 jam
selama tidur malam menyebabkan kualitas tidur buruk (Marfuah, Hadi, &
Huriyati, 2013).
Efisiensi tidur merupakan rasio total waktu tidur sejak di tempat
tidur hingga terlelap, bagaimana seseorang menghabiskan waktu di tempat
tidur dan mencoba untuk terlelap. Efisiensi tidur adalah persentase antara
jumlah total jam tidur dibagi dengan jumlah yang dihabiskan di tempat
tidur. Efisiensi tidur sangat penting, karena hal tersebut merupakan inti dari
gangguan tidur (Reed & Sacco, 2016). Semakin baik efisiensi tidur ditandai
dengan semakin cepatnya seseorang terlelap setelah berada di tempat tidur.
Latensi tidur merupakan waktu antara persiapan untuk tidur dan
awal tidur yang sebenarnya. Latensi tidur adalah salah satu komponen yang
dapat menentukan kualitas tidur. Semakin rendah kualitas tidur seseorang,
akan semakin lama juga latensi tidurnya (Purwanto, 2016).
21
Gangguan tidur di malam hari adalah masalah yang timbul ketika
seseorang tidur. Gangguan tidur dapat timbul dengan adanya rangsangan
dari lingkungan (Rusmiyati, 2015), terjaga tengah malam atau awal pagi
(Ekawati, 2015), dan lain sebagainya.
Penggunaan farmakologi untuk tidur mempengaruhi kualitas tidur
seseorang. Penanganan tidur non – farmakologi akan menjadikan kualitas
tidur lebih efektif dan efisien (Hyun & Ja, 2016).
Kualitas tidur yang baik dapat dilihat dari tidak terganggunya
aktivitas disiang hari. Sejalan dengan pernyataan Nashori & Wulandari,
(2017, h ; 6) yaitu kualitas tidur yang baik akan menghasilkan kesegaran
ketika bangun tidur.
C. Konsep Wudhu
1. Pengertian
Secara bahasa wudhu dapat diartikan sebagai tindakan membasuh
anggota badan seperti mulut, hidung, muka, kepala, telinga, tangan serta
kaki dan juga dapat berarti air bersih (Qodir, 2014). Menurut kata,
didefinisikan sebagai kebersihan, kecantikan, dan cahaya. Sedangkan
berdasarkan Syariah didefinisikan sebagai menyucikan atau menggosok
anggota tubuh tertentu dengan air yang bersih dan menyucikan karena
Allah. Membersihkan diri dapat mencegah dari berbagai penyakit.
Perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan kegiatan tersebut sebagai
pelindung dari polusi berbahaya yang ada di lingkungan (Sulaemang,
Zulkifli, Kuraedah, & Zubaidah, 2016).
22
2. Manfaat untuk kesehatan
Wudhu selain sebagai sarana untuk bersuci, diketahui juga
mempunyai manfaat untuk tidur. Menurut beberapa penelitian, manfaat
wudhu yaitu mencegah dari berbagai macam penyakit, sebagai pembersih
dari polusi. Kualitas tidur yang baik akan tercapai dengan badan yang
bersih dan segar (Sabra, 2018).
Wudhu sebagai Reflexo-Therapy, yang mana bermanfaat sebagai
terapi terapeutik yang membantu merilekskan sistem saraf dan
meringankan tekanan stres serta kecemasan (Bajirova, 2018). Berwudhu
dengan air yang segar merangsang pengeluaran hormon endorfin dalam
tubuh serta menekan adrenalin. Hormon endorfin akan dikeluarkan ketika
gelombang otak theta, sehingga perasaan rileks dan tenang akan dirasakan
(Purnamasari & Fitriani, 2019). Wudhu juga dapat sebagai sarana
membersihkan diri dari kotoran sebelum tidur (Brick, Seely, & Palermo,
2010). Saat tubuh kita bersih suasana hati akan lebih damai dan
menenangkan jiwa. Hal itu akan memberikan emosi positif dan menekan
emosi negatif yang berguna untuk rileksasi otot – otot yang tegang
(Maigari, 2016). Pada saat tubuh rileks, tidur akan nyenyak dan bangun
dengan keadaan segar bugar (Lestari & Minan, 2018).
Menurut penelitian yang telah ada wudhu memberikan manfaat
baik secara psikologi maupun fisiologis. Pada aspek psikologis wudhu
dapat memberikan kedamaian jiwa yang mampu mengatasi berbagai
masalah saraf dan ketegangan saraf, pada saat syaraf rileks,
23
neurotransmitter GABA akan bekerja. Selain itu, air wudhu dapat meresap
dalam pikiran dan hati bisa menciptakan emosi yang baik. Sedangkan pada
aspek fisiologis wudhu dapat sebagai sarana membersihkan tubuh dari
kotoran dan sebagai relaksasi (Sari, 2018). Saat membasuh kepala dari
depan sampai belakang dapat menciptakan gelombang theta, hal itu
menjadikan tubuh dalam keadaan yang rileks atau dapat dikatakan
mengantuk. Pada saat otak pada gelombang theta sangat mudah untuk
tertidur dan sebagai penghantar ke gelombang delta (Waterhouse, Fukuda,
& Morita, 2012). Serta pada saat mencuci tangan dari ujung tangan sampai
siku bermanfaat sebagai penekan stres dan rileksasi karena pada tangan
terdapat syaraf – syaraf yang dapat mengontrol serotonin. Selain itu, dapat
juga sebagai pelancar peredaran darah yang bisa memperlancar distribusi
O2 ke otak (Agrawal, Sao, Maheshwari, & Singh, 2012).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa wudhu memicu komponen
yang mendasari terwujudnya kualitas tidur yang baik. Komponen tersebut
antara lain adalah gelombang theta yang dapat menjadikan tubuh dalam
kondisi yang sangat rileks. Gelombang theta juga sebagai penghantar
untuk sampai pada gelombang delta, di mana gelombang delta adalah
penanda sebagai tidur yang nyenyak pada manusia (Irmak, 2014)
Neurotransmitter juga akan bekerja pada saat kita wudhu. Hal itu
di tandai dengan gejala yang ditimbulkan yaitu rileksnya otot – otot, tubuh
segar, dan suasana hati yang nyaman serta terblokadenya rangsangan –
24
rangsangan. Gejala – gejala tersebut adalah akibat dari bekerjanya hormon
GABA, glutamat dan glisin (Tumiran, Saat, Rahman, & Adli, 2010).
D. Pondok Pesantren
Istilah pesantren merujuk pada tempat belajar bagi kaum intelektual
Muslim yang dinamakan santri. Mereka mewarisi dan memelihara
keberlanjutan tradisi keilmuan Islam sehingga sampai kepada dakwah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Damhuri, 2017).
Kehidupan santri yang tinggal di pondok pesantren berbeda dengan
seorang remaja yang tinggal di rumah bersama orang tua dan keluarga. Seorang
remaja santri yang tinggal di pondok pesantren sejak bangun pagi, harus
beribadah hingga waktu sekolah tiba. Sore hari, mereka disibukkan dengan
berbagai kegiatan pondok, lalu mengaji dan belajar di malam hari. Waktu tidur
relatif singkat, menu makanan terbatas, dan tinggal dalam ruangan besar berisi
belasan santri (Sucahyo, 2017).
25
E. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Keterangan :
: Tidak diamati
: Diamati
Aspek kualitas tidur yang
baik :
1. Nyenyak sepanjang
malam
2. Waktu tidur yang cukup.
3. Berbaring lebih awal dan
bangun lebih awal
4. Merasa segar ketika
bangun
5. Tidak mimpi buruk
(Nashori & Wulandari,
2017; h 6-9),
Mempengaruhi :
Neurotranmitter GABA,
Glisin, Glutamat, Serotonin;
Gelombang otak : Theta dan
delta; Hormon endorfin;
Kebersihan; Rileksasi;
Termoregulasi; Emosi positif
Proses homeostatis
(intensitas tidur)
Tahap REM dan
NREM
Kualitas tidur
yang baik
Faktor yang
mempengaruhi kualitas
tidur:
1. Berwudhu
2. Sleep Hygen
3. Posisi Tidur
4. Kecemasan
5. Penyakit
6. Latihan dan aktivitas
7. Stimulan dan
alkohol
8. Lingkungan
(Nashori & Wulandari,
2017); (Harmoniati,
Sekartini, & Gunardi,
2016); (Purwati,
Ma’arifah, & Maryati,
2015); (Dwiutomo &
Pramudo, 2016); (Baso,
Langi, & Sekeon, 2018);
(Lohsoonthorn et al.,
2013) (Rusmiyati, 2015).
26
F. Kerangka Konsep
Bagan 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
G. Hipotesis
H0 : Tidak ada hubungan berwudhu sebelum tidur kualitas tidur santri
H1 : Ada hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur
santri
Berwudhu Kualitas tidur
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi korelasi atau penelaahan antara dua
variabel pada situasi tertentu, guna melihat hubungan variabel satu dengan
variabel yang lain. Kemudian dilakukan uji statistik dengan analisis korelasi
yang dilihat melalui skors atau nilai rata – rata antar variabel. Sehingga
menghasilkan koefisien korelasi sebagai penentu apakah ada hubungan atau
tidak. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional study atau pendekatan yang mempelajari hubungan
antara faktor – faktor risiko dengan efek yang diobservasi pada satu waktu
(Priyono 2016; h 52).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik
2. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari – April 2019.
C. Populasi Penelitian
Populasi didefinisikan sebagai semua gejala/satuan yang akan diteliti.
Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti (Priyono,
2016; h 140).
1. Populasi target
Santri pondok Pesantren yang bersekolah SMA kelas 1, 2, dan 3
28
2. Populasi aktual
Semua santri remaja SMA kelas 1, 2 dan 3 Pondok Pesantren Damarjati
Kaliangkrik yang berjumlah 66 santri.
D. Sampel dan Sampling
Sampel merupakan wakil dari populasi yang akan diteliti (Arikunto
2013; h 174). Pada penelitian ini menggunakan total sampling. Cara tersebut
adalah sampling atau pengambilan sampel berdasarkan seluruh populasi yang
ada (Sastroasmoro & Ismael, 2011; h 97). Sampel pada penelitian ini adalah
remaja SMA kelas 1, 2, dan 3 Pondok Pesantren Damar yang berjumlah 66
santri.
E. Kriteria restriksi
1. Inklusi
a) Remaja yang sedang menempuh pendidikan SMA.
b) Remaja tinggal di Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik.
c) Remaja santri yang menyatakan sehat.
2. Eksklusi
a) Santri yang sedang terhalang terkena air.
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini yaitu berwudhu sebelum tidur.
29
b. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas tidur pada santri
Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik yang sedang SMA kelas 1, 2,
dan 3.
2. Definisi operasional
Tabel 3.1 Definisi operasional variabe
Variabel Definisi Operasional Alat dan Hasil Ukur Skala
Wudhu Wudhu adalah suatu
ibadah yang dilakukan
oleh responden muslim
dan sekaligus sebagai
bentuk membersihkan
diri dengan
menggunakan air
wudhu. Dilakukan
dengan niat, membasuh
tangan satu kali dan
disunahkan tiga kali,
berkumur sambil
menghirup air lewat
hidung, membasuh
wajah satu kali dan
disunahkan tiga kali,
membasuh kedua
tangan sampai siku satu
kali dan disunahkan
tiga kali, mengusap
kepala sekaligus telinga
satu kali, membasuh
kedua kaki sampai mata
kaki satu kali dan
disunahkan tiga kali,
menghadap kiblat dan
membaca do’a setelah
wudhu
Lembar observasi, hasil :
Menyatakan melakukan
berwudhu sebelum tidur
dengan kriteria :
1) 6 hari penuh
kebelakang sudah
melakukan wudhu
sebelum tidur.
2) Berwudhu dengan air
bersih dan segar.
Menyatakan tidak
melakukan berwudhu
sebelum tidur dengan
kriteria :
1) Berwudhu sebelum
tidur belum rutin
selama 6 hari terakhir.
2) Batal dalam
berwudhu dan tidak
berwudhu lagi
sebelum tidur.
Nominal
Kualitas
Tidur
Hasil pengukuran PSQI
meliputi: kualitas tidur
subjektif, tidur laten,
durasi tidur, efisiensi
tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat tidur
dan disfungsi di siang
hari
Pittsburgh Sleep Quality
Index. Hasil ukurnya
adalah :
0-21 dengan perhitungan
terhadap 7 komponen
yaitu kualitas tidur
subjektif; latensi tidur;
lama tidur malam;
Nominal
30
Variabel Definisi Operasional Alat dan Hasil Ukur Skala
efisiensi tidur;
gangguan ketika tidur;
penggunaan obat tidur;
terganggunya aktivitas
disiang hari. Dengan
penilaian 0 – 3 dan
penghitungan skor
kualitas tidur global
dengan penilaian
Kualitas tidur baik < 5,
dan kualitas tidur buruk
≥ 5
G. Intervensi dan Instrumen
1. Intervensi
Penelitian ini menggunakan intervensi sebagai pengkajian mencari
hasil dari instrumen kuesioner yang diberikan kepada responden, untuk
mengukur kualitas tidurnya.
2. Instrumen
Instrumen penelitian ini dalam mengukur kualitas tidur
menggunakan kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) berbahasa
Indonesia. Kuesioner ini sudah teruji validitas dan reabilitas yang
dilakukan oleh Lestari & Minan (2018). Terdiri dari 18 pertanyaan dan
dikelompokkan menjadi 7 komponen yaitu : kualitas tidur subyektif, latensi
tidur, lama tidur malam, efisiensi tidur, gangguan ketika tidur malam,
menggunakan obat-obat tidur, terganggunya aktivitas. Jumlah skor
keseluruhan adalah 21, jika <5 maka kualitas tidur baik dan jika ≥5 kualitas
tidur buruk.
31
H. Rencana Analisis Data
1. Pengolahan Data
Langkah pengolahan data dilakukan sebagai berikut :
a. Editing, peneliti memeriksa kelengkapan data kuesioner yang
diberikan oleh responden. Apabila terjadi kesalahan data atau kurang
lengkap, dan tidak mungkin dilakukan wawancara ulang maka
kuesioner tersebut dikeluarkan (dropout).
b. Coding, peneliti memberikan kode tertentu pada jawaban responden.
c. Entry data, peneliti memasukan hasil berdasarkan kode dan kelompok
jawaban ke dalam komputer untuk diolah.
d. Cleaning, proses pengecekan data yang sudah dimasukkan untuk
diperiksa sehingga mencegah kesalahan dan kurang lengkapnya
dalam mengisi data. Jika ada kesalahan maka akan dilakukan
perbaikan data agar data dapat dilakukan proses analisis.
2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan karakteristik
setiap variabel yang digunakan (Dahlan 2014; h 22). Variabel yang
akan dianalisa adalah variabel bebas yaitu wudhu sebelum tidur yang
dipengaruhi oleh variabel terikat yaitu kualitas tidur semua remaja
santri SMA Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik.
32
b. Analisa Bivariat
Penelitian ini menggunakan uji hasil chi square dikarenakan
skala data yang digunakan yaitu nominal dan nominal (Dahlan 2014;
h 22). Kemaknaan yang digunakan antara variabel tersebut adalah
95% dengan nilai alfha = 0,05. Apabila nilai P <0,05 pada uji chi
square maka ada hubungan dan jika P >0,05 maka tidak ada
hubungan.
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian yang berjudul hubungan berwudhu
sebelum tidur dengan kualitas tidur semua santri remaja SMA di Pondok
Pesantren Damarjati Kaliangkrik, peneliti memperhatikan etika penelitian yang
meliputi:
a. Persetujuan Responden (Informent consent) Lembar persetujuan diberikan
kepada responden yang akan diteliti, kemudian peneliti menjelaskan
tujuan dan maksud penelitian serta dampak yang mungkin terjadi pada saat
dan sesudah pengumpulan data. Apabila responden menolak maka peneliti
tidak melakukan pemaksaan dan tetap menghormati hak-hak responden.
b. Tanpa Nama (Anonymity) Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti
memberikan inisial sebagai pengganti nama responden pada lembar alat
ukur.
c. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi dijamin oleh peneliti
di mana semua informasi sudah dikumpulkan di jaga kerahasiaannya dan
hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan untuk hasil riset.
33
d. Pengajuan ethical clearance Pengajuan permohonan kepada komisi etik
penelitian kesehatan Poltekkes Kemenkes Semarang secara online dengan
mengirim beberapa dokumen terkait dengan penelitian yang akan
dilakukan.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Damarjati yang berlokasi di
Kaliangkrik, Magelang. Dilakukan pada tanggal 17 Maret 2019 dengan jumlah
responden sebanyak 66 santri yang telah memenuhi kriteria. Didapatkan hasil
sebagai berikut :
A. Analisa univariat
Analisa univariat dalam penelitian ini terdiri dari karakteristik responden
berupa kualitas tidur menurut jenis kelamin dan kelas, komponen kualitas tidur,
serta berwudhu sebelum tidur menurut jenis kelamin dan kelas.
Tabel 4.1 Distribusi kualitas tidur menurut jenis kelamin
Jenis kelamin Kualitas tidur N=66 %
Baik Buruk
f % f %
Laki – laki 6 28,6 15 71,4 21 100
Perempuan 21 46,7 24 53,3 45 100
Total 27 40,6 39 59,1 66 100
Sumber : Data primer
Hasil penelitian dengan jumlah santri perempuan sebanyak 45 santri
(68,2%) dan jumlah laki – laki 21 santri (31,8%). Santri dengan kualitas tidur
baik pada jenis kelamin perempuan mempunyai 21 santri (46,7%) dan 6 santri
(28,6%) pada laki – laki. Menunjukkan bahwa kualitas tidur perempuan lebih
banyak dari pada santri laki – laki. Sedangkan santri dengan kualitas tidur yang
buruk yaitu 15 santri (71,4%) laki – laki dan 24 santri (53,3%) pada perempuan.
35
Tabel 4.2 Distribusi kualitas tidur menurut kelas
Kelas Kualitas tidur Total
Baik Buruk
f % f % f %
1 13 56,5 10 43,5 23 100
2 8 42,1 11 57,9 19 100
3 6 25 18 75 24 100
Total 27 40,9 39 59,1 66 100
Sumber : Data primer
Penelitian ini menghasilkan jumlah kelas 1 yaitu 23 santri (34,8%), kelas
2 yaitu 19 santri (28,8%) dan kelas 3 dengan 24 santri (36,4%). Kualitas tidur
dengan kategori baik paling banyak terdapat pada kelas 1 dengan 13 santri
(56,5%), dan paling sedikit pada kelas 3 dengan 6 santri (25%).
36
Tabel 4.3 Distribusi komponen kualitas tidur menurut kelas
Kompo
nen
PSQI
Kategori Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Total responden
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
f % f % f % f % f % f % f % f %
Kompo
nen 1:
Kualitas
tidur
subjekti
f
0 : sangat
baik
13 100 4 40 11 91,7 1 14,3 10 90,9 2 15,4 34 51,5 7 10,6
1 : baik 0 0 3 30 1 8,3 5 71,4 0 0 8 61,5 1 1,5 16 24,2
2 : kurang 0 0 3 30 0 0 1 14,3 1 9,1 2 15,4 1 1,5 6 9,1
3 : sangat
kurang
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 7,7 0 0 1 1,5
Kompo
nen 2 :
Latensi
tidur
0 : sangat
baik
8 61,5 2 20 10 83,3 0 0 10 90,9 2 15,4 28 42,4 4 6,1
1 : baik 5 38,5 7 70 2 16,7 7 100 0 0 6 46,1 7 10,6 20 30,3
2 : kurang 0 0 1 10 0 0 0 0 1 9,1 5 38,5 1 1,5 6 9,1
3: sangat
kurang
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kompo
nen 3 :
Durasi
tidur
0 : >7 jam 1 7,7 1 10 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1,5 1 1,5
1 : 6 – 7
jam
4 30,8 4 40 3 25 0 0 0 0 0 0 7 10,6 4 6,1
2 : 5 – 6
jam
7 53,8 1 10 6 50 2 28,6 8 72,7 7 53,8 21 31,8 10 15,2
37
Kompo
nen
PSQI
Kategori Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Total
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
f % f % f % f % f % f % f % f %
Kompo
nen 3 :
Durasi
tidur
3 : < 5
jam
1 7,7 4 40 3 25 5 71,4 3 27,3 6 46,2 7 10,6 15 22,7
Kompo
nen 4 :
Efisiens
i tidur
0 : > 85 % 10 76,9 3 30 9 75 3 42,9 8 72,7 4 30,8 27 40,9 10 15,2
1 ; 75 – 84
%
2 15,4 6 60 3 25 1 14,3 2 18,2 4 30.8 7 10,6 11 16,7
2 : 65 – 74
%
1 7,7 1 10 0 0 2 28,6 1 9,1 5 38,5 2 3 8 12,1
3 : < 65 % 0 0 0 0 0 0 1 71,4 0 0 0 0 0 0 1 1,5
Kompo
nen 5 :
Ganggu
an tidur
0 : tidak
pernah
0 0 0 0 2 16,7 0 0 0 0 8 61,5 2 3 8 12,1
1 : 1x
seminggu
13 100 8 80 10 83,3 3 42,9 11 100 5 38,5 34 51,5 16 24,2
2 : 2x
seminggu
0 0 2 20 0 0 3 42,9 0 0 0 0 0 0 5 7,6
3 : 3 x
≤semingg
u
0 0 0 0 0 0 1 14,3 0 0 0 0 0 0 1 1,5
Kompo
nen 6 :
Penggu
naan
obat
tidur
0 : tidak
pernah
13 100 10 100 12 100 7 100 11 100 13 100 36 100 30 100
1 : 1x
seminggu
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 : 2x
seminggu
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
38
Kompo
nen
PSQI
Kategori Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Total responden
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
Berwudhu Tidak
berwudhu
f % f % f % f % f % f % f % f %
Kompo
nen 6 :
penggu
naan
obat
tidur
3 : 3x
≤semingg
u
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kompo
nen 7 :
Disfung
si
aktivitas
siang
hari
0 : tidak
pernah
8 61,5 0 0 2 16,7 0 0 2 18,2 0 0 12 18,2 0 0
1 : 1x
seminggu
5 38,5 4 40 10 83,3 0 0 8 72,7 6 46,1 23 34,8 10 15,2
2 : 2x
seminggu
0 0 3 30 0 0 2 28,6 1 9,1 6 46,1 1 1,5 11 16,7
3 : 3x
≤semingg
u
0 0 3 30 0 0 5 71,4 0 0 1 7,7 0 0 9 13,6
Sumber : Data primer
39
Hasil yang didapatkan yaitu, komponen 1 kualitas tidur subjektif pada
kelas 1 santri yang berwudhu dengan kategori sangat baik sebanyak 13 santri
(100%) dan yang tidak berwudhu sebelum tidur dengan kategori sangat baik
sebanyak 4 santri (40%). Pada kelas 2 yang berwudhu dengan kategori sangat
baik sebanyak 11 santri (91,7%) dan yang tidak berwudhu dengan kategori
sangat baik sebanyak 1 santri (14,3%). Pada kelas 3 santri yang berwudhu
dengan kategori sangat baik sebanyak 10 santri (90,9%) dan yang tidak
berwudhu dengan kategori sangat baik sebanyak 2 santri (15,4%).
Komponen kedua yaitu latensi tidur kelas 1 santri yang berwudhu dengan
kategori sangat baik sebanyak 8 santri (61,5%) dan yang tidak berwudhu
sebelum tidur dengan kategori sangat baik sebanyak 2 santri (20%). Pada kelas
2 yang berwudhu dengan kategori sangat baik sebanyak 10 santri (83,3%) dan
yang tidak berwudhu dengan kategori sangat baik tidak ada 1 santri (14,3%).
Pada kelas 3 santri yang berwudhu dengan kategori sangat baik sebanyak 10
santri (90,9%) dan yang tidak berwudhu dengan kategori sangat baik sebanyak
2 santri (15,4%).
Komponen ketiga yaitu durasi tidur kelas 1 yang berwudhu dengan
kategori <5 jam adalah 1 santri (7,7%) dan yang tidak berwudhu 4 santri (40%).
Pada kelas 2 yang berwudhu dengan kategori <5 jam adalah 3 santri (25%) dan
yang tidak berwudhu 5 santri (71,4%). Pada kelas 3 yang berwudhu dengan
kategori <5 jam adalah 3 santri (27,3%) dan yang tidak berwudhu 6 santri
(46,2%). Komponen keempat yaitu efisiensi tidur kelas 1 santri yang berwudhu
dengan kategori >85% sebanyak 10 santri (76,9%) dan yang tidak berwudhu
40
sebelum tidur sebanyak 3 santri (30%). Pada kelas 2 yang berwudhu dengan
kategori >85% sebanyak 3 santri (83,3%) dan yang tidak berwudhu ada 3 santri
(42,9%). Pada kelas 3 santri yang berwudhu dengan kategori >85% sebanyak
8 santri (72,7%) dan yang tidak berwudhu sebanyak 4 santri (30,8%).
Komponen kelima yaitu gangguan tidur, kelas 1 yang berwudhu dengan
kategori 1 kali seminggu adalah 13 santri (100%) dan yang tidak berwudhu 8
santri (80%). Pada kelas 2 yang berwudhu dengan kategori kategori 1 kali
seminggu adalah 9 santri (75%) dan yang tidak berwudhu 3 santri (42,9%).
Pada kelas 3 yang berwudhu dengan kategori 1 kali seminggu adalah 8 santri
(72,7%) dan yang tidak berwudhu 4 santri (30,8%).
Pada komponen 6 penggunaan obat sebelum tidur semua responden tidak
memakai obat sebelum tidur. Pada komponen 7 yaitu disfungsi aktivitas siang
hari, kelas 1 yang berwudhu dengan kategori tidak pernah adalah 8 santri
(61,5%) dan yang tidak berwudhu dengan kategori tidak pernah tidak ada. Pada
kelas 2 yang berwudhu dengan dengan kategori tidak pernah adalah 2 santri
(16,7%) dan yang tidak berwudhu dengan kategori tidak pernah tidak ada. Pada
kelas 3 yang berwudhu dengan kategori kategori tidak pernah adalah 2 santri
(18,2%) dan yang tidak berwudhu dengan kategori tidak pernah tidak ada.
Tabel 4.4 Distribusi berwudhu sebelum tidur menurut jenis kelamin
Jenis
kelamin
Berwudhu sebelum tidur Total
Ya Tidak
f % f % f %
Laki – laki 13 61,9 8 38,1 21 100
Perempuan 23 51,1 22 48.9 45 100
Total 36 54,5 30 45,5 66 100
Sumber : Data primer
41
Santri yang melakukan wudhu sebelum tidur pada laki – laki sebanyak
13 santri (61,9%) dan pada perempuan 23 santri (51,1%). Sedangkan pada
santri yang tidak melakukan wudhu sebelum tidur pada laki – laki adalah 8
santri (38,1%) dan perempuan 22 santri (48,9%).
Tabel 4.5 Distribusi berwudhu sebelum tidur berdasarkan kelas
Kelas Berwudhu sebelum tidur Total
Ya Tidak
f % f % n=66 %
1 13 56,5 10 43,5 23 100
2 12 63,2 7 36,8 19 100
3 11 45,8 13 54,2 24 100
Total 36 54,5 30 45,5 66 100
Sumber : Data primer
Banyaknya santri yang melakukan berwudhu sebelum tidur terdapat pada
kelas 2 yaitu 12 santri (63,2%) dan paling sedikit pada kelas 3 yaitu sebanyak
11 santri (45,8%).
B. Analisa bivariat
Analisa bivariat pada penelitian ini menggunakan uji korelasi chi-square
untuk mengetahui hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur
santri.
Tabel 4.6 Analisa hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur
Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square 40,763 1 0,000
Continuty 37,645 1 0,000
Likelihood Rasio 46,311 1 0,000
Fisher’s Exact Test 0,000 0,000
N of Valid Cases 66
Sumber : Data Primer
42
Hasil dari uji korelasi chi-square nilainya adalah 0,000 yang berarti
bahwa ada hubungan antara berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur
remaja santri SMA Pondok Pesantren Damarjati Kaliangkrik.
43
BAB V
PEMBAHASAN
A. Kualitas tidur
1. Jenis kelamin
Pada penelitian ini dapat dijelaskan bahwa perempuan mempunyai
kualitas tidur yang lebih baik dari pada laki – laki. Hal itu didasarkan oleh
orang Indonesia yang lebih membebaskan aktivitas jam malam pada anak
laki – laki dari pada perempuan. Sejalan dengan Ginting & Gayatri (2013)
bahwa kualitas tidur laki – laki tidak lebih baik dari pada perempuan,
namun jenis kelamin tidak berhubungan dengan kualitas tidur.
Penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Fatima, Doi,
Najman, & Mamun (2016) yang menyatakan kualitas tidur laki – laki lebih
baik dari pada perempuan. Kondisi psikologi yang tidak terkontrol pada
wanita seperti kecemasan, gelisah dan emosi, menyebabkan gangguan tidur
pada wanita (Indraswati, Lusiana, & Tri, 2018). Agustiar dan Asmi (2010)
menyebutkan bahwa perempuan memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi
dan lebih sensitif dari pada laki – laki, hal itulah yang menyebabkan
perempuan memiliki kualitas tidur lebih buruk dari pada laki – laki.
Kualitas tidur perempuan dapat dipengaruhi oleh stabilitas
psikologis yang tidak terkontrol, yang mana itu dapat berpengaruh terhadap
kualitas tidur. Pada laki – laki, yang paling berpengaruh terhadap kualitas
tidur adalah aktivitas malam. Aktivitas malam yang berlebih akan
44
mengganggu sistem sirkadian maupun kondisi tubuh pada laki – laki. Hal
itu adalah faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang.
2. Aktivitas santri
Santri kelas 3 adalah remaja yang sedang menjalani jenjang akhir
pendidikan dan menghadapi banyak aktivitas yang dapat menyita waktu
tidur para santri atau mengganggu pola tidur santri. Aktivitas yang berlebih
dapat memicu kelelahan yang berpengaruh terhadap pola tidur seseorang.
Semakin lelah seseorang akan semakin pendek siklus REM yang dilalui
(Kasiati & Rosmalawati, 2017, h 146).
Tuntutan sekolah dan Pondok Pesantren menjadikan para santri stres
yang berlebih. Stres yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas tidur
(Wibawa & Widiasavitri, 2013). Semakin tinggi tingkat depresi, cemas,
dan stres akan semakin buruk kualitas tidurnya (Aryadi, Yusari, Dhyani,
Kusmadana, & Sudira, 2018). Wicaksono, Yusuf, & Widyawati (2012)
juga menyebutkan bahwa stres merupakan faktor dominan yang
berhubungan dengan kualitas tidur.
Stres dan cemas dapat mempengaruhi ketegangan otot dan saraf dan
otot yang mana neurotransmiter tidur tidak akan keluar ketika syaraf atau
otot tidak rileks (Bajirova, 2018). Stres dapat menyebabkan seseorang
menjadi tegang dan menjadikan seseorang berusaha terlalu keras agar dapat
tertidur, sering terbangun, atau terlalu lama tidur (Ardenny & Agus, 2010).
Santri remaja SMA kelas 3 disibukkan dengan berbagai aktivitas.
Mulai dari tugas sekolah, jadwal di Pondok pesantren, persiapan Ujian
45
Nasional SMA, dan kegiatan lain yang dilakukan para santri. Aktivitas
yang padat para santri kelas 3 menimbulkan kelelahan yang mengganggu
regulasi tidur. Selain itu dapat juga memicu stres dan cemas. Sehingga
kualitas tidur santri remaja SMA kelas 3 yang dipengaruhi oleh faktor di
atas menjadikan banyak yang memiliki kualitas tidur yang buruk.
3. Komponen kualitas tidur
Kuesioner PSQI terdiri dari 18 pertanyaan dan dikelompokkan
menjadi 7 komponen yaitu : kualitas tidur subyektif, latensi tidur, lama tidur
malam, efisiensi tidur, gangguan ketika tidur malam, menggunakan obat-
obat tidur, terganggunya aktivitas yang kemudian skor keseluruhannya
dijumlahkan dengan total 21. Skor di interpretasikan dengan <5 maka
kualitas tidur baik dan jika ≥5 kualitas tidur buruk.
Pada pembahasan ini, terdapat komponen – komponen tidur yang
berperan banyak dalam menentukan kualitas tidur yang baik. Pertama yaitu
kualitas tidur subjektif, yang merupakan penilaian restropektif dari
pengalaman tidur yang diingat (Lo, Woo, Martin, & Wilson, 2018). Santri
yang berwudhu sebelum tidur dan menyatakan kualitas tidur baik
mengartikan sebuah kebiasaan berwudhu yang telah dilakukan dan
mendapatkan kualitas tidur yang baik.
Selanjutnya yang kedua adalah komponen latensi tidur, diartikan
sebagai waktu antara persiapan untuk tidur dan awal tidur yang sebenarnya.
Semakin baik kualitas tidur seseorang, akan semakin cepat juga latensi
tidurnya (Purwanto, 2016). Berwudhu sebelum tidur dapat memberikan
46
perasaan rileks pada tubuh (Lestari & Minan, 2018), sehingga
memunculkan perasaan nyaman yang dapat mempercepat seseorang untuk
tertidur.
Ketiga adalah komponen efisiensi tidur, diartikan sebagai persentase
antara jumlah total jam tidur dibagi dengan jumlah yang dihabiskan di
tempat tidur. Efisiensi tidur sangat penting, karena hal tersebut merupakan
inti dari gangguan tidur (Reed & Sacco, 2016). Seseorang dengan efisiensi
tidur yang baik akan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan gangguan tidur,
dikarenakan tidur yang didapat adalah tidur dalam. Pada saat seseorang
dengan tidur dalam, semua rangsangan akan diblok (Faust, Assous, Tepper,
& Koo, 2016). Hal itu disebabkan dengan adanya neurotransmiter GABA
yang memblokade semua rangsangan yang ada. GABA bekerja saat tubuh
merasakan rileks, yang mana dapat didapat setelah berwudhu.
Terdapat perbedaan yang signifikan dari hasil penilaian komponen –
komponen kualitas tidur antara responden yang berwudhu sebelum tidur
dan yang tidak berwudhu. Responden yang tidak berwudhu sebelum tidur
disebabkan beberapa komponen dengan hasil kriteria cukup buruk.
Komponen pertama yaitu pada komponen lama tidur. Responden dengan
lama tidur yang kurang dari 5 jam menyumbang skor yang cukup banyak
untuk interpretasi kualitas tidur yang buruk. Mustikawati (2016)
menyatakan bahwa pola tidur santri berhubungan dengan ketersediaan
waktu tidur santri. Di mana santri terpaku pada waktu yang telah diberikan
menjadikan lama tidur malam santri hampir semua kurang dari 7 jam.
47
Kehidupan santri yang terjadwal membuat kebanyakan santri sulit untuk
mendapatkan waktu tidur yang direkomendasikan. Durasi tidur yang
kurang baik atau kurang dari 7 jam selama tidur malam menyebabkan
kualitas tidur buruk (Marfuah, Hadi, & Huriyati, 2013).
Kemudian yang kedua yaitu komponen disfungsi aktivitas disiang
hari, yang mana terganggunya aktivitas disiang hari, seperti mengantuk,
lesu, lemas dan lain – lain. Hal ini berhubungan dengan kualitas tidur yang
buruk dengan lama tidur yang tidak tercukupi. Nashori & Wulandari (2017,
h ; 6) menyatakan bahwa kualitas tidur yang baik akan menghasilkan
kesegaran ketika bangun tidur.
B. Berwudhu sebelum tidur
Wudhu berdasarkan kata didefinisikan sebagai kebersihan, kecantikan,
dan cahaya. Sedangkan berdasarkan Syariah berwudhu merupakan menyuci
atau menggosok anggota wudhu dengan air yang bersih dan menyucikan
karena Allah. Perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan berwudhu sebagai
pelindung dari polusi yang dapat mengganggu kesehatan (Sulaemang, Zulkifli,
Kuraedah, & Zubaidah, 2016). Berwudhu merupakan tindakan membasuh
anggota badan seperti mulut, hidung, muka, kepala, telinga, tangan, dan kaki
menggunakan air yang bersih (Qodir, 2014).
Berwudhu sebelum tidur dapat diartikan sebagai tindakan membersihkan
diri sebelum tidur. Pada umumnya berwudhu dilakukan ketika hendak
melakukan ibadah seperti Shalat, namun dapat juga dilakukan pada saat
seseorang akan tidur hal itu bertujuan agar menjaga kebersihan hati maupun
48
fisik ketika hendak akan tidur (Matheer, 2015). Berwudhu dapat membersihkan
diri ketika akan tidur dan membuat suasana hati akan lebih damai dan
menangkan jiwa, memberikan emosi positif dan menekan emosi negatif
(Maigari, 2016). Berwudhu dengan air yang segar merangsang pengeluaran
hormon endorfin dalam tubuh serta menekan adrenalin. Sehingga, hormon
endorfin akan dikeluarkan ketika otak mengalami gelombang theta, ketika
seseorang dalam keadaan gelombang otak theta suasana yang didapat adalah
perasaan rileks dan tenang sehingga akan muncul emosi positif (Purnamasari
& Fitriani, 2019).
Berwudhu sebelum tidur sangat bermanfaat untuk menciptakan suasana
rileks yang dihasilkan dari dibasuhnya anggota wudhu kepala dari kepala
depan hingga kepala belakan sehingga merangsang otak untuk menghasilkan
gelomang otak theta. Ketika otak menciptakan gelombang theta, tubuh akan
merasakan rileks dan hormon endorfin dikeluarkan yang mana hal itu
menghasilkan suasana yang nyaman.
Berwudhu sebelum tidur hanya salah satu cara dari sebagian banyak cara
yang bisa digunakan untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik. Sehingga
tidak semua santri remaja SMA yang tinggal di Pondok Pesantren Damarjati
menggunakan cara berwudhu sebelum tidur.
C. Analisa hubungan berwudhu sebelum tidur dengan kualitas tidur
Berwudhu dapat menekan beberapa penyebab kualitas tidur yang buruk,
yaitu stres dan cemas. Berwudhu dengan air yang bersih akan merelaksasi
sistem syaraf dan meredakan stres serta kecemasan (Bajirova, 2018).
49
Berwudhu merupakan salah satu terapi yang dapat mempengaruhi fungsi
neurologis (Saputro, 2015). Ketika berwudhu, neurotransmiter glutamat,
GABA, dan Glisin akan aktif yang menyebabkan rileksnya otot – otot, tubuh
segar, dan suasana hati yang nyaman serat terblokadenya rangsangan –
rangsangan dari luar (Tumiran, Saat, Rahman, & Adli, 2010). Selain itu, dapat
juga sebagai pelancar peredaran darah yang bisa memperlancar distribusi O2
ke otak (Agrawal, Sao, Maheshwari, & Singh, 2012). Saat membasuh kepala
dari depan sampai belakang dapat memicu gelombang theta sehingga
menciptakan keadaan yang rileks atau dapat dikatakan mengantuk,
memudahkan seseorang mendapatkan tidur dalam (Waterhouse, Fukuda, &
Morita, 2012).
Menurut Nashori & Wulandari (2017) salah satu cara untuk mendapatkan
kualitas tidur yang baik adalah dengan berwudhu sebelum tidur. Berwudhu
dapat sebagai sarana membersihkan diri dari kotoran sebelum tidur (Brick,
Seely, & Palermo, 2010). Sejalan dengan pernyataan Harmoniati, Sekartini, &
Gunardi, (2016) yaitu saat tubuh bersih dapat memperbaiki mood, kesulitan
bangun pagi dan perbaikan tidur. Kualitas tidur yang baik akan tercapai dengan
tubuh yang bersih dan segar (Sabra, 2018). Saat mencuci tangan dari ujung
tangan sampai siku – siku ketika berwudhu bermanfaat sebagai penekan stres,
(Maigari, 2016).
Berwudhu memberikan manfaat baik secara psikologi maupun fisiologis.
Pada aspek psikologis berwudhu dapat memberikan kedamaian jiwa yang
mampu mengatasi berbagai masalah saraf dan ketegangan saraf, pada saat
50
syaraf rileks, neurotransmitter GABA akan bekerja. Selain itu, air wudhu dapat
meresap dalam pikiran dan hati bisa menciptakan emosi yang baik. Sedangkan
pada aspek fisiologis berwudhu dapat sebagai sarana membersihkan tubuh dari
kotoran dan sebagai relaksasi (Sari, 2018)
Gerakan pada wudhu juga dapat menstimulasi saraf vagus, seperti pada
saat membasuh wajah dan berkumur dengan air dingin dapat merangsang saraf
vagus. Saraf vagus adalah bagian yang sangat penting dalam sistem otonom,
bekerja di bawah naluri seseorang. Saraf vagus dapat diibaratkan dengan sistem
komunikasi dua arah yang menghubungkan sensasi dan emosi . Saraf vagus
bekerja dengan mempengaruhi zat kimia seperti dopamin, GABA, dan
serotonin (Dreher, 2017). Air dingin yang diusapkan ke kepala merupakan
teknik untuk merangsang saraf vagus yang mana dapat meredakan marah dan
merelakskan tubuh (Schwartz, 2015).
Berwudhu sebelum tidur memiliki hubungan dengan kualitas tidur
remaja santri. Dijelaskan di atas, bahwa berwudhu dapat memicu kinerja
neurotransmiter tidur dan gelombang otak theta serta saraf vagus yang mana
menciptakan suasana rileks dan nyaman yang sangat bagus untuk mendapatkan
kualitas tidur yang baik.
D. Keterbatasan penelitian
1. Peneliti tidak melakukan observasi variabel lain yang mungkin dapat
mempengaruhi kualitas tidur seperti kecemasan, penyakit, latihan dan
aktivitas, dan lingkungan.
51
2. Peneliti tidak melakukan pengukuran kualitas tidur secara objektif, seperti
melihat gelombang otak seseorang yang menggambarkan kualitas tidur baik
maupun buruk dan yang berwudhu dan tidak berwudhu sebelum tidur.
52
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Santri remaja SMA yang tinggal di Pondok Pesantren Damarjati berjumlah
66 santri dengan kualitas tidur perempuan yang lebih baik dengan hasil
28,6% laki – laki dan 46,7% perempuan berkualitas tidur baik. Kualitas
tidur yang buruk dengan santri terbanyak terdapat pada kelas 3 dengan
persentase 75% santri.
2. Responden yang berwudhu sebelum tidur memiliki komponen kualitas
tidur dengan kategori sangat baik lebih banyak terdapat pada komponen
kualitas tidur objektif dengan 34 responden (51,5%), latensi tidur 28
responden (42,4%), dan efisiensi tidur dengan 27 responden (40,9%),
dibandingkan dengan responden yang tidak berwudhu sebelum tidur.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara berwudhu sebelum tidur dengan
kualitas tidur santri remaja SMA yang tinggal di Pondok Pesantren
Damarjati dengan uji chi sqaure didapatkan hasil p value 0,000.
53
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat
peneliti berikan sebagai berikut :
1. Bagi Penyelenggara Pondok Pesantren Damarjari Kaliangkrik
Menganjurkan berwudhu sebelum tidur secara rutin kepada para santri dan
warga pondok pesantren.
2. Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan :
a. Menambahkan variabel yang mungkin berpengaruh terhadap kualitas
tidur, seperti kecemasan, penyakit, latihan dan aktivitas, dan
lingkungan.
b. Melakukan pengukuran kualitas tidur secara objektif dengan melihat
gelombang otak ketika tidur.