dewi sartika

15

Click here to load reader

Upload: dian-equanti

Post on 27-Jun-2015

471 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

biografi dewi sartika, pendidikan masa kini

TRANSCRIPT

Page 1: DEWI SARTIKA

DEWI SARTIKA

PERINTIS PENDIDIKAN BAGI WANITA

I. Pendahuluan

Nama Dewi Sartika sebagai pahlawan wanita di Indonesia memang tidak

seterkenal Raden Ajeng Kartini. Namun perannya dalam merintis akses

pendidikan bagi kaum perempuan patut menjadi teladan bagi masyarakat luas,

para pendidik dan mereka yang peduli dengan kemajuan bangsanya.

II. Biografi Dewi Sartika

Wanita ini lahir di Bandung 4 Desember tahun 1866 dalam keluarga

priyayi Sunda. Ibunya bernama Nyi Raden Rajapermas dan ayahnya adalah

Raden Rangga Somanegara yang saat itu menjabat Patih Afdeling

Mangunreja. Tujuh tahun kemudian ayahnya menjadi Patih Bandung.

Dewi Sartika tinggal bersama orang tua dan saudara-saudaranya di

sebuah rumah besar yang terletak di Kepatihan Straat. Rumah besar itu

semipermanen berhalaman sangat luas yang terletak di pinggir jalan raya. Di

berandanya terdapat pot-pot bunga besar berisi tanaman suflir dan kuping

gajah yang tertata rapi. Di halamannya yang cukup luas tumbuh berbagai

tanaman serta bunga, termasuk bunga hanjuang merah yang menjadi ciri khas

orang Sunda.

Sebagai keluarga terpandang Dewi Sartika sempat merasakan hidup

berkecukupan. Kebutuhannya sehari-hari diurus dan dilayani para abdi dalem

yang setia dan patuh. Jauh dari kesusahan dan kesengsaraan. Untuk acara

cukup penting, ayahnya acap mengajaknya serta saudara-saudaranya.

Misalnya menonton acara pacuan kuda di Tegallega, pagelaran hiburan

rakyat.

Atas keinginan keras orang tuanya, Dewi Sartika dapat bersekolah di

sekolah Belanda, yaitu Eerste Klasse School atau Sekolah Kelas Satu

meskipun pada waktu itu adat yang berlaku tidak memperkenankan kaum

perempuan bersekolah. Dia mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan

1

Page 2: DEWI SARTIKA

bahasa Inggris. Gerak-geriknya lincah, sigap, dan berani, agak berbeda dari

wanita umumnya. Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan

terkadang bernada keras. Kendati sehari-hari dia mengenakan kebaya dan kain

panjang, boleh dibilang pembawaannya agak tomboy. Keinginannya mengajar

sudah terlihat sejak kecil. Dia suka mengambil peran sebagai guru saat

bermain sekolah-sekolahan bersama teman-teman perempuan sebayanya,

sepulang dari sekolah dasar di Cicalengka.

Pada Juli 1893, saat itu Dewi Sartika berusia 8 tahun, Pemerintah

Kolonial menghukum Raden Rangga Somanagara atas tuduhan memberontak

berdasarkan bukti rencana dan aksi pemasangan dinamit di upacara peresmian

Bupati Bandung yang baru. Beliau tidak menyetujui bupati yang baru itu

karena bukan merupakan orang asli Bandung. Akibatnya, pihak Belanda

mengasingkan beliau ke Pulau Ternate. Selain itu turut diasingkan juga

beberapa priyayi lain yang ikut dalam aksi pengeboman termasuk kakek Dewi

Sartika. Peristiwa ini menjadi pengalaman pahit bagi Dewi, karena semenjak

itu dia dan kakaknya tinggal berpencar di antara kerabat keluarganya.

Sementara sang ibu, Raden Ayu Rajapermas memilih mengikuti suaminya di

tanah pengasingan.

Kehidupan nyaman yang dialami Dewi sebagai keluarga priyayi

berakhir semenjak itu. Ia tinggal di rumah kakak kandung ibunya di

Cicalengka, Raden Demang Aria Surakarta Adiningrat, seorang Patih

Cicalengka. Disana Dewi kecil sering mendapat perlakuan tidak ramah dan

kasar. Dewi Sartika dianggap sebagai anak pemberontak. Tidak ada yang

boleh membelanya, atau akan dicap pro pemberontak. Dengan alasan ini

paman Dewi Sartika memperlakukan beliau layaknya abdi dalem di

rumahnya. Ia ditempatkan jauh di belakang jauh dari tempat yang lazim

dihuni keluarga atau anak didiknya.

Kehidupan prihatin mulai dijalani Dewi. Dimulai dengan putus sekolah

lalu menjadi abdi dalem alias pembantu. Beliau perlahan-lahan terbiasa

dengan pekerjaan yang layaknya dilakukan oleh para pelayan, seperti

mencuci, menjemur pakaian, menyapu rumah, memasak dan

2

Page 3: DEWI SARTIKA

menghidangkannya, serta pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Meskipun

pekerjaan sehari-harinya layaknya pelayan biasa, ada yang membedakan Dewi

dari pelayan lainnya, yaitu kemampuan menulis dan membaca.

Selain pekerjaan-pekerjaan rumah, Dewi Sartika mendapat tugas

mengantar sepupu-sepupunya pergi ke rumah nyonya Belanda untuk belajar

membaca dan menulis bahasa Belanda. Dewi tidak diperkenankan masuk.

Cuma mendengar dari balik pintu. Karena kecerdasannya, ia dapat menangkap

semua pelajaran itu.

Diluar tugasnya sebagai abdi dalem, Dewi sangat senang bisa mengikuti

pelajaran yang diberikan oleh Agan Eni, istri keempat pamannya. Agan Eni

mengajarkan kepada kalangan menak bawah tentang kepandaian bertutur,

bertingkah laku, memasak makanan sehat, berdandan, dan semua hal yang

sudah seharusnya dikuasai wanita untuk menyenangkan suaminya. Dua hal

yang tidak diajarkan Agan Eni, yaitu kemampuan membaca dan menulis.

Sejak kecil kegigihan Dewi Sartika untuk meraih kemajuan telah

terlihat. Beliau juga menunjukkan bakat sebagai seorang pendidik.

Menggunakan alat bantu belajar seadanya seperti papan bilik kandang kereta,

arang, dan pecahan genting, Dewi sering mengajari baca-tulis, dan Bahasa

Belanda kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Saat itu Dewi Sartika baru

berusia sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-

tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh

anak-anak pembantu kepatihan. Peristiwa ini membuat gempar masyarakat,

karena pada waktu itu belum banyak anak-anak apalagi anak rakyat jelata

yang memiliki kemampuan baca-tulis, dan diajarkan oleh seorang anak

perempuan.

Dewi pun beranjak menjadi seorang gadis remaja yang anggun dan

cantik. Pada usia ke-18, sepupunya, bernama Raden Kanjun Surianingrat,

anak dari istri ketiga pamannya hendak melamar Dewi. Dewi menolak secara

halus lamaran tersebut. Tak lama waktu berselang, kabar bahwa ayahnya

Raden Rangga Somanegara telah meninggal, ibunya pun telah kembali ke

3

Page 4: DEWI SARTIKA

Bandung. Dewi Sartika akhirnya pergi meninggalkan Cicalengka tanpa pamit

dan kembali kepada ibunya di Bandung.

Di usia masih sangat muda, Dewi Sartika yang mempunyai sapaan akrab

Uwi, telah dapat mencermati kehidupan di sekelilingnya, terutama kondisi

kaum perempuan. Dimulai dengan kenangan akan ibunya yang lebih memilih

untuk mendampingi ayahnya di pengasingan daripada mengasuh anak-

anaknya sendiri. Dewi melihat ketergantungan ibunya pada sang ayah.

Demikian juga saat ia tinggal selama delapan tahun di rumah pamannya, Dewi

menyaksikan poligami dan kepasrahan para istri pada suaminya.

Belum lagi pada waktu itu di Cicalengka, teman-teman perempuan Dewi

banyak minta dibacakan surat cinta karena mereka tidak bisa membaca. Dewi

berulang kali ‘menipu’ mereka dengan memutarbalikkan isi surat tersebut.

Misalnya surat yang isinya minta putus cinta dia bacakan seolah-olah

menyatakan cinta. Meski merasa geli dan ingin tertawa, Dewi merasa sangat

prihatin. Para perempuan ini begitu mudah ditipu karena mereka tidak dapat

membaca dan menulis.

Berawal dari keprihatinan ini, jiwanya semakin terdorong untuk

memajukan kaumnya melalui pendidikan. Cita-citanya ini didukung pula oleh

pamannya, Bupati Martanagara yang juga memiliki keinginan yang sama.

Meskipun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan cita-citanya itu.

Kekangan adat yang membelenggu perempuan saat itu membuat pamannya

mendapat kesulitan. Karena kegigihan dan semangatnya yang tak pernah

padam, akhirnya Dewi Sartika berhasil meyakinkan pamannya dan

memperoleh izin mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.

Pada tahun 1902 Dewi Sartika merintis pendidikan bagi kaum

perempuan. Tempat beliau mula-mula mendirikan sekolahnya adalah di

belakang rumah ibunya di Bandung. Ia mengajar dihadapan anggota keluarga

perempuannya keterampilan merenda, memasak, menjahit, membaca dan

menulis.

Setelah berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martanegara dan kebaikan

hati pemerintah kolonial, Dewi Sartika dapat membuka Sekolah Perempuan.

4

Page 5: DEWI SARTIKA

Ketika ditanya oleh Inspektur Hindia Belanda, C. Den Hammer, mengenai

alasan pendirian sekolah tersebut Dewi Sartika menjawab:

“Saya ingin menanamkan kepada perempuan bumi putera, sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala. Agar mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya dan tidak melulu bergantung pada suami, apalagi pada belas kasihan orang lain”.

Hammer yang bersimpati pada perjuangan Dewi bersedia menghubungkan

beliau dengan Bupati Bandung yang pernah membuang ayahnya ke Ternate.

Akhirnya sekolah khusus untuk kalangan perempuan pribumi pertama di

Hindia Belanda didirikan pada 16 Januari 1904. Sekolah khusus bagi

perempuan atau Sakola Istri ini menempati gedung pendopo kabupaten

Bandung. Selain Dewi Sartika sendiri sebagai pengajar, ia dibantu dua saudara

misannya yaitu Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Murid-murid angkatan pertama di

sekolah ini berjumlah 20 orang. Setahun berselang, 1905, jumlah pendaftar

sekolah ini meningkat mencapai 60 orang., sehingga harus menambah kelas.

Sekolah Perempuan pun pindah ke Jalan Ciguriang, Kebun Cau. Lokasi baru

ini dibeli Dewi dengan uang tabungan pribadinya serta bantuan dana pribadi

dari Bupati Bandung. Animo negatif justru muncul dari sebagian besar

perempuan kalangan menak. Menurut mereka, tidak sepatutnyalah pelajaran-

pelajaran tata karma yang khusus untuk mereka diberikan kepada kalangan

rakyat biasa, Kalangan menak ini takut mereka disamakan dengan kalangan

jelata. Namun Dewi pantang mundur.

Kegiatan Dewi Sartika sebagai kepala sekolah cukup menyita waktunya.

Dia berangkat pagi dan pulang tengah hari. Begitu berlangsung setiap harinya

sehingga menimbulkan keibaan bagi ibunya yang tak ingin melihat putrinya

bertambah usia dan tak kunjung punya suami. Dewi Sartika pada mulanya

pernah dilamar keluarga Pangeran Djajadiningrat dari Banten untuk salah satu

putranya. Lamaran itu ditolak dengan alasan belum mengenalnya, meski

ibunya berkenan dengan pria itu.

Suatu hari, Dewi Sartika membantu menyediakan hidangan di rumah

Bupati. Lalu dia bertemu dengan seorang pria gagah yang menggugah hatinya.

Pria tersebut bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, salah seorang

5

Page 6: DEWI SARTIKA

guru di Erste Klasse School di Karang Pamulang, yang merupakan Sekolah

Latihan Guru. Pertemuan itu berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab.

Pada mulanya sang ibu keberatannya jika Dewi Sartika menikah dengan

Raden Agah. Menurutnya, Raden Agah tak setara untuk menjadi suami

putrinya, karena Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung yang

sangat disegani banyak pihak. Dewi Sartika kecewa dan menganggap ibunya

kolot dan tak realistis. Tapi, meski ditentang, dia tetap menjalin hubungan

dengan Raden Agah. Akhirnya sang ibu pun menyetujui, dan pada 1906,

resmilah Raden Kanduruan Agah Suriawinata menjadi suami Dewi Sartika.

Beliau tidak berhenti bekerja setelah menikah, bahkan bersama sang

suami, Dewi Sartika terus berusaha keras mengembangkan sekolahnya.

Lulusan pertama dihasilkan pada tahun 1909. Hal ini memberikan bukti

kepada bangsa Indonesia bahwa perempuan memiliki kemampuan yang

sejajar dengan laki-laki.

Upaya Dewi Sartika terus berlanjut, bahkan mengalami kemajuan.

Tahun 1910, dengan menggunakan harta pribadi, Dewi memperbaiki

sekolahnya agar memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Sakola Istri

pun berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Pada 5 Nopember 1910,

persisnya Minggu pukul 19.00 WIB, Perkumpulan Kautamaan Istri dibentuk

Residen Periangan W.F.L. Boissevain di kediamannya. Hadir dalam

peresmian itu antara lain Inspektur Pengajaran J.C.J. Van Bemmel, Bupati

Bandung R.A.A. Martanegara dan dua orang Raden Ayu, Dewi Sartika dan

Raden Agah, serta sejumlah pejabat Belanda dan para istrinya. Tujuan

Perkumpulan Keutaman Istri untuk mendukung pengembangan dan

pembangunan sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika. Tugas

perkumpulan berusaha menghimpun dana dari para dermawan Belanda

maupun pribumi.

Perkumpulan Keutamaan Istri yang dipimpin oleh istri Residen

Periangan dalam waktu singkat telah membuahkan hasil. Dana yang

terhimpun bisa untuk mendirikan cabang Sakola Kautamaan Istri di daerah

Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta dan berbagai

6

Page 7: DEWI SARTIKA

kota lainnya di Jawa Barat. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Sakola

Kautamaan Istri menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum Tweede

Klasse School. Tapi, bidang studi ketrampilan wanita masih tetap menjadi

acuan utama.

Tak hanya mengajar di sekolah, Dewi Sartika juga sering menulis di

koran dan memberikan ceramah di luar kota. Tema pembicaraan tidak terbatas

hanya pada sekolah dan pendidikan perempuan, tetapi juga pertentangan Dewi

sendiri akan poligami, perjodohan, prostitusi dan masalah social perempuan

lainnya. Ia juga sempat belajar membuat Batik pada kakak Kartini, Raden

Ajeng Kardinah, di Kendal. Ilmu membatik ini kemudian diajarkan pada

murid-muridnya di Bandung.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan muncul

beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan

Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun

1912 telah berdiri Sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten di Pasundan.

Di tahun ke-10, Sakola Istri milik Dewi Sartika berganti nama menjadi Sakola

Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Saat itu hanya tiga atau

empat kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola

Kautamaan Istri. Semangat memajukan pendidikan perempuan sampai ke

Pulau Sumatra, sehingga di Bukittinggi, Sumatra Barat didirikan pula Sakola

Kautamaan Istri oleh Encik Rama Saleh. Pada tahun 1920 tiap kota

kabupaten di seluruh wilayah Pasundan telah memiliki Sakola Kautamaan

Istri, ditambah beberapa yang hadir juga di kota kewedanan.

Perkembangan itulah yang menarik para pejabat pemerintah untuk

berkunjung. Bahkan pemerintah juga memberikan bantuan dana untuk

membiayai. Hingga akhirnya pada saat mengadakan peringatan sekolahnya

ke-25 pada September 1929, sekolah ini memiliki gedung sendiri, dan

berganti lagi namanya menjadi Sekolah Raden Dewi. Atas jasanya di bidang

pendidikan, pemerintah Hindia Belanda menganugerahkan bintang jasa

kepada Dewi Sartika.

7

Page 8: DEWI SARTIKA

Pada 25 Juli 1939 Dewi Sartika harus kehilangan suami tercintanya.

Raden Agah meninggal dunia. Meski sedih, Dewi Sartika masih punya

tanggung jawab; melanjutkan upaya memajukan sekolah wanita. Seperti biasa

pula sebelum waktu belajar dimulai, Dewi Sartika akan berdiri didepan

ruangan sekolahnya, membunyikan lonceng kuningan yang nyaring sebagi

tanda dimulainya waktu belajar.

Kisah kejayaan sekolah perempuan tidak berlangsung lama. Jepang

menghancurkan sekolah ini dengan mengubah nama, bahkan kurikulum

sehingga jumlah murid berkurang drastis. Penderitaan berlanjut dengan agresi

militer Belanda. Peristiwa Bandung Lautan Api adalah klimaks dari sekolah

yang didirikan Dewi Sartika tersebut. Dewi Sartika dan penduduk lainnya

berjalan kaki mengungsi ke arah selatan waktu Bandung dibumihanguskan. Di

Ciamis Dewi Sartika mulai sakit-sakitan, kemudian pada 11 September 1948

beliau wafat. Upacara pemakaman dilaksanakan dengan sederhana di

pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Selang tiga tahun,

makam beliau dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan

Karang Anyar, Bandung.

III. Penutup

Mengutip tulisan WS Rendra, Kartini dan Dewi Sartika adalah pelopor

kesadaran perempuan akan emansipasi perempuan. Namun bedanya, Kartini

tidak memiliki naluri seorang aktivis. Ia lebih tepat disebut sebagai sastrawan

dari sastra surat. Sedangkan Dewi Sartika adalah sebaliknya. Lebih tegas,

berani, tidak anarkis dan berwibawa dalam membawakan dirinya yang

kontroversial. Mendirikan sekolah perempuan untuk semua kalangan,

menolak perjodohan dan menikah dengan laki-laki pilihan sendiri.

8

Page 9: DEWI SARTIKA

IV. Sumber

Anonim. Dewi Sartika. http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika diakses tanggal 12 Oktober 2010.

Anonim. Dewi Sartika. Istri-Istri, Bersekolahlah! http://www.mesias.8k.com/dewisartika.htm diakses tanggal 10 Oktober 2010.

Wachdiyah, Nurul. Kisah Pendiri Sekolah Pertama di Bandung. http://www.mahanagari.com/index.php?option=com_content&view=article&id=165:kisah-pendiri-sekolah-perempuan-pertama-di-bandung diakses tanggal 12 Oktober 2010.

V. Pendapat Penulis Tentang Pendidikan Di Indonesia Saat ini

Amanat pelaksanaan pendidikan di Indonesia tertuang dalam UUD 1945

ayat 3 menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan

kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti memberikan

kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh generasi bangsa untuk mengenyam

pendidikan demi menjadi bangsa yang cerdas. Dampak utama pendidikan

harusnya adalah adanya perubahan sikap para peserta didik menjadi pribadi-

pribadi yang cerdas, tangguh dan berkarakter dalam rangka meningkatkan

kualitas SDM yang akan menentukan kemajuan bangsa ini. Artinya

pendidikan diharapkan lebih ditujukan pada pembangunan karakter sumber

daya manusia.

Penekanan pada pembangunan karakter ini harusnya menjadi perhatian

utama disamping penekanan pada aspek penguasaan materi atau hal yang

bersifat kognitif semata. Bagaimana pun penerapan ilmu pengetahuan yang

diperoleh, peran apa yang akan dipilih para lulusan institusi pendidikan dalam

masyarakat kelak sangat berarti bagi kemajuan bangsa.

Untuk mewujudkan kemajuan bangsa tentu saja dibutuhkan sumber daya

manusia yang berkualitas, baik dari segi penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta mereka yang berdedikasi dan berakhlak mulia. Sikap dedikasi

untuk peran yang dipilih, kesetiaan dalam beretika oleh setiap profesi inilah

yang diharapkan menymbangkan kemajuan bagi bangsa ini. Inilah output

penting dari pembangunan karakter melalui pendidikan.

9

Page 10: DEWI SARTIKA

10