d9 sken 1

23
Inkontinensia Urine pada Geriatri D9 Rani Frasputy Hallan 102007178 Eva 102012042 Regina Ayu A 102012115 Alista Gunawan 102012198 Theresia Clara E Obisuru 102012261 Jeremy Joshua Santosa 102012273 Martinus V Tjandra 102012400 Isabella Regina Nikenshi 102012417 Putri Primastuti 102012477 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat ___________________________________________________________________________ Pendahuluan Dalam fungsi normal tubuh sehari-hari, setiap individu pasti mengalami proses berkemih. Pada anak kecil proses berkemih yang tidak ditempatnya (mengompol) adalah sesuatu yang dianggap wajar, namun untuk kalangan dewasa dan sudah berumur,

Upload: arianti-anti

Post on 06-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

blok 13

TRANSCRIPT

Inkontinensia Urine pada GeriatriD9 Rani Frasputy Hallan 102007178

Eva 102012042

Regina Ayu A 102012115

Alista Gunawan 102012198

Theresia Clara E Obisuru 102012261

Jeremy Joshua Santosa 102012273

Martinus V Tjandra 102012400

Isabella Regina Nikenshi 102012417

Putri Primastuti 102012477

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat___________________________________________________________________________

Pendahuluan

Dalam fungsi normal tubuh sehari-hari, setiap individu pasti mengalami proses berkemih. Pada anak kecil proses berkemih yang tidak ditempatnya (mengompol) adalah sesuatu yang dianggap wajar, namun untuk kalangan dewasa dan sudah berumur, berkemih diluar tempatnya atau sering disebut mengompol adalah suatu hal yang memalukan. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup bahkan menjadi beban bagi pendertanya baik dari segi psikologis maupun sosial seperti rasa nyeri, malu, depresi, dan cemas. Inkontinensia urin (megompol) dapat terjadi karena beberapa sebab seperti proses penuaan, stress, atau karena adanya masalah kesehatan lainnya.Inkontinensia urin (hilangnya kontrol kandung kemih) adalah masalah yang umum dan sering memalukan. Tingkat keparahan berkisar mulai dari bocornya urin kadang-kadang ketika pasien batuk atau bersin sampai dengan dorongan untuk buang air kecil (miksi) yang begitu mendadak dan kuat sehingga pasien tidak dapat ke toilet tepat waktu dan berkemih pada tempatnya.1,2Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini.3Anamnesis3Anamnesis merupakan waancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien yuang profesional dan optimal.

Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:

1.Identitas pasien

2.Riwayat penyakit sekarang

3.Riwayat penyakit dahulu

4.Riwayat kesehatan keluarga

5.Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya

Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.

1.stress inkontinensia :

Apakah pasien mengeluarkan urine bila batuk, bersin, berjalan, melompat ?

2. urge inkontinensia :

Apakah pasien sering merasa sangat ingin kencing dan sering mengeluarkan urine sebelum tiba di toilet ?

3.Mengarahkan kepada keadaan instabilitas detrusor :

Berapa kali pasien kencing dalam satu hari ?

Berapa kali bangun malam hari untuk kencing ?

Apakah pada saat tidur urine juga keluar ?

Apakah dalam keadaan stress atau terburu-buru, pasien mengeluarkan urine, atau merasa sangat ingin kencing ?

Apakah waktu sanggama juga keluar urine ?

4.Mengarahkan kepada beratnya inkontinensia :

Apakah setiap hari harus memakai pembalut atau plastik untuk menahan urine yang keluar ?

Apakah urine sering atau terus-menerus keluar sendiri ?

5.Mengarahkan ada tidaknya infeksi

Apakah pasien menderita infeksi saluran kemih sebelumnya ?

Apakah pasien menderita nyeri pada saat kencing atau saat kencing keluar

Apakah urine mengandung atau bercampur darah?

6.Mengarahkan gejala kesulitan berkemih

Apakah urine mengalir lambat atau menetes waktu kencing ?

Apakah pasien harus mengedan / meneran dulu saat kencing ?

7.Mengarahkan adanya kemungkinan overflow inkontinensia

Apakah pasien dapat menyadari atau tidak pada saat urine keluar sendiri, atau selalu basah?

8.Mengarahkan adanya kemungkinan fistula vesikovaginal

Apakah sesudah kencing pasien masih merasa kandung kemihnya penuh dan masih ingin kencing, atau apakah masih keluar urine menetes ?

Perlu juga ditanyakan riwayat obstetri dan ginekologi, riwayat penyakit lainnya (misalnya diabetes, stroke, penyakit daerah lumbal / pelvis, penyakit paru kronik, konstipasi kronik, dan sebagainya), riwayat operasi sebelumnya (misalnya histerektomi, reparasi vagina, dilatasi uretra, dan sebagainya), riwayat obat-obatan yang mungkin menyebabkan gangguan berkemih (diuretika, antikolinergik, alfaadrenergik blocker atau agonis), faktor perilaku (kebiasaan berkemih, minum minuman keras dan sebagainya).

Pemeriksaan Fisik4Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rektum, genital, dan evaluasi persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan pelvis perempuan penting untuk menemukan beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penangan pasien yang holistik. Pencatatan aktivitas berkemih (bladder record atau voiding diary), baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap dapat mambantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urine serta evaluasi respon terapi.

Pemeriksaan Penunjang4Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi urinalisis yakni diambilnya sampel urine untuk dianalisis dengan cara yang benar sehingga dapat memberi informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan residu urine pasca miksi baik dengan kateter maupun dengan ultrasonografi dapat membantu menentukan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urine sekitar 50mL menunjukkan gambaran inkontinensia tipe stres, sedangkan volume residu urine lebih dari 200 cc menunjukkan kelemahan detrusor atau obstruksi.

Etiologi5,6

Perlu ditekankan bahwa usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin. Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanaan yang tepat. Perlu dibedakan 4 penyebab pokok yaitu : gangguan urologik, neurologik, fungsional/psikologis, dan iatrogenik/lingkungan. Perlu dibedakan pula antara inkontinensia urin akut dan kronik (persisten). inkontinensia urin akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan. inkontinensia urin persisten merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi akut/iatrogenik dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat diingat dengan akronim DRIP (D: delirium, kesadaran kurang; R: retriksi mobilitas, retensi; I: infeksi, inflamasi, impaksi feces; P: pharmasi (obat-obatan), poliuri) atau akronim yang lebih lengkap yaitu DIAPPERS (Delirium, Infection, Atrophic vaginitis or urethritis, Pharmaceutical, Psychologic disorders, Endocrine disorder, Restricted Mobility, Stoolilmpaction.

Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang yang beragam seperti dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang sehingga menimbulkan inkontinensia yang bersifat sementara. Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi, urgensi, dan nokturia akibat proses menua akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas oleh karena berbagai sebab seperti gangguan muskuloskeletal, bedrest, dan perawatan RS. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi dan dapat mengakibatkan inkontinensia.

Kondisi-kondisi yang mengakibatkan poliuria seperti hiperglikemia, hiperkalsemia, pemakaian diuretika dan minum banyak dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan seperti gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari.

Jangan dilupakan bahwa inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal kandung kemih baik pada laki-laki, maupun perempuan yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter. Evaluasi terhadap pemakaian obat penting dalam menentukan kemungkinan penyebab inkontinensia urin baik akut maupun kronik. Beberapa golongan obat telah diketahui seperti: diuretik, antikonlinergik, psikotropik, dll.

Inkontinensia urin kronik-persisten secara klinis dibagi 4 tipe, namun dalam kenyataannya sering terjadi tumpang tindih satu dengan lainnya. Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang melatarbelakangi inkontinensia persisten yaitu :

1.)kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar.

2.)kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar.

Inkontinensia urin tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinsonisme, tumor otak, dan sklerosis multiple, atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral. Suptipe sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistitis, uretritis, dan divertikulitis. Inkontinensia urin tipe stres terjadi akibar tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan. Terutama terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen.

Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-laki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan inkontinensia urin tipe overflow.

Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit pengosongan kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia. Inkontinensia tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini biasanya terjadi pada demensia berat, gangguan mobilitas (arthtritis, genu, kontraktur), gangguan neurologik, dan psikologik. Pada pasien geriatri sering terjadi inkontinensia kombinasi dari 4 tipe tersebut yang dikenal dengan inkontinensia campuran.

Epidemiologi5,6

Inkontinensia urin cenderung jarang dilaporkan karena penderita merasa malu dan menganggap tidak ada yang dapat diperbuat untuk menolongnya. Dari penelitian pada populasi lanjut usia di masyarakat, didapatkan 7% dari pria dan 12% pada wanita di atas usia 70 tahun mengalami peristiwa inkontinensia. Sedang mereka yang dirawat, terutama di unit psiko-geriatri, 15-10% menderita inkontinensia. Prevalensi dari inkontinensia urin sering menunjukkan macam-macam hasil, sebagian besar disebabkan tiap penelitian menggunakan populasi yang berbeda-beda dengan kriteria yang berbeda juga. Secara keseluruhan, diperkirakan sekitar separuh dari lansia yang dirawat di rumah atau di panti-panti werdha mengalami inkontinensia. Sedang mereka yang masih aktif, 10-15% dari pria dan 20-35% dari wanita, mengalami episode-episode inkontinensia.

Sekali seorang lansia mengalami inkontinensia, ada kecenderungan untuk mengurangi minum dengan harapan mengurangi juga kemungkinan inkontinensianya. Hal ini selain mengganggu keseimbangan cairan yang sudah cenderung negatif pada lansia, juga dapat mengakibatkan menurunnya kapasitas kandung kemih, dan selanjutnya akan memperberat keluhan inkontinensianya.

Patofisiologi5,6

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.

Sfingter urethra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter urethra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak.

Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sfingter urethra internal menyebabkan urethra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenaline.

Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, edula spinalis, dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot. Kontraksi otot detrusor tidak hanya bergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium-channel dependent. Oleh karena itu, calcium-channel blockers dapat juga menggangu kontraksi kandung kemih.

Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih.

Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter yretra berkontraksi. Untuk itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha blocking (terazosin{Hytrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra.

Karena itu, zat beta-adrenergik blocking (propanolol) dapat mengganggu karena menyebabkan aktivitas kontraktil adrenergik-alfa.

Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang teoat, urin tidak akan keliar pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.

Inkontinensia urin memang meningkat seiring lanjutnya usia. Namun usia lanjut bukan penyebab terjdinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan merupakan kondisi normal pada usia lanjut melainkan merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Proses menua baik pada laki-laki dan perempuan telah diketahui mengakibakan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada laki-laki. Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina. Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic floor) mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak faktor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologik).

Dari pembahasan dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan fisiologi sistem urogenital bawah dapat dipahami bahwa usia lanjut meripakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia tipe stres, urgensi, dan luapan (overflow).

Working Diagnosis6,7

Inkontinensia Campuran :

Adalah inkontinensia yang merupakan kombinasi dari 2 tipe atau lebih. Inkontinensia tipe campuran yang sering terjadi ialah kombinasi antara inkontinensia tipe stres dan urgensi dimana pasien sering ketika tertawa, bersin atau batuk terjadi miksi. Kemudian urgensi dimana pasien sering tidak dapat menahan kencingnya sebelum sampai ke WC

Inkontinensia urin tipe stress

Differential Diagnosis

1)Inkontinensia tipe stress :

Inkontinensia urin tipe stres terjadi akibar tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan. Terutama terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen. Terjadi akibat outlet kandung kemih atau sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan tambahan tekanan intra-abdominal dapat menyebabkan pengeluaran urine sedikit-sedikit (kurang dari 50 mL). Tambahan tekanan intra-abdominak dapat terjadi akibat obesitas, kehamilan, mengangkat barang berat, batuk, bersin, tertawa, gerak badan dan seterusnya.

2)Inkontinensia Overflow:

Inkontinensia Overflow dikaitkan dengan pengeluaran urine akibat overdistensi kandung kemih. Inkontinensia overflow dapat diakibatkan oleh trauma medula spinalis, stroke, diabetik neuropati, atau setelah pembedahan radikal pada pelvis.

3)Inkontinensia Urgensi :

Inkontinensia Urgensi dikaitkan dengan pengeluaran urine yang tidak dapat ditahan dan segera urine keluar (urgensi). Inkontinensia urgensi dapat dialami pasien ISK (Infeksi Saluran Kemih)

4)Inkontinensia Fungsional:

Inkontinensia Fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini biasanya terjadi pada demensia berat, gangguan mobilitas (arthtritis, genu, kontraktur), gangguan neurologik, dan psikologik.

Penatalaksanaan

1.Penatalaksanaan

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1.Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

2.Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

a.Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.

b.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.

c.Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).

d.Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :

1.Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.

2.Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali.

3.Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

3.Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4.Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita)

5.Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.

1.Pampers

Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

2.Kateter

Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih

3.Alat bantu toilet

Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.7

Prognosis

Inkontinensia stress

Obat-obatan tidak memainkan peran utama dalam pengelolaan inkontinensia stres. Tatalaksana paling efektif untuk inkontinensia stres adalah latihan otot dan operasi. Tingkat perbaikan dengan alfa-agonis adalah 19-74%, sedangkan tingkat dengan latihan otot dan operasi adalah masing-masing 87% dan 88%.

Inkontinensia Urgensi

Studi menunjukkan bahwa pelatihan kandung kemih memiliki tingkat penyembuhan yang lebih tinggi (75%) dibandingkan dengan penggunaan antikolinergik (44%). Pilihan bedah untuk inkontinensia urgensi terbatas dan memiliki angka morbiditas yang tinggi.

Inkontinensia Campuran

Pelatihan kandung kemih dan panggul menghasilkan tingkat penyembuhan lebih tinggi daripada penggunaan obat antikolinergik.

Inkontinensia Overflow

Pengobatan dan operasi yang sangat efektif dalam mengobati gejala. 8Komplikasi

Risiko medis yang berkaitan dengan inkontinensia urin jarang ditemukan sebagai sebuah masalah yang serius, namun hal ini dapat menyebabkan iritasi, sakit, dan keadaan emosional. Pasien inkontinensia biasanya terpengaruh keadaan mental akibat lingkungan sosialnya. Selain itu inkontinensia juga dapat menimbulkan resiko terkena infeksi kandung kemih. Hal ini diakibatkan pada inkontinensia, otot-otot panggul yang lemah sehingga kontribusi kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya juga berkurang. Akibat sejumlah urin yang tetap berada di kandung kemih, hal ini dapat mengakibatkan infeksi kandung kemih.

Gangguan tidur dan problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan merasa terisolasi juga merupakan bagian dari komplikasi inkontinensia. Permasalahan ini diakibatkan kekhawatiran akan berkemih secara tidak sadar dalam lingkungan sosial sehingga mengakibatkan keadaan menutup diri dan merasa terisolasi. Untuk mengatasi hal ini, beberapa pasien juga mengurangi minum dengan tujuan untuk mengurangi proses berkemih. Hal ini justru menimbulkan masalah lain yaitu dehidrasi. 9Pencegahan

Inkontinensia urin setidaknya dapat dicegah dengan melakukan langkah-langkah berikut ini:

Menjaga berat badan yang seimbang

Dengan menjaga berat badan agar tetap seimbang, dapat mengurangi resiko inkontinensia urin. Berat badan yang berlebih atau obesitas dapat menambah tekanan intra-abdominal yang akan memicu inkontinensia urin.

Tidak merokok.

Latihan penguatan otot paha.

Menghindari iritasi kandung kemih

Mengurangi konsumsi makanan dan minuman tertentu dapat membantu mencegah atau membatasi inkontinensia. Beberapa minuman seperti kopi dapat merangsang proses berkemih yang berlebih sehingga dapat memicu inkontinensia.

Konsumsi makanan dengan banyak serat

Tingginya kadar serat dalam makanan yang dikonsumsi dapat membantu mencegah faktor risiko inkontinensia.

Meningkatkan aktivitas fisik, misalnya berolahraga.. 9Daftar Pustaka

1. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4 . Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

2. Mengompol bukan Cuma dialami oleh anak kecil. 10 Juli 2011. Diunduh dari: http://medicastore.com/seminar/131/Mengompol_bukan_cuma_dialami_oleh_anak_kecil.html. 11 Desember 2013.

3. Urinary incontinence. Diunduh dari: http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&tl=id&u=http%3A%2F%2Fwww.mayoclinic.com%2Fhealth%2Furinary-incontinence%2FDS00404%2F&anno=2. 11 Desember 2013.4. Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta; 2005.

5. Setiati S, Pramantara I. Buku ajar ilmu penyakit dalam: inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Edisi V. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2009.h.865-75

6. Pranarka K. Buku ajar Budhi-Dharmojo geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut): inkontinensia. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2009.h.226-41

7. Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991; 175-186. 8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V Jilid I. Jakarta; Interna Publishing; 2009

9. Urinary Incontinence Follow-up. Diunduh dari, http://emedicine.medscape.com/article/778772-followup, 11Desember 2013.