case report tetanus

20
PENDAHULUAN Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh Clostridium tetani pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom. 1 Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia. 2 Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. 3 Tetanospasmin menghambat pelepasan neurotransmitter dari neuron inhibisi presinaptik sehingga iritabilitas refleks dan hiperaktif otonom. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena adanya kekakuan otot pernapasan. Trakeostomi lebih disukai daripada intubasi endotrakeal. Untuk hasil yang lebih baik, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif. Netralisasi 1

Upload: bangkit-primayudha

Post on 06-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Anestesi pada pasien tetanus

TRANSCRIPT

Page 1: Case Report tetanus

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai

gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak

eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh Clostridium tetani pada sinaps ganglion

sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan

saraf autonom.1 Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat akut

yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia.2

Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang

diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril,

tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma.3

Tetanospasmin menghambat pelepasan neurotransmitter dari neuron inhibisi presinaptik

sehingga iritabilitas refleks dan hiperaktif otonom. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena

adanya kekakuan otot pernapasan. Trakeostomi lebih disukai daripada intubasi endotrakeal.

Untuk hasil yang lebih baik, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif. Netralisasi racun

oleh antitetanus globulin, manajemen jalan napas, pemberantasan sumber toksin, kontrol kejang

otot dan ketidakstabilan otonom adalah tindakan dalam mengobati pasien ini. Tidak ada protokol

khusus yang diberikan mengenai manajemen anestesi pasien tetanus. Anestesi umum yang lebih

dalam disertai pelumpuhan otot lebih disukai untuk mencegah kejang otot dan krisis hipertensi.4

Pada laporan kasus ini disajikan mengenai seorang laki - laki usia 41 tahun dengan fraktur

terbuka pada tulang radius distal kiri disertai adanya tetanus grade iv yang telah dilakukan debridement

dan orif k wire dengan teknik anestesi umum.

1

Page 2: Case Report tetanus

LAPORAN KASUS

Seorang laki- laki usia 41 tahun, datang ke UGD dengan keluhan sulit membuka mulut

dan disertai dengan adanya kejang. Kejang dikeluhkan sebanyak 4 kali. Keluhan juga disertai

dengan kekakuan ke 4 anggota gerak. Tiga minggu sebelumnya pasien terjatuh ketika

memasang lampu kemudian dikatakan ada patah tulang disertai dengan luka kecil. Luka tersebut

dibersihkan dengan air lalu di bawa ke pengobatan alternative. Keluhan sulit membuka mulut

dirasakan 1 minggu setelah kejadian tersebut. Tidak didapatkan riwayat kejang sebelumnya.

Pasien dirawat di ruang angsana dan dilakukan trakeostomi untuk menjaga patensi jalan napas.

Kemudian pasien di rawat di HCU Kemuning untuk perawatan lebih lanjut.

Pada pemeriksaan pra anestesi, dari anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat alergi,

asma, darah tinggi, penyakit gula, jantung, kejang, dan riwayat penyakit penyerta lainnya. Obat

yang didapat berupa Diazepam kontinyu sebanyak 200 mg/hari, propanolol 3 x 20mg,

Ceftriaxone 2x 1 gram, Metronidazole 3 x 500mg. Pasien dalam keadaan sadar, berat badan 70

kg, tinggi badan 170 cm, dengan tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 83 kali x/mnt, laju

napas 22 x/ menit dan suhu 36,2 C, saturasi oksigen terbaca 98 % dengan T-piece 6 liter per

menit melalui trakeostomi. Pemeriksaan jalan napas, buka mulut trismus 2 jari, Mallampati sulit

dinilai dengan gerak leher yang terbatas karena kaku. Pada pemeriksaan fisik gerak dinding dada

simetris dengan bunyi nafas vesikuler yang sama antara kanan dan kiri, tanpa suara tambahan,

bunyi jantung murni regular, abdomen datar dan kaku seperti papan. Ekstremitas tidak

ditemukan oedem pada kaki kanan dan kiri.

Pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan Hemoglobin 12.3 gram/dl, Hematokrit

37%, Leukosit 9.300/mm3, Trombosit 286.000/mm3, Ureum 20 mg/dl, Kreatinin 0,75 mg/dl,

Gula darah sewaktu 140 mg/dl, Natrium 139 meq/L Kalium 3.8, Clorida 101 meq/L, Calsium

2

Page 3: Case Report tetanus

4.62 mg/dL, Magnesium 2.26 mg/dL. Elekrokardiografi didapatkan sinus takikardi 108 kali per

menit. Penunjang radiologi tidak ditemukan tanda-tanda pneumonia dan pembesaran jantung.

Setelah dilakukan informed consent dan edukasi, pasien setuju untuk dilakukan anestesi

umum. Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi dengan premedikasi metoclorpramid 10 mg

dan ranitidine 25 mg. Pasien mendapatkan Diazepam kontinyu sebanyak 200 mg/hari,

propanolol 3 x 20mg, Ceftriaxone 2x 1 gram, Metronidazole 3 x 500mg. Persiapan anestesi

dilakukan sebelum pasien masuk ke kamar operasi, yaitu selain obat – obatan anestesi dan

peralatan airway, mesin anestesi, serta cairan yang akan digunakan.

Sebelum tindakan operasi dipersiapkan suatu kondisi yang nyaman bagi pasien seperti

tidak membuat kegaduhan disekitar pasien dengan bekerjasama dengan tim kamar operasi, ketika

memindahkan pasien ke bed operasi sebisa mungkin tidak menimbulkan rangsang nyeri,

kemudian sebelum pasien masuk ke dalam ruangan operasi, lampu ruang operasi dimatikan

sebagian agar ruangan operasi tidak terlalu terang. Keadaan umum pasien sebelum anestesi

kesadaran compos mentis. Dilakukan pemasangan alat monitoring tekanan darah,

elektrokardiogram, dan pulse oxymetri dengan tekanan darah 155/98 mmHg, laju nadi 88

x/menit, respirasi 20 x/menit, saturasi Oksigen terbaca 100% dengan T-piece 8 liter per menit

melalui trakeostomi. Pasien di induksi dengan menggunakan Fentanyl 100 mcg , sevoflurane

dibuka di 6 vol%. Setelah pasien tertidur, diberikan rocuronium 50 mg. Maintenance anesthesi

dengan Sevoflurane 1.5 – 2.0 vol % dan O2 : N2O = 50:50. Perdarahan sebanyak 200cc.

Maintanance dengan cairan kristaloid 1500cc. Urine keluar 300cc dalam 2 jam.

3

Page 4: Case Report tetanus

Grafik1. Hemodinamik durante operasi selama tindakan anestesi umum.

Pengelolaan penderita diruangan high care dengan nutrisi secara enteral dan pemberian

parenteral tambahan infus Ringer Lactate tetesan maintenance 20 tetes permenit. Pengobatan

tetanus yang diberikan dilanjutkan. Pengelolaan nyeri post operasi menggunakan fentanyl 25

mcg/jam via syiringe. Penderita dalam keadaan sadar, merasa nyaman tidak mengeluh sakit,

tanda vital stabil dan tidak terjadi adanya kejang.

PEMBAHASAN

Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan

spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan

oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif

anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan

desinfektan. Spora adalah di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran

manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama

tetanospasmin.1

C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan

berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan

4

0 30 60 900

20

40

60

80

100

120

140

160

180

sistolikdiastolikHRSpO2RR

Page 5: Case Report tetanus

antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap

fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran

manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi

pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan

ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis

protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf).1

C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi

dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel

darah merah. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan

protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak

dengan enzim proteolitik. Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic.

Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan media agar darah.

Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasi glukosa.

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,

Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke

dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4

penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan

eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini

bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya

benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser

yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan

patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril.1

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila

5

Page 6: Case Report tetanus

dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya,

toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan

sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem

saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal

dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor

endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf

tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. 1

Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat

tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot

yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk

melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan

glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan

kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. 2

Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat

toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot

bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri,

menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani

ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin

ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan

gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.2

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan

pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan

neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis

6

Page 7: Case Report tetanus

merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah

meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan

mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan

teliti.3

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari

susunan syaraf pusat, dengan cara :4

Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan

acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks

synaptik di spinal cord.

Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral

ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System dengan gejala

berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian

cathecholamine dalam urine.4

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan

meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh

karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli

terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya

kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.5

7

Page 8: Case Report tetanus

Tabel 1. Komplikasi akibat tetanus1

NO SISTEM ORGAN KOMPLIKASI

1 JALAN NAPASAspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedative

2 RESPIRASI

ARDS, komplikasi akibat ventilasi mekanis

jangka panjang (misalnya pneumonia),

komplikasi trakeostomi.

3 KARDIVASKULAR Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi,

bradikardia, aritmia, asistol, gagal jantung.

4 RENAL Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.

5 GASTROINTESTINAL Stasis, ileus, perdarahan.

6 MUSKULOSKELETAL Rabdomiolisis, myositis ossificans

circumscripta, fraktur akibat spasme.

7 LAIN-LAIN Penurunan berat badan, tromboembolisme,

sepsis, sindrom disfungsi multiorgan.

Pasien yang diduga menderita tetanus harus ditempatkan pada tempat yang tenang,

dibagian yang gelap dari ruangan HCU. Tempat yang benar-benar tenang perlu sebagai

mencegah kebisingan yang bisa memimbuklan kejang dan nyeri. Stimulasi eksternal yang dapt

menimbulkan kejang adalah adanya paparan cahaya terang, keributan, suction tracheal.5

Selain itu diperlukan manajemen kontrol jalan napas dan mempertahankan ventilasi yang

adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi

sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Fasilitas untuk endotraccheal

suction dan intubasi termasuk tracheostomi dan ventilasi dengan oksigen harus dapat segera

dapat digunakan.6

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :7

1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

8

Page 9: Case Report tetanus

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan

sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus

dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat

diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada

kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan

angka kematian masih dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk

memusnahkan ―pabrik‖ penghasil tetanospasmin.

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya

terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga

pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia

atau hidrofobia.

Penanganan pasien dengan tetanus diarahkan dengan mengendalikan kejang otot rangka,

mencegah hiperaktif sistem simpatis, ventilasi suportif, menetralkan racun, dan debridement

pada daerah yang terkena untuk menghilangkan sumber toksin. Diazepam (40 hingga 100 mg /

hari IV) adalah berguna untuk mengendalikan kejang otot rangka. Kadang-kadang, relaksan otot

nondepolarisasi dan ventilasi mekanik diperlukan. Perlindungan awal dari saluran napas atas

adalah penting, karena laringospasme mungkin dapat terjadi bersamaan dengan kejang otot

rangka. Overaktif dari sistem saraf simpatik dapat dikelola dengan β-blocker intravena seperti

propranolol dan esmolol. Eksotoksin dapat dinetralisir oleh human antitetanus imunoglobulin

secara intratekal atau intramuskular. Netralisasi ini tidak menghilangkan gejala yang sudah ada

tetapi tidak mencegah eksotoksin tambahan mencapai sistem saraf pusat. Penisilin dan

9

Page 10: Case Report tetanus

metronidazol dapat menghancurkan bentuk vegetative dari C. tetani.5

Anestesi umum termasuk intubasi trakea adalah pilihan tepat untuk operasi debridement.

Operasi debridement ditunda sampai beberapa jam setelah pasien menerima antitoksin, karena

tetanospasmin menyebar ke sistem sirkulasi selama reseksi bedah. Pemantauan invasif

diindikasikan dan harus mencakup perekaman terus menerus dari tekanan darah dan pengukuran

tekanan vena sentral. Anestesi volatile berguna untuk pemeliharaan anestesi jika aktivitas sistem

saraf simpatik yang berlebihan. Penggunaan relaksan otot nondepolarisasi disarankan. Obat-

obatan seperti lidokain, esmolol, metoprolol, magnesium, nicardipine, dan nitroprusside harus

tersedia untuk menangani aktivitas sistem saraf simpatik yang berlebihan selama perioperatif.

Obat- obatan anestesi yang dapat mengurangi kejang yaitu benzodiazepine, barbiturate, opioid

(fentanyl), dan propofol.5

Disfungsi otonom adalah komplikasi yang paling serius dari tetanus berat yang

mengalami berkelanjutan berupa hipertensi, takikardia, aritmia, berkeringat banyak, demam,

peningkatan karbon dioksida, peningkatan katekolamin dan kemudian hipotensi. Gejala-gejala

ini berkembang menjelang akhir minggu pertama. Hipotensi dan bradikardi juga bisa terjadi

akibat keterlibatan batang otak atau miokarditis. Otonom hiperaktif diobati dengan narkotika

yang juga mengurangi rasa sakit. Labetalol bertindak dengan menghambat penyerapan

norepinefrin ke dalam terminal saraf. Hal ini dapat membantu bersama dengan obat penenang

dan narkotika. 8

Dalam kasus ini kami tetap melanjutkan terapi diazepam dan pemberian propanolol

hingga sebelum operasi. Lalu kami memberikan fentanyl intravena dan sevoflurane sebagai

volatile untuk induksi dan sebagai maintenance. Untuk neuromuscular blocking agents kami

menggunakan rocuronium yang tidak mencetuskan kejang. Pemberian muscle relaxant kami

10

Page 11: Case Report tetanus

berikan dengan alasan agar pasien dapat tertidur dalam dan memudahkan operator dalam

melakukan tindakan. Propofol tidak kami gunakan karena pasien sudah mendapatkan diazepam

sebelumnya. Sedangkan cara kerja diazepam dan propofol memiliki kesamaan dalam berikatan

dengan reseptor GABA. Diazepam merupakan golongan benzodiazepine yang dapat mengurangi

MAC sebanyak 30%.9 Jadi kebutuhan agen inhalasi dapat dapat menurun. Analgetik yang

digunakan fentanyl yang berpotensi kuat dan tidak menimbulkan kejang.

Obat – obat anestesi yang dihindari untuk pasien tetanus:10

1. Meperidine (Pethidine): meningkatkan evoked potensial dan meningkatkan amplitudo

sehingga menimbulkan kejang

2. Tramadol: mencetuskan kejang

3. Enflurane: meningkatkan CMR, pada MAC 1.5 – 2 MAC menyebabkan gambaran kejang

(spike and wave) pada EEG.

4. Atracurium: toksik laudanosine hasil dari pemecahan eliminasi atracurium yang dapat

mengeksitasi sistem saraf pusat sehingga MAC meningkat dan mencetuskan kejang.

5. Ketamin: efek disosiatf adanya gangguan persepsi dari rangsangan dan lingkungannya

seperti mengalami halusinasi dan mimpi buruk (Nightmare) pada saat pemulihan dan dapat

menimbulkan kejang.

KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan

kesadaran. Gejala didapatkan dari tetanospasmin yang dihasilkan oleh clostridium tetani pada sinaps

ganglion sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular, dan saraf otonom. Manajemen anestesi

pada tindakan operatif perlu diketahui untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien.

11

Page 12: Case Report tetanus

DAFTAR PUSTAKA

1. Bartlett JG. Narrative review: the new epidemic of Clostridium tetani. Ann Intern

Med.2006.145-156

2. Firth PG, Solomon JB, Roberts LL, Gleeson TD. Airway management of tetanus after the

Haitian earthquake: new aspects of old observations. Anesth Analg 2011;113(3):545–7

3. Pramila Bajaj. Tetanus: Anaesthetic Management. Indian journal of Anaesthesia 2009;53(3):367–8

4. Jenkins M, Luhn N. Active management of tetanus based on experiences of an anesthesiology

department. Anesthesiology. 2002;23:690–709

5. Stoelting RK, Dierdoff SF. Infection diseases. In : Anesthesia and co-existing diseases. 3rd

ed. Indiana : Churchill Livingstone Inc, 2010

6. Reddy VG. Pharmacotherapy of tetanus- A review. Middle East J Anaesthesiol. 2002;16:419–

42

7. Borgeat A, Popovic V, Schwander D. Efficiency of a continuous infusion of propofol in a

patient with tetanus. Crit Care Med. 2010;19:295–7

8. Rotiroti D, Mastroeni P, Nistico G. Effects of tetanus toxin after intracerebral microinjection

are antagonised by drugs enhancing GABAergic transmission in adult

fowl. Neuropharmacology. 2004;23:155–8

9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Intravenous Anesthesia. In : Clinical

anesthesiology 4rd ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing

Four Edition, 2011.

10. Tobias JD. Anaesthetic implications of tetanus. South Med J. 2008;91:384–7

12