case report glaukoma
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
GLAUKOMA KRONIS
Pembimbing:
dr. Agah Gadjali, SpM
dr. Hermansyah, SpM
dr. Gartati Ismail, SpM
dr. Mustafa K. Shahab, SpM
dr. Henry A. W, SpM
Disusun oleh:
Almira Rosalie
1102010015
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 25 JANUARI – 27 FEBRUARI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 11 September 1945
Agama : Islam
Suku, Kebangsaan : Jawa, Indonesia
Pendidikan : SMA
Perkerjaan : Pensiun PNS
Alamat : Komplek Paspampres RT 06/06 Kel Jakarta Timur
No telp. : 021 - 87792377
Status : Menikah
Tanggal pemeriksaan : 05 Februari 2016
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 05 Februari 2016.
Keluhan utama : Penglihatan mata kabur tanpa disertai mata merah sejak 5
tahun yang lalu
Keluhan tambahan : Mata terasa pegal dan kering
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Mata RS Polri dengan keluhan penglihatan mata semakin
kabur, terasa pegal dan kering tanpa disertai mata merah. Keluhan tersebut dirasakan
sejak 5 tahun yang lalu. Saat pertama kali serangan pasien mengeluhkan mata sebelah
kiri terasa kabur dan sakit namun tidak disertai muntah, serta terdapat mata merah,
kemudian pasien berobat ke RSPAD Gatot Subroto dan saat diperiksa tekanan
intraokular pasien mencapai 40 mmHg dan didiagnosis Glukoma Akut dan dianjurkan
untuk operasi pada mata sebelah kiri.
Kemudian sejak 2 tahun yang lalu pasien merasakan hal yang sama pada mata sebelah
kanan namun pasien hanya berobat jalan.
2
Gangguan tersebut memburuk dikarenakan pasien jarang berobat sehingga pasien
datang ke Poliklinik Mata di RS Polri. Saat pertama datang ke RS Polri pasen mengeluh
pandangan kabur, mata terasa pegal dan kering. Keluhan mata merah sudah tidak
dirasakan lagi oleh pasien. Pasien juga mengaku tekanan intraokular pasien tinggi saat
itu sehingga pasien harus kontrol setiap minggu. Saat ini gangguan penglihatan kedua
mata pasien sedikit membaik dan keluhan lainnya sedikit berkurang. Pasien Pasien
sekarang rutin berobat ke RS Polri setiap 2-3 minggu sekali (saat obat habis).
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat menggunakan kacamata (+).
- Riwayat diabetes melitus (+).
- Riwayat hipertensi (+).
- Riwayat trauma pada mata (-).
- Riwayat asma dengan pengobatan menggunakan steroid (+)
- Riwayat alergi obat Antalgin (+)
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang merasakan keluhan seperti pasien
III. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis:
Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 05 Februari 2016,
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah: 160/100 mmHg
Nadi : 82 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36.5 °C
3
Status Oftalmologi
Inspeksi
4
OD OS
Visus 5/30 5/30F
Gerakan bola mata
Kedudukan bola mata Ortoforia
Lapang pandang
Tes konfrontasi: lapang pandang menyempit
Tes konfrontasi: lapang pandang menyempit
Palpebra
SuperiorEdema (-), nyeri tekan (-),
hiperemis (-).Edema (-), nyeri tekan (-),
hiperemis (-). InferiorKonjungtiva tarsal Superior
Hiperemis (-), papil (-), folikel (-), sikatriks (-), sekret (-).
Hiperemis (-), papil (-), folikel (-), sikatriks (-), sekret (-). Inferior
Konjungtiva bulbi
injeksi konjungtiva (-),injeksi siliar (-), perdarahan (-).
injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-), perdarahan (-).
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata depan Dalam Dalam
Iris Kripti (+), sinekia anterior/posterior (-/-)
Kripti (+), sinekia anterior/posterior (-/-)
Pupil Bulat, sentral, reguler, refleks cahaya langsung/tidak langsung (+/+),
diameter 3 mm.
Bulat, sentral, reguler, refleks cahaya langsung/tidak langsung (+/+),
diameter 3 mm.
Lensa Relatif keruh, shadow test (-). Relatif Keruh, shadow test (-).
TIO 8/7,5 (15,6 mmHg) 8/7,5 (15,6 mmHg)
Vitreus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi
Papil : Batas tegas, CD ratio 0,9-1Cupping (+) nasalisasi (+) temporal rim
menghilang, A/V 2/3Makula (+)
Retina: eksudat (-)
Papil : Batas tegas, CD ratio 0,8-0,9Cupping (+) nasalisasi (+) temporal rim
menghilang, A/V 2/3Makula (+)
Retina: eksudat (-)
5
IV. Resume
Pasien laki-laki berusia 70 tahun, datang ke poliklinik mata RS Polri dengan
keluhan penglihatan mata semakin kabur, terasa pegal dan kering tanpa disertai
mata merah sejak 5 tahun yang lalu. Pasien memiliki riwayat glukoma sejak 5
tahun yang lalu dan telah dioperasi pada mata sebelah kiri, kemudian hal yang
sama dirasakan oleh mata sebelah kanan pasien sejak 2 tahun yang lalu. visus OD
5/30 OS 5/30F, Tekanan intraokular ODS 15,6 mmHg. Pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan papil OD CD ratio 0,9-1 Cupping (+) temporalis
menghilang OS papil CD ratio 0,8-0,9 Cupping (+) temporalis menghilang.
V. Diagnosis Kerja
Glaukoma kronik ODS
VI. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan gonioskopi
Pemeriksaan lapang pandang (perimetri)
VII.Penatalaksanaan
Medikamentosa
o Glaucon (Azetazolamide 250 mg) 2 x 1 tablet
o Aspar K (Kalium L-aspartate 300 mg) 1 x 1 tablet
o Timolol 0,5% eye drop 2 x 1 ODS
o Glaupen (Latanoprost 0,005%) eye drop 1 x 1 ODS
Non-medikamentosa
o Membatasi asupan cairan
o Pemakaian obat dan kontrol secara teratur
o Edukasi mengenai perjalanan penyakit
o Kontrol gula darah dan tekanan darah
VIII. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
6
Ad cosmeticam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
Sudut filtrasi merupakan bagian yang penting dalam pengaturan cairan bilik mata.
Sudut ini terdapat di dalam limbus kornea. Limbus terdiri dari 2 lapisan yaitu epitel dan
stroma. Di dalam stromanya terdapat serat-serat saraf dan cabang akhir dari arteri siliaris
anterior. Bagian terpenting dari sudut filtrasi adalah trabekular, yang terdiri dari :
1. Trabekula korneoskleral
Serabutnya berasal dari lapisan stroma kornea dan menuju ke belakang mengelilingi
kanalis Schlemm untuk berinsersi pada sklera.
2. Trabekula uveal
Serabutnya berasal dari lapisan dalam stroma kornea, menuju ke scleral spur (insersi
dari m.siliaris) dan sebagian ke m.siliaris meridional.
3. Serabut yang berasal dari akhir membran Descemet (garis Schwalbe)
Serabut ini menuju ke jaringan pengikat m.siliaris radialis dan sirkularis.
4. Ligamentum Pektinatum Rudimenter
Ligamentum ini berasal dari dataran depan iris menuju ke depan trabekula.
Trabekula terdiri dari jaringan kolagen, homogen, elastis dan seluruhnya diliputi oleh
endotel. Keseluruhannya merupakan spons yang tembus pandang, sehingga bila ada darah
di dalam kanalis Schlemm, dapat terlihat dari luar.
Gambar 1. Anatomi Sudut Filtrasi
7
Struktur lain yang terlibat adalah kanalis sklem, kanalis berbentuk sirkumferensial
dan dihubungkan oleh septa-septa. Bagian dalam kanalis dilapisi oleh sel-sel endotel
berbentuk kumparan yang mengandung vakuol-vakuol besar, dan di bagian luar dilapisi
oleh sel-sel datar halus yang mengandung ujung dari kanalis-kanalis kolektor.
Bagian selanjutnya yang berperan adalah kanalis kolektor. Kanalis ini meninggalkan
kanalis sklem dan berhubungan dengan vena episklera.
Akuous humor diproduksi oleh epitel non pigmen dari korpus siliaris dan mengalir ke
dalam bilik posterior, kemudian masuk diantara permukaan posterior iris melalui sudut
pupil. Selanjutnya masuk ke bilik anterior. Akuous humor keluar dari bilik anterior
melalui dua jalur konvensional (jalur trabekula) dan jalur uveosklera (jalur non
trabekula).
1. Outflow melalui jalur trabekulum ( jalur konvensional ). Yang merupakan jalur utama,
dimana sekitar 90% outflow humor akuos melalui jalinan trabekular menuju kanalis
sklem dan berlanjut ke sistem vena kolektor. ( Gambar 2 )
Gambar 2. Jalur konvensional dan tidak konvensional
2. Outflow melalui jalur uveoskleral ( jalur tidak konvensional ). Dimana sekitar 10%
outflow akuous humor melalui jalur ini. Mekanisme yang beragam terlibat, didahului
lewatnya akuous dari camera oculi anterior kedalam otot muskularis dan kemudian
8
kedalam ruang suprasiliar dan suprakoroid. Cairan kemudian keluar dari mata melalui
sklera yang utuh ataupun sepanjang nervus dan pembuluh darah yang memasukinya.
Akuous humor menentukan secara langsung tekanan intraokular, dengan keterkaitan
terhadap kecepatan pembentukan akuous humor dan kecepatan akuous humor keluar dari
mata. Cairan ini adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata depan dan belakang.
Volumenya sekitar 250 mikroliter, dan kecepatan pembentukannya, yang memiliki variasi
diurnal, sekitar 2,5 mikroliter per menit. Tekanan osmotiknya sedikit lebih tinggi
dibandingkan plasma. Komposisi Akuous humor serupa dengan plasma, kecuali bahwa
cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat yang lebih tinggi dan protein,
urea dan glukosa yang lebih rendah.
Konsep Tekanan Intraokuler normal.
Distribusi tekanan intra okuler (TIO) pada populasi genral berkisar antara 11-21
mmHg. Walaupun tidak ada titik patologis pasti, 21 mmHg dianggap batas atas dan hasil
sebesar ini akan dilihat dengan kecurigaan akan adanya proses patologis yang sedang
terjadi. TIO bervatiasi sepanjang hari bergantung pada denyut jantung, tekanan darah dan
respirasi.
B. Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapang pandang; biasanya disertai
peningkatan tekanan intraokular.
C. Epidemiologi
Di seluruh dunia, glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang tertinggi, 2%
penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma. Glaukoma dapat juga
didapatkan pada usia 20 tahun, meskipun jarang.
Berdasarkan data WHO 2010 diperkirakan sebayanyak 3,2 juta orang mengalami
kebutaan akibat glaukoma. Di Indonesia, glaukoma menjadi penyebab lebih dari 500.000
kasus kebutaan di Indonesia dan kebutaan yang disebabkan oleh glaukoma bersifat
permanen. Glaukoma sudut terbuka primer merupakan kasus glaukoma terbanyak (90%).
Sekitar 0,4-0,7% orang berusia lebih dari 40 tahun dan 2-3% orang berusia lebih dari 70
tahun diperkirakan mengidap glaukoma sudut terbuka primer.
9
E. Etiologi
Glaukoma terjadi karena peningkatan tekanan intraokuler yang dapat disebabkan oleh
bertambahnya produksi akuous humor oleh badan siliar ataupun berkurangnya
pengeluaran akuous humor di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil.
Tekanan intraokuler adalah keseimbangan antara produksi akuous humor, hambatan
terhadap aliran akuous dan tekanan vena episklera. Ketidakseimbangan antara ketiga hal
tersebut dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler, akan tetapi hal ini lebih
sering disebabkan oleh hambatan terhadap aliran akuous humor.
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan
retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus berkurang
sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan
terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata. Yang pertama terkena adalah lapang
pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Jika tidak diobati, glaukoma pada
akhirnya bisa menyebabkan kebutaan.
F. Klasifikasi
Secara sederhana glaukoma di klasifikasi berdasarkan etiologi dan mekanisme
peningkatan tekanan intra okuler.
Klasifikasi berdasarkan etiologi, yaitu sebagai berikut :
1. Glaukoma primer, tidak diketahui penyebabnya :
a. Glaukoma sudut sempit/ tertutup ( close angle glaucoma, acut congestive
glaucoma ).
b. Glaukoma sudut terbuka ( glaucoma simpleks, open angle glaucoma, chronic
simple glaucoma ).
2. Glaukoma sekunder, timbul sebagai akibat penyakit lain dalam bola mata,
disebabkan:
a. Perubahan lensa:
o luksasi
o Pembengkakan ( intumsemen )
o Fakolitik
b. Kelainan uvea:
o Uveitis
10
o Tumor
c. Trauma:
o Perdarahan dalam bilik mata depan ( hifema )
o Perforasi kornea dan prolaps iris
d. Bedah
e. Rubeosis.
f. Steroid dan lainnya
3. Glaukoma kongenital
a. Primer atau infantile.
b. Menyertai kelainan kongenital lainnya.
4. Glaukoma absolut, keadaan terakhir suatu glaukoma, yaitu dengan kebutaan total dan
bola mata nyeri.
Klasifikasi glaukoma berdasarkan mekanisme tekanan intra okuler, yaitu:
1. Glaukoma sudut terbuka
a. Membran pratrabekular
b. Kelainan trabekular
c. Kelainan pascatrabekular
2. Glaukoma sudut tertutup
a. Sumbatan pupil
b. Pergeseran lensa ke anterior
c. Pendesakan sudut
Gambar 3. Glaukoma sudut terbuka
11
Gambar 4. Glaukoma sudut tertutup
G. Faktor Predisposisi
Faktor anatomis yang menyebabkan sudut sempit adalah :
1. Bulbus okuli yang pendek, biasanya pada mata yang hipermetrop. Makin berat
hipermetropnya makin dangkal bilik mata depannya.
2. Tumbuhnya lensa, menyebabkan bilik mata depan menjadi lebih dangkal. Pada
umur 25 tahun, dalamnya bilik mata depan rata-rata 3,6 mm, sedangkan pada
umur 70 tahun 3,15 mm.
3. Kornea yang kecil, dengan sendirinya bilik mata depannya dangkal.
4. Tebalnya iris. Makin tebal iris, makin dangkal bilik mata depan.
Pada sudut bilik mata yang sempit, letak lensa jadi lebih dekat ke iris, sehingga aliran
cairan bilik mata dari bilik mata belakang ke bilik mata depan terhambat, inilah yang
disebut dengan hambatan pupil. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya tekanan
didalam bilik mata belakang dan medorong iris ke depan. Pada sudut bilik mata depan
yang memang sudah sempit, adanya dorongan ini menyebabkan iris menutupi jaringan
trabekula, sehingga cairan bilik mata tidak dapat atau sukar untuk keluar dan terjadilah
glaukoma sudut tertutup.
12
H. Patofisiologi
Pada glaukoma sudut terbuka, kelainan terjadi pada jalinan trabekular, sedangkan
sudut bilik mata terbuka lebar. Jadi tekanan intra okular meningkat karena adanya
hambatan outflow humor akuos akibat kelainan mikroskopis pada jalinan trabekular.
Pada glaukoma sudut tertutup, jalinan trabekular normal, sedangkan tekanan intra
okular meningkat karena obstruksi mekanik akibat penyempitan sudut bilik mata, sehingga
outflow humor akuos terhambat saat menjangkau jalinan trabekular. Keadaan seperti ini
sering terjadi pada sudut bilik mata yang sempit ( kadang-kadang disebut dengan
“dangerous angle” ).
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah apoptosis sel
ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan lapisan inti dalam
retina serta berkurangnya akson di nervus opticus. Diskus opticus menjadi atrofik, disertai
pembesaran cawan optik.
Mekanisme yang paling berkontribusi dalam kehilangan visual pada glaukoma adalah
atrofi sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan nervus dan nuklear dalam
pada retina dan hilangnya akson pada nervus optikus. Optic disc mengalami atrofi dan
optic cup membesar. Iris dan korpus siliaris juga mengalami atrofi, dan prosesus siliaris
mengalami degenerasi hialin.
Efek peningkatan tekanan intra okuler dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar
peningkatan tekanan intra okuler. Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intra okuler
mencapai 60-80 mmHg, menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang disertai
edema kornea dan kerusakan nervus optikus. Pada glaukoma sudut terbuka primer,
tekanan intra okuler biasanya tidak meningkat lebih dari 30 mmHg dan kerusakan sel
ganglion terjadi setelah waktu yang lama, sering setelah beberapa tahun. Pada glaukoma
tekanan normal, sel-sel ganglion retina mungkin rentan mengalami kerusakan akibat
tekanan intra okuler dalam kisaran normal, atau mekanisme keruskannya yang utama
mungkin iskemia caput nervi optici.
13
I. Manifestasi Klinik
o Biasanya terjadi secara perlahan-lahan dan asimptomatik, sampai terjadi penurunan
penglihatan dan umumnya terjadi secara bilateral
o Pasien mengeluhkan sakit kepala dan nyeri pada bola mata
o Pasien mengakui melihat halo (seperti pelangi atau lingkaran disekitar objek sinar
atau cahaya)
o Beberapa pasien mengeluhkan adanya defek lapang pandang jika sudah mencapai
stadium lanjut
Gambar 5 ab. Kerusakan Retinal Nerve Fiber LayersGambar diatas menunjukkan perubahan pada Retinal Nerve Fiber Layer yang baisanya mendahului perubahan diskus optikus yang dapat dideteksi dan perubahan lapang pandang. Dapat didapati dua bentuk: (a) defek terlokalisir berbentuk jajar genjang dan (b) defek difus yang lebih besar dengan batas yang tidak jelas.
Defek Lapang Pandang pada Pasien Glaukoma
1. Perubahan paling awal yang dapat diamati pada pasien glaukoma adalah perubahan
sensitivitas pada daerah-daerah tertentu yang nantinya akan mengalami defek
2. Defek paracentral akan dapat ditemui pada fase selanjutnya, dimana defek yang
terletak akan terletak diluar area central dan hal ini merupakan defek visual awal pada
glaukoma. Defek ini mengikuti pola distribusi Retinal nerve Fiber Layer dan karena
itu akan berhenti pada garis tengah horizontal. (Gambar 5 a & b)
3. Nasal Ronne Step, menunjukkan perbedaan sensitivitas antara lapang pandang nasal
superior dan inferior
4. Defek lapang pandang Arkuata, merupakan akibat dari gabungan antara skotoma-
skotoma paracentral, umumnya berada 10 sampai 20 derajat dari area fiksasi, dan
seiring dengan waktu akan meluas secara circumferential
14
5. Perbesaran dari skotoma diakibatkan oleh kerusakan pada retina yang berdekatan
6. Pendalaman / perparahan dari skotoma dan pembentukan defek area baru
7. Skotoma Cincin (Ring Scotoma) terbentuk jika skotoma arkuata di lapang inferior
dansuperior terhubung
8. Perubahan tahap akhir (End Stage) ditandai dengan lapang pandang central yang
biasanya juga disertai oleh lapang pandang temporal (Tunnel Vision)
J. Diagnosis
Anamnesis
1. Keluhan visual
Biasanya tidak dikeluhkan oleh pasien kecuali kerusakan telah terjadi secara
signifikan. Kadang defek lapang pandang sentral dapat terjadi pada stadium awal,
walaupun lapang pandang perifer masih normal
2. Riwayat oftalmologi sebelumnya
o Status refraksi pasien. Miopia memiliki resiko tinggi untuk terjadinya Primary
Open Angle Glaucoma, sedangkan hipermetropia memiliki resiko tinggi untu
Primary Angle Closure Glaucoma
o Sebab-sebab glaukoma sekunder yang mungkin seperti riwayat trauma
okuler, inflamasi, atau pembedahan mata
3. Riwayat keluarga
POAG atau kondisi terkait seperti Ocular Hypertension
4. Riwayat medis sebelumnya
Pertanyaan spesifik mengenai hal – hal berkut sebaiknya dilakukan
o Riwayat asma, gagal jantung, blok jantung, Penyakit vaskuler perifer dan
Chronic Obstructive Pulmonary Disease, karena penyakit-penyakit ini
merupakan kontraindikasi penggunaan betablocker dalam penatalaksanaan
glaukoma
o Riwayat trauma kepala, patologi intrakranial, atau sebab-sebab lain yang
mungkin menyebabkan atrofi nervus optikus atau defek lapang pandang
o Vasopasme terkait migraine atau raynaud phenomenon
o Diabates, hipertensi sistemik, dan penyakit cardiovascular lain
5. Pengobatan saat ini
o Steroid, baik sistemik maupun topikal
15
o Beta Blocker oral, dapat menurunkan TIO, menciptakan suatu efek masking
yang menutupi keadaan sebenarnya
Pemeriksaan
Untuk mendiagnosis glaukoma dilakukan sejumlah pemeriksaan yang rutin
dilakukan pada seseorang yang mengeluh rasa nyeri di mata, penglihatan dan gejala
prodromal lainnya. Pemeriksaan yang dilakukan secara berkala dan dengan lebih dari satu
metode akan lebih bermakna dibandingkan jika hanya dilakukan 1 kali
pemeriksaan.Pemeriksaan tersebut meliputi:
a. Tajam penglihatan
Pemeriksaan ketajaman penglihatan bukan merupakan cara yang khusus
untuk glaukoma, namun tetap penting, karena ketajaman penglihatan yang baik, misalnya 6/6
belum berarti tidak glaukoma.
b. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk memeriksa tekanan intraokuler. Ada 3 macam tonometri,
yaitu:
1. Digital
Merupakan teknik yang paling mudah dan murah karena tidak memerlukan alat.
Caranya dengan melakukan palpasi pada kelopak mata atas, lalu membandingkan
tahanan kedua bola mata terhadap tekanan jari. Hasil pemeriksaan
ini diinterpretasikan sebagai T.N yang berarti tekanan normal, T n+1 untuk tekanan yang
agak tinggi, dan T n-1 untuk tekanan yang agak rendah. Tingkat ketelitian teknik ini
dianggap paling rendah karena penilaian dan interpretasinya bersifat subjektif.
Gambar 6. Menafsirkan pengukuran TIO secara digital
16
2. Tonometer Schiotz
Tonometer Schiotz ini bentuknya sederhana, mudah dibawa, gampang digunakan dan
harganya murah. Pasien tidur terlentang tanpa menggunakan bantal, dan diberi anestesi
local (pantokain) pada kedua mata. Dengan pasien menatap lurus ke depan, kelopak mata
ditahan agar tetap terbuka dengan menarik kulit palpebra dengan hati-hati pada tepian
orbita. Tonometer diturunkan oleh tangan lainnya sampai ujung cekung laras menyentuh
kornea. Dengan gaya yang ditetapkan dengan beban terpasang, tonjolan plunger berujung
tumpul menekan pada kornea dan sedikit melekukkan pusat kornea. Tahanan kornea,
yang sebanding dengan tekanan inraokuler, akan mendesak plunger ke atas. Sewaktu
bergeser ke atas didalam selongsong, plunger menggeser jarum penunjuk skala. Makin
tinggi tekanan intraokuler, makin besar tahanan kornea terhadap indentasi, makin tinggi
pula geseran plunger ke atas, sehingga makin jauh menggeser jarum penunjuk skala.
Pembacaan skala disesuaikan dengan kalibrasi dari Zeiger-Ausschlag Scale yang
diterjemahkan ke dalam tekanan intraokuler.
Gambar 7. Tonometer Schiotz
17
Gambar 8. Skala Kalibrasi
3. Tonometer aplanasi Goldmann
Alat ini cukup mahal dan tidak praktis, selain itu memerlukan slitlamp yang juga
mahal. Dengan alat ini, kekakuan sclera dapat diabaikan sehingga hasil yang didapatkan
menjadi lebih akurat. Setelah anestesi lokal dan pemberian flourescein, pasien duduk di
depan slitlamp dan tonometer disiapkan. Agar dapat melihat flourescein, dipakai filter
cobalt blue dengan penyinaran paling terang. Setelah memasang tonometer didepan
kornea, pemeriksa melihat melalui slitlamp okuler saat ujungnya berkontak dengan
kornea. Sebuah percounter balance yang dikendalikan dengan tangan mengubah-ubah
beban yang diberikan pada ujung tonometer. Setelah berkontak, ujung tonometer
meratakan bagian tengah kornea dan menghasilkan garis flourescein melingkar tipis.
Sebuah prisma di ujung visual memecah lingkaran ini menjadi dua setengah lingkaran
yang tampak hijau melalui okuler slitlamp. Beban tonometer diatur secara manual
sampai kedua setengah lingkaran tersebut tepat bertumpuk.
Gambar 9a. Tonometer aplanasi Goldmann. Gambar 9b. Tenaga tonometer diatur secara manual
sampai kedua setengah lingkaran bertumpuk
c. Gonioskopi
Gonioskopi sangat penting untuk ketepatan diagnosis glaukoma. Gonioskopi dapat
menilai lebar sempitnya sudut bilik mata depan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
pada semua pasien yang menderita glaukoma, pada semua pasien suspek glaukoma, dan
pada semua individu yang diduga memiliki sudut bilik mata depan yang sempit. Dengan
gonioskopi dapat dibedakan glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sudut terbuka, juga
dapat dilihat adanya perlekatan iris bagian perifer kedepan (peripheral anterior sinechiae)
18
Pada gonioskopi terdapat 5 area spesifik yang dievaluasi di semua kuadran yang
menjadi penanda anatomi dari sudut bilik mata depan yang dilihat pada prisma
goniolen :1) Iris perifer, khususnya insersinya ke badan siliar.2) Pita badan siliar,
biasanya tampak abu-abu atau coklat.3) Sclera spur, biasanya tampak sebagai garis putih
prominen di alas pita badan shier.4) Trabekulum meshwork 5) Garis Schwalbe, suatu tepi
putih tipis tepat di tepi trabekula Meshwork. Dengan lensa goniskopi dapat melihat
keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan meletakkan lensa sudut (goniolens) di dataran depan kornea setelah diberikan
anestesi local. Lensa ini dapat digunakan untuk melihat sekeliling sudut bilik mata
dengan memutarnya 360 derajat. Nilai derajat 0, bila terlihat struktur sudut dan terdapat
kontak kornea dengan iris (sudut tertutup), derajat 1 bila tidak terlihat ½ bagian jalinan
trabekulum sebelah belakang dan garis Schwalbe terlihat disebut sudut sangat sempit,
derajat 2 bila sebagian kanal Schlem terlihat, derajat 3 belakang kanal Schlemm dan
skleral spur masih terlihat, derajat 4 badan siliar terlihat (sudut terbuka)
Gambar 10a. Pemeriksaan Gonioskop Gambar 10b. Gambaran yang terlihat pada gonioskop
d. Lapang Pandang (perimetri)
Yang termasuk ke dalam pemeriksaan ini adalah lapangan pandang sentral dan
lapangan pandang perifer. Pada stadium awal, penderita tidak akan menyadari adanya
kerusakan lapangan pandang karena tidak mempengaruhi ketajaman penglihatan
sentral. Pada tahap yang sudah lanjut, seluruh lapangan pandang rusak dengan tajam
penglihatan sentral masih normal sehingga penderita seolah-olah melihat melalui suatu
teropong (tunnel vision).
19
Gambar
11a.
Pemeriksaan perimetri Gambar 11b. Lapang
pandang pada pengelihatan normal dan penderita glaukoma
e.Oftalmoskopi
Pada pemeriksaan oftalmoskopi, yang harus diperhatikan adalah keadaan papil saraf
optik. Perubahan yang terjadi pada papil dengan glaukoma adalah penggaungan
(cupping) dan degenerasi saraf optik (atrofi). Jika terdapat penggaungan lebih dari 0,3
dari diameter papil dan tampak tidak simetris antara kedua mata, maka harus diwaspadai
adanya ekskavasio glaukoma. Diskus optikus normal. Lihat batas tegas dari diskus
optikus, demarkasi yang jelas dari ‘cup’, dan warna pink cerah dari sisi neuroretinal.
f .Tonograf i
Tonografi dilakukan untuk mengukur banyaknya cairan aquos yang
dikeluarkan melalui trabekula dalam satu satuan waktu. Dengan tonografi diukur derajat
penurunan tekanan bola mata bila diberikan tekanan dengan tonometer schiotz. Tonometer
yang dipakai adalah semacam tonometer schiotz dan bersifat elektronik yang merekam
tekanan bola mata selama 4 menit dan berguna untuk mengukur pengaliran keluar cairan air
mata. Pada tonografi terlihat kurva fasilitas pengeluaran cairan bilik mata, juga terlihat
pulsasi nadi intraocular. Nilai tonografi C=0,18 adalah normal, bila C kurang dari 0,18 maka
keadaan ini dicurigai menderita glaukoma.
20
Gambar 12a dan b. Pemeriksaan Tonografi
g. Tes Provokasi
Tes ini dilakukan pada keadaan dimana seseorang dicurigai menderita glaukoma.
Untuk glaukoma sudut terbuka, dilakukan tes minum air, pressure congestion test, dan tes
steroid. Sedangkan untuk glaukoma sudut tertutup, dapat dilakukan tes kamar gelap, tes
membaca dan tes midriasis.
Uji lain pada glaucoma :
• Uji Kopi
Penderita meminum 1-2 mangkok kopi pekat, bila tekanan bola mata naik 15- 20 mmHg
setelah minum 20-40 menit menunjukkan adanya glaukoma.
• Uji Minum Air
Sebelum makan pagi tekanan bola mata diukur dan kemudian pasien disuruh minum dengan
cepat 1 liter air. Tekanan bola mata diukur setiap 15 menit. Bila tekanan bola mata naik 8-15
mmHg dalam waktu 45 menit pertama menunjukkan pasien menderita glaukoma.
• Uji Steroid
Pada pasien yang dicurigai adanya glaukoma terutama dengan riwayat glaukoma
simpleks pada keluarga, diteteskan betametason atau deksametason 0,1% 3-4 kali sehari.
Tekanan bola mata diperiksa setiap minggu. Pada pasien berbakat glaukoma maka tekanan
bola mata akan naik setelah 2 minggu.
• Uji Variasi Diurnal
Pemeriksaan dengan melakukan tonometri setiap 2-3 jam sehari penuh,selama 3 hari
biasanya pasien dirawat. Nilai variasi harian pada mata normal adalah antara 2-4 mmHg,
sedang pada glaukoma sudut terbuka variasi dapat mencapai 15-20 mmHg. Perubahan 4-5
mmHg sudah dicurigai keadaan patologik.
• Uji Kamar Gelap
Pada uji ini dilakukan pengukuran tekanan bola mata dan kemudian pasien dimasukkan ke
dalam kamar gelap selama 60-90 menit. Pada akhir 90 menit tekanan bola mata diukur. 55%
pasien glaukoma sudut terbuka akan menunjukkan hasil yang positif, naik 8 mmHg.
• Uji provokasi pilokarpin
Tekanan bola mata diukur dengan tonometer, penderita diberi pilokarpin 1%selama 1 minggu
4 kali sehari kemudian diukur tekanannya.
21
K. Penatalaksanaan
Managemen dari glaukoma bertujuan untuk mencegah degradasi fungsional dari
penglihatan dalam masa hidup pasien.
Tujuan Terapi
Target Pressure
Harus diasumsikan bahwa level TIO pre-treatment pada pasien sudah dapat merusak
nervus optikus dan akan terus merusak jika tidak diturunkan, oleh karena itu penting
untuk mempertimbangkan menurunkan tekanan sampai dibawah titik pasien pertama kali
datang ke dokter. Jika hal ini tidak dapat terjadi, maka modalitas terapi lain harus
dipertimbangkan, seperti menambahkan regimen obat, atau melakukan tindakan bedah
untuk menurunkan tekanan intraokular.
Proportional Reduction
Suatu metode lain untuk managemen glaukoma kronis adalah untuk menurunkan tekanan
sebesar 30% dari tekanan awal, lalu melakukan monitoring pada progresifitas kerusakan.
Monitoring
Dua aspek yang penting untuk ditinjau dalam montioring adalah caput nervus opticus dan
lapang pandang. Jika diamati adanya progresifitas kerusakan maka target TIO harus
diturunkan dibawah apa yang selama ini ditentukan. Walauapun tidak ada konsensus
mengenai berapa level tekanan yang aman, progresi kerusakan jarang terjadi jika TIO
berada dibawah 16 mmHg. Hal ini juga dikaitkan dimana penurunan 1 mmHg tekanan di
asosiasikan dengan reduksi 10% laju hilangnya sel saraf. Oleh karena itu, pasien-pasien
dengan kerusakan lanjut harus memiliki target TIO yang lebih rendah lagi untuk
mempertahankan sel saraf yang tersisa.
Pertimbangan dalam menjalankan terapi medis
a. Menjalankan terapi
Obat yang terpilih harus dimulai penggunaanya pada konsentrasi paling rendah, di
teteskan sejarang mungkin konsisten dengan tujuan terapi yang diinginkan
Secara ideal, obat-obatan dengan efek samping yang paling ringan harus menjadi pilihan
utama.
22
Mulai terapi dengan satu obat, biasanya prostaglandin analogue atau beta blocker, tanpa
melupakan pertimbangan terkait pemilihan.
b. Monitoring
Interval konsultasi pasien disesuaikan dengan kebutuhan, namun biasanya diatara 4-8
minggu
Respons terhadap pengobatan harus dapat dibandingkan dengan target TIO
Jika respobs memuaskan maka interval konsultasi dapat diubah menjadi 3-6 bulan sekali
Jika respons kurang memuaskan, dapat ditambah obat lain atau dengan sediaan kombinasi
Dalam menggunakan dua obat tetes, harus ada jarak 5 menit antar penetesan untuk
mencegah “washout” dari obat yang pertama kali diteteskan
Kadang perlu untuk menunggu satu atau dua bulan sebelum merubah regimen terapi
karena respon obat dapat mengalami perubahan seiring berjalannya waktu
Ketaatan pasien yang buruk atau penggunaan yang salah dapat menjadi sebab tidak
memuaskannya respons terhadap obat
Selalu tanyakan kepada pasien apakah obat sudah dipakai hari ini ketika pasien datang
untuk konsultasi.
c. Perimetry
Jika tekanan intraokuler berada dalam jangkauan target terapi, tanpa adanya keluhan dari
pasien, dan progresifitas yang signifikan maka Perimetri dapat dilakukan setahun sekali.
d. Gonioscopy
Sebaiknya dilakukan setahun sekali pada pasien karena sudut mata cenderung menyempit
seiring dengan bertambahnya usia.
e. Pemeriksaan Diskus optikus
Pencitraan berkala dari diskus optikus dapat memberikan kesan yang baik tentang
progresifitas terkait waktu.
f. Sebab-sebab gagal nya tatalaksana
Ketaatan yang buruk
23
Fluktuasi tekanan yang besar pada pasien dalam satu hari
Proses-proses patologis lain yang dapat menyebabkan deteroriasi pasien seperti perfusi
yang terganggu, variasi tekanan diurnal yang tidak dideteksi, dan lesi kompresif.
Farmakologis
Kebanyakan dari obat-obatan glaukoma di berikan dengan cara topikal, sebagai aturan
umum, terapi diberikan pada saat dimana keadaan-keadaan yang secara meyakinkan dapat
menyebabkan kerusakan pada mata didapatkan pada pasien. Pilihan obat yang digunakan
akan sangat tergantung pada riwayat kesehatan pasien, seperti pada pasien asma dan
bradycardia dimana di kontraindikasikan untuk pemberian beta blocker.
a) Beta Blocker
Kerja dari beta blocker sangat dipengaruhi oleh reseptor-reseptor adrenergik sebagai
tempat kerjanya.
Alpha-1 Receptors, reseptor-reseptor ini terletak pada arteriol, m.dilator pupillae, dan
m.muller. Stimulasi dari reseptor ini akan menyebabka hipertensi, midriasi dan retraksi
palpebral.
Alpha-2 Inhibitory receptors, terletak di epitel ciliaris. Stimulasi menyebabkan
peningkatan dari laju aliran akuous humor keluar dari mata.
Beta-1 receptors. Terletak pada miokardium dan menyebabkan takikardia dan penngkatan
cardiac output ketika di stimulasi
Beta 2 Receptors terletak di bronchus dan epitelium corpus ciliaris, stimulasi reseptor ini
menyebabkan bronkodilatasi dan peningkatan produksi akuous humor.
Dengan mekanisme yang belum dapat didefinisikan dengan jelas, beta blocker dapat
mengurangi TIO dengan mengurangi produksi akuous humor dan karena hal ini berguna pada
semua tipe glaukoma. Bagaimanapun pasien dapat mengalami Tachyphylaxis baik berupa
short-term escape atau long-term drift. Efek samping dari beta blockers biasanya berupa
iritasi dan rasa gatal. Efek samping terkait fungsi pernapasan dan kardiovaskuler biasanya
terjadi pada minggu pertama pemakaian, walaupun jarang tapi basanya signifikan, dapat
berupa bradikardia, hipotensi dan bronkokonstriksi pada pasien asma.
b) Analog Prostaglandin
24
Agen-agen analog prostaglandin umumnya bisa bertahan sampai beberapa hari dalam
konsentrasi terapeutik pada pasien. Reseptor prostaglandint terletak pada banyak jaringan
okuler dengan keterlibatan pada fungsi seperti pada regulasi tekanan intraokular dan aliran
darah.
Latanoprost
Adalah agen F2-alpha anaog yang berperan sebagai agonist selektif dari reseptor FP
prostanoid. Kedua agen ini meningkatkan aliran akuous humor melalui jalur uveoskeral
0.005% 1x1
Bimatoprost
Merupakan analog prostaglandin sintetik yang serupa dengan prostagandin alami
prostasemide. Agen ini menurukan TIO dengan cara meningkatkan aliran uveoscleral dan
trabecular 0.004% 1x1
Tafluprost
Merupakan analog sitnetik prostaglandin F2alpha yang juga berefek di reseptor FP
0.0015% 1x1
c) Topical Carbonic Anhydrase Inhibitors
Obat-obat ini secara kimia terkait sulphonamides, menghamb at enzim karbonik
anhidrase yang berfungsi dalam sekresi akuous humor ke dalam Camera Oculi Posterior.
o Dorzolamide 2% t.i.d
o 1% b.d atau t.i.d
d) Miotik
Obat-obat golongan ini merupakan golongan parasimpatomimetik yang berfungsi dengan
menstimulasi reseptor muskarinik di m. spnhincter pupillae dan corpus ciliare. Pada POAG
agen-agen miotikum mereduksi TIO dengan cara mengkontraksi muskulus ciliaris, dengan ini
meningkatkan jalur aliran keluar aquous melalui trabecular meshwork. Sedangkan pada
PACG, kontraksi dari m.sphincter pupillae menarik iris perifer menjauh dari
trabeculumsehingga membuka sudut bilik amta depan.
o Pilocarpine ED 0.5%, 1%, 2% , 4% q.i.d
o Pilocarpine Gel 4%
o Carbachol 3% tid, digunakan pada kasus-kasus yang resiten atau intoleran terhadap
25
o pilocarpine
e) Systemic Carbonic Acid Inhibitors
o Acetazolemide
o Tablet 250mg , TD 250-1000mg/d
o Sustained Release capsules 250 mg. TD = 250-500mg/d. Sediaan ini digunakan sekali
sehari
o Bubuk 500mg untuk injeksi
o Dichlorphenamide, 50 mg bd atau t.i.d
o Methazolamide , 50 mg bd atau t.i.d. 1,2
f) Osmotic Agents
Agen-agen osmotik berfungsi untuk meningkatkan osmolaritas darah, sehingga proses
difusi yang secara normal terjadi di blood-aqueous barrier menjadi terhambat, dan bahkan air
menjadi tertarik lewat barier ini keluar dari vitreous dan bilik mata ke dalam darah, sehingga
dapat menurunkan tekanan intraokuler.
-Glycerol, mannitol. Seringkali digunakan untuk managemen glaukoma akut
Bedah
Laser Trabeculoplasty
Dilakukan pada glaucoma sudut terbuka. Sinar laser (biasanya argon) ditembakkan
ke anyaman trabekula sehingga sebagian anyaman mengkerut. Kerutan ini dapat
mempermudah aliran keluar cairan aquos. Pada beberapa kasus, terapi medikamentosa tetap
diperlukan. Tingkat keberhasilan dengan argon laser trabeculoplasty mencapai 75%.
Karena adanya proses penyembuhan luka maka kerutan ini hanya akan bertahan selama 2
tahun.
Trabeculectomy
Merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan dalam penatalaksanaan
glaukoma yang melibatkan pengangkatan sebagian dari trabecular meshwork agar aqueous
dapat mengalir ke bawah konjungtiva untuk kemudian diserap, indikasinya berupa:
26
Kegagalan terapi medis
Intoleransi agen terapi medis
Menghindari polifarmasi
Perburukan progresif
Terapi Primer
Pada keadaan-keadaan dimana mengharuskan dicapainya target TIO rendah untuk jangka
lama
L. Prognosis
Mayoritas pasien yang terdiagnosa dengan POAG tidak akan menjadi buta dalam masa
hidupnya namun laju progresi berbeda-beda pada individu:
Jika tidak ditangani, maka kebanyakan pasien akan buta dalam 20 tahun
Periode rata-rata dari diagnosis sampai kematian rata-rata 15 tahun
Pada pasien-pasien yang telah di follow up selama 20 tahun, menunjukkan angka
kebutaan sebesar 15% pada mata yang lebih buruk.
BAB III
PEMBAHASAN
Penemuan Pada Kasus Teori
27
Anamnesis:
Gangguan lapang pandang yang disertai hasil funduskopi yang menunjukkan pencekungan (cupping) diskus optikus dan terdapat peningkatan tekanan intraokular sebelum menjalani pengobatan rutin.
Terjadi pada seorang pria berusia 70 tahun
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus, hipertensi, dan penggunaan steroid karena penyakit asma
Glaukoma adalah suatu neuropati
optik kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus
dan pengecilan lapang pandang;
biasanya disertai peningkatan tekanan
intraokular.
2% penduduk berusia lebih dari 40
tahun menderita glaukoma. Glaukoma
dapat juga didapatkan pada usia 20
tahun, meskipun jarang.
Terdapat faktor resiko pada seseorang
untuk mendapatkan glaukoma seperti
diabetes melitus, hipertensi, dan
penggunaan steroid
Lesi pada kulit cenderung di
28
Gejala klinis :
• Keluhan dirasakan sudah 5 tahun
• Pasien mengeluhkan mata buram tanpa disertai mata merah
Pemeriksaan :
Visus OD : 5/30, OS : 5/30F TIO ODS : 15,6 mmHg (pasien
sudah menjalani pengobatan rutin) Lapang pandang ODS : tes
konfrontasi lapang pandang menyempit
Funduskopi OD : Papil batas tegas, CD ratio 0,9-1, Cupping (+) nasalisasi (+) temporal rim menghilang, A/V 2/3, Makula (+), Retina: eksudat (-)
Funduskopi OS : Papil batas tegas, CD ratio 0,8-0,9, Cupping (+) nasalisasi (+) temporal rim menghilang, A/V 2/3, Makula (+), Retina: eksudat (-)
• Biasanya terjadi secara perlahan-lahan dan asimptomatik,
• Beberapa pasien mengeluhkan adanya defek lapang pandang
• Biasanya terjadi secara perlahan-lahan
dan asimptomatik, sampai terjadi
penurunan penglihatan dan umumnya
terjadi secara bilateral
• Terdapat peningkatan TIO
• Beberapa pasien mengeluhkan adanya
defek lapang pandang jika sudah
mencapai stadium lanjut
• Pada pemeriksaan oftalmoskopi
terdapat perubahan yang terjadi pada
papil dengan glaukoma adalah
penggaungan (cupping) dan
degenerasi saraf optik (atrofi)
29
Tatalaksana :
Glaucon (Azetazolamide 250 mg) 2 x
1 tablet
Aspar K (Kalium L-aspartate 300 mg)
1 x 1 tablet
Timolol 0,5% eye drop 2 x 1 ODS
Glaupen (Latanoprost 0,005%) eye
drop 1 x 1 ODS
Managemen dari glaukoma bertujuan
untuk mencegah degradasi fungsional
dari penglihatan dalam masa hidup
pasien.
30
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM.. Pharmacotherapy : A
Pathophysiological Approach, 8th ed. USA: McGrawHill; 2011.
Eva PR & Whitcher JP. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury, 17th ed. Jakarta: EGC; 2009.
Ilyas, Sidarta.2009.Glaukoma.Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. Hal 212-216.Ed.2
Kanski JJ, Bowling B, Nischal K, Pearson A. . Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach, 7th ed. UK: Elsevier; 2012.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran, 7th ed.Jakarta:
EGC; 2009
Mansjoer, Arief. 2000. Glaukoma Kronis dalam Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius. Hal. 61-62
31