cardiac arrest case
DESCRIPTION
feel freeTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI
SEORANG WANITA 85 TAHUN DENGAN CARDIAC ARREST
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian
Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Rigar David Sungkono 22010113210095
Kiel Pino 22010113220173
Pembimbing :
dr. Puja Laksana M
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Rigar David S
Kiel Pino
NIM : 22010113210095
22010113220173
Bagian : Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas
Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang
Pembimbing : dr. Puja Laksana M
Semarang, 6 Maret 2015
Pembimbing,
dr. Puja Laksana M
2
BAB I
PENDAHULUAN
American Heart Association (AHA), dalam Jurnal Circulation yang diterbitkan
November 2010, mempublikasikan Pedoman Cardiopulmonary Resucitation (CPR)
dan Perawatan Darurat Kardiovaskular 2010. Resusitasi jantung paru adalah
serangkaian penyelamatan hidup pada henti jantung. Evaluasi dilakukan secara
menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-langkah CPR dan disesuaikan
dengan kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi faktor yang mempunyai
dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia,
mereka mengembangkan rekomendasi yang hasilnya menunjukkan paling
menjanjikan. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa
pedoman sebelumnya tidak aman atau tidak efektif, melainkan untuk
menyempurnakan rekomendasi terdahulu.1
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi
baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang
meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini
tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak
sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu
berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. 1,2
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan
anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab
utama kematian yang premature, dan perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya
akan menyelamatkan ribuan nyawa setiap tahunnya. 1,2
Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang
terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa CPR boleh dilakukan dan
dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. 1,2
Menurut American Heart Associaton, rantai kehidupan mempunyai hubungan erat
dengan tindakan jantung paru, karena penderita yang diberikan CPR, mempunyai
kesempatan yang amat besar untuk data hidup kembali . 1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru yang biasa kita kenal dengan nama RJP atau
Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jntung.
Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha
untuk mencegah berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis.
Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasn dan atau
sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi gagal.3
2. 2 Indikasi
2.2.1. Henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan
seperti: 7
- Tenggelam atau lemas
- Stroke
- Obstruksi jalan nafas
- Epiglotitis
- Overdosis obat-obatan
- Tesengat listrik
- Infark Miokard
- Tersambar petir
Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat
bermanfaat pada korban.3,5,7
2.2.2. Henti Jantung
4
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis)
disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil
tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan hidup dasar
merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk:5
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban
yang mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung
paru (RJP).
Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap yaitu:
a. Survei primer: dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Survei sekunder: dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis ter-
latih dan merupakan lanjutan dari survei primer.5
2.3. Sistem Pernafasan dan Sirkulasi
Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah
sistem pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama
dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat
mengakibatkan ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan makanan
untuk beberapa minggu dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat
menyimpan oksigen (O²) untuk beberapa menit saja.
Sistem pernafasan mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan
kebutuhan dan juga mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah
yang bertanggungjawab memberikan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan
tubuh.7,8
Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah:
1. Jantung
2. Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler)
3. Darah dan kompone-komponennya.
5
Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan
erat dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin
cepat pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya.7,8
Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya:
1. Penyakit jantung
2. Gangguan pernafasan
3. Syok
4. Komplikasi penyakit lain: Stroke
5. Penurunan kesadaran
2.4. Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :
a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency
response system
b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
c. Defibrilasi yang cepat
d. Advanced life support yang efektif
e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen
RJP.7
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.7
6
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak
seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi
dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada henti jantung
menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.7
2.5. Bantuan Hidup Dasar
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada
organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan
sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara
normal. Resusitasi mencegah agar supaya sel-sel tidak rusak akibat kekurangan
oksigen. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support) atau resusitasi ABC atau
resusitasi kardiopulmoner berarti menjaga jalan napas tetap paten (A), membuat
napas buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan
ini dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan
cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.3
a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C
(circulation).
- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jan-
tung paru
b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D
(drug) dan E (EKG)
- D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
- E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk
mengetahuis fibrilasi ventrikel.
c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS dan
ALS, G (gauge), H (head), I (Intensive care).
- G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring pen-
derita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemu-
dian mengobatinya.
7
- H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jan-
tung, sehingga dapat dicegah terjadinya neurologic yang permanen.
- I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ven-
tilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lam-
bung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi
mengedalikan jika terjadinya kejang.1,7
Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur
awal pada pasien/korban, yaitu:
a. Memastikan keamanan lingkungan
Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan
menyentuh atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut
dan mantap, sambil memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/
Mas!!!/Mbak!!!, dll.
c. Meminta pertolongan
Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera
minta pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!” beritahukan
posisi dimana, pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan
bel/sistem emergency yang ada (bel emergency di rumah sakit).
d. Memperbaiki posisi pasien/korban
Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi
telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila
ditemukan pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus
ditelentangkan dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan
yang utuh untuk mencegah cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong
8
Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar
pada ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong
tidak perlu banyak pergerakan.
Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi
2.5.1. A (AIRWAY) Jalan Nafas
Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera
dimulai. Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau selip-
kan papan jika pasien diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah aan
menyumbat faring dan epiglottis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglottis
penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar.3 Untuk
menghindari hal ini, maka dilakukan beberapa tindakan atau parasat misalnya:
1. Parasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)
Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan peno-
long mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain men-
dorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap
keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium, posisi hirup.3
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorongkede-
pan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan napas ter-
buka.3
9
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah, rahang
didorong kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda
asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas buatan.3
(a) (b)
Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver (b)
2.5.2. B (BREATHING) Bantuan Nafas
Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan
tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life, mouth-
to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau
mulut ke mulut via sungkup muka. 3
a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong
tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban
dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari
penolong.Volume udara yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk
ke lambung. 3
Gambar 4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut
b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),
10
Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka
berat.Penolong sebaiknya menutup mulut pasien/korban pada saat
memberikan bantuan nafas. 3
Gambar 5. Pernafasan dari mulut ke hidung
c. mulut ke stoma trakheostomi
Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau
mengalami laringotomi.3
Gambar 6. Pernafasan mulut ke stoma.
2.5.3. C (CIRCULATION) bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban
Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan
cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea,
11
kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5
– 10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas
berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway
pasien/korban.7
2. Memberikan bantuan sirkulasi
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau
kompresi jantung luar dengan cara:
- Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga
pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang
dada (sternum).
- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut
merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.
- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh
didnding dada pasien/korban.
- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
kedalaman penekanan 1,5 – 2 inchi ( 3,8 – 5 cm).
- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang
kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan
melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle).
- Tangan tidak boleh berubah posisi.
- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong
maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit.
Dilakukan selama 4 siklus.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 –
80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah. Selang waktu mulai dari menemukan
pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30
detik.7
12
Gambar 7. Kompresi dada
2.5.4. D (DEFIBRILATION) terapi listrik
Terapi dengan memberikan energi listrik dilakukan pada pasien/korban yang
penyebab henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia
alat Automatic External Defibrilation (AED).3 Tahapan defibrilasi :
- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)
PENILAIAN ULANG
Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi
kembali :
- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan
ratio 30 : 2
- Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi
mantap
13
- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas
sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.
Gambar 8. Defibrilasi
2.6. Panduan RJP 2010
2.6.1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang
berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari ”kurang
lebih” 100 x/menit)
b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling
sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak
dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-
anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi
sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali
selesai kompresi
d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu
sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk
memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah dibebaskan,
kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling
14
sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan kemudian
dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas per
detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 1,2
2.6.2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation
berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari
penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan
jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan
mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri.
Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling
umum adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada
penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi
dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali
tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas buatan,
mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi.
Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk
segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian
dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada
lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.1,2
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama
dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita
yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan
RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut,
namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai
dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan nafas
buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak
penolong untuk memulai RJP.
2.6.3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi
15
neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit
ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam
melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas, memberikan nafas
buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical Defibrilator]). 7
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan
tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan
mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada
kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada
komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang
sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per
menit.
2.6.4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung
dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan
tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan
aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak.
16
BAB III
KASUS NYATA
3.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 85 Tahun
Agama : Kristen
Masuk rumah sakit : 27 Februari 2015
Nomor CM : C486649
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan alloanamnesis dengan anak pasien pada tanggal 27 Februari
2015, pukul 23.30 WIB di IGD RSUP dr.Kariadi Semarang
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
± 2 jam SMRS pasien mengeluh sesak napas. Muntah (-), mual (-), nyeri dada (-).
± 20 menit setelah pasien berada di label hijau IGD RS Kariadi pasien tiba-tiba tidak
bernapas.
± 6 tahun yang lalu pasien memiliki riwayat Ca usus dan dilakukan operasi di RS
Elizabeth.
± 2 minggu yang lalu pasien dirawat di RS Elizabeth dengan keluhan nafsu makan
berkurang dan diperiksa HB 7 gr/dl kemudian ditransfusi 2 kantong
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Ca Usus 6 tahun yang lalu dioperasi
Riwayat kaki bengkak (-)
Riwayat kecing manis (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Keluarga :
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat alergi pada keluarga (-)
17
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat dislipidemia (-)
Riwayat Sosial ekonomi :
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, tinggal dengan 3 anak yang sudah mandiri.
Pembiayaan ditanggung pribadi.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Tidak sadar, GCS=3
Tanda Vital :
HR : -
TD : -
RR : -
t : Afebris
BB : 50 kg
GCS : E1 M1 V1 = 3
Kulit : turgor kurang
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva palpebra anemis (+), sklera ikterik (-)
Telinga : discharge (-)
Hidung : napas cuping (-), discharge (-)
Bibir : sianosis (-)
Mulut : sianosis (-),
Selaput lendir : kering (-)
Lidah : makroglossi (-)
Tenggorok : T1–1, faring hiperemis (-)
Leher : trakea ditengah, pembesaran kelenjar limfe -/-
Thorax : S1S2 (-) suara napas (-)
Abdomen : supel, hepar lien tak teraba
Extremitas :
Superior Inferior
18
Sianosis : -/- -/-
Akral dingin : +/+ +/+
Capp refill : > 2 > 2
Edema : -/- -/-
Diagnosis Kerja: Henti napas dan Henti Jantung ec Cardiac Arrest
CATATAN KEMAJUAN DAN LAPORAN TINDAKAN :
Tanggal Jam Catatan Kemajuan dan Tindakan
27 Februari
201523.30
Henti napas, henti jantung RJP, inj adrenalin 1 amp,
intubasi
23.45
Pupil midriasis, refleks cahaya (-), reflek muntah (-),
reflek kornea (-), doll eye movement (+)pasien
dinyatakan meninggal
BAB IV
PEMBAHASAN
19
Pasien masuk label hijau dengan keadaan dispneu. Ketika akan dilakukan
nebulisasi, keadaan pasien berubah menjadi apneu dan nadi karotis tak teraba,
dilakukan kompresi dan ventilasi dengan rasio 30 kompresi diikuti dengan 2
ventilasi dengan bagging. Kompresi dilakukan dengan frekuensi minimal 100x per
menit, kedalaman minimal 5 cm, ventilasi yang diberikan tidak berlebihan yaitu
kurang lebih selama 1 detik tiap ventilasi, memeberi kesempatan untuk complete
chest recoil dan minimal interupsi.
Pada monitor didapatkan ritme EKG Asistole, termasuk dalam ritme non-
shockable sehingga tidak dilakukan DC shock pada pasien. RJP terus dilakukan.
Di ruang label merah terus dilakukan RJP serta intubasi endotrakhea dengan
pipa ET no 7 dan ventilasi dilanjutkan dengan frekuensi 12x/menit dan berjalan
terpisah dengan kompresi, kompresi terus dilanjutkan. Dilakukan pemberian
adrenalin 1 ampul intravena.
Setiap 2 menit atau 5 siklus dilakukan penilaian nadi karotis serta ritme EKG.
Pada pasien tidak didaptkan nadi karotis dan masih didapatkan ritme asistole
sehingga RJP segera dilanjutkan serta dilakukan pemberian adrenalin 1 ampul
intravena.
Setalah 2 menit RJP dilanjutkan, nadi karotis masih tidak teraba dan masih
didapatkan ritme PEA sehingga RJP segera dilanjutkan serta dilakukan pemberian
adrenalin 1 ampul intravena. RJP dilanjutkan sampai selama kurang lebih 15 menit,
dengan evaluasi nadi karotis dan ritme EKG tiap 2 menit.
Setelah dilakukan RJP efektif selama kurang lebih 15 menit, pasien masih
apneu dan ritme EKG menunjukkan asistole, reflex kornea negatif dan pasien
dinyatakan meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Berg R.A., Hemphill, R., Abella B. S., et al. American Heart Association.
2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation Journal. AHA: 2010.
2. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Supprt in
Circulation Journal
3. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit
FKUI. Jakarta.
4. Berg R.A., Hemphill, R., Abella B. S., et al. American Heart Association.
2010. Part 5 Adult Basic Life Support in Circulation Journal. AHA: 2010.
5. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia
Kedokteran. 1992.
6. 2010 AHA Guidelines for CPR & ECC. AHA: 2010
7. Peter Safar and the ABC of Resuscitation.
21