bab ii tinjauan pustaka -...

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Kesehatan 1. Pengertian Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang menjembatani kesenjangan antara informasi dan tingkah laku kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih sehat (Budioro, 1998). Menurut Purwanto (1999) pendidikan kesehatan merupakan proses belajar, dalam hal ini berarti terjadi proses perkembangan atau perubahan kearah yang lebih tahu dan lebih baik pada diri individu. Pada kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi sendiri masalah- masalah kesehatan menjadi mampu. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan untuk mencapai kesehatan secara optimal. 2. Tujuan Pendidikan Kesehatan Menurut WHO (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan. Secara umum tujuan dari

Upload: doantruc

Post on 07-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang menjembatani kesenjangan

antara informasi dan tingkah laku kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi

tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih sehat (Budioro, 1998). Menurut

Purwanto (1999) pendidikan kesehatan merupakan proses belajar, dalam hal ini

berarti terjadi proses perkembangan atau perubahan kearah yang lebih tahu dan

lebih baik pada diri individu. Pada kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang

nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi sendiri masalah-

masalah kesehatan menjadi mampu.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan

kesehatan adalah usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga atau

masyarakat dalam meningkatkan kemampuan untuk mencapai kesehatan secara

optimal.

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Menurut WHO (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), tujuan

pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan dan mencegah

timbulnya penyakit, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada,

memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit, serta membantu pasien dan

keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan. Secara umum tujuan dari

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat

dibidang kesehatan. Tujuan ini dapat diperinci lebih lanjut antara lain, menjadikan

kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai dimasyarakat, menolong individu agar

mampu secara mandiri atau kelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai

tujuan hidup sehat, mendorong pengembangan dan menggunakan secara tepat

sarana pelayanan kesehatan yang ada (Herawani, 2001).

Sedangkan menurut Machfoed (2005), pendidikan kesehatan merupakan

proses perubahan, yang bertujuan untuk mengubah individu, kelompok dan

masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar.

Perubahan tersebut mencakup antara lain pengetahuan, sikap, dan keterampilan

melalui proses pendidikan kesehatan. Pada hakikatnya dapat berupa emosi,

pengetahuan, pikiran keinginan, tindakan nyata dari individu, kelompok, dan

masyarakat. Pendidikan kesehatan merupakan aspek penting dalam meningkatkan

pengetahuan keluarga, dengan melakukan pendidikan kesehatan berarti petugas

kesehatan membantu keluarga dalam usaha untuk meningkatkan derajat

kesehatan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Lawrence Green (1980), sebagaimana dikutip Notoatmodjo &

Wuryaningsih (2000) bahwa perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga

faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pemudah, dan faktor pemerkuat.

Faktor predisposisi meliputi pendidikan, ekonomi (pendapatan), hubungan

sosial (lingkungan, sosial, budaya), pengalaman pengetahuan, sikap, nilai, umur,

kebiasaan, kepercayaan, tradisi, dan persepsi. Pendidikan seseorang akan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar.

Orang dengan pendidikan tinggi akan memberi respon yang lebih rasional

terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang

mungkin akan mereka peroleh dari pendidikan kesehatan. Pada status ekonomi

dalam keluarga mempengaruhi daya beli keluarga dalam memenuhi kebutuhan,

semakin tinggi pendapatan keluarga akan lebih mudah tercukupi konsumsi

makanan sehat dibanding dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan

mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pada keluarga.

Selanjutnya pada hubungan sosial (lingkungan, sosial, budaya), manusia

adalah makhluk sosial dimana kehidupan saling berinteraksi antara satu dengan

yang lain. Keluarga yang berinteraksi secara langsung akan lebih besar terpapar

informasi. Sehingga lingkungan sekitar mempengaruhi untuk mengkonsumsi

makanan yang berstatus gizi tinggi. Sedangkan pada pengalaman keluarga tentang

makanan yang berstatus gizi tinggi diperoleh dari tingkat kehidupan keluarga

dalam mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat (Notoatmodjo, 2003).

Faktor kedua yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor pemudah,

mencakup ketersediaan sumber-sumber dan fasilitas yang memadai. Sumber-

sumber dan fasilitas tersebut harus digali dan dikembangkan dari keluarga itu

sendiri. Faktor pendukung ada dua macam, yaitu fasilitas fisik dan fasilitas umum.

Fasilitas fisik yaitu fasilitas atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-

obatan. Sedangkan fasilitas umum yaitu media massa, meliputi TV, radio,

majalah, ataupun flamlet (Notoatmodjo & Wuryaningsih, 2000).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Faktor pemerkuat sebagai faktor ketiga yang mempengaruhi perilaku

kesehatan meliputi sikap dan perilaku petugas. Semua petugas kesehatan baik

dilihat dari jenis dan tingkatannya pada dasarnya adalah pendidik kesehatan.

Karenanya, petugas kesehatan harus memiliki sikap dan perilaku yang sesuai

dengan nilai-nilai kesehatan. Selain itu perilaku tokoh masyarakat juga dapat

merupakan panutan orang lain untuk berperilaku sehat (Notoatmodjo &

Wuryaningsih, 2000).

Selain faktor-faktor tersebut, menurut Purwanto (1999) faktor keturunan dan

lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan atau perilaku

seseorang.

4. Proses Pendidikan Kesehatan

Dalam proses pendidikan kesehatan terdapat tiga persoalan pokok yaitu

masukan (input), proses (process), dan keluaran (output). Masukan (input) dalam

pendidikan kesehatan menyangkut sasaran belajar yaitu individu, kelompok dan

masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Proses (process) adalah

mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan dan perilaku pada diri

subjek belajar. Dalam proses pendidikan kesehatan terjadi timbal balik berbagai

faktor antara lain adalah pengajar, teknik belajar, dan materi atau bahan pelajaran.

Sedangkan keluaran (output) merupakan kemampuan sebagai hasil perubahan

yaitu perilaku sehat dari sasaran didik melalui pendidikan kesehatan

(Notoatmodjo, 2003).

5. Metode Pendidikan Kesehatan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Menurut Notoatmodjo (2003), metode pembelajaran dalam pendidikan

kesehatan dipilih berdasarkan tujuan pendidikan kesehatan, kemampuan perawat

sebagai tenaga pengajar, kemampuan individu, kelompok, masyarakat, besarnya

kelompok, waktu pelaksanaan pendidikan kesehatan, dan ketersediaan fasilitas

pendukung. Metode pendidikan kesehatan dapat bersifat pendidikan individual,

pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

dalam pendidikan kesehatan yaitu bimbingan dan penyuluhan, wawancara,

ceramah, seminar, simposium, diskusi kelompok, buzz group, curah gagas, forum

panel, demonstrasi, simulasi, dan permainan peran.

6. Sasaran Pendidikan Kesehatan

Sasaran pendidikan kesehatan adalah masyarakat atau individu baik yang

sehat maupun yang sakit. Sasaran pendidikan kesehatan tergantung pada tingkat

dan tujuan penyuluhan yang diberikan. Lingkungan pendidikan kesehatan di

masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai lembaga dan organisasi masyarakat

(Notoatmodjo, 2003).

B. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera,

yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Namun demikian

sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera penglihatan dan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

pendengaran (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan Kam (2005), pengetahuan

dianggap sebagai sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran.

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan

adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran dengan

menggunakan panca indera.

2. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003)

meliputi tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis

(analysis), sintesis (syntesis), dan evaluasi (evaluation).

Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah diajarkan

melalui pendidikan kesehatan. Termasuk kedalam pengetahuan tingakat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

dalam pendidikan kesehatan. Oleh karena itu “tahu” merupakan tingkat

pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang

apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan. Salah satu contohnya adalah mendefinisikan apa yang dimaksud

dengan gizi buruk. Tingkatan pengetahuan selanjutnya adalah memahami

(comprehension), artinya kemampuan untuk menjelaskan dan

menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang

telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberi contoh, dan

menyimpulkan. Misalnya keluarga paham apa itu gizi buruk pada balita

(Notoatmodjo, 2003).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Aplikasi (application) sebagai tingkat pengetahuan yang ketiga merupakan

kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada

situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, serta

metode dalam situasi nyata. Misalnya keluarga dapat menyajikan menu makan

seimbang dan bernutrisi tinggi, khususnya pada balita dengan gizi buruk.

Sementara analisis (analysis) sebagai tingkat pengetahuan yang keempat

diartikan sebagai kemampuan untuk menguraikan kedalam bagian-bagian lebih

kecil, tetap masih didalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu

sama lain. Ukuran kemampuan menganalisis ditunjukkan dengan dapat

menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan.

Salah satu contohnya adalah keluarga mampu membedakan antara balita gizi

buruk dengan balita yang tidak menderita gizi buruk (Notoatmodjo, 2003).

Sintesis (syntesis) sebagai tingkat pengetahuan yang kelima, adalah suatu

kemampuan untuk menggabungakan bagian-bagian didalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuan mensintesis diperlihatkan

dengan dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori

yang telah ada. Misalnya ibu dapat merencanakan makanan apa yang seharusnya

diberikan pada balita pagi, siang, dan malam. Tingkat pengetahuan yang terakhir

adalah evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk melakukan penelitian

terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau

disusun sendiri. Misalnya ibu dapat mengetahui manfaat pemberian ASI pada

balita (Notoatmodjo, 2003).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Nasution (1999)

dalam Notoatmodjo (2007) adalah tingkat pendidikan, informasi, budaya,

pengalaman, dan sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat pendidikan

(pengetahuan) seseorang maka ia akan mudah menerima informasi tentang gizi

buruk pada balita, sehingga mereka akan lebih cepat paham tentang makanan-

makanan apa saja yang harus diberikan pada balita, faktor yang mempengaruhi

pengetahuan selanjutnya adalah informasi. Keluarga yang mempunyai sumber

informasi melalui pendidikan kesehatan tentang gizi buruk lebih jelas mengenai

gizi buruk tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

adalah budaya, karena budaya yang diperoleh belum sesuai dengan budaya yang

ada sekarang, sehingga mempengaruhi informasi yang ada (Notoatmodjo, 2003).

Pengalaman sebagai faktor yang juga dapat mempengaruhi pengetahuan

berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, maksudnya semakin

bertambahnya umur dan pendidikan yang tinggi, pengalaman akan lebih luas.

Yang terakhir faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sosial ekonomi, hal

ini berarti bahwa tingkat keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi balita

disesuaikan dengan penghasilan yang ada. Sehingga menuntut pengetahuan yang

dimiliki dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam pembelian

makanan, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga (Notoatmodjo, 2003).

4. Pengukuran Tingkat Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara langsung atau

dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden yang ingin

diukur atau diketahui, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan

(Notoatmodjo, 2002).

C. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan

Menurut WHO (1954), sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo (2003), bahwa

pemberian pendidikan kesehatan adalah suatu upaya untuk menciptakan perilaku

masyarakat yang kondusif untuk kesehatan, artinya pendidikan kesehatan berupaya

agar masyarakat mengetahui atau menyadari bagaimana memelihara kesehatan

mereka. Lebih dari itu pendidikan kesehatan pada akhirnya bukan hanya sekedar

meningkatkan pengetahuan masyarakat, namun yang lebih penting adalah mencapai

perilaku kesehatan (health behaviour). Berarti tujuan akhir pendidikan kesehatan

adalah agar masyarakat dapat mempraktekan hidup sehat bagi dirinya sendiri dan

bagi masyarakat dapat berperilaku hidup sehat.

Menurut Mariyani (2009), bahwa kegiatan penyuluhan kesehatan atau

pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang secara bermakna

jika dibandingkan dengan yang tidak diberikan penyuluhan. Demikian pula bahwa

pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan dapat meningkatkan perilaku

kesehatan. Berdasarkan hasil analisa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Ambarwati dan Sintowati (2006), menunjukkan bahwa pengetahuan dan perilaku ibu-

ibu meningkat setelah diberikan pendidikan kesehatan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

D. Gizi Buruk

1. Pengertian

Menurut Nency & Arifin (2008), gizi buruk (severe malnutrition) adalah

suatu istilah teknis yang umum dipakai oleh kalangan praktisi gizi, kesehatan, dan

kedokteran untuk menunjukkan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan

gizi menahun. Gizi buruk merupakan status / kondisi seseorang yang kekurangan

nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata (Subagyo, 2008). Menurut

Arisman (2004), gizi buruk (KEP berat) adalah apabila hasil penimbangan BB/U

< 60% dari baku persentil 50 Harvard (median WHO NCHS). Sedangkan menurut

Depkes. RI (2000), mendefinisikan gizi buruk (KEP berat) bila hasil penimbangan

BB pada KMS berada di Bawah Garis Merah (BGM).

Dapat disimpulkan, bahwa gizi buruk ( severe malnutrition/ KEP berat )

adalah kondisi dimana keadaan nutrisi balita dibawah rata-rat, ditunjukkan dengan

hasil penimbangan berat badan per umur < 60% dari baku persentil 50 Harvard,

serta bila hasil penimbangan BB pada KMS berada di Bawah Garis Merah

(BGM).

2. Macam Gizi Buruk dan Tanda-tandanya

Status gizi buruk dibagi menjadi tiga yakni gizi buruk karena kekurangan

protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

marasmus) dan gizi buruk akibat kekurangan kedua-duanya (marasmik

kwashiorkor) (Subagyo, 2008).

a. Kwashiorkor

Kwashiorkor sering juga diistilahkan sebagai busung lapar (Honger

Oedema). Pada kondisi kwashiorkor penampilan anak seperti anak yang gemuk

(sugarbaby) bilamana dietnya mengandung cukup energi (karbohidrat), namun

mengalami kekurangan protein. Keadaan tersebut diperlihatkan adanya atrofi

pada ekstremitas bawah bagian atas. Pertumbuhan anak yang mengalami

kwashiorkor menjadi terganggu, dan berat badan di bawah 80% dari baku

Havard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya

terutama jika KEP sudah berlangsung lama (Pudjiadi, 2005).

Perubahan mental pada anak yang menderita kwashiorkor juga sangat

mencolok. Pada umumnya mereka banyak menangis dan pada stadium lanjut

bahkan sangat apatis. Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada

sebagian besar penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat

mengiringi edema. Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan

berbaring terus-menerus. Penderita kwashiorkor juga perlu diperhatikan adanya

gejala gangguan pada saluran pencernaan. Pada anoreksia yang berat penderita

menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat

diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita,

dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktat karena

mengurangnya produksi laktase dan enzim disakaridase lain (Pudjiadi, 2005).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Perubahan pada rambut sering dijumpai juga pada penderita kwashiorkor,

baik mengenai texture maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita

kwasiorkor ialah rambut yang mudah dicabut. Misalnya tarikan ringan didaerah

temporal mengakibatkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita.

Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang

kusam, kering, halus, jarang, dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam

menjadi merah, coklat, kelabu, maupun putih. Rambut alis pun menunjukan

perubahan. Akan tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang justru

memanjang (Pudjiadi, 2005).

Perubahan kulit juga dapat terjadi pada pendeita kwashiorkor yang oleh

Williams, dokter wanita yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi

nama crazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi

penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah

menyerupai ptechia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menjadi hitam.

Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagian-bagian yang merah

dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering

membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus

mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti

punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainpun dapat

ditemui, seperti kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang

mendalam tanpa tanda-tanda inflamsi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat

lanjut ditemui ptechia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi

si penderita (Pudjiadi, 2005).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan juga pada

penderita kwashiorkor. Kadang-kadang batas hati terdapat setinggi pusar. Hati

yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan

dengan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian

jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi

dengan lemak. Sedangkan pada kondisi kwashiorkor yang sangat berat

perlemakan terdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga

adanya fibrosis dan nekrosis hati (Pudjiadi, 2005).

Anemi ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bilamana

kwashiorkor disertai oleh penyakit lain terutama ankylostomiasis, maka dapat

dijumpai anemi yang berat. Jenis anemia pada kwashiorkor bermacam-macam,

seperti normositik normokrom, mikrositik hipokrom, dan makrositik

hiperkrom. Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh

kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti zat

besi, asam folik, vitamin B12, vitamin C, tembaga, dan insufisiensi hormon.

Macam anemi yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan.

Pada pemeriksaan sumsum tulang sering ditemukan mengurangnya sel sistem

eritropoetik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan

terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun (Pudjiadi, 2005).

Ada hipotesis yang mengatakan, bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh

tidak dapat beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh

kekurangan protein maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan

biokimiawi dapat ditemukan pada penderita kwashiorkor, misalnya kadar

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

albumin serum, globulin serum, kolesterol serum, dan Tes thymol turbidity

(Pudjiadi, 2005).

Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap

spesifik dan sudah ditemukan pada tingkat dini. Maka McLaren memberi angka

(skor) untuk membedakan kwashiorkor dan maramus. Lebih rendah kadar

albumin serum, lebih tinggi pemberian angkanya. Sementara pada kadar

globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak

menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio albumin/

globulin yang biasanya 2 menjadi lebih rendah, bahkan pada kwashiorkor yang

berat ditemukan rasio yang terbalik. Fraksinasi globulin serum dilakukan

dengan cara elektroforesis menunjukkan fraksi alfa1-globulin dan gamma-

globulin yang tinggi, beta-globulin yang rendah, sedangkan alfa2-globulin tidak

berbeda secara bermakna jika dibandingkan dengan yang terdapat pada anak

sehat (Pudjiadi, 2005).

Poey dalam Pudjiadi (2005) mengungkapkan, pada penderita kwashiorkor,

terutama yang berat, kadar kolesterol darahnya rendah. Mungkin saja

rendahnya kolesterol darah disebabkan oleh makanan sehari-harinya yang

terdiri dari sayuran hingga tidak mengandung kolesterol, atau adanya gangguan

dalam pembentukan kolesterol dalam tubuh. Tes tersebut merupakan tes fungsi

hati. Penentuan terhadap 109 penderita kwashiorkor memberi hasil sebagai

berikut: pada 73 penderita meninggi, sedangkan pada selebihnya tidak. Tidak

ditemukan korelasi antara tingginya kekeruhan dan beratnya perlemakan hati

maupun prognosis.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

b. Marasmus

Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai

pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan

penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat

berbagai penyakit lain, seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan

atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun, dan

juga pada gangguan saraf pusat. Perhatian ibu dan pengasuh yang berlebihan

hingga anak dipaksa mengahabiskan makanan yang disediakan, walaupun

jumlahnya jauh melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan anak kehilangan

nafsu makannya, atau muntah begitu melihat makanan atau formula yang akan

diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak segala macam makanan

hingga pertumbuhannya terganggu (Pudjiadi, 2005).

Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua.

Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar

lemak dan otot-ototnya. Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh

sebab masih merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apatis) terdapat pada

penderita marasmus yang berat. Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor

disebabkan kehilangan banyak lemak dibawah kulit serta otot-ototnya.

Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak

rambut yang kering, tipis, dan mudah rontok (Pudjiadi, 2005).

Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. Otot-otot

atrofi, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. Penderita marasmus lebih sering

menderita diare atau konstipasi. Tidak jarang terdapat bradikardi. Pada

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

umumnya tekanan darah penderita rendah dibandingkan dengan anak sehat

seumur. Terdapat pula frekuensi pernapasan yang mengurang. Pada umumnya

ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah (Pudjiadi, 2005).

c. Kwashiorkor Marasmik

Penyakit kwashiorkor marasmik memperlihatkan gejala campuran antara

penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup

mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada

penderita demikian disamping menurunnya berat badan dibawah 60% dari

normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan

rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada

penyakit KEP terdapat perubahan nyata daripada komposisi tubuhnya, seperti

jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.

Tubuh mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat

menghilangnya lemak, otot, dan jaringan lain (Pudjiadi, 2005).

Terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak cairan

ekstrasel dibandingkan dengan yang tanpa edema. Kalium menurun, terutama

yang terdapat dalam sel, hingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-

organ seperti otot, ginjal, dan pankreas. Metcoff dalam Pudjiadi (2005)

menemukan dalam sel otot kadar natrium dan fosfor inorganik yang meninggi

dan kadar magnesium yang menurun.

3. Faktor-faktor Penyebab Gizi Buruk

Menurut Subagyo (2008), gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor pertama penyebab gizi buruk adalah faktor pengadaan makanan yang

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

kurang mencukupi untuk suatu wilayah tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh

kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi

kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis terutama gangguan pada

metabolisme atau penyerapan makanan. Selain itu, Supari (2008) menyebutkan

ada tiga hal yang saling terkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan,

pendidikan rendah, dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan

kurangnya ketersediaan pangan dirumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini

mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit

(Supari, 2008).

4. Pengobatan Gizi Buruk

Menurut Pudjiadi (2005) pengobatan KEP berat ialah untuk menurunkan

mortalitas dan memulihkan kesehatan secepatnya. Penderita KEP-berat

seyogyanya dirawat di rumah sakit, walaupun memisahkan penderita dari ibunya

ada untung-ruginya. Kemungkinan kurang perawatan dan mendapat infeksi

dirumah sakit tentu ada. Bahkan menurut Depkes. RI (1999), balita dengan tanda-

tanda klinik KEP berat (Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmik Kwashiorkor)

harus dirawat inap. Maka tempat yang merawat penderita, baik di Rumah Sakit

maupun Puskesmas harus dilengkapi dengan cukup perawat dan ditempatkan di

ruangan yang terpisah dari ruangan-ruangan lain yang ditempati oleh anak-anak

yang sedang menderita penyakit infeksi (Pudjiadi, 2005).

Perlu diketahui bahwa penderita KEP-berat sangat mudah terjangkit penyakit

infeksi. Bisanya penderita KEP-berat menderita juga kekurangan zat gizi lain,

seperti xeroftalmia, stomatitis angularis, dan sebagainya. Lagipula hampir semua

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

penderita KEP-berat menderita penyakit infeksi sebagai penyakit penyerta oleh

karena daya tahan terhadap infeksi sangat mengurang. Pada pemeriksaan

penderita KEP-berat secara rutin dicari ada tidaknya kekurangan zat gizi lain dan

infeksi. Dengan demikian maka bukan saja diberikan terapi dietetis, melainkan

juga terapi terhadap penyakit penyertanya (Pudjiadi, 2005).

E. Gizi Buruk pada Balita

Menurut Notoatmodjo (2003), anak balita merupakan kelompok umur yang

rawan terjadinya gizi buruk. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling

menderita akibat gizi (KKP), dan jumlahnya dalam populasi besar. Beberapa kondisi

atau anggapan yang menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan

antara lain anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke

makanan orang dewasa, biasanya anak balita ini sudah mempunyai adik, atau ibunya

sudah bekerja penuh, sehingga perhatian ibu sudah berkurang, anak balita sudah

mulai main ketanah, dan sudah dapat main diluar rumahnya sendiri, sehingga lebih

terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk

terinfeksi dengan berbagai macam penyakit, dan anak balita belum dapat mengurus

dirinya sendiri, termasuk dalam memilih makanan. Dipihak lain ibunya sudah tidak

begitu memperhatikan lagi makanan anak balita, karena dianggap sudah dapat makan

sendiri (Notoatmodjo, 2003).

Gizi buruk pada balita dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait.

Menurut Nency dan Arifin (2008), penyebab balita mengalami kasus gizi buruk

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit/ terkena

infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, tidak

tersedianya makanan secara adekuat, terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi,

bencana alam, perang, maupun kebijakan politik dan ekonomi yang memberatkan

rakyat.

Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal

balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok

atau akar masalah gizi buruk, terutama yang menyerang para balita. Proporsi balita

gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan

penduduk, makin tinggi persentasi balita yang mengalami gizi buruk. Kedua, balita

tidak cukup mendapatkan makanan bergizi dan seimbang, makanan alamiah terbaik

bagi bayi yaitu air susu ibu, dan sesudah 6 bulan anak mendapat makanan

pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. Pada keluarga

dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus

puas dengan makanan yang seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi pada

balita karena ketidaktahuan. Ketiga, pola makan yang salah. Suatu studi “positive

deviance” mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita disuatu desa

miskin hanya sebagian kecil yang mengalami gizi buruk, padahal orang tua mereka

semuanya petani miskin. Hasil dari studi ini diketahui, ternyata pola pengasuhan anak

berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan

kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat

Posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Faktor berikutnya adalah karena balita sering sakit (frequent infection). Menjadi

penyebab terpenting kedua gizi buruk, apalagi dinegara terbelakang dan yang sedang

berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan/ personal hygiene

yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi

kronik, seperti TBC. Kaitan infeksi dan gizi buruk seperti layaknya lingkaran setan

yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.

Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang gizi, dan kondisi malnutrisi sendiri

akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan, sehingga memudahkan

terjadinya infeksi (Nency dan Arifin, 2008).

F. Kerangaka Teori

Pendidikan Kesehatan

Faktor Pemerkuat (Reinforcing factors): 1. Sikap petugas

kesehatan 2. Perilaku petugas

kesehatan

Faktor Pemudah (Enabling factors): 1. Fasilitas fisik:

Fasilitas kesehatan, misal Puskesmas, obat-obatan

2. Fasilitas umum: Media informasi, misal TV, Koran, majalah, flamlet

Faktor Predisposisi (Predisposing factors): 1. P

endidikan 2. E

konomi (pendapatan)

3. Hubungan sosial

4. Pengalaman

5 P

Penyebab Perilaku

(Behavior)

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-iibristumu... · pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan

Gambar 1. Kerangka Teori

Sumber: Notoatmodjo (2003)

G. Kerangka Konsep Penelitian

Pendidikan kesehatan tentang gizi buruk pada balita

Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi buruk pada

balita

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

H. Variabel Penelitian

1. Variabel independen (bebas)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang gizi

buruk pada balita

2. Variabel dependen (terikat)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan ibu tentang gizi

buruk pada balita.

I. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat pengetahuan ibu

tentang gizi buruk pada balita sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan

di Puskesmas Mranggen III, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak.