bab ii tinjauan pustaka a. penyakit ginjal kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang
irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014). Penyakit ginjal
kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) adalah
abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan
dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih
tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2. di bawah ini (KDIGO,
2013).
Tabel 2. Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan)
Petanda kerusakan
ginjal (satu atau lebih)
Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam)
Penurunan LFG
ACR >30 mg/g [ >3 mg/mmol])
Abnormalitas pada sedimen urin
Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan
kerusakan tubulus
Abnormalitas pada pemeriksaan histologi
Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging
Riwayat transplantasi ginjal
LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3a–G5)
Sumber : KDIGO, 2013
2. Etiologi
Penyebab terbesar penyakit ginjal kronis secara global, yaitu
diabetes melitus. Glomerulonefritis merupakan faktor terbesar penyebab
penyakit ginjal kronis di Indonesia hingga tahun 2000, namun menurut IRR
sejak beberapa tahun terakhir penyebab terbesar penyakit ginjal kronis yaitu
7
disebabkan oleh hipertensi (Infodatin, 2017). Faktor lain yang dapat
meningkatkan kejadian penyakit ginjal kronis antara lain merokok, penggunaan
obat analgetik dan OAINS, serta minuman suplemen berenergi. Riwayat dari
suatu penyakit dapat pula menjadi penyebab penyakit ginjal kronis seperti
hipertensi, diabetes melitus, serta gangguan metabolik yang dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal. Usia dan jenis kelamin juga diketahui menjadi faktor
resiko penyakit ginjal kronis (Pranandari, 2015)
3. Patofisiologi
Ginjal terdiri dari sekitar satu juta nefron yang berkontribusi dalam
laju filtrasi ginjal. Ginjal memiliki kemampuan untuk melakukan
kompensasi untuk mempertahankan laju filtrasi ginjal apabila terjadi
kerusakan pada nefron secara progresif. Kemampuan adaptasi nefron ini
memungkinkan dilakukan pembersihan darah secara normal sehingga zat
seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan kadar plasma
yang signifikan setelah total laju filtrasi glomerulus menurun sebanyak
50%. Nilai kreatinin plasma meningkat dua kali lipat dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus sebanyak 50%. Kenaikan nilai kreatinin plasma dari 0,6
mg/ dL menjadi 1,2 mg/dL dapat merepresentasikan kerusakan ginjal
sebanyak 50% walaupun nilai tersebut masih dapat dikatakan pada range
normal (UBM Medica, 2011).
Hiperfiltrasi dan hipertrofi yang terjadi pada nefron yang masih
berfungsi dengan normal, meskipun bermanfaat dalam mempertahankan
laju filtrasi glomerulus namun dapat dikatakan bahwa hal tersebut
merupakan penyebab utama dari disfungsi ginjal secara pogresif. Kerusakan
ginjal tersebut terjadi akibat tekanan kapiler glomerulus meningkat, dan
merusak kapiler yang pada awalnya mengarah pada glomerulosklerosis
sekmental menjadi glomerulosklerosis global (UBM Medica, 2011).
8
Menurut Dipiro et al (2015) patofisiologi penyakit ginjal kronik terdiri dari:
1. Faktor kerentanan meningkatkan resiko penyakit ginjal tetapi menyebabkan
kerusakan ginjal. Ini termasuk usia lanjut, massa ginjal berkurang, berat badan
lahir rendah, ras atau etnis minoritas, riwayat keluarga, ekonomi
berpenghasilan rendah, pendidikan, peradangan sistemik dan dislipidemia.
2. Faktor awal yang mengakibatkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi
dengan terapi obat. Ini termasuk diabetes mellitus, hipertensi, pembengkakan
glomelurus, penyakit ginjal polikistik, granulomatosis Wegener, penyakit
vaskular dan HIV nefropati.
3. Faktor yang mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah awal kerusakan
ginjal, ini termasuk glikemia penderita diabetes, hipertensi, proteinurea,
hiperlipid, obesitas dan merokok.
4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas
dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG (Laju Filtrasi
Glomerular), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2
= ( )
(
)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat penyakit
Derajat Penjelasan Laju filtrasi Glumerolus (GFR)*
(mL/menit/1,73m2)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat
berat
Gagal ginjal
≥90
60 – 89
30 – 59
15 – 29
< 15 atau dialysis
(Suwitra , 2014).
9
Definisi KDOQI dan klasifikasi CKD memungkinkan komunikasi dan
intervensi yang lebih baik pada berbagai tahap. Pada CKD stadium 1 dan 2, GFR
saja tidak dapat menegakkan diagnosis. Penanda kerusakan ginjal lainnya,
termasuk kelainan komposisi darah atau urin kelainan dalam tes, juga harus ada
dalam menegakkan diagnosis tahap 1 dan tahap 2 CKD (Coresh J, et al. 2001).
5. Manifestasi Klinik
Penderita penyakit ginjal kronik stadium 1 dan 2 tidak mengalami gejala
apapun atau perubahan metabolik yang nampak pada penderita penyakit ginjal
kronik stadium 3-5 seperti anemia, hiperparatiroid sekunder, penyakit
kardiovaskuler, malnutrisi, dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Wells et
al., 2009).
Pasien dengan gangguan ginjal kronis mulai muncul gejala ketika terjadi
penumpukan produk sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, elektrolit dan
cairan. Peningkatan kadar ureum darah merupakan penyebab umum terjadinya
kumpulan gejala yang disebut sindroma uremia pada pasien gangguan ginjal
kronis. Sindroma uremia terjadi saat laju filtrasi glomerulus kurang dari 10
ml/menit/1,73 m2. Peningkatan kadar ureum darah akibat gangguan fungsi
ekskresi ginjal menyebabkan gangguan pada multi sistem. Sehingga
memunculkan gejala yang bersifat sistemik (Lewis et al., 2011).
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronis meliputi : a). Sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksitraktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),
dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload)
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium
klorida) (Suwitra, 2014).
10
6. Komplikasi
Komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) yang dapat muncul adalah
anemia, neuropati perifer, komplikasi kardiopulmunal, komplikasi GI
(gastrointestinal), disfungsi seksual, defek skeletal, parastesia, disfungsi saraf
motorik seperti foot drop dan paralisis flasid, serta fraktur patologis (Kowalak,
Weish, & Mayer, 2011).
Komplikasi penyakit ginjal kronik terjadi sesuai dengan derajat penurunan
fungsi ginjal. Beberapa di antara komplikasi tersebut adalah anemia, yang terjadi
pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kadar hemoglobin <10 g% atau hematocrit <30%, meliputi evaluasi
terhadap status besi ( kadar besi serum, kapasitas ikat besi total, ferritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolysis
dan lain sebagainya (Suwitra, 2014).
7. Komorbid
Komorbid biasanya disebabkan karena komplikasi dari CKD maupun
penyebab utama CKD. Namun, tidak jarang adanya komorbid tidak berhubungan
langsung dengan penyakit utamanya (CKD). Komorbid yang biasa terjadi pada
pasien usia lanjut dengan CKD seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit
karidovaskular, gagal jantung kongestif, penyakit paru, dan lain–lain (KDOQI,
2012).
Komorbiditas mempengaruhi berbagai dimensi kualitas hidup.
Komorbiditas memiliki pengaruh yang negatif terhadap kesehatan fisik pada
kualitas hidup pasien hemodialisa (Sathvik, B., et al., 2010). Pasien
yang memiliki banyak penyakit penyerta selama menjalankan hemodialisa akan
mengalami kondisi kesehatan fisik yang lebih buruk, karena terkait dengan
gangguan multipel organ. Komorbiditas juga memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap psikologis pada kualitas hidup pasien hemodialisa. Komorbiditas
berhubungan kebutuhan berbagai macam obat, dan akan terjadi interaksi obat.
Hal ini dapat menyebabkan depresi ataupun kecemasan, yang merupakan salah
11
satu tanda adanya masalah psikologis pada pasien hemodialisa (Abraham S., et
al.,2012; Pakpour, A., et al.,2010).
8. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Menurut Suwitra (2014) penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
8.1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. Waktu yang paling
tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG,
sehingga pemburukkan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal ang masih
normal secara ultrasonografi, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah
tidak banyak bermanfaat.
8.2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid. Penting sekali
untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit
ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors)
yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi ang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras,
atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
8.3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Faktor utama penyebab
perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara
penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah pembatasan asupan
protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-
35 kkal/kg bb/ hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi
pasien.
8.4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
12
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengandalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia,
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan.
8.5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi. Penyakit ginjal kronik
mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Salah satu komplikasi penyakit ginjal kronik
adalah anemia dan osteodistrofi renal. Anemia terjadi pada 80-90% pasien
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Komplikasi
selanjutnya yaitu osteodistrofi renal yang merupakan komplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbs fosfat di saluran cerna.
8.6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi. Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.
13
B. Kualitas Hidup
1. Definisi
Menurut WHO kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu dari
posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di tempat
mereka tinggal dan hidup dalam hubungannya pada tujuan mereka, harapan,
standar, dan kekhawatiran (Mabsusah, 2016). Menurut Anbarasan (2015) kualitas
hidup dapat disamakan dengan keadaan kesehatan, fungsi fisik, perceived health
status, kesehatan subjektif, persepsi mengenai kesehatan, simtom, kepuasan
kebutuhan, kognisi individu, ketidakmampuan fungsional, gangguan psikiatri,
kesejahteraan dan bahkan terkadang dapat bermakna lebih dari satu pada saat
yang sama.
Konsep multidimensional mencakup domain yang berkaitan dengan fungsi
fisik, mental, emosional, dan sosial disebut sebagai health related quality of life
(HRQOL). Ini melampaui tindakan langsung kesehatan penduduk, harapan hidup,
dan penyebab kematian serta berfokus pada status kesehatan yang berdampak
pada kualitas hidup. Konsep terkait HRQOL adalah kesejahteraan yang menilai
aspek-aspek positif dari kehidupan seseorang, seperti emosi positif dan kepuasan
hidup. HRQOL merupakan bagian dari kualitas hidup seseorang yang
menggambarkan efek fungsional dari penyakit dan konsekuensi terapi dari pasien
yang dirasakan oleh pasien itu sendiri (Andayani, 2013).
Pengukuran HRQOL adalah salah satunya menilai utilitas. Utilitas adalah
nilai pada tingkat status kesehatan atau perbaikan status kesehatan yang lebih
disukai oleh individu masyarakat (Andayani, 2013). Nilai utilitas berkisar dari 1
(status kesehatan sangat sehat) sampai 0 (status kesehatan yang terburuk, serta
dengan meninggal) (Thavorncharoensap, 2014). Dalam menentukan nilai utilitas
dapat dibagi menjadi dua metode yaitu langsung dan tidak langsung. Metode
langsung menawarkan manfaat dalam menentukan nilai utilitas tetapi memakan
waktu dan sulit dalam aplikasinya, sebaliknya metode yang menggunakan status
kesehatan sistem klasifikasi multiattribute untuk mendapatkan nilai utility seperti
EuroQol five dimensions (EQ5D), health utility index (HUI), SF-6D, dan Quality
Of Well Being (QWB), semuanya lebih mudah dan banyak digunakan.
14
Berdasarkan international society for pharmacoeconomics and outcome research
(ISPOR), standard gamble (SG), time trade off (TTO), dan EQ-5D adalah tiga
instrumen yang paling banyak digunakan untuk mengukur utilitas
(Thavorncharoensap, 2014).
2. Pengukuran Kualitas Hidup
Kualitas hidup dapat diketahui dengan melakukan pengukuran. Instrumen
yang biasa digunakan untuk pengukuran kualitas hidup yaitu instrumen generik
dan instrumen spesifik.
2.1. Instrumen generik. Instrumen generik merupakan instrumen yang
fokusnya lebih pada status kesehatan umum yang biasa digunakan untuk
mengetahui profil kesehatan dan pengukuran utilitas (Andayani, 2013).
Pengukuran HRQOL yang paling umum digunakan yaitu antara lain EQ-5D, SF-
6D, QWB-SA, HUI2 dan HUI3 (Pietersma et al., 2013).
2.1.1. Euro Quality of Life (EQ-5D). Euro Quality of Life EQ-5D adalah
instrumen general yang dikembangkan oleh EuroQol Group, digunakan secara
luas untuk mengukur status kesehatan pada suatu populasi (Rabin & Charro,
2001). EQ-5D-5L descriptive system memiliki 5 kategori tingkatan respon pada
masing-masing domain. Tingkat respon 1 menunjukkan no problem (tidak ada
masalah), tingkat respon 2 menunjukkan slight problems (sedikit bermasalah),
tingkat respon 3 menunjukkan moderate problems (cukup bermasalah), tingkat
respon 4 menunjukkan severe problems (sangat bermasalah, dan tingkat respon 5
menunjukkan extreme problems (amat sangat bermasalah) (Reenen & Janssen,
2015).
2.1.2. Short form six dimensions (SF-6D). Short Form 6-Dimensions (SF-
6D) merupakan instrumen kualitas hidup yang mengacu pada Medical Outcomes
Study (MOS) 36-Item Short Form (SF-36). Instrumen SF-6D merupakan hasil dari
klasifikasi ulang 8 dimensi dari instrumen SF-36 menjadi 6 dimensi (SF-6D)
sehingga item pertanyaan serta tingkatan respon yang dimiliki instrumen SF-6D
lebih sedikit daripada instrumen SF-36 (Craig et al., 2013). Instrumen SF-6D
memiliki 4 hingga 6 tingkatan respon sehingga instrumen ini dapat
mendefinisikan sebanyak 18.000 status kesehatan yang berbeda. Dimensi yang
15
terdapat pada instrumen SF-6D terdiri dari fungsi fisik, keterbatasan peran, fungsi
sosial, nyeri, kesehatan mental, dan vitalitas. Data-data yang dikumpulkan dari
responden diubah menjadi nilai utility menggunakan SF-6D utility algorithm
(Ferreira et al., 2008).
2.1.3. Quality of Well-Being Scale (QWB SA). QWB dikembangkan di
University of California San Diego, merupakan instrumen kualitas hidup secara
umum yang meliputi gejala atau masalah ditambah tiga dimensi status kesehatan
yaitu mobilitas, aktivitas fisik dan aktivitas sosial (Andayani, 2013).
2.1.4. Health Utilities Index (HUI). HUI dikembangkan oleh DI
MCMAster University, merupakan instrumen umum yang menggambarkan status
kesehatan seseorang pada suatu waktu, yaitu fungsional dalam rangkaian dimensi
status kesehatan (Andayani, 2013). HUI telah digunakan dalam ratusan studi
klinis, dibanyak negara digunakan untuk menyelidiki berbagai masalah kesehatan.
HUI terdiri dari Mark (HUI1), Mark (HUI2) dan Mark (HUI3). HUI mengacu
pada instrumen HUI Mark 2 (HUI2) dan HUI Mark 3 (HUI3) (Furlong et al.,
2000). HUI versi kedua dan HUI versi ketiga sama-sama menggunakan teknik
pengukuran utility yaitu standard gamble dan visual analog scales. HUI2 terdiri
dari 7 dimensi sedangkan HUI3 terdiri dari 6 dimensi (Andayani, 2013). Tujuan
HUI adalah mengukur status kesehatan, melaporkan kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan, dan menghasilkan nilai utilitas. Skor utilitas
HRQOL keseluruhan untuk pasien juga digunakan dalam analisis biaya utilitas
dan efektivitas biaya. Penggunaan HUI secara luas memfasilitasi interpretasi hasil
dan memungkinkan perbandingan hasil penyakit dan pengobatan (Horsman et al.,
2003).
3.1 Instrumen Spesifik. Instrumen spesifik diutamakan untuk mengukur
HRQoL dalam keadaan spesifik. Instrumen spesifik yang digunakan untuk
penyakit ginjal kronik adalah Kidney Disease Quality of Life Short Form
(KDQOL-SF versi 1.3) yang merupakan kuesioner yang dirancang untuk
mengukur kualitas hidup penderita PGK secara spesifik (Hays dkk., 1997), karena
beberapa aspek khusus pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis tidak
dapat diukur dengan kuesioner yang dirancang untuk penyakit umum. KDQOL-
16
SF versi 1.3 merupakan instrumen untuk mengukur Health Related Quality of Life
(HRQOL) pada individu dengan penyakit ginjal dan dialisis yang dikembangkan
oleh Research and Development (RAND) dan Universitas Arizona. KDQOL-SF
versi 1.3 mencakup 43 item pertanyaan terkait penyakit ginjal dan 36 item
pertanyaan terkait kondisi kesehatan secara umum. Kidney Disease Quality of Life
Short Form (KDQOL-SF) merupakan pengembangan dari Short Form 36 (SF-36).
Alat ukur ini merupakan alat ukur khusus yang digunakan untuk menilai kualitas
hidup pasien PGK dan pasien yang menjalani dialisis (Hays, 2002). Berdasarkan
Hays dkk. (1997), kuesioner KDQOL-SF mempunyai reliabilitas di atas 0,8 untuk
pertanyaan terkait penyakit ginjal kecuali aspek fungsi kognitif (0,68) dan aspek
interaksi sosial (0,61). Pertanyaan terkait kondisi kesehatan secara umum
memiliki reliabilitas 0,78-0,92. Hal ini menandakan bahwa kuesioner KDQOL
memiliki nilai reliabilitas yang baik.
C. Properti Psikometri
Psikometri merupakan penyusunan dan validasi suatu instrumen pengukur
serta menilai apakah suatu instrumen reliabel dan valid untuk digunakan dalam
proses pengukuran. Dalam perilaku kedokteran, psikometri biasanya dikaitkan
dengan pengetahuan individu, kemampuan, kepribadian, dan tipe perilaku.
Psikometri biasanya melibatkan penggunaan suatu instrumen seperti kuesioner
dan evaluasi kuesioner perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kuesioner
tersebut memiliki properti psikometri yang baik (Ginty, 2013). Reliabilitas dan
validitas merupakan dua properti psikometri utama yang harus dimiliki sebuah
instrumen. Reliabilitas menggambarkan reprodusibilitas atau stabilitas hasil
pengukuran kualitas hidup pada populasi yang tidak mengalami perubahan
kesehatan atau perubahan pada kualitas hidupnya sedangkan validitas
mengungkapkan sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur apa yang ingin
diukur. Properti psikometri yang dapat dianalisis untuk menunjukkan reliabilitas
instrumen antara lain agreement, internal consistency, dan test-retest reliability
sedangkan face validity, content validity, dan construct validity merupakan
properti psikometri yang dapat menunjukkan validitas instrumen (Walters, 2009).
17
1. Agreement
Penilaian agreement dilakukan untuk menunjukkan stabilitas hasil
pengukuran suatu konsep yang sama menggunakan 2 alat ukur yang berbeda.
Agreement dapat dianalisis melalui nilai Intra-class Correlation Coefficient (ICC)
untuk data kontinu atau weighted Cohen’s Kappa coefficient untuk data ordinal
(Terwee et al., 2007). Dua alat ukur yang berbeda namun mengukur konsep yang
sama seharusnya memiliki tingkat agreement yang tinggi, ditunjukkan dengan
nilai ICC atau koefisien Kappa (κ) yang mendekati angka 1 (Walters, 2009).
2. Internal consistency
Instrumen kualitas hidup biasanya terdiri dari lebih dari satu item
pertanyaan untuk menghasilkan estimasi respon yang lebih reliabel. Masing-
masing item pertanyaan dinilai kemudian nilai-nilai yang diperoleh dikonversikan
menjadi satu unit angka (Walters, 2009). Internal consistency menilai apakah
item-item yang digunakan semuanya homogen sehingga dapat mengukur satu
konsep yang sama (Terwee et al., 2007).
3. Face dan content validity
Face validity sering dianggap sebagai bentuk dari content validity. Face
validity lebih melihat apakah instrumen kualitas hidup nampak mengukur apa
yang ingin diukur sedangkan content validity melihat secara lebih rinci apakah
item-item pada instrumen tersebut dapat mencakup domain secara komprehensif,
jelas, dan tidak menimbulkan makna yang ambigu (Walters, 2009). Face validity
berfokus pada critical review terhadap item-item di setiap domain dari suatu
instrumen baru sebelum instrumen tersebut digunakan untuk pengukuran
sedangkan cakupan dan relevansi antar item biasanya dinilai selama proses
penyusunan instrumen (Walters, 2009). Tes terhadap kedua macam validitas ini
melibatkan penilaian kualitatif mengenai apakah item-item pada instrumen
merefleksikan secara jelas dimensi kualitas hidup dan apakah item-item tersebut
dapat mewakili domain kualitas hidup yang diteliti (Walters, 2009).
18
4. Construct validity
Construct validity menilai hubungan antara satu konsep dengan konsep
yang lain pada suatu instrumen secara lebih kuantitatif. Sebagai contoh, subjek
yang merasakan nyeri lebih berat diperkirakan membutuhkan analgesik yang lebih
banyak, individu dengan disabilitas yang lebih berat memiliki kemampuan
bergerak yang lebih rendah (Fitzpatrick, 1998). Construct validity dapat dibagi
menjadi 3 macam yaitu known-groups validity, convergent validity, dan
discriminant validity (Walters, 2009).
4.1 Known-groups validity. Known Group merupakan salah satu properti
psikometri yang bisa mengukur tingkat validitas dari instrumen yang digunakan.
Known Group menilai kemampuan instrumen dalam membedakan subjek
berdasarkan perbedaan kondisi kliniknya (Deng et al., 2013). Perbedaan utilitas
didasarkan pada kelompok keparahan penyakit (misalnya: tidak ada penyakit,
kelompok penyakit akut, kelompok penyakit kronis). Semakin tinggi
signifikansinya maka semakin baik validitas (Terwee et al., 2007).
4.2 Convergent validity. Convergent validity merupakan salah satu aspek
dari construct validity yang menilai hubungan antar instrumen (Pattanaphesaj &
Thavorncharoensap, 2015). Convergent validity menilai korelasi antara instrumen
kualitas hidup yang satu dengan instrumen kualitas hidup yang lain. Dua
instrumen yang berbeda seharusnya memiliki korelasi yang kuat jika keduanya
mengukur satu konsep yang sama. Convergent validity juga dapat digunakan
untuk menilai hubungan antara dimensi kualitas hidup dengan dimensi yang lain
yang secara teoritis memang dinilai memiliki hubungan. Sebagai contoh,
penelitian yang dilakukan oleh Walters et al. (1999) terhadap pasien venous leg
ulcer menggunakan 4 macam instrumen menganalisis convergent validity dengan
menilai korelasi antara dimensi fungsi fisik instrumen SF-36 dengan Frenchay
Activities Index (FAI) yang merupakan instrumen pengukur fungsi fisik.
4.3 Floor dan ceiling effect. Instrumen kualitas hidup dikatakan responsif
jika instrumen tersebut dapat mendeteksi perubahan tingkatan respon yang sekecil
mungkin. Proporsi pasien pada ‘floor’ dan ‘ceiling’ dapat digunakan untuk
melihat tingkat responsivitas suatu instrumen. Proporsi respon subjek yang tinggi
19
pada akhir skala respon terburuk disebut sebagai floor effect sedangkan ceiling
effect diukur sebagai proporsi respon subjek yang tinggi pada akhir skala respon
terbaik (Walters, 2009). Penurunan ceiling effect menghasilkan sensitivitas yang
meningkat terhadap perubahan tingkatan respon (Jia et al., 2014).
D. Landasan Teori
Reliabilitas dan validitas merupakan dua properti psikometri utama yang
harus dimiliki sebuah instrumen. Properti psikometri yang dapat dianalisis untuk
menunjukkan reliabilitas instrumen antara lain agreement, internal consistency,
dan test-retest reliability sedangkan face validity, content validity, dan construct
validity merupakan properti psikometri yang dapat menunjukkan validitas
instrumen. Reliabilitas menggambarkan reprodusibilitas atau stabilitas hasil
pengukuran kualitas hidup pada populasi yang tidak mengalami perubahan
kesehatan atau perubahan pada kualitas hidupnya sedangkan validitas
mengungkapkan sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur apa yang ingin
diukur (Walters, 2009).
Menurut WHO kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu dari
posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di tempat
mereka tinggal dan hidup dalam hubungannya pada tujuan mereka, harapan,
standar, dan kekhawatiran (Mabsusah, 2016). Dalam menentukan nilai utilitas
dapat dibagi menjadi dua metode yaitu langsung dan tidak langsung. Metode
langsung menawarkan manfaat dalam menentukan nilai utilitas tetapi memakan
waktu dan sulit dalam aplikasinya, sebaliknya metode yang menggunakan status
kesehatan sistem klasifikasi multiattribute untuk mendapatkan nilai utilitas seperti
EuroQol five dimensions (EQ5D), health utility index (HUI), SF-6D, dan Quality
Of Well Being (QWB), semuanya lebih mudah dan banyak digunakan.
Berdasarkan international society for pharmacoeconomics and outcome research
(ISPOR), standard gamble (SG), time trade off (TTO), dan EQ-5D adalah tiga
instrumen yang paling banyak digunakan untuk mengukur utility
(Thavorncharoensap, 2014).
20
Nilai utilitas pasien penyakit ginjal kronis jauh lebih rendah mengenai
kesehatan fisik, pasien juga mengalami keterbatasan diri terhadap kegiatan rumah
tangga dan pekerjaan, hal ini disebabkan oleh keadaan kesehatan fisik mereka
(rasa sakit somatik, kelelahan) dan masalah emosional (depresi dan cemas)
(Gerson et al., 2004). Kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronis dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya usia, jenis kelamin, hemodialisa, komorbid dan
komplikasi (Anindya, 2018).
E. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep
Kuesioner EQ-5D-5L
Validitas dan realibilitas :
1. Convergent validity
2. Internal consistency
3. Floor and ceiling effect
Kuesioner SF-6D
HRQOL :
1. Kualitas hidup
2. Nilai utilitas
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Komorbid
4. Komplikasi
5. Stadium
6. Faktor resiko
a. Hipertensi
b. Diabetes mellitus
21
F. Keterangan Empiris
Dengan penelitian ini dapat diketahui validitas dan realibilitas kuesioner EQ-5D-
5L dan SF-6D pada pasien penyakit ginjal kronik.
G. Hipotesis
1. Terdapat perbedaan nilai utilitas pasien penyakit ginjal kronik yang dinilai
dengan menggunakan kuesioner EQ-5D-5L dan SF-6D.
2. Usia, jenis kelamin, faktor resiko, komplikasi, stadium dan komorbid
berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik.