bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia,
Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar
getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang,
peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut
dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara
dan alat kelamin (Chin J, 2006). Pengertian lain menjelaskan filariasis adalah
penyakit menular menahun yang disebabkan cacing filaria yang menyerang
saluran dan kelenjar getah bening (Depkes RI, 2008), sedangkan menurut
Gandahusada dkk tahun 2003 filariasis limfatik adalah penyakit yang
disebabkan oleh salah satu dari 3 jenis cacing filaria yaitu : Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang penularannya melalui vektor
nyamuk.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa filariasis adalah
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup di
saluran dan kelenjar limfe serta ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk.
Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis dan akut.
B. Gejala Klinis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya
gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut
tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B. timori.
10
infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat
kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan
kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2008).
1. Gejala Klinis Akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang
disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan dapat pula terjadi abses.
Abses dapat pecah yang kemudian mengalami penyembuhan dengan
menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih
sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan dengan
infeksi W. brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan
limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi W. brancofti sering terjadi
peradangan buah pelir, peradangan epididimis dan peradangan funikulus
spermatikus (Depkes RI, 2008).
2. Gejala Klinis Kronis
a. Limfedema
Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh
lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada
infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di
bawah siku dimana siku dan lutut masih normal (Depkes RI, 2008).
b. Lymph Scrotum
Lymph scrotum pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum,
kadangkadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah
pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian.
Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat
pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi
terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang
dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum
kadang-kadang normal kadang-kadang membesar (Notoatmodjo, 1997)
11
c. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh
darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.
brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran
kemih. Gejala yang timbul pada kiluria adalah air kencing seperti susu,
karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang
disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan
berat badan (Depkes RI, 2008).
d. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena
terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel
dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah pelir, dengan gambaran
klinis dan epidemiologis sebagai berikut:
1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat
besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.
2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
3) Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi yaitu Chyle
(Chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji
transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan
komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini
dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih.
4) Hidrokel banyak ditemukan didaerah endemis W. bancrofti dan dapat
digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.
12
C. Penentuan Stadium Limfedema
Limfedema terbagi dalam 7 stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan tanda
hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul
(benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan
dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi
petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat
kepada penderita. Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria berikut :
1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri
dan kanan, lengan dan tungkai.
2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas,
bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.
3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut
sembuh.
5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan
dan penatalaksanaan kasus.
13
Tabel 2.1 Stadium Limfedema / tanda kejadian bengkak, lipatan dan benjolan
pada penderita kronis filariasis.
No Gejala Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7
1 Bengkak
di kaki
Menghilang
waktu bangun
tidur pagi
Menetap Menetap menetap Menetap
meluas
Menetap
meluas
Menetap
meluas
2 Lipatan
kulit
Tidak ada Tidak ada Dangkal
Dangkal Dalam
kadang
dangkal
Dangkal
dalam
Dangkal
dalam
3 Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang-
kadang
Kadang-
kadang
Kadang-
kadang
4 Mossy
lesion*)
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada
Kadang-
kadang
5 Hambatan
berat
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
*) gambaran seperti lumut Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis,
Depkes RI 2008
D. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah
tepi, kiluria, eksudat, varises limpe dan cairan limpe dan cairan hidrokel atau
ditemukannya cacing dewasa pada biopsi kelenjar limfe atau pada penyinaran
didapatkan cacing yang sedang mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis
pembantu pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili antara 5-15%.
Juga tes intradermal dan tes fiksasi komplemen dapat membantu menegakkan
diagnosis.
E. Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva
14
infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri
atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi
fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena
infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur.
Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat dikulit.
Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena
cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan
pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga
terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (DepKes RI, 2008)
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan
tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk
kejaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan
meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang
luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan
akut (acute attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui
saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat
dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES),
bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut
(acute attack).
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit.
Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan
peradangan akut (acute attack).
4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent
acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai
berikut:
a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa
bersama-sama dengan bakteri, yaitu : Limfangitis (peradangan di
saluran limfe), Limfadenitis (peradangan di kelenjar limfe), Adeno
limfangitis (peradangan saluran dan kelenjar limfe), Abses.
15
Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin)
dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot,
rasa lemah dan lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang
ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan
cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat
terjadi limfedema.
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri
atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan
ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium
limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul
(pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).
F. Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu
1. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
2. Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium
3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan
keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Pada
saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas
gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan
penularan pada malaria dan demam berdarah, seseorang dapat terinfeksi
filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif ribuan kali,
16
sedangkan pada penularan malaria dan demam berdarah seseorang akan sakit
dengan sekali gigitan nyamuk yang infektif .
Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia,sebenarnya
kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah
yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria
yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium
larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat
berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh
terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh
nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa
inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti
antara 10-14 hari, sedangkan B. malaVyi dan B. timori antara 8-10 hari.
Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap
risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria
hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang
aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada
malam hari.
Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik,
penularan terjadi siang dan malam hari. Khusus untuk B. malayi tipe sub
periodik dan non periodik nyamuk Mansonia menggigit manusia atau kucing,
kera yang mengandung mikrofilaria dalam darah tepi, maka mikrofilaria
masuk kedalam lambung nyamuk menjadi larva infektif Di samping faktor-
faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah
lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis
antar daerah (DepKes RI, 2008)
17
G.Tatalaksana kasus klinis Filariasis
Semua kasus klinis penyakit filariasis baik stadium dini, stadium lanjut dengan
gejala akut yang berupa demam berulang dan gejala peradangan yang lainnya
diberi obat-obatan yaitu antipiretik, analgetik, antibiotik sampai gejala akut
teratasi. Selanjutnya diberi pengobatan Dietyl Carbamazine Citrate (DEC) 3 x
1 tablet selama 10 hari serta parasetamol 3 x 1 tablet dalam 3 hari pertama.
Penderita klinis tersebut diikut sertakan dalam program pengobatan masal
dengan DEC 6 mg/kg BB dan Albendazole 400 mg sekali setahun pertahun
berikutnya. Disamping diberi obat-obatan seperti diatas, tiap stadium
memerlukan penanganan khusus sesuai dengan stadium yang dialami.
Hasil penelitian yang dilakukan Burkot dkk (2006) didapatkan hasil bahwa
pengobatan filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC dan Albendazole
lebih efektif jika dibandingkan pengobatan hanya menggunakan DEC. Hal ini
dibuktikan dengan terjadinya pengurangan level antigen cacing dewasa dan
pengurangan reaksi klinis dalam menginfeksi manusia. Kombinasi DEC dan
Albendazole lebih efektif mengurangi prevalensi filariasis dan kepadatan
mikrofilaria untuk waktu lebih lama.
H. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis
1. Faktor Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu W.
bancrofti, B. malayi, B. timori. Cacing filaria (Nematoda:Filarioidea) baik
limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai
berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan
mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di
darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti
bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam
18
darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di
kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal disebut periodik diurnal
(Depkes RI, 2008).
32 Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria
limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh
terhadap risiko penularan filarial. Daerah endemis filariasis pada umumnya
adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman,
persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis W. bancrofti
tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua.
W. bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa
Tenggara Timur, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan
di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. B. malayi
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di
Maluku. B. timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan
Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.( Pratiknunya, 2000)
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu
a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang,
Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan
oleh nyamuk. Cx. quinquefasciatus yang berkembang biak di air
limbah rumah tangga.
b. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di
Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna
yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan
Culex.
19
c. Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk
penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah
persawahan.
d. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari,
tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk
penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.
e. Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari.
Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia
uniformis yang ditemukan di hutan rimba.
f. Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk
penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah
persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.
Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup
parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa
(makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya
(mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.
a. Makrofilaria
Cacing dewasa (Makrofilaria) berbentuk silindris, halus seperti
benang berwarna putih susu dan hidup di dalam system limfe.
Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16
mm, dapat menghasilkan puluhan ribu Mikrofilaria. Cacing jantan
berukuran lebih kecil kurang lebih 55 x 0,09 mm dengan ujung ekor
melingkar (Notoatmodjo, 1997).
20
b. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan
puluhan ribu anak-anak cacing yang disebut microfilaria yang
mempunyai sarung. Ukuran microfilaria 200-600 x 8 um. Secara
mikroskopis morfologi mikrofilaria dari berbagai spesies dapat
dibedakan berdasarkan : susunan inti badan, jumlah dan letak inti
pada ujung ekor, terutama ruang kepala serta keadaan sarung
(Notoatmojo,1997).
Tabel 2.2 Perbedaan Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan
Darah dengan Pewarnaan Giemsa
No Morfologi/karateristik W. bancrofti B. malayi B. timor
1 Gambaran umum dalam sediaan
darah
Melengkung
mulus
Melengkung
kaku dan patah
Melengkung
kaku dan patah
2 Perbandingan lebar dan panjang
kepala
1 : 1 1 : 2 1 :3
3
Warna sarung dengan pewarna
Giemsa
Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna
4 Ukuran panjang dalam micron 224-296 177-220 265-323
5 Inti badan Tersusun rapi Berkelompok Berkelompok
6 Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2
7 Gambaran ujung ekor Seperti pita
kerah ujung
Ujung agak
tumpul
Ujung agak
tumpul
Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Depkes RI 2008
c. Larva dalam tubuh nyamuk
Pada saat nyamuk vektor menghisap darah yang mengandung
mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam
lambung nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot atau jaringan
lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria berkembang
menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-
250 um x 10-17 um, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6
hari dalam tubuh nyamuk, larva berkembang menjadi larva stadium 2
(L2) yang berukuran 200-300 um x 15-30 um, dengan ekor yang
tumpul atau memendek. Pada stadium ini larva menunjukkan adanya
21
gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau hari ke 10-14 pada
spesies Wuchereria, larva dalam nyamuk berkembang menjadi larva
stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 um x 20 um. L3 tampak
panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium ini
merupakan bentuk infektif dari cacing filarial.
2. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)
a. Manusia
1) Karakteristik Individu
Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh
seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan
dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh
faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Faktor biologis
meliputi genetik, sistem syaraf dan hormonal, sedangkan faktor
sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen kognitif
(intelektual), konatif (kebiasaan dan kemauan bertindak), afektif
(emosional) Menurut Kotler (1980) yang dikutip oleh Zahid
(1997) karakteristik individu diklasifikasikan menjadi dua yaitu
karakteristik demografi dan karakteristik psikografi.
Karakteristik demografi meliputi umur, jenis kelamin, ukuran
keluarga, daur kehidupan keluarga, penghasilan, pekerjaan,
pendidikan, agama, ras, bangsa dan tingkat sosial.
a) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada
dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila
mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva
stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2008).
Variabel umur untuk beberapa penyakit memegang peranan
penting dalam kaitannya dengan kejadian dan pelebaran suatu
penyakit. Konsekuensi hubungan umur seseorang dengan
22
terjadinya penyakit, untuk mengetahui potensi seseorng
untuk terpapar dengan sumber infeksi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kadarusman (2003) variabel umur merupakan
salah satu variabel yang berhubungan dengan terjadinya
filariasis. Badan Pusat Statistik mengkategorikan umur
menjadi usia muda umur 15-24 tahun, usia dewasa umur 25-
49 tahun dan usia tua umur 59 tahun.
b) Jenis kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. insiden
filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis
pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering
kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI,
2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kadarusman
(2003) dan Njenga, S.M et all (2000) menghasilkan bahwa
variabel jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang
berhubungan dengan terjadinya filariasis. Karakteristik jenis
kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan
tingkat ketentanan memegang peranan tersendiri. Hal ini
disebabkan banyak penyakit infeksi terjadi pada jenis
kelamin tertentu dibandingkan dengan jenis lainnya. Secara
umum, laki-laki mengalami angka kematian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita untuk hampir semua penyakit
sedangkan wanita mengalami angka kesakitan yang lebih
tinggi (Sub. Dit. Surveilans Depkes RI, 2000). Penyakit
filariasis pada laki-laki umumnya menunjukkan angka infeksi
mikrofilaria rate lebih besar daripada wanita. Hal ini
disebabkan karena pada umumnya laki-laki lebih lebih
terpapar karena pekerjaannya sehingga kemungkinan
23
terjadinya infeksi (kontak dengan faktor) lebih sering
daripada perempuan.
c) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak
terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian
juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak
mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada
daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi
filariasis dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala
klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum
menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan
patologis dalam tubuhnya (Depkes RI, 2008).
d) Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis
mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis
ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung
mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis
yang lebih berat (Depkes RI, 2008)
2) Faktor Perilaku
a) Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang
sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
24
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tifak didasari oleh
pengetahuan.
Notoatmodjo (2003) menuliskan bahwa pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan,
antara lain:
(1) Tahu. Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
dipelajari sebelumnya.
(2) Memahami. Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui,
dan dapat menginterpretaso materi tersebut secara benar.
(3) Aplikasi. Diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada sotuaso
atau kondisi sebenrnya.
(4) Analisis. Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi
masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
(5) Sintesis. Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
(6) Evaluasi. Berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek.
Pendidikan merupakan proses belajar yang dapat
menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok dan
masyarakat. Perubahan tersebut karena usaha yang disadari
dan dapat karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu
yang relatif lama (Notoatmojo, 1997). Pendidikan merupakan
25
salah satu faktor yang akan mempengaruhi perilaku individu.
Makin tinggi tingkat pendidikan diharapkan dapat menerima
pesan-pesan kesehatan dan mengerti cara-cara pencegahan
penyakit. Penelitian yang dilakukan Marzuki (2010) bahwa
ada hubungan pengetahuan dengan kejadian filariasis.
2) Sikap
Sikap merupakn reaksi atau respons yang msih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap nyata
menunjukan konotasi adanya stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial.
Upaya pencegahan gigitan nyamuk. Kegiatan ini hampir
seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat seperti
berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor
(mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan
obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles
kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara
memberantas nyamuk. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa
kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari
ada hubungan dengan kejadian filariasis.
3) Tindakan
Suatu sikap belum termasuk dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata diperlukan faktor pendorong atau suatu
kondisi yang menunjukan seperti fasilitas (Notoatmodjo,
2003). Menurut Sarwono (2002) sikap terbentuk dari
pengalaman melalui proses belajar. Proses belajar itu sendiri
dapat terjadi melalui proses pengkondisian atau melalui
proses belajar sosial atau karena pengalaman secara
26
langsung. Rahayuningsih (2008) menjabarkan bahwa sikap
merupakan bagaimana individu suka atau tidak suka
terhadap sesuatu yang pada akhirnya menentukan perilaku
individu tersebut. Sikap menyukai cenderung mendekat,
mencari tahu dan bergabung. Sementara sikap tidak
menyukai cenderung menghindar atau menjauhi.
Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam,
dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian
Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada
malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis.
Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk
mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa
kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai
faktor risiko kejadian filariasis.
b. Nyamuk
Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk
dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan
Armigeres. Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus
kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila
tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300
butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi
jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi
nyamuk dewasa (Depkes RI, 2008).
Daerah Pekalongan nyamuk yang paling utama sebagai vektor
filariasis adalah spesies dari Culex yaitu Culex quinquefasciatus
(Dinkes Kab. Pekalongan, 2011)
27
Culex quinquefasciatus adalah genus dari nyamuk yang berperan
sebagai vektor filariasis W. Bancrofti (Rosdiana S,2009). Nyamuk
dewasa dapat berukuran 4–10 mm (0,16–0,4 inci). Morfologi nyamuk
Cx. quinquefasciatus memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada
dan perut. Nyamuk Cx. quinquefasciatus biasa bertelur dan
menetaskan telur di perairan tawar yang relatif kotor, seperti di got
saluran air, tempat pembuangan air limbah rumah tangga, kolam dan
sawah
1) Tempat Berkembang Biak
Cx. quinquefasciatus suka berkembang biak di air keruh dan
kotor dekat seperti genangan air, got terbuka, kolam, empang
ikan dan selokan yang kotor. Pada penelitian terbukti bahwa
selokan yang tersumbat merupakan tempat yang paling ideal
untuk perkembangbiakan nyamuk Cx. Quinquefasciatus
(Muslim, 2005). Genangan air yang kotor seperti air limbah
rumah tangga merupakan tempat yang baik sekali bagi
perkembangbiakan nyamuk Cx. quinquefasciatus karena pada
tempat-tempat tersebut nyamuk Cx. quinquefasciatus mudah
mendapatkan nutrisi dan bahan organik untuk perkembangan
larva nyamuk.
2) Perilaku Makan
Nyamuk Cx. quinquefasciatus bersifat antropofilik dan zoofilik
artinya menyukai darah manusia dan menghisap darah hewan
vertebrata berdarah panas sebagai bahan makanannya. Nyamuk
Cx. quinquefasciatus mengigit pada malam hari dan biasanya
berdiam diri di dalam ruangan sebelum dan sesudah mengigit.
Nyamuk Cx. quinquefasciatus suka menggigit manusia dan
hewan terutama pada malam saat matahari terbenam Cx.
quinquefasciatus menggigit beberapa jam setelah matahari
terbenam sampai sebelum matahari terbit. Aktivitas puncak
menggigit nyamuk ini adalah pada pukul 01.00-02.00 (Prince
28
PW, 2003). Pola menggigit nyamuk Cx. quinquefasciatus di
dalam dan di luar rumah. Pada penelitian yang dilakukan terbukti
bahwa fluktuasi menggigit Cx. quinquefasciatus di dalam dan di
luar rumah relatif sama.
3) Kesukaan beristirahat
Setelah menggigit orang atau hewan nyamuk akan beristirahat
selama 2-3 hari. Pada saat hinggap posisi tubuh nyamuk tidak
menukik tapi mendatar. Pada umumnya nyamuk Cx.
quinquefasciatus suka beristirahat dalam rumah yaitu di tempat
gelap dan lembab di gantungan baju dan di balik perabotan
rumah tangga yang berwarna gelap. Jika di luar rumah nyamuk
Cx. quinquefasciatus suka beristirahat pada kandang ternak
karena suhu kelembaban kandang ternak sangat cocok untuk
nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Prince PW, 2003).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes.
Hospes reservoir dan vektor filariasis yang ada di suatu daerah
endemis dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan.
Untuk pencegahan filariasis hingga sekarang hanya dilakukan dengan
menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapatkan infeksi diperlukan
gigitan nyamuk yang banyak (Gandahusada dkk, 2000 ). Perilaku
nyamuk sebagai vektor filariasis menentukan distribusi filariasis. Hasil
penelitian yang dilakukan Mardesni (2006) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara konstruksi rumah yaitu plafon dengan
kejadian filariasis. Namun pada hasil penelitian Rahayu (2005)
diketahui bahwa tidak ada hubungan bermakna antara plafon dengan
filariasis.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan
mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah
29
daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang
ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan
(urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari
vektor yaitu nyamuk Cx. quinquefasciatus. Secara umum lingkungan
dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan
lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI, 2008)
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan
geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya.
Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga
berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis.
Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan
peristirahatan nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Prince PW, 2003).
1) Temperatur Udara
Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan telur Culex
quinquefasciatus sampai dewasa berkisar 25-30OC, pada suhu ini
perkembangan Cx. quinquefasciatus menjadi lebih cepat yaitu
dari waktu normal 10 menjadi 7 hari untuk perkembangan telur
hingga dewasa. Hal ini akan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan serta meningkatkan kegiatan reproduksi dan
akhirnya akan meningkatkan populasi nyamuk. Sebaliknya pada
suhu yang rendah metabolisme akan turun atau berhenti sama
sekali. Pertumbuhan nyamuk Cx. quinquefasciatus berhenti sama
sekali bila suhu kurang dari 100
C atau lebih dari 400
C (Prince
PW, 2003).
2) Kelembaban Udara
Kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang,
kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat Cx.
Quinquefasciatus (Prince PW, 2003). Kelembaban udara akan
mempengaruhi metabolisme di dalam tubuh nyamuk demikian
30
juga lamanya waktu perkembangan nyamuk. Kelembaban udara
berpengaruh juga terhadap waktu penetasan telur karena semakin
tinggi kelembaban akan semakin cepat menetas. Demikian pula
waktu peletakkan telur Cx. quinquefasciatus meningkat bila
keadaan kelembaban udara juga meningkat.
Sistem pernapasan nyamuk Cx. quinquefasciatus menggunakan
pipa udara yang disebut trakhea dengan lubang-lubang pada
dinding tubuh nyamuk (spiracle). Adanya spiracle yang terbuka
lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya menyebabkan
terjadinya penguapan yang mengakibatkan keringnya cairan tubuh
Cx. quinquefasciatus saat kelembaban rendah. Selain itu,
kelembaban udara juga berpengaruh terhadap tingkat aktivitas
nyamuk Cx. quinquefasciatus. Kelembapan udara yang paling
ideal untuk nyamuk Cx. quinquefasciatus adalah 80%. Pada
kelembaban udara < 60 % umur nyamuk Cx. quinquefasciatus
akan menjadi pendek, nyamuk akan cepat lelah, kering dan cepat
mati (Prince PW, 2003)
3) Curah Hujan
Hujan dapat menambah jumlah tempat perkembangbiakan
nyamuk (breeding place) atau dapat pula menghilangkan tempat
perindukan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tempat
perindukan yang berupa genangan-genangan air akan meluap dan
akan menghanyutkan larva. Musim hujan akan menyebabkan
adanya genangan air, baik di selokan maupun di kolam-kolam
terbuka sehingga tempat tersebut sangat ideal digunakan Cx.
quinquefasciatus untuk berkembang biak (Magdalena H, 2005).
4) Arus Air
Pada umumnya nyamuk Cx. quinquefasciatus menyukai aliran air
yang statis sebagai tempat perindukannya. Penelitian
membuktikan adanya genangan air merupakan faktor risiko
kejadian filariasis.
31
5) Sinar Matahari
Sinar matahari memiliki pengaruh yang berbeda untuk tiap
spesies nyamuk. Nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih menyukai
tempat berkembang biak pada tempat yang kotor dan ada sinar
matahari. Tempat-tempat tersebut meliputi genangan air, got-got
terbuka dekat rumah dan kolam. Sedangkan untuk tempat istirahat
nyamuk Cx. quiquefasciatus adalah tempat gelap di dalam rumah.
6) Keberadaan Sawah dan Rawa
Nyamuk Cx. quinquefasciatus memilih tempat perindukan di air
tercemar dan terpapar sinar matahari langsung seperti air sawah.
Penelitian di Bangka Barat membuktikan bahwa keberadaan rawa
merupakan faktor risiko filariasis (Nasrin, 2008).
7) Keberadaan Kolam, Parit dan Genangan Air
Nyamuk Cx. quinquefasciatus berkembang biak pada tempat-
tempat yang kotor. Tempat-tempat seperti kolam, parit dan
genangan air merupakan tempat yang paling disukai oleh nyamuk
Cx. quinquefasciatus untuk meletakkan telurnya. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa keberadaan kolam, parit dan
genangan air merupakan faktor risiko terjadinya filariasis (Nasrin,
2008).
b. Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik dapat mempengaruhi populasi baik larva
maupun nyamuk dewasa. Lingkungan biologik yang dimaksud
seperti biota air baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan di dalam
tempat perindukan. Cx. quinquefasciatus menyukai tempat-tempat
yang ada sinar matahari sebagai tempat perkembangbiakan. Contoh
lingkungan biologik yang mendukung keberadaan nyamuk Cx.
quinquefasciatus adalah keberadaan semak-semak dan tanaman air
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala
timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan
mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu
32
keberadaan ternak merupakan faktor risiko penularan filariasis
karena kandang ternak dapat menjadi tempat peristirahatan nyamuk
Cx. quinqeufasciatus. Kandang ternak bersuhu cenderung hangat
sehingga disukai nyamuk Cx. Quinqeufasciatus (Depkes RI, 2008).
Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit
filariasis ini, selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu
dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan
menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau
bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari
tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Cx.
Quinqeufasciatus
c. Lingkungan Kimia
Dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar
garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.
sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya
berkisar antara 12 – 18% dan tidak dapat berkembang biak pada
kadar garam 40% ke atas, meskipun dibeberapa tempat di Sumatera
Utara An. sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar. An.
letifer dapat hidup ditempat yang asam.
d. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi dan kultur adalah lingkungan yang
timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk
perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk.
Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar
pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena
berkaitan dengan intensitas kontak vektor (bila vektornya menggigit
pada malam hari). Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi
daripada insidens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-
laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya
(Notoatmojo,1997)
33
I. Kerangka Teori
2.1. Skema Kerangka Teori Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis
Sumber: Widoyono (2008) dan Modifikasi Depkes RI (2008)
Kejadian
Filariasis
Faktor Lingkungan
Lingkungan Fisik : Temperatur Udara,
Kelembaban, Curah
Hujan, Arus Air, Sinar
Matahari, Sawah dan
Rawa, kolam, Parit, dan
Genangan Air
Lingkungan Biologi :Semak-semak dan
Tanaman Air,
Keberadaan Ternak
Lingkungan Kimia : Kadar Garam
Lingkungan Sosial, Ekonomi, Budaya
Faktor Agent :
Wucheria Brancofti
Burgai Malayi
Burgai Timori
Faktor Host
Manusia:Karakteristik Individu:
Umur, Jenis, Kelamin,
Imunitas, Ras,
Faktor Perilaku:
Pengetahuan, Sikap,
Tindakan
Nyamuk:Culex, Mamsonia,
Anopeles, Aedes, dan
Armigeres.
34
J. Kerangka Konsep
Variabel Independent
Karakteristik Individu
Umur
Jenis Kelamin
Faktor Perilaku
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Faktor Lingkungan
Keberadaan tempat berkembangbiak
vektor
Keberadaan tempat
istirahat vektor
Kejadian Filariasis
Variabel Dependent
2.2. Skema Kerangka Konsep Faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis
35
K. Variabel Penelitian
Variabel Bebas disini adalah faktor karakteristik individu berupa umur dan
jenis kelamin, faktor perilaku berupa pengetahuan, sikap, tindakan, faktor
lingkungan berupa keberadaan tempat isatirahat vektor dan keberadaan
tempat berkembangbiak vektor. Sedangkan untuk variabel terikat adalah
kejadian filariasis.
L. Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan
antara dua variabel atau lebih yang diuji secara empiris. Prinsip uji hipotesis
adalah melakukan perbandingan antara nilai sampel ( data hasil penelitian )
dengan nilai hipotesis (nilai populasi ) yang diajukan.
Dua jenis Hipotesis :
1. Hipotesis nol (Ho) adalah tadak ada hubungan antara variabel satu dengan
yang lain.
2. Hipotesis alternative (Ha) adalah yang menyatakan ada hubungan variabel
satu dengan yang lain.