bab ii profil hasan al-banna - abstrak.uns.ac.id · hasan al-banna dimulai dari sekolah tingkat...
TRANSCRIPT
20
BAB II
PROFIL HASAN AL-BANNA
Pembaharuan dalam Islam pada dasarnya tidak dapat terlepas dari
pengaruh dunia lainnya, terutama Barat. Hal ini ditandai dengan krisisnya
kepemimpinan di dunia Islam bersamaan dengan melemahnya institusi Khilafah
Islamiyyah Turki Utsmani pada tahun 1920-an. Sementara di sisi lain, kemajuan
yang terjadi di Barat kemudian selanjutnya membawa pengaruh atas dunia Islam
dengan adanya fenomena rasionalisme, nasionalisme, liberalisasi-modernisasi
budaya, westernisasi-sekulerisasi institusi termasuk institusi agama dan paham-
paham lainnya.
Sebagaimana di Barat, pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam juga timbul dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan modernisasi (Rusli,
2014: 185). Khususnya di Mesir, beriringan dengan jatuhnya institusi Khilafah
Turki Utsmani, gelombang modernisasi melanda wilayah Mesir. Buku-buku dan
jurnal-jurnal barat diterjemahkan, pemikiran-pemikiran Barat mulai disoroti dan
dikaji, bahkan untuk beberapa kasus sosial-politik, fenomena budaya, dan trend
kebiasaan Barat menggantikan budaya dan kebiasaan Timur (Ashori, 2008: 11).
Di bawah bayang-bayang “liberalisasi, modernisasi, westernisasi, dan
sekulerisasi”. Hasan Al-Banna muncul dengan pemikiran revivalis (kebangkitan
agama) dan puritanis (pemurnian agama) yang menghendaki kembalinya kejayaan
Khilafah Islamiyyah di masa lalu ( 2008: 11). Tampilan Hasan Al-Banna sebagai
salah satu tokoh pembaharu ini juga tidak terlepas dari gerakan pembaharu
sebelumnya. Meskipun para tokoh pendahulunya tidak meninggalkan progam-
21
progam secara tertulis yang jelas dan bentuk gerakan atau institusi yang kongkret,
tetapi melalui ide-ide para pendahulunya telah mengilhami Hasan Al-Banna untuk
berjuang melalui Ikhwanul Muslimin di Mesir (Rusli, 2014: 185).
Dalam rangka mengkaji pemikiran tokoh lebih dalam, pada bab ini
dipaparkan deskripsi latar belakang tokoh yaitu Hasan Al-Banna, meliputi
berbagai aspek seperti biografi hidupnya, ideologi pemikirannya, dan gerakan
yang dibina olehnya.
A. Biografi Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna lahir pada 17 Oktober tahun 1906 M, di daerah
Mahmodin (Mahmudiyah) kota kecil dekat Iskandariyah, Provinsi Buhairah 90
ml sebelah Barat-Laut Kairo (Al-Jundi, 2003:10. Rusli, 2014: 186. Mitchell,
2005: 3). Nama lengkapnya Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna, ia
merupakan anak tertua dari lima bersaudara laki-laki (dakwatuna.com, 2008: 10.
Mitchell, 2005: 3).
Ayahnya bernama Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Banna,
merupakan seorang ulama yang ahli dalam ilmu hadits, aqidah, fiqh, dan nahwu,
sehingga ia menjadi guru dan imam di masjid Ma‟zoon sekaligus sebagai muadzin
di sana (Anshori, 2008: 12. Mitchell, 2005: 1). Ia juga memiliki sebuah
perpustakaan yang cukup besar (Al-Jundi, 2003:11). Selain sebagai imam dan
ulama besar, ayah Hasan Al-Banna berprofesi sebagai sebagai tukang reparasi jam
dan penjilidan buku sehingga ayahnya dikenal dengan julukan Asy-Syaikh As-
Sa‟ati (Al-Jundi, 2003:11. dakwatuna.com, 2008: 10). Ayahnya juga hidup
semasa dengan Muhammad Abduh ketika belajar di Al-Ahzar (Rusli, 2014: 186),
dan pernah mensyarahkan kitab hadits Musnad Ahmad bin Hambal, yang
22
dianggapnya sebagai ensiklopedi Sunnah Rasul Terbesar (Al-Jundi, 2003:24).
Sebagai seorang ayah, ia mencita-citakan Hasan Al-Banna menjadi seorang
mujahid di samping menjadi seorang mujtahid (Kholid, 1999: 252).
Masa kehidupan ayahnya tersebut, telah banyak dikembangkan konsep
dakwah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridla
melalui majalah Al-Manar. Setelah menetapnya muhammad Abduh di kota
Mahmudiyah Buhairah pada tahun 1906 M, kota Mahmudiyah menjadi pusat
kajian hukum hingga Hasan Al-Banna dilahirkan, yang beberapa tahun kemudian
ia juga ikut bergabung dalam kajian tersebut, dan menghasilkan konsep-konsep
general dengan mengkolaborasikan konsep fikih dan tasawuf. Hal ini
mempengaruhi Hasan Al-Banna dalam konsep dakwahnya yang bersifat global
dan universal. Konsep semacam inilah yang dianggap sebagai pembaharuan
pemikiran Islam (Al-Jundi, 2003:25).
Saat kanak-kanak, Hasan Al-Banna dibesarkan ditengah-tengah keluarga
yang taat beribadah, berpendidikan, kaya, dan terhormat. Meskipun begitu, ia di
masa kecil membiasakan diri dengan pola hidup zuhud, rajin bertahajud, berpuasa
senin-kamis, dan amalan-amalan yang wajib maupun yang sunnah. Ia didik oleh
langsung ayahnya secara disiplin karena pada logikanya sang ayah yang
merupakan seorang tukang arloji semestinya sangat menghargai waktu dan
kedisiplinan. Hal ini terbukti sejak kecil ia dituntut untuk menghafalkan Al-
Qur‟an.
Ayahnya memberikan pelajaran mengenai Al-Qur‟an, hadits, fiqh, bahasa,
dan tasawuf. Terlebih lagi ayahnya tersebut memiliki perpustakaan untuk
menanamkan motivasi belajar dan membaca kepada Hasan Al-Banna. Bahkan
23
tidak jarang ayahnya tersebut memberi beberapa hadiah buku. Buku-buku tersebut
memberinya pengaruh yang sangat berarti diantaranya seperti Al-Anwar Al-
Muhammadiyah karya An-Nabhani, Mukhtasar Al-Mawahib Al-Ladunniyyah
karya Qasthalani, dan Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursyalin karya Syaikh Al-
Khudri. Buku-buku yang dikoleksi menuntut untuk dibuatnya perpustakaan
khusus yang berisikan majalah-majalah dan buku-buku yang beraneka ragam
(2003: 41).
Keilmuan ayahnya dalam bidang hadits ini sangat mempengaruhi
perkembangan keagamaan Hasan Al-Banna. Melalui dominasi tradisi hadits
tersebut, Hasan Al-Banna menempa mental dan pemahamannya tentang Islam,
sehingga ketika dewasa ia berprinsip bahwa untuk membebaskan umat Islam dari
kemunduran akibat kolonial barat dan sekulerisme, umat Islam harus meneladani
dan meniru Nabi Muhammad dalam berbagai aspek kehidupan (Anshori, 2008:
12). Maka dari itu Hasan Al-Banna dikenal sebagai tarekat dan penganut mazhab
Hambali. Setelah anak-anak Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Banna
besar dan mulai mengeyam pendidikan, mereka pindah dari Mahmudiyah ke
Kairo, dan menetap di suatu daerah dekat Universitas Al-Azhar (2003:12).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan
keluarga dan didikan dari orang tua sangat berpengaruh dalam ideologi Hasan Al-
Banna. Melalui faktor inilah, Hasan Al-Banna memiliki pondasi ilmu yang kuat
terutama dalam ilmu agama. Hal tersebut secara tidak langsung membentuk
struktur kognitif dalam diri Hasan Al-Banna sebagai manusia yang religius dalam
berurusan dengan realitas sosial.
24
Saat menginjak umur 12 tahun, Hasan Al-Banna masuk sekolah dasar.
Semenjak itu, untuk pertama kalinya Hasan Al-Banna mengikuti sebuah
organisasi-organisasi keagamaan. Diantara yang membentuk karakternya adalah
organisasi ‚Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak‛ (Perhimpunan Akhlak Mulia) yang
bertujuan menghukum anggota-anggotanya atas setiap pelanggaran (Mitchell,
2005: 4).
Hasan Al-Banna pada masa Remaja aktif dalam organisasi dan aktif
belajar dalam pengkaderan organisasi, sewaktu sekolah keguruan di Madrasah Al-
Mu’alimin Al-Awaliyah, ia bersama teman-temannya mendirikan organisasi
Muhara>bah Al-Munkara>t (Organisasi Pemberantasan Kemungkaran) dan ia
menjadi komandannya. Kegundahannya terhadap kemaksiatan menyebabkan ia
bersama teman-temannya membuat organisasi Menolak Keharaman tersebut.
Aktivitas terpenting mereka adalah menulis dan mengirim surat-surat rahasia dan
bernada mengancam kepada orang-orang yang dipandang hidupnya melanggar
ajaran Islam (2005: 4). Aktivitas nyatanya seperti, mengingatkan umat Islam yang
melakukan dosa dan meninggalkan kewajiban Islam seperti shalat, puasa, dan
lain-lain. Hasan Al-Banna juga punya kegiatan yang dilakukannya ketika masih
kecil, yaitu membangun-bangunkan orang tidur dari rumah ke rumah untuk shalat
Subuh berjamaah di masjid (dakwatuna.com, 2008: 10). Organisasi ini ikut
menempa dan mengantarkan seorang Hasan Al-Banna menjadi tokoh terkemuka
(Ahshori, 2008: 13).
Lingkungan pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk suasana kota turut
membantu perkembangan Hasan Al Banna. Sehingga dalam usia yang masih
muda beliau sudah berhasil menghafal Al-Qur‟an pada saat usia 14 tahun. Beliau
25
di samping berguru pada ayahnya juga berguru pada ulama lain, sampai akhirnya
mengantarkan beliau belajar di Da>rul-‘Ulum Kairo.
Selama belajar di Da>rul-‘Ulum, Hasan Al-Bana merupakan mahasiswa
yang berprestasi. Ia juga telah menyusun tugas akhir sehingga meraih gelar
sarjana dengan predikat yang terbaik kelima dari seluruh pelajar Mesir (Al-Banna,
2006: 1). Setelah menyelesaikan studinya, ia ditugaskan oleh pemerintah sebagai
guru Madrasah di Provinsi Ismailiyyah. Ia memilih profesi guru karena ia melihat
bahwa para pendidik sumber cahaya yang menerangi masyarakat (Rusli, 2014:
186) .Pada saat itu, kondisi kota Ismailiyyah telah dikuasai dan terpengaruh oleh
Inggris (Anshori, 2008: 14). Saat itu bersamaan dengan kondisi Mesir khususnya
dan bangsa Arab pada umumnya mengalami berbagai peristiwa denotatis,
diantaranya runtuhnya institusi Khilafah Islamiyyah di Turki pada awal abad 20
M, dan peristiwa penjajahan kolonial Barat di daerah Timur Tengah, khusunya
kedudukan Inggris di Mesir, dan hijrahnya bangsa Zionisme di tanah Palestina.
Peristiwa tersebut menggugah rasa nasionalisme yang tinggi dalam benak Hasan
Al-Banna (Al-Jundi, 2003: 40).
Tiga pertentangan yang dihadapi Hasan Al-Banna menuntutnya untuk
mengambil jalan yang telah ia persiapkan sendiri. Tiga pertentangan yang
dimaksud adalah jatuhnya khilafah yang menjadi sistem pemerintahan Islam di
Turki, carut-marutnya ikatan persatuan Islam yang telah memberi peluang bagi
missionaris dan melipatgandakan ekpedisi, serta pengambil-alihan gerakan
nasionalisme yang berpihak pada hukum positif dan undang-undang liberal
sebagai akibat sikap latah pada Barat (2003: 65).
26
Hasan Al-Banna tidak bisa berdiam diri dengan kemerosotan bangsa Arab
saat itu. Ia mengadakan pertemuan pada Maret 1928 M, dengan keempat
temannya, Abdurrahman, Ahmad Al-Khudri, Zakki Al-Maghrib, dan Hafidz
„Abdul Hamid di kediamanya Ismailiyyah (2003: 48). Dalam pertemuan itu
membahas permasalahan bangsa Arab. Mereka melihat bahwa kebudayaan Mesir
telah merosot dan orang Islam tidak memiliki kedudukan dan kemuliaan.
Mereka berbaiat dan menyatakan diri sebagai “tentara (junu>d) dakwah
Islam”. Seorang diantara mereka mengusulkan sebuah nama resmi gerakan,
namun ditolak oleh Hasan Al-Banna dan ia berkata “Tidak perlu nama resmi,
yang terpenting adalah gagasan dan pemaknaanya” (Anshori, 2008: 16). Akhirnya
mereka memutuskan dan berikrar” kami bersaudara berdedikasi untuk
kepentingan Islam. Oleh karena itu, kami adalah Ikhwanul Muslimin (Rusli,
2014: 195).
Sejak baiat itu, seruan dakwah telah dikibarkan oleh Hasan Al-Banna dan
teman-temannya, mereka memulai dakwah tersebut di berbagai kedai-kedai
minuman. Mereka membidik orang-orang awan luar masjid. Meskipun begitu
dakwah tersebut mendapat respon yang baik dari masyarakat Mesir (Al-Jundi,
2003: 48). Pengikut Hasan Al-Banna semakin hari semakin bertambah banyak,
rasa simpati dan fanatik berdatangan mendukungnya. Sehingga ia memiliki
pengaruh yang cukup kuat di berbagai wilayah, terutama Ismailiyyah.
Ikhwanul Muslimin pada tahun 1933 M, berpindah dari Ismailiyyah
menuju Kairo. Saat itu gerakan Ikhwanul Muslimin mulai menerbitkan tabloid
atau buletin pada tiap mingguan Ikhwanul Muslimin, dengan Muhibuddin M.
Khathib sebagai pemimpin redaksinya. Lalu menyusul Al-Nadzir yang untuk
27
pertama kalinya terbit pada 1938 M, dan kemudian menyusul al-Syihab pada
tahun 1947 M. Melalui media-media tersebut, pemikiran Hasan Al-Banna dan
sepak terjang Ikhwanul Muslimin menjadi lebih dikenal tidak hanya oleh
masyarakat Mesir dan negeri Arab saja tetapi juga oleh dunia Islam secara luas
(Al-Anshori, 2008: 17).
Ikhwanul Muslim dalam perjalanan perjuangannya di Mesir pada akhirnya
mengalami beberapa hambatan dari pemerintahan Mesir sendiri, setelah
kekhawatiran pemerintah atas keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam agitasi dan
kekerasan, tepatnya pada tahun 1948, ketika pecah perang Palestina dan peran
Mesir yang mengecewakan. Klimaknya pada tanggal 8 Desember 1948, dengan
keluar perintah militer yang berisi pembubaran Ikhwanul Muslimin dan
cabangnya di mana saja, menutup pusat-pusat kegiatannya, dan berbagai dokumen
dan aset Ikhwanul Muslimin. Selain pembubaran, pemerintah juga melakukan
penangkapan dan penghalauan para pejuang dan tokoh-tokoh Ikhwan ke kamp-
kamp konsentrasi dan penjara (Kholid, 1999: 254-255).
Tahun 1941 M, sebenarnya Ikhwanul Muslimin membentuk tim formatur
untuk merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang pertama
bagi Ikhwanul Muslimin untuk menopang cita-cita Hasan Al-Banna menuju
terwujudnya Khilafah Islamiyyah (Al-Anshori, 2008: 17). Namun, perjuangan
Hasan Al-Banna berakhir pada 12 Februari 1949 M, ketika ia ditembak mati oleh
Kolonel Mahmud Abd Al-Majid atas perintah raja Faruq di sebuah jalan raya
Kairo (Rusli, 2014: 188).
28
1. Riwayat Pendidikan Hasan Al-Banna
Pendidikan yang dimaksud dalam sub bab ini adalah pendidikan formal
yang telah ditempuh oleh Hasan Al-Banna. Pendidikan semasa perjalanan hidup
Hasan Al-Banna dimulai dari sekolah tingkat dasar Al-Rasyad Al-Dinniyah
sekaligus sekolah persiapan di Mahmudiyah, kemudian ke tingkat yang lebih
tinggi yaitu di Madrasah Al-Mu’alimin Al-Awaliyah (sekolah keguruan) di
Damanhur, dan terakhir tingkat perguruan tinggi di Da>rul-’Ulum Kairo Mesir.
a. Madrasah Al-Rasyad Al-Dinniyah
Pendidikan formal yang ditempuh Hasan Al-Banna pertama kalinya di
sekolah Al-Rasyad Al-Dinniyah kemudian melanjutkan sekolah persiapan
yang berada di kota Mahmudiyah (Al-Jundi, 2003:13). Dalam masa ini,
kehidupan Hasan Al-Banna sangat dipengaruhi lingkungan rumah, sekolah,
dan masjid. Kehidupan tersebut dimulai dengan didikan langsung dari orang
tuanya yang menanamkan kedisiplinan dalam berilmu, beribadah, juga
beramal.
Selama di Mahmudiyah Hasan Al-Banna memiliki seorang guru
sekaligus sebagai figur sahabat yang bernama Syaikh Muhammad Zuhran,
pemilik sekolah Ar-Rasyad Ad-Dinniyah yang banyak disebut oleh Hasan
Al-Banna dalam buku catatan harianya, Mudzakarah. Melalui gurunya
inilah, Hasan Al-Banna sangat mencintai ilmu dan semangat belajar, ia juga
pandai dalam berkomunikasi, berorasi, dan mempengaruhi audien. Dari
dialah pula, Hasan Al-Banna memperoleh pemahaman atas hubungan
solidaritas yang kuat antara da’i dan orang-orang yang sejalan denganya
(2003:28).
29
Muhammad Abu Syausah, salah seorang guru lainya, yang telah
memberikan kesan dan pengaruh terhadapnya selama kehidupan di
Mahmudiyah. Karena Muhammad Abu Syausah sangat menaruh perhatian
yang dalam terhadap persoalan pendidikan dan pembentukan kader
pendakwah. Selain itu, gurunya tersebut juga mengedepankan toleransi antar
muslim terhadap berbagai khilafiyyah (perbedaan) dan menghindari
perpecahan kaum musim, sehingga dapat tercapainya persatuan. Dari situlah
Hasan Al-Banna, terinspirasi untuk berdakwah secara lemah-lembut tanpa
kekerasan dan tidak mudah untuk menjustifikasi suatu tarekat tertentu
(2003:30).
Masa ini untuk pertama kalinya Hasan Al-Banna mengenal dan
mengikuti organisasi. Organisasi yang paling menonjol dalam memberikan
pengaruh terhadap pemikirannya adalah ‚Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak‛
(Perhimpunan Akhlak Mulia) yang diketuai langsung olehnya (Mitchell,
2005: 4).
b. Madrasah Al-Mu’alimin Al-Alawiyah
Sekitar tahun 1920, ia meneruskan pendidikanya ke Madrasah Al-
Mu’alimin Al-Awaliyah (sekolah keguruan) di Damanhur dan menetap
disana (Al-Jundi, 2003:13). Ketika itu, ia telah hafal Al-Qur‟an 30 juz
sebelum berumur 14 tahun (Rusli, 2014:186). Di lingkungan Madrasah ini
ia bertemu dengan berbagai guru-guru besar, sehingga semakin membuka
wawasan dan paradigmanya dalam berfikir (Al-Jundi, 2003:13).
Abdul Fattah Abu A‟llam merupakan salah seorang guru Hasan Al-
Banna saat itu, yang selalu ia ingat dari gurunya tersebut adalah wasiat yang
30
diberikannya kepada Hasan Al-Banna. Wasiatnya tersebut menganjurkan
Hasan Al-Banna untuk selalu melakukan kajian yang mendalam, dan untuk
selalu memikirkan rahasia perundang-undangan Islam maupun sejarah
perkembangannya, juga sejarah madzhab dan terbentuknya kelompok-
kelompok (firqoh) serta thaifah merupakan kelompok yang lebih kecil lagi
(2003:32). Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran Hasan Al-Banna,
sekaligus menumbuhkan ambisi untuk membangun sebuah komunitas
ataupun gerakan yang pada akhirnya terwujud melalui Ikhwanul Muslimin.
Selain itu dalam fase ini, Hasan Al-Banna untuk pertama kalinya
menyaksikan majelis dzikir, karena begitu terkesan ia bergabung menjadi
anggota tarekat Al-Hishafiyah yang didirikan di oleh Abdul Wahhab Al-
Hasafy, melalui tarekat ini ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh sufi
tarekat tersebut. Ia bahkan menghabiskan waktunya di siang hari berada di
toko jam, sedangkan malam harinya berkumpul di tarekat Al-Hisyafiyah itu
(2003:13). Hasan Al-Banna mengikuti tarekat ini selama dua puluh tahun. Ia
tetap memegang teguh ajaran sufisme hingga menjadi pengikut majelis
dzikir yang taat dan menjadi kepercayaan para gurunya (Mitchell, 2005: 4).
Hasan Al-Banna sangat terkagum-kagum dengan majelis-majelis zikir
dan lantunan nasyid yang dilantukan secara berjamaah. Terlebih lagi, ia
bertemu dengan guru lamanya Syaikh Zuhran sehingga ia aktif melakukan
zikir di pagi dan petang hari. Jamaah Tarekat ini kemudian mendirikan
organisasi Al-Jama’iyyah Al-Hasyfiyyah Al-Khairiyah, dan Hasan Al-Banna
menjabat sebagai sekretarisnya. Organisasi ini kemudian diganti oleh Hasan
Al-Banna menjadi Ikhwanul Muslimin (Qomar Z.A. dalam Istadiyantha,
31
2006: 66. Al-Jundi, 2003: 13). Asosiasi ini bertujuan untuk berjuang
melindungi moralitas Islam, dan membendung kegiatan misionaris
Kristenisasi di kotanya (Mitchell, 2005: 5).
Ia juga sangat tekun mempelajari dunia tasawuf dan ibadah, ia banyak
mempelajari kitab-kitab besar seperti Ihya’ Ullumuddin milik Imam Ghazali,
Ushul Al-Awliya’, Al-Yaqut, Al-Jawahir, dan lain sebagainya. Ia juga
meneladani intisari keimanan, dzikir, dan ibadah. Meskipun begitu tidak
memepelajari tasawuf secara membabi buta, ia berusaha memehami tasawuf
sebagai wahana manajemen kepribadian dan sebuah metode pendidikan (Al-
Jundi, 2003:31).
Ia menjadikan Majalah-Majalah besar sebagai wahana diskusi, belajar,
dan mengkaji kitab-kitab besar, juga persoalan-persoalan yang dilematis dan
kontroversial. Diskusi seputar masalah thariqat, kewalian, dunia sufi, bid‟ah-
bid‟ah, dan permasalahan lainya yang menghangat. Kemudian, ia bersama
teman-temanya mendirikan organisasi Muhara>bah Al-Munkara>t (Organisasi
Pemberantasan Kemungkaran) dan ia menjadi komandannya. Organisasi ini
ikut menempa dan mengantarkan seorang Hasan Al-Banna menjadi tokoh
terkemuka (Ahshori, 2008: 13). Dalam pandangan Anshori tersebut ia
menilai bahwa melalui nama organisasi tersebut menampakan watak Hasan
Al-Banna yang radikal dalam merespon kebobrokan sosial yang ada.
Selama proses pembelajaranya di Madrasah Al-Mu’alimin ini, dia
merasa mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Karena pada masa ini dia
dapat menghafal banyak matan dari ilmu yang bermacam-macam, dan
semuanya itu ia lakukan di luar kurikulum pelajaran. Ia menghafal Milhah
32
Al-I’rab karya Al-Hariri, Alfiah li Ibnu Malik, Al-Bayquniyyah di bidang
hadits, Al-Jawaharah di bidang tauhid, Ar-Rahbiyyah di bidang pembagian
warisan, sebagian matan As-sullam di bidang mantiq, sebagian besar matan
Al-Quduryy di bidang fikih abu hanifah, matan Al-Ghayah wa At-Taqrib
karya Abu Syuja‟ di bidang fikih Syafi‟i, juga sebagian Mandzumah ibn
‘Asyir di bidang fikih Malik. Hal ini dilakukan Hasan Al-Banna sesuai
dengan arahan dari orang tuanya. Orang tuanya pernah berpesan bahwa:
“Barangsiapa menghafal banyak matan, ia akan menguasai banyak teknik.”
Pesan tersebut sangat diresapi oleh Hasan Al-Banna hingga dia berusaha
menghafal matan As-Syathibiyyah fiy Al-Qira’at, meskipun ia kesulitan
untuk memahaminya, akan tetapi dia benar-benar menghafal pengantar dan
sebagian isinya (Al-Jundi, 2003:42).
c. Da>rul-’Ulum
Selepas dari sekolah keguruan dalam umur 16 tahun, Hasan Al-Banna
melanjutkan studi di Da>rul-’Ulum Kairo. Ketika disitu, ia berkenalan dengan
Rasyid Ridla dan mulai belajar Tafsir Al-Manarnya Ridla, ia juga belajar
tentang slogan-slogan Muhammad Abduh seperti A’r-Ruju, ilai > Qur’an wal
Sunnah (Anshori, 2008: 13). Pada masa kuliah ini, perangkat-perangkat
intelektual dan kepedulian emosional Hasan Al-Banna mulai terbentuk dua
hal yang mempengaruhi pendidikannya selama ini adalah ilmu-ilmu Islam
klasik dan kedisiplinan emosional sufisme (Mitchell, 2005: 6).
Hasan Al-Banna merupakan mahasiswa berprestasi ketika ujian akhir,
ia telah melengkapi hafalan Al-Qur‟an 30 juz dan hafalan 18.000 bait syair
hikmah Arab dan juga prosa sebagai persyaratan kelulusannya (Ansori, 2008:
33
13. Al-Banna, 2006: 1), dan menyusun karya tulis ilmiah hingga mendapat
gelar kesarjanaan dengan gelar terbaik dengan peringkat kelima dari seluruh
pelajar Mesir (Al-Banna, 2006: 1). Di dalam karya tulis itulah Hasan Al-
Banna memaparkan dengan jelas bahwa ia mempersiapkan diri dan beberapa
pemuda yang bergabung bersamanya untuk melindungi dan menjaga agama
Islam (Al-Jundi, 2003:31).
Hal tersebut diungkapkan Hasan Al-Banna karena pada masa itu
banyak peristiwa denotatis, diantaranya terjadinya revolusi tahun 1919 M, ia
telah menyaksikan penjajahan masyarakat Mesir oleh ekspansi militer
kolonial Barat. Sebagai mahasiswa ia ikut berpartisipasi dalam demontrasi
yang meletus di dalam lingkungan kampus maupun luar kampus (Mitchell,
2005: 5).
Berbagai peristiwa itu membuat jiwa nasionalisme Hasan Al-Banna
timbul dalam benaknya. Walaupun demikian, menurutnya persoalan tersebut
tidak sekedar masalah invansi Inggris terhadap Mesir akan tetapi merupakan
upaya Barat untuk merebut kekuasaan atas dunia Arab (red: Islam).
Menurutnya, apa yang terjadi bukan semata penjajahan fisik, melainkan
upaya penguasaan umat Islam agar jauh dari nilai-nilai ajaran syariat Islam
dan terpengaruh pemikiran-pemikiran kolonial Barat (Al-Jundi, 2003:39).
Sehingga, jiwa nasionalisme yang tumbuh pada Hasan Al-Banna tidak hanya
semata cinta tanah air, namun juga cinta terhadap agamanya (red: Islam) yang
sudah membudaya di negeri Mesir.
Melihat fenomena tersebut, Hasan Al-Banna beranggapan bahwa umat
Islam tidak akan mungkin berada di bawah cengkraman imperialisme dan
34
kolonialisme maupun ekspansi militer Barat, jika mereka tetap berpegang
teguh kepada pedoman Islam. Dengung nasionalisme umumnya pada saat itu
menurut pandangan Hasan Al-Banna bergerak dalam bingkai pemikiran
kebarat-baratan yang mencari kemerdekaan dan kebebasan dengan cara-cara
demokrasi ala Barat. Menurutnya, dengan begitu tanpa disadari telah menjadi
pendukung terbesar tertanamnya invasi Barat.
Ketika kolonialisme berhasil menumbangkan khilafah Islam tahun 1926
M, Hasan Al-Banna merasa rencana-rencana penjajahan telah jauh memasuki
kedalam umat Islam Timur Tengah. Ia juga mengetahui akan terjadinya
konflik di Palestina seiring hijrahnya Zionisme di sana dan mengintai Baitul
Maqdis. Kolonial Inggris berhasil menjajah Mesir, Sudan, dan Irak.
Sedangkan Perancis menguasai Suria, Lebanon, Maroko, dan daerah sekitar,
termasuk Tunisia, Al-Jazair, dan Marakisy. Dalam keyakinan Hasan Al-
Banna bahwa apa yang mereka sebut dengan gerakan nasionalisme bukanlah
cara yang tepat. Partai-partai yang ada merespon baik bahwa setiap yang
langkah dan tindakan yang akan diambil harus dijustifikasi dan mendapat
legitimasi pihak Kolonial Barat. Orang-orang partai saat itu menurutnya
bergerak di bawah bayang-bayang Barat. Pengaruh tersebut telah tersebar ke
beberapa sekolah, perbankan, perundang-undangan, dan masyarakat.
Peraturan yang diklaim demokratis ala Barat diterapkan dengan sistem yang
berlaku di Barat, baik dalam politik maupun hukum. Pada saat bersamaan
juga menghalangi umat Islam dan masyarakat Mesir khususnya, untuk
kembali kepada sistem agama dan budaya mereka (2003: 40).
35
Terlebih lagi posisi Al-Azhar dan para ulama dalam hal tersebut sangat
lemah. Kekuatan Islam baru bisa digalang dan disatukan dalam wadah
bernama Asy-syubban Al-Muslimin (jamaah-jamaah lain). Akan tetapi Hasan
Al-Banna bermaksud menghadapi masalah tersebut dengan sistem yang
berbeda. Ia memulainya dengan wacana persatuan umat Islam yang disebut
Al-Jam’iyyat Al-Islammiyyah, tetapi untuk tahap pertama ia kosentrasikan
pada bidang sejarah gerakan kebangkitan Islam melalui dimesi pendidikan
Islam, juga pembangunan pemuda dan penggalangan kekuatan. Semua itu
menjadi gagasan universal yang diharapkan bisa merealisasikam misi dan
tujuan Islam sesuai cara-cara yang di benarkan agama (red: cara yang
diyakini). Adapun dari sisi peradaban dan pemikiran yang dapat
menkonsolidasikan pemikiran ini, Hasan Al-Banna memperbanyak membaca
dan berupaya menuntut ilmu dan belajar di luar batas-batas kurikulum
sekolah (2003: 41).
Setelah menyelesaikan studinya di usia 21 tahun, Hasan Al-Banna di
tugaskan oleh pemerintah untuk menjadi guru Madrasah di daerah
Ismailiyyah. Di wilayah ini pengaruh dari Inggris tampak sangat dominan,
sehingga gaya kehidupan di wilayah Ismailiyah hampir semuanya bercorak
Barat layaknya Eropa (Anshori, 2008: 14). Mulai dari makanan, fashion,
pergaulan bebas, dekandesi moral, bahkan mata pencaharian masyarakat
Ismailiyyah sebagai pekerja Terusan Suez milik koloni Inggris. Sehingga
wilayah Ismailiyyah disebut-sebut sebagai kota yang Eropa di Mesir (2008:
7).
36
Koloni Inggris di Suez, dalam pandangan Hasan Al-Banna telah
merenggut kebebasan pribumi Arab dan memandang hina masyarakatnya. Ia
menyaksikan para pekerja Arab berubah tampak berwajah merah, berambut
pirang meniru budaya Eropa dan melupakan identitas budaya Timur (red:
Islam, Arab). Ia beranggapan bahwa Inggris dan juga Barat berusaha secara
sistematis melemahkan kekuatan Islam dengan menyebarkan faham
sekulerisme dan kristenisasi atas dunia Islam, termasuk Mesir dan negeri-
negeri Islam lainnya. Maka dalam rangka merespon kondisi tersebut, Hasan
Al-Banna melakukan konsolidasi baik melalui media maupun mendatangi
berbagai tempat seperti masjid dan warung-warung untuk menyerukan
melawan kolonial Barat sehingga terbetuklah Ikhwanul Muslimin pada tahun
1347 H/ 1928 M.
Menurut hemat penulis, jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh
Hasan Al-Banna menjadi modal dalam memperkaya pola pikirnya. Hal tersebut
dapat diliat dari didikan awal orang tuanya yang sangat dominan dengan ajaran
salafi yang menolak ajaran tasawuf, akan tetapi setelah Hasan Al-Banna
menempuh pendidikan formal di tingkat Madrasah Al-Mu’alimin Al-Alawiyah
menjadikan ia sebagai pribadi yang objektif karena menurutnya tidak semua
ajaran tasawuf itu sesat. Terlebih lagi setelah ia menempuh pendidikan di tingkat
Da>rul-’Ulum menjadikan ia sebagai sosok modern dalam menghadapi realitas
sosial, ia juga tidak menolak modernisasi yang dibawa oleh Barat. Akan tetapi ia
tidak melepas sepenuhnya ajaran salafi dalam pemikirannya, sehingga para ahli
menyebutnya dengan neo-salafi.
37
2. Perjalanan Hasan Al-Banna Bersama Ikhwanul Muslimin
Hasan Al-Banna telah menyelesaikan studinya dengan prestasi yang
sangat baik. Ia kemudian ditugaskan sebagai guru Madrasah oleh pemerintah di
daerah Ismailiyyah. Dimana di provinsi itu, pengaruh Inggris sangat dominan
terlebih lagi dengan adanya markas besar perusahaan Suez dan dikelilingi kamp
dan instalasi militer tentara koloni Inggris. Berbagai gaya hidup, budaya dan
tradisi Barat sangat nampak di sana, sehingga kota Ismailiyyah ini menjadi kota
yang paling berpenampilan seperti Eropa dibandingkan kota-kota lainnya di Mesir
(Anshori, 2008: 7).
Peristiwa tersebut, membuat Hasan Al-Banna merasa Barat telah
menghancurkan peradaban Arab dan umat Islam di Timur. Barat telah menyebar
virus-virus pemikiran liberal dan sekuler di kalangan umat Islam membuat mereka
jauh dari nilai dan budaya Islam. Hal ini menggerakan rasa nasionalime yang
tinggi dalam jiwa Hasan Al-Banna. Namun, ia mengklaim bahwa rasa
nasonalismenya tersebut berdasarkan keyakinan terhadap agamanya (red: Islam).
Ia juga tidak membenarkan nasionalisme dari kalangan partai-partai sekuler yang
memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan di Mesir. Menurut pandanganya
dengan pemikiran nasionalisme secara demokratis Barat sama saja bangsa Mesir
masih terjajah oleh ideologi Barat. Apalagi sistem dan peraturan partai-partai di
Mesir saat itu harus mendapatkan persetujuan dan legitimasi Barat.
Ia merespon kondisi Mesir dan bangsa Arab pada saat itu dengan
melakukan seruan dengan gerakan dakwah di pelbagai tempat. Ia meyakini bahwa
tidak ada peraturan dan ajaran yang menjamin kebahagiaan manusia dan
memberikan arahan kepada mereka akan jalan praktis untuk mencapai
38
kebahagiaan yang dimaksud, melebihi ajaran Islam. Maka, ia telah menentukan
tujuan hidupnya untuk menunjukan Islam kepada berbagai kalangan masyarakat
Mesir dan umat manusia menurut konsep yang sebenar-benarnya (red: syariat
Islam) dan bersifat amaliyah (tindakan nyata). Oleh karena itu pusat pemikiran
Ikhwanul Muslimin terkait dengan Islam (Al-Jundi, 2003: 48).
Ide dan gagasan itu selalu berkecambuk dalam jiwa Al-Banna terkadang ia
juga mengutarakannya kepada beberapa orang di sekitarnya. Jika ada kesempatan
ia selalu berdakwah untuk mengoptimalkan upaya dan semangat menyelamatkan
umat manusia dengan mengajak mereka kepada islam. Berbagai peristiwa di
Mesir dan beberapa negara Islam Timur Tengah, membuat hati Hasan Al-Banna
terusik untuk melakukan tindakan dalam melakukan perbaikan. Namun ia merasa
belum mendapatkan atensi yang diperlukan untuk mengatur upaya-upaya praktis.
Beruntung gagasan Hasan Al-Banna disambut dan direspon oleh Ahmad Basya
Taimour. Menurutnya Ahmad Basya memiliki semangat yang tinggi dan yang
terutama cara berfikir yang matang, pengertian yang penuh, dan kehati-hatian
dalam berbuat (2003: 48).
Respon untuk segera mengambil tindakan juga didapatkan Hasan Al-
Banna dari kawan-kawannya yaitu, As-Sukari, „Askariyyah, Muhammad Abdul
Hamid, dan lainnya. Semuanya sepakat untuk berbuat sesuai dengan tujuan dan
misi yang diinginkan bersama, yaitu merubah tradisi, budaya, dan kebiasaan umat
secara umum untuk kembali kepada syariat dan hukum Islam yang benar sesuai
keyakinan mereka (2003: 48).
Sekitar bulan Maret 1928 M/ 1347 H, akhirnya ide dan pemikiran Hasan
al-Banna terealisasikan dengan beridirinya “Ikhwanul Muslimin” disaat usianya
39
masih 22 tahun. Gerakan tersebut merupakan hasil dari pertemuan Hasan Al-
Banna bersama empat temannya yaitu, Abdurrahman yang berprofesi sebagai
sopir, Ahmad Al-Khudri sebagai tukang cukur, Zakki Al-Maghribi sebagai
penjahit, dan Hafidz „Abdul Hamid sebagai tukang kayu (2003: 48). Mereka
berkumpul untuk membahas kemajuan umat Islam, mereka melihat bahwa
kebudayaan Mesir telah merosot dan orang Islam tidak mempunyai kedudukan
serta kemuliaan. Akhirnya mereka memutuskan untuk berikrar “kami bersaudara
berdedikasi untuk kepentingan Islam oleh karena itu, kami adalah Al-Ikhwan Al-
Muslimin” (Rusli, 2014: 195)
Pembahasan mengenai perjalanan Hasan Al-Banna dalam
memperjuangkan Ikhwanul Muslimin, akan dipaparkan berdasarkan beberapa
periode, diantaranya;
a. Periode Pembentukan (1928-1936 M)
Ketika periode pembentukan ini, baik ketika masih di Ismailiyyah
maupun kepindahanya di Kairo pada 1993 M, aktivitas gerakan ini masih
berupa dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Ikhwan dengan dipimpin
oleh Hasan Al-Banna tidak kenal lelah membangun dan membina kehidupan
agama masyarakat (2014: 197).
Metodologi dakwah yang digunakan Hasan Al-Banna terbilang sangat
unik. Karena dakwah tersebut tidak dimulai dari masjid ke masjid maupun
majelis ilmu, akan tetapi ia membidik masyarakat awam sehingga ia
memulai dari satu kedai kopi satu ke kedai kopi yang lainnya. Semula
pemilik kedai menanggapi dengan sinis perjuangan Hasan Al-Banna dan
40
kawan-kawanya, namun dengan berjalannya waktu dakwah tersebut
direspon dengan sangat baik (Al-Jundi, 2003: 50-51).
Di Ismailiyyah, Ikhwanul Muslimin mengambil rumah tua sebagai
kantor seketariat. Kemudian diiringi dengan pembangunan masjid, sekolah
khusus putra dan putri, klub, dan berbagai industri rumah tangga yang
bertujuan sebagai pusat kegiatan masyarakat (Mitchell, 2005: 14).
Konflik internal Ikhwanul Muslimin yang tercatat dalam periode
kepemimpinan Hasan Al-Banna adalah ketika tuntutan untuk memilih wakil
penggati Hasan Al-Banna di Ismailiyyah. Sebelumnya Hasan Al-Banna
telah diminta memilih calon kandidat penggantinya, setelah dimufakati
pihak oposisi menentang keputusan. Sehingga diadakan penilihan ulang
meskipun hasilnya jatuh kepada kandidat yang dicalonkan Hasan Al-Banna
tersebut (Mitchell, 2005: 15).
Setelah dua tahun, perjuangan Ikhwanul Muslimin sudah menampakkan
hasilnya, di mana terbentuknya cabang di Abu Shuwair, Port Said, dan Al-
Balaah. Setelah tiga tahun perjalanan terbentuk cabang lain di Suez. Ketika
memasuki tahun keempat, sepuluh cabang lainnya dapat terbentuk. Saat
memasuki tahun kelima Hasan Al-Banna menerima surat mutasi ke Kairo,
dengan otomatis markas Ikhwanul Muslimin dari Ismailiyyah berpindah ke
Kairo tahun1933 M. Waktu itu, Ikhwanul Muslimin menjalin hubungan
dengan Asosiasi kebudayaan Islam yang kemudian melebur menjadi satu
dengan Ikhwanul Muslimin dan membentuk cabang pertama di Kairo.
Kemudian dakwah Ikhwanul Muslimin juga tersebar di lima puluh kota di
Mesir diakhir tahun.(Mitchell, 2005: 15. Syamakh, 2011: xiii-xiv).
41
Ikhwan berusaha meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam bidang
sosial kemasyarakatan seperti memperbaiki lahan pertanian, menolong fakir-
miskin, menangani penerangan pedesaan bahkan mengelola hasil-hasil
zakat. Ikhwan masjid-masjid, klinik-klinik kesehatan, mengikutsertakan
kaum wanita dalam berbagai kegiatan organisasi. Ikhwan juga ikut ambil
dalam kegiatan ekonomi Mesir, mereka mendirikan perusahaan dagang dan
bangunan. Dari kegiatan ekonomi inilah menjadi sumber finansial bagi
organisasi Ikhwanul Muslimin.
Berawal dari perpindahan markas Ikhwanul Muslimin ke Kairo. Hasan
Al-Banna mengambangkan gerakan dakwahnya dengan memanfaatkan pers
dan jurnalistik, baik berupa pamflet, surat kabar, maupun majalah. Melalui
media tersebut mereka menjalankan tujuan gerakan, yaitu sebagai berikut:
1) Penjelasan ajaran-ajaran Islam, kehadiran Islam yang universal serasi
dengan zaman modern dan agama Islam merupakan sistem paling
terpilih dalam masyarakat.
2) Klarifikasi atas berbagai tuduhan yang dilayangkan kepada Ikhwanul
Muslimin.
3) Menggalang persatuan di kalangan Islam.
4) Mendemostrasikan kepada masyarakat bahwa Islam tidak mempunyai
perselisihan dengan agama manapun.
5) Menunjukan jalan menuju Islam.
Aktivitas Ikhwanul Muslimin dalam berbagai bidang ini sangat menarik
perhatian masyarakat luas. Sehingga di akhir tahun 40-an cabang Ikhwanul
42
Muslimin di Mesir telah mencapai 3000 cabang, tiap cabang memiliki
anggota yang cukup banyak (Rusli, 2014: 199).
b. Periode Aktivitas Politik (1936-1948 M)
Perkembangan Ikhwanul Muslimin yang cukup pesat dengan anggota
yang sangat banyak dan juga kondisi Mesir tidak mengguntungkan berada di
bawah koloni Inggris, melatarbelakangi Ikhwanul Muslimin untuk memasuki
ranah politik pada tahun ke 30-an.
Ikhwanul Muslimin dalam kurun waktu 1932-1938 M telah
mengadakan muktamar nasional secara berskala untuk membahas berbagai
progam. Munas I (1933 M), membahas problem kristenisasi dengan
mengirim sepucuk surat kepada Raja Faruq agar mengontrol missionaris
asing. Munas II (1934 M), membahas propaganda penyebarluasaan dan
pengajaran Ikhwanul Muslimin. Munas III (1935 M), diselenggarakan
sebagai respon bertambahnya jumlah anggota Ikhwanul Muslimin. Munas ke
IV (1937 M), diadakan untuk memperingati penobatan Raja Faruq. Dan
Munas V (1939 M), diadakan untuk memperingati dies natalis yang ke
sepuluh. Munas V inilah mengahasilkan fondasi ideologi Ikhwanul
Muslimin. Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa Ikhwanul Muslimin
mencakup semua kategori reformasi sebagai pembawa pesan Salafiyyah,
Sunni, Sufi, organisasi politik, kelompok olahraga, persatuan kebudayaan-
pendidikan, perusahaan ekonomi dan ide-ide sosial (Mitchell, 2005: 19-21).
Juga melalui Munas V inilah mendefinisikan gerakan Ikhwanul Muslimin
sebagai organisasi politik. Gerakan ke arah aktivisme politik tidak saja
43
kesadaran yang meningkat akan kekuatan Ikhwanul Muslimin secara
Organisasi, tetapi juga dengan tren-tren situasi politik di Mesir (2005: 23).
Langkah awal yang ditempuh Hasan Al-Banna dalam menuju ranah
politik adalah dengan cara berkirim surat, pidato, ceramah atau menulis
berbagai artikel di surat kabar maupun majalah. Isi surat-surat tersebut adalah
seruan untuk melakukan perbaikan internal atas dasar sistem Islam, yang
dikayakini Hasan Al-Banna mampu menjamin keselamatan dunia dari
berbagai bentuk kebodohan, penyakit, dan dekadensi (Syamakh, 2011: xiv).
Misalnya pada tahun 1936 M, Hasan Al-Banna mengalamatkan
pidatonya pada Raja Faruq dan Mustafa An-Nahas (Perdana Menteri) berserta
raja-raja negeri Islam lainya. Ia menyeru untuk mengikuti jalan Islam,
menaati hukum, tata tertib, dan peradabannya. Hasan Al-Banna juga
mengirimkan 50 pasal untuk proyek pembaharuan menyeluruh dari berbagai
aspek kehidupan. Akan tetapi para penguasa tersebut tidak tergerak dengan
seruan Al-Banna tersebut (Rusli, 2014: 199-200).
Situasi politik Mesir telah didominasi oleh Raja Faruq. Ia dinobatkan
menjadi raja pada tahun 1937 M. Dalam penobatan tersebut Ikhwanul
Muslimin memliki peran penting sebagai pasukan pemandu dan pengaman.
Raja Faruq sangat dekat dan dipengaruhi oleh Mustafa Al-Maraghi (rektor
Al-Ahzar) dan Ali Mahir Pasha yang keduanya merupakan musuh bebuyutan
partai Wafd. Kombinasi mereka dengan pan-Arab bahkan Islam
memenangkan dukungan dari Ikhwanul Muslimin dalam menyeimbangi
partai Wafd. Di samping itu aktivitas Ikwhwanul Muslimin atas palestina
membuat Maraghi dan Mahir terkesan. Hubungan mereka terjalin akrab, hal
44
tersebut terlihat ketika massa Ikhwanul Muslimin menyambut kembalinya
Mahir ke Mesir setelah menjadi delegasi perundingan Meja Bundar London
tentang Palestina tahun1939 M.
Hubungan Mahir dengan Ikhwanul Muslimin semakin bertambah
penting pada tahun-tahun pertama Perang Dunia II. Namun, ada beberapa
pembelot dalam internal Ikhwanul Muslimin yang tidak puas demgam
hubungan tersebut yang akhirnya membentuk Jam’iya>h Syaba>b Syayyidina
Muhammad pada tahun 1939 M. Penyebrangan para pembelot ini meragukan
dana untuk palestina yang dikembangkan untuk kepentingan Ikhwanul
Muslimin, keterlibatatan Hasan Al-Banna dengan Al-Mahir dalam segala
bentuk aliansi politik kekuasaan Mesir, dan langkah Ikhwanul Muslimin yang
mencampurkan misi penyelamatan moral Mesir dengan pertimbangan politik.
Meskipun cukup merepotkan Hasan Al-Bana, pembelotan tersebut tidak
menghalangi kemajuan gerakan Ikhwanul Muslimin (Mitchell, 2005: 24-27).
Sejak awal Perang Dunia II, tepatnya pada Agustus 1939 M, Perdana
Menteri Muhammad Mahmud Pasya mengundurkan diri karena alasan
kesehatan sehingga Ali Mahir diangkat Raja untuk membentuk kabinet.
Pemerintah pada saat itu menyatakan loyalitas pada pemerintah Inggris dan
memutuskan diplomasi pada Jerman (2005: 27).
Menanggapi hal itu, Ikhwanul Muslimin mengirim surat kepada Ali
Mahir pada saat pecahnya perang. mereka menyampaikan dukungannya
terhadap netralitas Mesir dalam Perang dan pembatasan bantuan Mesir
kepada Inggris. Selain itu dalam tampilan luarnya Ikhwanul Muslimin
melanjutkan penerbitan pemikiran-pemikirannya, ia juga mengambil bagian-
45
bagian aktif dalam perlawanan nasional melawan Inggris dan penolakan
untuk terlibat perang (2005: 31).
Ali Mahir mengundurkan diri sebagai perdana Menteri karena konflik
dengan otoritas Inggris dan digantikan oleh Ahmad Hasanain Pasha yang
memulai pemerintahannya pada 27 Juni 1940, namun berakhir saat ia
meninggal pada bulan November (2005: 29). Kemudian pemerintahan
dipegang oleh Husain Sirri Pasha. Di bawah rezim ini intimidasi dan tekanan
Inggris sangat kuat. Ikhwanul Muslimin terus berupaya menyabarkan
pemikiran nasionalisme anti Inggris. Sehingga, Inggris menanggapi serius
perlawan Hasan Al-Banna dengan memblokir seluruh akses penerbitan
Ikhwanul Muslimin dan ancaman membahayakan kedudukannya. Pemerintah
saat itu melakukan operasi menggelandang para pemimpin Ikhwanul
Muslimin, yang menyebabkan kepindahan Hasan Al-Banna ke Mesir Selatan
(Al-Jundi, 2003: 178). Husain Sirri memberikan kebijakan dengan
menyetujui kepindahan Hasan Al-Banna tersebut dengan dasar Hasan Al-
Banna adalah pegawai negeri Kementrian Pendidikan. Hal tersebut
dimanfaatkan oleh partai Wafd untuk mempermalukan pemerintahan
(Mitchell, 2005: 32). Dengan kata lain, Hasan Al-Banna dibiarkan dibawah
kencaman parlemen. Namun setelah diketahui adanya sebuah pertemuan
untuk mengutuk Inggris, Hasan Al-Banna ditahan di penjara Az-Zaitun,
kemudian dibebaskan lagi karena menghidari kemarahan kader Ikhwanul
Muslimin (Al-Jundi, 2003: 178).
Hingga pada masa pemerintahan tersebut, Inggris mengeluh pada raja
Faruq dan menyuruhnya untuk memanggil Mustafa An-Nahas Pasya, ketua
46
partai Wafd, untuk membentuk pemerintahan. Saat raja mencoba melakukan
perlawanan, istana kerajaan dikempung tentara Inggris sehingga ia menyerah
dan kabinet Nahas Pasha dibentuk. Akhirnya pemerintahan partai Wafd
memegang kekuasaan sampai hampir berakhirnya perang dan berhasil
melaksanakan harapan Inggris (Mitchell, 2005: 29-31). Pemerintah mengajak
seluruh elemen untuk mengadakan dewan yang baru dengan pemilu Dalam
kabinet ini. Ketika Munas VI Ikhwanul Muslimin (1941 M), juga telah
memutuskan untuk mencalonkan Hasan Al-Banna menjadi kandidat distrik
Ismailiyyah. Namun Mustafa An-Nahas meminta Hasan Al-Banna untuk
mengundurkan diri. Tanpa banyak berdebat Hasan Al-Banna menerima
permintaan tersebut dengan syarat pembebasan Ikhwanul Muslimin dan
pelarangan minuman keras (2005: 38).
Korupsi dan konflik internal dalam kabinet ini menyebabkan
berakhirnya kekuasaan kabinet Nahas pada Oktober 1944. Sehingga pada
tanggal 9 Oktober 1944 pemerintahan istana memilih Ahmad Mahir ketua
partai Sa‟di untuk membentuk pemerintahan baru. Sejak itu hingga tahun
hingga pemilu 1950, Mesir diperintah oleh kalangan independen dan partai
Sa‟di. Yang merefleksikan kembalinya istana kekancah politik domestik dan
kesuksesan istana mengelauarkan Wafd dari kekuasaan. Situasi ini juga
menjanjikan Mesir pasca-Perang Dunia II, menghadapi problem internal dan
eksternal yang kritis (2005: 46).
Ahmad Mahir segera persiapan untuk pemilu, di mana orang-orang
Ikhwanul Muslimin juga bersiap-siap ikut ambil bagian. Hasan Al-Banna
kembali memilih Ismailiyyah dan kelima rekannya memilih distrik-distrik
47
lain di Mesir, mereka bermaksud berkampanye atas dasar progam Islam. Pada
Januari 1945, pemilu telah berlangsung, Hasan Al-Banna dan rekan-rekannya
kalah di daerah-daerah yang mereka yakini akan menang. Ketika Ahmad
Mahir menyatakan secara terbuka keinginannya mendeklarasikan perang
melawan negara Poros (Italia dan Jerman), Ikhwanul muslimin bersama
aktivis nasionalis termasuk Wafd melakukan protes, akan tetapi karena
dipaksa untuk mengamankan tempat bagi Mesir Ahmad Mahir tetap bertahan
dengan keinginannya. Ikhawanul Muslimin menyurati Ahmad Mahir dan
menasehatinya agar membatalkan pernyataan itu. Perbedaan itu kemudian
menambah menukik sehingga tekanan pun dilakukan pemerintah terhadap
Ikhwanul Muslimindan tidak lama sejumlah anggotanya ditangkap (Rusli,
2014: 202).
Ketika Ahmad Mahir membacakan deklarasi perang di depan Dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Februari, ia dibunuh. Hasan Al-Banna,
Assukari, dan Abidin ditangkap. Namun, kemudian dibebaskan karena
menyusul investigasi dan pengakuan bahwa pembunuh berasal dari partai
Nasionalis (Mitchell, 2005: 47). Hasan Al-Banna kemudian mengunjungi
Perdana Menteri yang baru, Mahmud Fahmi An-Nuqrasyi Pasha menjabat
selama 25 Februari 1945 sampai 14 Februari 1949. Teman dekat Amad Mahir
dan penerus ketua parat Sa‟di. Untuk menyampaikan rasa bela sungkawanya
dan menjelaskan misi Ikhwanul Muslimin. Nuqrasyi menanggapinya dengan
mengeluarkan perintah untuk mengawasi dengan ketat aktivitas Ikhwanul
Muslimin. Kebijakan tersebut dilaksanakan dengan tingkat kekerasan yang
bervariasi (2005: 48).
48
Sikap Nuqrasyi melarang mahasiswa yang menjadi anggota Ikhwanul
Muslimin untuk masuk ke kancah politik. Pemerintahan Nuqrasyi juga
mengundang untuk melakukan perundingan dan negosisasi. Akan tetapi
mahasiswa menolak dan melakukan demonstrasi. Pemerintah pun mengutus
mata-mata dan intelegen Kubra Abbas, yang menyebabkan kematian terhadap
pendemostran. Pemerintahan Nuqrasyi yang pertama akhirnya berakhir
setelah tuntutan dari mahasiswa, dan diganti oleh Shidiqi Pasya. Hari terus
bergulir, akhirnya Nuqrasyi kembali kepanggung pemerintahan. Dalam
pemerintahan yang baru ia masi memakai cara-cara lama untuk
memanfaatkan dan mengekplotasi Ikhwanul Muslimin. Kemudian perang
Palestina terjadi. Hal tersebut menjadi pemicu konflik keras antara Nuqrasyi
dengan Ikhwanul Muslimin. Pertikaian berakhir dengan tragedi berdarah yang
dialami anggota Ikhwan (Al-Jundi, 2003: 228-229).
c. Periode Kematian Hasan Al-Banna (1948-1949 M)
Tepat tanggal 12 Desember 1948, pimpinan militer mengeluarkan
keputusan pendudukan markas Ikhwanul Muslimin. Sealian itu juga seluruh
harta dan hak miliknya disita. Kegiatan dibekukan dan para pemimpin
maupun anggota digelandang. Semua hal tersebut dilakukan berdasarkan
instruksi Wakil Menteri Dalam Negeri, Andurrahman Ammar yang diajukan
kepada perdana menteri Nuqrasyi. Tuduhan yang terjadi pada waktu itu
disebutkan jika mobil Jeep milik anggota Ikhwanul Muslimn ditangkap dan
ditemukan dengan berisi bahan peledak, beberapa nama, dan peta. Sejak itu,
semua peristiwa pemberontakan dituduhkan kepada Ikhwanul Muslimin (Al-
Jundi, 2003: 317).
49
Keberanian Nuqrasyi dalam menjalankan keputusannya menyusul
dikeluarkannya dekrit yang hanya diimbangi dengan ketegangan yang
melanda seluruh Mesir. Hasan Al-Banna masih tetap bebas meskipun tetap
berada dibawah pengawasan yang ketat (Mitchell, 2005: 92). Hanya dia saja
yang dibiarkan bebas, sedangkan para anggota lainnya digiring dan ditahan ke
Haikstib hingga menjelang awal tahun 1950 M (Al-Jundi, 2003: 318).
Akibat dari dekrit tersebut, Hasan Al-Banna lebih memahami kondisi
itu dari siapapun karena yang ditangkap pada 15 November 1948 setelah
ditemukan mobil Jeep adalah para pemimpin dan sebagiannya adalah anggota
biro rahasia Ikhwan. Apapun yang ditimbulkan akibat pembubaran tersebut
telah benar-benar memutus komunikasi maupun alat-alat kontrol dalam
organisasi. Pada tanggal 28 Desember 1948, kekhawatiran itupun terjadi. Saat
Nuqrasyi memasuki gedung Kementrian Dalam Negeri, ia disambut oleh
seorang pemuda yang mengenakan seragam tentara. Kemudian melepaskan
tembakan ke Nuqrasyi, setelah beberapa menit Nuqrasyi meninggal dunia. Si
pembunuh adalah Abdul Majid Ahmad Hasan 20 tahun, yang merupakan
anggota Ikhwanul Muslimin sejak 1944 M, mahasiswa tingkat III yang masih
aktif mengikuti kuliah sebelum sehari terjadinya pembunuhan tersebut.
Suasana berkabung saat penguburan Nuqrasyi disertai dengan teriakan-
teriakan pendukung Nuqrasyi yang menuntut kematian Hasan Al-Banna
(Mitchell, 2005: 92).
Pemerintah baru segera dibentuk oleh Ibrahim Abdul Hadi yang
merupakan teman dekat Nuqrasyi. Juga merupakan Kepala Kabinet Kerajaan
dan ketua partai Sa‟di. Pemerintahan Abdul Hadi dalam enam bulan
50
berikutnya menjadi pemerintahan teror bagi semua warga Mesir dan
mendapat kencaman dari setiap segmen opini publik, terutama kelompok
pemuda dalam angkatan bersenjata yang diam-diam mengadakan revolusi.
Abdul Hadi merupakan pemimpin pertama yang diajukan ke pengadilan
Revolusioner yang dibentuk oleh militer karena perbuatannya sendiri.
Hasan Al-Banna tidak pernah putus asa dan mencoba sekali lagi
melakukan negosiasi perdamaian dengan Abdul Hadi. Ia menawarkan kerja
sama dengan pemerintah untuk memperbaiki kondisi umat dengan syarat
pencabutan larangan aktivitas Ikhwanul Muslimin, pengembalian aset-
asetnya, dan pembebasan para anggotanya yang ditawan pemerintah. Komite
mediator telah dibentuk dengan melibatkan orang-orang yang dekat dengan
kedua belah pihak. Hasan Al-Banna berupaya mendekati pemerintah dengan
menulis pamflet Bayan Li>n Na>s, berisi pembenaran tindakan pemerintah dan
penyesalan atas pembunuhan Nuqrasyi (2005: 92-93).
Perdana Menteri Abdul Hadi tidak percaya dengan alasan Hasan Al-
Banna dan tidak melepaskan seorangpun anggotanya. Negoisasi gagal setelah
adanya upaya pengeboman pada gedung pengadilan tempat tersimpanya hasil
penyelidikan mobil Jeep pada tanggal 13 Januari 1949. Kemudian Syafiq
Ibrahim Anas yang merupakan seorang anggota lama biro rahasia Ikhwan
ditangkap, karena ia telah menyerahkan paket kiriman yang berisi bom dan
meledak diluar gedung. Hasan Al-Banna segera menyangkal perbuatan
tersebut dengan surat terbuka kepada Menteri Dalam Negeri (2005: 94).
Akhir Januari, komunikasi Hasan Al-Banna dengan pemerintahan
terputus. Pemerintahan mengeluarkan dekrit hukuman mati bagi siapa saja
51
yang tertangkap basah membawa bom dan bahan peledak. Bagi Abdul Hadi
dekrit ini ditujukan untuk menghancurkan biro rahasia Ikhwanul Muslimin. Ia
mengerahkan seluruh aparat pemerintah yang resmi maupun tidak resmi dan
melakukan penyiksaan, baik fisik dan mental. Untuk mempermalukan
tahanan Ikhwan, mereka digantung di sel tahanan mereka.
Setelah merasa putus asa melakukan perundingan dengan pemerintah
Hasan Al-Banna menulis pamflet Qaul Fashl yang disebarkan secara
sembunyi-sembunyi. Dalam pamflet itu, ia mengecam dekrit pembubaran
Ikhwanul Muslimin oleh pemerintah, klarifikasi atas peristiwa-peristiwa yang
telah dialami Ikhwanul Muslimin menurut versinya, dan menggambarkan
penyiksaan-penyiksaan yang dialami oleh anggota Ikhwanul Muslimin yang
telah ditahan. Yang paling penting dalam pamflet tersebut ia menyangkal
bahwa Ikhwanul Muslimin berubah menjadi partai politik dan merencanakan
penggulingan kekuasaan politik yang sah. Pamflet kecil tersebut merupakan
risalah terakhir Hasan Al-Banna. Hari Sabtu sore hari tanggal 12
Februari1949, setelah diundang secara misterius ke kantor Jami’iyyah As-
Syu’bban Al-Muslimun. Ia ditembak di halaman gedung tersebut setalah
masuk ke dalam taksi dan ia meninggal beberapa menit setelah dibawa ke
rumah sakit terdekat (2005: 95-97).
Berdasarkan pemaparan mengenai perjalanan Hasan Al-Banna bersama
Ikhwanul Muslimin tersebut, dapat dilihat bahwa Hasan Al-Banna merupakan
tokoh yang sadar akan realitas dan keadaan sosial pada masa kehidupannya. Ia
melihat persoalan umat yang dihadapi saat itu dengan objektif. Ia menggunakan
solusi-solusi modern tanpa mengabaikan persoalan agama dan budaya. Maka
52
tidak heran pada saat itu Ikhwanul Muslimin dapat diterima masyarakat Mesir dan
sukses berkembang dengan pesat.
3. Karya-Karya Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna tak hanya di kenal sebagai orator dan juru bicara yang
handal saja, namun ia juga dikenal sebagai seorang penulis dan redaktur beberapa
buku, majalah, dan tabloid. Di balik semua itu ia juga memabaca banyak hal. Ia
juga menguasai warisan intelektual Islam yang ia dapatkan dari pendidikan orang
tua maupun pendidikan formal secara baik.
Melalui gerakannya ia membangun akhlak dan kerohanian kepada setiap
anggota Ikhwanul Muslimin. Ia juga pernah ditanya,”mengapa engkau tidak
mengarang buku?”, Hasan Al-Banna menjawab, “Saya menulis manusia”. Hal ini
bermakna beliau membangun manusia dari segi akhlak dan ilmu untuk berjuang
(Ridhwan, 2009).
Meskipun demikian Hasan Al-Banna tetap menulis beberapa buku dan
berbagai artikel dalam tabloidnya, diantaranya adalah:
a. Mudzakkirat A’d-Da’wah wa Da’iyyah
Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
‚Memoar Hasan Al-Banna; untuk Dakwah dan Para Da’inya‛ . Mudzakkirat
A’d-Da’wah wa Da’iyyah merupakan karya yang terulung, berisi semacam
buku harian Hasan Al-Banna, berawal saat ia belajar di Madrasah Ar-Rasyad
hingga perjuangannya untuk Palestina. Buku ini terbagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama meliputi kehidupan pribadinya dan bagian kedua mengenai
kegiatan Ikhwanul Muslimin.
b. Majmu’ah Rasa’il Imam A’s-Syahid Hasan Al-Banna
53
Buku ini merupakan himpunan yang disusun pada waktu tertentu
semasa hidupnya. Buku ini terbagi dalam beberapa sub bab:
1) Risalah A’t-Ta’li >m
Dalam bab ini berisi nasehat-nasehat kepada mereka telah yang menjadi
anggota ikhwanul Muslimin. Di dalamnya dijelaskan sepuluh dasar baiat.
Hasan Al-Banna juga menjelaskan berbagai kewajiban sebagai Ikhwan
dalam berbagai kehidupan setelah berikrar dalam baiat. Ia juga
menjelaskan dalam Risalah ini tentang peraturan-peraturan yang berlaku
sebagai Ikhwan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan Ikhwan.
2) Risalah Jihad
Risalah ini menerangkan kewajiban, kepentingan, dan kelebihan Jihad.
Imam Hasan Al-Banna menulis artikel ini, ketika para sukarelawan
Ikhwanul Muslimin melancarkan Jihad terhadap Yahudi di Palestina.
Manakala ini merupakan panduan untuk para mujahidin Islam.
3) Da’watuna Fi > Ta>uri Jadi>d
Artikel ini ditulis ketika gerakan Ikhwanul Muslimin sedang
berkembang pesat dan pada masa kejayaan. Para penentang juga
menyatakan keraguan mereka terhadapnya. Hasan Al-Banna juga
menjelaskan, setiap kecaman yang ditunjukkan kepada Ikhwan oleh para
penentangnya. Beliau menerangkan bahawa gerakan Ikhwan ini tidak
codong pada satu sekte tertentu tetapi sebenarnya merangkumi seluruh
umat manusia. Artikel ini juga menerangkan pendapat Ikhwan mengenai
pemahaman kebangsaan Mesir, pemahaman kebangsaan Arab, pemahamn
Orientalisme, dan pemahaman Universalisme.
54
Berhubung dengan perkara ini, Ikhwan berpendapat bahwa:
“Kami ingin menegakkan sebuah negara Islam di Mesir. Negara Islam ini
akan menerabkan dasar-dasar Islam, menyatukan orang-orang Arab dan
memelihara kebaikan mereka dan menyelamatkan umat Islam di seluruh
dunia terhadap penindasan dan kekejaman. Di samping itu, negara Islam
ini akan menyebarkan Islam dan menguatkan undang-undang
Allah.”Bagian akhir artikel ini, Hasan Al-Banna menyatakan hasratnya
untuk membina sebuah masyarakat yang terdiri dari perseorangan dan
keluarga-keluarga yang berpegang teguh kepada Islam.
4) A’r-Rasail A’ts-Tsala>tsah
Karya ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah “Apakah tugas
kita?”, yang kedua adalah “Ke arah mana kita menyeru manusia?”, yang
ketiga pula ialah “Risalah Cahaya”. Sebenarnya bagian yang ketiga itu
merupakan surat Hasan Al-Banna kepada Raja Mesir Shah Faruq, Perdana
Menteri Mesir Nihas Pasya dan para pemimpin Negara-negara Muslim
yang lain. Surat tersebut ditulis tahun 1936 M. Isi surat tersebut
menerangkan dengan panjang dasar-dasar Islam, kebudayaan dan hukum
Islam. Ia mengungkapkan kemarahannya kerana orang-orang Islam telah
meniru pola hidup Barat sedangkan mereka mempunyai dasar ideologi
mereka sendiri (red: Islam) yang lebih hebat. Ia juga membuat
perbandingan antara cara hidup Islam dengan cara hidup Barat.
Sebagai kesimpulan, ia menegaskan bahwa hanya Islam sajalah yang
merupakan solusi dari semua permasalahan dan dengan Islam akan
menjamin kemajuan dan kebahagian sebuah negara.
55
5) Baina Amsi wal Yaum
Risalah ini yang pertama kali ditulis oleh Hasan Al-Banna. Karya ini
ditulis sebelum terjadi Perang Dunia Pertama. Dalam makalah ini, beliau
menerangkan dasar-dasar Islam dan ciri-ciri pembaharuan ummah. Pada
peringkat awal, beliau membincangkan negara Islam pertama yang
berlandaskan Al-Quran di bawah pimpinan baginda Rasulullah SAW
sendiri. Berikutnya, ia membahas sebab-sebab jatuhnya umat Islam.
Terakhir, ia mengatakan bahawa Ikhwanul Muslimin mengajak manusia
kepada kesejahteraan yang berkekalan.
6) Risalatul Mu’tamarul Khamis
Risalah ini merupakan ceramah-ceramah Hasan Al-Banna dalam
Muktamar Kelima Ikhwanul Muslimin. Dalam ceramah ini, ia menimbang
kembali pencapaian Ikhwanul Muslimin sepanjang sepuluh tahun yang
lalu. Tiga permasalahan yang dibahas adalah Matlamat Ikhwanul
Muslimin dan corak (uslub) dakwahnya, dasar dasar dan cara-cara
Ikhwanul Muslimin, dan sikap Ikhwanul Muslimin terhadap berbagai
pertubuhan dan dasar-dasar fahaman lain di Mesir.
7) Ikhwanul Muslimin di bawah panji-panji Al-Qur‟an
Tulisan ini merupakan ceramah Imam Hasan Al-Banna pada 4 April
1939 M pada perhimpunan Ikhwanul Muslimin yang diadakan di Kaherah.
Dalam ceramah ini, maqlamat dan tujuan Ikhwan telah dijelaskan. Ia juga
membicarakan tugas serta kewajiban para anggota dan mengemukakan
saran supaya melakukan pemberontakan terhadap kuasa-kuasa penjajah
yang sedang menghancurkan masyarakat Mesir.
56
8) Persoalan-persoalan negara dari segi kaca mata Islam
Hasan Al-Banna menulis makalah ini setelah jatuhnya negara Pakistan.
Ia membicarakan permasalahan politik negara Mesir dan negara-negara
Islam yang lain. Begitu juga negara baru Pakistan yang sedang diancam
oleh India dengan bantuan pihak Komunis. Beliau membagi masalah yang
dihadapi oleh Mesir kepada dua bagian. Di samping itu, beliau juga
membentangkan cara-cara untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bagian pertama, beliau membincangkan segala keburukan corak
kerajaan waktu itu, kemudian ia memberi solusi terhadap masalah tersebut
menurut dasar dasar Islam. Dalam bagian kedua membahas dasar
ekonomi. Kemudian memaparkan sistem ekonomi Islam dan penyelesaian
terhadap masalah ekonomi Barat.
9) Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna
Karya ini merupakan sebuah khazanah keilmuan, yang mengadung
ceramah-ceramah dan kuliah-kuliah Hasan Al-Banna.
10) Maqalat Hasan Al-Banna
Karya ini berupa himpunan nasihat-nasihat dan arahan-arahan Hasan
Al-Banna kepada sahabat-sahabatnya dan para anggota Ikhwanul
Muslimin
11) Al-Ma’tsurat
Karya ini berupa karangan Hasan Al-Banna yang berisi kumpulan-
kumpulan doa-doa dan dzikr pada pagi dan sore hari. Karangan tersebut
selalu menjadi rujukan para anggota Ikhwanul Muslimin di pagi hari dan
57
sebelum Shalat Magrib. Al-Ma‟tsurat merupakan pembaharuan ikrar
mereka dalam menjalankan dakwah Islam (Ridhwan, 2009).
c. Surat Kabar dan Majalah
Hasan Al-Banna belajar dari Barat yang telah melakukan propaganda
melalui pers. Maka ia segera berfikir untuk mendirikan penerbitan pers, baik
untuk menyebarluaskan dakwahnya maupun menangkis lawan-lawan
politiknya. Pers menjadi proyek terbesar yang dilaksanakan Ikhwanul
Muslimin (Mitchell, 2005: 249).
1) Qanun Asasi Ikhwanul Muslimin
Qanun Asasi Ikhwanul Muslimin merupakan risalah awal yang
diterbitkan oleh Ikhwanul Muslimin dibawah kendali Hasan Al-Banna.
Risalah ini terbit berbarengan dengan progam internal jamaah (Al-Banna,
2006: 234).
2) Risa>lahul Mursyid ‘A>m
Risalah ini hanya terbit dua kali saja. Risalah pertama terbit pada
tanggal 19 Desember 1932 M dan risalah kedua terbit pada tanggal 2
Januari 1934 M (Al-Banna, 2006: 234).
3) Majalah Al-Ikhwan Al-Muslimin
Setelah Risa>lah Al-Mursyid ‘A>m, beberapa bulan kemudian Hasan Al-
Banna berhasil menerbitkan jurnal pertama Ikhwanul Muslimin yaitu
Majalah Al-Ihkwan Al-Muslimin. Majalah mingguan ini merupakan
penerbitan pertama berita Ikhwanul Muslimin. Majalah ini dipimpin oleh
Muhibbudin Al-Khatib. Hasan Al-Banna dengan modal 2 Pound mengajak
58
Khatib untuk bekerja sama mendirikan majalah ini pada bulan Mei 1938
M, dan terbit selama empat tahun kemudian (Mitchell, 2005: 249).
4) A’n-Nadzi>r
Majalah A’n-Nadzi>r merupakan majalah mingguan yang topiknya
membahas tentang politik. Majalah ini terbit tahun 1938 M, setelah
Majalah Ikhwanul Muslimin tidak diterbitkan lagi. Di dalam majalah ini,
Hasan Al-Banna telah menulis sekitar delapan puluh artikel yang
menyoroti masalah sosial dan politik yang sedang berkembang pada
masanya. Majalah ini sebagai pintu masuk pertama Ikhwanul Muslimin
dalam panggung perpolitikan, baik internal maupun eksternal. Namun,
setelah terjadi perselisihan yang menyebabkan terbentuknya gerakan
tandingan Syaba>b Muhammad, pada tahun 1938 M, sang editor bergabung
dengan gerakan tersebut dan mengambil alih penerbitan yang pada
akhirnya mengalami kebangkrutan karena kurang diminati (2005: 250).
5) Majalah Al-Manar
Setelah perselisihan pada penerbitan A’n-Nadzir, Hasan Al-Banna
segera menerbitkan kembali majalah lama berisikan pemikiran Salafiyah
yang dipelopori Rasyid Ridla. Setelah wafatnya Rasyid Ridla tahun 1935
M, majalah ini hanya tiga nomor yang terbit sampai bulan Juli 1939 M.
Saat Hasan Al-Banna mendorong terbitnya satu nomor lagi dengan
Bantuan Ikhwanul Muslimin enam nomor berikutnya dapat diterbitkan
(2005: 250).
59
6) Majalah A’t-Ta’aruf
Ikhwanul Muslimin menyewa majalah At-Ta’aruf dengan perpaduan
konsep antara tabloid Ikhwanul Muslimin dan majalah A’t-Ta’aruf. Isi
politik yang cenderung memihak Ikhwanul Muslimin. Dalam rangka
menjatuhkan Ikhwanul Muslimin, pemerintah pada tahun 1941 M,
mencabut SIUPP majalah Al-Manar dan mengambil alih majalah
mingguan At-Ta‟rif ini(2005: 250).
7) Koran Al-Ikhwanul Muslimin
Sebagai bagian dari kerja sama pemerintah dengan partai Wafd yang
meraih kekuasaan pada tahun1942 M, Ikhwanul Muslimin diizikan untuk
memulai aktivitas jurnalistik lagi. Majalah Ikhwanul Muslimin mulai
diterbitkan kembali pada bulan Agustus 1942 M. Kemudian setelah empat
tahun, majalah tersebut diganti menjadi koran Jari>dah Al-Ikhwanul
Muslimin, yang terus terbit sampai pembubaran Ikhwanul Muslimin pada
Desember 1948 M. Koran ini menjadi perwujudan salah satu impian
Hasan Al-Banna dan menjadi tanda bahwa Ikhwanul Muslimin sudah
sampai pada puncak kejayaan (2005: 250).
8) Majalah Asy-Syiha>b
Majalah ini diterbitkan bulan November 1947 M. Majalah ini berupa
jurnal pemikiran dan penelitian Islam yang meniru model Al-Manar.
Sebagian orang menganggap jurnal ini sebagai organ pribadi Hasan Al-
Banna majalah ini berhenti terbit saat Ikhwanul Muslimin dibubarkan
(2005: 251).
60
Karya-karya yang ditulis oleh Hasan Al-Banna tersebut pada umumnya
berbentuk artikel-artikel bukan dalam bentuk buku. Secara umum, ia menulis
artikel tersebut sebagai respon terhadap kondisi sosial pada saat itu sehingga
setiap risalah memliki tema-tema tertentu. Meskipun karya tersebut ditujukan
pada kondisi sosial pada masa itu, akan tetapi karyanya tersebut merupakan hasil
pemikirannya yang inspiratif yang hingga saat ini masih dikaji dan dipelajari oleh
para peneliti seiring dengan berkembangannya Ikhwanul Muslimin di berbagai
negara-negara baik Timur maupun Barat.
B. Pemikiran Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna merupakan sosok pemikir yang luas, ia tidak membenci
kebebasan berfikir sebagaimana ia tidak merasa tertekan bila menjumpai pendapat
yang kontradiktif. Ia mampu membawa pemikiran baru kepada khalayak tanpa
memaksa untuk diterima. Hasan Al-Banna mampu mengubah stigma masyarakat
terhadap agama (Al-Jundi, 2003: 481). Juga kemampuannya dalam menjelaskan
sisi-sisi kontradiktif maupun titik temu dengan Islam berdasarkan keyakinan
dalam dirinya bahwa Islam jauh lebih benar dan lebih memiliki kapabilitas
menuju terbentuknya tuntunan masyarakat yang benar.
Hasan Al-Banna dalam pemikirannnya berseberangan dengan demokrasi
Barat dan Markisme. Ia selalu berusaha menyingkap kekurangan madzhab
tersebut. Ia berpandangan bahwa madzhab-madzhab itu tidak akan bertahan di
tengah negara-negara Timur (red: Islam), karena negara-negara Timur memiliki
hubungan yang mendalam dengan agama, moral, dan tatanan hidup.
Pandangan Hasan Al-Banna mengenai hukum dan ajaran islam bersifat
universal dalam mengatur seluruh kehidupan manusia baik dunia maupun akhirat.
61
Ia juga menyangkal kepada orang-orang yang menafsirkan bahwa agama hanyalah
perihal spiritual yang menyangkut aspek ibadah saja dan tidak menyetuh perihal
duniawi. Sebab Islam menurutnya adalah akidah dan ibadah, pemerintah dan
umat, agama dan negara, spiritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang. Ia
menyakini Islam dengan pemahaman yang komperhensif dan intregal. Apabila
umat manusia ingin menjadi umat dengan kualitas keislaman yang benar, maka
Islam harus merefleksi dalam seluruh aspek kehidupan, menjadi warna kehidupan,
dipahami hikmah-hikmahnya, terealisir kaidah-kaidah, ajarannya, serta menjadi
pijakan dalam kehidupan (Syamakh, 2011: 15). Berikut beberapa pemikiran
Hasan Al-Banna yang mempresentasikan keuniversalan Islam:
1. Bidang Agama
Ide hasan Al-Banna dalam bidang agama ini di batasi pada tiga cabang,
diantaranya masalah fiqih, aqidah, dan tasawuf.
a. Bidang Fiqih
Sejak berlalunya masa Rasulullah dan para sahabatnya, telah terjadi
berbagai perbedaan pendapat (khilafiyyah) yang terjadi dalam permasalahan
fiqih. Terkadang dengan berbagai khilafiyyah ini, membuat umat muslim
berpecah belah dan hilang rasa toleransi diantara mereka. Menurut Hasan
Al-Banna hendaknya khilafiyyah dalam bidang fiqih tidak menjadi sebab
terjadinya perpecahan antar umat Islam, juga tidak menimbulkan permusuhan
dan rasa saling membenci (Rusli, 2014: 188).
Ia telah mengemukakan permasalan mengenai khilafiyyah didalam
mudzakkirahnya (karya perjalanan dakwahnya). Saat itu iya diberi pertanyaan
mengenai pendapatnya tentang tawassul (berdoa melalui perantara).
62
Kemudian ia memberikan pendapat bahwa menurutnya setiap mujtahid akan
mendapatkan pahalanya, tidak akan ada yang bisa menghalangi khilafiyyah
berdasarkan penelitian secara ilmiah. Jika permasalahan khilafiyyah ini
ditempatkan di bawah rasa cinta kepada Allah dan saling tolong-menolong
untuk sampai kepada hakikat kebenaran. Maka khilafiyyah tidak akan
membawa kepada sifat fanatik dan perdebatan (Al-Jundi, 2003: 502).
Ia juga menjelaskan bahwa para sahabat Nabi berbeda pendapat dalam
masalah furu’ fiqhiyyah atau cabang fiqih tetapi mereka tidak terpecah
jamaahnya dan tidak terjadi permusuhan diantara mereka. Para sahabat Nabi
dalam memberikan fatwa terdapat beberapa perbedaan, akan tetapi tidak
menjadikan perselisihan diantara meraka. Para sahabat yang berbeda
pendapat merupakan orang-orang yang paling dekat masanya dengan
kenabian dan paling mengetahui terhadap qarinah-qarinah hukum. Demikian
juga para mujtahid, mereka adalah orang-orang yang mengetahui Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul, mereka telah berbeda pendapat antara satu dengan yang
lainnya dan masing-masing berlapang dada dengan menjahui permusuhan
(Rusli, 2014: 189).
Jika terjadi khilafiyyah diantara umat muslim, Hasan Al-Banna
berpesan untuk kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul, menghindari
sifat riya‟ dan fanatisme yang hanya akan membuka pintu pertikaian yang
menyesatkan. Namun, jika mengutamakan rasa cinta dan persaudaraan pasti
akan terwujud persatuan umat islam (Al-Jundi: 2003:503). Terlebih lagi,
Khilafah Islamiyyah tidak akan mungkin terwujud tanpa persatuan dari umat
Islam itu sendiri.
63
b. Bidang Aqidah
Dasar aqidah Islam dan seluruh hukum Islam dalam berbagai aspek
kehidupan menurut pandangan Hasan Al-Banna adalah Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah SAW. Selain kedua sumber itu, aqidah juga dikuatakan
oleh akal dan ditetapkan oleh pandangan yang benar. Secara amalan Hasan
Al-Banna merujuk pada pola pikir kaum Salaf Al-Sha>lih. Maka jika ada
beberapa permasalahan Khilafiyyah dalam bidang Aqidah yang dimunculkan
oleh kaum , dilihatnya sebagai masalah furu’ (cabang), bukan sebagai
Ushu>lu’d-Din (pokok agama) (Anshori: 2008, 19).
Mengenai hal aqidah, Hasan Al-Banna berusaha keras untuk
memurnikannya dari aspek kesyirikan dan ia bermaksud untuk memberantas
kemungkaran ini. Tindakan tersebut terbukti organisasi yang ia dirikan
bersama teman-temannya yaitu Muhara>bah Al-Munkara>t yang bertujuan
memberantas kemungkaran dan kemaksiatan. Ia menjelaskan bahwa usaha
ini untuk mengembalikan kembali tauhid yang murni sesuai ajaran
Muhammad SAW dan sahabatnya tanpa mempercampurkan dengan
keyakinan-keyakina lain kepada selain Allah SWT. Kemudian ia menjelaskan
bahwa permintaan pertolongan hanyalah semata kepada Allah SWT. Setiap
aspek ibadah seharusnya hanya ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh
dibelokkan kepada selain Dia.
Salah satu rukun baiatnya, Hasan Al-Banna menyatakan bahwa ziarah
kubur dalam keadaan bagaimanapun merupakan suatu amalan sunnah. Akan
64
tetapi meminta pertolongan kepada kuburan, minta dikabulkannnya baik dari
dekat maupun dari jauh, bernadzar kepada kuburan, mendirikan bangunan di
atas kuburan, menemboknya memberikan sinar lampu, minta berkah kepada
kuburan , bersumpah kepada selain Allah, dan perbuatan apa saja yang
berhubungan dengan bid’ah yang menurut keyakinanya adalah dosa besar
(Rusli, 2014: 201).
c. Bidang Tasawuf
Mengenai tasawuf, dalam pandangan Hasan Al-Banna terdapat dua
macam sifat tasawuf yaitu, tasawuf yang dilakukan dengan tepat dan tasawuf
yang dilakukan dengan tidak tepat. Tolak ukur dalam ketepatan dalam
tasawuf ini adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.
Hasan Al-Banna telah mendapati praktik tasawuf yang diselewengkan
dan jauh dari ajaran Islam. Praktek tasawuf seperti ini menurutnya dapat
merusak kehidupan manusia sehingga banyak orang menjadi lemah, fakir,
terbelakang, dungu, bodoh, dan banyak bertakhayul. Maka Hasan Al-Banna
menganjurkan untuk segera meninggalkan tasawuf yang sesat dan kembali
kepada tasawuf yang benar. Ia juga menjelaskan bukan berarti semua tasawuf
bersifat batil. Ia juga mengatakan jimat, kuburan, melumuri darah, pekerjaan
tukang ramal, perdukungan, dan perbuatan yang semisal adalah suatu
perbuatan yang mungkar dan harus diperangi. Terkecuali, terdapat dalilnya
dalam Al-Qur‟an dan Sunnah (2014: 189).
2. Bidang Politik
Hasan Al-Banna melalui gerakannya Ikhwanul Muslimim berupaya untuk
menegakan syariat Islam dalam sistem politik Mesir. Hal tersebut dibuktikan
65
dalam visi ajaran Ikhwanul Muslimin bahwa Islam merupakan pengalam dalam
aspek kehidupan yang menyeluruh tanpa terkecuali. Islam adalah jalan hidup yang
menyangkut urusan individu, masyarakat, negara, dan hubungan internasional.
Islam adalah sikap moral, kekuatan, kasih sayang dan keadilan. Islam adalah
pengetahuan, hukum, ilmu, dan pengadilan. Islam merupakan jalan jihad, dakwah,
dan gagasan. Ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang betul, ibarat satu koin
dua wajah (Istadiyantha, 2009: 66). Berdasarkan Hal tersebut Hasan Al-Banna
sering disebut sebagai tokoh fundamentalis.
Adapun teori penyebab munculnya fundamentalis Islam menurut Beinin
dan Joe Stork, yaitu pemimpin negara yang cenderung sekuler, Islam tidak
dijadikan Ideologi negara dan legitimasi politik oleh pemerintah, deskriminasi
pimpinan terhadap kelompok Islam, kristenisasi dan konsep politik Islam yang
bertentangan dengan Barat (2014: 190). Jika dianalis dari segi historis, kelahiran
Ikhwanul Muslimim sesuai dengan teori tersebut. Berawal dari hilangnya khilafah
(pemerintahan Islam) di Turki, ekspansi Inggris di Mesir yang menyebarkan virus
liberal dan sekulernya, juga partai-partai di Mesir meninggalkan politik Islam dan
lebih memilih demokrasi dengan sistem Barat dalam mendapatkan kemerdekaan.
Pengkategorian Hasan Al-Banna sebagai tokoh fundamentalis Islam
diperkuat dengan analisis Azumardi Azra. Ia menyebut Hasan Al-Banna sebagai
tokoh neo-salafi> dengan tiga pandangan dasanya yaitu, Islam merupakan sebuah
sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri, Islam memancar dari dua
sumber fundamental (Al-Qur‟an dan Hadits), Islam berlaku untuk segala waktu
dan tempat (Dewi, 2015: 78).
66
Pemikiran Hasan Al-Banna yang berkaitan dengan politik terbagi dalam
tiga kelompok, yaitu:
a. Reformasi Sosial dengan Asas Aqidah
Reformasi yang ditawarkan Hasan Al-Banna bertujuan untuk
membimbing umat menuju kebangkitan rohani. Ia menyakini benar, bahwa
sesungguhnya perubahan sosial dan perbaikannya harus dimulai dalam diri
sendiri. Perubahan pada fase awal terpusat dalam diri pribadi, selanjutnya
keluarga, dan selanjutnya menuju pada masyarakat secara menyeluruh demi
terbentuknya masyarakat yang memegang kebudayaan Islam. Perubahan
dengan asas aqidah ternyata memberika implikasi yang luas, setidaknya
dalam mempertahankan keimanan dan akhlak dalam kondisi negara yang
dalam perubahan apapun. Asas ini dibuktikan dengan ketahanan Mesir dalam
menghadapi modernisasi Barat pada masa hidupnya.
b. Tidak Adanya Pemisahan Agama dan Negara
Merujuk kembali terhadap pemikiran Hasan Al-Banna bahwa Islam
merupakan agama yang universal berlaku dalam masa, tempat, dan konteks
apapun. Seorang pemimpin harus berkolaborasi dengan ulama dalam
menjalankan kepemimpinannya. Kuatnya suatu pemerintah apabila peran
ulama diposisikan pada kedudukan yang sesuai. Ulama menjadi tempat untuk
mempertimbangkan semua kebijakan yang berkenaan dengan kemaslahatan
umat. Kehancuran sebuah pemerintahan menurutnya disebabkan peran ulama
dimarjinalkan dalam posisi lemah dan hanya sebagai sebuah tameng dalam
sebuah mengambil keputusan.
c. Syariat Islam sebagai Hukum Tertinggi dalam Pemerintahan Islam
67
Islam sebagai agama sempurna, mempunyai tataran nilai hukum yang
wajib diikuti semua umat Islam. Oleh karenya kedudukan syariat Islam
sebagai dustur al-a’la dalam pemerintahan Islam mutlak. Ide-ide cemerlang
menjadi wacana dasar Ikhwanul Muslimin, dan dengan gerakan Ikhwanul
Muslimin dilakukan melalui ceramah rutin, menerbitkan majalah dan brosur
atas eksistensi Islam dan pembaharuan, dan secara bertahap melakukan
rekonstruksi organisasi tersebut. Oleh karenanya untuk sebagian analisis al-
Husaini dan Yakan menilai bahwa gerakan awal al-Banna dan Ikhwanul
Muslimin mulai membangkitkan kesadaran beragama bangsa Mesir saat itu;
kesadaran kembali pada ajaran murni Islam; dan menumbuhkan spirit juang
untuk satu pembebasan terutama dari ekspansi kerajaan Inggris (2015: 79-
80).
3. Bidang Ekonomi
Berangkat dari pemikiran Hasan Al-Banna bahwa Islam merupakan
universal, maka ekonomi Islam menurutnya harus sesuai dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. Harta yang baik merupakan sumber penghasilan yang harus dijaga dan
dikelola serta dikembangkan dengan cara yang baik.
b. Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kewajiban bekerja, serta berusaha
bagi orang yang mampu.
c. Membuka sumber-sumber kekayaan alam dan memanfaatkan semua populasi
alam.
d. Sumber usaha yang kotor adalah haram.
e. Memperkecil jurang perbedaan sosial antara si kaya dan si miskin.
68
f. Jaminan sosial bagi seluruh penduduk dalam kebaikan dan takwa kepada
Allah.
g. Menghormati harta milik pribadi selama tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umum.
h. Negara harus menetapkan dan memikul tanggung jawab untuk memelihara
peraturan- peraturan yang ada (Rusli, 2014: 193).
i. Mengatur pengeloaan zakat, baik penggalangan maupun pendistribusian
sesuai hukum Islam dan memanfaatkanya untuk kemaslahatan sosial.
j. Mengharamkan riba dan mengatur sistem perbankan Islami.
k. Mendorong kegiatan perekonomian untuk membuka lapangan pekerjaan
dengan melepaskan ketergantungan kepada asing.
l. Melindungi Masyarakat umum dari penindasan praktik monopoli pasar.
m. Mendahulukan pembuatan dan pengolahan berbagai proyek yang mendesak
kegunaanya dari pada yang bersifat sekunder (Istadiyantha, 2009: 73)
Menurut Hasan Al-Banna, seseorang yang ingin mendalami ajaran Islam
tentang ekonomi harus banyak mempelajari Al-Qur‟an, Sunnah Rasul, dan
buku-buku fiqh yang membahas tentang perekonomian Islam. Islam
mengharamkan sumber usaha yang kotor seperti riba, lotre, undian, dan
semacamnya. Islam juga melarang berspekulasi, mencuri, menipu, korupsi, dan
sebagainya. Jual beli barang haram juga dilarang dalam Islam seperti arak,
narkotika, babi, dan barang haram lainnya (Rusli, 2014: 193).
4. Bidang Pendidikan
Pendidikan yang dikehendaki oleh Hasan Al-Banna adalah pendidikan
yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip Islam. Hal tersebut merujuk kembali
69
bahwa Islam itu universal meliputi segala aspek baik secara universal waktu,
geografi, dan kemanusiaan.
Tujuan pendidikan melalui Madrasah menurut Hasan Al-Banna
merupakan suatu perwujudan dari nilai-nilai yang terbentuk dalam pribadi
manusia yang dikehendaki, yang mempengaruhi dan menggejala dalam prilaku.
Berorientasi untuk merealisasikan identitas islami. Metode pendidikan harus
sesuai dengan konsep dan martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi,
artinya harus mencontoh hukum Islam (Al-Banna, 2014: 51).
Usaha yang dilakukan dalam bidang pendidikan ini berkenaan dengan
sistem pendidikan yang seimbang. Dalam berbagai kesempatan Hasan Al-Banna
selalu menghimbau pemerintah agar menciptakan kurikulum pendidikan yang
seimbang. Ia menginginkan agar pelajaran agama dimasukan ke dalam kurikulum
sekolah pemerintahan, begitu pula dalam sekolah agama dimasukan berbagai
materi pembelajaran umum.
Selain memperhatikan pendidikan formal, ia juga mementingkan
pendidikan yang di bangun melalui lingkungan keluarga. Ia berpendapat bahwa
ajaran Islam membina pembentukan rumah tangga dan mengarahkan pada nilai-
nilai yang baik. Oleh sebab itu, ia selalu menekankan agar pribadi masing-masing
menjaga kehidupan keluarga Islam agar menjadi unsur yang membina persatuan
Islam (Rusli, 2014: 195). Berawal dari pembinaan lingkungan keluarga tersebut,
maka nilai Islam akan membudaya sehingga akan memungkinkan tercapainya
Khilafah Islamiyyah.
Berdasarkan berbagai pemikiran Hasan Al-Banna di atas baik dari segi
agama maupun politik, ekonomi, dan pendidikan menunjukkan Hasan Al-Banna
70
ingin mempresentasikan bahwa Islam itu sebagai rumusan yang tepat dalam
menghadapi kondisi Mesir saat itu. Ia juga ingin menunjukkan bahwa untuk
mengadapi pengaruh buruk Barat ataupun dengan modernisasi, agama (baca:
Islam) harus dijadikan barometer yang dijadikan filter karena tidak semua
modernisasi itu berdampak negatif.
C. Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan yang didirikan Hasan Al-Banna
yang juga merupakan hasil representasi pemikiran Hasan Al-Banna. Ikhwanul
Muslimin menjadi sebuah gerakan Islam yang terbesar dan sukses tersebar di
berbagai penjuru dunia terutama Timur Tengah. Ikhwanul Muslimin dalam bahasa
Inggris disebut Moslem Brotherhood dan Moslem Brethren (en.wikipedia.org.,
10/05/2016. Istadiyantha, 2009: 63). Hasan Al-Banna mengatakan bahwa
Ikhwanul Muslimin bukanlah sebuah partai politik meskipun politik adalah salah
satu pilar Islam yang juga menjadi prinsip Ikhwanul Muslimin (Syamakh, 2011:
2). Meski demikian pada realitasnya Hasan Al-Banna dan gerakan Ikhwanul
Muslimin sering bersentuhan dengan politik praktis.
Para Ikhwan mengatakan bahwa mereka merupakan pemikiran, akidah,
sistem dan manhaj, yang tidak dibatasi oleh tempat, tidak diikat oleh
kewarganegaraan, dan tidak disekat oleh batas geografis. Mereka menganggap
mereka adalah orang ghuroba‟ yang melakukan perbaikan di tengah kerusakan
umat manusia. Ikhwan memahami Islam dari segala dimensinya, baik aqidah dan
ibadah, negara dan bangsa, moral dan materi, toleransi dan kekuatan, maupun
tsaqofah dan undang-undang. Sebagaimana mereka menyakini hakikat Islam
sebagai negara, pemerintahan dan umat, mushaf dan pedang. Ikhwan meyakini
71
bahwa khilafah dikaruniakan oleh Allah untuk mengatur umat manusia di bumi
(2011:2-5).
Gagasan Ikhwanul Muslimin mencakup semua kategori reformis. Hasan
Al-Banna mendefinisikan gerakan Ikhwanul Muslimin sebagai pembawa pesan
salafiyah karena mengajak kembali kepada Islam yang murni, jalan sunniyah,
kebenaran sufiyyah, organisasi politik dengan hani’ah siyasah, olahraga dengan
jama’ah riyadhah, keilmuaan dan kebudayaan, perusahaan ekonomi, dan ide
sosial (Mitchell, 2005: 20. Syamakh, 2011: ix).
Motto utama gerakan Ikhwanul Muslimin secara umum adalah Rubba>n fi>l-
Lail wa Fursan fi>’n-Naha>r, “pendeta di malam hari dan ksatria di siang hari”.
Itulah ibarat yang diidealkan kepada setiap anggota Ikhwanul Muslimin. Untuk
melaksanakan ibarat tersebut harus berlandaskan aqidah yang lurus berdasarkan
Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulnya tanpa perlu melirik teori-teori filsafat atau
analogi-analogi mantiq.
Lambang organisasi Ikhwanul Muslimin adalah dua pedang melintang dan
menyangga Al-Qur‟an dan disertai potongan-potongan lafadz Al-Qur‟an yang
berbunyi وأعّدوا waa’iddu >>>>> yang bermakna bersiaplah kalian, serta tiga lafadz
lainnya yaitu; حق haq bermakna kebenaran, حرية churiyyah bermakna kebebasan,
,quwwah bermakna kekuatan. Simbol dua pedang mengelilingi Al-Qur‟an قوة
berarti gerakan ini siap mengangkat senjata dalam rangka jihad kapan saja dan
dimana saja demi tegaknya ajaran Islam di muka bumi (Anshori, 2008: 18).
Adapun dalam hal keanggotaan setiap anggota Ikhwan bisa dipanggil
dengan sebutan al-akh yang beretimologi bersaudara. Terdapat empat tingkatan
al-akh, dari tingkatan yang paling bawah menuju tingkatan yang paling tinggi,
72
yaitu; al-akh almusa>’id, al-akh al-muntasib, al-akh al-’amil, al-akh al-mijahid.
Diantara tingkatan keanggotaan tersebut ada pula yang dapat diduduki oleh
seorang al-akh secara langsung tanpa melalui jenjang keanggotaan dibawahnya,
meskipun seharusnya melalui jenjang keanggotaan normal. Hal tersebut, berkaitan
dengan tingkat kemampuan dalam kedudukan administratif, seperti kedudukan
ketua atau wakil departemen dan lainnya. Dan sebaliknya setiap al-akh juga bisa
turun tingkatannya karena berbagai faktor seperti kurang disiplin dalam
keanggotaan.
Tahap pergerakan disetiap tingkatan al-akh, dikenal unit terkecil dari
gerakan Ikhwan Muslimin yaitu al-usrah (keluarga). Usrah membangun sebuah
ikatakan aktif di antara anggota Ikhwanul Muslimin pelaksana (ikhwan al-
’a>milin). Usrah juga memungkinkan para ikhwan untuk bekerjasama dan saling
memberi informasi dalam urusan-urusan peting sehingga tidak mengalami
kebocoran informasi. Sedangkan untuk Ikhwan pejuang (ikhwan al-mujahidin)
juga memiliki unit usroh sendiri (Anshori, 2008: 20).
Di era sekarang, setelah peristiwa kudeta terhadap Muhammad Mursi
oleh militer pada tahun 2013, gerakan Ikhwanul Muslimin dianggap oleh otoritas
Mesir sebagai kelompok radikal dan teroris. Keputusan yang dikeluarkan pada
Senin, 23 September 2013 oleh Pengadilan Kairo melarang Ikhwanul Muslimin,
dan institusi lain yang memiliki keterkaitan atau menerima dukungan finansial.
Bentuk pelarangan tersebut disertai dengan penyitaan aset kekayaanya dan bentuk
kekerasan kepada pendukung Muhammad Mursi yang sebagian besar adalah
anggota Ikhwanul Muslimin (NU Online, 16/07/ 2016).
73
Setelah resmi dilarang dan dibubarkan oleh rezim Abdel Fattah As-Sisi,
seluruh kegiatan Ikhwanul Muslimin dibekukan oleh pemerintahan Mesir. Akan
tetapi, konsep-konsep gerakan Ikhwanul Muslimin dan berbagai pemikiran Hasan
Al-Banna, pada hakikatnya tidak mati dan masih eksis diberbagai gerakan
afiliasinya diberbgai negara-negara Muslim. Seperti di Turki terdapat partai
Keadilan Bangsa, di Malaysia terdapat Partai Keadilan Rakyat, di Palestina
terdapat partai Hamas (Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyah), dan di Indonesia
terdapat Ikhwanul Muslimin Indonesia , Partai Bulan Bintang, dan Partai keadilan
Sejahtera. (Deviciptyasari, 2014. Id.wikipedia.org, 10/05/2016)
1. Karakter Dakwah Ikhwanul Muslimin
Mereka menyebut dakwah yang mereka lakukan berdasarkan asas
Rabbaniyyah, ‘Alamiyyah,dan Mumtamayyizah.
a. Rabbaniyyah
Disebut rabbaniyyah karena asa yang menjadi seluruh sasaran dakwah
adalah bagaimana agar manusia dapat mengenal tuhannya. Dari ikatan yang
kokoh tersebut maka dapat membentuk spiritual yang mulia, yang
menghantarkan jiwa-jiwa manusia membumbung tinggi, bebas dari kebekuan
dan kegersangan materi yang pekak menuju kesucian, keutamaan, dan
keindahan hakikat manusia.
b. ‘Alamiyyah
Dakwah Ikhwanul Muslimin disebut alamiyah karena dakwah kami ini
ditujukan kepada seluruh umat manusia karena pada dasarnya manusia adalah
bersaudara, dari mana asal mereka adalah satu, moyang mereka satu, dan
nasab mereka juga satu. Tidak ada yang superior diantara mereka kecuali
74
dengan takwa dan kebaikan. Oleh karena itu Ikhwanul Muslimin tidak
meyakini prinsip rasialisme kebangsaan dan fanatisme kesukuan, ras, atau
warna kulit. Ikhwanul Muslimin menyeru pada persaudaraan.
c. Mumtamayyizah
Disebut mumtamayyizah karena pemikiran mereka meliputi seluruh
aspek perbaikan masyarakat dan mempresentasikan ide-ide gerakan dakwah
yang lain. Setiap reformis yang semangat untuk melakukan perubahan maka
akan menemukan harapan-harapannya dalam Jamaah Ikhwanul Muslimin
(Syamakh, 2011:12-13).
Pelaksanaan dakwah Ikhwanul Muslimin mengedepankan persatuan umat
dan menghindari khilafiah (perbedaan) agar tercapainya persaudaraan antar umat
muslim. Ikhwanul Muslimin juga menjauhkan diri dari campur tangan para
pejabat dan pembesar negara, partai politik dan badan politik umat. Mereka juga
menekan sistem pengkaderan dan sistem tahapan dalam fase-fase gerakan.
Mendahulukan sisi keilmuan produktif dari pada sekedar propaganda, promosi,
dan agitasi. Memberikan perhatian besar pada kader muda dan hal-hal yang
diminati oleh mereka. Mengembangkan organisasi dengan sangat cepat ke
pelosok-pelosok negeri (Anshori, 2008: 23. Syamakh, 2011:34).
2. Ideologi Ikhwanul Muslimin
Ideologi Ikhwanul Muslimin ditetapkan oleh hasan Al-Banna setelah
Munas V, ide-ide itu meliputi definisi Islam menurut Ikhwanul Muslimin;
penegasan bahwa Islam adalah sistem menyeluruh sempurna serta wasiat terakahir
dalam semua kategori kehidupan, Islam diformulasikan dari dan didasarkan
75
kepada dua sumber utamanya (Al-Qur‟an dan Sunnah), dan Islam diterapkan pada
semua zaman dan tempat (Mitchell, 2005: 20).
Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwa hukum dan ajaran islam itu
universal dalam mengatur seluruh kehidupan manusia baik dunia maupun akhirat.
Ikhwanul Muslimin juga menyangkal kepada orang-orang yang menafsirkan
bahwa agama hanyalah perihal spiritual yang menyangkut aspek ibadah saja dan
tidak menyetuh perihal duniawi. Sebab Islam dalam pandangan Ikhwanul
Muslimin adalah akidah dan ibadah, pemerintah dan umat, agama dan negara,
spiritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang. Ikhwanul Muslimin menyakini
Islam dengan pemahaman yang komperhensif dan intregal. Apabila umat manusia
ingin menjadi umat dengan kualitas keislaman yang benar, maka Islam harus
merefleksi dalam seluruh aspek kehidupan, menjadi warna kehidupan, dipahami
hikmah-hikmahnya, terealisir kaidah-kaidah, ajarannya, serta menjadi pijakan
dalam kehidupan. Ikhwanul Muslimin berpendapat jika berekor kepada Barat dan
non-muslim dalam berbagai aspek kehidupan, maka umat ini akan menjadi umat
yang tidak sempurna keislamannya.
Di samping itu, Ikhwanul Muslimin juga meyakini bahwa pedoman Islam
adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW. Manusia tidak akan tersesat jika
berpegang teguh pada keduanya. Oleh karena itu sistem yang harus menyertai
umat manusia harus bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Keuniversalan Islam
berlaku bagi setiap bangsa, umat, wilayah, dan setiap zaman. Menurut Ikhwanul
Muslimin Islam datang dengan sesuatu yang lebih sempurna dan lebih tinggi dari
kehidupan parsial ini, khususnya dalam urusan-urusan keduniaan dunia murni.
Islam meletakkan kaidah-kaidah universal dalam seluruh aspek kehidupan, lalu
76
membimbing manusia pada tataran pelaksaan dan meniti langkah kehidupan pada
batas-batasnya (Syamakh, 2011:15-17).
3. Tujuan Ikhwanul Muslimin
a. Jangka pendek
Tunjuan jangka pendek dapat dilihat sejak seseorang bergabung
menjadi anggota baru atau ketika Ikhwanul Muslimin tampil dalam aksi-aksi
di medan umum.
b. Jangka panjang
Dalam tujuan panjang ini Ikhwanul Muslimin memerlukan kejelian
melihat momentum, mengunggu peluang zaman, persiapan yang mantang,
dan didahului dengan takwin (pembentukan).
Tujuan jangka panjang Ikhwanul Muslimin, antara lain:
1) Tujuan pertama berkontribusi dalam kebaikan dengan bentuk apapun,
serta melakukan pelayanan sosial di setiap kondisi yang memungkinkan.
2) Tujuan pokok Ikhwanul Muslimin yang dianggap terluhur dan perbaikan
yang diinginkan oleh Ikhwanul Muslimin yang untuk itu mereka
mempersiapkan diri adalah melakukan perubahan secara total dan
integral, melibatkan seluruh unsur kekuatan umat, bagi mereka berpadu
bahu-membahu untuk mengadakan perubahan dan perbaikan secara
menyeluruh.
3) Ikhwanul Muslimin menghendaki kebangkitan umat yang ideal, yang
tunduk pada Islam, hingga Islam menjadi petunjuk dan pemimpin berada
77
dikedudukan teratas; yaitu umat yang dikenal di tengah-tengah manusia
sebagai daulah yang berhukum dan memperjuangkan Islam (negara
Islam).
4) Ikhwanul Muslimin juga berjuang dan membentuk dan menghidupkan
kembali negara Islam agar di tengah masyarakat tegak berdirinya
pemerintahan muslim dan hukum Islam digunakan untuk mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia (2011: 18-19).
4. Tugas dan Harapan Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin menilai kondisi umat sangat memprihatikan setelah
Islam mengalami kemunduran. Secara global umat sedang berhadapan dengan
gelombang materialisme dan peradaban hedonis yang merosotkan moral bangsa-
bangsa Islam, menghambat perkembangan bangsa Islam, hingga banyak
membiarkan masyarakat dalam kemunduran. Sehingga Ikhwanul Muslimin
merasa memiliki tanggung jawab, tugas, dan juga harapan dalam upaya
membangkitkan umat.
a. Tugas Ikhwanul Muslimin
Adapun secara rinci tugas Ikhwanul Muslimin dalam upaya memajukan
umat Islam adalah sebagai berikut:
1) Islah Al-Chukumah: Menegakan sistem hukum (red: syariat Islam) dalam
negeri.
2) Iqamah Al-Khila>fah Al-‘Ammah: Menegakkan sistem hubungan
internasional dengan mengembalikan kekusaan Internasional ke tangan
umat Islam.
3) Tahrir Al-Wathon: membebaskan negeri-negeri Islam yang terjajah.
78
4) Menegakkan sistem kerja pada hukum peradilan.
5) Menegakan sistem pertahanan dan kemiliteran yang mewujudkan
pertahanan umum.
6) Menegakkan sistem ekonomi mandiri untuk kekayaan alam dan harta
benda, di mana negara dan setiap individu menjadi asasnya.
7) Menegakan sistem pengajaran dan pendidikan untuk memberantas
kebodohan dan kemunduran.
8) Islah Al-Bait Al-Muslimi>n: Menegakkan sistem keluarga dan
kerumahtanggaan untuk mencentak generasi muslim yang berkualitas.
9) Islah A’n-Nafs: Menata aturan yang mengatur perilaku pribadi.
10) Islah Al-Mujtama’: Menciptakan spirit umum mulai dari individu dan
masyarakat umum.
b. Harapan Ikhwanul Muslimin
Harapan dan keinginan Ikhwanul Muslimin yang ingin dicapai setelah
melakukan perbaikan, antara lain sebagai berikut:
1) Ikhwanul Muslimim menginginkan pribadi sesuai karakter muslim dalam
pola pikir dan akidahnya, dalam moral dan perasaannya, dan dalam kerja
serta tindakannya.
2) Ikhwanul Muslimin menginginkan terbangunnya rumah tangga yang
islami, sehingga Ikhwanul Muslimin juga sangat memperhatikan kepada
para wanita seperti halnya laki-laki, dan memperhatikan anak-anak seperti
halnya pemuda.
3) Ikhwanul Muslimin menginginkan terwujudnya bangsa muslim.
79
4) Ikhwanul Muslimin juga menginginkan sebuah pemerintahan Islam
sebagaimana yang pernah terjadi pada masa para Sahabat Nabi yang telah
berhasil membawa umat dalam kejayaan. Ikhwan Muslimin menolak
pemerintahan konservatif yang dipaksakan oleh orang-orang kafir.
5) Ikhwanul Muslimin menginginkan negara Islam merdeka dari dominasi
asing dan negara yang bebas tersebut berdiri Daulah Islamiyahyang
berlandaskan hukum Islam. Menurut Ikhwanul Muslimin selama Daulah
Islamiyyah belum tegak maka seluruh kaum muslimin menanggung dosa
(2011:21-26).
Organisasi Ikhwanul Muslimin ini merupakan prestasi terbersar Hasan Al-
Banna sepanjang hayatnya. Pasalnya ia berhasil merumuskan gerakan
kebangkitan umat Islam. Sebelumnya, memang ada beberapa tokoh Islam yang
sudah melakukan berbagai pembaharuan seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha dan lainya, akan tetapi mereka tidak membentuk institusi seperti halnya
Hasan Al-Banna yang telah membentuk Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin
sendiri merupakan gerakan yang berkonsentrasi dalam membangun akhlak umat
manusia. Akan tetapi yang menarik dalam Ikhwanul Muslimin sendiri adalah
membidik semua bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, dan menerima
modernisasi selama sesuai dengan hukum Islam.