bab ii. landasan teoritis -...
TRANSCRIPT
9
BAB II. LANDASAN TEORITIS
1.1. Corporate Cash Holding
Cash holding merupakan salah satu bentuk aset
likuid yang berbentuk sejumlah uang kartal yang
dimiliki oleh perusahaan dimana ia disimpan dalam
kas kecil (petty cash), atau dalam kas register, atau
dalam bentuk rekening-rekening baik itu didalam
bank maupun di dalam pasar uang (Wiliam & Fauzi,
2013). Menurut Christina & Ekawati (2014) bahwa
penentuan saldo kas yang optimal sangat perlu untuk
dilakukan karena kas merupakan elemen modal kerja
yang paling diperlukan perusahaan untuk memenuhi
kegiatan operasional perusahaan sehari – hari.
Djohanputro dalam buku Manajemen Kuangan
Korporat (2008:323) menjelaskan bahwa pendekatan
lain untuk menentukan cash holding ditetapkan
menurut Keputusan Manajemen berdasarkan
pengalaman manajemen dan keberanian manajemen
menghadapi risiko yang terkait dengan ketersediaan
kas, seperti risiko likuiditas dan keinginan untuk
menekan biaya pinjaman. Besarnya kas menurut
pendekatan ini berkisar antara 1 bulan sampai 3
bulan keperluan biaya operasional.
10
Motivasi perusahaan memegang kas dapat
dijelaskan melalui beberapa teori cash holding. Keynes
(1936) mengidentifikasi motif dari memegang uang
tunai sebagai transaction motives, precautionary
motives dan speculative motives. Pada transaction
motives keuntungan perusahaan dalam menahan
uang kas yakni biaya transaksi yang lebih rendah dan
tidak harus melikuidasi aset guna membiayai
kewajiban-kewajiban saat diperlukan. Custodio et al
(2005) mengatakan bahwa motif transaksi
menyiratkan bahwa perusahaan memiliki lebih
banyak uang kas selama resesi karena lebih sulit
untuk mengubah asset setara kas menjadi likuid.
Perusahaan juga menyimpan uang tunai dalam
rangka untuk terus berinvestasi dalam proyek-proyek
NPV positif dalam periode ketika pembiayaan
eksternal sangat mahal.
Precautionary motives menjelaskan kas seolah-
olah menjadi buffer. Perusahaan bisa menghimpun
cadangan kas yang lebih banyak untuk menghindari
adanya risiko di masa yang akan datang atau untuk
membiayai aktifitas dan investasinya. Ketika
pendapatan lebih tinggi, preferensi likuiditas akan
lebih tinggi juga. Suatu kali peristiwa buruk dapat
didanai melalui pembiayaan eksternal, tapi hal ini
tentu saja lebih mahal daripada memiliki uang tunai
11
di tangan. Opler et al (1999) mengatakan bahwa
memiliki kas sangat berguna sebagai sumber
pembiayaan terutama saat terjadi pengetatan kredit
(credit crunch). Han and Qiu (2007) menemukan bukti
bahwa fluktuasi cash flow mempunyai hubungan
positif terhadap cash holding pada perusahaan yang
mengalami financial constraints, sehingga penemuan
ini mendukung penjelasan mengenai precautionary
motives.
Keynes mencontohkan speculative motives
seperti halnya investor yang ingin ber-trading pada
peningkatan atau penurunan harga obligasi (spekulasi
pada aset lain memungkinkan juga), sehingga
mengubah tuntutan mereka akan likuiditas uang
tunai. Orang ingin membeli obligasi ketika harganya
murah, yaitu ketika suku bunga tinggi. Oleh karena
itu, orang ingin memiliki likuiditas saat-saat harga
obligasi yang tinggi, sehingga mereka dapat bertindak
(yaitu membeli obligasi) ketika harga turun. Oleh
karena itu, preferensi likuiditas mereka paling tinggi
jika harga obligasi yang tinggi dan suku bunga rendah.
Keynes menunjukkan hubungan terbalik antara
tingkat likuiditas dan suku bunga. Kondisi yang
demikian memunculkan motivasi spekulasi
perusahaan dengan menyediakan sejumlah kas untuk
kepentingan seperti ini.
12
Selain 3 (tiga) motivasi tersebut pada level
perusahaan motivasi cash holding dijelaskan melalui
agency theory, motif pajak dan motif strategis. Dalam
Agency theory (Jensen and Meckling, 1976),
oportunisme manajerial adalah alasan yang
menjelaskan kepemilikan kas. Manajer dapat
membuat keputusan yang menguntungkan dirinya
sendiri, bukan perusahaan secara keseluruhan atau
pemegang saham. Hal ini dapat menyebabkan
investasi dalam proyek-proyek NPV negatif, dalam
proyek-proyek yang berfokus pada kinerja jangka
pendek, atau investasi yang berfokus pada kinerja
keuangan saja. Manajer dapat menggunakan
kepemilikan uang tunai untuk mengejar tujuan
pribadi mereka sendiri, sehingga mungkin merugikan
nilai perusahaan dan pemegang saham. Semakin
besar kepemilikan kas, semakin mudah bagi manajer
untuk mengeksploitasi pemegang sahamnya dan
mengejar tujuan mereka sendiri. Oleh karena itu,
oportunisme manajerial dapat memainkan peran
penting dalam menentukan tingkat kepemilikan kas.
Hal serupa diungkapkan oleh Jensen (1986)
dalam free cash flow theory menyatakan bahwa
manajer menumpuk kas untuk meningkatkan aset di
bawah kendali mereka dan kemudian mengejar tujuan
mereka sendiri, bukan memaksimalkan kekayaan
13
pemegang saham (agency costs of managerial
discretion).
Perusahaan multinasional Amerika Serikat
memegang uang tunai pada anak perusahaan asing
mereka karena biaya pajak yang terkait dengan
pemulangan atau repatriasi pendapatan asing.
Perusahaan yang menghadapi beban pajak repatriasi
memegang kas lebih tinggi, memegang uang tunai ini
di luar negeri, dan memegang uang tunai pada afiliasi
yang memicu biaya pajak yang tinggi saat repatriasi
laba. Selain itu, perusahaan-perusahaan tertentu,
khususnya mereka yang tidak mengalami financial
constraint di dalam negeri serta mereka yang lebih
intensif terhadap teknologi, menunjukkan sensitivitas
yang lebih tinggi untuk kepemilikan kas afiliasi untuk
beban pajak repatriasi (Foley, 2007). Kondisi demikian
memunculkan motivasi pajak dalam keputusan cash
holding perusahaan.
Fresard(2010) memberikan bukti kuat
kebijakan kas perusahaan yang mencakup dimensi
strategis yaitu bagaimana kepemilikan kas
perusahaan di AS mempengaruhi keputusan pasar
produk. Cadangan kas yang lebih besar dibandingkan
pesaing menyebabkan kenaikan pangsa pasar masa
depan secara sistematis dibandingkan pesaing
industri. Dampak kas yang "kompetitif" ternyata
14
dapat diperbesar ketika pesaing menghadapi kendala
pendanaan ketat dan ketika perusahaan secara
intensif berinteraksi di pasar produk mereka.
Cadangan kas yang mapan secara signifikan
membatasi masuknya pesaing potensial. Kepemilikan
kas jauh menghambat perluasan persaingan dengan
membatasi kebijakan investasi dan akuisisi mereka.
1.2. Kondisi Bisnis
Kondisi bisnis mengacu pada variabel spesifik
perusahaan yang merupakan faktor penentu cash
hoding seperti growth options, firm size, cash flow,
capital expenditures, leverage, dividend payments
(Custodio et al ,2005). Penelitian tersebut menemu-
kan bukti kuat bahwa perusahaan yang mengalami
kondisi bisnis financial constraints meningkatkan kas
selama resesi, yang konsisten dengan precautionary
motive untuk memegang uang tunai. Selanjutnya
Bates et al (2009) menjelaskan bahwa peningkatan
kepemilikan kas terjadi karena perubahan
karakteristik perusahaan; market-to-book ratio, firm
size, cash flow to assets, capital expenditures to assets,
Leverage, dividend. Penelitian ini berfokus pada
karakteristik perusahaan yang menjelaskan
determinant of cash holding. Secara khusus pengujian
dilakukan terhadap variabel spesifik perusahaan;
15
growth opportunities, cashflow volatility, capital
expenditures, dividend dan leverage.
1.2.1.Growth Opportunity
Growth opportunity (dikenal juga sebagai
growth options) sering digunakan untuk
mengidentifikasi nilai perusahaan. Miller dan
Modigliani (1961) menjelaskan bahwa nilai
perusahaan dapat dihitung dari present value dari
perpetual earnings dari asset yang dimilki dan
present value dari peluang bahwa perusahaan
menawarkan untuk melakukan investasi tambahan
pada aset riil yang akan menghasilkan lebih dari
"normal" (market) rate of return. Sehingga harga
saham adalah elemen yang dapat dipakai untuk
menjelaskan nilai dari suatu "assets-in-place" dan
nilai dari growth opportunities. Dalam penelitian ini
Market to book value dipakai sebagai proksi growth
opportunity menunjukkan bahwa semakin naik
harga saham maka value perusahaan semakin tinggi
dan semakin berpeluang menggunakan modal
sendiri untuk mendanai pengeluaran investasi dan
operasionalnya di masa depan.
16
1.2.2.Cashflow Volatility
Cashflow volatility adalah naik turunnya arus
kas sebuah perusahaan dalam waktu tertentu
(Dechow dan Dichev, 2002). Dengan demikian
cashflow volatility menimbulkan ketidakpastian arus
kas perusahaan sehinga akan mempengaruhi
kebijakan cash holding. Dalam penelitian ini cash flow
volatility merupakan variabel penting dalam
memprediksi risiko arus kas sehingga tingginya
fluktuasi cash flow secara tidak langsung
menunjukkan ketidakpastian cash flow di masa
depan.
1.2.3.Capital Expenditure
Menurut Gitman (2012:390) capital expenditure
(CAPEX) adalah pengeluaran dana oleh perusahaan
yang diharapkan dapat menghasilkan manfaat dalam
jangka waktu lebih dari satu tahun. Perusahaan
melakukan pengeluaran modal untuk berbagai
alasan. Motif dasar pengeluaran modal untuk
memperluas operasi, mengganti atau memperbaharui
aset tetap, atau untuk mendapatkan beberapa
manfaat lainnya dalam jangka panjang. Christina &
Ekawati (2014) mendefinisikan CAPEX atau sering
dikenal dengan nama belanja modal merupakan
17
pengeluaran perusahaan untuk mendapatkan asset
tetap. Merujuk pada kedua pengertian tersebut,
maka CAPEX adalah segala bentuk pengeluaran dana
perusahaan yang dialokasikan pada penambahan,
perbaikan atau peningkatan aktiva tetap yang
menghasilkan manfaat jangka panjang.
1.2.4.Dividend
Return yang akan diterima pemegang saham
adalah dividen. Dividen tersebut bersumber dari laba
bersih perusahan dalam satu periode tertentu.
Menurut Widayati et al (2009:205) dividen merupakan
kompensasi yang diterima oleh pemegang saham
disamping capital gain. Oleh karena itu kebijakan
dividen menjadi penting disamping investasi, operasi
dan pendanaan perusahaan. Gitman (2012 : 561)
mendefinisikan kebijakan dividen sebagai keputusan
mengenai apakah perusahaan akan mendistribusikan
cash kepada pemegang saham, berapa banyak cash
yang didistribusikan dan dengan sarana apa cash
harus didistribusikan. Berdasarkan pengertian
tersebut maka dividen diartikan sebagai kompensasi
kas yang akan diterima oleh pemegang saham dari
sebagian laba bersih perusahaan.
18
1.2.5.Leverage
Leverage mencerminkan mencerminkan
tingkat hutang perusahaan, baik hutang jangka
panjang maupun hutang jangka pendek. Menurut
Mahendra (2011) leverage mengukur kemampuan
perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajiban
finansialnya yang terdiri dari hutang jangka pendek
dan hutang jangka panjangnya. Leverage yang tinggi
tidak semata-mata mencerminkan kondisi financial
distress, tetapi justru menunjukkan kemampuan
perusahaan mendatangkan sumber pendanaan
melalui instrumen hutang. Perusahaan yang memiliki
hutang tinggi bisa jadi memiliki credit rating yang
bagus oleh karena dapat meyakinkan pihak kreditur
bahwa hutang menjadi sumber pendanaan yang
produktif. Leverage dalam penelitian ini diartikan
sebagai ratio total hutang terhadap total asset.
1.3. Window Dressing Behavior
Allen dan Saunders (1992) mendefinisikan
window dressing sebagai penggunaan transaksi
keuangan jangka pendek untuk memanipulasi nilai-
nilai akuntansi sekitar tanggal akhir kuartal. Sifat
istilah jangka pendek dalam window dressing
mensyaratkan bahwa setiap transaksi dimanipulasi
dan cepat kembali ke tingkat tren yang normal,
19
biasanya dalam periode pelaporan berikutnya. Selain
itu Johnson (1969) memberikan definisi window
dressing sebagai berikut :
“the practice of certain companies of temporarily arranging their affairs in order to make a more favourable impression on a specified date than actual conditions warrant”.
1.4. Perumusan Hipotesis Pengaruh Kondisi Bisnis
terhadap Ketersediaan Cash Holding
Berikut ini akan diuraikan penalaran terkait
kondisi bisnis terhadap ketersediaan cash holding
sebagai dasar perumusan hipotesis. Secara khusus
pengujian kondisi bisnis dilakukan terhadap variabel
spesifik perusahaan ; growth opportunities, cashflow
volatility, capital expenditures, divided dan leverage.
Perusahaan yang memiliki growth opportunity tinggi
cenderung menginginkan tersedianya kas untuk
menangkap peluang investasi dimasa mendatang.
Peluang investasi yang besar menciptakan permintaan
kas semakin tinggi guna memenuhi kebutuhan
investasi dengan harapan bahwa dengan tersedianya
kas yang cukup tinggi menciptakan keuntungan
marginal lebih besar daripada biaya. Sebaliknya ketika
growth opportunity rendah akan menimbulkan
opportunity cost yang tinggi sehingga perusahaan
dengan growth opportunity rendah cenderung
menurunkan sejumlah kas di perusahaan. Hubungan
20
antara growth opportunity dengan cash holdings dapat
juga ditunjukkan melalui penelitian Opler et al. (1999)
yaitu bahwa perusahaan dengan tingkat peluang
pertumbuhan yang besar memegang kas dalam jumlah
yang besar. Juga penelitian yang dilakukan oleh
Wiliam dan Fauzi (2013) pengaruh growth opportunity
secara positif terhadap cash holdings mengindikasikan
bahwa jumlah aset likuid yang optimal sangat
dipengaruhi oleh growth opportunity. Dengan demikian
didasari penjelasan tersebut rumusan hipotesis
pertama adalah :
Hipotesis 1 : Growth Opportunity berpengaruh
positif terhadap ketersediaan cash
holding perusahaan
Perusahaan dengan cash flow yang berfluktuasi
akan berusaha untuk memegang kas dalam jumlah
yang semakin besar untuk melindungi diri dari cash
shortfall agar tetap bisa memenuhi kebutuhan operasi
dan berinvestasi. Kas seolah-olah menjadi buffer
ketika terjadi ketidakpastian atau volatilitas cash flow
perusahaan. Dengan demikian perusahaan terdorong
untuk memegang kas dalam jumlah yang lebih besar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ferreira &
Vilela (2004), Ozkan & Ozkan (2004), Opler et.al (1999)
terdapat hubungan positif antara cash flow volatility
dengan cash holding. Demikian juga hasil penelitian
21
yang dilakukan oleh Bigelli & Vidal (2012) juga
menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami
fluktuasi cashflow memegang kas lebih besar sebagai
buffer agar dapat bertahan hidup selama kondisi bisnis
memburuk. Dengan demikian didasari penjelasan
tersebut rumusan hipotesis kedua adalah:
Hipotesis 2 : Cash flow volatility berpengaruh
positif terhadap ketersediaan cash
holding perusahaan
Perusahaan dapat menyimpan uang tunai dalam
rangka untuk terus berinvestasi dalam proyek-proyek
NPV positif pada saat pembiayaan eksternal sangat
mahal. Kebutuhan akan capital expenditure dalam
rangka investasi menunjukkan perusahaan yang
ekspansif sehingga membutuhkan dukungan kas yang
memadai. Custodio et al (2005) mengatakan motif
transaksi menyiratkan bahwa perusahaan memiliki
lebih banyak uang kas selama resesi karena lebih sulit
untuk mengubah asset setara kas menjadi likuid.
Ketika perusahaan diperhadapkan pada kondisi
kesulitan biaya keuangan (financial distress costs) dan
atau peluang investasi, dalam hal ini capital
expenditures akan berhubungan positif dengan kas.
Dengan demikian didasari penjelasan tersebut
rumusan hipotesis ketiga adalah :
22
Hipotesis 3 : Capital expenditure berpengaruh
positif terhadap ketersediaan cash
holding perusahaan
Kebutuhan pembayaran dividen menaikkan
jumlah cash holding oleh karena kas harus tersedia
ketika terjadi kewajiban pembayaran dividen. Hal ini
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
perusahaan yang membayar dividen berada dalam
keadaan mengakumulasi kas yang lebih besar daripada
perusahaan yang tidak membayar dividen dikarenakan
mereka berusaha menghindari situasi dimana
kekurangan kas dalam memenuhi kewajiban
pembayaran dividen (Ozkan and Ozkan, 2004).
Penelitian Bigelli dan Vidal (2012) juga memberikan
hasil bahwa variabel perusahaan yang membayar
dividen memiliki sejumlah kas yang lebih besar untuk
pembayaran dividen tersebut. Dengan demikian
pembayaran dividen akan mempertahankan saldo kas
yang lebih besar untuk membayar dividen perusahaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut rumusan hipotesis
keempat adalah :
Hipotesis 4 : Dividend berpengaruh positif
terhadap ketersediaan cash holding
perusahaan
Perusahaan dengan leverage yang besar diduga
akan cenderung untuk memiliki cash holding dalam
23
jumlah yang besar pula dengan tujuan menjaga saldo
kas pada tingkat yang optimal agar ketika hutang jatuh
tempo maka telah tersedia sejumlah kas untuk untuk
melunasi hutang tersebut. Guney et al (2007)
melakukan penelitian tentang hubungan antara
leverage dan cash holding dan menyatakan bahwa
seiring dengan besarnya jumlah leverage maka
perusahaan akan mengakumulasi kas dalam jumlah
yang besar untuk mengurangi risiko kesulitan
keuangan dan kebangkrutan sehingga hubungan
antara leverage dan cash holding dapat menjadi positif.
Penelitian ini didukung oleh Wenyao (2007) yang
menyatakan bahwa apabila dilihat dari sisi agency
costs of debt dan potensi terjadinya kesulitan keuangan
serta kebangkrutan maka hubungan antara leverage
dan cash holding adalah positif. Perusahaan dengan
hutang yang besar akan cenderung memiliki cash
holding yang besar untuk melunasi hutang tersebut.
Perusahaan dengan leverage tinggi menemui kesulitan
dan mahal untuk mendapatkan tambahan dana maka
cenderung memegang uang tunai lebih besar sehingga
mendorong hubungan positif antara leverage dengan
cash holding. Dengan demikian didasari penjelasan
tersebut rumusan hipotesis kelima adalah :
Hipotesis 5 : Leverage berpengaruh positif
terhadap ketersediaan cash holding
perusahaan
24
H3
H1
H4
H5
1.5. Model
Berdasarkan perumusan hipotesis di atas maka
variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini
dapat dirumuskan melalui suatu model penelitian
sebagai berikut :
Kondisi Bisnis
H2
Cash Holding
Growth Opp
Cash Flow
Volatility
Capex
Dividen
Leverage
Gambar 2.1 Model Penelitian