bab ii (2)

20
“Z” Field BAB II TINJAUAN UMUM LAPANGAN ”Z” 2.1 Geologi Regional Lapangan “Z” merupakan bagian dari wilayah kerja PT. Medco E&P yang terletak di Block Sumatara Selatan dan Tengah, Sumatra Selatan, yang tepatnya pada 109 0 22’ 25” BT dan 3 0 14’ 54” LS (lihat gambar 2.1). Secara geologi, lapangan ini terletak pada bagian utara dari Musi Platform (lihat gambar 2.2). Suatu perpanjangan basement bagian atas (Basement-High) yang memanjang dari timur laut barat daya di bagian tengah platform dan lapangan ”“Z”” terletak di dalam sayap (Flank) dari bagian atas basement. Gambar 2.1 Lokasi Area Kontrak Sumatra Selatan Lapangan “Z” Sumatra selatan basin diperkirakan telah mulai terbentuk sejak paleogen atau lower tertiary, dan terangkat melalui suatu cekungan terangkat kepermukaan. Pada saat ini suatu normal fault, graben-sub graben dan horst berkembang dan ini sangat penting dalam mengontrol tertiary sedimentation. Graben mengontrol

Upload: herry-suhartomo

Post on 29-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

“Z” Field

BAB II

TINJAUAN UMUM LAPANGAN ”Z”

2.1 Geologi Regional

Lapangan “Z” merupakan bagian dari wilayah kerja PT. Medco E&P yang

terletak di Block Sumatara Selatan dan Tengah, Sumatra Selatan, yang tepatnya

pada 1090 22’ 25” BT dan 3

0 14’ 54” LS (lihat gambar 2.1). Secara geologi,

lapangan ini terletak pada bagian utara dari Musi Platform (lihat gambar 2.2).

Suatu perpanjangan basement bagian atas (Basement-High) yang memanjang dari

timur laut – barat daya di bagian tengah platform dan lapangan ”“Z”” terletak di

dalam sayap (Flank) dari bagian atas basement.

Gambar 2.1

Lokasi Area Kontrak Sumatra Selatan Lapangan “Z”

Sumatra selatan basin diperkirakan telah mulai terbentuk sejak paleogen

atau lower tertiary, dan terangkat melalui suatu cekungan terangkat kepermukaan.

Pada saat ini suatu normal fault, graben-sub graben dan horst berkembang dan ini

sangat penting dalam mengontrol tertiary sedimentation. Graben mengontrol

pengendapan dan distribusi dari formasi lemat dan talang akar dengan baik

neogene sediment selama pengangkatan. Tinggi horst/paleo hanya mengontrol

pada sedimen akhir miosen muda dan neogen.

Musi platform adalah salah satu dari puncak pengembanhan paleo/hurst selama

pengankatan. Formasi lemat dan talang akar hadir pada musi platform. formasi

tipis talang akar diikuti oleh karbonat baturaja yang mulai berkembang di dalam

musi dan platform lain selama umur akhir miosen muda.

Berdasarkan dari hasil interpretasi seismik di daerah telitian menunjukkan

bentuk konfigurasi cekungan berarah barat laut – tenggara, secara umum bentuk

konfigurasi cekungan di pengaruhi oleh tiga fase tektonik yaitu yang pertama fase

tarikan (tensional) yang di mulai dari zaman kapur atas – tersier bawah yang

membentuk konfigurasi batuan dasar berarah barat laut – tenggara yang

mengontrol pengendapan Formasi Lahat dan Talang Akar Bawah pada daerah

dalaman. Fase kedua terjadi hampir bersamaan dengan mulainya fase trangresi,

pada saat Formasi Gumai mulai di endapkan (Miosen Tengah) di awali oleh

menurunnya intensitas gaya tarikan, diganti oleh gaya kompresi yang

menyebabkan beberapa daerah terangkat dan tererosi. Fase ketiga merupakan

puncak aktifitas gaya kompresi pada kala Plio-Plistosen yang memberikan bentuk

cekungan seperti saat ini.

Gambar 2.2

Musi Platform dalam Cekungan Sumtara Selatan

“Z”

2.2 Statigrafi Regional

Stratigrafi di Sumatra Selatan secara jelas mencerminkan sejarah tektonik

daerah ini. Pengendapan sedimen yang terjadi mengikuti bentukan topografi

Tersier pada saat itu yang dicerminkan secara tajam berupa tinggian dan

rendahan, hasil dari sistem wrench tectonic divergen transtensional pada awal

Tersier. Endapan-endapan ini berasal dari darat (terestrial) yang biasanya

terlokalisir dalam suatu graben dan half graben.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka stratigtafi Cekungan

Sumatra Selatan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : kelompok batuan Pra-

tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan Kuarter. Susunan

stratigrafi regoinal daerah telitian dari tua sampai muda menurut (Lemigas, 2005)

ditunjukkan pada (Gambar 2.3) adalah sebagai berikut :

1. Batuan Pra-Tersier

Batuan pra-Tersier Cekungan Sumatra Selatan merupakan dasar cekungan

sedimen Tersier, yang meliputi granit, kuarsit, batugamping, serpih, metasedimen,

filit, sekis, andesit, dan basalt. Umur cekungan ini berkisar dari Paleozoik Akhir

sampai Mesozoik Akhir. Batuan pra-Tersier ini diperkirakan telah mengalami

perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah sampai zaman

Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum Tengah

(Lemigas, 2005).

Cekungan Sumatra Selatan terdiri dari 2 mikrolempeng benua, yaitu

mikrolempeng Mergui dan Malaka, serta oleh gabungan Mutus (Mutus

Assemblage). Mikrolempeng Mergui terdiri dari batuan permo-karboniferus dan

permo-triasik mengandung pebble mudstone glasial, serpih marine, dan meta

batupasir yang telah terdeformasi dan terintrusi oleh bermacam granit, termasuk

granit Setiti di daerah Jambi. Mikrolempeng Malaka berada di batas sebelah timur

cekungan ini, diwakili oleh kuarsit, filit, dan slate. Kedua mikrolempeng benua

tersebut tergabung di sepanjang zona batas yang membawa batuan dengan asal

dan umur yang berbeda (Mutus Assemblage), menghasilkan pencampuran dengan

komposisi argilit, redshale, basalt, dan tuff. Batuan ini diinterpretasikan dengan

produk pemekaran cekungan busur belakang dan volkanisme yang beriringan

dengan penipisan kerak benua serta naiknya aliran panas (heatflow).

2. Batuan Tersier

Cekungan Sumatra Selatan, klastika sedimen tipe benua berumur Eosen

sampai Oligosen diendapkan pada siklus transgresi yang berupa endapan sungai

(alluvial plain, piedmont deposit, braidded stream) serta endapan delta sampai

dengan endapan shallow marine tertutup. Umumnya endapan kala Eosen sampai

Oligosen awal terdiri dari endapan sedimen tebal yang didominasi berukuran butir

halus sampai kasar (kadang tersusun konglomerat) berselingan dengan serpih,

tuff, dan lapisan tipis batubara.

Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimenter Tersier di Cekungan

Sumatra Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu genang laut dan

tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut

kelompok Telisa (Lemigas, 2005), dari umur Eosen awal hingga Miosen tengah

terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja

(BRF) dan Formasi Gumai (GUI). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut

laut disebut kelompok Palembang, dari umur Miosen tengah sampai Pliosen,

terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan

Formasi Kasai (KAF).

a. Formasi Lahat (LAF)

Formasi ini terletak secara tidak selaras di atas batuan dasar, yang terdiri

atas lapisan-lapisan tipis tuff andesitik yang secara berangsur berubah ke atas

menjadi batulempung tufaan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava

andesit, yang terdapat di bagian bawah. Batulempung tufaan, segarnya berwarna

hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah keunguan.

Menurut (Lemigas, 2005) Formasi ini terdiri dari tuff, aglomerat,

batulempung, batupasir tufaan, konglomerat dan breksi yang berumur Eosen akhir

hingga Oligosen tengah. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan.

Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat diendapkan

dalam air tawar daratan.

Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya

karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga

Miosen awal, terjadi kegiatan vulkanik yang menghasilkan andesit yang mencapai

puncaknya pada umur Oligosen akhir sedangkan batuannya disebut sebagai

batuan ”lava andesit tua” yang mengintrusi batuan yang diendapkan pada zaman

Tersier awal.

Endapan Formasi Lahat sangat signifikan mengandung hidrokarbon

dengan hadirnya endapan serpih noncalcareus yang kaya material organik

berwarna coklat gelap sampai hitam dan batubara yang hadir pada bagian

cekungan yang dalam. Shale ini diendapkan pada lingkungan lacustrine dan delta.

b. Formasi Talang Akar (TAF)

Formasi Talang Akar diendapkan di atas Formasi Lahat secara selaras,

tetapi secara setempat dijumpai pula hubungan yang tidak selaras. Pada kondisi

Formasi Lahat tidak berkembang, Formasi Talang Akar diendapkan langsung

secara tidak selaras di atas batuan dasar Pra-Tersier. Bagian bawah dari Formasi

ini mempunyai tipe sedimen fluvial-deltaic dan makin keatas berubah menjadi

kondisi endapan laut. Bagian bawah umumnya terdiri dari batupasir kasar, sangat

kasar selang seling dengan serpih dan batubara yang disebut Gritsand Member,

dengan ketebalan 200 – 550 m. Bagian atas umumnya terdiri dari batupasir sedang

sampai halus selang-seling dengan serpih dan batubara, yang disebut Transitional

Member, dengan ketebalan sekitar 300 m, Formasi ini berumur Miosen bawah

bagian atas.

Setelah terjadi hiatus pengendapan pada kala Oligosen tengah, kemudian

terjadi pengendapan sedimen pada topografi rendahan dengan umur Oligosen

akhir. Variasi lingkungan pengendapannya merupakan rezim fluvio-deltaic yang

berupa braidded stream dan point bar di sepanjang paparan (shelf) berangsur

berubah menjadi lingkungan pengendapan delta front, marginal marine, dan

prodelta yang mengindikasikan perubahan lingkungan pengendapan ke arah

cekungan (basinward). Sumber sedimen batupasir Lower Talang Akar ini berasal

dari dua tinggian pada kala Oligosen akhir, yaitu di sebelah timur (Sunda

Landmass) dan sebelah barat (deretan Pegunungan Barisan dan daerah tinggian

dekat Bukit Barisan). Kemudian dipengaruhi juga oleh tinggian-tinggian di sekitar

cekungan, seperti Tinggian Setiti dan Tinggian Palembang utara.

Sedimen Formasi Talang Akar pada umumnya berangsur-angsur dari

rezim lingkungan pengendapan fluvial pada bagian bawah, dan ke arah atas

menjadi lingkungan delta dan laut dangkal (shallow marine). Sedimen Talang

Akar bagian bawah secara umum tersusun oleh butiran yang berukuran halus

sampai kasar, kadang dijumpai konglomerat, sortasi baik, relatif bersih, dan

merupakan batupasir berpori yang berlapis tebal. Oleh karena itu bagian bawah

Formasi Talang Akar memiliki kualitas yang lebih baik dan menjadi penghasil

minyak utama di Sumatra Selatan.

Dengan terus berlangsungnya pengisian pada topografi rendahan yang

umumnya karena penurunan lingkungan pengendapan secara perlahan berubah

menjadi lingkungan laut. Sekuen-sekuen yang terbentuk adalah progradasi yang

mengarah ke tengah cekungan hingga kemudian terjadi transgresi regional yang

mengakhiri pengendapan Formasi Talang Akar selama waktu Miosen awal.

Formasi Upper Talang Akar dicirikan oleh sedimen-sedimen delta sampai

laut yang tersusun oleh suksesi batupasir dan serpih berselingan dengan batubara

dan kadang-kadang batugamping. Umumnya batupasir tersebut berukuran sangat

halus sampai sedang, argillaceous hingga calcareous (karbonatan), dengan

porositas dan permeabilitas yang jelek sampai bagus. Pengendapan Formasi

Talang Akar sangat dipengaruhi oleh bentuk relief topografi, kedalaman

topografinya berkisar 0 – lebih dari 3000 feet.

c. Formasi Baturaja (BRF)

Formasi Baturaja diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar.

Ketebalannya antara 19 – 150 meter dan berumur Miosen awal. Lingkungan

pengendapannya adalah laut dangkal.

Formasi Baturaja terutama tersusun oleh batugamping dan berkembang

dengan baik secara lokal di Cekungan Sumatra Selatan. Pada Cekungan Sumatra

Selatan yang kemudian berlanjut menjadi lingkungan laut, batugamping Formasi

Baturaja diawali bentuk dengan carbonate banks secara lokal yang diendapkan di

daerah high platform dan adakalanya berkembang build-up dan mound yang

berasal dari hancuran terumbu terbentuk sebagai bagian dasar karbonat.

Kenampakan penyebaran Formasi ini terdiri dari Coral/ boundstone yang

berlapis dengan baik, kemudian interkalasi serpih dan napal pada bagian bawah

serta lebih banyak coral-algal wackstone masif dan packstone di bagian atas.

Batugamping ini terendapkan pada lingkungan pengendapan shoal terbuka dan

reef. Fasies reservoir yang paling baik pada Formasi Baturaja untuk eksplorasi

dan produksi hidrokarbon adalah pada coral-algal wackstone, packstone, yang

”prone” dan ”leaching” serta membentuk porositas sekunder.

d. Formasi Gumai (GUF)

Formasi Gumai diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil

pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut puncaknya.

Hubungannya dengan Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam cekungan

yang dangkal adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan

atau pada bagian dangkal adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat dipusat

cekungan atau pada bagian cekungan yang dalam terkadang menjari dengan

Formasi Baturaja.

Formasi ini menunjukkan fase penyebaran trangresi Neogen yang terakhir

dan paling luas serta menunjukkan fase shallow marine-deep open marine

berkembang pada lingkungan dengan energi yang sangat rendah. Pengaruh laut

sangat tinggi hingga menghubungkan Cekungan Sumatra Selatan dan Tengah

hingga hampir menenggelamkan Tinggian Lampung hingga menghubungkan

dengan Cekungan Northwest Java.

Formasi Gumai secara umum tersusun oleh serpih laut berfosil dengan

lapisan batugamping dan batulanau yang tipis. Fasies laut yang lebih dangkal

dapat ditemukan pada batas-batas cekungan yang dicirikan dengan terdapatnya

batupasir berbutir halus, batulanau, dan batugamping tipis yang berselingan

dengan serpih. Pada bagian atas Formasi ini sering ditemukan perlapisan tebal

batupasir berbutir halus sampai menengah serta memiliki karakteristik reservoir

yang baik dan khususnya pada Cekungan Sumatra Selatan terkadang mengandung

hidrokarbon.

e. Formasi Air benakat (ABF)

Awal pengendapan pada fase regresi ini terjadi pada lingkungan neritik

hingga shallow marine, yang berubah menjadi lingkungan delta plain dan coastal

swamp pada akhir dari siklus regresi pertama.

Karena proses pendangkalan lingkungan pengendapan yang terjadi secara

gradual, siklus regresi pertama ini tersusun oleh sedimen-sedimen yang bervariasi,

yang antara lain serpih, batupasir glaukonitik, dan terkadang batugamping.

Kandungan lempung yang tinggi dan glaukonitik pada bagian bawah dari siklus

pasir pertama menyebabkan harga resistivitas yang rendah pada log elektrik,

meskipun pada reservoir yang mengandung minyak.

f. Formasi Muara Enim (MEF)

Formasi Muara Enim terletak selaras diatas Formasi Air Benakat dan

merupakan siklus regresi kedua. Ketebalan Formasi ini sekitar 450 – 750. Siklus

regresi kedua dapat dibedakan dari pengendapan siklus pertama (Formasi Air

Benakat) dengan ketidakhadirannya batupasir glaukonit dan akumulasi lapisan

batubara yang tebal. Pengendapan awal terjadi di sepanjang lingkungan rawa-

rawa dataran pantai, sebagian di bagian selatan Cekungan Sumatra Selatan,

menghasilkan deposit batubara yang luas. Pengendapan berlanjut pada lingkungan

delta plain dengan perkembangan secara lokal sekuen serpih dan batupasir yang

tebal. Siklus regresi kedua terjadi selama kala Miosen Akhir dan diakhiri dengan

tanda-tanda awal tektonik Plio-Pleistosen yang menghasilkan penutupan cekungan

dan onset pengendapan lingkungan non marine.

Gambar 2.3

Kolom Statigrafi Regional Lapangan ”Z”

2.3 Petroleum Sistem Lapangan “Z”

Lapangan “Z” terletak pada cekungan Sumatra Selatan yang merupakan

salah satu cekungan di Indonesia yang telah terbukti dengan adanya cadangan

hidrokarbon yang ekonomis untuk diproduksi. Menurut Lemigas 2005, bahwa

terdapatya hidrokarbon pada cekungan ini sangat ditentukan oleh saling

keterkaitannya aspek-aspek dalam petroleum system, seperti yang tergambar pada

gambar 2.4.

1. Source rock (batuan induk)

Penelitian para ahli baru-baru ini menyebutkan bahwa source rock yang

menghasilkan minyak pada cekungan Sumatra Selatan berasal dari endapan

flufial deltaic, transisi dan secara setempat berasal dari endapan lacustrine, yang

diendapkan pada Eosen akhir – Oligosen Tengah (Lemat) dan Oligosen akhir –

Miosen Tengah (Talang Akar, batuan tersebut diendapkan pada graben dan Half

graben.

Formasi Talangakar dan Formasi Lemat di dominasi oleh fasies batubara

merupakan Source Rock yang baik dengan nilai TOC 3% dan nilai HI lebih dari

300, dengan type kerogen II/III dengan komponen materil minor leptinit, algal,

dan exinite.

Gradien geotermal di cekungan Sumatra Selatan rata – rata 2.89˚ fahrenheit

per 100 feet, apabila diasumsikan oil generat permulaan pada suhu 250˚

fahrenheit rata – rata kedalaman top oli window dicekungan sumatra selatan

pada kedalaman 1700 meter (5600 feet) dan diasumsikan gas generat permulaan

pada suhu 300˚ fahrenheit rata – rata kedalaman top gas window kira – kira pada

kedalaman 2300 meter ( 7300 feet).

2. Reservoir

Produksi oil dan gas di cekungan Sumatra selatan berasal dari reservoir

karbonat (Reef) dari formasi Baturaja. Reservoir karbonat pada formasi Baturaja

di bagi menjadi 2 kelompok yaitu batugamping platform dan batugamping

terumbu dengan nilai porositas berkisar 18% sampai 30%.

3. Cap Rock (batuan penutup)

Seal batuan penutup pada petroleum system cekungan Sumatra Selatan

secara umum berupa lapisan shale cukup tebal yang berada di atas reservoir

batugamping formasi Baturaja yang berasal dari formasi Gumai. Shale yang

bersifat intraformational juga menjadi seal rock yang baik untuk menjebak

hidrokarbon.

4. Trap (Perangkap)

Batuan penjebak hidrokarbon pada cekungan Sumatra Selatan terdiri atas

dua tipe, yaitu tipa jebakan struktur dan tipe jebakan stratigrafi.

Tipe jebakan struktur pada cekungan Sumatra Selatan secara umum

dikontrol oleh struktur-struktur tua dan struktur lebih muda. Jebakan struktur tua

ini berkombinasi dengan sesar naik sistem wrench fault yang lebih muda. Jebakan

sturktur tua juga berupa sesar normal regional yang menjebak minyak, sedangkan

jebakan struktur yang lebih muda terbentuk bersamaan dengan pengangkatan

akhir Pegunungan Barisan (Pliosen sampai pleistosen).

Struktur yang lebih muda ini terbagi menjadi beberapa macam, yaitu

struktur yang kebanyakan berarah north west sampai south east yang berupa

lipatan asimetrik yang berasosiasi dengan wrench fault, serta inverted structur

atau lazim disebut sebagai Sunda Folds yang merupakan produk dari convergence

wrench tectonism. Selain itu terdapat pula struktur kubah yang terbentuk oleh

intrusi atau vulkanisme selama awal pengangkatan Pegunungan Barisan.

Tipe jebakan stratigrafi pada umumnya berupa carbonate buildup dari

Formasi Baturaja.

5. Migration (Migrasi)

Oil generation Cekungan Sumatra Selatan termasuk dalam tingkat baik

hingga sangat baik. Migrasi minyak ini terjadi secara horisontal dan vertical dari

source rock serpih dan batubara pada Formasi Lahat dan Talang Akar. Migrasi

horisontal terjadi di sepanjang kemiringan slope, yang membawa hidrokarbon dari

source rock yang lebih dalam kepada batuan reservoir dari Formasi Lahat dan

Talang Akar. Migrasi vertikal dapat terjadi melalui rekahan-rekahan dan daerah

sesar turun mayor. Terdapatnya resapan minyak dan akumulasi minyak di dalam

Formasi Muara Enim dan Air Benakat adalah sebagai bukti yang mengindikasikan

adanya migrasi vertikal melalui daerah sesar kala Pliosen sampai Pliestosen.

Migrasi secara lateral terjadi secara intraformational dari batuan induk berupa

serpih dan batubara di dalam Formasi Lower Talang Akar yang diendapkan pada

lingkungan fluvial hingga transisi.

Gambar 2.4

Petroleum System Cekungan Sumatra Selatan

2.4 Karakteristik Reservoir Lapangan ”Z”

Karakteristik reservoir lapangan ”Z” terdiri dari 3 aspek yaitu batuan,

fluida, dan kondisi reservoir.

2.4.1 Sifat Fisik dan Kimia Batuan Reservoir

Lapangan ”Z” memproduksikan minyak dari reservoir batuan karbonat

yang berjenis batugamping (limestone), yang berasal dari formasi Baturaja.

Reservoir lapangan ”Z” memiliki sistem reservoir tertutup (close system), dengan

porositas yang berjenis primer (single porosity).

Berdasarkan dari analisa geologi dan geofisika, reservoir lapangan ”Z”

terbagi menjadi 4 facies, yaitu facies 0, facies 1, facies 2, dan facies 3. Keempat

facies tersebut memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Hal tersebut terbukti

dengan dihasilkannya trend data yang berbeda pada permeability transform plot

dari tiap facies pada analisa heterogenitas. Berdasarkan analisa diatas, reservoir

lapangan ”Z” dibagi menjadi 4 flow unit (region) dengan sifat fisik rata – rata

batuan reservoir sebagai berikut.

Tabel II.1

Data Sifat Fisik Batuan Reservoir Lapangan ”Z”

Sifat kimia dari batuan reservoir lapangan ”Z” yang berjenis batugamping

(limestone), telah dianalisa oleh PT. Halliburton Limited Indonesia di

laboratorium pada tanggal 9 Desember 1985. Analisa dilakukan pada 7 sample

core batuan reservoir yang diambil dari sumur J-1 pada ke dalaman yang berbeda,

lihat II.2. Penganalisaaan di laboratorium dilakukan dengan menggunakan metode

Qualitative X-ray Diffraction, dan hasil dari analisanya dapat dilihat pada tabel

II.3.

Tabel II.2

Deskripsi Sampel Core Batuan Reservoir dari Sumur J-1

Tabel II.3

Hasil Analisa Qualitative X-ray Diffraction Sampel Core Batuan Reservoir

dari Sumur J-1

2.4.2 Sifat Fisik dan Kimia Fluida Reservoir

Reservoir lapangan ”Z” dijenuhi oleh 3 jenis fluida yaitu gas, minyak, dan

air formasi. Pada studi simulasi reservoir, sifat fisik dan kimia ketiga fluida

reservoir tersebut diasumsikan homogen diseluruh reservoir.

Data sifat fisik dan kimia fluida reservoir lapangan ”Z” dapat diketahui

melalui analisa PVT yang dilakukan di laboratorium analisa fluida reservoir.

Pengujian dilakukan pada 3 sample fluida reservoir yang diambil dari sumur J-1,

J-2, dan J-12. Pengujian dilakukan pada kondisi awal reservoir, seperti yang

ditunjukkan pada tabel II.8. hasil pengujian dari sifat fisik fluida reservoir dapat

dilihat pada tabel II.4.

Tabel II.4

Data Sifat Fisik Fluida Reservoir Lapangan ”Z”

Sifat kimifluida reservoir lapangan ”Z” juga diuji dilaboratorium meliputi

gas dan minyak. Pengujian dilakukan untuk mengetahui komposisi penyusunnya

dar a i masing – masing jenisnya dan campuranya. Komposisi penyusun fluida

reservoir dapat dilihat pada tabel di bawah ini, seperti gas dapat dilihat pada tabel

II.5, sedangkan untuk minyak dapat dilihat pada tabel II.6, dan untuk fluida

campuran dari keduanya dapat dilihat pada tabel II.7.

Tabel II.5

Komposisi Kimia Gas pada Reservoir Lapangan ”Z”

Tabel II.6

Komposisi Kimia Minyak pada Reservoir Lapangan ”Z”

Tabel II.7

Komposisi Kimia Hydrocarbon pada Reservoir Lapangan ”Z”

2.4.3 Kondisi Reservoir

Resevoir lapangan ”Z” memiliki kondisi reservoir yang dapat dilihat pada

tabel II.8. Berdasarkan model geologi, maka diketahui bahwa reservoir lapangan

”Z” tidak memiliki layer – layer dan hanya memiliki zona aquifer yang terletak di

bawah zona minyak.

Zona aquifer terletak di bawah WOC yaitu pada 5852 ft (dpl), yang

memiliki harga permeabilitas rata – rata yaitu sebesar 5-15 mD (poor reservoir).

Kecilnya permeabilitas pada zona air menyebabkan aquifer susah untuk masuk ke

dalam zona minyak. Sistem reservoir yang terbatas menyebabkan aquifer

memiliki luasan yang terbatas, hal ini memberikan dampak pada lemahnya

support pressure yang diberikan aquifer pada reservoir.

Tabel II.8

Data Kondisi Reservoir Lapangan ”Z”

Cum Oil, MSTB

0 1000 2000 3000 2000

2200

2400

2600

2800

Pressure

psia

2.5 Pengenalan Lapangan “Z”

2.5.1 Sejarah Singkat Pengelolahan Lapangan

Lapangan “Z” ditemukan sejak tahun 1986 oleh PT. Stanvac Indonesia

setelah pemboran sumur eksplorasi J-01 yang terletak dalam kontrak area Sumatra

Selatan. Lapangan ini memproduksikan minyak dari formasi Baturaja sejak

september 1986 melalui sumur J-01,02, dan 03.

Pengembangan lapangan turus dilanjutkan di bawah PT Stanvac Indonesia

sampai Juni 1985, dan kemudian PT Exspan Nusantara mengambil alih wilayah

kerja dan melanjutkan pengoprasian lapangan tersebut. Akhirnya pada Januari

2005, PT Exspan Nusantara berubah nama menjadi PT Medco E&P Indonesia.

2.5.2 Sejarah Pengembangan Lapangan

Lapangan “Z” mulai diproduksikan pada september 1986, dengan tiga

sumur produksi (J-01,02, dan 03), dan pengembangan terus dilajutkan hingga

pada sumur J-16 yang semua sumurnya di produksikan, kecuali sumur J-04 yang

menembus suatu formasi Baturaja yang sangat kompak dan tipis.

Berdasarkan analisa data dari RFT dan well test, mengindikasikan bahwa

tekanan reservoir lapangan “Z” akan mengalami penurunan apabila fluida

reservoir di produksikan. Hal tersebut berkaitan dengan lemahnya tenaga

pendukung yang diberikan aquifer. Perkiraan laju penurunan tekanan sebesar 322

psi/MMSTB, yang ditunjukkan oleh gambar 2.5.

Gambar 2.5

Penurunan Tekanan Reservoir Versus Kumulatif Produksi Minyak

Besarnya penurunan tekanan reservoir tersebut, maka pada bulan

September 1987 PT. Stanvac Indonesia mulai merencanakan pembuatan sumur

injeksi air sebagai Pressure Maintenance untuk lapangan “Z”. Penginjeksian air

yang digunakan sebagai Pressure Maintenance dimulai melalui sumur J-13 dan J-

14 pada bulan september 1987, dengan laju injeksi air di lapangan sebesar 10.000

BWPD dan produksi minyak dilanjutkan melalui sumur J-

01,02,03,05,06,07,08,09,10, dan 11. Pada saat ini sumur J-12,15, dan 16 sedang

mengalami perbaikan komplesinya.

Pengembangan lapangan dilanjutkan dengan pemboran tambahan sumur

injektor dan produksi. Laju injeksi air telah meningkat mencapai 40.000 BWPD

pada akhir tahun 1988 dan mencapai 65.000 BWPD di pertengahan tahun 1993.

Pengembangan lapangan ”Z” berakhir pada Desember 1993, dengan total 62

sumur (22 water injectors dan 40 producers), lihat tabel II.9.

Tabel II.9

Waktu Penyelesaian dan Tipe Sumur pada Lapangan “Z”

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

Sep-86 Jun-89 Mar-92 Dec-94 Sep-97 Jun-00 Mar-03 Nov-05 Aug-08

Date

To

tal

Oil

Pro

d,

BO

PD

0.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

100.000

Wate

r C

ut,

%

Oil

Water

Gas

Water Cut

2.5.3 Sejarah Produksi

Sejarah laju produksi lapangan “Z” dapat dilihat pada gambar 2.6. Laju

produksi minyak maksimum dicapai sebesar 27.000 BOPD pada tahun 1989 dan

selanjutnya menurun hingga akhir september 2008 hanya mencapai 1,545 BOPD

dari 40 sumur produksi dengan water cut mencapai 96.6 % (lihat gambar 2.6).

Injeksi air dilanjutkan pada reservoir Baturaja sejak September 1987

sampai sekarang. Setelah mencapai maksimum sebesar 65.000 BWPD di tahun

1993, laju injeksi air selanjutnya diturunkan dan akhirnya stabil sebesar 42.000

BWPD pada tahun 2001 sampai sekarang kecuali pada periode tahun 2005 –

2007.

Kumulatif produksi minyak, air, dan air injeksi dapat dilihat pada tabel

II.10 di bawah ini.

Gambar 2.6

Performance Produksi Lapangan “Z”

Tabel II.10

Kumulatif Produksi dan Injeksi Air pada Lapangan “Z”

Reservoir Pressure (@ Datum 5800ft-ss)

1800

2000

2200

2400

2600

2800

3000

Aug-87 May-90 Jan-93 Oct-95 Jul-98 Apr-01 Jan-04 Oct-06 Jul-09

Date

Reserv

oir

Pre

ssu

re, P

sig

Reservoir Pressure (@ Datum 5800ft-ss)

1800

2000

2200

2400

2600

2800

3000

Aug-87 May-90 Jan-93 Oct-95 Jul-98 Apr-01 Jan-04 Oct-06 Jul-09

Date

Reserv

oir

Pre

ssu

re, P

sig

Pada awal aktifitas injeksi pada lapangan “Z” mengindikasikan respon

yang positif pada tekanan reservoir dan produksi minyak. Penurunan dan

peningkatan tekanan reservoir pada periode injeksi sangat bergantung pada laju

air yang diinjeksikan ke dalam reservoir. Melalui injeksi air tersebut,

menghasilkan tekanan reservoir yang stabil pada 2500-2600 psia yang diatas

tekanan bubble point (Pb) dan mendekati tekanan mula-mula (initial pressure)

sebesar 2750 psia (lihat gambar 2.7).

Gambar 2.7

Performance Tekanan Reservoir Lapangan “Z”