bab ibedahfkuns-elearning.com/learning-system/file.php/1/... · web viewtindakan definitif...

49
BAB I PENDAHULUAN Fraktur merupakan suatu patahan pada kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak langsung. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup (fraktur sederhana), kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka (fraktur compound) yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi. Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat : 1. Peristiwa trauma tunggal. 2. Tekanan yang berulang-ulang. 3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis fraktur dibagi beberapa kelompok : 1. Fraktur lengkap Tulang patah menjadi dua fragmen atau lebih. Termasuk disini adalah fraktur kominutif yang merupakan fraktur dengan lebih dari dua fragmen 1

Upload: lyhanh

Post on 22-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur merupakan suatu patahan pada kontinuitas struktur jaringan tulang

atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun

tidak langsung. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada

jenis, kekuatan dan arahnya trauma. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu

retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan

fragmen tulang bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur

tertutup (fraktur sederhana), kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus

keadaan ini disebut fraktur terbuka (fraktur compound) yang cenderung mengalami

kontaminasi dan infeksi.

Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :

1. Peristiwa trauma tunggal.

2. Tekanan yang berulang-ulang.

3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).

Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis

fraktur dibagi beberapa kelompok :

1. Fraktur lengkap

Tulang patah menjadi dua fragmen atau lebih. Termasuk disini adalah fraktur

kominutif yang merupakan fraktur dengan lebih dari dua fragmen karena

ikatan sambungan pada permukaan fraktur tidak baik, fraktur ini sering tak

stabil.

2. Fraktur tidak lengkap

Tulang terpisah secara tidak lengkap dan periosteum tetap menyatu. Biasanya

pada fraktur greenstick tulang bengkok atau melengkung, ditemukan pada

anak. Selain itu fraktur tidak lengkap bisa terdapat pada fraktur kompresi.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal

dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan

penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan

kerusakan jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan

fraktur terletak jauh dari titik trauma dari jaringan sekitar fraktur tidak mengalami

kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada

tibia, fibula atau metatarsal yang disebakan oleh karena trauma yang berulang.

1

BAB II

FRAKTUR TERBUKA

DEFINISI

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan

lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri, sehingga timbul

komplikasi berupa infeksi.

ETIOLOGI

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma

tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor yang mempengaruhi

terjadinya fraktur :

1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,

arah dan kekuatan trauma.

2. instrisik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,

kelenturan, kekuatan dan densitas tulang.

Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya bergeser. Sebagian oleh

gaya berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran biasanya

disebut dengan aposisi, penjajaran (alignment), rotasi dan berubahnya panjang.

Semua fraktur terbuka harus dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai

potensi untuk terjadi infeksi. Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-

fragmen tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang

terjadi, gaya berat, maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran fragmen

fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :

1. Aposisi (pergeseran ke samping/ sideways, tumpang tindih dan berhimpitan/

overlapping, bertrubukan sehingga saling tancap/ impacted) : fragmen dapat

bergeser ke samping, ke belakang atau ke depan dalam hubungannya dengan

2

satu sama lain, sehingga permukaan fraktur kehilangan kontak. Fraktur

biasanya akan menyatu sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun

ujung-ujung tulang terletak tidak berkontak sama sekali.

2. Angulasi (kemiringan/ penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur) :

fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain.

3. Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang) : salah satu

fragmen dapat berotasi pada poros longitudinal, tulang itu tampak lurus tetapi

tungkai akhirnya mengalami deformitas rotasional.

4. Panjang (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping

antara fragmen fraktur) : fragmen dapat tertarik dan terpisah atau dapat

tumpang tindih, akibat spasme otot, menyebabkan pemendekan tulang.

Hubungan garis fraktur dengan energi trauma :

GARIS FRAKTUR MEKANISME TRAUMA ENERGI

Transversal, oblik, spiral

(sedikit bergeser/ masih

ada kontak)

Angulasi/ memutar Ringan

Butterfly, transversal

(bergeser), sedikit

kominutif

Kombinasi Sedang

Segmental kominutif

(sangat bergeser)

Variasi Berat

KALSIFIKASI

Kalsifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan

Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera,

derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi.

Kalsifikasi Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, dan III :

TIPE BATASAN

I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm

II Panjang luka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat

III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka,

3

trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di

pertanian, fraktur yang perlu repair vaskulr dan fraktur yang lebih dari 8 jam

setelah kejadian.

Keterangan :

Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan

bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya

luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau in-out.

Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringn

lunak dan fraktur tidak kominutif.

Tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit,

jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan

kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi

traumatik.

Kalsifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau

high velocity, fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskulr dan

fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian. Kemudian Gustillo membagi tipe III

menjadi subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB, dan IIIC :

TIPE BATASAN

IIIA Periostenum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringn

lunak yang luas

IIIB Kehilangan jaringn lunak yang luas, kontaminasi berat, periostenal striping

atau terjadi bone expose

IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat

kerusakan jaringn lunak

Keterangan :

Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak,

walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.

Tipe IIIB terjadi pada fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringn lunak,

sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum,

4

fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma

high energy tanpa memandang luas luka.

Tipe IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar

kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat

kerusakan jaringan lunak.

Gustillo – Anderson

DIAGNOSIS

Diagnosis fraktur terbuka dapat ditegakkan dengan riwayat penderita,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis.

Riwayat

Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting

dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan

jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat

ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda

berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma

olah raga. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita,

biomekanisme trauma, likasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum

kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus dan sebagainya merupakan

faktor yang perlu dipertimbangkan juga. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan,

curigailah lesi patologi. Nyeri, memar, dan pembengkakan adalah gejala yang sering

ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak.

Deformitas jauh lebih mendukung.

Selalu tanyakan mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal

atau hilangnya gerakan, kulit yang pucat/ sianosis, darah dalam urin, nyeri perut,

hilangnya kesadaran untuk sementara. Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.

5

Pemeriksaan fisik

Jaringan yang mengalami cedera juga harus ditangani dengan hati-hati. Untuk

menimbulkan krepitus atau gerakan yang abnormal tidak perlu menimbulkan nyeri,

diagnosis dengan foto rontgen lebih dapat diandalkan. Namun butir-butir pemeriksaan

klinik yang biasa harus selalu dipertimbangkan, kalau tidak kerusakan pada arteri dan

saraf dapat terlewatkan. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah identisifikasi luka

secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dan lesi tersebut. Pulsasi arteri

bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga

dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular tersebut.bila disertai trauma kepala dan

tulang belakang maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi

tersebut. Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.

Pemeriksaan yang dilakukan adalah :

1. Look (inspeksi)

Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang

penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak. Kalau kulit robek dan luka

memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).

2. Feel (palpasi)

Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari

fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh

darah adalah keadaad darurat yang memerulkan pembedahan.

3. Movement (gerakan)

Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk

menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal

dari cedera.

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan

tulang dan jaringn lunak yang berhubungn dengan derajat energi dari trauma itu

sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan

pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara

tersebut tidak berhubungandengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa

fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda

asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping

melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tanda-

tanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap

6

diperlukan untuk konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal,

rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur

yang tidak memberikan gejala kalsik dalam menentukan diagnosa harus dibantu

pemeriksaan radiologis sebagai gold standart.

Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu ;

1. Dua pandangan

Fraktur atau dislikasi mungkin tidak terlihat pada film rontgentunggal, dan

sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang (anteroposterior dan

lateral).

2. Dua sendi

Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur dan

angulasi. Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain

juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi di atas dan di

bawah fraktur keduanya harus disertakan pada foto rontgen.

3. Dua tungkai

Pada rontgen tulang anak-anak epifisis yang normal dapat mengacaukan

diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.

4. Dua cedera

Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat.

Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil foto

rontgen pada pelvis dan tulang belakang.

5. Dua kesempatan

Segera setelah cedera, suatu fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit dilihat.

Kalau ragu-ragu, sebagai akibat resorpsi tulang, pemeriksaanlebih jauh 10-14

hari kemudian dapat memudahkan diagnosis.

Pencitraan khusus

Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada foto rontgen

biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT

atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menunjukkan apakah fraktur

vertebra mengancam akan menekan medula spinalis, sesungguhnya potret

transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang

sukar misalnya kalkaneus atau asetabulum, dan potret rekonstruksi tiga dimensi

bahkan lebih baik. Scanning radioisotop berguna untuk mendiagnosis fraktur tekanan

yang dicurigai atau fraktur tidak bergeser yang lain.

7

PENATALAKSANAAN

Banyak pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan syok

hebat. Bagi mereka, terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat penting. Luka harus

ditutup dengan pembalut steril atau bahan yang bersih dan dibiarkan tidak terganggu

hingga pasien mencapai bagian rawat kecelakaan.

Di Rumah Sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang

pertama, dan setiap keadaan yang membahayakan jiwa dapat diatasi. Luka kemudian

diperiksa, idealnya dipotret dengan kamera polaroid. Setelah itu dapat ditutup lagi dan

dibiarkan tidak terganggu hingga pasien berada di kamar bedah. Empat pertanyaan

yang perlu dijawab :

1. Bagaimana sifat luka tersebut.

2. Bagaimana keadaan kulit di sekitar luka.

3. Apakah sirkulasi cukup baik.

4. Apakah saraf utuh.

Semua fraktur terbuka, tidak peduli seberapa ringannya, harus dianggap

terkontaminasi, penting untuk mencoba mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini, perlu

diperhatikan empat hal yang penting :

1. Pembalutan luka dengan segera.

2. Profilaksis antibiotika.

3. Debridement luka secara dini.

4. Stabilisasi fraktur.

Penanganan fraktur terbuka

Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada

penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan

fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi

sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan

debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan sesudah operasi), pemberian

anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif

dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan

sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca

trauma.

8

Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai

berikut :

1. Pertolongan pertama

Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan

mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya.

Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah

dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril.

2. Resusitasi

Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan

memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula

dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi.

Kehilangn banyak darah pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan

syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat

menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan dilakukan bila

ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan nafas atau denyut jantung

karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera organ lain.

Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan

pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis

dilakukan setelah pasien stabil.

3. Penilaian awal

Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan

penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam

dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi

akibat fraktur itu sendiri.

4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS)

Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya

trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I

(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin

1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan

setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik

disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan

ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan

sensitifitas ulang untuk penyesuaian ualng pemberian antibiotik yang

digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka

9

derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang

terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan

kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti

tetanus dapat diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250

unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10

tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti

tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama

30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya

diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskular.

5. Debridement

Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan

mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam

anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan

traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap

ditempat. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan

bantalan yang steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur.

Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan

sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika,

misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh

membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.

Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut :

Kulit

Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan

sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang

terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah

diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.

Fasia

Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.

Otot

Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot

yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang

keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat

berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan

yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi.

10

Pembuluh darah

Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan

cermat, tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal

dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang

arteri dan dipilin.

Saraf

Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka

itu bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit

dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan

pengenalan di kemudian hari.

Tendon

Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya

saraf, penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi

tidak perlu dilakukan.

Tulang

Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan

kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus

diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas

sama sekali.

Sendi

Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka,

penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau

irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.

Debridement dapat juga dilakukan dengan :

Pembersihan luka

Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl

fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang

melekat.

Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)

Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah

tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi

pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-

fragmen yang lepas.

Pengobatan fraktur itu sendiri

11

Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau

reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III

sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.

Penutupan kulit

Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam

mulai dari terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal

ini tidak dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang.

Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan drainase

isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang

dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak

lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary

closure. Yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak

dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.

Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik

diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah

tindakan operasi.

Pencegahan tetanus

Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan

tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup

dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250

unit tetanus imunoglobulin (manusia).

6. Penanganan jaringan lunak

Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue

tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang

hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.

7. Penutupan luka

Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan

debridement dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer

tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat

sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan

evaluasi setiap hari. Setelah 5 – 7 hari dan luka bebas dan infeksi dapat

dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada

anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi

12

khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan

tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan

secepatnya untuk mencegahnya deformitas.

8. Stabilitas fraktur

Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary

splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian

bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam

dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices

sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang

setelah luka jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan

fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah

salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan

untuk mempermudah perawatan luka harian.

Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser

setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat

sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak

jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan

mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak

sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif

pilihan. Pada fraktur terbuka derajat III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang

hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan gips untuk stabilisasi fraktur cukup

beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi

penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secondary

bone healing dengan pembentukan kalus.

Pemasangan fiksasi

Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling

diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka

derajat III. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa

macam, yaitu:

1. Pemasangan plate and screws

Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi

terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya

pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur

13

dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit

langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya

terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan kalus periosteum. Pada

penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah

mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan

aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para

pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited

contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru

dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup

yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton,

2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak

agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat

mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami

kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk

pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat

dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat

fluoroskopi.

2. Pemasangan screws or wires

Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang

stabil. Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur

intraartikuler dan periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi

bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens,

1996).

Pemasangan intramedullary nails/rods

Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-

ujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan

blood supply sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union.

Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed

intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap

vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur

terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara

disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan

setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local maupun pin

tract infection.

14

3. Pemasangan external fixation devices

Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada

pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian

pemasangan plat disbanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi

pada pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan

osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan memerulkan

operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan

pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan

derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang

membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris

terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur

terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi

luar yang pernah sangat popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko

terjadinya komplikasi pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar

20-42 %, dan resiko terjadi malunion sebagai akibat reduksi yang kurang

memadai dan akibat pelepasan fiksasi yang terlalu awal setelah lama

pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan fiksasi luar dengan

unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi pada fraktur yang

tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang

lebih cepat. (Court-Brown et al., 1996).

KOMPLIKASI FRAKTUR TERBUKA

Komplikasi umum

Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam

pertama setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang

terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup

peningkatan katabolisme dan membutuhkan dukungan gizi.

Sindroma peremukan (Crush syndrome)

Sindroma peremukan dapat terjadi kalau sejumlah besar massa otot remuk,

seperti tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket dibiarkan terlalu lama. Bila

kompresi dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C), akibat pemecahan otot, dibawa

oleh darah ke ginjal dan menyumbat tubulus. Penjelasan lainnya adalah terjadinya

spasme arteria renalis dan sel tubulus yang anoksia mengalami nekrosis.

15

Syok hebat, tungkai yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian

menjadi merah, bengkak dan melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi

ginjal berkurang dan terjadi uremia keluaran rendah dengan asidosis. Kalau sekresi

ginjal pulih dalam seminggu, pasien dapat bertahan. Sebagian besar pasien, kecuali

kalau diterapi dengan dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk dan mati dalam 14

hari.

Untuk menghindari bencana, tungkai yang remuk hebat dan belum ditangani

selama beberapa jam harus diamputasi. Karena itu, kalau turniket dibiarkan selama

lebih dari 6 jam tungkai harus dikorbankan. Amputasi dilakukan di sebelah atas

tempat penekanan dan sebelum tekanan dilepaskan.

Setelah gaya tekan lenyap, amputasi tidak ada manfaatnya. Tungkai harus

tetap dingin dan syok pasien diterapi. Kalau terjadi oliguria, asupan cairan dan protein

dikurangi, karbohidrat diberikan (melalui mulut atau vena besar), katabolisme protein

dikurangi (dengan pemberian neomisin dan steroid anabolik) dan keseimbangan

elektrolit serum dipertahankan. Dialisis ginjal harus dimulai.

Trombosis vena dan emboli paru-paru

Trombosis vena dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah komplikasi

yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang sebenarnya tidak

diketahui tetapi mungkin lebih besar dari 30 % (Hedges dan Kakkar, 1988).

Trombosis paling sering terjadi dalam vena-vena di btis, dan jarang dalam vena-vena

proksimal dip aha dan pelvis. Thrombosis terutama berasal dari tempat yang terakhir

itu dan fragmen bekunya dibawa ke paru-paru. Insiden emboli paru-paru setelah

operasi ortopedik besar sekitar 5% dan insiden emboli fatal sekitar 0,5%.

Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas

darah, terutama akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh

jaringan rusak. Sekali trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi penting,

stasis dapat diakibatkan oleh turniket atau pembalut yang ketat, tekanan terhadap meja

bedah dan kasur, dan imobilitas yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan

jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi.

Pasien yang terbanyak menghadapi DVT adalah orang tua, pasien dengan

penyakit kardiovaskular, pasien yang tertahan di tempat tidur setelah cedera dan

pasien yang mengalami artroplasti pinggul (dimana pelebaran reaming pada tulang

dan terlalu banyak manipulasi pada tungkai dapat merupakan factor predisposisi

tambahan).

16

GAMBARAN KLINIK DVT

Pada dasarnya, DVT adalah suatu penyakit yang tersamar yang gejalanya lebih

sering samar daripada nyata. Pasien yang mengalami gejala yang sebenarnya sudah

terserang DVT selama beberapa hari (Ruckle, 1986).

Mungkin terdapat nyeri pada betis atau paha, tetapi setelah cedera atau

operasi, bahkan mereka yang tidak mengeluh harus diperiksa secara teratur untuk

mencari ada tidaknya pembengkakan, nyeri pada jaringan lunak dan sedikit

peningkatan suhu dan kecepatan nadi yang muncul tiba-tiba. Secara khas, pada

trombosis betis terdapat peningkatan nyeri pada dorsiflesi kaki (tanda Homans).

Diagnosis dan juga tempat trombosis yang tepat, dapat ditetapkan dengan

venografi asendens yang harus dilakukan secara bilateral. Diantara metode non-

infansif, scanning altrasonik mode B sangat akurat untuk mendeteksi DVT proksimal,

peristiwa pendahulu yang paling bermakna untuk emboli paru-paru. Metode detteksi

yang kurang dipercaya adalah pengukuran ambilan fibrinogen berlabel iodine

radioaktif dalam bekuan atau penggunaan teknik Doppler untuk mengukur aliran

darah.

Embolisme paru-paru, yang hamper selalu berasal dari pelvis atau paha dan

bukannya betis, sulit didiagnosis secara meyakinkan. Hanya sedikit pasien yang

mempunyai tanda-tanda, misalnya nyeri dada, sesak nafas atau hemoptisis. Pasien

kadang-kadang terserang nyeri dada mendadak, berubah pucat dan mati. Semua

pasien DVT harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda konsolidasi paru-

paru. Pada kasus yang mencurigakan, sinar X pada dada, sintigrafi paru-paru dan

angiografi paru-paru mungkin diperlukan untuk menentukan diagnosis.

Edema tungkai bawah yang kronis dan ulkus kaki (sindroma pasca flebitis)

terjadi pada hamper semua pasien dengan thrombosis iliofemoral dan pada 10%

pasien dengan thrombosis betis.

PENCEGAHAN

Resiko DVT dan emboli paru-paru dapat banyak dikurangi dengan terapi

profilaksis. Tindakan fisik yang sederhana antara lain adalah peninggian kaki tempat

tidur, penggunaan kaus kaki elastic atau kaus kaki pembagi tekanan, dan terutama

sekali penggalakkan latihan dan menyuruh pasien beranjak dari tempat tidur dan

berjalan sesegera mungkin. Tindakan ini lebih efektif bila dikombinasikan dengan

terpai antikoagulan, yang sekarang biasanya dianjurkan kepada pasien yang diketahui

resiko tinggi. Regimen yang biasa adalah heparin subkutan dosis rendah, 5000 unit

17

sebelum operasi dan krmudian tiga kali sehari pasca bedah hingga pasien dapat

bergerak. Sayangnya, cara ini membawa resiko meningkatnya perdarahan setelah

operasi dan ini merupakan kontraindikasi pada orang lanjut usia. Akhir-akhir ini,

diperkenalkan heparin berbobot molekul rendah, ini sama efektifnya dengan heparin

yang tidak difraksionisasi untuk mencegah DVT tetapi katanya tidak begitu

berpotensi menyebabkan perdarahan. Selain itu, pengaruh utamanya adalah para

trombosis vena proksimal, penyebab utama emboli paru-paru.

TERAPI

DVT local dala betis dapat diterapi hanya dengan memasang kaus kaki elastic

dan memberikan heparin subkutan dosis rendah (5000 unit tiga kali sehari) hingga

pasien dapat bergerak sepenuhnya. DVT dan pasti thrombosis vena paha atau pelvis,

atau emboli paru-paru yang telah pasti, harus diterapi sesegera dengan istirahat di

tempat tidur, penggunaan kaus kaki elastic dan antikoagulasi penuh. Kecenderungan

perdarahan dan ulkus peptikum merupakan konttraindikasi.

Heparin diberikan secara intravena, dalam dosis tetap sebesar 10.000 unit

setiap 6 jam, dengan protamin sebagi antidote bila terjadi perdarahan, atau sebaiknya

dalam berbagai dosis yang diatur untuk mempertahankan aktivitas tromboplastin

sebagaian pada 1,5-2,0 kali nilai normal. Ini dilanjutkan selama 5-7 hari. Selama 2

hari terakhir periode ini, diberikan wafarin secara oral dan heparin dihentikan. Dosis

harian wafarin diatur untuk mempertahankan waktu protombin sekitar dua kali dari

normal, terapi dilanjutkan kira-kira selama 3 bulan.

Embolisme paru-paru yang akut dan berat membutuhkan resusitasi

kardiorespiratori, vasopresor untuk syok, oksigen dan heparin dosis besar (15.000

unit). Streptokinase digunakan bekuan dan untuk mencegah pembekuan selanjutnya.

Antibiotika dapat diberikan untuk mencegah infeksi paru-paru.

Tetanus

Organism tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati. Organism ini

menghasilkan eksotosin yang menuju susunan saraf pusat lewat darah dan saluran

getah bening perineural dari derah yang terinfeksi. Toksin terkait dalam sel tanduk

anterior sehingga tidak dapat dinetralkan oleh antitoksin.

Tetanus ditandai oleh kontraksi tonik, dan belakangan klonik, terutama pada

otot rahang dan muka (trismus, risus sardonicus), otot dekat luka itu sendiri, dan

kemudian pada leher dan badan. Pada akhirnya, diafragma dan otot interkostal dapat

kejang dan pasien mati karena asfiksia.

18

PROFILAKSIS

Imunisasi aktif pada seluruh masyarakat dengan toksoid tetanus hamper

mencapai ideal. Bagi pasien yang sudah diimunisasi, dosis booster toksoid diberikan

walaupun luka terseburt kecil. Pada pasien yang belum diimunisasi, pembersihan luka

yang cepat dan menyeluruh disertai antibiotic mungkin memadai, tetapi kalau luka

terkontaminasi dan terutama kalau operasi tertunda, sebaiknya diberikan antitoksin.

Serum kuda banyak membawa resiko anafilaksis, dan harus digunakan antitoksin

manusia (immunoglobulin tetanus). Kesempatan ini juga digunakan untuk memulai

imunisasi aktif dengan toksoid.

TERAPI

Bila tetanus telah terjadi, sebaiknya diberikan antitoksin intravena (antitoksin

manusia sebagai pllihan). Sedasi yang berat dan obat relaksan otot dapat membantu.

Intubasi trakea dan pernafasan terkendali digunakan untuk pasien dengan kesulitan

bernafas dan menelan.

Gas gangren

Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi klostrodium (terutama

C welchii). Organisme anaerob ini dapat hidup dan berkembang biak hanya dalam

jaringan dengan tekanan oksigen yang rendah, karena itu tempat utama infeksinya

adalah luka yang koto dengan otot yang mati yang telah ditutup tanpa debridement

yang memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan dinding

sel dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan, sehingga memudahkan

penyebaran penyakit itu.

Gambaran klinik timbul dalam 24 jam setelah cedera, pasien mengeluh nyeri

hebat dan terdapat pembengkakan di sekitar luka dan secret yang kecoklatan dapat

ditemukan. Pembentukan gas biasanya tidak sangat nyata. Terdapat sedikit atau tidak

ada demam, tetapi denyut nadi meningkat dan bau yang khas menjadi jelas. Dengan

cepat pasien akan mengalami toksemia dan dapat terjadi koma dan kematian.

Gas gangren, yang ditandai dengan mionekrosis perlu dibedakan dari selulitis

anaerob, dimana banyak pembentukan gas yang dangkal tetapi toksemia biasanya

ringan. Kegagalan mengenai perbedaan itu dapat mengakibatkan amputasi yang tidak

perlu untuk selulitis yang tidak mematikan.

PENCEGAHAN

19

Luka yang menembus dalam-dalam pada jaringan otot berbahaya. Luka itu

harus dieksplorasi, semua jaringan yang mati harus dieksisi dan kalau terdapat sedikit

keraguan mengenai kelangsungan hidup jaringan, luka harus dibiarkan terbuka.

Celakanya, tidak ada antitoksinyang efektif untuk C wellchii.

TERAPI

Diagnosis dini adalah kunci terapi untuk menyelamatkan jiwa. Upaya umum,

misalnya penggantian cairan dan pemberian antibiotika intravena dimulai segera.

Oksigen hiperbatik telah digunakan sebagai cara untuk membatasi penyebaran

gangrene. Tetapi cara utama terapi adalah dekompresi luka dengan segera dan

pembuangan semua jaringan yang mati. Pada kasus yang parah, amputasi mungkin

diperlukan.

Emboli lemak

Adanya gumpalan lemak yang diameternya lebih besar daripada 10

mikrometer dalam sirkulasi, dan sedikit tanda-tanda histologist dari emboli lemak

pada paru-paru, terjadi pada sebagian besar orang dewasa setelah fraktur tertutup pada

tulang panjang. Untungnya hanya sejumlah kecil pasien yang mengalami sindroma

emboli lemak, yang sekarang dianggap sebagai bagian dari gangguan fungsi

pernafasan pasca trauma.

Sumber emboli lemak kemungkinan adalah sumber tulang dan keadaan ini

sering ditemukan pada pasien dengan fraktur multiple yang tertutup. Tetapi, emboli

lemak telah dilaporkan pada berbagai jenis kelainan yang bukan merupakan cedera

kerangka (misalnya luka bakar, infark ginjal dan operasi kardiopulmoner).

Patogenesisnya masih diperdebatkan.

GAMBARAN KLINIK

Pasien yang mengalami gejala biasanya orang dewasa muda dengan fraktur

tungkai bawah. Tanda-tanda peringatan dini (dalam 72 jam dalam cedera) adalah

sedikit kenaikan suhu dan denyut nadi. Pada kasus yang lebih berat terdapat sesak

nafas dan sedikit kekacauan mental atau kegelisahan. Petekie harus dicari pada bagian

depan dan belakang dada dan llipatan konjungtiva. Pada kasus yang paling berat

mungkin terdapat gangguan pernafasan yang jelas dan koma sebagi akibat hipoksia

dan sebagian akibat emboli otak. Tanda-tanda pada stadium ini terutama berupa

sindroma gangguan pernafasan pada orang dewasa. Sesungguhnya, emboli lemak

merupakan salah satu dari factor predisposisi utama terjadinya ARDS (Adult

20

Respiratory Distess Syndrome). Factor-faktor lain yang penting adalh hipovolemia,

penggantian cairan yang tidak tepat dan sepsis.

PEMERIKSAAN KHUSUS

Tidak ada uji yang tak salah untuk emboli lemak, tetapi tanda-tanda yang

cukup konstan adalah hipoksemia. PO2 darah harus selalu dipantau selama 72 jam

pertama pada setiap cedera besar, dan nilai di bawah 60mmHg harus dicurigai.

TERAPI

Pada kasus yang ringan tidak diperlukan terapi, tetapi diperlukan pemantauan

yang tepat pada PO2 darah, dan keseimbangan cairan. Kalau terdapat tanda-tanda

hipoksia, oksigen harus diberikan. Pasien dengan gangguan pernafasan yang hebat

membutuhkan perawatan intensif, dengan sedasi, bantuan ventilasi dan kateterisasi

Swan-Ganz untuk membantu fungsi jantung.

Keseimbangan cairan harus dipertahankan, dan dianjurkan melakukan upaya

pendukung yang lain, contohnya heparin untuk melawan tromboemboli. Steroid untuk

membantu mengurangi edema paru-paru atau aprotinin (Trasylol) untuk mencegah

agregasi kilomikron.

Komplikasi lokal

Komplikasi local dapat timbul lebih dini (selama beberapa minggu pertama

setelah cedera) atau belakangan (dari beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah

fraktur). Komplikasi ini selanjutnya dapat dibagi lagi memnjadi yang mempengaruhi

tulang dan yang melibatkan jaringan lunak dan sendi-sendi.

Komplikasi dini tulang

Infeksi

Fraktur terbuka dapat terinfeksi, fraktur tertutup hamper tidak pernah trinfeksi

kecuali kalau dibuka dengan operasi. Infeksi luka pasca trauma sekarang paling sering

menyebabkan osteitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan frajtur, tetapi

penyatuan akan berjalan lambat dan kesempatan mengalami fraktur ulang meningkat.

GAMBARAN KLINIK

Terdapat riwayat fraktur terbuka atau operasi pada fraktur tertutup. Luka itu

akan meradang dan mulai mengeluarkan cairan seropurulen. Pemeriksaan contoh

cairan ini dapat menghasilkan stafilokokus atau kuman campuran. Sekalipun

pemeriksaan bakteriologi negative, kalau tanda-tanda klinik pasien mendukung,

pasien harus tetap diobservasi terus-menerus dan terapi antibiotika intravena

diberikan.

21

TERAPI

Semua fraktur terbuka harus dianggap berpotensi terkena infeksi dan diterapi

dengan pemberian antibiotika dan secara cermat semua jaringan yang mati dieksisi.

Pada infeksi akut, jaringan di sekitar fraktur harus dibuka dan didrainase. Pilihan

antibiotika tergantung pada kepekaan bakteri.

Kalau disertai osteitis kronis, sinus yang mengeluarkan secret harus dibalut

setiap hari dan fraktur harus diimobilisasi agar terjadi penyatuan. Fiksasi luar berguna

dalam kasus semacam itu, tetapi kalau paku intramedula sudah terlanjur dimasukkan,

ini tidak boleh dilepas, yang lebih buruk daripada fraktur yang terinfeksi adalah

fraktur yang terinfeksi adalah fraktur yang terinfeksi serta tidak stabil.

Komplikasi dini jaringan lunak

Lepuh fraktur

Keadaan ini akibat naiknya lapisan dangkal kulit karena edema, dan kadang-

kadang dapat dicegah dengan pemmbalutan yang erat. Lepuh harus ditutupi dengan

suatu pembalut steril yang kering.

Borok akibat gips

Borok akibat gips terjadi bila kulit menekan langsung pada tulang. Keadaan

ini harus dicegah dengan memberikan bantalan pada tonjolan-tonjolan tulang dan

dengan mengatur bentuk gips yang basah, sehingga tekanan didistribusikan ke

jaringan lunak di sekitar tonjolan-tonjolan tulang. Bila borok akibat gipas timbul,

pasien merasakan nyeri membakar local. Gips harus segera dipotong untuk membuat

jendela, kalau tidak nyeri peringatan akan mereda dengan cepat dan tanpa diketahui

mulai timbul nekrosis kulit.

Robekan serabut otot

Robekan serabut otot sering ditemukan pada setiap fraktur. Kecuali kalau otot

tersebut digunakan secara aktif, serabut yang robek dapat menempel pada serabut

yang tidak robek, kapsul atau tulang. Kalau perlekatan dibiarkan terjadi, akan

diperlukan rehabilitasi yang lama setelah fraktur berkonsolidasi. Fraktur dan otot yang

robek membutuhkan terapi. Lebih baik menangani kedua keadaan tersebut daripada

sendiri-sendiri.

Hematrosis

22

Fraktur yang melibatkan sendi dapat menyebabkan hemartrosis akut. Sendi

bengkak dan tegang dan pasien terhalang setiap kali mencoba menggerakkannya.

Darah harus diaspirasi sebelum menangani fraktur.

Cedera pembuluh darah

Fraktur yan paling sering disertai kerusakan pada arteri utama adalah fraktur di

sekitar lutut dan siku, dan fraktur batang humerus dan femur. Arteri dapat terputus,

robek, tertekan atau mengalami kontusi, akibat cedera awal atau sesudahnya akibat

fragmen tulang yang lancip. Meskipun penampilan luarnya normal, intima dapat

terlepas dan pembuluh tersumbat oleh thrombus, atau segmen arteri mungkin

mengalami spasme. Efek-efeknya bervariasi mulai dari pengurangan aliran darah

sementara sampai iskemia yang jelas, kematian jaringan dan gangguan perifer.

Sindroma kompartemen

Fraktur pada lengan dan kaki dapat menimbulkan iskemia hebat sekalipun

tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema atau radang (infeksi) dapat

meningkatkan tekanan pada salah satu kompartemen osteofasia. Terdapat penurunan

aliran kapiler yang mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih

jauh, mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan iskemia lebih hebat, suatu

lingkaran setan yang berakhir. Setelah 12 jam atau kurang, dengan nekrosis saraf dan

otot dalam kompartemen. Saraf dapat mengalami regenerasi, tetapi otot sekali terkena

infark, tidak dapat pulih dan digantikan oleh jaringan fibrosa yang tidak elastic

(kontraktur iskemik Volkman). Rangkaian kejadian yang serupa dapat disebabkan

oleh pembengkakan suatu tungkai dalam suatu cetakan gips yang ketat.

Cedera saraf

Fraktur dapat disertai komplikasi cedera saraf. Keadaan ini terutama sering

ditemukan pada fraktur humerus atau cedera di sekitar lutut. Tanda-tanda yang

member petunjuk harus dicari dalam pemeriksaan awal. Pada cedera tertutup, saraf

jarang terputus, dan penyembuhan spontan harus ditunggu. Kalau belum terjadi

penyembuhan dalam waktu yang diharapkan, saraf harus dieksplorasi, kadang-kadang

saraf terjebak diantara fragmen-fragmen dan kadang-kadang ditemukan terpisah. Pada

fraktur terbuka, suatu lesi lengkap (neurotmesis) kemungkinan besar terjadi. Saraf

dieksplorasi selama debridement luka dan diperbaiki, atau sebagi prosedur sekunder 3

minggu kemudian.

23

Kompresi saraf akut kadang-kadang terjadi pada fraktur atau dislokasi di

sekitar pergelangan tangan. Keluhan baal atau parestesia dalam distribusi saraf ulnaris

atau medianus harus ditanggapi secara serius dan saraf dengan segera dieksplorasi dan

dilakukan dekompresi.

Cedera visceral

Fraktur pada badan sering disertai komplikasi cedera pada visera yang

dibawahnya, yang paling penting adalah penetrasi pada paru-paru dengan

pneumotoraks yang membahayakan jiwa setelah fraktur tulang rusuk dan rupture

kandung kemih atau uretra pada fraktur pelvis. Cedera ini membutuhkan terapi

darurat, sebelum fraktur ditangani.

Komplikasi belakang tulang

Nekrosis avaskular

Daerah tertrntu dikenal memiliki kecenderungan untuk mengalami iskemia

dan nekrosis tulang setelah cedera. Daerah-daerah itu adalah :

1. Kaput femoralis (setelah fraktur pada leher femur atau dislokasi pada pinggul).

2. Bagian proksimal dari skafoid (akibat fraktur pada pinggangnya).

3. Lunatum (setelah dislokasi).

4. Tubuh talus (setelah fraktur pada lehernya).

Tepatnya ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang karena iskemia terjadi

selama beberapa jam pertama setelah fraktur atau dislokasi. Tetapi, efek-efek klinik

dan radiologi tidak terlihat sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan

kemudian.

Penyatuan terlambat

Jangan sekali-kali mengandalkan untuk menentukan kapan terapi dapat

dihentikan. Kalau waktunya terlalu lama, digunakan istilah penyatuan terlambat.

Penyebabnya karena pasokan darah tidak cukup. Bila terjadi fraktur pada tulang yang

tidak memiliki serabut otot, terdapat resiko penyatuan lambat. Tulang yang mudah

terserang antara lain adalah tulang yang cenderung terkena nekrosis avaskular, dan

juga tibia bagian bawah(terutama fraktur ganda).

Infeksi fraktur terbuka lambat untuk menyatu, mungkin karena tidak banyak

hematoma di sekitar fraktur tempat kalus penyelubung terbentuk. Infeksi dapat

menunda penyatuan lebih jauh.

24

Pembebatan yang tidak benar ini mencangkup :

1. Pembebatan yang tidak mencukupi, karena itu gips standar di bawah

lutut tidak cukup menahan fraktur batang tibia.

2. Traksi yang terlalu banyak, yang menarik tulang hingga terpisah.

Tulang disampingnya utuh kalau satu tulang pada lengan bawah atau kaki

tidak patah, ujung-ujung frajtur pada tulang lainnya dapat tetap terpisah dan kemudian

terjadi penundaan.

Non union

Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah diterapi

dengan memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah adanya celah yang

terlalu lebar dan interposisi jaringan.

Celah terlalu lebar, kalau permukaan fraktur terpisah terlalu jauh, penyatuan

sangat lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan oleh fraktur

tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian tulang yang

lepas dalam kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot dimana otot pasien

sendiri menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada fraktur patela), atau

akibat terapi dengan traksi yang berlebih.

Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini

berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada

fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),

kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar sehingga

permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya).

Malunion

Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan (angulasi,

rotasi atau pemendekan yang tidak dapat diterima) fraktur itu dikatakan mengalami

malunion. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya fraktur secara cukup, kegagalan

mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsur-

angsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif.

Komplikasi belakang-jaringan lunak

Ulkus dekubitus (bed sores)

Ulkus dekubitus terjadi pada manusia atau pasien yang lumpuh. Kulit,

terutama di atas sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang cermat dan

aktivitas lebih awal biasanya dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini terjadi,

terapi sukar, mungkin diperlukan eksisi jaringan nekrotik dan pencangkokan kulit.

25

Miotitis osifikans

Oksifikasi heterotopik otot kadang-kadang terjadi setelah cedera, terutama

dislokasi pada siku atau pukulan pada brakialis, deltoid, atau kuadriseps. Diduga ini

akibat dari kerusakan otot, tetapi keadaan ini juga terjadi tanpa cedera lokal pada

pasien yang tidak sadar atau pasien paraplegia.

Tendinitis

Tendinitis dapat menyerang tendon posterior tibialis setelah fraktur maleolus

medial. Tendinitis harus dicegah dengan reduksi yang tepat, kalau perlu dengan

operasi terbuka.

Ruptur tendon

Ruptur belakangan pada tendon ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12

minggu setelah fraktur radius bagian bawah. Penjahitan langsung jarang berhasil dan

ketidakstabilan yang diakibatkannya diterapi dengan memindahkan tendon ekstensor

indisis peoprius ke ujung distal tendon ibu jari yang robek. Ruptur belakangan pada

kaput biseps panjang setelah fraktur leher humerus biasanya tidak memerlukan terapi.

Kompresi saraf

Kompresi saraf dapat merusak saraf popliteal lateral kalau seorang lanjut usia

atau pasien yang kurus berbaring dengan kaki dalam rotasi luar penuh. Kellumpuhan

radialis dapat terjadi akibat kesalahan dalam penggunaan penopang. Kedua keadaan

itu adalah akibat kurangnya pengawasan.

Terjepitnya saraf

Deformitas tulang atau sendi mungkin mengakibatkan terjepitnya saraf lokal

dengan tanda-tanda yang khas, misalnya rasa baal atau paraestesia, hilangnya tenaga

dan pengecilan otot dalam distribusi saraf yang terkena. Tempat yang sering terkena

ialah :

1. Saraf ulnaris, akibat suatu siku valgus setelah terjadi fraktur kondilus lateral

yang tidak menyatu.

2. Saraf medianus, setelah cedera sekitar daerah pergelangan tangan.

3. Saraf tibialis posterior, setelah fraktur sekitar pergelangan kaki.

Terapinya adalah dengan dekompresi dini terhadap saraf, dalam hal saraf ulnaris

dapat dibutuhkan transposisi anterior.

Kontraktur volkman

Setelah cedera arteri atau suatu sindroma kompartemen, pasien dapat

mengalami kontraktur iskemik pada otot yang terkena. Tetapi saraf yang cedera oleh

26

iskemia kadang-kadang sembuh kembali. Sekurang-kurangnya sebagian, kerena itu

pasien memperlihatkan deformitas dan mengalami kekakuan, tetapi rasa baal tidak

selalu ditemukan. Tempat yang paling sering terkena adalah lengan bawah, tangan,

tungkai bawah dan kaki.

Dalam kasus yang berat yang melibatkan lengan bawah, akan terdepat

pengecilan lengan bawah dan tangan serta sikap cakar pada jemari. Kalau pergelangan

tangan diflekskan secara pasif, pasien dapat mengekstensikan jari, menunjukkan

bahwa deformitas ini terutama adalah akibat kontraktur dari otot lengan bawah.

Pelepasan fleksor-fleksor di origonya dan disepanjang membran interoseosa di lengan

bawah dapat memperbaiki deformitas, tetapi fungsi tidak lebih baik kalau sensasi dan

gerakan aktif tidak dapat dipulihkan. Cangkokan saraf pedikel dengan menggunakan

segmen proksimal saraf medianus dan saraf ulnaris dapat memulihkan sensasi

protektif pada tangan, dan pemindahan tendon.(ekstensor pergelangan tangan ke

fleksor jari dan jempol) akan memungkinkan genggaman aktif. Pada kasus yang tidak

berat, daya kepekaan saraf medianus dapat amat baik dan dengan pelepasan dan

pemindahan tendon secara tepat, pasien akan memperoleh kembali sejumlah besar

fungsi.

Iskemia pada tangan dapat terjadi akibat cedera lengan bawah, atau

pembengkakan pada jari yang disebabkan oleh terlalu ketatnya pembalut atau gips

pada lengan bawah. Otot tangan instrinsik akan mengalami fibrosis dan memendek,

menarik jari ke dalam fleksi pada sendi-sendi metakarpofalangeal, tetapi sendi-sendi

interfalang tetap lurus. Ibu jari teraduksi melintas telapak tangan (posisi instrinsik plus

Bunnell).

Iskemia otot betis dapat terjadi akibat cedera atau pembedahan yang

melibatkan arteri poplitea atau cabang-cabangnya. Ini lebih sering ditemukan daripada

yang biasanya. Gejala, tanda-tanda dan kontraktur yang terjadi berikutnya mirip

dengan gejala setelah iskemia pada lengan bawah. Kadang-kadang, iskemia dapat

menyerang otot instrinsik kaki, menyebabkan jari cakar pada kaki.

Komplikasi yang belakang-sendi

Ketidakstabilan sendi

Setelah cedera suatu sendi dapat ambruk. Penyebabnya antara lain adalah

berikut :

o Longgarnya ligamentosa, terutama pada lutut, pergelangan kaki, dan

sendi metakarpofalangeal ibu jari.

27

o Kelemahan otot, terutama kalau pembebatan berlebihan atau lama, dan

latihan tidak cukup (lutut dan pergelangan kaki yang paling sering

terkena)

o Kehilangan tulang, terutama stelah suatu fraktur tembakan atau cedera

terbuka yang berat.

Cedera juga dapat mengakibatkan dislokasi berulang. Tempat yang paling

biasa adalah :

o Bahu, kalau labrum glenoid telah terlepas.

o Patela, kalau setelah dislokasi traumatik, kapsul sembuh dengan kurang

baik.

Bentuk ketidakstabilan yang lebih halus ditemukan setelah fraktur di sekitar

pergelangan tangan. Pasien yang mengeluhkan rasa tidak enak atau kelemahan yang

berkelanjutan setelah cedera pergelangan tangan harus diperiksa secara lengkap

untuk mencari ada tidaknya ketidakstabilan karpal kronis.

Kekakuan sendi

Kekakuan sendi yang terjadi setelah suatu fraktur biasanya terjadi di lutut,

siku, bahu dan sendi-sendi kecil pada tangan. Kadang-kadang sendi sendiri

mengalami cedera. Suatu hemartrosis terbentuk dan mengakibatkan perlekatan

sinovial. Biasanya kekakuan terjadi akibat edema dan fibrosis pada kapsul, ligamen

dan otot di sekitar sendi, atau perlekatan dari jaringan lunak satu sama lain atau ke

tulang yang mendasari. Semua keadaan ini akan lebih buruk bila imobilisasi

berlangsung lama. Selain itu, kalau sendi telah dipertahankan dalam posisi dimana

ligamen terpendek, tidak ada latihan yang akan berhenti sepenuhnya merentangkan

jaringan ini dan memulihkan gerakan yang hilang.

Pada sejumlah kecil pasien dengan fraktur lengan bawah atau kaki,

pembengkakan dini pasca trauma disertai oleh nyeri tekan dan kekakuan progesif

dari sendi-sendi distal. Pasien ini sangat beresiko dapat mengalami distrofi simpatik

reflek (algodistrofi). Apakah ini suatu hal yang sama sekali terpisah atau hanya suatu

perluasan dari reaksi jaringan lunak pasca trauma yang normal masih tidak jelas.

Yang penting adalah mengenali jenis kekakuan ini bila terjadi dan menganjurkan

fisioterapi oleh seorang ahli sampai fungsi normal pulih kembali.

Algodistrofi (atrofi sudeck)

28

Pada tahun 1900, Sudeck menguraikan suatu keadaan yang ditandai oleh

osteoporosis yang nyeri pada tangan. Keadaan yang sama kadang-kadang terjadi

setelah fraktur pada tungkai dan sekarang diketahui bahwa ini adalah stadium akhir

dari algodistrofi pasca trauma. Ini jauh lebih sering ditemukan daripada yang semula

dipercaya dan dapat terjadi akibat cedera yang relatif sepele.

Pasien mengeluhkan nyeri yang terus-menerus dan terasa membakar. Mula-

mula terdapat pembengkakan lokal, kemerahan dan kehangatan, di samping nyeri

tekan dan kekakuan sedang pada sendi-sendi yang berdekatan. Setelah beberapa

minggu berlalu kulit menjadi pucat dan mengalami deformitas yang menetap. Sinar-

X secara khas memperlihatkan penipisan tulang.

Lebih cepat keadaan ini dikenal dan terapi dimulai, prognosis akan lebih baik.

Peninggian dan latihan aktif penting setelah semua cedera, tetapi pada algodistrofi

hal tersebut sangat penting. Kalau tidak ada perbaikan di dalam beberapa minggu,

blok simpatik atau obat simpatolitik misalnya guanetidin intravena dapat membantu.

Sekalipun demikian, fisioterapi jangka panjang akan diperlukan.

Osteoatritis

Fraktur yang melibatkan sendi dapat sangat merusak rawan sendi dan

menyebabkan osteoatritis pasca trauma dalam beberapa bulan. Sekalipun tulang

rawan sembuh, tidak teraturnya permukaan sendi dapat menyebabkan predisposisi

untuk osteoartritis sekunder beberapa tahun kemudian. Tidak banyak yang dapat

dilakukan untuk mencegah keadaan ini sekali fraktur telah menyatu.

Malunion pada suatu fraktur batang dapat sama sekali mengubah mekanika

sendi yang berdekatan dan ini juga dapat menyebabkan osteoartritis sekunder.

Angulasi sisa yang lebih dari 15 derajatpada tulang tungkai bawah harus dengan hati-

hati dinilai efeknya terhadap fungsi sendi dan kalau perlu dikoreksi oleh osteotoni.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fraktur-Terbuka/Penanganan.html

2. http://www.klikdokter.com/illness/detail/105

3. http://elyoka.blogspot.com/2009/03/fraktur-terbuka.html

4. http://bedahumum.wordpress.com/2009/02/25/penanganan-patah-tulang-terbuka-

grade-1-2-3/

5. http://medicastore.com/penyakit/654/Patah_Tulang_fraktur_.html

6. http://www.indonesiaindonesia.com/f/9874-patah-tulang/

7. http://www.zimbio.com/member/bedahumum/articles/3869723/PENANGANAN +

KONSERVATIF+FRAKTUR+SUPRAKONDILER

30