bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan orang lain
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Artinya, pemakaian bahasa hampir
selalu merupakan aktivitas sosial. Manusia tidak selalu bicara, menyimak,
membaca dan menulis untuk diri mereka sendiri, melainkan dalam suatu
interkomunikasi dengan orang lain (Falk, 1973: 59). Hal ini terkait dengan apa
yang dikemukakan Halliday (1985:34) bahwa bahasa secara universal memiliki
dua fungsi yaitu fungsi ideasional dan fungsi interpersonal. Dengan fungsi
ideasional, manusia menggunakan bahasa untuk memahami dunia. Dengan fungsi
interpersonal, manusia memfungsikan bahasa untuk berkomunikasi dengan
manusia lainnya.
Dalam berkomunikasi, manusia terkadang menyampaikan pikiran dan
sikapnya. Konsep ini dikenal dengan modalitas, yaitu sistem semantis di mana
manusia menggunakan bahasa untuk mengungkapkan sikap atau pikirannya dalam
tuturannya. Modalitas memiliki kedudukan yang penting dalam setiap bahasa dan,
seperti yang dikemukakan Bloomfield (1933:273), merupakan salah satu
fenomena kesemestaan bahasa. Setiap bahasa memiliki unsur lingual yang dapat
digunakan untuk menggambarkan sikap pembicara dalam tuturannya. Sebagian
bahasa mengungkapkannya secara gramatikal dan sebagian lainnya dengan
menggunakan berbagai alat leksikal, ataupun secara suprasegmental.
2
Penggambaran sikap pembicara secara gramatikal, lazim disebut modus
(mood), yaitu pemakaian bentuk konjugasi verba, misalnya pada bahasa Indo-
Eropa (Lyons, 1968:304). Pengungkapan sikap pembicara secara leksikal berarti
bentuk bahasa yang digunakan berupa kata, frase, atau klausa. Dalam bahasa
Inggris hal itu terlihat pada pemakaian kata kerja bantu modal (modal auxiliary
verb) seperti may dan must (1), adverbia modal seperti possibly, certainly (2), atau
pada kontruksi klausa seperti it is certain that dan it is possible that (3).
(1) He ቄ ௬௧ቅ enter the room.
(2) He ቄ ௦௦௬௧௬ቅ enters the room.
(3) a. It is certain that he enters the room. b. It is possible that he enters the room.
Kalimat “he enters the room” merupakan proposisi aktual dan objektif.
Dengan hadirnya satuan-satuan lingual dalam kurung kurawal yang merupakan
pengungkap modalitas, maka ciri faktual dan objektif dari proposisi tersebut
hilang dan menjadi nonfaktual serta subjektif. Pada contoh di atas, predikasi
tentang enter-nya pelaku yang dikatakan He oleh pembicara bukan lagi
merupakan hal yang objektif faktual dan keseluruhan proposisi menjadi informasi
subjektif nonaktual yakni berupa ‘pikiran’ atau ‘sikap’ pembicara setelah hadirnya
pengungkap modalitas. Oleh karena itu, Lyon (1977:797) juga mengatakan bahwa
modalitas berkaitan dengan subjektivitas dari pembicara.
Unsur suprasegmental seperti intonasi dan jeda juga dapat digunakan
untuk mengungkapkan sikap pembicara. Dalam komunikasi lisan, unsur
suprasegmental itu tidak dapat dipisahkan dari permasalahan modalitas. Namun,
masalah itu tidak dibahas karena sumber data dalam penelitian ini adalah dalam
3
bentuk tulis. Pengungkap modalitas dalam bahasa Inggris bisa lebih dari yang
secara tradisional disebut kata kerja bantu modal seperti terdapat pada penjelasan
di atas. Karena luasnya ruang lingkup modalitas dan unsur pengungkapnya, maka
kajian ini dibatasi hanya pada pembahasan kata kerja bantu modal (atau disebut
‘modal’ saja, lihat 1.6 hal 10), yaitu can, may, must, will, shall sebagai modal
primer, dan could, might, would, should, ought to sebagai bentuk sekundernya
(Perkins, 1983:29), sebagai pengungkap sistem modalitas bahasa Inggris serta
padanannya dalam bahasa Indonesia. Topik ini sengaja dipilih karena modal
dalam bahasa Inggris memiliki peran yang sangat penting sebagai pengungkap
sistem modalitas bahasa tersebut.
Dalam contoh (1), kalimat he may enters the room dapat bermakna ‘it is
possible that he enters the room’ yaitu pembicara yang hanya menilai kebenaran
dari ungkapannya atau bermakna ‘he is allowed to enter the room’ yaitu
pembicara mengizinkan subjek untuk menjadi pelaku aktualisasi peristiwa. Hal ini
menunjukkan may dalam kalimat tersebut mengungkapkan jenis modalitas yang
berbeda. Selain itu, may dan might dalam contoh (1) dapat mengungkapkan
makna modalitas yang sama, karena kedua kalimat tersebut bisa dipahami dengan
makna ‘it is possible that he enters the room’. Namun, penggunaan might
menggambarkan tingkat keyakinan pembicara yang berbeda dengan penggunaan
may. Penggunaan might juga menunjukkan pembicara yang mengandaikan
kebenaran tuturannya bergantung pada kondisi lain yang dia praanggapkan. Oleh
karena itu, might dikatakan merupakan modal sekunder dari modal primer may.
4
Modal mempunyai banyak kerumitan karena setiap modal mengungkap
modalitas yang berbeda bergantung konteks kalimat ataupun wacananya. Modal
selalu mengalami perubahan karena setiap penutur bahasa menggunakannya
dengan makna yang berbeda-beda sesuai dengan kesukaannya (Kreidler,
1998:240). Perhatikan contoh yang dikutip dari salah satu sumber data yaitu novel
Twilight dan novel terjemahannya berikut.
(4) "You can come home whenever you want — I'll come right back as soon as you need me." (Twilight (Tw)/Page 4 (P4)). “Kau bisa pulang kapanpun kau mau – aku akan segera datang begitu kau membutuhkanku.” (Twilight terjemahan (Twi)/Halaman 16 (H16)).
(5) I wondered if my mom would send me my folder of old essays (Tw/P15). Aku membayangkan apakah ibuku mau mengirimkan folder esai-esai lamaku. (Twi/H27). Penerjemahan modal di atas ke dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan
tepat karena mengungkap makna modalitas yang sama. Pada (4) dan (5), masing-
masing can dan would bisa dipadankan dengan kata kerja bisa dan mau sehingga
makna tuturan dapat dipahami dengan tepat. Penanda modalitas pada (4) yaitu can
dan bisa sama-sama mengungkapkan makna modalitas deontik yaitu makna
‘keizinan’, dan pada (5) would dan mau sama-sama mengungkapkan modalitas
dinamik bermakna ‘keinginan’. Perhatikan contoh lainnya berikut ini.
(6) This was a stipulation from my mother, so that we could stay in touch easily. (Tw/P8). Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. (Twi/H21). Could (6) sebagai pengungkap modalitas dinamik yang menyatakan
‘kemampuan’ tidak dipadankan ke dalam pengungkap modalitas bahasa
Indonesia. Contoh di atas menunjukkan bahwa bentuk supaya kami gampang
berkomunikasi hanya merupakan proposisi faktif tanpa pikiran tokoh cerita atau
5
tanpa modalitas, sedangkan modalitas bersifat nonfaktif. Agar penggunaan could
dan kalimat di atas secara keseluruhan dapat dipahami dengan makna yang tepat,
maka bentuk terjemahannya harus menggunakan pengungkap modalitas yang
sepadan dengan could, yaitu kata dapat/bisa yang juga merupakan pengungkap
modalitas dinamik bermakna ‘kemampuan’, sehingga terjemahannya menjadi
supaya kami dapat/bisa gampang berkomunikasi. Perhatikan contoh berikut.
(7) The isolation must be their desire. (Tw/P32). Mereka memang suka menyendiri. (Twi/44).
Kalimat (7) diterjemahkan ke dalam kalimat bahasa Indonesia tanpa
pengungkap modalitas sehingga makna yang dihasilkan tidak sepadan.
Terjemahan di atas memperlihatkan ciri kefaktifan. Selain itu, yang menjadi
subjek yang dikenai modalitas adalah frasa the isolation, sehingga terjemahannya
pun harus menunjukkan bahwa the isolation ‘menyendiri’ yang dikenai penanda
modalitas. Maka dalam kalimat tersebut, must harus diterjemahkan dengan
pengungkap modalitas epistemik bermakna ‘kepastian’ yaitu ‘pasti’, sehingga
terjemahannya menjadi menyendiri pasti menjadi kesukaan mereka.
Contoh-contoh di atas hanyalah beberapa permasalahan fungsi dan makna
modal sebagai salah satu pengungkap sistem modalitas bahasa Inggris dan
padanannya dalam bahasa Indonesia. Penulis tidak menemukan penelitian
mendalam yang mengkhususkan pembicaraannya mengenai fungsi modal sebagai
pengungkap modalitas bahasa Inggris dan padanannya yang tepat dalam bahasa
Indonesia, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Tentunya
masih banyak contoh lain yang akan dianalisis dan penulis akan berusaha
membahas setiap modal dan padanannya yang tepat secara terperinci.
6
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana fungsi kata kerja bantu modal primer dalam mengungkap
sistem modalitas bahasa Inggris?
2. Bagaimana fungsi kata kerja bantu modal sekunder dalam mengungkap
sistem modalitas bahasa Inggris?
3. Bagaimana padanan kata kerja bantu modal bahasa Inggris dalam bahasa
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan fungsi kata kerja bantu modal primer dalam mengungkap
sistem modalitas bahasa Inggris.
2. Mendeskripsikan fungsi kata kerja bantu modal sekunder dalam
mengungkap sistem modalitas bahasa Inggris.
3. Mendeskripsikan padanan kata kerja bantu modal bahasa Inggris dalam
bahasa Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoretis maupun manfaat
praktis. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
pembelajar bahasa Inggris untuk mengetahui fungsi modal dalam bahasa Inggris
7
sebagai pengungkap konsep atau sistem modalitas secara baik dan benar.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai penggunaan modal
sebagai pemarkah sistem modalitas bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa
Indonesia.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
berharga kepada dunia pengajaran serta pembelajaran bahasa Inggris. Bagi
pengajar bahasa Inggris, penelitian ini dapat memberikan dasar pertimbangan
dalam menyusun materi serta menentukan metode dan teknik yang tepat untuk
mengajarkan modal sebagai bagian dari sistem modalitas bahasa tersebut.
Akhirnya bagi pembelajar, melalui penelitian ini mereka dapat memahami konsep
modal dan menggunakan padanannya dalam bahasa Indonesia dengan benar dan
tepat.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penulis mambaca beberapa tulisan dan penelitian berkaitan dengan modal
dan modalitas. Pembahasan mengenai modal sebagai pengungkap modalitas
dalam bahasa Inggris penulis pertimbangkan dari beberapa buku. Antara lain
Quirk et al. (1985:219-239) dalam bukunya A Comprehensive Grammar of the
English Language. Quirk et al. merumuskan kategorisasi modalitas berdasarkan
makna intrinsik dan ekstrinsik dari setiap modal.
Kemudian Palmer dalam bukunya The English Verb (1988:96-98)
merumuskan tiga fungsi utama dari modal yaitu sebagai pengungkap tiga jenis
modalitas, yaitu modalitas epistemik, modalitas deontik, dan modalitas dinamik.
8
Selain memaparkan tiga jenis modalitas tersebut, Palmer menjelaskan adanya
derajat dari setiap jenis modalitas tersebut, yaitu derajat kemungkinan (possibility)
dan derajat keperluan (necessity). Dalam penyajiannya pada buku tersebut, Palmer
membahas setiap modal dan menjelaskan jenis dan derajat modalitas yang
diungkapkannya.
Selain itu, penulis menemukan disertasi yang ditulis oleh Nicola M.
Brewer dengan judul Modality and Factivity: One Perspective on the Meaning of
the English Modal Auxiliaries (1987). Brewer mencoba menganalisis hubungan
makna modalitas yang diungkap oleh modal bahasa Inggris dengan kefaktifan.
Dalam penelitiannya, Brewer membuktikan bahwa ciri utama dari modalitas
adalah kenonfaktifan dari proposisi dan kenonaktualan dari peristiwa yang
diungkapkan dalam tuturan.
Pembahasan mengenai modalitas dalam bahasa Indonesia antara lain
ditulis oleh Hendarto Supatra dalam thesisnya Penanda Modalitas dalam Kalimat
Deklaratif Bahasa Indonesia (1988) dan oleh Soenarjo dalam thesisnya Modalitas
dalam Bahasa Indonesia (1989). Supatra menulis bahwa setiap kalimat deklaratif
memiliki dua pengertian sebagai unsurnya, salah satunya adalah modalitas yaitu
sikap pembicara terhadap apa yang dinyatakannya. Supatra menganalisis bentuk
dan ciri-ciri penanda modalitas secara morfemis dalam kalimat deklaratif bahasa
Indonesia. Penanda-penanda sikap pembicara tersebut kemudian digolongkan
menjadi delapan subkategori penanda modalitas (PM) berdasar maknanya.
Adapun Soenarjo (1989) menulis modalitas bahasa Indonesia sebagai
kategori semantis yang diungkapkan secara leksikal dalam kalimat. Dari situ dia
9
menentukan adanya dua puluh dua jenis kalimat yang memiliki makna berbeda
berdasarkan pengungkap makna modalitas. Penulis melihat bahwa penentuan
subkategori modalitas yang terdapat dalam penelitian oleh Supatra dan Soenarjo
cenderung didasarkan atas makna leksikal pengungkap modalitas yang digunakan
sehingga penentuan subkategori jenis modalitas menjadi tidak efisien. Selain itu
dalam penelitian tersebut, modalitas sebagai sikap pembicara belum dilihat
sebagai pikiran pembicara mengenai proposisi dan peristiwa.
Hasan Alwi dalam disertasinya berjudul Modalitas dalam Bahasa
Indonesia (1992) mencoba menginventarisasi subkategori dan pengungkap
modalitas dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil analisis kritisnya mengenai
teori-teori modalitas yang dikemukakan ahli bahasa, Alwi menyebut terdapat
empat subkategori modalitas dalam bahasa Indonesia, yaitu modalitas intensional,
modalitas epistemik, modalitas deontik, dan modalitas dinamik. Subkategori
modalitas dari Alwi memperlihatkan tingkat keefisienan yang lebih baik dari
subkategorisai modalitas yang terdapat dalam Supatra dan Soenarjo.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini membahas masalah unsur leksikal yang berfungsi sebagai
pengungkap modalitas dalam bahasa Inggris, yaitu yang berupa kata kerja bantu
modal dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Pada bagian pertama ditentukan
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kata kerja bantu modal (1.6.1).
Kemudian akan dijelaskan konsep modalitas secara umum dan hubungannya
dengan kata kerja bantu modal (1.6.2, 1.6.3) dan dijelaskan makna kata kerja
10
bantu modal sebagai pengungkap modalitas dalam bahasa Inggris (1.6.4).
Terakhir akan disajikan teori dan konsep dasar mengenai padanan kata dalam
penerjemahan (1.6.5).
1.6.1 Kata Kerja Bantu Modal
Di dalam bahasa Inggris, tidak semua auxiliary verb (kata kerja bantu)
adalah pengungkap modalitas. Auxiliary verbs yang dipakai sebagai pengungkap
modalitas disebut modal auxiliary verbs (kata kerja bantu modal) dan sering
disebut sebagai modal ‘modal’ saja, dan dalam penelitian ini akan disebut
demikian. Kategori modal telah menjadi subjek dari beragam kajian, namun
ketidakseragaman dalam menentukan modal ini masih sering ditemukan.
Sebagai contoh, Ehrman (dalam Brewer, 1987:22) meneliti makna dari 12
modal yaitu (1) Can, (2) Could, (3) May, (4) Might, (5) Will, (6) Would, (7) Shall,
(8) Should, (9) Must, (10) Ought to, (11) Dare, dan (12) Need.
Leech (1987:67) membahas (1) – (9) sebagai bagian dari modal. Dia
menambahkan (13) Have to, sebagai anggota dari modal dari sisi semantis dan
bukan berdasarkan bentuknya dengan berasumsi “in grammatical terms, have to
is not an auxiliary verb on the same footing as may, must, and can” (1987:67). Di
akhir bahasannya tentang modal, Leech memasukkan (10), (12), dan (14) Is to &
(15) Had better, dengan tidak mencantumkan dare.
Hermeren (1978) juga memasukkan (1) – (9) dan memberi status terhadap
(10), (11), (12), (13) dan (16) Used to sebagai ‘marginal modals’. Palmer
memasukkan (1) – (10) dalam cakupan penelitiaannya yang berjudul Modality
11
and the English Modals (1979). Palmer juga membahas (11), (12), (14), (15) dan
(17) Would rather secara ringkas. Dia membahas beberapa kata kerja yang jika
dilihat bentuknya bukanlah modal, namun secara semantis berhubungan dengan
modal, yaitu have to (Leech dan Hermeren di atas memasukkannya sebagai
bagian dari modal), be bound to, be able to, be going to, dan have got to.
Perkins dalam kajiannya yang lebih mendalam tentang modalitas
memasukkan (1) – (10) sebagai modal, yaitu modal primer can, may, will, shall,
dan must, dan modal sekunder could, might, would, should, dan ought to
(1983:50). Pada dasarnya, dikatakan bahwa modal sekunder memiliki semua fitur
semantis dari modal primer. Namun lebih dari itu, modal sekunder mungkin bisa
memiliki fungsi dan interpretasi lain bergantung dari konteks tuturan ketika modal
sekunder digunakan. Perkins menyebut beberapa fungsi lain tersebut sebagai
penanda hipotesis, referensi temporal, pemarkah keformalan atau kesantunan
(tentativeness).
1.6.1.1 Pencirian Formal
Kajian ini akan fokus pada sepuluh bentuk modal pertama yang telah
disebutkan di atas yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut.
A. Empat karakteristik yang membedakan kata kerja bantu dengan kata
kerja dasar (full verb) dalam bahasa Inggris, yaitu bahwa kata kerja bantu dapat:
(i) Dinegasikan langsung dengan not dan enklitik n’t (kriteria Negation)
(ii) Diinversi dengan subjek dalam kalimat tanya (kriteria Inversion)
12
(iii) Digunakan dalam ‘kode’, yaitu penggunaan kata kerja bantu untuk
menghindari pengulangan dari keseluruhan frasa kata kerja (kriteria
Code)
(iv) Ditekankan secara suprasegmental dalam ungkapan penegasan
(kriteria Emphatic affirmation).
Keempat kriteria tersebut oleh Huddlestone (Palmer, 1988:14)
diakronimkan sebagai ‘NICE’ properties. Jika dihubungkan dengan kriteria-
kriteria di atas, semua full verbs misalnya “want”, membutuhkan kata kerja bantu
do:
N ‘I don’t want to go’ ‘I can’t go’
I ‘Does he want to come’ ‘Will he come’
C ‘I want to come. So does he’ ‘He can come. So can she’
E ‘I dó want to come’ ‘I wíll come’
B. Empat kriteria berikut membedakan modal dengan kata kerja bantu lain
(be, have, do):
(v) Modal hadir sebagai elemen pertama dari frasa kata kerja/tidak
didahului oleh kata kerja yang lain
(vi) Modal tidak memerlukan morfem –s dalam klausa yang subjeknya
adalah orang ketiga tunggal
(vii) Modal tidak memiliki bentuk non-finite
(viii) Modal tidak dapat muncul secara berurutan (co-occur)
Keterbatasan pada modal yang tidak dapat muncul secara berurutan (vii)
sejalan dengan fakta bahwa modal tidak memiliki bentuk non-finite (viii). Sebagai
13
contoh, be able to yang memang berbagi karakteristik semantis yang sama dengan
can dalam konstruksi
(8) He may be able to come
adalah bentuk yang berterima, sedangkan can dalam
(9) *He may can come
menunjukkan bentuk yang tidak gramatikal. Selain itu, meskipun have to
memiliki kesamaan semantis dengan modal, namun have to tidak terkena batasan
seperti halnya modal. Sebagai contoh, have to memiliki bentuk non-finite
sehingga dapat berkombinasi dengan modal lain secara berurutan:
(10) He may have to come
Kedelapan kriteria (i-viii) di atas, yang merupakan campuran kriteria
secara morfologis dan sintaksis, adalah karakteristik yang berlaku hanya pada
sepuluh modal utama yang disebutkan Perkins.
Ada beberapa karakteristik lain yang secara khas, namun tidak selalu,
melekat pada modal, yaitu:
C. (i) Beberapa modal memiliki bentuk ‘lampau’, yaitu secara berurutan
will/would, shall/should, can/could, may/might. Bentuk lampau dari have to (yaitu
had to) dapat digunakan untuk mengindikasikan bentuk lampau dari must dan
ought to. ‘Bentuk lampau dari modal’ tidak selalu menjadi deskripsi yang tepat
untuk would, could, might, dan should karena secara semantis bentuk-bentuk
tersebut tidak selalu mengacu pada kala lampau, contoh:
(11) Would you like to go swimming tomorrow?
14
Oleh karena itu, used to tidak termasuk ke dalam modal karena morfem –ed pada
bentuk ini selalu mengacu pada kala lampau. Berdasarkan alasan ini penulis
menggunakan istilah yang digunakan oleh Perkins di atas (modal primer dan
sekunder).
C. (ii) Modal biasanya mendahului infinitive tanpa penanda infinitive ‘to’.
Kriteria C. (i) dan (ii) dapat menjadi alasan ought to mungkin tidak
dimasukkan ke dalam kategori modal. Namun, dengan mempertimbangkan
kesesuaian semantisnya dengan must dan should, ought to dapat dipertimbangkan
sebagai bagian dari modal dalam bahasa Inggris. Di sisi lain, is to dan have to
tidak sejalan dengan kriteria B. (iv) di atas karena bentuk-bentuk ini dapat
dimarkahi bergantung subjek yang mengawalinya dan oleh karena itu tidak
termasuk dalam modal yang dimaksudkan dalam penelitian ini.
Dare tidak dimasukkan ke dalam anggota modal karena kata ini memiliki
ciri semantis yang inkonsisten dengan modal utama. Palmer (1979:89)
menerjemahkan kata ini dengan ‘have the courage to’ ‘memiliki keberanian
untuk’ yang berarti mengandung ciri-ciri kefaktifan, sedangkan modalitas yang
diungkap oleh modal mengandung ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu kenonfaktifan.
1.6.1.2 Pengungkap Modal Non-auxiliary
Penelitian ini berfokus pada sepuluh modal. Namun demikian, dalam
bahasa Inggris terdapat alat lingual lain untuk mengungkapkan modalitas. Perkins
(1983:28) mengemukakan beberapa pengungkap modalitas lain secara leksikal
yaitu yang dia sebut modal non-auxiliary, antara lain:
15
- Quasi-auxiliary modal: have (got) to, had better, dll.
- Modal berupa gabungan kata sifat dan participles: be going to, be willing
to, be certain to, be evident that, dll.
- Kata keterangan modal: allegedly, perhaps, probably, dll.
- Kata benda modal: belief, obligation, proposal, warning, dll.
- Modal berupa kata kerja dasar: allow, conclude, hope, promise, dll.
- ‘Alat’ pengungkap modalitas lain: tenses, if-clause, questions,
suprasegmental.
1.6.2 Konsep Modalitas
Aristoteles merupakan salah satu dari para ahli terdahulu yang
mengemukakan ide mengenai keperluan (necessity), kemungkinan (possibility),
dan ketidakmungkinan (impossibility), yang menjadi dasar dari istilah yang
sekarang dikenal sebagai modalitas (Perkins, 1983:6). Sebagian besar penelitian
modern mengenai konsep modalitas diduga diawali oleh von Wright (1951:1-2),
seorang pioner logika modal (modal logic) yang membedakan adanya empat
modus (modes), yaitu (i) the alethic modes yang berhubungan dengan kebenaran
(modes of truth), (ii) the epistemic modes yang berhubungan dengan pengetahuan
atau apa yang diketahui (modes of knowing), (iii) the deontic modes yang
berhubungan dengan keharusan atau kewajiban (modes of obligation), dan (iv) the
existential modes yang berhubungan dengan keberadaan (modes of existence).
Ahli logika lain, Rescher (1968), lebih jauh merinci empat modus dari
von Wright di atas menjadi delapan tipe kerangka konseptual modalitas, yaitu
16
modalitas aletik (alethic modality), modalitas epistemik (epistemic modality),
modalitas temporal (temporal modality), modalitas boulomaik (boulomaic
modality), modalitas deontik (deontic modality), modalitas evaluatif (evaluative
modality), modalitas kausal (causal modality), dan modalitas kementakan
(likelihood modality). Rescher menambahkan bahwa modalitas akan terwujud jika
salah satu dari kedelapan tipe konsep di atas diberlakukan dalam sebuah proposisi.
Para ahli lain mengatakan bahwa modalitas berhubungan dengan keaktualan dari
peristiwa (White, 1975). Secara singkat, ahli logika memaknai modalitas sebagai
what is real or true in some possible worlds (apa yang dianggap nyata atau benar
dalam beberapa dunia kemungkinan) (Lewis, 1969, Turnbul&Saxton, 1997).
Di sisi lain, para ahli bahasa kemudian meminjam gagasan ahli logika
tersebut dan mengaplikasikannya ke dalam penelitian sistematis dan empiris
mengenai modalitas dalam penggunaan bahasa manusia. Lyons (1977:452) dalam
penjelasannya mengenai adverbial mendefinisikan modalitas sebagai “opini atau
sikap terhadap proposisi yang diekspresikan oleh kalimat atau terhadap peristiwa
yang tergambar dalam proposisi”.
Perkins (1983:6) mendefinisikan modalitas dengan istilah yang lebih
singkat “things being otherwise” yaitu bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
manusia sering berpikir dan berperilaku seakan-akan segala sesuatu itu berbeda
dari keadaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, dunia nyata yang sedang
dihadapi oleh seseorang dikontraskan atau dihubungkan dengan dunia
kemungkinan (possible worlds) lain yang ada dalam pikiran orang yang
bersangkutan ketika dia menghadapi sesuatu di dunia nyata itu.
17
Mengenai sesuatu yang berbeda dari keadaan yang sebenarnya menurut
ukuran dunia nyata itu, erat kaitannya dengan istilah proposisi dan peristiwa yang
disebut Lyons di atas. Istilah tersebut disebutkan oleh Lyons (1977:442) dalam
menjelaskan tiga jenis kategori entitas di dunia ini. Entitas jenis pertama adalah
objek yang secara fisik nyata, yaitu manusia, hewan, dan benda yang dalam
keadaan normal keberadaannya dalam ruang tiga dimensi relatif konstan dan
dikatakan ‘ada’. Entitas jenis kedua meliputi peristiwa, proses (processes), dan
suasana keadaan (states of affairs), yang selanjutnya disebut peristiwa, yang tidak
dikatakan sebagai sesuatu yang ada, tetapi sebagai sesuatu yang ‘terjadi’. Entitas
jenis ketiga ialah satuan abstraksi seperti proposisi yang berada di luar dimensi
ruang dan waktu dan dikatakan sebagai sesuatu yang ‘benar’.
Perkins menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan konseptual
modalitas ialah entitas jenis kedua dan ketiga, yaitu peristiwa dan proposisi.
Perkins berpendapat bahwa modalitas berada dalam dunia kemungkinan sehingga
kebenaran proposisi dan keaktualan peristiwa dapat dilihat dan bahkan diukur.
Untuk itu, diperlukan adanya perangkat prinsip yang sesuai dengan peristiwa atau
proposisi yang dilihat dan diukur itu, yaitu kaidah penalaran atau kaidah rasional
(rational laws), kaidah sosial (social laws), dan hukum alam (natural laws).
Dengan kaidah rasional berarti seseorang melakukan penilaiannya terhadap
sesuatu yang dihadapinya melalui daya nalarnya sendiri. Dengan kaidah sosial,
interpretasi seseorang terhadap sesuatu yang dihadapinya itu didasarkan pada
ketentuan atau peraturan yang berlaku untuk mengatur perikehidupan manusia.
Kaidah sosial itu disebut kewenangan atau sumber deontik (deontic source).
18
Dengan kaidah hukum alam seseorang menilai dan menafsirkan segala sesuatu
yang dihadapinya didasarkan pada hubungan antara perikeadaan (circumstances)
dan peristiwa yang tidak diaktualisasikan (unactualized events) (dalam Alwi,
1992:16).
Dengan ketiga macam prinsip tersebut, Perkins menyimpulkan
subkategorisasi modalitas Rescher (1968) menjadi empat subkategori modalitas,
dan tiga di antaranya dibahas secara detail. Berdasar kaidah rasional, modalitas
aletik dan modalitas epistemik dari Rescher yang mempersoalkan sikap pembicara
terhadap kebenaran proposisi dikatakannya sebagai modalitas epistemik
(epistemic modality). Berdasar kaidah sosial, modalitas deontik (deontic modality)
berkaitan dengan sikap seseorang yang memiliki wewenang terhadap
keberlangsungan peristiwa nonaktual. Sedangkan modalitas kausal, modalitas
kementakan, dan modalitas boulomaik yang didasari kaidah hukum alam
dikatakannya sebagai modalitas dinamik (dinamic modality).
Pendapat Rescher mengenai modalitas evaluatif yang berkaitan dengan
perasaan dan diungkapkan oleh kata seperti good, wonderful, dan bad, dan
modalitas temporal yang diungkapkan oleh kata seperti sometimes dan always
berturut-turut menunjukkan peristiwa aktual dan memperlihatkan ciri semantis
kefaktifan. Kedua modalitas tersebut tidak dapat digolongkan sebagai bagian dari
modalitas, karena modalitas berkaitan dengan kenonfaktifan, yaitu penggambaran
kekurangyakinan atau kekurangtahuan pembicara terhadap proposisi dan
berkaitan dengan sikap pembicara terhadap peristiwa nonaktual.
19
Dari pandangan Perkins tersebut ada dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, yang dipermasalahkan dalam modalitas ialah sikap pembicara terhadap
proposisi atau peristiwa. Kedua, sikap pembicara terhadap proposisi atau
peristiwa itu perlu dilandasi oleh adanya semacam perangkat prinsip, baik yang
berupa kaidah rasional, kaidah sosial, maupun hukum alam. Kedua hal itu dapat
digolongkan sebagai fenomena kesemestaan bahasa sehingga dapat pula
digunakan sebagai dasar untuk menentukan subkategori modalitas dalam bahasa-
bahasa di dunia secara umum.
Modalitas epistemik (kata “epistemik" berasal dari bahasa Yunani
episteme yang berarti ‘pengetahuan’) didasari oleh kaidah rasional dan
mempersoalkan sikap pembicara yang didasari oleh keyakinan atau
kekurangyakinannya terhadap kebenaran proposisi. Jadi, kebenaran proposisi
pada modalitas epistemik dilatarbelakangi oleh semacam kesimpulan (inference)
yang diperoleh dari penilaian atau penalaran pembicara.
Modalitas deontik (kata “deontik” berasal dari bahasa Yunani deon yang
berarti ‘kewajiban’) mempermasalahkan sikap pembicara terhadap peristiwa
nonaktual. Artinya, pembicara berperan sebagai sumber deontik yang
mengharuskan, mengizinkan, atau melarang aktualisasi peristiwa atau perbuatan.
Modalitas ini dikaitkan dengan perangkat prinsip kaidah sosial yang berupa
kewenangan pribadi atau kewenangan resmi. Kedua jenis kewenangan ini
merupakan sumber deontik yang akan berpengaruh dan memberikan dorongan
terhadap subjek dari proposisi untuk berperan sebagai pelaku aktualisasi
peristiwa. Kedua sumber deontik itu memiliki kadar restriksi yang tinggi terhadap
20
pelaku aktualisasi peristiwa. Yang dimaksud dengan restriksi adalah seberapa jauh
sumber deontik berpengaruh dan memberi dorongan terhadap subjek untuk
berperan sebagai pelaku aktualisasi peristiwa.
Modalitas dinamik (kata “dinamik” berasal dari bahasa Yunani dynamis
yang berarti ‘kekuatan’), layaknya modalitas deontik, juga mempersoalkan sikap
pembicara terhadap aktualisasi peristiwa. Bedanya pada modalitas dinamik
aktualisasi peristiwa itu ditentukan oleh perikeadaan (circumstances) yang lebih
bersifat empiris sehingga yang dijadikan tolok ukur oleh pembicara ialah hukum
alam, sedangkan pada modalitas deontik ialah kaidah sosial (Perkins via Alwi,
1992:233). Perbedaan ini menyebabkan modalitas dinamik berciri objektif dan
modalitas deontik berciri sebaliknya.
Ciri kesubjektifan pada modalitas deontik terlihat pada kedudukan
pembicara sebagai sumber deontik yang terlibat dalam memberikan dorongan
kepada subjek sebagai pelaku melalui ‘izin’ atau ‘perintah’, untuk (tidak)
mengaktualisasi peristiwa. Pada modalitas dinamik, unsur keterlibatan pembicara
seperti itu tidak ada karena aktualisasi peristiwa ditentukan oleh karakteristik atau
ciri keinherenan subjek dan perikeadaan yang memungkinkan subjek berperan
sebagai pelaku aktulalisasi peristiwa (Alwi, 1992:233).
Tidak adanya keterlibatan pembicara pada aktualisasi peristiwa itu
mengakibatkan ada ahli bahasa tidak menggolongkan modalitas dinamik sebagai
salah satu subkategori modalitas. Namun demikian, pengungkap modalitas
dinamik berfungsi menghubungkan peristiwa dalam proposisi dengan seperangkat
keadaan yang, sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, dipraanggapkan oleh
21
pembicara. Perikeadaan yang dipraanggapkan itu tidak menghalangi terjadinya
peristiwa yang akan diaktualisasikan oleh subjek sebagai pelaku sehingga
perikeadaan yang bersangkutan dapat dianggap sebagai ciri keterlibatan sikap
pembicara dalam aktualisasi peristiwa.
1.6.3 Kata Kerja Bantu Modal dan Modalitas
Dari uraian di atas, perlu dibedakan antara modal dan modalitas.
Hubungan antara dua istilah tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama, bahwa modalitas adalah konsep yang diekspresikan oleh modal (Coates,
1983; Palmer, 1979, 1986; Quirk et al., 1985). Hal ini berarti bahwa modal dapat
mengekspresikan semua makna yang terkandung dalam konsep modalitas, yang
juga dapat diekspresikan dengan bentuk non-modal auxiliary. Sudut pandang
kedua adalah bahwa modalitas merupakan konsep yang dapat dipisahkan secara
independen dengan modal. Jadi, modal tidak berfungsi mengungkap semua atau
hanya makna modalitas saja (Perkins, 1983; Facchinetti, Krug, & Palmer, 2003;
Hoye, 1997). Hal ini karena ada alat leksikal selain modal yang dapat
mengungkapkan modalitas, dan ada beberapa modal yang juga berfungsi
mengungkap konsep lain, misalnya tentang konsep temporalitas seperti will dan
shall, atau konsep kesantunan seperti could dan would.
Dalam studi ini modalitas secara umum dapat dipandang sebagai konsep
semantis yang diungkap oleh modal, meskipun dalam bahasa Inggris konsep
modalitas bisa diungkapkan dengan alat leksikal lain atau secara gramatikal
melalui modus. Dengan kata lain, modalitas adalah kategori semantis sedangkan
22
modal (modal auxiliary verbs) adalah kategori leksikal yang memiliki peran
penting dalam sistem modalitas bahasa Inggris. Lebih jauh tentang penjelasan
modal sebagai pengungkap modalitas akan disajikan dalam subbab berikut ini.
1.6.4 Makna Kata Kerja Bantu Modal
Untuk kategorisasi modalitas yang diungkapkan oleh modal, penulis
mendasarkannya pada pendapat Perkins mengenai modalitas di atas dan
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Palmer (1988:94-157) dan Quirk et
al. (1985:219-239). Palmer membahas jenis dan kadar modalitas yang diungkap
oleh modal. Adapun Quirk et al. membahas subkategorisasi modalitas dengan
menjelaskan makna modal. Apa yang dirumuskan oleh dua ahli di atas sekaligus
menjadi dasar pikiran dalam analisis penelitian ini.
Palmer (1988:96-97) membedakan adanya tiga jenis modalitas (kinds of
modality) yang diungkap oleh modal, yaitu modalitas epistemik, modalitas
deontik, dan modalitas dinamik. Selain itu, masing-masing modal mengungkap
kadar modalitas (degrees of modality) tertentu. Palmer menyebutkan adanya dua
kadar yaitu kemungkinan dan keperluan (possibility dan necessity). Palmer
memberi contoh bahwa modal may dan must dapat sama-sama mengungkapkan
modalitas epistemik, namun kedua modal tersebut memiliki kadar yang berbeda.
May memiliki fungsi mengungkap modalitas epistemik berkadar kemungkinan
(epistemic possibility), sedangkan must mengungkap modalitas epistemik
berkadar keperluan (epistemic necessity). Palmer (1988:98) merumuskan fungsi
dan kadar dari beberapa modal sebagai berikut.
23
Epistemic Deontic Dynamic
Possibility may may/can can Necessity must must Another degree will shall will Jenis dan Kadar Modalitas (Palmer, 1988:98)
Kadar kemungkinan dan keperluan oleh Foley dan Van Valin (1984:213)
diibaratkan sebagai sesuatu yang berada di antara dua titik ekstrem dari sebuah
kontinum. Jika itu menyangkut proposisi, titik pertama menggambarkan sesuatu
yang benar (true) dan yang digambarkan oleh titik yang lain ialah sesuatu yang
tidak benar (untrue). Jika itu menyangkut peristiwa, titik pertama menggambarkan
sesuatu yang nyata (real) dan yang digambarkan oleh titik yang lain ialah sesuatu
yang tidak nyata (unreal). Daerah yang berada di antara kedua kontinum itulah
yang menjadi permasalahan modalitas. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
Halliday (1985:335) bahwa modalitas adalah wilayah makna yang terletak antara
kontinum positif dan negatif. Kontinum yang dimaksudkan adalah sebagai
berikut.
real/true necessity probability possibility unreal/untrue
Berdasarkan ilustrasi di atas, Palmer menjelaskan bahwa pada kadar
kemungkinan (possibility), misalnya, hanya may yang mengungkap modalitas
epistemik (epistemic possibility), hanya can yang mengungkap modalitas dinamik
(dynamic possibility). Palmer berpendapat bahwa modal will dapat
mengungkapkan modalitas epistemik dan dinamik, dan modal shall mengungkap
modalitas deontik dengan kadar yang berbeda, sehingga dia berasumsi adanya
kadar ketiga selain possibility dan necessity. Dengan mengacu pada ilustrasi ini,
24
maka dalam tulisan ini dikatakan bahwa may adalah “modal epistemik” untuk
menjelaskan fungsinya sebagai modal pengungkap modalitas epistemik, dan must
adalah “modal deontik” untuk menjelaskan must sebagai modal pengungkap
modalitas deontik, dan seterusnya.
Quirk et al. (1985:219), dalam menjelaskan fungsi modal sebagai
pengungkap modalitas, membedakan modalitas intrinsik (intrinsic modality) dari
modalitas ekstrinsik (extrinsic modality). Modalitas intrinsik dirumuskannya
berdasarkan pengawasan atau pengendalian intrinsik manusia terhadap peristiwa
(intrinsic human control over events) dan modalitas ekstrinsik berdasarkan
penilaian manusia mengenai mungkin atau tidak mungkinnya sesuatu terjadi
(human judgments of what is or is not likely to happen). Berdasarkan pembedaan
itu, yang digolongkannya ke dalam modalitas intrinsik ialah ‘izin’ (permission),
‘kewajiban’ (obligation), dan ‘kemauan’ (volition), sedangkan modalitas
ekstrinsik adalah yang mencakup makna ‘kemungkinan’ (possibility), ‘keperluan’
(necessity), dan ‘ramalan’ (prediction).
Menurut Quirk et al., tiap modal bahasa Inggris memiliki kedua makna
tersebut, yaitu makna intrinsik dan makna ekstrinsik. Sebagai contoh, dia
mengatakan may yang menyatakan makna ‘izin’ (intrinsik) atau ‘kemungkinan’
(ekstrinsik), dan will yang menyatakan makna ‘kemauan’ (intrinsik) atau
‘ramalan’ (ekstrinsik). Quirk et al. menyimpulkan makna dari modal dalam
bahasa Inggris sebagai berikut.
25
MEANING OF THE MODALS
GROUP I ‘izin’ INTRINSIC can/could may/might ‘kemungkinan’, ‘kemampuan’ EXTRINSIC GROUP II ‘kewajiban’ INTRINSIC
must should have (got)to ought to need ‘keperluan’ EXTRINSIC COMMITTED NONCOMMITTED GROUP III ‘kemauan’ INTRINSIC
will/would shall ‘ramalan’ EXTRINSIC
Modalitas Ekstrinsik dan Intrinsik (Quirk et al., 1985:220)
Tanda panah pada bagan di atas memisahkan antara makna intrinsik dan
ekstrinsik, dan menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua makna ini tidak
bersifat mutlak, tetapi berada dalam suatu kontinum. ‘Kemampuan’, yang
dinyatakan oleh pemakaian can, digolongkan Quirk et al. sebagai makna
ekstrinsik meskipun kemampuan menggambarkan pengendalian intrinsik
seseorang terhadap peristiwa. Itulah sebabnya makna can disebut kemungkinan
yang khusus (a special case of possibility) oleh Quirk et al.
Auxiliary verbs oleh sebagian ahli yang membahas bahasa Indonesia
dinamakan dengan kata kerja bantu. Sebutan itu adalah hasil terjemahan istilah
bahasa Belanda hulpwerkwoorden (Alwi, 1992:23). Secara fungsional, Quirk et
26
al. mengatakan bahwa modal adalah operator sebagai subbagian dari predikat
(Quirk et al. 1985:79). Pandangan Quirk tersebut dapat disejajarkan dengan
pandangan Moeliono dan Dardjowidjojo (1988:128) mengenai pewatas yaitu kata-
kata seperti akan, harus, dapat, bisa, boleh, ingin, dan mau. Kata-kata tersebut
dalam penelitian ini tidak disebut sebagai kata kerja bantu, tetapi pewatas.
1.6.5 Padanan Kata dalam Penerjemahan
Menentukan padanan kata yang tepat menjadi parameter keberhasilan
suatu terjemahan. Dengan demikian kesepadanan menjadi hal utama yang harus
mendapatkan perhatian dalam menerjemahkan. Menerjemahkan pada hakikatnya
adalah pengalihan amanat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara akurat.
Menurut Catford (1965:20) penerjemahan adalah pengalihan materi tekstual
dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan materi tekstual yang sepadan dalam
bahasa lain (bahasa sasaran). Hal yang sama juga dikatakan oleh Larson (1984:3)
bahwa penerjemahan meliputi pengalihan bentuk, yaitu bentuk dalam bahasa
sumber digantikan dengan bentuk bahasa target atau bahasa sasaran.
Nida dan Taber berpendapat bahwa kesepadanan dibedakan menjadi dua
bentuk, yaitu kesepadan formal (formal equivalence) atau korespondensi formal
(formal correspondence) dan kesepadanan dinamis (dynamic equivalence).
Kesepadanan formal adalah tercapainya terjemahan dalam bahasa sasaran yang
mempunyai ekuivalensi sangat erat dengan bahasa sumbernya, baik dalam satuan
kata maupun frasa. Namun demikian Nida dan Taber menjelaskan bahwa
kesepadanan formal seperti itu tidak harus selalu ada dalam bahasa sumber dan
27
bahasa sasaran. Sehingga mereka menyarankan bahwa kesepadanan formal ini
sebaiknya digunakan jika tujuan dari penerjemahan lebih ditekankan untuk
mencapai kesepadanan formal dibandingkan kesepadanan dinamis.
Kesepadanan dinamis didefinisikan sebagai prinsip penerjemahan yang
memiliki keleluasaan sehingga pesan yang disampaikan pada hasil terjemahan
mempunyai dampak yang sama pada penutur bahasa sasaran dengan dampak pada
penutur bahasa sumber. Nida dan Taber (1969: 22-24) berpendapat bahwa ada
tiga kemungkinan kesepadanan, yaitu:
a. Ekuivalen dan adanya kesamaan bentuk, seperti dalam kalimat John reads
yang diterjemahkan dengan John membaca.
b. Ekuivalen namun tidak ada kesamaan bentuk, misalnya dalam frasa white
house yang diterjemahkan menjadi gedung putih.
c. Ekuivalen tapi tidak ada kesamaan makna seperti dalam frasa by the will of
God yang diterjemahkan menjadi di luar kemampuan manusia.
Dalam membahas fungsi dan makna modal dan padanannya dalam bahasa
Indonesia, dibutuhkan data kebahasaan yang sesuai dengan kaidah tata bahasa dari
masing-masing bahasa tersebut. Parera (1997: 111) mengungkapkan bahwa dalam
data bahasa yang akan dibandingkan sebaiknya: 1) data bahasa yang telah
distandarkan, 2) data bahasa yang berkaidah atau telah dikaidahkan, 3) data
bahasa sebaiknya terlepas dari konteks atau dekontekstualisasi.
Ellis (1985: 25) menyebutkan empat tahapan yang harus diikuti dalam
melakukan pemadanan antara dua bahasa atau lebih. Tahapan tersebut adalah:
28
1. Deskripsi, yaitu mendeskripsikan secara formal kedua bahasa yang akan
diperbandingkan.
2. Seleksi, yaitu pemilihan terhadap butir tertentu misalnya sistem auxiliary
atau kata bantu, yang diketahui melalui analisis kesalahan untuk melihat
kesulitan. Butir tersebut dipilih sebagai perbandingan.
3. Perbandingan, yaitu mengidentifikasi persamaan dan perbedaan pada
setiap area dari kedua bahasa yang dibandingkan.
4. Prediksi, yaitu mengidentifikasi area mana saja yang mungkin
menyebabkan kesalahan.
Melalui perbandingan tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat diungkapkan,
antara lain (Ellis, 1985: 26):
1. Tiadanya perbedaan, yaitu struktur atau aspek tertentu dari kedua bahasa
tidak berbeda sama sekali.
2. Fenomena konvergen, yaitu dua butir yang ada dalam bahasa yang satu
menjadi satu butir dalam bahasa yang lain.
3. Fenomena ketidakadaan, yaitu butir atau sistem yang ada dalam bahasa
yang satu menjadi tidak ada dalam bahasa yang lain.
4. Perbedaan distribusi, yaitu butir atau sistem pada bahasa yang satu
memiliki distribusi yang berbeda dengan butir atau sistem yang sama pada
bahasa yang lain.
5. Tiadanya persamaan, yaitu struktur atau aspek tertentu pada bahasa yang
satu tidak memiliki kesamaan dengan bahasa lain.
29
6. Fenomena divergen, yaitu satu butir pada bahasa yang satu menjadi dua
butir pada bahasa yang lain.
Perbedaan yang utama antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia adalah,
bahwa dalam bahasa Indonesia modalitas hanya merupakan kategori leksikal,
sehingga untuk mencapai kesejajaran bentuk dan makna dalam penerjemahan
pengungkap modalitas tersebut tidak selalu mudah dilakukan. Namun demikian,
dalam bahasa Indonesia dikenal adanya adverbia pemarkah modal, yang berfungsi
memberikan informasi mengenai sikap pembicara, ataupun adanya kata kerja
pewatas yang bentuknya bisa dipadankan dengan kata kerja bantu modal dalam
bahasa Inggris. Ekuivalensi dimungkinkan bisa tercapai karena pada dasarnya
setiap bahasa mempunyai konsep universal yang sama mengenai modalitas.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Hal ini dilakukan agar peneliti bisa mendeskripsikan penggunaan modal
sebagai pengungkap modalitas bahasa Inggris serta padanannya yang tepat dan
benar dalam bahasa Indonesia secara tuntas dan komprehensif. Hal ini sejalan
dengan yang dinyatakan Singarimbun (1982:4) bahwa tujuan dari penelitian
deskriptif adalah untuk menjelaskan, mendeskripsikan suatu objek atau fakta.
1.7.1 Penyediaan Data
Data pada hakikatnya adalah objek penelitian beserta dengan konteksnya
(Sudaryanto, 1988:10). Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan
30
menggunakan teknik catat, yaitu teknik menjaring data dengan mencatat hasil
penyimakan data pada kartu data (Jatikesuma, 2007:45). Teknik ini digunakan
mengingat data dalam penelitian ini berupa teks.
Pada tahap ini, penulis mengumpulkan data berupa kalimat yang di
dalamnya terdapat kata kerja bantu modal dari beberapa buku tata bahasa Inggris,
buku pendukung yang berhubungan dengan penelitian, dan sebuah novel
berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Novel ini adalah
novel karya Stephenie Meyer berjudul Twilight (kemudian disingkat ‘Tw’) dan
karya terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Lily
Devita Sari berjudul Twilight (kemudian disingkat ‘Twi’). Novel ini merupakan
best seller pada tahun terbitnya (2005) dan mempunyai kekuatan dalam
penggunaan ragam bahasa kontemporer sebagai sebuah media komunikasi tulis di
mana penulis mengungkapkan sikapnya terhadap bahasa yang dituturkannya. Jadi,
novel ini sangat relevan sebagai sumber data pengkajian modal sebagai
pengungkap modalitas bahasa Inggris kontemporer.
1.7.2 Analisis Data
Untuk memenuhi tujuan penelitian yang pertama dan kedua, yaitu
mendeskripsikan fungsi modal sebagai pengungkap makna modalitas, maka
metode analisis data yang digunakan adalah metode agih dengan teknik dasarnya
teknik bagi unsur langsung dan beberapa teknik lanjutan, dan metode padan
dengan teknik dasarnya teknik pilah unsur penentu (Sudaryanto, 1993; 31-79).
Teknik dasar bagi unsur langsung digunakan untuk memisahkan satuan lingual
31
yang berfungsi sebagai satuan pernyataan modalitas, yaitu modal itu sendiri,
dengan satuan lingual lainnya di dalam kalimat. Teknik lanjutannya adalah, teknik
parafrase dan teknik perluas.
Teknik parafrase dipergunakan untuk mengetahui aspek-aspek kemaknaan
satuan-satuan lingual yang dianalisis. Teknik ini dilaksanakan dengan mengubah
satuan lingual yang dibicarakan sedemikian rupa menjadi satuan lain dengan tetap
mempertahankan informasinya. Sebagai contoh untuk memerikan makna modal
must yang berfungsi sebagai pengungkap modal deontik, maka kalimat (12) dapat
diparafrasekan menjadi kalimat (13).
(12) He must enter the room. (13) He is obliged to enter the room. Teknik perluas dipergunakan untuk mengetahui aspek kemaknaan satuan
yang dianalisis. Teknik ini dilakukan dengan memperluas satuan lingual yang
dianalisis dengan satuan lingual tertentu. Misalnya untuk mengetahui fungsi
tambahan dari modal sekunder might (selain sebagai modal epistemik) sebagai
pemarkah ‘ketidaknyataan’, maka kalimat (14) diperluas menjadi kalimat (15).
(14) He might have entered the room. (15) He might have entered the room, but he didn’t. Adapun teknik dasar pilah unsur penentu adalah teknik analisis dengan
cara memilah-milah satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu yang
berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti, dengan daya
pilah pragmatis sebagai jenis penentunya. Daya pilah pragmatis di sini
menggunakan pembicara dan pendengar atau subjek sebagai pelaku sebagai
penentu. Dengan teknik dasar ini dapat ditentukan fungsi penggunaan suatu
32
modal. Sebagai contoh misalnya must pada kalimat (12) dapat ditentukan apakah
berfungsi sebagai modal epistemik ‘kepastian’ (12a) atau sebagai modal deontik
‘kewajiban’ (12b).
(12) He must enter the room. a. It is certain that he enters the room. b. He is obliged to enter the room.
Fungsi must sebagai modal epistemik ataupun deontik ditentukan
berdasarkan kadar restriksi (Coates via Alwi, 1992:94) pembicara terhadap
pendengar atau terhadap subjek yang bisa menjadi pelaku aktualisasi peristiwa.
Dengan dasar itu, dapat ditentukan bahwa must merupakan modal epistemik jika
penggunaannya tidak menimbulkan reaksi pada pendengar atau subjek. Artinya,
pembicara hanya membuat penilaian epistemik karena pembicara memiliki kadar
restriksi yang rendah terhadap pendengar atau subjek. Must berfungsi sebagai
modal deontik jika pembicara memiliki kadar restriksi yang tinggi terhadap
pendengar, atau penggunaannya menimbulkan reaksi dari pendengar atau subjek
kalimat untuk bersedia atau menolak melakukan suatu tindakan.
Untuk menjawab permasalahan ketiga mengenai padanan modal dalam
bahasa Indonesia, penulis menggunakan metode padan teknik translasi, dan
metode agih teknik subtitusi. Teknik translasi digunakan untuk melihat kesamaan
sekaligus keunikan sistem modalitas bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia.
Sebagai contoh, dengan teknik ini bisa diketahui bahwa modal may ternyata
merupakan penanda modalitas secara leksikal frasal, sedangkan padanannya
mungkin dalam bahasa Indonesia bisa menjadi penanda leksikal klausal.
Perhatikan contoh (16) dan (17) berikut.
33
(16) He may enter the room. (17a) Dia mungkin memasuki ruangan itu. (17b) Mungkin dia memasuki ruangan itu. Selain perbedaan sebagaimana tampak sekilas di atas, ternyata kedua
bahasa menunjukkan beberapa kesamaan, salah satu adalah contoh berikut.
(18) He must enter the room. (19) Dia harus masuk ruangan itu. Kalimat (18) dan (19) di atas menunjukkan bahwa bahasa Indonesia juga
menggunakan penanda modalitas secara leksikal frasal layaknya modal yang
merupakan alat leksikal frasal dalam mengungkap modalitas.
Teknik subtitusi digunakan untuk mengetahui kadar kesamaan antara
komponen terganti dengan satuan lingual pengganti. Dengan teknik itu dapat
diketahui kata padanan mana saja yang termasuk penanda modalitas frasal dan
klausal. Dari situ akhirnya dapat diketahui satuan lingual lain yang berupa frasa
ataupun klausa yang semakna dengan modal, sehingga dapat dilakukan penentuan
segenap padanan modal bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Contoh.
(17c) Barangkali dia memasuki ruangan itu (17d) Bisa jadi dia memasuki ruangan itu (17e) Boleh jadi dia memasuki ruangan itu Contoh (17c) – (17e) menunjukkan bahwa semua kata yang mengawali
setiap kalimat itu merupakan satuan lingual yang sama-sama menduduki fungsi
keterangan dan bersinonim dengan mungkin pada (17b). Kehadiran satuan-satuan
lingual tersebut mengubah kalimat menjadi pikiran epistemik ‘kemungkinan’
pembicara seperti pada kalimat (17a).
34
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Sudaryanto (1993) mengemukakan ada dua metode yang dapat digunakan
dalam penyajian hasil analisis data. Metode tersebut adalah secara formal dan
informal. Pada penelitian ini, penyajian analisis data dilakukan baik secara formal
maupun secara informal. Secara formal penulis akan menyajikan hasil analisis
dalam bentuk tabel dan simbol-simbol tertentu. Selain penyajian secara formal,
hasil analisis juga akan disajikan secara informal, yaitu melalui kata-kata untuk
mendeskripsikan hasil analisis agar mudah dipahami oleh pembaca.
1.8 Sistematika Penulisan
Penyusunan hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab 1
merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab 2 berisi penggunaan modal primer sebagai pengungkap
modalitas dalam bahasa Inggris. Bab 3 berisi penggunaan modal sekunder sebagai
pengungkap modalitas dalam bahasa Inggris. Bab 4 akan membahas padanan
modal primer dan sekunder tersebut dalam bahasa Indonesia. Pada bab terakhir,
bab 5, akan ditarik kesimpulan yang diikuti oleh saran bagi penelitian selanjutnya
di bidang yang berhubungan dengan sistem modalitas pada umumnya dan modal
sebagai pengungkap modalitas pada khususnya.