pengungkap fakta
DESCRIPTION
PENGUNGKAP FAKTATRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato,
Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum
alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal
dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah
cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran
sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-
undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan
hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum
positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan
keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan
dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa kemasa. Pada abad ke-17,
substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang berisfat universal yang
bisa disebut HAM.1
Teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
1 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004). hlm. 116.
1
mengutamakan “the search for justice”. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan
masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang
kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran
dalam system pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya, harus
ditolak atau direvisi jika tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli
betapapun efisen dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.
Setiap orang memiliki kehormatan yang didasarkan pada keadilan sehingga seluruh
masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkanya.
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi
pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya
tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang
merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan
pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut
perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian
dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang
menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga
penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber
kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga
korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya.
2
Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa
tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun
pemberantasannya.
Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai
kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan
keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana
korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat secara langsung
di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian tersebut disebut
“whistleblower” dan “Justice Collaborator”.
Whistleblower dan Justice Collaborator dimana para pelapor merupakan salah
satu pelaku dari tindak pidana korupsi dan mau bekerjasama dalam menuntaskan
dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Pemberitaan tentang
whistleblower menjadi suatu kegembiraan tersendiri bagi upaya penegakan hukum,
secara khusus bagi pemberantasan korupsi. Tentu nilai kejujuran dari seseorang
whistleblower perlu dicontoh dan tetap dijunjung tinggi, mengingat kemauan berkata
jujur sangat susah didapat saat ini. Semangat seperti ini sebenarnnya harus dipacu
pertumbuhannya sehingga dapat dijadikan awal untuk menghabisi para koruptor.
Whistleblower sebenarnya adalah tindakan yang mulia. Bagaimanapun
pemahaman kita tentang keberadaannya bisa saja berbeda-beda. Whistleblower bisa
saja disebut seseorang yang hanya sok-sokan, mencari sensasi, maling teriak maling.
Umumnya para pelaku koruptor tidak terlalu senang atas keberadaan seorang
whistleblower, karena keberadaannya akan menjadi duri dalam daging, yang sewaktu-
3
waktu dapat menusuk baik dari depan maupun dari belakang. Inilah fakta yang telah
pernah terjadi.
B. Perumusan Masalah
Sehubung dengan latar belakang di atas penulis mencoba untuk menitik
beratkan pembahasan bagaimana Implementasi Teori Hukum Alam terhadap
Whistleblower dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Implementasi Teori Hukum Alam terhadap Pengungkap Fakta
(Whistleblower) dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Membicarakan hukum alam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan hukum
positif. Sebagaimana dinyatakan W. Friedmann dalam bukunya legal theory hukum
alam, dalam berbagai bentuknya, sebagai satu ungkapan untuk mencari cita-cita yang
lebih tinggi dari hukum positif.2 Demikian juga Hans Kelsen, menyatakan adanya
dualisme antara hukum alam dan hukum positif, di dalam bukunya general theory of
law and state. Kelsen, menegaskan bahwa diatas hukum positif yang tidak sempurna,
terdapat hukum alam yang sempurna. Hukum positif baru teruji kebenarannya bila
bersesuaian dengan hukum alam (positive law is justified only insofar as it
corresponds to the natural law).3 Perubahan kondisi-kondisi sosial dan politik
menyebabkan gagasan tentang hukum alam pun berubah. Satu-satunya yang masih
tetap adalah tuntutan pada suatu yang lebih tinggi dari hukum positif.4 Dalam
membicarakan hukum alam dan hukum positif, pembicaraan tentang keadilan
2 W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh Muhammad Arifin, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, Susunan I, hlm.47.3 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973, hlm.12.4 W.Friedmann, Op.cit.,hlm.47.
5
menjadi bagian yang sering dipersoalkan dalam menemukan tatanan hukum yang
lebih baik untuk mengatur perbuatan manusia.
Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta
alam, dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat
kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai ”hukum dari yang paling kuat”, yang
sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut hukum alam disini, tidak lain
daripada kekuasaan dan kekerasan.5 Aristoteles merupakan orang yang pertama kali
membedakan antara hukum alam dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam
adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena hubungannya
dengan aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan
berlaku dengan sendirinya. Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif, yang
seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.6 Bagi kaum sofis, alam merupakan
sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia. Sedangkan
Aristoteles, dalam bukunya ”logika”memandang bahwa dunia sebagai totalitas yang
meliputi seluruh alam. Manusia adalah bagian dari alam, diberkahi dengan akal yang
aktif yang membedakannya dari semua bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu
membentuk kehendaknya sesuai dengan pengertian akalnya.7 Tesis Aristoteles ini
menjadi dasar konsepsi hukum alam para filsuf Stoa.
5 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986, hlm.29.6 Ibid7 W. Friedmann, Op.cit.,hlm.52-53.
6
Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang Romawi
mengenai hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa semuanya yang ada
merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos), berkat suatu prinsip yang menjamin
kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos). Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang
menjiwai segala.8 Aliran ini berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai
hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis) yang
terdapat dalam segala-galanya. Hukum universal itu terkandung dalam logos, dan
sebagai demikian disebut hukum abadi (lex aeterna). Sejauh hukum abadi itu menjadi
nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut hukum alam (lex naturalis). Hukum
alam ini tidak tergantung dari orang, selalu berlaku dan tidak dapat diubah. Hukum
alam ini merupakan dasar segala hukum positif.9 Para filsuf Stoa, membedakan antara
cita-cita hukum alam yang nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan hukum alam,
tidaklah terdapat keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan. Tetapi
lembaga-lembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia.
Hukum alam ”nisbi” menuntut dari pembentuk perundang-undangan, adanya undang-
undang yang dituntun oleh akal, dan sedekat mungkin pada hukum alam mutlak.10
Sasaran tertinggi manusia ialah menjadi manusia yang adil, dengan tunduk kepada
hukum alam (nomos) sebagai pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara
ditaati karena sesuai dengan hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat
8 Theo Huijbert, Op.cit. Hlm.32.9 Ibid10 W. Friedmann, Op.cit. Hlm.54.
7
bahwa masyarakat manusia dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan
hukum alam.11
Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques Rousseau sama sekali tidak
bicara mengenai suatu hukum alam pada manusia primitif. Hukum alam itu baru
terdapat pada orang-orang yang sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial
manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral
maupun secara yuridis. Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal
dari kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita
individualnya. Tetapi sesudah timbulnya masyarakat baru cita-cita individual itu
diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari kehendak baru, yakni kehendak umum
(volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan umum yaitu kepentingan umum.
Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu dibentuk undang-undang yang tidak
mencerminkan kepentingan umum, sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang,
maka undang-undang itu harus dianggap tidak adil.12
Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti Hans
Kelsen dan Rudolf Stammler memberikan pendapat mengenai hukum alam secara
berbeda. Dalam menjelaskan peraturan hukum dan hukum alam, Hans Kelsen
menyatakan bahwa peraturan hukum merupakan bentuk logis dari hukum alam (the
rule of law is the logical form of the law of nature). Seperti halnya peraturan hukum,
hukum alampun menghubungkan dua fakta satu sama lain seperti kondisi dan
11 Theo Huijbert, Op.cit. Hlm.33.12 Theo Huijbert, Op.cit. Hlm.89.
8
konsekuensi. Yang dimaksud dengan kondisi disini adalah “sebab”, konsekuesi
adalah “akibat”. Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas (the
fundamental form of the law of nature is the law of causality).13 Perbedaan antara
peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya adalah bahwa peraturan hukum
menunjuk kepada manusia dan perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk
kepada kebendaan dan reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga
bisa menjadi kajian hukum alam asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena
alam. Prinsip yang digunakan ilmu (hukum) alam dalam mendeskripsikan objek-
objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip yang digunakan ilmu hukum dalam
mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.14 Berbeda dengan Kelsen,
Stammler sampai kepada suatu pemikiran hukum alam yang bersifat tidak abadi. Hal
ini disebabkan karena dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena
kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya
hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat.
Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat
tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.15
13Hans Kelsen, General Theory, Op.cit. Hlm.45-46.14 Ibid15 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju. Bandung, 2007. Hlm.55-56.
9
Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat
difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan
fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.16 Pendapat Sunaryati Hartono
mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat
secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.17
Sedangkan ajaran stufentheori berpendapat bahwa suatu system hukum adalah
suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada
ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tinggi
adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih
rendah adalah lebih konkrit dari pada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni
tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak
mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu
adil atau tidak adil.
Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun
berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan
pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu
berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku
korupsi.18
16 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, (Bandung: Remaja Rusda Karya, 1993). Hlm. 118.17 Sunaryati Hartono, ” Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, (Bandung: Alumni, 1991). Hlm. 55.18 Anwar Usman dan AM. Mujahidin, Makalah Whistle Blower Dalam Perdebatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. www. pn-purworejo. go. id. Diakses pada tanggal 22 Januari 2015.
10
Korupsi di Indonesia sudah seperti wabah penyakit yang telah menjangkit dan
menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering diartikan bagi
pejabat Negara atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, namun
saat ini masalah korupsi tidak hanya bagi pejabat negara atau pegawai negeri tetapi
telah melibatkan berbagai lembaga seperti anggota legislative, yudikatif, para banker,
konglomerat dan korporasi. Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi
yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya
membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan
tindak pidana korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat
secara langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian tersebut
disebut “whistleblower” dan “Justice Collaborator”.
Pemberitaan tentang whistleblower menjadi suatu kegembiraan tersendiri bagi
upaya penegakan hukum, secara khusus bagi pemberantasan korupsi. Tentu nilai
kejujuran dari seseorang whistleblower perlu dicontoh dan tetap dijunjung tinggi,
mengingat kemauan berkata jujur sangat susah didapat saat ini. Semangat seperti ini
sebenarnnya harus dipacu pertumbuhannya sehingga dapat dijadikan awal untuk
menghabisi para koruptor.
Whistleblower sebenarnya adalah tindakan yang mulia. Bagaimanapun
pemahaman kita tentang keberadaannya bisa saja berbeda-beda. Whistleblower bisa
saja disebut seseorang yang hanya sok-sokan, mencari sensasi, maling teriak maling.
Umumnya para pelaku koruptor tidak terlalu senang atas keberadaan seorang
whistleblower, karena keberadaannya akan menjadi duri dalam daging, yang sewaktu-
11
waktu dapat menusuk baik dari depan maupun dari belakang. Inilah fakta yang telah
pernah terjadi. Orang awam yang selama ini buta dengan kondisisebenarnya didalam
tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa
negara ini tidak maju-maju.19
Di Indonesia ada kecenderungan jika seseorang mencoba melawan
kekuasaan,maka niscaya dalam waktu singkat dia akan disingkirkan, minimalakan
dikucilkan. Pengalaman selama ini, justru memperlihatkan bahwa posisi saksi sangat
rawan dan mudah berubah menjadi tersangka, apalagi saksi tersebut lemah dalam
mengungkapkan fakta-fakta yuridis. Pelaku korupsi seringkali mempergunakan
berbagai cara untuk menyerang saksi, salah satu cara tersebut adalah "upaya
pencemaran nama baik".20
Dengan kedudukan ekonomi dan posisi politik yang sangat kuat sangat mudah
bagi pelaku tindak pidana koruspi untuk menyerang balik saksi pelapor atau
pengungkap fakta bahkan dapat saja berbalik saksi pelapor menjadi tersangka baik
dalam kasus tersebut maupun dalam kasus-kasus yang lain. Kehadiran Whistleblower
perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan
dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang
mudah, dikarenakan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya
mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Secara
19 Muhammad Hazairin, Menunggu Skema Pembunuhan Sang Whistleblower, opini, 30 Juni 2011, www. Tempo.com. di akses pada 22 Januari 2015.20 Asep Tri Wahyudi, makalah, Perlindungan Terhadap Whistleblower, terbangkelangit.multyply.com/journal. Diakses pada tanggal 23 Januari 2015.
12
yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan
Whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum.
Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan.21
Kasus Whistleblower sebenarnya bukan hal baru di dunia ini, namun di
Indonesia masalah Whistleblower belum mendapatkan tempat , karena peranan
whistleblower sebagai pengungkap fakta malah disudutkan. Whistleblower atau
peniup peluit kasus-kasus korupsi masih belum mendapatkan perlindungan maksimal.
Salah satu kendalanya yakni ada pada ranah penegak hukum. Faktor sumirnya
ketentuan perlindungan participant whistleblower dan pemahaman yang terbatas dari
penegak hukum telah mengakibatkan orang-orang yang mengungkap kejahatan, yang
seharusnya mendapatkan penghargaan namun pada kenyataanya dijatuhi hukuman.22
Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan
diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun
demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun
mafia peradilan, yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta
konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut
21 Anwar Usman dan Mujahidin, Loc. Cit. Hal. 4.22 Penegak Hukum Masih Belum Paham Perlindungan Bagi Whistle Blower. http://www.detiknews.com diakses pada tanggal 23 Januari 2015.
13
umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati menerimannya , tidak
sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan harus diuji dahulu.23
Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap sang whistleblower
memang beralasan karena dalam sistemhukum di Indonesia belum mengenal apa
yang dinamakan whistleblower. Dalam peraturan perundang-undangan juga belum
ada yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan perlindungan terhadap
whistleblower tersebut.
Sampai sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara
implisittermaktub dalamUU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Peraturan lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun
2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower)dan Saksi
Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).24
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan penjabaran dari Pasal10
UUNo.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari SEMA
ini adalah agar semua kejahatan yang terorganisir yang selama ini sangat tertutup
rapih dapat diungkap secara menyeluruh jika ada yang memberikan informasi dari
dalam dan dapat dibongkar oleh para penegak hukum dan dibawake pengadilan untuk
diadili.25
23 Anwar Usman dan AM. Mujahidin, Loc. Cit. Hal.13.24 Abdul Haris Semendawai, et al, Memahami Whistleblower. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hal. X. Desember 2011.25 Pidato Ketua Sambutan Mahkamah Agung RI pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional 2011 di Jakarta, Varia Peradilan No. 311 Oktober 2011. Hal. 11.
14
Belum adanya perlindungan secara yuridis terhadap sang whistleblower
memang dikhawatirkan akan memutus generasi whistleblower yang baru. Padahal
jika mau jujur, demi penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
negeri ini, peranan sang whistleblower menjadi salah satu senjata yang ampuh untuk
dijadikan alat membuka sindikat mafia koruptor. Peranan sang whistleblower dalam
membuka para sindikat koruptor besar selama ini tidak terpikirkan dan tidak terduga.
John Locke menyebutkan ada tiga kekuasaan negara yaitu kekuasaan
legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan yang tertinggi adalah kekuasaan
legislatif. Oleh karena kekuasaan itu adalah yang tertinggi, maka dalam membentuk
undang-undang pemerintah hanya harus tunduk pada hukum alam saja. Kekuasaan
legislatif tidak hanya ditemukan dalam negara. Sekelompok orang dapat membuat
undang-undang untuk hidup bersama mereka. Tetapi undang-undang itu baru menjadi
sah sebagai hukum karena kekuasaan legislatif negara, yang mampu menentukan
sanksi, kalau undang-undang itu dilanggar. Namun dilaih fihak kekuasaan legislatif
pemerintah negara dibatasi, oleh karena rakyat memiliki kekuasaan yang melebihi
kekuasaan legislatif. Rakyat berhak untuk merebut kembali kebebasan asli, kalau
pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan
negara. Kekuasaan itu terikat pada hukum alam, yang tetap ada pada rakyat. Dengan
demikian teori hukum alam John Locke mengandung suatu tendensi revolusioner:
bilamana syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi oleh pemerintah, revolusi
diperbolehkan.26
26 W. Friedmann. Op. Cit. Hlm. 83-84.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
16
Perlindungan hukum( Besil Protection,Rechtsbercherming) adalah suatu
perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada subyek hukum mengenai
hak dan kewajiban (substantif) termasuk perlindungan phisik dan mental yang
bersifat preventif maupun yang bersifat refresif.
Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan
yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental kepada korban dan saksi dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan sidang
dipengadilan.
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hokum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat. Kesepakatan
tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan
antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat. perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak
sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
17
18